Hati Budha Tangan Berbisa 1

Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bagian 1


di http://cerita-silat.mywapblog.com
Hati Budha Tangan
Berbisa Oleh: Gan KL Di upload oleh : Andu di Indozone
Ebook oleh Dewi KZ
1.1. Pelajar Muda Berlengan Buntung
Sebuah paviliun tunggal berdiri di tengah sebuah taman dengan pepohonan yang rimbun. Paviliun itu dipajang mewah dengan macam-macam perabot yang serba antik. Seorang laki-laki setengah baya bermuka merah duduk menyanding sebuah meja perjamuan.
Ia duduk seorang diri, mulutnya menyungging senyuman sinis yang
-- membayangkan kejudasan wataknya. Matanya selalu memandang keluar ke arah jalanan kecil di tengah taman, agaknya dia sedang menunggu kedatangan seseorang.
Langkah kaki yang ringan cepat sekali mendatang dari kejauhan, tampak seorang laki-laki setengah umur berpakaian pelajar muncul dijalanan berliku di tengah taman sana, dengan langkah dan gerak gerik yang sangat hormat dia memasuki paviliun terus memberi hormat kepada laki-laki muka merah, sapanya: "Entah ada keperluan atau petunjuk apa Pocu (pemilik) memanggil hamba?"
Senyuman sinis yang terbayang di ujung mulut laki-laki muka merah sudah sirna, pelan-pelan dia gerakkan tangan kanan serta berkata dengan kalem:
"Suya, silakan duduk."
"Hamba tidak berani."
"Duduklah, hari ini ada beberapa patah kata yang ingin kusampaikan kepadamu, sebelum kita bicara, marilah kau temani aku makan minum sepuasnya."
Laki-laki setengah umur yang dipanggil Suya (guru) itu mengambil tempat duduk di sebelah samping, wajahnya menampilkan perasaan was-was, kuatir dan jeri, sorot matanya guram dan menunduk tak berani adu pandang dengan sang Pocu.
-- "Hayolah, habiskan secangkir ini, jangan sungkan dan rikuh, sengaja kusuruh koki masak beberapa hidangan istimewa ini, tanggung lezat dan nikmat, cobalah, boleh kau buktikan sendiri."
Laki-laki setengah umur berdiri sambil angkat cangkir araknya terus ditenggak habis, sekilas sorot matanya bentrok dengan orang, terus menunduk lagi dengan tersipu-sipu, rasa tidak tenteram batinnya lebih kentara pada air mukanya. Sebaliknya laki-laki muka merah bersenyum dengan riang gembira, setelah menghabiskan beberapa cangkir sambil menik?mati hidangan, tak tertahan laki-laki setengah umur buka suara.
"Pocu ada pesan apa, silakan katakan saja."
"Suya, sudah lima tahun kau berbakti dalam perkampungan ini, bukan?" tanya sang Pocu.
Laki-laki setengah umur mengiakan.
"Kau bukan orang she Sim?" Pocu menegasi.
Laki-laki setengah umur itu tersentak kaget sambil angkat kepalanya, sorot matanya membayangkan rasa takut dan ngeri, badannya gemetar, ternyata mukanya yang pucat itu kelihatan ada codet hitam bekas luka sebesar telapak tangan, kalau tanpa codet yang menyolok ini, wajah laki-laki pelajar setengah umur ini boleh terhitung laki-laki cakap.
Laki-laki muka merah tetap tersenyum lebar katanya lebih lanjut.
-- "Siangkoan Hong, terus terang aku amat kagum akan tekad dan keteguhan semangatmu, kau sengaja merusak muka, ganti she dan mengubah nama, selama lima tahun menyelundup ke dalam perkampungan kita ini, baru kemarin malam waktu kau mengadakan pertemuan rahasia dengan Samhujin di belakang taman itu baru aku tahu seluk be!uk persoalannya, ai ........."
Dari rasa jeri dan takut kini terunjuk rasa gusar dan dendam pada air muka dan sorot mata laki-laki setengah umur, mulutnya sudah terbuka hendak bicara, tapi urung.
Sikap sang Pocu rada berubah, katanya dengan nada menyesal.
"Siangkoan Hong, aku amat menyesal dan merasa bersalah terhadapmu, namun semua itu sudah menjadi kenyataan, tak mungkin diperbaiki lagi .........."
Menyalang sorot mata laki-laki setengah umur itu, katanya dengan dendam,
"Apakah Pocu tidak tahu bahwa Cu Yan-hoa sudah menikah dan sedang hamil .......?"
"Kutahu setelah peristiwa itu terjadi, menyesalpun sudah terlambat, kalian suami-istri cinta mencintai, kini dengan ikhlas kusatukan kembali kalian supaya tak berpisah untuk selamanya, anggaplah sebagai penebus kesalahanku, kelak kalau kau mau menuntut balas, aku akan menunggu kedatanganmu. Sekarang kau boleh pergi saja."
-- Berubah berulang kali air muka laki-laki setengah umur, katanya sambil menahan gejolak hatinya.
"Siangkoan Hong berterima kasih akan budi kebaikan Pocu, numpang tanya, dia .........."
"Dia sudah menunggu kau di luar kampung, silakan."
Laki-laki setengah umur angkat tangan memberi hormat terus mengundurkan diri. Lekas sekali dia sudah berada di luar perkampungan, katanya menghela napas sambil mendongak.
"Lima tahun hidup tertekan, syukurlah aku bisa bebas dan merdeka hari ini, Cuma ........."
"Pat-te (adik kedelapan)," seru seorang tiba-tiba.
Dengan kaget laki-laki setengah umur berpaling, dilihatnya seorang laki-laki berpakaian Busu bertubuh tegap kereng berdiri dibelakangnya, air mukanya menampilkan rasa kasihan, simpatik dan seperti menahan sesuatu rahasia.
"Toako, kau ........."
"Marilah kita bicara sambil berjalan."
Mereka lantas jalan berendeng menuju ke jalan besar.
"Toako, Siaute tidak sempat berpamit, harap di maafkan."
-- "Pat-te, selanjutnya pergilah ketempat jauh dan carilah satu tempat yang aman untuk menyembunyikan diri."
"Toako, bahwa aku masih hidup bersama isteri tercinta sampai sekarang adalah demi keturunan darah daging ?"."
"Kelak boleh kau berdaya, sekarang yang penting kau harus lekas lari dan menyelamatkan diri.''
"Melarikan diri?"
"Ketahuilah, aku mendapat tugas rahasia dari Pocu untuk antar kau, tentunya kau sudah tahu apa tugas yang harus kulaksanakan?"
Laki-laki setengah umur menghentikan langkahnya, suaranya gemetar,
"Jadi Toako diperintahkan untuk membunuh Siaute" Kenapa Toako tidak turun tangan?"
"Pat-te, kalau aku mau turun tangan, buat apa aku bicara dengan kau."
"Lalu cara bagaimana Toako harus bertanggung jawab kepada Pocu?"
Laki-laki tegap kereng berkata dengan suara lantang dan tegas,
-- "Sudah tentu aku juga akan minggat ketempat jauh, aku ingin bebas dari belenggu kejahatan ini, jangan kau menguatirkan diriku, aku punya perhitungan sendiri ........"
Seperti teringat sesuatu, laki-laki setengah umur bertanya dengan suara bergetar,
"Toako, lalu dia ..... ... istriku."
Berkerut-kerut kulit muka laki-laki tegap berpakaian Busu (kaum persilatan) itu, agak lama baru tercetus jawabannya,
"Pat-te, biarlah aku terus terang kepadamu, kau harus tahan dan sabar, dia sudah meninggal, hidangan yang kau makan tadi adalah daging tubuhnya ........."
Laki-laki setengah umur menjerit histeris, darah menyemprot dari mulutnya disusul muntah-muntah dengan kedua tangan menjambak rambut dan memukul kepala, rambut kepalanya sampai terbeset, darah membasahi muka dan tubuhnya, badannya limbung, mata mendelik, mulut menyeringai, siapapun akan merinding dan seram melihat mukanya. Akhirnya dia berteriak dengan suara serak,
"Bagus, Bagus. Aku betul-betul bersatu kembali dengan dia, aku
....aku makan daging tubuhnya. Hahaha ........"
Ditengah gelak tawanya yang menggila, bayangannya berkelebat pergi, akhirnya menjadi setitik hitam dan lenyap dari pandangan mata ..........
-- o0o Lima ekor kuda tengah mencongklang di jalan raya yang menuju ke kota Kayhong, yang terdepan adalah seorang pemuda berusia likuran berpakaian pelajar, wajahnya cakap bersih, sayang di tengah alisnya seolah-olah menampilkan hawa hitam yang menyebalkan, lebih menyolok lagi karena pelajar muda ini berlengan buntung.
Orang kedua adalah laki-laki tua berpakaian hitam dengan muka hijau, alis tebal mata besar, sikapnya gagah bersemangat. Tiga penunggang yang lain tampaknya adalah kaum hamba.
Terdengar laki-laki berjubah hitam itu berkata,
"Ji-kongcu, sebelum magrib kita sudah akan tiba di Kayhong, terpaksa lamaran baru bisa diajukan besok pagi ........."
Pelajar buntung tak menampilkan perasaan apa-apa, katanya dingin,
"Perintah orang tua tak bisa dibangkang, yang benar aku tiada hasrat mengajukan lamaran ini."
Berubah air muka laki-laki baju hitam, katanya serius,
"Ji-kongcu, keluarga Ciang di Kayhong kekayaannya merajai dunia, apalagi Ciang Wi-bin hanya punya puteri tunggal ........."
"Pui-congkoan." tukas pelajar buntung, "persetan dengan kekayaan keluarga Ciang, apa sangkut pautnya dengan aku, lihatlah
-- kedaanku yang serba runyam ini, apa tidak memalukan kalau aku mengajukan lamaran?"
"Kukira tidak menjadi soal......."
"Dari segi apa kau berani berkata demikian?"
"Ciang Wi-bin adalah saudara angkat ayahmu, sepuluh tahun yang lalu pernah Ciang Wi-bin berkunjung, beliau memuji bakat dan kecakapan Kongcu, maka soal jodoh ini sudah terikat sejak waktu itu, hari ini kita hanya mengajukan lamaran secara resmi menurut adat."
"Tapi keadaan sepuluh tahun yang lalu tidak begini bukan?"
"Ah, tidak jadi soal, cuma ........."
Pada saat itu, tiga ekor kuda merah mencongklang datang dari belakang, yang di depan adalah seorang gadis belia berusia 17-18
berbaju serba merah, dua orang dibelakangnya jelas adalah pelayannya.
Serta merta pelajar buntung tertarik melihat kedatangan ketiga orang ini, segera dia hentikan tunggangannya, sorot matanya menatap ke muka gadis baju merah, tertampak gadis ini beralis lentik matanya jernih mulut mungil hidung mancung, kulitnya putih halus, kecantikannya sungguh mempesonakan.
Cepat sekali ketiga penunggang kuda ini sudah mendekat, muka gadis baju merah tampak bersungut marah, sekilas dia melirik ke
-- arah pelajar buntung, alisnya berkerut dan terus melarikan kudanya lewat samping orang, salah seorang pelayan di belakangnya berludah sambil mencemooh,
"Lihat orang kok melotot seperti maling mengincar barang, biji matanya kudu dikorek keluar."
Cepat sekali kuda mereka sudah membedal kesana.
Pelajar buntung melenggong di atas kudanya, akhirnya laki-laki baju hitam buka suara.
"Ji-kongcu marilah kita lanjutkan perjalanan."
"Sudahlah, soal jodohku ini batalkan saja."
"Apa" Ji-kongcu, kau ...... kau tidak mau melamar lagi?"
Pelajar buntung itu mendengus sebagai jawaban.
Bergegas laki-laki baju hitam melompat turun, katanya dengan gugup,
"Soal ini jangan dianggap remeh."
Dingin kaku suara pelajar buntung,
"Pui-congkoan, pulanglah kau membawa ketiga orang ini."
-- "Ji-kongcu, bagaimana aku harus memberi laporan kepada Cukong (majikan) nanti?"
"Katakan saja atas kehendakku."
"Wah ........." jidat laki-laki baju hitam berkeringat, mulut terbuka mata membelalak, saking gugupnya dia tidak bisa berbicara lagi.
Bahwasanya pelajar buntung ini memang tidak setuju akan perjodohannya dengan puteri keluarga Ciang dari Kayhong, soalnya perintah orang tua tak berani ditolak, terpaksa dia menurut saja. Tak nyana di tengah jalan tiba-tiba dia bersua dengan gadis baju merah tadi, semakin tebal keyakinannya untuk membatalkan perjodohan ini. Timbul suatu keinginan dalam benaknya, dia hanya ingin menikah dengan perempuan yang dicintainya.
Sejak kecil dia memang sudah berwatak aneh, nyentrik. Calon isterinya belum pernah dilihatnya, cantik atau jelek belum diketahui, yang terang dia kesemsem pada gadis baju merah yang lewat barusan. Dia takkan membuang kesempatan baik ini untuk berkenalan, cepat dia berkata sambil mengangkat tangan.
"Pui-congkoan, beritahu kepada ayah, sekarang aku mau pergi....."
Tersipu-sipu laki-laki baju hitam itu memburu maju menarik kendali kuda, serunya gelisah,
"Ji-kongcu, jangan kau berbuat demikian."
-- Melotot mata pelajar buntung, bentaknya,
"Pui-congkoan, tentunya kau sudah tahu watakku?"
Sorot matanya yang tajam membuat laki-laki baju hitam menyurut jeri sambil lepaskan tangannya, pelajar buntung lantas keprak kudanya. Laki-laki baju hitam membanting kaki, cepat dia cemplak kudanya dan berkata pada ketiga pengiringnya,
"Mari kita ikuti dia."
Sementara itu, gadis baju merah tadi sudah melarikan kudanya cukup jauh, namun si pelajar buntung membedalkan kudanya secepat terbang, maka tidak lama dia dapat menyusulnya, saat lain pelajar buntung sudah mendahului beberapa tombak di sebelah depan terus putar kudanya mencegat di tengah jalan.
Terpaksa ketiga kuda merah berhenti, dua pelayan baju hijau lantas keprak kudanya ke depan, salah seorang membentak gusar,
"Apa maksud tuan menghadang jalan?"
Tanpa gubris teguran pelayan ini, pelajar buntung memberi hormat di atas kudanya kepada gadis baju merah, katanya,
"Nona ini bernama siapa?"
Kaku dingin muka si gadis merah, mulutnya terkancing, agaknya dia segan menjawab.
-- Pelayan yang bicara tadi menjadi naik pitam, bentaknya bertolak pinggang,
"Bedebah dari mana kau, berani kurangajar terhadap Siocia kami!"
Sekilas pelajar buntung melirik dingin, jengeknya,
"Jangan sembarang memaki orang."
"Memangnya kenapa kalau kumaki kau," balas si pelayan.
