Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 17

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 17


tu berkata dengan dingin, "Cepat kembali ke Giam-lo-tian, Buncu segera akan tiba!"
Habis kerkata dia melanjutkan perjalanan ke depan sana, Memandangi bayangan punggung orang yang menjauh,
Siau-yau-sian-hong-kek berbisik, "Ingat, Bok-siauhiap nomor tiga. nona Oh nomor tujuh, setiba di sana jangan menyebut nama, cukup melaporkan nomor masing-masing."
Giam-lo-tian atau istana raja akhirat.
Setelah tiga kali suara genta dibunyikan, seluruh ruangan telah penuh dengan anggota Kui-ing-bun atau perguruan bayangan setan, baik berbaju putih maupun berbaju hitam.
Semuanya berbaris di kedua sisi ruangan dengan tenang dan khidmat, sementara sebelas orang berbaju putih berlutut di bawah dengan kepala tertunduk, mereka sedang menunggu keputusan sang Buccu. pimpinan perguruan.
Tiba-tiba berjenis tiga kali suara tambur, enam puluhan orang berbaju putih dan hitam itu serentak berlutut, tangan mereka menempel tanah, kepala tertunduk rendah.
Bok Ji-sia dan Oh Keng-kiau mencampurkan diri di tengah orang-orang itu, meski enggan berbuat demikian, tapi demi merahasiakan jejaknya, terpaksa mereka ikut mendekam juga di tanah.
"Buncu tiba!......." teriakan nyaring bergema di ruangan.
Diam-diam Ji-sia mengintip ke sana, tampak empat orang berkerudung dan berbaju merah mengiringi seorang berbaju ungu muncul dari pintu samping, meskipun mukanya
berkerudung, namun sinar matanya sungguh menggidikkan.
Ji-sia berpikir, "Dilihat dari sorot matanya itu, jelas dia seorang bengis dan berhati busuk, sinar mata semacam itu seperti pernah kukenal ...."
Baru saja ingatan tersebut terlintas, tiba-tiba terdengar suara keras menggema pula, "Tarian indah menyambut Buncu!"
Buncu, orang berbaju ungu itu mengulapksn tangannya sambil berseru, "Tak usah, cepat bunyikan tambur dan membuka sidang!"
"Bunyikan tambur dan membuka sidang!" bentakan keras menggelegar meneruskan perintah itu.
Bunyi tambur segera menggema di dalam ruangan
menggetar sukma, terutama kesebelas orang berbaju putih yang berlutut itu.
Kemudian sang Buncu lantas membentak, "Tiga belas setan bengis, kalian tahu salah tidak!?"
Ketiga belas setan bengis semula berjumlah tiga belas, oleh karena dua di antaranya tewas dalam Kiam-hong-ceng, maka kini tinggal sebelas orang.
"Tecu tahu salah!" kawanan manusia berbaju putih itu menjawab.
"Baik! Kalau begitu terimalah kematian!"
Setelah berhenti sejenak, Buncu berseru pula, "Nomor tiga dan nomor tujuh, bunuh setan ini!"
Wah, celaka! Ji-sia dan Keng-kiau jadi serba susah, nomor tiga dan nomor tujuh tak lain adalah-nomor mereka berdua.
Sementara mereka merasa regu, Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak lantas mengedipi mereka, maksudnya supaya mereka berbuat menurut perintah.
Terpaksa Ji-sia berdua maju ke muka, sahutnya dengan tenang, "Tecu terima perintah!"
Orang berbaju ungu itu meraba ke balik baju, tahu-tahu dua bilah pedang tajam dilolosnya, dengan lantang dia berseru lagi, "Pedang mestika tiada taranya, gunakan darah menghormati leluhur!"
Ji-sia dan Keng-kiau menyambut pedang itu dan
menghampiri kesebelas orang berbaju putih itu, pedang diangkat ka atas dan siap diayunkan ...
Tiba-tiba seseorang membentak, "Siapakah kalian berdua?"
Ji-sia terkesiap, keluhnya dalam hati, "Wah, bisa runyam!"
Seketika suasana berubah, sementara Ku Thian-gak juga mengeluh. Begitu mendengar ketua Kui-ing-bun itu menegur Ji-sia berdua, sadarlah dia keadaan bakal runyam, jejak mereka sukar dirahasiakan lagi.
Setajam sembilu orang berbaju ungu itu menatap Ji-sia dan Keng-kiau seakan-akan berusaha menembus hati mereka.
Kemudian sambil tertawa seram tegurnya lagi, "Siapakah kalian berdua?"
Baik Ji-sia maupun Keng-kiau, kedua-keduanya merasa sulit lagi mengelabui ketua Kui-ing-bun ini.
Sementara itu segenap anggota Kui-ing-bun juga dibikin tercengang, dengan mata terbelalak mereka awasi kedua
orang itu, mimpipun tak mereka sangka ada orang luar menyelundup ke dalam tubuh perkumpulan mereka.
Mendadak seorang maju ke depan dan berkata, "Buncu, kedua orang ini mungkin murid yang baru menggabungkan diri dan kurang paham peraturan."
"Omong kosong!!" bentak orang berbaju ungu, "nomor tiga dan nomor tujuh telah berbakti kepadaku jauh sebelum kau nomor tiga belas masuk kemari, mana mungkin mereka tidak mengerti peraturan perguruan, cepat mundur ...."
Ji-sia coba melirik orang itu, ternyata dia adalah Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak, sadarlah pamuda ini bahwa rahasianya tak dapat dipertahankan lagi, dengan cepat dia kedipi rekannnya itu agar tidak banyak bicara
Diam-diam Ku Thian-gak mengeluh.
Orang berbaju ungu itu lantas mendengus, "Hm, setelah bertemu dengan Buncu, kenapa tidak berlutut untuk
menerima kematian!"
"Kau bukan manusia berkepala tiga dan berlengan enam, kenapa aku harus berlutut padamu?" jengek Ji-sia.
Saking gusar orang berbaju ungu itu tergelak, "Hahaha, bila Buncu tidak mencincang tubuhmu, percuma aku menjadi ketua perguruan!"
Setelah berhenti sejenak, segera bentaknja, "Tangkap mereka!"
Segenap anggota Kui-ing-bun yang berada di-sekeliling tempat serentak menubruk maju, semua jalan keluar tertutup, menyusul sesosok bayangan merah melayang tiba.
Selagi terapung di udara, dia membentak, "Dengarkan kedua anak jadah, kalian berani memasuki Giam-lo-tian, berani lagi menghina Buncu, biarlah aku Kui-ing-cuncia membereskan kalian!"
Dengan jurus Ok-eng-pok-keh (elang buas menyambar
ayam) dia menerkam ke arah Oh Keng-kiau.
Selama ini Keng-kiau tak bersuara, ketika dilihatnya Kui-ing-cuncia berbaju merah itu menerkam ke arahnya, sambil mendengus katanya, "Kalau kau bosan hidup, akan kukirim kau berangkat lebih dulu!"
Secepat kilat jari tangannya menutuk Kui-ing-cun-cia.
Bok Ji-sia kuatir Sumoaynya terlampau gegabah, cepat ia melompat maju, katanya, "Serahkan dia kepadaku!"
Pada saat Ji-sia menerjang maju inilah, tiba-tiba orang berbaju ungu tertawa, bayangan merah berkelebat, mendadak Kui-ing-cun-cia ditariknya dan dilempar ke luar.
Pada detik itu pula, telapak tangan kirinya menghajar ke dada Bok Ji-sia, sekaligus kakinya menendang jalan darah Ci-ji-hiat di tubuh Oh Keng kiau.
Dengan terkejut buru buru Keng-kiau merendahkan
tubuhnya dan bergeser mundur.
Ji-sia mendengus, tangan menolak ke arah orang berbaju merah itu.
"Blang", benturan keras terjadi.
Tubuh orang berbaju ungu itu berguncang keras, sinar matanya yang tajam menjadi buram, dengan kaget ditatapnya Bok Ji-sia tanpa berkedip, katanya kemudian, "Lepaskan kain kerudung mukamu!"
Sssudah beradu pukulan, meski Ji-sia tidak sampai terluka, namun darah dalam dadanya bergolak keras, telinga
mendenging, diam diam ia terkejut juga oleh kesempurnaan tenaga dalam musuh.
Dia mendengus, "Tidak perlu!"
"Hm, belum pernah ada orang berani membantah
perintahku!"
"Tapi tuan muda tidak terima caramu ini."
Orang itu sangat marah, kembali ia mendongak dan
tertawa seram. Tiba-tiba berkumandang bentakan nyaring, "Siapa kau?"
Tahu-tahu Oh Keng-kiau sudah berdiri dihadapan orang berbaju ungu itu sambil menudingnya.
Orang berbaju ungu itu tertegun, belum lagi pertanyaannya dijawab, tak tersangka orang lain malah bertanya kepadanya, dia tidak tahu bahwa gelak tertawanya telah memancing kecurigaan Keng-kiau ..
"Aku Kui-ing-buncu!" sahut orang itu dengan mata melotot.
"Hm, kurasa bukan!"
Orang itu tambah murka, bentaknya, "Memangnya kau kira aku siapa?"
"Haha ... kau Oh ... "
"Tutup mulut!" sambil membentak orang berbaju ungu itu menyerang, telapak tangan kanannya terpentang
mencengkeram dada si nona.
"Tak tahu malu!" maki Keng-kiau di dalam hati.
Padahal orang itu tidak tahu dia adalah seorang gadis, kalau tidak, betapa pun rendah orang itu juga tak nanti mencengkeram dada seorang nona.
Merah wajah Keng-kiau karena malu, meski wajahnya
berkerudung, jantungnya toh berdebar, sambil membentak secara beruntun dia lancarkan dua belas kali pukulan berantai.
Tiba-tiba seorang membentak, "Kui-ing-cap-sah-sik!"
Mendadak muncul tiga belas orang berbaju hitam, merah dan putih ke tengah arena, masieg-masing mengambil posisi yang berbeda dan mengurung Ji sia, Keng-kiau dan orang berbaju ungu itu,
Suatu ketika, orang berbaju ungu itu mendesak mundur Keng-kiau sejauh beberapa langkah, kemudian melompat keluar dari arena.
Sambil tertawa serunya. "Asal kalian mampus melawan Kui-ing-cap-sah-sik ini, segera Buncu akan memberi jalan hidup untuk kalian."
"Huh, jangankan baru tiga belas gerakan, sekalipun seratus tiga puluh geraksn juga boleh," jengek Ji-sia.
"Hehe, apa andalanmu sehingga berani bicara besar."
"Hahaha, benda inilah yang kuandalkan!" Ji-sia, tertawa terbahak-bahak.
Menyusul suara bergemerincing, tahu-tahu tangannya sudah bertambah sebuah ruyung panjang yang memancarkan sinar keemasan, itulah Jian-kim-si hun-pian yang
menggetarkan dunia persilatan,
"Ah, kau Bok Ji sia!!" seru orang itu kaget.
Sambil melepaskan kain kerudungnya, Ji-sia bergelak tertawa, "Hahaha, sekarang baru kau tahu!"
"Kali ini jiwamu takkan kuampuni lagi!" seru orang berbaju ungu itu dengan sorot mata liar. Lalu bentaknya, "Lancarkan serangan!"
Diam-diam Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak merasa gelisah, dia tak bisa mencegah pertarungan itu, iapun tak bisa membantu kedua orang, saking tegangnya tanpa sadar dia maju dua langkah-Ia telah mengambil keputusan, jika keadaan terpaksa, maka ia akan tampil untuk memberi bantuan.
Sementara itu ketiga belas orang telah menghimpun tenaga dan mengawasi kedua orang muda di tengah arena.
Sudah lama Ji-sia mendengar kelihaian Kui-ing-cap-sah-sik, tiba-tiba ia berpaling dan memandang Oh Keng-kiau, tanyanya, "Kau sudah siap?"
Keng-kiau tersenyum, "Jangan kuatir, aku yakin dapat mengatasi lawan!"
Tiba-tiba bergema bentakan, "Kui-ing-liu-iang (bayangan setan meninggalkan bekas)!"
Itulah jurus permulaan dari Kui-ing-cap-sah-sik, begitu jurus serangan ini dilancarkan, menyusul lantas Kui-ing-soh-hun (bayangan setan membelenggu sukma), Kui-jiau-cun-bong (cakar setan menghilangkan impian indah), Ngo-kui peng-yu (ilmu setan bersedih hati) dan seterusnya. Yang hebat adalah serangan itu mengindung racun, bila tersentuh akan tewas, karena pada kuku ketiga belas orang itu mengandung racun jahat.
Menurut perkiraan Ji-sia, ketiga belas orang itu pasti akan segera melancarkan serangan, siapa tahu mereka hanya mengangkat telapak tangan di depan dada dengan jari terpentang,
Pikir Ji-sia, "Jurus serangan begini mana bisa melukai orang
.... " Belum lenyap pikiran tersebut, tiba-tiba terasa seluruh badan kedinginan, darah dalam tubuh terasa beku.
Terdengar Keng-kiau berseru, "Cepat tutup Hiat-to dan tahan napas!"
Buru-buru dia mengikuti petunjuk itu, namun dia masih sempat merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.
Keng-kiau mendesis pula, "Sebelum jurus ketiga mereka lancarkan, kita harus menggunakan waktu paling singkat
untuk menghantam sebelah kiri, terjang titik terlemah mereka, jangan sampai jurus serangan lain sempat dilancarkan, kalau tidak, meski tidak terluka juga akan mati keracunan .... "
Dengan tenang Ji-sia mendengarkan penjelasan itu, diam-diam ia heran dari mana Oh Keng-kiau menguasai
pengetahuan itu. bahkan tidak mengunjuk rasa gentar sedikitpun.
Ia tidak tahu Go Keng-kisu telah mempelajari kitab pusaka Kim-teng Cinjin, meski tensga dalamnya tidak sekuat Ji-sia, tapi soal pengetahuan ilmu silat sudah jauh melebihi jago lihai mana pun.
Perlu diketahui isi kitab pusaka Kim-teng Cinjin mencakup intisari ilmu silat dari berbagai aliran di dunia ini, di antaraaya termasuk pula cara mematahkan Kui-ing-cap-sah-sik tersebut.
Sekalipun ketiga belas orang itu hanya angkat tangannya di depan dada dengan jari terpentang, tapi dari ujung jari mereka justeru terpancar desing angin tajam.
Terkejut orang berbaju ungu itu melihat jurus pertama Kui-ing-cap-sah-sik tak berhasil merobohkan kedua lawan, malahan seakan-akan tidak terjadi sesuatu apa pun. Mau-tak-mau pandangannya terhadap kesempurnaan tenaga dalam Bok Ji-sia timbul penilaian baru.
"Kui-ing-soh-hun!" segera bentaknya lagi.
Mengikuti bentakan itu, ketiga belas orang Kui-ing-bun lantas menarik kembali telapak tangan kanannya, lalu berputar mengitari Bok Ji-sia dan Oh Keng-kiau, seakan-akan hendak menyesatkan pandangan musuh.
Ji-sia segera memandang ke arah Oh Keng-kiau, bisiknya,
"Boleh terjang sekarang?"
"Tunggu sampai gerakan mereka berhenti!" desis si nona.
Betul juga, dari gerak putar yang cepat, ko-tiga belas orang Kui-ing-bun itu melambatkan gerakannya, kemudian seperti akan berhenti.
Menyusul telapak tangan mereka pelahan diangkat lagi ke atas ....
Pada detik itulah, Ji-sia membentak, "Terjang!"
Dia menubruk ke depan, sekaligus ia menyerang dua orang Kui-ing-bun di sisi kiri.
Keng-kiau juga membentak, telapak tangannya
menghantam ke depan.
Padahal waktu itu gerakan kawanan jago Kui-ing-bun baru saja berhenti, serangan lain belum sempat dilancarkan, melihat kedua orang itu menerjang tiba, serentak mereka membentak dan menubruk pula ke depan.
