Golok Yanci Pedang Pelangi 5

Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Bagian 5


Dengan tangan sebelah mengepit tawanan, tangan yang lain memegang pinggiran
perahu, Hui Beng-cu berteriak, "Toako berdua, cepat bantu aku menyeret tawanan ini
ke atas!" "Matai atau masih hidup?" tanya Pang Goan.
"Tentu saja masih hidup, Cuma ia sudah kutenggelamkan ke sungai hingga banyak
minum air, sekarang ia tak sadarkan diri!"
"Dalam mulutnya terdapat gigi palsu yang berisi racun, apakah kau tahu?" kembali
Pang Goan bertanya. "Jangan kuatir, gigi racunnya telah kucabut, jangan harap permainan busuk orang
Ainu ini akan mengelabuhi diriku!"
Pang Goan sangat gembira, ia segera mencengkeram rambut perempuan Ainu itu dan
menyeretnya ke atas perahu. Hui Beng-cu melompat ke atas, sambil membesut air yang membasahi wajahnya ia
berkata, "Pompa dulu perutnya agar air tertumpah keluar, kemudian baru bertanya
kepadanya, hati-hati pada bahu kirinya terdapat luka tusukan pedang, jangan biarkan
darah mengalir terlalu banyak . . . ada seorang lagi yang kulukai, sayang ia berhasil
melarikan diri. Sementara itu Pang Goan telah memompa keluar air dalam perut perempuan cebol
itu, kemudian menghentikan pula cucuran darah pada bahunya.
Kali ini ia turun tangan dengan sangat hati-hati, ia takut tawanannya mati lagi
sehingga sukar mencari jejak Pang Wan-kun.
Kali ini Leng-hong tidak membantu ataupun membuka suara, dia hanya memandang
wajah Hui Beng-cu dengan termangu, ia rada bingung.
Tak lama perempuan itu sudah sadar kembali dari pingsannya, begitu membuka
matanya dan menyaksikan keadaan di sekeliling situ, cepat ia menggertak gigi rapatrapat
. . . . "Apa yang kau lakukan?" ejek Pang Goan sambil tertawa dingin, "gula-gula dalam
mulutmu itu tak perlu dicari lagi, sudah terlepas dan dimakan ikan!"
Air muka perempuan itu berubah hebat, tiba-tiba ia angkat telapak tangannya untuk
menghantam kepala sendiri. Tapi baru sampai di tengah jalan, tangannya sudah keburu dicengkeram oleh Pang
Goan, "Jangan buru-buru mampus," katanya, "nanti saja kalau mau mati, sesudah
menjawab pertanyaan kami." Beruntun ia tutuk enam jalan darah penting pada badannya, kemudian baru lepas
tangan. Setelah seluruh tubuh tak bisa berkutik perempuan cebol itu memejamkan matanya,
dua titik air mata meleleh membasahi pipinya.
"Beginilah tabiat perempuan bangsa Ainu," kata Hui Beng-cu, "mereka suka
kekerasan dan menolak cara halus, kalau tidak diberi sedikit kelihaian, mereka tak
akan bicara terus terang." "O, itu sih gampang," kata Pang Goan.
Jari tangannya segera bekerja cepat, menutuk empat-lima tempat jalan darah
perempuan Ainu itu, akhirnya ia tabok belakang tengkuknya.
Seperti terkena listrik tegangan tinggi tiba-tiba sekujur tubuh perempuan itu gemetar
keras, butiran keringat sebesar kacang membasahi jidatnya, kulit wajahnya berkejang,
giginya gemertakan, rintihan kesakitan berkumandang tiada hentinya.
"Mulai sekarang setiap pertanyaanku harus kaujawab dengan sejujurnya," bentak
Pang Goan, "kalau tidak, akan kusuruh kau rasakan bagaimana nikmatnya beribu
semut menerobosi hatimu, kubikin kau tak sempat bernapas selama tiga hari tiga
malam." Dengan air mata bercucuran, terpaksa perempuan Ainu itu mengangguk kepala.
Pang Goan segera membebaskan jalan darahnya yang tertutuk, kemudian sambil
tertawa dingin katanya, "Beritahu dulu kepadaku, siapa pemimpin Ci-moay-hwe" Di
mana letak markas besarnya?" Perempuan itu menjawab dengan logat yang kaku dan sukar dimengerti.
"Hei, apa yang kau katakan?" bentak Pang Goan.
Hui Beng-cu tertawa geli, katanya, "Dia perempuan asing yang kurang fasih
berbicara dengan logat kita, dia menjawab tidak tahu."
"Omong kosong, kau adalah anggota Ci-moay-hwe, masa tidak tahu tentang urusan
Ci-moay-hwe?" teriak Pang Goan.
Kembali perempuan Ainu itu mengoceh dengan kata-kata yang kurang jelas.
Terpaksa Hui Beng-cu bertindak sebagai juru bahasa, "Ia bilang benar-benar tidak
tahu, sebab orang itu tidak ia kenal, tempat pun tak diketahui."
"Baik, sekalipun tak dapat kau sebutkan nama orang dan tempatnya, tentunya kau
tahu bagaimana jalan menuju ke sana?"
Perempuan Ainu itu mengangguk kepala berulang kali, "Ya, ya . . . aku tahu."
"Kalau begitu, bawalah kami ke sana."
Perempuan itu berkerut dahi sambil menunjukkan tanda-tanda keberatan.
"Kenapa" Apakah siksaan yang kau rasakan tadi belum cukup?" hardik Pang Goan.
Perempuan itu mengucapkan dua-tiga kata.
Kali ini Pang Goan dapat menangkap maksudnya, ia mendengus, "Hmm, mereka
dapat membunuhmu, apakah aku tak bisa membunuhmu pula" Ketahuilah, aku bisa
membunuhmu dengan cara yang lebih keji, apakah kau ingin mencobanya?"
Buru-buru perempuan berbaju hitam itu geleng kepala.
"Kalau tidak ingin mampus, bawalah kami ke sana. Sekarang aku hendak bertanya
satu hal, Nyo...." Mendadak ia teringat bahwa Hui Beng-cu masih belum mengetahui asal-usul Ho
Leng-hong yang sebenarnya, maka ia ganti perkataan, "Apakah Nyo-hujin dari Thianpo-
hu yang bernama Pang Wan-kun terjatuh ke tangan Ci-moay-hwe?"
Kembali perempuan itu menjawab dengan logat yang sukar dimengerti.
Pang Goan tahu, kalau begini caranya tak mungkin akan didapatkan apa yang
diharapkan, maka ia putuskan untuk mencari dulu markas Ci-moay-hwe, sebab
dengan sendirinya jejak Nyo Cu-wi suami-isteri akan diketahui bila markas musuh
telah diketemukan. Maka katanya kepada Hui Beng-cu, "Dengan perempuan asing ini sebagai penunjuk
jalan, lebih baik kita langsung menuju ke markas besar Ci-moay-hwe, kalau mau
membekuk bajingan lebih dulu harus bekuk pemimpinnya, asal sarang mereka sudah
kita aduk, otomatis urusan di rumahmu akan beres juga dengan sendirinya, entah
bagaimana pendapat nona?" Hui Beng-cu berpikir sebentar, lalu jawabnya, "Baiklah, kalau mau pergi harus
segera berangkat, daripada rahasia ini bocor dan mereka keburu kabur."
Ho Leng-hong hanya mengikuti pembicaraan itu dari samping, ia tidak buka suara
juga tidak memberi komentar apa-apa.
Begitulah, dengan menggusur perempuan Ainu itu berangkatlah mereka bertiga
meninggalkan perahu, di kota Tin-kang mereka menyewa sebuah kereta dan dua ekor
kuda, sebelum fajar menyingsing mereka meneruskan perjalanan.
Ho Leng-hong dan Pang Goan menunggang kuda, sedang Hui Beng-cu dan
perempuan baju hitam itu numpang di dalam kereta, atas petunjuk perempuan itu
mereka telusuri jalan lama, balik ke kota Siang-yang.
Di tengah jalan, Pang Goan sengaja memperlambat lari kudanya, kepada Ho LengKoleksi
Kang Zusi hong bisiknya, "Lote, apakah kau masih mencurigai asal-usul budak she Hui itu?"
Leng-hong menarik napas panjang, "Aku tak dapat mengemukakan alasan apa-apa,
tapi bagaimanapun aku tetap merasa di balik soal ini ada sesuatu yang kurang beres."
"Andaikata dia adalah anggota Ci-moay-hwe, kenapa ia membantu kita membekuk
seorang tawanan hidup?" "Aku tidak mengatakan dia adalah musuh," ujar Leng-hong sambil tertawa getir,
"pokoknya lebih baik kita berhati-hati sepanjang perjalanan, sebab aku mendapat
firasat bahwa di tengah jalan nanti mungkin akan terjadi sesuatu."
"Dalam hal apakah yang kau maksudkan?"
"Segala hal bisa terjadi, tapi yang paling penting adalah perempuan Ainu itu, kita
harus mengawasinya secara khusus."
"Kenapa dengan perempuan itu?"
"Kalau bukan dia yang akan mencelakai kita, tentu pula Ci-moay-hwe akan
membinasakannya." "Oo!?" Pang Goan seperti memahami akan sesuatu.
Ternyata dugaan mereka memang benar, malam itu juga peristiwa tersebut telah
terjadi. --------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***----
Berangkat dari Tin-kang menuju ke barat, malam itu sampailah mereka di sebuah
kota kecil di sebelah utara Keng-ciu, kota kecil ini bernama Kian-yang-gi.
Kota ini merupakan persimpangan jalan raya yang menghubungkan Keng-ciu dan
Siang-yang, menuju ke arah timur akan sampai di Ji-han, ke barat akan sampai Samshia,
ke utara bukan saja sampai Siang-hua, malah ada jalan raya menuju ke Kamsiok,
sebab itulah suasana di kota kecil ini ramai sekali.
Mereka menginap di rumah penginapan "Hong-an", Pang Goan dan Ho Leng-hong
memakai satu kamar, sedang Hui Beng-cu dan perempuan Ainu itu tinggal di kamar
yang lain. Selesai bersantap malam, sebelum tidur, Pang Goan memperingatkan Hui Beng-cu
secara khusus, katanya, "Jangan terlalu nyenyak tidurmu malam nanti, jangan kau
bebaskan pula jalan darah perempuan asing itu, jika ada sesuatu yang mencurigakan,
segera panggil kami." "Jangan kuatir Pang-toako," sahut Hui Beng-cu sambil tertawa, "tanggung tak akan
terjadi apa-apa, aku akan mengawasinya sepanjang malam, sekalipun punya sayap
jangan harap akan terbang dari hadapanku."
Sekembalinya ke kamar, Pang Goan kembali berunding dengan Ho Leng-hong,
mereka putuskan untuk jaga malam secara bergilir, Ho Leng-hong menjaga setengah
malam pertama dan Pang Goan setengah malam berikutnya.
Setengah malam yang pertama berlangsung tenang tanpa terjadi apapun.
Ketika giliran Pang Goan menjaga setengah malam berikutnya, kurang lebih dua jam
menjelang fajar, Pang Goan mengambil sebuah bangku dan duduk bersila di tepi
jendela sambil mengatur napas diam-diam ia perhatikan gerak-gerik kamar sebelah.
Satu jam sudah lewat, tapi suasana tetap tenang.
Ketika fajar menjelang tiba, pada cuaca paling gelap, waktu itu Pang Goan masih
duduk bersila sambil terkantuk-kantuk, mendadak ia mendengar suara aneh di kamar
Hui Beng-cu. Suara rintihan yang lemah dan lirih, seakan-akan ada seseorang sedang dicekik
lehernya hingga ingin berteriak pun tak mampu bersuara.
Dengan sigap Pang Goan melompat bangun lalu teriaknya dari jendela, "Beng-cu!
Beng-cu! . . ." Panggilannya yang berulang kali itu tidak memperoleh jawaban apa-apa, malah
rintihan tadi mendadak berhenti. Pang Goan tidak membuang waktu lagi, ia hantam daun jendela hingga terpentang
lebar, kemudian menyerbu ke dalam ruangan.
Ia cepat masuk, waktu keluarpun tak kalah cepatnya, sambil melompat mundur dari
ruangan itu serunya dengan cemas, "Jit-long, cepat bangun, terjadi peristiwa . . . . "
"Apa yang terjadi?" buru-buru Leng-hong lari keluar dari kamarnya.
Sambil menuding ke arah kamar tidur Hui Beng-cu, kata Pang Goan dengan napas
terengah, "Entah bagaimana caranya, perempuan asing itu berhasil meloloskan diri, ia
sedang mencekik Beng-cu . . . ."
"Sungguh" Kita harus menolongnya!" seru Leng-hong dengan terkejut.
Tapi Pang Goan segera mengalanginya sambil menggoyang tangan berulang, "Tidak
mungkin, kita kurang leluasa untuk masuk ke sana, kita harus cari akal."
"Kenapa?" tanya Leng-hong.
Dengan wajah merah kata Pang Goan, "Perempuan asing itu dalam . . . dalam
keadaan telanjang . . . pan . . . pantatnya kelihatan jelas . . . ."
Mendengar ucapan tersebut, Leng-hong merasa geli dan dongkol, katanya, "Lotoako,
dalam keadaan apakah ini" Kenapa kau urus soal semacam itu?"
Sekali melompat ia melewati Pang Goan dan langsung menerjang masuk ke dalam
ruangan. Apa yang dikatakan Pang Goan memang tak salah, perempuan Ainu itu betul-betul
dalam keadaan telanjang bulat, waktu itu ia sedang menunggangi tubuh Hui Beng-cu
sementara tangannya mencekik leher gadis itu dengan keras-keras.
"Lepaskan!" bentak Leng-hong.
Perempuan itu benar-benar lepaskan tangannya, cuma bagaikan angin puyuh ia
memutar ke arah pemuda tersebut. Seandainya Pang Goan yang menghadapi kejadian ini, jangankan melawan, melihat
gayanya yang "mengerikan" itu saja mungkin sudah kabur terbirit-birit.
Sayang dijumpainya kali ini adalah Ho Leng-hong.
Ho Leng-hong tidak menganggapnya sebagai manusia, apalagi sebagai seorang
perempuan, adegan semacam ini sudah biasa baginya, sedikitpun tidak heran dan
terangsang. Ia menganggapnya seperti gumpalan daging atau seekor babi betina, tanpa pikir
tangan kiri menyodok ke depan. Sodokan ini telak bersarang di perut perempuan cebol itu.
"Aduh!" karena kesakitan perempuan itu membungkukkan badannya, seakan-akan
mendadak merasa malu. Sedikitpun tidak terlintas dalam benak Ho Leng-hong rasa kasihan, bagaikan sebilah
golok telapak tangan kanannya membacok kuduk perempuan itu dengan keras.
"Ouh . . ." perempuan itu mengerang kesakitan dan jatuh berlutut di lantai.
Dengan cekatan Leng-hong menjambak rambutnya, menutuk jalan darahnya dan
membungkus tubuhnya yang telanjang itu dengan selimut, kemudian dilemparkan ke
atas pembaringan. Sesudah bertepuk tangan, ia baru mengalihkan sinar matanya ke wajah Hui Beng-cu.