"Kau tidak ingin mampus bukan"
"Kaulah yang cari mampus," sambil melolos pedang kedua pelayan ini segera hendak turun tangan.
Namun si gadis baju merah telah menghentikan mereka, katanya dengan mengerling kepada pelajar buntung,
"Apa maksud kelakuan tuan ini?"
"Cayhe......." jawab si pelajar buntung tergagap.
"Kenapa?"
"Cayhe hanya ingin berkenalan, ingin tahu nama harum nona."
Jawab gadis baju merah dingin,
-- "Tentunya ada sebab musababnya?"
Merah muka pelajar buntung, lekas ia sudah tenang pula, ujarnya,
"Cayhe hanya ingin berkenalan."
"Berkenalan" Hm, agaknya tuan salah melihat orang."
"Salah melihat apa maksudmu?"
"Nonamu ini bukan bunga jalanan."
"Tidak, nona salah paham, terus terang Cayhe..."
"Minggir," di tengah bentakan nyaring, seutas cambuk lemas sepanjang delapan kaki tahu-tahu melingkar-lingkar di udara terus menyambar ke bawah, angin menderu keras membawa tenaga dahsyat.
Berubah air muka si pelajar buntung, tangan diulur menangkap ke arah bayangan cambuk. Cambuk adalah senjata lemas, kalau tidak punya latihan matang, kaum persilatan jaraag yang mau menggunakan, dengan bertangan kosong berani menangkap cambuk, agaknya pelajar buntung ini juga mempunyai kepandaian silat yang cukup tangguh.
Tapi bayangan cambuk berkelebat laksana kilat, tahu-tahu berhenti dan meluncur ke samping memecut ke pantat kuda. Tangan
-- pelajar ini buntung sebelah, lebih celaka lagi adalah pecutan cambuk ini amat keras.
"Tar" karena kesakitan kuda itu meringkik dan berjingkrak terus membedal kencang laksana kuda liar, karena usahanya tak berhasil menjinakkan tunggangannya, terpaksa si pelajar buntung membiarkan saja kudanya lari sepuasnya.
Entah berapa jauh kudanya berlari setelah rasa sakit dan kagetnya hilang kuda itu berhenti sendiri, lekas pelajar buntung lompat turun dan periksa luka pantatnya yang cukup parah, darah masih mengalir keluar dari luka sepanjang satu kaki.
Dia tertawa getir sambil geleng-geleng kepala, ia keluarkan obat dan dibubuhkan pada luka kudanya itu, tanpa istirahat kuda ini terang tak dapat melanjutkan perjalanan.
Berpikir sejenak, lalu dia simpan barang-barang penting yang ada dipunggung kuda ke dalam kantong bajunya, dia tepuk pantat kuda dan membiarkannya pergi.
Kejadian ini memang salahnya sendiri, namun hatinya amat penasaran. Sekitarnya merupakan tanah belukar, sukar menentukan ke mana harus dituju, ingin mengejar gadis baju merah tadi, namun tak tahu ke jurusan mana dia harus menyusulnya, sesaat dia berdiri bingung. Tanpa tujuan akhirnya dia berlari-lari kecil, tak lama kemudian, jalan raya tampak di kejauhan sana, hatinya girang langkahpun dipercepat.
-- Tiba-tiba ada suara jeritan orang berkumandang di kejauhan sana, pelajar buntung itu kaget, segera ia menghentikan langkahnya, lenyap jeritan seram tadi, suasana kembali sunyi senyap, setelah menentukan arahnya, segera dia melesat ke hutan sebelah kiri.
Begitu dia masuk ke dalam hutan, sebuah pemandangan seram seketika membuatnya melenggong. Ternyata kedua pelayan si gadis baju merah yang lewat belum lama ini bersama kuda tunggangannya menggeletak binasa dalam hutan, dari luka-luka parah yang menyebabkan kematiannya kelihatan seperti dipukul oleh tenaga yang dahsyat.
Di mana gadis baju merah" Pertanyaan ini menyentak sanubarinya, selamanya dia belum kenal dan baru pertama kali ini bertemu. malah tadi dia kena di pecut oleh cambuk orang, namun kini dia menguatirkan keselamatannya, sungguh aneh dan ganjil sekali perasaannya ini.
Gelak tawa panjang yang melengking tiba-tiba bergema di dalam hutan sana.
Tanpa pikir secepat kilat ia memburu kesana. Tampak empat orang berpakaian sutera putih dengan wajah yang bengis tengah mengepung gadis baju merah itu.
Pucat pias muka si gadis baju merah, rambutpun awut-awutan darah kelihatan meleleh dari ujung mulutnya, agaknya dia sudah mengalami pertempuran sengit.
-- Terdengar salah seorang baju putih berkata menyeringai,
"Budak hina, lekaslah mengaku saja!"
"Apa yang harus kukatakan?" bentak si gadis baju merah itu beringas.
"Ha, jangan pura-pura pikun, apalagi kalau bukan soal Sek-hud (batu Budha) itulah."
"Aku tak tahu."
"Sudah jangan banyak omong lagi," tukas seorang baju putih jang lain, "giring saja ke istana."
Orang pertama tadi mengiakan, katanya,
"Budak, marilah kau ikut kami pulang."
Gadis baju merah mengertak gigi, jengeknya,
"Jangan harap."
"Memangnya kau berani bertingkah di sini, di tengah perkataannya, tahu-tahu tangannya mencengkeram ke arah si gadis baju merah. Gerakan tangan ini benar-benar hebat dan mengejutkan.
Namun sigap sekali si gadis baju merah menyendal cambuknya, bagai ular sakti cambuk lemasnya itu berhasil membelit pergelangan
-- tangan orang, tahu-tahu ujung cambuknya melejit ditengah jalan mematuk ke Jit-kiam-hiat, sebuah jalan darah yang mematikan.
Orang baju putih menegakkan telapak tangan kiri menabas miring ujung cambuk, sementara gerakan mencengkeram tangan kanannya tetap tidak berubah. Ketika si gadis baju merah menggetarkan tangannya, cambuk lemasnya mulur lalu mengkeret pula, dengan lurus menjojoh pula ke Khi-hay-hiat lawan, berbareng tubuhnya menyurut mundur, dengan gemulai ia berhasil meluputkan diri dari cengkeraman tangan maut lawan.
Begitu cengkeramannya luput, sementara ujung cambuk lawan sudah mengancam Khi-hay-hiatnya. Namun dengan gerakan yang sangat cepat tahu-tahu orang itu berhasil berkisar ke samping, di saat badannya berputar itu, sebelah tangannya memukul balik.
Gelombang pukulan bagai gugur gunung dahsyatnya seketika mendampar tiba, gadis baju merah tergentak mundur sempoyongan, mukanya tambah pucat lagi.
Seorang baju putih yang lain menggunakan kesempatan ini memapak gadis baju merah yang tergentak mundur itu dan kedua tangannya segera mencengkeram.
"Berhenti!" tiba-tiba seseorang menggertak.
Keempat orang baju putih tertegun, tertampak seorang pelajar buntung sebelah tangannya berwajah cakap tahu-tahu melayang tiba.
-- Gadis baju merah berpaling, pandangan mereka bentrok. Ia mengertak gigi dengan gemas, sebaliknya pelajar buntung mengangguk sambil tersenyum.
Mendelik buas mata keempat orang baju putih, mereka menatap tajam kepada pelajar buntung ini, seorang diantaranya melompat maju, katanya dengan menyeringai,
"Anak muda, kau hendak mengantar jiwamu?"
Semakin tebal hawa gelap ditengah kedua alis pelajar buntung, katanya dingin,
"Kalian ini apakah empat Sucia (rasul) dari Ngo-lui-kiong?"
"Betul, agaknya kau punya pengalaman juga, sekali kau melibatkan diri dalam pertikaian ini, jangan harap kau bisa pergi dengan selamat."
"Apa betul" si pelajar buntung menegas.
"Kau kira aku membadut... ." belum selesai berkata, secepat kilat tahu-tahu sebelah tangannya bergerak mencengkeram.
Pelajar buntung tertawa dingin, tidak berkelit tidak menyingkir, tidak melawan, tidak menangkis pula, orang berbaju putih segera tambah tenaga cengkeramannya, dengan telak dia mencengkeram ketiak kiri lawan.
-- "Huuuaaa'" jerit orang baju putih mendadak sambil tarhuyung mundur beberapa langkah dan roboh terjengkang dan binasa.
Tiada orang tahu cara bagaimana orang berbaju putih itu meninggal, sedangkan pelajar buntung itu tidak pernah bergerak atau menyerang.
Terunjuk perasaan kaget dan ngeri pada air muka si gadis baju merah. Tiga orang berbaju putih yang lain serempak merubung maju, tampang mereka yang bengis kelihatan amat buas seperti serigala kelaparan.
Tenang dan wajar pelajar buntung berkata,
"Jika kalian bertiga tidak ingin mampus, lekaslah menggelinding pergi dari sini."
Seorang yang berusia paling tua diantara ketiga orang baju putih membentak dengan beringas,
"Bocah keparat, cara keji apa yang kau gunakan barusan?"
"Kau punya mata dan bisa saksikan sendiri."
"Murid siapa kau?"
"Kalian belum setimpal untuk menanyakan asal usulku."
Seorang berbaju putih menggeram, tangan terayun terus memukul, si pelajar buntung sedikit miringkan tubuh, pukulan
-- dahsyat itu dengan telak mengenai sebelah lengannya yang buntung.
"Blang", pelajar buntung menggeliat saja.
"Huuuaaaaaa" jeritan maut kembali berkumandang, tahu-tahu si baju putih yang menyerang itu terpental jatuh telentang dan tak bernyawa lagi.
Sungguh luar biasa, tanpa turun tangan namun jiwa orang dengan mudah direnggutnya. Si baju putih yang berusia lebih tua tiba-tiba, menjerit dengan ketakutan,
"Kau .... kau ini Te-gak Suseng (si pelajar dari neraka)?"
"Betul," jawab si pelajar buntung.
Tanpa sadar orang berbaju putih yang lain menyurut mundur, sejenak mereka saling pandang, tanpa bicara lagi segera ia angkat mayat temannya terus berlari pergi bagai terbang.
1.2. Perempuan Genit dari Thian-Thay
Pucat dan membesi wajah si gadis baju merah, katanya tak acuh,
"Ternyata tuan ini adalah Te-gak Suseng yang terkenal itu ......"
"Tidak berani", sahut pelajar buntung.
-- "Apa kehendak tuan sekarang?" tanya si gadis.
"Terus terang, dengan setulus hati kuingin berkenalan."
"Laki-perempuan dibatasi dengan adat, berkenalan apa, kau tidak keliru omong?"
"Kaum persilatan macam kita kenapa harus pikirkan adat dan aturan segala?"
"Te-gak Suseng, tak perlu cerewet lagi, tujuanmu adalah Sek-hud (batu Budha) bukan?"
"Sek-hud" Baru sekarang kudengar nama ini, apa persoalannya akupun tidak tahu."
Si gadis baju merah tertawa dingin, katanya,
"Apa yang terkandung dalam pikiranmu, kau sendiri yang tahu, tapi biar kukatakan kepadamu dengan cara apapun akan kau gunakan, jangan harap kau bisa memperolehnya."
Te-gak Suseng jadi bingung, katanya,
"Nona, kuulangi sekali lagi, sekali-kali tiada pikiranku seperti dugaanmu."
"Kalau begitu boleh kau pergi."
"Siapa nama nona?"
-- "Kau tidak perlu tahu."
"Kenapa nona begini kukuh?"
"Aku tidak suka berteman dengan orang sebangsa serigala."
Berubah roman muka Te-gak Suseng, terunjuk sinar kejam pada sorot matanya, namun hanya sekilas saja.
"Nona pandang aku serendah serigala?"
"Dari caramu membunuhi orang, manusia serigala belum cukup untuk melukiskan dirimu."
Te-gak Suseng naik pitam, katanya dingin,
"Kalau Cayhe tidak bunuh mereka, nona sudah menjadi tawanan orang-orang Ngo-lui-kiong tadi."
Tertegun sebentar, lalu gadis baju merah berkata,
"O, jadi tuan telah menolong aku?"
"Secara kebetulan saja kupergoki kejadian ini, tiada maksudku untuk pamer di sini."
"Bagaimana kalau kuterima kebaikan pertolonganmu ini?"
"Kukira tidak perlu."
-- "Lalu apa tujuan dan maksud tuan yang sebenarnya?"
"Cayhe hanya ingin berkenalan saja."
"Apa tujuan ingin berkenalan dengan aku?"
Walau sejak kecil Te-gak Suseng sudah terlalu sesumbar dan suka membawa adatnya sendiri, namun untuk menyatakan rasa sukanya dalam sekali bertemu ini, ia merasa malu dan tak kuasa diucapkan, dia tergagap tak bisa menjawab.
Kata gadis baju merah dengan angkuh,
"Tuan tak mau menjelaskan, aku ingin pamit, kebaikkanmu akan selalu kuingat," lalu dia putar badan tinggal pergi.


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebetulnya dia ingin menghadang dan menahannya, namun pikirannya berubah, dengan mendelong dia pandang bayangan orang lenyap di kejauhan sana. Dia merasa geli sendiri, bukankah tujuan perjalanannya kali ini hendak meminang putri keluarga Ciang di Kayhong, perintah orang tua tidak diindahkan, malah cari penyakit disini.
Watak manusia terkadang memang aneh, yang mudah diperoleh tak diacuhkan, yang sukar didapat justeru diburu.
Dengan terlonggong tercetus gumam dari mulut Te-gak Suseng,
"Pada suatu hari aku pasti bisa memilikimu."
-- Tiba-tiba sebuah suara nyaring centil kumandang,
"Tak nyana Te-gak Suseng sedang kasmaran disini."
"Siapa?" bentak Te-gak Suseng.
"Thian-thay-mo-ki menyampaikan salam hormat."
Di tengah kumandang suara yang merdu,tampak seorang gadis jelita berusia dua puluhan yang bersolek muncul disebelah sana.
Wajahnya berseri tawa dan mekar, gayanya genit mempesona, setiap jengkal tubuhnya mengandung daya pikat yang menggetarkan sukma laki-laki.
Bergetar hati Te-gak Suseng, katanya,
"Kau ini Thian-thay-mo-ki" (Perempuan genit dari Thian-thay)."
Thian-thay-mo-ki menghampiri dengan gaya lenggang lenggok, buah dadanya yang membukit bergetar turun naik, setombak jauhnya dia berhenti, suaranya nan merdu bagai kicau burung berkata,
"Masakah diriku ini bisa dipalsukan?"
Berdetak jantung Te-gak Suseng, namun sikapnya tetap dingin,
"Ada petunjuk apa?"
-- Thian-thay-mo-ki terkial-kial dengan genit, ujarnya,
"Cinta sepihak membawa penjesalan, kukira urungkan saja niatmu itu."
"Apa maksud ocehanmu ini?"
