Istana Pulau Es 6

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


Dugaan Han Ki memang sama sekali tidak meleset. Peristiwa yang terjadi itu membawa akibat yang amat jauh dan hebat, dia pun tidak tahu nasib apa yang menimpa Maya dan Siauw Bwee, yang ia tinggalkan di tengah jalan.
Ketika Menteri Kam Liong dan mu-ridnya, Panglima Khu Tek San mening-galkan Istana yang mengakhiri pesta penyambutan tamu agung sampai tengah malam, membuat hati guru dan murid ini lega karena semenjak munculnya Maya dan Siauw Bwee tadi membuat hati me-reka amat tidak enak, mereka berpisah. Panglima Khu pulang ke gedungnya sen-diri dengan tergesa-gesa. Dia ingin se-gera sampai di rumah dsn menegur puterinya yang telah berbuat lancang menggegerkan Istana bersama Maya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika sampai di rumah, dia disambut teguran isterinya mengapa Siauw Bwee dan Maya tidak diajak pulang!
"Apa...." Mereka sudah pulang lebih dulu, malah diantar oleh Kam-susiok!" Panglima ini berkata dengan suara keras. Maka paniklah keluarga Khu dan Panglima itu pun segera menyuruh anak buahnya untuk berpencar mencari puterinya dan Maya. Juga dia sendiri ikut mencari, karena sungguhpun ia tidak usah merasa khawatir akan keselamatan dua orang anak perempuan yang diantar oleh su-sioknya itu, namun peristiwa yang terjadi di istana sebagai Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 129
akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat hatinya tidak enak. Apalagi karena urusan Yucen dan Jenderal Suma jelas memperlihatkan sikap bermusuhan dengan gurunya.
Akan tetapi, malam itu ternyata ter-jadi hal yang amat menggelisahkan hati panglima ini secara susul-menyusul, kare-na waktu ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak puterinya dan Maya, ia dikejutkan oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di taman istana dan dikeroyok oleh para pengawal! Tentu saja ia terkejut sekali, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan" Ia dapat menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan Puteri Sung Hong Kwi.
Panglima Khu menjadi bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua orang anak perempuan itu belum didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan istana! Apakah yang terjadi dengan puterinya dan Maya"
Tiada jalan lain bagi Panglima Khu se-lain bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam Liong.
Seperti telah diduganya, gurunya te-lah mendengar perihal Han Ki di Istana, tentu mendapat pelaporan dari anak buah yang setia, dan kini Menteri yang tua itu duduk termenung dan menyambut keda-tangan Tek San dengan muka gelisah.
"Kau tentu datang untuk melaporkan tentang Han Ki, bukan" Aku sudah men-dengar semua dan.... ah, betapapun juga, dia seorang pemuda yang tentu saja be-lum cukup kuat untuk menahan pukulan cinta terputus. Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?"
"Bukan hanya urusan Kam-susiok saja yang menggelisahkan teecu dan membuat teecu
menjelang pagi begini mengunjungi Suhu, melainkan juga lenyapnya kedua orang anak itu...."
"Apa....?" Menteri tua itu menjadi terkejut.
"Seperti Suhu ketahui, Maya dan Siauw Bwee pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok, akan tetapi ternyata kedua orang anak itu belum sampai ke rumah teecu dan tahu-tahu ada berita Kam-susiok mengamuk di taman Istana. Teecu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, maka teecu datang menghadap Suhu mohon petunjuk.
Menteri Kam Liong mengelus jenggot-nya dan menarik napas panjang berkali--kali. Khu Tek San mendengar gurunya berkata lirih, ".... mengapa.... menga-pa....?" dan ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri Kam Liong
sen-diri. Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya mengapa keturunan keluar-ga Suling Emas selalu ditimpa kemalangan"
"Kita harus bersabar, Tek San. Urusan Han Ki adalah urusan yang gawat dan biarlah besok aku menghadap Kaisar minta keterangan, dan akan kuusahakan agar aku dapat bertemu Han Ki dan ber-tanya tentang dua orang anak itu. Aku harus membela Han Ki yang kabarnya masih belum tertangkap, sebaiknya se-karang juga aku melihat keadaan."
Khu Tek San mengerti betapa gurunya bingung dan berduka, maka ia cepat ber-kata, "Harap Suhu tunggu saja di rumah karena kalau Suhu yang datang ke sana, tentu akan terjadi salah paham, disangka Suhu akan membantu Kam-susiok. Sebaik-nya teecu saja yang menyelidiki ke sana dan melihat keadaan."
Menteri Kam Liong mengangguk-ang-guk dan membiarkan muridnya keluar. Dia memang
bingung sekali menghadapi urusan yang sulit itu. Tidak membantu Han Ki tidak mungkin karena di antara semua keluarganya, hanya Han Ki se-orang yang paling dekat. Kalau memban-tu berarti ia terancam bahaya bermusuh-an dengan istana!
Sampai Han Ki tertawan dan dima-sukkan dalam penjara, Khu Tek San me-nyaksikan semua pertandingan itu. Dia tidak berani turun tangan membantu, dan setelah mendapat kenyataan betapa Han Ki tertawan dan dijebloskan kamar ta-hanan, ia bergegas pulang ke rumah Menteri Kam untuk membuat laporan.
Menteri Kam Liong mengurut jeng-gotnya yang panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 130
lirih, "Aku harus menolongnya! Harus membebaskannya, kalau perlu dengan mengorbankan diri-ku...."
"Suhu....!" Tek San berseru kaget.
Menteri Kam Liong memandang mu-ridnya yang setia. "Tek San, engkau mu-ridku yang amat baik, seperti keluargaku sendiri, maka tak perlu aku menyimpan rahasia. Saudara-saudaraku cerai-berai tidak karuan, dan keturunan ayahku yang laki-laki hanya ada tiga orang, yaitu aku sendiri, mendiang Raja Khitan dan Han Ki. Raja Khitan telah tewas dan aku sendiri tidak berdaya menolong adikku itu. Aku sendiri sudah tua dan tidak mempunyai anak. Kalau Han Ki tewas, bukankah keluarga Kam akan kehilangan turunan" Aku harus menyelamatkan dia, apa pun yang akan menimpa diriku. Ten-tu saja aku akan mempergunakan jalan halus membujuk Kaisar untuk mengam-puni Han Ki, akan tetapi apabila tidak berhasil, aku akan mempergunakan keke-rasan membebaskannya. Juga kalau kedua orang anak perempuan itu benar-benar lenyap di luar pengetahuan Han Ki, aku akan mendatangi Suma Kiat dan demi Tuhan, sekali ini aku tidak akan segan-segan untuk memukul pecah kepalanya kalau sampai dia berani mengganggu Maya dan Siauw Bwee. Kaupulanglah!"
Dengan hati berat dan penuh kekha-watiran karena hal-hal yang amat tidak enak menimpa secara bertubi-tubi, Tek San lalu mengundurkan diri. Puterinya hilang, paman gurunya ditawan, dan gu-runya menghadapi kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri tidak berdaya menolong!
Lebih gelisah lagi hati Khu Tek San setelah lewat tiga hari, tidak ada se-orang pun di antara anak buahnya yang disuruh menyelidik mengetahui ke mana perginya dua orang anak
perempuan itu! Han Ki yang berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan bahwa dia berpisah dengan dua orang anak itu yang pulang berdua, sedangkan dia langsung menuju ke taman istana sampai terta-wan.
Ketika gurunya memanggilnya, Tek San mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat.
Betapa hebat penderita-an batin menteri itu selama tiga hari ini.
"Tek San, aku gagal mintakan ampun untuk Han Ki. Bahkan Kaisar menetapkan hukuman mati untuk Han Ki yang dilak-sanakan besok. Si Bedebah Suma Kiat! Dialah yang membakar hati Kaisar se-hingga, Han Ki tak dapat diampuni, bah-kan Kaisar marah kepadaku mengapa tidak dapat mencegah perbuatan Han Ki yang mencemarkan nama baik keluarga Kaisar! Aku sudah mengambil keputusan, muridku. Malam ini, menjelang pagi, aku harus turun tangan membebaskan Han Ki dan kalau berhasil, aku akan pergi ber-sama dia menyusul ayahku di Go-bi-san. Aku hidup seorang diri, perbuatanku ini tentu akan menggegerkan, akan tetapi tidak ada keluargaku yang menderita akibatnya. Adapun tentang dirimu sebaik-nya engkau mengundurkan diri saja sete-lah keributan yang kusebabkan mereda."
Tek San kaget sekali. "Akan tetapi.... bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?"
"Aku sudah mendatangi Suma Kiat dan dia bersumpah tujuh turunan bahwa dia tidak
mencampuri urusan lenyapnya dua orang anak itu. Aku percaya kepadanya. Kurasa, orang-orang Yucen mengambil bagian, bahkan mungkin pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya dua orang anak itu. Mungkin mereka hendak membalas penghinaan yang dilakukan dua orang anak itu di dalam pesta. Kalau aku su-dah berhasil menyelamatkan Han Ki, aku sendiri yang akan mencari mereka, me-nyelidik di antara tokoh Yucen yang hadir pada malam hari itu.
"Suhu, teecu akan membantu Suhu menolong Susiok!
Kam Liong terkejut dan memandang wajah muridnya yang berdiri tegak penuh keberanian. Ia tidak ragu-ragu akan ke-beranian dan kegagahan muridnya, akan tetapi sekali ini, mereka bukan melaku-kan tugas demi kepentingan negara yang tidak perlu memperhitungkan untung rugi pribadi, melainkan melakukan urusan pribadi! Tentu saja amat jauh bedanya.
"Jangan, Tek San. Urusan pada malam nanti adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin melihat engkau terbawa-bawa dan keluargamu menjadi celaka karena ke-luarga kami. Biarlah kulakukan sendiri sehingga kalau gagal, tidak mengorbankan pula keselamatanmu."
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 131
*** Maaf, Suhu. Mengapa Suhu berkata demikian" Teecu telah menerima budi besar dari Suhu, bahkan semua kemuliaan yang teecu nikmati sekarang ini adalah berkat pertolongan Suhu.
Ketika teecu ditawan di perbatasan, kalau tidak muncul Kam-susiok yang menolong, tentu teecu sudah mati pula. Kini Kam-susiok membutuhkan bantuan, bagaimana teecu dapat tinggal diam saja" Apalagi melihat Suhu terjun ke dalam bahaya, masa teecu harus diam menonton saja" Tidak, teecu mohon agar diperbolehkan mem-bantu Suhu.
Dengan tenaga dua orang, kiranya akan lebih mudah menolong Kam-susiok."
"Akan tetapi.... keluargamu?"
"Siauw Bwee telah lenyap dan yang menjadi tanggungan teecu hanyalah isteri teecu. Hari ini juga teecu akan menyuruh dua orang kepercayaan teecu untuk mengantarkan isteri teecu lolos dengan diam-diam dari kota raja. Hal itu mudah dilakukan."
"Tapi.... ah, tugas malam nanti amat berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai...."
"Justeru karena itulah maka sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biarpun ke-kuasaan Suhu lebih besar daripada teecu, karena memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan tetapi sebagai seorang panglima, agaknya teecu dapat mempengaruhi para pengawal yang akan lebih taat pada se-orang panglima daripada seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk mengatur kepergian isteri teecu keluar kota raja dan menentukan tempat yang akan dijadikan tempat sembunyi, kemudi-an teecu akan kembali ke sini untuk mengatur siasat malam nanti."
Karena maklum akan kekerasan hati muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin dilarang tentu makin penasaran, apalagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San, akhimya Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui. Tek San menjadi girang dan cepat ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik mengatur kepergian isteri-nya, dengan isterinya yang berwajah pu-cat dan mata merah, karena terlalu ba-nyak menangis memikirkan lenyapnya puteri mereka. Hari itu juga, menjelang senja, nyonya Khu menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal oleh dua orang pengawal kepercayaan Khu Tek San, keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang yang tahu akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sen-diri tidak tahu!
