Istana Pulau Es 16

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 16


hengnya dan kedua orang anak angkatnya datang dan mereka telah tahu akan pemberontakan yang terjadi pula di lembah, wajah Ouw-pangcu menjadi girang sekali.
Ia berteriak keras, kakinya bergerak dan tumpukan kayu bakar di depannya itu terlempar ke kanan kiri. Tiga orang penderita kusta yang memegang obor di tangan menyerang Ouwpangcu yang masih terbelenggu. Akan tetapi pada saat itu Yu Goan telah meloncat maju dan pedangnya berkelebat cepat membuat tiga orang itu terpaksa meloncat mundur dan
membatalkan niatnya menyerang Ouw-pangcu dengan api obor. Yu Goam kembali memutar pedangnya, mendesak orang-orang mengerikan itu mundur, kemudian secepat kilat
pedangnya membacok rantai panjang yang membelenggu kedua tangan Ouw Teng. Terdengar suara nyaring dan belenggu itu putus, rantai panjang ini tergantung dari kedua tangan kakek itu yang segera meloncat ke depan dan membantu anak angkatnya menghadapi pengeroyokan enam orang penderita kusta, Kakek itu mengamuk dan memutar-mutar rantai yang tergantung dari kedua tangannya, sedangkan Yu Goan menggerakkan pedangnya menghadap enam orang yang bersenjata golok.
Biarpun enam orang penderita kusta itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya, namun mereka itu tidak dapat lagi mengerahkan sin-kang terlalu kuat karena tulang-tulang mereka sudah rusak dan rapuh. Maka amukan Ouw-pangcu dan Yu Goan
membuat dua di antara mereka roboh, sedangkan empat orang lain terdesak hebat.
"Gi-hu, kita harus cepat keluar dari sini membantu Supek dan Bwee-moi!"
"Baik, akan tetapi kita robohkan dulu empat orang pengkhianat ini. Mereka ini termasuk orang-orangnya Sastrawan Ang, yang berhasil mempengaruhi lembah dan mengobarkan
pemberontakan," kata Ouw-pangcu.
Akan tetapi sebelum mereka berhasil merobohkan empat orang itu, dari atas muncul belasan orang lain, terdiri dari penderita kusta, beberapa orang bekas anak buah Ouw-pangcu sendiri dan tiga orang Han. Mereka itu datang dengan cepat lalu langsung mengeroyok Yu Goan dan Ouw Teng. Kakek ketua tebing itu menjadi marah sekali melihat bekas anak buahnya, sambil memaki-maki dia lalu mengarahkan dua potong rantai itu ke arah bekas-bekas anak buahnya sehingga biarpun dia dikeroyok banyak lawan, dia berhasil merobohkan dua orang bekas anak buah dan juga muridnya itu dengan sambaran dua potong rantai baja, membikin pecah kepala mereka!
Namun pengeroyokan itu benar-benar membuat Yu Goan dan Ouw-pangcu terdesak hebat.
Kepandaian orang-orang penderita kusta itu tinggi, gerakan mereka cepat, dan tiga orang Han itu pun lihai sekali ilmu pedangnya. Mereka berdua dikeroyok di tempat yang sempit oleh belasan orang dan betapapun mereka mengamuk, dan berhasil merobohkan tiga orang lain, namun Yu Goan terkena tusukan pedang di paha kirinya sedangkan Ouw-pangcu juga terluka oleh bacokan pedang yang dilawan dengan sin-kangnya, namun tetap saja membuat kulit punggungnya terluka dan mengeluarkan darah.
"Gi-hu, kita keluar!" Yu Goan berteriak sambil merobohkan seorang pengeroyok lagi dengan sebuah tendangan yang mengenai pusar.
"Tidak sudi lari sebelum membunuh iblis-iblis ini!" Ouw-pangcu menjawab dan mengamuk lebih hebat.
"Bukan melarikan diri, melainkan mencari tempat luas!"
"Hemm, baiklah!" Sambil berkata demikian, Ouw-pangcu mencontoh perbuatan anak angkatnya, membuka jalan sambil memutar kedua rantai baja yang sudah berlepotan darah lawan, kemudian bersama Yu Goan dia lari menaiki anak tangga itu, dikejar oleh sebelas orang lawan, sisa para pengeroyok tadi. Akan tetapi, baru tiba di tengah-tengah, dari atas muncul pula banyak orang musuh! Kini mereka berada di tengah-tengah, dikepung dari atas Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 387
dan bawah sehingga keadaan Ouw-pangcu dan Yu Goan menjadi repot!
Sementara itu, Siauw Bwee yang pergi lebih dulu mencari Ouw-pangcu, di mana-mana bertemu dengan orang-orang penderita kusta yang mengeroyoknya. Diam-diam Siauw Bwee terkejut juga karena tidak mengira bahwa hampir semua anggauta lembah itu agaknya telah dikuasai oleh Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia tidak tahu bahwa di antara mereka ada yang belum dapat dibujuk oleh Ang-siucai, akan tetapi mereka yang masih setia kepada ketuanya juga mengeroyoknya karena kedatangannya sebagai orang luar ternyata merupakan pelanggaran bagi para penghuni tempat itu, pelanggaran yang harus dihukum dengan kematian.
Akhirnya Siauw Bwee yang selalu dapat menghindarkan para pengeroyok itu tiba di depan sebuah pondok terbesar. Dia menduga bahwa tentu itu pondok ketua orang lembah. Ia pikir lebih baik menemui ketuanya untuk bicara secara terbuka mengenai hal ini dan minta kepada Si Ketua untuk membebaskan Ouw-pangcu yang dia masih belum temukan ditawan di mana.
Kalau ketua lembah menolak, dia akan memaksanya! Ia pikir bahwa jika dia dapat menawan ketua lembah, tentu dia akan memaksanya menghentikan perlawanan anak buahnya,
memaksanya membebaskan Ouw-pangcu.
Akan tetapi, ketika ia tiba di depan pondok, dia segera dikepung oleh belasan orang penderita kusta. Siauw Bwee merasa ngeri sekali dan jijik bukan main menyaksikan keadaan para pengeroyoknya. Juga dia tidak sampai hati kalau harus membunuh orang yang tidak karuan bentuk tubuhnya ini, maka dia hanya mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dan hanya kalau terpaksa saja dia menggunakan pedangnya mendesak mundur mereka. Dia takut kalau-kalau dia akan bersentuhan dengan mereka dan takut kalau ketularan!
Karena rasa jijik, rasa kasihan dan keraguannya ini maka Siauw Bwee tidak dapat segera membebaskan diri dari kepungan. Kiranya yang mengepungnya kali ini adalah pembantupembantu ketua yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada anggauta biasa.
"Lihiap, tahan mereka!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dan kiranya Coa Leng Bu sudah muncul di tempat itu. Dia pun disambut serangan oleh empat orang penderita kusta. Seorang di antara mereka menggerakkan sebatang cambuk panjang. Cambuk itu mengeluarkan suara meledak, bagaikan seekor ular hitam yang panjang tahu-tahu telah melibat leher kakek itu.
"Kalian manusia-manusia gila!" Coa Leng Bu membentak, menangkap cambuk dan mengerahkan tenaga membetot. Orang yang memegang cambuk berteriak kaget, tubuhnya terbawa oleh sentakan itu dan terbanting ke atas tanah. Begitu terbanting, tulang-tulangnya yang rapuh tak dapat bertahan maka dengan mengeluarkan suara berkeretek mengerikan, lengan kanannya putus, sambungan pundaknya terlepas dan lengan itu terpisah dari tubuhnya, tangan kanannya masih mencengkeram gagang cambuk! Coa Leng Bu menendang lengan itu dan kini cambuk itu berada di tangannya. Dia memutar cambuk, merobohkan tiga pengeroyok lain lalu ia berlari memasuki pondok.
Siauw Bwee merasa ngeri dan jijik sekali menyaksikan peristiwa itu. Ia lalu meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyoknya dan berlari cepat memasuki pondok mengejar Coa Leng Bu. Ketika dia dapat menyusul kakek tukang obat itu, mereka menuruni anak-anak tangga di sebelah dalam pondok dan tampaklah oleh mereka pemandangan yang amat aneh.
Ketua orang lembah berbaring di atas dipan, memegangi sebatang bambu berbentuk suling dengan tempat tembakau di ujungnya. Kiranya kakek ketua lembah yang keadaannya
mengerikan itu sedang menghisap madat! Bau yang tidak enak menyambut hidung Siauw Bwee, membuat dara ini berbangkis, muak dan hendak muntah. Ketua lembah itu sudah tua sekali, rambutnya jarang dan kepalanya botak, matanya cacat karena pelupuk matanya habis dimakan kusta. Hidungnya tidak berdaging lagi, hanya tampak dua lubang hitam, bibirnya pletat-pletot. Tubuhnya yang tidak berbaju, hanya bercelana hitam itu kelihatan kurus kering dan tangan kirinya yang membantu lengan kanan memegangi pipa madat itu hanya tinggal dua buah jarinya! Di dekat dipan berdiri seorang laki-laki yang bukan lain adalah Si Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 388
Sastrawan Ang Hok Ci! Ang-siucai yang menjadi biang keladi segala kekacauan di atas tebing dan di lembah itu. Ang Hok Ci memegang sebatang golok dan dia membalik cepat ketika mendengar suara Siauw Bwee berbangkis tadi.
"Tarr....!" Cambuk di tangan Coa Leng Bu meledak dan cambuk itu meluncur ke depan, ujungnya membelit tangan Ang-siucai yang berteriak kaget dan goloknya terlepas dari pegangan.
"Keparat she Ang, mampuslah!" Coa Leng Bu membentak.
"Sute, jangan kurang ajar!" Kakek yang mengisap madat itu berseru, mulutnya menyemburkan asap putih ke arah muka Coa Leng Bu. Jarak antara dia berbaring dan tempat Coa Leng Bu berdiri cukup jauh, ada lima meter, akan tetapi asap itu bergulung-gulung cepat sekali menyambar muka Coa Leng Bu yang menjadi gelagapan dan terbatuk. Saat itu
dipergunakan oleh Ang-siucai untuk menyambar goloknya karena tangannya yang terbelit ujung cambuk sudah terlepas ketika Coa Leng Bu diserang asap madat yang baunya
memuakkan itu. "Setan tua, kau melindungi pengacau?" Siauw Bwee marah sekali dan sudah akan meloncat maju menghadapi ketua lembah yang amat lihai itu.
"Lihiap, jangan!" Coa Leng Bu berseru sehingga Siauw Bwee menahan gerakan kakinya.
"Dia.... Suheng.... telah terbujuk penjahat...." Ia lalu berpaling kepada suhengnya yang masih rebah di atas dipan. "Suheng, insyaflah. Dia ini bukan manusia baik-baik. Dia telah mengacau tebing, kini dia mengacau lembah bahkan tentu dia yang membujukmu untuk mengisap racun itu!"
"Coa Leng Bu, pergilah sebelum kubunuh engkau!" Kakek itu berseru. "Jangan kurang ajar terhadap tamu dan sahabat baikku. Hayo pergi!"
"Supek, kuhadapi manusia she Ang itu, biar aku yang menundukkan ketua lembah...." bisik Siauw Bwee.
"Coa Leng Bu, tidak pergi juga engkau?" Kakek itu kini bangkit duduk dan tangannya memegang sebuah bendera hitam kecil, bendera yang dahulu dilihat oleh Siauw Bwee dipegang penderita kusta untuk menundukkan Ouw-pangcu. Melihat bendera itu, tiba-tiba Coa Leng Bu menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu tidak berani membantah....!"
Tiba-tiba Ang-siucai yang melihat kakek tukang obat itu berlutut dan sama sekali lenyap sikapnya melawan, menggerakkan goloknya membacok sambil melompat ke depan.
"Trangggg!" Pedang Siauw Bwee menangkis dan golok itu terpental, sedangkan tubuh siucai itu terhuyung.
"Tolong, Lie-pangcu.... perempuan siluman itu lihai sekali!" Ang-siucai berseru minta bantuan ketua lembah. Akan tetapi Siauw Bwee sudah menyambar lengan Coa Leng Bu dan dibawa lari keluar dari pondok itu.
"Supek, mengapa kau selemah itu melihat bendera itu?"
"Bendera itu adalah peninggalan Suhu. Siapa yang memegangnya mempunyai kekuasaan seperti Suhu sendiri. Bagaimana aku berani melawan?"
"Hemm, kalau Twa-supek sudah terpengaruh racun dan bujukan manusia she Ang, sebaiknya kita lekas menolong Gi-hu dan keluar dari neraka ini."
"Usulmu baik sekali, Lihiap." Biarpun menjawab demikian, namun sikap kakek tukang obat itu jelas membayangkan kedukaan hebat. Ketika mereka tiba di luar pondok, kembali mereka dikepung oleh para penderita kusta dan kawan-kawan Ang-siucai. Mereka berdua melawan sambil melarikan diri untuk mencari Ouw-pangcu.
"Tentu dia ditahan dalam ruangan tahanan atau di tempat hukuman! Mari ikut aku!" Coa Leng Bu berkata sambil melawan para pengeroyok yang selalu menghadang, mereka mencari-cari di seluruh perkampungan lembah itu tanpa hasil. Banyak sudah pengeroyok mereka robohkan, namun diam-diam hati Siauw Bwee khawatir sekali karena selain tidak dapat menemukan gi-Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 389
hunya, juga tidak kelihatan bayangan Yu Goan!
"Sute benar-benar kurang ajar. Aaahh, tidak kusangka dua orang suteku semua menentangku!" Ketua lembah yang sudah kekenyangan menghisap madat itu duduk sambil memijit-mijit kedua pelipisnya, tubuhnya bergoyang-goyang seperti orang mabok.
"Pangcu, orang-orang yang memberontak itu harus dihukum. Aku khawatir sekali kalau mereka berhasil mengacau kemudian merampas kitab-kitab yang amat penting itu. Pangcu berjanji untuk memperlihatkan kitab-kitab itu kepadaku. Bolehkah sekarang aku melihatnya?"
Ang-siucai melangkah menuju ke sebuah kamar yang daun pintunya tertutup.
"Nanti dulu, Sicu. Tidak boleh orang lain masuk ke kamar itu kecuali aku!" Ketua lembah sudah bangkit berdiri dan berjalan terpincang-pincang ke kamar itu, diikuti oleh Ang-siucai yang sudah memegang goloknya lagi.
