Kisah Para Pendekar Pulau Es 2

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


ri ini. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
29 "Tidak pantas menyerang orang yang tidak mau melawan!" kata nenek itu yang sejak tadi
sudah menyaksikan perkelahian itu. Ternyata diam-di-am nenek ini sudah bersiap-siap pula,
pedang payungnya sudah dipersiapkan dan ketika ia men-dengar suara tidak wajar di luar
istana, ia mening-galkan suaminya dan peti jenazah madunya. Ia melihat betapa seorang pria
yang sudah luka-luka berkelahi dengan cucunya dan melihat bahwa pria itu sama sekali tidak
mau membalas menyerang, juga bahwa pria itu sudah luka-luka dan memiliki dasar gerakan
yang luar biasa lihainya! Mula-mula ia terkejut dan curiga, membiarkan saja cucunya
menyerang terus. Akan tetapi setelah me-lihat pria itu terluka oleh pedang cucunya dan tetap
pria itu tidak mau membalas, bahkan teran-cam bahaya maut, ia lalu turun tangan mencegah
cucunya melakukan pembunuhan. Merobohkan lawan dalam usaha membela diri, atau
merobohkan lawan untuk membasmi kejahatan dan membela kebenaran, memang menjadi
tugas seorang pende-kar. Akan tetapi, merobohkan lawan yang tidak melawan, apalagi belum
diketahui dengan pasti apakah orang itu bersalah, merupakan pembunuh-an yang kejam dan
jahat! Itulah sebabnya maka ia turun tangan mencegah Suma Hui yang kini me-mandang
kepada neneknya dengan heran dan penasaran.
"Akan tetapi.... dia tentu seorang di antara mereka yang telah membunuh nenek Lulu!" kata
Suma Hui, dan duaorang adiknya yang sejak tadi sudah berada di sita pula, bersikap
membenarkan enci mereka.
Akan tetapi tiba-tiba pria itu berseru dengan napas terengah-engah penuh ketegangan hati,
"Nenek Lulu.... terbunuh...." Ah, dan ini.... ini benarkah ini Pulau Es dan istananya?"
Nenek Nirahai sekali bergerak telah berada di depan pria itu, memandang tajam dan
membentak, "Siapakah engkau...." Di sini benar Pulau Es dan kami keluarga penghuninya."
Akan tetapi, pria itu mendadak mengeluh de-ngan lemas dan tubuhnya terkulai, roboh
pingsan. Melihat itu nenek Nirahai menjadi curiga. Ia lalu menyuruh dua orang pelayan untuk
menggotong pria yang pingsan itu dan membawanya masuk ke ruangan depan di mana
Pendekar Super Sakti masih duduk bersila di dekat peti jenazah.
"Siapa dia" Apa yang terjadi?" tanya Pende-kar Super Sakti dengan suara lembut dan sikap
te-nang. Agaknya, tidak ada apapun di dunia ini yang akan dapat mengguncang ketenangan
hati pende-kar ini. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini baginya tidak ada yang aneh,
melainkan merupa-kan hal-hal yang wajar saja.
Dengan singkat nenek Nirahai menceritakan bahwa orang ini muncul seorang diri di malam
hari sehingga menimbulkan kecurigaan hati Suma Hui yang menyerangnya, akan tetapi orang
itu sama sekali tidak mau membalas.
"Kulihat gerakannya mengandung dasar kepandaian tinggi, dan dia datang dengan luka-luka
di tubuhnya. Kemudian, mendengar disebutnya nama adik Lulu oleh Hui-cu, dia terkejut lalu
pingsan." Pendekar Super Sakti lalu mernbantu isterinya mengobati luka-luka yang diderita oleh pria
itu dan ternyata bahwa luka-luka itu tidaklah terlalu parah. Apalagi mereka memperoleh
kenyataan yang mengejutkan bahwa pria itu memang memi-liki tenaga sin-kang yang kuat,
yang timbul tanpa disadarinya dalam pingsan ketika kakek pendekar ini bersama isterinya
mengobatinya. Mereka semua memandang dengan penuh perhatian, terutama sekali Suma
Hui yang ingin sekali tahu siapa ada-nya orang yang terus mengalah terhadapnya ini, yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
30 diam-diam harus diakuinya kelihaiannya. Dan melihat wajah di bawah sinar terang, dara ini
merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Wajah seorang laki-laki muda yang gagah sekali!
Wajah yang bundar bersih, di bawah telinga kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil dan bentuk
hidung serta mulutnya juga membayangkan kelembutan di balik kegagahannya.
Setelah memperoleh perawatan suami isteri yang sakti itu, pemuda itu siuman kembali dan
membuka matanya. Melihat betapa dia rebah di lantai, di dekat seorang kakek tua renta yang
pan-dang matanya lembut sekali, dan nenek yang dia ingat telah dijumpainya, dia terkejut dan
teringat lagi. Cepat dia menoleh ke kanan kiri, melihat Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong,
juga peti jenazah. Dia terbelalak memandang peti jenazah, kemudian menoleh ke arah kakek
tua renta itu, pan-dang matanya menurun ke arah kaki kiri yang bun-tung, dan pemuda itu lalu
bangkit duduk dan se-ketika berlutut di depan Pendekar Super Sakti.
"Harap ampunkan saya, akan tetapi bukan-kah ji-wi locianpwe ini adalah Pendekar Super
Sakti Suma Han, tocu dari Pulau Es bersama lo-cianpwe Puteri Nirahai, dan yang berada di
dalam peti jenazah itu adalah locianpwe Puteri Lulu?" Suaranya agak gemetar penuh
perasaan. Suma Han mengelus jenggotnya yang putih se-perti benang-benang perak. "Benar. Orang
muda, engkau siapakah?"
"Kong-couw (kakek buyut).... ahh, saya datang terlambat....!" Dan pemuda itu lalu ma-ju
berlutut di depan meja sembahyang sambil menangis. "Ampunkan saya.... ah, saya telah
terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan nya-wa nenek buyut....!"
Suma Han berkata halus namun penuh wibawa, "Simpan air matamu kalau benar engkau
adalah cucu buyut kami! Siapakah engkau, wahai orang muda yang gagah perkasa?"
"Nama saya Kao Cin Liong. Tentu kong-couw tahu kalau saya beritahukan bahwa ayah saya
ada-lah Kao Kok Cu dan ibu saya adalah Wan Ceng...."
"Aihh....!" Nenek Nirahai berseru kaget dan juga girang, lalu merangkul pemuda itu.
"Kiranya engkau adalah putera Ceng Ceng! Hui, Ciang Bun, Ceng Liong, dia ini adalah masih
keponakan kalian sendiri!"
Tentu saja tiga orang muda itu memandang he-ran dan terutama sekali Suma Hui menjadi
terke-jut, memandang kepada pria yang gagah itu de-ngan mata terbuka lebar-lebar. "Dia....
dia keponakanku....?" katanya tergagap, tidak per-caya.
"Dengarlah, akan kujelaskan kepada kalian." Nenek itu lalu menceritakan dengan singkat
hubungan antara pemuda yang baru tiba itu dengan keluarga Pulau Es. "Mendiang nenekmu
Lulu, se-belum menjadi isteri kakekmu, adalah seorang janda yang mempunyai seorang
putera bernama Wan Keng In. Orang she Wan ini kemudian mempunyai seorang puteri yang
diberi nama Wan Ceng. Jadi, Wan Ceng itu dengan kalian merupakan sau-dara-saudara misan
tiri, dan karena Kao Cin Liong ini putera Wan Ceng, maka berarti dia adalah ma-sih
keponakan luar kalian sendiri." Kemudian ne-nek itu memandang kepada Kao Cin Liong dan
berkata, "Cin Liong, perkenalkanlah, mereka ini adalah bibimu dan paman-pamanmu. Suma
Hui dan Suma Ciang Bun ini adalah putera-puteri dari paman kakekmu Suma Kian Lee,
sedangkan Suma Ceng Liong ini adalah putera paman kakekmu Suma Kian Bu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
31 Sejak tadi Cin Liong menatap wajah Suma Hui yang masih terbelalak memandangnya, dan
dia-pun cepat menjura dengan hormat, "Bibi, dan ke-dua paman kecil, harap maafkan
kelancangan saya tadi."
Suma Hui dan kedua orang adiknya membalas penghormatan itu, dan Suma Hui menjawab
gagap, tidak seperti biasanya yang selalu lincah, "Ah, tidak.... sayalah yang minta maaf...."
"Kao Cin Liong, ceritakanlah keadaanmu, kea-daan orang tuamu, dan bagaimana engkau bisa
sampai di Pulau Es dau mengapa engkau luka-luka dan apa pula artinya engkau mengatakan
terlambat tadi." Kakek Suma Han bertanya dengan suaranya yang halus dan tenang. Semua
orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan semua mata ditujukan kepada pemuda yang
ganteng dan gagah perkasa ini. Kao Cin Liong menarik napas panjang dan memejamkan
matanya sebentar. Demikian banyaknya peristiwa yang dialaminya sehingga dia harus
bercerita panjang. Diapun mulai bercerita.
*** Siapakah pemuda yang bernama Kao Cin Liong ini" Para pembaca ceritaSuling Emas dan
Naga Siluman tentu telah mengenalnya dengan baik. Se-perti telah diceritakan oleh nenek
Nirahai tadi, pe-muda ini adalah putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng. Dan Kao
Kok Cu adalah seorang pendekar sakti yang hebat, seorang pendekar yang ditakuti semua
orang kang-ouw dengan julukan-nya Naga Sakti Gurun Pasir! Kao Kok Cu adalah putera
mendiang Jenderal Kao yang namanya dikenal oleh seluruh pasukan dan rakyat sebagai
seo-rang jenderal besar yang gagah perkasa dan bijak-sana.
Kao Cin Liong sendiri, sejak muda sekali, sejak berusia tujuh belas tahun, telah membuat
nama be-sar dan menjadi jenderal muda di kota raja! Jen-deral Muda Kao Cin Liong ini
semakin terkenal ketika beberapa kali dia berhasil menundukkan dan membasmi para
pemberontak di barat. Agaknya pemuda ini meniru jejak kakeknya, yaitu Jenderal Kao Liang,
dan ingin menjadi seorang jenderal yang baik. Selain berkedudukan tinggi dan mem-peroleh
kepercayaan Kaisar Kian Liong, juga jen-deral muda ini memiliki ilmu silat yang hebat. Dia
digembleng oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja kepandaiannya hebat.
Akan tetapi, ada suatu hal yang patut disayang-kan. Sepuluh tahun yang lalu, jenderal muda
ini jatuh cinta kepada seorang dara perkasa yang ber-nama Bu Ci Sian (bacaKisah Suling
Emas dan Naga Siluman ), namun cintanya bertepuk tangan sebelah. Sebagai seorang
pendekar yang gagah, dia menyadari keadaan ini. Dia mengalah dan mundur, akan tetapi
dengan hati nelangsa dan sejak itu, dia menjauhi wanita. Ayah bundanya sudah berkali-kali
mendesaknya agar dia suka memilih seorang calon isteri, atau mau dicarikan jodoh oleh orang
tuanya, namun Cin Liong selalu menolak. Sampai sekarang, dalam usia dua puluh sembilan
tahun dan telah memiliki kedudukan tinggi, Kao Cin Liong masih belum juga menikah,
bahkan tidak mempu-nyai seorang selirpun. Padahal, pada umumnya, orang yang memiliki
kedudukan setinggi dia itu, andaikata belum menikah juga, tentu setidaknya sudah
mempunyai lima enam orang selir muda yang cantik-cantik! Akan tetapi, biarpun dia
memiliki kedudukan tinggi sebagai seorang jende-ral, namun jiwanya tetap adalah jiwa
seorang pendekar yang tidak menyukai adanya kepincangan--kepincangan dan ketidakadilan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
32 Cin Liong tinggal seorang diri di sebuah ge-dung yang megah di kota raja, dengan beberapa
orang pelayan yang bertugas merawat gedungnya. Dia sendiri jarang berada di kota raja, lebih
sering dia melakukan pengamatan dan pemeriksaan terhadap kesatuan-kesatuan yang bertugas
di luar kota raja, dan jenderal muda ini banyak membantu usa-ha Kaisar Kian Liong untuk
memberantas korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Banyak sudah para
pejabat, terutama di kalangan ketentaraan, yang dipecat dan dituntut oleh Jen-deral Muda Kao
Cin Liong sehingga namanya ma-kin ditakuti dan disegani. Dia demikian sibuk dengan
pekerjaannya sehingga jarang dia berkunjung ke tempat tinggal ayah bundanya yang
mendiami Istana Gurun Pasir, jauh di utara, di dekat perba-tasan utara.
Kesempatan berkunjung itu tiba ketika dia memperoleh tugas baru. Pada waktu itu Kaisar
Kian Liong sudah menduduki tahta selama lima ta-hun dan sejak hari pertama menjadi kaisar,
Kaisar Kian Liong bergerak melakukan pembersihan dan perbaikan-perbaikan. Akan tetapi,
muncullah gangguan berupa pemberontakan di perbatasan barat dan ada berita pula bahwa di
utara, di luar Tembok Besar, juga terjadi pergerakan-pergerakan. Karena itu, Jenderal Kao
Cin Liong mendapatkan tugas untuk melakukan penyelidikan. Jende-ral muda ini lalu
berangkat sendiri, ingin melaku-kan penyelidikan sendiri sebelum mengambil ke-putusan
mengirim bala tentara untuk melakukan pembersihan.
Berangkatlah dia ke utara, karena dia ingin menyelidiki ke utara lebih dulu sambil
mengunjungi orang tuanya, baru kemudian berangkat ke barat. Dengan menunggang seekor
kuda yang baik, Cin Liong melakukan perjalanan cepat ke utara. Dia memakai pakaian biasa,
karena lebih leluasa bagi-nya untuk melakukan penyelidikan kalau dia men-jadi orang biasa.
Tanpa halangan suatupun, pada suatu pagi dia tiba di benteng lama di perbatasan utara.
Benteng ini telah tua dan rusak, tidak lagi dipakai karena kini pasukan pemerintah telah
membangun sebuah benteng baru yang kokoh kuat, di tempat yang lebih baik dan tepat untuk
meng-hadang masuknya pasukan musuh dari luar. Kare-na malam telah tiba dan perjalanan
dari benteng kuno itu menuju ke Istana Gurun Pasir masih me-makan waktu setengah hari,
maka Cin Liong ber-henti dan mengambil keputusan untuk bermalam di dalam benteng tua
itu. Dia menambatkan kuda-nya di luar, mencarikan rumput untuk kudanya, kemudian dia
memasuki bangunan kecil bekas tempat penjagaan di luar benteng itu dan membuat api
unggun dari kayu bekas bangunan rusak. Dikelu-arkannya ransum bawaannya, yaitu roti
kering dan daging kering, dimakannya makanan sederhana ini dengan sebotol arak ringan.
