Hikmah Pedang Hijau 11

Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Bagian 11


ng menjerit tadi seketika terkutung kepalanya dan mampus seketika.
"Hm, inilah contohnya bagi mereka yang berjiwa pengecut dan suka menjerit seperti setan!" seru manusia aneh bermuka hijau setelah membinasakan beberapa orang.
Jago istana keluarga Kim yang masih tertinggal di situ benar2 mati kutunya, mereka benar2 pecah nyalinya sampai bersuarapun tidnk berani, mata mereka terbelalak dan mulut melongo lebar, dengan muka pucat seperti mayat mereka berdiri seperti patung.
Alis Tian Pek berkerut, ia merasa tak tega menyaksikan pembantaian tersebut, ia tahu di balik topeng setan itu
adalah seorang dara cantik bak bidadari dari kahyangan, namuu kekejamannya ternyata di luar dugaan.
Tian Pek segera kenali juga Pedang Hijau di-tangan si nona tak lain adalah Bu-cing-pek-kiam milik sendiri, dengan langkah lebar ia lantas mendekatinya dan berseru:
"Serahkan pedang pusaka itu kepadaku!"
"Eh, kenapa hatimu jadi lembek?" kata manusia aneh bermuka hijau itu seraya berpaling, "masa kau lupa cara bagaimana mereka mengerubuti dirimu barusan ini?"
Berbicara sampai di sini, mendadak ia membungkam dan tak melanjutkan.
Untung ia mengenakan topeng, kalau tidak niscaya Tian Pek dapat menyaksikan betapa merah wajah anak dara itu saking malunya.
Kiranya kain selimut yang menutupi tubuh Tian Pek telah merosot sampai pangkal paha sehingga bagian badannya yang harus dirahasiakan mulai meng-intip2.
Tapi anak muda itu masih belum berasa, ia malahan berseru: "Peduli amat, pokoknya aku tak ingin bertemu dengan kau, apalagi kau memakai pedangku untuk membantai orang, cepat serahkan pedang itu kepadaku!"
Manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah itu mendadak tertawa cekikikan seraya melengos ke arah lain, serunya: "Hai, lihatlah potongan-mu, lekas betulkan pakaianmu ..."
Tian Pek lantas menunduk kepala, ketika mengetahui keadaannya yang hampir2 polos, seketika mukanya merah panas, buru2 ia tarik naik kain
penutup badannya dan mengikatnya lagi.
Sementara Tian Pek membereskan pakaiannya, beberapa jago istana keluarga Kim yang bernyali kecil diam2 hendak mengeluyur pergi.
Namun gerak-gerik mereka tak terlepas dari ketajaman mata manusia aneh bermuka hijau, baru saja mereka hendak kabur. segera ia meleset ke sana, di mana Pedang Hijau berkelebat, kepala bergelindingan pula di tanah dan darah segar bermuncratan.
Tian Pek tak tega, ia berseru: "Hai, kembalikan pedang itu kepadaku, jangan lakukan pembunuhan lagi, kalau tidak, terpaksa aku tidak sungkan2 lagi padamu!"
Kali ini manusia muka setan tidak membangkang, dia kembalikan pedang itu kepada Tian Pek sambil mengomel:
"Namanya pedang tak berperasaan (Bu-ceng), hanya kugunakan untuk mencabut nyawa beberapa ekor tikus saja kenapa mesti ber-kaok2?"
Dengan mendongkol Tian Pek menerima pedang dan berkata: "Kenapa kau omong begitu, mereka kan orang tak berdosa."
"Huh, kan demi membela kau, maka kubunuh mereka,"
kata si nona. Tanpa terasa nada ucapannya memperdengarkan nada seorang gadis, tapi lantaran mukanya memakai topeng sehingga kedengarannya menjadi janggal, hal ini menimbulkan perasaan heran dan sangsi dalam hati kawanan jago silat termasuk pula kedua pengawal baja yang terluka, mereka memandang wajah manusia aneh itu dengan melenggong.
"Aneh sekali!" pikir mereka, "manusia aneh ini jelas bermuka seram seperti iblis, kenapa suaranya seperti suara gadis.
Sementara itu Tian Pek telah melangkah ke tepi sungai dengan pedang terhunus, tapi setibanya di pantai, yang tertampak hanya beberapa buah perahu kosong. sedangkan perahu yang ditumpangi Cing-hu sin Kim Kiu entah sudah kemana kabur-nya.
Peti2 tadi juga tidak tampak pula, rupanva di kala Tian Pek bertempur melawan kedua pengawal baja, Cing hu-sin Kim Kiu telah mengangkut peti2 itu dan kabur, sementara orang2 yang ditinggalkan itu dijadikan tumbal bagi keselamatannya.
Termangu Tian Pek memandangi air sungai, diam2
mansia aneh bermuka setan meadekatinya dan menegur:
"Hei, apa yang kau cari?"
"Musuh besarku telah kabur, aku ingin menyeberangi sungai ini!"
"Kalau begitu, mengapa tidak naik ke atas perahu?"
Tapi, aku tak bisa mendayung perahu!" kata Tian Pek.
"Kau tak bisa, aku bisa, tanggung kuantar sampai ke seberang!" seru manusia aneh itu sambil tertawa.
Apa yang dipikirkan Tian Pek sekarang adalah bagaimana caranya memburu jejak musuh, demi mecdengar ucapan itu, tanpa pikir ia terus melompat ke atas perahu.
Selama hidup Tian Pek belum pernah naik perahu, ketika melompat ke atas sampan yang sempit dan kecil itu, ia kehilangan imbangan badan karena berdiri terlalu ke samping, sampan oleng, buru2 ia menahan keseimbangan tubuhnya dengan kaki menolak tepi sampan.
Apa mau dikata injakan tersebut kelewst keras, sampan tersebut segera oleng ke samping lain lagi dan membuat tubuh anak muda itu hampir saja terlempar ke dalam sungai.
"Aduh " Tian Pek menjerit kuatir.
Untung pada saat yang gawat itu tangannya ditangkap orang, habis itu sampan itu terus meluncur ke tengah sungai deagan cepat. Kembali Tian Pek kehilangan keseimbangan badan dan jatuh telentang, untung seorang lantas mendekapnya,
Orang yang menahan tubuh Tian Pek jelas ada gadis bertopeng itu, ia sangat menguasai kendaraan air karena sejak kecil dibesarkan di sebuah pulau, bermain perahu baginya selincah orang daratan menunggang kuda. Segera iapun melompat ke atas perahu setelah menolak perahu ke tengah sungai.
Karena itu, ketika Tian Pek jatuh ke belakang, segera ia merangkul tubuhnya, karena iapun tidak ber-jaga2
sebelumnya, keduanya lantas roboh bersama.
Mereka berbaring telentang, Tian Pek berada di atas dan gadis muka setan berada di bawah, untung perahu itu tak sampai terbalik akibat kejadian itu.
Sesaat kemudian mereka sama meronta bangun, tapi karena sempitnya ruang perahu untuk sementara waktu mereka sulit untuk berdiri.
Akhirnya Tian Pek membalik badan dan merangkak bangun sedang gadis muka setan melepaskan topengnya dan ikut bangun, serta merta kedua orang itu beradu pandang.
Di bawah cahaya rembulan, gadis itu bukan berwajah setan lagi, tapi tampak cantik mempesona, timbul perasaan
aneh dalam benak Tian Pek. ia merasakan tubuh si gadis yang halus, empuk dan harum ... tangannya jadi lemas dan badan yang sudah setengah terangkat jatuh kembali menindihi tubuh gadis itu.
Sebenarnya gadis ini bukan Kui-bin kiau-wa (gadis cantik muka setan) yang tersohor akan kecabulannya, Kui bin-kiau-wa adalah seorang yang lain, tapi orang lain salah sangka padanya.
Gadis ini ibarat bunga yang baru mekar, dia adalah seorang gadis yang polos, karena tubuhnya ditindih seorang pemuda ganteng, kontan iapun merasa sekujur badan jadi lemas, suatu perasaan aneh segera menyelimuti perasaannya, belum pernah ia temui pengalaman semacam ini sepanjang hidupnya, jantungnya berdebar keras, tenaganya jadi lenyap, dengan napas terengah dia pejamkan matanya rapat2.
Untuk beberapa waktu lamanya, kedua orang sama2
diam saja. dibuai oleh perasaan yang aneh itu, perahu terhanyut seadiri terbawa oleh arus.
Sementara itu kawanan jago istana Kim dan kedua pengawal baja yang berada didaratan hanya berdiri termangu dengan rasa keheranan, melihat sampan yang memuat kedua orang itu lenyap di tengah sangai.
Bulan masih bulat meskipun malam itu tanggal tujuh belas, sinarnya tidak secerah malam tanggal lima belas, sampan itu bergerak mengikuti arus sungai, terombang-ambing tanpa tujuan memuat sepasang muda-mudi yang sedang mabuk oleh perasaan aneh
Malam amat sepi, udara dingin, tiada terdengar suara lain kecuali debaran jantung kedua muda-mudi yang saling tindih itu.
Di teagah kcheningan itu, tiba2 si gadis menggeliatkan tubuhnya, entah karena merasa sakit lantaran tertindih seorang laki2 kekar ataukah karena lengannya yang kesemutan.
Tian Pek tersentak sadar, ia ingin merangkak bangun, tapi mendadak kedua tangan gadis itu mulai meraba punggungnya dengan perlahan.
Bagaikan kena aliran listrik, sekujur badan pemuda itu gemetar, ia merasa rabaaan gadis itu se-olah2 disertai aliran listrik yang menimbulkan hawa panas darah bergolak keras.
Waktu ia membuka mata, ia lihat gadis yang ditindihnya itu berada beberapa senti di depan matanya dengan bibirnya hampir menempel bibir, mata yang jeli setengah terpejam, mulut yang mungil setengah terbuka, dengus napas yang memburu mencerminkan sesuatu kehendak, rangkulan pada Tian Pek tambah erat dan tiada berhenti merabanya.
Tian Pek memang tidak berpakaian, dengan sendirinya sentuhan langsung itu sangat merangsang dengan sendirinya pula pemuda itu balas memeluk gadis itu, diciumnya bibir yang mungil dengan ber-napsu, makin dicium semakin kalap.
Betapapun nona itu tidak tahan reaksi Tian Pek yang gila ini, napasnya terengah dan tiada hentinya merintih, bagaikan ular tubuhnya menggeliat ke sana kemari .
Tiba2 awan hitam menutupi rembulan yang menerangi jagat, pantulan sinar di permukaan air juga lenyap, suasana jadi gelap, sampan itupun berubah sesosok bayangan hitam yang samar2, tak jelas lagi pemandangan di atas perahu itu, sayup2 cuma terdengar suara air sungai yang beriak di bawah.
xxxx Fajar telah mulai menyingsing, sinar keemasan mulai mengintip di ufuk timur.
Sampan kecil yang terombang-ambing tanpa tujuan itu akhirnya terhanyut ke tepian dan "duuk", sampan menumbuk pantai pasir.
Guncangrm keras itu mengejutkDengan ter-sipu2 si nona memandang sekejap ke arah Tian Pek yang masih telanjang dan ber-kata: "Coba lihat ..."
Habis itu ia lantas melompat ke pantai, tapi entah mengapa, baru saja bergerak, mendadak nona itu menjerit tertahan, hampir saja ia kecebur ke sungai.
Cepat Tian Pek juga melayang sana dan menyambar tubuhnya, lalu ber-sama2 turun di permukaan tanah.
"Kenapa kau?" tanya Tian Pek dengan penuh perhatian.
"Masa sejauh ini saja kau tak mampu menyeberanginya?"
"Hm, gara-garamu, semalam kau . . . . " tiba2 muka si nona jadi merah, dan mengerling genit.
Meskipun Tian Pek tidak paham apa yang di
maksudkan, tapi ia dapat menangkap pandangan yang mesra, hatinya terasa manis dan hangat.
"Tidak mcngapa bukan ....?" ia bertanya pula dengan likat.
"Walaupun tidak akan mengganggu, akan tetapi latihanku menjadi berantakan, aku tak dapat mencapai tingkat kekebalan yang paling tinggi,"jawab si nona.
"Akulah yang membikin susah padamu. Ai, tidak sepantasnya semalam aku . . . . "
"Ah, bukan salahmu semua!" sela si nona sambil teitawa,
"aku sendiri pun bertanggung jawsb, bila aku tidak . . . "
mendadak ia tidak melanjut-kan kata2nya,
"Eh, kenapa tidak kaulanjutkan?" Unye Tian Pek.
Gadis itu menghela napes. "Ai, ketika aku hendak datang ke Tionggoan sini, ayahku telah melarangnya, beliau bilang imanku kurang teguh dan mudah terjerumus ke jaringan cinta, tapi aku tak percaya, sebab tak seorang laki2pun di dunia ini yang kupandang sebelah mata. Karena itulah aku bersikeras untuk berangkat juga. Tak tersangka ternyata ucapan ayahku memang benar. setelah aku berjumpa dengan kau . . , "
"Setelah berjumpa dengan aku, kau lantas tak sanggup menguasai diri, begitu maksudmu?" sambung Tian Pek sambil tertawa.
Merah wajah gadis cantik itu, dia angkat tinju seraya mengomel: "Kau berani menterlawakan aku, kupukul kau!"
"Mana berani kutertawai dirimu," cepat Tian Pek berseru, "O, ya, tadi kau bilang ayahmu, siapakah ayahmu itu" Bukankah kau ini si tengkorak cantik gadis bermuka setan" Masa Tengkorak cantik gadis bermuka setan masih punya ayah?"
"Dari siapa kau tahu aku ini Tengkorak cantik gadis bermuka setan?" seru nona itu dengan heran-
"Siapa lagi selain pemuda berbaju putih itu" Terus terang, aku memang tidak percaya dengan perkataannya.
Tengkorak cantik gadis bermuka setan adalah gembong iblis yang tersobor semenjak puluhan tahun berselang, masa usianya masih semuda kau?"
'Perkataannya memang tak keliru, akulah Tengkorak cantik gadis bermuka setanl" tiba2 gadis itu menyahut sambil tertawa misterius.
Tertegun Tian Pek mendengar perkataan ini, ditatapnya dara cantik itu dengan ter-mangu2, lalu serunya pula. "Jadi kau benar2 Tengkorak cantik bermuka setan?"
"Kenapa?" kata si nona sambil tertawa cekikikan, "kau jadi takut?"
Tian Pek temenung sejenak, kemudian menjawab: "Bila sebelum kajadian semalam, mungkin aku takut, tapi setelah hubungan semalam aku tak takut lagi. Bahkan kutahu kau cuma bergurau dengan aku, kau pasti bukanlah Tengkorak cantik gadis bermuka setan!"
"Seandainya aku betul adalah tengkorak cantik gadis bermuka setan?" nona itu menegas sambil menatap Tian Pek tajam2, "apakah kau tak mencintai aku lagi" Semua janji setia yang kau ucapkan semalam tak kan kau penuhi lagi?"
"Meski aku tidak percaya dengan perkataanmu, tapi andaikata kau benar2 adalah Tengkorak cantik gadis bermuka setan, aku tetap cinta padamu, sumpah setia yang telah kuucapkan semalam, sampai kiamat pun tak akan berubah!"
