Kesatria Berandalan 1

Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Bagian 1


Kesatria Berandalan
Karya : Ma Seng Kong
Terjemahan : Wang LC
Saduran Adhi H Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info/
BAB I Yo-kun memulai pembunuhan
Pedang api penuh bau amis darah
Di bawah terik matahari yang membakar.
Seseorang berdiri tegak di tengah lapang yang terlantar tanpa ada penutup atau penghalang, dia membiarkan matahari yang terik menyengat kulitnya, hingga mukanya penuh dengan keringat yang mengucur, jubahnya telah basah, tapi dia tetap berdiri seperti sebuah patung tembaga, sedikitpun tidak bergerak, sampai-sampai matanya pun tidak berkedip.
Di bawah sorotan matahari yang terus menerus, rambut dan jubahnya yang basah seperti ada uap air mengepul ke atas, sekujur tubuh orang ini seolah-olah dikepung uap air tersebut, jika di lihat sepintas orang tersebut seperti menguap ke udara bersama air, tetapi jika dilihat dengan seksama lagi tidak begitu sebenarnya.
Sudah 2 jam orang ini berdiri di bawah terik matahari, dia tetap seperti arca batu sedikitpun tidak bergerak, jubah yang basah oleh keringat sesudah kering basah lagi, kering basah lagi, tidak henti-hentinya serat-serat air itu menguap terus, dia seperti terbuat dari air saja, sebab bagaimanapun jika tubuh manusia sudah terpanggang begitu lama oleh panasnya matahari akan menjadi dendeng kering!
Hari ini adalah hari terpanas dalam 10 tahun terakhir ini!
Sampai burung-burung yang biasanya berkicau merdu, terbang tinggi dan rendah setiap hari, tidak lagi mengepakkan sayapnya, juga tidak berbunyi merdu. Semua bertengger di atas dahan di bawah rindangnya daun-daun pohon, lenyaplah kelincahan di hari-hari biasanya.
Tapi orang ini sekali berdiri di bawah terik matahari sampai 2 jam lamanya!
Mungkin orang ini orang aneh"
Setidaknya dipandang dari sudut manusia normal, dia termasuk orang aneh.
Tapi jika teliti sekali, dia sedikitpun tidak aneh.
Muka dia yang terjemur sudah menjadi merah, tapi wajahnya tampak biasa-biasa saja, sorotan matanya panas seperti matahari yang membakar, sama sekali tidak berkedip, melotot pada ujung jari kakinya.
Mendadak dalam tiupan angin yang lembut, ada suara kaki orang berjalan yang amat enteng. Seseorang seolah-olah pemain sulap, muncul begitu saja di tengah sinar matahari dan udara panas, cepat sekali sudah berdiri disisi orang aneh ini.
Orang yang berjemur tidak bereaksi sedikitpun terhadap kehadiran orang di samping dirinya, dia tetap tidak bergeming, sorot matanya masih seperti sediakala menatap ujung jari kakinya sendiri. Nyawanya pun seperti sudah meninggalkan tubuhnya mengikuti serat air yang tadi menguap ke udara.
Orang yang berjemur tidak bereaksi tapi orang yang datang malah tidak tahan.
Sepasang mata yang menyorot tajam dan dingin bagaikan jarum yang runcing menatap diri orang berjemur itu, dengan datar, pelan dan santai berkata:
"Liu Yam-yo, sudah berapa lama kau berjemur disini" Kukira kau sudah mati dijemur oleh teriknya matahari!"
Liu Yam-yo yang berdiri di bawah teriknya matahari tetap tidak bergerak. Tapi sorotan matanya mulai bergeser dari ujung kakinya ke arah muka orang yang baru datang ini. Dengan pedas berkata:
"Tong Kwee-seng, kau tidak datang pun aku tidak akan mati terjemur!"
Wajah Tong Kwee-seng yang putih bersih hanya sebentar saja sudah mengucurkan keringat sebesar butiran kacang kedelai. Dia menjulurkan tangannya menyeka keringat di mukanya, dia menyahut sambil tertawa ringan:
"Jika berdiri sebentar lagi, rasanya aku yang akan mati terjemur, mari kita berbincang-bincang disana saja!"
Sambil berkata, sepasang matanya menatap ke bawah sebuah pohon besar yang berjarak beberapa tombak jauhnya dari sana.
Pohon besar itu dahan dan daunnya amat subur, terasa rindang, dan kokoh berteduh disana, sebuah tempat yang sejuk dan nyaman!
Tapi Liu Yam-yo memandang pun tidak, sorot matanya yang panas seperti api tetap melotot pada wajah Tong Kwee-seng yang tidak berhenti mengucurkan keringat. Dia berkata dengan singkat:
"Bicarakan disini juga bisa."
Sambil mengangkat tangan menyeka keringat di muka, Tong Kwee-seng berseru dengan tertawa getir:
"Kau bisa menahan tetapi aku sudah tidak tahan." Dia berkata sambil berjalan menuju bawah pohon yang rindang itu.
"Tahan atau tidak bagimu sekarang sudah tidak penting lagi!" dalam sinar mata Liu Yam-yo seperti ada kilatan api berkilau, tiba-tiba dia bergerak maju selangkah.
Mendengar perkataan itu. Tong Kwee-seng terkejut, sambil menutarkan tubuhnya dia bertanya:
"Apa maksud perkataanmu?" sorotan matanya yang dingin dan tajam seperti 2 bilah pisau runcing, memandang muka Liu Yam-yo yang merah.
"Maksud perkataanku adalah..." Liu Yam-yo sengaja tidak meneruskan perkataannya.
Sorotan mata Tong Kwee-seng yang memandang Liu Yam-yo berubah menjadi pertanyaan.
Mendadak, Liu Yam-yo menyentak dengan suara keras:
"Sebab kau sudah menjadi orang mati!" belum habis perkataannya, tangannya bergerak, dari lambaian lengan bajunya, seberkas sinar merah yang menyilaukan mata tampak muncul dari dalam tangannya. Kilauan seperti api menyala menerjang masuk ke arah pinggang Tong Kwee-seng!
Sekejap saja sekujur tubuh Tong Kwee-seng seperti terbakar api, dia meloncat sekuatnya, sayang lompatannya tidak berhasil, dengan berat dia terhempas kembali ke permukaan bumi. Dan selamanya tidak akan bisa melompat lagi.
Sebilah pedang pendek yang berwarna merah telah menancap dalam-dalam di bagian pinggang Tong Kwee-seng, hanya menyisakan gagang pedang sebesar ibu jari yang berwarna merah seperti bola api, yang digenggam oleh tangan kanan Liu Yam-yo.
Darah segar segera mengalir keluar dari pinggang Tong Kwee-seng yang terluka, memerahkan sebagian besar baju panjang sutra putih yang dikenakannya.
Paras muka Liu Yam-yo muncul sebuah senyuman yang panas seperti api, dia tidak mencabut pedang pendek yang terbenam di dalam tubuh Tong Kwee-seng, sehingga Tong Kwee-seng tidak segera meninggal.
Tapi rasa sakit membuat wajah putih bersih Tong Kwee-seng bercucuran keringat seperti hujan, dia menyeringai tidak berupa lagi, tubuhnya bergoncang keras, dari dalam matanya menyorot sinar kemarahan, kebencian serta penuh ke tidak mengertian. Dia bertanya dengan suara parau:
"Kenapa kau membunuhku?"
Liu Yam-yo tidak menjawab malah balik bertanya:
"Apakah kau sekarang merasa lebih nyaman dan tidak panas seperti tadi lagi?"
Saat ini Tong Kwee-seng bukan saja tidak merasa panas, malahan seperti merasa kedinginan yang amat sangat, dia seperti terperosok ke dalam lubang es yang amat dingin.
"Kenapa kau membunuhku?" Tong Kwee-seng mengulang lagi pertanyaan semula, tubuhnya bergontai hampir roboh.
Sekujur tubuh Liu Yam-yo seperti segumpal bara api, dengan pedas menyentak:
"Kau masih bisa bertanya padaku?"
Dalam matanya terbesit rasa terkejut, mendesis dengan suara pelan dan getir:
"Kau sudah tahu semuanya?"
Sinar mata Liu Yam-yo seperti mau melumatkan sekujur tubuh Tong Kwee-seng menjadi abu:
"Kau kira mampu mengelabui aku?"
Tong Kwee-seng yang mendengar, tubuhnya bergetar hebat, dia mengeluh:
"Ternyata kau selalu tidak mempercayaiku?"
Liu Yam-yo dengan suara keras menghardik:
"Kau kira aku bisa percaya dengan orang sepertimu?"
Kepala Tong Kwee-seng menunduk dengan lesu.
"Katakan! Sebenarnya kau telah membocorkan masalah ini pada siapa saja?" Liu Yam-yo menggoyang sedikit tangan yang memegang tangkai pedang, sekujur tubuh Tong Kwee-seng menggelepar kesakitan, kepala yang menunduk, tiba-tiba mengangkat memekik dengan mata mendelik:
"Kau kira aku akan memberitahu padamu. Tidak akan, selamanya tidak akan!" selesai berkata, kepala yang mengangkat sekali lagi menunduk lemas, sosok tubuhnya pun melorot ke bawah pelan-pelan!
Muka Liu Yam-yo berobah, dia segera merentangkan tangan, menopang kepala Tong Kwee-seng, terlihat ujung bibir Tong Kwee-seng yang terkatup rapat merembes keluar sedikit darah segar.
"Mampus kau jahanam!" Liu Yam-yo mencerca sambil mengangkat kaki, sebuah tendangan mengenai tubuh Tong Kwee-seng dan terbanglah tubuhnya jauh kesana.
Jasad Tong Kwee-seng menyemburkan hujan darah, jatuh terhempas jauh di bawah pohon besar seperti seonggok tanah becek.
Liu Yam-yo menghempaskan tangan kanannya yang memegang pedang, bercak-bercak darah yang menempel pada batang pedang seperti untaian manik-manik rontok semua ke tanah. Tangannya membalik dan pedang pendeknya sudah tersimpan kembali di balik lengan bajunya.
"Kau salah besar! Jangan kira dengan tidak memberitahu, aku tidak bisa melacak!" sorotan mata Liu Yam-yo seperti api, dengan puas menatap agak lama pada jasad Tong Kwee-seng yang terlentang di bawah pohon, dia lalu mengebutkan lengan bajunya dengan cepat berlalu dari tempat itu.
ooo0dw0ooo Hari ini perasaan hati Lok Cin-pek sedang nyaman, dia duduk seorang diri di tengah saung kecil yang berada di taman belakang, dengan santai sedang menikmati arak Soat-piau-hiang yang dibuat sendiri dan disimpan dalam guci beberapa tahun silam.
Beberapa tahun belakangan ini usahanya berkembang dengan pesat, masalah apapun dia selalu mengerjakan sendiri, dia juga mengingatnya dengan jelas. Selama beberapa tahun belakangan ini, untuk kedua kalinya dia bisa menikmati arak seorang diri sambil duduk dalam saung dengan santainya.
Pertama, dia telah mengalahkan lawan paling kuat dalam hidupnya, yaitu menjatuhkan ketua sanggar Golok kilat, Jauw Lam-san. Saat itu kekuatan mereka berimbang dalam segala bidang di kota ini.
Setelah mengalahkan Jauw Lam-san, lalu dia memporak porandakan sanggar Golok kilat, mengambil alih segala asset dan tanahnya, menyatukan dengan kekuatan yang dimilikinya, setelah itu semua usahanya mulai merangkak maju, 2 hari yang lalu kekuatannya telah mencakup ke setiap pelosok kota. Mulai saat ini, dia boleh membebaskan pikirannya, tanpa harus mengkhawatirkan ini itu lagi, sebab tidak ada lagi orang yang berani mengusik kumis macan ini kalau masih sayang pada nyawanya.
Itulah sebabnya, sejak pagi dia sudah berada dalam saung kecilnya untuk minum-minum.
Ini juga penyebab hatinya begitu lapang, senang, dan gembira.
Meneguk arak yang harum, menikmati ke indahan dalam taman yang dirancang dan ditata apik, penuh dengan gunung-gunungan, kolam ikan, air mancur, pepohonan, dedaunan, bunga, dan rumput-rumputan. Muka Lok Cin-pek mengembang sebuah senyuman puas yang mendalam!
Saat ini, saat dia minum arak, siapapun tidak boleh mengganggu, ini adalah kebiasaannya, juga merupakan peraturannya.
Tetapi ketika dia sedang meneguk cawan yang ke-6, kening dan kedua alisnya menjadi berkerut, sorotan matanya penuh dengan kemarahan
Dia mendengar suara kaki berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju ke taman belakang ini.
Siapa yang begitu berani menerobos masuk saat dia sedang minum-minum" Apa dia tidak takut mati"
Lok Cin-pek menggenggam keras cawan kemala putih di tangannya, sepasang matanya dengan seksama memandang pintu masuk taman, dia mau melihat, sebenarnya siapa yang begitu berani menerobos masuk saat dia sedang asyik minum arak!
Akhirnya dia dapat melihat orang itu.
Dia adalah anak buahnya yang paling bisa dipercaya, Su Li-yung, dia bukan saja pegawainya yang sangat membantu, juga orang paling cekatan, paling hebat pula.
Lok Cin-pek memandang Su Li-yung yang berlari tergopoh-gopoh masuk ke taman, kemarahannya memuncak sehingga tangan yang memegang cawan bergoyang disebabkan bertambahnya tenaga, "poppp" sebuah suara yang nyaring terdengar, cawan kemala putih dalam genggamannya hancur menjadi kepingan halus arak yang kental dan wangi mengalir bertetesan di atas meja.
Kalau orang lain, tentu Lok Cin-pek tidak ragu-ragu lagi sudah membunuhnya, sebab yang menerobos masuk ke dalam taman adalah Su Li-yung, dia tidak tega membantainya, kemarahannya yang tidak dapat tersalurkan, membuat cawan antik kemala putih yang digenggam di tangan yang menjadi sasaran pelampiasannya.
Sepasang mata Lok Cin-pek terus mengikuti diri Su Li-yung yang menghampiri dengan berlarian, setelah langkah Su Li-yung berhenti di depan saung, sorotan matanya pun berhenti di atas sosok Su Li-yung.
Su Li-yung tidak sempat memperhatikan perasaan Lok Cin-pek, sebab di luar sudah terjadi masalah yang serius, dengan tangan terjuntai, dia membungkukkan tubuh memandang wajah murka Lok Cin-pek di dalam saung, dengan suara tersengal-sengal melapor:
"Ta-ya di luar ada orang yang menunjuk nama anda ingin bertemu!"
Amarah yang ditahan-tahan Lok Cin-pek akhirnya meledak, dengan suara tinggi nada marah membentak:
"Apa katamu" Apa kau sudah buta, tidak melihat aku sedang minum disini?"
