Seruling Samber Nyawa 7

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 7


a tampak berkemik: "Harap Cianpwe berlega hati. Wanpwe pasti takkan ceroboh
menghadapi setan alas ini." Baru selesai ia berkata Rasul jubah abu-abu sudah
berhadapan ditengah udara dengan dirinya, Giok liong
menyeringai dingin, sebat sekali tangan kanannya menjojoh,
lima jalur angin kencang mendesis keluar langsung
mencengkeram ke bawah ketiak rasul jubah abu-abu.
Dalam saat genting itulah samar-samar terdengar seruan Li
Hian berkata: ". . . . . awas panah tanpa bayangan. . ."
(BERSAMBUNG JILID KE 12) Jilid 12 Terdengar rasul jubah abu-abu membentak: "Bocah
keparat, kiranya boleh juga ,.." masih terapung ditengah
udara tiba-tiba ia meliukkan pinggang terus jumpalitan dengan
gaya yang indah, kini ia berada di belakang Giok-liong lebih
atas, dimana jubah panjang nya kelihatan melambai-lambai,
mendadak ia perdengarkan serentetan gelombang tawa yang
menusuk telinga, segulung angin dingin yang kencang
membawa bau amis yang memuakkan langsung menerjang ke
punggung Giok-liong. Dilihat expresi wajahnya yang kaku membesi tak kelihatan
perubahan apa-apa, tapi dari sorot matanya yang buas jalang
terlihatlah nafsunya yang besar ingin membunuh, seringai
sadis membayangkan pada pandang yang penuh kepuasan.
Mereka meluncur lewat benda pundak ditengah udara ini
kejadian dalam sekejap mata saja, Tapi dalam waktu yang
singkat ini rasul jubah abu-abu dapat jumpalitan melambung
lebih tinggi sambil melancarkan serangan ganas dengan cara
membokong menyerang punggung Giok-liong, terang
kedudukan lebih menguntungkan. Terang gamblang serangan angin dingin kencang itu sudah
menggulung kearah punggung Giok-liong, namun rasul jubah
abu-abu rasanya masih belum puas, kelima jarinya mendadak
terjulur keluar dan lengan bajunya beruntun menjentik lima
kali, maka lima utas uap putih yang samar-samar hampir tak
terlihat oleh pandangan mata secepat kilat melesat terbagi
atas tengah dan bawah menyerang kelima tempat jalan darah
mematikan ditubah Giok-liong. Bukan sampai sebegitu saja lihay serangan ini, terasa oleh
Giok Iiong sekitar tubuhnya kini telah terkekang dan tertutup
rapat oleh kebutan angin dingin yang dilancarkan oleh rasul
jubah abu abu tadi. Lapat-lapat terdengar helaan napas sedih dari dalam gua:
"Bocah ini terlalu membawa adat sendiri, oh sungguh tidak
beruntung!" suaranya semakin lirih dan pilu, naga-naganya Li
Hian seperti memejamkan mata tak tega melihat lagi.
Secara tiba-tiba terdengar lima macam irama seruling
mengalun tinggi menggetarkan bumi memecahkan batu,
Didalam gelanggang tiba-tiba timbul selarik sinar putih
menari-nari laksana naga hidup. Lantas terdengar jeritan ngeri
yang memecah kesunyian malam. "Bluk !" keras sekali badan rasul jubah abu abu terbanting
diatas tanah sejauh lima tombak, darah mengalir deras dari
lubang panca inderanya, setelah berkelojotan sekian lama
lantas tak bergerak lagi, jiwanya melayang.
Sementara itu dengan tenang Giok liong berdiri tegak di
samping sana tangan kanan menggenggam Seruling samber
nyawa, air mukanya merah membara, mulutnya menggumam:
"sungguh berbahaya ! senjata berbisa yang jahat ini benarbenar
lihay!" Dari dalam gua terdengar pula suara Li Hian berkata :
"Buyung, lebih baik kau masuk saja kedalam gua sini Terang
kau sudah mengikat permusuhan dengan pihak Hian-bing-mokek
! Masuklah biar Loltu lebih tegas melihat wajahmu. . ."
dari nadanya ini terang telah timbul rasa simpatik dalam
benaknya terhadap Giok liong. Giok-liong sendiri juga merasa kecut dan terkam
mendengar nada perkataan orang yang penuh welas asih dan
prihatin, hampir tak tertahan ia mengalirkan air mata: sudah
lama sekali tiada seorang orang tua pernah berkata sebegitu
cinta kasih terhadap dirinya. Maka segera ia menyahut perlahan: "Baiklah, Lo-cian-pwe
!" lalu seruling samber nyawa diselipkan diikat pinggangnya
berputar tubuh terus melangkah kedalam gua.
Tapi baru saja ia melangkah berapa tindak, tiba-tiba
terdengar bentakan dingin dari belakangnya: "Berhenti!"
Kesiur angin dingin yang membekukan juga segera melingkari
sekitar tanah lapang diluar gua itu.
Sigap sekali Giok-liong membalik tubuh, Tampak
dibelakangnya beranjak puluhan tombak disana berjajar
berdiri empat orang yang mengenakan pakaian seperti rasul
jubah abu-abu tadi. selayang pandang saja lantas bergetar
perasaan Giok-liong. Bukan saja cara berpakaian besar tinggi badan mereka
yang sama, sampai wajahdan raut muka mereka juga persis
benar, malah kaku dingin tanpa emosi lagi seperti wajah
mayat hidup. Setelah membalik badan Giok-liong juga mandah berdiam
diri, hadap berhadapan tanpa membuka suara sekecappun,
namun diam-diam otaknya berpikir cara bagaimana hendak
menghadapi pendatang baru ini. Diukur dari kepandaian silat dan Lwekang rasul jubah abuabu
yang mampus itu terang masih setingkat dibawah
kemampuannya. Tapi bila kepandaian silat keempat rasul jubah abu-abu ini
juga setarap dengan yang telah mampus itu, dengan
gabungan kekuatan rnereka, payahlah pasti dirinya.
Sementara itu, tanpa bersuara keempat rasul jubah abu-abu
sudah beranjak maju semakin dekat, Otak Giok- liong berputar
cepat sekali sayang sekian lama ini tak terpikirkan olehnya
cara yang tepat untuk menghadapi mereka.
Akhirnya ia ambil keputusan yang drastis: "Permusuhan ini
relatif sudah terjadi, sifat merekapun begitu buas tanpa
perikemanusiaan, Berantas dan bunuh mereka habis-habisan!"
Waktu dia ambil ketetapan hati ini, keempat rasul jubah ibu
abu sudah mendekat beranjak delapan tombak.
Wajah Giok-liong mulai bersemu merah nafsu membunuh
sudah mencorong dari sorot matanya, pelan-pelan dirogohnya
Kim-pit dan Jan hun-ti serta dicekal kencang-kencang, menarik
napas panjang ia kerahkan Ji-lo berputar melindungi badan,
dalam segala waktu ia bisa segera melancarkan seluruh
kekuatannya untuk merobohkan musuh.
Tapi sikap ia berdiri rada acuh tak acuh kelihatan seperti
tiada minat untuk bertempur. Kupingnya mendengar pula bisikan Li-Hian berkata:
"Buyung, lekas masuk kemari, kau bukan menjadi tandingan
mereka." nada perkataannya mengandung rasa kuatir dan
gelisah. Dengan lemah lembut Giok-liong menyahut: "Harap
Cianpwe lega hati, Wanpwe pasti tidak akan menanggung
kerugian! "-lalu pelan-pelan ia pejamkan mata untuk menutupi
sorot matanya yang sudah membara penuh nafsa membunuh.
Para rasul jubah abu abu sekarang sudah semakin dekat,
malah berpencar membentuk setengah lingkaran terus
memapak maju ketengah gelanggang. Kelopak mata Giok-liong merem melek, matanya hampir
terpejam tinggal sebaris pandangan saja daIam
penglihatannya, Ujung mulutnya juga mulai menyungging
senyum ejek. Angin dingin menghembus rada keras melambaikan jubah
putih Giok-liong, seperti sebatang pohon yang berdiri kokoh
diterpa hujan baju dengan angker dan tenang ia berdiri
dengan sikap gagah. Hening, melingkupi seluruh gelanggang seakan akan tiada
insan penghidupan disekeliling ini, hawa membunuh semakin
tebal melingkupi sanubari mereka. Serentak secara tiba-tiba keempat rasul jubah abu abu
meluncur lurus menerjang kearah Giok-liong, pertempuran
mati matian sudah tak mungkin terhindar lagi.
Sekonyong-konyong rasul jubah abu abu nomer dua
mendengus rendah, seketika empat suitan nyaring menembus
angkasa, Berbareng bayangan abu abu yang bergerak lincah
dengan kecepatan luar biasa membawa deru angin pukulan
yang dahsyat dingin membeku menggulung tiba kearah Giokliong.
Dari pengalaman tempur dengan rasul jubah abu-abu yang
dibunuhnya tadi Giok-liong tahu bahwa mereka pasti juga
membekal senjata rahasia yang jahat dan berisi, malah
kepandaian silat yang mereka latih juga dari aliran amgi yang
beracun lagi, Maka dengan berdiri tekun menghimpun
semangat meski matanya rada merem melek, hakekatnya ia
siap siaga mengawasi gerak gerik musuh dan siap
menghadapinya. Baru saja keempat bayangan musuh meluncur dekat masih
sejarak satu tombak, tubuh Giok-liong mendadak
mengepulkan uap putih terus merembes dan meluas
kesekitarnya. Semakin dekat Iuncuran keempat bayangan musuh
semakin cepat udara sekitar gelanggang mendadak dilingkupi
hawa dingin dan mega mendung. Bayangan kepalan dan telapak tangan pukulan laksana
bunga salju menari-nari menerjang dan menyerang
keperbagai jalan darah besar yang mematikan di tubuh Giokliong.
Bayangan orang berseliweran, deru angin kencang
mengamuk bergelombang besar, pekik pertempuran
menambah ramai suasana arena perkelahian.
Irama seruling mulai mengalun tinggi, sebuah bayang putih
membawa tarikan sinar putih dan kuning melambung tinggi
ketengah udara, ditengah udara menekuk pinggang sambil
membentang kedua tangannya, dua jalur cahaya kuning dan
putih lantas berputar memenuhi angkasa laksana naga
mengamuk di tengah awan membawa deru gemuruh terus
menyapu turun kearah keempat rasul jubah abu-abu.
Agaknya keempat rasul jubah abu-abu tidak mengira
bahwa pemuda baju putih yang kelihaian lemah lembut ini
kiranya membekal ilmu silat dan tenaga dalam yang begitu
hebat dan lihay. Saking kagetnya sedikit mereka tertegun irama seruling
sudah mengalun dan angin keras juga sudah menyampuk tiba
didepan muka, berbareng dua jalur sinar kuning dan putih
juga sudah menyapu dan menyerampang datang.
Dalam saat saat genting ini mereka berempat saling
memberi tanda lalu serempak meloncat tinggi ketengah udara
dan meluncur kesamping. Gagal dalam serangannya ini, Giok-liong lantas bersuit
panjang nyaring, dimana badannya bergerak seketika ia
lancarkan ilmu ajaran Jan-hun-su-sek. Sebuah bayangan putih
laksana bayangan dedemit bergerak lincah secepat kilat,
tubuhnya dijabat sinar kuning putih dan cemerlang
mengeluarkan cahaya putih perak, begitu indah dan
menakjupkan benar gerakannya sehingga keempat rasul jubah
abu-abu hakikatnya terkekang, dalam serangan potlot mas
dan seruling samber nyawa. Tapi keempat rasul jubah abu-abu juga bukan kaum kroco
belaka " Dengan bergabung mereka merangsak semakin
hebat meronta seperti binatang dalam kurungan kabut gelap
dan angin dingin menghembus keras menderu-deru, empat
bayangan abu-abu bergerak limbung seperti setan
gentayangan, meski serangan Giok-liong sedemikian gencar
dan hebat, tapi mereka masih sekuatnya melawan dan balas
menyerang dengan tidak kalah ganas dan lihay.
Pertempuran semakin menjadi kacau balau, ditengah udara
sekitar gelanggang terbayang mempetakan sebuah bundaran
berwarna warni laksana bola kembang. Diatas bundaran bola
kembang ini selain kelihatan sebuah bayangan putih bergerak
dengan kecepatan seperti kilat, adalah yang paling menyolok
mata dua sinar kuning putih yang meluncur memanjang
laksana dua ekor naga yang menari lincah sekali.
Adalah bola bundar berkembang itu hakikatnya bukan lain
adalah kabut gelap dan mega putih yang bergulung berputar.
Demikianlah pemandangan dari jauh. Kalau didekati maka
dapatlah diketahui bahwa dari tengah-tengah kabut bundar itu
saban-saban terdengar ledakan yang menghamburkan batupecah
dan tanah, dahan dan daun pohon juga tidak
ketinggalan beterbangan, malah mengeluarkan suara gemuruh
lagi. Sekali serang tadi sebetulnya bermaksud menggetar
menyiutkan nyali pihak lawannya membobol kepungan
mereka. Diluar perhitungannya bahwa kepandaian lawanTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ lawannya ternyata begitu lihay sekian lama mereka jadi sama
kuat alias setali delapan uang. Sang waktu berjalan terus tanpa menanti hati Giok-liong
menjadi gelisah: "Bagaimana bila pihak Hiau bing-mo kek
datang bala bantuan lagi ?" demikian batinnya.
Baru saja ia berpikir demikian, diujung timur sana
berkumandang sebuah suitan yang melengking tinggi
menembus awan, dengan kecepatan yang susah diukur
tengah meluncur mendatang . .. Begita mendengar suara lengking suitan ini, lantas Giokliong
tahu bahwa pihak lawan kedatangan lagi seorang kosen
yang berkepandaian lebih tinggi dari keempat lawannya ini.
Maka segera ia kerahkan seluruh hawa murninya, tangan
kanan memainkan potlot mas dengan tipu Kang-sim-sek-bun
(mengejutkan hati kehilangan sukma) sedang tangan kiri
dengan bersenjatakan seruling samber nyawa menggunakan
jurus Toan-bing-jao hun (kehilangan nyawa sukma tersiksa).
Jurus tipu ini terbagi dalam delapan gerakan yang berantai,
seketika angin badai bergulung-gulung, pancaran sinar putih
kuning semakin cemerlang, dimana mega putih menerjang
dengan kekuatan dahsyat, seketika terdengar dua jeritan yang
mengerikan lalu disusul ledakan keras yang menggetarkan
bayangan orang terus berpencaran kabut masih tebal dan
mengurung sekitar gelanggang. Dua bayangan abu-abu membawa aliran darah yang deras
terpental sungsang sumbel terbanting keras puluhan tombak
jauhnya, setelah tergulung-gulung ditanah lantas tak bergerak
lagi, sebaliknya kedua rasul jubah abu-abu lainnya matanya
malah memancarkan sorot kegirangan tercampur rasa kejut
berbareng mereka melejit mundur delapan tombak jauhnya


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pandangan dingin mendelik tanpa bergerak mereka
memandang kearah Giok-liong dengan berkedip.