"Selain kitab-kitab kuno simpananku yang tidak begitu penting bagiku, di sini kusimpan sebuah kitab yang amat penting dan yang kuanggap sebagai benda pusaka. Kitab itu adalah peninggalan Suhu kepada kami...."
"Kitab pelajaran Jit-goat-sin-kang?" tanya Ang-siucai dan matanya berapi-api penuh gairah.
"Jit-goat-sin-kang termasuk ilmu yang berada di dalam kitab itu. Masih ada ilmu-ilmu silat lain yang tidak dapat diturunkan kepada siapapun juga. Engkau amat baik kepadaku, Sicu.
Maka aku tidak keberatan kalau engkau melihat kitab itu, akan tetapi tidak boleh dibaca atau dibawa pergi. Karena engkau seorang sastrawan, maka aku maklum bahwa engkau suka sekali melihat kitab-kitab kuno, mari masuk...."
Ketika memasuki kamar, ketua lembah itu terhuyung-huyung, kelihatannya lemas sekali.
Diam-diam Ang-siucai menjadi girang karena dia tahu bahwa kakek ini telah mabok madat dan sebentar lagi, seperti biasanya, tentu akan tidak kuat menahan dan jatuh tertidur nyenyak!
"Yang manakah kitab peninggalan Locianpwe Bu-tek Lo-jin itu, Pangcu?"
Kakek itu kini sudah lenggat-lenggut dan beberapa kali menguap, kemudian ia hanya dapat menuding kearah sebuah kitab yang dibungkus kain kuning, terletak di atas meja di sudut kamar, kemudian ia merebahkan tubuhnya begitu saja di lantai terus tidur mendengkur!
Ang-siucai girang sekali. Cepat ia menghampiri meja di sudut itu, mengambil bungkusan kain kuning, membukanya dan setelah mendapat kenyataan bahwa kitab itulah yang dimaksudkan Lie-pangcu, dia cepat melangkah hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi ketika ia harus melangkahi tubuh Lie-pangcu yang tidur mendengkur di atas lantai, dia berhenti dan melirik dengan sinar mata tajam. Dia tahu bahwa kakek ini amat lihai, jauh lebih lihai daripada Ouwpangcu, maka kalau nanti terbangun dan melihat lenyapnya kitab dan mengejarnya, berarti dia akan menambah seorang musuh yang amat berat. Dia sedang tidur, mengapa tak kubunuh saja" Setelah berpikir demikian, secepat kilat Ang Hok Ci melangkah mundur, memegang goloknya erat-erat lalu mengayun goloknya itu ke arah leher kakek yang tidur pulas. Saking gugupnya, bacokannya meleset dan mengenai pundak Lie Soan Hu, ketua lembah.
"Crookk!" Pundak itu putus berikut lengan kanan Si Kakek yang pulas. Akan tetapi, mata Ang-siucai terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika ia melihat betapa luka di pundak itu tidak mengeluarkan darah dan Si Kakek masih enak-enak tidur mendengkur! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut dan ketakutan, disangkanya kakek itu mempermainkannya, maka segera ia meloncat keluar kamar dan memasuki pintu rahasia di sebelah belakang pondok yang sudah dikenalnya, kemudian dia lari dari tempat itu, tidak mempedulikan lagi Siauw Bwee dan kakek obat yang masih mengamuk di luar.
Pada saat itu, keadaan Yu Goan dan Ouw-pangcu sudah payah. Tubuh mereka sudah penuh luka dan mereka tahu bahwa dikeroyok dari atas dan bawah anak tangga, mereka tidak dapat melarikan diri lagi. Biarpun banyak pula pengeroyok yang mereka robohkan, namun karena jumlah mereka amat banyak, kedua orang yang sudah luka-luka ini mulai kehabisan tenaga.
"Jangan bunuh mereka, tangkap hidup-hidup!" Teriakan ini keluar dari mulut Ang-siucai yang sudah tiba di tempat itu. Dia tadi menyaksikan betapa Siauw Bwee dan Coa Leng Bu Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 390
nengamuk dengan hebat, maka ia menjadi khawatir sekali. Kalau tadinya dia dapat
mengharapkan bantuan kakek ketua lembah yang lihai, kini tidak mungkin lagi. Pula, benda yang dicarinya, yang membuat dia mengadakan pengacauan sampai berbulan-bulan di tebing dan lembah, kini telah tersimpan di balik jubahnya. Tugasnya telah selesai, kini tinggal mencari jalan untuk keluar dengan selamat. Melihat Ouw-pangcu dan Yu Goan terkepung rapat, dia melihat jalan keluar itu, maka segera ia berseru agar menawan dua orang itu hidup-hidup.
Betapapun juga, seruan ini menyelamatkan nyawa Ouw-pangcu dan Yu Goan. Para
pengeroyok menubruk dengan nekat dan akhirnya mereka ditangkap dan ditotok sehingga lumpuh. Ang Hok Ci lalu mengumpulkan kawan-kawannya, yaitu orang-orang Han yang
datang bersamanya. Dia datang ke daerah itu dan diam-diam kemudian disusul oleh dua puluh orang temannya, akan tetapi sekarang teman-temannya itu hanya tinggal lima orang saja.
Selebihnya sudah tewas, sebagaian besar tewas di tangan Siauw Bwee dan Coa Leng Bu.
Dengan cepat Ang-siucai mengempit tubuh Yu Goan dan seorang temannya membawa tubuh Ouw Teng, kemudian mereka berenam meninggalkan tempat itu melarikan diri melalui terowongan yang menembus di puncak tebing di daerah orang-orang liar anak buah Ouwpangcu.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu masih mengamuk, tidak tahu bahwa Ouw Teng dan Yu Goan sudah ditawan dan dibawa lari. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring,
"Tahan semua senjata! Hentikan semua pertempuran!"
Mereka semua menoleh dan seketika pertandingan berhenti. Tak jauh dari mereka telah berdiri kakek Lie Soan Hu, ketua lembah yang buntung pundak kanannya. Dengan tangan kiri mengangkat bendera hitam tinggi-tinggi, kakek itu ternyata tidak kehilangan suaranya seperti para penderita lain, berkata,
"Ang Hok Ci manusia jahat.... kitab peninggalan Suhu dirampas dan dilarikan....! Sute....
lekas kejar....!" Setelah berkata demikian, kakek itu roboh pingsan. Biarpun luka di pundaknya tidak mengeluarkan darah, akan tetapi tentu saja dia menderita hebat sekali.
Pucat wajah Si Tukang Obat mendengar itu. Dia tahu kitab apa yang dimaksudkan, maka cepat dia berteriak,
"Hai, kalian orang-orang yang telah berdosa! Baru sekarang kalian tahu bahwa kalian telah ditipu oleh manusia she Ang itu! Siapa di antara kalian yang mengetahui di mana adanya bangsat itu?"
Beberapa orang penderita kusta menjawab sehingga terdengar suara gaduh tidak karuan yang tak dimengerti oleh Siauw Bwee. Akan tetapi dara ini melihat wajah Si Tukang Obat menjadi terkejut, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan kekhawatiran hebat.
"Lekas kejar, Lihiap."
"Apa sih artinya keterangan mereka?"
"Si keparat itu telah merampas kitab peninggalan Suhu, telah menawan Ouw-sute dan Yu-sicu dan mereka melarikan diri melalui terowongan yang menembus ke atas tebing."
"Celaka! Mari kita kejar!" Siauw Bwee berseru dan dia cepat meloncat mengikuti Coa Leng Bu yang sudah lari menuju ke terowongan rahasia yang merupakan satu-satunya jalan yang menghubungkan daerah lembah terpencil ini ke dunia luar melalui puncak tebing tempat tinggal Ouw-pangcu dan anak buahnya.
*** Siauw Bwee dan Coa Leng Bu terus melakukan pengejaran. Biarpun mereka berdua sudah
tertinggal jauh, namun mereka dapat mengikuti jejak enam orang yang melarikan diri dan menawan Yu Goan dan Ouw Teng itu. Jejak mereka menuju ke kota Sian-yang. Ketika
mereka tiba di luar tembok kota Sian-yang, mereka melihat Yu Goan duduk termenung menghadapi sebuah kuburan baru!
"Yu-twako....!"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 391
Yu Goan melompat bangun dan memandang Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dengan girang.
Akan tetapi segera wajahnya men jadi muram ketika ia berkata, "Bwee-moi, Gi-hu telah meninggal dunia dan inilah kuburannya," ia menunjuk ke arah kuburan baru.
"Keparat! Mereka membunuhnya?" Siauw Bwee berteriak marah.
Yu Goan menggeleng kepala. "Tidak, Bwee-moi, Gi-hu tewas karena luka-lukanya, terutama sekali karena penyakitnya yang lama kambuh kembali."
"Di mana penjahat itu" Bagaimana engkau dapat lolos, Twako?"
"Bwee-moi, Supek, mereka itu ternyata bukanlah penjahat-penjahat, melainkan utusan-utusan rahasia dari pemerintah. Mereka membebaskan aku di sini untuk mengurus jenazah Gi-hu, dan mereka tadinya menawan kami berdua hanya untuk dapat mempergunakan kami sebagai perisai ketika mereka keluar dari lembah. Mereka adalah orang-orang pemerintah dan aku sendiri telah melihat surat kuasa dan surat perintah mereka. Bahkan Ang Hok Ci itu adalah murid dari Bu Kok Tai, koksu negara yang sengaja mengutusnya ke lembah untuk mengambil kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin."
"Siapa pun dia, jelas dia adalah seorang penipu, pencuri, pembunuh dan pengacau terkutuk!"
kata Coa Leng Bu.
"Yu-twako, di mana mereka?"
"Mereka memasuki kota Sian-yang untuk menghadap Bu-koksu yang kebetulan berada di kota itu. Aku ditinggalkan di sini untuk mengurus jenazah Gi-hu. Bwee-moi, setelah kita ketahui bahwa mereka itu adalah utusan-utusan pemerintah, perlukah kita melibatkan diri?"
"Yu-twako! Aku tidak peduli mereka itu utusan pemerintah atau utusan raja sorga maupun raja neraka! Yang jelas, mereka adalah pengacau-pengacau busuk yang telah menimbulkan malapetaka di atas tebing dan di lembah, dan mereka telah menyebabkan kematian Gi-hu, bahkan telah mencuri kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin! Perbuatan mereka itu cukup bagiku untuk memusuhi mereka, tidak peduli mereka itu orang macam apa! Bagaimana dengan pendapatmu, Twako?"
Yu Goan mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang. "Bwee-moi, maafkan aku. Ayah bundaku dan kakekku telah memesan dengan sungguh-sungguh sebelum aku pergi merantau agar aku tidak melakukan perbuatan yang melawan dan menentang pemerintah, bahkan menganjurkan agar aku membantu pemerintah, menjadi pahlawan dan patriot demi
kepentingan tanah air dan bangsa. Karena itu, mana mungkin aku menentang mereka yang ternyata tidak membunuhku, malah membebaskan aku dan memberi surat perkenalan kepada komandan pasukan di Sian-yang" Bwee-moi, harap engkau sadar bahwa mereka itu pun hanya petugas-petugas belaka, dan kalau kita memusuhi mereka sama artinya dengan memusuhi pemerintah. Mungkinkan kita memusuhi pemerintah yang berarti memusuhi
bangsa sendiri?"
Siauw Bwee tersenyum pahit. "Twako, banyak orang yang tidak tahu bahwa pemerintah tidaklah sama dengan bangsa! Jalannya pemerintahan berada di tangan raja dan semua pembantunya, dan justeru pembantu-pembantunya yang menjadi pelaksana banyak sekali yang tidak benar dan jahat! Demikian jahat dan liciknya mereka ini sehingga orang-orang yang benar-benar berjiwa pahlawan dapat dianggap pengkhianat, sedangkan pengkhianat-pengkhianat dan penjahat-penjahat macam orang she Ang itu bisa saja dianggap pahlawan!"
"Aku akan mengejar ke Sian-yang, harus mendapatkan kembali kitab pusaka, dan membunuh orang she Ang. Apakah Ji-wi mau ikut?" Coa Leng Bu yang merasa tidak sabar mendengar perdebatan itu, berkata dan meloncat ke depan meninggalkan mereka.
"Aku ikut, Supek! Twako, apakah engkau mau pergi juga?"
Yu Goan menggeleng kepala. "Maaf, Bwee-moi, aku tidak boleh melanggar pesan orang tuaku."
"Sayang sekali, Twako. Nah, selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Siauw Bwee telah lenyap dari situ, pergi menyusul Coa Leng Bu yang sudah lari menuju ke Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 392
pintu gerbang kota Sian-yang. Yu Goan duduk termenung dan berkali-kali menarik napas panjang. Ia merasa seolah-olah semangatnya terbawa terbang melayang bersama Siauw Bwee.
Akan tetapi dia mengerahkan kekuatan batinnya dan akhirnya dia dapat melihat bahwa memang sebaiknyalah demikian. Dengan perbedaan paham ini, yaitu tentang pengabdian terhadap pemerintah maka tercipta jarak antara mereka yang akan meringankan penderitaan hatinya akibat cinta gagal. Seperginya Siauw Bwee, dia merasa hatinya kosong dan seperti dalam mimpi, Yu Goan mengeluarkan sebuah sampul surat yang ia terima dari Ang-siucai.
Surat perkenalan untuk komandan pasukan pengawal kota Sian-yang, di mana dia akan bekerja dan mendapat kesempatan membuktikan dirinya untuk pemerintah seperti yang dianjurkan oleh orang tuanya. Dengan adanya pekerjaan itu, dia akan lebih sibuk setiap harinya sehingga akan terhibur dari luka hati karena berpisah dari Siauw Bwee.
Setelah hari hampir gelap, barulah pemuda yang patah hati ini bangkit meninggalkan kuburan mendiang Ouw-pangcu dan melangkah perlahan-lahan menuju ke tembok kota Sian-yang yang sudah tampak dari situ.
Kota Sian-yang adalah kota yang besar dan ramai, bukan saja merupakan kota dagang, akan tetapi juga menjadi kota pertahanan yang dikelilingi sebuah benteng yang amat kuat. Dalam keadaan negara kalut seperti pada waktu itu, musuh mengancam dari pelbagai jurusan, setiap kota besar menjadi benteng pasukan yang kuat dan Sian-yang tidak terkecuali. Bahkan Sianyang dijadikan kota benteng yang menjadi pusat dari daerah di sekitarnya, menjadi sebuah di antara benteng pertahanan jalan yang menuju ke kota raja.