Seketika barisan Kui-ing-cap-sah-sik tersebut tidak semantap tadi lagi, kekuatannya jauh berkurang, apalagi di bawah tekanan Bok Ji-sia yang hebat.
Sekali Ji-sia membentak, seorang berbaju putih di sebelah kiri terkena pukulan dan mencelat.
Keng-kiau tak mau kalah, iapun membentak dan
menghantam, dalam waktu singkat barisan Ku-ing-cap-sah-sik terpatahkan, kawanan jago Kui-ing-bun jadi ketakutan.
Orang berbaju ungu itu terkejut sekali, bentaknya marah,
"Manusia tak berguna! Maju semuanya!"
Seketika bayangan berkelebat, angin pukulan menderu, segenap jago Kui-ing-bun yang hadir sama menerjang maju dan mengepung Ji-sia berdua.
"Tahan!!" mendadak seorang membentak.
Sesosok bayangan hitam melayang masuk ruang Giam-lotian, dari atas meja ia menodongkan sebuah tabung hitam ke bawah.
Ji-sia berpaling, ternyata orang berbaju hitam yang berada di atas meja itu adalah Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak, ia sedang mengawasi arena dengan kereng.
"Nomor tiga belas, kau hendak memberontak!" bentak orang berbaju ungu.
Ku Thian-gak mendengus, "Diam, goblok, kau-kira aku anak buahmu?"
Tertegun orang berbaju ungu itu, pikirnya, "Aneh, dari logat bicaranya dia bukan nomor tiga balas. Lantas siapakah dia" Apakah di antara yang hadir ini terdapat orang luar?"
Berpikir demikian, dia lantas membentak pula, "Kalau bukan anak buahku, lantas siapa kau?"
"Hahaha, kau ingin tahu?" habis berkata, segera ia melepaskan kain kerudung mukanya.
Orang berbaju ungu itu bsrseru kaget, mimpi pun dia tak menyangka nomor tiga belas yang sangat setia kepadanya itu sudah menemui ajalnya dan sekarang telah berganti orang lain.
"Ku Thian-gak, kiranya kau!" teriaknya. Sementara itu Keng-kiau sedang menarik tangan Ji-sia sambil berbisik,
"Suheng. kutahu siapa Buncu Kui-ing-bun ini"
"Siapa?" tenya Ji-sia.
"Sebentar kau akan tahu sendiri!" desis si nona sambil mengedipkan matanya.
Waktu itu, berhubung kemunculan Ku Thian-gak, maka pengawasan kawanan jago Kui-ing-bun terhadap Bok Ji-sia berdua menjadi berkurang, itulah sebabnya meski mereka berbisik-bisik, tak seorangpun yang menaruh perhatian.
Dalam pada itu Ku Thian-gak sedang tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, kalau sudah tahu aku Ku Thian-gak, beranikah kau bertarung melawanku?" tantangnya.
Sambil berkata, tabung hitam itu sengaja diayunkan ke udara dengan sikap menggertak.
"Benda apakah itu?" tanpa terasa orang berbaju ungu itu menegur.
"Obat peledak!" jawab Ku Thian-gak.
Kaget orang itu, dia sadar keadaan tidak menguntungkan, apalagi melihat anak buahnya juga sama panik.
Dia memandang sekejap anak buahnya, kemudian katanya,
"Perguruan kami yakin tak pernah mengikat permusuhan dengan kalian, kenapa kalian........"
"Utang darah sedalam lautan, kenapa kau bilang kita tak ada permusuhan?" dengus Ku Thian-gak dengan wajah dingin.
"Hei, apa maksudmu?" orang berbaju ungu itu melengak.
"Haha, masa bsgitu cepat kau lupakan perbuatanmu?"
"Kuharap kau bicara lebih jelas!" seru orang itu dengan ragu.
"Baik," seru Ku Thian-gak dengan gusar, "Akan kuberitahukan kepadamu sejelasnya, kau tahu aku berasal dari aliran mana?"
Dengan bingung orang itu menyahut, "Semua orang tahu kau berasal dan Siau-lim ...."
Ji-sia terkesiap, pikirnya, "Kalau Ku-cianpwe berasal dari Siau-lim-pai, kenapa dia menjadi anggota perguruan lencana tembaga" Tak heran di antara jurus serangannya banyak terdapat gerakan aneh."
Dengan gemas Ku Thian-gak menjawab, "Walaupun aku berasal dari Siau-lim, namun kepandaianku meliputi delapan
aliran, aku ingin tanya padamu, apa sebab kematian kedelapan Ciangbunjin angkatan yang lalu?"
"Apa sangkut pautnya denganku?"
"Hehe, masa tak ada sangkut-pautnya denganmu" Mereka berdelapan lenyap bersama, kemudian oleh Bok-siauhiap ditemukan kedelapan Ciangbunjin itu ternyata disekap sampai mati dalam Thian-seng-po....."
Orang berbaju ungu terkesiap, tiba-tiba sekujur badannya bergemetar, pikirnya, "Ternyata Ku Thian-gak telah mengetahui semua ini, siapakah diriku mungkin diketahui pula olehnya, meski aku tidak takut kepadanya, tapi bukan pekerjaan mudah untuk melenyapkan orang ini."
Dengan gusar dia lantas mendengus, "Antara Thian-seng-po dengan Kui-ing-bun tak ada sangkut pautnya, kau tidak pergi ke Thian-seng-po, mau apa kau bikin onar di sini"
Jangan kau kira Kui-ing-bun boleh dipermainkan!!"
Menyinggung peristiwa tragis di Thian-seng-po tempo hari, amarsh Ji-sia berkorbar, dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan keadaan kedelapan Ciangbunjin yang
mengenaskan itu menjelang ajalnya.
Dia tak mengira Ku Thian-gak tak pernah melupakan
kejadian itu, siang malam melakukan penyelidikan, pantas dia menyusup ke sini.
Jadi orang berbaju ungu ini pasti biang keladinya, umpama bukan biang keladinya, paling tidak pasti terlibat langsung dalam peristiwa tersebut, kalau tidak, Ku Thian-gak takkan berkata demikian.
Dengan perasaan sedih bercampur merah Ku Thian-gak berteriak, "Tampaknya antara Thian-seng-po dan Kui-ing-bun tiada sangkut-pautnya, tapi kenyataan justeru merupakan satu wadah yang sama, kalian dua bersaudara bersekongkol secara diam-diam, di luar berlagak tidak akur, agar orang mengira
kalian berdua memang menempuh jalan yang berbeda ...
Hmm, kau kira aku tak tahu?"
Orang berbaju ungu itu terkesiap, tiba-tiba bentaknya,
"Tangkap bangsat itu!"
Serentak kawanan jago Kui-ing-bun menerjang maju dan menyerang Ku Thian-gak.
Cepat Ji-sia putar ruyung emasnya, bentaknya, "Barang siapa berani maju, akan kusuruh dia terkapar bermandikan darah!"
"Hahaha, jangan kuatir Bok lote," seru Ku Thian-gak sambil tergelak, "Biarkan mereka maju!"
Segera bahan peledak berwarna hitam diayun-ayunkan hingga membentuk bayangan hitam di angkasa.
Dengan perasaan ngeri serentak kawanan jago Kui-ing-bun melompat mundur;
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam meluncur ke depan, secepat kilat menerjang ke arah orang berbaju ungu, sekali tangannya meraih, orang berbaju ungu itu berteriak kaget,
"Keparat, kau berani?"
Wajahnya terasa dingin, tahu-tahu kain kerudung mukanya sudah terlepas,
Sementara itu Keng-kiau telah memegang kain kerudung rampasannya dan berseru, "Kau, paman!?"
Peristiwa ini benar-benar di luar dugaan siapa-pun, semua orang tidak menyangka Kui-ing-buncu sesungguhnya adalah Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat, sudah barang tentu hanya Ku Thian gak saja yang telah menduganya.
Sementara itu suasana dalam ruangan menjadi gempar, para jago Kui-ing-bun sempat melihat wajah asli Buncunya, serentak mereka berlutut sambil berseru, "Buncu, ampuni dosa kami!"
Perlu diketahui, sejak didirikannya Kui-ing-bun sudah berlaku peraturan yang tidak tertulis, yakni barang siapa melihat wajah sang Buncu, maka dia harus bunuh diri sebagai penghormatan terhadap kesucian seng Buncu.
Dalam waktu singkat, suara raungan berkumandang di
?ana-sini, para jago Kui-ing-bun sama roboh terkapar dan tak berkutik lagi, kiranya mereka selah memutuskan urat nadi sendiri.
Padahal saat ini Oh Ku-gwat sangat membutuhkan orang, menyaksikan hal itu ia terkesiap.
"Kalian tidak berdosa!" cepat teriaknya.
Sayang terlambat, ada sepertiga jago Kui-ing bun yang telah bunuh diri, dengan sedih dan sakit hati Oh Ku-gwat melototi Oh Keng-kiau.
Sementara itu, setelah Ji-sia tahu orang itu adalah Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat, tiba-tiba adegan kematian ibu gurunya yang tragis terbayang dalam benaknya, seolah-olah menyaksikan Se-to-sian-ki sedang mengerang menentang maut sambil meneriakkan nama iblis pembunuh itu dan menitahkan kepadanya untuk membalaskan dendamnya ....
Makin dibayangkan semakin gusar, akhirnya bentaknya,
"Oh-lotoa, hari ini jiwamu tak bisa diampuni lagi!"
Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat tertawa dingin, "Hehe, kau pun berlagak'.*"
Tiba-tiba Ku Thian-gak melompat ke depan dan berseru,
"Bok-siauhiap, harap mundur, aku mempunyai dendam kesumat yang tiada taranya dengan manusia laknat ini, dia penyebab kematian kedelapan ketua perguruan besar, hendak kubalaskan sakit hati mereka."
"Tidak bisa," seru Keng-kiau sambil maju ke depan,
"dendam kesumat ibuku harus kutuntut dulu."
Diam-diam Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat mengeluh
menyaksikan ketiga lawan tangguh datang bersama menuntut balas pedanya, biji matanya berputar dan iapun mendapat akal, ia pikir ketiga orang ini sama membenciku sampai merasuk tulang, betapapun sulit kulayani mereka sekaligus"
Jalan terbaik sekarang adalah cepat meloloskan diri, paling baik lagi kalau bisa membujuk anak Kiau.
Maka dengan tersenyum ia lantas barkata, "Keng-kiau, mana boleh kau bicara demikian kepada paman?"
Keng-kiau segera melepaskan kerudung wajahnya, dengan air mata bercucuran katanya, "Hubungan kita telah putus, aku tidak mengakui kau sebagai paman lagi, dan kaupun tak perlu mengakui aku sebagai keponakan perempuanmu, sakit hati ayahku lebih dalam daripada lautan, aib ibuku juga tak bisa dibiarkan, setelah kutahu siapa orang tuaku, berarti dendam mereka berada di atas bahuku. Bda kau ingat hubungan aatara paman dan keponakan, tentu takkan kau bikin sengsara ayahku, lebih tak mungkin kau permainkan ibuku
...." Makin bicara hatinya makin panas, akhirnya air mata bercucuran pula dengan derasnya.
Ji-sia coba menghiburnya, "Sumoay, jangan sedih, akan kubalaskan dendam kematian Suhu!"
Selesai berkata, ia terus melambung ke udara, ruyung emas berputar, selapis cahaya emas diikuti desing tajam menyambar musuh.
Terkesiap Oh Ku-gwat, cepat dia merendahkan badan
sambil bergeser ke samping.
Tapi begitu bergerak tiba-tiba ia merasakan gelagat tidak beres, terasa angin tajam menyambar dari belakang
kepalanya, nyata menyayat kulit kepalanya.
Dengan air muka berubah hardiknya, "Orang she Bok, apa kau cari mampus!?"
"Hehehe, Oh Ku-gwat jangan harap bisa lolos malam ini!"
Pada saat itulah mendadak bergema suara tertawa nyaring dari kejauhan, tapi sebentar kemudian sudah mendekat.
Bersama dengan menggemanya suara tertawa itu, suasana dalam ruang Giam-lo-tian menjadi tegang, Ji-sia terkejut.
Tak lama kemudian, dari balik kegelapan tana muncul tiga orang gadis, tertampak si nona berbaju biru yang berkerudung itu dengan membawa kedua Pek bersaudara muncul di situ, lalu mengangguk kepada Bok Ji-sia.
"Nona, kenapa kaupun sampai di sini?" sapa Oh Ku gwat dengan perasaan agak tenang.
"Memangnya aku tak boleh kemari?" sahut nona itu ketus.
Oh Ku-gwat tertawa, "Ah, mana, ingin menyambut saja tak sempat."
Mendadak si nona berbaju biru membentak "Ku Thian-gak, nyalimu kian lama kian bertambah besar!"
Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak adalah seorang lelaki sejati dan berjiwa sekeras baja, selama hidup belum pernah takut kepada siapa pun, namun terhadap nona berbaju biru berkerudung ini ia mengunjuk rasa jeri.
"Nona, apa maksudmu?" sahutnya dengan tertawa getir.
"Salahkah ucapanku" Hm, bukan saja kau berani menentang aku, juga berani merebut kembali lencana tembaga itu, kau anggap tanpa lencana tembaga itu aku tak mampu menaklukkan dirimu?"
Air muka Ku Thian-gak berubah, segera kepalanya
tertunduk dan tak bicara lagi.
Tak tega Ji-sia menyaksikan kejadian ini, ia maju ke depan, bentaknya, "Berdasar apa kau berani bersikap begitu garang terhadap orang lain...."
"Kau ingin mampus?" dengus si nona.
Keng-kiau juga merasa tak senang menyaksikan gadis berkerudung itu bersikap kasar kepada Suhengnya, ia maju ke depan dan menuding gadis berbaju biru itu, teriaknya, "Besar amat nyalimu, berani bersikap kasar kepada Suhengku."
Nona berbaju biru itu menjengek, "Dalam hal apa perlu kuhormati dia?"
Saking gemasnya Ji-sia tertawa seram, telapak tangan kanannya segera menampar si nona berbaju biru itu dengan garang.
"Kau berani!" bentak, kedua Pek bersaudara sambil maju mengadang.
Nona baju biru itu mendengus; "Tak apa, masa dia berani menyentuhku!"
Betul juga, mendadak Ji-sia berubah pikiran dan menarik kembali tangannya, katanya, "Aku tak mau berurusan denganmu!"
"Hm, siapa pula yang sudi menggubris dirimu!" jengek nona baju biru itu.
Mendadak terdengar bentakan keras, "Bangsat tua, hendak kabur ke mana!"
Tampak Ku Thian-gak menubruk ke sana dan melepaskan pukulan ke arah Thian-seng-kiam Oh Ku-gwat.
Baju saja Oh Ku-gwat ingin kabur, tapi segera diketahui oleh Ku Thian-gak, sadarlah dia bahwa sulit buginya untuk meloloskan diri.
Maka ketika angin pukulan Ku Thian-gak yang dahsyat menyambar tiba, terpaksa ia sambut dengan pukulan dahsyat.
"Blang", benturan terjadi dan bumi serasa berguncang.
Sambil bergerak ke depan, kembali Ku Thian-gak
membentak, "Sambut lagi pukulanku!"
"Biar kuadu jiwa denganmu!" teriak Oh Ku-gwat dengan kalap,
"Blang", terjadi adu pukulan terlebih keras hingga ruang Giam-lo-tian bergoncang keras.
"Uak!" Oh Ku-gwat tumpah darah, badan sempoyongan, sebaliknya Ku Thian gak sendiri pun tidak lebih baik keadaannya, pucat wajahnya.
Pada suat itulah Bok Ji-sia mendongak kepala dan tertawa keras, serunya, "Oh-lotoa, hari ini tentunya kau tak bisa berkata apa apa lagi bukan!"
