Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 2

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 2


dalam kau bisa Wanpwe latih lagi mulai awal"!"
Oh Kay-gak geleng kepala sambil tertawa di-ngin, "Kau telah mempelajari, semua jurus Jiat-im-siang-gi ptt-keng, kecuali tidak kau latih lagi jurus-jurus aneh tersebut, kalau tidak, hawa murnimu masih akan menggumpal dalam urat nadimu dan akan mengakibatkan kematian pula padamu,"
Ji-sia terkesiap, pikirnya, "Sudah bertahun aku berusaha mendapatkan kitab pusaka itu, kukira se-telah berlatih jurus serangan yang ampuh itu, maka cita-citaku akan terpenuhi, tak terduga sampai akhirnya sia-sia belaka, jika aku mesti berlatih ilmu silat lain dan mencari guru baru lagi, sampai kapan kungfuku baru akan mencapai tingkatan yang tinggi"
Sampai tapan pula sakit hatiku bisa terbalas"."
Berpikir sampai di sini, rasa kecewa, putus asa, sedih berkecamuk dalam benaknya, pikirnya, "Dia adalah jago kosen nomor satu yang pernah kujum-pai selama ini, kungfunya lihai sekali dan tenaga dalam juga amat sempurna, mungkin jarang ada orang yang bisa mencapai tingkatan seperti dia, ke-napa aku tidak mohon saja kepadanya agar mewa-riskan ilmu silatnya kepadaku
Pandangan Ji-sia memang tajam sekali, keber-hasilan Oh Kay-gak dewasa ini mungkin sukar un-tuk dicarikan
bandingannya, asal Bok Ji-sia bisa mendapatkan warisan ilmu silatnya, sekalipun belum dapat merajai dunia, sedikitnya hanya beberapa orang saja yang dapat menandingi
kelihaiannya. Perlu diterangkan di sini sebabnya Oh Kay-gak mendapat julukan Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam (jago pedang langit, bumi, bintang dan rembulan), sedangkan kakaknya Oh Ku-gwat bergelar Thian-kang-kiam (pedang langit) dan adiknya Oh Kay-thian berjuluk Seng-gwat-kiam (pedang bintang bu-lan), hal ini memang mengandung makna dan alasan yang amat mendalam.
Oh Kay-gak adalah seorang vang berbakat dan memiliki kecerdasan yang luar biasa, ayah mereka memiliki sejilid kitab
pusaka Ban-kiam-sin-keng (kitab sakti selaksa pedang), yang isinya mencakup tiga macam ilmu pedang yang luar biasa hebatnya, yakni ilmu pedang Thian-kang kiam, Te-sat-kiam dan Seng-gwat-kiam.
Tiga macam ilmu pedang itu sangat dalam se-kali
pelajarannya, andaikata bukan seorang yang berbakat bagus, bagaimanapun jangan harap akan memahami salah satu di antara rangkaian tiga ma-cam ilmu pedang tersebut, malahan sekalipun se-orang yang cerdas, dia perlu waktu selama tiga pu-luh tahun untuk bisa menguasai satu macam saja dari ilmu pedang itu, jadi mustahil satu orang bisa mempelajari tiga macam ilmu pedang sekaligus.
Ketika ayah mereka mewariskan kitab ilmu pedang itu kepada ketiga anaknya, secara terpisah ia membagikan tiga macam kitab yang berbeda ke-pada mereka agar ketiga bersaudara itu mempelajarinya sendiri.
Kakaknya, Oh Ku-gwat dan adiknya, Oh Kay-thian, yang mempelajari ilmu pedang Thian-keng-kiam dan Seng-gwat-kiam belum lagi berhasil me-mahami beberapa jurus ilmu pedang masing-ma-sing, ternyata Oh Kay-gak sudah berhasil menguasai ilmu pedang Te-sat kiam-hoatnya.
Betapa kejut dan heran ayah mereka setelah mengetahui kejadian ini, maka kedua jilid kitab il-mu pedang lainnya segera diberikan pula kepadanya agar dipelajari semua, siapa tahu hanya dalam sa-tu tahun saja ia telah berhasil menguasai semua intisari kepandaian itu, karena ketiga macam ilmu pedang itu telah dipelajarinya, maka iapun men-dapat gelar Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam.
Tidak berhenti sampai di situ saja, selanjutnya Oh Kay-gak telah mempelajari pula banyak kitab pusaka lain milik ayahnya yang terahasia, dengan demikian, sampai di manakah sesungguhnya taraf kepandaian Oh Kay-gak, sulit untuk diterangkan.
Begitulah Ji-sia masih terus berlutut di ha-dapan Oh Kay-gak sambil berkata dengan se-dih, "Locianpwe, kumohon kepadamu agar sudi menerimaku sebagai muridmu, aku ingin belajar ilmu lagi dari taraf permulaan ,".Ai, musuh besar Wanpwe adalah seorang jago tangguh golongan hitam dewasa ini, bukan cuma kungfunya saja yang hebat, hatinya pun amat keji, komplotannya luas sekali dan banyak tipu muslihatnya, bila tiada ilmu silat yang tinggi, jangan harap dendamku ini bisa terbalas"..
Tiba-tiba Oh Kay-gak pejamkan matanya se-perti
termenung, haruskah ia menerima permohonan anak muda itu atau tidak"
Dengan perasaan cemas Ji-sia mengawasinya, ia gelisah dan kuatir, ia merasakan detik ini meru-pakan kunci penentuan atas kehidupan selanjutnya, mungkin saja ia akan menerima warisan ilmu silat darinya, mungkin juga akan diusir atau bahkan bi-sa juga dibinasakan olehnya.
Tiba-tiba Oh Kay-gak menghela napas panjang, lalu
berkata, "Sebenarnya ingin kutinggalkan dunia yang fana ini, tapi lantaran peristiwa yang meng-gemaskan di masa lalu serta beberapa persoalan yang belum sempat kuselesaikan, batiku selalu me-rasa tak tenang, ai"."
Setelah menghela napas sedih dan termenung se-jenak, ia belai kepala Ji-sia dengan penuh kasih sayang, lalu katanya lagi, "Nak, kutahu kau pasti mempunyai pengalaman yang menyedihkan sekali, sebab itu kau pertaruhkan jiwamu memasuki Thian-seng-po ini dan berusaha mendapatkan kitab pusaka Beng-yu-cin-keng. Padahal kitab itu tidak berada di tangan siapa pun dalam benteng ini, pula bila kau pelajari isi kitab itu, maka kau akan berubah menjadi orang jahat.
"Kau mengatakan hendak belajar lagi mulai dari taraf permulaan, harus kau ketahui bahwa hi- dup manusia ada batasnya setelah seorang mem-buang banyak tenaga dan pikiran untuk mendalami semacam kepandaian, tapi suatu
ketika harus memunahkannya, hal ini yang pantas
disayangkan. "Selain itu, ilmu silat yang tercantum da-lam kitab pusaka Jiat-im-siang-gi-pit-keng semua-nya merupakan jurus jurus yang ampuh dengan artj yang mendalam, jika kau harus belajar dari taraf permulaan lagi, bukan saja membutuhkan waktu yang cukup lama, pula dalam beberapa hari lagi aku akan meninggalkan dunia ini, ilmu silatku juga tidak terhitung nomor wahid di dunia ini, sekalipun berhasil kau pelajari beberapa macam kepandaianku juga belum tentu sakit hatimu bisa terbalas".".
Mendengar bahwa kakek itu hendak mati be-berapa hari lagi dengan heran Ji-sia bertanya: " Locianpwe, kenapa engkau harus mati?"
"Sulit untuk membicarakan soal budi dan dendam ini dengan sepatah dua kata saja, untuk sementara waktu lebih baik jangan kau tanyakan soal ini."
"Dari perkataan Locianpwe tadi seakan-akan suruh
kupelajari jurus serangan dalam Jiat-im-siang-gi-pit-keng, akan tetapi?""
Oh Kay-gak menghela napas panjang, katanya, "Memang begitu maksudku, ilmu silat yang lihay tidak mungkin diperoleh secara untung-untungan, sekalipun ada juga kejadian semacam ini, tapi ha-rapan amat tipis sekali untuk terjadi, selain itu ke-banyakan ilmu silat aliran sesat terlalu keras, se-kalipun berhasil mempelajarinya, di kemudian hari mungkin juga akan mendatangkan bahaya, seperti juga kitab Jiat-im-siang-gi-pit-keng yang kau pelajari serta kitab Beng-yu-cinkeng, semuanya me-rupakan ilmu top dari golongan sesat.
Sebaliknya jika kau harus mempelajari ilmu silat aliran baik, maka ilmu itu harus dipelajari dan dilatih secara mendalam, terkadang setengah abad berlatih juga belum tentu berhasil menguasainya?""
Bicara sampai di sini, ia menghela napas pan-jang. Ji-sia tidak mengerti apa arti uraian orang, dia hanya memandang ke arahnya dengan termangu-mangu.
Tiba-tiba suara Oh Kay-gak berubah menjadi rendah dan berat, rambut putih bergetar dan menggigil, ucapnya,
"Menurut apa yang kuketahui, di antara sekian banyak jago persilatan, ada tujuh orang yang berhasil mencapai sukses dari golong-an sesat, di antara ketujuh orang itu, empat orang adalah pria dan tiga orang wanita. Ai, tapi di antara-nya ada tiga orang yang telah tiada"."
"Apa" Begitu banyak jago lihay yang ada da-lam dunia persilatan?" seru Ji-sia terkejut, "Siapa-kah mereka! Ilmu silat siapa yang terhitung paling tinggi?"
"Ilmu silatku yang paling tinggi!" jawab Oh Kay-gak sambil tersenyum.
"Jadi ilmu silat Locianpwe bermula dari go-longan, sesat pula" Tak heran kalau Locianpwe ada-lah jago silat nomor satu di dunia ini?"
Air muka Oh Kay-gak yang tertutup rambut putih tampak merah cerah, katanya lagi dengan nyaring, "Kepandaianku mencakup ilmu dari golongan lurus dan sesat sekaligus, dugaanmu memang benar, di antara tujuh orang itu, ilmu silatku terhitung yang paling tinggi, hal ini adalah bukti nyata"."
Waktu bicara wajahnya yang merah cerah tam-pak semakin cemerlang, sorot matanya memancar-kan sinar berseri yang penuh gairah, jelas ia sedang, membayangkan keberhasilan dan kegagahannya masa lampau.
Tapi kegagahannya itu kian lama kian berlarut kembali mengikuti lewatnya sang waktu, kemudian ia menghela napas panjang, "Ai, sekalipun ilmu silatku terhitung paling tinggi di antara ketujuh tokoh itu, tapi akhirnya kalah juga di tangan dua orang."
"Ah, apa" Masa di dunia ini masih terdapat orang lain yang memiliki ilmu silat lebih hebat da-ri padamu?"
"Ilmu silai yang ada di dunia ini sangat luas bagaikan samudra yang sukar diukur dalamnya, sampai di mana pun kepandaian yang kau pelajari belum bisa dianggap nomor satu, atau dengan per-kataan lain, di antara yang tangguh masih ada yang lebih tangguh lagi.
"Sekalipun aku kalah di tangan dua orang yang
kumaksudkan tadi, akan tetapi mereka sendiripun agak jeri padaku".."
Ji-sia memang ingin mengetahui persoalan mengenai
orang-orang dunia persilatan, maka ia tanya pula, "Locianpwe, tujuh orang yang kau maksudkan tadi".empat pria dan tiga wanita itu, sebetulnya siapa" Dan siapa-siapa pula di antaranya yang sudah mati"."
Oh Kay-gak. tidak langsung menjawab perta-nyaan itu, sebaliknya berkata dengan suara lantang, "Sebetulnya kau ini anak murid Ban-pian-sin- kun Auyang Seng bukan" Ataukah secara tidak sengaja kau dapatkan ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian serta kitab pusaka Jiat-im-siang-gi-pit-keng?"
Melengak Bok Ji-sia mendengar perkataan itu, pikirnya,
"Kenapa ia ajukan pertanyaan ini padaku"..?"
Setelah berpikir sebentar, jawabnya, "Wanpwe
mendapatkannya secara tidak sengaja!"
"Siapa yang telah membantumu masuk ke tempat ini?"
Ji-sia geleng kepala, "Wanpwe tidak tahu si-apa nama orang itu, tapi kungfunya lihai sekali."
Selama tanya jawab berlangsung, mata Oh Kay-gak yang tajam menatap wajah Bok Ji-sta tanpa berkedip, sebab itulah ia tahu pemuda itu tidak berbohong, maka setelah menghela napas panjang, katanya, "Ketujuh orang itu disebut sebagai Bu lim-jit-coat (tujuh tokoh top dunia persilatan)?"
"Kalau begitu, Locianpwe adalah Ban-kiam-sinkun"." seru Ji-sia terperanjat.
Oh Kay-gak mengangguk, "Dahulu aku memang barnama
Ban-kiam-sinkun, terutama selama berkecimpung dalam dunia persilatan. Tapi kegagahanku tempo dulu bagaikan air yang mengalir dan tak pernah kembali lagi, kini yang tertinggal hanya kenangan belaka".Pemimpin Jit-coat tentu saja diriku, orang kedua adalah Ban-pian-sinkun Auyang Seng, kami berdua adalah sahabat sehidup semati, berikutnya adalah istriku, tapi di antara kami ber-tiga ada dua orang di antaranya telah tiada, sedang beberapa hari lagi aku pun akan menyusul mereka".."
"Locianpwe, kenapa Hujin (nyonya) juga me-ninggal
dunia?" tanya Ji-sia dengan menyesal.
Mendengar pertanyaan itu, timbul rasa sesal dalam hati Oh Kay-gak, rambutnya yang berwarna perak gemetar keras, air mata jatuh bercucuran.
"Ia".ia mati di tanganku, aku menyesal se-kali, aku telah salah membunuhnya".Semua ini adalah gara-gara adikku dan kakakku?"Ai, se-tiap kali teringat kembali peristiwa itu, hatiku men-jadi sedih, lebih baik jangan dibicarakan lagi, kelak kau tentu akan tahu sendiri."
"Kalau begitu, kematiannya tentu disebabkan oleh satu alasan.., ." pikir Ji-sia diam-diam.
Walaupun hanya satu alasannya, mana dia tahu bahwa persoalan budi dan dendam di an-tara ketiga Oh bersaudara itu begitu rumit, berliku-liku dan tidak terlepas juga dari soal
"cinta".
"Locianpwe, lantas siapa pula keempat orang yang lain?"
tanya si anak muda lebih lanjut
Oh Kay-gak berusaha mengendalikan pergolak-an
emosinya, ia pejamkan mata rapat-rapat, lalu men-jawab,
"Selanjutnya adalah Han-bwe-kokcu, Bwe- hiang-sian-ki, lalu Hian-thian-koancu Kun-tun Cin-jin, Pek-si-kui-po (nenek setan berambut putih) Jik Say-kiau, dan akhirnya seorang aneh yang misterius, Si-hun-koay-sat-jiu (tangan aneh pembetot sukma).
"Kungfu beberapa orang gembong iblis itu rata-rata sangat hebat, hati kejam dan membunuh orang tanpa berkedip, mereka berdiri di antara baik dan jahat dengan watak yang aneh, lain waktu bila kau berjumpa dengan mereka, sebaiknya menyingkirlah jauh-jauh,"."
Mendengar itu, Ji-sia jadi teringat pada per-temuannya semalam dengan Bwe-hoa-sian-kiam. Tong Yong-ling, ia lantas berkata, "Locianpwe, se-malam Wanpwe dengar Bwe-hiang-sian-ki telah mengutus murid perempuannya Bwe-hoa-sian-kiam datang ke Thian-seng-po untuk menyampaikan amanat gurunya, cuma tak tahu pesan itu untuk adikmu Oh Kay-thian ataukah untuk engkau sendiri."
