Hati Budha Tangan Berbisa 10

Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bagian 10


h" Dengan kaget dan heran Ji Bun menyurut mundur, tak mampu bicara karena kebingungan.
Orang tua itu bersuara lagi: "Apakah gurumu tidak memberi penjelasan padamu?"
Akhirnya Ji Bun menjawab terputus-putus: "Gu ..... guru"
Wanpwe tidak punya ....... guru."
Mencorong sinar mata orang tua kurus, kulit mukanya yang tinggal kulit membungkus tulang kelihatan berkerut, bentaknya:
"Kau tidak punya guru?"
"Ya," Ji Bun mengiakan.
"Bagaimana kau bisa kemari?"
"Sebetulnya Wanpwe terjun ke air hendak bunuh diri. entah bagaimana .........."
Sinar mata si orang tua menyapu turun naik sekujur badan Ji Bun, akhirnya dia membentak bengis: "Lalu siapakah yang mengajarkan Bu-ing-cui-sim-jiu yang kau yakinkan itu?"
Jantung Ji Bun serasa melonjak keluar. Tampaknya orang tua ini rada ganjil, sahutnya kemudian: "Ayahku almarhum"
"Apa, ayahmu almarhum, jadi dia sudah mati?"
-- Ji Bun mengangguk.
"Sebelum ajal dia yang suruh kau kemari bukan" Mana Tok-keng?" tanya kakek itu.
Semakin kebingungan Ji Bun, pertanyaan yang susul menyusul ini membuatnya garuk-garuk kepala tanpa tahu duduk persoalannya.
"Lo ...... Locianpwe adalah ......."
Berdiri alis putih si orang tua kurus, kepalanya geleng-geleng, mulutnya menggumam: "Tidak beres, dia tidak akan berani mendurhakai perguruan, namun berani menentang peraturan dengan kawin dan punya anak, tapi ini ......" sampai di sini mendadak ia membentak: "Kapan keparat itu mampus?"
"Keparat" Siapa?"
"Orang yang mengajar ilmu beracun padamu itu."
"O, mendiang ayahku" Baru beberapa bulan yang lalu beliau meninggal."
"Hm," mulut siorang tua kurus menggeram gusar, suaranya dingin seram nadanya aneh lagi. Ji Bun merinding dan berdiri bulu kuduknya, sungguh tidak habis mengerti, apa sebetulnya yang pernah terjadi.
Sekian lama siorang tua kurus seperti menahan gejolak amarahnya, akhirnya bersuara pula seperti bicara pada dirinya
-- sendiri: "Tidak menepati janji sepuluh tahun ..... cara bagaimana dia mati?"
"Dicelakai para musuhnya, tapi ......"
"Tapi apa?"
"Akhir-akhir ini muncul gejala-gejala yang mencurigakan, agaknya ...... ayah seperti masih hidup."
"Pernahkah dia menyinggung peraturan perguruan padamu?"
"Tidak, sahut Ji Bun menggeleng.
"Lalu bagaimana kau bisa berada di Kiu-coan-ho ini?"
"Wanpwe diculik orang, suatu ketika berhasil terjun ke air, maksudku hendak bunuh diri saja ...... apakah Locianpwe yang menolong diriku?"
Orang tua kurus diam sebentar, mulutnya menggumam:
"Lwekang anak ini tertutup, mungkin pikirannya terganggu dan menjadi linglung. Kalau tidak mengapa jadi begini?"
"Lwekangnya tertutup", kata-kata ini amat menggetarkan hati Ji Bun, yang jelas dia sendiri merasakan Lwekang dan kepandaian silatnya sudah punah, namun orang tua kurus ini bilang hanya di
"tutup", betapa jauh bedanya antara "tutup" dan "punah" itu"
Secara tak disadarinya dia lalu himpun tenaga dan tarik napas panjang. Mendadak hawa murni bagai air bah yang jebol dari
-- bendungan bergulung-gulung timbul dari sumbernya. Entah bagaimana Lwekangnya ternyata sudah pulih kembali seperti sediakala.
Betapa kejut dan tergetar hatinya sungguh bukan kepalang.
Orang tua ini bilang Lwekangnya di tutup, kini telah terbuka dan lancar kembali. Jelas orang tua kurus ini yang membuka segelan Lwekangnya, naga-naganya bukan sembarangan tokoh kosen kakek kurus ini. Dia menyebut diri sebagai Suco, menyinggung tangan beracun lagi, mungkinkah memang dia ini guru dari ayah"
Orang tua kurus menggapai padanya, katanya: "Mari masuk."
Bayangannya tiba-tiba lenyap, heran Ji Bun melototkan matanya, didapatinya di balik batu di mana orang kurus itu bersimpuh tadi adalah lubang batu, tadi karena teraling dan seluruh perhatiannya tertumplek pada si orang tua, maka Ji Bun tidak melihat adanya lubang gua ini.
Sejenak dia ragu-ragu, akhirnya melompat naik ke atas terus melangkah ke dalam gua batu itu. Gua ini sempit, hanya tiba cukup untuk satu orang keluar masuk, lorong gua gelap dan lembab, kira-kira puluhan tombak kemudian baru pandangannya terbeliak pada sebuah kamar batu yang luas, meja kursi dan perabot lainnya semua terbikin dari batu, tepat di tengah sana terletak sebuah meja pemujaan. Asap dupa mengepul tinggi menambah khitmadnya suasana.
-- Orang tua kurus tampak berdiri di pinggir meja, begitu Ji Bun melangkah masuk, segera dia berseru lantang: "Tempat semayam Cosu (leluhur) ada di sini, lekas berlutut."
Sekilas Ji Bun tertegun. Waktu ia pandang ke arah meja pemujaan, tampak sebuah papan batu panjang, ditengah-tengah bertuliskan beberapa huruf yang berbunyi:
"Tempat semayam moyang racun Kwi-kian-jiu Le Bung".
Teringat oteh Ji Bun akan penuturan orang tua aneh di dasar jurang Pek-ciok-hong dulu bahwa Bu-ing-cui-sim-jiu adalah ciptaan seorang tokoh silat ahli racun yang bergelar Kwi-kian-jiu pada dua abad yang lalu, ilmu ini sudah lama putus turunan, secara tidak sengaja, agaknya dirinya telah ke sasar ke tempat asal perguruannya sendiri yang asli.
Setengah kaget setengah girang, tersipu-sipu Ji Bun berlutut lalu menyembah berulang kali, tak lupa iapun menyembah kepada si orang tua kurus, serunya: "Ji Bun yang tidak berbudi, menghadap Suco."
"Berdiri!" seru si orang tua kurus dengan badan gemetar.
Cepat Ji Bun berdiri, pandangannya heran penuh tanda tanya kepada si orang tua aneh.
"Kau bernama Ji Bun?" orang tua itu bertanya penuh emosi.
Ji Bun mengiakan.
-- "Siapa nama ayahmu?"
"Beliau bernama Ji Ing-hong."
"Kau bukan murid perguruan kami!" kata si kakek tiba-tiba.
Ji Bun mundur tiga langkah, pandangannya sayu seperti mendadak menjadi bodoh. Selama hidup belum pernah dia mengalami kejadian seperti ini, begitu berhadapan orang tua ini mengaku sebagai Suco. Kini bilang dirinya bukan murid perguruannya, agaknya semua persoalan timbul lantaran dirinya meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu itu, dulu cara bagaimana ayahnya memperoleh kitab pelajaran ilmu beracun ini"
Orang tua kurus duduk di atas kursi batu, sekian lama dia pejamkan mata entah merenungkan apa dan begitu membuka mata segera bertanya pula: "Pernah kau mendengar nama Ngo Siang?"
"Tidak pernah," jawab Ji Bun.
"Pernah melihat Tok-keng?"
"Juga tidak."
"Bagaimana kau bisa meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu"
"Ayah yang mengajarkan secara lisan."
"Apakah ayahmu juga meyakinkan tangan beracun?"
-- "Menurut apa yang Wanpwe ketahui, agaknya tidak."
"Pernah dengar dia menyinggung soal Tok-keng?"
"Tidak pernah beliau menyinggung Tok-keng segala."
Untuk sekian lama pula si orang tua berdiam diri, suasana menjadi hening. Ji Bun tidak tahu apa yang sedang dipikirkan si orang tua. Entah vonis apa pula yang akan dijatuhkan atas dirinya, namun nalarnya yakin bahwa dirinya tidak akan mengalami nasib jelek, terutama Lwekang dan kepandaian silatnya sudah pulih, hal ini menimbulkan gairah dan mengobarkan semangat, dia merasa seperti hidup kembali setelah berkayun di neraka.
Sampai sekian lamanya kedua orang tiada yang buka suara, lama kelamaan Ji Bun menjadi tidak sabar.
Mendadak orang tua kurus berdiri lalu berlutut di depan meja sembahyangan, mulutnya bersabda: "Ban Yu-siong, murid generasi ke-12 bersembah sujud di hadapan Suco, demi mengembangkan perguruan supaya tidak putus turunan, Tecu memberanikan diri memutuskan untuk menerima murid dan menurunkan ilmu, harap dimaklumi dari unjuk periksa adanya!"
Habis bersabda ia berdiri di pinggir meja, katanya dengan suara kereng dan serius: "Ji Bun, ayahmu adalah murid generasi 14 dari perguruan kita, kini kau adalah generasi ke 15, sekarang pasang dupa dan bersembahyang kepada leluhur."
-- "Heran dan tidak habis mengerti Ji Bun dibuatnya, tampaknya tiada peluang baginya untuk berpikir panjang, entah berdasar apa orang tua ini berani memutuskan bahwa ayahnya adalah murid generasi ke 14, kalau toh sudah telanjur adanya ikatan ini, apa pula yang harus dikatakan, yang terang budi orang tua ini memulihkan dan membuka segel Lwekangnya. Sulit bagi dirinya untuk menolak segala perintah dan permintaannya, maka dia lantas melangkah maju mengambil tiga batang hio dan disulut terus berlutut di depan meja pemujaan.
"Bersumpah!" seru orang tua itu.
Kembali Ji Bun tertegun, cara bagaimana harus bersumpah, sekilas dia berpikir, lalu dia berseru lantang sesuai peraturan bagi sesuatu aliran yang hendak memungut murid: "Ji Bun, murid generasi ke-15, berkat keluhuran budi Suco yang sudi menerimanya sebagai murid, dengan ini bersumpah untuk mendarma baktikan jiwa raga bagi perkembangan dan kejayaan perguruan serta bersumpah untuk mematuhi segala peraturan perguruan, kalau melanggarnya, biarlah Thian menjatuhkan hukumannya."
"Dengarkan maklumat!" kembali si orang tua kurus berseru lantang.
14.42. Murid Ban-tok-ci-bun
Ji Bun berlutut dan menyembah tanpa bersuara, hakikatnya memang, dia sendiri tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk mengiringi upacara ini. Lalu berkatalah Ban Yong-siang lebih lanjut
-- dengan nada kereng berwibawa. "Perguruan kita adalah Ban-tok-ci-bun (perguruan selaksa racun). Berdiri dan berkembang demi kesejahteraan manusia, hidup rukun saling membantu, membela yang benar menindas kelaliman, membantu yang lemah menumpas yang kuat dan jahat, takkan berbuat salah dan tidak menuntut kegaiban. Dapatkah kau mematuhinya?"
"Hamba bersumpah akan patuh dan taat!"
"Dengarkan tata tertib!"
"Tecu siap mendengarkan."
"Pertama dilarang berbuat jahat dan cabul, kedua dilarang mencuri atau merampok, ketiga dilarang membunuh tanpa berdosa, keempat dilarang membantu kejahatan atau kelaliman. Dapatkah kau mematuhi semua ini?"
Ji Bun mengiakan.
"Nah, sekarang dengarkan peraturan hukum. Mendurhakai perguruan dan leluhur, hukumnya mati. Mengajarkan ilmu beracun secara semena-mena dihukum gantung. Yang membocorkan rahasia perguruan dihukum mati. Berbuat kejahatan dan melanggar perikeadilan dihukum mati. Dapatkah kau mematuhi semua ini?"
Ji Bun mengangguk dan menyatakan patuh.
"Nah, sekarang kau boleh berdiri, nak."
-- Ji Bun berdiri lalu menghadapi Ban Yu-siong dan memberi hormat.
"Tidak perlu banyak adat, berdirilah!" wajah orang tua itu sekarang kelihatan welas asih penuh kasih sayang, sorot matanya yang tajam tadi telah lenyap, katanya sambil menuding bangku batu di sebelahnya: "Duduklah, kuingin bicara dengan kau."
"Terima kasih," ucap Ji Bun sambil duduk.
"Tuturkan riwajat dan asal usulmu."
"Tecu Ji Bun, keturunan Jit-sing pang Pangcu Ji Ing-hong, anak tunggal dan mewarisi ajaran keluarga, tidak pernah berguru pada aliran lain."
"Baiklah, nak, dengarkan dengan cermat. Perguruan kita bernama Ban-tok-ci-bun, cikal-bakal kita adalah Kwi-kian-jiu yang tersohor sejak ratusan tahun hingga sekarang. Beliau bernama Le Bong. Perguruan kita diwariskan dari satu generasi kepada generasi yang lebih muda, setiap generasi , hanya menerima seorang murid, inilah peraturan yang diwariskan oleh cikal bakal kita dan pantang dilanggar, oleh karena itu ada larangan barang siapa yang melanggar aturan dan sembarangan mengajarkan ilmu beracun kepada orang lain, harus dihukum mati."
"Pernahkah Suthayco berkelana di Kang-ouw?"
"Sudah enam puluh tahun aku menyepi diatas gunung."
-- "Lalu generasi yang lalu ......"
"Cosuya (Cikal bakal) kita mewariskan aturan cara untuk mendapatkan murid, ini boleh dibilang sebagai rahasia perguruan kita pula. Pada dua ratus tahun yang lalu Cosuya secara tidak disengaja menemukan gua rahasia yang tersembunyi di celah-cela Kiu-coan-ho ini, maka sejak itu beliau lantas bersemayam dan mengasingkan diri di sini. Setelah menggembleng diri selama 60
tahun, bukan saja ilmu silatnya mencapai puncak yang tiada taranya, yang lebih penting beliau berhasil menyelami ajaran Tok-keng yang paling mendalam. Tiba-tiba timbul nalarnya yang luhur, jika ilmu-ilmu ciptaannya sampai putus turunan dan lenyap terbawa mati, kan amat sayang, namun beliau sudah bersumpah untuk mengasingkan diri, tak mungkin melanggar sumpah untuk keluar mencari murid
......" Sampai disini dia berhenti sebentar, lalu menyambung, "Oleh karena itu Cosuya mendapatkan akal secara untung-untungan bagi yang berjodoh mendapatkan rejeki, beliau mencatat semua ciptaan ilmunya pada dua buah kitab, pada jilid pertama diterangkan, bagi seorang yang menemukan buku itu harus mempelajarinya dengan tekun dan rajin. Dalam jangka 10 tahun, jika mencapai hasil, boleh kemari untuk angkat guru dan memperdalam pelajaran jilid kedua.
