Kisah Para Pendekar Pulau Es 12

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


ng semua ini! Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
339 Harum bunga semerbak dihembus angin lalu
sedapnya rumput dan tanah
menyentuh kalbu
berbahagialah hidung
mencium semua ini!
Kicau burung dan dendang air terjun
desir angin pagi
mempermainkan daun-daunan
berbahagialah telinga
mendengar semua ini!"
"Bagus sekali!" Ci Loan yang mengerti tentang sajak memuji. "Sajakmu sederhana namun
berhasil menggambarkan keindahan yang mendalam, tai-hiap."
"Wah, enci Loan. Aku hanya tahu sajak itu indah dan sedap didengar, akan tetapi aku tidak
begitu mengerti apa artinya pujianmu tadi. Di manakah letak keindahannya?" Seng Nio yang
tidak begitu mengerti akan sajak bertanya sedangkan Ciang Bun hanya tersenyum saja.
"Suma-taihiap merobah benda-benda yang biasanya mendatangkan kesan buruk berbalik
men-jadi indah. Awan yang biasanya menjadi pengganggu sinar matahari malah menjadi
penghiasnya. Daun kering lambang kematian malah menyubur-kan bumi dan bunga gugur
juga dilukiskan sebagai hal yang indah mengharukan. Harumnya bunga, sedapnya rumput dan
tanah, bunyi-bunyian seperti kicau burung, dendang air terjun dan desir angin pagi. Sungguh
melukiskan keindahan alamiah yang aseli!" sambung Ci Loan.
Gembira juga hati Ciang Bun mendengar ucap-an gadis itu, bukan karena pujiannya,
melainkan karena ucapan itu membuktikan bahwa Ci Loan mampu mengerti isi sajak. Maka
diapun menjura kepada dua orang gadis itu.
"Ah, kiranya nona adalah seorang ahli tentang sajak," katanya.
Ci Loan tersenyum manis lalu berkata. "Aku
ingin mengambil bunga-bunga mawar yang kusukai. Banyak mawar tumbuh di bagian sana.
Harap kalian menunggu di sini saja." Tanpa menanti jawaban Ci Loan lalu meninggalkan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
340 mereka. Karena memang sebelumnya sudah ada permufakatan antara kedua orang gadis itu,
maka Seng Nio juga tidak menahan kepergian calon kakak iparnya itu.
Ditinggalkan berdua saja dengan Seng Nio di tempat sunyi dan romantis itu, Ciang Bun tidak
merasa canggung, hanya merasa kurang enak. Dia lalu duduk di atas batu hitam yang besar.
Ketika Seng Nio melangkah mendekatinya, dia pura-pura tidak tahu dan memandang ke
bawah puncak yang kini menjadi semakin terang oleh sinar mata-hari yang makin meninggi.
Sejak tadi Seng Nio memandang kepada pemu-da itu dengan jantung berdebar tegang. Dari
calon kakak iparnya ia sudah mendengar bahwa kakak-nya, juga ayahnya, menginginkan
sekali agar ia dapat berjodoh dengan Suma Ciang Bun! Dan bahwa pagi hari ini, atas anjuran
kakaknya, Ci Loan sengaja mengajaknya ke tempat itu dan se-ngaja pula meninggalkan ia
berduaan saja dengan pemuda itu. Tentu saja ia tidak perlu ditanya dua kali untuk menjadi
jodoh Suma Ciang Bun! Be-gitu bertemu ia sudah merasa kagum dan tertarik sekali. Pemuda
ini adalah seorang pendekar ketu-runan keluarga Pulau Es, seorang pemuda yang menurut
kakaknya memiliki ilmu kepandaian sangat hebat! Selain itu, juga cukup pandai dalam hal
kesusasteraan, ditambah lagi wajahnya yang tampan dan wataknya yang budiman dan lemah
lembut! "Taihiap...."
Ciang Bun sadar dari lamunannya dan menoleh ketika mendengar suara yang halus itu di
sampingnya. Gadis itu sudah berdiri dekat dengannya dan Ciang Bun mengerutkan alisnya
melihat betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata begitu mesra dan mengaudung
daya pikat yang kuat.
"Ada apakah, nona?"
"Suma-taihiap, aku.... aku mohon sesuatu darimu, kalau boleh...."
Melihat sikap nona yang ragu-ragu dan takut-takut itu, Ciang Bun tersenyum menenangkan.
"Engkau minta apakah, nona" Katakanlah, sebagai seorang sahabat, kalau memang aku dapat
meme-nuhinya, tentu takkan kutolak permintaanmu."
"Aku hanya.... mohon pctunjuk tentang ilmu silat...."
Ciang Bun tersenyum. "Nona, ayahmu adalah seorang guru silat yang berpengalaman, tentu
dia lebih pandai membimbingmu dalam ilmu silat.... "
"Tapi, ayah dan Sim-ko mengatakan bahwa ilmu silatmu jauh lebih tinggi daripada tingkat
ayah. Maka, aku mohon padamu, berilah sedikit petunjuk.... dan tempat ini amat baik untuk
berlatih silat, bukan" Maukah engkau, taihiap?"
Tentu saja Ciang Bun merasa tidak enak kalau harus menolak begitu saja. Gadis ini dan
sekeluar-ganya telah menerimanya sebagai tamu terhormat dan sudah bersikap amat ramah
dan baik kepada-nya. Wajarlah kalau sekarang dia memberi petunjuk ilmu silat kepada Seng
Nio sekedar untuk mem-balas kebaikan mereka. Tentu saja tidak mungkin mengajarkan ilmu
silat dalam waktu singkat. Maka diapun berkata ramah. "Baiklah, aku akan memberi sedikit
petunjuk. Untuk itu engkau harus mainkan jurus-jurus silatmu dan aku akan menco-ba untuk
memperbaiki jurus-jurus itu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
341 "Terima kasih, taihiap. Engkau baik sekali. Nah, sambutlah jurus-jurus ini dan tunjukkan
ma-na yang kurang betul!" Seng Nio tidak menanti jawaban dan langsung saja mulai
menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan kedua tangan-nya. Ia merasa gembira
sekalimendapatkan ke-sempatan berlatih silat dengan pemuda yang dikaguminya ini dan
mengharapkan dari latihan ini akan bukan saja dapat bersentuhan akan tetapi juga dengan
harapan akan dapat meningkatkan keakrabannya.
Sebetulnya bukan maksud Ciang Bun agar gadis itu menyerangnya. Denganmelihat gadis itu
bermain silat saja dia sudah akan dapat mengeta-hui bagian-bagian yang lemah. Akan tetapi
karena Seng Nio telah menyerangnya, tentu saja dia-pun mengelak sambil memperhatikan.
Dia melihat bahwa gadis ini tidak mengecewakan menjadi puteri seorang guru silat karena
gerakan-gerakan-nya cukup cepat dan mengandung tenaga lumayan. Dia memberi
kesempatan kepada gadis itu untuk menyerangnya beberapa jurus sambil mem-perhatikan.
Tiba-tiba dia menangkap lengan Seng Nio.
"Tahan....!" Ciang Bun melepaskan lengan gadis itu dan melanjutkan. "Nona, jurusmu yang
terakhir ini tadi mengandung kelemahan yang dapat merugikan dirimu. Maukah engkau
mengulang agar dapat aku memberi contoh dan pembetulan?"
Seng Nio memandang dengan wajah berseri dan iapun mengulang serangannya yang terakhir,
yaitu jurus Sian-jin-ci-louw (Dewa Menunjuk-kan Jalan). Serangan ini dilakukan dengan
tangan kiri, menggunakan dua buah jari menusuk ke arah leher lawan dengan gerakan cepat.
Ciang Bun mengelak ke kanan dan dari kanan tangannya "masuk" melalui bawah ketiak
gadis itu, menggunakan kesempatan selagi lengan gadis itu menyerang lurus sehingga dada di
bawah le-ngan ini terbuka, tahu-tahu tangannya sudah membuat gerakan memukul ke arah
dada di bawah ketiak, dekat buah dada kiri gadis itu.
"Ihhhh....!" Seng Nio menjerit manja dan mukanya berobah merah. Tentu saja Ciang Bun
tidak sampai menyentuh dada itu. Tanpa memper-dulikan muka gadis itu yang berobah merah
se-perti orang malu-malu, Ciang Bun memberi petunjuk."Jurus seranganmu itu cukup baik
dan cepat, akan tetapi dengan serangan itu harus diketahui bahwa di bawah lenganmu menjadi
terbuka dan pertahananmu lemah. Setiap serangan memang berarti membuka satu bagian
pertahanan, karena itu cara menusukkan jari tangan itu tadi harus di-lakukan cepat dan jangan
sampai terulur sepenuhnya. Dengan demikian, andaikata serangan gagal dan lawan memasuki
bagian yang lowong, lengan-mu dapat cepat ditarik dan siku lengan dapat me-nangkis
serangan lawan. Coba ulangi lagi, seka-rang dengan lengan tidak terulur sepenuhnya dan siap
membagi sedikit kewaspadaan untuk menjaga bagian yang terbuka."
Dengan gembira Seng Nio mengulang serangan dengan jurus Sian-jin-ci-louw itu. Pada saat
le-ngannya meluncur dan jari tangannya menusuk ke arah leher Ciang Bun, pemuda ini
mengelak dan seperti tadi, membalas dengan cepat, sekali ini bukan memukul melainkan
menendang ke arah lambung yang terbuka.
"Dukk!" Seng Nio yang kini sudah waspada dan tidak menggunakan seluruh kekuatan pada
serangannya tadi, menekuk siku dan lengannya menangkis ke bawah sehingga tendangan itu
da-pat tertangkis.
"Bagus! Sekarang lanjutkan, nona."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
342 Dengan gembira Seng Nio melanjutkan dengan beberapa jurus, menyerang pemuda itu
dengan sungguh-sungguh karena selain ingin memperoleh petunjuk, juga ia ingin bersentuhan
dengannya. Kembali ada jurus yang diperbaiki dan sekali ini, pukulan Seng Nio menurut
petunjuk Ciang Bun harus dilanjutkan atau dirobah menjadi cengkeraman untuk
mencengkeram pergelangan tangan la-wan.
"Begini sebaiknya, nona." kata Ciang Bun memberi contoh dengan pukulan seprrti tadi dan
ketika si nona menangkis, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman dan tahu-tahu
pergelangan tangan gadis itu telah ditangkapnya. "Nah, sekarang engkau cobalah meniru
gerakanmu tadi."
Seng Nio menirunya, menyerang dengan jurus yang sudah diperbaiki tadi, ketika Ciang Bun
menangkis, cepat pukulannya berubah cengkeraman dan dia berhasil menangkap pergelangan
tangan pemuda itu. Akan tetapi ia mencengkeram dengan kuat, tidak mau melepaskannya lagi
sehingga Ciang Bun berseru kaget dan menarik lengannya. Karena tangannya memang jauh
lebih besar, tarikan yang tiba-tiba itu membuat tubuh Seng Nio terguling! Tentu gadis itu akan
roboh terbanting, kalau saja Ciang Bun tidak cepat-cepat menangkap dan merangkulnya.
Ciang Bun merangkul gadis itu hanya untuk menghindarkan tubuh gadis itu jatuh terbanting.
Akan tetapi Seng Nio membiarkan dirinya dirangkul, bahkan menyandarkan kepalanya ke
dada pemuda itu!
"Eh, nona, maafkan aku tidak sengaja...."
"Ah, tidak mengapa, taihiap, aku.... aku justeru senang sekali begini...." dan kini kedua
lengan Seng Nio merangkul leher!
"Eh.... Tan-siocia, apa artinya ini....?" Ciang Bun menegur heran dan kaget, dengan lembut
hendak melepaskan kedua lengan yang merangkul lehernya. Akan tetapi gadis itu
memperkuat rangkulannya.
"Taihiap.... koko.... masih perlukah aku bicara...." Aku kagum padamu, aku jatuh cinta
kepadamu...."
"Ihhh....!" Dengan sentakan agak keras Ciang Bun merenggutkan dirinya dan gadis itu
terhuyung hampir jatuh. "Nona, jangan bersikap tidak sopan!"
Wajah Seng Nio berubah pucat dan kedua matanya memandang terbelalak. "Tapi.... tapi aku
cinta...."
"Jangan bicara tentang cinta! Aku tidak mencinta siapapun!" Ciang Bun membentak marah.
"Sikapmu sungguh tidak tahu malu....!"
Wajah yang pucat itu kini berubah merah sekali dan dengan isak perlahan Seng Nio
meninggalkan Ciang Bun, lari mencari Ci Loan yang tadi sengaja menjauhkan diri dan
memetik kembang yang sebenarnya hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja. Melihat
gadis ini lari sambil menangis, Ciang Bun lalu duduk di atas batu dan termenung. Baru terasa
olehnya betapa kasarnya sikapnya tadi terhadap Seng Nio. Kekasaran yang tidak disengaja
karena dia terkejut dan juga tidak senang mendengar pengakuan cinta gadis itu. Dan diapun
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
343 termenung dengan bingung dan menyesal. Dia tahu bahwa kalau Seng Nio jatuh cinta
kepadanya, hal itu sudahlah wajar. Akan tetapi dia, sebagai seorang pemuda, menerima
pernyataan cinta seo-rang gadis dengan hati yang muak dan tidak suka, ini baru namanya
tidak wajar dan dia merasa menyesal sekali. Akan tetapi, apa yang harus dilakukannya" Dia
tadi bicara dan bergerak menurutkan naluri atau perasaan hatinya, tanpa disengaja dan baru
sekarang dia tahu betapa dia telah me-nyakiti hati Seng Nio! Sampai lama dia terme-nung
memikirkan keadaan dirinya sendiri dan ma-kin banyak dia melihat kelainan pada dirinya,
ter-utama dalam hal perasaan hatinya terhadap pria dan wanita.
"Suma-taihiap...."
Suara wanita yang halus ini menyadarkannya dari lamunan dan ketika dia menoleh,
dilihatnya Ci Loan telah berdiri di dekatnya. Diapun cepat bangkit berdiri.
"Suma-taihiap, mana adik Seng Nio?" Ci Loan bertanya sambil tersenyum manis sekali.
Se-nyum gadis ini memang manis sekali, pikir Ciang Bun. Akan tetapi senyum dibarengi
pandang mata seperti itu selayaknya hanya diberikan oleh gadis ini kepada tunangannya saja,
jangan kepada pria lain! Akan tetapi pertanyaan gadis ini tentang Seng Nio membuat dia
gugup juga. "Tan-siocia.... telah pergi...."
"Pergi" Eh, kenapa" Bukankah ia tadi bela-jar silat darimu, taihiap?"
"Ya, akan tetapi ia sudah pergi...."
"Kenapa dan ke mana?"
"Entah.... aku tidak tahu...." Kini Ciang Bun duduk kembali di atas batu karena merasa
bingung dan khawatir kalau-kalau gadis ini tahu tentang peristiwa tadi. Sungguh tidak enak
kalau diketahui orang lain, apalagi kalau sampai Hok Sim juga mengetahuinya.