Air muka Oh Kay-gak seketika berubah hebat, tapi hanya sekejap lantas tenang kembali, ia meng-hela napas panjang, katanya, "Bila kau berjumpa dengan muridnya, lebih baik mengalah saja, kata-kan diriku sudah meninggal dunia, budi dan den-dam di masa silam pun ikut hapus. Aii.., jika ia per-gi mencari Samte, mungkin dia akan terjebak tipu muslihat kejinya."
Bok Ji-sia merasakan Oh Kay gak mempunyai rahasia yang tidak dipahami orang, tapi lantaran ia tidak mau bicara, maka iapun tidak tahu, terpaksa rahasia itu akan dibongkarkan pelahan.
"Locianpwe," kembali Ji-sia bertanya, "kau-bilang di dunia dewasa ini ada dua orang yang memiliki ilmu silat setaraf denganmu, siapakah ke-dua orang itu?"
Sekilas senyuman pedih menghias wajah Oh Kay-gak, ia menghela napas dan berkata, "Mereka adalahi seorang laki-laki dan saorang perempuan, yang laki-laki adalah saingan
cintaku, tapi juga tuan penolongku, dia berhati busuk, dan kejam, dengan pelbagai akal ia berusaha membunuhku.
Sedangkan yang perempuan cantik jelita bak bidadari dari kayangan, tapi orangnya ketus dan angkuh, sekalipun jatuh cinta kepadaku, tapi belum pernah menguta-rakannya perasaanya padaku, akhirnya ia menjadi sangat benci padaku, saking bencinya kalau bisa ingin menghancur lumatkan tubuhku".Di antara kedua orang ini, ilmu silat yang perempuan lebih hebat, tapi jalan pikirannya juga aneh dan ekstrim, kalau dibilang Bu-lim-jit-coat adalah tokoh golongan sesat, maka bila dibandingkan dengan dia ibaratnya anak kecil ketemu raksasa. Ai, sebabnya aku hidup menyendiri selama delapan belas tahun di sini, bo-leh dibilang semua ini adalah hasil karya kedua orang itu"..Tapi, aku hanya membenci pada diri sendiri, kenapa menyesali orang lain?"?""
Bicara sampai di sini, tiba-tiba ia berhenti dan memandang atap rumah dengan air muka yang ber-ubah-ubah, agaknya ia rada bimbang, perlukah mengungkapkan rahasia hatinya atau tidak.
Tapi akhirnya ia berhasil mengendalikan per-golakan perasaannya, air muka berubah-ubah pun menjadi tenang kembali, katanya setelah menghela napas panjang, "Tak dapat kuberitahukan nama kedua orang ini kepadamu, harap kau maklum akan kesulitan ini."
"Ucapan Locianpwe terlalu serius, Wanpwe hanya ingin tahu nama para tokoh angkatan tua saja, padahal bagiku sama sekali tak ada manfaatnya, tidak tahu pun tidak menjadi soal."
Tiba-tiba Oh Kay-gak tersenyum, katanya "Nak, kau pasti menduga diriku ini penuh dengan teka-teki bukan" Benar, tapi teka-teki ini adalah dosa perbuatanku yang tak dapat kuceritakan. Sekarang hendak kuberi beberapa urusan agar kau lakukan, selain itu akan kulakukan pula Gi-kin-huan-meh (menggeser otot berganti nadi) untukmu agar kau-dapat
mempergunakan jurus-jurus silat Jiat-im-siang-gi-pit-keng itu, mungkin di dunia ini hanya aku se-orang yang memiliki kepandaian ini.
Mendengar janji tersebut, Ji-sia merasa ragu dan gembira.
Ia ragu apakah Oh Kay-gak betul-betul me-miliki
kemampuan tersebut" Sebab tokoh macam Ban-pian-sin-kun Auyang Seng yang memiliki tenaga dalam serta kecerdasan yang begitu lihay pun tewas akibat urat nadinya pecah karena berlatih ilmu da-lam kitab Ji-im-siang-gi-pit-keng, mungkinkah orang dapat mengubah nasibnya sehingga ilmu silat yang dilatih dengan susah payah itu dapat digunakau se-bagaimana mestinya"
Ia pun girang karena selanjutnya dapat berkelana dalam dunia persilatan dan membalas den-dam.
Tampaknya Oh Kay-gak dapat menebak suara hati Bok Jisia, sesudah menghela napas, katanya, "Nak, sebetulnya aku tidak memiliki kemampuan semacam itu, akan tetapi lantaran kepandaian silat yang kulatih setengahnya beraliran jahat dan se-tengahnya lagi baik, maka aku memiliki kemampuan membuat ilmu silat sesat tak sampai mence-lakai badan sendiri, cuma kepandaian semacam ini?"
Sebetulnya ia hendak mengatakan bahwa se-telah
menggunakan kepandaian itu jiwanya akan segera melayang, tapi karena kuatir Ji-sia menolak penyembuhannya bila mengetahui hal itu, maka ia urung cerita lebih lanjut.
Memang, kalau Ji-sia tahu akan rahasia itu, dia tak akan mengorbankan jiwa kakek ini untuk di-tukar dengan nyawa sendiri, sekalipun setelah mem-peroleh pengobatan itu kepandaian silatnya akan menjadi lebih tangguh dan hebat.
Saking terharunya, air mata jatuh membasahi pipi Ji-sia, katanya dengan sedih, "Bila Locianpwe bersedia memenuhi harapan Wanpwe untuk menuntut balas, bukan saja
sepanjang hidup Wanpwe akan mengingat budi kebaikan ini,
sekalipun sakit hati Locianpwe juga akan Wanpwe selidiki hingga jelas dan menuntut balas bagimu".."
Air muka Oh Kay-gak berubah menjadi serius, katanya dengan sungguh-sungguh, "Nak, selama hidupku enggan menerima budi kebaikan orang, ka-lau tidak kusuruh kau lakukan, jangan kau lakukan apa pun bagiku"
Ji-sia melengak, terpaksa jawabnya, "Wanpwe akan turut semua perintah Cianpwe!"
Sekali lagi Oh Kay-gak menghela napas, air mukanya berubah lembut, dan penuh kasih sayang, katanya, "Nak, bolehkah kutahu nama dan asal usulmu?"
"Locianpwe, aku she Bok bernama Ji-sia, asal usul dan pengalaman Wanpwe diliputi rasa malu yang luar biasa, aku tak berani menceritakannya, harap engkau sudi memaafkan
,"." Ji-sia melakukan hubungan badan dengan ibu-nya sendiri akibat dicekoki obat perangsang oleh musuh, kejadian ini membuat ia merasa malu dan menyesal, sudah barang tentu ia tak berani mence-ritakan peristiwa yang memalukan ini.
"Ai, kalau orang yang sedih bertemu dengan orang yang berduka tentu saja hati bertambah se-dih," bisik Oh Kay-gak sambil menghela napas,
"Nak, kau masih muda, hari depanmu masih cerah lebih baik jangan terlalu mengingat kejadian lama, kau harus menggunakan masa hidupmu yang terbatas uutuk
menciptakan kesuksesanmu,"
"Terima kasih atas nasihat Cianpwe!"
Ketika mengucapkan kata-kata tersebut, hati Ji-sia timbul perasaan sedih luar biasa. Menciptakan kesuksesan" Baginya adalah hal yang tak berani di-harapkan dalam hidupnya ini, asal ia mampu mem-balas dendam, maka ia bertekad
mengakhiri kehi-dupan sendiri untuk menebus dosanya.
Dilihatnya Oh Kay-gak memejamkan matanya, wajahnya sebentar marah sebentar girang, berubah tak menentu, agaknya lagi tenggelam mengenang masa silam, seakan-akan sedang menimbang suatu masalah yang maha penting yang sukar diputuskan.
Ji-sia menjadi bingung menghadapi keadaan seperti ini.
Tiba-tiba Oh Kay-gak membuka matanya dan menatap
wajah Ji-sia dengan sorot mata tajam, sambil tertawa sedih katanya, "Bocah ini adalah orang yang paling kusukai selama ini, terpaksa aku harus melanggar sumpahku dulu.
Ucapan ini sangat aneh dan membingungkan, Ji-sia
melenggong sejenak lalu bertanya, "Ucapan Locianpwe mengandung maksud yang sangat da-lam, entah?""
Oh Kay-gak tersenyum, selanya, "Sebetulnya ingin kubawa sebuah benda mestika ke liang kubur, tapi sekarang kuputuskan untuk menghadiahkannya kepadamu."
"Benda mestika dunia persilatan hanya barang sampingan, lagipula?""
"Lagipula adalah benda yang membawa alamat jelek,"
tukas Oh Kay-gak, "bila dibawa terkadang akan mendatangkan bencana besar, begitu bukan" Tapi bila mestika ini sampai didapatkan Samte atau kakakku, akibatnya pasti akan mendatangkan ben-cana yang lebih besar lagi. Coba kau pikir bagaimana keputusanku" Kalau kau mau, maka akan kuhadiahkan benda ini padamu. Dan lagi, jika kau Ingin menjagoi dunia persilatan tanpa tandingan, mestika ini harus kau terima."
"Perkataanku tadi tidak bermaksud demikian, tapi maksud Wanpwe telah banyak menerima budi kebaikan engkau orang tua, Wanpwe merasa tak berani menerima pemberian mestika itu lagi."
Oh Kay-gak tertawa, "Hah, sungguh tak ter-sangka akulah yang terlalu banyak curiga."
Ji-sia merasa setiap perkataan orang selalu mengandung arti yang dalam dan harus dipecahkan dengan berpikir lama, terpaksa katanya dengan su-ara nyaring. "Entah urusan apa yang harus Wan-pwe lakukan untuk Locianpwe" Silakan memberi petunjuk."
"Ada tiga soal yang kuserahkan padamu, per-tama,
selidikilah nasib seorang putri kesayanganku apakah ia masih hidup di dunia ini.
"Apakah benar nama puteri Cianpwe adalah Keng-kiau?"
tukas Ji-sia dengan cepat, "soal ini aku tahu jelas, kini ia menetap dalam benteng."
Semula Ji-sia mengira Oh Keng-kiau adalah putri Seng-gwat kiam Oh Kay-thiaa, Pocu Thian-seng-po sekarang, maka setelah bertemu dengan Oh Kay-gak ia sama sekali tidak membicarakan per-soalan tersebut.
Bergetar keras rambut Oh Kay-gak yang ber-warna perak, seperti lagi mengigau ia bergumam sendirian, "Ya dia, benar dia! Ternyata Samte be-lum lupa dan memberi nama tersebut kepada pu-triku. Aiii, Samte pasti amat menyayangi putriku itu dengan demikian hatiku pun dapat tenang."
"Locianpwe, apakah kau suruh Wanpwe men-ceritakan asal usulnya yang sebenarnya kepadanya?" tiba-tiba Ji-sia bertanya.
Dua titik air mata membasahi pipi Oh Kay-gak, dengan sedih katanya, "Tidak perlu, sekarang ia hidup dengan tenang dan gembira, buat apa ku singgung kembali kejadian lampau yang penuh ke-sedihan itu sehingga hati kecilnya terpukul"
Dia adalah satu-satunya putri kesayanganku, asal dia dapat hidup bahagia, matipun aku tenteram."
"Tapi, Locianpwe, mana boleh dia menganggap musuh
sebagai ayahnya?" ujar Ji-sia.
"Bok Ji-sia, jangan sembarangan kau bicara!" bentak Oh Kay-gak, "kalau kusuruh kau jangan ikut campur, maka jangan kau urus, ai?""
Setelah menghela napas sedih, tiba-tiba nada suaranya berubah menjadi lembut kembali, katanya, "Nak, tentu saja kau tidak tahu urusanku, siapa-kah yang tidak ingin putrinya mengetahui sesung-guhnya dia anak siapa" Padahal,
sebabnya aku ber-ada dalam keadaan seperti ini adalah dosa yang kulakukan sendlri, sekalipun saudaraku lupa dan amat menyiksaku".Ai, kita jangan membicara-kan persoalan ini lagi, aku hanya minta kepada-mu, jika bertemu dengan putriku, baik-baiklah kau jaga dia."
Ji-sia merasakan betapa ruwetnya hubungan diantara ketiga bersaudara Oh itu, sesungguhnya ada perselisihan apa di antara mereka" Diam-diam ia berjanji akan menyelidiki kejadian itu, ten-tu saja asal usul Oh Keng-kiau akan disampaikan kepada gadis tersebut, walaupun sekarang Oh Kay-gak melarangnya, padahal siapakah yang tak ingin melihat putrinya sendiri mengetahui asal-usulnya sendiri"
Rupanya Oh Kay-gak dapat menebak suara hatinya, ia menghela napas, air mukanya berubah lebih lembut, rasa sayang terpancar dari wajahnya, tangan kirinya lantas merogoh ke bawah kasur yang didudukinya dan mengeluarkan sebuah bung-kusan kecil.
"Urusan kedua adalah kuminta padamu untuk
mengembalikan bungkusan kecil ini kepada para ketua dan kesembilan aliran besar. Ai, peristiwa ini pun termasuk juga salah satu kesalahan yang kulakukan, isi bungkusan ini adalah tanda pengenal kesembilan aliran besar itu, benda ini jangan sekali-kali sampai dirampas orang, sebab benda ini menyangkut nasib beribu-ribu orang persilatan, kalau tidak, setelah mati pun arwahku akan men-derita."
Ji-sia terkesiap, dia tak mengira tanda kebesa-ran kesembilan aliran besar bisa terjatuh di tangannya, ia tahu benda-benda itu merupakan benda yang manguasai beribu-ribu nyawa anggota kesembilan aliran persilatan.
Diterimanya benda itu dengan kedua tangan, lalu
dimasukkan ke dalam saku, katanya serius, "Jangan kuatir Cianpwe, sekalipun badan bakal hancur, Wanpwe pasti akan menyerahkan sendiri benda-benda ini kepada para
Ciangbunjin kesem-bilan aliran besar itu."
"Kutahu kau pasti dapat melaksanakannya".." sambil tertawa Oh Kay-gak manggut-manggut, "per-mintaanku yang ketiga adalah supaya kau melin-dungi sebuah benda mestika yang akan kuhadiah-kan padamu dengan jiwa ragamu."
Mendengar ucapan tersebut, Ji-sia berpikir, "Agaknya benda itu pasti suatu benda yang penting sekali artinya"."
"Wanpwe pasti akan mempertaruhkan jiwa ra-gaku untuk melindungi benda yang Locianpwe ha-diahkan kepadaku, kalau tidak, bagaimana dapat kubalas budi-kebaikanmu,"
demikian katanya.
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba rasa sedih menghiasi Wajah Oh Kay-gak, sambil menghela na-pas katanya, "Setiap orang persilatan menganggap benda ini lebih penting daripada nyawa sendiri, kehidupanku pun sebagian besar dihabiskan karena benda ini, jadi boleh dibilang benda ini terhitung benda yang mendatangkan kemalangan, ai?""
Kembali ia menghela napas, dari punggungnya ia lolos sebuah benda emas yang bentuknya seperti ruyung, mirip ruyung Jian-kim-si-hun-pian yang digunakan Ji-sia, cuma saja ruyung ini bersarung sehingga orang lain tak tahu
bagaimanakah bentuk senjata tersebut.
"Nak, dapatkah kau tebak benda apakah ini?" tanya Oh Kay-gak sambil tersenyum.
