Kisah Para Pendekar Pulau Es 20

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


Tiba-tiba, pria gagah perkasa yang mukanya dihias kumis dan jenggot pendek itu meloncat
ke belakang, lalu menghadapi suami isteri itu sambil menjura dengan sikap hormat dan muka
tersenyum ramah.
"Aku berani bertaruh bahwa pemuda ini tentu-lah putera Pendekar Siluman Kecil!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
583 Suma Kian Bu dan isterinya cepat membalas penghormatan tamu itu. "Siapakah saudara
yang gagah perkasa ini?" tanyanya, ditujukan kepada tamunya dan juga kepada puteranya.
Ceng Liong tidak menjawab karena memang dia sendiri tidak mengenal orang itu. Akan tetapi
laki-laki gagah perkasa itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha begitu banyakkah aku berubah"
Suma-taihiap tidak me-ngenal aku, si pemburu miskin ini?"Suma Kian Bu memandang lebih
teliti kepada pria berusia empat puluh tahunan itu, kemudian wajahnya nampak berseri,
sepasang matanya men-corong dan diapun lalu berseru, "Aihhh.... kiranya saudara Sim Hong
Bu! Ceng Liong, beri hormat kepada paman Sim Hong Bu ini! Dia ada-lah jagoan yang lihai
sekali dari Lembah Gunung Naga Siluman, ha-ha-ha!" Kian Bu girang bukan main dan Ceng
Liong lalu memberi hormat kepa-da orang yang tadi telah mengujinya.
Sim Hong Bu juga tertawa. "Suma-taihiap bersama isteri semakin gagah saja, dan telah
me-miliki seorang putera yang sedemikian hebatnya, sungguh Thian Maha Murah,
menurunkan berkah melimpah kepada keluarga pendekar budiman!"
"Sudahlah, saudara Sim, buang semua pujian-pujianmu itu dan mari kita bicara di dalam,
kami rasa kedatanganmu ini bukan sekedar kunjungan biasa." kata Suma Kian Bu.
"Sesungguhnyalah, saya datang dengan sengaja karena hendak membicarakan hal yang amat
pen-ting."
Dengan sikap gembira mereka berempat lalu memasuki pondok keluarga itu dan tak lama
kemu-dian mereka sudah duduk di ruangan dalam, meng-hadapi hidangan dan minunan yang
dikeluarkan oleh Teng Siang In. Setelah makan hidangan se-kedarnya dan saling
menceritakan keadaan masing--masing, Suma Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi lalu
bertanya, "Nah, saudara Sim, sekarang kelu-arkanlah isi hatimu. Apa sebenarnya maksud
yang terkandung di hatimu dan yang mendorongmu jauh-jauh datang mengunjungi kami?"
"Tidak begitu jauh, Suma-taihiap, karena sudah sejak kurang lebih tiga tahun aku
meninggalkan Lembah Gunung Naga Siluman. Taihiap, apakah taihiap sekeluaga selama ini
tidak mendengarkan sesuatu yang sedang bergejolak di dunia para pen-dekar?"
Suma Kian Bu saling pandang dengan isterinya dan puteranya, lalu menggeleng kepala.
"Selama tiga tahun ini, kami bertiga tidak pernah mening-galkan rumah. Kami tidak tahu dan
tidak mende-ngar apapun tentang dunia kang-ouw. Ada ter-jadi apakah, saudara Sim?"
"Taihiap, kami para patriot menganggap bahwa kini sudah terlalu lama kita membiarkan diri
ditin-das kaum penjajah, bahwa kini tiba masanya bagi kita untuk melakukan usaha meronta
dan membe-baskan diri daripada belenggu penjajahan!"
Suma Kian Bu dan Teng Siang In mendengar-kan dengan alis berkerut. Itu berarti
pemberon-takan! "Tapi.... tapi...." keduanya meng-gagap.
Sim Hong Bu bersikap serius. "Harap ji-wi jangan terkejut. Apa anehnya kalau kini para
patriot bangkit" Hendaknya ji-wi tidak lupa bahwa negara dan bangsa kita telah dikuasai
penjajah asing selama kurang lebih seratus tahun lamanya! Masih kurang lamakah itu"
Kekayaan tanah air dikeruk bangsa lain. Semua kedudukan tinggi di pegang oleh tangan
asing. Lihat ini....!" Sim Hong Bu menggerakkan kepalanya dan kuncirnya yang tebal itu
terlepas dari gelungnya. "Kita harus berkuncir seperti ekor anjing! Kita dihina, ditin-das,
diperas. Bangsa Han yang besar kini telah menjadi bangsa penjajahan yang diperbudak oleh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
584 segelintir orang-orang Mancu. Kalau kita tidak bersatu, tidak serempak bergerak melawan
penja-jahan, apakah kita akan membiarkan anak cucu kita selamanya menjadi bangsa budak?"
Pria yang gagah perkasa itu bicara dengan si-kap gagah, dengan sepasang mata mencorong
se-perti berapi- api. Agaknya semangat kepatriotannya itu membakar pula dada Suma Kian
Bu dan Teng Siang In. Kedua orang suami isteri ini bebe-rapa kali saling pandang dan wajah
mereka beru-bah merah, mata mereka bersinar-sinar dan ber-semangat. Teng Siang In mulai
mengangguk-ang-guk mendengarkan ucapan tamunya yang penuh semangat itu.
"Memang, sesungguhnya kamipun tidak buta terhadap itu semua, saudara Sim. Sejak kecil
aku sudah melihat akan semua itu, sejak aku mengerti bahwa Bangsa Han dijajah oleh orang-
orang Mancu. Akan tetapi.... karena kita tidak ber-daya...."
"Tentu saja tidak berdaya kalau kitadiam saja!" Sim Hong Bu memotong ucapan pendekar
yang selalu dikaguminya itu. "Di tangan kita sendirilah terletak nasib bangsa kita. Kita
diamkan saja ber-arti anak cucu kita akan terus menjadi budak-budak hina. Dan apa artinya
kita menyebut diri sebagai orang-orang gagah kalau kita membiarkan mala-petaka ini terjadi"
Apakah kita tidak akan malu terhadap leluhur kita" Terhadap tanah air kita?"
"Engkau betul!" Teng Siang In berseru, tak tahan lagi. "Kita memang harus bergerak!"
Suma Kian Bu mengangguk-angguk. "Biarpun nampaknya mustahil, akan tetapi, kalau kita
mau bersatu, mengumpulkan dan menyusun kekuatan, agaknya bukan tidak mungkin pada
suatu hari kita melihat negara dipimpin oleh bangsa sendiri. Dia berhenti sebentar, lalu
melanjutkan. "Dan kedatanganmu ini, selain bicara tentang itu, mengan-dung tugas apa lagi,
saudara Sim?"
"Harap taihiap ketahui bahwa selama beberapa bulan ini, secara rahasia para pendekar yang
ber-jiwa patriot telah mulai mengadakan hubungan, di mana-mana diadakan pertemuan
rahasia dan akhirnya dicapai kesepakatan untuk bekerja sen-diri-sendiri lebih dahulu,
menyebarluaskan niat rahasia untuk mengusir penjajah. Mengumpulkan teman-teman
sehaluan, menyusun kekuatan dau kelak akan diadakan pertemuan besar di antara para tokoh
besar dunia kang-ouw. Dalam pertemuan itulah akan dibahas lebih terperinci lagi apa yang
harus kita lakukan. Nah, dalam tugas menye-barluaskan dan mencari teman sehaluan inilah
aku teringat kepada taihiap dan datang ke sini."
"Bagus! Kami setuju sekali dan kami siap untuk membantu!" kata Suma Kian Bu dengan
nada su-ara gembira dan penuh semangat. Wajah pendekar ini berseri-seri dan sepasang
matanya semakin mencorong dan bersinar.
"Ah, sudah kuduga bahwa Pendekar Siluman Kecil sekeluarganya yang gagah perkasa tentu
akan mendukung. Perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah ini
membutuhkan per-satuan tenaga semua pendekar, terutama sekali tenaga-tenaga muda seperti
putera Suma-taihiap ini." Sim Hong Bu memandang kepada Ceng Liong yang sejak tadi
nampak diam dan menundukkan mukanya saja itu. Sepasang alis pemuda itu kini berkerut dan
dia tidak nampak segembira ayah ibunya.
"Tentu saja Ceng Liong akan menjadi seorang patriot dan membantu perjuangan para
pendekar. Bukankah begitu, anakku?" kata Teng Siang In dengan bangga.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
585 Pemuda itu mengangkat muka memandang ibu-nya, lalu ayahnya dan tamu itu, kemudian dia
me-narik napas panjang. "Nanti dulu, ibu. Aku tidak bisa mengambil keputusan seketika saja.
Peristiwa ini datangnya secara tiba-tiba sekali, membuat aku bingung dan banyak sekali hal-
hal yang tidak aku mengerti."
"Hal-hal apakah yang belum kaumengerti?" Ayahnya bertanya.
"Maaf, ayah. Aku sungguh merasa bingung me-lihat betapa ayah dan ibu secara tiba-tiba saja
merobah pendirian menjadi berlawanan dari yang sudah-sudah seperti ini. Bukankah ayah dan
ibu selalu menentang pemberontakan" Bukankah ayah selalu memihak kepada kaisar kalau
terjadi pembe-rontakan" Bahkan ayah pernah bercerita kepada-ku betapa ayah dan ibu
menyelamatkan kaisar dari serangan kaum pemberontak. Dan sekarang" Aku mendengar ayah
dan ibu menyetujui paman Sim ini dan berjanji akan membantu para pemberontak!
Bagaimanakah ini?"
"Liong-ji! Tidak pantas kau menegur ayah-mu di depan tamu!" Ibunya berseru menegur.
Akan tetapi Sim Hong Bu dan Suma Kian Bu nam-pak kagum dan wajah mereka berseri.
"Biarlah, dia berhak mengeluarkan ganjalan hatinya dan aku suka akan kejujurannya." kata
Suma Kian Bu. "Hemm, pertanyaan-pertanyaan Suma Siauw--sicu tadi memang bagus, menandakan bahwa
dia mempergunakan akal budi dan tidak hanya main ikut-ikutan saja seperti kebanyakan
orang lain." kata pula Sim Hong Bu sambil mengangguk--angguk.
"Ceng Liong, kalau tidak diberi penjelasan, memang kebimbangan dan keraguan akan selalu
menghantui batinmu. Engkau harus tahu membe-dakan antara pendekar dan patriot.
Keduanya itu sama sekali berbeda. Tidak semua pendekar berji-wa patriot walaupun
sebenarnya pendekar yang tidak mencinta dan membela tanah air dan bangsa bukanlah
pendekar lengkap. Sebaliknya, tidak semua patriot berjiwa pendekar walaupun hal ini patut
disayangkan."
"Adakah perbedaan antara pendekar dan pa-triot?" Ceng Liong bertanya.
"Seorang pendekar adalah seorang pembela kebenaran dan keadilan dipandang dari sudut
pe-rikemanusiaan. Seorang pendekar selalu membela yang lemah tertindas, menentang yang
kuat dan jahat, tanpa memandang bulu, tidak melihat ke-dudukan atau derajat. Biar kaisar
maupun penge-mis, apabila terancam dan membutuhkan perto-longan, tentu akan
ditolongnya. Itulah sebabnya dahulu ayah ibumu menolong kaisar, ketika itu kami bertindak
seperti pendekar. Akan tetapi se-orang patriot adalah seorang pembela tanah air dan bangsa,
baik untuk menentang pihak yang hendak mencelakakan bangsa maupun untuk berbuat
sesu-atu yang berguna bagi nusa bangsa. Kini, sebagai seorang patriot, aku harus membantu
pejuangan yang hendak membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah
Mancu." "Akan tetapi, bukankah ayah sendiri mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang
kaisar yang baik dan bijaksana?" bantah Ceng Liong.
Mendengar pertanyaan ini, Suma Kian Bu dan isterinya saling pandang dengan Sim Hong Bu
yang tersenyum sabar dan mengangguk-angguk. Tiga orang sakti ini tentu saja maklum
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
586 sepenuhnya akan pertanyaan itu. Mereka harus mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah
seorang kaisar bijaksana yang bahkan disayang oleh para pendekar.
"Ceng Liong, urusan patriot adalah urusan ne-gara dan bangsa, bukan urusan pribadi atau
per-orangan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang
baik dan bijaksana. Akan tetapi jangan lupa, dia itu kaisar penjajah! Pemerintahannya
menindas dan memeras bangsa kita. Bukan pribadi Kaisar Kian Liong yang kita musuhi,
melainkan pemerintah penjajah! Me-ngertikah engkau?"
Pemuda itu menggeleng kepala. "Aku masih bingung, ayah. Menurut kitab-kitab sejarah yang
pernah kubaca, ketika bangsa kita diperintah oleh pemerintahan bangsa sendiri, rakyat banyak
pula mengalami penderitaan. Bahkan di jaman Beng-tiauw sebelum Bangsa Mancu datang,
banyak ter-cipta kaisar lalim dan pemerintahanya menindas dan menghisap rakyat. Akan
tetapi, Kaisar Kian Liong ini mencinta rakyat. Bukankah itu berarti bahwa pemerintah
penjajah di dalam tangan Kaisar Kian Liong jauh lebih baik daripada pemerintah bangsa
sendiri di dalam tangan kaisar-kaisar lalim?"
Tiga orang sakti itu menggeleng kepala. "Tidak, tidak demikian, anakku. Hal ini menyangkut
mar-tabat bangsa! Betapapun jeleknya pemerintahan-nya, kalau berada di tangan bangsa
sendiri, keka-yaan tanah air tidak akan mengalir keluar. Pula, rakyat jelata akan dapat
sewaktu-waktu menggan-ti kaisar seperti yang seringkali terjadi. Sebalik-nya, kalau
pemerintahan penjajah, kita menjadi bangsa taklukan, menjadi budak dan mengalami
penghinaan. Seperti keharusan memakai kuncir seperti ekor binatang, larangan membawa
senjata, pajak-pajak yang berat, kerja paksa dan lain-lain." Suma Kian Bu menjelaskan."Akan
tetapi, kalau begitu kenapa tidak dari dulu- dulu ayah ibu bangkit menentang pemerintah
penjajah" Kenapa ayah ibu pernah membantu pe-merintah menentang pemberontakan?"
"Itu lain lagi, anakku." kata ibunya. "Kalau saatnya belum tiba, patriot menyimpan saja cita-
-cita dalam hatinya dan kita bertindak sebagai pen-dekar. Bagi patriot, yang penting adalah
membantu dan membela rakyat. Pada garis besarnya, memang tugas para patriot adalah
mengusir penjajah. Akan tetapi sementara itu kalau saatnya belum tiba le-bih dulu kita
membantu penguasa yang baik, me-nentang penguasa lalim."
"Tapi, bukankah beberapa kali terjadi pemberontakan" Gubernur di barat pernah
memberontak ketika aku merantau ke sana, dan mengapa ayah ibu tidak membantu
pemberontakan seperti itu?"
