Seruling Samber Nyawa 11

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 11


orang tua sambil menjulurkan tangan kedepan menolak tubuh Gick-liong yang memburu tiba
hendak menjemput barang-barangnya. Seketika Giok-liong berseru tertahan, badannya yang
meluruk maju seketika seperti membentur dinding tertolak
mundur. Tapi sedikitpun ia tidak ambil perhatian akan hal ini,
sambil tetap mengunjuk senyum ia berkata: "Lo-tiang (paman)
mengembalikan barang-barangku yang hilang ini, sungguh
aku yang rendah berterima kasih setulus hati !" habis berkata
ia maju lagi. Terjadilah suatu keanehan. Beruntun Giok-liong maju dua
langkah entah bagaimana sedikitpun kakinya tak kuasa
menggeser tempat, kedua kakinya tetap melengket ditempatnya
semula. Dengan mata mendelong ia awasi senjata pusaka
perguruan yang menggeletak di tanah, walaupun barang
barangnya itu terletak di depan matanya, tapi hanya bisa
dilihat tak mampu dijamah. Baru sekarang Giok-liong tersadar,
bahwa si orang tua di hadapannya kiranya bukan orang
sembarang orang. Hal ini seharusnya tidak perlu dibuat heran, bukankah di
tempat belukar yang sepi ini, jarang diinjak manusia, si orang
tua ini hanya seorang tunggal saja, Kalau dia tidak mempunyai
sesuatu kemampuan, bukankah berarti mengantar kematian
belaka. Karena tafsirannya ini, tat berani ia berlaku gegabah,
sambil tertawa ia menjura lagi. ujarnya: "Harap dimaafkan
akan kelancangan tadi. Keempat batang Potlot mas dan
seruling itu dan batu giok iiu adalah barang-barangku yang
hilang, harap paman suka mengembalikan, sungguh aku yang
rendah sangat berterima kasih !"
"Aku tidak perlu terima kasihmu !" suara si orang tua tetap
datar tanpa irama. "Lalu apa kehendak paman."
"Kembalikan dulu ayam panggang serta semangkok besar
arak wangiku. Kalau tidak semua barangmu ini sebagai
gantinya !" Seketika merah jengah selebar muka Giok-liong, sikapnya
kikuk kemalu-maluan, katanya tergagap: "Ternyata . . . .
ternyata . . . , arak itu . . . adalah . . . . "
"Kau kira tidak ada pemiliknya " seumpama tidak ada
pemiliknya juga tidak boleh sembarangan gegares ! Kalau aku
sih tidak apa-apa sesuai dengan kehidupanku . . . lain adalah
kau !" "Petunjuk paman memang betul ! Pasti kuganti selipat
ganda !" "Aku tidak perlu dengan penggantian yang terlalu banyak !"
"Baiklah akan kuganti menurut apa adanya semula !"
"Mana keluarkan ?" "Wah . . . . sekarang.. . , maksudku nanti setelah turun
gunung !" "Ha ! setelah turun gunung aku juga tidak perlu minta
kepada kau lagi, justru ditempat ini dan sekarang juga baru
terasa betapa berharganya makananku itu !"
"Tapi kemana aku harus mencari gantinya !"
"Salahmu sendiri ! siapa suruh kau ceiufak
"Benar, akulah yang salah! harap paman suka maafkan
kesalahanku kali ini !" "Selama or.cnj:i&iJti ayam panggang dan arak wangiku,
masih ada satu jalan dapat kau tempuh !"
"Harap paman sebutkan caranya !"
"Mengandal Lwekangmu mengambil dengan kekerasan !"
"Ini . . . . " "Kau tidak berani !" "Bukan tidak berani !" "Lalu kenapa?" "Menang kalah menjadi serba runyam !"
"Kenapa bisa begitu?" "Kalau aku yang rendah kalah, berarti tak dapat mengambil
balik barang-barangku, aku menjadi orang terkutuk terhadap
perguruan dan orang tua !" "Toh kau boleh berusaha untuk menang"
"Kalau menang kau kesalahan dan berlaku kurang adat
terhadap paman!" "Bagaimana maksudmu?" "Sudah gegares makan minum secara gratis kini harus
memukulmu lagi, bukankah serba runyam !"
"Kelihatannya watakmu cukup baik juga"
"Aku sendiri berpendapat belum terlalu nyeleweng !"
"Juga belum tentu !" "
"Ini paman. . ." "Seumpama aku tidak turun tangan?"
"Gampang, sekali raih dapat kuambil !"
"CtJDalan !" "Hihihi paman berkelakar?"
"Coba, kan belum kau lakukan !"
"Baik !" Giok liong melangkah maju mengulur tangannya
sambil membungkuk. "Heh?" siapa tahu bukan saja kakinya sulit digeser
sesentipun, tangannya yang terjulur kedepan itu juga seperti
menancap ke-dalam tumpukan kapok, lemas dan empuk,
samar-samar seperti ada hawa tipis yang tidak kelihatan
merintangi sehingga tangannya tak kuasa dijulurkan kedepan
lebih lanjut. Bercekat hati Giok Liong, seketika teringat akan cerita
suhunya To-ji Pang Gtok tentang semacam ilmu yang
dinantikan Bu-siang-sin kang, ilmu lurus dari agama Budha.
Bergegas ia mundur tujuh kaki serta serunya lantang:
"Paman, bukankah ini Bu-siang sin-kang! Kau orang tua. .."
"Jangan tanya siapa aku, dan tanya ilmu apakah ini, Yang
terang kau masih ingin tidak milikmu ini kembali?"
"Sudah tentu harus kembali pulang!"
"Kalau sekarang juga kau tidak mampu mengambil aku
sudah tak sabar menantikan semua kubawa pulang!"
"Baik'ah biar Wanpwe mencoba coba " Harap pinjam
seruling samber nyawa sebentar !" lalu dengan sikap serius ia
menghimpun semangat mengerahkan hawa murni,
pertama"tama Ji-lo dikerahkan melindungi badan lalu duduk
bersila dihadapan si orang tua, lalu ia sambuti seruling yang
diangsurkan siorang tua. "Tula. . . Tuli. . . mulailah Giok liong meniup dengan
iramanya yang merdu lincah, seketika berubah hebat air muka
si orang tua, serunya dengan nada berat: "Buyung, berapa
tinggi bekal Lwekangmu?" Giok liong meramkan mata menundukkan kepala tak
hiraukan pertanyaan orang pelan-pelan ia kerahkan seluruh
kekuatan Lwekangnya dipusatkan kearah tiupan mulutnya,
dengan tekun dan seksama seluruh perhatiannya dicurahkan
pada seruling samber nyawa. Pertama dimulai dengan irama lincah jenaka yang riang
gembira, lalu berubah menyelarasi perubahan batinnya,
dengan nada yang penuh perasaan berganti-ganti irama, dari
suara rendah terus meninggi. Dari pelan laksana air mengalir seperti angin menghembus
sepoi-sepoi, laksana burung walet bernyanyi rendah, Larnbar
laun semakin tak kendali meninggi gemuruh seperti hujan baju
yang lebat laksana samudera bergolak.
Seumpama genta besar dalam kelenteng berkelontengan
semakin memburu cepat seiring dengan derap langkah
berlaksa kuda yang berlari kencang sampai akhirnya semakin
cepat lagi, Sampai bumi terasa bergetar hampir merekah,
gelombang samudera mendampar batu karang sehingga dunia
seperti hampir kiamat. Meskipun saat itu tepat tengah hari tapi cuaca menjadi
gelap, mendung diliputi kabut tebal, dalam lembah terdengar
suara pekikan setan dan gerungan malaikat, suasana semakin
menjadi seram menakutkan, perasaan juga tercekam seperti
isi perut hampir hancur lebur. Berkuntum-kuntum mega putih seiring dengan irama
seruling yang meninggi rendah mengepul keluar dari tujuh
lubang seruling terus berkembang keatas. Kabut putih
bergulung-gulung diatas kepala Giok-liong, seperti air yang
mendidih diatas tungku terus mengepul ke atas.
Sikap dan perubahan wajah si orang tua seiring dengan
perubahan irama seruling Giok-lsong semakin tegang dan
serius Lambat laun jidatnya mulai berkeringat, matanya
mendelik besar seperti kelereng hampir meloncat keluar,
rupanya sudah jauh berbeda dengan keadaan semula yang
wajar. Waktu irama seruling Giuk liong semakin melengking tinggi,
mengalun menggetarkan seluruh penghuni alam semesta ini.
Air muka si orang tua juga semakin tak genah, Akhirnya dia
angkat kedua lengannya kedua telapak tangan didorong
lempang kedepan, walau kelihatannya lowong, tapi kedua
tangannya itu seolah-olah sangat berat sekali bertahan.
Tepat pada saat itu lagu yang ditiup Giok liong sudah habis,
pelan-pelan ia bangkit berdiri seraya berkata: "Paman, aku
hendak mengambil pusaka peninggalan perguruan dan benda
kenangan dari ibuku !" lalu ia beranjak maju dua langkah.
"Hah !" seketika ia berdiri terlongong-longong di
tempatnya, kedua matanya berkilat mendelong memandangi
kedua tangan si orang tua yang dijulurkan ke depan itu.
Ternyata telapak tangan si orang tua masing-tnasing
tangannya sudah kehilangan jempolnya, kiri tinggal delapan
jari. Cukup lama Giok liong mengamati hatinya samakia ciut
tidak mengambil barang-barangnya malah bergegas bertekuk
lutut terus menyembah berulang ulang serta katanya dengan
gelisah : "Wanpwe memang harus mati, tidak tahu adalah kau
orang tua !" Harus diketahui kedudukan Pat-ci kay-ong (raja pengemis
delapan jari) dalam Bu-lim-su-cun sangat tinggi sekarang
terpaksa ia harus menjulurkan kedua telapak tangannya,
mengandal Bu-siang-sin-kang berusaha melawan kekuatan
suara dari Jan hun-it-ki, ilmu peninggalan tokoh-tokoh silat
jaman kuno. Dalam keadaan biasa, Pat-ci-kay ong takkan gampang rela
memperlihatkan kedudukan serta asal usulnya, maka sedikit
sekali orang yang pernah melihat akan kedelapan jarinya itu,
Giok-liong adalah murid To-ji Pang Giok, ialah satu dari tokoh
Bu-lim-su-cun itu, mana mungkin gurunya tidak pernah
memperkenalkan ciri-ciri tokoh-tokoh sakti pada jaman itu.
Maka begitu Giok-liong melihat kedua telapak tangannya
yang tinggal delapan jari segera unjuk hormat kebesaran.
Jan-hun-it-ki ( irama menyiksa sukma ) adalah ilmu tunggal
yang karya gemblengan tokoh-tokoh kosen jaman kuno dulu,
meliputi seluruh intisari kekuatan terpendam dalam alam
semesta ini. Sekali irama ini ditiup, kalau belum satu jam lamanya,
Lwekangnya masih terus terpusat menjadi satu
memperlihatkan perbawanya, satu jam kemudian baru menipis
dan buyar. Oleh karena itu meskipun Giok-Iiong sudah kenal akan Patci-
kay-ong dan serulingnya sudah tidak ditiup lagi, tapi Pat cikay-
ong inikttitn akan kekuatan sakti dari irama seruling yang
hebat itu, duduknya tetap bergaya seperti tadi mengerahkan
seluruh kekuatan Bi-siang-sinkang untuk bertahan, sedikitpun
ia tidak berani memecah perhatian untuk bicara.
Akhirnya satu jam telah berlalu, pelan-pelan Pat ci-kay-ong
baru menarik kedua tangannya terus menghapus keringat di
jidatnya, setelah menghela napas panjang ia berkata: "irama
lagu ini seharusnya hanya ada di sorga, kapan manusia di
dunia baka ini bisa menikmatinya, Hidup pengemis tua selama
seratus tahun ini kiranya sia-sia, kini terbuka mataku!"
Selama ini Giok-Iiong tetap berlutut di-tanah, katanya lirih:
"Supek, harap . . ." "Bangun !" "ujar Pat-ci-kay-o.ii tidak sabaran
Giot-liong mengiakan terus bergegas bangun.
"Tak heran kau malang melintang di Kangouw, belum lama
kau kelana sudah menggegerkan Bulim. Memang kenyataan
hijau jauh lebih menang dari biru, Jan-hun-itki itu gurumu
sendiri belum mampu menyelami sampai sebegitu jauh, tak
kira kau sendiri sudah mencapai tujuh tingkat kesempurnaan
!" "Cian pwe terlalu memuji !"
"Duduklah !" ujar Pat-ci kay-ong menunjuk sebuah batu
disampingnya. Giok-liong tahu watak pengemis tua yang keras, tanpa
sungkan-sungkan ia terus duduk bersila.
"Giok liong," demikian sambung pengemis tua, "setengah
bulan yang lalu, aku pernah bertemu dengan gurumu di
perbatasan Kiang-han !" Tersipu-sipu Giok-iiong berdiri lalu menjura dan bertanya
dengan hormat : "Apakah beliau baik-baik saja?"
"Dia tidak baik !" Seumpama petir menyambar Giok-liong berjingkrak bangun
dari tempat duduknya, teriaknya gugup: "Bagaimana keadaan
beliau ?" "Hampir mati saking karena jengkel sepak terjang mu!"
sahut si pengemis tua dengan nada berat.
"Ini . . . Wanpwe memang pantas dihukum mati, tapi tak
tahu kenapa . . . " "Kau memasuki Lembah kematian menempuh bahaya
kematian apakah tojuanmu?" "Menuntut balas bagi ayah bunda, dan menceri tahu
riwayat hidupku !" "Selama berkelana ini, apakah sudah kau ketemukan
sumbernya ?" "Giok-liong menggeleng kepala dengan sedih.
Adalah kebalikannya Pat ci-kay-ong malah manggutmanggut,
katanya: "ItuIah, coba pikirkan selama kau kelana
ini bukan saja tidak mengurus tujuan yang sebesarnya malah
kemana-mana kau mengunjuk kejahatan, gagah-gagahan
menyebar maut membunuh sekian banyak jiwa, Berani kau
menjunjung tinggi julukan Kim pit-jan hun menimbulkan
keonaran dan kegaduhan di Bulim, dimana kau berada berada
disitu timbul kericuhan!" Sebentar ia berhenti, lalu sambungnya lagi: "Bukan begitu
saja perbuatanmu dikalangan kangouw kau khusus bergaul
dengan kaum hawa bergulat tiada habisnya serta romantis.


