Golok Yanci Pedang Pelangi 8

Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Bagian 8


g penting. Dalam cemasnya hampir saja ia hendak menerjang masuk ke dalam istana es dengan
kekerasan, tapi ia sadar kekuatannya terbatas, dua kepalan sukar menandingi empat
tangan, apalagi jago-jago dalam lembah tak terhitung banyaknya.
Ia sadar umpama istana es berhasil diterobos, Pang Goan dapat diselamatkan, belum
tentu ia bisa lolos keluar Mi-kok, sekalipun bisa keluar dari lembah ini, Hui Beng-cu
yang ada di tangan Ci-moay-hwe pasti juga akan celaka.
Sungguh masalah pelik yang sukar diatasi.
Untung Ho Leng-hong bukan seorang yang keras kepala, setelah berpikir sebentar,
tiba-tiba senyuman menghiasi wajahnya.
"Ya, karena cemas aku sampai keblingar," demikian katanya, "entah berapa banyak
orang yang mengimpikan untuk menjadi Huma dari Mi-kok, masa kesempatan baik
yang kudapatkan kutolak begitu saja" Sungguh tindakan yang salah besar."
"Jadi sekarang kau sudah memahaminya?" tanya Tong-popo ketus.
"Ya, sudah paham, sebagai manusia mau-tak-mau harus memikirkan diri sendiri,
hanya orang bodoh yang tidak menggunakan kesempatan baik ini, mengenai matihidup
Pang Goan, aku telah berusaha sepenuh tenaga, kesetiaan kawan paling-paling
cuma begini saja, kupercaya dia tak akan menyalahkan diriku."
Tampaknya Tong-popo rada curiga terhadap perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu,
namun ia tidak mengusut lebih jauh, hanya katanya dengan hambar, "Kalau bisa
demikian akan lebih baik, sudah sepantasnya kita berusaha sepenuh tenaga demi
sahabat, tapi tidak perlu urus soal waktu yang cuma setengah hari saja."
"Betul," kata Leng-hong sambil tertawa, "bila ia sudah mati, cemas juga tak berguna,
sebaliknya kalau ia tidak ditakdirkan mati, Pang-toako pasti dapat menunggu diriku
setengah hari lagi." Sejak itu masalah yang menyangkut Pang Goan tidak disinggung-singgung lagi,
Leng-hong bersenda-gurau dan tertawa, ia membual tentang pengalamannya ketika
lolos dari istana es. Tak lama kemudian, perjamuan sudah siap, para Tianglo pun menemani Ho Lenghong
bersantap. Kelakuan Leng-hong bagaikan orang yang delapan keturunan tak pernah minum
arak, setiap cawan yang diangkat segera dihabiskan, tentu saja beberapa orang nenek
itu bukan tandingannya minum arak. Tak lama kemudian, para nenek itu menjadi mabuk dan pusing kepala, semua orang
tak berani minum lagi, sedangkan Ho Leng-hong masih saja memaksanya minum,
dalam keadaan demikian terpaksa nenek-nenek itu harus mengambil langkah seribu.
Perjamuan itu hanya berlangsung dalam waktu singkat dan diakhiri begitu saja.
Bagaimanapun Tong-popo adalah nenek yang lanjut usia, setelah minum beberapa
cawan arak akhirnya dia tak tahan, setelah menitahkan orang menyiapkan kamar tidur
di bilik timur buat Ho Leng-hong, ia sendiri pun kembali ke Tiang-lo-wan untuk
istirahat. Leng-hong tahu bahwa di sekeliling bilik timur pasti tersebar para penjaga yang
mengawasi gerak-geriknya, maka ia sengaja memanggil petugas penjaga untuk
menghadap. Kepada penjaga itu dikatakannya, "Aku tahu penghuni perkampungan ini
kebanyakan adalah kaum perempuan, padahal aku mempunyai kebiasaan tidur
telanjang, oleh karena itu untuk menjaga tata kesopanan terpaksa pintu dan jendela
akan kututup rapat, tolong nona sampaikan kepada semua orang, harap malam ini
jangan mendekati kamar bilik timur."
Semakin ia bersikap misterius, para penjaga semakin tak berani gegabah. Baru saja ia
masuk kamar, penjaga itu segera melaporkan kejadian tersebut kepada Hoa Jin."
Mendengar laporan tersebut, Hoa Jin tertawa dingin, katanya, "Kalian masih gadis
dan belum kawin, tentu saja harus menghindarinya, lain dengan diriku yang sudah
kawin dan pernah punya anak, aku tidak takut hal begitu, tugas jaga malam ini
serahkan saja kepadaku." Ketika semua orang sudah beristirahat, Hoa Jin dengan golok terhunus mendatangi
bilik timur, betul juga, lampu kamar telah dipadamkan, pintu mau pun jendela juga
tertutup rapat. Pelahan Hoa Jin menghampiri jendela dan coba memperhatikannya, ternyata suasana
dalam kamar amat hening, bahkan suara napas pun tidak terdengar.
Timbul curiga dalam hatinya, jangan-jangan Ho Leng-hong sudah tidak berada di
dalam kamar lagi" Untuk melaksanakan tugasnya, mau-tak-mau dia harus "nyerempet bahaya" untuk
melakukan pengintipan. Hoa Jin tarik napas panjang, setelah berhasil menenangkan hatinya, pelahan ia
merobek sedikit kertas jendela dan mengintip ke dalam.
Hah, aneh benar! Hanya kegelapan dalam ruangan tersebut, apapun tidak dilihatnya.
Ia mengucak mata kemudian mengerahkan ketajaman matanya untuk memperhatikan
lebih jauh tapi tetap kegelapan saja yang di lihat, jangankan bayangan orang
pembaringan dan meja kursi pun tidak kelihatan.
Akhirnya, setelah diperhatikan lebih jauh, ia menjadi paham, ternyata dibalik jendela
telah ditutup secarik kain hitam, sudah barang tentu sulit bagi orang luar untuk
melihat keadaan dalam kamar. Hoa Jin tertawa dingin, pelahan ia membuka daun jendela.
Kain hitam itu tergantung tiga kaki dari daun jendela, ia harus menyingkap kain
tersebut untuk bisa melihat ke arah pembaringan, karena tiada jalan lain, terpaksa
dengan sangat hati-hati ia memasukkan separoh badannya ke dalam jendela,
kemudian dengan tangannya menyingkap kain hitam itu . . . .
Mimpipun tak disangkanya kalau Ho Leng-hong justru bersembunyi di balik kain
hitam itu, baru saja ujung kain tersingkap, mendadak sekujur badannya menjadi kaku
dan jalan darah pada pergelangan tangannya kena dicengkeram oleh Ho Leng-hong.
Belum sempat ia berteriak minta tolong, tahu-tahu jalan darah bisu sudah tertutuk,
menyusul separuh badanya ikut tertarik masuk ke dalam ruangan.
Masih untung di halaman tiada orang lain, coba kalau perbuatan Hoa Jin "menerobos
jendela" itu diketahui orang, biarpun keramas tujuh hari pun nodanya takkan tercuci
bersih . . . . . . . Sambil tertawa lirih Leng-hong berkata, "maaf, kukira budak-budak kecil itu tak
pernah lihat, maka mereka ingin menambah pengalaman, tak tahunya Hoa-toaso
sendiri yang berkunjung kemari, maaf kalau aku bersikap kurang sopan."
Seraya berkata ia mulai mencopoti jubah luar Hoa Jin dan ambil goloknya, lalu
dikenakan di tubuh sendiri, sekali lompat ia sudah keluar jendela, kemudian ia tutup
kembali daun jendela dan berangkatlah ia menuju ke lembah belakang.
Hoa Jin tertutuk dan tak bisa berteriak, apalagi berkutik, terpaksa ia cuma bisa
menyaksikan kepergian pemuda itu dengan mata melotot, entah harus gusar ataukah
kecewa" Sesaat menjelang fajar, biasanya merupakan suasana yang paling gelap.
Ketika Ho Leng-hong tiba di lembah belakang, itulah saat fajar hampir menyingsing,
dari kejauhan ia sudah berhenti, melepaskan baju merah Hoa Jin dan membuang pula
sarung goloknya, sambil menghunus golok ia beristirahat sebentar untuk menunggu
kesempatan. Tiga orang nenek buta yang menjaga pintu masuk istana es itu terdiri dari seorang
Tianglo dan dua orang "berbenang biru", tentu saja kungfu mereka tidak lemah.
Ho Leng-hong mengerti bahwa kehadirannya tak akan mampu mengelabuhi mereka,
maka ia membuang lelah dulu agar bilamana perlu ia bisa menyerbu secara kekerasan.
Pemuda itu bertekad, bagaimanapun jua sebelum fajar menyingsing nanti dia sudah
harus dapat menyelamatkan Pang Goan serta meninggalkan Mi-kok, kemudian baru
berusaha menyelamatkan Hui Beng-cu.
Seandainya di antara Pang Goan dan Hui Beng-cu dia hanya bisa menolong satu
orang saja, dia pasti akan memilih Pang Goan karena ini adalah soal moral.
Bila pertolongan harus dibedakan mana lebih dulu, dia juga akan menolong Pang
Goan duluan, sebab Hui Beng-cu yang berada di tangan Ci-moay-hwe tak akan segera
mati, sebaliknya Pang Goan yang terkurung di istana es justru berada dalam keadaan
kritis. Pemilihan demikian adalah pemilihan terpaksa, sebab kecuali cara demikian ia tidak
punya cara lain yang lebih sempurna.
Oleh sebab itu, ketika sambil membawa golok ia berjalan mendekati rumah batu,
hatinya merasa berat sekali. Setelah ambil keputusan yang terpaksa, tentu saja dia tak mau mengalami kegagalan
di sini sana. Betul juga, kedatangannya tak dapat mengelabui nenek Po yang berada dalam rumah
batu, baru saja berada tiga kaki dari pintu rumah, dari dalam telah berkumandang
suara bentakan, "Siapa di situ" Berhenti!"
Ho Leng-hong berjalan maju beberapa kaki lagi sebelum berhenti, goloknya segera
disembunyikan di balik siku, sementara persiapan dilakukan secara diam-diam guna
menghadapi segala kejadian yang tidak diinginkan.
Nenek Po diiringi dua orang perempuan buta lainnya menyongsong kedatangannya,
dengan mata putih mendelik ia membentak.
"Besar amat nyalimu! Suruh kau berhenti, ternyata kau malah berani maju dua kaki
lagi sebelum berhenti" Sebutkan namamu!"
"Aku she Ho, ada urusan penting hendak masuk ke istana es, harap Popo
mengabulkan permintaanku." "She Ho" Ho apa" Aku seperti merasa pernah kenal suaramu," kata nenek Po dengan
tercengang. Leng-hong segera menyebutkan namanya, kemudian ia menambahkan, "Aku adalah
orang yang masuk ke dalam istana es bersama dua orang rekanku beberapa hari yang
lalu, apakah Popo masih ingat?"
Mendengar jawaban tersebut, nenek Po menjadi sangat girang, buru-buru sahutnya,
"Ah, ya, yaa . . . aku masih ingat, aku masih ingat, kenapa tidak ingat" Aku dengar
Ho-tayhiap telah lolos dari istana es dan kawah api dengan selamat, besok akan
menjadi Huma lembah kami, hampir saja aku si nenek lupa menyampaikan selamat
kepadamu." Kepada kedua orang perempuan buta lainnya ia lantas menitahkan, "Tamu terhormat
telah datang, cepat mempersilakan Ho-tayhiap duduk di dalam, kita harus
menyampaikan selamat kepadanya."
Buru-buru kedua orang perempuan buta itu masuk ke dalam ruangan, memasang
lampu dan mempersilakan Ho Leng-hong masuk ke dalam.
Tindakan tersebut sedikit di luar dugaan Ho Leng-hong, katanya sambil tersenyum,
"Popo tak usah sungkan, aku masih ada seorang teman yang ketinggalan di dalam
istana es, dia harus cepat ditolong keluar, sebab itulah mohon kepada Popo suka
membukakan pintu istana, untuk mana kami akan sangat berterima kasih kepadamu."
"Apa" Kau hendak masuk lagi ke istana es?"
"Betul, mohon Popo suka mengabulkan permintaanku ini."
Nenek Po berpikir sebentar, kemudian katanya, "Baiklah, terpaksa kuucapkan
selamat kepada Ho-tayhiap setelah upacara perkawinan besok."
Ho Leng-hong tidak mengira orang akan mengabulkan permintaannya, dengan girang
ia berseru, "Terima kasih banyak, nenek!!"
Selesai berkata ia langsung melangkah ke ruangan dalam.
Mendadak nenek Po mengulurkan tangan ke depan sambil berseru, "Coba perlihatkan
dulu!" "Apa yang kau maksudkan," tanya Ho Leng-hong tertegun.
"Lencana nomor, nomor kunci untuk membuka pintu istana!"
"Soal ini...." Leng-hong menjadi bingung, selang sejenak ia baru berkata lagi sambil
tertawa, "Maaf, lantaran datang terburu-buru, kulupa minta Ho-pay (tanda nomor)
dari Tong-popo, apakah bisa ditiadakan saja untuk kali ini?"
"Tidak, tidak bisa," jawab nenek Po sambil geleng kepala, "untuk membuka pintu
istana harus ada Ho-pay lebih dulu, terpaksa Ho-tayhiap harus kembali dulu ke Tianglo-
wan untuk mengambil Ho-pay tersebut."
"Tapi aku harus segera masuk, aku tak ada waktu untuk pergi datang lagi."
"Maaf," kata nenek Po sambil mengangkat bahu, "tanpa Ho-pay, siapapun jangan
harap bisa memasuki istana es, aku hanya seorang penjaga pintu dan harus
melaksanakan tugas, aku betul-betul tak bisa membantumu."
"Keadaan sangat mendesak, tolonglah untuk sekali ini saja, sekembaliku dari sana
nanti baru disusulkan tanda nomornya."
"Tidak bisa!" jawab nenek Po tegas.
Diam-diam Ho Leng-hong berpikir, "Nenek ini berdisiplin tegas dan tidak kenal
kompromi, agaknya banyak bicara juga tak berguna, lebih baik kubekuk dulu orang
ini . . . ." Begitu ingatan tersebut terlintas dalam benaknya, golok segera berputar dan siap
melancarkan serangan. Pada saat itulah tiba-tiba dari belakang berkumandang suara orang berdehem lirih,
menyusul kemudian seseorang berkata, "Ho-pay berada di sini!"
Buru-buru Leng-hong berpaling, ia lihat sesosok bayangan manusia berdiri di sana
sambil mengangkat tinggi-tinggi sebuah lencana nomor kunci.
Dia ternyata adalah Tong Siau-sian, sang Kokcu.
Tampaknya Tong Siau-sian sudah berdiri lama di situ, hingga Leng-hong melihat
jelas dia baru dia maju mendekat. Rupanya dia kuatir Leng-hong salah mengartikan maksud kedatangannya, sambil
berjalan mendekat katanya, "Leng-hong, kau memang terlalu terburu nafsu, nenek Po
adalah seorang berhati baja yang tidak kenal kompromi, tanpa Ho-pay tak nanti kau
diizinkan masuk. Karena kutahu kau tak akan berhasil, maka kususulkan Ho-pay
kemari." Nada pembicaraan lembut dan hangat, bagaikan ucapan seorang calon isteri,
ditambah pula Ho-pay tersebut memang berada di tangannya, ini membuktikan
kedatangannya memang tidak bermaksud jahat.