Adalah jantung Giok liong bergejolak keras sekali, mata
berkunang dan kepala pusing sehingga tak kuat berdiri tegak,
beruntun ia tersurut mundur puluhan langkah baru berdiri
tegak pula. Lekas lekas ia himpun semangat dan kerahkan
tenaga murni untuk memulihkan pernapasannya yang
memburu. Giok liong insaf bahwa pertempuran lebih dahsyat bakal
dihadapinya. Belum lenyap dugaannya, terdengarlah kesiur angin ringan
tahu-tahu ditengah gelanggang sudah bertambah seorang,
orang aneh yang mengenakan jubah panjang warna hitam
gelap, berwajah hitam pula dengan sikap kaku dan dingin.
Begitu orang aneh jubah hitam itu muncul, kedua rasu!
jubah abu abu itu lantas menyembah serta menyapa hormat:
"Rasul jubah abu-abu menghadap pada Hek-i-tong cu."
Terdengar Hek i-tong cu mendenguskan hidungnya, sekilas
ia menyapu pandang kearah tiga mayat rasul jubah abu abu
jengeknya dingin: "Inikah hasil kalian?"
Kedua rasoi jubah abu-abu tidak berani bercuit sekian lama
mereka menyambai tak berani bersuara dan bergerak akhirnya
baru berkata dengan suara lirih: "pihak musuh terlalu kuat
malah membekal senjata pusaka seruling samber nyawa."
Teriihat badan Hek-i Tong-cu rada tergetar tercetus seruan
kaget dari mututnya: "Siapa?"
"Kim-pit-jan hun Ma Giok-liong!"
Pandangan Hek i Tong-cu penuh selidik melirik kearah
Giok-liong yang berdiri tenang dengan tangan bertolak
pinggang, menatapnya tanpa menunjukkan sesuatu mimik
perubahan, tapi nada perkataannya rada ragu dan kurang
percaya: "Dia inikah?" Kedua rasul jubah abu-abu manggut-manggut berbareng
sambil mengiakan. Kata Hek i Tong cu: "Yang mati siap dibawa puIang, yang
luka diberi obat." Kedua rasul jubah abu-abu mengiakan sambil membungkuk
badan, lalu tinggal pergi mengurus ketiga kawannya yang
luka-luka dan meninggal. Dengan pandangan matanya yang tajam berkilat Hek-i
Tong-cu tatap Giok liong lalu maju menghampiri dengan
langkah lebar. Angin malam menghembus keras sampai jubah panjang
warna hitam yang dipakainya itu berbunyi melambai, demikian
juga rambutnya yang hitam panjang menjadi riap riapan
menari-nari. Hanya dua titik sinar matanya yang berkilat itulah
yang jelas mencorong dari badannya yang serba hitam, bagi
yang bernyali kecil pasti ketakutan melihat rupanya bagai
setan. Belum orangnya sampai sudah terasa hawa sekelilingnya
menjadi dingin mendesak kearah Giok liong membuatnya
susah bernapas. setelah mengamati dengan seksama Giokliong
berpendapat bahwa Tong cu ini bersikap cukup tabah
dan tenang, gerak geriknya sangat tangkas, jalan napasnya
begitu ringan ini menandakan tenaga dalamnya sangat kokoh.
Kalau dibanding dirinya, paling tidak masih setingkat
berada lebih atas. Dengan pendapatannya ini hatinya menjadi kaget, pikirnya:
"Tokoh macam apakah sebetulnya Kek-cu ( pemimpin) dari
Hian-bing-mo kek ini" Anak buahnya dari para rasul sampai
Tong-cunya ini rata-rata berkepandaian begitu tinggi, Kalau
anak buahnya saja sudah begini lihay maka dapatlah
dibayangkan sifat pemimpinnya tentu hebat luar biasa."
Kira kira jarak tiga empat kaki dihadapan Giok-Iiong baru
Hek-i Tong-cu menghentikan langkannya, dari kebawah ia
amati lagi seluruh badan Giok-liong, lalu katanya sambil
menyeringai dingin: "Tuan adalah Ma Giok liong ?".
Melihat orang mendesak sampai sedemikian dekat baru
menghentikan langkah, diam-diam Giok-liong menjadi
merinding, seumpama lawan mendadak turun tangan
membokong sungguh sukar dijaga dan sungguh berbahaya,
sebaliknya kalau dirinya turun tangan lebih dulu, agaknya
sangat memalukan. Demikian dalam hati berpikir, mulutnya menyahut : "Aku
yang rendah benar Ma Giok liong adanya ! siapakah tuan ini ?"
"Kami merupakan salah satu diantara delapan belas Tongcu
yang dipimbing oleh Hian-bing-mo-kek Kek cu !"
"Dimanakah letak Hian-bing mo-kek kalian " selamanya aku
yang rendah belum pernah dengar di kalangan Kangouw ada
suatu organisasi macam Hian-bing-mo kek ini?"
Nada suara Hek i Tong cu selalu terdengar kaku sember
sepatah demi sepatah tanpa irama. Demikian juga mimik raut
mukanya kaku membesi tanpa bergerak sedikitpun tidak
terlihat expresi wajahnya, hanya sepasang sorot matanya itu
yang memancarkan cahaya dingin masih dapat mengunjuk
perubahan isi hatinya. Tapi kala ini sorot matanya tidak berubah, suaranya
senadakannya dingin: "Tuan masih berusia muda sudah tentu
belum pernah dengar perihal Hian-bing mo-kek, Kalau tuan
sudah pernah dengar ketenaran nama organisasi kita ini. tentu
tuan tidak batal berani turun tangan begitu kejam terhadap
para rasul kita." Ucapannya ini tak lain berarti: "seumpama ilmu silatmu
tinggi, sayang usiamu masih sangat muda. Begitu sempit
pengalamanmu sampai Hian-bing-mo kek yang begitu tenar
ditakuti orangpun kau belum pernah dengar, maka tidaklah
heran kau berani berlaku lancang dan bertangan gapah "
Sudah tentu Giok-liong juga maklum akan isi kata-katanya
ini, sahutnya: "Mereka setimpal dihukum mati karena
perbuatan yang kurang ajar, bukan menjadi dosaku malah."
"Hm ! Mereka kurang pandai belajar silat sehingga
membikin malu nama baik wibawa Hian bing-mo,kek, nanti
kalau pulang pasti mendapat ganjaran yang setimpal. Tapi
kwatir kau sendiri tidak bisa lepas dari keadaan ini."
"Aku juga kwatir tuan tidak dapat melaksanakan seperti
apa yang telah terjadi." "Sudah tentu aku punya cara lain untuk menyelesaikan ?"
"Coba terangkan !" "Pertama, serahkan seruling samber nyawa dan
menghamba diri dibawah matian Kek-cu, hidupmu akan
senang dan banyak mendapat kebaikan. Kedua, kalau tuan
tidak ingin serahkan seruling samber nyawa itu kepadaku,
bolehlah kau serahkan sendiri kepada Kek cu, tentu Kek cu
tidak menyia-nyiakan kebaikanmu ini. Ketiga, tuan harus
berkorban demi seruling samber nyawa itu, biarlah aku yang
bawa pulang seruling sarnber nyawa ini, tentang jenazahmu
kita akan mengurusnya dengan upacara besar. Keempat,
kalau tuan mempunyai syarat apa silahkan sebutkan, pasti Kek
cu tidak akan membuat tuan merasa kehilangan."
"Kalau satupun aku tidak mau pilih syarat tuan ini
bagaimana ?" "Tuan harus pilih satu diantaranya."
"Kalau tidak ?" Tanpa bersuara lagi Hek-i Tongcu mundur tiga langkah,
tangan kiri diayun keatas. Sebuah benda bundar kecil
meluncur dan meledak di udara membawa cahaya terang
menyolok mata berbunyi nyaring kumandang ditengah malam
nan gelap diatas alas pegunungan ini.
Baru saja cahaya ini meluncur setengah jalan, dari
kejauhan sana lantas terdengar suara suitan saling
bersahutan, sekejap saja suaranya sudah meluncur dekat.
Berkelebatlah beberapa bayangan abu-abu, tahu-tahu
dipinggir gelanggang sudah bertambah sepuluh rasul jubah
abu-abu, pakaian serta bentuk badan dan muka mereka sama,
hanya kesepuluh rasul jubah abu-abu yang baru datang ini
pinggangnya digubat sabuk hitam. Begitu muncul lantas berpencar membentuk satu bundaran,
dan Giok-liong dan Hek-i Tong-cu terkepung ditengah
gelanggang, sekejappun tiada yang buka suara atau berani
sembarangan bergerak. Baru saja lingkaran pengepung ini bergerak rapi, tiba tiba
tiga titik bayangan orang meluncur datang dari hutan semak
belukar sana sambil bersuit nyaring menggetarkan sukma
memekakkan telinga. Begitu mendarat di sana sedikitpun kaki mereka tidak
mengeluarkan suara atau menimbulkan debu mengepul.
Dengan tegak mereka berdiri bagaikan terpaku, mereka tak
lain tak bukan adalah tiga orang Hek-i Tong-cu lagi, tepat
sekali mereka berdiri berpencar diempat penjuru dalam
lingkungan kepungan para rasul jubah abu-abu, jadi Giok-liong
terkurung lapis dua. Untuk selanjutnya masih terdengar suara lambai baju
berseliweran, dari empat penjuru yang gelap sana mendadak
bermunculan lagi tiga puluhan rasul jubah abu abu, dengan
gerak cepat dan langkah ringan mereka membentuk suatu
barisan, lalu berdiri tegak berdiam diri menanti komado.
Sekilas pandang lantas Giok-liong bercekat, dalam hati ia
menimbang: "Meski aku belum pernah belajar ilmu barisan,
tapi formasi sesuatu barisan yang umum sudah sering kulihat
malah mengetahui cara membobolnya. Tapi barisan yang
mereka bentuk ini sungguh sangat aneh, seperti Su li-tin, tapi
juga seperti Pat kwa-tin atau Ngo-heng-tin. . ."
Hek-i Tongcu yang terdahulu datang tadi melirik kearah
Giok-liang lalu bertanya: "Apakah tuan punya pegangan untuk
menang melawan kekuatan gabungan kita berempat Hek-i
Tong-cu ?" Waktu ketiga Hek i Toog-cu yang ada datang tadi, Giokliong
sudah melihat jelas cara gerak mereka adalah begitu
cekatan dan tangkas sekali, paling tidak lebih unggul dari para
tokoh kelas satu dari kalangan Kangouw umumnya. Kalau
benar-benar mereka bergabung mengeroyok dirinya, mungkin
dalam dua puluh gebrakan saja dirinya takkan kuat bertahan.
"Maka menurut hematku lebih baik tuan memilih salah satu
syarat yang ku ajukan tadi, kalau tidak bila benar benar
bertempur bukan saja kalah malah teringkus lagi, buat nama
dan muka nanti tentu tidak enak di dengar dan memalukan
bukan?" Hawa amarah seketika bergelak menerjang otak Giok-liong,
Sekuatnya ia menahan napas dan mengendalikan diri, baru
dapat mengekang sabar sekian lamanya, tapi bahwasanya
otaknya bekerja cepat memikirkan cara bagaimana
menghadapi atau mengatasi situasi yang gawat dan
berbahaya ini. Bila ia melulusi untuk menepati janji mengunjungi Hianbing-
mo-kek itu berarti bahwa dirinya harus masuk mulut
harimau, sampai pada saat itu apa yang dapat dilakukan
dirinya tidak lain menjadi antek atau mengekor saja apa yang
mereka perintahkan atas dirinya. Namun seumpama menolak undangan ini, kalau kena
digusur dan terbinasa inipun tidak menguntungkan bagi
dirinya. Sekonyong-konyong suara Li Fian berkumandang dipinggir
telinganya: "Buyung, dilihat dari situasi yang kau hadapi ini,
terpaksa kau harus, melulusi permintaan mereka! Ketua
mereka bukan seorang yang tidak mengenal aturan. Kalau kau
mempunyai akal dan pintar memutar haluan, mungkin
akibatnya baik dari pada keadaan sekarang bila kau melawan
dengan kekerasan. Para Tong-cu ini rata-rata memliki
kepandaian silat yang lihay dan banyak ragamnya, bukan
tandingan sembarang tandingan."
Otak Giok liong berkeljat, sesuatu pikiran, katanya kepada
Hek-i Tong-cu itu: "Baik, Kuputuskan untuk menemui ketua
kalian!" "Yah, itulah baik sekali!"
"Tapi bukan sekarang?" "Ini, lantas. . ." "Sekarang aku punya urusan penting yang mendesak, kalau
kalian percaya akan omonganku, apa bedanya kita bertemu
lagi tiga bulan yang akan datang?"
Hek-i Tonf!-cu menjengek dingin: "Hian-bing-mo-kek mana
gampang ditipu orang ! Baik, tiga bulan yang akan datang kita
nantikan kedatanganmu dipuncak ia hong-gay di gunung Bu
lay san." Habis berkata lantas ia berpaling menghadap ketiga Hek-i
Tong-cu lainnya serta katanya: "Terima kasih akan
kedatangan para saudara." sembari mengulap tangan
tubuhnya bergerak gesit sekali ia pimpin para rasul jubah abuabu
terus menghilang dibalik hutan sebelah kiri yang gelap
gulita, ditengah udara kupandang suitan panjang yang
bergema lama mengalun tinggi. Angin malam menghembus keras terasa dingin, sang putri
malam sudah mulai doyong kearah barat, kegelapan yang
pekat menjelang senja sudah mulai mendatang.
Seorang diri Giok-liong berdiri tegak dan termenung
didepan gua dalam atas pegunungan yang sunyi ini, jubah
putihnya melambai-lambai terhembus angin.
Dari dalam gua sana terdengar suara Li Hian berkata: "Nak,
marilah masuk mengobrol." Giok liong mengiakan dengan
suara lirih. Pelan pelan ia masuk kedalam gua.
Diujung kiri dalam gua sana kini sudah duduk seorang tua
yang berpakaian butut kasar dan rombeng, rambutnya sudah
uban seluruhnya, air mukanya bersemu merah, jidat sebelah
kiri kelihatan jelas sekali mengkilap bekas bacokan senjata
tajam, orang tua ini bertubuh tinggi kekar.
Sambil melangkah masuk, mendadak Giok-liong merasa
hatinya menjadi hampa dan kosong melompong.
Dengan pandangan berkilat orang tua ini menatap tajam
kearah Giok-liong, wajahnya menampilkan rasa heran dan
tidak percaya, Tapi begitu Giok-liong sudah melangkah dekat
lantas ia bersikap biasa lagi, katanya: "Nak, betulkah nama
aslimu adalah Ma Giok-liong?" "Betul, masa Cianpwe tidak percaya ?"