"Saudara ..........."
"Siapa saudaramu?"
"Aduh galaknya, usiaku lebih tua, apa tidak setimpal memanggil saudara kepadamu?"
"Hanya untuk itu saja ............."
"Sudah tentu ada urusan lain......"
"Urusan apa?"
"Coba jawab dulu. Kau jatuh hati pada nona cantik itu atau karena Sek-hud?".
Tergerak hati Te-gak Suseng, hakikatnya dia tidak tahu menahu soal Sek-hud. Apakah Sek-hud benda pusaka dunia persilatan sehingga di perebutkan" Baru hari ini dia berhadapan dengan Thian-thay-mo-ki, namun nama orang sudah lama di dengarnya.
Entah betapa banyak pemuda yang tergila-gila kepada perempuan centil ini, kepandaian silatnya yang menjadikan dirinya
-- bak sekuntum bunga mawar yang berduri, orang tidak berani sembarangan menyentuhnya. Pelajar buntung sudah kepincut pada gadis baju merah tadi, maka sikapnya terlalu dingin dan kaku, katanya tawar,
"Coba terangkan, bagaimana kalau aku jatuh hati kepadanya"
Bagaimana pula kalau karena Sek-hud?"
"Soal ini amat penting, kau harus nyatakan dulu sikapmu."
"Kalau aku tidak sudi menyatakan sikapku?"
"Kau akan menyesal."
"Menyesal" Kenapa?"
"Kalau kau tak mau jawab pertanyaanku, cukup sampai disini saja pembicaraan kami."
Setelah berpikir pulang pergi, akhirnya Te-gak Suheng berkata,
"Aku harus tahu apa sebenarnya Sek-hud itu?"
"Apa kau tidak tahu tentang Sek-hud itu" Kalau begitu jadi kau benar-benar mencintainya?"
"Anggaplah demikian."
-- Terbayang senyum aneh pada wajah Thian-thay-mo-ki, biji matanya sebening air berputar mengawasi seluruh badan Te-gak Suseng, akhirnya dia cekikikan, katanya,
"Dia tidak akan suka kepadamu."
Te-gak Suseng melengak,
"Kenapa?" tanyanya,
"Pertama, julukanmu terlalu seram. Kedua, walau kau terhitung laki-laki ganteng, sayang kau ?"?"
"Lenganku buntung, begitu" Peduli amat, lekas jelaskan tentang Sek-hud itu?"
"Panjang ceritanya, hayolah pindah ke tempat lain dan duduk sambil bicara."
Mereka masuk ke hutan yang lebih dalam, lalu duduk di sebuah batu besar, angin lalu sepoi-sepoi membawa bau harum yang memabukkan, bergetar jantung Te-gak Suseng, serta merta matanya melirik ke tubuh orang yang padat montok, darahnya terasa hendak meluap.
Kata Thian-thay-mo-ki dengan tersenyum lebar,
"Setelah kuceritakan, apakah kau mau merubah sikapmu?"
-- "Kukira tidak."
"Baiklah. Apakah kau pernah dengar nama Pek-ciok-am?"
"Pek-ciok-am ...... biara nomor satu yang dipandang tempat suci kaum persilatan?"
"Betul, Pek-ciok-am dipandang tempat suci karena pemiliknya Pek-ciok Sinni memiliki kepandaian silat dan Lwekang yang sudah mencapai puncak sempurna, siapa yang berani mengganggu di sana, konon kabarnya, kepandaian silatnya yang tinggi itu diperoleh dari sebuah patung Budha dari batu yang dia miliki ........"
"Begitu mujijat Sek-hud itu?"
"Entahlah, tapi itu kenyataan. Tahun yang lalu tanpa sengaja ada orang tahu bahwa Pek-ciok Sinni sudah meninggal dunia, begitu kabar ini tersiar, beramai-ramai kaum persilatan mengincar Sek-hud itu ..........."
"Apa hubungannya dengan gadis baju merah?"
"Karena dia adalah murid Pek-ciok Sinni."
"Ah, tidak mungkin, kalau benar gadis itu murid Pek-ciok Sinni, masakah dia tidak kuasa melawan keroyokan empat rasul dari Ngo-lui-kiong itu."
"Sulit dikatakan, mungkin bakatnya terbatas ........."
-- "Kalau dia tidak berbakat, memangnya Pek-ciok Sinni mau memungutnya sebagai murid?"
"Ya, kemungkinan belum lama dia belajar, belum mendapat seluruh warisan, namun dia kuat menghadapi keroyokan mereka, cukup tangguh juga kepandaiannya."
Sejenak Te-gak Suseng terpekur, katanya kemudian,
"Kaupun mengincar Sek-hud itu."
Thian-thay-mo-ki mengiakan.
"Kepandaianmu cukup berlebihan untuk menghadapi gadis baju merah itu, kau dapat turun tangan sesuka hati, kenapa ........?"
"Ada dua sebab yang membuat aku bimbang untuk turun tangan."
"Dua sebab apa?"
"Pertama, Bu-cing-so (kakek tak kenal budi), tokoh aneh yang sudah lama lenyap dari Kangouw itu kabarnya mengikuti perjalanan gadis merah ini, kepandaian orang kosen ini sudah mencapai puncaknya, dia terkenal terlalu bertangan keji."
"Kau tak berani melawannya?"
"Aku yakin hanya beberapa orang yang berani melawannya, namun itu soal lain."
-- "Lalu sebab kedua?"
"Inilah yang paling penting, lantaran kau.''
"Aku" Diriku yang rendah ini?"
"Betul, saudara, aku tidak mau bentrok dengan kau, maka ......"
"Maka kau ajak aku berunding?"
"Ya, aku dijuluki Mo-ki (wanita molek iblis) dan saudara bergelar Te-gak Suseng (pelajar dari neraka) kita segolongan, meski lenganmu buntung tidak jadi soal bagiku," lalu dia tertawa cekikik genit.
Kata-katanya cukup gamblang, dia menyatakan isi hatinya, namun Te-gak Suseng pura-pura tidak mengerti, katanya,
"Kau belum jelaskan tujuanmu mencari aku."
"Kerja sama dengan kau."
"Apa maksudnya kerja sama itu?"
"Kita dapat mencapai keinginan sesuai apa yang kita harapkan."
"Apa tidak terlalu bodoh dan lucu jalan pikiranmu ini?"
-- "Sedikitpun tidak, kepandaianmu cukup kuat untuk menghadapi Bu-cing-so, aku hanya ingin memperoleh Sek-hud, gadis baju merah akan menjadi milikmu."
Te-gak Suseng tergelak-gelak, katanya,
"Perhitungan bagus, aku susah payah kau ambil untungnya, haha
......." "Tiada yang patut ditertawakan, kalau gadis baju merah jatuh ke tangan Bu-cing-so, Sek-hud hilang, jiwapun mungkin melayang, lalu apa yang bisa kau peroleh?"
"Memangnya aku tak bisa membantu dia menghadapi Bu-cing-so?"
"Tidak bisa."
"Aneh sekali! Mengapa tidak?"
"Kalau kau tak kuat menghadapi ilmu saktinya Thian-cin-ci-sut, segalanya akan sia-sia belaka."
"Kalau kau kuat menghadapi ilmu Thian-cin-ci-sut, kenapa tidak turun tangan sendiri?"
"Sayang sekali Lwekangku bukan tandingannya, bagaimana jika pemecahannya kuberitahu kepadamu, dengan ilmu kepandaian aliranmu yang ganas itu, pasti kau dapat menghadapi dia."
-- Diam-diam berkuatir hati Te-gak Suseng bagi keselamatan si gadis baju merah yang menjadi incaran berbagai pihak itu, maka dengan dingin dia berkata,
"Apa kau tidak takut setelah kau ajarkan cara menghancurkan Thian-cin-ci-sut itu, bisa jadi aku malah bantu dia menghadapi kau?"
"Lucu sekali. Kau kira aku bodoh, ketahuilah dia sudah jatuh dalam cengkeramanku."
"Apa?" teriak Te-gak Suseng sambil berjingkrak, "dia jatuh ke tanganmu?"
"Jangan tegang, aku tidak akan menyusahkan, tujuanmu adalah si 'dia' bukan?"
Beringas muka Te-gak Suseng, desisnya: "Kubunuh kau!"
"Kalau aku mati, dia juga tidak akan hidup, toh belum tentu kau mampu membunuhku, yang terang sekarang ini kau tiada sangkut paut dengan dia, kau baru naksir dia, belum tentu dia suka kepadamu."
"Aku tidak suka dipermainkan."
"Tiada yang mempermainkan kau, masing-masing pihak mendapatkan apa yang diinginkan, begitulah."
"Sekarang dimana dia" Apa yang hendak kau lakukan?"
-- "Tidak apa-apa. Asal dia terangkan dimana Sek-hud berada, setelah tujuanku tercapai, dia akan bebas. Bu-cing-so akan segera tiba, demi keselamatannya, kau harus mempelajari cara memecahkan Than-cin-ci-sut."
"Aku tidak mau. Sekarang bebaskan dia juga!"
"Urusan tidak semudah itu," ujar Thian-thay-mo-ki sambil berdiri.
"Ku ganyang kau," ancam Te-gak Suseng murka.
"Aku mati, diapun takkan hidup, lalu apa faedahnya bagimu?"
"Hm, jangan kau tekan dan memeras aku."
Sekonyong-konyong dua bayangan meluncur datang, "Bluk-bluk", kedua-duanya tersungkur roboh.
Thian thay-mo-ki menjerit kaget,
"Celaka!" Sekali kaki menutul, badannya terus melenting tinggi meluncur keluar hutan.
Te-gak Suseng melenggong sejenak, kedua orang yang roboh binasa adalah kedua gadis yang berpakaian ketat, darah meleleh dari mulut, hidung dan telinganya. Tanpa banyak pikir segera dia mengejar kearah perginya Thian-thay-mo-ki.
Beberapa lie ditempuhnya, namun tiada sesuatu yang ditemukan, tengah dia celingukan, tiba-tiba sebuah suara lirih berkata,
-- "Berhenti!"
Te-gak Suseng segera hentikan langkahnya, dilihatnya yang bersuara adalah Thian-thay-mo-ki, dia sembunyi dibalik sebuah pohon besar seraya menggapai padanya.
"Ada apa?" tanya Te-gak Suseng.
"Jangan keras-keras, kemari saksikan sendiri."
Te-gak Suseng menghampir, Thian-thay-mo-ki ulur tangan hendak menariknya.
"Jangan sentuh aku," bentak Te-gak Suseng sambil mengipat tangan.
"Jangan takabur, lihatlah sendiri, apa yang ada di luar hutan itu."
Setelah dekat pohon besar di mana Thian-thay-mo-ki sembunyi, Te-gak Suseng mengintip kesana dari celah-celah daun, tertampak di luar hutan adalah tanah lapang berumput. Puluhan orang berpakaian hitam berjajar setengah bundar menghadapi tiga laki-laki baju putih jang mengempit gadis baju merah. Di dada seragam puluhan orang-orang baju hitam itu tersulam seekor burung elang yang pentang sayap. Seorang laki-laki tua baju hitam tengah berhadapan dan bicara dengan laki-laki beruban baju putih.
Dengan suara tertahan Thian-thay mo-ki berbisik: "Kawanan baju hitam itu adalah anak buah Sin-eng-pang (kelik elang sakti), laki-laki
-- baju putih adalah komandan barisan tempur Ngo-lui-kiong, Pek-sat-sin The Gun, tokoh yang disegani di Bulim."
"Aku tahu, apa maksudmu menahanku disini?" tanya Te-gak Suseng.
"Lihat keadaan baru turun tangan menurut situasi."
"Aku tidak sabar lagi .........."
"Entah berapa banyak pula tokoh-tokoh kosen yang menyembunyikan diri, semua orang bertujuan merebut Sek-hud, kalau kau ingin bunuh mereka boleh silakan, namun untuk menolong si dia kukira bukan pekerjaan gampang."
Te-gak Suseng tenangkan diri, sekilas dia menerawang situasi yang dihadapinya ini, terdengar suara Pek-sat-sin The Gun yang keras berkumandang,
"Ang-tongcu, janganlah kau merusak hubungan baik kita selama ini?"
Laki-laki baju hitam yang dipanggil Ang-tongcu itu terkekeh tawa, katanya,
"The-Congling, ini daerah kekuasaan kami ......"
"Tapi akulah yang menemukan dia."
-- "Dalam daerah kekuasaan pihak kami, orang luar dilarang melanggar aturan, bukan?"
"Jadi maksud Ang-tongcu ........"
"Tinggalkan gadis itu, kuantar kalian pulang dengan selamat."
"Ang-tongcu kira urusan semudah itu?"
"Memangnya kau ingin main kekerasan?"
"Bukan aku pandang rendah dirimu, kau takkan kuat menahan sekali pukulan."
"Orang she The, kau terlalu takabur dan memandang rendah orang. Lihat pukulan!" di tengah bentakannya, Ang-tongcu melancarkan pukulan mengarah dada Pek-sat-sin The Gun.
"Blang", Pek-sat-sin hanya tergetar mundur selangkah. Mentah-mentah dia terima pukulan orang tanpa balas menyerang, jengekannya dingin,
"Ang-tongcu, kau memaksa aku membunuhmu?"
"Jangan takabur," teriak Ang-tongcu, seraya memukul lagi.
Sekali ini Pek-sat-sin angkat kedua tangannya.
-- "Dar", laksana geledek menyamber diselingi jeritan ngeri, orang she Ang itu terhuyung beberapa langkah terus roboh celentang, darah menyembur dari mulutnya.
Ngo-lui-ciang ternyata memang ganas, gumam Teng-gak Suseng di tempat sembunyinya.
Anak buah Sin-eng-pang serentak berteriak gemuruh, tiga bayangan orang melompat maju berbareng, tiga larik sinar pedang dengan perbawa yang mengejutkan mengurung ke arah Pek-sat-sin.
Namun belum lagi gerakan pedang ketiga orang itu mengenai sasaran, kembali terdengar jeritan seram, ketiga orang itu terpental balik ke belakang, jiwa merekapun melayang.
Ditengah gemuruhnya teriakan gusar anak buah Sin-eng-pang, puluhan orang sekaligus menubruk maju menyerang Pek-sat-sin dan laki-laki baju putih yang mengempit si Gadis berbaju merah.
Te-gak Suseng beranjak maju, katanya,
"Inilah kesempatan baik"
"Berhenti," sebuah bentakan nyaring menggetar seluruh hadirin.
Cepat sekali anak buah Sin-eng-pang menyurut mundur dan berjajar rapi. Tertampak muncul seorang laki-laki kekar gagah dan dengan baju di bagian dada tersulam burung elang dengan, benang emas.
Lekas Pek-sat-sin angkat tangan memberi hormat, katanya,
"Pangcu datang sendiri, entah ada petunjuk apa?"
-- Yang datang ternyata Ko Giok-wa, Pangcu atau ketua Sin-eng-pang.