Betapa terharunya gadis itu setelah mendengar jawaban tersebut, ia putar badan sambil menjatuhkan diri ke dalam pelukan Tian Pek, diciumnya anak muda itu dengan mesra dan berseru: "sayang, engkau sangat baik"
Tiba2 gadis itu berseru tertahan, ia mendorong tubuh pemuda itu dan berkata lagi: "Coba lihat! Bicara terus tiada hentinya sampai lupa dengan keadaanmu. Hayo cepat berpakaian, kalau dilihat orang kan berabe"
Tian Pek baru ingat kalau ia tak berpakaian, buru2 kain kumalnya diikat kencang2 pula, masih untung, tempat itu sepi dan jauh dari penduduk,
bila tidak, bagaimana orang akan tercengang menyaksikan seorang gadis cantik berada dalam pelukan seorang pemuda telanjang di dalam perahu.
"Wah, kita mesti cari baju yang baik!" serunya.
Gadis itu tertawa. Tian Pek lantas berkata lagi:
"Berbicara dari kemarin sampai sekarang, belum juga kau katakan namamu dan juga nama ayahmu."
"Meskipun ayahku berdiam di luar lautan, tapi bila kusebutkan namanya, pasti kau tahu. Aku sendiri bernama Cui-cui."
"Nonaku yang baik, janganlah jual mahal, cepat katakanlah siapa gerangan ayahmu"'
"Gi-san-cu (kipas sakti perak) Liu Tiong-ho!"
"Lo jit (ke tujuh) dari Kanglam-jit-hiap dahulu"!" seru Tian Pek dengan kaget
"Benar!" gadis itu mengangguk.
Kontan perasaan Tian Pek jadi kalut dan sakit bagaikan di iris2 dengan pisau, sambil menengadah jeritnya dengan sedih: "O, Thian, mengapa selalu kubertemu dengan anak musuh-besarku" Wan-ji, Buyung Hong, Hoan Soh-ing, Kim Cay-hong semuanya adalah puteri musuh besarku, kini aku bertemu pula dengan kau, Liu Cui-cui! O, Cui-cui, semalam aku tak tahu kau she Liu, kenapa tidak kau katakan sejak mula?"
Teriakan Tian Pek mirip orang yang sudah sinting, tapi Liu Cui-cui. gsdis bertopeng setan itu masih tetap tenang saja.
Tatkala kekalapan Tian Pek mereda dengan kalem ia menjawab: "Aku jauh lebih jelas mengenai peristiwa di masa lampau itu, ketahuilah, orang yang membunuh ayahmu hanyalah lima orang saja, ayahku sama sekali tidak ambil bagian, bahkan oleh karena ayahku tidak turut serta dalam peristiwa itu, beliau didesak sehingga tak sanggup tancap kaki di daratan Tionggoan, akhirnya ia membawa ibu dan aku menyingkir ke sebuah pulau terpencil di lautan!"
Sebenarnya Tian Pek tidak percaya, tapi dari sikap si nona yang ber-sunggub2 dan sama sekali tidak kelihatan berbohong, akhirnya dia bertanya lagi: 'Kalau begitu, tentunya kau tahu siapa diriku ini?"
"Kenapa aku tidak tahu" Engkau adalah Tian Pek, putera Tian In-thian, paman Tian, kekasihku pada saat ini dan suamiku di masa mendatang! Kau si tolol kecil ini, kaukira kesucianku sama sekali tak berharga sehingga boleh kuberikan kepada orang lain" Kalau aku tidak mengetahui asal usulmu, memangnya aku rela menyerabkau ke-per . . .
keperawananku kepadamu?"
Sebagai gadis yang dtbesarkan di suatu pulau terpencil di luar lautan, Liu Cui-cui tak kenal adat istiadat yang kolot, ia sudah biasa hidup bebas dan suka terus terang, tapi ketika mengucapkan beberapa kata terakhir tadi tidak urung mukanya menjadi merah.
"Aneh benar, sejak bertemu dengan kau, kecuali nama, rasanya aku tak pernah menceritakan asal-usulku kepadamu, darimana kau tahu semua ini dengan begitu jelas?"
Tiba2 Cui-cui tertawa: "Coba tebak, siapakah yang telah melepaskan kawanan jago persilatan yang terjebak di dalam Sek-ki-tay-tin di gedung keluarga Kim?"
"Masa engkau?" tanya Tian Pek dengan terkejut.
Liu Cui-cui mengangguk: "Bukan saja aku yang melepaskan orang2 itu, seperti juga engkau, maksud kedatanganku ke daratan Tionggoan inipun hendak mencari perkara dengan mereka berempat untuk membalas sakit hati orang tuaku!"
"Apakah ayahmu yang berada jauh di luar lautan juga dicelakai oleh mereka?" tanya Tian Pek terperanjat.
"Ai, tampaknya kau belum tahu jelas tentarg duduknya persoalan di masa lalu," kata Cui-cui sambil menghela napas, "menurut keterangan ayahku, dahulu ayahmu dan ayahku ditambah empat keluarga besar lain serta Hoan Hui adalah saudara angkat yang tergabung dalam Kanglam-jit-hiap "
"Soal itu aku sudah tahu!" kata Tian Pek.
"Kalau sudah tahu, sudahlah, aku takkan bercerita pula."
Tian Pek jadi gelisah, cepat katanya: "Aku cuma tahu sedikit saja, kejadian selanjutnya boleh dibilang tidak jelas, silakan kaulanjutkan ceritamu!"
"Kalau ingin tahu, janganlah memotong
pembicaraanku!" omel Cui-cui, lalu ia mcmandang sekeliiing tempat itu, kemudian mcnunjuk ke suatu pohon yang rindang di tepi pantai dia berseru lagi: "Tempat itu nyaman dan juga bisa memandang sang surya akan terbit, hayo kita duduk di sana saja!"
Maki berjalanlah kedua orang itu menuju ke sana dan duduk bersanding di bawah pohon yang rindang sambil bercakap2.
Kiranya dalam peristiwa yang dulu itu, setelah Pek-lek kiam Tian In-thian berhasil meminjam "mutiara penolak air", dia tidak terjun sendirian ke dasar telaga Tong ting-oh untuk mencari harta, melainkan ditemani oleh Gin-san cu Liu Tiong-ho, setelah berhasil masuk ke dalam gua dan menemukan harta karun yang jumlahnya terlalu banyak, terpaksa kedua orang itu mendarat lagi untuk merundingkan cara pengambilan harta tadi dengan kelima saudara yang lain.
Dalam perundingan Tian In-thian tetap bersikeras akan menggunakan harta karun itu guna menolong rakyat yang tertimpa bencana alam di sekitar Ouwlam dan Kwitang, Liu Tiong-ho sendiripun mendukung usul tersebut, tapi lima orang lainnya tidak setuju.
Sebagai pimpinan persaudaraan Tian In-thian tersohor karena ketegasannya, wataknya juga lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, ia tak peduli terhadap maksud kelima orang rekannya dan tetap melaksanakan apa yang telah direncanakan.
Kelima orang saudaranya tak berani membangkang, terpaksa mereka pura2 menyetujui, padahal secara diam2
mereka telah menyusun rencana untuk mencelakai Toako mereka.
Setelah semua harta kekayaan itu diangkat ke daratan, ternyata isinya bukan saja terdiri intan permata dan mutu manikam yang tak ternilai, terdapat pula tiga macam benda pusaka yang tiada taranya, yakni Pi-sui-giok-pik (batu kemala penolak air), pil Toa-lo-kim-wan serta kitab pusaka Bu-sia-cin-keng.
Ketiga macam benda pusaka itu merupakan barang yang diincar oleh setiap umat persilatan, terdapatnya benda itu semakin mempertebal sifat tamak kelima bersaudara yang lain itu.
Maka pada saat Tian In thian bersiap untuk melakukan pencarian yang kedua kalinya ke dasar telaga, tiba2 kelima orang itu menyergap secara licik, begitu Cing-hu-sin berhasil melukai korbannya dengan senjata rahasia yang diandalkan, empat bersaudara lainnya segera melakukan serangan kilat, tak terhindar lagi matilah seorang pendekar besar di tangan saudara-angkatnya sendiri secara keji.
Waktu kelirna orang itu berhasil membinasakan Tian In-thian, kebetulan Gin-san-cu Liu Tiong-ho mendapat tugas di dasar telaga sehingga ia sama sekali tidak mengetahui terjadinya peristiwa tersebut-Di kala Liu Tiong ho menyelesaikan tugasnya dan muncui kembali ke daratan, Tian In-thian telah terluka parah dan menemui ajalnya di tepi telaga itu.
Baru Liu Cui-cui bercerita sampai di sini, Tian Pek tak dapat menahan rasa sedihnya lagi, ia menangis tersedu, dengan air mata bercucuran ia berkata: "Ayahku tidak mati seketika, dengan membawa luka yang parah beliau sempat pulang ke rumah untuk berjumpa dengan ibu dan aku, setelah meninggalkan pesannva baru mengembuskan napas yang penghabisan!"
"Tentang soal ini, mungkin ayah sendiripun tak tahu,"
Cui-cui menerangkan, "ayahku cuma bilang bahwa akhirnya ia kehilangan jenazah ayahmu, malahan ayahku mengira jenazah ayahmu telah dikebumikan oleh kawan2
persilatan. sungguh tak nyana paman ternyata berhasil mencapai rumah dan bertemu dengan ibumu dan kau."
"Ada suatu soal yang belum kupahami sampai sekarang, sesaat sebelum mcnemui ajalnya ayahku sempat menyerahkan Bu-ceng-pek-kiam untuk dipakai membalas dendam serta sebuah bungkusan lagi "
Sambil berkata dia hendak merogoh saku, tapi jelas tiada sesuatu yang dapat ditemukan lagi.
Sebaliknya dengan tertawa Cui-cui lantas mengeluarkan sesuatu dan bertanya: "Bukankah kau mencari keenam macam benda ini"
Setelah gadis itu mengeluarkan keenam macam benda yang dicari, Tian Pek baru tahu kalau semua barang miliknya telah diambil si nona tapi sekarang ia tak perlu panik lagi karena antara mereka berdua sudah tiada perbedaan milikmu dan milikku lagi.
"Betul, kecusli mata uang tembaga yang telah kuketahui sebagai Cing-hu-kim-ci-pau milik Kim Kiu, lima benda yang lain belum kuketahui asal-usulnya!"
"Kalau kau tak tahu, akan kuterangkan padamu!" sambil menuding sebuah benda di antaranya si nona melanjutkan:
"Kain ini adalah robekan pakaian yang dikenakan Ti-seng-jiu Buyung Ham!"
"Soal inipuu aku tahu!" kata Tian Pek.
"Mutiara baja ini adalah senjata rahasia Pak-ong-pian Hoan Hui yang disebut Tan-ci-gin-wan (peluru psrak sentilan jari). Sedangkan kancing tembaga ini adalah kancing bajunya Kun-goan-ci Su-gong Cing, sementara tali serat ini milik Kian-kun ciang In Tiong-liong, malahan pernah digunakan untuk membelenggu tubuhku, sedangkan segumpal rambut ini tak lain adalah rambut kepalaku "
Kejut Tian Pek mendengar keterangan terakhir ini, pada saat itulah mendadak terasa segulung angin tajam menyambar batok kepaia mereka, keruan mereka terkejut.
Tian Pek bermaksud menghindar, tapi Liu Cui-cui tanpa berpaling telah menggerakkan tangannya ke belakang, tahu2 sepotong sapu tangan sudah terjepit oleh jarinya.
Diam2 Tian Pek terkejut, ia heran jago darimanakah yang memiliki tenaga dalam selihay itu, sehingga selembar sapu tangan yang enteng bisa di gunakan sebagai senjata rehasia.
Dari angin tajam yang menyertai sambaran sapu tangan itu dapat diketahui ilmu silat yang dimiliki si penyergap pasti tinggi luar biasa.
Dengan terkejut cepat dia berpaling, tertampaklah Tian Wan-ji dengan wajah pucat dan sorot mata sedih berdiri di atas tanggul di tepi sungai dan sedang memandang ke arahnya dengan terkesima.
Sungguh di luar dugaan pertemuan ini, Tian Pek sendiripun merasa tercengang.
"He kau!" serumya tertahan. "Wan-ji, ada urusan apa kaudatang ke sini?"
Bibir Wan-ji terkatup kencang dan menahan gejolak emosi, mimik wajahnya jadi sangat aneh tertawa bukan tertawa, menangis tidak menangis, ketika mendapat pertanyaan tersebut, pandangannya semakin muram dan sedih.
"Bukit dan sungai toh bukan wilayah kekuasanmu, kalian boleh datang kemari, kenapa aku tidak boleh"
Apakah kedatanganku telah mengganggu kesenangan kalian?"
Jelas nadanya mengandung rasa cemburu, syukur Wan-ji masih dapat menguasai diri sehingga tak sampai mengutarakan kata2 yang tak sedap didengar.
Merah wajah Tian Pek, sahutnya tergagap.
"Bu..bukankah kau terluka ketika berada di taman keluarga Kim" Kenapa sekarang kau berada di sini ?"
Tian Pek adalah pemuda yang polos, tentu saja ia tak menduga bahwa pertanyaannya justeru malah menusuk perasaan si nona.
Mata Wan-ji lantas merah dan hampir menangis. ia berseru: "Aku terluka atau tidak peduli apa dengan kau"
Sekalipun aku mati juga kau tak
perlu mengurusnya! "
Tiba2 ucapannya terputus dan wajahnya mengunjuk rasa heran sambil memandang ke belakang Tian Pek.
Tian Pek juga berpaling ke belakang, tampaklah Liu Cuicui dengan topeng setannya sedang melangkah maju.
Hampir tak percaya Wan-ji pada matanya sendiri, dari bayangan punggungnya jelas terlihat Tian Pek sedang duduk di tepi sungai bersama seorang gadis, mengapa setelah berpaling berubah menjdi makhluk aneh yang bermuka buruk seperti setan.
Sementara itu Liu Cui-cui telah melayang maju sambil menegur: "Siapa dia ini?"
Liu Cui-cui bertopeng setan, gerak-geriknya jadi menyeramkan, suarapun ketus, dingin dan garang.
Tian Pek menatap wajah Liu Cui-cui yang jelek itu, ia merasa penyaruan gadis tersebut sedikitpun tak ada celanya, bahkan orang akan mengira aslinya dia memang berwajah sejelek itu.
Terbayang kembali kejadian mesra malam berselang, diam2 ia membatin: "Wah, kalau dia benar2 berwajah sejelek setan, aku jadi ragu apakah sanggup bermain cinta dengan dia?"
Sementara Tian Pek sedang melamun, Liu Cui-cui yang bertopeng setan itu tahu2 melayang tiba dan "cring", Pedang Hijau Bu-ceng-pek-kiam telah dicabutnya dari punggung anak muda itu.
Tian Pek terperanjat, ia jadi teringat pada keganasan Liu Cui-cui yang telah membunuh orang bagaikan membabat rumput kemarin.
Terbayang kejadian itu, dia kuatir kalau Wan-ji dilukainya, cepat serunya: "Mari, kuperkenalkan kalian, ini adalah nona Wan dan yang ini adalah...."
Belum habis ucapannya Liu Cui-cui telah menggetarkan bu-ceng-pek-kiam, dengan nada ketus ia bertanya: "Ah, kiranya kalian telah saling kenal! Hayo jawab, apa hubunganmu dengan dia?"