Li Hian menatapnya sekali, lalu katanya pula: "Bukan
begitu, mendadak Lohu teringat oleh suatu persoalan! Hm,
apakah ayah bundamu masih hidup?"
Begitu membicarakan ayah bundanya lantas Giok-liong
merasa berduka, kedua matanya menjadi merah dan hampir
saja menangis, sahutnya lirih: "Aku tidak tahu."
"Tidak tahu?" "Ya, ayah sudah menghilang sejak aku masih kecil! sedang


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibu mendapat celaka terbokong oleh musuh laknat, entah
bagaimana mati hidupnya sekarang." tak tertahan lagi dua
titik air mata mengalir membasahi pipinya.
Selintas pandangan Li Hian mengunjuk rasa kejut dan tak
mengerti, pelan-pelan ia menghela napas serta katanya: "Nak,
janganlah bersedih! Apakah kau tahu nama ibumu" Banyak
kawan Lohu di kalangan Kang-ouw, mungkin aku bisa ikut
menyirapi!" Giok-Iiong sadar akan sikapnya yang kehilangan kontrol,
cepat ia mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka air
matanya, ka-tanya. sambil tertawa dibuat-buat: "Membuat
tertawaan Cian pwe saja!" lalu ia menyambung lagi.
"Dulu ibu sudah kenamaan dengan julukan Toh hu Siancu,
tapi agaknya banyak orang Kangouw yarg tidak mengetahui
akan hal ini." Codet bekas luka di jidat Li Hian itu mendadak seperti
melepuh besar merah membara sampai memancarkan sinar
berkemilauan. Terang bahwa hatinya juga ikut terharu dan
terbawa arus perasaannya yang tak terkendali lago.
Rada lama kemudian baru ia dapat mengendalikan hatinya
seperti biasa lagi, tanyanya. "Nak, kapan ayahmu telah
menghilang" Siapa pula namanya ?"
Giok-liong menggeleng, sahutnya: "Wan-pwe kurang jelas."
"Ai, sungguh kasihan . . . ." agaknya Li Hian tenggelam
dalam kenangan lama, kedua matanya rada dimeramkan lalu
menunduk kepala tak bersuara lagi. Sebetulnya Giok-liong bermaksud menceritakan apa yang
pernah didengar dari cerita ibunya tentang didasar mata air
rawa naga beracun di gunung Bu-i san ada peninggalan kata
kata ayahmu." Tapi setelah dipikir kembali kelihatan memang Li Hian
sangat prihatin akan riwayat hidupnya ini, namun betapa juga
mereka baru saja kenal, dunia persilatan penuh akal dan tipu
muslihat kejam yang sering membawa bencana, serba serbi
kejadian pernah terjadi maka ada lebih baik tutup mulut saja,
karena disadari olehnya bahwa bencana kadang kadang
datang dari mulut yang suka bicara.
Sekarang Li Hian angkat kepala lagi, sejenak ia menatap
Giok-liong, matanya memancarkan cahaya aneh, tanyanya
dengan pelahan: "Nak, mereka memanggilmu Kim-pit-janhun?"
Giok liong mengiakan. "Kenapa?" "Sebab senjata yang Wanpwe gunakan adalah sebatang
potlat mas." "O, siapakah tokoh kosen gurumu itu?"
"Suhu bernama Pang Giok berjulukan To-ji!"
"Ha, beliau" Tak heran ilmu silatmu sedemikian hebat. Tapi
ilmu kepandaiannya mungkin tidak banyak unggul dari
kemampuan sekarang bukan?" Giok liong tersenyum, katanya "Mana Waupwe bisa tahu
betapa dalam dan tinggi kepandaian Suhu, yang terang
kepandaian beliau sudah jauh sempurna. Meskipun sejak
berpisah dengas Suhu memang Wanpwe ada sedikit
kemajuan, tapi mana berani dibanding dengan Suhu."
Li Hian menjadi geli, tanyanya lagi: "Kuduga tentu kau
menggembol suatu benda pusaka maka banyak kawanan
manusia tamak di-Kangouw itu selalu membuntuti dan
mengejar-ngejarmu, sehingga terpaksa kau terdesak dan
membunuh orang, bukankah begitu?"
"Ya, benar." Sahut Giok-liong manggut-manggut." Wanpwe
punya sebatang seruling samber nyawa benda pusaka inilah
yang selalu menjadi incaran mereka, mereka selalu
menggunakan kekerasan hendak merebut milikku ini, terpaksa
Wanpwe harus turun tangan membunuh orang, apalagi
kadang-kadang juga sangat dongkol dan susah bertahan lagi!"
"Oleh karena itu mereka lantas menjuluki kau Kim pit-jan
hun!" "Ya, begitulah!" "Tahukah kau bahwa didalam seruling samber nyawa itu
tersembunyi suatu rahasia besar persoalan dunia persilatan?"
"Harap Cian-pwe suka memberi petunjuk."
"Seruling samber nyawa adalah benda kuno yang sakti
mandra guna, dari jaman kejaman menjadi tradisi peninggalan
yang memilikinya, puluhan tokoh kosen yang pernah
memegangnya sudah melebur bergantian dengan kekuatan
mereka sehingga benda ini semakin hebat dapat menambah
semangat dan kekuatan Lwekang orang yang
menggunakannya, seribu tahun yang lalu seruling ini terjatuh
ditangan sepasang suami istri suatu cikal bakal aliran
persilatan yang kenamaan bernama Jan-hun cu, dengan suatu
cara yang teristimewa, mereka menutup atau menyumbal
daya sedot yang timbul dari seruling ini pada para
pemakainya. Cara yang digunakan itu sudah dilebur kedalam
seruling ini dijadikan sebuah lagu irama seruling yang hebat
sekali." Giok-liong menjadi heran dan tak mengerti, tanyanya:
"Seluruh batang bersih kemilau tiada tanda-tanda luar biasa,
Wanpwe pernah memeriksa seruling ini dengan seksama,
darimana bisa ditiupkan sebuah lagu irama seruling."
Li Hian mengelus-ngelus jenggot panjangnya yang
memutih, katanya tertawa: "Sudah tentu, karena beliau tidak
mengukir not lagu itu diatas seruling itu."
"Lalu bagaimana bisa tahu cara bagaimana lagu itu harus
ditiup dengan seruling?" "Kalau Lwekangmu sendiri sudah mencapai tingkat yang
sempurna tidak sembarang orang dapat mencapainya, lalu kau
kerahkan Lwekang kedalam seruling itu, maka seruling itu
akan melagukan beberapa irama seruling yang beraneka
macam, ragam dari lagu itu itu tergantung dari kekuatan
Lwekang orang yang memilikinya."
"Satu diantara irama lagu itu adalah curahan hasil
semayam Jan-hun cu suami istri selama memperdalam
ilmunya didalam gua semedinya itu, ada banyak peninggalan
hasil jerih payahnya dalam memperdalam dan menyelidiki
berbagai ilmu, umpamanya buku-buku ilmu pukulan, pedang
serta buku perang serta ilmu pengobatan dan lain lain."
Giok-liong semakin tak mengerti tanyanya lagi: "Kalau
begitu banyak ragam lagu-lagu itu. Lalu dari mana bisa
diketahui lagu manakah yang menyatakan petunjuk itu?"
"Rasa kecewa Jan huncu suami sitri selama hidup ini justru
tidak memperoleh seorang murid yang baik. Sedang murid
satu satunya malah mendirikan sebuah aliran tersendiri
diluaran, bukan saja kejam dengan berbagai siksaan malah
bersimaharaja puIa. Sudah tentu hal ini membuat mereka
sangat sedih dan putus asa, waktu mereka mendengar kabar
ini justru sedang saat-saat genting mereka menghadapi
latihan ilmunya maka tiada tempo lagi untuk mengurusi murid
murtad itu. Tapi mereka suami istri tahu, cepat atau lambat murid
murid itu pasti akan menimbulkan bencana bagi dunia
persilatan, maka didalam gua semadinya itu mereka
meninggalkan hasil ciptaan jerih payah selama bertahun-tahun
disana, lalu diatas seruling sambar nyawa itulah mereka
meninggalkan kunci rahasia cara mendapatkan peninggalan
mereka itu. Harapannya adalah dalam waktu yang tidak lama ini
terdapat seorang berbakat dalam segala bidang dapat
menerima peninggalannya itu menjadi murid resmi mereka.
"Sayang sekali selama seribu tahun ini, tiada seorangpun
yang memperoleh seruling ini yang dapat atau mencocoki
taraf yang telah ditentukan itu, juga tiada seorangpun yang
dapat memasuki atau menemukan tempat gua semedinya itu.
Maka jerih payah hasil ciptaan Jau-hun cu itu juga menjadi
khayalan belaka." Mendengar penjelasan yang panjang lebar ini Giok-liong
jadi berpikir: "Siapakah murid Jan-hun cu dulu itu " Bukan
mustahil adalah cikal bakal Hian-bing-mo-kek atau hutan
kematian ?" dalam hati ia berpikir mulutnya lamas bertanya:
"siapakah murid Jan-hun cu dulu itu " Apakata nama aliran
yang telah didirikannya itu ?"
"Untuk persoalan ini aku sendiri juga kurang jelas," sahut Li
Hian, "Apa yang tadi saya ceritakan kudengar dari penuturan
majikanku dulu." Terketuk hati Giok-liong! Li Hian masih punya majikan!
Baru saja ia hendak bertanya siapakah majikan yang
dimaksudkan itu, keburu Li Hian sudah membuka mulut lagi:
"Diluar gua sudah terang tanah, tak lama lagi Lohu harus
meninggalkan tempat ini. Mungkin tidak lama lagi kita bakal
berjumpa pula di kalangan Kangouw, tatkala itu kita bisa
duduk mengobrol panjang lebar lagi memperbincangkan
situasi dunia persilatan masa ini ! Waktu itu kalau kau banyak
persoalan yang menimpa dinmu, sekuat tenaga Lohu akan
membantumu . ." Belum habis ia bicara, mendadak dari kejauhan sama
kumandang gelak tawa yang menggila, suaranya seperti orang
kegirangan dan mencak-mencak karena putus lotre, cepat
sekali gema gelak tawa itu meluncur datang kearah gua ini.
Lantas terdengarlah sebuah suara serak seperti gembreng
pecah berkata diluar gua sana: "Li Hian bocah kurcaci, tidak
lekas keluar kau, Apakah belum cukup derita yang kau terima
ini ?" Giok liong menjadi terperanjat, disangkanya musuh besar Li
Hian siapa yang telah tiba lagi, atau anak murid dari Hian
bing-mo-kek telah balik kembali. Kalau Giok-liong merasa khawatir sebaliknya Li Hian
mandah tersenyum girang, serunya: "Kunyuk kalian, tungguh
menyenangkan punya teman-teman seperti kalian ! Lima
puluh tahun sudah kalian masih ingat untuk datang kemari !"
lalu ia mendongak dan terawa terbahak bahak juga, begitu
keras gema tawanya itu sampai kuping Giok-liong
mendengung. Kini keaaaan diluar gua sudah terang benderang. Gelak
tawa yang ramai tadi berkumandang lagi, terdengar seseorang
berkata: "Bocah keparat Li Hian, agaknya kau tidak pandang
sebelah mata pada kawan lama lagi, berani berkata omongan
yang tidak enak didengar begitu ayo merangkak keluar,
marilah kita bertemu dan bercengkerama akan kulihat macam
apa lagi tampangmu yang bagus dulu."
Li Hian berkata kepada Giok-liong: "Mari kita keluar
melihat-lihat ! Hahahaha, lima puluh tahun sudah akhirnya
aku bebas kembali," sekali berkelebat ringan sekali tubuhnya
melayang keluar gua secepat anak panah.
Giok-liong juga tidak mau ketinggalan ikut melesat keluar
gua, Kelihatan diluar gua sana berjajar berdiri tiga orang
mengenakan juban putih panjang, dengan rambut kepala
ubanan semua, tapi air muka mereka beraneka ragam,
berbeda-beda tapi bertubuh tinggi kekar.
Yang berdiri di sebelah kiri bermuka hitam kehijau-hijauan
hidungnya bengkok, bermata juling seperti mata garuda
sikapnya garang. Di tengah yang terapit bertubuh tinggi besar hampir
setombak lebih, kulit mukanya bersemu merah ungu, jenggot
panjang terurai di depan dadanya, matanya besar berkilat
sangat galak sekali. Orang yang berdiri paling kanan lain pula rupanya penuh
codet seperti bekas kena penyakit kudis, matanya bundar
bermulut lebar besar berjambang bauk lebat, ia berdiri sambil
bertolak pinggang sangat gagah dan angker.
Begitu sampai diluar segera Li Hian membungkuk memberi
soja kepada mereka sambil berseru: "Haya, Toako bertiga
datang berkunjung bersama, sungguh menyiksa adikmu saja."
Si orang tua yang berdiri ditengah bertubuh kekar besar
itu, begitu Li Han melangkah dekat lantas pentang kedua
lengannya yang besar kuat memeluk Li Hian dengan kencang,
sepasang matanya yang berkilat itu berlinang airmata,
suaranya keras dan tertawa aneh: "Losu beberapa puluh
tahun ini, sungguh kau menderita . . ." dua orang dikanan kiri
itu juga merubung datang ikut berpelukan berempat mereka
saling bertangisan, melampiaskan rasa rindu sekian lama ini
sampai suara tangis yang menggerung-gerung ini bergema
didalam alas pegunungan. Giok-liong berdiri disamping, melihat adegan yang
mengharukan ini, hatinya terasa kecut, batinnya: "Ketiga
orang ini kepandaian silatnya pasti sangat hebat tak dibawah
Li Hian sendiri, sungguh merasa heran . , . tengah ia berpikir,
mereka berempat sudah menghentikan tangisnya.
Li Hian memutar tubuh, wajahnya berseri girang, tapi air
mata masih meleleh saking kegirangan, katanya kepada Giokliong:
"Harap maaf karena kita sudah lama sekali tidak pernah
bertemu . . , mari, biar Lohu perkenalkan kepada ketiga
Toakoku ini." lalu berpaling berkata kepada mereka bertiga:
"Toako, Jiko dan samko, mari kukenalkan seorang sahabat
muda Ma Giok liong yang berjuluk Kim pit-jan hun!"
Serentak mereka tertegun memandang kearah Giok-liong.
Giok-liong merasa tiga pasang mata mereka laksana kilat
menatap kearah wajahnya sehingga hatinya menjadi bercekat,
namun lahirnya tetap tenang malah unjuk senyum wajar,
serunya sambil unjuk hormat: "Wanpwe Ma Giok-liong,
selamat bertemu para Cian-pwe!"
Lalu satu persatu Li Hian perkenalkan mereka bertiga: "Si
tinggi besar ditengah itu bernama julukan Kiug-thian-sin La
Say sebagai Toako, yang sebelah kiri adalah Wi-thian-ing KLo
Biauw sebagai Jiko dan yang terakhir adalah Ka-long Ci Hong.
