Kisah Para Pendekar Pulau Es 22

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 22


eorang jenderal kepercayaannya untuk membawa pasukan
besar dan menyerbu ke Sin-kiang. Dia tidak mau mengutus Jenderal Kao Cin Liong karena
terhadap jenderal muda ini dia merasa malu. Perasaannya meyakinkan hatinya bahwa
jendeeral Kao Cin Liong tentu akan menen-tang dan tidak akan menyetujui rencana gila itu,
menyerbu ke barat dan mengadakan perang hanya untuk merampas seorang wanita!
Pasukan yang dipimpin Jenderal Cao Hui itu berhasil menyerbu Sin-kiang, membu-nuh
banyak perajurit suku bangsa Ho-co, dan menawan Sang Puteri Harum, dibawa ke timur dan
pada suatu hari, tercapailah idam-idaman hati Kaisar Kian Liong berhadapan dengan sang
puteri! Tentu saja peristiwa ini mendatangkan rasa pena-saran dan kemarahan besar di antara
para pende-kar. Akan tetapi, tidak ada seorangpun yang beranimenentang karena bukankah
yang diserbu itu ha-nyalah suku bangsa terpencil di barat yang tidak termasuk bangsa pribumi
Han" Kaisar Kian Liong terpesona menatap kecan-tikan asing dari sang puteri yang menangis
ketika dihadapkan kepadanya sebagai tawanan. Tubuh yang ramping padat itu, kulit yang
putih halus kemerahan, bibir yang merah basah, mata yang le-bar dan indah bening kebiruan,
hidung yang man-cung, bulu mata yang panjang-panjang melengkung. Sungguh kecantikan
yang berbeda sama se-kali dengan kecantikan yang biasa dia lihat. Apalagi bau harum yang
jelas tercium oleh hidungnya walaupun sang puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai.
Seluruh ruangan itu seolah-olah baru saja disiram sebotol minyak harum atau seolah-olah
ruangan itu berubah menjadi taman bunga-bunga mawar yang baru mekar!
"Thian Yang Agung...." kaisar itu berbisik dekat Hok Sen, sang kepala thaikam sambil
mena-tap tanpa berkedip. "Ia tentu seorang bidadari yang turun dari sorga...."
"Hamba yakin memang demikian, sri baginda, dan hanya paduka sajalah yang patut
mendamping-inya...." bisik thaikam yang pandai menye-nangkan hati itu.
Pada saat itu juga, Kaisar Kian Liong menganugerahkan pangkat Selir Harum kepada sang
puteri tawanan, menghadiahkan banyak pakaian dan perhiasan, juga ditempatkan di dalam
kamar terin-dah di dalam istana, menjadi selir baru yang pa-ling dicinta.
Akan tetapi, Puteri Harum tidak mau menye-rahkan diri dan hanya menangis. Ia berduka
sekali mengingat akan kematian ayahnya dan suaminya. Berbagai macam cara para dayang
menghiburnya, namun ia tetap menangis dan tidak mau bersolek, tidak mau melayani Kaisar
Kian Liong. Hal ini tentu saja membuat sang kaisar menjadi kecewa sekali. Akan tetapi,
kembali kepala thaikam Ho Sen yang muncul sebagai penasihatnya. Atas na-sihat sang
thaikam yang pandai itu, kaisar Kian Liong memerintahkan orang-orangnya membangun
sebuah bangunan istana kecil mungil yang baru, yang diberi nama Istana Bulan Indah. Bukan
hanya merupakan sebuah istana yang indah, akan tetapi juga modelnya dibuat seperti
bangunan di Sin--kiang, dan untuk menghibur hati selirnya, kaisar memerintahkan orang-
orangnya membangun se-buah kota tiruan di dekat istana, sebuah kota yang lengkap dengan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
645 mesjid dan para penghuninya yang beragama dan berpakaian orang-orang Sin-kiang yang
beragama Islam.
Di loteng Istana Bulan Indah, Puteri Harum dapat melihat semua ini dan agak terhiburlah
ke-dukaan hatinya. Ia merasa seolah-olah ia masih berada di kampunghalamannya. Ia
berterima kasih dan hatinya tergerak oleh kebaikan hati kai-sar kepada dirinya. Akhirnya
iapun menyerahkan dirinya kepada Kaisar Kian Liong dengan suka rela dan semenjak itu,
Puteri Harum menjadi selir terkasih dari kaisar itu.
Demikianlah, semua ulah kaisar ini menambah-kan rasa tidak suka di hati para pendekar
yang ingin memberontak, walaupun tentu saja masih teramat banyak mereka yang setia
kepada Kaisar Kian Liong.
*** "Pouw-sute, engkau tentu tidak lupa akan pesan mendiang suhu dan juga peraturan Kun--lun-
pai yang telah dipegang teguh selama ratusan tahun. Engkau tahu bahwa tidak ada
seorang-pun murid Kun-lun-pai, tiada terkecualinya, yang boleh membuka dan membaca
kitab ilmu pusaka Sin-liong Ho-kang. Bagaimana mungkin engkau mengharapkan pinto untuk
melanggar peraturan itu?" Ucapan ini keluar dari mulut Hong Tan To-su, ketua Kun- lun-pai
di Tung-keng. Tosu ting-gi kurus yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini adalah
suheng dari Pouw Kui Lok dan dia mengetuai kuil yang menjadi cabang dari Kun--lun-pai itu,
di mana dahulu Kui Lok diambil murid oleh suhu mereka. Seperti kita ketahui, Pouw Kui Lok
menuruti permintaan suhengnya yang baru, yaitu Louw Tek Ciang, untuk berusaha
mempelajari ilmu larangan dari Kun-lun-pai itu dalam tekadnya untuk menandingi ilmu
meniup suling yang ampuh dari keluarga Kam. Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang disambut
dengan ramah oleh ketua kuil itu yang merasa gembira melihai sutenya dan sahabatnya itu
telah kembali setelah mengikuti keluarga Cu yang sakti ke Lembah Naga Siluman di barat.
Akan tetapi, ketika Kui Lok me-nyatakan keinginan hatinya untuk meminjam se-bentar kitab
Sin-liong Ho-kang untuk dipelajari isinya, tosu tua itu terkejut dan mencela sutenya.
Mendengar ucapan ini, Kui Lok tidak mampu menjawap dan Tek Ciang cepat maju memberi
hormat kepada tosu tua itu. "Harap totiang sudi memaafkan Pouw-sute. Sesungguhnya, bukan
sute yang menginginkan kitab itu untuk dipelajari, karena sute adalah seorang yang
menjunjung ting-gi peraturan perguruan Kun-lun-pai. Yang amat membutuhkan bantuan Kun-
lun-pai untuk dapat sekedar mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang itu adalah saya sendiri,
totiang. Pouw-sute hanya membantu saya saja untuk memintakan ijin dari totiang."
"Siancai, siancai....!" Tosu itu mengang-guk- angguk. "Louw-sicu, hendaknya suka
me-maafkan pinto. Ketahuilah bahwa ilmu itu oleh perguruan kami dianggap sebagai ilmu
yang keji dan sesat, kalau dipergunakan hanya akan mengancam keselamatan nyawa manusia
lain saja. Yang mau mempergunakan ilmu seperti itu ha-nyalah iblis-iblis yang berwatak
curang. Oleh karena itu, semua murid Kun-lun-pai dilarang keras mempelajari ilmu itu. Kalau
murid sendiri saja tidak boleh mempelajarinya, apalagi orang luar. Harap sicu suka
memaafkan dan tidak men-jadi kecil hati."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
646 Kembali Tek Ciang memberi hormat. "Maaf, totiang. Sayapun cukup mengerti dan dapat
me-nerima alasan yang totiang kemukakan itu. Akan tetapi tentu totiang sependapat dengan
saya bah-wa keji tidaknya suatu ilmu, sesat tidaknya, ter-gantung sepenuhnya kepada
penggunaannya, bu-kan" Betapapun keji kelihatannya suatu ilmu, ka-lau dipergunakan untuk
kebaikan, tentu menjadi ilmu yang baik pula."
"Siancai, ada benarnya memang pendapat Louw-sicu itu. Akan tetapi kita tidak boleh lupa
bahwa adanya suatu ilmu amat mempengaruhi pemiliknya. Bagaimana orang dapat
melakukan suatu perbuatan keji kalau tidak memiliki ilmu keji itu sendiri" Sebaliknya,
biarpun hati seseorang tadinya tidak mempunyai niat keji, kalau sudah memiliki ilmu yang
keji itu, mudah saja terbujuk untuk melakukan perbuatan keji menggunakan il-mu itu. Tiada
bedanya dengan kekuatan. Orang tidak akan melakukan pemukulan kalau tidak memiliki
kekuatan, sebaliknya, setelah memiliki kekuatan, akan timbul dorongan untuk
memper-gunakan kekuatan itu memukul atau menindas orang lain. Nah, karena itulah, sicu,
maka murid-murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajari ilmu itu."
Tek Ciang mengerutkan alisnya. Sukar me-mang membujuk tosu yang agaknya kukuh ini.
Akan tetapi Tek Ciang adalah seorang yang cerdik dan licik sekali. Dia tidak memperlihatkan
kekecewaan ataupun kemendongkolan hatinya, melainkan ter-senyum ramah. Lalu dengan
suara halus dia ber-tanya."Hong Tan totiang, saya tahu bahwa totiang adalah sahabat baik
sekali dari para suhu kami di Lembah Naga Siluman, yaitu para tokoh keluarga Cu. Tentu
persahabatan itu berdasarkan rasa ka-gum akan kegagahan masing-masing."
Tosu tinggi kurus itu memandang dengan alis berkerut, tidak mengerti ke mana arah tujuan
ka-ta-kata pemuda ini. Akan tetapi dia mengangguk. "Tentu saja, mereka adalah keluarga
yang sakti dan gagah perkasa, pinto ikut merasa gembira se-kali bahwa Pouw-sute dapat
menerima gembleng-an keluarga Cu."
"Totiang, di antara sahabat, baru dapat dika-takan akrab dan benar kalau di situ terdapat
kese-tiaan dan pembelaan, bukan?"
"Tentu, tentu...." Tosu itu mengangguk-angguk.
"Jadi, andaikata ada suatu malapetaka menimpa keluarga para suhu kami di Lembah Naga
Siluman, tentu totiang akan sudi membela dan membantu mereka?"
"Tentu saja, selama tenaga pinto yang sudah tua dan lemah ini mengijinkan. Akan tetapi ada
apakah yang telah terjadi dengan mereka, sicu?" Dan tosu inipun menoleh dan memandang
kepada Kui Lok yang hanya menundukkan mukanya, mak-lum akan siasat yang dijalankan
oleh Tek Ciang.
"Nah, baru sahabat saja sudah akan membela dan membantu, totiang. Apalagi murid-murid
seperti kami ini. Ketahuilah bawa kami, saya dan Pouw-sute, sedang memikul tugas yang
dibebankan oleh kedua suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, akan tetapi kami berdua telah gagal
dan harapan satu-satunya kami hanyalah bantuan totiang melalui ilmu Sin-liong Ho-kang itu."
"Apa yang telah terjadi" Pouw-sute, apakah yang telah terjadi dengan keluarga Cu di Lembah
Naga Siluman" Coba ceritakan kepada pinto." Tosu itu kini menoleh kepada sutenya untuk
minta penjelasan untuk meyakinkan hatinya. Biarpun dia sudah mengenal Louw Tek Ciang
yang men-jadi sahabat sutenya dan kini bahkan menjadi su-heng dari sutenya itu karena
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
647 mereka berdua berguru kepada keluarga Cu, namun dia belum me-ngenal benar keadaan Tek
Ciang sehingga kete-rangan pemuda itu tidak mungkin dapat diteri-manya begitu saja.
"Suheng, memang apa yang dikatakan oleh suheng Louw Tek Ciang itu benar. Setelah tiga
tahun menerima pelajaran ilmu di Lembah Naga Siluman, kedua orang suhu di sana mengutus
kami berdua untuk mencari dan menebus kekalahan ke-dua suhu dari seorang musuh mereka.
Suhu tidak mengikatkan kami dengan urusan pribadi di antara mereka, hanya suhu minta agar
kami berdua seba-gai murid-muridnya menebus kekalahan yang pernah mereka derita dari
orang itu. Kami berdua sudah memenuhi perintah suhu, bertemu dengan lawan itu, akan tetapi
kami berdua gagal karena lawan memiliki ilmu semacam Sin-liong Ho-kang. Karena itulah
maka suheng mengajakku untuk menghadap ke sini dan mohon diberi kesempatan
mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang, hanya untuk dipakai melawan ilmu dari lawan itu."
Kakek itu mengerutkan alisnya dan nampak bimbang. "Siapakah lawan yang dapat
mengalah-kan orang-orang gagah dari keluarga Cu itu?" Dia memang merasa heran sekali
mendengar ada lawan yang mampu mengungguli pendekar-pendekar seperti Cu Han Bu dan
Cu Seng Bu. "Dia orang she Kam dan tentu totiang belum mengenalnya. Dia sombong sekali! Sebaiknya
ka-lau totiang tidak mengenal agar tidak terlibat dalam urusan pribadi antara keluarga Cu dan
ke-luarganya. Kamipun hanya melaksanakan tugas dan kalau kami belum dapat
mengalahkannya, ba-gaimana saya dan Pouw-sute ada muka untuk menghadap para suhu di
Lembah Naga Siluman" Oleh karena itu, sekali lagi, mohon kerelaan hati totiang untuk
menolong kami, atau lebih tepat lagi, menolong keluarga Cu dari rasa malu kalau sampai dua
orang murid dan wakil mereka kembali dikalahkan oleh musuh lama itu."
Tosu tua itu merasa terdesak dan tersudut. Tentu saja dia merasa tidak enak sekali kalau
menolak pemintaan bantuan yang pada hakekat-nya adalah membantu para sahabatnya,
keluarga Cu itu. Padahal dahulu, di waktu mudanya, pernah Cu Han Bu menolongnya dari
kekalahan, bahkan mungkin sekali kematian di tangan seorang musuh yang tangguh.
Andaikata Louw Tek Ciang datang seorang diri, tentu dia mempunyai alasan untuk menolak,
dan hatinya tidak akan bimbang ragu. Akan tetapi kini Tek Ciang datang menghadap bersama
Pouw Kui Lok yang tentu saja sudah amat dipercayanya.
"Louw-sicu, biar bagaimanapun juga, murid Kun-lun- pai tidak boleh mempelajari ilmu
itu...." "Totiang, saya bukan murid Kun-lun-pai!"
"Maksud pinto adalah Pouw-sute, dia tidak boleh sama sekali mempelajari ilmu itu, tepat dan
sesuai dengan sumpahnya sebagai murid Kun-lun--pai yang taat. Dan biarpun tidak ada
peraturan melarang orang luar mempelajari ilmu itu, akan tetapi kalau pinto berikan
kepadamu, berarti pinto yang bertanggung jawab kalau sampai kelak ilmu itu dipergunakan
untuk membunuh orang...."