"Bolehkah aku menjelaskan?" kata Hong Bu dan melihat tuan dan nyonya rumah
mengangguk, dia melanjutkan. "Ada bermacam-macam- pemberontak, orang muda yang
gagah. Pemberon-takan yang dilakukan oleh golongan atau bangsa yang tadinya sudah
menakluk, seperti Tibet atau Nepal. Tentu saja kita harus menentang pembe-rontakan seperti
itu karena kalau perberontakan itu menang, berarti negara jatuh ke dalam cengke-raman
penjajah asing lainnya. Ada pemberontakan golongan penguasa yang berusaha merebut
keku-asaan demi ambisi pribadi, dan pemberontakan macam inipun tidak akan didukung para
patriot karena golongan itu tidak mewakili rakyat. Para patriot sudah menanti sampai seratus
tahun, menanti kesempatan baik. Dan kini masanya tiba para patriot ingin menyumbangkan
tenaga, berjuang membebaskan rakyat, mengusir penjajah!"
"Kita usir penjajah!" teriak Suma Kian Bu dan isterinya. Melihat ini, Ceng Liong
mengerutkan alisnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
587 "Ayah, satu pertanyaan lagi."-
"Tanyalah."
"Tapi harap ayah dan ibu tidak marah."
"Mengapa marah" Pertanyaan jujur memang terdengar kasar dan menyakitkan, akan tetapi
baik sekali."
"Nah, ayah dan ibu kini bersikap menentang pemerintahan penjajah Mancu. Akan tetapi,
ayah, ada suatu kenyataan dalam keluarga kita yang tak dapat dibantah oleh siapapun juga,
yaitu bahwa keluarga Pulau Es tak dapat dipisahkan dengan keluarga Kerajaan Ceng. Ayah,
bukankah dalam tubuh kita masih mengalir darah Mancu" Apakah kita harus melupakan
kenyataan bahwa nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu, bahkan pernah menjadi
panglima" Danbibi Puteri Milana juga pernah menjadi panglima" Bukankah mendiang kakek
Suma Han tidak pernah menentang keraja-an?"
Mendengar pertanyaan ini, Teng Siang In ter-belalak lalu menundukkan mukanya. Juga Sim
Hong Bu terkejut dan menundukkan muka. Me-reka ini tahu betapa gawatnya pertanyaan itu
dan hendak menyerahkan jawabannya sepenuhnya ke-pada Pendekar Siluman Kecil itu. Suma
Kian Bu sendiri terdiam dan agaknya pertanyaan anaknya ini merupakan serangan yang
membuatnya lum-puh sejenak. Akan tetapi, diapun lalu tersenyum dan menatap wajah
puteranya dengan tenang.
"Liong-ji, dengarkan baik-baik. Aku tidak pernah menyangkal bahwa ibuku, yaitu nenekmu
Puteri Nirahai, adalah seorang puteri Mancu! Akan tetapi lihatlah kenyataannya. Beliau
sampai tua pergi ikut suaminya, hidup di Pulau Es. Kakekmu, mendiang ayahku itupun tidak
pernah membantu pemerintah Mancu. Mereka memang tidak mem-perlihatkan permusuhan,
tidak bersikap menentang Kerajaan Mancu, akan tetapi karena selama itu be-lum pernah para
patriot berkesempatan untuk bangkit. Lihat saja. Bukankah bibimu, Puteri Milana juga sekali
waktu saja menjabat panglima, hanya untuk memadamkan pemberontakan go-longan lain,
sama sekali bukan pemberontakan para patriot" Hendaknya engkau mengetahui be-tul. Puteri
Milana juga pergi mengikuti suaminya, pamanmu yang gagah perkasa Gak Bun Beng,
menyepi di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Seng-san. Memang banyak pula pendekar-
pendekar besar yang membantu pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong
sekarang ini, dan hal itu tak dapat terlalu disalahkan. Seperti kau dengar tadi, tugas seorang
patriot terbagi dua. Kalau para patriot belum sempat bangkit mengu-sir penjajah, mereka itu
bertugas melindungi rakyat dan mengarahkan pemerintahan penjajah itu pada jalan yang
benar, dan hal itu baru dapat dilaksanakan kalau mereka duduk di dalam roda pemerintahan
itu sendiri. Mengertikah engkau?"
Mendengar kuliah-kuliah yang diberikan oleh ayahnya, ibunya dan kadang-kadang Sim Hong
Bu juga memberi penjelasan, akhirnya Suma Ceng Liong mengerti dan diapun menyambut
cita-cita perjuangan para patriot itu dengan semangat menyala-nyala.
Sampai malam empat orang itu bercakap-cakap, hanya diselingi makan minum, dan Sim
Hong Bu menceritakan dengan panjang lebar tentang usaha yang dilakukan oleh para patriot
sampai sekarang. Menghubungi para pendekar sehaluan, menyelidiki keadaan dan kekuatan
pemerintah. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
588 "Ada satu hal yang amat penting dan yang menjadi bahan perundingan kawan-kawan
seper-juangan," antara lain Sim Hong Bu bercerita. "Yaitu mengenai diri Jenderal Muda Kao
Cin Liong."
Tentu saja nama ini membuat keluarga Suma itu tertarik sekali, terutama sekali Ceng Liong
yang mengenal baik jenderal yang dimaksudkan itu, yang membuat dia teringat akan semua
pengalam-annya di Pulau Es menjelang hancurnya dan le-nyapnya pulau itu.
"Paman Sim, ada apakah dengan kanda Cin Liong?" tanyanya.
Mendengar sebutan ini, Sim Hong Bu meng-angguk- angguk. "Aku sudah mendengar bahwa
antara keluarga Kao dan keluarga Suma terdapat hubungan yang cukup dekat. Dan karena itu
pula aku datang."
"Apakah yang terjadi?" Suma Kian Bu khawa-tir. "Kami baru saja menerima kabar baik dari
kota raja, yaitu undangan pernikahan Jenderal Kao Cin Liong dengan keponakanku, Suma
Hui." "Bagus! Kamipun sudah mendengar akan be-rita pernikahan itu. Saat yang tepat bagi kita
se-mua untuk berkumpul di kota raja. Kami semua merasa khawatir melihat betapa Jenderal
Kao Cin Liong menjadi seorang panglima yang amat disayang dan dekat sekali dengan kaisar.
Dia dan keluarganya akan merupakan kawan seperjuangan yang amat kuat dan
menguntungkan, sebaliknya akan menjadi lawan yang berbahanya."
"Dan maksudmu dengan kami?" tanya Kian Bu.
"Demi perjuangan, semua kawan mengharapkan taihiap dapat melakukan penjajagan,
menyelidiki kemungkinan- kemungkinannya menarik jenderal itu ke pihak kita. Dia
menguasai pasukan besar dan amat berpengaruh. Kalau kita berhasil mena-riknya, berarti
bahwa setengah dari perjuangan kita sudah menang!"
Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan meng-elus jenggotnya. "Memang siasat itu bagus
sekali. Akan tetapi engkau juga tahu, saudara Sim, bahwa ayah jenderal itu adalah Pendekar
Naga Sakti Gu-run Pasir. Kita tak boleh sembarangan bertindak. Agaknya untuk menarik
jenderal itu, harus lebih dulu meyakinkan ayahnya. Sayang aku tidak terlalu dekat dengan
keluarga Kao...."


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Serahkan saja padaku, ayah! Aku sudah kenal baik dengan Jenderal Kao Cin Liong! Aku
dapat mengunjunginya dan perlahan-lahan menjajagi hatinya, melihat bagaimana nada
bicaranya," kata Ceng Liong.
Ayahnya mengangguk setuju. "Tepat sekali! Dan engkau boleh pula mewakili kami
mengada-kan kontak dengan para patriot lain, Ceng Liong. Kami berdua sudah tua. Kami
hanya akan turun tangan membantu kalau saat perjuangan itu tiba."
Setelah mengadakan perundingan matang, pada keesokan harinya, Sim Hong Bu berpamit.
Tiga hari kemudian, Ceng Liong juga meninggalkan orang tuanya untuk mulai dengan
perantauannya, sekali ini kepergiannya berbeda dengan ketika dia hilang diculik Hek-i Mo-
ong. Kini dia melakukan perjalanan sebagai pendekar muda yang lihai se-kali, yang mewakili
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
589 orang tuanya untuk mengadakan kontak dengan para patriot, membantu persi-apan perjuangan
dan berusaha menarik Jenderal Kao Cin Liong ke pihak para pejuang.Dia kini sudah berusia
hampir sembilan belas tahun dan dalam hal ilmu silat, dia sudah seting-kat dengan ayahnya!
Hanya mungkin dia masih kalah dalam hal gin-kang, akan tetapi sudah pasti dia lebih kuat
dalam hal sin-kang. Dia kini dapat mempergunakan sumber tenaga sin-kang yang di-terima
langsung dari kakeknya, mendiang Suma Han atau Pendekar Super Sakti atau majikan Pulau
Es! Bahkan kini dia telah menguasai pula ilmu sihir yang diajarkan oleh ibunya kepadanya.
Rumah perkumpulan Pek-eng-pang di kota Nam-san di sebelah selatan Tai-goan pada pagi
hari itu nampak ramai dikunjungi banyak tamu. Pek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Putih)
adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang terkenal. Ketuanya, Song-pangcu yang
usianya sudah lima puluh tahun lebih adalah seorang murid Siauw-lim-pai. Tentu saja lihai
ilmu silatnya dan karena dia mempunyai keistimewaan dalam Ilmu Silat Garuda dan
mengembangkannya, maka dia menamakan perguruannya Pek-eng-pang. Dia dan para
muridnya selalu memakai baju putih, sesuai pula dengan nama perkumpulan.
Song-pangcu terkenal sebagai orang gagah yang rendah hati dan semua muridnya menerima
gemblengan keras sehingga para murid itu selain pandai bersilat, juga pandai membawa diri
dalam masyarakat. Hal ini membuat Pek-eng-pang terpandang dan dihormati golongan kang-
ouw. Tidak mengherankan apabila pada pagi hari itu rumah perkumpulan Pek-eng-pang dibanjiri
tamu yang rata-rata adalah ahli silat dan orang-orang gagah, karena pada hari itu Pek-eng-
pang merayakan hari ulang tahun ke sepuluh dari per-kumpulan itu. Mereka terdiri dari wakil-
wakil perguruan silat, piauwsu, orang-orang gagah dan bahkan ada pula golongan perorangan
yang tidak diketahui benar kedudukannya, mungkin dari golongan hitam. Akan tetapi mereka
semua disambut dengan hormat oleh Song-pangcu sendiri yang ditemani empat orang murid
pertama yang bersikap gagah.
Para tamu kehormatan dipersilahkan duduk di panggung kehormatan bersama pihak tuan
rumah. Tamu- tamu yang tidak dikenalpun dipersilahkan duduk di panggung samping kiri.
Pihak Pek-eng-pang sudah bersikap hati-hati dalam hal ini. Me-reka tidak mengenal para
tamu itu. Siapa di antara mereka terdapat orang- orang pandai. Maka agar cukup menghormat,
mereka dipersilahkan duduk di panggung kiri. Panggung kanan ditempati wa-kil-wakil
perkumpulan lain yang memiliki ke-dudukan sebagai murid saja, sedangkan orang--orang
muda diberi tempat paling belakang.
Ketika tidak nampak ada tamu baru, hidangan mulai dikeluarkan, disambut gembira oleh para
pemuda yang duduk di bagian belakang. Seperti biasanya, di manapun juga, dalam setiap
pesta para pemuda yang berkumpul tentu bergembira ria dan suasana menjadi meriah.
Akan tetapi tiba-tiba muncul serombongan baru. Rombongan ini menarik perhatian karena
sikap dan pakaian mereka. Rata-rata belasan orang itu berwajah menyeramkan, bersikap kasar
dan congkak. Pakaian mereka serba hitam dan di tubuh mereka terdapat senjata-senjata tajam.
Rombongan tamu baru ini jelas merupakan sekelompok orang yang dipimpin oleh seorang
laki-laki setengah tua bertubuh tinggi kurus yang mengiringkan seorang kakek berusia enam
puluh tahun yang berperut gendut. Hanya mereka berdua ini yang bersikap tenang dan halus
tidak seperti belasan anak buah mereka, walaupun pada pandangan mereka dan gerak bibir
seperti yang lain, penuh kecongkakan dan ketinggian hati.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
590 Melihat munculnya belasan orang yang jelas merupakan satu golongan tertentu, Song-pangcu
dan keempat muridnya cepat mengadakan sambut-an. Dengan sikap hormat ketua Pek-eng-
nang ini memberi hormat, diturut oleh para muridnya, kepada belasan orang tamu yang masih
berdiri dengan sikap angkuh itu.
Akan tetapi, hanya kakek gendut dan si tinggi kurus yang membalas penghormatan Song-
pangcu, sedangkan tiga belas orang anak buah mereka sama sekali tidak memperdulikan
penghormatan itu. Si tinggi kurus yang melangkah maju dan bicara me-wakili kakek gendut.
"Sudah lama kami dari Hek-i Mo-pang men-dengar tentang Song-pangcu dan Pek-eng-pang.
Karena kebetulan lewat dan mendengar bahwa Pek-eng-pang merayakan ulang tahun, kami
se-mua dipimpin oleh suhu Boan It sengaja singgah dan mengucapkan selamat!" Ucapan itu
terdengar nyaring, terdengar oleh semua yang hadir dan hanyak di antara mereka terkejut
bukan main men-dengar disebutnya nama Hek-i Mo-pang (Per-kumpulan Iblis Baju Hitam).
Nama ini tak pernah menjadi kenyataan di dunia kang-ouw, akan tetapi siapakah yang belum
mendengar nama Hek-i Mo-ong pendiri Hek-i Mo-pang"
Song-pangcu juga terkejut sekali, akan tetapi diam-diam kurang percaya dan menduga bahwa
rombongan ini tentu hanya gerombolan liar saja yang mempergunakan nama itu untuk
menakuti orang. Betapapun juga karena mereka datang se-bagai tamu, diapun menghaturkan
terima kasih atas ucapan selamat itu dan mempersilahkan mereka duduk. Dia mengisyaratkan
para muridnya untuk mengantar rombongan baju hitam itu ke panggung kiri di mana
berkumpul tamu yang tak begitu di-kenal. Panggung inilah yang masih agak kosong.
Akan tetapi ketika rombongan baju hitam tiba di panggung itu, si tinggi kurus menjadi
ma-rah. Teriakannva lantang terdengar oleh semua tamu yang tentu saja memandang ke arah
rombong-an yang masih berdiri berkelompok di depan pang-gung kiri itu, tak seorangpun di
antara mereka mau duduk.
"Ini penghinaan besar namanya! Dan kami dari Hek-i Mo-pang tidak bisa menerima
penghinaan orang begitu saja!" Si kurus berseru keras sedang-kan kakek gendut hanya berdiri
dan menumbuk--numbukkan tongkat hitamnya di atas lantai dengan alis berkerut marah.