Tian Pek tak menyangka rasa cemburu Liu Cui-cui sedemikian besarnya, dia ingin menegur, tapi terasa sungkan, sebab bagaimanapun hubungannya
dengan nona itu sekarang telah meningkat menjadi hubungan yang luar biasa, namun iapun tak ingin Wan-ji terluka olehnya, maka cepat ia berkata: "0.. dia adalah adikku.."
"Aku tidak tanya padamu, jangan ikut bicara!" bentak Cui-cui. Lalu ia berkata pula kepada Wan-ji "He, tak perlu kau melongo seperti orang dungu, hayo mengakulah terus terang! Kalau tidak, jangan menyesal kalau aku bertindak tidak sungkan lagi padamu!"
Wan js bukan gadis yang bodoh, pertama kali bertemu dengan Cui-cui yang bermuka jelek, ia masih mengira telah salah lihat. Akan tetapi setelah orang bersuara, meski nadanya di-bikin2, namun ia lantis menduga kejelekan wajah orang kemungkinan adalah hasil penyamaran, lalu iapun mendengar nada cemburu dibalik teguran lawan serta sikap kikuk Tian Pek, dengan segera duduknya perkara dapat dipahaminya.
Maka sambil mendengus Wan-ji balik menegur: "Apa hubunganmu dengan engkoh Tian" Berani benar kau bersikap galak padaku?"
"Aku adalah isterinya, kau" "
"Hehe, belum pernah kudengar engkoh Tian telah kawin, darimana muncul seorang bini macam kau, dan lagi hehehe?"
"Dan lagi apa?" bentak Cui-cui sambil menggetarkan Pedang Hijau.
"Dan lagi mengapa kau tidak bercermin dulu?" jengek Wan-ji sambil mencibir. "Kalau tak punya cermin, pergilah ke tepi sungai dan pandanglah dulu tampangmu, pantaskah menjadi bini engkoh Tian. .."
Bstapa gusar Cui-cui sukar dilukiskan pedang bergerak, secepat kilat ia menusuk ke dada Wan-ji.
Tinggi sekali ilmu silat Cui-cui, serangan itu dilancarkan dengan cepat luar biasa, di mana cahaya hijau berkelebat, hampir saja tak dapat diikuti dengan pandangan mata, tahu2 ujung senjata telah berada di depan dada Wan-ji.
Namun Wan-ji juga tidak lemah, dengan gerak langkah Ni-gong-hoai-ing yang telah mencapai puncak kesempurnaan, dia menggeser badannya ke-samping untuk
berkelit, menyusul mana telapak tangannya segera didorong ke muka dengan satu pukulan dahsyat.
"Eeh .... eeh jangan berkelahi. ." teriak Tian Pek dengan gelisah.
Ta menerobos maju dan berdiri di antara kedua gadis yang sedang bertarung maksudnya hendak mengalangi mereka agar tak bisa melanjutkan pertempurannya.
Apa mau dikata, ketika Tian Pek menerjang masuk ke dalam gelangang, kebetulan Wan-ji sedang melepaskan pukulan dahsyatnya, maka tak bisa di cegah lagi gulungan angin pukulan yang amat dahsyat itu langsung tertuju ke badan Tian Pek.
Mau berkelit tak sempat lagi, dalam keadaan terjepit mau-tak-mau Tian Pek harus menghimpun tenaganya untuk menangkis pukulan itu.
"Blang!" dua gulung tenaga pukulan saling beradu, baik Wan-ji maupun Tian Pek sama2 tergetar mundur satu langkah.
Wan ji mengira Tian Pek sengaja membantu manusia aneh bermuka hijau itu, saking khekinya air matanya berlinang "Sebetulnya kau bantu siapa ..?" teriaknya dengan marah dan pucat wajahnya.
Tian Pek belum sempat menjawab dan Cui-cui telah membentak, tusukan kedua dilontarkan.
Tian Pek berpaling begitu mendengar desingan angin tajam dari belakang, dilihatnya Bu-ceng-pek-kiam disertai kilatan cahaya hijau menyambar ke depan.
Cepat ia menerjang maju seraya membentak: "Tahan!"
Karena Liu Cui-cui kelihatan tidak mau berhenti, dalam gugupnya dengan jurus Cia kwan-tiam goan ia meraih
pergelangan tangan kanan Liu Cui-cui, maksud pemuda itu Bu-ceng-pek-kiam akan dirampas agar kedua nona itu tidak melanjutkan pertarungannya.
Dengan ilmu silat Liu Cui-cui, cukup dia berganti jurus dan niscaya lengan kanan Tian Pek akan dipapasnya, tapi nona itu tak ingin mencelakai anak muda itu, ia merasa jalan pedangnya teralang oleh tubuh Tian pek, terpaksa pedang tadi ditarik kembali kemudian menggeser ke samping.
Dipihak lain, Wan-ji pun gelisah bercampur gusar, ilmu Soh hun-ci yang maha sakti segera di-mainkan, dari jauh mendadak ia menutuk Sim-gi-hiat di tubuh Liu Cui-cui.
Cepat Tian Pek mengalangi pula serangan tersebut.
Bagaimanapun gusarnya Wan ji iapun kuatir serangannya melukai Tian Pek, terpaksa ia tarik kembuli serangannya.
Begitulah, Tian Pek terpaksa harus berputar ke kiri dan mengadang ke kanan, mencegat ke depan dan membendung ke belakang, berulang kali ia berseru minta kedua nona itu menghentikan pertarungannya, tapi ia tak berhasil.
Untungnya baik Wan-ji maupun Liu Cui-cui sama2 tak ingin melukai Tien Pek, maka betapa kejinya serangan mereka, setiap kali diadang Tian Pek, buru2 serangan lantas ditarik kembali.
Jurus serangan yang digunakan kedua nona itu sama ganasnya, akan tetapi pertarungan itu sendiri tidak sengit, kendatipun demikian, Tian Pek jadi kerepotan, sebentar dia harus mengalangi Wan-ji sebentar lagi dia barus mengadang Lm Cu -cm, dalam sekcjap kedua nooa itu sudah saling bergebrak puluhan jurus.
Karena mesti bergerak cepat, lama2 robekan kain selimut yang menutupi tubuh Tian Pek mula mengendur lagi, ketika
mendadak ia harus melompat ke sana, tahu2 tali pengikat putus dan kain penutup terlepas, keruan keadaannya yang
"mulus" lantas terpampang di depan kedua nona.
Bagi Cui-cui yang sudah pernah tahu kemulusan tubuh pemuda itu tentu tak menjadi soal, apalagi ia memakai topeng. Sebaliknya Wan-ji masih suci murni, tentu saja wajahnya berubah menjadi merah.
Dalam keadaan begini, ia tak pikir lagi akan bertempur pula, ia melirik sekejap ke arah Tian Pek, lalu lari ter-birit2.
Melihat itu, Liu Cui-cui tertawa cekikik geli: "Hihihi kenapa kau kabur" Boleh kabur asalkan tinggalkan batok kepalamu di sini!" Sambil berkata ia lantas mengejar ke sana.
Tian Pek sendiripun malu sekali ketika pembalut tubuh terlepas hingga telanjang bulat, cepat dia menarik kembali kain rombengan itu dan mengikatnya lagi sambil memaki dirinya sendiri yang lagi sial.
Ketika ia selesai membetulkan, gadis itu sudah menghilang dari pandangannya.
Tian Pek kuatir bila kedua nona itu bertempur kembali hingga terjadi korban, cepat dia mengejar ke sana, tapi sayang gerakan tubuh kedua nona itu terlalu cepat, sudah melewati dua lereng bukit dia tetap kehilangan jejak kedua nona itu.
Dengan gelisah Tian Pek melanjutkan pengejarannya ke depan, setelah melintasi sebuah bukit lagi akhirnya tibalah di depan sebuah lembah yang sempit.
Lembah tersebut diapit oleh dua dinding tebing yang curam, dipandang ke dalam selat sana tampaklah macam2
orang berkerumun, jumlahnya ratusan, mereka membentuk satu lingkaian, sayup2 terdengar deru angin pukulan dan
gemerlap cahaya senjata bertebaran di kalangan, jelas di situ sedang terjadi pertarungan sengit.
Di antara jago2 yang berkumpul di sana, ia lihat Wan-ji serta Cui-cui juga berdesakan di antara rombongan jago silat itu, yang aneh ternyata mereka tidak saling labrak lagi, melainkan sedang mengikuti jalannya pertempuran di dalam gelanggang.
Heran Tian Pek, iapun memburu ke sana, apa yang kemudian dilihatnya membuat pemuda itu tertegun.
Kawanan jago yang berkumpul di situ kebanyakan adalah jago lihay dari keempat keluarga besar, malahan sebagian di antara mereka adalah orang2 yang pernah tcrjebak di dalam Sek-ki-tay-tin di gedung keluarga Kim beberapa hari yang lalu.
Tian Pek sudah tahu mereka terlepas ditolong oleh Cuicui, yang aneh adalah semua orang memandang jalannya pertarungan di tengah gelanggang dengan terbelalak dan terkesima, terhadap musuh yang berada disekitarnya boleh dibilang sama sekali tak ambil peduli.
Ketika Tian Pek tiba di tempat itu, tak seorang-pun yang berpaling, mereka tetap mengikuti pertarungan di tengah kalangan dengan terkesima, se~akan2 pertarungan yang sedang berlangsung itu mempunyai daya tarik yang luar biasa besarnya.
Tian Pek ikut melongok ke tengah gelanggang, ia lihat enam orang sedang melangsungkan pertarungan dalam tiga partai.
Belasan sosok mayat sudah terkapar disekitarnya, mungkin mayat tersebut adalah korban yang terbunuh sebelumnya.
Di antara para jago yang mengikuti jalannya pertarungan, banyak di antara mereka juga sudah terluka.
ada yang kehilangan lengan, kehilangan kaki, darah segar membasahi sekujur tubuh mereka, tapi mereka tak ada yang berlalu dari situ, malahan setelah membalut lukanya terus menonton jalannya pertarungan dari samping gelanggang Sekilas pandang Tian Pek kenal para korban yang mati dan teiluka itu kebanyakan adalah kawanan jago dari keempat keluarga besar, hal in1 membuat hatinya terkejut.
"Aneh, mengapa begitu banyak jago lihay yang jatuh korban" Jagoan darimanakah yang berilmu sehebat ini?"
demikian pikirnya.
Ketika ia berpaling pula ke tengah kalangan, keenam orang itu masih bertempur dengun sengit. Tiga di antaranya berwajah asing baginya, belum pernah Tian Pek berjumpa dengan mereka, tapi dandanan mereka jelas bukan penduduk daratan Tionggoan.
Mereka terdiri dari seorang kakek berjenggot putih panjang sebatas perut, seorang perempuan tua bermuka jelek, wajah penuh keriput serta seorang paderi setengah baya berbadan pendek gemuk, berwajah seperti anak muda.
Sedangkan tiga orang yang berhadapan dengan mereka adalah Mo-in-sin-jiu Siang Cong-thian, Hiat-ciang hwe-liong (naga api telapakan darah) Yau Peng gun serta seorang jago lain yang belum pernah dijumpai Tian Pek.
tapi pernah dengar namanya, yakni Tok-kiam leng coa (pedang racun ular sakti) Ji Hoau-lam.
Ketiganya dari perkampungan In-bong-san-ceng, merupakan jago andalan An-lok Kongcu. Ini menandakan pula kalau pertarungan yang berlangsung ditujukan untuk menghadapi anak buah An-lok Kongcu.
Tian Pek segera alihkan pandangannya ke arah lain, ia lihat baik An-lok Kongcu maupun ayahnya Kian-kun-ciang In Tiong liong, hadir semua di situ, wajah mereka tampak tegang dan menatap ke tengah gelanggang tanpa berkedip, kalah-menangnya pertarungan ini menyangkut kehormatan mereka sepenuhnya.
Ketenangan yang biasanya selalu menghiasi wajah An-lok Kongcu kini lenyap tak berbekas, buku kumalnya dipegang kencang2, sementara butiran keringat sebesar kacang mengucur keluar tiada hentinya.
Di pihak lain berdirilah pemuda baju putih yang pernah dilihat Tian Pek di kelenteng bobrok itu, meskipun di musim dingin ia tetap menggoyangkan kipasoya, senyum bangga menghiasi wajahnya, ia kelihatan gembira sekali.
Tentu saja Tian Pek tak tahu apa sebabnya pemuda itu berseri, tapi ia tahu pastilah kebanggaannya itu berhubungan dengan pertarungan yang sedang berlangsung di tengah gelanggang.
Baik kakek berjenggot panjang maupun nenek berkeriput serta Hwesio berwajah kebocahan, semuanya telah menguasai gelanggang dan kemenangan jelas akan diraih oleh mereka.
Mc"in-sin jiu Siang Cong-thian bertempur sengit melawan si kakek berjenggot panjang, Hiat ciang-hwe-liong Yau Peng-gun bertarung melawan nenek keriputan, sedangkan Tok-kiam leng-coa bertempur melawan paderi setengah baya.
Di antara tiga partai yang bertarung ini ke adaan Mo-in-sin jiu Siang Cong-thian terhitung paling gawat, dari sini dapat ditarik kesimpulan kalau ilmu silat si kakek berjenggot panjang itu betul2 lihay tidak kepalang
Sebagaimana diketahui, Mo-in-sin-jiu Siang Cong-thian berilmu silat tinggi, baik keras maupun lembek dan kegesitan, semua dikuasainya dengan sempurna, bukan saja ia menempati kursi utama di perkampungan In-bong-sanceng, di dunia persilatan pun iapun merupakan tokoh sakti yang maha lihay.
Rupanya jago ini sadar kalau musuh yang sedang dihadapinya terlalu kuat, bukan saja ilmu sakti Mo-in-sin-jiu yang membuatnya tersohor dimainkan dengan berbagai gerakan, menebas, menyodok dan memukul, bahkan telapak tangan lain juga memainkan golok Ci-kim-tian-kong-to, golok Ci-kim-tian-kong to ini tajam luar biasa, dengan sendirinya seperti harimau tumbuh sayap.
Sekalipun angin pukulan menderu dan cahaya golok berhamburan memenuhi angkasa, namun musuh memang jauh lebih tangguh, dengan telapak tangan kosong kakek berjenggot itu dapat mematahkan setiap serangan Siang Cong thian, malahan bagaimanapun dia terjang ke kiri maupun ke kanan tetap tak terlepas dari lingkaran pukulan si kakek.
Lama2 Siang Cong-thian makin keteter, napasnya jadi ter-sengal2 dan mandi keringat, jelas dia mulai kepayahan.
Sebaliknya si kakek berjenggot tetap tenang seperti bertempur seenaknya, baik bergerak ke kiri maupun bergerak ke kanan, semuanya dilakukan dengan enteng, walaupun begitu, Mo-in-sin-jiu sudah kewalahan dan terancam bahaya.
Di pihak lain, Hiat-cianghwe-liong Yau Peng gun yang bertempur melawan nenek keriputpun tidak lebih unggul.
Tian Pek pernah terluka di tangan Hiat-ciang-hwe-liong, sudah tentu ia tahu betapa hebatnya pukulan Ang-se-hiat-heng-ciang orang, tapi kini berhadapan dengan nenek
keriput itu, bukan saja pukulan pasir merah berbisa itu tidak berfungsi lagi malahan serangan gencar yang dilancarkan dengan Sian-jin-ciang, senjata aneh yang jarang digunakan itupun tidak banyak memberi harapan baginya.