"Wanpwe pikir benda ini tentu semacam senjata, melihat bentuknya, mirip sebuah ruyung panjang."
Oh Kay-gak manggut-manggut, ia tertawa mis-terius, lalu tanya pula, "Kau tahu apa nama ruyung ini?" "
Ji-sia menggeleng pertanda tidak tahu, semen-tara dalam hati ia pikir, "Aku bukan dewa, dari mana tahu nama ruyung ini?"
"Kau tahu asal usul ruyung Jian-kim-si-hun- pian yang berada padamu itu?" kembali Oh Kay-gak bertanya.
"Pengetahuan Wanpwe cetek sekali, karenanya kurang jelas atas asal-usul ruyung itu, tapi kutahu benda ini milik Ban-pian-sinkun."
"Benar, kata Oh Kay-gak sambil tertawa, "ru-yung emas Jian-kim-si-hun-pian padamu itu adalah senjata buatan sahabatku Ban-pian-sin-kun dengan meniru Jian-kim-si-hun-pian sebagai contoh"
"Apa" Maksudmu Jian-kim-si-hun-pian ada yang asli dan ada pula yang tiruan?" seru Ji-sia ter-peranjat.
"Andaikata Jian-kim-si-hun-pian yang berada padamu adalah barang asli tentu sejak tadi-tadi sudah dirampas kakakku".."
Sejak Ji-sia memperoleh ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian tersebut, ia selalu menganggap benda mestika yang tajam sekali, karenanya selalu menyimpan dengan hati-hati, tapi ia tidak tahu ben-da itu adalah palsu, sedang Jian-kim-si-hun-pian yang asli justru merupakan ruyung mestika yang diincar setiap orang persilatan.
"Locianpwe!" kata Ji-sia kemudian, "ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian yang berada padaku ini tajamnya luar biasa, malah tak kalah tajamnya dibandingkan pedang mestika mana pun, lantas be-tapa tajamnya ruyung yang asli?"
Oh Kay-gak tersenyum, "Ruyung asli ini bu-kan tajam saja, juga mempunyai daya guna yang bisa bikin orang menjulurkan lidah, bila seorang membawa Jian-kim-si-hun-pian, jago persilatan kelas satu manapun akan jeri padanya."
Ji-sia hanya setengah percaya setengah tidak atas
keterangan itu, pikirnya, "Tak mungkin dia mengibul padaku, mungkin ruyung ini terlebih tajam daripada pedang
mestika".."
Oh Kay-gak dapat meraba sikap Ji-sia yang meragukan keterangannya, ia tertawa tak acuh, ka-tanya, "Kalau tidak percaya, segera kubuktikannya di hadapanmu."
"Cring!" bunyi gemerincing berkumandang, ruangan yang semula redup segera bermandikan cahaya keemasan.
Tahu-tahu Oh Kay-gak telah memegang se-bilah ruyung emas yang bersinar cemerlang dan penuh kaitan kecil, cahaya emas ruyung memancarkan hawa dingin. Sekilas pandang saja Ji-sia segera mengakui Jian-kim-si-hun-pian miliknya masih kalah jauh bila dibandingkan dengan ruyung mestika ini, se-bab ruyungnya tak dapat memancarkan sinar dingin yang tajam itu, sebaliknya ruyung orang dapat me-mancarkan pula sinar keemasan yang luar biasa cemerlangnya.
Kata Oh Kay-gak sambil tertawa, "Keistimewaan ruyung ini tidak terletak pada cahayanya, sekarang perhatikan baik-baik, akan kugelarkan senjata ini di hadapanmu."
Sambil berkata, Oh Kay-gak segera menggetar-kan tangan kanannya".suara gemerincing nya-ring bergema"..
Dalam waktu singkat, sinar kemilau terpancar ke empat penjuru, sinar yang terpancar itu seakan-akan beribu-ribu ekor ular emas kecil yang sedang menjulurkan lidahnya.
Kejut dan girang Ji-sia menyaksikan semua itu, pujinya berulang kali, "Ruyung bagus! Ruyung bagus! Sungguh ruyung nomor wahid di dunia, sungguh tidak bernama kosong".."
"Kau sudah mengetahui kegunaan ruyung ini?" tanya Oh Kay-gak sambil tertawa.
Ji-sia hanya merasa ruyung itu memancarkan sinar yang menyilaukan dan tidak tahu dimana letak keistimewaannya, maka pertanyaan itu membuat-nya menjadi gelagapan.
"Wanpwe hanya tahu ruyung ini sangat bagus," katanya terbata-bata, "tapi tidak kuketahui di mana letak
kehebatannya, harap Locianpws bersedia memberi petunjuk."
"Tadi kukatakan tajam ruyung ini melebihi pedang mestika, tentu bukan cuma mengibul belaka, bukankah sewaktu kugelarkan ruyung tadi kaulihat sendiri beribu-ribu ekor ular emas berhamburan dari senjata ini?"
"Locianpwe, apakah kaitan tajam pada batang ruyung dapat dilontarkan dengan dorongan tenaga dalamnya?"
"Betul!" Oh Kay-gak mengangguk, "kaitan pa-da ruyung ini akan menjulur ke depan pada saat kau kerahkan tenaga dalam, panjang atau pendeknya kaitan tergantung pada kuat atau lemahnya tenaga dalam seorang, cuma paling panjang hanya menca-pai dua kaki, karena itu tatkala ruyung berputar, maka seratus delapan buah kaitan kecil di seluruh batang ruyung akan memancar keluar dan membuat orang sukar menduganya, senjata ini sungguh sen-jata yang amat lihay.
"Malah benang baja dan kaitan pun tajam se-kali, senjata apa pun yang membenturnya bisa ter-puntir patah. Selain itu, waktu ruyung berputar akan menimbulkan suara yang nyaring dan mem-betot sukma, hal ini membuat ruyung mestika ini bertambah hebat."
Mendengar itu, diam-diam Ji sia menghela na-pas, mimpi pun tak tersangka olehnya bahwa di dunia terdapat seorang yang begitu cerdik sehingga sanggup menciptakan senjata mestika semacam itu. Oh Kay-gak menghela napas, katanya kemu-dian, "Ruyung emas pembetot sukma (Jian-kim-si- hun-pian) ini kuhadiahkan kepadamu, semoga kau menyimpannya
dengan baik dan dipergunakan un-tuk perbuatan mulia, ciptakanlah pekerjaan besar yang bermanfaat bagi umat persilatan."
Terkesiap Ji-sia atas pemberian itu, sahutnya, "Kecerdasan dan kemampuan Wanpwe cetek sekali, tidak pantas bagiku untuk memegang senjata mes-tika semacam ini".."
Tiba-tiba Oh Kay-gak mendengus, "Hm, apa-kah kau
menghendaki ruyung ini jatuh ke tangan orang lain?"
Bicara sampai di sini, ia masukkan ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian itu ke dalam sarungnya, lalu berkata pula "Mulai sekarang ruyung ini telah menjadi milikmu!"
Lalu dengan kedua tangannya ia sodorkan ruyung itu ke hadapan Bok Ji-sia. Anak muda itu tak berani menolak, sambil berlutut ia menerima ruyung mestika itu, padahal rasa gembira dalam hati tak terkirakan.
Setelah termenung sebentar, kembali Oh Kay-gak berkata,
"Ruyung Jian-kim-si- hun-pian palsumu Itu adalah hasil karya sobatku Ban-pian-sinkun Auyang Seng, oleh karena ia gemar membuat ru-yung dan mengetahui kupunya ruyung aslinya, maka iapun membuat sebuah ruyung tiruan, dia adalah seorang cerdik dan berbakat bagus, barang buatannya memang persis sekali dengan aslinya, cu-ma sayang senjata buatannya tidak dapat meman-carkan sinar mustika serta kegunaan istimewa lain-nya. Ai, tak nyana sobat karibku telah mangkat mendahului diriku"."
Ji-sia ikut menghela napas sedih, teringat akan nasib dan pengalaman sendiri yang tragis, ia menja-di sedih juga.
Tiba-tiba Oh Kay-gak melototi Ji-sia dengan sinar mata yang tajam, kemudian dengan suara be-rat katanya, "Ruyung Jian-kim-si-hun-pian adalah benda yang kubela selama ini dengan mati-matian, sekarang kuhadiahkan padamu, kuharap jagalah benda ini baik-baik. Di samping itu, ruyung ini menyangkut pula beberapa peristiwa pembunuhan berdarah,
walaupun sudah delapan belas tahun tak muncul dalam dunia persilatan, tapi menurut apa yang kuketahui, masih terdapat sekian banyak jago persilatan yang ke sana kemari mencari kabar tentang senjata ini.
Terutama beberapa gembong iblis tua yang ter-libat dalam peristiwa berdarah ini, kupikir mereka masih hidup sampai sekarang, maka kuharap kau-simpan senjata yang
mendatangkan ketidakberun-tungan ini segara baik-baik, sebab dengan bentuk-nya yang aneh serta sinar mestikanya yang cemer-lang, dengan cepat akan menimbulkan perhatian orang yang mungkin akan mengakibatkan terjadi-nya badai besar dalam dunia persilatan.
"Terhadap kakak dan adikku, kau pun perlu hati-hati, sebab mereka ada maksud hendak me-rampas ruyung itu, kau harus berjaga-jaga terhadap sergapan dan tindakan licik mereka."
"Locianpwe, dapatkah kau jelaskan sedikit ten-tang peristiwa pembunuhan tersebut" Agar menam-bah
pengalaman serta pengetahuan Wanpwe."
Oh Kay-gak menghela napas sedih, "Waktu yang amat
singkat ini tak mungkin bagiku untuk menceritakan semua kejadian tersebut, yang pen-ting ingatlah baik-baik, bila tidak terlalu terdesak, lebih baik jangan kau perlihatkan ruyung mestika ini."
"Wanpwe akan mengingatnya selalu, harap Cianpwe tidak kuatir."
Oh Kay-gak mendongakkan kepala dan mena-tap sekejap atap rumah sambil termenung, lalu ka-tanya lagi, "Ruyung ini bukan cuma berharga, ju-ga ada sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah, selain itu mengandung pula suatu rahasia besar yang menggetarkan hati setiap orang."
"Aku sudah bersumpah tak akan membocorkan rahasia ini kepada siapapun, lagipula berlaku suatu ketentuan bahwa hanya yang berjodoh saja yang akan mendapatkan benda
mestika ini, maka setelah kuhadiahkan ruyung emas ini padamu, bisa atau tidak kau membongkar rahasia ini bergantung pada soal jodoh atau tidaknya kau dengan benda ini."
Ji-sia terkejut mendengar keterangan itu, pikir-nya, "Dia bilang ruyung ini mengandung suatu ra-hasia besar, rahasia apakah itu" Sungguh bikin orang tak habis mengerti".."
Berpikir demikian, tanpa terasa ia pandang tangkai ruyung tersebut, tapi ia tidak menemukan sesuatu yang aneh, ia pikir batang ruyung yang penuh kaitan tajam itu jelas bukan tempat menyim-pan benda mestika, maka perhatiannya beralih ke tangkai senjata itu.
Dengan sinar mata tajam Oh Kay-gak melirik Bok Ji-sia sekejap, lalu geleng kepala berulang kali, setelah menghela napas sedih, katanya, "Nak, sim-panlah ruyung ini di pinggangmu! Ruyung ini ter-buat dari emas lembek yang khas, ia bisa ditekuk atau diluruskan sekehendak hatimu.
Walaupun jurus-jurus dalam Jiat-im-siang-gi-pit-keng telah kaupelajari, namun masih belum cukup untuk
mengembang-kan kehebatan ruyung Jian-kim-si-hun-pian ini, se-karang akan kuajarkan tiga jurus ilmu ruyung yang maha lihay dan beberapa macam kepandaian lain seperti Kim-na-jiu, Hut-hiat-jiu-hoat dan Ceng-meh-sin-hoat, kuharap kau perhatikan baik-baik."
Air mata jatuh bercucuran saking terharunya, Ji-sia merasa kebaikan Oh Kay-gak kepadanya melebihi apa pun.
Sememtara itu Ji-sia telah melilitkan ruyung Jian-kim-si-hun-pian tersebut pada pinggangnya di balik pakaian, yang tampak dari luar hanya seba-gian tangkainya, kemudian ia
menjatuhkan diri berlutut di hadapan kakek itu.
"Budi kebaikan Locianpwe yang besar ini, en-tah cara bagaimana Wanpwe dapat membalasnya?" katanya dengan suara gemetar.
Mencorong sinar mata Oh Kay-gak, katanya, "Nak, jika kau merasa berhutang budi kepadaku, maka lindungilah selama hidup putriku di kemudian hari dengan sepenuh tenaga, tindakanmu itu sudah cukup memuaskan hatiku,
cuma"..sanggup-kah kau melakukannya?"
Ji-sia bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menangkap arti perkataan Oh Kay-gak tersebut, melindungi putri Oh Kay-gak selama hidup dengan sepenuh tenaga bukankah sama artinya su-ruh dia mengawininya menjadi istri"
Perkataan Oh Kay-gak segera menimbulkan rasa sedih anak muda itu, sejak melakukan hubu-ngan badan dengan ibunya sendiri, ia sudah tak punya muka untuk hidup lagi di dunia ini, andai-kata tiada kobaran api dendam yang mendorong-nya untuk hidup, tak nanti dia bertahan hidup sampai sekarang, diam-diam ia memutuskan bahwa tiada kebahagiaan hidup baginya dalam kehidupan ini, bilamana sakit hati telah terbalas, ia bertekad hendak menghabisi nyawa sendiri. Sebab itu, pera-saannya sudah tak tertarik lagi terhadap kaum wanita, kendatipun gadis itu memiliki kecantikan yang luar biasa.
Ketika Oh Kay-gak melihat Ji-sia tidak berkata apa-apa, wajahnya kembali menjadi murung, ia be-tul-betul merasa kecewa sehingga rambutnya yang beruban tampak agak gemetar.
"Ai," dia menghela napas sedih, "jodoh ma-nusia memang telah ditakdirkan, manusia tak dapat memaksanya"."
"Locianpwe, kuterima maksud baikmu itu!" mendadak Ji-sia berteriak.
Ji-sia adalah pemuda yang perasa, budi ke-baikan Oh Kay-gak kepadanya telah memberi ke-san bahwa kakek tersebut adalah seorang yang pe-nuh welas kasih, ia tahu kakek itu terlalu menyendiri dan kesepian, bagaimanapun ia tak tega membuatnya kecewa dan bersedih.
Apalagi setelah mendengar ucapan Oh Kay-gak bahwa
"jodoh manusia sudah takdir"." perkataan ini menimbulkan pikirannya untuk menyanggupi permintaanya, sebab belum tentu Oh Keng-kiau su-ka padanya, maka ia menerima permintaan itu agar Oh Kay-gak tidak terlalu bersedih.
Betul juga, Oh Kay-gak menjadi amat senang mendengar perkataan itu, ia lantas mengajarkan ilmu rahasianya kepada pemuda itu, kepandaian itu boleh dibilang jurus-jurus aneh yang jarang ada di dunia. Ji-sia adalah pemuda yang cerdas, lagipula ia menanggung dendam, agar cita-citanya berhasil ma-ka ia pusatkan perhatiannya untuk belajar dengan tekun.
Cahaya senja menghiasi angkasa, sang surya pelahan terbenam di ufuk barat".