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang terakhir ini tingkah lakumu semakin menjadi-jadi,
mencari gara gara kepada sembilan aliran besar, dengan
darah kau cuci bersih seluruh penghuni Go- bi-san dan Butong-
pay, sebetulnya apakah tujuanmu. Hari ini tiada
halangannya kau tuturkan kepadaku duduk perkara
sebenarnya. Begitulah secara panjang lebar dan ringkas ia beberkan
pengalaman Giok-liong selama di kangouw, nadanya sungguhsungguh
penuh keseriusan. Selama mendengarkan Giok-liong mandah bungkam seribu
basa sambil tunduk kepala, hati terasa seperti dibakar, juga
seperti diiris-iris sampai seluruh badan geinetar, lama dan
lama sekali baru ia dapat mengendalikan perasaannya,
katanya: "Masa Suhu dia orang tua fidak memahami dan
menyelami pengalaman ku!" "Memang segala sepak terjang dan perbuatanku susah
dipahami, dengan cara bagaimana dia harus menyelami
perbuatanmu?" "Cianpwe harap tanya dikatakan sekarang Suhu berada?"
"Dia mewakili kau pergi kepuncak Bu-tay-san untuk
memenuhi janji dengan pihak Yu-liong-kiam khek, Apalagi
sembilan partai besar sudah tergabung dalam satu barisan
hendak mencari perhitungan kepadamu, coba bila kau berdiri
di pihak Suhumu, harus tidak menjadi marah."
Semakin pedih rasa hati Giok-liong, sam bil menjura dalam
lantas ia membungkuk menjemput Potlot mas dan batu giok
tanda kenangaa itu, katanya lantang: "Supek. anak memang
tidak berbakti, baiklah kita berpisah disini saja!"
Pat-ci-kay ong mengerutkan alis, katanya keras: "Hendak
kemana kau?" "Aku harus menuju ke ngarai Im-hong (Angin Dingin) di
puncak Bu-tay-san mencari Suhu!"
"Cara bagaimana kau harus menyelesaikan persoalan itu
dihadapan mereka?" "Aku harus lapor peristiwa sebenarnya kepada Suhu,
terserah bagaimana dia orang tua hendas menjatuhkan
hukumannya. seumpama aku harus hancur lebur juga rela."
"Begitupun baik, Tapi sebelumnya perlu ditegaskan dulu,
sebetulnya bukan suhumu tidak mau menyelamli sepak
terjangmu, Betapa-pun kabar angin atau omongan orang perlu
pertimbangan, kabar angin dan desas desus di kalangan
kangouw sebetulnya cukup merepotkan!"
"Wanpwe paham, terima kasih akan petunjuk Supek!"
"Hyaaaat!" tibn-tiba dari kejauhan sana terdengar jeritan
keras bengis yang berkumandang menggeiarkr:n alam
pegunungan menembus awan. Tanpa merasa Giok liang berdua berjing krak kaget, sesaat
mereka saling pandang. "Ciiataat !" gerangan lebih dahsyat terdengar mengerikan
malah jarak nya terdengar semakin dekat.
Tiba-tiba Pat-ci-kay-ong meloncat bangun, katanya lirih:
"Lwekang orang ini cukup hebat."
Giok-liong mendengarkan dengan cermat sahutnya
berbisik: "kalau terkaan Wanpwe tidak salah kedua kali
teriakan ini bukan keluar dari mulut seorang !"
"Oh . . ." merah jengah muka Pat ci-kay ong, sikapnya
menjadi kikuk, betul-betul ia tidak menduga akan hal ini,
sebab itu hatinya berpikir: "Gelombang dibelakang selalu
dorong yang didepan, tunas muda tumbuh diantara kaum
remaja. pemuda ini memang berbakat, bukan saja
Lwekangnya sudah sangat menonjol kecerdikan otak dan
reaksinya cukup hebat, jauh melebihi tokoh-tokoh tua dari
dunia persilatan. Tak heran begitu cepat ia mengangkat nama
menggetarkan dunia persilatan Lebih tak perlu diherankan
kalau golongan putih dan hitam semua takut dan benci
terhadapnya !" Tengah Pat-ci-kay ong terbenam dalam lamunannya, tibatiba
Giok liong berbisik di pinggir telinganya: "Supek, lihatlah
!" Jauh diluar hutan belantara sana, sebuah titik kecil, warna
abu-abu gelap tengah berlari kencang laksana meteor jatuh,
sedang di belakangnya mengejar dengan ketat sebuah
bayangan merah marong yang besar, jarak ke dua bayangan
orang itu kira-kira puluhan tombak, satu didepan yang lain
dibelakang mereka mengembangkan Ginkang yang teramat
lihay belum pernah terlihat di Kangouw, inilah Ginkang tingkat
tinggi yang dikembangkan laksana bintang terbang mengejar
rembulan, tujuan bayangan itu adalah tempat mereka berdua
berada. Sekejap mata saja jarak ratusan tombak telah diperpendek
menjadi seratusan tombak kurang. Kini kedua bayangan itu
semakin dekat dan jelas kelihatan. "Hah! Bo pak-it-jan!" "Oh Bo pak-it jan Sa Ko" Hampir bersamaan Pa-ci kay-ong dan Giok liong berseru
berbareng. Mata Giok-liong berkedip-kedip, katanya: "siapakah orang
aneh berpakaian serba merah." "Celaka! Le hwe-heng cia, Bagaimana iblis ini bisa. ."
Belum habis ia berkata terdengar Le-hwe heng-cia
membentak keras ditengah udara suaranya kasar dan keras
seperti bunyi, kokok beluk: "Sa Ko jangan harap kau dapat lari
meloloskan diri! Tidak lekas kau berhenti!" serangan
tangannya membarengi ancamannya, Waktu telapak
tangannya terayun tiba tiba ditengah udara meledaklah suara
gemuruh lantas terlihat menyemburnya lidah berapi yang
membawa bau bakar yang keras laksana sekuntum awan
merah didorong oleh angin baju yang keras langsung
menerjang kearah Bo pak- it jan Sa Ko.
Kebetulan saat itu angin menghembus kencang sehingga
semburan berapi tadi semakin berkobar lebih besar, sungguh
mengejutkan. Bo pak it jan Sa Ko mendengar di belakangnya seniman
baja api sangat santar sampai menderu, Cepat-cepat ia
goyangkan pundak meliukkan pinggang dan menjejakkan kaki
tunggalnya sementara tangan tunggalnya juga dikebutkan
kebelakang, badannya lantas meluncur turun miring kesebelah
samping. Tapi perbawa pukulan Le hwe heng cia ini betul betul
sangat ganas, Bagaimana cepat gerak tubuh Bo pak it jan,
badannya limbung terhuyung kedepan tak kuasa berdiri tegak,
Saat mana meskipun jauh berada di dua tiga puluh tombak
jauhnya, tak urung badannya tergetar keras tak terkendali
lagi. "Blung !" air lantas muncrat tinggi ternyata tepat sekali
tubuhnya terpental masuk kedalam aliran sungai, sehingga
seluruh tubuhnya basah kuyup, untung kecemplung kedalam
air kalau tidak paling ringan kepalanya pasti keluar kecap atau
benjut. Bo-pak-it-jan sudah sekian tahun lamanya malang
melintang di gurun pasir utara, merupakan seorang tokoh
kosen yang tiada tandingannya didaerahnya.
Termasuk kalangan persilatan di Tionggoan dan perbatasan
pedalaman selatan termasuk juga sebagai gembong silat yang
sangat disegani. Kepandaian dan Lwekangnya tidak lebih
rendah dari Bu-lim sucun. Tapi apa yang sekarang disaksikan, bukan saja tidak berani
balas menyerang sampai menangkis saja tidak mampu, malah
untuk menghindar tnati-matian saja juga harus menderita
begitu rupa. Maka dapat dibayangkan betapa mengejutkan
kepandaian Le-hwe-lieng-cia ini ! Baru saja kepala Bo pak it jan menongol keluar dari
permukaan air, pukulan Le hwe-heng cia sudah menerjang
tiba lagi. Giok-liong yang berdiri jauh tiga tombak juga merasakan
udara mendadak menjadi panas membakar kulit seperti di
panggang diatas tungku, aliran hangat menyampok muka
sehingga napas sesak. "Byaaaak !" kembang air, pecahan batu, rumput dan dahan
dahan pohon beterbangan tak karuan paran seperti tengah
terjadi gempa bumi. Badan Bo pak it-jan melayan tinggi sejauh lima tombak
terus terbang melintang meluncur kedepan. "Blang !" tepat ia
terjatuh disamping Pat ci-kay-ong dan Giok-liong.
Kedua matanya kelihatan mendelong lurus kedepan,
seluruh mukanya merah membara seperti babi panggang,
seluruh baju yang dipakainya hangus terbakar, sejenak Patct
kay-ong jongkok, memeriksa lalu berkata kepada Giok-liong:
"Waspadalah, Le hwe-heng-cia iblis ini tiada tandingannya di
jagat ini." "Terlihat bayangan merah berkelebat tahu-tahu Le-hwe
heng cia sudah meluncar datang. "Ha Hehenehe!" Begitu melihat kehadiran Pat-ci kay-ong ia
bergelak tawa sebelum sempat membuka suara bicara, Gema
suaranya seperti auman harimau seperti lolong serigala
menggetarkan alam pegunungan sampai kumandang sekian
lama, binatang dan burung lari dan beterbangan karena
terkejut. Lenyap gema tawanya lantas terdengarlah suaranya yang
keras sember seperti gembreng pecah : "Ada In-lwe-su cun
diam sebagai pelindung tak heran dia berlari sipat kuping
kearah sini ! Tidak salah ! Tidak salah !" sikap sombongnya ini
seolah-olah tidak memandang sebelah mata Pat-ci-kay-ong.
Giok-liong menjadi aseran, raut mukanya yang putih
berubah merah padam, serunya: "Kenapa kau begitu . . . "
belum kata sombong keluar dari mulutnya, keburu Pat-ci-kayong
memberi kedipan mata mencegah kata katanya, malah ia
sendiri segera berteriak: "Le-hwe heng-cia ! Salah dugaanmu !
Belum pernah aku mengadakan janji pertemuan ditempat ini
!" Tak duga Le hwe heng-cia membalik mata, serunya dengan
beringas : "Aku tidak peduli ! Kalian bongkot-bongkot silat dari
Tiong-goan berani membunuh muridku, maka aku harus
membuat perhitungan dengan kalangan persilatan Tiong-goan
kalian !" "Siapa yang telah membunuh muridmu?" tanya Pat ci kayong
tawar. "Aku tidak tahu !" sentak Le-hwe-heng-cia dengan murka.
"Dimana muridmu dibunuh orang !"
"Di Hiat hong-pang !" Tergerak hati Giok-liong, segera ia turut bicara : "Apakah
pelindung Hiat-hong-pang yang menggunakan ilmu Le hwetok-
yam itu ?" Tergetar badan Le hwe-heng-cia, raut mukanya menjadi
serius tiga langkah ia mendesak maju kedepan Giok liong
dengan sorot pandangan tajam ia menyahut tak sabaran
"Benar ! Kau tahu " Sementara itu, Bo pak it jan Sa Ko yang terluka tidak ringan
itu sudah merangkak bangun, duduk sambil menuding Giokliong
mulutnya berkata gagap terputus-putus: "Nah, . itulah . .
. dia ! Dia . . , . inilah !" Sepasang mata Le-hwe-heng-cia yang merah membara
berkedip kedip, terlebih dulu ia berkakakan baru katanya:
"Cacat tua ! Kau ngapusi aku !"
Sambil menyeka darah yang mengalir di ujung mulutnya,
Bo pak- it- jan Sa Ko berkata sangat payah: "Aku tidak
menipumu, yang memukul mati muridmu dia itulah, Kim pit
jan hun Ma Giok liong ini ! Pat-ci-kay ong berubah keras air mukanya dengan tajam ia
pandang Giok-liong. Le hwe-heng cia menjadi ragu-ragu setengah percaya ia
pandang Giok-liong lalu beralih pandang kepada Sa Ko yang
duduk di-tanah, lalu ujarnya dengan suara serak: "Dia"
Mengandal bocah ingusan . . . ."
"Hahahaha ! Hahahaha!" Giok liong tertawa lebar. "Le-hwe
heng-cia, jangan terlalu yang membunuh pelindung Hiat hong
pang memang aku inilah adanya, apa yang dapat kauperbuat
atas diriku " Apa tindakanmu selanjutnya?"
"Buyung, benar kau ini yang berbuat?"
"Kenapa kau tidak percaya?"
"Aku harus menuntut balas bagi muridku !"
"Di saat ini hanya ada murid menuntut balas bagi gurunya
belum pernah kudengar sang guru menuntut balas bagi
muridnya ! Hahahaha ! Hehehehe !"
"Keparat, kurang ajar" Le hwe heng-cia melejit ke atas dari
kejauhan diudara dia menjulurkan tangannya mencengkeram
seperti galian te i Li i mencakar pundak Giok-Iiong. Belum lagi
orangnya tiba, hawa panas sudah menerpa tiba membawa
kesiur angin yang deras. Ringan sekali mendadak bayangan putih berkelebat hilang
Sambil berseru heran bayangan merah segera terbang
mengejar dengan kencang. "Berhenti !" latihan Ginkang Pat ci-kay-ong boleh dikata
sudah mencapai puncak kesempurnaannya, ringan sekali ia
melayang maju mencegat diantara mereka, lalu sambungnya:
"Bicaralah dulu supaya jelas !"
"Kau juga ingin ikut campur Rija pengemis !" sentak Le
hwe-heng-cla dengan beringas. Pat ci-kay-ong bersabar sahutnya tertawa tawar "Maksudku
urusan ini dibicarakan dulu biar jelas duduk perkaranya."
"Bukankah bocah ini sudah mengaku sendiri !"
Giok-liong insyaf bahwa Le-hwe-heng-cia merupakan
gembong silat yang lihay dari kepandaiannya, bagaimana juga
perhitungan dendam ini harus diselesaikan, oleh karena itu
tanpa banyak bicara lagi segera dirogohnya keluar Potlot mas
di tangannya. serunya: "Supek! Biar kucoba manusia liar ini
punya kepandaian siiat macam apa?"
Pat-ci kay-ong mendelik, tanyanya: "Benarkah muridnya, .
." "Bikin aku mati gusar!" bayangan merah terbang melayang
beberapa tombak melewati Pat-ci kay ong terus menubruk
kearah Giok liong. Pat ci kay ong tidak keburu mencegah mereka sudah
berkutet dan bertempur seru sekali, sinar kuning berkembang
dan diputar empat laksana kitiran melawan sepasang kepalan
warna merah marong. Begitu cepat cara serang menyerang ini sekejap saja
puluhan jurus telah berlalu, selama ini kedua belah pihak
tampak sama kuat. Le hwe heng cia berkaok-kaok, suaranya laksana geledek


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengguntur yang marah marah, Scba iknya Giok liong putar
Potlot masnya secepat mengejar angin, seluruh badan
diselubungi kabut putih, dimana Ji lo sudah dikerahkan
melindungi badan, seketika terbangun semangatnya Jan hun
su sek berulang kali dilancarkan dengan ketat sekali, tiada
tampak sedikitpun lobang kelemahannya, Malah setiap jurus
permainannya sering balas menyerang dengan gencar dan
ganas tak mengenal ampun. Terdengar kesiur angin dari lambaian baju orang, diluar
gelanggang sana dari berbagai penjuru saling bermunculan
bayangan orang yang tak terhitung jumlahnya, kiranya
mereka juga kaum persilatan yang cukup tinggi
kepandaiannya, terbukti dari Ginkang mereka yang cukup
lihay, semua berdiri menonton diatas batu diatas pohon,
menahan napas tak sembarangan bergerak.
