Kisah Para Pendekar Pulau Es 9

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


> published by buyankaba.com
244 kemudian setelah me-reka bertemu pagi itu, encinya lalu mati-matian menyerangnya" Dia
menjadi bingung sendiri dan mengepal tinju kalau mengingat akan nasib encinya yang
malang. *** "Sudahlah, Hui-ji. Tahan air matamu dan bersikaplah gagah...." Kim Hwee Li mencoba
un-tuk menghibur hati puterinya.
Suma Hui mengangkat muka memandang ke-pada ibunya. Wajahnya pucat dan basah air
ma-ta, sepasang matanya merah membendul karena tangis. Hati ibu ini hancur rasanya. Belum
pernah puterinya yang keras hati ini menangis seperti ini. Ciang Bun lebih sering menangis
daripada enci-nya di waktu kecil. Bahkan diam-diam ia sering merasa heran mengapa
puterinya berhati baja seperti seorang jantan sedangkan puteranya bahkan berhati lembut.
"Ibu.... ibu.... rasanya aku ingin mati saja...."
Mendengar ini, Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bertangisan. Baru sekarang
Hwee Li benar-benar menangis karena iapun dapat merasakan betapa hancur hati puterinya
karena kehilangan keperawanannya, apalagi kalau diingat bahwa yang menodainya itu adalah
pria yang dicintanya!
"Aku tahu betapa hancur hatimu, anakku. Akan tetapi engkau adalah seorang wanita gagah,
tidak semestinya kalau orang-orang seperti kita ini menghadapi sesuatu dengan tangis.
Betapapun besar malapetaka itu, harus kita hadapi dengan gagah! Masih ada pedang kita
untuk dapat me-nebus semua penghinaan yang dilakukan orang atas diri kita, bukan?"
Ucapan ini membangkitkan semangat Suma Hui. Ia bangkit duduk dan menyusut air
matanya. Hwee Li membereskan rambut kepala anaknya yang kacau dan kusut. Setelah
kedukaan dan ke-haruan hati mereka mereda, dengan halus Hwee Li lalu berkata, "Sekarang
coba kauceritakan ke-padaku apa yang sebenarnya telah terjadi, agar aku dapat ikut
memikirkan."
Suma Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya pada malam jahanam itu. Karena
kini yang mendengarkannya hanya ibunya, ia lebih berani bercerita dengan jelas. Tentu saja
Hwee Li mendengarkan dengan muka merah karena ma-rahnya, dan beberapa kali wanita ini
mengepal kedua tinju tangannya dan mengeluarkan suara kutukan perlahan. Setelah puterinya
selesai bercerita, ia bertanya.
"Begitu gelapkah cuaca malam itu dalam kamar sehingga engkau tidak mengenali
wajahnya?"
"Selain gelap sekali, juga kepalaku masih pe-ning oleh pengaruh obat bius itu, ibu."
"Asap yang berbau harum seperti hio?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
245 "Benar."
"Itulah dupa harum pembius yang biasa dipergunakan kaum jai-hwa-cat! Sungguh heran
sekali bagaimana seorang jenderal muda seperti Cin Liong itu dapat berobah menjadi seorang
jai-hwa-cat! Padahal, kalau dia menghendaki, wanita ma-napun kiranya akan bisa dia
dapatkan!"
"Mungkin itu suatu penyakit, ibu! Jahanam itu bukan hanya menodai tubuhku, akan tetapi
juga menodai cintaku, menghancurkan kebahagia-an hidupku!"
"Tapi, bagaimana engkau bisa begitu yakin bahwa orang itu adalah Cin Liong?"
"Mana aku bisa salah, ibu. Suaranya sudah ku-kenal baik, dan bisikan-bisikannya ketika
mera-yu.... ah, ibu.... sungguh dia bukan manusia...." Gadis itu mengusap kedua matanya yang
menjadi basah kembali. "Aku.... aku mencinta-nya, dan diapun kelihatan begitu cinta
padaku...., akan tetapi, mengapa dia melakukan perbuatan keji itu terhadapku" Mengapa...."
