Istana Pulau Es 4

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


telah rampung, Mutiara Hi-tam! Sepasang Pedang Iblis! Disempurna-kan dengan rendaman darah kami sendiri. Sepasang Pedang Iblis, kelak masih akan banyak minum darah manusia, ha-ha-ha!"
Nila Dewi terbelalak dan juga ter-tawa. "Mahendra, kita berdua akan hidup terus, dalam Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 77
sepasang pedang ini. Sepa-sang Pedang Iblis.... hi-hik, kita akan selalu haus darah, akan selalu bersaing.... ha-ha!"
Biarpun Mutiara Hitam dan Pek-kong--to adalah suami isteri pendekar yang sudah mengalami banyak hal-hal aneh dan menyeramkan, akan tetapi melihat betapa dua orang itu berkelojotan dan tewas dengan ucapan-ucapan seperti itu, keduanya merasa ngeri juga. Sejenak mereka berdua memandang kepada pe-dang "jantan" yang kini menancap di dada Mahendra, untuk kedua kalinya minum darah manusia, dan kepada pe-dang "betina" yang menancap di dada Nila Dewi.
"Haruskah kita mengambil pedang-pedang itu?" Tang Hauw Lam bertanya kepada isterinya dengan perasaan jijik. "Tak enak rasanya memegang kedua pe-dang itu."
Mutiara Hitam mengangkat muka memandang suaminya. "Apa" Engkau.... takut?"
Suaminya tersenyum. "Takut sih tidak, hanya.... hemm, ngeri!" Ia memandang kepada dua mayat itu. "Sebaiknya kita kubur saja kedua jenazah ini berikut kedua pedangnya!"
"Tidak baik begitu!" Mutiara Hitam mencela. "Pedang ini tercipta karena kita, maka harus berada di tangan kita. Kalau dikubur kemudian didapatkan orang lain, tidakkah celaka?"
"Apa...." Kau sebatang dan aku se-batang" Jangan-jangan setelah kita ber-dua masing-masing menyimpan sebatang, kita pun akan menjadi gila dan saling menyerang seperti mereka."
Hauw Lam menggeleng-geleng kepala dan menggo-yang-goyang tangan.
"Tahyul!" Mutiara Hitam mencela."Memang mereka ini sejak dulu sudah selalu tidak akur dan bersaingan. Akan tetapi, biarlah sepasang pedang ini aku yang menyimpannya." Mutiara Hitam lalu mencabut! sepasang pedang itu dan ia memandang terbelalak kepada kedua pedang dan ke arah dada kedua buah mayat itu.
"Benar-benar Sepasang Pedang Iblis yang suka minum darah.... !" Tang Hauw Lam berseru dengan muka pucat. Ter-nyata setelah dicabut, kedua pedang itu tetap putih bersih tidak ada darahnya, bahkan dada yang terluka dan ditembus podang itu pun tidak berdarah, seolah--olah semua darahnya habis dihisap oleh kedua pedang itu!
"Sepasang Pedang Iblis yang haus darah dan harus disingkirkan!" Mutiara Hitam juga berkata, lalu tiba-tiba ia membentak dua orang murid yang datang mandekat, "Ho, kalian mau apa?"
"Subo, berikan pedang betina kepada taecu!" kata Ok Yan Hwa.
"Dan yang Jantan untuk teecu, Subo!" kata pula Can Ji Kun.
Dua orang suami isteri itu saling pandang. "Hemm, untuk apa pedang bagi kalian?"
Kemudian Mutiara Hitam ber-kata untuk membantah sendiri ketahyul-annya terhadap sifat sepasang pedang itu. "Karena baru saja jadi, agaknya di dalam tubuh pedang masih ada lubang-lubang dan hawa panas oleh api yang membakarnya, membuat pedang-pedang ini mempunyai daya menghisap." Betapa-pun juga, Mutiara Hitam bangkit berdiri dan meneliti sepasang pedang itu penuh perhatian. Buatannya amat indah dan halus, bentuknya sama benar, hanya perbedaannya terletak pada tubuh pedang yang berbeda sedikit besarnya. Ia mem-pertemukan ujung pedang yang runcing dan.... kedua pedang itu tertolak, seolah-olah tidak suka bertemu ujung dan tiba--tiba ada kekuatan aneh yang membuat gagang kedua pedang itu saling menempel! Berkali-kali Mutiara Hitam mencoba dan mendapat kenyataan bahwa ujung runcing kedua pedang itu saling menolak, akan tetapi ujung di gagang saling menarik.
"Hemm, mengandung sembrani yang kuat...." katanya perlahan. Mereka lalu mengubur jenazah Nila Dewi dan Mahendra, kemudian meninggalkan tempat itu untuk merantau ke tempat lain karena Mutiara Hitam tidak suka lagi tinggal di situ setelah terjadi peristiwa kematian dua orang India itu.
Tang Hauw Lam yang amat bijaksana dan amat mencinta isterinya, maklum sepenuhnya betapa sikap isterinya ber-ubah banyak sekali semenjak menerima berita kematian Raja Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 78
Khitan. Isterinya sekarang pemarah sekali, bahkan kedua orang muridnya menjadi takut karena sering dibentak dan ditampar, pula sering kali termenung-menung dan melihat ma-tanya yang membengkak, tahulah dia bahwa sering kali isterinya itu secara sembunyi-sembunyi suka menangis.
Pada suatu hari, selagi mereka beris-tirahat di atas lereng dan mereka mem-biarkan dua orang murid bermain-main di padang rumput, Tang Hauw Lam tak dapat menahan lagi tekanan batinnya. Ia duduk mendampingi isterinya dan berkata lirih.
"Kwi Lan Isteriku. Engkau kenapa-kah?"
Kwi Lan yang seperti orang terme-nung itu, menoleh kepada suaminya dan berkata singkat,
"Tidak apa-apa."
Hauw Lam menghela napas, kemudian berkata halus dan lirih. "Kita telah menjadi suami isteri selama belasan tahun, setiap harl kita berkumpul sehingga aku mengenal engkau seperti mengenal tu-buhku sendiri, Kwi Lan. Aku melihat perubahan hebat terjadi atas dirimu.
Eng-kau membiarkan Nila Dewi dan Mahendra membunuh dua orang anak kecil, kemudian saling bunuh sendiri. Engkau hampir saja membunuh Raja Yucen, kulihat dari getaran tanganmu. Baru hal itu tidak terjadi setelah engkau mendengar bahwa pembunuh Raja dan Ratu Khitan bukan-lah bangsa Yucen, melainkan bangsa Mongol. Aihh, Kwi Lan. Engkau tertekan kedukaan hebat atas kematian kakak kembarmu, bukan" Kedukaan yang mem-buat engkau menjadi dingin, tak pedulian, kejam...."
Tiba-tiba Mutiara Hitam, wanita sakti yang hatinya sekeras baja itu, menubruk suaminya, merangkul dan menangis terse-du-sedu. "Aduhhh, Lam-ko... apakah yang harus kulakukan, Lam-ko...." Aihh.... l"
Tang Hauw Lam memeluk isterinya penuh kasih sayang dan membiarkan is-terinya menangis sepuasnya untuk memberi jalan keluar pelepasan kedukaan hatinya. Kemudian ia berkata.
"Isteriku, kalau tidak salah dugaanku, engkau tentu menaruh dendam benar di hatimu atas kematian Raja Talibu, bu-kan?"
Kembali Mutiara Hitam memandang suaminya dengan muka basah air mata, sejenak
sepasang matanya memandang penuh selidik. Akan tetapi ketika ia me-lihat betapa suaminya memandang kepa-danya penuh pengertian, ia tersedu dan menundukkan mukanya.
"Dugaanmu benar, Suamiku. Kalau aku tidak bisa membalas dendam ini, hidupku takkan dapat tenang lagi. Aku bisa menjadl gila dikejar-kejar dendaml Aku..., aku harus membalas dendam lnl, aku harus membunuh Raja Mongoll"
Tang Hauw Lam menarik napas, ke-mudian berkata suaranya penuh kedukaan. "Aku
mengerti, Isteriku. Biarpun keputus-an hatimu Ini sebenarnya jeliru, namun tidak berani aku melarangmu karena aku tahu betul apa yang terjadi dalam hati-mu."
Mutiara Hitam merangkul suaminya. "Aihhh, Lam-ko... selamanya engkau be-gini penuh pengertian terhadap aku, pe-nuh kasih sayang dan penuh kesabaran. Aku... aku memang selalu salah... ahhh, lam-ko... akan tetapi, kalau aku tldak membalas dendam kematlan kakakku, agaknya aku akan menjadi gila! Aku akan mati dalam hidup merana dan selalu dlgoda bayangan Kakak Talibu yang me-nuntut dlbalaskan kematiannya. Aaahh, Lam-ko, betapa tersiksa selama beberapa malam ini... didatangi bayangan Kakak Talibu.... " Mutiara Hitam menangls lagi terisak-isak.
Diam-diam Hauw Lam terkejut sekali.
Dia mengerti bahwa' memang ikatan ba-tin dan lkatan getaran yang lebih halus dan lebih dekat antara saudara kembar. Maka Ia mengeraskan hatinya dan berta-nya.
"Janganlah engkau merasa bersalah kepadaku dan hendak menyembunyikan, Isteriku.
Sekarang katakanlah terus te-rang, apa yang menjadi kehendak hatimu yang selama ini kautahan-tahan dan kau-tekan-tekan?"
Mutiara Hitam menyusut air matanya sampai kering dan kembali ia menghadapi suaminya, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 79
sekali ini seperti biasa, tenang dan penuh kesungguhan. "Lam-ko, aku lngin pergi ke Mongol dan membunuh Raja Mongoll"
Biarpun jantung Hauw Lam berdebar karena maklum bahwa hal Itu sama saja artinya dengan membunuh diri, namun ia mengangguk dan berkata, "Balk sekali! Kapan kita berangkat, aku siap, Isteriku."
"Inilah persoalan yang mengganggu hatiku dan membuat aku selama ini tidak dapat berterus terang. kepadamu, Lam-ko. Aku harus pergi sendiri!"
Berkerut sepasang alls Tang Hauw Lam ketika la memandang tajam wajah lsterlnya.
"Mengapa demikian, . Lan-mo1?"
"Ucusan balas dendam terhadap Raja Mongol ini merupakan bahaya besar, seperti memasuki lautan apI!"
Tang Hauw Lam tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Mutiara Hitaml Apa kau-klra aku lnl orang yang takut matl?"
"Jangan berkelakar. Lam-ko. Dalam urusan laln, tentu saja aku leblh suka sehldup semati dl sampingmu. Akan tetapi urusan Ini lain lagi, lnl merupakan urusan pclbadi bagiku dan aku tidak mau menarlk dirlmu menempuh bahaya besar. Aku tidak suka melihat suamiku ' juga menjadi korban dalam urusan ini. Selain Itu, kalau kita pergi berdua, bagaimana dengan murid-murid kita" Tidak, suami-ku dan kuharap engkau suka memenuhi permohonanku sekali ini, mati atau hidup aku aku akan berterima kasih sekali kepadam u."
"Kwi Lan.... !" Hauw Lam menjadi kaget terharu dan merangkul isterinya. Ia tahu bahwa sekali ini isterinya tidak
main-main dan sudah mengambil keputus-an tetap yang takkan dapat dirubah lagi. .
Kwi Lan merangkul dan membelai suaminya penuh kasih sayang. "Suamiku, dengarlah kata-kataku. Besok pagl aku
akan pergi sendiri. Engkau bawalah dua orang murid kita ke Gunung Merak dl sebelah utara kota raja Khitan, kaulngat tempat yang dlsediakan untuk menjadi tempat pekuburan keluarga Ayahku Sullng Emas" Nah, kautunggulah aku dI sana bersama dua orang murid dan semua kitab-kltabku, juga Sepasang Pedang Iblis. Kalau selesal tugasku di Mongol dan aku dapat keluar dengan selamat, aku akan menyusulmu ke sana. Kalau tidak..., an-daikata aku tewas dalam tugas pribadi ini, hemm... kaupimpin balk-baik kedua orang murid kita, dan aku... aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, Suamiku."
"Lan-mol.... i" Sekali Ini . Hauw Lam yang mencucurkan alr mata. Semalam ltu suaml lsteri ini mencurahkan kasih sa-yang sepenuhnya karena mereka merase di dalam hati bahwa mungkin sekali
mereka saling menumpahkan kasih untuk penghabisan kali!
..Pada keesokan harinya, dengan mata bengkak dan merah, di samping suaminya yang kelihatan muram dan lesu, Mutiara Hitam memanggil Ji Kun dan Yan Hwa lalu menlnggalkan pesan.
"Aku mau pergi, mungkin lama sekali. Kalian adalah anak-anak yang nakal, akan tetapi kalian harus mentaati semua perintah suhu - kalian, belajar dengan te-kun dan rajin sehingga kelak dapat men-jadi pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
Jangan membikin malu nama guru-guru kalian. Mutiara Hitam dan Golok Sinar Putih adalah pendekar-pendekar yang terkenal. Hati-hati kalian, kalau sepergiku kalian tidak menaati Suhu, kalau aku masih hidup, aku sendiri yang akan menghukum kalian dan kalau aku sudah mati, arwah-ku yang akan menghukum kalian. Me-ngerti?"
Dua orang murid itu mengangguk-angguk sambil menangis sesenggukan karena mereka
sudah mendengar bahwa subo mereka hendak pergi jauh dan mungkin tidak kembalil Setelah berpeluk-an untuk terakhir kali dengan suaminya, tanpa berkata-kata hanya sinar mata .
mereka saja yang melepas seribu janji bahwa dalam keadaan hidup ataupun matti mereka Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 80
pastl akan saling berkumpul kembali, Mutiara Hitam lalu berkelebat pergi meninggalkan tiga orang yang di-kasihinya!
Tang Hauw Lam merasa seolah-olah jantungnya disayat-sayat. Semenjak me-nikah dengan Mutiara Hitam, ia tidak pernah berpisah dari isterinya yang ter-cinta itu. Merantau ke negeri jauh ber-dua, menghadapi bahaya-bahaya maut berdua, dalam keadaan suka maupun duka selalu berdua dan bersatu hati. Kini, tiba-tiba isterinya pergi meninggalkannya untuk urusan yang amat berbahaya! Le-mah seluruh tubuhnya dan kalau di situ tidak ada dua orang muridnya, tentu Tang Hauw Lam yang biasanya jenaka gembira ini akan menangis
menggerung-gerung.