"Totiang, apakah totiang tidak percaya kepada saya dan tidak percaya kepada Pouw-sute"
Su-dah kami ceritakan bahwa kami membutuhkan ilmu itu hanya untuk menandingi ilmu
yang seru-pa dari musuh keluarga Cu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
648 "Baiklah, Louw-sicu. Pinto mengingat akan kebaikan-kebaikan keluarga Cu, memberi
kesempatan kepadamu untuk mempelajari ilmu itu. Akan tetapi ada syarat-syaratnya."
"Apakah syaratnya, totiang?"
"Pertama, sicu harus bersumpah bahwa ilmu itu hanya khusus dipelajari untuk menghadapi
ilmu musuh keluarga Cu itu. Dan ke dua, ilmu itu ha-nya khusus dipelajari di dalam ruangan
perpusta-kaan di mana kitab itu disimpan, sama sekali kitab itu tidak boleh dibawa keluar dari
ruangan perpus-takaan. Dan ke tiga, sicu hanya pinto beri waktu satu bulan saja untuk
mempelajarinya. Setelah le-wat sebulan, sicu sudah harus meninggalkan ruang-an
perpustakaan itu dan.... maaf, meninggalkan pula kuil ini agar tidak mengingatkan pinto
bahwa pinto telah melakukan pelanggaran."
"Baiklah, totiang dan terima kasih atas kebaikan hati totiang. Saya akan bersumpah sekarang
juga." Louw Tek Ciang lalu diajak ke depan meja sembahyang dan di depan meja
sembahyang ini Tek Ciang mengucapkan sumpahnya dengan suara lan-tang. "Teecu Louw
Tek Ciang bersumpah, bahwa teecu yang diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong Ho-
kang, akan mempergunakan ilmu itu untuk menghadapi ilmu suara suling dari keluarga Kam,
tidak untuk keperluan lain. Kalau teecu melanggar sumpah ini, semoga teecu dijatuhi
hukuman tewas di tangan musuh-musuh teecu!"
"Cukup, sicu," kata tosu tua itu dengan hati lega. Dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-
diam Tek Ciang mentertawakan sumpah itu. Orang se-perti Tek Ciang ini mana bisa
mengucapkan sumpah dengan bersungguh hati" Dia hanya bersum-pah sebagai siasat saja.
Bahkan Pouw Kui Lok sendiripun tidak menduga akan hal ini, demikian pandainya Tek Ciang
membawa diri dan bersandiwara.
"Pouw-sute, engkaulah yang mengawasi agar Louw-sicu memenuhi janjinya dan tidak
membawa kitab itu keluar dari ruangan perpustakaan, ber-gilir dengan murid keponakanmu."
Tosu itu meng-ambil sebuah genta dan membunyikan genta itu. Terdengar suara nyaring
berkeloneng dan tak lama kemudian dari pintu belakang muncullah seorang gadis yang
berpakaian ringkas dan membawa pe-dang di punggungnya. Gadis ini memakai pakaian
ringkas sederhana, wajahnya tidak dirias, tanpa bedak dan gincu, bahkan rambutnyapun hanya
digelung secara sederhana sekali. Akan tetapi harus diakui bahwa gadis ini manis bukan main,
dan tubuhnya padat dan ramping. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang manis dan
juga kelihatan gagah dengan gerak gerik yang tangkas. Gadis itu maju dan berlutut di depan
Hong Tan Tosu dan terdengar suara halus merdu dari bibirnya yang merah."Suhu memanggil
teecu" Ada perintah apakah, suhu?"
Tosu tua itu tersenyum, agaknya bangga kepada muridnya yang selain manis juga amat
berbakti ini. "Kui Eng, engkau belum pernah bertemu dengan susiokmu (paman gurumu)
Pouw Kui Lok karena ketika tiga tahun yang lalu dia datang, engkau se-dang memperdalam
ilmu di Kun-lun- san. Nah, ini dia, berilah hormat kepada paman gurumu." Tosu itu menuding
kepada Pouw Kui Lok yang memandang kagum kepada murid keponakannya yang baru
sekali ini dilihatnya.
Gadis bernama Can Kui Eng itu bangkit dan menoleh kepada Pouw Kui Lok. Biarpun ia
seorang gadis dewasa dan paman gurunya itu ternyata masih muda, namun ia tidak kelihatan
canggung atau malu-malu. Sambil tersenyum sopan ia memberi hormat kepada Pouw Kui
Lok. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
649 "Pouw-susiok, terimalah hormatnya Can Kui-Eng, murid keponakanmu."
Kui Lok cepat membalas penghormatan itu. "Ah, kiranya suheng mempunyai seorang murid
perempuan yang begini gagah. Dan sudah pernah digembleng di Kun-lun- san pula" Nona...."
"Susiok, seorang paman guru tidak menyebut nona kepada murid keponakannya." Gadis itu
me-motong dan wajah Kui Lok menjadi merah. Biarpun usianya sudah dua puluh tiga tahun
kurang lebih, akan tetapi pengalamannya terhadap wanita masih nol.
"Baiklah, Kui Eng. Dan perkenalkan ini adalah suhengku sendiri, akan tetapi bukan saudara
se-perguruan di Kun-lun-pai, melainkan dari guru lain, namanya Louw Tek Ciang."
Kui Eng memberi hormat pula dan sepasang matanya yang bening itu memandang penuh
seli-dik, lalu alisnya agak berkerut. Ada sesuatu pada pandang mata pria ini yang membuat ia
me-rasa tidak enak dan gelisah. Tek Ciang menyambut penghormatan itu dengan senyum
memikat. "Kui Eng, engkau kupanggil dan kuberi tugas. Engkau bersama susiokmu bertugas untuk
menjaga dan mengamati agar Louw-sicu dapat mempelajari kitab Sin- liong Ho-kang dengan
tenang di dalam kamar perpustakaan selama satu bulan. Dan kitab itu sama sekali tidak boleh
dibawa keluar dari da-lam kamar perpustakaan...."
"Sin-liong Ho-kang....?" Gadis itu terbelalak dan menatap wajah suhunya dengan penuh
kekagetan dan penasaran. "Dia.... sicu ini hen-dak mempelajari ilmu larangan itu...." Tapi,
tapi, suhu...."
"Kui Eng, sudahlah. Ini adalah urusan dan tanggung jawah pinto sendiri. Engkau tentu yakin
bahwa semua keputusan yang pinto ambil sudah melalui pertimbangan yang matang.
Sekarang eng-kau tinggal melaksanakan tugas jaga bergiliran dengan susiokmu, menjaga agar
Louw- sicu ini memenuhi janjinya, mempelajari kitab itu hanya selama satu bulan dan tidak
boleh membawa kitab itu keluar dari dalam ruangan perpustakaan."
"Baik, suhu! Akan teecu jaga agar dia tidak melanggar janjinya!" Ucapan yang bernada keras
ini saja sudah membuktikan bahwa di dalam hati-nya, gadis itu merasa tidak senang kepada
Louw Tek Ciang dan juga merasa tidak senang melihat betapa suhunya mengijinkan orang
luar mempela-jari ilmu larangan itu, padahal setiap orang murid Kun-lun-pai tidak
diperkenankan mempelajari-nya. Akan tetapi Louw Tek Ciang menghadapi sikap gadis ini
dengan senyum ramah saja.
Demikianlah, terhitung mulai hari itu, Tek Ciang mulai memasuki ruangan perpustakaan dan
membuka-buka kitab kuno yang sudah kekuning-an itu, mempelajari ilmu yang dinamakan
Sin-liong Ho-kang. Ilmu ini berdasarkan kekuatan khi-kang yang keluar dari pusar,
mengerahkan tenaga khi--kang ini melalui suara gerengan yang mengandung getaran amat
kuatnya. Ilmu ini serupa dengan ilmu Sai-cu Ho-kang dan sebagainya, kekuatan yang
terkandung dalam gerengan dan auman bina-tang-binatang buas yang melumpuhkan korban
hanya dengan suara gerengan dahsyat itu, akan tetapi Sin-liong Ho-kang ini lebih hebat lagi.
Bukan hanya getaran hebat yang terkandung da-lum gerengan dahsyat menggelegar, akan
tetapi juga siapa yang sudah menguasainya dengan baik, akan dapat mengeluarkan suara dari
jauh, mengi-rim suara dari jauh untuk dapat didengar oleh orang yang ditujunya saja tanpa


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
650 didengar orang lain. Bahkan yang menguasai ilmu itu dapat me-ngeluarkan suara yang tinggi
melengking sampai hampir tidak terdengar, akan tetapi semakin halus suara itu, makin
hebatlah getarannya dan amat berbahaya bagi lawan! Akan tetapi, Tek Ciang mendapatkan
kenyataan bahwa untuk dapat me-nguasai ilmu ini secara sempurna, dibutuhkan waktu yang
lama, sedikitnya setengah tahun! Ma-ka diapun segera mempelajari teori-teorinya saja untuk
dilatih kelak. Memang dia licik dan cerdik. Tahulah dia bahwa tosu tua itu menggunakan akal.
Pada lahirnya saja memberi ijin kepadanya untuk mempelajari ilmu itu, akan tetapi pada
hakekatnya tosu itu berkeberatan. Buktinya dia hanya diberi waktu satu bulan, waktu yang
hanya cukup untuk menghafal teori atau isi kitab. Juga larangan ber-latih di luar kamar
perpustakaan merupakan bukti bahwa tosu itu memang berkeberatan dia mengu-asai ilmu
larangan itu karena untuk dapat berlatih, orang membutuhkan udara terbuka, bukan dalam
kamar. "Tua bangka sialan!" gerutunya, akan tetapi tentu saja Tek Ciang tidak menyatakan sesuatu
kepada Kui Lok, apalagi kepada Kui Eng, gadis yang bertugas menjaga dan mengamatinya
itu. Penjagaan itu dilakukan secara bergilir oleh Kui Lok dan murid keponakannya. Dan dia
men-dapat kenyataan bahwa Kui Eng memang seorang murid Kun-lun-pai yang lincah dan
cekatan, memiliki gin-kang yang mengagumkan dan ilmu pedangnya juga lihai. Kalau Kui
Lok hanya mela-kukan penjagaan untuk patut-patut saja karena dia sudah tentu saja amat
percaya kepada Tek Ciang dan tidak berjaga dengan sesungguhnya, tidak de-mikian dengan
gadis itu. Kui Eng berjaga dengan amat waspada dan sungguh-sungguh, seolah-olah ia
menganggap bahwa Tek Ciang seorang yang tidak dapat dipercaya dan amat perlu diawasi!
Melihat sikap gadis ini, diam-diam Tek Ciang mendongkol sekali dan diapun bersikap hati-
hati, tidak berani melanggar janjinya terhadap ketua cabang Kun-lun-pai itu.Kurang lebih
sepuluh hari sudah Tek Ciang dengan tekun mempelajari ilmu dari kitab kuno itu, hanya
meninggalkan ruangan perpustakaan tanpa kitab itu kalau ada keperluan makan atau mandi
dan ke belakang saja. Bahkan tidurpun dia lakukan di dalam ruangan itu! Pada suatu malam
pela-jaran dalam kitab itu sudah sampai pada bagian cara berlatih menghimpun tenaga khi-
kang yang harus dilakukan di udara terbuka, di bawah sinar bulan purnama! Dan malam itu
kebetulan bulan sedang purnama, jadi sesungguhnya amat tepat untuk memulai latihan di luar
kuil! Akan tetapi, hatinya merasa penasaran dan mendongkol sekali karena dia sudah terikat
oleh janji dan pada ma-lam itu, yang melakukan perjagaan adalah gadis yang amat tekun
mengamatinya itu!
"Sialan....!" gerutunya dalam hati. Kalau bukan gadis itu yang berjaga, tentu dia akan dapat
menyelinap keluar barang satu dua jam untuk mempraktekkan ajaran dalam kitab, yaitu cara
menghimpun tenaga khi-kang di bawah sinar bulan purnama.
"Mengapa tidak?" Demikian hatinya berbisik. "Gadis itu, bagaimanapun juga hanyalah murid
keponakan Pouw Kui Lok, masih amat muda dan kepandaiannyapun tidak berapa tinggi."
Pikiran ini membuat Tek Ciang mulai gelisah. Kalau dia dapat menggunakan ilmunya untuk
me-nyelinap tanpa diketahui, atau membuat gadis ti-dak berdaya untuk beberapa lama,
misalnya de-ngan menotoknya pingsan, bukankah dia memper-oleh banyak kesempatan untuk
mencoba degan latihan menghimpun khi-kang.
Tek Ciang memperhatikan sekeliling. Biasanya, gadis itu berjaga di luar perpustakaan,
berkeliaran di sekitar kamar perpustakaan, terutama sekali di depan pintu, dan di depan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
651 jendela. Akan tetapi keadaan sekeliling kamar itu kini sepi saja. Dengan menahan napas, Tek
Ciang dapat mengikuti setiap gerakan di luar kamar itu dengan pendengarannya yang terlatih.
Sunyi. Tidak ada orang di luar kamar itu! Ke mana perginya gadis itu, pikirnya dan dia-pun
mulai bangkit dan berindap-indap ke jendela, mengintai ke luar. Sepi sekali dan cuaca amat
indahnya, karena sinar bulan purnama membuat malam itu terang dan sejuk.
Setelah memyimpan kitab itu, Tek Ciang keluar dari dalam kamar perpustakaan. Dia tidak
berani membawa kitab itu keluar sebelum dia yakin benar bahwa tidak ada orang melihatnya.
Akan tetapi benar-benar sunyi, tidak nampak bayangan Kui Eng. Malam itu sudah menjelang
tengah malam dan tentu penghuni lainnya sudah tidur. Ke mana perginya gadis itu" Benarkah
sekali ini Kui Eng meninggalkannya dan tidak mengawasinya"
Akan tetapi ketika dia keluar dari kuil, dia melihat dua bayangan berkelebat ke samping kuil
di mana terdapat sebuah kebun dan ladang yang pe-nuh dengan pohon-pohon buah dan
tanaman sayuran. Tek Ciang merasa curiga karena gerakan dua orang yang amat cepat itu
mengandung raha-sia. Kalau orang Kun-lun-pai, kenapa harus me-nyelinap ke tempat gelap"
Diapun menggunakan kepandaiannya, menyelinap dan memasuki kebun itu sambil
mencurahkan perhatian. Akhirnya dia melihat dua orang berdiri berhadapan di bawah pohon
dan dia cepat menyelinap mendekati dan mengintai.
Kiranya seorang di antara mereka adalah Kui Eng! Dan gadis itu berada dalam pelukan
seo-rang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan gagah. Tek Ciang tersenyum sinis.