Mengapa, ibu....?" Gadis itu menangis lagi. Kim Hwee Li hanya duduk bengong terlongong,
bingung tak tahu harus menjawab bagaimana. Akan tetapi otaknya bekerja mencari jalan
keluar yang baik bagi puterinya yang tertimpa malapetaka itu. Ia tahu bahwa kalau tidak
dicarikan jalan yang ter-baik, peristiwa ini akan menjadi luka batin yang takkan dapat
disembuhkan lagi.
Tiba-tiba ia mendapatkan akal yang diang-gapnya cukup baik. Ia sendiri pernah menjadi
puteri seorang datuk sesat, biarpun hanya puteri angkat dan iapun pernah menjadi seorang
tokoh sesat yang kejam dan liar, bahkan tidak memper-dulikan sama sekali apa artinya
kegagahan atau jiwa pendekar. Ia baru berobah betul-betul sete-lah bertemu dengan Suma
Kian Lee yang kini menjadi suaminya (bacaKisah Jodoh Sepasang Rajawali). Apa yang
dilakukan oleh Cin Liong itu memang jahat sekali, akan tetapi, bukankah perbuatan itu
mungkin mempunyai suatu dasar yang ia tidak mengerti" Apakah dengan perbuatannya itu
lalu Cin Liong dianggap seorang manusia yang tidak dapat menjadi baik kembali" Dan
mereka saling mencinta! Setelah kini Cin Liong menggauli puterinya dengan paksa, maka
jalan satu-satunya hanyalah merangkapkan mereka berdua menjadi suami isteri!
"Anakku, dengarkan baik-baik. Hanya satu jalan untuk menebus penghinaan dan aib yang
menimpa dirimu dan keluarga kita, Hui-ji."
"Aku tahu, ibu! Hanya darah keparat itulah yang mampu mencuci bersih noda ini dan hanya
nyawanya sajalah yang mampu menebus penghinaan ini!"
"Bukan, ada jalan yang lebih baik lagi, anakku. Dengar, bukankah engkau amat
mencintanya?"
"Itu dulu sebelum...."
"Dan diapun mencintamu....?"
"Aku tidak percaya lagi! Kalau dia mencinta, tak mungkin dia melakukan...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
246 "Perbuatannya itu tentu terdorong oleh sesuatu, anakku. Akan tetapi, apapun yang
mendorong-nya, hal itu sudah terjadi dan satu-satunya jalan untuk membersihkan namamu
dan nama keluarga kita hanyalah kalau engkau menjadi isteri Cin Liong...."
"Tidak....! Tidak....!"
"Mengapa tidak" Dengar, aku akan memaksa pihak keluarga Kao untuk menerimamu sebagai
mantunya. Kalau mereka menolak, aku akan mengamuk dan menganggap mereka semua
seha-gai musuh besar dan aku akan menyatakan perang antara keluarga Suma dan keluarga
Kao! Cin Liong hanya dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya dengan menikahimu...."
"Tidak....! Sekali lagi tidak, ibu. Lebih baik mati bagiku daripada harus menjadi isteri
seo-rang jahanam keparat yang telah memperkosaku! Tanggung jawab jahanam itu hanyalah
kematian-nya. Cintaku sudah hancur dan berobah benci oleh perbuatannya yang keji itu!"
"Tapi, ini demi membersihkan noda dan aib yang menimpa dirimu! Demi membersihkan
na-ma keluarga kita."
"Tidak, aku harus mencarinya dan aku akan membunuhnya. Setelah itu, akupun tidak mau
la-gi hidup lebih lama di dunia ini."
"Jangan bodoh. Kepandaiannya amat tinggi, engkau bukan lawannya!"
"Kalau begitu, biar aku mati di tangannya. Diapun sudah membunuhku sekarang ini,
membu-nuh cintaku, membunuh kebahagiaanku, membu-nuh harapanku....!"
"Hui-ji! Yangan putus asa seperti itu, anakku....!" Kim Hwee Li merangkul dan hatinya
berduka sekali. Akan tetapi ia maklum bahwa dalam keadaan yang masih panas ini, akan
sukar-lah membujuk hati Suma Hui. Ia harus bersabar menanti sampai beberapa lama.