"The-cong-ling, hebat dan ganas sekali pukulanmu," kata sang Pangcu.
"Tidak berani, Cayhe dipaksa turun tangan, harap Pangcu maklum," jawab The Gun.
"Salah mereka sendiri karena tidak becus belajar silat, tapi The-congling bertingkah di daerah kekuasaan kami, agaknya kau terlalu pandang rendah orang-orang Pang kami?"
"Pangcu sendiri yang berkata demikian, tidak perlu Cayhe banyak bicara lagi."
"Biasanya tak pernah ada bentrokan pihak kami dengan pihak kalian, kalau The-congling tinggalkan dia dan segera mengundurkan diri, urusan ini dapat kuanggap tak pernah terjadi."
"lni ........ maaf, kami tak bisa menurut."
"Baiklah, biar kubelajar kenal dengan Ngo lui-ciang."
Pek-sat-sin mengertak gigi, katanya,
"Cayhe hanya menjalankan perintah, untuk menunaikan tugas, terpaksa menuruti kehendak Pangcu."
-- "Hm, hayolah turun tangan," dengus Pangcu itu.
"Harap Pangcu memberi pengajaran," lenyap perkataan The Gun ini, dengan membawa damparan dahsyat, pukulan Ngo-lui-ciang menggempur sehebat gugur gunung.
Sin-eng-pangcu mendorong kedua tangannya memapak kedepan.
Suara bagai guntur menggelegar menyebabkan tanah rumput beterbangan, dua orang sama-sama tergetar mundur selangkah.
Ternyata sama kuat alias setanding, sungguh hebat sekaIi adu pukulan ini.
Kecut hati Pek-sat-sin, namun dia nekat dan lancarkan pula pukulannya.
"Hahahaha" sebuah gelak tawa melengking tiba-tiba berkumandang, suaranya begitu keras bagai halilintar memecah angkasa.
Gemetar suara Thian-thay-mo-ki berkata ditempat sembunyinya,
"Itulah Thian-cin-ci-sut! Bu-cing-so sudah datang."
Terasa oleh Te-gak Suseng anak telinga seakan-akan pecah, jantung berdetak darah bergolak, secara reflek segera dia gunakan ilmu penawar Thian-cin-ci-sut yaag dia pelajari dari Thian-thay-mo ki. Begitu Hiat-to tertutup dan dada terlindung, rasa tertekan itu segera lenyap.
-- Di tanah lapang sana, anak buah Sin-eng-pang satu persatu jatuh tersungkur, muka mereka menampilkan rasa tersiksa yang luar biasa. Air muka Ko Giok-wa dan Pek-sat-sin berubah, kedua orang berdiri sempoyongan, laki-laki yang mengempit gadis baju merahpun melepaskan tangan dan jatuh tersimpuh.
Gelombang tawa tadi tidak berhenti malah lebih keras bagai gelombang samudera mendampar-dampar.
Murid-murid Sin-eng-pang yang rendah Lwekangnya sudah roboh binasa, yang agak kuat darahpun meleleh dari mulut dan hidung.
Sementatra jidat Ko Giok-wa dan The Gun juga sudah dibasahi keringat yang gemerobyos, agaknya mereka tak kuat bertahan lebih lama. Kalau gelombang tawa ini masih terus berkumandang, mungkin seluruh hadirin takkan bisa selamat.
Ngeri dan berdetak keras jantung Te-gak Suseng. Baru sekarang dia percaya apa yang dikuatirkan Thian-thay-mo-ki memang baralasan, yang paling diperhatikan adalah si gadis merah, aneh, kelihatannya sedikitpun tidak terpengaruh apa-apa, dengan melongo dan mematung dia tetap berdiri di tempatnya.
"Celaka," ujar Thian-thay-mo-ki tiba-tiba. "Hiat-to gadis baju merah tertutuk tak bisa bergerak, namun Thian-cin-ci-sut tetap akan mencelakakan jiwanya ?"?"
Tergerak hati Te-gak Suseng, baru saja dia hendak menubruk keluar, gelak tawa itu tiba-tiba berhenti. Tertampaklah seorang tua dengan rambut dan alis beruban, muka merah kepala gundul pelontos melayang bagai awan mengembang.
-- "Bu-cing-so!" bisik Thian-thay-mo-ki.
Bu-cing-so berhenti di tengah gelanggang, katanya dingin,
"Kalian tak lekas enyah, minta mampus?"
Sin-eng pangcu Ko Giok-wa bergerak lebih dulu, anak buahnya beramai-ramai mengintil di belakangnya dengan langkah sempoyongan sambil angkat teman-temannya yang mati dan terluka.
Pek-sat-sin segera memberi tanda kepada anak buahnya, cepat mereka mengundurkan diri ke dalam hutan sebelah sana. Pelan-pelan Bu-cing-so kemudian menghampiri si gadis merah.
Melihat gelagatnya, Te-gak Suseng menyadari bahwa dirinya harus cepat keluar, peduli apakah dirinya mampu berhadapan dengan Bu-cing-so. Demi keselamatan gadis baju merah, dia harus berani nyerempet bahaya. Namun baru saja dia hendak bergerak, Thian-thay-mo-ki menahannya dengan suara, tertahan,
"Tunggu dulu, lihat siapa itu yang datang!"
Satu makhluk aneh bagai gumpalan daging dengan atas putih bawah hitam tahu-tahu "menggelinding" tiba di tengah lapangan.
Waktu Te-gak Suseng mengamati lebih jelas, kiranya seorang aneh bertubuh pendek buntek, rambutnya yang beruban jarang-jarang, jenggot putih memanjang sebatas dengkul, jubahnya hitam sehingga
-- dilihat dari kejauhan jadinya setengah putih separo hitam, siapapun takkan menyangka di dunia ini ada manusia begini aneh.
Terdengar orang aneh itu bersuara, perkataannya seperti orang biasa,
"Lote, jangan tergesa-gesa marilah kau berkenalan dulu dengan aku."
Cepat sekali Bu-cing-so membalik badan, seketika air mukanya berubah, serunya gemetar,
"Siang-thian-ong, kau ..... kau belum mati?"
"Aha, kita berdua sama-sama!"
1.3. Tuduhan Yang Sulit Dibantah
Nama Siang-thian-ong membuat jantung Te-gak Suseng dan Thian-thay-moki tergetar. Mereka saling pandang, sungguh tak dinyana bahwa tokoh aneh ini masih hidup dan kini muncul juga untuk berebut Sek-hud. Konon pada enam puluh tahun yang lalu makhluk aneh ini sudah menjuluki diri sebagai 'Ang' (aki). Anak kecil dan kaum perempuanpun kenal namanya, golongan hitam paling jeri bila mendengar namanya, kini usianya tentu sudah lewat se-abad.
Siapa tahu setelah mengasingkan diri puluhan tahun, kini muncul lagi di sini.
-- Sesaat lamanya Bu-cing-so kememek, akhirnya dia membentak bengis,
"Ada petunjuk apa?"
Siang-thian-ong terloroh-loroh, ujarnya,
"Lote, usia kita sama-sama tua, kuharap kau jangan berlaku tamak lagi, binalah dirimu ke jalan yang benar demi hari tuamu."
"Apa maksudmu?"
"Kuharap kau tidak ikut campur berebut Sek-hud segala."
"Kalau tidak?"
"Terpaksa kita harus berkelahi."
"Hahaha, Siang-thian-ong, kabarnya kau berjiwa pendekar, nyatanya hatimupun tamak, bukankah kaupun mengincar Sek-hud itu?"
"Lote, jangan kau terlalu tinggi menilai dirimu, jangan harap kita akan memilikinya."
"Eh, memangnya kenapa?"
"Lwekang budak ini memang rendah, namun tulang punggung di belakangnya cukup tangguh, aku sendiripun tak berani mengusiknya."
-- "Hebat benar, siapa sih tulang punggungnya" Masakah Siang-thiang-ong yang biasa ditakuti orang hari ini patah semangat?"
"Siapa dia tidak perlu kukatakan, yang terang aku memberi peringatan padamu dengan, maksud baik."
"Kalau kau tidak berani melawannya, boleh silakan pergi saja, buat apa kau bertingkah dihadapanku?"
"Haha, justeru terbalik, sekali soal ini sudah kebentur di tanganku, apapun yang terjadi pasti kubereskan."
"Cekak saja jawabku," ujar Bu-cing-so, "orang lain tak kubiarkan menyentuh Sek-hud itu."
"Agaknya tulang kita ini harus dilemaskan dengan adu otot."
Di dalam hutan Thian-thay-mo-ki berpaling kepada Te-gak Suseng, bisiknya,
"Besar manfaatnya bagi kita kalau kedua bangkotan silat ini berkelahi"
"Jangan kau gunakan istilah kita. Cayhe tak setuju bekerja sama dengan kau," sahut Te-gak Suseng.
Berubah kecut muka Thian-thay-mo-ki, kata?nya dengan cemberut,
-- "Jangan terlalu yakin, belum tentu 'dia' mau terima kebaikanmu
......." Dari malu menjadi gusar, segera Te-gak Suseng menghardik,
"Tutup mulutmu. Urusanku tak perlu kau turut campur."
Getaran keras dan ledakan dahsyat amat mengejutkan sekali, ternyata kedua bangkotan silat telah bergebrak dengan sengit, masing-masing melancarkan pukulan maut. Kalau tidak menyaksikan sendiri, si apapun tak mau percaya, puluhan tombak sekeliling gelanggang tanah berumput beterbangan.


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itulah dari kejauhan sebelah sana terdengar sebuah suara berkata,
"Te-gak Suseng, kemarilah kau."
Te-gak Suseng terkejut sambil berpaling, serunya,
"Siapa itu?"
"Yang mau bikin perhitungan. kemarilah untuk menyelesaikan,"
sahut orang itu.
Tanpa gentar Te-gak Suseng melesat ke dalam hutan, puluhan bayangan putih tampak berjajar menunggunya. Kiranya Pek-sat-sin The Gun dan kawan-kawannya, cuma jumlahnya bertambah delapan. Begitu dia meluncur tiba, orang-orang baju putih itu segera merubung mengelilinginya.
-- Pek-sat-sin menyeringai, katanya,
"Te-gak Suseng, kedua utusan pihak kami itu kaukah yang membunuhnya."
"Betul."
"Bagus, utang jiwa harus bayar jiwa."
Membesi muka Te-gak Suseng, desisnya dengan bengis,
"Mungkin utang jiwaku malah akan bertambah."
Orang-orang baju putih sama menggerung murka.
Pek-sat-sin mengertak gusar,
"Jangan latah, serahkan jiwamu!" Begitu kedua teJapak tangannya bergerak, sayup-sayup terdengar suara gemuruh guntur menggelegar damparan tenaga menyambar ke depan. Te-gak Suseng angkat sebelah tangannya mendorong, ke depan, secara keras dia lawan serangan musuh.
"Pyaaaaar!" Te-gak Suseng sempoyongan, Pek-sat-sin sendiri tergetar mundur selangkah
Dua orang berbaju putih melejit maju seraya menggempur pada waktu Te-gak Suseng masih sempoyongan.
-- Sekali berkelebat Te-gak Suseng menubruk ke arah kanan, tiga orang di sebelah kiri, melontarkan serangan bersama. Damparan pukulan dari samping dan belakang membuatnya terpental ke arah Pek-sat-sin.
Pek-sat-sin sudah mengatur napas dan menghimpun tenaga, ia memapak dengan ayunan sebelah tangannya, dua orang berbaju putih dari arah depan menyusul juga menggempur. Gelombang tenaga menggencet Te-gak Suseng dari berbagai penjuru sehingga darahnya terasa mendidih, kepala pusing tujuh keliling, badan bergoyang gontai, kedelapan orang serentak turun tangan melancarkan Ngo-lui-ciang yang terkenal keras dan ganas. Namun sedikitpun Te-gak Suseng tidak kelihatan terluka, hal ini cukup membuat semua, pengeroyoknya terkesiap.
Semakin berkobar napsu membunuh Te-gak Suseng, sebat sekali dia menubruk ke arah Pek-sat sin, ketika Pek-sat-sin gerakkan kedua telapak tangannya, secepat kilat tahu-tahu Te-gak Suseng membelok ke kiri menerjang tiga orang berbaju putih, namun empat orang lain dari kanan dan belakang serentak menggempurnya pula.
"Plak-plak," dua orang berbaju putih terjungkal, namun Te-gak Suseng sendiri juga terpental balik ke tengah kepungan oleh damparan angin pukulan musuh.
"Kurung dia," Pek-sat-sin memberi aba-aba, "jangan biarkan dia menclekat."
Suara benturan laksana bunyi guntur menimbulkan pusaran angin yang kencang. Te-gak Suseng terjepit dan bergoyang seperti perahu
-- dipermainkan ombak, darah semakin bergolak, napaspun memburu.
Jelas kalau pertempuran jarak dekat akan menguntungkan dirinya, siapapun yang kena disentuhnya tiada satu yang selamat. Tapi cara bertempur yang dilaksanakan musuh sekarang membuat dirinya mati kutu. Terutama pukulan Pek-sat-sin ganas sekali, demikian juga gabungan pukulan anak buahnya dari berbagai arah teramat rapat dan sukar di jebol, begitu ketat dan gencar serangan musuh sampai dia tidak kuasa balas menyerang.
Sesosok bayangan tiba-tiba meluncur ke tengah gelanggang.
"Aduh!" terdengar Pek-sat- sin The Gun mengerang kesakitan, pusaran angin yang kencang seketika tercerai-berai, begitu tekanan lenyap, sigap sekali Te-gak Suseng menerjang keluar kepungan.
"Huaaaaah," jeritan susul menyusul, beberapa orang baju putih sama jatuh terguling, kecuali Pek-sat-sin, tujuh orang yang lain tiada satupun yang selamat.
Waktu Te-gak Suseng berpaling, dilihatnya dengan muka beringas dan mata menyala Pek-sat-sin tengah menghampiri Thian-thay-mo-ki. Sebaliknya. Thian-thay-mo-ki memandang Te-gak Suseng dengan senyuman manis seperti tak terjadi apa-apa.
Pek-sat-sin melihatnya sorot mata berkilat Te-gak Suseng tengah menatap dirinya, tanpa bersuara lagi segera dia melesat lenyap ke dalam hutan.
"Lari kemana," bentak Te-gak Suseng hendak mengejar.
-- "Jangan kejar, urusan di sini lebih penting," Thian-thay-mo-ki berseru mencegah.
"Terima kasih atas bantuanmu, kelak akan kubalas," ujar Te-gak Suseng tawar.
"Urusan kecil tak perlu diperhatikan, hanya telah kupersen mereka segenggam jarum sulamku," kata Thian-thay-mo-ki sambil mengerling mayat-mayat yang bergelimpangan, lalu menambahkan:
"Adik, semua korban tidak terluka, ilmu apakah yang kau gunakan?"
