Istana Pulau Es 21

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 21


lah aku sendiri, anak dari Panglima Khu Tek San."
Sekarang teringatlah Pek-mau Seng-jin, bahkan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee dan Panglima Dailuba mengeluarkan suara tertahan. Mereka teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu, peristiwa amat hebat bagi dunia kang-ouw, yaitu munculnya manusia dewa Bu Kek Siansu yang menolong kedua anak perempuan itu!
"Aaahhhh....!" Pek-mau Seng-jin tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, wajahnya berubah dan dia merasa tidak enak sekali, terutama terhadap Kam Han Ki yang disebut suheng oleh dara itu.
"Pek-mau Seng-jin, mengingat bahwa engkau tadi telah menolong Suheng, biarlah aku melupakan urusan lama karena betapapun juga harus diakui bahwa engkau telah berjasa dengan perbuatanmu yang tidak pantas itu, yaitu memungkinkan kami bertemu dengan Suhu.
Nah, pertolonganmu tadi berarti telah menebus kesalahanmu dan urusan lama itu telah beres hari ini. Harap engkau jangan tidak tahu diri, hendak menciptakan urusan baru dengan membujuk Kam-suheng menjadi pengkhianat. Di antara kita tidak ada sangkut-paut lagi!"
Lega sekali hati Pek-mau Seng-jin. Setelah kini dia mendengar bahwa gadis itu adalah sumoi Kam Han Ki dan mereka itu murid-murid Bu Kek Siansu, tentu saja dia tidak berani untuk menentang mereka. Hawa pukulan dari Han Ki tadi ketika menyelamatkan nyawa Bu-koksu dan membuat senjatanya terpental, sudah cukup membuktikan betapa hebat sin-kang pemuda itu. Maka dia lalu memberi isyarat dengan pandang mata kepada Pangeran Dhanu yang menjura kepada Han Ki sambil berkata,
"Kalau begitu, kita berpisah di sini saja, Kam-taihiap. Aku hanya dapat menyatakan sayang bahwa di antara kita yang senasib sependeritaan ini tidak dapat bekerja sama."
Han Ki menggigit bibirnya, tidak mau menjawab, hanya balas memberi hormat kepada rombongan Pangeran itu, dan memang benarlah kalau Pangeran itu mengatakan bahwa
mereka berdua adalah senasib sependeritaan, karena keduanya mencinta Sung Hong Kwi, dan keduanya menderita oleh cinta kasih mereka itu! Dia kini hanya memandang dengan tenang sambil menekan segala macam perasaan mengenai urusan pribadinya, memandang kepada rombongan yang pergi, meninggalkan tempat itu dipimpin oleh Koksu Negara Yucen.
Dapat dibayangkan betapa malu rasa hati Suma Hoat ketika ia melihat dan mendengar semua itu. Biarpun tidak ada orang yang langsung menuduhnya, namun melihat sikap Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee sebagai orang-orang gagah yang biarpun telah diperlakukan penuh penghinaan sehingga mengalami penderitaan oleh Kerajaan Sung, namun masih menunjukkan kesetiaan terhadap negara dan bangsa. Adapun dia, karena terpaksa oleh ayahnya, biarpun keluarga Suma sejak dahulu mendapatkan banyak kemuliaan dalam Kerajaan Sung, kini telah menjadi pengkhianat dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Yucen untuk menggulingkan Kerajaan Sung! Dia merasa rendah sekali, rendah dan kotor kalau
dibandingkan dengan Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee. Dan orang seperti dia telah berani jatuh cinta kepada Khu Siauw Bwee!
"Biarlah aku pergi lebih dulu mengurus jenazah Coa-suheng." Suma Hoat berkata sambil Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 516
pergi meninggalkan sepasang orang muda yang sakti itu. Kam Han Ki tidak mempedulikan pemuda itu, sedangkan Siauw Bwee hanya balas memandang dan mengangguk singkat.
Setelah kini melihat suhengnya sembuh sama sekali dari pengaruh racun perampas ingatan, hatinya girang bukan main, kegirangan yang amat besar dan yang menutupi semua urusan lain, termasuk kedukaan karena kematian Coa Leng Bu.
Kini mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan untuk beberapa lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Teringat akan cinta kasih di antara mereka pada waktu Han Ki belum sembuh dan masih belum terbuka kembali ingatannya, wajah Siauw Bwee menjadi merah sekali, akan tetapi ada rasa khawatir dan tegang di hatinya melihat betapa sinar mata pemuda itu kini berbeda dari sebelum pemuda itu sembuh. Sinar mata itu masih tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya, mengandung wibawa yang amat kuat, masih penuh dengan kasih sayang. Akan tetapi bukankah sejak dahulu di Pulau Es, Han Ki menaruh kasih sayang kepada kedua orang sumoinya" Sekarang ada sesuatu yang lenyap dari sinar mata itu. Kemesraan!
Sebelum sembuh, suhengnya yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya itu kalau memandangnya, tampak jelas kemesraan di dalam sinar matanya dan kini dia seolah-olah tidak menemukan lagi kemesraan itu.
Han Ki menghela napas panjang. "Khu-sumoi, betapa banyaknya orang-orang yang telah melepas budi kebaikan kepadaku. Terutama sekali Coa-lo-enghiong yang telah mengorbankan nyawa untukku dan yang terutama adalah engkau sendiri. Betapa engkau sudah banyak menderita, semua untuk menolongku belaka."
"Aihh, Suheng. Di antara kita, mana bisa disebut tolong-menolong" Apa artinya semua yang telah kulakukan kalau dibandingkan dengan budimu terhadap aku semenjak dahulu" Biar kupertaruhkan jiwa ragaku untukmu masih belum cukup untuk membalas semua budi
kebaikanmu terhadapku, Suheng. Suheng, sudah terlalu lama kita berpisah, sudah terlalu lama kita merantau dan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Di dunia ramai ini banyak sekali kepalsuan dan kejahatan sehingga ke mana pun kita pergi, selalu kita bertemu dengan orang jahat dan mengalami kesulitan. Karena itu, marilah Suheng, marilah kita berdua kembali ke Pulau Es. Aku rindu sekali kepada tempat kita itu, rindu akan ketenangan, ketenteraman yang penuh damai di sana."
"Sumoi, setelah segala peristiwa yang kualami, engkau tidak dapat membayangkan betapa rinduku kepada Pulau Es. Bahkan, kembali dan tinggal di sana seumur hidupku menjadi cita-cita dan harapanku satu-satunya. Akan tetapi, tinggal di sana seorang diri dengan membiarkan engkau dan Maya-sumoi pergi, merupakan siksa yang tertahankan olehku. Tentu saja aku girang sekali untuk pulang ke Pulau Es bersamamu dan Maya-sumoi, akan tetapi dia...."
Berkerut alis Siauw Bwee mendengar ini. Sudah dikhawatirkannya akan demikianlah
pendapat suhengnya kalau suhengnya sudah pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul pikiran bahwa dia akan merasa senang sekali kalau suhengnya tidak pernah mendapatkan kembali ingatannya sehingga hanya mencinta dia seorang, tidak teringat lagi kepada Maya!
Akan tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia tahu amat tidak baik ini, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa mempedulikan keadaan orang lain!
"Kam-suheng, apakah Suheng lupa akan sikap Maya-suci kepadaku" Kalau kita mengajak dia kembali ke Pulau Es, apakah dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka" Suheng, Maya-suci membenciku...."
Han Ki menggeleng kepala dan tersenyum pahit. "Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya...."
dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
"Hanya karena dia mencintaimu maka dia cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan aku agar tidak menjadi penghalang bagi cintanya?"
"Sumoi, engkau tentu maklum betapa tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua. Akan tetapi, celakanya, aku pun tidak dapat membiarkan kalian berdua meninggalkan aku tanpa Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 517
kuketahui bahwa kalian berdua dalam keadaan selamat. Baru akan tenang hidupku kalau kalian sudah kembali bersamaku ke Pulau Es. Sekarang aku akan berusaha agar kalian berdua hidup dengan rukun, sebagai saudara seperguruan yang saling mencinta."
"Kam-suheng, katakanlah sesungguhnya, apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu belaka dan engkau menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?"
Han Ki memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. Kemudian ia menarik napas panjang dan menjawab, "Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku seperti itu.
Engkau tentu sudah yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi.... harap engkau jangan besikap seperti Maya-sumoi yang hanya mementingkan diri sendiri saja. Kalau aku hanya menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang sendiri saja, betapa mungkin hatiku akan tenteram dan tenang" Tidak, Khu-sumoi. Aku baru akan dapat bicara tentang cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau kita bertiga sudah kembali ke Pulau Es. Aku tidak akan menentang perpisahan di antara kita bertiga karena hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul tentu ada waktu berpisah, akan tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam keadaan baik dan tidak seperti yang lalu, saling berpisah dalam keadaan permusuhan."
"Suheng, kita sama mengetahui bahwa Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula.
Betapapun beratnya bagimu, engkau harus mengambil keputusan siapa di antara kami berdua yang kaucinta. Tanpa keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan permusuhan di antara kami berdua."
"Sumoi, kita tunda dahulu urusan cinta ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali ke Pulau Es. Maya-sumoi adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng demi pembalasan dendamnya dan rela menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah mungkin aku mendiamkannya saja" Tidak, Sumoi. Aku harus menginsyafkannya dan harus mengajaknya pulang ke Pulau Es. Dengan demikian, barulah aku tidak merasa berdosa kepada Suhu dan tidak menyia-nyiakan pesan Suhu."
Siauw Bwee merasa terdesak. Dara jelita ini menarik napas panjang dan berkata, "Hemmm, agaknya engkau yang lebih benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh cemburu.
Baiklah, engkau boleh mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es, akan tetapi engkau harus lebih dulu mengantarku ke Pulau Es, baru kau pergi mencari Suci. Kalau sekarang engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke Pulau Es, dia tentu akan menolak kalau dia melihat aku bersamamu."
Han Ki mengangguk-angguk. Memang tepat kata-kata sumoinya ini. Watak Maya amat keras.
Dia masih dapat membujuk dan membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar sekali baginya untuk membujuk Maya kalau sumoinya itu melihat Siauw Bwee bersama dia.
"Baiklah, Sumoi. Mari kita segera berangkat."
Dua orang itu segera mempergunakan ilmu kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai untuk melanjutkan perjalanan melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil menyeberang ke Pulau Es.
Di dalam perjalanan yang dilakukan dengan cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan keinginan tahunya akan dendam dan sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang telah mencelakakan keluarga mereka. Dia mengajukan pertanyaan kepada suhengnya dengan suara bersungguh-sungguh dan pandang mata tajam menyelidik.
"Suheng, engkau agaknya berkeinginan keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau Es, dan kalau aku tidak salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga kembali tinggal di Pulau Es dan tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah dugaanku itu?"
Wajah Han Ki berseri mendengar ini, kemudian dia mengangguk. "Memang demikianlah, Sumoi. Alangkah bahagia rasa hatiku kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita bertiga hidup tenang dan tenteram penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana Pulau Es."
Siauw Bwee mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam di hati kita" Apakah engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita" Apakah Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 518
semangat membalas dendam telah padam di hatimu?"
"Sumoi, kita tidak boleh melupakan ajaran Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya.
Dendam adalah nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan antara manusia.
Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman. Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kauanggap musuh besarmu, yang mendatangkan dendam sakit hati padamu?"
"Siapa lagi kalau bukan manusia jahat Suma Kiat" Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga ayahku! Manusia itu harus kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!"
Han Ki menarik napas panjang. "Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?"
"Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarmu!"
"Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andaikata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andaikata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kauanggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kauanggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi maupun membalas dendam!"
"Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng" Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya" Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?"
Han Ki menggeleng kepalanya. "Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan,
perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik maupun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka" Perbuatan demikian itu, baik maupun buruk, adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang" Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali?"
Mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum pernah dia mendengarnya, Siauw Bwee terkejut dan
juga terheran, memandang suhengnya dengan alis berkerut dan dia membantah. "Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi" Suheng! Orang yang tidak mengenal budi
adalah orang yang rendah dan tidak baik!"
Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoinya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi."
"Mengapa tidak tepat" Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!"
"Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 519
yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!"
"Apa salahnya dengan itu" Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!"
"Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai
perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukan begitu?"
Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan.
"Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum."
"Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapapun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kaudengar tadi kausebut sebagai pendapaku dan kauanggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam.
Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat.
Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?"
"Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?"
"Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?"
"Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!"
"Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat"
Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula" Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula" Engkau bilang bahwa putera orang yang kauanggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh
ayahnya, biarpun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?"
Han Ki menarik napas panjang. "Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?"
"Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarmu!"
"Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andaikata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andaikata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kauanggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kauanggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi maupun membalas dendam!"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 520
"Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng" Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya" Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?"
Han Ki menggeleng kepalanya. "Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan,
perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik maupun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka" Perbuatan demikian itu, baik maupun buruk, adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang" Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali?"
Mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum pernah dia mendengarnya, Siauw Bwee terkejut dan
juga terheran, memandang suhengnya dengan alis berkerut dan dia membantah. "Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi" Suheng! Orang yang tidak mengenal budi
adalah orang yang rendah dan tidak baik!"
Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoinya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi."
"Mengapa tidak tepat" Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!"
"Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!"
"Apa salahnya dengan itu" Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!"
"Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai
perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukan begitu?"
Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan.
"Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum."
"Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapapun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kaudengar tadi kausebut sebagai pendapaku dan kauanggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam.
Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat.
Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?"
"Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 521
"Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?"
"Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!"
"Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat"
Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula" Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula" Engkau bilang bahwa putera orang yang kauanggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh
ayahnya, biarpun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?"
"Aku tidak takut!"
"Bukan soal takut atau tidak takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke dalam mata rantai dendam-mendendam."
Siauw Bwee menundukkan mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang dikemukakan suhengnya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya, memang akibat perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi, Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan hal itu tanpa sebab-sebab tertentu! Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat membenci keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera Suling Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong, tentu saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam membela gurunya.
"Aku tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kaulakukan asal saja engkau...."
Melihat keraguan sumoinya, Han Ki bertanya, "Asal saja aku mengapa, Sumoi?"
"Asal engkau tidak melupakan.... cinta kasih di antara kita...."
Han Ki tersenyum, akan tetapi hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang suheng terhadap sumoinya, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita dan tidak ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan hatinya daripada hidup sebagai suami isteri untuk selamanya dengan sumoinya ini. Akan tetapi, di sana masih ada Maya! Sebelum urusan dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan"
"Mana mungkin manusia melupakan cintanya, Sumoi" Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta berahi belaka yang sama sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak pulang Maya-sumoi." Mereka telah tiba di tepi Pulau Es.
Siauw Bwee meloncat ke darat, memandang suhengnya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata penuh keraguan, "Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng" Dia mau atau tidak, engkau.... tentu akan kembali secepatnya ke sini, bukan?"
"Dia tentu dan harus mau!" jawab Han Ki sambil mendayung perahunya ke tengah laut dengan cepat menuju ke barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan
keraguan dan kegelisahan. Dia maklum akan perasaan hati suhengnya. Dia tahu bahwa suhengnya mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa suhengnya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya! Dia bertambah gelisah karena Siauw Bwee juga maklum bahwa sucinya itu pun mencinta Han Ki. Betapapun juga, dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suhengnya mencintanya! Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya itu.
*** "Heeii, berhenti dulu! Kalian mau apa menerobos masuk tanpa permisi?" para pengawal Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 522
penjaga gedung Panglima Suma Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak
menodong pasukan pengawal berseragam biru yang masuk ke halaman gedung seenaknya itu.
"Minggir kalian dan biarkan kami masuk!" Komandan pasukan itu balas membentak sambil meraba gagang pedangnya.
"Apa" Kalian pun hanya pasukan pengawal, sama dengan kami. Biarpun engkau komandan pasukan, akan tetapi kau bukan komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk sebelum ada perkenan dari Suma-tai-ciangkun!"
"Wuuuuttt.... ciattt!" Komandan pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh dengan leher hampir putus disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya dan tampaklah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian mewah telah muncul di situ. Ketika para pengawal melihat laki-laki ini, mereka lebih kaget dari ketika melihat komandan mereka tewas tadi. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut karena laki-laki itu bukan lain adalah Bu-koksu! Kini bermunculan pembantu-pembantu Koksu, para panglima tinggi, dan perwira yang memimpin banyak sekali pasukan pengawal yang telah mengurung gedung itu.
Biarpun para pengawal telah menjadi ketakutan ketika melihat Koksu dengan banyak pasukannya, namun ada di antara para pengawal yang berhasil menyelinap masuk ke dalam gedung dan dengan muka pucat, melaporkan kepada Suma Kiat.
"Celaka.... Koksu dengan pasukan besar datang menyerbu....!"
Pada sore hari itu, Suma Kiat yang ditemani oleh selirnya yang terkasih, Bu Ci Goat dan muridnya, Siangkoan Lee, sedang menjamu seorang tamu yang tiba di siang hari Itu. Tamu ini bukan lain adalah Coa Sin Cu, bengcu (pemimpin rakyat) yang bermarkas di hutan
pegunungan sekitar Pantai Po-hai. Kakek ini mempunyai hubungan dengan Suma Kiat karena mereka berdua sama-sama bersekutu dengan pemerintah Yucen. Akan tetapi, sekali ini Coa Sin Cu datang dengan wajah keruh dan hatinya berat bukan oleh urusan politik, melainkan oleh urusan pribadinya. Dia meninggalkan markasnya dengan hati berat setelah membunuh puteranya sendiri dan isterinya! Beberapa hari yang lalu, ketika dia pulang malam hari dari perjalanan, pulang secara tidak terduga-duga dan belum waktunya, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa isterinya berjina dengan puteranya! Liem Cun, isterinya, adalah seorang wanita cantik dan masih muda, sebaya dengan Coa Kiong puteranya yang tampan dan gagah. Menyaksikan adegan yang tak disangka-sangkanya itu naiklah darah ke dalam kepala Coa Sin Cu, membuat matanya gelap dan dalam kemarahan meluap-luap dia langsung
mencabut senjata dan membunuh mereka!
Karena tidak dapat menahan kemarahan, kedukaan dan kekecewaan hatinya setelah dia membunuh isteri tercinta dan putera tunggalnya, Coa Sin Cu lalu pergi ke kota Siang-tan menjumpai rekannya, Suma Kiat dan mencurahkan semua isi hatinya yang penuh kedukaan.
Suma Kiat diam-diam tersenyum di dalam hatinya mendengar penuturan sahabatnya yang bernasib malang itu. Hatinya sendiri merasa terhibur karena bukanlah dia pun menderita kecewa dan duka karena putera tunggalnya" Hampir sama persoalannya. Dia pun melihat puteranya, Suma Hoat, bermain gila dengan selirnya terkasih! Akan tetapi dia tidak membunuh putera dan selirnya, dia terlalu mencinta selirnya, dan terlalu sayang kepada puteranya dan dia merasa beruntung sekarang bahwa dia tidak terlanjur membunuh mereka karena kalau hal itu dia lakukan dahulu, agaknya dia pun akan merana dan berduka seperti halnya Coa Sin Cu sekarang ini!
"Aahhh, Coa-bengcu. Seorang laki-laki dapat menanggung segala macam derita hidup!
Semua telah berlalu, perlu apa dipikirkan lagi" Pula, kita menghadapi urusan yahg lebih besar dan yang akan dapat merubahkan seluruh jalan hidupmu. Kalau pemerintah Yucen berhasil, tentu jasa kita takkan dilupakan. Setelah kelak engkau memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya bagimu untuk hidup terhormat, mulia dan mewah, mengambil banyak wanita muda yang cantik dan.... ha-ha, memperoleh putera-putera lagi?"
Pada saat itulah, pengawal yang berhasil lari masuk itu tiba di dalam ruangan dengan muka Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 523
pucat dan napas memburu. Suma Kiat memandang dengan marah, akan tetapi sebelum dia sempat menegur, pengawal itu telah melaporkan akan menyerbuan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Bu-koksu!
Mendengar itu, Suma Kiat meloncat dari kursinya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Dengan geram dia berkata kepada para penjaga, "Kumpulkan pasukan dan siap menghadapi pasukan Koksu!" Kemudian dia sendiri setelah menyambar senjatanya, diikuti oleh selir dan muridnya, mereka melangkah keluar meninggalkan Coa Sin Cu yang masih duduk dengan muka pucat mendengar berita buruk itu. Dia tidak berani keluar karena takut kalau-kalau mengacaukan tuan rumah, maka dia hanya menyelinap dan bersembunyi di balik pintu sambil mengintai dan mendengarkan.
Setelah tiba di ruangan depan dan melihat Bu-koksu bersama pasukannya, Suma Kiat mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap angkuh dan berkata suaranya dingin dan penuh teguran,
"Sungguh amat mengherankan sekali sikap Koksu yang datang berkunjung seperti ini, tanpa pemberitahuan dan secara memaksa. Apa kehendak Koksu?" Biarpun dalam kedudukannya, dia kalah tinggi dan kalah berkuasa kalau dibandingkan dengan kedudukan Koksu, namun di antara para panglima tinggi, nama Suma Kiat telah amat dikenalnya sebagai seorang yang dekat dengan raja dan memiliki pengaruh dan kekuasaan tinggi. Sudah turun menurun keluarga Suma menduduki tempat penting dan pemerintahan. Oleh karena inilah maka Suma Kiat berani bersikap angkuh terhadap Bu-koksu.
Akan tetapi Bu-koksu tersenyum mengejek dan berkata dengan suara penuh nada menyindir,
"Sikapku ini sama sekali tidak mengherankan kalau dibandingkan dengan perbuatanmu, Suma Kiat. Sebagai seorang panglima tinggi yang telah banyak menerima anugerah dari kerajaan, engkau telah berani berkhianat, menyiapkan pemberontakan dan bersekutu dengan musuh!"
Bukan main kagetnya hati Suma Kiat mendengar ini. Dia memandang tajam dan menyangkal dengan suara keras karena dia mengira bahwa tentu Koksu hanya menuduhnya tanpa alasan atau hanya kira-kira saja, "Bu-koksu! Harap engkau jangan mengeluarkan tuduhan dan fitnahan membabi-buta! Semenjak dahulu, keluarga Suma adalah keluarga panglima yang selalu setia kepada raja!"
"Ha-ha-ha, mungkin dahulu demikian. Biarpun nama keluarga Suma tidaklah terlalu harum, akan tetapi belum pernah memberontak terhadap Raja. Akan tetapi, sekarang agaknya engkau akan menjadi juara dalam mengotorkan nama keluarga Suma! Engkau bersekutu dengan Kerajaan Yucen, menjadi kaki tangan Pek-mau Seng-jin, Koksu pemerintah Yucen!"
"Bohong! Fitnah palsu! Apa buktinya?" Suma Kiat masih membantah dan menyangkal keras.
"Buktinya" Ha-ha-ha, masih mau bukti lagi setelah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, dua orang kaki tangan Coa-bengcu yang menyelundup menjadi pengawalku itu mengaku sebelum mereka mampus di tanganku" Masih minta bukti setelah aku melihat sendiri anakmu, Suma Hoat membantu Pek-mau Seng-jin" Suma Kiat, pemberontak dan pengkhianat, menyerahlah dengan seluruh keluargamu untuk kami tangkap dan bawa ke pengadilan di kota raja!"
Tentu saja Suma Kiat terkejut sekali mendengar betapa dua orang tokoh pembantu Coa-bengcu itu telah dibunuh setelah disiksa untuk mengaku, akan tetapi dia telah kaget lagi mendengar bahwa Koksu telah melihat puteranya membantu Pek-mau Seng-jin. Koksu
Negara Yucen! Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali melawan dan berusaha
membebaskan diri dari keadaan berbahaya ini.
"Anjing penjilat, kaukira aku takut padamu?" Suma Kiat sudah mencabut pedangnya dan menerjang Koksu dengan kecepatan luar biasa. Koksu ini telah tahu akan kelihaian Suma Kiat, maka dia pun cepat menangkis dengan golok besarnya. Terdengar suara berkerincing nyaring ketika Koksu ini mainkan goloknya. Golok itu lebar dan panjang, punggung golok dihias gelang-gelang yang mengeluarkan bunyi nyaring berdering dan berkerincing. Dengan tenaganya yang besar, tentu saja golok itu merupakan senjata berat yang amat berbahaya.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 524
Namun, Suma Kiat adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ilmu pedangnya Toa-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Badai) amat cepat dan kuatnya, masih dibantu tangan kirinya yang digerak-gerakkan dengan pukulan Hui-tok-ciang (Tangan Racun Api) yang mujijat dan ampuh sekali. Karena itu, Bu Kok Tai, koksu kerajaan yang berilmu tinggi itu memperoleh lawan yang seimbang ketika berhadapan dengan Suma Kiat.
Setelah memberi isyarat kepada pasukan-pasukan yang masih setia kepada Suma Kiat sehingga para pasukan pengawal itu menerjang maju disambut pasukan pengawal Koksu, Siangkoan Lee, Bu Ci Goat juga sudah mencabut senjata masing-masing dan mengamuk melawan para panglima yang dipimpin oleh Ang Hok Cu, siucai lihai yang menjadi murid Bu-koksu.