Ketika itu Hui Beng-cu sudah hampir jatuh semaput, ia sedang mengurut leher
sendiri, napasnya tersengal dan tak sekatapun sanggup diucapkan.
"Bagaimana Jit-long?" kedengaran Pang Goan bertanya di luar jendela.
Sambil memberi secawan teh pada Hui Beng-cu agar tenggorokannya basah, jawab
Leng-hong, "Sudah beres, silakan masuk!"
Tapi rupanya Pang Goan belum percaya, dia melongok dari luar jendela, setelah
Leng-hong memasang lampu, dengan hati lega baru ia berani masuk ke dalam.
"Siapa yang membebaskan jalan darahnya?" tegur Leng-hong kemudian.
"Aku . . ." jawab gadis itu dengan napas terengah.
"Bukankah kau bilang akan mengawasinya sepanjang malam dan tak akan terjadi
apa-apa" Kenapa kau bebaskan jalan darahnya?"
"Aku tertipu oleh siasat perempuan busuk ini, mula-mula dia bilang mau kencing,
maka kubebaskan jalan darah kakinya, kemudian ia bilang bahwa perempuan Ainu
biasa tidur dalam keadaan telanjang, kupikir bila ia berada dalam keadaan telanjang,
tentu dia tak mungkin akan kabur, maka..."
"Maka kaubebaskan jalan darah tangannya" Maka lehermu dicekik perempuan itu?"
Hui Beng-cu tundukkan kepalanya rendah-rendah, katanya dengan menyesal, "Tidak
kupikir sampai sejauh itu. Akulah yang salah, akulah yang terlalu gegabah."
"Andaikata ia bilang perempuan Ainu kalau tidur tentu memeluk sebilah golok,
apakah kau juga akan memberikan golok padanya?"
Hui Beng-cu tak dapat menjawab, hanya tunduk kepala dan bungkam.
Pang Goan kuatir gadis itu merasa jengah, buru-buru selanya, "Kejadian yang lewat
biarlah lalu, untung kita cukup waspada dan tak sampai perempuan itu kabur, lain kali
sedikitlah lebih berhati-hati, Jit-long, mari kita kembali ke kamar."
Leng-hong tidak berkata apa-apa, ia putar badan dan melangkah keluar.
Sambil memandang bayangan punggung orang yang berlalu, kata Hui Beng-cu
dengan suara takut, "Agaknya Nyo-toako sangat marah dan menyalahkan aku,
padahal aku sungguh-sungguh teledor, aku tidak sengaja melepaskan dia . . . ."
"Aku mengerti," kata Pang Goan sambil tertawa, "Jit-long juga tidak benar-benar
menyalahkan dirimu, tujuannya agar kau jangan tertipu lagi di kemudian hari, sekali
tertipu lain kali harus hati-hati. Sudahlah, beristirahatlah, akupun akan pergi."
Ketika kembali ke kamar sebelah, Leng-hong sedang berbaring sambil menopang
tengkuknya dengan tangan, pemuda itu sedang memandang langit-langit dengan
termangu, wajahnya tampak amat serius.
Tak tahan lagi Pang Goan menggerutu, "Kau juga kelewatan, kenapa tidak memberi
muka pada budak keluarga Hui itu" Apa yang kaukatakan tadi terlalu berat bagi
pendengarannya." "Lotoako, kau anggap apa yang diucapkan tadi adalah kata-kata yang sejujurnya?"
"Masa bukan?" Leng-hong tertawa dingin, "Paling sedikit ada satu hal yang tidak kupercayai, dengan
ilmu silat Hui Beng-cu, tak mungkin segampang itu ia dapat dibekuk oleh perempuan
Ainu itu sekalipun dibekuk, paling sedikit juga akan bersuara, lebih-lebih orang tak
perlu mencekik lehernya dalam keadaan telanjang . . . ."
"Jadi maksudmu . . . . ." kata Pang Goan setelah termenung sejenak.
"Sedang bermain sandiwara, sandiwara yang sengaja diperlihatkan kepada kita."
"Sekalipun bermain sandiwara, kan tidak perlu bersandiwara dalam keadaan bugil."
"Ya, tapi sandiwara ini hanya khusus dipertunjukkan buatku seorang."
"Aku tidak paham maksudmu."
"Sederhana sekali, mereka tahu aku mencurigai asal-usul Hui Beng-cu, maka sengaja
dimainkan sandiwara tersebut dengan tujuan untuk melenyapkan rasa curigaku
terhadap Hui Beng-cu, agar kelihatan lebih seram dia sungguhkan, mereka atur waktu
kau bertugas meronda, tapi takut aku tak sempat ikut menyaksikan, maka mereka
putuskan untuk berperan dalam keadaan bugil. Mereka menduga kalau Lotoako tak
akan tega menyaksikan adegan semacam itu dan akulah yang pasti disuruh masuk,
tercapailah tujuan mereka, asal adegan itu kusaksikan sendiri, mereka yakin aku pasti
akan percaya asal-usul Hui Beng-cu."


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pang Goan manggut-manggut, "Kalau begitu, kau yakin budak keluarga Hui ini
adalah gadungan?" "Aku tidak berani mengatakan apakah dia Hui Beng-cu asli atau tidak, aku Cuma
tahu dia sekomplotan dengan Ci-moay-hwe, dulu cuma curiga saja, tapi sekarang
hakikatnya sudah pasti." Pang Goan termenung, katanya kemudian, "Jika dugaanmu benar, itu berarti
kepergian kita ke markas besar Ci-moay-hwe akan terjebak, cuma sebelum mendapat
bukti nyata lebih baik kita jangan menuduh orang dengan begitu saja, persoalan ini
kita simpan saja dalam hati dan jangan disiarkan untuk sementara, coba kita lihat dulu
bagaimanakah perkembangan selanjutnya."
"Setelah kita tahu kejadian ini adalah suatu jebakan, kenapa kita masih menuruti
perintah mereka?" "Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan To-kiam-hap-ping-tin-hoat, setelah dapat
kita pahami duduknya persoalan, kini merekalah yang berada dalam perhitungan kita,
kenapa kita tidak menggunakan siasat untuk melawan siasat?"
Leng-hong tidak bertanya lebih jauh, sebab ia mengerti Pang Goan "si monyet dua
kuda" bukanlah orang bodoh, ia pasti sudah mempunyai rencana yang matang untuk
menghadapi persoalan ini. --------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***------------
Ketika melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya, keadaan aman tenteram
seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Cuma setiap kali Hui Beng-cu bertemu dengan Ho Leng-hong, wajahnya selalu
tampak kikuk, seperti malu dan rada takut.
Kereta bergerak menuju ke utara menurut petunjuk perempuan cebol ini, selewatnya
Siang-huan, tiba-tiba mereka berbelok ke barat, melewati Bu-tong-san terus menuju
ke Tay-pa-san di daerah Siamsay. Tak lama setelah melewati tembok besar, mereka sudah berada di lereng
pegunungan, perjalanan tak dapat dilakukan lagi dengan menunggang kereta.
Terpaksa Pang Goan harus meninggalkan kuda dan keretanya, setelah membebaskan
jalan darah kaki perempuan pendek itu, berempat mereka mendaki gunung dengan
berjalan kaki. Agaknya perempuan itu apal sekali dengan jalanan bukit itu, sepanjang perjalanan ia
selalu memilih jalan setapak yang sepi, dalam sehari mereka dapat menempuh dua
sampai tiga puluh li jalan gunung yang tak ada manusianya.
Ho Leng-hong jadi curiga, bisiknya kepada Pang Goan, "Lotoako, tampaknya agak
kurang beres, tujuan Ci-moay-hwe adalah menguasai dunia persilatan, tak mungkin
markas besarnya didirikan di tengah gunung yang jauh dari keramaian."
"Aku tahu," jawab Pang Goan sambil tertawa, "perempuan asing ini sengaja
mengajak kita berputar kayun di atas gunung untuk membuang waktu, tujuannya agar
perempuan-perempuan busuk itu melakukan persiapan."
"Menurut pendapat Lotoako, apa yang sedang mereka persiapkan?"
"Jangan pedulikan cara apa yang akan mereka gunakan, pokoknya ingat saja, bila
sampai terjadi sesuatu, aku yang menghadapi serangan luar dan kauhadapi musuh dari
dalam." Leng-hong mengangguk dan tertawa. Tentu saja ia mengerti apa yang dimaksudkan "musuh dari dalam", tanpa terasa ia
berjalan menghampiri Hui Beng-cu. Waktu itu Hui Beng-cu sedang membuat api unggun di tepi sebuah batu karang,
karena hari mulai gelap dan terpaksa harus menginap di udara terbuka, mereka harus
membuat api untuk mengusir ular dan sebangsanya.
Perempuan Ainu itu duduk bersila di depan mulut gua dan memejamkan mata,
menundukkan kepala seperti mengantuk.
Api unggun baru saja dibuat, Hui Beng-cu sedang mengebaskan lengan bajunya
untuk membuyarkan asap tebal. Ho Leng-hong menghampirinya, sambil tertawa ia menyapa, "Nona Hui, merepotkan
dirimu saja, nona keluarga kenaman harus melakukan pekerjaan kasar seperti ini."
"Mengapa kau berkata begitu" Membuat api dan memasak air adalah pekerjaan kaum
wanita. Silakan duduk, Nyo-toako."
Setelah duduk di tepi api unggun, kembali Leng-hong berkata, "Selama di Hiang-inhu,
apakah kau juga melakukan pekerjaan rumah tangga?"
"Meskipun tak pernah kulakukan secara resmi, tapi belajar sih pernah, ayahku selalu
menaruh perhatian khusus terhadap kepandaian puteri."
"Pantas kepandaian nona membuat api unggun dan memotong kayu bakar sudah
berpengalaman, bukan seperti orang yang melakukan untuk pertama kali."
Tiba-tiba Hui Beng-cu berkerut dahi, lalu berkata dengan lirih, "Nyo-toako, ada
beberapa persoalan sebetulnya ingin kubicarakan denganmu, sayang selama ini tak
ada kesempatan, cuma setelah kuucapkan nanti harap kau jangan marah."
"Ah, masa marah" Bila ada persoalan katakan saja terus terang," jawab Leng-hong
sambil tertawa. "Aku merasa, sejak kedatanganku di Thian-po-hu, agaknya Nyo-toako tidak
menyukai diriku, benar tidak?"
"Hei, kenapa kau mempunyai pikiran seaneh itu"!"
Hui Beng-cu tertawa getir, katanya lagi, "Misalkan saja pada hari pertama aku tiba di
Thian-po-hu, kau telah mencurigai diriku gadungan."
"Jangan berpikir yang bukan-bukan nona, maklumlah, terpaksa aku harus hati-hati,
sebab belum lama berselang Ci-moay-hwe baru saja mengacau di Thian-po-hu, jadi
mau-tak-mau aku harus waspada."
"Nyo-toako, aku tidak berpikir yang bukan-bukan, lebih-lebih tidak menyalahkanmu,
aku dapat memakluminya, bahkan enso pun telah dipalsukan oleh Ci-moay-hwe
sehingga Nyo-toako tertipu sekian lama, tak heran rasa bencimu terhadap Ci-moayhwe
telah merasuk tulang, tapi akupun sama-sama menderita akibat ulah mereka,
Nyo-toako, tak boleh lantaran perbuatan Ci-moay-hwe maka seluruh perempuan yang
ada di dunia kaubenci semua!" "Soal ini . . . " Leng-hong jadi gelagapan.
Hui Beng-cu kembali berkata, "Nyo-toako, kau mencurigaiku sebagai mata-mata dari
Ci-moay-hwe, hal ini adalah urusanmu sendiri dan aku tidak menyalahkanmu, tapi
aku harap sebelum ada faktanya jangan kauambil kesimpulan sendiri, apalagi dalam
peristiwa di rumah penginapan Hong-an, tidak semestinya kau menuduh aku
bersandiwara untuk menipumu, atau paling sedikit kau harus menunggu setibanya di
markas besar Ci-moay-hwe atau setelah tiba di Hiang-in-hu dan menyelidiki duduk
perkara yang sebenarnya baru menarik kesimpulan-kesimpulan, terus terang
kukatakan bahwa sikapmu itu sangat menyedihkan hatiku, membuatku penasaran."
Makin bicara makin emosi, akhirnya sambil mendekap wajahnya ia menangis
tersedu-sedu. Leng-hong tidak menyangka semua pembicaraannya dengan Pang Goan telah
didengar olehnya, lebih-lebih tidak menyangka bakal ditegur secara terus terang,
untuk sesaat pemuda itu menjadi gelagapan dan tak tahu bagaimana mesti menjawab.
Setelah tertegun sekian lama, akhirnya ia berkata, "Nona Hui, ucapanmu memang
benar, mungkin rasa benciku terhadap Ci-moay-hwe sudah terlampau mendalam
sehingga prasangkaku lebih besar dan mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman ini,
kuharap kau memahami bahwa aku tidak bermaksud jahat, seandainya aku pernah
melakukan kesalahan atau menyinggung perasaanmu, kuharap kau bersedia
memaafkan." Hui Beng-cu menggeleng kepala berulang kali, sambil terisak katanya, "Tidak, Nyotoako,
aku tidak bermaksud menyalahkan dirimu! Aku hanya... hanya merasa sangat
sedih, aku tak menyangka maksudku mohon bantuan pada Thian-po-hu akan
berakibat begini . . . ." "Sudahlah, jangan bersedih hati, apa yang terjadi hanya suatu kesalah-pahaman kecil,
peristiwa ini tak akan mempengaruhi hubungan persahabatan antar Bu-lim-sam-hu,
kita masih tetap sesama saudara sendiri, nanti kalau markas besar Ci-moay-hwe telah
ditemukan dan siapa pemimpinnya berhasil kita ketahui, aku pasti akan menemanimu
pergi ke Hiang-in-hu, aku pasti akan membantumu untuk menghadapi komplotan
penjahat yang telah menguasai ayahmu itu."
"Sungguh?" Hui Beng-cu mendongakkan kepalanya, "Nyo-toako, kau benar-benar
mau menemaniku pergi ke Leng-lam" Kau masih bersedia menganggapku sebagai
adikmu?" "Tentu saja sungguh, kita mempunyai musuh yang sama dan penderitaan yang sama
pula, bukankah begitu?" Hui Beng-cu tertawa, katanya, "Nyo-toako, kau tidak membohongiku bukan?"
"Persoalan ini adalah masalah serius, buat apa aku membohongimu?" Leng-hong ikut
tertawa. "Kalau begitu legalah hatiku, terus terang kukatakan, semenjak bertemu denganmu
untuk pertama kalinya, aku telah menyukaimu, aku tak punya kakak atau adik,
selanjutnya aku akan menganggapmu sebagai kakakku sendiri, Nyo-toako kau
bersedia bukan?" "Ya, bersedia," Leng-hong segera mengalihkan pembicaraan ke soal lain, "Sekarang
tanyakan kepada perempuan asing itu, kapan kita baru akan sampai di markas besar
Ci-moay-hwe?" "Sudah kutanyakan kepadanya, bila sepanjang jalan tiada rintangan, besok malam
kita akan tiba di tempat tujuan."