Waktu satu persatu mereka membalas hormat Giok-liong,
didapati olehnya sorot pasangan mereka memancarkan sinar
aneh yang sulit diselami. Giok-liong tidak tahu apakah sebabnya, Tatkala ini tiada
waktu untuk memperhatikan hal ini, maka persoalan ini juga
lantas berlalu begitu saja, setelah basa basi sekadarnya lantas
King-thiao-sin (malaikat penunggak gunung) Lu Say
merangkap tangan didapati dada serta katanya sungguh:
"Losiu berempat sungguh sangat beruntung dapat
berkenalan dengan Siau-hiap, sayang sekali waktu memburu
kita harus segera kembali Ping goan di laut utara sana,
terpaksa tidak banyak waktu untuk saling bercengkrama
dengan siauhiap ! Besar harapan kami beberapa waktu lagi
kita bisa bertemu dan berkunjung lagi dikalangan Kangouw !"
"ergerak hati Giok-Iiong, ada niatnya hendak menjelaskan
tentang keonaran yang bakal menimpa kaum persilatan,
diminta mereka suka memberikan bantuannya, namun setelah


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipikirkan lebih lanjuf, rasanya rada janggal dan rikuh, P&Fog
tidak mereka bakal kembali ke Tiong-goan lagi, tatkala mana
pasti pada saatnya mereka bisa bertemu dan ngobrol.
Maka segera ia unjuk soja, serunya: "sungguh besar rejeki
Wanpwe dapat berkenalan dengan para Cianpwe yang oiutai.
Besar harapan Waupwe kelak dalam waktu yang tidak lama
bertemu lagi, masih ada sesuatu hal yang Wanpwe akan minta
bantuan dari para Cian-pwe." King thian-sin berempat berbareng berkata: "Kelak kalau
kita kembali lagi ke Tiong goan, bila Siau-hiap benar-benar
memerlukan bantuan kita, menerjang gunung bergolok atau
lautan api juga pasti kita lakukan tanpa pamrih." habis berkata
berbareng bayangan mereka berkelebat membawa kesiur
angin yang ringan sekali tahu-tahu bayangan mereka sudah
menghilang didalam hutan lebat di depan sana.
Hati Giok liong serasa kosong hampa, tapi rada terhibur
dan bersyukur pula. Menurut katanya tadi King-thian-sin Lo Say buru-buru
hendak kembali ke Ping goan dilaut utara, terang bahwa
pangkalan mereka pasti disana. Apakah mereka ada hubungan
dengan Hwi thian-khek Ma Huan dari laut utara itu "
Kalau dugaan ini benar maka-hari-hari selanjutnya banyak
sekali pertolongan yang harus dinyatakan kepada mereka.
Sesaat Giok-liong berdiam diri, matahari sudah terbit
semakin tinggi menerangi jagat raya ini, dalam hati ia tengah
menerawang tindakan selanjutnya yang harus dilaksanakan.
Teringat tugas berat yang di-pikulnya, tanpa merasa ia
menghela napas panjang. Menjejakkan kaki, badan seringan asap lantas meluncur
dengan pesat sekali sambil mengembangkan Leng-hun-toh ia
berlari-lari kencang menuju ke timur laut.
Giok-liong sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk
mengembangkan ilmu ringan tubuh leng hun-toh ini, maka
badannya seperti berubah segulung jalur putih melesat
kencang dan meluncur gesit selulup timbul di hutan lebat dan
semak belukar. Tapi hati Giok-liong sedang gundah dan memutar otak
berpikir, sejak meninggalkan hutan kematian hampir satu
bulan sudah. Menurut pesan Wi hian ciang Liong Bun
diharuskan dalam jangka waktu setengah tahun dirinya harus
sudah dapat menemukan gurunya, menyatukan Ih lwe-su-cun
bersama seluruh kaum gagah persilatan untuk melawan
kekuatan terpendam dari Hutan Kematian.
Satu persoalan belum lagi dapat diatasi bersama pula, telah
muncul golongan Hiat-ing-bun di Kangouw, Selama hampir
satu bulan ini apa yang telah dialami sungguh sangat banyak
dan ruwet sekali. Istana beracun sudah ietaBS-tv":ausaii
muncul kembali dengan taasNj terornya yang ganas meruntuh
totalkan pihak Go bi-pan. Serta Hian-bing-mo-kek yang serba
misterius ini, ini cukup mengejutkan dan menguatirkan sekali.
Kalau dihitung secara total, kecuali Hiat-hong dan Kim-i dua
organisasi jahat yang malang melintang di Kangouw tak
terhitung didalamnya. Hutan kematian, istana beracun, Hiat -
ing - bun, Hian-bing-mo-kek serta aliran Ctrm merupakan lima
golongan dan aliran yang hebat dan berkekuatan besar pula.
Kelima aliran jahat ini masing-masing tentu mempunyai
kaki tangannya yang hebat dan lihay dengan berbagai ajaran
silatnya yang tersendiri dan aneh. Satu saja dari kelima golongan ganas ini cukup untuk
menyapu dan memberantas golongan lurus kaum persilatan.
Jikalau delapan besar aliran silat lurus serta para orang
gagah dan satria jantan tidak bisa bersatu padu, bekerja sama
untuk membendung bencana yang bakal timbul ini, maka
dunia persilatan didataran tengah ini sulitlah untuk angkat
kepala atau hidup aman dan sentosa."
Karena pikirannya ini, seketika Giok-liong terbayang adegan
pembunuhan total dipuncak Go bi-san tempo hari, tanpa
merasa ia menjadi merinding dan ngeri, diam-diam ia ambil
ketetapan dalam benaknya: "Istana beracun sudah mulai
mengulurkan cakar jahatnya, aku harus segera menuju ke Butong-
san untuk mencegah terulangnya kejadian bencana
darah." Ya, memang letak Bu-tong adalah yang paling dekat
dengan Go bi-san. Maka dapatlah dipastikan sasaran kedua
akan teror yang bakal dilaksanakan oleh pihak istana beracun
pasti adalah Bu-tong pay! Maka tanpa ayal lagi kakinya
semakin cepat bergerak terus melesat dengan kencang,
membelok arah menuju ketimur laut. Sehari-harian ia berlari kencang tanpa merasa sampai hari
telah menjelang magrib Lwekang latihan Giok-liong boleh
dikata sudah mencapai puncak kesempurnaannya, meskipun
hari sudah mulai gelap matanya masih dapat melihat tegas
dan jelas, pada saat mana ia sudah mulai memasuki daerah
pegunungan Bu-san pada puncak kedua belas.
Suara burung gagak ramai dan ribut kembali kcdalam
sarangnya, matahari memancarkan sinar kuningnya sebelum
sembunyi kedalam peraduannya, setelah menembus sebuah
hutan lebat Giok-liong tiba disebuah dataran rumput yang luas
dan menghilang jelas terlihat didepan sana terbentang sebuah
aliran sungai kecil, dengan aliran airnya yang bening
gemericik, sungguh indah pemandangan panorama menjelang
malam ini. Setelah menempuh perjalanan jauh selama satu hari Giokliong
merasa letih juga, sampai dipinggir sungai ia duduk serta
menggayung air, dengan telapak tangannya untuk membasuh
mukanya yang kotor penuh debu, seluruh badan seketika
serasa nyaman dan silir sehingga semangatnya pulih kembali
bergegas ia berdiri dan menggeliat dan memandang
kesekitarnya. Dilihatnya setelah melampaui padang rumput ini didepan
sana terdapat sebuah hutan lebat pula, di belakang hutan ini
adalah sebuah puncak gunung yang menembus awan
sambung menyambung memanjang tak kelihatan ujung
pangkalnya. Menurut perhitungannya dengan kecepatan larinya ini,
mungkin tengah malam nanti ia sudah dapat tiba di Sam-cingkoan
di Bu-tong-san. Begitulah setelah beristirahat sekedarnya, ia bergerak lagi
dengan pesat berlari kencang didataran padang rumput ini
terus menyelinap memasuki hutan lebat langsung menuju
kearah letak Bu-tong-san. Tidak lama setelah Giok liong melewati hutan lebat ini,
dipinggir sungai sana terdengar kesiur angin dari lambaian
pakaian orang, ternyata disana sini sudah berdiri jajar empat
Hwesio pertengahan umur yang mengenakan jubah abu-abu
disebe!ah samping lagi berdiri dua orang Tosu yang bersikap
agung dan suci. Salah seorang Hwesio yang terdepan menjengek kasar
"Hm, betul juga dugaan ketua kita, kiranya tidak sia-sia kita
menunggunya didalam hutan ini! iblis laknat ini terang sedang
menuju ke Bu-tong-san." Lalu ia ayunkan tangan menyambitkan selarik sinar putih
perak berbunyi nyaring menembus angkasa, dibawah
pancaran sinar matahari kuning sungguh sangat menyolok dan
terang sekali. Salah satu dari kedua Tosu yang berdiri disamping itu
mengekeh dingin, katanya: "Bocah keparat itu sekali ini pasti
takkan dapat lolos, Hehehe, disorga ada jalan dia tak wau
pergi, neraka tertutup sebaliknya ia datang menerjang, Butong-
san agaknya bakal menjadi tempat kuburnya!"
Seorang Tosu yang lain mengerutkan alis, ujarnya: "Aneh
benar kulihat Ma Giok liong ini bukan ini bukan seorang tokoh
kejam yang bertangan gapah dan berhati kejam. Kenapa
lengannya itu berlepotan darah. . ."
Segera seorang Hwesio menyelak bicara: "To heng menilai
seseorang jangan dari raut mukanya, demikian juga mengukur
dalamnya laut jangan dari permukaan airnya "Apa kau bisa
menduga kalau bocah keparat itu memiliki kepandaian silat
yang sehebat itu" Kalau hari ini tidak melihatnya sendiri
sungguh aku tak percaya." "Hahahaha, apapun yang bakal terjadi terang tindak
tanduknya sudah masuk kedalam perhitungan kita! Mari
jangan berayal, kita kuntit dirinya!"
Mereka saling pandang sambil tersenyum puas terus
berloncatan dan berlari enteng seperti awan mengembang dan
air mengalir langsung menembus kedalam hutan.
Baru saja bayangan mereka lenyap, dari atas pohon besar
yang terdekat dipinggir sungai itu tiba tiba terdengar jengekan
tertawa dingin orang, sedikit daun bergerak lantas
berkelebatan bayangan scsok abu-abu melambung tinggi terus
terbang pesat menyelinap kedalam hutan lebat di depan sana.
Suasana di padang rumput kembali menjadi sunyi, namun
kadang kadang terdengar kesiur anngin dari lambaian baju
orang yang tengah berlari kencang. Tiba tiba berkelebat dua sosok langsing semampai, tahutahu
dipinggir sungai itu telah berdiri dua gadis ayu jelita yang
mengenakan mantel kuning serta baju putih.
Gadis sebelah kiri agaknya lebih tua dan matang dalam
pengalaman, alisnya berkerut dalam, ujarnya lirih: "Si moay,
Kaucu menduga dia pasti lewat daerah sini, kiranya tepat
sekali ! Tapi situasi sekarang semakin gawat, bagaimana kita
harus cepat bekerja supaya berita ini dapat segera sampai
pada Kaucu?" Adik keempat disebelah kiri itu berseri tawa, biji matanya
yang bundar hitam mengerling lalu sahutnya: "Begini saja
Samci, pergilah kau melapor kepada Kaucu, biar adikmu
membuntuti dia!" "Begitu juga baik, segera aku pulang meIapor!"
"Ingat, kau harus lekas pergi cepat kembali, urusan kali ini
bukan persoalan sepele." "Baiklah kita jumpa lagi nanti!" serentak mereka bergerak
berpencar kedua jurusan sebentar saja bayangan mereka
sudah berkelebat menghilang. Keadaan pinggir sungai kembali
hening lelap. Sekarang marilah kita ikut perjalanan Giok-liong bagai
angin lalu seperti burung terbang saja ia menembus hutan
yang lebat ini, jurang dilompati lembah diselusuri seenak
berlari di dataran lapang, begitulah menyelusuri pegunungan
Bu-san ia terus menuju ke utara menempuh ke arah Bu-tongpay.
Kepandaian silatnya boleh dikata sudah dibekali Lwekang
ratusan tahun lamanya, maka begitu ia mengembangkan ilmu
ringan tubuhnya sekuat tenaga maka perbawanya sungguh
sangat hebat. Tepat tengah malam, sang putri malam memancarkan
sinarnya yang cemerlang menerangi jagat raya, dari kejauhan
Bu-tong sudah kelihatan seperti raksasa yang tengah
berjongkok di bumi yang luas diliputi kegelapan.
Sepanjang jalan ini didapati oleh Giok-liong sudah beberapa
kelompok kaum persilatan yang kosen dan lihay tengah
menguntit dan mengawasi gerak geriknya. Tapi dia tidak ambil
peduli. Sebab dia tahu, bahwa dirinya sudah menjadi tokoh
yang menggemparkan dunia persilatan. Maka dalam situasi
yang genting dan banyak tokoh-tokoh silat yang
mengasingkan diri saling bermunculan ini, tidaklah
mengherankan kalau dirinya semakin menarik perhatian dan
pengejaran mereka. Tatkala ia sudah melampaui Bu san dan mulai menginjak
daerah Bu-tong-san dengan pegunungan yang lebat
memanjang itu. Mendadak ia melihat dilamping gunung
dikejauhan sana ada dua puluhan bayangan orang tengah
melayang dan berkelebat menghilang.
Betapa tajam pandangan Giok-liong sekarang, sekilas
pandang saja sudah cukup mengejutkan hatinya. Karena
kedua puluh bayangan manusia itu masing masing kepalanya
berambut-panjang dan terurai melambai. Dilihat gelagatnya
naga naganya pihak Hian-bing-mo-kek juga sudah ikut
bergerak didaerah pegunungan Bu tong-san ini. Untuk apakah
kedatangan mereka" Apakah mereka sudah akan mulai
dengan pergerakan" Begitulah sambil berpikir ia meogempos semangat dan
mengerahkan tenaga, kini badannya melenting semakin pesat
menuju kepuncak Bu-tong-san. Belum lama ia menempuh perjalanan, tiba-tiba terdengar
kumandang tembang mantra dari belakang sebuah batu besar
di pinggir jalan. segera Giok liong menyilangkan kaki
badannya terus berhenti bergerak dan berdiri tegak diatas
tanah. Dari belakang batu cadas besar berjalan keluar sebarisan
pendeta gundul mengenakan seragam ungu. Seorang yang
memimpin didepan alisnya tampak gombyok memutih
menjulai turun, air mukanya bersemu merah seperti muka
bayi, sepasang matanya sedikit dipejamkan gerak geriknya
sangat lamban dan agung sebagai pembawaan seorang suci.