Perang kecil yang mati-matian terjadi di ruangan depan dan halaman gedung itu, akan tetapi, jumlah pengawal yang masih setia kepada Suma Kiat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah pengawal Bu-koksu, apalagi karena sejumlah pengawal Suma Kiat suaah menaluk ketika melihat gelagat buruk, bahkan kini mereka membalik dan membantu para pengawal Bu-koksu, menyerang bekas kawan-kawan sendiri dalam usaha mereka mencari keselamatan agar dosa mereka kelak diampuni! Tentu saja hal ini amat mengurangi semangat perlawanan pihak pasukan Suma Kiat dan sebentar saja mereka berjatuhan dan menjadi korban senjata di tangan pasukan Bu-koksu.
Suma Kiat yang bertanding melawan Bu-koksu, menjadi marah sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian sehingga Bu-koksu sendiri terdesak mundur. Namun, beberapa orang panglima dan pasukan segera membantunya mengeroyok sehingga kembali Suma Kiat terdesak hebat dan terancam keselamatannya.
Pada saat itu, Coa Sin Cu yang tadinya bersembunyi, merasa bahwa tidak baik baginya kalau terus bersembunyi karena akhirnya dia akan ketahuan. Maka dengan nekat dia mencabut senjatanya dan menerjang keluar membantu Suma Kiat.
Melihat munculnya orang ini, Bu-koksu berseru marah dan juga girang. Sudah lama sekali dia menyuruh orang-orangnya untuk berusaha membasmi gerombolan Coa Sin Cu yang
memberontak dan sudah lama dia mendengar bahwa orang ini menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen. Apalagi setelah dua orang pengawalnya, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, di bawah siksaan berat, mengaku bahwa mereka adalah pembantu-pembantu Coa Sin Cu,
kebencian Koksu terhadap Coa Sin Cu makin menghebat. Kini, sungguh tidak disangkanya bahwa pemberontak itu berada di dalam gedung Suma Kiat.
Dengan suara menggereng hebat, Koksu ini meninggalkan Suma Kiat yang dikeroyok oleh Ang Hok Ci dan para panglimanya, tubuhnya yang tinggi besar melayang ke depan dan goloknya yang berat mengeluarkan bunyi berkerincing menerjang kepada Coa Sin Cu.
Coa Sin Cu terkejut dan cepat menangkis. "Trangggg.... trakkkk!" Golok di tangan Coa Sin Cu patah-patah dan golok besar Bu-koksu terus meluncur membabat leher. Terdengar suara mengerikan dan kepala Coa Sin Cu menggelinding dari tubuhnya. Lehernya putus terbabat golok!
"Keparat....!" Suma Kiat marah sekali, membentak lalu melengking panjang, pedangnya menyambar ganas dan dahsyat ke depan. Ang Hok Ci yang langsung menghadapinya
menggantikan suhunya, berusaha mengelak dan menangkis, dibantu tiga orang panglima lainnya. Akan tetapi mereka menjerit keras dan roboh dengan perut robek oleh sambaran sinar pedang yang dahsyat itu. Ang Hok Ci berkelojotan dan tewas bersama tiga orang panglima yang membantunya.
Sementara itu, Bu Ci Sian dan Siangkoan Lee juga mengamuk, merobohkan banyak pengawal Bu-koksu, akan tetapi mereka berdua juga menderita luka-luka kecil akibat pengeroyokan yang amat ketat itu. Sedangkan Suma Kiat kembali telah berhadapan dengan Bu-koksu dan belasan orang panglima yang mengurungnya dengan hati-hati karena kepandaian Suma Kiat Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 525
benar-benar amat hebat.
"Suhu.... lebih baik kita pergi....!" Siangkoan Lee berseru. "Subo sudah terluka....!"
Tadinya Suma Kiat hendak mengamuk terus, akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa paha kiri Bu Ci Goat berdarah, celananya robek sehingga tampak kulit paha putih halus yang terluka, hatinya menjadi tidak tega terhadap selirnya yang tercinta itu. Dia kembali mengeluarkan suara melengking nyaring, sinar pedangnya menerjang ke depan, mernbuat Bu-koksu dan para pembantunya cepat-cepat muncur dan memutar senjata melindungi tubuh.
Saat itu dipergunakan oleh Suma Kiat untuk menyambar lengan selirnya, kemudian memutar pedangnya dan membawa selirnya yang terluka pahanya itu meloncat naik ke atas genteng, diikuti oleh Siangkoan Lee.
Karena yang dapat mengimbangi kepandaian Suma Kiat hanya dia seorang diri, Bu-koksu tidak berani mengejar sendirian, hanya memerintahkan anak buahnya menyerang dengan anak panah. Puluhan batang anak panah meluncur ke arah tubuh tiga orang yang melarikan diri itu, namun kesemuanya dapat diruntuhkan oleh senjata di tangan Siangkoan Lee dan Suma Kiat.
Tak lama kemudian bayangan mereka menghilang di dalam kegelapan malam yang telah tiba.
Kasihanlah para penghuni rumah gedung Suma Kiat itu, yaitu para pengawal yang tadi melawan dan para pelayan. Mereka dibunuh semua, pelayan-pelayan wanita yang tua
dibunuh, yang muda dan cantik diperkosa sampai mati. Kemudian, seisi rumah dirampok habis-habisan. Melihat betapa anak buahnya berpesta pora, memperkosa dengan keji, merampok dan membunuh, Bu-koksu mendiamkannya saja. Dia sedang berduka sekali
melihat muridnya tewas, dan kecewa melihat Suma Kiat berhasil lolos. Saking gemasnya dia bahkan memerintahkan membakar rumah gedung itu, kemudian mengirim Pangeran Ciu Hok Ong yang sudah ditangkapnya ke kota raja untuk diadili dan minta kepada Raja agar mengirim pasukan melakukan pengejaran untuk menangkap Suma Kiat. Pangeran Ciu Hok Ong ditangkap tanpa melakukan perlawanan setelah rahasia persekutuannya dengan Koksu Yucen dibocorkan oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin.
Suma Kiat, dengan bantuan muridnya yang setia, berhasil mendapatkan tiga ekor kuda dan dengan cepat dia, selirnya, dan muridnya meninggalkan kota Siang-tan, melarikan diri ke barat. Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan Bu Ci Goat yang terluka pahanya itu, diharuskan melarikan diri siang malam tak pernah berhenti. Suma Kiat maklum bahwa kini dia telah menjadi buronan kerajaan, dan tidak mungkin baginya muncul di dunia ramai karena tentu dia akan ditangkap sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak. Satu-satunya jalan terbaik hanya pergi menyeberang ke daerah Kerajaan Yucen. Akan tetapi, dia merasa enggan untuk menghambakan diri kepada bangsa Yucen. Bukan demikianlah cita-citanya. Dia adalah seorang dari keluarga Suma yang terkenal angkuh dan tinggi hati. Kalau dia suka bekerja sama dengan Koksu Yucen adalah karena dia ingin mempergunakan kekuatan Yucen untuk menggulingkan kedudukan Kaisar, membantu Pangeran Ciu Hok Ong menjadi kaisar dan dia sendiri memperoleh kedudukan lebih tinggi, sedikitnya tentu menjadi seorang menteri. Kalau sekarang usaha itu gagal, dia tidak sudi merendahkan diri menjadi kaki tangan bangsa Yucen.
"Suhu, apakah tidak lebih aman bagi Suhu dan lebih baik bagi Subo yang sedang terluka kalau kita menyeberang saja dan minta bantuan Pek-mau Seng-jin di Yucen?" Siangkoan Lee mengajukan usulnya di tengah perjalanan melarnkan diri itu.
Sepasang alis yang sudah bercampur putih itu berkerut dan suara Suma Kiat terdengar marah ketika menjawab, "Siangkoan Lee, ingat baik-baik pesanku. Aku adalah seorang pahlawan yang berjuang untuk rakyat dan negara. Kalau Kaisar lalim, sudah sewajarnya kita memberontak untuk memilih kaisar baru yang lebih baik. Untuk keperluan itu pun tiada salahnya kita mengharapkan bantuan bangsa asing. Akan tetapi itu hanya siasat, bukan berarti kita menghambakan diri kepada bangsa asing! Lebih baik mati daripada menjual negara kepada bangsa asing. Ingat baik-baik pendirianku ini karena engkaulah yang harus melanjutkan cita-citaku. Engkau bukan hanya muridku, bukan hanya pembantuku, melainkan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 526
kuanggap sebagai pengganti puteraku sendiri yang akan kuwarisi seluruh ilmu
kepandaianku."
Siangkoan Lee terkejut dan juga girang sekali. "Terima kasih, Suhu...." katanya terharu.
"Teecu bersumpah akan menaati dan melanjutkan cita-cita Suhu sampai mati!"
Dua hari kemudian, rombongan tiga orang ini terkejut ketika mendengar teriakan dari belakang dan derap kaki sekor kuda yang dibalapkan mengejar mereka. Tadinya mereka hendak mempercepat larinya kuda, akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanya satu orang saja, Suma Kiat menahan kudanya dan membalikkan kuda menanti
datangnya seorang pengejar itu.
"Ayah....!"
Kiranya pengejar itu bukan lain adalah Suma Hoat! Pemuda ini, dengan muka dan baju basah oleh peluh karena melakukan pengejaran dengan cepat, kini memandang ayahnya, ibu tiri, dan murid ayahnya. Mereka bertiga yang duduk dia atas kuda memandang pemuda itu dengan wajah dingin dan sinar mata mengandung penuh penasaran.
"Ayah...., aku.... aku.... aku mendengar akan penyerbuan Bu-koksu.... aku cepat ke Siang-tan, terlambat.... lalu mengejar Ayah...."
"Tutup mulutmu dan jangan sekali-kali menyebut ayah kepadaku, manusia keparat!" Suma Kiat membentak penuh kemarahan.
Suma Hoat terbelalak kaget, wajahnya pucat. "Ayah.... mengapa....?"
"Cukup! Sekali lagi menyebut ayah, kubunuh engkau! Manusia laknat, anak durhaka, karena engkaulah kami menjadi begini! Karena Koksu melihatmu bersama Pek-mau Seng-jin maka rahasiaku terbongkar. Agaknya engkau dilahirkan hanya untuk mencelakakan orang tua saja.
Mulai saat ini, engkau bukan puteraku lagi dan terkutuklah engkau, akan sengsaralah engkau selama hidupmu!"
"Ayaaahhh....!" Suma Hoat bergidik ngeri mendengar kutukan ayahnya.
"Cet-cet-cet!" Tiga sinar menyambar ke arah Suma Hoat. Pemuda ini kaget dan maklum bahwa dia telah diserang dengan senjata rahasia oleh ibu tirinya. Tiada waktu lagi untuk menangkis, maka dia cepat melempar tubuhnya dari atas kuda, berjungkir balik dan berhasil menghindarkan diri dari sambaran tiga sinar yang berupa jarum-jarum beracun itu. Akan tetapi kudanya meringkik keras lalu roboh berkelojotan, dada dan perutnya menjadi sasaran jarum-jarum beracun. Suma Kiat melarikan kudanya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Suma Hoat hanya dapat memandang dengan hati penuh duka. Dua kali dia bentrok dengan ayahnya. Yang pertama kali dia diusir, kini, setelah dia mengorbankan perasaannya membantu ayahnya mengadakan persekutuan dengan pemerintah Yucen, hal yang sama sekali tidak disukainya dan yang hanya ia lakukan demi menyenangkan hati ayahnya, kembali ayahnya marah dan bahkan mengutuknya!
Sejenak pemuda itu hanya berdiri mengikuti bayangan tiga ekor kuda itu dengan wajah pucat, kemudian ia menarik napas panjang, mengeluh di dalam hatinya dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Hancurlah dunianya, habis semua pengharapannya. Hatinya sudah remuk oleh kegagalan cintanya. Hanya ada tiga orang wanita di dunia ini yang pernah dicintanya, yaitu Ciok Kim Hwa, kemudian Khu Siauw Bwee dan Maya! Namun ketiganya gagal, Ciok Kim Hwa yang membalas cintanya tewas. Siauw Bwee dan Maya yang telah menjatuhkan hatinya itu, tidak dapat membalas cintanya karena mereka telah memiliki pilihan hati masing-masing. Kini, ayah kandungnya, satu-satunya orang yang akan dapat didekatinya, bahkan mengutuknya dan tidak mengakuinya sebagai anak lagi. Apalagi artinya hidup ini baginya"
Siapakah yang harus disalahkannya" Koksu Bu Kok Tai" Tidak mungkin. Diam-diam dia merasa kagum kepada Bu-koksu dan merasa iri hati melihat kesetiaan dan kegagahan Bu-koksu. Mengapa ayahnya tidak dapat bersikap seperti Bu-koksu, seorang pendekar dan pahlawan sejati" Orang-orang gagah seperti Bu-koksu adalah orang-orang segolongan dengan mendiang Menteri Kam Liong, yang terkenal karena kesaktian dan kesetiaannya terhadap Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 527
nusa bangsa. Tidak seperti ayahnya! Mengapa dia mau saja membantu ayahnya yang
bersekutu dengan pihak Yucen" Andaikata dia tidak hendak berbaik kembali dengan ayahnya, tidak hendak menyenangkan hati orang tua itu, tentu saja dia tidak akan sudi membantu persekutuan kotor itu.