Akan tetapi kembali dia terkejut ketika melihat bahwa Ci Loan, tunangan sahabatnya itu, kini
menghampirinya dan duduk pula di atas batu di sampingnya. Dia merasa kikuk sekali, akan
tetapi sebaliknya Ci Loan kelihatan begitu ramah dan akrab.
"Taihiap, kenapa engkau nampak seperti orang marah-marah?" Gadis itu bertanya dan dari
samping ditatapnya wajah Ciang Bun dengan tajam.
Ciang Bun menggeleng kepala. "Tidak apa-apa...."
"Apakah adik Seng Nio membuatmu marah" Kalau begitu maafkanlah, taihiap."
"Tidak apa-apa...."
Hening sejenak dan Ciang Bun tidak berani menoleh, hanya mengerutkan alisnya karena
du-duk bersanding dengan gadis ini sungguh membu-at hatinya merasa tidak tenang.
"Suma-taihiap, kalau boleh aku bertanya, apa-kah.... engkau sudah bertunangan dengan
seorang gadis?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
344 Sungguh sebuah pertanyaan yang tak diduga-duganya dan membuatnya terkejut. Kalau saja
dia tidak ingat bahwa Ci Loan adalah tunangan Tan Hok Sim yang telah menjadi sahabat
baiknya tentu dia akan menganggap pertanyaan itu amat tidak sopan dan tidak tahu malu.
Mana ada gadis bertanya demikian kepada seorang pemuda"
"Belum...." katanya lirih sambil menggeleng kepala tanpa menengok wajah di sampingnya
itu. "Tapi, tentu hatimu sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang gadis cantik, tentu engkau
telah mempunyai seorang kekasih."
Kembali jantung di dalam dada Ciang Bun berdebar keras. Sungguh semakin tak tahu sopan
saja pertanyaan gadis ini. Akan tetapi dia masih bersabar dan kembali dia menggeleng kepala
tanpa menjawab.
"Akan tetapi itu sungguh aneh luar biasa! Kenapa, taihiap" Kenapa engkau belum
bertunangan, bahkan belum mempunyai pacar?"
Terlalu, pikir Ciang Bun. Dia ingin marah dan mendamprat gadis itu, akan tetapi dia masih
teringat betapa tadi dia telah bersikap keras terhadap Seng Nio. Dia tidak mau menambah
kesalahan itu lagi dengan bersikap tidak manis terhadap tunangan sahabatnya ini.
"Hmmm, siapa suka kepadaku?" jawabnya sekedarnya dan diapun turun dari batu dan
bangkit berdiri.
Ci Loan melompat turun dan menghampirinya. "Siapa yang tidak suka" Aihh, taihiap,
engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, pandai, budiman dan tampan, seorang
pendekar muda pilihan, keturunan keluarga Pulau Es pula. Dan engkau bertanya siapa suka
kepadamu" Setiap orang gadis akan berlumba untuk menjadi kekasihmu, Suma-taihiap,
bahkan akupun.... aku amat suka kepadamu.... dan seandainya aku belum bertunangan...."
Ciang Bun terbelalak. Alangkah beraninya gadis ini, bahkan lebih berani, lebih kurang ajar,
lebih tidak sopan daripada Seng Nio tadi! Melihat kalimat terakhir yang ditahan, diapun
merasa penasaran dan bertanya. "Kalau belum bertunangan bagaimana?"
Gadis itu memegang kedua tangannya, menarik kedua tangannya ke dada sehingga dia
merasa be-tapa jari-jari tangannya menyentuh dada yang menonjol. "Kalau saja aku belum
bertunangan, aku akan berbahagia sekali menjadi pacarmu...."
"Keparat!" Ciang Bun tak dapat menahan kemarahannya lebih lama lagi. Dia merenggutkan
kedua tangannya terlepas dan hampir saja dia menampar muka gadis itu. Akan tetapi dia
menahan diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Loan. "Engkau perempuan tak
tahu malu! Engkau tidak patut menjadi tunangan Tan Hok Sim. Pergi engkau dari sini
sebelum kuhajar eng-kau, perempuan rendah!"
Seketika wajah Ci Loan yang cantik menjadi pucat sekali. Tak disangkanya bahwa Ciang
Bun akan dapat bersikap segalak itu, apalagi sampai memakinya. Tadi ia mendapat laporan
Seng Nio betapa pemuda itu menghina Seng Nio dan menolak cintanya. Maka ia menghibur
Seng Nio dan hendak mendekati pemuda itu, akan tetapi karena memang di lubuk hatinya ia
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
345 telah jatuh cinta ke-pada pendekar muda yang mengagumkan itu, setelah tiba di depan Ciang
Bun, ia lupa akan tugasnya hendak menjodohkan adik ipar itu dengan Ciang Bun, dan
sebaliknya ia sendiri malah mera-yunya! Dan akibatnya, ia dimaki-maki. Karena malu iapun
menjadi marah sekali.
"Manusia tak tahu diri, tidak mengenal budi!" Dan Ci Loan sudah menyerangnya dengan
pukulan kilat. "Plakkk!" Ciang Bun menangkis dengan pe-ngerahan tenaga dan akibatnya tubuh Ci Loan
ter-pelanting dan roboh terbanting di atas tanah!
"Manusia kejam Suma Ciang Bun, berani eng-kau memukul kakak iparku?" Tiba-tiba
muncul-lah Seng Nio dan agaknya kini gadis ini memper-oleh alasan untuk membalas sakit
hatinya ketika cintanya ditolak mentah-mentah bahkan ia dihi-na oleh Ciang Bun tadi.
Melihat Ci Loan terpe-lanting, iapun lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ciang Bun
dengan marah. Tentu saja Ciang Bun cepat mengelak dan ketika dia melihat Ci Loan juga
sudah meloncat bangun dan mencabut pedang, Ciang Bun lalu melarikan diri untuk kembali
ke rumah keluarga Tan dan kemudian dia hendak cepat meninggalkan keluarga itu.
"Manusia rendah, engkau hendak lari ke mana?" Dua orang gadis itu dengan pedang di


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan dan nyeri di hati melakukan pengejaran dari belakang secepatnya.
Tentu saja Ciang Bun dapat berlari jauh lebih cepat daripada mereka dan agaknya dia akan
da-pat cepat meninggalkan rumah keluarga itu sebe-lum kedua orang gadis yang mengejarnya
tiba di rumah. Akan tetapi, tiba-tiba muncul Tan Hok Sim di tengah jalan. Seperti telah kita
ketahui, pemuda ini diam-diam menyusul ke Omei-san setelah tunangan dan adiknya pergi
bersama Ciang Bun lebih dulu ke puncak dan dia sengaja turun lagi dengan alasan ada yang
ketinggalan. "Heiii.... Bun-te.... engkau hendak ke mana dan mengapa berlari-lari?" tegur Hok Sim.
Melihat munculnya Hok Sim, terpaksa Ciang Bun menghentikan larinya. Dia hendak
menyembunyi-kan semua peristiwa itu dari Hok Sim, tentu saja kalau dia nekat melarikan
diri, pemuda sasterawan itu akan menjadi curiga. Akan tetapi setelah dia berhenti berlari dan
berhadapan dengan Hok Sim, dia bingung sendiri harus bicara apa!
"Bun-te, apakah yang telah terjadi" Di mana Loan-moi dan adikku Seng Nio?" Hok Sim
bertanya dengan hati khawatir. Dia melihat sesuatu pada wajah pemuda pendekar itu dan
hatinya ge-lisah sekali.
"Mereka.... mereka di belakang...." jawab-nya gugup.
"Tapi kenapa....?" Tiba-tiha dia melihat bayangan kedua orang gadis itu mengejar dan
menuruni lembah. "Eh, itu mereka....! Kenapa me-reka juga berlari-lari mengejarmu?"
"Kami.... main kejar-kejaran...."
Hok Sim tertawa dan dia masih belum curiga mendengar alasan yang lucu itu. Main kejar-
ke-jaran" Seperti anak-anak kecil saja.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
346 "Eh...." Kenapa mereka membawa pe-dang?" tanyanya kaget ketika melihat dua orang gadis
itu sudah datang dekat. Dan dia menjadi lebih kaget lagi ketika melihat Seng Nio dan Ci Loan
bermuka merah penuh kemarahan.
"Sim-ko, manusia keparat itu telah membuat aku terpelanting roboh!" teriak Seng Nio.
"Dan dia.... dia memaki-maki aku....!" sambung Ci Loan.
"Eh, kenapa" Mengapa begitu?" Hok Sim bingung.
"Agaknya dia.... dia hendak memperkosa ka-mi!" kata Seng Nio yang sudah kepalang
tang-gung, malu karena cintanya ditolak dan karena di-hina maka kini dia hendak membalas
dendam. "Ahh" Benarkah itu?" bentak Hok Sim.
"Benar, dia memang manusia berwatak ren-dah!" Ci Loan menambahkan dan kini Hok Sim
tidak ragu-ragu lagi. Kalau adiknya sendiri dan tunangannya sudah begitu marah dan
keterangan mereka sudah meyakinkan, apakah perlu diragukan lagi" Mendengar betapa
pemuda itu hendak mengganggu tunangannya, hati Hok Sim berkobar dengan api kemarahan
dan diapun mencabut pe-dangnya.
"Dengarkan dulu...." kata Ciang Bun akan tetapi Hok Sim sudah menjawabnya dengan
tusuk-an pedangnya. Dua orang gadis itupun sudah me-nyerang pula dengan pedang mereka
sehingga terpaksa Ciang Bun hanis menghindarkan diri dari keroyokan tiga orang berpedang
itu. Melihat Hok Sim ikut mengeroyok, Ciang Bun merasa serba sa-lah dan kalau saja dia
menghendaki, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Akan
tetapi dia merasa tidak tega kepa-da Hok Sim yang hanya salah sangka terhadap di-rinya,
maka diapun hanya menggunakan kelin-cahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran tiga
batang pedang yang mengeroyoknya.
Seperti telah kita ketahui, pada saat Ciang Bun dikeroyok oleh tiga orang itulah muncul
Suma Hui! Tentu saja dengan mudah Suma Hui dapat meng-akhiri pengeroyokan itu dan
seperti telah dicerita-kan di bagian depan, Tan Hok Sim dimintai kete-rangan oleh Suma Hui
mengapa dia bersama dua orang gadis itu mengeroyok Ciang Bun.
"Siapa yang tidak marah" Suma Ciang Bun te-lah kami anggap sebagai seorang pendekar
budiman dan kami terima sebagai seorang tamu agung, yang kami hormati. Akan tetapi dia
telah melaku-kan perbuatan kotor terhadap tunangan dan adikku! Dia menghina adikku dan
hendak memper-kosa tunanganku!" demikian Hok Sim menutup ceritanya yang tentu saja
berbeda dengan kenyataan itu kepada Suma Hui.
"Hemm, benarkah keterangan itu bahwa engkau hendak memperkosa tunangan orang dan
menghi-na seorang gadis lain" Benarkah itu, adikku?" Suma Hui bertanya heran dan penuh
ketidakper-cayaan sambil memandang kepada Ciang Bun.
Ciang Bun menghela napas panjang. Dia me-rasa menyesal sekali bahwa Hok Sim yang tidak
bersalah apa-apa terpaksa akan menderita tekan-an batin kalau mengetahui persoalannya. Dia
ti-dak ingin melihat pemuda yang disukanya itu menderita.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
347 "Aku tidak perlu bercerita. Silahkan kedua orang nona ini saja yang bercerita, dan kuharap
mereka akan menceritakan hal yang sebenarnya." Sambil berkata demikian, sepasang
matanya men-corong seperti mata naga menatap wajah Seng Nio dan Ci Loan, dan kedua
orang gadis itu men-jadi pucat.
Kini timbul keraguan dalam hati Hok Sim me-lihat sikap Ciang Bun dan kedua orang gadis
itu timbul keraguannya karena rasanya memang sukar dapat dipercaya bahwa seorang
pendekar se-perti Suma Ciang Bun sampai melakukan hal yang demikian rendahnya!
"Seng-moi, hayo ceritakan yang sesungguhnya apa yang terjadi! Engkau tadi bilang bahwa
eng-kau dihina dan dipukul, hayo ceritakan mengapa demikian dan yang sesungguhnya terjadi
bagai-mana" Jangan membohong!"
Wajah Seng Nio menjadi merah sekali. Ia me-rasa serba salah. Ia tahu bahwa Ciang Bun
ada-lah seorang pendekar sakti dan agaknya kakak perempuannya inipun seorang pendekar
yang li-hai sekali. Berbohong takkan berguna, apalagi bukankah kakaknya sendiri yang
mendorongnya agar ia berusaha mendekati Ciang Bun"
"Aku hanya menyatakan perasaan hatiku kepa-danya, Sim-ko. Bukankah ayah dan engkau
sen-diri menghendaki agar aku berjodoh dengan Suma-taihiap" Aku menyatakan.... cinta
dan.... dan dia marah-marah.... dan dia memaki aku tidak sopan dan tidak tahu malu!"
Hok Sim mengerutkan alisnya. Tahulah dia mengapa Ciang Bun marah-marah. Tentu Seng
Nio "mendesak" dengan cintanya dan pemuda pendekar itu menganggap Seng Nio sebagai
seo-rang gadis tidak tahu malu. Dia mengeluh dalam batinnya. Jelaslah bahwa Ciang Bun
tidak dapat membalas cinta kasih Seng Nio.
"Dan engkau, Loan-moi" Apa yang terjadi?" kini Hok Sim menoleh kepada Ci Loan. Wajah
gadis ini menjadi pucat sekali. Ia mengerti bahwa apa yang terjadi antara ia dan Ciang Bun
hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Bahkan Seng Nio juga tidak mengetahuinya. Kalau
ia mengaku, maka tentu pertunangannya dengan Hok Sim akan putus. Ia melirik ke arah
Ciang Bun dan pendekar ini hanya berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang. Kini
tergantung kepada pendekar itu, pikirnya.
"Aku menerima laporan adik Seng yang mena-ngis dan merasa terhina. Lalu kudatangi
Suma-taihiap dan kutegur, akan tetapi dia.... dia ber-sikap kasar sehingga kami cekcok dan
aku menye-rangnya, lalu datang adik Seng yang membantu-ku. Dia lari dan kami kejar
sampai bertemu de-nganmu, koko."
Hok Sim membanting kakinya dan menarik na-pas panjang. "Ah, akulah yang bodoh dan
terburu nafsu, tidak bertanya dulu, lalu percaya saja kepa-da omongan perempuan dan
menyerangmu. Suma-taihiap, maafkan aku, maafkan kami....?"Sudahlah, mari kita pergi, enci
Hui!" kata Ciang Bun. "Aku akan mengambil pakaianku le-bih dulu di rumah, Tan-twako."
