Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 16

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 16


at-li, namun jelas Lik-ih-hiat-li mempunyai banyak kemiripan dengan perempuan cantik dalam lukisan itu.
Demikianlah, setelah memperhatikan Lik-ih-hiat-li, lalu lapan memperhatikan Bok Ji-Sia, sebab wajah si bocah dalam
lukisan meski berbeda dengan wajah Bok Ji-sia, tapi lamat-lamat dia merasakan terdapat juga banyak kemiripan.
Ia tak berani memastikan apakah hal ini merupakan suatu kebetulan, tapi bila dilihat dari perhatian Lik-ih-hiat li terhadap Bok Ji-sia, dapat diduga di antara kedua orang itu mempunyai hubungan yang luar biasa, seakan-akan pula ibu dan anak dalam lukisan itu.
Waktu Lik-ih-hiat-li melihat Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yongling tidak menjawab, tanpa terasa dia menyambung kata-katanya dengan lembut, "Nona Tong, darimana kaudapatkan lukisan itu!"
"Seorang Cianpwe memberikannya kepadaku," sahut Bwe-hoa-sian kiam sambil tertawa, "dia meminta kepadaku untuk mencarikan kedua orang yang tergambar dalam lukisan ini!"
Sekarang Lik ih hiat-li tak bisa menguindahkan rasa sedihnya lagi, meledaklah isak tangisnya yang memilukan hati, semua kesedihan dan penderitaan yang di alaminya selama banyak tahun dilampiaskannya keluar semuanya, sekarang dia telah melupakan dirinya sendiri, dia hanya mengenang kembali samua musibah yang dialaminya pada masa lalu.
Benar, perempuan cantik di dalam lukisan itu adalah Lik-ih-hiat"li sendiri, sedangkan bocah itu adalah Bok Ji-sia sebenarnya dia mengira sepanjang hidupnya tak bisa bertemu lagi dengan suaminya, siapa tahu hari ini dia telah menjumpai kembali wajah suaminya di tangan Tong Yong ling.
Ia lebih terperanjat lagi setelah mengetahui suaminya masih hidup di dunia ini, walaupun dia tak berani memastikan apakah hal ini merupakan suatu kenyataan, paling tidak ia dapat menduga sesuatu, yaitu orang yang memberikan lukisan kepada Tong Yong-ling kalau bukan suaminya pastilah sahabat karib suaminya.
Berpikir sampai di sini, Lik-ih-hiat-li menangis sambil bergumam, "Thian!! Sungguhkah kejadian ini" Ai, masa silam yang penuh penderitaan,"
Tanpa terasa dia menyesali Thian yang tidak adil
kepadanya, perasaan yang semula sudah tenang bergelora kembali karena peristiwa itu, kejadian lampau satu demi satu terbayang kembali didepan matanya.
Suatu, keluarga yang bahagia mendadak hancur
berantakan, suami dibunuh orang, anak dan ibu melakukan hubungan badan di luar sadar, semua peristiwa pahit itu cukup mencabik hancur hatinya.
"Tidak mungkin, tidak mungkin ..."
Timbul perlawanan ddam hatinya yang membara, dia tak percaya kejadian ini merupakan kenyataan, suaminya tak mungkin bisa meloloskan diri dari kematian, peristiwa yang berlangsung pada malam itu masih teringat olehnya dengan jelas sekali,,..
Suaminya dikerubut puluhan orang jago berkerudung, dia tewas dengan tubuh yang hampir tercincang, badannva sudah tak utuh lagi, mana mungkin dia bisa lolos dari pembunuhan yang kejam itu
Saat ini Lik-ih-hiat-ii tidak mempedulikan segala akibatnya lagi, dia perlu mengetahui siapa yang memberi lukisan itu"
"Siapakah orang itu" Dia berada di mana?" teriaknya kemudian dengan perasaan pedih.
Air matanya jatuh bercucuran mengikuti ucapannya itu, sekarang ia sudah kehilangan sikap dinginnya seperti dulu, hal ini menunjukkan betapa hebat gejolak perasaannya.
"Cianpwe, kau........" tiba-tiba Tong Yong-ling menjerit kaget.
Buru-buru dia menutup mulutnya dengan tangan kanan, sedang tangan kiri menuding ke atas kepala Lik-ih-hiat-li.
Rupanya dalam waktu yang teramat singkat, rambut itu hampir seluruhnya menjadi putih.
Lik-ih-hiat-li menarik secomot rambutnya yang putih, sambil tertawa getir katanya, "Apanya yang perlu diherankan"
Cepat katakan, dia berada dimana?"
Melihat kecemasan orang, Tong Yong-ling mengerti bahwa penderitaan yang dialaminya saat ini tak mungkin bisa ditahan oleh orang biasa, dia tak tega menampik keinginannya, maka sahutnya kemudian, "Dia berada di dalam perkampungan Kiam-hong-ceng"
Gelak tertawa seram bergema memecahkan keheningan, sedemikan kerasnya suara tertawa itu membuat ranting dan dedaunan turut berguncang dan rontok begitu mendengar nama Kiam-hong-ceng, dia langsung berlari ke arah
perkampungan itu.
"Cianpwe, hendak ke mana Kau?" Ji-sia segera berteriak sambil mengadangnya.
Semua tingkah laku Lik-ih-hiat-li telah terlihat olehnya, tiba-tiba muncul suatu perasaan aneh di dalam hatinya, dia merasa antara Lik-ih-hiat-li dengan dia seakan-akan terdapat suatu jalinan batin yang erat, entah mengapa dia turut mengucurkan air mata ketika melihat isak tangis perempuan itu.
Tentu saja ia tak tahu kalau inilah yang dinamakan kontak batin antara seorang ibu dengan anaknya.
Tong Yong-Iing gelisah sekali menyaksikan keadaan
tersebut, segera teriaknya, "Engkoh Bok, dia adalah ibumu"
"Jangan beritahukan kepadanya!" bentak Lik-ih-hiat-li.
Perlu diketahui, Lik-ih-hiat-li cukup memahami watak Bok Ji-sia, seandainya dia tahu sang Ibu masih hidup, Bok Ji-sia
tentu tak akan punya muka untuk bertemu dengan orang lagi, dia pasti akan membunuh diri daripada menahan malu.
Betul juga, sekujur badan Bok Ji-sia gemetar keras, teriaknya tertahan, "Apa" Dia ibuku?"
Setelah berhenti sebentar, kembali teriaknya, "Tidak! Dia bukan ibuku ... tidak!!"
Sambil menutup muka sendiri dia menangis bersedu-sedu, peristiwa malang pada masa lalu terbayang kembali dalam benaknya, dia pernah berpikir untuk bunuh diri, apalagi satelah terjadi hubungan zinah dengan ibunya, dia merasa tiada berani lagi untuk melanjutkan hidup.
Tapi pesan terakhir ibunya membuat dia harus hidup terus di dunia ini...
"Anak Sia, aku tak akan menyalahkan dirimu, semua ini adalah merupakan bagian dari siasat busuk bangsat laknat itu, sebelum kejadian kau telah diberi semacam obat perangsang yang amat keras sekali, yang membuat kau kehilangan kesadaran."
"Kau harus berani untuk hidup terus, berani menghadapi kenyataan, keluarga Bok cuma tinggal kau seorang yang akan meneruskan keturunan, kau harus membalaskan dendam ayah-ibumu, bila ibu tidak mencintaimu, takkan kulakukan perbuatan ini, aku rela menyiksa diriku sendiri, aku tak ingin menyaksikan kau mati...."
Telinga Ji-sia seolah-olah mendengung kembali pesan ibunya itu, dia percaya ibunya telah bunuh diri, ia tak percaya jika ibunya masih melanjutkan hidupnya.
Dengari cepat, ia membuang semua pikiran itu, kemudian berjalan menghampiri Lik-ih-hiat-li, matanya telah basah oleh air mata bercampur darah...
"Benarkah engkau ibuku?" tanyanya dengan sedih.
Lik-ih-hiat-li tahu hal ini tak bisa dirahasiakan lagi, setelah termenung dan berpikir sejenak, air matanya bercucuran, sekuatnya dia berusaha mengendalikan perasaannya,
kemudian katanya sambil terisak, "Anak Sia, andaikata aku adalah ibu kandungmu, masih punya keberaniankah kau untuk hidup?"
"O, ibu ..." jerit Ji-sia, cepat dia memburu maju, dia tahu dirinya sudah tidak memiliki keberanian lagi untuk hidup, dia bisa mempertahankan hidupnya sampai sekarang tak lebih karena ingin membalas dendam membuatnya hidup untuk sementara waktu saja.
Diam-diam ia telah mengambil keputusan bila dendamnya sudah beres, dan dendam gurunya juga selesai, dia akan menggorok leher sendiri untuk menebus semua dosanya.
Kini terbukti sudah Lik-ih-hiat-li adalah ibunya, bagaimana mungkin perasaannya tidak remuk rendam" Bagaimana
mungkin dia masih mempunyai muka untuk melanjutkan hidupnya di dunia ini" Apa yang dipikirkan sekarang tak lebih hanya "kematian".
Hanya kematian yang bisa membebaskan dia dari
penderitaan dan siksaan.
Mati! Mati ! Mati...
Sekarang dia hanya berpikir untuk mati. Mendadak Lik-ih-hiat-li menyingkir ke samping sambil membentak, "Kau dengar tidak pertanyaanku?"
Ketika tubrukannya mengenai tempat kosong, hati Ji-sia hancur luluh, apalagi desakan Lik-ih-hiat-li yang bertubi-tubi membuat ia tak mampu menjawab, benaknya terasa kosong melompong.
Dengan cepat dia mengambil keputusan, katanya dengan tertawa pedih, "Aku tak punya muka untuk melanjutkan hidup lagi!"
"Semut saja ingin hidup, apalagi kau adalah manusia!"
Bok Ji-sia menjatuhkan diri dan berlutut di atas tanah, serunya "Ibu, apakah kau rela menyaksikan ananda dimaki dan dicemooh setiap orang di dunia ini....."
Walaupun Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling tidak
mengerti peristiwa apa yang telah terjadi pada ibu beranak itu, tapi dari sikap kedua orang itu dapat diketahui masing2
memiliki rahasia yang tak mungkin disiarkan keluar.
Sebagai orang luar, dia merasa tidak, pantas ikut bicara, maka ia hanya memandang kedua orang itu dengan termangu dan menitikan air mata terharu.
Lik-ih-hiat-li sendiri tentu saja ingin Bok Ji-sia melanjutkan hidupnya, sekuatnya mengendalikan perasaannya itu.
Sambil tertawa dingin kemudian serunya, "Kau kira dengan kematian maka kau akan lepas dari kesulitan?"
"Kenapa?" seru Ji-sia kaget, "apakah kematian ..." Waktu itu matanya berubah menjadi merah, basah oleh air
bercampur darah, ketika mendongakkan kepalanya, hampir saja ia tak bisa melihat jelas bayangan tubuh Lik-ih-hiat-li, dia tahu kesedihan sendiri sudah mencapai pada puncaknya, Kembali Lik-ih-hiat-li mendengus, katanya-"Mati, hanya suatu cara untuk menghindari kenyataan, jalan akhir dari kaum pengecut, arwahnya yang sudah terlepas pun takkan memperoleh keterangan. Cara penyelesaian yang benar adalah hidup dengan tabah, dengan kemampuan sendiri mencuci bersih noda sendiri, tidak menyerah kepada kekuatan jahat, berjuang terus pantang mundur. Ibu bisa hidup sampai sekarang tak lain adalah mengandalkan kekuatan ini, tentu saja yang lebih penting adalah demi dirimu, ingin kulihat kau balas dendam berdarah ini...."
Setelah mendengar teguran dan petuah dari Lik-ih-hiat-li, mendadak Bok Ji-sia merasakan becapa beratnya tugas yang
berada di pundaknya sekarang, tanggung jawab ini tak mungkin diselesaikan hanya dengan kematian.
Tiba-tiba dadanya terasa lebih lapang dan longgar, katanya kemudian, "Ananda mengerti!"
Lik-ih-hiat-li menangis sedih. sekalipun ia telah berusaha mengendalikan gejolak perasaannya tapi akhirnya dia tak tahan, dia muntah darah dan persis menyembur pada wajah Bok Ji-sia.
Sambil menubruk ke depan ia memeluk pemuda itu erat-erat, meledaklah isak tangis yang memilukan hati
Sampai lama dia baru berhenti menangis, dengan penuh kasih sayang ditatapnya wajah Bok Ji-sia, dari balik sinar matanya yang penuh kelembutan itu terpancar juga sinar harapannya,
"Nak," katanya sambil tertawa pedih, "hanya dengan darah noda kita bisa dicuci bersih, kita harus membersihkan noda kita..."
"Aku pasti akan membersihkan noda ini dengan darah," Jisia berjanji dengan tegas, "Ibu, tunggu sajalah engkau!"
Di kejauhan sana bunyi kentongan bergema tiga kali menandakan sudah lewat tengah malam.
Bok Ji-sia mendongakkan kepala dan memandang bintang yang bertaburan di angkasa, tanpa terasa dia menghela napas, semua peristiwa berlangsung begitu mendadak, tak tersangka ibunya masih hidup di dunia ini.....
"Dapatkah aku hidup lebih jauh!" pernah ia bertanya kepada diri sendiri.
Walaupun pertanyaan ini sederhana dan gampang dijawab, namun selalu berkecamuk di dalam benaknya, tapi akhirnya dia memutuskan untuk hidup lebih jauh, paling tidak dia harus hidup dulu sampai dendam terbalas.
Ia tahu perasaannya tiap hari dilewatkan dalam
penderitaan, saban hari dia harus merasakan siksaan batin, peristiwa yang dialaminya dulu rasanya memalukan untuk berjumpa dengan orang lain, terutama hubungan badan dengan ibu kandung sendiri, membuat dia merasa pedih tak terlukiskan.
Benar kejadian itu merupaksn rahasia mereka ibu dan anak, tapi rahasia itu tak pernah lenyap dalam benaknya.
Mendadak sesosok bayangan berkelebat di bawah sinar rembulan, oleh karena malam sangat gelap, tak jelas siapakah gerangan pendatang itu.
Tapi ia tak berpikir panjang, sebab ia menduga orang itu pastilah ibu gurunya, Se to-sian-ki Bwe Siau-leng.
Tapi ketika orang itu semakin dekat dan dirasakan tidak mirip, dia baru membentak, "Siapa?"
"Suheng, aku," sahut orang itu merdu.
Bok Ji-sia tertegun, sudah jelas Subonya mengajaknya bertemu malam ini, kenapa ia tak muncul sendiri, sebaliknya menyuruh Sumoaynya Oh Keng-kiau yang datang memenuhi janji, jangan-jangan ia tertimpa sesuatu musibah"
"Mana Subo?" tanyanya segera.
Di bawah sioar bulan tampak Oh Keng-kiau dengan wajah penuh air mata berjalan mendekat.
Ji-sia terperanjat sekali, buru-buru dia memapak maju sambil menegur, "Sumoay, apa yang terjadi?"
Sambil menyeka air mata seru Oh Keng-kiau dengan
gelisah, "Suheng, cepat pergi!"
Sekali lagi Ji-sia melengak bingung, belum lagi dia berbuat sesuatu, Oh Keng kiau telah menarik tangannya dan diajak lari pergi dari situ.
Sungguh cepat gerakan tubuh kedua orang itu, dalam waktu singkat dua-tiga li lebih sudah dilalui.
Tiba-tiba dari depan terdengar suara bentakan nyaring, menyusur sesosok bayangan melayang mendekat, di
belakangnya mengikut puluhan bayangan hitam yang
melakukan pengejaran.