Tiba-tiba Cin Liong menghentikan gerakan mulutnya yang mengunyah makanan. Telinganya
mendengar derap kaki kuda yang lemah karena ke-lelahan. Ada tiga orang penunggang kuda
menuju ke benteng tua itu. Tentu pedagang-pedagang yang kemalaman, pikirnya. Derap kaki
kuda mere-ka menunjukkan bahwa mereka telah melakukan perjalanan jauh dan kuda mereka
telah lelah. Ter-nyata tiga orang penunggang kuda itu berhenti di depan bangunan kecil itu
pula dan terdengar suara mereka ketika mereka turun dari punggung kuda.
"Eh, ada kuda!"
"Hemm, kuda bagus!"
"Tentu orangnya di dalam. Nah, itu ada asap api unggun."
"Wah, bau arak pula!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
33 Pintu bangunan kecil itu mereka dorong dan Cin Liong masih duduk menghadapi api unggun
dan makan dengan tenang ketika mereka bertiga itu memasuki ruangan yang kotor itu. Tiga
orang kasar yang bertubuh tinggi besar, pakaian mereka-pun penuh debu dan wajah mereka
yang ke-hitaman karena banyak terbakar matahari itu nampak bahwa mereka sudah biasa
dengan keke-rasan dan kekasaran.
"Wah, orang muda yang tampan, sungguh bera-ni berada seorang diri di tempat seperti ini!"
"Dan makan minum tanpa menawarkannya kepada kita yang lapar dan haus!"
Mendengar ucapan kedua orang itu, Cin Liong menjawab, "Kalau kalian lapar dan haus, mari
ikutlah makan minum seadanya."
Akan tetapi orang ke tiga, yang matanya buta sebelah, yaitu tinggal mata kanan saja yang
ting-gal, melangkah maju dan menghardik, "Orang muda, jangan berlagak! Hayo
kautanggalkan semua pakaian itu dari tubuhmu, kemudian pergi dari sini, tinggalkan pakaian,
buntalan dan kuda, dan jangan banyak cerewet lagi!"
Cin Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bah-wa orang ini tidak bergurau, dan kini dua
orang yang lain sudah pula menyeringai dan tangan me-reka mengusap gagang golok. Sialan,
pikirnya, bertemu dengan perampok-perampok rendah.
Dia melanjutkan minum araknya dari botol. Setelah menelan roti dan arak yang berada di
dalam mulutnya, dia meletakkan botol arak di depan-nya, menambah kayu pada api unggun
lalu berkata tenang, "Hemm, kiranya kalian hanya perampok-perampok kecil yang hendak
merampok seorang kelana yang kemalaman di sini."
"Bocah setan! Kau menghina! Kami bukan perampok-perampok kecil, kami bergerak di
bi-dang yang lebih besar. Awas mulutmu!"
"Kalau bukan perampok, mengapa hendak me-rampok aku?"
"Ha-ha-ha, kami sedang bergembira. Kami tidak mau membunuhmu, hanya menukar nyawa
dan badanmu dengan semua pakaian dan kuda yang kaumiliki. Hayo, cepat lakukan
perintahku atau engkau akan menjadi pengiring arwah keluar-ga Pulau Es, ha-ha-ha!"
Tentu saja Cin Liong terkejut dan heran sekali mendengar disebutnya keluarga Pulau Es.
"Hemm, apa maksudmu membawa-bawa nama keluarga Pulau Es dalam urusan ini?"
tanyanya, sikapnya tetap tenang.
"Ha-ha-ha, itulah mengapa kami bergembira dan hendak merayakannya malam ini! Kami
akan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Gurun Pasir, dan semua tokoh
pendekar akan ka-mi basmi, dan kami akan merajai dunia kembali, akan bebas dari gangguan
mereka. Ha-ha-ha!"
Cin Liong menjadi semakin heran, akan tetapi dia mengira bahwa tentu orang-orang ini
sudah mabok, maka diapun lalu berkata sebal, "Sudah-lah, kalian ini agaknya orang-orang
gila. Pergilah dan jangan menggangguku lagi!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
34 "Hei, bocah lancang mulut! Berani kau mema-ki kami gila" Engkau sudah bosan hidup, ya?"
Seorang di antara mereka sudah mencabut golok dan menerjang maju, mengayun goloknya ke
arah leher Cin Liong yaug masih duduk menghadapi api. Diam-diam Cin Liong menjadi
marah sekali. Sungguh orang-orang ini kejam luar biasa, begitu saja hendak membunuhnya
tanpa sebab sama seka-li. Orang macam ini merupakan penyakit dalam masyarakat dan tentu
akan selalu mendatangkan bencana kalau tidak dibasmi atau setidakmya diberi hajaran keras.
Cin Liong menggerakkan tangannya. Sepotong kayu meluncur dan menghantam pergelangan
ta-ngan. "Takk! Aduh....!" Biarpun orang itu kuat, namun hantaman kayu itu bukan hantaman
bi-asa, melainkan totokan yang tepat mengenai jalan darah sehingga tangannya seketika terasa
lumpuh dan golok itupun terlepas. Dan sebelum orang itu dapat menyingkir, tangan kiri Cin
Liong bergerak ke depan.
"Desss!" Orang itu kena dijotos perutnya dan tubuhnya terlempar ke belakang, menabrak
din-ding dan diapun terbanting roboh tak bergerak lagi. Semaput!
Orang ke dua yang melihat betapa kawannya roboh dalam segebrakan saja, menjadi terkejut
dan marah sekali. "Keparat, berani engkau memukul kawanku?" bentaknya dan diapun sudah
menca-but golok, mengeluarkan bentakan nyaring dan meloncat ke depan, goloknya terayun
dan memba-bat dengan kecepatan kilat dan kekuatan besar ke arah tubuh Cin Liong. Akan
tetapi, kembali tangan kiri Cin Liong bergerak dan segenggam pasir me-luncur dan
menyambar muka orang itu.
"Eh! Oh! Aughh....!" Orang itu gelagapan karena matanya penuh pasir, pedih dan gelap
sehingga bacokannya ngawur dan dengan mudah Cin Liong mengelak tanpa pindah dari
tempat duduknya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung le-wat, kaki Cin Liong terangkat
"menyentuh" sela-kangnya, perlahan saja. Akan tetapi akibatnya he-bat karena orang itu
terpelanting, mengaduh-aduh dan berkelojotan, kedua tangannya mendekap se-langkangan
dan bergulingan seperti ayam disem-belih, kemudian kejang dan semaput pula!
Melihat ini, agaknya si mata satu baru sadar bahwa pemuda yang masih tetap duduk di depan
api unggun itu adalah seorang yang memiliki ke-pandaian tinggi. Dia dan dua orang
kawannya bu-kan orang sembarangan dan sudah banyak malang melintang di dunia hitam,
akan tetapi dua orang kawannya itu roboh segebrakan saja oleh pemuda yang sejak tadi tidak
berpindah dari tempatnya. Tahulah dia bahwa dia takkan menang melawan pemuda itu, dan
tiba-tiba si mata sebelah itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari ruangan itu.
"Berhenti!" Cin Liong menghardik. Ketika orang itu tidak berhenti, dia lalu menyambar
seba-tang golok yang tadi terlepas dari tangan penjahat, melontarkannya ke depan. Golok itu
meluncur seperti anak panah ke depan, menyambar ke arah si mata tunggal yang sudah tiba di
pintu. "Crottt! Aduuuhhh....!" Dan tergulinglah tubuh si mata tunggal, dengan paha kanan ditembus
golok! "Merangkaklah ke sini!" Cin Liong berkata sambil melanjutkan makan roti keringnya.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si mata tunggal menoleh ragu, akan tetapi mak-lum bahwa kalau dia membangkang, tentu
dia akan lebih celaka lagi. Maka diapun bangkit de-ngan susah payah, lalu merangkak dan
memasuki ruangan itu kembali, mukanya penuh keringat di-ngin, mata tunggalnya melotot
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
35 memandang ke arah pemuda yang sedang makan roti itu. Setelah minum seteguk arak untuk
mendorong roti kering ke dalam perutnya, Cin Liong mengangkat muka memandang kepada
si mata tunggal itu. Kembali si mata tunggal terkejut ngeri melihat betapa sinar mata pemuda
itu mencorong seperti mata harimau!
"Ampun.... ampunkan saya...." Akhirnya si mata satu dapat juga mengeluarkan kata-kata
setelah beberapa kali menelan ludah dengan hati penuh rasa takut.
Dengan sikap masih tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, Cin Liong berkata,
"Ceri-takan apa maksudmu akan membasmi keluarga Pulau Es kemudian keluarga Gurun
Pasir tadi. Awas, sekali engkau berbohong, engkau akan kuba-kar hidup-hidup!" Ucapan itu
tenang saja, tidak seperti ancaman, akan tetapi si mata satu menggi-gil dan mukanya semakin
pucat. Sikap dingin dan tenang dari pemuda itu lebih mengerikan daripada sekedar ancaman
kasar karena dia dapat mera-sakan bahwa ucapan itu sama sekali bukan ancam-an
kosong."Kami.... ah, bukan kami yang akan melakukannya.... kami hanya orang-orang tingkat
ren-dah saja, mana mungkin terbawa rombongan itu" Rombongan itu sudah berangkat siang
tadi, akan menggunakan dua belas buah perahu layar besar menuju ke Pulau Es...."
Cin Liong tertarik. Dari sikap si mata satu yang ketakutan itu, dia dapat menduga bahwa
orang ini tidak berbohong. "Mereka siapa" Berapa orang banyaknya dan siapa yang
memimpin?"
"Banyak sekali, sedikitnya ada lima puluh orang, semua dari tingkat atas. Kami bertiga hanya
ting-kat rendahan saja, tidak terpilih. Dan rombongan itu dipimpin oleh lima orang datuk
dunia kami, datuk-datuk yang menjadi pucuk pimpinan." Tiba-tiba si mata satu itu nampak
lebih berani, agaknya membicarakan tentang datuk-datuk yang menjadi pimpinan
golongannya itu menimbulkan semangat baru, atau dia mengharapkan pemuda ini akan
menjadi gentar mendengarnya.
"Mereka itu siapa?" Cin Liong mendesak.
"Lima orang datuk pimpinan kami yang kini memimpin rombongan ke Pulau Es adalah Hek-
i Mo-ong (Raja Iblis Jubah Hitam), Ngo-bwe Sai-kong (Saikong Berekor Lima), Si Ulat
Seribu, Eng-jiauw Siauw-ong (Raja Muda Kuku Garuda), dan yang ke lima adalah Jai-hwa
Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga)!" Berkata demikian, si mata satu itu melupakan
penderitaan pahanya yang ter-tembus golok dan mata tunggalnya memandang ke arah wajah
pemuda itu, mengharapkan pemuda itu menjadi gentar dan bersikap lunak kepadanya. Akan
tetapi dia kecelik dan menjadi semakin geli-sah ketika pandang mata pemuda itu semakin
ta-jam, seolah-olah hendak menembus jantungnya. Memang Cin Liong menjadi kaget dan
marah sekali mendengar disebutnya nama-nama yang se-bagian sudah dikenalnya itu.
Terutama sekali na-ma Hek-i Mo-ong yang sudah dikenalnya seba-gai seorang tokoh sesat
yang luar biasa saktinya. Nama empat yang lain hanya pernah didengarnya saja sebagai kabar
angin yang terlalu dilebih-lebih-kan. Akan tetapi, kalau yang empat itu kini berga-bung
dengan Hek-i Mo-ong dan kedudukannya setingkat, berarti bahwa empat orang itupun tentu
lihai sekali. Sekarang, mereka berlima itu menghimpun lima puluh orang tokoh sesat dan
menuju ke Pulau Es!
"Katakan, mengapa mereka pergi ke Pulau Es?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
36 "Keluarga Pulau Es sejak dahulu terkenal se-bagai keluarga yang banyak menyusahkan kami.
Dendam kami bertumpuk-tumpuk. Apalagi kai-sar yang sekarang ini amat ketat menekan
kami sehingga gerakan kami tersudut. Maka, para pimpinan kami lalu berunding dan
mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh dari Korea dan Jepang untuk bersama-sama
menyerbu dan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Istana Gurun Pasir dan
semua pendekar yang menonjol di dunia kang-ouw. Setelah mereka itu terbasmi, barulah
kami akan dapat bergerak dengan leluasa dan.... aduhh!" Sebuah kayu bakar menyambar dan
me-ngenai kepala si mata satu yang segera terpelanting tak bergerak lagi, pingsan!
Cin Liong lalu melompat kehrar dari dala, bangunan kecil itu, melepaskan kendali kudanya
dan menunggang kudanya meninggalkan tempat itu. "Maafkan, kuda yang baik, terpaksa kita
harus me-lakukan perjalanan lagi secepatnya." Diapun lalu menuju ke timur untuk menyusul
rombongan kaum sesat yang hendak menyerbu Pulau Es itu.
Selama hidupnya, Cin Liong belum pernah mengunjungi Pulau Es. Akan tetapi dia sudah
banyak mendengar tentang Pulau Es dari ayah bundanya dan dia dapat mengira-ngira di mana
letak pulau itu. Diapun amat menghormati keluarga Pulau Es, karena ayah bundanya amat
menghormatinya dan terutama sekali mendengar bahwa ibu kandungnya juga keturunan dari
nenek Lulu yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti. Biarpun belum pernah jumpa,
dia banyak mendengar tentang ke-luarga itu dan sudah sejak lama ada keinginan di hatinya
untuk dapat mengunjungi pulau yang amat terkenal dalam dunia kang-ouw sebagai dongeng
itu, dan bertemu muka dengan manusia-manusia sakti yang menjadi penghuninya. Kini,
mendengar bahwa rombongan besar yang dipimpin oleh para datuk sesat hendak menyerbu
Pulau Es, tentu saja dia terkejut dan segera berniat untuk mencegahnya. Atau setidaknya, dia
harus dapat mendahului rom-bongan kaum sesat itu dan memberitahu kepada para penghuni
Pulau Es. Nenek Lulu, yaitu nenek dari ibunya, atau nenek buyutnya, tinggal di pulau itu,
entah sudah mati ataukah masih hidup karena menurut ibunya, nenek itu tentu sudah tua
sekali usianya.