Ho Leng-hong menjadi bingung dan tak mampu bersuara.
"Hormat, Kokcu!" buru-buru nenek Po dan kedua orang buta itu memberi hormat.
"Tak usah banyak adat," kata Tong Siau-sian sambil tertawa, "ambil Ho-pay ini dan
tunggu di pintu istana, masih ada beberapa persoalan hendak kubicarakan dulu dengan
Ho-tayhiap, sebentar aku menyusul ke sana."
Nenek Po mengiakan, setelah menerima Ho-pay mereka mengundurkan diri dari situ.
Setelah ketiga orang itu masuk ke dalam ruangan batu, Tong Siau-sian baru berkata
sambil menghela napas sedih, "Jangan menatap aku dengan sinar mata seperti itu,
dengan tulus ikhlas ingin kubantumu, Ho-pay itu asli, bukan palsu seperti peta
penyimpan golokmu." "Urusan yang sudah lewat harap jangan dipikirkan lagi, Kokcu," kata Ho Leng-hong
sambil menjura, "bila sobatku bisa diselamatkan, selama hidup orang she Ho akan
sangat berterima kasih kepadamu."
"Aku tidak mengharapkan terima kasihmu," kata Tong Siau-sian sambil tersenyum
getir, "aku hanya ingin tanya satu soal, kuharap kau menjawab dengan jujur."
"Katakan saja Kokcu, pasti akan kujawab dengan sejujurnya," ucap Leng-hong cepat.
Tong Siau-sian menunduk kepala rendah-rendah, lalu dengan suara lirih bertanya,
"Aku hanya ingin tahu, apa rencanamu menghadapi peristiwa besok."
"Tentang ini . . . . ." Leng-hong agak sangsi, kemudian katanya dengan serius, "terus
terang, aku merasa rendah diri, aku tak berani mengharapkan yang muluk-muluk dan
mendapat jodoh Kokcu, kudatang kemari hanya ingin menolong temanku yang masih
terkurung." Tong Siau-sian sama sekali tidak menunjukkan sikap di luar dugaan, ucapnya dengan
tenang, "Setelah Pang-tayhiap berhasil diselamatkan, lalu bagaimana?"
"Setelah itu . . . tentu saja aku harus berusaha untuk menolong nona Hui dari Hiangin-
hu yang terjatuh di tangan Ci-moay-hwe."
"Bila aku berhasil membantumu menyelamatkan nona Hui?"
"Kami . . . . kami pasti akan sangat berterima kasih kepada Kokcu."
"Hanya sepatah kata terima kasih saja dan habis perkara?"
"Tentu saja bila kaupun mengharapkan bantuanku, dengan sepenuh tenaga akan
kulaksanakan demi membalas budi kebaikan Kokcu."
"Seperti telah kukatakan tadi, aku tidak mengharapkan balasan apa-apa, aku hanya
ingin tahu bagaimana rencanamu tentang persoalan besok?"
Lantaran di desak terus, Leng-hong merasa kewalahan, terpaksa katanya sambil
tertawa, "Apa yang Kokcu ingin kulakukan, tentu akan kulakukannya."
"Aku ingin mengetahui jalan pikiranmu sendiri!" desak Tong Siau-sian lebih jauh.
Leng-hong benar-benar kehabisan akal, terpaksa sambil angkat bahu katanya, "Apa
lagi yang bisa kukatakan" Bila Kokcu tidak merasa derajatku terlampau rendah, tentu
saja akupun akan menerimanya dengan senang hati, cuma bila burung gagak
mendampingi burung hong, hal ini tentu akan menodai nama baik Kokcu . . . ."
Tong Siau-sian mendongakkan kepalanya dan menatap pemuda itu tajam-tajam,
kemudian tanyanya, "Tuluskah ucapanmu ini?"
"Setiap patah kataku keluar dari lubuk hatiku yang murni, tentu saja aku berbicara
dengan tulus ikhlas." Tong Siau-sian mengembus napas pelahan, katanya, "Baik, aku percaya kepadamu,
sekarang akupun ingin memberitahukan sepatah dua kata kepadamu, meskipun nenek
Tong mengatur perkawinan ini atas dasar peraturan lembah, tapi iapun telah
merundingkan suatu siasat keji dengan pihak Ci-moay-hwe untuk mencelakai jiwa
kita berdua." "Hah"! Apa rencananya terhadap kita?"
"Persoalan ini panjang sekali untuk dibicarakan, lebih baik kita selamatkan dulu
Pang-tayhiap." Mereka lantas menembus ruang batu dan masuk ke dalam gua, belum sampai
beberapa langkah mendadak Tong Siau-sian berhenti seraya bertanya, "Yakinkah kau
bahwa Pang-tayhiap masih hidup?"
"Dia pasti masih hidup, pil anti dingin yang dimilikinya masih sanggup


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempertahankan hidupnya selama dua belas jam, padahal aku baru sepuluh jam
meninggalkan istana es." "Kalau begitu, tunggu aku di pintu istana, akan kuwakilimu untuk menyelamatkan
Pang-tayhiap." "Mengapa harus demikian?"
"Sebab nenek Po adalah seorang yang berdisiplin keras dan tidak kenal kompromi,
menurut peraturan hanya aku seorang yang boleh masuk-keluar istana es, kendatipun
kau memiliki Ho-pay juta tidak boleh masuk keluar seenaknya, setelah masuk ke
dalam kau tak bisa keluar lagi, terutama bila nenek Po menutup pintu istana setelah
kau masuk, bukankah hal ini akan menambah kesulitan pula?"
Ho Leng-hong tak pernah berpikir sampai di situ, ia menjadi tertegun, tiba-tiba ia
dapat meresapi ucapan Tong Siau-sian itu, rupanya si nona mempunyai tujuan lain.
Dengan menggunakan nama nenek Po sebagai alasan rupanya ia ingin menunjukkan
keikhlasannya yang benar-benar ingin membantu, bila Ho Leng-hong dibiarkan
masuk sendiri ke istana es, mungkin dia akan sangsi bila pintu istana tiba-tiba ditutup,
maka ia rela mewakilinya dengan meninggalkan Ho Leng-hong di luar sebagai tanda
bahwa ia tidak berniat mencelakainya.
Padahal Ho Leng-hong tak pernah mencurigainya, meski demikian terharu juga
hatinya, tentu saja dia tak tega untuk menolak maksud baik si nona.
Maka sambil menggenggam tangannya dengan senyum dikulum ia berkata, "Kalau
begitu kutitipkan tugas ini padamu, aku dan Pang-toako selamanya akan ingat atas
budi kebaikanmu ini." Genggamannya yang hangat itu membuat Tong Siau-sian girang bercampur malu,
buru-buru ia menarik kembali tangannya dan lari masuk ke sana.
Dalam pada itu nenek Po dan kedua orang perempuan buta itu sudah lama sekali
menunggu di pintu istana es. Setibanya di hadapan mereka Tong Siau-sian segera berkata, "Ho-tayhiap telah
memutuskan tidak masuk ke istana es, aku akan mewakilinya masuk ke dalam, tak
lama aku berada di dalam. Kalian tunggu saja di sini dan pintu istana tak perlu
dikunci." Sebetulnya nenek Po sudah siap mengeluarkan anak kuncinya untuk membuka pintu,
ketika mendengar perkataan ini tiba-tiba ia berkata, "Bila Kokcu ingin masuk ke
istana es, kau perlu minta persetujuan lebih dulu dari Tiang-lo-wan."
"Tentu saja Tiang-lo-wan sudah setuju," sahut Tong Siau-sian, "kalau tidak,
darimana aku bisa mendapatkan Ho-pay?"
"Hanya Ho-pay saja masih tidak cukup, harap Kokcu tinggalkan pula Kim-to-leng,
dengan demikian pintu istana baru takkan kukunci."
"Apakah kau tidak tahu aku ini Kokcu?" tegur Tong Siau-sian dengan tidak senang.
Nenek Po segera membungkuk badan dan memberi hormat, "Hamba buta, sulit untuk
menentukan diri seseorang hanya berdasarkan suara saja, lebih baik Kokcu bertindak
menuruti peraturan agar hamba tidak serba sulit."
Nenek ini betul-betul disiplin dan tidak kenal kompromi, dia hanya kenal benda dan
tidak kenal orang, bahkan terhadap Kokcu sendiri pun tak mau memberi muka.
Tong Siau-sian berpaling ke arah Ho Leng-hong sambil tertawa getir, kemudian
katanya lagi, "Nenek Po, jadi kau berkeras ingin minta Kim-to-leng daripada menurut
perkataanku?" "Hamba hanya melakukan tugas menurut peraturan, lencana nomor kunci hanya
tanda masuk dan buka tanda keluar, bila ingin pintu istana tidak dikunci, Ho-pay dan
Kim-to-leng harus lengkap tersedia.
Dengan perasaan apa boleh buat Tong Siau-sian geleng kepala berulang kali, "Ai, tak
heran kalau selama hidup kau diberi bertugas menjaga pintu istana dan siapapun tak
ada yang bisa menggeser kedudukanmu. Baiklah, Kim-to-leng berada di sini,
ambillah!" Nenek Po menjulurkan tangannya untuk menerima, siapa tahu tangan Tong Siau-sian
mendadak menekan ke bawah, secepat kilat ia mencengkeram jalan darahnya.
Kedua perempuan buta lainnya terperanjat, cepat mereka melolos senjata.
Dengan suara tertahan Tong Siau-sian membentak, "Leng-hong, kuasai mereka,
cepat!" Sesungguhnya Ho Leng-hong sendiripun merasa terkejut dan heran, tapi lantaran
kedua perempuan buta itu sudah melolos golok masing-masing, tak sempat baginya
untuk menganalisa sebab musabab terjadinya peristiwa itu, cepat iapun mencabut
goloknya dan turun tangan . . . . Ilmu silat kedua orang perempuan buta itu sangat lihay, sayang Ho Leng-hong bukan
saja memahami ilmu golok Ang-siu-to-hoat, iapun memiliki jurus sakti anti kelihaian
ilmu golok tersebut, maka cuma lima gebrakan, kedua perempuan buta itu sudah
terdesak hingga mundur ke sudut pintu istana dan tak mampu berkutik.
Ho Leng-hong segera melompat maju dan membekuk kedua perempuan buta itu.
Cepat Tong Siau-sian menggeledah anak kunci dari saku nenek Po, setelah pintu
istana terbuka, segera ia pesan, "Leng-hong, awasi mereka, aku pergi menolong Pangtayhiap."
Sebelum Leng-hong menjawab nona itu sudah menerobos masuk ke dalam istana es.
Meskipun diliputi rasa sangsi, Leng-hong tidak sempat tanya gadis itu, dia hanya
menduga tentu Tong Siau-sian mempunyai alasan yang memaksanya berbuat
demikian, mungkin waktu sudah mendesak, ia tak ingin berdebat lebih jauh dengan
nenek Po, maka terpaksa diambilnya tindakan tersebut . . . . .
Untung tindakannya ini bertujuan membantunya untuk menolong orang, jadi apapun
juga tindakannya dapat dimaklumi. Hawa dingin yang berembus keluar dari balik pintu istana membuat orang tak tahan,
terpaksa Leng-hong merapatkan pintu batu itu dan memindahkan tubuh nenek Po
serta kedua perempuan buta itu ke kaki dinding sana agar jalan tidak teralang.
Tetapi, meski sudah ditunggu sekian lama, ternyata Tong Siau-sian belum muncul
juga. Leng-hong mulai berpikir, "Jangan-jangan dia menjadi kaku kedinginan karena tidak
makan obat anti dingin" Atau mungkin dia tidak kenal Pang-toako dan tidak
menemukan di mana ia berada?" Berpikir sampai di situ, hatinya terasa gelisah, buru-buru ia membuka pintu batu dan
siap masuk ke dalam . . . . Mendadak dari lorong gua berkumandang suara langkah kaki orang yang riuh.
Buru-buru Ho Leng-hong menutup pintu batu, ia menatap ke sana, segera ia
terperanjat. Sesosok bayangan orang muncul, orang itu memakai baju merah dengan sulaman
benang emas, ternyata orang inipun Tong Siau-sian.
Leng-hong kucek-kucek matanya, ia pandang pintu batu di belakangnya, ia menjadi
bingung. Gua itu gelap tak berlampu, dengan ketajaman matanya ia lihat Tong Siau-sian yang
baru muncul ini tidak berbeda dengan Tong Siau-sian yang masuk ke istana es tadi,
yang satu sudah berada dalam istana es dan yang lain baru datang, ini membuktikan
bahwa salah seorang di antaranya adalah gadungan.
Ketika Tong Siau-sian yang baru datang ini menemukan Ho Leng-hong berada di
sini, segera ia menegur, "Besar amat nyalimu, berani kau datangi istana es sendirian.
Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini merupakan pantangan besar lembah kami, kalau
sampai ketahuan orang, kau bisa dijatuhi hukuman mati, mengerti?"
Leng-hong tidak menjawab, dia hanya mengawasi orang lekat-lekat, sebab ia benarKoleksi
Kang Zusi benar tak bisa membedakan manakah Tong Siau-sian yang asli.
Karena pemuda itu tidak menjawab, Tong Siau-sian maju beberapa langkah lagi ke
depan, ucapannya dengan suara tertahan, "Orangnya sudah kautolong belum"
Sebentar fajar akan menyingsing, tidak cepat-cepat kau tinggalkan tempat ini, apalagi
yang kautunggu?" Leng-hong menarik napas panjang, pelahan dan sepatah demi sepatah ia menegur,
"Siapa kau?" "Hei, aneh benar kau ini" Masa tidak kenal siapakah aku?"
"Kenal sih kenal, Cuma aku tidak tahu kau ini asli ataukah yang gadungan?"
Tong Siau-sian melengak, "Dalam Mi-kok ini hanya ada aku seorang sebagai Kokcu,
masa ada yang gadungan?" "Betul," Leng-hong mengangguk, "barusan ada seorang juga mengaku sebagai
Kokcu dari Mi-kok, kini ia berada dalam istana es, aku tidak tahu siapakah di antara
kalian yang gadungan, pokoknya salah satu pasti palsu."
"Hah, masa ada kejadian begini?" seru Tong Siau-sian terperanjat, "Wah, kalau
begitu dia pastilah Samkongcu Kim Hong-giok dari Ci-moay-hwe, konon dia cerdas
dan berbakat, sesuatu yang dilihatnya tak pernah terlupa lagi, diapun pandai
menirukan logat bicara orang lain, Ho-tayhiap, jangan kau tertipu olehnya . . . ."
"Aku tak mau tertipu oleh siapapun, akupun enggan mengurusi siapakah di antara
kalian ini Tong Siau-sian dan Kim Hong-giok, aku hanya ingin menolong orang, siapa
bisa membantuku menolong orang, aku akan percaya kepadanya."
"Bila kau berharap Kim Hong-giok akan membantumu menolong orang, keliru
besarlah kau," kata Tong Siau-sian dengan cemas, "tujuannya masuk ke istana es
tidak lain adalah ingin mencuri belajar ilmu golok Ang-siu-to-hoat dari lembah kami."
"Lantas, apa pula tujuanmu?"