Dia lalu mengajak kedua muridnya, mengumpulkan kitab-kitab milik isterinya, menyelipkan Sepasang Pedang Iblis di pinggangnya, kemudian mengajak kedua orang muridnya itu pergi menuju ke Bu-kit Merak di Khitan. Dunia ini tampak tidak menarik lagi bagi Hauw Lam.
Ma-tahari seolah-olah kehilangan sinarnya, bunga-bunga kehilangan keindahannya dan hatinya selalu merasa kehilangan kein-dahannya dan hatinya selalu merasa gelisah dan tertekan. Namun ia tidak per-nah mengeluh di depan kedua orang muridnya. Setelah tiba di Bukit Merak, Tang Hauw Lam mulai melatih kedua orang muridnya dengan tekun, akan tetapi sementara itu, hatinya mengharap--harap siang malam akan kembalinya Mu-tiara Hitam. Dia hanya makan sedikit sekali dan hampir tak pernah tidur karena kalau siang dia selalu menerawang ke jauh, kalau malam telinganya seolah-olah mendengar langkah kaki isterinya pulang! Tubuhnya menjadi kurus sekali dan wa-jahnya menjadi pucat. Menanti dalam keadaan tidak menentu itu benar-benar merupakan siksaan yang paling berat bagi manusia. Kalau saja ia tahu bagaimana hasil pembalasan dendam isterinya! Berhasilkah"
Masih hidupkah isterinya" Ataukah sudah tewas"
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua orang anak yang biasanya dimanja oleh Hauw Lam.
Suhu mereka ini adalah seorang yang gembira selalu, tidak per-nah marah, maka mereka itu amat manja terhadap suhunya. Hanya subo mereka yang berwatak keras terhadap mereka dan dua orang murid ini amat takut kepada Mutiara Hitam. Di bawah asuhan suami isteri itu, mereka berdua akan menjadi murid-murid yang baik karena dari Hauw Lam mereka
mendapatkan kasih sayang yang diperlihatkan dan menerima kegembiraan, adapun dari Mu-tiara Hitam mereka mendapatkan tekan-an agar rajin dan mengenal disiplin. Kini setelah Mutiara Hitam pergi, tidak ada yang mereka takuti lagi dan biarpun mereka masih tekun belajar di bawah asuhan Tang Hauw Lam, namun mereka itu kini sering kali bermain-main sendiri dan tidak mempedulikan guru mereka.
Hal ini adalah karena Tang Hauw Lam Juga sudah seperti sebuah arca, kehilang-an
semangatnya sehingga dia pun tidak mempedulikan muridnya kecuali dalam hal pelajaran ilmu silat.
Setelah dua orang murid itu tahu bahwa subo mereka pergi hendak mem-bunuh Raja Mongol dan melakukan tugas yang berbahaya sekali, mereka kini pun ikut menanti-nanti sehingga tiga orang ini selain belajar ilmu, juga sering kali duduk termenung menanti kembalinya Mutiara Hitam yang amat diharap-harap-kan.
"Mengapa Paduka tidak suka ikut ber-sama bibi Paduka Mutiara Hitam saja" Bukankah dengan ikut beliau, Paduka sama dengan ikut orang tua sendiri dan kelak dapat mempelajari ilmu silat tinggi- yang dimiliki pendekar sakti Mutiara Hitam?" Khu Tek San bertanya kepada Maya ketika mereka duduk beristirahat di bawah pohon besar berlindung dari terik matahari.
Maya menarik napas panjang. Paman Khu, harap jangan menyebut Paduka padaku.
Sesungguhnya, aku bukanlah pu-teri Khitan aseli, dan aku hanyalah anak pungut Raja dan Ratu Khitan saja! Me-reka tidak mempunyai keturunan dan aku adalah seorang yang yatim piatu. Karena itulah, maka aku tidak suka ikut dengan Bibi Mutiara Hitam yang tentu tahu pula bahwa aku bukan keponakannya sesungguhnya. Aku orang biasa, Paman Khu."
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 81
Khu Tek San mengerutkan alisnya. Baru sekarang ia mendengar akan hal ini. Akan tetapi, anak sendiri ataukah anak angkat sama saja, anak ini adalah puteri Khitan yang harus dia lindungi dan ia hadapkan kepada gurunya.
"Baiklah, Maya. Mulai sekarang, demi keselamatanmu sendiri, engkau kuaku sebagai keponakanku. Marilah kita melan-jutkan perjalanan. Di depan sana, lewat bukit itu, adalah benteng bertahanan barisan Sung, kawan-kawan sendiri. Se-telah bertemu mereka, perjalanan ke selatan tentu lebih lancar. Kita dapat menunggang kuda."
Berangkatlah mereka berdua dan ka-rena biarpun baru berusia sepuluh tahun Maya telah memiliki kepandaian lumayan, apalagi setelah ia makan buah-buah me-rah yang biarpun kini khasiatnya sudah banyak berkurang namun telah memper-tinggi gin-kangnya, maka
perjalanan itu dapat dilakukan cepat. Baru sekarang Maya tahu bahwa khasiat buah merah yang membuat tubuh ringan itu hanya sementara, dan agaknya orang-orang aneh itu setiap waktu makan buah-buah itu. Pantas saja ketika pohon buah itu ke-tahuan olehnya, mereka ribut-ribut takut kalau buahnya dihabiskan!
Mereka melewatkan malam di lereng bukit dan pada keesokan harinya, se-belum tengah hari mereka telah tiba di daerah penjagaan bala tentara Sung. Hati Khu Tek San girang bukan main dan ia mengajak Maya untuk mempercepat ja-lannya. Gembira hatinya akan bertemu dengan anak buah pasukan negaranya dan panglima-panglima yang menjadi rekan--rekannya.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan penasaran hati panglima perkasa ini ketika ia tiba di tempat penja-gaan, ia segera dikurung oleh pasukan Kerajaan Sung dan muncullah beberapa orang panglima berkuda yang mengha-dapinya dengan sikap keren, bahkan se-orang panglima yang bertubuh tinggi besar dan penuh wibawa membentak nyaring.
"Khu Tek San! Atas perintah atasan, kami menangkapmu sebagai seorang pengkhianat!"
Panglima itu lalu memberi perintah kepada anak buahnya. "Belenggu kedua lengannya, bocah perempuan itu juga!"
"Apa artinya ini....?" Khu Tek San hampir tidak percaya akan mata dan te-linganya sendiri!
"Hemmm, Khu Tek San! Apakah eng-kau hendak memberontak pula, melawan pasukan
negara?" tanya panglima tinggi besar itu dengan alis berkerut. Wajahnya muram, agaknya dia tidak suka melaku-kan tugas ini, juga dua orang panglima lain memandang tanpa banyak cakap, dengan wajah murung.
"Aku tidak akan melawan. Silakan!" Khu Tek San memberikan kedua lengan-nya yang segera dibelenggu dengan be-lenggu besi yang kuat. Juga Maya yang hanya dapat memandang Khu Tek San den-gan mata terbelalak tidak melawan ke-tika kedua tangannya dibelenggu dengan rantai besi yang lebih kecil. Hemm, agak-nya rantai-rantai itu telah dipersiapkan sebelumnya, pikir Khu Tek San. Kemudian ia memandang kepada tiga orang pang-lima itu dan berkata lantang.
"Ong Ki Bu! Cong Hai dan engkau Kwee Tiang Hwat! Kalian bertiga telah mengenal orang macam apa adanya Khu Tek San! Kalian adalah rekan-rekanku yang sudah mengenal
watakku, sudah mengenal sepak terjangku! Mengapa kini kalian menangkapku dengan
tuduhan berkhianat?"
Sejenak tiga orang panglima itu tidak menjawab dan saling pandang, kemudian Ong Ki Bu, panglima tinggi besar itu, berkata, "Khu Tek San, engkau tahu bahwa petugas-petugas seperti kita hanya mentaat perintah atasan! Engkau di-tuduh telah berkhianat terhadap negara, telah menjadi kaki tangan bangsa Yucen, bahkan engkau dituduh telah melindungi puteri Khitan.
Jelas bahwa engkau tidak setia kepada Kerajaan Sung, dan karena itu, kami akan menjalankan perintah atasan untuk menghukummu sekarang juga!"
"Apa....?" Khu Tek San membentak marah. "Aku bukannya orang yang takut menghadapi hukuman apapun juga! Akan tetapi, salah atau tidak, seorang pang-lima baru akan menjalani hukuman sete-lah diperiksa di pengadilan tinggi di kota raja! Mengapa aku akan dihukum tanpa melalui pemeriksaan pengadilan?"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 82
Kembali tiga orang panglima itu ke-lihatan tidak enak sekali, muka mereka berubah merah dan dengan suara serak dan terpaksa. Ong Ki Bu berkata, "Se-mua ini bukan kehendak kami, Khu Tek San, melainkan atas perintah."
"Atas perintah siapa" Apakah Hong- Siang sendiri yang memerintahkan" Harap suka
perlihatkan perintah dari Kaisar!"
"Kaisar tidak mengurus hal-hal keten-taraan di perbatasan, kau tahu ini, Khu Tek San?" jawab Ong Ki Bu yang agak-nya benar-benar tidak enak hatinya menghadapi urusan ini dan ingin agar segera selasai. "Kalau engkau hendak mendengar bunyi perintah atasan, nah, dengarlah!"
Panglima tinggi besar itu lalu mengeluarkan segulung kertas dan mem-baca dengan suara lantang.
"Karena sudah jelas bahwa Panglima Khu Tek San telah melakukan pengkhia-natan terhadap negara dengan menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen, maka kami memerintahkan kepada semua panglima yang menjaga di tepi tapal batas, untuk menangkapnya dan menjatuhkan hukuman mati gantung di tempat ia ditangkap!"
Wajah Khu Tek San tidak berubah, sedikit pun tidak kelihatan ia gentar sungguhpun matanya membayangkan penasaran dan amarah. "Itu fitnah belaka! Siapakah yang menjatuhkan perintah ini, Ong-ciangkun?"
"Perintah atasan harus ditaati dan kiranya tidak perlu kita perbantahkan lagi, Khu Tek San.
Bersiaplah untuk menjalani hukuman gantung," Panglima itu memberi aba-aba kepada anak buah-nya dan menunjuk ke depan. Khu Tek San memandang ke depan dan melihat bahwa di atas pohon bahkan telah ter-sedia tali gantungan untuknya! Benar-benar hukuman yang telah direncanakan dan diatur terlebih dahulu. Akan, tetapi ia mengenal betul tiga orang panglima itu sebagai panglima-panglima yang ga-gah dan taat sehingga tidak mungkin mereka itu melakukan fitnah dan mence-lakakan dirinya. Yang benar tentulah yang menjatuhkan perintah ini!
"Paman, kurasa ini pun hasil perbuat-an manusia bernama Siangkoan Lee itu...." Tiba-tiba Maya berbisik. Anak ini sama sekali tidak merasa ngeri melihat betapa maut mengancam Khu Tek San yang akan digantung, bahkan mungkin mengancam dirinya sendiri. Dia tetap tenang dan menjalankan otaknya.
"Benar....! Kau benar....!" Panglima yang gagah perkasa itu mengepal kedua tinjunya di antara rantai belenggunya, berdiri tak jauh dari tali gantungan yang sudah siap. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan berkata dengan suara lan-tang.
"Aku Khu Tek San, sebagai, seorang panglima yang selalu siap mengorbankan nyawa untuk negara, taat akan bunyi perintah dan karena tidak diadakan pe-ngadilan, maka aku pun tidak perlu untuk membela diri. Hanya kuminta kepada kalian, pelaksana perintah yang taat, agar tidak mengganggu keponakanku ini karena di dalam surat perintah itu tidak disebut untuk menghukumnya. Aku minta kepada Ong Ki Bu sebagai bekas rekan yang baik, sukalah
mengantar keponak-anku ini kepada Menteri Kam Liong!"
"Permintaanmu kuterima, Khu Tek San!" Terdengar Ong-ciangkun menggun-tur. "Dan kalau aku Ong Ki Bu sudah menerima, tidak ada seekor setan pun akan boleh mengganggu anak itu!"
Khu Tek San tersenyum dan wajahnya berseri ketika ia memandang panglima tinggi besar itu.
"Terima kasih! Terima kasih, bukan hanya atas pertolonganmu terhadap anak ini, rekanku Ong, juga terima kasih karena sikapmu ini mem-buktikan bahwa Panglima-panglima Sung masih merupakan laki-laki sejati yang jantan dan gagah perkasa. Nah, aku siap menerima hukuman!"
Khu Tek San melangkah maju meng-hampiri tali gantungan. Maya memandang dengan mata terbelalak, bukan karena ngeri melainkan karena kagum akan sikap yang gagah perkasa ini!
Seorang perajurit yang menerima perintah, sudah maju dan menurunkan tali gantungan, dikalungkan ke leher Khu Tek San, kemudian ia mundur untuk me-narik ujung tali dari Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 83
belakang batang pohon bersama tiga orang temannya. Khu Tek San berdiri dengan sikap gagah, mata terbuka lebar, siap menerima da-tangnya maut.
"Siaaappp!" terdengar aba-aba, lalu disusul perintah untuk menarik ujung tali sehingga lubang gantungan akan menjerat leher Khu Tek San dan menggantungnya ke atas.
"Krekkk!" Bukan tubuh Khu Tek San yang tergantung ke atas, melainkan tali gantungan itu yang tiba-tiba putus dan jatuh ke bawah kaki Khu Tek San! Se-mua orang terheran lalu memandang ke atas dan ributlah mereka ketika melihat seorang pemuda tampan tahu-tahu telah duduk menongkrong di atas dahan pohon, di mana terdapat tali gantungan tadi, Ong Ki Bu dan para panglima lainnya, juga Khu Tek San sendiri, terkejut sekali melihat betapa pemuda itu dapat berada di situ tanpa ada yang tahu, padahal di situ terdapat banyak orang pandai!
Melihat, pemuda itu jelas datang hen-dak menolongnya, hati Khu Tek San menjadi khawatir dan tidak senang, ka-rena hal ini tentu saja berarti bahwa dia benar-benar akan memberontak dan me-lawan perintah atasan, Maka ia berseru.
"Hei, Enghiong muda yang lancang! Harap jangan mencampuri urusan. keten-taraan! Aku Khu Tek San dengan rela menjalani hukuman, mengapa engkau gatal tangan
mencampurinya?"
Pemuda itu tersenyum dan semua orang memandang heran. Dia masih muda sekali, paling banyak dua puluh satu tahun umurnya, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, pedangnya tergantung di punggung dan biarpun menghadapi pasu-kan sekian banyaknya ia kelihatan tenang tenang saja.