Suma Hoat menghela napas panjang dan meninggalkan tempat itu dengan wajah pucat, pandang mata sayu dan tubuh lesu. Habis harapannya untuk mendekati ayahnya lagi. Orang tua itu sudah terlampau marah dan dengan ibu tirinya dan Siangkoan Lee di dekat orang tuanya, tidak ada harapan baginya untuk meredakan kemarahan ayahnya. Ibu tirinya dan Siangkoan Lee amat benci kepadanya, dan mereka tentu akan membakar terus hati ayahnya.
Suma Hoat sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa keadaan hidup ayahnya sendiri amatlah sengsara semenjak terjadinya peristiwa itu. Suma Kiat yang semenjak dahulu hidup mewah dan mulia, kini kehilangan segala-galanya dan menjadi berduka sekali. Dia sudah tua dan pukulan-pukulan batin itu membuat tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan.
Mereka bertiga melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan Tai-hang-san. Suma Kiat lalu mencari tempat yang cocok dan membangun sebuah tempat peristirahatan di Puncak In-kok-san (Lembah Mega), sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Tai-hang-san.
Siangkoan Lee yang pandai mengambil hati gurunya, berusaha menyenangkan hati suhunya itu dengan membangun sebuah bangunan mewah, bahkan menyediakan pelayan-pelayan lakilaki dan wanita muda untuk suhunya. Memang Suma Kiat berterima kasih sekali dan kakek ini mewariskan semua ilmu silatnya kepada Siangkoan Lee, namun tetap saja hati Suma Kiat selalu dihimpit kekecewaan dan kedukaan, terutama sekali kalau teringat akan cita-citanya yang hancur dan putera tunggalnya yang durhaka. Semua kedukaan ini ditambah lagi oleh solah-tingkah Bu Ci Goat. Setelah berada di pegunungan itu, melihat betapa tubuh Suma Kiat yang makin tua makin lemah, tidak mampu lagi melayani nafsu-nafsunya, wanita ini menjadi binal kembali. Semua ini merupakan tekanan dan siksaan batin yang hebat, membuat tubuhnya tidak kuat menahan dan akhirnya kakek itu jatuh sakit.
*** Seperti telah diceritakan di bagian depan, Maya bersama anak buahnya telah berhasil menyelidiki keadaan musuh di Siang-tan. Biarpun dia kehilangan pembantu-pembantu yang diandalkan, yang tewas dalam menyedihkan itu, namun dia kini tahu akan kekuatan musuh sehingga tidak terburu-buru melakukan penyerbuan ke Siang-tan. Setelah mendapat
kenyataan bahwa Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa berhasil lolos pula dan kembali ke Sian-yang, Maya menjadi makin girang. Tentu saja Yan Hwa tidak menceritakan bagaimana dia dan suhengnya dapat lolos! Tidak mau menceritakan betapa untuk kebebasan dia dan suhengnya, dia harus "menebusnya" dengan penyerahan diri kepada Suma Hoat, Si Dewa Cabul! Tebusan yang bukan tidak menyenangkan hatinya!
Setelah mengadakan perundingan dengan para pembantunya dan Pangeran Bharigan, lalu diambil keputusan untuk minta bantuan Panglima Bu, panglima angkatan laut yang
memberontak terhadap pemerintah, panglima yang dahulu menolong Maya. Sepasukan
tentara istimewa diutus minta bala bantuan ini dan sementara menanti datangnya bala bantuan, Maya dibantu oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, melatih pasukan mereka yang menghadapi perang besar.
Keadaan pasukan Mancu yang bermarkas di Sian-yang dan pasukan Sung yang bermarkas di Siang-tan itu hampir tiada bedanya. Kalau tentara Mancu menanti datangnya bala bantuan dari utara, adalah pihak Sung juga menanti datangnya bala bantuan dari selatan!
Akan tetapi, ternyata bantuan untuk Mancu datang lebih dahulu dan mendengar dari para penyelidiknya bahwa bantuan dari selatan yang diharap-harapkan Bu-koksu belum tiba, pula mendengar juga akan keributan di Siang-tan karena pengkhianatan dan ditawannya Pangeran Ciu Hok Ong dan diserbunya gedung Panglima Besar Suma Kiat, Maya segera mengerahkan pasukannya menyerang ke Siang-tan. Pasukannya kini menjadi besar dan kuat karena Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 528
memperoleh bantuan.
Tentu saja Koksu Bu Kok Tai terkejut bukan main ketika melihat keadaan bala tentara musuh yang amat besar itu. Mengertilah dia bahwa pihak Mancu telah memperoleh bala bantuan, maka timbul kekhawatirannya. Dia sendiri merasa heran mengapa bala bantuan yang ia harapkan dari selatan masih belum kunjung tiba. Padahal sudah dia perhitungkan bahwa tentu bala bantuannya akan tiba lebih dulu. Terpaksa Bu-koksu lalu mengerahkan segala kekuatan pasukannya, sebagian menyambut musuh di luar tembok benteng, sebagian lagi menjaga benteng dan siap mempertahankan kota Siang-tan dengan mati-matian.
Tiba-tiba datang seorang kurir menghadap Bu-koksu dan menceritakan dengan muka pucat bahwa pasukan bala bantuan dari selatan yang diharapkannya itu di tengah jalan telah dihadang dan diserbu pasukan besar Mancu dan kini menjadi hancur, sebagian besar tewas dan sebagian pula terpaksa melarikan diri kembali ke selatan karena jalannya terputus! Berita yang amat mengejutkan, juga mengherankan hati Bu-koksu. Mengapa mendadak terdapat begitu banyak tentara Mancu yang sempat bergerak di mana-mana" Namun, dia tidak
memusingkan lagi hal itu, melainkan mencurahkan perhatian untuk menghadapi penyerbuan musuh yang telah makin mendekati tembok benteng kota Siang-tan.
Sebetulnya, apakah yang terjadi" Benarkah bala bantuan dari selatan itu dihancurkan oleh pasukan Mancu" Memang kelihatannya demikian, akan tetapi sesungguhnya bukan pasukan Mancu yang menghancurkan pasukan bala bantuan itu melainkan pasukan Yucen yang
menyamar sebagai pasukan-pasukan Mancu! Inilah siasat yang dijalankan secara cerdik sekali oleh Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen. Dalam siasatnya untuk melemahkan kedudukan Kerajaan Sung sehingga terancam oleh serbuan-serbuan pasukan Mancu, diam-diam Koksu Yucen mempersiapkan pasukan besar yang menyamar sebagai pasukan Mancu, kemudian
menghadang pasukan bantuan itu dan menghancurkannya. Dia sendiri diam-diam berkunjung ke kota raja Sung di selatan dan menawarkan bantuannya untuk menyelamatkan Siang-tan dan mengusir pasukan-pasukan Mancu dengan syarat agar Kerajaan Sung suka menyerahkan daerah yang luas di daerah utara Siang-tan kepada Kerajaan Yucen.
Karena Siang-tan merupakan benteng yang amat penting bagi pertahanan kerajaan di selatan, dalam keadaan terjepit itu, Kaisar tidak dapat menolak dan menerima uluran tangan bantuan ini berikut syaratnya! Pek-mau Seng-jin girang sekali lalu mengerahkan pasukan-pasukannya yang kini telah meninggalkan pakaian penyamaran mereka sebagai pasukan Mancu dengan cepat melakukan perjalanan menuju Siang-tan yang sudah terancam dan terkepung oleh pasukan Mancu.
Bu-koksu memimpin sendiri pasukan yang menyambut penyerbuan pasukan Mancu di luar tembok benteng. Perang yang seru dan hebat terjadi di luar tembok benteng. Perang yang terjadi sampai belasan hari lamanya, berhenti di waktu malam untuk dilanjutkan pada keesokan harinya. Akan tetapi, akhirnya Bu-koksu harus mengakui keunggulan musuh yang mempunyai jumlah pasukan jauh lebih besar. Terpaksa Bu-koksu menarik sisa pasukannya memasuki benteng, menutup pintu-pintu gerbang benteng dan memperkuat penjagaan.
Maya memimpin pasukan-pasukannya, diam-diam merasa kagum akan kepandaian Bu-koksu mengatur pasukan sehingga pasukan yang lebih kecil itu mampu bertahan sampai belasan hari. Kini Maya menyusun pasukan-pasukannya, mengurung kota Siang-tan dan mulailah penyerbuan-penyerbuan untuk membobolkan benteng kota. Namun ternyata bahwa benteng itu kuat sekali, terbuat dari tembok yang tebal dan terjaga ketat dengan barisan-barisan anak panah yang melepaskan anak panah dari tempat terlindung sehingga setiap penyerbuan pasukan Mancu selalu dapat digagalkan dan benteng masih dapat dipertahankan.
Kembali belasan hari lewat dan benteng kota Siang-tan masih juga belum dapat direbut oleh pasukan Mancu. Akan tetapi, pihak pasukan yang dipimpin Bu-koksu sudah gelisah sekali.
Kota telah dikurung, hubungan luar kota sudah terputus sama sekali dan mereka tidak hanya terancam oleh penyerbuan-penyerbuan lawan, akan tetapi yang lebih mengkhawatirkan lagi, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 529
terancam oleh kelaparan karena gudang ransum yang setiap hari dikurung tanpa ada penambahan itu makin menipis isinya.
Keadaan yang mengancam ini membuat semangat perlawanan pasukan Bu-koksu menurun
dan akhirnya, tanpa dapat dipertahankan lagi, ketika Maya mengerahkan pasukan intinya menyerbu, bobollah pintu terbesar dan membanjirlah pasukan Mancu menyerbu kota Siang-tan diiringi sorak-sorai yang memekakkan telinga.
Kini perang hebat pecah di dalam kota. Suara senjata beradu diseling bentakan dan makian bercampur pekik kesakitan dan keluhan maut mengatasi tangis dan jerit para penduduk kota yang lari ke sana-sini kacau-balau mencari keselamatan keluarga masing-masing.
Maya yang menunggang seekor kuda putih, mengamuk dengan pedangnya. Kudanya
meringkik-ringkik, lari ke sana-sini, didahului sinar pedang di tangan panglima wanita itu, dan ke mana pun sinar pedangnya menyambar, tentu mengakibatkan robohnya seorang
perwira musuh. Menyaksikan sepak terjang panglima wanita yang hebat ini, Bu-koksu menjadi marah sekali. Dia mencambuk kudanya menghampiri, kemudian sambil membentak marah dia menyerang Maya dengan senjatanya yang juga telah merobohkan banyak anak buah pasukan Mancu. Maya menyambut serangan ini dengan pedangnya dan terjadilah
pertandingan dahsyat antara kedua orang pimpinan kedua pasukan yang sedang berperang itu.
Akan tetapi pertandingan di antara mereka kurang leluasa karena di situ penuh dengan tentara kedua pihak yang saling terjang, sehingga seringkali mereka terpaksa mundur dan terpisah kembali untuk melayani tentara musuh yang mengepung.
Maya sendiri merasa penasaran bahwa sampai lama dia tidak dapat merobohkan Bu-koksu, maka dia lalu berseru menantang, "Bu-koksu, kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding di luar tembok sampai seorang di antara kita roboh binasa!"
"Anjing betina Mancu, siapa takut kepadamu?" Bu-koksu membentak.
Maya mengaburkan kudanya ke luar pintu gerbang yang sudah bobol, dikejar oleh Bu-koksu.
Setibanya di lapangan yang luas di luar tembok, Maya berhenti dan begitu Bu-koksu yang mengejarnya tiba, dia langsung mengejar dengan ganasnya dan kembali dua orang perkasa ini bertanding dengan seru dan dahsyat.
Andaikata mereka bertanding ilmu silat biasa, tidak di atas kuda, agaknya betapapun lihainya, Bu-koksu bukanlah lawan Maya dan tak mungkin dia dapat bertahan sampai ratusan jurus.