"Aku . . . ." rupanya Tong Siau-sian tidak tahu cara bagaimana harus memberi
penjelasan, kakinya menggentak tanah dan serunya, "Tentu kuharap bisa
membantumu, kalau tidak, tak nanti aku menyusul kemari."
"Mengapa kau membantuku?"
"Karena Tong-popo dan Ci-moay-hwe telah bersekongkol dan bermaksud jahat
terhadap kita berdua, kini situasinya tidak menguntungkan kita, kau dan aku harus
bekerja sama untuk menghadapi musuh yang sama."
"Kaumaksudkan masalah perkawinan?"
"Benar, atas dasar peraturan leluhur ia paksa kita kawin, padahal tujuan sebenarnya
adalah ingin membinasakan kita berdua, agar ia dapat mengangkangi Mi-kok
sendirian." Nada ucapannya tak jauh berbeda dengan apa yang diucapkan Tong Siau-sian
pertama tadi, siapa yang asli dan siapa yang gadungan" Makin lama semakin sulit
untuk dibedakan." Leng-hong berpikir sebentar, katanya kemudian, "Dengan cara bagaimana kau bisa
membuktikan bahwa dirimu adalah Tong Siau-sian sedang dia adalah Kim Honggiok?"
"Gampang sekali, kau bisa tanya langsung kepada nenek Po, suruh dia saja yang
membedakan." Leng-hong menggeleng kepala, "Dia seorang buta, jawabnya belum tentu tepat."
"Kokcu mempunyai sebuah lencana Kim-to-leng, aku bisa menunjukkan kepadamu."
Ho Leng-hong masih juga menggeleng kepala, "Belum pernah kulihat lencana
tersebut, orang saja bisa dipalsukan apalagi cuma sebuah benda, kan bisa dicuri atau
dipalsukan." Tong Siau-sian termenung sebentar, kemudian katanya, "Ah, betul, kepadaku
mungkin kau tidak percaya, tapi terhadap Pang Wan-kun tentu kau percaya bukan"
Dia berada di luar, kita boleh memanggilnya ke sini untuk menjadi saksi."
"Bila seorang berada dalam ancaman sering kali dia akan bicara bohong, aku pernah
tertipu satu kali, aku tak ingin tertipu untuk kedua kalinya."
"Ai, lalu dengan cara bagaimana baru kau mau percaya?" tanya Tong Siau-sian
dengan gelisah. "Aku pikir, satu-satunya cara yang terbaik adalah menunggu sampai Tong Siau-sian
itu keluar dari istana es, asal kalian berdua berhadapan satu sama lain, siapa asli dan
siapa gadungan pasti akan segera ketahuan."
"Tapi kalau menunggu sampai ia berhasil mempelajari ilmu golok Ang-siu-to-hoat,
bukan saja jiwa Pang-tayhiap akan lenyap, kaupun takkan lolos dari kematian, bahkan
akupun akan ikut menjadi korban."
"Kenapa kau akan ikut jadi korban?"
"Peraturan dalam Mi-kok amat ketat, apabila salah seorang di antara suami-isteri
melanggar peraturan lembah dan dijatuhi hukuman mati, maka orang satunya harus
ikut berkorban pula, inilah rencana keji Tong-popo untuk mencelakai kita berdua."
"Tapi kita sekarang kan belum resmi menikah!"
"Aku adalah seorang Kokcu, setelah perjodohan ditentukan berarti kita sudah
menjadi suami-isteri . . . apalagi yang perlu kukatakan . . . ."
Ia memang telah mengucapkan semuanya, lambat laun Ho Leng-hong juga mulai
percaya, sebab sudah sekian lama Tong Siau-sian yang pertama masuk ke istana es
dan hingga kini belum tampak keluar, jelaslah ia masuk ke dalam istana bukan untuk
menolong Pang Goan. Tapi, kendatipun ia mulai curiga bahwa gadis yang pertama adalah Kim Hong-giok,
tapi karena urusan menyangkut keselamatan Pang Goan, dia tak berani bertindak
secara gegabah. Sementara dia merasa ragu, tiba-tiba dari lorong gua berkumandang seruan yang
gelisah, "Kokcu, cepat dikit, Tiang-lo-wan sudah mulai bergerak, mungkin lenyapnya
Ho-tayhiap telah mereka ketahui. "Kaudengar tidak," kata Tong Siau-sian dengan cemas, "sekarang keadaan sangat
mendesak, apakah kau benar-benar rela terjatuh ke dalam perangkap Tong-popo?"
Sambil menggertak gigi Ho Leng-hong tetap membungkam.
Sejenak kemudian di luar gua kembali terdengar seruan nyaring, "Kokcu, lampu
merah tanda bahaya telah dipasang dalam perkampungan, kita tak bisa menunggu lagi
. . . ." Ho Leng-hong jadi nekat, katanya tiba-tiba, "Pergilah lebih dulu, segera kususul."
"Mau apa lagi kau tinggal di sini?"
"Aku harus menolong Pang-toako, kalau tidak aku lebih rela mati di dalam istana es."
"Sekarang kita sudah sehidup-semati, kalau kau tidak mau pergi, akupun tidak pergi,
kutemani kau masuk ke istana es untuk menolong Pang-tayhiap," kata Tong Siau-sian
tegas. Leng-hong tak bisa menolak niat orang, dia mengangguk dan segera mendorong
pintu batu itu. Pintu baru terbuka, segera Tong Siau-sian menerobos masuk lebih dahulu . . . .
Di balik pintu itu masih terdapat sebuah lorong penghubung, tapi di bawah pantulan
cahaya istana es dan kawah api, lamat-lamat dapat terlihat jelas keadaan lorong
tersebut. Pintu batu itu berat sekali, Ho Leng-hong harus mengerahkan tenaga untuk
menggeser pintu itu, baru saja ia akan ikut menerobos masuk, tidak tersangka dari
balik pintu tiba-tiba berkelebat keluar sesosok bayangan manusia, hampir saja kedua
orang saling bertumbukan. Orang itu tak lain adalah Tong Siau-sian pertama tadi, kalau sewaktu masuk ia tidak
membawa apa-apa, maka sekarang tangannya telah bertambah dengan sebilah golok
panjang. Leng-hong tidak menyangka orang akan bersembunyi di balik pintu, sebaliknya nona
itupun tidak menyangka orang yang menerjang masuk adalah Ho Leng-hong, maka
pergokan ini membuat kedua pihak sama-sama kaget.
"Di mana Pang-toako?" bentak Leng-hong cepat.
"Ia sudah mati, aku telah berusaha, tapi gagal menyelamatkan jiwanya . . . ."
"Omong kosong! Dia berada di mana?" bentak Leng-hong pula.
"Itu" Di kaki dinding sana, kalau tidak percaya periksalah sendiri," kata orang itu
sambil menunjuk ke sana. "Baik, ayo ikut ke sana!" teriak Leng-hong lagi sambil melintangkan goloknya.
"Aku . . . aku . . . ." belum habis perkataannya, mendadak golok nona itu membacok.
Ho Leng-hong mundur setengah langkah sambil miring ke samping, ditangkisnya
bacokan itu, lalu secepat kilat melancarkan serangan balasan.
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah bergebrak empat-lima jurus, semua
gerakan yang dipergunakan adalah jurus-jurus ilmu golok Ang-siu-to-hoat, ternyata
keduanya sama kuat. "Kim Hong-giok, rupanya kau!" teriak Leng-hong terkesiap.
Orang itu tertawa dingin, "Benar, sayang sudah terlambat, aku telah menguasai
sembilan jurus Ang-siu-to-hoat, kukira kau tak bisa lagi mengapa-apakan diriku."
"Aku tidak peduli Ang-siu-to-hoat segala," bentak Leng-hong dengan gusar,
"pokoknya kalau sampai Pang-toako mengalami sesuatu, aku bersumpah akan
mencincang tubuhmu." Baru selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar jeritan kaget Tong Siau-sian, "Jangan
lepaskan dia, Pang-tayhiap telah dibunuhnya...."
Jeritan tersebut bagaikan bunyi guntur di siang bolong, hampir saja golok panjang di
tangan Ho Leng-hong terlepas dari genggaman, cepat ia tanya, "Ia benar-benar sudah
mati?" "Lambungnya tertusuk golok perempuan hina itu, lukanya parah sekali, tapi
nyawanya belum putus." Merah membara mata Ho Leng-hong saking gusarnya, sambil membentak golok
segera membacok Kim Hong-giok. Keadaan anak muda itu sekarang ibaratnya harimau terluka, dengan kalap dia
lancarkan serangan secara bertubi-tubi, semua jurus serangan mematikan.
Entah cuma pura-pura atau memang gentar pada keberingasan wajah lawan yang
mengerikan, secara beruntun Kim Hong-giok terdesak mundur tiga-empat tindak.
Kedua orang itu bertarung di depan pintu batu, setelah yang satu maju dan yang lain
mundur, akhirnya mereka tiba di luar pintu, hawa dingin yang berembus keluar dari
istana es membuat anggota tubuh mereka terasa kaku, permainan golok otomatis tak
bisa dikembangkan sebagaimana mestinya lagi.
Ho Leng-hong ingin melukai Kim Hong-giok, tapi dia lupa menyumbat jalan
mundurnya. Sebaliknya Kim Hong-giok hanya memikirkan bagaimana cara meloloskan diri,
begitu melihat ada kesempatan ia lantas berpura-pura tidak tahan, sambil berseru ia
terus mundur ke dinding sebelah kiri.
Leng-hong sangat girang, goloknya berputar dan menyerang pula.


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam-diam Kim Hong-giok mengerahkan tenaga dalam dan menangkis bacokan itu
dengan sepenuh tenaga, pada kesempatan tersebut ia berputar dan menerjang keluar
dengan menyusuri kaki dinding, lalu sambil bergelinding beberapa kali menerobos
lewat di bawah kaki Ho Leng-hong. Serangan Ho Leng-hong yang lain belum sempat dilancarkan lagi, iapun tak
menduga Kim Hong-giok akan mengeluarkan jurus bahaya seperti itu untuk
meloloskan diri, padahal kaki dinding merupakan sudut mati, untuk membacok ke
bawah jelas tak sempat lagi . . . .
Sementara ia tertegun, Kim Hong-giok telah melompat keluar, ini berarti pula mereka
telah bertukar arah. Tentu saja Kim Hong-giok gunakan kesempatan tersebut dengan baik, begitu
melompat bangun di lantas kabur keluar.
Dengan sendirinya Ho Leng-hong tak mau melepaskannya dengan begitu saja, sambil
membentak goloknya disambitkan ke depan.
Kim Hong-giok ketika itu mungkin terlalu girang, atau mungkin terpengaruh hawa
dingin istana es sehingga anggota badannya tak bisa bergerak selincah dulu, ketika
mendengar desing golok dari belakang, buru-buru ia berusaha berkelit ke samping,
sayang terlambat setengah langkah, mata golok yang dingin dan tajam sekali telah
menembus bahu kirinya. Ia mengeluh tertahan dengan sempoyongan, tapi ia tak berani berhenti, sambil
membawa golok yang masih menancap di tubuhnya ia kabur keluar . . .
Ho Leng-hong mengejar dari belakang, ia sambar golok nenek Po yang tergeletak di
tanah dan siap mengejar lebih jauh, tapi saat itulah terdengar Tong Siau-sian
berteriak, "Pang-tayhiap tidak tahan lagi, cepat . . . cepat kemari . . . ."
Terpaksa Ho Leng-hong melepaskan Kim Hong-giok kabur dengan membawa luka
dan buru-buru kembali ke dalam sana.
Pang Goan tampak berbaring di sisi dinding, perutnya terbacok hingga keadaannya
sangat gawat, tapi nyawanya belum putus, ia masih berusaha meronta untuk duduk.
Leng-hong segera membuang goloknya dan berjongkok, katanya, "Pang-toako,
maafkan aku datang terlambat."
Napas Pang Goan tersengal, tapi sekulum senyum masih juga menghiasi bibirnya,
sahutnya lirih, "Tidak, kedatanganmu belum terlambat, adalah perempuan hina itu
yang datang selangkah lebih dulu, waktu itu aku sangat lemas karena lapar, maka
perutku kena dibacok satu kali . . . ."
"Mari kita tinggalkan tempat ini, lukamu perlu cepat diobati . . . ."
"Jangan, jangan kau angkat diriku meninggalkan tempat ini." Cegah Pang Goan
sambil menggeleng kepala, "tempat ini sangat dingin maka darah yang mengalir
keluar dari lukaku menjadi beku, sebab itu pula aku sanggup bertahan untuk
mengucapkan beberapa patah kata padamu, sekali kau membawaku meninggalkan
tempat ini, aku akan mati lebih cepat."
"Benar juga perkataanmu," bisik Tong Siau-sian, "ikuti saja keinginannya, dengarkan
dulu pesan apa yang hendak ia sampaikan kepadamu."
Leng-hong mengangguk, bagaimanapun dinginnya udara dalam istana es, menetes
juga air matanya yang panas. "Apakah Siau-cu juga selamat?" tanya Pang Goan dengan napas tersengal, "kenapa
ia tidak ikut kemari?" "Ia baik-baik saja," jawab Leng-hong dengan tersendat, "dia . . . lantaran ada urusan
lain, ia tak dapat kemari . . . ."
Dalam keadaan seperti ini, ia benar-benar tak tega untuk memberitahukan keadaan
Hui Beng-cu yang sesungguhnya. "Syukurlah kalau selamat, dulu kita salah menuduhnya yang bukan-bukan, mulai
sekarang kita tak boleh membuatnya menderita lagi."
"Aku tahu!" Leng-hong mengangguk, air matanya jatuh bercucuran.
Tiba-tiba Pang Goan tertawa, katanya, "Terus terang, aku kuatir sekali kalian akan
terpanggang mati dalam kawah api itu, beri tahulah kepadaku, bagaimana rasanya di
sana" Tentunya panas sekali bukan?"
Ho Leng-hong mengangguk, "Benar . . . . di sana memang panas sekali . . . tapi kami
semua tidak terluka, kami . . . entah bagaimana harus berterima kasih kepada Toako . .
. ." "Berterima kasih apa!" kata Pang Goan, "apa yang kulakukan tidak lebih cuma
mendorong kalian belaka... Bicara terus terang, sungguh akupun ingin sekali tidur
dalam balok es, sayang aku tak mungkin bisa merasakannya."
Setelah berhenti sebentar, katanya pula, "Kalian sudah bertemu dengan Wan-kun?"
"Sudah, iapun sangat baik...."
"Sekarang ia berada di luar gua," sambung Tong Siau-sian dengan cepat, "bagaimana
kalau kupanggil dia masuk kemari?"
Pang Goan menggeleng kepala, lalu pegang tangan Ho Leng-hong, katanya,
"Kabulkanlah permintaanku, jangan salahkan dia yang telah membohongi kita tempo
hari, kutahu iapun bermaksud baik."
"Jangan kuatir Toako, tak ada orang yang menyalahkan dia, aku akan melindunginya
serta mengantar dia bersama anaknya pulang ke Thian-po-hu."
"Bagus! Bagus sekali!" lambat laun tangan Pang Goan berubah menjadi amat dingin,
sinar mata pun menjadi pudar, ia celingukan sekejap ke sekeliling situ, lalu
gumamnya, "Sesungguhnya tempat ini adalah suatu tempat istirahat yang sukar dicari,
sayang udaranya terlampau dingin . . . ."
