Kisah Para Pendekar Pulau Es 8

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


bi-cara!" Setelah berkata demikian, Siauw-ok mengang-kat muka memandang kepada gadis remaja
yang mepet di sudut ruangan itu dan menggapai. "Ma-nis, ke sinilah engkau!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
211 Tentu saja gadis itu makin ketakutan, mengge-leng-geleng kepalanya dan makin mepet
dinding, seolah-olah ia hendak melarikan diri dengan menembuskan tubuhnya pada dinding
itu. "Ke sinilah, jangan malu-malu dan jangan takut-takut...." kata Siauw-ok lagi sambil
menggapai dan tersenyum ramah.
Gadis itu menoleh ke kanan kiri, dan akhirnya ia melihat bagian belakang ruangan itu yang
ko-song. Jalan ke belakang! Bagaikan memperoleh tenaga dan semangat baru, gadis remaja
itu bang-kit dan meloncat lalu berlari ke arah pintu bela-kang itu.
"Ahh, jangan lari, manis!" Siauw-ok berkata, suaranya masih halus, tangannya bergerak ke
de-pan dan gadis itu menjerit, tubuhnya terguling se-olah-olah kakinya ada yang menjegalnya.
"Ha-ha-ha, engkau tidak mungkin bisa lari dariku, manis!" Siauw-ok berkata dan kembali ia
mengggerakkan kedua tangannya ke depan dan.... Tek Ciang memandang kagum dan heran
me-lihat betapa tubuh gadis itu terguling-guling ke arah Siauw-ok seperti ditarik oleh suatu
kekuatan yang hebat.
"Uhhh....!" Gadis itu mengerang ketika tangan Siauw-ok tiba-tiba memegangnya. Ter-dengar
suara kain robek berkali-kali disusul jerit tangis gadis itu. Tek Ciang tersenyum melihat
betapa pakaian gadis itu robek-robek, kemudian diapun meninggalkan ruangan belakang itu,
menuju ke ruangan depan di mana dia duduk melamun, mendengarkan tangis dan rintihan
yang terdengar dari ruangan belakang itu. Mendengar rintihan yang memelas itu, dia
tersenyum dan hatinya merasa senang sekali. Rasakan engkau sekarang! Demikian bisik
hatinya puas. Kalau saja dia tidak sedang dalam keadaan penasaran dan sedih, kalau saja dia
sudah tidak curiga sama sekali terhadap orang itu, tentu dia ingin sekali melaksanakan
sen-diri penyiksaan dan penghinaan terhadap gadis itu, atau setidaknya menonton dengan
puas. Kini, dia hanya memuaskan hatinya dengan pendengar-annya saja. Rintihan dan jerit
tangis wanita itu baginya terdengar seperti musik merdu yang mengelus hatinya yang luka
penuh dendam dan kebencian!
Kalau kita membuka mata melihat keadaan ba-tin kita sendiri, akan nampaklah hal yang
menge-rikan ini, yakni bahwa di dasar batin kita terda-pat suatu kekejaman yang amat hebat
dan menge-rikan seperti yang dirasakan oleh Tek Ciang! Ada kecenderungan dalam batin kita
untuk merasa se-rang dan puas melihat penderitaan orang lain. Rasa iba dan haru baru terasa
oleh kita kalau yang tertimpa malapetaka, kalau yang menderita itu sa-nak keluarga atau
sedikitnya orang yang masih ada ikatannya dengan kita. Juga baru timbul rasa iba dan haru itu
kalau kita terpengaruh oleh orang lain atau orang banyak. Mengapakah ke-kejaman makin
menonjol dalam batin sedangkan rasa iba dan baru ini sudah tidak peka lagi"
Rasa senang dan puas melihat orang atau pihak lain menderita jelas muncul karena adanya
api ke-bencian di dalam hati. Bukan benci kepada orang tertentu, melainkan api kebencian
yang membuat kita mengurung diri dalam ke-aku-an yang me-nebal. Rasa benci ini yang
mendatangkan kegembiraan dan kepuasan sewaktu melihat orang lain menderita dan
sengsara. Dan kalau kita mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri sendiri, secara
jujur, kita akan melihat betapa ke-kejaman dan kesadisan sudah bertahta dalam diri kita.
Kesengsaraan orang lain bahkan menjadi hiburan bagi diri sendiri yang sedang dilanda
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
212 ke-sengsaraan pula. Kebahagiaan orang lain kadang-kadang, dan ini sering sekali,
mendatangkan rasa iri dan tidak puas. Mengapa begini"
Semua itu terjadi karena kita tidak menyadari-nya lagi pada saat hati dilanda kebencian, pada
saat kita mentertawakan orang lain yang menderita. Kalau kita waspada, mengamati segala
gerak-gerik diri sendiri lahir batin, akan nampaklah kesemua-nya itu dan penglihatan waspada
ini akan mem-basmi semua itu seketika. Dan barulah, kalau ha-ti tidak lagi dihuni kebencian,
iri hati, penonjolan aku yang semakin menebal, barulah batin kita ter-buka untuk dapat
menerima sinar cinta kasih, ba-rulah kita dapat merasakan kesusahan maupun ke-sukaan
orang lain. Tek Ciang melamun dan tenggelam dalam re-nungan sampai suara rintihan dan isak tangis
itu makin lemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Dia terkejut ketika tiba-tiba namanya
dipanggil. "Louw Tek Ciang! Ke sinilah engkau!"
Tek Ciang mengenal suara Siauw-ok. Dia menengadah, memandang ke langit melalui atap
yang berlubang besar itu. Bulan telah condong ke barat. Tengah malam telah tiba dan diapun
bang-kit berdiri, lalu melangkah memasuki ruangan belakang di mana kini sinar bulan masuk
agak banyak melalui atap bolong karena lubang atap di bagian ruangan ini menghadap agak
ke barat. Tek Ciang menyapu dengau pandang matanya. Siauw-ok sudah duduk pula seperti
tadi, bersila dan seperti tidak nampak perobahan, hanya muka-nya agak basah oleh peluh yang
diusapnya. Di sebelahnya nampak sesosok tubuh yang putih tak berpakaian itu. Tubuh gadis
remaja tadi yang kini rebah terlentang, nampak wajahnya yaug pucat seperti mayat, napasnya
yang empas-empis dan matanya terpejam. Tek Ciang terpaksa menahan senyumnya yang
timbul dari hati yang puas. Dia lalu duduk di depan Siauw-ok, tidak lagi memperdulikan gadis
itu. "Nah, sekarang kita bicara tentang urusan kita." kata Siauw-ok, juga sikapnya sama sekali
tidak perduli akan gadis yang telah diperkosa dan dipermainkannya itu.
"Locianpwe telah tahu mengapa aku menden-dam kepada Kao Cin Liong. Akan tetapi aku
be-lum tahu mengapa locianpwe jugamemusuhinya ." Tek Ciang memulai. Untuk bekerja
sama dengan seseorang, dia harus tahu lebih dulu dasar yang mendorong orang itu untuk
bekerja sama. "Kao Cin Liong adalah seorang panglima yang sudah banyak menghancurkan dan
membunuh golongan kita, bahkan suboku dan semua supek dan susiokku juga tewas di tangan
dia dan kawan-kawannya."
"Lalu apa maksud locianpwe untuk mengajak-ku bekerja sama" Aku bukan tandingan Cin
Liong, dan locianpwe sendiri adalah seorang yang beril-mu tinggi, mengapa mengajak kerja
sama dengan aku yang masih hijau dan lemah?"
"Kita dapat saling bantu, Tek Ciang. Engkau sudah melihat kepandaianku, dan aku telah
me-ngenalmu, mengetahui segala hal mengenai diri-mu dan rahasia ayahmu. Karena itu,
engkau tidak mempunyai pilihan lain kecuali bekerja sama denganku. Beberapa patah kata
saja dariku tentang engkau dan ayahmu, jangan harap engkau akan dapat terus menjadi murid
Suma Kian Lee, apalagi menjadi mantunya."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
213 Diam-diam Tek Ciang terkejut. Dia tahu bah-wa dia berhadapan dengan seorang yang amat
licik, curang dan kejam sekali, juga amat lihai. "Locian-pwe, sebelum kita berunding, aku
ingin lebih dulu mengetahui keuntungan apa yang dapat kuperoleh dengan kerja sama kita
ini." Siauw-ok tertawa. "Ha-ha-ha, engkau cerdik, jauh lebih cerdik daripada ayahmu yang tolol
itu, yang berani mencoba untuk menyerang Kao Cin Liong."
"Harap locianpwe tidak membawa-bawa ayah-ku yang sudah meninggal, dan katakan
keuntungan apa yang dapat kuperoleh."
"Keuntungannya" Wah, banyak sekali bagi-mu. Pertama, engkau akan terus menjadi murid
Suma Kian Lee. Ke dua, engkau dapat dipastikan akan menjadi suami Suma Hui, atau
setidaknya engkau sudah dapat menikmati kegadisannya. Dan ke tiga, engkau akan dapat
membalas dendam kepada Kao Cin Liong dengan membuat dia sengsara, terputus
hubungannya dengan Suma Hui, bahkan besar sekali kemungkinan dimusuhi oleh keluarga
Suma. Ha-ha, mereka itu, keluarga Suma dan keluarga Kao, akan menjadi musuh yang saling
menghancurkan! Betapa hebat dan bagusnya rencanaku ini!"
Tentu saja hati Tek Ciang tertarik sekali. Be-gitu banyak hal-hal yang menguntungkan
baginya. Akan tetapi dia masih menawar, "Apakah tidak bisa Cin Liong kulihat mampus di
depan kakiku?"
"Oho-ho-ho-ho, bicara sih mudah! Engkau tahu, ilmu kepandaian Kao Cin Liong itu hebat
se-kali dan agaknya Si Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi ayahnya itu telah mewariskan
ilmu-ilmu-nya yang hebat. Aku sendiripun tidak sanggup mengalahkannya, apalagi
membunuhnya. Lebih-lebih engkau. Kalau dia tidak sampai terbunuh oleh siasatku ini, kelak
engkau masih mempunyai banyak harapan untuk melakukannya sendiri. Bu-kankah engkau
menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es" Nah, kelak masih ba-nyak
kesempatan bagimu kalau hendak membunuh-nya dengan tangan sendiri. Akan tetapi,
mungkin siasatku ini akan menjerumuskannya ke dalam per-musuhan dengan keluarga Suma
dan siapa tahu dia akan mampus karena permusuhan itu."
"Baik, locianpwe, aku setuju untuk bekerja sa-ma. Nah, apa yang harus kulakukan
sekarang?"
"Mendekatlah dan dengar baik-baik...." kata Siauw-ok. Tek Ciang mendekat dan datuk sesat
itu lalu berbisik-bisik dengan suara yang hanya dapat terdengar oleh mereka yang berada di
dalam ruangan itu.
Sampai lama mereka berbisik-bisik dan tahu-tahu malam telah terganti fajar. Mereka sudah
selesai bicara dan bangkitlah keduanya, lalu mere-ka berjalan ke arah pintu depan. Tiba-tiba
Tek Ciang teringat sesuatu dan menoleh ke arah gadis remaja yang masih rebah terlentang.
Kini gadis itu agaknya sudah siuman, terdengar ia merintih perlahan dan mukanya miring,
matanya terbuka dan air mata mengalir di sepanjang pipi dan le-hernya.
"Bagaimana dengan perempuan itu" Ia mung-kin mendengar semua percakapan kita," kata
Tek Ciang."Dibiarkanpun ia akan mati, tapi lebih aman begini!" Tiba-tiba Siauw-ok
menggerakkan le-ngannya berputar, dan ketika dia melakukan ge-rakan memukul dengan jari
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
214 terbuka ke arah ga-dis itu, terdengar gadis itu menjerit lemah dan tu-buhnya terkulai. Di
dadanya, di antara buah da-danya, nampak guratan merah yang mengeluarkan darah seolah-
olah dada itu baru saja ditusuk pe-dang. Itulah Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai
dari Siauw-ok, yang diwarisinya dari mendiang Ji-ok yang menjadi guru dan juga
ke-kasihnya. Melihat ini, Tek Ciang melongo penuh kagum. Membunuh orang dari jarak jauh
dengan pukulan sudah banyak didengarnya, akan tetapi dengan pukulan yang mengakibatkan
luka seperti ditusuk pedang, baru sekali ini dilihatnya, bahkan belum pernah didengarnya.
"Engkau sungguh hebat, locianpwe."
"Ha-ha, kalau siasat kita berhasil dan kita menjadi sahabat, aku tidak akan berkeberatan kelak
mengajarmu Ilmu Kiam-ci ini. Nah, sekarang ba-walah tubuh itu berikut semua pakaiannya,
kita harus membuang jauh-jauh dari tempat ini yang akan menjadi tempat pertemuan kita."
Tek Ciang menurut. Dia menghampiri mayat gadis itu, memanggulnya dan membawa semua
robekan pakaiannya, kemudian meugikuti Siauw-ok keluar dari kuil itu. Di tempat sunyi, jauh
dari situ, mereka melemparkan mayat dan sisa-sisa pa-kaiannya ke dalam sebuah jurang yang
amat da-1am sehingga tidak terdapat kemungkinan mayat itu akan ditemukan orang.
Kemudian mereka ber-dua berpisah dan mengambil jalan masing-masing tanpa banyak cakap
lagi karena semua rencana si-asat mereka telah mereka bicarakan sampai jelas sekali malam
tadi. *** Dendam merupakan racun bagi batin yang amat berbahaya. Dendam dapat menciptakan
perbuat-an-perbuatan yang amat keji dan kejam, amat ko-tor dan hina. Dendam membuat kita
mau mela-kukan apa saja, betapapun kotornya, untuk melampiaskan dendam itu. Dendam
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dendam ada-lah kebencian dan penyakit
batin ini sudah umum diderita oleh kita semua. Kalau perasaan benci dan dendam menyerang
batin kita dan kita lalu bersikap waspada, mengamati perasaan kita sen-diri, maka akan
nampaklah dengan jelas rangkai-an-rangkaiannya, sebab-sebabnya dan timbulnya benci.
Mula-mula kebencian timbul kalau si aku merasa dirugikan, merasa dibikin tidak senang,
dikecewakan, pendeknya yang membuat si aku merasa rugi, baik lahir maupun batin. Dari
pera-saan tidak senang inilah timbulnya kebencian. Ka-lau hanya sampai di situ, kalau kita
mengamati de-ngan penuh kewaspadaan, mengamati dengan ba-tin kosong tanpa menilai,
maka kebencian akan berakhir pula sampai di situ. Akan tetapi, biasanya pikiran kita lalu
bekerja dengan sibuknya, menilai perasaan benci ini, menilai, mendorong, menarik,
mengendalikan. Sebagian pikiran mencela bahwa benci itu tidak baik, sebagian pikiran pula
mem-bela perasaan itu dengan mengajukan sebab-sebabnya, yaitu karena dirugikan.