Kakak beradik itu sekali berkelebat lenyap dari situ, membuat Hok Sim dan kedua orang
gadis itu melongo dan semakin gentar. Lalu Hok Sim mengomel, "Ah, kalian yang kurang
waspada dan ce-roboh sekali. Kalau sampai Seng-moi tidak berjo-doh dengan dia masih tidak
mengapa. Akan tetapi kita kehilangan seorang sahabat yang amat baik dan gagah perkasa.
Sekarang, keluarga Pulau Es itu marah kepada kita, semua ini karena kalian berdua kurang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
348 hati-hati." Dua orang gadis itu hanya menundukkan mukanya, diam-diam merasa malu sekali
atas kelakuan mereka terhadap Ciang Bun tadi.
"Tapi, aku melihat sikapnya kepadamu amat akrab!" tiba-tiba Seng Nio berkata.
"Bahkan kadang-kadang amat mesra!" tam-bah Ci Loan. "Kami sering membicarakan hal ini,
dan kami merasa heran mengapa sikapnya jauh lebih mesra terhadapmu daripada terhadap
kami." Diam-diam Hok Sim terkejut dan teringat bah-wa memang demikian keadaannya. Ciang Bun
ka-dang-kadang bersikap terlalu mesra kepadanya! Bahkan sekarang dia teringat bahwa
andaikata Ciang Bun seorang wanita, agaknya dia akan menjadi saingan Ci Loan!
"Sikapnya itu kadang-kadang membuat aku curiga, jagan-jangan dia itu seorang gadis yang
menyamar pria!" kata pula Seng Nio.
"Ahhh....! Kalian bicara yang bukan-bukan karena sedang marah saja. Sebetulnya dia itu
laki-laki sejati, seorang pendekar budiman yang gagah perkasa. Mungkin saja dia.... eh,
agaknya pemalu dan tidak biasa bergaul dengan wanita se-hingga begitu dekat dengan kalian
dia merasa canggung dan malu-malu. Sudahlah, betapapun juga, kita kehilangan seorang
sahabat yang luar biasa!" Merekapun pulang dengan hati kecewa dan menyesal.
*** "Bun-te, engkau terlalu lemah. Kenapa eng-kau tidak hajar saja kedua orang gadis yang tidak
tahu malu itu?" Suma Hui menegur adiknya keti-ka mereka melakukan perjalanan dan di
tengah jalan Ciang Bun terpaksa menceritakan persoalan-nya dengan dua orang gadis tadi.
"Ah, aku kasihan kepada mereka, enci. Apalagi, Tan Hok Sim begitu baik kepadaku. Kalau
aku berterus terang, tentu akan mengakibatkan terputusnya tali perjodohan antara dia dan
tunang-annya. Pula, aku tidak menganggap mereka yang.... eh, suka kepadaku itu sebagai
suatu kesa-lahan, hanya aku yang tidak dapat membalas cin-ta mereka...."
"Hemmm, engkau memang aneh. Kulihat mere-ka itu cantik-cantik, kenapa engkau tidak
suka dan bahkan bersikap keras kepada mereka?"
"Aku.... aku memang tidak pernah suka kepada gadis-gadis...." Ciang Bun agaknya menemui
wadah penuangan perasaannya melalui en-cinya.
"Ehh....! Bun-te, engkau sudah cukup de-wasa, perasaanmu tidak pernah suka kepada gadis
itu sungguh tidak wajar," kata Suma Hui prihatin sambil menghentikan langkahnya,
memegang ke-dua pundak adiknya dan menatap wajah adiknya itu dengan penuh selidik.
Ciang Bun balas memandang dan dia melihat seolah-olah sinar mata encinya itu menembus
da-danya dan menjenguk ke dalam. Selama ini, dia melihat kelainan pada dirinya dengan
penuh kece-masan, menyimpannya sebagai rahasia dan dia ti-dak berani membicarakannya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
349 kepada siapapun juga. Akan tetapi kini dia berhadapan dengan en-cinya, satu-satunya orang
yang dekat dengan dia, satu-satunya orang yang benar-benar amat disayangnya karena sejak
kecil dia bergaul dengan encinya siang malam. Ayahnya dianggapnya terlalu keras dan
menakutkan, ibunya terlalu memanjakannya, hanya encinya ini yang selalu bersikap terbuka
dan jujur. Tiba-tiba saja ada keharuan menyelinap di hati pemuda ini dan seperti ben-dungan
pecah, diapun menangis terisak!
Bukan main kaget rasa hati Suma Hui. Adik-nya ini sejak kecil pendiam dan serius, tak
banyak bicara akan tetapi sama sekali tidak cengeng! Be-lum pernah ia melihat adiknya
menangis seperti ini, apalagi sekarang sudah berusia tujuh belas ta-hun, sudah dewasa! Ciang
Bun menangis terisak--isak" Sukar ia membayangkannya, akan tetapi ki-ni hal itu terjadi di
depannya. Tentu saja ia mera-sa kaget dan juga khawatir dan dirangkulnya adik-nya itu,
seperti ketika mereka masih kecil dan dituntunnya Ciang Bun, diajak duduk di bawah pohon
yang rindang. Tempat itu sunyi tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
"Bun-te, tenanglah. Ingat, tidak baik seorang pendekar gagah seperti engkau ini menangis.
Ha-pus air matamu dan mari kita bicara secara dewa-sa. Ceritakanlah apa yang merisaukan
hatimu sam-pai engkau menangis. Aku encimu, saudara tung-galmu, aku akan membelamu
lahir batin!"
"Enci Hui, tolonglah aku, enci...." Suma Ciang Bun mencoba untuk menghentikan tangisnya.
Semua kegelisahan hatinya tumpah pada saat itu melalui air mata dan akhirnya dia merasa
dada-nya agak lega.
"Hemm, tentu saja aku akan menolongmu, adik-ku, kalau perlu dengan taruhan nyawaku.
Nah, ceritakan, apakah masalah itu?"
Ciang Bun mengusap air matanya dan kini dia dapat memandang wajah encinya dengan mata
agak merah. "Enci Hui, tadi engkau mengatakan bahwa aku tidak wajar...."
"Aihh....! Itu" Aku hanya main-main. Mungkin engkau masih terlalu kekanak-kanakan, tidak
biasa bergaul dengan wanita sehingga engkau masih belum dapat menyukai gadis-gadis. Hal
itu tidak aneh, kenapa dirisaukan?" Suma Hui tersenyum, merasa lega karena ternyata yang
diri-saukan adiknya itu hanyalah persoalan sepele saja.
Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala. "Bukan, bukan hanya itu, enci. Ketahuilah,
me-mang aku.... ada sesuatu yang tidak wajar kepadaku, di dalam hatiku...."
Suma Hui mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada
adik-nya. "Hemmm, apa maksudmu, adikku" Ada keti-dakwajaran apa dalam hatimu"
Engkau sungguh membikin aku heran dan cemas."
"Enci, kalau tidak ada engkau, tentu rahasia ini akan kubawa mati. Kepada ayah dan ibu
sendiri aku enggan bercerita. Ketahuilah, memang ada ketikdakwajaran di dalam hatiku, ada
suatu kelainan yang terasa amat menakutkan hatiku. Sejak dahu-lu, aku.... aku tidak pernah
merasa suka kepada wanita, akan tetapi aku.... aku malah tertarik kepada pria, kepada
pemuda...."
"Ehhh....?" Sepasang mata Suma Hui terbe-lalak dan ia memandarg adiknya seperti melihat
hantu di siang hari.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
350 "Enci Hui, jangan.... jangan memandang padaku seperti itu....!" Suma Ciang Bun menge-luh.
"Jangan engkau juga menganggap aku seperti setan...."
"Bun-te....!" Suma Hui maju merangkul adiknya dan beberapa lamanya enci dan adik ini
saling rangkul dengan hati nelangsa. Suma Hui teringat akan nasib dirinya sendiri dan kini ia
me-lihat adiknya menghadapi masalah yang lebih rumit lagi.
"Bagaimana.... bagaimana bisa begitu...." Aku.... aku tidak mengerti, adikku, sungguh, aku
belum mengerti...." Suma Hui meragu. "Mungkinkah itu bahwa engkau.... engkau adalah
seorang pria pembenci wanita....?"
"Tidak, enci. Aku sama sekali tidak membenci wanita. Aku kira.... aku akan dapat bersahabat
dengan wanita, sahabat baik, seperti aku dengan engkau ini.... akan tetapi, hanya sampai di
situ saja. Persahabatan biasa, tidak ada daya tarik menimbulkan gairah berahi. Pendeknya, aku
tidak pernah berani melihat wanita, enci, semua wanita kupandang seperti aku melihatmu,
seperti saudara, seperti sahabat."
"Apa salahnya dengan itu?" Suma Hui mene-gas karena ia belum mengerti dan selama
hidup-nya baru sekarang ia mendengar hal seperti ini.
"Memang tidak salah, akan tetapi.... aku.... aku tertarik oleh pria, oleh pemuda, merasa mesra
berdekatan dengan pemuda dan timbul gairah berahiku. Aku.... aku hanya dapat jatuh cinta
kepada pemuda, enci...."
"Hehh....?" Suma Hui terbelalak, melepas-kan rangkulannya, lalu mendekat lagi dan
menja-mah dahi adiknya seperti hendak melihat apakah adiknya tidak sedang terserang
demam sehingga mengigau.
Ciang Bun tersenyum sedih melihat encinya meraba dahinya. Dengan halus dia menjauhkan
tangan encinya. "Enci Hui, aku tidak gila.... biarpun kadang-kadang aku sendiri bertanya-
ta-nya apakah aku sudah gila. Tidak, aku belum gila dan mudah-mudahan tidak akan gila.
Akan tetapi, aku melihat kenyataan yang menakutkan ini pada diriku. Aku.... aku agaknya
mempunyai selera seperti wanita. Tubuhku pria, segala-galanya, akan tetapi seleraku, juga
terutama sekali dalam hal selera berahi, aku seperti.... seperti wa-nita...."
"Ahhh....!"
"Enci Hui, jangan ber-ah-eh-uh saja. To-longlah aku!"
Suma Hui menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah dengan tubuh lemas. Ia merasa tidak
ber-daya sama sekali, bahkan bingung. "Bagaimana aku harus menolongmu, Bun-
te?""Mungkin ada obat...."
"Kita bicarakan saja dengan ayah dan ibu, min-ta nasihat mereka...."
"Tidak! Aku akan malu sekali kalau engkau menceritakan hal itu kepada mereka, aku akan
lari minggat!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
351 Gadis itu merasa prihatin sekali sehingga memikirkan keadaan adiknya, ia dapat sedikit
melu-pakan kedukaan hatinya sendiri. Ia kecewa bahwa ia tidak dapat bertemu dengan Cin
Liong yang memimpin pasukan menyerbu ke Nepal dan ia merasa nelangsa selama ini. Akan
tetapi kini semun keprihatinan hatinya ditujukan unttrk Ciang Bun.
"Aku akan bantu memikirkan keadaan dirimu, adikku. Engkau tenang sajalah dan jangan
terlalu menyedihi keadaanmu, kelak tentu akan ada jalan baik untukmu. Mari kita pulang
dulu, sudah ter-lalu lama kita meninggalkan ayah dan ibu, tentu mereka merasa cemas dan
berduka." Merekapun melanjutkan perjalanan dan di se-panjang perjalanan itu mereka saling
menceritakan pengalaman masing-masing selama mereka berpi-sah. Ciang Bun juga merasa
prihatin melihat en-cinya berduka dan kecewa karena belum juga da-pat bertemu dengan Kao
Cin Liong. Setelah melakukan perjalanan yang jauh dan memakan waktu yang lama sekali, tanpa ada
ha-langan yang berarti, tibalah kedua kakak beradik ini pada suatu siang di kota Thian-cin,
tempat tinggal orang tua mereka! Berdebar juga hati me-reka ketika mereka tiba di kota yang
mereka kenal sejak kecil ini dan perasaan mereka bercampur aduk ketika mereka melihat
rumah mereka dari jauh. Ada rasa gembira karena hendak bertemu kembali dengan ayah
bunda mereka yang sudah lama mereka tinggalkan. Ada perasaan takut-takut karena mereka
dapat menduga bahwa ayah mere-ka tentu akan marah sekali kepada mereka. Ada perasaan
terharu karena mereka teringat akan se-gala peristiwa yang terjadi di tempat tinggal me-reka
ini. Bagaimanapun juga, akhirnya kampung halaman merupakan tempat yang paling indah di
dunia ini. Pada siang hari itu, sekitar rumah keluarga mereka nampak sunyi. Dengan jantung berdebar
te-gang, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memasuki pekarangan rumah yang amat mereka
kenal itu. Seorang pelayan tua yang melihat mereka datang, segera berteriak dan lari masuk
ke dalam sambil berteriak-teriak.
"Siocia dan kongcu pulang....!"
Seruan ini membuat tiga orang keluar menyambut. Mereka adalah Suma Kian Lee, Kim
Hwee Li, dan Louw Tek Ciang! Sejenak dua orang kakak beradik yang baru tiba itu berdiri
saling pandang dengan mereka yang menyambut. Ada keharuan di dalam hati mereka semua.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suma Ciang Bun memperhatikan ayah ibunya. Ayahnya yang kini berusia kurang lebih lima
puluh satu tahun itu kelihatan semakin tua. Agaknya selama kurang lebih dua tahun ini Suma
Kian Lee menderita tekanan batin yang membuat wajahnya dihias banyak garis-garis yang
dalam, juga rambutnya kini ba-nyak ubannya. Ibunya masih kelihatan muda dan sama saja,
masih cantik dan wajahnya berseri, ma-tanya bersinar-sinar. Di sebelah ayahnya dia me-lihat
suhengnya yang tak disenanginya, yaitu Louw Tek Ciang walaupun hanus diakuinya bahwa
sela-ma dua tahun ini nampak kemajuan pada diri pe-muda itu. Tek Ciang semakin tampan
dan gagah, nampak lebih matang dan sepasang matanya itu jelas membayangkan kecerdikan
dan senyumnya kini terkendali, menunjukkan kematangan!
"Ayah....! Ibu....!" Kakak beradik itu berseru sambil menghampiri ke depan dan memberi
hormat. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
352 "Kalian baru pulang....!" Kim Hwee Li meloncat dan merangkul mereka. Sepasang mata ibu
yang juga banyak memikirkan mereka ini mem-basah. Akan tetapi, Suma Kian Lee tetap
bersikap tenang, seolah-olah pulangnya kedua orang anak-nya itu tidak mendatangkan
perobahan pada hati-nya. Memang pendekar ini pandai menyimpan perasaannya yang pada
waktu itu penuh dengan kegirangan melihat anak-anaknya selamat dan pu-lang, juga penuh
kemarahan, terutama sekali ter-hadap Suma Hui.
"Mari kita masuk dan bicara di dalam," kata-nya dan suaranya begitu datar, membuat hati
kakak beradik itu berdebar.
"Sumoi dan sute, selamat datang!" kata Tek Ciang dengan suara gembira dan agaknya dia
ti-dak tersinggung ketika kedua orang kakak beradik itu hanya memandang kepadanya dan
mengangguk tanpa menjawab.