Sebaliknya Tok-kiam-leng-coa Ji Hoe-lam bersenjata pedang beracun Wi-tok-lam-kiam serta Tiat sian-leng-coa, dengan susah payah dapat memaksa paderi setengah baya itu untuk bertarung sama kuat, untuk sesaat sukar ditentukan siapa bakal menang dan siapa bakal kalah.


Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di pihak jago pimpinan An-lok Kongcu sudah ada dua diantaranya yang jelas akan kalah, tidaklah heran bila rekan2nya merasa tegang.
Tian Pek merasa heran, biasanya jago2 ke-empat keluarga besar tak pernah berteman. Bukankah mereka selalu bermusuhan ibarat api dan air" Kenapa saait ini semna jago menguatirkan peitarungan itu"
Wan-ji dan Cui-cui yang kejar mengejar, sekarang juga melupakan pertikaian di antara mereka, malahan ber-sama2
mengikuti jalannya pertarungan tersebut, mungkinkah pertarungan yang sedang berlangsung ini mempunyai arti yang sangat penting"
Sementara Tian Pek masih termenurg, tiba2 terdengar nenek berkeriput itu berseru: "Tua bangka yang tak mampus, kalau kau sudah di atas angin, kenapa tidak cepat kau singkirkan bocah keparat itu" Coba lihatlah, di sekitar gelanggang masih hadir begitu banyak orang yang ingin mampus, lebih baik cepatlah selesaikan pertarungan ini agar bisa disusul dengan babak selanjutnya!"
"Perempuan bangsat! Jagoan di daratan Tionggoan sini kebanyakan cuma gentong nasi belaka, aku merasa bosan untuk bertempur lebih jauh!" jawab si kakek berjenggot panjang.
Walaupun dia bicara dengan seenaknya, tapi kenyataan serangan yang dilancarkan makin dahsyat dan mematikan.
"Anak muka hitam!" ejeknya lagi, "bila kau mampus nanti, jangan kau dendam padaku, kalau ingin mengadu kepada Giam-lo-ong, lebih tepat kalau kau menuduh nenek busuk itu sebab dia yang suruh aku membinasakan kau!"
Sejak punya nama di dunia persilatan, Mo-in-sin jiu Siang Cong thian selalu disanjung dan di-hormati, belum pernah ia dihina oleh musuh seperti apa yang dialami sekarang.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya jago tua itu, meskipun dia tahu bahwa ilmu silatnya masih bukan tandingan musuh, namun matanya jadi melotot marah.
Mendadak ia membentak keras, golok Ci-kim-tian kong-to di tangan kanan berkilat melepaskan sebuah bacokan dengan jurus Long-cian liu-sah (pantai terkikis oleh gulungan ombak), sementara tangan kiri menghantam dengan jurus Loan sek-peng in (awan berguguran batu berserakan), satu gerakan dengan dua serangan.
Kakek berjenggot panjang itu tersenyum. telapak tangannya segera didorong ke depan. "Duuk!" Mo-in-sin-jiu yang ampuh tiba2 menjerit seperti babi dijagal, tubuhnya mancelat dua-tiga tombak jauhnya.
Entah bagaimana caranya, tahu2 golok Ci-kim-tian-kong-to menembus perutnya sendiri, darah segar berhamburan memenuhi permukaan tanah, dengan wajah pucat dia terkapar di tanah tanpa berkutik, sudah jelas jiwanya lebih banyak amblas daripada selamatnya.
Semua orang tadi terperanjat, belum pernah mereka dengar ataupun melihat, senjata yang jelas2 menyerang musuh, tahu2 malah menembus perut sendiri.
"Perempuan bangsat!" terdengar kakek berjenggot tadi berseru sambil tertawa, "mangsaku telah kubereskan, sekarang ingin kulihat bagaimana dengan hasilmu!"
"Hehehe, tidak sampai tiga gebrakan, akan kukirim juga mangsaku ini ke akhirat" sahut nenek keriput itu sambil tertawa ter-kekeh2.
Hiat-ciang-hwe-liong sudah tersohor dengan wataknya yang berangasan, bisa dibayangkan betapa gusarnya mendengar cemoohan tersebut, teriaknya dengan gusar:
"Bangsat, jangan takabur dulu! Aku akan mengadu jiwa dengan kau!" Sambil membeatak telapak tangan kirinya di-gosok2 di depan dada, kemudian serentak ditolak ke depan, cahaya merah seketika membias pada telapak tangannya itu.
Ter-kekeh2 si nenek keriput itu, ejeknya malah: "Bocah bermuka merah, tak ada gunaoya kau gosok telapak tanganmu sampai keluar darahnya, nenek masih sanggup kirim kau pulang ke rumah nenekmu . . . ."
Belum habis ucapannya, Hiat-ciang-hwe-liong telah membentak, dengan sepenuh tenaga dia menghantam dengan pukulan pasir merah.
Hawa panas menyengat segera membelah angkasa dan membanjir ke depan.
Nenek berkeriput itu mendengus, kedua telapak tangannya berputar dan juga menyodok ke depan, segulung kabut tebal disertai hawa dingin merasuk tulang segera menapak gulungan hawa panas itu.
Begitu kedua kekuatan bertemu, Hiat-ciang-hwe-liong menggigil dan bersin, mukanya yang merah berubah pucat seperti mayat.
Semua orang ikut terperanjat, tak seorangpun yang tahu ilmu pukulan aneh apakah yang digunakan nenek itu sehingga tanpa menimbulkan sedikit suarapun pukulan pasir merah Ang-se-hiat-heng-ciang lawan berhasil dihancurkan.
Hiat-ciang-hwe-liong sendiripun terkesiap, dia sadar ilmu yang dilatihnya dengan susah payah selama enam puluhan tahun kini sudah musnah, betapa sedih hatinya air mata lantas bercucuran.
Tapi sesaat kemudian, dengan mengertak gigi se-konyong2 ia angkat senjata Sian-jin-ciang dengan tangan kanan yang gemetar.
Sian-jin-ciang atau daun katus merupakan senjata andalannya selama ini, sebelum terjadi benturan maut tadi, senjata ini masih dapat digunakan olehnya dengan enteng, tapi kini, kendatipun ia mengerahkan segenap kekuatannya senjata tersebut tetap sukar diangkatnva.
Ssdikit demi sedikit Sian-jin-ciang diangkat oleh Hiat-ciang-hwe-liong . . .
Melongo heran kawanan jago yang menonton itu, mereka tak mengerti apa sebabnya jago bermuka merah yang gagah perkasa itu sekarang jadi lemah dan tak bertenaga, malahan muka Hiat-ciang-hwe-liong 1antas berubah jadi pucat, air mata bercucuran dan sekujur badan gemetar keras, disangkanya jago itu kelewat sedihnya sampai meneteskan air mata.
Tersenyum si nenek keriput, katanya dengan menghina:
"Bocah muka merah, bagaimana rasanya pukulanku ini"
Hahaha, kau harus berterima kasih kepadaku sebab nenekmu telah sulap kau dari muka merah menjadi si muka putih.."
"Perempuan bangsat, awas sergapan maut . . . . . . "
mendadak si kakek berjenggot panjang itu memperingatkan.
Sambil berteriak dia lancarkan pula suatu pukulan.
Tapi serangan tersebut tetap terlambat satu tindak, sebelum pukulan dahsyat itu bersarang di tubuh Hiat-cianghwe-liong, senjata Sian-jin-ciang Hiat-ciang-hwe-liong sudah terangkat setinggi dada, begitu ibu jarinya menekan pegas, "cret!" segulung asap berwarna putih segera menyembur ke tubuh nenek berkeriput itu.
Sementara itu pukulan dahsyat si kakek berjenggot pun bersarang di badan Hiat-ciang-hwe-liong dan membuatnya mencelat jauh ke belakang.
Setelah mendapat peringatan dari rekannya, si nenek segera melancarkan pukulan kuat ke arah kabut putih.
"Cess!" cahaya berwarna biru bagaikan hujan tersebar keempat penjuru, kendatipun nenek keriput sudah berusaha menghindar dan membendung dengan angin pukulannya, tak urung ada pula beberapa titik cahaya yaug sempat menciprat pada rambutnya dan membakarnya.
Betapa hebatnya pancaran cahaya api itu, bukan saja nenek itu menjadi sasaran, malahan kawanan jago persilatan yang nonton juga ada beberapa orang di antaranya terkena letikan api sehingga baju terbakar.
Jerit kaget berkumandang di sana sini, suasana jadi kalut, beberapa orang menjadi korban kebakaran buru2
menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan.
Nenek itu sendiri juga berusaha memadamkan kebakaran yang menimpa rambutnya, walaupun akhirnya api dapat dipadamkan, tak urung rambutnya sudah hampir kelimis terjilat api.
Kemarahan nenek itu sukar dikendalikan lagi, ia meraung dan beruntun ia menutuk tiga kali ke tubuh Hiat-ciang-hwe-liong yang terkapar di tanah itu.
"Cret cret cret!" tiga lubang besar menghiasi tubuh Hiat-ciang-hwe-liong yang terluka parah, tanpa ampun isi perut dan darah berhamburan.
"Tlmu apa itu" Sungguh lihay?" pikiran ini melintas di benak setiap orang.
Wan-ji yang berada di samping gelanggang ikut terperanjat. tanpa terasa dia menjerit kaget: "Hah, ilmu jari Soh-hun-ci!"
Di antara sekian banyak jago persilatan yang hadir di sini hanya dia seorang yang kenal ilmu jari si nenek, sebab Sinkau Tiat Leng mewariskan juga ilmu jari yang sama kepadanya. tentu saja kesempurnaannya masih kalah jauh bila dibandingkan dengan permainan si nenek ini.
Mendengar seruan tersebut, nenek keriputan berpaling ke arah Wan-ji dan berkata sambil tertawa: "Tak tersangka kau si budak kecil ini mengetahui asal-usul ilmu jariku ... "
Gusar Wan-ji karena dirinya disebut "budak cilik" oleh nenek itu, kontan matanya mendelik.
Tapi sebelum ia sempat mengumbar amarahnya nenek keriput itu telah berpaling ke arah An-lok Kongcu dan berkata: "Bagaimana sekarang" In-bong-san-ceng kalian tentunya sudah menyerah bukan" Hayo lekas serahkan benda pusaka kepadaku!"
Meskipun murung wajahnya, An-lok Kongcu masih sempat tertawa angkuh: "Jangan ter-buru2, masih ada pertarungan babak terakhir."
Si nenek lantas berpaling, dilihatnya pertempuran antara paderi gemuk melawan Tok-kiam-leng-coa masih berjalan dengan seimbang, untuk sesaat sulit menentukan menang dan kalah.
Memang tangguh ilmu silat paderi gemuk setengah baya itu, dengan bacokan, babatan, getaran, ketukan serta sodokan, setiap serangan cukup dahsyat, tapi dia jeri pada senjata Tok-kiam-leng coa yang berwujud pedang dan rantai baja berbisa, oleh sebab itulah untuk sementara keadaan tetap berlangsung seimbang.
Tok-kiam-leng-coa Ji Hoa-lam putar kedua macam senjata beracunnya sedemikian rupa hingga menyerupai kitiran dan terus menyerang tanpa berhenti.
Rantai baja seperti ular hidup dengan gerak melingkar, memagut, melejit, sebentar berputar bagaikan ruyung, sebentar pula bagaikan tombak, semua ancaman tertuju bagian mematikan di tubuh lawan.
Sebalikuya pedang birunya yang beracun diputar menciptakan selapis dinding cahaya berwarna biru, dengan membawa desingan angin menderu dia kurung sekujur badan si hwesio.
Jilid 17 Lama2 habislah kesabaran nenek keriputan itu, alisnya bekernyit, dengan suara serak seperti itik ia berteriak keras2:
"Keledai gundul yang cebol, biasanya kau sok ngibul, kenapa sekarang tak mampu membereskan seorang bocah kerempeng begitu" Hayo cepat keluarkan semua Kungfu simpananmu, bereskan bocah itu, nyonya besar masih ada urusan lain."
Si kakek berjenggot tiba2 menyela: "Bocah itu tidak tahan sekali hantam lagi, masa kau tidak melihatnya, nenek bangsat!" Yang benar kedua macam senjata bocah itu memang susah dihadapi. . . ."
"Ah, banyak omong, coba lihat, biar nyonya besar yang bereskan bocah itu!" teriak nenek keriput sambil mendelik.
"Dia menyingsing lengan baju lalu bersiap melompat maju.
"Eeh, tunggu sebentar!" teriak Kian-kun-ciang In Tiongliong yang berada di samping. "Masa kalian sudah lupa dengan janji kita sebelumnya" Apakah kalian hendak mengingkari janji dan mau cari kemenangan dengan main kerubut" Bila demikian semua orang yang hadir di sini pasti juga takkan tinggal diam."
Dengan lagak apa boleh buat terpaksa nenek keriputan itu urung bertindak, dengan tak sabar dia berseru: "Bangsat gundul! Sebetulnya kau mampu memenangkan pertarungan ini tidak ....!"
"Nenek sialan, kenapa kau gelisah sendiri?" jawab paderi gemuk pendek itu dengan mata melotot. "Pokoknya bocah ini akhirnya kukirim ke langit barat....!"
Heran juga Tian Pek menyaksikan tingkah laku ketiga orang itu, jelas ketiga orang itu berasal dari satu golongan, tapi aneh, meraka saling mencaci-maki sendiri, siapa gerangan mereka bertiga"
Kian-kun-ciang In Tiong-liong menyatakan bahwa sebelum bertarung telah mengadakan perjanjian, janji apakah itu" Kenapa dari pihak In-bong-san-ceng tak seorang lagi yang tampil kedepan walau pun sudah dua orang jago mereka yang terbunuh" Kenapa orang2 itu tak ada yang membantu"
Makin dipikir semakin heran, maka akhirnya pemuda itu menjawil seorang laki2 di sampingnya dan bertanya: "Hei, apa yang terjadi ini?"
Laki2 itu berpaling. tapi setelah mengetahui pemuda itu adalah Tian Pek, dengan gemas dia melotot, kemudian dilihatnya pula dandanan pemuda itu tak keruan, dengan sinis dia mencibir, lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun dia alihkan kembali pandangannya ke tengah gelanggang.
Ketika laki2 itu berpaling, Tian Pek sendiripun segera mengenalinya sebagai Liang Giok yang kakaknya, Liang Bong, telah dibunuhnya ketika terjadi pertarungan di tepi sungai Yan-cu-ki, karena itulah meski sikap orang mendongkolkan hati, ia tetap bersabar.
Dalam pada itu, Tok-kiam-leng-coa Ji Hoa-lam telah melancarkan serangan terlebih keji dan mengerikan, baik pedang beracun maupun rantai bajanya diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan desingan angin tajam, rupanya iapun menyadari, jika dia sampai kalah, maka reputasi perkampungan In-bong san-ceng pun ikut berantakan.
Serangan gencar yang dilancarkan Tok-kiam-leng-coa itu membuat si Hwesio gemuk jadi kelabakan dan keteter, suatu ketika tiba2 telapak tangannya menghantam ke muka, kemudian ia berjumpalitan mundur ke belakang.