Setelah mendengar suara bentakan, Su Li-yung baru sadar Lok Cin-pek sedang marah besar. Dia paham, semua ini disebabkan oleh dirinya yang berani menerobos masuk ke dalam taman, sehingga membuyarkan kesenangan dia menengak arak seorang diri, Dengan gugup secepatnya dia memberi penjelasan:
"Tindakan orang itu amat kejam, sekalian pengawal sudah menahan dia sekuat tenaga, tetapi sekali dia mengayunkan tangan, beberapa orang sudah langsung terbunuh, melihat keadaan kurang yang menguntungkan, maka hamba memberanikan diri menerobos masuk untuk meminta petunjuk Ta-ya!"
Bagaimanapun Lok Cin-pek adalah orang yang pernah melakukan pekerjaan besar, setelah mendengar laporan tadi dia segera menenangkan diri, bertanya:
"Siapa dia sebenarnya?"
"Yo-kun, Liu Yam-yo!" jawab Su Li-yung.
Daging di sudut mata Lok Cin-pek bergerak-gerak, pupilnya pun mengecil, dia berkata: "Oooh, rupanya dia!"
"Yahhh, aku!" tahu-tahu orang yang disebut sudah muncul bersamaan dengan suaranya. Liu Yam-yo laksana segumpal api sebentar saja sudah menerobos masuk ke dalam taman, tiba di depan saung.
Puluhan orang berbaju biru yang dengan ketat mengejar dan menghalangi Liu Yam-yo, juga ikut menerjang ke dalam, tapi tidak ada yang dapat menahannya. Setelah mengejar sampai di depan pintu taman, satu persatu berhenti dengan sendirinya, mereka tidak berani mengejar lagi, hanya berdiri di luar taman, memandang Liu Yam-yo masuk ke dalam taman.
Kali ini Liu Yam-yo mengenakan jubah merah menyala, dengan rambut dikuncir selendang merah, serasi dengan mukanya yang merah keunguan, sepintas sekujur tubuhnya terlihat seperti segumpal api menyala, menyemburkan hawa panas yang amat menyengat.
Lok Cin-pek yang duduk di dalam saung pun merasakan hawa panas yang menyengat, dia mengangkat tangan mengibas-ibaskan lengan bajunya.
Su Li-yung yang berdiri sangat dekat lebih merasakan hawa panas itu, dia sampai mundur 2 langkah terdesak oleh hawa panas yang memancar dari tubuh Liu Yam-yo.
Sepasang mata Lok Cin-pek menyipit menjadi seperti seutas benang, menatap kencang pada Liu Yam-yo, mengeluarkan perkataan:
"Apa kau yang dijuluki 'Yo-kun' Liu Yam-yo yang amat tersohor itu?"
Panas seperti api Liu Yam-yo berseru: "Tidak salah, itulah aku!"
Tiba-tiba dengan suara dingin Lok Cin-pek membentak: "Berani sekali kau!"
Liu Yam-yo tertawa menyahut: "Betul, aku selalu amat berani!"
Air muka Lok Cin-pek membeku, dengan suara keras membentak:
"Kau tahu apa akibatnya jika berani menerjang masuk ke dalam taman ini?"
Sepasang mata Liu Yam-yo membara seakan-akan menyemburkan api:
"Lok Ta-ya, peraturanmu itu tidak berguna bagiku! Aku bukan budakmu!"
Lok Cin-pek terdiam sejenak, dia berputar, dengan suara amat tinggi menghardik:
"Bagaimana dengan beberapa anak buahku yang telah kau bantai?"
Dengan acuh Liu Yam-yo menyahut:
"Itu salah anak buahmu, tidak tahu baik buruknya, berani bertindak menghalangi aku yang ingin bertemu denganmu!"
Seluruh tubuh Lok Cin-pek bergetar hebat, dia sangat marah mendengar perkataan Liu Yam-yo. Saat dia akan bertindak, dia balik berpikir sebentar, sambil menahan diri dia bertanya:
"Kau mencari aku ada keperluan apa?"
Mendadak tubuh Liu Yam-yo seperti mengepul hawa panas, katanya:
"Perkataan tadi semua adalah sampah. Hanya ini yang paling enak."
Dari dulu Lok Cin-pek belum pernah diejek orang, mendengar perkataan begini, dia kembali naik pitam hingga wajahnya berubah drastis, seperti segera akan meledak.
Tapi tepat saat itu Liu Yam-yo berkata:
"Lok Ta-ya jangan marah dulu, kau jangan bertanya aku ada keperluan apa kemari" Biarlah aku yang memberitahu padamu!"
Terpaksa Lok Cin-pek menelan hawa nafsunya, diam seribu bahasa, dengan tenang mendengar Liu Yam-yo meneruskan perkataannya.
Siapa sangka Liu Yam-yo memutar perkataannya balik bertanya:
"Lok Ta-ya, kabarnya Tong Kwee-seng adalah teman akrabmu, betulkan itu?"
Lok Cin-pek melihat dia tiba-tiba merubah arah pembicaraan, dia tidak bisa menangkap apa yang dia inginkan, dia terkesiap dan mengangguk:
"Betul sekali. Tong Kwee-seng adalah teman karibku. Apa ada hubungannya dengan kedatanganmu ini?"
Senyuman Liu Yam-yo seperti bunga api melayang, dengan suara memuji berkata:
"Ternyata Lok Ta-ya seorang yang cerdas, hanya disinggung sedikit sudah mengerti." Dia berkata lagi, "Apakah Tong Kwee-seng pernah menyinggung diriku didepan mu?"
Lok Cin-pek mengangguk berkata:
"Pernah. Kalau tidak darimana aku bisa tahu sekali melihatmu?"
Sorotan mata Liu Yam-yo seperti bunga api mi'loinpat amat perhatian bertanya:
"Dia mengatakan apa saja padamu?"
Lok Cin-pek agak bingung melihat Liu Yam-yo:
"Masalah ini aku kurang ingat, apakah urusan ini yang membuatmu datang untuk menanyaiku?"
Liu Yam-yo mengangguk berkata:
"Betul, aku mau menanyakan sejelas mungkin Tong Kwee-seng mengatakan apa saja mengenai diriku padamu!"
Cara bicara Liu Yam-yo membuat marah Lok Cin-pek, dingin sekali dia berkata:
"Ini masalah pribadi. Aku dengan Tong Kwee-seng tidak ada kewajiban harus melapor padamu, apalagi aku sudah tidak ingat dan aku pun tidak ingin mengatakan!"
Liu Yam-yo dengan tegap maju 1 langkah, dia berkata dengan suara yang tinggi dan keras:
"Lok Toa-ya, kalau kau belum ingin mati sebaiknya mengikuti saranku, mengingat sejelas-jelasnya, jangan ada yang terlewatkan, sebutkan dengan jelas kata per-kata!"
Sejak Lok Cin-pek berhasil menaklukan Jauw Lam-san tidak pernah ada orang berani bicara selancang begini di hadapannya, dia jadi sewot sehingga mukanya hijau membesi, lama sekali dia tidak sanggup berkata-kata karena kemarahannya yang memuncak:
"Liu Yam-yo, memangnya siiapa dirimu" Berani sekali mengancam aku! Su Li-yung! Habisi dia!"
Su Li-yung yang sejak tadi berdiri di sisi sudah tidak tahan menyaksikan kecongkakan Liu Yam-yo, begitu mendapat perintah secepatnya dia menyahut, tanpa mencabut senjata, tubuhnya langsung menyerbu ke depan, sebuah bogem mentah secepat kilat menghantam ke depan dada Liu Yam-yo.
Dalam mata Liu Yam-yo terlihat sorotan api, tanpa berkata sepatah katapun, dia membalas sebuah tonjokan menyongsong kepalan Su Li-yung yang mendekat di depan dadanya.
Su Li-yung berlatih Gwakang sudah mencapai taraf akhir, kepalannya jika dipukulkan kekuatannya bisa membelah batu keras, 9 ekor lembu besarpun tidak mampu menahan pukulannya jika telah mengerahkan 80% tenaganya. Melihat Liu Yam-yo berani mengadu pukulan, hatinya amatlah senang. Tenaga kepalannya ditambah menjadi 100%, maksudnya ingin melumpuhkan sebelah lengan Liu Yam-yo.
"Bummm!"
2 pukulan beradu, kepalan Su Li-yung seakan-akan menghantam pelat besi yang dibakar sampai merah membara, segumpal hawa panas yang amat sangat keluar dari kepalan Liu Yam-yo mengalir ke dalam kepalan Su Li-yung, seolah-olah aliran listrik menjalar ke seluruh lengannya. Dia memekik sekerasnya karena rasa sakit yang tidak tertahankan, secepatnya melompat mundur.
Setelah di teliti dengan seksama, terlihat seluruh lengan berikut kepalannya sudah berubah menjadi seperti arang, kulit dan daging mengkerut dan kering, begitu digerakkan, kulit dan dagingnya seperti kulit ular terbelah-belah dan rontok. Sakitnya hingga menusuk hati, dia memekik kesakitan, rasa ngeri dan takut tidak berkesudahan.
Dilihat dari keadaannya, sebelah lengan kanan-nya sudah dipastikan remuk.
Setelah 2 kepalan Liu Yam-yo beradu dengan Su Li-yung, dia terus tidak pernah bergerak, tetap berdiri di tempatnya, tersenyum lebar pada Su Li-yung laksana sinar matahari yang hangat dan nyaman.
"Lie-yang-sin-kang (ilmu sakti terik matahari)" Lok Cin-pek sepintas melihat seluruh lengan Su Li-yung yang terbakar gosong, mimiknya berubah cepat, tidak tertahankan dia memekik:
"Kau sungguh kejam!"
Liu Yam-yo tertawa sinis, katanya:
"Lok Ta-ya, yang lebih kejam masih ada di belakang, sebenarnya kau mau mengatakan tidak?"
Lok Cin-pek mendelikkan mata sambil berujar:
"Jangan kira sesudah kau menunjukan keahlian mu, aku jadi harus takut padamu" Jangankan aku sudah lupa apa yang pernah Tong Kwee-seng ceritakan padaku, anggap aku masih ingatpun, aku tidak akan memberitahukan padamu!"
Air muka Liu Yam-yo sekilat tampak merah bagaikan api membara, sepasang matanya berapi-api dengan suara keras menyentak:
"Tua bangka, kau mencari mati!"
Para pengawal berebut langkah menyerbu masuk ke dalam saung, tapi sebuah tonjokan sudah melayang keluar menghantam Lok Cin-pek.
Kepalan belum tiba, Lok Cin pek sudah merasakan panasnya angin kepalan yang menyambar, dia bengong sebentar... karena sudah ada contoh di depan, dia tidak berani beradu keras lawan keras, tubuhnya bergeser ke samping menghindari ketajaman serangan lawan.
"Blboppp..." angin pukulannya mengenai tiang saung di belakang tubuh Lok Cin-pek, tiang saungnya segera tampak bekas gosong hitam terkena sambaran api yang dalam.
Lie-yang-sin-kang yang lihay sekali!
Hati Lok Cin-pek bergetar, dia tidak berani lengah, lengan bajunya dibalikkan, tangannya melambai, lalu selembar cambuk lentur berlapis emas dengan suara "huhhh" seperti naga terbang menari-nari, cepat seperti kilat sudah menggulung ke arah Liu Yam-yo.
Liu Yam-yo menghindar dan mendongakkan kepala dengan cekatan dapat menghindari gulungan cambuk lentur berlapis emas yang menyambar.
Kemudian tubuhnya berdiri tegap, dua kepalan nya bersama-sama menghantam, angin pukulan bagaikan bara api segera melesat laksana anak panah! Orangnya pun berbalik meluncur keluar saung!
Serangkaian tindakan Liu Yam-yo itu membuat bingung Lok Cin-pek. Beberapa pukulannya yang dilancarkan Liu Yam-yo tidak ditujukan pada Lok Cin-pek tetapi sasarannya adalah ke tiga tiang saung!
Tetapi hanya sebentar dia sudah menyadarinya!
Dampak angin pukulan itu membuat 3 tiang saung yang tersisa patah tersambar angin pukulan yang seperti bara api. "bruuuk!" suara keras menyusul, saung kecil itu ambruk karena tiangnya patah!
Semua di luar dugaan Lok Cin-pek, Liu Yam-yo tidak menyerang manusia tapi menyambar tiang saung. Di saat dia mau keluar dari saung itu, sudah terlambat, dia membentak keras, sekujur tubuhnya menahan arus saung yang roboh, lalu meloncat ke udara, dalam suara gemuruh kayu-kayu patah, genting-genting pecah, Lok Cin-pek menerobos wuwungan atap saung, dan meloncat sampai setinggi 3 meter lebih di udara.
Ketika berada di udara, sekilas terlihat Liu Yam-yo sedang bertarung dengan Su Li-yung, maka tubuh dan pinggangnya segera berputar, seperti burung elang menukik miring menyerang Liu Yam-yo. Seutas cambuk lentur bersepuh emas mengeras menyerupai tombak, menotok dan menusuk nadi di belakang leher Liu Yam-yo!
Dengan tangan kosong Liu Yam-yo sedang bertarung menghadapi Su Li-yung, tiba-tiba dia merasa ada angin keras menyerang di belakang lehernya. Dia memang orangnya cerdik dan gesit, kebetulan saat itu kepalan Su Li-yung datang menyerang mukanya, dalam kesibukannya dia segera berjongkok ke bawah, kepalannya menyerang perut Su Li-yung!
Secepat itu pula terdengar 2 suara "poppp!" dan "dukkkk" yang tersabet bukan Liu Yam-yo tapi Su Li-yung!
Kasihan Su Li-yung, setelah sebelah lengan kanannya gosong dan remuk, sekarang tidak saja perutnya dihantam kepalan Liu Yam-yo, yang lebih mematikan lagi, tenggorokannya tertusuk oleh "tombak" Lok Cin-pek!
Cambuk lentur Lok Cin-pek yang ingin menusuk nadi besar di belakang leher Liu Yam-yo, telah salah sasaran malah menusuk kerongkongan Su Li-yung!
Su Li-yung tidak bisa bersuara, hanya bisa membelalakan sepasang mata sipitnya yang tampak putus asa, dia langsung menemui ajalnya.
Lok Cin-pek seolah-olah tidak percaya, cambuk lentur yang ditusukkan ke arah Liu Yam-yo malah mengenai tenggorokan Su Li-yung, dia terkesima sesaat.
Tepat pada itu tiba-tiba Liu Yam-yo menggerakan tubuh secepat kilat berdiri, sebuah pukulan ditonjokkan ke dada Lok Cin-pek!
Pukulan ini teramat cepat!