Jilid pertama dan keterangannya itu oleh Cosuya dimasukkan ke dalam sebuah gelembung kulit terus dilempar ke sungai biar terbawa arus, kemungkinan memang buku itu tidak akan ditemukan orang dan akan lenyap tak keruan parannya. Namun cita-cita Cosuya ini memang hanya dipertaruhkan kepada orang-orang yang kebetulan punya jodoh saja ......"
-- Asyik sekali Ji Bun mendengarkan cerita ini, akhirnya tak tahan ia bertanya, "Tentu bungkusan itu ditemukan orang, lalu bagaimana?"
Ban Yu-siong manggut-manggut, katanya: "Ya, kalau tidak masakah perguruan kita bisa bertahan turun temurun sampai sekarang."
"Harap Suthayco melanjutkan kisah ini."
"Enam tahun kemudian, suatu hari ketika Cosuya sedang memancing ikan di tepi sungai, mendadak dilihatnya sesosok tubuh manusia terhanyut dibawa arus, cepat beliau menolongnya ke atas, untung orang itu belum meninggal. Pada badannya ternyata ada kitab Tok-keng jilid pertama. Setelah ditolong dan diobati, baru diketahui bahwa orang ini memang hendak menghadap kepada guru, sayang ia kesasar dan terpeleset jatuh ke sungai ......"
"Hah!" Ji Bun bersuara dalam mulut.
"Waktu itu bukan kepalang senang hati Cosuya, segera orang itu diangkat jadi murid dan mulai mendirikan sebuah perguruan yang dinamakan Ban-tok-bun. Sejak itu keluarlah aturan perguruan. Di samping itu mengingat ajaran ilmu beracun tidak sama dengan pelajaran ilmu silat, sekali salah tangan pasti mengakibatkan tewasnya orang, jika anak murid sendiri tidak dibatasi gerak geriknya, kelak bisa menimbulkan petaka bagi dunia persilatan, oleh karena itu ditentukan setiap generasi hanya boleh menerima seorang murid saja ......."
"Memang bajik dan bijaksana sekali Cosuya," ujar Ji Bun.
-- "Orang itu adalah Suco dari generasi kedua bernama Hoan Goan-liang, karena pengalaman Hoan-suco ini, maka Cosuya menyadari suatu cara untuk menjajaki jiwa manusia. Setiap orang yang memperoleh Tok-keng jilid pertama dan menjadi murid keturunannya, dia harus menceburkan diri di hulu Kiu-coan-ho, setelah mengalami ujian berat dengan mempertaruhkan jiwa raga ini baru dia setimpal dan punya bobot untuk diangkat menjadi murid secara resmi ......"
"Jika orang itu hilang terbawa arus, lalu bagaimana?" tanya Ji Bun.
"Tidak mungkin, arus air dibawah bukit itu memang aneh, setiap orang yang ceburkan diri ke sungai akhirnya pasti akan terlempar ke atas daratan, disamping itu Cosuya juga memasang jala besar, setiap benda yang terhanyut kesana pasti terjala, boleh dikata segala kemungkinan sudah dipikirkan dengan matang ......."
"O," demikian kata Ji Bun, "pantas datang-datang tadi engkau orang tua lantas mengaku diri sebagai Suco, jadi engkau kira Tecu juga menceburkan diri ke air demi masuk perguruan."
"Ya, nak, itulah yang dinamakan jodoh."
"Maaf akan kelancangan mulut Tecu, jika diantara sekian banyak generasi itu kehilangan kitab pusaka, bukankah ajaran akan terputus juga?"
-- "Pertanyaan bagus, itulah yang Suco katakan sebagai menyenggol rejeki, kalau memang tidak berjodoh, sudah tentu perguruan kita akan putus di tengah jalan."
"Kalau yang menemukan seorang jahat dan membuat petaka Bulim, dan orang itu hakikatnya tiada tujuan hendak masuk perguruan, lalu bagaimana jadinya?"
Orang tua kurus tersenyum, ujarnya : "Suco tetap punya cara untuk mengatasinya, tiga tahun setelah kitab diturunkan, generasi yang terdahulu harus turun gunung mengadakan pemeriksaan, karena ajaran racun merupakan ilmu sampingan, setiap orang mendapatkan ilmu ini pasti akan tenar dan berkecimpung di Bu-lim, maka tidak sukar untuk menemukan jejaknya. Kalau murid itu orang jahat, dia akan dihukum menurut peraturan serta merebut kembali Tok-keng, lalu mencari calon murid yang lain. Setelah diselidiki dengan baik, maka dia harus pulang gunung dan menunggu datangnya generasi yang akan tiba, dia wajib menurunkan pelajaran yang tertera pada jilid dua, begitulah seterusnya."
"Kalau demikian, sudah menjadi ketentuan adanya dua generasi yang harus tinggal di atas gunung untuk mempelajari ilmu ciptaan Cosuya bersama ......."
"Ya, begitulah kenyataannya."
"Mohon tanya, siapakah generasi ke-13?"
"Murid generasi ke-13 bernama Ngo Siang, tiga tahun kemudian setelah dia nyenggol rejeki jodoh itu, dia mendapat perintahku turun
-- gunung untuk mencari calon murid generasi mendatang, mungkin orang yang berjodoh adalah ayahmu Ji Ing-hong, dia terhitung generasi ke-14, Ngo Siang mungkin mengalami sesuatu bencana, sehingga sekian tahun tidak kunjung pulang, kini ayahmu dicelakai orang lagi, beruntung Thian sudah mengatur segalanya dan kaulah yang dituntun kemari."
Bergidik Ji Bun dibuatnya, analisa orang tua kurus ini agaknya tepat, namun ayahnya lebih dari 10 tahun mendapatkan Tok-keng, agaknya dia sengaja tidak mau masuk perguruan, malah sepak terjangnya justeru melanggar pantangan yang paling besar dari aturan perguruan. Jika Ngo Siang generasi ke-13 itu masih hidup di dunia ini, suatu hari pasti akan mengadakan pembersihan.
Terdengar Ban Yu-siong berkata pula: "Ayahmu melanggar aturan, mengajarkan ilmu perguruan terhadapmu. Jika dia masih hidup, dia pasti dikejar oleh hukuman. Dan kau, setelah meyakinkan ilmu beracun itu pernahkan kau sembarangan membunuh?"
"Tecu yakin tidak pernah membunuh secara serampangan," sahut Ji Bun tegas.
"Bagus, bagus sekali."
"Masih ada satu hal, ingin Tecu bertanya?"
"Boleh, soal apa?"
-- "Menurut cerita beberapa sesepuh Bu lim, bahwa Bu-ing-cui-sim-jiu selama ratusan tahun ini hanya Suco seorang saja yang berhasil meyakinkan."
"Itu memang benar."
"Jadi diantara puluhan generasi itu tiada ......."
"Tidak demikian halnya, ajaran Bu-ing-cui-sim-jiu dimuat pada jilid pertama dan sukar dipahami. Setiap generasi yang pulang keperguruan sesuai batas 10 tahun itu, jarang yang berhasil meyakinkan dengan baik, sekalipun ada dua tiga orang, tapi kalau tidak dipergunakan, maka kaum Bu-lim tentu tiada yang tahu.
Setelah berada dalam perguruan, meski berhasil dengan gemilang, waktupun sudah berlarut terlalu lama dan tiba saatnya dia harus menerima jabatan sebagai ahli waris. Hakikatnya dia tiada kesempatan berkelana di Kang-ouw untuk mengembangkan ilmu ini, karena tujuannya turun gunung yang kedua kalinya adalah mencari calon murid. Umpamanya kau, lain dari yang lain, rasanya sukar terjadi pada generasi yang mendatang."
"Jika kurang hati-hati, sehingga Tok-keng hilang dan terjatuh ke tangan orang lain?"
"Orang yang menemukan buku itu akan mati mengenaskan."
"Kenapa?"
-- "Buku itu mengandung racun yang jahat, begitu tangan menyentuh buku ia akan keracunan dan dalam seratus hari jika tidak diobati pasti mati."
Ji Bun merinding, tanyanya pula: "Tapi bagaimana dengan orang pertama yang mendapatkan, buku itu?"
"Di dalam buku ada suatu lembar keterangan di mana dijelaskan cara untuk menawarkan racun, penjelasan itu harus segera dibakar sambil berlutut setelah dia memperoleh buku itu. Oleh karena itu tidak mungkin ada orang kedua yang menjadi murid generasi yang sama, lebih tidak mungkin ada orang luar yang bisa belajar ilmu perguruan kita."
Ji Bun tunduk dan kagum lahir batin terhadap cikal bakal yang memikirkan segala ini sedemikian cermat, jika demikian halnya, jadi ayah bukan orang kedua yang sama-sama mendapatkan buku pelajaran itu, kalau benar, bukankah dia sudah mati keracunan, ini membuktikan bahwa ayahnya adalah calon murid yang dipilih oleh Ngo Siang, tapi perbuatannya jauh melanggar peraturan perguruan, jika ........ Ji Bun tak berani membayangkan lebih lanjut. Karena celaka, dirinya sekarang malah ketiban rejeki, secara aneh dan luar dugaan dirinya pulang kandang perguruan asalnya, seperti pengalaman dalam mimpi saja rasanya.
Tiba-tiba terangkat alis putih si orang tua, katanya: "Nak, ketika membuka tutukan Lwekangmu yang disegel tadi kudapati Lwekangmu begitu kuat dan mengejutkan, rasanya tidak memadai dengan usiamu, mungkin kau ....."
-- "Tecu mendapat saluran Lwekang dari seorang Locianpwe yang bergelar Ciok-bin-hiap Cu Kong-tam"
"Kau mengangkatnya jadi guru?"
"Tidak, kami bertemu di dasar jurang, dia berpesan kepada Tecu untuk menyelesaikan suatu urusan, maka dia salurkan Lwekangnya kepadaku untuk lolos dari tempat itu."
"Ah, kiranya begitu, hawa murnimu mencapai latihan puluhan tahun, dengan landasan yang kau miliki sekarang, kira-kira cukup setahun saja pasti berhasil mempelajari ilmu tingkat tertinggi dari perguruan kita."
"Setahun?"
"Kenapa nak, kau kira terlalu lama" Setiap Ciangbun dari generasi terdahulu, sedikitnya berlatih lima tahun, ada yang sampai puluhan tahun."
"Maaf akan kelancangan Tecu."
"Dalam keluarga jangan terlalu banyak menggunakan adat, jangan kau bersikap demikian."
"Konon setiap orang yang berhasil meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu, selama hidupnya tak bisa dipunahkan, apakah betul demikian?"
"Nak, itu hanya dasarnya, tingkat permulaan, jika dilatih sampai tingkat terakhir, racun dapat kau gunakan sesuai keinginan hatimu.
-- Keadaan tak ubahnya seperti orang biasa, semua ini tak perlu kau tanyakan, kelak kau akan tahu sendiri. Sekarang kau boleh mulai kerja bakti, kamar batu sebelah kanan adalah dapur, kamar kedua itu boleh buat tempat tinggalmu, kamar pertama disebelah iri adalah tempat tinggal Suco, kamar kedua adalah tempat latihan, pergilah kau membuat makanan dulu, besok pagi boleh kau mulai belajar."
Sampai detik ini Ji Bun masih merasa dirinya seolah-olah di alam mimpi, karena pengalamannya ini teramat aneh, sukar dipercaya, kalau betul ada kejadian ajaib di dunia pengalamannya inilah buktinya.
Di dalam gua tidak kenal hari, bulan dan tahun. Sang waktu berjalan tanpa terasa. Ji Bun lupa makan lupa tidur, rajin belajar giat menggembleng diri. Ada kalanya beberapa hari dia tidak makan dan tidak tidur. Hari itu dia kembali ke kamar latihan langsung menghampiri si orang tua dan teriaknya girang: "Suthayco, aku sudah berhasil."
Dari pergaulan hari ke hari ini, setiap saat mereka berdampingan.
Hubungan mereka kini tak ubahnva seperti kakek dengan cucu sendiri, maka sikap dan gerak gerik serta tutur kata keduanya sudah tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang mengekang lagi.
Si orang tua mengelus jenggotnya yang ubanan, katanya tertawa lebar: "Nak, kuucapkan selamat padamu, setengah tahun kau lebih dini berhasil dari perhitungan semula."
Ji Bun sendiri sudah lupa waktu dan memperhitungkan hari, iapun merasa heran dan tidak percaya, "Apa, setengah tahun?"
-- "Ya, setengah tahun kurang sehari. Nak, besok pagi kau boleh turun gunung."
"Besok pagi?"
Wajah si orang tua yang berseri girang tiba-tiba dihapus oleh rasa sedih. Ji Bun melihat perubahan roman mukanya, dalam hati juga timbul rasa berat untuk berpisah, namun dia tahu tidak mungkin tidak meninggalkan tempat ini. Selama ini tidak pernah dirasakannya, kini setelah berhasil meyakinkan ilmu, dendam yang tersekam itu seketika berkobar lagi.
"Nah, setelah turun gunung, ada beberapa tugas yang harus kau kerjakan," demikian kata si orang tua.
"Anak Bun siap mendengarkan petuah."'
"Pertama, usahakan untuk menemukan kembali Tok-keng, sekaligus carilah calon penggantimu untuk ahliwaris angkatan ke-16
yang akan datang. Kedua, selidikilah jejak dan kabar kakek gurumu, Ngo Siang. Ketiga, carilah sebab musababnya kenapa setelah mendapatkan Tok-keng, ayahmu tidak kembali ke gunung."
Berdetak jantung Ji Bun, namun dia menjawab dengan hormat:
"Anak Bun mengingatnya dengan baik, Suthayco ada pesan apa lagi?"
"Sekarang segala racun tidak akan mempan pada dirimu, namun demi mendarma baktikan dirimu bagi masyarakat umumnya, kau
-- perlu membawa beberapa macam obat, di atas rak obat, kau boleh ambil secukupnya dan pilih mana saja yang kau rasa perlu. Dalam jangka sepuluh tahun kau harus kembali ke sini, murid perguruan kita tidak dilarang menikah, tapi ilmu kita dilarang diajarkan kepada anak cucu sendiri, kau tetap harus melaksanakan peraturan yang telah diwariskan leluhur kita, dengan cara 'rejeki tiban' itu, kau hanyalah satu-satunya orang yang teristimewa di antara sekian murid-murid yang pernah terjadi sejak perguruan kita berdiri.
Untunglah kau sendiri juga sudah mengalami petaka di dalam air."
"Terima kasih atas budi Suthayco."
"Tok-jiu-sam-sek (tiga jurus tangan berbisa) terlalu ganas, kalau lawanmu tidak setimpal mati, jangan sekali-kali kau gunakan.
Disamping itu di atas rak pada kotak pertama dibaris teratas terdapat sebotol Hoat-wan (pil maut pelaksana hukum), hasil buatan dan peninggalan Suco, kau boleh membawa sebutir."