Yang mengekor di belakangnya terdiri dua baris, kanan kiri
masing-masing enam orang, semuanya berjumlah dua belas,
rata rata sudah mencapai pertengahan umur, dengan
pandangan mata berkilat tajam. Sekali pandang saja lantas dapatlah diketahui bahwa kedua
belas pendeta ini memiliki kepandaian silat yang cukup
tinggi. Iringan para pendeta ini maju terus sampai didepan
Giok liong sejauh lima tombak baru menghentikan langkahnya.
Pendeta pemimpin yang lebih tua itu masih beranjak maju
dengan langkah lamban dan kalem sampai empat tindak di
hadapan Giok-hong baru berhenti. Sepasang matanya yang
merem melek itu dengan seksama tengah mengamati Giok
liong. Melihat sikap pendeta tua yaag agung serta penuh hidmat
ini, tahu Giok-liong bahwa orang dihadapannya ini pasti tokoh
bukan sembarangan tokoh, sedikit soja ia berseru lantang:
"Toasuhu merintang jslan, entah ada petunjuk apakah?"
Pendeta tua angkat sebelah tangannya di-depan dada
sambil bersabda Budha, lalu ia bertanya dengan suara rendah:
"Apakah Siau-si-cu ini adalah Kim-pit-jan hun Ma Giok liong
yang baru-baru ini menggemparkan Bu lim?"
Alis Giok liong rada berjengkit, sahutnya sambil merangkap
tangan: "Aku yang rendah memang Ma Giok-liong adanya,
Harap tanya siapakah nama julukan Taysu ini serta dari aliran
atau seaiaysjaa dikuil yang mana ?"
Sebentar sepasang mata pendeta tua memancarkan kilat
tajam lantas menghilang, sahutnya tertekan: "Loceng Hiankhong,


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hong-tiang, Siau lim-si beserta dua belas muridku,
sudah lama kita menunggu kedatangan tuan disini."
Terkejut Giok-liong dibuatnya, pikirnya: "sungguh tak
nyana Hong tiang Siao-lim-si Hian-khong Taysu pimpin para
muridnya ikut campur dalam urusan ini. Apa mungkin
kedatangan mereka disini melulu hendak menghadapi aku ?"
Ternyata ketua Siau-lim-si Hian-khong Taysu ini sudah
puluhan tahun lamanya mengasingkan diri, sekian tahun
lamanya tidak ikut campur mengurus perkara duniawi, Begitu
hebat kepandaiannya menurut kabarnya sudah sempurna
betul, tapi selama ini belum pernah dengar ada orang pernah
menjajal ilmu silatnya itu. Otaknya berpikir, namun lahirnya Giok liong tetap berlaku
tenang, sikapnya ini sungguh sulit untuk dijajaki, katanya
sambil tersenyum: "O ini . . . aku yang rendah sungguh tidak
berani terima sampai sampai ketua Siaulim-si serta para Taysu
menunggu aku disini, Hian-khong Lo cianpwe apakah ada
urusan harap suka memberi petunjuk!"
Sekali lagi Hian-khong bersabda Budha, baru berkata lirih:
"Kedatangan pendeta tua ini tak lain bukan hanya untuk
menolong bencana pembunuhan yang berkenaan di Bu-lim."
"Oh." ujar Giok-Hong. "Menghindarkan bencana
pembunuhan besar yang berkancah di Bulim ini, adakah
sangkut pautnya dengan diriku ?"
"Kulihat Siau-si cu bermuka cakap bersinar terang, kalau
dugaan Loceng tidak salah pasti kepandaian silatmu tidak
sudah dibawah gurumu Pang cian-pwe bukan ?"
Giok liong unjuk senyum lagi, ujarnya: "Cian-pwe terlalu
memuji, aku yang rendah sungguh tak berani menerima
pujian ini." "Kalau Siausicu mempunyai dendam sakit hati dengan
delapan aliran besar lurus Loceng ingin benar mendengar
penjelasan serta seluk beluknya. Mungkin aku bisa jadi
penengah untuk melerai pertikaian, demi Siau-sicu sendiri juga
bagi kaum persilatan umumnya."
Mendadak Giok-liong mendongak bergelak tertawa, nada
gelak tawanya kumandang meninggi seperti gerungan naga
dan aum singa, bergema lama dan menembus ketengah
awan. Setelah menghentikan tawanya, mendadak ia berseru
lantang "Para kawan sudah jauh berdatangan kemari,
sungguh aku yang rendah merasa sangat beruntung
mendapat kehormatan begini besar. Mengapa bermain
sembunyi kepala mengerutkan ekor seperti bangsa panca
longok ?" Kelihatan Hian-khong Taysu sedikit mengerutkan alis,
hatinya membatin: "Baru saja aku mendengar kesiur angin.
Dia lantas bisa mengetahui . . . "
Benar juga dari belakang batu besar sebelah samping sana
lantas kumandang tawa terkekeh yang menusuk telinga,
beruntun melompat keluar tiga orang enam puluhan tahun,
rambut dan jenggot mereka sudah beruban semua.
Jilid 13 Seorang tua yang terdepan berseru keras sambil tertawa
lebar: "Ma Giok-Iiong kiranya memang tidak bernama kosong,
Aku Ka Liang-kiam benar-benar tunduk akan kelebihanmu ini."
Habis berkata berbareng mereka lantas unjuk hormat
kearah Hian-khong Taysu serunya: "Kita bertiga saudara
setindak rada lambat, harap Taysu suka memberi maaf !"
Hian-khong membalas hormat sambil merangkap sebuah
tangan didepan dada sahutnya: "Thian-san-sam-kiam mau
turun gunung sendiri, benar-benar merupakan keberuntungan
Bulim." Tengah mereka berbasa basi ini, dari hutan sana berjalan
keluar pula seorang Tosu tinggi kurus, punggungnya
memanggil sebatang pedang panjang enam kaki, raut muka
rada pucat, kedua matanya sipit sembari jalan menghampiri ia
menyelak dingin: "Hehehehe, ternyata kalian sudah datang
lebih dulu !" Begitu melihat Tosu tua ini, Hian-khong serta Tian sansam-
kiarn seketika tercengang segera mereka buru-buru
unjuk hormat sambit tertawa: "Tak nyana Ji-ngo Lo cian-pwe
tidak menikmati hidup ma di Ciong-lam ini betul betul
merupakan rejeki besar bagi kaum persilatan."
Tatkala itu dari empat penjuru beruntun berdatangan
banyak macam dan ragam tokob-tokoh silat, ada Hwesio ada
Tosu serta banyak pula orang-orang preman, sedikitnya ada
puluhan orang jumlahnya. Serta merta Giok-liong menjadi
terkurung ditengah gelanggang. BegituIah setelah semua hadirin saling sapa sekadarnya,
pandangan semua hadirin lantas terpusatkan pada diri Giok
liong, Suasana menjadi sunyi dan tegang melingkupi benak
seluruh hadirin. Begiulah setelah semua hadirin saling sapa sekedarnya,
banyak orang meloncat tinggi di belakang Giok-liong. Dimana
mereka berbareng mengayun tangan, digabung sinar
berkeredepan dari pancaran jarum berbisa warna biru
meluncar kearah pinggang Giok liong. Bukan sampai disitu
saja serangan ganas ini, bersama itu tiga gulung angin
pukulan juga sekaligus menerpa tiba.
Giok-liong berdiri tenang seperti tidak tahu bahwa dirinya
terancam bahaya, ujung mulutnya menyungging senyum ejek
yang samar-samar tak dapat dilihat orang lain.
Adalah Ciong-lam-koay-to (Tosu aneh dari Ciong-lam-san)
Ji-ngo mendelikkan sepasang biji matanya yang membara,
sambil mendengus hina ia menggumam: "Dihadapan aku
orang tua juga berani bermain pola !" lengan bajunya yang
panjang gondrong pelan pelan dikebutkan, segulung angin
segera menerjang keluar tanpa mengeluarkan suara.
Giok-liong sedikit manggut kearahnya serta katanya:
"Terima kasih akan kebaikan Cian-pwe!"
Seenaknya saja sebelah tangannya mengulap sedepan,
ditengah gelanggang lantas terdengar pekik kesakitan yang
tertahan ketiga bayangan orang yang bergerak membokong
mendadak jungkir baiik terpental balik tergulung didalam
jarum jarum beracun yang disambitkan tadi, seketika terjadi
hujan darah dan mereka terbanting sejauh beberapa tombak
sebelum terbanting ditanah jiwanya sudah melayang.
Sementara itu Ji-ngo merasa seakan-akan suatu tenaga
lunak yang tidak kentara membendung tenaga kebasan lengan
bajunya itu sehingga badannya sedikit tergeliat.
Kejadiao yang mendadak ini menimbulkan kegemparan
diluar gelaaggang, banyak orang memaki dan berteriak
"Dimana keadilan dunia persilatan, bocah keparat ini sekali
turun tangan lantas melukai orang . . ."
"Kinilah saatnya kita tumpas kejahatan dan ringkus iblis
laknak ini . . ." "Sungguh kejam dan telengas betul cara turun tangan
bocah keparat ini . . . " "Maknya, sekali turun tangan mencabut jiwa orang,
emangnya jiwa manusia tidak berharga, permainan apa ini . .
." Bayangan orang berkelebatan tujuh delapan orang sudah
melompat memasuki gelanggang di sebelah sana banyak para
Tosu yang berangasan sudah mencabut pedang serta
menghardik galak: "Kita harus tuntut balas bagi Go-bi-pay,
berabtas sampah persilatan, sekarang sudah tiba saatnya."
Semakin banyak orang berdatangan mengepung diluar
gelanggang, mungkin jumlahnya tidak kurang dari seratus
orang. Ketua Siaulim si Hian-khong Tajsu malah pejamkan mata
dan tunduk kepala, mulutnya bersabda Budba, Demikian juga
Thian-san-sam-kiam berdiri diam saja.
Sekonyong konyong gema tawa dingin yang merindingkan
pendengaran berkumandang diantara keributan itu, Ringan
sekali Ji-ngo si Tosu aneh dari Clong-lam malah berdiri sejajar
dengan Giok-liong, serunya dingin: "Ketiga kurcaci ini
membokong dari belakang. Dengan cara kematiannya ini
cukup setimpal dengan perbuatan mereka ini sudah boleh
dikata cukup bijaksana! Kalian semua coba siapa yang tidak
terima, mari hadapi Lohu." Memang ketenaran dan kebesaran nama si Tosu aneh dari
Ciong-lam pay ini bukan kosong belaka, seketika seluruh
hadirin terbungkam mulutnya. Giok-liong tersenyum ewa kearah Ji-ngo ujarnya: "Teriina
kasih akan bantuan cianpwe. . ."
Ciang-lam-koay to Ji-ngo menjengek dingin: "Aku bekerja
menurut gelagat sekarang, setelah urusan ini selesai,
perhitungan lainnya harus diselesaikan secara lain."
Baru selesai ia bicara, meluncurlah dua bayangan abu-abu
kedalam gelanggang tahu-tahu dua orang tua dengan jenggot
panjang menjulai didepan dada menggunakan baju abu abu
mendarat dihadapan Ciong-lam-koay-to, serunya: "Selamat
bertemu! selamat bertemu!" Air muka Ciong-lam-koay to membeku dingin dengusnya:
"Untuk apa kalian kemari?"
Diluar terdengar suara bisik bisik: "Cihu ji-lo juga datang,
mungkin Ci hu-sin-kun sudah tidak jauh dari sini."
"Biarkan saja, coba lihat Ji-ngo si tua bangka itu cara
bagaimana hendak menghadapi mereka."
Salah seorang dari Ci-hu-ji-lo yang berdiri disebelah kanan
air mukanya mengunjuk warna abu-abu, segera ia merubah
sikap lalu berkata menyeringai: "Ma Giok-liong adalah orang
yang sudah di tunjuk untuk diringkus pulang oleh Sin kun, kita
berdua menerima perintah beliau untuk menyambutnya
pulang!" Tepat pada saat itulah muncul sesosok bayangan hijau
pupus, laksana dedemit hinggap ditengah gelanggang,
suasana seketika menjadi seram diliputi kengerian, sebuah
suara yang mengalun lemah merdu berkata: "Apakah obrolan
Sin-kun saja lantas menjadi perintah kerai?"
Keruan semua hadirin menjadi kaget, beramai mereka
berpaling kearah datangnya suara. Kiranya bayangan hijau
pupus ini adalah seorang pertengahan umur berwajah pucat
pias, tubuhnya kurus semampai kelihatan sangat lemah. Dari
bentuk tubuhnya yang tinggi semampai raut mukanya yang
lonjong indah serta bibirnya yang tak berdarah itu, dapatlah
diperkirakan semasa mudanya pasti perempuan ini adalah
seorang wanita cantik yang menggemparkan jagat.
Begitu orang ini muncul seluruh gelanggang menjadi ribut
bisik-bisik dan seruan tertekan "Bik-lian-hoa. . ."
"Bu-lim-su-bi kiranya masih hidup . . ." samar-samar Giokliong
mendengar bahwa perempuan pertengahan yang baru
datang ini ternyata adalah Bik-liam-taoan salah satu dari Bu -
lim - su - bi serta merta darinhati kecilnya timbul rasa dekat
dan bersahabat Berulang kali ia melirik memandang dengar
seksama. Apa yang dilihatnya menjadikan hati Gi-ok-liong merasa
terkesiap dan kasihan.. Meski sudah pertengahan umur namun
wajah Bik-lian-hoa masih kelihatan halus cantik kedua biji
matanya yang hitam sebaliknya meoiankan rasa duka dan
pedih sedalam lautan. "Oh, Tuhan! Sangguh kasihan benar perempuan tercantik
di jagat ini harus hidup merana sebatang kara."
Kebetulaa saat mana Bik-lian-hoa juga tengah memandang
kearahnya, begitu pandangan kedua belah pihak saling
bentrok, sorot mata Bik-Iian-hoa mendadak memancarkan
sinar aneh yang sangat ganjil, tapi itu terjadi dalam kilasan
yang pendek sekali. Begitu melihat kehadiran Bik-lian-hoa, wajah tua Ciong lamkoay-
to yang bersitegang leher tadi lantas pelan-pelan pulih
kembali mengunjuk senyum girang, sambil soja ia berkata
seperti tidak tertawa. "Nona Li apakah baik-baik saja sekian
tahun ini?" Bik-lian hoa tertawa lemah, ujarnya perlahan: "Terima
kasih akan perhatianmu, baik-baik saja."
Adalah Ci-hu ji-lo lah yang merasa disepelekan, air muka
mereka bersemu abu-abu, agaknya mereka tengah menahan
gusar dan mengerahkan tenaga, terdengar yang disebelah kiri
berkata dengan nada berat: "Jadi nona Li sengaja hendak
menghina Sin-kun?" Kebetulan Thian-san-sam-kiam juga tengah maju
menghampiri dan unjuk hormat kepada Bik-lian-hoa, seru
mereka: "Apa kabar Li-cian-pwe?"