Hemm, pikirnya, kiranya gadis itu meninggalkannya untuk berpacaran di kebun ini! Akan
tetapi, ketika dia mendengarkan percakapan mereka yang bisik-bisik itu, dia tertarik dan lupa
akan pertemuan mesra itu.
"Eng-moi, urusan ini tidak bisa ditunda lagi. Pertemuan rahasia itu akan diadakan dua
minggu lagi di hutan cemara sebelah selatan kota raja. Dan engkau harus menghadiri
bersamaku. Penting se-kali, Eng-moi."
"Aih, Koan-koko, betapa inginku pergi bersa-mamu menghadiri pertemuan para pendekar
patriot itu di sana. Memang inilah saatnya para pendekar harus membebaskan tanah air dari
penjajah Bangsa Mancu! Akan tetapi, ahh.... orang she Louw yang menjemukan itu....!"
"Siapa" Mengapa" Apa yang terjadi sehingga engkau begini lama bertahan di kuil suhumu
ini?" "Tanpa kusangka-sangka, datang susiokku ber-sama seorang temannya di kuil ini dan dia
oleh suhu diperbolehkan untuk mempelajari Sin-liong Ho-kang selama satu bulan. Dan aku
diberi tugas mengawasinya agar dia tidak melatih ilmu itu di luar ruangan perpustakaan. Aku
tidak dapat me-ninggalkan tugas ini dan baru berjalan dua belas hari, masih delapan belas hari
lagi...." "Kalau begitu akan terlambat!"
"Harus bagaimana, koko, aku tidak mungkin dapat meninggalkan tugas ini. Dan berterus
terang kepada suhu juga berbahaya. Sudah kukatakan ke-padamu bahwa Kun-lun- pai masih
bersikap ra-gu-ragu, belum mau menyambut rencana pemberontakan para patriot yang hendak
mengenyahkan para penjajah itu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
652 Mendengar suara gadis itu yang demikian ke-cewa dan berduka, si pemuda lalu
mendekapnya dan mencium pipinya dengan mesra, dengan sikap menghibur. "Sudahlah, Eng-
moi, tak perlu engkau berduka. Biarlah aku yang akan menghadiri per-temuan itu dan kelak
kusampaikan semua hasilnya kepadamu. Masih ada tugas untukmu dari ka-wan- kawan.
Biarpun engkau tidak akan dapat menghadiri pertemuan itu, akan tetapi biarlah ku-serahkan
tugas yang lebih penting lagi kepadamu, setelah engkau bebas dari tugasmu di sini."
"Tugas apakah itu, koko?" Si gadis nampak bersemangat.
"Begini...." Suara itu kini bisik-bisik perlahan, akan tetapi masih dapat tertangkap oleh
pendengaran Tek Ciang yang amat tajam. "....ini ada surat untuk Gan- ciangkun, seorang
panglima yang mendukung para patriot. Surat ini membujuk Gan-ciangkun untuk mencari
akal guna menarik jenderal Muda Kao Cin Liong menjadi sekutu kita, atau kalau dia menolak,
agar dicarikan akal supaya jenderal itu dapat dienyahkan. Karena, selama dia masih
mendukung kaisar, gerakan kawan-kawan kita akan terhalang. Nah, surat ini penting sekali,
bukan" Dengan begitu, biarpun engkau tidak dapat hadir dalam pertemuan itu, tugasmu ini
bahkan lebih penting lagi."
"Aih, Koan-ko.... tapi.... tapi aku.... tugas ini demikian besar dan aku.... ih, geme-tar tanganku
dan berdebar jantungku, kau pikir aku.... cukup berharga untuk tugas sepenting itu?"
Kembali pemuda itu menciumnya, lalu mele-paskan pelukannya, mengambil sesampul surat
dan menyerahkan sampul panjang itu kepada Kui Eng. "Sudahlah, Eng-moi. Engkaulah orang
yang pa-ling tepat untuk menyampaikan surat itu. Tidak akan ada orang lain mencurigaimu,
dan sekarang kita harus berpisah...."
"Koan-ko, baru saja kita bertemu.... aku masih rindu....?"Ssttt, sayang, bersabarlah. Kita
sudah berjanji akan menikah kalau perjuangan ini selesai bukan" Nah, selamat tinggal dan
simpan baik-baik surat itu." Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu berkelebat dan
lenyap di balik bayangan pohon-pohon. Kui Eng menoleh ke kanan kiri, lalu menyimpan surat
di balik bajunya dan pergi dari situ. Ketika dara ini tiba di luar ruangan perpustakaan dan
menjenguk dari jendela, ia melihat Tek Ciang masih sibuk membaca kitab!
Ketika ia hendak meninggalkan jendela itu, Tek Ciang menoleh dan sambil tersenyum
berkata, "Nona masuklah sebentar."
Kui Eng mengerutkan alisnya. Ia menaruh curiga kepada orang yang sinar matanya berkilat
dan kalau memandang kepadanya jelas membayangkan nafsu dan kurang ajar itu. Beraninya
orang ini menyuruh ia masuk!
"Ada urusan apakah?" tanyanya dari luar jen-dela sambil memandang tajam.
"Masuklah, nona, aku mengetahui sesuatu yang amat penting tentang Koan-kokomu itu!"
Wajah yang manis itu seketika menjadi pucat, lalu merah dan tanpa banyak bicara lagi sekali
loncat ia sudah melayang masuk ke ruangan itu melalui jendela yang terbuka, berdiri di depan
Tek Ciang dengan kedua tangan bertolak pinggang. "Apa kau bilang" Koan-koko siapa yang
kau maksudkan itu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
653 Tek Ciang bangkit berdiri menghadapi nona itu sambil tersenyum lebar. "Nona manis, tak
perlu berpura- pura lagi. Lebih baik kauserahkan saja surat untuk Gan- ciangkun itu
kepadaku!"
Seketika wajah gadis itu menjadi pucat dan di lain saat dara itu sudah mencabut pedang dari
punggungnya. Akan tetapi, baru saja pedang ter-cabut, tubuhnya sudah terkulai lemas karena
secepat kilat Tek Ciang sudah mendahuluinya, menotok jalan darahnya membuat Kui Eng
roboh lemas tak mampu berkutik lagi. Tek Ciang menyambut pedangnya sebelum senjata itu
jatuh ke atas lantai dan diapun menotok jalan darah di leher gadis itu untuk mencegah gadis
itu mengeluarkan suara. Lalu direbahkannya tubuh gadis itu ke atas lantai. Kui Eng tidak
pingsan, hanya tidak mampu berge-rak, tidak mampu bersuara. Gadis itu hanya me-mandang
saja ketika jari- jari tangan yang nakal itu membukai kancing bajunya dan nampaklah sampul
surat panjang itu di atas buah dadanya yang tidak tertutup lagi. Tek Ciang mengambil sampul
surat itu sambil tersenyum lebar dan cepat memasukkan sampul surat itu ke dalam saku
ju-bahnya. "Hemm, nona manis, engkau dapat bicara apa lagi sekarang" Engkau pemberontak hina, ya?"
Dan secara kurang ajar sekali, bukan karena terta-rik melainkan karena ingin menggoda dan
meng-hina gadis itu, tangannya menggerayangi tubuh orang.
Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan Kui Lok telah berdiri di situ dengan mata
terbe-lalak melihat Tek Ciang jongkok di dekat tubuh Kui Eng yang bajunya sudah terbuka
sehingga nampak dadanya.
"Louw-suheng, apa.... apa artinya ini....?" Dia begitu kaget dan heran sehingga sukar
me-ngeluarkan kata-kata.
"Sute, nanti saja kuceritakan. Ia terluka, yang penting sekarang kita harus mengobatinya
lebih dulu. Penjahat datang melukainya dan aku hanya berhasil mengusir penjahat itu. Lekas
kauperiksa nona Kui Eng, sute...."
Pouw Kui Lok terkejut mendengar itu dan kecurigaannya terhadap suhengnya itu lenyap.
De-ngan penuh khawatir dia berjongkok dan memerik-sa tubuh keponakan muridnya dengan
teliti. Akan tetapi hatinya lega mendapat kenyataan bahwa Kui Eng tidak terluka, hanya
merasa heran bukan main karena ternyata gadis itu lumpuh dan gagu karena tertotok. Kui Lok
mengerahkan tenaganya dan hendak menotok dan mengurut leher dan punggung gadis itu
agar totokannya terbebas. Akan tetapi pada saat itu ada angin menyambar dahsyat dari
belakang kepalanya.
"Wuuuttt.... crettt....!" Jari tangan yang amat kuat itu memyambar dan menusuk ke arah
tengkuk Kui Lok.
Kui Lok terkejut sekali dan berusaha mengelak, akan tetapi karena pada saat itu dia sedang
men-curahkan seluruh perhatian kepada murid kepo-nakannya yang sedang dia coba untuk
membebas-an totokannya, dan karena serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dari jarak sangat
dekat, biarpun ia sudah mengelak, tetap saja jari tangan yang amat kuat itu menyambar dan
mengenai bawah tengkuknya. Kui Lok terpelanting dan hanya dap-at mengeluarkan suara
"Oughhh....?" dan iapun tak sadarkan diri. Demikian hebatnya ilmu Kiam-ci (Jari Pedang)
yang di pergunakan Tek Ciang untuk memukul sutenya sendiri. Biarpun pukulan itu tidak
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
654 mengenai sasaran dengan tepat, namun pukulan pada pangkal tengkuk itu mengguncangkan
isi kepala dan pendekar Kun-lun-pai itupun roboh pingsan.
Tek Ciang terpaksa memukul sutenya karen dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat
mengelak lagi dari kenyataan tentang surat yang dirampasnya. Kini ia menghadapi keadaan
yang amat gawat. Dia harus bertindak cerdik, pikirnya dan sepasang matanya bergerak liar
ketika otaknya diperas untuk mencari akal agar dia dapat mengatasi kegawatan ini dengan
selamat. Lalu nampak dia menyeringai kejam, kemudian diapun mengayunkan lagi jari
tangannya, dengan ilmu pukulan keji Kiam-ci dia menotok ke arah pelipis kepala Pouw Kui
Lok. Kelihatannya hanya perlahan saja totokannya itu, akan tetapi tubuh Kui Lok terkulai
karena pada saat itu juga dia telah tewas! Sungguh menyedihkan sekali bahwa seorang
pendekar demikian gagahnya seperti Kui Lok terpaksa harus mati konyol, mati secara
mengecewakan sekali di bawah tangan suhengnya sendiri yang keji dan curang. Setelah
mendapat kenyataan bahwa sutenya telah tewas, Tek Ciang menyeringai, kini membalik
kepada Kui Eng yang biarpun dalam keadaan tidak berdaya, tidak mampu bergerak maupun
bersuara, dapat menyaksikan semua peristiwa itu dengan muka pucat sekali. Kini manusia yan
sudah seperti kemasukan iblis jahat itu menubruk.
Hati Kui Eng menjerit, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya dan biarpun ia ingin
meronta dan melawan, namun kaki tangannya lemas dan hanya mampu bergerak-gerak sedikit
saja. Terjadilah perbuatan yang amat terkutuk, per-buatan yang bagi Tek Ciang biasa saja karena
dia-pun sudah amat terlatih untuk melakukan perko-saan terhadan wanita- wanita semenjak
dia men-jadi murid Jai-hwa Siauw-ok!
Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan hati Can Kui Eng yang dalam keadaan sadar
namun tidak mampu bergerak ini menghadapi malapetaka yang menimpa dirinya. Ia
diperkosa tanpa dapat bergerak maupun berteriak. Malapetaka yang lebih mengerikan
daripada maut. Gadis itu tidak kuat menahan kehancuran hatinya dan iapun ping-san dan hal
ini baik baginya karena ia tidak tahu atau merasakan lagi apa yang diperbuat manusia iblis itu
terhadap dirinya.
Setelah selesai dengan perbuatannya yang amat terkutuk itu, Tek Ciang melanjutkannya
dengan kekejaman yang lebih hebat lagi. Dia mencabut pedang gadis itu, menaruh gagang
pedang dalam kepalan tangan kanan Kui Eng, kemudian dia memaksa tangan yang mengepal
gagang pedang itu untuk menusukkan pedang ke dada sendiri. Sung-guh amat kasihan nasib
gadis itu. Baru saja ia mengalami perkosaan yang menghancurkan hati dan kini ia dipaksa
untuk membunuh diri! Pedang-nya sendiri, didorong oleh Tek Ciang, menusuk dan
menembus dada sendiri. Darah bercucuran dan tubuh itu berkelojot sedikit lalu rebah dan
tewas. Baiknya gadis itu mengalami semua itu dalam keadaan pingsan sehingga mengurangi
penderitaannya.
Tek Ciang menyeringai puas. Dia lalu membu-ka-buka pakaian yang menempel di tubuh
jenazah Kui Lok, mengawut-awut rambut mayat itu sehingga keadaan pemuda itu seperti
orang yang baru saja melakukan perkosaan. Tek Ciang sendiri sudah merapikan pakaian dan
rambutnya, dan setelah memeriksa lagi dengan teliti keadaan dua mayat itu, dia lalu berteriak-
teriak sambil meloncat keluar ruangan perpustakaan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
655 "Tolong....! Pembunuhan....! Tolonggg....!" Dia melakukan ini setelah menyambar kitab
pelajaran Sin- liong Ho-kang dan bersama surat dalam sampul untuk Panglima Gan di kota
raja dia menyembunyikan di tempat aman, yaitu di balik baju dalamnya.
Teriakan-teriakannya itu mengejutkan semua penghuni kuil dan berserabutanlah para tosu
berlari keluar dari kamar masing-masing. Juga Hong Tan Tosu sendiri nampak berlari-lari
datang ke tempat itu. Dengan muka pucat Tek Ciang menutupi muka sendiri dan membiarkan
para tosu itu meli-hat sendiri dua tubuh yang sudah menjadi mayat menggeletak di lantai
kamar penpustakaan.
Tentu saja kematian Pouw Kui Lok dan Can Kui Eng amat mengejutkan mereka semua,
teruta-ma sekali Hong Tan Tosu. Kakek ini memandang dengan muka pucat sekali. Sutenya
telah tewas dan nampaknya tidak mengalami luka, sedangkan muridnya yang terkasih
menggeletak mandi darah, dadanya tertembus pedang sendiri dan tangan kanannya masih
memegang gagang pedang itu. Di-lihat sepintas lalu saja jelaslah bahwa gadis itu telah
membunuh diri dengan pedang sendiri. Dan melihat keadaan pakaian Kui Eng yang hampir
telanjang bulat, dan pakaian Kui Lok yang sete-ngah telanjang, tidak sukar diduga apa yang
terja-di antara kedua orang itu. Inilah yang membuat Hong Tan Tosu pucat dan penasaran.