Penduduk kota Sian-yang yang padat itu setiap hari masih melakukan pekerjaan seperti biasa, pasar-pasar tetap ramai, tontonan-tontonan masih terus mengadakan pertunjukan, restoran-restoran dan penginapan-penginapan selalu penuh. Pendeknya, seperti biasa, rakyat tidak mau memusingkan pikiran mengenai perang dan pertempuran. Kalau mereka itu tanpa dikehendaki terlanda perang, rakyat mawut seperti rombongan semut diusir, namun begitu mereka dapat menetap di suatu tempat dan perang telah lewat melalui atas kepala mereka yang terinjak-injak, rakyat kembali membiasakan diri dan hidup seperti biasa, tenang dan tenteram Di kota ini banyak terdapat tentara pemerintah yang berkumpul di dalam markas dekat tembok benteng yang mengelilingi kota. Setiap hari tampak perwira-perwira pasukan berkeliaran di kota, namun rakyat yang sudah biasa dengan pemandangan ini menganggap biasa saja dan bekerja terus. Karena ini, penghuni kota itu pun tidak merasa heran ketika dalam beberapa hari ini datang kereta-kereta yang terisi pembesar-pembesar militer dan sipil memasuki kota Sian-yang. Bahkan dikabarkan orang bahwa Koksu sendiri berkenan datang ke Sianyang untuk memeriksa keadaan dan memperkuat pertahanan, di samping beberapa orang jenderal yang memegang kedudukan penting. Biarpun kedatangan orang-orang besar itu tidak mengejutkan penduduk kota, namun seperti biasa, orang-orang suka melebih-lebihkan cerita mengenai jagoan-jagoan yang turut datang ke kota. Maka ramailah orang
membicarakan kehebatan Koksu Negara yang dikabarkan memiliki ilmu kepandaian seperti dewa berkepala tiga berlengan enam! Masih ada lagi beberapa orang jagoan negara yang kabarnya juga berkumpul di kota itu, yang memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah manusia.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu memasuki kota dan lenyap dalam arus manusia di dalam kota.
Mereka menyewa kamar di sebuah rumah penginapan dan ketika pada sore hari itu mereka makan di restoran, mereka mendengar percakapan antara pelayan restoran dan beberapa orang tamu. Dari percakapan inilah Siauw Bwee dan supeknya mendengar bahwa Koksu telah tiba di kota itu membawa jago-jagonya yang berkepandaian tinggi, di antaranya yang dipuji-puji oleh pelayan itu adalah sepasang setan dampit yang kabarnya belum pernah terkalahkan oleh siapapun juga! Dan mereka mendengar bahwa pada malam hari itu di dalam gedung kepala daerah akan diadakan pesta menyambut kedatangan Koksu dan para pembantunya.
Setelah selesai makan dan kembali ke kamar masing-masing, Siauw Bwee berkata kepada Coa Leng Bu, "Supek, amat sukarlah untuk mencari orang macam Ang Hok Ci itu di dalam Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 393
kota sebesar ini di antara puluhan ribu orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah murid Koksu seperti yang diceritakan oleh Yu-twako, maka setelah Koksu sendiri kini datang, tentu mereka akan menghadap Koksu dan si manusia she Ang tentu akan menyerahkan kitab itu kepada gurunya, karena itu, kurasa sebaiknya kalau kita pergi menyelidiki ke gedung pertemuan itu. Kalau benar manusia she Ang itu berada di sana, aku akan menyergapnya!"
Coa Leng Bu mengerutkan alisnya. "Lihiap, ilmu kepandaianmu amat tinggi dan aku percaya bahwa engkau akan kuat melawan siapapun juga. Akan tetapi, aku telah mendengar akan kelihaian Bu-koksu dan para pembantunya. Mereka adalah orang-orang selain berkedudukan tinggi, menguasai laksaan tentara, juga memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya.
Karena itu, kita harus hati-hati sekali dan kuharap engkau suka menahan sabar, tidak melakukan tindakan sembrono. Kita mengintai dan mengikuti gerak-gerik Ang-siucai itu saja tanpa melibatkan diri dalam pertentangan melawan para pembesar pemerintah. Karena hal itu hanya akan mencelakakan diri saja."
"Baiklah, Supek. Memang tujuan kita ini hanya merampas kembali kitab dan membunuh manusia she Ang itu, bukan?"
Malam hari ini dengan pakaian ringkas dan membawa pedang yang digantung di punggung, Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu keluar dari rumah penginapan untuk pergi menyelidiki ke gedung kepala daerah yang menjadi temnpat pertemuan para pembesar pada malam hari itu.
Seperti biasa, Coa Leng Bu yang berjiwa sederhana itu hanya mengenakan pakaian yang amat bersahaja, bahkan kedua kakinya tetap telanjang tak bersepatu!
Dengan gerakan ringan dan lincah bagaikan dua ekor burung, mereka setelah tiba di dekat gedung itu meloncat ke atas genteng dan berindap-indap mendekati ruangan pertemuan yang terang benderang dan sekelilingnya terjaga oleh pasukan itu. Untung bahwa malam itu gelap sehingga Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dapat bergerak tanpa ada yang melihat mereka.
Mereka merayap di atas genteng dengan hati-hati tanpa meninggalkan suara dan akhirnya tiba di atas ruangan itu, menggeser genteng dan mengintai ke bawah.
Siauw Bwee menyentuh lengan supeknya di dalam gelap ketika ia melihat bahwa orang yang mereka cari-cari, Si Sastrawan she Ang yang telah berhasil menimbulkan pemberontakan dan kekacauan di atas tebing dan lembah, kemudian berhasil merampas kitab pusaka peninggalan Bu-tek Lo-jin, ternyata berada di dalam ruangan itu, duduk berhadapan dengan seorang tinggi besar yang berpakaian panglima tinggi dan beberapa orang jenderal lain. Di ruangan itu terdapat belasan orang panglima dan pembesar setempat yang agaknya sedang merundingkan siasat-siasat pertahanan dan perang menghadapi musuh yang banyak. Di samping itu, mereka pun saling beramah tamah dan menyambut kedatangan Koksu dengan pesta yang meriah.
Agak janggal memang kehadiran Ang-siucai di meja pembesar tinggi itu. Akan tetapi Siauw Bwee mengangguk maklum ketika supeknya berbisik, "Di depannya itulah Bu-koksu...." Ah, kiranya sastrawan licik itu telah bertemu dengan gurunya dan tentu kitab itu telah diserahkan kepada koksu itu! Menurut kata hatinya, ingin Siauw Bwee segera meloncat turun membekuk siucai itu dan memaksanya menyerahkan kembali kitab yang dicurinya. Akan tetapi dia bukanlah seorang yang begitu bodoh dan lancang karena tanpa peringatan Coa Leng Bu yang pada saat itu menyentuh lengannva sekalipun, dia tidak akan sembrono melakukan hal itu.
Siauw Bwee cukup maklum bahwa orang-orang di bawah itu tidak boleh dipandang ringan, apalagi mereka yang duduk di ujung ruangan, yang tak salah lagi tentulah rombongan jago-jago dari Koksu. Yang amat menarik hatinya adalah sepasang laki-laki dampit yang duduk bersanding. Sepasang manusia dampit ini benar-benar menyeramkan, dan mereka kelihatan saling membenci, saling bersungut dan pandang mata yang saling mereka tujukan satu kepada yang lain memandang nafsu membunuh! Kalau apa yang ia dengar di restoran itu benar bahwa sepasang manusia dampit ini belum pernah terkalahkan, tentulah mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Karena inilah maka Siauw Bwee merasa gatal-gatal Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 394
tangannya untuk mencoba sampai di mana gerangan kehebatan sepasang orang dampit yang tentu akan canggung gerakan mereka, saling merintangi itu. Manusia-manusia dampit itu tidak memakai pakaian militer, juga dua orang kakek yang duduk bersama mereka, akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar dan kelihatan seperti raksasa yang duduk dalam rombongan ini, mengenakan pakaian perang dari baja, membuat gerakan mereka tampak kaku dan berat.
Tiba-tiba Koksu yang tadinya bercakap-cakap dengan Ang-siucai dengan wajah
membayangkan kepuasan hati menoleh ke kanan dan berkata, "Hemm, kau baru muncul"
Benar-benar manusia malas!"
Siauw Bwee menoleh ke arah pembesar itu memandang dan hampir saja ia mengeluarkan jerit kalau tidak cepat-cepat tangan kirinya menutup mulutnya sendiri. Ia membelalakkan mata, napasnya terengah dan setelah menggosok-gosok kedua mata dan berkejap-kejap beberapa kali, barulah ia merasa yakin bahwa orang yang yang tahu-tahu telah duduk di jendela dengan sikap sembarangan, lengan kiri menopang dagu dengan siku ditunjang paha kiri, kaki kanan menginjak lemari, duduk melamun seenaknya di lubang jendela, orang yang baru saja datang dan ditegur oleh Koksu, bukan lain adalah Kam Han Ki, suhengnya yang amat dirindukannya selama ini! Sejenak Siauw Bwee hampir tidak percaya akan pandang matanya dan menduga bahwa tentu ada orang lain yang mirip suhengnya, yaitu seorang di antara pengawal dan jagoan Koksu. Akan tetapi ia melihat sesuatu yang tidak wajar. Sikap orang ini benar-benar luar biasa. Kalau menjadi pengawal Koksu, mengapa sikapnya begitu kurang ajar" Dan bukan hanya Koksu, bahkan semua orang yang menyaksikan sikapnya duduk di jendela seperti itu, seenaknya seolah-olah di situ tidak ada manusia lainnya, agaknya tidak mempedulikan orang ini! Ketidakwajaran yang cocok dengan ketidakwajaran kalau Kam Han Ki sekarang
membantu Koksu Negara! Kam Han Ki suhengnya itu adalah seorang pelarian, seorang buruan, mana mungkin sekarang menjadi pengawal Koksu dan pembantu pemerintah yang telah membunuh kakaknya, Menteri Kam Liong, dan yang telah mengejar-ngejarnya dahulu"
Tidak salah lagi, orang itu tentulah Kam Han Ki, dan sikapnya yang luar biasa itu menunjukkan bahwa biarpun orangnya Kam Han Ki, akan tetapi pikirannya bukan! Agaknya telah terjadi sesuatu yang menimpa diri suhengnya itu sehingga kehilangan ingatannya!
"Kam-taihiap! Duduklah di sini!" Bu-koksu berkata dengan suara halus mempersilakan.
Akan tetapi pemuda tampan yang duduk di jendela itu, acuh tak acuh menjawab, "Bu-loheng, engkau dan teman-temanmu enak saja duduk di sini sedangkan di sana itu terdapat dua orang mengintai kalian!"
Mendengar ini, semua orang terkejut, akan tetapi Siauw Bwee dan Coa Leng Bu lebih kaget lagi. "Lari....!" kata Coa Leng Bu yang merasa kaget bahwa pemuda aneh itu tahu akan kehadiran mereka. Akan tetapi, ia menjadi lebih kaget lagi ketika Siauw Bwee bukan hanya tidak menuruti kata-katanya, bahkan dara perkasa itu kini meloncat ke depan, tepat di atas ruangan itu sambil berseru,
"Suheng....!"
Siauw Bwee menjadi gelisah sekali. Jelas bahwa orang itu adalah Kam Han Ki, dan Si Koksu menyebutnya juga Kam-taihiap, dan dia tidak heran kalau suhengnya yang lihai sekali itu dapat mengetahui kehadirannya bersama Coa Leng Bu, akan tetapi mengapa suhengnya tidak mengenalnya"
Pemuda itu masih bertopang dagu, hanya miringkan mukanya dan mengomel, "Siapa menyebutku suheng?"
"Suheng! Ini aku, Khu Siauw Bwee....!" Siauw Bwee berseru lagi dan semua orang yang berada di ruangan itu terkejut sekali mendengar bahwa wanita yang suaranya terdengar di atas itu adalah adik seperguruan pemuda aneh yang mereka semua mengenalnya sebagai pengawal nomor satu dari Koksu!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 395
"Tangkap pengacau itu!" Tiba-tiba Bu-koksu berseru sambil menoleh kepada para pengawalnya, yang duduk di sudut ruangan. Seorang di antara dua pengawal tinggi besar seperti raksasa yang memakai pakaian perang meloncat bangun sambil mencabut goloknya, sebatang golok besar yang tajam mengkilap dan kelihatan berat sekali.
Siauw Bwee yang menjadi makin gelisah melihat suhengnya masih duduk enak-enak dan sama sekali tidak memperhatikannya itu tak dapat menahan lagi hatinya. Dia meloncat turun dan berjungkir-balik, tubuhnya meluncur masuk ke ruangan itu melalui pintu belakang.
Begitu kedua kakinya menyentuh lantai, pengawal raksasa itu sudah menerjang maju dan goloknya menyambar ke arah pinggang Siauw Bwee. Dara perkasa ini menjadi marah sekali dan dia tidak ingat lagi akan bahaya. Dia merasa gelisah penasaran dan marah menyaksikan keadaan suhengnya, marah melihat Ang-siucai, dan kemarahannya memuncak ketika tiba-tiba saja ia disambut serangan. Bagaikan seekor burung terbang, tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga sambaran golok itu kalah cepat dan golok menyambar di sebelah bawah kakinya. Karena Siauw Bwee mempergunakan gerakan kilat, maka tubuhnya seolah-olah lenyap, demikian cepat gerakannya sehingga ketika pengawal raksasa itu luput menyerang dan cepat hendak membalikkan goloknya, tiba-tiba kaki Siauw Bwee yang berada di udara itu bergerak ke depan.
"Crot!"
Pengawal raksasa itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, tangan kirinya mengusap darah yang muncrat keluar dari hidungnya yang pecah dicium telapak sepatu Siauw Bwee. Dia menjadi marah sekali, lalu menerjang seperti seekor badak terluka, membabi-buta, goloknya yang besar dan berat itu lenyap menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata.