"Pang-toako . . .! Pang-toako . . . ." Leng-hong tak dapat mengendalikan rasa
sedihnya, ia menangis tersedu-sedu.
Di tengah panggilan yang memilukan hati itulah Pang Goan menghembuskan
napasnya yang penghabisan . . . . .
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***--
Pintu batu istana es kembali ditutup, jalan darah nenek Po dan kedua orang
perempuan buta yang tertutuk kini telah dibebaskan, mereka menerobos lorong gua
dan menuju ke rumah batu. Sepanjang jalan tidak ada yang berbicara, jelas hati setiap orang dicekam oleh
perasaan yang berat. Dengan membawa luka Kim Hong-giok berhasil melarikan diri, Pang Goan
mengakhiri hidupnya dalam istana es, sedang keselamatan Hui Beng-cu masih
merupakan sebuah tanda tanya yang besar . . . .
Yang sudah lewat kini telah lewat, kejadian pada masa mendatang sukar diduga,
hanya satu hal yang harus segera dihadapi, yakni, Tong-popo tidak akan melepaskan
mereka dari tuduhan "masuk ke dalam istana es yang terlarang", bahkan mungkin
orang di luar sedang menantikan kemunculan mereka.
Barang siapa berani masuk ke daerah terlarang itu, hukumannya adalah mati.
Kendatipun Tong Siau-sian adalah pejabat Kokcu, sulit baginya untuk mengelakkan
peraturan "hukuman mati" atas suaminya, asal ia mati, maka kekuasaan memerintah
Mi-kok akan terjatuh ke tangan Tiang-lo-wan, dan hal inilah yang diidam-idamkan
oleh Tong-popo. Tidak sulit bagi Tong Siau-sian untuk membayangkan girang Tong-popo saat ini, tapi
kesalahan ini sudah terbukti dan jelas tidak bisa dibantah lagi, atau dengan perkataan
lain dalam perebutan kekuasaan kali ini, ia sudah jelas berada di pihak yang kalah.
Bukan saja kalah dalam berebut kekuasaan, bahkan jiwanya ikut pula menjadi
korban. Ia tidak menyesal, iapun tidak takut, karena sekalipun ia kehilangan segala-galanya,
namun berhasil mendapatkan cinta yang paling berharga, bagi seorang gadis hal ini
sudah lebih dari cukup. Mungkin saja Ho Leng-hong bukan laki-laki paling sempurna di dunia ini, tapi
kerelaannya untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran bagi Thian-po-hu
membuktikan bahwa ia seorang lelaki yang jujur, keberhasilannya lolos dari kawah
api membuktikan akan kecerdasannya, daya ingatnya yang kuat serta keberhasilannya
mempelajari ilmu golok Ang-siu-to-hoat membuktikan kepintaran serta bakatnya
yang bagus, sikap pegang janji serta tidak lupa kepada budi yang diperlihatkan selama
ini membuktikan pula bahwa dia adalah seorang lelaki berhati mulia . . . .
Laki-laki semacam inilah merupakan teman hidup yang paling diidam-idamkan oleh
setiap gadis. Tong Siau-sian telah mengambil keputusan dalam hati, sekalipun harus mati, ia rela
mendampinginya sampai akhir hayat. Selama masih hidup, iapun tak segan-segan mendampingi kekasihnya untuk
mendobrak kepungan serta berusaha meninggalkan Mi-kok.
Oleh sebab itu, sepanjang perjalanan mendampingi Ho Leng-hong, ia tidak merasa
takut menghadapi apapun. Apa yang diduga ternyata benar, dalam rumah batu telah dipenuhi bayangan manusia.
Sebagai pemimpin adalah Tong-popo, hampir seluruh anggota Tiang-lo-wan hadir di
situ, kecuali itu, di bawah pimpinan Hoa Jin, dua belas orang jago berbenang biru
dengan golok terhunus siap sedia di sekitar sana.
Di luar rumah batu masih ada pula dua puluh empat pengawal perempuan pelaksana
hukum serta hampir ratusan pasukan yang tergabung dalam Bok-lan-pek-tui dan Boklan-
hek-tui. Waktu itu fajar telah menyingsing, di luar sana lautan manusia sudah berkumpul,
sebagian besar masyarakat lembah telah tiba di luar ruangan batu itu.
Pang Wan-kun tampak dibelenggu dan berada di barisan depan pasukan pelaksana
hukum Baru saja Ho Leng-hong melangkah masuk ke dalam ruangan batu, Tong-popo
segera membentak, "Tangkap dia!"
Ke-12 orang berbenang biru serentak mengiakan dan menyerbu maju.
"Berhenti!" bentak Tong Siau-sian, "kalian mau berontak?"
Bagaimanapun dia adalah Kokcu, begitu dia membentak, Hoa Jin sekalian lantas tak
berani bergerak lagi. Tong-popo tertawa dingin, ejeknya, "Tong Siau-sian, tak perlu kaupamer kuasa
sebagai seorang Kokcu, ketahuilah jabatan itu bukan hak Tong Siau-sian lagi!"
"Kedudukan Kokcu adalah kedudukan yang turun-temurun," bentak Tong Siau-sian
lantang, "sejak dulu sampai sekarang hanya keluarga Tong yang berhak menjadi
Kokcu, siapa yang berani tidak menghormati diriku?"
"Memang, selama ini kedudukan Kokcu secara turun-temurun dipegang oleh
keluarga Tong, tapi itu cuma berlangsung sampai kau Tong Siau-sian, menurut
peraturan lembah, Tiang-lo-wan berhak memilih Kokcu baru setelah kau meninggal
dunia." "Tapi sampai sekarang aku belum mati!"
"Ya, belum, tapi hampir. Kau telah setuju kawin dengan Ho Leng-hong, dan
sekarang ia sudah melanggar peraturan dan harus dijatuhi hukuman mati, menurut
peraturan kau harus mengiringi pula kematiannya."
"Ho Leng-hong adalah pahlawan lembah kita, kesalahan besar apa yang dilakukan
dia?" "Malam-malam ia memasuki lembah belakang dan menerobos ke dalam istana es
secara paksa, kesalahan tersebut pantas dijatuhi hukuman mati."
"Memutuskan hukuman mati terhadap seseorang merupakan hak dan keputusan
Kokcu, bukan Tiang-lo-wan yang berhak memutuskannya dengan begitu saja."
"Jika orang yang melanggar peraturan adalah calon suami Kokcu, apa lagi Kokcu
sendiripun tersangkut dalam peristiwa ini, tentu saja Tiang-lo-wan berhak
memutuskan hukuman tersebut." "Hehe, omong kosong, sehari aku belum mati, sehari pula aku menjadi Kokcu Mikok,
Tiang-lo-wan tidak lebih hanya merupakan pemangku sementara bila aku mati,
kalian tidak berhak merebut kedudukanku sebagai Kokcu dengan begitu saja. Tongpopo,
kau begitu takabur, berani menghina diriku, tidak menuruti peraturan leluhur,
rupanya kau hendak mengkhianati lembah dan merombak peraturan?"
"Aku bertindak demikian justru untuk melaksanakan peraturan leluhur, Ho Lenghong
telah melanggar peraturan dan harus dijatuhi hukuman mati, menurut peraturan
kaupun harus mengiringinya mati, apakah kau hendak melanggar peraturan leluhur
kita ini?" "Bersalah atau tidaknya Ho Leng-hong adalah hakku untuk memutuskan, sebelum ia
diputuskan bersalah, siapa yang berani tidak mengakui diriku sebagai Kokcu Mikok?"
Saking mendongkol Tong-popo mendengus, tanyanya, "Baik, anggaplah kau masih
seorang Kokcu, sekarang aku ingin tanya padamu, Ho Leng-hong yang telah masuk
ke daerah terlarang dengan paksa harus dikatakan berdosa atau tidak?"
"Berdosa atau tidak harus disertai dengan bukti, kau tak boleh menuduh seenaknya
saja, siapa yang bisa membuktikan ia telah masuk daerah terlarang?"
"Baru saja ia keluar dari lambung bukit, apakah hal ini belum cukup sebagai bukti?"
teriak Tong-popo. Tong Siau-sian mengangkat bahu, "Itupun hanya membuktikan ia memasuki lorong
dalam lambung bukit, bukan bukti ia memasuki istana es, lorong dalam lambung bukit
bukan daerah terlarang, selama ia tidak masuk ke istana es secara paksa, menurut
peraturan ia tak dapat dijatuhi hukuman mati, apakah kau menyaksikan dengan mata
kepala sendiri bahwa ia masuk ke istana es?"
"Sekalipun aku tidak menyaksikan sendiri, nenek Po dan kedua orang petugas
penjaga pintu istana telah menyaksikannya."
Tong Siau-sian tertawa, "Wahai Tong-popo, hendaknya kaubicarakan yang jelas,
nenek Po dan kedua orang petugas itu semuanya buta, hakikatnya tak mungkin
mereka menyaksikan apa pun." Ucapan ini seketika membuat Tong-popo menjadi bungkam.
Sekalipun semua orang yang hadir tahu alasan Tong Siau-sian terlalu dipaksakan, tak
urung mereka alihkan juga sorot matanya ke wajah nenek Po.
"Mataku memang buta, tapi hatiku tidak buta," kata nenek Po dengan tenang, "aku
merasa yakin masih sanggup untuk menjadi saksi apakah Ho Leng-hong telah masuk
ke istana es atau tidak, cuma tak tahu apakah kalian mau percaya pada pengakuan si
nenek buta atau tidak." "Betul," seru Tong-popo dengan girang, "meskipun mata enci Po buta, kutahu
tindakanmu selalu jujur dan tidak mengenal kompromi, selaku pemegang kunci istana
es, memang dia pantas dijadikan saksi."
"Apakah kesaksianku bisa kalian percayai?" tanya nenek Po dengan wajah tanpa
emosi. "Pati percaya," jawab Tong-popo cepat, "enci Po, katakanlah kesaksianmu itu, kami
percaya padamu." Diam-diam Tong Siau-sian amat gelisah, buru-buru ia menyela, "Nenek Po, aku
selalu bersikap baik padamu, kuminta jangan sampai kaujerumuskan orang baik ke
dalam lembah kehancuran." "Aku si nenek buta tak pernah bermusuhan dengan siapapun," kata nenek Po hambar,
"aku hanya tahu menjaga pintu istana es adalah tugas kewajibanku, apa yang terjadi
hari ini akan kukatakan apa adanya dan bagaimana kejadiannya, aku tidak peduli
kesaksianku ini akan menyinggung perasaan ataupun akan menguntungkan orang
lain." "Nenek Po . . . ." rengek Tong Siau-sian dengan suara lirih.
"Rekan-rekan seperguruan," kata Tong-popo segera dengan suara lantang, "masuk ke
daerah terlarang secara paksa adalah suatu kejadian serius, kalau Kokcu berkeras
menghendaki bukti, marilah kita dengarkan bersama kesaksian enci Po, apakah Ho
Leng-hong bersalah atau tidak akan kita putuskan setelah mendengarkan
kesaksiannya." Seketika itu suasana di luar maupun dalam ruangan batu menjadi hening, semua
orang menahan napas dan siap mendengarkan pengakuan nenek Po.
"Nah, enci Po," kata Tong-popo kemudian dengan bangga, "harap berikan
kesaksianmu dengan suara keras agar setiap orang dapat mendengarkan."
Berputar biji mata nenek Po yang putih, lalu dengan suara lantang katanya, "Po Suilan
bertugas menjaga istana es sebagai daerah terlarang, untuk mempertanggung
jawabkan kewajibanku, dengan ini kuberikan kesaksian yang sebenar-benarnya. Hari
ini Kokcu dan Ho Leng-hong benar-benar telah datang ke istana es . . . ."
Kontan saja Tong-popo dan Hoa Jin sekalian menyambut dengan sorakan senang.
"Jangan berisik dulu," bentak nenek Po lantang, "keteranganku belum selesai
kuucapkan . . . . Sambil tertawa Tong-popo berkata, "Baik, silakan enci Po menyelesaikan katakatanya,
kami semua pasti mendukung kesaksian enci Po ini."
Nenek Po berdehem, lalu serunya lagi dengan suara lantang, "Aku dapat
membuktikan bahwa Kokcu dan Ho Leng-hong hanya sampai di depan pintu istana
es, mereka sama sekali tidak melangkah masuk ke dalam istana tersebut!"
Begitu kesaksian ini diutarakan, kontan suasana di sekeliling tempat itu menjadi
sunyi, tak kedengaran sedikit suarapun, semua orang sama tertegun.
Selang sesaat kemudian, dari luar ruangan baru meledak suara sorak sorai yang
nyaring, "Hidup Kokcu! Hidup Huma!"
Hampir saja Tong Siau-sian tidak percaya hal itu bisa terjadi, ditatapnya nenek Po
sekejap dengan sorot mata penuh rasa terima kasih, lama dan lama sekali ia baru
berbisik dengan gemetar, "Terima kasih banyak, nenek Po!"
Tapi luapan terima kasih yang lirih itu telah tertutup oleh gemuruh sorak sorai di luar
ruangan, serta merta pasukan pelaksana hukum melepaskan tali yang membelenggu
tubuh Pang Wan-kun. Air muka Tong-popo berubah menjadi merah padam, lalu berubah pucat pias, dengan
gemas serunya, "Bagus sekali tua bangka she Po, kita lihat saja nanti!"
"Tidak usah menunggu sampai nanti," jawab nenek Po tenang, "kauberani memfitnah
Kokcu dengan tuduhan yang bukan-bukan, menghasut khalayak ramai untuk
memberontak, kau pantas dijatuhi hukuman mati. Hmm, kaukira hari ini bisa keluar
ruangan ini dengan selamat?" Tong-popo mendengus, "Hmm, aku tidak percaya ada orang mampu menahan diriku
di sini. Ayo pergi!" Sambil mengulap tangannya, ia berjalan keluar ruangan itu.


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berhenti!" terdengar bentakan nyaring.
Sambil melolos golok panjang milik seorang perempuan buta, Tong Siau-sian maju
ke depan sambil membentak, "Tong Siok-tin, besar amat nyalimu, setelah melakukan
kesalahan besar, berani pula kau melawan perintah. Hmm, kau masih menghargai
peraturan lembah atau tidak?" "Selaku seorang Tianglo yang memimpin Tiang-lo-wan, kedudukanku tidak berada
di bawah kedudukanmu sebagai Kokcu, kau tak perlu pamer kekuasaanmu di depan si
nenek." "Tong Siok-tin berani melawan dan mengkhianati lembah, dosanya tak terampunkan,
atas nama Kim-to-leng yang diwariskan leluhur, mulai detik ini kupecat Tong Siok-tin
dari kedudukannya sebagai Tianglo," seru Tong Siau-sian dengan suara lantang,
"dengan ini pula diperintahkan kepada seluruh anggota perguruan agar bersama-sama
menangkap pengkhianat itu, barang siapa berhasil menangkap Tong Siok-tin, dia akan
kuangkat sebagai pemimpin para Tianglo, barang siapa berkomplot dengan Tong
Siok-tin akan dianggap sebagai pengkhianat dan dijatuhi hukuman mati."
Semua anggota lembah Mi-kok saling pandang dengan sangsi, untuk sesaat mereka
tak tahu apa yang harus dilakukan?"