Karena rombongan di depan terdiri dari banyak orang, mudah saja bagi Cin Liong untuk
mengikuti jejak mereka dan melakukan pengejaran. Akhirnya, di pantai laut, dia dapat
menyusul rombongan itu dan melihat kesibukan mereka mengatur belasan buah perahu layar
besar. Dia menyamar sebagai seorang nelayan dan dapat mendekati mereka ber-sama para
nelayan lainnya, bahkan ikut pula membantu dengan pemasangan layar dan sebagainya. Dia
mendapat kenyataan bahwa semua penuturan si mata satu itu benar belaka. Dia mengenal
Hek-i Mo-ong dan dia merasa yakin bahwa Raja Iblis itu tidak mengenalnya. Mereka hanya
pernah ber-temu satu kali saja dan pertemuan itu telah lewat sepuluh tahun. Juga, dia tidak
pernah bertanding langsung melawan Raja Iblis ini. Dan empat orang tokoh datuk lainnya
belum pernah melihatnya. Ten-tu saja di antara para tokoh sesat itu ada yang per-nah bertemu
dengannya, akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika dia berpakaian sebagai seorang panglima.
Kini, dengan menyamar sebagai seorang nelayan biasa, tentu saja tidak ada seorangpun di
antara mereka yang tahu bahwa nelayan muda itu adalah Jeuderal Kao Cin Liong! Dan Cin
Liong melihat pula adanya lima orang Korea dan lima orang Jepang yang sikapnya kasar-
kasar, tanda bahwa mereka itupun dari golongan sesat di negara mereka yang kini bergabung
dengan gerombolan Raja Iblis untuk menyerbu Pulau Es! Agaknya orang-orang Korea dan
Jepang inilah yang akan menjadi petunjuk jalan.
Ketika akhirnya dua belas buah perahu layar besar itu berlayar, sebuah perahu nelayan kecil
juga berlayar mengikutinya. Di dalam perahu ne-layan ini terdapat Cin Liong yang memakai
caping lebar menyamar sebagai nelayan. Karena di situ banyak terdapat perahu-perahu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
37 nelayan, maka kehadiran perahu Cin Liong ini tidak menarik perhatian, dan dia dapat
membayangi rombongan itu dengan leluasa.
Pada hari ke tiga, barulah rombongan itu tiba di daerah di mana terdapat pulau-pulau kecil
dan mereka itu berputar-putar seperti mencari-cari. Dan akhirnya, dari perahu kecilnya, Cin
Liong melihat mereka menuding-nuding ke arah sebuah pulau yang kelihatan sebagian putih
karena pu-lau itu sebagian tertutup es! Melihat semua orang berkumpul di atas perahu-perahu
besar itu me-nuding-nuding ke arah pulau, Cin Liong merasa yakin bahwa tentu itulah yang
dinamakan Pulau Es! Malam itu, dua belas buah perahu berhenti dan membuang jangkar,
tidak berani melanjutkan perjalanan karena daerah itu berbahaya, banyak terdapat bukit-bukit
es yang mengambang dan dapat tertabrak perahu. Apalagi malam itu gelap sekali. Cin Liong
juga menghentikan perahunya dan melepas jangkar, berlindung di belakang se-buah bukit es.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, sebelum terjadi kesibukan di perahu-perahu besar itu, dia
sudah mendahului mereka dan mendayung perahunya menuju ke pulau itu. Pagi itu masih
gelap, kabut tebal menyelimuti pulau sehingga dengan mudah Cin Liong dapat mendarat.
Dengan berindap-indap dia mendaki tebing pulau itu. Sebuah pulau batu karang yang
sebagian tertutup salju. Akan tetapi, setelah tiba di tebing yang pa-ling tinggi, yaitu di bagian
barat pulau, dan me-mandang ke sekeliling, dia tidak melihat adanya bangunan! Padahal,
menurut penuturan orang tu-anya, katanya di tengah pulau itu terdapat sebuah bangunan besar
yang kuno, yang disebut Istana Pulau Es! Benarkah ini pulau itu" Kalau benar, mana
istananya"
Dia berada di puncak tebing itu, menanti sampai sinar matahari pagi perlahan-lahan mengusir
kabut yang menghalangi pandangannya. Cuaca menjadi semakin terang dan dia dapat melihat
jelas, akan tetapi bukan istana yang dilihatnya, melainkan serombongan orang yang mendaki
te-bing itu dari berbagai jurusan dengan gerakan cepat dan lincah! Dia terkejut sekali, akan
tetapi tidak melihat jalan untuk menyembunyikan diri. Ketika dia berlari ke kiri, dari situpun
sudah nampak beberapa orang berlarian naik, demikian pula dari kanan dan depan, sedangkan
di sebelah belakang-nya adalah tebing curam yang tidak mungkin da-pat dituruninya. Tebing
itu amat curam, dalam-nya tidak karang dari seratus meter dan di bawah tebing itu nampak air
laut menggelora dan meng-hantami dinding tebing sehingga menjadi lekuk dalam seperti guha
besar.Cin Liong lalu bersikap pura-pura sebagai seorang nelayan yang tersesat ke pulau itu.
Maka dia sengaja bersikap terang dan pura-pura tidak tahu bahwa ada orang-orang naik ke
puncak te-bing itu dari tiga jurusan. Setelah mereka dekat, barulah dia pura-pura kaget,
memandang dan bangkit berdiri.
"Cu-wi siapakah dan hendak pergi ke mana-kah?" Cin Liong bertanya dengan muka bodoh.
"Siapa engkau?" bentak seorang di antara me-reka yang usianya tidak kurang dari enam
puluh tahun dan bersikap galak.
"Saya seorang nelayan yang kemalaman dan terpaksa bermalam di sini dan...."
"Tangkap pembohong ini! Dia tentu mata-mata Pulau Es!"
Empat orang menerjang maju hendak menang-kap Cin Liong. Pemuda ini maklum bahwa
sekali tertawan, tentu dia akan celaka. Orang-orang ini adalah gembong-gembong kaum sesat
yang ke-jam. Andaikata dia benar seorang nelayan biasa yang tidak berdosa sekalipun tentu
akan celaka kalau tertawan oleh mereka, apalagi dia yang hanya seorang nelayan palsu. Maka
begitu empat orang itu menerjang maju, diapun bergerak cepat dan menggerakkan kaki
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
38 tangannya. Dua orang terkena tamparannya dan terpelanting, akan tetapi yang dua orang lagi
agaknya cukup lihai sehingga dapat mengelak dengan cepat! Dan mereka semua kini merasa
yakin bahwa pemuda tampan itu bu-kan nelayan biasa, maka terjadilah pengeroyokan di atas
puncak tebing karang itu! Cin Liong meng-amuk untuk mempertahankan diri dan segera dia
memperoleh kenyataan betapa para pengero-yok itu sungguh bukan orang sembarangan,
me-lainkan rata-rata memiliki ilmu silat yang tang-guh! Dan mereka itu menyerangnya secara
ber-tubi-tubi, mempergunakan senjata-senjata yang ampuh. Sedikitnya ada dua puluh orang
yang menyerangnya. Cin Liong adalah seorang panglima yang sudah seringkali melakukan
pertempuran dan menghadapi pengeroyokan-pengeroyokan. Namun, harus diakuinya bahwa
baru sekali ini dia menghadapi pengeroyokan orang-orang yang li-hai ilmu silatnya.
Bagaimanapun juga, tingkat ke-pandaian para pengeroyok itu masih jauh di bawah
tingkatnya, maka biarpun dia hanya bertangan kosong menghadapi puluhan batang senjata
tajam, dia masih mampu mempertahankau diri dan mero-bohkan beberapa orang lagi, dan
hanya pakaian-nya saja yang robek tergores senjata tajam sedang-kan luka ringan dideritanya
pada pahanya yang tergores pedang pada saat paha itu tidak dilindungi sin-kang. Pemuda ini
adalah putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, maka tentu saja sin-kang-nya sudah kuat sekali
dan dia dapat melindungi tubuhnya dengan hawa yang amat kuat terhadap serangan senjata
tajam. Akan tetapi, pengerahan tenaga itu tentu saja tidak mungkin dilakukan te-rus-menerus
dan pada saat kosong itulah pahanya tergores pedang tadi. Lukanya mengucurkan da-rah,
akan tetapi tidak membuat gerakannya men-jadi lemah, bahkan sebaliknya, dia mengamuk
makin ganas bagaikan seekor naga mengamuk.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul dua orang kakek yang begitu menyerangnya membuat pemuda
ini terhuyung-huyung. Mereka itu adalah Hek-i Mo-ong sendiri dan seorang saikong yang
muka-nya brewokan dan yang memegang sebatang thi-pian (cambuk besi) berekor lima.
Orang ini bukan lain adalah Ngo-bwe Sai-kong yang lihai, ketua dari Im-yang-pai.
"Tar-tar-tar-tarrr....!" Cambuk besi itu melecut-lecut dan meledak-ledak dengan dah-syatnya.
Cin Liong sedang menghadapi serangan-serangan tangan kosong Hek-i Mo-ong yang luar
biasa berbahayanya itu, kini diserang oleh cambuk besi, menjadi repot bukan main. Pundak
dan pangkal lengannya, juga pahanya telah terkena lecutan yang seperti kepala ular mematuk-
matuk ke arah jalan darah yang mematikan. Biarpun Cin Liong masih dapat melindungi
tubuhnya, namun tetap saja kulit dan daging bagian yang terkena lecutan menjadi robek-
robek. Darah mengucur keluar dan dia masih terus didesak oleh Hek-i Mo-ong yang mulai
merasa penasaran sekali. Raja Iblis ini sekarang merasa pernah melihat Cin Liong, akan tetapi
dia lupa lagi di mana. Dia hanya merasa yakin bahwa seorang pemuda yang memiliki
kepandaian sehebat itu, tentu merupakan seorang pendekar di pihak musuh yang sudah
se-patutnya kalau dibasmi. Maka diapun tidak malu-malu untuk mengeroyoknya bersama
Ngo-bwe Sai-kong, walaupun dia merasa tidak akan kalah andaikata dia harus
menghadapinya satu lawan satu. Kini, satu-satunya tujuan hatinya adalah membasmi semua
keluarga pendekar, dimulai de-ngan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, dia
menganggap perkelahian ini sebagai suatu perjuangan dan tidak lagi perduli tentang etika atau
kesopanan dalam dunia persilatan.
Setelah terdesak hebat sekali, Cin Liong maklum bahwa dia harus mengadu nyawa. Tidak
ada jalan untuk meloloskan diri di pulau kosong ini. Dia seperti seekor harimau yang masuk
perangkap, dan tahu bahwa pihak musuh takkan mengam-puninya dan pasti akan
membunuhnya. Maka, ja-lan satu-satunya hanyalah membunuh atau dibunuh! Sejak tadi, dia
hanya mempergunakan ilmu-ilmu silat biasa seperti yang pernah dipelajarinya dari ayah
bundanya. Akan tetapi, melihat keada-annya yang amat berbahaya, diapun lalu teringat akan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
39 ilmu-ilmu simpanannya, ilmu-ilmu dari ayahnya yang hanya boleh dipergunakan kalau
keadaan sudah terlalu memaksa. Apalagi kini dia melihat betapa dua orang kakek yang sudah
terlampau berat baginya itu dibantu lagi oleh sedikit-nya tujuh orang yang mulai
menyerangnya dari pelbagai jurusan!
"Hyaaaaaatttt....!" Cin Liong mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya bergerak aneh,
memanjang ke depan seperti seekor naga dan ge-rakan kedua lengannya seperti cakar naga,
kaki-nya menyambar-nyambar seperti ekor naga dan empat orang pengeroyok terpelanting ke
kanan kiri dan tewas seketika karena tulang-tulang tubuh mereka remuk-remuk!
"Ah, dia murid Istana Gurun Pasir!" Tiba-tiba Hek-i Mo-ong berseru kaget dan diapun
mende-sak ke depan. Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut mendengar ini dan thi-pian di
tangannya itu menyerang makin ganas. Sebuah di antara ujung cambuk besi itu mematuk ke
arah ubun-ubun kepala Cin Liong. Bagian ini tidak dapat dilin-dungi terlalu kuat dan tidak
mungkin dia berani menerima patukan ujung cambuk yang digerakkan dengan sin-kang kuat
itu, maka Cin Liong terhu-yung ke belakang ketika melompat. Kesempatan itu dipergunakan
oleh Hek-i Mo-ong. Selagi tubuh pemnda itu masih berada di udara, dia mendesak maju dan
mendorong dengan kedua te-lapak tangannya yang terbuka. Angin pukulan dahsyat
menyambar keluar. Cin Liong tak dapat mengelak lagi, terpaksa mendorongkan kedua ta-ngan
untuk menyambut. Akan tetapi, karena tubuhnya belum menginjak tanah, ketika kedua tenaga
bertemu, tubuhnya terdorong keras ke bela-kang dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kao Cin
Liong terjengkang dan meluncur turun ke bawah tebing yang amat curam itu! Hek-i Mo-ong
tertawa bergelak dan lari ke tepi tebing, diikuti oleh Ngo-bwe Sai-kong dan para anak buah
mereka. Suara ketawa kakek itu masih bergema keras bersama dengan melayangnya tubuh
pemuda itu ke bawah. Mereka semua dapat melihat betapa tubuh itu menimpa air laut yang
muncrat ke atas, kemudian tubuh itu tenggelam dan lenyap ditelan ombak yang membuih
putih dan berkejaran menghantam karang! Tentu tubuh pemuda itu tenggelam, atau dicaplok
ikan besar, atau dihem-paskan oleh ombak ke batu karang dan hancur luluh! Dari atas itu saja,
semua orang dapat me-lihat betapa tidak ada harapan sama sekali untuk hidup bagi orang
yang sudah terjatuh ke tempat itu, apalagi dari ketinggian ini!Akan tetapi, Hek-i Mo-ong dan
para kawan-nya itu lupa bahwa urusan mati hidup bukanlah urusan manusia, dalam arti kata
bahwa bukan ma-nusia yang menentukan mati hidupnya seseorang. Bahkan mati hidup
dirinya sendiripun merupakan rahasia bagi manusia. Oleh karena itu, mana mungkin mereka
itu dapat memastikan bahwa pemuda yang terjatuh ke dalam laut dari tebing curam itu sudah
tentu akan mati" Orang baru dapat menentukan mati hidupnya seseorang kalau dia sudah
melihat keadaan orang itu. Yang ada hanya kenyataan, hidup ataukah mati. Akan tetapi, selagi
hidup, tidak mungkin dapat menentukan dan mengenal tentang kematian, kecuali hanya
melalui kira-kira dan anggapan-anggapan dan pendapat-pendapat kosong belaka, atau ikut-
ikutan menurut pendapat orang-orang terdahulu atau keper-cayaan-kepercayaan yang dianut
masing-masing. Selagi jasmani masih hidup, tidak mungkin dapat merasakan bagaimana
kematian itu. Baru keadaan tidur saja tidak dapat diketahui oleh kesadaran, apalagi keadaan
mati. Akan tetapi, kematian jasmani merupakan perobahan yang wajar. Ada ke-matian lain
yang amat ditakuti manusia, yaitu ke-matian yang merupakan pelepasan dari semua ikat-an!