Terjadilah pemborosan enersi batin, terjadilah konflik dan tarik-menarik dari penilaian itu,
dan konflik ini bahkan menambah pupuk bagi kebencian itu sendiri. Yang benci adalah aku,
kebencian adalah aku, yang me-nilai, mencela dan membela adalah aku pula, yak-ni
kesibukan pikiran sendiri. Dengan demikian, kebencian takkan mungkin lenyap. Bisa saja
di-kendalikan dan ditekan dan NAMPAKNYA saja lenyap, namun sesungguhnya hanya
merupakan penundaan sementara saja, api kebencian itu ma-sih membara, seperti api dalam
sekam, nampaknya padam namun di sebelah dalam membara dan sewaktu-waktu pasti akan
bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakar!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
215 Pupuk yang membuat suburnya kebencian itu-lah yang harus lenyap dari batin kita.
Penilaian, pengendalian, celaan dan pembelaan itulah yang harus tidak ada. Yang ada hanya
mengamati saja kebencian yang timbul itu, mengamati tanpa me-nilai, bukan AKU yang
mengamati karena kalau demikian masih sama saja, masih kesibukan pikiran belaka yang
menginginkan lain, yang ingin agar tidak benci, agar baik dan sebagainya. Yang ada hanya
pengamatan saja penuh kewaspadaan, per-hatian yang menyeluruh terhadap kebencian yang
mengamuk di hati dan pikiran itu. Tanpa penilaian seperti itu, kebencian akan kehilangan
daya gerak, akan kehilangan daya hidup, seperti api kehabisan bahan bakarnya.
Benci pribadi, atau kebencian yang timbul ka-rena keluarga, demi golongan, demi bangsa,
se-mua itu pada hakekatnya sama saja, yang menjadi peran utama adalah si aku yang dapat
saja diper-luas menjadi keluargaku, golonganku, bangsaku dan selanjutnya.
Louw Tek Ciang pulang ke rumah suhunya dengan dendam yang sudah digodok matang
de-ngan rencana siasat keji yang diatur oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng!
Dua hari kemudian, pada suatu sore, seperti bi-asa Cin Liong datang mengunjungi
kekasihnya, disambut dengan gembira oleh Suma Hui. Mere-ka lalu duduk di ruangan tamu
dan pada sore hari itu, seperti sudah dijanjikan, Cin Liong harus ma-kan malam di situ karena
sudah dipersiapkan oleh kekasihnya. Dan baru pada waktu makan itulah, setelah lewat
beberapa hari, Cin Liong berkesempatan jumpa dengan Tek Ciang. Dia memandang tajam
dan mendapat kenyataan bahwa pemuda itu sudah berobah. Tidak muram atau pucat lagi,
bahkan hormat dan ramah kepadanya.
"Kao-taihiap, aku minta maaf atas segala kesalahanku...."
"Ah, Louw-susiok mengapa menyebutku tai-hiap segala?"
"Suheng, engkau kenapa sih" Kenapa menyebut taihiap kepada Cin Liong?" Suma Hui juga
menegur sambil tersenyum, merasa geli oleh sikap baru ini.
Tek Ciang menarik napas panjang. "Ahh, aku ingin menampar pipi sendiri kalau berani
menye-but nama begitu saja."
"Ih, kenapa begitu, suheng" Cin Liong ini memang masih terhitung keponakanku, maka
sudah sepatutnya dia menyebutmu susiok dan engkau menyebut namanya begitu saja.
Bukankah yang sudah-sudah engkaupun menyebut namanya saja?"
"Karena aku belum mengenal siapa dia! Kalau dia seorang biasa yang lemah seperti aku
masih mending. Akan tetapi dia adalah seorang pende-kar sakti, seorang jenderal, dan jauh
lebih tua da-riku. Kalau aku menyebut namanya begitu saia tentu aku akan menjadi buah
tertawaan orang. Ti-dak, aku harus menyebut taihiap atau aku tidak akan berani menyebut
sama sekali."
Cin Liong tersenyum, di dalam hatinya dia membenarkan Suma Hui yang menceritakan
ke-padanya bahwa pemuda itu selalu ramah dan hor-mat. "Baiklah, Louw-susiok,
sesukamulah. Apa artinya dalam sebuah sebutan" Akan tetapi, meng-apa engkau minta
maaf?" Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
216 "Karena aku telah bersikap kasar selama ini terhadap taihiap, juga menyangka yang bukan-
bukan berhubung dengan kematian ayah, dan juga.... ketika pertama kali taihiap datang,
aku.... aku telah membayangimu sampai ke rumah pengi-napan, maklumlah, aku.... aku ketika
itu mena-ruh curiga kepadamu."
Cin Liong tertawa. "Aku sudah tahu akan hal itu dan tak perlu dirisaukan, susiok. Eh,
bagaima-na dengan hasil penyelidikanmu tentang jai-hwa-cat itu?"
Tek Ciang menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Agaknya aku masih terlalu
bodoh, kepandaianku masih terlalu rendah untuk dapat menemukan jejaknya, walaupun
beberapa kali aku melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali di wuwungan
rumah-rumah. Bahkan aku mendengar berita akan hilang terculiknya seorang gadis dari
keluarga Ciong di ujung barat kota. A-ku yakin bahwa ayah benar, yakni bahwa ada jai-hwa-
cat berkeliaran di kota ini."
Cin Liong mengangguk. "Akupun sudah men-dengar berita itu dari komandan kota. Karena
kebetulan akn sendiri sedang berada di kota ini, bi-arlah aku akan melakukan penyelidikan
malam ini."
"Aku juga akan melakukan penyelidikan seda-patku, taihiap. Pendeknya, aku takkan berhenti
menyelidiki sebelum penjahat itu tertangkap atau terbunuh!" Tek Ciang berkata penuh
semangat. Setelah makan selesai, Tek Ciang yang "tahu diri" lalu mundur dan memasuki
kamarnya sendiri, mem-biarkan sepasang kekasih itu asyik berdua saja di kamar tamu.
Dan memanglah, setiap kali mereka bertemu berdua saja, Cin Liong dan Suma Hui tentu
me-numpahkan rindu dan sayangnya melalui suasana yang akrab dan santai, romantis dan
mesra. Mere-ka bercakap-cakap, bersendau-gurau, kadang-ka-dang berangkulan dan
berciuman. "Hui-moi, kalau ayah bundaku sudah melamar, dan kalau orang tuamu setuju, aku ingin kita
tidak lama-lama menunda pernikahan. Aku ingin se-gera menikah denganmu, tinggal di kota
raja dan aku akan mengajukan permohonan kepada sri baginda kaisar agar ditugaskan di kota
raja saja, agar tidak banyak berkeliaran meninggalkan ru-mah seperti sekarang. Dengan
demikian, kita akan dapat setiap bari berjumpa dan berkumpul.?"Ihh, kenapa tergesa-gesa
amat menikah?" Suma Hui menggoda sambil tersenyum dan kedua pipinya merah.
Cin Liong mencubit dagunya. "Masa tidak me-ngerti" Aku aku sudah ingin.... eh, selalu di
sampingmu, Hui-moi."
Sejenak mereka bermesraan. Tiba-tiba Suma Hui menarik napas panjang. "Bagaimana
audaika-ta.... ayahku tidak setuju?"


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cin Liong mengerutkan alisnya. "Kalau begitu.... tinggal terserah kepadamu. Tentu saja aku
tidak berani menentang orang tuamu, Hui-moi, akan tetapi demi engkau, apapun juga akan
kula-kukan, kalau perlu menghadapi orang tuamu."
"Kalau aku.... jika ayah melarang dan menen-tang, aku akan pergi meninggalkan rumah ini,
aku akan pergi bersamamu.... maukah engkau, Cin Liong?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
217 "Tentu saja! Dan aku akan melindungimu, membelamu dengan nyawaku. Akan tetapi,
mudah-mudahan tidak sampai sejauh itu, Hui-moi, aku percaya akan kebijaksanaan ayahmu
sebagai seorang pendekar sakti yang berpemandangan luas."
Demikianlah, mereka bercakap-cakap, kadang-kadang gembira, kadang-kadang gelisah kalau
membayangkan halangan besar yang mungkin tim-bul dalam hubungan mereka karena
penentangan ayah gadis itu. Kemudian pemuda itu menyatakan bahwa sebaiknya kalau dia
pergi dulu ke kota raja, selain untuk urusan tugas, juga untuk menan-ti datangnya ayah
bundanya. Suma Hui terkejut mendengar kekasihnya akan pergi. "Apakah engkau tidak dapat menanti
sam-pai pulangnya ayah dan ibu?" Gadis ini memba-yangkan betapa hidup akan terasa sunyi
dan tidak menyenangkan kalau kekasihnya ini pergi dari Thian-cin.
"Agaknya tidak baik kalau di waktu orang tua-mu tidak ada di rumah, aku setiap hari datang
mengunjungimu, Hui-moi. Apa akan kata orang nanti" Pula, orang tuaku sudah berjanji
bahwa kalau mereka pergi ke Thian-cin, mereka akan singgah dulu di kota raja."
Biarpun hatinya terasa berat, namun Suma Hui tidak dapat membantah kekasihnya. Ia hanya
bertanya muram, "Kapan engkau akan pergi?"
"Sebaiknya besok atau lusa, Hui-moi. Sudah agak lama aku berada di sini."
Malam itu, ketika Cin Liong hendak mening-galkan Suma Hui, gadis itu merangkulnya dan
su-aranya penuh kesedihan ketika ia berkata, "Cin Liong, jangan terlalu lama meninggalkan
aku.... aku akan merasa kesepian dan tidak betah di ru-mah ini...."
Cin Liong merangkul dan menciumnya. Karena mereka berdua maklum bahwa besok mereka
akan berpisah, maka rangkulan dan ciuman mereka lebih hangat dan mesra daripada biasanya.
Cin Liong yang merasa betapa gairah berahi menye-rangnya, cepat mendorong tuhuh Suma
Hui dengan halus sambil berkata dan tersenyum.
"Ah, Hui-moi. Kenapa engkau bersedih" Ki-ta berpisah hanya untuk beberapa bulan saja.
Ba-gaimanapun juga, engkau adalah calon isteriku, apapun yang akan terjadi, bukan" Engkau
adalah punyaku...." Mereka berdekapan lagi.
"Aku punyamu dan engkau milikku, Cin Liong.... hanya kematian yang akan memisahkan
kita...." "Aku cinta padamu, Hui-moi.... aku cin-ta padamu...."
Dengan kata-kata yang diucapkan suara ter-getar ini masih terngiang di telinganya, Suma Hui
mengantar kekasihnya yang meninggalkan rumah-nya itu. Cin Liong juga merasa berat sekali
me-ninggalkan Suma Hui, walaupun besok sebelum berangkat dia tentu akan singgah untuk
berpamit dulu. Dia tidak langsung ke rumah penginapan karena teringat akan cerita yang
didengarnya ten-tang gadis yang lenyap diculik penjahat. Kalau memang benar ada jai-hwa-
cat berkeliaran di kota ini, sebelum dia pergi, dia harus dapat me-nangkapnya lebih dulu.
Adanya seorang penjahat cabul di Thian-cin sama dengan memandang ren-dah kepada
keluarga Suma! Maka diapun mulai melakukan penyelidikan pada malam hari itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
218 *** Malam itu Suma Hui tidak dapat tidur, gelisah saja di atas pembaringannya. Ia
memerintahkan pelayan rumah untuk menutup semua pintu dan jendela setelah kekasihnya
pergi dan setelah mem-bersihkan diri, iapun memasuki kamarnya. Ia tahu bahwa suhengnya
tidak ada, seperti katanya tadi ketika makan bersama, suhengnya itu akan me-lanjutkan
usahanya mencari jejak jai-hwa-cat. Juga kekasihnya akan ikut membantu dalam pengusutan
dan pencarian jejak penjahat itu. Akan tetapi ia sendiri tidak perduli. Hati dan pikiran-nya
sudah penuh dengan masalahnya sendiri, pe-nuh dengan kekhawatiran bahwa ayahnya akan
menentang perjodohannya.
Akhirnya pikiran yang sibuk itu membuatnya lelah dan mulailah dara itu terlelap. Lapat-lapat
ia seperti mendengar suara suhengnya perlahan-lahan bicara dengan pelayan di belakang.
Suheng-nya sudah pulang agaknya, demikian pikirannya yang terakhir. Lalu ia mencium bau
harum yang aneh. Sejenak ia terlena dan bau harum itu membuat ia sadar dan curiga akan bau
harum ini. Cepat ia membnka mata dan bangkit. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia
merasa kepalanya pening begitu ia membuka mata dan bangkit. Pa-da saat itu, sesosok
bayangan yang amat ringan gerakannya meloncat masuk kamar melalui jendela yang
dipaksanya terbuka dari luar.
Biarpun kepalanya pening, akan tetapi kewas-padaan seorang pendekar silat masih ada pada
Suma Hui, membuat dara ini cepat membalikkan tubuh dan siap menghadapi lawan. Akan
tetapi orang itu ternyata lihai bukan main, sekali meng-ulur tangannya dia telah mengirim
totokan-totok-an secara beruntun. Suma Hui mencoba untuk mengelak dan menangkis, akan
tetapi tetap saja pundaknya terkena totokan, disusul totokan pada lehernya yang membuat ia
tiba-tiba menjadi le-mas dan tak dapat mengeluarkan suara. Dalam keadaan lemas dan
setengah terbius, juga dalam cuaca dalam kamar yang remang-remang, ia ti-dak mengenal
orang ini, hanya melihat bentuk tubuh seorang pria yang bertubuh sedang dan tegap.
"Cin.... Cin Liong...." Hatinya berbisik karena ia tidak mampu bersuara setelah urat ga-gunya
tertotok. Karena ia kini direbahkan dengan muka menghadap ke dinding dalam keadaan
mi-ring, ia tidak melihat apa yang dilakukan oleh orang yang menotoknya itu. Hatinya penuh
dengan keheranan dan juga kemarahan. Orang itu bentuk tubuhnya seperti Cin Liong dan
melihat kelihaian-nya, agaknya pantaslah kalau ia menduga orang itu kekasihnya. Akan
tetapi, mungkinkah Cin Liong melakukan hal aneh ini" Ia tidak tahu bahwa orang itu
berkelebat keluar dari lubang jendela. Waktu rasanya berjalan amat lambat ba-gi Suma Hui
yang tidak mampu bergerak itu. Bau harum masih memasuki hidungnya dan kepalanya terasa
semakin berat dan mengantuk, tubuhnya tak dapat digerakkan dalam keadaan lemas seper-ti
orang tidur dan iapun tidak mampu membuka mulut. Asap harum yang mengandung obat bius
itu makin menguasainya, membuat pandang mata-nya semakin suram.
Tiba-tiba ia menjadi kaget setengah mati keti-ka merasa betapa sepasang lenganmemeluknya.
