Kisah Para Pendekar Pulau Es 4

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


Jenderal Muda Kao Cin Liong tewas, engkau harus berani menghadapi Na-ga
Sakti Gurun Pasir! Dan.... ah, masih banyak lagi para pendekar sakti yang akan merupakan
la-wan berat bagimu, Hek-i Mo-ong. Lupakah engkau kepada keluarga Bu-taihiap yang kini
tinggal di kota raja" Bu-taihiap dan isteri-isterinya saja sudah amat lihai, apalagi mantunya!
Tentu engkau tidak akan melupakan Kam Hong yang dijuluki Pendekar Suling Emas itu,
bukan" Juga keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Hemm, aku sendiri sebagai orang luar
merasa khawatir akan masa depanmu, Hek-i Mo-ong!"
Wajah Hek-i Mo-ong yang tadinya merah itu kini menjadi agak pucat. Diingatkan kepada
para pendekar sakti itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya kecut. Rasa gentar
menyelinap di sa-nubarinya karena apa yang diucapkan oleh Raja Ular itu sama sekali tidak
keliru. Mereka semua itu adalah orang-orang hebat dan harus diakuinya bahwa ketika
menghadapi Pendekar Suling Emas Kam Hong dia terdesak hebat, dan nyaris tewas kalau
tidak mempergunakan sihirnya untuk mela-rikan diri.
"Wah, bukan main....! Belum tentu dalam seratus tahun sekali ditemukan seorang anak
se-perti ini! Bahan yang luar biasa hehatnya, sung-guh seorang anak ajaib, seorang dengan
tubuh dewasa! Cukup pantas uutuk menjadi tempat tinggal titisan Dalai Lama!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
88 Teriakan penuh kagum ini menarik perhatian semua orang, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri,
yang tertegun mendengar ucapan See-thian Coa-ong tadi, menoleh dan dia melihat seorang
kakek pe-ngemis sedang memeriksa tubuh Ceng Liong yang tergantung jungkir balik. Kakek
itu memutar-mu-tar tubuh itu, menyentuh sana-sini dan berulang-ulang mengeluarkan
pujiannya. "Aih, tengkoraknya menandakan bahwa otaknya melebihi otak anak biasa, menjendol di sini,
rata di sini.... ah, dan telinga ini! Hemmm.... tulang yang kuat dan bersih, bukan main!"
Kakek itu tentu usianya tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan dilihat dari pakaiannya,
mudah diduga bahwa dia adalah seorang pengemis. Pa-kaian yang tambal-tambalan kusut dan
rambut awut-awutan, tubuhnya tinggi kurus seperti orang yang selalu kekurangan makan.
Matanya lebar kadang-kadang terbelalak. Ketiak kirinya me-ngempit sebatang tongkat
bambu, dan di pinggang-nya tergantuug sebuah kantung butut yang berisi sebuah ciu-ouw
(guci arak) kuningan dan sebuah mangkok retak. Biarpun kakek ini nampaknya de-mikian
miskin sederhana, namun Hek-i Mo-ong mengenalnya sebagai seorang tokoh kang-ouw yang
juga berdiri bebas seperti See-thian Coa-ong Nilagangga. Tokoh pengemis ini termasuk
seorang tokoh ugal-ugalan yang aneh, tidak pernah berpi-hak sana-sini. Akan tetapi dia
merupakan seorang tokoh yang amat terkenal di daerah selatan. Dialah Koai-tung Sin-kai
(Pengemis Sakti Bertongkat Aneh) Bhok Sun, seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal
tetap dan menganggap dunia ini-lah tempat tinggalnya, tanah menjadi lantainya, langit
menjadi atapnya. Maka, biarpun dia ini merupakan seorang tokoh di daerah selatan, tidak
-aneh melihat dia kini tiba-tiba muncul di tempat yang jauh di utara.
Melihat kakek ini meraba-raba dan memuji-muji Ceng Liong, semua orang tertarik dan
mereka mulai mendekati anak itu dan merubungnya.
"Darahnya murni dan ada hawa sin-kang yang amat luar biasa di dalam tubuhnya, berpusat di
pusar dan mengalir di seluruh tubuh! Demi iblis, belum pernah aku melihat yang seperti ini!"
See-thian Coa-ong Nilagangga menjadi ter-tarik sekali dan diapun mendekat. Kepala ular
co-bra yang melingkari lehernya itu terjulur dan ham-pir menyentuh muka Ceng Liong, akan
tetapi anak ini sedikitpun tidak kelihatan takut, bahkan dengan sepasang matanya yang tajam
dia memandang ke-pala ular itu dan sungguh aneh, ular itu nampak gelisah dan berusaha
menjauhkan kepadanya ketika See-thian Coa-ong mendekati Ceng Liong, seo-lah-olah ada
sesuatu pada diri anak itu yang mem-buat binatang itu gelisah. Segera terdengar seruan-seruan
kagum dari See-thian Coa-ong dalam bahasa asing. Hek-i Mo-ong mengerti apa yang
diucapkan oleh See-thian Coa-ong itu.
"Aihh, Raja Cobra sampai takut terhadap anak ini! Bukan main....!" Dia meraba-raba kepala
dan leher serta pundak Ceng Liong, lalu melanjut-kan, "....memang hebat! Anak ini tubuhnya
sekuat naga!"
Seperti dua orang kakek yang hendak membeli seekor ayam jago aduan, Koai-tung Sin-kai
dan See-thian Coa-ong meraba-raba dan memeriksa Ceng Liong, menekan perutnya, memijat
dada dan pundak, membelai kaki tangan, melihat mata, hi-dung, mulut dan telinga, meraba
tulang-tulangnya.
"Ha-ha-ha, Raja Ular, ternyata matamu tajam juga dapat mengenal seorang sin-tong (anak
ajaib) yang bertulang dewa!" Kakek Pengemis itu terta-wa.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
89 "Siapa yang tidak mengenal senjata pusaka ada-lah seorang tolol dan buta! Dan anak ini lebih
berharga daripada sebuah senjata pusaka! Kalau kuberi kepandaianku kepadanya, dia bisa
menjadi sepuluh kali lebih pandai daripada aku. Dia akan menjadi murid yang terbaik di dunia
ini!" "Eeiitt, eeitt, Coa-ong, enak saja kau bicara! Akulah orang pertama yang menemukan bakat
anak ini dan akulah yang patut menjadi gurunya!" Koai-tung Sin-kai Bhak Sun berkata
dengan nada suara tidak senang, juga tangannya mendorong ke arah See-thian Coa-ong.
Biarpun tangan kanannya hanya mendorong biasa saja, namun keluarlah angin pukulan yang
amat dahsyat menyambar ke arah Raja Ular.
"Hemm, belum tentu dia suka menjadi murid-mu, jembel tua!" jawab See-thian Coa-ong dan
kakek inipun menggerakkan lengan menangkis.
"Dukkk....!" Orang-orang yang berada agak dekat dengan tempat itu merasakan be-tapa
hebatnya getaran yang ditimbulkan oleh adu tenaga melalui lengan itu dan kedua orang kakek
yang saling mengadu lengan itupun tergetar mun-dur dua langkah, masing-masing terkejut
melihat kekuatan lawan.
"Bocah itu cucu keluarga Pulau Es, harus dibunuh!" Teriakan seorang di antara para tokoh
kaum sesat yang mendendam kepada keluarga Pulau Es ini merupakan minyak yang
disiramkan kepada api kemarahan dan dendam di antara kaum sesat se-hingga merekapun
berteriak-teriak, mencabut sen-jata dan menyerbu untuk membunuh Ceng Liong yang masih
bergantung dengan jungkir balik.
Sejak tadi Ceng Liong membuka mata dan telinga, mendengar dan melihat dengan jelas
segala yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak merasa terkejut maupun bangga ketika Koai-
tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba tubuhnya dan memuji-mujinya, karena
kakek dan dua orang neneknya sendiri pernah mengatakan bahwa dia memiliki bakat yang
baik sekali untuk ilmu silat. Justeru karena itulah maka mendiang kakeknya telah mewariskan
hawa murni sumber tenaga sakti kepada dirinya. Kini dia melihat gerakan kaum sesat itu dan
tahulah dia bahwa nyawanya tak-kan tertolong lagi. Akan tetapi dia tidak merasa takut, hanya
membayangkan kakek dan kedua ne-neknya seolah-olah dia sudah menikmati bayangan akan
bertemu dan berkumpul lagi dengan mereka! Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikitpun kini
Ceng Liong menjadi penonton dari keributan itu.
"Tidak boleh! Benda pusaka tidak boleh diru-sak!" See-thian Coa-ong membentak dan kakek
ini menghadang penyerbuan para tokoh sesat itu.
"Siapa berani mengganggu calon muridku?" Koai-tung Sin-kai juga membentak dan berdiri
menghadang, melindungi Ceng Liong.
"Dia musuh besar! Bunuh!"
"Semua keluarga Pulau Es harus dibasmi! Serbu....!"
Dan dua puluh orang lebih tokoh-tokoh sesat sudah menyerbu! See-thian Coa-ong dan Koai-
tung Sin-kai menyambut mereka dengan tendang-an sehingga terjadilah pertempuran yang
seru. Dua orang kakek itu memang amat lihai sehingga dalam beberapa gebrakan saja, sudah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
90 ada empat orang tokoh sesat yang terjungkal roboh, terkena hantam-an tangan Coa-ong dan
kemplangan tongkat bambu Sin-kai. Akan tetapi, para pengeroyok itupun rata-rata memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dua orang kakek itu mulai terdesak
hebat. Ceng Liong menonton semua ini dan diapun melirik ke arah Hek-i Mo-ong. Sungguh
mengherankan sekali sikap kakek ini. Dia hanya berdiri dengan sikap tenang, bahkan
tersenyum mengejek melihat perkelahian antara teman sendiri itu. Se-benarnya, kakek ini
masih terpengaruh oleh pujian-pujian yang dikeluarkan oleh mulut Sin-kai dan Coa-ong tadi
dan diam-diam diapun berpikir. Semua ucapan Coa-ong tadi tidak kcliru. Musuh-musuhnya
masih amat banyak dan mereka itu sak-ti-sakti. Apalagi Pendekar Suling Emas Kam Hong
yang pcrnah mengalahkannya. Juga Naga Sakti Gurun Pasir, dan keluarga Bu-taihiap.
Mung-kinkah dia dapat mengalahkan mereka itu" Dan dia sudah semakin tua, dan murid-
muridnya yang terpercaya sudah habis, tinggal murid-murid yang tidak ada artinya. Juga dia
tidak mempunyai ketu-runan yang dapat membantunya, atau yang akan membalaskan kalau
sampai dia kalah oleh musuh-musuhnya itu. Anak itu merupakan seorang sin-tong, seorang
anak ajaib. Diapun sudah menduga akan hal itu dan kini dugaannya diperkuat oleh dua orang
kakek itu. Kalau ilmunya diturunkan kepada seorang anak ajaib, tentu anak itu akan menjadi
be-berapa kali lipat lebih pandai daripadanya. Anak seperti itulah yang akan dapat
membelanya dan membantunya kelak! Dan alangkah senang hatinya kalau dia dapat mendidik
anak ini untuk kelak dipergunakan melawan keluarga Pulau Es. Dan dia tentu dapat
menguasai anak ini melalui kekuatan sihirnya!
Hek-i Mo-ong menonton sambil tersenyum mengejek melihat betapa See-thian Coa-ong dan
Koai-tung Sin-kai kini repot sekali menghadapi pengeroyokan belasan orang tokoh sesat itu.
Na-mun, mereka berdua mempertahankan diri dan pa-ra pengeroyok juga tidak berani terlalu
dekat kare-na dua orang itu memang memiliki kepandaian yang lihai sekali.
"Pengkhianat-pengkhianat busuk!" Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan itu dan
tubuhnya sudah berkelebat ke depan, tombak Long-ge-pang di tangannya menyambar ke arah
Koai-tung Sin-kai dan kipas merahnya menotok ke arah See-thian Coa-ong. Biarpun
tombaknya ini bukan tombak pusaka aseli seperti yang biasa diperguna-kan karena tombak
aseli itu telah patah-patah ke-tika dia menyerang Pendekar Super Sakti, namun tombak biasa
inipun menjadi amat ampuh dan ber-bahaya karena digerakkan oleh tangannya yang amat
kuat. "Tranggg....!" Tongkat bambu itu menangkis dan suara nyaring itu adalah suara tombak yang
tertangkis. Ini saja membuktikan betapa hebatnya tenaga kakek pengemis yang membuat
tongkat bam-bu itu menjadi keras dan kuat menangkis tombak baja, akan tetapi akibatnya,
tubuh kakek pengemis itu terpelanting dan nyaris kepalanya kena bacokan golok seorang
tokoh sesat kalau dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya dan mengangkat tongkat-nya
menangkis lalu meloncat bangun lagi.
"Brettt....!" Totokan gagang kipas merah yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong tadi dapat
dielakkan oleh See-thian Coa-ong, akan tetapi tetap saja ujung cawatnya terobek sehingga
cawat yang merupakan satu-satunya kain penutup tubuh-nya itu hampir terlepas. Tentu saja
See-thian Coa-ong terkejut dan cepat meloncat, menjauhi Hek-i Mo-ong sambil membereskan
lagi cawatnya. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
91 See-thian Coa-ong maklum bahwa dia tidak akan menang melawan Hek-i Mo-ong, maka
dia-pun sudah meloncat jauh dan sambil lari mening-galkan tempat itu dia berkata, "Raja
Iblis, silahkan kalau engkau mau membunuh anak itu. Akan teta-pi hal itu hanya
membuktikan kebodohanmu!"
Koai-tung Sin-kai juga sudah menjauhkan diri. "Engkau akan menyesal kalau membunuh
sin-tong itu, Mo-ong! Betapa tololnya merusak benda pu-saka!" Dan diapun melarikan diri
menyeret tong-kat bambunya karena maklum bahwa melanjutkan usahanya melindungi anak
yang amat dikaguminya itu, melawan Hek-i Mo-ong dan para tokoh sesat itu sama artinya
dengan bunuh diri.
"Bunuh bocah setan itu!" Kini para tokoh se-sat maju menyerbu karena mereka marah
melihat betapa teman-teman mereka ada yang roboh terlu-ka parah oleh dua orang kakek tadi
yang melin-dungi Ceng Liong.
"Bunuh keturunan Pulau Es!"
Enam orang tokoh sesat menerjang dengan senjata mereka, agaknya saking marah dan sakit
hati, mereka itu tidak lagi mengenal malu dan me-lakukan pengeroyokan terhadap seorang
anak kecil yang sudah tergantung tak berdaya. Agaknya se-belum mencincang tubuh anak itu
mereka takkan merasa puas.