"Suheng, mari kita bantu Subo!" seru Keog-kiau dengan kuatir.
Bayangan merah berkelebat, dengan jurus Cuan-in-liu-sui (menembusi awan air mengalir), seperti anak panah yang terlepas dari busurnya Keng-kiau meluncur ke depan, dari jauh suatu pukulan dahsyat lantas dilancarkan.
Ji-sia kuatir Keng-kiau mengalami sesuatu, buru-buru bentaknya, "Sumoay, hati-hati!"
Baru selesai membentak, tampak Se-to-sian-ki Bwe Siau-leng telah tiba dengan sempoyongan, sementara para jago yang mengejar telah berdiri berjajar di hadapannya.
-o-o- Apa yang terjadi atas ibu guru Ji-sia, yaitu Se-to-sian-ki Bwe Siau-leng"
Cara bagaimana Ji-sia akan menuntut dendam
berdarahnya" Dan terhadap siapa!
-oo0dw0oo- Jilid 24 Terlihat seluruh badan Se-to-sian-ki basah bermandikan darah, puluhan luka bekas bacokan hampir merusak
badannya, sambil menahan sakit perempuan itu menuding ke belakang dengan napas tersengal sengal.
"Bunuh mereka!" serunya.
Mendengar Subonya menitahkan kepadanya untuk
membunuh para pengejar itu, Ji-sia tidak berani
membangkang, sambil tertawa seram dia bergerak maju.
Kawanan jago yang berada di sekeliling tempat itu
terkesiap, serentak mereka menghunus senjata sambil mengucurkan keringat dingin, rupanya mereka tahu Bok Ji-sia adalah seorang Iblis pembunuh yang tak kenal ampun, Dalam pada itu Oh Keng-kiau sudah bertarung sengit melawan kawanan jago di sebelah sana melihat itu dengan gusar Ji-sia berseru, "Sumoay kembali!"
Oh Keng kiau melompat mundur dan berkata, "Suko, kau ."
Dengan wajah penuh nafsu membunuh Ji-sia berkata,
"Lindungi aku dari samping, malam ini tak seorang pun kubiarkan lolos dari sini!"
Sesudah berhenti sejenak, sambil tertawa seram ia lantas menegur, "Kalian ini sobat dari mana!"
Ternyata kewanan jago itu semuanya pakai kerudung hitam yang menutupi wajahnya, hanya sepasang matanya saja kelihatan sehingga sukar diketahui orang macam apakah mereka ini.
Terdengir salah seorang di antaranya tertawa dingin, lalu menjawab, "Kalau kami saja tidak kau kenal, percuma kau berkecimpung dalam dunia persilatan."
Segera bergemuruh tertawa ejekan dan cemoohan
kawannya di sana-sini.
Bok Ji-sia semakin naik pitam, sambil tertawa seram katanya, "Jika kalian enggan bicara, Siauya juga dapat membereskan kalian semua!"
Diam-diam Se-to-sian-ki Bwe Siau-leng memuji melihat sikap Bok Ji-sia yang gagah berani itu. namun dia kuatir
pemuda itu tak tahu akan kelihaian lawan sehingga kena dipecundangi orang.
Buru-buru dia berseru. "Mereka adalah Sip-toa-thian-ong (sepuluh raja langit), sepuluh tokoh lihai hasil didikan gurumu sendiri, entah mengapa mereka telah bergabung dengan pihak Thian-seng-po....."
Belum habis dia berkata, di antara Sip-toa-thian-ong itu ada seorang lantas membentak, "Nenek bejat. siapa minta kau banyak mulut!"
Agak tercengang Bok Ji-sia ketika mendengar bahwa
kesepuluh orang itu adalah murid didik gurunya, Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak, pikirnya, "Aneh, mengapa Suhu tak pernah memberitahukan hal ini kepadaku" Kalau jago-jago ini benar satu perguruan denganku, tidak seharusnya mereka bertindak bermusuhan seperti ini, apalagi Se-to-sian-ki Bwe Siau-leng adalah isteri Suhu, mestinya Sip-toa-thian-ong menaruh hormat kepadanya, kenapa mereka bersikap kasar dan turun tangan keji?"
Dari mana dia tahu kalau Sip-toa-thian-ong adalah anak murid Thian-seng-po yang diam-diam dipersiapkan oleh Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-thian pada masa lalu untuk memperebutkan kedudukan kursi nomor satu di dunia, mereka merupakan pasukan di belakang layar yang
dipersiapkan untuk beradu kepandaian dengan kaum lurus dan sesat di dunia.
Sayang nasibnya jelek dan mengalami musibah sehingga kawanan jago lihai inipun pergi meninggalkan benteng.
Kemunculan kesepuluh orang jago itu telah dikumpulkan kembali oleh Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian pada sepuluh hari berselang untuk membantunya merebut kembali kitab pusaka Hek-lioag-kang, kebetulan sekali pada saat kedatangan Sip-toa-thian-ong, mereka telah bertemu dengan Se-to sian-ki
Bwe Siau-leng yang sedang mengacau di Thian-seng-po, akibatnya perempuan itu dikerubuti mereka bersepuluh.
Begitulah, tak terlukiskan rasa gusar Bok Ji sia menyaksikan sikap kurang ajar orang-orang itu terhadap Subonya, napsu membunuh segera berkobar, sambil mendongakkan kepala dia tertawa seram ....
Suara tertawanya keras membetot sukma, membuat para jago terkesiap.
Setelah berhenti tertawa, dengan air muka berubah
beringas katanya, "Kalian sampah masyarakat dunia persilatan, malam ini jangan harap bisa lolos dari sini dengan selamat!"
"Manusia latah, sungguh latah!" jengek pemimpin rombongan itu sambil tertawa seram, "berani kau bersikap kurangajar kepada kami!"
Kemarahan Bok Ji-sia telah mencapai puncaknya, ia tak peduli betapa lihai lawan, bentaknya, "Serahkan nyawamu!"
Di tengah bentakan menggelegar, tiba-tiba ia menerjang maju, tangan kanan segera menabas tubuh kakek
berkerudung hitam itu.
Dengan cekatan kakek berbaju hitam itu mengegos ke samping, lalu bentaknya. "Binasakan dia!"
Menyusul bsntakan itu, kesepuluh orang itu segera
memisahkan diri ke empat penjuru, kemudian diiringi suara tertawa dingin menyeramkan serentak mereka menubruk ke arah Bok Ji-sia.
Anak muda itu tertawa dingin, mendadak ia mengapung ke udara, kedua tangannya menghantam susul menyusul,
berpuluh bayangan tangan mendadak menyambar dan
menghadiahkan dua kali pukulan kepada setiap orang.
Kawanan jago lihai itu tertawa dingin, sambil mengegos pedang mereka balas menabas.
Tubrukan dan serangan kedua pihak sama dilakukan
dengan cepat sekali.
Tiba tiba bayangan merah berkelebat, tahu-tahu Oh Keng-kiau menghunus pedang, kontan terdengar dua kali jeritan ngeri. Dimulai pada saat mencabut pedang sampai saat membacok orang, semua gerakan itu dilakukan bersamaan, tanpa terasa semua jago terkesiap, mereka tidak menyangka seorang anak perempuan bisa membunuh dua jago lihai dalam waktu begitu singkat.
Melihat Oh Keng-kiau berhasil menjatuhkan dua musuh, semangat Ji-sia kobar, sambil tertawa panjang dia melolos Jian-kim-si-hun-pian yang sakti itu, serunya, "Sumoay, sisakan dua orang bagiku!"
Di bawah sinar rembulan, ruyung emas memancarkan
cahaya tajam berkilau, ditambah lagi suara desing yang aneh, membuat senjata itu tampak bagaikan naga emas yang sedang menari di-tengah kegelapan malam.
Mendadak kedelapan jago yang tersisa itu menjerit kaget,
"Jian-kim-si-hun-pian!" teriak mereka.
Dengan cepat kedelapan orang itu mengundurkan diri, tiba tiba mereka berlutut dan menyembah.
Kemudian salah seorang di antaranya berseru lantang,
"Majikan muda, budak sekalian siap menerima hukuman!"
Ji-sia tercengang sekali melihat kawanan jago itu berlutut sambil menyebut majikan muda kepadanya, buru-buru dia membatalkan serangannya dan melompat mundur.
Peristiwa aneh ini membuat pemuda itu tertegun, ia tidak mengerti mengapa bisa terjadi begini, mana dia tahu kekuasaan sebenarnya dari Jian-kim-si-hun-pian tersebut.
Maklumlah, waktu Oh Kay-gak mengajarkan ilmu silat kepada orang-orang itu dulu, mereka diharapkan bersumpah berat, bilamana bertemu dengan pembawa ruyung emas Jian-kim-si hun-pian, mereka diwajibkan tunduk padanya.
Pada mulanya kesepuluh orang jago itu mengira ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian sudah jatuh ke tangan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, maka berbondong-bondong mereka
datang kembali, tak tahunya ruyung mestika milik gurunya berada pada seorang pemuda, hal ini amat menggetarkan perasaan mereka.
Sambil maju ke depan. Se to-sian ki Bwe Siau-leng berkata,
"Mengingat kalian tidak tahu, hukuman mati bisa dibebaskan, tapi selama hidup harus taat pada perintah Jian kim-si hun piau!"
Kedelapan orang itu menyembah pula, sahutnya, "Terima kasih atas kemurahan hati majikan muda yang tidak
membunuh kami!"
Setelah berdiri, kedelapan anggota Toa-thian-ong itu segera mundur ke belakang dengan sikap hormat, kemudian menyebarkan diri dengan menghadap ke sana, jelas mereka sedang melakukan penjagaan bagi Bok Ji-sia.
Menyaksikan sikap dan tingkah laku mereka itu, Ji-sia jadi bingung sendiri dan tak tahu apa yang mesti dilakukannya.
"Subo!" tanyanya kemudian, "sebenarnya apa yang terjadi?"
Dengan dibimbing Oh Keng-kiau, Se-to-sian-ki Bwe Siau ling menghela napas, katanya, "Orang di dunia ini hanya tahu Jian-kim-si-hun-pian adalah sebuah ruyung mestika, padahal bukan saja menyangkut rahasia besar dari istana Hian-liang-gin-bu, juga mengandalkan sejumlah manusia dalam benteng Thian-seng-po, karena ruyung mestika inilah bibit bencana ditanamkan oleh gurumu pada masa lampau."
Pada saat itulah, mendadak dari jauh terdengar seseorang menegur sambil tertawa seram, "Sip-toa-thian-ong, apakah perempuan hina itu sudah kalian bunuh?"
Menyusul tampak antek Thian-seng-po, yakni Im-hong-siu Kui Kok-heK dan Mo-in-jiu Kok Siau-thian muncul di sana.
Kedua orang ini tertegun ketika dilihatnya Se-to-sian-ki Bwe Siau lang bertiga berada di tengah arena, mereka merasa senang.
Kui Kok-hek tertawa terbahak-bahak, serunya, "Haha, rupanya mereka telah menjadi ikan dalam jaring, kukira ...."
Belum habis perkataannya, mendadak Ji-sia maju ke
depan, katanya deogaa dingin, "Buat kalian berdua, ada jalan untuk datang, tiada pintu untuk pergi!!"
"Hehe, apakah perkataanmu ini tidak diucapkan terlampau awal?" ejek Mo-in-jiu Kok Siau-thian.
Ji-sia tertawa dingin, tiba-tiba bentaknya, "Tangkap mereka!"
Suara mengiakan berkumandang, kedelapan sosok
bayangan secepat kilat menubruk maju, empat orang satu kelompok, serentak menyerang Im-hong-siu dan Mo-in-jiu.
"Kalian telah berkhianat?" bentak kedua orang itu.
Kedudukan kedua orang ini dalam Thian-seng-po amat tinggi, mereka menjadi gusar karena pengkhianatan
kedelapan Thian-ong tersebut, segera pukulan dahsyat dilontarkan ke depan.
Ada pameo "dua kepalan sukar melawan empat tangan", meskipun kedua orang itu memiliki kepandaian tinggi, apa daya kedelapan Thian-ong itupun jago lihai didikan Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak masa lalu, kungfu mereka sangat hebat, apalagi delapan orang maju bersama,
selang tak lama kedua jagoan golongan hitam itu sudah berhasil ditaklukan.
Keng-kiau benci dan menghadiahkan dua kali tempelengan keras.
Se-to-sian-ki Bwe Siau-leng menghela napas, katanya,
"Anak Sia, lepaskan mereka, kita gunakan kejadian ini sebagai peringatan kepada Oh Kay-thian."
Ji-sia tak berani membangkang, sambil menarik muka dia berkata, "Mengingat kalian baru pertama kali ini membuat kesalahan padaku, enyah dari sini, cepat!"
"Baik!" seru Mo-in-jiu Kok Siau-thian. "Bok Ji-sia, selama gunung tetap hijau dan air tetap mengalir, suatu ketika aku pasti akan membalas budi kebaikanmu ini!"
Kedua orang itu tak berani ayal, cepat mereka angkat kaki dari situ.
Memandangi bayangan punggung kedua orang itu, Se-to-sian-ki Bwe Siau-leng berkata sambil menghela napas, "Anak Sia, tahukah kau bagaimana ceriteranya sampai gurumu kena dicelakai?"
Hati Ji-sia bergetar, benaknya serasa mendengung, ia pernah bersumpah akan menyingkap rahasia ini dan
membalaskan dendam gurunya, maka tak terlukiskan rasa kejut dan girangnya mendengar perkataan sang ibu guru.
Dengan sedih ia menggeleng, sahutnya, "Tecu tidak tahu!"
Bwe Siau-leng tampak sedih sekait, menitik air matanya, setelah menghela napas dia berkata, "Sebenarnya aku tak ingin menceritakan keadaan yang sebenarnya kepadamu, tapi demi Suhumu agar arwahnya di alam baka bisa beristirahat dengan tenang, dan lagi hanya kau yang bisa membalaskan dendam baginya, maka akan kuberitahukan rahasia ini kepadamu. Ai, 20 tahun sudah ... ya sudah 20 tahun lamanya
..." Ketika Bok Ji-sia masuk ke Thian-seng-po dahulu, Thian kang-te-sat gwat-kiam Oh Kay gak sudah delapan belas tahun lamanya hidup tersekap, kini Ji-sia sudah dua tahun berkelana di dunia persilatan, jadi sudah genap 20 tahun.
Setelah menekan rasa sedihnya Se-to-sian-ki-cerita lebih lanjut, "Waktu itu, sebelum gurumu berkenalan denganku, Toakonya Oh Ku-gwat dan Samtenya Oh Kay-thian telah berusaha dengan segala daya upaya untuk mendapatkan aku, tapi oleh karena kedua orang itu berhati busuk dan licik, aku tak sudi memperhatikan mereka berdua."
"Pada saat itu suhumu telah menjadi pemimpin Bu-lim-jit-coat, dan menjabat sebagai Pocu Thian-seng-po, sedangkan Subo waktu itu adalah orang ketiga dari Bu-iim-jit-coat, berhubung tiap tahun ketujuh tokoh selalu berkumpul satu kali, lambat-laun aku dan gurumu jatuh cinta, akhirnya meningkat menjadi perkawinan .... "
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, "Ai, serapat apapun rahasia disimpan, akhirnya Oh-lo-toa dan Losam mengetahui juga hal ini, hampir saja hubungan ketiga orang bersaudara itu putus, mereka mencari kesempatan untuk merusak hubungan kami. Di antara itu, Oh Kay thian adalah orang yang paling getol mengejar diriku. Tahun kedua setelah perkawinanku dengan Suhumu, Keng-kiau pun lahir."