Malam itu Menteri Kam dan Panglima Khu berunding di ruangan dalam, dan Menteri Kam memanggil pelayannya yang setia, pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena pelayan ini amat tekun mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam, mengajar Tek San. Pelayan ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah cacat, tubuhnya, yaitu punggungnya bongkok dan- wajahnya buruk. Akan tetapi dia mem-punyai kesetiaan yang amat luar biasa, dan pendiam namun cerdik sekali sehing-ga apa saja yang dilihatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap perintah ma-jikannya selalu dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap perintah akan ia laksana-kan dengan taruhan nyawanya!
"Gu Toan," kata Menteri Kam kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum bahwa majikannya yang dijunjung tinggi, dihormati dan di-kasihinya itu sedang menderita tekanan batin karena urusan yang amat hebat itu. "Engkau sudah mendengar semua, bukan" Nah, malam nanti menjelang pagi aku akan melaksanakan rencanaku bersama Tek San. Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan peninggalanku, kitab-kitab yang sudah kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang kupercaya untuk menyelamatkan benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku khawatir sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk perbuatan jahat."
"Hamba mengerti, Taijin."
"Dan sepergiku, engkau tidak boleh berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang sebelah se-latan. Engkau mencari tempat sembunyi di sana, menanti aku dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 132
membawa ben-da-benda pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki, tentu aku akan keluar dari pintu gerbang selatan itu dan eng-kau boleh pergi bersamaku. Akan tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal dan kau boleh cepat-cepat memberi kabar ke Go-bi-san, kau-carilah tempat pertapaan Ayah, Suling Emas dan ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini. Mengertikah?"
Pelayan setia itu mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia menggerakkan kepala. "Nah, kau berkemaslah," kata Menteri Kam, diam-diam berterima kasih dan lega hati-nya bahwa dia mempunyai seorang pela-yan demikian setia.
Malam itu, guru dan murid ini tidak tidur. Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk bersamadhi, mengumpulkan tenaga sambil menanti da-tangnya saat yang mereka tentukan, yaitu antara tengah malam dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah banyak yang tertidur dan sisa-nya tentu sudah mengantuk berjaga sam-pai hampir pagi.
Menjelang pagi, pada saat seluruh kota raja tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan orang ber-kelebat keluar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah Menteri Kam Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang membawa bungkusan besar di pung-gungnya yang berpunuk dan bongkok itu. Setelah
memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan diri, membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan. Bagi dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang pada saat se-perti itu karena ketika ia memperlihat-kan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga yang memandangnya dengan ma-ta mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu gerbang, mencari tempat persembunyian di luar tembok kota raja di sebelah selatan, menanti dengan hati penuh gelisah.
Menteri Kam Liong dan muridnya bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan sehingga di malam ge-lap itu sukarlah mengikuti gerakan me-reka dan kalau kebetulan ada yang me-lihat tentu tidak menduga bahwa ber-kelebatnya dua sosok bayangan itu ada-lah dua orang manusia. Mereka mengena-kan pakaian ringkas sungguhpun sengaja memakai pakaian kebesaran mereka. Menteri Kam Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju lebar akan tetapi kedua ce-lananya bagian bawah ditutup dengan sepasang sepatu kulit yang panjang me-nutupi betisnya. Kepalanya diikat dengan kain pembungkus kepala ringkas sehingga biarpun pakaiannya adalah pakaian men-teri, namun karena ringkas sederhana ia tampak sebagai seorang tokoh kang-ouw! Adapun Khu Tek San memakai
pakaian panglima, bahkan mengenakan baju pe-rang yang terlindung kulit tebal di ba-gian bahu, dengan dada, perut dan kaki di bawah lutut. Pedang panjang tergan-tung di
pinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat ke atas dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima dengan kumisnya yang meruncing ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa!
Mereka berdua langsung memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu amat tinggi dan agaknya Khu Tek San takkan mampu melompatinya, apalagi dengan pakaiannya yang berat itu kalau gurunya tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah.
Keduanya berhasil meloncat turun ke sebelah da-lam dan mulailah mereka berjalan menu-ju ke bangunan penjaga di belakang ista-na yang terjaga ketat.
Tepat seperti yang diduga dan diperhi-tungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur pulas. Sebagian lagi melenggut saking mengantuk, dan hanya ada belasan orang saja yang dapat bertahan, menjaga sannbil main kartu. Melihat munculnya dua orang dari dalam gelap, mereka terkejut, akan te-tapi mereka tidak jadi menyambar senja-ta atau berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah Panglima Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau mengantuk, cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang berpangkat itu.
"Maaf.... hamba.... hamba tidak tahu...." Kepala pengawal berkata gugup, karena munculnya Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 133
dua orang itu, terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.
"Tak perlu ribut-ribut. Buka pintu untuk kami!" kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa.
"Bu.... buka pintu.... tapi.... hamba tak boleh...." Kepala pengawal menjadi bi-ngung memandang kepada pintu besi yang terkunci dengan gembok kuat sekali itu.
"Aku memerintahkan, dan di sini ha-dir pula Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani banyak cerewet?" Panglima Khu membentak dan melangkah maju
dengan sikap mengan-cam.
"Maaf.... hamba tidak membantah, Ciangkun.... hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe...."
"Bukalah!" kata Menteri Kam Liong dengan suara halus namun lebih mantap daripada suara Khu-ciangkun. "Kalau ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang bertanggung jawab."
Mendengar ini, penjaga itu tidak be-rani rewel lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang menghubungkan tempat penjagaan dengan bangunan pen-jara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling memberi tanda dengan kedipan mata, tubuh mereka bergerak seperti terbang menerjang para penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga itu telah terpelanting roboh karena ter-totok sehingga dipandang sepintas lalu keadaan mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur pulas.
Guru dan murid itu cepat memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu dengan
serombongan penjaga di depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh orang, akan tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang saja. Tanpa banyak cakap, selagi tiga orang ini memandang kaget dan bengong sehingga lupa membe-ri hormat, tiga kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan tiga orang penjaga itu pun roboh "pulas" di tempatnya.
Setelah melampaui penjagaan-penjaga-an dengan mudah, akhirnya mereka ber-dua tiba di depan kamar tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan di atas
pembaringan batu dalam keadaan kaki tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari tidak diberi makan minum, akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak peduli akan keselamatannya itu pingsan!
Di depan pintu kamar tahanan ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan karena mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat. Begitu melihat munculnya Menteri Kam Liong dan Pang-lima Khu, dua orang itu meloncat kaget.
Seorang di antara mereka memutar golok menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan itu.
"Plak!" Panglima muda yang mener-jang Menteri Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan pedangnya patah menjadi dua, sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima ke dua lari ke sudut ruangan dan menarik sebuah tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan sekali pukul ia merobohkan panglima itu. Akan tetapi terlambat. Kiranya tali yang ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia dan terdengarlah bunyi berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi kentung tanda bahaya yang membangunkan semua penjaga sehingga mereka berteriak-teriak dan membunyikan tanda bahaya pula.
"Tek San! Cepat, kaupondong Han Ki, biar aku yang melindungimu keluar!" Menteri Kam yang biasanya amat halus gerak-geriknya, kini dengan sikapnya meloncat ke depan, sekali renggut saja putuslah rantai yang mengikat pintu, mendorong daun pintu dan meloncat ke dalam kamar tahanan diikuti oleh murid-nya. Menteri Kam Liong kembali meng-gunakan jari-jari tangannya yang. kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang masih pingsan.
Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh Han Ki yang lemas dan pada saat itu, ter-dengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar di luar pintu kamar tahanan.
"Suma Kiat, engkau benar-benar orang yang tak tahu diri!" Menteri Kam Liong membentak marah ketika melihat bahwa yang memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah mengejar ke situ bersama pasukan panglima pilih-an dari istana. Kiranya Jenderal ini Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 134
sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaima-na yang diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal biasa men-jaga tempat tahanan,
sedangkan dia sen-diri bersama panglima-panglima pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di dalam ruangan tersembunyi yang dihu-bungkan dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia menempatkan dua orang panglima pilihannya secara bergilir di depan kamar tahanan dan begitu ada bahaya, mereka disuruh menarik tali itu. Di ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para panglima melakukan pen-jagaan secara bergilir sehingga menjelang pagi itu, begitu alat rahasia berbunyi, mereka semua dibangunkan dan menyerbu ke tempat tahanan!
"Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah kuduga bahwa akhirnya engkau menjadi pembe-rontak juga!, Kalian terjebak seperti tiga ekor tikus, ha-ha-ha!"
"Tek San, ikuti aku!" Kam Liong membentak sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh dan menggiriskan hati semua lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas!
Dengan ge-rakan kilat Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San yang memanggul tubuh Han Ki de-ngan lengan kirinya sedangkan tangan kanannya sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan dirinya sen-diri.
Setibanya di luar, Kam Liong sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas satu dari para tokoh pengawal Kaisar. Melihat ini, makin gemas hati Kam Liong karena hadirnya pengawal-pengawal pribadi Kai-sar ini membuktikan bahwa pengeroyokan ini telah direncanakan dengan seijin Kai-sar sendiri! Dia tahu bahwa panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepan-daian tinggi, hanya sedikit saja di bawah tingkat kepandaian Tek San, maka ia tahu bahwa keadaan mereka bertiga berbahaya sekali. Cepat ia memutar suling-nya dan tampak sinar yang gemilang menyilaukan mata disusul bunyi nyaring beradunya senjata dan di antara tujuh buah senjata lawan yang mengeroyoknya, sebatang pedang dan sebatang golok ter-lepas dari pegangan pemiliknya! Kam Liong membarengi tangkisannya dengan mengebutkan kipasnya ke arah muka mereka. Kebutan ini
mendatangkan angin dahsyat yang menyambar ke arah tujuh orang pengeroyok. Saking hebatnya sam-baran angin kipas, tujuh orang itu cepat mundur dan mereka memutar senjata melindungi tubuh mereka ketika kembali ada sinar kuning emas menyambar meru-pakan lingkaran sinar yang menyilaukan mata.
"Trangggg, tringg.... cringggg....!" Kembali para pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan Siangkoan Lee saja yang mampu mempertahankan diri dengan tangkisan senjata mereka, sedang-kan para panglima pengawal lainnya ter-huyung ke belakang.
"Tek San, bawa dia lari, aku menjaga di belakang!" Menteri Kam Liong ber-teriak sambil memutar suling emasnya menangkis datangnya sinar bekeredepan dari senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh para pengawal.
Karena maklum bahwa kini pasukan pengawal yang menyerbu amat banyaknya dan kalau mereka tidak cepat-cepat da-pat keluar dari kota taja tentu mereka terancam bahaya hebat, Khu Tek San mengerti akan maksud suhunya, maka ia pun lalu meloncat sambil memutar pedang melindungi tubuh Han Ki yang di-panggulnya. Pemuda itu masih pingsan dan sama sekali tidak bergerak. Hal ini amat merugikan, karena Tek San mengerti benar bahwa apabila pemuda per-kasa ini tidak pingsan dan ikut melawan, agaknya tidaklah amat sukar bagi mere-ka bertiga untuk menyelamatkan diri lari keluar deri kota raja!
Sepak terjang Kam Liong dan Tek San menggentarkan hati para pengeroyok. Kini Kam Liong tidak lagi berlaku sung-kan karena dia maklum bahwa persoalan-nya menjadi gawat, persoalan mati atau hidup. Dia mengerti bahwa kalau sampai mereka tertawan, tentu akan menerima hukuman mati dan yang lebih menggeli-sahkan hatinya adalah tercemarnya nama keluarganya sebagai pemberontak, demi keselamatan Han Ki, karena kalau kali ini mereka Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 135
tertawan dan mati semua, akan habislah keturunan keluarga ayah-nya. Maka diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan hebat menghadang para pengeroyok yang hendak
mengejar Khu Tek San yang menggendong tubuh Han Ki yang masih pingsan.