"Khu-ciangkun, engkau adalah seorang gagah perkasa yang patut dipuji dan dikagumi semua orang. Engkau contoh kegagahan. Akan tetapi, yang kusaksikan ini bukanlah hukuman ketentaraan, me-lainkan hukum rimba! Di mana ada atur-annya seorang panglima yang sudah banyak jasanya seperti Khu-ciangkun, tanpa diadili lalu dihukum begitu saja, digantung di dalam rimba" Tidak malu-kah para panglima yang melakukan tugas rendah ini?"
"Heh, orang muda! Turunlah dan kita bicara yang benar! Aku adalah Ong Ki Bu yang bertanggung jawab atas pelak-sanaan hukuman ini. Engkau siapa?"
Pemuda itu melayang turun, gerakan-nya ringan dan indah ia sudah berdiri di depan Ong-ciangkun dengan tersenyum tenag!. "Aku bernama Kam Han Ki...."
"Ohhh....!" Khu Tek San tak dapat menyembunyikan kagetnya, ia memandang bengong dan terbelalak. Tentu saja ia mendengar dari suhunya bahwa suhunya mempunyai seorang adik misan yang semenjak kecil lenyap dan disangka sudah mati, bernama Kam Han Ki. Sekarang tahu-taru muncul dl situ sebagai seorang pemuda tampan gagah yang berani me-nentang pasukan bala tentara Sung!
"Kami melaksanakan hukuman atas perintah atasan, hal ini sudah benar dan syah! Mengapa engkau berani mengatakan hukum rimba?" Ong Ki Bu membentak marah.
"Sabarlah, Ong-ciangkun. Sejak tadi aku sudah mendengar semua dan aku pun tahu bahwa para panglima adalah orang--orang gagah perkasa seperti Khu-ciang-kun, yang setia akan tugas dan melak-sanakan perintah atasan tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi, demi keadilan, perlu kauperlihatkan, atasan yang manakah yang memerintahkan engkau menggantung Khu--
ciangkun" Ketahuilah bahwa aku pun datang sebagai utusan dari kota raja!"
Semua orang terkejut dan dengan muka merah saking penasaran karena orang tidak
mempercayai dirinya. Ong Ki Bu mengeluarkan gulungan surat perintah dan membukanya di depan orang banyak sambil berseru keras.
"Yang menjatuhkan perintah adalah Panglima Besar Suma Kiat! Apakah ma-sih tidak
dipercaya lagi?"
"Hemm, hemm.... surat bisa dipalsu-kan. Dari siapa engkau menerima surat perintah ini, Ong-ciangkun?" Han Ki ber-tanya.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 84
Ong-ciangkun melotot kepada Han Ki dan membentak. "Orang muda, sudah puluhan tahun aku menjadi panglima! Apa kaukira aku begitu sembrono untuk tidak meneliti surat perintah tulen atau palsu" Surat ini tulen, apalagi yang membawa ke sini adalah murid dan pembantu Su-ma-goanswe sendiri!"
"Di mana dia" Harap engkau suka memanggilnya!" Han Ki mendesak.
Panglima itu menyuruh anak buahnya, akan tetapi dicari-cari, utusan Suma Kiat itu tidak ada.
"Wah, dia.... dia sudah pergi tanpa pamit. Sungguh aneh!" Ong-ciangkun berkata heran.
Kam Han Ki lalu berkata, Ong-ciang-kun, Khu-ciangkun dan semua saudara yang berada di sini. Dengarlah. Aku ada-lah adik misan dari Menteri Kam Liong, dan ketahuilah bahwa Khu-ciangkun ada-lah murid dari Kakakku Kam Liong. Kini aku membawa surat perintah dari Men-teri Kam Liong yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Panglima Suma, harap kalian suka mengindahkan perintah-nya!" Han Ki mengeluarkan segulung surat pula.
Dengan tergesa-gesa Ong Ki Bu me-nerima dan membaca surat perintah itu yang berbunyi : Menteri Kam Liong mengutus petugas Kam Han Ki untuk menjemput dan memanggil pulang Pang-lima Khu Tek San ke kota raja.
Wajah panglima tinggi besar itu ber-seri-seri dan ia tertawa bergelak. "Ha--ha-ha! Lega hatiku sekarang! Tentu saja aku lebih mentaati perintah Menteri Kam Liong! Siapa berani membantah perintah beliau" Dan dengan adanya perintah Menteri Kam Liong, terpaksa aku membatalkan perintah Panglima Suma, tidak ada yang akan menyalahkan aku. Ha--ha-ha, rekan Khu Tek San, dasar orang baik selalu dilindungi Thian! Pemuda perkasa ini datang mengembalikan nya-wamu, ha-ha-ha! Engkau tentu tahu be-tapa tak senang hati kami semua melak-sanakan perintah tadi, akan tetapi dia merupakan seorang yang kedudukannya lebih tinggi dari kita, mana kami dapat membantah?"
"Aku mengerti, Sahabat Ong, dan te-rima kasih," kata Khu Tek San dan se-telah dilepas belenggu tangannya dan tangan Maya, Khu Tek San lalu menja-tuhkan diri berlutut di depan Kam Han Ki sambil berkata,
"Teecu Khu Tek San mengucapkan terima kasih atas bantuan Susiok (Paman Guru)!"
Kam Han Ki cepat mengangkat ba-ngun orang yang lebih tua akan tetapi karena menjadi murid kakak misannya maka menjadi pula murid keponakannya itu. "Khu-ciangkun harap jangan berlaku sungkan. Mari kuantar ke kota raja ber-sama anak yang kautolong itu. Maya namanya, bukan?"
Maya memandang kepada Kam Han Ki penuh perhatian, kemudian menegur Khu Tek San.
"Paman Khu, dia masih begini muda, kenapa Paman berlutut menghormatnya" Sungguh tidak layak, membikin dia besar kepala dan sombong saja!"
"Hushh, Maya, jangan berkata demi-kian! Dia itu paman guruku!" kata Khu Tek San cepat-cepat.
"Hemm, aku berani bertaruh, kepan-daiannya tidak seberapa hebat. Mana mampu menandingi Paman?"
Khu Tek San merasa tidak enak se-kali, dan Kam Han Ki memandang Maya dengan alis berkerut dan mata marah, akan tetapi ia pun tidak berkata apa--apa, hanya mukanya berubah merah dan sinar matanya saja yang memaki, "Bocah nakal cerewet kau!"
Akan tetapi, tentu saja di depan Khu Tek San dan para panglima, dia tidak mau cekcok dengan seorang anak perem-puan! Maka untuk menutupi kemendong-kolan hatinya ia
berkata, "Khu-ciangkun, harap engkau suka mengganti pakaian Panglima Yucen dengan pakaian rakyat biasa agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam perja-lanan yang jauh ke kota raja."
Khu Tek San membenarkan pendapat ini dan dengan suka hati para rekannya lalu
mempersiapkan pakaian sipil untuk Khu Tek San, bahkan menyediakan tiga ekor kuda yang baik untuk mereka. Se-telah berpamit dan mengucapkan terima kasih, berangkatlah Khu Tek San, Kam Han Ki dan Maya menunggang tiga ekor kuda menuju ke selatan.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 85
Di sepanjang perjalanan ke selatan ini, atas pertanyaan Khu Tek San, Han Ki bercerita bahwa dia diutus oleh Menteri Kam Liong untuk menyelidiki keadaannya karena lama tidak ada berita. Kemudian setelah menyelidiki ke Yucen, Han Ki terlambat karena Khu Tek San telah pergi bersama Maya.
"Aku mendengar cerita tentang Ciangkun dan Maya yang ditolong oleh Mutiara Hitam dan suaminya
Hemm, ternyata hebat sekali kakakku itu!" kata Han Ki. "Karena mendengar bahwa eng-kau telah pergi ke selatan, maka aku cepat menyusul dan untung bahwa Kam--taijin telah waspada dan membekali se-gulung surat perintah untukku. Kalau tidak, agaknya terpaksa aku harus meniru perbuatan Kakakku Mutiara Hitam dan memaksa mereka melepaskanmu!"
"Memang telah terjadi hal-hal yang amat aneh." kata Khu Tek San yang menceritakan pengalamannya, betapa kurirnya terbunuh oleh orang yang ber-nama Siangkoan Lee seperti terlihat oleh Maya dan betapa rahasianya di Yucen terbuka sehingga dia hampir celaka kalau saja tidak ditolong Mutiara Hitam.
"Hebatnya, orang yang bernama Siang-koan Lee itu agaknya masih melanjutkan usahanya untuk mencelakakanku! Akan tetapi.... hemmmm, memang tidaklah aneh lagi kalau sudah diketahui bahwa dia adalah murid dan pembantu Suma-goanswe...." Khu Tek San mengakhiri ceritanya sambil mengangguk-angguk.
"Kenapakah, Khu-ciangkun" Apakah Suma-goanswe musuhmu?" Han Ki ber-tanya.
Tek San menggeleng kepala. "Sesungguhnya bukan aku yang mereka musuhi. Mereka
memukul aku untuk melukai Su-hu."
"Ah, begitukah" Jenderal Suma itu memusuhi Menteri Kam" Mengapa?"
Kembali Tek San menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Hal itu adalah urusan keluarga, aku tidak ber-hak mencampuri. Susiok tentu dapat ber-tanya kepada Suhu."
"Keluarga Suma adalah keluarga Iblis! Tentu saja mereka selalu memusuhi orang baik-baik seperti Paman, Khu!" Maya yang sejak tadi mendengarkan per-cakapan mereka, tiba-tiba berkata ge-mas.
Kam Han Ki yang masih marah ke-pada gadis cilik, memandang dan berkata dengan suara dingin, "Huh, kau bocah tahu apa?"
Maya membalas pandangan Han Ki dengan mata melotot dan suaranya tidak kalah dinginnya,
"Kalau aku bocah, apa-kah engkau ini seorang kakek" Sombong-nya, merasa diri sendiri paling tua dan paling pandai!"
"Eh, Maya, jangan bersikap begitu kurang ajarl" Khu Tek San cepat men-cela bekas puteri Khitan itu. "Kam-su-siok ini adalah adik dari Suhu, dengan demikian berarti masih saudara misan dari mendiang ayahmu, Raja Khitan. Dia ini adalah pamanmu sendiri! Hayo cepat, memberi hormat dan minta maaf."
Maya duduk di atas punggung kuda-nya, menoleh ke arah Han Ki dan men-cibirkan bibirnya!
Akan tetapi karena ia tahu bahwa Khu Tek San memandangnya dengan mata terbelalak marah, Ia lalu berkata, "Dia bukan pamanku! Kulihat dia belum begitu tua untuk menjadi paman, hanya lagaknya saja seperti kakek-kakek!"
"Maya! Bagaimana kau berani bersikap kurang ajar seperti ini?" Khu Tek San membentak dengan muka merah.
"Paman Khu, aku tidak biasa bersikap menjilat-jilat, apalagi terhadap seorang yang sombong seperti dia,"
"Maya!" Kembali Khu Tek San membentak, matanya mengerling penuh kekhawatiran ke
arah Han Ki. "Sudahlah Khu-ciangkun. bocah seperti ini memang biasanya sukar diurus! Dia ini sudah rusak karena terlalu dimanja," Han Ki berkata dengan sikap tenang, akan tetapi sebenarnya pemuda ini mera-sa betapa perutnya menjadi panas dan ingin sekali dia menempiling kepala Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 86
gadis cilik yang menggemaskan itu.
Kedua pipi Maya menjadi merah sa-king marahnya dan ia membusungkan dada menegakkan kepala ketika meman-dang Han Ki sambil berkata, "Aku sudah rusak karena dimanja, ya"
Dan kau sudah bobrok karena sombong!"
"Maya!" Khu Tek San membentak marah. "Kenapa sikapmu tiba-tiba ber-ubah seperti ini"
Engkau amat sopan dan hormat kepadaku, mengapa kepada Kam-susiok...."
"Karena engkau seorang yang baik dan gagah, Paman Khu. Dan dia ini.... hemm...."
"Dia pamanmu sendiri!" Khu Tek San memperingatkan.
"Paman apa" Aku tidak mempunyai paman seperti dia!"
"Kalau engkau puteri Raja Khitan, berarti dia ini pamanmu sendiri!"
Maya mencibirkan bibirnya. "Aku pun bukan puteri Raja Khitan...."
"Apa....?" Khu Tek San berseru he-ran, bahkan Han Ki juga menoleh, me-mandang anak perempuan itu dengan alis berkerut. Memang pemuda ini merasa terheran-heran melihat Maya. Seorang anak perempuan yang "terlalu" cantik jelita, yang terlalu berani dan kini juga ternyata terlalu galak! Patutnya menjadi puteri Ratu Siluman!
"Sesungguhnyalah, Paman Khu. Tadi-nya aku tidak ingin membuka rahasia ini, akan tetapi untuk membuktikan bahwa aku bukanlah keponakan dia ini, terpaksa kukatakan bahwa aku sebenarnya bukan Puteri Raja dan Ratu Khitan! Aku hanya-lah seorang keponakan luar saja yang diambil anak sejak kecil. Aku hanyalah anak angkat saja!"
Khu Tek San mengangguk-angguk dan berkata, "Biarpun demikian, berarti eng-kau adalah puteri Raja Khitan. Maya! Dan karena itu, engkau tidak boleh bersikap kurang ajar terhadap Kam-susiok. Dia adalah adik misan Raja Khitan! Se-lain itu, kalau tidak ada Kam-susiok ini, apakah, kaukira kita dapat selamat?"
"Cukuplah, Khu-ciangkun. Di sebelah depan ada rombongan orang, sebaiknya kita
melanjutkan perjalanan dan menyusul rombongan itu. Aku ingin tahu siapakah mereka yang lewat di daerah sunyi ini," kata Han Ki.
"Baiklah, Susiok." Khu Tek San lalu mengajak Maya mengejar Han Ki yang sudah
membalapkan kudanya. Maya me-nurut dengan mulut cemberut. Entah mengapa, dia merasa tidak senang kepa-da Han Ki semenjak pemuda itu muncul dengan gaya yang dianggapnya sombong dan angkuh, yang dianggapnya tidak me-naruh perhatian sama sekali terhadap dirinya! Pandang mata pemuda itu me-nyapu lewat begitu saja seolah-olah dia hanyalah sebuah patung yang tiada har-ganya untuk dipandang dengan perhatian. Pemuda itu sama sekali tidak memper-hatikannya! Pemuda itu sombong dan dia membencinya!
Khu Tek San diam-diam merasa ka-gum sekali ketika tak lama kemudian melihat bahwa benar-benar terdapat se-rombongan orang di sebelah depan. Ia kagum akan ketajaman mata dan telinga pemuda yang menjadi susioknya itu. Hal ini saja menebalkan dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya!
