Istana Pulau Es 3

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


mu Maya?" "Benar!" jawab Maya kesal.
Orang-orang itu sudah berlarian lagi mengitarinya sambil berteriak-teriak, "Kejar! Tangkap!"
Maya merasa mendongkol sekali dan kembali ia mengangkat tangan menyuruh mereka
berhenti. "Dengar. Aku mempu-nyai permainan yang lebih bagus dari ini.243"
Orang-orang itu memandangnya, ada yang melongo bodoh ada yang kecewa karena
permainan dihentikan. Akan tetapi, nenek yang agaknya menjadi pemim-pin mereka dan yang agaknya lebih "cer-dik" daripada mereka atau lebih tepat tidak begitu goblok, berkata,
"Permainan apa"
"Yang jenderal berada di tengah dan...."
"Apa jenderal?" semua bertanya, ter-masuk nenek-nenek berkalung.
"Jenderal.... ya jenderal! Goblok kamu!" Maya membentak dan orang-orang itu menyeringai, tertawa-tawa dan agaknya bangga dan senang dikatakan goblok! Melihat ini Maya menjadi kasihan sendiri dan melanjutkan, "Yang jadi jenderal mengeluarkan perintah yang harus cepat-cepat kalian turut. Siapa yang paling lambat menurut perintah, dialah yang harus menggantikan aku jadi jenderal. Kalau aku bilang tertawa kalian harus cepat tertawa, kalau bilang menangis kalian cepat menangis. Mengerti?"
Ada di antara mereka yang belum mengerti, sehingga ramailah mereka sa-ling bertanya-tanya.
Akhirnya mereka tertawa-tawa dan bersorak tanda bahwa mereka telah mengerti dan suka akan permainan baru itu. Melihat ini, lega hati Maya dan dia pun ikut pula merasa gembira, lupa akan kemengkalan dan kemuakan karena orang-orang itu bau-nya.... ledis dan apek sekali, tanda tak -pernah mengenal air rupanya!
"Nah, bersiaplah!" kata Maya sambil bertolak pinggang. Tiba-tiba ia memben-tak.
"Berjongkok....!"
Semua orang terperanjat, ada yang tertawa ada yang menangis, karena mengira bahwa Maya akan memerintah-kan itu. Kemudian berturut-turut mereka menjatuhkan diri berjongkok sampai ada yang terjengkang dan terbukalah penutup tubuh mereka. Maya tertawa terpingkal-pingkal dan dalam keadaan kacau-balau itu sukar dilihat siapa yang paling ter-lambat melakukan perintah. Mereka juga tertawa-tawa gembira sekali.
"Wah, tidak beres!" kata Maya. "Ka-lian jangan tergesa-gesa, harus mende-ngarkan perintahku baik-baik, baru ber-lumba menanti perintah. Yang paling lambat menjadi jenderal.
Mengerti?" Mereka semua mengangguk sambil ter-kekeh-kekeh.
"Awas, ya sekarang?" Maya bertolak plnggang lagi, kemudian tiba-tiba ia membentak, sengaja menghentikan perin-tahnya atau menahannya di tengah-te-ngah.
"Ber...."
Baru saja bilang "ber...." semua orang sudah terpelanting karena berlumba untuk berjongkok.
"....lari....!" Maya melanjutkan perin-tahnya. Tentu saja orang-orang yang, tadinya berlomba jongkok itu kini menjadi kacau-balau, meloncat dan lari saling bertubrukan sambil tertawa-tawa, Maya sendiri terpingkal-pingkal menyaksikan solah-tingkah mereka itu.
Maya mengajarkan bermacam permainan kanak-kanak kepada mereka sehingga orang-orang itu menjadi amat girang dan menganggap Maya sebagai anggauta ke-luarga mereka sendiri.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 52
Mereka bermain--main di tempat itu sampai malam tiba, kemudian mereka itu mengajak Maya untuk pulang.
"Pulang" Pulang ke mana?" Maya bertanya.
Wanita tua berkalung menggandeng tangannya, "Mari, ikutlah. Kita pulang dan makan!"
Setelah berkata demikian, nenek ini lalu menggerakkan kedua kaki-nya berlari, diikuti oleh semua anak buahnya. Maya hampir menjerit saking kagetnya ketika tubuhnya seperti dibawa terbang saja. Luar biasa sekali cepatnya lari mereka itu. Mereka membawanya ke lereng sebuah bukit yang berbatu-batu, kemudian mereka memasuki guha yang amat dalam,
merupakan terowongan batu. Kiranya di sebelah dalam amat luas dan orang-orang aneh ini tinggal di dalam perut gunung!
Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan pemimpinnya adalah nenek itulah. Sederhana sekali kehidupan me-reka, namun mereka itu setiap saat selalu bergembira dan bermain-main.
Ketika tiba di depan guha, serombongan anjing srigala menyambut dengan liar dan
menggonggong berisik. Tadinya Maya sudah siap-siap untuk menjaga diri ka-rena
gerombolan binatang itu bukanlah anjing-anjing jinak, melainkan srigala--srigala yang liar dan buas. Akan tetapi, sekali saja nenek itu mengeluar-kan suara menggereng dan menyalak seperti anjing, gerombolan srigala itu mendekam ketakutan, kemudian seorang anak-anak berusia sepuluh tahun menggiring mereka dengan cambuk ranting pohon. Gerombolan srigala itu pergi de-ngan patuhnya, seperti sekumpulan anjing yang terlatih baik!
Di dalam ruangan yang luas di perut gunung itu. Maya diajak makan minum oleh mereka.
Yang mereka makan adalah buah-buahan dan daging dipanggang be-gitu saja, entah daging apa, akan tetapi rasanya enak. Minumnya air biasa. Kare-na perutnya amat lapar dan tubuhnya lelah, Maya makan dengan lahap dan nikmatnya sehingga perutnya menjadi penuh dan dia tertidur di tempat makan itu.
Demikianlah, puteri Raja Khitan yang biasanya hidup penuh kemuliaan dan ke-mewahan itu kini diterima menjadi ang-gauta keluarga atau teman segerombolan manusia liar yang belum mengenal per-adaban! Mereka merupakan sekumpulan anak-anak yang sudah tua, karena hanya tubuhnya saja yang sudah dewasa dan tua, namun watak dan jalan pikiran me-reka masih seperti kanak-kanak di bawah sepuluh tahun! Maya terpaksa tinggal bersama mereka karena di tempat itulah yang ia anggap paling aman, karena dia masih khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis India itu masih mencarinya,
Selama beberapa hari tinggal dan bermain-main dengan mereka, Maya memperhatikan
mereka itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu rata-rata, dari yang kecil sampai yang tua sekali, memilikl keringanan tubuh dan kecepatan gerak yang amat luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Akan tetapi, biarpun te-naga mereka kuat-kuat berkat cara hidup yang liar itu, namun mereka tidak pandai ilmu silat! Dia benar-benar merasa heran sekali dan pada suatu pagi, ketika anak-anak berloncatan mengambil buah-buah yang tergantung tinggi di pohon dengan cara meloncat dan menyambar buah-buah itu dengan tangan, ia bertanya kepada seorang anak-anak, anak perempuan yang sebaya dengannya.
"Dari mana kalian mempelajari gerak-an yang demikian ringan dan cepat?"
Mula-mula anak perempuan itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Maya, akan tetapi ketika Maya meng-ajaknya meloncat-loncat dan ternyata loncatan Maya jauh kalah tinggi, anak perempuan itu kelihatan takut-takut. Maya mendesak dan anak itu menoleh ke kanan kiri, kemudian menggandeng ta-ngan Maya dan ditariknya Maya lari pergi dari dalam perut gunung.
"Eh-eh, perlahan dulu.... wah, bisa jatuh aku....!" Maya terengah-engah ka-rena temannya itu berlari cepat sekali melalui terowongan yang amat curam, tebing yang berada di punggung guha itu dan yang agaknya tidak bisa didatangi manusia kecuali dari jalan terowongan dalam tubuh gunung itu.
"Makan itu!" Anak itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah seba-tang pohon Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 53
yang tumbuh di lereng tebing yang curam tadi. Setelah berkata demikian, anak itu lari meninggalkan Maya sambil berkata, "Aku takut! Takut!" dan sebentar saja dia sudah lenyap, lari pergi melalui terowongan tadi, agaknya hendak kembali.
Jantung Maya berdebar tegang. Takut apakah" Apa ada bahaya di situ" Ia memandang dan ternyata sunyi saja di situ, sunyi yang aneh sekali karena agaknya tidak terdapat mahluk hidup di tebing itu. Bahkan tidak tampak burung terbang seekor pun. Tempat apakah ini"Ia memandang ke arah pohon yang ditunjuk oleh anak tadi. Pohon apakah itu" Daunnya lebat hijau kebiruan, ba-tangnya tinggi sekali seperti pohon rak-sasa. Disuruh makan itu" Apa maksudnya anak tadi" Apanya yang dimakan" Ma-ya termenung dan memutar otaknya,
berusaha menyelami kata-kata dan pikir-an anak yang ia tahu amat sederhana jalan pikirannya itu. Tadi ia bertanya tentang gin-kang mereka, kemudian anak itu kelihatan takut-takut, menoleh ke sana-sini. Hal ini tentu berarti bahwa anak itu takut untuk bicara tentang gin-kang mereka, atau mungkin sekali bahwa kepandaian mereka yang khas itu meru-pakan rahasia mereka, agaknya mereka mengerti bahwa keringanan tubuh dan kecepatan gerakan mereka itu amat ber-guna dan penting bagi mereka, untuk mengejar binatang buruan, atau untuk melarikan diri dari bahaya. Kemudian anak itu mengajaknya ke tempat aneh ini yang belum pernah ia kunjungi, menunjuk ke arah pohon menyuruh dia makan itu lalu melarikan diri karena takut! Hemm, kiranya tidak salah lagi. Gerakan gin--kang mereka tidak mengandung dasar ilmu silat, melainkan keringanan tubuh sewajarnya yang timbul dalam tubuh mereka.
Tentu pohon itulah yang menjadi rahasianya. Makan apanya" Tentu buah-nya ataukah daunnya" Dan anak itu lari ketakutan karena mungkin pohon itu merupakan rahasia besar keluarganya, maka dia yang telah membawa Maya ke situ tentu saja takut kalau mendapat hukuman.
Maya mulai mempelajari keadaan tebing. Pohon itu jauh di bawah, sedikit-nya ada lima ratus kaki jauhnya dari pinggir tebing. Dia mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada sama sekali. Kalau dia hendak pergi ke pohon itu, dia harus merayap turun! Padahal tebing itu curam bukan main, dasarnya tidak tam-pak jauh di bawah pohon itu, curam dan licin, rata, hanya ada lubang-lubang di permukaan batu yang menjadi dinding tebing, mana mungkin memanjat turun" Sekali terpeleset dan terpelanting ke bawah, sama halnya jatuh dari langitl Maya bergidik ngeri. Betapa mengeri-kan! Mengerikan" Masa menghadapi yang begini saja mengerikan" Setelah semua yang pernah ia alami, dipaksa mengikuti gerombolan manusia iblis yang dipimpin Bhutan, menyaksikan perkosaan dan pem-bunuhan sambil menghadapi bahaya maut berkali-kali, setelah terkubur di bawah tumpukan mayat-mayat manusia, mandi darah mereka, setelah ia terancam maut secara mengerikan dalam tangan sepa-sang manusia iblis dari India, apa artinya menuruni tebing macam itu" Tidak sebe-rapa!
Kenangan akan segala bahaya yang pernah ia alaminya, semua kengerian yang dihadapinya, hati Maya mengeras dan ketika ia kembali memandang ke bawah tebing, dia tidak merasa ngeri lagi! Keberaniannya timbul kembali, semangatnya bangkit. Kalau benar pohon itu mendatangkan gin-kang sehebat yang dimiliki orang-orang itu, dia harus men-datanginya.
Bahaya terpeleset yang di-hadapinya akan sepadan dengan pahala yang akan diperolehnya kalau dia berha-sil! Soalnya hanya mati atau hidup! Dan mati atau hidup bukan dia yang menentukan! Asal dia berhati-hati, kalau sampai gagal dan mati pun tidak akan penasaran lagi!
Dengan hati-hati sekali mulailah Maya menuruni tebing itu. Ia merayap seperti seekor kera, sedikit demi sedikit turun ke bawah, kakinya yang meraba-raba mencari injakan, disusul tangannya yang mencari pegangan. Memang sukar dan amat berbahaya. Di sana-sini terdapat akar-akar atau batu menonjol yang dapat dipergunakan sebagai injakan kaki dan pegangan tangan, akan tetapi ia harus berhati-hati dan menguji lebih dulu ke-kuatan akar atau batu itu sebelum diper-gunakan untuk menahan tubuhnya karena sekali akar putus atau terlepas, dia akan melayang ke bawah, hancur lebur di dasar yang tak tampak dari situ saking dalamnya!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 54
Begitu hati-hati dan lambat Maya merangkak menuruni tebing itu sehingga jarak yang hanya lima ratus kaki itu ditempuhnya dalam waktu lebih dari dua jam! Akan tetapi akhirnya ia dapat sampai juga ke pohon besar dengan napas terengah-engah dan tubuh penuh keringat, kaki tangan menggigil gemetar saking lelahnya. Namun wajahnya berseri-seri ketika memandang ke atas pohon karena tampak olehnya buah-buah berbentuk bulat lonjong yang berwarna merah!
Setelah mengatur napasnya dan kaki tangannya tidak gemetaran lagi, Maya lalu memanjat pohon itu. Jantungnya berdebar ketika tangannya meraba buah--buah merah. Dipetiknya lima butir buah yang paling besar dan paling merah, lalu ia membawa buah-buah itu turun ke bawah pohon. Tanah di bawah. pohon itu terjepit batu-batu dan luasnya ada tiga empat meter sehingga tempat ini me-rupakan tempat yang paling aman. Tanpa mempedulikan lagi
akibatnya, dia lalu mulai makan sebutir buah. Bukankah anak perempuan itu mengatakan
"makan itu?" Rasa buah itu manis-manis masam dan mengandung rasa keras seperti arak.