Melihat betapa orang-orang yang di-bencinya dapat lolos keluar dari penjara, bahkan kini telah menyerbu keluar dari dinding tembok istana, Suma Kiat marah sekali dan menambah jumlah pesukan, juga memerintahkan agar pasuken-pasu-kan keamanan dikerahkan untuk memblokir semua jalan keluar dari kota raja! Sementara itu, dia sendiri memimpin para panglima yang makin banyak jum-lahnya, tetap mengeroyok Kam Liong yang mengamuk
bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, meng-amuk sehingga kipasnya
menimbulkan angin bersuitan dan suling emasnya me-rupakan gulungan sinar kuning emas yang menyambar ke sana ke mari. Karena kini Kam Liong benar-benar meangamuk, bahkan hanya untuk membela diri namun ter-utama sekali untuk melapangkan jalan bagi Khu Tek San untuk menyelamatkan Han Ki, maka sinar suling emasnya mulai merobohkan para
pengeroyok tanpa me-ngenal ampun lagi.
"Suma Kiat! Jika kau tidak ingin me-lihat kota raja banjir darah, biarkan kami pergi!"
bentaknya berulang-ulang sambil mengamuk karena di dalam hati-nya, menteri tua ini tidak senang harus membunuhi para pengawal. Hal ini amat berlawanan dengan hatinya yang sebetul-nya penuh kesetiaan kepada kerajaan.
"Pengkhianat dan pemberontak laknat! Tak mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja dengan tubuh bernyawa!" Suma Kiat membentak sambil menyerang lebih ganas lagi.
Kam Liong berduka dan juga marah sekali. Dia terpaksa harus menjadi se-orang pengkhianat dan pemberontak ren-dah, akan tetapi dia siap mengorbankan nyawa dan kehormatannya untuk menyelamatkan keturunan terakhir dan keluar-ganya.
"Aku dan muridku akan menyerahkan nyawa asal Han Ki kaubebaskan!" Teriak-nya pula.
Akan tetapi, baik Suma Kiat maupun temannya yang sebagian memang tidak suka kepada menteri yang setia dan jujur yang selalu menentang kela-liman para pembesar, malah mengurung-nya dengan ketat.
"Tek San! Lari....!" Kam Liong ber-teriak, mencurahkan tenaganya menerjang Suma Kiat.
Suma Kiat yang amat lihai itu kewalahan menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia tentu menjadi kor-ban kalau saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan tangkisan-tangkisan senjata mereka. Enam orang itu sampai terpental ke belakang dan terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu dengan sinar kuning emas yang amat kuat itu.
Kesemuanya ini dipergu-nakan Kam Liong untuk meloncat ke dekat Tek San, sinar sulingnya meroboh-kan tiga orang pengeroyok muridnya sehingga Tek San dapat melarikan diri.
Menteri tua yang sakti itu pun lalu me-ngejar dan melindungi larinya Tek San dari belakang.
"Wirrr.... wirrr....!" Hujan anak panah mulai berdatangan, menyambar dari be-lakang, kanan dan kiri ke arah tiga orang pelarian itu.
Namun, pedang di tangan Tek San dan suling di tangan Kam Liong diputar cepat,
meruntuhkan semua anak panah yang menyambar, juga kebutan kipas membuat anak-anak panah terlempar dan menyeleweng ke kanan kiri. Mereka ber-dua menangkis sambil berlari terus me-nuju ke selatan karena mereka bermak-sud melarikan diri keluar dari pintu ger-bang kota raja sebelah selatan.
Akan tetapi, dari segala sudut dan lorong di kota raja, berbondong-bondong muncul pasukan-pasukan yang menghujan-kan anak panah dan mengeroyok, seperti semut banyaknya
sehingga usaha melari-kan diri dua orang guru dan murid itu selalu terhalang dan sukar, hanya dapat maju dengan lambat.
"Kita harus dapat keluar sebelum terang cuaca!" Kam Liong berkata kepa-da muridnya.
"Larilah cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan!" Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar di se-keliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 136
"Suhu....!" Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
"Hemm, bicaralah!" Kam Liong ber-kata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan ke-dukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.
"Cet-cet cettt....!" Belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.
"Keparat!" Kam Liong berseru, suling-nya diputar menangkis dan kipasnya ber-hasil menangkap atau menjepit tiga ba-tang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan roboh-nya dua orang pengawal dari atas gen-teng itu, dahi mereka "termakan" piauw mereka sendiri.
"Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!"
Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nya-wa sendiri yang terancam maut, melain-kan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengece-wakan hati gurunya.
"Jangan cerewet! Cepat lari!" Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat menang-kap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun ber-seru keras, pedangnya berkelebat mero-bohkan dua orang pengeroyok di depan-nya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang pingsan.
"Kejar...."
"Tangkap....!"
"Bunuh mereka semua....!" Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan me-ngejar larinya Tek San!
Khu Tek San sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Ce-pat ia miringkan tubuhnya dan mengge-rakkan pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.
"Tring-tranggg....!"
Khu Tek San terkejut karena tangan-nya yang memegang pedang menjadi ter-getar hebat.
Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.
"Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormat!" Tek San memben-tak marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembe-sar ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
"Cringgg....!" Dua batang pedang ber-temu dan Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak memon-dong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.
"Khu. Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!"
"Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati daripada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!" Khu Tek San berseru marah dan menyerang. Sem-bil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 137
ter-desak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempe-dulikan lagi akan keselamatan diri me-reka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas
pang-lima itu menjadi benar-benar repot se-kali.
Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.
"Tranggg....!"
Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Ka-rena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya
"Kita harus dapat keluar sebelum terang cuaca!" Kam Liong berkata kepa-da muridnya.
"Larilah cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan!" Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar di se-keliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.
"Suhu....!" Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
"Hemm, bicaralah!" Kam Liong ber-kata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan ke-dukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.
"Cet-cet cettt....!" Belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.
"Keparat!" Kam Liong berseru, suling-nya diputar menangkis dan kipasnya ber-hasil menangkap atau menjepit tiga ba-tang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan roboh-nya dua orang pengawal dari atas gen-teng itu, dahi mereka "termakan" piauw mereka sendiri.
"Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!"
Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nya-wa sendiri yang terancam maut, melain-kan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengece-wakan hati gurunya.
"Jangan cerewet! Cepat lari!" Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat menang-kap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun ber-seru keras, pedangnya berkelebat mero-bohkan dua orang pengeroyok di depan-nya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang pingsan.
"Kejar...."
"Tangkap....!"
"Bunuh mereka semua....!" Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan me-ngejar larinya Tek San!
Khu Tek San sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Ce-pat ia miringkan tubuhnya dan mengge-rakkan pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.
"Tring-tranggg....!"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 138
Khu Tek San terkejut karena tangan-nya yang memegang pedang menjadi ter-getar hebat.
Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.
"Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormat!" Tek San memben-tak marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
"Cringgg....!" Dua batang pedang ber-temu dan Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak memon-dong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.
"Khu. Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!"
"Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati daripada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!" Khu Tek San berseru marah dan menyerang. Sem-bil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah ter-desak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempe-dulikan lagi akan keselamatan diri me-reka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas
pang-lima itu menjadi benar-benar repot se-kali.
Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.
"Tranggg....!"
Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Ka-rena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menggunakan pedang menangkis, sedang-kan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya meng-elak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia dapat
menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang ka-nan.
"Cett!" Darahnya muncrat keluar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat
mengelak dengan lon-catan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah melon-cat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang pang-lima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.
"Keparat, hendak lari ke mana kau!" Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San. Panglim untuk menggunakan pedang menangkis,
sedang-kan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya meng-elak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang kanan.
"Cett!" Darahnya muncrat keluar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat
mengelak dengan lon-catan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 139
melon-cat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang pang-lima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.
"Keparat, hendak lari ke mana kau!" Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San. Panglima perkasa ini terancam ba-haya maut karena sinar itu adalah dua batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut yang hebat, yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya. Jarum-jarum ini kalau dilepas oleh tangan yang ahli se-perti tangan Suma Kiat, meluncur cepat tanpa mengeluarkan suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya akan terbawa oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang sudah ter-luka dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam bahaya maut!
"Trik-trik!" Dua buah jarum merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.
"Suhu, awas...." Siangkoan Lee berseru dan Suma Kiat cepat membuang tubuh-nya ke belakang terus bergulingan. Un-tung bahwa Siangkoan Lee memperingat-kan gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas yang ampuh. Kiranya yang menolong Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil membubarkan penge-royokan atas dirinya yang dilakukan oleh Siangkoan Lee dan para panglima, meng-hadang menteri sakti ini, membantu muridnya.
"Tek San, lari....!" Kembali Kam Liong berteriak dan Tek San sudah me-loncat lagi sambil lari terus ke selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sam-bil melindungi muridnya itu.
Biarpun dihadang, dikepung dan dihu-jani senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang banyaknya, guru dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak sekali pe-ngawal dan panglima. Kota raja menjadi geger seolah-olah kedatangan serbuan pasukan musuh yang kuat dan banyak jumlahnya. Ketika para penduduk men-dengar bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San yang
melarikan tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari pintu, diam-diam se-bagian besar dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri Kam Liong yang dicinta dan disegani rakyat! Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati ke-pada Menteri Kam Liong, merasa berdu-ka dan gelisah sekali. Mereka bersimpati kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba menjadi pemberontak dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri" Mereka dapat dicap pemberontak dan mala-petaka besar akan menimpa keluarga mereka.
Sinar matahari pagi telah menerangi bumi ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil bertempur itu mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orapg perajurit, bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima telah pula men-dahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di pintu gerbang ini!
"Tek San, saat terakhir yang menen-tukan telah tiba. Kita mati atau selamat di sini!
Terowongan pintu gerbang itu sempit, tidak akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita di sana. Kita membuka jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang mempertahankan kejaran mereka dari belakang. Cepat!"
Tek San terpincang-pincang, paha kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak pengeroyok, akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipeduli-kan. Sambil mengangguk ia memutar pedangnya, membuka jalan darah mero-bohkan empat orang panglima lalu
me-masuki terowongan pintu gerbang.
Menteri Kam Liong juga sudah ter-luka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang pangli-ma, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan puluhan orang pera-jurit pengawal, akan tetapi pundak kiri-nya kena totokan golok, dan kipasnya ketika menangkis lima pedang sekaligus, mematahkan semua pedang akan tetapi daun Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 140
kipasnya terobek. Biarpun demikian menteri tua putera pendekar sakti Suling Emas ini masih tetap kuat dan meng-amuk terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Suling emas di tangan-nya seolah-olah menjadi makin berkilauan "tercuci" darah puluhan orang lawan yang dirobohkannya, kipasnya yang robek men-jadi dua itu seolah-olah menjadi makin lihai.
Akan tetapi, karena kini ia berge-rak di depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi pengeroyokan yang amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam hatinya, Menteri Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan
mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang itu sampai napas terakhir untuk memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki. Dia sudah tua, tidak ada seorang pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya, juga tidak akan menyedih-kan hati orang lain. Akan tetapi, murid-nya belum begitu tua mempunyai anak isteri pula, sedangkan Han Ki masih se-orang pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan nyawa-nya demi dua orang yang disayangnya itu.
Setelah merobohkan tiga orang penja-ga lagi, yang merupakan orang-orang ter-akhir penjaga pintu gerbang, Khu Tek San terpincang-pincang menghampiri pin-tu gerbang. Tenaganya sudah hampir habis dan darah yang mengucur dari luka di pahanya terlalu banyak, membuat ia menjadi lemas dan pandang matanya ber-kunang. Adapun Kam Liong menghadapi
pengeroyokan terlalu banyak orang, tidak sempat memperhatikan muridnya. Dia seorang yang sakti, akan tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah daging sehingga melakukan pertempuran meng-hadap pengeroyokan orang-orang pandai terus menerus semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan. Apa-lagi setelah pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang meru-pakan pengepungan paling hebat ini, biarpun ia telah berhasil melukai pangkal lengan Suma Kiat dengan gagang kipas-nya, merobohkan
Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya karena pukulan suling, membinasakan banyak sekali pengeroyok lain, namun kakek sakti ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak, membuat ia terluka di beberapa tempat dan,seluruh tenaga-nya diperas hampir habis, napasnya ter-engah-engah dan pandang matanya men-jadi kabur.