"Jangan sentuh dia!" mendadak bergema bentakan nyaring Ji-sia melirik si nona berbaju biru sekejap, lalu mendengus,
"Hm, lebih baik jangan kau campur urusanku."


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kubilang jangan sentuh dia," ujar si nona berbaju biru dengan tenang.
Ucapan kereng dan berwibawa, membuat orang merasa tak berani menentangnya, tapi Ji-sia adalah pemuda angkuh, mana ia tak mau menurut.
"Benarkah kau begitu lihai?" dia mengejek.
Nona berbaju biru itu tertawa, "Kalau tidak percaya, silakan coba sendiri!"
Ji-sia tak menggubrisnya, dengan langkah lebar dia mendekati Oh Ku gwat.
Rasa takut timbul pada wajah Oh Ku gwat, sinar mata minta belas kasihan tiada hentinya dikirim ke arah si nona berbaju biru.
"Bunuh dia, bunuh dia!" teriak Ku Thian-gak.
Oh Ku-gwat berpaling dan berkata dengan napas tersengal,
"Orang she Ku, utang piutang kita berdua takkan beres selamanya!".
Rasa benci terpancar dari matanya, namun juga
menampilkan rasa kecewa, karena nona berbaju biru sama sekali tak ada tanda akan mengalangi tindakan Bok Ji-sia.
Selama hidup baru kali ini dia merasakan siksa dari batin, diam-diam ia menghela napas, pikirnya, "Asal aku diberi waktu sedikit saja pasti aku dapat meloloskan diri dari musibah ini!"
Pada saat itulah, tiba2 terdengar nona berbaju biru tertawa terkekeh-kekeh dan menegur, "Bok Ji-sia, mana kitab pusaka kami?"
Ji-sia tertegun, ia tidak menyangka sekarang si nona bisa mengajukan persoalan itu. "Hilang!!" sahutnya.
"Hm, masa hilang" Mungkin kau gelapkan sendiri!"
Ji-sia menjadi gusar, ia membentak, "Jangan memfitnah orang semau sendiri!"
Nona berbaju biru itu memang banyak tipu akalnya, ia tahu Ji-sia adalah seorang yang suka lunak dan tidak doyan kekerasan, maka ia bergirang orang sudah terjebak.
"Kalau begitu, serahkan kepadaku!" serunya dingin.
Ji-sia tak mengira kitab itu akan dituntut kembali sekarang, ia menjadi bingung dan tak tahu bagaimana mesti menjawab.
Tapi segera ia berkata, "Kuyakin sanggup mencari kembali kitab yang hilang itu!"
"Kau bilang apa" Benar hilang?" nona itu pura-pura terperanjat.
Padahal ia tahu jelas duduknya persoalan, cuma dia sengaja hendak mempermainkan Bok Ji-sia.
Sedih Bok Ji-sia, katanya kemudian, "Kubilang buku itu sudah hilang!"
"Lantas cara bagaimana pertanggungan jawabmu?"
Ji-sia tak bisa bicara, setelah berpikir sekian lama baru menjawab, "Akan kuganti dengan nyawaku!"
"Baik, kalau begitu serahkan nyawamu!" tukas nona itu cepat.
Ji-sia merasakan gelagat tidak baik, diam-diam ia mengakui kelihaian gadis itu, pantas tadi ia bilang bisa membuatnya mati.
"Tak bisa kuserahkan sekarang," sahutnya kemudian.
"Hei, kenapa kau tak tahu aturan" Masa nyawa orang kau jadikan permainan?" Keng-kiau membentak dengan gusar.
Nona berbaju biru itu tidak menggubrisnya, malah katanya kepada Oh Ku-gwat, "Cepat pergi, tak ada orang berani mengalangi dirimu!"
Oh Ku-gwat tertawa terima kasih, bisiknya, "Akan kuingat budi kebaikan ini."
Sekarang ia tak perlu kuatir lagi, dia tahu Bok Ji-sia sudah jatuh dalam jebakan nona berbaju biru itu, dengan hati lega dia berlalu dari situ.
"Nona Oh, tak boleh kau lepaskan dia!" tiba-tiba Ku Thian-gak membentak.
Keng-kiau segera melepaskan dua kali pukulan memaksa Oh Ku-gwat mundur kembali ke tempat semula. Waktu itu Oh Ku-gwat sudah terluka parah, ia tak berani menyambut
serangan itu dengan kekerasan, terpaksa ia menyurut mundur.
"Keponakanku, masa kau jadi durhaka kepada orang tua?"
tanya Oh Ku-gwat.
"Aku berbakti atau tidak, hanya Thian yang tahu" jawab Keng-kiau tegas.
Perlu diketahui, meskipun Oh Keng-kiau dibesarkan dalam Thian seng-po, namun segala sesuatu tiada berperasaan apa-apa terhadap Oh Ku-gwat, dahulu ia tidak tahu asal-usulnya, maka terhadap Oh Ku-gwat, ia menghormatinya sebagai paman, tapi setelah tahu ayah ibunya tewas di tangan Thian-seng-kiam Oh Ku-gwat dan Seng-gwat kiam Oh Kay-thian.
semua budi yang pernah diterimanya seketika lenyap, dia hanya ingat pada dendam kesumat dan lupa akan hubungan antara paman dan keponakan.
Sementara itu, si nona berbaju biru itu sedang melotot gusar pada Ku Thian gak, katanya, "Ku Thian-gak, bila ingin turun tangan, lebih baik maju sendiri, kenapa menyuruh seorang anak perempuan untuk mengantar kematian!"
Meski dicaci maki, Ku Thian-gak sama sekali tidak memberi reaksi apa-apa.
Rupanya dalam bentrokan melawan Oh Ku-gwat tadi, tiba-tiba tenaga sukar dihimpun, jangankan bertarung lagi, untuk mengangkat tangan saja tak kuat, rupanya secara diam-diam ia terkena serangan maut Kui-ing-cap-sah-sik.
Si nona berbaju biru lantas berkata lagi kepada Bok Ji-sia,
"Bila kau berat hati untuk mati, ayo panggil kembali Sumoaymu!"
Ji-sia jadi serba susah, ia pernah berjanji kepada gadis itu bila gagal mengantar Hek liong kang-ki-su kepada Hek-liong Lojin, maka dia bersedia mati sebagai ganti kitab itu.
Sekarang orang menagih janjinya, ia sendiri tak sanggup menyerahkan kitab tersebut, karena itu dia berkeputusan lebih baik mati saja daripada dicap sebagai manusia yang ingkar janji.
Setelah menghela napas, desisnya, "Aku lebih suka mati saja di hadapanmu!"
Ia tersenyum pedih dan memandang sekejap ruyung emas Jian kim-si hun-pian di tangannya, ia mendongak dan menghela napas panjang, ia memutuskan akan membunuh diri. Baginya kematian memang tidak menjadi soal.
Tiba-tiba Oh Keng-kiau memburu ke sisi Ji-sia, serunya,
"Suheng, apakah kau tunduk padanya?"
"Tidak, aku hanya meluluskan permintaannya untuk mati!"
jawab Ji-sia sambil tersenyum getir.
"Suheng, kau tak boleh mati," bisik Keng kiau dengan air mata bercucuran, "Jika kau berbuat demikian, Subo pasti tak tenteram di alam baka"
"Kalau aku tidak mati, apakah dia harus bebas?" kata Ji-sia sambil menuding Oh Ku-gwat.
"Untuk sementara kita ampuni jiwanya, anggap saja sebagai balas budiku kepadanya"
"Tidak, jika setiap kali perempuan itu selalu mengacau, maka selama hidup kita tak dapat membalas dendam. Ai, sungguh kubenci diriku sendiri."
"Bencimu padaku tentu sungguhan bukan?" nona berkerudung biru itu menambahkan sambi berkedip.
Sementara itu Oh Ku-gwat tahu dirinya nyaris mampus, maka diam-diam ia hendak ngeluyur pergi.. "Oh-lotoa.
berhenti!" tiba-tiba Ji-sia membentak.
"Kau benar-benar tidak sayang jiwamu lagi?" si nona berbaju biru segera mengadang ke depan
Dengan benci Ji-sia menjawab, "Sekalipun aku sanggup mati, nsmun tidak pernah menyanggupi agar tidak
membunuhnya."
Dari ucapannya Keng-kiau tahu Ji-sia bertekad untuk mati, dia terperanjat, buru-buru ditariknya lengan Ji-sia sembari berseru, "Suheng, jangan..."
Nona berbaju biru tertawa dingin, ia memberi tanda agar Oh Ku-gwat pergi dari situ.
Tentu saja Ji-sia tidak tahu si nona berbaju biru itu ada maksud menarik Thian-seng-po ke pihaknya untuk
memusuhinya. Mendadak dari luar Giam-in-thian bergema suara bentakan gusar, "Penipu, penipu, kembalikan muridku!"
Lenyap suara itu, mendadak berkelebat masuk sesosok bayangan hitam, sambil menuding Bok Ji-sia lantas mencaci maki, "Kau .... kau penipu, penipu orang perempuan, penggaet anak gadis orang ..."
Mula-mula Ji-sia bingung, dia tak tahu dari mana
datangnya bencana tersebut, karena malam gelap hingga sukar melihat jelas raut wajah orang.
Tapi setelah dekat, dia berseru tertahan, "O, kiranya Bwe-locianpwe!"
Ternyata orang ini ialah Han-bwe-koksu, Bwe-hiang-sian-ki, yakni guru Tong Yong-ling.
Sejak Tong Yong-ling meninggalkannya, ia merasakan hal itu sebagai suatu pukulan batin, tidur tak tenang, makan tak enak, hampir setiap saat memikirkan Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling, oleh karena pengkhianatan Tong Yong-ling disebabkan oleh Oh Keng-kiau, maka tanpa terasa iapun membenci Bok Ji-sia.
Sekarang demi menemukan Bok Ji-sia di sini, giginya gemertuk saking geramnya. Dengan mata merah dan kepalan tergenggam kencang ia menghampiri Ji-sia.
Ji-sia terkesiap, serunya, "Locianpwe, dinginkan dulu pikiranmu!"
"Hehe, kau penipu orang perempuan bukan?" teriak Bwe-hian-sian-ki pula.
Ji-sia menggeleng, "Belum pernah kulakukan perbuatan seperti itu, mana mungkin ...."
"Jika kau bukan penipu, mengapa muridku minggat dari sisiku ...?" teriak Bwe-hiang-sian-ki, "mengapa pula dia lari ke sana kemari bersamamu daripada menemani aku" Kalau kau tidak menipunya, mana bisa dia berbuat begini?"
Ji-sia tak dapat membantah, mukanya merah dan matanya memancarkan sinar kegusaran, serunya dengan tergagap,
"Kau ... kau ngaco belo!" Melihat pemuda itu malu, si nona berbaju biru tertawa cekikikan, ejeknya, "Dia bukan saja penipu, malahan seorang ahli perayu perempuan, hanya suka pada yang baru dan jemu pada yang lama!"
Dengan gusar Keng-kiau maju ke depan, bentaknya,
"Mengapa usil mulut?"
Segera Pek Sat mengadang di depannya, katanya, "Kau budak liar ini jangan ikut urusan."
"Kau sendiri budak liar!" hardik Keng-kiau gusar.
Mendadak ia melancarkan serangan aneh, tampaknya
mencengkeram dari depan, tahu-tahu tangan membalik dan menyambar dari samping.
Meski Pek Sat adalah dayang didikan Hek-liong Lojin, namun ia tak kenal kedahsyatan jurus serangan itu. Dia malah mengejek, "Huh, tak lebih cuma begini saja ..."
Siapa tahu, belum selesai ia berkata, mendadak ia menjerit kaget, punggungnya tahu-tahu sudah dicengkeram orang dan diangkat ke atas, seketika itu juga keseimbangan badannya hilang.
"Lepaskan aku!!" bentaknya dengan muka merah.
Ia berusaha meronta dengan sepenuh tenaga namun gagal untuk melepaskan diri dari cengkeraman Oh Keng-kiau.
Sambil tertawa dingin Keng-kiau mengancam,
"Apakah kau minta kubanting mampus dirimu!"
Mendadak Pek Bi melompat maju, bentaknya-"Lepaskan dia!"
"Kau-pun ingin coba?" ejek Keng-kiau sambil membawa Pek Sat mengelilingi arena satu kali.
Dalam keadaan begini, Pek Bi tak berani turun tangan dengan gegabah.
Melihat semua itu, diam-diam dia gelisah sekali. Ia menengok ke sana dengan harapan si nona berbaju biru itu akan memberi kisikan kepadanya cara menolong, siapa tahu nona berbaju biru itu tetap tunduk kepala dan asyik berpikir seperti seorang pendeta yang sedang bersemadi, seakan-akan kejadian itu sama sekali tak diketahuinya.
Akhirnya Pek Bi tak tahan, teriaknya, "Biar nonamu menghadapimu!"
Dia menerjang ke arah Oh Keng-kiau, telapak tangan kanan memukul sementara tangan kiri mencengkeram dada lawan.
Keng-kiau tertawa dingin, mendadak ia mengegos dengan enteng, dengan begitu Pek Bi menubruk tempat kosong.
Mendadak nona berbaju biru itu berseru, "Pukul Ki-ciap, sodok Siau-im!"
Waktu itu Pek Moay sedang kesulitan, mendengar seruan tersebut, semangatnya segera berkobar, segera ia lakukan petunjuk itu.
Keng-kiau terkesiap, ia tak berani meremehkan lawan lagi, tangan segera diangkat ke atas sambil membentak, "Pergi!"
Jeritan kaget bergema, tubuh Pek Sat melayang ke udara, meluncur ke atas Giam-in-thian.
Untung saja tenaga dalam Pek Sat lumayan, begitu terlepas dari tangan Oh Keng-kiau, buru-buru dia menekuk pinggang, ketika badannya hampir menyentuh atap rumah, tangannya segera menggaet emper rumah. Coba meleset sedikit saja niscaya batok kepalanya terbentur hancur.
Melihat Keng-kiau melemparkan tubuh cicinya ke udara, tanpa terasa Pek Bi menjerit kaget, tanpa menggubris kelihaian orang, ia menerjang maju
"Kaupun pergi saja!" bentak Keng-kiau.
Dengan jurus yang sama dia melemparkan tubuh Pek Bi ke udara.
Dengan perasaan dingin Pek Bi memejamkan, mata dau menanti kematian, untung deri atas rumah menyambar tiba sebuah tangan yang mencengkeram tubuhnya,
Terdengar Pek Sat mendesis, "Adikku, jangan takut!"
Mencorong sinar mata nona berbaju biru itu, terdengar ia berseru lantang, "Hebat sekali kepandaian nona, kau telah memberi pelajaran kepada kedua orang dayangku!"
"Ah, cuma hadiah kecil, tidak seberapa!" jawab Keng kiau.
Dia lantas bergeser mendekati Bok Ji-sia dan tidak memperdulikan legi si nona berbaju biru.
Sementara itu Bwe-hiang-tian-ki gusar sekali karena Bok Jisia bersikap kasar padanya, bentaknya penuh benci, "Anak keparat, kau terlalu!!"
Setelah beradu kekerasan dengan Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat tadi sehingga menyebabkan darah di dadanya bergolak, Ku Thian-gak tak berbicara lagi, waktu itu dia sudah selesai bersemadi, maka ia maju dan berkata "Nenek tua, kalau muridmu hilang, tak bisa kau salahkan Bok-siauhiap!"
Bwe-hiang-sian-ki tertawa getir, katanya, "Ku Thian-gak, lebih baik kau berdiri saja di situ, jangan kau anggap sedikit kepandaiaumu itu bisa menakuti orang."
"Haha, bagus! Kalau begitu akan kuminta pelajaran Bwe-sat-ciang yang tersohor itu!"