Secepat halilintar yang menyambar, guruh yang menghantam.
Tubuh Lok Cin-pek masih di udara, saat itu tubuhnya sedang turun, tentu saja keadaannya tidak bisa leluasa seperti di darat, dia sama sekali tidak mampu menghindar pukulan Liu Yam-yo. Tampak angin pukulan hampir mengenai tubuhnya, kepalan pun segera mengenai dadanya!
Bagaimanapun Lok Cin-pek tetap seorang Lok Cin-pek yang sangat pengalaman, disaat yang gawat sekali, dia tegar tidak menghindar pun tidak menepi, hanya kakinya menendang, cambuknya menyabet, kaki menerjang perut, cambuk melilit leher.
Cara bertarung begini sangat berbahaya, kurang hati-hati sedikit akan menemukan ajal bersama-sama, kalau Liu Yam-yo tidak segera menarik diri dan melepaskan pukulannya, meskipun dia mampu dengan sebuah pukulan telak menghabisi nyawa Lok Cin-pek, dia sendiri pun akan tewas di bawah tendangan dan pecutan Lok Cin-pek!
Sebuah jurus yang bagus berguna mencari kehidupan dari celah kematian!
Berdasarkan status dan kedudukan Lok Cin-pek, saat ini dia masih tetap kuat dan perkasa begini, benar-benar termasuk jarang ada.
Maksud kehadiran Liu Yam-yo adalah membunuh, bukan mengadu jiwa, sudah barang tentu dia tidak sebodoh itu untuk menyudahi kehidupannya dengan mati bersama, sambil mendehem kesal dia segera menekukkan lengannya menarik kembali pukulannya, mengangkat rubuh balik meluncur mundur beberapa meter jauhnya.
Akhirnya Lok Cin-pek lolos dari maut, dia segera memantapkan diri, menghela napas panjang, dan menenangkan jantungnya yang berdebar-debar.
"Kau hebat juga!"
Liu Yam-yo ibarat segumpal api yang menyala, berdiri tegap di kejauhan sambil tertawa mengejek, "Lok Ta-ya, kalau kau mengatakan sekarang masih ada kesempatan! Belum terlambat!"
Lok Cin-pek melirik lagi pada mayat Su Li-yung yang tergeletak di tanah. Dengan penuh kesal dan dendam menyahut:
"Jangan berharap aku akan mengatakannya!"
Dengan tertawa Liu Yam-yo menyentak:
"Tua bangka, kalau memang begitu maumu, aku akan membuatmu tidak bisa mengatakan selamanya!"
Selesai berkata bagaikan api melahap hutan, dia kembali menyerang Lok Cin-pek, sepasang kepalannya menghantam bersama-sama, yang saru menyerang kepala dan muka, yang lainnya menghantam perut dan dada!
Lok Cin-pek tidak berani menghadapi secara langsung, tubuhnya berputar laksana kincir angin, seperti angin puyuh menggulung punggung Liu Yam-yo, cambuk lentur bersepuh emas bagai halilintar berkilau-kilau di udara, menyabet pinggang Liu Yam-yo!
Liu Yam-yo mengangkat tubuhnya melompat tinggi, membuat cambuk lentur menyabet lewat dari bawah kakinya.
Tubuh Liu Yam-yo yang berada di udara, kakinya menendang ke arah mata Lok Cin-pek, kepalan tangan kanannya bersuara gemuruh menghantam ubun-ubun Lok Cin-pek! Tapi tangan kirinya belum bergerak!
Lok Cin-pek menghardik keras, tubuhnya menengadah balik meloncat.
Saat itu juga Liu Yam-yo mengayunkan lengan baju tangan kanannya, seberkas api sinar biru menyala seperti petir terbang keluar dari lengan bajunya!
Lok Cin-pek yang sedang terangkat tubuhnya terkejut luar biasa, cambuk lentur berlapis emasnya meliuk-liuk berseliweran di udara, berupaya menangkis api biru yang seperti kilat menyembur ke depan dadanya.
Kalau dipikir memang tidak masuk akal, tapi ternyata api biru itu bisa menerobos masuk ke dalam jaringan cambuk Lok Cin-pek.
"Bleppp" api biru sudah menusuk masuk ke dalam jantungnya.
Tidak tertahan Lok Cin-pek mengeluarkan jeritan yang mengerikan, seketika itu bayangan cambuk menjadi kacau balau, tubuh yang terangkat sampai setengah jalan itu tiba-tiba seperti meteor menukik jatuh, "gedebuk" dia terhempas ke tanah, mulutnya menganga besar, mata membelalak, seluruh tubuh berkelojotan beberapa kali, kepalanya miring ke pinggir dan tidak bergerak lagi!
Di depan dadanya, tepat di bagian jantungnya tertancap sebuah pedang pendek berwarna merah yang tangkainya bertatahkan sebuah manik yang indah.
Liu Yam-yo dengan ringan melayang turun di sisi rubuh Lok Cin-pek, menggunakan ujung jari kaki menyentuh tubuh Lok Cin-pek, sambil tertawa dingin berguman sendiri:
"Tua bangka, sekarang kau mau ngomong pun sudah tidak mampu!"
Liu Yam-yo membungkukkan tubuh mencabut pedang pendek yang tertancap di dada Lok Cin-pek, menggeserkan tubuh agar terhindar dari semburan darah dari arah jantung Lok Cin-pek kepada jubahnya.
Sekali mengibaskan tangan, bercak-bercak darah segar yang menempel di batang pedang semua terkepret bersih, tangannya sekali membalik, lengan bajunya tersingkap, dia segera menyimpan pedang pendek itu ke dalam lengan bajunya, sekali lagi mengawasi 2 sosok mayat di tanah. Dia tidak menuju ke pintu taman, tapi meloncat laksana seekor burung terbang, melintas ke atas tembok rumah, sekali lagi melompat sudah hilang di balik tembok yang jauh.
ooo0ooo Yam Ciu-san bukan saja kakak angkat Lok Cin-pek dia juga teman karib Tong Kwee-seng.
Hari ini, sejak bangun tidur dia sudah menerima kabar bahwa Lok Cin-pek telah mati dibantai oleh seorang pemuda yang mengenakan jubah merah yang sekujur tubuhnya menyerupai segumpal api menyala. Yam Ciu-san terkejut dan marah, sebuah cangkir porselen hijau sampai terlepas dari tangannya, terjatuh hingga hancur berantakan.
Yam Ciu-san belum mengetahui mengenai Tong Kwee-seng telah meninggal terlebih dahulu!
Tetapi asal dia mengetahui Lok Cin-pek sudah tewas pun sudah cukup.
Lok Cin-pek adalah adik angkatnya, adik angkat dibunuh orang, dendam demikian berat bagaimana pun harus dibalas, kepalannya langsung memukul meja, membentak dengan gigi yang gemeretak:
"Jika aku tidak mampu membunuh orang yang bermarga Liu, aku hidup pun tidak ada artinya!"
Suara bentakannya baru habis, seorang pesuruh sudah tergopoh-gopoh berlarian masuk dengan mimik yang gugup dia berkata:
"Lapor majikan, di luar rumah ada seorang pemuda mengenakan jubah merah seperti segumpal api menyala, dia mengaku bernama Liu Yam-yo minta bertemu dengan Tuan."
"Betul saja, baru menceritakan Co-coh, Co-coh-nya sudah tiba!"
Sontak saja Yam Ciu-san berdiri dari tempat duduknya. Dia berseru:
"Hmmm, dia berani datang kemari, baguslah akupun tidak perlu susah mencarimu!"
"Ambilkan pedangku, cepat!" dia mengibaskan lengan jubah dengan langkah besar tergesa-gesa keluar.
Pesuruh tadi menyahut, segera berlari ke ruang belakang mengambil pedang panjang Yam Ciu-san.
Saat sedang berjalan menuju depan rumah, hati Yam Ciu-san berpikir cepat, dia pun menjadi tenang, tidak seperti saat menerima kabar kematian Lok Cin-pek, yang penuh amarah dan terkejut!
Masalah Liu Yam-yo, sedikit banyak dia sudah mendengar juga kabar tentang asal usul orang ini dari mulut Tong Kwee-seng.
Memang yang diketahui tidak banyak, tetapi dia sudah mendapat tahu bahwa Liu Yam-yo berasal dari Pek-hwee-jiauw (agama menyembah api) di Tibet, mengenai dia berguru pada siapa, itu yang belum dia ketahui.
Tetapi ditilik dari kemampuan Liu Yam-yo sampai bisa membantai Lok Cin-pek, sudah dapat dipastikan Liu Yam-yo punya kemampuan tinggi.
Dia tidak banyak tahu mengenai Liu Yam-yo tapi dia mengenal sekali adik angkatnya Lok Cin-pek, kemampuan Lok Cin-pek memang kalah sedikit dari dirinya, tapi dia juga tokoh wahid dari setumpukan orang-orang yang berkemampuan tinggi, kalau tidak mana mungkin dia mampu mengalahkan Jauw Lam-san dan melahap habis daerah kekuasaannya"
Sambil berjalan sambil berpikir, tibalah dia dia depan rumah, sekarang dia sudah sama sekali tenang dan sadar.
Sebelum keluar pintu, jauh-jauh sudah tampak di luar pintu kira-kira 1 tombak ada sesuatu yang menyerupai segumpal api menyala, seorang pemuda memakai baju merah, berdiri dengan tenang disana.
Dua alis Yam Ciu-san mengkerut, sekali pandang dia sudah tahu, Liu Yam-yo adalah orang yang sulit dihadapi, tapi dia dengan mantap melangkah keluar pintu besar.
Matanya memandang muka Liu Yam-yo yang seperti bola api, sekujur, tubuhnya merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh Liu Yam-yo.
Liu Yam-yo menatap Yam Ciu-san yang berjalan mendekat, mimiknya sama sekali tidak ada perubahan, hanya terlihat 2 alisnya mengangkat.
Belum sampai Yam Ciu-san buka suara menyapa, Liu Yam-yo berebut bicara duluan:
"Apakah anda Yam Ciu-san, Yam Toa-cung-cu (bos besar pesanggrahan)?"
Yam Ciu-san menilik Liu Yam-yo dari atas ke bawah, lalu menyahut dan manggut-manggut:
"Itulah aku. Kau Liu Yam-yo?"
Sorotan mata Liu Yam-yo seperti bara api sedang membakar muka Yam Ciu-san, dia tidak menjawab malah balik bertanya:
"Masa Tong Kwee-seng tidak pernah menyinggung tentang aku pada Yam Ta-cung-cu?"
Di bawah tatapannya, muka Yam Ciu-san merasa seperti sakit terbakar, hatinya jadi bergetar, dia bergeser ke samping agar bisa terhindar dari tatapannya, lalu menyahut dengan suara amat dingin:
"Anak muda special sepertimu, sobat Tong kwee-seng pula, mana mungkin dia tidak membicarakan kau padaku?"
Api dalam mata Liu Yam-yo menyorot, dia segera bertanya:
"Dia mengatakan apa saja pada anda, Yam Ta-cung-cu?"
Yam Ciu-san tidak menjawab, balik bertanya: "Kenapa kau membunuh Lok Cin-pek?" Liu Yam-yo tertawa keras, katanya:
"Sebab Lok Toa-ya adalah teman Tong Kwee-seng, dan lagi dia tidak bersedia menceritakan apa saja yang Tong Kwee-seng katakan mengenaiku, demi kecermatan aku terpaksa membuat dia tidak bisa mengatakan untuk selamanya!"
Tentu saja orang mati selamanya tidak akan bisa mengatakan apa-apa lagi.
Yam Ciu-san sekuat tenaga menekan emosi yang timbul bergulung-gulung. Dia bertanya dengan tenang:
"Kalau begitu, kau juga telah membunuh Tong Kwee-seng?"


Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liu Yam-yo mengangguk-angguk:
"Betul, dia sudah kubunuh!"
"Kenapa?" Yam Ciu-san melanjutkan pertanyaannya.
"Sebab, dia mengetahui rahasiaku, tapi dia tidak bisa menahan diri dan mengatakan lagi pada orang lain!"
"Rahasia apa yang diketahui dia?" dalam kesempatan ini Yam Ciu-san cepat-cepat bertanya.
Liu Yam-yo tidak mau menjawab, dia balik bertanya:
"Mungkinkah Tong Kwee-seng tidak mengatakan padamu?"
Sampai disini pahamlah iYam Ciu-san, rahasia besar Liu Yam-yo telah diketahui oleh Tong Kwee-seng dan pernah diceritakan pada orang lain, belakangan diketahui oleh Liu Yam-yo maka Tong Kwee-seng di bunuh. Dari mulut Tong Kwee-seng, dia tidak mendapat jawaban sebenarnya bahwa dia sudah mengatakan pada siapa saja, tapi hanya mengira-ngira, dia menyusurinya mulai dari teman-teman Tong Kwee-seng, pertama Lok Cin-pek dulu, tapi tidak mendapatkan hasil, mungkin saja Tong Kwee-seng tidak pernah menceritakan pada Lok Cin-pek, maka Lok Cin-pek pun dihabisi, dan sekarang dia datang mencari dirinya.
Yam Ciu-san pun menduga dan berpikir, rahasia Liu Yam-yo pasti sebuah rahasia besar yang tidak boleh diketahui siapapun!
Sebab itu Yam Ciu-san dengan tegas berkata:
"Aku sama sekali tidak mengetahui apa rahasia mu, hanya pernah mendengar namamu dari mulut Tong Kwee-seng!"
"Benarkah begitu?" dengan tidak percaya Liu Yam-yo menatap Yam Ciu-san.
Yam Ciu-san samar-samar merasa mukanya seperti sakit terbakar, dengan dingin sekali berujar:
"Kalau kau tidak percaya akupun tidak bisa apa-apa!"
Dengan acuh Liu Yam-yo menyahut:
"Aku pernah terkecoh saru kali, tidak gampang percaya lagi pada perkataan orang lain!"
Yam Ciu-san menjadi marah dan membentak:
"Kalau begitu, harus bagaimana baru percaya?"
"Aku akan percaya, kalau kau Yam Toa-cung-cu sudah mati di depanku!" Kata Liu Yam-yo tertawa.
Yam Ciu-san menghela napas, dia menahan gejolak emosinya, tertawa sinis:
"Kau sudah gila Liu Yam-yo, ku kesampingkan dulu hutangmu membunuh Lok Cin-pek, aku mau melihat sebesar apa kemampuanmu sampai minta aku mati di depanmu!"
Liu Yam-yo tertawa laksana sinar mentari yang nyaman di awal musim semi di bulan dua. Dia berujar:
"Yam Toa-cung-cu, tidak peduli kau tahu atau tidak rahasiaku, demi kebaikan dan keamanan, terpaksa aku membiarkan kau untuk mengenal cara aku membantai manusia!"
