Istana Pulau Es 13

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


tangan yang tadinya sudah meraba gagang pedang.
"Kian Ti Hosiang, pendeta pikun. Bagaimanakah engkau hendak memberi penerangan padaku" Menyuruh aku menggunduli rambut dan memakai jubah pendeta?" Suma Hoat mengejek lagi dengan hati panas mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah bahkan memandangnya dengan sinar mata begitu lembut penuh iba. Itulah yang amat mengganggu hatinya. Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah ingin semua orang membenci dan
memusuhinya! Dia tidak takut menghadapi mereka semua dan dia berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.
"Suma-sicu, pada dasarnya engkau mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau membuka mata menyadari bahwa amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan
kebencianmu terhadapi wanita" Dengan merusak kaum wanita, berarti engkau merusak kehormatan kaum ibu, karena ibumu sendiri pun seorang wanita! Kasihanilah mereka, keluarga mereka, orang tua mereka, masa depan mereka. Engkau dapat menebus semua kesesatanmu dengan memupukkan perbuatan baik dan dengan hati bertobat. Setelah apa yang kaulakukan terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami mereka dan jauhi semua perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya."
Wajah Suma Hoat menjadi merah. "Kalau aku menolak?" Ia mengharapkan kemarahan pendeta itu dan dia tidak menyesal kalau harus mati di tangan pendeta ini karena semua perbuatannya yang lalu jelas tidak mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan baginya. Ia ingin mengakhiri hidupnya di tangan pendeta itu. Mati di tangan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai, adalah mati terhormat!
Kian Ti Hosiang menghela napas panjang. "Kalau engkau menolak, pinceng hanya dapat berdoa untuk keselamatan jiwamu, orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin iba melihat seorang keturunan keluarga pendekar besar tersesat makin jauh."
"Apa" Engkau tidak marah dan tidak membunuhku?"
Kian Ti Hosiang menggeleng kepalanya. "Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak bisa membikin mati karena pinceng tidak bisa membikin hidup."
"Pendeta sombong! Engkau takut kepadaku?"
Kian Ti Hosiang menggeleng kepala dan tersenyum. "Pinceng tidak takut kepada siapapun juga, kecuali kepada kegelapan yang meliputi hati dan pikiran sendiri, Sicu."
"Baik, pendeta sombong! Aku mau bertobat, mau menuruti nasihatmu asal engkau suka menerima dua kali pukulanku. Bagaimana?"
Kian Ti Hosiang mengangguk tenang. "Omitohud....! Kalau dengan cara itu berarti pinceng akan dapat mendatangkan penerangan di dalam hatimu, pengorbanan itu masih terlalu murah.
Pinceng menerima syarat itu...."
"Locianpwe....!" Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui meloncat maju dengan wajah pucat.
"Bagaimana Locianpwe membiarkan saja bedebah ini bersikap kurang ajar" Biarkan kami membasminya!"
"Harap Ji-wi Toanio suka mundur. Pinceng sudah melepaskan janji menerima syaratnya."
Terpaksa kedua orang wanita itu mundur dengan tangan dikepal saking marahnya.
Kian Ti Hosiang melangkah maju mendekati Suma Hoat. "Sicu, berjanjilah bahwa setelah memukul pinceng dua kali, engkau benar-benar akan merubah jalan hidupmu, tidak akan melakukan perbuatan sesat lagi, membersihkan nama Jai-hwa-sian dengan perbuatan-perbuatan baik."
Hampir Suma Hoat tidak dapat percaya. Hwesio ini bersedia menerima dua kali pukulannya!
"Apa" Engkau menerima dan engkau tidak akan mengelak, menangkis atau melawan?"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 310
Kian Ti Hosiang menggeleng kepala. "Pengorbanan ini masih terlalu murah. Namun kata-kata seorang gagah harus dapat dipegang. Pinceng berjanji takkan melawan dan berjanjilah bahwa engkau pun akan membuang semua perbuatan sesat."
Kemarahan Suma Hoat mencapai puncaknya. Dia benar-benar merasa dipandang rendah
sekali, bukan hanya sebagai seorang anak kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya dianggap ringan oleh hwesio ini. "Baik, aku berjanji!" bentaknya.
"Nah, silakan memukul dua kali, Sicu." Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap di depan dada seperti orang berdoa.
Suma Hoat menggerak-gerakkan kedua tangannya, mengerahkan sernua sin-kang di
tubuhnya, disalurkan ke arah kedua tangan. Gerakan ini membuat kedua lengannya
mengeluarkan bunyi berkerotokan, tanda bahwa kedua lengannya sudah dialiri tenaga sinkang yang dahsyat sekali. Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw memandang dengan mata terbelalak dan kedua orang murid hwesio itu pun memandang dengan muka pucat. Suma Hoat merasa dipandang ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai itu. Dia maklum bahwa hwesio itu amat sakti, termasuk seorang tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi, sikap hwesio itu keterlaluan, terlalu baik sehingga merupakan penghinaan yang baginya lebih menyakitkan hati daripada makian atau serangan. Dia, seorang yang telah menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang anak kecil yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi, dia tidak percaya bahwa hwesio itu akan benar-benar menerima pukulannya tanpa melawan.
Mungkin takkan mengelak, akan tetapi pasti akan menggunakan sin-kang untuk menangkis.
Ataukah kepandaiannya sudah begitu tinggi sehingga pukulannya takkan ada artinya! Dia tidak percaya maka kini Suma Hoat mengerahkan tenaga, kemudian menerjang maju dengan dua pukulan susul-menyusul ke arah kedua paha kaki Kian Ti Hosiang. Angin dahsyat menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka menyambar ke arah Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena Suma Hoat telah mengerahkan seluruh sinkangnya dan menggunakan ilmu pukulan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan
Otot Menghancurkan Tulang)!
"Krekkk! Krekkkk!" Cepat sekali datangnya dua kali pukulan yang bertubi itu. Terdengar jeritan tertahan kedua orang wanita Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu sedangkan tubuh Kian Ti Hosiang jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua kakinya lumpuh karena tulang-tulang kakinya remuk dan otot-ototnya hancur oleh pukulan dahsyat itu.
Suma Hoat membelalakkan kedua mata, wajahnya pucat memandang hwesio yang
memandangnya sambil tersenyum penuh kesabaran dan kemenangan itu! Hwesio itu sama sekali tidak melawan! Kedua kaki hwesio itu menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi! Dan biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, hwesio itu masih memandang kepadanya dengan senyum sabar. Inilah yang membuat hati Suma Hoat tidak kuat menahan.
"Kau.... kau....! Biar tidak kepalang, kalau kau ingin mati.... terimalah ini....!" Suma Hoat yang merasa ngeri kalau kelak melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan menjadi seorang lumpuh selama hidupnya, kini menerjang maju dan memukul dengan pukulan paling hebat ke arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik melihat hwesio ini mati daripada melihat ia cacad selamanya karena pukulannya yang tidak dilawan!
Kembali pukulan ini diterima tanpa mengelak atau menangkis oleh Kian Ti Hosiang akan tetapi sepasang mata hwesio itu mengeluarkan sinar yang luar biasa.
"Desss....!" Telapak tangan Suma Hoat dengan tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya.... tubuh Suma Hoat terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di mana ia roboh terbanting dan muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun, mendekap dada yang terasa sesak, memandang ke arah hwesio yang masih bersila itu dengan pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main. Tahulah dia bahwa kalau hwesio ketua Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 311
Siauw-lim-pai itu melawan, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu akan roboh dan kehilangan nyawa!
"Janjinya hanya dua kali pukulan, Suma Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?" Dengan tenang Kian Ti Hosiang menegur perlahan. Suma Hoat tak dapat menjawab karena napasnya makin sesak. Pukulannya tadi mengandung sin-kang sekuatnya dan semua tenaga itu
membalik dan menghantam dadanya sendiri. Ia terhuyung dan cepat menjatuhkan diri duduk bersila, mengatur napas untuk menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang akan mematikannya.
"Oohhh, bocah setan yang kejam....!" Kam Siang Kui menggeram.
"Manusia iblis yang patut dibasmi!" Kam Siang Hui juga membentak. Kedua orang wanita Beng-kauw ini sudah mencabut pedang dengan kemarahan meluap. Akan tetapi kembali terdengar suara Kian Ti Hosiang,
"Ji-wi Toanio, harap jangan menggagalkan usaha pinceng. Akan sia-sialah pengorbanan pinceng kalau Ji-wi tidak dapat mengendalikan kemarahan!" Mendengar ini, kedua orang itu mundur dan Kian Ti Hosiang berkata lagi,
"Bagaimana, Suma Hoat. Apakah engkau akan memegang janji?" Pertanyaan ini ditujukan kepada Suma Hoat yang masih duduk bersila, enam meter jauhnya dari tempat hwesio itu bersila dengan kedua kaki lumpuh dan kini berubah menjadi merah menghitam.
Suma Hoat membuka kedua matanya dan tampak dua titik air mata menetes turun. Selama hidupnya, baru sekali ini ia merasa menyesal bukan main. Tadinya ia mengira bahwa hwesio itu hanya membujuknya saja, siapa tahu bahwa hwesio itu benar-benar telah mengorbankan kedua kakinya menjadi lumpuh selamanya hanya untuk melihat dia dapat menjadi seorang baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin ditemukan keduanya manusia seperti Ketua Siauw-lim-pai ini" Dia merasa menyesal sekali dan dengan suara gemetar dia menjawab,
"Locianpwe, aku bersumpah akan bertobat, akan berusaha menghilangkan perbuatan yang kotor, akan tetapi.... aku tidak yakin apakah akan berhasil...."
"Berhasil atau tidak merupakan hal kedua, yang terutama sekali adalah kesanggupanmu untuk berusaha. Bagus, pinceng akan girang sekali kalau melihat engkau dapat kembali ke jalan benar, Sicu."
"Aku berjanji, Locianpwe. Hanya untuk menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak sanggup karena aku pun tidak pernah berjanji untuk menjadi suami mereka. Aku telah bersumpah untuk tidak menikah selama hidup...."
Suma Hoat menghentikan kata-katanya karena terdengar jerit mengerikan disusul robohnya Liang Bi dan Kim Cui Leng dengan tubuh mandi darah. Kiranya ketika mendengar bahwa pria itu adalah Jai-hwa-sian, kemudian menyaksikan betapa gurunya mengalami bencana sampai kedua kakinya lumpuh dan mendengar ucapan terakhir Suma Hoat yang menusuk hatinya. Liang Bi menganggap bahwa dosanya dan dosa sumoinya tak terampunkan lagi. Ia menjadi beringas, dan mencabut pedang, tiba-tiba menyerang sumoinya dengan tusukan kilat yang menembus dada Cui Leng, kemudian ia menusuk dadanya sendiri sampai tembus.
Kian Ti Hosiang menoleh merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, "Omitohud....
dosa ditambah dosa lagi. Dengan kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat bertahan menghadapi godaan nafsunya sendiri" Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi melihat sendiri betapa pinceng kini tak mungkin dapat menghadapi Hoat Bhok Lama, maka harap suka memaafkan kalau pinceng tidak dapat membantu Ji-wi." Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh kedua kakinya itu, dalam keadaan masih bersila, mencelat ke depan, kedua lengannya menyambar jenazah Liang Bi dan Kim Cui Leng, kemudian sambil memanggul dua mayat muridnya itu, tubuh yang tak dapat menggunakan kedua kaki lagi itu berloncatan ke depan dengan cepat, sebentar saja lenyap dari situ.
Suma Hoat memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Penyesalan besar sekali Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 312
menghimpit hatinya. Biasanya, melihat wanita-wanita membunuh diri karena menjadi korbannya, dia bisa tertawa-tawa. Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid Siauw-lim-pai itu, melihat pengorbanan Ketua Siauw-lim-pai yang tiada taranya, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kembali dua butir air mata menetes dari matanya dan biarpun ia maklum bahwa dua orang wanita gagah itu dengan penuh kemarahan telah
meloncat maju di depannya, Suma Hoat memejamkan mata dan menundukkan muka.
"Bocah setan! Sudah lama mendengar tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu kenyataannya lebih jahat lagi!" terdengar Kam Siang Kui berkata penuh kemarahan.
"Manusia iblis yang hanya mengotorkan dunia!" Kam Siang Hui juga berkata penuh kebencian, "Tidak hanya jahat, kejam dan pengecut hina, juga engkau telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada kami!"
Suma Hoat sedang menderita penyesalan yang hebat. Hatinya kesal dan sedih, akan tetapi wataknya untuk mencemooh wanita masih belum lenyap sama sekali. Ia membuka mata, memandang mereka berdua dan tersenyum.
"Ji-wi Toanio, sekarang dua orang gadis itu telah mati, biarpun aku terluka akan tetapi kalau hanya melayani kalian bermain cinta, aku masih sanggup!"
"Keparat bermulut busuk!" Kam Siang Hui membentak, tangannya bergerak.
"Plakkk!" Suma Hoat hampir terguling ketika pipinya kena tampar yang keras sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum biarpun ujung bibirnya berdarah oleh tamparan yang hebat itu. "Baru saja engkau berjanji kepada Kian Ti Hosiang, sekarang telah kaulanggar, bedebah!"