Sekilas pandang orang akan menyangka Hwesio itu terjungkal lantaran terluka, Tok-kiam-leng- coa tidak me-nyia2kan kesempatan yang baik itu, ular rantai baja di tangan kirinya segera menutuk wajah si Hwesio, sementara pedang beracun di tangan kanan menusuk ulu hati lawan dengan jurus Liu-seng-kan-gwat (bintang meluncur mengejar rembulan).
Sungguh berbahaya posisi Hwesio gemuk itu sebab tubuhnya belum tegak berdiri, tampaknya serangan maut
yang dilancarkan Tok-kiam-leng-coa segera akan bersarang telak di tubuhnya yang gemuk.
Tiba2 terdengar kakek berjenggot panjang berseru sambil tertawa tergelak: "Hahaha, keledai gundul! Kau memang hebat, kalau sejak tadi kau gunakan cara seperti ini, bukankah kemenangan sudah kau raih tanpa bersusah payah?"
Semua orang tertegun keheranan mendengar ucapan tersebut, bukankah si Hwesio gemuk jelas bakal kalah"
Kenapa kakek berjenggot itu malahan bersorak gembira"
Sementara itu rantai ular baja telah mengancam muka si Hwesio gemuk, pedang biru juga telah mengancam dadanya ....
Pada saat itulah tiba2 Hwesio gemuk itu melejit ke atas, kakinya berlutut, kedua tangannya menempel tanah, dengan menggembungkan perutnya yang buncit hingga menyerupai seekor katak, ia ber-kaok2 dua kali dan mendorong telapak tangannya ke depan. . .
"Blang! Blang!" desingan angin puyuh menggulung ke depan, debu pasir beterbangan, hebat sekali pukulan yang dilontarkan itu.
"Ilmu silat apa itu .... ?" semua orang menjerit kaget.
Belum habis seruan tersebut, "bluk", dengan telak pukulan si Hwesio gemuk bersarang di tubuh Tok-kiam-leng-coa Ji Hoa-lam, tanpa ampun lagi tubuhnya bagaikan layang2 yang putus benangnya mencelat beberapa tombak jauhnya. Baik pedang beracun maupun rantai ulur berbisa yang digunakan untuk menyerang ikut mencelat pula jauh, waktu tubuh jatuh ke atas tanah, jiwanya sudah melayang.
Betapa terkejutnya kawanan jago itu, untuk beberapa saat lamanya suasana jadi hening dan tak seorangpun berani buka suara.
Per-lahan2 Hwesio gemuk itu bangkit berdiri, katanya sambil tertawa: "Coba iihat, bagaimana hasilnya" Tidak jelek bukan, nenek busuk?"
"Hehat! Hebat! Rupanya kau bangsat gundul ini memang masih punya ilmu simpanan!" sahut si nenek keriputan sambil tertawa lebar.
Setelah jago yang terakhir ikut tewas, kakek berjenggot panjang lantas berpaling ke arah An-lok Kongcu dan ayahnya, lalu berkata: "Tentunya kalian tak dapat bicara apa2 lagi bukan" Nah, mulai detik ini perkampungan In-bong-san-ceng telah berada di bawah kekuatan Hay-bwe-sam-sat!"
An-lok Kongcu berpaling sekejap ke arah ayahnya, Kian-kun-ciang In Tiong-long, air muka mereka berdua pucat pias seperti mayat, tanpa mengucapkan sepatah kata mereka menunduk, jelas sekali luar biasa sedih mereka.
Mendadak si nenek keriput berteriak kepada para ksatria yang hadir: "Hayo, siapa lagi yang tidak puas" Silakan maju untuk menerima kematian!"
Pemuda berbaju putih itu lebih jumawa lagi, sambil menggoyangkan kipas peraknya ia herkata: "Toan-hong Kongcu, Siang-lin Kongcu serta An-lok Kongcu telah menggabungkan diri dengan kekuatan kami, di antara empat kelompok besar didaratan Tionggoan tinggal Lenghong Kongcu saja yang belum menyatukan sikapnya, Hei!
Leng hong Kongcu, bagaimana dengan keputusan kalian"
Mau lansung menyerahkan perkampungan Pah-to-san-ceng kalian di bawah kekuatan kami ataukah hendak mengutus dulu beberapa orang untuk mengantar nyawa",,
Leng-hong Kongcu yang berperasaan dingin melirik sekejap ke arah kawanan jagonya, rupanya ia minta pertimbangan jago2nya apakah diantara mereka ada yang berani menerima tantangan musuh.
Kawanan jago dari perkampungan Pah-to-san-ceng di hari biasa selalu garang dan tinggi hati, kini sama tunduk kepala rendah2, tak seorangpun berani beradu pandang dengan Leng-hong Kongcu, tampaknya mereka takut kalau dirinya akan terpilih untuk menandangi tantangan musuh.
Terdengar pemuda berbaju putih tadi mengejek, "Huh, Leng-hong Kongcu yang bernama besar kiranya tak lebih hanya manusia keroco yang tak berani bertindak tegas.
Hayo, cepat jawab, mau menyerah kalah ataukah hendak melakukan perlawanan?"
Sejak kecil sampai dewasa, belum pernah Leng-hong Kongcu menerima cemoohan orang lain dihadapan umum.
Ia tahu jagonya sama ciut nyalinya setelah menyaksikan kelihayan musuh, selain itu iapun tahu kendatipun mereka maju, paling2 juga hanya mengantar kematian belaka.
Walaupun demikian, sudah tentu dia tak mau menyerah dengan begitu saja sebelum melakukan perlawanan, sebab menyerah kalah adalah tindakan yang paling memalukan.
Sebab itulah ia menjadi serba susah, wajah berubah jadi merah padam, ia tak tahu apa yang harus dilakukan ....
Mendadak sesosok bayangan berkelebat tiba dari luar gelanggang, setelah berputar satu lingkaran di udara, dengan enteng orang itu melayang turun. Gesit dan cepat gerakan orang ini, indah pula gayanya.
Kiranyn pendntang ini adalah seorang latah berusia setengah baya.
"Keponakanku, baik2kah selama berpisah?" tegur orang itu setibanya di tengah gelanggang.
Betapa girang Leng-hong Kongcu setelah mengetahui bahwa orang ini tak lain adalah Thian-ya-ong-seng Tio Kiu ciu. cepat sahutnya; "Baik2-kah paman Tio selama ini?"
Thian-ya-ong-seng mengangguk, lalu ia berpaling ke arah pemuda berbaju putih itu dan berkata dengan angkuh:
"Bilamana kalian berminat, aku orang the Tio ingin belajar kenal dengan jago kosen dari lautan!"
"Apakah kau mewakili perkampungan Pah-to-san-ceng"
Kalau begitu, pilihlah dua orang lagi, agar kita dapat bertanding sebanyak tiga partai!"
"Aku orang she Tio hanya ingin nantang kalian dengan nama Thian-ya-ong-seng, aku tidak mewakili sesuatu aliran ataupun perguruan manapun!"
"Bocah latah! Lalu buat apa kami membinasakan kau?"
sela si nenek keriput dari samping.
"Sekalipun menang juga tak ada gunanya, paling2 hanya membuang tenaga percuma!"
"Hahaha, nenek tua, apakah kau tahu sumpahku di masa lalu?" seru si manusia lalah dari ujung langit sambil tergelak.
"Sumpah atau tidak juga tidak ada gunanya, yang penting kau mewakili mereka atau tidak, sehingga bila kau mampus maka kamipun bisa mendapatkan hasil yang lumayan."
Sejak malang melintang di dunia persilatan, belum pernah Thian-ya-ong-seng berjumpa dengan manusia yang lebih latah daripadanya, ucapan si nenek membuatnya gusar, tapi ia lantas tertawa malah: "Sejak dulu aku orang
she Tio telah bersumpah, barang siapa dapat menangkan aku, maka aku akan mengangkat orang itu sebagai guruku.
Sudah tiga puluh tahun aku malang melintang di dunia persilatan, tapi belum pernah kutemui lawan tangguh yang mampu mengalahkan aku. maka jika satu diantara kalian berempat sanggup mengalahkan diriku, segera aku mengangkatnya sebagai guru, inikan imbalan yang baik bagi kalian?"
"Hehehe, bocah latah, kau memang hebat!" si nenek keriputan tertawa seram. "Tapi sayang kau telah melupakan sesuatu, andaikata salah seorang di antara kami berhasil membinasakan dirimu, setiba di akhirat lalu kau akan mengangkat siapa menjadi gurumu?"
Untuk beberapa saat lamanya Thian-ya-ong-seng berdiri tertegun, sungguh tak disangkanya dirinya yang terkenal latah selama puluhan tahun, akhirnya bertemu dengan seorang yang berpuluh kali lipat lebih latah daripadanya.
Sebelum jago latah ini sempat mengucapkan sesuatu, nenek keriput itu berkata pula: "Eeh, bocah latah, kau tak perlu ter-mangu2, ketabuilah kami bertiga disebut Hay-gwa-sam-sat, sedangkan Siauya ini ... !" " Sambil berkata ia menuding si pemuka baju putih itu.
Semua orang sama heran, nenek itu berani memaki kepada siapapun, tapi sikapnya terhadap pemuda berbaju putih itu ternyata sangat menghormat.
"Siauya ini tak perlu dibicarakan dulu, biarlah bicara mengenai kami bertiga ini, barang siapa berani bertempur melawan kami, maka dia tak mungkin hidup lagi di dunia ini. Bocah latah, sekarang tentunya kau mengerti bukan"
Kalau kau berani menantang kami, maka jiwamu pasti melayang, lalu untuk apa mengangkat guru segala" Kau cuma omong kosong belaka?"
Betapa gusarnya Thian-ya-ong-seng demi mendengar perkataan itu, ia tak tahan lagi, sambil membentak telapak tangannya terus menghantam si nenek.
Rupanya nenek itu tak menyangka musuh akan
menyerang secara tiba2, serangan tersebut dilancarkan dengan cepat pula. Untung pengalamannya cukup luas, mendadak tubuhnya berputar dan tahu2 dia sudah terlepas dari ancaman lawan.
Thian-ya-ong-seng tidak memberi kesempatan kepada musuh untuk berganti napas, sebelum musuh itu berdiri tegak. dengan jurus Heng-kang-toan-liu (menyodet sungai membendung air) serta Long-ki-liu-sah (tanah terkikis oleh gulungan ombak) secara beruntun tiga serangan berantai dilontarkan.
Dalam keadaan tak siap, si nenek terdesak hingga rada kerepotan.
Ilmu pukulan Tui-hong-ki-heng-ciang ciptaan Thian-ya-ong-seng memang mengutamakan gerak cepat, apalagi ia dibikin marah akibat ejekan musuh, jurus serangan mematikan dilancarkan secara beruntun, dalam waktu singkat dia telah menyerang belasan kali.
Nenek itu terdesak hebat. bukan saja ia tidak memperoleh kesempatan untuk melancarkan serangan balasan, bahkan secara beruntun terdesak mundur, bisa dibayangkan betapa gemas nenek itu.
Sepanjang pertarungan itu si kakek berjenggot panjang itu hanya membungkam saja, dengan sinar mata tajam ia mengikuti gerak serangan manusia latah tersebut, mau-tak mau ia kagum juga oleh kelihayan musuh.
Pemuda berbaju putih itupun heran dan tercengang, kipas peraknya berulang kali diketukkan pada telapak tangannya . .
Hanya Hwesio cebol itu yang tak acuh, sambil berkeplok tertawa ia berteriak: "Hei, nenek busuk, siapa suruh kau mengibul, sekarang kau baru tahu rasa kecundang di tangan orang lain, hahaha . . . "
"Sialan. bangsat gundul, nyonya besar keteter hebat, kau malahan nonton doang," maki nenek itu sambil berkelit menghindari pukulan musuh.
Thian-ya-ong-seng benci pada kelatahan nenek keriput itu, dia ingin menundukkan nenek tersebut, maka setelah di atas angin, ia melancarkan lagi tiga kali serangan berantai dengan jurus Hoan-kang-to-hay (menjungkir sungai membalikkan samudera), Hu-tong-to-hwe (menyeberangi air mendidih mengarungi lautan api) serta Pau-hi-bong-hong (hujan lebat angin puyuh)
Bayangan telapak tangan ber-lapis2 menyelimuti angkasa, nenek itu terkepung di tengah angin pukulan yang men-deru2.
Sekarang si kekek berjenggot baru terperanjat' sedangkan Hwesio gemuk itu tak bisa tertawa lagi' wajahnya menampilkan rasa heran.
Nyata mereka tidak menduga di dalam dunia persilatan Tionggoan masih terdapat jagoan yang berilmu tinggi, tapi kedua orang itu pun taat pada peraturan persilatan, sekalipun nenek itu keteter hebat mereka tidak terjun membantu.
Sebenarnya ilmu silat nenek keriput itu sangat lihay. dia terdesak oleh karena dia terlampau pandang enteng rmusuhnya sehingga kena didahului. Sedang lawan justeru
Thian-ya-ong-seng yang lihay dan berpengalaman, seperti halnya main catur, kalau sudah kalah satu langkah, dengan sendirinya langkah selanjutnya jadi terpengaruh.
Beberapa kali nenek itu berusaha merebut kembali posisinya yang terdesak, namun setiap kali usahanya itu menemui kegagalan, akhirnya dia sendiri semakin terdesak.
Dalam keadaan demikian, tiba2 si pemuda berbaju putih ketuk2 kipas peraknya pada telapak tangannya dengan berirama, kemudian ia bersenandung nyaring: "Bukit menjulang samudra membentang jalan terasa buntu. . . ."
Demi mendengar syair tersebut, mendadak si nenek berpekik nyaring, suaranya keras melengking menembus awan.
Di tengah pekik nyaring itulah si nenek memutar badannya secepat gasingan, ia berputar terus menembus bayangan telapak tangan Thian-ya-ong-seng dan mengapung ke udara.
Bayangan putih kelabu itu melambung empat tombak tingginya di tengah udara si nenek kembali berpekik nyaring, di tengah lengkingan yang memekak telinga itu mendadak si nenek menukik ke bawah, dengan dahsyat kedua telapak tangannya membelah batok kepala lawan.
Thian-ya-ong-seng, sesuai julukannya, dia adalah seorang yang latah, meski tahu betapa dahsyatnya pukulan si nenek, nanun ia tidak berusaha menghindar, dengan jurus Thian-ong-to-tah (Raja langit menyanggah pagoda) dia sambut ancaman tersebut dengan keras lawan keras.
"Blang!" benturan keras menggelegar, bumi se-akan2
berguncang. Begitu dahsyatnya gulungan angin puyuh yang timbul oleh benturan tersebut, bukan saja debu pasir beterbangan,
malahan ranting dan daun pepohonan yang berada belasan kaki di sekitar gelanggang ikut berguguran oleh embusan angin keras.
Akibatnya banyak jago silat yang tak sanggup mempertahankan diri banyak diantara mereka terdorong mundur dengan terperanjat.
Meski Thian-ya-ong-seng seorang yang cerdik, cuma sayang tenaga dalamnya masih kalah satu tingkat dibandingkan si nenek, apalagi si nenek menghantam dari atas, tentu saja posisinya lebih menguntungkan.