Ia berusaha membuka mata melihat, akan tetapi cuaca terlalu gelap dan pandang matanya juga
sudah kabur. Ia hanya merasa ada orang yang memeluknya ketat, lalu ada orang yang
menciumi mukanya, menciumi bibirnya. Ia hanya mende-ngar desahnya napas memburu, lalu
mendengar bi-sikan-bisikan lembut.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
219 "Hui-moi.... aku cinta padamu.... aku cinta padamu...."Cin Liong! Demikian hatinya
berteriak. Akan tetapi ia merasa betapa pikirannya pusing, dunia seperti berputar dan kiamat
rasanya ketika ia me-rasa betapa jari-jari tangan meraba dan membelai-nya, membuka
pakaiannya. "Tidak....! Tidak....! Jangaaaannn....!" Hatinya menjerit-jerit akan tetapi tidak ada su-ara yang
keluar. Ingin ia menjerit, ingin ia me-ronta dan mengamuk, ingin ia menangis. Akan tetapi
hanya air matanya saja yang menetes-ne-tes dalam tangis tanpa suara.
"Hui-moi.... engkau calon isteriku...." demikian suara itu berbisik-bisik dan selanjutnya Suma
Hui bergidik ngeri merasakan apa yang akan menimpa dirinya dan pada saat terakhir, iapun
tidak ingat apa-apa lagi, tak sadarkan diri karena tidak dapat menahan guncangan batin yang
ter-jadi melihat kenyataan bahwa dirinya diperkosa oleh orang yang dicintanya tanpa mampu
mencegah, melawan atau bahkan berteriak.
Ketika ia siuman kembali, Suma Hui masih belum mampu menggerakkan tubuhnya. Hancur
luluh rasa hatinya, dunianya seperti kiamat. Ia dapat merasakan apa yang telah menimpa
diri-nya, malapetaka terbesar bagi seorang wanita, ter-utama bagi seorang gadis. Aib telah
menimpa di-rinya, aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawa, dicuci dengan darah. Yang
membuat ia mera-sa semakin sedih adalah kenyataan bahwa yang melakukan hal itu adalah
Cin Liong, pria yang dikasihinya, yang dicintanya, calon suaminya, ca-lon ayah dari anak-
analnya! Cin Liong telah memperkosanya! Padahal, tanpa diperkosa sekali-pun, kalau
waktunya telah tiba, ia akan menye-rahkan segala-galanya kepada pemuda itu. Akan tetapi,
Cin Liong telah merusaknya, menghancur-kan kebahagiaannya dengan perbuatannya yang
keji dan hina! "Ya Tuhan....!" Dalam hatinya Suma Hui mengeluh dan merintih. Ia teringat kepada ayah
ibunya dan kembali air matanya bercucuran. Ga-dis ini biasanya keras hati dan tidak mudah
bagi-nya mengucurkan air mata, akan tetapi sekali ini, dirinya telah tertimpa malapetaka yang
amat he-bat, yang lebih berat daripada kematian sendiri. Ia lalu teringat bahwa dalam keadaan
tertotok, ia harus dapat menenteramkan batinnya agar dapat membuka jalan darah melalui
kekuatan Swat-im Sin-kang. Dengan segala kekuatan dan kemauan yang ada, iapun lalu
memejamkan matanya, meng-heningkan cipta. Perlahan-lahan, setelah ia dapat melupakan
segala peristiwa yang menimpanya, ia mulai merasakan gerakan hawa dalam tian-tan di
pusarnya. Ia membiarkan hawa itu bergerak perlahan, makin lama makin cepat dan makin
terasa kekuatannya, Dengan kemauannya yang membaja, akhirnya ia dapat menggerakkan
hawa itu naik, membuka jalan darah yang masih dipe-ngaruhi totokan.
Dapat juga ia membebaskan diri dari totokan sebelum waktunya. Akan tetapi, karena
pengaruh obat bius masih membuat kepalanya pening, iapun dengan hati-hati bangkit berdiri,
turun dari pem-baringan dan bersila di atas lantai dekat jendela yang dibukanya, lalu
menghadap keluar dan membersihkan diri melalui pernapasan, mengumpulkan hawa pagi
yang murni. Malam telah hampir terganti pagi ketika akhirnya ia sadar sama sekali dan bebas dari
pengaruh obat bius. Mulailah dia meneliti dirinya dan ia mengepal tinju dengan kemarahan
memuncak ketika melihat betapa sebagian pakaiannya bernoda darah. Tanpa melihat tanda
inipun ia sudah tahu apa yang menimpa dirinya, yaitu bahwa ia telah diperkosa orang, atau
lebih tepat lagi, diperkosa Cin Liong ketika ia tak sadar. Dengan menahan tangis ia lalu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
220 berganti pakaian, akan tetapi ma-kin lama, kemarahan makin memuncak dan menu-suk-nusuk
hatinya seperti jarum beracun. Makin panaslah ia dan tanpa disadarinya ia lalu mengamuk!
Meja kursi dipukuli dan ditendanginya, kasur dirobek dan diawut-awut dan mulutnya
me-maki-maki. "Jahanam! Keparat bedebah engkau! Manu-sia laknat, aku bersumpah untuk membunuhmu,
memusuhimu sampai tujuh turunan!" Terdengar suara hiruk-pikuk yang mengejutkan dari
dalam kamarnya, membuat pelayan dan Tek Ciang datang berlari-larian.
"Brakkkk!" Kini daun pintu kamar itu pecah tertendang oleh Suma Hui, hampir saja
menimpa Tek Ciang dan si pelayan yang sudah tiba di luar pintu. Untung Tek Ciang bergerak
cepat, menarik tangan si pelayan dan meloncat ke belakang keti-ka daun pintu ambrol.
Keduanya berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Snma Hui yang muncul dengan
rambut awut-awutan, pa-kaian kusut dan mata beringas.
"Nona....!" Pelayan itu menjerit kaget.
"Sumoi....! Ada apakah, sumoi" Apakah yang telah terjadi....?" Louw Tek Ciang juga
mene-gur sambil melangkah maju. "Ingatlah, sumoi, ingatlah. Apa yang telah terjadi
denganmu, su-moi....?"
Suma Hui yang seperti kesetanan itu, tiba-tiba terbelalak memandang Tek Ciang dan
pelayannya. Mendengar suara Tek Ciang yang halus dan penuh perhatian itu, tiba-tiba saja ia
memperoleh pele-pasan dan gadis itu tidak dapat menahan lagi ta-ngisnya.
"Suheng.... ah, suheng.... hu-hu-huuuhhh...." Ia terhuyung dan Tek Ciang cepat meme-gang
pundaknya. Karena Tek Ciang merupakan satu-satunya orang yang dekat dengannya, Suma
Hui lalu menangis mengguguk dan menjatuhkan dirinya dalam pelukan pemuda itu, menangis
sambil menyandarkan muka di dada Tek Ciang. Pemuda ini mehgelus kepala Suma Hui
sambil menghiburnya dengan kata-kata yang tenang dan ramah.
"Sumoi, segala hal dapat diurus dengan baik. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi
dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Sumoi, apakah yang telah terjadi...."
Akan tetapi, Suma Hui makin mengguguk da-lam tangisnya sehingga Tek Ciang
membiarkan-nya saja, malah berkata halus, "Menangislah, su-moi. Menangislah sepuasmu
kalau tangis dapat meringankan hatimu, sumoi...."
Dan memangtangis saja yang dapat meringan-kan hati yang sedang sesak oleh kedukaan
bercam-pur kemarahan. Setelah menangis terisak-isak dan menumpahkan banyak air mata,
Suma Hui dapat menguasai dirinya lagi. Tentu saja ia tidak mau menceritakan malapetaka apa
yang menimpadiri-nya. Ia melepaskan diri dari pelukan Tek Ciang, memandang kepada
suhengnya itu dengan berte-rima kasih.
"Maafkan kelemahanku, suheng...."
"Sumoi, engkau sungguh membuat aku terkejut dan khawatir sekali. Apakah yang telah
ter-jadi" Kenapa engkau mengamuk?" Dia meman-dang ke dalam kamar yang kalang-kabut
itu. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
221 "Nampaknya seperti ada perkelahian di dalam kamarmu. Engkau berkelahi dengan
siapakah?"
Suma Hui menggeleng kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu dia siapa. Tapi, suheng, apakah
sema-lam engkau tidak mendengar apa-apa dan tidak melihat orang memasuki rumah kita?"
Tek Ciang menggeleng kepalanya dan alisnya berkerut. "Aku baru pulang menjelang pagi,
bah-kan belum dapat tidur ketika tiba-tiba mendengar suara ribut-ribut dari kamarmu.
Semalam aku keliling kota melakukan penyelidikan dan ke-betulan sekali aku melihat
perkelahian yang amat hebat antara Kao-taihiap dan seorang yang tidak kukenal...."
Seketika perhatian Suma Hui tertarik. "Dia...." Dia.... berkelahi" Di mana dan siapa
lawan-nya" Bagaimana....?" Pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dengan gagap.
"Aku sedang melakukan penyelidikan ke lo-rong-lorong gelap ketika aku melihat
berkelebat-nya bayangan orang yang meloncat ke atas gen-teng. Aku terkejut sekali dan
menyelinap ke tem-pat gelap sambil mengintai. Tiba-tiba aku melihat Kao-taihiap juga
meloncat ke atas sambil mem-bentak. Mereka lalu berkelahi di atas genteng, bahkan lalu
keduanya meloncat turun dan melanjutkan perkelahian di atas tanah. Orang itu lihai sekali dan
agaknya menjadi tandingan yang seim-bang dari Kao-taihiap. Keduanya berkelahi tanpa
menggunakan senjata. Entah berapa lama dan siapa yang unggul aku tidak dapat mengikuti
sa-king cepatnya mereka bergerak. Akan tetapi akhirnya, lawan Kao-taihiap melarikan diri
dike-jar oleh Kao-taihiap. Aku berusaha mengejar pula dan mencari-cari, akan tetapi mereka
lari ter-lampau cepat dan aku kehilangan jejak mereka. Aku terus mencari sampai hampir pagi
tanpa ha-sil, kemudian aku pulang."Suma Hui mendengarkan semua itu dengan hati tertarik.
Siapakah yang berkelahi melawan Cin Liong" Dan apakah sesudah berkelahi itu Cin Liong
lalu memasuki kamarnya"
"Apakah engkau tidak melihat bagaimana wa-jah lawannya itu, suheng" Bagaimana pula
bentuk tubuhnya?"
"Keadaannya amat gelap, sukar mengenal wa-jahnya. Akan tetapi pakaiannya mewah dan
agak-nya dia setengah tua, tubuhnya sedang...."
"Ah, tentu dia Jai-hwa Siauw-ok!" Suma Hui berseru.
"Mungkin, karena ketika mengejar, Kao-taihiap juga berseru begini : Jai-hwa-cat, jangan
lari!" Suma Hui termenung. "Mengasolah, suheng. Akupun hendak istirahat...."
"Tapi, sumoi.... apa yang terjadi di sini" Engkau belum menceritakan kepadaku."
Suma Hui menggeleng kepala. "Tidak apa-apa. Ada yang memasuki kamarku. Kami
berkelahi, akan tetapi dia keburu pergi tanpa aku dapat mengenalinya. Sudahlah, suheng, aku
lelah dan hendak istirahat." Suma Hui memasuki kamarnya dan mengangkat pintu yang jebol
itu, menutupkannya begitu saja.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
222 Sejenak Tek Ciang bengong di depan pintu, lalu mengangkat pundak dan memberi isyarat
kepada pelayan yang juga ikut bengong itu untuk pergi dan membiarkan nona itu beristirahat
dalam kamarnya yang awut-awutan.
Suma Hui memandang sekeliling kamarnya. Meja kursi hancur berantakan oleh amukannya.
Kasurnya robek awut-awutan. Akan tetapi ia ti-dak perduli dan ia menjatuhkan badannya ke
atas pembaringan kayu yang kasurnya sudah robek-robek itu, memejamkan matanya dan
menahan tangisnya. Tidak, tidak ada gunanya lagi menangis, pikir dara yang keras hati ini.
Tidak ada lagi yang perlu dita-ngisi. Hidupnya sudah berakhir, kebahagiaannya sudah hancur.
Ia harus menuntut kepada Cin Liong, ia akan minta pertanggungan jawabnya. Bagaimanapun
juga, ia tidak mungkin dapat men-cinta Cin Liong lagi setelah pemuda itu melakukan hal yang
demikian kejinya terhadap dirinya. Cin-tanya sudah lenyap bersama dengan kehormatan-nya
yang direnggut oleh pemuda pujaannya itu. Ah, benarkah bahwa cinta antara bibi dan
kepo-nakan seperti ia dan Cin Liong itu dikutuk oleh para leluhur, dikutuk oleh Thian
sehingga menimbulkan malapetaka yang begini hebat atas dirinya"
Siapa kalau bukan Cin Liong yang melaku-kan perbuatan keji itu" Suaranya tak dapat
dilu-pakannya, dan kelihaian pemerkosa itupun menun-jukkan bahwa Cin Liong orangnya.
Akan tetapi, mengapa Cin Liong mempergunakan asap pembius" Apakah agar tidak dikenal"
Tapi, ucapan pe-muda itu jelas memperkenalkan dirinya! Apakah dasar dari perbuatan
kekasihnya itu" Hanya karena dorongan nafsu berahi" Tak mungkin! Ke-tika mereka
berpelukan semalam sebelum pemuda itu meninggalkannya, iapun dapat merasakan gairah
berahi pada diri pemuda itu, namun Cin Liong cepat memisahkan diri. Cin Liong bukan
seorang pemuda hamba nafsu. Ataukah.... Suma Hui membuka matanya ketika teringat akan
hal itu, dan ia bangkit duduk, mengepal tinju, apakah pemuda itu melakukan perbuatan keji
itu dengan maksud agar ayahnya terpaksa memenuhi tuntutan mereka untuk dapat saling
berjodoh" Karena ia sudah dinodai maka ayahnya takkan dapat meno-lak pinangannya lagi
karena aib yang menimpa dirinya takkan dapat tercuci"
"Tidak!" Ia mendesis. "Aku tidak sudi! Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang yang
berhati palsu! Noda ini hanya dapat ditebus de-ngan nyawa!"
Kemarahannya membuat ia melotot, akan teta-pi ia segera membayangkan wajah Cin Liong
yang begitu tampan dan sikapnya yang begitu halus dan gagah, dan tak terasa lagi air matanya
menetes tu-run. Sejenak ia membiarkan kekecewaan dan pe-nyesalan menguasai dirinya, akan
tetapi kekerasan hatinya segera timbul kembali. Ia bangkit berdiri dan membanting-banting
kaki kirinya beberapa kali, kebiasaan yang tidak disadari kalau ia sedang marah.
"Kao Cin Liong keparat busuk! Cintaku sudah hancur dan lenyap dan mulai malam tadi,
engkau telah menjadi musuhku sampai tujuh turunan!" Dan iapun segera membereskan
rambut dan pa-kaiannya, berdandan dengan ringkas, kemudian dengan hati panas seperti
dibakar ia melangkah keluar, membawa sepasang pedangnya yang digan-tungkan di


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punggung. Hanya satu tujuan meme-nuhi batinnya, yaitu mencari Cin Liong di rumah
penginapan dan membunuhnya kalau mungkin!