Mereka bertiga menahan kuda ketika melewati rombongan itu. Melihat pakaian dan bendera yang terpasang di atas se-buah kereta, tahulah Khu-ciangkun dan Han Ki bahwa rombongan itu adalah se-rombongan piauwsu yang mengawal ba-rang-barang dalam kereta itu. Mereka terdiri dari tujuh orang yang bersikap gagah dan bendera yang berkibar di atas kereta dihias lukisan sebatang golok dengan sulaman benang perak, di bawah golok ditulisi huruf "Gin-to Piauw-kiok" (Perusahaan Pengawal Golok Perak).
Melihat datangnya tiga orang penung-ang kuda, tujuh orang piauwsu itu dengan sikap tenang dan waspada sudah menjaga kereta dan mata mereka memandang ke arah Khu Tek San penuh selidik. Pang-lima she Khu ini sudah mendengar akan kegagahan para piauwsu "Golok Perak", maka ia cepat menjura dan berkata,
"Cu-wi Piauwsu hendak mengantar barang ke manakah?"
Kecurigaan tujuh orang itu berkurang ketika mereka menyaksikan sikap Khu Tek San yang Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 87
ramah dan sopan, juga Khu-ciangkun tampak gagah perkasa, sedangkan Kam Han Ki biarpun memba-wa pedang di punggungnya namun keli-hatan halus sikapnya, halus dan tampan, tidak patut menjadi anggauta perampok, apalagi Maya, gadis cilik itu. Pemimpin mereka, seorang yang dahinya lebar, membalas penghormatan Khu Tek San sambil berkata,
"Kami tujuh orang piauwsu dari Gin-to Piauw-kiok hendak pergi ke kota raja, mengantar barang-barang sumbangan untuk istana Kaisar. Tidak tahu siapakah Sam-wi yang terhormat dan hendak, pergi ke manakah?"
Khu Tak San maklum bahwa orang itu sengaja mempergunakan nama "Istana kaisar" untuk menggertak kalau-kalau ada niat jahat hendak merampok kereta, maka ia tersanyum dan berkata, "Harap Cu-wi tidak usah khawatir. Aku orang she Khu bukanlah perampok, maka tidaklah perlu Cu-wi menyebut nama istana Kaisar. Ha-ha-ha!"
Akan tetapi pemimpin piauwsu itu cepat berkata dengan suara tegas, "Kami harap Khu-sicu tidak mentertawakan kami karena sesungguhnyalah bahwa yang kami kawal adalah barang-barang sum-bangan dari para pedagang dan pembesar daerah kami untuk Kaisar."
Tertariklah hati Khu Tek San. Ia adalah seorang panglima dan bahkan, seorang yang mempunyai kedudukan cukup penting di kota raja, sebagai pem-bantu Menteri Kam, maka cepat dia ber-tanya.
"Maafkan kalau tadi aku salah duga. Akan tetapi ada terjadi urusan apakah dikota raja maka para pedagang dan pem-besar mengirim sumbangan kepada Kaisar?"
*** "Aihhh! Agaknya Sam-wi telah lama meninggalkan selatan!" Pimpinan piauwsui itu berseru heran. "Kota raja telah ramai dan dalam keadaan pesta-pora karena Kaisar akan merayakan permikahan seorang di antara puteri-puteri istana. Siapakah yang tidak mendengar bahwa Kaisar akan menghadiahkan puteri ter-cantik, kembangnya istana, Puteri Song Hong Kwi kepada Raja YucenT"
"Ouhhh....!"
"Susiok....! Kau..... kau.... kenapakah....."
Tiba-tiba Tek San meloncat turun dari kudanya dan menangkap kendali kuda yang diduduki Han Ki karena tiba-tiba saja pemuda itu duduk miring di atas kudanya dan kudanya hendak lari karena kendalinya tidak dikuasai Han Ki.
"Ahhh...., tidak apa-apa...." Han Ki berkata, ia sudah dapat menguasai kem-bali hatinya yang terguncang hebat men-dengar keterangan piauwsu itu. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali dan dahinya berkeringat. "Mari.... kita melan-jutkan perjalanan secepatnya!"
Khu Tek San masih merasa heran menyaksikan pemuda itu yang tiba-tiba menjadi pucat dan muram wajahnya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya dan mendengar ajakan Han Kit dia ber-kata,
"Rombongan piauwsu ini mengawal barang-barang sumbangan untuk istana. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu mereka menyelamatkan ba-rang-barang ini sampai ke istana.
Seba-liknya kita melakukan perjalanan bersama mereka."
Alasan itu kuat sekall dan Han Ki yang tidak ingin terbuka rahasia hatinya, mengangguk.
Tujuh orang piauwsu itu girang sekali ketika rmendengar penga-kuaan Khu Tek San bahwa dia adalah seorang Panglima Sung dan hendak memperkuat pengawalan atas barang-barang yang hendak disumbangkan kepada Kaisar. Maka berangkatlah rombongan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu.
Di sepanjang perjalanan, Maya men-dapat kenyataan betapa terjadi perubahan besar sekali atas diri Han Ki. Dia mem-benci pemuda yang dianggapnya sombong itu, akan tetapi entah mengapap dia se-lalu memperhatikan Han Ki. Tanpa disa-darinya, dia selalu memandang dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 88
mem-perhatikan pemuda yang "dibencinya" itu sehingga delapan orang teman seperjalan- dan yang lain seolah-olah tidak tampak lagi olehnya! Karena selalu menaruh perhatian secara diam-diam inilah yang membuat Maya dapat mellhat perubahan hebat atas diri Han Ki.
Pemuda itu ke-lihatan murung sekali dan seperti bunga melayu dan mengering kekurangan air. Pemuda itu tidak lagi mau bercakap--cakap, selalu menjauhkan diri di waktu mereka beristirahat, duduk menjauh lalu termenung dengan alis berkerut. Bahkan Han Ki jarang sekali mau makan kalau tidak didesak-desak olehh Tek San yang juga merasa heran dan khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak kalau ditanya. Di waktu malam Maya melihat betapa Han Ki tidak permah tidur, duduk melamun menggigit kuku jari tangan atau menggigiti seba-tang rumput yang dicabutnya dari dekat kaki. Bahkan sering kali Maya mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh lirih, keluhan yang mengandung
rintihan seolah-olah pemuda itu merasa berduka sekali, rasa duka yang ditahan-tahan dan hendak disembunyikan dari orang lain. Kadang-kadang Maya melihat pemuda itu
mengusapkan punggung tangannya ke depan mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis sung-guhpun tak permah ia dapat melihat air matanya.Memang amat berat penanggungan yang diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan piauwsu tentang hendak dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah-olah ada petir menyambar kepalanya, langsung memasuki jantung Menghanguskan hati dan menghancurkan perasaannya. Hong Kwi, kekasihnya itu, akan dikawinkan dengan Raja Yucen! Membayangkan wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya sepenuh hati dan nyawanya menjadi isteri orang lain membuat Han Ki merasa tertusuk pera-saannya dan ia seolah-olah kehilangan gairah hidup.
Kalau saja Hong Kwi ada-lah seorang gadis biasa, tentu dia tidak akan segelisah itu. Kalau sudah sama mencinta, tentu dia akan dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh meninggalkan segala keruwetan dunia. Akan tetapi, Hong Kwi adalah seorang puteri Kaisar! Mencinta-nya saja sudah merupakan hal yang lang-ka, meminangnya akan merupakan hal yang amat sukar dan dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri Kam. Kini, Hong Kwi sudah dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang melainkan Raja Yucen sendiri! Bagaimana mungkin! ia akan dapat berdaya memiliki kekasihnya" Mengajaknya lari" Tidak mungkin!
Habis, apa yang akan ia laku-kan" Han Ki tidak dapat menjawab per-tanyaannya sendiri dan dia makin gelisah berduka dan putus harapan.
Keadaan Han Ki yang makin pucat dan makin berduka, wajahnya selalu mu-rung itu
mendatangkan perasaan aneh sekali di hati Maya. Kini, melihat keada-an pemuda itu, lenyap sama sekali rasa benci di hati gadis cilik ini, berubah menjadi perasaan iba dan khawatir! Ia seakan-akan terseret ke dalam lembah duka, terbawa oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han Ki. Berkali-kali secara berbisik-bisik ia bertanya kepada Khu Tek San, namun panglima ini pun tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu kelihatan begituu bersedih den untuk ber-tanya, dia tidak berani. Sebagai seorang yang berpengalarman, Khu Tek San mak-lum bahwa seorang pemuda aneh seperti Han Ki, kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekall pun tidak akan membuka rahasianya itu, dan kalau ditanya, tentu akan menimbulkan keti-daksenangan. Maka dia hanya memandang dengan khawatir, diam-diam mengambil keputusan untuk melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu kepada gurunya kelak.
Malam itu rombongan terpaksa bermalam di dalam sebuah hutan yang bcsar karena hujan turun sebelum mereka da-pat keluar dari hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi mereka bahwa di hutan itu terdapat pegunungan karang yang banyak guhanya sehingga mereka dapat berteduh di dalam guha sambil mengobrol di dekat api unggun. Beberapa orang di antara mereka memasak air dan menghangatkan bekal makanan.
Hujan telah mereda dan akhirnya ter-henti sama sekali ketika rombongan itu mulai makan.
Seperti biasa, Khu Tek San dan Maya mendapat bagian dari mereka, akan tetapi kembali Han Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 89
Ki tidak mau makan, malah keluar dari guha dan du-duk menyendiri di atas batu di bawah pohon. Dia duduk melamun di bawah sinar bulan yang mulai muncul setdah awan habis menimpa bumi menjadi air hujan dan angkasa menjadi bersih memburu. Hawa udara malam itu amat di-ngin, sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang duduk dekat api ung-gun di dalam guha. Namun, Han Ki du-duk termenung tanpa membuat api unggun dan dia tidak kelihatan kedinginan. Hal ini adalah karena Han Ki telah me-miliki sin-kang yang amat kuat di tubuh-nya sehingga dia dapat membuat tubuh-nya terasa hangat melawan hawa dingin dari luar tubuh.
Blarpun sedang melamun dan sema-ngatnya seperti melayang-layang jauh, namun panca indranya yang terlatih itu membuat Han Ki sadar bahwa ada orang melangkah dekat dari belakangnya. Lang-kah yang ringan namun bukan langkah seorang musuh, maka dia diam saja biar-pun seluruh urat syaraf di tubuhnya, seperti biasa, siap menghadapi segala bahaya.
"Paman Han Ki...."
Alis Han Ki berkerut makin dalam sehingga sepasang alis itu seperti akan bersambung.
Kiranya Maya yang datang dan panggilan itu benar menambah panas hatinya yang sedang mengkal. Selama dalam perjalanan semenjak "percekcokan" mereka dahulu, gadis cantik itu tidak permah menegurnya, bahkan tidak permah mau memandang langsung dan cepat-cepat membuang pandang matanya kalau kebetulan pandang mata mereka bersi-lang. Anak yang manja, nakal, galak dan angkuh! Akan tetapi sekarang tiba-tiba datang dan memanggilnya paman!
"Aku bukan pamanmu! Lupa lagikah engkau?" Han Ki berkata ketus, tanpa menoleh.
Akan tetapi Maya melanjutkan lang-kahnya dan kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas batu, menunduk.
"Memang kita orang lain. Biarlah kusebut saja namamu. Han Ki, aku da-tang membawa makanan untukmu. Ma-kanlah!"Han Ki terkejut dan terheran sehing-ga di luar kesadarannya ia mengangkat muka memandang. Gadis cilik ini benar--benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah jelas tampak kecantikannya. Wajah yang tertimpa sinar bulan itu demikian cantik seperti bukan wajah manusia.
. Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya berdiri menunduk, memandangnya dengan sikap seorang ibu terhadap, seorang pu-teranya, dengan sikap hendak menghibur! Panas rasa perut Han Ki dan ia men-jawab ketus.
"Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin makan, masa aku menanti kau da-tang membawakan makanan untukku" Pergilah dan bawa makanan itu, kauma-kan sendiri!"
Han Ki merasa pasti bahwa jawaban ini tentu akan memarahkan gadis cilik yang galak itu dan memang demikian yang ia kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak mengganggu dia yang sedang melamun. Akan tetapi sungguh menghe-rankan. Maya tidak menjadi marah! Tidak melangkah pergi, masih berdiri di situ memegang mangkok makanan, bahkan terdengar ia berkata lirih.
"Han Ki, engkau selalu berduka, tidak makan tidak tidur, wajahmu pucat tubuh-mu kurus dan engkau selalu muram dan layu. Mengapakah?"
Han Ki merasa makin jengkel. Bocah ini benar-benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini berani bertanya-tanya tentang urusan yang, menjadi rahasia hatinya! Kalau dia ingat bahwa anak perempuan yang berdiri di depannya ini adalah puteri Raja Khitan, tentu sudah ditamparnya!
"Engkau cerewet benar! Pergilah dan jangan tanya-tanya hal yang tiada sang-kut-pautnya dengan dirimu!" la memben-tak lirih agar jangan terdengar oleh orang-orang lain di dalam guha.
"Hemmmm, di dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh! Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang memaksa kita harus bersuka atau berduka" Yang telah terjadi tetap terjadi Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 90
peristiwa yang sudah terjadi merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah lagi, seperti lewatnya matahari dari timur kemudian lenyap di barat. Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadi-nya peristiwa itu. Mau diterima dengan duka, atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak akan mempengaruhi atau merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka" Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Daripada mena-ngis, lebih baik tertawa! Daripada ber-duka, lebih baik bersuka kalau keduanya tidak merubah nasib!"
Han Ki meloncat bangun seolah-olah kepalanya disiram air es! la memandang gadis cilik itu dengan mata terbelalak dan mulut termganga, hampir tidak percaya bahwa kata-kata yang keluar tadi adalah ucapan Maya.
"Kau.... kau.... sekecil ini.... sudah ber-pendapat sedalam itu?""
Maya tersenyum, girang mellhat beta-pa ucapannya scolah-olah menyadarkan Han Ki dari alam duka. "Aku hanya mendengar wejangan mendiang Ayah.... eh, Pamanku Raja Khitan.
Akan tetapi wejangan itu menjadi peganganku ketika aku dilanda malapetaka dan sengsara.
Ayah bundaku telah tiada, Raja dan Ratu Khitan yang menjadi ayah bunda angkat dan yang kucinta melebihi ayah bunda kandungku sendiri yang tak permah ku-kenal, telah gugur semua. Kerajaan Khi-tan hancur, semua milikku, semua ke-luargaku, terbasmi habis. Adakah keseng-saraan yang lebih hebat daripada yang kualami" Namun aku tidak terpendam atau tenggelam kedukaan seperti engkau! Karena aku berpegang kepada wejangan Raja Khitan tadi. Biar aku menangis dengan air mata darah, semua milikku takkan kembali, semua keluarga-ku takkan hidup lagi. Maka, perlu apa menangis?"