"Ha-ha, Toanio tidak adil! Memang aku berjanji untuk tidak melakukan kejahatan, termasuk memperkosa wanita. Akan tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela hati mau melayani aku, mau kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ia juga jahat namanya" Tidak, Toanio, kalau Toanio berdua mau, tidak usah malu-malu, di sini tidak ada orang lain. Aku suka sekali melayani karena biarpun sudah agak tua, Toanio berdua masih cantik dan tentu lebih banyak pengalaman yang hebat-hebat....!"
"Plak-plak!" Kini Suma Hoat terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali tamparan tangan Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia tersenyum dan memang dia sengaja memancing kemarahan kedua orang wanita gagah itu agar dia
dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang menyesak di dada bersama luka akibat sin-kang yang dikembalikan Kian Ti Hosiang tadi.
"Wanita seperti Toanio sudah berpengalaman, ibarat buah sedang masakmasaknya, manis dan...."
"Kubunuh engkau!" Kam Siang Hui membentak dan "srat!" pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya dipegang oleh encinya.
"Hui-moi, tahan! Dia sengaja memanaskan hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu enak baginya kalau begitu," Kam Siang Kui melangkah maju memandang wajah Suma Hoat yang masih tersenyum itu lalu berkata, suaranya dingin.
"Suma Hoat, tertawalah karena engkau sudah berani menghina dan mempermainkan kami.
Dengarlah dan kenalilah siapa adanya kami yang telah kauhina ini. Aku adalah Kam Siang Kui dan dia adalah adikku, Kam Siang Hui! Nenekmu, Kam Siang Eng, adalah bibi kami dan engkau adalah keponakan kami sendiri. Engkau telah bersikap kurang ajar dan menghina kedua orang bibimu sendiri. Nah, bersenanglah engkau!" Kam Siang Kui menarik tangan adiknya dan mereka berlari pergi dari situ, meninggalkan Suma Hoat yang tiba-tiba menjadi pucat mukanya.
"Ahhhh....!" Suma Hoat menutup muka dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan Kam Siang Hui itu hebat sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya menjadi makin berat. Ia mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling pingsan!
"Aduhhh.... ampunkan aku.... kedua bibi.... ampunkan aku...." ketika siuman, Suma Hoat merintih-rintih, suaranya mengandung penuh penyesalan. Tentu saja ia sudah mendengar akan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 313
nama kedua orang wanita itu, dan ia sudah mendengar bahwa mereka adalah kedua orang enci dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang bernama Kam Bu Sin. Maka mereka adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw, bibi-bibinya sendiri, dan dia sudah berani mengajak mereka bermain gila, mengejek dan menghina mereka, bersikap kurang ajar sekali!
"Betapa baiknya orang yang masih mampu menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir batin...."
Suma Hoat terkejut. Dia tidak ingat lagi berapa lama pingsan, dan kini ia merasa betapa ada telapak tangan menempel di punggungnya, tangan yang mengeluarkan hawa hangat dan orang itu ternyata sedang menyalurkan sin-kang untuk mengobatinya! Ia menoleh dan mendapat kenyataan bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki telanjang itu! Ia menjadi terharu sekali. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya, yang kebetulan saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa diminta telah menolongnya.
"Ahhh.... mengapa kau menolongku" Akan lebih baik kalau kau membiarkan aku mati...."
Suma Hoat mengeluh ketika mendapat kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah menyembuhkan rasa sesak di dadanya.
"Jai-hwa-sian.... baru sekali ini selama hidupku aku menjumpai hal yang amat mengherankan.
Seorang gagah perkasa seperti engkau kudapati pingsan di situ dan menerita luka dalam yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuatnya. Itu masih belum aneh, yang lebih aneh lagi, engkau putus asa, berduka minta-minta ampun. Aihhh.... apakah yang terjadi" Anggaplah aku sebagai sahabat, aku yang amat mengagumimu, atau
saudaramu.... ceritakanlah apa yang terjadi?"
Suma Hoat menganggap bahwa dirinya selalu dimusuhi dan dibenci orang, bahkan ayahnya sendiri mengusirnya, juga uwanya, Menteri Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia merasa seperti hidup sebatang kara, kini melihat sikap orang aneh yang amat baik ini, mengingat akan perbuatannya terhadap Ketua Siauw-lim-pai, terhadap dua orang bibinya, tak tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil!
Im-yang Seng-cu yang biasanya berwatak gembira dan jenaka, kini melongo keheranan.
Kemudian, sambil terisak, Suma Hoat menceritakan semua riwayatnya, semenjak hatinya rusak karena kekasih yang benar-benar dicintanya, yang diharapkan menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa, membunuh diri, kemudian betapa Menteri Kam Liong menentangnya, godaan selir ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya sehingga ia menjadi benci kepada wanita, benci di samping dorongan berahinya sehingga berubahlah dia menjadi Jai-hwa-sian. Diceritakan pula betapa dia telah melumpuhkan kedua kaki Kian Ti Hosiang dan bersikap kurang ajar terhadap kedua orang bibinya, tokoh-tokoh Beng-kauw!
Berkali-kali Im-yang Seng-cu menahan napas mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib seorang pendekar yang begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan yang mengerikan.
Setelah selesai bercerita, menumpahkan segala perasaan yang menggelora di hatinya, Suma Hoat menangis dengan tubuh lemas.
"Aihhh...., betapa banyak aku bertemu orang yang hidupnya seolah-olah merupakan siksaan, akan tetapi tidak sehebat penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu Suma-hoat" Jadi engkau adalah putera Panglima Suma Kiat yang terkenal itu dan engkau masih keponakan Menteri Kam Liong" Ah.... ah...., kiranya engkau masih terhitung keluarga pendekar besar Suling Emas! Pantas.... pantas....! Dan engkau telah melumpuhkan kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai tanpa dia melawan" Benar-benar ajaib Ketua Siauw-lim-pai itu. Aihh! Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia mengorbankan dirinya begitu rupa!"
Suma Hoat menyusut air matanya, mengangkat muka memandang sahabat barunya ini dengan sedih. "Dia mengorbankan diri semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi terlambat....!
Aku sudah terlalu rusak, mana mungkin dapat dibetulkan lagi" Aku sudah terlalu kotor, mana Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 314
bisa dibersihkan lagi" Dia telah mengorbankan diri dengan sia-sia dan aku merasa makin berat batinku...."
Akan tetapi Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. "Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah terlalu mengagumkan. Mengalahkan hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah mengagumkan!
Kian Ti Hosiang adalah seorang budiman yang sukar dicari keduanya di dunia ini. Dia tidak hanya berkorban karena hendak menyadarkanmu, saudara Suma Hoat, melainkan karena dia hendak membalas budimu ketika engkau membela Siauw-lim-pai mati-matian, dan di
samping itu, hemmm.... kalau aku tidak salah duga, orang tua yang sakti dan bijaksana itu SENGAJA membuat dirinya menjadi lumpuh karena urusan Beng-kauw!"
Mendengar ini, Suma Hoat tertarik sekali dan terheran-heran. Dia teringat akan ucapan seorang di antara bibinya yang menyalahkan dia sebagai orang yang telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada mereka.
"Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?"
"Tidak tahukah engkau bahwa kedua orang bibimu itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang berusaha merampas kembali Beng-kauw yang terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama" Karena Hoat Bhok Lama menguasai Beng-kauw dan orang ini amat sakti, bahkan semua tokoh Bengkauw yang hendak menundukkannya banyak yang tewas di tangannya, maka kedua orang bibimu itu minta bantuan Kian Ti Hosiang maka agaknya pendeta itu sengaja membuat dirinya lumpuh tak berdaya!"
"Eh, mengapa begitu?"
Im-yang Seng-cu menghela napas dan memandang wajah sahabatnya yang dikaguminya itu penuh perhatian. "Saudara Suma Hoat, apakah engkau tidak tahu akan sifat orang-orang yang sudah mencapai kesaktian tinggi seperti Kian Ti Hosiang" Semenjak dahulu, ada saja orang sakti seperti dia. Ada tiga macam orang sakti yang mengambil jalan hidup berbeda-beda.
Pertama adalah orang-orang sakti yang menjadi tokoh kaum sesat, menjadi datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti Hoat Bhok Lama itulah. Yang ke dua adalah orang-orang sakti seperti mendiang Menteri Kam Liong dan mendiang Mutiara Hitam, juga ayah mereka, pendekar sakti Suling Emas yang menggunakan kesaktian untuk menentang kejahatan atau membela negara sebagai patriot-patriot sejati. Orang ke tiga, yang sebetulnya memiliki tingkat lebih tinggi, adalah orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan Bu Kek Siansu, yang sama sekali tidak mau mempergunakan kesaktian untuk berkelahi, melainkan menggunakan
kesaktian untuk menolong siapa saja, untuk mengembangkan kasih sayang antara manusia, untuk menyadarkan yang sesat, kalau perlu mengorbankan diri sendiri. Kian Ti Hosiang termasuk orang golongan ke tiga inilah. Dia tidak dapat menolak begitu saja permohonan tolong kedua orang bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun merasa enggan untuk menggunakan kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama. Maka, dia sengaja menerima pukulanmu agar menjadi lumpuh sehingga dia mempunyai alasan untuk tidak menghadapi Hoat Bhok Lama di satu pihak, di lain pihak dia mengorbankan diri untuk menyadarkanmu."
Suma Hoat terkejut sekali, wajahnya pucat, alisnya berkerut. "Aihhhh....! Dan seorang yang berbudi mulia seperti itu kupukul sampai cacat! Dan kepada dua orang bibiku yang demikian gagah perkasa aku telah bersikap kurang ajar. Manusia macam apa aku ini?" Dia mengeluh penuh penyesalan.
Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. "Tidak aneh kalau dalam hidup ini kita sebagai manusia melakukan penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh nafsu kita sendiri. Akan tetapi yang terpenting adalah kesadaran akan kesalahan sendiri dan belum terlambat untuk menebus kesalahan, juga kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu."
"Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu" Ah, engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang telah kuceritakan semua riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang lain, katakanlah, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?" Suma Hoat memegang lengan Im-yang Seng-cu yang menjadi terharu hatinya. Ia membalas pegangan itu dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 315
berkata, "Kedua bibimu berjuang untuk merampas kembali Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama. Kini harapan mereka musnah karena Kian Ti Hosiang tidak dapat membantu mereka. Marilah kita berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok Lama
yang lihai. Dengan jalan ini, selain menebus kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu, juga berarti kita melakukan pekerjaan besar menolong Beng-kauw kembali ke jalan benar dan terbebas dari tangan seorang sakti yang sesat seperti Hoat Bhok Lama."
Timbul semangat Suma Hoat. Ia melompat berdiri dan wajahnya berseri. "Bagus sekali!
Terima kasih atas nasihatmu, Im-yang Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga. Aku menyediakan nyawaku untuk membantu kedua orang bibiku itu!"
Im-yang Seng-cu bangkit sambil tertawa lebar. Kegembiraannya datang kembali.
"Aku tahu! Aku tahu bahwa sebetulnya lebih banyak darah keluarga Suling Emas mengalir dalam tubuhmu, ha-ha-ha! Marilah kutunjukkan jalannya, sahabatku!" Kedua orang yang berilmu tinggi ini lalu melesat pergi menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk menyusul kedua orang tokoh wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liang-san.
*** Setelah sibuk membagi-bagi perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang akan bergabung dengan pasukan-pasukannya yang akan malam nanti menyerang barisan Sung yang dipimpin Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri, beristirahat mencari angin sejuk di dalam hutan kecil di belakang perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini untuk beristirahat dan membayangkan kembali siasatnya untuk serbuan malam nanti agar tidak sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat. Malam masih jauh, saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan telah diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang perkasa ini teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang tampan kasar, jujur dan tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu adalah penyamaran Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini pangeran itu telah menjadi pembantunya yang setia!
Akan tetapi Maya mengerutkan sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung indah itu kalau ia teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengannya karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya. Dia merasa sesuatu yang aneh terdapat dalam hubungan di antara kedua orang itu. Ada ia melihat sikap yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan tetapi sejenak saja sikap bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka bergandeng tangan memasang perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun hanya akan berlangsung pendek saja, seperti sikap pertentangan mereka"
Dan ia menarik napas berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu menyesak dadanya dan biarpun ia mengepalai banyak sekali pasukan namun ia merasa seolah-olah dia hidup sendiri kesepian. Ke manakah suhengnya itu sekarang" Dapatkah dia bertemu lagi dengan suhengnya" Ia membayangkan bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es!
Apakah suhengnya masih berada di sana" Dan sumoirya, Khu Siauw Bwee, apakah sumoinya itu pun berada di sana"
Teringat akan suhengnya, Maya melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan penuh iri hati yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa sumoinya juga mencinta suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu pasti kepada siapakah di antara mereka hati penuh kasih sayang suhengnya tertambat. Dia pun mengerti bahwa suhengnya amat sayang kepada dia dan sumoinya, akan tetapi bukanlah itu yang dia dan sumoinya kehendaki, melainkan kasih sayang pria terhadap wanita! Karena tenggelam dalam lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu sampai tidak tahu bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya, memandangnya penuh perhatian dan dengan sinar Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 316
mata penuh kasih!