Tentu saja empat orang murid kepala Pek-eng-pang merasa tak senang. Sejak tadipun mereka
merasa tak senang melihat sikap kasar orang-orang berpakaian hitam itu. Kalau bukan suhu
mereka yang mempersilahkan gerombolan hitam itu duduk, agaknya mereka akan lebih suka
mengusir tamu--tamu tak diundang itu. Kini mendengar teriakan si kurus yang sejak tadi
menjadi pembicara, murid kepala yang tertua yang berkumis panjang segera menjura kepada
si tinggi kurus.
"Maafkan kami yang tidak mengerti akan mak-sud ucapan saudara tadi! Siapa yang
menghina kalian?"
"Siapa lagi kalau bukan Pek-eng-pang" Huh!"
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap si tinggi kurus, murid kepala termuda dari Pek-eng-
pang, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun bertubuh tegap yang memang berdarah panas,
se-gera menegur, "Eh, saudara ini tamu tanpa diun-dang, sudah kami terima dengan ramah,
kenapa menuduh kami menghina" Kalau bicara urusan menghina, sikap kalian yang congkak
itu baru menghina!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
591 Si tinggi kurus mendelik ketika dia menoleh kepada murid Pek-eng-pang itu, lalu bertanya
lambat-lambat dengan nada suara memandang rendah, "Kamu ini murid Pek-eng-pang yang
kelas berapa?"
Lelaki tegap itu membusungkan dada. "Aku mu-rid termuda di antara murid-murid kepala
Pek-eng--pang!"
"Begitukah" Anak kecil mencampuri urusan orang tua. Pergilah!" Berkata demikian, si tinggi
kurus itu menggerakkan tangan kiri mendorong da-da murid Pek-eng- pang. Tentu saja yang
dido-rong tidak tinggal diam dan cepat mengerahkan tenaga menangkis.
"Plak.... desss....!" Kiranya dorongan tangan kiri si kurus itu begitu tertangkis mencuat ke
atas dan menampar muka murid Pek-eng-pang dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka.
Akibatnya muka yang kena tampar dengan kerasnya sehingga tubuh yang tegap itu
terpelanting jauh dan roboh tak mampu bergerak lagi. Kiranya tamparan itu telah membuat
murid Pek-eng-pang itu pingsan dengan rahang patah! Beberapa orang muda baju putih
segera menolong dan menggotong masuk kawan mereka yang pingsan itu.
Si tinggi kurus tersenyum sinis. "Ha-ha, kira-nya hanya sebegitu saja kemampuan murid
kepala Pek-eng- pang" Dan kelemahan seperti itu be-rani menghina Hek-i Mo-pang" Hm, aku
Ciong Ek Sim tak akan mau mengampuni!" Suaranya lantang, sikapnya sombong, petentang-
petenteng bertolak pinggang seperti seekor jago menantang tanding. Sikapnya itu membuat
para tamu muak dan marah, akan tetapi nama Hek-i Mo-ong ma-sih membuat mereka merasa
ngeri, apalagi tadi mereka melihat sendiri betapa lihainya orang she Ciong yang tinggi kurus
dan yang segebrakan saja telah merobohkan seorang murid utama Pek-eng--pang itu.
Tiga orang murid Pek-eng-pang yang lain menjadi penasaran, juga murid yang lain sudah
mengurung maju, siap menyerang tamu-tamu yang tak diundang yang agaknya mau
membikin kacau itu. Akan tetapi Ciu Hok Tek memberi isyarat kepada para anak buah untuk
mundur. Dia sendiri bersama dua orang sutenya maju menghadapi Ciong Ek Sim.
"Maafkanlah kelancangan sute kami. Akan te-tapi kami sungguh belum mengerti, mengapa
Hek-i Mo-pang menuduh kami dari Pek-eng-pang melakukan penghinaan?"
Si tinggi kurus mengerutkan alis. Dia maklum betapa semua orang yang berada di situ kini
me-naruh perhatian dan semua orang memandang ke-padanya. Maka dia berlagak, bertolak
pinggang dan mendelik kepada Ciu Hok Tek, murid pertama Pek-eng-pang itu.
"Sudah bersalah, masih pura-pura bertanya lagi" Sudah jelas kami semua mengiringi suhu
hadir di sini, akan tetapi kami orang Hek-i Mo-pang hanya disuruh duduk di panggung
samping! Kami mau disejajarkan dengan orang-orang biasa" Bukankah itu penghinaan
namanya. Apakah mere-ka yang duduk di panggung kehormatan itu lebih tinggi ilmunya dari
kami?" "Sobat, sikapmu ini sungguh terlalu!" Murid pertama Pek-eng-pang itu berkata, suaranya
dingin dan tegas. "Tuan rumah adalah raja di rumah sendiri. Semua peraturannya harus ditaati
tamu. Kalau tamu tidak suka dengan peraturan itu, silahkan pergi, kamipun tidak pernah
meng-undang Hek-i Mo-pang!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
592 Ucapan ini mendapat sambutan para tamu yang rata- rata mengangguk dan membenarkan.
Agak-nya tidak ada tamu yang memihak Hek-i Mo--pang. Akan tetapi Ciong Ek Sim si tinggi
kurus baju hitam itu tersenyum mengejek.
"Ha-ha, kau mau bersikap gagah-gagahan ya" Bagaimanapun juga, Pek-eng-pang telah
menghina kami dan aku tidak terima!"
"Habis, kau mau apa?" Ciu Hok Tek memben-tak.
"Ketua Pek-eng-pang harus minta maaf ke-pada suhu kami, baru kami mau mengampuni, dan
memberi tempat di panggung kehormatan untuk kami!" kata Ciong Em Sim dengan galak.
Mendengar ucapan ini, para tamu menjadi se-makin penasaran. Akan tetapi pada saat itu
terde-ngar suara Song-pangcu yang tenang menyuruh tiga orang muridnya mundur. Kemudian
dia sen-diri turun dari panggung kehormatan, menghampiri kakek gendut baju hitam yang
bernama Boan It, menjura dan berkata, "Saudara pemimpin Hek-i Mo-pang harap maafkan
kelancangan murid-mu-rid kami."
Sikap merendah tuan rumah ini memanaskan hati para tamu. Mereka melihat sendiri bahwa
ge-rombolan baju hitam itulah yang membikin kacau, bahkan berani melukai murid tuan
rumah, akan tetapi malah pihak tuan rumah yang meminta maaf. Ini sudah keterlaluan sekali.
Boan It, kakek gendut tokoh Hek-i Mo-pang yang sejak tadi hanya diam saja, kini menumbuk
lantai dengan tongkatnya dan membentak, "Ber-lutut!"
Suasana menjadi bising. Para tamu berbisik--bisik marah. Betapa kurang ajarnya kakek
gendut itu. Betapa sombongnya. Song-pangcu sendiri menjadi merah mukanya. Dia sudah
banyak me-ngalah untuk menghindarkan keributan dalam pestanya. Akan tetapi gerombolan
hitam itu sungguh tak tahu diri!
"Sobat-sobat dari Hek-i Mo-pang! Sebetul-nya, kalian datang mau apakah" Kami merasa
ti-dak ada urusan dengan kalian!" Akhirnya diapun berkata, hilang kesabarannya."Ha-ha-ha!
Pangcu dari Pek-eng-pang! Kamu sudah terlanjur menghina kami, sekarang kami menantang.
Hayo perlihatkan bahwa Pek-eng-pang memang berkulit baja dan bertangan besi! Kalau kami
dapat dikalahkan, baru kami mau pergi!" kata si tinggi kurus mewakili guru-nya. Setelah
berkata demikian, dengan tangan kirinya dia membuat gerakan mendorong ke sam-ping.
Angin pukulan menyambar ke arah seorang tamu muda yang sedang enak- enak duduk nonton
percekcokan itu. Pemuda itu berseru kaget ketika tubuhnya tiba-tiba terdorong dan terpental
jatuh dari kursinya. Ketika Ciong Ek Sim menarik tangannya, kursi kosong bekas pemuda itu
melayang ke arahnya. Kursi ditangkapnya dan dia berkata kepada si kakek gendut, "Harap
suhu duduk saja, biar aku yang menghajar tikus-tikus yang berani menentang Hek-i Mo-
pang!" Kakek gendut itu tersenyum, menerima kursi lalu duduk di atasnya. Muridnya berkata,
"Tidak-kah suhu sebaiknya menanti di panggung kehormatan?"
Kakek itu mengangguk. Tiba-tiba ia menggu-nakan tongkatnya menekan lantai dan....
tu-buhnya berikut kursi yang diduduki itu terbang melayang ke atas panggung kehormatan
dan berada di deretan terdepan!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
593 Tentu saja demonstrasi yang diperlihatkan Ciong Ek Sim dan Boan It itu membuat semua
orang melongo! Itulah bukti kepandaian yang hebat! Bahkan Song-pangcu sendiri terkejut,
maklum bahwa yang diperlihatkan kakek gendut Boan It itu adalah kehebatan gin-kang dan
sin-kang sekaligus! Akan tetapi, para murid Pek-eng-pang selalu digembleng kegagahan oleh
guru mereka. Biarpun mereka juga tahu akan kelihaian si kurus Ciong Ek Sim, akan tetapi
mereka tidak menjadi gentar. Seorang di antara tiga murid utama sudah meloncat ke depan
Ciong Ek Sim, membentak dengan marah.
"Ciong Ek Sim! Seorang gagah tak takut mati dalam menentang kejahatan, dan kalian orang-
orang Hek-i Mo- pang adalah penjahat-penjahat besar!" Setelah berkata demikian, dia
menyerang dengan pukulan tangan kanan yang terbuka dan membentuk cakar garuda ke arah
kepala si tinggi kurus. Itulah jurus serangan Pek-eng-kun (Silat Garuda Putih) ciptaan Song-
pangcu sebagai perkembangan dari ilmu silat garuda Siauw-lim-pai.
"Plak!" Tanpa merobah kedudukan tubuhnya, seenaknya saja Ciong Ek Sim menangkis
dengan tangan kiri, akan tetapi agaknya dia telah menge-rahkan tenaganya sehingga tubuh
murid Pek-eng--pang terhuyung ke belakang.
"Ha-ha, tikus macam kamu ini tidak ada har-ganya, tak pantas melawanku! Suruh saja
gurumu yang maju, atau kalian bertiga maju berbareng!" Ciong Ek Sim tertawa dengan
congkaknya. Tiga orang murid Pek-eng-pang menjadi se-makin marah. Ciu Hok Tek sendiri, si murid
ke-pala, berseru keras dan menerjang ke depan, me-lakukan serangan dahsyat. Ciu Hok Tek
ini ada-lah murid pertama, tentu saja tingkat kepandaian-nya lebih tinggi daripada para
sutenya. Ketika dia menyerang, kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan yang
menyambar keras dengan bunyi ber-siutan. Akan tetapi, tetap saja Ciong Ek Sim merupakan
lawan yang terlalu tangguh baginya. Se-mua pukulan atau cengkeramannya dapat dielak-kan
atau ditangkis. Dan diapun hanya dapat ber-tahan selama sepuluh jurus saja karena begitu
Ciong Ek Sim membalas dengan tendangan kaki yang menyambar dari samping, lambungnya
ter-kena tendangan yang membuat tubuhnya terban-ting cukup keras! Dua orang sutenya maju
menyerang, namun merekapun bukan lawan yang seimbang, segera disambut tamparan dan
tendangan yang membuat mereka jatuh bangun!
Ciong Ek Sim menghajar tiga orang murid pertama Pek-eng-pang sambil tertawa-tawa. Jelas
dia mempermainkan karena kalau dia menghen-daki, agaknya dengan mudah dia akan mampu
membunuh tiga orang lawan itu. Kini semua tamu menjadi terkejut. Mereka semua kini tahu
bahwa orang Hek-i Mo-pang itu lihai bukan main. Tiga belas orang anak buah Hek-i Mo-pang
dengan mudah memperoleh kursi yang ditinggalkan para tamu yang menjauhkan diri, nonton
sambil bersorak dan tertawa- tawa, kadang-kadang bertepuk tangan setiap kali tangan Ciong
Ek Sim me-robohkan seorang lawan. Suasana menjadi tegang. Para tamu memandang marah,
tegang dan khawa-tir. Hanya orang-orang Hek-i Mo-pang itu saja yang gembira sambil
menyambar guci-guci arak dan meminumnya.
"Haaaitt....!" Seorang murid Pek-eng-pang menyerang dengan tubuh meloncat dan
menerkam. Inilah jurus Garuda Putih Menyambar Ayam yang dilakukan sambil meloncat,
merupakan jurus se-rangan nekat dan berbahaya, baik yang diserang maupun yang
menyerang. Akan tetapi, sambil tersenyum mengejek, Ciong Ek Sim menyambutnya dengan
tendangan keras yang mengenai perut la-wan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
594 "Ngekk!" Tubuh murid Pek-eng-pang itu terpental dan terbanting dalam keadaan pingsan.
Anak buah Hek-i Mo-pang bersorak gembira.
"Hyaaatt!" Murid kepala Pek-eng-pang yang ke dua juga menerjang marah, bahkan sekali ini
dia menggunakan sebatang pedang. Namun Ciong Ek Sim dapat mengelak dengan mudah,
ketika pedang itu lewat, tendangan kakinya pada tangan lawan membuat pedang terlempar ke
atas lantai kemudian sekali sambar, tangan kirinya menjam-bak rambut kepala lawan dan
tangannya menam-pari kedua pipi lawan. Terdengar suara plak-plok berkali-kali dan ketika
dia melepaskan jambakan dan mendorong, tubuh lawan itu terpelanting tak mampu bangun
lagi, dengan kedua pipi bengkak--bengkak matang biru!
Melihat ini, Ciu Hok Tek menjadi nekat. Di antara empat orang murid kepala Pek-eng-pang,
tiga orang sudah roboh pingsan dan digotong pergi kawan-kawannya, tinggal dia seorang
sebagai murid pertama. Tadipun kalau dia tidak hati-hati dan pertahanannya lebih kuat
daripada sutenya, tentu diapun sudah roboh.
"Biar aku mengadu nyawa denganmu!" teriaknya marah dan diapun menerjang sengit,
mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan bertubi-tubi dan dahsyat karena dia
telah mengelu-arkan semua kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya. Tingkat
kepandaian Ciu Hok Tek tak boleh disamakan dengan tingkat para sutenya, dan walaupun dia
masih bukan tandingan murid ke-pala Hek-i Mo-pang, namun desakan yang dila-kukan
dengan nekat itu sempat membuat lawan terhuyung dan sebuah tendangan kilat sempat
mencium pinggul Ciong Ek Sim. Melihat ini, terdengar sorakan gembira yang segera disusul
tepuk tangan pujian para tamu. Jelaslah, para tamu ini ingin sekali melihat si tinggi kurus
yang congkak itu kalah. Dan si tinggi kurus menjadi marah, me-lirik ke arah orang yang
pertama kali menyorakinya tadi. Kiranya orang itu adalah pemuda yang tadi dirampas


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kursinya untuk diberikan kepada gurunya. Pemuda itu memang kelihatan gembira sekali
dengan desakan murid Pek-eng-pang tadi dan kinipun masih bertepuk-tepuk tangan walaupun
tamu-tamu lain sudah berhenti bersorak karena dia telah mampu mematahkan serbuan Ciu
Hok Tek. "Hem, hanya sekiankah kepandaianmu" Keluarkan semua, atau kamu berlutut minta ampun
dengan mencium kakiku, baru kuampuni kamu!" kata Ciong Ek Sim dengan lagak sombong.