Seperti juga tadi, menghadapi serangan enam orang ini, melihat berkelebatnya sinar senjata
dari semua jurusan, Ceng Liong membelalakkan mata-nya dengan penuh keberanian. Dia
memang ingin menyambut kematian dengan mata terbuka, seperti yang sering dianjurkan oleh
neneknya, yaitu nenek Nirahai bahwa seorang pendekar harus selalu te-nang dan tabah,
bahkan menghadapi kematian se-kalipun harus berani menyambut kematian dengan mata
terbuka! Maka sekarang diapun membelalak-kan matanya, ingin mati dalam keadaan melek!
Akan tetapi dia melihat sinar terang berkelebatan di sekeliling dirinya dan melihat enam
orang itu terpelanting ke kanan kiri, senjata mereka terlempar setelah mengeluarkan bunyi
nyaring dan merekapun mengaduh-aduh karena tangkisan-tangkisan itu membuat mereka
roboh dan terluka. Kiranya, da-lam keadaan yang amat gawat bagi keselamatan Ceng Liong
itu, Hek-i Mo-ong telah turun tangan menangkis dan langsung balas menyerang kepada enam
orang itu sehingga mereka roboh terluka. Se-mua tokoh sesat tentu saja terkejut sekali dan
me-mandang kepada Hek-i Mo-ong dengan mata melotot.
"Dia ini tawananku, dia ini milikku! Siapapun tidak boleh mengganggunya dan yang boleh
me-nentukan mati hidupmya hanya aku seorang!" Hek-i Mo-ong membentak sambil
melintangkan tombak Long-ge-pang yang amat hebat itu.
"Tapi, Mo-ong, engkau harus segera membu-nuh bocah keturunan Pulau Es ini agar kelak dia
tidak akan menyusahkan kita!" terdengar beberapa orang tokoh memprotes."Dengarlah
kalian, semua kawan-kawan!" Hek-i Mo-ong berteriak nyaring. "Akulah orangnya yang telah
melakukan penyerbuan ke Pulau Es dan berhasil. Tawanan ini adalah milikku dan akulah
yang berhak menentukan apa yang akan kulakukan dengan dirinya!" Setelah berkata
demikian, dengan langkah lebar dia lalu menghampiri tubuh Ceng Liong yang masih
tergantung jungkir balik itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
92 Ceng Liong telah menyaksikan semua itu dan dia tahu bahwa sudah dua kali nyawanya
tertolong oleh Hek-i Mo-ong. Dia teringat akan nasihat mendiang kakeknya, Pendekar Super
Sakti Suma Han bahwa seorang manusia harus mengingat budi orang dan melupakan dendam.
Maka ketika kakek iblis itu mendekat, pandang matanya terhadap ka-kek itupun ramah. Hal
ini terasa benar oleh Hek-i Mo-ong, maka kakek ini bertanya kasar, "Mau apa engkau
memandangku dengan senyum-senyum?"
"Hek-i Mo-ong, aku berhutang nyawa dua ka-li padamu," jawab Ceng Liong.
Orang seperti iblis ini mana memperdulikan tentang budi" Dia hanya mendengus dan tiba-
tiba dia menggerakkan kipasnya dan gagang kipas itn menotok jalan darah di pundak kanan
anak itu. Dia menotok bukan untuk membunuh melainkan untuk menyiksa. Totokan pada
jalan darah itu akan men-datangkan rasa nyeri yang luar biasa dan dia me-mang ingin
memaksa anak ini melolong-lolong kesakitan. Sikap anak ini yang begitu keras dan berani
dianggapnya sebagai tantangan dan dia ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa dia
seoranglah yang akan mampu menundukkan anak ini.
"Tukk....!" Raja Iblis itu terkejut dan ham-pir saja dia berteriak kalau dia tidak ingat bahwa di
situ terdapat banyak orang. Dia menelan kekagetannya agar semua orang tidak tahu apa yang
telah terjadi. Bagaimana dia tidak menjadi kaget sekali kalau jari tangannya ketika menotok
pundak itu bertemu dengan hawa sin-kang yang amat kuat, yang menolak tenaga totokannya,
membuat pundak itu seperti dilindungi oleh kulit yang amat kuat dan kebal" Akan tetapi Ceng
Liong nampaknya tidak tahu akan hal ini! Memang sesungguhnyalah. Sumber tenaga sakti
yang berada di tubuhnya telah bekerja sedemikian kuatnya ketika dia tergantung jungkir balik
itu, yang membuat panca inderanya menjadi amat tajam dan peka, akan tetapi juga membuat
tenaga sin-kang di tubuhnya itu secara otomatis bergerak sendiri ketika tubuhnya diserang dan
dapat melindunginya. Dan semua ini terjadi di luar kesadaran Ceng Liong. Anak ini bahkan
tidak tahu bahwa dirinya baru saja ditotok dan ka-kek iblis itu bermaksud untuk menyiksanya.
Dia hanya merasa betapa pundaknya disentuh dan sen-tuhan ini dianggapnya sebagai sikap
bersahabat dari kakek itu kepadanya.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong diam-diam berpikir. Semenjak dia tadi mendengar dan melihat
See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai me-muji-muji Ceng Liong, hatinya tergerak.
Diapun melihat kenyataan betapa banyaknya musuh yang amat lihai dan harus diakuinya
bahwa seorang diri saja kiranya tidak mungkin bagi dia untuk meuau-dingi semua musuh-
musuhnya itu. Kalau saja dia bisa dibantu oleh seorang yang memiliki bakat se-perti anak ini!
Kalau saja anak ini dapat menjadi muridnya dan kelak membelanya! Juga, dengan adanya
anak ini di tangannya, anak ini dapat menjadi semacam sandera, semacam perisai baginya
apabila sewaktu-waktu dia didesak oleh keluarga Pulau Es. Dia harus dapat menguasai anak
ini de-ngan sihirnya!
Maka diapun segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan memandang wajah anak itu,
berusaha menguasai pandang matanya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga
memerintahkan anak itu untuk tidur. Akan tetapi, kembali dia mengalami hal yang amat aneh.
Ada tenaga penolakan yang amat kuat sekali pada pandang mata anak itu dan dia merasa
jantungnya tergetar hebat! Sedemikian he-batnya getaran itu sehingga cepat-cepat dia
meng-hentikan pengerahan tenaga sihirnya, karena kalau dilanjutkan, entah siapa yang akan
celaka, dia ataukah anak itu! Dia teringat bahwa anak ini adalah cucu dari Pendekar Siluman
yang memiliki kekuat-an sihir luar biasa, maka diam-diam dia merasa ngeri sendiri. Benar
kata dua orang kakek tadi. Anak ini adalah seorang anak luar biasa dan kalau dapat menjadi
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
93 muridnya, dia seperti mendapatkan sebuah senjata pusaka yang amat ampuh dan yang akan
mampu melindunginya!
Ceng Liong sendiri tidak sadar bahwa kembali dia telah diserang dengan kekuatan sihir. Dia
ha-nya merasa betapa tajamnya pandang mata kakek iblis itu. Akan tetapi hal ini dianggapnya
sebagai hal yang patut dikagumi. Dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat
lihai dan sakti, penuh wibawa, tidak seperti tokoh-tokoh sesat lainnya. Biarpun dia tahu
bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang tokoh sesat, akan tetapi seorang tokoh yang tinggi
tingkatnya, bukan manusia sembarangan saja.
"Mo-ong, sekali waktu aku pasti akan memba-las budimu yang dua kali itu," kata Ceng
Liong lagi. Sementara itu, semua tokoh sesat dan anak buahnya sudah mengepung tempat itu dan pada
wa-jah mereka terbayang rasa penasaran. Mereka tadi ikut gembira mendengar akan
terbasminya Pulau Es dan para penghuninya dan mereka sudah meng-harapkan akan melihat


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cucu dalam Pendekar Super Sakti itu disiksa di depan mata mereka sampai mati. Apalagi
mengingat betapa anak ini telah menjadi sebab keributan dan perkelahian di antara mereka
sendiri yang menjatuhkan banyak korban pula. Yang lebih penasaran dan sakit hati adalah
para tokoh dan anak buah Eng-jiauw-pang yang telah kehilangan ketua mereka yang tewas di
tangan Kao Cin Liong ketika ketua mereka ikut menyerbu ke Pulau Es. Juga para tokoh dan
anak buah Im-yang-pai karena ketua mereka, Ngo-bwe Sai-kong yang tewas oleh nenek Lulu
di Pulau Es, merasa sakit hati dan mereka ingin melihat cucu Pendekar Su-per Sakti itu mati
di depan mata mereka.
"Harap Mo-ong cepat menyiksa dan membu-nuhnya, terserah bagaimanapun caranya!"
Ucapan ini mendapat dukungan banyak orang dan keadaan menjadi bising kembali. Wajah
orang-orang itu menjadi beringas dan sikap mereka meng-ancam ketika mereka semua
memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.
Hek-i Mo-ong memandang kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang lantang,
"Sobat-sobat semua! Aku mengundang kalian berkum-pul di sini hanya untuk
memberitahukan kabar akan berhasilnya kami menyerbu Pulan Es. Sepa-tutnya kalian
bergembira tentang itu dan berterima kasih kepadaku. Sekarang aku hendak pergi, mem-bawa
bocah ini dan mengenai dia, serahkan saja kepadaku karena akulah yang berhak atas dirinya.
Nah, sakarang aku akan pergi dan jangan kalian menggangguku lagi!" Setelah berkata
demikian, sekali renggut Hek-i Mo-ong telah mematahkan tali yang menggantung kaki anak
itu dan memon-dong tubuh Ceng Liong, dibawanya berloncatan seperti terbang cepatnya.
Para tokoh sesat itu tentu saja merasa penasaran dan tidak puas. Akan tetapi, siapakah yang
berani menentang kehendak Hek-i Mo-ong, apalagi setelah iblis itu berhasil menghancurkan
Pulau Es" Mereka bersungut-sungut lalu bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi
sunyi kembali. Sementara itu, seperti terbang cepatnya, Hek-I Mo-ong berlari sambil memondong tubuh
Ceng Liong. Anak ini tidak takut, akan tetapi diam-diam merasa heran melihat sikap Hek-i
Mo-ong yang berubah-ubah itu. Dia tidak tahu bagaimana ja-1an pikiran kakek iblis ini, akan
tetapi dia ingat benar bahwa bagaimanapun juga, iblis ini telah menyelamatkan nyawanya
sampai dua kali bertu-rut-turut. Dia tahu bahwa tanpa campur tangan iblis ini, tentu dia telah
tewas di tangan para penjahat yang haus darah.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
94 Tiba-tiba, ketika kakek itu tiba di padang rumput yang amat sunyi, dia berhenti dan
melemparkan tubuh Ceng Liong ke atas tanah. Anak itu cepat bangkit berdiri dan memandang
kepada kakek itu.
"Hek-i Mo-ong, engkau hendak membawaku ke manakah?" tanyanya berani.
"Bocah yang berhati naga, siapakah namamu?"
"Namaku Suma Ceng Liong."
Kakek itu mengangguk-angguk. Namanya ber-arti Naga Hijau dan memang anak ini seperti
seekor naga. "Ceng Liong, apa maksudmu mengatakan bahwa engkau berhutang budi dan hendak
membalas budi itu?"
"Engkau telah menolongku dua kali dan sekali waktu tentu aku akan membalas budimu itu."
"Benarkah itu" Apakah engkau tidak mengang-gapku sebagai musuh?"
Ceng Liong mengerutkan alisnya. Dia teringat bahwa kakek ini bersama kawan-kawannya
telah menyerbu Pulau Es, akan tetapi diapun teringat akan wejangan mendiang kakeknya
bahwa dia ti-dak boleh mendendam, maka diapun menggeleng kepalanya.
"Ceng Liong, tahukah engkau bahwa aku mem-bawamu sebagai tawanan untuk kubunuh?"
Ceng Liong menggeleng kepala. "Aku tidak percaya! Kalau engkau ingin melihat aku mati
tentu engkau tidak akan menolongku dari tangan mereka yang ingin membunuhku!"
"Hemm, aku mencegah mereka karena aku tidak mau didahului. Sudahlah! Sekarang, engkau
bo-leh memilih. Engkau menjadi muridku atau engkau mati sekarang juga. Hayo pilih!"
Ceng Liong tertawa, akan tetapi suara ketawa-nya itu hanya tiba-tiba saja dan mendadak pula
ketawanya terhenti. Diam-diam Hek-i Mo-ong bergidik. Bocah ini memiliki sifat aneh, dingin
dan keras bukan main."Hek-i Mo-ong, pertanyaanmu itu sungguh terdengar lucu. Betapa
mudahnya memilih satu di antara dua itu. Yang satu adalah kematian yang tak mungkin dapat
kuelakkan lagi kalau memang engkau hendak membunuhku, dan yang ke dua ada-lah hidup
dan menjadi murid seorang yang memi-liki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau. Tentu saja
aku memilih menjadi muridmu."
Hek-i Mo-ong mendengus untuk menutupi rasa gembiranya. "Bagus, kalau begitu mulai saat
ini engkau menjadi muridku, murid tunggal karena aku sudah tidak mempunyai murid lagi."
"Agaknya aku tidak mempunyai pilihan lain, Hek-i Mo-ong aku mau menjadi muridmu dan
mempelajari ilmu-ilmu darimu, akan tetapi terus terang saja, aku tidak sudi mempelajari
kejahatan-kejahatan dan kesesatan-kesesatan. Aku seorang keturunan pendekar dan aku tidak
sudi menjadi orang jahat. Menurut wejangan mendiang kakekku, lebih baik mati sebagai
manusia baik daripada hi-dup sebagai manusia jahat."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
95 "Ha-ha-ha, engkau tahu apa tentang kebaikan dan kejahatan" Kebaikan atau kejahatan mana
bi-sa dipelajari" Sudahlah, aku hanya mengajarkan ilmu-ilmuku agar tidak kubawa mati. Asal
engkau belajar dengan tekun dan berhasil mewarisi ilmu-ilmuku dan engkau bersikap sebagai
seorang murid yang berbakti, sudah cukup bagiku."
"Akan tetapi, biarpun aku menerima pelajaran-pelajaran darimu dan aku menjadi muridmu,
akan tetapi aku tidak mau menyebut suhu kepadamu."
"Ehhh" Mengapa?" kakek itu membentak, pe-nasaran.
"Aku adalah keturunan keluarga Pulau Es yang memiliki ilmu keturunan. Boleh aku
mempelajari ilmu-ilmu lain untuk meluaskan pengetahuan, akan tetapi aku tidak boleh
berguru kepada aliran lain," jawab anak itu dengan suara mantap karena memang yang
diucapkannya itu adalah ajaran ayah bundanya.
"Hemm, lalu engkau akan memanggil apa pa-daku?" tanya Hek-i Mo-ong makin penasaran.
"Panggilan apa lagi" Tentu seperti orang-orang lain menyebutmu, Mo-ong."