Akan tetapi amat lezat bagi Maya yang sudah haus dan lapar itu, apalagi disertai harapan bahwa buah ini mengandung khasiat yang luar biasa untuk meningkatkan gin-kangnya.Habislah lima butir buah itu dan Ma-ya merasa kenyang sekali. Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, menekan-nekan perutnya karena perutnya terasa mulas sekali, makan lama makin hebat, melilit-lilit seperti diremas-remas. Maya merintih-rintih ketika perutnya mengeluarkan bunyi. Tak tertahan lagi rasa nyeri perutnya, cepat Maya menggunakan kedua lengannya yang gemetar untuk membukai pakaiannya. Sambil merintih-rintih dan setengah sadar, dia menguras perutnya sampai tubuhnya terasa lemas dan habis kekuatannya. Setelah isi perutnya ter-kuras keluar semua, agak reda rasa nyeri di perutnya, akan tetapi kini tulang-tu-lang di tubuhnya mulai terasa nyeri dan kuku-kuku jari, sambungan-sambungan tu-langnya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Sakitnya bukan main dan akhirnya, dalam keadaan setengah telanjang. Maya roboh pingsan di bawah pohon!
Dia tidak tahu berapa lamanya ia pingsan. Ketika sadar, ia segera mencuci tubuh dan pakaiannya yang kotor dengan air yang mengucur keluar dari celah-celah batu dekat pohon.
Tubuhnya terasa sehat akan tetapi lemas sekali, dan pe-rutnya berbunyi terus minta diisi, lapar bukan main. Setelah tubuh dan pakaian-nya tercuci bersih, Maya kembali me-manjat pohon.
Dia berlaku nekat. Kalau buah pohon itu benar-benar mempunyai khasiat dan mendatangkan keuntungan bagi dirinya, syukurlah. Kalau sebaliknya akan meracuni tubuhnya, biarlah! Apa pun akibatnya, dia harus makan buah pohon itu karena di situ tidak ada benda lain yang boleh dimakan, sedangkan pe-rutnya amat lapar, tenaganya habis se-hingga tanpa dipulihkan tenaganya, tidak mungkin ia kembali memanjat ke atas. Baru turunnya saja sudah begitu sukar, apalagi kakinya dan tubuhnya begitu lemah pula.
Kenekatan hati Maya ini ternyata amat menguntungkannya. Kalau dia jerih setelah menderita hebat akibat makan buah itu sehingga tidak berani makan lagi, tentu dia akan kehabisan tenaga di tempat itu dan tidak dapat naik lagi. Setelah kini ia makan buah itu lagi de-ngan hati-hati, hanya menghabiskan se-butir, perutnya kenyang dan tubuhnya terasa enak sekali, nyaman dan ringan, ringan! Ia mencoba berloncatan. Benar-benar ringan! Bukan main! Dia dapat meloncat dua kali leblh tinggi daripada biasa!
Bukan main girangnya hati Maya. Selama tiga malam dia berada di bawah pohon itu, setiap hari hanya makan buah merah dan minum air pancuran. Pada hari ke empat, ia mulai merasa khawa-tir. Betapapun bodoh orang-orang itu, kalau akhirnya mereka melihatnya di pohon yang mereka rahasiakan, dia bisa celaka. Dia harus naik dan kembali ke-pada mereka. Maya mengambil lima butir buah merah, mengantunginya kemudian ia mencoba untuk memanjat naik. Hampir ia berteriak saking girangnya karena sekarang pekerjaan ini dapat ia lakukan dengan amat mudahnya! Bahkan ia dapat setengah berlari memanjat naik, berpe-gang kepada lubang-lubang dan akar-akar di permukaan dinding tebing, Hal ini adalah karena beberapa hal, Pertama memang khasiat buah-buah yang dimakannya selama tiga hari itu membuat Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 55
gerakannya ringan dan gesit, dan kedua, kakinya di dalam pendakian, naik lebih mudah daripada turun. Kalau turun, selain harus melihat ke bawah yang menimbulkan rasa ngeri, juga yang mencari jalan adalah kaki, maka tentu saja amat sukar. Sebaliknya, kalau naik, mata kita mudah saja mencari pegangan batu dan kita tidak terganggu oleh pemandangan yang mengerikan di bawah.
Kini dalam waktu beberapa menit saja Maya telah tiba di atas! Ia mem-balik dan tersenyum-senyum memandang pohon yang tumbuh jauh di bawah itu. Ingin ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi begitu teringat kepada orang-orang aneh yang ,berada di dalam perut bukit, lenyap kegembiraannya, ter-ganti kekhawatiran. Bagaimana sikap mereka nanti kalau melihat dia kembali setelah menghilang selama tiga hari"
Maya memasuki terowongan dan, ber-lari cepat sekali Setelah tiba di ruangan luas dalam bukit, di situ sunyi sekali, tidak tampak seorang pun, Tentu mereka sedang bermain-main di luar, pikirnya dan karena perutnya lapar sekali, makan buah mentah terus-menerus selama tiga hari tidak dapat mengenyangkan perut-nya lagi, maka dia lalu menyerbu sisa makanan yang berada di ruangan itu. Daging panggang yang masih hangat, dan buah-buahan lain yang mengenyangkan perut. Setelah kenyang, barulah ia berlari melalui terowongan yang menuju ke luar.
Benar saja seperti dugaannya, tiga puluh lima orang itu semua berkumpul di depan guha dan bermain-main, bahkan kini rombongan srigala yang dua puluh ekor lebih jumlahnya ikut pula bermain--main di situ, "dipimpin" oleh seorang anak lakl-lakl memegang ranting pohon.
Masih heran hati Maya menyaksikan betapa binatang-binatang srigala yang buas dan yang di dunia ramai merupakan binatang paling sukar dijanjikan kini lebih jinak daripada anjing-anjing pilihan di bawah ancaman sebatang ranting di tangan se-orang kanak-kanak! 999
Akan tetapi ketika ia memandang ke arah orang-orang tua yang berkumpul di sebelah kanan, Ia terkejut bukan main, memandang terbelalak dan menahan na-pas. Di antara mereka itu ada yang se-dang menari-nari berjingkrakan seperti biasa, akan tetapi ada pula yang sibuk menyayat-nyayat daging dan memanggang daging itu. Kalau yang disayat-sayat dagingnya itu bangkai seekor, binatang buruan tentu Maya tidak akan melongo. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa yang disayat-sayat dan diambil dagingnya yang dipanggang itu adalah....
mayat ma-nusia! Dan tak jauh dari situ tampak seekor kuda yang dicancang. Celaka! Mereka agaknya membunuh manusia dan kini memanggang dagingnya! Maya ber-gidik dan perutnya terasa mual hendak muntah. Cepat ia berlari ke arah mereka dan bertanya kepada nenek pemimpin mereka.
"Apa ini" Mengapa kalian membunuh orang?"
Nenek itu memandang kepadanya, berteriak girang. "Heeiii, Maya telah kembali!" Semua orang bersorak-sorak girang dan menari-nari mengelilingi Maya, akan tetapi gadis cilik ini memban-ting kaki dan membentak.
"Kenapa kalian membunuh orang ini?" Dia menuding ke arah mayat yang sudah tak karuan macamnya karena daging pada lengan, dada, pinggul, paha dan betis telah diambil dan dipanggang!
"Dia membunuh, kami pun membu-nuh. Sama!" Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke arah bangkai seekor srigala. Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing ini, yang datang menunggang kuda, telah membunuh seekor di antara srigala-srigala peliharaan mereka, maka orang-orang aneh itu lalu mengeroyok dan membunuhnya, bahkan mulai me-manggang
dagingnya! "Wah, tidak boleh! Tidak boleh makan dagingnya....!" Tiba-tiba sebutir buah merah meloncat keluar dari kantungnya ketika ia membanting kaki. Buah itu menggelinding ke dekat kaki nenek pe-mimpin yang seketika berteriak kaget, mengambil buah itu, mengangkatnya tinggi-tinggi dan ia menjerit-jerit penuh kemarahan, jeritan yang tidak dimengerti artinya oleh Maya.
Semua orang lari berdatangan, cepat sekali dan makin ramailah mereka berte-riak-teriak, ada Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 56
yang seperti menangis sehingga Maya menjadi bingung sekali. Tiba-tiba nenek itu
mengeluarkan suara menggereng dan menggonggong yang aneh sekali. Dan segerombolan srigala itu membalas dengan gonggongan meraung-raung kemudian lari mendatangi. Nenek itu menuding ke arah Maya dan.... srigala-srigala itu langsung saja menyerang Maya!
Maya terkejut, cepat melompat meng-hindar. Orang-orang itu sejenak meman-dangnya, kemudian berserabutan mereka lari memasuki guha, meninggalkan Maya yang diserbu oleh gerombolan srigala buas. Agaknya semua orang itu berlumba memasuki guha dan sikap mereka cemas dan marah. Maya yang kembali diserbu srigala-srigala buas itu, cepat menendang seekor srigala terdepan, kemudian ia membalikkan tubuh dan lari. Sambil menyalak-nyalak, dua puluh ekor srigala mengejarnya. Maya teringat akan kuda yang berada tak jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri, meloncat ke punggung kuda, merenggut kendali yang dicancang, lalu membalapkan kuda itu. Akan tetapi, rombongan srigala itu tetap mengejar dengan kecepatan luar biasa. Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha lari cepat, akan tetapi sebentar saja dapat disusul dan diserang kedua kaki belakangnya. Kuda terpekik dan terguling. Maya cepat mendahului melon-cat dan ia bergidik ngeri ketika melihat betapa gerombolan srigala itu kini menerkam tubuh kuda seperti serombongan semut mengeroyok seekor jangkerik. Memperoleh kesempatan selagi gerom-bolan srigala itu berpesta memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi, bukan larl menjauh melainkan, kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang rumput amatlah berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.
Ia berlari cepat, akan tetapi tiba-tiba, dari samping bukit muncul serom-bongan srigala lain, dan dari belakang pun srigala-srigala yang tadi sudah me-ngejar lagi. Celaka, pikirnya.
Mengapa aku begini bodoh" Kalau tadi meloncat ke atas pohon, tentu selamat. Kini ia telah terjepit dari depan dan belakang, tidak ada pohon di situ, yang ada hanya-lah batu-batu karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia melihat celah-celah di anta-ra batu karang, yang merupakan sebuah guha kecil. Hanya itulah tempat ia dapat sembunyi, maka tanpa berpikir panjang lagi Maya lalu berlutut dan merangkak hendak memasuki guha yang amat kecil.
"Brett!" Ujung bajunya robek digigit seekor srigala dari belakang!
"Wekkk!" Celana di lutut kanan juga robek.
"Setan!!" Maya menjadi marah, mem-balikkan tubuh, menendang srigala yang menggigit celananya sehingga binatang itu terlempar, kemudian tangannya yang sudah menyambar batu itu bergerak.
"Prakk! Kainggg.... kaingggg....!" Sri-gala ke dua memekik-mekik dan berkelo-jotan dengan kepala hampir remuk. Se-gera dia diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Maya untuk menyusup-kan tubuhnya ke dalam guha kecil ke-mudian tumit kakinya menendang-nendang batu yang menonjol di atas sehingga batu akhirnya terlepas dan jatuh menutup guha kecil! Maya terus merangkak maju, makin lama makin gelap dan sempit, akan tetapi ia tidak mau berhenti. Siapa tahu srigala-srigala itu dapat membuka penutup guha dan tentu saja mereka dapat merangkak lebih cepat. Kalau sampai dia tersusul di tempat sempit ini, apa yang dapat ia lakukan" Membalikkan tubuh tidak bisa, bagaimana mungkin melawan binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki" Tentu kakinya akan habis digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang dan ia bergidik membayangkan semua itu.
Akan tetapi tidak ada srigala yang mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa srigala paling takut memasuki lubang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari luar menantang dan memancing penghuni lubang untuk keluar. Mungkin binatang ini takut kalau-kalau ada bahaya, misalnya serangan ular, yang akan menyambut mereka di dalam lubang yang gelap.
Akhirnya terowongan kecil itu mem-bawa Maya ke dalam terowongan besar yang menuju ke ruangan tempat tinggal orang-orang aneh. Akan tetapi, keadaan di situ sunyi sekali. Maya Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 57
terheran-heran dan cepat ia berdiri melalui terowongan itu ke dalam ruangan besar. Tak seorang pun nampak di situ. Ke manakah mere-ka" Tiba-tiba Maya mendapet pikiran bahwa mungkin sekali mereka itu be-ramai-ramai menuju ke pohon rahasia mereka umtuk melihat bagaimana keadaan pohon itu setelah diketemukan Maya. Karena di luar menanti bahaya berupa anjing-anjing srigala. Maya lalu mengam-bil keputusan untuk menyusul orang-orang itu. Setelah mereka melihat bahwa dia tidak mengganggu pohon, tentu mereka tidak akan marah lagi, pikirnya. Dia tidak suka kepada mereka, apalagi sete-lah melihat mereka membunuh dan ma-kan daging manusia. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain kecuali berbalik dengan mereka dan kelak men-cari kesempatan untuk meninggalkan mereka.
Maya mendengar sorak-sorai mereka, maka ia mempercepat larinya dan akhir-nya ia tiba di tebing yang curam. Tak tampak seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka datang dari bawah tebing! Ia terheran-heran dan cepat menghamplrl tebing dan memandang ke bawah.
Kira-nya tiga puluh lima orang itu semua berada di sana, di pohon itu! Dan hebat-nya, besar kecil tua muda semua me-manjat pohon dan beramai-ramai meng-ambil buah sambil
bersorak-sorak!
"Kraaaakkkk....!"
Seketika wajah Maya menjadi pucat. "Celaka!" serunya ketika melihat dari atas betapa pohon itu tumbang berikut akar-akarnya, kemudian melayang kebawah membawa tiga puluh lima orang yang masih bersorak-sorak, agaknya tidak sadar bahwa maut mengerikan menanti mereka jauh di bawah, di dasar yang tidak tampak!
Maya memandang dengan wajah pucat sampai pohon yang melayang-layang tu-run itu tidak kelihatan lagi. Ia meme-jamkan matanya, napasnya memburu. Pemandangan tadi terlampau hebat, terla-lu mengerikan. Kemudian ia termenung di pinggir tebing, dan mengenangkan semua peristiwa itu. Dia kini mengerti bahwa agaknya, setelah pohon yang mempunyai khasiat luar biasa itu dia ketahui, orang orang itu merasa khawatir kalau-kalau ia akan
"menghabiskan" buah itu! Betapa bodohnya! Karena kekhawatiran itulah agaknya maka mereka semua, tanpa ke-cuali, lalu mendatangi pohon untuk mengambil semua buahnya, baik yang merah maupun yang masih hijau, yang besar maupun yang masih pentil! Akibat-nya, karena tidak kuat menahan tubuh tiga puluh orang yang semua memanjat dan mengenjot-ngenjot dahan sambil ber-sorak-sorak, pohon itu tumbang, jebol berikut akar-akarnya yang tidak dapat mencengkeram tanah terlalu kuat ka-rena terhalang batu-batu karang! Maka habislah riwayat orang-orang aneh itu, dan habis pula riwayat pohon yang mem-punyai khasiat begitu luar biasa. Teringat ini, Maya meraba kantungnya. Ia merasa menyesal sekali bahwa dari lima butir buah yang dibawanya, kini tinggal sebutir lagi, yang empat entah lenyap di mana. Tentu terjatuh ketika dia dikejar-kejar gerombolan srigala.
