Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 15

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 15


Siang-gwat-kiam Oh Kay-thian sejak tadi sudah menahan rasa dongkolnya, ia tahu semua yang hadir sekarang berhasrat mendapatkan kitab pusaka tersebut, ini berarti bukan pekerjaan gampang bila ingin mengangkangi kitab tersebut untuk diri sendiri.
Dangan terkekeh ia berkata, "Siapakah diantara kalian yang berhasrat memperebutkan kitab ini?"
Pertanyaan iiu boleh dibilang sudah tahu sengaja bertanya, tapi justru di sini pula letak kecerdikannya yang keji.
Sebagaimana diketahui, sebagian besar yang hadir ini adalah jago-jago kenamaan, meski sudah lama mengincar kitab itu, tapi kalau suruh mereka mengaku terus terang di hadapan umum, betapa pun merasa sulit,
Siapa tahu, mendadak Bok Ji-sia berseru, "Aku bertekad merampas kembali kitab pusaka itu!"
Waktu itu ia lagi merasa menyesal, tak tahunya Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian mempunyai rencana untuk mengendalikan orang-orang lain agar mau turut dalam perebutan kitab ini.
Ia memandang sekejap ke arah Bok Ji-sia, lalu katanya,
"Baik, kau orang pertama, juga merupakan jago yang paling muda "
"Dan siapa lagi?" ia berseru pula setelah berhenti sejenak.
"Aku pun ingin turut mencobanya!" seru Lamkiong Giok.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa licik, katanya cepat,
"Sobat karibmu Bok Ji-sia kan sudah ambil bagian, buat apa kau turut pula dalam perebutan ini" Masa kau pun hendak berebut dengan sahabat sendiri?"
Bok ji-sia melenggong, ia tidak paham maksud ucapan tersebut, sebaliknya Lamkiong Giok yang cerdik segera dapat menangkap niat jahat orang, diam diam ia terkesiap.
Ia mendengus gusar, "Untuk apa menggubris orang yang cuma mengadu domba..." dia lantas melengos ke arah lain dan tak sudi memandangnya.
Tiong-ciu-it kiam segera maju ke muka, katanya sambil tersenyum, "Saudara Oh hanya menanyai orang lain, kenapa tidak jelaskan dulu pendirianmu sendiri!"
"Hmmnnn, tentu saja aku tak akan melepaskan
kesempatan baik ini," dengus Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian,
"cuma aku tidak harus mendapatkannya, aku cuma ingin ikut meramaikan suasana, untuk menghindari pertumpahan darah yang tak ada gunanya, ada satu cara bagus yang bisa menyelesaikan masalah ini dengan adil...."
"Omintohod!" puji It-hu Taysu dari Siau-lim-si,
"berbahagialah umat manusia jika Oh sicu bisa bertindak welas asih, asal tidak menggunakan kekerasan, aku tentu menyokong."
It-hu Taysu dari Siau-lim-si adalah seorang paderi agung, dia tak ingin menyaksikan terjadinya pertikaian berdarah di situ.
Oh Kay-thian tertawa terbahak-bahak, katanya, "Kalau dibicarakan urusannya sederhana sekali, tapi sulit pelaksanaannya, mungkin hadirin enggan menerima usulku."
"Asal caramu itu adil dan cocok, tentu saja akan kudukung usulmu itu" jawab Coan-tin-it-to dari Bu-tong-pai.
Sambil menuding kitab pusaka yang berada di atas tanah itu, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian berkata, "Kitab pusaka ini sudah membuat orang persilatan menjadi tergila-gila, tidak sedikit umat persilatan yang ingin melihat isinya, mumpung hari ini kita berkumpul di sini, bagaimana kalau kubuka halaman kitab itu kemudian kita melihat isinya bersama"
Setelah itu, kita masing-masing pihak mengambil semacam kepandaian untuk dilatihnya di gunung, kurasa kitab yang tebal ini pasti tidak cuma memuat semacam ilmu saja, sekalipun dibagi rata untuk yang hadir kurasa juga masih lebih."
"Cara ini memang bagus, cuma sayang kurang adil," kata Coan-sin-loni dari Go-bi pai sambil maju ke depan,
"bagaimana pun di antara sekian banyak ilmu yang tercantum di sicu pasti ada ilmu yang bagus dan ada pula yang jelek, bila pembagian kurang adil, akhirnya toh pertumpahan darah tetap akan berkobar juga?"
"Ah,kurasa setiap kepandaian yang tercantum dalam kitab ini sudah pasti adalah ilmu sakti yang belum pernah ada di dunia selama ini, asalkan semua orang bersedia membaginya secara adil, ku jamin setiap orang pasti akan mendapat bagiannya, cuma... kita mesti mempunyai dua orang
pelindung untuk menjamin amannya pembagian ini."
Kiam hong-cengcu Lamkiong Hian tertawa, "Hehehe, kenapa kau ingin membuka kitab itu" Pasti ada niat busukmu."
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian gusar sekali mendengar perkataan Itu, hampir dia tidak tahan, tapi demi suksesnya rencana besar terpaksa ia bersabar daripada orang menaruh curiga lebih mendalam lagi kepadanya..
Maka sambil tertawa serak katanya, "Kalau pihak Kiam hong-ceng tidak percaya kepadaku, harap It-hu Taysu dari Siau-lim-pai saja yang memimpin pembagian ini!"
It-hu Taysu dari Siau-lim-pai adalah pendeta agung yang saleh, dan tidak mempunyai nafsu serakah, tentu saja semua jago percaya kepadanya.
Setelah memuji keagungan sang Budha, pelahan It-hu maju ke depan, tiba-tiba pendeta ini merasakan tugasnya berat sekali.
"Omintohud!!" katanya kemudian, "Atas dukungan hadirin sekalian, aku menjadi malu sendiri. Tapi kalau semua orang telah setuju, terpaksa ku-singkap teka-teki yang meliputi kitab pusaka ini."
Suasana menjadi tegang, berpuluh pasang mata gama
tertuju It-hu Taysu yang sedang maju ke depan.
"Jangan sentuh benda itu!" mendadak Bok Ji-sia membentak sambil menyeringai.
It-hu Taysu menghentikan langkahnya, lalu berkata,
"Omintohud, apakah Sicu ada mempunyai pandangan lain terhadap diriku?"
Perlu diketahui, It-hu Taysu mempunyai kedudukan yang tinggi sekali di dalam dunia persilatan, terutama dalam kuil Siau-lim-si, bila menyinggung nama It hu Taysu tiada orang yang tidak menghormatinya, maka bentakan Bok Ji-sia tersebut dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap pendeta agung ini.
Waktu itu Bok Ji-sia merasa gusar sekali sehingga sekujur badan gemetar, sekalipun kitab pusaka Hek liong kang itu.
bukan miliknya, tapi ia merasa bertanggung jawab terhadap benda itu lantaran si gadis berbaju biru telah menitipkan kepadanya, paling tidak ia terhitung setengah pemiliknya.
Kenyataannya sekarang tanpa persetujuannya orang-orang itu bersikeras hendak menyingkap rahasia isi kitab pusaka tersebut, tentu saja hawa amarahnya berkobar.
Kalau orang sedang marah, sudah barang tentu iapun tak peduli kelihaian lawan.
Dengan suara menggeledek kembali bentaknya, "Bila kubilang jangan menyentuhnya, maka lebih baik jangan menyentuhnya,"
Sungguhpua It-hu Taysu seorang pendeta yang saleh, tak urung timbul juga amarahnya, sekali melompat mendadak ia menerjang ke depan Bok Ji-sia.
"Siau sicu, kau murid siapa" Berani kau bersikap kasar kepadaku?" tegurnya.
"Hmm, selama aku Bok Ji-sia berada di sini, barang siapa berani menyentuh kitab pusaka Hek-Jlong-kang itu, biar dia merasakan dulu kehebatan Jian-kim-si hun-pian."
Jawaban yang menyimpang dari pertanyaan ini membuat It-hu Taysu tertegun.
Sambil tertawa dingin Tiong-ciu-it-kiam segera berseru,
"Taysu, buat apa banyak bicara, hadiahkan saja sekali pukulan kepadanya!"
Ji-sia tertawa seram, ejeknya, "Bila kau punya kemampuan, silakan maju, buat apa bersilat lidah melulu."
Mendadak Seng-gwat-kiam Oh Kay Khian menuding Bok Jisia, katanya, "Ia telah merusak peraturan kita, berarti dia adalah musuh kita bersama, biar kita binasakan dia lebih dulu!"
Begitu selesai berkata, telapak tangan kiri tiba-tiba melepaskan pukulan dahsyat ke depan, langsung menghajar dada Bok Ji-sia.
Huan in-kiam Lamkiong Giok tahu kesempatan semacam ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, sambil
merentangkan tangannya dia lantas berseru, "Hei, kalian mau main keroyok" Tidak bisa kawan!"
Sementara itu Bok Ji-sia sudah mengegos ke samping dan mundur beberapa langkah, ia tertawa dingin, teriaknya dengan gusar, "Saudara Lamkiong, akan ku rebut kembali kitab itu, seandainya aku mati, kitab ini kuserahkan untukmu!"
Setelah berhenti sebentar, lalu bentaknya, "Nah, mati bagi siapa yang mengalangi aku dan hidup bagi yang
menghindariku!"
Mendadak jagat serasa menjadi gelap, awan mendung
menyelimuti angkasa.
Cahaya emas berkilauan, sekujur badan Bok Ji-sia dengan dibungkus oleh bayangan emas langsung menerjang ke arah kitab pusaka Hek-liong-kang.
Baru saja ia bergerak bayangan manusia yang berkumpul di situ pun serentak menyongsong ke depan.
Huan-in-kiam Lamkiong Giok merasa girang sekali
menyaksikan Bok Ji sia sudah tidak mempedulikan soal mati-hidupnya lagi, dia kuatir Bok Ji-sia berubah pikiran, maka dengan suara lantang teriaknya, "Jangan kuatir saudara Bok, pasti akan ku bantu dengan sepenuh tenaga!"
Walaupun di mulut ia berbicara manis, tapi kakinya sama sekali tidak bergerak, ia malah tersenyum belaka memandang orang-orang mengalangi kepergian Bok Ji-sia.
Ketika Oh Kay-thian melihat Bok Ji-sia secara nekat hendak mengambil kitab pusaka itu, segera ia membentak, pedang Seng-gwat-kiamnya dengan jurus Kian-kim-si-kay (puteri
agung memberi sedekah) sagera menusuk ke jalan darah penting di tubuh anak muda itu.
Tiong-ciu it-kim tidak ketinggalan, dengan gusar iapun membentaknya, "Orang she Bok, kau ingin mampus!"
Ilmu pedang Tiam-jong-pai segera menusuk juga
punggung Bok Ji-sia.
Kedua orang itu turun tangan hampir berbareng dengan kecepatan luar biasa.
Saat itu Bok Ji-sia tidak memikirkan mati-hidupnya lagi, melihat kedua orang itu mendekat, ia membentak, dengan jurus Hiat-in-tui-hun- (bayangan darah mengejar sukma), secepat kilat ia mengegos dan balas menyerang kedua orang itu.
"Sekalipun malam ini Bok Ji-sia bakal tewas di sini, tak nanti aku takluk kepada kalian!" serunya sambil tertawa panjang.
Tiong-ciu-it-kiam tergelak, "Hahaha, jika kau memang berhasrat mampus, akan kupenuhi keinginan mu!"
Di tengah gelak tertawanya, cahaya tajam pedang segera memancar ke empat penjuru.
Bok Ji-sia tertawa seram, Jian-kim-si-hun-pian di tangannya segera berubah bagai seekor naga emas yang berkilauan, diiringi bunyi mendenging menggema angkasa.
Bayangan manusia sirap, cahaya perak hilang pedang Tiong-ciu-it-kiam tahu-tahu patah menjadi dua, dengan wajah pucat ia berdiri terpaku di tempatnya.
Mendadak terdengar bentakan menggelegar, tahu-tahu Seng-gwat-kism Oh Kay thian telah menyelinap ke
belakangnya, hawa pedang dingin sudah mengancam
punggung Bok Ji-sia.
Pada saat itulah, tiba-tiba It lm Taysu membentak keras,
"Bok-siauhiap, awas belakang!"
Pendeta agung ini tak tega menyaksikan pemuda itu
disergap secara licik, maka dia memberi peringatan.
Dengan cekatan Ji-sia melompat ke depan, kemudian
sambil berpaling ia memaki, "Keparat, kau betul-betul licik!"
Ruyung segera menyabet ke belakang, tapi tangannya lantas tergetar hingga senjata itu nyaris terlepas, dalam kagetnya buru-buru ia menarik serangannya.
Sebaliknya Seng gwat-kiam Oh Kay thian juga berdiri dengan wajah kaget bercampur heran.
Tiba-tiba terdengar Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian membentak, "Huh, ketua perguruan ternama yang licik.."
Pukulan dahsyat dilontarkan dengan tangan kiri, sedang pedang lima lubang di tangan kanan mengeluarkan irama yang aneh.
Semua orang terkejut, kiranya Tiong-ciu-it-kiam entah sedari kapan tahu tahu sudah berhasil merampas kitab pusaka Hek- liong- kang itu.
Perintah segera diturunkan, para jago Kiam-hong-ceng serentak membentuk barisan dinding manusia mengadang jalan pergi Tiong-ciu-it-klam.
Pihak Thian-seng-po juga tidak tinggal diam, para jagonya berbondong-bondong maju ke depan.
"Toyu!" seru Coan-sin-loni sambil mengebaskan lengan jubahnya, "tidakkah kau merasa perbuatanmu ini akan ditertawakan setiap umat persilatan di dunia?"
Marah padam wajah Tiong-ciu-it-kiam, semula dia mengira dengan berlagak terluka dan mumpung orang tidak menaruh perhatian, ia bisa melarikan kitab pusaka itu secara diam-
diam, tapi akhirnya toh konangan juga, tak terlukiskan rasa gemas dan kesalnya.
Dari malu dia menjadi murka, pedang berputar dengan gencar, jepitan ngeri berkumandang susul menyusul, empat orang jago Kiam-hong-ceng segera roboh tergeletak dan tewas seketika.
"Bangsat, kau berani mencelakai anak buahku"!" bentak Lamkiong Giok dengan gusar.
Lima jalur cahaya perak berkilauan menyambar ke depan mengincar jalan darah penting di sekujur badan Tiong ciu-it-kiam, pada dasarnya dia memang berhati keji, serangannya itu lebih-lebih tak kenal ampun.
Pada saat yang sama Lamkiong Hian juga menerjang ke depan, bentaknya, "Tiong-ciu-it-kiam rasakan pukulanku ini!"
Tiong-ciu-it-kiam hanya memperhatikan Hoan-in-kiam Lamkiong Giok yang mengancam dari depan, tapi lupa di belakang masih ada seorang tokoh sakti, ia lebih-lebih tak menyangka kedua ayah beranak itu bisa melancarkan
serangan bersama.
Punggungnya terasa bergetar keras, tanpa ampun dia muntah darah, masih untung tenaga dalamnya sempurna, setelah terluka dia masih sempat loloskan diri di bawah ancaman pedang.
Tapi kitab pusaka itu kembali terlepas dan jatuh persis di samping Bok Ji-sia.
Hati anak muda itu tergetar, dengan jurus Cuan-gong-ki-uh (mengambil benda dari kantong) sedikit berjongkok ia sambar ujung kitab itu terus hendak terjang pergi.