Sutenya berjina dengan muridnya" Ah, dia tidak percaya akan hal itu. Sutenya adalah seorang
pendekar sejati, dan muridnya juga seorang murid yang patuh-. Akan tetapi, agaknya
kenyataan menunjuk-kan demikian.
"Louw-sicu, apakah yang telah terjadi" Apa-kah yang terjadi dalam kamar ini?" Akhirnya dia
menghampiri Tek Ciang dan mengguncang pundak pemuda yang masih menangis itu.
Dengan mata merah karena tangis, atau lebih tepat karena dia gosok-gosok dengan punggung
tangan, Tek Ciang memandang tosu itu dengan muka sedih sekali. "Ah, totiang, bagaimana
aku harus bercerita" Aihhh.... mengapa hal ini menimpa diri kami" Aku.... aku telah
mem-bunuh Pouw-sute yang kusayang.... ah, toti-ang, kalau aku berdosa, silahkan totiang
menja-tuhkan hukuman kepadaku...." Diapun terisak menangis.
Tosu tua itu mengerutkan alisnya. "Siancai.... segala hal telah terjadi. Sebelum tahu apa yang
terjadi dan apa sebabnya, pinto tidak dapat meng-hakimi. Ceritakanlah, apa yang telah terjadi
di sini dan mengapa pula engkau membunuh Pouw--sute?"
"Totiang, sungguh aku masih merasa bingung dan tidak tahu mengapa sute tiba-tiba saja
dapat melakukan semua itu seperti orang kemasukan se-tan! Karena aku merasa telah setelah
membaca kitab sejak pagi, aku pergi keluar untuk mencari hawa sejuk. Kitab kutinggalkan di
atas meja dan akupun berjalan-jalan di luar kuil, bahkan sampai ke luar dusun, sampai tubuh


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa segar kembali. Kurang lebih satu setengah jam aku pergi meninggalkan kuil. Ketika
aku kembali, aku terkejut sekali melihat sute.... sute...." Dia berhenti dan menutupi muka
dengan kedua tangannya.
"Siancai....! Lanjutkanlah, sicu dan kuat-kan hatimu," kata tosu tua itu hampir tidak sabar.
"Dia.... dia telah memperkosa nona Kui Eng! Begitu saja, di atas lantai kamar perpusta-kaan
ini. Entah sebelum itu apa yang terjadi aku tidak tahu. Setahuku hanya bahwa mereka
melakukan penjagaan seperti yang totiang perintahkan. Ah, masih ngeri dan bingung aku
mengenang se-mua itu...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
656 "Lanjutkan, sicu. Lanjutkan....!" Hong Tan Tosu mendesak sedangkan para tosu lain yang
menjadi pengurus kuil juga ikut mendengarkan dengan muka pucat. Mereka tidak pernah
me-nyangka bahwa peristiwa memalukan seperti ini akan dapat terjadi di kuil mereka. Suatu
aib yang amat mencemarkan.
"Ketika aku datang, Pouw-sute sudah meng-akhiri perbuatannya yang biadab itu. Tentu saja
aku langsung menegurnya, akan tetapi dia malah marah dan menyerangku seperti orang gila.
To-tiang maklum betapa lihainya sute, maka akupun terpaksa melayaninya dan pada saat itu,
aku me-lihat nona Kui Eng mengeluarkan pedang dan membunuh diri. Melihat ini, aku
menjadi marah sekali kepada sute yang masih menyerangku, maka akupun lalu membalas
serangannya dan akhirnya aku berhasil memukulnya roboh. Bukan niatku membunuhnya,
akan tetapi.... ah, dia terlalu kuat untuk dapat dirobohkan begitu saja...."
Hong Tan Tosu menunduk dan memandang kepada dua mayat yang masih menggeletak di
situ. Di dalam hatinya dia meragukan kebenaran cerita Tek Ciang. Ingin dia berteriak untuk
menyangkal, tidak percaya akan apa yang diceritakan menge-nai perbuatan Kui Lok. Akan
tetapi, apa yang di-lihatnya di dalam kamar itu, keadaan dua mayat itu, jelas merupakan
kenyataan akan kebenaran cerita Tek Ciang. Melihat keadaan pakaian mereka, dan melihat
pedang yang menusuk dada Kui Eng sendiri sedangkan tangan gadis itu menggenggam
gagangnya, merupakan bukti yang sukar untuk di-sangkal.
"Dan yang lebih mengejutkan hatiku, totiang, kitab Sin-liong Ho-kang yang tadinya
kutinggal-kan di atas meja telah lenyap...." "Apa....?" Kini tosu tua itu benar-benar terkejut
dan pandang matanya kepada Tek Ciang penuh keraguan dan kecurigaan. "Sicu, harap
ja-ngan main-main. Engkaulah yang selama ini membaca kitab itu! Mengenai muridku dan
sute-ku, katakanlah ada buktinya sehingga ceritamu dapat pinto percaya. Akan tetapi
hilangnya kitab Sin-liong Ho-kang, bagaimana cara membukti-kannya bahwa benar-benar
kitab itu hilang" Dan siapa yang akan dapat mengambilnya?"
Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia bang-kit berdiri. "Totiang, aku bukanlah orang
yang ti-dak mau bertanggung jawab. Aku yakin bahwa kitab itu tentu ada yang
mengambilnya, tentu se-belum aku kembali ke dalam kamar ini. Bahkan aku mempunyai
dugaan yang amat menyakitkan hati."
"Hemm, dugaan apakah?"
"Mau tidak mau aku harus menduga bahwa memang Pouw-sute telah kemasukan iblis, telah
berobah sama sekali. Agaknya dia sendiri yang menyembunyikan kitab itu, kemudian dia
mela-kukan perbuatan terkutuk terhadap nona Kui Eng di kamar ini. Agaknya memang dia
sengaja melakukan semua itu dengan maksud untuk menjatuh-kan fitnah atas diriku
kemudian, dengan menuduh aku menyembunyikan kitab dan memperkosa nona Kui Eng.
Untung aku datang lebih dulu sehingga memergoki perbuatannya yang laknat itu...."
"Louw-sicu! Jangan menuduh yang bukan--bukan terhadap sute yang sudah tidak ada! Apa
buktinya bahwa dia yang menyembunyikan kitab?"
"Memang tidak ada buktinya, totiang. Akan tetapi aku akan mencarinya, dan aku bersumpah
bahwa aku akan menemukan kitab itu dan me-ngembalikannya kepadamu. Nah, selamat
tinggal!" Tek Ciang lalu meloncat ke luar dan dalam sekejap mata saja diapun lenyap dari
situ. Hong Tan Tosu ingin mencegah, akan tetapi dia maklum bahwa tidak ada di antara
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
657 mereka yang akan mampu me-nyusul pemuda itu, apalagi menandinginya. Pula, apa
alasannya untuk menahan Tek Ciang yang sudah bersumpah untuk mencari dan
mengemba-likan kitab" Diapun hanya dapat menyesal dan berduka, lalu menyuruh anak
buahnya untuk meng-urus kedua jenazah.
*** Apa yang disampaikan pemuda tinggi besar yang menjadi pacar Kui Eng kepada gadis itu
memang benar dan sudah menjadi rahasia para patriot yang hendak mengadakan pertemuan
untuk mulai mengatur pergerakan mereka dan mengang-kat seorang bengcu (pemimpin
rakyat) agar perju-angan mereka dapat teratur dan tidak simpang siur. Pemuda tinggi besar itu
adalah seorang pendekar muda she Kwee dari perguruan Kong-thong-pai yang bertemu dan
berkenalan dengan Kui Eng dalam perantauan, di mana keduanya secara kebe-tulan
menghadapi dan menentang gerombolan pe-rampok yang mengganas di sebuah dusun.
Perke-nalan itu disusul dengan rasa cinta kedua pihak. Sebagai seorang pendekar muda yang
penuh semangat mendukung gerakan para patriot yang hendak menumbangkan kekuasaan
penjajah, se-bentar saja Kwee Cin Koan, demikian nama murid Kong-thong-pai itu,
memperoleh kepercayaan di antara para tokoh patriot dan karena itu, tidak mengherankan
kalau dia menerima tugas menghu-bungi Gan-ciangkun melalui sepucuk surat. Dan tidak aneh
pula kalau Cin Koan mengoperkan tu-gas itu kepada Kui Eng, kekasihnya yang agaknya tidak
mempunyai kesempatan hadir dalam perte-muan para pendekar dan patriot. Tentu saja sama
sekali pendekar ini tidak pernah membayangkan bahwa kekasihnya akan tertimpa malapetaka
de-mikian hebatnya sampai menewaskannya.
Di sebelah selatan kota raja terdapat hutan-hu-tan yang cukup lebat, yang berkelompok-
kelom-pok di sepanjang kaki Pegunungan Tai-hang-san, berbaris seperti benteng sebelah
barat. Dan di antara hutan- hutan ini terdapatlah sebuah hutan yang berada di atas bukit,
penuh dengan pohon cemara dan karena itu maka hutan ini dinamakan Hutan Cemara. Hutan
Cemara tidak begitu disuka oleh binatang-binatang hutan, karena selain ku-rang rimbun, juga
cemara tidak menghasilkan se-suatu yang dapat dimakan, buahnya tidak, daun maupun
batangnyapun tidak. Karena itu hutan ini sunyi dari binatang, bahkan jarang terdapat burung-
burung di situ, kecuali burung yang terbang lewat. Hutan-hutan lain yang mempunyai
tumbuh-tumbuhan liar dan lebat, dengan semak--semak belukar dan rimbun, penuh dengan
bina-tang- binatang dan para pemburu juga lebih suka berkeliaran di dalam hutan-hutan liar
ini untuk berburu binatang. Pencari-pencari kayupun jarang memasuki hutan pohon cemara
yang dibiarkan sunyi dan kering, jarang sekali nampak ada orang memasuki hutan ini.
Akan tetapi justeru kesunyian hutan inilah yang membuat para patriot yang hendak
mengadakan pertemuan memilih tempat ini. Tempat itu selain sunyi, juga jauh dari kota
maupun dusun. Dan di sekitar pegunungan itu terdapat banyak hutan liar di mana para
pemburu suka berkeliaran sehingga kedatangan para pendekar di tempat seperti itu tidak akan
menimbulkan perhatian.
Pada hari itu, tempat yang amat sunyi itu nam-pak ramai dengan hilir mudiknya orang-orang
yang datang dari segala jurusan. Dan mereka ini adalah pendekar- pendekar dan orang-orang
gagah, dapat dikenal dari pakaian dan sikap mereka. Ada pula yang berpakaian aneh-aneh dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
658 nyentrik, berpa-kaian pertapa, sasterawan, bahkan ada yang ber-pakaian pengemis! Biarpun di
antara mereka be-lum terbentuk suatu perkumpulan dan belum teratur, akan tetapi mereka
semua sudah maklum sen-diri dan mereka datang ke tempat itu tidak secara berkelompok
sehingga tidak menyolok mata dan tidak menarik perhatian. Dan rata-rata mereka berwajah
gembira karena selain menghadiri suatu pertemuan antara patriot yang sehaluan, juga mereka
itu mendapatkan kesempatan untuk saling berkenalan dan bertemu dengan tokoh-tokoh yang
namanya sudah lama mereka kagumi.Di antara banyak pendekar tua muda laki pe-rempuan
yang berdatangan ke tempat itu, kelihat-an seorang pemuda berusia paling banyak dua pu-luh
tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap ga-gah perkasa. Wajahnya selalu tersenyum,
sepasang matanya bersinar-sinar dan dia kelihatan periang dan lincah jenaka. Tidak ada
seorangpun di antara para pendekar yang mengenal pemuda ini dan memang tidak aneh
karena pemuda ini adalah seorang tokoh baru yang belum lama berkecimpung di dunia kang-
ouw dan namanya masih belum di-kenal orang banyak. Akan tetapi kalau orang me-ngetahui
siapa dia, tentu dia akan menjadi pusat perhatian karena pemuda ini adalah seorang
ketu-runan Para Pendekar Pulau Es. Dia adalah Suma Ceng Liong, yang telah mewarisi ilmu-
ilmu dari ayah bundanya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, bahkan telah pula digembleng oleh raja
iblis Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun!
Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia bang-kit berdiri. "Totiang, aku bukanlah orang
yang ti-dak mau bertanggung jawab. Aku yakin bahwa kitab itu tentu ada yang
mengambilnya, tentu se-belum aku kembali ke dalam kamar ini. Bahkan aku mempunyai
dugaan yang amat menyakitkan hati."
"Hemm, dugaan apakah?"
"Mau tidak mau aku harus menduga bahwa memang Pouw-sute telah kemasukan iblis, telah
berobah sama sekali. Agaknya dia sendiri yang menyembunyikan kitab itu, kemudian dia
mela-kukan perbuatan terkutuk terhadap nona Kui Eng di kamar ini. Agaknya memang dia
sengaja melakukan semua itu dengan maksud untuk menjatuh-kan fitnah atas diriku
kemudian, dengan menuduh aku menyembunyikan kitab dan memperkosa nona Kui Eng.
Untung aku datang lebih dulu sehingga memergoki perbuatannya yang laknat itu...."
"Louw-sicu! Jangan menuduh yang bukan--bukan terhadap sute yang sudah tidak ada! Apa
buktinya bahwa dia yang menyembunyikan kitab?"
"Memang tidak ada buktinya, totiang. Akan tetapi aku akan mencarinya, dan aku bersumpah
bahwa aku akan menemukan kitab itu dan me-ngembalikannya kepadamu. Nah, selamat
tinggal!" Tek Ciang lalu meloncat ke luar dan dalam sekejap mata saja diapun lenyap dari
situ. Hong Tan Tosu ingin mencegah, akan tetapi dia maklum bahwa tidak ada di antara
mereka yang akan mampu me-nyusul pemuda itu, apalagi menandinginya. Pula, apa
alasannya untuk menahan Tek Ciang yang sudah bersumpah untuk mencari dan
mengemba-likan kitab" Diapun hanya dapat menyesal dan berduka, lalu menyuruh anak
buahnya untuk meng-urus kedua jenazah.
*** Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
659 Apa yang disampaikan pemuda tinggi besar yang menjadi pacar Kui Eng kepada gadis itu
memang benar dan sudah menjadi rahasia para patriot yang hendak mengadakan pertemuan
untuk mulai mengatur pergerakan mereka dan mengang-kat seorang bengcu (pemimpin
rakyat) agar perju-angan mereka dapat teratur dan tidak simpang siur. Pemuda tinggi besar itu
adalah seorang pendekar muda she Kwee dari perguruan Kong-thong-pai yang bertemu dan
berkenalan dengan Kui Eng dalam perantauan, di mana keduanya secara kebe-tulan
menghadapi dan menentang gerombolan pe-rampok yang mengganas di sebuah dusun.