"Sumoi....!"
Louw Tek Ciang telah berdiri di depannya. Pemuda itu nampak pucat seperti orang kurang
tidur atau orang yang gelisah, akan tetapi tidak-lah sepucat Suma Hui dan pemuda itu
memandang penuh kegelisahan ke arah punggung sumoinya di mana terdapat sepasang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
223 pedang bersilang. Tidak pernah sumoinya pergi meninggalkan rumah mem-bawa-bawa
pedang. "Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah sepagi ini" Dan engkau membawa pedang.... mau
apa-kah engkau....?"
Suma Hui mengerutkan alisuya, merasa tidak senang dan terganggu, maka jawabnya dengan
suara dingin, "Suheng, engkau jaga rumah baik-ba-ik dan jangan mencampuri urusanku. Aku
mem-punyai keperluan dan tak seorangpun boleh men-campuri." Setelah berkata demikian, ia
membalik dan hendak melanjutkan perjalanannya.
"Hui-moi....!"
Suma Hui terperanjat seperti disambar petir, akan tetapi, kemarahannya memuncak
mendengar suara Cin Liong dan dengan perlahan ia membalik dan menghadapi pemuda yang
baru muncul itu. Melihat wajah pemuda itu juga lesu dan ada tan-da-tanda kurang tidur, hati
Suma Hui merasa semakin yakin akan kesalahan orang yang tadinya amat dicintanya itu.
"Singggg....!" Nampak sinar berkelebat dan sepasang pedang telah berada di kedua tangan
gadis itu. "Keparat jahanam Kao Cin Liong, rasakan perbalasanku!" bentaknya dan dengan kemarah-an
meluap-luap, Suma Hui sudah menyerang Cin Liong dengan sepasang pedangnya, langsung
mem-pergunakan jurus Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hehat karena ia tahu
bahwa yang diserangnya adalah orang yang amat lihai.
"Heiiii....!" Terkejut sekali Cin Liong me-lihat serangan itu dan saking kaget dan herannya,
terlambat dia mengelak.
"Crottt....!" Pangkal lengan kirinya terkena serempetan pedang. Agaknya tadinya dia mengira
bahwa gadis itu hanya main-main, maka barulah dia sadar bahwa sesungguhnya kekasihnya
itu ti-dak main-main dan serangan yang ditujukan ke-padanya tadi adalah serangan maut!
"Hui-moi.... tahan dulu....! Apa dosaku" Apa salahku" Apa yang terjadi" Kenapa engkau
menyerangku, memusuhiku...."
"Penghinaan itu hanya dapat dicuci dengan darah dan ditebus dengan nyawamu, ma-nusia
hina-dina!" Dan kini Suma Hui sudah me-nyerang lagi dengan lebih hebat karena
kemarah-annya semakin memuncak, seolah-olah melihat darah yang membasahi baju pada
pangkal lengan Cin Liong itu mengingatkan ia akan darahnya sen-diri dan membuatnya sedih
sekali. "Eh, Hui-moi, nanti dulu....!" Cin Liong menjadi bingung sekali.
"Hyaaaattt.... sing-sing-singgg....!" Suma Hui menyerang bertubi-tubi, sepasang pe-dangnya
itu menjadi dua sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar mengarah bagian yang
berbahaya dari tubuh Cin Liong. Karena panik dan bingung, hampir saja tubuh Cin Liong
terba-bat dan gerakannya menjadi kacau sehingga dia hanya mampu melempartubuh ke
belakang, lalu bergulingan dengan cepat.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
224 "Hui-moi, aku menuntut penjelasan....!" teriaknya penasaran. "Apa salahku?" Dia sudah
berhasil meloncat dan bangkit berdiri lagi.
Akan tetapi, Suma Hui sudah tidak sudi bicara lagi. Pedangnya menyambar lagi dan ia
menye-rang dengan jurus-jurus pilihan Siang-mo Kiam-sut yang memang hebat bukan main.
Biarpun Cin Liong memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, na-mun menghadapi serangan
ilmu pedang itu tanpa membalas, tentu saja amat berbahaya. Dia ber-loncatan dan menyelinap
di antara gulungan sinar pedang, beberapa kali nyaris tubuhnya tercium ujung pedang, bahkan
ada beberapa bagian ujung pakaiannya yang robek oleh sambaran pedang yang amat tajam
itu. "Hui-moi, kita bicara dulu....!"
"Engkau atau aku yang harus mampus!" ben-tak Suma Hui dan ia menyerang terus dengan
he-bat. "Sumoi.... sumoi.... sabarlah, sumoi....!" Berkali-kali Tek Ciang juga menasihati sumoinya,
akan tetapi dia tidak berani melerai karena dia merasa tidak akan mampu menghadapi
permainan pedang yang dahsyat itu.
"Sing-singgg.... wuuutttt....!" Segumpal rambut kuncir dari Cin Liong terkena sabetan pedang
dan rontoklah gumpalan rambutnya ke atas tanah. Pemuda ini terkejut sekali. Beberapa
senti-meter lagi selisihnya, nyaris lehernya yang putus. Dia melihat bahwa kekasihnya itu
sungguh-sung-guh dan bahwa pada saat itu bukan waktunya un-tuk bicara. Tentu saja kalau
dia mau, dia dapat merobohkan Suma Hui dan membuatnya tidak berdaya lalu mengajaknya
bicara, akan tetapi dia mengenal watak keras dari kekasihnya itu sehingga kalau dia
merobohkannya, hal itu tentu akan me-nambah gawatnya keadaan karena tentu gadis itu akan
menjadi semakin marah. Jalan satu-satunya hanyalah menjauhkan diri dan membiarkan
sam-pai hati gadis itu yang terbakar menjadi agak di-ngin dan marahnya mereda. Barulah dia
akan datang bicara.
"Ah, Hui-moi.... Hui-moi...." keluhnya dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik
beberapa kali lalu berlompatan jauh melari-kan diri.
"Jahanam jangan lari!" Suma Hui membentak akan tetapi Cin Liong sudah lari dengan
cepat-nya. "Sumoi, jangan kejar....!" Tek Ciang juga berlari mengejar gadis itu. Karena hari telah pagi
dan banyak orang di jalan, tentu saja mereka me-rasa heran melihat orang-orang muda itu
berla-rian, apalagi dengan ilmu lari cepat. Suma Hui tidak memperdulikan seruan suhengnya
dan ia terus mengejar menuju ke rumah penginapan di mana Cin Liong mondok. Akan tetapi
ketika ia tiba di situ, ternyata Cin Liong sudah lama pergi membawa bekal pakaiannya.
Terpaksa Suma Hui membanting-banting kakinya dan menahan tangis, lalu pulang. Di jalan ia
bertemu dengan Tek Ciang yang mengejarnya.
"Sumoi, percuma saja engkau mengejar. Kalau ada sesuatu, kalau engkau merasa penasaran
ke-pada Kao-taihiap, laporkan saja kelak kepada su-hu. Tentu suhu akan dapat turun tangan.
Engkau sendiri kiranya takkan dapat melawan Kao-taihiap yang amat lihai itu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
225 Suma Hui hanya mengangguk dan berjalan pulang dengan cepat. Hatinya meradang, marah
dan penasaran sekali. Jelas bahwa Cin Liong bersalah, kalau tidak, tentu tidak akan melarikan
diri. Keparat itu! Hatinya terasa sakit sekali, le-bih nyeri rasanya karena ia tahu benar bahwa
ia masih tetap mencinta pemuda itu.
Setelah tiba di rumah, Tek Ciang memberani-kan diri bertanya, "Sumoi, sebenarnya apakah
yang terjadi" Mengapa sumoi begitu marah dan hen-dak membunuh Kao-taihiap?"
Suma Hui mengerutkan alisnya, memandang kepada suhengnya lalu berkata, "Louw-suheng,
aku mengharap agar engkau tidak mengajukan pertanyaan itu lagi kepadaku dan tidak
menceri-takan semua yang terjadi tadi kepada siapapun juga. Kalau suheng melanggar
pesanku ini, aku akan marah sekali!" Setelah berkata demikian, dara itu lalu pergi memasuki
kamarnya, meninggalkan Tek Ciang yang memandang bengong.
Semenjak hari itu, Suma Hui jarang bicara, baik terhadap Tek Ciang maupun terhadap
pelayan rumah itu. Bahkan jarang ia menemani Tek Ciang makan, dan lebih sering duduk
termenung di da-lam kamarnya. Karena kurang makan dan kurang tidur, sebentar saja
wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya menjadi kurus. Sang pelayan dan Tek Ciang menjadi
prihatin sekali akan tetapi mereka tidak berani bicara. Terpaksa Tek Ciang selalu berlatih
sendirian saja karena gadis itu sama sekali tidak pernah mau menemaninya latihan lagi.
Beberapa pekan kemudian, ketika Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li pulang bersama Suma
Ciang Bun, mereka terkejut bukan main melihat Suma Hui yang begitu kurus dan agak pucat.
Akan te-tapi, begitu melihat adiknya, Suma Hui merangkulnya sambil menangis.
"Bun-te.... ah, Bun-te, syukur engkau selamat....!" katanya sambil merangkul Ciang Bun
yang juga merasa terharu. Kim Hwee Li menge-rutkan alisnya, bukan hanya karena khawatir
me-lihat puterinya begitu kurus, akan tetapi juga ja-rang ia melihat puterinya yang tabah dan
keras hati itu dapat terharu sampai menangis ketika bertemu adiknya kembali.
"Hui-cici, kenapa engkau begini kurus?"
"Engkau kenapakah, Hui-ji?" tanya pula ayah-nya.
"Dan mukamu agak pucat," sambung ibunya.
Dihujani pertanyaan oleh ayah ibu dan adiknya itu, Suma Hui menjawab singkat dan
menyimpang, "Tidak apa-apa, ah, aku girang sekali melihat engkau selamat, Bun-te. Lekas
kauceritakan semua pengalamanmu sejak kita berpisah, sejak engkau terlempar ke lautan itu."
Suma Hui menggandeng tangan adiknya dan beramai-ramai mereka memasuki rumah. Di
pin-tu depan muncul Tek Ciang yang cepat menja-tuhkan diri berlutut memberi hormat
kepada suhu dan subonya. Melihat penghormatan yang amat sopan ini, Suma Kian Lee
memandang girang.
"Bangkitlah, Tek Ciang dan mari berkenalan dengan sutemu. Ciang Bun, inilah murid ayah
yang bernama Louw Tek Ciang seperti yang ku-ceritakan itu."
"Eh, Tek Ciang, kenapa engkau memakai pa-kaian berkabung?" tiba-tiba Hwee Li yang
was-pada itu bertanya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
226 Ditanya demikian, Tek Ciang yang masih berlu-tut itu lalu mengusap air matanya yang tiba-
tiba membasahi kedua matanya. "Suhu, subo, teecu dilanda malapetaka besar dan mohon
petunjuk su-hu berdua...."
"Apakah yang telah terjadi, Tek Ciang?"
"Ayah.... ayah teecu terbunuh...."
"Ehhh...." Terbunuh" Siapa yang mem-bunuh ayahmu?" Suma Kian Lee terkejut sekali
mendengar ucapan itu.
Tek Ciang merasa tidak enak kepada Suma Hui dan melirik ke arah sumoinya, akan tetapi
Suma Hui diam saja dan hanya memandang kepadanya dengan sinar mata kosong.
"Mendiang ayah tewas ketika bertempur mela-wan.... melawan jai-hwa-cat yang berkeliaran
di kota ini."
"Ihhh....!" Kim Hwee Li berseru kaget dan penasaran. "Penjahat cabul mana yang begitu
be-rani mengacau di Thian-cin?"
"Suheng, kenapa engkau tidak berterus terang saja" Ayah, Louw-kauwsu tewas ketika dia
ber-kelahi melawan Kao Cin Liong...."
"Heh, bagaimana pula ini?" Hwee Li berte-riak. "Kao Cin Liong datang ke sini dan dia
ber-kelahi dengan Louw kauwsu?" Ia memandang tajam kepada Tek Ciang. "Tek Ciang,
ceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi!"
"Mari kita semua masuk dulu dan bicara di dalam rumah," kata Suma Kian Lee yang dapat
menguasai perasaannya dan sikapnya lebih tenang. Mereka lalu masuk ke dalam rumah dan
mereka semua duduk di ruangan dalam. Dengan sikap ragu-ragu dan kadang-kadang
mengerling ke arah Suma Hui, akan tetapi melihat gadis itu diam saja tidak memberi tanda
atau memperlihatkan si-kap sesuatu, akhirnya Tek Ciang lalu bercerita.
"Menurut ayah, di kota ini ada jai-hwa-cat berkeliaran. Pada suatu malam, ayah bersama dua
orang teman yang melakukan penyelidikan, bertemu dengan Kao-taihiap, dan ayah agaknya
menyangka bahwa Kao-taihiap adalah jai-hwa-cat itu, maka lalu diserangnya. Tentu saja ayah
dan dua orang temannya tidak dapat menang dan akhirnya ayah tewas...."
Suma Hui hendak membuka mulut, akan tetapi membatalkan niatnya. Apa perlunya ia
membela Cin Liong" Biarlah, biar ayah ibunya menyangka Cin Liong yang membunuh
Louw-kauw-su, ia tidak perduli! Dan iapun tahu mengapa su-hengnya tidak menceritakan
bahwa ayahnya membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian itu. Tentu pemuda itu merasa
malu karena membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian berarti pe-ngecut.
Suma Kian Lee yang sudah merasa tidak se-nang kepada Cin Liong karena pemuda itu
bera-ni jatuh cinta kepada Suma Hui yang terhitung bibi sendiri, mengerutkan alisnya dan
mengepal tinju. "Sungguh tidak patut sekali perbuatan Cin Liong itu! Andaikata dia bukan
jai-hwa-cat, mengapa dia harus membunuh Louw-kauwsu yang hanya bertindak untuk
menentang kejahatan" A-ku pasti akan menegurnya kalau sempat ber-jumpa kelak!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
227 "Hemm, kurasa ada apa-apanya di balik pe-ristiwa itu. Putera Naga Sakti Gurun Pasir itu
adalah seorang panglima yang terkenal, dan seorang pendekar perkasa yang sudah membela
Pu-lau Es secara mati-matian. Tak mungkin kiranya dia begitu sembrono membunuh orang
yang tidak berdosa. Eh, Hui-ji, mustahil kalau engkau tidak tahu apa-apa tentang peristiwa itu.
Sebenarnya, apakah yaug telah terjadi sehingga Cin Liong sampai berkelahi dan membunuh
Louw-kauwsu?" Dengan sinar mata tajam penuh selidik, nyonya yang cerdik ini bertanya
kepada puterinya.
Namun Suma Hui tetap berkeras tidak sudi membela Cin Liong yang dibencinya. "Aku tidak
tahu, ibu," jawahnya singkat, lalu dipegangnya tangan Ciang Bun sambil berkata mendesak,
"Bun-te, hayo ceritakan pengalamanmu sampai engkau dapat selamat dan dapat pulang
bersama ayah dan ibu."