Inilah yang membuat orang menjadi takut untuk menghadapi kematian. Ikatan dengan ben-da
yang disayangnya, dengan manusia lain yang dicintanya, dengan kedudukan, nama besar dan
sebagainya yang kesemuanya itu dianggap amat menyenangkan. Jadi hakekatnya, orang takut
mati karena enggan berpisah dari kesenangan!
Ketika dia terjengkang dan merasa betapa tu-buhnya meluncur ke bawah, tahulah Cin Liong
bahwa dia telah terjatuh ke bawah tebing. Dia sadar besar bahwa nyawanya terancam maut.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
40 Akan tetapi, gemblengan batin yang diterimanya sejak kecil membuat pemuda ini selalu
waspada dan sedikitpun tidak menjadi panik. Biarpun tubuhnya melayang dari tempat begitu
tinggi sedangkan di bawahnya menanti maut berupa air laut berom-bak yang susul-menyusul
menghantam batu ka-rang, namun dia tetap waspada dan dalam waktu beberapa detik itu saja
otaknya telah membuat perhitungan yang masak. Dia tahu bahwa musuh-musuhnya yang lihai
dan berjumlah banyak itu tentu mengamati kejatuhannya dari atas. Kalau mereka melihat
bahwa dia dapat menyelamatkan diri, tentu mereka akan mengejarnya dengan perahu-perahu
mereka dan kalau hal ini terjadi, dia akan celaka. Maka, kalau dia dapat menyelamat-kan diri
dari kejatuhan ini, dia harus dapat berpura-pura tewas ditelan air laut dan hal ini
membu-tuhkan perhitungan dan tindakan seketika yang matang. Pertama-tama, dia harus
dapat mengatur agar jatuhnya ke air tidak sampai terbanting keras, terutama kepalanya karena


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hal itu akan membuat dia pingsan dan sekali pingsan celakalah dia, tentu mati tenggelam atau
kalau terapungpun tentu akan dibunuh oleh orang-orang itu, atau dihem-paskan ombak
menghantam batu karang! Maka, pertama-tama dia harus mengatur keseimbangan dirinya dan
jatuh ke air dalam keadaan yang menguntungkan dirinya. Setelah itu, dia harus dapat
menyelam dan mencari jalan agar tidak timbul kembali dan hal ini dapat dilakukan kalau dia
dapat menyelam dan berenang memasuki guha di bawah tebing. Di situ dia akan selamat dan
tidak akan nampak dari atas. Pikiran dan perhitungan masak ini dilakukan dalam waktu
beberapa detik saja selagi tubuhnya meluncur ke bawah.
"Byurrrr....!" Air muncrat tinggi dan dia terbanting ke dalam air dengan kaki lebih dulu.
Dengan demikian, kepalanya tidak terbentur air dan tubuhnya dapat meluncur dengan cepat
mela-wan arus ombak sampai ke dasar laut di mana om-bak tidak begitu besar dan kuat
gerakannya. Ka-rena dia sudah memperhitungkan dan mengatur kejatuhannya sehingga ketika
kedua kaki menyentuh air tadi dia menghadap ke tebing, kini kakinya yang menyentuh dasar
laut itu mengenjot kuat dan tubuhnya meluncur dan berenang cepat menuju ke tepi, kedua
tangannya bergerak meraba-raba ke depan dan akhirnya, terdorong pula oleh ombak, dia
dapat menyentuh dinding tebing di bawah laut. Dengan kekuatan khi-kangnya, dia menahan
napas sejak tadi dan kini, berpegang kepada dinding te-bing yang tidak rata, dia memanjat ke
atas dan muncul di dalam guha bawah tebing, aman dan tidak kelihatan dari atas. Cepat dia
mencari tem-pat bersembunyi yang aman dari hempasan ombak, dan tinggal di situ sampai
siang. Baru setelah dia melihat perahu-perahu besar itu pergi meninggal-kan pulau, menuju ke
utara, dia memanjat tebing itu, keluar dan mencari perahu kecilnya.
Tubuhnya sakit-sakit dan lelah, juga lapar. Akan tetapi Cin Liong tidak mau beristirahat,
ti-dak mau mencari makan. Dia harus cepat-cepat mencari Pulau Es dan dia yakin bahwa
pulau itu tentu tidak jauh lagi dari daerah itu. Maka diapun lalu membuka layar dan perahu
kecilnya meluncur dengan cepat menuju ke utara, menyusul rombong-an dua belas perahu
besar tadi. Akan tetapi, dia tidak dapat menyusul mereka, dan dia cepat-cepat bersembunyi di
balik gumpalan es besar ketika melihat perahu-perahu itu berlayar menjauhi sebuah pulau
yang nampak putih dari kejauhan. Cin Liong menjadi bingung, tidak tahu apa yang telah
terjadi dan mengapa perahu-perahu itu meninggal-kan pulau putih yang disangkanya tentu
Pulau Es itu. Dia merasa lelah dan agak pening, mungkin terlalu banyak kehilangan darah,
terlalu lelah dan juga lapar. Setelah bertemu dengan romhongan perahu itu, dia harus berhati-
hati dan dia terus bersembunyi bersama perahunya di balik bong-kahan es.
Setelah malam tiba, barulah dia berani men-dayung perahunya keluar dari balik bongkahan
es menuju ke pulau putih itu. Untung ada bintang-bintang di langit yang biarpun sinarnya
muram, namun cukup untuk menerangi pulau putih itu, yang nampak seperti gunung abu-abu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
41 di malam gelap. Akhirnya tibalah dia di pulau itu lalu mendarat. Akhirnya, dia mendekati
istana tengah pu-lau itu dan ketahuan oleh Suma Hui.
Keluarga Pulau Es mendengarkan penuturan Cin Liong dengan penuh perhatian. Pemuda itu
lalu mengakhiri cerita dengan suara menyesal, "Demikianlah, Suma kong-couw, saya
akhirnya dapat juga tiba di sini menghadap kong-couw. Akan tetapi sungguh menyesal sekali
bahwa kedatangan saya terlambat sehingga agaknya nenek buyut Lulu menjadi korban."
Kakek Suma Han mengangguk. "Memang ia tewas dalam pertempuran melawan sebagian
dari pada para penyerbu. Akau tetapi, engkau baru saja datang dan engkau lapar. Makanlah
dulu, Cin Liong."
Nirahai lalu berkata kepada Suma Hui, "Hui, kausuruh pelayan untuk menyiapkan makanan
un-tuk keponakanmu Cin Liong."
Suma Hui bangkit berdiri, mengangguk kepada Cin Liong dan berkata ramah, akan tetapi
sikap-nya agak canggung, "Marilah...."
Cin Liong bangkit dan menjawab dengan hor-mat, "Baik, bibi Hui dan terima kasih." Lalu
dia mengikuti gadis itu menuju ke dalam.
"Temani dia makan minum di dalam," kata nenek Nirahai kepada dua orang cucu lelakinya.
Ciang Bun dan Ceng Liong mengangguk, bangkit dan masuk pula. Mereka tahu bahwa nenek
mere-ka agaknya hendak bicara dengan kakek mereka dan nenek mereka tadi memberi isyarat
agar mere-ka meninggalkan dua orang tua itu berdua saja.
Setelah semua orang muda itu pergi, nenek Ni-rahai lalu menoleh kepada suaminya dan
berkata dengan suara yang mengandung kekhawatiran, "Menurut penuturan Cin Liong,
jumlah mereka itu ada lima puluh orang lebih, dan para pemimpinnya ada lima orang,
termasuk Hek-i Mo-ong. Jadi, setelah yang seorang tewas di tangan adik Lulu, masih ada
empat orang lagi yang memiliki kepandaian tinggi. Aku pernah mendengar bahwa ilmu
kepandaian Hek-i Mo-ong amat hebat, dan dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh.
Apalagi ada tiga orang lagi temannya, dan anak buahnya berjumlah lima puluh orang."
Sejak tadi, kakek itu menatap wajah isterinya, lalu bertanya halus sehingga sama sekali tidak
ada nada yang menyinggung, "Apakah engkau merasa takut?"
Nenek Nirahai menggeleng kepalanya. "Eng-kau tahu bahwa aku tidak pernah mengenal rasa
takut berhadapan dengan musuh yang bagaimana-pun juga. Akan tetapi, tetap saja aku merasa
kha-watir. Mereka itu berjumlah besar sekali dan kea-daan mereka amat kuat. Oleh karena itu,
tewas-nya seorang di antara mereka saja tidak mungkin membuat mereka tidak berani datang
lagi. Tidak, aku bahkan merasa yakin bahwa mereka tentu akan datang menyerbu dan kini
sedang menghimpun ke-kuatan."
"Dan engkau tidak takut....?"
"Memang, aku tidak takut. Jangankan baru sekian, biar ditambah tiga kali lipat lagipun aku
tidak akan undur selangkah. Akan tetapi, kita harus mengingat cucu-cucu kita....!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
42 Kakek itu tetap tenang saja, bahkan tersenyum memandang isterinya. Biarpun mereka sudah
tua, akan tetapi senyum suaminya itu membuat nenek Nirahai menjadi merah mukanya.
Belum pernah senyum dan pandang mata suaminya itu tidak membuat hatinya runtuh! Kakek
itu agaknya mengerti akan kecanggungan isterinya, maka diapun berkata, "Engkau lebih
paham daripada aku mengenai bagaimana harus menghadapi serbuan orang banyak itu,
isteriku.?"Baiklah, serahkan saja kepadaku," kata nenek Nirahai yang segera keluar dari
ruangan itu, membiarkan suaminya sendirian menjaga peti jenazah nenek Lulu. Ketika ia
melangkah keluar istana dan memandang keluar, ke malam gelap, ke arah bin-tang-bintang di
langit, dan merasakan hembusan angin malam pada wajahnya, membayangkan bah-wa di
tengah lautan itu terdapat pihak musuh yang sedang mengintai dan sewaktu-waktu akan
menyerbu, wajah nenek Nirahai seketika menjadi gembira dan berseri-seri, sepasang matanya
mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya mengulum senyum. Ia merasa seolah-olah sedang
menung-gang kuda sebagai seorang panglima yang sedang mempelajari keadaan dan
mengatur siasat perang untuk menghadapi penyerbuan musuh yang amat kuat. Inilah
dunianya. Inilah kesukaannya. Pe-rang! Atau setidaknya, menghadapi ancaman mu-snh yang
kuat, menduga-duga siasat yang diatur lawan dan merencanakan siasat tandingan untuk
mencapai kemenangan!
Wajah nenek Nirahai masih berseri gembira ketika ia menemui Cin Liong, Suma Hui, Ciang
Bun dan Ceng Liong, juga ia mengumpulkan lima orang pelayan, tiga pria dan dua wanita itu,
meng-ajak mereka berkumpul di ruangan paling depan.
"Dengankan baik-baik," ia memulai dan dide-ngarkan oleh semua orang dengan penuh
perhatian karena mereka semua dapat menduga akan adanya bahaya mengancam dari pihak
musuh setelah me-reka mendengar penuturan Cin Liong tadi. "Pulau kita ini agaknya sedang
dikepung oleh musuh yang banyak jumlahnya. Ada dua belas perahu besar yang memuat
kurang lebih lima puluh orang, semua adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, dan mereka
dipimpin oleh empat orang datuk yang sakti. Besar kemungkinan mereka itu akan datang
menyerbu sewaktu-waktu, entah malam ini, entah besok pagi. Karena itu, kita sembilan orang
ha-ruslah bersiap-siap untuk mempertahankan pu-lau kita."
"Baik, nyonya. Kami berlima akan memperta-hankan pulau kita ini dengan taruhan nyawa!"
jawab seorang di antara lima pelayan itu, yang wanita dan yang tertua, berusia empat puluh
tahun. Empat orang temannya mengangguk penuh kete-gasan karena mereka itu sudah merasa
seperti ang-gauta keluarga Pulau Es, sudah jatuh cinta dengan tempat itu dan dengan keluarga
yang mereka hormati dan kagumi itu. Melihat sikap mereka, nenek Nirahai merasa terharu
dan bangga sekali. Banyak sudah ia melihat perajurit-perajurit yang dahulu menjadi anak
buahnya bersikap gagah seperti ini, akan tetapi mereka adalah perajurit-perajurit yang
memang bertugas untuk menghadapi musuh. Ada pula perajurit-perajurit yang kalau merasa
teran-cam keselamatan mereka lalu lari tunggang-lang-gang tanpa menunggu komando lagi.
Akan tetapi lima orang ini hanya pelayan-pelayan dan mereka itu hanya ketularan sedikit saja
ilmu silat keluarga Istarna Pulau Es. Namun dalam hal kegagahan, mereka itu sungguh patut
dibanggakan! "Bagus! Kalian harus berjaga malam ini seca-ra bergilir. Tidak boleh semua berjaga. Cukup
seorang saja meronda membantuku, yang empat orang tidur. Setiap tiga jam bergilir jaga. Ini
pen-ting karena kalian harus menyimpan tenaga. Ku-rang tidur bisa melelahkan dan
melemahkan. Agar dapat tidur akan kuberi obat. Nah, sokarang ber-pencar dan berjagalah
sampai aku datang menyu-ruh siapa yang harus berjaga lebih dahulu. Bawa senjata kalian dan
nyalakan lampu di bagian depan istana saja, lampu-lampu lainnya padamkan."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
43 Setelah lima orang pelayan itu pergi menjalan-kan tugas mereka, nenek Nirahai lalu berkata
ke-pada tiga orang cucunya, "Hui, bawa kedua orang adikmu menjaga di luar halaman istana
dan jangan pergi dari situ sebelum aku datang."
Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong menyanggupi dan merekapun keluar dengan sikap
gagah, sedikitpun tidak nampak gentar walaupun mereka tahu bahwa tempat tinggal mereka
akan diserbu musuh yang banyak jumlahnya. Setelah tiga orang anak itu pergi, nenek Nirahai
lalu memberi isyarat kepada Cin Liong untuk mengikutinya. Tentu saja pemuda ini merasa
heran, akan tetapi diapun diam saja dan mengikuti nenek itu yang membawanya pergi ke
halaman samping di sebelah kanan istana itu.
"Cin Liong, di antara cucu-cucuku, engkaulah satu-satunya orang yang telah dewasa, apalagi
engkau adalah seorang jenderal muda yang tentu tahu akan siasat perang," kata nenek Nirahai
sete-lah mereka berada di halaman samping yang sunyi itu. "Maka, aku sengaja membawamu
ke sini untuk kuajak berunding. Nah, terus terang saja, katakan-lah bagaimana kedudukan kita
dibandingkan de-ngan lawan dan apa akan jadinya kalau lawan me-nyerbu secara serentak
mengerahkan seluruh keku-atan mereka?"