Khu Tek San dengan terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia
mempergunakan tangannya un-tuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak dapat dibukanya. Palang pintu yang terbuat dari baja itu seolah--olah melekat atau berkerut. Memang palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat orang penjaga. Akan tetapi apa artinya bagi Khu Tek San benda seberat itu" Biasanya, kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang biasa. Agaknya tanpa ia sadari, tenaganya su-dah hampir habis, tubuhnya sudah lemas karena kehilangan darah dan kelelahan membuat dia hampir pingsan. Hanya berkat semangatnya yang tak kunjung padam sajalah yang membuat orang ga-gah ini masih mampu bertahan selama ini.
Guru dan murid itu tidak pernah pu-tus asa, apalagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang. Sekali lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri.
Dengan ilmu lari cepat mereka, hanya ada bebe-rapa orang saja yang akan dapat menge-jar mereka dan beberapa orang itu tentu saja tidak ada artinya baagi mereka ber-dua. Setelah melakukan pertempuran se-lama setengah malam dan dapat tiba di pintu gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi lega dan mulailah timbul harapan besar di hati mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat.
Akan tetapi, Kam Liong kurang mem-perhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat.
Biarpun sudah terluka dan merasa jerih untuk ikut mengeroyok ka-kak misannya yang benar-benar amat sakti itu, Suma Kiat masih memimpin pengepungan dan melihat betapa Khu Tek San sudah berusaha membuka pintu ger-bang, hatinya menjadi gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka berdua itu berhasil keluar tembok kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang yang ber-ilmu tinggi itu. Maka diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan pema-nah yang pilihan untuk naik ke atas pin-tu gerbang, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 141
di bawah pimpinannya sendiri Suma Kiat menanti saat baik, selagi Khu Tek San berkutetan membuka palang pintu, dia memberi aba-aba.
Terdengarlah bunyi nyaring bercuitan ketika belasan batang anak panah melun-cur dari atas menuju ke tubuh Han Ki dan Khu Tek San.
"Tek, San awas anak panah....!" Kam Liong yang sudah mulai payah sa-king lelahnya itu masih sempat memper-ingatkan muridnya. Tek San terkejut sekali. Kalau tidak
diperingatkan, tentu ia menjadi korban karena seluruh perhatian dan tenaganya ia kerahkan untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar pedang dan berhasil, menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya.
Akan tetapi, begitu semua anak panah runtuh dan Tek San dengan terengah-engah
menghentikan gerakan pedangnya, tiba-tiba sebatang anak panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak bersuara saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap di leher kiri Khu Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat oleh tangan Suma Kiat sendiri!
"Suhu....!" Khu Tek San berseru, pe-dangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan.
Teriakan maut itu mengejutkan Kam Liong dan di luar kesadarannya, menteri sakti itu menengok dan seperti juga muridnya yang memandang terbelalak ke depan, ia pun
memandang penuh keheranan karena tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu kini telah terpentallebar dan tampaklah pemandangan di luar pintu gerbang yang amat aneh. Puluhan orang perajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca, ada yang berdiri ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak bergerak dan hanya melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta yang berdiri di depan pintu gerbang itu, meng-gandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua orang anak itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee!
Pada saat itu, Kam Liong berteriak keras karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk perutnya!
Tusukan maut yang dilakukan tepat sekali oleh seorang pang-lima, menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam Liong menengok dan ter-kejut, bukan hanya menyaksikan muridnya yang terpanah lehernya, juga menyaksi-kan munculnya kakek tua renta yang amat aneh itu.
"Ayahhhh....!" Khu Siauw Bwee men-jerit melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya yang sudah terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.
"Pek-hu....!" Maya menjerit ketika melihat Kam Liong terhuyung ke bela-kang dengan sebatang tombak menancap di perut hampir menembus punggung.
Akan, tetapi guru dan murid yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat Maya dah Siauw Bwee, keduanya memandang dengan wa-jah berseri, kemudian hampir
berbareng, guru dan murid ini menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua orang anak perempuan itu. Para panglima dan pe-ngawal yang tadinya terbelalak dan terhe-ran-heran menyaksikan munculnya kakek tua renta itu, kini sadar kembali dan mereka cepat bergerak maju hendak me-nyerang.
"Cukuplah pembunuhan-pembunuhan ini....!" Tiba-tiba kakek tua renta itu berkata halus dan tubuhnya seolah-olah digerakkan angin melayang ke depan, ke dua tangannya dikembangkan dan per-gelangan tangannya digoyang-goyang se-perti orang mencegah. Anehnya, dari kedua tangan itu menyambar angin halus yang amat kuat sehingga semua panglima dan pengawal yang menerjang maju itu terpelanting ke kanan kiri, ada pula yang terjengkang ke belakang, seolah-olah ada tenaga mujijat yang mendorong mereka mundur. Dengan tenang, kakek itu meng-hampiri Maya dan Siauw Bwee, berkata lirih.
"Orang hidup mesti mati. Hal yang sudah wajar dan semestinya, mengapa ditangisi?"
Sungguh mengherankan, dua orang perempuan itu yang dilanda duka, terutama sekali Siauw Bwee yang meli-hat ayahnya tewas, seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan bangkit berdiri, memandang kakek itu dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk, mengangkat Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 142
tubuh Han Ki, disampirkan di atas pun-daknya.
Pada saat itu terdengar teriakan yang diseling isak tangis dan dari luar pintu gerbang masuklah seorang laki-laki bong-kok, langsung meloncat ke dekat jenazah Kam Liong, berlutut dan menangis. Orang itu bukan lain adalah Gu Toan, pelayan dan juga murid Kam Liong yang amat setia.
Kakek tua renta itu mengangguk--angguk. "Bahagialah orang yang memeiliki kesetiaan seperti engkau. Akan tetapi, menangis tiada gunanya. Lebih baik urus jenazah majikanmu dan muridnya, kubur-kan abunya di kuburan keluarga mereka,"
Gu Toan menengok dan begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu ia lalu menjatuhkan diri ber-lutut di depan kaki kakek tua renta sam-bil berkata,
"Hamba mohon petunjuk."
Kakek itu tersenyum, menggerakkan tangan dan telapak tangannya menekan kepala Gu Toan.
Pelayan Menteri Kam merasa hawa yang hangat dan makin lama makin panas memasuki
kepalanya, terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Se-bagai seorang pelayan yang dapat di-katakan juga murid seorang sakti seperti Kam Liong, Si Bongkok Gu Toan ini mak-lum bahwa kakek tua renta yang memiliki sinar pandang mata yang luar biasa seolah-olah menyinarkan sesuatu yang muji-jat, adalah seorang maha sakti yang kini sedang memasukkan tenaga gaib ke da-lam tubuhnya. Tentu saja ia menjadi girang sekali dan "membuka" semua pintu jalan darahnya untuk menerima kekuatan sakti itu. Setelah kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu Toan merasa be-tapa dadanya hangat dan nyaman, dan ketika ia menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri, ia merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Maka ia tidak mau membuang waktu lagi, maklum bah-wa dalam saat yang penuh mujijat itu semua penjaga tidak ada yang dapat ber-gerak, cepat ia mengangkat jenazah Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian me-langkah lebar meninggalkan pintu gerbang itu dengan kedua jenazah di pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia bawa pergi pula, diselipkan di pinggang-nya.
Kelak akan ternyata bahwa Si Bong-kok Gu Toan ini menguburkan abu jena-zah kedua orang gagah itu di tanah pe-kuburan keluarga Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga kuburan itu sampai menjadi kakek-kakek dengan penuh kese-tiaan, dan sementara itu, ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Kam Liong ikut pula disimpannya dan sebagian dipelajarinya. Setelah ia mene-rima tenaga sakti yang diberikan kakek itu kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang amat lihai.
Kakek tua renta itu menarik napas panjang penuh kekaguman atas sikap Gu Toan. Seorang pelayan dapat mempunyai kesetiaan seperti itu, patut dicontoh oleh orang-orang yang merasa dirinya "besar", namun sesungguhnya, yang besar hanyalah pangkatnya atau keadaan lahiriah saja, sedangkan keadaan batinnya amatlah kecil dan rendahnya.
Siapa kakek tua renta yang memiliki kesaktian luar biasa ini" Dan bagaimana ia dapat datang di situ bersama Maya dan Siauw Bwee" Telah diceritakan di bagian depan betapa Maya dan Siauw Bwee yang dijadikan perebutan di dalam pesta Coa-bengcu, telah ditolong oleh kakek aneh berambut putih. Kakek ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu, tepat seperti yang telah disangka oleh tokoh--tokoh kang-ouw di dalam pesta ulang tahun Coa Sin Cu atau juga disebut Coa--bengcu. Memang sukar untuk dipercaya bahwa kakek itu adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa Bu Kek Siansu sudah ada semenjak puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi memang sesungguhnyalah. Kakek itu adalah manusia dewa yang amat sakti Bu Kek Siansu yang usianya sukar ditaksir bahkan tidak ada yang tahu berapa banyaknya.
Tokoh penuh rahasia yang kabarnya bertempat tinggal di Pulau Es itu muncul dan pergi seperti dewa, atau seperti setan bagi mereka yang hidup di dunia hitam, me-miliki kesaktian yang sulit dilukiskan dengan kata-kata karena memang kakek itu tidak pernah bertempur, akan tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang bagaimana sakti pun dapat
merobohkan-nya!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 143
Dengan langkah tenang, Bu Kek Sian-su yang memanggul tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki, menggandeng tangan Maya dan Siauw Bwee, kemudian mening-galkan tempat itu seperti tidak pernah terjadi sesuatu, diikuti pandang mata para penjaga yang seperti dalam mimpi, tidak mampu bergerak dan yang dapat bergerak pun tidak berani berkutik kare-na getaran aneh dan wibawa yang keluar dari kakek itu amat luar biasa dan menimbulkan rasa seram di hati mereka. Setelah kakek bersama dua orang anak perempuan itu lenyap dari pandang mata, barulah keadaan menjadi geger karena Suma Kiat memaki-maki anak buahnya, marah-marah dan mencak-mencak. Kalau saja dia bukan seorang yang mempunyai pengaruh besar, tentu dia menerima kemarahan dan mungkin hukuman berat dari Kaisar karena dia tidak berhasil menangkap Kam Han Ki yang lolos dari tempat tahanan.
Biarpun hati Suma Kiat menjadi lega dan girang karena kematian Kam Liong yang membawa arti bahwa dia tidak mempunyai penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau teringat akan Bu Kek Siansu dan dua orang anak perempuan, terutama teringat akan Kam Han Ki, kadang-kadang ia bergidik dan merasa ngeri. Apalagi karena semenjak melarikan diri, putera tunggalnya, Suma Hoat, tidak pernah mengabarkan diri lagi. Karena itu maka semua kepandaiannya ia turunkan kepada muridnya yang ia percaya, yaitu Siangkoan Lee dan dalam keadaan ber-duka, ia membenamkan diri dalam peluk-an dan hiburan selirnya yang paling can-tik dan yang paling ia cinta, yaitu selirnya termuda dan terbaru Bu Ci Goat.
Betapapun juga, Suma Kiat tidak dapat melupakan kenyataan bahwa persoalannya dengan Kam Liong membuat namanya menjadi tersohor dan dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum kepada Kam Liong.