Siapa tahu, pada saat itulah mendadak "Blang!" pukulan dahsyat dengan telak bersarang di badan Bok Ji-sia, anak-muda itu terlempar sejauh beberapa kaki dari tempat semula dan menyemburkan darah.
Gerak tubuh si penyergap benar-benar cekatan, telah menyerang terus mundur dengan cepat, malah Ji-sia tidak sempat melihat bayangan tubuh penyergapnya itu.
Dengan menyeringai Ji-sia bertanya, "Siapa yang menyergap diriku!"
Darah dalam tubuhnya bergolak hebat, tangannya yang sata memeluk buku kencang-kencang, sedang tangan yang lain memegang Jian-kim-si-hun-pian dengan pandangan gusar.
Tiada jawaban, siapapun tidak mengaku dirinya sebagai si penyergap.
Melihat itu, Ji-sia semakin naik darah, "Seorang lelaki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, ternyata kalian semua adalah manusia pengecut.... "
"Kata 'kalian' yang kau maksud itu perlu diperjelas lagi,"
ujar Seng-gwat-kiam Oh Kay-tbian, "Tentang siapa yang melakukan sergapan itu" dapat kuberitahukan kepadamu bahwa dia adalah sahabatmu yang paling karib."
Jelas perkataannya ditujukan kepada Huan-in-kiam
Lamkiong Giok, apalagi sambil berkata sinar matanya sengaja melirik ke arah orang she Lamkiong tersebut.
Bok Ji-sia adalah pemuda yaag benci pada kelicikan, iapun sangat jujur, dia tak pernah mencurigai Huan-in-kiam Lamkiong Giok, sebab dianggapnya hal ini tak mungkin terjadi.
Begitulah, ketika melihat tiada orang mau mengaku, terpaksa tanyanya, "Saudara Lamkiong, sebenarnya.... "
Menurut perkiraan Lamkiong Giok semula, pukulannya itu pasti akan membinasakan Bok Ji-sia, siapa tahu serangan yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga ini tak lebih cuma mengakibatkan Bok Ji-sia terluka parah, kenyataan ini membuatnya amat terkesiap.
Ia makin gelisah setelah Ji-sia langsung menegurnya, dia mengira pemuda itu sudah mengetahui rahasianya, dengan wajah pucat cepat jawabnya, "Saudara Bok, jangan percaya pada perkataan oraog lain, jelas Thian-seng-po ada niat merusak hubungan kita. Meski tidak kulihat jelas siapa penyergap saudara Bok tadi, namun sudah pasti perbuatan ini dilakukan oleh pihak Thian-seng-po.... "
Sebenarnya tenaga Bok Ji-sia ketika itu sudah kurang lancar, hakikatnya ia tak mampu lagi menghimpun tenaga lagi, tapi dia tahu sikapnya saat ini harus tegas dan tak boleh memperlihatkan rasa takut, kalau tidak niscaya kawanan jago itu ikan membinasakan dirinya.
Maka sambil tertawa nyaring, tegurnya, "Oh Kay-thian, kaukah yang melakukan perbuatan Ini?"
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian merasa mendongkol sekali karena Lamkiong Giok telah melimpahkan dosa itu kepadanya, tapi iapun tidak mau memberi ptnjelasan, sebab dia tahu kesalahan paham itu sudah telanjur mendalam.
Sambil tergelak, sahutnya dingin, "Peduli benar atau tidak, tak ada alangannya kau catat hal ini atas namaku,"
Betapa lega perasaan Lamkiong Giok setelah Seng-gwat-kiam Oh-Kay-thian menanggung dosanya, dia lantas
mengecapkan mata kepada ayahnya sebagai tanda untuk melaksanakan siasat berikutnya.
Segera dia maju ke depan, lalu membentak keras, "Kau herani melukai saudara Bok" Bagus, akan kubalaskan dendam berdarah ini baginya"
Seraya berkata, dengan jurus Thian-ku-keng-hun (tambur langit mengejut sukma) dia kebaskan lengan bajunya, pedang pendek di balik pakaiannya bagaikan lima ekor naga perak terus menyambar ke depan
Seng-gwat-kiam Ob Kay-thian mendengus, iapun memutar pedangnya menyambut datangnya ancaman.
It-hu Taysu dari Siau-lim-pai yang berada di samping hanya bisa menggeleng kepala sambil bergumam, "Siausicu, dengan usiamu yang masih muda ternyata memiliki kelicikan yang luar biasa, sungguh menguatirkan dan menakutkan!!"
Mendadak Ji-sia membentak, "Tahan!"
Padahal Lamkiong Giok memang tidak berniat
melangsungkan pertarungan sengit, mendengar bentakan itu, cepat dia mundur, dia melirik sekejap ke arah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dengan gusar, lalu berjalan ke depan Bok Ji-sia,
"Saudara Bok ada pesan apa?"
Ji-sia menyerahkan kitab pusaka Hek-liong-kang itu kepada Lamkiong Giok seraya berkata, "Saudara Lamkiong, kuserahkan kitab ini kepadamu, dengan kepandaian ayahmu dan jago-jago lihai Kiam-hong-ceng, rasanya tidak sulit untuk mempertahankan kitab ini..."
Tiong-ciu-it-kism yang berada di samping mendengus, timbrungnva dengan ketus, "Bukan pekerjaan gampang bagi Kiam-hong-cengcu untuk membawa pergi kitab itu?"
Tegang perasaan Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian
menyaksikan kitab pusaka itu berada di tangan putranya, dia tahu kesempatan baik semacam ini tak mungkin dijumpai pada lain saat.
Kepada kawanan jago Kiam-hong-ceng yang berada di
sekeliling tempat itu segera serunya, "Lindungi Siaucengeu, bila ada orang bermaksud jahat, bunuh tanpa ampun!"
"Sreet!" segenap jago Kiam-hong-ceng segera menyebarkan diri dan melakukan penjagaan yang ketat di sekeliling tempat itu. diam-diam mereka awasi gerak-gerik orang Thian-seog-po, Tiam-cong-pai, Go-bi-pai, Go-bi-pai dan Bu-tong-pai.
Timbul rasa haru pada wajah Huan-in-kiam Lamkiong Giok ketika menerima kitab pusaka itu, dia tak mengira Bak Ji-sia benar-benar akan menyerahkan kitab itu kepadanya.
Tapi iapun menyadari bahayanya situasi saat itu, bukan pekerjaan gampang bagi mereka untuk mundur dari situ dengan selamat, tanpa terasa timbul juga rasa kuatirnya.
Tapi di luar dia berpura-pura terkejut, serunya "Saudara Bok, mau apa kau?"
"Aku ingin berduel dengan Oh Kay-thian!" jawab Ji-sia tegas.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian bukan sembarangan orang, sttelah menyaksikan kitab pusaka Hek-liong-kang itu diserahkan kepada orang Kiam-hong-ceng, dia sadar keadaan bisa runyam, buru-buru dia memberi tanda kepada anak buahnya untuk bertindak dengan kekerasan.
Setelah itu, sambil tertawa seram katanya, "Kalau memang hendak mengajak berduel, akan segera kukirim dirimu ke runah nenekmu!"
Diiringi bentakan telapak tangan kirinya segera
melancarkan pukulan, serangan ini aneh lekaii dan sukar untuk menghindarinya.
Ji-sia berkerut kening, nafsu membunuh menyelimuti wajahnya, dengan badan yang sudah terluka parah, ia tidak menghindar atau berkelit, dia angkat tangannya dan menangkis pukulan lawan dengan kekerasan.
"Blang", benturan keras berkumandang.
Sesosok bayangan hitam mencelat ke udara dan "bluk", terbanting ke tanah, tubuh Bok Ji-sia seperti tak berkutik lagi, hal ini membuat perasaan semua jago tergetar.
Lamkiong Giok juga terkesiap atas kejadian itu, tapi sekejap kemudaan wajahnya kembali berseri seakan-akan merasa
girang menyaksikan musibah yang menimpa lawan, dari sini dapat diketahui betapa liciknya orang ini.
Mendadak suara tertawa seram bergema, Bok Ji-sia dengan badan berlepotan darah pelahan berbangkit lagi.
Melihat itu, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian kaget sekali, dia mengira dirinya sedang mimpi.
Tapi semua ini adalah kenyataan, Bok Ji-sia merangkak bangun, setelah tergelak, tiba-tiba air mukanya menampilkan perubahan aneh yang sukar dijelaskan, dia menyapu pandang para jago yang hadir.
Seog-gwat-kiam Oh Kay-thian betul-betul terkesiap, sampai bergidik lantaran ngeri, dia percaya serangannya tadi mempunyai kekuatan ribuan kati, sekalipun kebal juga belum tentu mampu menahan serangan dahsyat itu.
Tapi kenyataannya bukan saja Bok Ji-sia yang sudah terluka parah itu sanggup menyambut serangannya, bahkan sempat pula merangkak bangun, mau-tak-mau timbul juga perasaan ngeri dan takutnya terhadap pemuda aneh itu.
"Ehm, rupanya masih punya ilmu simpanan," serunya dengan wajah beringas, "sambutlah pukulanku lagi!"
Tiba-tiba Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai melompat ke depan seraya terseru, "Saudara Oh, kau hendak melakukan pembantaian habis-habisan?"
Sekalipun dia juga berhasrat mendapatkan kitab pusaka itu, namun bagaimanapun dia adalah seorang tokoh perguruan besar, timbul sifat pendekarnya setelah menyaksikan keadaan Bok Ji-sia yang payah, bila perlu ia siap membantu anak muda tersebut,
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa, katanya, "Kalau pihak Bu-tong-pai sudah menampilkan diri, biarlah kulepaskan dia kali ini!"
Saat itu tenaga dalam Bok Ji-sia sama sekali telah punah, dia hanya mengandalkan semangat saja untuk
mempertahankan tubuhnya, tapi ucapan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang tak sedap itu segera menimbulkan kembali kesombongannya.
"Siapa yang sudi menerima pengampunanmu?" teriaknya sambil tertawa seram, "Oh Kay-thian! Jika berani silakan maju lagi!"
Oh Kay-thian memandang sekejap sekeliling arena,
katanya, "Dia sendiri yang ingin mampus, jangan salahkan aku bila kubunuh dia."
Lalu ia berteriak, "Bocah she Bok, akan kupenuhi keinginan mu!"
Telapak tangan diangkat, tiba-tiba diayun ke bawah dengan jurus Ki-hwe-liau-thian (mengangkat obor membakar langit), langsung membabat pinggang Bok Ji-sia,
Serangan ini dilakukan Oh Kay-thian dengan segenap tenaga dalamnya, kehebatannya luar biasa.
Bok Ji-sia dengan mata melotot seakan-akan tidak
merasakan sesuatu, ia membiarkan angin pukulan menghajar datang.
Seandainya serangan itu sampai mengenai tubuhnya,
sekalipun berbadan baja juga tukar menahan serangan yang maha dahsyat itu, tampaknya dia segera bisa binasa....
Mendadak terdengar Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hiin
membentak, "Anak Giok, cepat pergi!"
Lamkiong Giok mengiakan, sambil mengempit kitab, pusaka Hek-liong-kang secepat kilat ia kabur dari situ.
Kawanan jago Kiam-hong-eengcu juga serentak bergerak dan melindungi Huan-in-kiam Lamkiong Giok begitu
mendengar bentakan sang Cengcu, dengan ketat mereka melindungi keselamatannya dan meninggalkan tempat itu; Para jago Thian-seng-po menjadi kelabakan, bentakan kerat bergema di sana-sini, beramai-ramai mereka menerjang maju,
Pihak Kiam-hong-ceng juga tak mau unjuk kelemahan, segera mereka menyokong datangnya serbuan.
Dalam waktu singkat, suasana dalam arena menjadi kacau-balau, cahaya golok dan bayangan pedang memenuhi
angkasa, jerit kesakitan dan pekikan ngeri berkumandang susul menyusul.
Gelisah sekali perasaan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menyaksikan Lamkiong Giok kabur dengan membawa kitab pusaka, ia batal menghantam dan memburu ke sana.
Bok Ji-sia tidak tahan keadaannya yang payah, dia roboh terkulai.
Pada saat, itulah, mendadak terdengar Tiong-ciu-it-kiam membentak sambil menubruk maju, "Mau kabur ke mana kau!"
Dengan jurus Kin keh-liau-ka (ayam emas menggetarkan bulu), pedang bergetar, desing tajam menyambar ke depan.
Belum jauh Lamkiong Giok melarikan diri, dilihatnya beberapa sosok bayangan meluncur datang, ia terperanjat, apalagi menyaksikan Tiong-ciu-it-kiam juga mengadang jalan perginya, dia semakin terkesiap.
"Enyah dari sini!" bentaknya dengan gusar.
Pedang pendek di tangan kanan secepat kilat meluncur ke depan, cahaya putih berkelebat ke arah Tiong-ciu-it-kiam.
Dengan cekatan Tiong-ciu-ii-kiam mengeluarkan urus Po-hoag-pat-ta (angin puyuh melanda delapan penjuru) dari
Tiam-cong kiam-hoat, dengan kekerasan ia bendung ancaman tiga bilah pedang pendek Lamkiong Giok itu,
"Serahkan kitab pusaka itu dan akan kuampuni jiwamu!"
bentaknya. Lamkiong Giok terbahak-bahak, "Tiong-ciu-it-kiam, jika kau tak mau angkat kaki, terpaksa kuladeni kau!"
Mendadak bentaknya, "Atur barisan pedang, tangkap orang ini hidup-hidup!"
Para jago Kiam-hong-ceng serentak menyebarkan diri dan mengurung Piong-ciu-it-kiam di tengah, setelah itu serentak mereka turun tangan bersama.
Pada waktu Tiong-ciu-it-kiam terkepung, buru-buru
Lamkiong Giok kabur lebih jauh lagi, baru saja hatinya girang karena berhasil lolos, mendadak dari empat penjuru bergema suara langkah manusia.
Ketika dia berpaling, ia terkesiap, tertampak Oh Kay-thian dan Coan-sin-loni masing-masing berjaga di satu sudut, sedangkan Ki-siao-it-to dari Bu-tong-pai juga menyusul tiba.
Dalam waktu singkat dia menghadapi musuh tangguh dari tiga penjuru, hal ini membuat air mukanya berubah hebat, dia segera berusaha mencari akal guna meloloskan diri.
Selain itu Lamkiong Giok juga merasa heran, kenapa sampai sekarang Lamkiong Hian belum juga turun tangan"
Apakah ayahnya mengalami kejadian lain" Atau menganggap kitab pusaka Hek-Hong-kang itu tak perlu dibela lagi Mungkin hal tersebut bukan alasan yang sesungguhnya, ketika masih berada dalam Kiam-hong ceng, ayahnya telah menyusun rencana yang sempurna untuk meraih
kemenangan, tak nanti dia akan mnlepaskan kitab pusaka nomor wahid di dunia dengari begitu saja.
Apalagi kitab tersebut jelas telah berada di tangannya sekarang, tak mungkin ayahnya akan melepaskannya,
Timbul rasa curiganya, dia tak tahu apa yang terjadi, tanpa terasa ia berpaling ke belakang. Ternyata ayahnya sedang berbisik-bisik dengan It-hu Taysu, tampaknya seperti memperbincangkan sesuatu.
Apa pula arti semua ini" Apakah ayahnya dan It-hu Taysu adalah sobat lama" Atau....