Mereka semua mengikuti Suma Kian Lee yang sudah melangkah lebar menuju ke ruangan
dalam yang luas, yang menjadi ruangan duduk atau ru-angan keluarga. Tanpa banyak cakap
Suma Kian Lee duduk menghadapi meja dan semua keluarga-nya juga mengambil tempat
duduk. Kim Hwee Li duduk di sebelah kanannya, Tek Ciang mengambil tempat duduk agak
jauh di belakang, sedang-kan Ciang Bun dan Suma Hui duduk di depan ayah mereka dengan
muka tunduk. Keadaan amat hening dan semua orang mera-sakan keheningan yang mencekam itu. Semua
orang tahu bahwa pendekar setengah tua itu da-lam keadaan marah sekali. Udara di dalam
ruang-an itu seolah-olah terbakar panas oleh kemarahan Suma Kian Lee ketika duduk
menghadapi kedua orang anaknya dan memandang wajah putera dan puterinya itu bergantian.
Ciang Bun, Suma Hui dan Tek Ciang tidak berani berkutik, menguasai diri sepenuhnya agar
jangan mengeluarkan suara. Bahkan Kim Hwee Li yang merupakan satu-satu-nya orang di
dunia yang dapat mencairkan kebeku-an dan kemarahan hati Suma Kian Lee, saat itupun
berdiam diri. Isteri ini ikut prihatin dan ia menghormati perasaan suaminya, tahu benar betapa
penasaran, marah dan kecewa hati suaminya ter-hadap anak-anak mereka.
Tiba-tiba pendekar itu mengeluarkan suara dan biarpun kata-katanya tidak kasar atau keras,
namun terdengar dingin menyeramkan.
"Hemm, setelah kalian ingat untuk pulang ke rumah sini, apa yang hendak kalian katakan
seka-rang?"
Suma Hui dan Ciang Bun tidak berani menja-wab, tidak berani mengangkat muka karena
mere-ka maklum bahwa ayah mereka itu benar-benar sedang marah sekali.
"Brakkkk....!" Kian Lee menggebrak meja di depannya dan seluruh ruangan itu seperti
ter-getar. "Kenapa kalian tidak menjawab" Apakah tuli dan bisu" Kalian pergi meninggalkan
rumah tanpa pamit, orang tua kalian anggap sampah saja! Begitukah watak anak-anak yang
berbakti kepada orang tua" Apalagi engkau, Hui-ji, engkau se-bagai seorang anak perempuan
sungguh tidak patut pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Kalian ini sungguh hanya dapat
membikin susah hati orang tua saja. Begitukah kalian membalas budi orang tua, dengan cara
merusak hati kami berdua" Begitukah?"
Suma Hui makin menunduk dan biarpun ia ti-dak mengeluarkan suara, namun kedua
matanya menjadi basah oleh air mata. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia teringat akan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
353 nasib diri-nya, akan aib yang menimpa dirinya, akan dendam sakit hatinya terhadap Cin Liong
yang belum da-patdibalas. Ia telah pergi tanpa pamit karena hen-dak membalas dendam,
mencari orang yang telah merusak kebahagiaan hidupnya. Kepergiannya sia-sia, tanpa hasil
dan setelah pulang, dimaki-maki ayahnya sebagai anak puthauw (tidak ber-bakti)!Hampir
semua orang tua mengharap agar anak mereka berbakti kepada mereka. Bahkan sejak kecil,
anak-anak ditekankan dan diajar agar ber-bakti kepada orang tuanya. Berbakti adalah sikap
yang timbul dengan sendirinya karena rasa sayang, dan perasaan sayang tidak mungkin
dipelaiari, tidak mungkin dilatih. Berbakti yang dilakukan karena latihan berarti merupakan
suatu sikap yang dipaksakan dan sikap apapun kalau dipaksakan, berarti palsu. Sikap berbakti
yang dipaksakan bu-kanlah kebaktian lagi namanya, melainkan penji-latan atau bermuka-
muka. Berbakti, menghormati, menyayang, menaruh rasa iba, kesemuanya itu ada dengan
sendirinya apabila terdapat rasa cinta kasih di dalam hati. Kalau ada cinta kasih di dalam hati
seorang anak, maka tidak perlu lagi anak itu dia-jari untuk berbakti dan sebagainya.
Sebaliknya, kalau batin si anak kosong dari cinta kasih, maka semua kebaktian yang
dilakukannya itu hanyalah palsu belaka, mengandung pamrih dan sama de-ngan penjilatan.
Orang tua yang mengharapkan anaknya ber-bakti atau membalas budi, bukanlah orang tua
yang mencinta anaknya. Cintanya hanya cinta da-gangan, dengan perhitungan untung rugi,
membe-ri hutang dan menagih hutang berikut bunga-bu-nganya. Cintanya hanya berupa
penanaman budi agar kelak dapat memetik buahnya. Cinta ma-cam ini hanyalah cinta nafsu,
yang berarti cinta kepada diri sendiri belaka, si anak hanya dijadikan jembatan untuk
menikmati kesenangan dirinya sen-diri. Karena itulah, maka cinta seperti ini baru dapat
bertumbuh subur kalau si anak dapat me-nyenangkan hatinya, sebaliknya, begitu si anak
ti-dak menyenangkan hatinya atau malah menyusah-kan, cintanya menjadi kabur dan
mungkin saja berobah menjadi kebencian. Dan untuk menjamin kesenangan yang hendak
direguknya melalui diri si anak, orang tua tidak segan-segan untuk mempergunakan senjata
berupa sebutan hauw (kebak-tian). Anak yang tidak menyenangkan hatinya di-sebut puthauw
(tidak berbakti atau durhaka) dan pada umumnya di Tiongkok orang-orang paling takut
disebut puthauw. Sebutan ini seperti sema-cam kutukan baginya.
Khong Cu menekankan pentingnya hauw (ke-baktian) ini. Akan tetapi pelajaran beliau itu
di-tujukan untuk orang-orang dalam kedudukannya sebagai anak. Sayangnya, orang-orang
dalam ke-dudukan sebagai anak tidak begitu memperhatikan pelajaran itu, sebaliknya kalau
sudah menjadi orang tua, hendak mempergunakan pelajaran itu sebagai senjata agar anak-
anak mereka berbakti kepadanya! Berbakti yang tentu saja berarti menyenangkan hatinya!
Kita manusia ini memang ingin enak-nya saja, dalam segala bidang, bahkan dalam bi-dang
kerohanian atau agamapun, kita mau yang enaknya saja untuk diri kita.
Kalau di dalam batin orang tua dan anak ter-dapat cinta kasih, maka segala macam pelajaran
tentang hauw, tentang penghormatan, tentang ke-lakuan baik dan sebagainya itu tidak
dibutuhkan lagi! Cinta kasih merupakan landasan mutlak ba-gi semua tindakan, semua sikap
dan perbuatan apapun. Cinta kasih merupakan sinar terang yang akan membuat segala
perbuatan menjadi bersih dan suci, tanpa pura-pura, tanpa pamrih demi kesenangan diri
sendiri, tanpa harapan untuk di-balas.
Suma Kian Lee adalah seorang pendekar besar, putera mendiang Pendekar Super Sakti
majikan Pulau Es. Numun, dia tetap hanya seorang manu-sia biasa dengan segala
kelemahannya seperti juga kita dan kekeliruan dalam sikapnya terhadap anak-anaknya itu
merupakan kekeliruan kita pada umumnya yang kita lakukan seperti dengan sen-dirinya dan
tanpa disadari lagi. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata mempelajari batin kita sendiri,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
354 mengamati sikap kita terhadap keluarga, terhadap isteri, anak, orang tua, sahabat-sahabat,
maka akau nampaklah dengan jelas segala kepalsuan yang terkandung di dalamnya!
"Hayo jawab, jangan diam saja!" Suma Kian Lee membentak, kemarahannya makin berkobar
karena kedua orang anaknya diam saja. Melihat ayah mereka marah, Suma Hui dan Ciang
Bun ti-dak berani berkata apa-apa. Mereka berdua su-dah merasa salah, maka apa lagi yang
hendak di-katakan" Akan tetapi, merekapun penasaran kare-na biarpun bersalah, mereka sama
sekali tidak berniat untuk menyusahkan hati orang tua mereka. Suma Hui pergi karena
didorong oleh dendam sa-kit hatinya dan dia pergi untuk mencari musuh besarnya, sedangkan
Suma Ciang Bun pergi karena selain hatinya sakit melihat betapa ayahnya telah mengangkat
ahli waris ilmu silat keluarga mereka kepada orang lain juga ingin menyusul encinya. Mereka
bersedia untuk ditegur dan dimarahi, akan tetapi mereka tidak mau minta ampun!
Melihat kemarahan Suma Kian Lee, tiba-tiba Tek Ciang yang sejak tadi mendengarkan tanpa
mengeluarkan suara, lalu turun dari tempat duduk-nya dan menjatuhkan dirinya berlutut
menghadap suhunya. "Suhu dan subo, sudilah kiranya suhu dan subo mengampunkan sumoi
dan sute, mengingat bahwa usia mereka masih amat muda. Teecu mohon agar suhu dan subo
bersabar dan sudi mengampuni mereka."
Suma Hui mengerutkan alisnya dan dengan si-nar mata berapi ia memandang kepada pemuda
itu, lalu terdengar ia membentak, "Louw-suheng, siapa membutuhkan pembelaanmu" Aku
tidak ingin dikasihani dan sungguh engkau lancang mencampuri urusan orang!"
"Hui-ji....!" Suma Kian Lee bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada
puteri-nya dengan mata bersinar-sinar. "Tidak patut sekali sikapmu ini! Suhengmu telah
memperlihat-kan sikap yang amat baik, mintakan ampun untuk-mu dan engkau malah berani
mengeluarkan ucap-an yang kasar itu. Sungguh tak mengenal budi! Pula, dia adalah
suhengmu dan calon suamimu!"
Kalau tadi ketika dimarahi ayahnya Suma Hui diam saja, kini mendengar ucapan ayahnya itu
ti-ba-tiba ia membantah dengan suara yang cukup lantang. "Ayah, dia bukan calon suamiku!"
Suma Kian Lee terkejut juga mendengar ban-tahan yang lancang itu dan diam-diam Kim
Hwee Li tersenyum dalam hatinya. Itulah puterinya dan ia bangga melihat sikap puterinya!
Wanita ini memang paling tidak suka melihat kelemahan karena ia sendiri adalah seorang
wanita yang keras hati dan penuh keberanian, kagum melihat kega-gahan.
Akan tetapi Suma kian Lee mengerutkan alis-nya dan sejenak dia beradu pandang mata
dengan puterinya. "Bagus sekali! Apakah engkau sudah lupa akan janjimu sebelum engkau
pergi" Engkau bilang bahwa engkau mau menjadi isteri Tek Ciang kalau dia dapat
mengalahkanmu dalam ilmu silat. Nah, apakah engkau sekarang hendak menjilat lu-dah
kembali seperti seorang pengecut?"
Suma Kian Lee sengaja menyentuh hal ini ka-rena dia memang sudah mengenal watak
puterinya. Suma Hui, seperti juga Kim Hwee Li, merupakan seorang gadis yang paling
pantang dikatakan pe-ngecut. Seorang wanita gagah seperti Suma Hui atau ibunya itu lebih
baik mati daripada menjadi pengecut! Maka, mendengar ucapan ayahnya, Suma Hui meloncat
bangun dari tempat duduknya dan memandang kepada Tek Ciang.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
355 "Aku tidak akan mengingkari janjiku. Louw Tek Ciang, kalau engkau memang ada
kepandaian, mari kaurobohkan aku!" Dara itu langsung me-nantang dengan suara geram, dan
dalam kemarah-annya ia tidak menyebut suheng kepada pemuda itu melainkan langsung
menyebut namanya begitu saja. Wajah Tek Ciang berobah merah akan tetapi dia masih pandai
bersikap merendah.
"Aih, sumoi, mana aku berani....?"
"Ucapan seorang gagah tidak akan diingkarinya sendiri. Hui-ji sudah mengucapkan janjinya
dan kini tantangannya. Hayo kalian selesaikan keten-tuan urusan ini di lian-bu-thia!" kata
Suma Kian Lee sambil melangkah menuju ke ruangan silat. Dengan langkah tegap dan muka
merah karena marah Suma Hui melangkah mengikuti ayahnya. Barulah Tek Ciang melangkah
perlahan dengan sikap ragu-ragu dan sungkan-sungkan. Di belakangnya, Kim Hwee Li dan
Ciang Bun juga berjalan memasuki lian-bu-thia.
Ciang Bun yang melihat ayahnya membersih-kan ruangan bermain silat itu, lalu
membantunya. Ruangan itu cukup luas karena memang sengaja dibangun untnk berlatih silat
dan kini Suma Hui sudah berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Setelah mengikatkan
sabuknya lebih erat, dara ini berdiri dengan kedua kaki terpentang dan sikap menantang.
Sebaliknya, Tek Ciang bersikap hati-hati dan ragu-ragu. Dia melepaskan jubah luarnya dan
ternyata di sebelah dalamnya, dia sudah siap de-ngan pakaian ringkas sekali dan dalam
pakaian itu dia nampak gagah dan tampan. Pemuda ini memang pandai berdandan. Tentu saja
diam-diam Ciang Bun mengharapkan encinya akan menang karena dia sendiripun tidak setuju
kalau encinya menjadi isteri orang ini. Akan tetapi, Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li berpikir
lain. Suami isteri ini tahu bahwa selama dua tahun menerima gem-blengan, Tek Ciang telah
memperoleh kemajuan pesat sekali. Anak itu memang berbakat dan cerdik sehingga ilmu-
ilmu dari keluarga Pulau Es dapat diserapnya dan dapat dilatihnya dengan baik. Bahkan dia
telah mempelajari dua ilmu inti dari Pulau Es, yaitu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-
ciang. Walaupun kedua ilmu ini belum dapat dikuasainya dengan baik dan dia masih kurang
latihan, namun dia sudah mampu mempergunakannya dan tenaganya cukup hebat!Tentu saja
suami isteri pendekar ini sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa selain menerima
gemblengan ilmu dari Suma Kian Lee, diam-diam Tek Ciang juga menerima dan mempelajari
ilmu-ilmu dari Jai-hwa Siauw-ok!
Suma Hui tidak mau membuang banyak wak-tu lagi. Begitu melihat Tek Ciang melangkah
ma-suk ke ruangan dan menghampirinya, ia lalu me-ngeluarkan bentakan nyaring, "Lihat
serangan!" dan tubuhnya sudah meluncur maju dan ia sudah mengirim serangan kilat yang
cukup hebat. Melihat datangnya serangan, Tek Ciang cepat mengelak. Akan tetapi, Suma Hui terus
menghu-jankan serangan dan mainkan Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun (Silat Kapas Pencabut
Nyawa). Ilmu silat ini diwarisi Suma Kian Lee dari mendi-ang Lulu, ibunya dan merupakan
ilmu silat yang gerakan-gerakannya halus akan tetapi di balik kehalusan itu mengandung
jurus-jurus mematikan. Tek Ciang sudah mempelajari ilmu silat ini, maka diapun dapat
menghadapinya dan mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis.