Pada suatu pagi yang cerah, di tepi pantai paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama Han Ki, Maya dan Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya, yaitu munculnya matahari pagi di timur. Matahari tampak sebagai se-buah bola besar yang merah seperti bu-lan, purnama, sedikit demi sedikit muncul dari permukaan laut, tidak tampak ge-rakannya akan tetapi makin lama makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air laut. Makin tinggi matahari muncul, makin terang sinarnya, mula-mula sinar merah, makin lama makin kekuningan seperti keemasan dan akhir-nya membakar seluruh permukaan laut dan tidak lama kemudian, mulailah sinar itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak dapat pula memandang matahari secara langsung saking gemilangnya.
Bu Kek Siansu berdiri seperti patung, memandang ke arah air laut yang kini diselaput emas.
Dia seperti terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu me-narik napas panjang dan berkata halus.
"Han Ki...."
Pemuda itu memandang kakek itu dengan jantung berdebar. Dia belum da-pat menyelami dan mengenal watak ka-kek itu yang penuh rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam suara itu ia merasakan semacam getaran yang aneh dan mengharukan, seolah-olah suara ka-kek itu membayangkan sesuatu yang berbeda dari biasanya dan amat aneh. Semenjak dibawa pergi kakek itu, cepat kesehatannya pulih kembali dan ia me-lakukan perjalanan bersama Maya den Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini, dan setelah berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi, kini tiba-tiba me-manggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.
"Suhu....!" Ia menjawab sambil meng-hampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Kek Siansu, dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee. Kedua orang anak perempuan ini selama melakukan perjalanan bersama Bu Kek Siansu, tidak berani banyak bertanya. Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap kakek itu yang membuat mereka tidak berani ba-nyak bicara, karena ada wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek itu. Bahkan Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat kakek itu berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 144
"Han Ki, dengarlah baik-baik kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar pesanku.
"Suhu....! Apa.... apa maksud Suhu?" Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.
Kakek itu menoleh dan menunduk, tersenyum. "Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini sudah kunanti-nanti selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Saat ini merupakan saat yang paling bahagia bagiku, karena aku akan terbe-bas! Sudah tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han Ki, hanya ada satu hal yang kuanggap sebagai kewajiban terakhir, yaitu mem-peringatkan kepadamu bahwa engkau memikul tanggung jawab dan tugas yang amat berat. Dua oranag anak itu, dia kini sepenuhnya menjadi tanggunganmu. Eng-kaulah yang harus memimpin mereka, dan.... engkau hati-hatilah karena bukan hal yang ringan kauhadapi. Kulihat hal-hal yang amat meresahkan, akan tetapi....
biarlah Tuhan yang akan mengaturnya dan semua tergantung dari kalian bertiga sendiri. Tak perlu kujelaskan lagi karena aku tidak dapat menerangkan lebih jeias. Yang penting, engkau harus mengajarkan ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau Es, tidak saja mengajarkannya kepada kedua orang sumoimu ini. Yaaa, mereka adalah sumoimu, Han Ki, karena aku
mengangkat mereka sebagai murid pula, dengan meninggalkan kitab-kitab pelajaran untuk mereka. Juga engkau dapat memperdalam ilmumu dari kitab-kitab yang kutinggalkan. Kurang lebih lima li dari sini, di sebelah utara, di dalam guha batu karang di tebing laut, ada kutinggalkan sebuah perahu yang kuat. Bawalah kedua sumoimu itu ke sana, kemudian berlayarlah engkau ke Pulau Es. Kalau dari tempat perahu itu engkau berlayar lurus menuju ke mata-hari terbit, engkau akan tiba di Pulau Es. Sekarang ini saatnya karena laut sedang tenang dan tidak ada penghalang sehingga jika engkau mendayung kuat-kuat dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di Pulau Es."
"Pulau Es....?" Han Ki berdebar te-gang.
"Pulau tempat kerajaan nenek mo-yangku yang sudah musnah. Akulah yang terakhir. Istana Pulau Es itu kutinggalkan untuk kalian bertiga. Hati-hatilah engkau terhadap ular-ular merah di pulau itu, hati-hati pula terhadap orang-orang aneh yang mengaku datang dari Pulau Neraka. Kalau kalian sudah berhasil tiba di sana, pelajarilah ilmu dengan tekun dan jangan sekali-kali meninggalkan pulau kalau ilmu kalian belum cukup masak. Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan menyeleweng, maka kalian harus hati-hati menghadapi mereka. Akan tetapi.... yang paling berbahaya adalah menghadapi diri kalian sendiri...." kakek itu berhenti bicara dan menghela napas panjang.
Tiba-tiba Maya menjatuhkan diri ber-lutut di depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut pula oleh Siauw Bwee.
"Suhu hendak ke manakah?" tanya Siauw Bwee, kini menyebut suhu setelah mendengar bahwa dia dan Maya diaku sebagai murid oleh kakek aneh itu.
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Kuberi tahu juga tidak mengerti engkau, Siauw Bwee."
"Suhu, setelah kami diterima sebagai murid, bolehkah teecu bertanya?" Maya berkata, suaranya nyaring, matanya yang seperti bintang itu bersinar-sinar me-mandang gurunya.


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bertanyalah selagi ada kesempetan, Maya." .
"Suhu tadi mengatakan bahwa paling berbahaya menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu maksudkan?"
Kakek itu tersenyum den memandang kepada Han Ki. "Jawabannya boleh kau-dengar dari Suhengmu dan mulai saat ini, segala hal dapat kautanyakan kepada Suhengmu, karena dialah yang mewakili aku mengajar kalian berdua. Han Ki, jawablah pertanyaan Maya tadi."
Dengan suara tenang dan tetap Han Ki menjawab kepada Maya sambil me-mandang anak perempuan itu. "Sumoi, yang dimaksudkan oleh Suhu adalah bah-wa menaklukkan orang lain hanya mem-butuhkan tenaga kasar dan kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya melawan diri sendiri karena diri sendiri memiliki -nafsu-nafsu yang amat kuat dan nafsu-nafsu ini dapat Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 145
membuat kita terpenga-ruh dan melakukan penyelewengan. Meng-hadapi nafsu jasmani diri sendiri tidak dapat dilawan dengan ilmu silat atau dengan tenaga kuat, melainkan dengan kesadaran dan dengan tenaga batin. Ka-rena itu Suhu memperingatkan agar kita selalu waspada terhadap diri sendiri."
Pelajaran ini adalah pelajaran keba-tinan yang masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti Maya dan Siauw Bwee, akan tetapi karena semenjak kecil kedua orang anak itu sudah mengerti kitab-kitab yang diharuskan mereka baca ke-tika mereka mempelajari kesusastraan, maka biarpun belum jelas benar, Maya dapat menangkap maksudnya dan ia ter-diam.
"Maya dan Siauw Bwee, selanjutnya, mulai saat ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu silat di bawah pimpinan Han Ki, akan tetapi kalian juga harus selalu taat akan nasihat dan pesanan Suheng kalian yang mewakili aku. Nah, murid--muridku, saatnya sudah terlalu mendesak.
Selamat tinggal dan selamat berpisah, semoga Tuhan senantiasa melindungi kalian dan memperkuat batin kalian. Han Ki, hati-hatilah muridku, terutama terhadap.... Cinta....!" Kakek itu tidak me-lanjutkan kata-katanya dan tiba-tiba ia meloncat ke.... laut di bawah tebing!
"Suhu....!" Han Ki berteriak kaget
"Suhu....!" Maya dan Siauw Bwee juga berteriak dan meloncat berdiri, men-jenguk ke bawah tebing dengan hati te-gang bercampur gelisah. Dan tiga orang itu memandang dengan mata terbelalak menyaksikan hal yang amat luar biasa. Mereka melihat kakek itu.... berjalan di atas permukaan air laut, seolah-olah berjalan di atas tanah saja, terus ke-timur.
"Suhu....!" Mereka berteriak.
Bu Kek Siansu menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Hanya itulah yang tampak oleh tiga orang anak itu, pemandangan yang tak mungkin dapat mereka lupakan selamanya. Air laut mu-lai bergerak, gelombang mulai berda-tangan dan tak lama kemudian lenyaplah tubuh kakek sakti itu tertutup ombak. Sampai lama ketiganya berdiri tertegun dan akhirnya Han Ki memecahkan kesu-nyian dengan suaranya yang terdengar menggetar.
"Sumoi, marilah ikut aku pergi mencari perahu seperti yang dipesankan Su-hu."
Maya dan Siauw Bwee mengangguk lalu mengikuti Han Ki sambil kadang-kadang menengok ke arah laut di mana tadi kakek itu menghilang. Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan bertanya lirih, "Suheng.... Suhu pergi ke manakah?"
Han Ki tidak dapat menjawab dan tiba-tiba Maya berkata, suaranya agak ketus. "Sumoi, mengapa engkau bertanya yang bukan-bukan" Seorang sakti seperti Suhu, pergi ke mana siapa yang tahu?"
Siauw Bwee tidak membantah dan Han Ki diam-diam melirik ke arah Maya yang berjalan di sebelah kirinya. Ia me-lihat wajah Maya muram dan mulut yang bentuknya indah itu cemberut seperti orang marah. Diam-diam Han Ki merasa heran dan untuk menyenangkan hati Ma-ya, ia lalu memegang tangan Maya itu seperti ia memegang dan menggandeng tangan Siauw Bwee. Akan tetapi tiba--tiba Maya merenggut lepas tangannya sambil
berkata,"Suheng, aku bukan anak kecil yang harus digandeng-gandeng!"
Han Ki terseayum dan tidak berkata apa-apa, akan tetapi di dalam hatinya timbul
kekhawatiran bahwa kelak akan sampai terjadi hal-hal yang memusingkan, tentu dari Maya datangnya. Anak ini memiliki watak yang aneh dan keras, berbeda dengan Siauw Bwee yang wataknya halus dan sabar.
"Kuharap saja kalian akan selalu taat kepadaku seperti yang dipesankan Suhu agar semua berjalan bere s," katanya perlahan.
"Engkau adalah suheng kami, peng-ganti Suhu, tentu saja aku akan taat kepadamu, Suheng.
Akan tetapi Khu-sumoi yang lebih muda harus pula taat kepadaku karena aku sucinya."
Han Ki mengerutkan kening. Dia ti-dak mengerti mengapa Maya berkata begitu. Ketika ia melirik ke arah Siauw Bwee, ia melihat sumoinya ini hanya menunduk dan wajahnya tetap tenang tidak membayangkan sesuatu. Diam-diam ia kagum kepada Siauw Bwee dan heran Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 146
akan sikap Maya yang sukar diselami itu. "Sumoi, seorang saudara tua tidak hanya ingin ditaati oleh adik seperguruannya, melainkan juga harus melindunginya.
"Tentu saja!" jawab Maya cepat, "Suheng melindungi aku, dan aku melindungi Sumoi, itu sudah semestinya."
"Hemm...., melindungi yang bagaimana maksudmu, Sumoi?"
"Melindungi dan membela. Kalau ada orang jahat menggangguku, Suheng akan membelaku.
Kalau ada orang mengganggu Khu-sumoi aku yang akan membelanya. Tentu saja masih ada Suheng yang melindungi kami berdua."
Han Ki mengangguk-angguk. Kiranya Maya ini agaknya hanya tidak mau kalah oleh Siauw Bwee karena merasa lebih tua! Ia menoleh ke arah Siauw Bwee dan bertanya, "Siauw Bwee sumoi, bagaimana pendapatmu?"
Siauw Bwee menoleh dan memandang sebentar kepada Han Ki. Mengerutkan alisnya yang kecil hitam, kemudian memandang Maya dan menjawab halus, "Aku adalah seorang saudara muda, sudah tentu dalam segala hal aku akan mendengar dan taat akan petunjuk Suheng dan Suci, karena aku yakin bahwa petunjuk dari Suci terutama dari Suheng, tentu baik dan tidak akan mencelakakan aku."