Mendadak terdengar bentakan keras berkumandang dari belakang, dengan terkejut dia berpaling. Tertampak Siao-ki-it-to dari Bu-tong-pay sedang mengawasinya sambil tersenyum sinis, senyuman aneh dan misterius, membuat orang tak bisa menebak isi hatinya.
Lamkiong Giok segera mendengus, tegurnya, "Kalian bertiga masing-masing adalah ketua suatu perguruan, masakah hendak main kerubut terhadap saorang muda seperti diriku?"
Perlu diketahui, sejak kecil Lamkiong Giok dibesarkan dalam kalangan hitam, meski ayahnya selalu muncul dalam dunia persilatan dengan macam-macam kebajikan palsu, namun secara diam-diam selalu melakukan perbuatan yang mencelakai orang, ini menyebabkan Lamkiong Giok menjadi ketularan menguasai berbagal cara keji, terutama kelicikan dan kebusukan hatinya boleh dibilang sudah mewarisi sang ayah,
Ditegur secara begitu oleh Lamkiong Giok, sebagai tokoh yang termashur dalam dunia persilatan, mau-tak-mau merah padam juga mukanya.
Terutama sekali Ki-sian-it-to dan Coan-sin-loni, mereka sdalah jago-jago yang berkedudukan, tinggi dalam dunia persilatan, kendatipun mereka berdua tidak menyatakan berhasrat merampas kitab pusaka itu, tak urung mukanya terasa panas.
Dengan dingin Coan-sin-loni berkata, "Asal Siaucengcu bersedia melepaskan kitab pusaka Hek-lioog-kang itu, tentu takkan kubikin susah dirimu!"
"Oh, andaikata aku tidak bersedia?" sahut Lamkiong Giok.
Dengan marah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian berseru,
"Kalau begitu, boleh kau tinggal selamanya di sini!"
Mendadak dari sebelah lain bergema suara jeritan
memilukan, tertampak Tiong-ciu-it-kiam seperti harimau ganas secara beruntun telah membinasakan dua orang jago lihai Kiam-hong-ceng.
Dengan lenyapnya kedua orang itu, barisan pedang
menjadi kacau, orang-orang itu semakin tak mampu
mengurung Tiong-ciu-it-kiam. tampaknya dia segera akan terlepas dari kepungan.
Lamkiong Giok menjadi gelisah, cepat teriaknya, "Ayah, bantu"
Berbareng itu dengan segenap tenaga beruntun dia
lepaskan lima bilah pedang pendeknya, seketika hawa pedang menyelimuti angkasa.
Kelima bilah pedang itu merupakan jurus andalannya, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dan Coan-sin-loni tidak menyangka pihak lawan akan melancarkan serangan lebih duluan, melihat hawa pedang menyambar tiba, kedua orang itu mundur beberapa langkah, justru hal ini memberi peluang bagi Lamkiong Giok untuk kabur.
"Sambutlah seranganku lagi!" teriak anak muda itu, mendadak lima bilah pedang berhamburan pula, sementara, orangnya kabur meninggalkan tempat itu.
Dua orang jago lihai ternyata dipermainkan seorang pemuda, hal ini tentu saja mengobarkan kemarahan mereka.
Mereka membentak, serentak menyusul ke depan dengan cepat.
Mendadak Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai tergelak dan berkata, "Lamkiong-lote, perhitungan swipoamu terlalu bagus"
Ia terus melompat ke depan dan mengadang di depan anak muda itu.
Lamkiong Giok menjadi murka, damperatnya,
"Tosu tua, rasakan pedangku!"
Pedang perak menabas dengan jurus Thian-lo-te-wang (jaring langit dan jala bumi), bayangan pedang terpancar ke empat penjuru, tak malu ia disebut sebagai Huan-in-kiam atau si pedang pelangi.
Ki-sian-it-to tertawa nyaring, serunya, "Ternyata ilmu pedang Huan-in-kiam juga cuma begini saja!"
Pedangnya berputar kencang menyongsong serangan
lawan, Lamkiong Giok merasakan tangannya bergetar, bayangan lima jari lawan tahu-tahu juga mencengkeram tiba.
"Habis aku kali ini!" keluhnya dalam hati, sedapatnya ia melayang mundur.
Ternyata tenaga dalam Ki-sian-it-to jauh melampaui apa yang dibayangkannya baru saja badannya bergerak,
seranganya menyusul tiba pula.
"Biar kuadu jiwa denganmu!" teriak Lamkiong Giok murka, ia tidak menghindar dan tidak berkelit lagi, kelima bilah pedang pendek dari arah yang berbeda sekaligus menghujani Ki-sian-it-to.
Jurus Thian-san-ti-Iok (setitik embun dari Thian-san) ini merupakan jurus terampuh ilmu pedang Huan-in-kiam-hoat, juga merupakan jurus untuk beradu jiwa.
Ki-sian-it-to mendengus, telapak tangan kiri menahas, sedang pedang ditangan kanan ikut menusuk.
Mendadak suara tertawa dingin berkumandang, belum lagi bayangan orang tiba, beritakan gusar telah menggelegar,
"Tosu tua, kau berani melukai dia!"
Menyusui bentakan itu Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian telah muncul di depannva. kontan ia melepaskan dua serangan berantai.
Ki-sian-it to tak mau menyambut gerangan kalap itu dengan kekerasan, cepat ia tinggalkan Lamkiong Giok dan melompat mundur.
"Giok-ji, cepat pergi! " bentak Lamkiong Hian kemudian dengan suara tertahan.
Huan-in-Kiam Lamkiong Giok tak berani berayal lagi, dia tahu berhasil lolos atau tidak bergantung pada detik tersebut, segera pemuda itu kabur ke depan.
Keempat penjuru di sekitar situ merupakan jalan kecil yang tandus, hanya sebelah kanan merupakan hutan lebat, dengan cepat dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya kabur kearah hutan.


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu, setelah mendesak mundur Ki sian-it-to, Kiam hong cengcu Lamkiong Hian tidak berhenti sampai disitu saja, dia membentak dan beruntun melancarkan pula delapan kali pukulan dan tiga tendangan kilat.
Kedelapan kali pukulan dan ketiga tendangan tersebut dilancarkan ke arah Oh kay thian dan Coan-sin-Loni yang mengekor tiba dari belakang, seketika itu juga kedua orang tersebut terdesak balik.
Ki-sian-it to tak mau tertahan disitu, dengan cepat dia mengejar ke arah Lamkiang Giok.
Mendadak Lamkiong Hian membentak :"Totiang, berhenti!"
Telapak tangan kirinya siap di depan dada, sementara telapak tangan kanannya melancarkan pukulah dahysat, angin serangan yang kuat mendampar punggung Tosu itu.
Buru-buru Seng-gwat-kiam Oh khay thian berteiak "tutup rapat sekeliling hutan, jangan sampai dia kabur!"
Serentak para jago Thian-seng-po menyebarkan diri ke empat penjuru meninggalkan para jago Kiam hong ceng, mereka serentak berlarian menuju ke araha Huan-in-kiam Lamkiong Giok.
Tiong-ciu-it-kiam tergelak, setelah membinasakan delapan orang, katanya "Lamkiong Hian, sekarang diantara kita sudaha da hutang piutang yang perlu diperhitungkan."
Tubuhnya yang kekar menerjang maju, mukanya diliputi nafsu membunuh, begitu turun tangan langsung jurus mematikan.
Lamkiong Hian mendengus, dia balas serang dua kali pukulan berantai.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Seng-Gwat-kiam Oh-Kay-thian, "Bagaimanapun biar Lamkiong Giok berhasil kabur, Lamkiong Hian toh masih ada, mengapa tidak kubunuh tua bangka ini kemudian baru mengobrak-abrik Kiam-hong-cengnya" Bukankah tindakan ini jauh lebih baik?"
Setelah mengambil keputusan, dia terbahak-bahak, ujarnya
"Meski hwesio-nya kabur, kuilnya tak akan lari. Hei Hwesio dan nikoh, mari kita binasakan dulu makhluk tua ini, kemudian baru merampas kitab itu di Kiam-hong-ceng, mumpung ada kesempatan, musuh tangguh ini perlu disingkirkan lebih dulu!"
Begitu selesai berkata, pedang Seng-gwat-kiam dengan menciptakan sejalur hawa berwarna kehijau-hijauan segera menyambar ke depan.
Semangat Lamkiong Hian berkobar, katanya sambil
terkekeh, "Biar kalian maju bersama juga akan kusambut kerubutan kalian."
It-hu Taysu cuma berdiri membungkam disamping, ketika melihat para jago hendak main kerubut, keningnya segera berkerut, katanya :" Omitohud! Jika Lamkiong sicu belum juga mau sadar, bisa jadi engkau akan bikin susah diri sendiri!"
Siapapun tak tahu apa sebabnya dia mengucapkan
perkataan itu, tapi kalau melihat perbincangannya dengan Lamkiong Hian tadi, tampaknya pendeta agung ini bermaksud menyadarkan gembong iblis ini dengan kebajikannya.
Lamkiong Hian terbahak-bahak, katanya "Hweeshio gede, lebih baik jangan banyak berbicara, ada tujuan ku sendiri."
"Omitohud!" gugam pendeta itu lirih, dengan wajah khidmat dia mengundurkan diri dan tidak bicara lagi.
Seng-Gwat-kiam Oh-Kay-thian menjengek,"Buat apa taysu banyak bicara, dia ingin mencari kematian sendiri!"
Lamkiong Hian tertawa dingin, sambil melancarkan suatu pukulan serunya keras:"Oh Kay-thian, sambut dulu pukulan ini!"
Air muka Seng-Gwat-kiam Oh Kay thian berubah hebat, buru-buru dia mendorong telapak tangannya untuk
menyambut ancaman itu dengan kekerasan.
"Blang!" Benturan keras terjadi, kabut kuning bertebaran hingga sulit membedakan bayangan manusia.
Kedua orang itu sama-sama tergetar, mereka saling
mengagumi tenaga dalam lawannya.
Ketika melihat Lamkiong Hian mundur, Tiong ciu-it-kiam segera membentak, "Rasakan tusukan ku ini!"
Awan gelap menyelimuti angkasa, pertarungan sengit yang melibatkan beberapa orang itu berlangsung dengan amat tegang.
Senja semakin kelabu, dalam suasana pertarungan yang seru, diatas bukit sana seorang nona berbaju biru bercadar sedang termangu-mangu memandang awan diangkasa.
Dibelakangnya dengan tenang berdiri dua orang nona berbaju putih, yang satu selalu mengulum senyum bagaikan bunga yang sedang mekar, sedangkan yang lain bermuka dingin bagaikan bunga bwe ditengah salu, mereka tak lain adalah Pek Bi dan Pek Sat berdua.
Tentu saja, gadis berbaju biru yang mengenakan kain cadar itu tak lain adalah si gadis aneh dari Hek liong-kang.
Dengan sedih ia menghela napas panjang, kedua matanya mengawasi pertarungan dibawah bukit, lebih-lebih
diperhatikannya Bok Ji-sia yang terkapar ditanah.
Dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya,
perlahan Pek bi berjalan kemuka, setibanya disisi gadis berbaju biru itu, tanyanya:"Nona sudah sekian lama ia tidak merangkak bangun, bagaimana kalau kita tolong dia?"
Wajah Pek Sat yang dingin bertambah dingin, katanya ketus: "Kalau nona menginginkan kematiannya akan kupergi membunuhnya sekarang juga!"
Sekujur badan nona berbaju biru itu agak gemetar,
kemudian mengeleng kepala beberapa kali, rupanya dia tidak setuju dengan tindakan Pek Sat yang tak berperasaan itu.
"Siapa yang menyuruhmu ngaco-belo disini!" hardiknya marah.
Pek Sat tertegun dan cepat tutup mulut, sementara hatinya merasa sangsi, ita tidak habis mengerti kenapa sikap nonanya hari ini begitu kalut sampai berbicarapun tak keruan.
Setelah menghela napas sedih, Pek Bi lantas berkata :"Aku merasa heran, sejak nona berjumpa dengan Bok Ji-sia, tampaknya engkau sedang mengubah diri, kutahu diam-diam nona...."
"Apa kau bilang?" potong si nona dengan rawan.
"Kau mencintainya!" ujar Pek Bi dengan serius. tampaknya ia menjadi lebih berani dari biasanya,.
Mendadak air muka si nona berbaju biru berubah, dia tak menyangka Pek Bi bisa mengungkap perasaannya, terutama sekali ia terperanjat karena Pek Bi berani bicara secara blak-blakan padanya.
Melihat si Nona tidak bicara, Pek Bi berkata lebih jauh,
"Nona, jika engkau mencintainya, mengapa pula engkau berikan sejilid kitab palsu kepadanya dan membiarkan ia mengalami macam-macam penderitaan! Bahkan karena kitab palsu itu sampai jiwanya turut melayang?"
"Kita harus membalas dendam," kata si nona berbaju biru denjan ketus, "hendak kulihat dia menyulut sumbu api untuk daerah Tionggoan, agar semua orang membencinya, supaya setiap orang yang mencintainya meninggalkan dia, agar daerah Tionggoan banjir darah....."
Sekeji-kejinya orang, hati perempuan terlebih keji, dari sini bisa diketahui betapa jahatnya niat nona berbaju biru itu, dan bisa dilihat pula betapa bencinya nona Itu terhadap Bok Ji-sia.
Ai, masa depan Bok Ji-sia jelas akan bertambah suram...
Setelah menghela napas sedih, katanya lagi sambil
menuding ke bawah bukit sana, "Sekarang baru suatu permulaan, coba kalian lihat, pertunjukan bagus sedang berlangsung lagi!"
Mengikuti arah yang ditunjuk, tertampak pertarungan di bawah sana semakin panas, Lamkiong Hian yang bertarung
melawan empat musuh sudah penuh luka, tapi ia masih bertahan terus dengan sekuat tenaga.
Dia berharap anaknya, Lamkiong Giok bisa lolos dengan selamat dan pulang ke Kiam-hong-ceng,
Mendadak..... dari balik hutan lebat sana berkumandang jeritan ngeri yang membuat orang bergidik.
Pertarungan di arena pun serentak terhenti oleh jeritan itu, air muka Lamkiong Hian berubah hebat, hatinya terasa tenggelam, dan terus tenggelam...
Itulah suara Lamkiong Giok, suaranya tentu saja dikenal oleh Lamkiong Hian dengan baik karena siang, malam suara anak selalu terdengar olehnya.
Ia menjadi sangat gelisah dan menerjang ke arah hutan sana, sekarang dia hanya berharap semoga Lamkiong Giok tetap sehat, ia tidak peduli lagi terhadap lukanya sendiri.
"Tua bangka celaka, kau ingin kabur?" bentak Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dengan gusar.
Diiringi gelak tertawa seram ia melompat ke depan, segera angin tajam menyabat punggung Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian
"Orang shs Oh, lebih baik kau pulang saja!" bentak Limkioug Hian sambil tertawa seram.
Tanpa berpaling suatu pukulan dilontarkan ke belakang, sementara gerak tubuhnya tak berhenti, secepat kilat ia meluncur beberapa tombak ke depan.
Pada suat itulah mendadak tertampak bayangan hitam berkelebat dari dalam hutan, seseorang muncul dari balik pepohonan dengan sempoyongan. Orang itu tak lain adalah Lamkiong Giok, cuma sudah bertangan kosong, badannya penuh berlepotan darah.
Kitab pusaka Hek-liong-kang sudah tidak berada padanya lagi, hal ini membuat kawanan iblis ikut melengak.