Biarpun hatinya marah sekali bercampur gelisah, Siauw Bwee masih ingat bahwa dia berada di guha macan, bahkan keadaannya berbahaya sekali kalau sampai dia melakukan
pembunuhan. Maka, mengingat bahwa seorang koksu yang suka menggunakan tenaga orang pandai tentu akan menghargai ilmu silat tinggi, dia mengambil keputusan untuk mengalahkan para jagoan koksu itu, kemudian atas nama kegagahan yang dihargai oleh dunia kang-ouw, minta kembali kitab Bu-tek Lo-jin secara baik dan selanjutnya berurusan dengan suhengnya dan kalau mungkin, membunuh Ang-siucai. Keputusan hati ini membuat dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan melawan pengawal raksasa itu dengan kecepatan gerakan tubuhnya. Betapapun cepatnya sambaran sinar golok yang bergulung-gulung, gerakan tubuh dan kaki tangan Siauw Bwee lebih cepat lagi. Sambaran-sambaran golok itu seperti menyambar asap saja, jangankan mengenai tubuh Siauw Bwee, mencium ujung baju pun tidak pernah!
Siauw Bwee seperti menari-nari di atas lantai, berputaran dan selalu sambaran golok mengenai tempat kosong. Indah dan aneh sekali gerakan kakinya karena memang dia
mempergunakan ilmu gerak kaki kilat yang dimilikinya berkat ajaran Kakek Lu Gan. Dalam menghadapi serangan-serangan golok ini, Siauw Bwee masih sempat mengerling ke arah suhengnya yang masih duduk di jendela, dan betapa gelisah dan mendongkol hatinya melihat suhengnya itu masih bertopang dagu dan menundukkan muka, sama sekali tidak tertarik dan tidak menonton seolah-olah tidak terjadi sesuatu di depan hidungnya!
Pertandingan itu membuat mereka yang hadir di ruangan itu melongo. Pengawal raksasa itu adalah seorang yang terkenal amat kuat dan amat lihai ilmu goloknya, namun dalam segebrakan saja hidungnya telah pecah oleh tendangan Si Dara Perkasa, bahkan kini serangannya yang bertubi-tubi itu dihadapi dara itu seenaknya saja, selalu mengelak tanpa membalas namun belum pernah golok itu menyerempet sasarannya.
Bu-koksu tentu saja dapat mengenal orang pandai. Ia memandang dengan mata berkilat dan wajah berseri. Dia merasa beruntung sekali bisa mendapatkan seorang pembantu seperti Kam Han Ki, kajau kini gadis jelita yang mengaku adik seperguruan Kam Han Ki itu suka menjadi pembantunya, ahhh, betapa akan senang hatinya, betapa akan aman dirinya dikawal oleh Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 396
kakak beradik selihai itu. Diam-diam ia memberi tanda dan pengawal raksasa ke dua yang juga berpakaian perang itu meloncat maju sambil menyeret tombaknya, tombak gagang panjang yang beratnya tidak kurang dari seratus lima puluh kati! Begitu sampai di tempat pertempuran, pengawal ini sudah menggerakkan tombak panjangnya dengan lagak seperti Kwan Kong (tokoh sakti dalam cerita Samkok) membantu kawannya menusuk ke arah pusar Siauw Bwee.
Dara itu tadi memang sengaja mempertontonkan kelincahannya, bukan hanya untuk menarik hati koksu agar dapat menghargai kepandaiannya, akan tetapi juga untuk menarik perhatian suhengnya yang ternyata disambut dengan sikap tak acuh itu. Dia menjadi marah, apalagi kini melihat pengawal ke dua sudah maju. Dengan suara melengking panjang dia sudah mencelat tinggi dan tahu-tahu telah berada di belakang pengawal ke dua ini. Pengawal itu cepat menyodokkan gagang tombaknya ke belakang, menggunakan pendengarannya untuk
mengikuti gerakan lawan tadi karena matanya kalah cepat, akan tetapi kembali Siauw Bwee sudah mencelat ke kiri dan melihat golok menyambar, secepat kilat tangannya mengejar punggung golok lawan dan mendorong punggung golok itu sehingga senjata ini menyeleweng ke arah pengawal ke dua yang memegang tombak panjang.
"Tranggg! Heiii, lihat golokmu, jangan ngawur!" Si Pengawal Bertombak mencela kawannya dan dia menggerakkan tombaknya menyerang Siauw Bwee setelah tadi menangkis golok kawannya.
Kini Siauw Bwee tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi dengan main kelit dan
mempertontonkan kelincahannya. Tusukan tombak itu yang menuju ke ulu hati, diterimanya begitu saja dan hanya setelah ujung tombak tinggal sejengkal dari dadanya ia mendoyongkan tubuh ke kiri sehingga tombak itu menembus melalui celah-celah di antara dada dan lengan kanannya. Ia menurunkan lengan menjepit leher tombak, memegang gagang tombak dengan tangan kanan dan menarik sambil mengerahkan sin-kang. Pengawal itu terkejut sekali, khawatir kalau tombaknya terampas maka dengan kedua tangannya ia membetot gagang tombaknya. Tenaganya memang besar sekali, tenaga gwa-kang (luar) yang mengandalkan kekuatan otot.
"Hekkk!" Tiba-tiba tubuhnya terjengkang karena Siauw Bwee mempergunakan kesempatan selagi lawan membetot tombak, dia membarengi mendorong dan gagang tombak yang tidak runcing itu tepat menotok dada pemiliknya sehingga seketika napasnya sesak dan perutnya mulas, terjengkang ke belakang dan bergulingan mengaduh-aduh.
Tanpa membalikkan tubuhnya, Siauw Bwee menggunakan tombak rampasan itu menangkis golok yang menerjangnya dari belakang.
"Trangggg!" Bunga api muncrat menyilaukan mata disusul jatuhnya golok yang terlepas dari tangan pengawal itu yang kini tubuhnya menggigil kedinginan. Ternyata Siauw Bwee ingin menyudahi pertandingan dengan cepat maka ketika ia menangkis tadi, ia membarengi dengan dorongan tenaga Im-kang yang ia latih di Pulau Es, tidak terlalu kuat karena dia tidak ingin membunuh lawan, namun cukup membuat lawan itu menggigil kedinginan dan lumpuh kaki tangannya sehingga goloknya terlepas dan orangnya pun terguling roboh!
Setelah melempar tombak itu ke atas lantai, Siauw Bwee memutar tubuh menghadapi Bu-koksu lalu berkata nyaring, "Koksu, aku mau bicara tentang suhengku Kam Han Ki!" Setelah berjumpa dengan Han Ki, lain urusan tidak ada artinya lagi bagi Siauw Bwee sehingga ia sudah lupa akan maksud kedatangannya semula.
"Tidak! Kami datang pertama-tama untuk bicara tentang manusia she Ang yang curang!"
Tiba-tiba Coa Leng Bu berteriak dan tubuhnya melayang turun di samping Siauw Bwee.
"Dia itulah Coa Leng Bu, sute ketua lembah, Suhu," bisik Ang Hok Ci kepada Koksu yang menjadi gurunya. "Biarpun tidak sesakti gadis ini, akan tetapi dia pun amat lihai!"
Koksu memberi isyarat dengan gerak kepala dan pandang mata kepada dua orang jagonya Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 397
yang lain setelah melihat dua orang jagonya yang pertama keok dan kini dengan muka merah kembali ke kursi masing-masing. Dua orang jagonya yang lebih tinggi tingkatnya itu adalah dua orang pendeta yang aneh. Yang seorang berpakaian jubah pendeta dengan rambut dipelihara panjang riap-riapan, jubahnya berwarna hitam dan sikapnya angkuh sekali, seolah-olah dia memandang semua orang dan keadaan di sekitarnya itu kecil tiada arti. Usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih namun gerakannya ketika ia bangkit dari kursinya
membayangkan kegesitan melebihi seorang muda. Adapun orang ke dua, berjubah kuning seperti seorang tosu, mukanya kelihatan sabar dan sikapnya tenang, namun sinar matanya membayangkan kecerdikan, usianya sudah mendekati lima puluh tahun.
"Khu-lihiap, minggirlah. Mana ada aturan orang-orang gagah mengeroyok seorang wanita muda" Biarlah aku yang menghadapi orang-orang berjubah pendeta ini, tua sama tua!" Coa Leng Bu berseru dan melangkah maju.
"Satu lawan satu!" terdengar Bu-koksu berteriak dan agaknya orang berpangkat tinggi itu mulai gembira sekali akan menyaksikan jago-jagonya bertanding. Mendengar perintah ini, tosu baju kuning berkata kepada kawannya,
"Biarlah pinto menghadapi petani kotor itu!" Kawannya yang berambut panjang tertawa mengejek dan melangkah mundur, berdiri di pinggiran seperti halnya Siauw Bwee yang menuruti permintaan supeknya.
Kini dua orang itu saling berhadapan tidak segera saling serang karena mereka saling pandang dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak mengukur tingkat lawan dengan pandang mata, dan hendak saling mengenal siapa yang menjadi lawannya.
"Majulah, petani busuk!" Tosu itu membentak dan sudah siap dengan pasangan kuda-kuda kakinya. Karena dia melihat lawannya yang berpakaian sederhana itu bertangan kosong, maka tosu ini pun tidak mau mengeluarkan senjatanya, namun diam-diam ia membuka gulungan ujung lengan bajunya sehingga menjadi longgar dan panjang karena kedua ujung lengan bajunya itu baginya merupakan senjata yang cukup ampuh.
"Taijin, kami datang bukan untuk bertanding, akan tetapi kalau Taijin memaksa dan menghendaki kami memperlihatkan kepandaian, apa boleh buat!" kata Coa Leng Bu dengan suara tenang.
"Tak perlu mencari muka, sambut tanganku!" Tosu itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang maju, kepalan tangan kirinya menampar muka lawan, disusul dengan tusukan jari tangan kiri ke arah perut.
"Plak-plakk!" Coa Leng Bu menangkis dengan gerakan tangkas dan kuat sehingga kedua tangan lawan itu terpental, kemudian ia melangkahkan kaki telanjang ke depan, langsung menggunakan tangan kirinya yang menangkis tadi untuk balas memukul dada lawan dengan telapak tangan terbuka. Tosu itu tadi sudah terkejut sekali karena mendapat kenyataan betapa tangkisan lawan yang dipandang rendah sebagai petani busuk itu ternyata mengandung sinkang yang amat hebat dan yang membuat kedua lengannya tergetar. Maka kini dia tidak berani memandang rendah, ketika dorongan telapak tangan lawan tiba, ia cepat mengelak dan balas menyerang mengandalkan kecepatan ilmu silatnya. Coa Leng Bu menghadapi lawan dengan sikap tenang karena ia maklum bahwa dia akan mampu mengalahkan lawan ini, hanya dia harus dapat menang tanpa membunuh lawan.
Siauw Bwee yang merasa lega karena dalam beberapa gebrakan saja dia pun maklum bahwa supeknya itu tidak akan kalah, kini mencurahkan perhatiannya kepada Kam Han Ki yang masih duduk termenung di jendela. Dia terheran-heran dan hatinya gelisah bukan main. Tidak mungkin kalau suhengnya sengaja bersikap seperti itu! Dia sudah mengenal betul suhengnya, sudah bertahun-tahun tinggal bersama suhengnya di Pulau Es. Suhengnya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki sejati, seorang yang berhati mulia. Andaikata suhengnya itu marah kepadanya sekalipun karena dia melarikan diri dari Pulau Es, tidak mungkin sekarang suhengnya mengambil sikap seperti tidak kenal padanya. Ah, tidak Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 398
mungkin! Pasti terjadi sesuatu yang amat hebat atas diri suhengnya dan agaknya hanya koksu itu saja yang mengetahuinya!
Dugaan yang dikhawatirkan Siauw Bwee memang benar. Laki-laki itu bukan lain adalah Kam Han Ki.
Mengapa ia bersikap seperti itu dan seperti tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya dan hanya ada reaksi kalau ditegur oleh Koksu" Hal ini sebetulnya sudah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu dan untuk mengetahui sebab-sebabnya marilah kita mengikuti pengalaman Kam Han Ki semenjak dia menderita siksa batin melihat bekas kekasihnya, Puteri Sung Hong Kwi, meninggal dunia dalam keadaan sengsara. Seperti telah diketahui, tekanan batin membuat Han Ki menjadi seperti gila dan dia mengamuk dan menyebar maut pada pasukan-pasukan Mancu yang dianggap sebagai biang keladi kematian bekas kekasihnya itu.
Kemudian ia mengalami pukulan batin ke dua ketika dalam pasukan Mancu itu dia berjumpa dengan dua orang murid Mutiara Hitam, bahkan makin hebat lagi pukulan batin ini ketika ia bertemu dengan sumoinya, Maya sebagai seorang Panglima Mancu! Hatinya berduka sekali karena dia tidak berhasil membujuk Maya untuk meninggalkan kedudukannya sebagai
Panglima Mancu. Memang benar bahwa dia dapat menyelami isi hati Maya yang karena kematian orang tuanya, Raja dan Ratu Khitan, menaruh dendam yang hebat terhadap
Kerajaan Yucen dan Kerajaan Sung, dan bahwa tindakannya menjadi Panglima Mancu
semata-mata untuk dapat membalas dendam itu. Akan tetapi, sakit hatinya kalau dia memikirkan betapa sumoinya yang tadinya hidup tenang dan tenteram jauh daripada segala keruwetan dunia, apalagi perang besar, bersama dia dan Siauw Bwee di Istana Pulau Es, kini menjadi seorang panglima perang!
Harapan satu-satunya hanyalah Siauw Bwee. Kalau dia dapat bertemu dengan sumoinya yang ke dua itu, agaknya mereka berdua akan mampu membujuk Maya. Dia pun masih bingung sekali mendengar jawaban Maya yang terang-terangan menyatakan cinta kasihnya kepadanya, tanpa mau dibagi dengan orang lain! Maya hanya suka ikut dengan dia kembali ke Istana Pulau Es, meninggalkan semua urusan duniawi, akan tetapi harus hanya mereka berdua, tanpa Siauw Bwee!
Betapa mungkin dia memenuhi permintaan itu" Betapa mungkin dia mendapatkan Maya
dengan membuang Siauw Bwee" Dia mencinta kedua orang sumoinya itu, mencinta dengan kasih sayang besar, seperti seorang saudara tua, bahkan seperti pengganti guru dan orang tua!