Sejenak Han Ki memejamkan mata-nya dan teringatlah ia akan semua nasi-hat dan wejangan Bu Kek Siansu, gurunya. Terbukalah mata hatinya dan sadar-lah dia betapa selama ini ia benar-benar telah bersikap bodoh dan lemah! Ia ter-haru sekali dan tiba-tiba ia memegang pinggang Maya dengan kedua tangan, mengangkat tinggi-tinggi tubuh Maya sambil tertawa bergelak!
"Ha-ha-ha-ha! Seorang paman baru sadar setelah mendengar nasihat kepo-nakannya! Betapa lucunya! Terima kasih, Maya, anak manis! Terima kasih banyak!"
Akan tetapi tubuh Maya meronta dan kedua kakinya menendang-nendang marah. "Turunkan aku! Aku bukan anak kecil!"


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Ki tersenyum dan menurunkan tubuh Maya. Benar-benar anak ini luar biasa sekali.
Sikapnya aneh, kadang-kadang bersikap seperti orang dewasa!
"Dan aku bukan keponakanmu. Ingat Han Ki. Engkau bukan pamanku melain-kan sahabatku.
Sahabat baik! Nah, ma-kanlah!"
Han Ki duduk di atas batu sambil tersenyum, menerima mangkok itu dan makan dengan lahapnya. Maya pergi dari situ dan kembali lagi membawa makanan lebih banyak yang semua disikat habis oleh Han Ki. Pemuda itu baru sekarang merasa betapa lapar perutnya dan betapa tubuhnya amat membutuhkan makanan. Kemudian, setelah minum air dan arak yang
disediakan Maya sehingga perutnya terasa penuh kekenyangan, dia merebah-kan diri telentang dan tidur pulas! Dia tidak tahu betapa Maya duduk di dekat-nya, memandang wajahnya sambil terse-nyurm puas! Tidak tahu betapa Maya membuat api unggun tidak jauh dari situ sebelum meninggalkannya, masuk ke da-lam guha untuk tidur ditemani Khu Tek San.
Semenjak malam itu, Han K! dapat menguasai dirinva lagi. Dia makan dan tidur seperti biasa sesuai dengan kebu-tuhan tubuhnya, tidak lagi kehilangan semangat sehingga wajahnya tidak pucat lagi, tubuhnya juga pulih. Kini hubungan-nya dengan Maya menjadi baik dan bah-kan akrab, sering kali mereka duduk bercakap-cakap dan Han Ki menceritakan pengalaman-pengalamannya yang luar biasa di dunia kang-ouw, atau kadang-kadang memberi petunjuk ilmu kepada gadis cilik itu.
Akan tetapi, tak mungkin dia dapat melupakan hal yang mengecewakan hati-nya, yaitu tentang Sung Hong Kwi yang akan dikawinkan dengan Raja Yucen. Kalau teringat kepada Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 91
kekasihnya, Mau tidak mau Han Ki termenung. Hanya ke-lincahan Maya saja yang selalu membu-yarkan kedukaan ini dan mendatangkan kegembiraan di hatinya.
Sementara itu, rombongan telah me-lakukan perjalanan jauh dan pada suatu hari mereka memasuki sebuah hutan besar disebelah utara tapal batas kota raja. Hutan ini sudah lama terkenal se-bagai daerah yang berbahaya karena di situ sering kali dihuni oleh perampok-
-perampok ganas yang menghadang perja-lanan yang menghubungkan kota raja dengan
daerah utara. Khu Tek San yang mengenal daerah ini segera memperingat-kan para piauwsu.
Para piauwsu itu ter-tawa dan berkata, "Setelah kami dite-mani oleh Khu-ciangkun, masa perlu takut menghadapi gangguan perampok" Nama Gin-to Piauw-kiok bukan tidak terkenal di antara kaum liok-lim dan kang-ouw. Sungguh kebetulan sekali kami bertemu dengan Ciangkun, pertemuan yang menguntungkan kedua pihak, karena kita dapat bekerja sama saling bantu, bukan" Keselamatan barang kawalan kami, dan keselamatan dua orang
keluar-ga Ciangkun, dapat sama-sama kita lindungi!"
Mendengar ini, Khu Tek San hanya mengangguk-angguk, di hatinya merasa geli karena ia tahu bahwa para piauwsu ini memandang rendah kepada Kam Han Ki yang dianggapnya
sebagai orang yang patut dilindungi! Han Ki yang berada agak jauh dari mereka, dengan pende-ngarannya yang tajam sekali, juga men-dengar kata-kata permimpin piauwsu, akan tetapi dia tidak peduli dan melanjutkan percakapannya dengan Maya sambil menjalankan kuda perlahan-lahan.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah tikungan dan tiba--tiba terdengar suara lengkingan-lengking-an panjang dari depan, kanan dan kiri tempat itu. Para piauwsu cepat meng-hentikan kereta kawalan mereka, men-cabut golok dan siap karena mereka maklum bahwa suara itu adalah tanda--tanda yang dikeluarkan oleh para peram-pok. Dengan golok di tangan, tujuh orang piauwsu itu kelihatan gagah sekali. Golok mereka terbuat dari pada perak, meng-kilap putih tertimpa sinar matahari. Ta-ngan kiri bertolak pinggang, tangan ka-nan memegang golok melintang depan dada, kedua kaki berdiri tegak di kanan kiri agak melebar mata mereka berge-rak-gerak mengerling ke kanan kiri penuh kewaspadaan.
Melihat semua piauwsu telah turun dari kuda, Khu Tek San juga. meloncat turun dan menggiring semua kuda mereka ke pinggir, mencancangnya pada pohon. Kam Han Ki
bersikap tidak peduli, malah membawa kudanya ke kanan. meloncat turun dan duduk di atas batu di bawah pohon, menunduk. Maya memandang te-gang kepada para piauwsu gadis cilik ini pun maklum bahwa tentu akan terjadi serbuan para perampok, maka dia juga turun dari kuda, mengikat kendali kuda-nya dan kuda Han Ki di pohon, kemudian ia berdiri tak jauh dari Han Ki, jantung-nya berdebar karena dia ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang Khu Tek San dan Han Ki. Akan tetapi, dia kecewa rmelihat Han Ki sama sekali ti-dak ambil peduli, bahkan kini pemuda itu menundukkan mukanya seperti orang mengantuk!
Suara suitan melengking makin berisik dan dekat, kemudian muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki berjubah berwarna merah, mukanya brewok dan matanya lebar dan liar seperti mata singa! Berbeda dengan para anak buahnya yang semua memakai topi kain dikerudungkan di atas kepala sampai menutupi leher, pemimpin itu sendiri tidak bertopi, rambutnya yang panjang diikat ke belakang dan kalau semua anak buahnya memegang senjata pedang, golok atau tombak, Si Pemimpin ini bertangan kosong dan sikapnya angkuh sekali.
Khu Tek San yang melihat dandanan para perampok, segera dapat menduga bahwa mereka bukanlah perampok-peram-pok biasa, melainkan pasukan yang ter-latih, pasukan yang memakai pakaian seragam. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga, entah dari mana datangnya pasukan itu yang kini telah menjadi ge-rombolan perampok. Akan tetapi Maya dapat mengenal mereka sebagai suku bangsa Kerait yang terkenal ganas dan kejam kalau sudah berperang melawan musuh! Dan memang dugaan Maya ini benar. Pasukan yang kini telah berubah menjadi gerombolan perampok itu adalah bekas pasukan Kerait yang terpukul Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 92
hancur oleh pasukan Mongol. Sisa pasukan yang cerai-berai itu kemudian dipimpin oleh kakek brewok ini dan menjadi ge-rombolan perampok yang ganas.
"Ha-ha-ha-ha! Segerobak benda-benda berharga yang berat! Dan dijaga oleh tujuh orang piauwsu Gin-to Piauwkiok! Bagus! Bagus! Selain kami dapat bertan-ding secara
menggembirakan, juga akan mendapat hadiah segerobak harta!" Kakek Brewok berjubah merah itu tertawa ber-gelak.
Permimpin piauwsu melangkah maju, menjura dan berkata. "Maaf, sobat. Kami adalah piauwsu-piauwsu Gin-to Piauw-kiok yang selamanya tidak permah ben-trok dengan sobat-sobat dari liok-lim. Karena kami tidak pernah mendengar namamu maka tidak tahu dan lewat tanpa memberi kabar lebih dulu. Harap suka memaafkan dan suka memperkenal-kan namamu agar kami dapat mengirim bingkisan kehormatan. Aku yang mermim-pin rombongan ini dan namaku adalah Chi Kan."
Si Brewok itu mengelus jenggotnya yang pendek akan tetapi memenuhi mu-kanya itu, tangan kirinya bertolak ping-gang. la mengangguk-angguk dan berkata dengan suara nyaring, matanya yang lebar melirik-lirik ke arah kereta, ke-mudian ke arah Maya yang berdiri te-nang. 1
"Bagus! Bagus! Gin-to Plauw-kiok memang dapat menghargai persahabatan! Kami pun
bukan orang-orang yang tak tahu Kebaikan orang, maka kami tidak akan mengganggu kalian asal kalian meninggalkan kereta dan gadis itu untuk kami. Nyawa kalian sembilan orang di- tukar dengan segerobak benda mati dan seorang gadis kecil mungil.
Sudah cukup adil dan menguntungkan bagi kalian,bukan?"
Jawaban ini tentu saja merupakan jawaban yang sengaja mencari perkara, maka Chi Kan, permimpin piauwsu itu menjadi merah mukanya. Dengan sikap gagah ia berkata, "Hemm, agaknya kalian hendak memilih jalan keras. Baiklah per-kenalkan namamu dan nama
gerombolan-mu sebelum kami mengambil keputusan atas permintaanmu tadi."
Si Brewok kembali tertawa sambil menengadahkan mukanya ke langit. "Ha--ha-ha! Pantas kalau kalian belum me-ngenalku, memang perang dan kekacauan yang merobah kami
menjadi begini! Aku adalah bekas perwira pasukan Kerait dan mereka ini adalah anak buahku!"
"Ah, kalau begitu lebih baik lagi! Sebagai seorang perwira Kerait yang tidak memusuhi Kerajaan Sung, tidak boleh engkau mengganggu barang kawal-anku. Hendaknya diketahui bahwa barang--barang ini adalah barang sumbangan dari pedagang dan pembesar setempat untuk pernikahan puteri Kaisar dengan Raja Yucen!" kata Chi Kan yang hendak
menggunakan nama Kerajaan Sung dan Yucen untuk mengundurkan orang-orang Kerait itu tanpa pertempuran.
Akan tetapi, permimpin rombongan piauwski ini kecelik karena orang brewok-an itu tertawa bergelak mendengar ucap-annya dan menjawab. "Kebetulan sekali kalau begitu! Bangsa Yucen adalah musuh kami, dan Kerajaan Sung bukanlah sahabat kami. Serahkan saja gerobak itu dan gadis cilik itu, dan kalian boleh pergi dengan aman!"
"Perampok busuk!" Chi Kan menjadi marah sekali dan tampak sinar berkilauan ketika golok peraknya menyambar ke arah leher Si Brewok, mengeluarkan angin yang berdesingan
bunyinya. Kakek bangsa Kerait itu sambil ter-tawa miringkan tubuhnya dan tangan kiri-nya bergerak cepat menangkis ke arah sinar putih itu dengan jari terbuka.
"Krekkk!!"
Chi Kan terkejut bukan main dan sambil berseru kaget ia meloncat ke be-lakang, memandang golok peraknya yang sudah patah! Dia adalah murid kepala dari Gin-to Piauw-kiok, akan tetapi dalam segebrakan saja orang Kerait itu telah mematahkan goloknya hanya dengan tangkisan tangan kosong! Sekarang dapat dimengerti mengapa bekas perwira Kerait itu berani Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 93
maju dengan tangan kosong, kiranya tangannya itu memiliki keampuh-an melebihi golok atau pedang!
"Ha-ha-ha, bangsa piauwsu rendahan berani membantah perintahku?" orang bre-wok itu berkata sambil tertawa. "Aku adalah Ganya, jagoan Kerait yang belum permah bertemu tanding!"
Para piauwsu menjadi gentar, akan tetapi mereka tentu saja tidak akan me-nyerahkan gerobak yang mereka kawal dan akan melindunginya dengan nyawa mereka. Adapun Khu Tek San yang me-nyaksikan kelihaian orang Kerait yang bernama Ganya itu dan mendengar
nama-nya, teringatlah ia karena ketika ia men-jadi panglima di Yucen, pernah ia mendengar narma ini yang kabarnya memiliki kepandaian hebat dan tenaga yang luar biasa. la maklum bahwa para piauwsu takkan marmpu menang menghadapi orang kuat itu, maka ia meloncat maju dan membentak
"Manusia sombong, akulah lawanmu!" Sambil meloncat, Khu Tek San sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah kipas! Sebagai murid Menteri Kam Liong, tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang ampuh ini.
Di antara keturunan Suling Emas, yang menuruni kedua ilmu silat sakti pendekar itu ha-nyalah Menteri Kam Liong, yaitu ilmu silat suling emas Pat-sian Kiam-sut (1lmu Pedang Delapan Dewa) dan Ilmu Silat Lo-hai San-hoat (11mu Kipas Pengacau Lautan). Karena kedua ilmu ini adalah ilmu yang hebat-hebat dan sukar dipela-jari, maka Khu Tek San hanya memper-dalam ilmu kipasnya saja sehingga dia menjadi seorang ahli ilmu silat kipas Lo-hai San-hoat.
Ilmu silat Lo-hai San-hoat ini bukan-lah ilmu sembarangan. Biarpun hanya di-mainkan dengan sebuah kipas, namun kipas itu lebih berbahaya daripada sen-jata tajam yang bagaimanapun juga. Gagang dan batang-batang kipas itu me-rupakan alat-alat penotok jalan darah yang banyak jumlahnya, sedangkan kain kipasnya sendiri dapat dikebutkan dan mendatangkan angin yang mengacaukan lawan. Terbuka maupun tertutup kipas itu dapat menjadi alat penyerang maupun penangkis yang ampuh, apalagi kalau dimmainkan oleh seorang ahli seperti Khu Tek San yang memiliki limu kepandaian hebat!