"Ayah, barangnya dirampas orang!" seru Lamkiong Giok sambil terengah-engah.
Baru selesai berkata, segera ia roboh terkapar, napasnya berat, air mata membasahi wajahnya, ditatapnya wajah sang ayah dengan sinar mata minta belas kasihan.
Tergetar perasaan Lamkiong Hian, serunya, "Siapa yang melakukan hal ini" Biar ayah bunuh dia untuk melampiaskan sakit hatimu!"
"Ananda sendiri juga tidak tahu!" jawab Lamkiong Giok sambil tersenyum pedih.
Lamkiong Hian tambah gusar, apalagi mengetahui
Lamkiong Giok tak tahu siapa gerangan musuhnya, sambil mengentakkan kaki ke tanah dia berseru, "Manusia tak berguna, kau hanya bikin malu diriku saja!"
Tiba-tiba dari balik hutan bergema gelak tertawa merdu penuh bernada cemooh "Heheha, Lamkiong Hian, buat apa marah-marah" Kalau punya kemampuan ayolah masuk sendiri kemari! Hahaha...."
Dedaunan dalam hutan itu serasa tergetar oleh gema gelak tertawa orang itu, burung beterbangan karena ketakutan, tapi sejenak kemudian suasana dalam hutan itu pulih dalam keheningan.
"Siapa kau?" bentak Lamkiong Hian dengan terperanjat,
"kenapa tidak berani menampilkan diri?"
Mendadak dari dalam hutan berkumandang suara bentakan nyaring, "Enyah dari. sini!"
Menyusul terdengarlah dua kali jeritan ngeri menggema memecahkan keheningan, dua sosok bayangan manusia
bagaikan bola saja tahu-tahu terlempar keluar dari balik hutan
dan tergeletak mampus, darah bercucuran dari ke tujuh lubang indera mereka.
Suara dengusan segera berkumandang pula dari dalam hutan, "Hai, Oh Kay-thian, buat apa kau suruh gentong-gentong nasi ini mengantarkan kematiannya" Kalau punya nyali lebih baik kau masuk sendiri..."
Gusar Seng gwat-kiam Oh Kay-thian menyaksikan anak buahnya dibanting mampus secara gampang oleh lawan, bentaknya murka, "Baik, akan kulihat manusia macam apakah dirimu!"
Diiringi pekikan nyaring, secepat terbang Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menerobos masuk ke dalam hutan, hanya sekejap saja bayangannya sudah hilang dari pandangan.
Melihat Oh Kay-thian telah masuk ke dalam hutan,
Lamkiong Hian tak berani ayal lagi, buru-buru dia
mengeluarkan sebutir pil dan dijejalkan ke mulut Lamkiong Giok seraya berkata, "Anak Giok, ayah akan pergi dan segera kembali"
"Ayah, jangan pergi!" seru Lamkiong Giok dengan wajah ketakutan.
Jelas nyali Lamkiong Giok telah dibikin pecah oleh orang dalam hutan itu; tapi kejadian apakah yang membuatnya begitu ketakutan" Apakah orang di dalam hutan itu" Atau...
Pada saat itulah mendadak bergema suara tertawa merdu dari balik hutan, "Kaupun enyah saja dari sini!"
"Plak!" tubuh Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang tinggi besar itu tahu-tahu terlempar pula sejauh dua tombak lebih dari hutan.
Dengan wajah bingung bercampur ngeri Oh Kay-thian
merangkak bangun dan berdiri termangu-mangu, kedua pipinya membengkak, jelas baru saja kena ditempeleng orang.
Sesungguhnya siapakah orang itu" Ya, siapa"
Dalam deretan jago kenamaan dunia persilatan Seng-gwat kiam Oh Kay-thian termasuk juga seorang tokoh yaog bisa diandalkan, sekalipun tenaga dalamnya belum paling top, diapun terhitung jago kelas satu dalam dunia persilatan, tapi nyatanya sekarang ia kena dilemparkan terang dari dalam hutan.
Dari sini dapat diketahui kepandaian orang itu betul-betul sudah mencapai tingkatan yang sukar dibayangkan.
Dengan perasaan waswas Tiong ciu-it-kiam lantas
bertanya, "Saudara Oh, apa yang terjadi sebenarnya?"
Serentak semua jago mengalihkan pandangannya ke wajah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, sekalipun It-hu Taysu dari Siau-lim-pai juga tak urung pasang telinga dengan rasa ingin tahu.
Oh Kay-thian tertawa pedih, katanya seraya menggeleng kepala, "Sungguh memalukan sekali bila dibicarakan, jangankan menyentuh ujung bajunya, melihat tampangnya saja belum dan tahu-tahu badanku sudah terlempar keluar. Ai, coba kalau orang itu tidak mengampuni jiwaku, mungkin saat ini aku...."
Para jago semakin terkesiap setelah mendengar penuturan itu, siapa pun tidak menyangka dalam hutan itu terdapat seorang jago yang begini lihai, hanya sekali gerakan saja berhasil mendesak mundur seorang tokoh lihai dunia persilatan, bukan mustahil tidak ada yang mampu menandingi orang itu di antara yang hadir sekarang ini.
Dengan perasaan terkesiap Tiong-ciu it-kiam berseru lagi,
"Bagaimana dengan kitab pusaku Hek-liong-kang ,.."
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa pedih, "Bayangan orang saja tak sempat kulihat jelas, apalagi kitab pusaka tersebut!"
"Aku ingin berjumpa dengan jago lihai itu!" kata Ki-sian-it-to sambil tertawa dingin,
"Berada di hadapan jago lihai, akupun tak ingin melewatkan kesempatan ini!" sambung Coan-sin loni dari Go-bi-pay sambil tertawa.
Mendadak dari dalam hutan bergema pula suara tertawa yang bernada mencemooh, begitu suara tertawa itu sirap, keadaan pulih kembali dalam keheningan.
Suasana yang seram menyelimuti seluruh hutan dan juga menekan perasaan tiap orang.
Sejak puteranya mencegah kepergiannya tadi"
Lamkiong Hian tahu permintaan anaknya itu pasti ada sebab-sebab tertentu, apalagi setelah menyaksikan Oh Kay-thian terlempar keluar, hal mana semakin membuktikan kebenaran apa yang dipikirnya.
Maka sewaktu tokoh Bu-tong-pai dan Go-hi-pai menyatakan akan masuk ke hutan, Lamkiong Hian tidak memberikan pendapat apa-apa melainkan hanya menyaksikan kepergian mereka dengan pandangan dingin, dia ingin menyaksikan dulu kejadian apa yang akan dialami kedua orang itu, kemudian baru mengambil tindakan.
Dengan melintangkan telapak tangan di depan dada dan sikap siap menghadapi segala kemungkinan, Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai dan Coa-sin-loni dari Go-bi-pai menuju ke depan hutan, kemudian berhenti dan memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu.
Mereka berdua saling bertukar pandang sekejap kemudian melangkak masuk ke dalam hutan. Mereka sangat berhati-hati dan tak berani bertindak gegabah karena orang itu berada dalam kegelapan, gedangkan mereka berada di tempat yang terang.
Mendadak Tiong-ciu-it-kiam melompat maju seraya
berseru, "Harap kalian tunggn sebentar, aku bersedia berjalan paling depan!"
Rupanya dia kuatir Ki-sian-it-to dan Coan-sin-loni akan mendapatkan kitab pusaka Hek-liong-kang di dalam hutan, ia pikir dengan gabungan tenaga mereka bertiga niscaya orang itu dapat di-taklukan..
"Bagus sekali." kata Coan-sin-loni, "mari kita bertiga kekerja sama sekali ini!"
Dengan posisi segi tiga mereka pelahan berjalan menuju ke dalam hutan, air muka mereka berubah amat serius, jelas tak berani memandang rendah kepandaian orang itu,
Bagaimanapun ketiga orang ini adalah ketua suatu
perguruan besar yang bisa di andalkan, masing-masing orang dengan tangan melindungi dada dan senjata terhunus, selangkah demi selangkah mereka masuk ke dalam hutan.
Pada saat itulah mendadak dari dalam hutan
berkumandang suara tertawa cekikikan yang nyaring, jalu seorang menegur, "Betulkah kalian bertiga ingin masuk kemari?"
"Siapa yang takut kepadamu!" jawab Ki-sian-it-to sambil tertawa dingin.
Mengikuti arah suara tadi dia menerjang ke depan, tenaga dalam yang terhimpun pada telapak tangan kanan segera melepaskan pukulan dahsyat.
"Kraak!!" sebatang pohon tersambar oleh pukulannya dan patah menjadi dua.
Suasana di dalam hutan yang rimbun dan gelap itu tetap sepi tak ada sedikit suara pun, yang terdengar cuma deru angin kencang yang berembus-
Embusan angin itu aneh sekali kedengarannya, bagaikan tiupan angin dari neraka, makin lama semakin kencang, menderu tajam dan memekak telinga-Mendadak terdengar suara tertawa merdu bergema
memecah keributan angin kencang tersebut. Ketiga tokoh ini terperanjat sekali, sebab suara tertawa tadi berjangkit dari delapan penjuru, membuat orang sukar menentukan dari mana berasalnya suara tersebut
Setelah berhenti tertawa, dengan suara yang dingin seperti es orang itu berkata, "Besar amat hasrat kalian bertiga mengunjungi tempat ini, berani benar-melanggar pantangan Hutan Kematian!"
"Hutan Kematian", nama yang terasa asing sekali, belum pernah ada orang persilatan yang bicara tentang "hutan kematian", sedangkan mereka yang sepanjang tahun berkelana dalam dunia persilatan pun tidak tahu apa maksud yang sebenarnya istilah, "hutan kematian" itu"
Sambil menggetarkan pedang Tiong-ciu-it-kiam tergelak, katanya, "Kau ini manusia apa" Sudah berani mengangkangi hutan, berani pula memberi nama hutan ini sebagai Hutan Kematian!"
"Mulutmu paling kotor dan hatimu jahat, kau terhitung yang paling busuk di antara kalian bertiga, mengingat baru kali ini kau melakukan perlanggaran, sekarang juga enyah dari sini!" bentak orang di balik hutan itu.
Begitu selesai berkata, dengusan tertahan bergema dalam kegelapan, bagaikan mendadak terembus angin saja, Tiongciu-it kiam merasakan badannya menggigil.
Seat itu juga, Tiang ciu it kiam yang sebenarnya penuh harapan, seketika merasa putus asa, dada terasa tergetar dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke belakang.
Untung saja tenaga dalamnya cukup sempurna, begitu merasakan keadaan tidak beres, segera ia berguling di atas tanah, dalam sekejap ia terlempar sejauh dua-tiga tombak keluar hutan.
Belum lagi berdiri, dia muntah darah segar mukanya berubah menjadi pucat seperti mayat.
Ki-sian-it-to belum lagi mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu jejak Tiong-ciu-it kiam sudah lenyap, keruan ia terkejut.
"Toyu, kenapa kau?" serunya.
Suasana dalam hutan itu sunyi senyap, hakikatnya tiada kedengaran juara jawaban dari Tiong-ciu-it-kiam, sama sekali dia tidak menyangka Tiong-ciu-it-kiam telah terhajar keluar hutan oleh manusia misterius di dalam hutan itu.
Meski Coan-sin-loni merasakan keadaan yang aneh, akan tetapi dia tak menyangka orang itu sedemikian lihainya, tanpa menampakkan diri bisa menghajar seorang tokoh sampai mencelat.
Dengan perasaan kejut bercampur gusar segera bentaknya,
"Totiang, mari kita periksa sekitar sini, kemudian kita menyerang bersama!"
Kedua orang itu tidak bicara lagi, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh serentak mereka menyerbu ke dalam hutan.
Mendadak terdengar lagi seorang berseru sambil tertawa merdu, "Kalian berdua adalah orang-orang kenamaan dalam dunia persilatan, kenapa begitu tak tahu diri?"
Baru saja tubuh kedua orang itu melambung ke atas, mendadak muncul segulung tenaga isapan yang maha dahsyat menahan tubuh mereka berdua di udara.
Terkejut sekail kedua orang itu. ternyata mereka tak sanggup melayang turun ke atas tanah.
"Pergilah!" bentakan nyaring kembali menggema Kedua orang itu kembali terkesiap, belum sempat mereka ganti gerakan, tahu-tahu mereka meluncur ke depan dengan cepat.
"Habis riwayatku!" keluh kedua orang itu dalam hati. Tapi nyatanya mereka melayang turun ke atas tanah dengan enteng.
Waktu ke dua orang itu membuka mata kembali, tertampak mereka berada di luar hutan tanpa menderita luka apapun, mereka merasa seakan-akan sedang bermimpi saja, apa yang terjadi tadi seketika berkecamuk di dalam benaknya, Para jago lain pun mengawasi kedua orang itu dengan terkesiap, agaknya mereka ingin mendapat keterangan apa yang terjadi.
"Kami telah kecundang semua!" ucap Coan-sin-loni sambil tertawa sedih.
"Kita bakar saja hutan ini!" tiba-tiba Tiong-ciu-it-kiam berteriak.
Barusan tapun kecundang, rasa dendamnya belum hilang, maka ketika dilihatnya semua orang juga terpukul mundur kembali, timbul ingatan jahatnya, dia berniat membakar hutan sekalian membakar orang tadi sampai mati.
Dengan dingin Oh Kay-thian berkata, "Dengan kepandaian orang ini, bukan saja kita tak akan berhasil membakarnya sampai mati, mungkin sebelum kita turun tangan orang itu sudah keburu pergi jauh!"
Dengan perasaan tak puas Tioog-ciu-it-kiam mendengus, katanya, "Hm, tempat ini adalah bukit Bong-hong-po, hutan lebat itu menghadapi sungai, sekalipun tenaga dalamnya lebih hebat juga jangan harap akan melewati telaga Tim-mo-than (telaga bulu tenggelam) yang beberapa puluh tombak luasnya,
jika ingin kabur, dia harus melewati jalan ini, paling tidak dapat kupaksa dia menampakkan diri."
Lamkiong Hian merasa cara ini boleh juga dilaksanakan, dia lantas berkata, "Walaupun usulmu cukup bagus, cuma kitab pusaka kan juga akan turut terbakar!"
"Hmm, sekalipun tenaga dalamnya sudah mencapai tingkatan nomor satu di dunia, tak nanti kitab pusaka yang diperolehnya itu dibuang begitu saja, asal dia muncul sambil membaca kitab tadi, kita bisa mengadangnya dan merampas kitab tersebut!"
Ki-sian It to termenung sejenak, lalu katanya "Kehebatan kungfunya belum kita lihat dengan mata kepala sendiri, aku tak percaya di dunia ini bisa terdapat seorang jago yang berilmu sedemikian hebatnya, kukira tujuannya tidak pada kitab pusaka itu melainkan..... "
Tiba-tiba dari tengah hutan bergema lagi suara tertawa merdu, lalu serunya lantang, "It-hu Taysu, bagaimana kalau engkau masuk sebentar ke dalam hutan!"
-0"0- Siapakah gerangan tokoh misterius yang menguasai "Hutan Kematian" itu"
Bagaimana nasib Bok Ji-sia yang terkapar itu"
-oo0dw0oo- Jilid 23 It-hu Taysu melengak, sebagai seorang pendeta agung dia tak ingin membawa pihak Siau-lim-si terlibat dalam pertikaian dunia persilatan, tak disangka orang lain justeru mencarinya.