Lewat tiga puluh jurus, Tek Ciang hanya menangkis dan mengelak saja tanpa pernah
memba-las. Akan tetapi diam-diam Suma Hui terkejut juga karena tenaga yang ia kerahkan
dengan tenaga sin-kang Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, dapat
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
356 ditangkis oleh pemu-da itu dan ia merasa betapa lengan yang ditangkis menjadi tergetar dan
agak nyeri, tanda bahwa te-naga pemuda tidak kalah kuat olehnya!
Suma Hui merasa penasaran dan iapun mero-bah-robah ilmu silatnya, namun ilmu silat apa
pun yang dikeluarkannya, dapat dihadapi dengan baik oleh Tek Ciang. Hanya kadang-kadang
saja, ka-lau sudah terlampau terdesak, Tek Ciang terpaksa membalas serangan, hanya untuk
membuyarkan desakan Suma Hui saja.
"Tek Ciang, jangan main-main! Balas serang!" Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru, tidak sabar
melihat ulah Tek Ciang yang banyak mengalah itu. Tek Ciang terkejut dan diapun tidak
berani mem-bantah, lalu mulailah dia balas menyerang. Suma Hui melindungi dirinya dan
berusaha membalas, namun ternyata kini gerakan Tek Ciang cepat se-kali sehingga ia tidak
memperoleh waktu untuk membalas. Maka segera ia terdesak hebat oleh pemuda itu.
Agaknya Tek Ciang memang tidak mau menga-lahkan Suma Hui, atau tidak ingin membuat
malu gadis itu. Pemuda ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa Suma Hui masih belum
mau tunduk kepadanya, maka diapun ingin menundukkan hati gadis itu dengan sikap baiknya.
Kalau dia secara langsung mengalahkan gadis itu, mungkin gadis itu akan menjadi semakin
penasaran dan bahkan mungkin akan membencinya. Maka, dia bersikap cerdik dan tidak mau
terlalu mendesak, membiar-kan pertandingan itu berjalan seru dan seimbang. Padahal, kalau
dia mau, tidak terlalu sukar bagi-nya untuk mengalahkan Suma Hui karena selain telah
mewarisi ilmu keluarga gadis ini, juga dia telah digembleng oleh gurunya yang lain, yaitu Jai-
hwa Siauw-ok yang juga lihai sekali. Memang Tek Ciang cerdik. Sikapnya yang banyak
mengalah itu setadaknya telah membuat Suma Kian Lee semakin suka kepadanya. Bahkan
seorang wanita yang amat cerdas seperti Kim Hwee Li juga kena diakali dan kini wanita ini
tidak lagi begitu tidak suka kepada Tek Ciang yang selalu bersikap baik, jujur dan halus.
Apalagi menyaksikan pertandingan ini, diam-diam Kim Hwee Li halus mengakui bahwa Tek
Ciang benar-benar mengalah dan hal ini dianggapnya sebagai tanda cinta pemuda itu kepada
Suma Hui. Ciang Bun sendiri menggigit bibir dan mengepal tinju, mak-lum bahwa tingkat
kepandaian Tek Ciang kini sudah amat hebat, lebih tinggi daripada tingkat kepandaian
encinya dan dia dapat menduga bah-wa tentu encinya akan kalah dan akan terpaksa menjadi
isteri Tek Ciang.
Akan tetapi, tiba-tiba terjadi perobahan dalam perkelahian itu dan Kim Hwee Li
mengeluarkan seruan tertahan. Tiba-tiba Suma Hui merobah gerakannya dan Tek Ciang
nampak terkejut dan bingung, lalu berbalik terdesak! Kiranya kini ga-dis itu memainkan Ilmu
Cui-beng Pat-ciang (De-lapan Pukulan Pengejar Roh)! Ilmu ini adalah ilmu silat istimewa
terdiri dari delapan jurus yang dimiliki Kim Hwee Li dan telah diturunkan kepa-da puterinya.
Tentu saja Tek Ciang belum pernah mempelajari ilmu ini dan tidak mengherankan ka-lau dia
merasa bingung karena ilmu itu, biarpun hanya delapan jurus banyaknya, akan tetapi
meru-pakan ilmu silat tinggi pilihan. Kim Hwee Li memperoleh ilmu silat yang sakti itu dari
mendi-ang Dewa Bongkok dari Gurun Pasir! Apalagi kini dimainkan oleh Suma Hui yang
bersemangat penuh untuk merobohkan lawan. Tek Ciang ter-desak mundur dan hampir saja
terkena pukulan sampai dia terhuyung. Melihat betapa lihainya il-mu silat yang dimainkan
Suma Hui, Tek Ciang ti-dak ingin kalah dan tiba-tiba diapun menggerak-kan tubuh lebih
cepat lagi, tangannya mencengke-ram ke arah leher Suma Hui!
Suma Kian Lee sendiri sampai mengerutkan alisnya. Jurus apa yang dimainkan muridnya
itu" Demikian keji dan tak tahu malu kalau diperguna-kan menyerang lawan wanita. Tangan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
357 kanan Tek Ciang mencengkeram ke arah leher sedangkan ta-ngan kirinya mencengkeram ke
arah dada! Juga Kini Hwee Li terkejut dan heran.
Akan tetapi, Tek Ciang yang tadi tanpa disa-darinya memainkan jurus dari ilmu silat yang
di-pelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, segera tersa-dar ketika Suma Hui mengeluarkan seruan
kaget. Betapa bodohnya dia, pikirnya dan cepat dia me-robah gerakannya, kini menggunakan
jurus dari Ilmu Silat Hong-in Bun-hwat melanjutkan ceng-keramannya menjadi totokan dan
tangan kanan yang tadi mencengkeram ke arah leher digerakkan ke atas dan tahu-tahu tusuk
konde Suma Hui te-lah dapat dicabutnya!
"Hyaaaattt....!" Suma Hui marah sekali dan menendang. Akan tetapi sekali ini Tek Ciang
memperlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mengelak ke belakang menghadapi tendangan itu,
sebaliknya dia malah maju dan memiringkan tubuh, tusuk kondenya dipakai menotok atau
menusuk ke arah lutut yang menendang. Melihat ini, Suma Hui me-nahan tendangannya dan
inilah yang dikehendaki Tek Ciang karena secepat kilat tangan kirinya menyambar ke depan


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan.... sepatu kaki yang menendang itupun copot, terampas oleh tangan kiri Tek Ciang.
Suma Hui terbelalak dan menubruk ke depan, tangan kirinya dikepal menghantam dada
lawan. Tek Ciang yang sudah berhasil merampas tusuk konde dan sepatu, yang berarti
menang mutlak, menyambut pukulan ke dadanya itu sambil terse-nyum dan tidak mengelak
atau menangkis.
"Dukk....!" Tubuh Tek Ciang terjengkang dan ketika dia bangkit kembali, bibirnya berdarah.
Agaknya, biarpun dia telah menggunakan sin--kang untuk menahan pukulan itu, tetap saja
getar-an pukulan membuat dia menderita sedikit luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi dia
tetap tersenyum dan menghampiri Suma Hui sambil berkata, "Eng-kau semakin lihai saja,
sumoi. Maafkan aku!" Dan dia menyerahkan kembali sepatu dan tusuk konde Suma Hui
menerimanya dengan renggutan, lalu mengenakan sepatunya.
"Hui-ji, apakah engkau masih tidak mau mengaku menang?" Suma Kian Lee menegur
pu-terinya. Suma Hui bukan anak kecil, bukan pula bodoh. Sepatu dan tusuk kondenya
terampas la-wan, itu berarti kalah mutlak. Iapun tahu bahwa pukulannya yang mengenai dada
Tek Ciang tadi adalah pukulan yang sengaja diterima pemuda itu untuk "memberi muka"
kepadanya. "Sudahlah, aku mengaku kalah!" katanya de-ngan suara lirih.
"Dan engkau tidak mengingkari janji, mau ber-jodoh dengannya?" ayahnya mendesak.
"Terserah kepada ayah sajalah, aku hanya men-taati ayah." Setelah berkata demikian, tanpa
me-noleh kepada Tek Ciang, Suma Hui lalu lari me-ninggalkan ruangan itu, langsung masuk
ke kamar-nya dan membanting tubuhnya di atas pembaring-annya lalu menangis terisak-isak,
menutupi muka dengan bantal untuk menyembunyikan tangisnya."Enci...." Suara halus Ciang
Bun dan sen-tuhan lembut pada pundaknya membuat Suma Hui semakin terharu dan
tangisnya semakin menggu-guk. Ciang Bun duduk dengan muka pucat dan alis berkerut,
membiarkan encinya menangis sepu-asnya. Setelah encinya dapat menenangkan hatinya,
diapun berbisik.
"Enci Hui, kalau engkau tidak suka menjadi jodohnya, jangan memaksa diri. Tolak saja,
jangan mau!" Ciang Bun berkata penasaran dan merasa kasihan sekali kepada encinya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
358 Suma Hui bangkit duduk dan menarik napas panjang. Setelah isaknya terhenti dan ia dapat
menguasai kembali hatinya, ia berkata, "Adikku, sekali ini tidak mungkin aku mengelak. Mau
tidak mau aku harus mentaati perintah ayah dan rela menjadi isteri Louw Tek Ciang."
"Hemm, mengapa begitu, enci" Apakah alas-anmu?"
"Pertama, sudah banyak aku membikin susah hati ayah dan ibu dan aku tidak mau lagi
mengulanginya. Ke dua, aku tidak mau kalau sampai orang tuaku melanggar janji kepada
keluarga Tek Ciang. Ke tiga, aku sendiri mana sudi menjilat ludah, aku harus berani
mempertanggungjawabkan semuanya dan memenuhi janjiku. Ke empat, aku sudah tidak
mempunyai ikatan hati dengan siapa-pun, engkau tahu betapa benciku sekarang kepada orang
yang pernah kucinta. Ke lima, aku bisa minta bantuan Tek Ciang dalam menghadapi si
keparat Cin Liong karena sekarang ilmu kepan-daiannya sudah memperoleh kemajuan hebat.
Dan ke enam, melihat sikapnya tadi, betapa dia menga-lah, harus diakui bahwa sesungguhnya
Tek Ciang berhati baik."
Ciang Bun mengangguk-angguk. "Terlalu baik, dia itu.... terlalu baik....!"
*** Pesta pernikahan yang diadakan tiga bulan ke-mudian di rumah pendekar Suma Kian Lee di
Thian-cin itu amat meriah. Pestanya sendiri sederhana saja karena keluarga ini bukan keluarga
kaya, akan tetapi karena nama besar pendekar Suma Kian Lee sudah amat terkenal, apalagi
sebagai keturunan keluarga pendekar Pulau Es, maka banyaknya para tamu yang datang
membuat pera-yaan itu menjadi meriah dan megah. Bukan hanya para pendekar di dunia
kang-ouw yang membanjiri perayaan itu di samping para pembesar, akan tetapi bahkan tokoh-
tokoh dunia hitam ada pula yang muncul sebagai tamu karena menghormati keluarga Pulau
Es. Dan sebagian besar yang da-tang itu tidak menanti undangan. Orang kang-ouw yang
mendengar bahwa keluarga Suma mem-punyai kerja, merasa tertarik dan datang begitu saja
sebagai tamu tak diundang! Akan tetapi, Suma Kian Lee sekeluarga menerima kedatangan
semua tamu tanpa pandang bulu, menyambut me-reka dengan sikap hormat dan tidak
membeda-be-dakan.
Perayaan itu menjadi amat meriah karena ke-sempatan itu dipergunakan oleh para pendekar
Pulau Es untuk berkumpul. Bertemulah semua ke-luarga mendiang Pendekar Super Sakti di
rumah Suma Kian Lee di Thian-cin dan tentu saja pertemuan keluarga ini mendatangkan
suasana gembira dan juga terharu. Mereka bergembira karena dapat memperoleh kesempatan
saling bertemu dan berkumpul sekeluarga besar, dan mereka terharu karena mereka bersama
kehilangan orang tua yang mereka hormati dan sayang, yaitu Pendekar Super Sakti dan kedua
orang isterinya yang tewas di Pu-lau Es, hanya disaksikan oleh tiga orang cucu Pen-dekar
Super Sakti, yaitu Suma Hui yang kini me-nikah, Suma Ciang Bun dan Suma Ceng Liong
yang pada kesempatan itu belum juga pulang!
Kakak kandung Suma Kian Bu, yaitu satu-satunya puteri Pendekar Super Sakti yang bernama
Milana, tidak dapat datang. Puteri Milana dan suaminya kini telah menjauhi keramaian dunia
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
359 dan bertapa di puncak Beng-san yang bernama Pun-cak Telaga Warna. Akan tetapi suami
isteri yang tidak lagi mau berurusan dengan keramaian dunia ini telah diwakili oleh putera
kembar mereka, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Seperti telah diceritakan dalam
kisahSuling Emas Dan Naga Siluman , pendekar sakti Gak Bun Beng dan iste-rinya, Puteri
Milana, hanya mempunyai sepasang anak kembar itu. Pada waktu mereka berdua da-tang
berkunjung ke dalam pesta pernikahan Suma Hui, usia mereka sudah kurang lebih tiga puluh
ta-hun, akan tetapi keduanya masih belum menikah! Agaknya ada keistimewaan pada
sepasang pendekar kembar ini, yaitu mereka agaknya tidak rela kalau saudaranya menikah
dengan wanita lain! Padahal, agaknya sukar dilaksanakan kalau mereka harus menikah hanya
seorang isteri saja. Persoalan sepasang pendekar kembar inilah yang membuat suami isteri
Gak Bun Beng menjadi kecewa dan mereka lebih banyak mengasingkan diri di puncak
Gunung Telaga Warna. Adapun dua orang pende-kar kembar itu sendiripun agaknya sudah
putus asa untuk mendapatkan jodoh yang cocok.
Suma Kian Bu dan isterinya juga hadir. Sepasang suami isteri pendekar inipun berada dalam
keadaan yang tidak begitu gembira, bahkan mereka menahan dan menyembunyikan
kegelisahan hati mereka. Sampai sekian lamanya mereka belum herhasil menemukan kembali
putera mereka, yai-tu Suma Ceng Liong, walaupun keduanya sudah mengikuti jejak Hek-i
Mo-ong sampai jauh ke barat dan kemudian kehilangan jejak orang itu di Pegunungan
Himalaya! Suma Kian Bu dan isteri-nya tentu saja merasa heran melihat bahwa Suma Hui
menikah dengan seorang pemuda yang menjadi murid Kian Lee, padahal mereka pernah
melihat huhungan asmara antara Suma Hui dengan Kao Cin Liong yang masih terhitung
keponakan sendiri dari Suma Hui. Akan tetapi tentu saja me-reka menekan keheranan mereka
ini dan tidak be-rani bertanya, takut kalau-kalau menyinggung.