"Tak bisa kuterangkan," sahut Te-gak Suseng tetap kaku dingin.
Tiba-tiba sesosok bayangan melayang pelahan tak jauh dari samping mereka. Gemetar suara Te-gak Suseng,
"Itulah Bu-cing-so, agaknya Siang-thian-ong yang menang."
Belum habis dia bicara, bayangan yang aneh itu mendadak menggelundung tiba, tahu-tahu Siang thian-ong sudah berdiri di hadapan mereka, namun si Gadis berbaju merah tak kelihatan bayangannya,
"Aneh, apa yang terjadi?" seru Thian-thay-mo-ki.
Tanpa pikir Te-gak Suseng segera melompat maju mengadang di depan Siang-thiang-ong, katanya sambil merangkap tangan,
"Selamat bertemu Locianpwe."
-- Siang-thiang-ong merandek, katanya dengan melotot,
"Bukankah kalian sembunyi di dalam hutan dan melihat tontonan, kenapa lari ke sini dan membunuh orang?"
Bergetar hati Te-gak Suseng dan Thian-thay mo-ki, kiranya jejak mereka sudah diketahui orang.
Berkata Siang-thian-ong lebih lanjut,
"Siapa yang membunuh mereka?"
"Wanpwe," Te-gak Suseng segera ntenjawab.
"Siapa namamu?"
"Te-gak Suseng (pelajar dari neraka)!"
"Hm, jadi kau ini Te-gak Suseng" Kabarnya kau membunuh orang tanpa meninggaikan bekas, selamanya tiada satupun yang bisa lolos dengan hidup ......" tiba-tiba terpancar sinar aneh pada biji matanya.
Dia amati Te-gak Suseng dari atas sampai kebawah, lalu memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu, akhirnya dia mengerut kening,
Agaknya tokoh aneh dari angkatan tua inipun tak berhasil menelacak rahasia Te-gak Suseng, namun mengingat kedudukan dan tingkat dirinya tak leluasa dia, mengajukan pertanyaan, lalu dia berpaling kepada Thian-thay-mo-ki, tanyanya,
-- "Kau isterinya?"
Thian-thay-mo-ki. perempuan genit dari Thian-thay ini tertawa cekikik, tidak mengaku juga tidak menyangkal.
"Tiada sangkut pautnya'" ujar Te-gak Suseng dingin "Dia berjuluk Thian-thay-mo-ki ..........."
"Thian-thay-mo-ki?" Sekonyong-konyong Siang-thian-ong ulur tangan mencengkeram kearah Thian-thay-mo-ki. Sungguh luar biasa cepat gerakannya, kelihatannya dia berhasil menangkap pergelangan tangan lawan, tahu-tahu lantas berkisar mencengkeram pundak.
Te-gak Suseng berdiri bingung, entah kenapa manusia aneh ini turun tangan dan menyerang Thian-thay-mo-ki. Sekali meliuk pinggang dan bergerak semampai, dan gaya aneh tahu-tahu Thian-thay-mo-ki berkisar mundur jauh.
"Budak hina," ujar Siang-thian-ong mendelik, "ternyata kau murid nenek galak itu, apa dia masih hidup?"
Thian-thay-mo-ki tertawa genit sambil mengerling, sahutnya,
"Dalam waktu dekat ini beliau tidak akan meninggal, apakah Locianpwe ......"
"Di mana nenek galak itu menyembunyikan diri?" tanya Siang-thian-ong.
"Maaf wanpwe tak bisa menerangkan."
-- "Hm, baiklah," tiba-tiba orang tua itu berputar ke arah Te-gak Suseng: "Kenapa kau bocah ini mencegat jalanku?"
"Numpang tanya, gadis berbaju merah itu ......"
"Untuk apa kau tanya dia?"
"Ini ........."
"Hahaha kalau ingin hidup. jangan mencampuri urusan orang lain, aku tak punya waktu untuk mengobrol dengan kau."
"Locianpwe ............"
Hanya sekali berkelebat, badan Siang thian-ong tahu-tahu lenyap dari hadapan mereka. Te-gak Suseng berdiri melongo. Sejenak kemudian. tiba-tiba dia melesat keluar hutan menuju ke tanah lapang berumput itu, namun bayangan gadis baju merah sudah tak kelihatan. Apakah yang telah terjadi" Ke mana si gadis baju merah"
Te-gak Suseng melenggang dengan perasaan menyesal dan sedih.
Iapun merasa geli akan sepak terjang yang tiada juntrungnya ini, apa sih alasannya dia mengundit gadis berbaju merah"
"Adik, kecewa bukan?" ujar Thian-thay-mo-ki Te-gak Suseng membalik badan, mukanya membeku dingin,
"Jangan kau anggap lucu kejadian ini. Siapa adikmu" Kau boleh silakan pergi."
-- "Jangan terlalu angkuh, kau kira aku orang apa?"
Te-gak Suseng segan perang mulut, segera dia melangkah, tertawa dingin Thian-thay-mo-ki di belakangnya anggap tidak didengarnya. Dengan kencang dia berlari-lari sesaat lamanya, ia tahu ke mana dirinya hendak menuju" Niat semula memang ke kota Kayhong sudah dibatalkan, kalau pulang cara bagaimana dia harus memberi pertanggungan jawab terhadap sang ayah.
Tabir malam mulai menyelimuti jagat, pe!ita di rumah-rumah penduduk mulai menyalakan. Tanpa tujuan dia menyusuri jalan kecil di tengah ladang belalang. Teringat pengalaman setengah hari ini, dia merasa sepak terjangnya terlalu brutal. Akan tetapi bayangan si gadis baju merah selalu terbayang di depan kelopak matanya.
Kira-kira satu jam kemudian, tiba-tiba di depannya muncul sebuah kelenteng besar yang dibangun dengan megah, sinar api lapat-lapat menyorot keluar dari dalam kelenteng. Serta merta dia menghentikan langkah di depan kelenteng besar itu lapat-lapat masih dapat dibacanya di atas pigura yang tergantung di atas pintu yang terbuka itu bertuliskan "Lo-kian-ceng-goen-si", tulisan yang lebih kecil tak terbaca lagi olehnya. Berhenti sejenak baru dia putar badan hendak meninggalkan tempat itu, mendadak sekilas dilihatnya empat sosok mayat tergeletak di dalam pintu. Rasa aneh dan ingin tahu mengetuk hatinya, segera dia melangkah masuk ke dalam kelenteng.
Melewati pekarangan dan serambi panjang, beruntun ditemukan beberapa mayat pula, semua korban mengenakan seragam hitam.
-- Sinar api terang benderang disebelah dalam, namun tak terdengar suara orang, suasana terasa seram dan menakutkan. Sebentar dia ragu-ragu, segera dia melesat masuk ke ruang tengah, seketika dia merinding, berdiri bulu kuduknya, keringat dingin membasahi sekujur badannya.
Tertampak puluhan meja perjamuan berjajar rapi di tanah berumput di tengah pekarangan. Hidangan dan arak belum digasak habis, terang perjamuan itu baru saja dimulai. Namun mayat bergelimpangan disekitar meja kursi, tiada satupun yang hidup.
Te-gak Suseng bergidik seram, tentunya kelenteng besar ini adalah pusat kekuasaan dari sesuatu organisasi persilatan, kenapa semua orang di sini terbunuh seluruhnya" Lalu siapakah orang yang bertindak keji" Dia berjongkok dan memeriksa mayat seorang yang paling dekat, dilihatnya sang korban tidak menunjukan sesuatu luka, entah bagaimana dia bisa mati" Kembali dia memeriksa lebih cermat. Tiba-tiba mukanya berubah dan berjingkat berdiri sampai sempoyongan mundur, mulutnya bersuara tertahan.
"Apa mungkin ....... tadi kenapa?"
Dia berdiri kesima dengan bingung, badannya gemetar, pandangannya menyapu mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam pekarangan ini, alisnya berkerut dalam.
"Mungkin orang-orang ini mempunyai cara sendiri untuk menghabisi jiwa," ia menghibur dirinya sendiri dengan pikiran yang tidak masuk akal ini, lalu dia putar badan hendak meninggalkan kelenteng ini.
-- Tapi baru saja dia membalik badan, laksana kena aliran listrik tegangan tinggi, dia menyurut kembali dangan kaget, pikirannya menjadi kacau balau. Beberapa tombak di sebelah sana di jalanan yang ma?suk ke ruang tengah ini, tertampak sesosok bayangan merah nan jelita, dia bukan lain adalah si gadis baju merah pujaannya, tambatan hatinya yang diuber-ubernya selama ini.
Bagaimana dia dapat muncul disaat ini" Lalu apa sangkut pautnya semua korban ini dengan dia" Muka gadis berbaju merah kelihatan mengunjuk amarah yang tak tertahankan, matanya seperti hampir tarbakar. Apakah yang telah terjadi" Dengan langkah berat Te-gak Suseng maju beberapa tindak, lalu sapanya,
"Tak nyana di tempat ini bertemu lagi dengan nona?"
"Te-gak Suseng." bentak si gadis baju merah dengan bengis,
"kejam benar perbuatanmu ............"
Terkesiap hati Te-gak Suseng, serunya: "Nona bilang apa?"
"Kau tidak berperikemanusiaan."
"Cayhe baru saja tiba, mayat-mayat ini ........."
"Tutup mulutmu. Dengan mataku sendiri pernah kusaksikan kau membunuh orang tanpa neninggalkan bekas, kini kenyataan terpampang di depan mata, tiada alasan bagimu untuk mungkir lagi.
Hayo katakan, dengan cara keji apa kau membunuh mereka?"
-- Te-gak Suseng tertawa getir, katanya: "Bukan Cayhe yang melakukannya."
"Memangnya siapa?"
"Ini .......... entahlah."
"Berani membunuh orang kenapa kau tidak berani mengakuinya?"
"Terus terang, tidak sedikit orang yang telah kubunuh, namun kejadian di sini memang betul-betul bukan perbuatanku."
"Cara bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"
"Tanpa sengaja aku masuk kemari."
"Hm," dengus si nona.
Watak Te-gak Suseng angkuh dan latah, biasanya dia tidak sudi banyak bicara, namun keadaan hari ini berbeda dengan biasanya, orang yang dihadapinya adalah gadis pujaannya, walau cintanya bertepuk sebelah tangan, namun hal ini cukup menjadikan alasan untuk mengekang perasaan dan kendalikan wataknya, kalau orang lain tentu sikapnya sudah jauh berubah.
Namun sekarang meski dia ingin melimpahkan isi hatinya juga tidak mungkin lagi, betapa risau hatinya, dapatlah dibayangkan, dan yang lebih penting adalah bahwa si nona yang turun tangan jahat membunuh orang sebanyak ini, dan berbalik menuduhnya malah,
-- semua ini secara langsung telah memunahkan cita-cita dan keinginannya. Setelah membisu sekian lamanya, lalu dia bertanya,
"Nona bernama siapa?"
"Kau tidak perlu tahu," semprot si gadis baju merah, "aku tidak sudi beritahu kepadamu."
Berkerutuk gigi Te-gak Suseng, sedapat mungkin dia menahan perasaan dan gejolak hatinya, katanya,
"Lalu apa sangkut paut nona dengan semua korban ini?"
Meadelik mata gadis berbaju merah, serunya beringas,
"Aku ini adalah penuntut batas sakit hati mereka."
Te-gak Suseng menyurut mundur.
"Sekali lagi kunyatakan, bukan aku yang membunuh mereka."
"Jiwa ratusan orang, apakah cukup dengan jawaban sepatah kata ini?"
"Lalu apa yang harus Cayhe katakan dan buktikan?"
Semua korban tiada satupun yang terluka atau keracunan, cara membunuh orang yang tiada keduanya ini, kecuali kau memangnya siapa lagi orangnya?"
-- "Nona terlalu yakin akan pendirian sendiri. Cayhe tak tahu apa pula yang harus kukatakan."
Tiba-tiba derap kaki orang banyak datang dari luar. Sebuah tandu berhias dipikul empat laki-laki kekar mendatangi, langsung menuju pekarangan tengah. Di belakang tandu beriring puluhan orang seragam hitam. Tandu diturunkan, keempat pemikulnya berdiri tegak di tempatnya sambil meluruskan tangan.
Lekas si gadis baju merah menghampiri ke depan tandu, lalu berbisik-bisik dari balik kerai, entah apa yang dia laporkan, lalu diapun berdiri ke samping."
Te-gak Suseng menjadi sebal, siapakah orang yang berada dalam tandu" Semua orang berbaju hitam sama memandangnya dengan sorot mata gusar penuh kebencian, seakan-akan ingin membeset kulit dan mengiris dagingnya.
Suasana hening mencekam perasaan, lama sekali baru terdengar sebuah suara perempuan yang kereng berkata,
"Kau ini berjuluk Te-gak Suseng?"
"Betul!"
"Terangkan asal usulmu."
"Maaf, tak bisa kupenuhi permintaan ini."
-- "Hm, dengan keji kau menghabisi ratusan jiwa orang, apa alasanmu?"
"Sudah berapa kali Cayhe menyatakan, bukan Cayhe yang melakukannya."
"Dengan apa kau membuktikan bukan perbuatanmu?"
"Dengan kehormatan pribadiku."
"Hahaha, kau, Te-gak Suseng, juga berani bicara soal kehormatan pribadi."
Berubah roman muka Te-gak Suseng, dia tidak terima dihina dan dicemooh, hawa hitam di tengah kedua alisnya semakin tebal, siapapun akan merinding melihat nafsunya yang mulai berkobar.
Katanya sambil melangkah dua tindak ke arah tandu,
"Siapa sebutan yang mulia?"
"Kau belum setimpal untuk tanya diriku."
Tak tertahan lagi Te-gak Suseng segera ayun tangannya menggempur ke arah tandu, serangan yang dilandasi hawa amarah ini, kekuatannya bagai kilat menyambar dan seperti badai mengamuk.
Semua orang berbaju hitam yang hadir sama menggerung gusar, namun tiada satupun yang berani turun tangan. Gadis berbaju merah sebaliknya mengunjuk rasa jijik mencemoohkan.
-- Kerai tandu tampak sedikit bergoyang, dari dalam tandu timbul serangkum angin lembut, seketika damparan badai pukulan Te-gak Suseng yang dahsyat itu sirna tanpa bekas.
Gemetar dan merinding Te-gak Suseng, Lwekang orang dalam tandu sungguh teramat tinggi. Tiba-tiba teringat olehnya, Siang-thian-ong pernah memberi peringatan kepada Bu-cing-so bahwa gadis baju merah ini mempunyai tulang punggung yang amat tangguh, siapapun tak berani mengusiknya, agaknya kata-kata itu bukan gertakan belaka.
Sesaat lamanya dia menjadi bingung, bagaimana baiknya.
kenyataan membuktikan bahwa dirinya bukan tandingan orang, namun dasar wataknya kaku dan suka menang, tak pernah terpikir olehnya untuk menyingkir saja, apalagi di hadapan si gadis baju merah yang dipujanya, tak sudi dia unjuk kelemahan.