Bercerita tentang dirinya. Oh Keng-kiau menangis terseduh sambil menjatuhkan diri ke dalam pangkuan ibunya.
Dengan penuh kasih sayang Bwe Siau-ieng membelai
rambut putrinya, setelah tertawa pedih, katanya, "Suatu ketika selagi Suhumu pergi, secara licik dan keji Oh Kay-thian menggagahi diriku .... yang lebih runyam lagi adalah kemunculan Oh Ku-gwat pada waktu itu, ia mengancam diriku untuk melayani pula kehendaknya, sampai mati pun aku tidak menurut, maka iapun menceritakan kejadian ini kepada Suhumu."
"Dalam malu dan gusarnya, Suhumu menghajar diriku sampai beberapa kali, dia mengira aku tewas akibat pukulannya. Akhirnya dia mengetahui semua ini adalah perbuatan busuk Oh Kay-thian dan Oh Ku-gwat, dalam sedihnya, dengan membawa Jian-kim-si-hun-pian iapun menutup diri di dalam rumah itu dan tak pernah .... "
Bicara sampai di sini, tak dapat ia tahan rasa sedihnya lagi sehingga menangis tersedu-sedu ....
Ji-sia tidak menyangka Subonya mempunyai kisah hidup yang begitu mengenaskan, lebih tak menyangka akan
kebiadaban Oh Kay-thian dan Oh Ku-gwat yang melampaui batas itu.
Siapapun tidak menyangka Oh Ku gwat dan Oh Kay-thian dapat melakukan perbuatan terkutuk seperti itu terhadap saudara kandung sendiri.
Saking gemasnya Ji sia sampai menggigit bibirnya kencang-kencang, serunya kemudian, "Subo jangan bersedih, Tecu bersumpah akan membalaskan sakit hati ini .. "
Sampai di sini, mendadak ia berlutut sambil berdoa, "Arwah Suhu di alam baka, Tecu berjanji akan membalaskan dendam kematianmu dan membasmi kaum durjana itu dari muka bumi."
Sementara itu Keng-kiau juga berpekik dengan pedih, "Ibu, selama ini engkau tentu sangat menderita!"
Tiba-tiba Bwe Siau-leog menghela napas, kembali ia menangis tersedu-sedan.
Ji-sia termangu sekian lamanya dan tak tahu apa yang mesti diucapkannya.
Mendadak Bwe Siau-leng mendorong Keng-kiau ke samping katanya, "Anak Sia, semua persoalan telah kau ketahui sekarang, kau harus membalas dendam, sekalipun jago lihai
dalam Thian-seng-po amat banyak jumlahnya, kuyakin kau sanggup menunaikan tugas berat ini."
Sambil menggetarkan Jian-kim-si-hun-pian Ji-sia berjanji,
"Bila Bok Ji-sia tidak membunuh Oh Kay-thian kedua manusia laknat itu, aku bersumpah takkan menjadi manusia ...."
Se-to-sian-ki Bwe Siau-ling tertawa pedih, sambil menuding Keng-kiau, katanya lagi, "Dia, kuserahkan kepadamu!"
"Ini ...." hati Ji-sia bergetar "Subo, kau....."
Tiba-tiba Keng-kiau menjerit, "Ibu,jangan..."
Tertampak Sc-to-sian-ki Bwe Siau-ling tumpah darah dan mendadak roboh ke belakang.
Ji-sia terperanjat, buru-buru ia melompat maju
membimbingnya ...
Bwe Siau-ling tersenyum sedih, bisiknya lirih, "Aku takkan hidup lagi, segalanya kutitipkan padamu dan Keng-kiau, sekarang Suhu sedang menggapai padaku. Anak Sia, Sejak kini Keng-ktau akan menjadi yatim piatu, sebaiknya kalian hidup sebagai suami-isteri ... , "
Bicara sampai di sini, mendadak ia menggigit lidahnya sampai putus dan tewas, perempuan yang malang ini akhirnya mati dengan menanggung malu, marah dan dendam.
Kematiannya benar-benar mendadak, hal ini membuat Ji sia tidak sempat lagi untuk memberikan pertolongan, pemuda itu menghela napas sedih dan menitikkan air mata.
"Subo, beristirahatlah dengan tenang," dia bergumam,
"Tecu pasti akan memikul tanggung jawab yang berat ini."
Keng-kiau tak dapat menahan rasa sedihnya dia menangis tiada hentinya.
Melihat keadaan Sumoaynya itu, Ji sia segera menitahkan kepada kedelapan Thian ong untuk menggali lubang kuburan besar buat Se-to sian-ki Bwe Siau-leng.
Oh Keng kiau berlutut di depan kuburan ibunya dengan termangu, air matanya masih bercucuran, matanya
memandang lurus ke depan, keadaannya mengenaskan sekali.
Kedelapan Thian-ong berdiri di seputar kuburan dengan khidmat, Ji-sia berdiri termangu, dia tak tahu bagaimana harus mengurusi Oh Keng-kiau dan kedelapan Thian-ong itu.
Mendadak dari kejauhan berkumandang suara siulan
nyaring, di bawah sinar bulan tampak sesosok bayangan dengan cepat luar biasa meluncur datang.
Ji-sia terkesiap, dia merasakan kelihaian orang, cepat ia melompat ke depan, tegurnya, "Siapa kau?"
"Bok-siauhiap, aku!" jawab orang itu. Ketika Ji-sia mengamati lagi dengan saksama, segera diketahuinya orang ini ialah Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak adanya.
Sebagaimana diketahui, kedudukan Ku Thian-gak delam dunia persilatan amat tinggi dan dihormati orang, tapi sejak si perempuan aneh dari Hek-liong-kang muncul di Tionggoan, tampaknya Ku Thian-gak mempunyai hubungan erat dengan perempuan berkerudung itu, tindak- tanduknya tampak selalu dikekang oleh orang Hek-liong-kang.
Begitulah Ji-sia lantas menegur, "Ku cianpwe, kau......."
Tiba-tiba dari kegelapan malam berkumandang lagi dua kali pekikan maiah, menyusul muncul dua Bosok bayangan
melayang tiba dengan cepat.
Air muka Ku Thian-gak berubah hebat, serunya, "Bok siauhiap, mana kitab pusaka itu?"
Ji-sia terkesiap, ia sendiri tidak tahu kitab pusaka Hek-liong-kang yang diterimanya dari nona berbaju biru itu entah
sudah diantar ke Hek-liong-kang oleh Lamkiong Giok atau belum.
Dengan perasaan bergetar dia lantas bertanya, "Ada apa"


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah kitab itu ada persoalan?"
Dengan cemas Ku Thian-gak berkata, "Bok-siauhiap, tidakkah kau rasakan kitab itu amat mencurigakan" Segala apa jangan terlalu serius, sebab dibaliknya terdapat tahasia yang tak kau sangka..."
Belum habis perkataannya, mendadak, terdengar seorang membentak, "Ku Thian-gak, kau berani membocorkan rahasia Siocia?"
Tampaknya Ku Thian-gak sangat takut kepada kedua orang itu, segera ia berhenti bicara, lalu sambil memberi tanda kepada Ji-sia, bisiknya,
"Malam ini dengan pertaruhkan nyawa kuberitahukan rahasia ini kepadamu, kitab itu adalah kitab palsu."
Belum selesai ia berkata, Hoa Hong-hui dan kakek
berambut putih telah berada di depan mereka,
Sambil tertawa seram Hoa Hong-hui segera mengangkat tangannya sembari berseru, "Ku Thian gak, berlutut dan terima kematianmu!"
Begitu melihat lencana tembaga di tangan Hoa Hong-hui.
Air muka Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak berubah pucat, dengan takut dia menghela napas, lalu berlutut.
Selama ini Ku Thian-gak takut setengah mati terhadap si nona berbaju biru, semuanya ini akibat lencana tembaga tersebut
Ji-sia menjadi gusar, bentaknya, "Hoa Hong-hui, mau apa kau?"
Seraya berkata dia lantas melangkah maju.
Air muka Hoa Hong-hui berubah hebat, cepat dia berseru,
"Ku Thian-gak, tahan dia!"
Ku Thian gak mendengus, ia berdiri dan mendekati Ji-sia.
"Bok-siauhiap," katanya sambil tertawa pedih-"lebih baik jangan mencampuri urusan ini!"
Ji-sia melotot sekejap ke arah Hoa Hong-hui lalu berkata,
"Ku-cianpwe, serahkan saja urusan ini padaku, akan ku ...."
"Hadiahkan tiga kali pukulan padanya!" tiba-tiba Hoa Hong-hui memberi perintah pula.
Terpaksa Ku Thian-gak bergerak ke muka, katanya, "Bok-siauhiap aku harus bertindak kasar kepadamu!"
Berada di bawah ancaman orang lain terpaksa Ku Thian-gak melontarkan pukulan terhadap Bok Ji-sia.
Anak muda itu dapat memahami kesulitan rekannya itu, dengan enteng dia menyingkir ke samping, telapak tangan kanan menangkis pukulan Ku Thian-gak itu dengan keras lawan keras.
Begitu beradu tangan mendadak Ku Thian-gak manfaatkan daya pantul tenaga pukulan itu untuk meluncur ke asah Hoa Hong-hui, telapak tangan kirinya segera melancarkan serangan tipuan, sedang telapak tangan kanan dengan cepat menyambar lencana tembaga itu.
Dengan terkejut Hoa Hong hui mengibas lengannya sambil melompat mundur.
Bentakan menggelegar, sambil mengibas lengan bajunya si kakek berambut putih itu segera mengalang jalan maju Ku Thian-gak.
Hoa Hong-hui tertawa geram, serunya, "Ku Thian-gak, tahukah dosa apa yang telah kau lakukan?"
Sekujur badan Siau-yau-sian hong kek Ku Thian-gak
gemetar, dengan ketakutan dia berlutut pula, sahutnya, "Tecu pantas mampus, Tecu bersedia menerima hukuman dari pemegang lencana tembaga."
Hoa Hong-hui menjengek, "Meremehkan Tong-pay-kim-leng, hukumannya mati, boleh kau menggorok leher sendiri!!"
Ji-sia berkerut kening, katanya dengan dingin, "Bila dia mati, kaupun jangan harap bisa meninggalkan tempat ini!"
Ia segera memberi tanda, kedelapan Thiab-ong serentak memisahkan diri dan mengurung Hoa Hong-hui dan kakek berambut putih itu.
"Huh, dengan kawanan gentong nasi ini hendak kau tahan kami?" ejek Hoa Hong-hui.
"Kau pandang rendah mereka" Seorang saja di antara mereka sudah cukup untuk membinasakan dirimu!" ucap Ji-sia dingin.
Hoa Hong-hui tergelak, dia anggap orang hanya mengibul katanya, "Hahaha, orang latah suka bicara latah, sekalipun kalian maju bersama juga belum tentu bisa mengapakan diriku!"
Mendadak salah seorang Pat-toa-thian-ong itu melompat ke depan sambil membentak, "Akan kuhajar orang muda yang latah ini!"
Orang berbaju hitam itu menggetarkan pedangnya sambil membentak, dengan jurus Hou-siau-hong-seng (harimau mengaum angin mendesir) ia menusuk, serangan keji dan cepat, sukar bagi Hoa Hong-hui untuk menghindar. Mendadak ia mendakkan badan untuk mengelakkan tusukan maut itu-Pada saat yang sama ia lepaskan pukulan ke depan,
mengancam iga orang berbaju hitam itu.
Seandainya kedua orang itu sama-sama melanjutkan
serangan masing-masing, akibatnya pasti terluka bersama.
"Hoa kongcu, cepat mundur!" kakek berambut putih itu berseru.
Ia menerjang ke tengah dan mendorong Hoa Hong-hui ke samping, sementara tongkat tangan kanannya menghantam musuh.
Kuatir Ji-sia, teriaknya, "Kalian hendak main kerubut."
Seperti anak panah terlepas dari busurnya ia meluncur ke depan, tangan kirinya menarik orang berbaju hitam itu, sedang tangan kanan menghantam tongkat hingga tergetar ke samping.
Tiba-tiba kakek berambut putih dan orang berbaju hitam itu merasakan tenaga serangan punah, lalu ada tenaga kuat menumbuk tubuh mereka hingga tergetar mundur.
Tak terlukiskan rasa kaget mereka, tak mereka sangka tenaga dalam Bok Ji sia begitu sempurna, sampai serangan si kakek berambut putih yang dahsyat pun punah dan tergetar ke samping.
Kejut dan marah Hoa Hong-hui, dia membentak, "Bangsat pencuri kitab, ayo sambut pukulan Siauyamu?"
Ji-sia melengak, ia tidak merasa mencuri, mana ia tahu si nona baju biru itu telah menyiarkan bahwa ia membawa kabur kitab Hek-liong-kang yang diserahkannya tempo hari itu.
Dengan sendirinya ia gusar, bentaknya, "Bangsat, kau bilang apa?"
Mendadak bayangan merah berkelebat, terdengar Oh
Keng-kiau menghardik, "Mulut yang sembarangan bicara harus ditampar!"
"Plak-plak" dua kali gamparan nyaring bergema.
Kedua pipi Hoa Hong-hui segera muncul bekas telapak tangan yang merah bengkak.
Sebagai orang yang tinggi hati, belum pernah ia dihina orang semacam itu, dengan geramnya ia berterak. "Budak hina, kau ingin mampus!"
Belum lagi tangannya diangkat, tiba-tiba ia beradu pandang dengan Oh Keng kiau, seketika hatinya tergetar.
"Cakap amat gadis ini!" pikirnya.
Maklum, Hoa Hong-hui adalah pemuda yang tinggi hati, gadis biasa jangan harap akan memperoleh kata pujiannya, kecuali gadis berkerudung baju biru, hakikatnya dia memandang rendah perempuan lain di dunia ini.
Sejak masuk daerah Tionggoan, ia belum pernah bertemu dengan gadis yang menarik hatinya, siapa tahu hari ini dia berjumpa dengan gadis rupawan, tak heran hatinya bergetar.
Waktu itu aii mata masih membasahi wajah Oh Keng-kiau, tapi hal ini justru menambah kecantikannya yang melankolik, yang merawan hati.
Untuk sesaat dia jadi lupa pada tamparan yang baru diterimanya, dengan melenggong ia bergumam "O, hampir saja aku tak percaya dengan pandanganku, tak kusangka ada gadis secantik ini di Tionggoan!"
Oh Keng-kiau menjadi gusar, bentaknya, "Bangsat yang tak tahu malu!!"
Dia menerjang maju dan menghantam batok kepala Hoa Hong-hui.
Kakek berambut putih menjadi kuatir, serunya, "Hoa-kongcu, cepat mundur!"
Secepat kilat telapak tangan kirinya menyapu ke depan, ia kuatir Hoa Hong-hui terluka, maka dia mengerahkan tenaga
murni untuk menyambut serangan Oh Keng-kiau tersebut dengan kekerasan.
"Blang", benturan keras terjadi, keringat bercucuran di jidat kakek rambut putih itu, dia tampak letih, sekujur badannya gemetar, jelas betapa hebatnya kekuatan serangan Keng-kiau ini.
Memandang wajah si kakek yang pucat kehijauan dan
rambutnya yang kaku seperti landak, Hoa Hong-hui sangat terperanjat, dengan cepat dia membimbing si kakek dan bertanya, "Kenapa kau?"
"Dia murid Kin-teng Cinjin!" bisik si kakek dengan muntah darah.
Oh Keng-kiau mendengus, "Hm, kalau sudah tahu lihai, cepat enyah dari sini!"