Hakikatnya Bik-Iian-hoa seperti tak hiraukan ucapan Ci-hu
ji-lo, katanya kepada Thian-san-sam-kiam: "Apakah kalian
juga baik?" "Kita sehat walafiat berkat lindungan Tuhan, selama ini
mengasingkan diri di Thian-san."
Sementara itu ketua Siau lim-si Hian-khong Taysu juga
membungkuk tubuh mengunjuk hormat dari kejauhan, Bik lian
hoa menyambut dengan menganggukkan kepala.
Keruan Ci-hu ji-lo menjadi berjingkrak gusar seperti
kebakaran jenggot. Tapi mereka tahu bahwa Bu-lim su-bi
bukan musuh sembarang musuh yang gampang diganggu
usik. Maka sedapat mungkin mereka berlaku sabar, tanyanya
dengan suara lirih: "Lalu cara bagaimana penyelesaiannya
menurut pendapat nona Li?". Sekilas Bik-lian-hoa melirik hina kearah mereka, lalu
semprotnya dingin: "Apa kalian ada harga ikut-ikutan
memanggilku dengan sebutan nona Li apa segala" "Lalu ia
melangkah menghampiri kearah Giok liong, katanya lemah
lembut: "Nak marilah ikut aku."
Giok liong menjadi tertegun, pikirnya: "Kenapa dia minta
aku ikut dia?" Demikian ia berpikir sehingga susah ambil
kepastian. Sekonyong-konyong terdengar galaknya menggila yang
riuh rendah menusuk telinga semua hadirin bagai geledek
menggelegar sampai bumi terasa bergetar kuping juga seperti
ditusuk-tusuk. Dimana bayangan merah berkelebat beruntun muncul
empat orang kata berkepala besar bermuka gepeng
mengenakan jubah panjang warna merah.
Sungguh lucu bentuk keempat orang cebol ini, rambut
kepalanya awut-awutan kaku seperti bulu landak, raut
mukanya merah darah, mata merekapun memancarkan kilat
merah yang tajam membuat orang tak kuat beradu
pandangan dengan mereka. Kepalanya terlalu besar, raut
wajahnya juga gepeng sungguh lucu jelek dan jenaka sekali.
Segera terdengar ada orang yang berteriak kejut: "Hiat-ing


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

su-ai..." Begitu Hiat-ing-su ai (empat cebol dari Hiat-ing-bun)
muncul lantas gelak tawa mereka berhenti, secepat itu mereka
sudah mendarat tiba di hadapan Giok-liong, mereka memutar
tubuh menyapu pandang ke seluruh gelanggang lalu berteriak
tertawa: "Bagus, kiranya nona Li yang pegang peranan
digelanggang sini!" Hadirin semakin tegang dan was-was. Harus diketahui
bahwa kedudukan Hiat ing-bun bagi kaum persilatan masih
setingkat lebih atas dari aliran Ci-hu, justru Hiat-ing-su-ai ini
merupakan tokoh terpenting didalam Hiat ing bun mereka,
jarang dan sulit sekali keempat orang cebol ini pernah unjuk
diri karena kedudukannya yang tinggi, kecuali mereka turun
tangan maka apa yang dituju pasti berhasil dan itu merupakan
urusan besar. Lain lagi dengan pihak Ci hu-ji-lo meskipun ilmu silat
mereka sangat tinggi, hakikatnya mereka bukan merupakan
tokoh penting dalam golongannya, kedudukan mereka juga
tidak begitu tinggi, maka meskipun semua orang tidak berani
memandang rendah pada rnereka, tapi juga tidak berlebihan
seperti sikap mereka terhadap Hiat-ing su ai.
Terdengar Bik lian-hoa tertawa sinis: "Urusan disini tiada
tempat bagi kalian untuk ikut campur !"
"Belum tentu !" sebuah suara serak dan berat mendadak
menyelak diluar gelanggang sana, serta merta semua orang
berpaling ke arah datangnya suara. Sebuah bayangan abu-abu meluncur tiba terus hinggap
didepan Ci-hu ji-Io. orang ini bertubuh kekar dan gagah,
bermuka ungu dengan jenggotnya yang menjiwai panjang
sungguh garang dan angker sekali sikapnya, ia mengenakan
jubah panjang warna ungu terbuat dari sutra mahal serba
perlente. Sekali lagi suasana gelanggang menjadi sunyi begitu orang
ini muncu. Dia bukan lain adalah Ci-hu sin-kun Kiong Ki, salah
satu tokoh silat yang tenar, selama ratusan tahun namanya
tak pernah luntur, tindak tanduknya serba misterius.
Tanpa bersuara Ci-hu-jilo membungkuk tubuh terus
mundur ke belakangnya. Sikap raut muka Hiat-in su-ai sekarang kelihaian mulai rada
kikuk dan kurang wajar. Demikian juga Ciong-lam-koay-to Ji-ngo yang berdiri
disamping Giok-liong mengerutkan kening, katanya kepada
Giok-liong: "Buyung, cara bagaimana kau mengganggu usik
gembong gembong aneh sebanyak ini."
Giok liong menjawab dengan sombongnya: "Kalau Cianpwe
takut urusan, boleh silakan mundur saja sebagai
penonton." Ciong-lamnkoay-to menjengek dingin, katanya: "Selamanya
Lohu belum pernah takut kepada siapapun . . . ."
Sementara itu, Ci-hu-sin-kun sudah maju beberapa langkah
sedikit membungkuk hormat kearah Bik-Iian hoa serta
katanya: "Naga-naganya nona Li sengaja hendak memikul
seluruh persoalan ini ke atas pundakmu sendiri, bukankah
begitu?" Bik-lian-hoan juga balas sedikit menekuk lutut, sahutnya:
"Ternyata semakin tua Sin-kun semakin sehat dan
bersemangat!" "Mana, mana, berkat pujian melulu."
"Tapi semakin tua juga semakin ceroboh."
Ci-hu-sin kun menarik muka dingin, seringainya: "Nona Li
kalau bicara sukalah memberi muka."
Bik lian-hoa juga tertawa dingin: "Secara langsung Sin-kun
menunjuk anak ini, entah untuk keperluan apakah?"
Ci-hu sin-kun mengakak tawa, kedua biji matanya
membelalak besar berkilat serunya lantang: "Urusan sudah
sampai begitu jauh, aku juga tidak perlu main pat gulipat.
Tujuan Lohu adalah seruling sambar nyawa yang digembol
oleh bocah ingusan itu." Waktu mengucapkan kata-katanya ini sengaja ia bikin
nadanya menjadi tinggi dan keras memamerkan Lwekangnya,
jadi hakikatnya kata-katanya ini bukan melulu ditujukan
kepada Bik-lian-hoa seorang ini merupakan peringatan dan
tantangan bagi seluruh kaum persilatan yang hadir.
Betul juga seluruh hadirin menjadi gempar. Satu sama
lainnsaling pandang tapi tiada seorang pun yang berani tampil
kedepan menandingi urusan ini, Sebab semua orang tahu,
bagi siapa saja yang mengajukan diri pasti seluruh perhatian
orang tertuju pada dirinya, Coba pikirkan siapa, yang kuat
bertahan menghadapi sekian banyak orang.
Bik-lian hoa terkekeh-kekeh geli, begitu geli sampai ia
meliukkan pinggang menekan perut. Hawa ungu berkelebat lagi dimuka Ci-hu-sin-kun, hardiknya
bengis: "Apa yang kau tertawakan?"
Bik lian hoa menjebir bibir, katanya serba kalem: "Harap
tanya Sin-kun, apakah seruling samber nyawa sudah
ditakdirkan menjadi milikmu seorang?"
Ci-hu-sin-kun terhenyak terkancing mulutnya.
Terdengar Bik-lian-hoa menyambung lagi: "Seruliag samber
nyawa adalah benda pusaka kaum persilatan, siapa yang tidak
ingin memiliki, kukwatir bukan kau saja yang mengincar."
dalam berkata-kata ini sengaja atau tidak sepasang matanya
yang hitam besar dan jeli menggiurkan itu menyapu pandang
keseluruh hadirin yang berjumlah ratusan orang itu.
Sebaliknya Ci-hu sin-kun menantang dengan takabur:
"Siapa yang ingin mengincarnya, silakan keluar menghadapi
aku bermain silat." sungguh sombong dan takabur sekali,
hakikatnya ia tidak pandang sebelah mata seluruh kaum
persilatan yang hadir. Tapi kedudukan Ci-hu-sin-kun yang tinggi serta kepandaian
silatnya yang lihay, kiranya cukup membuat keder seluruh
gembong-gembong silat dari aliran putih dan hitam, mereka
gusar dalam hati, sedikitpun tidak berani unjuk kegarangan
dilahiriah, berbisik-bisik tanpa berani banyak tingkah.
Sebaliknya Bik-lian-hoa mempunyai perhitungannya sendiri,
suara tawanya merdu menggiurkan, katanya memancing.
"Ucapan Sin-kun ini apa tidak keterlaluan . ." sengaja ia tarik
panjang suaranya sehingga ucapan selanjutnya dihentikan.
Ci-hu sin kun menjadi berjingkrak gusar semprotnya gusar:
"Apa " Takabur " Atau kurang sembabat ?"
Cepat Bik-lian hoa menyahut: "Bukan!, bukan takabur,
kalau mengandal nama Cihu dari Sin-kun, Lwekang serta
kepandaian silat, meskipun diantara hadirin ada yang kuat
bertahan bergerak sampai tiga ratusan jurus melawan Sinkun,
tapi toh takkan mendapat keuntungan yang diharapkan
Apa boleh buat . . . " lagi lagi ia sengaja jual mahal akan katakatanya
memancing kemarahan Ci-hu-sin-kun. Betul juga Ci-hu sin-kun menjadi tidak sabaran, selaknya:
"Apa boleh buat gimana?" Bik-lian hoa meninggikan suaranya: "Apa boleh buat karena
siapapun yang hadir disini mempunyai hak mendapat
bagiannya, Kau sendiri terlalu tamak hendak mengangkangi
sendiri apa kau tidak takut orang orang ini bergerak maju
mengeroyokmu ?" Lagi-lagi seluruh hadirin menjadi geger oleh ucapan
propokasi dari Bik-lian hoa ini. Ci hu-sin kun sendiri juga menjadi ter-longong-longong.
Betapa juga ia harus waspada dan memperhitungkan rugi
untungnya sebelum bertindak. Agaknya propokasi Bik lian-hoa mendapat hasiI, pertamatama
Hiat ing-su ai tampil kedepan, salah seorang diantaranya
segera berteriak sambil menggerakkan kepalanya yang besar
tercetus teriakannya : "Ucapan nona Li memang benar
siapapun jangan harap bisa mengangkangi seorang diri !"
Ciong-lam kay to Ji ngo mengerutkan kening, Sambil
meraba gagang pedangnya ia pun ikut bicara: "seruling
samber nyawa ini menyangkut suatu urusan besar dunia
persilatan. Tujuan sembilan partai besar bukan terletak pada
benda pusaka itu, Tapi keselamatan dan kesejahteraan hidup
kaum persilatan betapa juga harus dipikirkan." sembari
berkata matanya berkedip memberi syarat kearah Thian sansam-
kiam. Maka Thian-san-sam-kiam segera mengiakan bersama :
"Tepat sekali ucapan ini."
Selanjutnya Bik-lian hoa angkat bicara lagi: "Nah, kan
begitu, siapapun berhak memikirkan kepentingan bersama."
Begitulah percakapan yang bersifat menyindir dan nada
tajam ini membuat Ci-hu-sin-kun tambah gusar sampai
lidahnya terasa kaku tak bisa bicara, hawa ungu bertambah
tebal menyelubugi mukanya, desisnya berat: "Sudah jangan
cerewet tak karuan, Lohu sendiri sudah datang kemari
betapapun harus berhasil membawanya puIang."
Bik lian hoa tidak mau kalah wibawa, tanpa kelihatan ia
bergerak mendadak tubuhnya melayang tiba disamping Giokliong,
katanya lemah lembut: "Nak, mari kita pergi."
Tak terduga tiba-tiba Giok-liong mementang mulut
menggembor keras dan panjang, suaranya mengalun tinggi
bagai pekik naga nyaring dan menggetarkan sukma.
Sudah tentu perbawa gemboran Giok-liong ini sangat
mengejutkan semua hadirin. Siapa akan menduga pemuda
yang kelihatan lemah ini ternyata membekal latihan Lwekang
yang sudah sempurna dan tinggi. Mengandal suara
gemborannya ini saja cukup untuk menggetarkan nyali setiap
tokoh silat kelas satu. Ci hu-sin kun sendiri juga menjadi berang, hardiknya
bengis: "Buyung, gembar gembor mengeluarkan kentut busuk
apa kau?" Sikap Giok liong gagah sambil membusungkan dada
serunya lantang: "seruling satnber nyawa adalah benda
pusaka peninggalan perguruanku. Siapa yang bermaksud jelek
hendak merebut seruling ini, kecuali dapat merobohkan aku
dulu, Kalau tidak, hm." angker benar sikap garang Giok-Iiong
ini sambil berdiri bertolak pinggang dan bercagak kaki.
"Kunyuk sombong benar!" tiba-tiba bayangan abu-abu
berkelebat hawa berkabut ungu mengembang luas. Baru saja
suara Ci-hu-sin-kun lenyap tahu-tahu telapak tangannya
segede kipas sudah menyelonong tiba menekan dada Giokliong.
"Serangan bagus!" Giok-liong membentak gusar, tangan
kanan bergerak memapas, sedang, tangan kiri bergerak
melingkar menimbulkan mega putih membawa kekuatan hawa
dahsyat jurus Ciu-chiu cari salah satu jurus ilmu Samji ciu-huchiu
dilancarkan. Seketika terdengar ledakan gemuruh bagai gugur gunung.
sebelum seluruh penonton sempat mengedipkan mata kedua
orang sudah secepat kilat mengadu pukulan. Betapa cepat
adu pukulan ini sungguh luar biasa, hakikatnya lebih cepat
dari kilatan kilat. Terlihat wajah Ci-hu-sin-kun diselubungi hawa ungu, kulit
mukanya menjadi kaku membesi penuh kemarahan, suaranya
bernada berat: "Memang kepandaian Pang Giok tidak lemah,
tapi Lwekang Pang Giok belum tentu dapat kau pelajari
seluruhnya." Seluruh hadirin banyak adalah gembong dan tokoh-tokoh
silat kenamaan dan ahli dalam bidang ini, entah mereka dari
aliran hitam atau putih, rata-rata mereka tahu bahwa adu
pukulan tadi merupakan pelajaran besar ilmu silat tunggal
yang jarang punya tandingan di jaman ini, yaitu Ci-hu-sinkang
dan Sam-ji-hui-cun-chiu. Wajah Bik-lian-hoa berubah dingin, segera ia menerjang
maju sambil menarikan kedua tangannya, cukup kesiur
kebasan lengan bajunya saja dapat mengundurkan mereka
berdua. Jengeknya dingin: "Kiong Ki, seorang orang tua seperti kau
tidak malu menindas yang masih muda?"