Akibatnya setelah terjadi bentrokan kekerasan itu, Thian-ya-ong-seng tergetar mundur lima-enam tombak jauhnya dengan sempoyongan, air mukanya kontan jadi pucat seperti mayat, hampir saja roboh.
Nenek itu melayang turun ke atas tanah, dengan wajah gusar ia menghampiri lawan. pelahan2 telapak tangannya diangkat, jari telunjuknya ditegangkan, tampaknya dia akan mengerahkan ilmu jari Soh-hun-ci yang lihay.
Sejak tadi Tian Pek mengikuti jalannya pertempuran, kini ia merasakan Thian-ya-ong-seng sedang terancam bahaya, cepat ia melompat masuk kedalam gelanggang sambil mambentak: '
Tahan!" Nenek rambut putih itu melengak, tapi setelah mengetahui pendatang ini cuma seorang pemuda, ia tertawa.
"Eh, bocah cilik!" serunya, "Apakah kaupun bosan hidup" Berani kau merintangi kehendak nenek?"
"Nenek sudah tua, kenapa masih berwatak berangasan begini. Kau sudah menangkan pertarungan, orang bilang
siapa menang dia jagoan, kalau nenek sudah menang kan tak perlu membunuh orang?"
"Bocah busuk, apakah kau tahu peraturan Hay-gwa-sam-sat?" bentak si nenek.
"Cayhe tidak tahu," jawab Tian Pek.
Waktu itu tenaga jari yang dikerahkan si nenek belum buyar, hawa sakti masih menyelimuti seluruh badannya, rambutnya yang beruban serta bajunya yang longgar bergoyang seperti terembus angin, malahan jari tangannya yang terjulur itu membengkak besar, dengan tertawa seram ia berkata kepada Tian Pek: "Kalau belum tahu peraturan kami, biarlah kuberitahukan padamu! Selamanya Hay-gwa-sam-sat tak pernah memberi kesempatan hidup kepada orang yang berani berkelahi dengan kami Nah, tahu tidak"
Sekarang, cepatlah enyah dari sini!"
Tian Pek juga pemuda yang tinggi hati dan berwatak keras, mendingan kalau nenek itu berbicara dengan ramah dan halus justeru sikapnya yang sebentar tertawa sebentar marah ini telah mengobarkan api amarah Tian Pek, segera ia balas membentak: "Aku tak peduli siapa kau dan peraturan Hay-gwa-sam-sat segala, pokoknya kalian tak boleh melanggar peraturan persilatan, aku takkan mengizinkan kau membunuh orang yang sudah terluka!"
"Haha, jadi kau hendak turut campur urusanku?" ejek si nenek sambil tertawa seram. "Bagus! Kalau begitu kehendakmu, pasti akan kupenuhi keinginanmu untuk mampus!"
Tiba2 ia tinggalkan Thian-ya-ong-seng, serangan jari tangannya yang telah disiapkan langsung dilontarkan ke dada Tian Pek.
Anak muda itu bukan orang bodoh, tentu saja iapun tahu sampai di manakah kelihayan ilmu jari si nenek, apalagi sewaktu nenek itu menghampirinya dengan wajah seram, desiran angin tajam dingin telah memancar lebih dulu dari ujung jari musuh dan membuat pemuda itu tak berani bertindak gegabah.
Serentak ilmu pukulan Lui-ing-hud-ciang yang baru dipelajarinya disiapkan menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, Thian-ya-ong-seng yang terluka parah sudah agak mendingan keadaannya setelah mengatur pernapasan, betapa malu dan menyesalnya ketika mengetahui bahwa sang penolong yang menyelamatkan jiwanya tak lain adalah Tian Pek yang pernah dikalahkannya dahulu.
Ia tahu Tian Pek pasti juga bukan tandingan si nenek, segera ia berseru: "Tian-siauhiap, cepat mundur! Biar aku orang she Tio yang menghadapi dia!"
Ia memburu maju dengan sisa tenaga murni yang dimilikinya, suatu pukulan maut segera dilontarkan.
Nenek itu tertawa seram, ujung jarinya yang tertuju ke dada Tian Pek tahu2 ditarik kembali, kemudian berputar setengah lingkaran hingga angin tajam itu berbalik mengarah pinggang Thian-ya-ong-seng.
Melihat si nenek malahan mengalihkan ancamannya kepada Thian-ya-ong-seng, cepat Tian Pek membentak, pukulan sakti Lui-ing-hud-ciang serentak dilontarkan.
Lui-ing-hud-ciang adalah ilmu dari benua barat, meskipun tiada menimbulkan deru angin sewaktu dilepaskan, namun memiliki daya tekanan yang maha dahsyat ibaratnya gulungan ombak samudra.
Waktu itu Soh-hun-ci ci nenek lagi ditujukan Thian-ya-ong-seng, dia tak pandang sebelah mata terhadap musuh yang sudah terluka ini.
Nenek itu terkejut ketika desir angin pukulan yang dilontarkan Tian Pek menyambar tiba, ia merasa daya tekanan yang terpancar dari serangan itu aneh sekali, kendati begitu, ia masih tidak menggubrisnya, ia tidak percaya pemuda ingusan memiliki ilmu silat yang luar biasa" Sebab itulah Soh-hun-ci masih terus menutuk ke tubuh Thian-ya-ong-seng.
"Hei, nenek tua, awas! . . ." tiba2 si Hwesio setengah baya memperingatkan. "Pukulan yang digunakan pemuda itu adalah Lui-ing-hud-ciang yang maha sakti.
Kejut si nenek setelah mendengar peringatan tersebut, serentak ilmu jari Soh-hun-ci ditarik kembali, dengan berputar setengah lingkaran, dengan jurus serangan Heng-sau-ngo-gak (menyapu rata lima bukit). dia kurung Thian-ya-ong-seng serta Tian Pek di baWah angin jari saktinya.
"Blang! Bluk!" dua suara keras terdengar, sambil menjerit kesakitan Thian-ya-ong-seng mencelat ke belakang dan roboh telentang.
Sebaliknya si nenek mendengus tertahan karena tubuhnya tergetar oleh pukulan sakti Lui-ing-hud-ciang Tian Pek, dengan sempoyongan nenek itu terdorong mundur lima-enam langkah. ...
Tian Pek sendiripun merasakan sakit luar biasa pada telapak tangannya. rasanya seperti ditusuk jarum, ia tergeliat, sekuatnya ia bertahan.
Hanya sekejap telapak tangannya sudah bengkak, diam2
ia terkesiap: "Lihay benar Soh-hun-ci ini!"
"Hei. bocah, kau murid siapa . . . ?" Hwesio gemuk setengah baya itu melompat maju dan menegur.
Belum gempat Tian Pek menjawab, si nenek sudah meraung gusar dan menubruk ke arahnya dengan kalap getaran mundur yang diterimanya barusan dianggapnya sebagai suatu penghinaan.
Tian Pek tak berani gegabah, dia angkat telapak tangannya, tapi tahu2 telapak tangannya sukar digerakkan dan tak bertenaga.
"Celaka! .... keluhnya dalam hati.
Untunglah pada saat yang gawat itu terdengar dua orang membentak nyaring, lalu muncul dua bayangan tubuh yang kecil ramping menerjang ke dalam gelanggang.
Serentetan cahaya tajam berwarna hijau serta desir angin pukulan serentak menerjang si nenek.
Memang lihay nenek rambut putih itu, walau pun mendadak datangnya ancaman maut itu, ternyata dengan enteng dan cekatan ia mampu menghindari serangan pedang dan pukulan tersebut.
Dengan berjumpalitan di udara ia berputar satu lingkaran, lalu melayang turun di kejauhan sana.
Ketika ia berpaling ternyata penyerang itu adalah seorang gadis cantik jelita serta seorang manusia aneh bermuka hijau berambut merah.
Memang betul gadis cantik serta manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah itu tak lain adalah Tian Wan-ji serta Liu Cui-cui, demi menyelamatkan jiwa Tian Pek, mereka telah turun tangan bersama.
Sementara itu nenek berambut putih itu menjadi murka setelah gagal melukai Tian Pek, apalagi setelah dia sendiri
yang terdesak mundur malah. Sambil meraung untuk kesekian kalinya dia menerjang musuh dengan kalap.
"Hong-koh, hati2 dengan makhluk muka hijau berambut merah itu!" tiba2 si pemuda baju putih memperingatkan.
"Tangkap dia dalam keadaan hidup, yang lain bantai saja sampai habis . . . ."
Walaupun sedang gusar, si nenek tetap patuh pada perintah pemuda baju putih itu, di tengah udara tutukan maut menuju Wan-ji, sementara tutukan yang menuju pada Lui Cui-cui berubah menjadi cengkeraman, dengan mementang kelima jarinya dia mencakar si nona.
Wan-ji mengegos kesamping, dengan dua jari saktinya ia balas menutuk Hiat-to penting Sim-hi-hiat serta Ki-hay-hiat si nenek dengan Soh-hun- ci yang sama.
Hampir bersamaan waktunya Liu Cui-cui menabas tangan kanan si nenek dengan jurus Sia-gwe-teng-hui (rembulan condong memancarkan sinar), cahaya pedang hijau segera menyelimuti angkasa.
Kaget juga nenek berambut putih itu, ia tak menyangka ilmu iari dan ilmu pedang Wan-ji dan Cui-cui sedemikian hebatnya terutama ilmu jari Wan-ji ternyata mirip sekali dengan Soh-hun-ci andalannya sendiri.
Serentak dia melejit ke udara dan melayang turun di kejauhan sana.
"Hei, anak perempuan, dari siapa kau belajar ilmu jari ini?" hardiknya lantang.
"Nenek busuk, itu bukan urusanmu, tak usah banyak bacot" sahut Wan-ji kasar, "Ingat saja baik2, bila kau berani melukai seujung rambut engkoh Tian, maka akan kucabut nyawamu!''
"Hehehe, bagus, bagus sekali perkataanmu." si nenek tertawa seram. "Selama ini aku tercatat sebagai manusia yang tak pakai aturan, tak nyana hari ini aku bertemu dengan budak ingusan yang lebih tak kenal aturan. Nona cilik, coba jawablah pertanyaanku ini, siapa pemuda itu"
Apa hubunganmu dengan dia" Dan kenapa kau
menguatirkan keselamatan jiwanya ... ."
Sebeium Wan-ji menjawab, Liu Cui-cui telah
membentak gusar, Pedang Hijau terus menusuk ulu hati nenek itu.
Rupanya ia sakit hati karena melihat telapak tangan Tian Pek membengkak dan mukanya pucat, ia jadi marah dan segera menyerang.
Tajam dan kencang deru angin pedang itu, cahaya hijau menyebar di udara, menyelimuti sekeliling tubuh lawan.
Memang lihay sekali ilmu pedang Liu Cui-cui, malahan boleh dibilang audah mencapai puncak kehebatannya, sungguh serangan yang mengejutkan.
Dengan terperanjat cepat nenek itu berkelit, tapi sayang kurang cepat, "bret!" ujung bajunya tertabas pedang hingga robek
Tampaknya Wan-ji juga sudah melihat keadaan Tian Pek yang terluka, sebelum nenek itu sempat berdiri tegak, dengan marah dia menyerang lagi, dua selentikan maut dilepaskan.
Dalam pada itu Liu Cui-cui juga menyerang pula, dengan jurus Han-seng-peng-gwat (bintang kecil mengejar rembulan), Pedang Hijau diputar sedemikian rupa hingga menciptakan selapis cahaya tajam yang menyilaukan mata, ia terus cecar si nenek.
Setelah dikerubut dua musuh tangguh, si nenek baru sadar akan kehebatan lawannya, kepongahannya lenyap, sebagai gantinya rasa kaget dan panik menghiasi wajahnya yang penuh keriput, dia tak menyangka di kolong langit ini masih ada manusia berilmu pedang selihay ini, apalagi tutukan Soh-hun-ci Tian Wan-ji tak boleh dipandang enteng, dalam waktu singkat dia terdesak terus menerus.
Berada dalam keadan seperti ini, dia tak berani menangkis dengan kekerasan, apa yang bisa dilakukan tidak lebih hanya berkelit dan menghindar melulu, Jerit kaget, sorak puji dan helaan napas kagum menggema di sekeliling gelangggang, meskipun para penonton terdiri dari kawanan jago silat terkemuka, sebagian besar sudah sering menjelajahi utara maupun selatan, belum pernah mereka menyaksikan permainan ilmu pedang sedahsyat itu.
Lebih2 si pemuda baju putih itu, iapun kejut dan gelisah, lama2 ia tak tahan lagi, serunya dengan lantang: "He, Siu-kongkong, Hud-eng Hoatsu! Kenapa kalian cuma berdiri saja" Tidak maju sekarang mau menunggu sampai kapan lagi?"
Si kakek berjenggot panjang seram. si Hwesio gemuk tersentak bangun dari lamunannya, serentak mereka terjun ke gelenggang pertarungan, yang satu langsung membendung serangan Liu Cui-cui sedahg yang lain menghadang tutukan maut Tian Wan-ji.
Memang lihay ilmu pukulan si kakek berjenggot panjang, bukan saja gaya serangannya aneh, tenaga pukulannya juga mengerikan, ketika kedua telapak tangannya mulai menyerang, debu pasir ikut beterbangan, banyak ranting pohon tumbang terkena pukulan. deru keras dan dentuman nyaring menciptakan irama maut yang mengerikan.
Lui Cui-cui bukan lawan empuk, ilmu pedang saktinya terhitung jenis ilmu pedang tingkat tinggi, ditambah pula Bu-cing-pek kiam adalah pedang pusaka yang tiada taranya ketika diputar kencang, terciptalah selapis cahaya hijau tebal menyilaukan mata, pedang itu berkelebat kian kemari mengancam tempat berbahaya di tubuh musuh.
Kawanan jago yang menonton di pinggir sama
terpesona. pertarungan antara kakek berjenggot melawan manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah alias Liu Cui-cui ini sungguh luar biasa.
Pemuda baju putih itupun berdiri tertegun kipas peraknya dicengkeram erat2, jelas terlihat betapa gelisahnya.
Dalam pada itu, si Hwesio gendut yang bernama Hud-eng Hoatsu juga terlibat dalam pertarungan seru melawan Wan-ji.
Ilmu pukulan si Hwesio gemuk sangat hebat angin pukulannya men-deru2, Wan-ji yang kecil dan ramping boleh dibilang terkurung di tengah angin pukulannya.
Untung ilmu meringankan tubuh, Leng-gong-hoan-ing.
yang dikuasai Wan-ji sudah mencapai kesempurnaan, ditambah pula selama seratus hari ia digembleng oleh Sinkau (monyet sakti) Tiat Leng, semua ini membuat kungfunya mendapat kemajuan yang amat pesat.
Kendatipun ia terkurung oleh pukulan musuh yang gencar. hal ini tidak mengurangi kecepatan serta kelincahan gerak tubuhnya, dia melejit, melambung, melompat dan melayang diantara deru angin pukulan yang kencang.
Bukan saja indah menawan gaya tubuhnya, malahan kadangkala sempat pula melepaskan Soh-hun-ci untuk mengancam Hiat-to kematian di tubuh musuh.
Menghadapi keadaan seperti ini, mau-tak-mau Hwesio gemuk terpaksa pasang matanya awas2, setiap saat dia harus berkelit dan menghindar dengan gerakan cepat, dengan begitu maka sementara ini pertarungan berlangsung dalam keadaan seimbang.
