Hikmah Pedang Hijau 7

Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Bagian 7


n dirinya-Terdengar seorang berkata dengan suara lantang:
"Sepintas lalu, anak muda itu tidak nampak sesuatu keistimewaannya, tak nyana ilmu silatnya lumayan juga, sampai2 Kun-kang-liong Liang Peng tak tahan suatu pukulannya!"
"Benar! Ilmu silatnya memang luar biasa" sambung yang lain, "dan lagi gaya silatnya beraneka ragam, entah bagaimana cara melatihnya" Padahal usianya masih sangat muda."
Terasa bangga juga Tian Pek mendengar orang sedang memuji dirinya. Tapi segera terdengar pula seorang berseru dengan suara lantang: "Kalian tak perlu mengibul dan me-muji2 kehebatannya, bukankah dia juga tidak mampu menahan sekali pukul Tiat-ih-hui-peng (rajawali sakti bersayap baja) Pa-jiya . . . ."
Sementara itu Tian Pek sudah melangkah masuk ke dalam ruang perjamuan, puluhan pasang mata orang segera teralih ke arahnya.
Semua orang terbeliak dan merasa pangling, sebab ketika datang pemuda itu berambut kusut dan muka kotor, tapi sekarang pemuda ini menjadi begitu gagah dan tampan sekali, sungguh seorang pemuda tampan yang jarang ada bandingannya.
Sekalipun dia masih mengenakan mantel hitam yang rombeng, namun tidak mengurangi kegantengan dan kegagahan anak muda ini.
Pembicaraan para jago segera terputus oleh kegagahan Tian Pek yang mempesona ini, semua terbungkam dan terbelalak lebar mengawasi Tian Pek.
Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong pun mengawasi anak muda itu dengan kesima, terpancar sinar aneh dari sorot matanya.
Dalam pada itu Siang-lin Kongcu telah berbangkit menyambut kedatangan tamunya, setelah persilakan tamunya duduk, lalu iapun memperkenalkan tamu lain yang hadir.
Meja perjamuan diatur dengan model tapal kuda, kawanan jago yang ikut hadir dalam perjamuan berjumlah belasan orang banyaknya, semuanya bersinar mata tajam dan bersikap kereng, jelas terdiri dari tokoh2 piliban.
Terdengar Siang-lin Kongcu memperkenalkan satu persatu sambil menunjuk orangnya: "Saudara ini adalah Tiat-pi-to-liong (Naga bungkuk berpunggung baja) Kongsun Coh, Kongsun-cinnpwe!"
Kakek itu berbadan bungkuk, bermata tajam dan berkening tinggi, jelas seorang jago silat kelas tinggi. Cepat Tian Pek memberi hormat.
"O, Kongsun-ciapwe, sudah lama kukagumi nama anda!" ucapnya.
"Hahaha. engkoh cilik tak perlu sungkan2!" sahut Tiat-pi-to-liong sambil bergelak tertawa, suara- nya nyaring membuat seluruh ruangan se-olah2 ber- getar keras.
"Dan yang ini adalah Tiat-ih-hui-peng (rajawali sakti bersayap baja) Pa Thian-ho, Pa-cianpwe!" ketika memperkenalkan jago tua ini, Siang-lim Kong?cu sengaja memperberat nada suaranya.
Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan lagi:
"Hahaha, tadi Tian-heng sudah berjumpa dengan Pa-locianpwe bukan" Itulah yang dinamakan tidak berkelahi tidak saling mengenal, semoga selanjutnya kalian berdua dapat bergaul lebih akrab!"
Merah padam wajah Tian Pek setelah mendengar perkataan itu, ia merasa gusar karena perkataan tersebut dirasakannya sebagai suatu penghinaan, suatu cemoohan, tapi anak muda ini berusaha untuk menahan diri, mengendalikan emosinya agar jangan sampai meledak.
"Wahai Tian Pek! Hanya seorang tukang pukul saja engkau tak mampu mengatasinya, bagaimana mungkin kau mampu menuntut balas terhadap majikannya . . ?"
demikian di dalam hati ia mengomeli dirinya sendiri.
Karena pergolakan emosinya Tian Pek sama sekali tidak memperhatikan lagi orang yang diperkenalkan Siang-lin Kongcu kepadanya, sekalipun jago2 itu semuanya jago kelas satu dan terkenal di dunia persilatan.
Untuk sesaat anak muda itu jadi lupa daratan, dia hanya berdiri termangu dengan darah bergolak dalam rongga dadanya, sopan santun dalam pesta perkenalanpun terlupakan olehnya.
Tiba2 terdengar orang mendengus di sisi sana. suaranya tidak keras, namun nadanya dingin mengejek.
Menyusul seorang lantas berseru dengan ketus: "Huh!
Bukan saja tidak punya kepandaian sejati, juga tak tahu
sopan santun dunia persilatan, begitu saja berani menduduki kursi utama. Hmm! Benar2 manusia tak tahu diri!"
Meja perjamuan ini berbentuk tapal kuda, Siang-lin Kongcu duduk pada kursi utama persis di tengah2 yang melengkung itu, Kim Cay-hong duduk di sebelah kursinya dan kursi kosong di sebelah kanan disediakan bagi Tian Pek, sementara tokoh2 lain duduk pada kursi samping kanan-kiri, dari sini dapat diketahui bahwa kedudukan yang disediakan bagi Tian Pek itu lebih terhormat Biasanya kawanan jago silat yang diundang keluarga Kim selalu ditempatkan pada kedudukan yang utama oleh Siang-lin Kongcu sebagai tanda bahwa ia sangat menghormati tamunya ini.
Akan tetapi jago silat kawakan yang sudah
berpengalaman biasanya menolak kalau dipersilakan duduk pada kursi utama, sebaliknya selalu mohon diberi kursi baru pada urutan yang terakhir, hal ini melambangkan dia menaruh hormat kepada rekan-rekan lainnya yang masuk lebih dulu.
Tian Pek masih muda dan sama sekali tidak paham tata adat tersebut, begitu masuk dia terus digandeng Kim-kongcu don diajak menempati kursi kehormatan utama itu, menyusul lantas diperkenalkan kepada tokoh2 lainnya dan yang terakhir membuat anak muda itu jadi kikuk ketika diperkenalkan kepada Pa Thian-ho sehingga lupa pada adat yang sepele itu.
Sebenarnya Tian Pek tidak perlu malu lantaran dikalahkan Tiat-ih-hui-peng, jago persilatan manapun takkan memandang rendah kekalahannya itu. sebab bagaimanapun juga dalam pandangan kawanan jago itu
Tian Pek tak lebih hanya seorang muda yang baru muncul di dunia persilatan.
Sebaliknya Tiat-ih-hui-peng Pa Thian-ho adalah tokoh persilatan yang sudah puluhan tahun merajai dunia Kangouw, dia memiliki Kungfu yang luar biasa, terutama baju pusaka Thiat-ih-po-ih yang dipakainya bila dikembangkan bisa melayang terbang diangkasa bagaikan burung, ini merupakan senjata penyergap musuh yang sukar dilawan.
Kebanyakan orang sudah merasa kagum atas kehebatan Tian Pek ketika ia sanggup menerima pukulan Pa Thian-ho tanpa terluka ditepi sungai Yan-cu-ki, jadi sebenarnya tiada orang yang berani mentertawakan dia.
Sayang Tian Pek tak dapat berpikir sampai kesitu, dia anggap kejadian itu sangat memalukan, diam2 ia sangat mendongkol.
Ketika mendengar suara jengekan tadi, barulah Tian Pek tersadar dari rasa malu dan dongkolnya. Cepat ia berpaling, kiranya orang yang menyindir dirinya itu tak lain adalah seorang pemuda tampan berbaju hitam.
Usia pemuda tampan ini baru dua puluhan, mukanya putih bersih, alis panjang dan bibir merah, matapun jeli.
Bukan saja wajahnya tampan, ilmu silatnya pasti juga lihay, ini terbukti dari posisi duduknya diantara jago2 lainnya.
Kiranya pemuda baju hitam ini adalah murid
kesayangan Cing-hu-cin Kim Kiu, namanya Beng Ji-peng, sejak kecil hingga dewasa ia berdiam di-tengah2 keluarga Kim dan amat disayang Oleh Kim Kiu melebihi rasa sayangnya terhadap putera sendiri, yaitu Kim Lin. oleh karena itu segenap ilmu silatnya telah diajarkan kepadanya.
Tidaklah heran kalau ilmu silatnya amat lihay kendatipun usianya masih sangat muda, terutama dalam hal senjata rahasia Cing-hu-kim-ci-piau, senjata rahasia mata uang yang paling diandalkan Cing-hu-lin, boleh dibilang sudah dikuasainya dengan sempurna.
Kecuali dalam hal Lwekang saja masih belum sempurna, Beng Ji-peng sudah merupakan jago muda yang disegani, untuk itu orang persilatan telah memberi julukan Giok-bin-siau-cing-hu (kecapung hijau kecil bermuka kemala) kepadanya!
Usia Giok-bin-siau-cing-hu ini hampir sebaya dengan kakak beradik Kim Lin atau Kim Cay-hoan dan Kim Cayhong, dengan Siang-lin Kongcu ia lebih kecil dua tahun dan setahun lebih tua daripada Cay-hong.
Sejak kecil mereka hidup bersama hingga dewasa, hubungnn mereka seperti saudara sekandung.
Setelah usia mereka meningkat dan sudah mengerti urusan kehidupan manusia, diam2 Beng Ji-peng menaruh hati terhadap Kim Cay-hong dan menganggap Kim Cayhong sebagai kekasihnya.
Kim Cay-hong juga bersikap baik padanya, se-hari2 dia biasa memanggil engkoh Peng padanya tapi Giok-bin-siau-cing-hu tidak puas sampai disitu saja, sebab ia merasa kebaikan anak dara itu hanya terbatas pada hubuugan persaudaraan belaka, ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya, yaitu kasih mesra orang muda.
Sebagai puteri kesayangan Cing-hu-sin, sejak kecil Kim Cay-hong sudah terbiasa dimanja, apa yang diinginkan anak dara itu tak pernah dialangi oleh siapapun, apalagi sikapnya suka bergaul dan berteman dengan siapapun, terutama terhadap kaum mudanya, semua ini seringkali menimbulkan rasa cemburu bagi Giok-bin-siau-cing-hu.
Hari ini kehadiran Tian Pek ternyata sangat menarik perhatian si nona, sekalipun Kim Cay-hong tak pernah bicara dengan anak muda itu, akan tetapi sinar matanya selalu memandang tak berkedip terhadap Tian Pek, bahkan sinar matanya jauh berbeda daripada biasanya, hal ini menyebabkan Giok-bin-siau-cing-hu tambah kuatir.
Semenjak dalam perjalanan pulang dan setelah berada di rumah, Giok-bin-siau-cing-hu mengawasi terus tingkah-laku gadis itu, diam2 ia merasakan firasat yang tidak enak, sikap istimewa yang ditunjukkan Kim Cay-hong lain daripada yang lain, ia jadi kuatir kalau gadis pujaannya sampai direbut oleh anak muda yang linglung itu.
Apalagi didengarnya orang sama memuji kehebatan Tian Pek, dia lantas nyelutuk dengan rasa tak senang: "Huh, bagaimanapun dia kan tak mampu menahan pukulan Pa-jiya!?"
Dan kini, dilihatnya Tian Pek sama sekali tidak menolak sebagai lazimnya jago2 silat lain bila dipersilakan duduk di kursi utama, dia lantas manfaatkan kesempatan itu untuk ber-olok2 pula, tujuannya ingin membikin malu pemuda itu, di samping itu iapun hendak menggunakan kesempatan ini untuk menantang Tian Pek untuk berduel, ia yakin dengan sebilah pedang dan sekantong Cing-hu-kim-ci-piau pasti dapat mengusir atau membinasakan Tian Pek, menghilangkan duri didalam daging ini.
Tian Pek sendiri sejak mula sudah mendongkol dan ditahannya sebisanya, sekarang di-olok2 pula, seketika meledaklah emosinya.
Segera ia menjura kepada para hadirin, kemudian berkata: "Bukan kehendakku sendiri datang kesini, jika kedatanganku tidak diterima saudara sekalian dengan baik.
maka biarlah kumohon diri sekarang juga!"
Sambil berbangkit dari tempat duduknya, ia siap meninggalkan ruang perjamuan.
Cepat Siang-lin Kongcu maju menghanginya, katanya sambil tersenyum: "Ah, Tian-heng, harap jangan berpikir demikian, masa kami tak suka akan kedatanganmu" Coba lihatlah, perjamuan sudah disiapkan, bagaimanapun juga harap engkau suka minum barang tiga cawan arak lebih dulu, dengan demikian sekadar terpenuhilah kewajibanku sebagai tuan rumah."
Diam2 Tian Pek menghela napas, pikirnya: "Orang persilatan sama mengatakan bahwa Siang-lin Kongcu paling simpatik dalam memupuk persahabatan, ucapan ini memang sedikitpun tak salah, dilihat dari kehalusan budinya serta keramah tamahannya memang semua itu muncul dari lubuk hatinya yang bersih, dia tak mungkin adalah seorang licik yang suka menjebak orang."
Dalam hati berpikir demikian, diluar segera jawabnya:
"Maksud baik Kim-heng kuterima didalam hati saja! Bicara sesungguhnya, aku memang masih ada urusan penting yang harus dikerjakan, biarlah lain hari saja aku akan berkunjung pula ke sini."
Selesai berkata dia lantas berbangkit dan melangkah keluar ruangan.
Bahwasanya keluarga Kim berani memakai nama
"Keluarga nomor satu di Kanglam", sudah tentu caranya menjamu tamu memang lain daripada yang lain, baik hidangannya maupun araknya, semuanya kelas satu dan pilihan.
Tapi biarpun perut Tiak Pek sangat lapar, seleranya sekarang sudah lenyap dan tetap erkeras hendak pergi.
Mendadak Beng Ji-peng berdiri dan menjengek: "Hm, mau pergi boleh pergi, uutuk apa berlagak disini, memangnya keluarga Kim kekurangan tamu agung semacam kau"!"
"Suheng! Apa-apaan kau ini" Koko berusaha menahan tamu, sebaliknya kau malah mengusir tamu," tegur Kim Cay-hong dengan kurang senang-Siang-lin Kongcu pun melotot sekejap ke arah Beng Ji-peng. lalu dengan sungguh2 ia menarik tangan Tian Pek seraya berkata: "Tian-heng, harap engkau jangan gusar atau tersinggung. Suteku ini memang berangasan tabiatnya, atas kelancangan dan kekasarannya harap engkau sudi memberi maaf, Silakan duduk Tian-heng, sekalipun engkau masih ada urusan penting rasanya tak ada salahnya kalau minum secawan dua cawan arak lebih dahulu, masa cuma permintaanku yang kecilpun tidak kau kabulkan" Itu namanya Tian-heng memandang rendah Siang-lin!"
Tapi sekali Tian Pek menyatakan mau pergi, sukar lagi ditahan, meski beberapa tokoh angkatan tua ikut menahannya, namun dia tetap tidak mau.
"Hei, orang muda jangan maju mundur tak menentu, ambillah keputusan yang tegas!" seru Tiat-pi-to liong tiba2, dia terkenal setan arak, maka ia menjadi tidak sabar dan ingin lekas makan minum. "Memangnya kau kuatir arak ini beracun" Maka kau tak berani meminumnya?"