Cin Liong menarik napas panjang. "Mungkin saya terlalu lemah dan kecil hati, akan tetapi
terus terang saja, kedudukan kita amat lemah dan ke-kuatan pihak musuh terlalu besar. Akan
tetapi sulitlah bagi kita untuk dapat mengalahkan be-gitu banyaknya orang yang rata-rata
lihai, apalagi empat orang pemimpin mereka itu. Kalau memang kita hendak menyelamatkan
diri, jalan satu-satu-nya adalah diam-diam meninggalkan pulau ini sebelum mereka
menyerbu. Menggunakan waktu gelap dan pengetahuan kong-couw sekeluarga yang tentu
lebih mengenal daerah ini, agaknya masih banyak harapan bagi kita untuk meloloskan diri."
"Kao Cin Liong!" Nenek itu menegur. "Ayah-mu adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang sudah
lama kukagumi sebagai orang muda yang hebat luar bi-asa, akan tetapi engkau putera
tunggalnya menya-rankan kepadaku untuk melarikan diri" Jenderal muda macam apakah
engkau ini?"
Wajah pemuda itu berobah merah. "Maafkan, sesungguhnya usul saya tadi bukan semata-
mata karena saya takut menghadapi kenyataan, melainkan penggambaran keadaan
sebagaimana adanya, dan terutama sekali saya mengingat adanya bibi Suma Hui dan dua
orang paman kecil. Saya kira amatlah sayang kalau mereka itu harus menghadapi bahaya
maut dengan sia-sia dalam usia semuda itu."
Nenek itu mengangguk-angguk. "Justeru ka-rena itulah maka engkau kuajak ke sini, Cin
Liong. Engkau tentu mengerti bahwa orang-orang seperti kong-couwmu dan aku, sampai
matipun tidak nanti akan melarikan diri dari serbuan orang. Akan tetapi, akupun tidak
menghendaki cucu-cucuku yang masih muda itu menjadi korban dan mati konyol."
"Jadi nenek menghendaki agar saya menyela-matkan mereka bertiga dan membawa mereka
diam-diam pergi meninggalkan Pulau Es?" tanya Cin Liong.
"Benar, engkau harus menyelamatkan mereka. Akan tetapi bukan melarikan diri dari sini,
melain-kan membawa mereka bersembunyi kalau serbuan itu datang dan keadaan menjadi
gawat. Tentu saja kita harus membiarkan mereka ikut mengha-dapi musuh. Hanya kalau kita
kewalahan dan dalam keadaan darurat, engkau harus melarikan mereka dan bersembunyi."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
44 "Akan tetapi, di pulau seperti ini, ke mana saya dapat menyembunyikan mereka" Tentu akan
di-cari musuh dan akhirnya ketemu juga."
"Mari kau ikut denganku," kata nenek itu. "Dan perhatikan benar-benar tempat
persembunyian itu." Cin Liong mengikuti nenek itu memasuki sebuah pintu samping kecil
dan mereka berhadap-an dengan dinding tebal. Nenek Nirahai lalu me-loncat sampai dua
meter tingginya, jari tangannya menekan langit-langit di mana nampak seekor cecak yang
ternyata adalah cecak kering yang sudah mati dan bangkai yang sudah dikeraskan itu
merupakan tanda rahasia tempat penekan alat rahasia pula. Terdengar suara berderit dan lantai
tempat itu tiba-tiba bergeser dan nampaklah se-buah lubang. Nenek Nirahai memasuki lubang
yang merupakan anak tangga ke bawah tanah. Cin Liong mengikutinya. Begitu memasuki
lubang, nenek itu memutar sebuah patung singa yang berada di kepala tangga dan lantai
ruangan itupun bergeser lagi menutupi lubang. Mereka terus me-nuruni lorong rahasia itu dan
akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas di bawah ta-nah, tepat di bawah
istana itu. Di situ terdapat lilin yang cukup banyak, air tawar dan bahan ma-kanan kering yang
kiranya akan cukup menghidup-kan tiga empat orang selama satu bulan.
"Nah, di sinilah tempat persembunyian itu. Ka-lau keadaan sudah mendesak, engkau harus
mem-bawa mereka ke sini. Tempat ini hanya diketahui oleh kong-couwmu dan aku, cucu-
cucuku itu tidak ada yang tahu. Maukah engkau berjanji bah-wa engkau akan menyelamatkan
mereka dan mem-bawanya ke sini kalau keadaan memaksa?"
"Saya berjanji!"
Nenek Nirahai tersenyum girang dan merang-kul pemuda itu. "Bagus! Aku percaya akan
janji putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu buyut keluarga Pulau Es, juga seorang pendekar
dan se-orang panglima muda yang gagah perkasa. Nah, Cin Liong, mari kita keluar. Ingat,
andaikata mere-ka itu tidak mau kaubawa lari sembunyi, jangan ragu-ragu, pergunakan
kepandaianmu dan totok mereka, paksa mereka menyelamatkan diri ke sini. Mengerti?"
"Baik, nek. Saya mengerti."
Mereka lalu keluar lagi dari tempat rahasia itu dan setelah nenek Nirahai menutup kembali
lubang di lantai dengan cara memutar bangkai binatang cecak itu kembali menghadapi
dinding, mereka lalu keluar ke halaman samping."Kalau mereka sudah menyerang, sebaiknya
kalau kita memancing mereka ke halaman ini. Halaman ini merupakan medan pertempuran
yang paling baik bagi kita. Musuh hanya dapat datang menyerbu dari depan dan kiri saja.
Sebelah kanan ada bangunan, juga sebelah belakang sehingga kita yang kalah banyak tidak
sampai dapat dibokong musuh. Kita mengerahkan semua kekuatan kita di sini dan melawan
sekuatnya. Bagaimana pendanat-mu, Cin Liong" Apakah engkau mempunyai siasat lain untuk
menghadapi pihak musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya itu?"
Cin Liong merasa kagum sekali kepada ne-nek yang dapat mengatur siasat sedemikian
cepatnya, dan siasatnya itu memang merupakan penyusunan kedudukan yang paling baik.
Apalagi karena tempat persembunyian yang dimaksudkan untuk menyelamatkan tiga orang
cucunya ini ber-ada dekat dengan halaman ini, sehingga praktis sekali dan kalau keadaan
memaksa, dia dapat melarikan mereka ke belakang halaman melalui pintu kecil tanpa
diketahui oleh pihak musuh.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
45 "Maafkan kalau saya lancang memberi penda-pat saya, akan tetapi saya kira kita bertahan di
tempat ini hanya kalau sudah betul-betul terde-sak. Menghadapi lawan yang jauh lebih
banyak jumlahnya, tidakkah sebaiknya kalau kita melaku-kan serangan-serangan tersembunyi
agar membu-at mereka terpecah-pecah kekuatan mereka" Un-tuk itu, saya kira nenek dan
saya sendiri akan mam-pu melakukannya, juga kalau kong-couw sudi...."
"Kong-couwmu jangan dibawa-bawa. Bagai-manapun juga, dia tidak mau maju perang. Aku
mengerti maksudmu dan memang itu baik sekali. Kalau mereka muncul, baik malam ini atau
besok siang, engkau dan aku, dari dua jurusan, menyerang mereka secara sembunyi-sembunyi
dengan cara pukul dan lari agar mereka kalau-balau dan ter-pecah-belah. Akan tetapi
mengingat bahwa di antara mereka banyak terdapat orang pandai, sia-sat itu tidak mungkin
kita lakukan terus-menerus dan akhirnya kita akan terkepung juga. Nah, kalau sudah
terkepung seperti itu, kita harus cepat mem-bawa mereka itu ke tempat ini di mana kita dapat
bersama-sama menghadapi mereka dari depan dan kiri saja, dan terutama, engkau dekat
dengan tempat rahasia itu."
Cin Liong mengangguk-angguk. "Saya setuju. Dan bibi Hui bersama dua orang paman kecil,
juga lima orang pelayan, dapat saja mengacau mereka dengan penyerangan-penyerangan
gelap, menggunakau anak panah atau senjata rahasia lainnya dari dalam istana yang
terlindung."
Nenek itu mengangguk-angguk. "Sayang eng-kau dahulu tidak dapat membantuku ketika aku
masih sering memimpin pasukan menghadapi para pemberontak dan pengacau. Senang sekali
mempu-nyai seorang pembantu secerdik engkau, Cin Liong!" Wajah nenek itu berseri
gembira dan se-mangatnya berperang timbul dan berkobar. Meli-hat ini, Cin Liong merasa
kagum bukan main. Sungguh seorang nenek yang gagah perkasa dan luar biasa pandainya!
"Ah, sejak kecil saya telah mendengar betapa nenek adalah seorang panglima yang amat
hebat dan tidak pernah gagal dalam menumpas para pemberontak dan pengacau. Saya masih
harus ba-nyak belajar dari nenek."
Malam itu lewat tanpa adanya pcnyerbuan yang dinanti-nantikan. Suasana malam itu amat
menye-ramkan, dengan adanya peti jenazah dan kepulan dupa, keheningan yang
menggerogoti perasaan. Sebetulnya, tiga orang cucu dan para pelayan tidak mau tidur
sebentarpun juga, karena dalam suasana berkabung dan berjaga-jaga itu mereka merasa tidak
sepatutnya kalau mereka tidur. Akan tetapi, nenek Nirahai memaksa mereka untuk bergilir
jaga dan yang tidak jaga ia beri obat sehingga mcreka itu dapat tertidur. Dan hal ini memang
sungguh penting karena pada keesokan harinya, semua orang merasa tubuhnya tetap segar dan
tidak lelah atau mengantuk.
Pada keesokan harnya, tiga orang pelayan pria membawa senjata dayung besi mereka dan di
sam-ping itu merekapun membawa gendewa dan anak panah. Biarpun mereka bukan ahli
panah, akan tetapi dengan mudah mereka dapat belajar cara mempergunakannya dan mereka
lalu memilih tem-pat yang strategis di balik jendela-jendela yang menghadap ke empat
penjuru, bersama dengan dua orang pelayan wanita yang memang sudah pandai
mempergunakan senjata rahasia jarum. Suma Hui sudah memiliki ilmu kepandaian yang


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup ting-gi, maka ia bersembunyi di wuwungan bersama Cin Liong sedangkan Ciang Bun
dan Ceng Liong bersembunyi di balik tiang besar, siap dengan sen-jata rahasia piauw dan
jarum di tangan. Nenek Ni-rahai sendiri tidak nampak, namun Cin Liong maklum bahwa
nenek ini tentu telah menanti di suatu tempat yang tidak terduga-duga oleh pihak musuh. Dia
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
46 merasa amat heran dan kagum melihat sikap kong-couwnya yang masih tetap duduk ber-sila
di dekat peti jenazah, kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada bahaya apapun yang
mengancam tempat itu. Menurut perhitungannya, dan juga yang sependapat dengan nenek
Nirahai, pihak musuh yang telah menerima hajaran berat oleh nenek Lulu, tidak berani
ceroboh melakukan penyerangan di waktu malam gelap dan tentu menanti sampai terang
tanah baru akan datang me-nyerang dengan pengerahan kekuatan mereka.
Perhitungan ini memang benar. Setelah cuaca di pulau itu cukup terang dan sinar matahari
telah mengusir semua kabut, puluhan orang berloncatan dari dua belas buah perahu yang
ternyata telah menempel di pantai Pulau Es. Mereka itu segera berlari menuju ke Istana Pulau
Es dan setelah dekat mereka berpencar, terpecah menjadi empat rom-bongan terdiri dari
sepuluh orang lebih dan masing-masing rombongan dipimpin sendiri oleh seorang di antara
empat orang datuk kaum sesat! Hek-i Mo-ong sendiri memimpin rombongan dari dua belas
orang menyerbu ke arah istana dari depan.
Gerakan kurang lebih lima puluh orang itu rata-rata amat cepat ketika mereka berlari ke arah
ista-na dan setiap orang memegang senjata masing-masing. Nampaknya mereka itu amat
menyeram-kan dan menghadapi serbuan begitu banyak orang yang datang dari empat penjuru
akan dapat me-ngecilkan hati orang. Akan tetapi, tidak demikian dengan para penghuni Pulau
Es, keluarga Pendekar Super Sakti. Bahkan para pelayan di Istana Puktu Es itupun tidak ada
yang merasa gentar. Mereka itu memandang dengan mata tak pernah berkedip, yang
memegang busur sudah mempersiapkan diri dan mulai memasang anak panah, yang
membawa senjata rahasia telah menggenggam jarum-jarum-nya, mereka menanti saat para
musuh itu datang dalam jarak yang cukup dekat. Sementara itu, Cin Liong dan tiga orang
muda cucu Pendekar Super Sakti juga telah bersiap-siap. Cin Liong dau Suma Hui bersiap di
atas wuwungan dan kedua orang muda Ciang Bun dan Ceng Liong siap di belakang tiang
besar. Cin Liong dan tiga orang muda itu telah bersepakat. Yaitu, Ciang Bun dan Ceng Liong
akan menyerang dengan senjata piauw dan jarum mereka bersama dengan serangan para
pe-layan yang menanti di empat penjuru. Penyerangan ini bukan hanya dimaksudkan untuk
mengenai sasaran, akan tetapi juga dimaksudkan untuk menj-adi pancingan agar perhatian
musuh tertuju kepa-da para penyerang gelap itu. Dan kesempatan itu, selagi mereka lengah,
Cin Liong dan Suma Hui yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi akan turun tangan
menyerang dengan senjata rahasia mereka! Siasat ini sesuai dengan apa yang diren-canakan
oleh nenek Nirahai.
Para penyerbu itu adalah orang-orang yang lihai, apalagi yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong
adalah orang-orang pilihan di antara para anak buah yang menyerbu, maka ketika mereka
sudah agak dekat dan dari istana itu menyambar anak panah dan senjata-senjata rahasia
lainnya, mereka dapat bergerak cepat, mengelak atau menangkis sehingga semua anak panah,
jarum dan piauw itu tidak ada yang berhasil mengenai tubuh mereka. Akan tetapi, pada saat
semua perhatian tertuju ke arah jendela dan tiang dari mana senjata-senjata rahasia tadi
menyambar, tiba-tiba nampak sinar kehijauan menyambar dari atas. Itulah Siang-tok-ciam
(Jarum Beracun Harum) yang dilepas oleh Suma Hui. Ilmu melepas Siang-tok-ciam ini adalah
kepandaian khas dari nenek Nirahai yang menurunkan kepada dara itu. Betapapun lihainya
dua belas orang yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong itu, menghadapi serangan gelap yang tiba-
tiba dari atas ini, dua orang di antara mereka tetap saja kurang cepat menghindar dan ada
jarum beracun yang mengenai pundak dan leher mereka. Mereka berteriak kesakitan dan
roboh, berkelojotan dan pingsan karena jarum halus dari nenek Nirahai yang diajarkan kepada
Suma Hui ini benar-benar amat ampuh.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
47 Sementara itu di bagian kanan kiri dan belakang juga mendapat sambutan yang sama, hanya
tidak begitu hebat seperti sambutan di depan. Ada anak panah yang menyambar, dan ketika
me-reka semua dapat menghindar, tiba-tiba dari atas menyambar anak panah berturut-turut
yang amat kuat dan cepat gerakannya. Itulah anak panah yang dilepas oleh Cin Liong.