Perke-nalan itu disusul dengan rasa cinta kedua pihak. Sebagai seorang pendekar muda yang
penuh semangat mendukung gerakan para patriot yang hendak menumbangkan kekuasaan
penjajah, se-bentar saja Kwee Cin Koan, demikian nama murid Kong-thong-pai itu,
memperoleh kepercayaan di antara para tokoh patriot dan karena itu, tidak mengherankan
kalau dia menerima tugas menghu-bungi Gan-ciangkun melalui sepucuk surat. Dan tidak aneh
pula kalau Cin Koan mengoperkan tu-gas itu kepada Kui Eng, kekasihnya yang agaknya tidak
mempunyai kesempatan hadir dalam perte-muan para pendekar dan patriot. Tentu saja sama
sekali pendekar ini tidak pernah membayangkan bahwa kekasihnya akan tertimpa malapetaka
de-mikian hebatnya sampai menewaskannya.
Di sebelah selatan kota raja terdapat hutan-hu-tan yang cukup lebat, yang berkelompok-
kelom-pok di sepanjang kaki Pegunungan Tai-hang-san, berbaris seperti benteng sebelah
barat. Dan di antara hutan- hutan ini terdapatlah sebuah hutan yang berada di atas bukit,
penuh dengan pohon cemara dan karena itu maka hutan ini dinamakan Hutan Cemara. Hutan
Cemara tidak begitu disuka oleh binatang-binatang hutan, karena selain ku-rang rimbun, juga
cemara tidak menghasilkan se-suatu yang dapat dimakan, buahnya tidak, daun maupun
batangnyapun tidak. Karena itu hutan ini sunyi dari binatang, bahkan jarang terdapat burung-
burung di situ, kecuali burung yang terbang lewat. Hutan-hutan lain yang mempunyai
tumbuh-tumbuhan liar dan lebat, dengan semak--semak belukar dan rimbun, penuh dengan
bina-tang- binatang dan para pemburu juga lebih suka berkeliaran di dalam hutan-hutan liar
ini untuk berburu binatang. Pencari-pencari kayupun jarang memasuki hutan pohon cemara
yang dibiarkan sunyi dan kering, jarang sekali nampak ada orang memasuki hutan ini.
Akan tetapi justeru kesunyian hutan inilah yang membuat para patriot yang hendak
mengadakan pertemuan memilih tempat ini. Tempat itu selain sunyi, juga jauh dari kota
maupun dusun. Dan di sekitar pegunungan itu terdapat banyak hutan liar di mana para
pemburu suka berkeliaran sehingga kedatangan para pendekar di tempat seperti itu tidak akan
menimbulkan perhatian.
Pada hari itu, tempat yang amat sunyi itu nam-pak ramai dengan hilir mudiknya orang-orang
yang datang dari segala jurusan. Dan mereka ini adalah pendekar- pendekar dan orang-orang
gagah, dapat dikenal dari pakaian dan sikap mereka. Ada pula yang berpakaian aneh-aneh dan
nyentrik, berpa-kaian pertapa, sasterawan, bahkan ada yang ber-pakaian pengemis! Biarpun di
antara mereka be-lum terbentuk suatu perkumpulan dan belum teratur, akan tetapi mereka
semua sudah maklum sen-diri dan mereka datang ke tempat itu tidak secara berkelompok
sehingga tidak menyolok mata dan tidak menarik perhatian. Dan rata-rata mereka berwajah
gembira karena selain menghadiri suatu pertemuan antara patriot yang sehaluan, juga mereka
itu mendapatkan kesempatan untuk saling berkenalan dan bertemu dengan tokoh-tokoh yang
namanya sudah lama mereka kagumi.Di antara banyak pendekar tua muda laki pe-rempuan
yang berdatangan ke tempat itu, kelihat-an seorang pemuda berusia paling banyak dua pu-luh
tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap ga-gah perkasa. Wajahnya selalu tersenyum,
sepasang matanya bersinar-sinar dan dia kelihatan periang dan lincah jenaka. Tidak ada
seorangpun di antara para pendekar yang mengenal pemuda ini dan memang tidak aneh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
660 karena pemuda ini adalah seorang tokoh baru yang belum lama berkecimpung di dunia kang-
ouw dan namanya masih belum di-kenal orang banyak. Akan tetapi kalau orang me-ngetahui
siapa dia, tentu dia akan menjadi pusat perhatian karena pemuda ini adalah seorang
ketu-runan Para Pendekar Pulau Es. Dia adalah Suma Ceng Liong, yang telah mewarisi ilmu-
ilmu dari ayah bundanya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, bahkan telah pula digembleng oleh raja
iblis Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun!
Para pendekar yang berdatangan ke hutan itu, ada yang bertemu dengan Ceng Liong dalam
per-jalanan, akan tetapi mereka tidak saling mengenal dan mereka hanya memandang kepada
pemuda itu dengan kagum, menduga-duga siapa adanya pe-muda yang wajahnya cerah akan
tetapi memiliki pandang mata yang mencorong seperti mata naga itu. Dan Ceng Liong yang
selalu rendah hati, tidak mau mendekati mereka, segan kalau harus memperkenalkan diri
karena dia tahu bahwa setiap orang pendekar setelah mendengar bahwa dia she Suma, tentu
lalu mengaitkannya dengan keluarga Pulau Es. Apalagi kalau mereka tahu bahwa dia benar-
benar cucu aseli dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es, tentu pandang mata mereka berobah,
penuh kagum, juga mengandung iri!
Semuda itu, karena memiliki kesadaran yang tinggi dan selalu waspada membuka matanya,
Ceng Liong sudah dapat melihat kepalsuan-kepal-suan yang menguasai hati dan tindakan
manusia tanpa disadari lagi oleh manusia. Manusia telah semenjak dahulu mempunyai
kebiasaan turun-te-murun untuk membentuk gambar-gambar dari diri sendiri atau dari diri
orang-orang lain. Penilaian-penilaian muncul dalam hati setiap orang terhadap orang lain, dan
penilaian ini biasanya amat kuat dipengaruhi oleh keadaan orang yang dinilainya itu,
kedudukannya, kekayaannya, kepintarannya, nama keluarganya atau namanya sendiri.
Bahkan ada pula yang menilai seseorang dari tindakannya pada suatu saat, tindakan yang
langsung dirasakan akibatnya oleh yang menilai! Tentu saja hal ini menimbulkan penilaian-
penilaian palsu, menim-bulkan sikap menjilat-jilat kepada yang dinilai-nya tinggi dan ada
sikap memandang sebelah mata atau menghina kepada yang dinilainya rendah. Ju-ga terdapat
penilaian palsu terhadap seseorang yang melakukann satu perbuatan saja yang akibat-nya
langsung dirasakan si penilai. Kalau akibat perbuatan orang itu menguntungkan si penilai,
ma-ka orang itu dicap sebagai orang baik, dan kalau sebaliknya merugikan, dicap sebagai
orang jahat. Dan penilaian ini biasanya membentuk gambar orang itu, gambar orang baik atau
gambar orang jahat.
Tentu saja penilaian seperti ini palsu adanya. Baik buruknya seseorang tidak mungkin dinilai
da-ri satu perbuatannya saja. Bahkan tidak mungkin dapat dinilai melihat perbuatannya itu
saja tanpa melihat latar belakang dan sebab perbuatan itu sendiri. Sudah lajim bahwa
pengaruh Im-yang menguasai hampir seluruh manusia di dunia ini, pengaruh ganda yang
disebut baik dan buruk. Perbuatan yang dianggap baik dan buruk itu silih berganti dilakukan
manusia, mungkin hari ini baik, mungkin besok buruk, mungkin hari ini pemarah dan besok
menjadi ramah. Mungkin hari ini penuh kecurangan dan besok amat jujur atau sebalik-nya.
Karena kita sudah biasa menilai berdasarkan untung rugi kita, berdasarkan rasa senang tidak
se-nang kita, maka akibatnya tidak ada sesuatupun benda di dunia ini, yang mati atau yang
hidup, yang hanya mempunyai satu sifat saja. Kesemua-nya itu mempunyai sifat ganda, baik
dan buruk, berguna dan tidak berguna.
Mengapa kita tidak berhenti saja menilai dan menghadapi segala sesuatu seperti apa adanya"
Kalau batin kita bersih dari pada penilaian, maka kita baru dapat menghadapi siapapun
dengan hati dan pikiran bebas, kita tidak akan membeda-beda-kan antara orang kaya atau
miskin, pintar atau bo-doh, berkedudukan tinggi atau rendah, mengun-tungkan atau
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
661 merugikan lagi. Dan tidak ada pula sikap menjilat-jilat dan menghormat di samping sikap
meremehkan dan memandang rendah. Kalau kita sudah bebas dari pada penilaian, maka kita
berhadapan dengan MANUSIA saja, tanpa embel-embel yang mengotori diri manusia itu
dengan se-butan kedudukan, kekayaan, kehormatan, bangsa, agama dan sebagainya. Dan
tanpa penilaian kita tidak akan menciptakan gambaran- gambaran ten-tang diri sendiri
maupun manusia lain. Lenyap-lah gambaran AKU yang selalu benar atau dia dan kamu yang
selalu salah. Mengapa kita tidak berhenti saja menilai orang lain dan menujukan selu-ruh
kewaspadaan ke arah diri sendiri, mengamati diri sendiri setiap saat sehingga nampak jelas
oleh kita betapa pikiran menciptakan AKU yang selalu ingin senang, ingin menang, ingin
benar. Dan melihat betapa pikiran yang penuh keinginan inilah yang menjerumuskan kita
sendiri, yang meniadakan dan merusak ketenangan hidup, yang meniadakan kebahagiaan,
yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antara manusia, menciptakan iri hati,
cemburu, dengki dan dendam"
Karena hari pertemuan seperti yang ditentukan masih kurang dua hari lagi, Ceng Liong
berjalan--jalan di sekitar tempat itu dan melihat-lihat kea-daan. Selama ini timbul keraguan


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam hatinya. Walaupun dia sudah mendengar penjelasan ayah-nya, juga penjelasan orang
gagah Sim Hong Bu tentang perjuangan para patriot, tentang penjajahan negara dan bangsa
oleh Bangsa Mancu, namun dia masih ragu-ragu apakah itu merupakan jalan yang benar kalau
melakukan pemberontakan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia teringat betapa tadinya
pa-ra pendekar mendukung Kian Liong sebelum men-jadi kaisar. Dan kini, sikap dan
keinginan hendak memberontak terhadap kaisar ini sungguh masih agak sukar untuk diterima
begitu saja. Katakan-lah memang benar bahwa kaisar itu suka berenang dalam kesenangan
dengan wanita-wanita cantik. Katakanlah bahwa dia memiliki isteri dan selir yang banyak
jumlahnya. Akan tetapi apa hubung-annya kelemahan pribadi ini dengan roda pemerintahan"
Bagaimanapun juga, dia dapat mengerti bahwa pemberontakan yang benar adalah satu
perjuangan yang mencakup seluruh nasib bangsa, menentang pemerintahannya, bukan karena
keben-cian pribadi. Jadi, bukan kelemahan pribadi kaisar itulah yang mendorong
pemberontakan, melainkan karena pemerintahannya, yaitu pemerintah penja-jah! Betapapun
baiknya Kaisar Kian Liong, tetap saja dia seorang penjajah, seorang asing, seorang berbangsa
Mancu yang menjajah Bangsa Han. Dan nampak olehnya kini betapa semua pejabat tinggi
adalah orang-orang Mancu belaka. Memang ada pula orang-orang Han yang menduduki
pangkat, namun kekuasaannya terbatas. Bahkan ada peraturan-peraturan dari pemerintah
Mancu yang di-anggap menghina bangsa pribumi, seperti keharus-an mengenakan kuncir dan
sebagainya. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk ikut menghadiri pertemuan itu,
walaupun tetap saja hatinya diliputi keraguan.Karena masih ada waktu dua hari, malam itu
Ceng Liong berjalan seorang diri menjauhi Hutan Cemara yang dijadikan tempat pertemuan,
menu-ju ke sebuah bukit kecil tak jauh dari situ. Malam itu terang bulan dan tempat yang
sunyi dan indah itu menarik perhatiannya. Bagaimanapun juga keraguan hatinya, ingatan
bahwa keluarga Pulau Es masih ada hubungan darah dengan keluarga kaisar Mancu, membuat
hatinya terasa agak nelangsa dan dia ingin menyendiri. Untung bahwa neneknya sudah
meninggal, pikir Ceng Liong sam-bil berjalan menuju ke bukit kecil yang nampak dari jauh
seperti diliputi cahaya emas dari sinar bulan purnama. Nenek Nirahai adalah seorang puteri
Mancu, pikirnya. Andaikata neneknya itu masih hidup dan melihat dia, cucunya, kini ikut
menghadiri pertemuan orang-orang yang hendak memberontak terhadap kerajaan, apa akan
dikata oleh neneknya itu" Ada perasaan malu terhadap neneknya itu ketika Ceng Liong
teringat akan hal ini. Mengapa manusia terpecah-pecah dan terpi-sah-pisah menjadi bangsa ini
dan bangsa itu, ber-agama ini dan beragama itu, kelompok ini dan kelompok itu" Perpecahan
dan pemisahan-pemi-sahan ini selalu menimbulkan pertentangan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
662 Setelah tiba di dekat puncak bukit itu, berjalan perlahan mendaki sambil menikmati
pemandangan yang mentakjubkan di bawah bukit, tiba-tiba Ceng Liong mendengar sayup-
sayup suara orang laki--laki bernyanyi. Dia mencurahkan perhatiannya ke-pada suara yang
datang melayang dari puncak bukit itu dan dapat menangkap kata-kata nyanyi-an itu dengan
jelas. Suara itu cukup merdu, akan tetapi di dalam suara nyanyian terkandung getaran orang
yang sedang dirundung kedukaan atau kegetiran hati.
"Masa bodoh bulan tak bersinar
Masa bodoh bintang tak berpijar
Asal kau cinta padaku!
Tak perduli burung tak menembang
Tak perduli bunga tak berkembang
Asal kau cinta padaku!
Masa bodoh bumi tak berputar
Tak perduli dunia akan kiamat
Masa bodoh matahari tak bercahaya
Tak perduli langit tiada awan
Asal kau cinta padaku, sayang
Asal kau cinta padaku!"
Ceng Liong tertegun dan hatinya tersentuh keharuan. Ada sesuatu dalam nyanyian itu yang
membuat hatinya terharu. Dia seperti dapat ikut merasakan betapa mendalam perasaan cinta
me-nguasai hati penyanyi itu. Dan betapa suara itu mengandung getaran-getaran duka atau
kekecewaan. Hati Ceng Liong merasa terharu dan tertarik, maka diapun menggerakkan kakinya, dengan
hati--hati dia mendaki bukit kecil itu mencari penyanyi itu. Akhirnya dia melihatnya. Seorang
laki-laki yang duduk sendirian di puncak bukit, laki-laki yang sedang menatap bulan purnama
seolah-olah kepada bulanlah dia tadi bernyanyi.