Manjur sekali perkataan ini, panas hati Tian Pek, cepat ia menjawab: "Baik, karena ucapan Kongsun-cianpwe ini.
mau-tak-mau aku Tian Pek harus minum tiga cawan dan tak akan lebih, setelah itu aku akan segera angkat kaki dan sini, akan kubuktikan Tian Pek bukan pemuda yang bernyali tikus dan takut mati!"
Habis berkata dia lantas mengangkat cawan araknya dan kepada hadirin dia berseru: "Cianpwe sekalian, marilah minum secawan sebagai tanda hormatku kepada para Cianpwe!"
Sekali tenggak dia mendahului menghabiskan isi cawan tersebut.
"Eh, masa kau juga anggap aku sebagai Cianpwe?" goda Kim Cay-hong sambil tertawa cekikikan, iapun menghabiskan secawan arak.
Begitu arak masuk perut, seketika Tian Pek merasa perutnya panas seperti dibakar, se-olah2 ada cairan baja mendidih dituang ke dalam perutnya, ia pikir jangan2 di dalam arak benar2 ada racunnya.
Tapi segera terpikir pula hal ini tak mungkin terjadi, sedangkan Siang-lin Kongcu belum mengetahui asal-usulnya yang sebenarnya, tiada alasan baginya untuk mencelakainya, selain itu sebagai salah satu di antara Bulim-su-kongcu tidaklah mungkin ia melakukan perbuatan serendah itu dihadapan tokoh persilatan sebanyak ini.
Karena pikiran ini, nmaka ditengah seruan para hadirin yang sedang menghabiskan isi cawan masing2 segera ia angkat cawan kedua sambil berseru pula: "Aku Tian Pek terlalu muda dan kurang pengetahuan, jika tadi aku salah bicara atau salah bertindak, maka cawan yang kedua ini anggaplah sebagai penghormatanku bagi kawan2 persilatan yang seangkatan."
"Nah, beginilah seharusnya!" Kim Cay-hong menanggapi pula sambil tertawa manis, alangkah menggiurkan kerlingan matanya yang menggetar kalbu.
Tian Pek pura2 tidak tahu, sekali tenggak dia menghabiskan pula isi cawan yang kedua itu.
Giok-bin-siau-cing-hu Beng Ji-peng makin panas hatinya, sungguh ia ingin merogoh kantong senjata rahasia dan menghajar saingan cintanya itu hingga mampus.
Tian Pek tidak menyangka bahwa senyum dan kerlingan Kim Cay-hong itu telah mendatangkan kesulitan baginya.
Tatkala isi cawan kedua masuk perutnya, Tian Pek makin terperanjat, ia merasa isi perut seperti dibakar, semacam hawa panas terus mengalir dari perut menuju kebagian bawah dan menimbulkan rangsangan napsu berahi . ..
Tian Pek yakin Siang-lin Kongcu tak nanti mengerjainya di depan orang banyak, maka iapun tidak memikirkan munculnya hawa panas itu, malahan dia mengira gejala itu timbul lantaran dia minum arak dalam keadaan perut kosong.
Tapi Kim Cay-hong yang teliti telah melihat gelagat yang tidak beres itu. Sebagai tuan rumah, dia tahu sampai dimana kadar alkohol yang terkandung dalam arak Li-ji-hong yang disuguhkan itu" jangankan seorang pemuda gagah seperti Tian Pek, sekalipun anak dara yang tak biasa minum arakpun dua tiga cawan takkan mendatangkan pengaruh apa2 baginya.
Tapi sekarang, kenyataan membuktikan lain, baru dua cawan arak ditenggak Tian Pek, mukanya berubah menjadi merah membara, bahkan matanya memancarkan cahaya yang aneh, tubuhnya juga sempoyongan, memangnya apa gerangan yang terjadi"
Baru saja gadis itu bersuara heran dan belum sempat menanyakan sebab musababnya, Tian Pek telah angkat cawannya dan minum habis isi cawan yang ketiga kalinya itu.
"Arak bagus, arak enak ...,.!" seru anak muda itu. Ia merasa sekujur badan semakin panas bagaikan dibakar,
begitu tinggi suhu badannya hingga dia setengah tak sadar, diam2 ia merasakan gelagat tidak baik, mendadak perutnya terasa sakit keras, segera ia tahu telah dikerjai orang.
Ia tak menyangka Siang-lin Kongcu yang berkedudukan begitu terhormat di dunia persilatan ternyata sudi melakukan tindakan yang begini rendah dan kotor.
Terbayang bilamana ia terjatuh ke tangan musuh, akibatnya pasti sukar terbayangkan, dia mati tak menjadi soal, tapi keturunan keluarga Tian akan ikut musnah dan dendam kesumat kematian ayahnya pun tak bisa terbalas lagi.
Dengan marah dan kecewa dia lantas berseru: "Arak bagus ... arak keluarga Kim yang sangat bagus . . . cukup tiga cawan ....hahaha . . .tiga cawan mampu merantas usus.
. . ." Berbicara sampai disini, ia sempoyongun lalu roboh tak sadarkan diri . ..,
o"0O0"o o"0O0"o
Entah selang berapa lama, ketika ia menemukan dirinya berbaring disebuah tempat tidur yang sangat indah. Baik seprai, selimut, maupun kelambu semuanya terbuat dari bahan yang mahal, sekalipun kalah tenangnya jika dibandingkan dengan kamar tidur Leng-hong Kongcu dari keluarga Buyung namun dalam hal kemewahan boleh dibilang jauh melebihinya.
Setelah sadar dari pingsannya, Tian Pek merasakan tenggorokannya kering dan haus sekali, perutnya tetap serasa dibakar. ia mengeluh pelahan: "Oh air. . .air . . ."
Seorang anak laki2 yang cakap dan seorang anak perempuan yang cantik berdiri di depan pembaringan, mereka tak lain adalah Beng-beng dan Lan-lan, melihat
Tian Pek sudah sadar dari pingsannya, dengan wajah berseri cepat mereka lari keluar seraya berteriak: "Bibi. .
.bibi, dia sudah sadar kembali!"
Suara merdu mengiakan, seorang nona cantik lantas masuk ke ruangan itu, dia bukan lain adalah Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong.
Hari ini dia cuma mengenakan baju sutera yang tipis dengan rambut digelung di atas kepala, ia tidak memakai perhiasan apa2, mukanya juga tidak memakai bedak, walaupun begitu sedikitpun tidak mengurangi kecantikannya.
Setiba didalam ruangan, ia menghampiri sisi pembaringan, dilihatnya Tian Pek betul sudah sadar kembali, matanya yang jeli memancarkan sinar berkilau, lesung pipitnya kelihatan nyata dan sekulum senyum menghiasi bibirnya.
Tian Pek adalah pemuda jujur dan polos, jarang ia tertarik oleh kecantikan dara ayu seperti apapun, tapi sekarang tak urung jantungnya berdebar keras.
"Tian siauhiap!" terdengar Kim Cay-hong menegur sambil tertawa, suaranya merdu bagaikan kicauan burung,
"kau sudah sadar".' Siau-hong! Cepat ambilkan air teh?"
Waktu itu Tian Pek memang merasa haus sekali, belum sempat ia mengucapkan sesuatu, agaknya Kim Cay-hong telah mengetahui apa yang diharapkan anak muda itu, maka diperintahnya orang mengambilkan air teh.
Tirai lantas tersingkap dan seorang dayang berbaju putih muncul sambil membawa secangkir air teh.
Sekilas pandang Tian Pek kenal dayang itu sebagai dayang yang mau jemput kitab Soh-kut-siau-bun-pit-kip
yang terjatuh dan kemudian terdorong masuk kedalam bak mandi itu.
Tapi ia tidak berpikir lagi, segera ia menghabiskan isi cangkir itu, tapi rasanya masih haus, dengan lidahnya ia menjilat sekitar bibirnya yang kering.
Tertawa geli Kim Cay-hong menyaksikan tingkah laku anak muda itu, katanya: "Tentu kau sangat haus."
Dia berkata pula kepada dayang baju putih: "Siau-hong, ambilkan secangkir lagi!"
Bukan saja cantik wajahnya, gadis ini juga cerdik, apa yang dipikirkan orang lain sebelum diutarakan ia telah dapat menebaknya.
Tapi sebelum Siau-hong melangkah keluar, Beng-beng dan Lan-lan telah muncul dari luar dengan membawa sebuah teko porselen yang indah sambil berseru: "Ini air tehnya sudah datang. . .air
tehnya sudah datang!"
Cepat Siau-hong maju menyambut teko itu, omelnya:
"Ai, jalan pelan2, kalau tekonya yang pecah tidak menjadi soal, bila kaki kalian tersiram air panas, bisa susah!"
"Enci Hong, jangan menghina orang!" sahut Beng-beng dengan penasaran, "Sekalipun tekonya kulemparkan kepadamu juga airnya takkan tumpah keluar?"
Teko itu benar2 terus dilemparkan ke depan, keruan Siau-hong menjerit kaget, jika sambitan senjata rahasia dia dapat menghindar, tapi teko ini adalah benda hadiah Sri Baginda, kalau pecah, tentu akan didamperat majikan tua.
Untung Kim Cay-hong bertindak cepat, ketika diiihatnya Siau-hong kelabakan, dengan tersenyum omelnya: "Beng-beng" Kau memang nakal sekali!"
Tangannva segera diayun ke depan, teko yang sedang meluncur itu tiba2 tertolak ke atas oleh angin pukulannya, ketika teko itu meluncur kembali ke bawah, dengan sigap Siau-hong menyambar pegangan teko tadi.
Air panas dalam teko memang tak sampai berhamburan, meski demikian Siau-hong sudah dibuat terperanjat hingga berkeringat dingin.
Tian Pek berbaring di pembaringan dan dapat mengikuti semua kejadian itu dengan jelas, diam2 ia menyesal, kalau seorang gadis dan anak kecil juga memiliki ilmu silat selihay itu, apa lagi bapaknya"
Siau-hong lantas tuang air teh ke cangkir dengan tangan masih terasa lemas dan agak gemetar. Pada saat itulah tirai tersingkap dan empat dayang cilik baju hijau melangkah masuk.
Salah seorang di antaranya segera berlutut di depan Kim Cay-hong sambil berkata: "Lapor Sio-cia, Kongcu telah tiba!"
"Cepat amat beritanya!" omel si nona.
Baru selesai perkataannya, Siang-lin tCongcu telah melangkah masuk diiringi Tiat-pi-to-hong serta Tiat-ih-huipeng.
"Tian-heng, engkau telah sadar?" sapa Siang?lin Kongcu sambil mendekati pembaringan, sikapnya sangat simpatik.
Tapi Tian Pek tidak menggubris, malahan ia melengos ke arah lain.
Siang-lin Kongcu tidak memusingkan sikap angkuh Tian Pek itu, malahan dengan suara yang hangat ia berkata lagi:
"Ketahuilah Tian-heng, engkau telah salah merendam dirimu dengan air dingin Han-Cwan-sui, hawa yang dingin
menyumbat jalan darahmu, kemudian engkau minum tiga cawan arak, peredaran darahmu makin bergolak hingga akhirnya jatuh pingsan, tapi kejadian ini tidak terlalu menguatirkan, sekalipun badanmu untuk sementara menjadi lemas, untung saja kami punya obat penawar yang mujarab, tak sampai tiga hari engkau akan pulih kembali seperti sediakala . . . ."
Siang-lin Kongcu hendak melanjutkan lagi, tapi dengan nada dingin Tian Pek menyela: "Hm, masa begitu kebetulan!"
" Dingin sekali ucapan anak muda itu, nadanya amat tajam dan menusuk perasaan, melengak juga
Siang-lin Kongcu yang terkenal ramah tamah dan sabar.
Tapi segera ia tahu pikiran orang, katanya pula dengan tertawa: "Bisa kumaklumi kalau Tian-heng bercuriga, apalagi setelah Tiat-pi-to-liong bergurau, tentulah Tian-heng menganggap kami benar2 telah mencampuri arak itu dengan racun, jangankan Tian-heng, bahkan aku sendiripun bingung oleh kejadian ini, kemudian barulah kudengar laporan Siau-hong yang mengatakan Tian-heng tidak biasa dimandikan orang dan buka sendiri kran air di dalam kamar mandi itu, maka aku lantas menduga Tian-heng telah salah membuka kran, air hangat yang seharusnya dipakai telah salah memakai air dingin."
Selesai berkata, Siang-lin Kongcu tertawa ter-bahak2, berulang kali dia minta maaf pula.
Tiat-pi-to-liong ikut ter-bahak2, katanya: "Ha-haha, dengan peristiwa ini, kamipun dapat menyaksikan sampai dimana keberanian engkoh cilik, sungguh perbuatan yang mengagumkan."
Kakek bungkuk ini termasuk jago persilatan terkemuka, gelak tertawanya yang nyaring menggetar seluruh ruangan, berulang kali dia acungkan jempolnya memuji kejantanan Tian Pek.
Tiat-ih-hui-peng juga ikut berkata: "Kukira lebih baik jangan kau pikir yang bukan2, ketahuilah Siang-lin Kongcu adalah ksatria muda yang berjiwa luhur. simpatiknya maupun keramah-tamahannya sudah tersohor di seantero jagat, sekalipun dia sakit hati padamu juga tak nanti meracuni kau, maka semua ini hanya terjadi secara kebetulan saja, bagaimanapun juga engkau harus mempercayainya!"
Perlu diketahui, Tiat-pi-to-liong serta Tiat-ih-hui-peng sama2 disebut Kim-hu-siang-tiat-wi (dua pengawal baja dari istana keluarga Kim), kedudukan mereka dalam keluarga Kim sangat tinggi, nama besar mereka di dunia persilatanpun sangat terhormat, dengan derajat mereka itu tentu saja mereka takkan bicara bohong.
Sekalipun demikian Tian Pek yang keras kepala tetap tidak percaya.
"Memang aku Tian Pek tak biasa dilayani orang,"
demikian katanya, "tapi air dalam bak mandi itu bukan aku sendiri yang mengisinya, tentu saja aku mempercayai apa yang diucapkan Cianpwe berdua, selain itu akupun percaya bahwa Kim-kongcu adalah seorang laki2 sejati yang tak suka mencelakai orang dengan cara yang licik, setelah aku pikirkan kembali, kurasa kejadian ini mungkin hanya kebetulan saja, bisa jadi aku masuk angin dan tiba2 pingsan, atau mungkin aku tak kuat minum arak sehingga baru tiga cawan sudah mabuk?"
Perkataan Tian Pek itu tidak menuduh siapaa, tapi setiap orang dapat menangkap maksud ucapannya itu.
Siang-lin Kongcu termasuk tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi, sudah tentu ia tak tahan mendengar sindiran Tian Pek yang tajam itu. Jangankan Siang-lin Kongcu, Kim Cay-hong juga melengak setelah mendengar perkataan itu, lebih2 kedua kakek "pengawal baja" itu, mereka menjadi gusar dan segera hendak bertindak.
Tapi Siang-lin Kongcu tetap tenang2 saja, dia tidak marah oleh sindiran Tian Pek. ia lantas berpaling dan berkata kepada Siau-hong, si dayang berbaju putih, katanya dengan dingin: '"Membohongi majikan, melayani tamu dengan angkuh, tahukah berapa besar kesalahan yang kau lakukan" Hm, perbuatan semacam itu tak dapat diampuni, apakah perlu kukatakan pula?"