Oh Kay-gak memandang sekejap cuaca di luar, kemudian katanya sambil tertawa, "Nak, kau amat cerdas, sekarang semua kepandaianku telah kau pelajari, jika kepandaian ini dapat kau kombinasikan dengan jurus-jurus silat menurut ajaran Jiat" im-siang-gi-pit-keng, maka tak sulit bagimu untuk merajai dunia persilatan, sekarang yang kurang adalah masih ceteknya tenaga dalammu, tapi bisa kubantumu dengan segala kemampuanku agar te-naga dalammu yang hilang bisa pulih kembali se-perti hasil latihan berpuluh tahun,"
Ji-sia masih juga belum memahami maksudnya, dengan bimbang ia berkata, "Loeianpwe, kau bilang sebentar aku akan memiliki tenaga dalam seperti ha-sil latihan beberapa puluh tahun?"
"Ya, kalau tak salah, satu jam lagi kau akan memiliki tenaga dalam seperti hasil latihan dua pu-luh tahun," kata Oh Kay-gak dengan suara pedih, "jika dalam satu tahun"
mendatang bisa kau latih de-ngan tekun, maka tenaga dalammu akan maju pesat seperti tenaga latihan enam puluh tahun, tentu saja soal cepat atau lambatnya kemajuan yang akan kau capai bergantung pada bakat serta tekadmu sendiri."
Ji-sia masih juga belum paham maksudnya, ia tanya pula
"Locianpwe, apakah urat nadiku telah mengalami perubahan?"
"Belum, sekarang juga akan kulakukannya bagimu, untuk sementara waktu duduklah di hadapan ku."
Ji-sia menurut dan duduk bersila di hadapan orang tua itu.
"Nak, ingin kuperingatkan dirimu lagi," kata Oh Kay-gak lebih lanjut, "yakni sebelum tenaga dalammu betul-betul mencapai kemajuan yang pesat, janganlah terlampau
menonjolkan kepandaianmu sendiri, sekalipun menurut perkiraanku tenaga dalam-mu sekarang cukup untuk
menandingi jago kelas satu dalam dunia persilatan, namun orang persilat-an kebanyakan licik dan banyak akal muslihatnya, ada sementara persoalan yang tak mungkin bisa di-lawan dengan mengandalkan ilmu silat belaka.
"Terutama bila menghadapi kakakku Oh Ku- gwat serta Samteku Oh Kay-thian, dasar tenaga dalammu sekarang mungkin masih kalah jauh dari-pada mereka berdua, pula setelah delapan belai ta-hun entah kepandaian apa lagi yang mereka kuasai, oleh sebab itu sulit buat menandinginya, cuma dengan jurus ilmu silatmu, untuk melindungi jiwa sendiri kukira tidak menjadi soal.
"Jurus-jurus yang kuwariskan kepadamu me-rupakan jurus silat yang mengandalkan kelincahan, asal kau apal
penggunaannya bisa menutupi keku-rangan tenaga dalammu.
"Samteku Oh Kay-thian adalah seorang yang jahat dan kejam, kecerdasan otaknya luar biasa, lagipula dia telah memperoleh sejilid kitab racun yang hebat, mungkin cara menggunakan racunnya terhitung nomor wahid di dunia, hati-hatilah bila bertemu dengan dia.
"Ai, selama delapan belas tahun Samteku Oh Kay-thian menguasai Thian-seng-po, mungkin ke-banyakan jago-jago tangguh golongan hitam sudah berhasil dijaring untuk
berpihak kepadanya, hal ini membuat ambisinya menguasai dunia persilatan makin besar, semua ini boleh dibilang adalah dosa serta kesalahanku."
"Harap Locianpwe jangan risau," kata Ji-sia lantang,
"Wanpwe dapat menjaga diri baik-baik, bilamana perlu pasti akan kucegah ambisi jahat adik Cianpwe itu."
Oh Kay-gak manggut-manggut, "Mati hidup dunia
persilatan sudah berada di atas pundakmu, apalagi sekarang kau memiliki beberapa macam benda mestika, setelah sadar nanti harap kau berangkat dengan segera ke Siau-lim-si di Siong-san, serahkanlah tanda kepercayaan kesembilan aliran besar ini kepada Ketua Siau-lim-pay, Pek-hui Siansu" Sekarang Ji-sia baru merasakan tanggung ja-wabnya berat sekali, segera sahutnya, "Wanpwe terima perintah!"
Mencorong sinar mata Oh Kay-gak, katanya dengan suara berat, "Cepat pusatkan pikiranmu, bagaimana pun rasa sakit dan penderitaan yang akan kau alami, terimalah dengan hati yang tabah"
Tengah bicara, dengan sepuluh jari tangan yang
dipentangkan beruntun Oh Kay-gak melancarkan tutukan pada urat nadi penting di sekujur tubuh anak muda itu.
Menyusul kemudian, kedua telapak tangan Oh Kay-gak ditempelkan pada tubuh Ji-sia dan mulai mengurutnya, hawa panas yang terpancar ke-luar dari telapak tangannya segera mendatangkan perasaan nyaman di tubuh Ji-sia, dirasakannya ada beberapa gulung hawa panas yang mengaliri selu-ruh urat nadinya dengan cepat.
Sekejap kemudian, tiba-tiba Bok Ji-sia merasakan darah dalam sekujur badannya bergolak dengan hebatnya, sungguh rasanya tak tahan.


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi dengan tenang ia memejamkan mata dan mengatur pernapasan, ia tahu nasibnya sekarang bergantung pada tindakan tersebut, begaimana pun dia harus menahan
penderitaan tersebut. Akan tetapi penderitaan itu kian lama kian tambah hebat.
Kedua telapak tangan Oh Kay-gak bagaikan dua potong baja membara yang menempel tubuhnya, membuat sekujur badan kepanasan dan sukar untuk ditahan, peluh membasahi badan bagaikan air hujan.
Sesungguhnya bukan ini saja yang membuat-nya menderita hebat, malah hawa panas telapak ta-ngan yang mengalir ke urat nadinya, gelombang demi gelombang menggetarkan tubuhnya, rasa sakit sungguh luar biasa, seperti tulang sekujur badan hendak retak, sedemikian hebatnya sakitnya hingga Jisia terkencing-kencing. Tapi Ji-sia berhati keras, sambil menggigit bi-bir ia tidak merintih atau mengeluh"..
Penderitaan semakin hebat, sekujur tubuh Ji-sia serasa dipotong menjadi beribu keping kecil, badan seakan digencet kekuatan besar yang membuatnya hancur luluh. Rasa sakit yang amat menyiksa ini membuat-nya tak sanggup bertahan lagi, benaknya mulai bu-tek dan pikiran kabur.
Pada saat itulah sekulum senyum mulai meng-hiasi wajah Oh Kay-gak, mukanya berseri dan me-mancarkan rasa puas.
Kesadaran Ji-sia pun mulai lenyap, sekujur badan sudah terlepas dari kontrol otak lagi. Pada saat itulah tiba-tiba Ji-sia mendengar ben-takan keras yang memekak telinga ibarat guntur menggelegar di siang hari bolong"..
Seketika itu juga otak dan tubuhnya seperti kena sambar geledek, seluruh tubuh seperti berte-baran di udara.
"Brak!" tubuh Ji-sia mencelat enam-tujuh tom-bak jauhnya seperti layang-layang yang putus, ia terlempar dan jatuh terkapar di atas tulang teng-korak berserakan di halaman dan tak sanggup ber-kutik lagi
Entah berapa lama sudah lewat tiba-tiba Ji-sia mendengar rintik air di tepi telinganya, terasa se-kujur tubuh basah kuyup seakan-akan terendam di didalam air. Ia membuka matanya
dengan cepat, tapi sua-sana remang-remang, tubuhnya tergeletak di atas tulang tengkorak yang berserakan, kiranya waktu itu hujan sedang turun dengan derasnya dan
membuat-nya basah kuyup.
Suasana di sekeliling tempat itu terasa sepi dan
mengerikan".
Ji-sia segera melompat bangun, ia merasa tu-buhnya enteng dan segar, rasa sakit dalam mimpi sudah lenyap.
Dengan sinar mata yang tajam ia mulai me-meriksa suasana dalam ruangan yang seram itu"..
Tapi kecuali hujan yang turun dengan deras-nya, suasana di sekitar tempat itu sunyi senyap tak kedengaran suara apapun.
Mendadak satu ingatan yang menakutkaa terlintas dalam benaknya, ia menggigil dan cepat me-nyusup ke dalam ruangan".
Walaupun suasana dalam ruangan itu gelap gulita, tapi ketajaman mata Ji-sia saat ini jauh ber-beda dengan keadaan tadi, waktu ia memandang ke sana, air mata lantas meleleh membasahi pipinya. Terlihatlah Oh Kay-gak duduk bersila di atas kasurnya, memejamkan mata rapat-rapat dan tubuh sama sekali tak bergerak, jenggotnya yang putih kini berubah menjadi merah, bibirnya tertutup rapat berlepotan darah, jelas ia sudah meninggal dunia sekian lama.
Rasa kaget dan sedih yang kelewat batas mem-buat Bok Jisia tak mampu menangis, ia hanya ber-lutut di hadapan jenazah tersebut dengan air mata bercucuran memandangi kakek berilmu tinggi itu dengan termangu. Kesedihan tanpa suara ini jauh lebih mendalam daripada isak tangis yang keras.
Walaupun Oh Kay-gak hanya berkumpul se-hari saja dengan dia, tapi Ji-sia telah mendapatkan budi kebaikan yang luar biasa darinya.
"Gerrr?" kilat menyambar dan guntur meng-gelegar di angkasa, hujan turun semakin deras.
Air hujan yang menimpa atap rumah menimbul-kan irama kesedihan yang memilukan. Thian seakan-akan ikut
melelehkan air matanya atas kematian tokoh aneh yang berilmu tinggi ini. Ji-sia berlutut di situ dan berdoa, lalu dia me-nyembah sembilan kali. Akhirnya dengan membawa
kesedihan yang luar biasa pelahan ia berjalan keluar ruangan itu.
Setelah kilat menyambar lagi di udara, hujan mulai mereda, dengan menahan kesedihan Ji-sia berdiri termangu di tengah halaman, ia pandang tengkorak manusia yang berserakan di atas tanah itu. Kemudian menghela napas.
Sedikit ia bergerak tahu-tahu sudah berada di atas tembok pekarangan, sekarang ia baru tahu tenaga dalamnya pulih kembali, bahkan jauh lebih sempurna dari dulu, tapi ia masih tidak menyangka telah memperoleh tenaga dalam sebesar puluhan tahun hasil latihan sekejap dari Oh Kay-gak.
Awan masih menggumpal di angkasa, cuaca masih kelabu.
Tapi ketajaman mata Ji-sia sekarang dapat me-lihat keadaan yang berada tujuh tombak di depan sana, dilihatnya bayangan orang sedang bergerak
Kening bekernyit, terkilas hawa nafsu membu-nuh pada wajahnya.
Mendadak, pesan terakhir Oh Kay-gak terlintas dalam benaknya, ia terkesiap dan berpikir, "Te-naga dalamku belum mencapai kesempurnaan, apa-lagi aku membawa beberapa macam benda mestika, lebih baik jangan menonjolkan kepandaian sendiri, orang yang berdiri di situ bukankah jelas sedang menantikan kedatanganku?"
Berpikir demikian ia lantas melompat turun dari dinding pekarangan dan bergerak menuju ke arah kiri"..Mendadak berkumandang suara tertawa dingin yang menyeramkan dari
atas pohon Pek-yang, se-sosok bayangan melompat turun dari atas pohon dan menghadang jalan pergi pemuda tersebut.
Siapakah penghadang ini"
Jilid 3 Agaknya bayangan sebelah sana juga tahu, de-ngan cepat ia mendekat, senjatanya segera dilolos. Dengan sorot mata yang dingin Bok Ji-sia menyapu pandang sekejap wajah orang-orang itu, ternyata mereka adalah kakek bertubuh tinggi tegap beserta dua belas orang laki-laki berbaju ringkas warna hitam.
Begitu berhadapan dengan Ji-sia, kakek tinggi besar itu seperti terperanjat, diam-diam ia berpikir, "Rupanya bocah ini belum mampus!"
Kiranya kakek bertubuh tinggi besar ini ada-lah gembong iblis kalangan hitam yang bernama Mo-in-jiu (tangan sakti) Kok Siau-thian.
Sejak menjadi anggota Thian-seng-po, oleh Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian secara khusus ia ditugaskan mengawasi gerak-gerik Oh Kay-gak, se-bab Oh Kay-thian tahu Oh Kay-gak memiliki beberapa macam benda mestika, karena kuatir di-dapatkan orang lain, maka secara khusus dia me-ngutus dua orang jago lihaynya untuk mengawasinya.
Mo-in-jiu Kok Siau-thian lantas tertawa dingin, tegurnya,
"Hei anak muda, apakah makhluk tua itu sudah mampus?"
Ji-sia mendengus, "Hm, kalian manusia busuk, sungguh tak tahu budi, setelah Pocu yang dulu di-celakai oleh Oh Kay-thian, bukannya kalian mem-belanya malah kalian mengaku musuh sebagai ma-jikan, sungguh manusia yang tak kenal budi! Malam ini juga orang she Bok akan membunuh kalian yang tak tahu budi dan tak setia".."
Belum habis perkataannya, segulung angin pu-kulan yang kuat langsung dilontarkan ke tubuh Kok Siau-thian. Sejak awal
Mo in-jiu Kok Siau-thian mere-mehkan Jisia. Karenanya ia tidak siap sedia, ia tidak mengira jurus serangan Ji-sia bisa begitu aneh dan sakti, keruan ia kagjt, tapi sudah terlambat.
Dalam gugupnya cepat telapak tangan kirinya berputar dan menangkis. Seperti diketahui, Ji-sia telah memperoleh sa-luran tenaga dalam Oh Kay-gak hasil latihan pu-luhan tahun, serangan itu sungguh luar biasa dah-syatnya, tubuh Mo-in-jiu Kok Siau-thian mencelat dan jatuh beberapa tombak jauhnya.
Begitu berhasil dengan serangannya, Ji-sia membentak, kedua telapak tangannya kembali bergerak ke depan, dua gulung angin pukulan maha dahsyat menyambar kedua belas orang laki-laki berbaju warna hitam itu. Ketika terkena pukulan yang dahsyat tersebut dua orang yang berada paling depan mencelat jauh ke belakang dengan muntah darah, nyawa mereka melayang seketika.
Mo-in-jiu Kok Siau-thian sendiri meski terbantiog ke atas tanah oleh pukulan Ji-sia tadi, na-mun bagaimanapun dia adalah seorang yang memi-liki tenaga dalam yang cukup kuat, dengan cepat hawa murninya disalurkan untuk menekan pergolak-an darah dalam rongga dadanya, lalu melompat bangun. Diiringi bentakan keras, secepat kilat ia me-nubruk lagi ke arah Ji-sia.
Waktu itu baru saja Ji-sia melepaskan suatu pukulan, melihat Kok Siau-thian menerjang tiba dengan garang, ia bergeser ke samping, dengan te-lapak tangan kiri ia sambut serangan tersebut?"
Belum sempat kaki Mo-in-jiu Kok Siau-thian menempel permukaan tanah, tiba-tiba segulung angin pukulan menekan tubuhnya, sebagai seorang jago golongan Hek-te yang terkemuka, apalagi kungfu andalannya adalah telapak tangan, ia ti-dak menjadi gugup. Tenaga segera dihimpun, kedua telapak tangan-nya melindungi dada dan pelahan didorong ke depan menyambut ancaman itu dengan keras lawan keras.
"Blang!" kedua orang sama tergetar mundur selangkah, sementara kesepuluh laki-laki berbaju hitam yang siap di samping segera manfaatkan kesempatan itu, cahaya perak berkelebat, sepuluh bilah pedang membacok kepala Bok Ji-sia dengan kecepatan luar biasa.