Tek Ciang masih berdebar rasa jantungnya ka-rena khawatir kalau-kalau suhu dan subonya
mendesak terus sehingga rahasia ayahnya teran-cam bahaya terbuka tabirnya, lalu bangkit dan
menjura dengan hormat. "Sebaiknya teecu mohon diri dan mundur agar suhu, subo dan sute
dapat beristirahat dan bercakap-cakap dengan leluasa."
Kian Lee mengangkat tangan dan memandang kepada muridnya itu dengan rasa iba dalam
hati-nya. Ayah pemuda itu adalah seorang duda, ma-ka sepeninggal ayahnya, berarti pemuda
ini yatim-piatu. "Duduklah saja, Tek Ciang. Engkau dapat dibilang anggauta keluarga kami
sendiri, maka boleh engkau duduk dan ikut mendengarkan."
Tentu saja ucapan suhunya ini membesarkan hati Tek Ciang dan diapun duduk kembali
namun masih mengambil sikap sungkan-sungkan.Ciang Bun lalu menceritakan
pengalamannya, betapa dia diselamatkan dari lautan oleh kakak beradik Liu dengan kakek
mereka sebagai peng-huni Pulau Nelayan. Betapa dia kemudian ting-gal di pulau itu bersama
mereka bertiga, mempe-lajari ilmu dalam air. Tentu saja dia tidak men-ceritakan tentang
hubungannya yang aneh dengan Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, hanya mence-ritakan
kebaikan-kebaikan kakak beradik dan ka-kek mereka itu.
"Setelah merasa bosan tinggal di pulau itu dan sudah mempelajari semua dasar ilmu dalam
air, aku lalu meninggalkan pulau itu dan ketika men-darat, aku bertemu dengan ayah dan ibu."
Demi-kian Ciang Bun menutup ceritanya.
"Kebetulan kami bertemu dengan Ciang Bun," sambung Kim Hwee Li. "Padahal kami
berdua telah berhari-hari mencari-cari di sekitar pantai namun tidak pernah melihat jejaknya
atau mende-ngar berita tentang dirinya. Siang hari itu, selagi kami berjalan-jalan di pantai dan
hampir putus asa, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menggunakan perahu melakukan
penyeberangan ke Pulau Es untuk menyelidiki di lautan, muncul-lah perahu yang membawa
Ciang Bun."
Keluarga yang telah berkumpul lagi dengan lengkap itu tentu saja merasa gembira. Akan
tetapi Suma Hui seoranglah yang tidak pernah merasakan kegembiraan, walaupun ia berusaha
untuk kelihatan gembira. Ibunya telah mendesaknya dan berkali-kali menanyakan sikapnya
itu di dalam kamar dengan suara bisik-bisik. Akan tetapi, biarpun terhadap ibu kandungnya
sendiri yang biasanya ia menceritakan segala hal yang ra-hasia sekalipun, sekali ini ia tidak
dapat membuka rahasianya. Bagaimana mungkin ia dapat men-ceritakan bahwa dirinya telah
dinodai, bahwa ke-hormatannya telah dicemarkan, bahwa ia telah diperkosa oleh Cin Liong"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
228 Sikap gadis itu membuat ayah dan ibunya se-ring kali membicarakannya dalam kamar
mereka. "Pasti telah terjadi sesuatu yang dirahasiakan oleh Hui-ji," demikian antara lain
Hwee Li berbisik kepada suaminya pada malam hari setelah mereka pergi tidur. "Ia menderita
sesuatu." "Sungguh tdak baik hal itu dibiarkan saja. Tek Ciang telah kehilangan ayahnya, sebaiknya
kalau perjodohan antara mereka itu dipercepat. Aku akan memanggil mereka berdua dan
me-nyatakan terus terang bahwa antara aku dan ayah Tek Ciang telah ada persetujuan untuk
menjodoh-kan mereka."
"Suamiku, kurasa kita tidak boleh terlalu ter-gesa-gesa bicara tentang itu dan memberitahu
kepada Hui-ji. Aku yakin bahwa tentu terjadi sesuatu yang luar biasa antara Hui-ji dan Cin
Liong. Hui-ji kelihatan demikian menderita te-kanan atau guncangan batin yang hebat. Aku
khawatir ia akan jatuh sakit. Hanya kekerasan hatinya saja yang masih mampu mencegah ia
ja-tuh sakit. Maka, kuharap engkau suka bersabar dulu dan jangan sampaikan hal yang belum
tentu disetujuinya itu dalam waktu sekarang."
Suma Kian Lee mengerutkan alisnya, akan te-tapi diapun tidak dapat membantah isterinya.
Dia tahu bahwa Suma Hui memiliki kekerasan hati yang sama dengan kekerasan hati
isterinya. "Ba-iklah, dan aku akan segera mulai menurunkan il-mu-ilmu silat kepada Tek
Ciang agar dia dapat cepat menyusul ketinggalannya dari Hui-ji."
*** Suma Hui sendiri tidak tahu bahwa pada malam harinya ketika terjadi penyerangannya
terhadap Cin Liong, diam-diam Cin Liong mendatangi rumahnya dan dengan kepandaiannya
yang tinggi, Cin Liong berhasil menemui Tek Ciang. Sebelum Tek Ciang mampu bersuara,
Cin Liong telah menotok urat gagunya dan juga membuatnya lemas, lalu memanggul pemuda
itu pergi dari rumah itu menuju ke tempat sunyi.
Setelah tiba di tempat sunyi, Cin Liong membebaskan totokannya pada tubuh Tek Ciang dan
diam-diam pendekar ini merasa heran dan juga kecewa melihat betapa pucat wajah pemuda
itu dan tubuhnya menggigil ketakutan! Orang pena-kut begini diangkat menjadi murid
pendekar sakti seperti Suma Kian Lee" Sungguh mengecewakan sekali. Akan tetapi pikiran
itu hanya sekilas saja memasuki benaknya yang sudah sarat dengan ma-salahnya sendiri yang
membuatnya bingung, pe-nasaran dan berduka itu.
"Maafkan aku; Louw-susiok. Terpaksa aku menggunakan jalan ini karena aku ingin sekali
bi-cara denganmu tanpa diketahui oleh Hui-moi."
Tek Ciang menarik napas lega dan kentara se-kali bahwa baru saja dia terlepas dari himpitan
ra-sa takut yang hebat. "Aahhhh, taihiap, sungguh engkau membikin aku kaget setengah mati.
Perka-ra apakah yang ingin kaubicarakan?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
229 "Tidak lain hanya perkara Hui-moi. Engkau melihat sendiri pagi tadi bagaimana ia
menyerang-ku dan serangan-serangannya itu sungguh-sung-guh. Ia berniat keras untuk


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuhku dengan penuh kebencian. Louw-susiok yang baik, apakah artinya semua itu"
Mengapa ia hendak membunuhku dan demikian membenciku" Apakah yang telah terjadi
malam tadi?"
Tek Ciang memandang bingung dan mengangkat pundaknya. "Bagaimana aku tahu, taihiap?"
Cin Liong penasaran dan memandang tajam penuh selidik. "Louw-susiok, engkau tinggal
serumah dengan Hui-moi, agaknya tidak mungkin kalau terjadi hal-hal yang hebat engkau
tidak mengetahuinya."
"Malam tadi hampir semalam aku tidak berada di rumah, taihiap."
"Hemm, ke mana saja engkau pergi?"
"Sudah kukatakan kepadamu kemarin sore bah-wa aku hendak menyelidiki penjahat cabul
yang menyebabkan ayahku tewas itu. Dan aku melihat ketika engkau berkelahi dengan
penjahat itu! Ternyata memang benar ada penjahat yang berke-liaran, buktinya engkau
menyerangnya dan ber-kelahi dengannya. Benarkah orang yang berkela-hi denganmu itu
penjahat cabul?"
"Jadi engkau melihatnya" Benar, dia adalah penjahat cabul terbesar di dunia hitam. Lalu
bagaimana?"
"Aku bersembunyi dan nonton sampai penjahat itu lari dan kaukejar. Akupun lalu ikut
mengejar, akan tetapi sebentar saja kalian berdua sudah le-nyap. Aku terus mencari berputar-
putar sampai hampir pagi. Karena tidak berhasil menemukan penjahat itu maupun engkau
yang mengejarnya, aku lalu pulang dan langsung memasuki kamarku. Belum juga aku pulas,
terdengar suara hiruk-pikuk dari kamar sumoi. Aku dan pelayan terkejut, lalu lari ke
kamarnya. Di dalam kamar itu sumoi meng-amuk, menghancurkan perabot-perabot kamarnya
dan katanya ada penjahat memasuki kamarnya dan penjahat itu melarikan diri tanpa sumoi
dapat mengenal wajahnya."
Cin Liong mendengarkan dengan alis berkerut. "Lalu apa katanya kepadamu setelah ia
menyerangku pagi tadi?"
Tek Ciang menggeleng kepalanya dan mena-rik napas panjang, kelihatan berduka sekali. "Ia
tidak mau bicara apa-apa, taihiap. Bahkan ketika aku mencoba bertanya mengapa ia
mengamuk dan menyerangmu, ia marah-marah dan minta kepa-daku agar aku tidak lagi
menanyakan hal ini atau bicara tentang itu dengan siapapun juga. Ah, aku khawatir sekali,
taihiap. Sebaiknya kalau taihiap tidak memperlihatkan diri lebih dulu...."
"Aku harus menemuinya dan minta keterangan tentang sikapnya itu!" Cin Liong berkata
penasaran. "Ah, bijaksanakah itu, Kao-taihiap" Aku me-lihat sumoi sedang dalam keadaan tidak wajar,
ma-rah sekali dan juga amat berduka. Melihat keada-annya, aku yakin bahwa setiap kali
taihiap mun-cul, tentu akan diserangnya tanpa banyak kata lagi. Watak sumoi keras sekali dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
230 sementara waktu ini percuma saja kalau mengajaknya bicara. Kalau taihiap muncul, akibatnya
hanya akan membuat ia semakin marah."
Cin Liong mengepal tinju dan alisnya berkerut. "Habis bagaimana baiknya" Bagaimana
ba-iknya" Aih, kenapa ada urusan yang begini aneh?"
"Kao-taihiap, kalau taihiap suka mendengar pendapatku, sebaiknya malah kalau sementara
ini taihiap menjauhkan diri. Sejauh mungkin kare-na agaknya sumoi masih terus merasa
penasaran dan hendak mencari taihiap untuk dibunuh. Susah payah aku membujuknya agar
bersabar dan akhirnya baru ia mau berhenti setelah kuperingat-kan bahwa segala urusan harus
diselesaikan de-ngan tenang. Kalau taihiap menampakkan diri, tentu kemarahannya
memuncak dan berkobar la-gi. Biarlah sampai ia dingin dan tenang dulu, ba-ru kelak taihiap
boleh menemuiku, dua tiga bulan lagi, dan aku akan memberitahu taihiap kalau ke-adaan
sudah mendingin."
Cin Liong tidak mengira bahwa pemuda ini sedemikian baiknya. Dia memegang pundak
pe-muda itu. "Louw-susiok, engkau sungguh seorang yang berhati mulia. Aku amat
mengharapkan ban-tuanmu dalam urusanku dengan sumoimu ini."
Tek Ciang mengangguk. "Aku mengerti, tai-hiap, aku tahu bahwa ada hubungan batin antara
kalian dan sekarang agaknya sedang terjadikesa-lahpahaman di pihak sumoi. Engkau sebagai
la-ki-laki sepatutnya mengalah dan bersabar."
Cin Liong mengangguk-angguk. "Tapi, apa yang harus kulakukan sementara menanti ia
bersabar itu" Sungguh aku binguug sekali dan baru sekarang dunia seolah-olah gelap bagiku,
membuat aku tak berdaya."
"Taihiap, kurasa sudah pasti ada hubungannya antara perkelahianmu melawan penjahat
malam itu dengan sikap sumoi ini...."
"Si keparat Jai-hwa Siauw-ok!" Cin Liong mengepal tinjunya.
"Nah, bagaimana taihiap pikir kalau taihiap mencari orang itu sampai dapat tertangkap dan
taihiap menuntut keterangan dari dia?"
"Ah, benar sekali! Andaikata jahanam itu ti-dak tahu apa-apa tentang Hui-moi, tetap saja dia
harus ditangkap dan dihukum. Baiklah, susiok. Banyak terima kasih atas semua bantuan dan
nasihatmu. Aku pergi dan harap engkau memban-tuku menyelidiki apa sebabnya Hui-moi
marah-marah kepadaku dan bahkan hendak membunuhku. Dua tiga bukan lagi aku datang ke
sini dan mene-muimu sebelum aku mencoba menemuinya."
Tek Ciang mengangguk-angguk. "Jangan kha-watir, aku akan membantumu, Kao-taihiap dan
mudah-mndahan semuanya akan berjalan dengan lancar."
Demikianlah pertemuan rahasia antara Kao Cin Liong dan Louw Tek Ciang, yang tidak
diketahui orang lain. Juga ada pertemuan lain lagi di ma-lam berikutnya yang lebih
dirahasiakan oleh Tek Ciang. Seorang diri dia pergi menganjungi ma-kam ayahnya di luar
kota pada malam hari itu. Setelah dia merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihatnya dia
lalu melanjutkan perjalanannya di malam gelap itu menuju ke sebuah kuil tua yang letaknya
terpencil di tempat sunyi. Seperti sikap seorang maling, pemuda itu menyelinap di tempat-
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
231 tempat gelap, memandang ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain
melihatnya, barulah dia meloncat masuk ke dalam kuil tua.
Sesosok bayangan orang yang gerakannya amat ringan dan cepat seperti setan
menyambutnya. O-rang itu Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. "Bagus, bagus! Engkau amat hati-
hati dan memang be-gitulah seharusnya, waspada dan hati-hati, be-gitulah sikap seorang jai-
hwa-cat tulen!" Datuk sesat itu tertawa bergelak.
Tek Ciang merasa betapa mukanya menjadi panas. "Tapi.... locianpwe.... aku.... bukan jai-
hwa...." "Ha-ha-ha, memang belum, baru calon saja! Akan tetapi seorang calon yang amat baik dan
kelak engkau bisa menggantikan aku kalau engkau suka belajar dengan tekun. Ha-ha-ha,
sekarang ceritakan semua, bagaimana hasilnya siasat kita?"
Tek Ciang tersenyum dan wajahnya berseri. Cuaca di dalam kuil itu remang-remang saja
ka-rena Jai-hwa Siauw-ok hanya menyalakan seba-tang lilin kecil. Dia melihat betapa wajah
yang masih ganteng dari kakek itu berseri-seri dan diam-diam dia kagum sekali. Memang
kakek ini hebat. Selain ilmu kepandaiannya tinggi, juga memiliki kecerdikan seperti setan.
"Semua berjalan dengan baik sekali, locianpwe. Terima kasih kepada locianpwe."