Berubah hebat air muka Siau-hong demi mendengar perkataan itu, dia tertegun sejenak lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun dia mengundurkan diri dan ruangan itu.
"Blang!" dari luar segera terdengar suara benturan keras, lalu suara benda berat terjatuh, kemudian suasanapun hening kembali.
Dari suara tersebut Tian Pek dapat menduga apa yang telah terjadi, betapa terperanjatnya anak muda itu, ia berpikir. "Masa beberapa patah kata Siang-lin Kongcu tadi sudah cukup membuat dayang itu membuuuh diri" Ah, tak kusangka begini keras peraturan rumah tangga keluarga Kim ..."
Bagi pandangan Tian Pek, peristiwa itu dianggapnya sebagai suatu kejadian yang amat menggetarkan hati, tapi bagi anggota keluarga Kim kejadian itu sama sekali bukan apa2, se-akan2 tak pernah terjadi sesuatu, malahan air muka beberapa orang itu tetap tenang.
Sesaat kemudian, Siang-lin Kongcu berdiri dan berkata:
"Beristirahatlah baik2, tiga hari lagi kutanggung Tian-heng akan sehat kembali seperti sediakala!"
Habis bicara tanpa berpaling lagi ia berlalu dari situ dengan membawa Kim-hu-siang-tiat-wi serta keempat dayang cilik itu.
Sementara itu Beng-beng dan Lan-lan entah sudah kemana perginya, mungkin bermain di luar-Dengan begitu, dalam ruangan hanya tinggal Kim Cayhong dan Tian Pek berdua saja.
Memandangi anak muda itu, dengan rawan Cay-hong berkata "Kutahu tindakan kakakku ini akan dianggap suatu penghormatan besar bagi orang lain, tapi bagi dirimu mungkin kebalikannya, tentunya kau merasa tidak senang dengan peristiwa itu?"
"Aku tak tahu apa yang kau masudkan, coba terangkan?"
sahut anak muda itu.
Ia sudah telanjur dendam pada keluarga Kim, setelah menyaksikan peristiwa tadi, ia tambah benci dan muak, sekalipun menghadapi Kanglam-te-it-bi-jin atau perempuan tercantik di Kanglam, sikapnya tetap ketus.
Kim Cay-hong tidak menghiraukan keketusan anak muda itu, dengan suara halus ia berkata: "Engkau harus mengerti, Siau-hong bukanlah seorang dayang biasa, dia adalah pembantu rumah tangga kami yang mempunyai kedudukan tinggi, tapi sekarang hanya disebabkan dia salah melayani tamunya, kakak telah menghadiahkan kematian baginya, andaikata kejadian ini berlangsung dihadapan jago persilatan yang lain, maka mereka pasti akan merasa terharu dan amat berterima kasih, mereka pasti akan
berbakti mati2an kepada keluarga kami. Sedang kau, kau sama sekali berbeda. . . ."
Kim Cay-hong hendak melanjutkan kata2nya, tapi Tian Pek lantas tertawa dingin dan memotong: "Aku tidak sekejam itu, memancing rasa terima kasih orang dengan korbankan jiwa orang lain. Jika menginginkan aku berbakti kepadanya dengan mengorbankan nyawa orang, hal ini malah menimbulkan rasa benciku."
"Itulah sebabnya kenapa kukatakan kau berbeda dengan orang lain!" seru Kim Cay-hong. "Cuma didalam peristiwa ini engkohku tiada maksud membeli simpatimu, dia bertindak demikian berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan."
"Hmm!" Tian Pek mendengus.
Kim Cay-hong adalah gadis yang cerdik, berhadapan dengan dia, tanpa bicarapun dia dapat membaca isi hati orang, dan cukup dengan pandangannya orangpun akan tahu apa yang dia harap agar dikerjakan.
Karenanya dengusan Tian Pek telah mengejutkan dia, ditatapnya anak muda itu dengan tercengang, kemudian ujarnya lagi: "Setelah kau pingsan sehabis minum arak hari itu, Siau-hong membohongi kakak bahwa kau sendiri yang mengisi Te-sim-han-cwan-sui di bak mandi itu, sekaiipun dia tinggi kedudukannya dalam keluarga kami. Dengan perbuatannya membohongi majikan menunjukkan dia tidak setia kepada majikan, dosa semacam itu tak dapat diampuni. Selain itu dengan bersungguh hati engkohku ingin mengikat tali persahabatan dengan kau, tapi Siau-hong mencelakakan tamunya, perbuatan seperti ini sama artinya tidak menghormati tamu majikannya. Oleh sebab itulah, setelah ditegur oleh engkohku, dia jadi malu, untuk menebus kesalahannya hanya ada satu jalan saja yang bisa
ditempuh, yakni bunuh diri dengan perbuatannya itu bukan saja ia telah menebus dosa bahkan telah menunjukkan pula keberanian yang bertanggung jawab, tindakannya ini mengagumkan dan bukan kesalahan kakakku, karenanya aku jadi heran melihat engkau begitu benci kepada engkohku, aku lantas berpikir bila tiada alasan lain, tak mungkin engkau bersikap demikian, benar tidak ucapanku ini?"
Memang lihay Kim Cay-hong menganalisa persoalan itu, diam2 Tian Pek merasa kagum sekali pada kecerdasannya.
Anak muda ini tidak berani bicara lebih jauh dengan gadis itu, dia kuatir jika pembicaraan dilanjutkan maka sebelum dia mengetahui latar belakang musuhnya, rahasia sendiri mungkin akan terbongkar lebih dahulu, kalau sampai terjadi begitu, niscaya rencananya untuk membalas dendam akan berantakan.
Maka setelah termenung sebentar, ia pun alihkan pokok pembicaraan ke soal lain: "Kalau memang air dingin Te-sim-han-cwan-cui itu beracun, kenapa kalian pasang di kamar mandi, jangan-jangan . . ."
Sebelum anak muda itu menyelesaikan kata2nya, Kim Cay-hong lantas menyela dengan tertawa: "Ah, kau ini ada2
saja! Bila kami mau mencelakai orang, apakah perlu kami pancing orang itu masuk ke kamar mandi" Ketahuilah, air itu khusus disediakan bagi ayahku untuk berlatih ilmu."
"Ayahmu?" seru Tian Pek dengan mata terbelalak, "masa ayahmu berada di rumah" Kenapa selama ini tak pernah kulihat ayahmu?"
"Ayahku tentu saja tinggal di rumah, cuma beliau kurang leluasa bergerak. maka jarang menemui tamu!" sahut Kim Cay-hong dengan heran.
"Lalu dia berdiam di mana?" tanya Tian Pek pula.
Kim Cay-hong tidak lantas menjawab, ditatapnya anak muda itu dengan heran, sahutnva kemudian: "O, Tian-siauhiap kenal dengan ayahku?"
Tian Pek tertawa pedih, ucapnya: "Nama besar Cing-husin Kim Kiu sudah termashur di seluruh jagat, siapakah yang tak kenal nama kebesarannya?"
"O, jadi kau cuma mendengar nama tapi tak pernah berjumpa?"
Tian Pek mengangguk tanda membenarkan.
"Memang benar!" ucap Kim Cay-hong pula, "sudah puluhan tahun ayahku tak pernah melakukan perjalanan keluar, usiamu masih muda, tak mungkin pernah bertemu dengan ayahku!"
"Kenapa begitu"''
Kim Cay-hong tidak menjawab, terpancar sinar matanya yang ragu dan heran, katanya kemudian: "Tian-siauhiap, tampaknya engkau menaruh perhatian khusus terhadap ayahku?"
Merah muka Tiau Pek, ia tahu pertanyaan sendiri terlalu menonjol dan telah menimbulkan curiga orang.
Cepat ia menggelengkan kepala dan menyahut: "Ah, aku cuma bertanya lantaran ingin tahu saja, coba bayangkan!
Ayahmu kan seorang tokoh yang ternama dan
berkedudukkan tinggi di dunia persilatan, kenapa puluhan tahun berdiam di rumah dan tak pernah berkecimpung di dalam dunia persilatan?"
Rasa curiga Kim Cay-hong lantas lenyap, terlihat rasa sedih menghiasi wajahnya yang cantik, ucapnya dengan muram: "Belasan tahun yang lalu ayahku mengidap suatu penyakit aneh, setelah sembuh dari sakitnya maka kedua
kakinya menjadi lumpuh dan tak bisa bergerak lagi. Oleh karena itu beliau jarang keluar rumah, selama ini dia hanya beristirahat di ruang Gi-cing-wan di belakang gedung sana!"
Sekarang Tian Pek baru tahu sebab musababnya mengapa tokoh lihay itu tidak kelihatan. Diam2 ia sudah punya pendirian, maka ia tidak bertanya lagi, Sejak itulah Tian Pek merawat lukanya di gedung keluarga Kim, setiap hari Kim Cay-hong berkunjung ke situ. Sementara Siang-lin Kongcu sendiri karena sibuk dengan tamunya, ia jarang menyambangi Tian Pek.
Dengan cepat 3 hari telah lalu, senja hari ketiga, sakit Tian Pek sudah sembuh, sebenarnya dia ingin pamit dan pergi, kebetulan Siang-lin Kongcu tak berada di rumah, Kim Cay-hong berusaha menahannya. tapi anak muda itu bersikeras akan pergi juga.
Dari sikap Kim Cay-hong yang berat melepaskan pemuda itu, dapatlah diketahui bahwa selama dua hari berkumpul, diam2 gadis yang mendapat julukan
"Perempuan paling cantik di seluruh wilayah Kanglam" ini telah jatuh cinta kepada Tian Pek-Sebaliknya anak muda itu sendiri sama sekali tidak menaruh perhatian apapun terhadap gadis
cantik yang menjadi pujaan kebanyakan orang itu, sikap Kim Cay-hong yang lembut dan perkataannya yang hangat sama sekali tidak menggerakkan perasaan Tian Pek, malahan memandangpun enggan.
Manusia memang makhluk yang aneh, semakin sukar mendapatkan sesuatu, semakin besar pula hasratnya untuk mendapatkannya. Semakin tawar sikap anak muda itu, semakin bergairah anak dara itu mendekatinya, rasa cintapun makin menebal.
"Engkau kan baru sembuh, kenapa ter-buru2 pergi dari sini?" tanya Kim Cay-hong sambil menatap wajah anak muda itu dengan pandangan lembut, "masa kau tak sudi tinggal beberapa hari lagi di rumahku?"
"Tidak mungkin!" jawab Tian Pek dengan tegas,
"sekarang juga aku harus pergi, aku masih ada urusan penting lainnya yang harus segera diselesaikan!"
"Mungkin rumahku tidak baik atau pelayanan kurang memuaskan hatimu. .." tanya si nona dengan sedih.
"Aku tak pernah berkata begitu!" tukas Tian Pek cepat,
"aku cuma tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini."
"Masa menginap semalam lagi kau pun tak mau. . . .?"
pinta Kim Cay-hong dengan air mata meleleh.
Melihat wajahnya yang sedih dan air mata yang berlinang sehingga mirip butiran embun di atas kelopak bunga, mau-tak-mau hati Tian Pek terguncang.
"Ai, hal ini , . .. .tak mungkin.. ." katanya dengan menyesal.
Tian Pek bukan pemuda yang bodoh, bukan pula pemuda yang tak berperasaan, iapun dapat meresapi kasih mesra yang diperlihatkan Kim Cay-hong kepadanya, tapi dendam yang terpendam dalam hatinya membuatnya tak dapat menerima cinta kasih si nona.
Maka dengan perasaan yang kusut ia panggul Pedang Hijau dan melangkah pergi tanpa berpaling lagi.
Anak muda itu menyadari akan posisinya saat ini, ia sadar bila tidak cepat2 pergi, bisa jadi dia tak tega lagi tinggalkan gedung keluarga Kim. Ia tahu bila dirinya tidak mampu menguasai perasaannya dan jatuh cinta pada puteri
musuh maka itu berarti untuk selamanya dia akan terikat dan tak dapat lagi menuntut balas.
Baru dua langkah Tian Pek berjalan, tiba2 Kim Cayhong menarik tangan pemuda itu sambil ber-seru dengan sedih: "Tunggulah sebentar lagi, dengarkan dulu sepatah kataku kepadamu ....!"
Belum sempat Tian Pek menjawab, mendadak terdengar bunyi ujung baju berkibar tersampuk angin, menyusul sesosok bayangan orang lantas menerobos masuk lewat jendela.
Orang ini tak lain adalah murid kesayangan Cing-hu-sin.
saudara seperguruan kedua Kim bersaudura yaitu Giok-bin-siau-cing-hu Beng Ji-peng adanya!
Waktu itu Beng Ji-peng mengenakan pakaian ringkas warna hitam pekat, mukanya yang tampan tampak pucat, dengan mata melotot ia membentak: "Sumoay, biarlan dia pergi dari sini!"
"Hm, siapa yang suruh kau campur urusanku" " sahut Kim Cay-hong dengan tak senang. "Lebih baik cepat kau enyah dari sini, tak perlu kau mencampuri urusanku."
Beng Ji-peng melengak, tak diduganya Sumoay yang sejak kecil dibesarkan bersama ini dapat bicara padanya sekasar ini.
Sikap Kim Cay-hong yang kasar ini semakin
mengobarkan rasa gusarnya, teriaknya dengan mendongkol:
"Saat ini Suko tidak di rumah. kalau bukan aku lantas siapa yang akan mengurusi kau" Akan membiarkan kau bikin malu keluarga Kim....?"
"Plok!" tempelengan telak bersarang di muka pemuda itu, dengan muka pucat karena menahan marahnya. Kim
Cay-hong berteriak: "Perbuatan apa yang memalukan"
Koko sendiripun tak berani memaki begitu padaku."
Beng Ji-peng tak menyangka Kim Cay-hong akan menamparnya, untuk sesaat ia berdiri tertegun, pipinya yang putih segera tertera lima jalur jari tangan yang barwarna merah.
Dengan muka pucat hijau ditatapnya beberapa kejap si nona, kemudian kepada Tian Pek ia berkata: "Anak busuk!
Kulau malam ini kau tidak tinggalkan gedung keluarga Kim, tuan muda akan suruh kau mampus tanpa terkubur."
Habis berkata ia lantas melayang keluar ruangan itu.
Tian Pek tertawa dingin. "Hehe, karena kau menantang, maka malam ini aku sengaja akan menginap lagi di sini, ingin kulihat apa yang bisa kau lakukan!"
Sayang Beng Ji-peng sudah pergi, ucapan tersebut tak terdengar oleh yang bersangkutan.
Kim Cay-hong yang berada di sisinya segera berseru:
"Tian-siauhiap jangan kuatir, selama aku berada di sini, tak nanti dia berani ganggu seujung rambutmu!"
"Aku tak ingin membonceng kekuasaan nona, aku percaya masih sanggup menghadapi dia."
Kim Cay-hong mengawasi anak muda itu sejenak, akhirnya dia menghela napas panjang dan menggeleng kepala, katanya kemudian: "Bukannya kupuji diri sendiri, setiap orang yang bertemu dengan aku, tak seorangpun yang tidak memuji kecantikanku, mereka berusaha menyanjung, menjilat agar aku tertarik dan ingin mempersunting diriku, tapi tak pernah kugubris mereka, aku tak pernah tertarik kepada mereka. Tapi sejak kujumpai Tian siauhiap, entah mengapa aku. .,.." Berbicara sampai disini tiba2 mukanya berubah jadi merah dan bungkam.