*** Berpikir demikian teringatlah ia akan srigala-srigala yang masih menantinya di luar! Akan tetapi dia harus keluar! Dia tidak sudi lagi tinggal lebih lama di dalam perut bukit ini, apalagi setelah sekarang penghuninya mati semua. Dia harus pergi meninggalkan daerah yang menyeramkan itu. Sudah lama dia berada di situ, tentu sepasang iblis India itu tidak lagi mencarinya, sudah melupakan-nya. Akan tetapi bagaimana ia harus melewati gerombolan srigala yang me-nanti di luar guha"
Maya adalah seorang anak yang pada dasarnya amat cerdik dan memiliki kebe-ranian luar biasa. Apalagi semenjak ia berkali-kali menghadapi maut, keberaniannya makin menebal dan tidak mudah dia keluar dari kota raja Khitan dan meng-alami hal-hal yang amat menderita, berputus asa menghadapi rintangan apapun juga. Setelah memikir-mikir, ia menda-patkan akal. Selama ia tinggal di situ, ia teringat bahwa srigala-srigala itu paling takut berdekatan dengan api. Hemm, Inilah, pikirnya. Aku harus minta bantuan api! Mulailah dia
mengumpulkan kulit--kulit binatang yang kering, dipasang pada ujung sebuah tongkat dahan pohon, di-ikatnya kuat-kuat, kemudian ia membuat api dan membakar ujung tongkat yang Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 58
sudah dibelit-belit kulit itu sampai ber-nyala.
Dengan tongkat berapi inilah Maya lalu berlari keluar, menjaga jangan sam-pai apinya padam. Kulit binatang itu mengandung lemak kering, maka tentu saja dapat bertahan lama nyala apinya. Ketika ia tiba di pintu guha depan, su-dah terdengarlah gerengan-gerengan sri-gala. Namun Maya tidak menjadi gentar. Ia terus melangkah keluar dan begitu srigala-srigala itu lari menyerbu, ia me-mutar-mutar tongkatnya yang ujungnya bernyala. Tepat seperti yang diharapkan dan diduganya. Srigala-srigala itu me-lengking-lengking ketakutan melihat api dan dengan memutar-mutar tongkat yang baginya menjadi tongkat wasiat keramat ini, dengan enak saja Maya meninggalkan tempat itu. Rombongan srigala hanya dapat mengikutinya dari jauh sambil melolong-lolong kecewa, akhirnya mereka pun berhenti mengejar dan Maya lalu melarikan diri secepatnya menuju ke selatan setelah membuang tongkatnya karena apinya pun sudah padam. Lega hatinya dan kini ia dapat mengurahkan perhatiannya kepada kemajuan gin-kang-nya. Ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga dan berlari secepat mugkin. Tu-buhnya melesat seperti sebatang anak panah dan Maya kembali mencela kebo-dohan dirinya sendiri. Setelah ia memiliki kecepatan seperti itu, perlu apa dia me-larikan diri menunggang kuda dan perlu apa dia minta bantuan api" Kalau dia lari seperti sekarang ini, gerombolan srigala buas itu pasti takkan mampu menyusulnya!
Dengan dada lapang Maya lari, ram-butnya berkibar-kibar, wajahnya berseri, larinya cepat sekali seperti seekor kijang muda!
*** Karena di utara bangsa Yucen terdesak oleh bangsa Nomad lain, yaitu terutama sekali bangsa Mongol yang dibantu bang-sa-bangsa Naiman dan Kerait, maka suku bangsa Yucen yang makin kuat keduduk-annya itu terus mendesak ke selatan. Bangsa Yucen ini asal mulanya adalah sebuah suku bangsa yang tinggal di se-belah utara Shan-si dan pernah ditunduk-kan oleh bangsa Khitan. Akan tetapi kini bangsa Yucen menjadi kuat sekali sehing-ga setelah menangkan perang terhadap Khitan, mereka mendirikan kerajaan yang mereka sebut Kerajaan Wangsa Cin!
Dengan terjalinnya persahabatan dan persekutuan antara kerajaan baru Cin dan Kerajaan Sung yang terus terdesak makin ke selatan, maka untuk sementara bangsa Mongol yang dibantu bangsa Nai-man dan Kerait hanya memusatkan diri di utara, menguasai daerah yang luas sekali, dari Danau Baikal sampai ke tapal batas Mongolia luar, Siberia dan Mancuria!
Perang antar suku-suku kecil masih terus terjadi, bukan lagi perang antara kerajaan yang memperebutkan wilayah, melainkan antar suku-suku kecil yang memperebutkan tanah subur.
Karena itu, perjalanan yang ditempuh Puteri Maya amatlah berbahaya dan beberapa kali dia harus bersembunyi di atas pohon-pohon besar, dari mana dia menyaksikan pe-rang-perangan kecil sampai perang ber-akhir dan hutan itu penuh mayat bergelimpangan. Kalau sudah selesai perang dan keadaan sunyi barulah Maya berani turun dari pohon itu, dan adakalanya dia harus bersembunyi di dalam guha yang lembab dan dingin kotor sampai berhari--hari.
Pada suatu senja. Maya yang kini dalam perjalanannya tanpa tujuan telah tiba di daerah Pegunungan Go-bi yang penuh dengan selingan padang pasir luas, merasa bingung ketika melihat dari se-buah lereng bukit ke arah padang pasir yang membentang luas di kaki bukit.
Entah berapa luasnya padang pasir itu karena tidak tampak tepinya dan angin senja menggerak-gerakkan permukaan padang pasir sehingga berombak seperti laut! Ia merasa takut dan bingung harus mengambil jalan mana. Kalau dia harus menyeberangi padang pasir itu, dia tidak berani. Sudah banyak dongeng didengar-nya dahulu dari ayah bundanya akan bahaya padang pasir yang kadang-kadang mengamuk atau diamuk badai dan sudah banyak manusia ditelan lenyap oleh pa-dang pasir itu. Bahkan pernah ia men-dengar betapa orang-orang yang kehabis-an air dan persediaan makan yang kela-paran dan terutama sekali Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 59
kehausan, tiba-tiba melihat air melimpah-pimpah akan tetapi apabila didekati, air itu akan lenyap! Benar-benar banyak siluman ting-gal di tempat itu dan setiap saat silum-an-siluman itu mengganggu manusia!
Maka Maya tidak berani ke selatan melalui padang pasir itu, melainkan membelok ke barat melalui pegunungan yang biarpun amat sukar ditempuh, na-mun setidaknya sudah
dikenalnya. Sejak kecil ia sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, maka daerah seperti ini dikenalnya, tidak seperti pa-dang pasir, yang gundul dan mengerikan itu.
Malam itu ia bermalam di sebuah hutan di puncak bukit dan dari tempat yang tinggi ini tampaklah olehnya di kaki bukit sebelah barat terdapat sinar-sinar api yang berarti bahwa di sana tentulah terdapat tempat tinggal manusia. Maka hatinya menjadi girang dan pada keesok-an harinya, berangkatlah ia ke barat. Siapa kira, perjalanan menuruni bukit ini amat sukarnya, melalui jurang-jurang dan anak-anak bukit sehingga sampai mata-hari naik tinggi, belum juga ia sampai ke tempat yang diduganya tentu sebuah dusun yang semalam tampak penerangan-nya dari puncak bukit.Ia menjadi girang ketika melihat se-buah bangunan tak jauh didepan. Biarpun dia sudah lelah sekali dan peluhnya membasahi muka dan leher, namun me-lihat bangunan itu, Maya melupakan ke-lelahannya dan berjalan lagi menuruni le-reng.
Tentu di situlah dusun yang dilihat-nya semalam dari puncak. Akan tetapi, betapa kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kuil yang dahulunya tentu besar, akan tetapi kini sudah rusak akibat perang lalu ditinggal terlantar. Sebagian atapnya sudah runtuh, lantainya berlumut dan dindingnya menjamur. Biar-pun demikian, lumayan untuk tempat mengaso di terik panas membakar seperti itu.
Tiba-tiba Maya cepat memasuki ba-ngunan, menyelinap dan bersembunyi di bawah sebuah meja batu bobrok yang depannya tertutup oleh hancuran bekas arca. Jantungnya berdebar tegang karena hampir saja ia kurang cepat bersembunyi karena berkelebatnya bayangan yang datang itu cepat bukan main. Ternyata mereka adalah dua orang laki-laki, yang seorang berpakaian sebagai seorang perwira bangsa Yucen, adapun yang seorang lagi adalah seorang Han yang usianya dua puluh lebih, berpakaian seperti pembesar, seorang pemuda yang mempunyai sepasang mata aneh dan liar gerakannya, akan tetapi yang bicaranya halus dan mukanya berbentuk lonjong menjulur ke muka seperti muka kuda. Muka yang buruk dan tidak menyenangkan! Maya tidak berani bergerak bahkan mengatur napasnya karena ia dapat menduga bahwa kedua orang itu, terutama Si Pemuda muka kuda, tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka berbisik-bisik.
"Benarkah dia sedang mendatangi ke sini?"
"Tidak salah," jawab yang berpakaian perwira Yucen. "Seperti biasa, dia naik kuda seorang diri. Sudah dua kali aku dan kawan-kawan dahulu menyergapnya, namun dia lihai dan selalu berhasil lo-los."
"Akan tetapi yakin benarkah engkau bahwa dia itulah kurir (utusan) yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya?" Pemuda muka kuda kembali bertanya, mendesak menuntut keyakinan.
"Betul dia! Memang dia pandai me-nyamar dan selalu dapat menghubungi Panglima Khu dengan cara yang cerdik sehingga tidak pernah meninggalkan be-kas, akan tetapi aku yakin bahwa dialah orangnya."
"Stt, itu dia datang. Serahkan saja kepadaku. Akulah yang akan menangkap-nya! pemuda muka kuda berbisik. Si Perwira Yucen mengangguk dan bersem-bunyi di belakang dinding, sedangkan pemuda muka kuda dengan gerakan yang ringan seperti burung terbang, telah melesat ke atas atap yang masih ada, di atas dinding yang tidak berapa tinggi dan menjulur ke jalan depan kuil.
Biarpun Maya hanya dapat mengintai melalui lubang atau celah-celah kecil di antara reruntuhan arca, dan tidak dapat melihat jelas ke jalan, namun ia juga mendengar datangnya seekor kuda dari derap kakinya yang makin lama makin nyata. Jantung gadis cilik ini Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 60
berdebar tegang. Ia maklum bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat, sungguhpun ia sama sekali tidak tahu siapakah dua orang itu dan siapa pula pendatang yang mereka anggap sebagai utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya! Apakah artinya semua itu"Setelah derap kaki kuda dekat benar dan tiba di depan kuil, tiba-tiba terde-ngar suara kuda meringkik keras dan ter-dengar suara hiruk-pikuk beradunya senjata, suara orang bertanding Maya meng-gunakan keringanan tubuhnya, menyelinap keluar dan mencari tempat
persembunyi-an di sebelah luar, yaitu di belakang segerombolan pohon kembang dan meng-intai. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sederhana dan bersikap gagah, agaknya tentu orang berkuda itu, sedang bertanding melawan pemuda muka kuda. Laki-laki yang me-makai topi lebar itu gagah dan gerakan-nya lihai sekali, akan tetapi dengan he-ran Maya, mendapat kenyataan, bahwa Si Pemuda muka kuda itu lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi lebar terdesak dan hanya menangkis sambil mundur-mundur, memutar pedangnya yang selalu menangkis sebatang golok melengkung ditangan pemuda itu Bukankah engkau ini Siangkoan-sicu yang membantu di gedung Suma-kongcu" mengapa
engkau menyerangku?"
Namun pemuda muka kuda itu tidak menjawab dan menyerang lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi lebar itu makin terdesak. "Engkau.... engkau mengkhianati kerajaan....?"
Laki-laki bertopi lebar berseru, mencoba untuk menangkis golok yang menyambar kepalanya, akan tetapi pada saat itu, tangan kanan pemuda bermuka kuda yang bertangan ko-song karena goloknya dipegang di tangan kiri, sudah memukul dengan telapak ta-ngan ke depan.
"Blukk! Aiihhhh....!" Laki-laki bertopi lebar itu terpukul dadanya dan muntah-kan darah segar, akan tetapi masih ber-usaha membacokkan pedangnya ke arah lawan. Si Muka Kuda miringkan tubuh, goloknya menyambar ke depan dari sam-ping.
"Crokk!" Terdengar jerit mengerikan karena lengan kanan laki-laki bertopi lebar itu terbabat putus sebatas siku!
Maya menyaksikan semua itu tanpa berkedip. Kalau hanya pemandangan se-perti itu saja, dahulu ketika ia menjadi tawanan gerombolan Bhutan, setiap hari dilihatnya, bahkan yang lebih dari itu pun! Akan tetapi yang mengherankan hati Maya, laki-laki bertopi lebar itu masih hidup, menggunakan lengan kirinya mengeluarkan sebuah amplop dan hendak memasukkan amplop ke mulutnya.
"Crass!" Kembali golok menyambar dan lengan kiri ini pun buntung sampai surat itu melayang dan disambar oleh tangan kanan Si Muka Kuda.
Laki-laki bertopi lebar itu mengeluh dan masih dapat mengeluarkan kata-kata terakhir sambil terengah-engah, "Siang-koan Lee.... bunuh aku tapi.... jangan ganggu.... Khu-ciangkun....!"
Terpaksa Maya membuang muka ke-tika melihat laki-laki bermuka kuda itu melangkah maju, mengayun golok dan.... memenggal leher laki-laki bertopi lebar. Ia menoleh ke arah perwira Yucen yang sudah muncul sambil berkata, "Bawa kepalanya!"