Mendengar ucapan ini, Han Ki me-mandang penuh perhatian, hatinya kagum karena dari jawaban itu dia dapat me-ngerti bahwa gadis cilik ini berwatak halus, suka mengalah, tahu diri akan tetapi juga cerdik sekali, dapat memper-gunakan keadaan yang tadinya merugikan menjadi menguntungkan! Mulailah hati pemuda ini tertarik sekali kepada dua orang sumoinya. Keduanya merupakan keturunan orang-orang luar biasa dan gagah perkasa. Maya adalah puteri Khi-tan, anak atau anak angkat kakak sepu-punya, yaitu Raja Talibu putera supeknya, Suling Emas. Adapun Siauw Bwee juga bukan anak sembarangan, melainkan
puteri tunggal Khu Tek San yang telah tewas mengorbankan nyawa untuk menye-lamatkan dia! Kalau teringat akan ini, mau tidak mau timbul perasaan kasihan dan berterima kasih di dalam hati Han Ki kepada Siauw Bwee. Anak ini telah ditinggal mati ayahnya, ditinggal pergi ibunya tanpa diketahui ke mana. Keluar-ganya berantakan. Bukankah semua itu terjadi karena dia" Karena ayahnya membela dia" Dia harus membalas semua kebaikan itu, dia harus memimpin Siauw Bwee dan kalau perlu menyediakan nya-wa untuk membela dan melindungi Siauw Bwee seperti telah dilakukan ayah anak ini kepadanya.
"Kalian berdua benar. Memang kita bertiga harus saling mencinta dan mem-bela seperti tiga kakak beradik yang baik, memenuhi pesan Suhu. Akan tetapi marilah kita mempercepat perjalanan agar dapat menemukan perahu itu. Ka-lian harus tahu bahwa Pulau Es yang disebut Suhu merupakan sebuah pulau rahasia yang tadinya hanya terkenal dalam sebuah dongeng saja. Marilah, kedua Sumoiku yang baik, mudah-mudahan saja semangat Suhu akan membimbing kita sehingga dapat menemukan Pulau Es yang dimaksudkan Suhu."
"Mari kita lari cepat. Sumoi mari kita berlumba!" Maya berkata dan me-nantang Siauw Bee.
"Baik, marilah, Suci!" Siauw Bwee menjawab tegas dan larilah kedua orang gadis cilik itu di sepanjang pantai laut ke utara, secepat mungkin. Melihat ini Han Ki menggeleng-geleng kepala dan tersenyum. Kiranya mereka itu masih seperti anak-anak, pikirnya, sama sekali tidak sadar bahwa perlumbaan lari itu merupakan pertanda bahwa di dalam hati kedua orang gadis cilik itu telah terpendam bibit persaingan yang akan menimbulkan banyak keruwetan dalam hidupnya! Han Ki tersenyum dan ia pun berkelebat mengejar, membayangi kedua orang su-moinya dari belakang sambil memper-hatikan cara mereka berlari cepat.
*** Ke dua orang gadis cilik itu dapat beriari cukup baik, dan kecepatan mereka berimbang. Han Ki yang memperhatikan dari belakang melihat bahwa dasar ilmu lari cepat mereka adalah dari satu sumber, yaitu ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 147
Maya lebih terlatih dan agaknya bekas Puteri Khitan itu memang sering kali mempergunakan ilmu lari cepat sehingga setelah Siauw Bwee mulai tampak lelah, Maya masih dapat beriari dengan seenaknya. Han Ki melihat beta-pa Siauw Bwee dengan nekat memperce-pat larinya agar dapat mengimbangi ke-cepatan Maya. Ia merasa kasihan karena maklum bahwa sebentar lagi Siauw Bwee tentu akan kehabisan napas dan akan kalah. Maka ia lalu mempercepat gerak-an kakinya, melampaui mereka dan ber-kata tertawa.
"Wah, kalau kalian beriari begini lam-bat, sampai kapan kita bisa menemukan perahu itu"
Mari kugandeng tangan ka-lian, Sumoi!" Han Ki menyambar tangan Maya dan Siauw Bwee dengan kedua tangannya, kemudian mengerahkan gin-kangnya dan beriari cepat sekali, mem-buat Maya dan Siauw Bwee kagum bukan main dan mereka melupakan perlumbaan
mereka tadi. "Suheng, larimu cepat sekali!" Maya berseru kagum.
"Seperti Suhu ketika mermbawa lari aku dan Suci. Suheng ilmu lari apakah ini?" Siauw Bwee juga berkata.
"Inilah yang disebut Cio-siang-hui!" jawab Han Ki.
"Suheng, kau harus ajarkan ilmu ini kepadaku!" Maya berseru dengan kagum karena ilmu
"terbang di atas rumput" ini hanya ia dengar saja dan baru sekali ini dia melihatnya.
"Tunggu sampai kita dapat menemu-kan Pulau Es. Tidak ada ilmu yang tak-kan kuajarkan kepada kalian berdua. Se-karang diamlah dan tutup matamu agar jangan merasa ngeri."
Setelah berkata demikian, tiba-tiba gerakan kaki Han Ki berubah dan larinya makin cepat karena tidak seperti tadi, hanya lari biasa, me-lainkan kadang-kadang melompat jauh ke depan sehingga larinya menjadi cepat bukan main. Maya dan Siauw Bwee tadi-nya mentaati pesan suhengnya dan me-mejamkan mata. Mereka mendengar angin berdesir di kanan kiri telinga dan merasa betapa tubuh mereka terangkat sehingga kedua kaki mereka kadang-ka-dang melayang dan kadang-kadang hanya menyentuh tanah sedikit saja. Rasa ingin tahu membuat dua orang gadis cilik itu membuka mata dan akhirnya mereka membelalakkan mata dan memandang penuh kagum, bahkan Maya berteriak girang.
"Suheng, ajarkan ilmu ini kepadaku!"
Melihat betapa kedua orang sumoinya sama sekali tidak merasa ngeri, bahkan membuka mata dan kegirangan, diam--diam Han Ki menjadi girang sekali. Memang pilihan suhunya untuk mengambil
murid dua orang anak perempuan ini benar-benar tepat. Keduanya memiliki bakat yang amat baik, dan lebih-lebih lagi, keduanya memiliki ketabahan yang merupakan syarat terpenting bagi seorang calon ahli silat. Ketabahan mendatangkan ketenangan dan betapapun pandai sese-orang dalam ilmu silat, kalau dia tidak memiliki ketabahan dan tidak dapat ber-sikap tenang, berarti dia sudah kehilang-an setengah ilmunya.
"Bersabarlah engkau, Maya-moi. Lihat, di, depan itulah agaknya tebing yang dimaksudkan Suhu. Mari kita mencari perahu itu!"
Ucapan ini membuat Maya dan Siauw Bwee tertarik sekali. Mereka bertiga lalu menuruni tebing yang terjal dan Han Ki tetap menggandeng tangan kedua orang sumoinya karena menuruni tebing itu merupakan pekerjaan yang cukup berba-haya. Namun, gin-kang yang dimiliki Han Ki telah mencapai tingkat tinggi sehing-ga biarpun menggandeng dua orang su-moinya, ia dapat mengajak mereka turun dengan cepat sampai tak lama kemudian mereka tiba di bawah tebing, di bagian pantai di mana terdapat banyak guha yang tercipta oleh gempuran ombak se-tiap hari ke arah dinding karang. Dan di sebuah di antara guha-guha ini, tampak-lah perahu yang dimaksudkan Bu Kek Siansu, sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang kuat, bentuknya merun-cing dan di tengahnya terdapat atap yang membuat ruangan kecil namun cu-kup untuk tempat berteduh dari terik matahari.
"Ini perahu Suhu!" Han Ki berseru girang. "Marilah!"
Maya dan Siauw Bwee ikut menjadi girang melihat perahu itu dan mereka membantu Han Ki Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 148
melepaskan ikatan perahu pada batu karang, kemudian me-lihat Han Ki menarik keluar perahu dari dalam guha dan mendorongnya ke atas air laut.
Setelah kedua orang sumoinya naik ke atas perahu dan duduk di bangku bawah atap, Han Ki mulai mendayung perahu-nya, mengambil arah ke timur. Perahu yang ujungnya runcing itu meluncur cepat sekali. Air laut tenang sehingga mereka merasa nyaman duduk di atas perahu, sedikit pun tidak terguncang, hanya meluncur cepat ke depan seperti terbang.
Maya dan Siauw Bwee tertarik meli-hat Han Ki mendayung perahu. Mereka minta belajar dan tak lama kemudian, dua orang gadis cilik itu menggantikan Han Ki mendayung. Perahu meluncur dikemudikan oleh Han Ki dan mereka bercakap-cakap.
"Suheng, kelak kalau aku sudah tamat belajar, aku akan pergi mencari Ibu."
Han Ki memandang sumoinya yang kecil itu. Ah, kiranya diam-diam anak ini selalu
memikirkan ibunya. Betapa kuat hatinya karena dapat menutupi kerindu-annya. Ia
mengangguk. "Tentu saja, Su-moi. Dan aku akan membantumu mencari sampai dapat. Kurasa kalau kita menye-lidiki ke kota raja kelak, akan ada ke-nalan orang tuamu yang tahu akan raha-sia itu, tahu ke mana Ibumu pergi meng-ungsi dengan sembunyi."
"Suheng, kalau aku sudah pandai kelak, aku akan membalas dendam kematian Raja dan Ratu Khitan!"
Kim Haa Ki mengerutkan alis ketika memandang Maya. "Hemmm.... orang tuamu gugur
dalam perang. Kepada siapakah engkau akan membalasnya, Su-moi?"
"Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan Yucen, Sung dan kerajaan Mongol!"
Diam-diam Han Ki terkejut. Dendam yang begitu hebat, ditujukan kepada ke-rajaan-karajaan tiga negara bagaimana akan membalasnya" Kiranya cara membalasnya hanya satu, yaitu dalam pe-rang! Diam-diam ia merasa ngeri, akan tetapi tidak mau bertanya lagi karena maklum bahwa sumoinya yang seorang ini amat keras hati dan mudah tersinggung, apalagi dalam urusan membalas dendam. Karena ayah puteri ini merupakan sau-dara sepupunya pula, maka ia hanya ber-kata tenang, "Cita-citamu itu. amat sukar dilaksanakan, akan tetapi kaubelajarlah yang tekun, Sumoi."
"Dan engkau sendiri, bagaimana urus-anmu dengan puteri Kaisar yang dipaksa kawin dengan Raja Yucen itu, Suheng?" Tiba-tiba Maya bertanya.
Han Ki tersentak kaget, memandang terbelalak dengan wajah pucat. Tak di-sangkanya bahwa sumoinya tahu akan hal itu. Dia tidak mengerti bahwa berita--berita tentang hubungan-hubungan gelap, apalagi yang menimpa diri puteri Kaisar, merupakan berita yang tak dapat ditutup tutupi karena setiap mulut suka membicarakannya.
Siauw Bwee diam-diam menyentuh tangan sucinya, ketika sucinya meman-dang, ia berkedip dan menggerakkan muka ke arah Han Ki yang menundukkan muka. Maya mengerti bahwa
pertanya-annya tadi menyinggung Han Ki, maka ia pun tidak bertanya lagi, mengangkat se-dikit pundaknya kemudian melanjutkan gerakan tangannya mendayung, mulutnya yang kecil mulai bersenandung, menya-nyikan sebuah lagu Khitan dengan lirih. Siauw Bwee memandang dan mendengar-kan dengan kagum karena suara Maya memang merdu sekali,
apalagi menyanyi-kan sebuah lagu asing yang terdengar makin aneh mempesonakan,
dinyanyikan di atas perahu yang berada di tengah lautan dan dalam keadaan seperti itu. Han Ki yang perasaannya mendapat pu-kulan hebat oleh pertanyaan tiba-tiba tadi, ketika mendengar nyanyian ini, merasa makin nelangsa, pikirannya mela-yang-layang dan
teringatlah ia akan segala yang terjadi semenjak mengadakan pertemuan dengan Supg Hong Kwi sampai dia ketahuan, dikeroyok, ditangkap dan akhirnya ditolong dengan pengorbanan nyawa oleh Kam Liong dan Khu Tek San kemudian dibawa pergi suhunya. Teringatlah dia akan nasihat dan wejangan suhunya yang membuka matanya dan menyadarkannya sehingga dia dapat me-nerima peristiwa itu dengan hati tidak terlalu menderita. Akan tetapi, pertanya-an tiba-tiba dari Maya membuat ia ter-kejut dan terpukul, terbayang wajah Sung Hong Kwi yang dicintanya, timbullah rasa rindu yang tak tertahankan dan rasa sakit di hati Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 149
mengingat betapa kekasih-nya itu dirampas oleh orang lain!