Memang, kadang-kadang dia merasa bahwa ada cinta kasih yang lain dari itu, seperti cinta kasihnya terhadap mendiang Sung Hong Kwi, cinta kasih yang membuat ia rindu akan kemesraan dengan wanita, akan tetapi dia sendiri tidak jatuh cinta kepada keduanya sebagai pengganti Sung Hong Kwi! Ah, dia tidak berani membayangkan hal ini yang dianggapnya terlalu jahat!
Karena tidak dapat memenuhi permintaan Maya, maka sumoinya itu pergi membawa
pasukannya dan dia sendiri tidak tahu harus mencari Siauw Bwee ke mana" Kemudian timbul keinginan hatinya untuk mencari kedua orang encinya, kedua orang kakak kandungnya yang semenjak dia dibawa pergi gurunya, Bu Kek Siansu, belum pernah ia jumpai. Maka pergilah Han Ki ke pegunungan Ta-liang-san, di mana ia dahulu mendengar bahwa kedua orang encinya itu belajar ilmu di bawah pimpinan paman kakek mereka sendiri, yaitu Kauw Bian Cinjin.
Dengan penuh harapan untuk dapat bertemu dengan kedua orang encinya, Han Ki melakukan perjalanan cepat ke Ta-liang-san, luka-lukanya yang ia derita ketika mengamuk barisan Mancu hanyalah luka luar yang biarpun banyak akan tetapi ringan saja, maka sambil melakukan perjalanan dia mengobati luka-lukanya dan ketika tiba di Ta-liang-san, ia sudah sembuh sama sekali, akan tetapi batinnya tetap tertindih penuh duka dan kecewa. Betapapun ia berusaha melupakannya, selalu wajah Hong Kwi yang telah meninggal dan wajah Maya Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 399
yang tidak mau ikut dengannya menggodanya dan setiap kali teringat kepada Hong Kwi, Maya dan juga Siauw Bwee yang belum dapat ditemukannya itu, jantungnya seperti ditusuk karena duka dan kecewa.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika di lereng pegunungan itu, seorang petani menjawab pertanyaannya tentang tokoh-tokoh Beng-kauw, "Di puncak sana sudah tidak ada orang lagi, yang ada hanya kuburan-kuburan!"
Mendengar ini, Han Ki cepat berlari mendaki puncak dan tak lama kemudian ia berdiri termangu-mangu di depan pondok yang sudah rusak dan di depan sebaris kuburan yang tidak terawat lagi. Dengan hati kosong ia melihat nama tokoh-tokoh Beng-kauw di situ, dan di antaranya terdapat nama Kauw Bian Cinjin! Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan paman kakeknya dan membayangkan wajah paman kakek ini yang dulu pernah dilihatnya di waktu ia masih kecil. Kemudian ia meneliti dan memeriksa dengan hati tidak karuan mencari kuburan kedua encinya. Akan tetapi harapannya timbul kembali ketika ia tidak melihat nama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui di antara mereka yang terkubur di situ. Kenyataan ini membesarkan hatinya karena berarti bahwa kedua orang encinya itu tidak ikut mati! Semua kuburan, di bawah nama masing-masing yang terkubur terdapat tulisan "Gugur dalam mempertahankan Beng-kauw". Dia makin bingung karena tidak tahu apakah yang telah terjadi dengan Beng-kauw" Ia teringat akan petani tadi, maka kini tanpa mempedulikan kelelahan tubuhnya ia lari lagi menuruni puncak untuk mencari petani tadi.
"Paman, mohon tanya di mana adanya kedua orang wanita yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, yang dahulu tinggal di puncak bersama Kakek Kauw Bian Cinjin?"
Kakek petani itu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Kaumaksudkan Ji-wi Kam-kouwnio" Aihhhh.... sungguh kasihan mereka. Bagaimana aku tahu di mana mereka itu berada" Semenjak Beng-kauw jatuh ke tangan orang lain, kedua orang kouwnio itu sajalah yang masih hidup, lalu mereka pergi entah ke mana...." Suara orang itu penuh duka dan keharuan. "Aihh, mereka sungguh orang-orang yang amat mulia, sungguh aku heran sekali mengapa kadang-kadang Thian tidak memberkahi orang-orang yang baik hati?"
"Paman, siapakah yang telah menjatuhkan Beng-kauw" Dan di mana sekarang pusat Bengkauw?"
Kini petani memandang Han Ki penuh kecurigaan. "Engkau ini siapakah, orang muda" Aku mana tahu tentang Beng-kauw?"
Kam Han Ki yang maklum bahwa orang ini mencurigainya, cepat mengaku terus terang.
"Namaku Kam Han Ki, adapun kedua orang Kam-kouwnio itu adalah enciku."
Tiba-tiba petani itu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis, Han Ki cepat membangunkan orang itu yang segera menyusut air matanya dan bercerita,
"Saya dahulu juga seorang anggauta Beng-kauw. Ketika itu muncul seorang bernama Hoat Bhok Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dialah orangnya yang menjatuhkan Bengkauw, merobohkan semua tokoh-tokohnya kecuali kedua Kam-kouwnio yang berhasil
melarikan diri. Anak buah Beng-kauw dipaksa untuk menjadi pengikutnya, dan hanya beberapa orang saja termasuk saya sendiri yang dapat melarikan diri karena tidak sudi menjadi anggauta Beng-kauw baru yang dipimpin oleh pendeta Lama itu. Ji-wi Kam-kouwnio dan beberapa orang anggauta yang setia menguburkan semua jenazah di puncak itu, kemudian berkali-kali kami mencoba untuk membalas dendam dan merampas kembali Beng-kauw.
Namun, pendeta Lama itu terlalu lihai sehingga makin banyak korban. Akhirnya Ji-wi Kouwnio pergi entah ke mana, mungkin mencari bala bantuan dan habislah riwayat Beng-kauw yang sejati. Beng-kauw yang sekarang berpusat di pegunungan Heng-toan-san adalah Bengkauw palsu yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama."
Han Ki menjadi makin berduka, akan tetapi juga marah sekali. "Terima kasih, Paman.
Sekarang juga aku akan mencari Hoat Bhok Lama dan menghancurkan kepala penjahat
berkedok pendeta itu!" Sekali berkelebat Han Ki lenyap dari depan petani itu yang melongo Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 400
dan mencari dengan pandang matanya. Ketika tidak dapat menemukan bayangan Han Ki, dia lalu berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas.
"Terima kasih kepada Thian yang agaknya menurunkan cahaya terang untuk mengusir kegelapan ini. Semoga dia berhasil!"
Tanpa mempedulikan kelelahan, Han Ki terus langsung menuju ke Heng-toan-san, melakukan perjalanan cepat siang malam dengan hati penuh kemarahan. Ia mengambil keputusan untuk membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, membebaskan para anggauta Beng-kauw
dan baru kemudian mencari kedua orang encinya yang tidak ada kabar beritanya lagi, biarpun di sepanjang jalan ia bertanya-tanya orang. Agaknya penduduk di sepanjang jalan sungkan untuk bicara sesuatu yang menyangkut Beng-kauw yang kini berubah menjadi perkumpulan agama yang ditakuti orang.
Akan tetapi ketika Han Ki akhirnya tiba di puncak Heng-toan-san, di lembah Sungai Cin-sha yang dahulu menjadi markas besar Beng-kauw yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama, kembali ia mendapatkan tempat yang amat sunyi, hanya tinggal bekas-bekasnya saja, yaitu bangunan-bangunan yang sudah tak terawat. Beberapa orang yang masih tinggal di situ hidup sebagai petani dan kepada mereka inilah Han Ki bertanya.
"Saudara sekalian, harap suka memberi keterangan kepadaku, di mana aku dapat bertemu dengan Hoat Bhok Lama?"
Begitu Han Ki mengucapkan kata-kata pertanyaan ini, enam orang petani itu langsung menyerangnya dengan cangkul mereka. Gerakan mereka gesit dan kuat, tanda bahwa mereka bukanlah petani-petani biasa, melainkan orang-orang yang pandai ilmu silat.
Tentu saja Han Ki terkejut bukan main, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak cepat, enam orang itu semua terlempar kembali ke tengah sawah dan terbanting ke dalam lumpur! Untung bagi mereka bahwa Han Ki tidak menggunakan seluruh tenaga sin-kangnya karena Han Ki masih meragukan apakah mereka ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang dicarinya. Kalau dia sudah yakin bahwa mereka adalah kaki tangan pendeta Lama itu, tentu mereka berenam itu sekarang sudah tidak dapat bangkit lagi dan tewas seketika!
"Hemm, mengapa kalian menyerangku" Apakah kalian ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang jahat?"
Mendengar ucapan itu, enam orang yang sudah bangkit kembali itu tiba-tiba merubah sikap.
Mereka keluar dari lumpur dan melempar cangkul, kemudian menghadapi Han Ki sambil memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka bertanya.
"Maaf...., apakah Taihiap yang gagah perkasa ini bukan sahabat mendiang Hoat Bhok Lama?"
"Sahabatnya" Dan apa kaubilang" Mendiang" Jadi manusia iblis itu sudah mati?"
Enam orang itu menarik napas lega. "Uihh, kiranya Taihiap bukan sahabatnya. Maafkanlah kami karena tadi kami menyangka bahwa Taihiap adalah seorang sahabatnya, maka kami segera menyerang. Memang dia sudah tewas, juga semua kaki tangannya, Taihiap. Kami bersyukur sekali, dan sebelum kami melanjutkan cerita, bolehkah kami mengetahui siapa Taihiap ini" Apakah masih sahabat Suma-taihiap, atau Im-yang Seng-cu, dan kenalkah Taihiap kepada Bu-tek Lo-jin?"
Han Ki sudah mendengat nama besar Im-yang Seng-cu tokoh Hoa-san-pai itu, dan nama besar Bu-tek Lo-jin tentu saja sudah didengarnya. Hanya sebutan Suma-taihiap itu membuat ia terkejut karena dia tidak tahu siapa sedangkan she-nya mengingatkan dia akan keluarga Suma yang jahat sekali.
"Namaku Kam Han Ki, dan aku mencari kedua orang enciku, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui."
"Ahhhhh...., mengapa Taihiap datang terlambat....?" Enam orang itu mengeluh dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis! Persis seperti yang dilakukan petani bekas anggauta Beng-kauw di Tai-hang-san itu.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 401
"Bangkitlah, jangan seperti anak kecil. Kalau Hoat Bhok Lama sudah tewas, demikian pula kaki tangannya, bukankah kalian seharusnya bersuka, mengapa sekarang menangis?"
Orang tertua dari mereka berkata, "Kami adalah bekas anggauta-anggauta Beng-kauw yang dipaksa menjadi anak buah Hoat Bhok Lama. Setelah Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya dibasmi oleh Bu-tek Lo-jin dibantu oleh Suma-taihiap dan Im-yang Seng-cu, kami berenam tinggal di sini, sedangkan saudara-saudara lainnya kembali ke Nan-cao untuk membangun kembali Beng-kauw yang berantakan oleh perbuatan Hoat Bhok Lama. Akan tetapi.... ah....
Taihiap.... kedua orang kouwnio yang kami hormati dan cinta itu, mereka.... mereka telah menjadi korban dan tewas...."
Seketika pucat wajah Kan Ki, napasnya terasa sesak. Pukulan terakhir ini benar-benar amat hebat baginya, hampir saja dia roboh pingsan kalau dia tidak mengeraskan hatinya. Dengan bibir gemetar dia berkata singkat, "Ceritakan....!"
Orang tertua itu lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi di situ hampir dua bulan yang lalu. Han Ki mendengarkan dengan penuh perhatian dan ia berduka sekali ketika mendengar betapa kedua orang encinya terjebak dan terpendam di bawah tumpukan batu-batu gunung.
"Di mana mereka terpendam" Lekas tunjukkan kepadaku!"
Enam orang itu lalu menuju ke bukit di mana dahulu kedua orang wanita itu teruruk oleh batu-batu yang amat banyak. Ketika Han Ki tiba di depan gundukan batu seanak gunung itu, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. "Pergilah kalian, jangan ganggu aku!" bentaknya dan enam orang itu cepat menyingkir, saling pandang dan mereka kasihan sekali, ketika dari jauh mereka melihat Han Ki mulai membongkari batu-batu itu, mereka menggeleng-geleng kepala dan mengira bahwa orang itu menjadi gila saking duka. Akan tetapi maklum bahwa Han Ki amat lihai, mereka tidak berani mendekat, lalu kembali ke sawah mereka dan melanjutkan pekerjaan mereka.
Memang Han Ki seperti menjadi gila saking hebatnya penderitaan batin yang menghimpitnya.
Ia mengerahkan seluruh tenaganya, membongkari batu-batu itu dan orang akan terbelalak kagum dan terheran-heran menyaksikan betapa ia melempar-lemparkan batu-batu besar ke dalam jurang seolah-olah batu sebesar kerbau itu hanya merupakan sebongkah kapas yang ringan saja. Hal ini tidak mengherankan karena dalam duka dan marahnya Han Ki telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya.
Saking tekunnya membongkar batu dan mengerahkan seluruh sin-kang, Han Ki tidak tahu betapa dari jauh terdapat beberapa pasang mata memandang ke arahnya dengan terbelalak dan penuh kekaguman. Juga ia tidak tahu betapa enam orang tadi kini telah menggeletak di tengah sawah dalam keadaan mati semua! Dia terus membongkar batu-batu yang merupakan
tumpukan sebesar anak gunung itu dan menjelang senja, habislah batu-batu itu dibongkarnya, tenaganya hampir habis dan dengan tubuh lemas ia berlutut memandang dua buah kerangka manusia yang masih berpakaian. Jelas pakaian dua orang wanita, dua orang encinya!
"Aduh, Kui-cici...., Hui-cici....!" Ia menangis memeluk dua kerangka manusia itu, kemudian ia mengumpulkan kerangka itu, memondongnya dan membungkusnya dalam pakaian mereka, kemudian menggali lubang tak jauh dari situ dan mengubur dua kerangka itu menjadi dua gundukan tanah. Dengan pengerahan tenaga terakhir ia berhasil menggores-gores dua buah batu sebagai batu nisan, menuliskan nama kedua orang encinya dengan goresan jari, kemudian menancapkan batu nisan itu di depan dua kuburan dan ia menangis tersedu-sedu sampai akhirnya ia roboh terguling dalam keadaan pingsan!