Sekalipun dia adalah seorang gadis persilatan yang lebih suka berbuat bebas dan berbicara terbuka, tapi bagaimanapun dia tetap seorang nona, dengan sendirinya ia malu meneruskan ucapannya,
Tian Pek mengakui kecantikan si nona memang tidak ada bandingannya, apalagi si nona sendiri jatuh cinta padanya, sayang gadis ini adalah puteri musuh besarnya, tak mungkin baginya untuk menerima cintanya, hal ini mungkin sudah suratan nasib.
Karena itu, untuk beberapa saat lamanya Tian Pek hanya berdiri termangu tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Selagi mereka sama2 berdiri termangu dan
membungkam, tiba2 terdengar gelak tertawa yang nyaring berkumandang di luar jendela, suara tertawa itu keras sekali hingga menggetar dinding ruangan.
Menyusul terdengar seorang berseru: "Keponakan yang baik, kudengar engkau telah membikin malu keluarga Kim, apakah lantaran bocah keparat itu."
Air muka Kim Cay-hong dan Tian Pek berubah seketika, serentak mereka melompat keluar.
Dengan muka pucat karena marah, Kim Cay-hong langsung memaki dengan suara melengking; "Beng Ji-peng, apa maksudmu menfitnah orang dengan kata2 yang kotor"
Hm, mulai hari ini kita putus hubungan, aku Kim Cay-hong tidak mengakui kau sebagai Suheng lagi!"
Tian Pek sendiripun tak kalah mendongkolnya, sambil tertawa iapun menyindir: "Hahaha, kukira kau masih ada ilmu simpanan, hingga berani omong besar seberti tadi.
Huh, tak tahunya kau pergi mencari bala bantuan dan mengharapkan orang lain yang turun tangan bagimu."
Hati Beng Ji-peng sudah panas ketika dimaki Kim Cayhong, apalagi sekarang disindir lagi oleh
Tian Pek, keruan tak terbendung lagi gusarnya, segera ia berteriak: "Anak busuk she-Tian, bukan maksudku mencari bantuan, kuundang kehadiran kedua Ciandwe ini untuk bertindak sebagai saksi, jangan kau anggap istana keluarga Kim adalah tempat yang boleh kau main gila sesukamu, cukup seorang tuan Beng saja dapat mencabut jiwa anjingmu."
Mengapa Giok-bin-siau-cing-hu begitu benci terhadap Tian Pek" Tidak sukar menjawab pertanyaan ini. Tentu saja karena camhuru yang mengakibatkan terjadinya peristiwa ini, Sejak kehadiran Tian Pek di gedung keluarga Kim, terutama dua hari beruntun setelah pemuda itu sakit, boleh dibilang Kim Cay-hong senantiasa menjaga anak muda itu disisi pembaringannya, ia menyuapkan obat, memberi minum, sikapnya begitu mesra dan penuh perhatian, semua ini membikin panas hati Beng Ji-peng.
Sudah ber-tahun2 pemuda she Beng ini mencintai adik seperguruannya, tapi selama ini belum pernah ia cicipi adegan mesra semacam itu sekali?pun ia sakit. Bisa dibayangkan betapa cemburu dan gusar anak muda itu, kalau bisa dia ingin menghajar Tian Pek sampai mampus sehingga saingan ini tersingkir.
Beng Ji-peng berusaha menasihati Sumoaynya agar menjauhi anak muda itu, tapi Kim Cay-hong tak mau menurut perkataannya. kemudian ia menyaksikan pula Tian Pek hendak pergi, tapi gadis itu merasa berat untuk melepaskannya, malahan menarik tangannya.
Adegan itu kontan membuat darahnya tersirap ia tak mampu menguasai dirinya lagi dan segera tampil kemuka.
Siapa tahu Kim Cay-hong bukannya menuruti
perkataannya, malahan membantu Tian Pek dan menyerangnya dengan kata2 pedas, dengan dongkol dia menuju ke ruang depan dan mengundang Tiat-pi-to-liong serta Tiat-ih-hui-peng, kedua kakek "pengawal baja" istana keluaga Kim.


Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cemooh dan hinaan Tian Pek seketika memuncakkan hawa amarahnya, apalagi setelah Kim Cay-hong memutuskan hubungan persaudaraan, ia tambah kalap.
Tanpa bicara lagi dia berpekik nyaring. ia mencabut pedangnya, dengan jurus Sin-liong-jut-sui (naga sakti muncul dari air), pedangnya langsung menyambar dan menusuk perut Tian Pek.
Dengan tenang Tian Pek berkelit, berbareng iapun hendak melolos pedang hijaunya.
Tentu saja Beng Ji-peng tidak memberi peluang bagi musuhnya untuk melolos senjata. beruntun ia melancarkan tiga kali serangan berantai dengan jurus Wu-in-pit-gwat (awan hitam menutupi rembulan), Siau-ki-lam-thian (sambil tersenyum menunjuk langit selatan) serta Hian-niau-hua-sah (burung hitam mencakar pasir), semua mengarah Hiat-to penting di tubuh musuh.
Karena serangan berantai musuh, Tian Pek kehilangan kesempatan, terpaksa dia harus berkelit, melompat dan menyingkir untuk melepaskan diri dari ancaman tersebut.
Meskipun cukup gesit dia mengelak, namun akhirnya toh tetap terlambat satu tindak, bajunya terpapas sebagian, hampir saja paha kanannya ikut tertabas oleh sambaran pedang Beng Ji-peng itu.
Terperanjat Tian Pek, dalam pada itu iapun sempat melolos pedang pusakanya.
Kim Cay-hong terperanjat melihat Tian Pek hampir terluka, tapi setelah menyaksikan Tian Pek lolos dari ancaman dengan selamat, hatinya merasa lega, dengan penasaran ia berteriak terhadap Beng Ji peng: "Huh!
Begitukah caramu menghadapi lawan" Apa kau sengaja hendak bikin malu keluarga Kim?"
"Perbuatan apa yang pernah kubikin malu keluarga Kim?" teriak Beng Ji-peng. "kau sendiri yang bikin malu keluarga Kim, perbuatanmu yang pantas dikatakan perbuatan memalukan.'"
Merah padam wajah Kim Cay-hong karena marah, sekujur badan gemetar, dengan benci ia berteriak: "Kau tak perlu mencampuri urusan pribadiku, caramu bertempur tanpa menunggu lawan melolos senjata, tahu2 kau menyerang lebih dulu, begitukah kepandaian yang berhasil kau yakinkan selama ini" Hm, nama baik ayah pun ikut ternoda oleh perbuatan rendahmu itu!"
"Tutup mulut!" bentak Beng Ji-peng dengan kalap,
"kalau dia mampus, itu salah dia sendiri yang tak becus, kalau dia tak mampu mencabut pedangnya sendiri, memangnya perlu orang lain yang memberikan pedang kepadanya?"
Cekcok mulut antara kakak beradik seperguruan berlangsung makin tajam, siapapun tak mau mengalah.
Tian Pek sendiri tetap bersikap tenang, "sret" begitu Pedang Hijau terlolos, terpancarlah cahaya kemilauan di ambang senja.
Sementara itu malam telah tiba, lampu telah dipasang dan baberapa orang pelayan laki2 maupun perempuan membawa pula beberapa buah lampu lentera mengitari gelanggang, ini membuat suasana tempat itu jadi terang benderang bagaikan di siang hari.
Air muka para pelayan yang mengitari gelanggang itu tiada yang menunjuk rasa kaget atau kuatir, malahan rata2
menunjuk rasa gembira karena sebentar lagi akan berlangsung suatu pertarungan seru, ini suatu tanda bahwa kaum hamba keluarga Kim juga sudah terbiasa dengan pertarungan orang Kangouw ini.
Pelahan Tian Pek menggetar pedang mestikanya hingga memancarkan cahaya hijau, kemudian sambil melangkah ke tengah gelanggang, serunya dengan lantang: "Nona Kim, silakan menyingkir kesamping, berilah kesempatan bagi Tian Pek untuk menghadapi orang kosen pada malam ini!"
"Hahaha, bagus, bagus sekali!" teriak Tiat-pi-to-liong.
"Hayo maju!"
Begitulah watak aneh sepasang "pengawal baja" itu, bukannya melerai, mereka malahan menganjurkan berlangsungnya pertarungan.
Sebelum Kim Cay-hong sempat buka suara, Beng Ji-peng mengejek pula dengan nyaring: "Hei, cecunguk cilik, sekarang kau telah memegang pedang, jika mampus tentu kau tak dapat bilang apa2 lagi bukan" Nah, anak busuk, serahkan jiwamu!"
Berbareng dengan perkataan tersebut, Beng Ji-peng segera meloncat ke udara, pedangnya berputar menciptakan selapis cahaya terus merabas kepala Tian Pek.
Tian Pek tidak berani gegabah, dari gerak tubuh musuh yang enteng, gesit dan lincah serta jurus pedangnya yang ganas, ia tahu Kungfu lawan cukup tangguh,
Belum tiba serangan itu, hawa pedang yang tajam dan dingin serasa menyayat tubuhnya, cepat ia pusatkan perhatiannya, dengan jurus Koan-te-hoan-thian
(menggulung bumi membalik langit) pedangnya menangkis ke atas.
Pedang Hijau Bu-cing-pek-kiam memang pedang mestika yang amat tajam, mengikuti gerakan itu terciptalah selapis cahaya hijau yang menyilaukan mata dalam sekejap cahaya pedang yang terpancar oleh serangan Beng Ji-peng tadi tergulung lenyap.
Beng Ji-peng sendiri tentu saja dapat merasakan pedang lawan adalah senjata mestika, namun ia tidak berusaha menghindar, sebab ia hendak manfaatkan tenaga tekanan dari udara untuk memperbesar daya serangannya atas lawan ia himpun tenaga pada pergelangan tangan, dengan sekuat tenaga ia menabas ke bawah.
"Cring!" benturan nyaring terdengar, kedua senjata saling bentur dan menimbulkan percikan bunga api, terciptalah pemandangan menakjubkan di udara-Kedua orang sama2 merasakan lengan kaku kesemutan, nyata tenaga kedua orang sama kuat.
Sudah tentu posisi Beng Ji-peng lebih menguntungkan, sebab dia menekan ke bawah, namun dia harus melayang turun beberapa kaki di sebelah sana, sedang Tian Pek tetap berdiri tegak di tempatnya, cepat kedua orang memeriksa senjata masing-masing.
Pedang hijau Bu-cing-pek-kiam tetap mulus tiada cacat apapun, sebaliknya pedang hitam Beng Ji-peng pun tetap bercahaya tajam, ternyata senjata itupun tidak mengalami kerusakan apa2.
Meskipun pedang hitam yang digunakan Beng Ji-peng bentuknya jelek dan tiada keistimewaan, namun senjata itu sebenarnya terbuat dari inti baja yang berusia laksaan tahun dari dasar laut, tajamnya luar biasa dan keras pula.
Sebab itulah meski Beng Ji-peng sutelah melihat pedang yang dipakai Tian Pek memancarkan sinar tajam dan pasti pedang mestika, namun ia tidak gentar, bahkan memperkuat tenaga tabasannya, ia justeru ingin mengutungi pedang Tian Pek lebih dahulu.
Siapa tahu pedang mestika lawan bukan saja tidak cedera malahan mampu menandingi kekerasan senjatanya, hal ini sungguh di luar dugaan Beng Ji-peng.
Tian Pek sendiripun terperanjat, dia tak mengira pedang baja yang jelek bentuknya milik lawan ternyata sanggup menandingi ketajaman pedang mestikanya.
Tapi justeru dengan terjadinya peristiwa ini, maka kedua pihakpun mempunyai perhitungan sendiri tentang kekuatan musuh, merekapun tahu kemenangan tak mungkin dapat diraih dengan mengandalkan ketajaman pedang mestikanya.
Pertarungan lantas dilanjutkan dengan mengandalkan ilmu silat sejati yang dimiliki masing2.
Tampaklah pedang hijau Tian Pek berputar di udara menerbitkan sinar bagai bianglala membelah udara, sebaliknya pedang hitam Beng Ji-peng menyambar kian kemari bagaikan naga hitam mengaduk samudera, cahaya hijau dan hitam saling bergumul, membuat suasana gelanggang berubah seram, hawa pedang yang tebal menyelimuti sekujur badan kedua orang muda itu.
Pertarungan berlangsung kian cepat, dalam waktu singkat empat puluhan gebrakan sudah lewat.
Tiat-pi-to-liong mengikuti pertarungan itu sambil mengelus cambangnya, kadang2 dia berteriak memuji, memberi penilaian terhadap jurus serangan mereka.
Sementara Tiat-ih-hui-peng menonton dengan serius, ia mengawasi jalannya pertarungan dengan sorot mata tajam, tapi mulutnya tetap bungkam tanpa memberi komentar.
Gadis paling cantik di seluruh wilayah Kanglam diam2
menguatirkan keselamatan pujaan hatinya, dia tahu ilmu silat Suhengnya telah hampir mewarisi seluruh kemahiran ayahnya, selama ini jarang ada yang mampu menandingi dia.
Kawanan pelayan baik laki2 ataupun perempuan yang mengerumuni seputar gelanggang, sama menonton dengan mata terbelalak, memang seringkali mereka menyaksikan pertarungan seru, akan tetapi belum pernah melihat pertarungan tegang dan sengit begini.
Sementara itu pertarungan sudah meningkat tegang dan menentukan mati dan hidup.
Beng Ji-peng lebih mahir melancarkan serangan, gerakgeriknya juga lebih lincah, serangannya lebih ganas, selalu mengincar bagian2 mematikan di tubuh Tian Pek, saking gemasnya, sekali tusuk dia ingin menembusi dada lawan cintanya ini.
Sebaliknya Tian Pek lebih sempurna dalam hal tenaga dalam, dia lebih mengutamakan ketenangan dan kemantapan, jurus2 serangannya terang dan kuat, anggun dan wibawa se-olah2 seorang tokoh suatu aliran besar.
Setelah pertarungan berlangsung sekian saat, Beng Ji-peng mulai heran, dengan jelas ia lihat betapa sederhana ilmu pedang yang dipakai Tian Pek, hanya ilmu pedang Sam-cay-kiam-hoat yang sangat umum dan dipelajari banyak orang, biarpun lawan menyelingi pula beberapa jurus serangan yang aneh, itupun tidak membuat ilmu pedangnya jadi lebih tangguh.
Kendatipun demikian, namun serangan Ji-peng yang cepat dan dahsyat tak pernah berhasil menambus pertahanan lawan, bahkan setiap kali serangan mematikan yang tampaknya tak mungkin bisa dihindarkan musuh, tanpa gugup sedikitpun tahu2 Tian Pek dapat mematahkannya dengan jurus yang amat sederhana.
Tentu saja hal ini amat mengejutkan dia. Sudah tentu Beng Ji-peng tak menduga kalau Tian Pek telah mempelajari isi kitab Soh-kut-siau-hun-pit-kip yang hebat itu, apalagi semua urat nadi penting di tubuh lawan ini telah tertembus semua sehingga Lwekangnya kuat luar biasa.