Keluarga Kao Kok Cu tidak muncul. Tentu sa-ja mereka yang juga mendengar tentang
pernikahan itu merasa canggung dan tidak enak untuk muncul setelah pinangan mereka
terhadap diri Suma Hui ditolak, bahkan setelah terjadi keributan dengan adanya tuduhan
bahwa putera mereka, Kao Cin Liong, telah memperkosa Suma Hui. Sejak itu, ada ganjalan
mendalam di antara kedua keluarga ini dan bagaimanapun juga, tidak mungkin Kao Kok Cu
dan isterinya berani datang berkunjung seba-gai tamu.
Di antara para tokoh pendekar yang kenamaan, yang hadir dalam perayaan pernikahan itu,
nampak pula seorang pendekar tua yang gagah perkasa, wajahnya tampan, sikapnya ramah
dan simpatik dan semua orang yang berada di situ memandang ketika rombongan tamu ini
datang memasuki ru-angan. Dia adalah Bu-taihiap, seorang pendekar kenamaan berusia lima
puluh delapan tahun, namun masih nampak gagah, diiringkan tiga orang wanita cantik yang
usianya kurang lebih lima puluh tahun. Tiga orang wanita cantik ini adalah isteri-isteri-nya
dan pendekar bernama Bu Seng Kin itu memang terkenal sebagai seorang pria romantis yang
semenjak muda dicinta banyak wanita dan bahkan mempunyai isteri di mana-mana! Tiga
orang isterinya itupun bukan wanita sembarangan. Yang tertua, berusia lima puluh satu tahun,
adalah seo-rang puteri peranakan Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal, ilmu silat dan
ilmn perangnya cukup hebat dan namanya terkenal sebagai Puteri Nandini. Yang ke dua,
berusia empat puluh delapan tahun, masih nampak cantik manis, adalah seorang wanita
berpakaian nikouw akan tetapi memelihara rambut dan iapun menjadi isteri pende-kar
petualang asmara itu, bernama Ga Cui Bi. Yang ke tiga, mungkin yang paling lihai di antara
tiga orang isteri itu, juga termuda, dua tiga tahun lebih muda daripada nikouw itu, adalah
seorang wanita cantik genit hernama Tan Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi
Pencabut Nyawa).
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
360 Dia sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu silat amat tinggi, jarang dapat ditemukan
tan-dingan, masih ada tiga orang isterinya yang kese-muanya lihai-lihai selalu berada di
sampingnya! Tentu saja jarang ada pihak yang berani mengganggu keluarga jagoan ini.Masih
banyak sekali tamu yang terdiri dari orang-orang kenamaan. Bahkan Kaisar Kian Liong
sendiri mengirim utusan pribadi dan mengirim sumbangan, suatu kehormatan yang besar
sekali! Maka, suasana pesta pernikahan itu menjadi meri-ah, megah dan gembira sekali. Suma
Kian Lee dan isterinya sibuk menyambut dan melayani para ta-mu, menerima ucapan-ucapan
selamat dan mere-ka merasa gembira bukan main. Tak mereka sang-ka bahwa pernikahan
puteri mereka yang diawali dengan hal-hal amat menggelisahkan itu kini da-pat berlangsung
dengan lancar. Suma Hui sendiri-pun tidak banyak rewel, dan memang gadis ini benar-benar
telah menyerahkan kesemuanya ke-pada ayahnya tanpa membantah. Agaknya sudah bulat
tekadnya yang bertujuan satu, ialah, mengajak suaminya untuk membantunya membalas
den-dam dan membunuh Kao Cin Liong kelak! Untuk itu ia siap mengorbankan diri dan hati
dan akan menerima nasib menjadi isteri Louw Tek Ciang! Baginya toh sama saja menjadi
isteri siapapun, hanya pada diri Louw Tek Ciang ia dapat meng-harapkan bantuan
menghadapi Cin Liong. Dan bagaimanapun juga, Tek Ciang adalah suhengnya sendiri dan
sudah dipercaya oleh ayahnya. Ia boleh salah pilih, akan tetapi agaknya ayahnya cu-kup teliti
sehingga tidak akan salah memilihkan suami untuknya. Dengan pikiran ini, Suma Hui dapat
melaksanakan segala upacara pernikahan itu dengan tenang dan diam saja. Tidak nampak
senyum di wajahnya, juga tidak nampakduka. Ia hanya menunduk dan menutup semua panca
inde-ra terhadap hal lain, dan mengikuti upacara secara membuta saja.
Kiranya hanya Ciang Bun seorang yang dapat menyelami hati encinya. Pemuda yang halus
pera-saan ini mengerti sepenuhnya bahwa encinya itu bagaimanapun juga masih mencinta Cin
Liong dan bahwa encinya melaksanakan pernikahan itu de-ngan memaksakan diri. Dia dapat
membayangkan betapa hancur hati encinya dan diam-diam diapun merasa menyesal dan
berjanji dalam hatinya untuk kelak menegur dan membalas dendam kepada Cin Liong yang
dianggapnya tidak bertanggung jawab dan telah menghancurkan kebahagiaan hidup en-cinya.
Perayaan pernikahan itu berjalan lancar sampai selesai. Meriah dan tidak terjadi sesuatu
yangtidak baik, seperti yang sering terjadi dalam perayaan di rumah seorang pendekar.
Agaknya, hadirnya para pendekar gagah membuat kaum pengacau menjadi gentar dan tidak
ada yang berani mencoba-coba. Setelah semua tamu bubaran, Suma Kian Bu dan isterinya
juga berpamit karena mereka hendak kembali ke rumah mereka yang sudah terlalu lama
mereka tinggalkan dalam usaha mereka mencari Ceng Liong. Sepasang pendekar kembar she
Gok juga berpamit dari paman mereka. Tinggallah kini keluarga tuan rumah yang mempunyai
kerja. Se-perti biasa pada semua keluarga yang mempunyai kerja, di waktu pesta terlaksana
tidak terasa apa-apa, akan tetapi begitu pesta selesai, terasalah be-tapa lelahnya badan!
Keluarga itu menyerahkan semua pemberesan perabot-perabot dan pember-sihan tempat
kepada tenaga-tenaga bantuan, dan mereka sendiri sore-sore telah memasuki kamar masing-
masing. Juga sepasang pengantin sudah memasuki kamar mereka.
Malam itu sungguh sunyi setelah pada siang harinya tempat itu demikian meriah dikunjungi
banyak orang. Tidak terdengar suara berisik, bah-kan para tenaga bantuan yang masih bekerja
mem-bersihkan tempat, bekerja dengan hati-hati dan tidak berani berisik. Setelah hari gelap
benar, me-rekapun menghentikan pekerjaan mereka dan me-ngaso di bagian belakang rumah
keluarga Suma itu. Suma Kian Lee dan isterinya telah merebahkan diri beristirahat. Ciang
Bun bergulingan gelisah di atas tempat tidurnya. Tak dapat dia melepas-kan pikirannya dari
membayangkan keadaan enci-nya. Dia menjadi gelisah dan sedih.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
361 Sementara itu, di dalam kamar pengantin sen-diri, sepasang pengantin sudah bertukar
pakaian. Suma Hui duduk termenung di atas kursi. Kamar yang terhias indah itu, dengan bau
semerbak ha-rum kamar pengantin, seperti tidak dirasakannya. Ia merasa seperti ada
kelumpuhan di dalam batinnya, dan kadang-kadang ia tersentak kaget dan memejamkan mata
membayangkan orang yang ju-ga berada di kamar ini, yang kini menjadi suaminya dan yang
harus dilayaninya! Ngeri ia membayangkan semua itu, akan tetapi ia maklum bah-wa
bagaimanapun juga, ia harus taat! Tek Ciang sendiri nampak gugup dan canggung. Pengantin
pria inipun sudan berganti pakaian yang longgar, pakaian dari sutera biru yang membuat dia
nampak tampan. Ketika Tek Ciang menghampirinya dan me-nyentuh pundaknya, Suma Hui merasa tubuhnya
seperti dimasuki ratusan ekor semut yang membu-atnya gemetar dan bulu tengkuknya
meremang. Mengerikan, pikirnya. Akan tetapi ia adalah seo-rang wanita pendekar, seorang
gagah yang tidak akan mengingkari janji. Apapun yang terjadi, ia sudah menyerah dan ia
harus mempertanggung-jawabkan semua itu.
"Hui-moi.... Hui-moi...." terdengar suara Tek Ciang, suara yang kedengaran aneh bagi telinga
Suma Hui. Biasanya, kalau memanggilnya sumoi dan kalau bicara kepadanya, di dalam suara
Tek Ciang mengandung suara halus merayu dan juga perendahan diri. Kini, suara itu selain
me-ngandung rayuan juga kekuasaan! Maka aneh kedengarannya. Namun ia menoleh dan
menjawab lirih, "Ada apakah?"
Tentu saja jawaban ini membuat Tek Ciang menjadi agak gugup. Dia bukan orang yang tidak
biasa berdekatan dengan wanita. Banyak sudah dia mendekati wanita dan berhubungan
dengan wanita, yang dilakukan secara diam-diam selama ini. Akan tetapi, dia harus mengakui
bahwa ber-dekatan dengan Suma Hui ini lain lagi, ada sesuatu yang membuatnya merasa agak
gentar. Tadi, panggilannya sudah jelas maknanya, panggilan se-orang suami untuk isterinya,
seorang pengantin pria kepada mempelainya, yang bernada rayuan, tuntutan atau pembuka
jalan. Akan tetapi, isteri-nya itu langsung bertanya terang-terangan ada keperluan apa, maka
tentu saja dia menjadi canggung.
Diapun membelai tangan Suma Hui yang dipe-gangnya. Tangan yang memiliki jari-jari
tangan kecil runcing dan berkulit halus, akan tetapi agak dingin dan Tek Ciang tahu betapa
berbahayanya jari-jari tangan berkulit halus ini! Suma Hui men-diamkan saja ketika
tangannya dibelai, hanya jan-tungnya berdebar demikian kencangnya sampai kedua
telinganya dapat mendengar detak jantungnya sendiri.
"Moi-moi, engkau tentu lelah. Mari kita mengaso di pembaringan...."
Suma Hui melirik ke arah lilin di atas meja, lalu bangkit berdiri dan berkata lirih seperti
berbisik, "Padamkan dulu lilinnya...."
Tek Ciang tersenyum gembira, melepaskan ta-ngan itu dan menghampiri meja. Sementara
itu, Suma Hui mendahuluinya menuju ke pembaringan dan segera menyingkap kelambu dan
naik ke atas pembaringan yang berbau harum itu. Detak jantungnya makin menghebat. Lilin
padam dan kamar itu hanya remang-remang saja, mendapat se-dikit penerangan yang
menerobos masuk melalui celah-celah atas jendela dari luar. Detak jantung di dalam dada
Suma Hui hampir disusul jerit yang ditahan ketika ia merasa betapa Tek Ciang naik ke atas
pembaringan pula dan merangkulnya, me-nindihnya dan menggelutinya, menciumi seluruh
mukanya, matanya, pipinya, hidungnya dan mengecup bibirnya. Akan tetapi ia tidak
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
362 mengelak, tidak menolak, tidak pula menyambut, hanya di-am saja bergumul dengan perasaan
hatinya sendiri. Hatinya ingin menolak, akan tetapi dengan kekerasan kemauan ia
melumpuhkan keinginan hatinya sendiri dan menyerah saja, bahkan meme-jamkan matanya,
hanya merasakan apa yang di-perbuat oleh Tek Ciang atas dirinya.
"Moi-moi.... ah, Hui-moi.... akhirnya engkau menjadi isteriku.... ah, betapa aku cinta
padamu...." Dengan bisikan tersendat-sendat dan jari-jari tangan gemetar Tek Ciang
menggeluti isterinya.
Tiba-tiba terdengar jerit melengking keluar dari mulut Suma Hui. Tanpa disengaja tangannya
meraba punggung suaminya yang tidak berpakaian lagi itu dan jari tangannya meraba
benjolan daging di punggung kiri. Tonjolan daging sebesar telur burung yang ditumbuhi
rambut! "Engkau....!" Dan iapun menghantamkan tangannya ke arah kepala suaminya!
Tek Ciang kaget setengah mati. Akan tetapi dia masih sempat menggulingkan tubuhnya dari
atas pembaringan sehingga terhindar dari hantaman maut.
"Hui-moi, ada apakah....?"
"Keparat jahanam! Kiranya engkau malah orangnya....?" Suma Hui menjerit sambil
me-nangis dan cepat membereskan kembali pakaiannya yang tadi sudah hampir tertanggal
seluruhnya oleh jari-jari tangan Tek Ciang. Tek Ciang sen-diri dalam kekagetannya cepat
membereskan pa-kaiannya sendiri, lalu menyalakan lilin. Kamar itu menjadi terang kembali
dan Suma Hui meloncat turun dari atas pembaringan, menghadapi suaminya dengan sepasang
mata berapi-api walaupun ada air mata menetes-netes turun.
"Engkau....!" Telunjuknya menuding ke arah muka Tek Ciang yang memandang dengan
mata terbelalak. "Engkaulah orangnya! Jahanam terkutuk, engkaulah orangnya yang telah
memper-kosaku dahulu!" Setelah berkata demikian, dengan kemarahan meluap Suma Hui
menerjang ke depan dan menyerang dengan sekuat tenaganya, meng-hantam ke arah dada Tek
Ciang dengan tanganterbuka. Akan tetapi Tek Ciang mengelak dan meloncat ke belakang.
"Hui-moi, apa yang kaukatakan ini...." Sudah jelas perbuatan terkutuk itu dilakukan oleh Kao
Cin Liong...."
"Tutup mulutmu yang busuk! Baru sekarang aku mengerti! Ternyata engkau adalah seekor
ular busuk yang amat jahat, khianat, curang dan pengecut! Engkaulah yang melakukan
perbuatan terkutuk itu, dan engkau menimpakan kesalahan kepada orang lain! Tak perlu
menyangkal, daging menonjol dan berambut yang tumbuh di punggungmu itulah saksinya."
Suma Hui menyerang lagi dengan sengit."Kau salah sangka...." Tek Ciang membela diri akan
tetapi suaranya gemetar dan lemah ka-rena dia kehabisan akal setelah rahasianya terbuka. Dia
merasa menyesal sekali mengapa di pung-gungnya tumbuh daging jadi itu, dan mengapa pula
sampai Suma Hui mengetahui tentang tonjolan daging itu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa
dahulu ketika dia memperkosa Suma Hui, biarpun gadis itu berada dalam keadaan terbius,
namun Suma Hui masih setengah sadar ketika tangannya bergerak dan jari-jari tangannya
menyentuh punggung yang telanjang dan bertemu dengan tonjolan laging berambut itu. Dia


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyimpan rahasia itu di dalam hatinya. Hanya itulah satu-satunya tanda yang dikenalnya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
363 dari tubuh pemer-kosanya. Sungguh tak pernah dia mengira bahwa yang punggungnya
menonjol itu adalah Tek Ciang!