"Aha, setelah aku membuat dara itu tidak ber-daya dengan asap bius dan totokan, melihat ia
rebah tak berdaya seperti menantang itu, timbul seleraku, akan tetapi aku ingat kepadamu,
orang muda. Bagaimana, berhasilkah engkau memper-kosanya?"
Pertanyaan itu diajukan dengan sikap wajar seperti orang menanyakan suatu hal yang lumrah
saja. Akan tetapi bagi Tek Ciang merupakan hal yang membuatnya merasa jengah dan malu.
Dia mengangguk tanpa menjawab-.
"Hemm, engkau menyesal setelah berhasil?"
"Tidak, tidak, locianpwe. Sebaliknya, aku me-rasa girang sekali."
"Dan engkau sudah merasa puas?"
Pemuda itu menggeleng kepala. "Belum, ia belum menjadi isteriku dan akupun belum
mewa-risi ilmu Pulau Es dan belum membalas dendam terhadap jenderal itu."
"Ha-ha-ha, tidak perlu tergesa-gesa. Yang penting, engkau telah berhasil memperkosanya
dan ia tidak mengenalmu?"
"Tidak. Tempatnya gelap dan ia berada da-lam keadaan setengah sadar. Aku sudah sangat
berhati-hati dalam menirukan suara Cin Liong."
"Bagus! Dan hasilnya?"
"Hasilnya baik sekali. Ketika Cin Liong datang, dia diserang dan akan dibunuh oleh sumoi."
Pemuda itu lalu menceritakan semua yang telah terjadi sampai ketika dia diculik oleh Cin
Liong untuk dimintai keterangan. Semua ini didengar-kan oleh Jai-hwa Siauw-ok sambil
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
232 tersenyum gi-rang, hanya dia merasa agak khawatir mendengar pemuda itu diculik oieh Cin
Liong. "Untung engkau cerdik. Jadi engkau berhasil memancingnya agar menjauhkan diri dulu dari
ga-dis itu dan agar dia mencari aku" Baik sekali. Engkau telah menjalankan rencana siasatku
de-ngan baik. Ha-ha-ha, kita berdua sudah menge-cap hasilnya. Engkau telah menikmati
tubuh dara itu dan aku.... ha-ha-ha, girang hatiku meli-hat permusuhan antara keluarga Suma
dan keluar-ga Kao itu mulai tumbuh. Tentu kelak akan men-jadi permusuhan keluarga yang
hebat sekali. Akan tetapi engkau harus hati-hati, Tek Ciang. Eng-kau sebagai orang di
belakang layar yang mema-inkan semua ini, jangan sekali-kali menonjolkan diri. Tahan dulu
nafsumu kalau engkau ingin me-miliki tubuh gadis itu sepenuhnya. Kita harus cerdik. Aku
akan memancing agar Cin Liong makin menjauhi tempat ini."
"Baik, aku akan mentaati semua pesanmu, locianpwe."
"Kelak, sewaktu-waktu aku berada di daerah ini, engkau boleh menemui aku di sini untuk
menerima beberapa macam ilmu dariku seperti yang telah kujanjikan padamu."
Dengan girang Tek Ciang menghaturkan terima kasih. Dia menganggap bahwa datuk sesat
ini telah berjasa besar kepadanya. Mereka lalu berpisah dan meninggalkan kuil yang sunyi itu,
kuil tua yang menyeramkan karena baru saja dijadikan tempat oleh para iblis dan setan untuk
mengusik -hati dua orang manusia yang tersesat. Iblis dan setan yang suka mengusik hati
orang tak pernah jauh dari kita sendiri. Suaranya selalu berbisik-bisik dalam batin kita,
mendorong kita untuk selalu mendambakan kesenangan dan menjauhi yang tidak
menyenangkan. Tercipta oleh pikiran kita sendiri, pikiran yang mengumpulkan dan
menumpuk semua pengalaman dalam hidup lahiriah yang yang praktis. Secara teknis pikiran
dibutuhkan untuk mengingat, bekerja dan segala gerak hidup lahiriah. Akan tetapi, dalam
komunikasi dengan manusia lain, dengan benda, dengan hal-hai batiniah, pikiran yang masuk
hanya akan menimbulkan nafsu, kebencian, keserakahan, dan sebagainya. Jadi setan
datangnya bukan dari luar, melainkan dari dalam batin kita sendiri!
*** Dua orang yang memasuki kota Thian-cin pada sore hari itu menarik perhatian orang.
Mereka adalah sepasang pria dan wanita yang sudah berusia lima puluh tahun lebih, namun
masih nampak gagah perkasa dan sehat, juga wajah mereka jauh lebih muda daripada usia
mereka yang sebenarnya. Pria itu berpakaian sederhana namun berisi dan cukup rapi,
rambutnya sudah bercampur sedikit uban, namun masih segar dan panjang, dikuncir tebal dan
kepalanya terlindung sebuah caping lebar. Biarpun pria ini hanya berlengan satu karena
lengan kirinya buntung di atas siku, namun sikapnya gagah dan langkahnya tegap dan tenang.
Terutama sekali sepasang matanya amat mengejutkan orang karena mata itu, biarpun lembut
dan tenang namun mengeluarkan sinar mencorong seperti sepasang mata seekor naga sakti!
Yang wanita juga amat menarik perhatian. Usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi
masih nampak jelas kecantikan membayang di wajahnya. Pakaiannya juga sederhana, namun
bersih dan rapi. Di punggungnya nampak sepasang pisau belati bersilang, tertutup oleh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
233 jubahnya. Wajahnya selalu riang gembira, sinar matanya membayangkan semangat yang tak
kunjung padam. Mereka adalah Sang Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya yang bernama Wan
Ceng. Suami isteri pendekar ini tinggal jauh di utara, di padang pasir, di dalam sebuah istana
tua yang jarang kedatangan manusia lain. Hanya baberapa tahun sekali suami isteri ini suka
ber-pesiar ke selatan, kadang-kadang sampai ke ko-ta raja. Akan tetapi mereka selalu
menjauhkan diri daripada segala keributan dan karena mere-ka tinggal di tempat jauh dan
jarang menampak-kan diri di dunia kang-ouw, maka jarang ada yang mengenal mereka ketika
bertemu di jalan. Padahal, nama mereka sudah dikenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai
datuk yang berilmu tinggi. Naga Sakti Gurun Pasir mempunyaina-ma yang sama tenarnya
dengan keluarga Pulau Es. Dan sesungguhnya pendekar ini amat sakti. Dialah satu-satunya
orang yang telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari Dewa Bongkok dari Go-bi-san yang
bernama Bu Beng Lojin. Biarpun lengan kirinya buntung, namun buntungnya sebelah lengan
itu tidak mengurangi kelihaian-nya, bahkan buntungnya lengan kiri ini membuat dia dapat
menguasai Ilmu Sin-liong Hok-te yang amat lihai kalau dimainkan dengan satu le-ngan saja.
Isterinya, Wan Ceng, juga bukan wanitasembarangan. Ia masih cucu dari nenek Lulu, isteri ke
dua dari Pendekar Super Sakti dan wanita ini selain telah mempelajari banyak macam ilmu
yang aneh-aneh, juga telah menerima bimbingan suaminya sehingga kelihaiannya juga
meningkat. Suami isteri yang saling mencinta ini hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kao Cin Liong.
Sejak anak itu masih kecil, mereka berdua telah menggemblengnya dan karena Cin Liong
seorang anak tunggal, tentu saja mereka amat menyayang-nya. Hampir semua ilmu
kepandaian mereka te-lah mereka turunkan kepada Cin Liong. Ketika pemuda itu menarik
perhatian istana karena per-buatan-perbuatannya yang gagah perkasa dan kepadanya
ditawarkan kedudukan dalam kemili-teran, terjadilah perbantahan antara suami isteri ini.
"Menjadi tentara hanya menjadi alat pembu-nuh bagi kepentingan ambisi orang-orang atasan
saja. Apa baiknya" Aku ingin puteraku menjadi seorang pendekar, tidak berfihak siapapun
kecua-li berfihak kepada mereka yang lemah tertindas dan menentang mereka yang
menggunakan keku-asaan dan kekuatannya untuk menindas," kata Wan Ceng penuh
semangat. Suaminya menarik napas panjang. "Sudahlah, isteriku. Yang penting adalah perasaan Cin
Liong sendiri. Biarkan dia yang menentukan pilihan-nya. Apakah engkau lupa bahwa
kakeknya ada-lah seorang jenderal besar, seorang panglima dan pahlawan besar yang amat
perkasa" Siapa tahu dia menuruni darah kakeknya itu. Pula, dia sudah kita beri gemblengan
dasar dan dia dapat melihat mana yang benar dan mana yang tidak. Aku percaya bahwa dia
berjiwa pendekar dan bi-arpun dia menjadi tentara, tentu dia tidak akan membuta mentaati
perintah atasan kalau perintah itu melawan hati nuraninya sebagai pendekar."
Akhirnya Wan Ceng mengalah setelah melihat kenyataan, bahwa memang puteranya suka
sekali menjadi perajurit. Kemudian ternyata bahwa Kao Cin Liong telah membuat kemajuan
pesat dalam bidang kemiliteran ini. Jasa-jasanya menumpas para pemberontak di perbatasan
dan daerah-dae-rah amat besar sehingga dalam usia muda dia su-dah diangkat menjadi
seorang jenderal, bahkan menjadi seorang kepercayaan Kaisar Kian Liong. Suami isteri ini
sudah lama sekali mendambakan seorang mantu dan seorang cucu, akan tetapi se-lalu putera
mereka menolaknya kalau mereka menganjurkan dia agar segera menikah. Cin Liong
mengemukakan alasan bahwa belum ada wanita yang menarik hatinya. Tentu saja suami isteri
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
234 itu maklum akan kegagalan puteranya dalam ja-linan asmara bersama seorang gadis yang
berna-ma Bu Ci Sian sehingga putera mereka itu men-jadi patah hati dan sampai berusia tiga
puluh ta-hun kurang sedikit masih juga belum mempunyai seorang isteri.
Dan pada suatu hari, betapa girang hati me-reka ketika putera mereka itu datang mengunjungi
mereka dan menyatakan bahwa putera me-reka itu telah memperoleh pilihan hati, saling
mencinta dengan seorang gadis dan Cin Liong minta kepada mereka untuk mengajukan
pinangan! Akan tetapi, dalam kegembiraan itu mereka merasa khawatir sekali ketika
mendengar penje-lasan Cin Liong siapa adanya gadis yang saling mencinta dengan putera
mereka itu. Gadis itu puteri Suma Kian Lee!
"Aihhh....!" Wan Ceng setengah menjerit ketika mendengar keterangan puteranya itu,
matanya terbelalak dan mukanya berobah. "Puteri.... paman Suma Kian Lee" Cin Liong,
lupakah eng-kau siapa adanya Suma Kian Lee itu" Dia ada-lah paman kakekmu sendiri dan
puterinya itu berarti masih bibimu sendiri!"
Cin Liong menarik napas panjang dan meng-angguk. "Hal itu telah kami sadari sepenuhnya,
ibu. Akan tetapi, ia jauh lebih muda dariku, baru berusia delapan belas tahun."
"Tapi.... engkau tahu ia bibimu dan eng-kau masih nekat?" teriak Wan Ceng.
Cin Liong tersenyum menenangkan hati ibu-nya yang terguncang. "Bukan nekat, ibu. Aku
jatuh cinta dengan bibi sendiri, itulah kenyataannya, dan iapun cinta kepadaku. Hubungan
kelu-arga antara kami sudah sangat jauh, kalau ada hubungan keluarga, itupun hanya keluarga
tiri saja, sudah berlainan nama keluarga."
"Tapi.... tapi puteri paman Kian Lee...., ya Thian Yang Maha Kuasa!"
Sejak tadi Kao Kok Cu diam saja, hanya mendengarkan dan melihat isterinya mengeluh
seperti itu, diapun memejamkan mata, teringat akan ri-wayat isterinya di waktu muda dahulu.
Bukan-kah Suma Kian Lee pernah jatuh cinta kepada Wan Ceng" Dan setelah mengetahui
bahwa Wan Ceng adalah keponakan sendiri, Suma Kian Lee mundur! Ini berarti bahwa Suma
Kian Lee ma-sih memegang teguh adat istiadat tentang larang-an berjodoh antara keluarga
sendiri! "Tapi.... tapi.... bagaimana mungkin eng-kau menikah dengan bibimu sendiri, Cin Liong"
Apakah sudah tidak ada lagi wanita di dunia ini yang pantas menjadi isterimu kecuali seorang
bi-bimu?" Suara Wan Ceng terdengar seperti ham-pir menangis.
Cin Liong mengerutkan alisnya. "Ibu, harap jangan persoalkan itu karena kalau sekali ini aku
gagal berjodoh dengan Hui-moi, selamanya aku tidak mau menikah! Aku tidak mau gagal
sam-pai ketiga kalinya. Terserah kepada ayah dan ibu apakah suka melamarkan Suma Hui
untukku atau tidak." Suara pemuda itu tegas akan tetapi tidak mengandung kemarahan.
"Cin Liong, aku mengenal benar perangai ibumu dan ia bukan bermaksud menentang
kehen-dakmu. Hanya aku tahu bahwa ibumu khawatir kalau-kalau pinangan itu ditolak oleh
paman Su-ma Kian Lee yang kami tahu masih memegang teguh adat-istiadat kekeluargaan."
"Benar apa yang dikatakan ayahmu, Cin Liong. Apakah orang tua gadis itu juga sudah
menyetu-jui ikatan jodoh ini?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
235 Cin Liong menggeleng kepala. "Mereka belum tahu, jadi akupun tidak dapat menduga
ba-gaimana sikap mereka terhadap hubungan kami."
"Aihhh.... kalau mereka belum menyetujuinya, bagaimana kami berani mengajukan
pinang-an" Anakku yang baik, sungguh aku merasa amat sungkan, baru menghadap dan
meminang saja aku sudah merasa takut. Kalau sampai ditolak, akan kutaruh ke mana


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mukaku?" Wan Ceng ber-kata sambil mengepal tangan kanannya, hatinya merasa bingung
dan gelisah sekali. Rasa gelisah-nya jauh lebih besar daripada rasa gembira kare-na akhirnya
putera mereka minta dilamarkan se-orang gadis.
"Ibu, kalau tidak melamar lebih dahulu, mana mungkin kita bisa tahu apakah mereka itu
setuju ataukah tdak" Pula, kenapa mesti takut menga-jukan pinangan" Meminang anak gadis
orang merupakan suatu hal yang terhormat dan meng-hormati keluarga gadis yang dilamar.
Menerima atau menolak adalah hak mereka, seperti juga meminang adalah hak kita. Kalau ibu
tidak berani melamarkan, apakah aku yang harus mela-marnya sendiri?"
"Liong-ji, engkau tidak boleh mendesak ibu-mu seperti itu!" Tiba-tiba Kao Kok Cu berkata,
suaranya halus namun penuh wibawa dan Cin Liong merasa akan kesalahannya, maka diapun
cepat menghampiri ibunya dan berlutut.