Hoa Hong-hui berpaling dan melotot sekejap dengan rasa gusar bercampur gemas, tak terlukiskan perasaannya seakan-akan merasa berat untuk pergi dari situ.
Tapi akhirnya dia berpaling sambil membentak "Ku Thian-gak, ikut pulang!"
Ketika dilihatnya lencana tembaga itu sudah disimpan kembali, Siau-yau-sia-hong-kek Ku Thian-gak menjengek,
"Kalau aku tak mau?"
"Kau takkan berani!" seru Hoa Hong hui sambil mengacungkan lagi lencana tembaga itu.
Air muka Siau-yau-sian-hong-kek berubah seketika melihat lencana tersebut, dengan kepela tertunduk dan membungkam ia melangkah ke sana.
"Bawa kemari!" mendadak Oh Keng-kiau membentak.
Hoa Hong-hui merasakan embusan angin harum dan
bayangan orang berkelebat, tahu-tahu tangannya terasa enteng, lencana tembaga itu sudah berpindah tangan.
Dengan sikap tersipu-sipu ia berseru, "Kalau nona menyukainya, anggap sebagai tanda mata dariku!!"
"Hmm, siapa sudi dengan besi rongsokan ini," dengus Keng-kiau.
Mendadak lencana itu dilemparkan dan mendesing di
udara, setelah membuat gerak lingkaran, secepat kilat meluncur ke depan Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak.
Sekujur badan Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak
bergemetar keras begitu lencana itu berada di tangannya, Ia bergelak tertawa dengan girang, tiba-tiba ia berlutut dan menyembah pada Oh Keng-kiau.
"Terimakasih atas bantuan nona merebut kembali lencana ini!" katanya dengan khidmat.
Sekali berkelebat, diiringi gelak tertawanya yang nyaring dia lenyap di kejauhan sana.
Sementara itu, Hoa Hong-hui dan si kakek berambut putih juga cepat kabur diri dari situ.
"oOOOo"
Bintang bertaburan di angkasa, malam cerah, udara bersih
.... Malam sudah laru, suasana sepi.
Perkampungan Kiam-hong-ceng berdiri dengan angkernya di balik keheningan malam.
Waktu itu di sekeliling perkampungan telah hadir berbagai jagoan baik dari golongan putih maupun hitam, pentolan loklim, gembong iblis, semuanya siap siaga menanti saatnya untuk bergerak.
Mengapa begitu ramai suasana di Kiam-hong-ceng malam ini" Mengapa pula pelbagai jeroan dari segala lapisan serentak berkumpul di situ"
Sudah barang tentu peristiwa ini tak terlepas sangkut pautnya dengan kitab pusaka Hek-liong-kang-ki-su.
Mendadak dua sosok bayangan hitam meluncuri arah barat bagaikan badan halus melayang ke arah rumah kecil yang bersinar lampu dipojok sana.
Kedua orang Itu adalah jago kelas tinggi, begitu sampai di depan rumah, mereka lantas memencarkan diri dan maju dari kiri dan kanan.
"Siapa?" suara bentakan seorang menggema dalam kegelapan menyusul lantas berkumandang suara desing angin tajam.
Bayangan orang berkelebat, dua belas jago lihai kembali meluncur tiba dan mengepung kedua orang itu di tengah, kedua orang ini adalah Lik-ih-hiat-li dan Tong Yong-ling.
"Lamkiong Hian," terdengar seorang menegur "kau kira begundalmu ini mampu mengalangi Lik-ih-hiat-li?"
Menyusui Lik-ih-hiat-li lantas mengayunkan telapak tangannya, segera berkumandang suara jeritan ngeri, jeritan maut menjelang ajal.
Bayangan orang yang paling depan roboh terkapar, disusul orang kedua, ketiga ... keenam ,.. kedelapan .. , kedua belas orang tiada satu pun berhasil meloloskan diri.
Dalam waktu singkat dua belas sosok mayat telah
bergelimpangan.
Tiba-tiba muncul seorang dari dalam rumah, bentaknya,
"Lik-ih-hiat-li berulang kali kau recoki aku, sebetulnya apa maksudmu!"
Selesai membunuh kedua belas jago itu, Lik-ih-hiat-ii berdiri berjajar dengan Tong Yong-ling.
"Aku datang mencari orang!" jawab Lik-ih-hiat-li ketus.
"Di sini tiada orang yang kau cari" kata Lamkiong Hian dengan kening berkeiut.
"Andaikata berhasil kutemukan?" seru Lik-ih-hiat-li lagi dengan tertawa dingin.
"Aku akan bertanggung jawab!"
"Baik," kata Lik-ih-hiat-li sambil menarik tangan Tong Yongling, "sebentar aku akan membuat perhitungan denganmu!"
Begitu selesai berkata, kedua orang itu segera berkelebat pergi.
Dengan petunjuk jalan oleh Tong Yong-ling, mereka
menerjang ke sebuah bangunan kuno di depan sana, jelas kedatangan Lik-ih-hiat-li malam ini adalah untuk mencari si manusia aneh berwajah buruk yang menyerahkan lukisan kepada Tong Yong-ling tempo hari.
Lamkiobg Hian tertawa dingin memandangi bayangan
punggung kedua orang itu, gumamnya, "Kiam-hong-ceng bukan tempat yang boleh kau kunjungi sesukamu."
Segera ia bersuit nyaring, menyusul suara tambur lantas berbunyi dari empat penjuru, dalam waktu singkat bayangan orang bermunculan dan menerjang ke arah Lik-ih-hiat-li.
Mendadak terdengar seorang tertawa terkekeh-kekeh,
"Lamkiong Hian, mereka datang untuk mencari orang, sedang nona datang untuk mencari buku!"
Bayangan berkelebat, tahu-tahu di depan Lam-kiong Hian berdiri sesosok tubuh yang indah.
Waktu Lamkiong Hian memperhatikan orang dengan
saksama, katanya dengan tertawa, "Hehe, kiranya Mo-li-ceng-li, kusangka jagoan dari mana!"
Mo-li-ceng-li terkekeh, katanya, "Ah, mana, konon Kiam-hong-ceng berhasil memperoleh sejilid kitab pusaka, kau tahu nonamu gila silat selama hidup, apakah Toacengcu mau meminjamkan kitab itu kepadaku untuk menambah
pengetahuan nona?"
"Maaf, kitab itu sudah dikirim ke Hek-liong kang ..." jawab Lamkiong Hian sambil tertawa dingin.
"Omong kosong, nonamu bukan orang yang dapat kau tipu!"
Sesudah berhenti sebentar, bentaknya, "Lamkiong Hian, bila kau tidak serahkan kitab itu kepadaku, jangan menyesal bila nona akan memusnahkan Kiam-hong-ceng"
Mendadak dari kejauhan terdengar seorang membentak marah. "Siapa yang berani membikin keonaran di Kiam-hong-ceng?"
Baru saja suaranya menggema, segera bayangan muncul, tertampaklah di sekeliling sudah dipenuhi kawanan jago psrsilatan. semua orang mengawasi wajah Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian, terdengar seorang tertawa dan berseru,
"Lamkiong-cengcu, apakah kau akan membuat kecewa kawan sebanyak ini."
Diam-diam Kiam-hong-ceagcu Lamkiong Hian terkesiap, ia tak mengira begitu banyak jago lihai sama berkunjung kemari, ketika ia berpaling, dilihatnya pembicara itu adalah seorang kakek berwajah tak menarik.
Lamkiong Hian tertawa terbahak-bahak, "Ha-haha, sungguh kehormatan besar bagiku, tak nyana begini banyak sahabat sudi berkunjung kemari, Mari, mari, siapakah saudara ini, marilah kita berkenalan!"
Sambil berkata ia maju ke depan kakek itu seraya
menjulurkan tangan.
"Terima kasih," dengus kakek itu, "aku Gin-tan-cu (peluru perak) Kim Hong "
Sambil menggeser ke samping, tangan kanan berbalik mencengkeram pergelangan tangan Lamkiong Hian
Agak terkejut Lamkiong Hian, serunya sambil tertawa,
"Aha, kiranya Gin-tan-cu Locianpwe, maaf, maaf!"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan ngeri menggema, angin berembus kancang, udara makin gelap, kawanan jago sama berpencaran mencari tempat bersembunyi dengan perasaan waswas.
Menyusul tertampaklah seorang berlari datang dengan cepat sambil berteriak ketakutan, "ayah, ada setan!"
"Nak, mengapa kau keluar?" tegur Lamkiong Hian dengan terkejut,
"Ayah, ada setan, kitab sudah tercuri!" seru Huan-In-kiam Lamkiong Giok dengan wajah pucat karena ketakutan.
Terkesiap semua jago yang berada di sekeliling tempat itu.
serentak mereka muncul kembali dan ikut mendengarkan.
Di bawah kelip cahaya bintang yang lemah, tiba-tiba muncul tiga belas orang berbaju putih, semuanya bermata siwer, biji mata berwarna hijau menyeramkan.
"Sobat dari mana yang menyaru sebagai setan untuk menakut-nakuti orang ... ?" bentak Lamkiong Hian.
Baru selesai berksta, ketiga belas orang berbaju putih itu mengeluarkan suara melengkiag aneh seperti jeritan setan.
Bersamaan dengan berhentinya jeritan mereka, tiga oraag berbaju putih segera melompat ka depan.
Dengan takut Lamkiong Giok berseru lagi, "Ayah, mereka inilah yang merampas kitab itu!"
"Siapa kalian" Kenapa tidak berani menjawab?" bentak Lamkiong Hian pula.
Ketiga orang berbaju putih itu menjerit melengking pula, terdengar salah seorang di antaranya berseru dengan suara yang dingin seperti es, "Lamkiong Hian, serahkan kitab yang asli!"
"Bukankah kitab itu sudah berada di tanganmu!" jawab Lamkiong Hian sambil menuding ke depan.
Pada tangan seorang berbaju putih itu memang terpegang sejilid kitab, ketika kawanan jago di empat penjuru melihat kitab itu berada di tangan orang, serentak mereka maju mendekati mauusia berbaju putih itu.
Terhadap tindakan kawanan jago itu, ketiga orang berbaju putih itu acuh-tak-acuh, seakan-akan tidak melihatnya.
"Kitab ini palsu!" terdengar orang tadi berkata lagi sambil tertawa seram.
Tangannya yang kurus diayunkan ke depan, kitab itu terus dilemparken ke samping dengan membawa desing angin tajam.
Walaupun jago-jago yang berada di sekeliling
menyangsikan juga keaslian kitab itu, namun dipengaruhi rasa ingin tahu, serentak mereka menubruk maju untuk
memperebutkannya.
Tiba-tiba ketiga orang berbaju putih itu menjerit setan, lalu menghardik keras-keras, "Bunuh semua!"
Kesepuluh orang berbaju putih serentak menjerit seram, bagaikan hantu mereka melayang maju, bayangan putih berkelebatan, jeritan ngeri segera bergema, dalam waktu
singkat kawanan jago yang menerjang ke depan itu sama termakan serangan maut dan tewas keracunan.
Seorang... tiga orang... enam orang.. semuanya roboh terkapar,
"Bajingan laknat, biar aku beradu jiwa denganmu!" tiba-tiba Gin-tan-cu Kim Hong meraung murka.
Walaupun ia terkena serangan maut setan berbaju putih itu karena kurang waspada, namun sebelum racun bekerja sedapatnya ia melancarkan serangan balasan dengan peluru perak sakti andalannya.
Segera peluru perak beterbangan di angkasa, semuanya menyambar ketiga orang pemimpinnya, sepuluh orang lainnya serentak bergerak maju dan mencengkeram Kim Hong.
Gin-tan-cu Kim Hong menjerit ngeri, badannya terobek menjadi empat-lima bagian, darah yang berhamburan
menodai pakaian orang-orang berbaju putih itu,
Bergidik Lamkiong Kian dan anaknya menyaksikan adegan tersebut, ia tak manyangka ketiga belas hantu itu sedemikian sukarnya dihadapi, serangan mereka sungguh amat buas.
Terdengar si baju putih paling depan tertawa seram, sambil menuding mayat yang bergelimpangan di tanah, serunya dengan suara aneh,
"Siapa yang tahu gelagat dia orang pintar! Nah, Lamkiong Hian, inilah contoh yang nyata!"
"Kau anggap aku manusia pengecut yang takut mati"
Hahaha ... " saking gusar Lamkiong Hian tertawa malah.
"Hmm, meski kau tidak takut mati, putramu jelas takut mati!"
Terdengar rintihan memilukan hati, sekujur badan
Lamkiong Giok bergemetar, wajahnya tampak kesakitan.
Dengan terkejut cepat Lamkiong Hian memayang tubuh putranya.
"Jangan sentuh aku!" teriak Lamkiong Giok sambil mengegos.
"Anak Giok, kenapa kau?" tanya Lamkiong Hian terkejut.
Agaknya penderitaan Lamkiong Giok waktu itu sangat hebat, dengan suara gemetar katanya, "Tubuhku keracunan!"
"Betul, ia sudah terkena cakar beracun Kui-ing-cap-sa-sik (tiga belas jurus bayangan setan) perguruan kami," ucap seorang berbaju putih, "dalam waktu singkat badannya akan membusuk menjadi darah dan mati, bila tidak segera ditawarkan dengan obat perguruan kami, tak seorang pun yang dapat menolongnya di dunia iai!"
"Kenapa kalian turun tangan sekeji ini kepadanya!" seru Lamkiong Hian dengan kuatir.
Memandang keadaan putra kesayangannya, tanpa terasa matanya berkaca-kaca, hampir saja air matanya bercucuran.
"Hehe, jika ingin menyelamatkan jiwanya serahkan kitab pusaka kepada kami," kata si baju putih itu sambil tertawa dingin.
Tiba-tiba Lamkiong Giok bergulingan di atas tanah sambil mengerang kesakitan. "Ayah, tolong.... tolonglah aku ... beri sekali pukulan padaku...."
Hancur luluh perasaan Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian waktu itu, seketika dia tak tahu bagaimana mesti berbuat, daripada membiarkan putra kesayangannya mati menderita, lebih baik....
Sambil tertawa pedih segera katanya, "Kalian adalah Kui-ing....."
Sekalipun Lamkiong Hian seorang yang licik dan banyak akal muslihatnya, dalam keadaan begini, iapun dibikin tak berdaya, hatinya bingung tak keruan.
Kui-ing-cap-sah-sik merupakan ilmu cakar maut tersohor dalam dunia persilatan, siapa pun tahu ilmu itu merupakan kepandaian khas perguruan Kui-ing-bun, tapi siapa dalam duuia persilatan dewasa ini yang benar-benar pernah bertemu dengan anggota Kui-ing-bun (perguruan bayangan setan) "
Ilmu silat kawanan berbaju putih ini sangat lihai, tubuhnya mengandung racun keji, mungkinkah mereka anggota Kui-ing-bun yang tersohor itu"
Tapi perguruan Kui-ing-bun belum pernah muncul dalam dunia persilatan, mengapa mereka bisa muncul secara tiba-tiba malam ini"
Ia tidak tahu orang berbaju putih ini pernah muncul sekali ketika terjadi perebutan ruyung emas Jian-kim-in-hun-pian dulu, cuma tempo hari mereka hanya muncul sebentar saja kemudian menghilang kembali.
Pecah nyali Lamkiong Hian, dengan gemetar tegurnya kemudian, "Apakah kalian Cap-sa-Ie-kui (tiga belas setan jahat) dari Kui-ing-bun?"
"Hmmm. tak perlu banyak bicara." dengus setan baju putih itu, "sebenarnya kau menghendaki nyawa anakmu atau tidak!"