Suma Hui menyerang dengan beringas dan kini Tek Ciang juga berusaha untuk
menundukkan. Pria ini maklum bahwa rahasianya sudah terbuka dan dia hendak
menundukkan Suma Hui melalui kekerasan. Maka, sambil mengelak diapun balas menyerang
dan sebuah tendangan mengenai paha Suma Hui, membuat wanita ini terguling.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara keras dan daun pintu jebol. Muncullah Suma Kian
Lee dan Kim Hwee Li. Suami isteri ini terkejut sekali mendengar suara gaduh di kamar
pengantin dan ketika mereka keluar dari kamar menghampiri ka-mar pengantin, mereka
mendengar perkelahian itu, bahkan mereka sempat mendengarkan kata-kata Suma Hui yang
terakhir tadi yang membuat mereka terkejut setengah mati. Ketika perkelahian menghebat,
Suma Kian Lee tidak sabar lagi dan sekali dorong robohlah daun pintu.
Mereka melihat Suma Hui baru merangkak -hendak bangkit dan Louw Tek Ciang berdiri
de-ngan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
"Apa yang telah terjadi?" Suma Kian Lee ber-tanya, suaranya marah, penuh selidik.
"Hui-ji, apa artinya kata-katamu tentang pemerkosaan dan daging tumbuh di punggung tadi?"
Kim Hwee Li juga bertanya.
Tendangan tadi tidak mendatangkan luka berat, akan tetapi tetap saja Suma Hui melangkah
dengan terpincang-pincang menghampiri ibunya. Air matanya bercucuran.
"Ibu.... ayah.... dia.... dialah.... iblis terkutuk yang dahulu memperkosaku! Buktinya adalah
tonjolan daging berambut di punggungnya.... dahulu aku mengetahui tanda itu secara tidak
disengaja dan tadi.... tadipun hanya kebetulan saja.... dialah jahanam busuk itu!"
"Aihhhh....!" Kim Hwee Li menjerit.
"Hahhh....?" Suma Kian Lee juga ber-teriak kaget dan dia lalu melangkah maju
meng-hampiri muridnya. Tek Ciang menjadi semakin pucat dan dia sudah melirik ke arah
jendela dan pintu, seperti tikus tersudut hendak mencari jalan keluar untuk melarikan diri.
"Tek Ciang! Apa artinya ini" Benarkah apa yang diceritakan Hui-ji?" Suma Kian Lee
ber-tanya ragu karena dia belum mau percaya begitu saja akan hal yang demikian jauh
berlawanan de-ngan perkiraan dan harapan hatinya.
"Ti.... tidak.... suhu...." Jawab Tek Ciang gugup dan suaranya gemetar.
"Kalau tidak, buka bajumu dan perlihatkan kepada kami apakah benar ada tonjolan daging
jadi di punggungmu!" Kim Hwee Li membentak dan kini wanita yang ccrdik itupun sudah
dapat men-duga dan membayangkan apa yang dahulu telah terjadi. Suma Kian Lee hanya
berdiri terbelalak, sampai tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking hehatnya perasaan
memenuhi hatinya. Ma-rah, heran, ragu-ragu, menyesal dan malu bercam-pur aduk menjadi
satu. Dialah yang setengah memaksakan terikatnya perjodohan antara puteri tunggalnya dan
Tek Ciang, bahkan dia telah mengangkat Tek Ciang menjadi murid utama, mu-rid yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
364 mewarisi ilmu-ilmu keluarga Pulau Es dan kini, ternyata pemuda ini yang telah memper-kosa
Suma Hui! Tentu saja sukar baginya untuk dapat menerima kenyataan ini.
"Ayah, aku sekarang mengerti semuanya!" Suma Hui berteriak lantang. "Ayahnya telah
tewas karena bersama penjahat bayaran bermaksud mem-bunuh Cin Liong, dan penyerangan
itu tentu dilakukan karena mereka ingin menyingkirkan Cin Liong yang dianggap
menghalangi niatnya untuk menarik kita sebagai keluarga. Keparat ini men-dendam kepada
Cin Liong atas kematian ayahnya maka dia merencanakan perbuatan terkutuk itu dengan
mempergunakan nama Cin Liong untuk memfitnah. Cin Liong kita musuhi sedangkan dia
sendiri, si keparat busuk ini, tampil sebagai pahla-wan yang membela nama baik keluarga
kita! Dia memperoleh keuntungan ganda. Dapat membalas dendam kepada Cin Liong dengan
fitnah itu, dapat menguasai diriku, dan dapat mewarisi ilmu keturunan keluarga kita, ayah...."
"Louw Tek Ciang! Jawablah dan coba sangkal semua itu dengan penjelasan yang tepat kalau
memang engkau bukan seorang iblis terkutuk se-perti yang digambarkan oleh Hui-ji!" Suma
Kian Lee membentak dan mukanya berobah merah se-kali.
"Suhu, teecu...." Tek Ciang berkata gagap karena memang apa yang dikatakan Suma Hui itu
tepat sekali, menelanjangi seluruh perbuatannya sehingga dia tidak dapat menyangkal lagi.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara ketawa se-orang laki-laki. "Ha-ha-ha, Tek Ciang, apakah
engkau bukan laki-laki lagi yang tidak berani menghadapi semua ini?"
Mendengar suara yang amat dikenalnya ini, suara Jai-hwa Siauw-ok, gurunya yang lain, guru
rahasia, wajah Tek Ciang menjadi cerah. Da-tangnya bantuan ini sungguh di waktu yang tepat
sekali. Dia mengangkat dadanya dan berkata, "Su-hu, semua itu benar dan setelah sekarang
aku men-jadi suami Hui-moi...."
"Jahanam!" Suma Kian Lee sudah menubruk maju dan melakukan pukulan maut dengan
tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Angin keras yang amat pa-nas menyambar ke depan. Tek Ciang
tentu saja mengenal pukulan ini dan tahu betapa hebat dan berbahayanya serangan gurnnya.
Akan tetapi ka-rena hatinya sudah menjadi besar dengan datang-nya Jai-hwa Siauw-ok,
diapun mengerahkan te-naganya dan sambil mengelak, diapun menangkis, mengerahkan
tenaga sambil membongkokkan tu-huhnya dan ketika lengannya menangkis, terdengar suara
aneh seperti suara katak dari perutnya.
"Desss....!" Tubuh Tek Ciang terhuyung, akan tetapi dengan menggulingkan tubuhnya, dia
dapat meloncat bangkit kembali. Suma Kian Lee terbelalak. Tenaga tangkisan itu tadi cukup
kuat dan bukan dari ilmu keluarganya, melainkan ilmu aneh yang mirip Ilmu Hoa-mo-kang
atau Ilmu Katak Buduk. Memang dugaannya benar. Ketika menangkis tadi, Tek Ciang
mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, untuk menyatakan bahwa
mulai saat itu dia adalah lawan keluarga Suma, pula kalau dia mengeluarkan Hwi-yang Sin-
ciang pula, jelas dia kalah kuat oleh gu-runya.
Kim Hwee Li dan Suma Hui sudah menerjang maju pula, akan tetapi pada saat itu, terdengar
seruan dari luar, "Tek Ciang, keluarlah!"
Tek Ciang menggerakkan tangan, melempar-kan sesuatu ke tengah kamar itu. Terdengar
bunyi ledakan keras dan asap memenuhi kamar. "Awas asap beracun!" teriak Suma Kian Lee
untuk mem-peringatkan anak isterinya dan dia sendiri cepat melompat ke arah jendela dari
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
365 mana tadi dia me-lihat tubuh Tek Ciang berkelebat keluar. Setibanya di luar, dia melihat
pemuda itu telah meloncat ke atas genteng dan di atas wuwungan telah berdiri seorang laki-
laki yang berusia lima puluh tahun lebih, berpakaian indah pesolek dan wajahnya
ganteng."Iblis busuk, jangan lari!" Suma Kian Lee yang kini merasa marah bukan main itu
kembali menye-rang Tek Ciang. Serangannya lebih hebat daripada tadi karena dia
menggunakan kedua tangan menyerang secara beruntun, tangan kanan menge-rahkan tenaga
sakti Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan tangan kiri menghantam dengan pengerahan
tenaga sakti Swat-im Sin-ciang yang amat dingin. Pendekar ini, walaupun belum mam-pu
menggabungkan kedua tenaga yang berlawanan intinya itu, ternyata kini sudah sedemikian
mahir-nya untuk mempergunakannya secara beruntun de-ngan kedua tangan. Tentu saja Tek
Ciang menjadi gentar. Dia maklum akan kehebatan gurunya ini, dan dia sendiri walaupun
sudah mempelajari kedua ilmu mujijat itu, namun latihannya belum matang dan tentu saja dia
belum mampu mempergunakan-nya secara berbareng pada kedua lengannya.
Melihat serangan hebat ditujukan kepada mu-ridnya, Jai-hwa Siauw-ok mendengus dan
berka-ta, "Mana ada murid dibunuh gurunya sendiri?" Dan diapun melangkah maju
menangkis dari kiri sedangkan Tek Ciang menangkis dari kanan.
"Dess! Desss!" Kedua orang itu menangkis dua macam pukulan dan Tek Ciang yang
menang-kis pukulan Swat-im Sin-ciang itu merasa tubuh-nya kedinginan dan dia terhuyung
ke belakang. Akan tetapi, tangkisan Jai-hwa Siauw-ok membuat dia dan Suma Kian Lee
melangkah mundur, tanda bahwa kekuatan mereka berimbang.
"Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan antara guru dan murid?" bentak Suma
Kian Lee, terkejut melihat bahwa orang ini lihai pula.
"Ha-ha, dia muridku, tentu saja kubela dia," kata Jai-hwa Siauw-ok sambil membalas
serangan lawan. Kedua tangannya bergerak, jari-jari tangan terbuka dan terdengar suara
bercicitan ketika jari-jari tangan itu meluncur cepat sekali mendatangkan hawa dingin.
"Cuiiiittt....!" Jari tangan Jai-hwa Siauw-ok kembali menyambar ke arah dada Suma Kian
Lee dan pada saat itu, Tek Ciang juga menyerangnya dengan pukulan Toat-beng Bian-kun!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Su-ma Kian Lee melihat muridnya sendiri berani
menyerangnya dengan pukulan maut. Bahkan me-ngeroyoknya bersama seorang tokoh jahat,
dan menggunakan ilmu keluarga Pulau Es untuk menghantamnya.
"Iblis murtad!" bentaknya dan dia menyambut pukulan Tek Ciang dengan pengerahan tenaga
untuk merobohkan murid itu. Akan tetapi, sambaran jari tangan Jai-hwa Siauw-ok sudah tiba
dan biarpun Kian Lee mengelak dan membatalkan niatnya merobohkan Tek Ciang, melainkan
hanya menangkis serangan pemuda itu, tetap saja jari tangan Jai-hwa Siauw-ok menyerempet
bajunya. "Brettt....!" Dan baju di dada Kian Lee terobek, kulitnya tergurat sehingga terasa perih seperti
tergurat pedang. Dia terkejut dan maklum bahwa itu adalah ilmu yang disebut Kiam-ci (Jari
Pedang) yang amat lihai.
Pada saat itu, Suma Hui dan Kim Hwee Li berlompatan naik ke atas genteng. Ketika Suma
Hui melihat kakek pesolek itu, ia terkejut dan mem-bentak, "Jai-hwa Siauw-ok manusia iblis!
Eng-kau datang mengantar kematian!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
366 Suma Hui sudah menerjang ke depan memban-tu ayahnya, juga Kim Hwee Li yang melihat
bah-wa lawan suaminya seorang lihai, cepat memban-tu suaminya. Kian Lee dan isterinya
terkejut men-dengar bentakan puteri mereka itu. Baru mereka tahu bahwa yaug datang
membantu Tek Ciang adalah datuk sesat yang pernah menculik dan melarikan Suma Hui itu.
Marahlah hati Kian Lee. Kini makin jelas ba-ginya. Kiranya sejak dahulu, Tek Ciang adalah
se-orang yang palsu, dan diam-diam mengelabuhi-nya, dengan sikap pura-pura baik, sehingga
bukan hanya berhasil mempelajari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga malah
berhasil memper-isteri Suma Hui setelah memperkosanya! Berha-sil pula mengadu domba
antara keluarganya dan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir!
"Bedebah!" bentaknya dan dia bersama isteri dan puterinya mengamuk. Melihat keluarga
yang lihai itu sudah keluar semua karena kini nampak pula bayangan Ciang Bun membawa
pedang, Jai-hwa Siauw-ok berseru. "Tek Ciang, mari kita pergi!"
Guru dan murid itu menggerakkan tangan dan terdengar ledakan-ledakan diikuti asap tebal
ketika mereka membanting benda-benda bulat ke atas wuwungan. Di dalam kegelapan asap
tebal ini merekapun menghilang. Kian Lee, Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun berusaha
untuk melaku-kan pengejaran, akan tetapi malam gelap telah menelan dua orang itu.
"Jangan kejar secara terpisah, mereka itu berbahaya." Kian Lee memperingatkan sehingga
de-ngan mengejar berkelompok, mereka tidak berhasil dan akhirnya terpaksa kembali ke
rumah me-reka. Suma Hui menangis dalam rangkulan ibunya. "Uhh, ibu.... aku berdosa besar sekali.... aku
telah memaki, menghina dan membenci Cin Liong.... padahal dia sama sekali tidak berdosa....
ah, ibuuu...." Ingin rasanya Suma Hui menje-rit-jerit ketika ia membayangkan pemuda yang
dicintanya itu. Dapat dibayangkan betapa sakit dan sengsaranya hati Cin Liong dan betapa
sakit pula hati orang tuanya menerima tuduhan yang keji itu. Ibunya hanya dapat merangkul
dan men-ciuminya dengan hati penuh iba.
Suma Kian Lee duduk di atas kursi, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Perasaan
menye-sal yang amat hebat seperti gelombang menyeret-nya, dan di antara celah-celah jari
tangannya ada beberapa tetes air. Terdengar suaranya penuh getaran dan tubuhnya menggigil
ketika dia bicara dari balik kedua telapak tangan yang menutupi mukanya.
"Aku.... aku telah merusak anak sendiri.... aku telah mengkhianati ilmu keluarga sendiri....
aku telah berdosa terhadap keluarga Kao.... ah, orang bodoh macam aku layak mati.... layak
mati....!" Pendekar ini mengeluh panjang dan tubuhnya lalu terguling.
"Ayaaahhh....!" Ciang Bun menubruk dan merangkul sehingga tubuh ayahnya tidak sampai
terguling jatuh. Ternyata pendekar itu telah roboh pingsan saking hebatnya guncangan batin
yang dideritanya.
Kim Hwee Li menjerit dan melepaskan rangkulan pada puterinya, kemudian menubruk
suaminya sambil menangis dan mengguncang-gun-cang pundak suaminya yang pingsan itu.