Pemuda bersorak tadi kini berteriak, "Ciu-eng-hiong, hajar monyet hitam itu! Pukul dan
tendang lagi!" Teriakannya inipun diikuti teriakan banyak orang untuk menambah semangat
pria baju putih yang mewakili Pek-eng-pang itu. Akan tetapi diam-diam Ciu Hok Tek terkejut
sekali. Dia tadi sudah mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun hanya mampu
membuat lawan ke-serempet tendangan dan terhuyung. Maklum bahwa dia takkan menang,
dia menjadi nekat. Disambar-nya sebatang pedang dari tangan seorang sutenya dan sambil
mengeluarkan teriakan nyaring diapun menerjang maju.
Sekali ini Ciong Ek Sim sudah siap. Kalau tadi dia sampai terkena tendangan adalah karena
dia terlalu memandang rendah sehingga agak lengah. Kini, melihat lawan menyerang dengan
pedang, dia menghadapi dengan tangan kosong saja. Si baju hitam itu mendengus penuh
ejekan dan tu-buhnya berkelebatan menjadi bayangan bergerak-gerak lincah di antara
sambaran sinar pedang.
"Plak!" Tiba-tiba dengan tangan terbuka Ciong Ek Sim menangkis pedang membuat pedang
terpental dan hampir terlepas! Ciu Hok Tek kaget bukan main, demikian pula para tamu. Si
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
595 tinggi kurus itu sedemikian lihainya sehingga berani menangkis pedang dengan tangan
terbuka! Bukan hanya menangkis karena di lain saat dua buah tangan yang jarinya kecil-kecil
panjang telah berhasil menangkap pergelangan tangan Ciu Hok Tek sedemikian kuatnya
membuat murid Pek-eng-pang itu tidak mampu berkutik! Akan tetapi Hok Tek sudah nekat.
Karena kedua tangannya seperti terjepit baja yang amat kuat, dia lalu menggerakkan kaki
untuk menendang ke arah selangkangan lawan!
"Heh-heh!" Ciong Ek Sim terkekeh mengejek dan menekan tangan lawan yang memegang
pedang ke bawah! Hok Tek terkejut akan tetapi sudah terlambat untuk menghindar! Paha kaki
yang menendang disambut ujung pedang sendiri dan ce-lana berikut kulit dan daging pahanya
terobek. Da-rah muncrat dan terpaksa dia melepaskan pedang-nya. Pada saat itu Ciong Ek
Sim sudah memuntir tangannya yang kiri ke belakang. Demikian kuat-nya puntiran itu. Tak
terlawan olehnya sehingga tubuhnya terputar membelakangi lawan. Ketika itu si tinggi kurus
berbaju hitam mendorong lengan kirinya ke atas punggung, dia terbungkuk dan tak mampu
bergerak lagi. Rasa nyeri pada pangkal lengan yang ditekuk itu membakar seluruh tubuh-nya.
"Ha-ha, tikus cilik! Kamu murid pertama Pek-eng- pang, bukan" Nah, berlututlah dan minta
ampun pada tuanmu baru aku akan meng-ampunimu!" kata si tinggi kurus dengan muka
penuh ejekan. Para tamu melihat dengan muka tegang dan pucat. Keadaan Ciu Hok Tek memang sudah tak
mampu bergerak lagi, nyawanya berada dalam tangan tokoh Hek-i Mo-pang itu. Tentu saja
mereka tegang sekali, ingin sekali melihat apakah murid Pek-eng-pang itu mau minta ampun
secara terhina itu dan apakah si baju hitam itu be-nar- benar akan membunuh lawannya yang
sudah tak berdaya itu.
"Ciong Ek Sim iblis busuk! Aku sudah kalah, mau bunuh silahkan, seorang gagah tak takut
mati!" Ciu Hok Tek berteriak marah!
Ciong Ek Sim meludah. "Cuh! Manusia sombong dan tolol. Apa sukarnya membunuhmu!"
Pada saat itu Song-pang-cu berseru, nada sua-ranya nyaring dan mengandung penuh perasaan
marah. "Orang she Ciong! Kalau engkau membu-nuhnya, kami seluruh anggauta Pek-eng-
pang akan mengadu nyawa dengan gerombolan Hek- i Mo-pang, dan kami minta bantuan
semua eng-hiong yang hadir!"
Mendengar ini, Ciong Ek Sim memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa mata para tamu
mengandung permusuhan ditujukan kepadanya, dan dia tahu kalau tuan rumah minta bantuan,
mereka semua tentu akan mengeroyok dia dan rombongannya. Apalagi pemuda baju hijau
yang tadi dirampas kursinya tadi bersorak dan memihak tuan rumah. Pemuda itu mengepal
kedua tinjunya dan berbisik-bisik ke kanan kiri membakar se-mangat para tamu lain dan
agaknya sudah siap untuk maju mengeroyok!
"Ha-ha!" Ciong Ek Sim terkekeh. "Pek-eng-pang mengandalkan keroyokan" Pula siapa yang
mau membunuh" Kami hanya mau menghajar orang yang berani menghina Hek-i Mo-pang!"
Setelah berkata demikian, dia mendorong lengan kiri Ciu Hok Tek ke atas dengan tenaga
disentakkan. "Krekk....!" Ciu Hok Tek terbelalak pucat, keringat sebesar kedele-kedele membutir di muka
dan di leher. Tapi dia menahan nyeri yang mem-bakar itu dengan menggigit bibir sendiri
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
596 sampai pecah berdarah dan ketika lawan mendorongnya, dia terpelanting dan pingsan.
Sambungan pangkal lengan dan sikunya putus terlepas!
Suasana menjadi riuh dan bising. Semua orang menjadi marah dan penasaran sekali melihat
kesadisan orang Hek-i Mo-pang itu. Murid-murid Pek-eng-pang menolong Ciu Hok Tek yang
pingsan dan Song-pangcu segera berusaha me-ngembalikan letak sambungan tulang tulang
lengan kiri muridnya dan memberi obat.
Pemuda baju hijau yang menjadi tamu dan sa-habat baik Hok Tek ikut sibuk. Ketika dia
meng-ambilkan arak untuk diminumkan sahabatnya yang pingsan itu, dia lewat dekat Ciong
Ek Sim. Si tinggi kurus itu sudah membusungkan dada dan berkata, "Siapa saja yang berani
menentang kami boleh maju satu per satu!" Pada saat itu baju hi-jau lewat membawa guci
arak. Tiba-tiba tangan Ciong Ek Sim menyambar dan tahu-tahu leher baju pemuda itu telah
dicengkeramnya!
Pemuda itu terkejut bukan main, tapi karena bencinya dia mendelik dan membentak, "Eh,
mau apa kau pegang-pegang aku?"
Ciong Ek Sim tersenyum sinis. "Sejak tadi kamu memperlihatkan sikap anti kepada kami!
Nah, sekarang kalau ada kepandaian, mari perlihat-kan kepada tuanmu!"
"Eh wah, apa-apaan kau ini" Hayo lepaskan aku! Siapa yang mau berkelahi" Kalau memang
gagah dan mau cari lawan, carilah yang sepadan di antara para orang gagah, jangan ganggu
setiap orang!"
"Huh, kamu punya jago" Suruh dia maju!" Ciong Ek Sim mendorong dan pemuda baju hijau
terpelanting, guci araknnya terlempar dan isinya tumpah.
"Wah, galak dan jahat sekali!" si baju hijau merangkak dan mengambil gucinya lalu
menjauh-kan diri.
Song-pangcu sudah tidak dapat menahan lagi kesabarannya. Orang-orang Hek-i Mo-pang ini
sungguh keterlaluan. Bukan hanya datang menga-cau pesta, akan tetapi membikin malu pada
Pek--eng-pang dan sudah merobohkan dan melukai em-pat orang murid kepala! Jelas bahwa
tidak ada lagi jago di Pek-eng-pang kecuali dia sendiri!
"Keparat!" Dia membentak dan menyambar se-batang toya besi yang menjadi senjata
andalannya dan sekali loncat dia sudah berada di depan Ciong Ek Sim! "Ciong Ek Sim! Kami
Pek-eng-pang selamanya tidak pernah mencari permusuhan. Akan tetapi bukan berarti kami
penakut. Kau dan ge-rombolanmu datang memusuhi kami, biar aku membela Pek-eng-pang
dengan nyawaku!"
Ciong Ek Sim memandang ketua itu dan terse-nyum menyeringai penuh ejekan, sikapnya
meman-dang rendah sekali. "Bagus Pangcu, kau maju sen-diri dan bersenjata pula! Apakah
kau ingin membunuhku" Dan tadi kau melarang aku membunuh muridmu, ha-ha!"
"Orang she Ciong! Tewas dalam perkelahian adalah wajar dan tak perlu dibuat penasaran.
Akan tetapi kau tadi hendak membunuh lawan yang su-dah tak berdaya melawan lagi. Itu
namanya pe-ngecut! Nah, lihat seranganku!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
597 Ketua Pek-eng-pang itu menggerakkan toya-nya dan terdengar suara bersuitan saking
cepat-nya toya bergerak dan saking kuatnya tenaga yang terkandung di dalamnya.
Song-pangcu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sudah berani membuka perguruan
silat. Ini berarti bahwa tingkat kepandaiannya sudah tinggi, maka serangan toyanya pun hebat
sekali. Akan tetapi ternyata lawannya tak kalah hebat-nya. Walaupun hanya bertangan kosong,
Ciong Ek Sim tidak kewalahan menghadapi serangan lawan. Dengan cekatan dia mengelak
dan berloncatan ke sana-sini, kadang-kadang berani menangkis toya besi dengan tangan dan
kakinya, bahkan membalas serangan lawan setiap ada kesempatan! Terjadilah pertandingan
yang seru dan mati-matian. Para tamu yang menonton perkelahian ini, kebanyakan berpihak
kepada tuan rumah. Mereka semua merasa benci kepada Ciong Ek Sim, walaupun sebagian
dari mereka, terutama dari golongan hitam, merasa kagum. Terutama pemuda baju hijau yang
memang sudah membenci sekali orang Hek-i Mo- pang yang tadi menghinanya. Dia terang-
terangan berpihak kepada Song-pangcu dan selalu bersorak gembira setiap kali Ciong Ek Sim
nampak terdesak atau kadang- kadang terhuyung.
Ilmu toya dari Siauw-lim-pai sudah terkenal di dunia persilatan sebagai ilmu silat yang amat
tangguh dan sukar dikalahkan. Biarpun si tinggi kurus itu memiliki gerakan ilmu silat yang
aneh, dan memiliki tenaga besar dan kekebalan sehingga berani menggunakan kaki tangan
untuk menangkis toya, namun desakan- desakan Song-pangcu ka-dang-kadang membuat dia
kerepotan sekali. Ten-tu saja hal ini melegakan hati para tamu yang mengharapkan agar si
sombong itu dapat diberi hajaran keras dan agaknya Song-pangcu akan mampu melakukan
itu. Terutama si pemuda baju hijau tiada hentinya bersorak dan bertepuk tangan menjagoi
Song- pangcu. Akan tetapi tiba-tiba terjadi perobahan dalam perkelahian itu. Gerakan Song-pangcu berobah
menjadi kacau dan beberapa kali dia nampak ragu-ragu dan bingung. Bahkan, dalam keadaan
men-desak, dia berbalik terdesak dan sebuah tendangan menyerempet pinggangnya, membuat
dia terhuyung! Tentu saja para tamu menjadi terkejut dan setelah mendengar seruan-seruan
tertahan, sua-sana menjadi sunyi dan tegang. Song-pangcu me-mang terkejut dan bingung.
Ketika dia sudah mulai berhasil mendesak lawan tadi, tiba-tiba saja ada suara di dekat
telinganya, "Song-pangcu, engkau sudah dikepung dari empat penjuru! Eng-kau takkan
menang!" Suara ini berulang-ulang berbisik di telinganya dan memaksanya untuk percaya. Suara itu
demikian penuh dengan daya pengaruh, membuat dia me-rasa benar-benar dikeroyok dari
empat penjuru! Tentu saja dia menggerakkan toyanya untuk me-lindungi dirinya dari
serangan-serangan yang datang dari empat penjuru! Karena terbagi, daya tahannya berkurang
sehingga dia kini terdesak oleh Ciong Ek Sim yang mulai terkekeh- kekeh lagi.
Para tamu tidak memperhatikan kakek gen-dut Boan It. Padahal, kakek inilah yang telah
membuat keadaan perkelahian menjadi berubah itu. Kakek gendut itu duduk seperti tadi, akan
tetapi kini pandang matanya ditujukan ke arah muka Song-pangcu, tidak pernah berkedip!
Seorang pemuda yang terselip di antara para tamu muda di panggung yang paling belakang,
sejak tadi sudah mengikuti semua peristiwa itu dengan penuh perhatian. Beberapa kali
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
598 pemuda ini mengerutkan kening, akan tetapi wajahnya yang gagah itu selalu tersenyum.
Pemuda ini berpakaian sederhana dan dari pakaian, sikap dan gerak-gerik-nya sama sekali
tidak terbayang bahwa dia pandai ilmu silat. Sikapnya sederhana sekali walaupun wajahnya
amat gagah. Padahal, dia bukan sembarang orang, melainkan seorang pendekar muda yang
amat lihai, memiliki kesaktian. Pemuda ini adalah Suma Ceng Liong!
Sejak munculnya gerombolan baju hitam, Ceng Liong sudah mengenal mereka. Dia
mengenal pula kakek gendut Boan It dan tahu bahwa mereka adalah bekas anak buah
gurunya, mendiang Hek-i Mo-ong! Dan Boan It memang seorang di antara para murid Hek-i
Mo-ong. Baru satu dua kali dia bertemu dengan Boan It yang masih terhitung suhengnya,
walaupun tadinya dia tidak mengaku guru terhadap Hek-i Mo-ong dan menjelang akhir hidup
Raja Iblis itu dia mengakuinya.