"Maya...."
Dara perkasa ini terkejut, menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah berdiri di belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya berkata,
"Can Ji Kun, ada keperluan apakah engkau menemuiku?"
"Maya.... aku.... aku...." Ji Kun menggagap.
Hati Maya merasa tidak enak mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja padahal biasanya menyebutnya "li-ciangkun".
"Ji Kun, apakah yang terjadi" Engkau hendak bicara apa" Katakanlah!"
Ji Kun memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian menghela napas dan berkata, "Maya, katakanlah, apakah selama aku menjadi pembantumu aku memuaskan hatimu" Apakah kauanggap aku telah berjasa dan melaksanakan tugasku dengan baik?" Maya mengerutkan kening, tidak tahu dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan pikiran pemuda itu. Ia mengangguk dan menjawab, "Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan aku puas dengan bantuanmu."
"Syukurlah kalau begitu, Maya. Aku jadi lega dan berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Sesungguhnya.... eh, semenjak kita bertemu.... sesungguhnya.... aku amat tertarik kepadamu, Maya. Aku.... aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!"
Maya membelalakkan matanya, dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Mendengar
pernyataan seorang pemuda yang mengaku cinta padanya baru pertama kali ini didengarnya dan menimbulkan keharuan di hatinya. Dia mencinta suhengnya dan tidak terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji Kun murid bibinya menyatakan cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan tetapi ia teringat akan hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan hal inilah yang membuat dadanya terasa panas dan membuat dia langsung menjawab keras,
"Can Ji Kun, betapa berani engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa....! Kaukira mataku buta tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua" Baru saja engkau bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah berani
menyeleweng dan menyatakan cinta kcpadaku?"
"Tidak! Kalau ada pertalian antara sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing, bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu berjumpa denganmu. Aku cinta padamu!"
"Sudahlah!" Maya berkata jengkel. "Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja!
Aku yakin bahwa Yan Hwa mencintamu, Ji Kun dan demikian pula engkau pun cinta
kepadanya. Bukankah tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan terang-terangan?"
"Maya, kami hanya kadang-kadang berbaik karena mengingat hubungan suheng dan sumoi.
Akan tetapi aku tidak pernah akur dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan hatiku, tidak kasihankah engkau kepadaku?" Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Maya!
Maya bangkit berdiri, membanting kaki dan membentak, "Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas penting malam ini dan aku melarang engkau bicara tentang cinta!"
"Maya, aku siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa engkau tidak akan menolak cinta kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya...."
"Gila! Aku tidak tahu apa yang membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat mencinta pria lain!"
"Maya.... apakah.... apakah hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?"
Pertanyaan ini menusuk perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 317
berubah pucat itu kelihatan muram, dua titik air mata menimpa pipinya. Melihat ini, Ji Kun juga bangkit berdiri, memegang lengannya dan bertanya,
"Siapa dia, Maya" Siapa pria yang menyakiti hatimu" Katakan, akan kupenggal lehernya!"
Sekali renggut Maya melepaskan lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata marah. "Can Ji Kun, hentikan segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima, apalagi membalas cintamu. Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!" Setelah berkata demikian, ia meninggalkan pemuda yang berdiri dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata,
"Dan jangan lupa menyebutku "ciangkun" kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!"
Ji Kun tidak menjawab, dan setelah tiba di kamarnya Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu merenung, terkenang kepada suhengnya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk seperti itu ketika dia tinggalkan, dan diam-diam ia mempertimbangkan semua sikapnya. Tidak terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu" Can Ji Kun adalah murid bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah. Betapapun juga, tidak dapat dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan cinta kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang" Sepatutnya pemuda itu dikasihani!
Betapa sengsara hati mencinta yang tidak mendapat sambutan, seperti.... seperti dia mencinta Han Ki! Teringat akan ini, timbul perasan iba di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan sukarlah menemukan pembantu seperti pemuda itu. Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf dan menghiburnya. Dengan pikiran ini, Maya lalu melompat turun melesat keluar perkemahan, memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan tetapi di luar tidak terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan.
Betapa kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang begulung-gulung dan ternyata Ji Kun sedang bertanding pedang mati-matian melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan menyatakan cinta kasih kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan ketika Maya pergi, Yan Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu muncul dan memaki-maki Ji Kun lalu menyerangnya! Yan Hwa tak tahu bahwa
sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoinya dan juga saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan kepandaian siapa lebih tinggi!
Ketika melihat kedua orang itu bertanding mati-matian, bukan main-main, dan melihat Ji Kun terluka pundaknya sedangkan Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biarpun hanya tergores ujung pedang namun mengucurkan darah, Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke depan, mengelebatkan pedangnya.
"Cring-cring....!" Ji Kun dan Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan pedang Maya.
"Apakah kalian sudah gila" Hentikan pertandingan ini!" bentak Maya.
"Aku harus membunuhnya!" Yan Hwa berseru dan menerjang maju lagi.
"Perempuan sombong, kaukira begitu mudah?" Ji Kun balas membentak.
"Tranggg.....!" Pedang mereka bertemu dan bunga api berhamburan.
"Berhenti kataku!" Maya menerjang lagi di antara mereka, pedangnya berkelebat menyilaukan mata mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk mengelak.
"Kalian dua orang gila! Kita menghadapi serbuan kepada musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa artinya ini" Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak usah saling serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini tidak patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum terbalas, juga sekarang kita Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 318
menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk kita berada di depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang kalian tidak bisa didamaikan, biarlah aku yang mewakili mendiang Bibi Mutiara Hitam memberi pengajaran kepada kalian!"
Melihat Maya sudah marah sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian Maya dan mereka tidak menaruh kebencian kepada pendekar wanita ini maka biarpun ditantang mereka diam saja. Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu menyarungkan pedangnya, diturut oleh Yan Hwa.
"Maya.... eh, Li-ciangkun, maafkan aku yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar, kita masih menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku, Sumoi."
Yan Hwa menarik napas panjang. "Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi jangan kau memanaskan hatiku. Aku yang minta maaf."
Hampir Maya tertawa mendengar dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan berkata, "Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang terkenal.
Kalian bukanlah orang-orang lemah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita bersama menghadapi tugas yang berat dan penting, urusan pribadi harus dikesampingkan dulu. Apalagi kalau timbul urusan di antara kita yang bukan musuh, masih banyak jalan untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya diselesaikan di ujung pedang seperti musuh-musuh besar!"
"Maaf, Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita."
"Mari Suheng. Dan luka di pundakmu itu harus diobati."
"Juga luka di lenganmu. Aih, mengapa kita begitu terburu nafsu?"
Kedua orang itu saling menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik napas panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia harus marah, harus menangis, apakah tertawa. Kedua orang yang menjadi murid-murid bibinya itu benar-benar gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi mengapa mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu" Kalau dia tidak muncul, sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut di ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu! Hemm, mereka itu saling mencinta, akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan yang mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya. Kurang ajar! Tentu saja Ji Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka bertanding karena Yan Hwa cemburu! Akan tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah pemuda murid bibinya itu jatuh cinta kepadanya" Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya" Ia menghela napas, sudah memaafkan Ji Kun. Agaknya begitulah sifat laki-laki. Suhengnya juga sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh suhengnya itu kadang-kadang seperti mencinta sumoinya. Apakah semua laki-laki memiliki sifat mata keranjang"
Menjelang tengah malam, bergeraklah Pasukan Maut yang dipimpin oleh Maya, dan
pembantu-pembantunya yang lihai, yaitu Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa huciang. Mereka bergerak dari tiga jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk membantu dengan pasukan serigalanya. Maya telah mengadakan kontak rahasia dengan Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si pengembala yang memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak dari jurusan lain untuk secara langsung menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang akan memancing pasukan Sung sehingga mereka lengah akan ancaman yang lebih hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya!
Akan tetapi barisan Mancu kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan dapat
menyerbu secara mendadak dan mengacaukan musuh, karena begitu mereka tiba di lapangan terbuka, terdengar sorak-sorai meledak-ledak dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap menyambut kedatangan mereka! Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan merekalah yang menyerbu secara mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang diserbu Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 319
dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau! Perang tanding terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang campuh tanpa memilih lawan, hanya membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan teriakan-teriakan mereka.
Karena bulan bersembunyi di balik awan hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia di bumi yang saling sembelih saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu, dengan sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan mengatur barisan sambil menanti saat perintah atasan. Pemimpin masing-masing meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu sama kuat. Jumlah pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di lapangan yang telah diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung melihat gerak-gerik musuh di kanan kiri dan belakang sehingga mereka maklum bahwa biarpun belum ada penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun dari situ ada pula ancaman, sehingga sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sayap kanan, kiri dan belakang.
Rencana Maya untuk melakukan penyergapan di waktu malam ternyata mengalami kegagalan karena tanpa terduga-duga, awan-awan gelap nenutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding. Hal-hal seperti itu seringkali terjadi atas diri manusia. Betapapun pandainya manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil kalau Tuhan
menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha akan gagal berantakan oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia.
Akan tetapi kehancuran bala tentara Sung itu hanya mengalami kemunduran waktu saja karena pada keesokan harinya, begitu terang tanah, perang dilanjutkan dengan amat hebatnya.
Sekali ini pihak Sung benar-benar menjadi kacau, karena Maya telah menggerakkan Pasukan Mautnya yang terpecah-pecah itu untuk menghantam dari tiga jurusan. Yang hebat lagi, barisan berkuda Sung yang sudah terkenal amat kuat dan menjadi pelopor bagi seluruh pasukan, dihancurkan oleh Maya dan pasukannya dengan bantuan-bantuan serigala yang dipimpin Theng Kok si gundul yang menjadi penggembala serigala itu! Pasukan berkuda dari bala tentara Sung ini langsung dipimpin oleh Panglima Suma Kiat dan dua orang
pembantunya yang setia, yaitu selirnya, Ci Goat, dan muridnya, Siangkoan Lee. Tentu saja pasukan berkuda ini amat kuat dan terdiri dari orang-orang terlatih yang rata-rata memiliki ilmu silat lihai dan tidak akan gentar kalau hanya menghadapi serigala-serigala. Setiap orang dari pasukan ini akan dapat membunuh seekor serigala dengan mudah. Akan tetapi, kalau di dalam perang itu tlba-tiba muncul ratusan ekor serigala, liar yang langsung menerjang mereka, menyerang kaki-kaki kuda membuat kuda tunggangan mereka panik ketakutan, serigala-serigala yang seperti manusia saja dapat diatur oleh seorang laki-laki gundul yang juga berloncatan merangkak seperti serigala, tentu saja pasukan yang bagaimana kuat pun akan menjadi kacau-balau. Lebih lagi karena saat itu dipergunakan oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa untuk menerjang pasukan berkuda yang merupakan andalan seluruh barisan Sung, maka Suma Kiat sendiri menjadi marah dan juga bingung menyaksikan keadaan pasukannya.
Ia berteriak-teriak membagi tugas. Hatinya makin panas dan marah ketika ia menerima laporan bahwa yang menyerang dari belakang, kanan dan kiri adalah Pasukan Maut yang amat terkenal dipimpin oleh Panglima Wanita Maya. Tentu saja Suma Kiat sudah pernah mendengar kehebatan Pasukan Maut ini yang kabarnya adalah pasukan anak buah pasukan armada di timur yang memberontak.
"Biar kuhadapi sendiri pemberontak itu!" bentaknya dan bersama selir dan muridnya, panglima ini menyerbu di atas kudanya ke depan. Gerakan pedang tiga orang ini hebat bukan main dan entah berapa puluh ekor serigala tewas oleh mereka bertiga. Bahkan dengan kemarahan meluap Suma Kiat sudah melepas senjata jarum-jarum hitam ke arah Theng Kok.
Jarum-jarum beracun hitam dari Suma Kiat amat dahsyat, tentu saja tak dapat dielakkan oleh laki-laki gundul itu sehingga dadanya terkena tiga batang jarum hitam yang membuatnya terjungkal, berkelojotan dan mengeluarkan suara meraung-raung seperti serigala marah.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 320
Raungan ini membuat sisa barisan serigala menjadi seperti gila. Mereka meraung-raung pula dan mengamuk hebat dan nekat. Pihak pasukan berkuda bala tentara Sung benar-benar menjadi rusak keadaannya oleh amukan serigala-serigala ini karena menghadapi penyerbuan Pasukan Maut itu mereka sudah merasa berat. Memang akhirnya mereka dapat membunuh semua serigala, akan tetapi pasukan ini kehilangan banyak sekali anak buah, lebih dari setengahnya. Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa
menghimpit mereka dari kanan kiri dan sepak terjang kedua orang ini benar-benar
mengerikan. Mereka itu menggerakkan pasukan dan menggerakkan pedang seolah-olah
hendak saling berlumba, berbanyak-banyakan membabat musuh! Mereka menaati pesan
Maya untuk menghimpit pasukan berkuda yang dipimpin sendiri oleh Suma Kiat itu karena panglima wanita ini sendiri mengerahkan pasukannya untuk menyerbu pasukan benar lawan untuk membantu barisan Mancu.