"Hong Kwi....!" Hatinya mengeluh akan tetapi mulutnya berkata dengan suara dingin seperti suara yang keluar dari balik kubur, sama sekali tidak mengandung semangat kehidupan.
"Maya dan Siauw Bwee, kuminta kalian selama-nya jangan menyebut-nyebut lagi
namanya...."
Melihat keadaan Han Ki, Maya menjadi terkejut dan menyesal mengapa tadi ia bertanya-tanya tentang Puteri Sung Hong Kai itu.
"Baik, Suheng," jawabnya.
"Baik, Suheng," kata pule Siauw Bwee.
Dengan kekuatan batinnya sebentar saja Han Ki sudah dapat mengatasi perasaan hatinya yang tertekan , maka perahu kembali meluncur dengan lancar dan cepatnya ke timur. Suara ujung perahu memecah air laut mengumandangkan nasihat Bu Kek Siansu kepada Han Ki bahwa pemuda itu sebaiknya mengasingkan diri ke Pulau Es bersama dua orang sumoinya, karena kalau dia muncul di dunia ramai, tentu akan teringat terus akan peristiwa di Kerajaan Sung dan dia akan selalu menjadi seorang buronan. Kini Han Ki dapat memikirkan dan me-rasai tepatnya nasihat itu. Dia masih muda dan berdarah panas, mudah dikua-sai nafsunya sehingga kalau dia bertemu lagi dengan Hong Kwi, agaknya tidak akan dapat neenahan diri dan akan menimbuikan kegemparan-kegemparan baru, mungkin pelanggaran-pelanggaran yang tidak semestinya dilakukan orang baik-baik. Hong Kwi telah menjadi milik orang lain, dan dia harus dapat melupa-kanya. Satu-satunya jalan untuk melupakannya secara baik adalah tinggal di pulau yang terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi.
"Hei....! Ikan banyak sekali....!" Tiba--tiba Maya berseru sambil menuding ke air. Siauw Bwee dan Han Ki memandang dan memang benar. Di dalam air, ter-sinar bagai matahari, tampak banyak ikan se-besar paha berenang ke sana ke mari banyak sekali. Pemandangan ini amat menarik hati dan ketiganya tidak meng-gerakkan dayung membuat perahu terhen-ti dan mereka menikmati pemandangan yang memang indah itu. Karena matahari sudah naik tinggi dengan sinar cemerlang dan air laut tenang, maka melihat ikan-ikan dengan sisik mengkilap itu berenang di sekitar perahu amatlah mempesonakan.
"Ah, kalau ada alat pancing, tentu menyenangkan sekali memancing di sini;" kata Siauw Bwee.
"Itu ada perahu datang!" Han Ki ber-kata. Mereka memandang dan dari jauh tampak sebuah perahu kecil meluncur datang dengan cepat sekali. Setelah de-kat tampak oleh mereka bahwa perahu itu ditumpangi seorang laki-laki yang berkepala gundul.
"Seperti seorang hwesio!" kata Siauw Bwee. "Bukan, bantah Maya. "Lihat, biarpun gundul, dia tidak memakai baju! Mana ada hwesio tidak berjubah?"Han Ki sudah berdiri di atas papan perahunya dan memandang tajam penuh perhatian. "Bukan hwesio. Akan tetapi dia aneh sekali. Kepalanya gundul, pakai-annya hanya cawat, kumisnya kecil me-lintang.
Heran, orang apakah dia" Melihat perahunya, tentu perahu nelayan dan melihat cara dia mendayung, tentu dia bukan orang sembarangan. Harap kalian hati-hati, jangan-jangan dia bukan orang baik-baik."
Perahu itu kini telah datang dekat dan orang yang berada di perahu agaknya tidak mempedulikan mereka, melainkan memandang ke air di mana terdapat banyak ikan. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang, perahunya dihentikan dan ia membuang jangkar besi yang diikat dengan tali panjang. Kemudian, setelah memandang ke air penuh perhatian sam-pai tubuhnya yang hanya bercawat itu membungkuk dl luar bibir perahu, tiba-tiba orang itu meloncat ke dalam air dengan gerakan indah. Air hanya, muncrat sedikit saja dan tubuhnya sudah lenyap ditelan air.
"Wah, dia gila....!" Maya berseru.
"Dia bisa celaka....!" Siauw Bwee ber-kata penuh keheranan.
"Hemm, kurasa tidak. Melihat cara dia meloncat, dia adalah seorang yang ahli dalam air dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 150
loncatannya tadi membayangkan bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya aneh sekali, aku heran apa yang dicarinya di dalam air" Dan bagaimana ia dapat bertahan menyelam sampai begini lama?"
Pertanyaein Han Ki itu segera men-dapat jawaban yang merupakan peman-dangan aneh sekali. Tiba-tiba air berge-lombang dan.... dari dari dalam air tadi meloncatlah orang yang tadi ke dalam perahunya, tangannya memondong seekor ikan sebesar tubuhnya sendiri! Ikan itu dilemparnya ke dalam perahu, menggelepar-gelepar dan Si Gundul yang luar biasa itu sudah meloncat lagi ke dalam air. Tak lama kemudian, kembali ia meloncat ke perahu membawa seekor ikan besar dan ketika untuk ketiga kalinya ia me-loncat ke air, Han Ki berkata.
"Bukan main! Selama, hidupku, men-dengarpun belum apalagi menyaksikan seorang nelayan menangkap ikan secara itu! Dia benar-benar hebat luar biasa. Mari kita dekati, aku ingin berkenalan dengan dia!" Han Ki berseru dan men-dayung perahu mendekat.
Pada saat itu, air kembali bergelombang, kini lebih hebat dari tadi, dan Maya berteriak sambil menuding ke ba-wah, "Lihat....!"
Mereka terbelalak ketika tiba-tiba muncul kepala yang gundul akan tetapi tenggelam lagi dan ternyata bahwa orang aneh itu sedang bergumul melawan seekor ikan yang besar, lebih besar daripada tubuhnya dan dua kali lebih besar dari ikan-ikan yang telah ditangkapnya tadi. Han Ki, Maya dan Siauw Bwee memandang penuh kekhawatiran melihat orang itu bergulat dan bergulung-gulung di air yang makin keras berombak karena kibasan-kibasan ekor ikan yang amat kuat. "Suheng, bantulah dia....!" Siauw Bwee berteriak sambil menuding ke air dengan hati penuh kekhawatiran akan keselamatan orang gundul itu, sedangkan Maya menonton dengan amat tertarik sampai berdiri membungkuk di pinggir perahu.
"Tidak perlu, Sumoi. Lihat!"
Ketika Siauw Bwee memandang, ia kagum sekali melihat Si Gundul itu kini telah meloncat ke atas perahunya, me-ngempit kepala ikan besar itu yang memukul-mukul dengan ekornya.
Begitu me-lempar ikan besar ke perahu, orang itu sekali pukul membikin pecah kepala ikan itu yang berhenti memukul-mukul dengan ekornya menggelepar lemah.
"Lopek, kepandaianmu mengagumkan sekali!" Han Ki berseru ke arah orang gundul itu dan ketika orang gundul itu membalikkan tubuh memandang, Han Ki cepat merangkapkan kedua tangannya didepan dada memberi hormat. Akan tetapi orang itu tidak membalas
penghormatannya, memandang tak acuh lalu berkata dengan logat asing, setengah Mongol akan tetapi jelas bahwa dia pandai menggunakan bahasa Han.
"Kepandaian begitu saja apa artinya" Kalau kalian tidak mempunyai kepandaian, perlu apa berkeliaran di sini mencari mampus?" Setelah berkata demikian, dia sudah terjun kembali ke dalam air.
"Celaka! Orangnya sombong seperti setan!" Maya memaki marah. "Hayo kita pergi saja, Suheng. Buat apa berkenalan dengan orang macam itu?"
"Lopek, awas....! Ikan hiu....!" Tiba-tiba Han Ki berteriak ke arah orang yang masih berenang dan agaknya sedang mencari-cari dan memandang ke dalam air itu.
"Suheng....dia bisa celaka....!" Siauw Bwee berseru.
"Biarkan saja, Suheng. Orang sombong biar tahu rasa!" Maya juga berseru.
Seekor Ikan hiu yang ganas dan liar, sebesar manusia, menyambar dari belakang orang gundul itu. Dia ini cepat sekali membalik dan dengan gerakan indah telah mem-buang diri ke kiri sehingga serangan ikan liar itu luput. Cepat Si Gundul me-nangkap ekor ikan dan
mencengkerem sirip ikan, kemudian memutar dengan kekuatan luar biasa sehingga tubuh ikan itu membalik. Orang gundul itu menang-kap moncong ikan dengan kedua tangan, membetot dan.... robeklah mulut ikan hiu itu yang setelah dilepas lalu berkelojotan sekarat, air di sekitarnya merah oleh darahnya.
"Lopek, naiklah ke perahu banyak ikan hiu....!" Han Ki berteriak lagi ketika melihat banyak sekali sirip atas ikan hiu meluncur datang. Ikan-ikan hiu amat tajam penciumannya akan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 151
darah, maka begitu ada darah di air, mereka berda-tangan seperti beriumba! Sebentar Si Gundul dan bangkai ikan hiu itu telah dikurung belasan ekor ikan hiu yang be-ear-besar.
Sebagian ikan ini menyerbu bangkai kawannya dengan ganas, dan ada tiga ekor yang menyerang Si Gundul!
Siauw Bwee menjerit ngeri menyak-sikan bangkai ikan hiu itu hancur lebur dan robek-robek, ngeri karena tubuh orang gundul itu pasti akan disayat-sayat oleh gigi ikan-ikan buas itu.
Sedangkan Maya memandang dengan wajah berseri,agaknya ia girang melihat orang
sombong itu terancem bahaya.
Akan tetapi orang gundul itu benar-benar amat lihai. Biarpun diserang oleh tiga ekor ikan buas, ia tidak mau naik ke perahu, dan memang untuk kembali ke perahunya sudah tidak keburu lagi. Dengan gerakan tangkas ia memukul ikan terdekat.
"Desss!" Pukulan itu hebat dan biar-pun tubuh ikan yang kuat dan licin tidak remuk dan ikannya tidak mati, namun terlempar sampai dua meter jauhnya.
"Pukulan Pek-lek-sin-jiu (Pukulan Halilintar)! Dari mana dia mempelajarinya?" Han Ki makin terheran-heran ketika mengenal pukulan itu, sebuah pukulan sakti yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu!
Akan tetapi tidak ada yang depat menjawabnya dan perhatian Han Ki tertarik oleh bahaya maut yang mengancam diri kepala gundul itu. Ikan yang dipukulnya tidak tewas , dan sudah berbalik menerjang didahului oleh dua ekor ikan yang lain yanag menerjang dari kanan kir!
Orang gundul itu berhasil memukul dua ekor ikan, tetapi terjangan ikan yang pertama tadi tak mungkin dapat ia hindarkan. Melihat ini Han Ki mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya mencelat ke depan, tangan kirinya menyambar lengan orang gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang menyerang dari belakang. Sekali menggerakkan ta-ngan, dengan menginjak kepala ikan se-bagai landasan, Han Ki berhasil melon-tarkan tubuh laki-laki itu ke perahunya, sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya meloncat ke pe-rahu terdekat, yaitu perahu Si Gundul di mana pemiliknya sudah berdiri dengan mata terbelalak, heran memandang ke arah Han Ki.