Bergetar tubuh Ji Bun, namun dia mengiakan. Dia pikir, kalau ayah masih hidup, memang dia setimpal diberi Hoat-wan ini untuk bunuh diri, namun sebagai seorang anak, mungkinkah .......
"Puncak gunung ini dikelilingi air dan dipagari dinding gunung yang curam, hanya ada sebuah jalan rahasia di belakang gunung, sekarang kau boleh melihatnya ......." dengan jari telunjuk dia menggores sebuah peta sambil menerangkan cara bagaimana Ji Bun harus keluar dan masuk, Ji Bun mengingatnya dengan baik.
"Sekarang kau boleh mengundurkan diri."
-- Ji Bun menyahut terus mengundurkan diri ke kamar sendiri, hatinya gundah dan resah, dengan bekal yang dipelajarinya sekarang, pasti tugas menuntut balas kali ini akan bisa terlaksana dengan baik. Pengalaman selama setengah tahun ini, kembali dia ulang dalam pikiran, terasa masih banyak liku-liku yang masih gelap baginya, terutama sepak terjang dan keselamatan jiwa ayahnya menjadi topik pemikirannya.
Dia berdoa semoga ayahnya masih hidup, ini jamak, namun iapun ingat betapa kerasnya aturan perguruan, bagaimana kelak dirinya harus bertindak" Ngo Siang pejabat generasi ke 13 sudah lenyap puluhan tahun, dunia seluas ini, ke mana dia harus mencarinya" Tok-keng pasti masih ada di tangan ayah, kalau dia belum mati, bagaimana harus merebutnya ......."
Tiba-tiba dia ingat akan racun, Giam-ong-ling yang pernah dipergunakan Kwe-loh-jin, sekarang baru dia tahu bahwa racun ini juga salah satu dari ciptaan perguruannya, mungkinkah Tok-keng terjatuh ke tangannya" Ini mungkin sekali, tapi kenapa dia tidak mati keracunan setelah memperoleh buku itu, sungguh sukar diselami.
Kecuali seseorang yang pernah meyakinkan Kim-kong-sin-kang yang kebal terhadap racun Bu-ing-cui-sim-jiu, tiada orang yang kuat menahannya, kecuali diberi obat penawar perguruannya. Tapi Kwe-loh-jin dan beberapa orang lainnya ternyata tidak gentar dan kebal juga terhadap racun ganas ini, terang mereka belum mencapai tingkat Kim-kong-sin-kang, memangnya mereka memiliki obat penawarnya" Lalu dari mana diperoleh obat penawar itu" Inilah soal yang mencurigakan dan sukar dipecahkan.
-- Diapun teringat pada Biau-jiu Siansing, orang ini juga tidak takut racun, betapapun teka teki ini harus secepatnya dibongkar.
Waktu berjalan cepat sekali, hari kedua pagi-pagi benar Ji Bun sudah pamitan kepada kakek gurunya terus menyusuri jalan rahasia di belakang gunung. Tanpa susah dia keluar dari lingkungan gunung terus menempuh perjalanan menuju ke Kay-hong.
Banyak persoaian besar yang ingin, dia minta penjelasan dari Biau-jiu Siansing, perjanjian setahun tempo hari, kini sudah berjalan setengah tahun mungkin Ciang Wi-bin ayah dan anak sudah tidak sabar menanti. Setengah tahun cukup lama, tapi juga terlalu cepat berlalu, entah apa pula yang telah terjadi selama ini dikalangan Kangouw"
Hari itu, dia tiba di Bik-su, dia cari hotel terus ganti pakaian, sekarang tidak perlu main sembunyi dengan menyamar segala, dibelinya seperangkat dan kipas, topi serta keperluan lainnya, dia berdandan lagi sebagai seorang pelajar yang berwajah cakap.
Semu hijau yang dulu selalu timbul di antara kedua alisnya, sejak dia meyakinkan ilmu tingkat tinggi perguruannya, kini tidak kelihatan lagi. Namun setiap kali dia mengerahkan hawa murni menurut ajaran perguruan, sorot matanya pasti mencorong kehijauan, inilah keistimewaan ilmu perguruannya.
Malamnya seorang diri dia makan minum di kamarnya. Mendadak dari kamar sebelah luar sama terdengar suara ribut-ribut, seseorang
-- berteriak kaget dan ketakutan, tamu-tamu sama berlari keluar, terdengar seorang berkata: "Apa yang terjadi?"
"Entah kenapa tua bangka ini mati, yang muda genit itu entah lenyap ke mana?"
Kematian seseorang, bagi setiap insan persilatan sudah biasa dan bukan soal besar. Ji Bun tidak tertarik, ia tetap makan minum seenaknya. Tapi kupingnya mendengarkan keributan diluar.
Terdengar seseorang berseru pula: "Eh, barang apakah ini?"
"Sebuah cincin kok ada tiga lubangnya?"
"Itulah cincin batu jade dengan tiga lubang jari?" Ji Bun terjingkat dikamarnya, sebat sekali dia memburu keluar terus berlari ke kamar tetangga sana, dilihatnya orang banyak berkerumun di depan pintu, pemilik hotel melongo di serambi sambil menjublek kehilangan akal.
Ji Bun langsung menyelinap masuk ke kamar. Seketika dia berseru kaget. Di atas lantai dalam kamar rebah celentang seorang perempuan tua berpakaian hijau, darah berceceran, di samping mayat menggeletak sepotong batu jade berlubang tiga, itulah cincin tiga lubang yang dibicarakan orang banyak.
Ji Bun menjemputnya dan diperiksa, ia kenal inilah Sam-cay-ciat yang biasa dipakai oleh Thian-thay-mo-ki. Dari dandanan orang tua ini, Ji Bun yakin dia pasti Sam-cay Lolo, guru Thian-thay-mo-ki. Di mana Thian-thay-mo-ki" Orang bilang kamar ini dihuni dua orang tua dan muda, yang muda genit pasti Thian-thay-mo-ki adanya.
-- Waktu Ji Bun berdiri dan membalik badan, pandangannya menjadi canang. Dinding di pinggir jendela sana terlihat ada beberapa lubang yang tak terhitung jumlahnya. tiga lubang menjadi satu kelompok, itulah bekas-bekas yang ditinggalkan oleh ilmu Sam-cay-cui-hun kebanggaan Sam cay Lolo.
Sam-cay Lolo cukup tenar dan merupakan tokoh kosen kelas wahid. Kepandaiannya hanya setingkat di bawah Thong-sian Hwesio.
Golongan hitam putih sama jeri berhadapan dengan Sam-cay-cui-hun. Lalu siapakah yang mampu membunuh pendekar aneh perempuan tua di hotel ini" Apa pula tujuannya"
Ji Bun membatin: "Kejadian ini pasti sebelum aku masuk ke hotel ini, kelihatan mereka juga bertempur lebih dulu, kalau tidak masakah dirinya tidak mendengar apa-apa, lalu siapakah pembunuhnya, hanya beberapa gelintir jago silat saja yang mampu membunuhnya."
Sam-cay Lolo terbunuh, bagaimana nasib Thian-thay-mo-ki dapat dibayangkan. Keruan hati Ji Bun gelisah, dia merasa terlalu banyak utang budi kepada Thian-thay-mo-ki, perbuatan sendiri setengah tahun yang lalu juga keterlaluan.
Mendadak seorang tua berpakaian hitam melongok sekali ke dalam kamar, seketika mukanya pucat pias. dia menghampiri pemilik hotel serta berbisik: "Jangan ribut-ribut, lekas dikebumikan, tak usah lapor kepada yang berwajib, supaya hotelmu tidak mengalami gangguan."
Habis berkata dia menyurut mundur terus tinggal pergi.
-- "Berhenti!" Ji Bun menghardik.
Laki-laki baju hitam menoleh, dilihatnya cuma seorang pemuda berdandan pelajar, nyalinya menjadi besar, namun mimiknya yang kaget dan takut masih kelihatan, suaranya gemetar: "Siau-hiap ini ada petunjuk apa?"
"Siapa yang membunuh di sini?"
"Ini ..... ini ......."
"Lekas katakan."
"Apakah Siau-hiap tidak melihat cap pupur di atas dinding itu
......." Baru sekarang Ji Bun sempat memeriksa keadaan kamar, dilihatnya di dinding memang terdapat sebuah cap sebesar telapak tangan, bentuknya mirip sekuntum bunga Bwe, keruan dia heran dan tak mengerti, tanyanya: "Cap kembang Bwe, memangnya kenapa?"
"Masakah Siauhiap tidak tahu?"
"Kalau tahu buat apa tanya padamu."
"Ini .... ini .... aku tidak berani menjelaskan," mendadak dia putar tubuh terus menyelinap pergi di antara orang banyak, lekas sekali bayangannya sudah lenyap.
-- Pertanda apakah cap bunga Bwe ini" Ji Bun tidak habis pikir, kenapa orang tua itu begitu ketakutan" Kalau bukan tanda khas seseorang yang ditakuti pasti merupakan tanda pengenal dari suatu perkumpulan rahasia. Sekian lama dia menjublek, akhirnya dia mencari daya untuk menyelidiki pembunuhan ini, maka dia memberi uang kepada pemilik hotel serta menyuruhnya mengubur mayat Sam-cay Lolo. Lalu dia masukkan Sam-cay-ciat ke dalam kantong.
Menghadapi hidangan di kamarnya, Ji Bun tiada selera makan lagi, otaknya memikirkan peristiwa aneh ini. Kebetulan pelayan masuk membereskan mangkok piring dan berkata dengan cengar-cengir: "Siangkong, di dalam kamar begini gerah, kenapa tidak cari angin di luar?"
Tiba-tiba timbul ilham Ji Bun, segera ia merogoh uang dan berkata: "Siau-jiko, 10 tail ini berikan kepada majikanmu untuk ongkos penguburan, beberapa uang receh ini kuberikan kepadamu, pergilah ke toko belikan sebatang kipas lempit berwarna, hitam legam."
"Kipas Hitam?"
"Ya, kipas lempit warna hitam polos, jangan yang bergambar atau sudah ada tulisannya, cukup yang bertulang bambu saja."
"Kipas tulang bambu cukup murah, uang sebanyak ini ....."
"Sisanya boleh kau miliki."
-- "Terima kasih Siangkong, sebentar kuambilkan sepoci air teh dulu, segera kubelikan kipas ke toko sebelah."
Seorang diri Ji Bun mondar-mandir di dalam kamarnya, dia merancang akal supaya lebih matang sesuai dengan rencananya untuk mengejar jejak si pembunuh. Tidak lama menunggu pelayan itu telah kembali dengan berseri tawa, tujuh delapan kipas lempit dia taruh di atas meja.
"Kau pandai bekerja. kalau perlu nanti kupanggil kau lagi," kata Ji Bun.
15.43. Misteri Perkumpulan Ngo-hong-kau
Pelayan itu mengundurkan diri sambil menutup pintu dari luar.
Sekenanya Ji Bun jemput sebatang kipas terus dibeber, dengan handuk basah dia basahi permukaan kipas hitam itu lalu menyelinap masuk ke kamar sebelah. Kipas hitam yang basah segera dia tempel dan tekan pada cap kembang pupur di atas dinding itu. Cap pupur kembang itu segera mengecap balik di atas kipasnya. Sekembali di kamarnya dia keringkan kipasnya, lalu kipas itu dilempitnya pula, kemudian ia berjalan keluar.
Di jalanan Ji Bun sengaja pentang kipas hitamnya, bagian yang ada cap kembang sengaja dia unjuk ke depan, sambil jalan dia
--

Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

goyang-goyang kipas seperti pelajar umumnya, dia mondar mandir di jalan raya yang banyak dilalui orang.
Di antara sekian banyak orang-orang yang lewat tidak sedikit kaum persilatan. Begitu melihat cap kembang di kipasnya, berubah air muka mereka dan cepat menyingkir pergi. Seperti tidak terjadi sesuatu, Ji Bun putar kayun lalu mampir di sebuah warung teh yang berloteng. Sambil menikmati air teh, sering dia gunakan kipas untuk menghilangkan rasa gerah badannya. Aneh sekali, tamu lain satu persatu juga mengundurkan diri.
Ji Bun menunggu dengan sabar, didapatinya seorang tua baju hitam bersama seorang laki-laki kekar lainnya baru datang dan mengunjuk mimik heran dan kaget pada dirinya. Mereka bisik-bisik sambil melirik ke arahnya, diam-diam girang hati Ji Bun, segera dia buka suara dan bersenandung. Bait-bait syair yang dibawakan dalam senandungnya tidak serasi satu sama lain, namun laki-laki baju hitam itu berubah air mukanya, bergegas aia berdiri menghampiri Ji Bun, katanya sambil menyengir: "Bolehkah Lohu duduk di sini?"
"Kenapa boleh?" Ji Bun menyilakan.
Setelah duduk orang ini mengawasi Ji Bun dengan curiga, lalu berkata dengan suara lirih sekali, "Apakah kau duta pusat?"
Berdebar jantung Ji Bun, mungkin syair-syair senandungnya tadi secara tidak sengaja tepat mengenai sandi-sandi rahasia perkumpulan mereka. Dari sini dia menarik kesimpulan bahwa cap
-- kembang ini pasti merupakan tanda pengenal dari suatu perkumpulan di Bu-lim, maka dengan wajah serius dia mengiakan.
Terunjuk sikap gelisah pada wajah orang baju hitam, serunya tersipu-sipu: "Hamba Tio Wi-kong, pejabat Hiangcu dari anak cabang kedua, tidak tahu kedatangan yang mulia, harap dimaafkan akan keteledoran ini," sembari bicara iapun berdiri.
"Duduklah!"
"Hamba tidak berani ......"
"Aku yang suruh kau duduk"
"Kalau begitu, hamba memberanikan diri, maaf."
Otak Ji Bun bekerja cepat, orang pandang dirinya utusan dari markas pusat. Ia menduga perkumpulan yang menggunakan tanda pengenal cap kembang ini pasti teramat besar dan mewah, kedudukan duta dari pusat juga teramat tinggi, maka dia cari daya untuk mengorek keterangannya dari mulut orang ini, namun dia harus hati-hati supaya tidak mengunjuk tanda-tanda yang mencurigakan.
Beberapa kali mulut Tio Wi-kong sudah terbuka hendak bicara, tapi selalu urung. Ji Bun diam saja, ia pikir, gunakan titik kelemahan orang, mungkin bisa dikorek sedikit keterangan dari mulutnya. Maka dia mencobanya: "Apakah Tio-hiangcu ada waktu senggang?"
-- Serius wajah Tio Wi-kong, sahutnya: "Mana berani, hamba bertanggung jawab terhadap semua mata telinga yang disebar di sini."
"Ehm, tugasmu cukup berat dan besar artinya, Hiangcu harus bekerja baik dan hati-hati."
"Ya, ya, mohon petunjuk."
Tidak tahu Ji Bun dengan cara apa dia harus mengorek keterangan orang, terpaksa sekenanya dia bicara: "Mengenai peristiwa di hotel itu ........" sampai disini dia berhenti sambil mengawasi mimik muka orang, betul juga orang baju hitam tertegun sebentar, seperti sangsi dan heran, lalu sahutnya tergagap: "Apakah duta tidak mengetahui ........"