"Bala bantuan datang!" Teriakan ini berulang kali terdengar dari pihak tentara Sung yang telah didesak hebat, dan pasukan Sung itu menjadi girang sekali dan bangkit semangat perlawanan mereka. Juga Suma Kiat menjadi girang sekali ketika ia mengenal pasukan-pasukan yang dipimpin oleh beberapa orang panglima Kerajaan Sung, yang dari jauh sudah dapat dikenal bendera-benderanya. Dia bersama selirnya dan muridnya tertawa dan
mengamuk makin hebat sehingga di pihak musuh, para perajurit menjadi gentar tidak berani mendekati mereka.
Sementara itu, Maya dan pihak barisan Mancu yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, menjadi terkejut. Biarpun mereka telah mulai mendesak musuh, namun sesungguhnya jumlah pasukan lawan lebih besar. Kalau sekarang ditambah bala bantuan tentara Sung, benar-benar merupakan keadatan yang membahayakan sekali! Tadinya, dengan cara penyergapan yang sudah direncanakan, ditambah bantuan barisan serigala, tentara Sung telah dibikin kacau dan banyak di antara mereka tewas sehingga jumlah mereka kini hampir seimbang, kemenangan sudah nampak di depan mata. Akan tetapi dengan munculnya pasukan-pasukan baru yang masih segar, Maya merasa khawatir apakah pasukannya dan pasukan Mancu akan mampu bertahan.
Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak terduga, baik oleh pihak Mancu, maupun oleh pihak Sung sendiri. Pasukan baru yang jelas adalah pasukan Kerajaan Sung itu datang-datang bukan membantu barisan Sung yang dipimpin Panglima Besar Suma Kiat, sebaliknya malah menyerang barisan Sung! Tentu saja Suma Kiat menjadi kaget heran dan marah. Ia membalapkan kudanya menyambut pasukan Sung itu diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee.
Biarpun pasukan yang baru datang itu mendapat perintah atasan mereka untuk menyerbu pasukan Sung, akan tetapi melihat Suma Kiat, mereka yang tentu saja sudah mengenalnya, tidak berani menyerang sehingga dengan mudah Suma Kiat dapat berhadapan dengan tiga orang pimpinan pasukan itu. Dia mengenal tiga orang ini tiga orang panglima yang dahulu bertugas menjaga di utara, yaitu Panglima-panglima Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat. Mereka ini adalah rekan-rekan mendiang Panglima Khu Tek San, dan karena mereka adalah orang-orang bawahannya, Suma Kiat membentak marah,
"Apakah kalian bertiga sudah menjadi gila" Mengapa pasukan kalian menyerang pasukan kami sendiri?"
Ong Ki Bu Panglima tinggi besar yang mukanya menyeramkan dan sikapnya gagah seperti Panglima Kwan Kong dalam dongeng Sam-kok, mengajukan kudanya dan menudingkan
tombaknya kepada Suma Kiat sambil berkata,
"Suma Kiat! Engkau sendiri sudah mengangkat tangan secara kejam, membunuhi pahlawan-pahlawan budiman dan gagah perkasa seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San, engkau menjilat-jilat para thaikam dan bersekutu melumpuhkan Kaisar melemahkan negara. Kalau kami sekarang mengangkat senjata melawanmu, apakah keanehannya?"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 321
Muka Suma Kiat menjadi merah, matanya terbelalak, alisnya berdiri dan sejenak ia tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya ia menggereng keras, tubuhnya mencelat dari atas kudanya, menyambar ke arah Ong Ki Bu. Panglima Ong ini maklum betapa lihainya Jenderal Suma Kiat, maka ia cepat menyambut sambaran tubuh Suma Kiat dengan tombaknya yang digerakkan cepat menusuk. Suara tombak menyambar sampai mengeluarkan suara mendesing saking kuatnya tenaga panglima yang tinggi besar itu dan ujung tombak lenyap berubah menjadi sinar memapaki tubuh Suma Kiat ke arah dadanya.
"Krekkkk! Desss!" Tombak itu patah, tangan kiri Suma Kiat sudah memukul dada Panglima Ong Ki Bu yang berteriak keras dan terjengkang dari atas punggung kudanya, terbanting ke atas tanah dan tewas di saat itu juga dengan dada menghitam seperti terbakar api. Dalam kemarahannya tadi, Suma Kiat telah mempergunakan pukulan Hui-tok-ciang (Pukulan
Tangan Api Beracun) yang ampuhnya menggila!
"Hayo kalian berdua lekas berlutut dan menarik kembali pasukan!" Suma Kiat membentak kepada Panglima Cong Hui dan Panglima Kwee Tiang Hwat yang memandang dengan muka pucat ke arah mayat Ong Ki Bu.
Akan tetapi, sebaliknya dari menaati perintah ini, kedua orang panglima itu malah menerjang maju dengan senjata mereka, menerjang Suma Kiat! Jenderal tua ini makin marah akan tetapi pada saat itu, Bu Ci Goat selirnya dan Siangkoan Lee sudah maju menyambut dua orang panglima itu. Tidak berlangsung lama pertandingan yang berat sebelah ini. Dalam hal ilmu perang, mungkin kedua orang panglima ini jauh lebih lihai dibandingkan dengan selir dan murid Suma Kiat itu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, mereka kalah jauh dan dalam belasan jurus saja Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat telah roboh terjungkal dan tewas menyusul rekan mereka Ong Ki Bu.
Akan tetapi biarpun tiga orang panglima itu telah roboh tewas, pasukan mereka yang menyerbu membuat pasukan Sung yang dipimpin Suma Kiat menjadi kacau dan terpukul mundur. Melihat ini, Suma Kiat menjadi makin marah. Dia bersama selir dan muridnya mengamuk dan terus maju membabati musuh, merobohkan banyak perwira Mancu dan
akhirnya Suma Kiat berhadapan dengan dua orang murid Mutiara Hitam yang juga
mengamuk secara dahsyat.
"Ha-ha, bagus sekali! Manusia jahat Suma Kiat datang menyerahkan nyawanya!" Can Ji Kun ketawa dan menerjang maju didahului sinar kilat pedangnya, dan hanya selisih beberapa detik dari pedang di tangan Ok Yan Hwa yang juga sudah menyerang tubuh panglima itu.
"Trang-trang....!" Suma Kiat terkejut bukan main menyaksikan berkelebatnya dua sinar kilat menyilaukan mata itu, apalagi ketika ia merasakan telapak tangannya tergetar ketika menangkis. Dipandangnya dua orang muda itu dengan mata terbelalak, dan ia membentak,
"Bocah-bocah setan! Siapa kalian?"
"Buka telingamu lebar-lebar!" Ok Yan Hwa berseru sambil melintangkan pedang di depan dada. "Kami adalah murid-murid Mutiara Hitam yang datang sengaja untuk mencabut nyawamu!"
Mendengar disebutnya nama Mutiara Hitam, Suma Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga marah. Dahulu, di waktu mudanya, ia tergila-gila kepada Mutiara Hitam yang selain masih menjadi saudara misannya, juga Mutiara Hitam Kam Kwi Lan adalah murid ibunya (baca cerita Mutiara Hitam), akan tetapi karena cinta kasihnya ditolak, ia menjadi benci kepada Mutiara Hitam, bahkan benci kepada semua keturunan keluarga Suling Emas. Matanya melotot dan ia membentak,
"Kebetulan sekali! Aku tidak berkesempatan membikin mampus Mutiara Hitam yang sudah mati oleh orang-orang Mongol, sekarang aku akan puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya!"
Ia menerjang maju dengan dahsyat, menggunakan pedangnya yang juga sebatang pedang pusaka, mainkan Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang amat hebat.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 322
"Ha-ha! Pedang kami yang akan menghirup darahmu!" Ji Kun mengejek dan menyambut serangan itu bersama sumoinya sambil balas menyerang karena di antara kedua orang murid Mutiara Hitam ini khawatir kalau-kalau kalah dulu!
Mutiara Hitam telah menurunkan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam kepada kedua orang murid mereka, dan ilmu pedang itu telah digabungkan dengan Ilmu Golok Pek-kong To-hoat dari Tang Hauw Lam, maka kini ilmu pedang yang dimainkan dua orang murid Mutiara Hitam itu hebatnya luar biasa. Masing-masing telah memberi nama sesuai dengan pedang mereka, yaitu Yan Hwa mainkan Li-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Merah) sedangkan Ji Kun mainkan Lam-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan). Biarpun Suma Kiat memiliki tingkat
kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka, dia terkejut juga menyaksikan kehebatan gerakan mereka terutama sekali kaget melihat sinar pedang yang mengandung hawa mujijat yang mengerikan!
Melihat keadaan panglima itu, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang sedang mengamuk
merobohkan para perajurit Pasukan Maut seperti orang membabat rumput saja, cepat menghampiri dan menerjang maju sehingga di lain saat, Yan Hwa telah dikeroyok dua oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee, sedangkan Ji Kun bertanding melawan Suma Kiat. Kini keadaan menjadi berubah sama sekali. Kalau Suma Kiat tidak dibantu murid dan selirnya, biarpun kedua orang murid Mutiara Hitam tidak akan mudah untuk dapat mengalahkannya, namun panglima ini pun akan selalu terdesak. Kini, setelah kedua orang itu membantunya, Suma Kiat mendesak Ji Kun dengan hebat, sedangkan Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat dapat pula menandingi kehebatan ilmu pedang Yan Hwa.
Kedatangan pasukan-pasukan Sung di bawah pimpinan tiga orang panglima yang
memberontak terhadap Suma Kiat membuat keadaan perang menjadi berat sebelah dan pihak barisan Sung menjadi kocar-kacir. Sebagian besar tewas dan kini mulailah ada perajurit membalikkan tubuh dan melarikan diri. Menyaksikan keadaan ini, mulailah Maya
memperhatikan lain hal, yaitu keinginannya untuk membunuh Suma Kiat. Ketika dia melihat betapa musuh besar yang telah mencelakakan Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, dan juga suhengnya itu kini sedang mendesak Ji Kun sedangkan Yan Hwa juga didesak oleh dua orang pembantu panglima itu, Maya lalu cepat menghampiri mereka.
"Trangggg....!" Tubuh Suma Kiat terhuyung ke belakang dan pundak kirinya terluka, bajunya robek berdarah. Ia memandang Maya, dengan wajah pucat dan mata mendelik saking
marahnya. "Hemmm, agaknya engkau inikah Panglima Wanita Maya yang terkenal itu?" bentaknya.
Maya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan hati Suma Kiat. "Benar, akulah Maya.
Apakah engkau telah lupa, Suma Kiat" Lupa kepada dua orang anak yang menyelundup masuk ke istana ketika menyambut utusan Kerajaan Yucen?"
Suma Kiat membelalakkan matanya. "Engkau...." Engkaukah.... Maya puteri Raja Talibu?"
Diam-diam ia bergidik. Kiranya kini ia berhadapan dengan keturunan keluarga Suling Emas lagi! Dua orang murid Mutiara Hitam belum dapat ia robohkan, kini muncul keponakan Mutiara Hitam yang agaknya memiliki kepandaian lebih hebat, puteri dari Raja Talibu, kakak kembar Mutiara Hitam! Mulailah panglima ini menjadi gentar hatinya, apalagi ketika ia menoleh ke sekeliling melihat betapa pasukannya sudah kocar-kacir, bahkan ia melihat seorang penunggang kuda yang berpakaian gagah dan mewah, yang ia kenal sebagai Pangeran Bharigan dari Mancu! Suma Kiat maklum bahwa dalam keadaan terkurung seperti itu, dia dan dua orang pembantunya sudah tidak dapat membebaskan diri. Ia melihat selirnya dan muridnya masih melawan Ok Yan Hwa dengan gigih, dan diam-diam ia pun hendak berlaku nekat, melawan sampai mati ketika tiba-tiba timbul akal yang amat baik di otaknya.
"Persetan kalian! Mampuslah!" Kedua tangan panglima ini bergerak.
"Awas jarum berbisa!" Maya cepat berteriak memperingatkan orang-orangnya sambil mengibaskan lengan bajunya. Jarum-jarum berwarna merah dan hitam menyambar ke arah Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 323
Maya dan para perwira yang mengurung di situ. Biarpun Maya sudah memberi ingat, tetap saja Kwa-huciang, pembantunya, roboh terguling dari atas kudanya. Melihat ini, Maya cepat meloncat mendekati dan melihat tiga batang jarum memasuki pergelangan tangan kiri Kwa-huciang.
"Celaka! Pertahankan Kwa-huciang!" Maya berseru dan.... tampak sinar berkelebat ke arah pergelangan tangan yang seketika menjadi buntung terbabat pedang Maya! Kwa-huciang yang maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menolong nyawanya hanya mengorbankan
tangan, menggigit bibir menahan rasa nyeri.