"Apakah kau tidak berusaha mencari kabar tentang keadaan markas besar Ci-moayhwe?"
"Sudah kutanyakan, tapi ia tak mau menjawab, ia hanya bilang keadaan di sekitar
tempat itu sangat curam dan berbahaya, di situlah berdiri istana Ci-moay-kiong,
sebuah istana yang megah dan mewah, katanya penghuni istana itu seluruhnya adalah
perempuan, lagipula ilmu silat mereka rata-rata sangat tinggi."
Sambil mendengarkan keterangan itu Leng-hong mengangguk-angguk seakan-akan
mendengarkan secara serius, tapi seperti juga sangat kecewa, gumamnya, "Kalau
begitu, besok kita akan berhasil membongkar rahasia yang menyelimuti Ci-moayhwe"
Kenapa sampai saat ini keadaan masih tetap tenang-tenang saja?"
"Betul, akupun merasa heran," kata Beng-cu, "semestinya semakin mendekati sarang
Ci-moay-hwe, semakin banyak gangguan atau pengadangan akan terjadi."
Leng-hong tertawa, bisiknya, "Siapa tahu kalau malam nanti bakal ada gerakan" Kau
harus hati-hati." Setelah melirik sekejap ke arah perempuan negeri seberang itu, dia lantas bangkit dan
meninggalkan api unggun. Perempuan Ainu itu masih duduk bersila tanpa bergerak, seolah-olah sudah tertidur,
ketika Leng-hong berlalu, tiba-tiba ia bangkit dan putar badan masuk ke dalam gua di
belakangnya. Tempat itu merupakan sebuah tebing yang menonjol keluar di kaki gunung, di
sekeliling sana terdapat enam-tujuh buah gua yang tidak sama dalamnya, sedangkan
yang cetek hanya muat satu badan, di depan sana ada sebuah sungai, pemandangan
indah, suatu tempat berkemah yang baik.
Setelah kenyang mengisi perut, keempat orang itu masing-masing lantas mencari
sebuah gua untuk beristirahat. Agar lebih leluasa mengontrol perempuan Ainu itu, Hui Beng-cu mencari sebuah gua
yang agak dalam dan tinggal bersamanya, ia menyuruh perempuan itu tidur di dalam
gua, sementara ia sendiri di mulut gua.
Pang Goan dan Leng-hong berjaga secara bergilir, mereka mendiami dua buah gua
yang agak cetek di kiri kanannya. Api unggun terletak persis di muka gua yang ditempati Hui Beng-cu, seandainya ada
orang mendekati tebing tersebut, kebanyakan mereka akan memperhatikan gua di
bagian tengah daripada kedua gua yang terletak di sisinya.
Secara kebetulan sekali, baru saja mereka beristirahat, tiba-tiba kedengaran suara
langkah kaki manusia ramai. Pang Goan paling dulu mendengar suara langkah manusia itu, tapi ia hanya
membetulkan letak senjatanya tanpa bergerak dari tempatnya.
Leng-hong coba melongok dan melirik sekejap ke arah gua sebelah tengah, ia tidak
tampak Hui Beng-cu, mungkin gadis itu pun mendengar suar tersebut dan
mengundurkan diri ke dalam gua. Maka Leng-hong pun diam saja. Yang datang berjumlah empat orang, seorang pendeta dan tiga orang preman,
pakaian mereka compang-camping, kepala tertunduk rendah dengan langkah
sempoyongan, agaknya mereka sama terluka.
Leng-hong duduk di dalam gua dan tak sempat melihat jelas raut wajah keempat
orang itu, tapi ia merasa di antara keempat orang itu paling sedikit ada seorang yang
sudah dikenalinya. Orang pertama adalah seorang Hwesio berusia lima puluhan, jubahnya terkoyakkoyak
dan berpelepotan darah, di belakangnya mengikut tiga orang laki-laki preman
setengah umur, tubuh merekapun babak-belur.
Dengan terhuyung-huyung keempat orang itu mendekati api unggun, rupanya mereka
sudah kehabisan tenaga, mendadak mereka roboh terkapar di tanah dan tidak berkutik
lagi. Tergetar perasaan Leng-hong, baru saja dia hendak berdiri . . . . .
"Tunggu sebentar!" seru Pang Goan dengan suara tertahan, "kendalikan emosimu,
keempat orang itu sudah tewas, jangan pedulikan mereka, hati-hati dengan musuh
tangguh yang bersembunyi di tempat gelap!"
Terpaksa Leng-hong tarik napas panjang dan menekan gejolak emosinya.
Tapi setelah ditunggu sekian lama, belum kedengaran juga suara yang lain, bahkan
tidak nampak sesosok bayangan pun yang muncul di situ.
Sementara itu keempat sosok mayat tadi terkapar di dekat api unggun, jelas mereka
sudah putus nyawa karena tubuh kaku dan tak berkutik lagi.
"Lotoako, kaulihat benda di atas dada mereka"..." bisik Ho Leng-hong dengan suara
parau. "Sudah! Jangan bergerak dulu, biar kuperiksa daerah sekeliling tempat ini!"
Begitu selesai berkata, bagaikan seekor monyet, dengan gesit Pang Goan melayang
keluar gua. Tidak lama kemudian ia muncul kembali dengan wajah serius, sambil menggapai
katanya, "Keluarlah Beng-cu! Tutuk dulu jalan darah perempuan asing itu, jangan
sampai dia sempat melarikan diri."
Leng-hong dan Beng-cu sama muncul dari gua, setelah memeriksa keempat sosok
mayat di tepi api unggun itu, perasaan semua orang sama tertekan.
Sebelum tiba di dekat api unggun jelas keempat orang itu, seorang pendeta dan tiga
orang preman, telah terluka parah, bahkan kedatangan mereka ke sana menjelang
ajalnya pun bukan atas keinginan mereka sendiri.
Sebab tangan mereka berempat sama diikat oleh seutas tali panjang, lagi pula dada
masing-masing tergantung sebuah lencana kayu yang berukirkan sebuah huruf besar
berwarna merah darah. Dibaca menurut urutannya dari pendeta itu, maka tersusunlah empat kata yang
berbunyi, "Jip", "Kok", "Cia" dan "Si" yang artinya, "Barang siapa masuk ke dalam
lembah, mati!" Meskipun sekujur badan keempat orang itu penuh dengan luka, tapi luka yang
mengakibatkan kematian mereka adalah sama, yakni dada kiri ditembus ujung golok
hingga tembus ke hulu hati, sekalipun malaikat dewata juga tak bisa menyelamatkan
jiwa mereka. Tusukan menembus hati itu bukan saja dilakukan dengan sangat jitu, besar-kecilnya
luka dan dalam cetaknya luka ternyata persis sama satu dengan lainnya.
Pang Goan geleng kepala berulang kali dan berkata, "Sungguh ilmu golok yang amat
keji!" "Betul!" Leng-hong menanggapi, "kesempurnaan ilmu golok pembunuh itu
tampaknya tidak berada di bawah ilmu golok Thian-po-hu maupun Hiang-in-hu."
"Jit-long, kenalkah kau pada keempat orang ini?" tanya Pang Goan kemudian.
"Aku hanya kenal lelaki nomor dua yang mengenakan baju hijau itu, sedang sang
pendeta ini kemungkinan besar adalah Hwesio dari Siau-lim-si."
"Oya" Lantas siapakah laki-laki itu?"
"Thian Pek-tat!" "Thian si telinga panjang?" ulang Pang Goan dengan air muka berubah hebat.
"Memang dia inilah orangnya, bukankah Lotoako pernah bilang secara tiba-tiba dia
diajak temannya meninggalkan rumah dan menuju ke Lan-hong" Bisa jadi kedua
orang ini adalah sahabatnya yang mengajaknya pergi, kemungkinan besar kepergian
mereka ke Lan-hong adalah untuk mengunjungi Siau-lim-si . . . cuma, kenapa mereka
bisa mati di sini?" "Kalau begitu, kecurigaanmu padanya sebagai mata-mata Ci-moay-hwe jelas keliru
besar," kata Pang Goan dengan kening berkerut.
"Baik dalam tindak tanduknya maupun dalam pembicaraannya, Thian Pek-tat
merupakan seorang yang patut dicurigai, maka menurut dugaanku jika ia bukan matamata
Ci-moay-hwe, jelas dia orang suruhan dari kelompok organisasi misterius
lainnya, kalau tidak, tak mungkin tanpa sebab musabab ia mendatangi pegunungan
Tay-pa-san ini." "Lantas siapa pula kelompok manusia yang misterius itu?"
"Tentang ini tak berani kukatakan secara gegabah, Cuma selalu kurasakan sejak
tercurinya Yan-ci-po-to seakan-akan terdapat sekelompok manusia yang diam-diam
memusuhi pihak Ci-moay-hwe, mungkin saja merekapun mengincar golok mestika
tersebut, dan mungkin juga mempunyai tujuan tertentu, tapi kawankah atau
musuhkan" Sukar untuk dikatakan dengan begitu saja, sayang Thian Pek-tat telah
mati, kalau tidak, mungkin dari mulutnya akan diperoleh sedikit titik terang."
Pang Goan termenung sebentar, lalu berkata, "Kalau demikian, suasananya makin
lama berkembang makin kacau, kecuali Ci-moay-hwe, siapa lagi yang berhasrat
mendapatkan golok mestika Yan-ci-po-to?"
"Lotoako, masih ingatkah kau Yan-ci-po-to telah dirampas oleh seorang berkerudung
yang tinggi besar" Hakikatnya Samkongcu dari Ci-moay-hwe tidak berhasil


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan golok mestika tersebut."
Tergerak juga hati Pang Goan, katanya, "Benar, waktu itu aku mengira pihak Cimoay-
hwe berbohong, bila kita bayangkan kembali sekarang rasanya memang ada
beberapa bagian yang bisa dipercaya . . . . ."
Sementara mereka membicarakan kejadian yang berlangsung di Thian-po-hu tempo
hari, Hui Beng-cu menjadi tidak sabar, selanya, "Hei, apa yang kalian bicarakan"
Sepatah katapun tidak kupahami. Sekarang lebih baik kita rundingkan dulu apa yang
mesti dilakukan dengan keempat sosok mayat ini."
"Gali saja sebuah liang dan kita kubur mereka....." usul Pang Goan.
"Tidak, tak boleh dikubur!" mendadak seseorang menganggapi, bersamaan itu dari
atas tebing melayang turun sesosok manusia.
Baik Pang Goan maupun Ho Leng-hong, kedua-duanya tidak menyangka di atas
tebing telah bersembunyi seseorang, serentak mereka lolos golok dan pedang.
"Jangan menggerakkan senjata," kembali orang itu berkata, "kedatanganku orang tua
ini hanya bermaksud menasihati kalian saja, mau turut atau tidak terserah kepada
kalian sendiri, dan tak perlu bersitegang macam begini."
Orang yang mengaku sebagai orang tua itu memang telah lanjut usia, wajahnya
penuh keriput, rambut dan jenggotnya telah memutih, badannya agak membungkuk,
meskipun belum mencapai sembilan puluh, paling sedikit juga melampaui delapan
puluh. Meski begitu, tongkat baja sebesar telur itik yang berada dalam genggamannya itu
memiliki bobot yang hampir sebanding dengan usianya, kalau tidak mencapai
sembilan puluh kati, delapan puluh pasti ada.
Dengan usianya yang tua namun sanggup membawa tongkat seberat itu, dari sini saja
dapat diketahui bahwa orang tua ini memang bukan orang sembarangan.
Pang Goan bukan orang bodoh, golok dan pedangnya tidak digunakan untuk
menyerang, tapi disilangkan untuk melindungi badan, lalu tegurnya dengan suara
berat, "Siapa kau?" "Aku adalah orang di luar garis, bila kalian suka panggil saja aku orang di luar garis."
"Kalau begitu, kau tak ada hubungan apa-apa dengan Ci-moay-hwe?" sela Ho Lenghong.
Kakek itu tertawa, "Dengan sebutan orang di luar garis, berarti aku tak ada hubungan
apa-apa dengan pihak manapun."
"Lantas dengan maksud apa kau bersembunyi di puncak tebing itu?" tegur Pang
Goan. "Pang-lote, jangan berkata begitu!" ujar kakek itu sambil menarik senyumnya,
"tebing ini bukan milik Cian-sui-hu, kalian boleh datang kemari kenapa aku tak boleh
datang" Lagipula aku datang lebih awal daripada kalian, semenjak tadi aku sudah
berdiam di atas tebing itu, adalah kalian yang tidak melihat jejakku, masa kini
menyalahkan aku si kakek mengintip kalian?"
"Kalau begitu, anggap saja ketajaman pendengaran kamilah yang kurang . . . ." kata
Leng-hong kemudian, "tapi, bolehkah kutahu mengapa kau melarang kami mengubur
mayat-mayat ini?" "Untuk mengetahui alasannya, maka lebih dulu ingin kutanya, jauh-jauh kalian
datang ke tempat sepi semacam ini, sesungguhnya apa tujuan kalian?"
"Kami sedang mencari suatu tempat!"
"Apakah alamat markas besar Ci-moay-hwe yang sedang kalian cari?"
"Benar!" "Aku ingin bertanya lagi, tahukah kalian siapakah yang membunuh keempat orang
ini?" "Tentu saja orang-orang Ci-moay-hwe!"
"Mengapa pihak Ci-moay-hwe membunuh mereka?"
"Jelas sekali, mereka sengaja pamerkan kekuatan agar kami tak berani melanjutkan
perjalanan." "Apakah kau kira markas besar Ci-moay-hwe terletak di atas bukit di sebelah depan
sana?" tanya kakek itu lagi. "Betul," jawab Leng-hong.
Ditatapnya pemuda itu dengan tersenyum, lalu kata si kakek, "Tak kunyana, kau
benar-benar pintar!" "Tak berani kuterima pujianmu . . . . ." Leng-hong memberi hormat.
Tiba-tiba kakek itu menarik muka sambil meludah ke tanah, "Pintar?" ejeknya, "Cis!
Pintar kentut, Hei, anak muda, kau anggap dirimu sangat pintar" Padahal gobloknya
melebihi kerbau." Leng-hong melenggong, "Orang tua, kau . . . . ."
"Hmm, aku sudah cukup sungkan padamu, coba kalau tidak sungkan, ingin sekali
kuhadiahi beberapa tempelengan untukmu. Apakah tidak kau bayangkan, setelah Cimoay-
hwe dapat masuk keluar dengan seenaknya sendiri di Bu-lim-sam-hu bagaikan
di rumah sendiri, apakah mereka mau mendirikan markas besarnya di tengah bukit
liar semacam ini?" Sekalipun sedang didamprat, namun Leng-hong cuma diam saja, sebab ia merasa
perkataan itu memang benar. Terdengar kakek itu berkata lebih jauh, "Lagipula, seandainya mereka tak ingin
kedatangan kalian, banyak kesempatan bagi mereka untuk turun tangan di sepanjang
jalan, kenapa harus pamer kekuatan pada saat seperti ini" Jikalau keempat orang
itupun bisa mereka bunuh, mengapa mereka tidak dapat membunuh kalian pula" Apa
gunanya membuka celana untuk kentut, melakukan tindakan berlebihan" Memangnya
kalian bertiga lebih hebat daripada mereka berempat?"