Perwira Yucen ini dengan muka ber-seri girang menyambar rambut kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya, me-muji. "Sungguh hebat bukan main kepandaianmu, Siangkoan-taihiap! Masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang luar biasa! Raja kami tentu akan senang sekali mendengar pembongkaran rahasia Panglima Khu yang palsu ini!"
"Aku hanya menjalankan tugas. Mari-lah!" kata pemuda muka kuda yang bukan lain adalah Siangkoan Lee, bekas pelayan murid dan juga pembantu Panglima Suma Kiat.Dua orang itu lalu berjalan pergi, Siangkoan Lee membawa sampul surat yang dirampasnya, sedangkan perwira Yucen itu membawa kepala yang masih meneteskan darah itu. Entah mengapa, hati Maya tertarik sekali dan perasaan-nya condong untuk membantu orang yang disebut Panglima Khu. Dia tidak tahu urusannya, hanya tahu bahwa laki-laki bertopi lebar tadi adalah utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gu-runya, tahu pula bahwa Si Muka Kuda itu disebut pengkhianat dan bernama Siangkoan Lee, dan kagum menyaksikan betapa laki-laki bertopi lebar itu dalam saat terakhir masih hendak melindungi Khu-ciangkun dan bahkan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 61
hendak memus-nahkan sampul suratnya! Dia tidak me-ngerti apa artinya semua itu, namun sekali pandang saja dia merasa tidak suka bahkan membenci pemuda muka kuda dan
bersimpati kepada Panglima Khu yang belum pernah dilihatnya. Kare-na itu, melihat dua orang itu melangkah pergi, diam-diam Maya mengikuti mereka dari jauh. Dia dapat menduga bahwa Panglima Khu terancam bahaya, entah bahaya apa, maka dia ingin melihat
per-kembangannya dan kalau mungkin dia akan memperingatkan Panglima Khu itu agar terlepas dari bahaya
belakang Mengapa Siangkoan Lee berada di tempat itu" Seperti kita ketahui, Siang-koan Lee adalah bekas pelayan yang menjadi murid Panglima Suma Kiat. Se-telah putera tunggal Panglima itu, Suma Hoat, meninggalkan kota raja dan ming-gat karena patah hati, maka Siangkoan Lee merupakan satu-satunya murid yang amat dipercaya oleh Suma Kiat. Bahkan Siangkoan Lee ternyata memiliki kecer-dikan luar biasa dan kini tanpa ragu--ragu lagi Suma Kiat menarik murid ini sebagai pembantunya dan diajak berun-ding dan mengatur siasat dalam, meng-hadapi musuh-musuhnya.
Peristiwa yang terjadi mengenai ke-luarga Thio di mana Menteri Kam Liong ikut campur, menambah rasa dendam dan tidak suka di hati Suma Kiat, apalagi karena urusan itu mengakibatkan putera-nya patah hati dan pergi. Dia bersama sekutu-sekutunya dan dengan bantuan bangsa Yucen telah berhasil menghancurkan musuhnya yang nomor satu, yaitu keluar-ga Raja Khitan! Kini dia mulai mengintai dan ingin sekali menjungkalkan orang yang paling dibencinya akan tetapi juga paling ditakuti, yaitu Menteri Kam Liong! Akhirnya berkat kelicinannya dan pe-nyelidikan mata-matanya yang berani main sogok untuk membongkar rahasia, Suma Kiat dapat mendengar bahwa ke-pergian seorang panglima pembantu Men-teri Kam Liong yang bernama Panglima Khu Tek San, bukanlah ditugaskan men-jaga tapal batas sebagaimana dikabarkan, melainkan diselundupkan memasuki istana Yucen dan memegang jabatan di sana sebagai orang yang dipercaya oleh Pe-merintah Yucen. Padahal Khu-ciangkun ini melakukan pekerjaan mata-mata di Yucen, bekerja demi kepentingan Keraja-an Sung atau lebih tepat lagi, dia beker-ja atas perintah gurunya, Menteri Kam Liong yang selalu menaruh kecurigaan atas pergerakan bangsa Yucen!
Demikianlah, Suma Kiat lalu menu-gaskan muridnya untuk menyelidiki hal itu dan
mengusahakan agar supaya murid Menteri Kam Liong itu ketahuan dan dihukum mati!
Terjadinya hal itu tentu akan memperuncing hubungan antara Yucen dan Sung dan memang inilah yang dikehendaki Suma Kiat dan sekutu-nya, yaitu para bangsawan dan panglima yang tidak senang kepada kaisar mereka dan sudah siap-siap untuk memberontak jika ada kesempatan.
Biarpun usianya masih muda, namun Siangkoan Lee ternyata dapat bekerja dengan baik sekali. Dia tidak mau begitu saja secara kasar menuduh Panglima Khu yang di Yucen amat dihormati sebagai seorang panglima gagah perkasa yang selalu ikut berperang membela Yucen. Dia harus dapat memperlihatkan bukti kepada Raja Yucen. Dia tahu bahwa kalau Panglima Khu bekerja sebagai mata-mata di Yucen, tentu ada satu cara dari panglima itu untuk mengirim berita tentang penyelidikannya itu kepada gurunya. Menteri Kam Liong.
Akhirnya, setelah melakukan penyelidikan secara tekun, dapatlah ia mengetahui bahwa memang ada seorang kurir yang meng-hubungkan guru dan murid itu. Dengan petunjuk seorang perwira Yucen, akhirnya Siangkoan Lee berhasil membunuh kurir, memenggal kepalanya dan merampas suratnya, kemudian dengan bekal dua tanda bukti ini berangkatlah dia ke per-kemahan Raja Yucen yang kebetulan berada di tempat itu dalam operasi
pem-bersihan. Raja Yucen disertai para pang-lima, di antaranya Panglima Khu yang dipercaya!
Akan tetapi, sungguh Siangkoan Lee tidak pernah mengira bahwa rencananya yang sudah diatur dengan masak dan di-lakukan dengan sempurna itu terbentur karang berupa seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang sama sekali tak diketahuinya telah menyaksikan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 62
semua perbuatannya! Bahkan dia tidak tahu ketika mereka sudah tiba di perkemahan di waktu malam gelap itu, Maya telah menyelinap melalui perkemahan.
Maya menjadi bingung. Bagaimana dia harus menyampaikan bahaya itu kepada Panglima Khu" Yang manakah Panglima itu dan di mana kemahnya" Apa boleh buat, dia harus berani menanggung ba-hayanya. Dengan langkah lebar ia meng-hampiri beberapa orang tentara yang menjaga. Tiga orang tentara itu terce-ngang keheranan ketika tiba-tiba dari tempat gelap muncul seorang anak pe-rempuan yang begitu cantik dan bersikap begitu tabah dan berani.
"Eh, kau siapakah?"
"Aku adalah keponakan dari Khu-ciangkun. Harap kalian sudi mengantar aku kepada Khu-ciangkun nanti kumintakan hadiah dari Paman Khu untuk ka-lian."
Tiga orang anggauta tentara Yucen itu saling pandang. Mereka terheran-he-ran dan ragu-ragu.
Panglima Khu adalah seorang di antara para panglima Yucen yang gagah perkasa dan dipercaya oleh Raja. Memang semua orang tahu bahwa itu panglima berdarah Han, akan tetapi sepak terjangnya sudah membuktikan ke-setiaannya terhadap Kerajaan Yucen. Kini tiba-tiba muncul seorang anak pe-rempuan mengaku keponakannya! Kalau mereka menolak dan mengusir bocah ini, bagaimana kalau kemudian ternyata bah-wa anak ini betul keponakan panglima gagah itiu" Tentu mereka akan celaka! Akan tetapi, kalau membawa anak ini menghadap Panglima Khu, andaikata anak itu membohong, tentu anak ini yang akan
dicambuk! Mereka tidak percaya bahwa di dalam hutan pegunungan itu tiba-tiba saja muncul seorang keponakan dari Panglima Khu, akan tetapi segera mere-ka berkata,
"Baiklah, Nona kecil. Akan tetapi ka-lau engkau membohong, jangan bertanya tentang dosa lagi. Engkau akan dihukum mati!"
Apa boleh buat, pikir Maya. Dia ber-iktikad baik, menolong Panglima Khu. Tidak mungkin kalau pamrih baik dibalas hukuman mati! "Baik, antar aku kepada Khu-ciangkun!"
Tiga orang tentara itu membawa Maya ke sebuah kemah yang besar di mana terdapat dua orang penjaga. Me-reka menceritakan bahwa anak ini meng-aku keponakan Khu-ciangkun dan minta diantar menghadap.
"Hemm, kalian mencari penyakit," kata dua orang penjaga. "Akan tetapi, masuklah, Ciangkun sedang duduk sendiri, kalau kalian dimaki jangan bersambat kepada kami."
Maya diajak masuk dan ketika Maya melihat seorang laki-laki berpakaian panglima yang berusia empat puluhan tahun, bersikap gagah sekali, dia tidak meragu lagi pasti itulah Panglima Khu. Maka ia lalu berlari ke depan menjatuh-kan diri dan berlutut dan berkata,
"Pa-man Khu.... saya mohon bicara empat mata dengan Paman mengenai surat ber-sampul kuning dan laki-laki bertopi le-bar!"
Mula-mula panglima itu terkejut dan mengerutkan alis melihat tiga orang perajurit memasuki kemahnya membawa seorang dara kecil yang cantik, akan tetapi ketika ia mendengar ucapan gadis itu, berubahlah sikapnya. "Pergilah!" ka-tanya kepada tiga orang perajurit sambil melempar beberapa mata uang ke arah, mereka. "Dan terima kasih sudah meng-antar
keponakanku ke sini!"Diam-diam Maya kagum sekali atas kecepatan jalan pikiran panglima itu. Setelah tiga orang perajurit yang kegi-rangan tadi menerima hadiah dan pergi, Maya lalu bangkit berdiri dan mengham-piri panglima itu sambil bertanya, "Engkau tentu Khu-ciangkun, bukan
"anak baik engkau siapakah dan apa artinya kata-katamu tadi" Duduklah. Aku memang benar Khu-ciangkun." Perwira itu memegang tangan Maya dan menarik-nya duduk di atas bangku di dekatnya sambil memandang wajah jelita itu penuh selidik. Bukan anak sembarangan, pikir-nya.
"Ketahuilah, kalau engkau seorang Panglima Yucen benar-benar, aku tidak akan sudi menolongmu malah lebih se-nang melihat engkau mampus! Akan te-tapi karena engkau panglima palsu dan tentu engkau memusuhi Yucen, aku ber-sedia menolongmu."
Terbelalak mata panglima itu. "Apa maksudmu?" Ia berbisik dan menoleh keluar kemah.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 63
"Bicara perlahan."
Maya juga cerdik dan tahu bahwa percakapan mereka ini sama sekali tidak boleh didengar orang lain, maka ia lalu berkata, "Aku adalah Puteri Maya puteri Raja dan Ratu Khitan yang sudah hancur oleh bangsa Yucen! Dan engkau adalah panglima palsu, utusanmu orang bertopi lebar yang membawa sampul kuning itu telah terbunuh, kepalanya dan sampul suratnya dibawa oleh seorang yang ber-nama Siangkoan Lee. Kau akan dilaporkan...."
"Cepat! Kita harus pergi dari sini, sekarang juga!" Panglima itu dengan ge-rakan cepat dan kuat telah menyambar tubuh Maya dan dipondongnya.
"Engkau pergilah, aku.... biar aku lari sendiri!"
"Tidak, Paduka. harus saya selamat-kan! Harus!" Panglima itu berkata dengan hati penuh keharuan dan ketegangan. Sungguh mimpi pun tidak dia akan ber-temu dengan puteri Raja Khitan seperti itu! Raja Khitan adalah adik tiri guru-nya, jadi anak perempuan ini adalah keponakan gurunya sendiri yang harus dia selamatkan! Rahasianya sudah diketahui orang, entah secara bagaimana karena dia tidak mengenal siapa yang bernama Siangkoan Lee itu.
Akan tetapi, lebih hebat lagi kalau mereka tahu bahwa anak perempuan ini adalah puteri Kera-jaan Khitan! Tentu akan celaka sekali.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bunyi terompet tanduk ditiup gencar. Mendengar ini, wajah panglima itu ber-ubah. "Terlambat....! Paduka.... jangan mengaku sebagai Puteri Khitan, tetap mengaku keponakan.... keponakan seorang wanita Khitan yang kuambil selir. Mengerti?"
Maya membelalakkan mata akan teta-pi mengangguk-angguk. Diam-diam ia kagum dan
berterima kasih. Keputusan hatinya untuk menolong panglima ini ternyata tidak sia-sia!
Panglima ini se-orang yang gagah perkasa, yang dalam saat berbahaya itu lebih
mementingkan keselamatannya daripada keselamatan sendiri!
Dengan langkah tenang sambil meng-gandeng tangan Maya, Panglima Khu berjalan keluar dan menuju ke perkemah-an besar di mana semua panglima sudah hadir menghadap Raja Yucen karena bunyi terompet tanduk tadi adalah tanda panggilan mendadak oleh Raja kepada pangeran, panglima dan perwira. Dengan sudut matanya Khu-ciangkun melihat betapa tempat itu sudah dikurung oleh pasukan besar yang siap dengan senjata mereka, juga pasukan anak buahnya sen-diri sehingga diam-diam ia mengerti bahwa keadaan amat berbahaya dan agaknya Raja yang telah mengetahui rahasianya telah siap menangkapnya. Biarlah ia berkorban nyawa untuk negara, akan tetapi kalau memikirkan Maya yang digandengnya, dia menjadi bingung!
Para panglima telah siap semua ber-kumpul di depan kemah Sri Baginda, menanti Sang Raja keluar. Dan mereka itu memandang heran kepada Khu-ciang-kun yang datang menggandeng seorang anak perempuan cantik.
"Keponakan.... selirku!" jawab panglima ini pendek ketika rekan-rekannya berta-nya sehingga di sana-sini terdengar suara ketawa.
Akan tetapi, mereka semua menjadi diam dan bersikap menghormat ketika terdengar suara terompet dari dalam kemah, tanda bahwa Raja akan keluar dan persidangan darurat dimulai.
Tempat di depan kemah itu telah menjadi te-rang-benderang oleh obor-obor yang di nyalakan para perajurit pengawal. Raja keluar dari kemah dengan.... menunggang kuda! Memang Raja Yucen lebih suka duduk di atas kuda kalau menghadapi para panglimanya den bangsa Yucen me-rupakan bangsa yang paling ahli berpe-rang di atas kuda.