Biasanya, Hek-i Mo-ong sudah merasa bang-ga kalau disebut Mo-ong (Raja Iblis) karena
bagi seorang tokoh sesat, makin serem panggilannya, makin banggalah hatinya. Akan tetapi
kini hatinya terasa kecewa dan kecut juga mendengar betapa muridnya sendiri akan
menyebutnya Mo-ong, bukan suhu.
"Dan engkau tidak akan berbakti sebagai mu-rid, melainkan menganggapku sebagai musuh"
Be-gitukah?" Dia sudah marah sekali dan andaikata anak itu mengangguk atau menyatakan
benar de-mikian, mungkin saja dia sudah turun tangan terus membunuh cucu Pendekar Super
Sakti itu. Akan tetapi dengan tenang Ceng Liong mengeleng kepalanya. "Sudah kukatakan bahwa aku
hutang nyawa dua kali kepadamu, Mo-ong, dan kalau engkau mengajarkan ilmu-ilmu
kepadaku, berarti budimu bertambah besar. Dan aku bukan-lah keturunan orang-orang yang
suka melupakan budi atau yang membalas budi kebaikan dengan ke-jahatan. Tidak, aku tidak
akan membiarkan budi-budimu tanpa terbalas."
Hek-i Mo-ong termenung. Anak ini memang bukan bocah biasa. Ada dua keuntungan besar
ba-ginya kalau dia mengambil anak ini sebagai murid. Pertama, dia memiliki sandera yang
amat berharga. Ke dua, dia memperoleh seorang murid yang tiada keduanya dan bukan tidak
mungkin kalau murid inilah yang kelak menjunjung tinggi namanya dan bahkan
melindunginya dari ancaman musuh-mu-suhnya. Teringat akan hal ini, dia lalu tertawa
ber-gelak, menyambar tubuh anak itu dan dibawanya berlari cepat.
"Ha-ha-ha, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan mari kau ikut bersamaku ke barat!"
Demikianlah, semenjak terjadinya penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan terbakar dan
le-nyapnya Pulau Es, terjadi perobahan besar sekali dalam kehidupan Suma Ceng Liong, cucu
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Sebagai seorang ketu-runan keluarga yang terkenal
sebagai keluarga pen-dekar-pendekar yang kenamaan, secara tiba-tiba saja dia menjadi murid
seorang datuk kaum sesat nomor satu yang juga amat terkenal dalam kesesat-annya. Sungguh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
96 anak ini telah pindah ke dalam keadaan yang sama sekali bertentangan dengan keadaannya
semula, sejak dia lahir sampai dia ber-usia sepuluh tahun itu.
*** Ke manakah perginya Suma Hui, cucu perempuan Pendekar Super Sakti itu" Seperti kita
ketahui, ketika perahu empat orang muda itu dikepung kemudian diserbu oleh para penjahat,
mereka berem-pat melakukan perlawanan dan karena banyaknya penjahat yang mengepung,
kemudian perahu mere-ka digulingkan, empat orang muda itu membela diri dengan terpaksa
berpencar. Suma Hui meloncat ke atas sebuah perahu lain di mana dara ini diha-dapi oleh
seorang tokoh jahat yang amat dibenci-nya yaitu Jai-hwa Siauw-ok, tokoh sesat yang pernah
bersikap kotor terhadap dirinya ketika para penjahat itu menyerbu Pulau Es.
"Heh-heh-heh, selamat bertemu, nona manis!" kata Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum,
wajah-nya berseri dan pandang matanya penuh nafsu be-rahi. "Akhirnya engkau datang juga
kepadaku, heh-heh-heh!"
"Iblis jahanam!" Suma Hui membentak dan dengan kemarahan meluap ia sudah menerjang
de-ngan sepasang pedangnya, mempergunakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat
hebat itu. Akan tetapi, enam orang anak buah penjahat me-ngepungnya. Tanpa diperintah lagi,
enam orang penjahat yang melihat munculnya seorang dara jelita ini sudah berebut maju
hendak menangkap-nya. Mereka terlalu memandang rendah karena mereka adalah anggauta-
anggauta penjahat yang ketika terjadi pertempuran di Pulau Es belum merasakan kelihaian
nona ini. Dengan lancang mereka menyambut dan berusaha menangkap Suma Hui.
Akan tetapi mereka kecelik dan kelancangan mereka harus ditebus mahal ketika sepasang
pedang di tangan dara itu berkelebatan dan empat orang di antara mereka roboh mandi darah,
sedangkan yang dua orang hanya dapat terhindar dari bencana ka-rena mereka cepat
membuang diri ke belakang saja!
Akan tetapi, pada saat Suma Hui menggerakkan pedang mengamuk, Jai-hwa Siauw-ok sudah
menubruknya dari belakang. Dua kali orang ini meng-gerakkan jari tangan menotok. Ilmu
yang dipergu-nakannya bukanlah ilmu sembarangan karena dia telah mempergunakan Kiam-
ci (Jari Pedang), yaitu ilmu yang amat hebat dari mendiang gurunya. Suma Hui hanya merasa
betapa kedua pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum sehingga sambil menahan
teriakannya, terpaksa dara ini membuka tangannya dan melepaskan sepasang pedangnya. Di
lain saat, tubuhnya telah menjadi lemas tertotok dari belakang dan ia sudah dipondong oleh
Jai-hwa Siauw-ok.
Perahu terguncang hebat oleh badai dan Jai-hwa Siauw-ok yang telah berhasil menawan dara
itu menjadi girang bukan main. Akan tetapi diapun merasa khawatir kalau-kalau dia tidak
akan dapat menikmati hasilnya karena di situ terdapat Hek-i Mo-ong, maka diam-diam dia
lalu meluncurkan sebuah perahu sekoci dan membawa tubuh Suma Hui melompat ke dalam
perahu kecil yang terus didayungnya menjauh dari amukan badai itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
97 Suma Hui rebah di atas perahu kecil dalam keadaan tertotok dan setengah pingsan. Ia tidak
berani membuka kedua matanya karena ia merasa pening bukan main, bukan saja karena
totokan, akan tetapi juga karena perahu kecil itu dipermainkan gelombang dahsyat, membuat
tubuhnya terayun-ayun, terguncang dan iapun mabok.
Setelah badai lewat dan perahu kecil itu jauh meninggalkan perahu-perahu besar lainnya, Jai-
hwa Siauw-ok memasang layar perahu kecil dan dia memandang ke arah tubuh dara yang
terlentang tak berdaya itu sambil tersenyum-senyum. Seorang dara yang amat cantik jelita dan
bertubuh padat. Keturunan Pendekar Super Sakti, keturunan keluarga Pulau Es! Bukan main
bangga dan girang hatinya. Dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) dan
menawan seorang gadis merupakan hal yang biasa baginya. Akan tetapi, sekali ini dia merasa
luar biasa bangga dan girangnya karena yang ditawannya adalah seorang cucu perempuan dari
keluarga Pulau Es! Inilah yang membuat peristiwa itu amat penting dan besar. Dan diapun
tidak ingin memperkosa dara itu begitu saja seperti yang biasa dia lakukan terhadap tawanan-
tawanan wanita yang disukainya. Tidak, dia akan memperlakukan dara ini secara lain! Dia
ingin dara ini menyerahkan diri dengan suka rela agar dara ini dapat menjadi kekasihnya
untuk ke-lak dibanggakan kepada orang-orang sedunia kang-ouw! Betapa akan bangga
hatinya kalau dia dapat memamerkan kekasihnya sebagai seorang cucu perempuan keluarga
Pulau Es! Selain itu, diapun tidak pernah mau memperkosa wanita yang berada dalam
keadaan tertotok atau pingsan. Dia berwatak seperti seekor binatang buas yang mera-sa
nikmat kalau melihat korbannya meronta-ronta dan meraung-raung dalam permainan dan
penyiksaannya. Jai-hwa Siauw-ok ini di waktu mudanya bu-kanlah seorang jai-hwa-cat, walaupun dia tak
dapat dibilang seorang yang berkelakuan baik. Namanya adalah Ouw Teng dan sejak muda
dia memang seorang yang suka bermain-main dengan wanita. Sejak muda diapun suka belajar
ilmu silat, namun belum pernah dia mempergunakan kepan-daian silatnya untuk memaksa
seorang wanita atau memperkosanya. Dia berwajah tampan dan putera seorang kaya, maka
dengan modal wajah ganteng dan kantong padat, mudah saja baginya untuk men-dapatkan
wanita-wanita yang disukainya. Akan tetapi, semenjak dia menikah dan dalam waktu setahun
setelah menikah dia menangkap basah is-terinya yang berjina dengan seorang pelayan pria
dalam rumah mereka sendiri, wataknyapun beru-bah. Dia membunuh isteri dan pelayan itu
dan me-larikan diri meninggalkan rumah, menjadi buronan yang berwajib. Kemudian diapun
bertemu dengan Ji-ok, nenek sakti yang menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ji-ok
mengambilnya sebagai kekasih dan murid dan karena pandainya Ouw Teng merayu nenek
yang tubuhnya masih seperti orang muda itu, dia dikasihi dan diberi pelajaran ilmu-ilmu silat
tinggi. Bahkan Ji-ok mengajarkan ilmu-ilmu yang dicurinya dari saudara-saudara-nya
sehingga Ouw Teng dapat mempelajari ilmu-ilmu dari para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain,
walaupun tidak begitu sempurna karena curian. Dan sejak itulah dia menjadi seorang jai-hwa-
cat yang amat kejam! Watak ini pula yang membuat Ji-ok makin suka kepadanya, karena
memang be-gitulah seharusnya watak murid dari seorang tokoh sesat yang dianggap jahat
seperti iblis! Demikianlah riwayat singkat dari Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Kini usianya sudah lima
puluh tahun, akan tetapi dia masih pesolek dan masih ganteng. Dan tentu saja kini ilmu-
ilmunya sudah matang dan di antara lima tokoh jahat yang menyerbu Pu-lau Es, dia
merupakan orang ke dua setelah Hek-i Mo-ong. Dan ternyata hanya dia seoranglah di antara
empat orang rekan Hek-i Mo-ong yang selamat dan terhindar dari kematian ketika mereka
melakukan penyerbuan itu. Dan kini dia malah memperoleh hasil gemilang yaitu dengan
ber-hasilnya dia menawan cucu perempuan dari Pendekar Super Sakti.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
98 Ketika siuman, Suma Hui menggerakkan kaki tangan hendak menggeliat, akan tetapi kaki
dan tangannya tak dapat digerakkan karena terbe-lenggu. Ia mengeluh lirih dan membuka
matanya yang segera terbelalak ketika ia mendapatkan diri-nya telah terbelenggu dan rebah
terlentang di atas perahu kecil. Iapun teringat segalanya dan cepat menengok kepada pria
yang duduk di dekatnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia me-ngenal pria itu
yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikenalnya sebagai seorang di an-tara tokoh-
tokoh penyerbu Pulau Es yang berwatak kasar dan juga kotor dan cabul.
"Aih, nona manis, engkau sudah sadar" Mari makanlah, minumlah....!" Jai-hwa Siauw-ok
berkata dengan ramah sambil meraih tempat ma-kanan dan minuman. "Bukalah mulutmu,
biar ku-suapi engkau makan dan minum," katanya.
Akan tetapi Suma Hui membuang muka.
"Marilah, nona...." Siauw-ok mendekatkan sepotong daging ke mulut nona itu dengan
sumpit-nya dan ketika dara itu tidak mau membuka mulut-nya, Siauw-ok menggeser-geserkan
daging itu di antara bibir Suma Hui. Perbuatan ini saja sudah membuat berahinya timbul dan
diapun tersenyum-senyum. "Bukalah mulutmu, daging ini enak se-kali...."
Tiba-tiba Suma Hui menggerakkan kaki tangan dengan pengerahan sin-kang, akan tetapi ia
mengeluh ketika merasa betapa kaki tangannya tidak ber-tenaga. Tahulah ia bahwa ia dalam
keadaan tertotok.
"Mari, makanlah nona...."
"Tidak sudi!" Suma Hni membentak dan biar-pun tubuhnya lemas, ia membuang muka dan
menjauhkan mulutnya dari daging di ujung sumpit itu.
"Ah, jangan begitu, nona. Aku tdak ingin melihat engkau mati kelaparan atau kehausan...."
"Engkau sudah menawanku dengan kecurangan, nah, kalau mau bunuh, kau bunuhlah! Siapa
takut mati?" Suma Hui membentak.
"Membunuh engkau" Aihh, sayang kalau dibu-nuh!" Siauw-ok menggoda.
"Kulau begitu, bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai mampus!" tantang Suma Hui.
"Ah, nona manis. Aku cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau mati seperti tiga orang
muda itu...."
Tentu saja Suma Hui terkejnt bukan main mendengar ini. Ia memandang dengan muka pucat
dan biarpun ia membenci orang ini dan tidak ingin ber-cakap dengan dia, akan tetapi kini
terpaksa ia bertanya, "Apa.... apa yaug telah terjadi de-ngan mereka....?"
Siauw-ok tersenyum, lalu mengacungkan daging di sumpit itu kembali. "Engkau makan dan
minumlah lebih dulu, baru aku akan menceritakan tentang diri mereka."
"Tidak sudi!" Suma Hui membuang muka dan cemberut. Siauw-ok mengangkat kedua
pundak-nya dan diapun makan minum sendirian sambil ter-senyum-senyum. Dia merasa
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
99 cukup berpengalam-an untuk menundukkan gadis yang keras hati. Menundukkan seorang
gadis yang keras hati harus pandai, pikirnya. Pandai mempergunakan muslihat kasar dan
halus yang dicampuradukkan. Kadang-kadang halus merayu, kadang-kadang kasar
meng-ancam dan kadang-kadang membiarkannya pena-saran dan kecewa, kadang-kadang
membiarkannya kegirangan.
Suma Hui merasa tersiksa bukan main. Ingin ia menjerit dan bertanya tentang nasib kedua
orang adiknya dan Cin Liong. Tidak ada orang lain yang dapat ditanyainya kecuali laki-laki
yang dibenci-nya ini. Iapun melirik dan melihat laki-laki itu makan minum dengan tenangnya.
Bagaimanapun juga, melihat orang makan dan minum sedemikian lahapnya, ia terpaksa
menelan air liurnya. Harus diakuinya bahwa perutnya lapar sekali dan kerong-kongannya
kering dan haus. Akan tetapi, ia akan mampu melupakan semua itu, mampu memperta-hankan
diri dan kalau perlu mati kelaparan atau kehausan. Hanya, sukar baginya untuk dapat
menahan keinginan tahunya tentang nasib Cin Liong dan terutama kedua oraag adiknyya.
Makin ditahannya, makin hebat keinginan tahu itu mendesak dan akhirnya ia menoleh dan
memandang kepada laki-laki itu.
"Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan adik-adikku" Katakanlah, tidak ada ruginya
engkau menceritakannya kepadaku."