"Jadi maksud orang tua, kedatangan kami memang telah diatur oleh Ci-moay-hwe
secara diam-diam?" "Kalau tidak, apakah kalian bisa sampai di sini dengan lancar?"
"Kalau begitu, mereka sengaja mengatur jebakan agar kami masuk perangkap?"
Tersungging juga senyuman pada wajah kakek itu, "O, rupanya kau memang tidak
terlalu goblok, akhirnya keluar juga sepatah kata cerdik."
"Lalu, siapakah yang membunuh keempat orang itu" Jebakan apakah yang mereka
siapkan di atas bukit?" tanya Leng-hong lagi.
Kakek itu menggeleng kepala berulang kali, "Baru saja kukatakan kaupintar, kenapa
menjadi bodoh lagi" Terus terang kuberitahukan padamu, inilah siasat Cioh-to-sat-jin
(pinjam golok membunuh orang) dari Ci-moay-hwe, mengerti?"
"Aku belum mengerti!" "Sialan, terpaksa harus kuterangkan lebih terperinci padamu," keluh kakek itu sambil
menghela napas, "ketahuilah, pihak Ci-moay-hwe sengaja mengirim anak domba ke
mulut harimau, kalian di pancing ke sebuah lembah yang mengerikan, meskipun
tempat itu tiada jebakan yang berbahaya, tapi hanya bisa datang dan jangan harap
akan keluar lagi, sebab barang siapa telah masuk ke dalam lembah itu, selamanya tak
mungkin keluar lagi dalam keadaan hidup . . . ."
"Apakah kau maksudkan lembah Mi-kok?"
Tiba-tiba air muka kakek itu berubah, "Sudah terlalu jelas keteranganku tadi, apapun
nama tempat itu, pokoknya lebih baik jangan di datangi, aku hanya orang di luar
garis, sampai di sini saja apa yang bisa kukatakan, mau percaya atau tidak terserah
kepada kalian sendiri." Dia lantas mengangkat tongkatnya dan siap meninggalkan tempat itu.
"Tunggu sebentar!" seru Pang Goan tiba-tiba sambil mengadang jalan perginya.
Sambil tertawa dingin kakek itu menghentikan langkahnya, "Pang-lote, apakah masih
ada urusan lain?" "Aku ingin tanya satu hal, sebagai orang di luar garis, kenapa begitu banyak
persoalan tentang Ci-moay-hwe yang kauketahui" Darimana pula kau tahu bahwa
setiap orang yang masuk ke lembah Mi-kok tiada harapan lagi untuk keluar dalam
keadaan hidup?" "Pang-lote," kata kakek itu sambil menarik napas panjang, "aku bermaksud baik,
jangan kau anggap aku bermaksud jahat."
"Kalau betul bermaksud baik, kenapa tidak berani sebutkan namamu?"
"Apa gunanya memaksa orang melakukan hal yang tidak diinginkannya?" kata kakek
itu lagi sambil tertawa. "Oleh karena kau orang di luar garis yang terlalu banyak mencampuri urusan ini."
"Jika aku tak bersedia menyebutkan namaku?"
"Terpaksa akan kuselidiki asal-usulnya dari ilmu silatmu?"
"Hahaha . . . kau hendak bertarung denganku?" seru si kakek sambil tertawa
terbahak-bahak. "Betul, silakan!" Dengan golok di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, Pang Goan segera
menunjukkan gaya pembukaan ilmu To-kiam-hap-ping-tin.
Ho Leng-hong kuatir mereka benar-benar berkelahi, segera teriaknya, "Pang-toako,
bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan dulu kepada orang tua ini?"
"Baik, tanyalah lebih dulu!"
Leng-hong memberi hormat kepada kakek itu, lalu katanya, "Aku percaya kau orang
tua benar-benar bermaksud baik, tapi ucapanmu baru sampai di tengah jalan, kenapa
lantas buru-buru mau pergi?" "Apa yang bisa kukatakan telah kuutarakan, urusan apa yang kaumaksudkan cuma
setengah jalan?" "Tadi kami hendak mengubur keempat sosok jenazah ini, tapi dialangi olehmu,
sampai sekarang belum kaujelaskan kepada kami kenapa jenazah mereka tak boleh
dikubur." "O, rupanya persoalan ini yang kau tanyakan," kata si kakek sambil tertawa,
"Baiklah! Akan kuterangkan padamu, keempat sosok mayat dan lencana kayu di
tubuh mayat tersebut merupakan sebagian dari siasat Ciok-to-sat-jin dari Ci-moayhwe.
Jika kalian mau menurut anjuranku, maka cepatlah bakar mayat itu dengan api,
kemudian tinggalkan Tay-pa-san, kalau tidak, maka tak lama bakal ada bencana besar
yang akan menimpa kalian." "Kenapa mayat-mayat itu mesti dibakar dengan api . . . ." tanya Leng-hong dengan
tercengang. "Ah, terlalu banyak yang kautanya!" tukas kakek itu marah, tongkatnya segera
diketukkan ke tanah dan tubuhnya melayang pergi meninggalkan tempat itu.
"Jangan pergi dulu! Sambut seranganku ini." Bentak Pang Goan.
Tampak cahaya tajam berkilau, golok di tangan kiri dan pedang di tangan kanannya
segera menyerang bersama. Waktu itu kedua kaki si kakek sudah meninggalkan permukaan tanah, tiba-tiba ia
tertawa dingin, "Jurus serangan bagus!"
Bayangan tongkat berkelebat membelah angkasa, di antara getaran ujung tongkat
terciptalah selapis cahaya hitam. Ketika serangan golok dan pedang Pang Goan membentur cahaya hitam tersebut . . . .
. "Trang!" golok dan pedang terpental kembali.
Untung Pang Goan tidak menggunakan segenap tenaganya dalam serangan tersebut,
ia tergetar mundur dua langkah dengan sempoyongan, tangannya terasa panas dan
sakit, hampir saja senjatanya terlepas dari genggaman.
Kakek itu sama sekali tidak menghentikan gerak tubuhnya, sekali berjumpalitan ia
sudah melayang ke atas tebing dan lenyap dibalik batu itu.
"Toako terluka tidak?" tanya Leng-hong cepat.
Pang Goan menggeleng kepala dengan wajah terkejut katanya, "Betapa sempurnanya
tenaga dalam kakek itu, hidup sampai setua ini baru sekali ini aku benar-benar
menjumpai seorang jago tangguh."
"Sudah Toako tahu asal-usulnya?"
Kembali Pang Goan menggeleng, "Tidak berhasil kuketahui, tenaga dalam orang ini
jauh di atasku, belum pernah kudengar dalam dunia persilatan terdapat seorang jago
setangguh ini." Padahal Pang Goan adalah seorang tinggi hati dan tak pernah tunduk kepada orang
lain, tapi sekarang ia mengucapkan kata-kata semacam itu, dapat diketahui bahwa
perasaannya betul-betul tergetar keras.
"Untung ia menyebut dirinya sebagai orang di luar garis, jadi tidak bermusuhan
dengan kita, kalau tidak, sungguh seorang musuh tangguh."
Hui Beng-cu yang membungkam terus sejak tadi tiba-tiba berkata sambil tertawa,
"Menurut pendapatku, usianya sudah terlalu lanjut, senjatanya juga kelewat berat,
andaikata benar-benar terjadi pertarungan, belum tentu dia bisa menandingi kelihayan
Pang-toako." "Kau tak perlu bantu menutupi maluku," kata Pang Goan sambil tertawa getir, "di
atas langit masih ada langit, di atas manusia pintar masih ada yang lebih pintar, dunia
persilatan penuh dengan orang kosen yang tak terhitung banyaknya, tenaga dalam tak
dapat menandingi bukanlah sesuatu yang memalukan, tak berani mengaku kalah
barulah suatu kejadian yang memalukan."
Merah wajah Hui Beng-cu karena jengah, katanya sambil tertawa, "Maksudku jurus
pedang Pang-toako belum tentu kalah dengannya, misalnya saja kalau ia tidak cepatcepat
pergi, bila Pang-toako telah mengembangkan ilmu To-kiam-hap-ping-tin, siapa
yang bakal menang atau kalah masih sukar diramalkan."
"Sekarang tak usah membicarakan soal semacam itu," kata Leng-hong, "yang mesti
kita rundingkan sekarang adalah apakah kita harus mengikuti anjurannya atau tidak?"
Pang Goan berkerut kening, untuk sesaat ia tak berkata apa-apa.
"Aku pikir anjurannya tak perlu digubris," kata Beng-cu, "bahkan siapakah dia saja
tidak kita ketahui, dengan dasar apa kita harus menuruti perkataannya?"
"Tapi, apa yang dikatakannya ada benarnya juga, andaikata hal ini benar-benar
merupakan rencana busuk Ci-moay-hwe, mau-tak-mau kita harus waspada dan
mencegahnya." "Bagaimanapun besok kita akan tiba di tempat tujuan, sampai waktunya bukankah
semua persoalan akan tersingkap dengan sendirinya" Jangan lantaran Cuma sepatah
katanya lantas melepaskan semua usaha kita yang telah kita capai dengan susahpayah."
Leng-hong berpikir sejenak, kemudian berpaling, "Bagaimana pendapatmu,
Lotoako?" Pang Goan menarik napas panjang, "Kukira ucapan kakek itu tak mungkin tanpa
alasan, mungkin saja ia bermaksud baik, Cuma kita tak boleh melepaskan usaha kita
sampai setengah jalan saja ...."
"Benar!" Beng-cu menyambung, "asal kita lebih berhati-hati, sekalipun di depan sana
ada marabahaya juga tak perlu takut."
Pang Goan tidak menanggapinya, katanya, "Menurut perkataan orang tua itu,
kemungkinan besar lembah tersebut adalah Mi-kok seperti apa yang tersiar dalam
dunia persilatan selama ini, andaikata betul, sekalipun harus menyerempet bahaya
tetap akan kita datangi tempat itu, sedang mengenai keempat sosok mayat ini, kupikir
memang ada baiknya dibakar saja seperti usulnya tadi."
Tiba-tiba Leng-hong tertawa, katanya, "Siaute telah mendapatkan suatu akal bagus,
entah Toako menyetujui atau tidak?"
"Coba katakan." "Kukira ucapan kakek itu dapat dipercaya, cuma keterangannya tidak terperinci
sehingga bikin orang bingung, bagaimana kalau kita lakukan percobaan?"
"Percobaan bagaimana?" "Ia sarankan agar mayat ini dibakar, dikatakan pula keempat sosok mayat dan
lencana kayu ini merupakan sebagian dari siasat Cioh-to-sat-jin (pinjam golok
membunuh orang) dari Ci-moay-hwe, aku rasa dibalik ucapan tersebut tentu ada
sebab-sebabnya, maka menurut pendapatku untuk sementara waktu kita jangan
melanjutkan perjalanan dulu, mayat-mayat inipun tak usah kita bakar, biarkan saja
mayat dan lencana kayu berada di tempat semula, kemudian kita sembunyi dan
menunggu satu hari, coba kita lihat peristiwa apa yang akan terjadi?"
"Bagus sekali!" sorak Beng-cu, "aku sangat setuju dengan percobaan ini, toh
terlambat satu-dua hari juga tidak apa-apa."
Pang Goan termenung sejenak sebelum menjawab, "Mungkin juga bencana yang
dimaksudkan tak akan terjadi di sini, kalau begitu, bukankah kita akan menunggu
dengan sia-sia di sini?" "Meski demikian, hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi rencana kita semula,
selewatnya besok kita masih bisa membakar mayat-mayat ini dan melanjutkan
perjalanan, apa artinya tertunda sehari?"
"Baiklah," kata Pang Goan kemudian sambil mengangguk, "kita coba saja kalau
begitu." "Aku akan coba mencari apakah di sekitar sini ada tempat persembunyian yang
baik?" kata Beng-cu cepat. "Tak usah dicari lagi, bukanlah di atas sana merupakan tempat persembunyian yang
baik?" kata Leng-hong sambil menuding tonjolan tebing sebelah atas.
Tiga orang itu segera melompat ke puncak tebing itu, betul juga, mereka temukan
sebuah gua di sana, mulut gua ciut, dan pendek, tapi perut gua itu lebar dan dalam
sekali, pada ujung lain terdapat jalan tembus dan melingkar sampai sejauh puluhan
tombak lebih. Gua itu benar-benar aman dan rahasia letaknya, tak aneh kakek yang menyebut
dirinya, "orang luar garis" itu begitu mencapai puncak tebing ini lantas lenyap.
Hui Beng-cu membawa juga perempuan Ainu itu ke atas tebing dan meletakkannya
di dalam gua, sementara api unggun dan mayat dibiarkan tetap berada di tempat
semula. Setelah segala sesuatunya selesai diatur, ketiga orang itu lantas bertiarap di depan gua
sambil menantikan perubahan selanjutnya.
Malam itu lewat dengan aman tenteram, tiada peristiwa apapun yang terjadi. Tak
lama setelah fajar menyingsing, ketiga orang itu mulai merasa letih.
"Secara bergilir kita mesti beristirahat dulu," kata Pang Goan, "kita harus simpan
tenaga, sebab kita akan menunggu sehari semalam lagi."
Hui Beng-cu tampak menguap, katanya sambil tertawa, "Aku memang merasa lelah,
baiklah aku tidur sebentar lebih dulu, bila ada apa-apa panggillah aku!"
"Mumpung sekarang hari baru terang, bebaskan dulu jalan darah perempuan asing itu
agar membuang hajat di belakang gua sana, sebab jalan darah yang terlalu lama


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditutuk bisa mengakibatkan beku peredaran darahnya."
Beng-cu mengiakan dan berbangkit, tapi tiba-tiba matanya terbelalak lebar, sambil
menuding ke bawah tebing sana katanya, "Coba lihat, mayat itu...."
"Mengapa dengan mayat-mayat itu?" tanpa terasa Pang Goan dan Leng-hong tanya
bersama. Waktu itu api unggun telah padam, tapi keempat sosok mayat itu masih tergeletak di
tepi api unggun, sama sekali tiada suatu yang aneh.
Dengan suara kaget Hui Beng-cu berkata lebih jauh, "Ke . . . . ke mana larinya
lencana kayu pada mayat itu" Ke . . . kenapa bisa lenyap semua . . ."
Pang Goan dan Leng-hong cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke bawah, segera
merekapun terperanjat. Betul juga, keempat buah lencana kayu di tubuh mayat itu betul-betul telah lenyap
tak berbekas. "Lotoako, lindungi aku dari atas, bias aku turun ke bawah untuk melakukan
pemeriksaan!" kata Leng-hong dengan suara tertahan.
"Jangan sembarangan bergerak," cegah Pang Goan cemas, "kejadian ini sangat
mencurigakan, mungkin sekali inilah yang dimaksudkan si kakek sebagai rencana
busuk itu!" "Semalam jelas benda-benda itu masih ada," kata Beng-cu, "semalam suntuk kitapun
tak pernah memejamkan mata, mengapa lencana-lencana kayu itu bisa lenyap dengan
sendirinya?" Kenyataannya memang demikian, semalam suntuk mereka bertiga mengawasi terus
sekitar tempat itu, "tiada embusan angin rumput tentu tak kan bergoyang", kenapa
keempat buah lencana kayu itu bisa lenyap secara tiba-tiba?"