Tong-popo segera menengadah sambil tertawa terbahak-bahak, ejeknya, "Tong Siausian,
Kim-to-lengmu itu tak lebih Cuma kekuasaan sebesar ini. Hm, Tiang-lo-wan
adalah lembaga paling tinggi dalam lembah ini, kau tidak berhak menghapus atau
memecat seseorang dari kedudukannya sebagai Tianglo, sebaliknya kami justru
mempunyai hak untuk memecat kau sebagai Kokcu yang tak becus . . . ."
Bicara sampai di sini ia lantas berpaling ke arah beberapa orang Tianglo lain seraya
berkata, "Saudara sekalian, urusan telah berkembang menjadi begini, lebih baik kita
turun tangan saja membekuk budak ini, entah bagaimana pendapat kalian?"
Beberapa orang Tianglo itu hanya saling pandang saja dengan terbelalak, sikap
mereka kelihatan sangsi. Melihat gelagat tidak menguntungkan, Tong-popo segera memberi tanda sambil
membentak, "Tong Siau-sian tidak becus dan tak pantas memimpin Mi-kok, Tiang-lowan
memutuskan bahwa mulai saat ini dia dipecat dari jabatannya untuk kemudian
memilih Kokcu baru lagi. Pengawal tangkap dia!"
Seseorang mengiakan sambil melolos senjatanya, ternyata dia adalah Hoa Jin, tapi
ketika ia celingukan ke sana kemari dan diketahui cuma di sendiri yang menyahut, ia
menjadi gugup dan ragu untuk bertindak lebih lanjut.
Tong Siau-sian segera mengeluarkan sebilah pisau kecil berwarna emas, sambil
mengangkatnya tinggi-tinggi ia berseru, "Hoa Jin berani berkomplot untuk melakukan
pengkhianatan, barang siapa menangkap Hoa Jin, dia akan kuberi jabatan sebagai
Tianglo berbenang perak!" Baru saja ucapan itu diutarakan, seseorang segera tampil ke depan seraya berseru,
"Terima perintah!" Orang itupun seorang petugas "Benang biru", dia tak lain adalah Yu Ji-nio.
"Kau manusia plin-plan dan pengecut," maki Hoa Jin dengan gusar, "setelah keadaan
berubah menjadi begini, kenapa kau malah membantu orang lain?"
"Kentut busuk," bentak Yu Ji-nio, "turun temurun kita menetap dalam lembah ini,
belum pernah ada orang berani menggeser kedudukan Kokcu, kauingin memfitnah
diriku sebagai pengkhianat" Hmm, justru aku sekarang hendak membekukmu untuk
menebus dosa. Lihat serangan!"
Golok panjangnya segera bergetar dan langsung menyerang Hoa Jin.
Bagaimanapun lebih banyak anak murid Mi-kok yang berjiwa jujur daripada yang
bermaksud khianat, sekalipun mereka tak berani bertindak ketika terjadi percecokan
antara Kokcu dan pemimpin Tianglo, tapi terhadap Hoa Jin tak seorang pun yang
merasa takut, begitu Yu Ji-nio turun tangan, serentak merekapun ikut berkobar jiwa
ksatrianya, sambil berteriak nyaring masing-masing melolos golok dan ikut
mengerubuti Hoa Jin. Begitulah suasana dalam ruangan telah berubah, dari luar ruangan pun terjadi
pergolakan, semua anak murid Mi-kok serentak melolos senjata masing-masing dan
ikut terjun dalam gerakan menentang pengkhianatan.
Melihat masa jaya baginya sudah lewat, dengan penuh kebencian Tong-popo
menggentakan kakinya ke tanah, lalu sambil putar senjata ia terjang keluar ruangan.
Bagaimanapun dia seorang Tianglo, tentu saja tenaga dalamnya jauh lebih sempurna
dibandingkan para jago Benang Biru serta para anggota pasukan Bok-lan-tui, di mana
cahaya golok berkelebat segera timbul gelombang hawa dingin, kontan semua orang
menyingkir ke belakang, dengan demikian dalam waktu singkat ia berhasil menerobos
pergi. Menyaksikan hal tersebut, Tong Siau-sian mau turun tangan sendiri, tapi pada saat
itulah tanpa menimbulkan suara Ho Leng-hong telah melompat ke depan dan
mengadang jalan lari Tong-popo. Selama ini beberapa orang nenek lainnya yang tergabung dalam Tiang-lo-wan tidak
melakukan gerakan apa-apa, jelas mereka tidak setuju dengan tindakan Tong-popo
yang berkhianat secara terang-terangan itu.
Saat itulah Tong Siau-sian baru bisa mengembuskan napas lega, bisiknya kepada
nenek Po, "Bila semua pengkhianat telah berhasil dibekuk, aku pasti akan berterima
kasih atas perlindungan kau orang tua . . . ."
"Tak usah berterima kasih kepadaku," kata nenek Po sambil menggeleng, "kalau
ingin berterima kasih, seharusnya kau berterima kasih kepada Ho Leng-hong."
"Kenapa?" tanya Tong Siau-sian tercengang.
Nenek Po menghela napas, "Ai, selama berpuluh tahun ini tidak sedikit sudah orang
yang kuantar masuk ke dalam istana es, meskipun mereka tewas dalam istana es, tapi
tiada bedanya seperti mati di tanganku, dengan susah payah akhirnya ada juga
seorang yang berhasil keluar dengan selamat, mana aku sampai hati mencelakai lagi
jiwanya dengan sepatah kataku?"
Tong Siau-sian tertawa, tanyanya pula, "Tapi kau orang tua selamanya tak pernah
bohong, kenapa sekali ini . . . ."
Biji mata nenek Po yang putih berputar, "Siapa bilang aku tak pernah bohong" Aku
hanya tidak mendapatkan kesempatan saja. Kalau ada orang mengaku selama
hidupnya tak pernah bohong, maka pengakuan itu sendiri adalah bohong besar."
Di dunia ini memang tak ada orang yang tak pernah bohong, seperti juga di dunia ini
tak pernah ada orang yang tak mengampuni kesalahannya sendiri. Justru karena
semua orang suka memaafkan kesalahan sendiri, maka mereka suka berbohong.
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***---
Sesungguhnya tenaga dalam Leng-hong bukan tandingan Tong-popo, tapi lantaran ia
memahami jurus kesembilan yang merupakan jurus anti ilmu golok Ang-siu-to-hoat,
maka setiap gebrakan ia selalu mengawasi keadaan dan membuat permainan golok
Tong-popo sukar dikembangkan. Tak sampai lima enam gebrakan, secara beruntun Tong-popo telah menerima dua
kali bacokan sekalipun tidak parah, namun cukup menggetarkan sukma Tong-popo.
Setelah sadar bahwa ia bukan tandingan Ho Leng-hong, tiba-tiba nenek itu berkata
lirih, "Hei, orang she Ho, jangan terlalu mendesak diriku, kau masih ingin menolong
Hui Beng-cu tidak?" Tergerak juga hati Ho Leng-hong, serangan goloknya dikendurkan, lalu balik
bertanya, "Kau sanggup menolongnya?"
"Jika kau mau melepaskan diriku, tentu saja aku mempunyai cara untuk
menolongnya lolos dari cengkeraman orang."
"Coba jelaskan dulu!" "Setelah terluka, sampai sekarang, Samkongcu dari Ci-moay-hwe belum
meninggalkan lembah ini, hanya aku yang mengetahui di mana dia bersembunyi,
kalau kausetujui untuk melepaskan diriku dari sini, dia akan kuserahkan padamu,
dengan ia sebagai sandera, apa susahnya untuk memaksa pihak Ci-moay-hwe
membebaskan Hui Beng-cu." Mencorong sinar mata Ho Leng-hong, ia menarik kembali goloknya seraya bertanya,
"Sekarang dia berada di mana?"
"Sedang merawat lukanya dalam lembah ini, asal Ho-tayhiap bersedia memberi jalan
lewat, sekarang juga kuajak kau ke sana . . . ."
"Baik. Ayo bawa aku ke sana!" golok Leng-hong segera ditarik kembali dan
memberi jalan lewat, secepat kilat Tong-popo kabur dari situ.
"Leng-hong, cepat cegat dia!" teriak Tong Siau-sian kaget.
Ho Leng-hong mengulapkan tangannya seraya berkata dengan suara tertahan, "Baikbaiklah
mengatur urusan lembah sini, serahkan orang itu kepadaku, jangan mengirim
orang untuk menyusulnya, aku akan kembali dengan cepat."
Tong Siau-sian masih ingin tanya lagi, tapi Ho Leng-hong telah melayang ke sana
menyusul Tong-popo. --------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***-------
Sebagian besar anak murid Mi-kok telah berkumpul di belakang lembah ini hingga
bangunan induk terasa lenggang dan sepi.
Tong-popo langsung kembali ke Tiang-lo-wan, ibaratnya anjing yang kena gebuk, ia
pulang dengan lemas dan murung. Kendatipun dalam gedung saat itu tinggal beberapa orang pelayan saja, orang-orang
itupun diusir keluar semua. Dalam keadaan demikian, kecuali kepada diri sendiri boleh di bilang ia tidak percaya
pada orang lain lagi, selain itu iapun tak berani berdiam lama dalam lembah, maka
sebelum meninggalkan tempat itu untuk selamanya, beberapa macam barang berharga
perlu dibawa serta. Di antara barang mestika termasuk juga dua bilah golok pusaka, yang pertama adalah
Yan-ci-po-to dari Thian-po-hu, sedang yang kedua adalah golok sabit dari Hui Bengcu.
Terhadap asli tidaknya golok mestika Yan-ci-po-to untuk sementara waktu belum
dapat ditentukan, maka dia hanya menyandangnya di punggung, sementara golok
sabit milik Hui Beng-cu dipegangnya dan siap dipergunakan untuk menghadapi
segala kemungkinan. Ho Leng-hong mengadang jalan perginya di tengah halaman, begitu ia muncul,
pemuda itu segera menegur dengan ketus, "Kim Hong-giok bersembunyi di mana"
Kalau tidak kauserahkan padaku, jangan harap meninggalkan lembah Mi-kok dengan
selamat." Sesudah lolos dari kepungan, apalagi golok mestika sudah berada dalam genggaman,
Tong-popo kelihatan tidak takut lagi, katanya sambil tertawa, "Ho-tayhiap, antara kau
dan aku ibaratnya air sumur tak melanggar air sungai, aku harap kau jangan mendesak
orang keterlaluan, selewatnya hari ini, rasanya kita masih akan berjumpa lagi."
"Boleh saja aku tidak mencampuri urusan dalam lembah kalian, tapi harus
kauserahkan Kim Hong-giok kepadaku, sebab itulah syarat bagimu untuk meloloskan
diri dari sini." "Bila orang itu kuserahkan padamu, dapatkah kau menjamin bahwa Tong Siau-sian
akan mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkan semua kekuasaan Mi-kok
kepadaku?" "Itu urusan lembah kalian, aku tidak dapat memberi jaminan seperti itu."
"Makanya akupun tak dapat menyerahkan Kim Hong-giok kepadamu," jawab Tongpopo
sambil tertawa dingin, "sebab mereka akan mendukungku kembali ke sini,
sudah lama Ci-moay-hwe menyiapkan orang-orangnya di sekitar sini, kalau aku
sampai bentrok dengan mereka, siapa yang akan mendukungku kembali ke lembah
ini?" "Jadi kau hendak mengingkar janji?" bentak Leng-hong.
"Bukanya aku ingkar janji, terus terang kuberitahu, tadi Kim Hong-giok telah kabur
pergi dari Mi-kok, apa yang kuucapkan tadi tidak lebih hanya siasat belaka."
Betapa geram Ho Leng-hong, bentaknya, "Kalau begitu, jangan harap kau bisa lolos
dari sini!" "Ho-tayhiap, sekalipun kau menahan diriku atau menyerahkan diriku kepada Tong
Siau-sian untuk dijatuhi hukuman, hal inipun tidak bermanfaat bagimu, sebaliknya
bila kau ikut diriku meninggalkan lembah ini, bisa saja kubawa kau ke markas rahasia
Ci-moay-hwe, tentu saja berhasil atau tidaknya kau menolong Hui Beng-cu
bergantung kepada kepandaianmu sendiri, aku hanya bertugas membawa jalan, aku
tak ingin menyalahi teman-temanku sendiri."
Nenek itu sungguh licik dan banyak tipu muslihatnya, jelas tujuannya hanya ingin
mempergunakan Ho Leng-hong untuk melindunginya meninggalkan Mi-kok,
andaikata tiba di sarang rahasia Ci-moay-hwe, diapun pasti akan berpihak kepada CiKoleksi
Kang Zusi moay-hwe dan membekuk Ho Leng-hong guna mencari pahala, jadi kalau dia bilang
berniat membantu pemuda itu menolong Hui Beng-cu, hal ini jelas hanya tipuan
belaka. Tapi Ho Leng-hong seolah-olah tidak berpikir sampai ke situ, setelah termenung
sebentar, dia mengangguk, "Baik, aku percaya padamu sekali lagi, kalau kau berani
membohongi pula, jangan menyesal bila aku tidak sungkan lagi padamu."
"Jangan kuatir," kata Tong-popo dengan tertawa, "sekali ini aku bicara sejujurnya.
Bayangkan sendiri, setelah kabur dari Mi-kok, kecuali menuju ke Ci-moay-hwe, aku
dapat kabur ke mana lagi?" "Ayo berangkat!" seru Leng-hong kemudian, segera ia berangkat lebih dulu
meninggalkan gedung tersebut. Tiba di mulut lembah, belasan orang pengawal dari Bok-lan-pek-tui telah mengadang
mereka, seorang petugas dari benang biru segera berkata, "Tong-popo telah
berkhianat dan melarikan diri, Kokcu memberi perintah agar membekuknya, siapapun
dilarang meninggalkan lembah ini."
"Berilah jalan lewat padaku, bila Kokcu menegur nanti, akulah yang bertanggung
jawab," sahut Ho Leng-hong. "Ho-huma adalah tamu agung kami, untuk melepaskanmu pergi kami masih berani
melakukannya, tapi Tong-popo . . . . ."
"Aku yang membawanya pergi, bila terjadi sesuatu tentu saja aku pula yang
bertanggung jawab." Petugas penjaga lembah itu menjadi serba susah, katanya dengan ragu, "Tentang ini .
. . bagaimana kalau hamba minta persetujuan Kokcu lebih dulu?"
"Aku ada urusan yang mendesak, tiada waktu lagi untuk menunggu jawaban kalian,"
kata Leng-hong dengan tidak sabar, "pokoknya sampaikan saja apa yang kukatakan
ini kepada Kokcu." Sampai di sini, tanpa menunggu jawaban lagi, ia lantas menerobos lewat lebih dulu.
Dengan golok sabit terhunus Tong-popo ikut menerjang keluar pula.
Para penjaga tak ada yang berani turun tangan mengalangi mereka, dengan mata
terbelalak terpaksa mereka membiarkan kedua orang itu meninggalkan lembah.
Pada waktu pergi Tong-popo masih sempat mendamprat dengan penuh kebencian
tapi para penjaga pura-pura tidak mendengar, setelah kedua orang itu pergi jauh, satu
di antara penjaga itu secara hati-hati sekali membuntuti kedua orang itu dari kejauhan.