Para pendatang ini semua mengenakan seragam hitam
didepan dada tersulam pelangi merah darah, Terang mereka
adalah anak buah Hiat hong pang. Saat itu Bo pak it jan Sa Ko sudah merangkak bangun
dengan susah payah terus mendekat disamping Pat ci kay
ong. katanya dengan lirih seperti nyamuk: "Kay-ong ! Coba
lihat ! Terang Hiat-hong pang yang mengundang iblis laknat
itu datang kemari!" Perhatian Pat ci-kay-ong tertuju pada keselamatan Giokliong,
acuh tak aoiti ia menyahut : ,.Peduli Hiat-hong pang apa
segala, iblis tua ini membikin onar di Tiong-goan merupakan
bencana bagi kalangan persilatan. Inilah takdir, semua harus
mengalami kesukaran !" Belum habis kata katanya, dalam gelanggang pertempuran
terdengar Iedakan dahsyat bayangan manusia jaga lantas
berpisah masing masing berdiri pada dua jurusan Le-hweheng
cia melompat sejauh lima tombak, sepasang mata
apinya merah membara terus berkedip-kedip, sikut tangan
kirinya kelihatan mengucurkan darah segar, mulutnya tak
hentinya berkaok-kaok: "Aduh, aduh! Bocah keparat ! Bocah
keparat !kiranya . . , , tac heiiehe !"
Dilain pihak Giok- liong sendiri juga berkelebat menyingkir
sejauh setombak lebih, Potlot mas di tangan kanan
dilintangkan di depan dada, air mukanya berubah tegang,
terlihat lengan baju tangan kirinya sobek separo dicakar Le
hwe heng cia dan jatuh di atas tanah.
Puluhan anak buah Hiat-hong pang serempak berteriakteriak
gegap gempita sambil bertepuk tangan, suaranya keras
berkumandang bergema dalam lembah pegunungan
JIlid 19 Sikut kiri Le-hwe heng-cia kena tergores oleh Potlot mas
Giok-liong, keruan hatinya bertambah marah seperti terbakar.
Terlihat ia geleng-gelengkan kepalanya yang besar sehingga
rambutnya menjadi riap-riapan, mukanya menyeringai seperti
wajah setan, menepuk kedua tangannya ia menggembor
keras: "Bocah keparat, kau harus mati !"
Tepat disaat ia mengayun telapak tangannya, cahaya
merah dari bara yang panas sekali samar-samar seperti dua
tonggak api menyembur keluar dari telapak tangannya.
Terdengar Pat-ci-kay-ong berteriak: "Giok liong, hati-hati,
inilah Le-hwe-ceng-ciang." Siang-siang Giok-liong sudah kerahkan seluruh latihan
Lwekangnya Ji-lo juga dikerahkan sampai puncaknya, tanpa
disadari tangan kirinya sudah merogoh keluar seruling samber
nyawa. Dengan kedua senjata ampuh dan sakti berada ditangan
Giok-liong seperti harimau tumbuh sayap, dengan gencar ia
lancarkan seluruh kepandaiannya. Lambat laun kedua belah
pihak sudah kerahkan kemampuan masing-masing, seluruh
kekuatan telah disalurkan untuk mengadu kekerasan.
Pada saat itulah, mendadak gelak tawa lantang yang
kumandang ditengah udara meluncur semakin dekat dari
kejauhan sana. Belum sempat mata berkedip, dalam
gelanggang sudah bertambah dengan empat laki-laki tua
berambut putih perak. Rambut keempat orang tua ini samasama
berkilau, sikapnya gagah bertubuh tinggi besar dan
kekar. Begitu mendarat di tanah, serentak mereka bersuara:
"Lehwe heng cia, berhenti!"
Agaknya Pat ci kay ong kenal ke empat kakek tua ini,
memburu maju beberapa langkah ia berseru: "Ji kang su-gi . .
." Keempat kakek tua itu sedikit manggut sambil tersenyum,
katanya bersama: "Kay-oag ! Apa kau baik " Kita sekarang
sudah merubah sebutan bersama Pak hay-su-lok ! Hahahaha
!" Sementara itu Giok-liong juga sudah memburu tiba lantas
menjura kepada ke-empat kakek tua itu, ujarnya : "Apakah
cianpwe berempat belum kembali ke Ping-goan di laut utara ?"
Le hwe-heng cia menggosok gosok kedua telapak
tangannya, matanya berapi-api sambil berkaok uring uringan:
"Aku tengah menuntut balas hutang darah dengan bocah ini,
peduli apa dengan kalian . . . "
Tertua dari pak-hay-su-lo King thian-sio Lu Say segera
menarik muka desisnya berat : "Tutup mulutmu ! Sebab Ma
Siau-hiap yang kau tuntut ini adalah juga orang yang hendak
kita undang, terpaksa kau harus mengalah sedikit ! Kembalilah
kesarangmu di perbatasan sana ! Terhitung kau yang sebat!"
Li Hian termuda dari Pat hay-su lo mendekat di samping
Giok-liong, dengan sungguh-sungguh ia berkata : "Kawan kecil
! Kita sudah kembali ke laut utara, kini kita menerima perintah
majikan untuk mengundangmu ke laut utara."
Belum Giok-liong sempat menjawab, di sebelah sana Le
hwe-heng-cia sudah menggerung gusar, sambil menggemakan
kedua tangannya terus menubruk maju.
Berubah air muka Pak-hay su-lo melihat amukan orang
seperti banteng ketaton ini, serentak mereka bergerak
bersama mendorong tangan memapak kedepan, seraya
berseru : "Besar nyalimu iblis !"
"Blang !" ledakan yang keras sekali menggetarkan bumi
dan langit Le hwe-heng-cia tergetar mundur lima kaki,
angkara murka menghantui pikirannya.
Sebaliknya Pek-hay su-lo masing-masing juga tersurut
mundur tiga kaki, air muka mereka mengunjuk sikap serius,
Tempat kosong di antara jarak mereka yang terpaut dua
tombak itu rumput menjadi kering, batu juga terhangus
seperti telah terjadi kebakaran besar laksana disamber
geledek sehingga meninggalkan bekas yang menyolok.
King-thian-sin Lu Say menjadi murka, gerungnya berat:
"Betapapun jahatnya Le-hwe-heng-ceng, jangan kau lupa
akan Nay-ham kang dari Ping-goan di laut utara yang
merupakan tandingan setimpal dari ilmu jahatmu itu !"
Wi-tian ing Yu Pau juga berubah air mukanya, ancamnya
dengan serius: "Tua bangka bangkotan yang tidak tahu akan
kebaikan !" Ka-liong Gi-hong juga membentak: "Kalau berani mari
sekali lagi!" Pat-oi-kay-ong berseri tawa seraya maju tampil kedepan,
katanya lembut kepada Le-hwe heng cia: "Urusan hari ini
menurut hematku sudahi saja sampai disini. Kalau api ketemu
es, kukira tidak bakal membawa keuntungan !"
Le hwe-heng cia merenung sebentar, sinar matanya lantas
beringas tajam menatap ke arah Giok-liong, desisnya penuh
kebencian: "Baik ! Bocah keparat ! Urusan ini tidak akan
berakhir sampai disini saja !"
Giok-liong bergelak tawa dengan congkaknya, ujaraya
lantang: "Aku Ma Giok-liong selalu melayani tantanganmu !"
King-thian sia Lu Say menjadi tidak sabar, sekali melayang
ia mendesak maju ke-depan Le-hwe beog-cia sembari
membentak: "Kalau mau jual lagak marilah sekarang saja !"
Mana Le hwe heng cia bisa tahan di olok-olok sedemikian
rupa, sambil kertak gigi segera tangannya terayun terus
menepuk keatas kepala King-thian-sin Lu Say berbareng
mulutnya membentak: "Aliran Pak-hay kalian terlalu menghina
orang !" "Besar nyalimu !" serentak Pek-hay-su-lo melompat maju,
masing-masing kirim pukulan setaker tenaganya, Bayangan
orang, angin pukulan, serta hawa yang panas membakar
terbaur dengan hawa dingin, batu menjadi hancur rumput
beterbangan menari-nari udara menjadi gelap ditaburi kotoran
dan debu. Siapapun tak melihat tegas, dan siapapun takkan menduga
"Haya!" pekik beruntun terdengar lantas terlihatlah bayangan
mereka berpencar Pak hay-su lo dalam segebrak telah
mengadu kekuatan pukulan dengan Lo-hwe-heng-cia !
Adu pukulan kali ini kedua belah pihak sudah kerahkan
seluruh kekuatannya. Secara naruliah dibandingkan Le-hweheng
cia adalah seorang gembong silat aneh dari luar
perbatasan, Lwekang serta kepandaiannya lihay luar biasa
yang sangat diagungkan di daerahnya, Terutama Le-hwe-bubeng-
ciang.( pukulan tangan berapi tak kenal ampun ) sudah
menjagoi di dunia persilatan merupakan ilmu tunggal yang
jarang menemui tandingannya. Seumpama Nay-ham kang dari Ping-goan dilaut utara yang
merupakan lawan tandingannya yang setimpal, karena yang
satu panas dan yang lain dingin membeku, jikalau mereka
berempat tidak bergabung mungkin juga takkan kuat
bertahan, jangan kata bisa menang !
Sebuah pameo sering dibicarakan orang di kalangan
Kangouw yang berkata, dua kepalan sulit melawan empat
tangan, seorang gagah perwira tak gentar menghadapi
keroyokan. Sekarang terbukti dengan seluruh kekuatan Pak-hay-su lo
harus mengadu pukulan, dengan gabungan Lwekang mereka
berempat yang masing-masing mempunyai latihan ratusan
tahun jadi boleh dijumlah menjadi empat ratusan tahun. Maka
dapatlah dibayangkan betapa hebat perbawa dari gabungan
Lwekang selama latihan empat ratus tahun ini.
Maka tidaklah heran Le-hwe-hengcia yang mempunyai
latihan kepandaiannya selama dua ratus tahun menelan pil
pahit, Begitulah sebat sekali ia melompat mundur setombak
lebih, mukanya yang merah beringas tadi kini berubah pucat
pasi menakutkan orang, kedua tangannya tergantung
semampai naga-naganya ia sudah lemas kehabisan tenaga
karena terkuras habis mengadu pukulan dahsyat tadi.
Sorot matanya yang tadi berkilat garang juga menjadi lesu
guram, ujarnya dengan rasa tertekan: "Pihak Pak-hay kalian
suka main keroyok, sampai mati juga Lohu takkan tunduk !"
Li Hian maju selangkah, ejeknya temberang: "Tidak tunduk.
Tapi hari ini terhitung sudah keok, seorang laki-laki harus tahu
gelagat, lekaslah pergi pergi ! Karena empat lawan satu tadi
maka Pak-hay bun kita mengampuni jiwamu sekali ini !"
"Sudah keok !" jengek Le-hwe-heng-cia dengan uringuringan:
Jangan kalian mimpi disiang hari bolong !"
Agaknya ia masih belum kapok dan ingin maju lagi, kedua
tangannya digerakkan sehingga berbunyi kerotokan. Tiba-tiba
sebuah bayangan hitam melayang turun disampingnya.
kiranya Hiat hong-pangcu yang berkedok itu telah muncul,
katanya sambil angkat tangan : "Cianpwe, selama gununggunung
tetap menghijau tak perlu khawatir kehabisan kayu
bakar. Bocah ini takkan selamanya mengandal pihak Pak-hay
untuk melindunginya. Lain hari kita boleh mencarinya."
Terpaksa Le-hwe-heng-cia harus melihat angin memutar
haluan, sambil membanting kaki ia tuding Giok-liong,
ancamnya: "Lain hari jangan kau kepergok ditangan Lohu ! "
"Sekarang juga tidak menjadi halangan !" tantang Giok
liong. "Baik." seru Le hwe-heng cia sambil kertak gigi. marahnya
masih belum hilang, "Ingat kejadian hari ini. Mari. . !"
Bayangan merah melayang sekali berkelebat bayangannya
sudah terbang jauh seperti mengejar angin.
Sepasang matanya berkilat dibalik kedok Hiat-hong-pangcu
menatap gusar kearah Gok liong, lalu ia pimpin anak buahnya
mengundurkan diri. Sementara itu Bok-pak-it jan Sa Ko yang duduk ditanah
bersemadi mengobati luka lukanya itu entah sudah tidak
kelihatan bayangannya lagi. Menghadapi Pak hay-su-Io, Pat-ci-kay ong berseri tawa:
"Kapan kalian berempat sudah menghamba kedalam Pak-hay,
ataukah kalian mendirikan aliran tersendiri ?"
Li Hian juga tertawa tawar, katanya: "Emangnya bertulang
budak kita tetap meneduh dibawah perintah orang, Kay-ong
jangan mentertawakan lho !" Terlintas rasa heran dan tak habis mengerti pada air muka
Pat ci-kay ong, tanyanya: "Apakah saudara Li tidak bicara
kelakar?" Li Hian menyahut sungguh: "Masa aku harus berkelakar
terhadap raja pengemis macam kau ?"
"Lalu siapakah Cukong kalian ?"
Li Hian menyengir tawa, sahutnya penuh arti : "Harap
maaf, hal ini tak bisa kita beritahu, karena , . . . ."
Tatkala mana King-thian-shi Lu Say tengah bicara kepada
Giok liong : "Kita berempat mendapat perintah dari junjungan,
siang malam kita menempuh perjalanan balik ke Tiong-goan
sini. Harap Siau-hiap suka mengiring kita ke Pak-hay,
sekarang juga kita harus berangkat supaya junjungan tidak
khawatir dan mengharap-harap !"
Giok-liong mengedip-ngedipkap mata, tanyanya heran:
"Kalian khusus diperintahkan untuk mencari aku ?"
"Benar, tiada urusan lain yang lebih penting dari ini ini!"
sahut Li Hian. Giok-liong semakin menaruh perhatian tanyanya
mendadak: "Siapakah pimpinan dari Pak-hay kalian, Wanpwe
belum pernah tahu namanya, bagaimana bisa. . ."
"Setelah siauhiap tiba di Pak-hay, tentu semua akan jauh
beres." Hati Giok liong menjadi gundah sulit mengambil keputusan,
sebaliknya Li Hian sudah mendesaknya lagi: "Siau hiap,
bagaimana karakter dan martabat kita berempat takkan dapat
mengelabuhi Kay ong, tujuan kali ini tentu takkan terjadi
sesuatu yang merugikan kau!" Giok-liong menjadi rikuh memandang ke arah Pat ci kayong.