"Kau.... kau siapa?" Kini orang gundul itu hilang kesombongannya dan meman-dang Han Ki dengan sinar mata penuh heran dan kagum.
Han Ki tersenyum, kembali memberi hormat yang tak juga dibalas oleh Si Gundul sambil memperkenalkan diri! "Na-maku Han Ki, dan mereka itu adalah dua orang sumoiku, Maya dan Khu Siauw Bwee. Siapakah Lopek yang pandai ini dan di mana tampat tinggal lopek?"
Laki-laki tua yang usianya sudah ada lima puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak kuat itu memandang Han Ki dengan penuh perhatian, kemudian meng-hela napas panjang dan berkata, "Sungguh tak kusangka di dunla ini ada seorang pemuda yang begini lihai! Orang muda, engkau telah menolong nyawaku, maka sudah sepatutnya menjadi tamu agung dari Pulau Nelayan kami. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dari keluarga kami di Pulau Nelayan. Kebetulan aku berhasil menangkap tiga ekor ikan yang besar dan lezat dagingnya.
Kalau engkau dan dua orang sumoimu suka, aku undang kalian untuk mengunjungi pulau kami dan ikut berpesta menikmati daging ikan.
"Baiklah dan terima kasih, Lopek. Aku akan senang sekali bertemu dengan keluargamu." Han Ki amat tertarik untuk mengetahui keadaan nelayan gundul itu karena tadi ia menyaksikan bahwa nela-yan itu memiliki ilmu pukulan yang ia kenal sebagai ilmu pukulan gurunya. Ia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya me-layang ke arah perahunya sendiri. Gerak-an ini hanya membuat perahu Si Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan itu makin kagum karena perbuatan pemuda itu membuktikan kepandaian yang tinggi.
"Suheng, buat apa kita mengunjungi pulaunya?" Maya menegur Han Ki dengan mulut
cemberut. "Sumoi, dia memiliki ilmu pukulan yang sama dengan yang pernah kupelajari. Aku ingin sekali mengetahui keada-an keluarganya. Tentu ada, hubungannya antara mereka dengan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 152
Suhu," Han Ki berkata lirih.
"Orang muda she Kam! Marilah ikut perahuku!" Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia sudah mendayung pe-rahunya meluncur cepat sekali karena dia memang mengerahkan tenaganya dan agaknya dia hendak menguji Han Ki. Melihat ini, Han Ki cepat menyambar dua batang dayung sambil mengerahkan tenaga pula mengejar perahu Si Nelayan itu menuju ke utara dan kurang lebih dua jam kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan sekelilingnya me-rupakan tebing batu karang yang curam.
Nelayan itu mendaratkan perahu di bawah tebing dan mengikat perahunya.
Ketika ia menoleh dan melihat betapa Han Ki juga sudah mendarat dan meng-ikatkan perahu, Ia berkata, "Engkau me-mang orang muda hebat dan pantas menjadi tamu kami! Mari ikut aku!" Ia mengikat mulut tiga ekor ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai mendaki tebing.
"Benar-benar seorang yang aneh dan ilmunya cukup hebat." Han Ki memuji. "Kalian
berpeganglah pada tali ini baik-baik karena tebing itu berbahaya." Han Ki menggunakan sebagian tali perahu yang dipegang kedua ujungnya oleh Maya dan Siauw Bwee, kemudian ia sendiri memegang tengah-tengah tali dan dengan demikian ia menuntun kedua orang
su-moinya mendaki tebing mengikuti nelayan gundul itu. Kagum ia melihat nelayan itu mendaki tebing sambil memanggul tiga ekor ikan yang amat berat itu.
Ketika tiba di atas tebing, ternyata pulau itu cukup subur dan mereka itu disambut oleh dua puluh orang lebih terdiri dari laki-laki dan wanita yang kesemuanya berpakaian sederhana, yang laki-laki sebagian besar bercawat atau memakai celana yang sudah robek-robek tanpa baju. Sedangkan yang wanita me-makai pakaian dari kulit batang pohon atau kulit ikan yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang laki-laki semua botak atau gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan "mode" bagi mereka!
Ketika mereka melihat Han KI dan dua orang sumoinya, mereka menjadi gempar dan
mengurung tiga orang muda ini, memandang seperti sekumpulan anak--anak mengagumi barang mainan baru! Apalagi ketika nelayan gundul itu menceritakan betapa Han Ki menolongnya dan betapa pemuda itu memiliki kepan-daian tinggi, orang-orang itu makin ter-tarik dan memuji-muji.
"Karena kulihat dia patut menjadi tamu kita, maka dia kuundang untuk berpesta bersama kita," demikian Si Ne-layan Gundul menutup ceritanya.
Setelah membiarkan dia dan kedua orang sumoinya menjadi barang tontonan beberapa lama sambil memperhatikan orang-orang itu yang kehidupannya amat sederhana, Han Ki lalu berkata,
"Siapakah di antara Cu-wi yang men-jadi Tocu (Majikan Pulau)?"
"Apa Tocu" Tidak ada tocu di sini," jawab Si Nelayan Gundul.
"Kumakaudkan ketua kalian. Pemimpin. Siapakah pemimpin kalian" Aku ingin
menyampaikan hormatku dan ingin bicara.
"Orang-orang yang berada di situ ter-tawa dan Si Nelayan Gundul menjawab, "Kami
sekeluarga tidak mempunyai pe-mimpin, kami memimpin diri kami masing-masing. Siapa membutuhkan pemimpin?"
Han Ki terheran-heran. "Kalau begitu kalian dahulu datang dari manakah?" Apakah turun temurun terus berada di sini?"
Si Nelayan Gundul mengangkat pundak kemudian menuding ke arah seorang laki-laki tua yang berkepala botak. "Aku tidak tahu. Dia mungkin tahu."
Laki-laki berkepala botak itu menggerakkan tongkatnya, jalan terpincang menghampiri Han Ki. Tiba-tiba tongkat-nya membuat beberapa gerakan berputar dan tongkat lenyap berubah menjadi gu-lungan sinar yang mengurung tubuh Han Ki. Pemuda ini terkejut bukan main, bukan karena penyerangan yang tak di-sangka-sangka itu, melainkan karena mengenal bahwa gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan ilmu pedang yang amat dikenalnya, yaitu ilmu Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 153
Pedang Thian-te It-kiam yang juga merupakan ilmu pedang yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia mengelak dan berseru.
"Apakah kalian murid Bu Kek Siansu" Aku adalah muridnya!"
Akan tetapi kakek bertongkat tidak menjawab, juga diantara dua puluh orang lebih itu tidak ada yang menjawab, seolah-olah nama Bu Kek Siansu belum- pernah mereka mendengarnya.
Dan kini ujung tongkat kakek itu meluncur dengan kecepatan kilat menotok ke arah jalan darah di pundak Han Ki! Han Ki cepat mengelak dan tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar telah menguasai Thian-te It-kiam dengan sempurna dan bahwa kakek itu hanya ingin mengujinya karena gerak-an aseli dari jurus itu adalah menusuk tenggorokan yang berarti merupakan se-rangan maut, akan tetapi oleh kakek itu diubah menjadi gerakan yang hanya menotok pundak. Timbul kegembiraannya dan ia cepat mencabut pedangnya.
"Srattt!" Tampak sinar berkilau ketika pedang pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar pedangnya sambil berseru. "Baiklah, orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu Pedang Thian-te It-kiam!" Ia lalu mainkan jurus Thian-te It-kiam yang amat lihai. Kakek itu berseru girang, juga semua orang yang berada di situ berseru, kaget karena segera menge-nal gerakan pedang pemuda itu, kakek itu nampak makin bersemangat dan ter-jadilah adu ilmu pedang yang lebih me-nyerupai latihan karena selalu keduanya, mainkan jurus-jurus yang sama, juga keduanya jelas tidak ingin saling bunuh! Han Ki menjadi makin kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah menguasai ilmu pedang itu bahkan tidak kalah baiknya oleh dia sendiri, juga sin-kang kakek itu amat hebat! Dia pun mengerti bahwa orang-orang yang mengaku penghuni Pulau Ne-layan dan kelihatannya liar dan biadab ini, ternyata bukanlah orang-orang kejam dan tidak mempunyai niat membunuhnya.
Seratus jurus lebih mereka bertanding. Akhirnya kakek itu meloncat mundur dan berseru
"Pemuda ini adalah keluarga sendiri!"
Diam-diam Han Ki menjadi terharu dan ia maklum bahwa sekumpulan ke-luarga aneh ini telah memiliki tingkat ilmu kepandaian yang hebat, yang kalau diberi kesempatan di dunia ramai, mereka akan menjadi jago-jago kang-ouw yang sukar ditandingi. Maka ia cepat menyimpan pedangnya, kembali dan men-jura.
"Locianpwe, maafkan kekurangajaran-ku. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah murid Bu Kek Siansu, demikian pula kedua orang sumoiku itu. Locianpwe yang memiliki Ilmu Pedang Thian-te It-kiat dan saudara nelayan yang memiliki pukulan Pek-lek-jiu tadi tentu mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu guruku."
"Kami tidak mengenal Bu Kek Siansu, kata kakek itu dan Han Ki makin terheran karena menduga bahwa kakek itu agaknya tidak membohong.
"Kalau begitu, dari manakah kalian mendapatkan ilmu-ilmu itu?"
Kakek itu mengangkat pundak. "Dari nenek moyang kami yang tinggal di pulau ini."
"Locianpwe, sukakah Locianpwe men-ceritakan siapa nenek moyang Locianpwe, dan
bagaimana dapat tinggal turun-temurun di tempat seperti ini?"
Wajah kakek itu kelihatan jemu akan percakapan mengenai nenek moyangnya.
"Aku tidak tahu, aku yang paling tua tidak tahu, tentu saja mereka semua pun tidak tahu.
Sudahlah, orang muda. Kami adalah nelayan-nelayan di Puau Nelayan ini, selama turan-temurun menjadi nela-yan dan tidak mau mencampuri urusan manusia-manusia lain. Tempat ini jarang didatangi orang asing dan engkau seka-rang menjadi tamu kami. Marilah kau menikmati penyambutan kami seadanya.Kau boleh tinggal disini selama kau dan sumoi-sumoimu menyukai, dan boleh pergi kemana saja. Hanya pesanku, engkau dan sumoimu sama sekali tidak boleh melanggar batas puncak batu karang sana itu. Tempat itu adalah tempat keramat bagi kami, tak seorang pun boleh me-ngunjunginya. Mengertikah, orang muda?"
Han Ki mengangguk dan memandang ke arah bukit karang di ujung timur pulau itu dengan hati penuh ingin tahu. Tempat itu disebut tempat keramat dan tidak boleh didatangi orang.
Tiba-tiba Maya berkata kepada kakek itu, "Kakek, tempat apakah itu yang kausebut tempat Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 154
keramat?" Han Ki terkejut akan kelancangan Maya dan merasa khawatir kalau-kalau kakek dan
keluarganya yang aneh itu akan marah. Akan tetapi, kakek itu agaknya berwatak sabar sekali, malah menjawab halus, "Anak perempuan yang cantik jelita, kalau engkau mau tahu, tempat itu adalah kuburan nenek moyang kami. Sudahlah, aku sudah tidak bisa bercerita banyak, dan aku tidak berani bicara banyak pula mengenai tempat yang kami anggap suci itu. Mari kita berpesta!"
Orang-orang itu lalu bersorak sambil mengangkut tiga ekor ikan besar, ke-mudian mereka mengajak Han Ki dan dua orang sumoinya meninggalkan pantai pergi ke tengah pulau di mana terdapat sebuah dusun kecil dengan pondok-pondok kayu yang sederhana pula.
Beberapa anak-anak yang telanjang bulat menyam-but kedatangan mereka sambil bersorak-sorak gembira. Tak lama kemudian anak-anak itu mengelilingi
Golok Halilintar 3 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 7
^