Sekalipun orang itu mengenakan baju barisan "benang putih", kenyataannya dia
adalah Pang Wan-kun. --------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***-------
Yang dimaksudkan sebagai markas rahasia Ci-moay-hwe oleh Tong-popo, pada
hakikatnya adalah rumah gubuk yang terletak di bukit gerbang di belakang Mi-kok.
Sepanjang jalan ia lari berdampingan dengan Ho Leng-hong, ketika mendekati rumah
gubuk itu tiba-tiba ia mengerahkan tenaga dalam dan mempercepat langkahnya.
Leng-hong kuatir nenek itu akan kabur, buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk
menyusul. Satu di depan yang lain di belakang, dalam waktu singkat kedua orang telah tiba di
tanah lapang di depan rumah gubuk itu.
Tiba-tiba Tong-popo mencabut golok lengkungnya sambil membentak, "Ho Lenghong,
jangan kau mendesak orang keterlaluan, aku sudah terperosot seperti ini, tapi
kau masih mengejar tiada hentinya. Hm, biarlah aku beradu jiwa denganmu."
Seraya berkata goloknya terus berputar dan menerjang Ho Leng-hong.
Tapi baru bergebrak beberapa jurus, mendadak ia berlagak tidak tahan, permainan
goloknya menjadi kalut, bersamaan itu ia berteriak dengan gugup, "Nona Lik-giok,
cepat bantu aku. Samkongcu telah terjebak dalam Mi-kok, kalian tak dapat berpeluk
tangan belaka...." Di tengah teriakannya itu, bayangan manusia segera bermunculan, dalam waktu
singkat dua puluhan orang perempuan berbaju hitam telah muncul di situ.
Perempuan-perempuan berbaju hitam itu semuanya memakai baju pendek dengan
ujung lengan lebar, rambutnya disanggul tinggi, setiap orang menggenggam sebilah
golok panjang sempit dan sebilah pisau pendek terselip di pinggang.
Bersamaan itu pula, dari balik rumah gubuk berjalan keluar dua orang, seorang
mengenakan baju warna hijau dan yang lain berjubah biru.
Yang memakai baju hijau itu adalah Kim Lik-giok, sedangkan yang memakai jubah
biru belum pernah dijumpainya. Akan tetapi usia maupun kedudukan perempuan berjubah biru ini agaknya di atas
Kim Lik-giok, ditinjau dari dandanannya jelas dia adalah seorang perempuan asing
suku Ainu. Begitu muncul ia lantas membentak, "Tahan!"
Bahasa yang dipergunakan adalah Bahasa Han, akan tetapi logatnya kaku sehingga
kedengarannya sangat lucu. Tong-popo dan Ho Leng-hong segera menarik kembali serangannya sambil mundur
ke belakang, serentak para perempuan Ainu yang berada di sekeliling tempat itu
bergerak maju dan mengurung kedua orang itu rapat-rapat.
Tong-popo kelihatan tercengang, serunya, "Nona ini adalah . . . ."
"Dia adalah Toasuci," jawab Kim Lik-giok, "bernama Kim Lam-giok, ketua
perkumpulan kami." Kim Lam-giok! Ketua Ci-moay-hwe! Tanpa terasa Ho Leng-hong berpaling ke arah perempuan itu, usia Kim Lam-giok
baru 26 " 27 tahun, amat cantik dan sedikit agak genit, diam-diam hatinya tergiur
juga.

Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu Tong-popo tersenyum ketika mengetahui bahwa perempuan itu adalah
ketua Ci-moay-hwe, katanya cepat, "O, rupanya Toakongcu, terimalah hormatku."
"Tak usah banyak adat," sahut Kim Lam-giok ketus, "Benarkah apa yang kau
ucapkan tadi?" "Aku dengan perkumpulan kalian telah mengikat tali persahabatan, untuk apa aku
berbohong?" "Tapi, mengapa kau menderita kekalahan sedemikian mengenaskan" Kenapa
Sammoay bisa terjebak dalam Mi-kok?"
"Semuanya itu adalah gara-gara orang she Ho ini . . ." sahut Tong-popo sambil
menuding Ho Leng-hong dengan ujung goloknya.
Secara ringkas diceritakannya bagaimana Ho Leng-hong dan Tong Siau-sian
memasuki istana es, bagaimana Kim Hong-giok terluka dan bagaimana nenek Po
memberikan kesaksiannya . . . . Tampaknya Lam-giok tidak tertarik pada urusan Tong-popo berebut kekuasaan
dengan Tong Siau-sian, semua perhatiannya hanya tertuju pada soal Kim Hong-giok,
kembali ia tanya, "Kalau Sammoay terluka, mengapa kau tidak membawanya kemari"
Kenapa kau meninggalkannya dalam lembah?"
"Setelah terluka parah, Samkongcu tidak leluasa untuk bergerak, terpaksa
kusembunyikan di dalam gua di balik gunung-gunungan dalam taman Tiang-lo-wan,
tempat itu sangat rahasia dan tak mungkin bisa ditemukan orang, setelah urusanku
gagal, sebetulnya aku hendak menolongnya kabur, tapi orang she Ho ini mengikuti
diriku terus menerus, dalam keadaan demikian terpaksa kupancing ia kemari. Bila
Hwecu ingin menolong Samkongcu, silakan membekuk Ho Leng-hong lebih dulu,
kemudian kita bersama-sama kembali ke Mi-kok dan melenyapkan Tong Siau-sian,
tentu Samkongcu bisa kita selamatkan."
Kim Lam-giok mendengus, "Hmm, maksudmu kami harus membantumu untuk
melenyapkan musuh tangguhmu lebih dulu, kemudian mengantarmu pulang untuk
menjadi penguasa Mi-kok?" "Tidak, aku tidak bermaksud begitu," sahut Tong-popo cemas, "setelah terjebak
dalam lembah, keadaan Samkongcu berbahaya sekali, kita tak bisa mengulur waktu
lagi, kendatipun kalian membantuku, sama artinya menolong Samkongcu, tindakan
ini akan menguntungkan kedua pihak."
"Ya, tapi urusan beradu jiwa dengan musuh, kauminta Ci-moay-hwe melakukannya
bagimu?" "Sebetulnya kita tak perlu beradu jiwa dengan musuh," kata Tong-popo lagi, "Ho
Leng-hong adalah calon suami Tong Siau-sian, asal kita berhasil membekuknya, tidak
sulit untuk memaksa Tong Siau-sian menuruti kehendak kita!"
"Kalau begitu, silakan kau sendiri membekuk orang itu!"
"Tapi . . ." Tong-popo menjadi sangsi, "orang ini telah berhasil menguasai golok
lembah kami, dengan kekuatanku seorang sulit merobohkan dia ...."
"Lantas apa gunamu kecuali berpeluk tangan menunggu hasil yang menguntungkan,
apa yang bisa kau lakukan?" bentak Kim Lam-giok.
Sambil mengulap tangannya ia lantas berseru, "bunuh orang itu . . . ."
Belum habis ucapannya, Kim Lik-giok yang berada di sampingnya tiba-tiba menyela,
"Tunggu sebentar, masih ada persoalan hendak kutanyakan padanya."
Perempuan Ainu yang berada di sekeliling telah mengangkat golok tinggi-tinggi
sambil maju memperkecil lingkaran kepungan, mereka telah siap melancarkan
serangan. "Tong-popo," kata Lik-giok kemudian, "kita telah bekerja sama, adalah pantas kalau
masing-masing berusaha dengan sepenuh tenaga dan saling tolong-menolong, kini
Sammoay terluka, kau tidak melindunginya, sebaliknya malah kabur sendiri, tak
heran kalau Toaci menjadi marah."
"Kalian hanya menyalahkan diriku, kenapa tidak menyalahkan diri sendiri?" kata
Tong-popo dengan marah, "ketika Kim Hong-giok menyeludup ke dalam istana es
untuk mencuri belajar Ang-siu-to-hoat, sebelumnya ia tak pernah memberitahukan
apa-apa kepadaku, tapi setelah kejadian itu aku telah menyembunyikan dia, apakah
akupun salah?" "Tentu saja bukan seluruhnya kesalahanmu, aku ingin tanya padamu, benar amankah
tempat sembunyi Sammoay?" "Tanggung . . ." "Tanggung tidak aman!" tiba-tiba seorang menyela ucapan Tong-popo.
Menyusul ucapan tersebut, serombongan besar bayangan orang melayang ke atas
tanah lapang . . . . mereka adalah kedua belas jago "kelompok benang biru" yang
memimpin empat puluhan orang pasukan berbenang hitam yang tergabung dalam
Bok-lan-pek-tui. Di tengah berkelebatannya bayangan merah, dalam waktu singkat puluhan
perempuan pendek berbaju hitam suku Ainu itu sudah terkepung.
Sebagai pemimpinya bukan lain adalah Tong Siau-sian. Kokcu lembah Mi-kok,
sedang yang berbicara adalah Pang Wan-kun.
Dua anggota Bok-lan-pek-tui menggotong sebuah pembaringan kayu, di atas
pembaringan membujur tubuh Samkongcu Kim Hong-giok yang tertutuk jalan
darahnya. Air muka Kim Lam-giok dan Kim Lik-giok berubah menjadi pucat seperti mayat,
mereka menatap Kim Hong-giok yang berada di pembaringan dengan rasa cemas dan
gelisah. Keadaan Tong-popo lebih mengenaskan lagi, ibaratnya seekor anjing liar yang
menghadapi jalan buntu, dengan sinar mata yang penuh rasa cemas ia celingukan ke
sana kemari sambil berusaha keras mencari kesempatan untuk kabur.
Tapi hampir ratusan orang telah mengepung sekeliling tempat itu, cahaya golok
berkilauan, apa lagi di sampingnya masih berdiri seorang Ho Leng-hong yang
mengawasinya tanpa berkedip, ingin kabur" Jelas bukan pekerjaan gampang.
Walaupun Pang Wan-kun tidak mengenakan seragam Mi-kok, kini ia merupakan
seorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Mi-kok, terdengar ia berseru
dengan suara lantang, "Ci-moay-hwe bukan saja berani memasuki tempat terlarang
lembah kami dan mencuri belajar ilmu silat kami, kalian pun berani pula melindungi
buronan lembah kami, bicara soal kesalahan kalian pantas dihukum mati, bila ada di
antara kalian yang mau melepaskan senjata dan menyerahkan buronan, Kokcu kami
bersedia mengampuni dosa kalian dengan memberi jalan hidup. Nah, sekarang siapa
yang ingin hidup dan siapa ingin mati terserah pada pilihan kalian sendiri."
Kim Lam-giok dan Kim Lik-giok tidak bicara apa-apa, kedua puluh orang
perempuan Ainu pun tak ada yang melepaskan senjata, jelas kendatipun mereka
merasa tak bisa menang menghadapi lawan lihai, namun mereka pantang menyerah
dengan begitu saja. Menyaksikan keadaan ini, Pang Wan-kun berpaling ke arah Tong Siau-sian, gadis
itupun mengangguk. Hal ini berarti segala sesuatunya telah diserahkan kepada Pang Wan-kun untuk
memutuskan. Dengan wajah serius pelahan Pang Wan-kun mengangkat tangan kanannya, lalu
berkata, "Kalian sendiri yang mencari mampus, jangan menyesal jika pihak kami
tidak memberi kesempatan lagi kepada kalian!"
Baru saja ia hendak menitahkan anak buahnya untuk melancarkan serangan, tiba-tiba
Kim Lam-giok menengadah sambil tertawa terbahak-bahak....
"Hei, kematian sudah berada di ambang pintu apa yang kau tertawakan?" bentak
Wan-kun. "Benar, ilmu golok Ang-siu-to-hoat dari Mi-kok memang tiada tandingan di dunia
ini, apalagi dengan jumlah orang yang banyak, bila terjadi pertarungan mungkin saja
Ci-moay-hwe kalah, tetapi sebelum menderita kekalahan total, kami pun tak akan
melepaskan orang yang berada di tangan kami.
Sambil berpaling ke arah rumah gubuk, bentaknya, "Suheng, gusur ke keluar orangorang
itu!" Dari dalam rumah gubuk terdengar suara orang menyahut, menyusul muncul
serombongan orang, orang pertama adalah laki-laki setengah umur bertubuh pendek
tapi kekar, di belakangnya mengikuti dua orang laki-laki berbaju pendek dan
menggusur seorang lelaki dan seorang perempuan.
Lelaki itu berusia lima puluhan, berwajah keren, bermuka merah, beralis tebal dan
dibelenggu oleh tali sekujur badannya sehingga mirip seorang tawanan.
Yang perempuan adalah Hui Beng-cu, iapun dibelenggu kencang dengan golok
dipalangkan pada tengkuknya. "Ho Leng-hong!" kata Kim Lam-giok kemudian, "tahukah kau siapa tawanan lakilaki
ini" Jika kau ingin tahu, silakan tanya sendiri kepada Pang Wan-kun!"
"Tak perlu tanya, aku tahu dia pastilah pemilik gedung Hiang-in-hu dari Hu-yong,
Tay-yang-to (golok matahari) Hui Pek-ling!"
"Hahaha, kau memang pintar sekali!" kata Kim Lam-giok sambil tertawa, "Kalau
begitu, kau tentu mengetahui bukan, seandainya orang-orang Mi-kok sampai turun
tangan, apa yang akan kuperbuat terhadap kedua orang ayah dan anak ini?"
Hawa amarah terpancar dari wajah Ho Leng-hong, bentaknya dengan menahan
geram, "Perselisihan kalian dengan Mi-kok apa sangkut pautnya dengan mereka ayah
dan anak" Tidakkah kau merasakan perbuatanmu itu terlalu rendah dan kotor?"
"Mereka ayah dan anak mempunyai hubungan dengan kau, dan kau adalah tamu
agung Mi-kok, asal kaumau tampil ke depan, perselisihan di antara kedua pihak baru
bisa terselesaikan," jawab Kim Lam-giok dengan tertawa.
Leng-hong hanya mendengus dan tidak berkata apa-apa.
Kembali Kim Lam-giok berkata, "Kami tidak mempunyai permintaan lain, aku hanya
ingin menggunakan kedua orang ini untuk ditukar dengan Sammoayku Hong-giok,
kemudian Ci-moay-hwe akan segera angkat kaki dari Tay-pa-san ini, mengenai Tongpopo,
kuserahkan penyelesaiannya kepada kalian, entah bagaimana pendapat Hotayhiap
dengan syarat ini?" Belum sempat Ho Leng-hong menjawab, dengan gusar Tong-popo telah berteriak,
"Perempuan busuk, lantaran posisiku sudah tersudut, maka kau "setelah menyeberang
sungai lantas menghancurkan jembatan?" Hm, terus terang kuberitahukan padamu,
tidak segampang itu rencanamu bisa terpenuhi, bila aku si nenek tak mampu
meloloskan diri, kalian perempuan asing busuk juga jangan harap bisa meninggalkan
tempat ini dengan selamat." "Hei, apa gunanya kau marah kepada kami?" ejek Kim Lam-giok, "bukannya aku tak
sudi membantumu, adalah kau yang mencelakai Sammoay lebih dahulu!"
Kemarahan nenek Tong tak terkendalikan lagi, tiba-tiba ia putar goloknya dan
menerjang ke arah rumah gubuk itu. Begitu dia turun tangan, serentak perempuan-perempuan Ainu yang berada di
sekeliling sanapun turun tangan mengalanginya, serentak cahaya golok dan bentakan
nyaring lantas berjangkit di sana sini.