Pat-ci-kay ong sendiri agaknya juga tengah merenungkan
sesuatu apa, mendengar ucapan Li Hian itu segera ia
menimbrung "Ji-kang-su-gi dulu malang melintang di kangouw


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperoleh pujian harum, untuk kali ini aku pengemis tua
sungguh sangat kagum!" Li Hian tertawa getir, ujarnya "Kay-ong terlalu memuji,
banyak terimakasih!" King-thian-sin Lu Say mengangkat tangan menyilakan Giokliong:
"Siau-hiap, mari silahkan!"
Sejenak Giok-liong berpikir, lalu katanya rikuh: "Harap
kalian suka maafkan, saat ini aku tak mungkin ikut kalian
menuju ke Pak hay!" "Apakah kau meragukan ketulusan hati kita berempat akan
tugas yang dibebankan kepada kami ini?"
"Bukan, bukan !" Cepat-cepat Giok-liong berkata sambil
goyang tangan. "Lalu kenapa" "Aku harus menepati janji ke Yu-bing-mo-khek!"
"Benar," ujar Li Hian, "Perihal itu aku tahu, tapi untuk
janjimu itu biar aku mewakili kau kesana!"
"Tidak mungkin!" "Harap Siau-hiap suka melegakan hati.".
"Ya, bukan aku kwatir, sebab guruku sudah kesana lebih
dulu, mungkin saat ini sudah tiba di ngarai Im-hong di puncak
Bu Iay-hong" "Jadi siauhiap tertekad harus berangkat kesana?"
Giok-liong manggut manggut mengiakan.
Pak-hay-su-lo saling pandang sebentar, raut muka mereka
menunjuk serba susah. Pat ci kay ong sendiri juga menjadi kewalahan katanya
kepada Giok-liong: "Setelah bertemu dengan Suhumu,
katakan supaya dia tidak melupakan janji pertemuan di Gak
yang lau pada hari Goan siau nanti. Aku masih ada urusan,
aku harus berangkat dulu!" lalu ia manggut-manggut kearah
Pak-hay su-lo sambil berpisah. Setelah bayangan Pat ci kay ong menghilang, Giok-liong
menjura kepada Sulo katanya: "Para Cianpwe, aku juga harus
minta diri!" "Tunggu sebentar!" tiba-tiba Li Hian maju mencegah, Giokliong
cepat-cepat menghentikan langkahnya, tanyanya tak
mengerti: "Li cian-pwe sebetulnya Wanpwe. . ."
Tanpa menanti Giok liong bicara habis, Li Hian sudah
celingukan keempat penjuru, seperti memeriksa sesuatu lalu
katanya lirih: "Saat ini tiada orang lain, tiada halangan aku
beritahukan kepada kau, perjalanan ke Pak-hay kali ini betapa
juga kau harus berangkat ." "Sebetulnya untuk keperluan apakah?"
"Sebab sampai di ini Li Hian ragu-ragu meneruskan
katanya, melirik ketiga temannya, Dengan sikap serius mereka
bertiga segera berkata: "Nanti dulu mari kita periksa tempat
ini ! " Serempak mereka berempat lantas berlari pencar keempat
penjuru beruntun berapa kali lompatan bagian utara timur
selataa dan barat telah mereka geledah dengan seksama.
Begitu tangkas dan gesit sekali gerak gerik mereka tak
lama kemudian dengan berbagai gaya loncatan berbareng
mereka sudah loncat kembali. Giok liong menjadi bingung dan tak habis mengerti melihat
tingkah laku mereka yang serba aneh ini, entah apa maksud
mereka begitu serius dan begitu hati hati. Untuk keperluan
apakah mereka bekerja sedemikian rapi dan waspada.
Tak lama kemudian Sulo sudah mengelilingi Giok liong Li
Hian buka bicara dengan hati hati dan prihatin: "Siau-hiap,
bukankah kau hendak mencari tahu riwayat hidupmu, serta
hendak menuntut balas bagi ayah bundamu ?"
Tergetar badan Giok-liong terasa darah, berdesir keras
sekali dalam tubuhnya, sahutnya cepat: "Ya, benar !"
"Perjalanan ke Pak hay (Laut utara) kali ini mungkin ada
sangkut paut dengan rahasia riwayat hidupmu, janganlah kau
sia-siakan kesempatan yang baik ini !"
"Ha !" keterangan ini benar-benar di-luar sangka Giok-liong
tidak heran ia tersentak kaset, "Apakah benar ucapan cianpwe
ini?" "Aku hanya dapat memberi keterangan sampai sekian saja
! Yang lain aku tak bisa membocorkan !"
"Kenapa pula begitu ?" "Sebab urusan ini masih merupakan tanda tanya besar
tentang kebenarannya, betul atau tidak siapapun tiada yang
berani memberi kepastian, maka aku tidak berani banyak
mulut !" "Maksudmu tentang aku dengan junjungan kalian di Pakhay
itu ?" "Ini . . . " Pak-hay su-lo mengunjuk senyum simpul yang
misterius dengan ragu-ragu mereka menyahut samar samar
Selama kelana di kangouw, belum pernah Giok liong
melupakan rahasia riwayat hidupnya, Hakikatnya selama ini
belum pernah diperoleh sumber pemecahan tentang asal usul
dirinya, sekarang secara diluar dugaan mengalami peristiwa
yang sangat diharapkan betapa juga dia tidak akan menyianyiakan
kesempatan bagus ini. Akan tetapi, Suhu yang berbudi jauh menempuh bahaya ke
Bu-lay hong demi memenuhi perjuangan dirinya, sebetulnya
mengandal kepandaian dan Lwekang To-ji Pang Giok,
dapatlah dipercaya bahwa gurunya takkan mungkin kena
cidera di Yu bing-mo-khek. Tapi sebagai seorang murid yang mengerti tata kehidupan
dan budi pekerti, bagaimana juga dirinya tidak boleh tinggal
berpeluk tangan menonton saja. Apalagi bukannya Pat ci-kay ong memberi pesan untuk
disampaikan kepada gurunya. kematian Wi thian ciang Liong Bun tersangkut paut dengan
pedang dan meletusnya bencana dunia persilatan yang
bersumber dari Hutan Kematian, hal ini juga harus segera
dilaporkan kepada Suhunya, banyak persoalan ini benar benar
membuatnya serba sulit. Giok-liong merenung sekian lamanya, baru akhirnya
berkata penuh kepastian: "Bagaimana juga aku harus
menyusul Suhu di Bu-lay-san dulu, harap kalian pulang dulu
ke Pak-hay, laporkan kepada cukong kalian, baru setelah
urusan di Bu lay-san selesai, aku pasti segera berangkat
kesana, harap para cianpwe nanti memberi petunjuk!"
Pak hay su lo saling pandang terpaksa mereka manggut
manggut saja, King-thian-sin Lu Say merogoh saku
mengeluarkan sebuah kantongan suara hijau terus
diangsurkan ke-depan Giok-liong, dengan air muka prihatin
dan sungguh-sungguh ia berkata: "Siau-hiap, benda ini adalah
Hwi soat ling (lencana salju terbang), bagi siapa yang
membekal lencana ini boleh bergerak bebas didaerah Pak-hay,
malah pasti ada orang yang menyambut dan melayani segala
keperluan, Kami harap setelah urusan di Bu-lay-san selesai,
kau segera berangkat ke sana!"
Li Hian juga menambahkan dengan serius: "Lencana ini
merupakan benda pusaka dari Pak-hay kita, merupakan tanda
teragung yang tidak ternilai harganya, siauhiap jangan kau
pandang enteng benda ini!" Giok liong mengulur tangan menyambut kentongan sutra
hijau yang lembut laksana salju lalu dibukanya, tiba tiba
pandangannya menjadi silau, Kiranya benda dalam kalangan
itn bukan lain sebuah lencana empat persegi berwarna putih
seperti perak tapi bukan .perak, bukan batu giok pula,
bobotnya lebih berat dari benda logam biasanya, apalagi
memancarkan cahaya cemerlang dan berhawa dingin, begitu
bersih menembus cahaya sangat indah sekali.
Kata Lu Say lebih lanjut: "Jian lian soat-siau hwi soat ling
ini adalah batu meteor yang jatuh kedalam timbunan salju
didaerah Pak-hay pada ribuan tahun yang lalu, selama ribuan
tahun ini sudah menyedot hawa dingin dari salju menjadikan
lebih keras dari baja, aliran kita hanya memperoleh dua
potong, dipandang sebagai benda pusaka yaag tak ternilai
sekarang dijadikan lencana (perintah) atau pertanda tertinggi
dari golongan kita untuk segala pelosok di Pak-hay. sebelum
berangkat menunaikan tugas kali ini, Cukong ada berpesan
wanti wanti dan menyerahkan lencana pusaka ini, sebagai
penghargaan untuk menyambut Siau hiap dan diharap supaya
tidak sampai hilang!" Melihat orang memberi pesan sedemikian serius, Giok liong
malah tidak enak menerima, katanya mengangsurkan kembali:
"Jikalau sedemikian berhaaga, aku benar benar tidak berhak
menerima!" Li Hian cepat berkata: "Kalangan persilatan di Pak hay
jangan disamakan dengan dunia persilatan di Tionggoan,
Kalau tidak membekal Hwi-soat-ling setiap tindakan mungkin
kau akan selalu menghadapi banyak kesukaran, Siau-hiap
terima saja!" Merah wajah King thian in Lu Say, katanya rikuh: "Bukan
Losiu banyak curiga, aku hanya menerangkan asal usul dan
kepentingan dari Hwi-soat-ling ini, harap Siau-hiap tidak salah
paham." Giok liong sendiri juga menjadi kikuk, terpaksa ia simpan
lencana menjaga serta berkata : "Kalau begitu, banyak- terima
kasih akan segala bantuan ini, sekarang aku minta diri !"
Pak hay-su-Io berkata bersama: "Kami berempat
menunggu kedatangan Siau hiap di Pak hay"
"Aku pasti datang !" "Silakan !" Pak-hay su-lo melejit bersama hanya berapa kali
lompatan saja bayangan mereka sudah menghilang
dikejauhan sana. Giok liong terlongong memandang kedepan,
tangannya meraba raba Hwi soat ling, sesaat perasaannya
yang sangat gundah sulit dikendalikan.
Sebab sebagai manusia umumnya tentu mempunyai rumah
sendiri, punya ayah bunda seumpama ayah bunda sudah
meninggal, paling tidak juga mengetahui siapakah nama ayah
bunda serta riwayat hidupnya selama masih hidup, Adalah
semua ini bagi Giok-liong masih sangat kabur dan gelap,
sekarang sudah mendapat titik terang sebagai petunjuk
kearah penyelidikannya yang menjurus ke sumber yang tepat.
Betapa Giok-liong takkan gundah setelah mendengar berita
yang menggirangkan ini, karena selama ini dengan segala
daya upaya dan jerih payah sudah menyelidiki kemana-mana
tanpa hasil, Dan sekarang karena benturan banyak hal-hal
yang harus segera dilaksanakan terpaksa ia harus menunda
perjalanan ke Pak hay ini. Entah berapa lama Giok-liong mendelong memandang ke
arah dimana Pak hay-su-lo menghilang, hatinya menjadi
kosong dan tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Akhirnya setelah menghela napas panjang menyusuri
pinggir sungai ia beriari-lari kencang seperti orang gila turun
gunung. Karena kerisauan hatinya maka ia kerahkan seluruh
Lwekangnya untuk mengembangkan ilmu ringan tubuh, satu
pihak untuk me lampiaskan ganjalan hatinya, kedua karena
ingin benar rasanya dapat segera terbang sampai di Bu-laysan,
setelah bersua dengan Suhu segera berangkat lagi
menuju ke Pak-hay, untuk memecahkan rahasia riwayat
hidupnya. Tengah malam ia sudah sampai di luar batas pegunungan
disini jalan datar maka langkah kakinya menjadi lebih pesat
terus menuju ke Bu-lay-san. Seorang diri siang malam terus menempuh perjalanan jauh
ini, beruntun beberapa hari sampai pakaiannya tak keruan,
akhirnya ia sampai juga didaerah perbatasan gunung Bu-
Iayhong. Sore hari itu ia tiba di kaki gunting Bu-lay, dilihatnya hari
sudah hampir petang, terpaksa ia mencari penginapan
didalam sebuah kota kecil, menurut perhitungannya setelah
mencari tahu jalan, besok pagi-pagi sekali segera melanjutkan
perjalanan memasuki pegunungan. Beberapa hari ini kurang tidur kurang makan dengan puas,
tidak mandi lagi, Maka begitu mendapat tempat menetap,
setelah cuci badan lantas pesan makanan dan minuman paling
mahal setelah makan besar dengan lahapnya, ia kembali
kekamarnya, mencopot baju luarnya meletakkan Potlot mas,
Seruling dan Hwi soat-ling diatas ranjang, meskipun hari
masih pagi ia sudah mapan tidur supaya besok bisa bangun
pagi dan melanjutkan perjalanan. Tak nyana, kira kira tengah malam tiba-tiba ia siuman dari
tidurnya terasa seluruh badan panas membara seperti
terbakar, begitu panas sampai tak tertahan lagi, napasnya
juga seperti menyemburkan api, seluruh tulang belulang
terasa linu dan sakit sekali, jantung berdesir keras sekali,
sehingga darah terasa bergolak dalam tubuhnya.
Giok-liong tak kuat lagi, susah payah ia coba merangkak
bangun, akan tetapi seluruh badan terasa lemas sedikitpun tak
kuasa mengerahkan tenaga. Keruan bukan kepalang kejutnya,
Apakah Lwekang telah buyar dan kehilangan hawa murni "
Ataukah sudah Jauhwe-jip cto ( tersesat ) "
Haruslah diketahui bagai orang tokoh silat yang melihat
Lwekang atau hawa murni yang sudah sempurna badannya
akan kuat bertahan dari segala macam penyakit, maka
biasanya mereka berusia sampai lanjut dengan badan tetap
segar bugar. Bagi Giok-liong yang sudah mencapai latihan sempurna
seharusnya tidak mungkin bisa terserang penyakit sekarang
kenyataan dirinya mengalami keadaan yang diiuar tahu
sebelumnya betapa hatinya takkan kejut dan khawatir.
Betapa juga Giok-liong tidak putus asa, dengan menahan
segala derita, ia berusaha mengerahkan hawa murni lalu
pelan-pelan disalurkan. Siapa tahu, bukan saja hawa murni sulit dihimpunkan,
malah pusarnya terasa panas seperti dibakar, sakit bukan
buatan, isi perut seperti dipuntir dan dipanggang, seluruh
sendi tulang seperti copot, jalan darah menjadi panas laksana
arus gelombang panas yang cepat sekali menjalar keseluruh
badan. Akhirnya Giok-liong tidak tahan lagi terguling-guling diatas
ranjang sambil mengeluh sesambatan, Kebetulan penginapan
itu banyak kamar kosong, maklum kota kecil yang jarang
diinjak pedagang besar dari luar daerah.