Tahu pertanyaannya meleset dan menimbulkan curiga orang, lekas Ji Bun unjuk senyuman, katanya tawar. "Tidak, hanya kutanya sekenanya saja, karena ......." sengaja tidak dia lanjutkan, supaya tidak salah omong.
Sudah tentu Tio Wi-kong tidak berani tanya lagi, sekenanya ia berkata: "Apakah Duta sudah bertemu dengan pimpinan anak cabang?"
"O, belum, aku tidak akan menemuinya, ada tugas lain yang harus kukerjakan."
"Apakah Duta tidak sejalan dengan kedua orang yang ditugaskan menggusur perempuan itu?"
-- Senang hati Ji Bun, tanpa ditanya orang menyinggung kepersoalan yang ingin diketahuinya, ia pura-pura bersikap penuh rahasia, katanya: "Sudah tentu sejalan, namun aku ada tugas lain lagi, karena ......." kata-kata ini melanjutkan ucapannya tadi "karena pusat mensinyalir adanya seseorang yang mencampuri urusan ini, maka aku ditugaskan untuk menyelidiki."
Bualannya memang tepat dan masuk akal, maka Tio Wi-kong tidak menaruh curiga, katanya: "Entah siapakah ....?"
Dengan serius Ji Bun berkata: "Te-gak Suseng "
Kaget Tio Wi-kong, laki-laki berbaju hitam ini, serunya:
"Bukankah Te-gak Suseng sudah mati di Tong-pek-san?"
Ji Bun menggertak gigi, katanya: "Siapa bilang, memangnya Tegak Suseng gampang mati, kuburannya itu palsu."
Melotot biji mata Tio Wi-kong, melenggong karena ucapan Ji Bun, sesaat baru dia berkata: "Urusan ini cukup genting, hamba harus segera menyebar kaki tangan ........"
"Jangan hal ini kau bocorkan."
Tio Wi-kong mengiakan sambil munduk-munduk.
"Oleh karena itu, eh, ya, untung bertemu dengan kau, beritahukan rencana gerakan pihak sini supaya aku tidak susah-susah putar kayun lagi."
-- Tio Wi-kong melirik sekelilingnya dulu, setelah jelas tiada orang memperhatikan, lalu dengan suara lirih ia berkata: "Kaucu sendiri yang turun tangan ........."
Sedikit berubah air muka Ji Bun. Kaucu" Kaucu dari mana"
Apakah Bwe-hoa-kau" Jadi Sam-cay Lolo mati di tangan Kaucu mereka. Tiba-tiba ia tersentak sadar, orang sedang mengawasi wajahnya, tahu dirinya telah mengunjuk gejala-gejala yang mencurigakan, maka cepat ia berkata; "Coba lanjutkan."
"Ya, karena perjalanan cukup jauh, maka sementara digusur ke cabang, baru saja dua Duta datang, kata mereka mendapat tugas untuk menggiringnya besok pagi ke markas pusat, pihak kami cukup menyediakan sebuah kereta saja."
Ji Bun manggut-manggut, otaknya bekerja, tiba-tiba pikirannya tergerak, terpikir olehnya majikan yang pernah dikatakan Kwe-loh-jin itu mungkin adalah Kaucu ini" Inilah kesempatan baik untuk menyelidiki, sekali-kali jangan diabaikan saja. Ia coba tanya:
"Apakah Hiangcu ada di tempat sekarang?"
Agaknya Tio Wi kong merasa bangga karena berkesempatan menjilat kepada utusan dari pusat, lekas ia menjawab: "Hamba sekalian siap menunggu perintah."
Ji Bun pura-pura berpikir, katanya kalem: "Sebetulnya tiada urusan apa-apa, cuma Hiangcu orang sini apal seluk beluk, ada urusan kecil perlu bantuan ........"
-- "Tidak berani, silakan Duta katakan saja."
"Siapakah orang itu?" tanya Ji Bun sambil menunjuk dengan gerakan bibir ke arah laki-laki yang semeja dengan Tio Wi-kong tadi.
"O, dia seorang Thaubak pembantu hamba."
"Baik, kalian berdua boleh keluar kota ......."
"Apakah ke Lam-seng?"
"Betul, aku akan berangkat lebih dulu," Ji Bun lantas berdiri sambil merogoh saku.
"Silakan Duta berangkat saja, rekeningnya biar hamba yang bayar."
"Baiklah, kalian harus segera datang, jangan beritahu orang lain."
Setelah meninggalkan warung teh, Ji Bun langsung menuju ke selatan, memangnya dia tidak membawa bekal apa-apa, maka tidak perlu kembali ke hotel, baru saja dia membelok ke jalan besar, seorang pengemis tua mata satu tiba-tiba mendatangi dengan langkah terserot-serot. "Eh, kau!" tiba-tiba pengemis itu berseru dan melotot, berhenti dan mencegat di depan Ji Bun.
Ji Bun melengak, dilihatnya pengemis tua ini tidak pernah dikenalnya. "Tuan ..... tuan ada perlu apa?" tanyanya.
-- Pengemis tua itu unjuk senyum lebar, katanya "Hiante, masa kau tidak kenal suaraku lagi" Setengah tahun lamanya, hampir kedua kakiku patah mencari kau."
Seketika berkobar semangat Ji Bun, tak pernah disangkanya di sini dia bakal bertemu dengan Sian-tian-khek Ui Bing murid Biau-jiu Siansing.
"Siaute mohon maaf," Ji Bun berkata penuh sesal.
"Guruku mengerahkan puluhan orang, minta bantuan pihak Kay-pang pula," demikian Ui Bing menjelaskan, "jejakmu dicari di segala pelosok, gelagatnya kau malah, adem ayem saja, dimana kau selama setengah tahun ini?"
"Toako, sekarang aku ada urusan, nanti saja kita bicara lagi!"
Seorang pengemis tua yang kotor, berbicara dengan seorang pelajar yang berpakaian bersih dan cakap di tengah jalan raya, sudah tentu menarik perhatian banyak orang.
Ui Bing tahu diri lekas dia berbisik; "Baiklah, kau berangkat lebih dulu." Sambil bertopang tongkat Pak-kau-pang, dengan terserot-serot dia melangkah pergi.
Ji Bun mempercepat langkahnya, lewat jalan kecil yang lebih dekat, ia langsung menuju ke pintu selatan, ia menyusur jalan kampung terus naik ke atas gundukan tanah tinggi. Saat mana menjelang kentongan ketiga, kalau di dalam kota masih ramai, di luar kota sebaliknya sudah sepi, tidak kelihatan ada bayangan orang.
-- Baru saja Ji Bun tiba di atas bukit, Ui Bing juga lantas tiba, memang tidak malu dia dijuluki Sian-tian-khek, namun bagi pandangan Ji Bun sekarang yang telah mempelajari ilmu tingkat tinggi Ban-tok-bun, kepandaian orang hanya biasa saja, tiada yang perlu dibanggakan.
Setiba di atas bukit Ui Bing segera bertanya: "Ada apa Hiante?"
"Aku menunggu orang."
"Siapa?"
"Aku belum tahu siapa mereka, yang jelas dia adalah seorang Hiangcu dari pimpinan sebuah anak cabang dari suatu "Kau" entah apa namanya."
Ui Bing tampak kaget, katanya: "Apakah mereka menggunakan tanda kembang Bwe?"
"Ya, kenapa" Toako tahu perkumpulan mereka?"
"Namanya Ngo-hong-kau, baru beberapa bulan ini timbul di kalangan Kangouw, namun gerakan, mereka sudah menggemparkan Bu-lim."
"Ngo-hong-kau" Siapakah Kaucunya?"
"Belum diketahui, kabarnya orangnya yang berhasil merebut Hud-sim."
-- "Bagaimana bisa diketahui bahwa Ngo-hong-kaucu adalah adalah orang yang berhasil merebut Hud-sim?"
"Masa kau belum tahu, Bu-lim sudah geger, memangnya di mana saja kau selama ini?"
Karena aturan perguruan yang keras, tidak mungkin Ji Bun menjelaskan rahasia Ban-tok-bun, maka ia menjawab seenaknya saja: "Siaute mengalami hal yang aneh, terpaksa menyepi setengah tahun."
Lalu dia alihkan pembicaraan: "Toako, anting-anting yang kutitip padamu untuk dikembalikan kepada keluarga Ciang, bagaimana akhirnya?"
"Aku dicaci maki oleh Ciang-lothau, masakah tanda pertunangan boleh sembarangan dikembalikan ........"
"Bagaimana reaksi Ciang Bing-cu?"
"Waktu itu dia hendak mencukur rambut menjadi Nikoh, untung berhasil dibujuk," lalu dengan nada prihatin ia menyambung,
"Hiante, begitu besar dan luhur cinta nona Ciang, jangan kau menyia-nyiakan harapannya."
"Soal ini kelak dibicarakan saja, apakah yang terjadi belakangan ini, kenapa Bu-lim sampai geger?"
-- "Petaka di Bu-lim mulai bersemi, agaknya sukar dihindari bakal terjadi bencana berdarah ini," ujar Ui Bing. "Tiga bulan yang lalu, beruntun terjadi peristiwa besar di Bu-lim, semua yang terbunuh adalah tokoh-tokoh kenamaan dari aliran baik, di tempat yang ditinggalkan cap bunga Bwe, tak lama kemudian lantas muncul perkumpulan yang bernama Ngo-hong-kau ........"
"Langkah pertama mereka mencaplok Sin-eng-pang dan dijadikan cabang ketiga, disusul Ngo-lui-kong yang kini dinyatakan sebagai cabang utama dari Ngo-hong-kau, yang lain-lain umpamanya It-kiam-hwe, Ang-eng-pang dan sindikat-sindikat kecil lain, semua ditelan mentah-mentah."
"Tidak kecil ambisi mereka?"
"Ya, sampai keluarga Ciang di Kay-hong juga dirampok habis-habisan, untung paman Ciang dan puterinya sempat menyingkir."
Tergetar hati Ji Bun, tanyanya: "Bagaimana selanjutnya?"
"Markas Wi-to-hwe diserbu, ratusan anak buahnya gugur, Bu-cing-so dan Jay-ih-lo-sat gugur, Thong-sian Hwesio terluka parah, untung isteri Wi-to-hwecu segera tiba, dengan gigih dia tempur Ngo-hong-kaucu, kalau tidak tentu Wi-to-hwe sudah ditumpas habis, tapi Ngo-hong-kau pasti tidak akan tinggal diam."
Jantung Ji Bun berdebar keras, Bu-cing-so dan Jay-ih-lo-sat berkepandaian tinggi, jiwa merekapun melayang, maka dapatlah dibayangkan betapa tinggi kepandaian Ngo hong-kaucu, sungguh amat menakutkan. Untunglah Wi-to-hwecu dan Thong-sian Hwesio
-- masih hidup, kelak masih sempat dia cari kesempatan untuk menuntut balas.
"Kini tinggal Kay-pang dan beberapa aliran besar saja yang belum diusik."
"Toako tahu, Sam-cay Lolo juga sudah mati dan Thian-thay-mo-ki diculik mereka."
"Ya, bagaimana tindakan Hiante?"
"Aku akan menolongnya."
"Kukira amat sulit."
"Siaute akan pertaruhkan jiwa raga."
"Di mana kira-kira sekarang dia disekap?"
"Ada, hubungannya dengan orang yang kujanjikan kemari ini.
Toako tahu di mana letak markas cabang mereka di kota ini".''
"Aku sendiri belum menemukan, tapi tidak sulit untuk menyelidiki."
"Nah, itulah mereka datang, Toako tak usah ikut bicara."
Dua bayangan orang tampak berlari naik ke atas bukit, gerak-gerik mereka cukup cekatan, agaknya berkepandaian lumayan.
-- Begitu tiba di bawah bukit, Hiangcu yang bernama Tio Wi-kong segera bersuara "Apakah Duta ada di atas?"
"Ya, aku di sini, kalian boleh kemari," Ji Bun mengiakan.
Begitu tiba di atas bukit Tio Wi-kong berdua tertegun melihat kehadiran Ui Bing. Lekas Ji Bun berkata dengan angkuh, "Orang sendiri, tidak usah kuatir."
Tio Wi-kong bersama anak buahnya segera memberi hormat kepada Ji Bun, dengan lirikan curiga dan tidak tenteram dia pandang Ui Bing yang menyamar jadi pengemis tua bermata satu, lalu Tio Wi-kong berkata penuh hormat: "Duta ada perintah apa, silakan pesan saja."
Tujuan Ji Bun mengundang kedua orang ini adalah untuk mendapatkan keterangan supaya lebih leluasa menolong Thian-thay-mo-ki. Sekilas dia melirik Ui Bing, lalu pandang laki-laki baju hitam di depannya dan katanya: "Kau, siapa namamu?"
Seperti takut tapi juga senang sikap laki-laki ini dengan munduk-munduk sahutnya tergagap: "Tecu ...... seorang Thaubak di bawah pimpinan Tio-hiangcu, bernama Ci Tay-khing, mohon Duta suka memberi bimbingan."
"Ehm," dengus Ji Bun, lalu berkata dengan nada lebih kereng:
"Agaknya kau pintar dan cekatan bekerja, kelak pasti ada harapan ditarik ke markas pusat."
-- Laki-laki baju hitam munduk-munduk lagi, suaranya gemetar senang: "Semua berkat bantuan Duta."
Ji Bun menunjuk Ui Bing, katanya: "Dia ini Duta rahasia dari pusat. Dia ingin berhadapan langsung seorang diri dengan ketua cabang kalian, baru pertama kali dia kemari, belum tahu jalan dan seluk beluk di sini, supaya tidak terlalu banyak orang tahu jejaknya, kaulah yang ditugaskan menunjuk jalan baginya."
Laki-laki baju hitam mengiakan, lalu dia memberi hormat kepada Ui Bing, katanya: "Silakan ikut hamba."
Sikap Ui Bing lebih sombong, tongkat penggebuk anjing di tangannya terangkat, suaranya keluar dari hidung. "Ya, tunjukkan jalan."
Dengan langkah tergopoh-gopoh laki-laki baju hitam putar tubuh terus lari turun bukit kecil ini. Ui Bing sedikit mengangguk, pertanda bahwa dia tahu maksud Ji Bun, lekas sekali dia melompat turun ke bawah pula.
Setelah kedua orang tak kelihatan bayangannya, sorot mata Ji Bun tiba-tiba mencorong, dengan suara dingin ia mendesis: "Kau tahu siapa aku?"
Agaknya Tio Wi-kong belum tahu persoalan apa yang ditanyakan, seketika dia melenggong, sahutnya ragu-ragu: "Entah siapakah nama Duta yang terhormat ......."
"Aku inilah Te-gak Suseng."
-- "Hah!" Tio Wi-kong kaget setengah mati, mukanya pucat terus putar tubuh hendak lari.
"Jangan bergerak," bentak Ji Bun, "kau takkan bisa lolos, sekarang katakan, siapa Kaucu kalian" Dimana letak markas pusatnya?"