"Cepat! Dia pingsan, kita dapat turun tangan sekarang! Jangan sampai dia keburu siuman!"
Terdengar orang berkata dan muncullah beberapa orang yang sejak tadi mengintai setelah mereka mendengar penuturan enam orang bekas anggauta Beng-kauw kemudian membunuh mereka begitu saja. Orang-orang ini adalah Coa Sin Cu yaitu Coa-bengcu yang bermarkas di Pantai Po-hai, isterinya yang cantik bernama Liem Cun, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin. Kedatangan mereka adalah atas usul Pat-jiu Sin-kauw yang masih terhitung adik Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 402
seperguruan Hoat Bhok Lama, yaitu murid Thai-lek Kauw-ong. Pat-jiu Sin-kauw yang tahu bahwa suhengnya telah merampas Beng-kauw, mengusulkan kepada Coa Sin Cu untuk
mengadakan hubungan dengan suhengnya agar kedudukan mereka menjadi makin kuat.
Kunjungan ke situ selain disertai ketua Pantai Po-hai itu dan isterinya, juga turut pula Thian Ek Cinjin, tosu pembantu Coa Sin Cu.
Untung sekali bahwa mereka tadi tidak berjumpa dengan Han Ki, melainkan dengan enam orang petani yang mengira bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Kam Han Ki, maka tanpa curiga mereka menceritakan keadaan Beng-kauw yang sudah hancur, tentang kematian Hoat Bhok Lama dan tentang kedatangan Han Ki membongkar batu segunung yang mengubur dua orang encinya. Mendengar nama Han Ki, mereka terkejut karena nama Han Ki sudah amat terkenal sebagai adik Menteri Kam yang sakti. Mereka lalu membunuh enam orang bekas anggauta Beng-kauw itu, kemudian diam-diam mereka mengintai dan menyaksikan dengan penuh takjub betapa pendekar itu membongkar batu-batu besar.
Ucapan Pat-jiu Sin-kauw tadi memang benar. Biarpun Han Ki hampir kehabisan tenaga membongkar batu-batu tadi, kalau saja dia tidak pingsan, belum tentu enam orang itu akan mampu menandinginya. Kini empat orang itu berlompatan mendekati tubuh Han Ki yang pingsan tak bergerak, kelihatan mereka masih takut-takut kemudian Pat-jiu Sin-kauw hendak menotok tubuh yang pingsan itu.
"Jangan!" Tiba-tiba Liem Cun, isteri Coa Sin Cu, mencegah. "Orang dengan kesaktian seperti dia ini, siapa tahu tidak akan terpengaruh kalau ditotok. Aku mempunyai akal yang lebih aman bagi kita." Nyonya yang cantik dan cerdik, bekas murid Hoa-san-pai yang murtad itu mengeluarkan sebuah bungkusan merah, mengeluarkan seguci arak, kemudian menuangkan arak ke dalam cawan. Setelah itu, bungkusan dibuka dan dia menjumput sedikit bubuk merah yang ia masukkan ke dalam cawan.


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Buka mulutnya, paksa obat ini masuk ke perutnya!" katanya.
Melihat Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin ragu-ragu, Coa Sin Cu tertawa.
"Ha-ha, percayalah akan kemanjuran racun isteriku itu. Biar dia dewa sekalipun, kalau minum racun ini dalam waktu sehari semalam dia akan pingsan terus!"
Mulut Han Ki yang sedang pingsan itu dibuka dan arak itu dituangkan ke dalam mulutnya.
Karena masuknya arak ini ke perut dan menyumbat tenggorokan, Han Ki siuman dari
pingsannya. Ia meronta dan melompat bangun sehingga empat orang itu terlempar ke kanan kiri, akan tetapi Han Ki terhuyung-huyung dan jatuh lagi, pingsan untuk kedua kalinya, akan tetapi kali ini karena pengaruh racun yang dipaksa memasuki perutnya.
"Hebat, dia lihai bukan main!" Pat-jiu Sin-kauw mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor karena dia tadi terlempar jatuh.
"Mengapa tidak dibunuh saja orang yang berbahaya ini?" Thian Ek Cinjin berkata sambil mengerutkan alisnya, merasa ngeri menyaksikan kesaktian pendekar itu.
"Ah, dia tepat sekali bagi kita," kata Coa Sin Cu. "Dia inilah yang akan menjadi pembuka jalan, menjadi kunci ke dalam gedung Bu-koksu. Kalau Pat-jiu Sin-kauw dan Totiang berdua datang menghadap Bu-koksu seperti yang kita rencanakan, menghadap begitu saja, aku masih khawatir kalau-kalau Koksu menjadi curiga dan tidak mau menerima bantuan kalian. Akan tetapi kalau kalian membawa Kam Han Ki sebagai tawanan, tentu dia percaya karena orang ini adalah seorang buruan, musuh pemerintah. Begitu muncul kalian membawa tangkapan yang penting ini, berarti telah membuat jasa besar. Tentu Bu-koksu akan menerima kalian sebagai pengawal dan kalau sudah begitu akan lancarlah usaha kita. Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen tentu akan girang sekali mendengar bahwa kalian sudah berhasil menyelundup ke sana dan menduduki jabatan penting!"
Dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan berangkatlah mereka berdua membawa Han Ki yang pingsan, dan membawa pula bekal obat merah Liem Cun. Setiap sehari semalam, mereka mencekokkan obat merah dan arak ke dalam perut Han Ki sehingga pendekar ini Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 403
berada dalam keadaan pingsan terus-menerus selama sepuluh hari!
Tepat seperti yang diperhitungkan oleh Coa Sin Cu, Bu Kok Tai, koksu negara itu menjadi girang sekali ketika menerima dua orang pendeta yang membawa Han Ki sebagai tangkapan itu. Otomatis keduanya diterima dan diangkat menjadi pengawal, akan tetapi koksu yang cerdik itu tidak membunuh Han Ki atau menyerahkan kepada pengadilan kota raja untuk diadili. Tidak, koksu ini terlalu cerdik untuk membunuh Han Ki begitu saja. Dia sudah mendengar akan kelihaian pendekar ini, bahkan sudah mendengar akan sepak terjang Han Ki ketika membasmi ribuan orang tentara Mancu, dan tahulah dia bahwa amat sukar mencari seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Kam Han Ki. Alangkah akan kuat
kedudukannya, terjamin keamanannya, kalau dia dapat memiliki seorang pengawal seperti ini! Apalagi kalau dipikir bahwa dia dapat memetik ilmu-ilmu kesaktian dari pendekar ini.
Akan tetapi tentu saja tidak mungkin membujuk pendekar ini untuk menjadi pengawalnya. Bu Kok Tai tidak kekurangan akal. Dia, di samping ilmunya yang tinggi, juga sudah lama tinggal di daerah Himalaya dan dia mempunyai bubuk racun dari Himalaya, buatan seorang pendeta aliran hitam, yang disebut I-hun-tok-san. Bubuk beracun ini dapat dicampurkan dengan makanan atau minuman, dan siapa yang meminumnya akan kehilangan ingatannya dan seperti dalam keadaan dihypnotis, menurut segala perintah orang yang menguasainya pada pertama kali.
Demikianlah, dengan menggunakan I-hun-tok-san ini, Bu-koksu memberi minuman racun ini kepada Han Ki, selama tiga hari berturut-turut. Ketika sadar, Han Ki mendapatkan dirinya di sebuah kamar yang amat bagus dan di dekat pembaringannya duduk Bu-koksu yang dengan ramah-ramah memberitahukan bahwa koksu itu menolongnya dari keadaan pingsan dan
hampir mati. Han Ki adalah seorang yang memiliki dasar watak pendekar budiman. Seorang pendekar tidak pernah melepas
budi, akan tetapi selalu ingat akan budi orang lain, maka biarpun ingatannya samar-samar dan ia sudah lupa mengapa dia pingsan di bukit dan hampir mati, kenyataannya bahwa dia berada di situ dan terawat baik membuat ia tidak meragukan lagi akan pertolongan orang lain, maka dia menghaturkan terima kasih. Demikianlah, dengan amat pandai Bu-koksu mengambil hati Han Ki yang kehilangan ingatannya, bahkan memanggil taihiap dan menganggapnya sebagai seorang adik sendiri. Han Ki disuruh menyebutnya Bu-loheng (Kakak Tua Bu), sebuah sebutan yang amat langka bagi orang lain dan semenjak itu, Han Ki menjadi pengawal Bu-koksu yang amat setia.
Namun, ada hal yang mengecewakan hati Bu-koksu. Biarpun Han Ki tidak kehilangan ilmu kepandaiannya yang sudah mendarah daging dan tidak membutuhkan ingatan lagi, namun pemuda itu sama sekali tidak dapat mengajarkan ilmu silat karena pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori ilmu silatnya! Sebetulnya, agak janggal menyebut Han Ki yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu sebagai pemuda, akan tetapi karena dia memang belum menikah dan wajahnya masih kelihatan seperti seorang berusia dua puluh lima tahun, dia masih patut disebut pemuda!
Hal lain lagi yang aneh adalah bahwa Han Ki dalam keadaan tidak sadar itu tidak pernah mau mempedulikan urusan lain, bahkan tidak tahu akan sopan-santun dan segala peraturan lain.
Hanya ucapan Bu-koksu seoranglah yang ditaatinya dan biarpun tanpa diminta, kalau melihat koksu itu diganggu orang, tentu dia akan turun tangan melindungi. Seperti keadaan seekor anjing yang terlatih dan amat setia!
Marilah kita kembali ke dalam ruangan kepala daerah, yang tadinya menjadi tempat pesta pertemuan dan kini menjadi medan pertandingan menguji kepandaian itu. Han Ki melenggut di atas langkan jendela, tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Karena Koksu tidak memberi perintah apa-apa, dan juga tidak ada bahaya mengancam Koksu, maka Han Ki bertopang dagu lagi dengan pikiran kosong!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 404
Seperti telah diduga Siauw Bwee, pertandingan antara Coa Leng Bu melawan tosu yang bukan lain adalah Thian Ek Cinjin itu tidak berjalan terlalu lama dan kini supeknya telah dapat mendesak lawannya sehingga selalu mundur. Ketika tangan Thian Ek Cinjin terpental bertemu dengan tangan Coa Leng Bu dan kedudukan kakinya tergeser, Coa Leng Bu cepat menerjang dan melakukan tiga kali pukulan tangan kosong berturut-turut. Thian Ek Cinjin berusaha mengelak dan menangkis, namun kalah cepat dan pundak kirinya kena terpukul telapak tangan Coa Leng Bu. Ia terjengkang dan roboh, meringis kesakitan akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan kini tangan kanannya memegang sebatang pedang tipis. Coa Leng Bu adalah seorang tokoh yang sudah berpengalaman. Dia tidak khawatir menghadapi lawan yang bersenjata, akan tetapi karena dia tidak ingin kesalahan tangan melakukan pembunuhan, maka ia mendahului, selagi lawan meloncat bangun, cepat ia menggerakkan tangan memukul dengan sin-kang jarak jauh. Thian Ek Cinjin tiba-tiba merasa dadanya dingin sekali, tangannya menggigil dan ia tidak mampu mempertahankan lagi ketika pedangnya dirampas oleh lawannya!
"Kurasa sudah cukup Totiang!" kata Coa Leng Bu sambil melontarkan pedang itu ke arah pemiliknya. Thian Ek Cinjin marah sekali, menyambar pedangnya dan hendak meloncat maju lagi. Betapa dia tidak marah kalau di depan Koksu dia dikalahkan orang seperti itu"
"Mundurlah, Cinjin, biar aku yang melawannya!"
Bentakan ini keluar dari mulut Pat-jiu Sin-kauw yang juga marah melihat kawannya keok.
Karena dia maklum bahwa petani tak bersepatu itu cukup lihai, maka begitu menyerang ia sudah mainkan Soan-hong-sin-ciang, tubuhnya berputar seperti gasing dan angin yang keras bertiup ke arah Coa Leng Bu! Kakek ini terkejut sekali, terpaksa kini ia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Jit-goat-sin-kang. Kedua lengannya melindungi tubuh sendiri dan kadang-kadang tangannya mendorong ke depan.
"Ihhhh....! Pat-jiu Sin-kauw berteriak kaget ketika hawa pukulan yang amat panas menyambarnya dan membuat gerakan berputar menjadi agak kacau. Tahulah dia bahwa
lawannya itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, maka ia menjadi marah sekali dan menghentikan gerakan tubuhnya berputaran, lalu kedua lengannya bergerak mendorong atau memukul dari bawah ke arah lawan. Dari perutnya terdengar bunyi berkokok. Inilah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang mengandung tenaga sin-kang amat dahsyat!
Menghadapi pukulan-pukulan dahsyat ini, Coa Leng Bu terkejut dan cepat ia pun
mengerahkan Jit-goat-sin-kang, karena hanya dengan tenaga sin-kang ini sajalah ia akan mampu menghadapi lawannya yang tangguh. Mulailah dua orang kakek itu bertanding secara hebat sekali, gerakan mereka tidak cepat sekali namun setiap gerakan tangan yang memukul atau menangkis mengandung tenaga sin-kang yang kuat sehingga angin menyambar-nyambar di sekitar ruangan itu dan terdengar suara bersuitan.
Siauw Bwee memandang kagum. Dia dapat mengukur Jit-goat-sin-kang yang dikuasai
supeknya sekarang. Terasa betapa di ruangan itu hawanya menjadi berubah-ubah, kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang sejuk dingin. Itulah pengaruh dari kekuatan Jit-goat-sin-kang. Akan tetapi ia pun dapat melihat bahwa supeknya bukanlah lawan Pat-jiu Sin-kauw yang lihai sekali. Biarpun dengan Jit-goat-sin-kang supeknya masih dapat menahan serangan-serangan Thai-lek-kang, namun ilmu silat supeknya masih kalah jauh dan begitu pendeta rambut panjang berjubah hitam itu mainkan Soan-hong Sin-ciang, supeknya terdesak hebat.
Si Sastrawan Ang Hok Ci berbisik kepada gurunya, memberi tahu bahwa Coa Leng Bu
mempergunakan Jit-goat-sin-kang. Mendengar ini Koksu berkata sambil tertawa! "Ha-ha-ha, jadi hanya begini sajakah Jit-goat-sin-kang yang terkenal ini" Kalau hanya begini, mengapa mesti susah payah mendapatkannya?"