Akan tetapi, bertanding di atas punggung kuda lain lagi halnya. Gerakan ilmu silat tak banyak dipergunakan, yang diandalkan hanya kecepatan menggerakkan senjata dan keahlian
menunggang kuda, dan tentu saja kecekatan kuda yang ditunggangi memang peranan penting.
Biarpun sudah lama Maya menjadi panglima perang, namun pengalamannya dalam
bertanding di atas kuda jauh kalah banyak oleh Bu-koksu dan biarpun gerakan tangannya yang memegang pedang lebih kuat dan cepat, namun kepandaiannya menunggang kuda juga kalah.
Karena inilah, pertandingan berlangsung dahsyat dan seru. Sukar bagi Maya untuk
merobohkan lawan yang tangguh itu dan dia hanya mampu membuat lawan itu terluka di paha dan pundak kiri. Luka yang tidak terlalu parah biarpun cukup membuat pakaian perang Bu-koksu berlumuran darah. Betapapun juga, diam-diam Bu-koksu harus mengakui bahwa
selamanya belum pernah dia bertemu tanding sehebat nona itu! Lengannya yang memegang golok besar terasa letih sekali karena setiap kali bertemu dengan pedang lawan, lengannya tergetar hebat, tanda bahwa lawannya, seorang nona yang masih amat muda itu memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa! Namun dia tidak mengenal takut, mengambil keputusan untuk berkelahi sampai titik darah terakhir membela negaranya.
"Bu-koksu, bersiaplah untuk mampus!" Maya berseru keras, kudanya meloncat ke depan dan pedangnya menyambar dengan sinar berkilat.
"Tidak begitu mudah keparat!" Bu-koksu membentak dan menangkis.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 530
"Tranggg....!" Untuk ke sekian ratus kalinya, pedang Maya bertemu dengan golok besar di tangan Bu-koksu. Bunga api berpijar dan kedua senjata itu melekat karena keduanya telah menyalurkan tenaga dan kini mereka mengadu tenaga melalui senjata mereka yang saling melekat itu.
"Tahan senjata....!" Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat dari atas tembok benteng dan ternyata orang itu adalah Suma Hoat! Dengan gerakan seperti seekor burung raksasa terbang melayang turun dari tembok, Suma Hoat mendorongkan kedua tangannya ke arah dua tangan yang memegang senjata. Maya dan Bu-koksu terkejut, tidak tahu siapakah di antara mereka yang dibantu pemuda itu, maka keduanya lalu menarik senjata masing-masing, menahan kuda dan memandang Suma Hoat yang telah berdiri di antara mereka dengan alis berkerut.
Sudah sejak tadi Suma Hoat menonton pertandingan hebat antara Bu-koksu dan Maya. Dia berhasil menyelundup masuk ke kota Siang-tan dan menyamar sebagai seorang perwira.
Ketika ia melihat betapa Bu-koksu terancam bahaya maut di ujung pedang Maya, dia merasa tidak tega. Di dalam hati pemuda ini timbul rasa haru dan kagum menyaksikan betapa Bu-koksu mempertahankan negara dengan mati-matian, sikap gagah perkasa yang jauh berbeda dengan sikap ayahnya. Bu-koksu seorang pahlawan sejati! Biarpun Bu-koksu telah menyerbu dan menghancurkan rumah tangga ayahnya, namun Suma Hoat tidak dapat menyalahkan
Koksu itu yang hanya memenuhi tugasnya sebagai seorang koksu yang setia kepada kerajaan.
Maka begitu menyaksikan koksu itu terluka dan melawan mati-matian menghadapi Maya, dia merasa tidak tega. Apalagi karena yang mengancam hendak membunuh pahlawan itu adalah Maya, gadis yang dicintanya.
"Suma Hoat, apakah engkau hendak membelanya" Kalau begitu, engkau akan mampus pula di tanganku!" Maya membentak nyaring.
"Maya, harap engkau sadar bahwa engkau telah mengambil jalan sesat. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkaulah yang memimpin pasukan Mancu, padahal engkau bukan seorang gadis Mancu. Engkau malah penghuni Istana Pulau Es! Bagaimana mungkin engkau
merendahkan diri sampai begini rupa, membantu pasukan asing menyerang bangsa sendiri?"
"Suma Hoat, mulutmu palsu!" Tiba-tiba Bu-koksu membentak dan menudingkan golok besarnya. "Engkau sendiri adalah anjing penjilat Kerajaan Yucen, seorang pengkhianat hina!"


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Koksu, tidak perlu menilai diriku yang memang seorang yang tidak berharga. Akan tetapi engkau adalah seorang pahlawan yang gagah, karena itu aku tidak sampai hati melihat engkau gugur di sini. Sedangkan Nona Maya adalah penghuni Istana Pulau Es, tidak semestinya menjadi pengkhianat. Karena mengingat akan keadaan kalian berdua, maka aku
memberanikan diri untuk melerai. Nona Maya, demi nama besar Pendekar Sakti Suling Emas, Pendekar Sakti Mutiara Hitam, demi nama Bu Kek Siansu...."
"Jangan sebut-sebut nama guruku!" Maya membentak. Diam-diam Bu-koksu terkejut bukan main karena sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa lawannya yang lihai ini adalah penghuni Istana Pulau Es yang hanya didengarnya seperti dalam dongeng, apalagi murid manusia dewa Bu Kek Siansu!
"Nona Maya, aku hanya mengharap agar engkau suka insyaf dan tidak membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri...."
"Cukup! Aku memang sengaja menggunakan pasukan Mancu untuk menghancurkan Kerajaan Sung! Eng kau tahu, akulah Puteri Maya, akulah puteri Raja Khitan! Kerajaan Khitan telah hancur karena pemerintah Sung, Mongol, dan Yucen! Aku telah bersumpah untuk membasmi ketiga kerajaan itu! Bukan sekali-kali aku menghambakan diri dan menjadi pengkhianat membantu Mancu, melainkan untuk membalas dendamku. Nah, Suma Hoat, engkau sebagai putera Suma Kiat musuh besarku, telah kuampunkan. Sekarang minggirlah!"
Kembali Maya menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu meloncat ke depan dan dia sudah menyerang Bu-koksu dengan kelebatan pedangnya secara bertubi-tubi. Bu-koksu Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 531
tadinya berdiri tercengang, akan tetapi siapa pun adanya wanita ini, kalau dia berdiri di pihak Mancu berarti musuhnya dan harus dilawan mati-matian.
"Trang-cring-trang....!" Pedang dan golok beradu bertubi-tubi dan Suma Hoat menjadi bingung, tidak tahu harus membantu siapa.
"Sumoi....!"
Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua orang yang sedang bertanding itu terpental ke belakang karena tertolak oleh tenaga yang amat dahsyat, membuat tubuh mereka terlempar dari atas punggung kuda. Namun, berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, Bu-koksu dan Maya tidak terbanting roboh, hanya berjungkir balik dan berdiri dengan senjata siap di tangan.
"Suheng....!" Maya berseru dengan muka berubah pucat ketika melihat siapa orangnya yang membuat dia terpental tadi.
"Kam-siauwte....!" Bu-koksu juga berseru kaget dan girang, mengharapkan bantuan orang yang dia tahu amat sakti ini. Akan tetapi Han Ki, pemuda yang baru datang itu, tidak mempedulikannya, melainkan menghampiri Maya dan memandang dengan alis berkerut.
"Maya-sumoi, mengapa engkau masih juga melanjutkan kesesatanmu" Tidak malukah engkau" Tidak ingatkah bahwa engkau, adalah keturunan orang-orang gagah perkasa yang lebih baik mati daripada melakukan pengkhianatan" Di dalam tubuhmu mengalir darah Khitan dan Han, bagaimana sekarang engkau dapat membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri?"
"Suheng, engkau boleh melupakan segala dendam, akan tetapi aku tidak! Orang tuaku, kerajaan ayahku, telah hancur oleh Kerajaan Sung. Kalau belum membasmi Kerajaan Sung, aku belum puas!"
"Engkau keliru, Sumoi. Bukan Kerajaan Sung yang menyebabkan kehancuran Kerajaan Khitan, melainkan perang dan pengkhianatan! Dan perang ditimbulkan bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh manusia sendiri, oleh engkau dan aku dan kita semua! Ayah bundamu gugur sebagai pahlawan-pahlawan yang membela bangsa dan negara. Apakah engkau
sekarang hendak gugur sebagai seorang pengkhianat?"
Pucat sekali wajah Maya ketika dia memandang suhengnya. Suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata, "Suheng, engkau terlalu! Engkau tahu mengapa aku sampai menjadi begini, engkau tahu mengapa aku sampai meninggalkan Pulau Es. Engkau tahu pula mengapa aku melanjutkan semua ini setelah berjumpa denganmu di medan perang! Mengapa engkau
hendak menyalahkan aku saja dan sama sekali tidak ingat bahwa engkaulah gara-gara semua ini" Engkau menolak untuk membawaku sendiri saja ke Pulau Es, engkau ragu-ragu dalam cintamu terhadap diriku.... padahal hanya angkau seorang harapanku....! Engkau telah menghancurkan harapan dan cintaku.... engkau...." Maya menggigit bibir terisak dan tiba-tiba dia menekuk pedang dengan kedua tangannya.
"Krekkk!" Pedang itu patah berkeping-keping dan dlbuangnya ke atas tanah.
"Llhat, seperti itulah hatiku, Suheng. Sekarang tinggal hanya dua pilihan bagiku. Kalau engkau suka bersamaku, berdua saja kembali ke Pulau Es, aku akan meninggalkan semua ini dan selamanya akan tunduk kepadamu. Kalau engkau menolak lagi, aku akan melanjutkan perang ini, dan akan mengamuk terus sampai mati!"
"Ohhhh....!" Seruan ini keluar dari mulut Suma Hoat. Wajah pemuda itu pucat sekali. Kiranya Maya, gadis terakhir yang menjatuhkan hatinya, yang dicintanya, yang diharapkan akan dapat membalas cintanya, kiranya telah mencinta Kam Han Ki, seperti halnya Khu Siauw Bwee!
Han Ki sendiri sudah menduga akan pendirian Maya seperti itu. Dia merasa tidak baik untuk berbantahan di depan banyak orang, maka dia hanya berkata, "Sumoi, mari ikut aku pergi....!"
Tubuhnya berkelebat ke depan. Maya tarkejut dan berusaha meronta malepaskan diri. Akan tetapi, Han Ki telah menotoknya dan berlari pergi cepat sekali, membawa tubuh sumoinya dalam kempitan.
"Kam-taihiap, tunggu....!" Suma Hoat berteriak, kemudian tubuh pemuda ini juga berkelebat Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 532
lenyap. Dia mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengejar Kam Han Ki, akan tetapi tentu saja dia tertinggal jauh sekali. Namun, Suma Hoat terus mengejar sambil berseru-seru memanggil. Hatinya menjadi penasaran sekali. Mana mungkin Kam Han Ki menerima cinta kasih dua orang gadis itu" Biarlah Kam Han Ki memilih seorang di antara mereka, dan yang seorang lagi, tidak peduli yang mana karena dia sudah tergila-gila dan jatuh clnta kepada kedua orang gadis itu, kalau ditolak oleh penghuni Istana Pulau Es, biarlah menjadi isterinya!
Perang berlangsung terus biarpun Maya telah pergi. Akan tetapi, tentu saja semangat berjuang para pasukan Mancu telah menurun hebat setelah panglima wanita yang mereka agungkan dan agulkan itu lenyap. Apalagi setelah muncul pasukan Yucen yang membantu bala tentara Sung, pihak Mancu menjadi kewalahan dan terpaksa melarikan diri setelah meninggalkan banyak anak buah pasukan yang roboh. Pangeran Bharigan sendiri terluka, namun luka di tubuh itu tidaklah seperti luka di hati Sang Pangeran karena lenyapnya Maya, panglima yang amat diandalkan, dan juga wanita yang amat dicintanya itu.
*** Air laut di sekeliling pulau itu tenang sekali dan di sana-sini tampak gumpalan es sebesar bukit, mengambang tidak bergerak. Pulau Es tampak sebagai seorang raksasa putih, atau sebuah patung raksasa terbuat dari batu pualam putih sedang tidur telentang. Sinar matahari yang tertutup awan tipis dan kabut laut masih cukup kuat untuk menimpa permukaan Pulau Es, membuat pulau yang aneh itu berkilauan permukaannya.
Bangunan istana di tengah pulau, yang telah lama ditinggalkan penghuni-penghuninya sehingga hampir tertutup dan tertimbun salju tak terurus, kini tampak bersih kembali setelah Han Ki, bersama dua orang sumoinya kembali ke pulau.