"Ha. kan dia sendiri yang tidak tahu tingginya langittebalnya
bumi, berani kurang ajar terhadap orang tua."
"Terang gamblang aku melihat kau dulu yang turun
tangan." ucapan ini terang memihak dan mengeloni Giokliong,
sungguh Ci-nu-sin kun Kiong Ki menjadi penasaran.
Karuan air makanya semakin tebal diselubungi hawa ungu,
kedua biji matanya semakin mendelik besar. garangnya
murka: "Jadi kau sengaja hendak ikut campur dalam urusan
ini?" Acuh tak acuh Bik lian-hoa berkata: "Sudah puluhan tahun
aku tilak pernah bergebrak, Kalau Sin-kun ada minat tiada
halangan aku melayanimu tiga gebrak atau dua jurus."
Meskipun tidak menantang secara terang-terangan, namun
kata-kata halus dan dingin ini cukup menyebalkan dan
menjengkelkan bagi pihak Iawan. Ci-hu-sin-kun adalah Bing cu dari golongan hitam, sebagai
seorang yang berkedudukan tinggi mana rela menerima
ejekan yang merendahkan martabatnya ini, maka sambil
menggentakkan kedua lengannya ia berteriak: "Baik, marilah
akan kulayani setiap tantanganmu." belum lenyap suaranya
tiba-tiba kakinya melangkah setengah langkah, dimana kedua
telapak tangannya bergerak silang, samar-samar terlihat jalur
hawa ungu melesat serabutan, telapak tangan segede kipas
itu menari-nari lincah sekali ditengah kabut ungu.
Bik-lian-hoa mandah berseri riang, namun sepasang
matanya berkilat dingin, Sret, tiba-tiba ia kebaskan lengan
bajunya, seketika timbul sorot sinar hijau memancar sampai
delapan kaki, hawa dingin menembus keluar dari kebasan
lengan bajunya itu. Seketika lima tombak sekeliling gelanggang samar-samar
terdengar suara gemuruh seperti guntur menggelegar diseling
hawa dingin yang meresap kebadan masuk kedalam tulang
sungsum, tanpa merasa para hadirin terdekat menjadi
merinding dan bergidik kedinginan. Situasi menjadi tegang dan mencekam leher, kedua belah
pihak sudah siap siaga seperti busur yang tinggal melepas
anak panah, seluruh tokoh-tokoh silat menjadi tegang serius
dan kwatir, beramai-ramai mereka menyurut mundur sampai
lima tombak jauhnya, sehingga terluang arena bertempur
yang cukup lebar. Besar minat mereka menonton pertunjukan adu silat
tingkat tinggi yang jarang terjadi ini, sekonyong-konyong
bayangan putih melejit maju terdengar suara berseru: "Lician-
pwe, tunggu dulu!" Tahu-tahu Giok-liong sudah menghadang ditengah kedua
tokoh besar yang sudah berhadapan sambil membusung dada
ia berdiri dengan tersenyum simpul, katanya sambil
membungkuk badan kepada Bik - lian - hoa: "Yang dia tuju


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah aku, maka harap Li-cianpwe tak usah mencapekan diri"
Rasa gusar Ci hu-sin-kun semakin merayu eak, serunya
bergelak tawa: "Hehehe! Hahaha Bik-lian-hoa! Boeah ingusan
ini tidak mau terima budimu!" Bik-lian-hoa menatap Giok-liong tajam, katanya terhenyak:
"Kau. . ." Kata Giok-liong Iantang: "Yang dicari adalah aku, biarlah
aku bertanding dengan dia untuk menentukan siapa yang
lebih unggul, seorang laki laki berani berbuat berani
bertanggung jawab, aku tidak mau mengandal bantuan orang
lain." Jikalau Ci-hu-sin-kun betul-betul bertempur melawan Biklian
hoa, siapa bakal menang atau asor sulit ditentukan.
Ketahuilah bahwa Bu lim-su-bi adakah tokoh lihay yang sukar
dilayani, jangan sekali-kali diganggu usik.
Begitulah setelah menerawang situasi di hadapan ini,
secara licik ia berusaha mengambil keuntungan tanpa menanti
Bik lian-hoa sempat membuka mulut ia mendahului ber-kata:
"Baik, kita tentukan demikian, biar Lo-hu melawanmu satu
demi satu." Ma Giok-liong menyahut dengan gagah: "jikalau aku minta
orang membantu, hitunglah aku yang kalah."
"Demikian juga Lohu!" Ci-hu-sin-kun menyeringai licik, Lalu
ia mengulapkan tangan keaiah Ci-hu-ji-lo: "Kalian mundur dan
jangan sembarangan bergerak." Ci-hu-ji-lo mengiakan terus melompat mundur dua tombak
jauhnya menonton dari kejauhan. Nama Kim-pit-jan hun memang sudah tenar dan
menggetarkan Bulim, tapi yang betul betul pernah melihat
atau menjajal kepandaian Giok-liong sejati masih belum
banyak orang. Seluruh hadirin bersitegang leher menahan napas, suasana
menjadi sunyi seakan tiada insan hidup ditempat ini,
seumpama sebatang jarum jatuh juga dapat didengar dengan
jelas. Dalam pada itu Ci-hu-sin-kun sudah mulai mengerahkan
tenaga Lwekangnya serta menggeser tempat mencari
kedudukan yang menguntungkan. Ma Giok-liong menjura kearah Bik-lian-hoa tanpa bersuara,
terus melompat ke samping setelah sana berhadapan dengan
lawan sejauh setombak lebih, kabut putih mulai mengepul
bergulung seperti gumpalan bunga salju.
"Buyung, sambutlah pukulanku !"
"Silakan keluarkan kemampuanmu !"
Mega putih berkelompok menyelubungi pancaran sinar
putih perak, sebaliknya di sebelah sana bayangan kepelan
tangan berlapis-lapis, hawa ungu membumbung tinggi bagai
asap. Begitu kedua lawan melancarkan serangannya terdengarlah
ledakan gemuruh, batu pasir beterbangan menari-nari, hawa
sekitar gelanggang menjadi mengalir cepat menghembus
deras melambaikan baju para penonton diluar gelanggang.
Lambat laun sinar perak dan hawa ungu itu saling
bergulung dan menggubat menjadi satu, begitu cepat dan
tangkas sekali mereka bergerak sehingga bayangannya saja
sukar dibedakan mana Giok-liong dan yang mana pula Ci-husin-
kun. Yang jelas kelihatan banyalan hawa ungu kadang-kadang
mumbul tiba-tiba tenggelam naik turun bergantian, Demikian
juga kabut putih itu-saban-saban melambung luas dan
melayang ringan, sekonyong-konyong bergulung-gulung cepat
seperti dihembus angin badai mengelilingi pancaran linar
perak yang cemerlang. Diam diam Bik-lian hoa manggut-manggut. Demikian juga
para penonton lainnya merasa kagum dan memuji.
Mendadak terdengar suara gemboran keras diselingi jengek
tawa dingin, kedua bayangan musuh yang sedang berkutet itu
mendadak berpencar melompat mundur sejauh setombak.
Kedua biji mata Ci-hu-sin kun mendelik besar seperti
kelereng yang hendak mencelat keluar, air mukanya serius
dan membesi, lengannya digerak-gerakkan sambil mengusapngusap
telapak tangan, bergaya siap menubruk lagi.
Ma Giok-liong pentang kedua matanya yang memancarkan
sorot berkilat, wajahnya yang putih ganteng bersemu merah,
tenang sekali ia bergaya memasang kuda-kuda, sambil
menyiapkan kedua tangannya melintang di depan dada.
Melihat sikap Giok-liong ini Bik-lian-hoa menjadi kwatir,
omelnya dalam hati: "Bocah ini terlalu berani, bagaimana kuat
dia berani mengadu Lwekang dengan Ci-hu-sin-kun." namun
ia tidak berani bersuara memperingatkan, takut mengganggu
konsentrasi Giok-liong. "Omitohud !" Siau lim Ciang-bun Hian-khong Taysu
bersabda Budha dengan nada rendah. Hakikatnya siapapun tiada yang berani mengorbankan
jiwanya untuk menempuh bahaya menolong situasi yang
gawat ini, sebenarnya memang tiada seorangpun diantara
hadirin yang punya pegangan termasuk Bik-lian hoa sendiri
yang berani menempuh bahaya ini. Tapi betapa juga Bik-lian-hoa sudah menghimpun Lwekang
bersiap-siap turun tangan bila diperlukan.
Tatkala mana hawa ungu diwajah Ci hu-sin-kun semakin
tebal Demikian juga semu merah dimuka Giok-liong semakin
besar, seluruh badannya diselubungi kabut putih, akhirnya
kabut ungu menjadi gelap dan Ci-hu-sin kun dikerahkan
sampai puncak tertinggi. Berhadapan dengan mega putih yang
semakin tebal. Jilo sudah dihimpun sampai titik paling sempurna. Dua
musuh tua dan muda dalam waktu sedetik atau semenit ini
bakal mengadu kepandaian membagi hidup dan mati.
Sekonyong-konyong, dari kejauhan diufuk langit sana
terdengarlah suitan panjang yang melengking tinggi
menggiriskan sukma orang, disusul suitan lain saling berebut
dari berbagai penjuru, seluruh pegunungan Bu-tong-san, dari
berbagai penjuru terdengar lengking suitan yang
menggetarkan sukma itu. Kalau disebelah sana terjadi suatu keributan yang
menggemparkan lagi, tapi ditengah gelanggang bayangan
putih dan ungu sedikitpun tidak terganggu atau tergugah oleh
suitan yang menyayatkan itu." mereka masih tegas dalam
tujuan pertama mengadu jiwa sampai mati.
"Haha . . . " "Hai . . ." dua gerangan dan gemboran keras berbareng
keluar dari mulut kedua lawan yang berhadapan itu. Kabut
ungu tiba-tiba meletus sampai lima tombak luasnya terus
menubruk kedepan dengan kekuatan dahsyat. Mega putih
juga mengembang luas sekitar lima tombak sekelilingnya,
menerpa deras kearah musuh, sedetik sebelum kedua
kekuatan dahsyat kedua belah pihak saling bentrok,
mendadak sejalur bayangan ungu meluncur datang dengan
kecepatan anak panah terus menyelusup diantara gelombang
pukulan yang hampir beradu itu terdengar suara berteriak
keras "Jangan!" Namum suara itu menjadi kelelap oleh ledakan gemuruh
yang menggoncangkan bumi dan memekakkan telinga
sehingga jantung para penonton berdebur keras, napas juga
menjadi sesak seperti dada ditimpa godam.
Kejadian adalah begitu cepat, kabut ungu seketika lenyap
tampak badan Ci hu-sinkun yang tinggi itu melayang ringan
jatuh meluncur setombak diluar sana.
Begitu juga mega putih lantas ditarik kembali, bayangan
Giok-liong jumpuIitan mendarat diatas tanah. Sebuah
bayangan ungu lain adalah seorang gadis jelita yang
terbanting keras diatas tanah, mulut kecilnya langsung
menyemburkan darah segar, wajahnya pucat pasi, rambutnya
nap-riapan menggeletak celentang tanpa bergerak.
Peristiwa ini terjadi begitu cepat dan di luar dugaan, boleh
dikata hanya sekedipan mata belaka.
Serentak Ci hu-ji lo melejit maju, berbareng mereka
berseru: "Tuan putri!" Belum sempat Ci tau-sin-kun pernahkan diri dan
menormalkan pernapasannya ia menjadi kaget setengah mati,
seketika air mukanya berubah pucat dengan terhuyung ia
memburu maju sambil berteriak: "Anak Ling! anak Ling!"
Saat mana Giok-liong juga sudah melihat, keadaan Kiong
Ling-ling yang mengenaskan itu. Teringat akan budi kebaikan
Kiong Ling-ling yang telah berdampingan bersama Tan Soatkiau
menolong jiwanya, hatinya menjadi haru dan tak tega,
sekuatnya ia melangkah maju sambil berteriak: "Nona Kiong!"
Ci-hun-sin-kun mendelikan matanya semprotnya mendesis:
"Apa pedulimu!" Ma Giok-liong juga tidak mau kalah garang, tentangnya
berani: "Apa! Mau coba-coba lagi?"
Ci-hu-sin-kun sudah malang melintang memimpin golongan
hitam sekian tahun lamanya, jelek-jelek ia seorang cikal bakal
sebuah perguruan silat maha agung, dalam gebrak pertama
ini tanpa dapat dibedakan siapa menang dan asor, ini sudah
merupakan pukulan batin dan jatuh pamor baginya, mana
kuat ia mendengar ejekan Giok-liong yang kurang ajar ini.
Maka sambil melintangkan kedua tangannya, ia menghardik
dengan murka: "Bocah sombong, kau sangka aku takut!"
Tiba-tiba bayangan hijau melejit datang menghadang
dihadapan mereka. ternyata Bik-lian hoa sudah berdiri
ditengah gelanggang sambil berseri tawa, ujarnya: "Tidak
perlu bertanding lagi, kalah menang sudah kelihatan! "
"Apa kalah menang sudah berketentuan?"
Semprot Ci-hu-sin-kun tercengang, matanya membelalak
gusar. Bik-lian-hoa menarik badan Giok-liong, ujarnya lembut:
"Nah, mari kita pergi, gebrak pertama ini kemenanganmu
bagus sekali." Giok-liong tidak tahu kemenangan cara bagaimana yang
dikatakan itu, tanyanya: "Aku . . ."
Bik-lian-hoa menyelak: "Pihak Ci-hu-bun telah melanggar
janji, dua lawan satu malah yang satu terluka parah lagi
bukankah sangat mentereng kemenangan mu ini."
Ci hu-sin-kun menjadi gugup dan menggerung gusar:
"Omong kosong belaka anakku. . ."
"Anak gadismu membantu kau toh masih kewalahan jaga,
Haha, sungguh memalukan!" demikian jengek Bik-lian-hoa.
Sebaliknya Ma Giok liong menyangkal: "Dia bukan
membantu, tapi. . ." Giok-liong tahu bahwa tujuan Kiong Ling-ling adalah
hendak melerai dan mencegah pertampuran ini, siapa tahu dia
sendiri yang konyol terluka parah. Tak duga Bik lian hoa melerok kearahnya sambil omelnya:
"Bocah gendeng, ayah anak kandung sendiri kalau tidak
membantu dia masa membantu kau malah, Mari pergi!"
Keruan Ci hu-sin-kun semakin berjingkrak gusar seperti
kebakaran jenggot, rambut diatas kepalanya sampai berdiri
bergo-yang-goyang. Tapi seumpama si bisu menelan empedu
yang pahit, ada maksud berkata tapi tak dapat bersuara.