Tapi Ji-sia sekarang, bukan lagi Ji-sia tempo hari, bukan saja jurus maut dalam Jian-kim-siang-gi-pit-keng telah dikuasainya, iapun mendapat ajar-an ilmu sakti Oh Kay-gak, ia tak pandang sebelah mata terhadap serangan lawan, kini iapun tidak ra-gu lagi untuk mengerahkan tenaga dalamnya, se-bab penyakit dalam tubuhnya telah sembuh dan tenaga dalam sudah pulih, bahkan tambah sempur-na. Ia tertawa dingin, menerjang dengan suatu ge-rakan aneh ia cengkeram pergelangan tangan ka-nan dua orang lelaki kekar dan menggentakkannya kembali ke sana.
Jeritan ngeri berkumandang, kedua laki-laki kekar itu termakan pukulan pada dadanya, isi pe-rut mereka hancur, dengan tumpah darah tubuh mereka mencelat sejauh
beberapa tombak dan te-was seketika.
"Sreti Sret!" desing tajam pedang menyambar dari kiri dan kanan.
Cepat Ji-sia berputar sambil menghantam pung-gung kedua orang laki-laki lainnya, tak sempat menjerit lagi mereka pun roboh terkapar menyusul kakek moyangnya. Hawa napsu membunuh berkobar dalam dada Bok Ji-sia, begitu
menyelesaikan dua orang, ia me-lompat ke atas, kedua kakinya melancarkan ten-dangan berantai. Dua kali jeritan nyaring berkumandang, dua orang kena tertendang batok kepalanya hingga han-cur, darah dan isi benaknya berceceran.
Dalam waktu singkat Ji-sia telah membunuh delapan orang laki-laki berbaju hitam setiap gerak-annya cara pukulannya dan tendangannya merupakan gerakan yang aneh"..
Kobaran hawa napsu membunuh Ji-sia belum sirap, dengan suatu gerakan cepat ia mencabut ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian tiruan sambil tertawa seram"..
Di mana cahaya emas berkelebat, dengan gerak cepat senjata itu menggulung tubuh empat orang lain yang masih hidup"..
Jerit kesakitan berkumandang susui menyusul empat orang itu beruntun juga tewas secara me-ngerikan Selesai membunuh keempat orang itu, dengap sinar mata
menggidikkan Ji-sia menyapu pandang sekeliling tempat itu, tapi entah sejak kapan ternyata Mo-in-jiu Kok Siau-thian sudah melarikan diri"..
"Hahaha!"." pemuda itu bergelak tertawa dengan suara yang mengerikan, setelah memandang sekejap mayat-mayat yang terkapar di tanah, de-ngan suatu gerakan cepat ia melompat pergi dari situ"..
Walaupun ilmu silat Bok Ji-sia kini sudah amat lihai, tetapi pemuda itu masih merisaukan keselamatan tanda kepercayaan kesembilan aliran besar, ia kuatir dikerubut kawanan jago lihai dari Thia-seng-po, sebab betapapun kemajuan yang telah dicapainya, dua tangan melamanya sulit menahan empat kepalan, jika benda-benda itu sampai dirampas mereka, bukankah berarti ia mencelakai beribu jiwa" Maka anak muda itu bertekad kabur dari Thian-seng-po secepatnya, ia harus kembali ke istal kuda lebih dulu, kemudian baru menyusun ren-cana selanjutnya.
Sepanjang perjalanan ia bergerak cepat dan tidak
memperhatikan keadaan di tengah perjalanan, karena itu arah tujuannya menjadi salah. Sementara ia melakukan perjalanan cepat, tiba-tiba sesosok bayangan muncul di hadapannya.
"Bok-siauhiap, selamat atas keberhasilanmu!" se-ru orang itu.
Dari balik pepohonan muncul seorang kakek berjenggot panjang berwajah lembut dan beralis tebal, orang itu bukan lain adalah kakak Oh Kay-gak".Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat adanya.
Terkesiap Ji-sia demi berjumpa dengan orang itu, pikirnya,
"Wah celaka! Kalau apa yang dikata-kan Oh Kay-gak benar, orang ini pasti bermaksud jahat kepadaku."
Buru-buru Ji-sia menghimpun tenaga dan menahan gerak tubuhnya yang sedang menerjang ke depan itu, setelah memberi hormat, katanya, "Oh-locianpwe, terima kasih atas petunjukmu semalam, kini penyakit yang kuderita telah sembuh sama se-kali."
"Bok-siauhiap, bagaimana Jiteku sekarang?" tanya Oh Ku-gwat sedih.
Menyinggung soal Oh Kay-gak, timbul lagi kesedihan Ji-sia, air mata lantas bercucuran mem-basahi pipinya.
"Dia".dia orang tua telah meninggalkan du-nia yang fana ini".." desisnya.
Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat menghela napas, sekilas rasa sedih menyelimuti wajahnya, katanya, "Sesungguhnya aku berharap kau menolong Jiteku keluar, siapa tahu malah sebaliknya, jiwanya malah menjadi korban, ai".semua ini adalah kesalahan-ku, apalagi penyebab utama dari segala dosa ini adalah Samtcku yang berhati busuk itu."
Dengan air mata bercucuran Ji-sia berkata, "Aku pasti akan membalas dendamnya?"
"Ai".Bok-siauhiap!" kata Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat sambil menghela napas, "siapa yang akan kau cari untuk membalas sakit hati ini!"
"Setiap orang yang pernah mencelakainya akan kucari dan menumpasnya dari muka bumi!"
Mendengar ucapan ini, air muka Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat agak berubah, tapi hanya se-bentar saja lantas lenyap tak berbekas.
Tiba-tiba Ji-sia bertanya, "Oh-locianpwe, kau adalah kakaknya tuan penolongku, tentuuya kau tahu siapa yang telah mencelakainya?"
"Ai, panjang sekali ceritanya," kata Oh Ku-gwat sedih,
"persoalan pada masa silam telah lama lalu, yang tertinggal kini hanya sakit hati, entah sampai kapan semuanya ini baru akan berakhir?"
Ketika berjumpa untuk pertama kalinya de-ngan Oh Ku-gwat, Ji-sia memang sudah menaruh kesan baik, apalagi setelah menyaksikan rasa menye-sal yang menghiasi
wajahnya ini, tanpa terasa ia lan-tas berpikir, "Menurut Oh Kay-gak, kakaknya adalah seorang manusia yang licik, mungkin dahulu ia memang manusia semacam itu, tapi delapan be-las tahun kemudian, siapa tahu dia telah menyesali perbuatan itu dan bertobat" Rasanya bila ku-ingin menyelidiki semua budi dan dendam tentang Oh Kay-gak pada masa lalu, harus kuselidiki dari orang ini"."
Berpikir sampai di sini Ji-sia lantas berkata, "Oh-locianpwe, Jitemu berbudi setinggi bukit ke-padaku, soal sakit hatinya akan Wanpwe selidiki hingga menjadi jelas, sekarang berhubung Wanpwe masih ada urusan penting lainnya, terpaksa aku mesti pergi dulu, jika Locianpwe tak ada. urusan lain, terpaksa aku mohon diri saja."
"Tunggu sebentar Bok-siauhiap," buru-buru Oh Ku-gwat mencegah, "masih ada sedikit urusan yang hendak
kubicarakan denganmu, masalah ini me-nyangkut soal Jiteku itu, Ai. setelah perpisahan kita ini entah kapan baru dapat bertemu kembali, ka-renanya kutunggu kemunculanmu, ingin kuterangkan semua persoalan masa lampau kepadamu agar ma-salah ini tidak selalu menjadi teka-teki dalam be-nakmu."
"Bila Locianpwe bersedia memberi penjelasan, hal ini lebih baik lagi, Wanpwe pasti akan meng-ingatnya selalu."
Di tengah keheningan malam itu tiba-tiba ber-kumandang suara siulan aneh yang agaknya ber-gerak menuju ke arah sini.
Air muka Ji-sia seketika berubah, buru-buru serunya,
"Locianpwe, maaf tak dapat kutemani lebih lama lagi!"
Seraya berkata ia lantas melompat pergi dari situ.
Mendadak Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat berkelebat maju, secepat kilat tangan kirinya menyam-bar pergelangan tangan kanan Ji-sia.
Sergapan ini dilakukan dengan kecepatan luar biasa, gerakannya pun aneh. Ji-sia merasakan ancaman itu, cepat ia berge-ser ke samping, tangan kanan menangkis ke belakang dengan suatu gerakan yang indah ia meloloskan diri dari cengkeraman tersebut.
Baru saja ia hendak menegur dengan kening berkerut, Oh Ku-gwat telah berkata duluan, "Bok- siauhiap, kau tidak apal jalan dalam benteng, jangan sembarangan berjalan, nanti kau bisa dihadang me-reka, adapun kedatanganku adalah
bermaksud memberitahukan masalah Jite kepadamu,
sekarang tempat ini tidak cocok sebagai tempat bicara, ha-rap kau ikut pergi ke tempat lain!"
Perkataan ini diucapkan dengan nada sungguh-sungguh, sedikitpun tidak nampak berpura-pura, serangannya tadi seakan-akan tidak pernah terjadi.
Diam-diam Ji-sia bersyukur karena nyaris bentrok dengan kakek itu, katanya kemudian de-ngan lantang, "Baiklah, harap Locianpwe bersedia menunjuk jalan."
Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat memutar badan dan pelahan berjalan menuju ke depan sana"..
Ji-sia ikut di belakangnya, ia lihat walaupun Oh Ku-gwat berjalan sangat pelahan tapi gerak tubuhnya enteng dan gesit, diam-diam Ji-sia merasa kagum sekali. Mereka terus berjalan masuk keluar beberapa halaman rumah.
Sesaat kemudian sampailah mereka di depan pintu sebuah gedung yang berdiri menyendiri, seke-liling gedung ini dihiasi aneka bunga yang indah menawan dengan bau harum
semerbak. "Inilah tempat tinggalku," kata Oh Ku-gwat, "anggota benteng lainnya tidak dapat masuk ke sini."
Sambil berkata Oh Ku-gwat mendorong pintu, dengan
cepat ia menerobos masuk ke dalam"..
Sama sekali Ji-sia tidak menyangka kakek itu akan
mencelakainya, dia ikut masuk ke situ. Ruangan itu gelap gulita, melihat jari tangan sendiri saja sukar, Oh Ku-gwat yang berada di de-pan entah sudah kabur ke mana. Tapi Ji-sia tidak menaruh curiga, ia mengira kakek itu lagi mema-sang lampu.
Mendadak Ji-sia merasakan desir angin tajam dari
belakang"..ia menjadi kaget dan siap siaga, tapi saat itu juga sekujur badan lantas bergetar, tahu-tahu urat nadi pergelangan tangan kanan su-dah dicengkeram orang.
Serangan itu dilakukan dengan cepat luar biasa, kendatipun Ji-sia memiliki ilmu silat tinggi te-tap tak dapat menghindar, sebab sedetik sebelum dia bergerak, nadinya sudah
dicengkeram orang. Sebagai mana diketahui, nadi merupakan salah satu diantara 36 jalan darah penting lainnya, jika sampai kena ditangkap orang, maka separuh badan akan menjadi kaku dan tak bertenaga.
"Bok-siauhiap" seseorang tertawa seram di be-lakangnya,
"maaf terpaksa aku bertindak kasar ke-padamu, biarpun ruyung sakti Jian-kim-si-hun-pian tidak kuambil, belum tentu kau sanggup men-jaganya dengan baik."
Baru bicara sampai di sini, ruangan tiba-tiba terang benderang. Ruangan itu luasnya lima-enam tombak, dalam ruangan tiada benda apa pun, kosong melompong kecuali beberapa obor di atas dinding, sekeliling ruangan dilapisi baja yang kuat, jelas tempat ini bukan tempat tinggal melainkan sebuah jebakan.
Ji-sia coba berpaling ke sekeliling tempat itu, ia lihat Oh Ku-gwat berdiri tidak jauh di samping-nya, sedangkan orang yang mencengkeram urat nadi-nya adalah seorang kakek kecil pendek bermuka pucat, berjenggot kambing dan berusia lima puluhan, dilihat dari tampangnya jelas adalah seorang jahat dan kejam.
Gusar sekali Ji-sia, baru saja dia mau mengum-bar
kemarahannya, tiba-tiba hatinya tergerak, ia telan kembali kata-katanya dan berpikir, "Kini urat nadiku dicengkeram, semua kekuatanku lenyap, kalau sampai kubangkitkan kemarahannya, mung-kin mereka akan merampas mustika itu dengan kekerasan."
Berpikir demikian, ia berusaha menahan rasa marahnya, lalu berkata sambil tertawa, "Oh-locian-pwe, apakah kau tidak merasa menurunkan derajat sendiri dengan caramu yang merampas barang mi-lik orang?"
Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat terseayum. "Bok-siauhiap!"
jawabnya, "serahkan saja ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian kepadaku, dan takkan kucelakai jiwamu,"
"Ah, rupanya Oh-locianpwe menghendaki Jian-kim-si-hun-pian" Ambil saja ruyung yang berada di atas bahuku ini!"
Kakek pendek kecil itu tertawa seram, "He-hehe, jangan berlagak bodoh di hadapan kami, kau-anggap kami tidak tahu ruyung itu adalah duplikat yang dibuat oleh Ban-pian-sinkun?"
"Bok-siauhiap," kata Oh Kay-gwat pula, "di depan kami lebih baik jangan berbohong, bukan saja Jiteku telah mewariskan kepandaiannya kepa-damu, menyembuhkan
lukamu, juga menghadiahkan benda mestikanya kepadamu, sekarang yang kuinginkan hanya ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian serta sarungnya, yang lain tidak akan kuambil."
Ji-sia sadar keadaan sekarang tidak mengun-tungkan dirinya, tapi bagaimanapun juga ruyung itu tak boleh sampai dirampas olehnya, kata-kata Oh Kay-gak terasa masih mendengung di telinganya".Ruyung ini tak ternilai harganya, setiap orang yang belajar silat menganggapnya melebihi nyawa saudiri, di dalamnya mengandung suatu rahasia be-sar yang jauh lebih berharga daripada ruyung ini sendiri".
Maka setelah mendengar perkataan Oh Ku-gwat, lalu
teringat kembali akan pesan Oh Kay-gak, Ji-sia" lantas berpikir, "Oh Ku-gwat meminta ruyung beserta sarungnya, jangan-jangan rahasia tersebut berada pada sarung
ruyung".Tapi sarung lemas ini tampaknya tidak mempunyai sesuatu tanda yang mencurigakan.
Berpikir sampai di sini, pemuda itu mendengus, katanya,
"Oh-locianpwe, Jian-kim-si- hun-pian ada-lah hadiah Oh-pocu untukku, ia suruh Wanpwe melindunginya dengan jiwa ragaku, apakah kau menyuruh Wanpwe mengingkari janji?"
Kakek pendek yang mencengkeram urat nadi Bok Ji-sia itu tertawa dingin, katanya, "Ruyung Jian-kim-si-hun-pian adalah benda pembawa mala-petaka, dengan maksud baik kuingin menolongmu untuk melenyapkan bencana besar yang berada di depan mata, tapi kau tidak tahu diri."
"Bok-siauhiap, kau mesti tahu ruyung itu me-nyangkut peristiwa pembunuhan yang sangat besar," kata Oh Ku-gwat pula sambil tertawa, "ada be-berapa orang gembong iblis yang sudah puluhan tahun tak pernah menampakkan diri kini secara diam-diam sedang menyelidiki jejak ruyung tersebut, dengan kekuatanmu seorang jangan harap mampu menentang
kekuatan mereka.