Tadinya Ceng Liong yang melakukan perantau-an mewakili ayahnya, tidak ingin
mencampuri perkelahian itu selama perkelahian dilakukan de-ngan adil. Akan tetapi, kini dia
tahu akan kecu-rangan Boan It yang menggunakan kekuatan sihir atau ilmu hitam untuk
membantu Ciong Ek Sim dan mengacau batin Song-pangcu. Hal ini mem-buat Ceng Liong
penasaran sekali. Dipungutnya sebutir kacang dari tempat hidangan di atas meja dan tanpa
diketahui para tamu yang menon-ton perkelahian dengan tegang melihat Song-pang-cu
terdesak, Ceng Liong menjentikkan jarinya membuat sebutir kacang itu meluncur dengan
kecepatan luar biasa ke arah Boan It.
"Tung....!" Kacang itu menyambar hidung yang besar pesek itu dan biarpun hanya sebutir
kacang, tetapi karena diluncurkan melalui sentilan jari tangan yang bertenaga sin-kang amat
kuatnya, tiada ubahnya sebutir peluru baja saja!
"Aduh....!" Si gendut mengeluh dan cepat meraba batang bidungnya yang ternyata sudah
bengkak! Dia terkejut dan heran, mengira tentu ada lebah yang tadi menyengatnya. Akan
tetapi tentu saja gangguan ini cukup membuyarkan pengaruh ilmu hitamnya terhadap Song-
pangcu. "Sialan....!" gerutunya. Masih untung baginya bahwa peristiwa yang menimpa
dirinya itu tidak diketahui orang lain. Apalagi kini muridnya tak perlu dibantunya lagi karena
Ciong Ek Sim telah berhasil merampas toya lawan!
Memang benar. Kini keadaan Song-pangcu makin payah. Lawannya berhasil memukul
pun-daknya dan merampas toya. Dan sambil tertawa berlagak, Ciong Ek Sim yang ternyata
pandai main toya itu memainkan toyanya dan menyerang Song--pangcu kalang kabut. Tentu
saja beberapa kali gebukan mengenai tubuh ketua Pek-eng-pang itu akan tetapi orang gagah
ini pantang menyerah dan melawan terus dengan mati-matian. Semua tamu memandang
gelisah. Bahkan pemuda baju hijau beberapa kali menutupi muka dengan tangan ketika toya
menyambar ke arah kepala Song-pang-cu, takut melihat kepala itu pecah berhamburan.
Tiba-tiba sebuah tendangan keras mengenai paha Song-pangcu yang sudah terdesak,
membuat ketua ini terpelanting dan ketika toya menyambar ke arah kepalanya, agaknya apa
yang dikhawatir-kan pemuda baju hijau itu akan terjadi kalau saja Song-pangcu tidak cepat
menggulingkan tubuh menjauh.
"Darrr....!" Bunga api bepijar ketika ujung toya menghajar lantai. Sebelum Ciong Ek Sim
sem-pat menyerang lagi, para murid Pek-eng-pai sudah menolong guru mereka dan
memapahnya ke pinggir. Ciong Ek Sim bertolak pinggang ber-tongkat toya, memandang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
599 marah kepada seorang pemuda sederhana bertubuh tinggi besar yang sudur berdiri
menghadangnya. "Hem, siapakah kamu" Apakah kamu murid Pek-eng-pang yang sudah bosan hidup?"
tanya-nya dengan senyum mengejek.
Ceng Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku bukan murid Pek-eng-
-pang. Karena aku menjadi tamu Pek-eng-pai, tentu saja aku tak mungkin membiarkan Hek-
kaw mengacau di sini."
Wajah Ciong Ek Sim menjadi merah dan matanya mendelik. "Julukanku adalah Hek-houw
(Ma-can Hitam), bukan Hek-kaw (Anjing Hitam)!" bentaknya.
"Ah, begitukah" Tapi seekor harimau biasa-nya gagah perkasa, lebih banyak berbuat
daripada bersuara, sedangkan engkau menggonggong saja dan menggigit seperti anjing!"
Tentu saja sikap dan kata-kata yang dikeluar-kan Ceng Liong menyenangkan hati para tamu,
akan tetapi mereka merasa heran dan khawatir. Apakah pemuda ini sudah gila atau bosan
hidup" Si tinggi kurus yang berjuluk Hek-houw ini jelas lihai bukan main sehingga Song-pangcu
sendiri-pun kalah olehnya. Bagaimana seorang pemuda tak dikenal/ternama berani bersikap
seperti itu" Padahal pemuda itu hanya seorang tamu dari panggung tamu biasa atau panggung
paling bela-kang. Dan pemuda itu walaupun tubuhnya tinggi besar, sikapnya seperti seorang
pemuda dusun yang bodoh!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Ciong Ek Sim mendengar ucapan itu. Saking marahnya
dia hanya mendelik saja, tidak mampu mengeluarkan kata-kata! Ceng Liong amat benci
kepada keke-jaman orang ini maka dia sengaja hendak memper-mainkan dan memberi
hajaran agar orang ini men-jadi kapok.
"Engkau seperti anjing pencuri tulang, bukti-nya toya orang lain kau pertahankan saja!"
Semakin marahlah Ciong Ek Sim. Dia mem-banting toya besi itu sampai toya itu menancap
setengahnya ke dalam lantai! Ceng Liong meme-letkan lidah seperti orang heran. "Wah, kau
main sulap ya" Tentu pakai akal bulus!" Dia lalu menghampiri toya itu dan meraba-raba
sambil geleng-geleng kepala. Sikap yang ketolol-tololan itu membuat para tamu tak puas.
Mereka meng-harapkan jagoan tangguh yang akan maju melawan si tinggi kurus itu. Baru
Ciong Ek Sim itu saja begitu lihai. Apalagi kalau gurunya, kakek gendut itu. Semua orang
bergidik. Agaknya jerih terhadap kakek inilah yang membuat orang orang gagal di situ tidak
ada yang maju. Dan kini yang maju seorang pemuda mentah!
Ciong Ek Sim sendiri heran dan ragu melihat sikap Ceng Liong. Kalau pemuda ini gila, tentu
tak patut dilawannya. Maka dia memberi isyarat kepada seorang anak buahnya. "Hajar tikus
ini sampai terkencing-kencing minta ampun!" katanya dan sekali tubuhnya melayang, dia
sudah melom-pat ke dekat suhunya duduk, menyambar sebuah kursi kosong dan duduk tanpa
memperdulikan para tamu kehormatan lain. Dia malah menggulung kedua lengan bajunya dan
para tamu melihat be-tapa kedua lengan si kurus ini berwarna hitam membiru seperti besi
saja! Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
600 Anak buah Hek-i Mo-pang itu bertubuh ting-gi besar, satu kepala lebih tinggi daripada Ceng
Liong. Matanya besar beringas, kumis, jenggot dan cambangnya lebat sekali dan kelihatan
kuat menyeramkam. Menerima perintah pemimpinnya, dia melangkah maju menghadapi
Ceng Liong sambil menyeringai. "Heh-heh-heh, aku akan mengha-jarmu sampai kau
terkencing-kencing minta am-pun, heh-heh!" Dia nampak gembira sekali de-ngan tugasnya
seperti seekor kucing disuruh mener-kam tikus. Karena memandang rendah lawan, dia tidak
meraba golok besar yang terselip di pung-gungnya.Ceng Liong hanya tersenyum dan berdiri
see-naknya saja, tanpa memasang kuda-kuda seperti lajimnya orang yang menghadapi
perkelahian. Si cambang bauk terbahak, lalu menggereng sambil mengembangkan kedua
lengannya dan menubruk.
"Heeeiiitt!" Semua tamu melihat betapa rak-sasa itu menerkam luput karena Ceng Liong lari
ke samping dan.... si cambang bauk itu terje-rumus dan jatuh menelungkup! Mukanya
mencium lantai dan kontan saja hidungnya yang besar men-jadi penyok berdarah.
Meledaklah sorak-sorai dan suara ketawa. Se-mua orang menganggap betapa tololnya orang
Hek-i Mo-pang itu. Hanya lagaknya saja yang keren tapi menubruk luput saja jatuh sendiri!
Ha-nya Ciong Ek Sim dan gurunya yang merasa heran. Si cambang bauk itu mereka tahu
bukan orang tolol, sama sekali tidak lemah karena ilmu silatnya tinggi, jauh menang


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibandingkan dengan murid-murid kepala Pek-eng-pang tadi. Tapi, menga-pa menyerang
luput saja bisa terbanting dan ter-jerembab"
"Eh, brewok, kau mencari katak" Atau me-mang kesukaanmu menciumi lantai" Jangan
ke-ras-keras, tuh hidungmu penyok!" Ceng Liong mengejek dan semua orang, terutama
pemuda baju hijau, tertawa gembira sekali.
Tentu saja raksasa brewok itupun terkejut dan marah. Terkamannya tadi luput, hal ini tidak
aneh karena pemuda yang ketakutan itu lari mengelak, akan tetapi kenapa dia jatuh
tertelungkup" Tentu kakinya tersandung, pikirnya sambil bangkit dan menyeka darah dari
hidungnya. Sialan, perih dan nyeri juga pikirnya. Akan tetapi dia harus menjaga gengsi, malu
kalau harus menghadapi pemuda ingusan ini dengan senjatanya.
"Keparat, kakiku tersandung dan tergelincir!" gerutunya. "Bocah tolol, rasakan ini!" Dan
kakinya yang panjang itupun menyambar dengan tendangan yang kalau mengenai tubuh Ceng
Liong tentu akan membuat tubuh itu terlempar jauh seperti bola ditendang. Akan tetapi Ceng
Liong meloncat dengan sikap orang ketakutan.
"Wah.... menendang! Wah.... luput...."
Tendangan itu luput dan.... agaknya, demikian anggapan semua orang, tendangan itu terlalu
keras sehingga ketika luput tubuh raksasa brewok itu melambung ke atas lalu jatuh tunggang-
langgang! "Ha-ha-he-he.... heh! Lucu! Lucu!" pemuda baju hijau kini tertawa-tawa dan semua
orangpun tertawa. Memang ulah si raksasa seperti badut saja! Raksasa brewok semakin
marah. Di bangkit dan memegangi pantatnya yang tadi terbanting keras. Biarpun dia sendiri
tidak mengerti mengapa dia bisa terbanting hanya karena luput menendang saja, akan tetapi
kemarahan membuat dia tidak peduli. Dicabutnya golok besarnya yang berkilauan itu!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
601 "Wah, curang! Pakai senjata segala! Curang! Licik!" Pemuda baju hijau berteriak-teriak
khawatir dan para tamupun memandang gelisah. Akan tetapi pemuda sederhana itu nampak
tenang-te-nang saja.
"Wah, monyet hutan, mau apa kau bawa golok" Mau menyembelih babi" Hati-hati, bisa kena
tubuhmu sendiri!" Ceng Liong mengejek.
"Bangsat!" Raksasa brewok itu mengayun go-loknya dan dengan sikap yang lucu Ceng
Liong pura-pura ketakutan, mengelak ke kanan kiri, lari ke sana-sini akan tetapi terus dikejar
oleh lawan-nya. Ketika dia berlari dekat pemuda baju hijau, pemuda itu mengacungkan
sebatang pedang yang entah diperoleh dari mana.
"Saudara yang baik, pergunakanlah pedang ini!"
"Aku.... aku tak bisa menggunakan pedang...." kata Ceng Liong sambil menyambar sebuah
bangku. Ketika si brewok membacokkan goloknya, dia menangkis dengan kaku,
menggunakan bangku.
"Crakk....!" empat batang kaki bangku itu terbabat putus akan tetapi si raksasa brewok
berteriak mengaduh dan goloknya terlempar ke lantai. Dia sendiri bergulingan di atas lantai
sambil merintih-rintih. Kiranya empat potong kaki bangku yang putus itu secara
aneh meluncur dan semua menancap di tubuh raksasa itu. Dua di ke-dua pundak, satu
menembus paha dan satu lagi menancap betis. Dapat dibayangkan nyerinya dan ketika para
anak buah Hek-i Mo-pang menggo-tongnya, nampak jelas raksasa itu terkencing-kencing
saking nyerinya.
Terdengar ledakan sorak-sorai menyambut kemenangan pemuda sederhana itu. Walaupun
mereka masih mengira bahwa kemenangan Ceng Liong hanya dapat terjadi karena nasib baik
saja. Pemuda itu sedemikian pandainya berpura-pura sehingga tidak ada yang tahu bahwa dia
memang ilmunya jauh lebih tinggi!
Dapat dimengerti betapa marahnya hati Ciong Ek Sim melihat anak buahnya yang
diharapkan akan menghajar pemuda itu sampai terkencing--kencing malah sebaliknya dipukul
roboh sampai terkencing-kencing. Dia mengeluarkan suara lengkingan panjang dan tubuhnya
sudah meluncur ke depan. Kini dia berhadapan dengan Ceng Liong yang masih berdiri tegak
sambil tersenyum-senyum.
"Ha, rupanya si Hek-kaw datang menggong-gong lagi!" ejeknya dan para tamu tertawa
gem-bira melihat ada orang berani mempermainkan Ciong Ek Sim yang lihai itu, walaupun
hati mereka masih khawatir memikirkan keselamatan pemuda yang berani itu. Yang
menggelisahkan adalah ka-rena gerakan-gerakan pemuda itu sama sekali tidak
membayangkan kepandaian silat, melainkan memperoleh kemenangan secara kebetulan saja.
Yang paling khawatir adalah pemuda baju hijau yang segera mendekati Ceng Liong.
"Saudara yang baik, berhati-hatilah menghadapi iblis ini. Dia lihai sekali, sebaiknya
dikeroyok saja!"
Ciong Ek Sim membanting kaki sehingga lantai tergetar dan si baju hijau terkejut, cepat
meloncat ke belakang karena takut dipukul.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
602 "Ihhh.... galak benar....!" katanya sambil mundur kembali dan diapun lalu mengejek dengan
meniru suara anjing menyalak-nyalak.
"Huk.... huk-huk....!" Semua tamu ter-tawa dan biarpun hatinya marah sekali Ciong Ek
Sim maklum betapa semua tamu berpihak tuan rumah, maka dia tidak berani sembarangan
me-ngejar pemuda itu dan mengamuk di antara para tamu.
"Sudahlah orang she Ciong, tak perlu mengum-bar kemarahan. Akulah lawanmu dan mari
perli-hatkan apakah kepandaianmu selihai mulutmu yang sombong!" kata Ceng Liong.
"Bocah setan! Kalau aku tidak dapat merobek--robek kulit dagingmu, mematah-matahkan
tulang--tulangmu dan menghancurkan kepalamu, jangan aku disebut Hek-houw (Macam
Hitam) lagi!"
"Memang engkau Anjing Hitam, bukan Macan Hitam! Huk-huk-huk!" Pemuda baju hijau
mengejek di tengah- tengah para tamu, di tempat yang aman, sambil duduk di atas bangku dan
se-perti semua tamu lain, dia nonton dengan hati penuh ketegangan.
Ciong Ek Sim tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Tubuhnya menerjang
maju, kaki tangannya bergerak aneh dan dia sudah mengirim pukulan dan tendangan bertubi-
tubi. Setiap pukulan atau tendangan amat kuat dan mendatangkan angin bersiutan dan terkena
sekali tendangan atau pukulan itu tentu amat berbahaya. Akan tetapi Ceng Liong mengenal
gerakan jurus--jurus itu sebagai ilmu silat khas dari Hek-i Mo-pang tingkat pertengahan.