Mendengar ini, tahulah Siauw Bwee bahwa sastrawan Ang itu hanya memenuhi perintah gurunya untuk mencari kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin untuk mempeiajari Jit-goat-sin-kang.
Kini mendengar koksu itu mengejek karena memang kepandaian dan kekuatan Coa Leng Bu Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 405
masih kalah tingkatnya oleh Pat-jiu Sin-kauw, ia merasa mendongkol. Pula, dara perkasa ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, supeknya bisa terluka karena orang macam pendeta rambut panjang itu mana mempunyai pribadi baik dan dapat dipercaya" Salah-salah supeknya akan terbunuh!
Tiba-tiba terdengar bentakan Pat-jiu Sin-kauw, "Petani busuk, menggelindinglah engkau!"
Ternyata setelah mendesak lawannya dengan hebat, pendeta jubah hitam itu tiba-tiba mengirim serangan hebat dengan Thai-lek-kang yang tak dapat dielakkan lagi oleh Coa Leng Bu sehingga terpaksa dia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Jit-goat-sin-kang. Biarpun tangan mereka tidak saling sentuh, namun terjadilah pertemuan tenaga sinkang yang amat dahsyat dan tubuh Coa Leng Bu menggigil, namun dia tetap mempertahankan agar tidak sampai roboh karena dia maklum bahwa kalau dia mengalah dan sampai roboh ia akan celaka di tangan lawannya yang berhati kejam itu.
"Supek, mundur!" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru nyaring, tubuhnya sudah mencelat ke atas di antara kedua orang yang mengadu tenaga itu dan tiba-tiba dorongan tangannya dari atas memisahkan tenaga dua orang yang sedang saling dorong, bahkan tubuh mereka terjengkang ke belakang. Coa Leng Bu yang maklum bahwa dara sakti itu hendak menggantikannya, dan tahu bahwa dia bukanlah lawan pendeta jubah hitam, segera muhdur sedangkan Siauw Bwee dengan sikap tenang menghadapi Pat-jiu Sin-kauw yang sudah meloncat lagi memperbaiki posisinya. Kakek ini memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak penuh kemarahan, lalu menegur,
"Kawanmu belum kalah, engkau sudah datang mengeroyok. Aturan mana ini?"
Siauw Bwee tersenyum mengejek. "Biarpun belum kaurobohkan, Supek sudah mengaku kalah. Apakah kau belum puas kalau belum melukai atau membunuh" Anggap saja dia
mengalah kepadamu dan marilah kita main-main sebentar kalau memang kau ingin
memamerkan kepandaianmu!"
Pat-jiu Sin-kauw adalah seorang yang berilmu tinggi. Di depan orang banyak tentu saja dia merasa direndahkan kalau harus melawan seorang dara remaja, maka ia membentak nyaring,
"Kalau supekmu saja sudah kalah olehku, apalagi engkau keponakan muridnya. Apakah engkau gila hendak melawanku?"
Siauw Bwee menoleh ke arah Bu-koksu dan berkata nyaring, "Koksu, begini sajakah jago-jagomu" Kalau memang takut melawan aku, mengapa mesti berpura-pura segala" Jagomu ini tidak berani melawanku, harap Koksu suka mengeluarkan jago yang lebih berani!"
Ejekan ini benar-benar hebat, membuat muka Pat-jiu Sin-kauw menjadi marah. Sebenarnya dia tidak takut, hanya merasa segan dan direndahkan kalau harus melawan seorang gadis remaja. Mukanya menjadi makin merah lagi dan matanya terbelalak marah ketika terdengar suara Bu-koksu, "Pat-jiu Sin-kauw, apakah engkau takut menghadapi anak perempuan itu?"
Ucapan koksu ini disambut suara kekeh tawa di sana-sini.
"Bocah setan, engkau sudah bosan hidup! Sambutlah ini!"
Dengan gerakan cepat sekali Pat-jiu Sin-kauw menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala Siauw Bwee. Dia memandang rendah sehingga tidak menggunakan Thai-lek-kang, hanya menampar dengan sembarangan saja, namun sambil mengerahkan sin-kang.
"Plakkk!" Tangan yang besar itu tertangkis oleh tangan yang kecll mungil, dan akibatnya....
tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpelanting!
Semua orang berseru kaget, akan tetapi tidak lebih keras dari seruan Pat-jiu Sin-kauw sendiri.
Ia cepat meloncat dan mukanya menjadi pucat saking marahnya, diam-diam ia menyalahkan diri sendiri yang memandang ringan dara ini. Sambil berteriak keras ia kini menyerang lagi dengan Ilmu Soan-hong-sin-ciang. Tubuhnya berputaran seperti gasing, membawa angin yang menyambar dan dari bayangan tubuh yang berputaran itu, kedua tangannya meluncur keluar dan memukul dengan pengerahan tenaga Thai-lek-kang! Inilah serangan yang amat hebat dan yang tadi membuat Coa Leng Bu kewalahan. Dengan mengeluarkan dua ilmu ini sekaligus Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 406
berarti Pat-jiu Sin-kauw sudah marah sekali dan bermaksud membunuh dara itu.
Semua orang memandang terbelalak, demikian pula Bu-koksu karena pembesar ini sudah mengenal kehebatan ilmu jagonya dan diam-diam ia khawatir kalau-kalau dara yang demikian cantik jelita itu akan celaka dan tewas. Maka ia memandang dengan mata penuh perhatian tanpa berkejap seperti juga semua orang yang berada di situ.
Betapa heran hati mereka yang menonton ketika melihat dara itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, hanya berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, dan hanya kedua lengannya saja yang bergerak amat cepat sehingga dus lengan itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Anehnya, semua pukulan yang dilakukan Pat-jiu Sin-kauw itu terpental, bahkan setiap kali kakek itu memukul dan tertangkis, tubuhnya terdesak mundur sampai dua tiga langkah! Tidak ada orang yang dapat mengikuti gerak tangannya, bahkan Koksu sendiri yang lihai juga tidak mengenal gerak tangan itu karena Siauw Bwee mainkan ilmu gerak tangan kilat dari kaum kaki buntung, dan sebagai dasar gerakan, tentu saja ia menggunakan sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es dahulu dan yang kini, berkat latihan-latihan dan ilmu lain yang dipelajarinya, telah menjadi makin kuat itu. Baik gerakan tangan ilmu silat maupun tenaga sin-kang Pat-jiu Sin-kauw tentu saja tidak mampu menandingi tingkat Siauw Bwee, maka biarpun dara itu hanya menangkis saja, semua serangan kakek itu membalik dan terpental ke belakang.
Pat-jiu Sin-kauw sendiri merasa terkejut dan heran sekali. Dia tidak tahu bagaimana caranya dara itu menghadapi serangan-serangannya karena dia pun tidak dapat mengikuti kecepatan gerak tangan lawan. Hanya kenyataannya, setiap kali dia memukul, tangannya terpental kembali dan tubuhnya terdorong oleh tenaga raksasa yang dahsyat. Ia merasa penasaran sekali dan marah, karena kalau dia tidak dapat mengalahkan seorang dara remaja seperti itu, tentu namanya akan jatuh dalam pandangan koksu! Maka sambil berseru keras ia menerjang lagi dengan pengerahan tenaga, siap untuk mengadu tenaga sampai mati!
Akan tetapi tiba-tiba dara itu lenyap dari depannya. Cepat ia membalik dan mengayun tangan langsung menyerang setelah pendengarannya, menangkap gerakan lawan di belakangnya, akan tetapi dia hanya melihat bayangan berkelebat-kelebat dan selalu lenyap dari pandang matanya. Pat-jiu Sin-kauw terkejut dan terus mengejar ke mana saja bayangan berkelebat dengan pukulan-pukulannya, namun semua pukulannya luput dan makin lama bayangan
Siauw Bwee menjadi makin banyak dan makin cepat gerakannya, membuat kepala Pat-jiu Sin-kauw menjadi pening. Bukan hanya Pat-jiu Sin-kauw yang pening kepala dan kabur pandangan matanya bahkan semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak
memandang ke depan, berusaha mengerahkan pandang mata untuk dapat mengikuti gerakan kaki Siauw Bwee yang kini berkelebatan dan amat cepatnya seperti menghilang itu. Siauw Bwee telah mainkan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan buntung, maka gerakannya benar-benar mujijat dan cepat sekali.
Setelah menganggap cukup memberi pelajaran kepada kakek yang sombong itu, tangan kiri Siauw Bwee bergerak menepuk pundak, kaki kanan menyentuh lutut dan tanpa dapat
dipertahankannya lagi, Pat-jiu Sin-kauw jatuh berlutut di depan Siauw Bwee!
"Aihh, engkau orang tua terlalu sungkan, mana mungkin aku yang muda berani menerima penghormatan ini?" Siauw Bwee berkata sambil melangkah mundur, seolah-olah dia sungkan menerima penghormatan Pat-jiu Sin-kauw yang berlutut di depannya.
Sejenak Pat-jiu Sin-kauw terbelalak, heran sendiri mengapa tahu-tahu dia jatuh berlutut.
Ketika mendengar suara ketawa ditahan di sana-sini, dia marah sekali dan meloncat berdiri, siap untuk menerjang mati-matian mengadu nyawa.
"Pat-jiu Sin-kauw, cukup! Mundurlah, Nona ini benar-benar lihai sekali, terlalu lihai untukmu. Agaknya hanya Kam-siauwte saja yang tepat menjadi lawannya. Kam-taihiap, harap maju dan kalahkan Nona itu untukku!"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 407
Pat-jiu Sin-kauw tidak berani membantah dan mengundurkan diri, sedangkan Han Ki yang duduk di jendela, ketika mendengar perintah itu, mengangkat muka memandang kepada Koksu, kemudian menoleh dan memandang Siauw Bwee. Nona ini masih berdiri dan juga memandang kepadanya. Pandang mata mereka bertemu dan mulut Siauw Bwee berseru,
"Suheng....!"
Akan tetapi ia tahu bahwa sia-sia saja panggilannya ini karena Han Ki memandang kepadanya seperti pandang mata orang asing, bahkan alisnya berkerut sebagai tanda kalau hatinya tidak senang. Tiba-tiba tubuh Han Ki melesat dari jendela itu, melayang dan tiba di depan Siauw Bwee!
Kembali mereka berpandangan, kini dari jarak dekat karena mereka berdiri saling berhadapan.
Hati Siauw Bwee terharu sekali. Wajah suhengnya kini kelihatan muram ditindih duka, sinar matanya kosong, dan jelas tampak olehnya bahwa suhengnya itu sama sekali tidak bahagia.
Akan tetapi dengan kaget ia pun dapat melihat bahwa suhengnya sudah siap untuk
menerjangnya. "Suheng.... jangan melawanku....!" Ia berkata dengan hati bingung.
Han Ki memandangnya dengan sinar mata kosong, kemudian terdengar ia berkata,
"Bu-loheng menyuruh aku mengalahkan engkau. Aku akan menangkapmu untuk Bu-loheng!"
"Suheng, ingatlah! Aku Khu Siauw Bwee....! Suheng....!"
Siauw Bwee cepat menghindar ketika tangan kiri Han Ki meluncur dan mencengkeram
pundaknya. "Eh, kau pandai juga!" Han Ki yang cengkeramannya luput itu telah membalikkan tangan dan menyambar ke arah lengan Siauw Bwee untuk menangkap lengan itu. Akan tetapi kemball tangkapannya luput!
"Kam-siauwte, jangan sungkan-sungkan, pukul roboh dia!" Tiba-tiba Koksu berkata nyaring,
"Dia datang mengacau!"
Han Ki mengerutkan alisnya. "Baik, Loheng!" Dan kini dia menerjang maju memukul ke arah lambung Siauw Bwee. Tentu saja pukulannya mantap dan kuat sekali sehingga Siauw Bwee yang maklum bahwa suhengnya ini tidak main-main cepat mengelak dan mengibaskan lengan menangkis.
"Plakkk!" Tubuh Siauw Bwee terhuyung ke samping karena betapapun juga, tenaga sinkangnya masih belum dapat menandingi tenaga Han Ki. Selagi terhuyung, Han Ki sudah mengejar dengan tendangan ke belakang lutut dan tumitnya, tendangan beruntun yang amat berbahaya. Namun tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas dan bukan hanya dapat
menghindarkan diri dari dua kali tendangan, bahkan dari atas dia kini membalas dengan tendangan pula ke arah dada Han Ki! Dara itu kini merasa yakin bahwa suhengnya kehilangan ingatan, maka dia kini menyerang sungguh-sungguh dengan niat merobohkan Han Ki dari dapat melarikan suhengnya itu dari situ!
"Eh, kau lihai!" Kembali Han Ki berseru dan sambil menjengkangkan tubuh ke belakang, tangannya menyambar dan berusaha menangkap kaki Siauw Bwee yang menendang.
"Plakk!" Sebelum tangan Han Ki dapat menangkap kaki yang menendang itu, kaki ke dua dari dara itu telah menghantam tangannya dari samping sehingga kembali tangkapannya meleset.
Akan tetapi pertemuan tenaga itu membuat tubuh Siauw Bwee terlempar lagi. Dara itu berjungkir balik dan dapat turun dengan tegak di atas lantai.
"Aihhh.... bagaimana kau bisa sehebat ini?" Han Ki mulai merasa heran dan kini dia menerjang dan mengirim serangkaian serangan pukulan yang mendatangkan angin dahsyat.
Siauw Bwee tentu saja mengenal pukulan-pukulan ini dan cepat dia menghadapinya dengan elakan dan tangkisan. Diam-diam ia merasa terharu dan juga bingung sekali. Menghadapi suhengnya seperti ini, teringat ia akan keadaan mereka ketika berlatih di Pulau Es dahulu.
Akan tetapi dia tahu bahwa saat ini suhengnya bukannya sedang berlatih, melalnkan menyerangnya dengan sungguh-sungguh!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 408
"Hebat, engkau Nona! Sungguh menarik sekali dan menyenangkan dapat berlatih ilmu denganmu!" Ucapan Han Ki ini membuktikan akan dasar wataknya yang baik, dan bahwa dia tidak akan mempunyai niat kejam terhadap lawan, karena terpaksa oleh perintah Koksu maka dia berusaha merobohkan dan menangkap Siauw Bwee. Akan tetapi ucapan yang tidak
sengaja itu membuat Siauw Bwee makin terharu dan dua titik air mata menetes turun.