Terdengar orang di dalam tandu buka suara pula:"Te-gak Suseng, berkatalah terus terang sajal"
"Tiada yang harus kukatakan," jawab Te-gak Suseng.
"Kau ingin mampus?"
"Belum tentu kau mampu!"
"Agaknya sebelum melihat peti mati, kau tidak akan menangis,"
kembali kerai tandu bergoyang, segulung angin kencarg mendampar
-- keluar, secara refleks Te-gak Suseng ayun tangan memapak dengan pukulan.
"Plok" seperti ledakan halilintar di tengah angkasa, Te-gak Suseng terhuyung-huyung puluhan langkah, mukanya pucat pasi, dua jalur darah meleleh dari ujung mulutnya. Sejak dia mengembara, baru pertama kali ini bertemu dengan musuh tang?guh yang menakutkan ini, sampai balas menyerang atau membela diripun ia tak mampu.
Gadis berbaju merah berkata dingin,
"Te-gak Suseng, baiknya berterus teranglah."
Sorot mata Te-gak-Suseng menatap wajah si?gadis, walau mukanya diliputi rasa dendam dan kebencian, namun tetap menggiurkan, sikapnya agung berwibawa.
Seketika kuncup amarah Te-gak Suseng yang meluap-luap berhadapan dengan si gadis yang telah menambat hatinya itu.
Sungguh dia tidak habis mengerti akan perasaannya ini, katanya getir sambil membersihkan noda darah dimulutnya,
"Nona, bukan aku pembunuhnya."
Terdengar suara kereng dari dalam tandu.
"Periksa dengan teliti jenazah para saudara yang menjadi korban."
-- Beberapa orang mengiakan, puluhan orang berbaju hitam segera bekerja memariksa mayat-mayat yang bergelimpangan, tempat-tempat yang terlarangpun tidak ketinggalan mereka periksa, akhirnya semua memberi laporan yang sama,
"Tiada tanda-tanda luka sedikit pun."
Te-gak Suseng menengadah mukanya berkerut, dia tahu sebabnya, namun tidak mau mengatakan.
"Majukan tandu ini!" bergegas empat pemikul tandu angkat tandu berhias itu dan maju langsung mendekati Te-gak Suseng.
Suara orang dalam tandu semakin dingin,
"Te-gak Suseng," serunya, "pada dirimulah kubongkar teka teki ini,"
"Yakin yang mulia pasti akan kecewa."
"Tunggu saja hasilnya nanti."
Beberapa jalur kencang mendesir keluar dari balik kerai tandu.
Secepat kilat Te-gak Suseng melejit ke samping, gerak geriknya boleh dikata teramat cepat. Namun kepandaian orang dalam tandu sungguh luar biasa, seolah-olah dia sudah memperhitungkan dengan tepat ke mana Te-gak Suseng akan bergerak, maka dalam waktu yang sama beruntun beberapa jalur angin kencang menyambar pula, sehingga Te-gak Suseng seperti memapak sendiri ke arah terjangan angin kencang ini. Kontan sekujur badan tergetar, darah terasa
-- bergolak seperti beribu ular menggigit badannya, betapa besar siksa derita ini sukar dilukiskan.
Keringat berketes-ketes, saking kesakitan raut mukanya sampai berubah bentuk, badannya mengejang. Tapi dia mengertak gigi tanpa mengeluh sedikit pun, kedua biji matanya merah membara dan melotot.
Lama kelamaan pandangan matanya semakin kabur dan berkunang-kunang.
"Buuk", akhirnya dia roboh terguling dan berkelejotan beberapa kali, lalu merangkak bangun dan meronta kesakitan, ingin memaki namun tak mampu mengeluarkan suara.
"Kau mau bicara tidak?"
"Ti....tidak .........''
"Bluk", kembali dia terguling jatuh, badannya meliuk-liuk dan meringkal, napasnya mulai memburu, dari mulut, kuping dan hidung merembes darah.
2.4. Jangan Sentuh Dia ....... !!!
Kata orang di dalam tandu itu penuh kebencian: "Te-gak Suseng, tak nyana terhadap badanmu sendiri kaupun berlaku begini kejam."
-- Menghimpun seluruh tenaganya, Te-gak Suseng menjerit dengan beringas: "Kalau ...... kalau aku ..... tidak .... mati, ..... aku ......
bersumpah akan mem ....... membunuhmu."
"Geledah badannya," orang dalam tandu itu memberi perintah,
"keluarkan sesuatu yang bisa menunjukkan tanda dirinya."
Seorang laki-laki tua baju hitam segera melangkah maju sambil mengiakan, dia membungkuk badan serta ulur tangan. Tiba-tiba laki-laki baju hitam memekik seram terus terbanting jatuh, sebentar kaki tangan meronta-ronta cepat sekali jiwanya lantas melayang.
Terdengar gerungan gusar, kembali sejalur angin lesus menyampuk keluar dari dalam kerai. Kontan badan Te-gak Suseng terlempar beberapa tombak dan terbanting diam.
"Bunuh dia," orang di dalam tandu memberi perintah, dua orang berbaju hitam mengiakan sambil menghunus pedang,
"Berhenti!" di kala kedua orang berbaju hitam itu merandek karena seruan itu, sesosok bayangan orang bagai kilat tahu-tahu melayang turun, kiranya seorang gadis jelita.
"Siapa kau?" bentak orang di dalam tandu.
"Thian-thay-mo-ki."
"Apa maksud kedatanganmu?"
"Kau bertindak keterlaluan."
-- "Apa maksudmu?"
"Te-gak Suseng memang dugal dan nyentrik, namun dia bukan laki-laki rendah yang tidak punya rasa tanggung jawab, kalau membunuh orang tidak nanti dia mungkir."
"Kau sekomplotan dengan dia?"
"Asal usulnya aku tidak tahu, namun belum ada setengah jam dia baru berpisah dengan aku, kusaksikan sendiri dia masuk ke kelenteng ini, lalu kalianpun berdatangan, apakah kau yakin dalam waktu setengah jam ini dia mampu membunuh ratusan orang yang berkepandaian tinggi?"
"Soalnya tidak terletak pada waktu, namun terletak pada cara dia membunuh."
"Aku berani menjadi saksi bahwa bukan dia pembunuhnya."
"Kemungkinan kau bekerja sama dengan dia."
Membesi wajah Thian-thay-mo-ki, katanya murka,
"Kau berkepandaian silat tinggi lalu kau boleh sembarangan menuduh orang?"
"Hm, kalau kau memang sekomplotan, kaupun takkan luput dari tanggung jawab, seluk beluk urusan ini pasti akan terbongkar."
-- Badan Te-gak Suseng tampak bergerak-gerak, dengan rasa iba Thian-thay-mo-ki mengawasinya lalu berkata kepada si gadis baju merah: "Nona, tentunya kau tidak lupa bahwa dia pernah menolong kau dari tangan orang-orang Ngo-lui-kiong bukan?"
Berubah air muka si gadis baju merah: "Betul, hal itu takkan kulupakan, namun jiwa ratusan orang ........."
"Kenyataan belum membuktikan bahwa dialah pembunuhnya bukan?"
"Hanya dia yang ada di sini, orang yang baru saja mati ini, keadaannya mirip dengan yang lain-lain, apakah ini tidak bisa dijadikan bukti, coba bagaimana kau akan menjelaskan?"
"Aku tidak perlu menjelaskan, namun aku yakin bukan dia yang turun tangan, kutanggung ........."
"Kau tidak setimpal untuk menanggung dia ........" sela orang di dalam tandu.
Thian-thay-mo-ki angkat tangannya, serunya,
"Kalau dengan ini bagaimana?"
Di antara jari telunjuk dan jari tengahnya terselip sebentuk batu giok yang berbentuk menyerupai hati sebesar telapak tangan bayi, batu giok itu berlobang tiga di tengahnya.
"Sam-ci-ciat!" orang di dalam tandu berseru kaget.
-- "Betul kau kenal benda ini?" jengek Thian-thay-mo-ki dingin.
"Kau ....... kau murid beliau?"
"Betul!"
Berdiam sesaat lamanya, lalu terdengar orang di dalam tandu bersuara berat,
"Baik, mengingat benda ini, persoalan sementara sampai di sini dulu, namun urusan belum selesai ........."
"Kalau kelak dapat dibuktikan bahwa Te-gak Suseng ada sangkut pautnya dengan pembunuhan ini, kutanggung menggusur dia kehadapanmu, terserah kau menghukumnya."
"Baik, boleh kau membawanya pergi."
"Hiat-tonya yang tertutuk ........"
"Sudah dibebaskan, kalau tidak tentu jiwanya sudah melayang sejak tadi.''
Terunjuk perasaan serba salah pada wajah Thian-thay-mo-ki, sesaat dia bungkam, tiba-tiba dia banting kaki terus membungkuk dan hendak memanggulnya ...........
Tak terduga pada saat itu pula tiba-tiba Te-gak Suseng membuka mata,
-- "Jangan kau sentuh aku," katanya dengan suara gemetar, dengan tangan menyanggah tanah, dia merangkak bangun dengan sempoyongan.
Thian-thay-mo-ki melenggong, kembali wajahnya mengunjuk perasaan benci tapi juga kasihan, mulut sudah bergerak namun urung bicara.
Dengan tatapan dingin Te-gak Suseng menyapu pandang semua orang yang hadir, lalu dia tatap pula muka si gadis baju merah sebentar, habis itu baru berputar kepada Thian-thay-mo- ki dan berkata,
"Kebaikanmu ini akan terukir dalam hatiku."
Lalu dengan langkah sempoyongan dia beranjak ke pintu kelenteng.
Bulan sabit menghiasi angkasa, bintang-bintang bertaburan, cakrawala remang-remang kebiruan, angin malam terasa dingin mengiris kulit.
Thian-thay-mo-ki mengintil di belakang Te-gak Suseng, entah berapa jauh mereka berjalan, akhirnya dia berkata,


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dik, lukamu tidak ringan, berobat dulu lebih penting."
-- Betapapun dingin dan kaku sikap Te-gak Suseng, akhirnya terharu juga akan kebaikan orang, katanya sambil menghentikan langkah,
"Terima kasih atas perhatianmu, rasanya Cayhe tahu cara bagaimana harus mengurus diri. Sekarang boleh silakan pergi saja, Cayhe tak ingin bikin repot kau."
Dengan mendongkol Thian-thay-mo-ki melerok ke arah Te-gak Suseng, katanya dingin,
"Kau tidak sudi bergaul bersamaku?"
"Bukan begitu, Cayhe tidak suka terlalu banyak utang budi."
"Te-gak Suseng," seru Thian-thay-mo-ki marah-marah, "kau kira aku ini betul-betul perempuan rendah" Hm!"
Dengan murka dia terus putar badan dan berlari pergi, cepat sekali bayangannya menghilang ditelan kegelapan malam.
Te-gak Suseng ingin memanggil dan memberi penjelasan, namun urung, ia tahu isi hati orang, namun dia merasa sebal berhadapan dengan tingkah laku orang yang genit.
Dia geleng-geleng kepala, lalu beranjak masuk ke hutan, luka dalam yang parah, ditambah siksa tutukan jalan darah yang terbalik, sungguh tak tertahankan lagi, untunglah wataknya yang keras tetap bertahan, kalau tidak, mungkin dia tak kuat bergerak lagi. Sekarang
-- yang penting mengobati luka-luka, urusan lain harus dikesampingkan dulu.
Dengan mengerahkan seluruh tenaganya baru dia dapat tiba di dalam hutan, lalu duduk di bawah sebuah pohon, tenaga seolah-olah sudah habis sama sekali, tulang sekujur badan serasa retak dan terlepas dari ruasnya. Dia tenangkan diri mengatur napas lalu keluarkan dua butir obat dan ditelannya, pelan-pelan ia pejamkan mata, pusatkan pikiran untuk bersamadhi.
Tiba-tiba sesosok bayangan orang yang besar bagai setan menyelinap ke luar dari dalam hutan, matanya menyapu keadaan sekelilingnya, lalu melompat dekat ke arah Te-gak Suseng. Saat-saat genting tengah dicapai dalam latihan Te-gak Suseng yang sedang samadhi ini, maka apa yang terjadi di sekelilingnya tidak dilketahui sama sekali. Bayangan orang itu tiba-tiba angkat tangan memukul batok kepala Te-gak Suseng.
Dalam keadaan seperti Te-gak Suseng ini, cukup sedikit sentuh dengan tutukan jari saja akan membuatnya celaka, kalau tidak Cau-hwe-jip-mo dengan badan cacat, malah mungkin nyawa bisa melayang.
Pada detik-detik genting itu, sebelum jiwa Te-gak Suseng direnggut pukulan telapak tangan bayangan besar itu, di luar dugaan, tahu-tahu orang itu menghentikan tangan di tengah udara, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, lama sekali baru kembali dia ayun tangannya.
-- "Heh!" tiba-tiba terdengar suara orang mendengus, reaksi bayangan orang itu teramat cepat dan sukar dilukiskan, secepat kilat dia menubruk ke arah datangnya suara.
"Siapa?" hardiknya.
Dari balik pohon sana" melompat ke luar sesosok bayangan langsing.
"Hm, Thian-thay-mo-ki " jengek bayangan orang tadi.
"Betul, tuan ini orang kosen dari mana?"
Ternyata setelah tinggal pergi dengan rasa dongkol. Thian-thay-mo-ki tidak tega meninggalkan Te-gak Suseng dalam keadaan sepayah itu, maka diam-diam dia putar balik, kebetulan bayangan aneh yang hendak membunuh Te-gak Suseng ini kepergok olehnya.
Kuatir mengganggu Te-gak Susen.g, maka dia hanya tertawa dingin dan berusaha memancing bayangan misterius itu.
Di bawah sinar bulan sabit yang remang-remang menembus dari sela-sela dedaunan, kelihatan bayangan mis?terius ini adalah seorang berjubah sutera dan berkedok. Bahwa namanya sendiri diketahui orang, sebaliknya siapa orang itu Thian-thay-mo-ki tidak tahu, mau tidak mau ia merasa ngeri namun tetap waspada.
Orang berkedok itu berkata dengan menyeringai: "Budak, siapa diriku kau tidak perlu tahu, yang terang kau takkan bisa pergi dengan hidup."
-- Thian-thay-mo-ki terkikik,
"Lho, memangnya kenapa" " tanyanya.
"Tidak apa-apa"
"Manusia durjana sekalipun, kalau membunuh orang tentu punya alasan."
"Omong kosong, untuk membunuhmu tidak perlu pakai alasan segala, cukup asal kuanggap perlu membunuhmu."
Tegak alis lentik Thian-thay-mo-ki. Katanya,
"Lantaran aku mengganggu tuan membunuh Te-gak Suseng?"
"Anggaplah betul ucapanmu."