"Ibu, maafkan aku...."
Wan Ceng merangkulnya. "Aku tidak marah, anakku, hanya aku mengkhawatirkan perasaan
ha-timu kalau sampai kami ditolak."
"Sudahlah, bagaimanapun juga, kita harus be-rani menghadapi kenyataan yang bagaimana
pa-hitpun. Cin Liong, kapan kami harus berangkat ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan
itu?" "Sebaiknya dua bulan mendatang, ayah. Aku akan kembali dulu ke kota raja dan kuharap
ayah dan ibu suka singgah dulu di kota raja sebelum melanjutkan perjalanan ke Thian-cin."
Demikianlah, dua bulan kemudian, suami is-teri ini melakukan perjalanan ke selatan. Mereka
singgah di kota raja, akan tetapi ternyata gedung Jenderal Muda Kao Cin Liong kosong dan
menu-rut keterangan para pengawal, jenderal muda itu sedang melakukan tugas dan sudah
beberapa pe-kan meninggalkan kota raja. Seperti kita ketahui, Cin Liong pergi ke Thian-cin,
kemudian terjadi peristiwa dia hampir dibunuh oleh kekasihnya, kemudian dia berusaha
mencari jejak Jai-hwa Siouw-ok, maka dia tidak sempat kembali ke ko-ta raja sehingga
gedungnya kosong ketika orang tuanya datang. Melihat betapa putera mereka ti-dak berada di
rumah dan agaknya tentu sedang melaksanakan tugas penting, Kao Kok Cu dan Wan Ceng
tidak lama berdiam di kota raja dan melanjutkan perjalanan mereka ke Thian-cin.
Pada sore hari itu, mereka memasuki pintu gerbang kota Thian-cin dan sepasang suami iste-ri
yang gagah perkasa, dalam kesederhanaan me-reka, masih saja menarik perhatian banyak
oramg yang hanya menduga-duga bahwa suami isteri itu tentulah pendekar-pendekar yang
lihai. Apalagi ketika mereka nnendengar sepasang suami is-teri ini menanyakan di mana letak
rumah keluar-ga Suma, dugaan bahwa mereka adalah pende-kar-pendekar yang lihai lebih
meyakinkan lagi.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
236 Dengan mudah suami isteri ini dapat mem-peroleh keterangan tentang rumah keluarga Suma
Kian Lee dan pada sore hari itu mereka sudah berada di pekarangan depan rumah keluarga
Su-ma, disambut oleh seorang pelayan yang segera melapor ke dalam.
Tak lama kemudian, keluarlah keluarga Suma selengkapuya, yaitu Suma Kian Lee, Kim
Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun. Suma Kian Lee dan isterinya menyambut dengan ramah,
sedang-kan kedua orang anak mereka menyambut de-ngan sikap hormat walaupun dengan
pandang matanya yang tajam Wan Ceng melihat betapa gadis kekasih puteranya itu,
walaupun cantik dan gagah, namun sikapnya seperti orang marah ataugalak. Juga Kao Kok
Cu dapat melihat bahwa di balik keramahan sikap Suma Kian Lee, terdapat sinar mata yang
tajam dan keras, maka diam-diam hatinya merasa tidak enak sekali. Hanya Kim Hwee Li
seorang yang sikap ramahnya tidak dibuat-buat.
"Aih, Si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang gagah perkasa! Angin baik dari manakah
yang meniup kalian sampai terbang ke sini?" tegur Kim Hwee Li dengan gembira.
Suami isteri tamu itu memberi hormat kepada tuan rumah dengan menyebut "paman" dan
"bibi".
"Perkenalkan, inilah anak-anak kami, Suma Hui dan Suma Ciang Bun. Anak-anak,
ketahui-lah bahwa yang datang ini adalah kakak-kakak kalian, Pendekar Naga Sakti Gurun
Pasir dan is-terinya yang terkenal itu." Kim Hwee Li melan-jutkan sambutannya. Suma Hui
dan Ciang Bun segera memberi hormat selayaknya dibalas pula oleh Kao Koh Cu dan
isterinya. "Silahkan masuk, kita bicara di ruangan da-lam," Suma Kian Lee berkata, sikapnya ramah
akan tetapi wajahnya dingin. Suami isteri itu mengikuti mereka masuk ke dalam dan segera
me-reka semua duduk di ruangan tamu menghadapi meja yang panjang dan besar.
"Sungguh kami sekeluarga merasa gembira sekali melihat datangnya Kao-taihiap berdua dan
kami mengucapkan selamat datang. Akan tetapi di samping kegembiraan itu, kami juga
dipenuhi rasa heran karena kalau sampai Kao-taihiap me-ninggalkan Istana Gurun Pasir dan
datang ke ru-mah kami, tentu ada keperluan yang sangat pen-ting." Demikian Suma Kian Lee
memulai perca-kapan mereka, setelah pelayan datang menghi-dangkan minuman.
Kao Kok Cu saling pandang dengan isterinya dan dalam pertemuan pandang mata ini
menger-tilah Wan Ceng bahwa suaminya minta agar ia yang bicara. Nyonya ini tersenyum
memandang tuan rumah dan menilai betapa Kian Lee kini te-lah banyak berobah, lebih serius
dan selain nampak agak tua juga agaknya kelembutannya yang biasa itu kini
menyembunyikan kekerasan di ba-liknya. Maka, dengan hati-hati iapun berkata.
"Kami datang untuk membicarakan suatu hal yang amat penting dengan paman dan bibi
ber-dua, maka kami harap kedua adik ini...." Ia memandang kepada Suma Hui dan Suma
Ciang Bun. "Mereka adalah dua orang anak kami yang su-dah dewasa. Tidak ada rahasia di antara
keluar-ga kami, maka engkau boleh bicarakan kepen-tinganmu itu di depan mereka." Kian
Lee sengaja memotong kata-kata Wan Ceng karena dia sudah tahu kepentingan apa yang
hendak dibicara-kan itu. Tiada lain tentu tentang perjodohan an-tara puterinya dan Cin Liong!
Mengingat akan pelanggaran adat kekeluargaan ini saja sudah dianggapnya melanggar susila
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
237 dan membuatnya ma-rah. Maka, dia sengaja menahan anak-anaknya, terutama sekali Suma
Hui, agar ikut mendengar-kan sehingga gadisnya itu akan sekaligus mende-ngar keputusannya
yang tentu saja akan menolak keras.
Mendengar ucapan tuan rumah yang memo-tong itu, kembali Wan Ceng saling lirik dengan
suaminya. Sikap suaminya tetap tenang dan pandang mata suaminya mengisyaratkan agar ia
me-lanjutkan bicaranya. Maka setelah menarik na-pas panjang untuk menenangkan hatinya,
Wan Ceng melanjutkan.
"Sesungguhnya, kedatangan kami berdua ini selain ingin berjumpa dan menengok karena
su-dah lama sekali tidak jumpa, juga ada keperluan penting yang menyangkut diri adik.... eh,
Suma Hui ini." Sukar rasanya menyebut "adik" kepada seorang gadis yang akan dilamar
menjadi mantunya. "Tentu paman dan bibi sudah mengetahui akan adanya hubungan yang
amat erat antara Su-ma Hui dan Cin Liong, putera tunggal kami." Sampai di sini ia berhenti
seperti kehabisan ke-beranian dan akal, bahkan lalu menundukkan mu-kanya ketika bertemu
pandang mata dengan Suma Kian Lee dan melihat sepasang mata pamannya itu mencorong
tanda kemarahan.
Melihat keadaan isterinya itu, hati Kao Kok Cu merasa tidak tega dan diapun cepat
menyam-bung keterangan isterinya, "Terus terang saja, be-tapa berat rasa hati kami untuk
melaksanakan tugas ini, akan tetapi sebagai orang tua yang di-tangisi anak, kami
memberanikan diri mengha-dap paman dan bibi yang mulia untuk mengaju-kan pinangan atas
diri Suma Hui untuk dijodoh-kan dengan anak kami Kao Cin Liong."
"Tidak.... tidak pantas....!" Hanya itulah yang keluar dari mulut Suma Kian Lee, namun
sudah lebih dari cukup apa yang dimaksudkan. Kim Hwee Li yang lebih bebas dalam hal adat
keluarga, lebih mementingkan hati puterinya, se-gera memperhalus sikap suaminya itu
dengan ka-ta-kata yang lunak.
"Kao-taihiap berdua tentu maklum betapa mengejutkan pinangan ini terdengar oleh
suami-ku. Puteri kami adalah adik kalian, berarti puteri kami adalah bibi putera kalian. Kalau
mereka di-jodohkan, apa akan kata orang-orang terhadap kita?"
Kao Kok Cu menarik napas panjang. "Kami bukan tidak mengerti akan hal itu. Akan tetapi,
sudah lama sekali kami membebaskan diri dari pendapat orang sedunia. Yang penting adalah
be-nar bagi kami dan karena mereka berdua saling mencinta, maka kami memberanikan diri
untuk meminang, hanya untuk melancarkan tali perjo-dohan yang telah mereka ikat sendiri.
Harap paman dan bibi suka memaafkan dan memaklumi keadaan kami."
"Brakkkk!" Tiba-tiba Suma Kian Lee menggebrak meja, mukanya merah dan sepasang
matanya mengeluarkan sinar kemarahan. "Tidak! Ini penghinaan namanya!"
Pada saat itu, Suma Hui meloncat bangkit dari tempat duduknya. Mukanya merah sekali dan
perobahan sudah terjadi pada dirinya sejak dua orang tamu tadi datang tanpa ada yang
memper-hatikannya. Ia seperti mengalami ketegangan yang makin lama makin memuncak
dan sekarang agaknya kemarahannya telah mencapai puncak-nya dan ia tidak dapat
menahannya lagi.
"Akupun tidak sudi menikah dengan jahanam Kao Cin Liong! Penghinaan ini harus ditebus
dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darahnya!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
238 Semua orang meloncat bangkit dari tempat du-duk masing-masing dengan hati merasa kaget
sekali. Bukan hanya Kao Kok Cu dan isterinya saja yang terkejut mendengar kata-kata itu, bahkan
Suma Kian Lee, Kim Hwee Li dan juga Suma Ciang Bun sendiri merasa kaget sekali.
"Enci Hui....!" Suma Ciang Bun berteriak kaget.
"Hui-ji, sikapmu ini sungguh tidak patut!" Kim Hwee Li menegur puterinya.
"Hui-ji, engkau harus mempertanggungjawankan ucapanmu dan mengemukakan alasan
meng-apa engkau mengeluarkan pernyataan itu!" Suma Kian Lee juga terkejut sekali karena
dia me-rasa yakin puterinya tidak akan mengeluarkan ucapan seperti itu kalau tidak ada
alasanuya yang kuat sekali.
"Dia.... dia telah menodaiku....!" Hanya sekian saja Suma Hui dapat bicara karena ia su-dah
menangis sesenggukan.
"Ahhhh....!" Seruan ini terdengar keluar dari semua orang yang hadir di situ, dan Kim Hwee
Li sudah meloncat dan merangkul puteri-nya. Belum pernah ia melihat puterinya menangis
sesedih ini. "Anakku.... apakah yang telah terjadi....?" tanyanya penuh kegelisahan.
"Hui-ji, ucapanmu itu harus dijelaskan!" ben-tak Suma Kian Lee sambil mengepal sepasang
tinjunya. Adapun Kao Kok Cu dau isterinya ha-nya saling pandang, akan tetapi wajah
merekapun berobah agak pucat karena tuduhan yang dilon-tarkan terhadap putera mereka itu
terlalu hebat, terlalu keji!
Suma Hui menyembunyikan mukanya di dadaibunya. Ia mengerahkan tenaga melawan
tangis-nya, kemudian dengan isak tertahan ia bercerita.
"Malam itu aku sudah hampir tertidur ketika aku mencium bau harum. Aku sadar bahwa ada
bau asap pembius, akan tetapi terlambat. Ketika aku meloncat bangun, kepalaku pening dan
pada saat itu, ada orang menyerbu kamar dan aku ditotok-nya. Kemudian.... aku.... aku tidak
berdaya ketika dia memperkosaku...."
"Engkau tahu benar siapa pelakunya?" Suma Kian Lee bertanya, suaranya gemetar penuh
naf-su amarah yang ditahan-tahan.
"Dia adalah jahanam Kao Cin Liong!"
Terdengar suara menggeram seperti seekor harimau dan sepasang mata Suma Kian Lee
seperti mengeluarkan api ketika dia memandang kepada kedua orang tamunya. "Hemmmm,
pantas Louw-kauwsu menuduhnya jai-hwa-cat dan menye-rangnya sampai tewas di tangan
keparat itu. Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa!"
Wan Ceng melangkah maju menghadapi Suma Kian Lee. Semangatnya timbul seketika
mende-ngar puteranya diancam dan mukanya menjadi merah, sikapnya penuh tantangan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
239 ketika ia ber-hadapan dengan Suma Kian Lee. "Bohong! Aku tidak percaya! Tidak mungkin
puteraku mela-kukan perbuatan hina seperti itu."
Menghadapi seorang wanita yang nampaknya juga marah sekali itu Suma Kian Lee agak
terce-ngang. Kalau saja yang menentangnya itu Kao Kok Cu, tentu sudah diserangnya, akan
tetapi dia tidak mungkin mau menyerang seorang wanita, apalagi wanita itu Wan Ceng yang
pernah meng-huni dalam hatinya. Akan tetapi Kim Hwee Li yang tadi merangkul anaknya,
mendengar ucapan Wan Ceng itu, meloncat dan menghadapi wanita itu.
"Keterangan anakku kaukatakan bohong?" bentaknya marah.
"Kalau tidak bohong ia tentu salah lihat!" Wan Ceng membantah "Suma Hui, apakah engkau
benar-benar berani sumpah melihat sendiri bahwa yang melakukan perbuatan terkutuk itu
adalah Cin Liong?"
"Kamar gelap, aku tidak dapat melihat wajah-nya, akan tetapi suaranya.... dan bicaranya....
dia adalah Kao Cin Liong, tak salah lagi."
"Fitnah....!" Wan Ceng membentak.
"Wan Ceng! Kao Kok Cu! Kalian dua orang tua yang tak tahu malu, tidak becus mendidik
anak, sehingga melakukan perbuatan hina terha-dap anak kami yang malang, dan sekarang
kalian malah hendak menuduh anakku membohong" Untuk apa anakku membohong"
Sungguh tak tahu malu!" Kim Hwee Li marah sekali dan ia sudah menerjang maju untuk
menampar muka Wan Ceng. Akan tetapi, wanita ini tentu saja ti-dak mau ditampar dan cepat
iapun sudah me-nangkis dan membalas dengan menampar pula.