Walaupun dalam hal tenaga dalam lebih tangguh daripada Ji-peng, akan tetapi Tian Pek kalah bagus jurus pedangnya, kecuali serangkaian iliran pedang Sam-cay-kiam-hoat yang sederhana, boleh dibilang dia tak memiliki kepandaian yang lain.
Untung sudah lama ilmu pedang ini dilatihnya dengan tekun, walaupun jurus serangannya sederhana dalam permainannya telah berubah menjadi cukup lihay.
Tian Pek dapat memahami bahwa untuk menang
seseorang harus memiliki jurus serangan yang aneh dan diluar dugaaan musuh, bila lawan sudah mengetahui akan jurus serangannya, percumalah dia melepaskan serangan itu, sebab akhirnya tak mampu melukai musuh, Karena itulah, setiap kali mendapat kesempatan yang baik ia lantas mencoba untuk menyerang dengan jurus Tui-hong-kiam-hoat yang berhasil di sadapnya dulu, sayang permainanya belum matang hingga kurang keampuhannya.
Maka kedua pihak tetap bertahan dalam keadaan seimbang meskipun sudah bertarung sekian lama, sukar untuk menentukan siapa lebih tangguh di antara kedua jago muda itu dalam waktu yang yang singkat.
Sementara itu pertarungan telah berlangsung hampir mendekati seratus gebrakan, akan tetapi menang-kalah belum juga bisa ditentukan, lama2 Beng Ji-peng menjadi tidak sabar.
Kebetulan waktu itu pedang Tian Pek sedang menyabat kepala lawannya dengan jurus Lip-sau-ih-yu (berdiri tegak menyapu jagat), cepat Beng Ji-peng mendak ke bawah, setelah lolos dari sambaran pedang itu, pedang baja hitamnya dengan jurus Sui-tiong-lau-gwat (menangkap rembulan di dalam air), dia babat tubuh bagian bawah Tian Pek.
Dengan cepat Tian Pek melayang ke udara, pedang balas menutul Hoa-kay-hiat pada ubun2 Beng Ji-peng dengan jurus Han-seng-peng-gwat (bintang tajam mengejar rembulan).
Menurut peraturan, bila terancam oleh serangan tersebut, biasanya dia akan menggunakan jurus Hui-hong-hud-liu (pusaran angin menyapu pohon liu) atau Bun-hong-si-sui (kawanan lebah bermain di atas putik) untuk meloloskan diri dari ancaman.
Akan tetapi Beng Ji-peng tidak berbuat begitu, sebab ia penasaran dan ingin merebut kemenangan dengan menempuh bahaya, bukannya menghindar atau berkelit, dengan cepat dia menerobos maju ke depan, dengan jurus Ban-hoa-cam-hud (selaksa bunga menyembah Buddha) dia tangkis pedang musuh kemudian sambil mendesak maju dia bacok dada Tian Pek.
Gerakan ini amat berbahaya, jika Tian Pek memiliki Ginkang yang tinggi dan bisa melompat tiga depa lebih keatas, lalu ujung pedangnya tetap menusuk ke bawah dengan gerakan yang tak berubah, niscaya jalan darah Hoa-kay-hiat pada ubun2 Beng Ji-peng akan tertembus.
Rupanya setelah pertarungan berlangsung seratusan gebrakan, Beng Ji-peng melihat gerak gerik musuh amat lamban, menurut perkiraannya tak mungkin Tian Pek bakal melayang ke udara untuk menyergap dirinya, maka iapun mengambil keputusan untuk melakukan serangan berbahaya.
Lalu, apakah Tian Pek mampu melayang lebih tinggi dan melakukan sergapan dari situ" Mampu! Dia mampu melakukan hal ini. terutama sesudah tenaga dalamnya memperoleh kemajuan yang pesat, hanya saja ia tidak tahu sampai di manakah kemajuan yang dicapainya, selain itu iapun kekurangan pengalaman tempur, makanya setelah melepaskan tusukan tadi, dia mengira Beng Ji-peng pasti akan berkelit ke samping.
Siapa tahu bukannya mundur, Beng Ji peng malahan mendesak maju dan langsung membacok dadanya, dalam keadaan demikian tidak sempat lagi untuk menghindar, tampaknya dadanya pasti akan berlubang.
"Hei, Siau-hu-cu! Masa begitu caramu bertarung?" teriak Tiat-pi-to-liong dengan lantang, cepat ia menerjang maju ke depan, rupanya jago tua ini melihat gelagat jelek.
Tapi belum sempat jago tua itu menerjang masuk ke tengah gelanggang. keadaan telah mengalami perubahan mendadak.
Kiranya dalam gugupnya Tian Pek telah menghimpun segenap tenaga pada pergelangan tangannya, kemudian dengan sekali sentakan, "trang!" pedang beradu, Beng Ji-peng merasakan tangannya kesemutan, tanpa ampun lagi pedangnya terlepas dari cekalan.
Dengan kesempatan itu Tian Pek terus putar pedang Bu-cing-pek-kiam ke depan, tahu2 ujung pedang yang tajam telah menempel di tenggorokan musuh.
Pucat wajah Beng Ji-peng, bukan saja usahanya merebut kemenangan mengalami kegagalan total, bahkan dia sendiri yang kecundang, bisa dibayangkan betapa sedih perasaan anak muda itu, selama hidup baru kali ini dia mengalami kekalahan secara mengenaskan.
Tian Pek sendiri tak menyangka tenaga dalamnya telah mencapai tarap sedemikian tingginya, dan dapat digunakan menurut kehendaknya Setelah berhasil menggetar jatuh pedang lawan, bahkan ujung pedangnya terus mengancam pula tenggorokan pemuda she Beng itu, untuk sesaat dia berdiri tertegun dan tidak melanjutkan tusukan maut.
Bagaikan embusan angin cepatnya Tiat-pi-to-liong menyusup maju kedepan dan berdiri di antara kedua anak muda itu, sambil tertawa ia berkata: "Hahaha, engkoh cilik.
kau memang hebat! Kemenanganmu ini kau raih secara gemilang dan mengagumkan ... Hahaha, di antara kalian kan tiada permusuhan apapun" Maka pertarungan ini hanya saling mengukur kepandaian saja, silakan kau tarik kembali senjatamu."
Tiat-pi-to-liong Kongsun Coh adalah kakek bermuka merah dan bercambang, tubuhnya meski agak bungkuk tapi kekar dan gagah, suaranya keras bagaikan bunyi guntur, berwibawa dan disegani orang.
Tian Pek bukan pemuda pengecut, ia tak sudi membunuh orang yang tak mampu melawan, selain itu, sebelum yakin benar Cing-hu-sin Kim Kiu adalah pembunuh ayahnya, dia tak ingin membuat onar dalam gedung ini, maka setelah mendengar perkataan Tiat-pi-to-liong, cepat ia tarik kembali pedangnya dan mundur ke belakang.
"Kalau Locianpwe sudah berkata begitu, tentu saja Wanpwe menurut saja," Lata Tian Pek, Lalu ia berpaling
dan berkata kepada Beng Ji-peng: "Asal kau tahu rasa dan selanjutaya tidak congkak lagi "
"Anak busuk, jangan latah!" bentak Beng Ji-peng mendadak. "Nih, rasakan kelihayan tuanmu ini!"
Di tengah bentakan Giok-bin-siau-cing-hu itu ia ayun tangan ke depan, segumpal cahaya hijau yang menyilaukan mata segera menyambar kearah Tian Pek.
Rupanya setelah dikalahkan oleh Tian Pek, karena malunya Beng Ji-peng jadi nekat, diam2 ia merogoh sakunya dan meraup segenggam senjata rahasia Cing-hu-kim-ci-piau andalan perguruan, di kala musuh tidak siap, segera ia menyergapnya dengan gerakan Boan-thian-boa-uh (hujan bunga memenuhi angkasa).
"Suheng, kau berani main curang. . . ?" jerit Kim Cayhong dengan kuatir.
"Ji-peng, kau.. . " Tiat-pi-to-liong juga membentak.
Sebagai tamu keluarga Kim saja Tian Pek sedia menurut.
sedangkan Beng Ji-peng sebagai orang sendiri malahan tidak memberi muka kepadanya, bahkan menyergap lawan dikala tidak siap, tentu saja ia sangat gusar.
Di tengah bentakan keras segera ia menghantam ke depan, segulung angin pukulan langsung menyambar ke arah cahaya hijau yang sedang berhamburan itu.
Senjata rahasia Cing-hu-kim-ci-piau andalan Cing hu-sin ini dibuat secara khusus dan dilancarkan dengan cara yang khusus pula, kendatipun angin pukulan yang dilancarkan Tiat-pi-to-liong sangat kuat, akan tetapi pukulan itu belum sanggup untuk merontokkan semua senjata rahasia itu.
Jilid ke " 11
Dentingan nyaring terjadi secara beruntun, sebagian senjata rahasia itu berhasil dirontokkau oleh angin pukulan dahsyat tersebut, tapi ada pula beberapa batang di antaranya berhasil menembusi angin pukulan jago tua itu dan tetap meluncur cepat dan menyambar tubuh Tian Pek.
"Cringl Cring! Cring!" terdengar dentingan nyaring menggema di udara menyusul terjadinya percikan bunga api.
Rupanya Kim Cay-hong telah bertindak, iapun melepaskan tiga buah Cing?hu-piau untuk melontokkan senjata rahasia Beng Ji-peng.
Meskipun tiga senjata rahasia itu berhasil dipukul jatuh, namun masih ada empat Cung-hupiau lain yang melucur ke depan dengan kecepatan penuh, dua buah mengancam bahu Tian Pek sedangkan dua lagi mengancam kedua kakinya.
Dalam keadaan begini, tak sempat lagi bagi Kim Cayhong untuk ambil senjata rahasia, dengan cemas ia pandang ke sana dan tak tahu apa yang akan terjadi.
Tapi Tian Pek mengelak kekanan dan mengegos ke kiri, tiga senjata rahasia itu dapat dihindarkan dengan baik tapi akhirnya ada sebuah yang tak terhindar. "Cret!" senjata rahasia itu bersarang pada bahunya, darah segar lantas mancar keluar.
Kejadian itu lambat untuk diceritakan, tapi semuanya berlangsung dalam sekejap, begitu menyaksikan Tian Pek terluka, semua orang melengak, kecuaIi sebagian kecil hampir semua orang merasa tidak puas atas tindakan Beng Ji?peng itu.
Sebab tadi kalau Tian Pek bermaksud membunuhnya, maka ujung pedang yang telah menempel pada
tenggorokannya cukup didorong sedikit ke depan dan pemuda itu pasti sudah mampus, namun Tian Pek telah menuruti nasihat dan melepaskan lawan. Tapi kesempatan itu malah digunakan Beng Ji peng untuk menyerang Tian Pek secara keji, tindakan semacam ini bagi orang Kangouw boleh dikatakan sangat memalukan.
Tapi Beng Ji peng adalah murid kesayangan Cing-hu-sin, pemilik istana keluarga Kim, kedudukannya hampir sederajat dengan Siang lin Kongcu, tindakannya yang rendah dan memalukan ini sungguh tak terduga oleh siapapun juga.
Tian Pek segera merasakan hawa dingin merasa tulang, segera ia tahu senjata rahasia itu beracun.
Meskipun sakitnya tidak kepalang pemuda itu tidak mengluh, ia mengertak gigi dan mencabut senjata rahasia itu.
Kim Cay-bong menghampiri anak muda itu sambil memberi sebtir obat, katanya dengan pedih: "Tian-siauhiap, lekas bubuhkan obat ini pada lukaniu, kalau tidak.........."
Tian Pek berdiri dengan muka menyeringai, matanya melotot penuh kegusaran, darah menetes keluar dari kelopak matanya dan membasahi pipinya, sementara Cinghu-piau yang berlumuran darah masih targenggam di tangannya, ia tidak menghiraukan perkataan anak dara itu.
Terperanjat Kim Cay hong melihat keadaan Tian Pek.
"Tian siauhiap?" katanya dengan gemetar, janganlah beginI, perbuatan Suhengku memang tak benar. Biar engkohku pulang pasti akan kulaporkan kejadian ini kepadanya, akan kuminta kakak memberikan keadilan secara bijaksana."
Dengan lembut dan penuh kasih sayang dia
menggenggam lengan kiri Tian Pek, setelah merobek pakaian disekitar luka obat penawar tadi dibubuhkan pada lukanya, pelahan ia memijit sekitar luka yang membengkak itu ?".
Tian Pek tetap berdiri mernatung, sorot matanya yang penuh kemarahan memandang jauh ke sana, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat menyedihkan, tapi orang lain tak tahu apa yang sedang dipikirnya"
"Hmmm!" Beng Ji-peng mendengus ketika melihat Kim Cay-hong bersikap begitu mesra terhadap musuhnya, api cemburu kembali membakar hatinya, rasa bencinya terhadap Tian Pek semakin menjadi, pelahan ia merogoh kantong dan siap mengarnbil senjata rahasia lagi.
Tiat-pi-to-liong menyaksikan perbuatan anak muda itu, dengan gusar ia membentak: "Ji-peng, apa yang hendak kaulakukan" Masa kau tak tahu malu. Apakah perlu aku si bungkuk turut campur persoalan ini ....?"
Percakapan orang2 itu dan Kim Cay-hong membubuhi lukanya dengan obat, semua ini se-olah2 tidak diketahui Tian Pek.
Kiranya ia sedang membayangkan kembali kematian ayahnya yang mengenaskan, ia raerasa Cing hu-piau yang berlumuran darah ini persis seperti mata uang tembaga yang ditinggalkan ayahnya itu.
Dalam khayalnya terbayang olehnya ayahnya dikerubut keenam tokoh besar dan ayahnya melakukan perlawanan yang sengit dengan Pedang Hijau, setelah tenaga terkuras habis, lalu Cing-hu-sin Kim Kiu menyergapnya dengan senjata rahasia hingga terluka, mungkin juga keenam orang itu bersama menyerang ayahnya dengan senjata rahasia,
setelah ayahnya tak berkutik barulah mereka mencincangnya?"
Herannya mereka bertujuh terkenal sebagai saudara angkat dan bersumpah setia, mengapa keenam saudaranya bersekongkol untuk membunuh ayahnya itu sekeji" Inilah teka-teki yang sukar dipecahkan.
"Ai, seandainya ayahnya tidak meninggal dan Kanglam jit tayhiap masih hidup dengan rukun hingga kini, sekalipun aku tak bisa menyamai kedudukan Bu-lim-su kongcu, paling sedIkit hidupku takkan sengsara dan terhina seperti sekarang ini, paling tidak aku bersama orang tuaku dapat hidup bahagia di tempat yang aman sentosa"... Akan tetapi," demikian Tian Pek berpikir lebih jauh, "sekarang terbukti bahwa Cing hu-piau adalah senjata rahasia andalan Kim Kiu, itu berarti pula Kim Kiu adalah salah seorang pembunuh ayahku, mengapa tidak kubunuh pemuda ini lebih dulu" Sekalipun selama ini tak sempat kujumpai Kim Kiu, tapi jika pemuda ini sudah kubunuh, masakah ia takkan tampil" Kesempatan baik ada di depan mata, bila tidak kumanfaatkan sekarang juga, aku akan menunggu sampai kapan lagi?"
Barpikir sampai di sini, anak muda itu segera membontak nyaring: "Hei, berhenti!"