Biarpun kadang-kadang hatinya menjadi panas dan cemburu kepada Siauw Bwee kalau
teringat akan cinta kasihnya kepada Han Ki, namun begitu bertemu dengan Siauw Bwee di Pulau Es, Maya segera menubruk dan memeluknya. Demikian pula dengan Siauw Bwee yang merasa terharu dan rindu kepada sucinya itu. Dua orang ini pernah tinggal sampai bertahun-tahun di atas Pulau Es sebagai saudara, senasib sependeritaan. Hanya karena cinta dan cemburu saja mereka bermusuhan dan timbul rasa benci di hati mereka. Kini, setelah berpisah lama, perjuangan antara mereka mendatangkan rasa terharu dan timbul kembali rasa kasih sayang di antara mereka.
"Sumoi...., aku banyak salah kepadamu, maafkan aku, Sumoi...."
"Aihhh, Suci, jangan berkata demikian. Akulah yang telah banyak kesalahan kepadamu, Suci.
Akulah yang mohon maaf kepadamu...."
Han Ki menarik napas panjang menyaksikan pertemuan antara kedua orang sumoinya itu.
"Nah, begitulah, kedua sumoiku yang baik. Antara saudara sewajarnya saling mengalah dan saling memaafkan kalau ada kesalahan. Kita bertiga senasib, bertahun-tahun melatih diri di pulau ini, sesuai dengan kehendak Suhu. Karena itu, baru bahagialah hidupku melihat kita bertiga dapat kembali di sini."
Begitu dua orang dara itu mendengar suara Han Ki dan kini melepaskan pelukan menoleh ke arah pemuda itu, timbullah kembali persoalan rumit yang mengganggu hati mereka. Hampir berbareng keduanya membentak,
"Akan tetapi, Suheng...."
Han Ki cepat mengangkat kedua tangan ke atas. "Cukup, bukan waktunya kita bicara. Biarlah kelak kita bicarakan urusan yang menyangkut antara kita dengan tenang dan perlahan-lahan.
Sekarang, yang terpenting adalah membereskan dan membersihkan Istana Pulau Es. Lihat betapa kotor dan tak terpelihara semenjak kalian berdua pergi meninggalkannya." Han Ki menudingkan telunjuknya dan ketika dua orang dara itu memandang dan menyaksikan
keadaan istana tua itu mereka menjadi terharu dan tanpa banyak membantah mereka berdua membantu Han Ki membersihkan istana itu.
Ketika mereka membersihkan ruangan di mana dahulu tiga buah arca mereka disimpan, Maya Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 533
dan Siauw Bwee segera bertanya mengapa arca mereka bertiga kini tidak tampak lagi berada di situ.
Han Ki menarik napas panjang ketika menjawab, "Gara-gara kalian berdua meninggalkan aku seorang diri di sini, hatiku merana setiap hari, apalagi kalau aku melihat arca kita bertiga yang masih berkumpul di sini. Pada suatu hari aku tidak dapat menahan gelora hatiku dan kuhancurkan ketiga arca buatanku itu yang kuanggap merupakan penggoda yang selalu memberatkan hati."
"Ihhh, Suheng! Arca yang tidak bersalah apa-apa menjadi korban kemarahan dan kedukaan hatimu. Sungguh tidak adil. Aku yang bersalah mengapa arcaku yang dihancurkan?" Siauw Bwee mencela.
"Sumoi benar! Akulah yang menjadi gara-gara, mengapa arcaku yang amat baik itu, yang tidak berdosa apa-apa, dihancurkan" Suheng, kau harus membuatkan arcaku lagi yang baru!"
Maya juga mencela.
Han Ki tersenyum. Senyum yang sudah lama sekali meninggalkan bibirnya semenjak dia ditinggalkan dua orang sumoinya, senyum gembira. "Jangan kwawatir, aku telah siap untuk membuatkan gantinya yang lebih indah lagi. Untuk keperluan itu, aku sudah mendapatkan bahannya, yaitu batu pualam putih yang kudapatkan di atas pulau tak jauh dari sini. Inilah batu-batu itu!" Dia memperlihatkan tiga bongkah batu pualam putih yang bersih dan indah sehingga kedua orang dara itu memandang berseri dan lenyap kekecewaan mereka.
Setelah selesai membersihkan Istana Pulau Es, Han Ki menurunkan latihan Ilmu Swat-im Sinkang, yang menghimpun tenaga sakti yang dingin, merupakan inti dari hawa dingin di Pulau Es.
"Dengan memiliki sin-kang ini, kalian akan menjadi jauh lebih kuat, dan tidak percuma menjadi penghuni Istana Pulau Es. Latihan ini tidak ringan, karena kalian harus berlatih siang malam di tempat terbuka, terutama sekali pada tengah malam di waktu hawa sedang
dinginnya kalian dapat menyedot inti hawa dingin salju. Im-kang yang kalian miliki dahulu itu sudah cukup kuat untuk menjadi dasar, sehingga untuk dapat melatih Swat-im Sin-kang dengan sempurna, kalian hanya memerlukan waktu tiga bulan. Mari kuajari cara berlatih dan kupimpin untuk memberi contoh semalam ini."
"Nanti dulu, Suheng," tiba-tiba Maya berkata, suaranya bersungguh-sungguh sehingga Han Ki dan Siauw Bwee mendengarkan penuh perhatian. Mereka bertiga duduk bersila di atas tanah yang tertutup salju, duduk begitu saja karena memang demikian yang dikehendaki Han Ki untuk melatih Swat-im Sin-kang.
"Kau hendak bertanya tentang apa, Maya-sumoi?" Han Ki bertanya.
"Suheng, kurasa engkau lupa bahwa aku dan Sumoi bukanlah kanak-kanak lagi seperti beberapa tahun yang lalu sehingga luculah kalau Suheng memperlakukan kami seperti dua orang anak perempuan yang masih kecil! Memang latihan Swat-im Sin-kang seperti yang Suheng terangkan amat penting bagi kemajuan ilmu-ilmu kami, akan tetapi ada hal yang jauh lebih penting lagi yang Suheng lupakan, atau sengaja Suheng lewatkan begitu saja sebagai hal yang tidak penting."
Han Ki memandang tajam, hatinya merasa tidak enak. "Maya-sumoi, apakah maksudmu" Hal apakah yang kulupakan?"
"Suheng, lupakah engkau untuk apa engkau mengajak aku ke pulau ini" Apa pula artinya engkau mengajak Sumoi pulang ke Pulau Es" Suheng, bukankah aku pernah menyatakan bahwa aku hanya mau kembali ke Pulau Es bersamamu, meninggalkan semua urusan dendam pribadi, kalau engkau mau menerima aku sebagai isterimu?"
"Maya-sumoi!"
"Suheng, kuulangi lagi. Aku dan Sumoi bukanlah anak-anak kecil lagi! Tak perlu kiranya dirahasiakan lagi karena memang bukan rahasia bagi kita bertiga bahwa aku mencintamu, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 534
Suheng, juga bahwa Khu-sumoi mencintamu pula. Adapun engkau sendiri, sikapmu sungguh menyakitkan hati. Engkau kelihatan mencintaku, akan tetapi juga menyayang Sumoi. Hal ini tidak bisa dilanjutkan tanpa pernyataanmu untuk menentukan, untuk mengambil keputusan.
Sebenarnya, siapakah di antara kami yang Suheng cinta dan pilih untuk menjadi isteri?"
Han Ki menjadi pucat wajahnya, sedangkan Siauw Bwee yang tadinya berseri karena merasa yakin bahwa tentu suhengnya yang jelas telah menyatakan cinta kasihnya kepadanya, akan terang-terangan memilih dia, kini menjadi cemas melihat suhengnya kelihatan bingung.
"Khu-sumoi, bagaimana pendapatmu?" Tiba-tiba Maya berkata kepada sumoinya. "Bukankah sudah adil dan semestinya kalau Suheng tidak menyiksa hati kita berdua dan mengambil keputusan dengan sejujurnya?"
Khu Siauw Bwee menelan ludah, sukar untuk menjawab. Dia pun seorang dara yang keras hati dan tabah, namun untuk bersikap terbuka dan terang-terangan seperti Maya, bicara begitu jujur mengenai urusan cinta, behar-benar dia tidak sanggup! Maka dia hanya dapat mengangguk saja karena memang dia setuju sekali akan pendapat Maya itu. Suhengnya memang harus dapat memutuskan urusan mereka itu agar tidak menyiksa hati lagi,
mengambil pilihan sehingga tidak menimbulkan perasaan cemburu.
Kam Han Ki menarik napas panjang. Memang hal inilah yang dia khawatirkan semenjak dia mengajak Maya dengan paksa kembali ke Pulau Es. Tadinya dia hendak mengulur waktu, membuat mereka berdua itu lupa akan urusan cinta dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi. Harus dia akui bahwa cinta kasih hatinya condong kepada Siauw Bwee, akan tetapi betapa mungkin dia mengakui hal itu di depan Maya dan menghancurkan perasaan hati Maya yang amat disayangnya itu"
"Maya-sumoi dan Khu-sumoi.... sungguh berat sekali rasa hatiku menghadapi pertanyaan dan desakan kalian ini. Kalian adalah dua orang sumoiku, yang semenjak kecil bersama-samaku di sini. Aku sayang kepada kalian berdua, aku rela membela kalian berdua dengan taruhan nyawaku. Aku sayang kalian seperti sayang diriku sendiri, bagaimana mungkin aku akan dapat menyakiti dan menyiksa hati kalian, dua orang sumoiku yang tercinta, dan hanya kalian berdua saja yang kumiliki di dunia ini?"
Hening sampai lama setelah Han Ki mengeluarkan kata-kata ini dan pemuda itu
menundukkan mukanya, cemas sekali menantikan apa yang akan diucapkan oleh mulut kedua orang sumoinya itu. Maya dan Siauw Bwee memandang kepada Han Ki, dengan sinar mata tajam seolah-olah sinar mata kedua dara itu hendak membelah dada menjenguk isi hati Han Ki. Mereka berdua, terutama Siauw Bwee, merasa penasaran sekali. Bukankah suhengnya itu telah menyatakan cinta kasihnya ketika dirawatnya dahulu" Akan tetapi, ketika itu, ingatan suhengnya belum pulih benar sehingga pada waktu itu di dunia ini tidak ada gadis bernama Maya bagi suhengnya. Sekarang lain lagi! Di sampingnya terdapat Maya, seorang dara yang ia tahu amat cantik jelita dan berilmu tinggi, seorang dara yang amat disayang oleh suhengnya.
"Suheng, kami berdua kini adalah gadis-gadis yang telah dewasa, bukan kanak-kanak lagi.
Karena itu, aku pun maklum akan kesulitan yang Suheng hadapi. Semenjak kecil kita bertiga berada di sini, senasib sependeritaan, maka beratlah bagi Suheng kalau di antara kita sampai terpecah. Maka, aku mempunyai usul, kalau saja Suheng dan Sumoi dapat menerimanya untuk mengatasi kesulitan ini."
Dengan penuh harapan Han Ki mengangkat muka memandang wajah Maya yang amat cantik itu. Kecantikan Maya inilah yang benar-benar membingungkan hati Han Ki. Dia memang amat mencinta Siauw Bwee, akan tetapi Maya.... jantungnya selalu berdebar kalau ia memandang wajah sumoinya yang memiliki kecantikan yang luar biasa dan khas itu!
"Apakah usulmu itu, Sumoi?" tanyanya penuh harapan karena tentu saja dia ingin sekali dapat keluar dari kesulitan yang membingungkan hatinya itu.
"Karena Suheng tidak dapat berpisah dari kami berdua, dan menyayang kami berdua, tidak Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 535
mau menyiksa hati kami berdua, jalan satu-satunya bagi Suheng hanyalah menjadikan kami berdua sebagai isteri Suheng."
Pucat seketika wajah Kam Han Ki mendengar usul yang sama sekali tak pernah disangkanya itu. Juga Siauw Bwee memandang wajah sucinya dengan mata terbelalak, akan tetapi ketika Maya juga memandangnya dan kedua orang wanita itu bertemu pandang, seolah-olah ada permufakatan tanpa kata di antara kedua orang dara itu. Pada detik itu Siauw Bwee dapat menyelami hati sucinya dan melihat ketidakmungkinan apabila Suheng mereka diharuskan memilih seorang di antara mereka. Memang hanya itulah jalan satu-satunya yang akan dapat membebaskan mereka dari ancaman kesulitan dan perpecahan.