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw-ok memandang wajah manis itu dan tersenyum, di dalam hatinya bersorak karena
merasa menang. "Tentu saja aku akan menceritakan padamu, nona. Aku tidak ingin melihat
engkau sengsara, maka akupun tidak ingin melihat engkau kelaparan. Nah, engkau makan
minumlah dan aku akan menceritakan keadaan mereka."
"Baik, lepaskan belenggu kedua tanganku dan totokanku, dan aku akan mau makan dan
minum." "Aihh, mana mungkin aku sembrono seperti itu, nona" Engkau adalah cucu Pendekar Super
Sakti. Aku tahu engkau memiliki kepandaian hebat dan aku tidak tahu kapan engkau akan
dapat membebaskan totokanku itu. Kalau kedua tanganmu tidak dibelenggu dan akhirnya
totokan itu dapat kaupunahkan, tentu aku celaka. Tidak, aku belum dapat melepaskan
belenggumu dan biarlah aku yang menyuapkan makanan dan minuman padamu."
Suma Hui sudah hendak memaki dan marah-marah lagi, akan tetapi ia tahu bahwa hal itu
tidak ada gunanya dan keinginan tahunya untuk mendengar tentang nasib adik-adiknya
membuat ia akhirnya mengalah. Ketika sumpit yang membawa potongan daging itu
didekatkan pada mulutnya, iapun membuka mulut dan menyambutnya. Tentu saja Siauw-ok
merasa girang bukan main. Diapun mulai ber-cerita, akan tetapi dia bercerita secara lambat-
lam-bat sehingga terpaksa Suma Hui menerima makanan dan minuman yang cukup banyak
untuk dapat mengikuti penuturan itu.
Setelah menceritakan jalannya pertempuran yang tidak begitu penting bagi Suma Hui,
akhirnya Siauw-ok lalu berkata, "Aku melihat betapa pemuda yang menurut Hek-i Mo-ong
adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir itu terlempar ke lautan. Laut sedang dilanda badai
mengganas, maka biar seorang yang amat pandai bermain di air sekalipun tidak akan mungkin
dapat menyelamatkan diri dari amukan badai seperti itu! Dia sudah pasti terseret ombak dan
tenggelam atau disambut oleh ikan-ikan hiu yang ganas. Belum lagi bahayanya kalau
di-hempaskan oleh ombak ke tubuh perahu, tentu akan lumat-lumat tubuhnya. Pemuda itu
sudah pasti tewas, hal ini tak dapat disangsikan lagi."Suma Hui membayangkan dengan hati
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
100 penuh duka. Keponakannya itu adalah seorang yang gagah perkasa dan sudah banyak
membela keluarga Pulau Es, tak disangkanya akan mengakhiri hidup-nya secara demikian
menyedihkan. Apalagi kalau ia teringat betapa ia pernah membalas segala pertolongan dan
pembelaan pemuda itu dengan tamparan-tamparan yang diterima oleh pemuda itu dengan
mengalah. Tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah, akan tetapi dengan kekerasan
hati-nya, dilawannya rasa duka itu sehingga ia dapat membendung keluarnya air matanya.
Siauw-ok adalah seorang laki-laki yang sudah berpengalaman. Dia dapat melihat kedukaan
mem-bayang di wajah yang ayu itu, dan melihat pula betapa dara itu menggunakan kekerasan
hati mem-bendung air matanya. Hatinya merasa panas oleh cemburu.
"Nona, apamukah pemuda putera Naga Sakti Gurun Pasir itu" Mengapa dia membela
keluarga Pulau Es secara mati-matian ?" tanyanya penasar-an.
Suma Hui tidak menjawab pertanyaan ini, ha-nya berkata, "Hemm, lihat saja nanti
bangkitnya Naga Sakti Gurun Pasir untuk membalaskan kema-tian puteranya!"
Mendengar ucapan ini, bagaimanapun juga Siauw-ok bergidik ngeri. Dia belum pernah
ber-temu dengan Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dia sudah mendengar nama besar
pendekar itu yang sejajar dengan keluarga Pulan Es!
"Ah, bukan aku yang membunuhnya...." U-capan ini dihentikannya di tengah jalan karena dia
sadar bahwa ucapan itu membayangkan rasa takutnya. Maka diapun lalu menyuapkan
sepotong be-sar daging ke mulut itu dan melihat dengan penuh gairah betapa mulut yang kecil
dengan bibir merah dan deretan gigi putih itu terbuka menerima da-ging, nampak bagian
dalam mulutnya yang lebih merah lagi. Suma Hui mengunyah daging itu dengan perlahan.
"Bagaimana dengan kedua orang adikku?" ta-nyanya setelah daging itu agak lembut
dikunyah. "Ah, jadi dua orang pemuda cilik itu adalah adik-adikmu" Pantas mereka itu hebat-hebat...."
Kembali Suma Hui terpaksa menerima suapan makanan walaupun perutnya sudah merasa
kenyang dan sebetulnya ingin ia menyemburkan makanan itu ke muka Siauw-ok. Akan tetapi
ia membutuh-kan keterangan tentang adik-adiknya sehingga ter-paksa ia menahan sabar.
"Nih, minumlah dulu," kata Siauw-ok dan Su-ma Hui juga menerima minuman air tawar
yang disodorkan ke mulutnya. Bagaimanapun juga, ma-kanan dan minuman itu membuat ia
merasa tu-buhnya menjadi segar kembali.
"Kedua adikmu itu.... sunggnh sayang sekali, agaknya merekapun tak mungkin dapat hidup,
dan besar kemungkinan sekarangpun sudah tewas."
"Mak.... maksudmu....?"
"Adikmu yang besar itu, seperti juga putera Na-ga Sakti Gurun Pasir, terlempar ke dalam
lautan dan tentu diapun tidak mungkin dapat terhindar dari cengkeraman maut. Sedangkan
adikmu yang kecil, setan cilik yang luar biasa itu, mungkin dia ditangkap oleh Hek-i Mo-ong.
Entah bagaimana jadinya dengan mereka aku tidak tahu karena aku lebih menyibukkan diri
untuk menyelamatkanmu." Siauw-ok berhenti dan tersenyum ramah. "Coba pikir, di antara
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
101 empat orang muda, hanya engkau yang selamat, kuhindarkan dari bahaya maut, bah-kan
kujaga dan kusuapi makanan dau minuman. Bukankah aku orang baik sekali, manis?"
Suma Hui menyemburkan makanan yang masih tersisa di mulutnya, lalu membuang muka
dan me-nangis! Baru sekarang ia dapat melemparkan se-mua rasa sebal, marah, dan duka di
dalam hatinya. Terutama sekali perasaan duka karena kegelisahan mendengar akan nasib
kedua orang adiknya, dan juga Cin Liong.
Tiba-tiba ia menghentikan tangisnya ketika merasa betapa rambut kepalanya dibelai orang.
Rasanya seperti tiba-tiba ada ular menyusup ke balik bajunya. Ia terperanjat dan juga jijik
bukan main, apalagi ketika merasa betapa jari-jari tangan itu bukan hanya membelai rambut,
melain-kan juga mengusap pipi, dagu dan lehernya. Dan sepasang mata itu! Memandangnya
seperti mata seekor harimau yang hendak menerkam kambing.
"Sudahlah, jangan menangis, nona manis. Ada aku di sini yang cinta padamu. Asal engkau
suka menuruti segala kehendakku, engkau akan menjadi muridku yang terbaik dan hidupmu
akan berbaha-gia...."
"Tutup mulutmu, iblis terkutuk!" Tiba-tiba Suma Hui memaki dan ketika ia merasa bahwa
te-naga atau pengaruh totokan pada tubuhnya mulai mengendur, ia lalu mengerahkan sin-
kangnya dan tiba-tiba ia menggerakkan kaki tangannya.
"Brettt! Brettt....!" Tali pengikat kaki tangan dara itu putus semua, tidak kuat menahan
pengerahan tenaga sin-kang dari Suma Hui, tenaga aseli dari keluarga Pulau Es!
"Ehhh....!" Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa dara ini
ada-lah cucu dari Pendekar Super Sakti dan memiliki kepandaian yang tidak lumrah gadis
lainnya. Akan tetapi sungguh tidak disangkanya sama sekali bah-wa gadis itu dapat
meloloskan diri secara tiba-tiba seperti itu! Pada saat itu, Suma Hui sudah meloncat bangkit
berdiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanannya, menampar ke arah kepala Siauw-ok.
"Hyaaaaatttt....!" Dara itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Karena pukulan
dilaku-kan dari jarak dekat dan perahu itu amat kecil sehingga tidak mungkin bagi Siauw-ok
untuk meng-elak lagi, maka Siauw-ok terpaksa mengangkat lengannya menangkis, menjaga
agar jangan sampai tenaganya terlalu besar dan melukai dara yang membuatnya tergila-gila
ini. "Dukkkkk....!" Tubuh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terjongkok dan menggigil kedinginan!
Kiranya dara itu telah mempergunakan tenaga yang belum lama dilatihnya di Pulau Es, yaitu
tenaga Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang amat hebat. Untung bagi Jai-hwa
Siauw-ok bah-wa gadis itu belum matang benar latihannya karena andaikata demikian, dia
akan menderita luka dalam yang parah. Cepat dia mengerahkan tenaga sakti dan
mengumpulkan hawa murni untuk melindungi tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Dia
merasa salah sendiri karena terlalu memandang ringan se-hingga hampir celaka.
Bagaimanapun juga, tena-ganya masih lebih kuat dibandingkan dengan tena-ga dara itu, maka
kalau tadi dia mengerahkan selu-ruh tenaga, tentu dia lebih kuat.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
102 "Haiiiittt....!" Melihat pukulannya yang per-tama hanya membuat lawan terjongkok, Suma
Hui merasa penasaran dan iapun sudah menyerang lagi dengan hantaman tangan kanan lurus-
lurus ke arah dada lawannya.
Kembali Siauw-ok terpaksa menangkis, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan sin-kang dan
mempergunakan tenaga kasar dan panas yang lebih kuat untuk mengimbangi hawa dingin
yang terkandung dalam pukulan dara itu.
"Dessss....!" Dua tenaga dahsyat bertemu melalui lengan mereka dan akibatnya, tubuh
Siauw-ok terdorong keras dan terpelanting keluar dari perahu.
"Byuuur....!" Siauw-ok yang terjungkal ke air menyelam. Dia terkejut bukan main karena
ternyata dara itu tidak lagi mengerahkan tenaga berhawa dingin, melainkan pukulannya tadi
me-ngandung hawa panas dan kekuatan yang amat he-bat. Dia tidak tahu bahwa itulah ilmu
sakti Hwi--yang Sin-ciang (Taugan Sakti Inti Api). Karena keras bertemu keras dan tenaganya
kalah ampuh, ditambah lagi kekagetannya ketika merasa betapa ada hawa panas membakar
tubuhnya melalui le-ngan, maka tubuh Jai-hwa Siauw-ok terlempar dan terpelanting ke dalam
lautan. Tentu saja hati Suma Hui merasa lega dan girang sekali dan cepat ia mengambil tali
kemudi untuk mengemudikan layar perahu.
"Krakkk....!" Tiba-tiba tiang layar yang ti-dak berapa besar itu patah. Kiranya Siauw-ok
te-lah muncul di balik perahu dan memukul patah tiang layar itu dengan tangannya.
"Iblis jahat kau!" Suma Hui memaki dan cepat menyambar dayung untuk menyerang kepala
yang muncul di permukaan air itu.
"Pratttt....!" Air muncrat ke atasakan tetapi kepala itu lenyap dan dayung hanya memukul air.
Suma Hui tidak perduli lagi dan hendak mendayung perahu kccil itu, akan tetapi tiba-tiba
pera-hu itu terguncang keras dan terbalik! Tentu saja dara itupun terlempar dan terjatuh ke air.
"Byuuurrr....!" Air muncrat lagi dan Suma Hui cepat menggerakkan kaki tangannya untuk
mencegah tnbuhnya tenggelam.
"He-he-he, nona manis....!" Tiba-tiba ada lengan yang merangkul pingganguya yang
ramping-. "Lepaskan, jahanam!" Suma Hui menjerit dan memukul ke belakang, akan tetapi Siauw-ok
yang lebih pandai bermain di air itu telah menyelam. Dan tiba-tiba Suma Hui menjerit ketika
kakinya ada yang menangkap dari bawah dan terus tangan itu menyeretnya ke bawah
permukaan air! Dara itu meronta dan mencoba untuk menendang atau me-mukul. Terjadi
pergumulan di dalam air. Suma Hui melawan mati-matian dan berusaha sedapat mung-kin.
Namun, ternyata ia jauh kalah mahir sehingga ia gelagapan dan banyak menelan air laut.
Apalagi Siauw-ok menggumulnya sehingga di samping ia memang kalah pandai, juga ia
merasa jijik dan geli merasa betapa dirinya dirangkul dan dipeluk. Akhirnya ia terkulai
pingsan!Masih untung baginya bahwa ambisi Siauw-ok untuk membanggakan kemenangan
dan menyombongkan dirinya sedemikian besarnya sehingga bi-arpun melihat dara itu dengan
pakaian basah ku-yup nampak amat merangsang, pakaian basahnya melekat ketat pada
tubuhnya yang padat, namun penjahat cabul itu tidak menuruti nafsu berahinya dan bertahan
diri, tidak memperkosanya. Siauw-ok membawa Suma Hui kembali ke dalam perahu yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
103 telah kehilangan layarnya itu, menotoknya kembali dan kini dengan bersungut-sungut dia
mendayung perahunya melanjutkan perjalanan.
Pada suatu senja, perahunya berlabuh di sebuah pantai yang sunyi di sebelah selatan kota
Ceng-to di Propinsi Shan-tung. Siauw-ok menarik pera-hunya ke pantai lalu memondong
tubuh Suma Hui yang masih tertotok, kemudian membawanya lari memasuki hutan yang
sudah mulai gelap. Setelah malam tiba, nampak Siauw-ok memasuki sebuah pekarangan
depan rumah yang berdiri terpencil di luar kota Ceng-to, rumah itu bercat merah yang mungil.
Bagi para laki-laki hidung belang di kota Ceng-to, rumah ini amat terkenal karena rumah ini
merupakan rumah milik Ang Bwee Nio-nio, seorang bekas pelacur kenamaan yang kini telah
berusia empat puluh tahun dan telah mengalihkan pekerjaannya dari seorang pelacur
kenamaan men-jadi seorang mucikari kenamaan pula. Hampir se-mua pelacur di daerah
Ceng-to mengenalnya dan pelacur manapun juga akan merasa terhormat kalau dipanggil oleh
mucikari ini karena para lang-ganan dari Ang Bwee Nio-nio hanyalah orang-orang besar yang
berkedudukan penting atau yang kaya raya saja.
Karena sore tadi hujan turun dan sekarangpun masih gerimis, rumah pelacuran itu sunyi.