"Ini ....... tidak tahu."
Ji Bun berkata pula, suaranya bengis berwibawa: "Orang she Tio, bicaralah terus terang ......."
Serta merta Tio Wi-kong menyurut mundur, wajahnya yang semula kelihatan pucat ketakutan kini berubah menyeringai, jari-jari tangannya mengusap ke mulut, katanya: "Kau mau apa?"
"Jawab pertanyaanku."
"Te-gak Suseng, yang kau andalkan hanya Bu-ing-cui-sim-jiu, nah kau boleh coba atas, diriku."
Ji Bun tertegun malah, apakah orang ini tidak takut terhadap racun" Kalau dia ini sekomplotan dengan Kwe-loh-jin dan lain-lain, maka tidak perlu dibuat heran. Kini dia menjadi paham, jari-jari tangan orang mengusap mulut tadi mungkin menelan obat penawarnya, maka dia berani bicara besar dan garang. Namun Ji Bun sekarang bukan Ji Bun setengah tahun yang lalu, katanya: "Aku takkan menggunakan tangan beracun, kalau kau mampu melawan sejurus saja, kau boleh pergi sesukamu."
-- "Memangnya kau mampu menahanku di sini?" jengek Tio Wi-kong.
"Nah, cobalah," ujar Ji Bun, sebelah tangannya terus memotong miring ke depan, kelihatannya gerakan tangan ini enteng dan tidak menggunakan tenaga, namun kekuatannya dahsyat luar biasa. Tio Wi-kong memutar kedua tangan turun naik menyerang sambil bertahan. Dinilai permainannya, memang dia terhitung jago kelas tinggi dikalangan Kang-ouw. Baru saja serang menyerang kedua pihak berlangsung, tenaga yang dikerahkan telapak tangan Ji Bun tiba-tiba dimuntahkan, kekuatannya sungguh hebat dan tidak terbendungkan.
"Huuuuaaaah!" ditengah jeritan ngeri Tio Wi-kong muntah darah, kakinya mundur beberapa langkah, akhirnya jatuh terduduk.
Sesosok bayangan melayang turun dengan enteng, kiranya Sian-tian-khek yang menyaru jadi pengemis telah putar balik.
"Bagaimana Toako?" tanya Ji Bun.
"Jalan menuju ke markas cabang sudah kuketahui."
"Mana orang itu"''
"Sudah kuantar dia pulang ke neraka. Lihay juga dia, pandai main racun. Kalau aku tidak segera turun tangan, hampir saja aku dikibuli."
-- "Seeeer!" tiba-tiba sejalur api menyala menjulang tinggi ke angkasa. Kiranya melihat gelagat tidak menguntungkan, dikala kedua orang bicara, diam-diam Tio Wi-kong menyambitkan panah berapi ke udara untuk minta bala bantuan.
Ji Bun mendengus sekali, tahu-tahu tubuhnya melejit tinggi, badannya berputar secepat kitaran, mumbul laksana roket meluncur, melampaui luncuran panah berapi dan mengebasnya jatuh di tengah angkasa, maka berpijarlah kembang api beterbangan di udara dan berjatuhan. Cepat sekali dan seenteng kipas Ji Bun meluncur turun pula. Lwekang tingkat tinggi yang berhasil dipelajarinya dari perguruan Ban-tok-bun dia kombinasikan dengan Ginkang pusaran angin lesus yang dia pelajari dari orang tua aneh Giok-bin-hiap Cu Kong-tam di dasar jurang itu, sekaligus dia demonstrasikan.
"Hiante," seru Ui Bing terbelalak, "terbuka mataku malam ini.
Guruku terkenal oleh Ginkangnya yang tinggi, agaknya beliau takkan lebih unggul dari pada kau."
Ji Bun geleng-geleng, sahutnya: "Ah, kau terlalu memuji."
Tio Wi-kong berdiri menjublek, sukmanya serasa terbang dari raganya, mulut melongo, mata terbeliak, hampir dia tidak percaya bahwa ini kenyataan.
Ji Bun putar badan dan berkata dengan bengis: "Sekarang jawablah beberapa pertanyaanku."
Tio Wi-kong menyurut mundur dengan ketakutan, namun dia masih bandel: "Tiada yang harus kujelaskan."
-- Ji Bun mengertak gigi, katanya: "Pernah kau pikir cara bagaimana kematianmu nanti?"
Gemetar Tio Wi-kong melihat sorot mata Ji Bun: "Kuterima nasib.
Jangan kau paksa aku."
"Memaksamu" Ha ha ha, sebaliknya sudah lama aku menahan diri, baru sekarang aku menemui sasaran yang tepat untuk menagihnya."
"Aku utang apa terhadapmu?"
"Boleh kau tanya Kaucu kalian."
"Apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"
"Kau bicara terus terang, kuampuni jiwamu."
"Anak didik Ngo-hong-kau tidak gentar diancam dan disiksa, mau bunuh atau disembelih silakan lekas, pasti ada orang yang akan membuat perhitungan padamu nanti."
"Memangnya tulang-tulangmu sekeras besi?"
Tio Wi-kong balas dengan mendengus tanpa menjawab.
"Hiante," sela Ui Bing, "jangan membuang waktu, gerak gerik Ngo-hong-kaucu serba misterius. Anak buahnya sendiri tiada yang
-- pernah melihat wajah aslinya. Kalau kita menemui ketua cabang mungkin bisa berhasil."
15.44. Duta Istimewa Ngo-hong-kau
"Darimana kau bisa berpendapat demikian?" tanya Ji Bun.
"Ada seorang Tongcu dari Ngo-hong-kau yang tertawan oleh Wi-to-hwe, meski dikorek, hasilnya tetap nihil."
Ji Bun sudah angkat tangan hendak membunuh Tio Wi-kong, namun tiba-tiba dia ingat akan pantang perguruan, apakah ini juga termasuk membunuh secara semena-mena" Yang terang orang ini memang belum setimpal dihukum mati, maka gerakan tangan yang membelah dia ubah jadi tutukan, ilmu orang dia punahkan, ditambah tutukan jalan darah menidurnya, lalu katanya kepada Ui Bing:
"Toako, berapa lama lagi akan kentongan kelima, marilah kita tunggu saja di sekitar luar pintu kota."
"Menunggu apa?" tanya Ui Bing.
"Mereka hendak menggusur Thian-thay-mo-ki ke markas pusat, antara kentongan kelima akan keluar dari pintu selatan."
"O, Hiante, kukira kita tidak perlu turun tangan tergesa-gesa."
"Kenapa?"
"Kuntit mereka, supaya tahu di mana letak markas mereka."
-- "Ya, akal bagus. Marilah!" mereka turun dari bukit langsung menuju ke selatan dan sembunyi di semak-semak.
Ayam sudah berkokok, lekas sekali fajar telah menyingsing, asap dapur sudah mengepul tinggi dari rumah-rumah penduduk dalam kota, namun sejauh ini tidak tampak sebuah keretapun yang keluar kota.
Ji Bun gugup dan naik pitam, dia merasa telah dikibuli, hawa marahnya menjadi berkobar, katanya kepada Ui Bing: "Tunggulah sebentar di sini!"
Sekali lompat dia meluncur balik ke arah bukit kecil tadi, namun setiba di tempat, seketika dia menjadi lesu. Tio Wi-kong yang ditutuknya tadi sudah tidak kelihatan bayangannya. Setelah ilmu silatnya punah, di tutuk lagi sehingga tidur pulas, untuk siuman juga perlu berselang dua jam kemudian, agaknya dia telah ditolong orang.
Dengan adanya kejadian ini, sudah tentu pihak musuh akan berubah siasat, sebaliknya dirinya bersama Ui Bing menunggu angin secara sia-sia. Diam-diam ia menyesal kenapa tadi bertindak kurang tegas, kalau Tio Wi-kong dibunuh, mungkin situasi tidak akan berubah, kejadian ini betul-betul ibarat "menyingkap rumput mengejutkan ular", urusan akan semakin rumit dan sukar dibereskan.
Ui Bing bilang Kaucu Ngo-hong-kau adalah orang yang berhasil rebut Hud-sim, namun menurut apa yang dia tahu Hud-sim akhirnya terjatuh ke tangan Kwe-loh-jin, ini membuktikan bahwa Ngo-hong-
-- kaucu pasti majikan Kwe loh-jin dan laki-laki tak dikenal yang pernah membunuhnya tempo hari, maka persoalan sekarang bertambah ruwet. Bukan saja harus menolong Thian-thay-mo-ki, ibunyapun berada di tangan mereka, mati hidupnya sukar diramal. Keruan giginya berkerutuk saking gemas dan geram, hatinya panas dan gelisah seperti semut di dalam wajan.
Hari sudah terang tanah, lalu lintas sudah ramai di jalan raya.
Tak lama kemudian Ui Bing juga menyusul ke atas bukit. Keduanya hanya saling pandang dengan melongo.
Sekonyong-konyong sebuah suara melengking dingin berkumandang: "Te-gak Suseng, tibalah sekarang saat kematianmu."
Ji Bun dan Ui Bing kaget dan sama-sama menoleh, tampak dari balik pohon di belakang bukit sana muncul dua orang, ternyata dua pemuda berbaju sutera yang bermuka tirus dan kejam, usianya sekitar likuran tahun, satu diantaranya berhidung betet, matanya jalang sadis, seorang lagi kulit mukanya kasar dan beringas, keduanya tampak cekatan, langkahnya enteng.
Ji Bun menyapu pandang, jangeknya: "Kalian pasti anak buah Ngo-hong-kau?"
Pemuda berhidung betet menjawab dengan suara sumbang:
"Betul, kami adalah Ngo-hong-su-cia."
"Ada petunjuk apa?"
-- "Akan memenggal batok kepalamu."
"Kalau kalian mampu, boleh ambil saja."
Ngo-hong-su-cia yang bermuka kasar ikut bicara: "Te-gak Suseng, ada pesan apa lekas katakan kepadaku saja."
Terpancar sinar cemerlang dari biji mata Ji Bun, tanya garang:
"Dimana Thian-thay-mo-ki yang kalian tawan itu?"
"Kau ingin tahu" Sekarang dia sudah menjadi teman seranjang Kaucu kami."
Darah seketika tersirap ke atas kepala Ji Bun, hardiknya: "Ingin mampus kau!"
Telapak tangannya segera tegak dan menabas, utusan Ngo-hong-kau yang bicara tadi memapak maju, dia menyambut secara kekerasan. Sementara temannya melompat menyingkir.
"Bluk!" suara menggelegar, keduanya sama-sama bertolak mundur setapak, hati Ji Bun mencelos, walau dirinya belum kerahkan seluruh kekuatan, namun musuh kuat melawan. Betapa tinggi kepandaian anak muda ini sungguh amat mengejutkan.
Tampaknya tidak lebih lemah dari pada Siang-tian-ong dan lain-lain, tak heran Ngo-hong-kau berani bersimaharaja di Bu-lim.
Tapi kejut orang itu lebih besar, Lwekang Ji Bun agaknya di luar perhitungannya. Cepat sekali keduanya sudah saling tubruk dan
-- serang menyerang, pertempuran amat sengit dan dahsyat, dalam waktu singkat susah dibayangkan pihak mana bakal menang.
"Pengemis tua," ujar utusan yang lain, "biar kau kubereskan lebih dulu."
Tanpa banyak komentar segera dia menyerang Ui Bing. Hanya tiga gebrakan saja Ui Bing sudah terdesak keripuhan, malah kemampuan untuk balas menyerangpun tiada, julukannya Sian-tian-khek, mestinya gerak-geriknya cukup hebat, maka begiitu melihat gelagat jelek, selicin belut segera dia menyelinap keluar gelanggang.
"Gerakan bagus, tapi jangan harap kau bisa lolos!" seru orang itu, tahu-tahu badannya berkelebat, Ui Bing dipukul mundur pula oleh gerakan lawan yang lihay, kalau dalam keadaan biasa, mungkin Ui Bing sudah lari, tapi Ji Bun masih berhantam dengan musuh, betapapun dia tidak tega lari seorang diri, namun kepandaian lawan teramat tangguh bagi dirinya, hanya sedetik dia bimbang dan meleng badannya sudah terpukul sekali.
Dengan menguak darah muntah dari mulut Ui Bing, tongkat ditangannyapun mencelat, terbang entah ke mana, maklum dia bukan orang Kay-pang, tongkat itu hanya pelengkap dari penyamarannya, hakikatnya tongkat itu bukan senjata andalannya.
Di sebelah sana kelihatan Ji Bun lebih unggul menghadapi orang itu, lawan didesaknya mundur berulang-ulang, namun untuk menamatkan jiwanya tidak mungkin dilakukan dalam dua tiga gebrakan saja. Melihat Ui Bing terluka, hati Ji Bun gelisah.
-- Terdengar orang yang berhadapan dengar, Ui Bing tengah membentak: "Pengemis tua, rebahlah kau!"
Jeritan ngeri segera bergema di lembah pegunungan menyusul suara bentakan tadi, Ui Bing terguling-guling roboh.
Ji Bun betul-betul kaget, kini tiada pilihan lagi, seraya menghardik, jurus pertama Kian-ciau-kwi-cau (burung terbang balik kesarang) dari Tok-jiu-sam-sek segera dia lancarkan.
Ban-Yu-siong, kakek gurunya itu pernah berpesan bahwa Tok-jiu-sim-sek terlalu ganas, sekali-kali tidak boleh dilancarkan kalau tidak terpaksa, kini demi menolong jiwa Ui Bing, terpaksa dia berlaku tegas melancarkan ilmu dahsyat ini.
Baru pertama kali ini Tok-jiu-sim-sek sejak diciptakan betul-betul digunakan untuk menyerang musuh, sampai di mana kehebatan dan keganasannya, Ji Bun sendiripun belum tahu.
Dengan gerakan aneh dan cepat menakjubkan tangan beracunnya tahu-tahu menembus bayangan pukulan lawan yang rapat tanpa setitik lubangpun, langsung mengincar ulu hati. "Ngek"
gerungan tertahan terdengar, suaranya rendah tapi menyayat hati, utusan itu terhuyung-huyung terus jatuh celentang, darah membasahi dadanya, jiwanya seketika melayang.
Ji Bun sendiri seketika berdiri menjublek melihat hasil keganasan serangannya. Bu-ing-cui-sim-jiu sudah terampuh tiada duanya dalam dunia ini, apalagi kerjanya racun amat pesat, begitu racun bekerja di dalam badan, dewapun takkan bisa menolongnya.
-- Orang yang lain pecah nyalinya. dengan ketakutan tanpa buka suara segera ia ngacir sipat kuping.
Ji Bun lari ke sana memapah Ui Bing tanyanya: "Bagaimana Toako?"
Ui Bing sendiri juga melongo melihat kehebatan Ji Bun membunuh orang yang melukai dirinya itu sekian lama dia terlongong tidak mampu menjawab.
Terpaksa Ji Bun mengulangi pertanyaannya, Ui Bing baru tersentak dan tertawa getir, katanya: "Jangan kuatir, aku takkan mati."