Telapak tangannya disilangkan di depan dada dan siap menunggu serangan Bwe-hiang-sian-ki, gaya semacam itu adalah gerak pembukaan Lo-han-kun aliran Siau-lim.
Ji-sia menjura kepada Ku Thian-gak, katanya "Cianpwe harap mundur, urusanku biar kuselesaikan sendiri, apalagi ia sudah datang mencariku, aku tak ingin merepotkan kalan."
"Tunggu dulu," tiba-tica Bwe-hiang-sian-ki berubah sikap,
"aku harus memberi hajaran dulu kepada tua bangka ini, kemudian membuat perhitungan denganmu."
-dw- Dapatkah Bok Ji-sia dan Oh Keng-kiau menuntut balas secara tuntas"
Bagaimana akhiran daripada cinta segi banyak antara si nona berbaju biru, Tong Yong-ling dan lain2 terhadap Bok Ji sia"
-ooo0dw0ooo- Jilid 26 Tamat "Huh, berdasarkan apa berani kau remehkan orang, nonamu ingin belajar kenal dulu padamu," jengek Keng-kiau.
'"Keparat, kau pingin mampus!" bentak Bwe-hiang-sian-ki.
Sekali berputar, bayangan tangan beterbangan, di mana angin pukulan menyambar terasa dingin nerasuk tulang.
Sejak memperoleh kitab pusaka wariiau Kim-teng Cinjin, seorang tokoh sakti dunia persilatan, sesungguhnya ilmu silat Oh Keng-kiau sudah mencapai puncaknya, akan tetapi, berhubung hatinya vvelag kasih, selama ini enggan melakukan pembunuhan.
Tapi kemarahannya malam ini telah memuncak, begitu turun tangan se&era jurus-jurus serangan aneh dilancarkan sehingga pandangan orang menjedi kabur.
Bwe-hiang-sian-ki sendiri termasuk tokoh kelas satu dalam dunia persilatan, sayang usianya sudah terlampau tua, otomatis kegesitannya juga di bawah Oh Keng-kiau, seielsh beberapa jurus serangssnya mengenai sasaran kosong, dia berpekik gusar.
Pertarungan bertambah sengit, untuk sesaat kedua pihak sukar menentukan menang kalah.
Sementara itu, Pek Sat dan Pek Bi yang dilemparkan Oh Keng-kiau ke atap rumah menjadi gusar juga, kedua orang saling memberi tanda sekejap, lalu melayang turun, buru-buru si nona berbaju biru memanggil mereka untuk mundur.
Mendadak terdengar seorang terbahak-bahak dan berseru,
"Sungguh pertarungan yang hebat, hari ini agaknya si nenek telah menemukan tandingannya!"
Kemudian terdengar seorang lain menyambung, "Jumlah yang hadir di sici tidak sedikit, bisa jadi peristiwa Bu-lim yang menggemparkan lagi."
Menyusul ucapan itu tampak Hian-thian-ko-ancu dan Pek-hoat-kui-po telah muncul dan langsung menerjang ke arah Oh Keng-kiau.
Sambil manutul tongkat pajangnya, Pek-hoat-kui-po Cin Say-kiau berseru lantang, "Anak perempuan, besar amat nyalimu, berani mengusik Bu-lim-jit-koat!"
Tongkat berputar membawa desing angin tajam langsung menghantam pergelangan tangan Oh Keng-kiau.
"Hei, kalian hendak main kerubut?" teriak Bok Ji-sia.
Ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian nya berputar
memancarkan cahaya, gemerincing nyaring, tahu-tahu tongkat Pek-hoat-kui-po gumpil sebagian.
Dengan gusar Bwe-hiang-sian-ki membentak, "Cin-lopocu, tidak ada urusanmu, lebih baik jangan ikut campar."
Kejut Pek-hoat-kui-po karena tongkat kesayangan rusak akibat beradu senjata dengan Bob Ji-sia
Dengan gusar dia menjawab, "Ruyung mestika Jian-kim-sl-hun-pian memang hebat, aku ingin minta petunjuk beberapa jurus lagi."
Sebagai salah seorang tokoh Bu-lim-jit-koai, sudah barang tentu ia memiliki ilmu silat yang hebat, rusaknya senjata andalan sama artinya merusak nama baiknya, pantas ia menjadi murka.
Ji-sia tidak pedu!i, ejeknya, "Sekalipun kalian maju bersama pun Siauya tidak akan mundur."
"Bagus, biar akupun ambil bagian!" teriak Hian-thian-koancu dengan gusar.
Mendadak ia menerobos ke samping Bok Ji-sia, dengan dua jari Ungsuog menutuk Ki-ti-hiat di tubuh Bok Ji-sia.
Sementara kelima jari tangan kiri terentang untuk
mencengkeram urat nadi musuh, sungguh serangan yang lihai.
Satu jurus dengan dua gerakan ini dilakukan dengan cepat, yang diancam adalah tempat mematikan.
Dalam kejutnya cepat Ji-sia memutar badan, telapak tangan kiri balik memotong pergelangan tangan Hian-thian-koancu,
Waktu itu, Pek-hoat-kui-po CiD Say-kiau melihat ada kesempatan, sambil membentak tongkat segera menyodok ke lambung Bok Ji-sia.
Namun Ji sia sempat putar Jian-kim-si-hun-pian sehingga membelit tongkat lawan. menyusul terdengar bentakan menggelegar, "Naik!"
Pek-hoat-kui-po Cin Say-kiau merasakan pergelangan tangan mengencang, lalu terlepas, tongkat yang sudah 20
tahun mengikuti dirinya itu mencelat ke udara.
Tenaga dalam S6hebat itu sungguh menggetarkan
perasaan orang, sampai nona berbaju biru diam-diam juga mengangguk.
Setelah menerbangkan tongkat lawan, Ji-sia tiriak
menghentikan gerakannya, Jian-kim-si-hun-pian sekaligus menyambar ke arah Pek-hoat-kui-po Cin Say-kiau.
Hian-thian-koancu terperanjat, cepat serunya, "Hei, nenek, lekas mundur!"
Berbareng iapun menubruk maju, jarinya menutuk dan sikut menumbuk, menyusu! kaki kirinya menendang Toa-hek-hiat dibawah pusar lawan.
Ji-sia bersiul nyaring, dia enggan melukai musuh, sambil menarik kembali senjatanya, ia meninggalkan Pek-hoat-kui-po dan khusus hanya menyerang Hian-thian-koancu.
Terkejut Pek-hoat-kui-po Cin Say-kiau hingga keluar keringat dingin, coba kalau Hian-thian-koancu tidak menolong tepat pada waktunya, mungkin ia sudah binasa.
Sambil meraung murka, dengan nekat ia menerjang msju lagi.
Pertarungan sengit terjadi lagi, dalam kedudukan sebagai dua jago dalam Bu-lim-jit-koat, kenyataannya mereka tak mampu menundukkan seorang pemuda, hal ini benar-benar kejadian yang memalukan.
Tiba- tiba ada orang bersuara tertahan, tampak
Bwe-hiang sian-ki terduduk di tanah deugan wajah pucat, tapi dengan cepat dia melompat banguu lagi,, dengan napas terengah dia berteriak, "Budak keparat, hari ini nyonya besar benat-benar jatuh di tanganmu!"
Oh Keng-kiau berdiri dengan wajah cerah, sambil tertawa katanya, "Habis, kau tak tahu diri dan berani mengusir nonamu, setelah mendapat pelajaran, salahkan siapa lagi?"
Bwe-hiang-sian-ki sama sekali tidak mengira seorang nona cilik yang baru berumur dua puluh tahunan memiliki tenaga dalam sedemikian sempurna, setelah termenung sebentar wajahnya kelihatan bimbang.
Akhirnya dia menegur dengan suara dingin, "Kau murid siapa"!"
"Dia putri Thian-seng-pocu!" sela si nona berbaju biru itu.
"Ah, tidak mungkin" kata Bwe-biang-tian-ki tidak percaya,
"sekalipun Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak terhitung pemimpin Bu-lim-jit-koai, kungfunya hanya seimbang di antara kita meski tenaga dalamnya memang setingkat lebih tinggi dari pada kita. Dangan kemampuannya itu mustahil dia bisa mendidik seorang putri sehebat ini, lagipula mati-hidup Oh Kay-thian juga tidak jelas, dari mana timbul anaknya?"
"Hehe, memangnya kau serba tahu segala urusan di dunia ini?" ejek Keng-kiau.
"Budak hina, bila tidak kubunuhmu hari ini, percuma aku hidup selama enam puluh tahun," bentak Bwe-hiang-sian-ki murka.
Kembali ia menerjang ke depan dan beruntun melancarkan beberapa kali pukulan, jurus serangan Bwe-sat-ciang yang lihai.
"Kau cari kematian sendiri, jangan salahkan aku lagi!"
bentak Keng-kiau sambil mengegos.
"Berhentil" mendadak dari luar arena berkumandang suara bentakan.
Si nona terbaju biru berpaling sambil tertawa, katanya,
"Bagus sekali, memang sudah kuduga kalian akan tiba di sini!"
Tampak Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dan Thian-kang-
kiam Oh Ku-gwat berjalan paling depan, di belakangnya mengikut Mo-in-jiu Kok Siau-thian dan Leng-hong-siau serta dua puluh empat orang lelaki berbaju hitam.
Begitu mendengar suara bentakan tadi, Ji-sia juga tabu siapa yang datang, dia segera melompat keluar arena, sementara Hian-thian-koancu dan Pek-hoat-kui-po juga manfaatkan kesempatan itu untuk mengundurkan diri.
Hati Keng-kiau bergetar menyaksikan kedua paman datang semua kesitu, timbul perasaan tak tenang.
Perlu diketahui, walaupun Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian adalah pembunuh ibunya, namun sejak kecil Keng-kiau dibesarkan oleh Oh Kay-thian, sehingga mau-tak-mau sudah ada ikatan batin.
Dia ingin turun tangan, namun perasaannya terlampau lemah, seketika tak tahu apa yang mesti dilakukannya, sambil menghela napas dia hanya berdiri di samping Bok Ji-sia.
"Jangan gugup Sumoay," desis Ji-sia, "mungkin kita harus bertarung sengit malam ini."
"Menurut dugaanmu apa yang hendak dilakukan Samsiok (paman ketiga)?" tanya Keng-kiau.
"Apa lagi kalau bukan berusaha melenyapkan kita dan menghilangkan bibit bencana di kemudian haril"
Dalam pada itu, Seng-gwat-kiam Oh Khay-thian lintas mengangguk terhadap setiap orang, terutama waktu melihat Ji-sia dan Keng-kiau, dia lantas tersenyum kepada kedua orang itu.
Entah senyuman permusuhan atau senyum persahabatan"
Tiada orang yang tahu.
"Nona, sudah lama sampai di sini?" sapa Oh Khay-thian kepada si nona berbaju biru
"Ah, cuma selangkah lebih duluan daripada dirimu," sahut si nona dingin.
Seng-gwat-kiam tertawa, kttika melihat Bwe-hiang-sian-ki juga berada di situ, air mukanya agak berubah, tapi segera tegurnya sambil bergelak, "Aha, nenek, kenapa tampangmu jadi masam begitu" Memangnya baru saja berkelahi dengan orang?"
"Hm, kenapa" Apakah kaupun ingin membonceng?" dengus Bwe-hiang-sian-ki.
"Ah, masa begitu?" seru Oh Kay-thian. "kita telah berusia lanjut, akupun bukan manusia macam itu, ilmu pukulan Bwe-sat-ciangmu menjagoi dunia penilatan, siapa yang berani mengusik dirimu?"
Lalu dia berpaling ke arah Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak dan berseru lagi dengan tertawa "Ha ha, tak kusangka di sini masih ada seorang jago lagi?"
"Tak perlu menjilat pantat, aku tidak suka permainan semacam Ini!" jawab Ku Thian-gak dengan mendongkol.
Siapa saja tentu akan marah mendengar perkataan itu, tapi Oh Kay-thian hari ini benar-benar sabar, dia cuma tertawa dan tidak menghiraukan ucapan tersebut.
Sikapnya yang luar biasa ini sama sekali bertentangan dengan sikap biasanya, semua orang menjadi curiga.
Oh Kay-thian lantas berpaling ke arah Hian-thian-koancu dan Pek-hoat-kui-po, sapanya, "Kalian berdua pasti sangat lelah, barusan kalian bergebrak dengan siapa?" '
Siapa pun tahu ucapan tersebut sangat licin, nama Bu-lim-jit-koat amat termashur, jika Hian-thian-koancu dan Pek-hoat-kui-po gagal mengalahkan Bok Ji-sia, sungguh hal ini amat memalukan mereka.
Dengan air muka bsrubah Hian-thian-koancu lantas
berseru. "Oh-losarn, kau benar-benar lihai!"
Pek-hoat-kui-po juga lantas menjengek, "Ku-percaya Oh losam sendiri belum tentu bisa menandingi kelihaian iawan . .
. ." Air muka Oh Kay-thian agak berubah, tapi dengan cepat pulih kembali seperti biasa, sambil mengangkat bahu ia tertawa dan memperlihatkan sikap apa boleh buat.
"Aku Oh losam bukan jago nomor satu di kolong langit yang sanggup mengalahkan setiap jago di dunia ini," ucapnya sambil tersenyum, "Al, sebetulnya siapakah jago berkepandaian selihai itu yang sanggup mengalahkan dua tokoh kelas satu?"
"Itu dia orangnya!" seru Pek-hoat-kui-po ?ambil menuding Bok Ji-sia.
Pikiran orang perempuan memang picik, Pek-huat-kui-po masih penasaran karena dikalahkan Bok Ji-sia, maka timbul
ingatannya akan mengadu domba antara Oh Kay-thian dengan Bok Ji sia.
Oh Kay-thian berlagak merasa kaget, serunya, "Wah, kalau begitu kepandaian Bok-siauhiap boleh dibilang nomor satu di dunia!"
Kata-katanya amat menyindir dan tak sedap didengar, Bok Ji-sia tahu orang bertujuan mengejeknya.
Maka sambil tertawa dingin jawabnya, "Ah, masa bisa lebih hebat daripada Seng-gwat-kiammu!"
Oh Kay-thian tersenyum, dia lantas berpaling ke arah Oh Keng-kiau, tegurnya, "Anak Kiau, selama berapa hari ini kau ke mana saja"'
Rasa benci Keng-kiau kepadanya sudah merasuk tulang sungsum, jengeknya, "Peduli apa denganmu?"
Air muka Oh Kay-thian berubah hebat, katanya, "Hei, makin menginjak dewasa kau jadi makin tak tahu aturan" Masa berani kurang ajar kepada ayahmu sendiri" Orang yang tidak tahu pasti mengira aku yang salah mendidik dirimu?"
Keng-kiau sangat gusar, "Siapa bilang aku putrimu" Jangan sembarangan omongl"
Oh Ku-gwat yang berada di samping menjadi gemas,
semaya, "Jite, tak usah banyak bicara, bereskan dia saja!"
Rupanya ia gusar sekali karena terdesak oleh gadis itu tadi, maka kedatangannya ini adalah untuk membalas dendam sekaligus melenyapkan bibit bencana di kemudian hari,
"Anak Kiau," kembali Oh Kay-thian berseru dengan menghela napas, "apakah aku ayahmu atau bukan, yang pasti selama belasan tahun ini aku telah memelihara dan
mendidikmu dengan baik, tahukah kau karena apa" Apa lagi kalau bukan mengharapkan kau jadi orang yang berguna dan menjayakan nama baik nenek moyangmu" Sekarang, tentu
nya telah kau dengarkan perkataan ibumu sehingga
membenciku setengah mati padahal semua ini hanya salah paham belaka!"
Kata katanya cukup mengharukan sehingga pedih hati Keng-kiau. meski orang ini berdosa besar, tapi sesungguhnya amat menyayangi gadis ini.