"Omitohud!" ujarnya memuji keagungan sang Budha,
"harap Sicu tanggu sebentar, segera kudatang!"
Dengan wajah kereng dia mengebaskan lengan jubahnya, kemudian dengan enteng melayang ke depan,
"Hati-hati Taysu!" Coan-sin-loni memberi peringatan, "Iblis itu tak boleh dipandang enteng!"
Perlu diketahui, hubungan Coan-sin-loni dan It-hu Taysu boleh dibilang sangat akrab, orang persilatan juga tahu pada waktu muda mereka dulu adalah sepasang kekasih.
"Terima kasih atas perhatian Toyu" sahut It-hu Taysu sambil berpaling, "bisa kujaga diriku."
Tenaga dalamnya sudah mencapai kesempurnaan,
kungfunya juga tinggi, sekali berkelebat ia lantas lenyap ke dalam hutan.
Suasana dalam hutan sunyi sepi tak terdengar sedikit suara pun ....
Para jago merasa gelisah dan cemas, lebih-lebih Coan-sin-loni dari Go-bi-pai, ia meragu duduk tak tenang, berdiripun tak enak, hatinya benar-benar sangat gelisah ....
Sekian lama telah lewat pula.
It-hu Taysu tetap belum tampak muncul juga dari hutan, betapa mereka coba memperhatikan suasana di depan sana dengan saksama, namun hutan itu tetap sepi tidak nampak gejala terjadinya pertempuran, kepergian paderi agung itu seakan-akan lenyap dengan bsgitu saja,
Akhirnya Coan-sin-loni tidak sabar lagi, serunya, "Biar kumasuk ke sana untuk menengok keadaannya!"
Sejak puteranya terluka tadi, sesungguhnya Lamkiong Hian sudah berniat masuk ke hutan menemui tokoh aneh itu, ketika dilihatnya Coan-sin-loni isgin melakukan penyelidikan, seketika keberaniannya juga berkobar.
Sambil tertawa katanya, "Aku bersedia untuk menemani Siancu masuk ke dalam hutan!"
"Percuma saja kalian berdua masuk ke situ," sela Tiong-ciu-it-kiam dengan dingin, "lebih baik kita bakar saja hutan ini sampai rata dengan tanah!"
Mendadak... It-hu Taysu muncul kembali dari hutan, ia muncul dengan wajah penuh rasa sangsi.
Melihat itu, mencorong sinar mata para jago, beratus pasang mata terentak tertuju ke arah paderi agung itu.
Semula mereka menduga It-hu Taysu pasti mengalami
pertempuran sengit, siapa tahu paderi itu tampak aman tenteram dan wajar, sama sekali tidak terlihat adanya tanda-tanda bekas pertempuran,
Coan-sin-loni segera maju sambil menegur, "Taysu, sudahkah kau berjumpa muka dengan orang itu?"
"Belum, cuma aku sudah tahu siapakah dia!"
Semua jago sama memasang telinga, mereka ingin tahu asal-usul tokoh lihai dan misterius itu, terutama sekali Huan-in-kiam Lamkiong Giok, untuk sesaat dia menjadi lupa pada luka yang dideritanya dan bangkit berdiri.
"Taysu, siapakah dia?" tanyanya cepat.
"Omintohud, dia adalah Kim-teng Cinjin .... "
"Haah"!" jeritan kaget bergema di sana sini.
Konon Kim-teng Cinjin adalah seorang iblis yang
termashyur namanya pada ratusan tahun berselang, angkatan tua dalam dunia persilatan sekarang kebanyakan tahu kelihaian orang ini. Cuma kebanyakan mereka hanya pernah mendengar tentang kelihaiannya, namun belum pernah berjumpa dengan Kim-teng Cinjin pribadi, sehingga banyak yang mengira cerita tersebut hanya dongeng belaka.
Tapi nyatanya sekarang, seratus tahun kemudian tiba-tiba orang itu muncul di dalam hutan, mungkinkah ia sudah
mencapai tingkatan sempurna yang bisa hidup panjang umur tanpa mati"
"Taysu, apakah benar Kim-teng Cinjin?" seru Tiong-ciu-it-kiam dengan perasaan terperanjat.
"Bukan, dia adalah muridnya!" kata It-hu Taysu sembari menggeleng kepala.
Mendadak dari balik hutan berkumandang lagi suara
tertawa tak senang hati, lalu seseorang menegur. "Taysu, kenapa tidak kau laksanakan pekerjaan seperti perjanjian!"
Hati It-hu Taysu tergetar, cepat sahutnya, "Aku akan ...."
Belum habis dia berkata, secepat kilat ia menerjang ke muka.
It-hu Taysu menghampiri Bok Ji-sia yang menggeletak itu, setelah berseru memuji keagungan Buddha, dengan sangat berhati-hati dia memondong tubuh anak muda itu,
"Jangan sentuh dia!" mendadak bentakan nyaring bergema. Menyusul bayangan orang berkelebat, tahu-tahu di situ sudah bertambah tiga orang nona.
Dengan tenang It-hu Taysu bertanya, "Omitohud!!
Mengapa nona melarang aku menyentuhnya?"
Si nona baju biru yang berada di antara dua orang nona berbaju pulih lainnya segera berkata dengan dingin, "Lukanya amat parah, bila kau sentuh dia, hal mana hanya akan mempercepat kematiannya saja."
Dengan wajah dingin It-hu Taysu berkata, "Orang beragama lebih mengutamakan kebajikan, justeru lantaran gawat keadaannya, aku bermaksud menyerahkan dia kepada seorang Cianpwe untuk mohon pertolongan baginya!"
"Di kolong langit saat ini kecuali aku seorang yang bisa menolong dia, tiada orang kedua yang memiliki ilmu pertabiban selihai ini," bentak si nona berbaju biru itu nyaring
"jika Taysu menyerahkan dia kepada seorang bocah yang bernama kosong, bukankah tindakan ini sama halnya dengan mencelakai jiwanya!"
It-hu Taysu agak tertegun, kemudian katanya.
"Kedua tanganku tak pernah berpelepotan darah, tapi keadaan hari ini sangat berlainan, terpaksa akan kulakukan menurut apa adanya,"
Setelah berhenti sebentar, dia berpaling dan membentak lagi, "Kalau nona memiliki ilmu pertabiban yang tinggi, mengapa sejak tadi tidak menolongnya melainkan cuma omong kosong saja?"
"Kau tidak berhak mencampuri urusan nonamu, pula mati-hidupoya tiada sangkut pautnya denganmu!" jawab si nona baju biru dengan dingin.
Pada saat itulah tiba-tiba Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian mendekat sambil berseru, "Taysu, dia adalah pemilik yang sebenarnya atas kitab pusaka Hek-liong-kang!"
Mendengar perkataan itu, hati It-hu Taysu bergetar pula, segera ia merangkap tangannya dan memuji keagungan sang Budha.
"Omiotohud, kalau nona adalah pemilik kitab pusaka itu, apa sebabnya kitab tersebut tidak kau-kawal sendiri pulang ke Hek-liong-kang, sebaliknya menyuruh seerang pemuda yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Hek-liong-kang-pai untuk mencari gara-gara?"
"Ini adalah urusanku sendiri, kau tidak berhak mengetahuinya," jawab nona berbaju biru itu.
Tampaknya It-hu Taysu mulai naik darah, katanya dengan suara lantang, "Jika nona tidak mencegah terjadinya pertikaian berdarah lagi, terpaksa aku akan bertindak kasar, lagipula orang ini perlu segera ditolong, aku tak mau beradu mulut lebih jauh denganmu!"
Setelah berkata, dia lantas mencengkeram tubuh Bok Ji-sia, ia kuatir dihalangi orang, diam-diam dia berjaga dengan ketat.
"Jangan kau sentuh dia!" kembali bentakan nyaring bergema,
Pak Sat melompat maju ke depan, dua pukulan dan tiga tendangan berantai segera dilancarkan.
Karena ancaman tersebut, buru-buru It-hu Taysu menarik kembali tangannya.
Bukannya dia takut balas menyerang, soalnya pendeta agung ini enggan bertarung melawan seorang perempuan.
Lamkiong Hian sendiri pun mulai menyadari persoalan yang dihadapinya hari ini sangat gawat, terutama setelah menyaksikan kemunculan gadis berbaju biru itu, padahal manusia aneh dalam "Hutan Kematian" belum muncul, sekarang iblis perempuan ini telah menyusul tiba.
Satu ingatan jahat lantas terlintas dalam benaknya, segara ia berseru, "Nona, kitab pusaka perguruan kalian sudah terjatuh ke tangan seorang jago sakti yang belum diketahui namanya, sekalipun kami telah berusaha membantu Bok-siauhiap untuk melindungi kitab tersebut, sayang ...."
Nona berbaju biru itu pura-pura berlagak kaget, teriaknya,
"Apa" Siapa yang merampas kitab pusaka perguruan kami?"
"Penguasa Hutan Kematian!" seru Huan-in-kiam Lamkiong Giok sambil menuding ke dalam hutan, saking emosinya dia sampai lupa pada luka yang dideritanya,
Nona berbaju biru itu mendengus, lalu serunya, "Hmm, cuma seorang boeah ingusan saja telah membuat kalian ketakutan setengah mati.".
Begitu perkataan itu diucapkan, seketika para jago melonggong,
Sudah sekian lamanya kawanan jago itu berkumpul di situ tanpa berhasil melihat jelas wajah sebetulnya si pengusaha Hutan Kematian, tapi si nona aneh dari Hek-liong-kang ini segara mengetahui orang di dalam hutan itu adalah seorang bocah, mungkinkah perempuan ini pandai meramal"
Mendadak dari dalam Hutan Kematian terdengar seorang berseru, "Budak latah, sungguh sombong! Sudah lama aku ingin berjumpa dengan perempuan paling aneh di dunia, sungguh beruntung kita bersua di sini, mari kita coba-coba bertarung."
"Hmm, kalau begitu keluarlah kemari!" dengus gadis berbaju biru.
Orang di dalam hutan tertawa merdu, sahutnya, "Aku enggan menerima pancinganmu itu, mau bertarung silakan masuk, nonamu tak sudi menurunkan derajat di depan kawanan manusia yang bernama kosong itu1"
Dengan ucapannya itu maka semua jago menjadi turut tersinggung, kontan hawa amarah mereka berkobar sehingga untuk sesaat mereka lupa akan kelihaian orang.
Dengan gusar Tiong ciu-it-kiam berteriak, "Budak hina, kalau punya kepandaian jangan main sembunyi saja. Ayo keluar dan sambutlah tiga kali tusukan pedangku!"
"Hnm. mulut usil, lihat serangan!" suara terbawa ejek menggema dari dalam hutan.
Belum sempat Tiong-ciu-it-kiam bersiap, segulung angin tajam telah menyambar mukanya, dalam kejutnya cepat dia lepaskan pukulan, tapi mukanya gudah keburu sakit, cepat tangannya meraba
Tampak selembar daun sedang bergetar diwajahnya,
sebagian daun itu menancap mukanya hingga darah
bercucuran, dalam kejutnya ia meraung murka sambil mendepak-depakkan kakinya ke tanah.
Walaupun di dunia persilatan terdapat ilmu sakti sejenis
"memetik daun melukai orang", tapi ilmu itu tak bermanfaat dalam jarak begini jauh, tapi kenyataannya orang itu sanggup melukai orang dengan sehelai daun, kontan saja para jago terkesiap.
"Apakah kau sedang mendemonsrasikan kelihatanmu di hadapanku!" bentak si nona berbaju biru.
Gelak tertawa merdu menggema dari dalam hutan, "Tidak berani, aku hanya ingin beradu kepandaian denganmu."
Kembali nona berbaju biru itu tertawa dingin, "Jarak kita begini jauh, bagaimana caranya bertanding?"
"Heh, dengan kecerdasanmu, masa tak dapat kau temukan suatu cara yang baik?"
Sekarang nona berbaju biru itu baru merasakan gadis aneh di dalam Hutan Kematian itu benar-benar musuh tangguh yang belum pernah dijumpainya di daerah Tionggoan, baik bicara soal kecerdasan maupun kepandaian silat, tiada satupun yang berada di bawah dirinya.
Maka sambil tertawa katanya "Tampaknya kedudukanmu tidak kecil, silakan menyerang dulu!"
Ketika semua orang mendengar kedua pihak ingin
bertarung, serentak mereka mundur ke belakang, namun mereka pun merasa heran tanpa menampakkan dirinya dari hutan, bagaimana caranya bertarung antara kedua orang itu bisa di langsungkan.


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"nona," kata Pek Sat sambil melangkah ke depan, "biar aku yang mencobanya lebih dulu!"
Nona berbaju biru itu tertawa ringan, sahutnya, "Kami akan bertanding secara lisan, bukan pertandingan kekerasan,"
Mendadak dari dalam hutan bergema suara tertawa merdu, kemudian orang itu berseru, "Aku akan turun tangan, jurus
pertama adalah Pek-sui beng-sim (dengan tulus bersekutu dalam hati)!"
Mendengar nama jurus itu, si nona berbaju biru tertegun, sekalipun ilmu silat di dunia ini bersumber satu, tapi tak ada orang yang mari membuka pertahanannya pada jurus yang pertama sehingga dimanfaatkan lawan, atau mungkin jurus ini hanya merupakan pancingan belaka"
Setelah berpikir sejanak dia berkata, "Nonamu mengutamakan pertahanan dan menggunakan jurus Tin-soan-beng-to (persekutuan sejati secara terang)!"
Tiada jawaban dari dalam hutan, rupanya orang, sedang memikirkan pemecahannya atas jurus lihai itu.
Perlu diketahui, kedua orang ini sama-sama manusia berbakat aneh di dalam dunia persilatan, sekalipun bertanding secara lisan, namun ketegangannya tak kalah daripada pertarungan dengan saling bergebrak.
Dengan kepandaian yang hampir seimbang ini, untuk
sesaat tiada yang berbicara, masing-masing hanya memikirkan cara untuk mematahkan serangan berikutnya dari lawan.
Lama kemudian, orang dalam hutan itu baru berkata sambil tertawa merdu, "Bila kugunakan jurus Hui-mi-bu-ciau (air dan buras tiada sangkut-paut) untuk mematahkan jurus Tin-swan-beng-to, kau pasti akan menyerang dengan jurus Hwe-su-gin-hoa (pohon api bunga perak), jika aku berubah dengan gerakan Ing-sui-ji-ciang (memancing air masuk tembok), kau pasti gunakan jurus ampuh Kay-bun-gi-to (membuka pintu menyilakan pencuri) untuk menyerangku, Aih lebih baik aku menyerang dengan jurus Jit-seng-gwat-heng (matahari terbit rembulan muncul) saja!"
Terkesiap si nona berbaju biru itu, dia tidak menyangka pihak lawan memiliki pengetahuan yang begitu luas tantang ilmu silat, belum lagi serangannya dilancarkan, ia sudah
menyebutkan nama-nama jurus serangannya lebih dulu, kenyataan ini benar-benar sangat mengejutkan.
Dengan waswas dia lantas berkata. "Nona benar-benar seorang kosen, tak perlu kita bertanding lagi!"
"Kenapa?" tanya orang dalam hutan itu dengan melangak.