Ia menuding Lamkiong Giok yang tergeletak di tanah dengan pandangan dingin, sehingga Lamkiong Hian dibuat tak sempat mempertimbangkannya.
Waktu itu wajah Lamkiong Giok sudah berubah menjadi hijau, sinar matanya pun berubah menjadi hijau buram, peluh bercucuran, sementara mulutnya menjerit-jerit seperti babi mau disembelih, "Ayah aku ... aku ... tidak .... "
Merah membara mata Lamkiong Hian, tiba-tiba bentaknya,
"Cepat tolong dia.........cepat ...."
Usianya sudah lanjut dan hampir masuk liang kubur, kini dilihatnya putra kesayangannya amat menderita, ia benar-benar tak kuasa menahan dui lagi, dalam keadaan apa boleh buat terpaksa dia menyerah kepada kawanan jago dari Kui-ing-bun.
"Hahehe. aku tahu kau takkan berani menolak," jengek si baju putih tadi.
Meski tertawa, suaranya tak lebih sedap daripada suara menangis sehingga Lamkiong Hian bergidik
Akan tetapi karena ejekan orang berbaju putih itu, ia tak dapat menahan amarahnya lagi, sambil mendongakkan kepala ia tertawa seram, teriaknya-"Hendaknya kau sedikit sopan padaku!"
"Sekalipun tidak sopan, toh kau akan memohon kepadaku!"
sahut si baju putih ketus.
Sekalipun kemarahan Lamkiong Hian telah mencapai
puncaknya, tapi bila terbayang akan nasib putra kesayangan, bagaikan balon yang kempis, seketika ia bungkam.
Sesudah tertawa getir, katanya kemudian, "Kau memang lihai, malam ini aku betul-betul kecundang."
Si baju putih mendengus, segera ia mengeluarkan
sebungkus obat bubuk, bungkusan disentilnya ke tangan Lamkiong Hian.
Lamkiong Hian tahu isi bungkusan itu adalah obat penawar cakar beracun Kui-ing-cap-sah-sik, tanpa ayal lagi buru-buru disambutnya dan diserahkan kepada Lamkiong Giok untuk diminum.
Setelah minum obat penawar itu, air muka Lamkiong Giok yang kehijau-hijauan berangsur membaik, tapi pendsritaannya sama sekali tidak berkurang, dia masih saja menjerit tiada hentinya.
Dengan murka Lamkiong Hian membentak, "Kenapa obat penawar kalian tidak manjur?"
"Hm, kau tak perlu berteriak-teriak, sekalipun dia masih kesakitan, jiwa tidak terancam, ketahuilah racun Kui-ing-bun tiada taranya di dunia ini, selain menelan obat penawar dari perguruan kami, masih diperlukan juga....."
"Masih diperlukan apa lagi?" tukas Lamkiong Hian dengan gelisah.
"Masih diperlukan pengurutan jalan darah khusus, sebelum dapat sembuh seperti sediakala"
Gusar sekali Lamkiong Hian mendengar keterangan itu, ia tak mengira orang-orang Kui-ing-bun sedemikian liciknya, padahal dia menganggap kelicikan sendiri tak ada tandingan, siapa tahu setiap langkahnya malam ini sudah berada dalam perhitungan orang-orang Kui-ing-bun.
Setelah menghela napas, katanya kemudian, "Kalau memang begitu, cepat kalian urut jalan darahnya agar dia tidak menderita lagi."
"Hehe, tak semudah itu," jengek si baju putih
"Lantas apa yang kau inginkan?"
"Serahkan kitab itu kepada kami!" seru si baju putih sambil tertawa dingin.
Rupanya Lamkiong Hian juga tahu malam ini dia tak akan menarik keuntungan, bahwa malam ini Kui-ing-bun berani menyerbu datang, sudah barang tentu mereka sudah
berencana. Sekalipun dia adalah tuan rumah, tapi berhubung jago yang datang malam ini terlalu banyak, sedangkan jago yang dikirim untuk mencegat Lik-ih-hiat-li belum juga kembali, sadarlah Lamkiong Hian keadaan cukup gawat.
Saking gusarnya dia tertawa tergelak, "Baik! Malam ini Kiam-hong-ceng jadi tambah pengalaman ..."
"Hm, hanya Kiam-hong ceng sekecil ini mampu berbuat apa... !" dengus si baju putih tadi.
Lamkiong Hian sadar bila Hek-liong ki-su tidak diserahkan, jelas keadaan tak akan beres, meski dia merasa berat hati, apa daya kalau nasib puteranya berada di tangan orang.
Maka dengan berat hati dia berkata, "Mari, ikut padaku!"
Ia mengepit tubuh Lamkiong Giok dan dibawa melayang cepat ke depan sana!
Ketiga balas orang berbaju putih dari Kui-ing-bun itu bersuara aneh, seperti tiga belas titik putih mereka mengikut kencang di belakang Lamkiong Hian.
Bintang dan rembulan telah tenggelam, udara berwarna kelabu ....
Untuk menguji kelihaian jago-jago Kui-ing-bun, sengaja Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian mengitari perkampungan Kiam-hong-ceng itu sampai lima-enam kali, sebisanya dia mengerahkan tenaga dalamnya.
Ketika dilihatnya suasana di sekeliling tempat itu amat sepi, ia kira kawanan manusia berbaju putih itu sudah ditinggalkan jauh, tanpa terasa ia mendengus, sementara otak berputar mencari daya upaya untuk merobohkan lawan.
Ia memang ssorang yang berakal licik, tiba-tiba serunya,
"Sudah sampai!"
"Telah kau kitari tempat ini berapa kali!" tiba-tiba si baju putih yang berada di belakangnya menjengek.
Mendengar itu, Lamkiong Hian terperanjat, semula dia bermaksud menggunakan ucapannya sebagai pancingan untuk mengetahui apakah kawanan jago lihai itu menyusul datang atau tidak, siapa tahu baru selesai dia berkata, orang telah
menyambungnya, dari sini bisa diketahui tenaga dalam kawanan jago Kui-ing-bun masih setaraf dengan
kemampuannya. Dalam kejutnya dia berpaling, tampak langkah ketiga belas orang berbaju putih itu sangat enteng dan santai, seolah-olah tidak memakai tenaga, tanpa terasa ia menjadi ngeri.
Si baju putih mendengus, "Kami orang Kui-ing-bun, sudah barang tentu mahir Kui-ing-biau-cong (bayangan setan melayang), meski kau terhitung jago kelas satu di dunia pe-silatan, namun dalam hal ilmu meringankan tubuh jangan harap bisa menandingi orang Kui-ing-bun"
Senyuman sinis menghiasi wajah si baju putih, ia tertawa dingin, katanya, "Bila kau penasaran, boleh coba sekali lagi"
"Hehe, bagus sekali! Suatu hari, pasti akan kupergi menyambangi kalian," jawab Lamkiong Hian.
"Bagus, pintu setan selalu terbuka bagimu!"
Mendadak dari balik keheningan bergema suara jeritan setan, "Kau betul-betul tak tahu diri, mana sudi perguruan Kui-ing-bun menyambut kedatangan manusia rendah macam kau!"
"Manusia latah dari mana itu" Ayo menggelinding keluar!"
bentak Lamkiong Hian dengan gusar.
Dia coba memeriksa keadaan di sekitar sana, tapi kecuali kegelapan malam tak nampak sesosok bayangan pun.
"Kau tak perlu mencarinya lagi," ujar orang berbaju putih itu, "dia adalah Toasuheng kami, sekarang mungkin sudah berada beberapa li dari sini!"


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aah, masa?" meski terperanjat, Lamkiong Hian belum mau percaya dengan begitu saja.
Kembali si baju putih tertawa terkekeh, "Itulah gerak cepat Kui-ing tun-sin-hoat (ilmu bayangan setan menghilang), belum ada orang yang bisa memecahkannya di dunia ini .... "
Tiba-tiba terdengar Lamkiong Giok menjerit ngeri, sekujur badannya mengejang, wajahnya sangat menderita, matanya sayu dan berharap orang Kui-ing-bun mau menolong
penderitaannya.
Orang berbaju putih itu memandang sekejap ke arahnya, lalu berkata, "Lamkiong cengcu, bila terlambat, bahkan kami pun tak sanggup menolong jiwa putramu iagi!"
Kiam-hong-cengsu Lamkiong Hian terkesiap, menyaksikan penderitaan Lamkioog Giok, ia tahu ucapan lawan bukan gertak sambal belaka.
Dengan cepat satu ingatan terlintas dalam benaknya, pikirnya, "Bila kuserahkan Hek-liong-kang-ki-su padanya malam ini, maka selama hidup jangan harap bisa
merampasnya kembali. Bila tidak, putraku pasti sukar hidup, betul-betul persoalan yang pelik .... "
Diam-diam dia mengertak gigi, kemudian serunya dengan gemas, "Baiklah, anggap saja Kui-ing-bun memang hebat!"
Sambil mengempit tubuh Lamkiong Giok dia lantas menuju ke depan, tak lama kemudian ia berhenti di bawah gunung-gunungan di tengah perkampungan. Suara air yang gemercik, bau harum semerbak, ada gardu segi delapan, sungai kecil yang bersih, sungguh pemandangan yang indah permai bagaikan di taman raja.
Mendadak dari balik kegelapan terdengar seorang
membentak nyaring, "Siapa yang berani memasuki taman pribadi Cengcu yang terlarang!"
"Cepat suruh mereka enyah!" bisik pemimpin orang-orang berbaju putih itu kepada Lamkiong Hian,
"Kenapa?" tanya Lamkiong Hian sambil berpaling, "Mereka adalah pengawal pribadiku ...."
Rupanya orang berbaju putih itupun tahu Lamkiong Hian sukar dihadapi, maka katanya dingin, "Kui-ing-bun mempunyai peraturan yang tidak kenal ampun, barang siapa berjumpa dengan orang-orang kami, dia harus dibunuh tanpa pandang siapa pun, apakah kau rela membiarkan mereka mati semua di tangan kami?"
Sementara itu dari kegelapan sana sudah terdengar suara manusia, jelas lantaran tiada jawaban, maka mereka hendak bertindak, suara langkah orang banyak berkumandang makin dekat.
Setelah mendengar ucapsin tadi, dengan kening berkerut Lamkiong Hian segera berkata, "Kalau begitu, akupun tak terbebas dari kematian"!"
Orang berbaju putih itu tertawa dingin, "Hehe, asal kau mau menyerahkan kitab itu, sudah barang tentu kalian berdua dapat pergi tanpa kurang apapun"
Ketika menyaksikan bayangan orang mulai bergerak di empat penjuru, Lamkiong Hian tahu anak buahnya telah selesai mengatur, ia berkerut kening, ia tidak menghendaki jatuh korban yang tak berguna, buru-buru bentaknya,
"Semuanya menyingkir, di sini adalah Cengcu!"
Di balik kegelapan lalu terdengar orang berseru, "Cengcu telah tiba, perintahkan semua orang kembali ke posnya masing-masing!"
Suitan nyaring segera berkumandang di sana-sini, kawanan jago yang telah siap siaga itu dalam waktu singkat sama mengundurkan diri dari situ.
"Banyak benar permainan dalam Kiam-hong-ceng kalian ini?" Kata si orang berbaju putih itu sambil tertawa dingin.
"Ah, sayang permainan semacam, itu sama sekali tak ada gunanya bila menghadapi anak murid Kui-ing-bun kami ...."
ujar yang lain Lamkiong Hian naik pitam bentaknya dengan geram, "Kui-ing-bun juga bukan pentolan dunia persilatan, tidak perlu bangga."
"Huh," dengus orang berbaju putih itu dengan gusar,
"sejeleknya Kui-ing-bun, bila dibandingkan Kiam-hong-ceng jelas jauh lebih unggul."
Tiba-tiba terdengar seseorang membentak dengan gusar,
"Siapa yang berani memandang hina Kiam-hong-ceng"!"
"Hm, mungkin kau belum kenal kelihaian Kui-ing-cau-sah-sip!" bentuk si orang berbaju putih.
Cakar setannya segera bergerak ke etas, lima jalur cahaya tajam berwarna hijau segera meluncur ke arah berasalnya suara itu.
Dengan terkejut Lamkiong Hian berseru, "Cepat mundur!"
Belum lenyap suaranya, terdengarlah jeritan ngeri yang memilukan hati.
Sesosok bayangan tinggi besar segera roboh terkapar.
Dengan gusar Lamkiong Hian berpaling dan berkata,
"Jangan temberang, coba kalau tidak demi keselamatan anakku, tak akan kubiarkan kau bertindak latah, hmm, suatu ketka pusti akan kubayar semua pemberianmu ini!"
"Asal saja kau tahu saja, nah, cepat jalan ....!" jengek orang berbaju putih itu.
Pada hari-hari biasa Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian adalah seorang tokoh persilatan yang gagah perkasa, tentu saja dia tak akan membiarkan orang menerbitkan keonaran di situ, apa daya Lamkiong Giok terancam jiwanya, mau-tak-mau dia harus menahan rasa dongkolnya.
Sudah tentu sebabnya Kui-ing-bun bisa memeras Lamkiong Hian adalah karena keselamatan Lamkiong Giok sudah terjatuh ke tangan mereka.
Lamkiong Hian meletakkan Lamkiong Giok ke atas tanah, siapa tahu begitu menempel tanah, mendadak Lamkiong Giok mengerang kesakitan, peluh dingin segera membasahi tubuhnya.
"Ayah, jangan .... " rintih anak muda itu.
"Anak Giok," ujar lamkiong Hian sambil tertawa getir, "demi kau, Ayah rela mengorbankan segalanya!"
Bicara sempai di sini, pelarian dia menghampiri bunga teratai yang sedang mekar dalam kolam kecil di tengah taman itu, dalam kolam teratai itu terdapat delapan puluh satu kuntum bunga teratai kecil, ke 81 kuntum bunga itu tumbuh di sana-sini tak teratur, tidak terlihat ada sesuatu yang aneh.
Tapi orang berbaju putih itu segera meajerit kaget setelah dang kolam itu sekejap, serunya, "Ah, tak kusangka dalam Kiam-hong-ceng juga terdapat alat perangkap semacam ini!"
"Hm, kuyakin kau saja takkan mengetahui rahasianya!"
jengek Lamkiong Hian.
"Hmm, kalau cuma Tian-to -kiu-kiong-tan-hoat saja setiap anggota Kui-ing-bun dapat mempergunakannya!"
Perasaan Lamkiong Hian menjadi dingin separoh
mendengar perkataan itu, semula ia sangka meski orang-orang Kui-ing-bun memiliki kepandaian hebat, tak mungkin perhitungan Kiu-kiong-pat-kwa bisa lebih hebat daripadanya.
Siapa tahu bukan saja orang bisa menyebutkan barisan teratai yang diaturnya adalah Tian to-kiu kiong, malah kelihatannya mereka juga paham sekali dalam hal tersebut.
Mendadak ia mengapung dan berjumpalitan di udara,
kemudian dengan matu gerakan indah meluncur ke tengah kolam, beruntun dia lancarkan sembilan kali pukulan berantai.
Begitu kesembilan pukulan selesai dilontarkan mendadak tubuhnya melejit lagi di udara dan melayang balik ke tempat semula.
Terdengar suara gemuruh yang keras, kolam kecil yang semula tenang mendadak terjadi gelombang, menyusul bunga teratai lantas bergeser tempat.
Dalam waktu singkat bunga teratai kecil tadi lenyap tak berbekas dan tinggal delapan puluh satu kuntum teratai raksasa yang berada di tengah kolam, sementara suara gemuruh masih menggelegar, ke 81 kuntum bunga teratai raksasa tadi pelahan, menaik ke atas.