Tentu saja tidak ada artinya bagi Ceng Liong dan biarpun tanpa me-lakukan gerakan silat,
dengan langkah langkah kaki yang memiliki dasar sama, dengan mudah dia dapat mengelak
dari semua serangan itu.
Kini baru para tamu mulai mengerti atau seti-daknya mulai menduga bahwa pemuda
sederhana itu seorang yang lihai sekali. Walaupun tidak ke-lihatan bersilat, hanya melangkah
ke sana-sini dan meliuk-liukkan tubuh, pemuda itu sudah mampu mengelak dari semua
pukulan dan tendangan yang sedemikian dahsyatnya! Si baju hi-jau girang dan kagum,
berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan melihat betapa semua serangan si tinggi kurus
gagal. Dan Ciong Ek Sim kinipun tahu bahwa lawannya tadi hanya berpura-pura saja.
Lawannya ini ternyata lihai karena agaknya sudah tahu akan perkembangan jurus-jurus
serangannya sehingga dapat menghindar dengan cepat, mem-buat semua pukulan dan
tendangannya mengenai tempat kosong.
"Mampuslah! Wuuuttt....!" Dia berteriak, kini menggerakkan dan mengerahkan tenaga sin-
kang pada tangan kirinya dan mencengkeram. Cengkeramannya ini tak mungkin dielakkan
karena setiap elakan akan dikejar terus oleh tangan kirinya.Ceng Liong yang merasa sudah
cukup mem-permainkan lawan, mengenal jurus yang diberi nama Hek-mo-siok-mau (Iblis
Hitam Menyisir Rambut) ini. Diapun tahu bahwa mengelak takkan ada gunanya, maka dia
mulai menghajar iblis ke-jam itu dengan tangkisannya pada tangan kiri la-wan sambil
mengerahkan tenaga dengan gaya me-motong dan memuntir.
"Krekk....! Aduuhh....!"
Tubuh Ciong Ek Sim terbawa memutar dan mukanya pucat sekali menahan rasa nyeri ketika
dia memegangi lengan kirinya dengan lengan kanan. Kiranya tulang kirinya, di bawah siku,
te-lah patah! Akan tetapi dasar jahat dan bandel, dia menyelipkan tangan kiri yang sudah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
603 lumpuh itu di ikat pinggangnya, matanya beringas dan merah memandang kepada Ceng
Liong. "Hyaaattt!" Tiba-tiba dia menerjang dengan tangan kanan, sekali ini tangannya menghantam
dengan jari-jari terbuka ke arah perut Ceng Liong untuk dilanjutkan dengan cengkeraman ke
arah kemaluan! Sebuah serangan yang amat keji dan berbahaya sekali.
Betapa kaget hati para tamu yang pandai main silat melihat betapa Ceng Liong menghadapi
se-rangan ini dengan tenang saja, tanpa mengelak dan tanpa menangkis. Tentu akan pecah
perut pemuda itu disambar tangan terbuka yang tak kalah kuatnya dari golok itu.
"Ceppp....!" Tangan itu amblas seperti menancap ke dalam perut sampai sebatas
perge-langan! Semua tamu terbelalak. Pemuda baju hijau bangkit berdiri dan menahan
jeritannya. Akan tetapi wajah Ceng Liong tetap tersenyum. Sebaliknya, wajah Ciong Ek Sim
menyeringai kesa-kitan. Dia merasa betapa tangannya seperti masuk ke dalam tungku api!
Rasanya panas seperti terba-kar. Tentu saja dia berkuketan, meronta untuk menarik kembali
tangan kanannya, akan tetapi ta-ngannya tak mampu dilepaskan, seperti terjepit catut yang
membara. "Adudududuhh....!" Tak terasa lagi dia menjerit-jerit dan tiba-tiba tangan kiri Ceng Liong
menabas ke bawah.
"Krekkk!" Tangan Ceng Liong yang mengan-dung tenaga sakti dari Pulau Es itu memukul
le-ngan kanan itu dan patah pulalah tulang kanan Ciong Ek Sim! Ketika perut Ceng Liong
melepaskan tangan itu, lengan kanan si tinggi kurus itu tergantung lumpuh.
Semua orang bersorak ramai. Pemuda baju hijau yang tadinya khawatir sekali, sekarang
demi-kian lega hatinya. Dia menjatuhkan dirinya di atas bangku dan tertawa-tawa. "Ha-ha-ha-
heh-heh! Anjing hitam kena gebuk, patah kedua kaki depan-nya! Apakah masih bisa
menggonggong" Huk-huk-huk-heh-heh-heh...." Dia tertawa terpingkal-pingkal sampai
terjungkal dari atas bangku!
Kini setelah kedua lengannya patah tulangnya dan tak dapat dipergunakan untuk menyerang
lagi, baru Ciong Ek Sim sadar. Matanya seperti baru terbuka bahwa yang dilawannya adalah
seorang sakti yang luar biasa sekali lihainya! Akan tetapi semua tamu menyaksikannya dan
dia diter-tawakan semua orang. Lebih baik mati daripada mundur dengan nama hancur. Dia
berteriak se-perti gerengan binatang buas dan dengan nekat dia menyerang, menggunakan
kaki kanan untuk menendang, disusul kaki kiri, karena dia menggu-nakan ilmu tendangan
meloncat ini harus disertai gerakan kedua lengan untuk mengatur keseimbang-an. Akan tetapi
kedua lengannya sudah lumpuh dan dia menendang dengan nekat.
Ceng Liong memang ingin memberi hajaran yang setimpal atas kekejaman orang ini terhadap
empat murid kepala dan ketua Pek-eng-pang tadi, maka kini dia menggerakkan tangan dengan
cepat, mengetuk ke arah kedua kaki yang saling susul itu dari samping setelah dia melangkah
dengan elak-annya.
"Krak! Krak!" Dua batang tulang kaki itupun tidak kuat menahan ketukan tangan Ceng
Liong dan patah seketika. Tubuh yang kini sudah lumpuh kaki tangannya itu terbanting jatuh.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
604 Ceng Liong menendang dan tubuh itu terlempar jauh sekali sampai keluar rumah dan
terbanting ke atas tanah di pinggir jalan.
Para tamu bersorak girang dan mereka semua baru merasa kagum dan terkejut, menduga
siapa gerangan pemuda perkasa ini. Song-pangcu sen-diri bersama muridnya juga merasa
gembira dan terheran-heran karena merekapun tidak menge-nal tamu itu.
Tiba-tiba suara bentakan hebat menggetarkan seluruh ruangan dan para tamu terkejut dan
ber-henti bergembira. Semua mata memandang ke-pada kakek gendut yang nampak sudah
bangkit berdiri dan mengangkat tongkat hitamnya di atas kepala. Kakek yang disebut dengan
nama Boan It suhu itulah yang tadi mengeluarkan bentakan atau teriakan yang menggetarkan
ruangan itu. Kini semua tamu melihat betapa kakek ini melangkah turun dari panggung
kehormatan, menghampiri Ceng Liong dengan langkah tegap dan muka keruh. Sikapnya
penuh ancaman dan menyeramkan. Akan tetapi sekarang para tamu mulai percaya akan
ke-mampuan pemuda itu dan mengharapkan pemuda itu akan dapat mengalahkan pula
pemimpin Hek-i Mo-pang ini.
Setelah berhadapan dengan Ceng Liong, kakek gendut itu mengangkat tongkat hitamnya ke
atas, memutar-mutar tongkat itu sehingga ujungnya membentuk suatu lingkaran hitam dan
terdengarlah suaranya yang menggelegar dan menggeledek pe-nuh getaran yang mengandung
wibawa yang amat kuat.
"Orang muda, kuperintahkan kamu! Berlutut-lah dan jilatilah sepatuku sampai bersih!
Haaaiiiitt!" Bukan main dahsyatnya suara ben-takan ini sehingga di antara para tamu bahkan
ada yang tiba-tiba berlutut tanpa dapat mereka per-tahankan lagi!
Semua orang menonton dengan tegang dan terpesona. Akan tetapi Ceng Liong nampak
tenang saja, masih berdiri tegak menatap wajah kakek itu. Dua pasang mata saling pandang
dan saling se-rang! Sepasang mata Ceng Liong semakin men-corong dan nampak betapa
dalam adu mata ini akhirnya Boan It berkedip beberapa kali, tak dapat menahan matanya yang
terasa perih dan panas. Kemudian, Ceng Liong mengangkat tangan kiri membuat gerakan
seperti menggapai ke arah Boan It sambil berkata, suaranya halus dan ramah sekali.
"Boan It, engkau ingin sekali berlutut dan menjilati sepatuku sampai bersih" Aku akan
senang sekali, silahkan Boan It, penuhi keinginan itu. Berlututlah dan jilati sepatuku!"
Semua orang nampak heran sekali, dan Boan It nampak betapa tubuhnya menegang,
beberapa kali kepalanya digeleng keras-keras akan tetapi sepa-sang matanya mulai pudar
kehilangan cahaya dan akhirnya diapun berlutut, merangkak maju lalu mulai.... menjilati
sepatu Ceng Liong seperti seekor anjing besar menjilati kaki majikannya!
Tentu saja peristiwa aneh ini membuat semua orang melongo keheranan. Mereka belum
mengerti bahwa antara kakek gendut dan pemuda itu telah terjadi suatu pertandingan sihir!
Boan It telah menjadi korban sihirnya sendiri yang telah dikem-balikan oleh Ceng Liong.
Seperti diketahui, pemu-da ini ketika digembleng oleh orang tuanya sendiri selama tiga tahun
terakhir ini, telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri. Maka, menghadapi ilmu sihir
Boan It yang mempelajari dari mendiang Hek-i Mo-ong, tentu saja dia mengenal baik sihir itu
dan dapat mengalahkannya dengan mudah.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
605 Hanya sebentar saja para tamu terbelalak me-lihat Boan It menjilati sepatu Ceng Liong.
Segera terdengar sorak-sorai dan ketawa meledak-ledak dan hal ini mengguncang Boan It ke
dalam kesa-darannya kembali. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia segera menggereng
langsung menyerang Ceng Liong dari posisi berlutut itu dengan tongkatnya! Akan tetapi Ceng
Liong sudah bersiap--siap dan dapat mengelak dengan loncatan ke belakang.
Boan It meloncat bangun. Sejenak dia memandang, mukanya sebentar pucat sebentar merah
kemudian dia mulai memainkan toyanya, dipu-tar-putar cepat sekali di sekeliling tubuh
sebelum menyerang. Terdengar suara berdesing-desing dan tongkat itu lenyap bentuknya,
berobah menjadi gulungan sinar hitam lebar yang menyelimuti tu-buh kakek gendut itu dan
angin menyambar-nyam-bar ke depan.Namun, Ceng Liong kini tidak mau main-main lagi.
Diapun mulai menggerakkan kaki tangannya, memasang kuda-kuda yang kokoh dan nampak
betapa indah dan gagahnya dia mengatur sikap untuk menghadapi lawan yang bersenjata
tongkat itu. Sikapnya ini tentu saja mengundang pujian dan kini baru semua tamu tahu betapa
indah dan gagahnya gaya permainan silat pemuda itu.
"Haaaiiiit!" Boan It membentak dan mulai-lah dia menyerang.
"Hem....!" Ceng Liong mengelak dan ketika gulungan sinar hitam itu menyelimutinya, tubuh
pemuda inipun lenyap berobah menjadi bayangan putih yang berkelebat cepat sekali
me-nyelinap di antara sinar hitam, menyambar-nyam-bar ke sana-sini. Para tamu mengikuti
pertan-dingan yang seru ini dengan hati tegang, maklum bahwa yang berkelahi adalah dua
orang yang ting-gi ilmu silatnya.
Jurus demi jurus berlangsung dengan cepatnya dan makin lama Boan It semakin terkejut dan
he-ran, juga hatinya mulai merasa gentar ketika pemuda ini seolah- olah mengenal semua
gerakannya dan bahkan berani menangkis tongkatnya dengan lengan tangan.
"Plak! Duk!" Tangkisan itu membuat tubuh Boan It terhuyung dan terpelanting, nyaris roboh
kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri dan bergulingan.
"Tahan dulu!" Bentaknya ketika meloncat ber-diri, melintangkan tongkatnya, napasnya
terengah--engah. Belum pernah dia bertanding dengan lawan setangguh ini dan selain gentar,
diapun ingin tahu siapa sebenarnya pemuda ini. "Sebelum engkau mati di ujung tongkatku,
katakanlah dulu siapa engkau agar tidak mati tanpa nama."
Para tamu juga menantikan jawaban pemuda itu dengan tak sabar karena merekapun ingin
sekali mengetahui siapa gerangan pemuda yang amat perkasa itu. Kini Ceng Liong
menghentikan si-kapnya yang main-main dan pandang matanya mencorong penuh wibawa.
"Boan It, engkau seorang murid yang murtad! Hek-i Mo-pang telah bubar atau dibubarkan
oleh gurumu dan melarang kalian bergerak dengan nama perkumpulan itu. Akan tetapi
engkau berani memimpin anak buah, bertindak liar dan sewenang-wenang menggunakan
nama Hek-i Mo- pang!"
Mendengar ini Boan It terkejut sekali. Dia memandang tajam penuh perhatian, dan diapun
teringat pemuda cilik yang dulu menjadi tawanan dari Pulau Es kemudian menjadi murid
Hek-i Mo-ong itu.
"Kamu....! Kamu.... bocah dari Pulau Es itu" Kamu Suma Ceng Liong?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
606 "Bagus kalau masih ingat padaku!"
"Hah! Sejak dulu aku ingin membunuhmu dan sekaranglah baru terbuka kesempatan itu!"
Boan It menggereng seperti binatang buas, tidak menggunakan sihir lagi karena tadipun dia
mendapat malu ketika menggunakan sihirnya. Kini dia mengerahkan segala ilmu dan
tenaganya, menyerang dengan dahsyat.
Ceng Liong tidak mau memberi hati lagi. Dia mengelak, menangkis dan membalas dengan
lebih cepat lagi. Para tamu menjadi berisik, mereka saling berbisik membicarakan pemuda itu.
Mend-egar bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda Pulau Es yang she Suma, semua orang
menjadi kaget dan kagum. Tahulah mereka bahwa pemuda ini adalah keturunan Pendekar
Super Sakti dari Pulau Es yang namanya di dunia persilatan seperti dewa saja.
Pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaian Ceng Liong jauh lebih tinggi daripada Boan It.