Di belakang Raja tampak seorang laki-laki bermuka kuda, membawa sebuah bungkusan.
"Khu-ciangkun....!" Tiba-tiba Raja berseru keras memanggil.
"Hamba siap!" Khu-ciangkun melang-kah maju dan berlutut dengan sebelah kakinya dengan sikap gagah dan hormat. Maya terpaksa ditinggalkannya di bela-kang dan anak itu
memandang dengan hati tegang.
"Khu-ciangkun! Selama ini aku per-caya kepadamu sebagai seorang panglima yang setia.
Siapa kira, ternyata engkau adalah seorang mata-mata dari Kerajaan Sung!"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 64
Semua panglima saling pandang dan terdengar suara mereka berisik sekali, karena tuduhan ini benar-benar amat hebat! "Ampun, Tuanku, akan tetapi tu-duhan yang tidak ada buktinya merupa-kan fitnah keji!" Khu-ciangkun menjawab dengan suara tenang.
"Fitnah, ya?" Raja membentak dan memberi tanda kepada pemuda bermuka kuda itu yang segera membuka kantung dan melemparkan sebuah benda diatas tanah. Benda itu adalah kepala orang! Semua orang memandang dengan muka berubah dan hati tegang, dan Raja ber-kata lagi, "Orang she Khu! Kau tentu mengenal orang ini, kurir yang menghu-bungkan engkau dengan gurumu di Kerajaan Sung! Engkau adalah murid dari Menteri Kam Liong.
Hayo mengaku!"
Khu-ciangkun tetap tenang. "Yang penting adalah bukti, Tuanku. Bisa saja ditunjukkan bahwa orang yang mempunyai kepala ini adalah utusan hamba, akan tetapi apakah buktinya, Tuanku?"
"Bukti lagi" Lihat ini! Surat Menteri Kam Liong untukmu, keparat!" Raja itu mengeluarkan sebuah sampul kuning dari sakunya, mengangkatnya tinggi-tinggi agar semua orang dapat melihatnya.
Akan tetapi, dalam suasana yang amat tegang itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan Yucen yang dipimpin oleh empat orang panglima gagah berkuda dan mereka ini menyeret tubuh dua orang anak yang meronta-ronta!
Apakah yang telah terjadi" Siapakah dua orang bocah yang ditawan oleh pasu-kan Yucen itu"
Mereka itu bukan lain adalah Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang murid Mutiara Hitam dan suaminya. Bagaimanakah mereka dapat tertawan pasukan Yucen"
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Mutiara Hitam Kam Kwi Lan dan suaminya, Pek-kong-to Tang Hauw Lam, bersama kedua orang muridnya itu, sete-lah mendengar akan kehancuran Khitan dan tewasnya raja dan ratu lalu bermak-sud mengejar pasukan yang mengunnakan Maya ke Go-bi-san.
Karena pengejaran itu dimaksudkan untuk melindungi keselamatan Puteri Maya, dan karena mereka tidak tahu jalan mana yang diambil oleh pasukan yang sudah pergi lebih dulu sebulan le-bih, maka mereka melakukan perjalanan lambat sambil bertanya-tanya tentang jejak mereka.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa tidak sabar menyaksikan perjalanan lambat kedua orang guru mereka, maka seringkali kedua orang murid ini mendahului guru-guru mereka yang
melakukan penyelidikan setelah memberi tahu bahwa me-reka berdua akan mendahului ke atas bukit di depan atau padang rumput di depan.
Pada sore hati itu, kembali dua orang anak itu mendahului guru-guru mereka berlari-lari di padang rumput yang luas. Tiba-tiba, muncullah pasukan Yucen yang mengurung mereka sambil tertawa-tawa. Dua orang bocah itu berpakaian seperti orang Han dan tentu saja bangsa Yu-cen yang di dalam hatinya memusuhi orang-orang selatan, ingin mempermain-kan dua orang anak ini."Heh-heh-heh, dua ekor anjing cilik, berlututlah kalian dan minta ampun ke-pada tuan-tuan besarmu, baru kami akan melepaskan kalian!" berkata seorang di antara para panglima Yucen yang me-nunggang kuda.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah anak-anak yang sejak kecil sudah mene-rima
gemblengan ilmu silat tinggi. Selain berani dan berkepandaian, juga mereka ini mengandalkan nama besar kedua orang gurunya, terutama sekali nama be-sar ibu gurunya. Siapa berani menggang-gu mereka"
"Kalian ini berandal dari mana berani mengganggu kami" Pergilah sebelum kami berdua turun tangan tidak memberi ampun lagi!" bentak Can Ji Kun sambil bertolak pinggang. Juga Ok Yan Hwa bertolak pinggang sambil membentak.
"Sungguh tak tahu diri, berani meng-ganggu anak naga dan harimau!"
Dua orang anggauta pasukan itu ter-tawa-tawa dan menghampiri Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. "Ha-ha-ha, engkau anak naga, ya" Heh-heh, apakah kalian ini sudah gila?" Seorang di Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 65
antara me-reka menghampiri Can Ji Kun.
"Wah, yang ini biarpun masih belum dewasa, sudah cantik sekali!" Tentara ke dua
menghampiri Ok Yan Hwa, tertawa-tawa dan hendak mencolek pipi gadis cilik itu.
Tiba-tiba dua orang anak itu mener-jang ke depan, terdengar teriakan-teriak-an keras dan dua orang anggauta pasukan itu roboh sambil mengaduh-aduh karena dada mereka seperti pecah rasanya, di-hantam oleh dua orang anak-anak itu!
Terkejutlah semua pasukan, terkejut dan marah. Mereka sudah akan turun tangan mengeroyok dan membunuh, akan tetapi empat orang panglima berseru, "Jangan bunuh! Biarkan kami menangkap harimau-harimau cilik ini dan menyeret mereka ke hadapan Sri Baginda. Siapa tahu mereka ini ada gunanya kelak!"
Setelah berkata demikian, empat orang itu mengeluarkan tali panjang yang melingkar-lingkar di lengan kiri mereka. Ujung tali itu dibuat semacam lasso dan kini mereka berempat yang menunggang kuda mengurung Ji Kun dan Yan Hwa, tali mereka makin lama makin panjang tetap diputar-putar. Dua orang anak itu siap menghadapi lawan, akan tetapi me-reka bingung ketika dikurung empat ekor kuda dan memandang tali berujung lasso yang diputar-putar.
Tiba-tiba sebuah lasso menyambar ke arah kepala Yan Hwa.
Dara cilik ini cepat mengelak dan ketika lasso itu mengejarnya, ia menggulingkan tubuh ke atas tanah. Luput! Para pasukan bersorak memuji. Juga Ji Kun dapat menghindarkan diri dengan gerakan gesit sekali ketika ada tali lasso menyambar. Bahkan sampai berkali-kali tali-tali lasso beterbangan menyambar ke arah mereka, namun dengan lincah sekali dua orang anak itu tetap dapat meng-elak.
Empat orang Panglima Yucen ini men-jadi penasaran sekali. Mereka lalu ber-pencar menjadi dua rombongan dan me-ngeroyok setiap anak dengan lasso me-reka. Kini repotlah dua orang anak kecil itu dan tak lama kemudian tubuh mereka telah terikat dan tertangkap! Dua orang panglima memegangi lengan setiap anak dan mengangkat tubuh anak itu di antara kuda mereka yang dilarikan sehingga tergantunglah tubuh Ji Kun dan Yan Hwa, dibawa membalap pergi! Mereka tidak sudi berteriak minta tolong, hanya memaki-maki dan meronta-ronta.
Sikap dua orang anak inilah yang menolong mereka sendiri. Kalau saja mereka berdua tidak memperlihatkan sikap yang berani luar biasa, tentu me-reka dianggap anak-anak biasa dan sudah dibunuh. Kini para panglima itu menjadi curiga, maka mereka tidak membunuh kedua orang anak itu dan merasa perlu menghadapkan kedua orang anak luar biasa itu kepada raja yang kebetulan berada di perkemahan.Sementara itu, Khu Tek San yang melihat bahwa bukti bagi kesalahannya sudah cukup dan bahwa dia tidak dapat menyelamatkan diri lagi, bersikap tenang dan mengambil keputusan untuk mengor-bankan dirinya dan tidak menyeret orang lain dalam pekerjaannya memata-matai Yucen.
Yang terpenting sekarang adalah berusaha menyelamatkan diri Puteri Ma-ya dan menyuruh puteri Kerajaan Khitan itu pergi ke selatan menghadap Menteri Kam Liong dan
menyampaikan berita tentang kematiannya. Maka ketika me-lihat keributan dengan datangnya panglima-panglima yang menyeret dua orang anak itu, dia cepat berbisik kepada Maya,
"Engkau larilah sekarang, cepat!"
Akan tetapi Maya menggeleng kepala. "Aku hanya mau lari kalau bersama eng-kau!"
Panglima she Khu itu memandang penuh kagum. Benar-benar patut menjadi puteri Raja Khitan, cucu Suling Emas, pikirnya. Masih begini kecil sudah kenal apa artinya budi dan kegagahan!
Tiba-tiba Panglima Khu dikejutkan oleh suara dua orang anak kecil yang diseret itu. Yang perempuan berkata galak.
"Tidak peduli engkau ini Raja Yucen atau Raja Akhirat, kalau tidak segera membebaskan kami, tentu akan mampus!"
"Guru kami, pendekar wanita sakti Mutiara Hitam dan suaminya, pendekar Golok Sinar Putih, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 66
tentu akan membalas dendam!" kata anak laki-laki, sikap me-reka berdua sedikit pun tidak takut di-hadapkan pada Raja Yucen.
Tentu saja Khu Tek San terbelalak memandang ke arah dua orang anak itu. Bagaimana bisa terjadi hal yang begini kebetulan secara berturut-turut" Pekerja-an rahasianya terbongkar, muncul Puteri Maya, dan kini tahu-tahu muncul pula dua orang anak yang mengaku murid Mutiara Hitam! Mutiara Hitam adalah adik kembar Raja Khitan, jadi adik tirl suhunya pula, karena itu, bukan hanya Maya yang harus diselamatkan, melainkan juga dua orang bocah itu!
"Apa pun yang terjadi, aku harus ber-usaha menyelamatkan mereka," bisik Khu Tek San kepada Maya.
"Kaularilah dalam keributan ini!" Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba Panglima Khu ini menggerakkan tubuhnya, melayang ke depan, ke arah dua orang anak itu. Cepat bagaikan se-ekor garuda menyambar, dia menerjang empat orang panglima muda yang meme-gangi dua orang bocah itu. Mereka ini terkejut, tahu akan kelihaian Khu-ciang-kun, maka mereka mundur dan mencabut senjata. Kesempatan itu dipergunakan oleh Tek San untuk menyambar tangan Can Ji Kun, anak laki-laki itu. Ketika ia hendak menolong Ok Yan Hwa, terdengar bocah itu membentak.
"Budak cilik! Aku tidak butuh perto-longanmu!" Tek San cepat menengok dan melihat betapa Maya sudah berada di situ pula, tadi menyambar tangan Yan Hwa dan ditarik mendekatinya.
Ia merasa makin kagum. Kiranya Puteri Khitan ini tidak melarikan diri dalam keributan seperti yang dipesankannya, malah me-nyusulnya meloncat ke depan untuk me-nolong dua orang murid Mutiara Hitam!
Keadaan menjadi geger. "Kurung....! Tangkap....!" Raja Yucen berteriak ma-rah sekali dan Tek San bersama tiga orang anak itu dikurung rapat oleh pa-sukan panglima yang telah menghunus senjata. Tek San menjadi khawatir sekali. Bagi dia tidak takut mati di tangan mu-suh-musuh ini, akan tetapi bagaimana ia dapat menyelamatkan tiga orang anak itu"
"Sri Baginda Yucen....!" Ia berteriak lantang. "Aku Khu Tek San sebagai se-orang laki-laki sejati, telah mengaku kedosaanku terhadap Kerajaan Yucen dan aku siap menerima hukuman mati dengan mata terbuka! Akan tetapi, tiga orang anak kecil ini tidak mempunyai dosa, kuharap sukalah Paduka membebaskannya! Kalau tidak, terpaksa aku memberontak dan biarpun kami berempat akan mati, namun kami pun akan menyeret nyawa beberapa orang pengawalmu!"
Raja Yucen yang sudah marah sekali kembali membentak. "Tangkap dia hidup-hidup!
Tangkap Si Pengkhianat ini dan tiga orang anak iblis itu!"
Tek San yang mengambil keputusan untuk melindungi tiga orang anak itu dengan nyawanya, mulai siap menghadapi pengeroyokan para panglima yang mengurungnya. Ia menjadi kagum sekali dan tak dapat menahan senyumnya ketika melihat bahwa tiga orang anak itu pun telah bersiap-siap dengan pasangan kuda-kuda yang tangguh, membelakanginya sehingga mereka berempat beradu pung-gung menghadap ke empat penjuru! Bu-kan main, pikirnya penuh kagum. Murid-murid dan keturunan Suling Emas benar--benar merupakan anak-anak yang telah memiliki kegagahan luar biasa. Masih sekecil itu, menghadapi bahaya maut tidak menjadi gentar dan putus asa, melainkan hendak membela diri dengan gagah dan mati-matian!
Keadaan sudah menegangkan sekali. Pengurungan makin ketat dan sudah da-pat dibayangkan bahwa betapapun gagah-nya Khu Tek San murid menteri Kam Liong, namun menghadapi
begitu banyak-nya panglima, perwira dan perajurit Yu-cen, tentu dia takkan menang.
"Tahannnn....!" tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring yang mengejut-kan semua orang.
Lengking nyaring ini disusul berkele-batnya dua sosok bayangan yang sukar dilihat saking cepatnya. Hanya terdengar ribut-ribut ketika sesosok bayangan menyambar ke atas kuda yang Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 67
diduduki Raja Yucen dan bayangan ke dua me-nyambar ke arah dua orang panglima tinggi yang berada di sebelah kanan raja. Hanya terdengar suara gedebukan dan suara "ah-uh-ah-uh"
disusul melayangnya tubuh Raja Yucen dan dua orang pang-lima tinggi itu ke atas batu besar yang berada di dekat kemah! Tentu saja se-mua pasukan menjadi terkejut dan meng-alihkan perhatiannya dari Tek San dan tiga orang bocah itu.
"Suhu....!" Ji Kun berteriak girang.
"Subo....!" Yan Hwa juga bersorak.