Begitu mellhat senjata aneh ini me-nyarmbar, Ganya berseru kaget dan se-bagai seorang berilmu tinggi, dia pun sudah mengerti akan kehebatan lawan. Maka tidak seperti tadi, kini dia sama sekaii tidak berani menangkis hanya mengelak kemudian kedua tangannya bergerak, yang kiri menangkis lengan lawan yang memegang kipas karena dia tidak berani menangkis kipasnya, yang kanan mencengkeram ke arah muka lawan. Gerakannya cepat dan mantap tanda bahwa kepandaiannya memang tinggi dan tenaganya besar. Melihat cara lawan
mengelak dan balas menyerang. Khu Tek San berlaku hati-hati. Dia maklum bahwa lawannya memang benar-benar hebat, maka ia membalikkan kipasnya dengan permutaran pergelangan tangan, meng-gunakan ujung cabang kipas menotok telapak tangan kiri Si Brewok, sedangkan lengan kirinya sengaja ia gerakkan me-nangkis cengkeraman tangan kanan Ga-nya.
"Dukkk!" Ganya dapat menyelamatkan tangan kirinya yang tertotok, akan tetapi dia sengaja mengadu lengan kanannya dengan lengan kir lawan. Dua buah le-ngan yang sama kuat dan mengandung getaran tenaga sin-kang bertemu, mem-buat keduanya terhuyung ke belakang!
Ganya memandang terbelalak dan kaget, sebaliknya Khu Tek San mermandang kagum.
Jarang ada orang yang dapat meng-imbangi tenaga sin-kangnya, akan tetapi lawan ini agaknya tidak kalah kuat oleh-nya. Maka ia menerjang lagi dan terjadi-lah pertandingan yang amat dahsyat dan seru antara kedua orang gagah itu.
Melihat betapa pemimpin mereka sudah bertanding anak buah perampok itu berteriak dan maju menyerbu, disam-but oleh Chi Kan yang sudah mengambil senjata baru dan enam orang temannya. Perang kecil terjadi dengan ramainya, senjata tajam berdencingan bertemu lawan, teriakan-teriakan dan maki-makian saling susul menyeling suara berdebuknya kaki mereka yang sedang bertanding mengadu nyawa.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 94
Maya berdiri memandang dengan ka-gum ke arah Khu Tek San. Hebat me-mang penolongnya itu, permainan kipasnya indah sekali dan gerakannya armat kuat. Akan tetapi ia menjadi gemas dan penasaran melihat betapa Kam Han Ki masih saja duduk di atas batu di bawah pohon seperti tadi, malah kini pemuda itu menggigiti rumput yang dicabutnya dari dekat kakinya, duduk menggigiti batang rumput sambil termenung dengan alis berkerut. Memang saat itu Han Ki kembali teringat akan kekasihnya yang makin sering diingatnya setelah perjalan-an mendekati kota raja.
"Eh, kenapa engkau malah melamun saja?" Maya yang tidak sabar lagi men-dekati Han Ki, menegur dan mengguncang pundaknya. "Lihat, Paman Khu Tek San melawan seorang yang lihai sekali sedangkan para piauwsu dikeroyok banyak perarmpok!"
Han Ki seperti baru sadar dari alam mimpi. Akan tetapi ia hanya menoleh ke kanan memandang pertandingan antara Khu Tek San dan Ganya. Pada saat itu, seorang anggauta perampok yang agaknya ingin membantu pemimpinnya dan menyerbu Tek San dari belakang, kena di-,sambar dadanya oleh ujung batang kipas sehingga perampok ini terbanting ke be-lakang, roboh dan merintih-rintih.
"Khu-Ciangkun tidak akan kalah!" kata Han Ki setelah memandang sebentar, lalu kembali menunduk menggigiti batang rumput. Memang di dalam hatinya, pemuda ini merasa enggan untuk membantu para Piauwsu menghadapi perampok-pc-rampok itu. Yang akan dirampok adalah benda-benda yang akan dijadikan barang sumbangan atas menikahnya Raja Yucen dan.... Sung Hong Kwi, kekasihnya! Kare-na itu, dia tidak peduli. Kalau mau dirampas para perampok barang-barang yang menyebalkan hatinya itu, biarlah!
Kembali Maya mengguncang pundak-nya. "Han Ki, lihatlah! Para perampok hendak
merampas gerobak!"
Han Ki menoleh dan benar saja, kini sebagian daripada anak buah perampok ada yang mendekati gerobak berisi barang-barang berharga, bahkan di antara mereka berkata nyaring sambil terkekeh, "Mari kita naikkan gadis itu ke atas kereta dan sekalian kita bawa pergi!"
Kini lima orang perampok tinggi be-sar sambil tersenyum menyeringai datang menghampiri Maya yang berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan! Melihat ini. Han Ki menggerakkan tangan ke ba-wah, menggenggam pasir kasar dan meng-ayun tangan itu ke arah para
perampok. Akibatnya hebat! Lima orang perampok yang sudah mendekati Maya. itu roboh ber-pelantingan ke kanan kiri, mengaduh-aduh karena pasir-pasir kasar itu menembus kulit dan menancap di dalam daging lengan-lengan mereka! Perih pedih panas gatal rasanya.
Teriakan-teriakan kesakit-an ini disusul pula oleh tujuh orang pe-rampok yang berada di dekat gerobak sehingga dua kali mengayun tangan yang menggenggam pasir. Han Ki telah ber-hasil membuat dua belas orang perampok roboh tak dapat berkelahi lagi!
Maya berdiri terbelalak. Dia menjadi heran dan bingung. Hanya melihat ada sinar kehitaman menyambar dua kali dibarengi desingan angin yang datang dari arah Han Ki dan perampok-peram-pok itu sudah roboh!
Ilmu sihirkah ini" Gerakan Han Ki sedemikian cepatnya sehingga Maya tidak dapat
mengikutinya dengan pandang mata.
Menyaksikan robohnya dua belas orang kawan mereka secara aneh itu, para perampok yang lain menjadi gentar dan marah. Demikian pula pimpinan peram-pok, Si Brewok yang lihai itu.
Perhatian-nya terpecah ketika ia mendengar pekik--pekik kesakitan dan melihat robohnya banyak anak buahnya tanpa melakukan pertandingan. Sebagai seorang ahli yang pandai, ia dapat melihat gerakan Han Ki dan diam-diam menjadi terkejut bukan main. Kiranya orang muda yang duduk melamun itu memiliki kepandaian yang lebih dahsyat lagi daripada orang gagah yang dilawannya. Karena perhatiannya terpecah dan hatinya gentar, Khu Tek San dapat melihat "lowongan" dan me-masuki lowongan itu dengan pukulan kipasnya ke arah leher lawan. Ganya terkejut, cepat mengelak, akan tetapi terlambat.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 95
"Krekk!" Tulang pundak kiri kepala perampok ini patah dan ia mencelat mundur sambil bersuit keras memberi tanda kepada anak buahnya untuk mun-dur! Sebagai bekas pasukan yang berdisi-plin, anak buah perampok yang masih bertempur itu segera melompat ke be-lakang dan melarikan diri, meninggalkan dua belas orang teman yang masih meng-aduh-aduh dan bergulingan di atas tanah! Tujuh orang piauwsu menjadi lega sekali karena para perampok pergi dan di antara mereka hanya ada dua orang yang terluka ringan. Melihat dua belas orang perampok bergulingan itu, mereka men-jadi gemas dan menggerakkan golok-golok perak mereka untuk membunuh.
"Cring-cring-cring.... !" Para piauwsu terkejut dan berteriak sambil terhuyung ke belakang.
Kiranya golok-golok mereka telah tertangkis oleh kerikil-kerikil kecil yang disambitkan secara tepat mengenai golok mereka dan dengan tenaga yang amat kuat sehingga golok mereka tergetar! Ketika mereka menoleh, kiranya Han Ki yang tadi mencegah mereka dan kini pemuda itu bangkit berdiri.
"Para piauwsu harap jangan melakukan permbunuhan! Barang-barang telah diselamatkan, lebih baik melanjutkan perjalanan, mengapa mau membunuh orang?"
Mendengar teguran Han Ki ini, Chi Kan membantah. "Akan tetapi penjahat ini tadinya hendak merampok gerobak dan Siocia, dan tentu akan membunuh kita semua. Mengapa
sekarang tidak boleh kami bunuh" Orang-orang jahat seperti mereka ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan malapeta-ka kepada orang lain,"
Han Ki menggeleng kepala. "Belum tentu, Chi-piauwsu! Ada akibat tentu ada sebabnya.
Mereka ini dulunya bukan pe-rampok dan kalau sekarang menjadi perampok tentu bersebab.
Kalau saja pasu-kan mereka tidak dipukul hancur, kalau saja mereka tidak dipengaruhi seorang pemimpin yang jahat, kalau saja Kaisar Sung tidak menikahkan puterinya, kalau saja kalian tidak mengantar barang-ba-rang berharga ke kota raja dan masih banyak kalau-kalau lagi, kiranya mereka ini tidak menjadi perampok. Pula, aku yang merobohkan mereka, karenanya aku pula yang berhak memutuskan. Mereka ini tidak boleh dibunuh!"
Melihat betapa para piauwsu masih penasaran, Khu Tek San segera berkata,
"Cu-wi Piauwsu harap jangan banyak membentak lagi. Kalau tadi Siauw-susiok tidak turun tangan, bukankah gerobak dan nyawa kalian akan hilang" Mari kita melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka yang terluka ini!'
Para piauwsu tadi sudah menyaksikan kegagahan Khu Tek San, maka biarpun mereka masih penasaran karena tiada seorang pun menyaksikan bahwa Han Ki yang merobohkan dua belas orang peram-pok itu, tidak banyak bicara lagi dan perjalanan dilanjutkan menuju ke kota raja.
Ketika rombongan itu memasuki kota raja, semua menjadi gembira, kecuali Han Ki. Terutama sekali Maya menjadi gembira bukan main dan amat kagum menyaksikan rumah-rumah besar dan kota yang dihias indah itu. Jelas bahwa kota raja menyambut pernikahan puteri Kaisar secara besar-besaran! Namun, keadaan kota raja itu membuat hati Han Ki tera-sa makin perih seperti ditusuk-tusuk pedang. Hiasan-hiasan indah dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna warna! itu seolah-olah mengejeknya, mengejek atas kepatahan hatinya dan terputusnya ikatan cinta kasih antara dia dan Sung Hong Kwi!
Setelah menghaturkan terima kasih rombongan piauwsu memisahkan diri, Khu Tek San mengajak Maya dan Han Ki langsung menghadap Menteri Kam. De-ngan ramah dan gembira Menteri Kam menerima kedatangan mereka bertiga itu di dalam ruangan sebelah dalam.
"Suhu..... !" Khu Tek San berlutut memberi hormat kepada gurunya. Han Ki berdiri lesu dan Maya juga berdiri akan tetapi dia terbelalak memandang ke arah laki-laki tua yang berpakaian seperti pembesar, kakek yang berwajah penuh kesabaran namun pandang matanya tajam penuh wibawa. Dia segera mengenal ka-kek ini! Ketika dia dahulu ditawan sepa-sang iblis dari India kakinya digantung di pohon oleh Mahendra dan hampir saja ia disembelih seperti seekor ayam, kakek itulah yang mendongnya! Jadi kakek ini-lah guru penolongnya" Dan kakek inilah saudara tua Raja Khitan, ayah angkatnya"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 96
"Bagus sekali, engkau dapat pulang dengan selamat, Tek San. Dan engkau telah melakukan tugasmu dengan baik, Han Ki! Akan tetapi anak perempuan ini.... siapakah dia?" Menteri Kam Liong memang tidak ingat lagi akan anak pe-rempuan yang dulu ditolongnya dari tangan Mahendra, sehingga kini tidak me-ngenal Maya. Apalagi dahulu ia hanya melihat wajah anak yang digantung itu dari jauh dan mengira anak dusun biasa.
"Maaf, Suhu. Hampir saja teecu mengalami kegagalan dan tewas dalam tugas kalau tidak tertolong oleh Susiok yang amat lihai. Adapun anak ini bukan lain adalah puteri dari mendiang Raja dan Ratu Khitan."
Menteri Kam Liong terbelalak me-mandang Maya. "Aiihhh....! Kasihan seka-li engkau Anakku....!" Kam Liong turun dari bangkunya, memegang lengan Maya, ditariknya dan dirangkulnya anak itu. "Aku adalah uwamu sendiri, Maya." .
Akan tetapi Maya tidak merasa ter-haru. Dia memiliki hati yang keras, dan kini timbullah rasa tidak senangnya ke-pada Menteri Kam. Kalau benar orang tua ini uwanya, kalau benar memiliki kepandaian tinggi dan kedudukan tinggi berpengaruh, kenapa tidak sejak dahulu membantu dan melindungi keselamatan keluarga Raja Khitan" Uwa macam apa ini!
"Tidak, aku tidak mempunyai uwa tidak mempunyai saudara atau keluarga., Keluargaku habis terbasmi di Khitan. Dan aku pun bukan puteri Raja Khitan hanya anak angkat! Harap kau orang tua tidak mengaku keluarga hanya untuk menghiburku."
"Maya....!" Khu Tek San menegur kaget dan marah. Akan tetapi Menteri Kam Liong
ter-senyum pahit. Dia mempunyai pandangan tajam dan dapat menyelami hati bocah itu. Dia sendiri pun merasa nelangsa hatinya mengapa tidak dapat menyela-matkan saudara-saudaranya di Khitan. Maka ia pun tidak tersinggung ketika Maya melepaskan pelukannya, melangkah mundur dekat Han Ki dan tadi menge-luarkan ucapan seperti itu. Dia meman-dang kagum. Biarpun dia tahu bahwa bocah ini memang bukan puteri kandung Raja dan Ratu Khitan, namun bocah ini patut menjadi puteri mereka, patut men-jadi keponakan Mutiara Hitam karena mermiliki watak yang khas dimiliki wanita gagah perkasa Mutiara Hitam, adik tiri-nya itu!
Hati Tek San tidak enak sekali me-nyaksikan sikap Maya terhadap gurunya. Dia cepat berkata, "Kalau Suhu memper-bolehkan, biarlah Maya tinggal di tempat teecu karena di sana dia dapat bermain--main dengan anak teecu Siauw Bwee."
Menteri Kam Liong mengangguk-ang-guk. "Sebaiknya begitu, kalau dia mau. Maukah
engkau tinggal di rumah Tek San, Maya" Apakah ingin tinggal di sini bersama uwakmu?"
"Aku ingin tinggal bersama Paman Khu" jawab Maya tegas.