Bahkan kini setelah dia menerima gemblengan dari ayah bundanya selama tiga tahun terakhir
ini, Hek-i Mo-ong sendiri andaikata masih hidup belum tentu dapat menadinginya. Bahkan
Suma Kian Bu sendiri harus mengakui bahwa setelah mengusai ilmu-ilmu Pulau Es dan Ilmu-
ilmu dari Hek-i Mo-ong puteranya itu jauh lebih lihai darinya sendiri.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapapun juga Ceng Liong tidak dapat me-lupakan mendiang Hek-i Mo-ong, bekas
guru-nya yang amat menyayanginya. Dia tahu betapa Boan It pernah menjadi kepercayaan
Hek-i Mo--ong. Maka mengingat mendiang gurunya itu, dia merasa tidak tega untuk
membunuh Boan It.
Pada saat tongkat itu meluncur ke arah tenggorokannya, Ceng Liong meloncat ke samping
dan tiba-tiba ujung tongkat itu mengeluarkan uap hitam yang menyambar ke arah muka Ceng
Liong. Pemuda ini tidak terkejut karena dia sudah me-ngenal uap beracun yang keluar dari
ujung tong-kat. Diapun membuka mulut dan uap hitam itu buyar, bahkan kini membalik
terdorong oleh uap panas yang menyambar dari mulut Ceng Liong.
"Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun)....!" Boan It berseru kaget ketika hawa panas menyengat
mukanya. Pada saat itu sebuah totokan jari tangan Ceng Liong melumpuhkan tangannya dan
tongkat hitam itupun pindah tangan. Sebelum Boan It mampu mengelak, tongkatnya sendiri
telah mengalungi lehernya. Tongkat itu telah ditekuk oleh tangan Ceng Liong dan kini
mengalungi lehernya dengan kuat. Dua kali totokan lagi membuat kaki tangan Boan It
menjadi lumpuh dan diapun roboh terguling!
"Pergilah, dan mulai hari ini bubarkan perkumpulanmu dan jangan lagi mengacau dunia
dengan nama Hek-i Mo-pang!" kata Ceng Liong meng-ulang larangan mendiang Hek-i Mo-
ong. Dia memberi isyarat kepada para anak buah baju hi-tam yang segera menggotong tubuh
Boan It dan Ciong Ek Sim meninggalkan tempat itu tanpa banyak cakap lagi.
Tentu saja kemenangan ini disambut dengan gembira dan kagum oleh para tamu. Mereka
meng-elu-elukan pemuda itu, apalagi ketika Ceng Liong memperkenalkan diri sebagai putera
Suma Kian Bu, pendekar sakti yang setengah mengasingkan diri di dusun Hong-cun di tepi
Sungai Huang-ho itu. Dalam kesempatan ini, dengan cerdik Ceng Liong memilih-milih
beberapa orang tokoh kang-ouw yang gagah dan bersemangat untuk diajak bicara tentang
negara dan bangsa yang dijajah, tentang kepahlawanan dan akhirnya dia berhasil membakar
dan membangkitkan semangat beberapa orang pen-dekar yang menyatakan kebulatan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
607 tekadnya untuk membantu perjuangan mengusir penjajah apabila saatnya tiba. Juga mereka
berjanji untuk menarik kawan-kawan sehaluan agar memperkuat barisan para patriot dan
mempersiapkan diri untuk sewak-tu-waktu membantu bilamana saatnya tiba.
Dengan hati gembira dan puas Ceng Liong meninggalkan Nam-san untuk mengunjungi kota
raja dalam tugasnya mendekati dan menjajagi hati Jenderal Kao Cin Liong.
*** Suma Kian Lee dan isterinya tentu saja mene-rima berita keluarga Kao dengan gembira dan
terharu. Pendekar ini sudah merasa bersalah besar terhadap keluarga Kao dan terhadap
puterinya sendiri. Maka kini dia menyetujui saja ketika me-nerima berita bahwa pernikahan
antara Suma Hui dan Kao Cin Liong akan segera diresmikan di ru-mah keluarga Kao atau di
rumah jenderal muda itu. Mereka telah merasa salah langkah. Puteri mereka sudah merayakan
pernikahannya dengan Louw Tek Ciang, di Thian-cin. Tak mungkin me-reka dapat
merayakan lagi di Thian-cin, apalagi menikah dengan pria lain sedangkan perjodohan puteri
mereka dengan Louw Tek Ciang belum di-ceraikan secara resmi. Tentu umum mengira Suma
Hui adalah isteri yang sah dari Louw Tek Ciang!
Karena keadaan ini pula perayaan pernikahan antara Suma Hui dan Kao Cin Liong diadakan
de-ngan amat bersahaja, amat sederhana. Keluarga Kao tidak mengundang banyak tamu,
hanya ke-luarga dekat dan rekan- rekan Jenderal Kao saja yang hadir. Dari pihak keluarga
Suma, yang hadir hanya Kian Bu, isterinya dan putera mereka saja. Suma Ceng Liong masih
belum berhasil bicara mengenai negara dengan Cin Liong. Dia harus hati-hati karena jenderal
muda itu nampak amat disayang kaisar, juga jenderal itu kelihatan amat setia. Biarpun ada
ikatan keluarga melalui Suma Hui, akan tetapi kalau sampai dia bersalah bicara dan jenderal
itu lebih berat terhadap kaisar, tentu perjuangan akan menghadapi jalan buntu atau setidaknya
menghadapi penghalang besar. Inilah sebabnya, mengapa sampai dia hadir sebagai tamu
perayaan pernikahan itu, Ceng Liong belum pernah bicara tentang negara dan perjuangan.
Yang menyedihkan hati Suma Hui adalah tidak hadirnya Suma Ciang Bun! Kepada ayah
bundanya, juga kepada suaminya, terpaksa dia berterus terang tentang keadaan Ciang Bun
yang mempunyai kelainan itu. Mendengar ini Kim Hwee Li membanting-banting kaki kanan
dan menjambak rambut sendiri!
"Dosaku....! Semua akibat dosaku. Thian telah mengutuk aku sehingga anak-anakku yang
mengalami hukuman! Ah.... dulu aku adalah seorang wanita sesat, seorang gadis iblis yang
liar....! Aih, suamiku, kenapa engkau memilih seorang perempuan macam aku sehingga kini
eng-kau dan anak-anakmu ikut menderita....!" wanita ini menangis.
Suma kian Lee cepat merangkulnya. "Hushh.... jangan berkata begitu, isteriku. Semua ini
sudah terjadi. Daripada mengeluh dan menyesali hal-hal yang lalu, lebih baik kita berusaha
memb-erikan jalan keluar untuk putera kita itu setela selesai urusan pernikahan Hui-ji....!"
Suma Hui dan Cin Liong, dua orang lain kecu-ali Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li yang
tahu keadaan Ciang Bun, merasa terharu. Suma Hui cepat menceritakan kepada orang tuanya
perihal Ganggananda.
"Harap ayah dan ibu tenang saja. Kurasa usa-haku bersama Gangga akan berhasil baik."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
608 "Siapa itu Gangga?" tanya ibunya.
"Pemuda tampan dari Bhutan itu?" tanya Cin Liong.
Suma Hui menoleh kepada calon suaminya sambil tersenyum. "Dia bukan pemuda,
melainkan pemudi. Dan dia adalah puteri tunggal dari Puteri Syanti Dewi dari Bhutan...."
"Ah, puteri Ang Tek Hoat?" Suma Kian Lee memotong.
Suma Hui mengangguk lalu berceritalah ia. Betapa Ciang Bun bertemu dengan gadis Bhutan
yang menyamar pria bernama Ganggananda dan menjadi sahabat baik.
"Bun-te telah jatuh cinta kepada Gangga yang dianggapnya pria! Dan dia gelisah sekali,
namun tak mampu berpisah dari Gangga. Dan aku telah menceritakan perihal diri Bun-te
kepada Gangga. Dan gadis itu agaknya juga mencinta Ciang Bun, dan berjanji mau
membantu. Aku minta agar ia meninggalkan Bun-te, kelak menemuinya lagi dan setelah Bun-
te benar-benar jatuh cinta, akhirnya mengaku bahwa ia seorang wanita." Dengan pan-jang
lebar Suma Hui bercerita dan sepasang suami isteri itu diam-diam memuji kecerdikan Suma
Hui. "Mudah-mudahan usahamu berhasil baik." Suma Kian Lee berkata.
Pada keesokan harinya, upacara dilangsungkan secara sederhana numun meriah. Di antara
para tamu undangan yang menjadi rekan jenderal Kao Cin Liong, terdapat seorang pembesar
tinggi yang menjabat sebagai seorang menteri. Menteri Siong ini sudah berusia lima puluh
tahun dan dia hadir sebagai undangan, juga sebagai utusan dan wakil kaisar, maka semua
orang berlutut ketika dia tiba dan membacakan amanat kaisar. Seorang utus-an dan wakil
kaisar memang dihormati sebagai kaisar sendiri ketika menyampaikan amanat. Kemudian
Menteri Siong dipersilahkan duduk di tempat kehormatan sebagai tamu yang dihormati.
Menteri Siong Ci Kok ini diam-diam menaruh hati dendam dan tidak senang atas pernikahan
Cin Liong dan Suma Hui. Menteri itu mempunyai se-orang anak gadis dan tadinya Menteri
Siong ingin sekali menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong. Sudah berkali-kali
dia memancing, namun jenderal muda yang dikaguminya itu tak pernah menanggapi. Jenderal
muda itu amat di-sayang kaisar, kalau dapat menjadi mantunya tentu kedudukannya akan
menjadi semakin kuat. Bah-kan kaisar sendiri tertarik kepada gadisnya, dan ketika dia yang
khawatir kaisar akan tertarik ke-pada gadisnya dan menjadikan selir, maka dia me-nyindir
bahwa ingin menjodohkan puterinya de-ngan Cin Liong, kaisar segera menyatakan
kegembiraannya dan persetujuannya. Akan tetapi ketika akhirnya dia secara terus terang
menyatakan keinginannya kepada Cin Liong, jenderal muda itu menolak dengan halus dan
menyatakan bahwa dia sudah punya calon isteri! Tentu saja dia merasa kecewa dan menyesal
sekali. Maka kehadirannya sebagai utusan kaisar itu hendak melampiaskan rasa kecewa dan
penasaran hatinya. Dan dia sudah memiliki sarananya untuk itu, sebuah surat wasiat yang kini
sudah berada di saku bajunya.Setelah hidangan dikeluarkan dan para tamu akan menyaksikan
upacara bertemunya sepasang pengantin, saat itu dianggap amat penting bagi Menteri Siong
Ci Kok untuk mengadakan penye-rangan. Apalagi semua yang bersangkutan sudah berada di
satu. Kao Cin Liong sang pengantin yang siap menyambut mempelai wanita yang sebentar
lagi akan muncul, Kao Kok Cu dan isterinya, juga Suma Kian Lee dengan isterinya yang oleh
Cin Liong diperkenalkan kepada utusan dan wakil kai-sar itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
609 "Sungguh menggembirakan sekali kami dapat hadir dalam saat yang bahagia ini," demikian
kata-nya dengan lantang kepada kedua keluurga itu. "Kami adalah sahabat baik Kao-goanswe
dan su-dah lama kami mengharapkan datangnya hari ba-hagia ini. Dan mendengar bahwa
calon isteri Kao-goanswe adalah keturunan keluarga Suma dari Pulau Es, sungguh hati kami
semakin gembira rasanya."
"Siong-taijin," kata Kao Kok Cu dengan sikap hormat, "Paduka telah berkenan menghadiri
pera-yaan pernikahan anak kami yang sederhana ini, bahkan sebagai wakil sri baginda kaisar,
sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi kami seluruh keluarga mempelai. Semoga
kehadiran paduka da-pat menambah doa restu bagi kedua mempelai."
"Ah, kami dengan keluarga Kao-goanswe su-dah seperti keluarga sendiri, harap Kao-tahiap
tidak sungkan-sungkan lagi. Kao-goanswe adalah putera tunggal bukan" Dan isterinya, Suma-
sio-cia, tentu puteri Suma- taihiap yang ke dua." katanya dengan nada suara sambil lalu dan
menoleh kepada Suma Kian Bu dan isterinya.
Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan seje-nak saling pandang dengan isterinya,
kemudian tanpa menduga sesuatu, diapun menjawab. "Bukan yang ke dua, taijin, melainkan
yang pertama dan kami hanya mempunyai seorang anak perempuan tunggal."
Akan tetapi betapa kaget dan heran rasa hati mereka semua yang hadir di situ ketika
pembesar itu terbelalak dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Mana mungkin" Bagaimanakah ini" Harap Suma- taihiap tidak main-main."
Kini Suma Kian Lee saling pandang sekilas dengan Kao Kok Cu dan hatinya merasa tidak
enak. "Apakah yang taijin maksudkan" Saya sama sekali tidak berani main- main."
Pembesar itu menepuk paha dengan tangan ka-nan dan hal ini sengaja dia lakukan untuk
menarik perhatian dan memang usahanya berhasil baik. Para tamu lain yang duduk tidak jauh
dari situ mulai mencurahkan perhatian dan ikut mende-ngarkan percakapan itu.
"Sungguh amat mengherankan! Beranikah orang-orang membohong kepadaku ketika
menga-barkan bahwa Suma-taihiap pernah menikahkan seorang puteri taihiap" Tiga tahun
yang lalu, di Thian-cin, kabarnya puteri taihiap yang bernama Suma Hui telah menikah
dengan seorang she Louw, kabarnya murid taihiap sendiri! Lalu yang akan menikah dengan
Kao-goanswe ini siapakah, kalau taihiap hanya mempunyai seorang puteri tunggal?"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka semua mendengar ucapan itu. Juga para tamu
ke-hormatan kini tertarik sekali. Untuk sejenak kedua keluarga pengantin tak mampu
menjawab. "Benar, taijin. Puteri kami hanya seorang saja, bernama Suma Hui. Dan semua yang taijin
katakan tadi memang benar pernah terjadi!"
Pembesar itu pura-pura membelalakkan mata-nya. "Ah...., jadi.... benarkah begitu" Kalau
begitu lalu.... lalu.... bagaimana sekarang Kao-goanswe...." dia tak melanjut-kan dan
memandang wajah jenderal muda itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
610 Kedua pasang besan itu saling pandang dan dalam pertukaran pandang mata itu, watak gagah
merekapun bangkit.
"Kami dapat menerangkan hal itu!" kata Suma Kian Lee dengan suara tenang.
"Dan memang sebaiknya kami menjelaskan ke-pada semua para tamu yang hadir!" sambung
Kao Kok Cu dengan suara tegas.
"Siong-taijin, maafkan saya," kata Cin Liong sambil mengerutkan alisnya. "Bolehkah saya
me-ngetahui dari siapa taijin mendengar semua itu?"
Mendengar nada suara jenderal muda itu yang agak keras dan menuntut, pembesar itupun tak
mau main-main lagi. Dia sudah melaksanakan niatnya, melampiaskan dendam hatinya yang
ke-cewa, membongkar rahasia keluarga itu. Dikeluar-kannya sebuah sampul surat dari dalam
saku ju-bahnya dan dia berkata, "Maaf, Kao-goanswe. Bukan maksudku untuk membuka
rahasia. Akan tetapi kami menerima surat ini beberapa hari yang lalu, surat dari orang yang
bernama Louw Tek Ciang. Kami tidak mengenalnya akan tetapi dia yang menceritakan bahwa
Suma-siocia telah me-nikah tiga tahun yang lalu. Tadinya kami tidak percaya dan tak tahu apa
maksudnya mengirim surat seperti ini. Karena hati kami penasaran, maka tadi kami tanyakan
langsung kepada Suma-taihiap."