Dongan terangkatnya bunga teratai itu, air pun menyibak ke samping, lalu muncul sebuah jembatan batu dari bawah yang persis menghubungkan luasnya kolam, sedeng ke 81
kuntum bunga teratai raksasa itu persis tumbuh di atas pagar jembatan, terembus angin, bunga teradai bergoyang goyang.
Betul betul karya arsitektur yang unik, siapapun tak akan mengira di balik permukaan kolam itu tersimpan sebuah jembatan kecil.
Setelah jembatan terbentang, gunung-gunungan di
seberang kolam sana mendadak merekah menjadi dua, lamat-lamat tampak sebuah pintu kecil berbentuk bulat terpentang, di atas pintu bertuliskan "Thong-thian-lan" (jembatan tembus langit).
Ketika dilihatnya ketiga belas setan buas dari Kui-ing-bun menunjukkan rasa kagetnya, senyuman bangga segera
tersungging di ujung bibir Lamkiong Hian.
"Silakan!" katanya kemudian dengan tersenyum
"Banyak juga permainanmu!" seru si baju putih tadi dengan suara aneh.
Setelah berhenti sejenak, lalu bentaknya, "Lamkiong Hian, bila kau berani main gila di dalam sana berarti kau cari mampus sendiri!"
Lamkiong Hian tak mau kalah, serunya sambil tertawa dingin, "Jika aku mau main giia, mana mungkin kalian bisa sampai di sini" Bila kalian tidak percaya kepadaku, lebih baik kalian jangan ikut menyeberang ke sana!"
Begitu selesai berkata, dia lantas menyeberangi jembatan itu lebih dulu dengan cara santai.
Tampaknya dia santai, padahal otaknya diperas habis-habisan untuk mencari akal yang baik untuk menyelamatkan jiwa puteranya, kemudian berusaha membasmi habis orang-orang Kui-ing-bun ini.
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba orang berbaju putih itu membentak.
"Ada apa?" tanya Lamkiong Hian.
"Bawa serta puteramu!"
Waktu itu Lamkiong Giok lagi kesakitan di tanah hingga tubuh gemetar dan giginya gemeretuk.
Melihat penderitaan putra kesayangannya itu, diam-diam Lamkiong Hian menghela napas. dia putar balik untuk memondong Lamkiong Giok dan membawanya menyeberangi jembatan.
"Anak Giok," katanya dengan penuh kasih sayang,
"bersabarlah sejenak legi, ayah pasti akan suruh mereka mengobati lukamu."
Sekalipun sedang menderita, ternyata niat busuk Lamkiong Giok sama sekali tidak berkurang, dia melirik sekejap ke arah kawanan iblis berbaju putih itu, lalu bisiknya, "Ayah, meski
ananda menderita sekali dan rasanya tak tahan, namun kitab pusaka itu jangan sekali-kali diserahkan kepada mereka!"
Melihat kawanan berbaju putih di belakangnya tidak mendengar pembicaraan Lamkiong Giok, buru-buru Lamkiong Hian berdehem lalu berbisik, "Anakku, jangan kuatir, tak nanti ayah salah hitung, cuma kau keracunan, terpaksa ayah mengulur waktu dan menipu mereka lebih dulu."
Lega hati Lamkiong Giok mendengar ucapan itu, kembali dia berkata, "Apakah kitab pusaka dalam Thong-thian-tong sudah ayah tukar .... "
"Bukunya masih asli, cuma aku akan menggunakan kitab itu sebagai umpan, sampai waktunya kita akan menukarnya."
Sesudah menyeberangi jembatan kecil, sampailah mereka di muka pintu Thong-thian-tong, sebuah gua, Lamkiong Hian menggeraken gelang pintu tersebut.
"Kitab berada di sini, silakan kalian mengambilnya sendiri!"
kata Lamkiong Hian kemudian dengan lesu.
"Kau tidak masuk!" tanya orang berbaju putih itu ragu.
"Hmmnn, rupanya orang-orang Kui-ing-bun sama bernyali kecil seperti tikus!" ejek Lamkiong Hiau.
"Haha, baik, jika sampai terjadi sesuatu, kau Lamkiong Hian juga jangan harap bisa hidup!"
Bayangan oreng berkelebat, dua orang berbaju putih menerobos ke dalam, sementara sebelas orang rskannya mengurung Lamkiong Hian di tengah sambil berjaga jaga terhadap segala kemungkinan.
Lamkiong Hian tertawa dingin, tiba-tiba ia melepaskan pukulan sambil membentak, "Tunggu sebentar!"
Merasakan angin pukulan dahsyat menyambar tiba, dua orang berbaju putih yang hendak memasuki Tong-thian-tong
itu segera melompat mundur kembali, mata mereka yang hijau melotot seperti mata iblis di tengah kegelapan.
"Masih ada apa lagi?" tanya pemimpin orang-orang berbaju putih itu dengan suara dingin.
Sudah barang tentu Lamkiong Hian mempunyai permintaan yang hendak diajukan, sebab dia tak akan membiarkan kitab pusaka Hek-liong-kang-ki-su itu terjatuh ke tangan orang dengan begitu saja.
"Obati dia dahulu!" kata Lamkiong Hian sambil menuding ke arah putranya.
"Kalau aku tak mau?"
"Hehe, jangan harap kalian bisa mendapatkan benda itu!"
Melihat perkataan orang sangat tegas, orang-orang Kui-ing-bun tahu bila orang ini bisa memimpin dunia persilatan berarti memiliki pula kepandaian yang luar biasa, apalagi jelek-jelek dia adalah tuan rumah di sini.
"Hmm, masa kukuatir kau akan main gila!" jengek orang berbaju putih itu.
Dengan suatu gerak cepat cakar setannya menutuk empat jalan darah kematian di tubuh Lamkiong Giok.
Melihat itu, Lamkiong Hian terperanjat, untuk menahan serangan itu jelas tak sempat, cepat hardiknya, "Akan kuadu jiwa dengan kalian!"
Tangan kanan langsung diayunkan ke depan menghantam dada orang berbaju putih itu.
"Hehe, kenapa mesti tegang?" ejek orang berbaju putih itu sambil tertawa dingin, "bila aku tidak berbuat demikian, cara bagaimana aku bisa menyelamatkan jiwanya!"
Setelah keempat jalan darahnya ditutuk orang berbaju putih itu, segera Lamkiong Giok merasakan penderitaannya
berkurang, apalagi sesudah memuntahkan darah hitam, air mukanya lantas agak cerah,
Lamkiong Hian mengembuskan napas lega, katanya, "Bila dia sampai menemui sesuatu yang tak beres, kalian jangan harap bisa keluar dengan selamat!"
"Jika di dalam Thong-thian-tong ada jebakan iapun tak akan lolos dari kematian!" kata orang berbaju putih itu sambil memberi tanda.
Kedua kawannya tadi segera berpekik dan berkelebat maju ke sana, dalam waktu singkat bayangan mereka pun lenyap ke dalam gua.
Mandadak terdengar pekikan setan yang menyeramkan
menggema dari dalam gua.
Orang berbaju putih itu melehgak, jeritan itu bukan tanda menghadapi bahaya, melainkan ada kesulitan pada kitab pusaka Hek-liong-kang-ki-su ....
"Lamkiong Hian. mengapa mereka belum juga keluar?"
bentak pula orang berbaju putih itu.
Sambil mengejap mata Lamkiong Hian menjawab dengan dingin, "Mungkin kitab Hek-liong-kang-ki-su itu terlampau berat sehingga mereka tak sanggup menggotongnya!"
"Omong kosong, mana mungkin ada hal seperti itu."
"Kalau tak percaya, silakan mencobanya sendiri!" jawab Lamkiong Hian tetap tenang.
Orang berbaju putih mendengus, ia memberi perintah,
"Hm, masuk lagi dua orang!"
Dua orang berbaju putih mengiakan, serentak mereka menerjang masuk ke dalam Thong-thian-tong atau gua tembus ke langit.
Mendadak terdengar pekikan tajam lalu tampak cahaya api mengurung di atas kepala kawanan jago Kui-ing-bun.
Orang berbaju putih terkejut, cepat bentaknya, "Cepat mundur"
Bayangan manusia menyebar ke empat penjuru, ketika cahaya api itu rontok ke tanah, bunga api muncrat bertebaran, dalam waktu singkat sekeliling tempat itu sudah berubah menjadi lautan api.
Pada saat itulah Lamkiong Hian bergelak dan berseru,
"Sobat-sobat bayangaa setan, maaf tak bisa kutemani lagi!"
Tampak dia bersama Lamkiong Giok menjatuhkan diri ke tengah kolam, air muncrat dan lenyaplah kedua orang itu, jembatan tadi pun turut tenggelam ke bawah.
"Lamkiong Hian," teriak orang berbaju putih, "sekalipun kau kabur ke ujung langit, tetap Kui-ing-bun akan menangkapmu!"
Dari kegelapan terdengar seorang mendengus, "Hm, jangan takabur, sekalipun Kiam-hong-ceng bukan perguruan besar, tidak nanti kami bisa dipermainkan!"
Dalam pada itu keadaan di sekeliling tempat itu telah berubah, terdengar suara gemuruh keras gunung-gunungan dan kolam kecil itupun lenyap tak berbekas, lalu muncul puluhan orang lelaki berbusur di sekitar situ, anak panah siap dibidikkan.
"Cepat pergi!" bentak orang berbaju putih.
"Kalian takkan bisa pergi!' ujar seorang sambil tertawa dingin.
Suara panah mendesing, berpuluh batang anak panah
berhamburan ke mana-mana, sambil menjerit kawanan jago Kui-ing-bun segera kabur ke depan di tengah hujan panah.
Sementara itu, Lamkiong Hian dan Lamkiong Giok
bersembunyi di balik kegelapan, menyaksikan keadaan orang-
orang Kui-ing-bun yang mengenaskan mereka saling pandang dengan tertawa terbahak-bahak.
Belum lenyap suara tertawa, mendadak mereka merasakan ada sesuatu ysng mencurigakan di belakang mereka.
"Siapa?" bentak Lamkiong Hian sambil membalik badan
"Aku!" seorang kakek jelek menampakkan diri.
"Bok...kau.." kaget Lamkiong Hian.
Kakek jelek itu tertawa terbahak-bahak, sahutnya' "Sudah sekian tahun Bok Jiu kiat berdiam di sini, syukur Locengcu masih ingat padaku, hahaha... Lamkiong Hian, begitu, cepatkah kau melupakan peristiwa tragis gada 20 tahun yang lalu" Ha-haha"
Begitu melihat kakek itu, Lamkiong Hian lantas gugup, sudah lima-enam tahun lamanya Bok Jin-kiat hidup dalam perkampungan Kiam-hong-ceng, meski ilmu silatnya telah punah, tapi entah mengapa, setiap kali bertemu dengan kakek ini segera timbul semacam perasaan takut.
Lamkiong Giok lantas membentak, "Budak tua, kau tidak bekerja, mau apa kemari?"
Rupanya selama berada dalam Kiam-hong-ceng, pekerjaan Bok Jin-kiat selain membersihkan halaman, juga memberi makan kuda dan memandikannya, Lamkiong Giok cuma tahu dia adalah seorang budak, tak tersangka ....
Mendadak terpancar sinar aneh dari mata Bok Jin-kiat, dengan suara gemetar katanya "Anak Giok...?"
"Bok-lo, jangan sembarang bicara dengan anak ini!" tukas Lamkiong Hian sambil melangkah ke depan.
Jelas di antara kedua orang ini terselip sesuatu rahasia besar, maka ia kuatir Lamkiong Giok mengetahui akan rahasia tersebut.
Dengan gusar Lamkiong Hian melotot si kakek sekejap, lalu katanya kepada Lamkiong Giok sambil tertawa, "Anak Giok, pergilah dulu, ayah hendak berbincang-bincang dengan orang ini."
Melihat perubahan wajah ayahnya tadi, Lamkiong Giok sudah merasa curiga, meski enggan pergi, terpaksa ia menurut mundur dari situ.
Memandangi kepergian anak muda itu, Bok Jin-kiat
menghela napas panjang, katanya. "Dia sudah dewasa, kini berusia 21 tahun bukan?"
Lamkiong Hian mendengus "Hm, soal ini tiada sangkut pautnya denganmu, lebih baik jangan kau-nodai hati bersih seorang bocah."
Kulit muka Bok Jin-kiat mengejang, setelah tertegun sejenak, katanya kemudian, "Lamkiong Hian, kau makhluk berwajah manusia dan berhati binatang, bukan saja kau menghancurkan keluargaku, merusak wajahku dengan
bacokan pedang, kau mencecoki pula anak Sia dengan obat perangsang sehingga dia melakukan perbuatan yang
memalukan itu, ai ...."
Ternyata Bok Jin-kiat adalah ayah Bok Ji-sia, bukan saja dia dibacok mukanya sampai rusak, ternyata Lamkiong Hiau belum puas, ia memberi obat perangsang pada Bok Ji-sia yang menyebabkan anak itu melakukan hubungan badan dengan ibunya sendiri....
Sambil tertawa seram Lamkiong Hian berkata, "Bok Jin-kiat, kau hanya membicarakan kejelekanku, pernahkah kau pikirkan kebuasanmu sendiri" Apa sebabnya sampai istriku mati" Meski semula kalian adalah pasangan yang baik, tapi kau seorang ingin menunggang dua ekor kuda, bukan saja mencintai Tang goh-hun, juga menodai Yau Ciu-li... Bok Jin-kiat, perbuatanku apakah bisa menandingi kebusukanmu"
Dengan tenang Bok Jin-kiat mendengarkan perkataan itu, kemudian ia mendongak kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Haha, coba bilang siapakah di antara Tang Soh-hun dan Yau Ciu-li milikmu" Seandainya kau tidak merampas Tang Soh-hun, mana mungkin dia bunuh diri" Berapa bulan setelah melahirkan anak Giok, mengapa ia memutus urat nadi sendiri dan bunuh diri" Kau kira dia telah memberi keturunan buat keluarga Lamkiong kalian" Hahaha, Lamkiong Hian, kau keliru besar, dia berbuat demikian karena ingin melindungi keturunanku..."
Terkejut Lamkiong Hian mendengar perkataan itu, serunya,
"Jadi anak Giok bukan keturunanku?"
"Hmm, manusia berhati busuk seperti kau, mana mungkin bisa memperoleh keturunan ..... "
Sakujur badan Lamkiong Hian terasa kaku, dia menjadi sedih sekali, apalagi terbayang kejadian masa lalu, tanpa terasa matanya berkaca-kaca.
Wajah Bok Jin-kiat yang jelek tampak diliputi luapan emosi, katanya lebih lanjut, "Pada mulanya kuhormati kau sebagai seorang lelaki, maka kuperkenalkan kedua Sumoayku
kepadamu, siapa tahu kau manusia berhati binatang, melihat kami bertiga akan manikah, kau mempergunakan cara yang keji untuk menodai Yau Ciu-li, padahal aku dan kedua orang Sumoayku saling mencintai, belum pernah mereka saling cemburu, tapi sejak kedatanganmu, bukan saja kau telah merusak hubungan kami, bahkan mempergunakan pula cara yang paling keji..."
Rupanya Bok Jin-kiat punya dua orang Sumoay yang jelita, kedua gadis itu dikenal umum sebagai gadis rupawan, sedang Bok Jin-kiat dan Lamkiong Hian adalah sahabat karib.
Sejak Lamkiong Hian melihat kecantikan Tang Soh-hun dan Yau Ciu-li, dia kasmaran dan rindu dendam, setiap saat dia berusaha menyusun rencana untuk merampas mereka.