Sejak umur 17 tahun Yam Ciu-san sudah terjun ke dunia persilatan, umur 31 tahun sudah tersohor. Sejak itu, tidak ada seorang pun berani berkata sombong begini terhadapnya, tidak tertahan emosinya memuncak sehingga wajahnya menjadi pucat, dia berteriak:
"Mana pedangku?"
Pesuruh yang sejak tadi berdiri di belakangnya, segera maju selangkah, dengan kedua belah tangan menyerahkan pedang itu padanya.
Dengan pedang dalam genggaman, hawa membunuh jadi semangkin tebal!
Saat ini pedangnya belum dicabut!
Kalau pedang sudah dicabut, dengan hawa pedang saja mungkin sudah akan bisa membunuh orang!
Bagaimanapun Yam Ciu-san tetap Yam Ciu-san!
"Chianggg!" suara sudah terdengar, pedang sudah meninggalkan sarungnya, hawa membunuh sudah memuncak, hawa pedang terasa menakutkan. Orang-orang Yam Ciu-san juga seperti pedang tajam yang meninggalkan sarungnya, nafsu membunuhnya menggebu-gebu!
Berhadapan dengan keadaan begini, Liu Yam-yo tidak berani ceroboh, tangan kanannya membalik, dari kibasan lengan baju yang melayang, terlihat tangan kanannya yang menggenggam sebuah pedang pendek berwarna merah menyala, yaitu pedang api.
Sesaat saja hawa pembunuhan semangkin tebal di sekeliling tempat itu, keras dan mengerikan!
Dua orang berdiri saling menatap, lama sekali belum juga bergerak.
Akhirnya Liu Yam-yo tidak kuat menahan. Pedang pendek yang menyerupai ular api. Dari ujung pedang menelan dan meludahkan seberkas bunga pedang menyerupai api yang membakar, meliuk-liuk menyambar ke depan dada Yam Ciu-san!
Mulut Yam Ciu-san memekik keras:
"Bagus!"
Pedang panjang dipelintirkan di depan dada. Terdengar suara "ting!ting!ting!" 7 kali berturut-turut berbunyi. 7 perubahan pedang yang menyerang urat nadi utama ke arah dada dari Liu Yam-yo telah diurainya!
Yam Ciu-san pantas menerima sebutan ahli pedang oleh orang-orang Bu-lim, sorotan matanya tajam, selalu tepat kalau bertindak, satu serangan tidak lebih, satu seranganpun tidak kurang, tepat 7 kali gerakan untuk menahan 7 pembahan pedang yang digerakan oleh Liu Yam-yo padanya.
7 serangan Liu Yam-yo terkena hadangan, dia sama sekali tidak ragu-ragu lagi, sebuah lagi serangan baru secara kaku ditusukkan juga ke dada Yam Ciu-san!
Kali ini jurusnya tidak pakai variasi!
Yam Ciu-san yang telah menahan satu jurus pedang dengan 7 perubahan pedang dari Liu Yam-yo itu, menghadapi tusukan telak yang tanpa embel-embel ini tidak seluwes menahan 7 serangan tadi. Dengan wajah serius dia bergeser ke samping melayang mundur 1 langkah. Pedang panjangnya menangkis tusukan itu,
"tinggg!" bersuara tepat menusuk di ujung pedang Liu Yam-yo.
Selanjutnya, Yam Ciu-san tidak lagi memberi kesempatan pada Liu Yam-yo, setelah menahan tusukan tadi dia langsung memutar pergelangan tangannya. Bunga pedang berubah menjadi beratus-ratus ribu bintang-bintang yang menakutkan, menyerang ke seluruh tubuh Liu Yam-yo.
Liu Yam-yo memainkan pedang sambil mundur!
Yam Ciu-san maju mengikuti pedang, sampai puncaknya berubah menjadi satu, mendesak menusuk Liu Yam-yo.
Liu Yam-yo mundur sekali lalu berhenti. Sinar merah dari pedang pendek nampak jelas, dengan terpaksa menahan serangan Yam Ciu-san ini.
Setelah satu serangannya, Yam Ciu-san meneruskan lagi dengan 17 kali serangan berikutnya.
Setelah mundur satu langkah, Liu Yam-yo memainkan pedang menahan 17 serangan ini!
Setelah menahan seragkaian serangan, dia membalikan tangan kembali menyerang. Yam Ciu-san pun terdesak mundur satu langkah!
Dua orang ini sama-sama berteriak keras, secepatnya bergumul lagi menjadi satu, hanya tampak 2 berkas sinar pedang satu merah sahi putih saling serang saling bergumul, cepat melawan cepat, bertarung untuk mempertahankan nyawanya.
Tetapi 2 buah bayangan manusia yang saling bergumul ini saling kejar terbang ke atas dan ke bawah, cepat sekali sudah berpisah, masing-masing melompat mundur 1 langkah, mata memandang mata saling mengawasi dengan bengis.
Dalam serangan cepat ini masing-masing tidak bisa mengungguli lawanya, lengan baju Yam Ciu-san sudah tersabet dan robek, sedangkan selendang merah pengikat rambut Liu Yam-yo juga terpotong sebagian!
Dua orang ini saling memandang sejenak, seolah-olah sudah membuat janji, membungkam tidak bersuara, sama-sama menggerakan pedang menyerang lawannya.
Kali ini Liu Yam-yo berturut-turut menyerang 107 jurus. Yam Ciu-san dengan santai mengatasinya satu persatu, lalu Yam Ciu-san menyerang 101 jurus, juga diatasi oleh Liu Yam-yo satu persatu.
Setelah serangan cepatnya berlalu, keduanya sama-sama ingin mendahului menyergap, dalam waktu bersamaan, berbarengan dengan kecepatan luar biasa menyerang!
Menurut aturan, kalau dua orang berbarengan menyerang, yang rugi pasti Liu Yam-yo, sebab pedangnya pendek, sedang pedang Yam Ciu-san panjang, dari sini saja sudah jelas.
Secara kebetulan dua pedang bersama-sama ditusukkan, dan ujung pedang pun bentrok dengan ujung pedang!
Tiba-tiba dua pedang yang satu merah satu putih saling melengket. Yam Ciu-san dan Liu Yam-yo masing-masing mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, memusatkan seluruh perhatian pada ujung pedangnya.
Sekarang pertarungan berobah menjadi mengadu tenaga dalam.
Menurut perhitungan, kalau mengadu tenaga dalam Yam Ciu-san pasti lebih unggul, tapi kenyataan ternyata lain, setelah keduanya agak lama saling ngotot, tiba-tiba Yam Ciu-san memekik keras, sekujur tubuhnya seperti udang mentah meloncat ke atas, secepatnya melepaskan tangan yang memegang pedang tersebut.
Kenapa Yam Ciu-san seperti orang kesurupan"
Begitu memandang tampak jelas, pedang pendek di tangan Liu Yam-yo seperti baru keluar dari anglo, pelat besinya seperti terbakar sampai merah menyala, pedang panjang Yam Ciu-san pun menjadi merah sekujurnya dan mengeluarkan asap putih, juga sudah menjadi bengkok seperti mie.
Penyebab Yam Ciu-san menghempaskan pedang di tangannya dikarenakan panas yang tersalurkan melalui pedang panjangnya, membuat kulit terasa kering daging pun matang, sakitnya tidak tertahankan, dia sudah tidak tahan menggenggamnya, pedangpun terhempas!
"Lie-yang-sin-kang" memang hebat sekali, sayang Yam Ciu-san sama sekali tidak tahu sehingga dia masuk perangkap!
Liu Yam-yo menggunakan kesempatan ini, menggerakan tangan kanannya, pedang yang menempel di atas pedang pendek dengan suara "syuttt" terbang menuju ke arah Yam Ciu-san!
Betul tangan kanan Yam Ciu-san cedera, tetapi dia masih mempunyai tangan kiri, sekali dijulurkan, dia sudah bisa menangkap pedang panjangnya yang sudah tidak berupa itu.
Siapa yang menyangka, baru saja dia menangkap tangkai pedang panjang yang masih terasa panas, sejalur lidah api seperti pelangi terbang melintas menyabet ke muka dan kepala dia.
Ternyata Liu Yam-yo pun melemparkan pedang pendek dari tangannya.
Yam Ciu-san segera memiringkan kepalanya.
Tubuh Liu Yam-yo seperti hantu menyelinap tiba, dengan sebelah telapak menghantam dadanya!
Yam Ciu-san sudah tidak mampu berkelit lagi, dengan telak terkena pukulan telapak Liu Yam-yo.
Sekujur tubuh terasa seperti disambar petir, baju di depan dada Yam Ciu-san berdesir-desir mengepul asap putih menyebar bau gosong, setelah berkelojot beberapa kali "gedebuk" mengikuti suara itu. Yam Ciu-san terjatuh ke belakang, terduduk di tanah.
Sekali ini dengan jelas terlihat didepan dada Yam Ciu-san ada sebuah cap telapak tangan yang gosong menghitam, agak melesak masuk ke dalam daging, keadaan begini persis seperti dicap dengan besi telapak yang dibakar menjadi merah!
Organ dalam tubuh Yam Ciu-san sudah hancur terkena pukulan, napasnya sudah amat lemah, mukanya seperti kertas putih, dia membuka mulut seperti mau mengatakan sesuatu, tapi dari awal sampai akhir dia tidak mampu mengatakan sepatah katapun. Lalu 2 matanya menutup, kepala menepi, tergeletak miring di tanah, tewas dengan penuh rasa dendam.
Jongos-jongos yang berdiri di depan pintu halaman, melihat Yam Ciu-san terkena hantaman dan terjatuh ke tanah, mereka sudah berlarian masuk ke dalam rumah menyampaikan berita duka ini.
Liu Yam-yo dengan santai memungut pedang pendeknya di tanah dan menyimpan ke dalam lengan bajunya, dengan bersiul pergi secepatnya.
Saat jagoan-jagoan dari kampung datang semua, batang hidung Liu Yam-yo sudah tidak terlihat lagi, yang ada hanya mayat Yam Ciu-san yang terkapar di tanah.
ooo0dw0ooo Liu Yam-yo sudah menemukan teman karib Tong Kwee-seng yang ketiga, Kao Ceng.
Hari ini Kao Ceng agak muram, sebab kucing persia kesayangannya mati tanpa penyebab.
Hari-hari biasa saat seperti begini dia pasti dengan santainya sedang menikmati Liong-king-cha (Teh Liong-king) yang istimewa sambil duduk di tepi kolam ikan dalam taman belakang.
Orang ini berbeda dengan orang sungai telaga yang lainnya, dia tidak suka minuman keras, hanya suka minum teh, tentu harus teh yang terbaik yang no.1!
Selain perlu sekali, dia selalu tidak minum arak.
Hari ini dikarenakan kucing Persia kesayangannya mati, mendadak membuat tehnya pun tidak diminum. Dengan hati yang gelisah, tidak terasa dia berjalan sampai Swat-lim (Hutan salju) yang dia suka.
Hutan salju adalah tempat yang banyak tumbuh pohon-pohon Bwee, saat bunga Bwee bermekaran, bunganya yang putih bersih seperti salju, sejauh mata memandang, salju seolah-olah menutupi hutan itu, maka dinamakan Swat-lim (Hutan salju).
Sekarang musim bunga Bwee sedang mekar, dimana-mana memutih seperti lautan salju.
Mencium semerbak wangi bunga Bwee yang menyejukkan hati, perasaan hati Kao Ceng yang mumet mulai mencair, jalan-jalan dalam hutan bunga Bwee, membuat orang merasa berada di tengah dunia yang serba putih.
Kao Ceng berjalan-jalan di hutan Bwee, sesudah segala perasaan kesalnya hilang, hatinya terasa enteng dan gembira.
Tiba-tiba dia merasa matanya seperti berkunang-kunang, dia melihat di tengah hutan bunga Bwee yang menyerupai lautan salju itu muncul satu titik merah menyala, amat menyolok dalam dunia yang seperti salju ini.
Dia mengira matanya yang kabur dan salah melihat, dia mengedip-ngedipkan mata, dilihatnya lagi dengan jelas, tidak salah lagi. Di belakang sebuah pohon liwee yang tidak begitu jauh, ada sebuah bayangan merah sedang berkibar.
Berikutnya dia terkejut dan membelalakan mata, mengamati orang itu pelan-pelan berputar keluar dari belakang pohon Bwee.
Seorang pemuda yang mengenakan jubah merah sangat mencolok dalam hutan Bwee, seperti segumpal api yang menyala.
Api yang membara ini mulai mendekat padanya, cepat sekali telah tiba di depannya dan berhenti sejauh 2 tombak.
Kao Ceng berkedip pun tidak, terus menatap orang aneh yang menyerupai segumpal api menyala ini sampai dia benar-benar berhenti, tiba-tiba dia seperti sadar dengan tidak terasa berseru:
"Kau 'Yo-kun' Liu Yam-yo?"
Pemuda yang menyerupai api menyala itu menjawab:
"Betul inilah aku!" Dia menyambung lagi, "Kao Toako, apakah betul kucing Persia kesayanganmu mati?"
Kao Ceng tercengang, selanjutnya mengangguk:
"Kenapa kau bisa tahu?"
Liu Yam-yo tertawa bagaikan api berkobar-kobar:
"Tahu, sebab akulah yang membunuhnya!"
Darah panas Kao Ceng tiba-tiba naik, pupil matanya mengecil, air mukanya menjadi merah karena dia naik pitam, dengan suara marah menghardik:
"Kenapa kau melakukan itu?"
Dalam mata Liu Yam-yo menyorot sinar api membara, katanya:
"Sebab aku tahu binatang itu kesayanganmu, kalau dibunuh hatimu pasti susah, kalau harimu susah, kau pasti akan datang ke hutan Bwee ini untuk menghibur diri."
Kao Ceng yang mendengar Liu Yam-yo berkata begitu, bertambah mendengar bertambah ngeri.
'Orang ini mengetahui diriku sampai jelas begini, tetapi aku sama sekali tidak paham soal dia, hanya dari mulut Tong Kwee-seng aku pernah mendengar nama orang ini dan soal rupa dan keistimewaan dia berpakaian'
Sampai Liu Yam-yo selesai berkata, hatinya sudah tenang kembali, secuil kemarahannya sudah tidak ada, sebab dia tahu, harus tenang menghadapi pemuda di depan mata yang seperti segumpal api membara ini.
Orang ini muncul disini, mengatakan perkataan model begini, pasti tidak bermaksud baik, inilah yang pertama terpikir oleh Kao Ceng.
Kao Ceng selalu unggul dalam pemikirannya yang cerdas, halus dan apik, dia percaya tebakan kali ini tidak meleset.