"Biar kurawat sendiri lukanya, Li-ciangkun, lebih balk tangkap dia!" Ia menuding ke depan.
Maya baru teringat dan cepat mengangkat mukanya. Namun, terlambat karena Suma Kiat sudah meloncat ke arah Pangeran Bharigan dan sekali sergap saja ia berhasil membekuk pangeran itu dan mengancam nyawa Sang Pangeran Mancu dengan jari tangan di atas ubun-ubun!
"Ci Goat! Lee-ji! Mundur ke sini!" Suma Kiat membentak. Selir dan muridnya meloncat ke belakang meninggalkan Ok Yan Hwa.
"Pengecut besar!" Maya berseru. "Lepaskan Pangeran Bharigan dan hadapi kami secara lakilaki. Panglima macam apa engkau ini?"
Suma Kiat tersenyum. Pundaknya masih terluka dan berdarah. "Belum waktunya kita bertanding, Maya. Aku sudah lelah dan perlu mengaso. Terserah kepadamu, kalau kau hendak memaksa melanjutkan pertandingan, lebih dulu Pangeran Mancu keparat ini kuhancurkan kepalanya!"
"Jangan dengarkan dia, Li-ciangkun! Aku tidak takut mati. Serang saja!" Pangeran Bharigan yang sudah dibuat tidak berdaya itu berkata dengan nada keras penuh keberanian, "Can Ji Kun! Ok Yan Hwa! Hayo cepat serang jahanam ini!"
Kedua orang murid Mutiara Hitam sudah melangkah maju, akan tetapi Maya membentak,
"Tahan!"
Kedua orang muda itu tidak berani membangkang dan menoleh dengan pandang mata penuh pertanyaan. Maya menghela napas dan berkata, "Jiwa pahlawan Pangeran Bharigan jauh lebih berharga dibandingkan dengan sepuluh jiwa rendah macam mereka ini. Suma Kiat, apa kehendakmu sekarang?"
"Ha-ha-ha! Melakukan siasat dalam keadaan terjepit, itu cerdik namanya! Maya, apa yang kaukehendaki?"
"Manusia rendah! Jangan mengira bahwa aku akan merendahkan harga diri Pangeran Bharigan dengan menyelamatkan nyawanya untuk memenuhi segala kehendakmu yang
mencemarkan namanya. Engkau bebaskan dia dan aku akan membebaskan engkau. Ini adalah keputusan adil di antara orang gagah, kalau engkau masih memiliki slfat kegagahan!"
"Ha-ha-ha, bocah yang kurang ajar. Tidak ingatkah engkau bahwa aku ini masih pamanmu sendiri" Ayahmu, Raja Talibu adalah adik misanku, dan Mutiara Hitam adalah adik misanku pula, bahkan dahulu calon isteriku, juga sumoiku karena Mutiara Hitam adalah murid ibuku.
Apakah engkau sekarang, dan dua orang murid Mutiara Hitam itu berani bersikap kurang ajar kepadaku?"
"Tak perlu banyak bicara, Suma Kiat. Sekarang engkau yang harus pilih. Engkau bebaskan Pangeran Bharigan, dan aku pun tidak akan mengganggumu bertiga, kalian bertiga boleh pergi dari sini tanpa diganggu. Atau.... aku akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kau membunuh Pangeran Bharigan. Nah, pilihlah!"
"Ha-ha-ha! Maya, engkau membela mati-matian kepada Pangeran Mancu ini. Hemmm.... dia memang gagah dan tampan! Aha, aku mengerti sekarang. Agaknya engkau sudah tergila-gila kepadanya, ya" Kerajaan Khitan sudah hancur, memang baik sekali kalau engkau menjadi isteri seorang Pangeran Mancu sehingga ada harapan untuk kelak menjadi permaisuri...."
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 324
"Keparat busuk, tutup mulutmu dan bunuhlah aku!" Pangeran Bharigan membentak marah sekali.
"Suma Kiat, bagaimana?" Maya menghardik, tangannya meraba gagang pedang yang tadi sudah disarungkannya.
"Ha-ha-ha, baiklah. Aku bebaskan dia! Ci Goat, Siangkoan Lee, hayo kita pergi dari sini!"


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suma Kiat melepaskan Pangeran Bharigan, kemudian tanpa mempedulikan musuh-musuhnya, dia melangkah pergi diikuti kedua orang pembantunya yang setia itu. Melihat betapa bekas panglima musuh itu pergi begitu saja, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menggerakkan pedang.
Tampak dua sinar kilat berkelebat ke depan mengejar musuh.
"Trang-tranggg....!"
"Ehhh! Engkau.... melindungi dan membela dia?" Yan Hwa dan Ji Kun hampir berbareng bertanya sambil melintangkan pedang di dada dan memandang Maya dengan mata terbelalak.
Maya menyarungkan kembali pedangnya yang dipergunakan untuk menangkis dan
menghalang tadi, menggeleng kepala dan berkata, suaranya tegas dan ketus.
"Tidak, aku tidak membela dia melainkan membela kehormatan kita sendiri. Seorang gagah lebih menghargai kehormatan daripada nyawa. Kita sudah berjanji, siapa sudi melanggar janji sendiri" Apakah hal macam ini saja kalian tidak tahu ataukah melupakan pelajaran mendiang Bibi Mutiara Hitam yang gagah perkasa?"
Ji Kun dan Yan Hwa menundukkan muka dan diam-diam mengaku dalam hati bahwa di
dalam banyak hal, Maya ini menyerupai guru mereka! Tiba-tiba terjadi kegaduhan dan Suma Kiat bersama dua orang pembantunya sudah dikeroyok beberapa orang perwira Mancu.
"Heiii! Tahan senjata! Bebaskan mereka bertiga, biarkan tiga ekor anjing itu pergi!" Pangeran Bharigan berseru dengan marah. Mendengar seruan ini, para perwira Mancu terkejut dan mundur. Beberapa orang perwira tinggi menghampiri pangeran itu dan bertanya mengapa komandan pasukan musuh malah diberi kebebasan. Pangeran Bharigan memandang ke arah Maya dan berkata,
"Panglima Wanita Maya yang sakti telah berjanji membebaskannya. Janji merupakan kehormatan dan aku akan membela kehormatan Panglima Maya dengan taruhan nyawaku!"
Mendengar ini, para perwira memberi hormat ke arah Maya yang menjadi merah mukanya karena ucapan Sang Pangeran itu, disertai pandang matanya, sama sekall tidak
menyembunyikan perasaan di hati pangeran itu terhadap dirinya!
Kemenangan besar di hari itu disambut meriah oleh Raja Mancu. Maya disanjung dan dipuji oleh Raja bahkan dianugerahi pangkat tinggi menjadi wakil panglima besar yang dipegang oleh Pangeran Bharigan sendiri! Kalau tadinya Maya hanya memimpin ratusan orang tentara Sung yang memberontak terhadap Kerajaan Sung, kini dia mengepalai laksaan perajurit Mancu yang siap setiap saat mematuhi segala perintahnya. Juga Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa dianugerahi kedudukan sebagai panglima-panglima yang dihormati. Kwa-huciang yang kehilangan sebelah tangannya dalam pertempuran itu, diangkat menjadi penasihat perang oleh Pangeran Bharigan yang pandai mengambil hati orang-orang yang berkepandaian.
Karena memang tujuan hati Maya dan kawan-kawannya hanya untuk melepaskan dendam
kepada Pemerintah Sung, kepada bangsa Mongol dan bangsa Yucen, bagi mereka tidak peduli mereka itu menjadi panglima tentara Sung yang memberontak atau tentara Mancu, tidak ada bedanya. Yang penting, mereka dapat membalas dendam dan tentu saja hal ini hanya mampu mereka lakukan kalau mereka memimpin barisan yang kuat.
Raja Mancu yang maklum akan isi hati pembantu-pembantu kuat ini, berlaku cerdik dan bijaksana. Maya dan kawan-kawannya hanya diberi tugas untuk memimpin pasukan
menghadapi pasukan-pasukan musuh yang memang dibenci oleh mereka. Hal ini diserahkan oleh Pangeran Bharigan yang telah mengetahui riwayat Maya.
Semenjak Maya, Ji Kun dan Yan Hwa berada di situ sebagai Panglima-panglima Mancu, bala Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 325
tentara Mancu menjadi kuat dan mendapatkan kemajuan besar. Dalam banyak pertempuran, baik menghadapi pasukan Mongol, pasukan Sung, atau Yucen, pasukan yang dipimpin Maya atau kedua orang murid Mutiara Hitam selalu memperoleh kemenangan! Mereka makin
disanjung-sanjung dan diberi banyak hadiah oleh Raja.
Biarpun kedudukannya telah tinggi dan cita-citanya membalas dendam telah terlaksana, namun banyak hal yang dihadapinya membuat Maya sering kali tampak termenung dan
berduka. Tidak saja ia menderita rindu kepada suhengnya yang dicintanya, juga dia menghadapi hal-hal yang memusingkan hatinya. Pertama adalah urusan Ji Kun dan Yan Hwa.
Sungguh dia tidak mengerti akan sikap kedua orang murid bibinya itu. Jelas bahwa keduanya itu saling mencinta, bahkan terang-terangan kedua kakak beradik seperguruan itu telah lama melakukan hubungan seperti suami isteri saja! Akan tetapi betapa seringnya mereka berdua itu cekcok, bahkan berkelahi dan saling serang dengan senjata mereka yang dahsyat, yaitu Sepasang Pedang Iblis yang kini telah didengar riwayatnya oleh Maya dari kedua orang itu.
Setiap kali kedua orang itu bercekcok, dia yang melerai, akan tetapi selalu Ji Kun lalu memperlihatkan sikap mesra kepadanya yang ia tidak dapat mengenal pula dasarnya. Apakah memang benar tertarik kepadanya, ataukah hanya dipergunakan untuk "memanaskan" hati Yan Hwa, dia tidak pernah dapat memastikan.
Akan tetapi, hal itu tidak begitu memberatkan hatinya seperti hal lain yang membuat dia benar-benar bingung dan kadang-kadang menjadi kesal. Hal ini adalah kenyataan bahwa Pangeran Bharigan yang dahulunya bernama Cia Kim Seng si penggembala domba, jelas sekali jatuh cinta kepadanya! Mula-mula hanya diperlihatkan dalam pandang mata, dalam suara dan sikap serta gerak-geriknya, akan tetapi makin lama makin nyata, bahkan pada suatu senja pangeran itu menemuinya di dalam taman dan secara terang-terangan menyatakan cinta kasihnya terhadap Maya dan meminangnya untuk menjadi isterinya!
"Aku tahu siapa engkau, Puteri Maya. Kita berdua adalah keturunan raja-raja dari bangsa kita yang besar. Kerajaan Khitan telah rusak, akan tetapi aku berjanji untuk membangunnya kembali. Kita bersama dapat membangun kembali Kerajaan Mancu dan Khitan, disatukan menjadi negara besar!" Demikian antara lain bujukan yang dikeluarkan oleh Pangeran Bharigan secara sungguh-sungguh.
Maya menghela napas panjang. "Pangeran Bharigan, terima kasih banyak atas segala kebaikanmu dan cinta kasihmu terhadap aku. Tentang kerja sama, tentu saja aku setuju sekali, bahkan bukankah sekarang kita telah bekerja sama" Akan tetapi tentang perjodohan, maafkan aku, Pangeran. Bagiku, jodoh hanya dapat diikat dengan cinta kedua pihak."
"Apakah.... apakah tidak ada cinta kasih sedikit saja di hatimu terhadap diriku?" Pertanyaan Pangeran itu yang diucapkan dengan suara gemetar dan secara terang-terangan membuat kedua pipi Maya kemerahan dan hatinya terharu.
"Pangeran, maafkan aku. Aku suka kepadamu semenjak engkau kukenal sebagai Cia Kim Seng si penggembala domba, dan engkau adalah seorang pria yang amat baik, gagah perkasa, tampan, budiman, berkedudukan tinggi, pendeknya, tiada cacad celanya bagi seorang gadis.
Akan tetapi, soal cinta adalah soal hati dan tidak bisa dipaksakan, Pangeran."
Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Puteri Maya, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau telah mencinta pria lain?"
Maya mengangkat muka memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya Maya
menundukkan muka dan menarik napas panjang, akan tetapi ia berkata dengan jujur, "Benar, Pangeran."
Pangeran Bharigan menghela napas panjang. "Aihhh, betapa bahagianya pria itu...."
Di dalam suara Pangeran itu terkandung kedukaan dan kekecewaan besar, membuat Maya terharu dan dara ini berkata, "Tidak, Pangeran, karena agaknya dia tidak menerima cintaku."
Pangeran itu membelalakkan mata dan mengepal tinju. "Apa" Kalau dia menolak cinta kasihmu, sudah terang dia itu orang gila!"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 326
"Pangeran!"
"Maafkan aku, Maya....!" Kemudian pangeran itu dapat menguasai hatinya dan tersenyum, memaksa diri bergembira sambil berkata, "Sudahlah, aku tidak semestinya menggodamu dan kita hentikan saja pembicaraan mengenai hal yang mendatangkan kepahitan di hati kita itu.