Air mata Keng-kiau bercucuran, katanya kemudian,
"Bagaimanapun menariknya ucapanmu, selama hidupku tak mau psrcaya lagi kepadamu, hubungan antara kita telah putus, bersiaplah, segera kulancarkan seranganl"
Sambil berkata dia lantas mengambil ancang-ancang, tenaga dalam dihimpun pada lelapak tangannya.
Oh Khay-thian tidak menanggapi tantangan tersebut, malahan sambil bergendong tangan ia berkata, "Bila kau tidak senang, baiklah, boleh kau-pukul diriku beberapa kali, cuma sehabis memukul nanti kau harus, ikut pulang ke Thian-seng-po."
Keng-kiau melengak, ia tak menyangka Oh Kay-thian
mandah diserang, meski dendam hatinya, namun ia enggan menghajar seorang yang tidak membalas.
"Jangan kau pikir begitu lagi," serunya kemudian sambil tertawa seram, "kalau bisa, aku justeru ingin meratakan Thian-seng-po dengan permukaan tanah!"
"Kau benar-benar anak yang tak berbakti!" bentak Oh Kay-thian dengan air muka berubah.
Keng-kiau tertawa pedih, "Thian-seng-po adalah lambang kejahatan, setiap orang yang punya rasa keadilan tentu ingin memusnahkannya, aku tak lebih hanya seorang penggerak yang lebih giat saja."
Maklumlah, sejak Thian-seng-po jatuh ke tangan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian. sebagian besar kejahatan yang
terjadi dalam dunia persilatan selalu melibatkan pihak Thian-seng-po.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menganggap Thian-seng-po sebagai lambang kehidupannya, bila benteng itu musnah berarti orangnya turut tewas, tak heran kalau air mukanya lantas berubah demi mendengar ucapan Keng-kiau tadi.
la tahu tiada kompromi lagi dengan Oh Keng-kiau, m.nka dengan gusar bentaknya, "Anak Kiau, kau kira tak berani kubunuhmu?"
"Hm, tentu saja kauherani, perbuatan apapun berani kaulakukan, sudah lama kutahu bakal datang hari seperti ini,"
jengek Keng-kiau, "cuma, perlu kuberitahukan padamu, tiada sesuatu di dunia ini yang begitu sederhana seperti apa yang kau bayangkan!'.
Oh Kay-thian memandang sekejap sekeliling arena, lalu katanya, "Saudara sekalian, persoalan ini adalan masalah rumah tangga kami sendiri, kuharap orang yang tiada hubungannya dengan Thian-Seng po janganlah ikut campur, kalau tidak, terpaksa akupun tidak sungkan lagi."
Peringatan ini setengahnya ditujukan kepada semua orang, setengahnya lagi khusus ditujukan ke Keng-kiau dan Ji-sia, semua orang juga tahu hal ini, sudah barang tentu mereka enggan mencampuri urusan pribadi orang lain.
Bok Ji-sia lantas tertawa dmgiu, katanya, "Jangan kau coba mengikat orang dengan perkataanmu, yang jelas tuan muda takkan termakan oleh ucapanmu."
"Hm, sekalipun kau tak ikut campur juga tak akan kuampuni dirimu!" jengek Oh Kay thian.


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak terdengar bentakan menggeledek, Oh Ku-gwat melolos pedangnya, dengan jurus Kiam-hai-keng-hun (lautan pedang menggetar sukma) dia terjang Bok Ji-sia.
"Bagus!" bentak Ji-sia.
Jian-kim-si-hun-pian itu diayunkan ke depan dengan jurus Boan-thian-hocg-piau (angin puyuh menderu di angkasa), diiringi cahaya emas dan desing tajam ia sambut serangan Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian memandang sekejap ke-24
jago Thian-seng-po, katanya, "Perhatikan, jangan sampai ada seorang pun yang lolos!"
"Suheng, mari kita labrak mereka!" seru Keng-kiau, segera ia menerjang Seng-gwat-kiam Oh Kay thian.
"Sumoay, kalau tidak membunuh mereka berdua hari ini kita bersumpah takkan berhentil" bentak Ji-sia.
Pertempuran sengit segera berkobar.
"Samsiok, hari ini keponakanmu terpaksa ber-tindak kurangajar kepadamu!" teriak Keng-kiau terhadap Oh Kay-thian, "
Agaknya Oh Kay-thian juga tahu Keng-kiau tidak mudah ditundukkan, apalagi dia telah membunuh orang tuanya, tentu nona itu tak akan mengampuninya begitu saja.
Satu-satunya jalan sekarang adalah berusaha
memusnahkan Keng-kiau dan Ji-sia, sebab bila kedua anak itu tetap hidup di dunia ini, suatu ketika pasti akan merupakan bibit bencana baginya.
Setelah mengambil keputusan, seketika juga dia melupakan hubungan darah antara mereka, ia mendongakkan kepala dan tertawa seram, suaranya keras menggetar rumah di sekitar tempat itu.
Setelah berhenti tertawa, dia berseru "Kau-manusia yang lupa budi, hari ini harus kulenyap-kan dirimu dari muka bumi."
Selesai berkata, telapak tangan terangkat dan memapak ke depan, kontan ia hendak menutuk Khi-hay-hiat di tubuh Oh Keng-kiau, sementara kelima jari tangan lain menabas
pinggang musuh, dua jurus dilancarkan bersama dengan cepat.
Cepat Keng-kiau menggeser ke samping, telapak tangan kanan balas menghantam.
Seng-gwat kiam Oh Kay thian sudah lama berkumpul
dengan Keng-kiau, terhadap ilmu silatnya boleh dibilang sangat apal, ia tertawa, serunya, "Hehehe, rupanya kau ingin mampus!"
Dengan menambahi tenaga pukulannya ia sambut
hantaman si nona.
Ia tidak tahu Oh Keng kiau telah mempelajari ilmu maha sakti peninggalan Kim teng Cinjin, kepandaiannya sekarang sudah jauh melebihi apa yang diketahuinya. Andaikata ia tahu sudah pasti takkan berani bertindak gegabah.
Oh Keng-kiau sendiri juga terkesiap menyaksikan
kehebatan tenaga pukulan Oh Kay-thian, dengan kening berkerut segera bentaknya, "Mampuslah kau sendiri!"
Dengan jurus Hek -liong kiam-tau (naga hitam
mengangguk kepala) ia menangkis sambil menabas ke bawah, inilah ilmu sakti Kim-teng-pit-kip yang tidak menimbulkan suara dan tanpa berwujud.
Oh Kay thian kaget oleh serangan yang tidak menimbulkan suara ini, menyusul ia tambah terperanjat dan hendak menarik kembali serangannya, namun tak sempat lagi.
"Blang," benturan keras terjadi. Oh Kay-thian merasakan benaknya mendengung, darah bergolak, beruntun dia mundur beberapa langkah sebelum berdiri tegak lagi.
Setelah berhasil memaksa mundur Seng-gwat-kiam Oh
Kay-thian, Keng kiau merasakan lengannya menjadi kaku, dengan wajah dingin dia membentak lagi, "Ayo, sambut pula pukulanku . . . ."
Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar jeritan Oh Ku-gwat.
"Orang she Oh," kedengaran Ji sia bersera, "hari ini adalah hari terakhir kalian bersaudara!"
Mendadak Thian-seng-kiam Oh Ku-gwat membentak gusar;
"Maju semual"
Ke 24 orang jago Thian-seng-po yang berada di sekeliling tempat itu serentak memancarkan diri, bayangan pedang gemerdep dari empat penjuru dan serentak mengurung Ji-sia.
"Omintohud!" tiba-tiba bergema suara pujian kepada sang Budha yang nyaring, tahu-tahu It-hu Taysu dari Siau lim-pai berjalan masuk.
Dengan cepat Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak
memburu maju sambil berseru, "Taysu, sudah lama Tecu menanti di sini!"
It-hu Taysu merangkap tangannya di depan dada seraya berkata, "Kau berasai dari Siau-lim-pai, setiap saat selalu memikirkan kepeutingan Siau-iim-dari sini dapat diketahui betapa mulia hatimu. Begitu memperoleh kabar darimu, segera kuberangkat ke sini"
Sesudah berhenti sebentar, lalu bentaknya, "Harap Oh-sicu menghentikan serangan dulu, ada persoalan hendak
kubicarakan!"
Begitu mendengar kehadiran It hu Taysu dari Siau-Iim-si, air muka Thian-seng-kiam Oh Ku-gwat berubah bebat, buru-buru dia melompat mundur, sementara pertarungan di sebelah lain pun berhenti.
Hanya Oh Keng kiau yang dipengaruhi kobaran rasa
dssdam yang tak mau menghentikan serangannya, Seng-gwat-kiam Ob Kay-thian berniat mendesaknya mundur, namun hal ini bukan pekerjaan gampang, saking jengkelnya dia berpekik berulang kali.
Dengan kepala tertunduk dan mata setengah terpejam, It-hu Taysu berseru, "Lisieu, mengingat padaku bersediakah kau
. . ., "Dendam kesumat lebih dalam daripada lautan ,. ." belum habis perkataan Keng kiau, segera ia membentak nyaring, kembali ia melancarkan beberapa kali pukulan.
Karena didesak berulang kali, Seng gwat-kiam Oh Kay-thian berteriak gusar, "Anak Kiau, aku hanya mengalah dan bukan berarti takut padamu kalau tak berperasaan, terpaksa aku turun tangan keji!"
"Criing!" denting nyaring bergema, cahaya berkilauan terpancar tampaknya iblis tua yang jarang rnempergudakan pedangnya benar-benar jadi kalap.
Melihat lawannya melolos pedang Keng-kiau terkesiap, sambil tertawa seram pukulannya segera berubah, angin pukulan mtnderu-deru.
Dalam waktu singkat bayangan ped?ng dan telapak tangan memenuhi udara, dua sosok bayangan aii hitam saling gempur dengan hebatuys.
Siau-yau-sian hong kok Ku Thien-gak merasakan tekad Oh Keng-kiau untuk mati, ia tahu hanya Bok Ji-sia saja yang mampu menghentikan serangan Oh Keng-kiau.
Maka dia lantas berpaling ke arah Ji-sia sembari berseru,
"Bok-siauhiap, kau . . .."
Ji-sia paham maksudnya, sebelum selcrai ucapannya, segera dia berseru, "Jangan kuatir Cianpwe, akan kupanggil kembali Sumoy!"
"Huh, Sumoy . . mesra amat panggilannya!" ejek si nona berbaju biru sambil tertawa dingin. Nada perkataannya mengandung rasa cemburu.
Dengan gemas Ji-sia melototnya sekejap, ia tak tahu kalau gadis itu secara diam-diam telah mencintainya"
Setelah melotot gusar pada nona berbaju biru, Ji sia segera berpaling dan membentak. "Sumoay, kembali!"
Ia tidak memperhatikan sorot mata si nona berbaju biru ketika itu, gadis yarg serba hebat itu sedang melelehkan air mata.
Pek Bi terperanjat menyaksikan ha! itu, segera tegurnya.
"Siocia, kenapa kau?"
"Ti . . . tidak apa-apa," sahut si nona berbaju biru.
Peristiwa ini meliputi cinta asmara yang rumit, dalam hati dia sangat mencintai Bok Ji-sia, tapi ada kalanya rasa benci melebihi rasa cintanya, membuat dia kehilangan kesempatan untuk dicinta.
Dia selulu terombang-ambing oleh perasaan "cinta padanya atau benci padanya?", jika tidak berjumpa ia merasa rindu dan ingin bertemu, tapi setelah bersua, iapun membencinya setengah mati.
Dalam pada itu, meski Oh Keng-kiau segan untuk mundur setengah jalan, akan tetapi setelah mendengar teriakan Suhengnya itu, sesudah ragu sejenak akhirnya dia melompat mundur sambil berkata dengan dingin, "Baik. akan kubiarkan kau hidup satu jam lagi, tapi jangan harap meloloskan diri malam ini"
"Tak usah takabur anak Kiau. belum tentu pamanmu tak mampu menandingi dirimul" jengek Oh Kay-thian ketus.
Oh Keng-kiau tertawa dingin, dia lantas melompat ke depan It-hu, katanya sambil menjura, "Tolong tanya Taysu ada urusan apa kan menghentikan pertarunganku?"
It-hu membalas hormat, "Omintohud, harap Lisicu jangan salah paham, adapun kedatanganku malam ini adalah lantaran
urusan perguruan kami, dalam peristiwa ini bukan hanya perguruan kami saja yang dicelakai, bahkan berbagai perguruan lain juga mengalami peristiwa yang sama!"
"Taysu, apakah telah terjadi sesuatu atas Siau-lim-si?" seru Bok Ji sia terperanjat.
Bukan cuma Bok Ji-sia saja yang terperanjat oleh perkataan It hu Taysu, bahkan kawanan jago lain diam-diam ikut merasa kaget.
Eetsiah ditanya oleh Ji sia, air muka Ii-hu Taysu lantas berubah menjadi amat sedih, katanya dengan berduka, "Kalau dibicarakan, peristiwa ini sungguh menyedihkan, tahukah kalian apa sebabnya hampir dua puluh tahun lamanya orang-orang kesembilan perguruan besar tak pernah muncul dalam dunia persilatan" Mengapa pula selama ini kami hanya mengurusi persoalan sendiri tanpa ikut campur urusan orang lain . . . ."
Suaranya menggetarkan perasaan orang seakan-akan
menahan rasa sedih, seketika sinar mata semua orang tertuju pada It-hu Taysu dengan tercengang.
It-hu tersenyum pedih, katanya. "Semua ini adalah akibat lenyapnya kesembilan cangbunjin kami, secara diam-diam segenap anak murid kesembilan perguruan mencari jejak ketuanya, namun sama sekali tiada kabar beiitanya. Peristiwa ini telah berlalu belasan tahun, semua orang seolah-olah telah melupakan peristiwa ini, tapi kami justeru selalu
memperhatikan dengan saksama, akhirnya kami berhasil mengetahui peristiwa yang penuh diliputi suka duka ini . . .."
Mengungkap kembali kejadian lama tersebut, Jl-sia jadi teringat pada perjumpaannya dengan kesembilan ketua perguruan besar dalam Thian-seng-po, wajah kesembilan orarg kakek menjelang ajalnya itupun terbayang kembali.
Sampai di sini, It-hu Taysu sengaja berhenti bicara, tiba-tiba sorot matanya yang tajam beralih ke wajah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dan Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat.
Ketika mendengar It-hu mengungkap peristiwa tersebut, air muka berubah, apalagi pendeta itu menatap ke arah mereka, tambah kebat-kebit hati mereka.
"Hei, mengapa tidak kau teruskan ceritamu!" dengan tak sabar Pek-hoa-kui-po Cin Say-kiau berteriak.
"Akhirnya, murid kami Ku Thian-gak berhasil menyingkap rahasia ini di dalam Thian-seng-po, setelah melakukan penyelidikan selama beberapa bulan, diketahuilah pembunuh keji itu adalah . .. . "
"Taysu seorang pendeta agung, kenapa, kau-tuduh kesembilan ketua perguruan besar itu berada di dalam Thian-seng-po kami!" bentak Oh Kay-thian.
"Masa kau berani menyangkal?" bentak It-hu Taysu dengan gusar.
Segera Oh Ku-gwat maju ke muka, katanya, "Hendaknya Taysu jangan sembarang memfitnah orang, tuduhan harus disertai dengan bukti, kalau tidak, sekalipun Thian-seng-po cuma suatu perkampungan kecil, tentu kami akan menuntut keadilan kepada Taysu."
"Omintohud, orang yang beragama tak pernah bohong, mana mungkin sembarangan berbicara." kata It-hu.
Sedapatnya Oh-Kay-thian berlagak tenang, katanya,
"Peristiwa ini menyangkut nama baik Thian-seng-po, maka ingin kutuntut keadilan pada Taysu, berikan bukti-buktinya.