Ketika obor-obor diangkat tinggi dan semua orang memandang, ternyata di atas batu besar itu telah berdiri seorang wa-nita gagah perkasa dan cantik jelita yang menelikung dengan Raja ke belakang tubuh dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mengancam tengkuk. Di sampingnya, seorang laki-laki gagah mencengkeram pundak dua orang panglima tinggi itu, siap untuk membenturkan dua buah kepa-la itu, sikapnya tenang dan laki-laki ini tersenyum-senyum lebar.
"Bebaskan dua orang murid kami, kalau tidak, Raja Yucen kubunuh!" Wa-nita yang bukan lain adalah Mutiara Hitam itu membentak.
"Ha-ha-ha, kehilangan murid masih mudah mencari gantinya. Kalau kalian kehilangan Raja, wah, berabe juga!" Laki-laki di samping Mutiara Hitam itu berkata sambil tertawa. "Dan penukaran ini sudah cukup menguntungkan bagi kalian. Coba saja, dua orang murid kami ditambah orang gagah dan anak perem-puannya yang berusaha menolong, baru empat jiwa.
Kami tukar dengan dua pu-luh tiga jiwa! Wah, kami sudah banyak mengalah!"
Raja Yucen dapat menduga bahwa dia terjatuh ke tangan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang terkenal, maka dia tidak berani main-main. Akan tetapi, mendengar laki-laki yang agaknya suami Mutiara Hitam itu bicara tidak karuan, dia mendongkol juga. "Hemm, kalian hanya menawan kami tiga orang, mana yang dua puluh orang lagi?"
"Ha-ha-ha, Sri Baginda. Yang dua puluh adalah panglima-panglima Sri Ba-ginda yang tentu akan tewas di tangan kami kalau penukaran ini tidak berhasil. Sekarang untuk sementara, kami titipkan nyawa mereka kepada tubuh masing-ma-sing sambil menanti penukaran ini!"
ja-wab Pek-kong-to Tang Hauw Lam se-enaknya.


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bebaskan mereka. Raja Yucen menghardik dengan muka merah saking marahnya.
Mereka yang tadinya mengurung Tek San dan tiga orang anak itu mundur dengan kecewa.
"Ji-kun! Yang Hwa! Naik ke sini!" Mutiara Hitam berteriak. Dua orang muridnya lalu meloncat dan dengan ge-rakan indah serta ringan mereka mela-yang ke atas batu besar. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa Maya telah mendahului mereka dengan loncatan yang lebih cepat lagi!
"Apakah engkau Bibi Kam Kwi Lan yang berjuluk Mutiara Hitam?" Maya bertanya kepada Mutiara Hitam sambil memandang penuh kagum. Mutiara Hitam yang masih menodong Raja Yucen, juga terheran-heran menyaksikan bocah pe-rempuan yang memiliki gerakan demikian ringannya, mengalahkan kedua orang muridnya.
"Siapa engkau" Dan siapakah orang gagah di bawah itu?"
Tek San juga melompat ke atas batu besar lalu menjura dengan hormat. "Tee-cu Khu Tek San murid Suhu Kam Liong memberi hormat kepada Sukouw (Bibi Guru) dan Paman Guru
berdua dan ber-terima kasih atas pertolongan Ji-wi."
"Ahhh....!" Mutiara Hitam tercengang dan juga girang mendengar bahwa laki-laki perkasa yang tadi berusaha menolong murid-muridnya adalah murid kakaknya sendiri! "Dan bocah ini....?"
"Dia adalah keponakan Sukouw sen-diri, Puteri Maya....!"
"Aihhh....!" Seruan Mutiara Hitam ini mengandung isak tertahan dan tangan kanannya meraih kepala Maya dan di-peluknya anak itu sejenak, sedangkan tangan kirinya masih "menelikung"
Raja Yucen. Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 68
"Heeiii! Mutiara Hitam, lepaskan ka-mi! Bukankah kami sudah membebaskan Khu-ciangkun dan tiga orang bocah itu?"
"Nanti dulu, Sri Baginda. Kami belum aman. Anakku, Maya, marilah engkau ikut bersama bibimu."
Akan tetapi Maya berpendirian lain. Begitu bertemu dengan dua orang murid bibinya, dia merasa tidak suka. Mereka itu berwatak angkuh! Dan dia sudah me-rasa kagum dan suka sekali kepada Khu Tek San, maka ia menggeleng kepala dan berkata,
"Terima kasih, Bibi. Akan tetapi aku ingin pergi bersama Khu-ciangkun!"
Mutiara Hitam menghela napas pan-jang. Dia adalah seorang wanita gagah perkasa yang tidak suka cerewet. Sekali mengambil keputusan tidak dirobah lagi, dan sekali mendengar keputusan keponak-annya, tidak banyak berbantah lagi. Ha-tinya masih tetap keras dan angkuh.
"Baiklah, Maya. Engkau ikut dengan Khu-ciangkun dan menghadap Pek-humu (Uwamu)
Kam Liong pun sama saja. Nah, Khu-ciangkun, pergilah dulu bawa Maya ke selatan. Kami yang tanggung bahwa orang-orang Yucen tidak akan menggang-gu perjalanan kalian."
Khu Tek San memberi hormat, ke-mudian menggandeng tangan Maya sambil berkata,
"Marilah kita pergi!" Keduanya me-lompat turun dari batu besar itu dan berlari pergi. Tidak ada seorang pun yang berani menghalang. Akan tetapi Khu Tek San yang mencari-cari dengan matanya, tidak melihat adanya pemuda muka kuda yang tadi muncul bersama Raja Yucen, pemuda yang menurut Maya bernama Siangkoan Lee dan yang mem-bunuh kurirnya.
Setelah menanti agak lama sehingga ia merasa yakin betul bahwa Khu Tek San dan Maya sudah pergi jauh, Mutiara Hitam melepaskan dengan Raja Yucen, juga suaminya melepaskan pundak kedua orang panglima tinggi yang sama sekali tak mampu bergerak ketika
dicengkeramannya tadi. Mutiara Hitam menjura kepa-da raja itu dan berkata,
"Harap Sri Baginda maafkan kami. Kalau menurutkan nafsu hati, agaknya Paduka sudah kami bunuh mengingat akan tewasnya kakakku Raja Khitan di tangan kalian...."
"Ahhhh, tuduhan keji itu!" Raja Yucen membentak marah. "Raja Khitan dan kami pada saat terakhir berjuang bahu-membahu menghadapi gelombang serbuan bangsa Mongol sampai Raja Khitan gu-gur! Bukan kami yang membunuhnya!"
Mutiara Hitam dan suaminya saling pandang, kemudian Mutiara Hitam ber-kata,
"Siapapun yang membunuhnya, kakak-ku ini gugur dalam perang maka saya pun tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Akan tetapi, kami tidak menanam per-musuhan dengan siapa juga, dengan Raja Yucen pun tidak, maka harap saja Sri Baginda tidak melanjutkan sikap memu-suhi kami dan memerintahkan kepada anak buah Paduka agar kelak tidak lagi
mengganggu kami!
Raja itu bersungut-sungut. "Musuh kami hanya negara lain, bukan perorang-an. Apa untungnya bermusuhan dengan Mutiara Hitam" Asal engkau tidak meng-ganggu keamanan di wilayah kami, perlu apa kami memusuhimu?"
"Bagus, dengan demikian kita sudah saling mengerti. Nah, selamat tinggal, Sri baginda dan maaf sekali lagi!" Mu-tiara Hitam menyambar tangan Yan Hwa sedangkan suaminya
menggandeng tangan Ji Kun, kemudian mereka berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.
"Sialan!" Raja Yucen membanting-banting kaki. "Turunkan aku....! Goblok kalian semua begini banyak orang tak berguna menghadapi dua orang saja! Aku harus menegur Raja Sung!
Tidak patut memata-matai kerajaan sahabat sendiri! Apa-apaan ini" Kalau tidak ada penyele-saian yang memuaskan, kugempur wilayah Sung!" Raja itu mencak-mencak dan ma-rah-marah.
*** Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 69
Karena sudah bertemu dengan kepo-nakannya, Puteri Maya, maka Mutiara Hitam dan suami serta murid-murid tidak melanjutkan perjalanan ke Go-bi-san dan mereka lalu kembali ke puncak Gunung Yin-san di mana terdapat sebuah guha besar yang pernah mereka pergunakan sebagai tempat tinggal. Melihat betapa pergolakan dan perang antara suku-suku di utara masih terjadi di mana-mana.
Mutiara Hitam ingin mengasingkan diri saja di Yin-san agar dia dan murid-mu-ridnya tidak terlibat.
Akan tetapi, dapat dibayangkan beta-pa kaget dan marah hati Mutiara Hitam ketika ia dan suaminya bersama dua orang muridnya tiba di depan guha di puncak Yin-san, dan melihat seorang ka-kek dan nenek hidung mancung telah menempati guha itu dan kini menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek.
"Kalian siapakah" Mau apa di sini?" Mutiara Hitam membentak sambil me-mandang tajam.
Karena sekali pandang saja ia dapat mengenal laki-laki dan perempuan itu sebagai bangsa India atau Nepal, maka dia menegur dalam bahasa India.
Kakek tinggi kurus berkulit hitam arang itu tertawa. "Ha-ha-ha, selamat datang, Mutiara Hitam! Beberapa tahun yang lalu, pernah kita saling jumpa di pondok guru kami!"
Tang Hauw Lam menepuk dahinya, memandang kepada isterinya dan berseru,
"Wah-wah-wah, bukankah kalian ini murid tukang membuat senjata yang berkaki pincang itu" Kalian murid-murid pertapa Naragita di Himalaya, bukan?"
Mutiara Hitam teringat dan dia ber-tukar pandang dengan suaminya, mata mereka sejenak berseri dan Mutiara Hi-tam berkata, "Aihh, kebetulan sekali!"
"Heh-heh-heh!" Nenek India yang ber-nama Nila Dewi terkekeh. "Memang ke-betulan bagi kami akan tetapi tidak kebetulan bagimu, Mutiara Hitam!"
Mutiara Hitam mengerutkan alisnya, wajahnya berubah dingin dan dia berka-ta, "Kami sudah mengenal guru kalian, akan tetapi tidak tahu siapa nama ka-lian?"
"Aku Nila Dewi dan dia ini Mahen-dra," jawab Si Nenek India.
"Maksud kedatangan kalian?"
Melihat sikap dingin penuh ancaman dari Mutiara Hitam ini, kakek India itu lalu berkata,
"Wah, kami melihat sepak terjangmu ketika engkau membuat Raja Yucen tidak berdaya, Mutiara Hitam. Kami kagum bukan main! Makin tua Mutiara Hitam makin hebat saja,
benar-benar seperti mutiara tulen, makin tua makin mengkilap!"
"Mahendra, tidak perlu banyak menji-lat. Katakan saja terus terang, mau apa kalian datang dan agaknya mengambil tempat kami?"
Mahendra tertawa, akan tetapi keta-wanya ini agak dipaksakan, untuk menu-tupi rasa gentarnya terhadap wanita sakti itu. "Mutiara Hitam, di depan Raja Yucen, suamimu mengatakan bahwa ke-hilangan murid mudah mencari gantinya. Memang benarkah begitu.
Banyak sekali calon-calon murid baik di dunia ini, akan tetapi selain jarang ada pengganti raja, juga jarang bisa mendapatkan tempat tinggal begini nyaman dan enak seperti guha di puncak ini!"
Mutiara Hitam mengerutkan sepasang alisnya lalu digerak-gerakkan. Tidak suka ia
mendengar ucapan plintat-plintut di-rentang panjang itu. "Mahendra, jangan seperti penjual obat, katakan kehendak kalian!"
"Mutiara Hitam, kami mencontoh per-buatanmu terhadap Raja Yucen. Kami mendahului kalian menduduki tempat ini dan hanya akan kami kembalikan kepada-mu kalau kalian suka menukar tempat ini dengan...." Dua orang India itu tertawa--tawa dan memandang kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa!
"Tukar apa" Hayo katakan jangan banyak tingkah!" Mutiara Hitam memben-tak.
"Ditukar dengan dua orang muridmu. Bukankah suamimu bilang bahwa kehi-langan murid mudah dicari gantinya dan...."
"Wah-wah-wah, Mahendra benar-benar pandai membadut dan pandai bicara se-karang! Eh, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 70
Hitam Jangkung! Kaukatakan, kalau kami tidak mau memberikan mu-rid-murid kami, lalu bagaimana?" Tang Hauw Lam bertanya sambil tertawa.
"Kami pun tidak memberikan tempat ini!" jawab Mahendra dan bernama Nila Dewi dia lalu siap menjaga di depan guha.
Mutiara Hitam dan suaminya pernah mendengar akan praktek-praktek keji yang dilakukan orang-orang segolongan pertapa Himalaya yang bernama Naragita itu, yaitu penghayatan ilmu hitam yang membutuhkan pengorbanan darah dan jiwa anak-anak yang bertulang baik se-perti dua orang murid mereka itu. Akan tetapi Mutiara Hitam dan suaminya ma-sih bersabar dan setelah saling pandang dan bermufakat dalam sinar mata me-reka, Mutiara Hitam lalu berkata,
"Nila Dewi dan Mahendra, orang-orang macam kita tidak menyelesaikan urusan dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan. Nah, coba kalian ka-lahkan kami. Kalau kami kalah, biarlah kami tidak akan merintangi murid-murid kami kalian bawa."
"Bagus! Ini namanya ucapan orang gagah! Mutiara Hitam, kami makin ka-gum saja
kepadamu," kata Mahendra. "Dan kami berjanji, kalau kami kalah, kami akan mengembalikan tempat ini kepadamu dan pergi tanpa banyak ribut lagi."
"Enak saja kau bicara, Mahendra. Tempat ini memang tempat kami, kami yang menemukan, membersihkan dan membetulkan. Kalau kami kalah kami mempertaruhkan murid, akan tetapi kalau kalian kalah, kalian juga harus mengor-bankan sesuatu."
"Apa?" Nila Dewi menjerit. "Kau menghendaki nyawa kami?"
"Bodoh! Kami tidak haus darah seper-ti kalian. Kalau kalian kalah, kalian ha-rus membuatkan sepasang pedang untuk kami, sepasang pedang dari logam yang kutemukan di gunung dalam perjalanan dari barat dahulu. Hanya kalian saja yang agaknya dapat membuatkan pedang dari logam itu untuk kami, karena tu-kang-tukang pandai besi yang kami temui semua menyatakan tidak sanggup."