"Kak Ciang Bun....!" Ceng Liong berseru memanggil dengan gembira sekali ketika dia
menghampiri orang yang sedang bersunyi sendiri itu dan mengenalnya. Biarpun laki-laki itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
663 kini bukan pemuda remaja lagi, tidak seperti keadaan-nya sembilan tahun yang lalu, akan
tetapi Ceng Liong masih ingat akan bentuk wajahnya yang tampan.
Laki-laki itu menoleh dengan kaget, akan tetapi ketika dia melihat Ceng Liong, sejenak dia
terbelalak, lalu meloncat berdiri, membalikkan tubuh menatap wajah Ceng Liong dengan
ragu--ragu. Memang orang itu adalah Ciang Bun dan kini dia memandang kepada Ceng Liong
dengan hati bimbang. Dia mengenal wajah Ceng Liong, akan tetapi perobahan yang terjadi
atas diri Ceng Liong memang amat besar. Ketika dia bertemu dengan adik misannya ini untuk
yang terakhir ka-linya, yaitu semenjak mereka berdua meninggalkan Pulau Es, Ceng Liong
adalah seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Dan sekarang, Ceng Liong telah menjadi
seorang pemuda gagah perkasa, ber-tubuh tinggi tegap, berusia hampir dua puluh ta-hun!
"Kau.... kau...." Dia berkata ragu.
Ceng Liong melangkah lebar menghampiri sam-pai berada di depan Ciang Bun, tersenyum
lebar dan memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri. "Bun- ko, apakah engkau lupa
kepadaku, adikmu Ceng Liong?"
"Ceng Liong...." Ah, Ceng Liong ....!" Ciang Bun maju dan merangkul. Keduanya
berangkulan dengan hati gembira bukan main dan Ciang Bun menjadi demikian terharu
sampai kedua ma-tanya menjadi basah. Melihat ini, diam-diam Ceng Liong merasa heran.
Kakak misannya ini sampai sekarang masih saja memperlihatkan kehalusan perasaannya.
Ciang Bun meraba pundak dan dada Ceng Liong, memandang kepada adiknya itu penuh
kagum. "Liong-te.... aihh, siapa bisa mengenal-nya kalau engkau sekarang sudah begini besar" Lihat,
engkau tidak hanya lebih besar daripada aku, bahkan lebih tinggi. Engkau begini gagah
perkasa, ahhh, adikku, aku bangga sekali melihat-mu!"
"Bun-toako, sudah hampir sepuluh tahun kita tidak pernah saling jumpa. Tak kusangka akan
bertemu dengranmu ketika tadi aku mendaki bukit ini, mencari penyanyi yang suaranya
begitu mena-rik hatiku. Kiranya engkau yang bernyanyi tadi. Toako, kenapa hatimu begitu
berduka?" Ciang Bun menarik napas panjang. Pertanyaan itu tentu saja membuat dia teringat akan
keadaan dirinya, teringat akan Gangga. Dan begitu teringat kepada gadis yang
meninggalkannya itu, diapun teringat bahwa Gangga pernah menyebut nama Ceng Liong dan
diapun memandang dengan penuh perhatian dau alisnya berkerut.
"Liong-te, sebelum kita bicara lebih banyak, jawablah dulu pertanyaanku ini. Benarkah
bahwa engkau telah menjadi murid iblis tua Hek-i Mo--ong....?"
Tentu saja Ceng Liong terkejut mendengar ini, akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-
ang-guk. "Bun- toako, itu merupakan cerita yang pan-jang sekali. Tanpa mendengar seluruh
keadaan pada waktu itu, hanya mendengar bahwa aku menjadi muridnya, tentu akan
menimbulkan rasa penasaran...."
"Jadi benarkah berita itu" Liong-te, benarkah itu" Tentu saja aku merasa penasaran setengah
mati! Liong-te, engkau sendiri juga mengetahui bahwa kakek iblis itu bersama kawan-
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
664 kawannya telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan tewasnya kakek dan
kedua orang nenek kita, bahkan telah mengakibatkan tenggelamnya Pulau Es dan kau....
kau.... bahkan lalu menjadi muridnya?"
"Sabar dan tenanglah, toako dan mari dengar-kan dulu keteranganku tentang itu. Dengarlah
ce-ritaku semenjak kita saling berpisah di tengah la-utan itu. Aku melihat enci Hui dilarikan
penjahat, dan melihat engkau dan juga Cin Liong terlempar ke dalam lautan dan aku sendiri
lalu dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai seorang tawanan." Kemu-dian Ceng Liong
menceritakan semua pengalam-annya dan sebab-sebabnya mengapa dia sampai mejadi murid
Hek-i Mo-ong, musuh besar yang mencelakakan kakek dan kedua neneknya di Pulau Es. Dia
menceritakan semua peristiwa yang dia-laminya sampai pada saat Hek-i Mo-ong tewas di
tangan kakek itu sendiri yang seolah-olah membunuh diri karena dalam keadaan terluka
pa-rah kakek itu nekat menyerang pendekar Kam Hong. Diceritakannya betapa kakek iblis itu
telah melimpahkan budi kepadanya sehingga sukarlah baginya untuk menganggap kakek itu
sebagai mu-suh.
Setelah mendengar semua cerita adik misannya, Ciang Bun yang sejak tadi mendengarkan
dengan hati amat tertarik itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang.
Memang, dia sendiripun tidak tahu apa yang harus dilakukan kalau dia dilimpahi budi
pertolongan dan kasih sayang oleh kakek iblis itu.
"Bun-toako, dari manakah engkau mendengar bahwa aku telah diambil murid Hek-i Mo-
ong?" kini Ceng Liong bertanya.
Ciang Bun baru sadar dari lamunannya. Kini dia teringat bahwa Ceng Liong belum bercerita
kepadanya tentang pertemuan adiknya itu dengan Gangga Dewi seperti yang pernah dikatakan
gadis Bhutan itu kepadanya walaupun tadi Ceng Liong juga menceritakan bahwa adiknya itu
diajak me-rantau oleh Hek-i Mo-ong sampai jauh ke barat, ke Pegunungan Himalaya bahkan
sampai ke ne-gara Bhutan."Liong-te, aku mendengarnya dari seorang ga-dis bernama Gangga
Dewi...." katanya me-mandang tajam. Wajah adik misannya ini di ba-wah sinar bulan
purnama sungguh nampak gagah sekali.
"Gangga Dewi....?" Ceng Liong berseru kaget dan girang. "Ahh, Gangga Dewi gadis Bhu-tan
itu...." "Liong-te, engkau kenal padanya?"
"Kenal! Tentu saja!" Ceng Liong tertawa ke-tika dia teringat kepada anak perempuan
bernama Gangga Dewi yang galak itu. "Ha-ha, tentu saja aku kenal, toako. Bukankah ia
bernama juga Wan Hong Bwee, puteri Bhutan itu" Bukankah ia ma-sih ada hubungan
keluarga pula dengan kita?"
Kini Ciang Bun benar-benar terkejut bukan main. "Puteri Bhutan" Wan Hong Bwee dan
ma-sih ada hubungan keluarga dengan kita" Bagaima-na ini, Liong-te, aku tidak tahu sama
sekali. Ce-ritakanlah kepadaku siapa sesungguhnya gadis itu."
"Ha-ha, ia tidak pernah bercerita kepadamu" Wah, memang bengal anak itu! Ketahuilah,
toako, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee itu adalah puteri tunggal dari Wan Tek Hoat dan
Puteri Syanti Dewi."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
665 "Ahh.... ahhh.... maksudmu Wan Tek Hoat cucu mendiang nenek Lulu, jadi.... masih kakak
tiriku sendiri?" Ciang Bun benar-benar ter-kejut karena tidak pernah menyangka sama sekali.
Kenapa gadis Bhutan itu tidak pernah mencerita-kan tentang keadaan dirinya" Ayah gadis itu,
Wan Tek Hoat, sudah amat dikenal namanya oleh para cucu Pulau Es, dan diapun sudah
mendengar bah-wa pendekar yang masih terhitung kakak tirinya itu menikah dengan Puteri
Syanti Dewi, puteri is-tana Bhutan dan kini tinggal di Bhutan. Jadi ka-lau begitu, Gangga
adalah keponakannya sendiri, walaupun keponakan yang jauh. Dan tentu saja Gangga sudah
tahu akan semua ini. Bukankah Gangga mengatakan bahwa ia sudah mengenal Ceng Liong
dan tahu pula bahwa dia sendiri ada-lah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es" Akan tetapi
gadis itu tak pernah menyinggung ke-adaan dirinya, dan kini gadis itu telah pergi!
"Dan bagaimana dengan engkau sendiri, toako" Apa yang telah kaualami sejak engkau
terlempar ke dalam lautan dari perahu kita yang diserang penjahat itu" Dan mengapa pula
engkau tidak ha-dir dalam pesta pernikahan enci Hui?"
Kembali Ciang Bun menarik napas panjang dan termenung, kelihatan berduka sekali
sehingga Ceng Liong memandang khawatir, tidak berani mende-sak melainkan menunggu
saja kakak misannya itu bicara. Akhirnya Ciang Bun berkata dengan nada suara yang lesu,
"Tidak ada apa-apa yang menarik dalam hidupku, Liong-te, kecuali kemuraman dan
kekecewaan. Seperti kaulihat aku masih hidup sekarang karena ketika aku terlempar ke lautan
dari perahu kita yang diserbu penjahat sepuluh tahun yang lalu itu, aku berhasil meloloskan
diri dari cengkeraman maut. Dan selanjutnya, aku hanya terombang- ambing antara kedukaan
dan malapetaka yang menimpa keluargaku...." Pemuda itu menarik napas panjang.
Ceng Liong mengangguk-angguk. "Bun-toako, aku juga menghadiri perayaan pernikahan
enci Hui dan aku mendengar bahwa engkau belum lama pergi meninggalkan kota raja, dan
aku su-dah mendengar dari keluargamu tentang segala yang telah terjadi, yang menimpa
diri enci Hui. Akan tetapi untunglah bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Cin Liong
yang gagah perkasa dan baik hati."
"Engkau benar, Liong-te. Aku menyesal se-kali bahwa aku tidak dapat hadir di waktu
pernikahan enci Hui dirayakan, karena aku.... pada waktu itu aku sedang gila mengejar
bayangan ko-song.... dan sampai sekarang aku belum pu-lang, biarlah, adikku, biarlah nasib
membawa diriku seperti sebuah layang-layang putus talinya dan tertiup angin badai ke
angkasa raya tanpa tujuan...."
Melihat betapa pemuda itu kembali tenggelam ke dalam kedukaan, Ceng Liong merasa
kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu kakak mi-sannya ini menderita tekanan batin
yang hebat dan seperti orang kebingungan. Maka diapun berusaha menggembirakan hati
kakaknya itu. Suaranya me-ninggi gembira ketika dia bertanya, "Toako, ba-gaimana engkau
dapat berkenalan dengan Hong Bwee?"
"Hong Bwee....?"
"Ya, atau yang bernama Gangga Dewi itu! Ia tinggal di Bhutan, apakah engkau pernah
merantau sampai ke Bhutan pula?"
Ciang Bun menggeleng kepala dan menjawab lesu. "Tidak di Bhutan, aku bertemu
dengannya ketika ia merantau sampai ke kota raja...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
666 "Aihhh....! Anak itu memang luar biasa! Pemberani dan juga tentu saja lihai," kata Ceng
Liong, masih belum puas melihat kakak misannya demikian murung dan berusaha untuk
menggem-birakan hatinya. "Waah, toako, tak kusangka eng-kau sekarang gemar bernyanyi
dan suaramu hebat pula! Dan nyanyianmu tadi, wah, romantis sekali, toako. Ehmm, siapa sih
gadis yang begitu kaucinta sehingga untuk memperoleh cintanya, engkau tidak perduli segala
hal lain yang terjadi?"
Akan tetapi, mendengar ucapan yang nadanya bergurau itu, Ciang Bun malah menarik napas
panjang. Pertanyaan itu seperti menyeretnya kem-bali ke alam kenangan yang penuh dengan
bayang-an Gangga yang meninggalkannya. Dan bertemu dengan Ceng Liong dia merasa
bertemu dengar saudara sendiri, dengan orang yang dapat diper-caya sepenuhnya, bahkan
orang yang dapat dijadi-kan tempat penumpahan segala rasa dukanya.
"Liong-te, semua keadaan diriku ini, yang seperti orang gila ini.... bukan lain adalah karena
dia pula.... orang Bhutan itu...."
"Hong Bwee....?" Kata Ceng Liong ter-belalak memandang wajah kakaknya.
"Gangga.... dialah yang membuatku me-rana.... ah, tidak, Liong-te, bukan dia sebab-nya,
melainkan diriku sendiri, keadaanku sendiri. Dia tidak bisa disalahkan, dan sudah sepatutnya
kalau dia meninggalkan aku, penuh kemuakan dan kebencian...." Ciang Bun menutupi muka
dengan kedua tangannya karena teringat sepenuh-nya akan semua itu membuat dia berduka
sekali. Dan Ceng Liong memandang dengan penuh kehe-ranan, apalagi melihat betapa diam-
diam kakak misannya itu telah menangis di balik kedua tangan yang menutupi muka! Kakak
misannya ini bukan anak kecil lagi, sudah dewasa, gagah perkasa dan dia tahu bahwa
kakaknya ini memiliki kepandaian tinggi akan tetapi kini menangis, karena seorang
ga-dis! Menangis seperti anak kecil, atau seperti seo-rang wanita. Dia tidak tahu harus berbuat
apa, ha-rus berkata apa untuk menghibur hati Ciang Bun karena dia sendiri terlalu kaget dan
heran mende-ngar pengakuan kakak misannya yang tak disangka--sangkanya itu. Agaknya
kakaknya ini telah jatuh cinta kepada Hong Bwee atau Gangga Dewi, dan agaknya gadis
Bhutan itu menolaknya dan me-ninggalkannya."Bun-toako, apakah yang telah terjadi antara
engkau dan Gangga Dewi" Maukah engkau men-ceritakannya kepadaku?"
Sampai lama Ciang Bun menundukan muka-nya, lalu dia melangkah menjauh dan duduk di
atas akar pohon, tetap menunduk dan seperti orang melamun jauh. Rahasia dirinya hanya
pernah dia -buka kepada kakaknya saja, yaitu Suma Hui. Akan tetapi Suma Hui adalah
seorang wanita, belum tentu dapat ikut merasakan penderitaan batinnya secara tepat. Dan
Ceng Liong adalah saudara mi-san yang tiada bedanya dengan saudara sendiri karena dia
tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. Apa salahnya kalau dia berterus terang kepada
Ceng Liong" Siapa tahu, adik misan yang sejak kecil banyak akalnya ini akan mampu
membantuannya mencari jalan yang terbaik untuknya.