"Aku tidak melihat jalan lain dan mengingat bahwa kita bertiga senasib sependeritaan sejak kecil aku setuju dengan usul Suci." Akhirnya Siauw Bwee berkata dengan saura lirih.
"Tidak! Tidak mungkin itu....! Kalian kira aku ini orang apa" Sudah begitu rendahkah batinku sehingga mempergunakan keadaan untuk menang sendiri" Tidak, andaikata kalian rela sekalipun, aku akan mengutuk diri sendiri, Suhu akan mengutuk aku!" Han Ki yang menjadi bingung itu menutupi muka dengan kedua tangannya.
Siauw Bwee dan Maya saling pandang, kemudian terdengar suara Siauw Bwee berkata, suaranya tegas dan dingin,
"Suheng, kiranya bukan demikianlah sikap seorang jantan! Apalagi seorang pemuda seperti Suheng, murid langsung Suhu Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Seorang laki-laki harus dapat mengambil keputusan. Suheng, katakanlah sejujurnya, siapakah di antara kami berdua yang Suheng beratkan" Sungguh, aku tidak akan menyalahkanmu andaikata engkau memilih Maya-suci. Katakanlah bahwa engkau hanya mencinta Maya-suci dan memutuskan untuk mengambilnya sebagai isteri, dan aku akan pergi dari sini, tidak akan mengganggu kebahagiaan kalian."
Han Ki menurunkan kedua tangannya dan memandang Siauw Bwee, sinar matanya penuh
duka, akan tetapi dia segera menundukkan mukanya lagi, tidak dapat menjawab. Suasana menjadi hening, kemudian terdengar suara Maya, juga amat dingin dan tegas.
"Suheng, tidak kunyana bahwa engkau, pria satu-satunya di dunia ini yang kukagumi, yang kuanggap paling sakti, paling kuat, dan paling jantan, ternyata amat lemah. Mengaku terus terang akan cintamu, engkau tidak berani karena takut melukai hati seorang di antara kami.
Kalau engkau mencinta kami berdua, engkau tidak berani menikah dengan kami berdua karena takut kalau dipandang sebagai laki-laki mata keranjang oleh dunia. Kalau begitu, mengapa pula engkau membujuk dan memaksa kami berdua ke sini" Mengapa tidak
kaubiarkan saja kami mengembara dan menjauhkan diri darimu yang menyiksa hati kami dengan keraguan" Suheng, perlu apa engkau menghibur kami dengan melatih ilmu-ilmu tinggi" Kami bukan anak-anak kecil lagi, bukan itu yang kami butuhkan."
"Maya-suci benar! Suheng, kalau begitu, biarkan kami pergi lagi meninggalkan tempat ini, meninggalkan Suheng dan tidak perlu Suheng mencari kami lagi!" kata Siauw Bwee. Dua orang dara itu sudah meloncat berdiri siap untuk pergi meninggalkan Pulau Es.
"Nanti dulu....!" Han Ki juga meloncat berdiri, mukanya pucat dan matanya sayu. "Maya!
Siauw Bwee! Berilah waktu padaku. Kalian tidak tahu betapa berat dan sukar bagiku untuk mengambil keputusan dalam hal ini. Sudah kukatakan bahwa, aku mencinta kalian berdua, mencinta sebagai adik-adik seperguruan, sebagai adik-adik kandung sendiri malah! Tiada kebahagiaan bagiku di dunia ini kecuali berdampingan selamanya dengan kalian. Akan tetapi memilih seorang di antara kalian" Benar-benar amat berat dan sukar bagiku. Aku perlu waktu untuk itu. Sekarang begini saja. Biarkan aku sendiri di dalam istana, membuat arca kita bertiga. Sambil membuat arca aku akan memilih, mungkin sekali akan dapat mengambil keputusan setelah jauh dari kalian berdua. Sementara itu, kalian berdua lanjutkan berlatih Swat-im Sin-kang di sini. Kurang lebih tiga bulan lagi, latihan kalian selesai dan pembuatan arca kita bertiga pun akan selesai. Nah, kita bertemu kembali di sini dan aku akan menentukan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 536
pilihanku."
Mendengar ini berdebar jantung di dalam dada Maya dan Siauw Bwee. Setelah pemuda itu menyatakan hendak mengambil keputusan, menjatuhkan pilihannya, biarpun hal itu baru akan dilakukan tiga bulan lagi, hati mereka sudah menjadi tegang sekali, tegang dan khawatir, takut kalau-kalau tidak terpilih!
"Kalau tiga bulan lagi engkau belum dapat mengambil keputusan?" Maya bertanya.
"Kalau demikian, terserah apa yang akan kalian lakukan," jawab Han Ki ragu-ragu karena dia sendiri pun sangsi apakah kelak dia akan dapat mengambil keputusan yang amat sukar dan berat itu.
Kembali Maya dan Siauw Bwee saling pandang dan dua orang dara itu telah mengambil keputusan untuk menyetujui permintaan ini. Permintaan terakhir yang akan mengakhiri pula penderitaan batin dan siksaan hati mereka. Biarpun harus menanti dalam tiga bulan, akan tetapi karena dalam tiga bulan itu mereka dapat melatih diri dengan Swat-im Sin-kang, tidak akan terasa terlalu lama.
"Baiklah, aku setuju, Suheng," kata Maya.
"Aku pun setuju," kata pula Siauw Bwee.
Han Ki menarik napas lega melihat dua orang sumoinya telah duduk kembali di atas salju.
"Kuharap saja tiga bulan kemudian aku takkan mengecewakan hati kalian. Marilah kuberi petunjuk tentang latihan Swat-im Sin-kang sebelum kutinggalkan kalian untuk mulai memahat arca kita."
Dengan penuh perhatian dua orang dara itu mendengarkan dan melihat petunjuk yang diberikan Han Ki, kemudian di bawah bimbingan suheng mereka itu, mereka mulai dengan latihan sin-kang yang mujijat itu. Karena merupakan ilmu baru, berbeda dengan latihan sinkang mereka di waktu dahulu, mereka berdua menderita sekali, apalagi setelah tiba di tengah malam yang amat dingin. Namun, berkat kekuatan tubuh mereka, yang telah memiliki tenaga sakti, terutama sekali Siauw Bwee yang telah memiliki Jit-goat-sin-kang, mereka dapat mengatasi penderitaan itu dan pada keesokan harinya, Han Ki meninggalkan kedua orang sumoinya yang ia percaya akan mampu berlatih tanpa petunjuk dan bimbingannya lagi.
Tiga orang penghuni Istana Pulau Es itu melewatkan waktu dengan amat tekun. Maya dan Siauw Bwee tekun berlatih sin-kang dan karena latihan ini membutuhkan pencurahan seluruh perhatian, mereka dapat melupakan urusan mereka dengan Han Ki. Adapun Kam Han Ki yang bekerja dengan tekun di dalam Istana Pulau Es, merasa tersiksa sekali batinnya. Dia bekerja tekun, memahat dan mengukir arca dari batu pualam. Dia berusaha untuk memilih sambil mengerjakan arca, namun makin dipilih, makin sulit baginya. Ketika dia mengerjakan arca Siauw Bwee, membayangkan sumoinya ini, cintanya makin mendalam dan dia maklum bahwa sesungguhnya kepada Siauw Bweelah cinta kasih hatinya dicurahkan. Dia mencinta Siauw Bwee!
Akan tetapi, ketika ia mengerjakan arca Maya, dia membayangkan sumoinya ini dan
jantungnya berdebar penuh gairah. Selalu bangkit gairah dan birahinya setiap kali dia teringat kepada sumoinya ini, apalagi ketika membuat arcanya, seolah-olah dia selalu meraba wajah dan tubuh sumoinya. Maklumlah dia bahwa berahinya condong kepada Maya yang memiliki kecantikan luar biasa, kecantikan yang membuat seleranya selalu tergugah.
Akhirnya, ketika dia membuat arcanya sendiri, seolah-olah dia menjenguk dan mengenal dirinya sendiri lebih mendalam, tahulah dia bahwa tak mungkin dia memilih seorang di antara mereka! Kalau dia memilih Maya, hidupnya takkan bahagia karena dia mencinta Siauw Bwee, sungguhpun Maya akan merupakan isteri yang selalu menyenangkan hatinya. Kalau dia memilih Siauw Bwee yang dicintanya, dia akan selalu merasa rindu dan takkan dapat melupakan wajah Maya yang cantik jelita! Kalau dia memilih keduanya seperti yang diusulkan Maya dan disetujui Siauw Bwee, dia yakin tentu akan selalu timbul persaingan dan cemburu di antara kedua orang sumoinya itu yang memiliki watak jauh berbeda. Baru dalam Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 537
rasa sayang sebagai adik-adik seperguruan saja, semenjak dahulu mereka telah bersaing.
Apalagi membagi cinta kasihnya sebagai suami. Tentu dia akan menjadi perebutan dan akan menciptakan neraka dalam kehidupan mereka bertiga!
Sambil menyelesaikan tiga buah arca yang kini telah jadi dan ternyata benar lebih indah daripada tiga buah arca yang dibuatnya dahulu dan yang dihancurkannya, selama beberapa malam Han Ki tidak tidur, tak dapat beristirahat karena hati dan pikirannya penuh dengan persoalan itu. Hari terakhir dari waktu tiga bulan yang diberikan kepada dua orang sumoinya hampir tiba dan dia masih belum mengambil keputusan dalam pemilihan itu! Bagaimana dia akan dapat menghadapi kedua orang sumoinya dan bagaimana dia akan mengambil
keputusan"
Tiga bulan lewat sudah. Maya dan Siauw Bwee berhasil melatih Swat-im Sin-kang sampai tingkat terakhir. Musim dingin telah berlalu, bukit-bukit es yang memenuhi laut di sekeliling Pulau Es sudah banyak berkurang. Salju yang menutupi Pulau Es sudah banyak mencair. Dua orang dara itu menuju ke pantai dan mencoba Swat-im Sin-kang mereka dengan memukulkan kedua telapak tangan mereka ke arah air. Ternyata hawa pukulan mereka yang mengandung Swat-im Sin-kang dahsyat itu telah membuat air membeku dan menjadi bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau dan gajah!
Akan tetapi, kemajuan hebat dalam ilmu kepandaian mereka ini tidak membuat Maya dan Siauw Bwee gembira. Sebaliknya, mereka makin gelisah karena waktu yang ditentukan telah tiba, seolah-olah sudah mendekatlah keputusan hukuman bagi mereka! Makin gelisah lagi ketika mereka menanti sampai lewat tiga hari, belum juga suheng mereka muncul!
"Eh, Sumoi. Mengapa Suheng belum juga keluar?" Maya berkata ketika mereka berjalan kembali ke depan Istana Pulau Es.
"Mungkin arcanya belum selesai, Suci," kata Siauw Bwee yang selalu ingin membela Han Ki.
"Selesai atau belum, semestinya dia keluar untuk memenuhi janjinya. Dia tentu sudah tahu bahwa tiga bulan telah lewat, dan tahu pula betapa menyiksanya menanti seperti ini."
Siauw Bwee menghela napas. Sebenarnya dia pun merasa gelisah sekali, akan tetapi dia tidak mau menyatakan di depan sucinya karena dia hendak melindungi Han Ki.
"Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Suheng terlambat, Suci. Biasanya Suheng tidak pernah melanggar janji. Harap Suci suka bersabar satu dua hari lagi, tentu Suheng akan keluar menemui kita."
"Tidak! Kita sudah menunggu tiga hari. Itu sudah cukup. Aku akan menyusulnya ke dalam!"
Setelah berkata demikian, Maya lalu melangkah memasuki Istana Pulau Es untuk mencari Han Ki di dalan ruangan tempat mereka menyimpan arca dahulu, yaitu di ruangan bawah.
Melihat ini, tentu saja Siauw Bwee tidak mau tinggal sendiri dan dia pun cepat melangkah maju dan bersama sucinya memasuki istana.
Sunyi sekali di dalam istana itu. Dengan jantung berdebar, kedua orang dara itu memasuki ruangan bawah yang pintunya tertutup. Maya mendorong daun pintu, bersama Siauw Bwee memasuki ruangan itu. Tiga buah arca batu pualam putih berdiri berjajar di situ, amat indah dan hidupnya menggambarkan mereka bertiga! Kam Han Ki berdiri di tengah-tengah, Siauw Bwee di sebelah kanan dan Maya di sebelah kiri. Dua orang dara itu terpesona, sejenak malah lupa kepada Han Ki, memandang tiga buah arca itu dengan mata terbelalak kagum. Benar-benar suheng mereka tidak membohong, tiga buah arca itu indah sekali, jauh lebih indah daripada yang dibuatnya dahulu. Apalagi arca-arca itu menggambarkan keadaan mereka sekarang, berbeda dengan yang dahulu, yang menggambarkan mereka yang masih remaja.