"Kenapa kau bisa yakin sekali aku pasti akan datang ke hutan Bwee ini?" Kao Ceng ingin dari pembicaraan ini mengenal lebih jauh tentang orang ini.
Inilah yang disebut Se-ki-se-bi, Pek-ciam-pek-seng (mengenali diri sendiri dan pihak lawan, seratus kali perang pasti seratus kali menang), kata-kata mutiara yang bijak dan mashyur ini selalu dipegang oleh Kao Ceng sebagai pedoman hidup sejak dia terjun ke dunia persilatan.
Penyebab ini pula yang dapat membuat dia mampu bertahan hidup sampai sekarang di sungai telaga yang ganas ini.
Tetapi Liu Yam-yo dengan gamblang berkata:
"Sebab aku mengetahui betul kebiasaanmu, kalau mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan dan mengesalkan, kau pasti akan mengunjungi hutan Hwee ini sekedar jalan-jalan, aku membunuh kucing persia-mu justru untuk memancingmu kemari."
"Sebenarnya kau masih mengetahui berapa banyak tentang diriku?" Kao Ceng sama sekali tidak beranjak, dengan tenang mengawasi Liu Yam-yo.
Tetapi Liu Yam-yo tidak menjawab, dia malah bertanya dengan tiba-tiba:
"Apa kau ingin tahu sebabnya aku menggiring kau kemari?"
Tidak perlu ditanya lagi pasti dia ingin tahu, memang dalam hati Kao Ceng ingin tahu penyebabnya, tetapi dia berpura-pura acuh sekali, dia tidak menjawab, hanya dengan tenang memandang Liu Yam-yo saja.
Mungkin sejak awal Liu Yam-yo sudah ingin mengatakan sehingga dia meneruskan berkata:
"Aku memancing mu kesini untuk membunuh mu!"
Angkuh sekali perkataannya!
Tetapi Kao Ceng tidak berpikir begitu, dia tidak pernah memandang remeh pihak lawan manapun. Dia paham, seseorang berani berbicara begini pasti memiliki kemampuan tinggi.
Sekarang dia hanya ingin mengetahui penyebab Liu Yam-yo ingin membunuhnya. Itulah sebabnya dia bertanya:
"Kenapa?"
"He...he...he!" Liu Yam-yo menjawab sambil tertawa, "kau adalah orang ketiga yang menanya begitu padaku!"
Dalam hati Kao Ceng bergetar, tapi wajahnya tetap tenang seperti biasa, dengan tawar bertanya lagi:
"Dua orang itu siapa?"
Liu Yam-yo menjawab kata perkata:
"Lok Cin-pek dan Yam Ciu-san!"
Hati Kao Ceng melonjak keras, spontan bertanya:
"Kau yang membunuh mereka?"
"Ya," alis Liu Yam-yo melayang.
"Kenapa?" sorotan mata Kao Ceng bagaikan jarum runcing mendelik pada Liu Yam-yo.
"Sebab mereka adalah teman Tong Kwee-seng!"
"Tentu masih ada penyebab yang lebih penting bukan?"
Tiba-tiba Liu Yam-yo tertawa:
"Tebakanmu tepat sekali!" Dia berkata lagi, "terus terang aku beritahu, aku membunuh mereka karena aku mencurigai mereka mendapatkan berita dari Tong Kwee-seng mengenai salah satu rahasiaku!"
Seberkas sinar melintas di dalam mata Kao Ceng:
"Kau curiga bahwa aku juga tahu rahasiamu?"
"Betul!" angguk Liu Yam-yo.
"Itu sebabnya kau mau membunuh aku?" Kao Ceng mendelik lagi.
"Tepat lagi tebakanmu kali ini!" Liu Yam-yo mendesah, "kau pintar sekali!"
"Berdasarkan apa kau menuduh aku mengetahui rahasiamu?" Tanya Kao Ceng "tidak tahan lagi.
"Berdasarkan kau juga teman Tong Kwee-seng, lunya Tong Kwee-seng seorang yang mengetahui rahasiaku."
Api dalam sorotan mata Liu Yam-yo berkobar,
"berdasarkan 2 penyebab ini sudah cukup alasanku untuk membunuhmu!"
"Alasan yang konyol, sama sekali tidak berdasar!" Kao Ceng amat marah bersahut, "kau percaya hdak kalau aku tidak pernah mendengar rahasiamu?"
"Aku ingin sekali percaya," Liu Yam-yo sekali lagi mendesah, "tapi sayang, demi kebaikan, aku tetap lidak mempercayaimu, jadi aku tetap harus membunuh kau!"
Kao Ceng pura-pura mengepal kedua kepalannya dengan amat acuh berkata:
"Kalau begitu, kau tetap saja mau membunuhku baru bisa tenang?"
Mengangguk-angguk Liu Yam-yo berkata:
"Tepat lagi perkataanmu!"
"Baik, silahkan saja kalau sanggup!" Kao Ceng berujar begitu sedikitpun tidak membawa kemarahan.
"Kau sabar sekali!" Liu Yam-yo berkata sambil maju selangkah, "paling tidak kau lebih tenang daripada Lok Cin-pek dan Yam Ciu-san!"
Hanya berbeda satu langkah saja, Kao Ceng sudah merasakan tekanan gelombang panas yang mendesak dia, yang ditebarkan dari tubuh Liu Yam-yo, saat maju selangkah.
Sebentar saja dia sudah merasa sekujur tubuhnya gerah dan pengap, seolah-olah tubuhnya berada di dekat anglo yang panas, hatinya menjadi tegang, dia teringat perkataan Tong Kwee-seng dulu, pernah berkata padanya mengenai "Lie-yang-sin-kang Liu Yam-yo yang lihay sekali!" sambil berkata dia menggeser satu langkah ke samping, menghindar berhadapan langsung dengan Liu Yam-yo.
"Berapa banyak lagi kau mengetahui tentang aku?" Liu Yam-yo mendesak maju lagi satu langkah!
Hati Kao Ceng berpikir, dia tidak bicara lagi, tubuhnya menerjang, tangan kanannya dibalik, pedang panjang sudah lepas dari sarungnya, "shattt, shattt, shattt!" 9 kali serangan berturut-turut di lancarkan, sinar pedang mengepung Liu Yam-yo.
Liu Yam-yo berkelit ke kiri dan kanan, berturut-turut menghindar dari 9 tusukan itu, dia juga terdesak mundur satu langkah.
Begitu mundur lalu maju lagi, malah Liu Yam-yo menyerang maju dengan cara menyesampingkan tubuh, "shot, shot, shot!" sambung menyambung mengeluarkan 3 pukulan!
Tiga kepalan itu ditujukan kepada pedang Kao Ceng!
Kao Ceng hanya merasakan ada segulung aliran udara yang panas tiada tara menyerang pedang panjangnya, karena belum pernah tahu bagaimana lihaynya Lie-yang-sin-kang Liu Yam-yo, maka dia tidak berani menentang begitu saja. Dia melangkah dan berputar, menghindar dari 3 gulung angin pukulan itu, dalam waktu bersamaan pedangnya memapas lengan kanan Liu Yam-yo.
Lengan kanan Liu Yam-yo membalik: "Chianggg!" mengikuti suara itu dalam tangan Liu Yam-yo sudah memegang sebuah pedang pendek yang merah seluruhnya menepis pedang panjang Kao Ceng.
Kao Ceng mundur selangkah, matanya mencuri memandang, terlihat dibelakang tempat tadi dia berdiri, di atas dahan sebuah pohon Bwee, ada 3 lubang bekas kepalan yang menghitam matang seperti dicap oleh besi panas yang dibakar, tidak terasa hatinya menjadi miris, dia bertambah hati-hati lagi!
Liu Yam-yo menghardik keras, sekujur tubuhnya bagaikan segumpal api menghampiri Kao Ceng, lidah api berputar dan berloncatan, sebentar saja dia telah menyerang 8 kali sabetan pedang dan 1 kali pukulan.
Kao Ceng dengan nyaring membentak, menghindar yang berat menempuh yang ringan, berkelit 8 kali membalas 1 kali, sekuat tenaga menghantam pada kepala Liu Yam-yo!
Satu sabetan bertenaga penuh Kao Ceng membuat Liu Yam-yo mau tidak mau menarik kembali kepalannya!
Kao Ceng mengambil kesempatan ini mengejar, satu sabetan pedang dengan 6 perubahan, satu perubahan dengan 4 serangan! Sebentar saja dia sudah melancarkan 24 kali tusukan kepada Liu Yam-yo.
Bara api di tangan kanan Liu Yam-yo menari-nari, "ting, ring, ting" 24 kali terdengar suara sambung menyambung, dia menahan 24 kali sabetan Kao Ceng!
Selanjutnya sebuah pukulan dilakukan rata dengan dada ke arah dada depan Kao Ceng!
Kao Ceng memutar tubuhnya, mengumpat di belakang sebuah pohon Bwee.
Angin pukulan itu menyabet pohon Bwee "krekkk!" Bunga Bwee dipohon itu seperti serat-serat salju berterbangan jatuh ke tanah, dahan pohon patah menjadi 2 bagian langsung roboh ke belakang, di tempat yang patah itu seperti terbakar api.
Kao Ceng terdesak meloncat ke samping dari belakang pohon yang runtuh, sebab dia bisa tertindih oleh pohon yang tumbang itu.
Bertepatan itu, Liu Yam-yo dengan pedang bagaikan pelangi terbang melesat menuju Kao Ceng.
Kaki Kao Ceng baru menapak ke tanah, pedang beserta lawannya sudah mengejar tiba, dia menarik napas dalam-dalam, memainkan pedangnya untuk menyong-song dan menahan, secara kaku mendadak menjatuhkan diri ke tanah, begitu tubuh Liu Yam-yo yang terbang melesat datang itu.
Kao Ceng menerobos kabur lagi ke belakang sebuah pohon Bwee yang lain.
Dia tidak ingin memaksakan diri melawan Liu Yam-yo, dia juga tidak mau mati konyol tanpa diketahui keluarga atau teman-temannya, dia memutuskan menghindar untuk sementara waktu.
Liu Yam-yo sudah nekad, bagaimana pun Kao Ceng mesti dimusnahkan, tubuhnya baru mendarat, segera menerjang lagi, berikut pedangnya melesat lagi menuju Kao Ceng.
Saat melesat itulah, kepalan tangan kirinya diputar dengan cepat menghantam ke arah pohon Bwee lompat Kao Ceng menyembunyikan diri.
"Prakkk!" bersuara keras, pohon Bwee itu seperti sudah tua dan rapuh, patah begitu saja terkena .ingin pukulan, bunga Bwee yang bertangkai-tangkai rontok dan melayang-layang berjatuhan ke tanah, rambut di kepala dan tubuh kedua orang ini jadi penuh terkena kepingan-kepingan daun dari bunga Bwee.
Bunga Bwee yang jatuh di tubuh Kao Ceng masih tetap putih bersih seperti salju. Tetapi bunga Bwee yang jatuh ke tubuh Liu Yam-yo sedetik berubah menjadi gosong kering dan bergulung (keriting) lalu hancur menjadi abu.
Begitulah dua orang ini, satu berlari satu mengejar di dalam hutan salju pohon-pohon Bwee itu.
Pohon-pohon Bwee yang luas itu mendapat celaka yang tidak ringan!
Demi ingin membunuh Kao Ceng, Liu Yam-yo seperti api melahap hutan, pohon-pohon Bwee yang dilalui semua menjadi arang, bunga Bwee menjadi abu.
Suatu kali saat Kao Ceng akan terlampaui, tiba-tiba tubuh Kao Ceng mengangkat ke udara, melompat ke atas puncak tangkai dan daun pohon Bwee, seolah-olah dia berjalan di atas salju!
Liu Yam-yo menghantam dengan kepalan, menyabet dengan pedang, sudah 7-8 pohon Bwee yang roboh, tapi tetap tidak dapat menghalangi Kao Ceng di atas pohon "berjalan di atas salju"
Dengan menggaur keras, Liu Yam-yo yang sudah gemas sudah sampai puncak kemarahannya sepasang kaki menghentak tanah, mengacung-acungkan lengan dan seluruh tubuh seperti seekor burung api merah yang terbang menyerbu ke puncak pohon, begitu dilihat Kao Ceng yang berjalan di atas salju sudah puluhan meter jauhnya.
Hati Liu Yam-yo kesal, dia ingin sekali menyulut api membakar seluruh hutan Bwee ini untuk menahan Kao Ceng, saat dia naik pitam itulah bayangan tubuh Kao Ceng yang di depan dengan tergesa-gesa melontarkan diri turun ke tanah.
Liu Yam-yo bertambah gusar, dia menginjak daun mengejar secepatnya, begitu dia turun ke tanah, sosok tubuh Kao Ceng sudah hilang entah kemana.
Melihat begitu, kemarahan dia tidak terbendung lagi, bogemnya menghantam, pedangnya menyabet, hancur dan musnahlah Pohon Bwee yang luas seperti dibakar saja.
Kao Ceng sudah kabur, jadi untuk pertama kalinya Liu Yam-yo tidak dapat membunuh orang yang ingin dibunuhnya.
Untuk pertama kalinya dia merasakan kegagalan.
ooo0dwooo BAB 2 Di tengah brandalan muncul pendekar hebat
Dengan bijaksana mengatasi kejahatan Kota Yang-ciu
Di atas loteng Te-it-lou (rumah makan no 1) di meja persegi depan yang menghadap jalan, bersandar duduk di atas bangku seorang pemuda yang mengenakan baju hitam.
Pemuda berbaju hitam ini berumur kira-kira 24-25 tahun, beralis panjang, mata hitam besar, hidung mancung, mulut pantas, rambut diikat, dia sedang menumpahkan arak ke mulutnya secawan demi secawan.
Melihat dia minum, sebenarnya bukan seperti minum tapi seperti menumpahkan, seperti ditelan, di atas meja, sudah malang melintang puluhan guci arak kosong, dan muka pemuda berbaju hitam itu sudah terlihat ada sedikit rnabuk.
Ketika mengangkat sebuah guci arak, mau menumpahkan arak ke dalam cawan, pemuda berbaju hitam baru merasa guci arak itu sudah kosong, dengan enteng dia menaruh kembali guci arak itu, lalu dengan suara sedang memanggil:
"Pelayan..."
Pelayan yang berdiri di mulut tangga mendengar panggilan itu, memandang pada pemuda berbaju hitam seakan-akan mengetahui maksudnya, cepat-cepat dia mengantarkan seguci arak lagi, sambil menuangkan arak sambil berkata dengan hormat:
"Kie Toako, hari ini minumnya sudah terlalu banyak."
Pemuda berbaju hitam itu tertawa, terlihat sebaris gigi yang rapih dan putih, pada pelayan tertawa sambil berkata:
"Siau Ke-cu, setelah seguci arak ini habis, aku segera pergi."