Memang Ang Bwee Nio-nio tidak pernah menyediakan pe-lacur di rumahnya. Ia hanya
memanggilkan pela-cur-pelacur yang dipesan para langganannya saja, menyediakan kamar-
kamar yang cukup mewah dan bersih, dan juga melayani makan minum yang cukup lengkap
dan lezat. Ia hanya hidup bersama dua orang pelayan yang tinggal di situ, pelayan-pelayan
wanita setengah tua.
Ketika Jai-hwa Siauw-ok mengetuk pintu de-pan, terdengar suara jawaban dari dalam dan tak
lama kemudian daun pintu dibuka orang. Seorang wanita berpakaian pelayan memandang dan
wa-jahnya segera berobah ramah.
"Aih, kiranya Ouw-taiya (tuan besar Ouw) yang datang. Tapi.... tapi mengapakah nona
ini....?" katanya menunjuk kepada Suma Hui di atas pun-dak Siauw-ok.
"Jangan ribut. Apakah malam ini banyak tamu?"
"Sepi, taiya, habis hujan."
"Tutupkan daun pintunya dan malam ini tidak boleh menerima tamu, katakan saja toanio
sakit. Mengerti?" Pandang mata Siauw-ok penuh an-caman.
"Baik, taiya....!" kata pelayan itu takut-takut.
"Di mana toanio" Panggil ia keluar."
Pelayan itu berlari masuk setelah menutupkan daun pintu dan tak lama kemudian nampak
seorang wanita datang setengah berlari. Ia sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi masih
pesolek. Pa-kaiannya indah, mukanya berbedak tebal, alisnya dicukur dan dilukis, bibirnya
diberi gincu merah, demikian pula kedua pipinya. Memang ia bekas seorang wanita yang
cantik menarik. Inilah Ang Bwee Nio-nio, dahulu terkenal sebagai Ang Bwee (Bunga Bwee
Merah), pelacur tingkat tinggi di Ceng-to.
"Ahhh, baru sekarang engkau muncul, Ouw-koko....!" Wanita itu segera menghampiri
Siauw-ok dan merangkul dengan sikap manja dan mesra. Memang ia adalah kekasih lama
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
104 Siauw-ok, akan tetapi sudah lama Siauw-ok meninggalkan dan menjauhinya. Ketika
dirangkul oleh wanita ini dan mencium bau wangi yang semerbak menusuk hi-dung, Siauw-
ok mengerutkan alisnya dengan sebal dan tangannya mendorong! Untung wanita itu agaknya
bukan wanita sembarangan sehingga dorongan yang akan merobohkan setiap orang yang
bertubuh kuat itu hanya membuatnya terhuyung dan wanita itupun dapat cepat menggeser
kaki me-masang kuda-kuda sehingga tubuhnya tidak sampai terpelanting.
"Ouw-koko....!" Dalam seruan ini terkandung rasa penasaran dan kedukaan yang besar
walaupun pandang mata wanita itu terhadap Siauw-ok masih terkandung kemesraan dan rasa
sayang yang anat besar. "Kenapa kau...."
"Sudahlah, jangan ganggu aku, Ang Bwee. Aku lelah sekali. Kau tahu dari mana aku datang
dan siapa adanya gadis ini?" Dan ketika wanita itu menggeleng dan memandang kepada Suma
Hui de-ngan mata terbelalak dan ingin tahu, sambil tersenyum penuh kebanggaan Siauw-ok
lalu menyambung, "Aku baru saja kembali dari penyerbuan ke Pulau Es, dan gadis yang
kutawan ini adalah cucu perempuan Pendekar Super Sakti."
"Ahhhh....!" Mata wanita itu terbelalak dan ia nampak terkejut bukan main.
"Nah, jangan ganggu aku. Cepat kausediakan kamar untuk gadis ini dan lebih dulu ambilkan
be-lenggu kaki tangan dari baja. Eugkau masih punya, bukan" Yang biasa untuk
membelenggu gadis yang bandel. Cepat ambil sepasang."
Ang Bwee Nio-nio mengangguk-angguk lalu berlari ke dalam. Tak lama dia sudah keluar
kem-bali dan membawa sepasang belenggu kaki tangan dari baja yang memakai kunci.
Belenggu-belenggu itu lalu dikenakan pada kaki tangan Suma Hui dengan cekatan sekali oleh
wanita itu. "Sekarang, bawa dara ini ke kamarnya, kemudi-an layani aku makan minum sepuasku. Aku
akan menceritakan kesemuanya padamu sampai kau pu-as, Ang Bwee."
Wanita itu menerima tubuh Suma Hui yang masih dalam keadaan tertotok dan terbelenggu,
memandang wajah yang jelita dan meraba tubuh yang padat itu lalu menarik napas panjang.
"Seo-rang gadis yang indah sekali, Ouw-koko."
"Ha-ha-ha, kaukira bagaimana" Kalau tidak, perlu apa aku bersusah payah membawanya.
Sudah, simpan ia baik-baik dan aku mau mandi dan bertukar pakaian dulu."
Dengan gembira Siauw-ok lalu mandi dan ber-tukar pakaian, sedangkan wanita itu
memondong tubuh Suma Hui, dibawanya masuk ke dalam sebuah di antara kamar-kamar
rumahnya dan mere-bahkan dara itu di atas pembaringan.
Sebetulnya sejak tadi Suma Hui sadar, akan te-tapi dara ini berpura-pura tidak sadar dan
ber-gantung lemas. Ketika kaki tangannya dibelenggu, diam-diam ia mengeluh. Selama ini ia
selalu men-cari kesempatan, akan tetapi semenjak perlawanan-nya di atas perahu sampai ia
ditawan kembali, Siauw-ok selalu memperhatikannya dan amat teliti. Dan sekarang, kaki
tangannya malah dibelenggu, dengan belenggu baja sehingga andaikata ia dapat memperoleh
kesempatan dan totokan ini tidak lagi menguasai dirinya, sukarlah baginya un-tuk
membebaskan diri dari belenggu ini.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
105 Wanita itu merebahkannya terlentang di atas pembaringan dan betapa kaget rasa hati Suma
Hui ketika rantai belenggu kaki tanyannya itu dikaitkan kepada kaitan-kaitan yang sudah
tersedia di pembaringan itu sehingga kaki dan tangannya terpen-tang dengan masing-masing
tangan dan kaki ter-ikat pada kaitan di empat penjuru pembaringan! Sebagai seorang wanita
kang-ouw yang sudah banyak mendengar tentang kejahatan kaum sesat, ia mengerti bahwa
kini dirinya terancam bahaya yang amat hebat bagi seorang wanita. Bahaya pe-merkosaan!
Dan ia tidak akan mampu memperta-hankan diri! Ngeri sekali rasa hatinya memba-yangkan
hal ini, akan tetapi segera kekerasan hatinya dapat menguasai dirinya lagi. Biarlah. Ia akan
selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari malapetaka itu, akan tetapi andaikata semua itu
terjadi pula, ia akan pura-pura memyerah, kemu-dian kalau kesempatan terbuka, ia akan
membunuh musuhnya sebelum membunuh diri untuk mencuci noda dan aib yang menimpa
dirinya! Setelah mengikatkan kaki dan tangan Suma Hui pada kaitan-kaitan di empat sudut
pembaringan, Ang Bwee Nio-nio bersungut-sungut sambil me-mandangi tubuh gadis itu.
"Dasar laki-laki yang tak mengenal budi! Maunya bersenang-senang saja bahkan tidak segan-
segan menusuk hatiku dengan menolak diriku dan lebih memilih bocah dari musuh besar.
Sungguh merupakan penghina-an yang tiada taranya! Ouw Teng, kalau sekali ini engkau tidak
memperdulikan diriku, engkaupun tidak akan dapat menikmati gadis ini....!" Setelah berkata


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian, wanita itu lalu pergi keluar ka-mar dan menguncikan pintu kamar itu dari luar.
Tentu saja Suma Hui yang ditinggal seorang diri itu menjadi gelisah. Sudah dikerahkannya
tenaga-nya untuk membebaskan diri dari totokan, namun belum juga ia berhasil. Kalau sudah
bebas dari totokan, setidaknya ia akan dapat berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu
kaki tangannya. Memang sedikit sekali kemungkinan akan ber-hasil, akan tetapi setidaknya ia
dapat berusaha dan melakukan sesuatu, tidak seperti sekarang ini, rebah terlentang tak
berdaya sama sekali!
Tak lama kemudian, Suma Hui dapat mende-ngar suara-suara dari sebelah kanan. Ia
mengang-kat muka dan menoleh dan ternyata suara itu da-tang dari lubang-lubang angin di
dindingkamar. Ia dapat mengenal suara Siauw-ok yang dibenci-nya dan suara wanita tadi.
Mereka sedang pesta makan minum agaknya! Dan terdengar suara Siauw-ok menceritakan
tentang penyerbuan di Pu-lau Es itu diseling suara ketawa-ketawa bangga dan seruan-seruan
heran si wanita. Agaknya Siauw-ok banyak minum arak karena terdengar berkali-kali Ang
Bwee Nio-nio memerintahkan pelayan mengambilkan guci arak baru.
Kemudian, setelah cerita itu habis, terdengar suara wanita itu membujuk dan merayu. Lalu
ter-dengar kata-kata keras Siauw-ok menolak. Me-reka lalu bercekcok dan lapat-lapat
terdengar oleh Suma Hui suara keras seperti orang ditampar disu-sul jerit tertahan si wanita.
"Pergilah, jangan ganggu aku, ha-ha-ha! Aku harus mengumpulkan tenaga untuk
tawananku." Terdengar Siauw-ok tertawa-tawa keras.
Suma Hui mendengarkan semua itu dengan hati semakin tegang. Sejak tadi ia terus berusaha
dan akhirnya kini ia mulai dapat menggerakkan kaki tangannya. Pcngaruh totokan itu sudah
mulai ber-kurang dan sebentar lagi ia akan bebas dari penga-ruh totokan! Mulailah ia
mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat sin-kangnya dan pada saat ia berhasil
mengusir sama sekali pengaruh totokan dan jalan darahnya sudah lancar kembali ke selu-ruh
tubuhuya, tiba-tiba saja daun pintu terbuka perlahan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
106 "Ahhh....!" Suma Hui menahan jeritnya dan cepat memejamkan mata, mengintai dari balik
bulu matanya. Kalau terpaksa ia harus menderita mala-petaka hebat itu, ia akan membuat
dirinya pingsan dan untuk ini ia sudah siap siaga. Ia tahu bagai-mana caranya membuat
dirinya pingsan atau mematikan rasa.
Akan tetapi, hatinya terasa lega dan juga heran ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah
wanita itu! Dan melihat betapa wanita itu menangis. Air matanya masih membasahi pipi dan
mata, dan pipi kanan wanita itu membengkak! Kiranya wanita ini tadi datang untuk
melampiaskan dendam ter-hadap Siauw-ok kepadanya. Bukankah tadi sebe-lum pergi telah
menyatakan bahwa ia akan meng-halangi Siauw-ok agar tidak dapat menikmati ga-dis
tawanannya" Bukankah itu berarti wanita ini hendak membunuhnya" Dan ia tidak akan dapat
melawan sedikitpun juga, walau jalan darahnya telah pulih kembali. Paling banyak ia hanya
akan dapat mengerahkan sin-kang ke arah tubuh yang diserang, membuat bagian tubuh itu
kebal. Akan tetapi wanita ini agaknya bukan wanita sembarang-an pula dan tentu akan tahu
bagaimana untuk mem-bunuh orang yang memiliki kekebalan.
Kini Ang Bwee Nio-nio menghampiri pemba-ringan dan sejenak berdiri memandangi wajah
dan tubuh Suma Hui. Dan terdengarlah suaranya berbisik-bisik, "Aku mendengar bahwa
Pendekar Super Sakti sekeluarga adalah pendekar-pendekar yang selain amat sakti juga
memiliki watak yang budiman, sudah banyak menolong manusia lain. Aku sendiri sejak kecil
bergelimang kejahatan. Biar-lah dalam kekecewaan dan penghinaan ini aku melakukan suatu
kebaikan, mungkiu aku diperalat oleh Thian untuk membalas segala kebaikan kelu-arga
Pendekar Super Sakti." Setelah berkata demikian, wanita itu mengambil sesuatu dari ikat
pinggangnya. Suma Hui sudah bersiap-siap, menyang-ka bahwa wanita itu tentu akan
mengeluarkan senjata tajam.
Akan tetapi, yang dikeluarkan ternyata se-buah kunci dan dengan cekatan wanita itu lalu
membuka belenggu kedua kaki dan tangan Suma Hui! Gadis ini tcrkejut, girang dan heran,
akan tetapi sekali meloncat, ia telah turun dari pemba-ringan. Tentu saja Ang Bwee Nio-nio
terkejut juga dan makin percayalah wanita ini akan kehebatan gadis cucu Pendekar Super
Sakti itu. Siapa duga bahwa gadis yang kelihatan sama sekali tidak ber-daya itu, begitu dibuka
belenggunya, sudah dapat bergerak sedemikian gesitnya.
"Ssstt, nona. Engkau harus cepat melarikan diri dari tempat ini...." bisiknya.
"Terima kasih atas pertolonganmu," kata Suma Hui kembali. Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara ketawa diikuti langkah-langkah kaki menuju ke kamar itu.
"Ssttt, dia datang. Biar aku mencoba mence-gahnya masuk," kata Ang Bwee Nio-nio dan
ia-pun cepat membuka daun pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintunya.
Suma Hui yang maklum akan kelihaian Jai-hwa Siauw-ok, sudah meloncat lagi ke atas
pembaringan dan pura-pura rebah tak berdaya, memasangkan kembali ran-tai belenggu
seolah-olah masih mengikatnya. Ia harus menggunakan siasat, pikirnya. Menyerang tokoh
sesat itu secara berterang, jelas ia tidak akan menang. Biarlah ia akan menyerang tiba-tiba
sebelum orang itu tahu bahwa ia telah bebas.
Ia mendengar kembali suara Ang Bwee Nio-nio membujuk-bujuk dan merayu di luar kamar,
seo-lah-olah hendak menyeret Siauw-ok yang sete-ngah mabok itu pergi ke kamarnya sendiri.
Akan tetapi terdengar Siauw-ok menolak dan merekapun cekcok lalu terdengar suara
perkelahian di luar kamar! Ah, mereka berkelahi, pikir Suma Hui. Ini-lah saatnya yang baik
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
107 untuk turun tangan, membantu Ang Bwee Nio-nio mengeroyok Siauw-ok yang lihai. Ia
menoleh ke kanan kiri mencari senjata, akan tetapi di dalam kamar yang biasa diperguna-kan
orang untuk pelesir dan bermain cinta itu ma-na ada senjata" Ia lalu nekat, dengan tangan
kosong ia akan menerjang keluar dari pintu.