Sekalipun jumlah perempuan Ainu itu sangat banyak, ilmu golok mereka jauh
ketinggalan bila dibandingkan Ang-siu-to-hoat dari Mi-kok, begitu pertarungan
berkobar, beruntun empat lima orang telah terluka, Tong-popo berhasil menerobos
lingkaran tersebut. Tapi di luar lingkaran kepungan perempuan Ainu itu masih ada sekelompok besar
anak murid Mi-kok. Dengan tenaga dalamnya yang sempurna, secara nekat Tong-popo menerjang.
"Cegat jalan perginya, mati atau hidup, bekuk dia!" bentak Pang Wan-kun.
Empat jago "benang biru" serentak maju bersama mengadang jalan pergi Tong-popo.
Waktu itu Tong-popo mulai menyadari lemahnya kekuatan sendiri, bukan pekerjaan
gampang untuk menembus kepungan rapat itu, tapi iapun sadar bila menyerah berati
mati, sebaliknya kalau nekat mungkin masih ada harapan untuk hidup, maka seperti
harimau terluka, goloknya diputar sedemikian rupa untuk menghadapi kepungan
musuh. Baru tiga-empat gebrakan, salah seorang lawan kena dibacok bahunya sehingga
melompat mundur. Seorang jago kelompok benang biru dengan cepat melompat maju untuk menutup
kekosongan tersebut, dengan demikian posisinya masih tetap empat lawan satu.
Makin lama Tong-popo makin nekat, di tengah bentakan-bentakan gusar yang
nyaring, kembali ia berhasil membacok roboh seorang lawan.
Begitu orang itu terluka dan mundur, segera orang lain menutupi kekosongan
tersebut, sedikitpun tidak memberi peluang bagi nenek Tong untuk melarikan diri.
Keadaan tersebut amat tidak menguntungkan nenek Tong, karena kawanan jago
benang biru berjumlah dua belas orang, sedang ia cuma seorang diri, apalagi di luar
lingkaran kepungan masih ada empat puluh orang lebih pasukan Bok-lan-tui.
Pertarungan ini betul-betul pertarungan kalap seperti seekor binatang yang terjebak,
sengit dan tegang, seperti demonstrasi kelihayan ilmu golok aliran Mi-kok, semua ini
membuat para perempuan Ainu yang berada di sekitar situ menjadi tertegun.
Baju merah saling berkelebat, cahaya golok menyilaukan mata. Bagaimanapun Tongpopo
hanya seorang diri, dalam suatu kesempatan akhirnya suatu bacokan sempat
mampir juga pada pahanya. Darah segera berhamburan membasahi pakaiannya yang berbenang perak itu, begitu
kehilangan banyak darah, tenaga makin lemah, gerakannya jadi lamban, akhirnya
lengan kiri dan pinggang juga kena bacokan.
Tong-popo tidak tahan lagi, sambil melepaskan serangan, buru-buru ia mundur
dengan sempoyongan. Tiba-tiba satu tangan memayang tubuhnya, menyusul terdengar Ho Leng-hong
menghela napas panjang, "Ai, apa gunanya saling membunuh dengan sesama saudara
perguruan, lepaskan golokmu Popo!"
Sekuat tenaga Tong-popo bermaksud menyerang pula, tapi pergelangan tangan
segera kesemutan dan golok lengkung sudah dirampas oleh Ho Leng-hong.
Segenap anggota Mi-kok menyambut kejadian itu dengan sorak kegirangan, serentak
mereka menerobos kepungan perempuan-perempuan Ainu dan berkerumun ke depan .
. . . "Jangan buru-buru turun tangan," seru Ho Leng-hong, "ada yang hendak kukatakan
lebih dulu." Dengan sebelah tangan memegang golok dan tangan lain memayang Tong-popo,
pemuda itu berkata lebih jauh, "Nona Tong, bersediakah kau mengabulkan
permintaanku?" "Kenapa" Kau ingin mintakan ampun baginya?"
"Sebenarnya aku tidak berhak mintakan ampun bagi Tong-popo yang telah
melanggar peraturan Mi-kok, tapi bagaimanapun dia adalah ahli waris Ang-ih Huinio,
ia keblingar dan melakukan kesalahan besar lantaran kemaruk kekuasaan, apakah
nona bersedia memandang hubungan persaudaraan dan mengampuni jiwanya"
Biarkan dia hidup sampai akhir hayatnya alam lembah dengan status sebagai orang
hukuman!" Tong Siau-sian mengernyitkan alis, lalu berkata, "Ia telah menipumu masuk ke istana
es, berulang kali ingin mencelakai jiwamu, apakah kau telah melupakan semua itu?"
Ho Leng-hong tertawa getir, "Bila mana bisa mengampuni orang, ampunilah dia! Ia
sudah tua dan paling banter hidup beberapa tahun lagi, apa salahnya kalau kita
ampuni jiwanya dan memberi kesempatan kepadanya untuk melewatkan sisa-sisa
kehidupannya saat ini?" Tong Siau-sian termenung sejenak akhirnya ia mengangguk, "Baiklah, kukabulkan
permintaanmu, tapi ilmu silatnya harus dipunahkan dan sepanjang hidupnya ditahan
dalam penjara!" "Terima kasih, nona!" Leng-hong segera memberi hormat.
Ia lantas melepaskan golok mestika Yan-ci-po-to dari punggung Tong-popo,
menutuk jalan darahnya dan menyerahkan nenek itu kepada dua orang petugas
benang biru untuk menggusurnya pergi.
Semua perempuan Ainu yang berada di sekitar situ dapat mengikuti adegan tersebut,
mereka sama terharu sehingga banyak di antaranya tanpa sadar menurunkan
samurainya masing-masing. Ho Leng-hong menyapu pandang sekejap wajah orang-orang di sekelilingnya, lalu
dengan suara lantang berkata, "Kalian semua adalah perempuan baik-baik bangsa
Ainu, kenapa kalian mau diperalat orang dan jauh-jauh menyeberangi lautan datang
ke Tionggoan untuk mengantar kematian" Ketahuilah, laki-laki dan perempuan secara
kodrat mempunyai kewajiban yang berbeda, perempuan Ainu terkenal bijak dan alim,
apa gunanya kalian datang ke wilayah Tionggoan sini" Apakah kalian tidak rindu
pada orang tua yang berada di negerimu sendiri?"
Perempuan Ainu itu saling pandang tak seorang pun bersuara atau memberi
komentar. "Ho Leng-hong, jangan kau memecah belah kekuatan Ci-moay-hwe!" teriak Kim
Lam-giok, "kami perempuan bangsa Ainu sudah muak dan tak tahan diperbudak oleh
kaum pria macam kau, sebab itu kami mengambil keputusan untuk mendirikan Cimoay-
hwe, kamipun ingin membuat kaum lelaki merasakan bagaimana rasanya kalau
ditindas dan diperbudak orang."
"Sekalipun demikian, sepantasnya kaudirikan Ci-moay-hwe di negerimu sendiri yang
menindas dan memperbudak kalian dan bukan laki-laki bangsa Tionggoan, apa
gunanya kalian bikin kacau di wilayah Tionggoan kami?"
"Ini . . . ." seketika Kim Lam-giok terbungkam, tapi setelah berpikir sebentar,
katanya lagi, "hal ini disebabkan daratan Tionggoan sangat luas dan rakyatnya
banyak, kami akan mendirikan Ci-moay-hwe di sini lebih dulu, setelah daratan
Tionggoan kami kuasai, tidaklah sulit bagi kami untuk menguasai bangsa Ainu."
Ho Leng-hong tersenyum, katanya, "Sayang perempuan Tionggoan kebanyakan
berwatak bajik, tak mudah mereka terpengaruh, kalau tidak percaya tanyalah kepada
puluhan orang perempuan Tionggoan yang hadir di sini, siapa di antara mereka yang
mau menggabungkan diri dengan Ci-moay-hwe?"
Puluhan anggota Mi-kok sama tergelak, mereka merasa persoalan Ci-moay-hwe ini
sangat lucu dan tak seorang pun tertarik untuk menjadi anggota.
Tiba-tiba Leng-hong berkata dengan kereng, "Masalah Tong-popo telah berakhir,


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti apa yang dijanjikan oleh Mi-kok Kokcu, barang siapa ingin pulang ke negeri
asalnya dalam keadaan hidup boleh segera membuang senjatanya ke tanah, masingmasing
akan diberi pesangon seratus tahil perak untuk ongkos pulang, kalau tidak,
maka Tay-pa-san akan menjadi kuburan kalian untuk selamanya."
Baru selesai ia berseru, belasan orang di antara dua puluhan perempuan Ainu itu
membuang senjata mereka dan mengundurkan diri ke samping.
Buru-buru Kim Lam-giok membentak dengan bahasa Ainu, ternyata bentakan itu tak
ada gunanya, kembali ada beberapa orang membuang senjata mereka.
Kim Lik-giok menjadi gugup, katanya dengan agak gemetar, "Ho-tayhiap, kami tidak
ingin memusuhi dirimu, asalkan Sammoay Hong-giok dilepaskan, kami segera akan
angkat kaki dari sini." "Ya, kalau tidak terpaksa kami akan bunuh Hui Pek-ling dan putrinya lebih dulu,
kemudian baru bertarung mati-mati melawanmu," sambung Kim Lam-giok.
Ho Leng-hong menggeleng kepala, "Kim Hong-giok telah mencuri belajar ilmu
aliran Mi-kok, perbuatannya itu melanggar peraturan Mi-kok, aku tidak berhak
melepaskannya, kalau kalian berani melukai ayah dan anak keluarga Hui itu, jangan
harap kalian bisa lolos dengan selamat."
"Barusan kau telah mintakan ampun bagi Tong-popo, sekarang apa salahnya
kamipun mintakan ampun buat saudaraku?" pinta Kim Lik-giok.
"Tong-popo adalah anggota lembah, sebaliknya Kim Hong-giok hendak
meninggalkan lembah ini, jadi aku tak bisa memintakan ampun baginya."
Kim Peng yang sejak tadi membungkam mendadak membentak, "Ho Leng-hong,
jangan latah, kalau punya kepandaian, beranikah bertaruh denganku?"
"Bertaruh bagaimana?" tanya Leng-hong.
"Beranikah kau berduel denganku tanpa menggunakan ilmu golok aliran Mi-kok, jika
kau menang, kami bersedia membubarkan Ci-moay-hwe, semuanya bergabung
dengan Mi-kok dan selamanya tidak pulang ke negeri asal."
"Seandainya aku kalah?" tanya Ho Leng-hong sambil tertawa.
"Kalau kaukalah, maka harus kausuruh Tong Siau-sian membubarkan Mi-kok dan
bergabung dengan Ci-moay-hwe, Mi-kok akan menjadi pusat markas besar
perkumpulan Ci-moay-hwe kami."
"Maaf, aku tak dapat menerima taruhan seperti itu, karena Mi-kok bukan milikku,"
kata Leng-hong sambil menggeleng kepala.
"Kau tidak berani menerima tantanganku?" ejek Kim Peng sambil tertawa dingin.
"Bukannya tidak berani, aku tak bisa menyanggupi . . . ."
"Aku setuju!" mendadak seorang menyambung.
Orang itu ternyata adalah Tong Siau-sian.
Leng-hong melenggong, katanya cepat, "Nona, persoalan ini bukan masalah kecil,
Mi-kok mempunyai aturan leluhur yang ketat, andaikata . . . ."
"Tak ada andaikata, aku percaya kau pasti akan merebut kemenangan."
"Sudah lama Kim Peng berdiam di wilayah Leng-lam," kata Leng-hong dengan
kening berkerut, "ia sudah apal sekali Tay-yang-sin-to (tiga belas bacokan panas
matahari) dari Hiang-in-hu, aku tidak mempunyai keyakinan akan menangkan
perarungan ini." Tong Siau-sian tertawa, "Dia Cuma berlatih ilmu golok dan tak pernah berlatih ilmu
pedang, lagipula kecuali Ang-siu-to-hoat, di dunia dewasa ini ada ilmu golok macam
apakah yang sanggup menandingi Poh-in-pat-tay-sik (delapan jurus sakti pembuyar
mega) kemahiranmu itu?" "Kokcu sendiri tidak kuatir, apalagi yang kaukuatirkan?" bisik Pang Wan-kun, "turun
tanganlah, beri ajaran setimpal pada si kate itu!"
Kenyataannya tidak mengizinkan Ho Leng-hong untuk bersangsi lebih lama, karena
waktu itu Kim Peng dengan langkah lebar telah menuju ke tengah arena, semenara
perempuan-perempuan Ainu serta anggota Mi-kok yang berada di tanah lapang telah
mengundurkan diri dari situ. Terpaksa Ho Leng-hong mengangkat bahu, setelah menyelipkan Yan-ci-po-to ke ikat
pinggang, sambil menenteng golok lengkung ia menyongsong ke depan.
Setelah kedua orang itu berdiri berhadapan, ternyata Ho Leng-hong lebih tinggi satu
kepala daripada Kim Peng, sebaliknya pinggang Kim Peng satu kali lebih besar
dibandingkan pinggang Ho Leng-hong.
Yang satu langsing dan jangkung, yang lain kekar dan pendek, masing-masing telah
mengambil posisi siap tempur. Ho Leng-hong membawa dua bilah golok, Kim Peng juga memegang samurai
panjang dan sebilah pedang pendek. "Ingat!" kata Kim Peng kemudian sambil menengadah, "kau tak boleh menggunakan
Ang-siu-to-hoat dari Mi-kok!" "Jangan kuatir!" sahut Leng-hong sambil mengangguk.
"Kita tidak membatasi jumlah jurus, pokoknya menang-kalah ditentukan bila salah
seorang terkena, barang siapa berhenti di tengah jalan, dia dianggap kalah."
"Boleh!" "Untuk memperoleh kemenangan, semua pihak diperkenankan mempergunakan cara
apapun, tapi hanya terbatas saling menutul saja."
"Baik!" Tiba-tiba Kim Peng berseru ke arah belakang Ho Leng-hong, "Hei, nona, harap
mundur sedikit, tidak boleh membantu secara diam-diam!"
Ho Leng-hong mengira ada orang hendak membantunya secara diam-diam, cepat ia
berpaling . . . . . Pada saat ia berpaling itulah cahaya golok secepat kilat menggulung pinggangnya.
Ternyata Kim Peng hanya pura-pura membentak untuk mengalihkan perhatian
pemuda itu, lalu ia menyergap secepat kilat.
Karena tidak menyangka, hampir saja Ho Leng-hong termakan serangan itu, buruburu
ia bergeser ke samping dan putar badan . . . . .
Kendatipun tebasan itu berhasil dihindari, tapi Kim Peng telah berhasil merebut
posisi di atas angin, samurainya berputar sedemikian rupa sehingga berwujud satu
lingkaran sinar, dalam sekejap ia telah melancarkan tujuh-delapan kali tebasan maut.
Di bawah tekanan musuh yang bertubi-tubi, Ho Leng-hong tak sempat menghentikan
gerak tubuhnya, dia terdesak mundur sejauh satu tombak lebih, ia membentak dan
segera ayun goloknya untuk menangkis dengan keras lawan keras.