Meski Tang Soh-hun dan Yau Ciu-li sama-sama mencintai Bok Jin-kiat, namun mereka cukup bijaksana, belum pernah mereka cekcok, malah secara diam-diam mereka telah berunding untuk bersama-sama kawin dengan sang Suheng.
Terhadap Lamkiong Hian, mereka pun tidak menaruh
prasangka apa-apa, mereka menghormatinya dan memanggil Toako kepadanya, siapa tahu diam-diam Lomkiong Hian mencintai mereka serta berhasrat menodai kehormatannya.
Begitulah, damperatan Bok Jin-kiat tadi membikin muka Lamkiong Hian merah padam, serunya "Bok Jin-kiat, biarlah kita ke sampingkan soal itu, bahwa aku bisa mengampuni jiwamu tak lain karena mengingat hubungan kita dulu, malam ini aku-pun tidak bermaksud membunuhmu, aku hanya
berharap jangan kau rusak kehidupan anak Giok."
odwo Ada kisah suka-duka apa antara Lamkiong Hian dan Bok Jin-kiat pada masa yang lampau"
Bagaimana Lamkiong Hian akan menghadapi lawan yang sama berdatangan ke perkampungannya ini"
-ooo0dw0ooo- Jilid 25 "Ha, enak saja kau bicara, anak itu anakku, kenapa aku tak boleh membicarakannya?" dengus Bok Jin-kiat.
Lamkiong Hian menjadi beringas, "Haha, bagus, asal kau berani menyingkap rahasia ini pada anak Giok, segera kubunuh dirimu, umpama betul anak itu bukan darah
dagingku, tapi selama ini sudah tertanam hubungan batin yang erat antara kami sebagai ayah dan anak, di dalam kehidupanku sudah tak mungkin tanpa dia, hanya dia yang bila memberikan bayangan wajah Yau Ciu-li kepadaku .... "
"Kau tahu, mengapa aku mau hidup tersiksa selama 21
tahun ini?" seru Bok Jin kiat lagi dengan emosi, "tak lain karena kedua orang anakku, kini kau bikin anak Sia malu hidup, maka akupun takkan membiarkan kau menjadi ayah gadungan dengan tenang?"
Perasaan Lemkiong Hian menjadi dingin, ia tahu manusia yang hendak merusak kebahagiaan hidupnya ini tak boleh dibiarkan hidup terus, hanya dengan melenyapkan dia barulah bisa mencegah terjadinya bencana di kemudian hari.
Sambil menggigit bibir, dia lantas mengambil keputusan, katanya kemudian, "Tampaknya kau sengaja memaksa aku turun tangan!"
"Aku lebih suka mati di tanganmu daripada mengemis hidup dalam penderitaan,"
Gemetar badan Lemkiong Hian, diam-diam ia menghela napas, katanya, "Ai, Saudara Bok, buat apa kau bersikap demikian" Aku memang salah dulu, tapi sekarang aku tak tahu cara bagaimana menunjukkan rasa sesalku padamu,
penderitaan yang tertanam dalam hatiku tak kalah hebatnya daripada-mu..... Ai, cara bagaimana aku dapat
membicarakannya?"
"Tak perlu berpura pura lagi, jangan munafik," ejek Bok Jin-kiat, "aku cukup kenal watakmu, dulu seandainya kau tidak berpura-pura alim, akupun takkan terjerumus seperti sekarang ini! Lamkiong Hian, jangan ragu lagi, bila kau yakin bisa membunuhku, lekaslah turun tangan, tapi-sebelum turun tangan, aku hendak memperingatkan dirimu lebih dahulu, selamanya kau takkan berhasil membunuhku!"
Terkejut sekali Lamkiong Hian. dia mengira Bok Jin-kiat telah pulih kembali tenaga dalamnya dan melatih ilmu sakti, dulu saja dia cuma bisa bertarung seimbang, bila kini Bok Jin-kiat berhasil melatih ilmu baru, tentu kepandaiannya jauh lebih unggul lagi.
Perasaan sangsi segera menyelimuti wajahnya dia menjadi ragu untuk turun tangan, ia kuatir serangannya tidak membawa hasil yang diharapkan.
Setelah mengamatinya sejenak, dia menegur, "Kau telah memperoleh kembali kekuatanmu?"
Menyinggung soal ilmu silat, air muka Bok Jin-kiat berubah menjadi sedih.
"Tenaga ... hahaha .... selama hidup tak perlu kupikirkan lagi!"
Hati Lamkiong Hian merasa lega, senyuman tersungging diujung bibirnya, senyuman tipis sehingga cuma dia saja yang tahu.
Namun hai ini tidak dapat mengelabui Bok Jin-kiat, dengan gusar bentaknya, "Tertawalah, berbanggaiah hatimu, memang inilah hasilmu, kemenanganmu, hahahaha ... Lamkiong Hian, kau sombong....."
Ucapan yang mirip orang kalap ini membuat orang merasa bergidik dan berdiri bulu romanya. dalam hati kecil Lamkiong Hian timbul sebatas perasaan murni yang mencela dirinya sendiri.
Persoalan yang sudah lama disesalinya akhirnya meledak, dia mengira tiada orang di dunia ini yang mengetahui akan perbuatannya, siapa tahu....
Inilah rahasia kehidupannya, seringkah ia menegur dan memaki diri sendiri, dia merasa bersalah kepada Bok Jin-kiat, lebih-lebih lagi terhadap isterinya tercinta, Yau Ciu-li.
Kalau dibilang istrinya, maka lebih tepat dikatakan sebagai isteri yang diperolehnya secara keji dan licik, juga merupakan perbuatan yang rendah terhadap teman sendiri, suatu tindakan yang curang,
Diam-diam ia menghela napas, kemudian berkata dengan sedih, "Jin-kiat, kejadian ini sudah lama lalu, anak pun sudah dewasa, budi dan dendam di antara kita sudah buyar, buat apa kita menyinggungnya lagi.. Sobat baik, mari kita berjabatan tangan saja."
Mata Bok Jin-kiat berubah menjadi merah membara, sambil tertawa seram katanya, "Enak saja kau bicara, urusan sudah lalu ... ya peristiwa itu memang sudah lalu, buat kau mungkin begitu, tapi tidak bagiku, siang dan malam aku tak pernah melupakannya,"
Setelah berheti sejenak, dia melanjutkan, "Lam-kiong Hian, apakah hasil karyamu itu harus diakhir, begini saja"
Pernahkah kau bayangkan, apa sebabnya seorang kakek hidup kesepian sebatang kara karena keluarganya berantakan, anak pergi isteri lenyap bekerja sebagai kuli di dalam
perkampungan musuh besarnya" Apalagi kalau bukan
berharap menunggu saat seperti hari ini untuk membersihkan noda dan aib yang menimpa dirinya. Pernahkah kau
bayangkan seorang isteri yang tertimpa aib, tak punya muka untuk bertemu lagi dengan orang, hidup sengsara sekian tahun dalam kuburan ... pernahkah kau bayangkan seorang bocah yang patut dikasihani tertekan jiwanya akibat perbuatanmu yang memaksanya melakukan senggama
dengan ibu sendiri .... "
Makin berbicara kakek itu semakin emosi, sehingga
akhirnya dia menangis tersedu-sedu ...
Diberondong oleh serentetan pertanyaan "pernahkah kau bayangkan" itu, untuk sesaat Lamkiong Hian tak mampu berbicara, semua peristiwa itu memang hasil perbuatannya, apa yang diucapkan Bok Jin-kiat secara telak telah menyinggung boroknya.
Air mukanya berubah, matanya menjadi merah, hampir saja ia melelehkan air mata, dia teringat pada Yau Ciu-li.
Memang, semua itu merupakan perbuatan tercela.
Setelah berpikir dia menghela napas, katanya kemudian.
"Bok-heng, jangan disinggung lagi, membicarakan urusan lama hanya akan menambah penderitaan saja!"
Tapi Bok Jin-kiat tak dapat memaafkannya, dengan gusar kembali dia berkata, "Lamkiong Hian, masih ingat pada kejadian perkosaan terhadap Ciu-li, kemudian kau minta dia kawin denganmu" Matipun Ciu-li tak mau menuruti
kehendakmu. Hanya karena malu padaku, dan lagi untuk melindungi darah dagingku, maka diam-diam dia pergi mengikuti dirimu."
"Kau kira dia mencintaimu" Tahukah dia berbuat demikian karena memikirkan anakku" Setahun kemudian, dia
melahirkan anak Giok, lalu bunuh diri. Bukankah hal ini semakin membuktikan dia tidak mencintaimu?"
"Sesudah memperoleh pelajaran itu, seharusnya kau sadar dan bertobat, siapa tahu kau limpahkan semua tanggung jawab itu ke atas pundakku, merusak wajahku masih
mendingan, tidak seharusnya kau gunakan obat perangsang untuk mencelakai anakku sehingga Soh-hun mengadakan hubungan badan dengan anak kandungnya ...."
"Tutut mulut!" tiba-tiba Lamkiong Hian membentak.
Rupanya dia tak tahan mendengarkan perbuatan biadabnya diungkap kembali, rahasia tersebut sudah lama terpendam dalam hatinya, ia takut bila orang lain menyinggung kembali peristiwa itu.
"Kau melarangku bicara, aku justeru ingin
membicarakannya" teriak Bok Jin-kiat lebih lanjut, "Haha, kau takut mendengarkan semua itu bukan" ...."
Sesungguhnya lantaran hati nuraninya tersentuh malam ini, maka Lamkiong Hian tidak melakukan tindakan keji, kini liangsimnya diselimuti lagi oleh bawa amarah, napsu membunuhnya segera berkobar kembali.
Sembil tertawa seram katanya, "Mengingat kita pernah bersahabat, kuberi kesempatan kepadamu untuk hidup sampai kini, tak nyana kau sendiri bosan hidup dan ingin mencari kematian sendiri, terpaksa kupenuhi keinginanmu itu!"
Tiba-tiba telapak tangan kanannya terangkat dengan wajah menyeringai.
"Seharusnya sejak dulu kau lakukan hal ini!" kata Bok Jin-kiat sambil tetawa getir.
Habis berkata dia lantas memejamkan mata dan siap
menunggu ajal. Kakek yang hidup sengsara ini telah pasrah nasib di tangan lawan, dengan tenang dia menantikan serangan yang akan mematikannya itu.
Pada saat itulah mendadak berkelebat sesosok bayangan hitam, lalu terdengar suara pekikan sedih. Belum tiba orangnya sudah berteriak lebih dulu, "Ayah, Jangan!"
Tampak Lamkiong Giok melayang tiba dengan cepat luar biasa, dia mencengkeram tangan Lamkiong Hian sambil menunjukkan sorot mata yang aneh, seperti mohon belas kasihan, seperti juga sedih ....
Air muka Lamkiong Hian berubah hebat, bentaknya, "Anak Giok, kau ... kau .... "
"Ayah, aku tak tahu engkau betul atau salah," kata Lamkiong Giok dengan sedih, "tapi tidak seharusnya kau bunuh dia, sebab hal ini bukan saja membuat engkau menderita, ananda juga merasa sedih....."
"Jangan kau percaya pada obrolan tua bangka ini, ayah bukan manusia semacam itu " seru Lam-kiong Hian kemudian.
Dengan mata melotot Bok Jin-kiat berkata pula, "Benar, aku cuma mengaco-belo saja, Siauseng-cu, silakan pergi,
mungkin lantaran aku terlalu merindukan anakku, maka aku salah menganggap dirimu sebagai anakku .... "
Hati Lamkiong Hian agak lega setelah nada bicara Bok Jin-kiat berubah, dia tahu Bok Jin-kiat berbuat demikian karena memikirkan masa depan Lamkiong Giok, kalau tidak ....
Ia tertawa terima kasih, katanya, "Bok-heng, syukurlah engkau dapat mengerti."
Mendadak Lamkiong Giok maju ke depan dan menjura
dalam-daiam, katanya. "Untuk sementara ini, apakah engkau ayahku atau bukan, sebagai seorang angkatan tua dunia persilatan, sudah sepantasnya engkau menerima
penghormatanku!"
Mendadak berkumandang suara mendengus, "Hm, sejak kapan kau belajar sopan santun"!"
Seorang perempuan berbaju hijau muncul dengan wajah masih basah air mata.
Lamkiong Hian maupun Lamkiong Giok sama tertegun,
dandanan itu persis dandanan Lik-ih-hiat-li, logat bicaranya juga sama, tapi mukanya terasa asing ....
Lamkiong Hian terkesiap, pikirnya, "Jangan-jangan dia"
Tapi, masa dia masih hidup ....".
Ia coba melirik wajah perempuan berbaju hijau itu, kecuali kelihatan tua, kecantikan dulu masih jelas tersisa, perasaan Lamkiong Hian berguncang.
"Ah, kau Soh-hun?" serunya gemetar, "kenapa ...."


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan berbaju hijau itu tertawa sinis, tukasnya, "Soh-hun sudah mati, di dunia ini cuma ada Lik-ih-hiat-li".
Sembari berkata dia mengusap wajahnya, muka itu segera berubah, dia memang bukan lain daripada Lik-ih-hiat-li yang belakangan ini menggemparkan dunia persilatan itu.
Lamkiong Hian tak pernah menyangka Tang Soh-hun
adalah Lik-ih-hiat-li, lebih-lebih tak menyangka pada malam ini bukan cuma bertemu dengan Bok Jin-kiat saja, bahkan berjumpa pula dengan Tang Soh-hun, hal ini membuat hatinya terasa pedih dan hampa.
Ketika melihat kemunculan istrinya, dengan pedih Bok Jin-kiat berkata, "Untuk apa kau kembali lagi" Bukankah kusuruh kau pergi?"
Perempuan berbaju hijau itu tertawa pedih, katanya, "Jin-kiat, apakah kau tak mau berkumpul lagi dengan kami" Di sana ...dia ... anak Sia aku tak dapat kehilangan seorangpun, Jin-kiat, mari kita pergi!"
Bok Jin-kiat menghela napas, "Al, aku tak punya muka untuk berjumpa lagi dengan anakku, apalagi jika dia tahu aku masih hidup, mungkin dia sendiri akan bunuh diri, daripada begitu, kan lebih baik jangan berjumpa lagi?"
"Baik, kululuskan permintaanmu," kata perempuan baju hijau itu dengan sedih, "Jin-kiat, baik-baik menjaga diri, suatu hari kita pasti akan berkumpul kembali."
"Tak pernah lagi, Soh-hun!" ucap Bok Jin-kiat dengan pedih, "ingat, jangan kau katakan kejadian ini kepada anak Sia, bila dia tahu, akibatnya ... Ai, aku tak ingin membiarkan anak-anakku terjerumus ke dalam pertikaian ini"
Lik-ih-hiat-lt menggeleng kepala berulang kali. "Percuma, usahamu cuma sia-sia belaka, aku cukup mengetahui
perasaan anak Sia, dia pasti tahu orang yang mencelakai orang tuanya adalah dia!"
Sambil berkata ia menuding Lamkiong Hian, kemudian melanjutkan, "Tak nanti dia akan menurut pada perkataannya!"
Kena ditunjuk perempuan itu, Lamkiong Hian bergidik seakan-akan hari kiamatnya sudah tiba dan saat kematiannya sudah tak jauh lagi.
Dengan suara keras ia berkata, "Asal anak Sia mencariku, takkan kusangkal semua perbuatanku itu!"
"Huh, sekalipun kau ingin menyangkal juga percuma,"
jengek Lik-ih-hiat-li.