Mahendra tertawa. "Wah, hebat logam itu, makin menarik! Baiklah, taruhan itu malah menyenangkan kami. Nah, bagai-mana pertandingan ini diatur?"
Mutiara Hitam tersenyum. Dia tahu bahwa dua orang ini lihai sekali dan biarpun suaminya memiliki ilmu yang tinggi, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau suaminya akan salah tangan melu-kai atau membunuh lawan. Hal ini tidak ia kehendaki karena selain tidak ingin menanam permusuhan dengan orang India ini, juga dia membutuhkan tenaga me-reka.
"Kita tidak saling bermusuhan dan pertandingan ini merupakan pertandingan yang ada taruhannya, maka harus satu kali berhasil menentukan siapa kalah siapa menang. Dari pihak kami, aku sen-diri yang akan maju menjadi jago, dan aku akan menghadapi jago kalian dengan tangan kosong!"
Mahendra dan Nila Dewl saling pan-dang. Mereka maklum akan kelihaian Mutiara Hitam, akan tetapi kalau hanya maju dengan tangan kosong. Mahendra berkedip kepada Nila Dewi, lalu menca-but sepasang pisau belati melengkung yang mengeluarkan sinar gemerlapan sambil meloncat maju.
"Akulah jago pihak kami, Mutiara Hitam! Berani engkau menghadapi sepa-sang senjataku dengan tangan kosong?"
"Seorang gagah tidak akan menarik kembali janjinya. Aku akan menghadapi-mu dengan tangan kosong, Mahendra. Nah, bersiaplah engkau!" Mutiara Hitam meloncat maju ke atas batu di depan guha dan mereka berhadapan. Orang India yang bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam itu menekuk kedua lutut-nya, merendahkan diri dan kedua tangan-nya dipentang lebar, pisau belati digeng-gam erat-erat dengan mata pisau meng-hadap keluar, ketika ia menggoyang ke-dua pisaunya, sinar matahari yang me-nimpa permukaan pisau itu menyorot ke depan menyilaukan mata.
"Sepasang senjata yang bagus!" Mutia-ra Hitam memuji akan tetapi ia sudah menerjang ke depan dengan pukulan dah-syat. Mahendra cepat mengelak dan sa-mbil miringkan tubuh, pisau kirinya me-nangkis lengan lawan dan pisau kanannya menyambar tengkuk! Akan tetapi Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 71
gerakan Mutiara Hitam yang gesit itu membuat ia dengan mudahnya mengelak.
Nila Dewi berdiri menonton penuh perhatian dengan alis berkerut. Tang Hauw Lam
menggandeng tangan kedua orang muridnya untuk mencegah mereka pergi dan tertangkap lawan, akan tetapi dia menonton dengan wajah tenang-te-nang saja karena hatinya
mempunyai kepercayaan sepenuhnya akan kelihaian isterinya. Ketika isterinya maju dan menentang untuk menghadapi lawan de-ngan tangan kosong, maka tahulah ia bahwa isterinya ingin mengalahkan lawan tanpa melukainya. Dan memang ini tepat sekali karena dalam hal ilmu silat tangan kosong, ia harus mengaku kalah jauh terhadap isterinya. Kalau dia yang maju dan menggunakan goloknya, tentu dia hanya akan mampu mengalahkan Mahen-dra
dengan melukainya! Padahal, isteri nya sudah lama sekali merasa penasaran mengapa logam yang berbentuk dua buah bola putih itu, yang mereka dapatkan di puncak gunung barat, sampai kini belum ada yang mampu membuatnya menjadi pedang!
Hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu ketika dia berdua isterinya melaku-kan perjalanan dari barat ke timur. Me-reka baru saja menuruni lereng puncak Gunung Yolmu-lungma, yaitu puncak tertinggi dari Pegunungan Himalaya, turun ke sebelah selatan tapal batas Nepal dan India, kemudian terus ke ti-mur menyusuri pantai Sungai Brahma Pu-tera. Ketika tiba di perbatasan Yunan dan mulai mendaki lagi sisa kaki Pegunung-an Himalaya di waktu malam, mereka tiba-tiba melihat sinar kehijauan jatuh dari langit dan terdengarlah suara meng-gelegar tak jauh di depan.
Mutiara Hitam dan suaminya cepat menuju ke tempat itu dan dari jauh me-reka sudah melihat sinar putih di atas tanah sawah dan tanah dari mana sinar putih itu tampak, mengeluarkan asap dan hawa panas!
"Agaknya itulah yang disebut batu bintang!" kata Mutiara Hitam.
"Jatuh begitu saja dari langit" Sung-guh luar biasa!" Tang Hauw Lam berkata dan keduanya tidak berani sembarangan menghampiri tanah yang mengeluarkan sinar itu. Baru pada keesokan harinya, berindap mereka menghampiri tempat yang sunyi itu dan di situlah mereka menemukan dua buah logam berbentuk bulat berwarna putih dan masih hangat. Mereka menjadi girang dan menyimpan dua buah batu logam itu, dan ketika mereka, sudah berada di Tiong-goan, mereka menemui ahli-ahli pedang dengan maksud untuk membuatkan sepasang pe-dang dari batu logam itu. Akan tetapi, semua ahli pedang tidak sanggup meng-olah dua batu logam itu. Sudah sebulan lamanya dibakar masih tetap keras saja!
Inilah sebabnya mengapa munculnya dua orang murid pendeta Naragita meng-girangkan hati Mutiara Hitam dan suami-nya. Dua orang India itu adalah murid seorang di antara ahli-ahli pedang yang sakti dan agaknya hanya orang-orang seperti mereka inilah yang akan sanggup membuatkan sepasang pedang dari dua buah batu logam itu untuk mereka.
Pertandingan antara Mutiara Hitam dan Mahendra masih berlangsung dengan seru. Ilmu silat Mahendra amat aneh, cepat gerakan sepasang pisaunya sehingga tampak dua gulungan sinar bergulung--gulung seperti ombak hendak menelan tubuh Mutiara Hitam dan setiap
serangannya mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Namun, Mutiara Hitam
meng-hadapinya dengan ketenangan yang me-ngagumkan. Bermacam ilmu silat tangan
kosong yang lihai-lihai dan tinggi-tinggi ia mainkan. Mula-mula ia mainkan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Harum) untuk mendesak kakek India itu, akan tetapi tokoh India ini ternyata merupakan se-orang yang ahli terhadap pukulan-pukulan beracun maka sama sekali Mutiara Hitam merubah lagi ilmu silatnya. Untuk melin-dungi tubuhnya dari sepasang pisau la-wan, baginya amat mudah. Gerakan la-wannya bagi dia terlalu canggung dan lambat, maka dengan kegesitannya, mu-dah baginya untuk mengelak. Yang men-jadi soal adalah bagaimana dia harus mengalahkan lawan ini dengan ilmu silat tangan kosong.
Tiba-tiba pendekar wanita sakti ini mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 72
jantung lawan, suara me-lengking seperti suling nada tinggi dan inilah ilmu khi-kang Kim-kong-sim-im yang diwarisi dari ayahnya Suling Emas.
Selagi lawannya terkejut dan mengerahkan sin-kang untuk melawan gerakan suara mujijat ini, Mutiara Hitam sudah mener-jangnya dan mainkan ilmu silat yang me-miliki gaya tidak lumrah dahsyatnya! Dia telah mainkan ilmu silat tangan kosong yang didapatkannya dari ibunya, yaitu Ratu Yalina. Ilmu ini adalah Ilmu Silat Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) yang hanya merupakan tiga belas jurus saja, namun tiga belas jurus ini merupakan jurus-jurus pilihan di anta-ra semua ilmu silat tangan kosong dan merupakan jurus-jurus maut yang sukar dilawan!
Mahendra mulai menggereng-gereng dan menjadi bingung, kacau-balau gerak-annya ketika angin menyambar-nyambar secara hebat dari tubuh dan tangan Mu-tiara Hitam. Pendekar wanita itu baru mainkan sejurus saja, yaitu jurus yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Berpu-sing Mengeluarkan Kilat). Tubuhnya ber-kelebatan dan berputaran seperti gasing dan dari putaran tubuhnya itu, kedua tangan dan kakinya kadang-kadang me-nyambar secara tak terduga-duga!
"Ciaaatttt!" Mutiara Hitam berseru, tangan kirinya dengan dua jari terpentang menyambar untuk menjepit pisau kiri Mahendra. Tokoh India ini kaget sekali. Biarpun yang mengancam pisaunya hanya dua buah jari, namun ia maklum bahwa jari-jari kecil mungil itu mengandung tenaga sin-kang yang membuat cepitan-nya sekuat cepitan baja dan ada bahaya-nya pisaunya terampas. Cepat ia meng-angkat tangannya ke atas. Mutiara Hitam tertawa dan Mahendra terkejut, cepat hendak mengelak namun telambat. Dia tadi telah kena dipancing sehingga me-nekuk tengannya melindungi pisau, akan tetapi kiranya jari tangan Mutiara Hitam telah menotok sambungan sikunya sehing-ga seketika lengan kirinya menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu bagaimana terjadi-nya, pisau kirinya telah berpindah ke tangan kanan Mutiara Hitam yang cepat menyambar dan merampasnya pada detik lengannya lumpuh tertotok tadi.
*** Bagus! Hebat kau Mutiara Hitam, akan tetapi aku masih belum ka-lah!" Mahendra
membentak dan kini menerjang makin hebat dengan pisau kanan-nya. Mutiara Hitam
melemparkan pisau rampasannya kepada suaminya yang me-nerima pisau itu dan
memeriksanya pe-nuh kagum karena pisau itu terbuat dari logam yang aneh dan amat kuat pula.
"Mahendra, bersiaplah engkau untuk mengakui keunggulan Mutiara Hitam dan membuatkan sepasang pedang untuk membayar taruhanmu!" Mutiara Hitam berseru dan kini wanita sakti itu mener-jang lawannya dengan gerakan yang membuat Mahendra benar-benar bingung.
Tubuh wanita itu lenyap dan yang tam-pak hanya bayangan putih seperti awan yang bermain-main, namun mengandung angin berpusingan yang membuat tubuh Mahendra ikut pula
berputaran tanpa dapat dicegahnya lagi. Itulah jurus Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Rontok-kan Bunga) dari ketigabelas jurus ilmu silat sakti! Mahendra berusaha untuk mempertahankan diri, namun tubuhnya berputar makin cepat dan tak dapat dikuasainya pula dan tahu-tahu pisau kanannya telah terampas pula, lututnya tertendang sehingga ia jatuh berlutut di depan Mutiara Hitam!
"Aku mengaku kalah, Mutiara Hitam!" kata kakek hitam itu penuh kagum.
Juga Nila Dewi yang mengikuti jalan-nya pertandingan dengan seksama me-ngerti bahwa dia pun bukanlah tandingan Mutiara Hitam, maka ia lalu melangkah maju dan berkata, "Kami tidak mendapat kesenangan memperoleh anak bertulang baik, tidak pula dapat menikmati keme-nangan pertandingan, biarlah kita menik-mati pembuatan pedang dengan bahan yang aneh. Keluarkanlah logammu itu, Mutiara Hitam, kami akan saling berlum-ba membuatkan pedang terbagus untuk-mu."
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 73
Tang Hauw Lam mengeluarkan dua butir bola logam putih dari bungkusan dan menyerahkan dua buah logam itu kepada Nila Dewi dan Mahendra. Ketika dua orang itu menerima dan memeriksa logam itu, mereka terbelalak dan mem-buat gerakan seperti orang menyembah dengan hormat. Mulut Mahendra berkata lirih, "Ya, Tuhan...., ini.... besi bintang putih....!"
Nila Dewi juga terbelalak, mukanya agak pucat dan ia berkata, "Luar biasa.... dan kita.... yang mendapat kehormatan membuatkan pedang.... dari logam mulia dan keramat ini....!"
Mutiara Hitam sejak tadi memandang penuh perhatian dan kekaguman, kemu-dian ia berkata,
"Apakah kalian hendak mengatakan bahwa kalian bisa membuat sepasang pedang dari buah benda bola logam ini?"
"Bisa" Tentu saja bisa! Akan tetapi kami minta agar kalian tidak mencam-puri dan mengganggu kami membuat pedang!" kata Nila Dewi.
"Benar." Mahendra mengangguk-ang-guk. "Kami minta tempat terpisah dan tidak mau
diganggu. Betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, Mutiara Hitam, akan tetapi dalam
pembuatan po-kiam, apalagi menggunakan bahan keramat seperti ini, engkau tentu tidak tahu apa-apa. Karena itu, jangan mencampuri pekerjaan kami."
Mutiara Hitam mengangguk-angguk. "Baik, aku percaya kepada kalian. Akan tetapi contoh pedangnya harus seperti ini!" Mutiara Hitam menggunakan jari telunjuknya menggambar sebatang pedang di atas tanah dan menerangkan model-nya, ukurannya dan lain-lain, diperlihat-kan oleh dua orang India itu yang meng-angguk-angguk. Sebagai ahli-ahli yang berpengalaman, sekali pandang saja tahu-lah mereka pedang macam apa yang harus mereka bikin.
"Kalian boleh menggunakan dua buah guha di kiri sana itu, di sana bersih dan sunyi. Kami takkan mengganggu, akan tetapi kalian harus memberi waktu, berapa lama kalian sanggup menyelesaikan pedang itu?"
Mahendra dan Nila Dewi berpikir--pikir, mengerutkan alis dan menghitung-hitung. "Untuk mempersiapkan tempat pembakaran dan penempaan sih cukup beberapa hari saja." kata Mahendra.
"Hemm, yang harus dipikirkan adalah cara membakar logam ini agar melunak dan dapat ditempa dan dibentuk!" Nila Dewi berkata sambil menimang-nimang logam bundar di
tangannya. "Hal ini perlu kita selidiki lebih dulu kata pula Mahendra, kemudian ia meno-leh kepada Mutiara Hitam. "Kami minta waktu tiga bulan atau seratus hari! Ka-lau dalam waktu seratus hari pedang ini belum jadi, berarti kami tidak sanggup lagi."
Mutiara Hitam menghela napas dan mengangguk. Dua orang pembuat pedang itu adalah orang-orang aneh dan ia per-caya bahwa sekali mereka berjanji tentu akan dipenuhinya. Dia tidak tahu cara bagaimana mereka akan membuat pedang dari dua batu logam aneh itu, akan tetapi diam-diam, ia pun mengharapkan agar mereka akan dapat berhasil mem-buat sepasang pedang yang ia idam-idamkan. Dua buah benda putih itu amatlah anehnya, kalau dilekatkan dapat bergerak sendiri. Ada tenaga mujijat dalam kedua benda itu, pada satu ujung-nya mereka itu dapat saling menarik dan ujung yang lain mengeluarkan daya tolak atau saling mendorong!