Dengan diambil-alihnya kedua lawan tangguh, si nenek berambut putih mendapat kesempatan lagi untuk menghadapi Tian Pek, terpaksa anak muda itu melakukan perlawanan yang gigih kendatipun tangannya yang terluka sakitnya tidak kepalang.
Ilmu silat Tian Pek saat ini sudah terhitung tangguh, sayang dia bertindak kurang hati2 sehingga dalam pertarungan pertama tadi tangannya lantas terluka.
Karena tangannya terluka secara otomatis permainan Lui-ing-hud-ciang yang lihay itupun mengalami kemunduran, ia tak bisa melancarkan lagi serangan dengan sepenuh tenaga.
Selain itu, pakaiannya yang dibuat dari robekan selimut sangat mengganggu kegesitan tubuhnya, tidaklah heran di bawah serangan gencar si nenek, ia terdesak hebat hingga kelabakan setengah mati.
Begitulah, pertarungan berlangsung dengan serunya membuat perhatian semua orang berpusat ke gelanggang.
Semuanya tercengang dan berdebar.
Kalau permainan pedang manusia aneh bermuka hijau alias Liu Cui-cui sangat lihay dan tiada taranya hingga semua orang merasa heran, hal ini memang dapat dimengerti.
Akan tetapi Tan Pek adaiah pemuda yang dikenal oleh banyak orang, anak muda itu belum lama terjun ke dunia persilatan, namun setiap kali muncul ilmu silatnya selalu
mengalami kemajuan pesat, kepandaiannya kian lama kian bertambah hebat, inilah yang mencengangkan orang, hampir saja mereka tak percaya dengan kenyataan tersebut.
Jika para jago tangguh dari empat keluarga besar juga dikalahkan si nenek rambut putih dengan cara yang mengenaskan, malahan Thian-ya-ong-seng yang dianggap jago paling tangguh pun terluka parah. Tapi Tian Pek yang masih muda dan cetek pengalaman dengan suatu pukulan malah berhasil memaksa mundur nenek rambut putih itu, bahkan sekarang masih sanggup bertarung puluhan gebrak, siapa yang tak heran dengan kenyataan ini"
Banyak pula yang kenal siapa Wan-ji, setelah menyaksikan si nona sanggup bertarung seimbang dengan Hud-eng Hoatsu, semua orang jadi tercengang dan kaget pula.
Diantaranya Leng-hong Kongcu dan anak buahnya jelas paling bingung dan tidak habis mengerti, Mereka tahu ilmu silat Wan-ji didapatkan atas ajaran ayahnya sendiri, yakni Ti-seng jiu Buyung Ham, sekalipun sudah tergolong lumayan, tapi kalau ingin menandingi Hud-eng Hoat-su yang telah berhasil merobohkan belasan jago dari keempat keluarga besar, hampir boleh dibilang tak mungkin terjadi.
Akan tetapi faktanya memang demikian, bukan saja dia sanggup menandingi Hud-eng Hoatsu yang disegani itu, malahan dia sanggup melawannya dengan sama kuat, siapa yang tak heran menyaksikan peristiwa ini"
Di antaranya Leng-hong Kongcu yang paliag tidak mengerti, pikirnya: "Hanya berapa bulan tidak bertemu, tampaknya Kungfu Moaymoay (adik perempuan) sudah memperoleh kemajuan yang pesat, entah darimana ia mempelajari Kungfu selihay ini?"
Sementara ia masih melamun, keadaan di tengah kalangan telah mengalami perubahan besar, diantaranya posisi Tian Pek paling terdesak, di bawah serangan gencar si nenek, jiwanya benar2 sudah terancam bahaya.
Ketika melancarkan serangan jurus Hong-ceng-lui-beng (angin berembus guntur menggelagar), oleh karena lambungnya mesti dikembangkan kemudian baru mendorong telapak tangannya ke depan, kendatipun hasil serangan yang hebat itu dapat memaksa si nenek menyurut mundur tiga langkah kebelakang, namun karena kejadian itu pula tali pengikat bajunya yang tak keruan itu jadi putus, otomatis kain penutup badanpun melorot kebawah.
Dalam ketegangan mendadak terjadi pertunjukan


Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"bugil", karuan para penonton sama tertawa ter-bahak2
Suasana jadi gaduh. Tian Pek sendiri jadi kelabakan, dengan wnjah merah jengah ia berusaha meraih kainnya yang merosot itu sambil menahan serangan musuh Tapi nenek itu malahan memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik, ia melontarkan serangan sambil tertawa mengejek: "Hei, bocah cilik, tak ku sangka kau semiskin ini sehingga beli bajupun tak mampu. Huuh, awak sendiri kere, kenapa suka mencampuri urusan orang lain, lihatlah nenekmu akan mampuskan kau!"
"Wees! Wees?!" beruntun ia menyerang tiga kali.
Berat tenaga serangan nenek itu, Tian Pek ingin menghindar ke samping, apa mau dibilang kakinya kurang leluasa bergerak lantaran terganggu oleh tali baju yang melorot itu, dalam keadaan seperti ini terpaksa dia harus menyambut datangnya ancaiman itu dengan keras lawan keras.
"Blum! Bluum! Bluum!" beruntun teijadi tigu kali benturan keras.
Tian Pek merasa isi perutnya terguntang, darah dalam rongga dadanya bergolak, pandangannya jadi gelap dan hampir saja ia tak tahan.
Setelah tipa kali seranpan, nenek itu kembali latah, ia tertawa ter-kekeh2, tangan terangkat, segera ia menghantam lagi batok kepala Tian Pek.
Waktu itu Tian Pek sudah dalam keadaan payah, ia merasa daya tekan telapak tangan nenek itu bagaikan gunung menindih kepalanya, buru2 ia angkat kaki hendak menghindar
Apa lacur, dia lupa kainnya yang merosot ke bawah masih melilit kedua kakinya, baru saja dia bergeser, tubuhnya langsung sempoyongan dan nyaris jatuh tertelungkup.
Melihat ada peluang baik, nenek itu memburu maju terus menghantam pula.
Tian Pek sudah mati langkah, terpaksa dia angkat telapak tangannya untuk menangkis dengan keras lawan keras.
"Blang!" daya pukulan yang dilontarkan si nenek sekali ini jauh lebih dahsyat, Tian Pek seketika itu merasakan dadanya seperti digodam oleh martil sebesar ribuan kati.
napasnya jadi sesak, mata ber-kunang2, tanpa ampun dia muntah darah dan terjungkal ....
Dalam keadaan sadar tak sadar ia sempat mendengar gelak tertawa si nenek yang serak itu, menyusul angin pukulan yang lebih berat untuk ketiga kalinya menerjang dadanya.
Tian Pek mengeluh: "Habislah riwayatku, tak sangka aku Tian Pek harus mampus disini .... "
Pada detik terakhir itulah se-konyong2 cahaya pedang berwarna hijau menyilaukan berkelebat menyusul lantas terdengar bentakan nyaring dan tibanya gulungan angin tajam menyambar nenek itu.
Apa yang terjadi tak sempat oiketahui Tian Pek, ia telah jatuh pingsan dan tidak tahu apa2 lagi.
o oO 0O0 Oo o Entah sudah berapa lama, akhirnya Tian Pek sadar kembali.
Lamat2, ia tak tahu dirinya masih hidup ataukah sudah kembali ke alam baka, suara pertama yang sempat terdengar olehnya adalah tetesan air yang menciptakan serentetan irama merdu.
Air itu menetes tiada hentinya. . ."Tiing. . .Ting! Tang. .
.Taang!" merdu kedengarannya, nikmat dirasakannya, seolah2 perpaduan aneka ragam alat musik yang memainkan nyanyian surga.
Yang lebih aneh lagi, ternyata diantara dentingan irama itu lamat2 terdengar pula suara nyanyian yang amat merdu, nyanyian itu lembut dan enak didengar, membuat siapapun yang mendengan se-akan2 terbuai ke alam impian indah.
Tian Pek tidak tahu dirinya berada dalam mimpi ataukah memang kenyataan"
Ia berusaha mengetahui di manakah sekarang dia berada" Ia coba ingat kembali segala apa yang pernah dialaminya tapi bagaimanapun jugs ia tak berhasil mengingat berada dimanakah ia saat ini"
Akhirnya ia membuka matanya. . .pemandangan pertama yang dilihatnya adalah langit nan biru.
Ia berpaling ke kiri, di sana sebuah bukit karang yang tinggi batu karang yang berbentuk aneh berserakan di suna siiu, rumput dan aneka warna bunga tumbuh di sekitarnya se olah2 menciptakan suatu pemandangan yang indah, tempat berteduh yang harmonis.
Tinggi sekali tebing karang itu, air terjun kecil berada disampingnya memuntahkan butiran air yang deras, ber-liuk2 di antara celah2 karang yang tak rata dan berubah menjadi beberapa pancuran air, suatu pemandangan alam yang indah mempesona.
"Aneh! Siapakah yang membawaku ke sini" Siapa yang membaringkan aku di tempat seindah ini"
Tempat apakah ini" Siapakah yang menaruh bunga indah ini di sekeliling tubuhku?"
Ia berpaling ke sebelah kanan, di situ terbentang sebuah telaga yang jernih, mendadak ia melenggong.
Kiranya ia melihat seorang nona jelita berambut panjang, dengan tubuh yang putih berada dalam keadaan telanjang bulat sedang bermain air di telaga sana sambil bernyanyi.
Mula2 gadis itu berendam di air, tapi sekarang ia telah berenang ke tepian kemudian per-lahan2 bangkit dari dalam air yang cetek.
Tian Pek jadi melongo, biarpun ia seorang pemuda yang alim, diberi tontonan gratis yang memerangsang ini, mau-tak-mau jantungnya ber-debar2 juga.
Gadis telanjang itu tidak merasa bahwa ada sepasang mata sedang menikmati keindahan tubuhnya yang bugil
dan merangsang itu, dia masih bernyanyi kecil sambil memetik setangkai bunga teratai putih dan diselipkan pada sanggulnya.
Waktu itulah, tampaknya anak dara itu baru merasakan adanya sepasang mata yang sedang mengawasinya, ia berpaling dan menemukan Tian Pek sedang
memandangnya dengan mata terbelalak.
Tiba2 anak dara itu berseru kegirangan: "O, engkoh Pek, akhirnya kau sadar kembali!?" Dengan kegirangan anak dara itu berlarian mendekati Tian Pek.
Mata Tian Pek terbelaiak lebar, betapa tidak ia saksikan gadis yang telanjang bulat itu kian mendekat dan semua bagian tubuhnya terpampang jelas, terutama payudaranya yang berguncang keras dikala anak dara itu sedang berlari, serta pahanya yang putih mulus, perutnja yang kecil dan. . .
.Tiada perasaan jengah atau kikuk di wajah gadis itu, malahan dengan tertawa riang ia lari menghampiri Tian Pek.
Sekarang anak muda itu dapat melihat jelas raut wajah gadis itu, siapa lagi dia kalau bukan Liu Cui-cui.
Sedari kecil Liu Cui-cui hidup di suatu pulau terpencil dan jauh ditengah samudera, ia tak mengenal adat istiadat daratan Tionggoan yang serba kolot ia pun tak mengerti apa artinya malu, apa artinya kikuk, hatinya sepolos tubuhnya, suci murni tiada setitik kotoran dan tiada sedikitpun dosa orang hidup ini.
Apa yang dilakukan anak dara itu hanyalah sewajarnya menurut apa yang dia inginkan dan apa yang dia senangi.
Setiba di depan Tian Pek yang masih melongo, ia rentangkan tangannya lebar2 terus jatuhkan diri ke dalam pelukan anak muda itu dengan penuh kemanjaan.
"O, engkoh Pek . . . engkoh Pek sayang, akhirnya kau sadar kembali. . . ." teriaknya penuh kegirangan. "Mulai sekarang, kau harus menemani aku bermain. . . menemani aku berenang . O. tahukah kau. sudah dua bulan aku menjaga di sisimu" Bayangkan, betapa kesalnya kuhidup sendirian dipulau karang yang terpencil dan sepi ini. . . ."
Tian Pek tidak berkutik, rangkulan dan pelukan mesra gadis telanjang ini mengobarkan napsu berahinya.
Bagaimanapun Tian Pek bukan pemuda bangor,
rangsangan birahi itu dapat dikendalikannya. iapun memohon: "Cui-cui, cepatlah berpakaian. . .Aduh, kenapa aku berbaring di sini.. .tempat apakah ini?"
Meski sedapatnya Tian Pek mengendalikan perasaannya yang bergolak, tapi digeluti dalam keadaan polos, betapapun cara bicaranya menjadi gelagapan.
Cui-cui mencibir dan berbangkit, ia membusungkan dadanya yang montok dan mengomel: "Huh, berpakaian apa segala" Sejak kecil aku dibesarkan di pantai, tiduran di semak rumput, selalu juga begini, tidak pernah memakai baju."
"Itu kan waktu masih kecil," kata Tian Pek sambil tertawa, "di masa kanak2 tentu saja kau boleh telanjang sambil berlarian, tapi sekarang kau sudah dewasa. apa tidak malu kalau telanjang bulat di depan orang?"
"Huuh, apa cuma kanak2 yang boleh telanjang"
Beberapa bulan yang lalu akupun bermain di pantai dalam keadaan telanjang begini."
"Itu pulau kosong tanpa penghuni, biar telanjang juga tak ada yang lihat, berbeda dengan daratan Tionggoan,dimana2
penuh manusia, betapa pun kau harus berpakaian. . .."
"Huh, omong kosong," tukas Cui-cui dengan wajah cemberut. "Siapa bilang pulau itu kosong" Di sana juga ada nelayan, justeru di tempat inilah malah sepi tanpa seorangpun yang ada disini!"
Tian Pek melongo dan tak mampu menjawab lagi, ia hanya bisa memandangi anak dara itu dengan terbelalak.
Ketika gadis itu berdiri, payudaranya persis berada di depan mata Tian Pek, tubuh yang halus merangsang segera membangkitkan semacam perasaan aneh dalam hati anak muda itu, ia merasa peredaran darahuna bergerak terlebih cepat, napas ter-engah2, wajahnya merah panas, matanya melotot semakin bulat. . . .
Melihat keadaan anak muda itu Cui-cui tertawa cekikikan: "Eeh, engkoh Pek! Kenapa kau pandang aku dengan sorot mata seperti itu?"
"O. . kau. kau cantik sekali." sahut Tian Pek seperti orang mengigau,
Berbungalah hati Cui-cui mendengar pujian itu, perempuan mana yang tak senang dipuji cantik oleh lelaki"
"Benarkah aku cantik" Kalau memang begitu, janganlah memaksa aku untuk berpakaian, biarkan aku berada dalam keadaan polos begini!" pintanya.
Ucapan ini mengingatkan Tian Pek pada kejadian yang di alaminya di Pah-to-san-ceng dahulu ketika ia merobek pakaian sendiri karena terpengaruh irama seruling Gin-siau-toh-bun Ciang Su-peng. Waktu itu iapun merasa manusia adalah makhluk di alam bebas, bertelanjang bulat adalah pembawaan yang asli, pakaian hanya hiasan buatan manusia, tanpa busana malah terasa lebih bebas, lebih murni, lebih alamiah ....