"Dukkk....! Wuiiitttt!" Balasan tamparan itu luput karena dielakkan oleh Kim Hwee Li dan
tumbukan kedua lengan mereka itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Kim Hwee Li
sudah menerjang lagi, kini mengirim pukulan-pukulan berantai yang dahsyat. Namun
lawannya bukanlah seorang wanita biasa. Isteri dari Naga Sakti Gurun Pasir itu dapat
mengelak, menangkis bahkan membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan ta-hu-tahu Kim Hwee Li kehilangan lawannya.
Ki-ranya tubuh Wan Ceng telah disambar oleh suaminya dan dibawa keluar lapangan
perkelahian itu dan kini pendekar lengan satu itu menjura de-ngan sikap tenang.
"Segala urusan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah. Mempergunakan kekerasan
bukan-lah jalan baik untuk mengatasi persoalan. Kami berdua datang karena tidak mengetahui
adanya persoalan itu, kalau kami tahu tak mungkin kami berani datang sebelum membikin
terang persoalan ini. Juga agaknya kedua paman dan bibi baru ta-hu sekarang. Tidak mungkin
putera kami melaku-kan perbuatan tidak senonoh itu, juga agaknya ti-dak mungkin kalau
puteri paman berdua bicara bohong. Oleh karena itu, tentu ada apa-apa di balik semua ini,
rahasia inilah yang harus diseli-diki dan dipecahkan."
Melihat sikap pendekar sakti itu yang menga-lah, sabar dan tenang, Suma Kian Lee juga
mena-han dirinya, walaupun hatinya sudah terbakar oleh pengakuan puterinya bahwa
puterinya telah diperkosa oleh Cin Liong.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
240 "Kalian sebagai orang tua tentu dapat merasa-kan bagaimana hebatnya penderitaan kami
men-dengar pengakuan puteri kami. Tepat seperti dikatakan puteri kami tadi, penghinaan ini
harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci de-ngan darah!"
"Hemm, paman Suma Kian Lee. Kao Cin Liong masih mempunyai ayah ibu, dan kami
se-bagai orang tuanya berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi
benarkah dia melakukan perhuatan itu" Hal ini yang harus kami selidiki lebih dahulu. Kalau
memang benar putera kami yang melakukan perbuatan biadab itu, kami berani
mempertanggungjawabkannya dan kami yang akan menghukumnya." Berkata demikian,
pendekar berlengan satu ini saling pandang dengan isterinya dan wajah keduanya menjadi
merah. Teringatlah oleh pendekar ini betapa dahulu, di waktu mudanya, karena rang-sangan
racun, dia sendiripun melakukan pemer-kosaan atas diri Wan Ceng yang kini menjadi
is-terinya. Apakah ada sesuatu yang mendorong putera mereka melakukan perbuatan yang
sama" Apakah ini hukum karma" Ataukah ada hal-hal yang serba rahasia di balik ini"
Bagaimanapun juga, mereka menjadi prihatin sekali.
Setelah menjura ke arah fihak tuan rumah tan-pa dibalas, Kao Kok Cu lalu menarik lengan
isteri-nya yang masih marah-marah itu dan meninggal-kan rumah keluarga Suma. Betapa jauh
bedanya dengan ketika mereka datang tadi. Tadi mereka datang dengan gembira dan dengan
hati mengan-dung penuh harapan. Kini mereka pergi dengan hati sedih, penasaran dan juga
marah. Setelah kedua orang itu pergi, Suma Hui lalu menangis dan menjambak-jambak rambutnya
sendiri. "Aku akan membunuhnya.... aku akan membunuhnya....!" Hatinya hancur berkeping-
keping. Ia mencinta Cin Liong, bahkan sampai saat itupun ia tidak dapat melupakan pemuda
itu. Akan tetapi, pemuda itu telah menghancurkan se-mua harapan dan kebahagiaannya
dengan perbu-atan yang keji itu! Kim Hwee Li dapat merasa-kan kehancuran hati anaknya,
maka ibu inipun merangkulnya sambil menangis pula.
Suma Kian Lee terduduk dengan muka pucat dan tubuh lemas. Tak disangkanya telah terjadi
malapetaka seperti itu! Kini jelas tak mungkin puterinya menjadi jodoh Cin Liong yang masih
keponakan puterinya sendiri itu. Akan tetapi, ba-gaimana mungkin pula puterinya dapat
melanjut-kan perjodohannya dengan Tek Ciang setelah dirinya ternoda" Bagaimana dia dapat
menyampaikan hal itu kepada pemuda itu" Dan bagaimana pula kalau Tek Ciang menolak"
Dia merasa pe-ning memikirkan hal ini dan hatinya semakin jeng-kel melihat isteri dan
puterinya bertangisan.
"Kalau kalian hendak bertangisan, ajaklah ia ke kamarnya dan biarkan aku sendiri di sini.
Ciang Bun, keluarlah engkau!" kata pendekar itu de-ngan wajah lesu.
Kim Hwee Li mengerti bahwa suaminya se-dang menahan nafsu amarah yang menggelora,
maka iapun lalu menuntun puterinya masuk ke kamar Suma Hui di mana gadis itu melempar
diri di atas pembaringan dan menangis sesenggukan, dipeluk oleh ibunya. Sedangkan Ciang
Bun, de-ngan tubuh terasa lesu, pergi ke taman belakang di mana dia melihat Tek Ciang
duduk termenung seorang diri. Dia menahan langkahnya dan me-mandang pemuda itu dari
belakang. Sampai se-jauh manakah pengetahuan Tek Ciang tentang en-cinya itu" Bukankah
ketika ayah ibunya pergi mencarinya, di rumah ini hanya ada encinya, pelayan dan Tek
Ciang" Tentu pemuda yang men-jadi suhengnya itu tahu, atau setidaknya mengeta-hui hal-hal
yang ada hubungannya dengan pe-ristiwa itu. Dia sendiri masih belum dapat perca-ya begitu
saja bahwa Cin Liong telah melakukan hal yang sedemikian rendahnya. Memperkosa
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
241 en-cinya! Dia mengenal betul jenderal muda itu, se-orang pendekar yang gagah perkasa, yang
telah membela Pulau Es mati-matian, bahkan telah menyelamatkan encinya dari malapetaka
ketika encinya dilarikan oleh penjahat keji Jai-hwa Siauw-ok. Mana mungkin kemudian Cin
Liong sendiri yang memperkosa encinya" Akan tetapi, diapun tahu bahwa encinya adalah
seorang yang keras hati dan jujur, yang sampai mati rasanya tidak akan mau membohong.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau encinya mengatakan dengan yakin bahwa pemerkosanya ada-lah Cin Liong, maka hal
itupun sukar untuk dira-gukan lagi. Sungguh membingungkan!
Tek Ciang agaknya merasa akan kedatangan-nya, karena pemuda itu menoleh dan begitu
me-lihat Suma Ciang Bun, dia bangkit dari bangku taman. "Ah, sute, apakah tamunya sudah
pu-lang?" Ciang Bun masih termenung dan hanya meng-angguk.
"Siapakah tamunya, sute?"
"Tamunya adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya dan mereka datang
untuk meminang enci Hui!" Suma Ciang Bun berkata dengan tegas sambil menatap wajah
suhengnya itu dengan tajam. "Mereka meminang enci Hui untuk dijodohkan dengan Cin
Liong." "Ahhh....!" Pemuda itu nampak terkejut akan tetapi tidak berkata apa-apa, hanya alis-nya
berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang. Ciang Bun mengerti bahwa tentu suhengnya ini
tidak suka kepada Cin Liong karena Cin Liong telah menyebabkan kematian ayahnya.
Ciang Bun lalu menghampiri suhengnya. "Su-heng, mari kita duduk, aku ingin bicara
dengan-mu."
Tek Ciang duduk kembali. Mereka duduk ber-dampingan dan Tek Ciang memandang wajah
su-tenya dengan heran. "Bicara apakah, sute?"
Tentang.... Cin Liong!"
"Ada apa dengan.... dengan Kao-taihiap?"
"Dia telah membunuh ayahmu, bukan" Apa-kah engkau telah bicara dengan dia setelah
peris-tiwa matinya ayahmu?"
Pemuda itu menarik napas panjang, nampak bersedih. "Sudah, dan Kao-taihiap mengakui
te-lah berkelahi dengan mendiang ayah. Dia dise-rang oleh ayah dan dia hanya membela diri
saja. Tentu saja ayah bukan tandingannya dan.... dan menurut keterangan Kao-taihiap, ayah....
membunuh diri setelah kalah."
"Engkau percaya akan keterangan itu?"
"Bagaimana tidak" Dia adalah seorang pen-dekar sakti, seorang jenderal malah."
"Engkau tidak mendendam?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
242 Tek Ciang nampak bingung. "Tentu saja aku berduka sekali karena kematian ayah, akan
tetapi akupun tidak dapat menyalahkan Kao-taihiap karena dia lebih dahulu diserang oleh
ayah, yang menyangkanya seorang jai-hwa-cat yang berke-liaran di kota ini.
"Apakah engkau percaya bahwa Cin Liong pantas menjadi jai-hwa-cat, suheng?"
"Apa...." Ah, entahlah, sute, aku menjadi bingung...."
Hening sejenak. Suma Ciang Bun memutar otaknya bagaimana untuk dapat membongkar
ra-hasia terpendam yang mungkin diketahui oleh su-hengnya ini, sedangkan Tek Ciang
bersikap was-pada, kini tidak gugup lagi dan dia sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua
pertanyaan sutenya.
"Louw-suheng, dahulu sebelum kami pulang, engkau seoranglah yang menemani enci Hui di
rumah. Maukah engkau menjawab semua perta-nyaanku dengan sejujurnya?"
Diam-diam Tek Ciang terkejut dan dia me-mandang kepada sutenya yang masih remaja dan
yang sikapnya halus itu dengan curiga di hati. A-kan tetapi dia mengangguk tanpa menjawab.
"Suheng, apakah engkau melihat terjadinya se-suatu yang aneh antara enci Hui dan Cin
Liong?" "Sesuatu yang aneh" Apakah yang kaumak-sudkan, sute?"
"Ketika Cin Liong datang berkunjung ke sini, bagaimanakah hubungan antara mereka?"
"Baik sekali! Mereka kelihatan akrab sekali, dan sikap Kao-taihiap amat manis."
"Suheng, kenana engkau menyebutnya Kao-taihiap" Tidak tahukah engkau bahwa dia
ada-lah keponakanku" Jadi dapat disebut murid kepo-nakanmu juga!"
Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia ter-senyum. "Ah, bagaimana mungkin aku berani
menyebutnya sebagai keponakan apalagi murid keponakan" Usianya lebih tua dariku dan
ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku."
"Dan dia sendiri menyebut apa padamu, suheng?"
"Itulah yang membuat hatiku tidak enak seka-li, sute. Dia menyebut susiok kepadaku!" Tek
Ciang tersenyum malu-malu dan Ciang Bun ter-paksa tertawa juga. Memang aneh kalau
seorang pendekar sakti seperti Cin Liong itu menyebut su-siok (paman guru) kepada Tek
Ciang. Sungguh merupakan keadaan yang terbalik, melihat usia-nya maupun tingkat
kepandaiannya. "Sekarang harap kaujawab sebenarnya, suheng. Pernahkah engkau melihat mereka
bertengkar?"
Ditanya demikian, Tek Ciang menjadi ragu-ragu dan agaknya merasa sungkan sekali untuk
menjawab. Hal ini memang disengaja sehingga dia nampak seolah-olah merasa tidak enak
hati kalau harus menceritakan sesuatu yang hendak di-rahasiakan. Ciang Bun yang masih
hijau dalam hal menilai sikap orang tentu saja menjadi ter-tarik.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
243 "Suheng, katakanlah. Engkau sudah kami ang-gap sebagai keluarga sendiri. Kalau ada terjadi
sesuatu, sepatutnya kalau suheng berterus terang kepada kami. Kalau suheng tidak berani
bicara kepada ayah, katakanlah saja kepadaku dan aku yang akan menyampaikan kepada
ayah. Apakah pernah terjadi pertengkaran antara enci Hui dan Cin Liong?"
Tek Ciang menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah-olah dia terpaksa untuk bicara.
"Apa boleh buat, mungkin engkau benar, sute, bahwa aku harus menceritakan segala yang
kuke-tahui. Sesungguhnyalah, aku pernah melihat me-reka berkelahi!"
"Berkelahi?"
"Sehenarnya bukan berkelahi, melainkan sumoi yang menyerang Kao-taihiap mati-matian
de-ngan pedangnya, dan Kao-taihiap hanya meng-hindarkan semua serangan itu. Terjadi pada
pagi hari dan akhirnya Kao-taihiap melarikan diri dan dikejar oleh sumoi. Aku mencoba
melerai akan te-tapi dengan kepandaianku yang tidak seberapa, aku dapat berbuat apa" Tak
lama kemudian sumoi kembali dan agaknya ia tidak berhasil menyu-sul Kao-taihiap yang
amat lihai itu."
"Hemm, begitukah" Apakah enci Hui me-nyerang sungguh-sungguh" Ataukah hanya ma-in-
main saja ataukah hanya untuk menguji?"
"Kurasa sungguh-sungguh, sute, karena aku melihat sumoi marah sekali dan benar-benar ia
bermaksud hendak membunuh Kao-taihiap."
"Hemm, sungguh aneh. Apa sebabnya enci Hui marah-marah dan hendak membunuhnya?"
Tek Ciang menggeleng kepala dan wajahnya kelihatan seperti orang menyesal dan ikut
berse-dih. "Aku tidak tahu mengapa, sute. Ketika ku-tanya, sumoi juga tidak mau
menceritakan."
"Apakah tidak terjadi sesuatu di rumah ini pa-da malam hari sebelumnya?" Tek Ciang
menggeleng kepala.
"Malam itu engkau berada di mana, suheng?"
"Aku" Ah, aku meronda keliling kota. Aku hendak menyelidiki jai-hwa-cat yang tadinya
di-cari-cari oleh mendiang ayah. Dan aku melihat Kao-taihiap berkelahi melawan seorang
yang amat lihai. Mereka sama-sama lihai sehingga aku yang menonton dari tempat
persembunyian tidak dapat membedakan mana Kao-taihiap dan mana lawannya. Akhirnya
mereka berkejaran dengan amat cepat. Aku ikut mengejar akan tetapi ter-tinggal jauh dan
malam itu aku mencari-cari tan-pa hasil. Menjelang pagi baru aku pulang. Ha-nya itulah yang
kuketahui, sute. Akan tetapi, sute bertanya-tanya ini, sebenarnya ada terjadi apa-kah" Aku
sendiri bertanya-tanya dalam hati mengapa sumoi begitu membenci Kao-taihiap dan hendak
membunuhnya, padahal tadinya hu-bungan mereka sedemikian akrabnya?"
Kini Ciang Bun yang menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. "Tidak tahulah,
suheng, tidak tahulah...." dan pemuda remaja inipun meninggalkan suhengnya dengan hati
yang tidak puas karena semua keterangan Tek Ciang itu tidak membuat terang persoalannya.
Benarkah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian keji, memperkosa encinya,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo
Hikmah Pedang Hijau 12 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 12
^