"Hehehe, terima kasih banyak atas maksud ba-ikmu itu,"
jawab Ji-sia sambil tertawa dingin, "Wanpwe tidak akan memamerkan ruyung ini di depan umum."
"Jangan kau anggap enteng ketajaman mata-orang
persilatan, dewasa ini sudah ada banyak orang yang tahu bahwa kau membawa ruyung mestika ini, berita tersebut tentu segera akan tersebar ke mana-mana dalam waktu singkat, badai pun akan ber-jangkit. Selain itu semua orang tahu ruyung ini ber-ada pada Jiteku, gembong iblis itu pasti akan lang-sung kemari membuat huru-hara dalam Thian-seng-po, daripada mengakibatkan terjadinya peristiwa berdarah, kuharap Bok-siauhiap sudi berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan."
Seandainya Ji-sia tidak mengalami sergapan tadi, tentu ia tak tahu kakek yang berwajah lembut ini sesungguhnya adalah seorang manusia licik yang berbahaya sekali.
"Jadi rahasia ini takkan tersiar bila ruyung ber-ada ditanganmu?" ejek Ji-sia.
"Jangan kuatir Bok-siauhiap, aku tidak bermak-sud
mengangkangi ruyung ini, sengaja kusebarkan kabar ini ke dunia persilatan dengan maksud agar semua orang persilatan yang ada sangkut pautnya dengan ruyung ini berkumpul di dalam benteng Thian-seng-po, dan kita mencari suatu jalan penyelesaian yang baik."
"Huh, hanya setan yang percaya pada perkata-anmu! Terus terang kuberitahukan padamu, tak nanti kukecewakan orang yang menghadiiahkan ru-yung ini kepadaku dan
menyerahkannya kepada orang lain."
"Jadi kau tidak mau menyerahkan ruyung itu kepada
kami?" teriak si kakek pendek kecil dengan marah. "Baik, kami akan merampasnya dengan ke-kerasan."
Tangan, kirinya yang mencengkeram urat nadi Bok Ji-sia segera diperkeras, sementara tangan kiri merogoh saku anak
muda itu. Rupanya dalam pembicaraan tersebut menda-dak Jisia teringat pada ilmu menutup jalan darah ajaran Oh Kay-gak, ia menjadi tabah dan semua nadi penting pada lengan kanannya ditutup.
Sewaktu kakek kecil itu hendak merampas de-ngari
kekerasan, mendadak ia tertawa dingin, tangan kirinya membalik dan balas mencengkeram urat na-di tangan kanan lawan, sementara tangan kanannya mengipat sekuatnya, begitu terlepas dari cekalan, suatu pukulan langsung menghantam dada kakek itu. Serangan balasan ini dilancarkan sangat men-dadak, betapa cerdik kakek itu juga tak menyangka Ji-sia masih sanggup melancarkan serangan balasan dalam keadaan urat nadi masih dicengkeram.
"Duk!" dengan telak pukulan Ji-sia bersarang di dadanya, ia bersuara tertahan, tubuhnya mencelat beberapa tombak ke belakang dan muntah darah, walaupun tenaga dalamnya cukup sempurna, namun pukulan Ji-sia itu menyebabkan dia tak sang-gup merangkak bangun lagi.
Air muka Oh Ku-gwat berubah hebat, hawa napsu
membunuhnya berkobar, seperti hantu ia me-layang maju dan menahas dengan telapak tangan. Ji-sia berkelit ke samping untuk menghindarkan diri dari serangan itu, lutut kanannya diangkat un-tuk menyodok perut Oh Ku-gwat.
Serangan ini sangat bagus, sekalipun Oh Ku-gwat sangat lihay, terpaksa ia melompat mundur. Tapi begitu mundur ia menerkam maju pula, ke-cepatannya luar biasa, pukulan demi pukulan di-lancarkan dengan tenaga dahsyat, secara beruntun ia lepaskan dua kali pukulan berantai.
Ji-sia mematahkan semua serangan dengan ge-rakan yang aneh, keruan Oh Ku-gwat terkesiap. Kejut dan heran Oh Ku-gwat melihat kelihaian lawan, ia tak mengira kepandaian pemuda itu se-demikian saktinya dengan tenaga pukulan yang sa-ngat kuat, tapi dengan begitu iapun tahu bahwa Jitenya
telah memberikan semua tenaga dalamnya kepada pemuda itu.
"Bocah ini sangat berbahaya kalau dibiarkan hidup,"
demikian ia pikir, "kalau ia berlatih setahun lagi, sulit rasanya untuk mencarikan orang yang mampu menaklukkan dia."
Ingatan ini semakin mengobarkan hawa napsu
membunuhnya. Pada saat itulah Ji-sia telah melancarkan se-rangan balasan, tangan kiri kanan melepaskan serangkaian pukulan berantai, sementara kaki kanan menendang jalan darah Ciang-bun-hiat di tubuh lawan. Oh Ku-gwat tertawa dingin, sambil menghindar ke samping ia lancarkan pukulan ke iga kanan pe-muda itu dari sudut yang tak terduga.
Sebagai jago kelas satu, serangan mereka boleh dibilang merupakan serangan mematikan, walaupun sepintas lalu tidak nampak kehebatannya, padahal tenaga dalam mereka sudah disalurkan sekuatnya, barangsiapa terkena serangan, sedikitnya akan terluka parah.
Ji-sia apal sekali akan jurus serangan dalam kitab Jian-im-siang-gi-pit-keng, semua serangan yang dipergunakan cukup memusingkan lawannya, men-dadak ia menyurut mundur, sambil melompat se-cepat kilat menendang jalan darah Ya-ho-hiat di-tenggorokan lawan"..
Tendangan semacam ini jarang terjadi dalam dunia
persilatan, mau-tak-mau Oh Ku-gwat menarik diri ke belakang, sementara itu Ji-sia lantas me-layang turun.
"Ilmu silatmu memang lihay sekali," seru Oh Ku-gwat sambil tertawa dingin, "tapi malam ini ja-ngan harap bisa tinggalkan tempat ini."
"Ah, belum tentu!" ejek Ji-sia sambil meng-hantam pula.
Jurus serangan Bok Ji-sia memang hebat sekali, tapi dalam hal tenaga dalam dia tidak lebih kuat, di bawah desakan lawan, ia terpaksa mundur terus. Diam-diam Oh Ku-gwat
heran, ia pikir kecuali Jitenya jarang menemukan tandingan di dunia, siapa tahu pemuda ini juga sanggup menahannya dengan sama kuat.
"Sret! Sret!" kembali pukulan-pukulan berat memaksa Ji-sia mundur tiga langkah ke belakang.
Begitu lawan mundur, Oh Ku-gwat menerjang maju seperti bayangan setan, tangan kiri meng-hantam muka lawan dan tangan kanannya dengan kuat menghantam pinggang pemuda itu. Satu jurus dengan dua serangan ini merupakan jurus yang ganas, dan tidak memberi peluang bagi Ji-sia untuk melancarkan serangan balasan, satu-satunya jalan hanyalah berkelit ke samping.
Agaknya Oh Ku-gwat telah memperhitungkan hal ini, kaki kirinya segera diangkat dan melepas-kan tendangan ke ulu hati anak muda itu. Andaikata Ji-sia termakan oleh tendangan ter-sebut, walau tak mati pun bakal terluka parah, da-lam gugupnya ia melompat ke tempat semula, ia tahan serangan tangan kiri lawan yang meng-arah muka dan bahunya.
Sambil mendengus tertahan, bahu anak muda itu kena dihantam telak, saking sakitnya tulang se-rasa retak, darah bergolak dan tubuh tergetar mun-dur tujuh-delapan langkah dengan sempoyongan".
Kesempatan yang baik ini tentu saja tidak di-sia-siakan Oh Ku-gwat, Ji-sia belum lagi berdiri te-gak, serangan kedua yang lebih dahsyat kembali me-ngurung sekujur tubuhnya.
Mencorong sinar mata Bok Ji-sia, sambil membentak segenap tenaga dalamnya terhimpun pa-da telapak tangan, lalu membentuk satu lingkaran dan disambutnya ancaman Oh Ku-gwat dengan ke-ras lawan keras.
"Biang!" tubuh Ji-sia mencelat sejauh dua tom-bak, sebaliknya Oh Ku-gwat dengan muka pucat dan bahu bergetar terpental mundur sejauh tujuh-delapan langkah sebelum berhasil berdiri tegak.
Ji-sia merasakan darah dalam dadanya bergolak keras, tapi ia tahan sebisanya, dengan tajam ditatap-nya Oh Ku-gwat sambil menanti serangan selanjut-nya. Mendadak kakek pendek yang terhajar luka parah oleh Bok Ji-sia tadi tertawa senang, mendadak ia menubruk sebuah rantai yang
bergelantung-an di dinding sebelah kiri dan menariknya"..
Pada saat itu pula Thian-kang-kiam Oh Ku gwat melompat ke atas, seperti seekor elang ia menerjang Ji-sia yang sedang berjongkok. Terkejut anak muda itu mendengar gelak ter-tawa aneh si kakek tadi, tiba-tiba permukaan ta-nah tempat berpijaknya mulai bergerak, diam-diam ia mengeluh bisa celaka, cepat ia melompat ke atas.
Tapi pada saat itulah serangan dahsyat Oh Ku-gwat
menyambar tiba dari atas kepala. Lantai di mana ia berdiri tadi sekarang telah berubah menjadi sebuah liang besar yang gelap gulita. Ji-sia terkejut, sukmanya seakan melayang me-ninggalkan raganya, kedua telapak tangannya diayun ke atas dengan harapan bisa menahan serangan Oh Ku-gwat tersebut".
Tanpa berdiri di tempat yang kuat, tentu saja serangan anak muda itu tak membawa kekuatan seperti biasanya, apalagi tenaga dalam Oh Ku-gwat memang sangat lihai.
"Blang!" tubuh Ji-sia terjeblos ke dalam liang dengan lebih cepat lagi, pada saat terakhir Oh Ku-gwat merentangkan kelima jarinya mencoba me-nyambar pinggang anak muda itu.
Ketika tertolak oleh tenaga dari atas tadi, Ji-sia tidak menderita luka dalam yang parah, supaya luput dari jambretan lawan, buru-buru dia memper-cepat daya luncurnya ke dalam liang.
"Sret!" ruyung Jian kim-si-hun-pian duplikat yang berada di bahu Ji-sia sempat dicengkeram oleh Oh Ku-gwat, sementara itu permukaan lantai pun rapat kembali seperti semula.
Ji-sia yang terpaksa menambah bobot badan untuk
menyelamatkan diri, dalam sekejap telah me-luncur sejauh tiga-empat tombak ke dalam liang ter-sebut. Suasana dalam liang sangat gelap, tak tampak sesuatu apapun, hawa dingin serasa menusuk tulang, buru-buru Ji-sia mengerahkan hawa murni untuk mengurangi daya luncurnya.
Ia tak tahu berapa dalam liang tersebut dan benda apa yang berada di bawah sana, sementara ia merasa sangsi, ujung kakinya telah menempel permukaan tanah. Tiba-tiba pemuda itu mendengar suara tertawa dingin seseorang dari samping, sesosok bayangan hitam lantas menerjangnya.
Ji-sia tidak menyangka ada orang akan me-nyergapnya di dasar liang tersebut, telapak tangan kanannya dengan cepat menolak ke depan"..
Tapi serangan orang itu sama sekali tidak bermaksud mencengkeram urat nadinya, di tengah ja-lan serangan cengkeraman itu berubah menjadi pu-kulan dan secepat kilat menekan dada pemuda itu. Karena suasana gelap gulita, sulit bagi kedua pihak untuk melihat jelas musuhnya yang tampak hanya bergeraknya bayangan hitam belaka.
Tahu-tahu Ji-sia merasa dada kena dihantam orang,
sebaliknya tangan kanannya berhasil pula menekan dada lawan, ia merana tangannya seperti menyentuh sesuatu bagian badan yang kenyal, mirip payudara kaum wanita"..
Terdengar suara tertahan dua orang, tubuh kedua orang sama-sama terpental ke samping.
"Plung! Plung!" oleh getaran tenaga bentrokan itu, kedua pihak tercebur ke dalam air.
Agaknya tempat itu adalah sebuah penjara air, di mana Jisia hinggap tadi adalah sebuah batu karang yang menonjol keluar di permukaan air. Karena gelapnya suasana, apalagi serangan di-lancarkan kedua pihak dengan kecepatan tinggi, akibatnya mereka berdua sama-sama tercebur ke air hingga
basah kuyup. Begitu tercebur ke air, Ji-sia mengigil kedingin-an, ternyata air itu dingin luar biasa.
Cepat telapak tangan kanannya memukul permukaan air dan tubuhnya melayang ke atas lalu dengan cekatan
melompat ke atas batu yang karang luas cuma satu-dua kaki.
Hampir pada saat yang sama. bayangan hitam itupun
melompat ke atas batu karang itu.
"Kembali kau!" bentak Ji-sia gusar.
Dengan jurus Lip-han-san-gak tenaga (menggoncangkan tanah bukit) dia tabas batok kepala orang itu. Dia mengira orang itu adalah anak buah Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat yang sengaja dipersiapkan untuk menyergapnya, oleh sebab itu serangan yang dilancarkan dengan gusar itu cukup dahsyat, satu jurus serangan ajaran Oh Kay-gak.
Walaupun kungfu si bayangan hitam juga cukup lihay, tapi menghadapi bacokan Ji-sia yang hebat ini terkesiap juga dia, cepat ia menggegos ke samping.
"Blang!" pukulan Ji-sia menghantam permuka-an air, timbul gelombang tinggi beberapa kaki.
Secepat-cepatnya bayangan hitam itu menghin-dar toh masih terlambat sedetik, angin pukulan dahsyat itu sempat menyambar bahu kanannya dan membuat dia mundur ke tepi batu dengan sempoyongan, nyaris tercebur kembali ke dalam air.
Pukulan dahsyat ini membuat bayangan hitam itu terkesiap dan tidak berani menyerang lagi secara gegabah.
Ia coba memperhatikan raut wajah Bok Ji-sia, mendadak serunya terperanjat, "He, kau! Tak ter-sangka kita berjumpa lagi di sini!"
Dengan sorot mata tajam Ji-sia juga meng-amat-amati orang itu, ternyata dia tak lain adalah Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling.
Melihat gadis ini, Ji-sia lantas teringat kembali pada dendam sekali pukulannya, ia mendengus, ke-mudian katanya,
"Hmm, kebetulan, hari ini akan kubalas dendam pukulanmu semalam."
Dia adalah pemuda yang mudah dendam, se-telah suatu pukulan Bwe-sat-ciang Tong Yong-ling semalam, rasa bencinya kepada gadis itu sudah me-rasuk tulang, maka perjumpaan kali ini menimbul-kan niat pemuda tersebut untuk membalas sakit hati.
Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling sendiri pun seorang gadis yang keras kepala, coba kalau orang lain yang menyerangnya, orang itu akan dibunuh-nya, tapi setelah mengetahui orang ini adalah Bok Ji-sia, tiba-tiba timbul suatu perasaan aneh dalam hatinya, maka ia tidak melanjutkan serangannya.
Melihat gadis itu diam saja, dengan marah Ji-sia
membentak lagi, "Kau harus hati-hati, aku hen-dak membalas dendam padamu!"
Sebenarnya Tong Yong-ling hendak menjelas-kan bahwa ia menyesal setelah memukulnya sema-lam, tapi sikap Ji-sia yang garang menimbulkan ra-sa ingin menangnya.