Apalagi pemilik penginapan tidur dibagian ruang paling
belakang, meskipun Giok-liong sudah tergerung-gerung
menahan sakit sudah tentu tiada seorangpun yang
menghiraukan, sebagai orang kelana kalau jatuh sakit dalam


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penginapan dirantau benar-benar merupakan suatu
penderitaan besar. Bagi orang yang pernah mengalami sendiri baru akan tahu
betapa hebat penderitaan yang menyiksa dirinya itu. Sudah
tentu orang lain takkan dapat meresapi akan hal ini.
Demikianlah keadaan Giok liong, menghadapi sebuah pelita
yang kelap kelip diatas meja ia terus bergulingan saking tak
tahan, mulut sudah terasa kering seperti dibakar namun ia
hanya mendelong saja melihati poci dan cawan yang terletak
dimeja, tak mampu mengambilnya karena seluruh badan lemai
lunglai tak bertenaga. Seketika hatinya pilu dan sedih sekali, air mata tak tertahan
mengalir dengan deras sampai bantal menjadi basah. Tahan
punya tahan setelah menderita siksaan yang hebat itu
akhirnya cuaca mulai terang tanah. Waktu pelayan penginapan masuk membawakan air
sebaskom baru diketahui bahwa Giok-liong celentang
terserang penyakit di-atas, tempat tidur, tanyanya: "Tuan
muda, kenapah kau ?" Seluruh badan Giok liong masih panas membara, keluhnya
berkata : "Ambilkan air yang dingin, aku dahaga, sekali !"
Segera pelayan itu memegang secawan air dingin terus
maju mendekat baru berapa langkah ia laitas berteriak kaget:
"Haya, tuan muda kenapa badanmu begitu panas, lihat aku
sampai tidak berani mendekati."
"Oh, apa ya ?" keluh Giok lion semakin sedih.
"Siapa itu ?" tiba -tiba dari luar terdengar sebuah bentakan,
"kenipa ribat-ribut." Seiring dengan suaranya diambang pintu lantas muncul
seorang laki-laki pertengahan umur wajahnya kasar dan
bengis, penuh daging menonjol. Si pelayan segera membungkuk maju terus menyapa
hormat: "Samya ! Kau orang tua tiba!"
Laki laki pertengahan umur yang dipanggil Samya itu
mengerutkan kening tanyanya: "Ada apa ?"
Lekas-lekas si pelayan menjawab : "Tuan muda ini
terserang penyakit, mungkin . . . "
"Kenapa dibuat heran." sentak laki-laki kasar itu acuh tak
acuh, "bekal yang dibawa banyak tidak ?" sambil berkata
matanya jelilatan menyapu pandang keseluruh ruangan
kamar, lalu sambungnya lagi dengan nada menghina: "Kukira
banyak membawa uang untuk membeli obat diatas gunung "
Ternyata uang sangunya saja tidak cukup, nanti setelah
malam tiba angkut keluar dan buang kedalam sungai, supaya
tidak menghabiskan sebuah peti mati."
"Hm, apakah kau ini pemilik penginapan ini ?" jengek Giokliong
gusar. Si pelayan segera menyahut: "Bukan ! ini adalah Siau-
Efltnya dari atas gunuag, penginapan kita ini. . ."
"Jangan cerewet," bentak Siau-samya. "Dalam beberapa
hari ini mungkin ada mangsa besar yang bakal naik ke atas
gunung, kalian harus hati-hati!"
Si pelayan lantas menarik leher sambil-membungkukbungkuk,
lidahnya dijulurkan keluar dengan ketakutan
sementara itu, laki-laki yang dipanggil Siau samya itu lantas
tinggal pergi sambil menggendong tangan.
Mengawasi punggung orang itu sungguh berang bukan
buatan hati Giok-liong, ingin rasanya sekali bacok mampuskan
niat usia kurang ajar ini. Akan tetapi saat itu dirinya sendiri sedang dalam keadaan
sekarat, jangan kata hendak membacok untuk angkat tangan
sendiri saja tidak kuat, mana mungkin bisa melampiaskan rasa
dongkolnya. Terpaksa ia minta belas kasihan kepada si
pelayan: "Siau-ji koan ambilkan air!"
Si pelayan menjinjing secawan teh dan baru saja hendak
diangsurkan datang. Mendadak seseorang berteriak: "Siau-ji,
nona besar turun gunung, lekas sediakan hidangan?"
Agaknya si pelayan sangat terkejut akan perintah ini,
segera ia menyahut keras: "Baik, segera aku datang !" dengan
tersipu ia lantas lari keluar pintu, saking gugup sampai lupa
meletakkan cawan teh yang akan diberikan kepada Giok-liong
itu. "Traang!" cawan itu pecah berhamburan jatuh di atas
lantai, tak menghiraukan cawan pecah itu ia terus memburu
lari keluar kamar. "Aduh !" "Keparat kurang ajar !" demikian terdengar
keluhan dan bentakan gusar di ambang pintu, terlihatlah
bayangan merah berkelebat. Kontan si pelayan terhuyung
sempoyongan masuk ke kamar terus terjungkir balik
menghadap langit. Giok-liong menjadi kaget, tak tahu apa yang telah terjadi,
tanyanya : "Siau-jiko, kenapa kau ?"
BeIum sempat si pelayan merangkak bangun menjawab
pertanyaan, dari ambang pintu melenggok berjalan masuk
seorang gadis baju merah, katanya uring-uringan: "Jalan tidak
pakai mata, biar mampus jiwamu. . . ai!" belum habis katakatanya
mendadak ia berseru kejut terus memburu masuk
kamar. "Nona Li!" begitu melihat gadis baju merah ini yang tak lain
adalah Ang i-mo-li Li Hong, Giok-liong berseru kegirangan
seperti ketemu pamili, namun suaranya menjadi tersendak
dikerongkongan karena kering, hidung menjadi kecut.
Begitu melihat Giok liong yang rebah diatas ranjang, Ang imo
li Li Hong segera memburu maju ke pinggir ranjang,
katanya terperanjat: "Kau. . .bagaimana bisa kau . . . matanya
yang bening jeli laksana mata burung Hong itu lantas
menitikkan air mata. Peristiwa aneh yang dulu terjadi membawa kesan
mendalam bagi pertemuan Giok-liong dan Ang-mo-li Li Hong
untuk pertama kalinya dulu, Malah Ang i-mo li pernah
menolong jiwa Giok-liong, sejak berpisah sampai sekarang,
walaupun dulu belum pernah bicara secara panjang lebar, tapi
dalam nurani masing-masing sudah bersemi rasa simpatik
sebagai kawan terdekat yang mempunyai ikatan batin antara
mati dan hidup. Terutama bagi Ang-i-mo li Li Hong, cobalah pikir: bila
seorang perempuan tidak mempunyai rasa cinta kasih, siapa
yang sudi menolong jiwa orang dengan mempertaruhkan jiwa
sendiri. sekarang meskipun ditempat yang tak terduga ini
bertemu kembali malah Giok-liong dalam keadaan sakit berat,
semakin besar rasa tanggung jawab sebagai seorang sahabat
sejati. Dengan adanya alasan jamak yang alamiah ini, maka
seruan panggilan tadi terdengar begitu mesra penuh
perasaan, ini lebih mengesankan dan mengetuk sanubari.
Bagi Li Hong sendiri, sejak berpisah dengan Giok liong dulu,
boleh dikata satiap saat selalu terbayang akan pemuda
pujaan-nya ini. sekarang begitu melihat sang jejaka terserang
penyakit begitu parah, betapa hatinya takkan sedih. Tak kuasa
mereka saling berpandangan dengan mcngembeng air mata.
Melihat Giok liong adalah kenalan kental Ang i-mo li Li
Hong, apalagi melihat hubungan mereka yang mesra itu, si
pelayan tak hiraukan lagi bokongnya yang jatuh kesakitan
tadi, tersipu-sipu ia merangkak bangun terus menuang teh
lalu diangsurkan kedepan pembaringan, katanya: "Tuan muda
minum teh!" Membasut air mata yang berlinang Li Hong berkata
kememek: "Bagaimana sampai terserang penyakit demikian"
Kau. . ." disambutnya cawan teh dari pelayan lalu diangsurkan
sendiri ke mulut Giok liong. Mendapat peluang ini si pelayan lantas berlari terbirit birit
keluar kamar, Tak lama kemudian, laki laki bertengahan umur
bermuka kasar yang dipanggil Siau samya itu telah memburu
masuk kedalam kamar-dengan muka gugup dan penuh rasa
ketakutan dengan langkah lebar segera ia membungkuk
badan menjura dalam, sikapnya ini betul-betul menyebalkan,
dasar manusia penjilat yang rendah budi, ujarnya lirih kepada
Li Hong: "Siocia, dia . . ."
Tanpa melirik sedikitpun Li Hong mengulurkan tangannya
meraba jidat Giok-liong mulutnya lantas mengeluh tertahan:
"Ha-ya, badanmu panas benar." tanpa menanti Giok liong
mengiakan ia-lantas memutar tubuh, menghadapi laki laki
kasar itu, makinya: "Modar kau ! Ayo sediakan tandu, angkut
Siau hiap ini keatas gunung !"
Siau sam si laki laki kasar tadi mengiakan sambil
membungkuk badan dalam hampir saja kepalanya menyentuh
dengkulnya. Sebentar Ang-i-mo-li Li Hong berpikir, lalu katanya kepada
Giok liong: "Coba kau berdaya mengenakan pakaianmu, aku
tunggu diluar. Tempat ini tidak jauh dari rumahku, kau
istirahat disana nanti ku-panggilkan tabib untuk
menyembuhkan penyakitmu ini. hatimu jangan risau!"
Seperti kakak menghibur adik, seperti pula ibunda yang
mengemang kakinya- hakikatnya tidak lain hanya sebagai
kekasih yang menghibur dan prihatin kepada pujaannya.
Giok liong manggut manggut, susah payah ia mengiakan,
sambil melirik penuh arti Ang i mo-li beranjak keluar terus
menutup pintu. Seluruh tubuh Gick liong panas sukar ditahan, badan lemas
lunglai. Tapi sekuat tenaga ia berusaha merangkak bangun
terus mengenakan pakaian luarnya, menjemput Potlot mas,
seruling samber nyawa dan Hwi-hun-ling lalu hendak
dimasukkan kedalam buntalannya. "Hah!" tiba tiba ia berseru kejut waktu tangannya
memegang Jian lian lut siau-hwi sat ling.. seketika terasa suhu
panas badannya segera menurun dan susut sebagian besar,
rasa sakit juga berangsur hilang, selain masih terasa lemas
dan puyeng, kalau dibanding waktu berbaring tadi seumpama
dua orang yang jauh sekali bedanya.
Rasa kejutnya ini terlalu mendadak dan begitu lebih besar
waktu- ia terserang penyakit yang melumpuhkan seluruh
sendi-sendi tulangnya ini. Sebab kejadian ini juga sangat aneh
sekali, pikirannya bagaimana ini bisa terjadi. apa...." Giok liong
terlongong-longong menggenggam Hwi-soat-ling itu. sekarang
keanehan telah timbul lagi, terasa pada telapak tangan yang
menggenggam Jian-lian-Iui-siau-hwi-,soatling itu merembes
sejalur hawa dingin yang menyejukkan terus menerjang
keseluruh urat syarat dan sendi sendi tulangnya meluas
keseluruh badan, dimana hawa dingin ini tiba,terasa semakin
sejuk nyaman, suhu panas yang merangsang dalam badannya
lantas punah tak berbekas lagi, semangatnya lantas
terbangun. "Ya, tentu begitu!" tak tertahan ia berseru kegirangan.
pikirnya, mungkin aku terserang penyakit panas beracun, Hwisoat
ling ini sangat dingin maka dapat memunahkan suhu
panas, semalam aku buka pakaian dan meletakkannya di
pinggir maka suhu panas terus terjangkit sampai tidak
tertahan lagi. Tapi, Lwekang yang kupelajari adalah ilmu dari aliran lurus
yang murni, bagaimana aku terserang panas beracun.
Memikirkan penemuannya ini sehingga ia menjublek semakin
lama. "Blang, blang!" "Hai, kenapa kau sudah mengenakan pakaian belum?"
diluar pintu digembrong, Ang i mo li Li Hong berteriak tidak
sabaran lagi. Giok liong tersipu sipu seperti baru sadar dari lamunannya,
sambil masih menggenggam Hwi soat ling ia membuka pintu
sambil tertawa ia berkata: "Wah merepotkan nona Li
menunggu terlalu lama!" "Haya," saking kejut Ang l mo li Li Hong sampai tersurut
mundur keluar pintu, sepasang matanya kesima dan berkedip
kedip, katanya: "Kau......kau...." sesaat mulutnya melongo tak
mampu bicara. Giok liong sendiri juga menjadi sulit untuk menerangkan,
mulutnya juga tergagap: "Aku . . . . . aku. . ." "Hahahahah!" "Hahahaha!" Hehehehe! Hihihihihihi!"
akhirnya mereka bergelak tawa berhadapan, nadanya penuh
riang gembira. Saat mana laki laki bernama Siau Sam itu sudah masuk dan
tengah menggamit-gamit maju pelan-pelan dan hati hati di
belakang Ang-i-mo-li Li Hong sebagaimana lazimnya sebagai
budak ia membungkuk hormat, seraya berkata: "Lapor
Toasiocia, tandu...." Li Hong tengah tertawa riang dan kehilangan kontrol,
mendengar teguran ini seketika merah padam mukanya,
semprotnya sambil mengerut kening dan mendelik: "Siau Lim,
lihatlah tingkah polahmu yang main sembunyi seperti panca
longok." Siau Sam mengerutkan leher, mundur dua tindak sahutnya
membungkuk badan: "Tadi hamba sudah melapor bahwa
tandu sudah di siapkan !" Rasa dongkol Li Hong masih belum hilang bentaknya:
"Sudah sana tunggu diluar."
Giok-liong teringat akan sikap Siau Sam yang congkak dan
gagah gagahan tadi, maka ia bertanya: "Nona Li, siapakah
orang ini?" "Kacung pengantar berita dan tukang gertak sambel !"
Siau Sam si budak rendah itu segera maju setindak lalu
menjura kepada Giok liong katanya: "Hamba yang rendah
bernama Siau Sam . . ." "Cis !" Li Hong marah semprotnya semakin gusar: "jangan
kau banyak mulut di hadapan Siau hiap ! Tidak tahu diri minta
dilaporkan kepada ayah coba kedua kaki anjingmu dipatahkan
dan dibuang kegunung untuk tangsel srigala,"
Berubah ketakutan air muka Siau Sam, seluruh badan
gemetar. tersipu sipu ia minta ampun: "Harap siocia suka
memberi ampun maafkan kekurang-ajaran hamba, selanjutnya
hamba takkan berani lagi, takkan berani lagi."