Sepasang guha yang dipergunakan oleh Mahendra dan Nila Dewi untuk membuat pedang itu agak jauh dari guha yang ditinggali Mutiara Hitam dan suami serta dua orang muridnya sehingga mereka tidak dapat melihat apa yang dikerjakan dua orang India yang membuat pedang itu. Mereka hanya mendengar kadang-kadang suara klang-kling-klang seperti dua buah benda keras beradu, kadang-kadang melihat cahaya api dari dalam guha-guha itu.
Kadang-kadang sampai berhari-hari sunyi saja seolah-olah dua orang itu telah pergi meninggalkan guha tanpa pamit.
"Subo, bagaimana kalau mereka pergi minggat?" Can Ji Kun bertanya kepada Mutiara Hitam.
"Benar, aku pun tidak percaya dua manusia iblis itu akan mampu membuat pedang dari dua Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 74
buah logam keramat itu!" Ok Yan Hwa juga berkata.
Mutiara Hitam menyapu wajah kedua orang muridnya dengan alis berkerut, kemudian ia berkata menegur, "Camkan-lah dalam kepala kalian bahwa di dunia orang gagah, baik pada golongan putih maupun hitam, golongan bersih maupun sesat, terdapat semacam kehormatan yang takkan dilanggar biar berkorban nyawa sekalipun. Aku percaya bahwa mereka akan memenuhi janji. Bagi seorang gagah, tidak ada sifat yang lebih rendah daripada tidak-memenuhi janji!"
Dua orang murid itu mundur dengan takut dan tidak berani bertanya lagi. Akan tetapi, makin lama makin anehlah keadaan di sepasang guha itu didengar dari tempat mereka. Pada suatu malam, terdengarlah jeritan-jeritan anak kecil melengking berkali-kali dari sepasang guha itu.
"Keparat!" Tang Hauw Lam yang bia-sanya bersikap gembira dan tenang, kini agaknya tak dapat menahan kesabarannya lebih lama lagi "Mereka menculik anak-anak!"
Akan tetapi Mutiara Hitam hanya duduk bersila dengan tenang, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah jeritan-jeritan itu tidak didengarnya. "Eh, masa kita harus mendiamkan saja mereka meng-gangu anak-anak" Mungkin membunuhnya!"
Mutiara Hitam menghela napas. "Bu-kankah kita sudah berjanji tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?"
"Memang tidak mencampuri pekerjaan membuat pedang. Akan tetapi kalau me-reka
membunuh anak-anak, tak dapat aku membiarkan saja. Apa mereka boleh membunuhi anak-anak tak berdosa di depan hidung Pek-kong-to" Hemm, sebelum aku mati, hal itu takkan terjadi!" Tang Hauw Lam yang biasanya bergem-bira itu sudah bangkit berdiri dan
mem-bawa goloknya, siap untuk mandatangi sepasang guha itu dan menyerbu.
"Nanti dulu, Suamiku!" Mutiara Hitam berkata, suaranya penuh kesungguhan.
"Apakah engkau mau melanggar janji kita tidak akan mencampuri pekerjaan mereka
membuat pedang?"
"Siapa mau mencampuri" Apa hubung-annya penculikan anak-anak itu dengan pembuatan pedang?" Tang Hauw Lam berhenti dan menoleh kepada isterinya, penasaran.
"Apakah engkau lupa tentang dongeng yang pernah kita dengar di dunia barat tentang logam mulia yang hanya dapat dibikin cair dan lunak hanya dengan campuran-campuran tertentu?"
Tang Hauw Lam sejenak memandang isterinya dengan mata terbelalak, ke-mudian wajahnya berubah pucat. "Kau.... kaumaksudkan.... anak-anak itu....?"
Mutiara Hitam mengangguk. "Mereka itu biarpun mungkin saja membutuhkan anak-anak untuk meyakinkan ilmu hitam mereka, takkan berani melakukan hal itu di dekat kita. Kalau mereka toh mela-kukannya juga, tentu ada hubungannya dengan pembuatan pedang. Kalau kau penasaran, besok boleh kau bertanya, kiranya takkan meleset dugaanku."
Wajah Hauw Lam makin pucat. "Ka-lau begitu.... pedang-pedang itu.... akan menjadi Sepasang Pedang Iblis....!"
Mutiara Hitam mengangguk. "Kalau benar dugaan kita, begitulah. Maka ki-ta harus lebih waspada lagi menjaga agar sepasang pedang itu jangan jatuh ke tangan lain orang. Kalau benar sepasang pedang itu menjadi Pedang Iblis, kita berkewajiban untuk membasminys sendiri agar tidak menimbulkan malapetaka!"
Tang Hauw Lam mengangguk-angguk kemudian membentak dua orang muridnya agar tidur karena mereka itu masih mendengarkan percakapan kedua orang guru mereka dengan penuh perhatian. Pada keesokan harinya, Tang Hauw Lam yang merasa penasaran menghampiri sepasang guha itu dari jauh dan berte-riak.
"Mahendra! Aku tidak akan mencam-puri pekerjaanmu, akan tetapi keluarlah, aku bertanya kepadamu!"
Sunyi saja sepasang guha itu. Setelah Tang Hauw Lam mengulangi pertanyaan-nya, terdengar suara Mahendra meng-omel. "Keparat! Dengan mengganggu samadhiku, engkau membikin Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 75
aku keting-galan sehari oleh Dewi, Pek-kong-to! Engkau mau tanya apa" Lekas!"
"Hanya tentang jeritan suara anak--anak semalam...."
"Pek-kong-to! Kalau tidak melihat muka Mutiara Hitam isterimu, pertanya-anmu ini bisa kuanggap bahwa engkau mencampuri urusan pekerjaan kami dan engkau melanggar janji!
Bodoh engkau! Di dalam guha manusia yang sudah dicairkan terdapat semacam zat yang tidak ter-dapat pada tubuh mahluk lain. Dan itulah yang dibutuhkan, karena hanya dengan campuran itulah logam ini dapat dicari-kan! Apa lagi?"
Tang Hauw Lam merasa betapa kedua kakinya menggigil. "Sudah cukup!" kata-nya dan ia lari kembali ke guha di mana isterinya masih duduk bersila dengan wajah yang muram.
"Benar sekali!" Hauw Lam berkata sambil menjatuhkan diri dekat isterinya.
"Sungguh tidak kebetulan sekali kita yang menemukan logam itu. Pedang su-dah dibuat, sepasang pedang yang sifat-nya jahat sekali, sebelum dibentuk pun sudah minum darah dan nyawa dua orang anak. Kita harus membasmi pedang-pe-dang itu!"
"Benar, kita hanya menanti sampai sepasang pedang itu jadi."
Mulai hari itu, setiap hari terdengar-lah bunyi besi ditempa nyaring di dalam sepasang guha, tanda bahwa dua orang India itu sibuk sekali membuat pedang yang dipesan Mutiara Hitam.
Kedua orang ini memang aneh. Mereka sesung-guhnya saling mencinta, akan tetapi juga selalu saling berlumba tidak mau kalah. Apalagi kini mereka berdua berlumba membuatkan pedang untuk Mutiara Hi-tam, pedang yang sama bahannya, sama bentuknya pula. Tentu saja mereka mulai berlumba untuk membuatkan pedang yang sebagus-bagusnya!
Memang cara mereka membuat pe-dang dari logam putih itu amat menye-ramkan. Setelah beberapa hari gagal membikin logam itu mencair atau me-lunak, akhirnya mereka berdua lalu pergi dan menculik anak-anak dari dalam dusun yang jauh letaknya dari situ. Mahendra menculik seorang anak perempuan se-dangkan Nila Dewi menculik seorang anak lakl-laki secara terpisah. Mengapa Mahendra menculik anak perempuan dan Nila Dewl menculik anak laki-laki" Se-betulnya keduanya salah mengira dan terdorong oleh nafsu bersaing, Mahendra mengira bahwa tentu Nila Dewi membuat pedang yang bersifat betina, maka ia pun menculik seorang anak perempuan dan mulai membuat sebatang pedang "betina" dengan menggunakan darah dan tubuh serorang anak perempuan. Demikian pula dengan Nila Dewi yang tidak mau kalah, dia mengira bahwa Mahendra tentu akan membuat sebatang pedang "jantan" maka dia lalu membuat pedang "jantan" untuk mengalahkan saingannya itu! Tanpa me-reka ketahui, terdorong oleh nafsu tidak mau kalah masing-masing. Mahendra membuat pedang "betina"
sedangkan Nila Dewi membuat sepasang pedang "jantan"!
Anak yang mereka culik itu, mereka gantung dengan kepala di bawah, ke-mudian mereka mengerat urat nadi untuk mengeluarkan darah mereka. Dengan darah inilah logam itu
"dicuci" dan di-rendam, kemudian tubuh yang masih hidup itu dimasukkan ke dalam kwali besar untuk direbus bersama-sama logam putih! Cara yang mengerikan sekali, akan tetapi nyatanya, setelah menghisap hawa tubuh manusia dan terkena darah anak-anak ini, logam putih itu dapat dibakar lunak dan dibentuk!
Kurang lebih tiga bulan kemudian, pagi-pagi sekali Mutiara Hitam dan sua-minya terkejut mendengar suara beradu-nya senjata yang menimbulkan suara berdesing nyaring sekali.
Mereka cepat meloncat keluar menuju ke sepasang guha itu dan apakah yang mereka lihat"
Mahendra dan Nila Dewi sedang bertan-ding mati-matian mempergunakan dua batang pedang yang mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar-nyambar. Dari jauh saja Mutiara Hitam dan suaminya yang sudah banyak pengalaman itu mera-sai adanya getaran pengaruh mujijat yang keluar dari sinar pedang itu. Dua batang pedang yang amat indah buatannya, per-sis seperti contoh yang dilukis di atas tanah oleh Mutiara Hitam tiga bulan yang lalu, hanya pedang di tangan Ma-hendra agak kecil sedikit.
"Aihhh.... mengapa kalian" Jangan berkelahi....!" Mutiara Hitam berseru dan melompat maju untuk melerai, akan te-tapi tiba-tiba sinar pedang yang seperti kilat itu menyambar ke arahnya Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 76
dengan kecepatan luar biasa sehingga Mutiara Hitam terkejut sekali dan melompat ke belakang.
"Jangan mencampuri!" Mahendra membentak. "Lihat, pedang siapa yang lebih lihai!"
"Manusia sombong! Pedang buatanku akan menghancurkan pedang buatanmu berikut
kepalamu yang sombong!" Nila Dewi juga menjerit dan menyerang lagi dengan hebatnya.
"Cring-sing-tranggg....!" Bunga api berhamburan menyilaukan mata dan ke-dua pedang itu terpental setiap kali ber-temu, lalu kedua orang itu saling serang dengan kecepatan kilat.
"Celaka...., tahan....!" Tang Hauw Lam berseru dan meloncat maju dengan golok di tangan.
"Trang-trangggg.... aiihhh....!" Tang Hauw Lam terpaksa harus meloncat ke belakang karena ketika goloknya tertang-kis oleh dua pedang itu, ia merasa seolah-olah dibetok oleh dua tenaga berten-tangan yang amat kuat.
Mutiara Hitam juga menerjang maju, kini pedang Siang-bhok-kiam di tangannya sehingga ketika ia menerjang maju untuk memisahkan dua orang itu, tampak sinar pedangnya yang hijau, akan tetapi, kem-bali sepasang pedang yang tadinya saling serang itu secara aneh dan tiba-tiba sekali telah membalik dan menghadapi pedang Mutiara Hitam dengan kekuatan mujijat dan kerja sama yang mengheran-kan.
"Trak-trakkk!" Juga Mutiara Hitam menghadapi kenyataan mujijat karena pedangnya yang jarang menemui tanding itu kini tertolak dan tangannya tergetar ketika bertemu dengan sepasang pedang yang sinarnya seperti kilat itu!
Terpaksa ia meloncat ke belakang dan berkata kepada suaminya, "Kalau mereka sudah gila untuk saling bunuh, biarkan-lah!"
Dan memang tidak ada jalan lain lagi bagi Mutiara Hitam dan suaminya. Dua orang itu seperti gila, kalau dibiarkan, saling menyerang seperti hendak saling bunuh! Akan tetapi kalau tidak dipisah-kan, mereka berdua membalik dan me-ngeroyok lawan yang mengganggu me-reka!
Tentu saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak mau merobohkan mereka hanya untuk
menghentikan pertandingan mereka!
Can Ji Kun dan Ok Yang Hwa juga sudah tiba di tempat itu dan dua orang anak ini
memandang pertandingan dengan pandang mata bersinar-sinar penuh kagum melihat
sepasang pedang itu. Selama ini kedua orang murid Mutiara Hitam telah mendengar
percakapan antara guru me-reka tentang sepasang pedang yang se-dang dibuat secara aneh oleh Nila Dewi dan Mahendra, dan diam-diam kedua orang anak ini ingin sekali memiliki pe-dang yang luar biasa itu. Apalagi setelah kini pedang-pedang itu jadi, melihat sinar pedang seperti kilat, mereka makin ka-gum.
Pertandingan Nila Dewi dan Mahendra sudah mencapai titik puncak yang ber-bahaya sekali.
Mutiara Hitam dan suami-nya maklum bahwa seorang di antara mereka tentu akan roboh terluka, akan tetapi karena mereka tidak dapat ber-buat apa-apa, mereka hanya memandang dengan alis berkerut.
"Cringggg!" sepasang pedang itu ber-temu di udara, tertolak keras dengan tiba-tiba dan.... "Blesss....! Blesss....!" pedang di tangan Mahendra menembus dada Nila Dewi, sebaliknya pedang wani-ta itu menembus dada Mahendra. Kedua-nya terhuyung, melepaskan pedang ma-sing-masing yang sudah menancap di dada lawan, kemudian roboh terguling ke kanan kiri!
"Gila!" Mutiara Hitam dan Tang Hauw Lam meloncat menghampiri dua tubuh yang rebah telentang itu.
Mahendra memandang Mutiara Hitam dan tertawa! "Ha-ha-ha, sepasang pedang pesananmu
Golok Halilintar 10 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Dendam Iblis Seribu Wajah 14
^