Maafkan aku sekali lagi, dan aku hanya berdoa semoga engkau bahagia, dan.... semoga akan tumbuh tunas cinta di hatimu terhadap aku, Maya."
Biarpun semenjak saat itu sikap Pangeran Bharigan terhadap dirinya menjadi biasa kembali dan pangeran itu tidak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal cinta, namun ia tahu dari pandangan mata pangeran itu kepadanya bahwa cinta kasih yang bersemi di hati pangeran itu semakin mendalam dan pangeran ini selalu masih mengharapkan sambutannya. Hal-hal itulah yang membuat Maya kadang-kadang termenung, teringat dengan hati perih kepada Kam Han Ki, suhengnya dan juga gurunya yang amat dicintanya.
Pada suatu hari, selagi Pangeran Bharigan berunding dengan Maya, membicarakan
pergerakan bala tentara Yucen tak jauh dari perbatasan barat, tiba-tiba datang berita yang mengejutkan bahwa pasukan Mancu yang menjaga di perbatasan barat itu hancur diserbu pasukan Yucen yang besar dan amat kuat! Lebih dari setengah jumlah pasukan Mancu tewas dan sisanya kocar-kacir. Yang amat menyakitkan hati adalah masuknya seorang perwira Mancu membawa kepala seorang panglima yang memimpin pasukan Mancu. Kiriman kepala panglima ini adalah kiriman dari pihak Yucen yang disampaikan kepada Pangeran Bharigan sebagai sebuah penghinaan dan tantangan!
Perwira itu berlutut dan membawa baki yang terisi kepala manusia itu, diterima dengan tenang namun muka berubah pucat oleh Pangeran Bharigan yang meloncat bangun dari kursinya. Suaranya gemetar menahan marah ketika ia membentak,
"Kubur kepala itu dengan upacara kebesaran!"
Perwira itu pergi dan Sang Pangeran menjatuhkan diri di atas kursinya dan berkata penuh geram, "Sungguh aneh sekali sikap orang Yucen! Biasanya mereka tidak pernah melakukan hal yang menjemukan dan sombong itu! Sikap mereka ini harus kita sambut sebagai tantangan untuk mengadakan perang besar. Hemmm, berani mereka memandang rendah kepada kita!"
Seorang perwira lain dari pasukan yang terpukul hancur itu menceritakan betapa di pihak tentara Yucen terdapat seorang panglima yang amat sakti, yang berpakaian biasa tidak seperti panglima, namun orang itulah yang sebenarnya membuat pertahanan pasukan Mancu
berantakan. Juga Panglima Yucen itulah yang telah memenggal kepala panglima komandan mereka dan mengirimkan kepala itu kepada Kerajaan Mancu.
"Keparat! Biarkan aku sendiri memimpin pasukan untuk menghajar mereka, Pangeran!" kata Maya dengan marah.
"Aih, menurut laporan, jumlah pasukan Yucen itu hanya sekitar sepuluh ribu orang saja.
Tidak perlu engkau merendahkan diri melayani musuh yang begitu kecil jumlahnya."
Maya terpaksa mengangguk. Pangeran ini selalu berusaha untuk mengangkat derajatnya.
"Kalau begitu, aku akan menyuruh Ji Kun dan Yan Hwa saja memimpin pasukan istimewa untuk menghancurkan pasukan Yucen."
Pangeran Bharigan mengangguk, "Baiklah, kalau kedua orang panglima yang saling berlumba membunuh musuh itu maju bersama, tentu pasukan musuh akan dapat dibasmi habis." Dia tersenyum puas karena sudah beberapa kali sepak terjang kedua orang murid Mutiara Hitam itu amat hebat dan ganas, mengerikan bagi pihak lawan. Biarpun kedudukan mereka sudah tinggi namun Ji Kun dan Yan Hwa selalu turun tangan sendiri, terjun ke medan perang dan pedang mereka yang mulai terkenal sebagai Pedang Iblis itu seakan-akan berlumba, berbanyak-banyak minum darah musuh! Bahkan orang-orang dalam pasukan Mancu sendiri, dan pasukan Sung yang menggabungkan diri dengan Mancu, secara berbisik menyebut
mereka berdua itu Pendekar Sepasang Pedang Iblis! Ji Kun disebut Pedang Iblis Jantan sedangkan Yan Hwa disebut Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 327
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menerima perintah Maya untuk menyerbu dan menghancurkan pasukan Yucen yang mengalahkan pasukan Mancu di perbatasan barat, mereka menjadi girang sekali. Mereka sudah mendengar akan kekalahan pasukan Mancu dan tangan mereka sudah gatal-gatal untuk menghajar pihak musuh. Begitu menerima perintah, Ji Kun dan Yan Hwa lalu mengatur pasukan mereka masing-masing. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki watak tinggi hati, maka mendengar bahwa pihak musuh hanya terdiri dari sepuluh ribu orang, mereka pun tidak mau membawa pasukan besar, masing-masing hanya memimpin lima ribu orang sehingga jumlahnya sepuluh ribu. Di bawah pimpinan Sepasang Pedang Iblis, pasukan Mancu bersemangat tinggi dan mereka berangkat dengan langkah tegap, sikap gagah dan sambil bernyanyi-nyanyi.
Setelah tiba di perbatasan, mereka disambut oleh barisan Yucen dan terjadilah perang yang amat seru. Debu mengepul tinggi, suara beradunya senjata diseling teriakan-teriakan mendatangkan suara hiruk-pikuk yang membubung tinggi ke angkasa. Kuda-kuda meringkik, kilatan golok pedang dan tombak menyilaukan mata dan banjir darah mulai membasahi rumput dan tanah.
Ji Kun dan Yan Hwa, seperti biasa, meloncat turun dari kuda mereka dan mengamuk. Pedang mereka berubah menjadi dua sinar kilat yang menyambar-nyambar ganas, setiap sambaran tentu disusul jerit seorang lawan yang roboh binasa. Mereka seperti berubah menjadi sepasang iblis yang haus darah dan mereka mengamuk berdekatan agar dapat melihat sendiri bahwa mereka masing-masing dapat membunuh lawan yang lebih banyak. Sambil merobohkan
lawan, kedua orang ini menghitung jumlah korban mereka.
Kehebatan dua orang murid Mutiara Hitam ini memperkobar semangat bertanding pasukan Mancu sehingga pasukan Yucen terdesak hebat dan mulai mundur dengan penuh rasa gentar, terutama sekali menyaksikan pengamukan dua orang Panglima Mancu yang sakti itu.
Akan tetapi tiba-tiba mereka bersorak dan semangat mereka bangkit. Di bagian depan, pasukan Mancu mulai kocar-kacir dan terpukul mundur. Hal ini disebabkan oleh terjunnya seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah ke medan perang. Pedang di tangan kanannya berlumba dengan telapak tangan kirinya. Setiap sabetan atau tusukan pedang sama
mengerikannya dengan setiap dorongan atau tamparan tangan kirinya. Kepala atau dada seorang perajurit Mancu akan hancur dan pecah terkena tamparan tangan kiri orang ini. Dia berpakaian biasa, bukan seperti seorang panglima atau perajurit, akan tetapi agaknya para anak buah pasukan Yucen mengenalnya dengan baik karena mereka itu bersorak-sorak bersemangat ketika orang sakti ini muncul.
Laki-laki muda rupawan ini bukan lain adalah Kam Han Ki! Seperti telah kita ketahui, kematian Sung Hong Kwi yang telah menjadi isteri Pangeran Dhanu dari Kerajaan Yucen, membuat hati Kam Han Ki remuk redam dan timbullah dendamnya kepada bangsa Mancu
yang dianggap sebagai biang keladi atau penyebab kematian bekas kekasihnya itu. Dialah orangnya yang telah mengamuk dan menghancurkan barisan Mancu, bahkan dialah yang memenggal kepala Panglima Mancu dan melemparkan kepala panglima itu dengan pesan agar dikirimkan kepada Raja Muda Mancu! Di dalam kemarahan dan dendamnya, Han Ki
menantang dan bersumpah akan membasmi semua orang Mancu.
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menyaksikan betapa pasukan mereka di sebelah depan kocar-kacir dan mundur, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mendengar bahwa pihak musuh terdapat seorang yang sakti, maka begitu melihat laki-laki berpedang itu mengamuk seperti seekor naga menyambar-nyambar merobohkan banyak anak buah mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini menjadi marah. Seperti berlumba mereka lalu melesat ke depan, merobohkan setiap orang perajurit musuh yang menghadang dan hanya beberapa menit kemudian mereka telah tiba di tempat laki-laki tampan itu mengamuk.
Tanpa berkata apa-apa, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menyerbu dengan pedang mereka,
menyerang Han Ki dengan jurus-jurus maut yang membuat pedang mereka berubah menjadi Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 328
sinar bergulung-gulung yang mengelilingi tubuh lawan. Melihat sinar pedang yang
mendatangkan angin berdesing ini, Han Ki terkejut. Tak disangkanya bahwa pihak tentara Mancu memiliki orang-orang sepandai ini. Dia pun tidak berani memandang rendah, cepat tubuhnya melesat ke belakang sehingga lolos dari sambaran dua batang pedang itu. Ia turun sambil memandang dan hatinya kagum melihat bahwa penyerangnya adalah seorang gadis dan seorang pemuda yang berpakaian Panglima Mancu, bersikap gagah perkasa dan ia segera dapat menduga bahwa mereka itu tentulah dua orang tokoh kang-ouw, bukan berbangsa Mancu. Yang menyeramkan hatinya adalah sepasang pedang yang berada di tangan kedua orang panglima itu, pedang yang sama bentuknya, sama pula sinarnya yang menyeramkan, hanya berbeda ukurannya. Han Ki dapat mengenal pedang yang ampuh, dan dapat mengenal orang-orang pandai, maka ia bersikap hati-hati.
Adapun Ji Kun dan Yan Hwa setelah melihat pemuda tampan yang usianya sudah tiga puluh lima tahun kurang lebih ini, yang mukanya berpeluh, pakaiannya sederhana dan sinar matanya lembut, memandang rendah. Jelas bahwa laki-laki itu jerih terhadap mereka, terhadap Sepasang Pedang Iblis sehingga dalam gebrakan pertama tadi laki-laki itu mencelat ke belakang.
"Sumoi, mari kita lihat siapa di antara kita yang dapat lebih dulu membikin mampus badut ini!"
"Ah, sukar menentukan kalau hanya membunuh. Mari kita lihat pedang siapa yang banyak merobek tubuhnya!"
Han Ki mengerutkan keningnya dan berkata, "Sungguh sayang! Masih muda belia, memiliki kepandaian lumayan, namun berwatak tinggi hati. Sayang.... sayang.... agaknya guru kalian tidak meningkatkan akhlak kalian."
Yan Hwa menjadi marah sekali. Ia menudingkan pedangnya ke arah muka Han Ki sambil membentak, "Setan sombong! Kematian sudah di depan mata, engkau masih bersikap seperti dewa" Berani betul engkau mencaci guru kami, keparat!"
"Sumoi, dia mana tahu bahwa guru kita adalah Mutiara Hitam. Kalau dia tahu tentu takkan berani membuka mulut besar!"
Benar saja, Han Ki terkejut bukan main mendengar bahwa mereka ini adalah murid Mutiara Hitam, karena Mutiara Hitam adalah piauw-cinya (kakak misan). Ia menjadi makin marah dan kerut di keningnya mendalam.
"Bagus! Kiranya kalian murid Mutiara Hitam" Sungguh memalukan nama guru kalau begitu, merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat bangsa Mancu!"
"Jahanam bermulut kotor!" Yan Hwa kembali memaki, "Engkau sendiri anjing penjilat bangsa Yucen...."
"Buka matamu lebar-lebar!" Han Ki memotong. "Apakah pakaianku seperti perajurit" Tidak, aku tidak membantu pasukan Yucen, akan tetapi aku memusuhi orang-orang Mancu. Tanpa ada pasukan Yucen sekalipun aku akan mengamuk dan membunuhi orang-orang Mancu.
Sekarang tidak usah banyak cakap, biarlah aku mewakili guru kalian untuk memberi hajaran kepada kalian bocah-bocah murtad!"