Giok-liong rada rikuh malah, katanya memutar haluan:
"Nona Li, penyakitku sudah sembuh, aku masih punya urusan
penting, terpaksa tak dapat berkunjung kerumahmu, biarlah
lain kesempatan !" Ang-i-mo-li Li Hong tersentak kaget, tanyanya: "Ada urusan
penting?" "Ya, sebab aku ada suatu janji yang sangat penting harus
ditepati !" "Janji apakah itu." "Hal ini . . " Giok-liong menjadi bimbang untuk


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerangkan karena ia tidak suka tentang perjanjian dengan
pihak Yu-bing mokhek diketahui orang lain, kata-katanya
sudah sampai diujung mutui lantas ia berkata putar haluan:
"Aku hendak mencari guruku !"
"Dimanakah gurumu sekarang . . ."
"Sekarang sudah memasuki Bu-lay-san, maka aku buru
buru menyusulnya kemari !" "Sungguh kebetulan sekali, rumahku berada di Bu-lay san,
kita kan sejalan dan satu tujuan ! "
Terpaksa Giok-Iiong tak bisa mencari alasan lain lagi,
katanya apa boleh buat: "Kalau begitu, marilah kita naik
gunung bersama, setelah sampai di persimpangan kita
berpisah !" Ang-i-moii Li Hong tersenyum penuh arti, sambil manggut:
"Baiklah!" lalu ia berpaling dan memberi perintah kepada Siau
Sam : "Tandu tak berguna lagi, sediakan kuda!"
Bagaikan mendapat lotre besar, Siau Sam mengiakan
kegirangan. Setelah keluar dari penginapan benring mereka naik kuda
terus membedal menuju ke Bu Iay-san, sepanjang jalan ini
banyak tikungan dan harus melewati hutan lebat dan himpun
kembang yang berkembang semarak, aliran sungai dengan
airnya yang bening, banyak panorama yang mempersonakan,
BegituIah sambil bercakap cakap seenaknya mereka terus
maju, tak terasa mereka sudah semakin dalam memasuki
pedalaman pegunungan yang semakin jelek dan berbahaya.
Hari sudah lewat tengah hari didepan sebuah selat
terlihatlah sebuah batu gunung yang berdiri setinggi lima
tombak, dimana terukir huruf huruf besar yang berbunyi:
"Pintu masuk menuju Im liong pay !"
Begitu melihat tanda jalan ini, diatas kuda segera Giokliong
menjura kepada Li Hong: "Nona Li aku yang rendah
harus berpisah disini. apakah kudamu ini boleh kupinjam,
nanti setelah turun gunung pasti kukembalikan di penginapan
itu!" Li Hong cekikikan geli, ujarnya: "Belum saatnya kita
berpisah ucapan berpisah terlalu pagi kau katakan !"
"Apakah nona juga hendak menuju ke Im-liong gay "
(ngarai angin dingin)." Li Hong mandah cekikikan lagi, menarik tali kekangnya di
bedal meninggalkannya lari kedepan langsung memasuki selat
sempit yang menuju ke Im-hong-gay itu.
Mau tak mau Giok liong harus berpikir: "Aneh ! Bagaimana
mungkin dia bisa menetap di Im hong gay ?"
Tengah ia berpikir-pikir, kuda tunggangannya tanpa di
kendalikan lagi segera berlari sendiri mengikuti dibelakang
tunggangan Li Hong. Tak lama kemudian pandangan di depan
mendadak menjadi gelap, Kiranya di sebelah depan sana
adalah selat sempit yang diapit oleh lereng gunung yang
sangat curam dan tinggi, ditengah-tengahnya ada mulut selat
yang mereka cukup tiba untuk jalan seorang dan seekor kuda,
Ini betul-betul merupakan jalanan yang sangat bahaya sekali.
Di depan selat sempit ini terdapat pula sebuah baru pualam
warna hijau yang terukir beberapa huruf berbunyi : "Tempat
terlarang Yu bing, sembarang orang tak boleh masuk !"
Baru saja Giok-Jiong hendak berseru mencegah Li Hong
yang memang berjalan di sebelah depan terus membedal
kudanya masuk tanpa melirik keatas batu yang penuh hurufTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ huruf peringatan seumpama tidak melihat saja ia terus berlari
kencang memasuki selat itu. Bukan begitu saja malah kedua kakinya menendang perut
kuda, saking kesakitan sang tunggangan menjadi jmgkrak
berdiri sambil berbenger keras dan memekik panjang,
suaranya kumandang dan bergema lama dalam alam
pegunungan yang sepi ini. Bercekat hati Giok-liong, batinya: " Kalau sampai konangan
oleh anak buah pihak Yu-bing mo-khek, lalu bagaimana
baiknya?" karena pikirannya segera ia congklang kudanya
semakin cepat mengejar ketat dibelakang Li Hong, serunya
dengan suara tertahan: "Nona Li ! Kini sudah sampai ditempat
terlarang, menurut hematku . . . Tak sangka dari atas kuda Li
Hong berpaling sambil unjuk senyum manis, katanya
menggoda : "Kau takut?" "Aku hanya khawatir kau terbawa-bawa dalam kericuhan
ini." "Haaa! Hahahaha" Ang-i-mo-li Li Hong terloroh loroh geli
diatas kuda, sambil meliuk-liuk badan dan menekan perut,
Bukan begitu saja malah nada tawanya ia tekan dengan
mengunakan lwekang sehingga gelak tawanya melengking
tinggi membelah kesunyian dialam pegunungan, mungkin
suaranya bisa terdengar sejauh lima li dengan jelas.
Keruan Giok-liong semaki gelisah, Tapi hakekatnya mereka
sudah beranjak terlalu dalam paling tidak sudah sampai
ditengah-tengah selat sempit itu, seumpama tidak bisa
menembus terus kedepan untuk putar balik juga tidak
mungkin lagi. Apa boleh buat dalam hati ia mengeluh panjang pendek:
"Celaka ! jikalau anak buah Yu-bing-mo khek meluruk datang
karena suaranya tadi, Li Hong mana mungkin kuat
menghadapi mereka I" karena pikirannya ini hatinya menjadi
semakin gugup, serunya : "Nona Li ! Apakah kau tahu untuk
tujuan apa aku meluruk datang ke atas Bu-lay-san ini ?"
"Kalau tidak kau jelaskan mana aku bisa tahu," sahut Li
Hong tawar. "Aku ada janji dengan pihak Yubing-mo khek untuk
menyelesaikan suatu pertikaian !"
"O, begitu ?" ujar Li Hong acuh tak acuh sedikitpun ia tidak
terkejut atau heran. Giok-liong menambahkan : "Karena itu kuharap nona
berhenti sampai disini saja supaya tidak terbawa-bawa dalam
urusan yang tak ada habisnya ini."
"Yu bing-mo khek itu adalah serigala atau harimau?"
"Ini . . ." "Kau sendiri tidak takut kepada mereka, masa aku Li Hong
harus takut ?" "Bukan begitu maksudku !"
"Kalau tidak, mengapa kau selalu mendesak aku kembali
saja ?". "Karena aku tidak ingin melihat nona terlihat dalam urusan
ini, maka . . . " "Seumpama tidak ingin terlihat juga tidak mungkin lagi."
"Kenapa begitu ?" "Sebab dengan adanya kau, aku . . ."
Ucapannya yang terakhir tak terdengar lagi oleh Giok-liong
saking lirihnya. sambil menoleh ke belakang tampak sepasang
mata Li Hong yang memancarkan cahaya yang cemerlang
melirik penuh arti kepada Giok-liong.
Saat mana mereka sudah dekat mulut keluar selat sempit
itu. Tidak jauh didepan sana dalam semak belukar sudah
tampak gerak gerik bayangan orang. Melihat ini segera Giok liong tarik tali kekangnya membedal
kuda menerobos lewat kedepan menghadang di depan Li
Hong, dengan suara berat ia membentak : "Nona Li berhenti,
lihatlah !" Belum hilang suaranya dari berbagai penjuru di semak
belukar itu beruntun melompat keluar puluhan laki laki
seragam abu-abu berambut panjang, sambil bersuit nyaring
mereka menghadang didepan jalan. Rombongan laki laki ini semua berambut panjang terurai,
jubah panjang menyentuh tanah, terang mereka setingkatan
dengan para rasul dan pihak Yu bing-mo khek, sudah tentu
hal ini membuat Giok liong kaget dan bersiaga "
Dari atas kuda Giok liong melompat tinggi setombak lebih
terus hinggap diatas tanah, serunya sambil membusung dada
: "Aku yang rendah menepati janji tiga bulan yang lalu ke Imhong
gay ! Lekas laporkan kepada ketua kalian!"
Tak duga para rombongan seragam abu-abu seperti tidak
mendengar seruannya, mata mereka semua tertuju kearah
Ang i-mo li Li Hong masih bercokol diatas kuda.
Keruan Giok-liong menjadi uring-uringan dan gelisah. Tapi
Li Hong sendiri bersila tenang seperti tidak terjadi apa apa,
malah unjuk senyum menggumam, katanya kepada Giok liong
dengan lembut: "Naiklah kekudamu, perjalanan masih cukup
jauh." Giok liong terlongong heran serunya gugup: "Nona Li,
orang orang ini . . ." maksudnya hendak berpaling lagi
menunjuk rombongan abu-abu itu serta memberi lahu kepada
Li Hong siapa mereka adanya, siapa tahu, waktu ia menoleh
balik lagi, orang orang seragam abu-abu itu seperti hilang di
telan bumi tak kelihatan lagi bayangannya, entah kemana
perginya. "Aih ! "sesaat Giok liong menjadi melongo ditempatnya
karena tak menduga sebelumnya. Ang i-mo-li Li Hong bersikap biasa suaranya juga wajar,
katanya menunjuk tunggangan Giok-liong: "Naiklah mari kita
lanjutkan kedepan !" Giok-liong seperti tenggelam dalam lautan kabut tebal yang
gelap, matanya menjelajah kesekitarnya, tapi keadaan sunyi
senyap tanpa suara apa-apa, terpaksa ia naik keatas kudanya
lagi, katanya coba memancing: "Nona Li rumahmu . . ."
Tanpa menanti Giok-liong berkata habis Li Hong sudah
menunjuk gunung gemunung di depan sana sembari berkata:
"Di depan itulah tak jauh lagi !"
Walaupun hati Giok-liong penuh curiga tapi terpaksa ia
mengintil maju terus. kira-kira beberapa ratus meter
kemudian, disebelah depan dpinggir jalan terdapat sebuah
pohon besar diatas pohon inilah terpasang papan kayu diatas
kayu ini digambar setan terbentuk makhluk aneh, dimana
tertulis delapan huruf besar yang berwarna merah darah
berbunyi "Daerah terlarang, masuk mati."
Giok liong tak tahan lantas berteriak sambil membedal
kudanya mengejar kedepan. "Nona Li, lekas turun, lekas turun
!" Li Hong mandah berseri tawa, sikapnya wajar ujarnya
dengan nada menggoda: "Kenapa?"
"Tidakkah kau melihat papan larangan itu?"
"Didepan masih ada satu lagi !" betul juga kira-kira puluhan
meter kemudian diatas pohon ada pula papan kayu yang
dipancang diatas pohon, kali ini berbunyi: "Dilarang
kembangkan silat letakkan senjata tajam!"
Giok-liong lantas berpikir: "Sungguh aneh kalau melarang
orang masuk kenapa dipasang lagi papan larangan kedua
yang satu sama lain menjadi kontras, bukankah berarti
menampar mulutnya sendiri !" Ang i-mo li Li Hong agaknya dapat menyelami isi hati Giok
liong, ujarnya genit: "Papan larangan ini khusus di tunjukan
kepada kaum dalam orang orang Mo-khek sendiri !"
"Oh, masa orang-orang Mo-khek sendiri kalau masuk ke
dalam sarang juga harus meletakkan senjata dan dilarang
menggunakan ilmu sifatnya ?" "Sudah tentu, sesuai dengan larangan itu !"
"Lalu kita ini . . . ." "Kita juga termasuk orang sendiri, maka tidak perlu
mendapat larangan sesuai dengan papan larangan pertama !"
"Kita " Orang sendiri ?"
"Kau diundang kemari, dan aku tinggal disini, bukankah
termasuk orang sendiri!" "Ada orang datang." Benar juga disebelah depan dari dua samping jalan
melayang layang seperti tidak menyentuh tanah berkelebat
keluar delapan belas laki-laki kekat berambut panjang
seragam hitam, gerak langkah mereka sangat aneh dan lucu
sekali, terang kepandaian rombongan kedua ini jauh lebih
lihay dan tinggi dibanding dengan rombongan seragam abuabu
tadi. Segera Giok-liong siap terus mengerahkan Ji lo untuk
melindungi badan, Siapa tahu kiranya kedelapan belas laki-laki
seragam hitam ini lantas berbaris rapi dikedua pinggiran jalan
di belakang papan larangan kedua itu, semua berdiri tegap
dengan mata tertuju ke depan tanpa bergerak dan bersuara.
"Mari !" Ang-i-tno li Li Hong mengajak Giok-liong maju
terus, dengan pecut ditangan ia mencongklang
tunggangannya terus menerobos ke depan melewati tengah
tengah deretan barisan, ke delapan belas seragam hitam itu.
Jantung Giok-liong berdebar keras, hatinya menjadi waswas
dan risau, tak tahu apa yang bakal terjadi dan apa pula
sebabnya. "Kalau sudah berani datang, apapun akibatnya harus berani
dihadapi, Tak peduIi sarang naga atau gua harimau,
keadaanku seumpama anak panah yang terpasang di-busur,
tinggal dilepaskan, seperti menunggang harimau yang sulit
turun, betapapun aku tak boleh unjuk kelemahan supaya tdak
dipandang ringan olen mereka !" karena pikirannya ini, Giokliong
tak banyak mulut lagi, mengintil di belakang Li Hong
iapun sedepan pelan-pelan. Kira-kira dua puluhan tombak lagi, di-depan sana terlihat
lagi papan larangan ketiga kali ini hanya tertulis dua huruf
besar warna hitam : "Tenang !"
Sampai didepan papan larangan Li Hong menghentikan
kudanya terus turun dari tunggangannya, serunya merdu
menggiurkan: "Sudah sampai turun."
Belum lagi Giok-liong bergerak turun, bayangan orang
berkelebat, dari belakang papan larangan itu melayang keluar
empat orang aneh berambut panjang yang mengenakan
seragam kuning. Cara dandanan keempat orang aneh ini serupa dan sama,
rambutnya riap-riapan dengan roman muka yang kasar dan
beringas sangat menakutkan, apalagi panca inderanya tidak
lengkap, kulit mukanya penuh tergores bekas luka luka dari
senjata tajam yang matang melintang, jadi hakikatnya roman
mukanya ini sudah tidak menyerupai wajah manusia
umumnya. Sekali pandang saja orang akan ketakutan dan
merinding. Begitu menginjak tanah tersipu-sipu mereka memburu
maju menyambut ke depan Ang i mo li Li Hong terus menyapa
berbareng: "Siocia telah pulang !"