"Liong-te, ke sinilah, duduk di sini dan mari-lah kaudengarkan ceritaku, mudah-mudahan
eng-kau akan dapat membantuku memikirkan bagaima-na aku harus melanjutkan hidup ini,"
akhirnya dia berkata.
Mendengar kata-kata itu, Ceng Liong terkejut bukan main. Suara kakak misannya demikian
se-rius. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat ke-pada diri kakaknya ini dan dia merasa
gelisah juga dan cepat dia menghampiri, lalu duduk di atas batu berhadapan dengan Ciang
Bun yang duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah. Untuk beberapa
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
667 lamanya mereka saling pandang dan keadaan amatlah sunyinya. Langit bersih tiada awan
sehingga sinar bulan purnama menerangi tempat itu seperti pagi yang cerah. Ha-wa udara
sejuk dan bahkan dingin, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu tidak menderita karena
hawa dingin. Ketika mereka berdiam diri, yang terdengar hanyalah suana jengkerik dan
belalang -mengurung diri mereka dari segenap penjuru.
Kemudian terdengar suara Suma Ciang Bun, berbisik- bisik menceritakan keadaan dirinya,
kela-inan yang terdapat dalam batinnya. Betapa dia amat suka, bahkan tergila-gila dan mudah
sekali bangkit gairahnya terhadap pria lain, sedangkan terhadap wanita dia tidak mempunyai
perasaan su-ka itu, kecuali rasa suka seperti seorang sahabat, sa-ma sekali tidak ada gairah
terhadap wanita.
Biarpun Ceng Liong adalah seorang pe-muda gemblengan yang tidak mudah terguncang
perasaannya, mendengar penuturan kakak misan-nya ini dia terkejut dan juga prihatin sekali,
disam-ping perasaan heran yang tidak terbayang pada wajahnya.
Ciang Bun lalu melanjutkan ceritanya tentang diri sendiri, betapa dia berjumpa dengan


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang pemuda bernama Ganggananda yang membuatnya jatuh cinta, bahkan tergila-gila.
"Ah, betapapun aku menyadari bahwa perasaanku terhadap Gang-gananda itu adalah tidak
wajar, adikku. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku adalah seorang pria, dan aku jatuh hati,
benar-benar aku tergila-gila ke-pada seorang pemuda lain, seorang pria lain. Na-mun aku
tidak mampu melawan gejolak hatiku, kesadaranku seolah-olah membutakan diri, tidak mau
perduli lagi karena gairah dan hasrat hatiku terhadap Ganggananda tak mungkin dapat
diben-dung lagi." Pemuda itu diam dan berulang kali menarik napas panjang, beberapa kali
membuka mulut seperti hendak melanjutkan namun tidak ada suara keluar dari mulutnya,
seolah-olah dia tidak kuasa untuk melanjutkan.
Suma Ceng Liong merasa kasihan sekali meli-hat keadaan kakak misannya itu dan diapun
me-nyentuh tangan Ciang Bun sambil berkata. "Su-dahlah, Bun-toako, kalau engkau merasa
berat untuk melanjutkan, tidak perlu kau bicara lagi. Aku sudah mengerti, atau setidaknya aku
akan berusaha untuk mengerti."
"Tidak, aku harus menceritakan seluruhnya. Aku sudah kuat, Liong-te, dengarlah baik-baik."
Suma Ciang Bun lalu melanjutkan, betapa dia bertahan diri untuk tidak membuka cintanya
ter-hadap Ganggananda karena khawatir kalau-kalau pemuda Bhutan itu akan merasa muak
dan jijik kepadanya, lalu membencinya karena keadaannya yang tidak wajar itu. Akan tetapi
betapa akhirnya dia tidak kuat bertahan dan mengakui cintanya, siap menerima segala
akibatnya andaikata Gang-gananda menjadi jijik dan membencinya. Akan te-tapi, sebaliknya
dialah yang terpukul.
"Betapa kaget dan hancurnya perasaanku, Liong-te. Betapa bingung dan malu rasa hatiku
ketika Ganggananda membuka rahasia bahwa dia adalah seorang wanita bernama Gangga
Dewi dan sama sekali bukan pemuda seperti yang selama itu kuduga! Dan aku sudah terlanjur
mengatakan kepadanya bahwa akn tidak suka wanita! Ah, ia menjadi marah-marah, tentu ia
amat benci kepa-daku dan ia lalu meninggalkan aku, Liong-te....! Dan aku.... aku merasa
malu, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, dan aku merana, aku bahkan tidak mau
pulang walaupun aku tahu bahwa enci Hui merayakan pernikahannya. Aku adalah seorang
manusia sampah.... membikin malu saja...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
668 "Bun-toako!" Terdengar suara Ceng Liong seperti membentak, menggeledek sehingga
menge-jutkan Ciang Bun. "Begitukah sikap seorang pen-dekar yang gagah perkasa" Begitu
cengeng penuh dengan iba diri, merasa seolah- olah diri sendiri menjadi orang yang paling
sengsara di permukaan bumi ini?"
Ciang Bun terkejut sekali. Baru sekarang dia mendengar orang bicara seperti itu kepadanya
dan sepasang mata adik misannya itu mencorong mena-kutkan! Dan sikap Ceng Liong itu
seketika meng-gugah semangatnya, seperti mengguncangnya dari tidur pulas dan mimpi
buruk. Dia melihat Ceng Liong bangkit berdiri dan memandang kepadanya dengan sepasang
mata bersinar. "Bun-toako, bagaimanapnn juga, apapun juga yang terjadi atas dirimu, engkau harus berani
menghadapi kenyataan! Katakanlah bahwa engkau mengalami atau menderita kelainan, yang
berbeda dengan pria pada umumnya, namun bagaimanapun juga keadaanmu itu adalah suatu
kenyataan dan segala kenyataan adalah benar dan tidak dapat di-ubah hanya dengan tangisan
dan keluhan belaka!"
Kata-kata itu seperti tusukan-tusukan pedang yang terasa benar di hatinya, membuat Ciang
Bun perlahan- lahan bangkit berdiri. Hiburan-hiburan baginya tidak ada artinya lagi, akan
tetapi kata--kata yang keluar dari mulut Ceng Liong ini sama sekali bukan hiburan, melainkan
pisau-pisau yang melakukan operasi membuka segalanya sehingga nampak olehnya, nampak
olehnya kenyataan yang ada pada dirinya.
"Ceng Liong.... adikku.... engkau be-nar. Lalu.... lalu apa yang harus kulakukan, adikku?"
"Toako, aku bukan guru dan engkau bukan muridku. Kalau engkau hanya mengekor saja
pen-dapat orang lain, termasuk pendapatku, engkau akan terlibat pula dalam pertentangan
batin, akan diputar-putar antara rasa benar dan salah. Kea-daan itu adalah keadaanmu sendiri,
badanmu sen-diri, dan hanya engkaulah sendiri yang dapat merasakan, maka engkau sendiri
pula yang dapat menentukan baik buruknya, engkau sendiri yang dapat mengambil ketentuan,
akan melanjutkan atau menghentikan. Mengertikah, toako?"
Ciang Bun mengangguk-angguk dan mulai memandang adik misannya itu dengan penuh
ka-gum. Baru sekarang dia merasa semangatnya ter-gugah, tidak tenggelam di dalam
kemurungan dan kekecewaan, tenggelam dalam perasaan yang ne-langsa dan putus asa. Kini
matanya seperti dibuka dan dia dipaksa berhadapan dengan kenyataan yang sesungguhnya
tidaklah begitu mengerikan atau menakutkan seperti kalau dibayangkan. Ke-adaan dirinya
bukanlah suatu keadaan yang sudah rusak sama sekali. Tidak! Benar Ceng Liong. Badan ini
adalah badannya, berikut baik buruknya, cacat celanya dan dialah yang berkuasa atas badan
ini. Tidak sepatutnya kalau batinnya terseret dan tenggelam oleh keadaan badannya!
"Terima kasih, Liong-te, terima kasih. Kata-katamu merupakan minuman pahit akan tetapi
sungguh bermanfaat sekali bagiku, seperti cambuk akan tetapi dapat menggugahku dari tidur
nye-nyak! Aku bersikap terlalu lemah selama ini dan baru nampak olehku sekarang!"
"Toako, keadaanmu itu sebenarnya tidaklah perlu diributkan benar. Kelainan pada dirimu itu
tidak lebih dari kelainan dalam nafsu berahi atau nafsu kelamin belaka. Dan nafsu itu
bukanlah sa-tu-satunya urusan dalam hidup ini bukan" Lebih baik kita melupakan hal yang
sudah lalu dan mem-persiapkan diri untuk menghadapi kenyataan seti-ap saat. Hanya
kenangan lama saja yang menim-bulkan gelisah dan duka. Mari kita bergembira, toako!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
669 Ciang Bun merangkul adik misannya itu dan memandang wajahnya dari dekat, memandang
pe-nuh kagum. "Ah, tak kusangka adikku yang dahu-lunya seorang anak yang bengal itu kini
menjadi seorang pemuda yang batinnya jauh lebih dewasa daripada aku, dan baru sekarang
aku melihat be-tapa diriku selama ini tersiksa oleh batinku sendiri. Batinku selalu tenggelam
dalam keluhan dan ke-sengsaraan yang kubuat sendiri. Engkau memang benar. Hidup ini
bukan hanya urusan nafsu berahi semata dan cintaku yang sudah-sudah itu hanyalah nafsu
berahi belaka karena akupun menyadari bahwa cinta kasih yang murni tidak membeda--
bedakan dan tidak memilih- milih. Tapi terus terang saja, adikku. Setelah aku mengetahui
bahwa Gangga seorang gadis, dan aku mengamati pera-saanku, aku hampir merasa yakin
bahwa aku me-mang cinta padanya, tak perduli ia itu pria atau wanita. Akan tetapi.... ah,
sudahlah. Ia tentu sudah benci kepadaku dengan perasaan muak dan jijik, pula, kalau kupikir-
pikir lagi, seorang gadis sehebat ia itu memang tidak layak kalau menjadi sisihan seorang
laki- laki sinting macam aku yang tidak lumrah pemuda biasa ini."
Ceng Liong tersenyum. Ucapan itu nadanya bukan keluhan lagi dan wajah Ciang Bun
tidaklah muram seperti tadi lagi.
"Toako, kalau ia membencimu, kalau ia merasa jijik dan muak, itu tandanya ia tidak cinta
padamu. Dan dalam urusan jodoh, cinta haruslah ada di ke-dua pahak, bukan" Kalau hanya
kita yang mencinta setengah mati akan tetapi sang gadis tidak, untuk apa dilanjutkan" Berarti
hanya penyiksaan batin sendiri, bukan?"
"Cocok! Dan aku tidak begitu tolol membiar-kan diriku tersiksa sendirian. Ha-ha, engkau
se-perti dewa penolong yang menyingkirkan batu yang tadinya menindih hatiku, Liong-te."
Ciang Bun tertawa dan mungkin baru sekali inilah dia dapat tertawa dengan sepenuh hatinya
semenjak dia ditinggalkan Gangga Dewi.
"Yang menyingkirkan adalah engkau sendiri. Orang lain atau aku tidak mungkin dapat
menying-kirkannya, paling banyak hanya membantu me-nunjukkannya saja. Nah, sekarang
ceritakanlah, toako. Bagaimana engkau dapat berada di sini" Apakah engkau juga ingin
menghadiri pertemuan antara para pendekar di tempat ini?"
Ciang Bun mengangguk-angguk dan kini dia bercerita dengan suara yang wajar dan bebas.
"Aku merantau tidak ada tujuan dan aku mem-batalkan niatku menyusul ke Bhutan. Dalam
pe-rantauan itu aku mendengar berita angin bahwa para pendekar akan mengadakan
pertemuan di Hutan Cemara ini, maka akupun segera pergi ke sini."
"Tahukah engkau, toako, apa yang akan dilaku-kan atau dibicarakan para pendekar dalam
perte-muan di Hutan Cemara ini?"
Ciang Bun menggeleng kepada dan memandang wajah adiknya dengan alis berkerut. "Aku
tidak tahu, hanya mendengar bahwa para pendekar akan mengadakan pemilihan seorang
bengcu (pemimpin rakyat)."
"Para pendekar mengadakan pertemuan di sini untuk membicarakan urusan tanah air yang
dijajah Bangsa Mancu, toako. Membicarakan tentang rencana perjuangan memberontak dan
membebaskan negara dan bangsa dari penjajah Mancu dan untuk itu agaknya memang akan
diadakan pemilihan se-orang bengcu yang akan memimpin gerakan itu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
670 Sepasang mata Ciang Bun terbelalak. "Pemberontakan...." Para pendekar hendak melakukan
pemberontakan....?"
"Kenapa kau terkejut, toako?" tanya Ceng Liong, teringat akan kekagetan hatinya sendiri
ke-tika untuk pertama kalinya dia mendengar dari pendekar Sim Hong Bu. Dia ingin tahu
akan isi hati dan perasaan kakak misannya tentang pembe-rontakan menentang pemerintah
Mancu ini. "Kenapa tidak terkejut?" Ciang Bun balas ber-tanya. "Kita sama sekali tidak boleh
mencampuri-nya kalau seperti itu maksud pertemuan para pen-dekar itu!"
"Kenapa, toako?"
"Engkau masih bertanya lagi kenapa, Liong-te" Jelas bahwa kita tidak mungkin dapat
mencampuri urusan pemberontakan, apalagi ikut-ikut mem-berontak! Ingat saja kepada
mendiang nenek Ni-rahai! Ingat saja kepada bibi Milana dan sekarang lebih lagi kalau aku
mengingat bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong!"
Suma Ceng Liong menghela napas. Persis be-nar perasaan kakak misannya ini dengan
perasaan hatinya sendiri ketika untuk pertama kali dia mem-bantah ayahnya dan pendekar
Sim Hong Bu. "Mula-mula akupun berpendapat begitu, toako. Akan tetapi ayahku sendiri menyetujui
rencana para pendekar itu dan setelah bercakap-cakap, akupun dapat melihat kebenaran
pendapat mereka yang hendak menentang pemerintah Mancu." Ceng Liong lalu menerangkan
kepada kakak misannya tentang para patriot yang hendak membebaskan tanah air dari
cengkeraman penjajah Mancu dan dalam perjuangan membebaskan bangsa dari be-lenggu
penjajahan tidak dikenal kepentingan pri-badi.
"Boleh jadi kaisar sekarang, biarpun seorang Bangsa Mancu, merupakan seorang kaisar yang
baik, akan tetapi bagaimanapun juga baiknya, dia termasuk ke dalam alat dari bangsa asing
yang menjajah bangsa kita. Dalam perjuangan ini kita tidak memusuhi pribadi-pribadi, dan
juga kita bukan berjuang untuk kepentingan pribadi, mela-inkan perjuangan rakyat terhadap
penjajah."