Dalam pada itu terdengarlah keluhan sakit Kiong Ling-ling
yang mulai sadar dari pingsannya, Ujung mulutnya masih
melelehkan darah, badannya lemah celentang di-tanah,
dadanya kembang kempis pernapasannya memburu cepat.
Menolong orang lebih penting, maka sambil membanting
kaki segera Ci-hu-sin-kun merogoh pulungan obat dari dalam
bajunya terus berjongkok menuang dua butir pil sebesar
anggur terus dijejalkan ke mulut anaknya.
Lalu dijinjing dan dipeluknya badan putrinya lalu ancamnya
kepada Giok liong penuh kebencian: "Buyung, ingat
perhitungan hari ini." lalu membentak kearah Ci-hu ji-lo: "Ayo
pulang!" sekejap saja bayangan mereka sudah meluncur jauh
keluar hutan sana dan menghilang. Mengantar kepergian Ci-hu-sin-kun, perasaan Giok-liong
menjadi mendelu dan tertekan seperti kehilangan sesuatu.
Enjah mengapa hatinya merasa menyesal, terasa olehnya
bahwa derita yang menimpa Kiong Lin-ling adalah penasaran
belaka, meskipun dirinya tidak sengaja hendak melukainya,
tapi mengapa ia merintangi pukulan ayahnya sedang serangan
tangannya . . . Giok liong menduga bahwa iuka-Iukanya itu pasti sangat
parah, karena serangan yang dilancarkannya itu merupakan
himpunan seluruh kekuatannya, betapa hebat hantaman
dahsyat itu boleh dikata merupakan ketahan seluruh
tcekuatan latihannya selama ini. Masa ia kuat bertahan jikalau hantaman nya ini sampai
menghancur leburkan isi perutnya . . .
Giok-liong tidak berani memikirkan akibat selanjutnya.
"Cian-pwe selamat bertemu !" setelah menjura kearah Bikliau-
hoa Giok-liong ber-siap angkat langkah mengejar kearah
jurusan Ci-hu sin-kun itu. "Kemana kau ?" bayangan hijau berkelebat tahu tahu Biklian-
hoa sudah menghadang dihadapannya menatap tajam
kearahnya. "Aku hendak melihat keadaan Kiong Ling-ling."
Situasi menjadi ribut iagi, bayangan berloncatan mendesat,
terdengar dengusan dan makian orang banyak: "Enak benar
mau tinggal pergi !" "Hutang darah golongan Go-bi-pay Harus
kau bayar dengan darahmu pula !"
"Benar urusan ini tokh belum selesai, mau ngacir !"
Thian-san-sam-kiam, Ciong-lam koay-to berserta Hiankhong
yang memimpin kedua belas muridnya segera
merubung datang mengelilinginya, Tak ketinggalan Hiat-ing-su
ai juga berpencar keempat penjuru. Melihat sepak terjang pihak musuh, Giok-Iiong menjadi
bergelak tawa dengan angkuhnya, Sorot matanya mulai buas
penuh nafsu membunuh, teriaknya keras: "Kalian mau apa ?"
Bik-liap hoa juga bertolak pinggang dan berdiri dengan
angkernya, bentaknya nyaring: "Hendak main keroyok ya ?"
Siau-lim Ciang-bun Hian khong Taysu merangkap tangan
sambil bersabda Buddha lalu sahutnya perlahan : "Nona Li
jangan kau lupa bahwa Bu-lim-su-bi adalah kaum cendekia
yang mengenal keadilan, golongan kependekaran yang
diagungkan !" "EaidtjiTifa kau sangka Sia-mo-gwa-to !" jengek Bik-lianhoa.
Ka Liang-kiam salah satu dari Thian-san-sam-kiam ikut
menyelak bicara: "Lalu mengapa tidak menegakkan keadilan
dan kebenaran." Berubah air muka Bik-lian hoa didesak begitu rupa,


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makinya tak senang: "Hidung kerbau menjadi filiranmu berani
menuding nonamu ?" Meagandal kedudukan dan wibawa Thian-san sam-kiam
memang tidak berani banyak mulut lagi terhadap Bik-lian-hoa.
Muka Ka Ling-kiam menjadi merah, sahutnya tergagap: "Mana
berani, tapi. . .tapi bocah ini . . ."
Giok-liong menjadi gusar selalu dimaki bocah ingusan
semprotnya congkak: "Hai, mari tampil kedepan, jangan pintar
bersifat lidah melulu !" Hiat-ing su-ai terkekeh-kekeh dingin, terlihat bayangan
merah darah mulai bergerak "Sungguh menyenangkan.
Memang harus begitulah cara penyelesaiannya !" serentak
mereka bergerak siap hendak melancarkan serangan
gabungan. Belum lagi mereka sempat bergerak, tiba-tiba sebuah
jeritan panjang mengalun tinggi ditengah udara, Dipuncak Butong-
san didalam Sam cing koan terdengar suara bentakan
yang riuh rendah. Sebuah bayangan orang melesat turun bagi anak panah,
begitu cepat seperti mengejar setan laksana meteor jatuh
langsung menuju ke kalangan sini. Keruan seluruh hadirin bercekat hatinya, serentak mereka
mementang lebar mata masing masing memandang kearan
sana, "Bluk!" tahu-tahu bayangan hitam yang meluncur
datang itu tiba-tiba terkapar jatuh diatas tanah, terang
menderita luka berat ditambah harus mangerahkan tenaga
berlari kencang sehingga tak kuat lagi dan terbanting keras.
Serentak puluhan bayangan tokoh-tokoh silat melejit maju
memeriksa. Tampak bayangan yang meluncur jatuh itu bukan
lain adalah seorang Tosu tua yang berjenggot panjang dan
bermuka kuning, sepasang matanya mendelik banyak putih
dari hitamnya, dari lubang kuping, hidung dan mulutnya
merembes darah segar. "Bu-tong-ciang-bun !" "Cin-cin-cu, dia . . ." Hiat khong Taysu Ciang bun-jin Siau-lim-pay segera
memburu maju terus membopongnya, tangannya segera
meraba pergelangan tangan, suaranya terdengar gemetar :
"Toheng! Ciang-bun! Kau . . ." pernapasan Cin cin-cu Ciang
bun-jin Bu-tong pay banyak dihembuskan dari disedot,
kelopak mata serta bibirnya bergerak-gerak, agaknya ingin
berkata namun tak kuasa mengeluarkan suara, napasnya
sudah kempas kempis. Kesepuluh jarinya mencengkeram dalam kedalam tanah
dari sini dapat dibayangkan betapa sakit dan parah luka yang
dideritanya. Dari dalam Sam ceng-koan saban-saban terdengar jeritan
dan pekik kesakitan yang mengerikan, sungguh seram dan
mendirikan bulu roma. "Celaka, pasti Sam ciang-koan telah terjadi sesuatu mara
bahaya!" demikian teriak Ciong-lam-koay to Ji-ngo.
"Ya, bencana kehancuran telah terjadi di sana." ujar Biklian-
hoa sambil mengerutkan kening. "Apakah ini juga perbuatanku ?" jengek Giok-liong aseran.
Thian-san-sam-kiam tadi jatuh pamor karena disenggak
oleh Bik-lian-hoa. kini saatnya telah tiba untuk melampiaskan
kedongkolan hatinya, seringainya sinis: "Ada kemungkinan. .
." Sedapat mungkin Giok-liong menahan sabar, gerungnya:
"Mari kita tengok kesana." tanpa menanti jawaban kaki segera
menjejak tanah, tubuhnya lantas melambung tinggi, hebat
memang ilmu Leng-hun-toh yang dikembangkan begitu
melesat langsung berlari kencang menuju kearah Sam-cengkoan!
sengaja ia mendahului yang lain saking dongkol tadi,
besar harapannya dapat memeriksa dan mencari sumber
kejahatan yang tengah berkecamuk ini.
Maka sedikitnya ia tinggalkan para tokoh-tokoh silat itu dua
puluhan tombak jauhnya. Keadaan Sam-cing-koan ternyata
sunyi senyap, tanpa terdengar sedikit suarapun. Luncuran
tubuh Giok liong begitu pesat, sekali loncat puluhan tombak
dapat dicapainya, undakan batu sebanyak tiga ratus enam
puluh lapis hanya dua kali loncatan saja tubuhnya gudah
menerobos masuk kedalam biara agung.
Begitu kakinya mendarat ditanah, hidung Giok liong lantas
dsrangsang bau amis yang memualkan, dilihatnya noktahnoktah
darah berceceran, mayat bergelimpangan patungpatung
pemujaan banyak yang roboh dan tak keruan lagi
letaknya, Diatas dinding darah dan cairan otak manusia
menjadikan peta bergambar yang menyolok mata, kaki tangan
serta kepala manusia yang tidak lengkap lagi dengan
badannya berserakan dimana-mana. Sesaat Giok-liong menjadi tertegun dan mengkirik. segera
ia kerahkan Leng-hun-toh badannya menerobos pesat
beberapa bangunan biara lain menerjang kebelakang.
Sepanjang jalan yang dilalui jenazah orang tiada seorangpun
yang ketinggalan hidup, jangan dikata hidup yang terluka
parah saja tiada. "Siapa yang turun tangan sekejam ini!" demikian Giok-liong
membatin, tubuhnya masih bergerak lincah berloncatan dari
ruang sini keatas rumah sana, sampai akhirnya tiba di-ruang
belakang Sam ceng-koan, keadaan sama tiada bedanya.
Tiba-tiba dari ruang semadi sebelah samping sana terlihat
sebuah bayangan kuning berkelebat teraling kain gordyin
terus menerobos keluar melalui jendela.
"Siapa!" Seiring dengan bentakannya Giok-liong melesat
mengejar, Betapa cepat gerakkan Giok-liong itu, namun
bayangan kuning itu mendahului bergerak dan lebih cepat
lagi. Tampak tungku besar didalam ruang semadi itu roboh, api
masih membara, segala barang perabot morat-marit tak
karuan, Dua orang Tosu muda tampak menggeletak digenangi
air darah, perut mereka sobck sehingga isi perutnya dedel
dowel, dan badannya terasa belum dingin seluruhnya, terang
bahwa belum berselang lama ia dibunuh orang, "Tak percaya
kau dapat bergerak begitu cepat !" Giok-liong menggumam
seorang diri, jendela sebelah belakang dipentangnya terbuka.
Betul juga dilihatnya sebuah bayangan kuning seperti
meteor jatuh laksana anak panah terlepas dari busurnya
tengah berloncatan lincah sekali lari ke arah hutan lebat di
belakang gunung sana inilah sumber penyelidikan satusatunya
yang ada. Tanpa ayal lagi Giok-liong segera
menerobos keluar dengan kencang ia kembangkan Leng-huntoh
seperti awan mengembang entengnya terus mengejar
dengan pesatnya. Baru saja Giok-liong melesat keluar Di luar ruang semadi
sana terdengar suara ribut serta dc:SJ p 1 a'ci o^,ng banyak
yang menda ia u(ji. Ciong-lam-koay-to Ji.ngo baru saja sampai diambang pintu,
mendadak melompat mundur lagi serta berteriak : "Kita
semua sudah diapusi dan tera&nli oleh tipu muslihatnya."
"Diakali bagaimana?" teriak Ka Liang-kiam dengan uringuringan.
"Bocah itu banyak tipu muslihatnya dengan tipu harimau
meninggalkan sarangnya serta cara suara di timur hantam
dibarat, seorang diri ia menghambat kita di depan gunung,
sedang kamrat serta kawan-kawan-nya mencuci bersih Samcing-
koan dengan darah." Hian-khong Taysu Siau-lim Ciang-bun-jin menjadi raguragu,
katanya : "Ini, . . " "Ini apa " Pasti tidak akan salah !"
"Tapi selama perjalanan ini Kim-pit-jan hun tiada punya
seorang temanpun." "Itukan kelicikannya saja. Coba kalian lihat !"
Semua orang berpaling kearah yang ditunjuk oleh Cionglam
koay-to di belakang jendela sana, Terlihat jauh ratusan
tombak sana dua titik kuning dan putih tengah berkejaran
dengan pesatnya. "Bocah licik dan keji!" maki Thian-saa-sam-kiam bersama.
Sesaat Bik-lian-hoa sendiri menjadi bimbang, lalu katanya
sambil mengerutkan kening: "Sebelum duduk perkaranya
dibikin terang, lebih baik kalian jangan main tebak dan tuduh
sembarangan." Ciong lam-koay to menjadi tidak senang bantahnya:
"pendengaran kuping mungkin bisa salah, tapi kenyataan
mata kita sudah melihat sendiri, Apakah nona Li tadi tidak
melihat ?" Bik-lian-hoa menjadi dongkoI, semprotnya: "Jadi kau sudah
tahu pasti dan terang bahwa dia yang melakukan semua ini "
Apakah tidak mungkin ia mengejar musuh yang tengah
mengundurkan diri !" Ciong-lam koay-to bergelak tertawa, serunya : "Bukankah
nona Li rada eman dan sayang pada bocah itu, Terpaksa Pinto
tak bisa banyak bicara lagi." Kapan Bik - lian-hoa pernah dibantah otnongannya di
hadapan sekian banyak orang seketika ia menjadi gusar,
semprotnya: "Hidung kerbau, berani kau bicara kurang ajar
terhadap aku, sudah bosan hidup kiranya ?"
Orang kebiasaan berkata: "Membunuh seorang Hwesio
membikin malu seluruh penghuni kelenteng." Sudah tentu
makian "hidung kerbau" ini bukan saja memaki Ciong-lamkoay-
to, tapi bagi pendengaran Thian-san-sam-kiam juga
menusuk telinga dan mengetuk hati, seketika merah jengah
selebar muka mereka. "No . . . Li . . . " Ka Liang-kiam tergagap bicara.
"Kau panggil aku apa ?" tuding Bik-lian-hoa sambil
mendelik. "Li-cian-pwe kau membela bocah itu, begitu rupa, apa
mungkin..." Sepasang mata Bik lian hoa yang jeli seperti mata burung
Hong yang memancarkan sorot aneh, sinar matanya ini sukar
dapat dilihat tapi sebetulnya begitu agung dan penuh rasa
welas asih. Lama dan lama kemudian baru ia meghela napas, katanya
lembut: "Ai, umpama aku tidak ikut campur dalam pertikaian
ini. Mengandal kalian para tua bangka yang tidak berguna ini
masa dapat berbuat apa terhadap dia. Tadi kalian sudah
melihat sendiri betapa hebat Sam- ji cui-hun-chiu, Lwekang
yang hebat serta hawa pelindung badan yang kokoh."
Ciong-lam koay-to masih belum kapok, jengeknya: "Sinar
kunang-kunang, silat kembangkan belaka."
"Bik lian hoa mengejek hina, dengusnya: "Hm, coba
kutanya bagaimana kepan Bentrok Para Pendekar 7 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Bara Naga 11
^