Bentakan ini dilontarkan dalam keadaan gusar dan penuh perasaan dendam, suaranya keras luar biasa ibarat bunyi guntur membelah bumi, semua orang merasa anak telinga jadi sakit dan mendengung.
Sementara itu Beng Ji-peng yang dibentak Tiat-pi to liong sedang memungut pedangnya dan mundur ke belakang, mendengar bentakan tersebut, cepat ia berhenti dan membalik badan.
"Berhenti ya berheti, memangnya aku jeri padamu?"
jengeknya sambil menatap Tian Pek dengan melotot. "Hm jangan kau kira dengan sedikit ilmu pedang busuk itu lantas bisa menangkan tuanmu" kalau aku tidak salah perhitungan, kau kira bisa memperoleh kemenangan itu"
Bangsat cilik, untung Kongsun-Cianpwe mintakan ampun bagimu, hm, kalau tidak, sejak tadi kau sudah mampus tertembus Cing--hu sin-plan tuanmu!"
Tian Pek tidak melayani ejekan musuh, sekali lagi dia melolos pedangnya, lalu berkata: "Apa gunanya mengobrol, kalau belum puas, hayo kita ulangi kembali pertarungan ini, mari kita tentukan siapa yang lebih unggul."
"Hehehe, memangnya aku takut padamu?" teriak Bang Ji-peng sambil lolos pedangnya yang hitam.
Kim Cay hong merasa kuatir, ia tarik lengan kiri Tian Pek dan berseru: "Tian-siauhiap, engkau telah terluka, jangan kau layani orang gila itu........... "
Tiat-pi-to-liong pun berusaha melerai: "Sudahlah Siauhiap apa gunanya menuruti emosi dan beradu nyawa, kan di antara kalian tidak ada sakit hati apapun......... "
Tian Pek melepaskan pegangan Kim Cay-hong, dia angkat pedangnya dan berseru: "Siapapun tak ada yang bisa mengalangi niatku, hari ini kalau bukan dia yang mampus biarlah aku yang mati!"
Diarn2 semua orang terperanjat dan mengira kedua anak muda itu benar2 telah kalap, mereka tidak tahu dendam Tian Pek dan tidak menyangka cernburu Beng Ji pang yang berkobar.
"Baik!" Beng Ji-peng menyambut tantangan Tian Pek dengan suara lantang, "sebelum salah satu pihak mampus, pertarungan ini takkan berakhir."
Di tengah bentakannya yang nyaring, dia loncat ke udara, pedang hitam rnemancarkan sinar tajam langsung menusuk ke muka Tian Pek dengan jurus Jik-khong-koan-jit (bianglala merah menembus sinar sang surya).
Sekarang Tian Pek tahu tenaga dalam sendiri lebih kuat dibandingkan lawan, kalau selama ini Beng Ji peng mampu bertahan pada posisi seimbang, hal ini tak lain karena dia mengandalkan jurus pedangnya yang lebih lincah.
Kuatir kehilangan kesempatan yang menguntungkan, maka begitu melihat Beng Ji-peng menubruk maju, cepat ia pun ikut meloncat ke atas menyongsong ancaman itu dengan keras lawan keras.
Pedang Hijau menciptakan selapis dinding cahaya untuk mengunci serangan lawan dengan jurus Hoan-tiau-lam-hay (pasang naik di laut selatan).
Pertarungan macam begini sangat jarang terjadi di dunia persilatan, bukan saja para penonton yang berada di sekitar gelanggang, bahkan Tiat pi-to-liong, Kim Cay-hong serta Tiat-ih-hui peng juga sama bersuara kuatir.
Tubrukan kedua anak muda itu dilakukan dengan cepat sekali, belum lenyap suara orang berseru kaget kedua pedang telah saling membentur. Percikan bunga api muncrat ke empat penjuru, dentingan nyaring memekak telinga, kedua orang segera terpisah dan turun kembali ke atas tanah.
Beng Ji-peng merasakan separoh badannya kesemutan dan kaku, telapak tangan terasa sakit, hampir saja pedang hitamnya tak mampu dipegang lagi, ketika mencapai permukaan tanah, ia sempoyongan beberapa langkah dan akhirnya baru dapat berdiri tegak.
Sebaliknya Tian Pek tetap tenang se-akan2 tak pernah terjadi sesuatu, begitu mencapai permukaan tanah, ia segera menerjang lagi ke depan.
"Sret! Sret! Sreet!" beruntun dia melancarkan beberapa kali serangan sehingga Beng Ji peng yang sombong itu dibikin kelabakan, bukan saja tak mampu melakukan serangan balasan, untuk mempertahankan diripun repot.
Namun Giok-bin-siau-cing-hu Beng Ji-peng cukup tangkas juga, sekalipun terdesak, dengan kelincahan dan kecepatannya bertahan terus meski dia harus mundur belasan kaki, tapi tidak sampai tertuka.
Karena terdesak, Beng Ji-peng telah mundur hingga dekat pagar kebun bunga, dengan sendirinya para penonton yang berkerumun sama menyingkir.
Mendadak Tian Pek memburu ke depan, dengan jurus Heng-sau-ngo-gak (menyapu rata lima bukit), dia sabat pinggang lawannya.
Beng Ji-peng berkelit, dengan lincah dia menghindar ke belakang pagar kebun.
Serangan Tian Pek itu menggunakan tenaga yang keras, untuk menarik kembali serangannya tak mungkin lagi, kontan sederetan pot bunga yang berada di atas pagar tcrsambar hingga hancur berantakan.
Sementara itu Beng Ji peng sempat berganti napas, segera iapun unjuk gigi. "Sret! Sret! Sreet!" beruntun diapun melancarkan belasan kali serangan, karena jurus serangan juga tidak kurang ganasnya, yang diarah adalah bagian mematikan, maka Tian Pek juga terdesak mundur dengan repot.
Tapi sekali mengendur serangan Beng Ji peng, Tian Pek segera balas mendesak lawan, dengan begitu maka pertarungan berlangsung dengan seru,
ke dua pihak secara bergilir mendesak mundur lawannya, dengan begitu posisi kedua orang tetap sama kuat.
Dalam dunia persilatan jarang terjadi pertarungan seperti ini, tentu saja kawanan jago yang berkumpul disekitar gelanggang, termasuk juga kedua "pengawal baja" itu, dibuat tertegun dan melongo, saking terpesonanya sampai mereka lupa untuk melerai .....
Hanya Kim Cay-hong yang paling gelisah dan kuatir, meskipun dia tidak mengharapkan Tian Pek terluka di tangan Beng Ji-peng, tapi iapun tidak berharap Beng Ji-peng dilukai Tian Pek.
Berulang kali in berteriak untuk melerai, namun teriakannya tak pernah digubris, bagaikan harimau terluka keduanya tetap saling menggempur, tak seorangpun yang mau menurut.
Aneh sekali jalannya pertarungan itu, di satu pihak mengandalkan kelincahan dan keampuhan jurus pedangnya, di lain pihak mengandalkan tenaga dalamnya yang kuat serta keganasan jurus pedang yang hebat, dalam waktu singkat seluruh halaman telah diobrak-abrik menjadi tidak keruan, dinding ambrol dan tiang roboh, banyak pot bunga yang hancur, dalam waktu singkat taman itu menjadi porak poranda .....
Ratusan gebrakan sudah lewat, akan tetapi menangkalah belum lagi bisa ditentukan, banyak orang mulai menghela napas gegetun, semuanya memuji dan menyatakan kagum, mereka anggap pertarungan sengit mi jarang ditemui di dunia persilatan.
Banyak pula di antara jago2 itu yang merasa cemas dan kuatir, mereka ingin tahu bagaimana pertarungan itu bisa diakhiri" Dan bagaimann pula akhir dari pertarungan tersebut.
Jangankan jago2 lain, kedua "pengawal baja" istana keluarga Kim itupun dibikin terkesima sehingga untuk sesaat mereka lupa kedudukan dan tugas kewajiban mereka sebagai pengawal istana.
Tiat-pi-to-liong berulang kali berseru: "Bagus!" "
Sementara tangannya mengelusi cambangnya sang lebat, sebaliknya Tiat-ih hui pang yang bermuka murung juga gelisah, biji matanya memancarkan sinar tajam dan terbelalak lebar.
Lambat laun, Giok-bin-siau-hing-hu Beng Ji -pen: yang kalah tenaga dalam mulai mandi keringat.
Berbeda dengan Tian Pek, rnakin bertempur ia semakin gagah, sekalipun darah segar mengucur derasnya dari luka di bahu kiri, namun ia tak pernah berhenti menyerang, se olah2 lwekangnya tiada habisnya, malahan makin bertarung makin bertambah kuat.
Lambat laun Beng Ji-peng menjadi gelisah, ia tahu jika pertarungan berlangsung terus dalam ke adaan begini, maka lama2 dia pasti akan kalah, ia menjadi nekat, diam2 ia rnerogoh kantong dan manyiapkan segenggain senjata rahasia Clog hu-kim ci-piau.
Kim Cay-hong sendiri tidak bersuara lagi, mungkin disebabkan Tian Pek sudah di atas angin, dia tahu bila Tian Pek menang, maka pedangnya pasti tidak kenal ampun dan Beng Ji-peng pasti akan dibunuh olehnya.
Sebaliknya iapun melihat wajah Beng Ji-peng yang menyeramkan, iapun tahu kalau Suhengnya berniat jahat,
apalagi setelah melihat dia merogoh lagi senjata rahasia Cing-hu-piau, asal senjata rahasia itu disebarkan, maka sekalipun Tian Pek dapat lolos dari kematian, paling tidak pasti juga akan terluka parah.
Padahal ia tidak mengharapkan kematian di antara kedua orang itu, dia ingin urusan diselesaikan secara damai saja, keadaan ini membuatnya gelisah dan panik, pucat wajahnya, ketenangan dan kecerdikannya pada hari biasa kini lenyap, ia menjadi bingung dan kehabisan akal.
Tiba2 ia teringat pada Kim-hu-siang-tiat-wi (sepasang pengawal baja istana Kim), kalau engkohnya tidak ada di rumah, berarti hanya mereka berdua yang sanggup mengatasi pertikaian ini, maka ia lantas berpaling ke arah Tiat-ih-hui?peng yang sedang mengikuti pertarungan sengit itu dengan terkesima.
"Pa-jisiok, cepatlah lerai mereka!" teriaknya. "Kalau pertarungan itu dibiarkan berlangsung terus, lama kelarnaan akan......... "
Tapi dilihatnya air muka Tiat-ih hui-peng menunjukkan rasa prihatin, perkataannya sama sekali tak digubris dan tetap mengawasi jalannya pertarungan dengan terbelalak.
Teringatlah anak dara ini watak aneh parnan ini bukannya melerai, bisa jadi malah akan me!akukan hal2 yang tak terduga.
Maka ia lantas berseru kepada Tiat-pi-to hong. "Paman Kongsun, cobalah lerai mereka, jangan berlanjut lagi pertarungnn itu"
"Hahaha, nona tak usah kuatir!" jawab Kong-sun Coh sambil bergelak tertawa. "Meski mereka saling gempur dengan serunya, kemenangan belum bisa ditentukan dalam waktu singkat ...... wah celaka!"
Kiranya ketika Tiat-pi-to-liong sedang berbicara dengan Kim Cay-bong, mendadak terdengar jeritan ngeri, di mana cahaya pedang berkelehat, berhamburkan darah membasahi permukaan tanah, dengan wajah pucat seperti mayat Beng Ji-peng mundur beberapa Iangkah dengan sempoyongan, lengan kirinya sebatas bahu telah terpapas kutung.
Jerit kaget dan teriakan panik berkumandang dari mulut orang2 istana Kim menyaksikan murid kesayangan majikan mereka terluku parah.
Rupanya tatkala Kim Cay hong sedang mohon bantuan Tiat-pi-to-liong untuk melerai pertarungan itu, saat itu juga Tian Pek melihat Beng Ji-peng meragoh kantong untuk mengambil senjata rahasia Cing-hu-kim-ci-piau, ia rnenjadi gusar, beruntun ia melancarkan beberapa kali serangan berantai, sebagai puncak serangan tersebut dia gunakan jurus Cay-sian-sia-pau (melempar miring benang berwarna), suatu jurus serangan ampuh dari Tui?hong-kiam hoat.
Jurus serangan ini sangat hebat, gerakannya sukar diraba, tampaknya tertuju pada lengan kanan Bang Ji-peng, tapi sewaktu anak muda itu menangkis dengan pedangnya sambil berputar ke kiri, kesempatan yang baik ini digunakan Tian Pek untuk menabas lengan kiri lawan yang siap melepaskan senjata rahasia Cing-hu-piau itu.
Beng Ji peng sama sekali tak menduga akan tabasan itu, dalam keadaan begitu dia tak sempat menghindar, tanpa ampun lagi lengan kirinya kena tertabas kutung sebatas bahu
Senjata rahasia Cing hu-kini-ci-piau yang berada dalam genggam tangan kiri yang kutung itupun berserakan di lantai.
Sesungguhnya hal ini terjadi secara kebetulan, seandainya Kim Cay-hong tidak mangajak bicara Tiat-pi-to-
liong, niscaya jago tua itu takkan terpencar perhatiannya dan pasti dapat menyelamatkan Beng Ji-peng.
Tiat ih-hui-peng sendiri meski menyaksikan peristwa itu dengan jelas, akan tepi ia segan untuk mencegah, sebab menurut jalan pikirannya, kalau orang berani bertarung maka dia harus berani puIa menanggung risikonya, jila kalah dan terluka atau mampus, maka itulah konsekwensi yang harus diterimanya sebagai seorang jago silat, salahnya sendiri mengapa tak becus.
Jangankan orang lain, sekalipun orang itu adalah putera kandungnya sendiri juga takkan dihiraukan, sebab ia anggap tidak marem pertandingan yang tidak mencucurkan darah.
Setelah bencana berlangsung, Tiat-pi-to-liong tak dapat berpeluk tangan dengan begitu saja, ia segera membentak dan menerjang masuk ke tengah gelanggang, selagi masih berada di udara sebuah pukulan keras dilancarkan ke arah Tian Pek, sementara tubuhnya melayang ke arah Beng Ji-peng.
Rapanya jago tua ini kuatir Tian Pek melancarkan serangan mematikan yang lebih keji di kala lawannya sudah terluka.
Tiat-pi-to-liang cepat, Tiat-ih-hui peng jauh lebih cepat lagi, sayap bajanya segera terpentang lebar, ibarat seekor hurung ia terbang ke udara, sayap bajanya mengebas ke batok kepala Tian Pek.
Tian Pek tak berani menyambut serangan itu dengan kekerasan, cepat ia melompat jauh ke samping.
"Blang!" suara benturan keras menggelegar di udara, angin pukulan beradu dengan kebasan sayap, debu pasir seketika berhamburan.
Tian Pek tak gentar, sambil melintangkan pedang di depan dada ia berkata: "Apakah kedua Ciaupwe juga ingin memberi petunjuk padaku?"
Tiat pi-to-liong tidak menjawab, ia sibuk menutuk Hiat-to di bahu Beng Ji peng untuk menghentikan darah yang mengalir, setelah itu ia memerintahkan dua anak buahnya memayang pergi anak muda itu untuk dibubuhi obat luka.
Tiat ih-hui-peng lantas berkata dengan ketus, "Anak muda, kutungi sendiri sebuah lenganmu agar aku tidak perlu turun tangan!"