Dengan kedua tangan Ji Bun pegang kedua pundak Ui Bing, tiba-tiba Ui Bing berteriak kaget dan ngeri: "Hiante, tangan kirimu ......."
"O," ujar Ji Bun "tidak apa-apa!"
"Apakah ilmu beracunmu itu sudah punah?"
"Tidak."
"Wah, jiwaku bisa melayang?"
Ji Bun ragu-ragu sejenak, katanya: "Tanganku ini sekarang bisa membedakan musuh dan kawan sendiri, kau takkan terluka, tidak usah kuatir."
-- "Ini ....... mungkinkah?"
"Toako, aku takkan menipumu, namun tak mungkin kujelaskan apa sebabnya, kuharap kau tidak tanya soal ini."
"Jadi ada hubungannya dengan rejeki nomplok yang pernah kau katakan itu" Agaknya jerih payah guruku akan sia-sia."
"Jerih payah gurumu apa maksudmu?"
"O, tidak, aku salah omong, maksudku jerih payah calon mertuamu Ciang Wi-bin ........"
"Jerih payah paman Ciang bagaimana?"
"Bukankah beliau pernah kirim kabar melalui guruku bahwa dia sudah mendapatkan resep untuk memunahkan ilmu beracunmu itu?"
"Ya, gurumu pernah menyinggung soal ini, kenapa?"
"Di dalam sejilid kitab kuno yang hampir rusak, Ciang Wi-bin memperoleh resep obat yang khusus untuk memunahkan macam racun, namun untuk lima macam di antara obat yang harus diraciknya, dia harus merogoh kantong membayar tiga ribu tahil uang emas, uang bagi dia tidak soal, tiga laksa tahil emas juga mampu dibayarnya ........."
"O," tidak tenteram hati Ji Bun.
-- Berkata Ui Bing lebih lanjut: "Demi perjodohanmu dan puterinya, Ciang Wi-bin betul-betul sudah mempertaruhkan segala dayanya
......." "Toako, hampir lupa kutanya padamu. Apa saja kerugian keluarga Ciang setelah dirampok oleh Ngo-hong-kau?"
"Beberapa pembantu keluarganya gugur, tapi mereka ayah beranak sempat menyingkir, sayang semua barang-barang antik dan barang-barang berharga lainnya telah dikuras habis."
"Dimana sekarang nona Ciang?"


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Entahlah, Ciang Wi-bin punya banyak tempat rahasia yang tersebar di mana-mana."
"Ehm, sampai di mana cerita Toako tadi?"
"Untuk melengkapi usahanya menolong kau, seorang diri beliau menuju ke barat naik ke Cong-lam-san."
Ji Bun merasa kikuk dan menyesal sekali, begitu besar perhatian orang terhadap dirinya, sebaliknya dirinya bersikap tawar. Tanpa terasa jidatnya dibasahi keringat dingin tanyanya: "Obat apa yang hendak dicari paman Ciang di Cong-lam-san"'
"Namanya Kim-sian-jau-koh, kecuali orang-orang yang ahli dalam bidang pengobatan tiada yang tahu bila di dunia ini ada buah bergaris emas ini, konon hanya tumbuh dan berbuah di Cong-lam-san di tepi 'danau iblis'. Sudah tiga bulan ia pergi, sampai sekarang
-- belum kunjung pulang. Danau iblis hanya pernah kudengar dalam dongeng. Apakah beliau bisa menemukan tempat itu serta memperoleh buah yang diharapkan, hanya Thian yang tahu."
Gelisah perasaaan Ji Bun, katanya haru: "Sudah tiga bulan beliau belum kembali?"
Ui Bing meringis menahan sakit, darah masih mengalir dari luka-lukanya, segera Ji Bun hendak menolongnya, tapi Ui Bing menolak, ia duduk di atas batu dan mengeluarkan obat-obatan yang diperlukan, lalu membalut lukanya sendiri.
JI Bun tak bersuara, dengan siaga dia berdiri di sampingnya, pikirannya kusut, hati tidak tenteram. Selagi dia terlongong, tiba-tiba dilihatnya beberapa bayangan orang berlari-lari mendatangi dari beberapa arah, tujuan ke bukit ini.
Ji Bun menoleh, dilihatnya Ui Bing tengah bersimpuh mengerahkan hawa murni untuk berobat diri memulihkan kekuatan.
Cepat Ji Bun menerawang situasi sekelilingnya. Cepat dia mundur dua tombak, dipilihnya posisi yang lebih enak dengan membelakangi tanah tandus yang meninggi di sebelah belakang. Dari sini dia lebih leluasa bergerak, sekaligus untuk mengawasi Ui Bing dan memberi pertolongan bila perlu.
Orang-orang itu cepat sekali sudah berdatangan dan berdiri membundar dari lima tombak jauhnya, yang terdepan adalah seorang tua berwajah putih tidak berjenggot, mukanya segi tiga, bentuknya mirip kepala ular berbisa. Disampingnya berdiri Ngo-hong-su-cia berhidung betet yang tadi melarikan diri. Agaknya
-- kedudukan orang tua ini lebih tinggi, yang lain-lain semuanya berseragam hitam. Terlebih dulu laki-laki tua ini pandang mayat Ngo-hong-su-cia yang masih menggeletak di tanah berumput sana, sorot matanya yang tajam segera menatap muka Ji Bun. Suaranya yang serak seperti gembreng pecah lantas berkata: "Te-gak Suseng, berani kau membunuh Duta kami, memangnya kau sudah bosan hidup?"
"Siapa kau, sukalah perkenalkan diri?" tanya Ji Bun.
"Aku Duta istimewa Ngo-hong-kau Kian Ceng-san yang berkuasa di daerah barat ini."
Sudah tentu Ji Bun belum pernah kenal namanya. "Kau meluruk kemari dengan sekian banyak orang, apa maksudmu?"
"Te-gak Suseng, sudah tahu jangan pura-pura tanya segala.
Walau belum lama Ngo-hong-kau berdiri, namun belum pernah melepaskan seorang musuhpun."
"Kau begitu takabur. Kalau mampu, hayolah maju, tapi sebelumnya aku ingin tanya beberapa hal?"
"Coba katakan."
"Ada orang bernama Kwe-loh-jin, apakah dia anggota kalian?"
"Kwe-loh-jin" Belum pernah dengar."
-- Ji Bun melenggong, lalu tanya pula: "Di mana sekarang Thian-thay-mo-ki yang tertawan kalian" Kian Ceng-san menyeringai lebar, gelak tawanya sengaja dibikin keras bagai srigala melolong, katanya
"Dia, kini sudah menjadi isteri Kaucu kami."
Seperti disambar geledek kepala Ji Bun, rasa sakit hati seketika membakar dada, sorot matanya juga mencorong menakutkan, desisnya: "Baik, akan kubuat perhitungan dengan Kaucu kalian."
"Memangnya kau setimpal?" desis orang itu.
"Masih ada sebuah pertanyaan, betulkah Kaucu kalian menahan seorang nyonya yang bernama Lan Giok-tin?"
Berubah hebat air muka Kian Ceng-san, "Untuk apa kau tanya ini?" suaranya gemetar.
"Kau tidak perlu tahu, aku ingin mengunjungi Kaucu kalian, di mana letak markas pusat kalian?"
"Apa kau bermimpi. Sekarang kau tidak punya kesempatan."
"Kau mampu berbuat apa atas diriku?"
"Tidak perlu putar lidah, sekarang serahkan jiwamu," sembari mengancam Kian Ceng-san meloncat tinggi ke atas, laksana burung elang tiba menukik menubruk ke arah Ji Bun, jari-jari kedua tangannya terpentang laksana cakar.
-- Ji Bun gerakkan kedua tangannya, hawa seketika bergolak dengan kekuatan bagai gugur gunung menerjang ke arah Kian Ceng-san. Gerakan Kian Ceng-san seketika terbendung dan anjlok turun. Kini keduanya berdiri berhadapan sejauh dua tombak, malah Ui Bing hanya delapan kaki disampingnya, keadaan amat berbahaya, bila tujuan lawan mencelakal jiwa Ui Bing, pasti dengan mudah dapat dikerjakannya.
Oleh karena itu Ji Bun tidak berani ayal, kaki melangkah, sekaligus dia lancarkan Kian-ciau-kui-cau, jurus pertama Tok-jiu-sam-sek, bagai kilat menyamber tangannya memotong ke depan.
Duta berhidung betet segera berseru memperingatkan: "Awas serangan ganas!"
Kepandaian Kian Ceng-san memang hebat. Hampir bersama dengan peringatan temannya, sebat sekali dia sudah mencelat mundur setombak lebih. Ji Bun dibuat kaget malah, setiap kali jurus Tok-jiu-sam-sek dilancarkan pasti melukai musuh namun lawan yang satu ini berhasil meloloskan diri tanpa kurang suatu apa, terpaksa dia ulangi serangan yang pertama pula, Kian Ceng-san kembali menyurut mundur, namun dia sudah terdesak dan tak mampu balas menyerang.
Sementara itu, si hidung betet secara diam-diam menubruk ke arah Ui Bing yang masih duduk bersimpuh.
Perhatian Ji Bun tidak pernah kendor, mungkin karena dia harus membagi perhatian sehingga Tok-jiu-sam-sek tidak bisa membawa hasil seperti yang diharapkan. Begitu melihat Duta hidung betet
-- bergerak, tangan kanan segera menghantam dengan kekuatan cukup keras. "Blang", si hidung betet terpukul telak dan terlempar bergulingan. Tapi dalam waktu yang sama, angin pukulan Kian Ceng-san juga menggulung ke arah Ji Bun.
Lekas Ji Bun tarik tangan menutup diri, namun hanya terpaut setengah detik, kontan dia terdorong empat langkah, terasa olehnya Lwekang Kian Ceng-san tidak lebih lemah daripada Thong-sian Hwesio. Jantungnya seketika mengencang, dia maklum bahwa pertempuran kali ini cukup berbahaya dan amat menentukan langkah usaha selanjutnya.
Tatkala itu Ji Bun tergentak sempoyongan dan Duta hidung betet belum berdiri tegak, tiga laki-laki yang berdiri di atas tanah tinggi sana mengira punya kesempatan turun tangan, serentak mereka melompat menubruk Ui Bing.
Sedikit kerahkan tenaga, kaki Ji Bun menutul, bagai percikan api cepatnya tubuhnya berputar setengah lingkaran, tahu-tahu dia sudah berdiri ditempat semula. "Bluuuk, huaaah!" jeritan secara beruntun. Ketiga laki-laki itu satu persatu tersungkur roboh, jiwa melayang seketika. Kejadian ini betul-betul amat mengejutkan semua hadirin, semuanya berdiri terbeliak.
"Te-gak Suseng," bentak Kian Ceng-san, "kau memang lihay dan bandel." Kedua tangan bertepuk terus meraih membundar, dengan gerakan aneh tenaga serangannya bergulung-gulung dengan hebat.
-- Semakin tajam sorot mata Ji Bun. Segera dia songsong pukulan lawan dengan kekerasan, diam-diam ia amat kaget karena Kian Ceng-san kebal akan racun Bu-ing-cui-sim-jiu.
Sudah tentu Duta hidung betet tidak mau membuang kesempatan. Begitu Ji Bun berhantam dengan Kian Ceng-san, segera dia lontarkan Bik-khong-ciang, pukulan jarak jauh ke arah Ui Bing.
Kaget dan berubah air muka Ji Bun, jurus pertama Tok-jiu-sam-sek kembali dia lancarkan. Kian Ceng-san sudah kapok dan tahu diri, lekas dia menyingkir, namun Ji Bun hanya bergerak setengah jalan, sebat sekali dia putar balik dan kebetulan menyongsong pukulan si hidung betet yang menerjang ke arah Ui Bing, pukulan angin ini cukup dahsyat. "Blang". Dengan badannya Ji Bun menerima pukulan ini secara mentah-mentah. Keruan saja dia sempoyongan dan mulutnya menggerung kesakitan, namun jiwa Ui Bing telah diselamatkan. Kini dia harus ubah cara menghadapi lawan, dia mengadang di depan Ui Bing menghadapi kedua musuh tangguh.
Orang lain sementara tidak dihiraukan, yang terang kepandaian mereka hanya sedang saja dan tak mungkin menimbulkan gara-gara.
Ditengah hardikan mengguntur, Kian Ceng-san bersama si hidung betet serempak menyerang. Ji Bun mengertak gigi, dia menyongsong maju, tangan kanan menahan si hidung betet dan tangan kiri menggunakan jurus kedua dari Tok-jiu-sam-sek yang bernama Tok-liong-cam-kau (naga beracun membunuh ular).
"Hek," Kian Ceng-san terhuyung sambil meraba dada, mukanya pucat pasi. Sementara Ji Bun dan si hidung betet sama-sama
-- mundur setapak. Dalam gebrakan ini, karena Ji Bun harus memencar kekuatan, maka jiwa Kian Ceng-san tidak sampai melayang. Tapi hal ini sudah cukup membuat Kian Ceng-san jera, sekali ulap tangan segera dia mendahului lari mencawat ekor, agaknya luka-lukanya tak ringan, si hidung betet juga tidak berani bertahan, segera dia memberi aba-aba, cepat iapun mendahului melesat pergi, sudah tentu anak buahnya seperti anjing yang ketakutan lari pontang panting.
Nafsu Ji Bun masih berkobar, sekali jejak kakinya ia melambung tinggi meluncur beberapa tombak dan turun di antara rombongan orang-orang yang tengah berlari. Di mana kaki tangan bergerak, jeritan saling susul, dalam sekejap puluhan orang telah rebah tak bernyawa.
Karena menguatirkan keselamatan Ui Bing, dia tidak berani mengejar lebih lanjut dan kembali ke atas bukit. Ternyata Ui Bing sudah selesai semadi dan luka-lukanya banyak sembuh, melihat sekelilingnya, dia berdiri menjublek.
"Toako, kau tidak apa?" tanya Ji Bun.
"Hiante," ujar Ui Bing terharu dan berterima kasih, "syukur atas pertolonganmu. Siapakah mereka tadi?"
"Disamping pemuda yang lolos tadi, dia membawa Duta istimewa yang berkuasa di daerah barat sini bernama Kian Ceng-san."
"Hah, Kian Ceng-san?" seru Ui Bing.
-- "Toako kenal orang ini?"
"Julukannya 'ulat menggeragot mayat', semula dia diangkat sebagai Bengcu kalangan hitam, namun karena bertangan keji, tidak sedikit anak buah sendiri yang dibunuhnya, sehingga menimbulkan rasa dendam khalayak ramai. Akhirnya dia kabur ke luar daerah, tak tahunya sekarang telah menjadi antek Ngo-hong-kau."
"Tampangnya memang kejam menakutkan."
"Hiante, bagaimana langkah kita selanjutnya?"
"Beritahukan saja alamat markas cabang mereka padaku."
"Tidak, aku saja yang bawa kau ke sana."