"Hemm, kalau begitu, engkau datang untuk ikut dalam pertemuan itu, ikut merencanakan....
pemberontakan?" Ciang Bun bertanya, wajahnya menjadi agak pucat mendengar urusan yang
amat gawat itu.
Ceng Liong tersenyum. "Toako, seperti juga engkau, dan kuharapkan juga seperti semua
orang muda, akupun tidak mudah puas menerima suatu pendapat begitu saja. Aku datang
untuk melaku-kan penyelidikan, meneliti keadaan dan mengenal orang-orang yang hendak
memimpin perjuangan itu, apakah benar-benar mereka itu adalah pen-dekar-pendekar dan
patriot-patriot sejati yang hendak menyumbangkan jiwa raga demi kepen-tingan bangsa,
ataukah hanya segerombolan orang yang suka bertualang mencari keuntungan diri pri-badi
belaka." Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya per-lahan. "Aku bingung, Liong-te. Aku tidak tahu
apakah aku dapat mencampuri urusan pemberontakan. Semua terjadi demikian tiba-tiba.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
671 Sebelum mendengar keteranganmu ini, aku sama sekali tidak pernah membayangkan akan
adanya rencana pem-berontakan. Akan tetapi, engkau benar. Sebelum mengambil keputusan,
sebaiknya kalau akupun melihat dan mendengar lebih dulu, menyelidiki dahulu dengan teliti."
"Bagus, begitulah seyogianya, toako. Dan mengingat bahwa kita berdua adalah anggauta
keluarga Pulau Es, dan karena kita berdua masih ragu-ragu dan bermaksud menyelidik, lebih
baik kalau kita berpencar. Sebaiknya kalau kita menyembunyikan nama keluarga kita agar
tidak mudah dikenal orang. Bagaimanapun juga, semua pendekar tahu belaka bahwa keluarga
para pendekar Pulau Es masih mempunyai hubungan, bahkan mempunyai darah keluarga
kaisar Mancu! Hal ini, tentu akan menimbulkan kecurigaan dan mendatangkan hal--hal yang
mungkin tidak baik."
Ciang Bun mengangguk, "Baik, adikku. Dan tempat ini kita jadikan tempat pertemuan kita.
Ki-ta berpencar dan melakukan penyelidikan sendiri--sendiri secara terpisah, kemudian pada
malam ha-rinya kita bertemu di sini dan membanding-bandingkan hasil penyelidikan kita."
Dua orang kakak beradik misan ini lalu saling berpisah meninggalkan bukit itu, mengambil
jalan yang bertentangan.
*** "Huh, tikus-tikus macam kalian ini tidak patut menyebut diri pendekar-pendekar!"
Bentakan itu dikeluarkan oleh seorang gadis yang berdiri sambil bertolak pinggang,
menghadapi tiga orang laki-laki yang menyeringai gembira. Pagi itu masih agak gelap,
matahari masih terlam-pau rendah untuk dapat mengusir kegelapan yang ditimbulkan oleh
pohon-pohon yang lebat dalam hutan itu.
Seorang gadis yang usianya antara delapan belas atau sembilan belas tahun. Tubuhnya padat
ram-ping dan tingginya sedang. Pakaiannya sederhana, bukan hanya potongannya melainkan
juga terbuat dari kain kasar, akan tetapi justeru pakaian seder-hana ini bahkan menonjolkan
kecantikannya dan keindahan bentuk tubuhnya. Rambutnya yang hi-tam panjang itu dikuncir
dua dan digelung ke atas, tanpa perhiasan, hanya ditusuk dengan dua potong bambu sebesar
sumpit. Sepatunya dari kulit, menutupi seluruh kaki sampai ke betis. Melihat sikap dan
dandanannya, mudah diduga bahwa ia adalah seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan
jauh, biasa menempuh dan menghadapi bahaya, seorang gadis kang-ouw. Akan tetapi, tidak
nam-pak sebuahpun senjata menempel di tubuhnya. Sepasang matanya tajam bersinar- sinar,
apalagi pada saat ia sedang marah seperti itu. Hidungnya yang kecil mancung itu dapat
bergerak-gerak se-dikit cupingnya, dan mulutnya yang cemberut itu berbibir merah basah,
tanda bahwa ia sehat dan segar. Kedua pipinya, pada tonjolan pipi di tepi bawah mata nampak
merah sekali seperti diberi pemerah muka, padahal pipi itu merah aseli seperti juga bibirnya.
Tiga orang laki-laki itu berusia antara tiga pu-luh sampai empat puluh tahun dan biarpun
dimaki oleh gadis itu, mereka tetap bergembira dan terse-nyum-senyum genit. Dari pandang
mata mereka, sikap dan bau mulut mereka, mudah diketahui bahwa mereka sedang mabok
atau kebanyakan minum arak di pagi itu. Sepagi itu sudah mabok, ini me-rupakan tanda
orang-orang yang sudah menjadi hamba minuman keras dan dalam keadaan mabok seperti itu,
biasanya orang tidak lagi sadar akan apa yang mereka lakukan, meniadakan sopan san-tun dan
watak- watak aseli mereka akan nampak keluar tanpa hambatan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
672 "Heh-heh, nona manis. Apa salahnya kalau kami mengajak engkau bersenang-senang di pagi
hari yang sunyi dan sedingin ini" Ha-ha!" seo-rang di antara mereka yang matanya sipit sekali
berkata. "Bercumbu sedikit tiada salahnya, nona. Kami para pendekarpun suka bermain cinta, hi-hik!"
kata orang ke dua yang hidungnya bengkok seperti hidung burung kakatua.
"Ha-ha-ha, benar, benar! Pendekarpun laki-laki biasa yang suka bercanda dengan gadis
cantik seperti engkau, nona. Dan tahulah engkau" Ke-dua pipimu begitu merah dan apa
artinya kalau seorang gadis manis merah pipinya?" Orang ke tiga yang jenggotnya lebat
berkata. "Artinya?" sambung yang pertama. "Artinya gadis itu minta dicium pipinya, ha-ha!"
Mereka bertiga tertawa bergelak, terbahak-bahak sambil memegangi perut.
"Ha-ha, akan tetapi jangan engkau yang men-cium. Mukamu penuh brewok, kasihan ia akan
mati kegelian," kata pula yang sipit dan kembali mereka tertawa-tawa.
Gadis itu membanting-banting kakinya. "Ke-parat! Kalian bertiga ini pantasnya anggauta
ge-rombolan penjahat, sama sekali tidak pantas berada di tempat ini, di antara para pendekar
yang meng-adakan pertemuan. Kalau tidak ingat bahwa mungkin sekali kalian ini pendekar-
pendekar yang tersesat dan bahwa sekarang akan diadakan perte-muan antara para orang
gagah, tentu sudah ku-hancurkan mulut kalian yang busuk itu!" Sambil berkata demikian,
gadis yang menahan kemarah-annya itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
Akan tetapi, tiga orang itu menggerakkan tubuh mereka dan tahu-tahu mereka sudah
berlompatan menghadang di depan gadis itu. Dari cara mereka bergerak melompat, dapat
diketahui bahwa tiga orang pria ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang
lumayan. "Wah, wah, nanti dulu, nona!" kata yang ber-mata sipit, yang paling tua dan agaknya menjadi
pimpinan di antara mereka.
"Kalian mau apa!" bentak gadis itu dengan kemarahan yang hampir tak dapat
dipertahankan-nya lagi.
"Nona manis, engkau sungguh tidak adil. Kami bertiga bertemu denganmu, menjamahpun
tidak, mengganggupun tidak, hanya memuji-muji kecan-tikanmu. Untuk pujian itu, sudah
sepatutnya kalau kami menerima hadiah. Sebaliknya, engkau memaki-maki dan menghina
kami. Karena itu, tidak boleh engkau pergi sebelum kami menerima ganti rugi atas
perlakuanmu yang tidak adil kepada kami."
"Hemm, apa yang kalian kehendaki?"
"Tidak banyak, hanya masing-masing dari kami menerima satu ciuman saja darimu." Si mata
sipit menyeringai dan dua orang temannya mengangguk-angguk dengan jakun turun naik
karena mereka sudah membayangkan betapa akan sedapnya menerima sebuah ciuman dari
dara yang manis dan jelita ini.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
673 Kini kemarahan dara itu tidak dapat ditahannya lagi. Mukanya menjadi merah dan matanya
men-corong seolah-olah mengeluarkan api. "Keparat jahanam bermulut busuk! Sekali lagi,
pergilah se-belum aku terpaksa menghajar kalian!"
"He-he-he, ia mau menghajar kita!" si mata sipit tertawa.
Dua orang kawannya tertawa pula. "Biarlah, dihajar oleh tangan yang halus itu aku siap!
Sudah lama aku tidak diusap tangan halus."
"Dan akupun ingin dipijiti jari-jari mungil itu, heh-heh!?"Pergilah....!" Gadis itu
menggerakkan tu-buhnya dan kaki tangannya bergerak cepat sekali. Terdengar suara plak-
plak beberapa kali dan tu-buh tiga orang itu terpelanting, dibarengi keluhan mereka. Mereka
terbelalak, masing-masing mera-ba pipi mereka yang menjadi bengkak oleh tam-paran nona
tadi. Yang membuat mereka terkejut adalah cepatnya tangan itu bergerak, sehingga berturut-


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turut mereka kena ditampar tanpa mereka dapat mengelak atau menangkis sama sekali. Dan
karena tamparan itu memang membuat pipi bengkak dan muka panas, nyeri rasanya,
ditambah lagi rasa malu karena sudah ditampar oleh seorang gadis muda, tiga orarg itupun
menjadi marah. "Berani kau memukul kami?" Mereka bangkit berdiri dan mengepung gadis itu. Kemudian,
sambil berteriak marah mereka mulai maju dan dari serangan mereka, dapat dilihat bahwa
mereka ma-sih mempunyai niat kotor karena serangan mereka itu bukan pukulan melainkan
cengkeraman-ceng-keraman. Agaknya mereka itu ingin membalas tamparan si nona dengan
cengkeraman untuk menangkap tubuh yang denok itu atau merobek pakaiannya! Akan tetapi,
mereka kecelik kalau mengira bahwa mereka berhadapan dengan seekor domba betina muda.
Nona itu ternyata memiliki gerakan yang amat gesit dan dengan lincahnya tubuh yang
ramping itu berloncatan ke sana- sini dan semua terkaman itu hanya mengenai angin belaka.
Kemudian, kaki yang kecil itu bergerak tiga kali berturut-turut dan untuk ke dua kalinya, tiga
orang setengah mabok itu terpelanting dan mengaduh- aduh! Si dara itu sama sekali bukan
seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, melainkan seekor macan betina yang galak
dan kuat. Baru sekarang tiga orang itu sadar bahwa me-reka berhadapan dengan seorang dara yang
lihai. Akan tetapi, dasar mereka memang memiliki watak yang buruk, mereka tidak
menyadari kesalahan mereka, sebaliknya dengan penuh kemarahan tiga orang itu bangkit lagi
dan mereka mencabut sen-jata mereka yaitu sebatang golok tipis dan dengan senjata di tangan
mereka kini mengurung si dara dengan wajah bengis.
Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak nampak gentar menghadapi ancaman tiga orang laki-
laki yang memegang golok itu. Bahkan ia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang dan
memandang dengan senyum simpul mengejek, akan tetapi ma-tanya bersinar-sinar penuh
kemarahan. Agaknya ia sama sekali tidak khawatir karena dalam dua gebrakan tadi saja gadis
ini sudah yakin benar bahwa tiga orang lawannya hanya galak aksinya saja akan tetapi
sesungguhnya merupakan gentong-gentong kosong yang nyaring suaranya.
"Hemm, kalian memang perlu dihajar lebih keras lagi agar bertobat!" katanya dengan
senyum tak pernah meninggalkan wajah yang manis.
Tiga orang itu kini sudah kehilangan selera me-reka untuk menggoda dan berbuat kurang
ajar. Kini yang ada dalam benak mereka hanyalah mem-balas dan kalau perlu membunuh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
674 gadis yang telah membikin malu mereka dengan tamparan dan ten-dangan yang membuat
mereka terpelanting roboh tadi.
"Haiiiittt....!" Si mata sipit sudah mener-jang dengan gerakan goloknya yang membentuk
gulungan sinar terang. Dua orang temannya agak-nya tidak mau ketinggalan dan dari kanan
kiri merekapun menyerang dengan golok mereka. Sungguh tiga orang ini tak tahu malu,
menyerang seorang gadis bertangan kosong dengan golok me-reka secara keroyokan seperti
itu. Namun, gadis itu sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya berkele-batan di antara sinar golok.
Tiga orang itu men-jadi semakin bernafsu ketika golok mereka mem-babat udara hampa saja
dalam penyerangan per-tama mereka, maka mereka menyusulkan serangan-serangan
berikutnya yang datang dengan ber-tubi-tubi. Gadis itu tetap mengelak ke sana-sini mencari
kesempatan untuk membalas dan kurang lebih sepuluh jurus kemudian, tiba-tiba ia
menge-luarkan suara melengking nyaring sekali. Tiga orang pengeroyoknya terkejut, sejenak
seperti menjadi lumpuh oleh suara yang menusuk telinga dan menyayat perasaan hati mereka
itu. Dan pada saat itulah si gadis lihai menurunkan tangan membalas. Tiga kali ia memukul
dan tiga orang itu roboh berpelantingan sambil mengaduh-aduh dan golok mereka terlepas
dari tangan kanan karena lengan kanan itu seketika lumpuh dan pundak me-reka nyeri.
Kiranya gadis itu tadi memukul ke arah pundak kanan dan membuat tulang pundak mereka
remuk dan lengan itu tentu saja menjadi lumpuh seketika.
"Hemm, aku masih mengampuni nyawa kalian, dan mudah-mudahan pelajaran ini membuat
ka-lian bertobat!" kata si gadis dengan kata-kata yang tegas.
Akan tetapi, pada saat itu bermunculan belasan orang dikepalai oleh dua orang kakek yang
ber-pakaian seperti tosu dan yang memegang sebatang tongkat baja. Melihat tiga orang yang
mengaduh--aduh itu, belasan orang ini lalu mengurung si gadis yang memandang dengan
sikap tenang namun waspada. Dua orang kakek itu menghampiri tiga orang yang terluka, lalu
menggunakan jari tangan mereka menotok beberapa jalan darah dekat pun-dak untuk
mengurangi rasa nyeri. Kemudian me-reka bangkit lagi dan menghadapi si gadis yang berdiri
dengan sikap tenang itu.
"Nona, siapakah engkau yang begitu berani melukai tiga orang murid kami?" seorang di
antara mereka bertanya, sikapnya tenang dan angkuh seolah-olah sikap seorang locianpwe
kepada seorang yang tingkatanya lebih muda dan rendah.
Melihat Hati Budha Tangan Berbisa 11 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 14
^