Mendadak dari luar sana berkumandang suara Bwe-hoasian-kiam Tong Yong-ling, "Cianpwe, mari kita pergi, barang sudah kudapatkan!"
Air muka Lamkiong Giok berubah, sambil melompat keluar bentaknya, "Apa nona Tong di situ" Barang apa yang kau dapatkan."
Lik-ih-hiat-li mendengus, dia kuatir Tong Yong-ling menghadapi bahaya, buru-buru ia mendahului bergerak ke sana.
ooo)0d0w0(ooo Udara bersih tak berawan, rembulan bersinar dengan terangnya di tengah cakrawala, malam sunyi, hanya bunyi serangga membawakan paduan suara merdu.
Menghadapi gundukan tanah pekuburan di depan sana, hati Bok Ji-sia merasa sedih, setelah mengundurkan delapan jago pengikutnya, bergejolaklah pikirannya.
Si nona baju merah. Oh Keng-kiau, masih terisak sambil bergumam lirih, seakan-akan segenap isi hatinya hendak ditumpahkan keluar lewat tangisnya.
Pelampiasan perasaan seperti ini tak mungkin terbendung dengan segera, tapi karena takut suara tangisnya
mengejutkan Bok Ji-sia, maka sedapatnya Oh Keng-kiau merendahkan suara tangisnya.
Keng-kiau masih muda belia tentunya dia sedih karena teringat akan kehidupan selanjutnya yang sebatang kara tanpa sanak saudara, bagaimanakah kehidupannya di
kemudian hari"
Kembali ke Thian-seng-po" Jelas tak mungkin, tempat itu hanya ada kesengsaraan dan penderitaan.
Menggantungkan diri pada Bok Ji-sia" Ia belum sempat membicarakan hal ini, hal tersebut tampaknya tak mungkin, dalam hati pemuda itu seakan-akan tak pernah tertarik pada persoalan semacam itu.
Karena tak tahu apa yang mesti dilakukan, isak tangisnya makin lama semakin keras, dari tanpa suara menjadi bersuara, sebentar keras, sebentar pelahan, membuat Bok Ji-sia turut kalut pikirannya, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menghibur gadis itu.
Apa yang dapat dia katakan" Ia tahu bila seorang sedang sedih, perasaannya pasti lemah, sepatah kata salah bicara, ucapan yang bermaksud menghibur bisa memancing
kesedihan yang makin besar.
Bok Ji-sia menimbang berulang kali, akhirnya dia
memberanikan diri dan berkata, "Sumoay, jangan terlalu sedih, ingat akan kesehatanmu!"
Kehidupan manusia bagaikan awan dan asap yang cepat berubah dan buyar, siapapun tak akan terhindar dari kelahiran, tua, sakit dan mati, kehidupan akan berakhir di tanah, sampai saatnya dia akan beristirahat untuk selamanya.
Tapi peristiwa sekarang bukan kematian lantaran sakit melainkan suatu pembunuhan yang disertai persoalan rumit dan membingungkan, Se-to-gin-ki Bwe Siau-leng telah mati dengan penasaran.
Setelah mendengar ucapan Ji-sia, Keng-kiau
mendongakkan kepalanya dan menjawab, "Suheng, ibu telah
meninggalkan diriku, membiarkan aku hidup sebatangkara di dunia ini, apa yang harus kulakukan" ... Suheng, pikirkanlah diriku, selain membalas dendam, apa pula yang bisa kulakukan?"
"Sumoay jangan bersedih hati, bila perahu sampai di ujung jembatan, dia akan lurus dengan sendirinya!" hibur Ji-sia seraya menepuk pelahan bahu si nona.
Ken-kiau mendelik. "Ah, itu cuma omong kosong, aku tak percaya!"
Ji-sia tertawa getir, lalu menggeleng kepala dengan sedih, dia tak tahu kata kata apa yang pantas untuk menghiburnya.
Setelah memandang ke langit, dia berkata, "Ada kalanya omong kosong justeru mendatangkan tenaga bagi hidup kita!"
"Kau percaya dengan kata-kata kosong yang tak sesuai dengan kebenaran itu?"
"Aku percaya pada kebenaran."
Oh Keng-kiau menggeleng kepala, katanya "Adakah kebenaran dalam dunia persiiatan dewasa ini" Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memeras yang miskin, pejahat merajalela, memperkosa, membunuh, merampok, apakah semua ini kebenaran?"
"Begitukah pengertianmu tentang kebenaran?" tanya Ji-sia.
"Dalam kehidupan dunia persilatan yang serba kacau dan tak tenang ini, segala sesuatunya harus dibentuk dan dibangun dengan kekuatan sendiri, hanya kekuatan ilmu silat yang merupakan kebenaran, kita harus menggunakan
kekuatan tangan sendiri untuk membunuh kawanan manusia laknat itu. Bunuh! Ya, bunuh! Aku ingin membunuh setiap orang jahat di dunia ini."
Walaupun Ji-sia merasa perkataannya itu cukup beralasan, namun dalam hati ia tidak setuju dengan jalan pikiran yang
sempit dan ekstrim itu, namun dia cuma tertawa saja taapa menjawab.
Mendadak di tengah kegelapan malam muncul beberapa sosok bayangan meluncur ke arah barat-laut sama secepat burung terbang.
"Sumoay, lihat!" Ji-sia berseru dengan kaget.
Oh Keng-kiau segera mendongakkan kepalanya, air
mukanya berubah hebat, nyaris dia menjerit kaget, tanpa terasa tangannya menggenggam lengan pemuda itu kencang-kencang. Setan!!!
Dia tak percaya di dunia ini ada setan, tapi beberapa sosok bayangan itu tak berbeda dengan setan dalam dongeng, bermata hijau, bersuara mengikik mengerikan.
Dengan tubuh gemetar, dia berbisik, "Suheng, ini...."
Mungkin kata "setan" terlalu mengerikan, maka ia tak berani menyebutnya, sebab pada masa kecilnya sudah terlalu banyak cerita setan yang di dengarnya.
Begitu melihat bayangan putih itu, Ji-sia merasa hatinya bergetar keras, dia merasa orang orang berbaju putih itu seperti pernah dilihatnya disuatu tempat ....
Buru-buru dia menarik tangan Keng kiau sambil berbisik.
"Cepat kejar!"
"Aku takut!" Keng-kiau bergidik.
"Ah, jangan takut, segala apa serahkan kepadaku!"
Cepat dia memburu ke depan sambil menarik tangen Oh Keng-kiau.
Yang di muka berlari secepat terbang, yang mengejar tak kalah pula cepatnya, kedua pihak seolah-olah sedang berlomba lari saja.
Jarak kian mendekat, timpaknya orang-orang berbaju putih di depan itu tidak merasa di belakangnya mengikut dua orang muda-mudi, sedang Bok Ji-sia dan Oh Keng-kiau mengikut terus secara ketat, jaraknya tidak terlalu jauh juga tidak teramat dekat.
Tiba-tiba kawanan manusia berbaju putih itu berpekik seram. Begitu berhenti berpekik, orang-orang itu
memencarkan diri ke empat penjuru dan berdiri dengan membalik.
Ji-sia terkejut, buru-buru ia tarik Oh Keng-kiau sambil berbisik, "Cepat bersembunyi!"
Keduanya sama-sama jago kelas satu, serentak mereka menerobos ke balik semak rumput.
Baru saja mereka bersembunyi kawanan manusia berbaju putih itu lantas menjerit seperti teriakan setan.
Mendadak bergema suara tertawa latah di kejauhan sana, hanya sejenak saja lantas mendekat. Bayangan putih berkelebat, tahu-tahu muncul lagi seorang berbaju putih, akan tetapi kain kerudung kepalanya berwarna hitam.
Dengan suara keras, orang berkerudung hitam itu
membentak, "Keng-hun, coba katakan, mengapa kurang dua orang?"
Orang berbaju putih yang bernama Keng-hun segera
menjura, sahutnya, "Kedua setan itu sudah mendaftarkan diri dalam kitab mati hidup!"
Yang dimaksudkan sebagai mendaftarkan diri pada kitab mati hidup adalah kata sandi mereka yang ditanya telah tewas.
Orang berkerudung hitam itu mendengus, "Hmm, apa tugas kalian?"
Semua orang berbaju putih itu gemetar, salah seorang di antaranya menyahut, "Merampas kitab pusaka Hek-liong-kang!"
"Mana kitabnya?"
Orang-orang berbaju putih itu tak berani menjawab, mendadak mereka menjerit-jerit aneh, kemudian berlompatan menandakan mereka tak dapat menyelesaikan tugas dan bersedia menerima hukuman.
Peraturan dalam perguruan Kui-ing-bun memang sangat ketat, barang siapa berani melanggar peraturan bisa dijatuhi hukuman mati.
Orang berkerudung hitam itu tertawa aneh, serunya
kemudian, "Cepat pergi ke Giam-lo-tian untuk menantikan pemeriksaan Buncu!"
Semua orang berbaju putih itu mengiakan, dengan cepat mereka berlalu dengan tertawa seram, tak lama kemudian bayangan, mereka lenyap tak berbekas.
Orang berkerudung hitam itu mendengus, mendadak ia membalik tubuh.
Sinar matanya yang tajam memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu bentaknya, "Sudah waktunya kalian keluar dari situ!"
Ji-sia terperanjat, dia mengira jejaknya ketahuan orang, baru saja hendak keluar, tiba-tiba Oh Keng-kiau menarik tangannya sambil mendesis, "Nanti dulu!"
Buru-buru Ji-sia sembunyi lagi, dia tahu kawanan manusia berbaju putih itu ada hubungannya dsngan kitab yang hilang, cuma dia tak tahu mereka berasal dari golongan mana.
Melihat suasana tetap tenang, orang berkerudung hitam itu mendengus, ia maju beberapa langkah. Sorot matanya yang tajam memandang sekeliling tempat itu, akhirnya
pandangannya berhenti pada tempat sembunyi Bok Ji-sia dan Oh Keng-kiau.
Serunya kemudian sambil tertawa dingin, "Setelah datang kemari, sepantasnya kalian berdua unjukkan diri, bersembunyi terus bukan tindakan seorang lelaki sejati!"
Mendadak terdengar bentakan menggeleger, dua sosok bayangan menerjang ke depan orang berbaju putih itu dengan cepat.
Ji-sia tertawa dan menegur, "Kau ini setan atau manusia"
Kenapa berdandan .... "
Orang berkerudung hitam itu menyurut mundur, lalu
menyapa sambil tertawa, "Kedatangan kalian karena tanpa sengaja atau memang disengaja!...."
"Hm, apa yang dimaksud sengaja" Apa pula yang kau maksudkan tanpa sengaja?" dengus Keng-kiau.
"Hebehe..." orang itu tertawa terkekeh, "Jika kalian bermaksud menyadap rahasia Kui-ing-bun, terpaksa kutahan kalian, sebaliknya kalau tidak sengaja, lekas kalian pergi dari sini!"
"Kalau kedua-duanya benar, bagaimana pula sikapmu?"
tanya Ji-sia dengan tersenyum.
"Hahaha, bisa saja Bok-siauhiap bergurau....."
Tiba-tiba berkumandang suara pekik setan dari kejauhan sana.
Orang berkerudung hitam itu buru-buru berseru, "Bok-siauhiap, cepat bersembunyi di tempatmu semula, biar kuhadapi dia!"
Ji-sia dan Keng-kiau melengak, bukan saja orang kenal mereka, logat bicaranya juga sudah dikenal, belum lagi mereka sempat tanya, orang itu berseru lagi, "Cepat! Petugas peronda datang!"
Keadaan tidak mengizinkan berpikir panjang lagi, buru-buru Ji-sia menarik Keng-kiau dan sembunyi lagi di tempat tadi.
Baru saja kedua orang itu bersembunyi, sesosok bayangan hitam melayang tiba, orang ini berbaju hitam, berkerudung hitam sehingga mukanya tidak terlibat.
Orang berbaju putih tadi segera menegur, "Malam-malam begini Sun-ca-su (pengawas) datang kemari, entah terjadi peristiwa apa?"
"Kim-hong-cang melawan, kitab tidak diperoleh, Kui-ing-bun sungguh mendapat malu!" kata orang berbaju hitam itu dengan dingin.
Orang berbaju putih itu tertawa hambar, "Po-cu pasti mempunyai rencana yang matang, tidak perlu kita risaukan!"
Tiba-tiba si baju hitam membentak, "He, mungkin kau orang baru, di sini tak ada sebutan Pocu, hanya menyebut Buncu. Eh logatmu tidak benar, rasanya belum pernah bertemu denganmu!"
"Hahaha, jangan banyak curiga!" seraya berkata dia lantas berputar tiga lingkaran sambil bergerak tujuh langkah, tangan sebelah menyunggih langit, tangan lain menekan bumi, itulah kode tangan sebagai tanda anggota Kui-ing-bun.
Rupanya anggota Kui-ing-bun tidak saling kenal dengan wajah asli masing-masing, untuk menunjukkan kedudukan sendiri, mereka tak perlu berbicara, cukup menggunakan kode tangan dan segera akan terlhat apakah orang sendiri atau bukan.
Orang berbaju hitam itu mengiakan, "O, rupanya memang anggota baru, pantas ..."
Mendadak si baju putih menuding ke depan sambil berseru,
"He, lihat!"
Si baju hitam mengira ada bahaya, buru-buru ia berpaling.
"Saudara, boleh kau jadi setan sungguhan saja!"
Bentakan keras menggelegar, baju hitam segera merasakan badannya kaku, sambil membalik badan ia menuding, "Kau ..."
"Aku si setan gantung perenggut nyawa yang khusus menghajar setan... !" kata si baju putih sambil tertawa.
Dengan terluka parah si baju hitam roboh terkapar, orang berbaju putih segera, melepaskan pukulan lagi, tak sempat merintih tewaslah orang itu.
Ji-sia dan Keng-kiau merasa heran bercampur curiga seteluh menyaksikan adegan tersebut, padahal si baju putih segolongan dengan si baju hitam, tidak sepantasnya mereka saling membunuh, tapi apa sebabnya orang berbaju putih itu tiba-tiba turun tangan keji"
Siapakah dia" Jangan-jangan dia bukan anggota Kut-ing-bun"
Sementara itu si baju putih tadi telah berpaling ke tempat sembunyi Bok Ji-sia, sambil tertawa katanya, "Bok-siauhiap, cepat kemari!"
Dengan cepat dia melepaskan pakaian hitam orang tadi, baru saja Ji-sia merasa tercengang, orang itu telah mengangsurkan baju hitam padanya.
"Cepat dipakai!" seru orang itu.
Dengan cepat, kembali dia mengorek-orek tanah di sebelah sana, tak lama kemudian dia mengeluarkan lagi satu stel baju hitam yang segera diserahkan kepada Oh Keng-kiau dan menyuruhnya berganti pakaian.
Selesai mengenakan pakaian hitam, Ji-sia baru bertanya,
"Siapa kau?"
Orang berbaju putih itu tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, masa kau tidak tahu siapa diriku, Bok-siauhiap?"
Sambil berkata dia lantas melepaskan kerudung hitamnya.
Hah, dia ternyata Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak adanya!
"Kiranya Ku-locianpwe!" seru Ji-sia tercengang.
"Jangan kaget, di sini bukan tempat yang aman..."
Belum habis dia berkata, dari kejauhan berkumandang pula tiga kali siulan panjang dan sekali pendek.
Menyusul sesosok bayangan berkelebat datang dengan cepat.
Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak mengenakan kembali kain kerudung hitamnya, mereka bertiga dengan tenang berdiri di situ sambil memandang kejauhan.
Begitu dekat orang i
Bara Naga 6 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Hikmah Pedang Hijau 5
^