Sesaat Giok-liong tertegun diatas kudanya, pikirnya: "Apa Li
Hong warga Yu-bing-mo-khek?", tapi tiada banyak tempo
untuk dia berpikir.

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sikap angkuh dan besar- besar Li liong manggut
lalu katanya menunjuk Giok-liong: "Su-ciang ( empat panglima
) menghadap pada Ma Tay hiap !"
Mendapat perintah ini keempat orang aneh itu saling
pandang sebentar terus maju melangkah sambil menjura
kepada Giok-liong, serunya bersama : "selamat datang Ma
Tay-hiap !" Dengan suara merdunya lantas Li Hong memperkenalkan:
"inilah Ang-keh su-ciang, tokoh kosen langsung dibawah
Sancu (ketua) Bu lay-san, Kaum bulim baik golongan hitam
bila mendengar namanya pasti lari ketakutan, untuk aliran
putih paling tidak akan mengerutkan kening, puluhaa tahun
yang lalu mereka sudah malang melintang di Kangouw dengan
nama Ang-st su-ni ing (empat pan!a-tvaa dari keluarga Ang)"
Ang keh-su ciang mundur berbareng sembari mengiakan :
"Siocia terlalu memuji hamba sekalian !"
Namun sedikitpun Li Hong tidak hiraukan mereka lagi,
tanpa banyak omong lagi tangannya menjulur menyilahkan
serta berkata kepada Giok-liong : "Silakan !"
Bagi Giok liong semua yang dihadapi ini menjadi serba
diluar dugaan, semua dirasakan aneh dan mengherankan,
terpaksa ia bersikap acuh mengikuti situasi dengan manggut
manggut tersenyum, menurut yang ditunjuk Li Hong ia
mendahului berjalan di depan. Setelah belak belok beberapa kali pemandangan di depan
mata mendadak berubah sama sekali, sebuah lereng bukit
yang terjal tak kelihatan ujung pangkalnya setinggi ribuan
meter terbentang di depan mata, betapa curam dan
berbahaya sungguh menggiriskan sekali, Puncak tertinggi tak
kelihatan diselimuti awan tebal, angin menghembus keras
menyampuk muka. Di dasar lereng curam sana pohon pohon siong dan pek
tumbuh subur, air sungai mengalir deras sekali laksana derap
ribuan kuda yang mecnbedal kencang menggetarkan bumi
memekakkan telinga, mengiring dasar jurang didasir lereng
gunung curam itu adalah sebuah jalanan gunung yang penuh
ditaburi lumut yang sangat licin sekali, sekali kurang hati-hati
begitu terpeleset pasti badan akan jatuh masuk jurang tak
terkira dalamnya. Sampai di ujung jalan kecil pegunungan ini dihadapannya
dihadapi banyak gua-gua yang hitam gelap, gua-gua ini
berjajar sedemikian banyak tak kurang sembilan belas lobang.
Gua besar yang terletak dipaling tengah teratas atapnya
terukir huruf huruf kuno yang besar berbunyi , "Yu Bing !"
Melihat kedua huruf besar ini tanpa merasa Giok-liong
menghentikan langkahnya, katanya kepada Ang-i-mo-li Li
Hong: "Nona Li, kau adalah . . ."
Li Hong tersenyum simpul, ujarnya, "Masuk dulu, nanti kita
bicara lagi!" Belum lenyap suara Li Hong, mendadak "Kok ! kok ! sebuah
jeritan keras yang pendek menembus angkasa terdengar dari
puncak lereng yang tinggi sana. Tak kuasa berubah air muka Li Hong sesaat ia tertegun
melenggong. Giok-liong sendiri juga menjadi kaget dan kesima
mendengar suara itu. "Siuuuuur . . . . ." terdengar angin berkesiur di susul
subuah bayangan merah melesat keluar dari Yu-bing-khek
menyusuri jalan kecil diatas lereng itu beruntun beberapa kali
loncaran saja ringan sekali sudah meluncur turun dan hinggap
disamping Li Hong. Pendatang ini kiranya adalah seorang laki-iaki, tiga puluhan
tahun, pakaian merah yang dipakainya itu sangat menyolok
mata, kedua biji matanya berkilat tajam, pertama tama ia
tetap Giok liong lalu beralih pandang ke arah Li Hong, katanya
lantang: "Dik, kau sudah kembali ?"
Tidak menjawab sebaliknya Li Hong baru bertanya: "Toako
dipuncak lereng - - ." "Ayah naik ke puncak sana untuk menepati janji kupikir. . ."
Li Hong bertambah heran, tanyanya mengerut kening:
"Menepati janji?" lalu ia berputar menghadapi Giok liong
katanya lagi: "Kau punya teman?"
Giok liong menggeleng kepala dengan keheranan, katanya:
"Teman" Aku" Tidak?"
"Lalu siapakah dia?" Ang-i-mo-li Li Hoog menggumam dan
berkata seorang diri sambil merenung lalu katanya kepada
laki-laki berbaju merah itu: "Toako layanilah Ma Siau-hiap ini
masuk ke dalam lembah biar aku naik keatas melihat-lihat."
Cepat-cepat Ang-mo atau laki-laki berpakaian merah itu
menggoyang tangan serta berkata gugup: "Dik, jangan
bagaimana watak ayah masa kau tidak tahu?"
"Apa yang dikatakan ayah?"
(Bersambung Jilid ke 20) Jilid 20 "Sebelum naik ayah pernah berpesan, kecuali dari atas
puncak ayah melepaskan kembang api tanda sos, siapapun
dilarang naik kesana, Malah dipesan pula wanti-wanti supaya
aku dan kau tidak turut campur dalam persoalan ini !"
"Begitu ?" "Menurut ayah katanya musuh yang datang kali ini adalah
seorang tokoh tenar yang kenamaan, diminta kita harus hatihati
supaya tidak dipandang ringan oleh musuh !"
Kakak beradik saling bercakap sendiri sehingga Giok liong
menjadi melongo dipinggir menyepi seorang diri.
Maklunn hakikatnya terhadap riwayat dan asal usul Ang-imo-
li Li Hong sedikitpun Giok-liong tidak tahu apa-apa, Walau
sekarang dari pembicaraan mereka dia berani memastikan
bahwa Li Hong adalah salah satu warga dari Yu-bing-mo-khek,
namun dia sendiri belum berani ambil kepastian apa tujuan
dan maksud orang terhadap dirinya. Maka begitu ia mendengar kata-kata "menepati janji" di
atas puncak lereng itu, lantas ia menjadi maklum bahwa
janjinya untuk hadir meluruk ke Yu-bing mokhek pada tiga
bulan yang lalu kiranya sudah tiba saatnya.
Dirinya terang sudah setindak terlambat, lalu orang yang
menepati janji diatas itu apakah gurunya " Kalau itu benar
betapa juga aku harus segera menyusul kesana.
Lalu pura-pura ia batuk batuk, katanya : "Eh, nona Li ! Aku
. . . " "Haya, coba lihat aku sampai kelupakan memperkenalkan
kalian !" seru Li Hong memutus kata kata Giok-liong, "Ini
adalah engkohku, yang diberi nama julukan Ang-i mo-su (iblis
merah) Li Hong, Dan dia adalah Kim pit-jan hun Ma Siau hiap
yang menggetarkan dunia persilatan di Tiong-goan !"
Berjelilatan pandangan Ang-imo-su Li Hong katanya raguragu:
"Dik !" Li Hong cemberut, katanya melerok sambil mengurut
kening: "Toako, tamu sudah sampai diambang pintu, masa
tidak kau silahkan orang masuk ke dalam gua !"
Giok-liong menjadi keripuhan, katanya tergagap: "Nona Li,
kedatanganku ini adalah . . . . "
Tanpa menanti Giok liong bicara habis Li Hong sudah
menyelak: "Untuk menepati janji di Im-hong gay bukan,
kenapa tergesa-gesa " Kutanggung takkan sia-sia dalam
perjalananmu !" Saat mana berulang kali terdengar suara bentakan dan
damparan angin keras di atas puncak sana, meskipun
suaranya hanya samar-samar dan lembut sekali, tapi
kedengaran sangat jelas. Giok liong menjadi tidak sabaran lagi, kitanya: "Suara itu"
"Watak ayahku sangat aneh, kalau sudah dikatakan
melarang orang ketiga turut campur tangan, siapapun jangan
harap diijinkan naik kasana." "Tapi. . ." "Mari silahkan masuk untuk istirahat!" sambil berkata
dengan kerlingan mata yang penuh arti Li Hong mengulur
tangan menggandeng tangan Giok liong terus ditarik
melompat begitu mendaratkan kakinya dijalan kecil menanjak
keatas sana mulutnya berseru: "Hati hati!" sambil berkata
tangan masih menarik kencang kakinya terus menjejak tanah
lagi terus melambung tinggi ke depan.
Tanpa merasa merah jengah selembar muka Giok liong,
pergaulan laki perempuan harus ada batasnya, betapa juga
tidak baik rasanya dirinya digandeng seorang gadis diajak
jalan-jalan berlo-rcnrsr, maka dengan suara lirih ia berkata:
"Nona Li! Lepaskan tanganmu, biar aku jalan sendiri!"
Benar juga Angi mo li Li Hong melepas cekalannya, sambil
cekikikan beruntun berapa kali lompatan ringan sekali ia sudah
menerobos masuk kedalam gua besar ditengah itu. berdiri
diambang pintu gua besar ia menggape tangan kepada Giok
liong. Saat mana Ang i mo-su Li Liong juga sudah mengintil
dibelakang Giok-liong, seru-nya: "Ma Siau hiap, mari silahkan!"
Giok liong menjadi serba salah, terpaksa ia jejakkan kaki
badannya lantai melejit tinggi, mulutnya berseru: "Silakan!"
dengan gaya Ceng-ting tiam cui sedikit kakinya menutul di
tanah jalan pegunungan kecil itu langsung ia terus menerobos
masuk kedalam Yu-bing-khek. Dilihat dari luar keadaan dalam gua merupakan ruang yang
gelap gulita, namun setelah berada didalam pandangan mata
seketika berubah, bukan saja keadaan didalam terang
benderang malah perabot dan pajangannya serba mewah dan
megah sekali, tak kalah dengan hiasan istana raja.
Ang i mo li Li Hong berkata tertawa: "Ditempat
pegunungan, keadaan serba sederhana, harap tidak
ditertawakan!" Bagi Giok liong sudah tidak bakal memperdulikan segala hal
tetek bengek ini, mulutnya lantas berkata: "Nona, sebelum ini
aku yang rendah betul betul tidak tahu kalau kau adalah putri
dari ketua Mo khek ini!" Li Hong menggigit bibir sambil tersenyum tawar, ujarnya:
"Sekarang setelah tahu lalu bagaimana?"
Giok liong tercengang akan pertanyaan ini, katanya:
"persahabatan kita masih tetap baik, apalagi nona berbudi
padaku kelak bila ketemu saatnya pasti kubalas kebaikan ini!"
"Dapat membedakan budi dan dendam, betul-betul pambek
seorang laki-laki!" "Saat ini aku yang rendah tiada tempo tinggal disini lamalama!"
"Kau hendak kemana?" "Aku harus menuju ke Im-hong-gay!"
"Kau hendak bergabung dengan pendatang itu untuk
mengeroyok dan membunuh ayahku?"
"Aku yang rendah tiada maksud demikian"
"Lalu kenapa kau tergesa gesa harus pergi ke Im-hong
gay!" "Bicara terus terang. Orang yang berada di lereng sana dan
tengah bertempur dengan ayahmu itu adalah guru berbudi
dari Giok liong!" "Ha !" Ang i mo Li Hong tersentak kaget sehingga berubah
air mukanya. Sementara itu Ang i mo su Li Liong juga sudah beranjak
masuk kedalam gua itu, mendengar kata-kata Giok-liong,
badannya tergetar hebat, desisnya geram: "Jadi mulutmu saja
yang mengudal jiwa kesana dan segala kebajikan, tak tahunya
perbuatanmu sedemikian rendah dan hina dina, sungguh picik
dan memalukan!" Dicecar sedemikian kotor dongkol hati Giok-liong, serunya
lantang : "Kata-kata saudara ini apakah tidak keterlaluan
sedikit." "Apakah tuduhanku salah " Dengan lagak dan pamormu ini
kau menyelundup masuk kesini, sedang guru yang kau
undang diam-diam naik ke atas lm hong-gay, apakah kau
hendak mungkir lagi ?" Angi-moli Li Hong menghela napas, ujarnya penuh
kesedihan dan mendelu : "Kalau benar begitu, teilmutt aku
salah lihat orang !" Seperti disayat-sayat perasaan Giok-liong cepat-cepat ia
memberi keterangan: "Karena aku selalu terlibat dalam
banyak pertikaian di Kangouw, sehingga guruku menjadi
khawatir aku terlambat datang dan tidak menepati janji disini,
maka beliau datang lebih dulu untuk mewakili aku, aku
sendiripun belum lama ini mengetahui dari Pat-ci-kay-ong.
Untuk tidak menyusahkan guruku yang berbudi maka siang
malam kutempuh perjalanan jauh memburu tiba disini,
hakikatnya selama ini aku sama sekali tidak pernah jumpa
dengan Suhu, dari mana bisa dikatakan aku bersekongkol dan
tidak seharusnya pula menuduh aku menyelundup dan
menerjang ke sarang kalian ini !"
Tak duga Li Liong bersikap kasar dan keras kepala,
bentaknya dengan gusar: "Omong kosong dan main debat
belaka, siapa mau percaya obrolanmu, aku khawatir kau bisa
datang tak bisa kembali lagi !"
"Belum tentu !" jengek Giok- liong naik darah.
Li Long berjingkrak semakin gusar seperti kebakaran
jenggot, semprotnya: "Hm, kau terlalu pandang rendah pihak
Yu-bing-mo khek kami, paling tidak kau harus menerima
hajaran yang setimpal." Lalu dari dalam bajunya dikeluarkan sebuah bumbung
sepanjang lima senti terus diayun dan dilempar keluar gua.
Dari samping Li Hong buru-buru berseru dan mencegah:
"Engkoh jangan sembarangan kau lepaskan pertanda gawat
perintah berapi itu !" Tapi sudah terlambat karena bumbung di tangan Li Liong
itu sudah meluncur keluar gua dengan mengeluarkan suitan
panjang lalu terdengarlah ledakan keras ditengah udara,
kembang api berpencar dan berteman di angkasa, Dari satu
menjadi dua dan dari dua berkembang menjadi empat
begitulah seterusnya semakin bertambah banyak, sebentar
saja seluruh keadaan alam sekeliling Yu-bing-mo-khek dari
luar dan belakang menjadi terang benderang dengan taburan
percikan api yang menyolok mata ! Keruan Li Hong menjadi gugup, teriaknya ketakutan :
"Celaka! Engkoh, bila syah melihat pertandumu itu bukankah
akan menambah kekhawatirannya ! "
Sebaliknya Li Liong menuding Giok liong dengan marah:
"Tangkap dan ringkus dia dulu, bicara belakang !"