"Trang!" mendadak Ho Leng-hong merasa tangannya menjadi ringan, ternyata golok
lengkung itu patah menjadi dua. Ho Leng-hong jadi teringat pada cerita Hui Beng-cu, dikatakan bahwa ayahnya, Hui
Pek-ling, terpikat oleh Kim Lam-giok lantaran ingin mencari sebilah golok mestika,
rupanya golok mestika yang berada di tangan Kim Peng inilah yang dimaksudkan.
Padahal golok lengkung juga golok pilihan, siapa sangka sekali bentrok lantas kutung
menjadi dua, pantas Kim Peng seperti begitu yakin pada pertarungan ini, rupanya ia
mengandalkan golok mestika tersebut.
Tanpa senjata di tangan, posisi Ho Leng-hong menjadi berbahaya, terpaksa ia buang
gagang golok itu, ia berjumpalitan di udara dan melayang lewat di atas kepala Kim
Peng, kesempatan itu dipergunakan melolos golok mestika Yan-ci-po-to yang terselip
di pinggang itu. Kendatipun Yan-ci-po-to telah dipoles dengan cairan air raksa sehingga menutupi
ketajamannya, paling sedikit ia tak kuatir goloknya akan terpapas kutung lagi.
Oleh sebab itu, begitu melayang turun ia lantas mengembangkan goloknya dan
melancarkan serangan balasan. Kim Peng masih juga berusaha untuk mengutungi Yan-ci-po-to, tapi setelah beberapa
kali bentrokan tidak berhasil, ia mulai kuatir dan ketakutan.
Dengan demikian, Ho Leng-hong dapat merebut kembali posisinya, ia mendesak
maju terus. Dalam paniknya Kim Peng ganti serangan, kali ini dia khusus menyerang tiga arah
bagian bawah lawan, dengan potongan badan yang pendek, ia mengelilingi kaki Ho
Leng-hong dengan gerakan cepat dan mengembangkan ilmu golok Tay-yang-sin-to
dari Hiang-in-hu. Tay-yang-sin-to ini bukan cuma bergerak cepat, sewaktu dikembangkan golok itu
memancarkan hawa berwarna merah darah bagaikan kobaran api.
Tentu saja untuk memainkan ilmu golok Tay-yang-sin-to ini banyak tenaga dalam
yang harus digunakan. Tapi Kim Peng seperti memiliki tenaga yang tiada habisnya, permainan goloknya
kian lama kian cepat, di antara putaran goloknya, kabur merah menyelimuti angkasa
dan seakan-akan mengurung Ho Leng-hong dalam sebuah tungku api yang membara.
Hawa udara yang panas tentu saja tidak enak, ditambah lagi Ho Leng-hong yang
jangkung harus menghadapi lawan yang cebol, keadaan ini sangat tidak
menguntungkan dia, tak lama kemudian sekujur badannya sudah basah kuyup oleh
keringat. Tapi iapun berhasil menemukan sesuatu yang aneh . . . golok mestika Yan-ci-po-to
seakan-akan kian lama kian bertambah tajam.
Ia jadi teringat pada pesan Pang Goan, bahwa mata golok Yan-ci-po-to telah dipoles
dengan air raksa sehingga kelihatannya tumpul, tapi kalau digarang api sehingga air
raksa meleleh, maka ketajamannya akan pulih kembali, jangan-jangan lantaran Kim
Peng menggunakan ilmu golok Tay-yang-sin-to, maka air raksa pada mata golok
menjadi meleleh" Ho Leng-hong masih juga tidak percaya, pada suatu kesempatan, tiba-tiba ia
membacok tubuh lawan dengan sepenuh tenaga.
Sesungguhnya Kim Peng mempunyai peluang untuk berkelit, tapi diam-diam timbul
hawa napsu membunuhnya. Mendadak golok di pindah ke tangan kanan, kaki
setengah berlutut, dengan jurus Heng-ka-kim-ko (menangkis melintang batang emas)
ia sambut bacokan lawan dengan keras lawan keras, sementara tangan kiri secepat
kilat melolos pisau pendek dari pinggang dan menikam lambung anak muda itu.
Jurus serangan ini benar-benar ganas dan keji Tong Siau-sian menjerit saking
terkejutnya. Keadaan waktu itu memang gawat, tangkisan samurai Kim Peng telah mengunci mati
golok Ho Leng-hong, sementara tikaman tangan kiri berlangsung dalam jarak yang
amat dekat, serangan yang tidak terduga . . . .
Serentak jeritan ngeri berkumandang menggetar perasaan setiap orang.
Hampir setiap orang yang berada di situ menganggap Ho Leng-hong pasti terluka,
tapi kenyataannya ternyata tidak. Yang terluka sebaliknya adalah Kim Peng, golok panjangnya kutung, bahkan seluruh
lengan kirinya ikut terpapas kutung juga, darah membasahi sebagian besar tubuhnya
dan ia sendiri roboh tak sadarkan diri.
Tangan kirinya yang menggenggam golok pendek itu tergeletak di samping kaki Ho
Leng-hong, ujung jolok itu sempat melubangi jubah luar yang dikenakan anak muda
itu. Ho Leng-hong berdiri termangu di situ sambil mengawasi golok mestika Yan-ci-poto
itu dengan terkesima, tampak bingung dan tak habis mengerti.
Tiba-tiba Kim Lam-giok menjerit, "Orang she Ho, kau benar-benar rendah dan tak
tahu malu, tadi telah janji hanya terbatas saling menutul saja kenapa sekarang kau
gunakan serangan sekeji ini?" Sepatah katapun Ho Leng-hong tidak bersuara, ia hanya menutuk jalan darah sekitar
luka Kim Peng, lalu mengangkatnya bangun.
"Lepaskan dia! Lepaskan dia...." bentak Kim Lam-giok dengan gusar.
Leng-hong tetap membungkam, ia menerobos kepungan orang Mi-kok dan berhenti
di hadapan Tong Siau-sian, tanyanya lirih, "Apakah nona membawa obat penghenti
darah?" Tong Siau-sian mengangguk, Pang Wan-kun segera mengeluarkan sebutir pil dan
diangsurkan. Ho Leng-hong mencekokkan obat itu ke mulut Kim Peng, kemudian katanya, "Aku
telah salah melukainya, untuk membayar kesalahan ini, bersediakah nona memenuhi
suatu permintaanku?" "Katakanlah, asal aku sanggup pasti kukabulkan."
"Harap nona membebaskan Kim Hong-giok, biar mereka membawa Kim Peng pergi,
segala akibatnya akan kutanggung sendiri."
Tong Siau-sian ragu-ragu sejenak, katanya, "Apakah kaulupa bahwa Kim Hong-giok
telah mencuri belajar Ang-siu-to-hoat kita" Melepaskan harimau kembali ke gunung
hanya akan mendatangkan bencana bagi kita di kemudian hari."
Leng-hong mengangguk, "Aku akan menunggu sampai mereka berhasil meyakini
Ang-siu-to-hoat, lalu menentukan suatu tempat untuk berduel lagi, bagaimanapun aku
tak ingin orang asing menertawakan bangsa kita yang cuma sanggup menyerang
orang yang sedang susah!" Mencorong tajam sinar mata Tong Siau-sian, katanya sambil tertawa, "Baik, sebagai
bangsa yang besar harus memiliki jiwa ksatria seperti itu."
Ia lantas memberi tanda, dua orang pengawal lantas membebaskan Kim Hong-giok
dari pengaruh tutukan. "Padahal kaupun tak perlu menyalahkan diri sendiri," bisik Pang Wan-kun kemudian,
"apa yang terjadi dapat kita saksikan dengan jelas, caramu melukainya dengan tidak
sengaja, sebaliknya dia yang berhati keji dan bermaksud merenggut nyawamu...."
Ho Leng-hong tertawa hambar, "Bangsa Ainu tersohor berpandangan picik dan
berjiwa sempit, bagaimanapun yang terluka kan dia."
Bicara sampai di sini, ia lantas serahkan Kim Peng kepada Kim Hong-giok, katanya,
"Kutahu nona telah mengikuti kejadian tadi dengan mata kepala sendiri, semua budi
dan dendam hanya menyangkut aku orang she Ho seorang dan sama sekali tak ada
hubungannya dengan ayah dan anak keluarga Hui, kuharap nona segera mengambil
keputusan." Kim Hong-giok manggut-manggut, sambil mengangkat tubuh Kim Peng ia berjalan
ke rumah gubuk. Tapi baru beberapa langkah, mendadak ia berpaling dan berkata, "Apakah semua
keputusanku akan kauterima?" "Tentu saja!" "Kau tidak menyesal?" "Pasti tidak!" Kim Hong-giok tertawa, ia percepat langkahnya dan kembali ke rumah gubuk itu.
"Apakah perlu kita kepung rumah gubuk itu untuk mencegah niat jahat mereka
melukai ayah dan anak keluarga Hui?" tanya Wan-kun kemudian.
"Aku rasa tidak perlu," jawab Leng-hong sambil menggeleng, "aku percaya Kim
Hong-giok bukan manusia semacam itu."
Akan tetapi kejadian selanjutnya ternyata di luar dugaan mereka semua.
Sekembalinya ke rumah gubuk, Kim Hong-giok sama sekali tidak membebaskan Hui
Pek-ling dan Hui Beng-cu, setelah tiga bersaudara seperguruan itu berunding sejenak
mereka mengantar Kim Peng masuk ke dalam rumah, kemudian Kim Lam-giok
tampil ke depan dan berkata, "Harap Nyo-hujin dari Thian-po-hu datang kemari
sebentar untuk merundingkan sesuatu."
"Permainan apalagi yang hendak dilakukan perempuan asing ini?" bisik Wan-kun
agak bingung. "Penuhi saja permintaan mereka, jangan kuatir," ujar Leng-hong, "tampaknya
mereka tidak bermaksud jahat, kalau tidak, tak mungkin dia memanggilmu dengan
sebutan demikian." Tong Siau-sian ikut berkata, "Ya, sebelum meninggalkan Tay-pa-san, tak nanti
mereka berani melukaimu, mungkin saja mereka hendak merundingkan syarat
meloloskan diri dari sini." Terpaksa Wan-kun memberanikan diri menuju ke rumah gubuk itu, kedatangannya
segera disambut oleh Kim Lam-giok dan diajak masuk ke dalam rumah, selang
sejenak Wan-kun muncul kembali seorang diri.
Sekembalinya dari rumah gubuk itu, ternyata ia menghindari Ho Leng-hong dan
langsung mengajak Tong Siau-sian ke samping serta berbisik-bisik dengan suara lirih.
"Hei, apa yang kalian rundingkan?" tak tahan Ho Leng-hong lantas menegur.
Tong Siau-sian tidak menjawab, tapi ia segera menitahkan pasukannya kembali ke
Mi-kok. Leng-hong bingung sekali, ia berdiri termangu dan tak tahu apa gerangan yang
terjadi. "Sudahlah, jangan melongo saja," tegur Wan-kun sambil tertawa misterius, "mari
kita pulang dulu ke Mi-kok, persoalan ini sebentar pasti akan kuberitahukan padamu."
"Secara teratur pasukan Bok-lan-tui membubarkan kepungan dan kembali ke lembah,
ternyata para perempuan Ainu bekas anggota Ci-moay-hwe lantas membuntuti pula di
belakang mereka, kemudian empat bersaudara Kim, Hui Pek-ling dan Hui Beng-cu
sekalian juga meninggalkan rumah gubuk, ikut kembali ke Mi-kok.
Ho Leng-hong yang selama ini terkenal cerdik, kali ini benar-benar dibuat bingung
dan tidak habis mengerti oleh kejadian ini.
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***--
Upacara perkawinan diselenggarakan dalam Mi-kok bukan cuma meriah saja, bahkan
amat megah dan mewah, aneka warna lampion bergelantungan di sana sini, suasana
gembira ria meliputi seluruh pelosok lembah.
Semenjak dulu Mi-kok selalu mengadakan pesta perkawinan bagi Kokcunya, tapi tak
satu kalipun sedemikian megah dan meriah seperti upacara perkawinan sekali ini.
Karena menurut pengumuman resmi pihak Tiang-lo-wan, bahwa sejak hari
perkawinan itu, Kokcu lembah Mi-kok tidak harus lagi dijabat oleh seorang
perempuan, kedudukan itupun tidak bersifat turun-temurun lagi, setiap lelaki maupun
perempuan yang berbakat cerdik dan berhati mulia mempunyai hak yang sama untuk
menduduki jabatan Kokcu berikutnya.
Tentu saja, menyusul perubahan tata cara jabatan seorang Kokcu, banyak peraturan
lain yang kurang sesuai mengalami pula perubahan dan penambahan, semenjak itu
lembah Mi-kok tidak putus hubungan dengan dunia luar lagi, asal mereka tidak
berniat jahat, setiap saat boleh masuk ke lembah untuk berdagang ataupun menetap di
situ . . . .

Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi semua perubahan ini tidak berhasil juga membuat Ho Leng-hong paham
terhadap persoalan yang selama ini mengganjal hatinya, persoalan tersebut akhirnya
dipahami juga setelah upacara perkawinan dilangsungkan.
Ternyata pengantin perempuan yang berdiri di sisi permadani merah ada dua orang.
Yang satu adalah Tong Siau-sian sedang yang lain ialah Kim Hong-giok.
Hui Pek-ling dan Hui Beng-cu telah menjadi comblangnya, pihak Tiang-lo-wan
menjadi wali untuk Tong Siau-sian, Pang Wan-kun dengan kedudukan sebagai enso
bertindak selaku wali Ho Leng-hong, sedangkan wali untuk Kim Hong-giok ternyata
adalah Kim Peng yang kini berlengan buntung.
Kim Lam-giok dan Kim Lik-giok menjadi pendamping pengantin, bukan pengantin
perempuan yang didampingi, dengan satu di kiri dan yang lain di kanan mereka justru
mengapit Ho Leng-hong. Ho Leng-hong sendiri tidak menyangka akan digiring begitu saja, sedikit sangsi
segera ia dijepit oleh kedua orang iparnya hingga tak mampu berkutik lagi.
Dengan nada menggertak Kim Lam-giok berkata, "Tahu diri sedikit, jangan coba
kabur dari sini. Ketahuilah, untuk menjamin agar ilmu golok Ang-siu-to-hoat tak
sampai tersiar ke luar, terpaksa Sammoay menerima bujukan kami dan mau dimadu,
kalau kau berani menelantarkannya, hati-hati kalau kamipun akan menuntut dendam
terpapasnya lengan Suheng kami."
Ho Leng-hong tertawa getir, "Tapi perkawinan adalah masalah besar yang
menyangkut kehidupan seseorang, seharusnya kalian memberitahukan kepadaku lebih
dahulu." "Ah, kenapa memberitahukan padamu?" tukas Kim Lam-giok, "enso bagaikan ibu,
asal Nyo-hujin sudah setuju, apalagi yang bisa kaukatakan?"
Ya apalagi yang bisa dikatakan Ho Leng-hong"
Bagaimanapun juga mereka sudah berada di ruang upacara, tentu saja ia tak bisa
berteriak, juga tak dapat kabur, terpaksa ia "pasrah nasib" terhadap apapun yang akan
menimpa dirinya. Padahal di dunia ini pasti sangat banyak lelaki yang ingin "pasrah nasib" semacam
itu, sayang mereka tidak mujur seperti apa yang dialami Ho Leng-hong . . . .
Tamat Bara Naga 13 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bukit Pemakan Manusia 9
^