Mendengar keterangan itu tahulah kedua pa-sang besan itu dan juga Cin Liong bahwa musuh
besar mereka, Louw Tek Ciang, ternyata telah mulai beraksi dan tidak tinggal diam saja, ingin
merusak perayaan itu dan nama baik mereka mela-lui Menteri Siong. Wajah Suma Kian Lee
berobah merah sekali, demikian pula wajah Kao Kok Cu. Akan tetapi mereka tidak
menyalahkan pembesar itu yang agaknya tanpa disadarinya telah diperalat Louw Tek Ciang.
Hanya Cin Liong yang diam--diam dapat menduga bahwa agaknya surat itu membuka
kesempatan bagi Menteri Siong untuk melampiaskan dendam kecewanya.
Dengan suara lantang Suma Kian Lee berkata. "Taijin, kami tidak akan merahasiakan hal itu
walaupun itu sesungguhnya merupakan urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya
dengan orang lain. Memang, puteri kami Suma Hui tiga tahun yang lalu pernah menikah
dengan Louw Tek Ciang. Akan tetapi, pada hari pernikahan itu pula kami baru mengetahui
bahwa dia soerang penjahat besar, murid iblis Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menipu kami
sehingga telah kami ambil murid dan mantu. Sejak hari pernikahan itu, hubungan kami
sekeluarga dan dia menjadi putus, bahkan dia menjadi musuh besar kami. Puteri kami bukan
isterinya lagi."
"Dan kami sekeluargapun sudah tahu akan se-mua itu!" sambung Kao Kok Cu lantang. "Dan
seperti dikatakan oleh saudara Suma Kian Lee tadi, urusan ini adalah urusan pribadi kami
yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain!"
Menteri Siong dan para tamu yang lain men-dengar ucapan dua orang pendekar sakti itu,
yang dikeluarkan dengan suara penuh wibawa, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan
tetapi tentu saja mereka tidak berani memberikan komentar lagi karena kedua orang pendekar
itu sudah me-nekankan bahwa urusan itu adalah urusan bersi-fat pribadi yang tiada sangkut-
pautnya dengan orang lain. Mereka hanya membatin betapa aneh-nya watak tokoh-tokoh
perkasa itu. Kalau orang biasa, sungguh tak mungkin seorang pemuda, apalagi dengan
kedudukan setinggi Jenderal Muda Kao Cin Liong, mengawini seorang janda! Sementara itu,
Suma Ceng Liong dan ayah bundanya juga terkejut mendengar ucapan dua besan itu dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
611 diam-diam Ceng Liong mencatat nama Louw Tek Ciang yang telah berhasil menipu
pamannya sehingga diambil murid bahkan mantu olehnya. Padahal, Tek Ciang adalah murid
Jai-hwa Siauw-ok dan dia pernah bertemu dengan mereka ketika bersama dengan mereka,
mendiang Hek-i Mo-ong menyerbu ke rumah keluarga Kam di Bukit Nelayan.
Biarpun ada gangguan batin karena ulah Men-teri Siong tadi, upacara pernikahan
dilangsungkan dengan lancar. Wajah sepasang mempelai berseri penuh kebahagiaan ketika
mereka melakukan upa-cara penghormatan kepada para orang tua dan keluarganya. Pesta
sederhana lalu dirayakan dengan gembira.
Pada keesokan harinya, Suma Ceng Liong dan ayah ibunya sempat mendengar penuturan
Suma Hui sendiri yang ditemani suaminya tentang mala-petaka dan aib yang menimpa
keluarga ayahnya karena kejahatan Louw Tek Ciang. Ia tidak me-nyembunyikan apa-apa lagi
karena bicara di an-tara keluarga.
"Dulu, bersama suamiku ini, aku perintah sing-gah dan bertemu paman Kian Bu berdua
ketika kami kembali dari Pulau Es dan paman Kian Bu telah memperingatkan kami akan
banyak halangan dan rintangan bagi perjodohan kami. Dan ternyata memang benar." Suma
Hui menutup ceritanya.
Kian Bu mengangguk. "Bagaimanapun juga, semua telah lewat dan anggap saja semua itu
se-bagai mimpi buruk. Aku sungguh kagum kepada kalian. Cinta kasih antara kalian demikian
besar dan murni dan dengan cinta kasih seperti itu kalian tentu akan hidup berbahagia."Kian
Lee menarik napas panjang. "Semua ada-lah karena kesalahanku. Aku terlalu kukuh dan aku
lengah sehingga mudah tertipu oleh iblis itu." Dia mengepal tinju dengan gemas.
"Manusia boleh berusaha bagaimanapun, akan tetapi Thian yang berkuasa menentukan." kata
Kao Kok Cu. "Aku telah bersumpah untuk mencari dan mem-bunuh jahanam Louw Tek Ciang dan
gurunya, Jai-hwa Siauw-ok!" kata Suma Hui sambil mengepal tinju.
"Harap paman dapat menenangkan hati, juga enci Hui. Ketahuilah bahwa Jai-hwa Siauw-ok
telah tewas tiga tahun yang lalu." kata Ceng Liong.
Mereka semua, kecuali ayah ibu Ceng Liong yang sudah tahu, terkejut mendengar berita ini.
"Bagaimana terjadinya" Siapa yang membunuh jahanam itu?" tanya Suma Kian Lee.
"Dia berkelahi dengan Hek-i Mo-ong dan dia terpukul roboh dan tewas."
"Hek-i Mo-ong" Pemimpin gerombolan yang menyerbu Pulau Es?" Suma Hui dan Cin Liong
terkejut. Ceng Liong mengangguk. "Benar. Dan bukan hanya Jai-hwa Siauw-ok yang tewas, juga
Hek-i Mo-ong telah meninggal dunia karena luka-lu-kanya, setelah bertanding dengan musuh-
musuh-nya." Dia tidak menceritakan keadaan dirinya se-bagai bekas murid raja iblis itu
karena ini akan mendatangkan suasana yang tidak enak saja.
Suma Hui mengerutkan alisnya, lalu menghi-tung. "Mereka semua ada lima orang yang
memimpin penyerbuan itu. Ngo-bwe Sai-kong telah tewas oleh nenek Lulu, Si Ulat Seribu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
612 telah tewas oleh nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas oleh Cin Liong-koko, kalau
sekarang Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok telah tewas, berarti semua datuk iblis yang
menyerbu Pulau Es telah tewas!"
Pada hari itu juga, Suma Kian Bu, isteri dan puteranya berpamit. Mereka meninggalkan kota
raja tanpa berani menyinggung soal perjuangan melawan penjajah karena jenderal muda itu
keli-hatan masih amat bersemangat membela kerajaan. Mereka harus bersikap hati-hati
sebelum merasa yakin bahwa ada kemungkinan besar jenderal itu akan mendukung. Ceng
Liong sendiri belum berani menyinggung soal gawat itu.
*** Kita tinggalkan dulu pengantin baru yang berbahagia itu dan kita menengok keadaan kota
Lok--yang di mana selama beberapa hari ini terjadi hal--hal yang menggemparkan.
Sejak kira-kira sebulan lamanya terjadi beberapa pembunuhan dan pengrusakan terhadap
sa-rang-sarang penjahat. Juga rumah dua orang pembesar korup tidak terlewat dan menjadi
korban serbuan seorang pendekar aneh. Dua orang pem-besar itu adalah orang-orang yang


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suka melin-dungi kejahatan dengan menerima uang sogokan. Akan tetapi kalau kepala
penjahat itu dibunuh dua orang pembesar itu hanya dibuntungi kedua telinga mereka sebagai
peringatan keras. Dan dari mereka inilah, juga dari anak buah penjahat yang sempat
melihatnya, tersiar berita bahwa pelakunya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan,
bersikap halus namun ilmunya tinggi sekali. Dan melihat betapa dia membunuh para kepala
penja-hat, membasmi sarang penjahat dan menghajar dua orang pembesar korup, jelas bahwa
dia tentulah seorang pendekar muda! Dan memang dunia kang-ouw di sekitar Lok-yang sudah
mulai mendengar kemunculan pendekar ini, sejak dari sebelah barat kata raja sampai ke Lok-
yang. Di sepanjang perjalanan, seorang pendekar muda me-nyebar maut antara para penjahat
dan mengulurkan tangan kepada setiap orang yang menderita dan yang tertindas.
Peristiwa ini menggelisahkan Koo-taijin, kepala daerah kata Lok-yang. Sudah dua orang
pem-besar pembantunya yang didatangi pendekar itu! Dan dia sendiri yang merasa korup,
bahkan suka menggunakan tenaga para penjahat untuk mem-perkuat kedudukannya,
menerima sogokan-sogokan dari para penjahat pemilik rumah-rumah judi, rumah pelacuran
dan kepala para maling, rampok dan copet, tentu saja merasa ketakutan. Dia seolah-olah dapat
merasakan betapa pendekar ini menanti-nanti kesempatan untuk mendatanginya! Beberapa
malam yang lalu sudah ada bayangan yang berkelebatan di atas genteng gedungnya. Akan
tetapi karena diketahui penjaga, bayangan itu tidak sempat melakukan sesuatu dan melarikan
diri. Se-jak malam itu dia memerintahkan orang-orangnya agar melakukan penjagaan ketat.
Namun dia ma-sih merasa ketakutan dan akhirnya dia mengumpulkan tiga orang kepala
penjahat di Lok-yang, tiga orang jagoan yang terkenal sebagai Lok-yang Sam-liong (Tiga
Naga Lok-yang)! Kini tiga orang jagoan itu siang malam tinggal di gedung Koo--taijin.
Barulah hati kepala daerah Lok-yang itu merasa tenang.
Akan tetapi pembesar itu lupa bahwa memasukkan tiga orang pentolan penjahat ke dalam
ru-mahnya untuk menjaga keselamatan rumah sama dengan mempergunakan tiga ekor srigala
atau ha-rimau untuk menjaga rumah! Dia mampu menye-nangkan hati tiga orang jagoan ini
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
613 dengan makan-an dan minuman secukupnya dan hadiah uang secukupnya. Akan tetapi dia
lupa akan sesuatu hal. Bahwa mereka itu, atau seorang di antara mereka, adalah seorang mata
keranjang yang haus akan perempuan! Dan di dalam gedung pembesar itu, terdapat banyak
wanita cantik! Selir-selirnya saja masih muda-muda dan cantik- cantik, jumlahnya sampai
tujuh orang. Belum lagi para pelayan wanita muda-muda dan manis-manis yang kadang-
kadang bertugas juga sebagai selir tak res-mi pembesar itu! Belum lagi puteri-puteri
pembe-sar itu sendiri.
Seorang di antara tiga jagoan ini berjuluk Tiat-liong (Naga Besi). Dia she Coa dan tubuhnya
tinggi besar kokoh kuat, sesuai dengan julukannya. Usia-nya kurang dari empat puluh tahun
dan bajunya selalu terbuka di bagian dada. Dia agaknya suka berlagak memamerkan dadanya
yang berhulu hi-tam lebat! Naga Besi ini memang nampak gagah dan jantan. Dia gila
perempuan dan entah sudah berapa banyaknya wanita dia taklukkan, baik me-lalui
kegagahannya termasuk bulu dada itu, atau rayuan mautnya, maupun dia taklukkan dengan
ke-kerasan mengandalkan keberanian dan kelihaiannya yang membuat dia ditakuti. Di lengan
kanannya ada gambar cacahan berbentuk naga.
Dua orang temannya berusia lima puluh lebih. Yang seorang she Can dan berjuluk Ang-liong
(Naga Merah). Dia memakai julukan itu karena mukanya berwarna merah. Orang ke tiga
bertu-buh pendek gendut, she Lui berjuluk Hek-liong (Naga Hitam) dan untuk mengabadikan
julukannya di lengan kanannya juga ada seekor naga hitam. Mereka merupakan tiga serangkai
yang be-kerja sama menguasai dunia hitam di Lok-yang.
Ketika mereka menerima tugas berjaga dan melindungi Koo-taijin, tiga orang ini girang
sekali. Mereka sudah mendengar akan munculnya pende-kar tampan itu dan tentu saja mereka
mengang-gapnya musuh. Mereka masing-masing merasa terancam keselamatannya. Maka,
dengan tinggal di gedung Koo-taijin, mereka mendapat banyak keuntungan. Pertama, mereka
akan dapat saling membantu dan bersama-sama menghadapi musuh. Ke dua, mereka akan
mendapat bantuan pula dari pasukan pengawal dan penjaga gedung pembesar itu. Ke tiga,
mereka tentu hidup serba enak dan menyenangkan di gedung pembesar itu dan akan
menerima hadiah besar tanpa bekerja keras!
Dan bagi Tiat-liong, ada lagi kenyataan yang membuat dia ngilar. Ketika dia melihat wanita-
-wanita muda dan cantik itu! Wanita-wanita yang dia tahu kehausan dan melayangkan
pandang mata ke arah dadanya yang berbulu dengan mata yang bersinar-sinar! Dua orang
kawannya sudah me-ngenal baik watak si Naga Besi ini, memperingat-kan agar dia jangan
mengganggu wanita- wanita itu. Akan tetapi, mana mungkin melarang seekor anjing melahap
tulang-tulang muda yang berse-rakan di depan hidungnya" Baru pada malam ke dua, kawan-
kawannya tidak melihatnya tidur di kamarnya lagi. Si Naga besi itu sudah terlena dan
tenggelam ke dalam pelukan seorang di antara selir-selir Koo-taijin yang kehausan! Pembesar
itu sudah berusia enam puluh lebih. Mana mungkin dia mampu memuaskan belasan orang
wanita, yaitu isteri, para selir dan para pelayannya" Tentu saja para selir yang menjadi hamba
nafsunya begitu bertemu dan dapat berhubungan dengan pria seperti Si Naga Besi, merupakan
suatu kelegaan yang membuat mereka tergila-gila. Dan bukan seorang selir saja yang tergila-
gila kepadanya. Si Naga Besi diantri dan laki- laki hidung belang ini tentu saja merasa
keenakan dan senang sekali. Dua orang kawannya menggeleng-geleng melihat kegilaan Si
Naga Besi. Beberapa hari kemudian. Malam itu gelap se-kali. Gelap, dingin dan sunyi karena tadi turun
hu-jan lebat sekali. Kini hujan sudah berhenti, akan tetapi langit masih gelap. Bintang-bintang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
614 tak nampak, terhalang awan hitam. Keadaan seperti itu membuat orang mudah ngantuk. Da
Bukit Pemakan Manusia 14 Bara Naga Karya Yin Yong Seruling Samber Nyawa 9
^