Kalau tidak, terpaksa kami bersaudara akan menahan Taysu di sini, akan kami lepaskan setelah ketua Siau-lim-pai datang minta maaf, kecuali itu rasanya tiada jalan kedua lagi."
"Omitohud! Bila Oh-sicu menginginkan bukti, sudah barang tentu tak bisa kuberikan sekarang juga, tapi Ku Thian-gak
telah menyaksikan sendiri tulang belulang kesembilan ketua perguruan besar tersimpan dalam penjara bawah tanah benteng kapan ____"
Oh Kay-thian tertawa dingin, katanya, "Ku Thian-gak adalah orang kalian dan musuh kami, tentu saja dia sengaja menodai nama baik kami, ucapannya tak dapat dipercaya . .."
Siau-yau-siang-hong-kek Ku Thian-gak naik pitam,
bentaknya dengan marah, "Jangan kau samakan aku dengan dirimu yang berhati busuk ...."
"Thian-gak, jangan kasar, ayo mundurl" bentak It-hu Taysu.
Kemudian katanya lagi,' Ucapan Oh-sicu memang benar, Ku Thian-gak memang anak murid kami, musuh besar kalian, namun siapa benar dan siapa salah akhirnya pasti akan ketahuan. Walaupun di. dunia ini banyak orang jahat, namun orang baik tetap lebih banyak daripada orang jahat, tentu ada yang akan membela keadilan dan kebenaran."
Diam-diam Oh Kay-thian terkesiap, serunya kemundian,
"Apakah kedatangan Taysu malam iri khusus untuk urusan ini?"
"Benar!" jawab It-hu tegas, "bukan hanya kami saja, perguruan yang lain pun segera akan datang kemari!"
Tiba-tiba terdengar orang berseru lantang, "Bu-tong-pai tiba!"
Tampak Ki sian-it-to dari Bu-tong-pai dengaa memimpin kedelapan orang muridnya masuk ke dalam ruangan Giam-Iotian.
Begitu Bu-tong-pai muncul di situ, suasana berubah menjadi tegang, terutama Ob Ku gwat, air mukanya berubah hebat, buru-buru ia memberi tanda kepada kedua puluh empat jago Thian-seng-po.
Ki-sian-it-to lantas meojura kepada It-hu tambil menyapa,
"Taysu, sudah kau umumkan persoalan ini?"
"Omitohud, kawan dari aliran lain belum tiba, tak berani kuputuskan sendiri!"
"Ah, tidak menjadi soal, Taysu sudah cukup mewakili kesembilan perguruan besar!"
Tiba-tiba nona berbaju biru itu melangkah maju, lalu berkata, "Ramai benar tempat ini, tampaknya kesembilan perguruan besar kalian akan datang semua."
Ki-sian-it-to tersenyum getir, "Urusan ini menyangkut kesembilan perguruan kami, tentu saja kami harus berkumpul di sini!"
Melihat orang yang berdatangan makin banyak, Oh Kay-thian sadar bila sekarang tidak pergi, sulitlah untuk kabur bila kesembilan perguruan telah berkumpul.
Segera Oh Kay-thian menarik ujung baju Oh Ku-gwat dan.
berkata, "Toako tak perlu banyak bicara lagi, ayo kita pergi, untuk apa bersilat lidah dengan mereka!"
"Mau kabur?" jengek Oh Keng-kiau dengan gusar, "masa segampang itu?"
"Anak Kiau, kau sengaja menyusahkan empek-mu"!" tanya Oh Kay-thian dengan pedih.
Oh Keng-kiau menggeleng, ucapnya, "Ingin kutanya bagaimanakah kematian ibuku" Bagaimana pula kematian ayahku" Seandainya kaupunya perataan, tentu takkan kau celakai kakak kandungmu sendiri dan menodai istrinya."
Bok Ji-sia menarik mundur Oh Keng-kiau, bisiknya, "Sabar Sumoay, jangan terlampau emosi, hari ini dia takkan lolos dari tuntutan keadilan!"
Sementara itu Cuan-sin Loni dari Go-bi-pai dengan
memimpin kedelapan orang muridnya dan Tiong-ciu-it-kiam dari Tiam-cong-pai juga berdatangan.
Tak beberapa lama To-liong-kek dari Khor.g-tong-pai dan Cing-sia-pai juga datang.
Dalam waktu singkat hampir seluruh inti kekuatan dunia persilatan TioDggoan telah berkumpul, rupanya mereka sudah mempunyai persetujuan secara diam-diam, dengan cepat segenap jago Thian-sang-po terkepung di tengah.
Terkejut Oh Kay-thian, ia tahu lebih banyak bahaya daripada selamat baginya hari ini, untuk kabur jelag bukan hal yang gampang. Sedapatnya ia bersikap tenang, katanya,
"Kalian datang untuk mencariku?"
"Hmni, perbuatan yang kaulakukan tentu pula kau sendiri paling tahu!" dengus Tiong-ciu-it-kiam.
"Apa yang kulakukan?" bentak Oh Kay-thia?.
"Sembilan nyawa dari kesembilan Ciangbunjin kami bukankah mati ditanganmu?"
"Sebaiknya mengaku saja kesalahanmu itu!" kata To-liong-kek dari Khong-tong-pay sambil maju ke depan.
"Kalian semua ngaco-belol" teriak Oh Ku-gwat dengan bermandi keringat dingin. "Bukan kami yang melakukan perbuatan itu."
"Kalau bukan kalian, mengapa kesembilan ketua kami bisa mati di dalam Thian-seng-po?" tanya Cuan-sin Loni.
Oh Ku-gwat menjadi gelagapan, akhirnya ia berkata,
"Semua itu perbuatan Jite kami Oh Kay-gak!"
Mendadak Bok Ji-sia berteriak, "Betul, hal itu memang perbuatan Suhuku, tapi kalau dibicarakan dari awal, maka semua ini adalah rencana busuk kalian berdua . . . ."
"Nah, masa kalian tetap tidak mengaku!" seru Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai.
"Omong kosong!" bentak Oh Ku-gwat "kami tak pernah melakukannya, mengapa harus mengaku."
Suara tertawa ejek segera berkumandang dari empat penjuru, meski mendongkol, sadarlah mereka bahwa keadaan sangat tidak menguntungkan.
Mendadak Tlong-ciu-it-kian melompat maju sambil
membentak, "Kalian hendak bunuh diri atau menunggu kami yang turun tangan?"
Sambil melolos pedang andalan Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat menyeringai, "Hehe, apa kaukira aku dapat digertak?"
Berbareng ia memberi tanda, ke-24 jago Thian-seng-po juga segera melolos pedang dan menyebar ke empat penjuru dan siap tempur.
Tiong-ciu-it-kiam mendongakkan kepala dan berseru,
"Pembunuh berada di depan mata, apa yang kalian tunggu lagi?"
Para jago dari pelbagai aliran memang tak sadar menunggu lagi, penyelidikan dua puluh tahun baru mendatangkan hasil, setelah mengetahui siapakah pembunuhnya, serentak mereka mendesak maju dengan gusar.
"Apakah kalian hendak membunuh kami berdua?" tanya Oh Kay-thian sambil menatap sekejap sekeliling.
"Kami hendak membalaskan dendam Ciang-bunjin!"
serentak para jago menyahut,
Pelahan Oh Kay-thian menghampiri It-hu Taysu.
Suasana menjadi tegang, semua orang mengawasi Oh.
Kay-thian tanpa berkedip mereka menduga inilah perlawanan yang terakhir menjelang ke-matiannya.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian berhenti di depan It-hu, lalu berkata, "Taysu seorang pendeta yang mengutamakan welas asih?"
"Apakah Oh-s'cu telah menyesali perbuatanmu masa lalu dan bertekad bertobat serta kambali ke jalan yang benar?"
Seng-gwat kiam Oh Kay-thian menggeleng kepala, katanya,
"Bukan, aku ingin mengajukan suatu permohonan "
Diam diam It-hu menghela napas, ujarnya,
'Katakanlah, asal permintaanmu tidak kelewst batas, sudah pasti ?kan kupenuhi."
Oh Kay-thian tersenyum getir, katanya, "Aku hanya mengharapkan mati dengan tubuh yang utuh, sedang orang yang boleh turun tangan juga hanya terbatas keponakan perempuanku Oh Keng-kiau seorang, terus terang aku merasa menyesal sekali terhadap Jikoku Ob Kay-gak dan isterinya, Bwe-Siau-leng!"
Oh Keng-kiau merasa sedih dan terharu, mendadak dia lari ke depan dan berseru sambil menangis, "Paman!"
Betapapun pendidikan selama delapan belas tahun
merupakan budi yang besar, kendatipun Oh Keng-kiau membencinya, mau-tak-mau juga merasa berterima kasih kepadanya.
"Dapatkah aku membunuhnya" Dapatkah aku
membunuhnya?" demikian ia menjadi ragu.
Sambil meedekap di bahu Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, tak tahan lagi Keng-kiau menangis tersedu-sedu .
Mendadak Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat melompat ke
depan sambil tertawa seram, serunya, "Budak yang tak kenal budi, tak perlu pura-pura berbelas kasihani"
Tiba-tiba pedangnya menusuk ke punggung Oh Keng-kiau.
"Kau cari mampus?" bentak Ji-sia dengan gusar. Cahaya emas berkelebat, terdengar suara gerangan tertahan, tangan Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat memegangi ruyung Jian-kim-si-hun-pian yang menembus perutnya, setelah berpekik ngeri, ia terguling di atas tanah dan binasa.
Segenap jago mengawasi tubuh yang terkapar itu, tak seorang pun yacg mengeluarkan suara. Hanya It-hu Taysu yang bergumam tiada hentinya" ''OmitohudI Siancay, Siancay, syahdui . . .."
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian memandang sekejap mayat Oh Ku-gwat, katanya kemudian dengan tersenyum pedih,
"Buah kejahatan! Karma, inilah karma!"
Sehabis berkata kembali dia tertawa panjang, siapa pun tidak tahu apa yang ditertawakannya dan apa' yang akan dilakukannya.
"Sungguh perbuatan yang amat keji!" tiba tiba terdengar seorang membentak nyaring.
Ji-sia menjadi gusar, ia berpaling dan bentaknya, "Inilah akibat dari perbuatan sendiiri, kenapa menyalahkan aku!"
"Kau sembarangtn mencelakai orang, ini menandakan kau tak berperasaan dan berhati keji," kata nona berbaju biru ketus, "sekalipun dosanya patut diberi hukuman, tapi kau . .
.." Tanpa menunggu orang menyelesaikan kata-katanya,
dengan tertawa dingin Bok Ji-sia menukas, "Kau sengaja mengadu dombal"
"Tidak berani," nona itu tertawa sinis, "sebesar-besarnya nyali nonamu juga tak berani memusuhi kesembilan
perguruan besar, aku hanya merasa tidak senang
menyaksikan caramu membunuh omng!"
Setelah berhenti sekejap, lalu dia membentak pula "Oh Kay-thian, tak perlu menangis, apakah kau tak ingin membalas dendam?"
Jelas Nona berbaju biru itu bermaksud tidak baik, dia ingin memusuhi Bok Ji-sia serta kesembilan perguruan besar.
"Membalas dendam, dapatkah aku?" gurmam Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dengan perasaan bimbang.
Nona berbaju biru itu tahu pikiran orang mulai goyah oleh perkataannya, diam-diam ia bergirang, sahutnya cepat, "Kau dapat, pasti dapat asal kau-mau mendengarkan perkataanku, selain bisa membalas dendam, kaupun dapat menaklukkan dunia!"
"Omitohud!" seru It-hu Taysu kepada keagungan sang Budha, "Apakah Lisicu berhasrat memusuhi kami bersembilan perguruan?"
"Hm. aku justeru tidak senang menyaksikan lagak kalian yang sok besar!" jengek si noda berbaju biru.
Tiba tiba terdengar Seng gwat-kiam Oh Kay-thian berteriak
"Nona, aku menuruti perkataanmu, sekarang apa yaag harus kita lakukan?"
"Sekarang cepat kita menerjang keluar dari sinil" ujar nona berbaju biru itu dengan tertawa.
Para jago lihai berbagai perguruan itu menjadi gempar, mereka tidak menyangka perempuan aneh dari Hek-Iiong-keng ini berani memusuhi jago seluruh dunia persilatan.
"Baik, akupun ikut nona!" tiba-tiba Hian-thian-koancu melompat ke depan.
Menyusul Pak-hoai-kui-po Gin Say-ku juga turut melangkah maju dan berdiri di samping Hian-thian-koancu dan nona berbaju biru itu, segera kekuatan mereka menjadi jauh lebih besar.
Dengan perasaan menyesal, Bok Ji-sia memandang It-hu Taysu, katanya dengan pedih, "Gara-gara tindakanku mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tak terduga, harap Taysu .... "
Perkataannya terasa penuh rasa menyesal dan
mengharukan, para jago sama memandangnya dengan sinar mata menghiburnya, hal ini membuat Bok Ji-sia jadi rikuh, dengan emosi dia maju ke sana.
"Anak muda, janganlah terlalu bersedih," buru-buru It-hu Taysu berkata sambil tarsenytim, "kejadian ini sudah ditakdirkan dan sukar dicegah oleh tenaga manusia."
Ketika para jago dari kesembilan perguruan besar
menyaksikan nona berbaju biru itu secara tiba-tiba membentuk sepasukan musuh tangguh, diam-diam mereka terkesiap, mereka saling mimberi tanda dan bertekad akan mengadu jiwa.
Sambil menghela napas It-hu Taysu berkata, "Nona. jangan kau gunakan kecerdasan secara tersesat, peristiwa ini menyangkut mati-hidap dunia persilatan di wilayah Tionggoan pada masa mendatang, harap nona suka berpikir lagi sebelum bertindak."
"Huh, tak perlu banyak bicara lagi," seru nona berbaju biru itu sambil tertawa dingin, "orang-orangku juga segera akan berdatangan, siapa menang dan siapa kalah, kita lihat saja nanti."
Seraya berkata dia lantas bertepuk tangan tiga kali, begitu menggema tepukan tangan itu, tiba-tiba dari atas Giam-lo-tian melayang turun dua sosok bayangan, mereka adalah si kakek berambut putih dan Hoa Hong-hui.
Dalam waktu singkat, kekuatan pihak golongan hitam semakin kuat dan hampir melampui pihak sembilan
perguruan, menilik keadaan yang di depan mata, menang dan kalah menjadi sukar diduga,
Tiong-clu-it-kiam membentak, "Taysu, tiada sesuatu yang perlu dipertimbangkan lagi, mari kita maju bersama!"
Begitu selesai berkata dia maju lebih dulu memimpin anak murid Tiam-cong-pay dan melancarkan serangan.
"Perkokoh posisi masing-masing", bentak si nona berbaju biru cepat, "Musuh menyerang kita bertahan, musuh mundur kita tetap bertahaa, jangan sampai kacaukan barisan . ...!"
Gadis itu dapat mengatur siasat dengan baik, begitu kawanan jago golongan hitam ini bersatu, pertahanan mereka ibaratnya selapis dinding baja, bukan bal yang mudah bagi kesembilan perguruan besar untuk mematahkan pertahanan mereka.
Dalam waktu singkat cahaya golok dan bayangan pedang bersambaran, yang satu maju yang lain segera mundur, satu bertahan yang lain menyerang, semua jago dari pelbagai aliran saling berebut menerjang ke depan tanpa
memperdulikan mati-hidup sendiri.
Dalam sekejap saja ada beberapa sosok tubuh terkapar ke tanah, sedang di pihak nona berbaju biru itupun kehilangan Hian-thian-koancu yang terluka parah, seandainya mereka tidak bertahan dengan ketat, mungkin jiwanya sudah melayang sejak tadi.
Sementara itu, Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai dan Cuan-sin Loni dari Go-bi-pai juga ikut terjun ke medan tempur, To-liong-jiu dari Khong-teng-pai dengan kedua telapak tangannya yang hitam besar tiada hentinya melancarkan pukulan dahsyat.