"Sombong!" Ji Kun sudah menerjang lagi dibarengi oleh sumoinya. Pedang mereka berdesing dan mendatangkan angin, berkilauan dan bergulung-gulung sinarnya. Namun dengan mudah Han Ki mengelak dari sambaran dua gulungan sinar itu dan balas menyerang dengan
pedangnya. Para perajurit kedua pihak yang bertempur di dekat tempat itu, otomatis menghentikan pertandingan mereka dan mundur di belakang "jago" masing-masing karena mereka tertarik sekali menonton pertandingan luar biasa yang menegangkan hati itu. Mereka tidak melihat bayangan tiga orang yang sedang bertanding, yang tampak hanyalah gulungan sinar pedang yang saling membelit, dan kadang-kadang tampak bayangan tiga orang itu menjadi banyak sekali saking cepatnya gerakan mereka.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 329
Tadi, ketika kedua orang muda itu mengaku sebagai murid-murid Mutiara Hitam, Han Ki masih belum mau percaya begitu saja. Akan tetapi setelah dia menghadapi mereka dalam pertandingan selama lima puluh jurus, barulah ia merasa yakin bahwa memang kedua orang ini adalah murid piauw-cinya. Yang membuat dia tidak percaya adalah sikap mereka dan kenyataan bahwa mereka menjadi Panglima-panglima Maricu. Kalau benar murid piauw-cinya, tidak mungkin menjadi perwira Mancu. Apalagi mereka memiliki sepasang pedang yang pantasnya hanya berada di tangan tokoh-tokoh kaum sesat, sepasang pedang yang mengeluarkan hawa busuk dan jahat! Melihat permainan ilmu pedang mereka yang masih jelas mengandung dasar Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam bercampur dengan gerakan lain, dengan tenaga sin-kang yang amat kuat, dia tidak ragu-ragu lagi dan tentu saja dia tidak ingin membunuh dua orang murid piauw-cinya ini.
"Kalian murid-murid murtad!" Kam Han Ki berseru keras dan ketika ia menangkis pedang Yan Hwa dan mengelak dari tusukan pedang Ji Kun, dia sengaja melangkah mundur,
menurunkan pedang dan "membuka" pertahanan bagian atas. Kesempatan yang hanya sedetik ini tentu saja dapat dilihat dan dimanfaatkan oleh kedua orang murid Mutiara Hitam yang lihai. Seperti dikomando saja, pedang di tangan mereka dengan gerak kilat membacok dari atas merupakan sambaran sinar kilat!
Tadi, setiap kali ia menangkis, Han Ki merasa betapa pedangnya melekat di pedang lawan.
Namun berkat sin-kangnya yang kuat sekali, selain dia dapat melepaskan pedangnya dari tempelan, juga kedua orang lawan yang kaget menyaksikan kesaktian lawan dan kekuatan sinkang yang amat luar biasa, selalu menarik kembali pedang dan tidak mau mengadu tenaga sin-kang. Kini, melihat pancingannya berhasil, Han Ki cepat mengangkat pedang ke atas, menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
"Trakkk!" Dua batang Pedang Iblis itu menempel di pedang Han Ki dan biarpun dua orang murid Mutiara Hitam sudah berusaha melepaskan, tetap saja mereka tak dapat menarik kembali pedang mereka. Namun, Yan Hwa dan Ji Kun tidak kehilangan akal. Ji Kun
memukul dengan tangan kirinya ke arah pusar Han Ki, sedangkan tangan kiri Yan Hwa sudah menyambitkan jarum-jarum dari jarak yang amat dekat. Terpaksa Han Ki menarik pedang dan tubuhnya mencelat dengan cepat ke belakang, tangan kirinya mendorong dan ujung lengan bajunya sudah berhasil mengebut runtuh semua jarum halus yang berbahaya dari Yan Hwa.
Akan tetapi pada saat itu, Ji Kun sudah menerjang lagi dengan sebuah tusukan pedang yang diikuti hantaman tangan kiri yang mengandung sin-kang panas sekali. Han Ki terkejut, apalagi ketika Yan Hwa juga sudah menerjang dengan pedang diputar di atas kepala, sedangkan tangan kirinya mendahului pedang dengan jari terbuka mendorong ke arah dada Han Ki.
Han Ki mengenal dasar serangan mereka berdua itu. Pukulan Ji Kun itu adalah jurus mujijat yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Pukulan Meracuni Darah Melepaskan Tulang), sedangkan pukulan Yan Hwa adalah Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Menggugurkan Bunga).
Pukulan-pukulan yang dahsyat dan keji, berbahaya bukan main melebihi bahayanya tusukan-tusukan senjata tajam karena baru terkena angin pukulannya saja lawan yang kurang kuat tentu akan roboh dengan tubuh dalam keracunan!
Namun Han Ki adalah murid Bu Kek Siansu yang di waktu itu telah memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, mungkin tidak kalah oleh kepandaian mendiang Mutiara Hitam sendiri. Melihat datangnya pukulan-pukulan maut dibarengi serangan pedang iblis itu dia menggerakkan pedangnya menangkis berturut-turut dua batang pedang sambil kembali menggunakan tenaga membiarkan kedua pedang iblis itu menempel di pedangnya, sedangkan pukulan-pukulan ke arah lambung dan dada itu ia terima dengan pengerahan tenaga sakti Im-kang yang amat kuat.
"Trak-trakk.... plak-plak!"
Kedua orang murid Mutiara Hitam yang sudah merasa girang karena pukulan mereka tak Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 330
dapat dielakkan lawan, berbalik menjadi terkejut bukan main karena tidak hanya pedang mereka yang kembali melekat di pedang lawan, juga tangan kiri mereka yang memukul itu begitu mengenai tubuh lawan terus menempel dan hawa yang dingin luar biasa menjalar melalui tangan mereka sehingga tubuh mereka menggigil kedinginan. Secepat kilat tangan kiri Han Ki bergerak dua kali menyentuh pundak kedua orang lawan itu. Ji Kun dan Yan Hwa menjerit, kedua lengan terasa lumpuh dan terpaksa mereka melepaskan pedang lalu roboh berlutut!
Han Ki yang berhasil merampas pedang mengambil kedua senjata itu dari pedangnya, mengamati dan mengkirik. Benar-benar sepasang pedang yang mengandung hawa iblis.
"Hemmm, sungguh sayang Enci Kam Kwi Lan mempunyai dua orang murid yang murtad dan memiliki senjata-senjata yang begini keji!" Ia berkata.
Mendengar itu, Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, lalu Ji Kun memandang Han Ki,
bertanya, "Siapakah.... siapakah engkau?"
"orang-orang murtad! Kalian telah melakukan tiga pelanggaran. Pertama, sebagai murid Kakak Mutiara Hitam, kalian tidak mencontoh jejaknya, bahkan berwatak sombong dan kejam menggunakan pedang-pedang iblis ini. Ke dua, kalian malah merendahkan diri menjadi penjilat bangsa Mancu, hal yang takkan dilakukan oleh guru kalian. Ke tiga, kalian berhadapan dengan paman gurumu sendiri akan tetapi bersikap kurang ajar. Aku adalah Kam Han Ki dan guru kalian Mutiara Hitam adalah kakak misanku."
Kedua orang muda itu tentu saja sudah mendengar dari guru mereka tentang Kam Han Ki, bahkan mereka mengerti bahwa mereka berhadapan dengan murid manusia dewa Bu Kek
Siansu, berhadapan dengan suheng dari Panglima Wanita Maya! Mereka kaget bukan main dan teringat akan guru mereka, kedua orang itu lalu memberi hormat sambil berlutut.
"Mohon Susiok sudi memaafkan. Teecu berdua menggabungkan diri dengan bangsa Mancu agar dapat menuntut balas kematian Subo di tangan orang-orang Mongol, juga menuntut balas atas kematian Supek Kam Liong di tangan Kerajaan Sung, dan menuntut balas atas
kehancuran Khitan di tangan musuh-musuhnya, di antaranya bangsa Yucen!"
Kam Han Ki menarik napas panjang. "Urusan pribadi jangan dibawa-bawa dalam perang.
Sudahlah, kalau aku tidak memaafkan kalian, apakah kalian kira masih dapat hidup di saat ini" Kalian boleh pergi dan jangan merendahkan nama guru kalian dengan menjadi panglima Mancu. Dan pedang-pedang ini.... hemm, mendiang Enci Kam Kwi Lan tentu akan merasa jijik dan malu melihat kalian menggunakan sepasang pedang iblis ini."
"Akan tetapi, Susiok! Pedang-pedang itu adalah pemberian Subo!"
Mendengar ucapan Yan Hwa ini Han Ki terkejut dan memandang sepasang pedang yang
mengeluarkan cahaya kilat menyilaukan mata itu. "Apa" Benarkah itu?"
"Sumoi tidak membohong, Susiok. Pedang-pedang itu adalah buatan Nila Dewi dan Mahendra atas perintah Subo, kemudian oleh Subo ditinggalkan kepada Suhu dan akhirnya diberikan kepada teecu berdua."
Han Ki menghela napas dan menyerahkan kembali sepasang pedang itu. "Baiklah, sebetulnya baik buruknya sifat pedang tergantung kepada tangan manusia yang memegangnya. Tentu mendiang gurumu memberikan pedang-pedang ini dengan niat baik. Mulai saat ini,
pergunakanlah pedang-pedang itu untuk menjunjung tinggi nama gurumu, karena kalau kalian menyeleweng, aku bersumpah untuk membersihkan pedang-pedang pemberian guru kalian dengan darah kalian! Nah, pergilah!"
Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, kemudian menyimpan pedang, menjura dan berlari pergi meninggalkan medan perang. Setelah kedua orang itu pergi Han Ki mengamuk lagi.
Sakit hati karena kematian Sung Hong Kwi, ditambah kenyataan betapa dua orang murid Mutiara Hitam sampai terbujuk menjadi panglima-panglima Mancu, membuat ia membenci orang Mancu, dan kini kedatangan pasukan baru di pihak Mancu yang berjumlah selaksa orang ia sambut dengan amukan yang dahsyat.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 331
Pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin oleh kedua orang murid Mutiara Hitam adalah
pasukan istimewa yang terlatih, rata-rata perajuritnya memiliki kepandaian yang lumayan dan semangat yang tinggi karena para perwiranya terdiri dari bekas Pasukan Maut pimpinan Panglima Wanita Maya. Karena ini, pihak Mancu melakukan serbuan yang ganas dan
pasukan-pasukan Yucen terdesak hebat. Biarpun di situ terdapat Kam Han Ki yang
mengamuk seperti seekor naga sakti yang marah, namun pasukan Mancu tetap bertempur dengan semangat tinggi, roboh seorang maju dua orang, roboh dua orang maju empat orang sehingga mayat mereka bergelimpangan kena sambaran sinar pedang di tangan kanan Han Ki dan pukulan maut dari tangan kirinya. Perang yang terjadi itu benar-benar mengerikan karena kedua pihak tidak ada yang mau kalah dan mundur. Setengah hari lamanya Han Ki
mengamuk terus, bergerak tanpa berhenti dan biarpun dia merupakan seorang yang berilmu tinggi, sakti dan amat kuatnya, namun tetap saja dia seorang manusia biasa dari darah dan daging. Hujan senjata pedang, tombak, golok dan senjata-senjata rahasia pengeroyoknya dan biarpun tubuhnya dapat menahan semua itu, namun pakaiannya pecah-pecah dan robek-robek, kulitnya babak-belur dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Amat menyeramkan keadaan pendekar muda ini yang seperti gila diamuk rasa sakit hati yang timbul dari kedukaan hatinya melihat kekasihnya tewas. Segala kekecawaan hatinya, segala kedukaannya ia tumpahkan di saat itu melalui pedang dan tangan kirinya, merobohkan siapa saja yang menentangnya.
Pihak Mancu menjadi gentar juga menghadapi pengamukan Han Ki. Para perwira pilihan tidak ada yang kuat menghadapinya. Dalam beberapa gebrakan saja, kalau tidak tewas tentu terluka berat sehingga akhirnya para perwira itu mengerahkan pasukan-pasukan istimewa yang dilatih oleh Panglima Wanita Maya sendiri. Han Ki dipancing masuk ke tempat yang sudah dipasangi lubang-lubang jebakan, dikurung oleh dua losin perajurit yang sudah ahli mempergunakan jaring-jaring baja yang ada kaitannya. Han Ki tidak tahu akan jebakan ini maka ketika ia memasuki tempat itu dan dikurung oleh lawan yang menggerakkan jaring-jaring baja secara teratur, ia menjadi marah. Pedangnya diputar dan ia membabat setiap jaring yang menyambar tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya terjebak. Barulah ia tahu bahwa dia sengaja hendak dijebak. Pada saat kaki kirinya terjeblos ke dalam lubang yang ditutupi ranting dan tanah, tiga helai jaring baja menyambar dari tiga jurusan.
"Cring-tranggg.... brettt!" Tak mungkin bagi Han Ki untuk dapat menghalau tiga helai jaring baja itu sekaligus. Pedangnya merobek dua helai jaring, dan mematahkan banyak kaitan baja, akan tetapi sehelai jaring telah menyelimuti tubuhnya, kaitan-kaitan baja merobek pakaian dan melecetkan kulit tubuhnya. Dengan marah ia meraih dengan tangan kiri, merenggut lepas tiga buah kaitan baja dan ketika tangan kirinya bergerak, terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penyerangnya roboh dengan dahi pecah dihantam kaitan-kaitan baja itu! Han Ki menggunakan pedangnya membabati jaring yang menyelimutinya.
Akan tetapi baru saja ia berhasil membebaskan diri, datanglah serangan anak panah dari empat penjuru, anak panah yang mengandung racun dan ada juga anak panah yang
mengandung api! Bukan main berbahayanya penyerangan ini dan terpaksa Han Ki yang sudah lelah sekali itu memutar pedangnya melindungi tubuh. Ia maklum bahwa kalau dia hanya melindungi tubuh saja, tentu penyerangan itu takkan berhenti dan akhirnya ia akan celaka.