Akan tetapi kedatangannya terlambat. Pada saat ia muncul, Jai-hwa Siauw-ok dengan tubuh
setengah berjongkok telah memukulkan kedua ta-ngannya ke arah dada Ang Bwee Nio-nio
dan wanita itu terjengkang, dari mulutnya muntah darah segar! Siauw-ok telah memukul
bekas kekasih-nya sendiri itu dengan pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya secara curian
dari Su-ok. Pukulan ini jahat sekali dan wanita itu tidak kuat menerimanya, terjengkang,
terbanting dan tewas seketika.
Suma Hui yang sudah marah sekali, tanpa ba-nyak cakap sudah menerjang dan menyerang.
Ka-rena maklum akan kelihaian lawan, Suma Hui se-gera mainkan gabungan Ilmu Silat Pat-
mo-kun dan Pat-sian-kun, karena baru ilmu inilah yang pernah dipelajarinya secara
mendalam. Gerakan-nya lincah sekali dan kedua tangannya diisi dengan tenaga Hwi-yang
Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berganti-ganti.
"Ha-ha, engkau sudah siap untuk menyambut-ku, nona manis" Ha-ha, mari kita main-main
sebentar sebelum engkau kutangkap dan sekarang harus kupaksa engkau untuk melayaniku,
mau atau tidak mau!" Di dalam kata-kata ini terkandung ejekan dan juga ancaman karena
tokoh sesat ini benar-benar merasa jengkel melihat betapa gadis cucu Majikan Pulau Es ini
berkali-kali dapat melepaskan diri dan merepotkannya saja.
Akan tetapi diapun terkejut melihat ilmu silat yang amat hebat itu. Juga dia harus berhati-hati
terhadap sin-kang yang berobah-robah sifatnya itu, dari lembek menjadi keras, dari dingin
menjadi pa-nas. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dan Suma Hui
masih kurang ma-tang ilmu-ilmunya, maka setelah bertanding selama lima puluh jurus lebih,
mulailah dara itu terdesak hebat.
"Ha-ha-ha, menyerahlah, manis. Perlu apa kauhabiskan tenagamu" Masih kaubutuhkan untuk
melayani aku nanti, ha-ha-ha!" Kata-kata Siauw-ok semakin cabul karena berahinya semakin
ber-nyala, terdorong oleh arak dan juga oleh perkela-hian itu. Beberapa kali Suma Hui
terhuyung dan gadis ini diam-diam mengambil keputusan bahwa sebelum ia tertawan, lebih
baik ia membunuh diri saja. Ia akan melawan terus sampai napas terakhir. Pendeknya, ia
hanya mempunyai dua pilihan. Lo-los atau mati, dan tidak akan membiarkan dirinya tertawan
kembali! Tiba-tiba Siauw-ok mengeluarkau suara keta-wa dan tubuhnya lenyap, menjadi berpusing
seperti gasing! Suma Hui terkejut dan menjadi bingung. Ilmu silat macam apa ini" Tubuh
orang itu ber-pusing sehingga ia tidak dapat melihat jelas bentuk tubuhnya dan dari dalam
pusingan itu kadang-ka-dang mencuat cengkeraman tangan yang hendak menangkapnya dan
jari-jari yang hendak menotoknya. Dara itu tidak tahu bahwa itulah Ilmu Thian-te Hong-i
(Hujan Angin Bumi Langit), ilmu curian yang berasal dari ilmu yang dimiliki Sam-ok. Dan
sebelum Suma Hui dapat mengelak, tangan kanannya telah kena ditangkap! Gadis ini terkejut
sekali, akan tetapi kembali pergelangan kirinya kena ditangkap! Ia menjadi gugup, tidak dapat
ia membunuh diri setelah kedua tangannya ditangkap.
"Jahanam busuk, lepaskan ia!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
108 Tiba-tiba saja ada angin menyambar dahsyat ke arah kepala Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng
yang datangnya dari belakang. Demikian hebatnya angin itu menyambar sehingga Siauw-ok
terkejut bukan main. Dia tahu bahwa serangan yang ditujukan ke arah kepalanya dari
belakang itu merupakan pukul-an maut, maka terpaksa dia harus melepaskan cengkeramannya
pada pergelangan kedua tangan gadis itu, membalik sambil merendahkan tubuhnya dan
menggunakan kedua lengannya menangkis ke depan."Desss....!" Tubuh Siauw-ok terdorong
ke belakang dan diapun terhuyung. Dengan mata terbelalak dia memandang kepada
penyerangnya dan bukan main kagetnya ketika mengenal pemuda ini sebagai putera Naga
Sakti Gurun Pasir yang dili-hatnya telah terlempar ke lautan dalam badai itu!
"Cin Liong....!" Teriakan Suma Hui ini ter-dengar penuh dengan rasa haru, gembira dan
terkejut. Bukankah pemuda itu dikabarkan telah tewas" "Cin Liong, jangan lepaskan jahanam
itu!" Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang agaknya melihat gelagat buruk, telah
menggerakkan kedua lengannya ke depan, ke arah dua orang muda itu. Terdengar bunyi
bercuitan dan melihat ini, Cin Liong terkejut sekali.
"Hui-i.... awas....!" Dan diapun sudah menubruk maju dan menggerakknn kedua lengan
menghadang dan menangkis pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan itu. Itulah Ilmu Jari
Pe-dang atau Kiam-ci yang amat ampuh. Akan teta-pi ketika tertangkis, kembali Siauw-ok
terdorong ke belakang dan tiba-tiba tubuhnya sudah meloncat keluar pintu, menggunakan
kesempatan selagi Cin Liong melindungi Suma Hui dan menjauhi pintu tadi.
"Kejar dia....!" Suma Hui yang amat mem-benci pria itu berteriak dan Cin Liong juga
melon-cat mengejar. Akan tetapi, karena di luar gelap dan Siauw-ok tidak nampak lagi
bayangannya, tidak diketahui ke arah mana larinya, diapun kem-bali memasuki pondok itu.
Di situ dia melihat dua orang pelayan wanita setengah tua berlutut dan menangisi mayat
seorang wanita yang mukanya penuh darah yang dimuntah-kan dari mulutnya sendiri,
sedangkan Suma Hui juga berlutut dan memeriksa wanita itu. Dara itu bangkit berdiri ketika
melihatnya, dan bertanya, "Bagaimana dengan jahanam itu?"
Cin Liong mengangkat kedua pundaknya dan mengembangkan lengannya. "Di luar amat
gelap dan dia sudah menghilang seperti setan."
"Sayang...." kata Suma Hui sambil menu-dingkan telunjuk ke arah mayat itu. "Ia adalah
pemilik rumah ini dan ia telah berusaha menolong dan membebaskan aku." Lalu Suma Hui
meng-guncang pundak seorang pelayan sambil bertanya, "Bibi, siapakah penjahat kejam itu
tadi" Katakan padaku karena aku akan mencari dan membalaskan kematian majikan kalian."
"Dia adalah teman lama dari toanio, seorang langganan yang baik. Namanya Ouw-taiya....
Ouw Teng...."
"Dan julukannya adalah Jai-hwa Siauw-ok," sambung orang ke dua.
Mendengar disebutnya julukan ini, Cin Liong mengerutkan alisnya. "Jai-hwa Siauw-ok....?"
"Engkau mengenal nama itu?" Suma Hui ber-tanya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
109 Cin Liong mengangguk lalu berkata, "Hui-i, marilah kita pergi dari sini dan nanti kita
bicara."- Suma Hui mengangguk dan tanpa pamit mere-ka lalu pergi berloncatan meninggalkan dua
orang pelayan wanita yang masih menangisi mayat Ang Bwee Nio-nio itu. Karena Suma Hui
telah kehi-langan semuanya, bahkan pakaian yang menempel di tubuhnya sudah kotor dan
kusut, Cin Liong mengajaknya untuk memasuki kota Ceng-to dan bermalam di sebuah rumah
penginapan, menggu-nakan dua buah kamar yang berdampingan. Suma Hui hanya
mengangguk menyetujui, dan hanya da-pat memandang dan menerima dengan penuh rasa
haru dan terima kasih ketika pemuda itu datang membawakan beberapa stel pakaian baru
untuknya, yang dibeli oleh pemuda itu dari toko.
"Cin Liong, sekarang ceritakanlah tentang adik-adikku. Apakah engkau melihat mereka"
Bagai-mana keadaan mereka?"
Pertanyaan ini sebetulnya sudah sejak ia berte-mu dengan Cin Liong ingin ditanyakan, akan
tetapi selalu ditahannya karena ia merasa ngeri untuk mendengar yang buruk-buruk. Kini,
pertanyaan itu diajukan dengan suara penuh getaran dan sepa-sang mata itu memandang duka
dan gelisah. Se-mua ini terasa sekali oleh Cin Liong ketika dia men-dengar pertanyaan itu.
Mereka duduk berhadapan di ruangan luar kamar mereka dan malam itu amat sunyi karena
rumah penginapan itupun sepi dan kosong. Mereka menghadapi meja dan saling pan-dang di
bawah penerangan lampu gantung. Wajah gadis itu nampak amat memelas bagi Cin Liong.
Rambutnya masih kusut tidak tersisir rapi dan pa-kaian yang dipakainya itu tentu saja tidak
cocok benar karena dibelinya dari toko, agak kelonggaran. Wajah yung cantik itu agak pucat
dan matanya membayangkan kegelisahan yang mendalam. Rasa iba menyelubungi hati Cin
Liong. Ingin dia me-megang kedua tangan yang diletakkan di atas meja itu, ingin dia
merangkul dan menghibur gadis ini. Tapi gadis ini adalah bibinya! Bibinya!
Cin Liong menundukkan pandang matanya dan menarik napas panjang. Lalu mengangkat
muka memandang dan dari sinar matanya terpancar rasa iba. "Sayang sekali, aku sendiri tidak
tahu bagaimana keadaan mereka, Hui-i. Ketika kalian dike-royok di atas perahu, aku telah
lebih dulu terlempar keluar dan tercebur ke lantan, ditelan badai dan hanya kekuasaan Thian
sajalah yang dapat menyelamatkan aku dari bencana maut di lautan yang gunas itu. Aku tidak
melihat bagaimana keadaan kedua paman itu." Lalu dia menceritakan penga-lamannya ketika
terlempar ke lautan sampai dia berhasil selamat dan akhirnya naik papan dan men-darat.
"Jadi engkau sama sekali tidak tahu bagaimana nasib kedua orang adikku?" Gadis itu
memejam-kan matanya dan menghapus air mata yang mulai menetes turun. "Menurut
penuturan jahanam Siauw-ok itu, mereka.... mereka mungkin telah tewas. Ciang Bun
terlempar ke lautan sedangkan Ceng Liong ditawan oleh Hek-i Mo-ong."
' Ahhh !" Cin Liong mengepal tinju. " yle-reka itu orang - orang jahat. Aku akan
mengerah-kan pasukan untuk mencari dan mentbasnti mereka semua itu !"
"Akupun tidak akan berhenti sebelum menumpas mereka!" Suma Hui mengepal tinju,
teringat akan kehancuran keluarga Pulau Es. Kemudian dipandanguya pemuda perkasa itu dan
iapun ber-tanya, "Bagaimana engkau dapat tiba di pondok itu dan menolongku, Cin Liong?"
"Hanya kebetulan saja, Hui-i. Baru kemarin aku mendarat dan memasuki kota. Setelah
berganti pakaian dan memulihkan kekuatan, siang tadi aku mendatangi pantai di luar kota
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
110 Ceng-to, untuk ntenyelidiki kalau-kalau ada di antara kalian ber-tiga yang selamat dan
mendarat pula. Di dalam penyelidikan itulah, sore tadi, aku mendengar perca-kapan dua orang
nelayan yang katanya melihat se-orang kakek memondong tubuh seorang gadis yang pingsan
dan katanya kakek itu berlari cepat menyelinap di antara pohon-pohon. Mendengar ini, aku
lalu melakukan pengejaran dan akhirnya aku tiba di pondok itu. Ketika aku melihat Jai-hwa
Siauw-ok Ouw Teng sedang makan minum di dalam pon-dok, akupun merasa yakin bahwa
tentu dia yang dilihat dua orang nelayan itu dan gadis yang ping-san itu tentu engkau. Maka
akupun masuk dan kebetulan sekali aku tiba pada saat yang tepat."
"Cin Liong...." Suma Hui menelan ludah, sukar agaknya melanjutkan kata-katanya.
"Ya Hui-i?"
"Engkau.... engkau baik sekali, Cin Liong. Engkau telah membela kami, bahkan engkau telah
berkali-kali menyelamatkan aku."
"Ah, harap jangan berkata demikian, Hui-i. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku membela
keluarga Pulau Es" Bukan keluarga sekalipun ten-tu akan kubela, karena bukankah sudah
menjadi kewajiban kita untuk menentang kejahatan?"
"Ya, tapi.... tapi...."
"Tapi apa, Hui-i?"
Seperti tanpa disadarinya, Suma Hui memegang tangan pemuda itu yang terletak di atas meja
pula dan ia meremas jari-jari tangan itu. "Cin Liong.... berkali-kali aku terkenang akan hal
itu.... engkau begini baik dan aku.... aku...."
Cin Liong merasa terharu bukan main ketika merasa betapa tangannya dipegang dan diremas-
remas oleh gadis itu. Betapa lembutnya telapak ta-ngan gadis itu, lembut hangat dan
mengandung penuh getaran yang menggetarkan pula jantung Cin Liong.
"Engkaupun seoraug gadis yang amat baik, Hui-i, baik sekali...."
"Aku telah menamparmu berkali-kali....! Nah, itulah yang selalu terkenang olehku dengan
hati perih, Cin Liong. Engkau hampir berkorban nyawa berkali-kali untuk membela kami, dan
aku telah menghina dan menyakitimu. Maukah.... maukah engkau memaafkan aku, Cin
Liong?" Di dalam suara itu terkandung isak.
Pemuda itu merasa semakin terharu dan diapun balas meremas tangan yang lembut itu
sehingga jari-jari tangan mereka saling bertautan. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Hui-i.
Sudah sepatut-nya engkau menamparku, karena memang aku telah menyakitkan hatimu.
Bahkan sekarangpun aku bersedia andaikata engkau hendak menambah beberapa tamparan
lagi." "Ih, jangan begitu, Cin Liong. Aku sungguh menyesal, dan aku minta maaf. Penyesalan itu
selamanya akan mengganggu hatiku sebelum eng-kau memberikan maafmu." Sambil berkata
demi-kian, gadis itu memandang kepada wajah Cin Liong dengan sinar mata penuh
permohonan. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
111 Cin Liong tidak tega untuk membiarkan gadis itu tenggelam dalam penyesalan diri. "Baiklah,
ka-lau engkau menghendaki demikian. Aku maafkan semua perbuatanmu, Hui-i."