Tiga buah arca itu, ini menggambarkan seorang pria tampan dan gagah namun berwajah sayu, dan dua orang dara yang sudah dewasa, bagaikan dua kuntum bunga yang mengharapkan datangnya lebah, memanggil lebah dengan keharuman mereka. Akan, tetapi, ke mana
perginya Han Ki"
"Suheng, di mana engkau?" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru memanggil ketika dia tidak dapat Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 538
menemukan suhengnya di dalam ruangan itu.
"Hemm, dia malah meninggalkan kita. Dia sudah pergi, Sumoi. Lihat!" Maya berkata, menuding ke bawah. Siauw Bwee menghampiri dan bersama sucinya membaca tulisan yang dicorat-coret di atas lantai.
"Maya-sumoi dan Khu-sumoi, aku masih belum dapat mengambil keputusan. Masih mencari-cari. Maafkan aku terlambat beberapa hari."
"Hemm, Suheng benar-benar mempermainkan kita!" Maya berkata marah, kakinya menginjak-injak ukiran huruf-huruf di lantai sehingga lantai kembali rata dan huruf-huruf itu lenyap.
Melihat ini, Siauw Bwee merasa tidak senang. "Suci, engkau terlalu. Karena sayangnya kepada kita maka Suheng merasa tersiksa dan sukar mengambil keputusan. Sepatutnya dia dikasihani, mengapa Suci malah marah-marah kepadanya" Lihat betapa indahnya dia
membuat arca kita, tanda bahwa Suheng benar-benar mencinta kita dengan sepenuh hatinya.
Kalau Suci juga mencintanya seperti aku mencintanya, tentu Suci tidak akan marah, sebaliknya menaruh kasihan kepadanya."
Maya merasa betapa tepatnya ucapan sumoinya dan hal ini menimbulkan rasa cemburu dan marah besar. Ucapan sumoinya itu membayangkan rasa cinta kasih yang mendalam dari sumoinya kepada Han Ki, dan tampaknya membuat cinta kasihnya sendiri hilang artinya!
Dengan perlahan dia membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Bwee, memandang tajam
dan berubahlah sinar matanya sekarang. Kebencian yang disebabkan rasa cemburu dan iri hati datang lagi setelah Han Ki tidak ada di situ.
"Sumoi, ucapanmu itu seolah-olah engkau hendak menyatakan bahwa Suheng adalah milikmu sendiri! Seolah-olah aku marah dan tidak mencintanya, dan hanya engkau yang mencinta!
Sumoi, marilah kita hadapi persoalan ini dengan jujur dan bersikap sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kita bukanlah wanita-wanita lemah yang memperebutkan pria yang dicintanya dengan linangan air mata! Kita adalah wanita-wanita perkasa yang sudah biasa menyelesaikan segala persoalan dengan ujung pedang! Mengapa sekarang kita bersikap lemah" Sudah jelas bahwa Suheng menjadi lemah sekali menghadapi persoalan ini, dia malah tidak berani menghadapinya dan secara pengecut menjauhkan diri dari persoalan,
meninggalkan kita berdua di sini!"
"Cukup! Jangan memaki Suheng! Dia bukan pengecut. Habis, engkau mau apa?" Siauw Bwee timbul kemarahannya mendengar kekasihnya disebut pengecut.
"Bagus, sikapmu makin menjadi-jadi, seolah-olah engkau hendak memonopoli Suheng!
Andaikata kita berdua menjadi isterinya, tentu engkau pun akan bersikap seperti ini, hendak menguasai dia sendiri menjadikan aku saingan yang tidak ada artinya. Jalan satu-satunya hanyalah bahwa seorang di antara kita harus lenyap!"
Siauw Bwee membelalakkan mata dan mengerutkan alisnya. "Maksudmu....?" tanyanya untuk mendapat ketegasan.
"Kita selesaikan persoalan ini di ujung pedang! Tentu saja kalau engkau berani, karena sebagai sucimu tentu tingkatku lebih tinggi darimu. Kalau engkau tidak berani melawanku, engkau harus pergi dari sini dan jangan muncul lagi di sini karena berarti bahwa engkau takut dan sudah kalah dalam memperebutkan Kam-suheng!"
"Suci! Aku sama sekali tidak takut padamu, akan tetapi.... kita adalah saudara seperguruan, mana mungkin bertanding saling bunuh" Pula, memperebutkan cinta dengan taruhan nyawa antara saudara adalah perebutan hina...."
"Cerewet! Kalau takut, perlu apa banyak alasan" Siauw Bwee, ingat, aku adalah seorang peperangan, seorang bekas panglima perang. Tidak ada persoalan lain bagiku kecuali berjuang untuk memperebutkan kemenangan. Yang ada bagiku hanyalah kalah dan menang.
Hidup adalah perjuangan, yang menang berhak mendapatkan, yang kalah harus tahu diri dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 539
pergi. Kalau tidak kita putuskan sekarang sewaktu Suheng tidak berada di sini, urusan di antara kita tidak akan ada beresnya!"
Siauw Bwee marah sekali. "Aku tidak sudi! Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu yang gila! Aku akan menanti datangnya Suheng." Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Siauw Bwee berkelebat keluar dan lari dari situ.
Maya melotot memandang arca Han Ki, kemudian berbisik, "Engkaulah yang mendatangkan ini semua dan engkau akan melihat seorang di antara kami bergelimpang tanpa nyawa!"
Kemudian dia membalikkan tubuh, meloncat dan lari mengejar Siauw Bwee.
Dengan hati marah yang ditahan-tahannya, Siauw Bwee lari ke arah pantai yang merupakan tebing curam di Pulau Es. Dia sengaja mendaki pantai yang tinggi ini karena dia hendak melihat dari tempat tinggi ini untuk mencari suhengnya. Mungkin suhengnya yang ia tahu sedang bingung itu naik perahu dan menjauhkan diri dari pulau untuk mencari "ilham"
menghadapi persoalan yang ruwet itu. Hatinya marah sekali kepada Maya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi sucinya itu. Kalau dahulu saja, sebelum meninggalkan pulau, tingkat kepandaiannya belum tentu kalah oleh Maya, apalagi sekarang, setelah dia mendapatkan banyak tambahan ilmu silat yang aneh-aneh. Dia telah mempelajari Ilmu Kaki Tangan Kilat dari kaum lengan buntung dan kaki buntung mempelajari pula Jit-goat-sin-kang. Dalam Ilmu Swat-im Sin-kang pun kekuatan mereka seimbang. Dia sama sekali tidak takut, akan tetapi dia tidak mau melayani kehendak sucinya yang gila itu. Kalau mereka bertanding mati-matian, tentu akan menimbulkan malapetaka hebat. Andaikata dia kalah dan tewas, baginya sudah tidak ada urusan lagi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dia menang dan sucinya terluka atau tewas, bagaimana dia akan dapat memandang wajah suhengnya" Kalau menurutkan hati marah, tentu saja ingin dia melayani dan melawan sucinya yang juga menjadi saingannya itu.
Akan tetapi, cinta kasihnya terhadap suhengnya terlalu besar dan tidak ingin menyakiti hati Kam Han Ki dengan melukai, apalagi membunuh Maya.
Setelah tiba di tepi pantai yang merupakan tebing tinggi dan amat curam itu, Siauw Bwee memandang ke sekeliling pulau penuh harapan. Namun dia kecewa karena keadaan di
sekeliling pulau sunyi, sama sekali tidak tampak adanya perahu seperti yang diharapkannya.
Ia lalu mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, memanggil suhengnya,
"Kam-suheng....!"
Suaranya bergema sampai ke sekeliling pulau. Beberapa kali dia mengulang teriakannya yang melengking nyaring, menghadap ke berbagai penjuru. Namun, tidak ada terdengar jawaban, kecuali gema suaranya sendiri.
"Suheng....!"
"Khu Siauw Bwee, bersiaplah engkau!"
Siauw Bwee terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya Maya telah berdiri di hadapannya, dengan pedang terhunus! Wajah Maya kelihatan bengis dan penuh kebencian.
"Suci, mau apa engkau?"
"Cabut pedangmu dan mari kita selesaikan urusan antara kita, sekarang juga!"
"Aku tidak sudi!" jawab Siauw Bwee, menekan kemarahan hatinya.
"Kalau tidak mau, minggat engkau dari sini!"
"Aku pun tidak sudi pergi!" jawab pula Siauw Bwee.
"Hemmm, hanya ada pilihan bagimu. Pergi dari sini atau cabut pedangmu menandingiku."
"Kalau keduanya aku tidak sudi....?"
"Akan kubunuh engkau di sini, sekarang juga!" Maya mengelebatkan pedangnya.
"Suci, engkau telah gila! Engkau gila karena cemburu dan iri hati!"
"Tidak, aku hanya mengambil jalan yang tepat dan singkat untuk menghabiskan persoalan yang berlarut-larut. Suheng tidak dapat mengambil keputusan, engkau pun ragu-ragu dan lemah, maka akulah yang mengambil keputusan. Hayo, cabut pedangmu, kalau tidak, aku Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 540
akan menyerangmu!"
"Hemmm, Maya-suci, agaknya engkau sudah merasa yakin benar akan dapat menang dariku!
Aku tidak takut melawanmu, Suci. Akan tetapi aku tidak mau, karena melawanmu berarti akan membuat Suheng makin berduka. Aku terlalu cinta kepadanya maka aku rela berkorban perasaan menghadapi penghinaanmu ini...."
"Cukup! Lihat senjata!" Maya menjadi makin marah ketika Siauw Bwee bicara tentang cintanya yang mendalam. Pedang di tangan Maya berubah menjadi sinar terang ketika menusuk ke arah dada Siauw Bwee. Dara ini tidak bergerak, tidak mengelak, tidak menangkis hanya memandang dengan mata terbuka lebar, sedikit pun tidak gentar. Pedang yang meluncur cepat itu tiba-tiba terhenti, tepat di depan dada Siauw Bwee, ujungnya sudah menyentuh baju dan tergetar. Maju beberapa senti meter lagi saja tentu ujung pedang akan menembus dada itu!
"Keparat! Aku bukan seorang pengecut yang suka membunuh orang yang tidak melawan!"
Maya berseru marah sekali. "Khu Siauw Bwee, engkau adalah seorang pengecut hina kalau tidak berani melawanku, melainkan memancingku agar membunuhmu tanpa melawan
sehingga kelak Suheng akan menyalahkan aku. Benar-benarkah engkau seorang pengecut hina?"
Siauw Bwee juga seorang gadis yang berhati keras. Kalau saja dia tidak ingat kepada Han Ki dan tidak ingin menyakiti hati orang yang dicintanya itu, tentu sudah tadi-tadi dia mencabut senjata dan melawan sucinya yang gila oleh cemburu dan iri hati ini. Akan tetapi, sekarang mendengar dia disebut pengecut hina, dia tidak dapat menahan lagi kemarahannya.
"Singgg....!" Pedangnya telah tercabut.
"Bagus, mari kita selesaikan!" Maya berseru girang dan menerjang maju dengan pedangnya.
"Trang-cring-cringgg....!" Bunga api berpijar ketika dua batang pedang itu bertemu bertubi-tubi.
Pertandingan itu hebat bukan main. Mereka sama kuat, sama cekatan, dan ilmu pedang mereka pun dari satu sumber. Lenyaplah bayangan tubuh kedua orang dara perkasa itu, terbungkus sinar pedang mereka yang bergulung-gulung seperti dua ekor naga sakti bermain di angkasa raya.
Pertandingan itu mati-matian, terutama sekali dari pihak Maya yang benar-benar ingin memenangkan pertandingan itu. Sebagai seorang yang biasa mempergunakan siasat perang yang keras dara ini sudah mengambil keputusan untyk membunuh sumoinya dalam
pertandingan ini. Bukan sekali-kali karena bencinya terhadap sumoinya, melainkan dia tidak dapat melihat jalan lain. Dia harus menang dan kalau kelak Han Ki datang, pemuda itu tentu tidak dapat menyalahkan dia yang menang dalam pertandingan yang terbuka dan adil. Kalau Siauw Bwee tewas, dia mendapat banyak kesempatan untuk menghibur Han Ki, dan tentu cinta kasih pemuda yang terpecah itu akan dicurahkan seluruhnya kepadanya.
Akan tetapi, betapa kaget hati Maya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gerakan Siauw Bwee jauh lebih hebat dari dahulu! Gerakan kaki dan tangan sumoinya itu amat cepat dan aneh membuat di
Harpa Iblis Jari Sakti 19 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bara Naga 11
^