Maka ia melirik ke sekelilingnya dan melihat di mana adanya musuh-musuh yang
menghujankan anak panah. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke kiri, luar biasa cepatnya mendahului gerakan anak panah berikutnya, pedangnya berkelebat dan robohlah lima orang pemanah yang bersembunyi di sebelah kirinya.
Han Ki mengamuk terus. Kini tidak ada lagi lawan yang berani mendekat, apalagi karena pihak Mancu harus menjaga desakan pasukan Yucen yang berbesar hati menyaksikan sepak terjang Han Ki yang biarpun tidak secara terang-terangan membantu mereka, namun
pengamukan pemuda sakti itu terhadap pihak Mancu benar-benar menguntungkan mereka.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 332
Perang di antara kedua pasukan itu masih berlangsung, akan tetapi Han Ki sudah kehabisan tenaga. Dia sudah tidak mengamuk lagi. Apalagi mengamuk, berjalan dan bahkan berdiri pun dia sudah tidak kuat. Dia harus mengaso, tubuhnya lelah sekali, marahnya berkurang dan ia menjatuhkan diri berlutut, tangan kanan memegang gagang pedang yang ditancapkan di atas tanah, mukanya menunduk, matanya terpejam. Rambutnya awut-awutan, seperti juga
pakaiannya. Tangan, muka dan tubuhnya berlepotan darah kental menghitam, darah lawan dan darahnya sendiri.
Namun, tidak ada yang berani mendekatinya biarpun pemuda itu sudah berada dalam keadaan seperti itu. Ada dua orang perwira yang hendak menggunakan keuntungan dan kesempatan selagi pemuda itu kelihatan habis tenaga untuk membunuhnya, akan tetapi, ketika dua orang perwira Mancu ini menerjang dari depan belakang dengan golok terangkat, tiba-tiba pedang di tangan Han Ki mengeluarkan sinar kilat dua kali, ke depan dan belakang dan.... dua orang perwira itu roboh dengan perut terobek pedang. Setelah terjadi hal yang mengerikan ini, tidak ada lagi yang berani mengganggu Han Ki yang sudah kehabisan tenaga.
Han Ki benar-benar lelah. Dia mendengar teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan gerakan kaki pasukan Yucen yang kacau-balau dan bubar, tanda bahwa pasukan Yucen terdesak lawan dan mulai mundur. Akan tetapi Han Ki tidak mempedulikan semua itu. Dia tidak peduli apakah pasukan Yucen menang atau kalah karena yang penting baginya hanyalah membalas kematian Sung Hong Kwi kepada orang-orang Mancu sampai tenaganya habis! Kini mulailah ia sadar kembali. Setelah tubuhnya kehabisan tenaga, rasanya tidak berdaya, pikiran dan hatinya menguasai diri, kesadarannya pulih dan ia merasa terkejut dan menyesal. Apakah yang telah dilakukannya" Mengapa ia membunuhi demikian banyaknya manusia" Dan dia bukan
seorang perajurit Yucen! Dia membunuhi manusia-manusia Mancu seperti iblis, hanya terdorong oleh kedukaan hati kehilangan Sung Hong Kwi! Han Ki membuka matanya dan ngeri ia menyaksikan bekas tangannya sendiri, melihat mayat orang Mancu bertumpuk di sekelilingnya.
"Ya Tuhan...., apakah yang telah kulakukan tadi....?" Terbayang olehnya betapa dengan nafsu seperti seekor binatang buas yang kelaparan ia mengamuk selama satu hari, membunuh entah berapa ratus atau berapa ribu orang!
Teringat akan semua perbuatannya sehari tadi, tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Han Ki, apalagi karena ia teringat pula akan kematian kekasihnya, Sung Hong Kwi. Dia mengguncang-guncang kepala seolah-olah hendak mengusir kepeningan, merasa seperti dalam sebuah mimpi yang amat buruk dan mengerikan. Mengapa ia telah lupa akan segala nasihat gurunya sehingga dia sampai melakukan pembunuhan besar-besaran ini"
Tiba-tiba ia mendengar derap banyak kaki kuda dan melihat pasukan Yucen lari kocar-kacir sehingga keadaan di sekelilingnya sejenak sunyi. Tak lama kemudian tampaklah pasukan Mancu yang baru tiba, masih segar dan menunggang kuda, agaknya pasukan baru yang membuat pasukan Yucen kocar-kacir tadi. Namun Han Ki tidak peduli dan dia masih tetap berlutut memulihkan tenaga. Dia tidak akan bergerak kalau tidak diserang orang, bahkan dalam keadaan seperti itu, selagi hatinya penuh penyesalan, andaikata diserang orang sekalipun belum tentu dia mau membela diri.
"Suheng....!"
Pasukan berkuda itu berhenti dan sesosok bayangan melesat ke dekat Han Ki, lalu berlutut di depan Han Ki.
"Suheng....!"
Han Ki membuka mata memandang. Hampir dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri.
Seorang wanita cantik dan gagah perkasa, berpakaian sebagai seorang Panglima Besar Mancu.
"Maya-sumoi....!" Han Ki tergagap saking bingungnya melihat sumoinya telah menjadi Panglima Besar Mancu. "Kau.... kau seorang Panglima Mancu?"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 333
"Aihh, Suheng. Kiranya engkau orangnya yang mengamuk dan membinasakan pasukan Mancu. Ah, Suheng, mana mungkin ini" Engkau membantu bangsa Yucen" Bangsa yang
telah mengakibatkan kehancuran Khitan" Suheng...."
"Diam!" Han Ki membentak marah lalu bangkit berdiri. "Maya, tidak kusangka bahwa engkau begitu merendahkan diri menjadi kaki tangan Mancu. Lihat, aku masih orang biasa, aku bukan perajurit Yucen. Kalau aku memusuhi orang Mancu, hal itu adalah karena urusan pribadi.... aku.... aku pun sudah menyesal sekarang. Akan tetapi engkau.... ahh, engkau mabok akan kedudukan dan kemuliaan, ya" Nah, sekarang engkau menjadi Panglima Besar Mancu, aku sudah banyak membunuh orang-orangmu, engkau mau apa" Mau menangkapku"
Membunuhku?"
"Suheng....!"
Maya bangkit pula berdiri dan mukanya pucat sekali. "Suheng, mengapa engkau berkata seperti itu kepadaku" Suheng, begitu bencikah engkau kepadaku" Aku.... aku bukan gila kedudukan. Aku.... aku menggabung dengan Kerajaan Mancu untuk membangun kembali
Khitan yang telah hancur, untuk dapat membalas sakit hati orang tua terhadap Yucen, Mongol dan Sung. Kalau hanya seorang diri, mana mungkin aku dapat membalas, Suheng" Ayah bundaku dan kerajaan mereka hancur oleh Yucen dan Sung, sedangkan Bibi Mutiara Hitam tewas di tangan orang Mongol. Suheng, marilah engkau pergi bersamaku menghadap Raja Mancu. Perbuatanmu hari ini tentu akan dimaafkan, mari kita berjuang bahu-membahu untuk membalas dendam keluarga, menegakkan cita-cita, Suheng...."
Han Ki melangkah mundur, matanya terbelalak. "Tidak! Aku tidak mau terlibat dalam perang antar bangsa yang kotor ini. Aku meninggalkan Istana Pulau Es untuk mencari engkau dan Khu-sumoi. Sekarang aku telah dapat berjumpa denganmu, Sumoi. Kautinggalkan semua ini, mari kita mencari Khu-sumoi dan kita bertiga kembali ke Pulau Es."
Maya mengerutkan keningnya menjawab perlahan, "Engkau tahu tiada keinginan lebih besar di hatiku kecuali hidup di dekatmu di Pulau Es, Suheng. Akan tetapi, lupakah engkau akan peristiwa tidak enak yang terjadi di antara kita bertiga" Aku tidak tahu apakah Sumoi sudah tidak marah lagi kepadaku. Marilah engkau ikut bersamaku, Suheng. Luka-lukamu harus dirawat dan biarlah aku nanti menyuruh pasukan mencari berita ke mana perginya Sumoi.
Setelah kita bertiga berkumpul, baru kita bicarakan urusan masa depan kita."
"Tidak, aku tidak sudi menerima kebaikan orang Mancu setelah aku membunuhi banyak anak buahnya. Setidaknya aku sekarang sudah tahu di mana engkau berada. Aku tidak akan menghalangi jalan hidupmu, Sumoi. Biarlah aku pergi sendiri mencari Khu-sumoi...." Dengan hati penuh duka karena kecewa menyaksikan sumoinya itu ternyata telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu, Han Ki membalikkan tubuh hendak pergi.
"Tunggu, Suheng....!" Maya berkelebat dan sudah mFloncat menghadang ke depan suhengnya, memandang dengan sepasang mata merah dan basah.
Biarpun tubuhnya sudah lelah sekali, melihat Maya mengejarnya, Han Ki memandang dengan wajah berseri. "Bagus, Sumoi. Lekas kaubuang pakaian panglima itu dan marilah kau ikut bersamaku mencari Khu-sumoi."
"Suheng, tidak ada kebahagiaan bagiku melebihi kalau aku hidup di sampingmu selamanya, Suheng. Aku suka ikut bersamamu, akan tetapi marilah kita berdua pergi ke Pulau Es dan hidup selamanya di sana. Jangan mencari Sumoi karena.... hal itu.... hal itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan...."
"Maya-sumoi! Apa maksudmu ini?" Han Ki membentak.
"Suheng, tidak tahukah engkau...." Aku.... aku.... dan Sumoi.... kami.... ah, tak mungkin kami berdua hidup di sampingmu bersama-sama...."
"Omong kosong! Kau seperti anak kecil saja, Sumoi! Sudahlah, nanti kita bicara lagi kalau sudah pergi dari sini. Mari ikut bersamaku."
"Tidak, Suheng. Kalau Suheng tidak mau berjanji pergi berdua saja dengan aku ke Pulau Es Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 334
aku tidak bisa ikut. Suheng harus dapat memilih seorang di antara kami."
"Maya....!"
Maya terisak menangis. "Selamat berpisah, Suheng...." Ia membalikkan tubuhnya, kemudian melampiaskan kemarahan, kedukaan dan kekecewaannya dengan memimpin pasukannya
menyerang pasukan Yucen yang menjadi kocar-kacir dan melarikan diri.
Han Ki pergi meninggalkan tempat itu dengan hati gelisah. Diam-diam ia merasa menyesal sekali bahwa di dalam hatinya, Maya masih membenci Siauw Bwee dan dia bingung sekali karena dia pun maklum apa yang menyebabkan Maya bersikap seperti itu. Maya jatuh cinta kepadanya dan merasa cemburu kepada Siauw Bwee!
Pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pening ketika ia melihat gerakan pasukan yang hilir-mudik. Ia terhuyung-huyung menjauhkan diri dan di dalam hatinya mengeluh, "Maya.... kenapa engkau bersikap seperti ini" Mengapa engkau memaksa aku menjadi makin menderita setelah aku kehilangan Hong Kwi" Engkau dan Siauw Bwee adalah sumoiku juga murid-muridku, bagaimana aku dapat jatuh cinta kepada kalian yang kukenal sejak kecil" Maya.... apa yang harus kulakukan kini" Siauw Bwee, aku harus mencarimu dan mudah-mudahan kau akan dapat membujuk Maya agar dia suka kembali ke Pulau Es...."
Dengan hati berduka akhirnya Han Ki dapat keluar dari daerah perang itu dan mulai dengan usahanya untuk mencari sumoinya yang ke dua, yaitu Khu Siauw Bwee setelah gagal
mengajak Maya kembali ke Pulau Es, bahkan mengalami pukulan batin ketika melihat kenyataan bahwa Maya telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu dan dara itu bertekad hanya mau pergi bersamanya kalau tidak mengajak Siauw Bwee.
Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Han Ki dapat mencapai lereng gunung dan dari tempat ini dia hanya melihat gerakan pasukan seperti serombongan semut. Ia lelah lahir batin ketika duduk di bawah pohon. Pertandingan hebat di mana ia telah membunuh banyak sekali orang Mancu itu telah menghabiskan tenaganya dan kini, setelah ia sadar akan segala perbuatannya ditambah dengan pertemuannya dengan Maya, ia merasa batinnya tertekan hebat dan penuh dengan penyesalan. Seluruh tubuhnya lemas, akan tetapi tidak selemas batinnya. Kulit tubuhnya menderita banyak luka, akan tetapi tidak sehebat luka di hatinya.
Baru terbuka matanya, mata batinnya betapa ia telah melakukan perbuatan yang amat jahat membunuhi orang-orang Mancu tanpa alasan, hanya terdorong oleh rasa sakit hatinya oleh kematian Sung Hong Kwi. Ia menyesal bukan main dan merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat menjadi begitu lemah.
Teringat ia akan suhunya, Bu Kek Siansu dan ia menjadi makin menyesal! Gurunya adalah seorang manusia dew
Seruling Samber Nyawa 16 Bara Naga Karya Yin Yong Harpa Iblis Jari Sakti 22
^