Mungkin kalau kemarahan anak itu sudah mereda dan kepalanya sudah agak dingin, ia akan
mau mengerti dan da-pat diajak berunding mengenai masalah yang me-reka hadapi.
Manusia telah kehilangan cinta kasih di dalam hidupnya. Seperti cinta Suma Hui terhadap
Cin Liong, dalam seketika dapat saja berobah menjadi kebencian yang amat mendalam,
kebencian yang hanya akan terpuaskan kalau ia dapat membunuh orang yang dibencinya.
Tanpa kita sadari, kita sekarangpun hanya memiliki cinta yang macam ini saja. Kita mencinta
seseorang, tanpa kita sa-dari bahwa cinta kita itu sesungguhnya hanya me-rupakan jual beli
saja. Kita mencinta seseorang karena ada sesuatu pada orang itu yang menye-nangkan hati
kita. Karena wajahnya mungkin. Karena hartanya. Karena sikapnya yang manis. Karena
pandainya. Karena namanya, kedudukan-nya atau lain hal lagi. Pendeknya, kita mencinta
karena sesuatu yang ada pada dirinya, sesuatu yang menyenangkan kita. Jadi, bukan
ORANG-NYA yang kita cinta, melainkan sesuatu pada di-rinya yang menyenangkan kita
itulah. Karena itu, apabila sesuatu yang menyenangkan itu berobah atau hilang, cinta kitapun
luntur dan berobah men-jadi benci! Karena kalau tadinya kita DISE-NANGKAN, kini kita
merasa DISUSAHKAN. Su-ma Hui tadinya cinta setengah mati kepada Cin Liong karena di
samping segala segi baiknya, ju-ga kebaikan pemuda itu menyenangkan hatinya. Kemudian,
karena merasa bahwa pemuda itu memperkosanya, menghinanya, kebaikan itu baginya
berobah menjadi keburukan dan kalau tadinya disenangkan, kini ia merasa disusahkan dan
karena itu, cintanya yang setengah mati itupun berobah menjadi benci setengah mati!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
247 Yang beginikah cinta kasih" Ataukah ini bu-kan hanya sekedar cinta berahi saja, atau
keingin-an memiliki sesuatu yang menyenangkan" Di luar kesadaran kita, kita sendiripun
menjadi pencinta-pencinta seperti ini! Kalau kita mau mendiamkan pikiran yang sibuk ini dan
merenung, mengamati "cinta" kita terhadap orang-orang yang kita cinta, isteri, suami, pacar,
sahabat dan sebagainya, ma-ka akan nampak nyata betapa "mengerikan" wa-jah dari cinta kita
itu. Sesungguhnyalah, kalau yang kita cinta itu orangnya, maka kita tentu akan mampu menerima
orang itu dengan segala baik buruknya, segala ca-cat celanya, segala kelebihan dan
kekurangannya, bukan" Cinta kasih itu sesuatu yang indah, tanpa ukuran, tidak
membandingkan, tanpa pamrih, wa-jar, tanpa hari kemarin atau hari esok. Cinta ka-sih itu
sekarang, saat ini, karenanya langgeng.
Ketika Kim Hwee Li mengajukan pendapatnya agar Suma Hui dijodohkan saja dengan Cin
Liong untuk menebus aib yang menimpa keluarga mere-ka itu, Suma Kian Lee termenung
dan mukanya menjadi merah, alisnya berkerut. Sampai lama dia tidak bicara dan dia
memikirkan pendapat isteri-nya itu dengan hati yang tidak karuan rasanya. Kenyataan bahwa
Cin Liong adalah keponakan dari Suma Hui saja sudah membuatnya tidak setu-ju dan
menentang perjodohan itu, apalagi setelah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian
keji terhadap Suma Hui. Akan tetapi, pendapat isterinya itu harus diakuinya sebagai jalan
keluar yang satu-satunya dan yang terbaik. Kalau Su-ma Hui menjadi isteri Cin Liong, berarti
penghi-naan itupun tertebus dan aibpun terhapus. Hanya satu hal saja yang memberatkan,
yaitu bahwa Su-ma Hui menikah dengan keponakan sendiri. Akan tetapi kalau tidak begitu,
puterinya itu akan men-derita selama hidupnya sebagai seorang gadis yang ternoda, dan nama
keluarga mereka akan terce-mar, sedangkan keluarganya sudah pasti akan berhadapan dengan
keluarga Kao sebagai musuh besar yang dia sendiri merasa ngeri membayang-kan akibatnya
kelak. Akan tetapi, masih ada satu jalan lain lagi. Kalau Tek Ciang mau menerima Suma Hui,
biarpun gadis itu sudah ternoda! Ten-tu lebih baik lagi kalau begitu. Aib itu terhapus dan
diapun tidak usah malu mendapatkan seorang cucu keponakan sebagai mantu! Dan tentang
den-dam itu, tentu saja tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa balas.