Nona berbaju biru itu menghela-napas, jawabnya, "Jurus Jit-seng-goat-heng tersebut merupakan intisari dalam kitab pusaka Kim-teng-pit-kip, meski setiap jurus serangan di dunia ini bisa dipatahkan, hanya jurus Jit-seng-gwat-heng yang belum bisa dipatahkan orang, tentu saja terpaksa aku mengaku kalah saja. Cuma, seandainya kulawan dengan jurus Jit-he-bu-siang (tiada keduanya di bawah sang surya), meski bisa kupertahankan diri, keadaannya tentu mengenaskan sekali, jadi aku tetap kalah setingkat, maka aku menyerah kalah saja."
Kelihaian manusia misterius dalam Hutan Kematian itu selain menggetarkan perasaan si nona berbaju biru yang cerdik, juga mengejutkan semua jago yang hadir.
Sungguhpun mereka merasa diri masing-masing memiliki kemampuan khusus, tapi setelah mengikuti pertarungan lisan yang berlangsung tadi, mereka sadar siapa pun yang turut di dalam pertarungan, ia pasti akan keok secara mengenaskan, sebab tak satu jurus serangan pun yang mampu mereka patahkan.
Setelah menghela napas, gadis misterius itu berkata,
"Kepandaian kita hanya bisa dibilang seimbang, bila kita tidak berhadapan sebagai musuh, sungguh aku bersedia mengikat tali persaudaraan denganmu untuk menjagoi dunia persilatan bersama .... Ai, sekarang serahkan Bok Ji-sia yang menggeletak di atas tanah itu kepada It-hu Taysu, aku akan segera mengobati lukanya, kalau tidak dia bisa mati karena pendarahan dalam tubuh."
Mendengar nama "Bok Ji-sia", sekujur badan si nona berbaju biru bergetar keras, dia mendongak memandang awan di angkasa, kemudian setelah mengambil keputusan bulat, katanya sambil tertawa dingin, "Tak bisa kupenuhi kehendakmu kecuali...."
"Kecuali bagaimana?" orang misterius itu mendengus.
Nona berbaju biru itu tertawa dingin, "Kecuali kau tampilkan diri dan memperlihatkan wajahmu yang
sebenarnya!"
"Kalau aku merasa keberatan!"
"Tentu saja aku punya cara untuk memaksa dirimu!" jawab si nona berbaju biru sambil tertawa dingin.
It-hu Taysu berkerut kening, kemudian ia maju ke depan, katanya, "Omintohud, nona memandang rendah keselamatan jiwa orang lain, maaf kalau aku tak menyetujuinya,"
Nona berbaju biru itu berpaling dan tertawa, katanya,
"Seandainya aku yang menderita luka separah ini, dan sekarang ada orang hendak mencelakai jiwaku, apakah Taysu akan menolong jiwaku"
"Seorang yang beragama selalu mengutamakan belas kasihan, untuk menolong tidak dibeda-bedakan orangnya .... "
Nona berbaju biru itu segera menuding ke atas tanah sambil berkata, "Di sini terdapat orang banyak yang sekarat, bagaimana pula tindakan Taysu?"
It-hu tidak menyangka nona berbaju biru itu akan
mengajukan pertanyaan seperti ini, ia tertegun, sampai lama sekali dia tak mampu bicara.
Mendadak dari dalam hutan melayang keluar sebuah benda berwarna, hitam yang langsung meluncur ke arah si nona berbaju biru.
Menyusul seorang berkata sambil tertawa dingin, "Aku akan menukar jiwanya dengan kitab pusaka ini, tentunya kau bersedia lepas tangan bukan!"
Dengan cekatan Pek Bi menangkap kitab pusaka Hek-liong-kang itu, sedang nona berbaju biru itu tidak memandang sekejap pun ke arah kitab, seakan-akan kitab itu sama sekali tiada hubungan dengan dirinya.
Tergetar perasaan semua orang menyaksikan kitab pusaka yang diidam-idamkan itu melayang keluar, serentak semua orang memburu ke arah Pek Bi.
Huan-in-kiam Lamkiong Giok melompat maju, serunya,
"Nona, sebelum Bok Ji-sia terluka, dia telah menyerahkan kitab itu kepadaku, demi melaksanakan janjiku kepadanya, harap nona menyerahkan kitab itu padaku"
"Yakinkah kau mampu melindungi kitab ini?" tanya si nona berbaju biru.
Lamkiong Hian segera berebut menjawab, "Kiam-hong-ceag kami pasti akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk melindungi kitab ini!"
Nona berbaju biru itu segera memberi tanda, sambil memegang kitab tadi Pek Bi maju sambari bertanya, "Nona ada pesan apa?"
"Serahkan kitab itu kepada Lamkiong Giok, biarkan Bok Jisia mengambilnya sendiri nanti!"
Pek Bi mengayunkan tangannya, melemparkan kitab
pusaka itu ke tanah
Tentu saja Lamkiong Hian ayah beranak tidak menyangka kitab pusaka itu bisa diperoleh sedemikian gampangnya, mereka tidak tahu bahwa hal ini justeru merupakan siasat busuk si nona berbaju biru yang hampir saja membuat Kiam-hong ceng hancur berantakan.
Begitu memperoleh kitab pusaka itu, Lamkiong Giok segera merasakan adanya ancaman yang berat dari musuh-musuh di sekitarnya, andaikata tidak meminta bantuan si nona berbaju biru niscaya sulit baginya untuk mundur dari situ dengan aman.
Tampaknya nona berbaju biru itu dapat menebak isi
hatinya, dia segera berkata, "Akan kuperintahkan kedua orangku mengantar kalian!"
Pek Sat dan Pek Bi segera mengiakan, empat telapak tangan tiba-tiba diayunkan ke muka. Tiong-ciu-it-kiam dan Seng gwat-kiam Oh Kay-thian seketika itu terdepak mundur, Setelah terbuka sebuah jalan, sambil mengempit kitab pusaka itu. Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian melarikan diri dari sana, serentak sebagian orang ikut mengejar ke sana sehingga dalam sekejap semuanya sudah pergi jauh.
Mendadak sesosok bayangan merah meluncur keluar dari balik hutan, It-hu Taysu merasakan bau harum berembus, tahu-tabu bayangan manusia lenyap, Bok-ji-sia dan si nona baju biru pun turut lenyap tak berbekas.
Kawanan jago masih begitu banyak, ternyata tak seorang pun sempat melihat jelas raut wajahnya, hal mana membuat semua orang bergidik, baru kali ini mereka menyaksikan kungfu sejati.
Tiba-tiba berkumandang lagi suara pekikan panjang yang mengerikan menggema angkasa, suara pekikan tersebut kian lama kian mendekat.....
Sementara It-hu Taysu terkesiap, dua sosok bayangan hitam laksana terbang cepatnya telah muncul dan kejauhan.
Terlihat seorang nyonya muda berbaju hijau dan seorang nona berparas cantik muncul bersama ke tempat itu, mereka tak lain adalah Lik-ih-hiat-li dan Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling.
Begitu sampai di depan It-hu Taysu, Lik-ih-hiat-li lantas menegur, "Hei, hwesio, kau lihat seorang bocah she Bok?"
Suaranya dingin kaku, meski It-hu Taysu adalah seorang paderi yang saleh, tak urung dia rasakan juga ketidak sopanan Lik-ih-hiat-li-
"Omitohud!" pujinya keagungan Budha, "Dosa, dosa!
Tolong tanya mengapa Li sicu menyebut diriku dengan begitu?"
"Maaf Taysu." buru-buru Tong Yong-ling menjura. "tolong tanya..."
Belum habis dia berkata, Lik-ih-hiat-li tak sabar lagi, kembali timbrungnya, "He, hwesio, jika kau tidak berbicara, awas kubakar biara hwesio kalian!"
"Tidakkah kau rasakan tindakanmu itu agak keterlaluan!"
kata It-hu Taysu dingin.
Melihat suasana semakin panas, Tong Yong-ling amat gelisah, sekarang dia harus cepat bertemu dengan Bok Ji-sia, rasa cemasnya tak terkiranya, maka sambil menarik tangan Lik-ih-hiat-li, serunya, "Cianpwe, buat apa kau recoki seorang pendeta. kita........"
Mendadak terdengar teriakan gusar menggema di
kejauhan, "Budak rendah, sampai ke ujung langitpun kau pergi, tetap akan kubekuk dirimu!"
Mendengar suara orang itu, air muka Tong-Yong-ling berubah, tubuhnya agak gemetar, cepat ia tarik tangan Lik-ih-hiat-li sambil berseru, "Cianpwe, lekas kabur, Suhuku telah datang!"
"Apa yang mesti ditakuti?" sahut Lik-ih-hiat-li tak senang hati, "jika ia berani mengganggu seujung rambutmu, segera kubinasakan dia!"
Meski di mulut ia berbicara keras, toh kakinya mengikuti juga maksud Bwe-hoa-sian-kiam untuk pergi dari situ, kedua orang itu segera mengerahkan ginkangnya menerjang masuk ke daiam Hutan Kematian sana.
Baru saja kedua orang itu masuk ke dalam hutan,
terlihatlah Han-bwe-kokcu atau Bwe-hiang-sian-ki menyusul tiba, wajah sedingin es dan tongkat bajanya diketuk-ketukkan ke atas tanah, matanya berkeliaran mencari ke sana kemari.
It-hu Taysu sendiri pun dalam sekejap telah lenyap entah ke mana.
Seraya mengembuskan napas lega Tong Yong-ling berkata,
"Cianpwe, tindakanku ini apakah termasuk perbuatan mengkhianati perguruan".."
Lik-ih-hiat-li tertegun, kemudian katanya, "Kau kan tidak mengingkari dia, mana bisa dianggap sebagai pengkhianatan!"
Tong Yong-ling menghela napas panjang, andaikata
gurunya, Bwe-hiang-sian-ci mengetahui dia berada bersama Lik-ih-hiat-li, mustahil dia tidak muntah karena
mendongkolnya. Mendadak Lik-ih-hiat-ii membentak bengis, "Kau berani melukai anak Sia!!"
Berbareng dengan jurus Tin-hong-cu-tian (mengejar angin mengusir petir) dia melesat ke depan dan melancarkan pukulan dahsyat.
Terdengar suara tertawa seram dingin menggema angkasa, lalu seorang mengancam, "Jika kau tidak menghendaki jiwanya lagi, silakan saja turun tangan!"
"Blang",- benturan keras menggelegar.
Lik-ih-hiat-li tergetar mundur beberapa langkah, dia tidak menyangka ilmu pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang bisa dipatahkan oleh seorang gadis berbaju merah, malah dia
sendiri terdesak mundur beberapa langkah, kejadian semacam ini belum pernah dialami sebelumnya,
Dalam dunia persilatan, belum pernah ada orang yang mampu menyambut serangan Peng-sian-jit-gwat-siang, tapi nyatanya orang ini sanggup,
Makin dipikir dia semakin gusar, sambil tertawa seram katanya, "Sambut lagi pukulanku ini!"
Nona berbaju merah itu mengalihkan pandangnya ke
bawah, lalu berkata dengan dingin, "Asal kau mau, setiap saat boleh kau lancarkan serangan!"
Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-hng jauh lebih teliti
orangnya, secermatnya dia sedang memperhatikan keadaan di depan, ia lihat seorang nona cantik berbaju merah sedang mengayunkan telapak tangannya untuk menepuk jalan darah penting di tubuh seorang pria.
Meski dalam hutan yang gelap, Tong Yong-ling masih dapat melihas bentuk tubuh orang yarg bergeletak itu adalah Bok Jisia.
Begitu timbul rasa curiga dalam hatinya, buru2 dia berseru
"Tahan Cianpwe!"
Sejak menyaksikan Bok Ji-sia terjatuh ke tangan orang lain, pikiran Lik-ih-hiat li lantas kalut, ia tertegun demi mendengar seruan Tong Yong-ling, buru-buru serangannya ditarik kembali dan melompat mundur, meski begitu toh angin pukulannya sempat mendampar ke depan.
Dengan bingung lalu dia berkata, "Nona Tong, ada urusan apa?"
"Ciapwe, kita harus bikin terang duduk persoalannya lebih dulu sebelum turun tangan," ujar Yong-ling dengan cemas..
Sementara itu air muka si nona cantik berbaju merah itu tampak berubah hebat, keringat membasahi jidatnya,
sedangkan telapak tangannya yang putih menepuk berulang kali.
Beruntun dia menutuk tiga puluh enam jalan darah besar dan tujuh puluh dua jalan darah kecil di tubuh Bok Ji-sia, namun anak muda itu tetap terkapar, di tanah tanpa bergerak, Rasa gelisah nona itu tak terlukiskan, dia takut
kemampuannya tak sanggup menyelamatkan jiwa pemuda itu, Lik-ih-hiat-li kembali maju ke depan sambil membentak,
"Siapa yang melukainya?" .
Nona cantik berbaju merah itu tidak menjawab, sambil menyeka keringat yang membasahi jidatnya dia balas membentak keras, "Enyah dari sini, kalau tidak jangan menyesal jika aku akan turun tangan keji!"
Lik-ih-hiat-li tertawa seram, "Bila sampai terjadi hal-hal di luar dugaan, kau orang pertama yang akan kurenggut nyawanya!"
Sembari berkata ia mendesak maju lagi beberapa langkah.
Keberaniannya yang luar biasa ini diam-diam mengejutkan nona berbaju merah itu, sebab dari kedua telapak tangan Lik-ih-hiat-li, dia tahu perempuan ini telah berhasil melatih ilmu Peng-sian-jit-gw-at-ciang.
"Jika ia sampai mati, kalian berdua pun jangan harap bisa meninggalkan tempat ini," serunya pula dengan gusar, Baik Lik-ih-boat-li maupun Bwe-a-sian-kiam Tong Yong-ling, keduanya sama melengak dari sikap gelisah si nona berbaju merah itu, jelas kelihatan kalau gadis tersebut sangat memperhatikan keselamatan Bok Ji-sia,
Mengapa demikian" Apakah karena kasih" Atau Cinta"
Hanya perempuan-perempuan yang jatuh cinta saja yang berperasaan peka, dalam menghadapi persoalan ini, Bwe-hoa-
sian-kiam Tong Yong-ling segera merasakan ada semacam hubungan aneh antara mereka.
"Jangan-jangan orang ini sama seperti aku diam-diam mencintai Bok Ji-sia" demikian terlintas ingatan ini dalam benaknya.
Dia takut apa yang dilamunkan itu menjadi kenyataan, tapi..........
Dengan nada menyelidik Tong Yong-ling coba bertanya,
"Apa hubungan orang ini dengan nona?"
"Tak perlu kau turut campur!" sahut si nona berbaju merah itu ketus.
Setelah berhenti sebentar, teriaknya lagi dengan suara keras, "Nona Lau, dia masih bisa hidup berapa jam lagi?"
Liok-ih-hiat-li melengak, Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling juga melongo, mereka tidak mengerti siapakah orang yang dipanggil sebagai "nona Lau" itu" Mungkinkah didalam masih ada orang lain lagi!
Helaan napas sedih tiba-tiba menggema, lalu seorang menjawab pelahan, "Paling banter satu jam lagi!"
Mengikuti suara jawaban itu, Tong Yoag-ling memandang ke sana, tertampaklah seorang gadis bercadar berdiri bersandar di pohon dan memandang ke arah nona berbaju merah itu dengan rasa sedih, dia tak lain adalah si perempuan aneh dari Hek-hong-kang, nona berbaju biru adanya, Berhubung selama ini Lik-ih-hiat-li dan Tong Yong-ling hanya menaruh perhatian teihadap si gadis berbaju merah, maka terkesiaplah kedua orang itu setelah mengetahui secara tiba-tiba di samping sana masih ada seorang lagi.