Untuk sesaat mereka bertiga hanya saling pandang dengan tercengang.
"Masa ada setan di sini?" gumam Hui Beng-cu, "kalian turun saja ke bawah
melakukan pemeriksaan, aku akan melindungi kalian dari sini."
Tentu saja Ho Leng-hong dan Pang Goan tidak percaya setan, namun merekapun tak
bisa memecahkan teka-teki di sekitar lenyaplah keempat lencana kayu itu, saking
ingin tahunya, serentak mereka melayang turun ke bawah.
Setelah mendekati tumpukan api unggun itu, Pang Goan berdua jadi tertegun.
Empat sosok mayat itu masih tetap seperti semula, cuma lencana kayu dan tali temali
yang meringkus tubuh telah lenyap tak berbekas, di bawah bekas tali dan lencana
kayu itu ditemukan bubuk kayu yang amat tipis, abu itu sedang menyebar ke manamana
terembus angin. Ini menunjukkan bahwa lencana kayu itu bukan terbuat dari kayu, tali juga bukan
buatan bahan rami melainkan terbuat dari sejenis bahan khusus yang secara otomatis
akan lenyap dengan sendirinya setelah diembus angin semalam suntuk.
Tapi terbuat dari bahan apakah itu" Siapapun tak tahu.
Mengapa diatur siasat seperti ini. Sungguh memusingkan kepala orang.
Tapi lenyapnya tali dan lencana kayu itu memang fakta.
Tiba-tiba Ho Leng-hong mendesis, "Ah, mengertilah aku sekarang . . ."
"Kau mengerti apa?" "Tak heran itu melarang kita mengubur jenazah ini, rupanya inilah siasat Cioh-to-satjin
dari Ci-moay-hwe." "Siasat pinjam golok membunuh orang bagaimana maksudmu?"
"Bayangkan saja, andaikata pihak penghuni lembah sedang mengadakan pencarian
terhadap keempat orang ini, dan semalam kita mengubur jenazah mereka, bila hal ini
sampai diketahui mereka, bagaimanakah penjelasan kita terhadap peristiwa itu?"
"Orang-orang itu bukan mati di tangan kita, tentu saja kita menceritakan hal yang
sesungguhnya." "Dengan demikian, pihak lawat pasti akan menggali kubur untuk memeriksa mayatmayat
tersebut, dengan bukti di depan mata, maka keterangan kita yang jujur akan
berubah menjadi kata-kata bohong, siapa yang percaya orang-orang ini bukan mati di
tangan kita?" Pang Goan menarik napas dingin, gumamnya, "Benar juga, tatkala mana kita benarbenar
tak akan mampu menyangkal, sungguh siasat mereka ini . . . ."
Belum habis ia berkata, tiba-tiba dari atas tebing terdengar jeritan kaget, "Pangtoako,
Nyo-toako, lekas kemari!" Serentak Pang Goan dan Ho Leng-hong melompat ke atas tebing, tapi Hui Beng-cu
yang berada di dalam gua kini tidak nampak lagi.
"Celaka, perempuan asing itu berhasil kabur," seru Leng-hong dengan gemas.
Buru-buru mereka mengejar ke dalam gua, ketika menyusul sampai di ujung gua sana
mereka melihat Hui Beng-cu sedang berdiri termangu di depan gua sambil memegang
golok yang memancarkan sinar kemilau.
"Di mana orangnya?" bentak Leng-hong.
"Aku . . . aku tidak tahu . . . ."
"Orang itu kan berada dalam gua, mengapa kau tidak tahu?"
"Aku betul-betul tidak tahu," jawab Beng-cu dengan wajah merah padam, "ketika
aku berdiri di atas tebing sambil mengawasi sekeliling tempat ini, kudengar di dalam
gua seperti ada langkah manusia, waktu aku memburu kemari, perempuan asing itu
sudah lenyap, tapi di sini aku menemukan sebilah golok."
Pang Goan menerima golok itu, mendadak dengan air muka berubah teriaknya
tertahan, "Hah, golok mestika Yan-ci-po-to"!"
Tak salah lagi, sarung golok terbuat dari kulit ular, gagang pelindung terbuat dari
emas dan empat huruf mutiara tertata pada gagangnya, memang itulah golok mestika
Yan-ci-po-to. Golok tersebut lenyap tercuri sewaktu berada di Thian-po-hu, tapi kini di temukan
kembali di luar gua di atas bukit yang jauh dari keramaian manusia.
Jelas orang-orang Ci-moay-hwe yang telah menyelamatkan perempuan Ainu tadi
serta meninggalkan Yan-ci-po-to di sini.
Kejadian ini membuat Pang Goan menjadi bingung dan tak habis mengerti.
Ditatapnya Ho Leng-hong, tanyanya, "Sesungguhnya apa yang telah terjadi?"
Dengan serius jawab Ho Leng-hong sepatah demi sepatah, "Inilah senjata yang
mendatangkan bencana." "Apakah Thian Pek-tat berempat mati dibunuh dengan Yan-ci-po-to?" tanya Pang
Goan terkejut. "Benar. Sekarang persoalannya sudah jelas. Rupanya Thian Pek-tat ada hubungan
dengan orang-orang dari lembah maut itu, setelah berhasil memperoleh Yan-ci-po-to
di Thian-po-hu, bersama tiga orang lainnya mereka mengantar senjata ini ke Tay-pasan,
siapa tahu mereka dicegat oleh orang-orang Ci-moay-hwe, bukan saja golok
dirampas, Thian Pek-tat berempatpun dibunuh, kemudian golok mestika dan mayatmayat
mereka digunakan sebagai alat untuk melimpahkan bencana buat orang
lain....." Pang Goan segera paham, dengan gelisah katanya, "Kalau begitu kita harus segera
tinggalkan tempat ini!" "Terlambat," kata Leng-hong sambil menggeleng, sorot matanya beralih keluar gua.
Ketika Pang Goan mengikuti arah pandangannya, seketika hatinya ikut tercekat.
Entah sejak kapan, di luar gua telah muncul tiga orang perempuan dengan golok
terhunus. Ketiga orang perempuan itu semuanya mengenakan baju merah dengan golok
panjang yang berbentuk sama, air muka mereka amat dingin, tanpa emosi.
Di antara ketiga orang itu, ada seorang yang berusia paling tua, yaitu sekitar tiga
puluh tahunan, pada tepi gaun merahnya kelihatan sulaman benang biru.
Dua orang yang lain berusia tujuh-delapan belas tahunan, pada tepi gaun mereka
bersulamkan benang hitam. Dari warna pakaian dan dandanan ketiga orang itu, tiba-tiba Pang Goan teringat
kembali pada cerita mengenai lembah "Mi-kok" dan "Ang-ih Hui-nio", tanpa terasa
hatinya bergolak keras . . . . "Lotoako, setelah tertipu, kita harus menghadapi segala persoalan dengan tenang,"
kata Leng-hong setengah berbisik, "lebih baik kita selidiki dulu apakah mereka benarbenar
orang Mi-kok atau bukan." "Jangan kuatir, aku tahu," jawab Pang Goan dengan tertawa.
Sementara berdua sedang bercakap-cakap, mendadak dari belakang gua terdengar
lagi suara orang, tahu-tahu dua orang gadis berbaju merah yang bergolok muncul di
belakang mereka. Dengan cepat Beng-cu lolos golok lengkungnya lalu bertanya, "Kita sudah
terkepung, apa daya sekarang?"
Pang Goan memandang sekejap ke muka dan ke belakang, lalu hiburnya, "Jangan
takut, tampaknya perempuan baju merah bersulam benang biru itu adalah komandan
mereka, mari kita turun untuk berbicara dengannya."
Ketika mereka bertiga melompat ke bawah, dua gadis bergaun merah dengan
sulaman benang hitam yang ada di luar gua itu serentak mengangkat goloknya,
sedang dua orang yang berada dalam gua juga melolos senjata sambil ikut melompat
ke bawah, dengan cepat mereka membentuk posisi mengepung terhadap ketiga
lawannya. Hanya perempuan setengah umur bersulam benang biru yang tetap tak bergerak,
ditatapnya ketiga orang itu dengan sorot mata dingin, kemudian bertanya, "Siapakah
kalian" Datang darimana" Dan mau ke mana?"
Sambil tertawa Pang Goan segera memberi hormat, "Enso, bolehkah aku bertanya
lebih dulu, apakah kalian adalah murid Ang-ih Hui-nio?"
"Kalian juga tahu tentang Ang-ih Hui-nio?" seru nyonya muda itu dengan air muka
berubah. "Dulu kami cuma mendengar ceritanya saja dan tidak tahu benarkah lembah Mi-kok
itu ada atau tidak, tapi setelah melihat keadaan sekarang ini, kami baru percaya bahwa
cerita tersebut memang benar."
Nyonya muda itu mengerdip mata beberapa kali, tiba-tiba memberi tanda sambil
memerintahkan, "Gusur mereka pulang!"
Keempat anak dara tadi segera mengiakan, serentak mereka maju mengepung.
"Tunggu sebentar!" seru Pang Goan, "antara kami dengan kalian hakikatnya "air
sungai tidak menggenangi air sumur", bertemu pun baru pertama kali, dengan alasan
apa kalian hendak membawa kami pergi?"
"Tak usah banyak bicara," bentak nyonya muda itu, "katakan saja, kalian mau
lepaskan senjata dan ikut kami pergi ataukah hendak menunggu kami bertindak
dengan kekerasan?" "Wah, kalau begitu, tak mau pergi pun tak bisa?" kata Pang Goan sambil tertawa.
"Boleh saja, kecuali kalian bisa menangkan permainan golokku ini."
"Sudah lama kudengar kehebatan ilmu golok aliran Mi-kok," kata Pang Goan sambil
tertawa, "betapa senangku jika diberi kesempatan untuk mencobanya!"
Nyonya muda itu maju dua langkah sambil meraba gagang goloknya, "Silakan turun
tangan!" Tiba-tiba Ho Leng-hong maju ke depan dan mengadang di hadapannya, lalu berbisik
lirih, "Lotoako, biarlah Siaute coba dulu kelihayannya."
Pedang di tangan kirinya disimpan kembali, kemudian golok Yan-ci-po-to pelahan
diangkat ke udara. Rupanya nyonya muda itu cukup mengetahui nilai barang, dengan dahi berkerut
katanya, "Apa kedudukanmu di Thian-po-hu di kota Kiu-ki-shia?"
"Nama tidak terlalu penting, silakan nona memberi petunjuk!" sahut Leng-hong.
"Baik!" kata nyonya muda itu sambil tertawa dingin, "Kalau kau memang tak tahu
diri, akan kusuruh kau rasakan betapa lihaynya Ang-sui-to-hoat (rahasia golok baju
merah)." Segera dia lolos golok panjang dari sarungnya.
"Mengapa nona tidak turun tangan lebih dulu?" tanya Leng-hong.
"Antara tamu dan tuan rumah ada bedanya, kupersilakan kau turun tangan dulu!"
Meskipun Leng-hong tahu ilmu golok dari lembah Mi-kok justru merupakan
tandingan dari Nyo-keh-sin-to, namun sambil tersenyum katanya pula, "Tamu yang
sopan harus menghormati tuan rumah, lagipula golokku ini adalah golok mestika,
hendaklah nona tak usah sungkan-sungkan lagi!"
"Hmm, kau anggap dengan golok mestika lantas bisa menarik keuntungan" Kalau
demikian anggapanmu, maka perhitunganmu itu keliru besar. Sambutlah seranganku
ini." Begitu golok dilolos, cahaya tajam segera berkilauan dan mata golok lantas
menyambar tiba. Sungguh cepat tak terlukiskan gerakan melolos goloknya, bahkan Pang Goan dan
Hui Beng-cu yang memperhatikan dengan saksama pun tak sempat mengikuti
bagaimana caranya perempuan itu menggerakkan tubuhnya.
Lebih-lebih Ho Leng-hong, ia Cuma merasakan pandangannya kabur, buru-buru ia
mundur dua langkah, kemudian goloknya diputar dan menciptakan selapis cahaya
tajam untuk melindungi badan. Sewaktu mulai menyerang saja gerakan nyonya muda itu amat cepat, ketika berganti
jurus pun jauh lebih cepat lagi, dari gerak membacok golok panjang itu berubah
menjadi gerakan menabas. Sambil putar senjata untuk melindungi badan Ho Leng-hong main mundur terus ke
belakang, ia merasa golok panjang nyonya muda berbaju merah itu seakan-akan telah
menempel dengan golok mestika Yan-ci-po-to, bukan saja sukar dibendung, dihindari
pun sulit. Terpaksa ia putar golok dengan kencang sambil mundur terus, hakikatnya tiada
kesempatan baginya untuk berganti jurus serangan.
Dalam keadaan demikian, asal ia menghentikan gerakannya, maka setiap saat golok
panjang si nyonya berbaju merah itu akan menembus sinar senjatanya dan
melukainya. Gerakan Ho Leng-hong rada gugup dan kacau, dalam waktu singkat ia sudah
terdesak mundur dua lingkaran, sementara nyonya berbaju merah itu masih terus
menyerang dengan gencar. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu, Pang Goan segera membentak,
"Tahan!" Bersama dengan suara bentakan itu, Hui Beng-cu melolos senjatanya untuk
menyerang nyonya merah itu dari belakang.
Bayangan manusia berkelebat diikuti bunyi bentakan nyaring, di tengah gulungan
cahaya golok, sesosok bayangan merah melompat ke udara dan berjumpalitan
beberapa kali, kemudian melayang turun di belakang sana.
Dengan melompat perginya nyonya berbaju merah itu, secara mengherankan Ho
Leng-hong dan Hui Beng-cu saling bertumbukan sendiri, tanpa terasa mereka saling
bacok membacok sebanyak tiga empat gebrakan sebelum mengetahui bahwa lawan
adalah orang sendiri, cepat-cepat mereka tarik kembali serangannya sambil melompat
mundur. Kemudian kedua orang itu saling pandang dengan tertegun.
Nyonya muda berbaju merah itu tertawa sombong, lalu katanya, "Jika kalian bertiga
mau maju bersama, akupun tidak menolok, tapi lebih baik katakan terus terang,
jangan gunakan siasat "suara di timur menyerang dari barat", yang seorang bicara
tiada hentinya, sedang yang lain menyergap dengan cara yang rendah dan keji."
"Sekalipun harus bertarung satu lawan satu juga aku tidak takut," kata Hui Beng-cu
dengan marah. "Benarkah demikian" Bagaimana kalau dicoba?"
"Coba juga boleh, memangnya aku takut?"
Dengan geramnya Beng-cu memutar golok lengkungnya, langsung menerjang
perempuan berbaju merah itu. "Tunggu sebentar!" cegah Pang Goan sambil merentangkan tangannya.
Dengan napas terengah-engah kata Hui Beng-cu, "Pang-toako, perempuan ini terlalu
sombong, biar kuberi pelajaran kepadanya."
"Memberi pelajaran kepada kaum wanita adalah urusan kami orang lelaki, mundurlah
dulu, lihat saja kehebatan Pang-toakomu."