"Kalau begitu, engkau pulanglah lebih dulu, Tek San dan bawa Maya bersamamu. Akan tetapi engkau segera kembali ke sini karena banyak hal penting yang ingin kubicarakan dengan engkau dan Han Ki"
Khu Tek San memberi hormat, lalu mengajak Maya keluar dari gedung itu menuju ke
rumahnya sendiri. Ternyata panglima itu pun memiliki sebuah rumah gedung yang cukup mewah. Maya menda-pat kenyataan pula bahwa penolongnya ini bukan sembarang orang, dan tentu memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terbukti dari rumah gedungnya yang mentereng, melainkan juga terbukti dari sikap para perwira yang bertemu di jalan. Semua menghor-mat kepada Panglima Khu yang masih berpakaian preman itu.
Para pelayan menyambut kedatangan panglima ini penuh hormat, akan tetapi Khu Tek San yang sudah tidak sabar untuk dapat segera bertemu dengan anak isterinya, menggandeng tangan Maya dan setengah berlari memasuki gedung. Di sebelah dalam disambutlah dia oleh se-orang wanita cantik dan scorang anak gadis cilik yang cantik jelita pula.
"Ayahhh....!" Anak perempuan yang usianya lebih muda dua tahun daripada Maya itu dengan sikap manja lari meng-hampiri ayahnya. Tek San tertawa, di-sambarnya anak itu dan diangkatnya tinggi-tinggi lalu dipeluk dan dicium pipinya.
"Ha-ha-ha, Siauw Bwee, engkau sudah begini besar sekarang" Kemudian suami ini saling Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 97
pandang dengan isterinya, pe-nuh kerinduan penuh kemesraan yang tak dapat mereka perlihatkan di depan dua orang anak perempuan itu. Hanya pan-dang mata mereka yang saling melekat mesra mewakili tubuh mereka.
"Maya, inilah bibimu!" kata Tek San yang melanjutkan. "Niocu, dia ini adalah Puteri Maya, puteri mendiang Raja dan Ratu Khitan."
"Aihhh....!" Isteri Khu-ciangkun meng-hampiri dan mengelus rambut kepala Ma-ya. Anak ini menahan-nahan air matanya yang hendak runtuh sejak tadi. Melihat betapa Siauw
Bwee disambut mesra oleh kasih sayang ayahnya, dia teringat akan nasib diri sendiri.
Dahulu pun ayahnya Raja Khitan, amat cinta kepadanya. Akan tetapi sekarang" Dia, tidak punya siapa-siapa! Setelah tangan halus bibinya mengusap rambutnya, dia menjadi makin terharu.
"Maya, inilah Siauw Bwee, anakku. Bermainlah dengan dia dan anggap dia adikmu sendiri.
Siauw Bwee, inilah Cici-mu, Maya."
Siauw Bwee diturunkan dari pondong-an ayahnya. Gadis cilik ini tersenyum manis dan ramah kepada Maya, meng-hampirinya dan memegang tangannya. "Enci Maya....!"
Begitu bertemu hati Maya telah ter-tarik dan suka seKali kepada Siauw Bwee. Dia pun lupa akan kedukaannya, merangkul pundak Siauw Bwee dan berkata,
"Adik Siauw Bwee....!"
"Enci Maya, mari kita main-main di taman. Di kolam taman terdapat ikan baru. Lucu sekali, sisiknya seperti emas, ekornya seperti selendang sutera, tubuh-nya seperti katak dan kedua matanya membengkak dan menjendol keluar di atas selalu memandang langit!" Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa dan berlarian menuju ke taman.
Setelah kedua orang anak itu pergi, barulah suami isteri yang saling mencinta dan sudah berpisah lama ini dapat me-numpahkan rasa rindu mereka. Mereka saling menubruk,
berciuman dan tanpa berkata-kata. Tek San melingkarkan le-ngan kanan di pinggang yang ramping itu kemudian mereka berdua berjalan-jalan memasuki kamar.
Tak lama kemudian, Khu Tek San sudah kembali ke gedung Menteri Kam yang duduk berdua dengan Han Ki. Pemuda itu kelihatan lebih murung lagi, wajahnya pucat dan matanya sayu.
"Aku sudah mendengar penuturan Han ki tentang peristiwa yang terjadi dan menimpa kalian."
Menteri Kam berkata setelah muridnya duduk. "Memang semua itu telah diatur oleh...
hemmm, Suma Kiat!"
Khu Tek San mengangguk-angguk. "Suhu, kalau tidak salah dugaan teecu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Siangkoan Lee terhadap teecu, hanyalah untuk memukul Suhu.
Betulkah?"
Menteri itu menghela napas panjang dan mengangguk. "Benar demikian. Orang itu sampai kini masih saja belum dapat melenyapkan rasa benci dan dendam yang meracuni hidupnya sendiri. Diam-diam dia telah bersekongkol dengan pasukan--pasukan asing, berusaha memburukkan namaku di depan Kaisar dengan berma-cam cara. Untung tak pernah berhasil dan Kaisar masih tetap percaya kepadaku. Akan tetapi, Suma Kiat masih belum puas juga dan siasatnya yang terakhir ini benar-benar menjengkelkan dan memba-hayakan."
"Siasat apalagi, Suhu?" tanya Khu Tek San dengan kening berkerut dan hati khawatir.
Mempunyai seorang musuh seperti Jenderal Suma Kiat benar-benar amat berbahaya karena selain ia tahu betapa tinggi ilmu kepandaian jenderal itu, juga Jenderal Suma Kiat amat licik, curang dan mempunyai pengaruh di anta-ra para thaikam dan menteri-menteri yang tidak setia.
"Dia berhasil membujuk Kaisar untuk menyerahkan puteri selirnya kepada Raja Yucen!"
Menteri tua itu menggeleng--geleng kepala dan memandang Han Ki yang menundukkan
muka. "Hal itu apa sangkut-pautnya dengan kita, Suhu?"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 98
"Ah, kau tidak tahu, muridku, Suma Kiat amat cerdik dan pandai mengatur siasat untuk merobohkan lawan-lawan dan musuh-musuhnya. Ketika usaha muridnya yang bernama
Siangkoan Lee itu gagal untuk menangkap dan membunuhmu, mu-ridnya cepat pulang ke kota raja. Raja Yucen marah-marah karena dibakar hati-nya oleh murid itu, mengirim protes kepada Kaisar mengapa seorang Panglima Sung diselundupkan untuk menjadi mata-mata di Kerajaan Yucen! Dan kembali Suma Kiat yang memberikan jasa-jasa baiknya untuk
mengangkat diri sendiri di depan Kaisar sambil sekaligus berusaha menjatuhkan aku! Dia menyalahkan aku mengenai kemarahan Raja Yuceng ke-mudian membujuk Kaisar agar
menyerahkan puteri selirnya yang tercantik untuk menjadi isteri muda Raja Yucen. Sengaja dia mengusulkan agar Puteri Sung Hong Kwi yang dihadiahkan!"
Khu Tek San mendengar tarikan napas panjang dari Han Ki dan ia mengerling ke arah permuda itu. Heranlah hatinya mellhat pemuda itu mengepal tinju dan marah sekali. Sudah lama ia melihat sikap Han Ki yang penuh duka, dan kini ia menjadi makin ingin tahu apa gerang-an yang menyusahkan hati pemuda sakti ini.
Menteri Kam agaknya tahu akan isi hati Khu Tek San, maka ia lalu berkata tenang.
"Karena engkau merupakan orang sendiri, kiranya Han Ki tidak perlu menyembunyikan lagi rahasianya. Ketahui-lah, Tek San. Puteri Sung Hong Kwi yang akan dijodohkan dengan Raja Yucen itu adalah kekasih Han Ki. Dia ingin minta aku mengajukan pinangan kepada Kaisar, akan tetapi ternyata telah dida-hului Suma Kiat karena aku yakin benar mengapa dia justeru mengusulkan agar puteri itu yang dihadiahkan kepada Raja Yucen. Agaknya, hubungan cinta kasih antara Han Ki dan puteri itu telah bocor dan diketahui Suma Kiat, maka kembali dia melakukan hal itu untuk memukul Han Ki dan tentunya yang dijadikan sa-saran terakhir adalah aku sendiri karena Han Ki adalah saudara sepupuku!"
"Hemm, sungguh mengherankan sekali sikap Suma-goanswe itu. Bukankah beliau itu masih ada hubungan keluarga dengan Suhu?" tanya Tek San penasaran.
Gurunya mengelus jenggot dan meng-hela napas panjang melihat betapa Han Ki juga
memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan. "Memang begitu-lah, antara Suma Kiat dan aku terdapat pertalian keluarga. Ibunya bermama Kam Sian Eng dan ibunya itu adalah adik kandung Kam Bu Sin, ayah Han Ki ini. Mereka berdua adalah adik tiri ayahku, Kam Bu Song pendekar sakti Suling Emas. Memang ada hubungan keluarga, dan dia itu masih misanku sendiri. Na-mun menurut riwayat nenek moyang keluarga Suma memang selalu memusuhi keluarga Kami Sungguh menyedihkan kalau diingat."
"Habis bagaimana sekarang baiknya, Suhu?"
Menteri itu menggerakkan pundaknya. bagaimana baiknya" Kita menanti dan melihat saja bagaimana perkembangan-nya. Kota raja sudah dalam keadaan pesta karena perjodohan itu telah di-umumkan, bahkan besok akan tiba utusan dari Raja Yucen, diikuti oleh panglima besar dan guru negara sendiri, yaitu utusan untuk meresmikan hari pernikah-an. Engkau harus hadir pula, Tek San, untuk memperlihatkan kepada Kaisar bahwa engkau benar-benar berdiri di pihak Kerajaan Sung. Dan kehadiranmu malah merupakan ujian bagi ketulusan sikap orang-orang Yucen. Kalau memang mereka menghendaki hubungan baik, se-telah Kaisar menyerahkan puterinya tentu mereka tidak akan berani bicara lagi tentang penyelundupan di Yucen. Kalau terjadi sebaliknya, berarti mereka itu masih mendendam dan tidak mempunnyai iktikad baik terhadap Kerajaan Sung. Dan engkau harus hadir pula dalam perjamuan menyambut para tamu agung itu, Han Ki, sebagai pengawalku."
Tek San dan Han Ki menyatakan persetujuan mereka, namun di dalam hatinya, Han Ki merasa makin berduka, Dia harus hadir dalam perjamuan me-nyambut utusan calon suami Hong Kwi! Bahkan tak salah lagi dia pun harus pula ikut minum arak untuk menghaturkan selamat kepada pengantin!
"Enci Maya, aku sudah minta perke-nan Ayah,akan tetapi tetap tidak boleh! Katanya keramaian yang diadakan di istana untuk menyambut dan menghormati utusan Raja Yucen, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 99
yang hadir adalah Kaisar sendiri dan para menteri, para thaikam dan orang-orang besar saja. "Anak-anak mana boleh turut?" Khu Siauw Bwee berkata dengan muka kecewa ke-pada Maya yang membujuknya agar dia minta perkenan ayahnya diperbolehkan ikut menonton keramaian di istana.
Khu Siauw Bwee adalah puteri tung-gal Khu Tek San, lebih muda satu dua tahun dari Maya.
Dia seorang anak pe-rempuan yang cantik mungil, dengan pandang mata lembut namun tajam sekali menandakan bahwa dia memiliki kecer-dikan, sikapnya tidak manja karena memang ayah bundanya pandai mendidik. Seperti juga Maya, sejak kecil Siauw Bwee digembleng ilmu silat dan ilmu sastra oleh ayah bundanya. Berkat keta-jaman otaknya, biarpun masih kecil, be-lum sepuluh tahun usianya, Siauw Bwee telah memiliki ketabahan dan kepandaian silat yang membuat tubuhnya lincah dan kuat.
Maya tidak rasa kecewa hatinya ketika mendengar mereka tidak boleh ikut. "Ahh, sayang sekali. Aku ingin melihat bagaimana sih rupanya Kaisar Sung dan puteri-puterinya juga ingin sekali melihat utusan Yucen. Ter-utama sekali melihat puteri-puteri istana yang kabarnya cantik-cantik seperti bi-dadari."
"Ihhhh, seperti apa sih kecantikan mereka" Kulihat mereka itu tidak ada yang lebih cantik daripada engkau, Enci Maya. Engkau barulah boleh disebut se-orang gadis yang cantik!"
Siauw Bwee berkata sungguh-sungguh sambil meman-dang wajah Maya yang amat
mengagum-kan hatinya.
"Aihhh, sudahlah jangan menggoda, Adikku. Dahulu di istana orang tuaku, aku boleh melakukan apa saja, maka sekarang, melihat ayahmu melarang eng-kau padahal hanya ingin menonton kera-maian sungguh-sungguh aku merasa pena-saran sekali. Apa sih buruk dan ruginya kalau kita ikut menonton" Hemm, aku ada akal baik, Moi-moi. Kalau kau suka, kita akan dapat bergembira sekali dan....hemm, kaudengar baik-baik....! Maya lalu berbisik-bisik di dekat telinga Siauw Bwee.
Wajah Siauw Bwee berubah dan mata-nya terbelalak. "Ihh, Enci Maya! bagai-mana kalau sampai ketahuan?"
Dengan ibu jari tangah kanannya, Maya menuding dadanya sendiri. "Akulah yang akan bertanggung jawab,jangan engkau khawatir!"
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, kedua orang anak perempuan itu memasuki kamar mereka dan mengunci pintu. Ter-dengar mereka berdua masih tertawa--tawa, entah apa yang mereka lakukan dan bicarakan.
Apa yang menjadi dugaan Menteri Kam ketika ia menceritakan kepada Mu-ridnya memang tepat. Peristiwa yangg menimpa diri Khu Tek San di Yucen, yaitu pecahnya rahasianya sebagai mata--mata kemudian tertangkapnya oleh re-kan-rekannya sendiri di perbatasan, adalah akibat perbuatan Siangkoan Lee yang memenuhi perintah gurunya, Suma Kiat.
Memang Jenderal Suma Kiat ini tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya dan
kebenciannya terhadap keturunan Suling Emas. Ketika ia mendapat laporan dari Siangkoan Lee betapa usaha murid-nya itu semua gagal oleh Mutiara Hitam, kemudian oleh Kam Han Ki, hatinya menjadi makin marah dan penasaran. Maka diaturnyalah siasat baru untuk memukul Han Ki dan Menteri Kam Liong yaitu membujuk Kaisar agar mengambil hati Raja Yucen dengan menyerahkan seorang di antara puteri selirnya.
"Puteri Paduka Sung Hong Kwi ter-kenal sebagai bunga istana, hal ini bah-kan terkenal sampai ke Yucen. Kalau Paduka menghadiahkan puteri itu kepada Raja Yucen, Paduka akan memetik tiga keuntungan," demikian antara lain bujuk-an yang diucapkan Suma Kiat yang didukung oleh para thaikam.