Hanya It-hu Taysu saja yang berbisik-bisik memuji
keagungan Budha, dia berharap pertumpahan darah ini jangan berlangsung lebih lanjut.
Saat itulah Oh Ke-ngkiau mundur ke belakang, kaianye,
"Suheng, inilah barisan Su-siang-tin, tak terduga dalam waktu
singkat dia dapat membentuk barisan rapi seperti ini, kita harus menyerang sudut Kan-wi, terjang Li-wi dan melangkah ke tengah....."
Waktu itu Bok Ji-sia sendiri lagi tercengang mengapa si nona berbaju biru hanya bertahan belaka tanpa menyerang, maka begitu mendengar Oh Keng kiau menjalankan barisan ini adalah Su-siang-tin, diam-diam ia terkesiap, pantaslah kawanan jago itu tak sanggup menembusnya.
Si nona berbaju biru sendiri duduk di tengah barisan sambil tiada hentinya menuding ke sana kemari memberi petunjuk.
Ji-sia segera bersiul nyaring, serunya, "Baik! Sumoay, segera kuterjang ke dalam!"
Yang menjaga sudut "Kan" adalah Hoa Hong-hui, sewaktu dilihat Bok Ji-sia mengayunkan Jian-kim-ii-hun-pian dan menerjang datang, ia terkejut, buru-buru suatu pukulan dilancarkan.
Sambil tertawa dingin Ji-sia segera membentak,
"Kau berani membantu kaum laknat dan melakukan keganasan, tak dapat kuampuni dirimu!"
Di pihak lain lain, Oh Keng-kiau juga segera menyerbu ke tempat 'Li", dengan gemas beberapa kali pukulannya memakksa Pek Sat yang menjaga posisi "Li" menjadi agak kelabakan sehingga pertahanan barisan Su-siang-tin menjadi terbuka.
Melihat ada kesempatan baik, buru buru Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak menerobos masuk lewat peluang itu dan menerjang ke titik pusat barisan Su-siang-tin, sedang Bok Ji-sia dan Oh Keng kiau juga menerjang selapis lebih ke dalam.
Dalam waktu singkat barisan Su-siang-tio,menjadi kacau tak keruan, Pek-hoat-kui-po Cin Say-kiau dan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian telah meninggalkan barisan, meski barisan Su-
siang-tin bisa menahan gempuran para jago, waktunya juga tak bisa berlangsung terlampau lama lagi.
Apalagi orang yang mengerti tentang kegunaan Su-sieng-tin hanya si nona berbaju biru seorang, kawanan jago yang menggabungkan diri itu belum berpengalaman, sudah barang tentu barisan mereka segera menjadi porak poranda.
Mendadak terdengar jeritan ngeri yang memilukan hati, Hian-thian-koancu terkena bacokan Tiongciu-lt-kiam sehingga barisannya terpotong menjadi dua, darah berhamburan, keadaannya sangat mengerikan.
Tapi, tidak sedikit pula kawanan jago dari berbagai perguruan yang mengalami nasib sama sehingga menjadi pahlawan tak bernama.
Menyusul kemudian Pek-hoa-kui-po Cln Say-kiau juga roboh tak terkutik di atas tanah.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian beruntun membinasakan dua orang jago lihai, baru saja dia berusaha meloloskan diri dari kepungan, mendadak tampak Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai dan Cuan-sin Loni dari Go-bi-pai rnengadang di depannya.
"Apakah kalian benar-benar hendak membunuhku"!"
bentaknya sabmil menyeringai.
Jurus serangan ampuh ilmu pedang Seng-gwat-kiam-hoat segera dilontarkan secara bertubi-tubi.
Mendadak dari udara meluncur tiba sesosok bayangan dan langsung menutuk ke bawah, terdengar Seng-gWat-kiam Oh Kay-thian menjerit ngeri, tubuhnya yang tinggi besar roboh terjengkang ke atas tanah.
"'Anak Kiau," serunya dengan tertawa pedih, "akhirnya . .
*akhirnya aku tewas juga di .... di tanganmu!"
Sampai di sini, kepaknya terkulai dan mengembuskan napas terakhir, seorang gembong iblis akhirnya tewas di tangan keponakannya sendiri.
Mendadak terdengar suara tertawa nyaring bergema dari kejauhan yong semakin mendekat, sebelum para jago
mendongakkan kepala tahu-tahu di tengah arena telah bertambah dengan seorang kakek berbaju serba hitam.
Begitu melihat kakek berbaju hitam itu, sekujur badan si nona berbaju biru jadi gemetar, sedang para jago dari berbagai aliran pun serentak berhenti bertempur.
Hofi Hong-hui, kakek berambut putih dan kedua Pek
bersaudara serentak berlutut di depan kakek berbaju hitam itu sambil berseru, "Terimalah hormat hamba. Loyal"
Sambil menuding si kakek berambut putih, kakek berbaju hitam itu segera menegur, "Kau sebagai pelindungnya, mengapa mendidik Siocia menjadi macam begini!"
"Budak tua pantas mati, budak tua pantas mati!" kakek berambut putih itu mendesis dengan tubuh gemetar.
Nona berbaju biru pun tampak sedih sekali, sambil
menangis bisiknya, "Ayah, ananda memang bersalah!"
Kakek berbaju hitam itu mendengus, "Hm, masa kau tidak rikuh msngucapkannya, bencana yang terjadi di Tionggoan ini semuanya adalah akibat ulahmu!''
Siapakah kekek ini" Mengapa nona berbaju biru itu
menunjukkan rasa takut pedanya" Diam-diam para jago sama memikirkan asal usul orang.
Dia tak-lain-tak-bukan ialah Hek-liong Lojin, tokoh sakti dunia persilatan.
"Omintohud, masih ingatkah Lotiang pada It-hu?" segera It-hu Tausu menyapa.
Hek-liong Lojin manggut-manggut, "Wajahmu penuh welas asih, hati Budhamu sudah berakar, tak jauh lagi tujuan yang akan kau capai. baik-baik-lah kau jaga diri."
It-hu Taysu merangkap tangan memberi hormat dan
mundur ke samping dengan tenang.


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hek-liong Lojin memandang sekejap sekeliling arena, kemudian katanya, 'Segala perbuatan anak perempuanku selama ini telah banyak membikin susah kalian, harap saudara sekalian sudi memaafkannya."
Tiba tiba dari luar arena bergema suara isak tangis lirih.
Lalu terdengar Bok Ji-sia berbisik, "Sumoay, sakit hatimu telah terbalas dan dapatlah menghibur arwah Suhu dan Subo di alam baka!"
Ketika itu Oh Keng-kiau sedang mendekap di atas mayat Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian sambil menangis tersedu-sedu, bila teringat kembali akan kasih sayang Oh Kay-thian kepadanya masa lalu, hatinya merasa pedih bagaikan ditusuk-tusuk, ia menyesal telah membinasakannya ....
Tapi, dendam kesumat ayeh-ibunya sedalam lautan dan kini terbalas, dapat legalah hatinya, cuma ....
Tiba-tiba Hek-liong Lojin mendekati Oh Keng-kiau, katanya,
"Anak bodoh, asap telah buyar, air mengalir terus . . . , "
Keng-kiau mendongakkan kepala dan menyahut, "Hilang tanpa perasaan, pergi meninggalkan bekas!"
"Ah, Sumoay! Kiranya benar kau!" seru Hek-liong Lojin dengan gembira.
Mendengar ucapan itu, semua orang terperanjat, siapa pun tidak menyangka dengan kedudukan Hek-lioag Lojin dalam dunia persilatan ternyata menyebut Oh Keng-kiau yang masih muda belia sebagai Sumoay.
Beratus pasang mata serentak memandang mereka dengan heran.
Air muka Hek-liong Lojin tampak aneh, katanya lebih lanjut,
"Boan-ya tiada bandingan. Rintang bersuara dewa!"
Mendadak Oh Keng-kiau berubah menjadi serius dan
menyambung, "Hek liong sebenarnya tak berair, sumber berasal dari Kim-teng!"
Tanya jawab itu sekali lagi mengejutkan semua orang, siapa pula yang menduga ilmu silat Hek-liong Lojin ternyata juga bersumber dari kitab pusaka Kim-teng Cinjin. Dia sudah tahu puluhan tahun kemudian kitab pusaka Kim-teng-pit-kip bakal diperoleh seorang anak perempuan, maka pada sampul kitab pusaka itu dia sengaja menulis empat bait kata itu untuk mempermudah usahanya di kemudian hari membuktikan siapa yang mendapatkan kitab pusaka itu.
Setelah mendapatkan kitab pusaka Kim-teng-pit-kip, Oh Keng-kiau selalu ingat pada empat bait kata itu, tak tersangka Hek-liong Lojin yang tersohor dalam dunia persilatan ini adalah saudara seperguruannya sendiri.
Dengan gembira segera ia berseru sambil memberi hormat,
"Suhengl"
Hek-liong Lojin tersenyum, katanya sambi menggandeng tangan Sumoaynya, "Semua persoalan telah selesai, Sumoay, mari pergi!"
Dengan air mata bercucuran Keng-kiau mengangguk, ia melirik sekejap ke arah Bok Ji-sia.
Tiba-tiba ia berlutut di depan jenazah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dan berkata, "Paman, aku membunuhmu karena harus membalaskan dendam bagi orang tuaku . . . Sekarang kuberi hormat kepadamu karena engkau telah memeliharaku selama belasan tahun ..."
"Sumoay, kau mau pergi?" bisik Ji-sia sedih.
"Ya," Keng-kiau tertawa pedih, "tapi aku pasti akan datang menengokmu!''
Sementara itu Hek-liong Lojin juga menatap wajah Bok Jisia lekat-lekat, tiba-tiba ia berkata "Usiamu masih muda dan ternyata bisa mencapai tingkatan sedemikian tingginya, sungguh sangat mengagumkan, dua tahun lagi bila kau bermain ke Hek-liong-kang tentu akan kusambut
kedatanganmu dengan baik."
"Bila Wanpwe tidak mati, pasti akan datang tepat pada waktunya," jawab Ji-sia pedih.
Mendadak nona berbaju biru menarik kain cadarnya sambil berseru, "Aku tidak mau pakai benda ini lagi!''
Sambil berkata kain biru yang selalu menutupi wajahnya itu lantas dibanting ke atas tanah .. . .
Seketika itu juga semua orang terbelalak, seraut wajah cantik yang tiada taranya muncul di hadapan mereka, sungguh sukar melukiskan betapa cantik gadis ini.
Bok Ji-sia tertegun, ia tidak menyangka kecantikan nona berbaju itu sedemikian luar biasa, bila dibandingkan Bwe-hoa-siao-kim Tong Yong ling, nona yang tersebut terakhir ini sungguh bukan apa-apanya.
"Ciu-gwatl" terdengar Hek-liong Lojin berseru kaget,
"tahukah tindakanmu itu merupakan pantangan besar Hek-liong-kang!"
Kiranya dalam perguruan Hek-liong-kang berlaku suatu peraturan yang tidak tertulis, yakni sebelum anak murid perempuan aliran Hek-iiong-kang menikah, maka ia dilarang melepaskan kain kerudungnya, kalau tidak, maka selama hidup ia tak boleh kawin.
Hoa Hong-hui juga sangat terperanjat, jeritnya, "Sumoay, kau . . . ."
Si nona berbaju biru alias Ciu-gwat tertawa pedih, katanya,
"Selama hidup aku takkan kawin!"
Hoa Hong-hui berkaok-kaok mendongkol, langsung lari keluar Giam lo-tian.
Siapa tahu bila sudah kembali ke Hek-liong-keng, maka jangan harap akan muncul kembali di daerah Tionggoan, ini berarti jangan harap akan bersua dengan Bok Ji-sia.
Seketika cinta dan benci bercampur aduk, ia benci juga cinta, akhirnya ia memutuskan tidak kawin selama hidup, inilah semacam pengorbanan.
Hanya Bok Ji-sia yang tolol saja yang sama sekali tidak merasa dirinya dicintai orang padahal oleh karena tragedi yang pernah menimpanya maka ia tak berani menerima cinta gadis mana pun.
-oo0dw0oo- Udara malam bersih, hawa terasa dingin.
Hek-liong Lojin menghela napag, katanya kemudian, "Mari kita pulang ke Hek-Iiong-kang!"
"Selamat jalan Lotiangl" It-hu Taysu berseru lantang.
Semua jago dari pelbagai aliran itu tahu bahwa Hek-liong Lojin adalah tokoh aneh nomor satu di dunia mi, sekalipun Ciangbunjin angkatan tua juga tiga tingkat lebih lendah daripada kedudukan Hek-liong Lojin, maka semua orang sama memberi hormat sebagai angkatan muda.
Tiba-tiba gadis berbaju biru lari ke hadapan Bok Ji-sia, lalu berkata dengan lirih, "Aku cinta padamu, tapi akupun benci padamu, aku bernama Ciu-gwat, lupakan saja diriku!"
Selesai berkata, dengan air mata bercucuran dia lari pergi dari situ.
Diam-diam Hek-liong Lojin menghela napas, dengan
langkah berat iapun berlalu.
Oh Keng-kiau seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya dengan air mata bercucuran iapun mengikuti Hek-liong Loj'n berlalu dari situ.
'"Ciu-gwat!" pelahan Ji-sia bergumam.
Suasana kembali hening, remang fajar mulai nampak di ufuk timur sana.
Fajar mendatangkan segala harapan, juga membawa air mata dan darah bagi hubungan antara ayah, ibu dan anak.
Bok Ji- sia kembali menghadapi urusan yang sukar diputuskan selama hidupnya.
Angin pagi berhembus kencang, sinar sang surya semakin tinggi menerangi bumi raya ini.
Selagi Ji-sia meluncur ke depan dengan cepat, mendadak terdengar seorang membentak, "Orang she Bok, berhenti!"
Muncul sesosok bayangan. Ji-sia kelihatan kaget, cepat ia membalik tubuh, tertampak Huan-in-kiam Lamkiong Giok sedang menatapnya dengan dingin.
Setelah tertegun, sapanya sambil tertawa, "Saudara Lamkiong, kebetulan hendak kucari dirimu!"
"Aku juga sedang mencarimu," jawab Lamkiong Giok dingin.
Segera Ji-sia melibat air muka Lamkiong Giok pada hari ini sedikit berlainan, biasanya pemuda ini tak pernah
menunjukkan sikap semacam ini, apakah . . .
Sambil tersenyum dia menegur, "Saudara Lamkiong, air mukamu hari ini tampak tidak ... . "
"Aku hendak membunuhmu!" ucap Lamkiong Giok ketus.
"Kenapa?" Ji-sia menjadi bingung.
Lamkiong Giok tertawa pedih, sahutnya, "Karena hanya ada seorang saja di antara kita yang boleh hidup di dunia ini!"
"Ah, kukira tidak sampai segawat itu bukan?"
"Siapa bilang tidak!"
Sama sekali Ji-sia tidak menduga orang yang dianggap sebagai sahabat karibnya ini dapat berubah menjadi begini tak berperasaan, ia tidak tahu bahwa budi dan dendam orang tua mereka masa lalu telah didengar oleh Lamkiong Giok"
Karena Lamkiong Giok kuati? Bok Ji sia akan mencari Lamkiong Hian untuk membalas dendam maka ia menjadi nekat akan mendahului membunuh Bok Ji-sia.
Siapa yang mengira bahwa mereka berdua sebenarrya
adalah sandata seayah lain ibu"
Untuk sesaat Ji-sia menjadi bingung dan berdiri tertegun.
"Bersiaplah" seru Lamkiong Giok, "aku akan segera turun tangan!"
Ji-sia menggeleng, "Kukira tiada gunanya kita melangsungkan pertarungan im!"
"Ayo cabut ruyungmu, aku segera turun tangan!"