"Jago-jago Ngo-hong-kau yang berkedudukan tinggi hampir rata-rata tidak gentar terhadap racun, hal ini akan kuselidiki dan Toako jangan ikut menempuh bahaya."
"Aku akan tunggu di luar saja dan memberi bantuan apabila perlu."
Ui Bing berpikir sejenak, lalu katanya pula: "Begini saja, kau tunggu sebentar." Lalu dia lompat ke semak-semak dalam hutan, hanya sebentar saja. Pengemis tua mata satu tahu-tahu sudah berubah jadi seorang pelayan rumah makan dan berdiri dihadapan Ji Bun sambil membungkuk seraya berkata dengan tertawa:
"Siangkong, hamba unjuk hormat."
-- Ji Bun betul-betul kagum akan kepintaran orang menyamar.
"Hiante," kata Ui Bing kemudian, "nah, perhatikan, di sini letak cabang markas mereka. Kanan-kiri sama-sama ada jalan tembus, biar aku tunggu kau di sini." Sembari menjelaskan Ui Bing mencoret-coret dengan ranting kayu di atas tanah, lalu diusap dengan telapak kakinya. "Nah, aku berangkat lebih dulu," sekali berkelebat bayangannya lenyap di balik bukit sana.
Ji Bun membetulkan pakaian yang kotor dan kusut, diapun berlari turun langsung menuju ke markas cabang Ngo-hong-kau yang ditunjuk Ui Bing tadi. Banyak orang memperhatikan dirinya sepanjang jalan, tapi Ji Bun tak ambil pusing.
Kedatangannya ini ada tiga tujuan, pertama untuk membuktikan apakah Thian-thay-mo-ki masih disekap di markas cabang ini.
Kedua, mencari tahu meski harus secara kekerasan, di mana letak markas pusat mereka dan menolong ibunya. Ketiga, dia berharap bisa bertemu dengan Kwe-loh-jin atau orang-orang lain yang pernah turun tangan terhadap dirinya.
15.45. Lorong Rahasia Ngo-hong-kau
Kira-kira semasakan air dia sudah tiba di tempat yang ditunjuk oleh Ui Bing. Pintu besar tertutup rapat, suasana sunyi tidak kelihatan jejak manusia, mungkinkah markas cabang Ngo-hong-kau ada di sini" Ji Bun menjublek di tempatnya. Mungkin Ui Bing tertipu"
Tapi dia cukup cerdik dan cekatan, tak mungkin dikibuli orang.
Sesaat lamanya Ji Bun kebingungan, maju mundur serba salah.
-- Tampaknya gedung ini tempat tinggal keluarga besar, mungkinkah suatu cabang perkumpulan berada digedung yang sepi dan tidak terjaga ini. Dilihatnya jalan raya ini hanya terdapat dua gedung besar dan luas.
Selagi Ji Bun berdiri bingung, tiba-tiba pintu besar yang bercat hitam itu pelan-pelan terbuka, seorang laki-laki tua reyot menongol keluar. Begitu melihat Ji Bun berdiri di depan pintu, kepalanya lantas miring-miring mengamatinya sekian lama, tanyanya dengan suara serak: "Kongcu ini mencari siapa?"
Serba susah Ji Bun menjawabnya, laki-laki tua ini tidak mirip seorang persilatan, namun tak mungkin dia tidak menjawab pertanyaan orang, maka dia berkata: "Cayhe mohon bertemu dengan majikanmu."
"Majikanku" Apakah Kongcu tidak salah alamat?"
"Kukira tidak, betul gedung ini."
"Kongcu she apa" Pernah apa dengan majikan kami?"
"Setelah bertemu dengan majikanmu, dia tentu tahu."
"Majikanku takkan tahu untuk selamanya."
"Apa maksudmu?"
-- "Majikan sudah meninggal tiga tahun yang lalu, kini tinggal majikan perempuan dan puterinya berdua, siapa yang hendak Kongcu temui?"
Ji Bun menjublek tak bisa bicara lagi. Laki-laki tua itu segera menarik kepalanya sambil menggerutu. "Blang", dengan keras dia menutup daun pintu.
Ji Bun jadi geli sendiri, segera ia berlari-lari menuju ke tempat yang dijanjikan untuk bertemu dengan Ui Bing. Setiba di lorong jalan sana dia putar ke kanan, dipengkolan jalan dilihatnya Ui Bing sedang berdiri di depan sebuah rumah berloteng. Melihat Ji Bun lari mendatangi segera dia memberi isyarat kedipan mata, sebat sekali dia menyelinap masuk ke rumah. Ji Bun langsung memburu masuk, serunya: "Salah alamat!"
Ui Bing berhenti di sudut yang gelap, katanya heran: "Apa katamu?"
Dengan lesu Ji Bun ceritakan pengalamannya tadi.
"Ai." Ui Bing membanting kaki. "kau tidak tahu seluk beluk dunia persilatan, tempat itu tidak akan salah, mungkin di dalam markas cabang itu tiada jago yang mampu menghadapi kau, terpaksa mereka main kucing-kucingan."
Sungguh malu dan gusar Ji Bun dibuatnya, kejadian apapun pernah dialaminya. Kini dirinya masih begini gegabah, kenapa mau percaya obrolan orang begitu saja. Tanpa bersuara segera dia berlari kencang menuju ke tempat semula.
-- "Hiante, jangan tergesa-gesa, marilah bicaralah dulu," teriak Ui Bing.
Ji Bun anggap tidak dengar, secepat kilat dia berlari ke lorong jalan sana. Pintu besar bercat hitam masih tertutup rapat, suasana tetap sunyi senyap tidak kelihatan bayangan orang, namun keadaan Ji Bun berbeda dengan datangnya semula. "Brak", begitu tiba langsung dia angkat tangan menghantam ke arah pintu. Suara gemuruh bergema di lorong jalan yang sepi ini.
Pintu segera terbuka, yang muncul adalah laki-laki tua kurus tadi, dengan suara gemetar dia memaki, "Memangnya kalau janda dan yatim boleh dihina dan dipermainkan begini?"
Ji Bun menubruk maju, laki-laki tua mengkerut sambil menutup pintu, namun sudah terlambat, tahu-tahu lengan kirinya terpegang kencang oleh Ji Bun. Biji mata si orang tua yang semula pudar tiba-tiba berkilat tajam, sekuat tenaga dia meronta, namun sia-sia, tiba-tiba telapak tangannya menjojoh, jelas kepandaiannya cukup tangguh. Namun sedikit menggerakkan jari telunjuknya, lengan kanan si orang tua seketika lemas. Wajahnya yang tua keriput menjadi pucat kelabu.
"Anjing tua, kau sudah bosan hidup?" desis Ji Bun garang.
"Siau-hiap ..... ada urusan ..... apa ....?" suara si orang tua tergagap menahan kesakitan.
-- "Jangan cerewet," bentak Ji Bun, "bawa aku menemui pimpinan cabang kalian."
"Apa, cabang apa ..... aku ..... tidak tahu."
"Berani kau membual, kurobek mulutmu." Ji Bun segera menjinjingnya masuk ke dalam. Suara di luar sudah cukup gaduh, namun tetap tidak kelihatan ada orang lain muncul. Lekas sekali Ji Bun sudah menyusuri serambi panjang memasuki sebuah ruang tamu yang dipajang amat megah, barang-barang antik merupakan pajangan utama di gedung ini. Memang tidak mirip sebuah markas cabang suatu perkumpulan.
Ji Bun tampar orang tua tawanannya itu dan bentaknya beringas:
"Bawa aku menemui pimpinanmu."
"Siau-hiap ...... jangan kau ..... salah paham, gedung ini ditempati keluarga baik-baik."
Berkobar nafsu Ji Bun, sekali injak dia bikin lengan si orang tua patah dan remuk, keruan si orang tua berkaok-kaok kesakitan. Ji Bun mendesis berapi-api: "Kau tidak akan kubunuh, tapi jangan kau pura-pura atau tangan kananmu akan kubuntungi."
Tiba-tiba air hujan beterbangan dari atap rumah, setiap tetes air yang menyentuh lantai seketika menimbulkan kepulan asap tebal, itulah cairan beracun yang amat jahat. Si orang tua mengeluarkan jeritan yang mengerikan. Tubuhnya berkelejetan sebentar lalu tak bergerak. Cepat sekali badan yang utuh itu luluh menjadi cairan darah yang mengeluarkan bau amis. Pakaian Ji Bun berlubang-
-- lubang seperti sarang tawon. Kecuali merasa sedikit gatal, Ji Bun tidak kurang suatu apa. Ini membuktikan bahwa segala racun tidak mempan atas dirinya, namun situasi betul-betul amat mengejutkan.
Setelah hujan cairan beracun ini, suasana tetap sunyi. Amarah Ji Bun berkobar, namun dia tidak menemukan sasaran untuk melampiaskan dendamnya. Sekilas dia berpikir, matanya menjelajah sekelilingnya, lalu mundur keundakan sana. Tenaga di kerahkan, kedua tangan terus menghantam ke arah belandar yang terletak di tengah.
"Blang", seluruh gedung besar ini bergetar. Genteng sama rontok berjatuhan, belandarpun ikut sempal. Mungkin tiga kali pukulan cukup untuk meruntuhkan seluruh gedung. Keadaan inilah akan menimbulkan reaksi yang diharapkan Ji Bun.
Maka terdengarlah sebuah suara dingin menusuk telinga berkumandang di sebelah dalam: "Te-gak Suseng, takabur benar kau ini!"
"Hayo menggelinding keluar!" bentak Ji Bun.
Bayangan seorang tiba-tiba muncul, ternyata Duta istimewa di daerah barat Kian Ceng-san adanya, mukanya yang pias menyeringai sadis. Di belakang dan sekeliling gedung serempak muncul bayangan orang banyak. Ji Bun terkepung. Setiap orang yang muncul membawa senjata dan menggengam senjata rahasia.
Duta hidung betet juga muncul di samping Kian Ceng-san mengiringi seorang pemuda lain berpakaian jubah sutera.
-- Pemuda jubah sutera ini buka suara lebih dulu: "Te-gak Suseng, apa maksudmu kemari?"
"Sebutkan dulu namamu," desis Ji Bun kereng.
"Aku inilah pimpinan cabang di sini, Kiang Giok."
"Bagus sekali, lekas serahkan Thian-thay-mo-ki dan katakan dimana letak markas pusat kalian."
"Kau kira kami akan luluskan tuntutanmu?"
"Kalau tidak markasmu ini akan kusapu bersih dengan darah kalian."
Kian Ceng-san terloroh-loroh, katanya menyeringai: "Te-gak Suseng, akulah yang akan menyobek dan meleburkan badanmu, kalau tidak belum terlampias dendamku."
"Kau ini ulat busuk pemakan bangkai, hari ini bangkaimu yang akan dimakan ulat," balas Ji Bun.
Berubah air muka Kian Ceng-san, tak pernah diduganya bahwa Ji Bun bisa menyebut nama julukannya, keruan dia mencak-mencak gusar, teriaknya: "Anak keparat, hatimu akan kutelan mentah-mentah."
"Selama sisa hidupmu ini jangan kau harap," jengek Ji Bun menghina.
-- "Hm, serang!" ditengah aba-aba itu, Kian Ceng-san dan Kiang Giok segera menyerang dengan kedua tapak tangan. Dua jalur angin pukulan berkisar menjadi badai yang dahsyat menerpa datang, di samping itu berbagai senjata rahasia yang tak terhitung banyaknya serempak beterbangan dari berbagai penjuru, bagai hujan lebat mengincar Ji Bun.
Betapa hebat dan mengerikan kekuatan serangan gabungan ini, dari luncuran senjata rahasia yang mendenging kencang itu dapat dinilai bahwa semua orang, yang hadir sama berkepandaian tinggi.
Betapapun tinggi kepandaian seseorang, kalau tergencet oleh sekian banyak serangan, kalau tidak mati seketika juga pasti terluka parah.
Ji Bun bertindak tegas dan cepat meloncat. Ia kembangkan Ginkang pusaran angin lesus, badannya mumbul ke atas berputar seperti kitiran, empat tombak tingginya badan terapung. Semua senjata rahasia berseliweran lewat di bawah kakinya, ditengah udara badan Ji Bun berputar dua lingkaran, sekali kali memancal, badannya segera melesat ke arah serambi di luar sana. Sasarannya menubruk ke arah Kian Ceng-san dan Kiang Giok yang sudah menyingkir keluar rumah lebih dulu.
Kiang Giok dan Kian Ceng-san berpencar ke samping, belum lagi badan Ji Bun meluncur turun, keduanya sudah melontarkan pukulan maut. Pertempuran yang menentukan mati hidup kedua pihak, serangan mereka ini sungguh teramat lihay.
Ji Bun nekat, dia tidak hiraukan serangan Kiang Giok di sebelah kiri, dengan jurus kedua dari Tok-jiu-sam-sek dia sambut serangan Kian Ceng-san.
-- Lolong yang mengerikan sebelum ajal tiba seketika menggetarkan sanubari setiap orang yang hadir, tampak Kian Ceng-san roboh tengkurap dengan batok kepala remuk.
Punggung Ji Bun menerima pukulan Kiang Giok mentah-mentah, badannya terhuyung lima langkah baru berdiri tegak kembali, dua jalur darah meleleh dari ujung mulutnya.
Hanya sekali gebrak Kian Ceng-san sudah mampus, keruan Kiang Giok ketakutan setengah mati. Dia berdiri menjublek lupa melancarkan serangan pula. Tiba-tiba Ji Bun berputar menghadapinya, matanya memancarkan sinar yang tajam menyedot sukma orang. Anak buah Ngo-hong-kau yang mengelilingi tak pernah melihat peristiwa sehebat ini, serasa copot nyali mereka.
Sebat sekali Ji Bun menubruk maju, sekali raih ia cengkeram pergelangan tangan Kiang Giok. Anak buahnya sama berseru kaget, namun tiada yang berani bergerak. Sedikit kerahkan tenaga, kelima jari Ji Bun ambles ke pundak Kiang Giok, darah segera meleleh dari sela-sela jarinya.
Pucat selebar muka Kiang Giok, sedikitpun dia tidak mampu bergerak lagi.
"Kiang Giok, sekarang kaulah yang harus buka mulut!" desis Ji Bun mengancam.
-- Sebagai pimpinan cabang meski kaget dan ketakutan, betapapun dia tetap ingin mempertahankan wibawa dan keangkerannya, jawab Kiang Giok dengan mengertak gigi. "Tiada yang bisa kukatakan."
Saking marah Ji Bun hampir gila dibuatnya, sikapnya mirip malaikat yang kebakaran jenggot saja. Setiap patah katanya tegas dan sekeras baja: "Orang she Kiang, aku bisa membesetmu secara hidup-hidup."
Memang untuk membunuh Kiang Giok semudah Ji Bun membalik telapak tangan sendiri, namun tujuannya bukan membunuh orang, tapi menolong Thian-thay-mo-ki dan mencari jejak ibunya. Kalau Kiang Giok dibunuh, demikian pula semua anak buahnya, urusan tetap tidak akan beres.