Selesai bicara, dengan sebelah tangan dia memegang cawan arak yang sudah diisi penuh, langsung ditumpahkan ke dalam mulut!
Dengan amat kuatir, siau Ke-cu mengerutkan alis sambil berbisik:
"Kie Toako, kenapa kau minum banyak begini?"
Pemuda berbaju hitam itu tertawa getir: "Aku amat kesepian!"
"Kie Toako, kau kan banyak teman" Kenapa lusa kesepian" Orang seperti aku, Siau Ke-cu baru bisa di katakan kesepian!"
Pemuda berbaju hitam itu berturut-turut minum lagi 2 cawan, lalu berkata dengan suara rendah:
"Kalau kau kesepian juga, mari minum 2 cawan untuk mengusir kesepianmu!"
Agak ketakutan Siau Ke-cu berkata:
"Aku juga ingin minum, tapi aku tidak bisa minum."
Pemuda berbaju hitam itu minum lagi 2 cawan, rupanya sudah agak mabuk:
"Siau Ke-cu, kalau tidak bisa harus belajar, segala urusan kalau tidak berani mencoba kapan akan bisa, cobalah secawan dulu!"
Dia lalu menuangkan secawan penuh arak, menyodorkan sampai di sisi bibir Siau Ke-cu.
Muka dan alis Siau Ke-cu mengkerut karena tercium bau pedas yang tajam dari arak tersebut, dia agak ragu-ragu, tetapi ketika matanya bertemu sorotan mata pemuda berbaju hitam yang penuh membujuk, dia memberanikan diri, menerima cawan yang disodorkan itu, arak itu langsung diteguknya habis.
Rasa arak yang senggak dan pedas itu membuat dia batuk hingga terbungkuk-bungkuk, tenggorokannya tidak nyaman seperti terbakar, mukanya menjadi merah semua.
Pemuda berbaju hitam itu segera menuangkan secangkir teh untuk Siau Ke-cu, dan dia segera meminumnya hingga merasa enakan, tetapi kepalanya terasa agak pusing.
"Siau Ke-cu, begini baru seperti lelaki sejati!" pemuda berbaju hitam menepuk-nepuk bahu Siau Ke-cu, tertawa sambil memuji.
Senyumannya amat bersahaja, memberi pandangan pada orang bahwa dia tidak angkuh dan mudah bergaul.
"Aku Siau Ke-cu akhirnya berani minum juga!" karena kegirangan muka Siau Ke-cu bertambah merah, memegang sebelah tangan pemuda berbaju hitam yang putih bersih dan panjang, dia berguman sendiri, "aku mau jadi laki-laki sejati!"
Pemuda berbaju hitam itu mengangkat guci arak, sekali jadi menegaknya sampai kering, sambil mengelap bibir dengan tangannya berkata:
"Siau Ke-cu, sekarang aku mau pulang, coba hitung jadi berapa semuanya?"
Siau Ke-cu melepaskan tangannya yang memegang, tergesa-gesa berkata:
"Kie Toako, kali ini bagaimana juga Siau Ke-cu yang mentraktirmu, kau pulang saja!" sorotan matanya penuh memohon.
Pemuda berbaju hitam itu memandang Siau Ke-cu lalu mengangguk:
"Baiklah! Siau Ke-cu, terima kasih banyak!"
Selanjutnya dia berdiri, menyodorkan tangan menyelipkan sebuah uang perak, kira-kira seberat 5 tail ke tangan Siau Ke-cu, dengan tertawa jenaka sambil berkata:
"Ini tips buatmu!"
Belum sempat Siau Ke-cu bicara, dia sudah menyelinap melewati Siau Ke-cu, cepat-cepat menuju ke tangga.
Siau Ke-cu terkesiap, membalikan tubuh cepat-cepat memanggil:
"Kie Toako..."
Tapi pemuda berbaju hitam itu sudah turun ke bawah
Siau Ke-cu hanya bisa geleng-geleng kepala, menyimpan uang itu ke bawah saku dalam pelukannya, mulutnya bergumam
"Ngomongnya saja aku yang traktir, sebenarnya dia yang membayar."
ooo0dw0ooo Pemuda berbaju hitam dengan langkah gontai meninggalkan gerbang Te-it-lou, berdiri di pinggir jalan, mata yang bening setengah meram melihat kekiri dan kanan, baru saja akan melangkah ke arah kanan, tiba-tiba dia melihat seseorang dari arah kiri dengan cepat berjalan menuju dia, maka dia tetap saja berdiri di tempat menunggu orang itu.
Orang yang tergopoh-gopoh menuju dia itu seorang laki-laki yang brewokan, berumur kira-kira 30 tahun, tubuhnya tinggi besar, mengenakan satu stel baju celana hijau. Setelah sampai di depan pemuda berbaju hitam, cepat-cepat berhenti dan menarik pemuda berbaju hitam tergesa-gesa berkata:
"Kie Toako, bahaya..."
Melihat laki-laki brewokan ini umurnya lebih tua dari pemuda berbaju hitam tetapi menyapa pemuda berbaju hitam sebagai Toako, orang yang tidak tahu seluk beluknya pasti akan tertawa, tetapi dalam pandangan kelompok mereka, itu berupa penghormatan.
Pemuda berbaju hitam menyela perkataan laki-laki brewokan itu:
"Lu Pau, tenang dulu. Ceritakan apa yang terjadi?"
Lu Pau, laki-laki brewokan itu menelan ludah dengan napas panjang pendek berkata:
"Si brengsek bermarga Kian itu berlagak lagi di warung Oh Ta-siok, dia sesumbar akan membawa putri Oh Ta-siok yang bernama Siau-ih sebagai pembayar hutang. Kie Toako, aku melihat si brengsek itu mata keranjang, berniat busuk mau mengganggu Oh Ta-siok!"
Begitu mendengar kabar itu, rasa mabuk dan rasa mengantuk pemuda berbaju hitam itu dalam sekejap jadi hilang semua, katanya:
"Lu Pau, hayo kita ke sana!"


Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lu Pau tidak berkata-kata, segera memutar tubuhnya ikut pergi.
ooo0dw0ooo Pemuda berbaju hitam dan Lu Pau secepat ingin tiba di sebuah warung kelontongan, dari kejauhan sudah terlihat di depan warung berkerumun banyak orang.
Setiba di warung, mereka menjauhkan orang-orang yang masuk ke dalam.
Begitu orang-orang yang berkerumun di depan warung kelontongan melihat pemuda berbaju hitam, mereka segera dengan sendirinya membuka jalan, mereka beramai-ramai berkata:
"Kie Ke-ci (bujangan Kie) sudah datang, kami mau tahu, apa orang yang bermarga Kian itu berani galak lagi!" banyak orang dengan hangat menyapa pemuda berbaju hitam.
Pemuda berbaju hitam mengangguk sambil membalas salam, melangkah masuk ke dalam warung Kelontongan itu.
Akhirnya Lu Pau membawa pemuda berbaju hitam masuk ke dalam warung kelontongan itu.
Dalam warung ini tampak berantakan, kecap, cuka, minyak, garam, berserakan di lantai, botol pecah, guci hancur, beberapa orang berbaju ketat yang beringas sedang menghancurkan barang-barang di dalam warung, seorang tua berambut ubanan berumur kira-kira 60 tahun-an sedang memohon dan menarik lengan seorang Kongcu.
Setelah pemuda berbaju hitam melihat, dalam matanya melintas sekilas kegeraman tapi segera reda, dengan suara rendah membentak: "Berhenti!"
Bentakan ini suaranya tidak begitu keras, tetapi beberapa orang berbaju ketat tersentak sehingga semua gerakannya berhenti, semua memandang pemuda berbaju hitam itu.
Orang tua pemilik warung melihat pemuda berbaju hitam seperti melihat dewa penolong, sekilat dia merangkul pemuda berbaju hitam ke depannya, dan memegang kencang-kencang lengan pemuda berbaju hitam, air matanya bercucuran, dengan suara gemetaran berkata:
"Kie Ke-ji, mereka mau membawa Siau-ih sebagai pembayar hutang, mereka menindas orang, tolonglah bapak."
Dua tangan pemuda berbaju hitam memapah orang tua itu, dengan suara kalem berkata:
"Oh Ta-siok tenang saja. Ada aku disini, Siau-ih tidak bakalan bisa dibawa mereka, anda kesana dulu duduk dan istirahat. Lu Pau tolong bantu Oh Ta-siok."
Lu Pau segera memapah Oh Ta-siok duduk di depan meja tempat duit.
Pemuda berbaju hitam dengan sinis memandang beberapa orang berbaju ketat yang sudah berhenti membanting-banting barang dagangan di warung. Dengan amat dingin berbicara pada salah seorang yang seperti Kongcu itu:
"Kian Ta, kenapa kau belum kapok juga" Apa gebukan kemarin dulu tidak cukup sakit" Masih berani membuat keributan lagi?"
Kongcu yang dipanggil Kian Ta matanya menyorot sinar kejam, dengan malu dan marah berkata:
"Kie Yam-ke, brandalan brengsek, hari ini Kongcu mu sudah tidak takut lagi padamu, kalau si tua bangka Oh ini tidak bisa melunasi hutang-hurangnya, hari ini Kongcu mu akan menghancurkan warungnya, dan membawa putrinya sebagai pembayar hutang!"
Pemuda berbaju hitam itu ternyata adalah hrandalan Kie Yam-ke yang sudah dikenal luas oleh orang-orang di kota Yang-ciu!
Kie Yam-ke berasal dari keluarga miskin. Sejak kecil sudah bergaul dengan berandalan-berandalan. Tapi nenek moyangnya adalah orang terpelajar dan keluarga mampu. Sampai keturunan ayahnya keluarga ini sudah betul-betul jatuh, sejak orang tuanya meninggal semua, ia pun menjadi gembel, ketika dia berumur 13 tahun tiba tiba dia menghilang, anak-anak berandalan lainnya yang biasa bergaul dengan dia jadi kebingungan semua.
Setelah menghilang tepat 10 tahun kemudian dia muncul kembali di kota Yang-ciu, dia juga bertemu kembali teman-teman lamanya, yang sekarang telah menjadi pemuda, tentu saja semua menjadi senang, dan bertanya kemana dia pergi selama 10 tahun. Tetapi dia tidak mau menceritakan kemana dia menghilang, hanya dengan asal saja mengatakan dia diajak seorang pengusaha dibawa ke ibukota untuk belajar berdagang, setelah dia merasa belajar berdagang sangat melelahkan, maka dia balik kembali.
Setelah kembali dia tetap bergaul dengan berandalan-berandalan itu, tetapi dia sudah banyak berubah, sekali-sekali mereka juga membuat onar, minum minum membikin keributan, tetapi mereka suka menolong, membantu teman, tetangga, membereskan masalah yang timbul, menentang kejahatan. Dia juga sering memberi nasihat-nasihat pada berandalan lainnya kalau berbuat sesuatu yang keterlaluan, membawa mereka kembali ke jalan benar, tidak merepotkan orang tua dan tetangga. Berhubung dia paham ilmu silat, dia suka mengajari anak-anak berandalan itu belajar ilmu silat, sehingga dia dihormati anak-anak brandalan dan dipanggil Toako, mengangkat dia sebagai kepala dan menuruti perintah dia.
Karena serangkaian tingkah lakunya yang positif, membuat pengurus dan orang tua di kampung itu berubah pandangan kepadanya, mereka melihat dengan pandangan yang lain pada dia dan teman-teman sekelompoknya, pandangannya bertambah hari bertambah baik, sehingga dianggap sebagai orang-orang yang bisa diandalkan, tidak membenci dan meremehkan mereka.
Tentang kehebatan ilmu silatnya, teman yang satu kelompok dengannya, apakah mengelu-elukan dia itupun tidak jelas, sebab dia sendiripun tidak pernah menyombongkan diri, maka sejak awal sampai sekarang bagaimana kepandaiannya tetap menjadi teka-teki.
Tetapi teman-teman berandalan yang satu kelompok dengannya tetap menganggap ilmu silatnya sangat hebat, kenapa mereka bisa beranggapan begitu" Hanya yang diatas yang tahu.
ooo0dw0ooo Kie Yam-ke dengan sinis bertanya: "Kian Ta, sampai sekarang Oh Ta-siok punya hutang berapa padamu?"
Kali ini Kian Ta merasa bisa beraksi, mulutnya membuka dengan suara tajam dan keras:
"Tidak lebih pun tidak kurang, pokok berikut bunga menjadi 296 tail!"
Kerumunan orang-orang begitu mendengar angka ini tidak terasa menjulurkan lidah dan menggelengkan kepala, ada yang sampai bersuara ramai dan ada yang berbisik-bisik.
Oh Ta-siok yang duduk di depan meja duit, begitu mendengar seperti tertusuk jarum, dia meloncat bangun, dengan kesal dan marah menunjuk Kian Ta, ia berkata dengan suara bergetar:
"Kau...kau sama dengan menelan orang berikut tulangnya! Waktu itu aku hanya pinjam dua...dua..." dahaknya menggumpal naik ke tenggorokan, sepasang mala berkedip-kedip tidak kuasa berkata-kata.
Saat ini dari dalam ada sebuah suara berkata:
"Ayah..." lalu berlari keluar seorang gadis yang bertubuh langsing dan manis rupawan dengan cepat merangkul Oh Ta-siok yang tenggorokannya berbunyi "kruk, kruk, kruk".
Begitu melihat seorang gadis cantik, sepasang mata Kian Ta menjadi berbinar-binar, seperti serigala kelaparan terus memandang gadis itu.
"Ayah, jangan membuat putrimu takut. Kalau terjadi apa-apa dengan engkau, putrimu-pun tidak mau hidup lagi sendirian." Gadis itu memeluk ayahnya, sambil memapahnya duduk, lalu mengelus-elus dadanya. Akhirnya orang tua itu meludah keluar segumpal dahak kental, terengah-engah sebentar dengan amat sayang mengusap rambut hitam putrinya, berkata dengan suara parau:
"Siau-ih, sudah jangan kuatir lagi, aku tidak apa-apa."
Saat itu Kie Yam-ke maju ke depan bertanya:
"Ta-siok, apa perlu diperiksa oleh tabib?"
Bapak tua menggeleng kepala menggoyangkan tangan berkata:
"Kie Ke-ji, Ta-siok mu orang miskin, nyawapun bandel, sekarang sudah tidak apa-apa, ini hanya penyakit tua, diperiksa atau tidak sama saja."
Saat keduanya sedang berbicara, sepasang mata gadis yang sayu dengan penuh rasa kasih memandang Kie Yam-ke.
Kie Yam-ke menarik napas panjang dengan suara enteng berkata:
"Siau-ih, cepat papah ayahmu duduk."