"Te-gak Suseng bertangan gapah, semua korbannya tidak meninggalkan bekas-bekas luka, membunuh dia berarti memberantas kejahatan di Kangouw, namun tuan kan tidak perlu membunuh dan menutup mulutku ..........."
"Ha ha ha, perempuan jalang, kau kira orang macam apa diriku ini, kau naksir dia, tapi dia tidak suka padamu, barusan kau pergi dengan marah-marah, kenapa sekarang putar balik lagi?"
Berubah air muka Thian-thay-mo-ki, agaknya bayangan misterius ini mengetahui apa yang telah terjadi, lalu apa tujuannya hendak membunuh Te-gak Suseng" Meski tahu takkan memperoleh
-- jawabnya, namun bisa mengulur waktu, juga baik, dia berharap Tegak Suseng lekas bangun dari samadhinya. Maka dengan tertawa menggiurkan dia berkata,
"Agaknya tuan malah yang berminat?"
"Sudah tentu."
"Dari perawakan tuan tentunya bukan sebangsa manusia rendah, dalam Bu-lim tentu punya kedudukan penting, apakah tidak malu melakukan perbuatan rendah ......."
"Kau keliru, aku tidak pedulikan segala peraturan."
"Oh, kau takut kalau sebentar dia siuman, kau bukan tandingannya?"
"Terserah apa yang kau duga, yang terang kalian harus sama-sama mampus. Kau hendak mengulur waktu, bukan" He he he ......"
di tengah tawa dinginnya, tahu-tahu tangannya mencengkeram kearah Thian-thay-mo-ki, gerakannya secepat kilat, aneh lagi.
Namun Thian-thay-mo-ki waspada dan siaga, baru pundak orang bergerak, dia ayun tangan, segenggam jarum segera dia taburkan, jarum rahasianya ini selembut bulu kerbau, beberapa tombak sekelilingnya bisa dicapainya, apa lagi jarak kedua orang begini dekat, mustahil kalau lawan tidak terluka.
Tapi orang berkedok acuh tak acuh seperti tidak terserang apa-apa, gerak tangannya tetap mencengkeram, hujan jarum itu
-- sebagian besar mengenai badan orang, namun pergelangan tangan Thian-thay-mo-ki juga terpegang oleh lawan.
Serasa terbang sukma Thian-thay-mo-ki saking kaget, bahwa jarum-jarumnya itu adalah senjata rahasia yang terkenal ganas dan ditakuti persilatan, yaitu Siok-li-sin-ciam (jarum gadis suci) yang bisa nyusup ke badan manusia mengikuti aliran darah, kalau terlambat diobati, jarum akan merusak jantung orangnya binasa.
Selama dia berkelana baru pertama kali ini dia kebentur seorang yang tidak takut, terluka oleh jarum-jarum saktinya, dan lebih menakutkan lagi bahwa jarum-jarum yang mengenai badan orang itu tahu-tahu sama rontok berjatuhan, sungguh luar biasa dan sukar dibayangkan.
Sedikit orang berkedok itu kerahkan tenaga seketika Thian-thay-mo-ki merasa sekujur badannya lemas lunglai, tenaga murninya tak mampu dikerahkan lagi.
Orang berkedok itu terloroh-loroh, matanya memancarkan sinar jalang serta merta terasa oleh Thian-thay-mo-ki akan maksud jahat orang, seketika kecut perasaannya.
Dengan sebelah tangannya orang berkedok mengusap wajah Thian-thay-mo-ki, sorot matanya yang bernafsu menjelajah seluruh badan orang yang padat berisi, lalu gumamnya dengan suara berat,
"Sayang sekali kalau kubunuh begini saja, makhluk seayu ini, kenapa tidak kunikmati dulu......."
-- Pucat pias muka Thian-thay-mo-ki, badanpun gemetar.
Kata orang berkedok dengan tawa lebar,
"Rase genit, walau aku sudah setengah baya, namun Soal hubungan laki perempuan tanggung nomor satu di dunia ini. Kau tidak percaya" Sebentar boleh kau buktikan, ha ha ha ha...........!"
Gelak tawa yang penuh nafsu birahi itu menyentak sanubari Thian-thay-mo-ki. Tapi dia berjuluk Mo-ki (iblis genit), tentunya julukannya ini bukan diperolehnya secara gampang, cepat dia ubah sikap dan unjuk tawa genit dengan aleman,
"Apa benar?" tanyanya.
"Sudah tentu, kenyataan akan membuktikan." ujar orang berkedok itu lalu cekakak seperti orang gila.
"Kalau begitu ....... lepaskan tanganku."
"Tidak bisa, diriku tidak gampang dipermainkan, memangnya aku tidak tahu apa yang terkandung dalam hatimu" Hahaha ......" lalu ia seret Thian-thay-mo-ki ke arah Te-gak Suseng, katanya pula,
"Ilmu silatmu akan kupunahkan dulu, sekarang kubereskan anak keparat ini, kemudian bersenang-senang dengan kau." Tiba-tiba jari telunjuknya bergerak, Thian-thay-mo-ki terhuyung-huyung jatuh terduduk tak mampu bergerak lagi. Orang berkedok itu lalu menghampiri Te-gak Suseng yang masih samadhi itu.
-- Hakikatnya Te-gak Suseng tidak menyadari bahwa elmaut tengah mengancam dirinya. Seakan-akan menyala kedua biji mata Thian-thay-mo-ki, jari tengahnya tiba-tiba menutuk beberapa Hiat-to di badan sendiri, tahu-tahu dia melompat berdiri dengan gerakan gemulai terus menubruk ke arah orang berkedok.
Hampir dalam waktu yang sama, terdengar jeritan seram yang menggetarkan sukma, dengan muntah darah Te-gak Suseng terpukul mencelat beberapa tombak jauhnya. Sigap sekali orang berkedok itu membalik badan, kebetulan dia menampak kedatangan Thian-thay-mo-ki, dengan bersuara heran, kontan dia ayun tangannya menyapu,
"Blang," Thian-thay-mo-ki juga terpental balik.
Badan Te-gak Suseng terbanting keras dan tidak bergerak mungkin jiwanya sudah melayang.
"Hebat juga rase genit ini," dengus orang berkedok, "ternyata kau tidak mempan tutukan."
Thian-thay-mo-ki ayun tangan, sebuah benda. berkilauan tiba-tiba menyambar orang berkedok itu.
"Cit-sian-hwi-yim!", teriak orang berkedok kaget. Sebat sekali dia berkelebat menyingkir, namun benda berkilau itu seperti benda hidup layaknya, tahu-tahu melingkar balik terus berputar-putar satu lingkaran, dua lingkaran dan seterusnya, belum lingkaran pertama lenyap, lingkaran selanjutnya sudah saling susul menjadikan taburan
-- sinar bundar laksana jala yang ketat dengan mengeluarkan desis angin kencang, siapa takkan kaget dan takut.
Gerakan orang berkedok ternyata bagai setan berkelebat di tengah-tengah kepungan jala bersinar tajam itu. Tiba-tiba terdengar mulutnya menggerang cahaya terangpun seketika kuncup, tertampak kain kedok kepala orang berkedok tadi basah oleh darah, jelas sekali batok kepalanya tergores luka selebar tiga senti.
"Rasakan sekali lagi," teriak Thian-thay-mo-ki geram, kembali dia ayun tangannya. Tapi orang berkedok bergerak lebih cepat, belum sempat Cit-sian-hwi-yim (pisau terbang) di lepaskan, bagai kilat menyamber tahu-tahu orang berkedok itu sudah melejit ke atas seraya memukul dengan kedua tangannya, pada saat senjata rahasia Thian-thay-mo-ki ditimpukkan, pukulan dahsyat lawanpun sudah mendampar tiba "Blang", kontan dia terguling roboh. Pisau terbangnya yang melengkung itu sempat berputar di tengah udara, namun bayangan orang berkedok sudah berkelebat di luar jangkauan lingkaran cahaya terang itu. Setetah melingkar tujuh kali, pisau melengkung itu akhirnya jatuh di atas tanah.
Orang berkedok mendekati Thian-thay-mo-ki. Dilihatnya darah meleleh dari mulut dan hidungnya, jelas napasnya sudah terhenti, sejenak dia termenung berkata dingin,
"Perempuan sundel, boleh kau menjadi pasangan di alam baka dengan anak keparat itu."
Habis berkata, berkelebat bayangannya lantas lenyap.
-- Suasana dalam hutan hening lelap, hanya suara keresekan daun pohon yang tertiup angin sehingga kesunyian mencekam perasaan.
Setengah jam telah berlalu, dua orang laki-laki berbaju hitam memasuki hutan untuk meronda, tiba-tiba satu diantaranya menjerit kaget,
"Lihat, apa itu?"
Bergegas mereka melompat maju, seorang yang lain juga berteriak,
"Hah, bocah itu!"
"Siapa?" tanya temannya.
"Te-gak Suseng."
Serta merta keduanya menyurut dua langkah, sesaat mereka mematung, setelah ditunggu tiada gerak apa-apa, salah seorang coba melangkah maju pula. Setelah longok sana longok sini, dia ulur tangan menyentuh badan orang, kemudian teriaknya dengan mendelik,
"Sudah mati!"
"He, di sana juga ada ...... itulah Thian-thay-mo-ki, dia juga mati."
"Aneh, kenapa mereka sama-sama mampus dalam hutan ini, siapakah pembunuhnya?"
-- "Mungkin dia orang tua ........."
"Tutup mulutmu, kau ingin mampus, berani cerewet!"
"Hihi, coba lihat, nona yang begini menggiurkan, meski sudah tidak bernyawa ........."
"Kenapa?"
"Hehe ......sungguh ....... sungguh membuatku tak tahan lagi."
"Li Ji, keparat kau ini, jangan terpikat paras cantik, dia kan sudah mati."
"Lo-ong, terus terang, di kala dia masih hidup, untuk mencium pantatnya saja jangan kau harap ......."
"Memangnya kau hendak memperkosa mayatnya?"
"Ah, tidak, tapi merabanya saja kan boleh?" orang berbaju hitam yang dipanggil Li Ji lantas mendekati Thian-thay-mo-ki terus berjongkok dan mengulur tangan.
"Waaaah!" jeritan panjang yang seram dan mengerikan memecah kesunyian. Li Ji terbanting roboh celentang, kepalanya pecah mukanya hancur, jiwanya melayang seketika.
Laki-laki berbaju hitam yang lain serasa copot nyalinya.
Memangnya orang mati mampu membunuh orang" Tahu-tahu
-- Thian-thay-mo-ki melompat bangun dengan gaya yang menggiurkan.
Seperti dikejar setan laki-laki berbaju hitam itu segera lari lintang pukang, beberapa langkah lagi dia sudah tiba di pinggir hutan, tahu-tahu seorang membentak dingin di hadapannya,
"Berhenti!"
Bergidik dan gemetar sekujur badan laki-laki berbaju hitam itu, bulu kuduknya berdiri semua, yang mencegat di tengah jalan kiranya Thian-thay-mo-ki. Noda darah masih meleleh dari hidung dan mulutnya. Kaki terasa lemas, kontan dia jatuh terkulai, mulut terpentang dan megap-megap tak mampu bersuara. sekian lamanya baru dia berteriak serak,
"Kau.... kau setan atau manusia?"
"Berapa jauh terpautnya antara setan dan manusia?" ujar Thian-thay-mo-ki dingin.
"Apakah kau ti ...... tidak mati" Tapi, jelas tadi kau sudah tak bernapas?"
"He he, kalau Thian-thay-mo-ki gampang mati, biar kuhapus saja nama julukanku." Habis kata-katanya itu, sekali dia tepuk telapak tangannya, laki-laki berbaju hitam menjerit terus roboh binasa.
-- Bergegas Thian-thay-mo-ki berlari masuk hutan menghampiri Tegak Suseng, air mata tak tertahan lagi bercucuran, mulutnya menggumam sambil sesenggukkan,
"Beginikah kau mengakhiri hidupmu?"
Sambil bicara dia duduk bersimpuh tangannya terulur ......
"Jangan sentuh dia!"
Tiba-tiba sebuah suara dingin berkumandang di belakangnya.
Dengan kaget lekas Thian-thay-mo-ki tarik tangannya seraya meloncat berdiri.
Dilihatnya seorang perempuan setengah umur berwajah welas asih berdiri di sampingnya. Bagaimana perempuan ini berada di dekatnya sedikitpun tidak disadarinya, dari sini dapatlah dibayangkan bahwa kepandaian silat orang ini cukup tinggi.
Kini teringat olehnya bahwa Te-gak Suseng pernah mencegah dirinya menyentuh tubuhnya. Perempuan yang muncul mendadak ini juga melarang dirinya menyentuh jenazahnya, kenapa" Siapakah petempuan ini" Dengan hambar dia lantas bertanya,
"Siapakah Cianpwe ini?"
"Namaku tidak perlu disebut lagi."
Thian-thay-mo-ki melengak, tanyanya,
-- "Kenapa Cianpwe melarang aku menyentuhnya?"
Tidak menjawab pertanyaannya, perempuan itu malah maju mendekat, dengan jari-jari tangannya yang halus putih meraba sekujur badan Te-gak Suseng.
Tak tahan Thian-thay-mo-ki berkata,
"Seorang berkedok telah memukulnya mati di saat dia bersamadhi."
Perempuan setengah umur itu menghela napas penuh rasa iba, dua butir air mata menetes, katanya pilu,
"Kasihan!"
Dengan terbelalak Thian-thay-mo-ki mengawasi, tanyanya,
"Cianpwe kenal dia?"
"Bukan saja kenal, dia ......."
"Cianpwe pernah apa dengan dia?"
"Ah, tak perlu dibicarakan lagi."
Jawaban yang tak karuan, ini membuat Thian-thay-mo-ki tidak sabar, bukan saja Te-gak Suseng tidak menyintai dirinya, malah bersikap kasar, namun dia benar-benar menaruh hati kepadanya.
Perasaan manusia, memang sulit diraba, dia sendiri tidak habis
-- mengerti kenapa dirinya kasmaran terhadap laki-laki berlengan buntung yang baru dikenalnya ini.
Mungkin karena watak mereka ada titik persamaannya, atau mungkin Te-gak Suseng memang laki-laki yang patut dicintai setiap perempuan, pendek kata Te-gak Suseng sudah menambat hatinya.
Kini dia sudah meninggal, semua ini seperti sebuah impian belaka yang berakhir dengan tragis. Tak tertahan tercetus sumpahnya,
"Aku akan menuntut balas."
Perempuan setengah umur mengawasi Thian-thay-mo-ki dengan tertegun, tanyanya kemudian,
"Kau ....... kau ingin menuntut balas" Kukira sulit sekali."
"Cianpwe tahu siapa laki-laki berked?k itu?"
"Ai, inilah karma, apa pula yang harus kukatakan. Kalian ........"
"Tiada hubungan apa-apa," ujar Thian-thay-mo-ki getir. "Kami hanya bersua secara kebetulan saja."