Kiang Giok sudah dibekuk, namun dia bandel tak mau mengaku, keruan hatinya gelisah dan risau. Pada saat dia kebingungan itulah, tiba-tiba dilihatnya Kiang Giok mengangkat tangan kirinya ke arah mulutnya sendiri, air mukanya seketika pula berubah.
Ji Bun menjengek dingin: "Kau hendak menelan racun bunuh diri"
Dihadapanku, jangan kau harap bisa berbuat sesuka hatimu."
Sembari bicara beruntun dia menutuk tiga Hiat-to di dada orang, lalu merogoh sebutir pil dan dijejalkan ke mulut Kiang Giok.
Kiang Giok betul-betul mati kutu, ingin hidup sukar dipertahankan, minta mati juga tidak bisa. Ji Bun kerahkan tenaganya pula, Kiang Giok segera merintih kesakitan, Hiat-to di pundaknya yang tercengkeram seketika melelehkan darah pula.
-- Betapa siksaan ini membuat keringat dinginnya gemerobyos, ototnya merongkol keluar, kulit mukanyapun berkerut berubah bentuknya.
"Jangan harap ada keajaiban muncul di sini, kecuali mengaku terus terang, tiada jalan lain yang bisa kau tempuh."
"Te-gak Suseng, aku tetap tidak akan tunduk padamu."
"Baiklah rasakan permainanku."
Pada saat itulah tiba-tiba di antara gerombolan anak buah Ngo-hong-kau tampil keluar seseorang yang mengempit seorang yang empas-empis. Begitu mata Ji Bun melirik, seketika jantungnya hampir pecah, yang datang ternyata Duta hidung betet yang sempat melarikan diri itu. Orang yang empas-empis dan dikempit di bawah ketiaknya adalah Sian-thian-kek Ui Bing.
Bahwa Ui Bing terjatuh ke tangan lawan, sungguh tak pernah terduga oleh Ji Bun.
"Te-gak Suseng," Duta hidung betet menyeringai kejam, "kau kenal dia bukan?"
"Lepaskan dia!" bentak Ji Bun murka.
"Kau kira begitu mudah?"
"Kau ingin mampus?"
-- "Dia yang akan mati lebih dulu!" jengek Duta hidung betet sambil menuding kepala Ui Bing. Telapak tangannya mengarah tepat di ubun-ubun kepala Ui Bing, "tidak sukar untuk mengepruk remuk batok kepalanya, betul tidak?"
Gigi Ji Bun berkeriutan, tidak sukar baginya untuk menubruk ke arah Duta bidung betet serta membinasakannya. Tapi jiwa Ui Bing juga pasti melayang.
Ji Bun hampir gila dibuatnya, ibunda, kekasih dan sekarang teman yang terdekat menjadi tawanan musuh lagi, betapa dia takkan naik pitam" Tegakah dia mengorbankan Ui Bing" Tidak, kalau ibun?da dan kekasihnya belum ajal kelak masih ada kesempatan untuk menolongnya. Namun mati hidup Ui Bing hanya bergantung pada pendiriannya.
Sikap Ji Bun yang ragu-ragu sudah terasakan oleh Duta hidung betet. Namun dia kuatir kalau Ji Bun berlaku nekat, tentu semua orang yang ada di sini bisa dibunuh seluruhnya, maka dia jambak rambut Ui Bing serta ditariknya mendongak, serunya: "Te-gak Suseng sudah ambil putusan?"
Ji Bun membanting kaki, katanya mengertak gigi: "Baik, sekali ini kalian beruntung, bisa lolos dari tanganku."
Duta hidung betet segera memberi aba-aba: "Semua mundur!"
Seperti lolos dari renggutan el-maut, buru-buru anak buah Ngo-hong-kau berlari sipat kuping dan dalam sekejap saja sudah bersih.
Hampir meledak dada Ji Bun, namun dia tak bisa berbuat apa-apa.
-- Setelah anak buahnya mundur semua baru Duta hidung betet berkata pula pada Ji Bun: "Te-gak Suseng, sekarang kau boleh lepaskan dia."
"Kau dulu yang harus melepasnya."
"Dihadapanmu yang jelas berkepandaian begini tinggi, memangnya aku bakal mungkir?"
"Betapapun aku tidak percaya padamu."
"Memangnya kau sendiri dapat dipercaya?"
"Te-gak Suseng selamanya tidak pernah melakukan perbuatan rendah dan kotor."
Sekilas Duta hidung betet berpikir, Ui Bing diturunkannya di atas lantai, lalu mundur tiga tombak, agaknya dia takut kalau Ji Bun tiba-tiba menyergap. Begitu menyentuh lantai Ui Bing tampak menggeliat sambil merintih, kalau Hiat-to tidak tertutuk, tentu dia terluka dalam yang cukup parah.
"Orang she Kiang,"' ujar Ji Bun, "hari ini kau yang beruntung."
Lalu dia lepaskan Kiang Giok dan melompat kesamping Ui Bing, dengan teliti dia memeriksa, ternyata Hiat-to Ui Bing memang tertutuk, lekas dia membebaskan tutukan itu. Ui Bing mengeluh sekali, kemudian katanya: "Hiante, aku menggagalkan usahamu
........" -- "Toako," ujar Ji Bun tertawa getir, "syukurlah kalau kau selamat, kesempatan masih ada lain kali."
Waktu dia menoleh, orang she Kiang dan Duta hidung betet sudah tak kelihatan lagi bayangannya, gedung sebesar ini diliputi keheningan.
"Toako, bagaimana kau bisa ....."
"Sungguh harus disesalkan, memang akulah yang ceroboh. Dikala kau kembali menemui aku tadi jejakku dengan sendirinya sudah konangan mereka. Kalau aku segera pindah tempat, tentu takkan terjadi begini, namun kepandaianku memang bukan tandingan lawan, untung dia tidak turun tangan secara keji."
"Marilah kita geledah gedung ini."
"Nanti dulu, jangan gegabah, bukan mustahil mereka pasang perangkap di sini."
"Betul, Toako telan dulu obat ini, dia angsurkan sebutir pil kepada Ui Bing, dalam jangka setengah jam, segala racun tidak akan mempan terhadapmu."
Ui Bing menerima terus ditelan, berendeng mereka masuk ke ruang pendopo. Begitu tiba diserambi yang menembus ke dalam, tiba-tiba Ui Bing menyurut mundur seraya berseru kaget. Ternyata diserambi sana menggetetak kerangka manusia yang tinggal tulang belulang saja, kulit dagingnya sudah luluh menjadi cairan merah
-- kental berbau amis dan busuk. Kiranya mayat Kian Ceng-san pun dibubuhi racun yang meluluhkan mayatnya, betapa jahat racun yang digunakan lawan sungguh amat mengerikan.
Menuding kerangka tulang itu Ji Bun berkata: "Toako, itulah kerangka Kian Ceng-san, Bengcu kalangan hitam dari Kwan-gwa."
Ui Bing bergidik ngeri, "Kejahatan orang ini memang sudah kelewat batas, akhirnya dia memperoleh ganjaran yang setimpal."
Mereka melangkah masuk lebih jauh, geledah sana cari sini, tetapi tiada sesutu yang mereka temukan, bangunan gedung ini terdiri tiga lapis deretan ke belakang, sebelah samping kanan kiri juga terdiri bangunan yang terdapat banyak kamar, namun gedung sebesar ini tak kelihatan bayangan orang, banyak kamar kosong berdebu dan dihiasi sawang melulu, pertanda sudah lama tidak ditempati, memangnya ke mana penghuni gedung ini"
Menyesal tapi juga marah, Ji Bun terpaksa mereka harus membebaskan musuh yang telah ditawannya karena harus meugutamakan jiwa Ui Bing. Kuatir Ui Bing berduka, sudah tentu sedapat mungkin dia bersikap biasa dan wajar.
Sebagai murid Biau-jiu Siansing, gembongnya maling, sudah tentu Ui Bing mempunyai kepandaian khusus dalam bidangnya. Pintu yang tertutup rapatpun bisa ditembusnya, demikian pula segala alat rahasia dengan mudah bisa dipecahkan, seperti anjing pelacak saja dengan teliti dari satu tempat ke lain tempat dia memeriksa, sesuatu barang yang mencurigakan tidak lepas dari perhatiannya, entah diketuk, dipukul, diraba dan diputar ........
-- Akhirnya dia bersorak girang dengan penuh emosi. "Nah, inilah di sini."
Tatkala itu mereka berada disudut sebuah gardu yang terletak di taman belakang. Ui Bing sedang sibuk membongkar sebuah pintu angin yang cukup besar dan lebar.
Pintu angin ini berdiri di antara pintu kamar dan gardu, kelihatannya tidak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan, keruan Ji Bun bertanya keheranan: "Toako, apa yang kau temukan?"
"Mulut sebuah jalan rahasia."
"Darimana kau bisa menemukannya?"
"Lihatlah jejak kaki yang semrawut ini, semua berhenti di depan pintu angin ini?"
Mulut bicara tangan bekerja, dengan pelan dan hati-hati jari-jarinya meraba-aba. Dikala jarinya menyentuh kepala seekor burung yang terpahat di atas pintu angin, seketika terdengar suara keresekan.
Terbangkit semangat Ji Bun. Waktu dia menoleh, dilihatnya dinding sebelah kiri bergerak-gerak dan tampak sebuah lubang merekah diantara sudut dinding itu. Segera dia maju mendekat, dilihatnya di belakang pintu rahasia terdapat undakan batu yang menjurus ke bawah. Ada puluhan undakan banyaknya, lorong rahasia ini entah menembus ke mana. Lebarnya cukup untuk dua
-- orang jalan berdampingan. Karena terlalu gelap, kekuatan mata Ji Bun tak kuasa melihat terlalu jauh.
Ui Bing mendekat, katanya: "Kalau tempat ini bukan kamar rahasia di bawah tanah, tentu lorong rahasia yang menembus ke suatu tempat."
"Mari kita periksa ke dalam," ajak Ji Bun.
"Hati-hati terhadap alat-alat rahasia," kata Ui Bing. Sekenanya dia tarik kain gardu yang tebal dan berat terus dilempar ke dalam lorong sana, tapi tidak menimbulkan reaksi apa-apa.
"Marilah masuk, lorong ini tentu dibangun oleh pemilik gedung ini. Kalau dia bukan golongan persilatan, tak mungkin membangun jalan rahasia ini. Agaknya karena baru saja berdiri, maka Ngo-hong-kau menggunakannya ala kadarnya, sehingga belum diperbaiki dan dipasangi perangkap."
Segera Ji Bun mendahului berlari turun, Ui Bing mengikuti dari belakang. Setiba di ujung undakan, mereka langsung menuju ke lorong datar yang gelap gulita, betapapun tajam pandangan orang kelima jari sendiri juga tidak kelihatan, hawa lembab dan berbau apek. Untung Ji Bun sudah digembleng oleh kakek gurunya, namun dia hanya mampu melihat sejauh lima tombak. Lekas Ui Bing keluarkan ketikan api lalu menyulut sebuah obor kecil. Agaknya tidak sedikit perlengkapan yang selalu dibekalnya.
Kini ganti Ui Bing yang jalan di depan, mereka terus maju ke depan menyusuri lorong panjang ini, lorong ini seperti tak berujung.
-- Setelah belak-belok sekian lamanya, tetap tidak menemukan ujungnya, semakin dalam lorong ini ternyata malah lurus memanjang.
Sambil jalan Ui Bing berkata: "Diukur dari kecepatan kita berjalan dan jauhnya lorong ini, agaknya kita sudah berada di luar kota."
"Luar kota?" Ji Bun heran.
Tengah bicara tiba-tiba mereka dihadang tiga cabang lorong, seketika mereka menjublek bingung, ke arah mana mereka harus pilih" Sementara itu Ui Bing sudah mengganti sebuah obor lain, dengan seksama dia memeriksa jejak-jejak kaki di tanah. Lorong yang menembus kekanan kiri memang ada jejak kaki, namun tapaknya jelas hanya dilewati dua tiga orang, lain dengan jejak kaki orang banyak yang menuju ke lorong tengah ini.
"Toako, tunggu sebentar," seru Ji Bun, "coba lihat sebelah kiri
......" Pada dinding yang menjurus ke kiri tergantung sebuah papan yang bertuliskan beberapa huruf warna merah darah berbunyi:
"Tempat terlarang, hukuman mati bagi yang melanggarnya."
"Maksud Hiante ........."
"Tujuan kita mencari orang, bukan mengejar jejak mereka, umpama berhasil menyandak mereka belum tentu ada manfaatnya,
-- maka daerah terlarang ini jangan dilewati begini saja, betapapun harus kita selidiki."
Ji Bun mendahului menyusuri lorong ke kiri, tiga tombak kemudian, mereka membelok ke kanan dan dihadang sebuah pintu besi yang kelam, di atas pintu bertuliskan juga beberapa huruf merah darah yang berbunyi sama. Ji Bun maju mendorong dengan tangan, segera dia berseru: "Hebat, pintu ini dilumuri racun jahat."
Ui Bing kaget, katanya: "Agaknya Ngo-hong-kau pandai juga main racun."
Sudah tentu kata-kata ini menusuk perasaan Ji Bun, dirinya kini adalah Ciangbunjin generasi ke-15 dari Ban-tok-bun, gembongnya golongan beracun. Entah berapa banyak aliran dan perguruan yang pandai menggunakan racun di seluruh jagat ini" Hanya yang diketahui cuma Cui Bu-tok dari Wi-to-hwe juga pandai dalam bidang ini, entah siapa lagi. Jika ayahnya bukan calon pewaris generasi ke-14, maka beliau dari aliran lain, namun dari kepandaian Bu-ing-cui-sim-jiu, ini jelas bahwa ayahnya juga dari aliran yang sama. Lalu Ngo-hong-kau termasuk aliran mana" Sembari berpikir kembali dia mendorong dengan mengerahkan setaker tenaga, namun pintu besi ini tidak bergeming sedikitpun.
"Tang!" tiba-tiba diatas pintu terbuka lubang bundar, sebuah suara yang cukup mendirikan bulu kuduk orang berkata: "Siapa berani melanggar daerah terlarang ini?"
Ui Bing padamkan obornya, sahutnya: "Utusan dari pusat datang menginspeksi."
-- Dari lobang bundar ini muncul sepasang mata yang bersinar hijau tajam, di belakangnya remang-remang menyorotkan secercah sinar pelita. Di balik pintu tentu terpasang lampu, dengan sendirinya di luar gelap di dalam menjadi terang, maka Ji Bun berdua dapat melihat agak jelas. Suara orang dibalik pintu kedengaran agak curiga: "Duta mana telah tiba?"
Ji Bun menyingkir ke samping, dia tiru suara Kian Ceng-san dan menjawab dengan nada dingin berwibawa: "Di sini Kian Ceng-san."
Gertakan ini ternyata berhasil, segera terdengar suara berkeret, pelan-pelan pintu besi tebal itu lantas terbuka.
Di belakang pintu adalah sebua
Dewi Ular 4 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Seruling Samber Nyawa 13
^