"Manusia yang tahu diri," teriak perempuan berbaju merah itu dengan gusar, "kalau
kau berani sembarangan bicara, hati-hati kalau nyonya besar potong lidahmu."
"Marilah," kata Pang Goan sambil tertawa, "lidah itu berada di mulutku, yang
dikuatirkan justru kau tak punya kemampuan untuk berbuat begitu."
Perempuan berbaju merah itu mendengus, sambil mengerahkan goloknya ia segera
menerjang ke depan. Tujuan Pang Goan memang ingin memancing marahnya, sebelum terjangan orang
tiba, dengan cepat ia menyongsong, golok di tangan kiri dan pedang di tangan kanan
melancarkan serangan sekaligus. Begitu bertemu, kedua belah pihak saling menyerang dengan cepat, tampaklah
cahaya golok berkilauan, bayangan pedang saling menyambar ke sana kemari, dalam
waktu singkat telah berlangsung lima-enam gebrakan.
Kelima-enam jurus serangan itu seluruhnya merupakan serangan mematikan.
Tapi anehnya, sekalipun cahaya golok dan bayangan pedang menyelimuti udara,
tidak terdengar sama sekali suara bentrokan senjata, juga tidak kelihatan ada yang
terluka. Ternyata setiap jurus serangan yang mereka lancarkan, semuanya merupakan
ancaman yang harus dihindari, siapapun tak ingin adu jiwa, maka begitu merasa
terancam bahaya, cepat mereka tarik serangan di tengah jalan untuk melindungi diri
sendiri. Oleh sebab itulah, meskipun kedua orang itu melancarkan serangan dengan gerakan
cepat, jurus serangan mereka tak berani digunakan sampai tuntas, semua serangan
golok dan pedang begitu dilancarkan segera ditarik kembali, jadi tak sejurus pun
terjadi keras melawan keras. Atau dengan perkataan lain, kedua orang itu mempunyai pikiran yang sama, yakni
sama-sama berharap bisa menggetar hati lawan dengan tenaga serangan, dengan
menggunakan titik kelemahan musuh untuk mematahkan ancamannya, menghindari
adu kekerasan yang tak berguna.

Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya, siapapun tidak berhasil memperoleh keuntungan apa-apa.
Pang Goan menggunakan pedang sebagai senjata utama dan golok sebagai pembantu,
yang dikembangkan adalah To-kiam-hap-ping-tin yang maha dahsyat itu, namun
lima-enam jurus kemudian ternyata belum sanggup juga mematahkan serangan
nyonya berbaju merah itu, terpaksa ia tarik serangannya dan melompat mundur.
Rupanya perempuan berbaju merah itupun menyadari bertemu dengan musuh
tangguh, cepat ia menarik kembali serangannya dan tak berani mendesak lebih jauh.
Kedua orang itu saling bertatap sekian lama, sejenak kemudian Pang Goan baru
menarik napas panjang, lalu menyimpan kembali golok dan pedangnya.
Perempuan berbaju merah itupun ikut simpan goloknya ke dalam sarung.
"Ilmu golokmu terhitung sangat hebat juga, tapi sayang tenaga dalammu kurang
sempurna, andaikata kita harus bertarung dengan tenaga sejati maka akhirnya yang
rugi tetap kau," kata Pang Goan.
Nyonya berbaju merah itu tidak menyangkal, katanya sambil tertawa, "Kau
sendiripun tak akan mendapat hasil apa-apa, paling banter kita sama-sama menderita
kerugian." "Apa kedudukanmu di dalam lembah?"
"Perguruan kami membagi tingkatan dalam sulaman benang emas, perak, biru, putih,
dan hitam, aku tak lebih Cuma seorang peronda gunung berbenang biru dari tingkatan
tiga, sekalipun tenaga dalammu lebih hebat daripadaku juga bukan suatu yang luar
biasa." Pang Goan tarik napas panjang, sambil tertawa getir ia berpaling ke arah Ho Lenghong
sembari berkata, "Tampaknya, urusan ini sudah pasti kita ikut terseret."
"Asal kita tak bersalah, ke manapun kita berani menghadap."
"Tapi, Pang-toako . . . ." bisik Beng-cu.
Pang Goan memberi tanda dan tidak membiarkan gadis itu berkata lebih jauh, kepada
perempuan berbaju merah itu ia berkata, "Bawalah kami! Akan kami temui majikan
lembah kalian." Ternyata sikap perempuan itupun menjadi lebih sungkan, katanya seraya menjura,
"Silakan!" Keempat orang gadis lainnya ikut menarik kembali senjatanya, kemudian dua di
kanan dan dua di kiri, seperti menggusur tawanan, mereka membawa Pang Goan
bertiga meninggalkan mulut gua. Sesudah mengitari tonjolan batu padas di depan sana, Pang Goan baru tahu bahwa
pilihannya memang tepat. Di tepi api unggun di bawah tebing sana telah muncul kembali seorang petugas
peronda gunung "bersulam benang biru" dengan diiringi empat gadis bersulam hitam,
mereka sudah meletakkan mayat Thian Pek-tat berempat di atas usungan yang terbuat
dari kayu dan sedang menunggu di sana.
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***---------
Mi-kok, nama yang misterius dan menggetarkan sukma.
Tentu orang akan membayangkan lembah tersebut sebagai suatu tempat yang rahasia
sekali letaknya dengan sekelilingnya diliputi oleh tebing tinggi menyulang ke
angkasa, burung dan monyet sulit melewatinya dan sepanjang tahun diliputi kabut
yang tebal, atau mungkin jalan masuknya merupakan sebuah terowongan gua, atau
jalan setapak yang penuh kemisteriusan . . . .
Bila bayangannya demikian, maka kelirulah semua itu.
Benar memang, tempat itu merupakan sebuah yang dikelilingi oleh tebing tinggi,
namun bukan tempat yang curam berbahaya atau sepanjang tahun dikelilingi kabut
tebal. Lembah tersebut merupakan sebuah lembah yang indah dan hangat, sama sekali tidak
nampak misterius, di belakang lembah terdapat jurang, di mulut lembah ada jalan dan
di tengah lembah terdapat tanah datar yang luar, di situ ada rerumputan, ada sawah,
ada bebuahan dan kerbau serta ternak unggas lainnya.
Anggota lembah tersebut terdiri dari lelaki dan perempuan, yang lelaki hidup bertani
dan yang perempuan menenun, mereka melewatkan penghidupan yang sederhana tapi
bahagia, suatu kehidupan surga yang penuh dengan kedamaian . . . . terkecuali
bangunan megah, kompleks perumahan yang berada dalam hutan bebuahan sana.
Anggota perkampungan itu semuanya perempuan yang bergolok panjang dan
mengenakan baju serba merah. Sekalipun mereka termasuk juga sebagian dari anggota lembah, namun pekerjaan
mereka tidak bertani atau bertenun, kehidupan mereka jauh berbeda dengan orangorang
lainnya. Perempuan dalam perkampungan itu merupakan pilihan dari anggota penduduk
lembah, mereka harus cerdik dan berbakat bagus, semenjak kecil sudah masuk
perkampungan dan belajar silat, setelah dewasa bertugas melindungi keselamatan
penduduk sesuai dengan tingkat tenaga dalam yang dimiliki, mereka tergabung dalam
pasukan Ang-ih-bok-lan-tui (pasukan Bok-lan berbaju merah)
Perkampungan itu sendiri bernama perkampungan Bok-lan-ceng.
Cengcu (kepala kampung) dari marga Ui dan sudah turun temurun menjadi Kokcu
(kepala lembah) dalam lembah tersebut, hingga kini entah sudah keturunan yang
keberapa" --------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***-----------
Dikawal oleh dua orang peronda gunung dan delapan anak dara berbaju merah,
dengan lancar Pang Goan bertiga memasuki lembah itu dan tiba di depan pintu
perkampungan. Di luar lembah tidak terlihat penjagaan yang ketat, setelah masuk ke dalam lembah
juga tidak ada pemeriksaan atau pengadangan, ketika rakyat dalam lembah itu
berjumpa dengan mereka, kecuali tersenyum sambil menganggukkan kepala, sama
sekali tidak menunjukkan sikap permusuhan.
Inikah lembah Mi-kok yang diberitakan sebagai tempat yang misterius dan penuh
rahasia" Di sinikah tempat pengasingan Ang-ih Hui-nio yang lihay itu"
Di sinikah tempat kubur dari tujuh bersaudara Nyo dari Thian-po-hu"
Tidak! Tak akan ada yang percaya, sekalipun mereka dibunuh orang juga tak ada
yang percaya. Tapi perempuan-perempuan itu semuanya berbaju merah, ilmu golok mereka pun
sangat lihay, hal ini adalah kenyataan, seandainya mereka bukan keturunan dari Angih
Hui-nio mana mungkin mereka dapat mendidik sekian banyak murid yang berilmu
tinggi. Sepanjang perjalanan, kernyitan alis Pang Goan tak pernah mengendur, berbeda
dengan Ho Leng-hong, wajahnya selalu kaku tanpa emosi.
Dalam hati kecil mereka sama-sama diliputi teka-teki yang mendebarkan hati dan
ingin tahu. Hui Beng-cu sendiri dengan perasaan waswas tiada hentinya menengok ke sana
kemari, seakan-akan tertarik dan senang dengan keadaan yang asing baginya ini.
Dua orang gadis baju merah yang bergolok berdiri menanti di depan pintu
perkampungan, gaun mereka bersulamkan benang putih.
Ketika mereka melihat mayat yang berada di atas usungan, wajah mereka
menunjukkan perasaan kaget. Salah seorang di antaranya segera maju menyongsong sambil bertanya dengan suara
lirih, "Apa yang telah terjadi" Apakah mereka berempat terbunuh semua?"
Nyonya muda berusia tiga puluhan itu manggut-manggut, lalu balik bertanya,
"Kokcu berada di mana?" "Barusan beliau menanyakan kabar kalian, mungkin masih berada dalam taman
bunga sebelah timur, akan kulaporkan untuk kalian."
"Tidak usah, aku dan Lim Ci akan melaporkan sendiri kepada Kokcu, kalian jaga
baik-baik ketiga orang ini." Berbicara sampai di sini, dia bersama peronda gunung lainnya masuk ke dalam
kampung. Seperginya kedua orang itu, gadis penjaga pintu itu mengamati sekejap Pang Goan
bertiga, lalu dengan keheranan ia bertanya, "Apakah kalian bertiga pembunuhnya?"
"Mungkin!" jawab Pang Goan sambil mengangkat bahu.
"Kenapa kau katakan mungkin?" gadis penjaga pintu itu melengak.
"Sebab kami tidak pernah membunuh orang," jawab Pang Goan sambil tertawa,
"akan tetapi keempat orang itu mati di tempat kami bermalam, bila kami katakan
bukan pembunuhnya, kalian pasti tidak percaya, sebaliknya kalau bilang benar,
kamilah yang tidak percaya." Gadis penjaga pintu itu tertawa geli, "O, aku dapat memahami perkataanmu itu, jadi
tuduhan tersebut membuat kalian penasaran?"
"Mungkin!" sekali lagi Pang Goan mengangkat bahu sambil tertawa.
Dengan wajah serius gadis penjaga pintu berkata, "Tampaknya kalian memang tidak
mirip pembunuh, Cuma dengan maksud baik ingin kunasihati padamu . . . ."
"Menasihati apa?" "Jika kalian betul-betul bukan pembunuh, janganlah sekali-kali kalian mengaku
sebagai pembunuh, sebab Kokcu kami paling benci pada mereka yang gemar
membunuh, terutama mereka yang mengandalkan kungfunya untuk menindas kaum
yang lemah serta membunuh orang, andaikata kalian betul-betul pembunuh kejam,
jangan harap jiwa kalian akan diampuni."
"Kalau begitu, Kokcu kalian tentu berhati welas asih," kata Pang Goan.
"Siapa bilang bukan" Kokcu kami bukan cuma welas asih saja, tabiatnya juga amat
baik, terhadap orang lain juga ramah-tamah . . . . ."
"Tapi dia tahu aturan tidak?" tiba-tiba Ho Leng-hong menukas.
"Apa maksudmu berkata begitu?" gadis penjaga pintu itu menegur dengan nada tak
senang. "Misalnya saja, bila kedatangan kami ke bukit ini tanpa sengaja dan tidak
mengandung maksud jahat, dapatkah ia memberi kebebasan kepada kami untuk
meninggalkan tempat ini?" "Kenapa kalian tak boleh meninggalkan tempat ini" Bila kalian tersesat di gunung
dan tiba di sini tanpa sengaja, berarti kalian adalah tamu kami, dengan segala
kehormatan kami akan melayani kalian, kemudian mengantar kalian pergi dari sini,
tentu saja kalian harus merahasiakan keadaan lembah ini kepada orang lain."
Tanpa terasa Ho Leng-hong dan Pang Goan saling bertukar pandang sekejap dengan
penuh tanda tanya, sedang dalam hati timbul pula pertanyaan yang sama: "Kalau
begitu, kenapa ketujuh Nyo bersaudara tak pernah muncul kembali setelah berangkat
kemari?" Ternyata gadis penjaga pintu itu cukup cerdik, melihat kedua tamunya masih belum
percaya, ia berkata lagi, "Kami tak ingin orang luar mengetahui keadaan di sini,
inipun karena terpaksa, sebab tempat kami hanya sebesar ini, tak mungkin muat
terlalu banyak orang, selain itu kamipun kuatir bila ada orang persilatan berniat buruk
ingin mencuri belajar ilmu kami sehingga menambah banyak kerepotan, peraturan ini
ditetapkan oleh leluhur kami dan bukan atas kemauan Kokcu sendiri, cuma bila kalian
sendiri tak bersedia tinggalkan tempat ini dan ingin tinggal di sini untuk selamanya,
tentu saja niat ini akan kami sambut dengan senang hati . . . ."
Ia seperti masih ingin bicara lagi, tapi nyonya berbaju merah tadi keburu datang,
nyonya itu memberi tanda kepada Pang Goan sekalian sambil berkata, "Kokcu
mengundang kalian untuk menghadap, mari ikut diriku!"
Sebelum pergi, Leng-hong tersenyum ke arah gadis penjaga pintu itu sambil berkata,
"Tolong tanya siapa nama nona?"
"Aku bernama Pui Hui-ji, anggota Bok-lan-pek-tul (barisan Bok-lan putih)!"
"Bila Kokcu tidak menyalahkan kami, mungkin aku akan memohon untuk tinggal di
sini, sampai waktunya harap nona bersedia memberi petunjuk," kata Leng-hong
sambil tertawa. Tanpa malu-malu gadis penjaga pintu itu menjawab dengan tertawa, "Baik, semoga
kau mempunyai rejeki itu!" Mereka bertiga melangkah masuk ke dalam pintu gerbang dan mengikut nyonya
berbaju merah tadi masuk ke dalam perkampungan.
Di tengah jalan Hui Beng-cu sengaja berjalan agak lambat, kemudian ia tanya dengan
setengah berbisik, "Nyo-toako, benarkah kau ingin tinggal di sini dan tidak kembali
ke Thian-po-hu lagi?" Leng-hong tersenyum, "Tempat ini bagaikan surgaloka, jauh berbeda dengan gedung
Thian-po-hu, apa salahnya tinggal di sini?"