Berkerut alit Tian Pek, tapi sebelum ia buka suara, Tiat-pi-to liong telah ter?bahak2, katanya: "Hahaha, Pa loji, biarkan urusan kaum niuda diselesaikan sendiri oleh kaum muda, untuk apa kita ikut campur urusan mereka" Kalau tersiar orang Kangouw mungkin akan menuduh kita menganiaya kaum niuda ...!"
Gook-bin-siau cing-hu Bang Ji-peng telah dipayang dua Iaki2 kekar, sebelum berlalu dari situ in sempat melotot sekeja pada Tian Pek dan mengancam: "Nantikanlah pembalasanku, selama hidup aku Beng Ji-peng takkan melupakan sakit hati buntungnya tangan ini."
"Setiap saat kunantikan kedatanganmu," jawab Tian Pek.
Dalarn pada itu Tiat-in-hui-peng tampaknya sudah menuruti perkataan Tiat pi-to-liong, dia tidak berbicara lagi.
Hanya Kim Cay hong, mukanya berubah pucat, ia kelabakan sendiri dan tak tahu apa yang mesti dilakukannya.
Akhirnya Tian Pek nenjura kepada Tiat pi to-liong, katanya dengan lantang "Locianpwe, apakah engkau masih ada pesan lain" Kalau tidak ada, maka aku akan mohon diri."
"Engkoh cilik, kenapa ter-buru2?" ujar Tiat pi-to liong,
"bagaimana kalau menunggu sampai besok saja" Besok Kongcu pasti pulang, kan !ebih enak berpamitan sendiri dengan Kongcu kami?"
"Maaf, aku masih ada urusan penting yang harus kuselesaikan, tak mungkin aku menunggu lagi," sahut Tian Pek. "Terima kasih atas perhatian Locianpwe, maaf, kumohon diri."
Setelah masukkan pedang ke dalam sarungnya dan memberi hormat, ia puter badan dan bertalu.
"Tian-siauhiap............" Kim Cay hong berseru dengan gelisah.
Namun Tian Pek tidak berpaling lagi, dengan langkah lebar ia berjalan menuju ke luar.
Tiat-pi-to-liong berdiri tertegun mengikuti kepergian Tian Pek yang kian menjauh dan akhirnya lenyap di balik pintu, ia tak bersuara lagi untuk mencegah kepergian orang.
Sekeluarnya dari istana keluarga Kim, Tian Pek tidak mencari penginaparn dia langsung berangkat menuju ke
"duabelas gua batu karang" pada malam itu juga.
==mch== Bulan sabit menghiasi angkasa, air sungai mengalir dengan derasnya, di bawah cahaya rembulan yang redup Yan-cu ki menjulang tinggi di tepi sungai ibarat seekor burung raksasa yang siap terbang ke langit.
Angin meniup sepoi2, suasana hening sepi, kecuali dua-tiga pelita perahu nelayan berkelip jauh di tengah sungai, Tian Pek menengadah dan mengembus napas panjang.
Kini ia merasa puas tapi juga tidak puas. merasa gembira juga merasa murung, ia berjalan menyusuri sungai itu dengan perasaan yang bercampur aduk.
la puas karena ilmu silatnya telah mendapat kemajuan yang pesat, malahan sudah mampu mengalahkan Beng Ji-peng, murid tunggal Cing-hu-sin Kim Kiu, musuh besar pembunuh ayah.
Tapi iapun merasa tak puas, merasa kecewa karena kepandaian yang dimiliki kedua "pengawal baja" ternyata amat lihay, ia merasa tak mungkin bisa menandingi mereka dengan Kungfu yang dimilikinya sekarang, apalagi jago yang menjaga istana Kim begitu banyak jumlahnya, tak mungkin dia bisa rnenandingi kekuatan mereka dengan seorang diri, itu berarti tiada harapan baginya untuk membalas sakit hati ayahnya.
Sedangkan perasaan gembira dan murung sukarlah untuk menerangkan, dia hanya merasa bayangan tubuh Kim Cay-hong yang jelita itu selalu muncul dalam benaknya, iapun sering terbayang kembali kasih mesra Kim Cay-hong selama dua hari dia jatuh sakit, itu mendatangkan rasa manis dan getir, ada yang menggembirakan juga ada yang membikin hatinya menjadi kesal.
Dengan pikiran yang dirundung pelbagai masalah, Tian Pek meianjutkan perjalanan menuju ke jalan pegunungan yang rnenghubungkan pantai dengan "dua belas gua karang", ia tidak ter-buru2 sebab ia sendiripun tak tahu Sin lu?tiat-tan berdiam di mana, dia akan mencari tokoh persilatan Itu secara pelahan.
Sudah tiga buah gua karang yang diperiksa olehnya, tapi kecuali segerombol kelawar yang terbang ketakutan, tiada sesuatu apapun yang terlihat olehnya.
Meskipun gua2 karang itu terpencil letaknya, akan tetapi di sana-sini masih terlihat bekas2 kaum pelancong, seringkali di atas dinding gua terbaca olehnya catatan tanggal si pengunjung, ada pula bait2 syair yang sengaja diukir di sana sebagai kenangan, di lantai gua tersisa kulit buah2an yang berserakan, kotor sekali tempatnya.
Diam2 Tian Pek merasa kecewa, sebab ia berpendapat Sin-lo tiat-tan tak mungkin berdiam di tempat kotor yang ramai didatangi kaum pelancong ini, diam2 iapun mulai meragukan keterangan si "orang mati hidup"
Walaupun sangsi, namun dia masih terus melakukan pencarian dengan saksama. Kembali tiga buah gua sudah diperiksa, namun hasilnva tetap tiada sesuatu yang ditemukan.
Makin tinggi ia mendaki bukit karang itu suasana makin hening, baru saja anak muda itu melewati sebuah bukit karang, tiba2 terdengar seorang gadis sedang berseru dengan suara merdu: "Ini tidak masuk hitungan, hayo sekali lagi!"
Lalu seorang kakek dengan suara serak menjawab: "Eeh, anak perempuan, ada2 saja tingkah polahmu, orang tua juga kau permainkan. Tidak aku tidak......... tidak mau lagi!"
Suara serak tua lain segera bergelak tertawa, katanya:
"Hahaha, jangan coba2 menolak ya. Hahaha, kalau kau tak mau mengulangi kembali, maka kau harus mengaku kalah!"
"Hm, tidak segampang itu untuk mengalahkan aku!"
suara pertama tadi berseru apula: "Jangan kau kira kakiku cacat, lalu mempersulit aku dengan permainan begini!"
Sampai di sini, lapat2 terdengar kibaran kain baju tersampuk angin.
Tian Pek merasa tertarik, ia merasa; sudah kenal suara ketiga orang itu, cuma seketika tidak ingat siapa mereka. Ia heran apa yang sedang dilakukan ketiga orang itu di bukit ini pada tengah malarn buta" Permainan apa yang sedang mereka lakukan"
Timbul rasa ingin tahunya, dengan hati2 ia mendekati tempat suara itu, berkat rindangnya pepohonan ia mengintip ke sana.
Di depan sana ada tanah datar yang agak menonjol tinggi dengan sebuah batu raksasa yang rata permukaannya, batu ini tinggi dua-tiga tombak dan lebar hampir sepuluh tombak, di sekeliling tetumbuhan permai, batu raksasa ini mirip sebuah panggung alam.
Di samping batu itu terdapat beberapa batang pohon siong yang sangat besar, di depan pohon siong itu berdirilah seorang nona berbaju putih dan seorang kakek berjenggot putih, di depan mereka ada pula seorang kakek yang aneh, kedua kakinya sebatas, paha ke bawah sudah buntung dan sebagai gantinya dipasang dua potong kayu, waktu itu si kakek buntung lagi berjungkir dengan kaki di atas dan kepala di bawah, dan sedang berloncatan kian-kemari secepat terbang.
Kayu pengganti kakinya itu berbentuk aneh, bagian atas dekat paha besar dan kasar, bagian ujung lebih kecil, gerakgeriknya aneh dan lucu se-akan2 dia sedang membawakan tarian setan.
Setelah memperoleh kemajuan pesat dalam tenaga dalam, ketajaman mata Tian Pek luar biasa, sekalipun jaraknya cukup jauh, namun ia dapat melihat jelas keadaan di sekitar sana.
Ia melihat kakek aneh yang sedang membawakan "tarian setan" itu tak lain adalah kakek buntung yang tiga hari berselang pernah membuat Kanglam-ji-ki lari ter-birit2.
Sedangkan kakek berambut putih itu tak terlihat jelas karena jaraknya terlampau jauh, tapi ia yakin orang itupun pernah dijumpainya, sedangkan anak dara berbaju putih itu ternyata tak-lain-takbukan adalah Tian Wan-ji yang lincah itu.
Waktu Tian Pek terluka di restoran Hin-liong-ciu-lau tempo hari dan ditolong oleh Wan-ji serta dibawa ke rumah Hoat-si-jin dan Si-hoat-jin, anak muda itu sama sekali tak tahu, maka ia heran melihat anak dara itu berada di sini bersama kedua kakek aneh itu.
"Aneh, mengapa dia bisa berada di sini?" demikian pikirnya. "Bukankah dia berada di rumahnya tempo hari"
Mau apa dia berkumpul dengan kedua kakek
aneh di bukit yang sunyi ini" Permainan apa yang sedang mereka lakukan.........
Sementara Tian Pek keheranan, kakek buntung yang sedang menari dengan tangan menggantikan kaki itu sudah meloncat bangun berbareng meraih kedua tongkat penompang tubuhnya, lain dengan, bangga dia berkata.
"Coba, hebat bukan" Hahaha jangan kalian mengira aku tak punya kaki, kan sudah kulakukan juga permainan ini?"
Wan-ji menghela napas, katanya: "Ai, kukira Kungfu kalian selisih tidak banyak dan sukar ditentukan, siapa lebih unggul, kurasa lebih baik tak dilanjutkan pertandingan ini !"
"Selisih tidak banyak apa?" teriak kakek rambut putih itu dengan penasaran. "Anak perempuan, bilang saja bahwa Kungfu kami sangat tinggi dan luar biasa. Hehe,
bagaimanapun juga, aku harus menentukan siapa yang lebih unggul dengan dia."
"Betul!" sarnbung kakek buntung itu dengan cepat. "Kita sudah bertanding selama tiga hari tiga malain dan tetap belum tahu siapa yang lebih unggul, mungkin sernua Kungfumu sudah kau kuras keluar semua. Huh, apakah mungkin kau memiliki jurus lain lagi yang bisa kau gunakan?"
"Tapi, kalian akan bertanding apa lagi?" seru Wan ji.
"Ilmu pukulan, pakai senjata tajam, ilmu senjata rahasia, tenaga dalam, gerakan tubuh maupun kecepatan langkah, sernua telah kalian pertandingkan, kukira kita sudah kehabisan bahan untuk melanjutkan pertandingan ini, lebih baik dianggap seri saja."
"Tidak, tidak bisa," teriak si kakek rambut putih sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. "Hahaha, ini dia, ada persoalan baru lagi, barusan telah kedatangan satu orang dan orang itu bersembunyi di sana sedang rnengintip gerak-gerik kita .......... "
Sebelum kakek itu selesai berkata, kakek buntung lantas tertawa terbahak2: "Hahaha, jangan kau anggap aku tidak tahu apa2, sedari tadi akupun sudah tahu akan kedatangannya. Itu dia, sembunyi di belakang pohon sana?"
Sambil berkata iapun menuding ke tempat sembunyi Tian Pek.
Betapa terperanjatnya anak muda itu demi mendengar perkataan tersebut, ia mengira tempat sembunyinya cukup rahasia, tak tahunya tetap tak dapat mengelabui kedua kakek itu.
Dalam keadaan begini tentu saja ia tak dapat berdiam terus di situ, terpaksa Tian Pek berbangkit dan siap unjuk diri.
"Eeh, tunggu sebentar, teriak kakek rambut putih itu mendadak, "kau jangan keluar dulu dari tempat persernbunyianmu......... "
Sekali lagi Tian Pek terperanjat, pikirnya: "Aku belum bergerak dan dia lantas dapat menebak isi hatiku, memangnya dia memilki ilmu gaib?"
Selagi dia masih termenung, kakek rambut putih itu telah berkata pula: "Nah, sekarang marilah kita menebak orang ini, siapa yang dapat menebak
dengan jitu, dialah yang menang, siapa yang tak mampu menebak, dia yang tak becus. Nah, setuju?"
Tanpa menanti jawaban, kakek itu melanjutkan pula kata-katanya: "Hayolah, kita menebak berapa usia pendatang ini, laki2 atau perempuan" Kalau kau tak mampu menebaknya, lebih baik jadi kunyuk saja, setuju bukan?"
Kakek cacat kaki itu bergelak tertawa. 'Haha, setan tua penunggang keledai, sekalipun tipu muslihatmu banyak, jangan kauharap akan menipu diriku, kalau pendatang itu orang yang sudah kaukenal, kan aku yang rugi"
Memangnya aku dapat kautipu?"


Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mula2 Tian Pek agak terkejut sewaktu mendengar disebutnya "si penunggang keledai", dengan cepat iapun paham, bukankah kakek berambut putih ini adalah Sin lutiat tan (keledai sakti peluru baja) Tan Jian-li yang sedang dicarinya"
Setelah mengetahui siapa kakek ini, Tian Pek tak dapat menahan emosin)a lagi, iapun tak mau tahu pertaruhan apa
yang sedang dilakukan kedua kakek itu, segera ia melayang ke atas panggung batu itu sambil berseru lantang: 'O, Tang-lociaupwe sungguh susah Wanpwe mencari jejakmu ...
Tang Jian-li melengak, dengan ketajaman
pendengarannya sebenarnya kakek itu mengetahui ada seorang bersembunyi di belakang pohon, dan langkah kakinya yang mantap ia tahu orang itu pasti masih muda dan jelas seorang laki2, maka diajukannya syarat pertandingan itu dengan maksud akan mengalahkan si kakek cacat.
Siapa tahu pendatang ini benar2 kenal padanya, kejadian ini sama sekali tak terduga olehnya, sebab ia merasa sudah puluhan tahun lamanya mengasingkan diri, sudah jarang ada orang persilatan yang kenal nama aslinya.
Kini Tian Pek menyebut namanya dengan jitu, itu berarti orang yang sudah kenal seperti apa yang tuduhkan si kakek cacat tadi.
Dengan sorot mata yang tajam ia menatap Tian Pek tanpa berkedip, kemudian in bertanya: "Heh anak muda, darimana kautahu aku she Tang?"
Belum lagi Tino Pek menjawab, kakek cacat itu sudah tertawa ter kekeh2 dan berkata: "Hehehe, kau tak perlu main sandiwara lagi, kan sudah kukatakan sedari tadi, kau si setan tua penunggang keledai ini banyak akal muslihatnya, rupanya dugaanku memang tak keliru.
Hahaha, kau sengaja menyuruh seorang muda bersembunyi di sana untuk menipu aku. Huh, biarpun anak berusia tiga tahunpun tak bisa kautipu."
Gusar Sin-lu-tiat-tan Tang Jian li mendengar tuduhan itu, dia angkat telapak tangannya dan melayang ke depan sambil melepaskan suatu pukulan teriaknya dengan gusar:
"Tua bangka, tak usah cerewet lagi, rasakan pukulanku ini
...... !" Serangan itu tidak membawa desiran angin, akan tetapi tenaga pukulan yang terpancar ternyata sangat hebat.