Tak terlukiskan rasa sedih Lik-ih-hiat-li setelah mendengar Bok Ji-sia hanya bisa hidup satu jam lagi, dua titik air mata segera jatuh membasahi pipinya,
"Kembalikan nyawa anak Sia!" teriaknya sambil menerjang ke muka, suatu pukulan dahsyat dilancarkan ke batok kepala nona berbaju merah itu.
Dia seperti kehilangan kesadarannya, dia salah mengira nona berbaju merah itu sebagai orang yang melukai Bok Jisia.
Tinggal satu jam! Betapa pendeknya waktu yang tersisa Diam-diam Tong Yong-ling hanya bisa menghitung waktu, dia tak mengira akan berpisah untuk selamanya dengan Bok Ji-sia dalam beberapa saat lagi, tanpa terasa air mata sedih turut menitik membasahi pipinya.
Nona berbaju biru itu menghela napas sedih, lalu berkata,
"Gara-gara pengacauan kalian, dia bakal mati lebih cepat lagi!"
"Mundur dari sini!" bentak si nona berbaju merah itu bengis.
Pergelangan tangannya berputar, dengan jurus Cuan-thian-ta-tong (mengebor langit membuat lubang), mendadak telapak tangan kirinya menyambut pukulan Lik-ih-hiat-li.
"Blang", benturan keras terjadi dan menggetarkan bumi, Lik-ih-hiat-li tergetar sehingga beruntun mundur sejauh belasan kaki, karena terkejut, dia pun tersadar, kembali.
Seraya berpaling dia bertanya, "Nona Tong, bila anak Sia mati, kau harus mengurus layon kami dan membalaskan dendam!"
Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-hng menangis tersedu-sedu dengan sedihnya, ia berkata, "Bila engkoh Bok mati akupun tak mau hidup lagi di dunia ini!"
Mendadak nona berbaju merah itu bangkit berdiri,
kemudian berkata, "Nona Lau, aku mengaku kalah!"
Nona berbaju biru itu tercengang, kemudian katanya, "Kau tak mau melanjutkan pertandingan ini, maka kedudukan kita tetap seri, kau berhasil menang dalam jurus gerangan, sebaliknya aku menang dalam ilmu pertabiban, siapapun tidak dikalahkan"
Dengan gelisah nona berbaju merah itu berkata,
"Pendarahannya telah menyerang hati, cepat kau ...."
"Kini kedelapan nadi pentingnya telah tersumbat," ujar nona berbaju biru itu dengan sedih, "jika kau ingin menyelamatkan jiwanya, gunakan Ji-mu To-sian soh-hiat untuk menahan darahnya yang bergolak, setelah itu buyarkan darahnya yang beku, lalu lancarkan jalan darah pentingnya."
Nona berbaju merah itu tak berani ayal lagi, begitu nona berbaju biru itu mengatakan sebab penyakitnya, ia lantas menemukan cara pengobatannya dengan cepat, telapak tangannya segera bergerak, berulang kali ia menutuk tiga jalan darah penting Bok Ji-sia.
Sekujur badan Bok Ji-sia tampak gemetar, mukanya yang semula pucat berangsur-angsur menjadi merah kembali, nona berbaju merah itu bergirang, buru-buru dia melanjutkan gerakannya menepuk semua jalan darah penting di seluruh badan anak muda itu.
"Nona, nona!" mendadak dari luar hutan berkumandang suara teriakan yang penuh kecemasan.
Gadis berbaju biru itu segera melesat pergi meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Sesungguhnya ia sedang mengalami pertentangan batin, siksaan batin yang jauh lebih menderita daripada orang lain.
Ia cinta kepada Bok Ji-sia, tapi iapun benci anak muda itu, sebab dia pernah melukai perasaannya, terkadang dia ingin memusnahkan pemuda itu, tapi ada kalanya ingin menolong jiwanya, pertentangan batin itu membuat hatinya selalu gundah dan tak tenang.
Dalam pada itu, asap putih tipis telah mengepul di atas kepala si nona berbaju merah, secara beruntun dia menepuk tujuh puluh dua jalan darah pemuda itu, tampaknya pekerjaan tersebut amat payah dan membutuhkan banyak tenaga, semua ini membuat Tong Yong-ling serta Lik-ih-hiat-li yang berada di samping diam-diam ikut cemas.
Tiba-tiba bergema suara langkah orang dari luar hutan, langkah itu sedemikian kuat, jelas langkah jagoan yang bertenaga dalam sempurna.
"Cepat hadang mereka, jangan seorang pun datang mengganggu!" buru-buru nona berbaju merah itu berseru.
Baru selesai dia berkata, mendadak muncul tiga orang, ketika Tong Yong-ling berpaling, segera dikenalnya mereka adalah Hian-thiao-koan-cu, Pek-boat-kui-to dan Jian-hun-koay-sat-jiu, tiga orang jago tangguh.
Berhubung jaraknya masih jauh, ketiga orang itu belum tahu kalau di dalam hutan masih ada orang lain.
Terdengar Pek hoat-kui-po Jik Say-kiau berkata dengan dingin, "Dulu, kita Bu-lim-ji-coat adalah tokoh ternama dan disegani, tapi sekarang yang mampus telah mampus, yang pergi telah pergi, dalam dunia persilatan pun tinggal kita bertiga saja. Ai, kita sangka masih bisa malang melintang, siapa tahu belakangan ini muncul seorang yang bernama Lik-ih-hiat li, bukan cuma namanya lebih tenar daripada kita, kungfunya juga hebat, benar-benar..."
Kun-tun Cinjin lantas terkekeh-kekeh, "Hehehe, bukan aku sengaja omong besar, asal kita bertiga mau turun tangan bersama, kitab pusaka Hek-liong-kang itu pasti dapat kita rampas."
"Sungguh menjengkelkan," seru Jian-hune-koay-sat-jiu tiba-tiba dengan gemas, "tak terduga kita bakal terjebak oleh siasat busuk Lamkiong Hian, gara-gara siasat memancing
harimau meninggalkan gunung, kita sendiri datang terlambat selangkah."
"Coba lihat, jelas sekali bekas pertempuran tertinggal di tempat ini!"
Saat itulah mendadak terdengar seorang berkata dengan dingin, "Bukan saja kedatangan kalian sudah terlambat, mau mundur dengan selamat pun sudah tak sempat lagi!"
Mendengar seruan itu, ketiga orang itu sangat terperanjat sehingga tanpa terasa mereka melompat mundur, dengan cepat mereka mendongakkan kepala dan mengawasi sekeliling tempat itu, namun tak sesosok bayangan pun yang tertampak.
"Setan gentayangan dari manakah yeng berani cari gara2
pada kami!" bentak Kun-tun Cinjin cepat.
"Hei, iblis tua," seru orang itu sambil tertawa dingin, "masa begitu cepat kau melupakan diriku!"
Serentetan bunyi aneh menggema di angkasa, menyusul terjangkitlah deru angin berpusing yang kuat dari empat penjuru dan menerbangkan debu pasir.
Dalam terkesiapnya Kun-tun Cinjin tak dapat meraba siapa lawan yang datang ini, sambil membentak keras ia
melancarkan suatu pukulan ke depan.
Ketika kedua gulung tensga pukulan itu bertemu, Kun-tun Cinjin terperanjat, dia merasakan tenaga pukulan musuh mendampar seperti gugur gunung dahsyatnya.
"Hehehe....." gelak seram memilukan kembali bergema di udara.
Berubah air muka Kun-tun Cinjin, serunya "Kau..."
Suara tertawa Lik-ih-hiat-li dari balik kegelapan membuat ketiga orang itu terkejut dan ngeri, terutama Kun-tun Cinjin, sampai pucat wajahnya, sebab dia yang paling jelas mengetahui betapa kelihaian perempuan itu.
"Hei, hidung kerbau," kata Lik-ih-hiat-li dengan suara dingin, "hari ini habislah riwayatmu, di dunia"
Setelah mendongak dan memperdengarkan suara tertawa panjang yang menyeramkan, mendadak tangan kirinya
digerakan ke kiri dan kanan secara aneh, lalu telapak tangan kanan menahas ke depan,
Menyaksikan gerakan aneh itu, air muka Kim-tun Cinjin berubah hebat, seluruh tubuhnya menggigil, bahunya bergoncang dan tahu-tahu terdorong mundur sejauh beberapa tombak oleh telaga tak berwujud yang sangat kuat itu.
Pdc-hoat-kui-po Jik Say-kiau segera memutar tongkat bajanya seraya membentak, "Lik-ih-hiat-li, rasakan tongkatku!"
"Wess" tongkat baja panjang berputar dan membawa selapis cahaya hitam terus mengemplang batok kepala Lik-ih-hiat-li.
"Hmm, cari mampus!" bentak Lik-ih-hiat-li tertawa dingin.
Mendadak jari tangan kirinya yang menegang bagaikan tombak membuat gerakan di udara, lalu secara tiba-tiba mencengkeram ujung tongkat yang ratusan kati beratnya itu.
Serangan ini amat lihai dan membuat Pek-hoat-kui-po Jik Say-kiau terkejut.
Dalam pada itu Jian-hun-koay-sat-jiu yang bermata awas dapat melihat ada orang yang sedang berobat dalam hutan, dengan cepat dia menyadari apa yang terjadi, sambil membentak langsung ia menubruk masuk ke dalam hutan.
Mendadak dari balik hutan muncul selapis cahaya hijau dingin mengadang majunya.
Terdengar ia membentak marah, "O, kiranya kau!!"
Tong Yong-ling mendengus, bentaknya, "Enyah kau dari sini!"
Dengan jurus-jurus Hoa bwe-ti-hong (bunga bwe hampir mekar), Jin-bin-tho-hoa (muka manusia bunga tho) dan Sui-tiong-han-lui (putih beku dalam air) beruntun dia lancarkan tiga serangan berantai, semua serangan merupakan jurus maut Bwo-hoa-kiam.
Seketika itu juga, cahaya pedang berkilauan memenuhi udara, hebatnya tidak kepalang.
Jian-hun-koay-sat-jiu tertawa seram, ejeknya, "Anak perempuan, cari mampus rupanya kau!"
Saat itulah mendadak Lik-ih-hiat-li menerjang, tiba suatu pukulan dahsyat langsung menyambar ke dada Jian-hun-koay-sat-jiu .
Seketika Jian-hun-koay-sat-jiu meragakan tubuhnya
menggigil. "Siapa saja berani maju selangkah lagi, akan kusuruh dia rasakan kelihaian pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciangku!" ancam Lik-ih-hiat-li sambil mengangkat telapak tangan kanannya.
Begitu menyaksikan telapak tangan kanan lawan yang dipersiapkan, perasaan Kun-tun Cinjin kontan menjadi dingin separo, dia nyaris mampus di tangan Lik-ih-hiat-li itu, dia cukup mengerti kekuatan yang terdapat di balik pukulan Beng-sian-jit-gwat-ciang, dia sadar kalau kemampuannya masih belum sanggup untuk menandingi serangan lawan.
Dengan jeri dia lantas berteriak, "Saudara berdua, cepat mundur! ..."
Mendadak bergema suara suitan panjang bagaikan pekik naga dari balik hutan sana.
Menyusul terdengarlah seorang tertawa seram kemudian berteriak dengan penuh kegusaran, "Kembalikan bukuku!"
"Blang," pecah benturan keras.
Pasir batu segera beterbangan, bumi serasi berguncang keras, menggetarkan setiap orang yang berada di sana.
"Engkoh Bok, kenapa kau"!" Yong-ling segera berteriak.
Si nona berbaju merah berkata dengan dingin
"Sekarang kesadarannya telah punah, bertemu orang lantas memukul, berjumpa manusia lantas membunuh, lebih baik cepat kau mundur!"
Sementara itu Bok Ji-sia tampak menyeringai dan
melancarkan lagi pukulan dahsyat.
Kemudian sambil melompat bangun dari atas tanah,
bagaikan orang kalap saja teriaknya keras-keras, "Kembalikan kitabku, bukuku ...."
"Engkoh Bok, kenapa kau...." seru Bwe-hoa-gian-kiam -
Tong Yong-ling dengan kuatir.
Sementara itu, si nona berbaju merah sedang duduk
dengan napas tersengal dan keringat membasahi sekujur badannya.
Dengan mengorbankan tenaga dalamnya gadis ini
membantu Bok Ji-sia menembusi delapan urat nadi penting di dalam tubuhnya, akibat dari tindakan ini ia menjadi kehabisan tenaga dan lelah, sekujur badan serasa tak bertenaga lagi.
Tapi Bok Ji-sia juga masih dalam keadaan setengah sadar.
Sambil melompat nona berbaju merah itu membentak,
"Pikirannya masih kalut, lekas kalian mundur ke belakang"
Ketika Ji-sia melihat di dalam hutan terdapat banyak sekali jago lihai, semangat tempurnya segera berkobar, di tengah gelak tertawanya ia lantas mengangkat tangan dan
melancarkan serangan peda Pek-hoat-kui-po Jik Say-kian.
Serangan ini dilancarkan tanpa jurus, namun angin
pukulannya menderu hebat.
"Anak muda, kau berani!" bentak Jik Say-kiau sambil berkelit. Tongkat bajanya segera berputar, mendadak telapak tangan kirinya ganas menghantam Bok Ji-sia.
"Blang!" di tengah benturan keras, ia mundur ke belakang, kemudian tongkat secepat kilat disodokkan ke perut Bok Ji-sia.
Waktu itu Ji-sia merasakan seluruh badannya kegerahan tanpa tenaga, peluh bercucuran seperti hujan, tapi setelah melepaskan suatu pukulan, tubuhnya menjadi segar, ia menjadi lupa Pek-hoat-kui-po Jik Say-kiau adalah seorang lawan tangguh, ia berdiri termangu, tidak menyadari nyawanya sudah mendekati ambang pintu kematian.
"Nenek setan!" mendadak Lik-ih-hiat-ih membentak, "kau berani mengganggunya!"
Cahaya putih berkilau seperti batu kemala lamat-lamat memancar keluar dari telapak tangannya, bukan saja cahaya itu memancar ke tubuh Pek-hoat-kui-po, bahkan Jian-hun-koay-sat-jiu dan Kun-tun Cinjin pvn turut terkurung oleh cahaya tersebut.
Kun-Lun Cinjin sudah pernah kecundang di tangan Lik-ih-hiat-li, andakata waktu itu tenaga dalamnya kurang sempurna, niscaya nyawanya sudah lama pulang ke alam baka.
Sekalipun kejadian itu sudah berlangsung cukup lama, tapi bila teringat kembali ia masih merasakan peluh dingin membasahi tubuhnya.
Begitulah, melihat cahaya berkilau Peng-sian-jit-gwat-ciang tersebut mulai memancar, dengan ketakutan segera ia mundur ke belakang sambil berteriak, "Cepat mundur, itulah pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang!"
Begitu selesai berseru, dengan jurus Cuan-in-wang-gwat (menembus awan melihat rembulan) dia kabur ke belakang.
Sedangkan Pek-hoat-kui-po Jik Say-kiau dan Jian-hun-kuay-
sat-jiu sambil membentak segera mendorong tangan masing-masing untuk melawan.
"Blang", terjadi benturan keras, tubuh Lik-ih-hiat-ii cuma bergetar sedikit, sedangkan Pek-hoat-kui-po lik Say-kiau dan Jian-Hun-koay-sat-jiu di tengah dengusan tertahan dan pekik keras segera melarikan diri.