"Wuuutttt!"
"Alhhh.... plakkk!" Hampir saja Siauw Bwee roboh oleh air matanya sendiri. Karena terharu dan matanya menjadi kabur oleh air mata, totokan tangan kiri Han Ki hampir mengenai sasarannya, yaitu di lambung kanan. Untung ia masih cepat dapat menggerakkan kakinya yang telah memiliki ilmu gerak kaki kilat dan dapat pula menangkis totokan ltu dengan tangan kanannya. Kemudian ia terhuyung dan kini Siauw Bwee terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, bahkan dia juga harus menggunakan ilmu gerak kaki tangan kilat untuk mempertahankan diri. Biarpun demikian, dia masih selalu terdesak dan tidak mampu balas menyerang, sungguhpun sampai sekian lamanya Han Ki belum dapat merobohkannya!
Coa Leng Bu memandang bingung. Mendengar disebutnya suheng oleh Siauw Bwee dia
dapat menduga bahwa tentu laki-laki yang amat lihai itulah penghuni Istana Pulau Es, murid dari Bu Kek Siansu. Melihat jalannya pertempuran yang demikian hebatnya, ia maklum bahwa murid keponakannya itu takkan dapat menang, dan untuk membantu pun ia merasa bahwa kepandaiannya terlampau rendah. Gerakan dua orang itu amat hebat, amat indah, dan sukar dimengerti karena mengandung keanehan. Kalau sampai Siauw Bwee tertawan, dia akan mengamuk dan mengorbankan nyawa karena maklum bahwa kalau dara sakti itu saja masih kalah, apalagi dia!
Pada saat itu, terdengar suara gaduh sekali di luar gedung. Mula-mula suara itu terdengar dari jauh, makin lama makin dekat. Terdengar teriakan-teriakan, bahkan tanda bahaya dipukul gencar dan derap kaki kuda hilir-mudik disambut suara orang-orang berlari-lari bingung.
Semua orang yang berada di ruangan itu menoleh ke arah pintu dengan heran, akan tetapi Han Ki dan Siauw Bwee tetap bertanding dengan hebat. Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siauw Bwee menghadapi peristiwa itu. Kalau saja Han Ki tidak dalam keadaan kehilangan ingatan seperti itu, kalau saja dalam keadaan wajar suhengnya itu menyerangnya, tentu dia akan menyerah dan tidak berani melawan. Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi.
Suhengnya itu bergerak atas perintah lain orang, bergerak di luar kesadarannya dan seolah-olah bukan suhengnya yang menyerangnya, melainkan orang lain, seorang pengawal dari Koksu! Karena inilah maka Siauw Bwee melawan sekuatnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kepandaiannya, bukan hanya untuk menjaga diri, melainkan juga kalau mungkin untuk merobohkan dan menawan suhengnya, untuk melarikannya. Akan tetapi ternyata olehnya bahwa biarpun Han Ki kehilangan ingatannya, namun sama sekali tidak kehilangan ilmu kepandaiannya! Dan baru sekarang setelah bertanding benar-benar, bukan main-main dan bukan latihan, Siauw Bwee mendapat kenyataan betapa hebat kepandaian suhengnya. Dia yang sudah merantau dan banyak mempelajari ilmu tambahan yang tinggi-tinggi tingkatnya, terutama ilmu gerakan kilat, kini berhadapan dengan suhengnya dia benar-benar tidak berdaya! Dia hanya mampu mempertahankan diri, mengelak dan menangkis, sama sekali tidak diberi kesempatan membalas, bahkan dia mengerti benar bahwa kalau suhengnya itu tidak memiliki dasar watak yang baik, kalau suhengnya kejam dan bermaksud membunuhnya, agaknya pertandingan itu tidak berjalan terlalu lama! Hanya karena suhengnya bermaksud menawan tanpa membunuhnya sajalah yang membuat dia masih dapat bertahan sampai
ratusan jurus lamanya!
Seorang perwira pengawal yang bermuka pucat bergegas memasuki ruangan itu menghadap Bu-koksu dan melapor dengan wajah serius penuh kegelisahan bahwa pada saat itu, Sian-yang telah kebobolan oleh penyelundup, yaitu mata-mata musuh yang berhasil menyelundup ke dalam kota, bahkan telah berhasil menyamar sebagai tentara dan mempengaruhi perajurit-Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 409
perajurit penjaga di Sian-yang sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan.
"Hemm, berapa jumlah mereka?" Koksu bertanya sambil mengerutkan alisnya.
"Menurut hasil penyelidikan, mereka itu hanya terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh dua orang mata-mata lihai, akan tetapi selain mereka itu terdiri dari orang-orang yang pandai, juga jumlah perajurit kita yang telah dipengaruhi cukup banyak, ada beberapa losin orang yang sekarang memperlihatkan sikap memberontak!"
"Ahhh, Si Keparat! Harus kuhajar sendiri!" Koksu lalu bangkit berdiri lalu menoleh kepada Han Ki yang masih bertanding dengan gadis perkasa itu. "Kam-siauwte, hentikan pertandingan, biar diwakili Si Dampit. Mari ikut aku keluar! Dampit, dan kau semua pengawal, tangkap dua orang itu!"
Mendengar ucapan ini, Han Ki mencelat ke belakang meninggalkan Siauw Bwee, kemudian mengikuti Koksu keluar dari dalam ruangan itu. Siauw Bwee hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba bayangan berkelebat dan empat buah lengan bergerak cepat dan dalam detik yang sama mencengkeram ke arah tubuhnya dari kanan kiri!
Siauw Bwee cepat mengelak dan ketika ia memandang, ternyata sepasang manusia dampit yang tadi enak-enak duduk, kini telah menyerangnya dan ternyata selain gerakan mereka itu cepat sekali, juga mengandung tenaga dahsyat. Kembali Si Dampit menyerang dan Siauw Bwee cepat mengelak lagi, menggunakan gerak kaki kilat.
Pada saat itu, Coa Leng Bu juga sudah diserang oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin.
Tentu saja Coa Leng Bu melawan mati-matian sungguhpun dalam beberapa jurus saja dia terdesak hebat. Betapapun ia berusaha mempertahankan diri, diserang oleh dua orang yang tingkat ilmu kepandaiannya tinggi itu, Coa Leng Bu masih terkena hantaman tangan kanan Pat-jiu Sin-kauw yang mengandung Thai-lek-kang, menyerempet pundaknya, membuat kakek ini terpelanting. Pengawal raksasa yang berpakaian perang telah menubruknya dengan tombak panjang di tangan, menusuk ke arah dada Coa Leng Bu yang sedang terguling itu. Coa Leng Bu dapat mengelak dan menggulingkan tubuhnya, terus dikejar dengan tusukan bertubi-tubi.
Mendengar teriakan Coa Leng Bu, Siauw Bwee menoleh dan tahu-tahu dua buah tangan telah menangkap leher dan pundaknya, dua tangan lagi bergerak menotoknya. Siauw Bwee
mengerahkan sin-kangnya, maklum bahwa dalam keadaan lengah karena menoleh tadi dia telah tertangkap oleh Si Dampit. Dia menerima totokan kedua tangan itu, akan tetapi dia telah menutup jalan darahnya dan pada detik itu juga, kedua tangannya bergerak cepat.
"Krakkk! Cusss!" Tangan kirinya dengan jari terbuka menghantam dada Si Dampit yang berada di kanannya, tepat mengenai iga dan mematahkan beberapa batang tulang iga, sedangkan tangan kanannya bergerak ke atas menusuk dengan jari tangannya mengenai leher sehingga leher orang ke dua itu tertusuk berlubang dua buah dan mengucurkan darah. Siauw Bwee meronta, pegangan kedua tangan itu terlepas dan ia mencelat mundur sambil
menendang dengan kedua kakinya.
"Dess! Bukkk!" Tubuh Si Dampit terpelanting ke belakang dan terjadilah hal yang mengerikan. Mungkin saking nyerinya, kedua orang dampit yang sebetulnya saling membenci itu karena keadaan mereka membuat hidup mereka tidak leluasa dan tidak menyenangkan, kini saling menyalahkan dan kebencian mereka memuncak karena mereka menganggap
bahwa kalau tubuh mereka tidak saling melekat, tentu mereka tidak sampai terluka seperti itu.
Dengan kemarahan meluap, seorang di antara mereka yang terluka lehernya itu mencekik leher saudaranya sendiri. Orang yang tulang iganya patah tadi juga marah, berusaha melepaskan cekikan, akan tetapi cekikan sepuluh jari tangan itu bagaikan cakar besi menghujam kulit leher dan makin lama makin dalam. Yang dicekik menjadi panik, matanya terbelalak dan dalam saat terakhir ia menghantam tangan kanannya sekuat tenaga tepat mengenal ubun-ubun kepala saudaranya.
"Krekkk!"
seketika pecah kepala itu dan matilah orangnya, namun kedua tangannya sudah
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 410
mencengkeram terlalu dalam sampai masuk ke dalam leher dan orang ke dua ini pun terbawa roboh dan mati dengan mata mendelik! Sungguh mengerikan sekali kematian sepasang manusia dampit itu. Watak sepasang manusia dampit ini tidaklah aneh, karena memang demikianlah watak manusia-manusia yang belum sadar pada umumnya. Dalam keadaan
terancam bahaya, manusia-manusia merasa senasib sependeritaan dan bersatu. Persatuan yang sesungguhnya hanya timbul dari sayang diri, merasa diri ada teman sependeritaan. Manusia yang belum sadar dan pandang mata batinnya diselubungi nafsu mementingkan diri pribadi sehingga lenyaplah rasa kasih terhadap apa dan siapapun juga kecuali terhadap tubuh sendiri, selalu akan merasa terhibur dari kesengsaraan kalau melihat orang lain sengsara! Sebaliknya, dia akan merasa iri hati kalau melihat orang lain bahagia. Kalau ada perkara timbul menimpa dirinya, selalu ia mencari sasaran kepada orang laln untuk menyalahkannya, sama sekali tidak pernah mau menyalahkan diri sendiri. Demikian pula dengan kedua orang dampit itu. Di waktu mereka menghadapi lawan, mereka dapat bekerja sama seolah-olah dua tubuh mereka dikendalikan oleh satu nyawa, dapat bekerja sama dengan amat baiknya. Akan tetapi kalau tidak ada bahaya mengancam mereka berdua, mereka itu saling menyalahkan sebagai biang keladi keadaan mereka yang tidak menyenangkan. Maka ketika mereka berdua terluka, mereka saling membenci dan kemarahan membuat mereka seperti gila sehingga terjadilah saling bunuh! Betapa banyaknya di dunia ini terjadi seperti halnya sepasang manusia dampit itu!
Perang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang. Apakah sebabnya" Tiada lain karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang laln. Karena manusia selalu dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan
didengung-dengungkan orang semenjak dia kecil! Dari kehendak-kehendak yang demikian banyaknya, yang dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul pertentangan karena masing-masing hendak mendapatkan apa yang dikehendakinya. Pertentangan inilah yang menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian, memperebutkan kebenaran masing-masing yang sesungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan sebagai pelaksanaannya terjadilah perang!
Betapa jahatnya manusia yang belum memillki kesadaran ini, semua manusia termasuk pengarang sendiri! Untuk kepentingan pribadi, kita melakukan hal-hal yang amat menjijikkan.
Untuk kepentingan pemuasan nafsu badani, kita tidak segan-segan mengotori rohani. Dan semua ini masih dilakukan dengan cara yang memuakkan, yaitu dengan dalih muluk-muluk dan suci, seperti menutupi kotoran dengan kain putih! Biarpun di dasar hati, biarpun jiwa kita yang kotor namun kita, makhluk yang mengaku terpandai di antara segala makhluk, mencari alasan-alasan yang bersih untuk menutupi perbuatan kita yang kotor. Di dalam perang, misalnya. Manusia sampai-sampai tidak segan untuk menarik TUHAN, untuk menggunakan nama-Nya sebagai alasan agar dianggap, sedikitnya oleh hatinya sendiri, bahwa perang yang dilakukannya adalah betul, karena telah diridhoi Tuhan! Dua bangsa yang berlawanan dan saling berperang, sebelum mengangkat senjata untuk membasmi musuh masing-masing, lebih dahulu mohon berkah dari Tuhan dan masing-masing berangkat perang dengan semangat bernyala untuk menyembelih sesama manusia karena merasa bahwa Tuhan akan
melindunginya! Mengutuk perang, mengusahakan perjanjian damai, melenyapkan senjata-senjata dan
meniadakan pasukan-pasukan tentara tidak akan mungkin berhasil melenyapkan perang di antara manusia. Karena, perang hanyalah pencetusan daripada pertentangan antar kelompok manusia yang dihidupkan oleh pertentangan di antara manusia-manusia pribadi sendiri.
Selama pertentangan antar manusia pribadi ini masih ada, maka pertentangan antar kelompok atau antar bangsa tak mungkin lenyap. Tidak ada perbedaan pokok antara perkelahian antar Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 411
tetangga dengan peperangan antar negara. Satu-satunya perbedaannya hanyalah dalam bentuk, kecil dan besar. Namun bersumber satu, yaitu dari keinginan mementingkan diri pribadi yang dimiliki kedua pihak sehingga timbul pertentangan.
Setelah menyaksikan kematian mengerikan karena saling bunuh dari Si Dampit, Siauw Bwee bergidik dan baru ia teringat akan supeknya. Ia menengok dan terkejut menyaksikan supeknya bergulingan dan diancam tusukan tombak bertubi-tubi oleh pengawal berpakaian perang dan kini kawan-kawannya juga mulai ikut mengejar tubuh yang bergulingan itu.
Karena maklum bahwa keselamatan supeknya terancam hebat, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung para lawan yang berada di situ, kaki tangannya bergerak dan dalam sekejap mata saja, pengawal bertombak dan Thian Ek Cinjin terpelanting ke kanan kiri dan tubuh Coa Leng Bu telah lenyap karena disambar Siauw Bwee dan dibawa melesat keluar dari ruangan itu melalui jendela! Gegerlah para pengawal dan perwira yang berada di ruangan itu. Mereka berteriak-teriak dan melakukan pengejaran, akan tetapi Siauw Bwee dan supekn
Bentrok Rimba Persilatan 2 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Bukit Pemakan Manusia 7
^