"Tiga keuntungan yang bagaimana engkau maksudkan?" Kaisar bertanya.
"Pertama, puteri Paduka akan terang-kat sebagai seorang Junjungan yang di-hormati di Yucen dan mengingat akan keadaan Permaisuri Yucen yang lemah dan sakit-sakit, banyak harapan beliau akan dapat menjadi permaisuri. Ke dua, dengan menarik Raja Yucen sebagai mantu Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 100
paduka, mantu yang rendah karena hanya menikah dengan puteri selir, ber-arti Paduka mengangkat kedudukan Padu-ka jauh lebih tinggi daripada Raja Yu-cen. Kemudian ke tiga, dengan ikatan jodoh itu, tentu saja Yucen tidak akan memusuhi Sung, bahkan setiap saat dapat diharapkan bantuan mereka."
Tentu saja Jenderal Suma Kiat tidak menyatakan rahasia hatinya bahwa kalau perjodohan itu dilakukan, terutama sekali karena ia ingin menghancurkan hati Kam Han Ki yang ia tahu dari para penyeli-diknya mempunyai hubungan cinta kasih dengan puteri itu dan karenanya ingin pula ia menghantam Menteri Kam mela-lui Han Ki!
Demikianlah, secara cepat sekali, ikatan jodoh diadakan dan hari itu kota raja telah berpesta merayakan perjodohan itu. Penduduk yang tidak tahu apa-apa hanya ikut merasa germbira bahwa Kaisar hendak mantu, apalagi yang akan mempersunting Puteri Sung Hong Kwi adalah Raja Yucen sehingga hal ini dapat diar-tikan bahwa kota raja terhindar dari satu di antara bahaya serbuan musuh-musuh-nya.
Rombongan utusan Raja Yucen tiba dan mendapat sambutan meriah, bahkan malamnya istana mengadakan perjamuan meriah, untuk menghormati mereka. Se-suai pula dengan kebiasaan di Yucen, maka ruangan yang memang di istana diatur dengan bangku-bangku kecil tanpa tempat duduk karena biasa mereka itu makan minum sambil duduk di lantai menghadapi bangku kecil terdapat makan-an. Mereka terdiri dari dua puluh orang lebih, dipimpin oleh guru negara dan panglima besar Yucen, duduk berjajar--jajar menghadapi bangku masing-masing merupakan barisan keliling yang saling berhadapan. Juga Kaisar sendiri bersama menteri-menteri yang berkedudukan ting-gi, hadir dalam perjamuan itu, di antara-nya tampak Menteri Kam Liong, Pang-lima Khu Tek San, Kam Han Ki penga-wal pribadi Menteri Kam, Jenderal Suma Kiat, dan lain pembesar penting lagi. Kaisar sendiri menghadapi bangkunya di tempat yang lebih tinggi dan dilayani para thaikam dan pelayan.
Panglima-panglima yang pangkatnya belum cukup tinggi, hanya dipersilakan duduk di ruangan sebelah, di atas kursi--kursi berjajar, ada lima puluh kursi banyaknya. Mereka yang memenuhi ruangan ini hanya ikut makan minum, ikut mendengarkan percakapan dan
me-nonton pesta orang-orang besar di ruang-an dalam, akan tetapi tidak berhak ikut dalam percakapan.
Selagi perjamuan itu mulai ramai dan gembira karena pihak tamu maupun dari pihak tuan rumah berkali-kali diadakan penghormatan dengan mengisi cawan arak dan minum demi keselamatan masing--masing pihak, di sebelah luar, di pintu ruangan para panglima rendahan, terjadi sedikit keributan. Enam orang pengawal yang menjaga pintu sedang ribut mulut dengan seorang berpakaian panglima yang bertubuh tinggi kurus berwajah tampan sekali.
Para pengawal tidak mengenal panglima muda ini, maka mereka meno-laknya untuk
memasuki ruangan itu. Si Panglima Muda marah-marah dan mema-ki-maki.
"Kalian ini serombongan pengawal berani menolak seorang panglima" Aku, adalah seorang panglima kerajaan, masa tidak boleh menonton keramaian menyambut utusan calon besan Kaisar" Apakah kalian ingin dipecat dan dihu-kum?" Suara Panglima itu nyaring dan bening.
Pemimpin pengawal menjadi gugup akan tetapi berusaha membantah, "Maaf, Ciangkun, akan tetapi hamba.... tidak mengenal Ciangkun, bahkan belum permah melihat Ciangkun?"
"Goblok! Mana mungkin kallan dapat mengenal semua panglima yang amat banyaknya dan yang banyak bertugas di luar kota" Cukup kalau kalian mengenal pakaian dan tanda-tanda pangkatnya yang kupakai! Awas, aku adalah panglima yang dipercaya oleh Menteri Kam!"
Mendengar disebutnya Menteri Kam, para pengawal mundur ketakutan dan terpaksa
mempersilakan panglima muda itu memasuki ruangan yang disediakan bagi para panglima rendahan yang tidak diundang ke ruangan dalam ikut me-nyambut tamu-tamu agung! Enam orang pengawal ini saling pandang, kemudian mereka berbisik-bisik, membicarakan panglima muda itu dengan hati heran. Panglima yang masih begitu muda yang tampan sekali, bertubuh Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 101
jangkung dan galaknya bukan main! Kalau saja para pengawal itu berani mengikuti Si Pang-lima tampan ini, tentu keheranan mereka akan bertambah beberapa kali lipat melihat Si Panglima itu kini telah berubah menjadi dua orang bocah yang duduk di baris terdepan!
Memang bukan orang lain, panglima itu sebenarnya adalah Maya dan Siauw Bwee! Akal bulus Maya membuat mereka dapat memasuki istana melalui beberapa tempat penjagaan dengan menyamar sebagai seorang panglima, menggunakan pakaian Khu Tek San! Dua orang gadis cilik ini sejak kecil digembleng limu silat, maka bukan merupakan hal yang aneh dan sukar bagi me-reka untuk penyamaran itu. Maya berdiri di atas pundak Siauw Bwee sehingga tubuh mereka yang bersambung ini sete-lah ditutup pakaian Khu Tek San berubah menjadi tubuh seorang panglima yang jangkung kurus dan berwajah tampan sekali, wajah Maya.
Setelah berhasil mengelabuhi penjaga-an terakhir di depan ruangan itu, Maya dan Siauw Bwee girang sekali. Pakaian luar panglima itu segera mereka copot. Maya meloncat turun dan kedua orang anak perempuan yang berani itu menyeli-nap dan memilih tempat duduk di bagian paling depan sehingga mereka dapat menonton ke ruangan dalam di mana Kaisar sedang menjamu tamu-tamunya! Para panglima yang melihat munculnya dua orang gadis cilik dekat mereka, menjadi heran dan ada yang menegur.
Maya mendahului Siauw Bwee yang sudah mulai agak gelisah. "Dia adalah puteri Panglima Khu yang hadir di situ, dan aku adalah keponakan Menteri Kam yang hadir pula di situ. Kami ikut dengan mereka dan ditempatkan di sini. Apakah Cu-wi Ciangkun berkeberatan?"
Memang hebat sekali, amat tabah dan cerdik. Sekecil itu dia sudah dapat "ber-diplomasi" dan menggunakan kata-kata yang menyudutkan para panglima itu. Tentu saja tidak ada scorang pun di antara mereka berani menyatakan kebe-ratan menerima puteri Panglima Khu yang terkenal, apalagi keponakan Menteri Kam! Bahkan mereka tersenyum-senyum gembira
karena dua orang bocah itu biarpun masih keeil, merupakan "peman-dangan" yang menarik dan memiliki ke-cantikan yang mengagumkan.
Para utusan Kerajaan Yucen sudah mulai merah mukanya oleh pengaruh arak wangi dan percakapan mulai lebih bebas dan berani. Menteri Kam yang duduk tak jauh dari Kaisar, bersikap tenang saja dan beberapa kali mengerling ke arah Jenderal Suma Kiat yang duduk dekat panglima besar dan Guru Negara Yucen. Sejak tadi Jenderal Suma ini bercakap--cakap dan tertawa-tawa dengan kedua orang tamu agung, bahkan sering kali berbisik-bisik, kelihatannya akrab sekali. Han Ki yang berdiri di belakang Menteri Kam sebagai pengawal tidak bergerak seperti arca, akan tetapi sinar matanya kadang-kadang layu kadang-kadang berapi kalau memandang ke arah para utusan Raja Yucen. Khu Tek San juga duduk dengan tenang.
Tiba-tiba panglima besar Kerajaan Yucen yang bertubuh tinggi besar, ber-cambang bauk, matanya tajam dan sikap-nya gagah sekali, berpakaian perang yang megah mewah,
mengangkat tangan ke atas dan memberi hormat dengan berlu-tut sebelah kaki ke arah Kaisar, suara-nya terdengar garang dan keren,
"Perkenankan hamba menghaturkan selamat kepada Kaisar yang ternyata memiliki banyak menteri dan jenderal yang pandai dan setia. Kalau tidak demi-kian, hamba rasa kegembiraan malam ini takkan kita rasakan bersama, akibat per-buatan seorang Menteri Sung yang tidak patut terhadap Kerajaan Yucen. Hamba sebagai utusan Sri Baginda di Yucen, sama sekali tidak menyalahkan Kerajaan Sung, karena hamba tahu bahwa yang menjadi biang keladi hanyalah seorang menteri yang bersikap lancang seolah--olah lebih berkuasa daripada kaisarnya sendiri!"
Semua yang hadir menahan napas, menghentikan percakapan dan makan, menanti dengan jantung berdebar karena utusan itu menginggung hal yang gawat. Semua orang mengerti siapa yang dimak-sudkan oleh panglima besar Yucen itu. Menteri Kam dan Khu Tek San saling pandang sejenak, akan tetapi keduanya masih bersikap tenang-tenang saja.
*** Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 102
Kaisar sendiri mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu. Tak senang hatinya dan untuk menjawab, lidahnya terasa berat. Tiba-tiba Jenderal Suma Kiat sudah membuka mulut berkata, "Tai-ciangkun dari Yucen benar-benar seorang yang jujur dan berhati polos! Setelah Tai-ciangkun tidak menyinggung atau menyalahkan Kaisar, sebaiknya menunjuk secara jujur menteri mana yang dimaksudkan agar tidak membikin hati para menteri di sini menjadi tidak enak."
"Ha-ha-ha, Suma-goanswe pun menyu-kai sikap jujur seperti kami. Bagus se-kali!
Yang kami maksudkan adalah Men-teri Kam Liong, yang telah melakukan perbuatan tidak patut sekali, mengirim muridnya dan menyelundupkannya menjadi panglima kerajaan kami untuk melakukan pekerjaan mata-mata! Bukankah perbuatan itu amat busuk" Untung Sri Baginda Kerajaan Sung amat bijaksana, kalau tidak, bukankah perbuatan licik Menteri Kam itu cukup berbahaya untuk mence-tuskan perang?"
Kembali keadaan di ruangan itu sunyi sekali dan hati semua orang makin bim-bang dan tegang. Sri Baginda sendiri, yang tentu saja menyetujui akan penye-lundupan Khu-ciangkun ke Yucen, kini hanya dapat memandang kepada Menteri Kam Liong.
Sebelum ada yang menjawab, tiba--tiba tampak seorang panglima bertubuh jangkung
memasuki ruangan itu dan ter-dengar suaranya nyaring. "Rombongan utusan Yucen ini datang membawa per-damaian ataukah mencari pertentangan" Menghina seorang menteri berarti meng-hina Kaisar dan kerajaan!"
Semua orang terkejut sekali melihat munculnya seorang panglima muda tinggi kurus yang tidak terkenal ini, dan se-orang pengawal Yucen yang berdiri men-jaga di belakang Sri Panglima Besar, su-dah menghadang ke depan dan melintangkan tombaknya memandang
panglima tinggikurus itu.
"Eh, eh, mau apa engkau?" Panglima tinggi kurus itu membentak Si Pengawal Yucen sambil melangkah maju mendekat. Pengawal itu mengira bahwa Panglima Sung ini akan menyerang majikannya, maka cepat menggerakkan tombaknya menodong. Tiba-tiba kedua tangan
pang-lima yang kurus itu bergerak menyambar tombak dan semua orang memandang
terbelalak ketika tiba-tiba bagian perut panglima kurus itu bergerak ke depan seperti kaki tangan yang bertubi-tubi mengirim tendangan dan pukulan.
"Buk-buk....!" Pukulan-pukulan aneh yang keluar dari perut itu mengenai tubuh Si Pengawal yang sama sekali tidak menduga. Siapa akan menduga la-wan memukul dengan perut yang bisa bergerak seperti kaki tangan itu" Biarpun pukulan-pukulan itu tidak keras, namun Si Pengawal terhuyung mundur saking kagetnya dan tombaknya terlepas!
Panglima besar Yocen dan guru ne-gara marah sekali. Mereka sudah bangkit memandang panglima berdiri dan Koksu (Guru Negara) Yucen yang berjenggot panjang berambut putih berseru.
"Beginikah caranya menerma utusan kerajaan calon besan?"
Semua orang, termasuk Kaisar sendiri masih terlalu heran dan bingung menyak-sikan munculnya panglima tinggi kurus yang aneh itu sehingga mereka tak dapat menjawab. Kaisar sendiri mulai marah dan sudah membuat gerakan memerintah-kan pengawal menangkap
panglima tinggi kurus itu ketika Menteri Kam tiba-tiba meloncat dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar.
"Mohon Paduka sudi mengampunkan hamba dan mengijinkan hamba untuk menyelesaikan
urusan ini agar perdamai-an tetap dipertahankan."
Kaisar mengangguk.
"Cu-wi Ciangkun dan Taijin dari Yu-cen harap suka memaafkan karena dia ini hanyalah seorang anak kecil yang bertindak menurutkan perasaan dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan. Mengenai urusan yang diajukan oleh Te-i-ciangkun dari Yucen tadi, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 103
biar-lah saya akan memberi penjelasan."
"Menteri Kam Liong! Apakah engkau hendak melindungi pula seorang panglima yang
bersikap begitu lancang dan mem-bikin malu kerajaan?" Tiba-tiba Suma Kiat berkata marah.
"Pertanyaan yang tepat!" Panglima Besar Yucen berseru. "Dan siapa mau menerima alasan bahwa dia ini masih seorang anak kecil" Alasan yang dicari--cari untuk menyelamatkan diri!"
Menteri Kam Liong dengan sikap te-n
Bara Naga 7 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Bara Naga 10
^