Ia tertawa dingin, sahutnya, "Besar amat la-gakmu, kau percaya bisa mengalahkan aku" Hm, jika ingin membalas sakit hati, ayo seranglah! No-namu akan pertaruhkan nyawa untuk melayanimu, apa gunanya berlagak."
"Baik, akan kuberi ajaran padamu, agar kau tahu di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai."
Habis berkata, anak muda itu melangkah maju dan
melanearkan sesuatu tabasan. Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yongling tertawa di-ngin, telapak tangan kanan yang halus bergerak, dengan jurus Cing-hong-hud-liu (angin lembut meng-goyangkan pohon liu) disambutnya pukulan lawan.
"Justeru akan kucoba sampai di manakah taraf tenaga dalammu."
"Blang!" kedua telapakan tangan bertemu dan
menimbulkan suara nyaring, damparan angin menimbulkan gelembung air.
Baik Tong Yaog-ling maupun Bok Ji-sia, ke-duanya tetap berdiri di tempat semula.
Ji-sia terkesiap, pikirannya, "Ilmu silat perem-puan ini betul-betul luar biasa..,
Sementara itu Tong Yong-ling tertawa dingin, "Tenaga pakulanmu memang hebat. Nah, sambut pula pukuianku ini?"
Tiba-tiba telapak kanannya diayun ke depan. Telapak tangan kiri Ji-sia dengan jurus Lip-ging-thian-lan (Menutup rapat langit selatan) segera menyambut ancaman itu dengan sama kerasnya. Di dalam pukulan tersebut diam-diam Tong Yong-ling telah sertakan sembilan bagian tenaga pukulannya, pukulan yang sanggup menghancurkan pilar, menurut dugaan gadis tersebut, kendatipun tak mampu melukai, lawan. paling tidak lawan akan terdesak mundur.
Siapa tahu kejadian sama sekali di luar dugaan orang, sewaktu Ji-sia menerima serangan tersebut, tubuhnya tetap berdiri tegak seperti bukit, sedikit pun tidak bergeming.
Gadis itu terkesiap, pikirnya, "Ketika kulukai-nya semalam, tenaga pukulan yang kugunakan ti-dak sekuat sekarang, kenapa hanya selisih sehari saja tenaga dalamnya sudah memperoleh kemajuan sepesat ini" Padahal keadaannya semalam seperti tak bertenaga.., Sungguh aneh orang ini!"
Sementara dia berpikir, sambil membentak Ji-sia telah melancarkan serangkaian pukulan dan ten-dangan, dalam waktu singkat ia melancarkan lima kali pukulan berantai.
Kelima serangan tersebut dilancarkan dengan kecepatan luar biasa dan jurus serangan yang aneh Tong Yong-ling kebetulan
berdiri di tepi batu dan tak mengira Ji-sia akan menyerang tanpa kenal ampun. Karena kerepotan menahan serangkaian pukul-an aneh itu, sedikit kurang hati-hati segera ia ter-cebur lagi ke dalam air.
Kekalahan ini boleh dibilang baru pertama kali dialami Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling semen-jak terjun ke dunia persilatan, tentu saja ia men-jadi, murka, sambil mendengus ia melompat ke atas lagi sambil melepaskan serangan balasan.
Dalam sekejap bayangan telapak tangan ber-taburan, angin pukulan yang maha dahsyat gulung gemulung menerjang tiada habisnya.
Ji-sia dapat merasakan pula betapa hebatnya serangan balasan lawan, tapi ia tak sudi mundur barang selangkah pun, kuda-kudanya diperkuat dan jurus serangan yang digunakan pun makin meng-gila. Jurus-jurus serangan yang aneh dan kuat ini segera membuat Tong Yong-ling tak berdaya, ia tetap tertahan di tepi batu karang dan tak sanggup maju selangkah pun.
Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong ling betul-betul naik darah, ia menyerang legi dengan kalap. Ia tahu bila pemuda itu gagal didesak mundur, akibatnya ia bisa tercebur lagi ke dalam air, sebab posisinya memang tidak menguntungkan. Ji-sia tertawa terbahak-bahak, serangannya di-pergencar, kedua orang segera terlibat dalam perta-rungan sengit.
Mendadak Tong Yong-ling membentak, "Mun-dur kau!"
Dengan sepenuh tenaga ia menabas batok kepala lawan.
Bok Ji-sia tertawa dingin, sahutnya, "Aku tak mau mundur, mau apa kau?"
Telapak tangan kanan dengan jurus It-cu-keng-thian (satu tonggak menyangga langit) melakukan gerakan seperti menangkis sambil mengerahkan te-naga, padahal ketika mencapai tengah jalan mendadak tubuhnya bergeser ke samping kiri.
"Wees!" angin pukulan yang dahsyat dari Tong Yong-ling itu terpancing ke samping oleh tenaga lunak Ji-sia, hal ini membuat si nona kehilangan imbangan badan.
Kaget sekali Tong Yong-ling, dia tak meng-ira Bok Ji-sia memiliki ilmu silat seaneh itu, mana dia tahu bahwa jurus lihai ini adalah kungfu an-dalan Oh Kay-gak" Sekalipun Bok Ji-sia berhasil memancing pu-kulan lawan yang hebat itu ke samping, tidak urung iapun terdorong mundur selangkah.
Meski demikian, tangan kirinya tidak berhenti sampai di situ saja, secepat kilat ia cengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri si gadis. Kim-na-jiu-hoat atau ilmu menangkap itu adalah ajaran Oh Kay-gak, sedemikian hebatnya hingga Tong Yong ling tak berdaya, tanpa ampun tangan kirinya tercengkeram.
Serangan aneh itu membikin si nona tertegun.
Dalam pada itu Ji-sia terus menarik tangan kirinya ke samping. Dengan urat nadi tercengkeram tenaga Tong Yongling banyak berkurang, karena tersentak, ser-ta merta tubuhnya terjerungup ke depan.
Ia menjadi malu dan marah, diam-diam ia meng-himpun tenaga pada tangan kiri, seketika tangannya mengeras seperti baja, ia meronta sekuatnya, ber-bareng itu telapak tangan kanannya dari sudut tak terduga terus menghantam jalan darah Ciang-tay-hiat di dada Bok Ji-sia.
Ketika Tong Yong-ling mengerahkan tenaga dalamnya tadi, Ji-sia sudah merasakan akan hal itu tiba-tiba cengkeramannya diperkuat, sementara sikut kanannya diangkat untuk menahan pukulan gadis itu. Mendadak Tong Yong-ling merentangkan ke-lima jari tangan kanan, ia terus balas mencengkeram persendian tulang siku kanan anak muda itu.
Dengan demikian kedua pihak sama-sama me-ngerahkan tenaga sambil saling mencengkeram tem-pat penting di tubuh lawan, karena kekuatan me-reka hampir seimbang, maka menang kalah pun sukar ditentukan.
Kurang lebih seminuman teh, tiba-tiba Tong Yong-ling merasakan tenaga dalam yang dikerah-kan lawan semakin menghebat, ia menjadi terperan-jat, sambil membentak satu jurus serangan ma-ut dilepaskan"..
Lutut kirinya mendadak diangkat mendengkul jalan darah Khi-hay-hiat di bawah perut Ji-sia, ber-bareng itu badannya miring ke samping dan bahu kanan langsung menyodok iga.
Serangan jarak dekat semacam ini amat jarang terjadi dalam pertarungan antara jago-jago lihay. Satu jurus dengan dua serangan dari Tong Yong-ling ini merupakan serangan maut yang aneh dan mematikan.
Perlu diketahui bahwa jalan darah Khi-hay-hiat merupakan Hiat-to penting, jika jalan darah itu terpukul, maka pengerahan tenaga dahan sese-orang akan buyar dengan sendirinya, akibat dari serangan tersebut darah akan mengalir balik dan menyebabkan pecahnya urat nadi penting, sang kor-ban akan mampus dengan keadaan yang mengeri-kan.
Sesungguhnya Ji-sia memiliki kepandaian yang lihai, tapi bagaimanapun juga dia adalah pemuda yang cetek


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengalaman tempurnya, sebab itulah ia terdesak. Ia mendengus kesakitan, tubuhnya tertumpuk oleh bahu lawan sehingga terpental mundur dengan sempoyongan.
Ternyata sodokan lutut kiri Tong Yong-ling yang mengarah jalan darah Khi-hay-hiat dekat selangkangan itu mendadak diangkat lebih tinggi dengan menumbuk perutnya, kalau tidak mungkin ji-wa Ji-sia sudah melayang. Kendatipun demikian, luka yang diderita anak muda itupun tidak terhitung ringan.
Sesudah memukul mundur Bok Ji-sia, Tong Yong-ling
mendesak maju, tapi tidak menyerang lagi, dengan sinar mata yang lembut ia pandang wajah yang kesakitan itu. Ia jadi menyesal dan sedih"..
Ji-sia memandangnya dengan sinar mata penuh kebencian dan dendam. Bibir Tong Yong-ling bergerak seperti hendak
bicara, tapi urung, akhirnya hanya menghela napas saja.
Untuk sejenak suasana dalam penjara air itu menjadi sepi, hawa udara terasa dingin merasuk tulang. Dengan tenang Jisia mengatur pernapasan dan mengendalikan pergolakan darah dalam dadanya, kemudian tanpa mengeluarkan suara ia maju ke depan dan melancarkan serangkaian pukulan dan tutukan.
Tong Yong-ling terkesiap, sesungguhnya ia sudah terluka oleh pukulan Bok Ji-sia yang berat tadi, apalagi setelah melakukan pertarungan sengit sekian lama, tenaganya sudah lemah. Sekarang ia harus menerima lagi serangkaian serangan kalap Ji-sia, tentu saja ia kewalahan, ter-utama di bawah jurus serangan lawan yang aneh, ia benar-benar terancam bahaya.
Padahal darah dalam dada Ji-sia sendiri sedang bergolak hebat, tapi dasar kepala batu, ia lebih suka menahan sakit daripada menghentikan serangannya.
Anehnya, semakin dahsyat ia melancarkan se-rangan, semakin hebat juga pergolakan darah di da-lam tubuhnya.
Setelah berulang kali terancam bahaya, timbul juga perasaan gemas Tong Yong-ling, dia tak me-nyangka Ji-sia adalah seorang yang tak kenal ke-manusiaan dan berhati keji.
Tiba-tiba gadis itu berteriak keras, "Pukul saja! Ayo, pukul aku sampai mati!"
Suaranya penuh rasa sedih, seperti rintihan anak kecil.
Sambil menjerit tiba-tiba Tong Yong-ling me-narik
serangannya dan berdiri tak bergerak di sem-patnya. Ji-sia yang tak kenal kasihan mendengus, telapak tangannya langsung menghantam dada gadis ter-sebut Tong Yong-ling tidak menghindar, juga tidak melawan, hanya air mata jatuh bercucuran seperti hujan, ditatapnya lelaki tak berperasaan itu dengan termangu"..
Dalam serangannya Ji-sia telah sertakan tenaga yang cukup keras, tapi ketika sinar matanya ter-bentur dengan sinar mata si nona, hatinya bergetar keras.
Tiba-tiba hatinya menjadi lembek, buru-buru ia tahan pukulannya, tapi sayang sudah terlambat".
"Blang!" dada sebelah kiri gadis itu terhajar telak.
Sambil menjerit kesakitan, seperti layang-layang putus Yong-ling mencelat dan tercebur lagi ke dalam air. Tapi pada saat itu pula. mendadak Ji-sia juga merintih kesakitan, ia tumpah darah dan jatuh ter-duduk di atas batu, mukanya mengejang menahan rasa sakit, sekujur badan gemetar keras.
Akhirnya ia tak tahan lagi, setelah muntah darah pula, ia roboh terkapar di atas batu dan tak sadarkan diri"..
Kiranya ketika pada detik terakhir Bwc-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling tidak melihat Ji-sia me-narik kembali serangannya, tiba-tiba terlintas ing-atannya untuk beradu jiwa. Pada saat telapak tangan kanan Ji-sia meng-hajar dada kirinya, tiba-tiba tangan kirinya juga melepaskan sebuah pukulan, itulah Bwe-sat-ciang yang amat keji. Ji-sia sendiri tidak menyangka gadis itu ba-kal melancarkan serangan keji padanya, seketika itu juga ia terhajar telak oleh pukulan Bwe-sat-ciang tersebut.
Tong Yong-ling yang tercebur ke dalam air segera
tenggelam, sama sekali tak ada suara apapun, sejenak kemudian, di alas permukaan air terjadi gelombang dan muncul Tong Yong-ling. Mukanya pucat seperti mayat, dengan menahan rasa sakit sekuat tenaga ia merangkak ke atas ba-tu karang, air mata serupa butiran air kolam mem-basahi pipinya.
Lamat-lamat kelihatan ujung bibirnya berdarah, pelahan ia merangkak ke sisi Bok Ji-sia. Akhirnya ia menjatuhkan diri di atas badan pemuda itu dan menggeletak tak bergerak lagi.
Kedua muda-mudi ini sama-sama keras ke-pala dan tinggi hati, akibatnya keduanya sama-sa-ma terluka parah.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Ji-sia merasa tubuhnya ditindih oleh sesuatu yang lu-nak?"
Iapun merasakan bibirnya seperti tertutup oleh sesuatu yang hangat, seperti terisap dengan rasa yang manis. Selama hidup, rasanya ia pernah melaku-kan perbuatan semacam ini, hanya saja sudah lupa kapan kenikmatan semacam itu pernah dialaminya.
Ia mengira sadang bermimpi?"tapi kenya-taannya
memang terjadi. Tiba-tiba ia mengendus bau harum segar, ia semakin terbuai dalam impian, semakin kelelap da-lam kekaburan"..
Dari kelelapan yang tak sadar, pelahan pemuda itu pulih kembali dalam kesegaran semula.
Ia mendengar suara isak tangis yang memilu-kan hati di tepi telinganya".
Ternyata Tong Yong-ling menggunakan bibir-nya untuk menolong pemuda itu, obat penawar ra-cun diloloh dari mulut ke mulut"..
Ji-sia segera membuka matanya, ia lihat gadis berbaju hitam dengan garis tubuh indah basah ku-yup duduk di sampingnya, pakaian hitam itu tampak robek di sana sini sehingga lamat-lamat kelihatan kulit badannya putih bersih.
"Hm, kenapa tidak kau bunuh aku?" dengus Ji- sia dengan nada dingin.
Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling segera ber-henti
menangis, setelah menghela napas sedih, kata-nya, "Kau anggap aku seorang perempuan yang ber-hati kejam dan tak berperikemanusiaan?"
Ji-sia melenggong, pelahan ia bangun berduduk, ia
membungkam dan seperti sedang meresapi per-kataan si nona.
Melihat pemuda itu diam saja, Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling kembali menghela napas sedih, katanya, "Walaupun
orang persilatan menganggap-ku kejam, sesungguhnya orang yang kubunuh ha-nyalah mereka yang betul-betul jahat."
"Hmm, belum tentu cocok seperti apa yang kau katakan,"
dengus Ji-sia. Sekali lagi Tong Yong-ling merasa tertusuk hatinya, air mata jatuh bercucuran, tapi si nona yang keras kepala berusaha menahan perasaannya.
"Kalau kau tidak percaya padaku ya sudahlah, tapi terus terang kukatakan, aku menyesal sakali setelah melancarkan pukulan Bwe-sat-ciang kepada-mu semalam."
Ucapan itu diutarakan dengan nada sedih dan penuh
penyesalan. "Sakit hati atas pukulanmu semalam telah kubalas,
sekarang kita sudah tidak saling berutang lagi".."