Akhirnya pemuda itu mengangguk, sahutnya dengan lirih: "Benar, kau lebih cantik telanjang bulat daripada berpakaian, aku .... aku . . . ."
Cui-cui tertawa cekikikan, tiba2 ia melompat kesana dan menyembunyikan diri di belakang batu padas, serunya:
"Baiklah asal kau sudah tahu, aku tak mau badanku kau lihat terus, aku ngeri melihat matamu itu ...."
Diiringi suara cekikikan tahu2 gadis itu muncul kembali, hanya sekarang dia telah mengenakan sebuah jubah panjang yang tipis bening dan memancarkan sinar mengkilap.
Cui-cui keluar dari balik batu dengan kepala tertunduk, sekuntum bunga putih menghias rambutnya, membuat anak dara itu ibarat bidadari dari kahyangan.
"Ai, cantik benar dia," pikir Tian Pek dengan perasaan kagum, "bila kupunya teman hidup secantik dia, menetap di suatu tempat yang terpencil dan jauh dan keramaian, alangkah bahagianya."
" Sementara itu Cui-cui telah mendekati Tian Pek sambil membetulkan rambut yang kusut terembus angin, ia berkata: "Engkoh Pek, hayo duduklah dan cobalah mengatur pernapasan, coba apakah luka dalammu telah sembuh, kalau sudah sehat kembali, aku ada sebuah benda bagus akan kuperlihatkan kepadamu!"
"Barang bagus apa. Sekarang saja perlihatkan padaku, kan sama saja?" pinta Tian Pek.
"Tidak, kau mesti atur pernapasan dulu!" seru Cui-cui dengan manja. "Bila terbukti lukamu telah sembuh baru barang itu akan kuperlihatkan padamu.
Terpaksa Tian Pek mengalah, ia berduduk' baru sekarang ia tahu dirinya menggunakan pakaian terbuat dari bahan yang sama seperti apa yang dikenakan Cui-cui.
Bahan pakaian itu sangat halus, lagipula memancarkan sinar mengkilap, entah terbuat dari bahan apa"
"Cui-cui, darimana kau dapatkan baju ini" Bagus amat warna dan bahannya!" ia berseru.
"Waktu kau sakit, aku mengumpulkan sutera ulat di bukit ini dan menenunnya, karena tiada jarum dan benang, maka kujahit dengan tali sutera yang kasar, Coba, tidak jelek kan baju ini?"
Tian Pek tersenyum dan mengangguk, dalam hati ia memuji anak dara itu, bukan saja wajahnya cantik. ilmu silatnya tinggi, ternyata akalnya juga banyak dan pandai membuat kerajinan tangan.
"Cui-cui, kau memang pintar," pujinya kemudian.
"Kutahu tidak gampang membuat pakaian semacam ini, mungkin tidak sedikit waktu yang kau gunakan membuat pakaian ini."
"Tidak lama, cuma enam puluh hari?"
"Apa" Enam puluh hari!" seru Tian Pek terperanjat, "Jadi sudah dua bulan aku tak sadarkan diri?"
"Dua bulan lebih!" Cui-cui menegaskan dengan tertawa
"Masa kau lupa ketika kau jatuh pingsan, waktu itu masih musim dingin, sekarang kan sudah musim semi?"
Ia mendengus, dengan agak murung bercam-pur kesal tambahnya: "Masih kurang lama pingsanmu itu" Tahukah kau, betapa kesepiannya aku selama dua bulan ini" Seorang diri aku menemani
kau yang tak sadar .... merawat dirimu, O. . .engkoh Pek, dapatkah kau merasakan betapa sedihnya aku selama ini?"
Tian Pek tidak memperhatikan kemurungan Cui-cui, ia hanya teringat pada sakit hati ayahnya belum terbalas, serunya mendadak dengan gelisah: "Wah, kita tidak bisa nongkrong terus disini, hayo kita lekas berangkat ..." Sambil berseru dia lantai berbangkit.
"Engkoh Pek, mau kemana kau?" seru Cui-cui sambil menarik tangannya.
"Mencari keempat keluarga besar dan membalas sakit hati ayahku!"
"Engkoh Pek, kau tak perlu balas dendam lagi, empat keluarga besar telah bubar, Cing-hu-sin Kim Kiu, Kian-kunciang In Tiong-liong, Kun-goan-ci Sugong Cing, Ti-seng-jiu Buyung Ham serta Pak-ong-pian Hoan Hui, semuanya sudah mati dibunuh orang ...."
"Cui-cui, jangan bicara tak keruan!" sela Tian Pek tidak percaya. "Empat keluarga besar bukan orang sembarangan, mereka adalah tokoh dunia persilatan yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi, kawanan jago lihay yang mereka pelihara tak terhingga jumlahnya, mana mungkin tokoh2
selihay itu mampus semua dibunuh orang . . . ."
Cui-cui tak senang karena Tian Pek tidak percaya pada keterangannya.
Engkoh Pek, jadi kau anggap kubohongi kau?" serunya dengan mendongkol. "Tahukah kau, selama dua bulan terakhir ini telah terjadi perubahan yang amat besar di dunia persilatan" Bukan saja majikan keempat keluarga besar telah tewas dibunuh orang, malahan ketua dari sembilan aliran besar, para pemimpin golongan putih mau pun hitam serta para pentolan Lok-lim, baik dari kalangnn
daratan mau pun lautan banyak yang tewas dan menyerah, dunia persilatan pada saat ini telah terjatuh ke dalam cengkeraman seorang gembong iblis!"
"Bagaimana dengan Bu-lim-su-kongcu?" tanya Tian Pek.
"Bu-lim-su-kongcu tak lebih hanya kawanan keroco yang tak berarti lagi."
"Lalu siapakah gembong iblis itu?" Tian Pek makin terkejut. "Masa ilmu silatnya begitu hebat, sehingga dalam dua bulan ia berhasil menaklukkan seluruh jago dunia persilatan."
"Ai, sekalipun kuceritakan juga kau tidak tahu dia sudah lama berdiam di Mo-kui-to (pulau setan) dilaut selatan, orang menyebutnya sebagai Hay-liong-sin (dewa raga laut), disebut pula sebagai Lam-hay-it-kun (Datuk sakti dari laut selatan), sedangkan namanya yang asli adalah Liong Siau-thiam!"
Tian Pek termenung dan meng-ingat2 nama itu, benar juga ia merasa asing sekali dengan nama itu dan rasanya belum pernah mendengar nama itu, maka dengan sangsi ia bertanya lagi: "Cui-cui, masakah dengan mengandalkan kekuatan Hay-liong-sin seorang, dunia persilatan dapat ditaklukkan dan di kuasai olehnya?"
Cui-cui tertawa, tuturnya: "Tentu saja tidak cuma dia seorang, masih ada anak buahnya yang tangguh, seperti Lam-hay-liong-li (naga perempuan dari laut selatan), Tho-hoa-su-lian (empat dewa bunga tho), Mo-kui-to-pat-yau (delapan siluman dari pulau setan) serta Hay-gwa-sam-sat (tiga malaikat dari luar samudera) yang pernah kau temui serta si pelajar berbaju putih dan berkipas perak itu."
"Siapakah pelajar baju putih yang membawa kipas perak itu?" tanya Tian Pek dengan mata terbelalak.
"Pemuda itu adalah putera tunggal Lam-hay-it-kun, namanya Lam-hay-siau-kun (pemimpin muda dari laut selatan) Liong Hui, ia disebut juga sebagai Liong-sin-thaycu (pangeran naga sakti), sekali pun dalam penyerbuannya kedaratan Tionggoan memakai nama besar ayahnya, pada hakikatnya Hay-liong-sin sendiri tak pernah tampil kedaratan Tionggoan ini, semua pertarungan dan semua rencana di kepalai Liong Hui sendiri. Ya, boleh dikatakan dunia persilatan dewasa ini sudah menjadi milik keluarga Liong!"
Sekarang mau tak-mau Tian Pek mempercayai cerita Cui-cui, katanya: "Tak kusangka, benar2 tak kusangka, hanya dalam waktu dua bulan lebih ternyata dunia persilatan telah mengalami perubahan sebanyak ini."
Tak tega Cui-cui melihat kekesalan Tian Pek, ia coba menghibur: "Engkoh Pek, lebih baik jangan kita urus dulu keadaan di dunia luar, biarpun dunia mau kiamat, yang pasti tempat kediaman kita ini tetap aman sentosa, tanpa izinku siapa pun tak dapat memasuki tempat ini. Engkoh Pek. tenangkan hatimu, buang jauh2 segala persoalan, cobalah mengatur pernapasan, periksa dulu keadaan lukamu apakah sudah sembuh atau belum?"
"Cui-cui, sekarang kita berada dimana .. . ." kembali Tian Pek bertanya dengan hati tak tenang.
"Engkoh Pek, kau tak perlu bertanya, kalau kuceritakan, tiga hari tiga malam pun tak akan selesai, aturlah pernapasan lebih dulu, kemudian akan kuperlihatkan suatu benda bagus padamu!"
Terpaksa Tian Pek menahan berbagai tanda tanya, kemudian ia duduk bersila, atur pernapasan dan mulai menjalankan latihan seperti apa yang dipelajarinya dari kitab Soh-kut-siau hun-thian-hud-pit-kip.
Benar juga, hawa murni dalam tubuhnya bisa mengalir dengan lancar, bukan saja tidak menemui rintangan apa2, malahan badan terasa lebih segar dan lebih bertenaga.
Ia mengakhiri latihannya dan membuka matanya: "Cuicui, hawa murniku telah mengalir tanpa rintangan, aku pikir lukaku telah sembuh!"
Wajah Cui-cui mulai berseri. betapa girangnya anak dara itu setelah mengetahui luka pemuda itu telah sembuh.
"Sebenarnya luka engkoh Pek tak seberapa berat dan takkan pingsan begini lama," ia menerangan. "Tapi Siaumoay sengaja memberikan sejenis obat mujarab Ci-tam-hoa (bunga Wijaya kusuma) kepadamu . ..."
"Apakah Ci-tam-hoa itu?" tanya Tian Pek,
"Ci-tam-hoa adalah sejenis obat mujarab yang tumbuh di puncak Hoa-san, bukan saja dapat menambah tenaga dalam dan menyembuhkan racun yang mengeram di tubuh seseorang, malahan bisa menambah umur membuat orang awet muda dan tahan lapar. Cuma obat ini pantang bagi mereka yang bertenaga dalam rendah, sebab daya kerja obat ini terlampau keras, bila orang biasa minum obat itu, maka isi perutnya akan terbakar dan mengering, darah kental akan meleleh dari ketujuh lubang inderanya dan kemudian orang itu akan mati dalam keadaan mengerikan ..." Setelah berhenti sebentar, gadis itu menyambung lebih jauh:
"Kebetulan Siaumoay memiliki setangkai Ci-tam-hoa yang selalu kubawa tak tersangka engkoh Pek sendiri menderita luka yang cukup parah, setelah Siaumoay berhasil pukul mundur Hay-gwa-sam-sat dan menolong engkoh Pek kemari, kugunakan Ci-tam-hoa ini untuk menolong kau.
Kutahu engkoh Pek memiliki dasar tenaga dalam yang kuat, sekalipun obat ini panas hawanya, namun engkoh Pek pasti sanggup tahan."
Sungguh haru dan berterima kasih perasaan Tian Pek setelah mendengar keterangan ini, serunya: "Cui-cui, kau sangat baik kepadaku . . .entah cara bagaimana harus kubalas budi kebaikanmu ini."
Cui-cui tersenyum, ia terhibur mendengar kata2 tersebut, rupanya iapun tahu pemuda itu terharu oleh perbuatannya.
"Engkoh Pek!" katanya kemudian, "aku tidak mengharapkan apa2 darimu, aku cuma berharap agar engkoh Pek tak akan melupakan diriku, kuharap engkoh Pek akan selalu mengingat diriku sepanjang masa. . . ."
Sesudah hening sesaat, ia melanjutkan: "Setelah kuberikan obat Ci-tam-hoa kepadamu, tiba2 sekujur badanmu merah membara, suhu badanmu meningkat dan panasnya melebihi bara, aku jadi panik, lima-enam hari lewat dengan begitu saja, sementara panas badanmu tak menurun dan kau tetap berada dalam keadaan tak sadar.
waktu itu aku benar2 panik sekali . , . Ai, kutakut salah memberikan obat kepadamu sehingga mengakibatkan hal yang lebih fatal, apa boleh buat, dalam keadaan demikian aku hanya bisa memberikan sari hawa dinginku. . . ."
Sekalipun Cui-cui adalah seorang gadis polos masih bersifat ke-kanak2an, malahan di-hari2 biasa tak pernah merasa malu, namun berbicara sampai di sini, tak urung merah juga pipinya.
Tian Pek bukan orang bodoh, ia dapat meraba maksud perkataan itu, apalagi dia adalah seorang gadis yang pengorbanannya ini sungguh sangat besar artinya, kalau bukan cinta yang suci, tidak nanti ia bertindak begitu.
Dengan pandangan yang mesra ditatapnya wajah Cui-cui tanpa berkedip, ia genggam tangannya yang putih lembut, lalu bisiknya: "Adik Cui, adikku sayang, engkau terlalu baik kepadaku engkau terlalu baik kepadaku . ..."
Pancaran sinar kemesraan dari mata Tian Pek disambut dengan penuh kebahagian dalam hati Cui- cui, ia merasa susah-payahnya selama dua bulan lebih sebagai "ayam betina yang mengeram telur" akhirnya mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Dengan malu2 dan muka merah ia tunduk rendah2, lalu ia menyusup kedalam pelukan Tian Pek sambil berbisik:
"Engkoh Pek, tentunya kau sudah mengerti bukan mengapa aku bertelanjang bulat dihadapanmu" Selama dua bulan ini tiga jam setiap hari aku mesti telanjang bulat dan. . .dan berbaring di atas tubuhmu. Tadi baru saja kulakukan cara penyembuhan Toa-in-lian-siang (menyembuhkan luka dengan sari perempuan) bagimu, karena berkeringat maka aku membersihkan badan dalam telaga, tahu2 engkoh Pek telah sadar. O, engkoh Pek, tahukah kau bahwa aku telanjang bulat justeru lantaran kau . . . . " Aku berkorban demi menyembuhkan lukamu. . .?"
Betapa terharu dan terima kasihnya Tian Pek sukar dilukiskan, dalam keadaan seperti ini, ia tak bisa berbuat apa2 kecuali merangkul Cui-cui dengan penuh kemesraan dan kehangatan ....
Cui-cui terbuai dalam kehangatan cinta, ia balas memeluk erat2 serta menyandarkan kepalanya didada Tian Pek yang bidang ....
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Tian Pek terhentak bangun dari lamunan ia mendorong tubuh Cuicui dan berbisik: Cui-cui, tadi kau berjanji mau menunjukkan suatu benda bagus kepadaku. Benda apakah itu" Sekarang perlihatkan padaku!"
"Oya, kalau engkoh Pek tidak mengingatkan hampir saja aku lupa. Nih" Lihatlah, benda inilah yang hendak kuperlihatkan padamu."
Sambil berkata ia lantas mengeluarkan sejilid kitab yang berwarna-warni.
Hampir saja Tian Pek tertawa geli, katanya: "Ah, kau ini ada2 saja, itu kan kitabku yang bernama Soh-kut
Dewi Ular 5 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 17
^