Dengan kaburnya ketiga orang itu, dalam hutan tinggal si nona berbaju merah, Lik-ih-hiat-li, Tong Yong-leng dan Bok Jisia berempat.
Tiba-tiba Ji-sia melompat maju lagi seraya berteriak,
"Kalian semua enyah dari sini!"
Saat itu kesadarannya belum pulih, yang dilihatnya semuanya seakan-akan musuh melulu, tangan kanannya segera mencengkeram pergelangan tangan kanan Lik-ih-hiat-li.
Jurus serangan ini sangat aneh dan sama sekali berlainan dengan jurus ampuh perguruan silat di daerah Tionggoan, kontan saja semua orang dibikin melengak.
Dengan suara gemetar Lik-ih-hiat-li segera berteriak, "Anak Sia...kau... kau ..."
Sebagaimana diketahui, Lik-ih-hiat-li adalah ibu kandung Bok Ji-sia, ketika menyaksikan putera kesayangan yang dirindukan siang malam ternyata melancarkan serangan ke arahnya, kejadian ini membuatnya sedih luar biasa. Buru-buru dia mendak sambil melompat ke samping.
Tapi cengkeraman Bok Ji-sia telah mempergunakan salah satu jurus serangan In-hui-huan-kiu-sik yang maha dahsyat itu, jurus serangannya aneh dan kuat sekali.
Baru saja Lik-ih-hiat-li menggerakkan tubuhnya, seperti bayangan Ji-sia telah menyusul tiba, gerakannya sama sekali tak berubah, ia tetap melanjutkan cengkeraman mautnya.
Tak sempat lagi Lik-ih-hiat-li menghindarkan diri, tahu-tahu pergelangan tangan kanannya sudah tercengkeram.
"Mau kabur ke mana lagi kau!" bentak Ji-sia sambil tertawa seram.
Sekali tangan terangkat, tahu tahu badan Lik ih-hiat-li terlempar jauh ke depan.
Dipermainkan secara begitu rupa oleh putranya sendiri, timbul rasa sedih dalam hatinya, air mata Lik-ih-hiat-li bercucuran
Begitu melayang turun, dia lantas memaki, "Kau anak yang tidak berbakti!"
Tangan kanannya di bentangkan, cahaya putih berkilau tiba tiba terpancar keluar dari telapak tangannya, jelas dalam sedihnya dia hendak memusnahkan Bok Ji-sia.
Padahal dia cuma terdorong oleh emosi saja, andaikata dia disuruh turun tangan sungguhan belum tentu dia tega melakukannya.
Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-liag menjadi gelisah,
teriaknya kuatir, "Cianpwe, jangan!"
Dia segera melompat ke depan Lik-ih-hiat-li dengan cepat luar biasa.
Mendengar suara Bwa-hoa-gian-kiam Tong Yong-ling,
kesadaran Lik-ih-hiat-li pulih kembali, dia merasa sedih sekali, sudah menjanda, pada masa tua harus mengalami kejadian memilukan ini,
Meski kesadaran Bok Ji-sia kurang jernih, namun
melancarkan serangan keji terhadap ibu kandungnya sendiri tetap dirasakan olehnya sebagai suatu tindakan yang tidak senonoh.
Mendadak nona berbaju merah itu melompat maju sambil membentak, "Telah kau apakan dia?"
Berbareng dengan ucapan itu, bayangan merah berkelebat, segera ia mencengkeram tangan Lik-ih-hiat-li.
Gerak tangan yang sedemikian cepatnya ini menggetarkan perasaan Lik-ih-hiat-li, sebab selama berkelana dalam dunia persilatan, belum pernah ia temui musuh tangguh, tapi gadis ini dapat menaklukkan dirinya dalam satu gebrakan saja, peristiwa ini sangat menggetarkan perasaannya.
Lik-ih-hiat-li naik pitam karena seorang budak ingusan berani bertindak tidak sopan kepadanya, dia menjadi lupa pada budi kebaikan yang telah diberikan si nona baju merah itu kepada Bok Ji-sia.
Dalam gusarnya dia membentak, "Keparat, kau juga berani mempermainkan nyonyamu!"
Di tengah bentakan keras, tangan kanannya berputar berbareng tangan kiri menghantam dada nona berbaju merah itu.


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekalipun berkepandaian tinggi, tak urung berubah juga air muka nona berbaju merah itu.
Sambil tertawa diagin katanya, "Bila kau berani mengganggu seujung rambutnya lagi, aku akan lemparkan dirimu keluar hutan ini!"
Tubuhnya ikut berputar, tanpa berubah dia tetap
mencengkeram pergelangan tangan Lik-ih-hiat-li, dengan begitu serangan Lik-ih-hiat-li segera mengenai sasaran kosong dan tetap gagal melepaskan diri dari cengkeraman nona berbaju merah itu.
"Lepaskan cengkeraman mu!" bentak Lik- ih-hiat-li dengan gusar.
Jari tangan terpentang, dengan-cepat dia ancam lima jalan darah mematikan di tubuh nona berbaju merah itu.
Nona berbaju merah itu hanya tersenyum, katanya, "Siapa yang sudi mencengkeram tanganmu terus menerus, hmm .... "
Di tengah gelak tertawanya dia lepas tangan dan melompat mundur.
Lik-ih-hiat-li menyeringai dan pelahan menghampiri nona berbaju merah itu, sedang si nona baju merah pun mengawasi gerak geriknya dan siap tempur.
Kedua pihak sama-sama menunggu kesempatan baik untuk melancarkan serangan dahsyat, suasana dalam hutan pun tercekam dalam keheningan dan ketegangan.
Melihat kedua orang itu siap melancarkan serangan pula, buru-buru Tong Yong Ling melmopat ketengah kedua orang itu seraya berkata "Hendaknya kalian tenanglah sedikit, coba lihat apa yang sedang dilakukan oleh Bok Ji-sia?"
Mendengar ucapan tersebut, dengan kaget nona berbaju merah dan Lik-ih-Hiat-li berpaling, ketegangan mereka segera buyar dan sama-sama mengalihkan perhatiannya pada Bok-Jisia.
Waktu itu, Ji-sia sedang berdiri termangu, mukanya menunjukkan penderitaan yang luar biasa, sementara matanya mengawasi kesepuluh jari tangannya yang
terpentang itu tanpa berkedip.
Mengapa ia perhatikan kedua tangannya"
Sampai lama sekali dia baru mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, daun dan ranting pohon sampai tergetar oleh gema ketawanya, kontan ketiga orang perempuan itu dibikin terkejut.
"Suheng, kau sudah baik?" tegur si nona baju merah itu sambil maju kedepan dan menepuk bahunya.
Panggilan "Suheng" ini kontan membuat semua orang melongo,demikian juga Bok-Ji-sia, ia menjadi heran dari mana bisa muncul seorang Sumoay secara mendadak"
Tapi setelah berpaling, anak muda itu lantas tertawa, "Oh, rupanya kau."
Kiranya gadis berbaju merah ini tak lain adalah putri kesayangan Se-to-sian-ki (Perempuan cantikdari pulau barat) Bwe Siau Leng dan Thian-kang-te sat-seng gwat kiam Oh kay Gak, Oh keng Kiau adanya, yaitu si gadis yang kita kenal pada permulaan cerita ini.
Hati Oh Keng-kiau bergetar mendengar ucapan Ji-sia yang dingin seperti es itu, padahal sejak berada di dalam thian seng po ia sudah merasa Bok Ji-sia adalah seorang pemuda yang luar biasa, dia selalu terkenang padanya.
Sejak Bok-Ji-sia berjumpa dengan Se-to-sian ki Bwe siau-leng dalam benteng Thian-seng-po bukan saja si nona jadi mengetahui asal-usul sendiri, juga tahu bahwa Bok Ji-sia adalah murid kesayangan ayahnya, thian-Kang -Te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay Gak sebelum menghembuskan napas
terakhir. Kenyataan ini membuat perasaannya makin melekat pada kakak seperguruannya ini.
Tapi sikap Bok-Ji-sia yang dingin sekarang, dirasakan menghancur lumatkan perasaannya, membuatnya tertawa getir.
"Suheng, begitu cepatkah kau melupakan diriku!" desis Keng-kiau.
Ucapannya memilukan hati, badan juga sempoyongan nyari tergelepar ke tanah, air mata hampir saja jatuh bercucuran.
Semenjak Bok-Ji sia berkecimpung di dunia persilatna, Oh Keng-kiau boleh dikatakan merupakan satu-satunya teman perempuan yang pernah dimilikinya.
Cuma berhubung dia pernah mengalami musibah pada
masa kecilnya, mengakibatkan dia tak bisa menerima rasa persahabatan tersebut selain membayangkan saja didalam hati,
Perjumpaan tak terduga yang terjadi sekarang, mestinya akan meledakkan perasaan girangnya, sayang perasaannya sekarang sedang gundah, hatinya sedang menderita dan tersiksa, hingga dengan sendirinya nada perkataannya juga dingin dan hambar.
Begitu merasakans sesuatu yang aneh dibalik ucapan Oh Keng-kiau, pemuda itu tertawa pedih, kemudian sahutnya
:"Ah, mana, setiap saat, setiap detik aku selalu memikirkan subo (ibu guru) dan dirimu! Bagaimana dengan Subo" Beliau ada dimana?"
Oh Keng-kiau tahu ucapan tersebut timbul dari lubuk hatinya, sambil tersenyum ia menjawab "Entah sekarang beliau telah datang atau belum" Ia menyuruh aku
memberitahukan kepadmu, tengah malam nanti beliau
menunggumu disini, tampaknya banyak persoalan yang hendak dibicarakan ibu dengan mu!"
Mengetahui sang ibu guru se-to-sian-ki Bwe Siau-leng ada memberi perintah, Bok Ji-Sia tak berani ayal lagi, buru-buru katanya: "silahkan sumoay mengabarkan kepada beliau bahwa tengah malam nanti aku pasti akan berada ditempat!"
Oh Keng-Kiau, si nona berbaju merah, tampak merasa lega, sambil tersenyum ia lantas melambung ke udara seraya berseru:" Selamat tinggal Suheng, sampai berjumpa malam nanti!"
Begitu selesai ucapan tersebut, bayangan tubuhnya juga lenyap dari pandangan mata.
Sekalipun Bok Ji-sia mempunyai banyak persoalan yang hendak dibicarakan, tapi melihat gadis itu sudah pergi jauh, terpaksa ia cuma menghela napas.
Bwe-Hoa-Sian-Kiam Tong Yong-ling merasa gundah sekali setelah meilhat adegan tersebut, dari sorot mata Oh Keng-kiau, dia tahu seperti dirinya, gadis itupun amat mencintai Bok
-Ji-sia. "Dia adalah sumoaymu?" tanyanya kemudian sambil menghela napas.
"Ehm, benar." Jawab Ji-sia.
"Cantik nian wajahnya!" kata Yong-ling lagi sambil tertawa paksa.
Bok Ji-sia tak tahu ada maksud lain dibalik ucapan tersebut, sambil mengiakan dia berpaling dan memandang Tong Yongling dengan tercengang, dia tak tahu mengapa gadis itu mengucapkan kata-kata tersebut.
Maklum jiwa perempuan pada umumnya sempit dan besar cemburunya, seorang gadis tak akan memuji kecantikan gadis rivalnya, apalagi seorang gadis yang berparas cantik, tak mungkin dia sembarangan memuji gadis lain yang terlebih cantik daripada dia.
Demikian juga dengan pujian Bwe-Hoa-Sian-Kiam tong Yong-ling terhadap Oh Keng-kiau, pujian itu bukan timbul dari lubuk hatinya yang jujur, tapi sebaliknya karena rasa cemburunya yang besar.
Lik-ih-Hiat-li sudah cukup berpengalaman tentang masalah muda-mudi, setelah menyaksikan kejadian itu, timbul perasaan murung dan kesal dalam hatinya, inilah luapan perasan seorang ibu yang menguatirkan keadaan putranya.
Setelah menghela napas pelahan, tegurnya, "Bok siauhiap, apakah kau telah sadar kembali?"
"Kenapa" Adakah sesuatu yang tidak benar?" tanya Ji-sia dengan tercengang.
Sikap semacam itu dirasakan Lik-ih-hiat-li persis seperti sikap ayah Ji-sia masa lalu, hampir saja dia hendak menerangkan bahwa dia adalah ibu kandungnya.
Tapi dia adalah seorang perempuan yang lebih
mempergunakan otak daripada emosi, terutama setelah mengalami musibah berulang kali, membuat dia semakin memahami apa artinya penderitaan, sekalipun terpengaruh gejolak emosi, namun sekuat tenaga ia berusaha
mengendalikannya.
Sambil tertawa dingin, ia lantas menegur "Kenapa kau mengawasi tanganmu terus-menerus" Apakah terluka?"
Walaupun mukanya dingin, sinar matanya lembut dan
ucapannya penuh perhatian, ia sangat menguatirkan keadaan Bok Ji-sia.
Menyinggung soal tangan sekujur badan Ji-sia gemetar keras, ia benci kepada kedua tangannya karena tangannya itu telah mempergunakan jurus serangannya yang tak ingin digunakannya, yaitu In-hay-huan-kiu-sik.
Tatkala nona berbaju biru memaksanya untuk mempelajari In-hay-huan-kiu-sik, diam-diam ia telah bersumpah takkan menggunakan jurus serangan tersebut untuk selamanya, sebab kepandaian itu bukan kepandaian yang dipelajarinya dengan sukarela-
"Aku benci kepadanya!" dia berseru dengan dendam.
"Kenapa?" desak Lik-ih-hiat-li.
Ji-sia menghela napas sedih, bisiknya, "Ai, tak perlu dibicarakan lagi!"
Mendadak Tong Yong-ling membentak, "Kalian berdua jangan bergerak!"
Lik-ih-hiat-li dan Bok Ji-sia sama terkesiap, dilihatnya Tong Yong ling tiba-tiba berjalan mengitari mereka, sementara
matanya dengan tajam mengawasi wajah kedua orang dengan lekat-lekat.
Tindak-tanduk si nona yang aneh ini tentu saja memancing kecurigaan Lik-ih-hiat-li dan Bok Ji sia, mereka menganggap perbuatan Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling ini tidak wajar, Dengan tercengang Lik-ih-hiat-li segera bertahya, "Nona Tong, ada apa?"
Tong Yong-Iing merogoh sakunya dan berkata,
"Coba kalian lihat, benda apakah ini?"
Tampak dalam genggamannya adalah sebuah lukisan yang telah berubah warnanya, mungkin karena sudah lama
tersimpan hingga warnanya berubah menjadi kuning, lukisan itu menggambarkan wajah tiga orang,
Mereka adalah wajah seorang lelaki tampan bermata jeli dan seorang perempuan cantik berwajah ayu, di antara kedua orang itu duduk seorang anak kecil, jelas lukisan suatu keluarga yang penuh kebahagiaan.
Terkesiap hati Lik-Ih-hiat-li menyaksikan lukisan tersebut, serunya dengan suara aneh, "Dari mana kau peroleh lukisan itu?"
Walaupun dia telah berusaha mengendalikan diri, toh ucapannya kedengaran gemetar, dari perubahan mimik wajahnya juga bisa diketahui kalau dia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan lukisan tersebut,
Sekalipun Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling tak berani memastikan perempuan cantik dalam lukisan itu adalah Lik ih-hi
Bentrok Para Pendekar 7 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Istana Pulau Es 10
^