Sebagai seorang jenderal, tentu saja dia selalu mahir ilmu silat tinggi, juga ahli dalam hal
menggunakan busur dan anak panah. Apalagi anak panah itu dilepas selagi semua orang di
bawah mencurahkan perhatian ke arah jendela. Terdengar teriakan-teriakan dan dengan busur
dan anak panahnya, Cin Liong berhasil me-robohkan empat orang, dua di belakang dan dua di
kiri. Yang paling sial adalah para penyerbu yang datang dari kanan. Mereka disambut anak
panah dan berhasil menghindarkan diri, akan tetapi jarum-jarum beracun berhamburan
sedemikian banyak dan cepatnya sehingga dari sebelas orang yang dipimpin oleh Si Ulat
Seribu, yang dapat menghindarkan diri hanyalah wanita iblis ini dan enam orang, sedangkan
yang lima lain roboh berkelojotan terkena jarum-jarum halus yang dilepas oleh nenek Nirahai
sendiri! Ternyata siasat yang dijalankan oleh nenek Nirahai itu lumayan juga hasilnya. Dalam
sege-brakan itu sebelas orang auggauta gerombolan pe-nyerbu telah dapat dirobohkan. Tentu
saja hal ini membuat Hek-i Mo-ong dan tiga orang kawan-nya marah bukan main.
"Serbu! Bunuh semua orang yang berada di da-lam istana!" teriak Hek-i Mo-ong sambil
melon-cat ke depan, membawa senjatanya yang mengeri-kan yaitu sebatang tombak Long-ge-
pang (Tombak Gigi Serigala). Kakek ini memang menyeramkan sekali. Usianya sudah tujuh
puluh lima tahun, akan tetapi karena tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa, dia masih
nampak kuat. Hek-i Mo-ong ini sebenarnya bernama Phang Kui, seorang pera-nakan Bangsa
Kozak, ibunya seorang wanita utara yang juga bertulang besar. Rambutnya sudah putih
semua, dan pakaiannya serba hitam, membuat wa-jahnya yang berkulit putih dan rambut,
jenggot dan kumisnya yang juga putih itu kelihatan menyo-lok. Di pinggangnya nampak
sebatang kipas merah yang ujungnya runcing. Di samping senjata Long-ge-pang yang
dipegang oleh tangan kanannya itu, kipas merah ini merupakan senjata yang amat ampuh
pula. Kipas merah ini bukan hanya dapat di-pergunakan untuk menotok jalan darah dengan
ujungnya yang runcing, akan tetapi juga merupa-kan alat penarik perhatian untuk melakukan
sihir terhadap lawan. Di samping ilmu silatnya yang luar biasa tingginya, Hek-i Mo -ong ini
terkenal sekali dengan ilmu sihirnya. Selain itu, tubuhnya kebal terhadap segala macam
senjata. Orang ke dua dari para pimpinan gerombolan penyerbu Pulau Es adalah Ngo-bwe Sai-kong
yang telah tewas oleh nenek Lulu dalam perkela-hian mati-matian yang akhirnya
menyebabkan keduanya mati sampyuh.
Orang ke tiga adalah Ulat Seribu, seorang wa-nita yang melihat keadaan wajahnya yang amat
buruk, sukar untuk diketahui usianya. Wajah itu bopeng dan pletat-pletot, mengerikan dan
bah-kan menjijikkan. Wajah yang habis digerogoti pe-nyakit kulit yang hehat. Akan tetapi,
melihat ben-tuk tubuhnya yang masih padat dan indah, kulit leher dan lengannya yang putih
mulus maka usia wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh lima tahun. Wanita ini
peranakan Korea dan dia bersekutu dengan gerombolan ini membawa beberapa orang anak
buahnya, orang-orang Korea yang bertubuh jangkung-jangkung. Si Ulat Seribu ini amat keras
wataknya, dan lihai bukan main, teruta-ma sekali gin-kangnya yang membuat ia dapat
ber-gerak seperti terbang cepatnya. Selain itu, yang membuat lawan menjadi ngeri dan gentar
adalah kebiasaannya yang aneh. Ia suka memelihara dan membawa-bawa segala macam ulat.
Dari ulat yang gundul sampai ulat-ulat berbulu dan gatal, ulat-ulat beracun. Kadang-kadang,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
48 ulat-ulat itu merayap di kedua lengannya yang putih mulus, dan ulat-ulat ini bukanlah ulat
sembarangan yang dipelihara sebagai hobby belaka. Ulat-ulat itu adalah ulat beracun dan
dapat ia pergunakan se-bagai senjata untuk merobohkan lawan! Keadaan yang mengerikan
inilah yang membuat ia dikenal dengan sebutan Si Ulat Seribu saja, dan tidak ada orang lain
yang mengenal namanya. Di samping ulat-ulat beracun, wanita ini terkenal ahli bermain silat
dengan sabuk merahnya yang pada ujungnya terdapat kaitan-kaitan dari emas.
Orang ke empat bernama Liok Can Sui, berju-luk Eng-jiauw Siauw-ong, berusia enam puluh
tahun. Dia memang ketua dari perkumpulan Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda),
sebuah perkumpulan perampok yang amat ditakuti orang, dan yang berkedudukan di daerah
Se-cuan. Siauw-ong (Raja Muda) ini amat lihai ilmunya, dan ganas sekali senjatanya, yaitu
sepasang sarung tangan kuku garuda dan di samping itu diapun merupakan seorang ahli racun
yang ampuh. Datuk ke lima berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun akan
tetapi masih nampak ganteng dengan pakaiannya yang mewah dan pesolek. Dia memang
pantas dan berhak memakai julukan Siauw-ok (Si Jahat Kecil) karena dialah satu-satunya
orang yang mewarisi ilmu dari Im-kan Ngo-ok yang telah terbasmi dan tewas semua. Jai-hwa
Siauw-ok ini dahulu-nya merupakan seorang pria tampan yang menjadi kekasih dari Ji-ok,
tokoh nomor dua dari Im-kan Ngo-ok. Karena pandai menyenangkan hati iblis betina itu, dia
mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Ji-ok, di antaranya adalah Kiam-ci (Jari Pedang). Bahkan
melalui wanita tua yang tergila-gila kepa-danya itu, dengan jalan mencuri, dia dapat pula
mempelajari Ilmu Silat Thian-te Hong-i dari Sam-ok, dan pukulan Hoa-mo-kang (Katak
Buduk) yang lihai dari Su-ok. Sesuai dengan ju-lukannya Jai-hwa (Pemetik Bunga), datuk ini
me-mang mempunyai kelemahan, yaitu mata keranjang dan setiap kali melihat wanita muda
yang meng-gerakkan nafsu berahinya, tentu dia akan turun tangan memperkosanya, tidak
perduli anak orang atau isteri orang!
Empat orang datuk yang merasa marah karena seorang rekan mereka, Ngo-bwe Sai-kong
telah tewas di Pulau Es, dan kini melihat dalam sege-brakan saja ada sebelas orang anak buah
mereka roboh, menjadi penasaran. Mereka lalu memimpin sisa anak buah mereka yang masih
cukup banyak itu untuk menyerbu.
Akan tetapi mereka menghadapi perlawanan yang gigih dari para penghuni Pulau Es. Dan
se-suai dengan siasat nenek Nirahai, Cin Liong, Suma Hui, Suma Ciang Bun dan juga Suma
Ceng Liong kini menerjang keluar dan mengamuk di antara para anak buah gerombolan.
Nenek Nirahai sendi-ripun sudah menerjang turun dari atas wuwungan samping dan begitu
pedang payunngya bergerak, beberapa orang sudah terpelanting dan roboh te-was seketika!
Cin Liong juga mengamuk. Dia telah memegang sebatang pedang yang dipilihnya dari rak
senjata di Istana Pulau Es. Pedangnya lenyap berobah menjadi sinar bergulung-gulung dan
biarpun para anak buah gerombolan itu ada-lah orang-orang pilihan, namun amukannya
mem-buat tiga orang roboh binasa mandi darah! Juga Suma Hui tidak mau kalah. Dara ini
mengamuk, menggunakan sepasang pedangnya dan sudah ada seorang lawan tewas dan
seorang lagi luka berat. Suma Ciang Bun mengamuk dengan tangan ko-song, menggunakan
ihnu pukulai Hwi-yang Sin-ciang yang baru diperdalam itu untuk mengamuk dan pemuda ini
berhasil merobohkan seorang la-wan pula. Suma Ceng Liong, anak berusia sepu-luh tahun itu
juga membantu keluarganya, meng-gunakan sebatang tombak dan anak ini memang
mengagumkan sekali. Seorang anggauta gerombolan yang bersenjata golok besar
menyerangnya kalang-kabut, namun anak ini memainkan tombaknya sedemikian rupa
sehingga ke manapun golok itu menyambar, selalu tertangkis atau hanya mengenai tempat
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
49 kosong belaka, sedangkan ujung tombak itupun kadang-kadang melakukan serangan ba-lasan
yang tidak kalah berbahayanya!
Setelah mengamuk bagaikan naga-naga besar kecil yang menyerbu turun dari angkasa, dan
me-robohkan separuh dari jumlah para penyerbu, akhirnya Hek-i Mo-ong dan tiga orang
rekannya berhasil mengepung dan mendesak mereka mun-dur. Bahkan lima orang pelayan
yang tadi mela-wan mati-matian itupun sudah roboh satu demi satu dan tewas dengan tangan
masih memegang senjata, seperti perajurit-perajurit yang gagah perkasa.
Nenek Nirahai lalu menyambar tubuh Ceng Liong yang terancam bahaya dan membawanya
melompat memasuki halaman samping. Cin Liong juga memutar pedangnya melindungi
Ciang Bun yang didesak oleh Eng-jiauw Siauw-ong, sedangkan Jai-hwa Siauw-ok yang sejak
tadi kagum akan kecantikan Suma Hui telah menerjang dara itu, akan tetapi tidak bermaksud
membunuhnya, melainkan hendak menangkapnya hidup-hidup. Keluarga Pulau Es itu mundur
semua sampai di halaman samping dan di sini mereka semua meng-amuk mati-matian.
Nenek Nirahai maklum bahwa di antara semua datuk, yang paling lihai adalah Hek-i Mo-
ong, maka iapun sudah menerjang iblis ini dengan dah-syat. Pedang payungnya menyambar
bagaikan ha-lilintar, menyambar ke arah leher lawan. Melihat berkelebatnya sinar senjata
yang demikian me-nyilaukan mata, Hek-i Mo -ong terkejut dan mak-lum bahwa lawannya
adalah seorang yang amat sakti. Tentu saja dia sudah mendengar tentang isteri Pendekar
Super Sakti yang bernama Puteri Nirahai ini, maka dia tidak berani memandang ri-ngan dan
tombak Long-ge-pang di tangannya diputar untuk menangkis.
"Cringg.... siuuuuttt.... singgg....!" Pe-dang payung itu tertangkis, akan tetapi tangkisan itu
bagaikan menambah dorongan tenaga yang membuat gerakan menyerong dan tahu-tahu telah
menusuk ke arah ulu hati lawan dan begitu lawan mengelak dan melintangkan tombaknya,
pedang payung itu kembali telah menusuk mata dua kali lalu ditutup dengan serangan tusukan
pada pusar dengan ganas sekali!
"Hemmm....!" Hek-i Mo-ong terpaksa me-loncat mundur ke belakang. Biarpun tubuhnya
ke-bal, namun dia sungguh tidak berani kalau harus mencoba-coba untuk menerima tusukan
pedang payung yang digerakkan oleh isteri Pendekar Super Sakti. Terlalu berbahaya itu!
Diapun memutar tombaknya dan balas menyerang. Ilmu tombak dari Raja Iblis ini hebat
sekali dan memang tingkat kepandaiannya pada masa itu sukar dicari tandingannya. Ujung
tombak berbentuk gigi serigala itu berputaran dan menjadi belasan batang banyaknya saking
hebatnya getaran yang disebabkan oleh tenaga sin-kangnya dan kini ujung tombak itu
meluncur ke depan, ke arah tubuh nenek Nirahai tanpa dapat diduga bagian tubuh mana yang
akan menjadi sasaran!
Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong berhadapan dengan nenek Nirahai, isteri dari Pendekar
Super Sakti. Sejak muda, nenek ini telah menjadi seorang pendekar, bahkan panglima yang
tangguh. Bahkan ia pernah secara rahasia mencoba ilmu seluruh jagoan untuk memperdalam
ilmu silatnya dan ialah yang menjadi ahli waris dari kitab-kitab ilmu silat peninggalan
pendekar wanita Mutiara Hitam. Juga ia mewarisi kitab-kitab dari Pende-kar Suling Emas,
walaupun hanya sebagian saja. Di antara puluhan macam ilmu silat tinggi yang dikuasainya,
yang paling hebat adalah ilmu silat tangan kosong Sin-coa-kun, ilmu senjata rahasia Siang-
tok-ciam, dan ilmu pedang gabungan an-tara Pat-mo Kiam-hoat dan Pat-sian Kiam-hoat.
Gabungan dari dua ilmu pedang yang bertentang-an sifatnya ini antara Pat-mo (Delapan Iblis)
dan Pat-sian (Delapan Dewa), telah tercipta ilmu pe-dang yang luar biasa sekali. Kadang-
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
50 kadang nam-pak ganas seperti iblis mengamuk, dan kadang-kadang nampak halus lembut
seperti gerak-gerik dewa, namun di balik semua itu terkandung keku-atan yang dahsyat.
Terjadilah perkelahian yang sengit dan ramai sekali antara dua tokoh besar itu dan Hek-i Mo-
ong makin lama merasa makin penasaran. Dia be-lum terdesak dan tidak merasa kalah, akan
tetapi dia ingin cepat-cepat menjatuhkan lawan ini, seo-rang nenek yang sudah tua renta.
Maka dicabut-nyalah kipas merahnya, dikelebatkan kipas yang terkembang itu di depan muka
nenek Nirahai dan diapun membentak, "Lihat kipas ini. Merah, bu-kan" Merah sekali, dan
engkau menjadi silau, engkau menurut segala kehendakku!"
Akan tetapi betapapun kuatnya ilmu sihir yang dikuasai oleh Hek-i Mo-ong, sekali ini tidak
menemui sasarannya. Dia lupa agaknya bahwa yang coba disihirnya ini adalah nenek Nirahai,
isteri dari Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang mahir dalam ilmu sihir dan tentu
saja telah membuka rahasia tentang sihir, memberi tahu ke-pada isterinya itu bagaimana
caranya menghalau kekuatan sihir dari lawan agar dirinya tidak sam-pai terpengaruh. Maka,
usaha Hek-i Mo-ong itu tentu saja sia-sia.