"O, barusan kelihatannya kaupun sudah mati ....."
"Tapi aku hidup kembali."
"Siapakah gurumu?"
"Aku dilarang menyebut nama beliau."
-- Kembali perempuan setengah umur meraba-raba sekujur badan Te-gak Suseng, lalu katanya sedih,
"Memang sudah nasibnya, hanya mati yang mengakhiri semua dendam. Ai, mestinya belum saatnya dia mati ......"
"Belum saatnya mati, kenapa?" tanya Thian-thay-mo-ki.
"Daya hidupnya belum pudar, sayang sekali ......"
"Perempuan itu menjawab ragu-ragu.
2.5. Balasan Pengorbanan Darah
Tergerak hati Thian-thay-mo-ki, tanyanya,
"Jadi dia masih punya harapan hidup?"
"Ya, tapi aku ..... hanya berpeluk tangan saja."
"Kenapa?"
"Hanya sesuatu saja dalam langit ini yang mampu menghidupkan nyawanya."
Bersinar biji mata Thian-thay-mo-ki, serunya gugup,
"Apakah sesuatu itu?"
-- "Ah, tak usah kukatakan. Benda pusaka tak bisa diperoleh secara paksa, apalagi daya hidupnya hanya bertahan sebentar lagi."
"Cobalah Cianpwe katakan benda apakah itu?" pinta Thian-thay-mo-ki.
"Sek-liong-hiat-ciang (darah naga batu), obat mujarab yang ada di dalam dongeng."
"Sek-liong-hiat-ciang ..... Sek-liong-hiat-ciang!" gumam Thian-thay-mo-ki dengan haru dan kegirangan.
Bercucuran pula air mata perempuan setengah umur, katanya tersedu-sedu. "Nona, sikapmu memberitahu kepadaku akan hubungan kalian, aku tak bisa lama di sini, kupikir kau sudi menguburnya dengan selayaknya. Tapi ingat, jangan kau sentuh badan bagian kiri, sekarang aku hendak pergi."
Pelan-pelan dia berdiri lalu berdoa,
"Nak, maafkan aku.... aku .....," kata-kata selanjutnya tertelan oleh sedu sedannya. Sekali berkelebat, tahu-tahu bayangannya sudah menghilang.
"Cianpwe, tunggu dulu!" teriak Thian-thay-mo-ki. Tapi dia tidak memperoleh jawaban, perempuan setengah umur pergi dan datang secara mendadak. Terpaksa Thian-thay-mo-ki duduk di samping mayat Te-gak Suseng, lama dia terlonggong, akhirnya dia berkertak gigi dan ambil keputusan.
-- "Baik akan kucoba." gumamnya.
Dia singkap lengan bajunya, dengan kuku jarinya yang panjang runcing dia gores lengannya yang putih halus, darah segar segera mengucur keluar. Cepat tangannya yang lain menyanggah dagu Tegak Suseng sehingga mulutnya terpentang, cucuran darahnya segera di teteskan ke mulutnya. Setengah jam kemudian, Te-gak Suseng sudah menelan puluhan teguk darahnya. Thian-thay-mo-ki menarik napas panjang, ia menghentikan tetesan darahnya terus bersimpuh istirahat.
Setelah istirahat sekian lama, dilihatnya tubuh Te-gak Suseng tetap kejang dingin tidak menunjuk sesuatu perubahan. Apa boleh buat dia menghela napas putus asa, gumamnya: "Agaknya memang sudah takdir."
Tapi pada saat itulah, tiba-tiba dilihatnya badan Te-gak Suseng mulai bergerak. Dia sangka pandangnya kabur, setelah kucek mata dia pandang lagi lebih jelas terlihat dada orang bernapas turun naik dengan teratur. Sungguh bukan kepalang girangnya. Segera ia hendak meraba dada orang, namun teringat akan peringatan perempuan tadi, lekas-lekas dia tarik tangannya pula, lalu meraba hidungnya, betul-betul terasa hembusan hangat dari lubang hidung.
"Dia hidup kembali Sek-liong-hiat-ciang betul-betul bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Kenapa sebelum ini tidak teringat olehku. Untung perempuan itu menyinggungnya, kalau tidak, kematiannya tentu amat 'penasaran," begitulah dia menggumam sendiri dengan suara gemetar. Wajahnya nan ayu bak
-- bunga mekar menampilkan perasaan yang aneh, sudah tentu Te-gak Suseng yang belum siuman itu tidak tahu.
Sebetulnya Thian-thay-mo-ki bisa salurkan hawa murninya membantu orang siuman lebih cepat, tapi teringat pada peringatan perempuan itu, terpaksa dia menahan sabar menunggu reaksi selanjutnya.
Kenapa dia dilarang menyentuh badan bagian kiri, dan di mana letak rahasia Te-gak Suseng yang membunuh orang tanpa meninggalkan bekas luka-luka, tetap akan menjadi teka-teki bagi dirinya. Sang waktu berjalan lambat di dalam penantian yang menggelisahkan.
Bintang-bintang sudah buram, hawa dingin semakin menusuk tulang, hari sudah mendekat fajar. Tiba-tiba Te-gak Suseng membuka kedua mata, remang-remang dilihatnya seseorang bersimpuh di sampingnya. Alam pikirannya masih kabur, lama sekali dia masih dalam keadaan setengah sadar. Akhirnya menjadi jelas juga penglihatannya, dengan sendirinya ingatannya lambat launpun menjadi jernih.
"Oh, dia." ia mengeluh dalam batin, sebelah tangannya menyanggah tanah, ia bangun berduduk.
Sungguh bukan kepalang senang hati Thian-thay-mo-ki, katanya,
"Dik, kau kau akhirnya hidup kembali."
-- Terkesiap darah Te-gak Suseng, dia hanya ingat dirinya masuk hutan dan bersamadhi menyembuhkan luka-luka dalamnya. namun tahu-tahu diserang orang dan apa yang terjadi selanjutnya tidak diketahui. Ucapan "hidup kembali" betul-betul membuatnya kaget dan heran.
"Apa katamu, aku hidup kembali?" ia menegas.
"Benar, tadi kau sudah mati sekali."
"Apa yang terjadi?"
"Waktu kau bersamadhi, tiba-tiba muncul seorang laki-laki kekar berkedok dan berjubah sutera ......"
"Berjubah sutera dan mengenakan kedok" Lalu bagaimana?"
"Kebetulan aku datang waktu dia hendak memukulmu, lantas kupancing dia pergi, tapi aku bukan tandingannya, jarum-jarum saktiku yang keji tak kuasa melukai dia."
"Oh, orang macam apakah dia?"
"Dia tak mau memperkenalkan diri, entah apa alasannya dia menyerang kau."
"Hm, dan selanjutnya?"
"Dia meringkus aku, menutuk hiat-toku. Untung aku bisa membebaskan diri dengan menjebol jalan darah yang tertutuk
-- hingga terluka. Waktu dia menyerangmu lagi, aku tak sempat membebaskan tutukannya namun aku sempat melukai dengan senjataku yang lain, meninggalkan tanda mata di atas kepalanya.
Akhirnya aku menipunya dengan pura-pura mati setelah menutup Hiat-to menghentikan denyut nadi ......."
"Kau tidak terluka?"
"Terluka parah, tapi dalam waktu singkat aku bisa menyembuhkan lukaku."
Te-gak Suseng berdiri, katanya dingin,
"Ceritamu sudah tamat?"
Berubah air muka Thian-thay-mo-ki mendengar nada pertanyaan orang yang ganjil, serunya,
"Cerita" Apa maksudmu?"
Jawab Te-gak Suseng tak acuh,
"Karanganmu amat menarik, sungguh menyentuh sanubari.
Semalam kau memang pernah membantuku, kelak pasti akan kubalas kebaikanmu, tapi tidak sepantasnya kau membuntuti diriku..... Aku tak berminat terhadap dirimu."
"Aku ...... aku membuntuti kau?" desis Thian-thay-mo-ki dengan gusar, badan gemetar wajahpun merah padam.
-- "Laki-laki kekar berkedok dengan jubah sutera yang kau katakan itu aku kenal, malah erat hubungannya dengan aku. Dia mengenakan Thian-hian-ih (baju sutera langit) yang tidak takut api air dan segala macam senjata tajam, maka jarum-jarummu tak dapat melukai dia ......."
"Oh, kau ........"
"Ketahuilah, dia adalah ayahku, mungkinkah dia membunuhku"
Siapa mau percaya cerita bohongmu?"
"Dia ....... dia ayahmu?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Tapi dia betul-betul hendak membunuh kau." kata Thian-thay-mo-ki dengan suara tertekan. "Te-gak Suseng, apa yang aku katakan adalah kejadian nyata, terserah kau mau percaya, mungkin dandanannya yang mirip ayahmu."
"Tidak mungkin."
"Di atas kepalanya telah kuberikan tanda mata."
"Itu akan kuselidiki."
"Dan masih ada .........."
''Cukup sekian saja, banyak urusan yang harus kuselesaikan, tiada tempo buat ngobrol disini."
-- Sebetulnya Thian-thay-mo-ki hendak mengisahkan munculnya perempuan setengah umur itu, serta mendengar ucapan orang yang tak kenal budi amarahnya jadi memuncak, matanya merah, teriaknya beringas,
"Te-gak Suseng, kau binatang berdarah dingin, tidak punya perikemanusiaan ......."
"Anggaplah begitu, selamat berpisah," jengek Te-gak Suseng, lenyap kata-katanya bayangannya sudah berkelebat beberapa tombak jauhnya.
Bergontai badan Thian-thay-mo-ki yang padat semampai, matanya mendelik memancarkan kebuasan, dengan darah sendiri dia menolong jiwa orang, tak nyana begini kasar dan tak kenal budi perlakuan yang diterimanya. Betapa benci dan dendam hatinya sungguh tak terlukiskan dengan kata-kata. Setelah terlongong sekian lamanya, tiba-tiba dia membanting kaki, katanya,
"Kalau tidak kubunuh kau, aku bukan manusia."
o0o Sementara itu Te-gak Suseng tengah berlari, ia mengakui bahwa sikapnya rada keterlaluan terhadap Thian-thay-mo-ki, dasar wataknya memang nyentrik dan kaku, dia tak suka bermuka-muka kepada orang lain.
-- Betapapun cerita Thian-thay-mo-ki tentang orang berkedok yang hendak membunuh dirinya sudah menggores dalam lubuk hatinya.
Ia anggap demi mencapai cita-citanya sengaja Thian-thay-mo-ki mengarang cerita bohong ini, karena semua itu tidak mungkin terjadi. Namun orang berani bersumpah dan katanya meninggalkan tanda mata di atas kepala orang itu, hal inilah yang perlu dia selidiki kebenarannya. Kalau betul, maka orang berkedok itu pasti penyamaran seseorang jahat yang punya tujuan buruk, memangnya pernah terjadi dalam dunia ini seorang ayah membunuh anak kandungnya sendiri" Siapapun tiada yang mau percaya.
Malam berakhir dan fajarpun menyingsing, Te-gak Suseng mencuci muka di sebuah sungai kecil, membersihkan noda-noda darah di bajunya, lalu melanjutkan perjalanan. Setiba di jalan raya kebetulan dilihatnya beberapa orang penunggang kuda mendatangi, lekas dia menyingkir ke pinggir, tiba-tiba seekor kuda meringkik berjingkrak dan berhenti di sampingnya, seseorang berseru,
"Bukankah kau ini Ji Bun."
Kejutnya bukan kepalang, selama dia mengembara, belum pernah dia menyebut nama sendiri. Tiada seorangpun kaum persilatan yang tahu nama aslinya. Serta merta dia angkat kepala, hatinya seketika berdetak, ternyata yang menegur adalah Ciang Wi-bin, si hartawan terkaya di Kayhong, seorang tokoh yang di segani pula di daerah Tionggoan. Walau beberapa tahun tak pernah bertemu, namun wajah orang yang kereng dan berwibawa masih diingatnya dengan baik, terutama jenggot orang yang menjuntai panjang di depan dada.
-- Ribuan li ditempuhnya hendak melamar puteri orang she Ciang ini, lantaran si gadis berbaju merah itulah sehingga dirinya berubah niat semula, entah orang sudah tahu belum akan hal ini" Bagaimana kalau ditanyakan, tentu serba runyam dan memalukan. Maka dengan tersipu-sipu dia memberi hormat,
"Keponakan bodoh Ji Bun memberi salam hormat kepada paman Ciang."
Ciang Wi-bin tergelak-gelak sambil melompat turun. Delapan Centing di belakangnya beramai-ramai ikut turun pula.


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiantit (keponakan baik), apakah ayahmu baik-baik saja belakangan ini?" tanya orang tua itu.
"Berkat doa paman, beliau sehat-sehat saja."
"Dalam sekejap enam tahun sudah berselang, Hiantitpun sudah dewasa, eh, kau .........."
Tanpa sadar Te-gak Suseng Ji Bun menyurut mundur, sahutnya dengan kebat-kebit,
"Paman ada petunjuk apa?"
"Lengan kirimu ........"
"Salah latihan, terpaksa dibuntungi."
"Dibuntung, mana boleh jadi?"
-- Ji Bun tidak menjawab, jantungnya berdebar-debar, ia kuatir orang tanya berbelit-belit.
Berubah roman Ciang Wi-bin mengawasi lengan kiri Ji Bun yang kosong melambai, gumamnya,
"Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin ......" berkelebat sorot matanya mengawasi Ji Bun, katanya dangan nada rendah, "Kenapa Hiantit datang ke Kayhong seorang diri?"
Ji Bun menjawab dengan suara tergagap,
"Di samping melancong untuk menambah pengalaman, sambil menyelesaikan ...... menyelesaikan suatu urusan."
"Jadi kau juga belajar silat?"
Ji Bun mengiakan sambil mengangguk.
"Ayahmu dulu menamakan ka?Bun` (sastra), maksudnya supaya kau memperdalam Ilmu sastra tanpa belajar silat, tak nyana dia telah berubah haluan ........"
"Maksud ayah supaya keponakan belajar silat untuk jaga diri, sebetulnya......"
Tiba-tiba seorang menjerit kaget diantara para Centing itu dan berseru: "He, pasti dia inilah."
-- "Kurangajar," bentak Ciang Wi-bin sambil menoleh, "ada apa berteriak-teriak."
Lekas centing itu menunduk, sahutnya takut-takut, "Hamba ......
tiba-tiba teringat seorang tokoh Kangouw yang belakangan ini amat menggemparkan. Wajah dan dandanan yang dilukiskan itu mirip benar dengan Ji-kongcu."
"Tokoh macam apa dia?" tanya Ciang Wi-bin.
"Gelarnya adalah Te-gak Suseng!"
"Apa" Te-gak Suseng?"
"Ya, mohon ampun akan kesemberonoan hamba."
Bert Dendam Iblis Seribu Wajah 3 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 3
^