Wajah yang cantik itu menjadi berseri dan tiba-tiba saja, seolah-olah baru melihat betapa
tangannya saling cengkeram dengan tangan pemuda itu, perlahan-lahan Suma Hui menarik
kembali ta-ngannya. "Ah, engkau memang baik sekali, Cin Liong. Belum pernah selama
hidup aku bertemu dengan seorang yang baik seperti engkau."
"Jangan terlalu memuji, Hui-i. Engkau sendi-ripun seorang gadis yang teramat baik."
Suma Hui tersenyum. "Ucapanmu itu menun-jukkan bahwa engkau rendah hati. Mana
mungkin seorang gadis buruk watak seperti aku ini kaukata-kan baik?"
"Sungguh, Hui-i, aku bicara setulusnya, keluar dari dalam lubuk hatiku."
Wajah yang manis itu menjadi semakin merah dan kini Suma Hui menunduk. "Bagiku,


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau adalah oraug yang paling baik di dunia ini."
"Bagiku, engkaupun demikian, Hui-i."
"Ih, benarkah itu" Tidak ada lain gadis yang seperti aku?"
"Banyak gadis di dunia ini, akan tetapi tidak ada yang seperti engkau bagiku, Hui-i."
Hening sejenak dan gadis itu menunduk, agak-nya kini ia hampir tidak berani menentang
pandang mata pemuda itu karena ia melihat sesuatu dalam pandang mata itu yang
membuatnya menjadi malu dan bingung.
"Cin Liong...."
"Apa yang hendak kaukatakan, Hui-i?"
"Kulihat engkau sndah lebih dari dewasa...."
"Usiaku sndah hampir tiga puluh tahun, Hui-i."
"Kiranya sndah lebih diri cukup untuk.... menikah."
"Sudah lebih dari cukup, terlambat malah."
"Lalu kenapa sampai sekarang engkau belum menikah?" Kini gadis itu berani mengangkat
muka memandang dan sebaliknya malah Cin Liong yang kini menundukkan mukanya dan
beberapa kali pe-muda ini menarik napas panjang. Pertanyaan itu seolah-olah merupakan
serangan ujung tombak ke arah hatinya dan membuat dia mau tidak mau teringat kembali
kepada Bu Ci Sian, gadis pertama yang pernah merampas hatinya akan tetapi kemu-dian
gagal menjadi jodohnya (baca kisahSuling Emas dan Naga Siluman). Akan tetapi dengan
cepat dia mengusir bayangan itu dari ingatannya karena Bu Ci Sian kini telah menjadi isteri
orang lain, is-teri Pendekar Suling Emas Kam Hong.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
112 "Hui-i, tadinya aku mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya, akan tetapi
setelah aku berjumpa denganmu...."
"Ya, bagaimana, Cin Liong?"
"Pendirianku lalu goyah...." Kini Cin Liong yang mengulur tangan dan memegang tangan
Suma Hui di atas meja itu, dipegangnya dengan lembut seperti memegang seekor anak burung
yang lemah. "Semenjak bertemu denganmu, aku tahu bahwa aku ingin menikah.... aku ingin
dapat hidup bersama denganmu selamanya, Hui-i...."
"Cin Liong....!" Tangan dalam genggaman Cin Liong itu menggelepar seperti anak burung
ketakutan, akan tetapi tangan itu tidak ditarik seperti tadi dan gadis itu menunduk dengan
muka merah sekali, lalu perlahan-lahan menjadi pucat dan dua titik air mata mengalir turun.
"Maafkanlah aku jika aku menyinggung perasa-an hatimu, Hui-i," kata Cin Liong, wajahnya
agak pucat karena pemuda ini dilanda kekhawatiran ka-lau-kalau dia harus mengalami patah
hati yang amat pahit untuk kedua kalinya setelah dahulu dia pernah patah hati karena cintanya
ditolak oleh Bu Ci Sian.
"Tidak ada yang harus dimaafkan dan engkau tidak menyinggung, Cin Liong. Akan tetapi....
lupakah engkau bahwa.... bahwa aku ini bibimu dan engkau keponakanku" Ayahku, Suma
Kian Lee dan ibumu, Yan Ceng, keduanya adalah pu-tera dan cucu dari nenek Lulu.
Setidaknya, kita berdua adalah darah dari mendiang nenek Lulu...."
"Itulah yang selama ini menjadi ganjalan hati-ku, Hui-i. Kita adalah seorang pemuda dan
seo-rang gadis, dan usiaku lebih tua darimu, akan teta-pi.... kenapa engkau menjadi bibiku?"
"Kita harus dapat melihat kenyataan itu, Cin Liong. Kiranya.... tidak mnngkin kalau di antara
kita ada ikatan.... perjodohan...."
"Kenapa tidak mungkin, Hui-i" Apa salahnya" Kalau kita sudah sama-sama mencinta,
apalagi halangannya" Bagaimanapun juga, hubungan ke-keluargaan antara kita terhitung jauh,
karena kakek kita berbeda, dan she (marga) kitapun berbeda. Engkau she Suma sedangkan
aku she Kao, sungguh sudah amat jauh terpisahnya. Hui-i, terus terang saja, aku cinta
padamu, Hui-i, dan kalau aku tidak salah pandang, kalau perasaan hatiku tidak meni-puku,
engkaupun cinta padaku!"
"Cin Liong....!" Kini gadis itu terisak dan menutupi mukanya dengan tangan.
"Hui-i, harap jangan menangis. Mengapa ber-duka" Mengenai rintangan itu, kalau memang
kita sudah sama-sama mencinta, mari kita hadapi ber-sama! Apapun kesulitan dan
kesukarannya yang akan kita tempuh, kita hadapi bersama. Maukah engkau, Hui-i?"
Suma Hui membuka tangannya dan memandang -dengan muka basah air mata, bahkan kini
air mata masih bercucuran keluar dari kedua matanya, lalu ia menarik tangannya dan bangkit
berdiri, berkata dengan suara lirih dan parau, "Jangan bicarakan hal itu sekarang, Cin Liong.
Berilah waktu padaku untuk berpikir. Aku sedang dilanda duka, karena kehilangan keluarga
nenek moyang di Pulau Es, karena kehilangan kedua orang adikku yang masih belum kita
ketahui bagaimana nasibnya. Dan kita dihadapkan pula dengan kenyataan adanya hubungan
keluarga antara kita. Aku menjadi bingung, berilah waktu padaku, Cin Liong...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
113 Cin Liong menjura. "Maafkan aku, Hui-i. Me-mang seharusnya kalau engkau beristirahat.
Nah, tidurlah, Hui-i. Urusan ini dapat kita bicarakan kelak, kalau engkau menghendaki."
Suma Hui mengangguk dan memandang dengan sayu kemudian melangkah lesu memasuki
kamar-nya. Akan tetapi, kedua orang muda itu tidur dengan gelisah sekali, tenggelam dalam lamunan
masing-masing, lamunan yang tak dapat dikatakan sedap atau menyenangkan. Masalah-
masalah berdatang-an kepada mereka, bertumpuk dan susul-menyusul. Kedukaan dan
kegelisahan bertumpuk-tumpuk. Dan kini mereka dihadapkan kepada kenyataan yang
sungguh membingungkan dan mendatangkan rasa duka dan khawatir. Mereka saling
mencinta, padahal mereka adalah bibi dan keponakan!
Cin Liong gelisah dan tak dapat tidur. Bebera-pa kali dia bangkit dan bangun, duduk
termenung memikirkan nasibnya. Sebagai seorang jenderal muda, dia dapat dibilang berhasil
baik sekaii. Ke-dudukannya tinggi dan terhormat, dipercaya oleh kaisar. Di bidang ini dia
memang beruntung sekali, juga dia tidak pernah kekurangan harta benda. Sesungguhnya,
haruslah diakuinya bahwa hidupnya cukup terhormat, mulia, berkecukupan dan
menye-nangkan. Akan tetapi di bidang cinta, ternyata dia tidak beruntung. Kegagalannya
yang pertama keti-ka dia jatuh cinta kepada Bu Ci Sian sudah terasa amat berat dan luka yang
dideritanya, sampai ber-tahun-tahun masih terasa. Bagi seorang pendekar, perasaan hati
merupakan sesuatu yanf teguh. Kalau sekali mencinta, maka cintanya itu tidak akan rapuh
melainkan kokoh kuat pula seperti keadaan jasmaninya yang tergembleng. Maka kegagalan
cintanya itu membuatnya hampir jera untuk men-dekati wanita lain, bahkan dia mengambil
keputus-an untuk tidak menikah saja. Ayah dan ibunya sudah berkali-kali mendesaknya, akan
tetapi dia berkeras menyatakan belum ingin menikah. Bah-kan ayah ibunya menganjurkan
kepadanya untuk mengambil selir saja kalau belum menemukan seo-rang gadis yang dianggap
cocok untuk menjadi is-terinya. Akan tetapi Cin Liong tetap menolak bu-jukan mereka
walaupun dia tahu bahwa ayah bun-danya itu sudah rindu sekali untuk menimang seo-rang
cucu! Di dalam kehidupan terdapat bermacam kebutuhan yang kesemuanya amat penting.
Kecukupan lahiriah berupa pangan dan papan. Ke-sehatan jasmani. Kerukunan dalam
keluarga, dan sebagainya lagi. Semua itu merupakan bagian-ba-gian dari kelompok yang
dinamakan keperluan atau kebutuhan hidup. Dan kesemuanya itu perlu, tidak kalah
pentingnya dari bagian yang lain. Memen-tingkan satu bagian saja merupakan kebodohan
karena yang satu harus ditutup oleh yang lain. Orang yang hidupnya kaya raya dan serba
kecu-kupan, tetap saja akan menderita dalam hidupnya kalau kesehatannya terganggu. Orang
yang sehat sekalipun tetap akan menderita kalau kekurangan makan dan pakaian. Bahkan
orang yang sehat dan kaya sekalipun akan hidup menderita kalau tidak mempunyai kerukunan
dalam keluarga. Di waktu sakit berat, orang yang kaya akan rela kehilangan semua
kekayaannya asalkan dia sembuh. Sebalik-nya, orang sehat melupakan segala dan mati-
mati-an mempertaruhkan kesehatannya demi mengejar dan menumpuk harta benda.
Demikianlah kenyataannya, hidup ini merupakan sekelompok kebu-tuhan-kebutuhan yang
memang mutlak penting. Akan tetapi, biarpun mementingkan yang satu saja tanpa
memperdulikan yang lain merupakan kebo-dohan, dan mengabaikan kesemuanya merupakan
sikap lemah yang bodoh, sebaliknya terlalu me-ngejar kesemuanya itupun akan
menjerumuskan! Banyak orang beranggapan bahwa kalau sudah ka-ya raya dan
berkedudukan tinggi, tentu orang akan hidup bahagia. Karena itu, semua orang berlumba-
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
114 lumba untuk mengejar kekayaan dan kedudukan. Padahal, semua yang digambarkan sebagai
keba-hagiaan itu sesungguhnya hanyalah bayangan ke-senangan belaka. Dan kesenangan itu
selalu hanya dirasakan oleh orang yang belum mencapai atau memilikinya. Kalau kita
menjenguk ke dalam kehidupan orang-orang kaya atau orang-orang berkedudukan tinggi,
barulah kita akan melihat bah-wa gambaran khayal dari kita bahwa mereka itu hidup bahagia
adalah keliru sama sekali. Bahkan mereka itu sudah tidak lagi dapat merasakan kese-nangan
atau menikmati hartanya maupun kedudukannya, atau setidaknya, tidak seindah atau
se-nikmat ketika mereka membayangkanuya sebelum memilikinya. Sesungguhnyalah bahwa
kesenangan dapat dicari, namun kebahagiaan tidak! Yang bisa dikejar dan dicari hanyalah
kesenangan, namun kesenangan ini amat pendek umurnya dan tempatnya selalu diperebutkan
oleh kebosanan, kekecewa-an dan kesusahan!
Bukanlah berarti bahwa kita harus menolak kesenangan seperti yang dilakukan oleh orang-
orang yang bertapa di puncak gunung. Mereka ini jus-teru mencari kesenangan dengan cara
lain, yaitu cara menyiksa diri atau cara menolak kesenangan lahiriah untuk mencari
kesenangan batiniah yang pada hakekatnya sama juga! Tidak menolak! Kesenangan hidup
adalah kenikmatan yang sudah menjadi hak kita untuk menikmatinya, dan tubuh kita sejak
lahir sudah dilengkapi dengan alat-alat untuk menikmati kesenangan hidup melalui panca
indra. Bukan menolak, melainkan tidak mengejar-ngejar! Kalau ada kesenangan itu, kita
nikmati sebagai anugerah, namun dalam keadaan tetap waspada sehingga kita tidak menjadi
mabok kese-nangan dan menjadi buta. Namun, kalau tidak ada, kita tidak mengejar-
ngejarnya, yang biasanya di-beri pakaian kata muluk "cita-cita". Dan, kalau kita sudah bebas
dari pengejaran ini, di dalam segala sesuatu terdapat keindahan, kenikmatan yang
menyenangkan itu! Di dalam segelas air sekalipun, di dalam hal-hal yang biasanya
dipan-dang sebagai hal sederhana tak berarti, akan nam-pak sesuatu yang amat indah,
menyenangkan dan mendatangkan nikmat hidup.
*** Di luar kota Cin-an, hanya lima belas li jauhnya dari kota Cin-an, terdapat sebuah dusun yang
makmur walaupun rakyatnya hidup sederha-na. Dusun ini bernama dusun Hong-cun, terletak
di lembah Sungai Huang-ho yang subur. Rak-yatnya bercocok tanam, kadang-kadang kalau
tanaman sudah tidak membutuhkan penggarapan lagi, mereka pergi mencari ikan sebagai
kaum ne-layan yang pandai. Di dusun ini tinggal scorang pendekar yang namanya pernah
menggemparkan dunia kang-ouw, akan tetapi karena pendekar ini sejak belasan tahun
lamanya tidak pernah menon-jolkan dirinya di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang tahu
bahwa warga dusun Hong-cun itu adalah seorang pendekar yang pernah menjadi buah bibir
semua tokoh dunia persilatan dan disebut-sebut namanya dengan wajah pucat ketakutan
sebagai Pendekar Siluman Kecil!