"Nenek, lihat siapa aku ini!" Kembali Hek-i Mo-ong mengibaskan kipasnya ke arah muka
ne-nek Nirahai. Akan tetapi, karena dia terlalu yakin dengan hasil kekuatan sihirnya, hampir
saja datuk yang memiliki kepandaian tinggi ini celaka. Ben-takannya yang berisi sihir itu,
yang disertai gerak-an tangan dan juga bibir kemak-kemik membaca mantera untuk merobah
dirinya dalam pandangan nenek itu. Kalau nenek itu terpengaruh oleh sihirnya, tentu dia akan
nampak sebagai orang berkepala naga dan tentu nenek itu akan menjadi keta-kutan atau
setidaknya terkejut sekali sehingga mu-dah baginya untuk merobohkannya.
Akan tetapi, ternyata akibatnya malah lain sekali dan sama sekali tak pernah diduga-
duga-nya, dan hampir mencelakainya. Nenek itu keli-hatan diam sedetik, akan tetapi bukan
untuk men-jadi kaget dan lengah, sebaliknya, tiba-tiba saja pedang payungnya berkelebat dan
menusuk ke arah ulu hati Hek-i Mo-ong!
"Singgg....!" Pedang itu berdesing dan se-kiranya Hek-i Mo-ong tidak cepat menggerak-kan
lengan kiri menangkis, tentu dadanya akan tembus oleh pedang payung itu, betapapun
kebal-nya. "Brettt....!" Lengan jubahnya robek dan kulit lengannya lecet sedikit. Dia meloncat mun-dur,
akan tetapi nenek Nirahai menerjangnya lagi dengan dahsyat. Gabungan Pat-mo Kiam-hoat
dan Pat-sian Kiam-hoat itu hebat bukau main sehingga untuk beberapa jurus lamanya Raja
Iblis itu terdesak hebat.
Melihat ini, Si Ulat Seribu cepat maju membantunya. Si U1at Seribu ini telah berhasil
merobohkan para pelayan Pulau Es dan melihat betapa Hek-i Mo-ong belum mampu
mengalahkan nenek tua renta itu, ia menjadi penasaran dan maju mengeroyoknya. Dan Hek-i
Mo-ong yang sudah kehilangan kecongkakannya itu tidak mencegahnya sehingga nenek itu
kini dikeroyok oleh dua orang yang berilmu tiuggi.
Cin Liong juga sudah terlibat dalam perkelahian seru melawan Eng-jiauw Siauw-ong Liok
Can Sui. Ketua Eng-jiauw-pang itu memiliki ilmu silat yang lihai dan ganas. Kedua tangan
yang ditutup sarung tangan setinggi siku, amat berbahaya karena sarung tangan itu dapat
dipergunakan untuk menangkis pedang. Jari-jarinya kini berobah menjadi jari-jari yang
berkuku garuda, terbuat daripada baja yang kuat. Alat yang sudah amat kuat ini digerakkan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
51 oleh tenaga sin-kang yang dah-syat, maka tentu saja menjadi sepasang senjata yang ampuh
sekali. Betapapun juga, yang diha-dapinya adalah Kao Cin Liong, jenderal muda yang sudah
banyak pengalaman, putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir yang amat lihai itu. Maka biarpun
dia dibantu oleh tiga orang anak buahnya yang merupakan tokoh-tokoh Eng-jiauw-pang dan
yang menggunakan senjata yang sama dengan ketua mereka, namun Cin Liong dapat
menggerak-kan pedangnya dengan hebat dan sama sekali tidak terdesak. Malah pemuda
perkasa ini membalas se-rangan dengan serangan yang tidak kalah berbaha-yanya.
Perkelahian antara Cin Liong dan empat orang tokoh Eng-jiauw-pang ini juga berlangsung
dengan seru, akan tetapi dibandingkan dengan nenek Nirahai, pemuda ini nampak lebih kuat
menghadapi para pengeroyoknya. Betapapun juga, di luar kalangan pertempuran itu masih


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdapat belasan, bahkan puluhan orang dari pihak musuh yang sudah siap-siap menyerbu dan
mengeroyok. "Ha-ha, nona manis, lebih baik engkau meyerah dalam pelukanku, dan engkau menjadi
murid dan pengikutku, hidup senang bersamaku!" Berkali-kali Jai-hwa Siauw-ok menggoda
Suma Hui ketika dia tadi menghadapi nona ini dengan tangan kosong. Biarpun ilmu pedang
Suma Hui sudah mencapai tingkat yang tinggi, namun menghadapi datuk ini dia kalah
pengalaman dan juga kalah matang gerakannya, apalagi dara ini sela-ma mempelajari ilmu-
ilmu yang tinggi belum per-nah mempergunakannya dalam perkelahian mati-matian. Kalau
saja ia sudah berpengalaman, de-ngan modal tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-
ciang saja, tanpa pedang sekalipun kiranya tidak akan mudah bagi penjahat cabul itu untuk
bersikap sembarangan dan memandang rendah kepadanya. Lebih lagi yang membuat Suma
Hui agak bingung adalah sikap jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang menggodanya dengan kata-
kata tidak senonoh itu. Kedua tangan penjahat itupun secara kurang ajar hendak meraba
dadanya, meng-usap pipinya, mencengkeram pinggulnya dan se-bagainya, dan semua ini
mendatangkan rasa malu dan marah luar biasa yang akibatnya mengacaukan gerakan
sepasang pedang di tangan Suma Hui.
Ciang Bun yang sejak tadi melindungi Ceng Liong dan menghadapi pengeroyakan para
ang-gauta gerombolan, melihat hal ini dan diapun menjadi marah. Usianya sudah lima belas
tahun dan dia sudah tahu bahwa datuk yang melawan encinya itu selain lihai sekali, juga tidak
sopan. Maka dia lalu menarik tangan Ceng Liong mendekati encinya dan membantu encinya
menghadapi Jai-hwa Siauw-ok. Setelah Ciang Bun maju membantu, barulah Jai-hwa Siauw-
ok mulai kehilangan kegembiraannya karena bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa enci
adik ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan!
Nenek Nirahai akhirnya harus mengakui bahwa dua orang lawannya itu, Hek-i Mo-ong dan
Si Ulat Seribu, merupakan lawan yang terlampau berat baginya. Andaikata dahulu, mungkin
ia masih akan dapat mengatasi atau setidaknya mengimbangi mereka, akau tetapi sekarang,
tenaganya jauh ber-kurang dan terutama sekali daya tahannya. Napas-nya mulai memburu dan
lehernya penuh dengan keringat. Beberapa kali ia terhuyung dan hanya berkat gin-kangnya
yang hebat sajalah ia berhasil meloloskan diri dari ancaman maut.
Kao Cin Liong melihat keadaan nenek itu. Dia menjadi khawatir sekali dan tahulah dia
bahwa mereka semua terancam bahaya maut. Dia teringat kepada Pendekar Super Sakti Suma
Han yang berada di dalam. Hatinya menjadi penasaran sekali.
Mengapa kong-couwnya yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti itu diam saja dan
membiar-kan isteri dan cucu-cucunya terancam bahaya ma-ut" Hawa panas naik dari
pusarnya ketika hatinya dilanda penasaran dan kemarahan, dan diapun lalu mengerahkan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
52 tenaga saktinya dan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-liong-hok-te. Tu-buhnya
merendah seperti hendak bertiarap dan diapun menancapkan pedangnya ke dalam tanah!
Lawannya, Eng-jiauw Siauw-ong si ketua Eng-jiauw-pang adalah seorang datuk kaum se-sat
yang sudah banyak pengalamannya dan tinggi ilmunya. Tadipun dia sudah merasakan betapa
lihainya pemuda ini sehingga dia dan beberapa orang pembantunya yang merupakan tokoh-
tokoh Eng-jiauw-pang, tidak mampu mendesaknya, apalagi merobohkannya. Kini, melihat
pemuda itu bersikap seperti itu, dia menjadi bingung. Selama-nya belum pernah dia melihat
atau mendengar ten-tang Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mende-kam Di Tanah) ini dan dia
melihat kesempatan baik untuk menyerang pemuda yang sedang me-rendahkan diri hampir
tiarap dalam posisi yang kaku dan tidak menguntungkan itu. Juga tiga orang pembantunya
merasa girang melihat kedu-dukan lawan yang disangkanya kelelahan itu. Me-reka berempat
menubruk maju dengan kedua tangan yang memakai sarung tangan kuku garuda itu diangkat
lalu menyerang.
"Hyaaaaattt....!" Lengkingan yang meng-getarkan jantung terdengar dan tubuh Cin Liong
mencelat ke depan, seperti seekor naga sakti yang menerjang awan. Ada kekuatan dahsyat
keluar dari kedua tangan dan tubuhnya, yang menyapu empat orang itu bagaikan angin taufan.
Tidak ada kekuatan yang dapat menahan kedahsyatan ini, apalagi hanya kekuatan empat
orang itu. Eng-jiauw Siauw-ong dan tiga orang pembantunya merasa seperti disambar
halilintar, dan tubuh me-reka terlempar ke belakang, terbanting dan tak dapat bangkit
kembali! Eng-jiauw Siauw-ong tewas seketika dengan dada pecah dan tiga orang
pembantunya juga terluka parah dan andaikata di antara mereka ada yang tidak tewas,
setidaknya tentu akan terluka parah dan cacat selama hidupnya.
Melihat robohnya seorang rekannya lagi itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan penasaran.
Pulau Es hanya dipertahankan oleh sekelompok kecil orang, dan ternyata dia telah kehilangan
dua orang rekan dan sedikitnya dua puluh orang anak buah!
"Serbuuu....!" teriaknya sambil memberi komando kepada para anak buahnya yang sejak tadi
hanya menjadi penonton saja karena mereka itu tidak berani memasuki pertempuran tingkat
tinggi itu. "Serbu ke dalam istana!"
Mendapat perintah dari Hek-i Mo-ong ini, sisa para anak buah yang masih kurang lebih tiga
-puluh orang itu lalu serentak menyerbu, sebagian membantu para datuk dan sebagian pula
menyerbu ke pintu gerbang istana.
"Cin Liong, bawa mereka!" Tiba-tiba nenek Nirahai berseru kepada jenderal muda itu. Cin
Liong mengerti apa yang dimaksudkan oleh nenek Nirahai. Memang dia melihat bahwa
keada-an amat gawat. Biarpun dia sudah berhasil mero-bohkan empat orang lawannya, akan
tetapi dia sendiri tadi menerima perlawanan tenaga dahsyat yang menggetarkan isi dadanya,
membuat dia sen-diri harus berhati-hati dan tidak berani mengerah-kan terlalu banyak tenaga
karena hal ini dapat membuat dia terluka di sebelah dalam tubuhnya. Dan pula, pihak lawan
masih amat kuat, terutama dengan majunya semua anak buah musuh itu.
Dia menyambar pedangnya sambil menjawab, "Baik!" lalu memutar pedang itu menerjang
Jai-hwa Siauw-ok membantu Suma Hui dan Ciang Bun yang mengeroyok penjahat cabul itu.
Kalau tadinya kakak beradik ini sudah mampu mendesak datuk cabul itu, kini karena si datuk
cabul dibantu oleh empat orang Korea dan Jepang, keadaan ka-kak beradik itu berbalik
terdesak. Ceng Liong sendiri dengan tombak di tangan hanya melindungi tuhuhnya dari
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
53 ancaman musuh. Ada dua orang anggauta musuh yang mengepungnya dan mencari
kesempatan untuk membunuh anak yang nekat dan berani ini.
Majunya Cin Liong membuyarkan kepungan terhadap Suma Hui dan Ciang Bun, bahkan
Suma Hui dengan sepasang pedangnya mampu merohoh-kan seorang pengeroyok dan juga
Ciang Bun ber-hasil menendang roboh seorang pengeroyok lain-nya. Jai-hwa Siauw-ok
terkejut dan meloncat mundur untuk menyusun kekuatan lagi. Kesempat-an ini dipergunakan
oleh Cin Liong untuk berteriak kepada tiga orang muda itu. "Lari kalian ikuti aku!"
Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong tidak mengerti apa yang dikehendaki Cin Liong. Akan
tetapi karena mereka telah menyaksikan kehebatan pemuda itu dan melihat bahwa keadaan
sudah ter-lalu mendesak, merekapun secara membuta menuruti permintaan Cin Liong.
Melihat Cin Liong melompat masuk melalui pintu samping, mereka bertigapun berlarian dan
melompat masuk. Akan tetapi setelah tiba di dalam dan melihat Cin Liong menutupkan pintu
samping itu, Suma Hui berseru kaget, "Kau mau apa" Aku tidak sudi melarikan diri!"
Cin Liong sudah lebih dulu menduga akan ter-jadinya hal ini. Biarpun baru sebentar
mengenal gadis ini, namun dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini memiliki kekerasan hati
dan kegagahan luar biasa. Cucu ini tentu tidak akan jauh watak-nya dari neneknya. Kalau
nenek Nirahai yang sudah tua renta itu saja marah mendengar usulnya untuk menyelamatkan
dan meloloskan diri, apalagi dara yang masih muda dan penuh semangat ini. Tentu akan
menentang kalau mendengar bahwa ia dia-jak melarikan diri meninggalkan musuh yang
se-dang menyerbu Pulau Es, apalagi harus mening-galkan nenek dan kakeknya berdua saja
mengha-dapi ancaman musuh! Dia sudah memperhitung-kan sejak tadi apa yang harus
dilakukan. Dia sudah berjanji kepada nenek buyutnya dan janji seorang gagah lebih berharga
daripada nyawa.
"Bibi Hui, kaulihatlah baik-baik betapa ga-gahnya nenek buyut Nirahai menghadapi
pengero-yokan musuh-musuhnya!" Berkata demikian, Cin Liong mendekati dara itu dan
menudingkan telunjuknya keluar pintu samping setelah membuka sedikit daun pintu itu.
Suma Hui tentu saja me-noleh dan memandang keluar penuh perhatian. Memang ia melihat
betapa neneknya itu mengamuk bagaikan seekor naga betina. Para pengeroyoknya yang tidak
begitu tinggi ilmunya, jatuh berpelan-tingan kena disambar pedang payungnya. Hanya Hek-i
Mo-ong dan Si Ulat Seribu yang masih bertahan, walaupun Si Ulat Seribu juga hanya be-rani
mengeroyok dari jarak jauh saja.
"Tukkk....!" Tiba-tiba tangan Cin Liong bergerak dan tubuh Suma Hui telah menjadi lemas
tertotok pada saat ia lengah itu.