"Huh, biarpun seratus kali pukulan juga akan kulayani,"
jengek si kakek buntung.
Sambil bicara kakek cacat itu terus bergerak, setelah tongkat penompang digantolkan pada sikunya, tangannya berputar, segulung angin pukulan dingin terpancar dari telapak tangannya.
Dua gulung angin pukulan salirg bentur dan
menimbulkan suara keras, kedua orang sama tergentak ke atas, dengan cepat mereka terlibat pula dalam serentetan pukulan dahsyat. "Blang! Biang! Blang!" dalarn waktu singkat mereka telah beradu tenaga pukulan beberapa kali.
Suara benturan itu tidak terlalu keras bunyinya, namun memantul cukup jauh dan menimbulkan gema yang bergemuruh.
Diam2 Tian Pek terperanjat, gerak tubuh kedua orang yang sangat cepat dan aneh ini menandakan kepandaian mereka sungguh luar biasa.
Tian Wan-ji terkejut dan gembira melihat kemunculan Tian Pek tadi, tapi ketika dilihatnya anak muda itu tidak menggubrisnya tapi terkesima oleh pertarungan kedua kakek, Nona itu jadi sedih, katanya dengan rawan: "Ai, mereka telah saling hantam dan mungkin sukar diakhiri.
Sungguh tak terduga, usia mereka sudah setua itu, akan tetapi emosi mereka masih begitu besar, entah bagaimana akhirnya nanti?"
Tian Pek tetap membungkam, ia sedang terkesima oleh kelincahan serta kegesitan kakek cacat itu, meski kedua
kakinya buntung, dan sebagai penggantinya adalah kaki kayu yang besar di atas dan kecil di bawah, akan tetapi semua itu sama sekali tidak mengurangi kegesstannya, kedua telapak tangannya masih terus berputar kian kemari tanpa alangan, tubuhpun bisa mengegos ke kiri kanan atau merendah atau meloncat dengan leluasa, sedikitpun tidak berada di bawah kelihayan Siu-lu-tiat-tan yang bertubuh sempurna.
Diam2 anak muda ini kagum sekali, iapun heran dan bertanya: "Kenapa kedua kakek ini saling bergebrak?"
"Akupun tidak tahu kenapa mereka saling bargebrak!"
jawab Wan-ji sambil menggeleng, "aku datang kemari untuk mencari kau, bukan kau yang kutemukan, tapi merekalah yang kulihat sedang bertarung, katanya mereka telah bertempur selama tigahari tiga malam. Sewaktu aku tiba di sini tadi, katanya baik pukulan bertangan kosong, senjata tajam, tenaga dalam dan semua telah dipertandingkan tapi mereka belum berhasil menentukan siapa yang lebih unggul, maka mereka lantas minta aku sebagai wasit dan mengajukan berbagai acara pertandingan, sudah kugunakan macam2 cara yang sulit, tapi mereka tetap sama tangguhnya, ketika engkau datang tadi, mereka sedang mempertandingkan ilmu langkah Ni-gong-huan-ing (lintas angkasa bayangan semu), sekalipun kakek aneh itu tak punya kaki, tapi ia telah menggantikan kakinya dengan tangan dan tetap tidak kurang gesitnya, maka keadaan pun masih tetap seri!"
Setelah mendengar penuturan tersebut sedikit banyak Tian Pek dapat meraba garis besar kejadian itu, tapi dia tetap tidak tahu sebab apa kedua kakek saling bergebrak.
Tiba2 hatinya tergerak, dia berpaling dan bertanya:
"Wan-ji, kau bilang sedang mencari aku" Ada urusun apa kau mencari ku?"
Sedih Wan-ji, hampir saja air mata menetes. "Dengan susah payah kutolong dirimu hampir saja nyawaku ikut berkorban, masa kau sama sekali tidak mengetahuinya?"
demikian pikir anak dara itu.
Meskipun berpikir demikian, namun perasaan tersebut tidak sampai diutarakannya, ucapnya: "Bukankah kau terluka oleh Hiat-ciang-hwe-liong ketika berada di restoran Hin-liong-cin-Iau" Memangnya siapa yang menyelamatkan jiwaniu"
"O, jadi nona yang telah menyelamatkan jiwaku?" seru Tian Pek. "Kalau begitu tentunya engkau telah bertemu dengan Hoat-si-jin bukan" Tapi aneh, ke mana kau pada waktu itu" Kenapa tidak kulihat dirimu di sana?"
Merah wajah Wan-ji membayangkan peristiwa pahit yang dialaminya itu, hampir saja ia menangis ter-sedu2.
"Eh, sudah selesai belum kalian mengobrol?" tiba2 dr tengah pertarungan seru itu terdengar teriakan "Kalau sudah cakup kongkou hendaknya cepat menyingkir dari sini, awas, aku akan melepaskan serangan yang mematikan!"
"Hehe. besar amat mulutmu!" ejek si kakek cacat sambil tertawa. "Tua bangka penunggang keIedai, Iebih baik kurangi teriakaimu, kalau memang mau kentut hayolah lepaskan kentutmu itu, kalau mau pamer kepandaian cepatlah pamerkan, jangan kuatir, semua permainanmu pasti akan kuterima dengan tangan terbuka!"
"Ciaat! ." tiba2 Sin-lu-tiat-tanberteriak gusar,menyusul segulung angin keras mendampar disertai suara gemuruh yang mernekak telinga.
Karena damparan angin pukulan yang dahsyat itu, baik Tian Pek maupun Wan-ji tak sanggup berdiri tegak lagi,
mereka sama2 melompat turun dari panggung batu itu dan meloncat ke atas pohon liong di depan situ Sambil bicara mereka menonton jalannya pertarungan yang semakin seru itu.
Kedua kakek itu mernang sama2 lihaynya, semua jurus serargan maupun gerakan tubuh dilakukan dengan secepat kilat angin pukulan mereka pun sama2 santar dan kuat, meskipun sama2 menggunakan tenaga lunak, akan tetapi kekuatan yang terpancar dari serangan masing2 tetap sangat hebat.
Setelah merapelajari ilmu menurut isi kitab Soh-kut-siau hun pit-kip, ditambah pula urat penting dalam rubuhn)a telah lancar semua, baik pendengaran ataupun penglihatan Tian Pek boleh dibilang sudah mencapai kesempurnaan, sekalipun berada di kegelagran ia sanggup melihat benda dengan cukup jelas. Namun begitu tetap tak dapat dimanfaatkan untuk mengikuti jalannya pertarungan itu, ia merasa kabur gerak tubuh kedua orang tua itu sehingga semua gerak-gerik sukar diikuti.
Kalau Tian Pek saja tak mampu mengikuti pertarungan itu, apalagi Wan-ji"
"Blang! Blang ..!" beberapa kali benturan berkumandang rnemecah kesunyian malam yang mencekam itu, dengan gerakan cepat kedua orang itu saling memisahkan diri.
"Hehehe, setan tua penunggang keledai," teriak kakek cacat itu sambil tertawa, "tadinya kukira pukulan Ki-heng-tui-hong-ciang (pukulan aneh pengajar angin) sangat lihay, hah, tak tahunya hanya begini saja. Hayo kalau punya simpanan lain yang lebih baru dan lebih segar, keluarkan saja semuanya, jadi manusia jangan terlalu pelit."
Sin-lu-tiat-tan sudah tersohor pada puluhan tahun yang lalu, ilmu silatnya sangat tinggi dan sudah mencapai
puncaknya, semakin menanjak usianya boleh dibilang makin berkurang ambisinya untuk cari nama, sebab itulah sudah puluhan tahun dia rnengasingkan diri dan sudah dilupakan oleh dunia persilatan.
Sekalipun begitu, kadangkala dia muncul juga di dunia Kangouw dengan menyaru sebagai pedagang kecil atau penjual makanan. Selamanya dia hanya suka
mempermainkan orang lain dan belum pernah merasakan dipermainkan orang lain.
Sekarang berjumpa dengan kakek buntung yang tak diketahui namanya ini, sudah tiga-haritiga malam mereka bertempur, akan tetapi menang-kalah belum juga dapat ditentukan. Apalagi kakek buntung ini suka ber olok2 dan mengejek, setelah berlangsung tiga-hari tiga malam, habis juga kesabarannya, mendengar ejekan tadi kontan saja dia rnernbentak murka: "Hei, makhluk tua kau jangan latah, ini, rasakan dulu dua buah peluru bajaku ini!
Sambil berseru tangannya lantas terayun ke depan, sejalur cahaya tajam meluncur ke, depan. Dengan membawa desing angin keras cahaya tersebut langsung mengancam muka kakek cacat itu.
Tapi kakek cacat itu malahan menengadah dan tertawa ter-babak.
"Hahahaha, permainan anak kecil begini juga berani diparnerkan di hadapanku ejeknya. Dengan suatu gerakan seenaknya, kakek itu angkat tongkat kanannya rnenangkis ke atas. "Criing .... !" denting nyaring terdengar, peluru baja yang meluncur tiba itu mencelat ke udara.
Sin-lu-tiat-tan membentak gusar, kembali peluru baja kedua menyambar pula ke depan, tapi arah yang dituju sekali ini bukan si kakek cacat melainkan menghantam
peluru baja pertaina yang terpental oleh tangkisan tongkat si kakek btintung tadi.
"Tring . !" kcdua peluru baja itu saling membentur di udara, terjadilah percikan bunga api yang membura ke bawah bagai hujan sinar perak disertai suara mendengung, dari kanan-kiri kedua peluru itu mengancam lambung si kakek buntung.
Melengak juga kakek cacat itu oleh kelihayan senjata rahasia yang aneh itu, dengan tertawa berseru: "Haha, permainan tukang jual obat ini belum lagi mampu merepotkan aku!"
Sambil bicara tongkatnya menangkis pula. "Tring, tring..... !" kedua biji peluru itu tahu2 mencelat lagi ke udara.
Tapi kedua biji peluru itu seperti benda hidup saja, setelah berputar satu lingkaran, lalu saling berturnbuk lagi,
"tring!" kedua peluru baja itu menyambar pula ke dada kakek aneh itu.
"Haha, setan tua penunggang keledai, tak kusangka permainanmu lumayan juga, hahaha, begini-baru menyegarkan badan!" Sambil berkata si kakek buntung angkat tongkat menangkis pula, dentingan nyaring sekali lagi menggema, kedua biji peluru baja itu terpental ke udara, tapi bagaikan bersayap benda itu segera berputar balik dengan dentingan nyaring dan menyambar pula mengancam jalan darah penting di sekujur badan musuh.
Cara melepaskan senjata rahasia yang aneh oleh kakek perrunggang keledai ini boleh dibilang jarang ada di kolong langit ini, baik Tian Pek maupun Wan-ji mengikuti jalannya pertarungan dari atas dahan pohon dengan mulut melongo dan lupa berbicara lagi.
Akan tetapi kakek aneh itu sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap ancaman yang tiba, sambil mengoceh terus mengejek lawannya dia mengegos ke sana dan menghindar sini dengan gesitnya, setiap kali tongkat berputar, peluru baja yang mendekat segera mencelat jauh ke udara.
Melihat dua biji peluru baja gagal melukai lawan, Sin-lutiat-tan berkata: "Makhluk tua, supaya kau puas bermain dengan peluruku ini kutambah satu biji lagi."
Berbareng dengan ucapan tersebut, peluru ke tiga segera menyambar ke depan.
Peluru ketiga ini bentuknya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kedua peluru yang duluan, setelah dilepaskan bukan suara mendengung yang terdengar, tapi suara mendenging seperti suara sempritan, gerak luncurannya juga sangat cepat, malahan jauh lebih cepat daripada kedua peluru yang pertama, terus menyambar ke muka si kakek buntung.
"Eeh jangan tambah lagi, aku bisa kewalahan nanti .....
!" teriak kakek aneh sambil rnenjerit seperti orang kerepotan.
Meskipun di mulut di mulut ber kaok2, tapi tangannya tidak rnengarggur, sebelum peluru sakti itu mengenai badannya, cepat dia putar tongkat untuk menangkis.
Tapi sekali ini dia kecelik, ternyata tangkisan itu mengenai tempat kosong, sebelum ujung tongkat nienyentuh peluru tersebut, secara otomatis senjata itu mengegos ke samping.
Kiranya peluru kecil itu dibikin secara khusus, apabila menjumpai rintangan, maka secara otomatis senjata rahasia
itu akan berbelok arah, maka dengan sendirinya tangkisan si kakek aneh itu meleset.
Sementara itu peluru kecil tadi sudah berputar satu lingkaran dan mengancam pula telinga kiri si kakek.
Kakek aneh itu tidak menyangka akan sergapan luar biasa ini, hampir saja ia kena diterjang, untung ilmu silatnya sudah mencapai puncak
kesempurnaannya, ke mana ia mau bergerak, secara otomatis tenaganya tersalur dengan sendirinya.
Ketika desiran angin tiba2 muncul di tepi telinganya, serentak dia tarik kepalanya ke belakang lalu rnenghindar ke samping, diiringi desingan tajam, peluru itu menyambar lewat.
Baru lolos dari ancaman pertama, kedua peluru yang mencelat ke udara tadi tiba2 menyambar kembali ke bawah.
Dengan cekatan kakek aneh itu putar tongkat untuk menangkis, siapa tahu peluru ketiga yang meleset tadi sudah menikung balik dan menyambar lambungnya, hal ini membuat si kakek rada kelabakan dan ber kaok2.
Ketiga peluru sakti milik Sin-lu-tiat-tan memang tersohor akan kelihayannya, jarang sekali ia menggunakan ketiga pelurunya itu sekaligus, biasanya hanya cukup menggunakan sebiji saja, kawanan jago persilatan baik dari golongan putih maupun dari kalangan hitam pasti akan lari terbirit2.
Bilamana dua biji peluru digunakan jelas terlebih sukar melawan apalagi sekarang tiga biji peluru digunakan sekaligus, ia yakin si kakek buntung pasti tidak mampu, menahannya.
Tian Pek serta Wan ji sampai kabur mengikuti jalannya pertarungan itu dari atas dahan, mereka tak mampu mengikuti lagi jalannya pertarungan dengan jelas, hanya terlihat serentetan cahaya perak, ibarat tiga ekor ular lincah berputar dan menyambar tiada hentinya mengitari badan kakek aneh itu, denging nyaring bercampur aduk menciptakan gema suara yang membetot sukma, ditambah pula suara benturan nyaring yang menerbitkan bunga api, membentuk serangkaian pemandangan yang indah dan aneh pula.
Setelah ketiga biji peluru berhasil membuat musuh kalang kabut barulah Sin lu-tiat tan berdiri sambil berpeluk tangan, katanya dengan tertawa: "Bagairnana rasanya peluru saktiku, kawan" Hahaha! Ketiga biji peluruku sekaligus, rasanya tentu lain bukan?"
Si kakek aneh meraung gusar, kedua tongkatnya kencang. terdengar dering nyaring dan letupan bunga api, ketiga peluru itu tertangkis mancelat jauh, tiba2 ia sendiri menjatuhkan diri ke atas tanah,
Ketika ketiga peluru tadi berputar satu lingkaran di udara dan menyambar balik ke sasarannya, jejak si
Bentrok Para Pendekar 3 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Harpa Iblis Jari Sakti 30
^