Ya, pendekar itu memang Pendekar Siluman Kecil yang bernama Suma Kian Bu, putera
tung-gal dari Pendekar Super Sakti dan isterinya, Puteri Nirahai, dari Pulau Es. Suma Kian Bu
mirip de-ngan ayahnya, dengan rambut yang dibiarkan pan-jang beriapan dan semua telah
menjadi putih se-perti benang-benang perak. Kini usianya sudah empat puluh enam tahun,
namun bentuk tubuhnya masih tegap dan amat gagah perkasa dan kuat se-perti tubuh orang
muda. Hanya rambut putih itu saja yang membuat dia pantas kalau dikatakan bahwa usianya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
115 hampir setengah abad. Isterinyapun bu-kan orang sembarangan, karena isterinya yang
ber-nama Teng Siang In dan yang telah berusia empat -puluh empat tahun itupun dahulu
terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Para pembaca serial ceritaSuling Emas
sampaiPendekar Super Sakti dan keturunannya tentu sudah mengenal baik siapa Suma Kian
Bu ini! Selain berdarah pendekar majikan Pulau Es, juga dari ibunya dia masih ber-darah
keluarga kaisar karena ibunya adalah seorang puteri dan panglima lagi. Dan pendekar inilah
yang merupakan putera Pendekar Super Sakti yang paling lihai. Selain ilmu-ilmu dari
keluarga ayah-nya, yaitu ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia me-miliki gin-kang yang luar biasa
hebatnya, yang membuat dia dapat bergerak seperti pandai meng-hilang saja. Isterinya, selain
hebat pula dalam ilmu silat, bahkan mempunyai keahlian dalam ilmu si-hir.
Memang amat mengherankan, terutama bagi tokoh-tokoh persilatan kalau melihat cara hidup
suami isteri pendekar ini sekarang. Mereka hidup sebagai petani sederhana. Biarpun rumah
mereka cukup besar, namun sederhana dan keluarga ini hidup sebagai petani yang menggarap
sawah, bah-kan kadang-kadang suami isteri ini nampak sibuk pula mencari ikan dengan
perahu mereka. Bagi para penghuni dusun Hong-cun, keluarga ini amat dihormati dan biarpun
keluarga itu tidak pernah menonjolkan kemampuan mereka, namun semua orang sudah dapat
menduga bahwa keluarga ini adalah keluarga yang lihai. Apalagi karena setiap kali ada
penduduk kampung yang sakit, suami is-teri ini dapat menolongnya dan memberi obat. Dan
setelah pendekar ini dan keluarganya tinggal di situ, tidak ada lagi terjadi kejahatan. Beberapa
orang penjahat yaug tadinya beroperasi di situ, segera lari ketakutan karena terjadi hal-hal
aneh menim-pa diri mereka. Ada penjahat yang katanya digon-dol setan dan dilemparkan dari
puncak pohon ting-gi sekali, akan tetapi sebelum tubuhnya remuk ter-banting di atas tanah,
"setan" itu telah menyambar tubuhnya dan setan itulah yang mengancam agar dia
menghentikan perbuatan jahatnya atau pergi dari dusun itu. Bermacam hal aneh terjadi kepada
para penjahat itu dan dalam waktu singkat, dusun itu bersih dari kejahatan, bahkan para
penjahat di tempat lain yang mendengar akan angker dan ke-ramatnya dusun Hung-cun, tidak
ada yang berani mencoba-coba beroperasi di situ. Inilah sebabnya maka dusun itu menjadi
makmur dan semua peng-huni dusun, sampai ketua dusun, menghormati keluarga itu sebagai
keluarga sakti! Merekapun menyebut Pendekar itu dengan sebutan In-kong (Tuan Penolong),
dan isteri pendekar itu disebut Toa-nio.
Di dalam kisahSuling Emas dan Naga Siluman telah diceritakan bahwa sepasang suami isteri
pendekar ini, setelah menikah belasan tahun lamanya, baru mendapatkan seorang keturunan.
Putera me-reka itu mereka namakan Ceng Liong karena me-reka berhasil memperoleh
keturunan setelah meng-gunakan obat mustika ular hijau (baca kisahSuling Emas dan Naga
Siluman). Dan seperti kita ketahui, Ceng Liong diantarkan oleh orang tuanya ke Pulau Es
untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah bimbingan langsung dari Pendekar Super Sakti
dan dua orang isterinya, juga untuk menemani kakek dan kedua orang nenek mereka yang
sudah tua itu. Pada siang hari itu, Suma Kian Bu dan Teng Siang In baru pulang dari ladang. Pakaian
mereka masih basah oleh keringat dan ujung celana mereka masih berlepotan lumpur. Mereka
berdua duduk di serambi depan menikmati air teh hangat yang dihidangkan oleh seorang
pelayan mereka.
Sejenak mereka duduk minum teh tanpa ber-kata-kata. Terasa sunyi sekali oleh mereka
semen-jak putera tunggal mereka meninggalkan mereka. Sudah enam bulan lamanya Ceng
Liong mening-galkan tempat itu dan kadang-kadang Teng Siang In duduk termenung penuh
kerinduan kepada pu-teranya. Bahkan kadang-kadang, kalau sedang seorang diri, dia suka
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
116 menumpahkan rasa rindunya melalui deraian air mata. Tentu saja Suma Kian Bu tahu akan
hal ini. Sudah kurang lebih seper-empat abad lamanya dia menjadi suami Teng Siang In,
maka tentu saja dia dapat mengikuti setiap per-ubahan air muka isterinya itu.
Ketika mereka berada duduk minum teh pada siang hari itu, diapun sudah makhim bahwa
kem-hali isterinya telah kumat rindunya. Di ladang tadipun isterinya sudah diam saja,
kehilangan ke-gembiraannya. Padahal isterinya adalah seorang wanita yang lincah dan biasa
bergembira. "In-moi, kenapa kau diam saja sejak tadi?" tanya sang suami yang bahkan sampai hampir
tua-pun masih terus menyebut In-moi (dinda In) ke-pada isterinya, sebutan yang mesra dan
penuh kasih. Teng Siang In menunduk lalu menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah
membikin panas kedua matanya, lalu menjawab, "Sua-miku, apakah engkau tidak merasakan
kesepian yang mencekam hati ini?"
Jawaban itu sudah cukup bagi Suma Kian Bu. Dia mengangguk-angguk. "Kesepian sejak
anak kita pergi" Akupun merasakan itu, isteriku dan diam-diam akupun merasakan
penderitaan batin yang amat tidak enak ini."
Pendekar ini maklum akan isi hati isterinya. Bagi dia sendiri, sesungguhnya dia tidaklah
begitu menderita dan ucapannya tadi hanya untuk menghibur keresahan hati isterinya.
Pendekar ini yang memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya, sudah me-ngerti bahwa semua
bentuk kesenangan mendatangkan ikatan, dan semua bentuk pengikatan ini men-datangkan
kesengsaraan. Kalau kita sayang akan sesuatu itu, baik sesuatu itu merupakan benda,
ma-nusia, ataupun hanya nama, maka timbullah peng-ikatan di dalam batin. Kita tidak ingin
kehilangan sesuatu yang menyenangkan itu dan kita menjaga-nya kuat-kuat untuk melawan
kemungkinan ke-hilangan itu, kalau perlu kita siap mempergunakan kekerasan untuk
mempertahankan sesuatu itu. Namun, memiliki tidaklah berdiri seiidiri. Memiliki sudah pasti
disambung dengan kehilangan dan karena itulah menimbulkan usaha keras untuk menjaga
atau mempertahankan agar tidak sampai kehilangan dan di sini menjadi sumber pula dari pada
rasa takut. Takut kehilangan sesuatu yang disayangnya, sesuatu yang menyenangkan. Oleh
karena itu, seorang bijaksana tidak mau terikat oleh apapun juga, selalu berada dalam keadaan
bebas. Cinta kasih sejati tidaklah mengikat atau diikat. Hanya kesenangan dan nafsu sajalah
yang meng-ikat.
Teng Siang In juga bukan seorang wanita lemah yang cengeng. Agaknya ia merasakan bahwa
si-kapnya itu tidak semestinya, maka iapun menarik napas panjang. "Suamiku, aku tahu
bahwa sikapku ini bodoh. Ceng Liong berada di Pulau Es, di dalam tangan yang kokoh kuat,
dekat dengan orang tua bijaksana yang mencintanya sehingga tidak ada alasan untuk
mengkhawatirkan keadaannya. Akan tetapi hati ini, hati ibu ini.... maafkanlah kele-mahanku."
Suma Kian Bu memegang lengan isterinya dan tersenyum menghibur. "Aku maklum, isteriku
dan aku tidak menyalahkanmu. Karena kitapun tidak terikat oleh apa-apa di tempat ini,
marilah kita berdua pergi ke Pulau Es menengok Ceng Liong sekalian berpesiar."
Hampir saja Teng Siang In terlonjak kegirangan mendengar usul suaminya ini. Ia meloncat
bangun, merangkul suaminya dan mencium pipinya. "Teri-ma kasih....! Ah, betapa girang
hatiku! Engkau memang seorang suami yang baik sekali!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
117 "Siapa bilang aku suami buruk?" Pendekar itu tertawa, rasa gembira di dalam hatinya melihat
kegirangan isterinya itu agaknya jauh lebih men-dalam daripada kegembiraan isterinya.
"Kapan kita berangkat" Kapan?"


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kapan saja. Kalau kaukehendaki, sekarangpun boleh."
"Sekarang" Ah, agaknya aku sudah tidak bisa menunda lebih lama lagi. Mari kita berkemas,
suamiku!" Dan tanpa menjawab wanita itu ber-lari-lari seperti seorang anak kecil yang
kegirangan ke dalam kamarnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa
melakukan perja-lanan jauh itu.
Pada waktu suami isteri itu sedang mengemasi pakaian dan bekal yang akan mereka bawa
pergi ke Pulau Es, tiba-tiba pelayan mereka memberi tahu bahwa di luar ada dua orang tamu
yang ingin bertemu dengan mereka.
"Siapa mereka dan ada keperluan apa?" Teng Siang In bertanya sambil mengerutkan alisnya
ka-rena dalam keadaan seperti itu ia tidak ingin di-ganggu. Pelayan yang sudah membantu
mereka sejak lahirnya Ceng Liong itu menjawab dengan wajah berseri.
"Yang seorang adalah nona Suma Hui dan yang seorang lagi saya tidak kenal, dia seorang
pemuda." "Suma Hui....?" Suami isteri itu saling pan-dang dengan wajah kaget, heran dan juga
gembira. Suma Hui juga pergi ke Pulau Es bersama dengan Ciang Bun dan juga Ceng Liong.
Maka, seperti menerima aba-aba saja, keduanya lalu meninggalkan kamar itu sambil berlari
dan meninggalkan pelayan wanita setengah tua itu yang menggeleng kepala sambil
tersenyum, tidak merasa terlalu heran me-nyaksikan sikap kedua orang majikannya yang
memang aneh itu.
Ketika suami isteri itu tiba di ruangau depan di mana Suma Hui dan Cin Liong dipersilahkan
du-duk, Suma Hui bangkit berdiri dan segera menu-bruk Teng Siang In sambil menangis.
"Bibi.... paman.... ah, sungguh celaka....!" Dan gadis ini sudah menangis tersedu-sedu dalam
pelukan Siang In yang hanya dapat saling pandang dengan suaminya, terkejut dan juga
gelisah. "Hui-ji (anak Hui).... ada apakah" Apa yang telah terjadi, nak?" Teng Siang In bertanya
sam-bil mengguncang-guncang pundak gadis itu.
Yang ditanya semakin terisak dan mengguguk. "Bibi.... sungguh celaka, malapetaka telah
menimpa kita...." Dan tangisnya membuat ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
Melihat ini, Suma Kian Bu mengerutkan alis-nya. "Suma Hui....!" Suaranya membentak
pe-nuh wibawa sehingga amat mengejutkan hati Cin Liong. "Sudah patutkah sikapmu itu?"
Suara ini penuh teguran karena Suma Kian Bu merasa tidak puas melihat sikap keponakannya
sebagai seorang cucu majikan Pulau Es telah memperlihatkan kelemahan yang seperti itu.
Akan tetapi, Suma Hui yang telah digulung oleh perasaan duka, tetap ti-dak mampu
mengeluarkan suara dan sesenggukan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
118 "Suma Hui....!" Suara Suma Kian Bu makin penasaran.
Melihat Suma Hui dibentak dan gadis itu sema-kin berduka, Cin Liong merasa kasihan dan
diapun menjura sambil berkata, "Sesungguhnya begini...."
"Siapa engkau?" Suma Kian Bu memotong ucapan Cin Liong dan memandang tajam wajah
yang tampan dan gagah itu, diam-diam dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang
sembarangan. "Dan bagaimana engkau dapat datang bersama Suma Hui?" Tentu saja dia
merasa tidak senang melihat keponakannya itu, seorang gadis dewasa, muncul bersama
seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
Kini Suma Hui yang seperti bangkit dari tangis-nya dan menjawab cepat, "Paman, dia adalah
ke-ponakanku sendiri...."
"Keponakanmu....?" Teng Siang In memo-tong, terbelalak, tentu saja terheran dan tidak
dapat percaya bahwa Suma Hui bisa mempunyai seorang keponakan yang menurut
taksirannya tentu jauh lebih tua daripada gadis itu.
"....namanya Kao Cin Liong," sambung Suma Hui.
"Ahhh....! Jenderal muda putera Ceng Ceng itu?" Suma Kian Bu berseru, wajahnya berseri.
"Jadi engkaukah putera Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir?"
Cin Liong kembali memberi hormat kepada pendekar yang masih terhitung paman kakeknya
ini! "Harap maafkan kelancangan saya. Sebetulnya saya baru pulang dari Pulau Es dan
mengalami segala peristiwa yang terjadi di sana, sampai dapat datang ke sini bersama dengan
bibi Hui...."
"Mari kita duduk di dalam dan bicara." Suma Kian Bu mengajak Cin Liong dan Teng Siang
In juga menggandeng Suma Hui yang masih menangis itu. Mereka berempat lalu duduk di
ruangan dalam dan kini Suma Hui sudah mulai dapat mengu-asai hatinya yang berduka."Nah,
sekarang ceritakanlah semuanya," kata Suma Kian Bu. Bersama isterinya dia menanti un-tuk
mendengarkan penuturan itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
Cin Liong memandang kepada Suma Hui seolah hendak bertanya apakah dia yang akan
bercerita. Suma Hui yang juga melirik kepadanya mengge-leng kepada sedikit lalu ialah yang
mulai bercerita. Setelah menarik napas panjang dan mengerahkan tenaga batin untuk menekan
perasaan duka yang mencekik, ia lalu memandang kepada paman dan bibinya sejenak,
kemudian dengan suara lirih na-mun jelas, seolah-olah mengatur agar kedua orang tua itu
tidak sampai terkejut, iapun berkata, "Paman dan bibi, harap jangan terkejut. Pulau Es telah
tertimpa bencana hebat, diserbu oleh puluhan orang penjahat yang dipimpin oleh lima orang
datuk ka-um sesat."
"Nanti dulu, katakan siapa lima orang datuk itu?" Suma Kian Bu memotong.
"Menurut penyelidikan kami terutama Cin Liong, kami ketahui bahwa mereka itu adalah
Hek-i Mo-ong, Ngo-bwe Sai-kong, Eng-
Dendam Iblis Seribu Wajah 16 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Harpa Iblis Jari Sakti 33
^