"Heiii! Apa yang kaulakukan?" bentak Ciang Bun dan Ceng Liong yang sudah tak dapat
mena-han kemarahannya telah menusukkan tombaknya ke arah dada Cin Liong. Cin Liong
juga sudah menduga akan hal ini, maka cepat dia mengelak dan menangkap tombak Ceng
Liong, lalu berkata dengan suara berwibawa, "Kedua paman kecil, tenanglah. Ini adalah
perintah nenek buyut Nira-hai!" Berkata demikian, Cin Liong sudah memang-gul tubuh Suma
Hui yang pingsan. Kedua orang muda itu saling pandang dengan bimbang, akan tetapi tiba-
tiba terdengar suara Nirahai.
"Kalian ikutilah Cin Liong dan jangan mem-bantah!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
54 Mendengar suara nenek mereka itu, barulah Ciang Bun dan Ceng Liong percaya. Mereka
meng-angguk kepada Cin Liong dan pemuda ini merasa lega sekali. Cepat dia menutupkan
daun pintu. "Mari ikut, cepat!"
Sementara itu, di luar nenek Nirahai menga-muk makin sengit. Ia sengaja menjaga pintu
sam-ping itu dan merobohkan siapa saja yang hendak melakukan pengejaran terhadap Cin
Liong dan ti-ga orang cucunya itu. Setelah melihat cucu-cucu-nya diselamatkan, wajah nenek
ini berobah berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulut-nya tersenyum, sepak
terjangnya lebih hebat lagi seolah-olah kini ia dapat berpesta-pora dalam pertempuran itu
setelah tidak ada ganjalan hati khawatir akan keselamatan cucu-cucunya.
Ia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang lihai adalah Si Ulat Seribu dan Hek-i Mo-
ong. Akan tetapi karena ia maklum bahwa mero-bohkan Hek-i Mo-ong bukanlah merupakan
hal mudah baginya, maka ia mengambil keputusan untuk merobohkan Si Ulat Seribu lebih
dulu. Pada saat Hek-i Mo-ong untuk kesekian kalinya mem-bentak keras dan tombak Long-
ge-pang itu me-nyambar-nyambar dari atas, nenek Nirahai meng-gunakan gin-kangnya,
menyelinap di antara sinar tombak lawan tanpa menangkisnya. Hek-i Mo-ong terkejut, tidak
mengira bahwa nenek itu dapat lo-los dari gulungan sinar tombaknya begitu saja. A-kan
tetapi, nenek Nirahai bukan sembarangan me-loncat dan meloloskan diri dari kepungan
gulungan sinar tombak, melainkan ia menyerbu ke arah Si Ulat Seribu yang mengeroyoknya
dari jarak aman.
Melihat sinar pedang payung meluncur ke arah-nya, Si Ulat Seribu terkejut. Sejak tadi ia
sudah merasa agak jerih karena setiap kali ujung sabuk merahnya bertemu pedang payung,
selalu tangannya terasa tergetar, kadang-kadang panas sekali, kadang-kadang dingin bukan
main. Bahkan sudah dua kali kaitan emasnya patah ujungnya. Karena maklum bahwa ia tidak
mampu menandingi nenek Pulau Es ini, maka ia membiarkan Hek-i Mo-ong yang
menandinginya secara langsung se-dangkan ia hanya membantu dari jarak aman saja, kadang-
kadang melakukan serangan dengan sa-buk emasnya untuk mengacaukan pertahanan la-wan.
Maka, kini melihat nenek itu tiba-tiba dapat meloloskan diri dari kepungan sinar senjata Hek-i
Mo-ong dan tahu-tahu sudah menyerangnya de-ngan ganas, terpaksa ia memutar sabuk
merahnya dan menangkis serangan itu sambil mengerahkan sin-kangnya dan menggoyang
tubuhnya. "Cringgg.... prakk....!" Tubuh Si Ulat Seribu terpelanting dan tak bergerak lagi. Ia te-was
dengan kepala retak karena pelipisnya kena dihantam pedang payung! Akan tetapi, ketika ia
menangkis dan sabuknya terbabat putus tadi, ia menggoyang tubuh dan dari kedua lengannya
be-terbangan sinar bermacam warna menuju ke arah nenek Nirahai. Nenek ini cepat
mengelak, akan tetapi tetap saja seekor ulat berbulu merah hinggap di pipinya! Ia merasa gatal
dan panas. Ketika tangan kirinya menepuk ulat itu dan ia melihat bahwa yang hinggap itu
ulat, nenek Nirahai bergi-dik ngeri! Ia adalah seorang panglima, seorang pendekar wanita
yang gagah perkasa, namun ia tetap seorang wanita! Dan setiap orang wanita mempunyai
kelemahan masing-masing terhadap binatang melata atau binatang-binatang kecil la-innya.
Ada yang ngeri melihat ular, ada yang takut melihat tikus, atau kacoa, cacing dan sebagainya.
Dan kebetulan sekali nenek Nirahai ini paling jijik dan ngeri kalau melihat ulat! Ketika ia
masih kecil, pernah ia bermain-main di kebun dan tubuhnya terkena bulu ulat sehingga
seluruh tubuh itu gatal-gatal. Agaknya hal ini yangmendatangkan kesan mendalam di hatinya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
55 sehingga ia selalu merasa jijik dan takut kalau melihat ulat. Apalagi sekarang ada ulat besar
berbulu merah yang hinggap di pipinya, dan kini hancur karena tepukan dan pipinya terasa
gatal dan panas. Ia menjerit kecil dan untuk beberapa detik lamanya ia kehilangan
keseim-bangan dan menjadi lengah.
Kesempatan yang hanya beberapa detik ini ten-tu saja tidak dilewatkan oleh Hek-i Mo-ong.
Secepat kilat tombak Long-ge-pang itu meluncur, cepat dan amat kuat, dan dilakukan dari
belakang nenek Nirahai.
"Cappp....!" Tombak itu menembus punggung sampai dalam, lalu dicabut lagi oleh Hek-i
Mo-ong yang sudah hendak menyusulkan lagi tusuk-annya. Akan tetapi, tiba-tiba nenek itu
membalik dan dengan pekik melengking, nenek itu mengge-rakkan pedang payungnya.
"Trangggg....!" Nampak bunga api berpijar dan tubuh Hek-i Mo-ong yang tinggi besar itu
terhuyung ke belakang. Raja Iblis ini merasa be-tapa tubuhnya panas dingin dan ia menggigil
nge-ri. Dia dapat menduga bahwa ini tentulah peng-gabungan tenaga sin-kang Yang-kang dan
Im-kang yang amat terkenal dari Pulau Es! Ia menjadi agak jerih juga, akan tetapi dia melihat
nenek itu lari menuju ke pintu gerbang depan istana dan dari punggungnya bercucuran darah
yang membasahi lantai. Nenek itu telah terluka parah.
"Kejar....!" serunya tanpa memperdulikan lagi Si Ulat Seribu yang sudah tewas. Kini hanya
Jai-hwa Siauw-ok saja satu-satunya rekan yang masih hidup dan yang segera mengikutinya
mengejar, bersama dua belas orang anak buahnya. Hanya tinggal dua belas orang saja dari
lima puluh orang lebih yang datang menyerbu! Amukan nenek Ni-rahai dibantu Cin Liong,
tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tadi ternyata telah merobohkan kurang lebih
empat puluh orang dan di pihak Pulau Es, lima orang pelayan tewas dan nenek Lulu juga
tewas, sekarang nenek Nirahai terluka parah.
Nenek Nirahai sebetulnya bukan bermaksud melarikan diri. Ia tahu bahwa ia telah terluka
hebat, tombak Hek-i Mo-ong telah menembus sebuah paru-parunya dan nyawanya tak
mungkin dapat diselamatkan lagi. Kalau ia kini melarikan diri ke pintu gerbang, ada dua hal
yang mendorong-nya dan bukan karena ia takut melawan lagi. Per-tama adalah untuk
memancing sisa musuh itu agar mengejarnya dan tidak mengejar Cin Liong yang melarikan
tiga orang cucunya, dan ke dua ia ingin bertemu sekali lagi dengan suaminya sebelum ia mati!
Dengan tangan kanan memegang pedang pa-yungnya dan tangan kiri dengan susah payah
men-coba untuk menutup luka di punggungnya, Nira-hai mendorong daun pintu gerbang
dengan pun-daknya dan sepasang daun pintu itu terbuka lebar. Ia melihat suaminya masih
duduk bersila di dekat peti jenazah Lulu dan asap dupa mengepul tebal.
Suaminya masih bersila dengan kaki tunggalnya, dan kini suaminya mengangkat muka
memandang kepadanya dengan sinar mata lembut penuh kasih sayang.
"Isteriku, engkau terluka parah...." katanya halus dan tiba-tiba Nirahai merasa betapa
kerong-kongannya seperti tersumbat. Suara itu mengandung getaran cinta kasih yang
sedemikian besar-nya, mengingatkan ia akan masa muda mereka yang penuh kemesraan dan
kasih sayang. Kemudian ia melihat betapa suaminya menggunakan kedua tangan untuk
menekan lantai dan tubuh suaminya itu, tetap dalam keadaan duduk bersila, berloncat-an maju
menyambutnya! Hal ini dirasakan oleh Nirahai seperti tusukan pedang ke dua pada
jan-tungnya. Kini tahulah ia mengapa suaminya sejak beberapa hari yang lalu bersamadhi tak
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
56 pernah bangkit berdiri lagi! Juga ketika Lulu meninggal dunia, suaminya hanya duduk bersila.
Kiranya.... ah, ia tahu. Suaminya terserang penyakit lama-nya. Lumpuh! Penyakit ini telah
dilawannya selama puluhan tahun, bahkan penyakit ini pula yang tadinya mengeram di kaki
kiri suaminya yang kemudian buntung, mengira bahwa penyakit itu le-nyap bersama kaki.
Hanya karena kehebatan i1mu kepandaian suaminya karena kuatnya sin-kangnya, maka
penyakit itu dapat ditekan sedemikian rupa. Kini, dalam usia tuanya, penyakit itu timbul dan
membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah!
"Suamiku....!" Nirahai menubruk, melempar pedangnya dan Suma Han menyambutnya
dengan kedua lengan terbuka. Nirahai terkulai di atas pangkuan suaminya, darah mengucur
dari pung-gungnya membasahi pakaian mereka berdua dan sungguh aneh, Nirahai merasa
seolah-olah ia men-jadi pengantin baru dengan suaminya! Terbayang semua keindahan dan
kemesraan antara mereka, dan pandang matanya semakin kabur, akan tetapi bibirnya
tersenyum penuh bahagia.
"Suamiku.... engkau.... beratkah penyakitmu....?" Ia masih sempat berbisik sambil
me-mandang wajah suaminya dengan kepala terletak di pangkuan.
Pendekar Super Sakti tersenyum, mengangguk dan mengusap dagu isterinya. "Kau tunggulah
di sana.... aku takkan lama lagi menyusulmu...." bisiknya lirih dan ramah. Akan tetapi nenek
Nira-hai hanya mendengar setengahnya saja karena ia telah terkulai dan nyawanya telah
meninggalkan badannya, akan tetapi kata-kata di bibirnya sempat terloncat keluar dalam
bisikan, "Aku.... gembira.... seperti adik Lulu...."
Nirahai telah mati. Lulu telah mati. Suma Han memandang wajah isteri di pangkuannya itu,
menutupkan mata dan mulutnya dengan jari tangan, dengan sentuhan mesra, kemudian
menoleh ke arah peti jenazah Lulu, dan diapun menghela napas panjang. Kedua isterinya
sungguh merupakan dua orang wanita pendekar yang gagah perkasa sampai saat terakhir,
sampai menjadi nenek-nenek tua renta! Bagaimanapun juga, dia melihat kebang-gaan
menyelinap di dalam hatinya, berikut juga penyesalan mengapa mereka berdua itu sampai
akhir hidupnya bergelimang dalam kekerasan. Bi-arpun dia tidak keluar dari ruangan itu, dia
dapat mendengar dan membayangkan apa yang telah terjadi di luar. Kini dia mendengar
langkah-lang-kah kaki banyak orang menuju ke depan pintu ger-bang yang menembus ke
ruangan itu. Sambil me-narik napas, Suma Han memondong dan memang-gul tubuh isterinya
dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya menekan lantai dan sekali me-ngerahkan
tenaga, tubuhnya sudah melayang kem-bali ke tempat semula, di dekat peti jenazah Lulu, dan
dengan hati-hati dia merebahkan jenazah Ni-rahai di samping peti jenazah Lulu. Kemudian
diapun duduk menanti, menghadap ke arah pintu. Dupa harum masih mengepul tebal di
samping kirinya.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hek-i Mo-ong merupakan orang pertama yang meloncat masuk melalui pintu gerbang yang
sudah terbuka itu, kemudian disusul oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dua belas orang anggauta
mereka yang masih hidup dan belum terluka. Empat belas orang itu berdiri memandang
dengan bengong. Biarpun Pendekar Super Sakti nampak duduk bersila di dekat peti jenazah
dan juga jenazah nenek Nirahai yang rebah terlentang di dekat peti itu nampak tenang dan
sama sekali tidak membayangkan ancaman dan tidak menyeramkan, namun me-reka semua
merasakan sesuatu yang membuat me-reka bengong. Ada sesuatu dalam sikap kakek itu yang
membuat mereka jerih. Seorang kakek tua renta, rambutnya yang putih itu riap-riapan, ku-mis
dan jenggotnya seperti benang-benang perak halus, sepasang mata pada wajahnya yang masih
tampan itumemandang lembut ke arah mereka, pada wajah itu sedikitpun tidak terbayang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
57 perasaan marah atau takut. Mereka seperti menghadapi hamparan samudera luas yang tenang,
atau langit biru tanpa awan bergerak. Di balik ketenangan dan keheningan ini terdapat sesuatu
yang mengha-nyutkan, sesuatu yang luas dan dalam, yang menimbulkan rasa hormat dan
kagum.Kemudian terdengar suara kakek tua renta itu, suaranya halus dan datar tanpa
didorong perasaan, "Kalian pergilah dan tinggalkan pulau ini, bawa teman-temanmu yang
tewas dan terluka."
Suara halus ini agaknya menyadarkan semua orang dari pesona, dan Hek-i Mo-ong
mengge-rakkan tombaknya yang masih berlepotan darah nenek Nirahai itu sambil bertanya,
"Apakah engkau tidak hendak melawan kami" Bukankah engkau ini Pendekar Super Sakti
atau Pendekar Siluman, tocu dari Pulau Es?"
"Namaku Suma Han...."
Tiba-tiba Jai-hwa Siauw-ok berteriak, "Ka-kek ini suda
Bukit Pemakan Manusia 11 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Hati Budha Tangan Berbisa 10
^