Setelah dipijat bagian leher dan bawah lengannya, Kian Lee siuman kembali. Melihat dia
rebah di pembaringan ditangisi oleh isterinya dan kedua orang anaknya, pendekar ini sadar
lalu bangkit duduk. Dia memandang kepada Suma Hui yang berlutut di depan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
367 pembaringannya sambil menangis. Meli-hat puterinya ini, tak dapat lagi Suma Kian Lee
menahan hatinya.
"Hui-ji....!" Dia menubruk dan merangkul, mendekap kepala puterinya itu, air matanya
bercucuran. "Hui-ji, kaumaafkan aku...."
"Ayaahh.... ayaahhh....!" Suma Hui juga hanya dapat menangis tersedu-sedu di dada
ayahnya. Suasana sungguh amat mengharukan ketika empat orang anggauta keluarga itu
membi-arkan diri mereka tenggelam dalam kedukaan, pe-nyesalan yang amat mendalam.
Akan tetapi Kim Hwee Li yang pada dasarnya memiliki watak keras itu, dapat lebih dahulu
me-nguasai dirinya dan iapun berkatalah. "Sudahlah, apa gunanya penyesalan yang berlarut-
larut ini" Lebih baik kita melihat apa yang dapat kita laku-kan untuk memperbaiki semua
kesalahan."
"Ayah, yakinkah ayah sekarang bahwa Cin Liong tidak berdosa?" Dengan halus akan tetapi
suaranya membayangkan kesedihan Suma Hui ber-tanya.
Suma Kian Lee mengangguk dan pendekar itu tiba-tiba saja nampak jauh lebih tua daripada
biasanya. "Aku pernah lupa bahwa dia adalah ke-turunan Naga Sakti Gurun Pasir...."
"Dan ayah.... ayah masih berkeberatan ter-hadap hubungan antara kami?" tanya pula Suma
Hui. Suma Kian Lee menarik napas panjang. "Aku bersalah.... tadinya memang kuanggap tidak
baik melakukan ikatan jodoh antara keluarga sen-diri. Aku lupa bahwa urusan jodoh adalah
urusan yang mutlak menyangkut diri kedua orang itu sendiri.... akan tetapi aku telah
menggagalkan segalanya, aku telah merusak kebahagiaanmu. Hui-ji."
"Disesalkanpun tiada gunanya lagi," Suma Hui menyusut air matanya. "Aku tidak patut lagi
mendekatinya. Hidupku hanya untuk dua tujuan kini. Pertama, menemui Cin Liong dan minta
agar dia sudi mengampuni dosaku, dan ke dua, aku belum mau mati sebelum dapat
membunuh si jahanam Louw Tek Ciang!"
"Hemmm, aku sendiri yang akan menanganinya!" kata Suma Kian Lee penuh geram.
"Tidak, ayah. Harus aku sendiri yang membu-nuh jahanam itu!" kata pula Suma Hui.
"Dan aku akan membantumu, enci Hui!" kata Ciang Bun yang juga ikut merasa dendam.
Suma Kian Lee mengangguk. "Kita semua akan maju karena jahanam itu berkawan dengan
tokoh-tokoh sesat yang pandai. Akan tetapi, kepandaian kalian masih belum cukup untuk
menandinginya, maka mulai sekarang, biar kuajar semua ketinggal-an, akan kucurahkan
seluruh waktu dan perhatian-ku untuk mewariskan semua ilmu keluarga kita kepada kalian."
Demikianlah, peristiwa hebat yang menggun-cang keluarga pendekar ini bahkan membuat
ayah dan anak menjadi akrab, dan mulai hari itu, Suma Hui dan Ciang Bun digembleng oleh
ayah mereka secara tekun dan keras. Suma Kian Lee yang me-rasa bersalah kepada dua orang
anaknya karena dia telah mengambil murid dan ahli waris dari luar yang ternyata seorang
penjahat itu, kini hendak menebus kesalahannya dengan menguras seluruh kepandaiannya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
368 untuk diwariskan kepada mereka. Sebaliknya, Suma Hui dan Ciang Bun yang berte-kad untuk
menandingi Tek Ciang, berlatih dengan sungguh-sungouh sehingga dalam waktu dua ta-hun
lebih mereka tidak pernah meninggalkan ru-mah dan tempat latihan!
Segala macam peristiwa yang terjadi dan menimpa diri kita adalah kenyataan-kenyataan yang
tak dapat dirobah lagi dan kesemuanya itu tentu mengandung sebab. Sebab-sebab itupun tidak
akan jauh dari pada diri kita sendiri, dan sumber segala peristiwa yang menimpa diri kita
berada di dalam diri kita sendiri. Menyesalkan peristiwa yang terjadi sungguh tidak ada
gunanya sa-ma sekali, karena penyesalan itu hanya akan men-datangkan duka dan karenanya
pikiran bahkan menjadi keruh dan tidak dapat bekerja dengan ba-ik. Lebih baik kita membuka
mata melihat kenya-taan itu, karena semua peristiwa yang terjadi adalah suatu kenyataan,
suatu fakta. Pengamatan yang mendalam dan terbuka terhadap suatu peristiwa akan
memibuka mata kita, membuat kita waspada dan di dalam setiap peristiwa terkandung
pelajaran kehidupan yang amat berharga.
Hujan yang jatuh tak mungkin ditahan dan di-minta untuk terbang ke atas lagi. Hujan turun
merupakan satu di antara peristiwa-peristiwa yang terjadi, suatu kenyataan yang wajar, tidak
baik tidak buruk. Tidak ada manfaatnya sama sekali kalau kita bermurung atau marah-marah
oleh turunnya hujan karena kita merasa dirugikan. Juga berbahaya kalau sebaliknya kita
bersenang-senang melampaui batas karena kita merasa diuntungkan oleh turunnya hujan itu
karena segala macam kesenangan setiap saat bisa saja berobah menjadi kedukaan. Para petani
yang merasa diuntungkan oleh turunnya hujan tidak akan bersenang hati saja, melainkan
waspada menjaga agar jangan sam-pai air hujan itu terlalu membanjiri sawahnya sehingga
bahkan merusak jadinya. Anak-anak yang bergembira dan bermain dalam hujanpun harus
diamati dengan waspada, jangan sampai mereka menjadi kedinginan bahkan sebaliknya lalu
menjadi sakit. Jadi, dalam setiap peristiwa tentu ter-kandung segi baik buruknya, kalau kita
sudah membiarkan diri terseret dalam perhitungan untung rugi. Lalu apa yang kita lakukan
menghadapi setiap peristiwa, setiap kenyataan" Apakah lalu berdiam diri saja, masa bodoh
dan tidak perduli" Sama sekali tidak bijaksana kalau begitu! Alangk-ah baiknya kalau dalam
menghadapi setiap peris-wa yang menimpa diri, kita bersikap waspada, membuka mata dan
menghadapi kenyataan tanpa dipengaruhi untung rugi. Misalnya hujan turun di waktu kita
hendak keluar. Perlu apa mengeluh" Yang penting, akal budi kita pergunakan untuk
mengatasi halangan itu, menggunakan payung, kendaraan, atau berteduh. Tindakan ini yang
pen-ting, bukan keluhan. Keluhan muncul kalau pikir-an kita sibuk menimbang-nimbang
untung rugi. Dan ini tidak ada manfaatnya sedikit juga. Demi-kian pula, seperti peristiwa
hujan turun, dalam menghadapi segala peristiwa apapun dalam hidup, kewaspadaan dan
pengamatan yang mendalam akan menciptakan tindakan-tindakan yang tepat!
*** Kao Cin Liong bukan hanya seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan
tetapi juga sudah digembleng oleh banyak pengalaman, baik dalam kehidupannya sebagai
seorang pendekar yang berkecimpung di dunia kang-ouw maupun sebagai seorang panglima
muda yang berke-cimpung di dalam kancah-kancah peperangan. Semua pengalaman pahit
dalam hidupnya menbu-at pemuda ini matang dan dia dapat menghadapi segala peristiwa


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tenang. Akan tetapi, ke-tika pemuda yang kini usianya sudah tiga puluh dua tahun itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
369 pulang dari tugasnya membebaskan Tibet dari pasukan Nepal, bahkan kemudian dia
menyerang Nepal dan berhasil menundukkan ne-gara ini sehingga Kerajaan Nepal terpaksa
harus mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng yang kuat itu, dia menghadapi hal yang
membuatnya tertegun. Setelah kembali ke kota raja dan menerima hadiah dan anugerah
Kaisar Kian Liong yang memuji-mujinya, Jenderal Kao Cin Liong lalu berpamit meminta cuti
untuk menengok orang tuanya di utara. Akan tetapi, begitu dia memasuki rumah-nya dan
menghadap ayah bundanya, jenderal muda itu tertegun melihat sikap ayah bundanya terhadap
dirinya. Ayahnya memandang dengan mata mencorong sedangkan ibunya menyambutnya
dengan mata merah dan basah! Cin Liong dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu
yang hebat, maka cepat dia menjatuhkan diri berlutut depan kedua orang tuanya yang duduk
di kursi panjang.
"Ayah, ibu, aku datang membawa berita kemenangan dan berhasilnya tugas yang kupikul.
Akan tetapi, mengapa ayah dan ibu nampak marah dan duka" Harap ayah dan ibu suka
mengampunkan kalau aku membuat kesalahan, dan harap memberitahu kesalahan apa
gerangan yang telah kulakukan?"
"Cin Liong, karena ulahmu, atau setidaknya karena engkaulah maka kami berdua, ayah
bundamu menerima penghinaan dan makian orang," kata Kok Cu. Pendekar ini sudah hampir
enam puluh tahun usianya, namun masih nampak gagah perkasa dan buntungnya sebelah
lengannya sama sekali tidak membayangkan kelemahan, bahkan menambah kegagahannya,
kegagahan yang aneh. Sikapnya tenang dan serius, sepasang matanya mencorong seperti mata
naga sehingga patutlah kalau dia dikenal sebagai Naga Saktin Gurun Pasir. Di sampingnya
duduk isterinya, Wan Ceng yang kini sudah berusia lima puluh tiga tahun. Nenek yang
biasanya gembira itu nampak muram dan ketika ia memandang kepada putera-nya, hampir ia
tidak dapat menahan air matanya.
Tentu saja Cin Liong merasa terkejut sekali mendengar teguran ayahnya itu. Akan tetapi
seba-gai seorang yang sudah matang dan berpengalaman, dia tetap tenarg. Dia lalu bangkit
duduk menghadapi ayah bundanya, dan sambil memandang kepada mereka bergantian dengan
sinar mata penuh selidik, diapun bertanya. "Ayah dan ibu, apakah yang telah terjadi" Harap
suka segera memberitahu kepadaku."
Wan Ceng yang tetap tidak mau percaya akan kesalahan puteranya, segera mendahului
suaminya. "Liong-ji, kami telah pergi ke Thian-cin...."
"Ahh....!" Cin Liong teringat akan urusannya dengan Suma Hui dan tentang permintaannya
kepada ayah bundanya untuk mengajukan pinangan. "Lalu bagaimana, ibu?"
"Kami tiba di Thian-cin, berhasil menemui paman Suma Kian Lee dan keluarganya, dan
kami telah mengajukan pinangan terhadap diri Suma Hui seperti yang kauminta." Wan Ceng
berhenti karena suaminya memotong.
"Pinangan yang janggal karena masih keluarga, dan menurut hitungan, kita kalah tua lagi,
dan ber-akhir dengan aneh dan memalukan pula."
"Ibu, apakah yang terjadi selanjutnya?"
"Singkatnya, pinangan kita ditolak, bahkan kami berdua dihina dan dimaki!" kata Wan Ceng
cemas. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
370 Cin Liong bangkit berdiri dan mengepal tinju, alisnya berkerut. "Ah, sungguh tidak pantas!
Mereka boleh saja menolak pinangan, akan tetapi mengapa harus memakai penghinaan dan
makian" Sungguh tidak patut, apakah mereka itu begitu tinggi hati karena merasa sebagai
keluarga Pulau Es?"
"Cin Liong, lupakah engkau bahwa segala macam penilaian adalah palsu karena penilaian
didasari pendapat sendiri yang muncul dari perhitungan untung rugi" Dapatkah kita menilai
orang dari keadaan luarnya" Memang, menolak pinangan sambil marah-marah tidak patut
sekali, akan tetapi engkau harus menyadari bahwa setiap sikap dan perbuatan itu tentu ada
sebab-sebabnya! Jadi, tanpa mengetahui sebab-sebabnya, kita sama sekali tidak berhak
menilai sikap atau perbuatan orang lain!"
"Maaf, ayah. Aku terbawa oleh perasaan penasaran mendengar betapa ayah dan ibu sudah
ditolak pinangannya masih juga dihina dan dimaki. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi,
ayah" Mengapa keluarga Suma marah-marah kepada kita?"
"Nah, begitu lebih tepat. Setiap menghadapi persoalan, amatilah diri sendiri dan cari tahu
mengapa demikian, cari sebab-sebabnya sehingga kita tidak hanya berbuat menuruti perasaan
hati dan nafsu belaka. Ketahuilah, Cin Liong, ketika kami mengajukan pinangan, paman
Suma Kian Lee dan isterinya menolak. Bukan hanya itu, bahkan Suma Hui dengan lantang
mengatakan bahwa eng-kau telah memperkosanya!?"Ahhh....!" Cin Liong terbelalak kaget
dan untuk kedua kalinya dia bangkit berdiri, seka-li ini dengan muka menjadi pucat dan
pandang mata penuh keheranan.
"Kami tidak pernah meragukan dirimu, anakku," kata Wan Ceng. "Tentu saja kami tidak
percaya dan hampir terjadi kesalahpahaman. Akan tetapi, kiranya tidak mungkin pula kalau
Suma Hui meng-ada-ada hendak menjatuhkan fitnah kepadamu. Sebetulnya ada apakah antara
engkau dan Suma Hui?"
Cin Liong sudah terduduk kembali dan menu-tupi muka dengan kedua tangannya, mulutnya
menggumam heran, "Diperkosa.... dan.... dan aku yang memperkosanya" Ya Tuhan, apa
arti-nya semua ini" Ibu dan ayah, aku tidak perlu bersumpah kiranya bahwa aku tidak pernah
melakukan perbuatan keji itu. Tidak kepada Suma Hui dan tidak pula kepada siapapun juga.
Melihat penjahat memperkosa wanita, aku akan turun tangan membunuhnya. Kalau aku
sendiri yang melakukan perbuatan keji itu, tentu aku akan membunuh diriku sendiri. Tidak,
aku tidak pernah melakukan itu. Dan sekarang baru aku mengerti, kira-nya ada hubungannya
dengan itu maka sikap Suma Hui dahulu itu demikian aneh."
"Apa yang kaumaksudkan?" tanya ibunya.
"Seperti pernah kuceritakan kepada
Golok Halilintar 10 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Istana Pulau Es 10
^