Pandangan sayu gadis tepat beradu dengan mata Kie Yam-ke yang bening, tanpa terasa mukanya jadi panas, pipi pun menjadi merah, cepat-cepat dia menunduk, dengan enteng mengiyakan dan memapah ayahnya duduk kembali.
Kie Yam-ke berbalik pada Kian Ta yang sepasang mata terus terpaku pada si gadis. Dengan amat hina berkata:
"Kian Ta, aku ingat sekali, Oh Ta-siok pernah berkata padaku, setahun yang lalu dia pernah meminjam 20 tail perak padamu, berturut-turut sudah bayar padamu 12 tail, kenapa bisa menjadi 296 tail?"
Sepasang mata Kian Ta tidak pernah terlepas dari tubuh si gadis, mendengar perkataan ini dia tertawa dingin dengan suara tajam berkata:
"Dia berangsur-angsur membayar 12 tail, uang itu untuk bungapun tidak cukup, setahun lebih hutang ini bunga berbunga tidak saja hutang padaku 296 tail, sebenarnya bisa lebih lagi, karena dia bakal tidak mampu bayar, maka aku menguranginya!"
Dalam kerumunan orang-orang itu ada yang memekik keras:
"Hati busuk! Meminjam padamu 20 tail perak, memaksa orang untuk bayar 200 tail lebih, masih bilang mengurangi! Tidak malu mengatakannya!"
Kie Yam-ke memutar tubuhnya keluar pintu dengan suara keras berkata pada orang sekampung dan para tetangga:
"Saudara-saudara, coba kalian pikir, pinjam 20 tail, bayar mesti menjadi 296 tail, adil tidak?" orang-orang sekampung dan para tetangga sudah amat membenci kelakuan Kian Ta yang semena-mena memeras orang baik, semua sama-sama mencemooh:
"Tidak adil! Tidak adil! Sepeserpun jangan bayar padanya!"
Emosi semua orang meluap-luap, mereka berteriak ramai sekali.
Melihat keadaan ini, Kian Ta pun mulai gugup, mukanya hijau membesi, tanganpun bergetar.
Tiba-tiba Kie Yam-ke membalikan tubuh dan memutar tangannya, dalam telapaknya terlihat sekeping uang perak yang berkilau kira-kira seberat 10 tail, dengan muka berat dia berkata:
"Kian Ta, kau sudah mendengar sendiri orang-orang sekampung tidak senang padamu! Sekarang aku punya 10 tail perak, anggap saja membayar kau 8 tail. sisanya 2 tail anggap saja bunganya. Bagaimana?" sambil berkata sepasang matanya yang bening dan tajam itu seperti pisau menyorot pada Kian Ta.
Di bawah sorotan tajam dari Kie Yam-ke diam-diam Kian Ta memandang orang-orang yang berdiri di luar pintu. Dalam keadaan sedang emosi itu, hatinya merasa kecut dan gugup, tetapi dia tidak rela menerima begitu saja, dengan agak takut dia berpikir, mata berputar-putar tiba-tiba dia merasa hatinya terbuka, memaki dirinya "goblok!" dia menebalkan keberaniannya, mengangkat kepala, berkata:
"Tua bangka Oh tidak bayar hutangpun boleh, tapi aku punya satu syarat!"
Agak tertegun Kie Yam-ke bertanya:
"Kian Ta, siasat apalagi yang mau kau keluarkan?"
Dengan angkuh sekali Kian Ta berkata:
"Bukan siasat! Kie Yam-ke, kalau kau sanggup bertarung dengan suhuku, menang atau kalah, aku akan dengan senang hati mengembalikan tanda bukti pengakuan hutang si tua bangka Oh itu padamu, hingga segala utang piutang itu dianggap lunas!"
Bola mata Kie Yam-ke berputar-putar, dengan agak tercengang bertanya:
"Kian Ta, sejak kapan kau mendapatkan lagi suhu yang mengajar kau selalu digebuk orang lagi?"
Kian Ta terpancing oleh perkataan Kie Yam-ke, dia teringat suatu kali dia di jalan mengganggu seorang gadis, kebetulan terlihat oleh Kie Yam-ke, dia lalu di hajar babak belur, hingga dia menjadi marah karena malu.
"Kie Yam-ke, kau jangan bertingkah dulu, nanti kau rasakan kehebatannya!"
Dengan asal tertawa Kie Yam-ke berucap: "Dimana suhumu?"
Dengan bangga Kian Ta berkata:
"Itulah suhuku!" sambil menunjuk dengan tangan, jarinya menunjuk orang yang berdiri di samping belakang dia. Yang mengenakan jubah indah, sorotan matanya seram, mata seperti mata elang, hidung bengkok berkait, seorang tua setengah baya yang piara jenggot seperti kambing.
Orang tua setengah baya itu segera maju dengan langkah gagah, berdiri berendengan dengan Kian Ta, dengan sompral memandang Kie Yam-ke.
Tadi karena sorot mata semua orang tertuju pada tubuh Kian Ta dan Kie Yam-ke, orang yang dibawa Kian Ta jadi terlupakan, mereka hanya mengangap itu hanya tukang pukul atau jongosnya saja.
Saat melihat orang tua itu muncul dari belakang kian Ta, baru sadar Kian Ta melakukan semua ini dengan persiapan yang matang, dia juga bersiap mengatasi Kie Yam-ke.
Kie Yam-ke jadi memperhatikan, setelah orang tua itu maju ke depan, dia berpikir keras, sekarang dia sadar anjuran Kian Ta ini adalah untuk membalas dendam, karena dia di dipermalukan di tengah jalan itu.
Bagi Kian Ta, tidak saja dia akan membalas penghinaan terhadap dirinya. Juga punya satu maksud lagi, yaitu kalau si tua dapat mengalahkan Kie Yam-ke, dia tentu akan langsung membantainya, mencabut duri dalam matanya. Saat itu, dia bisa semena-mena mengerjakan apapun juga, dia tetap akan memaksa si tua bangka Oh untuk membayar hutang. Kalau tidak bisa membayar, dia bisa terang-terangan menggusur Siau-ih untuk dijadikan istri mudanya, inilah rencana Kian Ta! sebelum berangkat dia sudah menjelaskan pada orang tua itu bagaimana pun harus bisa membunuh Kie Yam-ke!
Orang tua ini bukan tokoh sembarangan, dia dikenal di kalangan orang-orang sungai telaga dengan nama Mo Poh-co dengan julukan Toh-beng-sam-hoan (Tiga gelang pencabut nyawa)! Kian Ta membayar mahal padanya untuk membunuh Kie Yam-ke.
Memang Kie Yam-ke terkenal di kalangan berandalan, tapi itupun sebatas orang-orang di kota Yang-ciu yang mengenalnya, dia agak kurang mengetahui masalah-masalah orang dan apa-apa yang terjadi di dunia persilatan, sehingga dia tidak tahu siapa orang tua ini.
Setelah mengamati orang tua itu sebentar, dia tenang saja mengenggam tangannya berkata:
"Boleh tahu siapa nama Tuan?"
Sinar mata seram orang tua itu seperti listrik menyapu muka Kie Yam-ke dengan suara dingin berkata:
"Aku Mo Poh-co!"
Dari sinar mata orang tua ini Kie Yam-ke merasa pasti kungfunya hebat, seorang tokoh yang sulit untuk diatasi, diam-diam dia mempertinggi kewaspadaannya, dengan tertawa asal dia berkata:
"Selamat berjumpa, ternyata Mo Cianpwee, maafkan segala kekurangan pengetahuanku."
Kian Ta melihat Kie Yam-ke amat sungkan pada Mo Poh-co, mengira Kie Yam-ke segan pada suhunya, dia bertambah percaya diri dengan tertawa keras berkata:
"Kie Yam-ke, kau belum menjawab apa sudah mau tidak bertarung dengan suhuku?"
Kie Yam-ke berpikir sejenak, akhirnya dengan yakin mengangguk:
"Baik! Aku sanggup! Tetapi bagaimana caranya bertarungnya?"
Kian Ta melihat Kie Yam-ke berpikir dulu baru menyanggupi bertarung, dia mengira ketakutan, hatinya berlambah besar lagi, dengan suara tajam dan tinggi berseru:
"Tentu saja mencari sebuah tempat yang luas, Kau bersama suhuku bertarung satu lawan satu!"
Kie Yam-ke mengangguk:
"Baik. Aku ikuti keputusan ini."
Oh Ta-siok berdiri dengan gontai, berjalan ke depan Kie Yam-ke, menjulurkan tangan yang gemetaran berkata sambil menarik lengan baju Kie Yam-ke:
"Kie Ke-ji, aku tidak tega melihat kau bekerja demi aku dan Siau-ih, sendirian menempuh bahaya..."
Kie Yam-ke tersenyum membesarkan hati orang tua Oh berkata:
"Ta-siok, tenang saja, aku tidak apa-apa, kau istirahat saja."
Siau-ih memapah ayahnya, sepasang matanya yang sayu terus memandang muka Kie Yam-ke, sorotan matanya penuh perhatian, bibir mungilnya bergerak-gerak seperti ada yang mau diucapkan tapi dia tetap bungkam.
Ketika sorotan mata Kie Yam-ke beradu dengan sorotan mata Oh Siau-ih, dia sengaja menghindarinya, sambil menundukkan muka berseru:
"Siau-ih, cepat bawa ayahmu masuk ke dalam istirahat dan tiduran!"
Siau-ih tidak membuka suara tapi mengangguk, pelan-pelan memapah ayahnya masuk ke dalam. Tiba-tiba menoleh ke belakang berujar:
"Kie Toako, bagaimana pun kau harus hati-hati!" sinar matanya dipenuhi oleh kekhwatiran dan perhatian.
Kie Yam-ke melambai-lambaikan tangan:
"Jangan kuatir, bawalah ayahmu masuk."
Kian Ta merasa panas melihat itu, giginya sampai gemeretakan, api cemburunya bergolak, dengan kesal dia membentak:
"Kie Yam-ke, kau cerewet amat! Ayo jalan!"
Kie Yam-ke sama sekali tidak marah, berkata:
"Kalau begitu kita jalan bersama-sama saja!"
Kian Ta menggertakan kaki, berangkat bersama suhunya dan kedua tukang pukulnya, dengan cepat meninggalkan warung kelontongan itu.
Orang-orang kampung dan tetangga yang menonton di luar pintu memang sudah memberi jalan untuk mereka lewat, tetapi diantara mereka ada yang bersiul mencemooh dan ada yang mengejek, membuat Kian Ta seperti tikus yang melintas jalan, kikuk dan malu setengah mati, dalam hati dia bertambah benci pada Kie Yam-ke!
Kie Yam-ke pun mengikuti keluar dari warung itu, berjalan sambil menyapa dengan orang yang dikenalnya. Orang-orang amat perhatian, memesan dia agar berhati-hati, mengelu-elukan dia sambil berjalan sambil bersorak-sorai.
Sebaliknya Kian Ta yang berjalan di depan hanya sekelompok saja, amat sepi dan menyedihkan.
Lu Pau berjalan di sisi Kie Yam-ke dengan amat khawatir dia berujar:
"Kie Toako, aku melihat orang tua brengsek itu matanya sering bersinar aneh, rasanya dia bukan orang baik-baik, Toako harus hati-hati berhadapan dengan dia. Jangan sampai masuk perangkapnya. Kie Toako, apa perlu aku pergi mengumpulkan teman-teman untuk memberi semangat?"
Kie Yam-ke menjulurkan tangan menepuk-nepuk pundak Lu Pau dengan tertawa berkata:
"Lu Pau, kau benar-benar teman dan saudaraku yang baik, jangan merepotkan teman-teman, biar aku sendiri saja sudah cukup, nanti saat saat aku melawan si orang tua itu, kau tolong mengawasi Kian Ta, jangan sampai dia menggunakan kesempatan ini untuk kabur."
Tadinya Lu Pau mengkhawatirkan, setelah mendengar dia berkata begitu yakin mampu mengatasi Mo Poh-co, hatinya pun lega, dia menepuk-nepuk dadanya berkata dengan suara lantang:
"Jangan kuatir Kie Toako, aku jamin si brengsek itu tidak bakalan bisa kabur!"
Muka Kie Yam-ke berseri-seri dia merangkul pundak Lu Pau, di bawah arak-arakan orang ramai, mereka berjalan menuju tempat pertarungan.
Ternyata tempatnya sudah dipilih oleh Kian Ta, sebuah tanah lapang di belakang kelenteng.
Melihat semua ini, Kian Ta sudah merencanakan jauh-jauh untuk mengajak bertarung Kie Yam-ke.
Kie Yam-ke sudah tahu, tapi dia tetap tidak takut.
Orang-orang dengan cepat membuat satu lingkaran besar di tanah lapang itu, tetapi sinar mata semua orang tertuju pada Kie Yam-ke yang berdiri di tengah lapang, dari mimik mereka tersirat kekhawatiran dan berharap Kie Yam-ke bisa menang.
Dengan amat berterima kasih, Kie Yam-ke memandang kesekeliling orang-orang kampung dan tetangga, lalu berkata pada Mo Poh-co yang berdiri di hadapannya:
"Mo Cianpwee, boleh tahu bagaimana aturan bertarungnya?"
Mo Poh-co berdiri beberapa kaki jauhnya dari Kie Yam-ke dagu yang berjanggut seperti kambing itu mengangkat, dengan dingin menyahut:
"Terserah maumu!" melihat tingkahnya yang sombong itu, tampak dia sama sekali tidak menganggap Kie Yam-ke.
Memang dia menganggap enteng Kie Yam-ke, dengan nama besarnya di sungai telaga, bagaimana dia mau menganggap seorang pemuda berandalan kampungan" Dia hanya menduga mungkin Kie Yam-ke paham satu dua jurus ilmu silat kelas bawah saja. Tapi dia yang berjuluk Toh-beng-sam-hoan (Tiga gelang pencabut nyawa) adalah jagoan kelas wahid di dunia persilatan, begitu dia bertindak, tantu Kie Yam-ke akan bersujud minta ampun.
Kie Yam-ke sama sekali tidak peduli dengan kesombongan Mo Poh-co yang meremehkan dia, dengan mengangkat alis dia berkata:
"Mo Cianpwee, kita tidak bermusuhan pun tidak ada dendam, bagaimana kalau kita menetapkan keunggulan dengan tangan kosong saja?"
Sebelumnya Mo Poh-co sudah mendapat pesan dari Kian Ta, bagaimanapun juga harus mencabut nyawa Kie Yam-ke, dia beranggapan walaupun dengan tangan kosong, dengan mengandalkan jurus "Kin-say-lie-houw" (Menangkap singa membantai macan) saja sudah cukup untuk membantai Kie Yam-ke, segera dia mengangguk: "Baik!"
Keduanya segera memasang kuda-kuda siap bertarung.