"Hm, kaum pria kalian semuanya memang tak punya perasaan, begitu bertemu
dengan gadis yang cantik, semua warisan dan jerih payah leluhur pun terlupakan sama
sekali." "Ah, kaum pria tak bisa disalahkan, siapa suruh kaum gadis rata-rata berwajah
cantik?" jawab Leng-hong sambil tertawa.
"Ciss!" dengan mangkel Beng-cu mempercepat langkahnya ke depan lebih dulu.
Sesudah mengitari taman bunga, di depan sana muncul sebuah serambi panjang,
setelah mengitari mereka tiba di ruang tengah sebelah timur.
Di depan ruangan berdiri empat orang gadis dengan baju merah bersulam benang
putih, pintu ruangan masih tertutup rapat.
Nyonya berbaju merah itu membawa mereka menuju ke depan ruangan, kemudian
katanya, "Kokcu hendak langsung menanyai kalian, harap semua senjata bawaan
ditinggal di luar." Ini selain peraturan juga merupakan sopan santun, apalagi nyonya berbaju merah itu
mengucapkannya dengan nada sungkan, membuat orang tak dapat menolak
permintaannya itu. Pang Goan angguk kepala kepada kedua rekannya, kemudian melepaskan golok dan
pedang bawaannya, terpaksa Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu harus mengikuti
perbuatannya. Keempat gadis itu menerima senjata mereka lalu mendorong pintu lebar-lebar.
Pang Goan melangkah masuk ke dalam, ternyata ruangan itu kosong tak nampak
seorang pun, di tengah ruangan terdapat sebuah meja panjang, di atas meja terletak
kertas, pit dan alat tulis lainnya, sementara di belakang meja tersedia empat buah
kursi yang semuanya kosong. Sementara mereka masih tercengang, nyonya baju merah itu menyusul masuk, lalu
membunyikan sebuah alat kecil tiga kali.
"Tiga orang tertuduh telah dibawa menghadap, dipersilakan para petugas hukum naik
mimbar!" serunya. Kain tirai di pintu samping segera terbuka dan muncul dua belas orang perempuan
baju merah dengan pinggiran warna biru, mereka masing-masing berdiri di kiri dan
kanan meja panjang, setiap orang bergolok panjang dan bersikap kereng.
"Wah, kalau dilihat caranya ini, kita seolah-olah berada dalam ruang pengadilan!"
omel Pang Goan sambil tertawa. "Jangan sembarangan bicara!" bentak nyonya baju merah di belakangnya dengan
suara tertahan. Menyusul kemudian dari balik pintu berjalan keluar lagi empat orang perempuan.
Keempat orang ini rata-rata sudah berusia lanjut, yang termuda pun sekitar enam
puluhan, sedang yang tua sudah delapan atau sembilan puluh tahunan, semuanya
berwajah keriput dengan rambut beruban, mukanya kurus jelek dan masing-masing
menempati empat kursi kosong itu. Mereka juga memakai baju berwarna merah, Cuma sulaman tepi gaunnya dari
benang perak. Pang Goan tahu bahwa kedudukan empat orang nenek ini tidak rendah, diam-diam ia
merasa geli sekali, pikirnya, "Wah, kalau melihat keadaannya seolah-olah kami telah
dituduh sebagai pembunuh yang sesungguhnya, semoga jangan diputuskan segera
penggal kepala, bisa mati penasaran."
Pada ujung meja sebelah kiri dan kanan masing-masing berduduk seorang perempuan
berbenang biru, setelah duduk mereka lantas menyiapkan kertas dan alat tulis lainnya,
ternyata mereka bertindak sebagai "panitera".
Di tengah keheningan, nenek berusia paling tua yang berada di dekat ujung kanan itu
segera berkata, "Atas kasih sayang Thian dan berkat leluhur, kehidupan kami di
tengah gunung yang terpencil sama sekali tidak berniat berebut rejeki dengan orang
lain, kami mengutamakan cinta damai dan hidup bahagia dengan tenang, karenanya
terhadap segala kejahatan itu, tapa ampun akan dijatuhi hukuman berat."
Baru selesai perkataan itu, nenek di sebelah kiri telah memukul meja keras-keras
sambil membentak, "Siapa nama kalian bertiga" Datang dari mana" Mengapa
membunuh orang" Ayo mengaku satu persatu!"
Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu tetap bungkam.
Pang Goan juga tidak menghiraukan pertanyaan tersebut, dia hanya memperhatikan
pukulan si nenek pada meja panjang itu, meski suaranya nyaring namun meja itu
sendiri tidak tergetar, namun meja tersebut tahu-tahu melesak satu inci lebih ke dalam
tanah. Tapi setelah diperhatikan lagi, ternyata bukan kaki meja yang masuk ke dalam tanah,
melainkan kaki meja itu sendiri yang tiba-tiba menyusut hingga lebih pendek.
Ini menunjukkan tenaga pukulan si nenek itu sudah mencapai tingkatan Keh-san-tagu
(dari balik gunung memukul kerbau).
Pang Goan menyadari dirinya sendiri tak mampu berbuat demikian, ini semua
membuatnya terperanjat sehingga lupa untuk menjawab pertanyaan si nenek tadi.
Nyonya berbaju merah yang berada di belakangnya segera menegur, "He, Tong-popo
lagi bertanya kepada kalian, mengapa tidak menjawab?"
"Tong-popo yang mana?" tanya Pang Goan setelah menenangkan hatinya.
"Itu dia, nomor dua dari sebelah kiri, barusan beliau menanyakan nama dan asal usul
kalian." Pang Goan tertawa, "Mereka berjumlah empat orang, jika semuanya mengajukan
pertanyaan, entah yang manakah harus dijawab lebih dulu, sedangkan kami bertiga,
kalau semuanya menjawab juga tentu akan bikin kalian bingung untuk
mendengarkannya, maka aku ada usul, entah kalian bersedia mengikutinya atau
tidak?"

Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba katakan!" kata nenek she Tong itu.
"Gampang sekali, mari kalian berempat pilih seorang wakil untuk bertanya, sedang
dari pihak kami bertiga akan diwakili pula seorang untuk menjawab, bukankah hal ini
akan lebih enak?" Mencorong sinar tajam dari mata nenek she Tong itu, ia memandang sekejap rekanrekan
di sekelilingnya, lalu berkata, "Ehm, ini memang suatu usul yang bagus."
Keempat orang nenek lalu saling mengalah dan saling mempersilakan rekannya
sebagai wakil mereka. Pada kesempatan itu, Pang Goan berkata kepada Ho Leng-hong, "Jit-long, kau saja
yang menjawab pertanyaan mereka, kalau perlu bersikap tegas, katakan segala
sesuatunya secara terus terang, tapi untuk sementara waktu jangan kausinggung dulu
masalah Thian-po-hu." "Mengapa bukan Lotoako yang tampil ke muka?" tanya Leng-hong.
"Rasanya setiap masalah dalam lembah ini bagaikan suatu teka-teki, bila kita ingin
hidup lebih lanjut, kita juga harus main sandiwara menurut gelagat, dengan begitu
baru tersedia jalan mundur jika keadaan kepepet."
Ho Leng-hong mengangguk tanda mengerti, diam-diam ia berpikir, "Pang-toako
selalu tinggi hati dan tak mau tunduk kepada orang, sejak kapan ia belajar
menyesuaikan diri dengan keadaan?"
Sementara itu keempat orang nenek pun selesai berunding, tetap si nenek she Tong
itu sebagai juru bicaranya, ia bertanya, "Apakah kalian telah selesai berunding" Siapa
yang akan menjawab pertanyaan kami?"
"Aku!" jawab Leng-hong. "Bagus sekali, Cuma akupun hendak memperingati satu hal padamu, setelah bersedia
menjawab pertanyaan kami, maka setiap ucapanmu harus dapat
dipertanggungjawabkan, sebab semua perkataanmu akan kami catat dan tak bisa
disesali kembali." "Tentu saja!" kata Leng-hong.
"Nah, sekarang laporkan dulu nama serta tempat tinggal kalian bertiga," kata nenek
Tong sambil manggut-manggut. Leng-hong mengakui dirinya sebagai Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu, selain itu juga
melaporkan nama Pang Goan dan Hui Beng-cu.
Setelah mendengar nama-nama itu keempat orang nenek tersebut menunjukkan
wajah kaget, buru-buru mereka berunding dengan suara lirih.
Lewat sejenak kemudian, nenek Tong bertanya pula, "Kau mengaku sebagai Nyo Cuwi
dari Thian-po-hu, sedang mereka berdua dari Cian-sui-hu dan Hiang-in-hu,
benarkah pengakuan itu?" "Benar!" "Kalau begitu ingin kutanya sesungguhnya ada beberapa orang Nyo Cu-wi dari
Thian-po-hu?" "Cuma ada seorang!" Air muka nenek Tong berubah serius, katanya, "Kuharap kau menjawab dengan
sejujurnya, sebab barang siapa berani berbohong, dia akan mendapat ganjaran yang
setimpal." "Kenapa" Masa urusan Thian-po-hu kau lebih jelas daripadaku?" bantah Leng-hong,
"apakah di lembah ini terdapat juga Nyo Cu-wi yang lain?"
Air muka nenek Tong berubah pula, tapi ia tidak mendebat, ia mengalihkan
pertanyaan pada soal lain, katanya, "Atas alasan apa kalian datang ke Tay-pa-san
ini?" Tanpa merahasiakan sedikit pun Leng-hong mengisahkan bagaimana Ci-moay-hwe
mengutus seorang Pang Wan-kun gadungan untuk mencari golok Yan-ci-po-to, lalu
bagaimana menggunakan siasat Cioh-to-sat-jin untuk memancing mereka bertiga
datang ke Tay-pa-san, dan apa yang terjadi dengan lencana kayu dan tali istimewa
untuk memfitnah mereka . . . . . Sementara ia menuturkan pengalamannya, dua orang gadis petugas panitera mencatat
semua pengakuan itu. Ketika pemuda itu selesai dengan penuturannya, nenek Tong bertanya pula, "Cimoay-
hwe yang barusan kau singgung itu sesungguhnya organisasi macam apa"
Siapakah pemimpinnya" Apakah kautahu?"
"Seandainya aku tahu, tak nanti bisa terkena siasat Cioh-to-sat-jin mereka. Cuma ada
satu hal yang kuyakini benar, yakni di kala Thian Pek-tat berempat terbunuh
semalam, mereka pasti berada di sekitar tempat ini, bahkan mungkin saja saat ini
masih berada di daerah pegunungan ini."
"Tidak mungkin, siang malam petugas peronda kami melakukan patroli di sekeliling
pegunungan ini dan belum pernah kami temukan jejak mereka, selain itu, kalau benar
mereka berusaha dengan segala daya upaya untuk mendapatkan golok mestika Yanci-
po-to, setelah berhasil mendapatkannya, kenapa dikembalikan kepadamu dengan
begitu saja. Jadi ceritamu tentang melimpahkan bencana kepada orang lain itu sama
sekali tidak masuk di akal." "Mau percaya atau tidak adalah urusan kalian, tapi yang pasti semua perkataanku
adalah sejujurnya." "Kau berani diadu dengan petugas peronda kami?"
"Tentu saja berani." "Bagus, panggil petugas peronda bukit untuk menghadap ke depan pengadilan!"
Nyonya berbaju merah tadi mengiakan dan tampil ke muka, katanya, "Hamba
petugas peronda, komandan barisan ketujuh Bok-lan-la-tui Hoa Jin siap memberi
keterangan!" "Hoa Jin, apakah kau adalah petugas ronda hari ini?" tanya nenek Tong.
"Benar!" "Kaukah yang menemukan jenazah dari para korban?"
"Benar!" "Apakah kau pula yang menangkap mereka?"
"Benar!" "Bagus sekali, laporkan sekali lagi kejadian yang telah berlangsung."
"Hamba sebagai petugas peronda mendapat perintah untuk menyambut . . . ."
"Secara ringkas saja," tiba-tiba nenek Tong menukas, "laporkan saja sekitar
penemuan mayat-mayat tersebut."
"Baik," kata Hoa Jin, "Jejak Hui-goan Taysu berempat berhasil hamba temukan
lewat tengah malam kemarin, pagi tadi ketika kami tiba di bawah gua karang,
ditemukan keempat orang itu sudah tewas di samping api unggun, setelah dilakukan
pencarian yang saksama, akhirnya disebuah gua kami berhasil mengadang ketiga
orang pembunuh itu, mula-mula mereka melakukan perlawanan, tapi akhirnya mereka
menyerahkan diri." "Apakah diperiksa juga senjata yang dipergunakan lawan?"
"Menurut hasil pemeriksaan, keempat orang itu tewas oleh Yan-ci-po-to, mulut
lukanya sangat lebar, dan senjata pembunuh itu justru ditemukan berada pada orang
she Nyo ini." "Apakah pada jenazah juga ditemukan lencana kayu" Atau bekas tali yang dipakai
untuk membelenggu mereka?" "Tidak!" "Waktu itu apakah tertuduh menyangkal telah membunuh orang?"
"Tidak!" "Apakah ditemukan orang yang mencurigakan di sekitar mereka?"
"Juga tidak." "Sudah mendengar" Apa lagi yang hendak kaukatakan?" kata nenek Tong kemudian
sambil menatap Ho Leng-hong dengan sorot mata tajam.
"Hal tersebut sudah kukatakan semua," teriak Leng-hong dengan suara lantang,
"Waktu itu peronda she Hoa itu tidak menanyakan soal pembunuhan, mana kami bisa
menyangkalnya?" Nenek Tong tertawa dingin, "Hehehe, sekalipun ia tidak menanyakan soal ini, kenapa
kalian tidak melakukan penyangkalan, padahal tahu di bawah bukit membujur empat
sosok mayat" Dan lagi senjata pembunuh merupakan bukti yang jelas, penyangkalan
kalian semakin membuktikan hati kalian amat kalut dan takut, ingin menyangkal pun
kini sudah terlambat." Ho Leng-hong seperti ingin mengucapkan sesuatu lagi, tapi nenek Tong lantas
berbangkit sambil berseru, "Pemeriksaan telah selesai, perhatikan baik-baik keputusan
kami!" Serentak ketiga orang nenek yang lain bangkit berdiri, suasana dalam ruangan
berubah menjadi hening dan serius. Nenek Tong berunding sebentar dengan ketiga orang rekannya, lalu dengan wajah
serius katanya, "Tertuduh Nyo Cu-wi, Pang Goan dan Hui Beng-cu terbukti bersalah
melakukan pembunuhan bersama yang mengakibatkan kehilangan jiwa orang lain,
kesalahan ini melanggar peraturan lembah ini, lagipula setelah bersalah tidak berobat,
bahkan berusaha mungkir, dosa ini amat besar, maka pengadilan memutuskan untuk
menjatuhkan hukuman "Khek-sin" kepada mereka, untuk sementara para tertuduh
dimasukkan tahanan menanti pelaksanaan hukuman."
Selesai berkata ia lantas mengundurkan diri.
"Apa yang disebut Khek-sin?" tanya Beng-cu.
"Artinya akan dihukum pancung di hadapan umum," jawab Hoa Jin.