"Kini kita dicelakai orang dan tersekap dalam penjara air sepantasnya urusan tetek bengek jangan dipersoalkan lagi,"
kata si nona kemudian, "seha-rusnya kita bekerja sama untuk mencari akal guna kabur dan penjara air ini."
Setelah disinggung baru Ji-sia ingat akan hal ini, pikirnya,
"Betul juga perkataannya. Sekarang aku terkurung di sini, akhirnya bisa mati kelaparan."
Teringat soal lapar, perut Ji-sia lantas terasa
berkeroncongan, laparnya tidak kepalang, ternyata sudah sehari semalam dia tidak mengisi perut. Tong Yong-ling tahu anak muda itu lapar, segera ia mengeluarkan sebungkus dendeng yang terendam basah, tanpa bicara ia makan sendiri de-ngan nikmatnya. Melihat orang makan, Ji-sia hanya menelan air liur sambil memperhatikan bungkusan daging kering itu.
Tiba-tiba Tong Yong-ling bergumam, "Meski-pun dendeng ini telah basah oleh air, tapi di tempat seperti ini terasa lebih nikmat daripada hidangan lezat apapun."
Sambil berkata matanya yang jeli itu diam-diam melirik sekejap ke arah Ji sia. Waktu itu Ji-sia sedang memperhatikan si nona makan, mukanya menjadi merah oleh lirikan itu, buru-buru ia melengos ke arah lain.
Sesungguhnya pemuda itu lapar sekali, kalau bisa dia ingin minta sedikit bagian makanan untuk mengisi perutnya, tapi wataknya yang keras me-larang ia berbuat demikian, apalagi baru saja me-reka saling labrak. Tong Yong-ling adalah seorang gadis yang cerdik dan nakal, tadi ia tidak mendapat akal untuk berbaik dengan Bok Ji-sia, sekarang me-lihat sikap anak muda itu, diam-diam ia me-rasa senang dan geli.
"Hei, kau lapar tidak?" tiba-tiba sapanya.
Dongkol sekali hati Ji-sia, dia tahu si nona sengaja mengimingnya dengan makanan, maka ia pura-pura tidak mendengar dan mengalihkan pan-dangannya ke permukaan air. Walaupun suasana dalam penjara air itu gelap gulita, tapi setelah lewat sekian lama, matanya mulai terbiasa dalam suasana tempat itu, apalagi dia memang memiliki ketajaman mata yang melebihi orang lain.
Ia lihat sekeliling hanya bayangan air belaka, batu karang di mana ia duduk letaknya persis di tengah penjara, bagian timur dan barat penjara, kosong tanpa dinding, sebelah utara dan selatan yang berjarak belasan tombak ada dinding batu yang entah memanjang sampai ke mana, bagian atas gelap gulita sukar mengukur ketinggiannya, tapi jika ditinjau dari daya luncurnya waktu turun tadi, paling tidak ada sepuluh tombak lebih, ini menun-jukkan betapa besarnya bangunan ini.
Tong Yong-ling tahu pemuda itu sungkan minta makanan kepadanya dan pura-pura ti-dak mendengar tegurannya tadi, diam-diam ia merasa geli juga, pikirnya, "Akan kulihat sam-pai di manakah keteguhan hatimu untuk me-nahan lapar"."
Ia sengaja menegur lagi, "He, kenapa kau ti-dak berbicara"
Apakah masih dendam padaku?"
Bagaimanapun tak mungkin bagi Ji-sia untuk
memperhatikan permukaan air terus menerus, maka
sahutnya, "Untuk apa aku dendam padamu?"
Tong Yong-ling mengeluarkan dua bungkus dendeng,
serunya, "Hei, kukira kau tentu lapar, tapi padaku hanya tersedia empat bungkus daging kering, jika kubagi dua, maka jiwaku akan se-hari lebih pendek, ai , , , Tapi bagaimana pun kita toh senasib sependeritaan, aku harus membantumu. Nah, mari kita makan seorang dua bungkus, mati biar kita mati bersama, kalau hidup juga hidup bersama, ini, sambutlah dua bungkus daging ini!"
Sehabis berkata Tong Yong-ling lantas me-lemparkan bungkusan daging itu ke depan, bung-kusan yang pertama ia lemparkan tepat di hadapan Ji-sia sebaliknya bungkusan kedua ia melontarkan lebih ke sana sedikit dan jatuh ke permukaan air berbareng ia berteriak, "Hei, lekas?"", lekas tang-kap bungkusan itu!"
Sekalipun gadis itu tidak berkata apa-apa, tak nanti Ji-sia membiarkan bungkusan daging itu ter-cebur ke air, dia segera melompat ke depan dan menyambar bungkusan tersebut.
Tong Yong-ling menyaksikan kejadian tersebut dengan senang, tadi ia kuatir pemuda aneh ini enggan menerima kebaikannya"
Setelah menerima kedua bungkus daging itu, Ji-sia baru memutar badan sambil berkata dengan terbata-bata, "Nona, lebih".lebih baik kau makan sendiri saja!"
"Ah, masa kau tidak lapar?" seru Tong Yong-ling pura-pura terperanjat.
Meski di luar Ji-sia pura-pura sungkan, sesung-guhnya kalau bisa dia hendak melahap kedua bung-kus daging itu
sekaligus, dengan wajah merah kem-bali katanya dengan tergegap, "Nona, aku ,".ku-kira sebungkus saja sudah cukup"
"Ah, buat apa kau sungkan-sungkan lagi?"
Mendengar perkataan itu, Ji-sia betul-betul malu dan tersipu-sipu, tadi ia masih galak kepada si nona, tapi sekarang, karena makanan dia terpak-sa membaiki orang, tindakan ini sebenarnya tidak cocok dengan wataknya yang tinggi hati, tapi ka-lau tidak terima makanan itu, sukar menahan pe-rutnya yang betul-betul lapar sekali.
Kelaparan memang suatu siksaan hidup yang paling kejam, setiap manusia harus makan untuk mempertahankan
hidupnya. Ji-sia menghela napas sedih, dengan menghela napas ini buyarlah rasa benci dan dendamnya kepada gadis itu. Ji-sia tidak bicara lagi, dengan lahap dia me-nyikat dendeng.
"Eeeh"..sia.., .siapa namamu?" tiba-tiba Tong Yong-ling bertanya.
Setelah menerima budi kebaikan orang, tentu saja Ji-sia tak dapat bersikap dingin seperti tadi, sahutnya, "Aku she Bok dan bernama Ji-sia!"
"O, nama yang aneh, persis seperti".." se-benarnya ia hendak mengatakan persis seperti orang-nya, tapi mendadak ia telan kembali kata-kata ter-sebut dan tertawa cekikikan.
"Nona Tong siapa yang memancingmu kemari?" Ji-sia
ganti bertanya.
Berkerut kening Tong Yong-ling demi mende-ngar
pertanyaan itu, dengan gusar katanya, "Atas perintah guruku, kudatang menyampaikan pesan kepada Thian-seng-pocu Oh Kay-gak, siapa tahu tua bangka celaka itu liciknya tidak kepalang, aku dipancing ke ruangan di atas sana, lalu terjebak alat rahasia hingga tercebur ke dalam penjara air ini. Dan kau kenapa sampai di sini?"
Dengan dahi berkerut dan mata memancarkan sinar
kegusaran jawab Ji-sia, "Andaikata aku ma-sih hidup dan bertemu lagi dengannya, pasti akan kubalas sakit hati ini."
Agaknya Tong Yong-ling marah juga, sambung nya,
"Bok".Bok-siankong, kelak bila kita ber-jumpa lagi dengan Oh Kay-gak, mari kita bersama-sama membunuhnya untuk melampiaskan dendam kita ini."
Sebenarnya Tong Yong-ling hendak memanggil Ji-sia
sebagai engkoh Bok, tapi ia merasa malu untuk buka suara, maka akhirnya sebutan itu ber-ubah menjadi Bok-siangkong atau tuan Bok.
Ji-sia menghela napas sedih, katanya, "Nona Tong, kau salah menuduh orang, yang mencelakai kita bukan Thian-seng-pocu Oh Kay-gak Locianpwe melainkan kakaknya, Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat!
"Lantas berada di manakah Oh Kay-gak Lo-cianpwe" Aku mempunyai pesan yang harus disam-paikan kepadanya!"..
Terbayang pada kakek yang kesepian itu, air mata
bercucuran membasahi pipi Ji-sia, sahutnya, "Dia?"dia sudah mati!"
"Siapa yang membunuhnya" Cepat katakan, Suhu bilang kungfunya tinggi sekali, di dunia de-wasa ini jarang ada yang sanggup menandinginya"."
"Ia mati karena menolong diriku"."
Bicara sampai di sini, suara Ji-sia menjadi ter-sendat menahan kesedihan. Pada mulanya dia tidak tahu Oh Kay gak telah memberi semua tenaga murninya kepadanya, tapi setelah pertarungan berulang kali malam ini dan terbukti tenaga dalam yang dimilikinya cukup sem-purna, ia baru menyadari bahwa Oh Kay-gak telah menghadiahkan tenaga murni hasil latihannya selama ini kepadanya.
Terbayang kembali budi kebaikan yang lebih tinggi dari gunung dan lebih dalam dari lautan, padahal ia tak sanggup membalas budi secara lang-sung, saking emosi air mata tak terbendung lagi, ia menangis sedih sekali.
Kemudian katanya, "Kematiannya boleh dibilang karena dicelakai kawanan manusia jahat".."
Tong Yong-ling tambah bingung, dengan mata terbelalak dia tanya, "Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
"Ceritanya panjang sekali, tapi benar-benar membuat orang sakit hati."
"Kalau begitu cerita saja seringkas mungkin!"
Menyinggung soal tersebut, tiba-tiba Ji-sia ter-ingat pula pada beberapa macam mestika yang di-bawanya sekarang, ia menghela napas, katanya, "Ai, nona Tong, maaf kalau aku tak dapat mencerita-kan peristiwa ini kepadamu, sebab Oh-locianpwe telah meninggalkan tugas berat kepadaku
menjelang ajalnya, iapun melarang kubicarakan persoalan ini dengan siapapun, sebelum duduk perkara yang jelas tentang budi dan dendamnya berhasil kuselidiki, sukar bagiku untuk bicara terus terang."
Tong Yong-ling ikut menghela napas, "Ai, ka-lau begitu pesan dan guruku tak dapat kusampai-kan kepadanya."
"Nona Tong," kata Ji-sia dengan hati tergetar "pesan apa yang harus kausampaikan kepadanya katakan saja padaku!"
Belum lagi gadis itu menjawab, tiba-tiba ia menjerit kaget,
"Wah celaka, air mulai pasang naik!"
Mendengar itu Ji-sia memandang permukaan air, betul juga batu karang di mana mereka berada sudah hampir tenggelam tertutup air, permukaan air yang mula-mula tenang tanpa gelombang pun kini mulai menggulung dengan suara
gemuruh. Empat penjuru yang tampak hanya air melulu dengan
pantulan cahaya menyilaukan.
Ji-sia berseru kuatir, "Mungkin kita tak dapat berdiam lebih lama di sini, kita harus lekas ting-galkan tempat ini".."
"Tapi ke manakah kita bisa kabur" Empat penjuru hanya air melulu?" Tong Yong-ling merasa putus asa.
"Lantas apakah kita harus duduk di sini dan menunggu ajal?"
Sekarang Tong Yong-ling tidak lagi merasa nge-ri atau takut akan kematian, sinar lembut terpancar keluar dari matanya yang jeli, ditatapnya wajah Ji-sia dengan lembut, lalu katanya, "Kecuali mati teng-gelam, rasanya tiada jalan lain yang bisa kita tem-puh. Mati! Sekaraag tidak kutakuti lagi"."
"Kau tidak takut mati?" tanya Ji-sia tercengang.
Yong-ling tersenyum. "Yang paling kutakuti adalah mati sendiri, tapi setelah ada kau sekarang"."
"Nona Tong, jangan cuma memikirkan yang buruk saja, mumpung sekarang ada kesempatan, kita harus cari akal untuk mengatasi keadaan ga-wat ini."
"Caranya sudah kudapatkan, asal air memenuhi seluruh ruangan ini, maka kita akan terapung dipermukaan air, bila di tempat kita masuk tadi ter-dapat lubang keluar dan selamatlah kita."
"Kukira cara ini tidak masuk akal" kata Ji-sia dengan geleng kepala, "seandainya di atas permukaan tidak kita temukan jalan keluarnya, bukankah kita akan mati terendam dalam penjara air ini" Mereka telah memasang jebakan di sini, pasti disekitar ru-angan ini dibangun dengan kukuh dan rapat.
Nona, caramu itu hanya bisa dicoba bila kita sudah tiada jalan lain, mari sekarang kita cari jalan keluarnya."
Air itu entah darimana datangnya, permukaan air kian lama kian tinggi dengan cepatnya, sementara kedua orang itu masih berbicara, permukaan batu karang sudah mulai terendam air.
"Coba lihat," kata Tong Yong-ling kemudian dengan kesal,
"empat penjuru hanya bayangan air yang tampak, di mana ada jalan keluar" Kalau be-gini terus, walaupun tidak mati tenggelam, tentu juga kita akan mati kelaparan."
"Nona Tong, apakah kau dapat berenang?" tiba-tiba Ji-sia bertanya.
Satu ingatan terlintas dalam benak Yong-ling demi
mendengar perkataan itu, tiba-tiba ia teringat pada sumber datangnya air tersebut, pikirnya "Sumber air ini jelas bukan berasal dari sumber mata air di bawah tanah, air ini pasti dialirkan ke-mari dari luar, kalau kuikuti datangnya aliran dan menemukan jalan masuknya air, bukankah dengan muda bisa kukeluar dari tempat ini" Tapi pintu air itu pasti dilindungi dengani terali besi, jadi tetap sukar keluar.
Setelah berpikir sejenak akhirnya Tong Yong-ling berkata,
"Aku bisa berenang, dan kau?"
"Kalau begitu bagus sekali," seru Ji-sia dengan wajah berseri, "Aku telah mendapatkan cara bagus untuk meloloskan diri dari penjara air ini, aku sendiripun dapat berenang meskipun tidak terlam-pau mahir."
"Apa caramu itu" Dapatkah kau terangkan lebih dulu?"
"Daripada menunggu ajal di sini, lebih baik kita beradu nasib saja, sudah kuperhatikan air ini datang dari barat menuju ke timur, asal kita be-renang menuju ke hulu dan menemukan pintu ma-suknya air, kemungkinan besar kita bisa lolos dari tempat ini."
"Betul, memang cuma jalan ini yang bisa kita tempuh, cuma kuduga di sekitar pintu air pasti di-lindungi secara kuat,
tak nanti mereka tidak mem-perhitungkan kemungkinan semacam ini."
Ji-sia menghela napas, "Ai, banyak pekerjaan yang masih harus kulakukan, aku tak mau duduk menanti kematian, kita tak boleh tunda-tunda lagi, ayo kita cari pintu air, asal dapat ditemukan, soal dinding baja juga bisa kuatasi."
Sementara itu permukaan air sudah semakin tinggi, kini lutut mereka sudah terendam. Ji-sia segera bertindak cepat, ia terjun lebih dulu ke dalam air disusul Tong Yong-ling di belakangnya. Air terasa dingin menusuk tulang sumsum, untungnya mereka berdua bertenaga dalam sempurna
sehingga tidak menjadi soal.
Kepandaian berenang kedua orang itu cukup lumayan juga, sekalipun mereka harus berenang menentang arus, namun kecepatannya tetap tinggi. Yong-ling mempercepat gerak berenangnya di sam-ping Ji-sia.
Dengan tersenyum Ji-sia berpa
Bentrok Rimba Persilatan 2 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Istana Pulau Es 6
^