Orang-orang yang berkerumunan menonton segera menjadi tegang, menahan napas, mata tidak berkedip-kedip memandang Kie Yam-ke dan Mo Poh-co yang siap-siap berlaga.
Karena gengsi dengan statusnya, Mo Poh-co tidak mau bertindak lebih dulu. Kie Yam-ke paham keadaan begini, maka dia melemaskan tubuh maju selangkah sambil berkata:
"Maafkan," sebelah kepalannya dengan lurus menghantam dada Mo Poh-co.
Mo Poh-co menggunakan langkah Cu-ku-poh, sepasang tangan seperti mencengkram juga seperti mencakar, diangkat dari sisi pinggang. Melihat pukulan Kie Yam-ke tenaganya tidak berapa keras, hatinya tambah meremehkan, tangan kanannya segera menjulur kedepan 5 jari tangannya seperti kaitan, mencakar dan menotok nadi tangan kanan Kie Yam-ke.
Cakaran Mo Poh-co diam-diam telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, sangat cepat bagaikan kilat, keinginannya sekali cakar langsung melumpuhkan Yam Kie Yam-ke, lalu membantainya!
Dia menganggap Kie Yam-ke sampai manapun tidak mungkin bisa menghindar cengkramannya. Sebab banyak jago-jago dunia persilatan juga tidak sanggup menghindarinya!
Tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan pikirannya, saat 5 jari tangan kanannya akan menyentuh nadi pergelangan tangan Kie Yam-ke, tangan kanan Kie Yam-ke bagaikan main sulap saja, sekali memutar dan menurun, dengan gerakan tidak diduga, lolos dari cengkraman 5 jari tangannya, sedang kepalannya tetap tidak berhenti menghantam dadanya.
Melihat ini, Mo Poh-co terkejut luar biasa, terburu-buru dia memutar tubuhnya, baru dapat menghindar kepalan Kie Yam-ke yang biasa-biasa itu, dia terkejut hingga keringat dingin tidak terasa mengucur.
Lu Pau yang menonton dalam kerumunan orang, pertama-tama melihat Mo Poh-co akan mencakar dan mencengkram pergelangan tangan Kie Yam-ke, dia terkejut hingga hampir menjerit, hatinya berdebar-debar. Setelah melihat Kie Yam-ke dengan ajaib bisa lolos dari cengkraman Mo Poh-co dan mendesak Mo Poh-co memutar tubuh untuk menghindar, tidak tertahan dia lalu bersorak-sorak, mengundang banyak orang yang berkerumun menonton mengikuti dia berteriak.
Keadaan ini membuat Mo Poh-co jadi sulit, karena malu dia menjadi naik pitam, dengan suara rendah dia membentak, tangan kirinya memukul, tangan kanan mencakar, dia mengeluarkan jurus yang telah membuat namanya tersohor "Kim say-lie-houw" Tampak jurus cengkeraman dan kekuatan pukulannya bergerak seperti bayangan, dalam waktu singkat Kie Yam-ke sudah berada dalam kurungannya!
Di dalam bayangan cengkraman dan kekuatan hantaman Kie Yam-ke seperti sudah tidak mampu membalas dan terlihat kelabakan, dia terus-terusan menghindar ke kanan dan ke kiri, keadaannya tampak sangat gawat.
Orang yang menonton termasuk Lu Pau, melihat Kie Yam-ke sedang dalam keadaan yang amat berbahaya, satu persatu terlihat gelisah dan tegang, mereka mengusap-usap kepalan, mata tidak berkedip, mulutpun pada terbuka, jantung seolah-olah naik sampai ke tenggorokan, gemas pada diri sendiri sebab tidak bisa ilmu silat, kalau tidak, apapun yang akan terjadi, mereka pasti akan maju untuk membantu Kie Yam-ke, matipun tidak akan menyesal!
Lu Pau sudah beberapa kali tidak tahan akan menyerbu, tetapi entah kenapa selalu tertahan tidak berani sembarangan bergerak.
Saat ini, hanya terlihat bayangan cakar dan kekuatan kepalan Mo Poh-co, bayangan dan tubuh Kie Yam-ke pun sudah tidak tampak, tergulung oleh serangan lawannya, hanya terlihat bayangan cakar yang cepat bagaikan kelambu, juga kekuatan tinju yang menderu-deru, debu terangkat, bergulung-gulung, kondisinya amat mengerikan.
Orang yang berkerumun sudah tidak tahan dan menutup matanya, mereka tidak tega melihat keadaan Kie Yam-ke yang akan dikalahkan dan dibunuh.
Kian Ta melihat dari pinggir dengan senang luar biasa, tangan dan kakinya mencak-mencak ingin melihat Mo Poh-co secepatnya dapat menghabisi nyawa Kie Yam-ke, agar bisa memenuhi hasratnya merebut Siau ih.
Padahal keadaan pertarungan tidak sama seperti yang ditonton, dalam pertempuran sengit itu Mo Poh Co malah merasa kewalahan, bertambah lama keadaannya bertambah gawat, sebab hanya dia seorang yang paling mengerti. Memang bayangan cakar dan kekuatan kepalannya seperti mengurung Kie Yam-ke, kapan saja bisa membunuhnya, tapi kenyataannya bukan begitu, di bawah gempurannya yang dahsyat Kie Yam-ke bukan tidak sanggup membalas, tapi sengaja tidak mau membalas, hanya dengan jurusnya yang aneh, dia melayang, menghindar, berkeliling di antara gempurannya, gerakannya tampak santai sekali!
Mo Poh-co pun mengerti, kenapa Kie Yam-ke terus-terusan tidak mau membalas, Kie Yam-ke tidak mau dia menanggung malu, berharap dia mengerti dan mundur teratur, tetapi mana bisa dia mundur" Dia tidak sanggup menanggung malu, kabar ini kalau tersiar ke dunia persilatan bahwa dia kalah oleh seorang pemuda berandalan kampungan, akan ditaruh dimana mukanya di kemudian hari" Sebab itulah, dia terus mengeraskan hati untuk bertahan.
Lama-kelamaan Kie Yam-ke jadi tidak tahan lagi, dia menahan diri tidak membalas, maksudnya agar Mo Poh-co mengerti dan mundur teratur, dia tidak mau melukai siapapun juga tidak berharap Mo Poh-co mendapat malu, siapa sangka Mo Poh-co sama sekali tidak tahu diri!
Mo Poh-co bukan tidak maklum, tetapi tidak mungkin!
Kie Yam-ke terpaksa mengambil tindakan!
Terlihat Mo Poh-co yang tadinya mengurung Kie Yam-ke dalam bayangan cengkramannya, tiba-tiba mengeluarkan suara pekikan yang tertahan, tubuhnya berputar berkali-kali, berputar bermeter-meter jauhnya, baru dapat menghentikan tubuh yang berputar menjauh itu, kurungan yang melingkari tubuh Kie Yam-ke langsung buyar mengikuti berputarnya tubuh Mo Poh-co. Muncullah Kie Yam-ke yang tenang, santai, sama sekali tidak kurang segala sesuatu dan sehat walafiat itu!
Penonton yang berkerumun awalnya tegang sehingga jantung merasa naik sampai ketenggorokan, melihat Kie Yam-ke dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, mereka beramai-ramai berseru kegirangan, teriakan yang datang dari hati yang paling dalam, tepuk tangan berloncatan senang yang tidak terkendali!
Kian Ta juga melihat perubahan yang terjadi. Mo Poh-co yang selalu di atas angin dalam sekejap saja jatuh kalah, dia merasa sekujur tubuhnya seakan-akan jatuh ke dalam lubang es, mukanya pucat bagaikan kapur tembok, kaki tangan pun gemetaran, dengan suara serak bertanya:
"Suhu, kenapa bisa kalah" Cepatlah bunuh sijahanam itu! Cepat lakukan! Aku sudah menghabiskan banyak uang padamu!"
Saat ini muka sombong Mo Poh-co sudah tidak tampak sedikit pun, perasaannya sudah berganti dengan malu, kemarahan, dan bingung, air mukanya sesaat hijau, sesaat lagi menjadi pucat, menyiratkan keguncangan dalam hatinya, matanya penuh kebencian, baju bagian pundaknya sobek, tapi dia tidak cedera.
Ternyata Kie Yam-ke masih berbaik hati, meski sudah tidak tahan tapi dia tetap tidak mau melukai Mo Poh co, hanya mendorong dan menyobek sekerat kain baju dipundaknya!
Tetapi Mo Poh-co tidak bisa menerima kebaikan Kie- Yam-ke, inilah yang dikatakan 'Golok yang kalah malu untuk dimasukan ke dalam sarungnya' hancurlah namanya seumur hidup, apalagi Kian Ta mencak-mencak dan ribut di luar arena, membuat dia bertambah stress dan timbul niatnya mengadu jiwa.
Jenggot kambingnya di bawah dagunya bergetar. Mo Poh-co menghela napas panjang, berkata dengan tertawa keji:
"Jahanam, siapa sebenarnya dirimu?"
Kie Yam-ke menjadi bengong ditanya begitu, dengan bingung menjawab:
"Aku adalah aku, Kie Yam-ke!"
Nafas Mo Poh-co seperti hampir putus dengan jawaban Kie Yam-ke ini, matanya berputar-putar beberapa kali setelah menarik napas dalam-dalam, dengan marah sekali berkata:
"Brengsek! Aku bertanya dari aliran apa dan siapa gurumu?"
Kie Yam-ke baru mengerti, dia tertawa-tawa dengan sulit dia berkata:
"Maaf Cayhe tidak boleh melanggar peraturan perguruan, tidak boleh membocorkan. Harap Cianpwee maklum!"
"Kau... kau..." Mo Poh-co tidak tahan lagi menanggung malu, kalah di tangan seorang pemuda berandalan yang tidak bisa mengatakan pintu perguruannya. Apa yang bisa dikatakan, terpaksa dia melawan sampai darah penghabisan! Menyerupai macan gila dia menyerbu Kie Yam-ke, bersamaan waktu itu mengangkat tangan melancarkan Toh-beng-sam-hoan yang telah menggetarkan sungai telaga.
Kie Yam-ke tercengang saat melihat Mo Poh-co seperti harimau gila menyerbu dirinya, saat dia tertegun, 3 gelang bersinar emas, satu besar 2 kecil, terbang dengan arah segi tiga dan berbunyi "wuwuwuwu" secepat kilat sambil berputar datang menghantamnya.
Kie Yam-ke pun menjadi murka, tidak disangka Mo Poh-co yang diberi muka tidak mau menerima, malah nekad mau mengambil nyawanya. Sambil mulutnya mendehem, lengannya membalik, sebuah Liang-thian-ci (senjata seperti mistar) yang berkilauan berwarna hitam seluruhnya sudah berada dalam gengamannya!
Liang-thian-ci panjangnya kira-kira 2 kaki. Ujung mistar ini diletakkan diantara 2 alis, 2 matanya tidak berkedip menatap 3 buah gelang emas yang berputar terbang melesat datang, sudut matanya melirik Mo Poh-co yang datang menerjang seperti harimau gila.
Sekejap saja, orang yang berkerumun yang sedang merasa senang, kembali tegang dan terdiam, semua membelalakan mata, memandang 3 buah gelang emas yang berbunyi aneh, berputar melesat dan menghantam Kie Yam-ke, diam-diam dalam hati berdoa untuk keselamatan Kie Yam-ke.
Kian Ta melihat Mo Poh-co memainkan Toh-beng Sam-hoan yang merupakan kepandaian tunggalnya serta menyerbu ingin mengadu nyawanya. Sejak tadi dia diam seribu bahasa, hanya matanya menyorot sinar garang, sepasang tangan memegang kencang-kencang lengan bajunya, dalam hatinya hanya ada satu keinginan, Kie Yam-ke segera mati!
Mistar Kie Yam-ke menempel di antara 2 alisnya, mimik wajahnya sangat serius, sekujur tubuhnya sedikit pun tidak tampak hawa pembunuhan, tapi bagi yang memandangnya akan timbul rasa segan dan takut, Lu Pau biasa bergaul dengan Kie Yam-ke pun
(hal 72-73 Hilang)
Jurusnya yang mengurung dari atas dan bawah adalah jurus andalan Toh-beng-sam-hoan Mo Poh-co! Sebab jurus ini menutup semua jalan mundur Kie Yam-ke!
Melompat ke atas tidak bisa sebab gelang emas sudah menunggu di atas, tubuhnya bergelinding menghindar pun tidak mungkin sebab gelang emas yang besar bergerak horizontal menyapu dua kakinya, memutar tubuh keluar pun tidak mungkin sebab sudah tidak keburu, kali ini Kie Yam-ke benar-benar sudah menemui jalan buntu!
Yang lebih ajaib lagi, siapa pun tidak akan menduga bila gelang emas kecil itu saling beradu, pasti akan meminjam kekuatan itu bergerak ke kiri dan kanan terbang berputar membuat satu lengkungan, sekali lagi berputar kembali. Tapi tidak di sangka, kedua gelang emas kecil itu secara bersamaan malah menurun menyongsong kepala Kie Yam-ke yang merendahkan diri dan akan berdiri lagi. gelang kecil itu bisa berputar memotong vertikal dari atas terus ke bawah, semua ini tidak terduga, juga tidak mungkin di duga!
Toh-beng-sam-hoan memang seperti mengejar nyawa, benar-benar mematikan!
Dalam keadaan buntu begini, kali ini harapan hidup Kie Yam-ke tipis sekali.
Kian Ta senang hingga lupa diri berteriak keras:
"Kali ini kau pasti mampus Kie Yam-ke!"
Melihat keadaan itu, hati Lu Pau hancur berkeping-keping, dia berteriak sekerasnya, seperti macan tutul saja, menerjang masuk ke tempat pertarungan, ingin menolong Kie Yam-ke.
Tapi pada saat semua orang mengira Kie Yam-ke pasti tidak akan tertolong lagi. Tiba-tiba kaki Kie Yam-ke menyusut kebelakang, punggungnya membungkuk dan kepalanya menunduk, seluruh tubuh menggulung menyerupai udang rebus, tepat saat itu dia sudah menghindari serangan lingkaran emas besar yang menyapu kedua kakinya. 2 gelang emas kecil yang di atas kepala karena dia menunduk dan membungkukkan punggung tadi, berubah menjadi menghantam dan membabat leher belakang Kie Yam-ke.
Tapi gerakan Kie Yam-ke cepat bagaikan kilat, dengan sekali gerakan cepat, tubuh yang menggulung mendadak dihentakkan sehingga menjadi lurus menanjang di udara. Sekali membalikan tangan mistarnya sudah dijulurkan keluar, belakang lehernya s
Dendam Iblis Seribu Wajah 9 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Harpa Iblis Jari Sakti 33
^