Betapa gusarnya Hui Beng-cu, teriaknya, "Hm, keterlaluan sekali! Pang-toako, mari
kita turun tangan . . . . ." Baru saja ia berteriak, "Cring! Cring!" dua belas orang perempuan bersulam benang
biru telah melolos golok dan merubung maju.
Cahaya golok berkilauan, langsung mengancam perut dan punggung mereka bertiga,
padahal Pang Goan sekalian dalam keadaan tangan telanjang tanpa senjata apapun.
Sambil tertawa getir Ho Leng-hong segera memandang ke arah Pang Goan, lalu
katanya, "Lotoako, kali ini kita benar-benar terjebak."
Pang Goan mendengus, "Orang she Hoa, kau bilang Kokcu kalian hendak berbicara
sendiri dengan kami, rupanya kau berbohong?"
"Kokcu harus mendengarkan dulu laporan keempat Popo sebelum memutuskan
apakah perlu menanyai kalian langsung, sebab untuk melaksanakan hukuman penggal
kepala mesti ada persetujuan lebih dulu dari Kokcu, jadi seandainya kalian bernasib
baik, mungkin saja masih ada kesempatan bertemu dengan Kokcu."
"Umpama kami hendak titip pesan, apakah kau dapat menolong kami untuk
menyampaikan kepada Kokcu?" "Tentu saja!" Pang Goan menarik napas panjang, kemudian berkata, "Kalau begitu tolong
sampaikan kepada Kokcu kalian bahwa Yan-ci-po-to dan kitab pusaka Poh-in-pat-toasik
itu adalah palsu, jika ingin tahu berita tentang kitab dan golok yang asli, silakan
menanyai sendiri padaku." Kemudian sambil mendongakkan kepala ia menambahkan, "Di mana letaknya
penjara" Silakan membawa kami ke sana, sesudah lelah semalaman, kami ingin
beristirahat dulu dalam penjara."
Hoa Jin memandangnya dengan melongo, rupanya ia sedang meresapi makna katakatanya
itu. Bahkan Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu juga ingin bertanya padanya.
Akan tetapi Pang Goan tidak berkata apa-apa, sambil busungkan dada dan melangkah
dengan lebar, ia berlalu lebih dulu dari ruangan tersebut......
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***-------
Rumah penjara terletak di kaki bukit bagian belakang perkampungan tersebut.
Dua baris rumah baru yang berderet bagaikan gua itu meski kecil dan sempit, tapi
sangat kering dan rajin, setiap ruangan terdapat meja, bangku dan pembaringan, selain
itu terdapat pula alat-alat untuk bersihkan badan serta membuang hajat, keadaannya
mirip dengan sebuah "rumah tamu".
Ruang penjara itu bernomor, di sebelah kiri bernomor ganjil sedang di sebelah kanan
bernomor genap. Pengurus rumah penjara adalah seorang perempuan setengah umur dari kelompok
benang biru, ia bernama Yu Ji-nio dan membawahi empat orang gadis dari barisan
Bok-lan-pek-tui. Sikap Yu Ji-nio terhadap orang sangat ramah tamah, sedikitpun tidak mencerminkan
sikap seorang sipir penjara yang buas dan garang, atau mungkin lantaran suasana
penjara amat sepi, maka ketika mengetahui ada tiga orang "tamu terhormat" diantar
ke sana, tampaknya ia sangat senang.
Ia menjadi repot sekali masuk keluar tiada hentinya, menyiapkan air teh, menyiapkan
nasi dan sayur, pelayanannya betul-betul sangat bagus.
Pang Goan bertiga dimasukkan dalam ruang penjara di sebelah kiri, Pang Goan
menempati satu, Ho Leng-hong menempati ruang tiga dan Hui Beng-cu ruang lima.
Selesai bersantap dan mencuci muka, Yu Ji-nio secara khusus menghidangkan
secawan air teh panas untuk mereka, katanya sambil tertawa, "Kalian adalah tamu
yang datang dari jauh, berdosa atau tidak tak ada sangkut pautnya dengan diriku, aku
selalu menganggap kalian sebagai tamu-tamu kehormatan, jika butuh makanan atau
perlu sesuatu katakan saja kepadaku, Cuma janganlah melakukan perbuatan bodoh
yang bikin susah padaku, setelah berada di sini, jangan harap kalian bisa keluar lagi
dari lembah ini, sekalipun berhasil melarikan diri dari mulut lembah, tak mungkin
bisa kabur meninggalkan Tay-pa-san ini."
"Yu Ji-nio, jangan kuatir," jawab Pang Goan sambil tertawa, "untuk keluar kami
pasti akan keluar, tapi kami tak akan kabur dari penjara, kami masuk kemari secara
terang-terangan, pergi dari sini juga secara terang-terangan, kalau tidak, sekalipun
diantar dengan tandu besar yang digotong delapan orang, belum tentu kami sudi pergi
dengan begitu saja." "Bagus, bila kalian dapat pergi dari sini nanti, aku pasti akan memasang petasan
untuk mengantar keberangkatan kalian."
"Mengantar sih tidak perlu, sekarang silakan kau keluar lebih dulu, berilah
kesempatan kepada kami untuk tidur siang sepuasnya, boleh bukan?"
"Tentu, tentu!" sambil tertawa Yu Ji-nio mengajak keempat orang gadis itu berlalu
dari situ. Pang Goan segera menggeliat dan menguap lalu gumamnya, "Setelah bergadang
semalam suntuk, inilah kesempatan yang sangat baik untuk tidur, dengan demikian
kita ada kekuatan dan semangat untuk berunding dengan Kokcu."
Selesai berkata, ia lantas menjatuhkan diri di pembaringan.
Ho Leng-hong yang berada di kamar sebelah tak dapat setenang itu, sambil mengetuk
dinding bisiknya, "Lotoako, jangan tidur dulu, kita harus merundingkan persoalan ini
. . . . ." "Apa lagi yang mesti dirundingkan?" tanya Pang Goan.
"Tadi kau berkata kepada mereka bahwa golok mestika Yan-ci-po-to dan kitab
pusaka itu adalah palsu, pengakuan itu memang pengakuan yang betul ataukah cuma
bohong-bohongan saja?" "Pada waktu perlu bohong boleh bohong, bila perlu sungguh harus sungguh. Hidup
manusia bagaikan impian, kenapa mesti begitu serius?"
Ucapan tersebut makin lama makin lirih, kemudian lantas terdengar suara dengkuran
yang keras, ternyata ia sudah tertidur pulas.
Meskipun pelbagai kecurigaan masih menghantui pikirannya, karena yang ditanya
tetap membungkam, terpaksa sambil menghela napas panjang diapun berbaring.
Pada saat pikirannya sedang kalut dan bingung itulah, tiba-tiba terdengar Hui Bengcu
yang berada di kamar sebelah memanggil dengan suara tertahan, "Nyo-toako,
cepat kemari, cepat kemari......"
"Ada apa?" tanya Leng-hong.
"Coba lebih mendekatlah denganku, akan kuberitahukan satu hal kepadamu . . . ."
bisik Beng-cu. "Sudah, tak usah repot-repot, tiada yang perlu dibicarakan lagi, bagaimana kalau kita
beristirahat lebih dulu?" "Tidak bisa, bagaimanapun persoalan ini harus kukatakan kepadamu sekarang juga,
kutemukan sebaris tulisan di dinding ruangan ini . . . ."
"Apa bunyi tulisan itu?" tanya Leng-hong.
"Agaknya tulisan ini ditinggalkan oleh enso ...."
"Apa kaubilang" Siapa yang meninggalkan tulisan itu?" cepat Leng-hong melompat
bangun sambil berseru. "Kalau diperhatikan dari nada tulisannya, tampaknya seperti tulisan dari enci Wankun,
tapi jika ditinjau dari kata-katanya seperti juga bukan ...."
"Coba bacakan tulisan itu!"
Hui Beng-cu segera membaca dengan lirih, "Untuk mencuci bersih rasa malu akibat
kekalahan yang diterima, dengan mempertaruhkan jiwa raga kekasih telah masuk ke
istana Peng-kiong, keturunan Thian-po-hu berakhir sampai di sini . . . . di bawahnya
seperti masih ada tulisan, cuma sudah tidak jelas lagi, tapi yang menandatangani
tulisan ini adalah Wan-kun." "Wan-kun?" Ho Leng-hong menarik napas dingin, "Ternyata mereka benar-benar
telah datang ke lembah Mi-kok ini."
"Tapi, bukankah kau masih hidup baik-baik di Thian-po-hu" kenapa dia mengatakan
bahwa "kekasih masuk ke istana Peng-kiong?" kenapa pula dia bilang keturunan
Thian-po-hu berakhir sampai di sini" Apa pula maksudnya mengucapkan kata-kata
tersebut?" Ho Leng-hong tidak memberi keterangan, iapun tak dapat memberi keterangan,
terpaksa tukasnya, "Coba kauperiksa lagi dengan saksama, apakah masih ada tulisan
lagi yang ditinggalkan?" Lewat sejenak kemudian, Hui Beng-cu berkata lagi, "Sudah tak ada lagi, hanya
tulisan ini yang terukir di dinding batu di ujung pembaringan."
"Apakah di bawah tanda tangan itu tercantum hari dan tanggal?" kembali Ho Lenghong
bertanya. "Tidak ada . . . Ah, tunggu sebentar . . . di sini terdapat sebuah huruf "Ka" di
bawahnya ada sebuah huruf lagi, sayang cuma separuh, tapi agaknya mirip huruf


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gin", sayang tulisannya tidak lengkap."
"Tahun Ka-gin" Itu berarti setahu yang lalu," gumam Ho Leng-hong, "ehm, betul
cocok memang dengan waktunya, ya, pasti dia . . . ."
"Kalau betul dia, lantas kenapa?" tiba-tiba Pang Goan menyela, "tidak dapatkah
kalian tenang sejenak, agar orang lain memperoleh kesempatan untuk beristirahat
sebentar?" Cepat-cepat Ho Leng-hong mendekati dinding sebelah kanan, lalu bisiknya,
"Lotoako, Wan-kun dan Nyo . . . ."
"Sudah kudengar, semua hal ini sudah berada dalam dugaanku, tapi kita harus
berpura-pura tidak tahu, tak peduli siapa yang bertanya padamu, jangan kau mengaku
keadaanmu yang sebenarnya, kecuali kau bertemu sendiri dengan Wan-kun, maka
ceritakanlah seluruh kejadian yang sesungguhnya."
"Menurut dugaanmu, mungkinkah Wan-kun masih berada di dalam Mi-kok?"
"Lebih baik kita tak usah menduka secara mengawur, asal telah bertemu dengan
Kokcu, otomatis semua duduknya perkara akan menjadi jelas."
"Ai, benarkah Kokcu bersedia menjumpai kita?" bisik Leng-hong sambil menghela
napas. "Kenapa tidak" Bukankah mereka telah datang?"
Betul juga, terdengar suara langkah manusia yang semakin mendekat, menyusul
kemudian terlihat Yu Ji-nio muncul bersama Hoa Jin.
"Pasti kau yang pertama-tama yang akan dijumpai," bisik Pang Goan, "ingat, apa
yang boleh dan yang tidak boleh dibicarakan, soal kitab pusaka ilmu golok boleh kau
limpahkan pertanggungan-jawabnya kepadaku."
Ternyata dugaannya memang tepat, Yu Ji-nio dan Hoa Jin langsung menuju ke kamar
tahanan nomor tiga dan berhenti di situ.
Setelah berada dalam kamar, dengan saksama Hoa Jin memperhatikan diri Ho Lenghong
dari ujung kepala sampai ujung kakinya, setelah itu tanyanya, "Sungguhkah kau
ini majikan Thian-po-hu yang bernama Nyo Cu-wi?"
"Kenapa?" Ho Leng-hong pura-pura bersikap ketus, "memang ada yang gadungan di
sini?" Hoa Jin tertawa, "Kau betul-betul bernasib baik, Kokcu ingin berjumpa denganmu,
semoga kau bersedia bicara secara jujur."
Waktu itu Yu Ji-nio telah membuka borgol pintu dengan kuncinya, lalu sambil
mendorong pintu terali besi ke samping, katanya dengan tertawa, "Nyo-tayhiap,
selamat jalan, semoga kau tidak kembali lagi kemari."
Ho Leng-hong mengangkat bahu, kemudian berkata, "Pelayanan Ji-nio amat
menyenangkan hati, agaknya aku bakal mengganggu dirimu selama beberapa hari
lagi." Keluar dari ruang penjara, ia segera disambut oleh empat orang gadis berbenang biru
dengan senjata terhunus, ternyata ketat juga pengawalan di situ.
Dengan dipimpin oleh Hoa Jin, rombongan itu berjalan masuk ke sebuah halaman
yang amat sepi, setelah melewati serambi akhirnya masuk ke dalam sebuah ruangan
besar. Selain luas dan hening, suasana dalam ruangan itu amat bersih dan rapi, pintu
ruangan terbuka lebar, keadaan ruangan persis seperti keadaan dalam ruangan
"pengadilan", cuma di sini tiada pengawalan yang ketat.
Empat gadis pengawal tadi berhenti di ruang depan, hanya diantar oleh Hoa Jin saja
Ho Leng-hong masuk ke dalam ruangan.
Hening sekali ruangan itu, bukan saja tanpa pengawalan, di situpun tiada senjata
yang berkilauan, seorang gadis baju merah sedang berduduk di belakang meja sambil
memeriksa setumpuk surat. Agak jauh di belakang gadis itu terdapat pula sebuah kursi, seorang perempuan
bercadar hitam duduk di situ. Mula-mula Ho Leng-hong mengira perempuan bercadar itulah Kokcunya, akan tetapi
setelah diperiksa lebih saksama, ia terperanjat.
Ternyata meskipun perempuan bercadar itu mengenakan pakaian warna merah juga,
namun pada gaunnya tidak terdapat sulaman apa-apa, sebaliknya gadis yang sedang
memeriksa setumpuk dokumen itu justru mempunyai sulaman benang emas pada
gaunnya. Gadis itu sedang menundukkan kepalanya, maka tak terlihat raut wajahnya, tapi baik
diperhatikan dari sudut manapun, bisa diduga usianya tak akan melampaui dua puluh
tahun. Gadis semuda inikah Kokcu dari Mi-kok"
Ho Leng-hong tercengang, baru saja melangkah ke dalam ruangan ia segera berhenti.
Gadis itu masih juga menundukkan kepalanya dan memeriksa dokumen, cuma
sekarang di memberi tanda sambil berkata, "Ambilkan kursi untuk Nyo-tayhiap!"
Hoa Jin mengambilkan sebuah kursi dan Leng-hong duduk di kejauhan, saking
tegangnya untuk mengembus napas keraspun tak berani.
Ia merasa setiap ucapan gadis tersebut seakan-akan memiliki kewibawaan yang sukar
dibantah, membuat orang lain merasa rendah diri dan berada di bawah pengaruhnya.
Suasana dalam ruangan amat hening, sedemikian heningnya sampai suara jarum jatuh
ke lantai pun kedengaran jelas, siapapun tidak membuka suar
Bukit Pemakan Manusia 10 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Bentrok Rimba Persilatan 4
^