Namun Ji-sia tetap berdiri tak bergerak. "Lam-kiong-heng,"
katanya, "aku takkan membalas, silakan kauturun tangan!"
"Mengapa kau tidak membalas?" Lamkiong Giok melengak.
"Aku tidak tahu apa sebabnya, aku hanya merasakan bila bertarung, maka hal ini merupakan suatu kesalahan besar!"
Ji-sia memang selalu merasakan antara dia dengan
Lamkiong Giok seskan akan ada hubungan yang luar biasa, dia merasa tidak layak mereka saling gontokan sendiri, mungin hal ini disebabkan mereka memang mempunyai bubungan darah.
Sejak kecil Lamkiong Giok dibesarkan dalam lingkungan golongan hitam, wataknya terdidik keji dan kejam, baginya sama sekali tak penting soal hubungan darah segala.
Sambil mendongak dia tertawa, serunya, "Kau mau bertarung tidak?"
"Sudah kukatakan, aku tidak mau bertarung melawanmu!"
sahut Ji-sia sambil menggeleng,
"Baik, kalau begitu akan kusempurnakan dirimu!"
Dengan kejinya Lamkiong Giok menggetarkan ujung
bajunya, sekilas cahaya putia segera menyambar ke depan Tipi Ji-sia tetap tidak bergerak.
Tiba-tiba Lamkiong Giok menarik kembali pedangnya, katanya, "Biarlah kuberitahukan kepadamu alasannya mengapa aku membunuhmu!"
"Katakanlah!"
Secara ringkas Lamkiong Giok lantas mengisahkan kembali percakapan antara Bok Jin-kiat dan Lamkiong Hian yang dapat disadapnya tempo hari, kemudian ia menambahkan, "Tahukah kau siapakah ayah-ibumu?"
"Tahu!" jawab Ji-sia dengan hati bergetar.
Padahal dia hanya sempat bertemu dengan Lik-ih-hiat-li, namun tidak tahu bahwa ayahnya, Bok Jin-kiat, masih hidup,
"Bagus sekali," kata Lamkiong Giok ketus, "ayahmu juga ayahku, tapi ibumu bukan ibuku, hal ini tentunya kau mengerti bukan?"
Hati Ji-sia bergetar, sesaat ia terbelalak dan hampir tidak percaya pada apa yang didengarnaya.
Sampai lama baru dia menjawab, "Kalau begitu, kita adalah saudara seayah lain ibu!"
"Hehe, jangan terburu napsu, siapa yang sudi menjadi saudaramu?" jengek Lamkiong Giok.
Setelah tertegun sejenak, lalu sambungnya, "Cuma di antara kita memang ada sedikit hubungan, kenyataan ini tak bisa disangkal."
Bok Ji-sia benar-benar terkesiap oleh keterangaa Lamkiong Giok, mimpi pun dia tak menyangka dirinya bisa mempunyai hubungan dengan pihak Kiam hong-ceng.
Sekalipun dia tak tahu ada hubungan apakah itu, tapi dia tahu srmuanya ini akibat perbuatan ayahnya, pikirannya,
"Apakah ayahku mempunya dua orang isteri" Mengapa dulu aku tidak tahu?"
Berpikir demikian, dia lantas tertawa, katanya, "Saudara Lamkiong, kalau kita mempunyai hubungan, selayaknya kita rayakan bersama, mengapa kau malahan hendak
membunuhku?"
"Hehe, justeru karena hubungun ini, maka aku ingin membunuhmu!"
Setelah bsrhenti sejenak, bentakkya pula, "Waktu sudah tidak banyak lagi, saudara Bok, aku akan segera turun tangan!"
Segera ia menerjang ke muka, telapak tangan kirinya menahas, sementara telapak tangan kanan menyodok ke bawah.
Ji-sia tertawa gusar, serunya, "Sandara Lamkiong. benar tidak kau pikirkan hubungan baik lagi?"
Tenaga segera dihimpun pada telapak tangannya, tanpa berkelit maupun menghindar ia menyambut serangan Lam kiong Giok.
"Blang", bentrokan keras terjadi, tubuh Ji-sia mencelat ke sana.
"Uak!" darah segar tumpah dari mulut Ji-sia anak muda ini tak mengira Lamkiong Giok berhati sekeji ini dan benar benar melancarkan serangan, sedahsyat ini kepadanya.
"Saudara Lamkiong, kau benar-benar kejam!" serunya dengan suara gemetar gusar
Lamkiong Giok tertawa terkekeh-kekeh, "He-hehe, kau sendiri yang mencari mampus, kenapa salahkan orang?"
Air mukanya berubah di-gin, kedua mata memancarkan sinar kebencian, pelahan ia mendekati Bok Ji sia.
Sambil menahan rasa sakit, J!-sia segera membentak, "Kau masih akan turun tangan."
"Hehe, aku menghendaki jiwamu!"
Tangannya bergetar, mendadak dari balik bajunya
terpancar keluar cahaya putih yang langsung menyambar tubuh Bok ji-sia.
Tiba-tiba seorang membentak, "Bangsat, kau benar-benar keji!"
"Tring!" diiringi denting nyaring pedang pendek Lamkiong Giok itu mencelat balik, bahkan malah menyamar tubuhnya sendiri.
Lamkiong Giok terperanjat, buru-buru dia ke-baskan lengan bajunya sambil membalik badan dan melompat ke samping.
Seketika dia gemetar.
Tertampak Lik-ih hiat-li dengan sinar mata yang
mengerikan sedang mengawasinya, sementara Bwe-hoa-kiam Tong Yong-lisg juga sedang mendelik padanya penuh rasa benci.
"Lamkiong Giok, manusiakah kau?" dengus Lik-ih-hiat-Ii.
"Aku .. . aku .. . ." Lamkiong Giok gelagapan.
Cepat Ji-sia melompat bangun dan berseru,
'Ibu!" "Nak," kata Lik-ih hiat-li dengan air mata bercucuran, "ibu tahu kau sangat menderita!"
"Engkoh Bok, kau terluka?" tanya Tong Yong-ling sambil membangunkan Ji-sia.
"Terima kasih, nona Tong!" sahut Ji-sia.
Sebutan "nona Tong" itu sangat menghancurkan perasaan Tong Yong-ling, rasa cintanya kepada Ji-sia sangat mendalam, dia berharap bisa hidup bahagia dengan pemuda tersebut, siapa tahu mengharapnya terasa begitu asing, begitu jauh.
Tanpa terata air matanya menitik.
Menyaksikan adegan tersebut Lamkiong Giok menjadi tak keruan perasaannya, dia mendengus, "Orang the Bok, lihat saja akhirnya nanti?"
"Saudara Lamkiong, mengapa kau benci padaku!" seru Jisia sambil tertawa pedih.
"Tanyakan sendiri kepada ayah ibumu?" seru Len kiong Giok dengan penuh dendam.
Seraya berkata dia memandang sekejap Bok Ji-sia dan Lik ih-hiat-li dengan penuh kebencian, kemudian segera berlalu.
"Kembalil" hardik Lik-ih-pit-li tiba-tiba sambil menyerang ke depan.
"Ada apa?" Lamkiong Giok berpaling dengan marah.
Entah mengapa, rasa takutnya terhadap Lik-ih-hiat-Ii pada masa lalu kini lenyap seluruhnya, seakan-akan dia tahu perempuan itu takkan turun tangen kepadanya, mungkin hal ini disebabkan mereka masih mempunyai hubungan yang erat.
Dengan suara dingin Lik-lh-hiat-li berkata "Bila berdasarkan perbuatanmu masa lalu, kau pantas mampus, cuma ....'*
"Hanya ucapan itukah yang hendak kau sampalksn kepadaku?" jengek Lamkiong Giok.
Tiba-tiba Ji-sia menjadi gusar, bentaknya, "Saudara Lamkiong, biasanya kuhormati dirimu sebagai lelaki sejati, tak tahunya kau sudah gila, berani kurangajar kepada ibuku!"
Dengan melupakan rasa sakit, ia siap menerjang Lamkiong Giok pula.
Lik-ih-hiat-li menghela napas dan menarik Ji-sia, katanya,
"Sudahlah nak, bagaimana pun jahatnya dia toh adikmu sendiri!"
"Bagus sekali," seru Lamkiong Giok, "pelajaran saudara Bok takkan kulupakan . . . hmm .... selama hayat masih dikandung badan, pasti kubalas."
"Cepat pergi dari sinil" bentak Lih-ih-hiat-li, "beritahu kepada bapakmu, kami akan segera membereskan utang darah inil"
"Sampai jumpa, Wanpwe akan menanti kedatangan kalian di Kiam-houg-ceng," segera Lam- kiong Giok melayang pergi.
"Bagaimanapun jahatnya dia toh adikmu sendiri" karena perkataan ini, maka segalanya menjadi terang.
Dengan tertawa pedih Ji-sia berkata, "Ibu, benarkah dia adikku?"
"Benarl" dengan air mata bercucuran Lik-ih-hiat-li mengangguk. "Nak, andaikata kuberitahukan satu hal padamu, adakah keberanianmu untuk hidup?"
Ji-sia malu berjumpa dengan ibunya, ketika tahu ibunya masih hidup di dunia ini, mestinya dia enggan berjumpa lagi dengan siapa pun. Perbuatan terkutuk dengan ibu kandung sendiri selalu menghantui pikirannya, diam diam la pernah bersumpah, asal pembunuh laknat yang mencelakainya dulu berhasil dibunuh, maka iapun akan bunuh diri di depan pusara
ibu dan ayahnya, Sekarang ia berhadapan dengen ibunya, tentu saja penderitaan batinnya sukar dilukiskan, Sambil mengertak gigi, katanya kemudian, "Ibu, katakanlah!"
Diam-dism Lik-ih-hiat-li menghela napas, katanya, "Nak, kesalahan dulu bukan atas kehendakmu akan sendiri, terutama dalam dunia persilatan yang penuh dengan dosa dan kejahatan ini, di mana-mana terdapat perangkap, selangkah kurang hati-hati, bisa menyesal sepanjang hidup Jangan kauingat' pada kejadian dulu, kutahu peristiwa itu bukan kesalahanmu lupakan peristiwa itu, mari kita mulai dengan hidup baru
"Ibu, aku tidak paham dalih ini!" kata Ji-sia sambil menggeleng,
Kembali air mata Lik-ih-hiat-li berderai, katanya pedih.
"Sekarang urusan telah berkembang menjadi begini, biarlah kuberitahukan kepadamu, ayahmu masih hidup."
Saking malunya Ji-sia menangis, "Aku tak punya muka untuk bertemu dengan ayah, aku tak..." Sambil berkata, ia menangis tersedu-sedu hingga Tong Yong-ling yang berada di sampingnya ikut terharu daa meneteskan air mata.
Sambil menahan penderitaan batin tiba-tiba Lik-ih-hiat-li berseru. "Jin-kiaf, keluarlah untuk bertemu dengan anakmu!"
Segera muncul seorang kakek tua renta berwajah jelek, dengan air mata bercampur darah dan kedua tangan
direntangkan, pelahan ia mendekati Ji-sla.
"Anak Sia, inilah ayahmul" kata Lik-ih-hiat-li sambil menuding si kakek.
"Ayah!' Ji-sia menjerit pedih.
Di balik panggilan tersebut entah terkandung berapa banyak air mata dan darah" Pahit dan getir. Mereka bertiga saling raegkul sambit menangis.
Sambil membelai rambut Ji-sia, kakek itu berkata, "Nak, tak perlu sedih lagi, aku tidak menyalahkan dirimu, yang salah adalah ayahmu dan manusia laknat itu, sekarang kita harus berani menghadapi kenyataan dan membalas sakit hati ini ..."
"Ayah. siapa yaug mencelakai kita" Siapa ....?" pekik Ji-sia,
"bentahukan padaku, dia berada di mana" Berada di mana". "
"Dia berada di Kiam-hong-ceng, dia ialah Lamkiong Hian. "
Gelak tertawa seram sagera berkumandang menggema
angkasa, sambil melompat ke depan Ji-sia berteriak, "Balas dendam! Balas dendam! Ayah, ananda berangkat!"
"Tak perlu pergi, aku berada di sinil" mendadak seorang berseru nyaring.
Menyusul seorang telah muncul di situ, dia tak lain ialah Kim-hong-cengcu Lamkiong Hian.
Ia tampak sangat tenang, dengan khidmat selangkah demi selangkah maju ke tengah arena.
Ji-sia menyeringai, serunya, "Lamkiong Hian, serahkan nyawamu hari inil"
"Ya, aku datang untuk menyerahkan nyawaku!" Jawab Lamkiong Hian dengan dingin.
Cahaya emas segera terpancar, Ji-sia telah melolos Jian-kim-si-hun-pian dan mendongak sambil tertawa.
"Lamkiong Hian," bentak Lik-ih-hiat-li, "kami sudah cukup menderita kau celakai!"
"Enso, dapatkah kau lupakan masa lalu?" tanya Lamkiong Hian.
"Tidak dapat, aku menghendaki nyawamu!" bentak Ji-sia.
Ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian segera diputar dan menusuk ke dada Lamkiong Hian.
"Kupasrahkan nyawaku kepada kalian," kata Lamkiong Hian sambil memejamkan mata, "semoga Toako dan enso baik baik merawat kedua orang anak itu!"
Ucepan seorsng yang mendekati ajalnya selalu merupakan kata-kata yang mulia, tak nyana gembong iblis ini mau bertobat pada akhirnya den pasrah nasib.
Darah segar muncrat, menyusul tubuh Lamkiong Hian
lantas roboh terkapar.
Melihat musuh telah tewas, Ji-sia tertawa seram pula.
teriaknya, "Dendam terlampias! Lebih baik pulang .. . Dendam telah terlampiaskan! Lebih baik pulang . ..
Menyusul tertawa yang seram itu, bagaikan orang gila dia lari menuju sebuah jurang secepat terbang. .
Dengan terperanjat Tong Yong-Iing menjerit, ; "Engkoh Bok, kembali!"
"Anak Sia, kau .... " Lik-ih-hiat-li juga berteriak, cepat mereka berdua mengejar ke sana.
Tiba2 muncul sesosok bayangan dari tepi jalan seraya membentak, "Orang she Bok, kembalikan nyawa ayahku!"
Mengikuti bentakan itu, kedua orang lantas bergumul menjadi satu dan menggelinding ke tepi jurang.
Lik-ih-hikt-lt terperanjat menyakskan hal itu dari belakang, teriaknya, "Nona Tong. kedua bocah itu tak mau hidup lagi!"
"Kalau dia mati, akupun tak ingin hidup!" sahut Tona Yongling dengan cemas.
Mendadak terdengar Bok Ji-sia berteriak, "Saudara Lamkiong, kau benar-benar tak ingin hidup?"
"Ya, biarlah mati, biar kita mati bersama!" seru Lamkiong Giok sambil menangis.
Kedua orang terus bergelinding ke tepi jurang, Ji-sia memang sudah bertekad mati, ia pejamkan mata dan
menyerah kepada elmaut.
Tiba-tiba Lamkiong G'ok mencengkeram kedua tangan Jisia sambil berteriak. 'Saudara Bok, kita berangkat bersama ke alam baka!"
Makin cepat kedua orang itu terguling ke jurang dan lenyaplah bayangan mereka.
Beberapa kali jeritan ngeri bergema dari dasar jurang, dasar jurang yang tertutup oleh kabut tebal.
Ketika Lik-ih-hiat-li sampai di tepi jurang ia hanya bisa bergumam, "Dendam telah terlampias, lebih baik pulangi"
Siapa pula yang tahu keenam patah kata tersebut
merupakan kata terakhir Bok Ji-sia menjelang kematiannya"
Pulang ke akhirat, yaitu jalan yang harus dilalui oleh setiap manusia.
" TAMAT "
Harpa Iblis Jari Sakti 30 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 3
^