"Kukira tidak begitu gampang !" seiring dengan ejekannya
ini Giok liong melejit cepat sekali terus menerjang keluar gua.
"Lari kemana kau!" Ang i mosu Li Liong berdiri tegak
ditengah jalan, dimana kedua tangannya bergetar, tetus


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didorong dengan sebuah jurus hantaman yang kuat sekali
untuk merintangi luncuran tubuh Giok-liong..
Berubah dingin air muka Giok liong, dilihatnya diluar sana
diambang pintu samar-samar berjajar delapan belas orang
aneh seragam hitam rambut panjang, mata mereka
memancarkan kilat tajam dengan sikap berang mereka
bersiaga siap tempur, dilihat gelagat ini, agaknya untuk
menerjang keluar gua bukan pekerjaan gampang, paling tidak
harus mengeluarkan banyak tenaga dan menguras keringat.
Dengan tawa dingin ia berpaling kearah Li Hong serta
katanya "Nona! inikah tujuanmu memancingku kemari, terlalu.
. ." Merah padam selembar muka Li Hong sampai kekupingnya,
epat ia membela diri: "Ini. . ."
"Dik jangan turut campur, Akan kulihat cara bagaimana ia
hendak lolos keluar dari Yu-bing mo-khek!"
"Baik akan kubuat matamu terbuka!" dimana bayangan
putih menerjang tiba kuntum mega putih juga lantas
menubruk datang. "Bocah keparat, sudah terkepung juga masih berani
bertingkah!" tanpa gentar sedikitpun Li Liong juga menerjang
maju, terjadilah pertempuran dahsyat didalam sarang gua
pihak Yu bing. Hakikatnya Yu-bing-mo-khek belum lama berdiri, namun
ilmu pelajaran mereka mempunyai kehebatannya sendiri, jauh
berbeda dengan aliran pelajaran silat kaum persilatan
umummya. Demikianlah akan Li Liong si iblis merah ini adalah putra
tunggal ketua mereka, sudah tentu pelajaran silatnya sudah
mendapat didikan langsung dan lihay luar biasa, merupakan
salah seorang tokoh paling diandalkan dari pihak Yu bing mo
khek. Cara permainan silatnya memang sangat menakjupkan
gerak geriknya lincah dan tipu-tipunya sulit diduga dan banyak
perubahannya lagi, terutama lwekangnya yang aneh dan sulit
dijajaki. Maka untuk sementara waktu kedua belah pihak berlaku
sangat hati-hati untuk menyelami ilmu masing masing. Mega
putih dan bayang merah saling bergumul dan beterbangan
didalam gua besar itu, angin menderu kencang.
Giok liong sebelumnya tak menduga bahwa Ang i mo su Li
Liong ini membekal lwekang yang begitu aneh dan lihay,
sebaliknya Li Liong sendiri juga tidak menyangka bahwa Giok
liong ternyata sudah sempurna dalam latihan kepandaian
silatnya. Maka sesaat bayangan mereka berkelebat cepat, tak dapat
lagi dibedakan apakah itu kepalan tangan silau tendangan kaki
yang terang angin keras menderu sehingga sulit dibedakan
jurus-jurus apa yang telah mereka lancarkan.
Dalam pada itu delapan belas Tongcu ditambah para rasul
berseragam abu-abu itu tengah bergerombol di ambang gua
dan menonton dengan kesima sehingga jalan keluar menjadi
buntu, Meskipun mereka tak berani masuk untuk bantu
mengeroyok, tapi jauh diambang pintu itu mereka berteriakteriak
dan bersorak memberi dorongan semangat.
Adalah Ang i moli Li Houg yang menjadi serba salah,
karena kedua pemuda yang tengah bertempur ini masingmasing
setaraf kepandaiannya, siapapun takkan mau
mengalah, sehingga sulit untuk dirinya menyelak di tengah,
apalagi mencegah dengan seruan kata kata saja.
Sementara suara pertempuran diatas Im-hong gay sana
juga samar-samar berkumandang terbawa angin. Li Hong
menjadi semakin gelisah, teriaknya keras: "Engkoh. berhenti
dulu, ayah. . ." Dengan keras Li Liong dorong sebuah pukulan seraya
membentak: "Ringkus dulu bocah ini!"
Giok liong sendiri juga tengah memgkhawatirkan
keselamatan Suhunya, karena terjangan dan halangan Li liong
ini hatinya semakin gopoh, melihat orang memukul dengan
kekuatan penuh segera ia gerakkan kedua tangannya sambil
mendatar terus disurung maju memapak ke depan, mulutnya
juga menghardik lantang: "Minggir!"
Hantamannya dilandasi delapan bagian Lwekang Giok liong,
Maka terjadilah kuntum mega putih berkembang menggulung
maju mengeluarkan desis suara keras laksana angin badai
seperti gugur gunung dahsyatnya menerpa kedepan !
Meskipun Lwekang Li Liong aneh tapi latihannya masih
terpaut jauh sekali, seketika ia rasakan dada seperti dipukul
godam, darah bergolak menyesakkan napas, berdiri juga tidak
kuat lagi, diam-diam mengeluh dihati : "Ce!aka !"
Seiring dengan bentakan tadi badan Giok-liong juga sudah
melambung meluncur ke depan. Kontan badan Li Liong terpental jauh melayang-layang
seperti layangan putus terus meluncur keluar gua di depan
sana. "Kokoh." Li Hong berteriak dengan dengan panik, tubuhnya
melompat sekuatnya meluncur mengejar, apa boleh buat jarak
terlalu jauh, teraling oleh Giok-liong lagi, maka tak mungkin ia
dapat meranggeh tubuh engkohnya itu.
Sementara itu, para Tong cu serta beberapa puluh rasul
pakaian abu abu semua turun meloncat tinggi memapak maju
hendak menyambut badan Li Liong yang terbang pesat itu.
Tak tahunya luncuran daya badan Li Liong adalah
sedemikian cepat dan keras karena dipukul dengan seluruh
kekuatan tenaga Giok liong sehingga seperti lebih cepat dari
anak panah, apalagi kejadian terjadi begitu mendadak
sehingga siapapun telah menangkap tempat kosong.
Terpaksa semua mata mendelong memandangi bayangan
merah terbang keluar gua di dorong angin kencang terus
meluncur keluar gua dan jatuh ke dalam lembah yang tidak
kelihatan dasarnya sana. Sudah pasti dengan jatuh kedalam
jurang sana badannya tentu hancur lebur.
Tepat pada saat itu, dari puncak bukit lereng ci-)-i g-:n"i
se")ua-i bayangan kuning besar melambai-lambai seperti
seekor burung garuda besar tengah menukik turun deagan
cepat sekali sambil bersuit panjang, teriaknya : "Anak Liong "
Terdengar suaranya begitu gelisah dan gugup, maka daya
luncuran tubuhnya juga semakin kencang menukik turun.
Tepat pada saat semua orang mengelak dan tak mampu
memberi pertolongan lagi, bayangan kuning itu laksana
bintang jatuh melesat lewat di-depan pintu gua begitu cepat
sampai pandangan semua orang terasa kabur.
Kalau dikata lambat, kejadian adalah begitu cepat, Terlihat
bayangan kuning itu menjejakkan kedua kakinya dan saling
silang, tangannya terus diulur meraih kebawah seraya
membentak : "Naik !" Tepat sekali tangannya kena menyengkeram baju Li Liong
serta menahan daya luncuran tubuhnya yang meluncur jatuh.
Akan tetapi karena dia sendiri juga meluncur turun dari atas
laksana mengejar setan maka untuk sesaat sukar untuk
menahan daya luncuran jatuhnya, maka badan mereka berdua
tetap melayanig ke bawah. "Ayah !" pekik Ang-i mo-li-Li Hong kegirangan dan waswas.
Bayangan kuning yang menangkap tubuh Li Liong dan ikut
memang jatuh itu, mendadak bersuit keras dan panjang,
begitu nyaring lengking suitan ini sampai bergema dan
kumandang di seluruh alam pegunungan yang luas dan
terbuka ini. Disaat ia memperdengarkan suitan panjangnya inilah
terlihat ia menekuk pinggang di tengah udara menggunakan
daya Teng-kiau ki hong" sehingga daya luncuran kebawahnya
kena dihambat dan menjadi lamban, begitu ia membalik
badan kedua tangannya terus angkat Li Liong tinggi diatas
kepalanya, dengan begitu bukan saja badan mereka yang
melayang kena terhambat, disusul dengan ilmu memanjat
tangga langit di kembangkan lalu dirubah pula dengan jurus
Ping-te ceng-hun (awan berkembang ditanah datar) laksana
sebuah meteor seperti permainan kembang api yang meluncur
ditengah udara terus melesat naik keatas.
Delapan belas Tong-cu serta para rasul dan anak buah
lainnya seketika bersorak sorai suaranya gegap gempita. Giokliong
sendiri juga kagum dan memuji dalam hati akan
kehebatan lwekang siorang tua berpakaian kuning yang
mempunyai ilmu tunggal tiada taranya.
"Ayah ! "dengan riang Li Hong memburu maju kepinggir
jurang dan berteriak ke arah laki-laki berbaju kuning itu. Baru
sekarang jelas bagi Giok-liong bahwa laki-laki baja kuning ini
bukan lain adalah Yu-Bing-khek cu Li Pek-yang.
Saat itu adalah kesempatan paling baik untuk tinggal pergi
saja, sebab perhatian semua orang tengah tertuju pada diri Li
Pek-yang, Tapi dia tak mungkin pergi sebab dia harus segera
tahu apakah benar gurunya sudah datang mewakili dirinya
menepati janji itu" Dan yang lebih penting lagi bagaimana
akhir dari adu kepandaian diatas ngarai angin itu"
Yu-bing-khek-cu Li Pek-yang ternyata adalah seorang lakilaki
bertubuh kekar dan tinggi besar, wajahnya dihiasi
jambang bauk lebat, mukanya warna merah seperti kepiting
direbus, dengan gerakan Biau-si-sin hoat ringan sekali ia
kempit tubuh Li Liong masuk kedalam gua.
Begitu menginjak tanah pandangan matanya lantas tertuju
kearah Giok-liong berpaling ia tanya pada putrinya: "A-nak
Hong ! Siapa dia?" Delapan belas Tong cu serentak mendahului menjura serta
menjawab berbareng: "Dia inilah Kim pit-jan hun Giok-liong !."
"Oh" tak tertahan Li Pek-yang berseru kejut, Melihat muka
ayahnya mengunjuk rasa kaget dan heran, khawatir ayahnya
segera turun tangan, cepat-cepat Li Hong memburu maju
dihadapannya serta serunya pelan:." Yah. . !"
Pandangan Yu bing-khek-cu Li Pek-yang terpancar tajam
dingin, sambil masih menenteng tubuh Li Liong ia bertanya
dengan nada berat: "Yang memukul terbang anak Liong jadi
kau ini ?" "Tidak salah, memang aku yang rendah adanya !"
"Aku yang rendah " Begitu takabur kau sehingga
membahasakan diri Wanpwe saja tidak sudi sombong benar !"
"Aku datang untuk menepati janji, kawan atau lawan toh
belum jelas." "Kawan atau lawan belum jelas ?" ulang Yu-bing khek-cu Li
Pek-yang menarik muka tiba-tiba suaranya menjadi bengis:
"Sudah terang belum tahu kawan atau lawan, kenapa lantas
turun tangan melukai orang ?" sambil berkata ia serahkan
tubuh Li Liong kepada salah seorang Tongcu dibelakangnya,
kakinya terus melangkah tindak demi tindak kearah Giok liong.
Berubah pucat wajah Li Hong, teriaknya : "Ayah. . . ."
"Jangan turut campur !" Yu bing khep cu Li Pek-yang
memicingkan mata menatap Giok-liong, jarak mereka tidak
lebih tujuh kaki, sekali ulur tangan saja cukup meranggeh.
"Delapan belas Tongcu berdiri tegang dan bersiaga,
bernapaspun mereka tahan pelan-pelan.
Sedikitpun Giok-liong tidak merasa gentar, diam diam ia
kerahkan Ji-lo, katanya lantang : "Haha, kejadian ini jangan
kau salahkan aku yang rendah !"
"LaLu salahkan siapa ?" "Anak masmu itu yang turun tangan dulu !"
"Kau berani menyelundup ke sarang kita lalu harus
salahkan siapa ?" "Aku datang untuk menepati janji !"
"Kenapa tidak langsung ke Im-hong-gay " sebaliknya kau
menerjang dan membikin onar di sini " "
"ini . . . . " pandangan Giok liong beralih ke arah Ang-i mo-li
Li Hong Li Hong, tahu Giok- liong tidak enak buka mulut
secara terang- terangan, maka lekas-lekas ia tampil ke depan
serta katanya : "Yah ! ini . . . aku lah yang membawanya
kemari, jangan kau salahkan dia !"
Giok-liong bergelak tawa, dengan menyeringai ejek dia
pandang Yu-bing-khek-cu. Tak diduga, Yu-bing khek cu Li
pek-yang menyentak dengan suara rendah berat: "Anak Hong
jangan banyak mulut!" Li Hong menyambung lagi : "Memang benar akulah yang
membawa dia kemari, Ayah !" "Huh," Yu-bing-khek cu mendengus lalu katanya: "Kau kira
dia sengaja datang untuk menepati janji " Hakikatnya dia
mengundang seorang tokoh kosen lain menanti Lohu di
puncak Im-hong gay, ini terang sengaja hendak membokong
ayahmu, tapi mana dapat mengelabui aku !"
Giok-liong menjadi kaget, tanyanya : "Tokoh kosen " Siapa
?" "To ji Pang Giok." "O, beliau adalah guruku!"
"Ya, guru dan murid berintrik mengatur tipu muslihat ini
lebih kenyataan belangnya." Tanpa menjawab atau hiraukan tuduhan orang sepasang
mata Giok liong jelilatan mengawasi tubuh Li Pek-yang dari
kepala ke-kaki, lalu dari kaki ke kepala lagi, semua diperiksa
dengan seksama dan cermat. "Lihat apa ?" sentak Yu bing-khek-cu Li Pek-yang dengan
kasar. Tapi sepasang mata Giok-liong masih tetap tidak
berkibar dari pandangan tubuhnya. Dari tubuh Yu bing khekku
Li Pek-yang ini ia hendak melihat dan mengetahui keadaan
perjanjian yang sudah terjadi diatas Im-hom-gay tadi, Apakah
sudah bergebrak" Bagaimana keadaan pertempuran tadi "
Siapa yang menang " Siapa yang kalah "
Sekian lama ia mengawasi, hatinya menjadi heran dan
curiga sebagai dari tubuh Li Pek yang sedikitpun i
Bara Naga 4 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 3
^