"Pendapatmu itu baik sekali, akan tetapi hanya merupakan jalan ke dua. Aku masih
mempunyai jalan pertama yang lebih baik, yaitu mengawinkan anak kita dengan Tek Ciang.
Ingat, dialah tunangan anak kita yang sebenarnya."
"Tapi....!" Isterinya membantah dengan kaget. "Mana mungkin itu terjadi setelah...." Apakah
dia perlu diberitahu tentang aib itu" Ah, dia tentu menolak dan sebaiknya kalau hal itu tidak
diketahui orang lain kecuali keluarga kita sendiri. Kita bisa saja membatalkan pertalian jodoh
itu setelah kini ayahnya meninggal."
Akan tetapi, dengan alis berkerut Suma Kian Lee menggeleng kepalanya. "Aku tahu bahwa
Tek Ciang mempunyai hati yang baik. Dia pasti akan mau mengerti dan akan mau
melanjutkan perjo-dohan itu, apalagi dia telah menjadi muridku yang akan mewarisi ilmu-
ilmuku kelak."
"Apa" Ilmu keluarga kita akan kauwariskan kepada orang lain" Bagaimana dengan Ciang
Bun dan Hui-ji?" isterinya bertanya, penasaran.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
248 "Ingat, isteriku. Kalau dia sudah menjadi man-tu kita, dia bukan orang lain lagi namanya!
Kulihat Ciang Bun tidak memiliki kekerasan hati, dia terlalu lembut bagi seorang pria, dan
Hui-ji.... biarlah dia belajar dari suaminya kelak."
Kim Hwee Li tidak dapat membantah lagi. Dianggapnya percuma saja berbantahan dengan
suaminya mengenai persoalan ini, karena iapun mengerti betapa kukuh suaminya memegang
peraturan keluarga. Suaminya ini berbeda sekali de-ngan Suma Kian Bu, yang lebih bebas dan
liar, seperti dirinya sendiri dahulu. Akan tetapi ia ti-dak mengeluh, bahkan watak suaminya
itulah yang mampu menundukkannya, mampu menji-nakkan keliarannya.
"Terserah kepadamu. Akan tetapi kalau dia menolak?"
"Kalau dia menolak, dia tidak akan mewarisi ilmu-ilmuku, hanya belajar sekedarnya saja,
dan barulah kita memperbincangkan usul dan penda-patmu tadi." Jawaban ini melegakan hati
Hwee Li yang mengharapkan pemuda yang tidak begitu disukanya itu tentu menolak dan
suaminya akan terpaksa menerima Cin Liong sebagai mantu. Hal ini bukan berarti bahwa ia
sendiri lebih senang memilih Cin Liong sebagai mantu, melainkan ka-rena ia tahu bahwa
puterinya tidak mencinta Tek Ciang, melainkan mencinta Cin Liong. Andaika-ta puterinya
mencinta Tek Ciang, ia sendiri tentu tidak keberatan karena yang tidak disukainya akan diri
Tek Ciang hanya sikapnya yang terlalu sopan, terlalu merendah dan terlalu kelihatan baik
itulah. "Sekarang juga kita hadapi dia," kata pula Kian Lee dan dia memanggil Tek Ciang untuk
da-tang menghadap. Suami isteri ini sengaja memilih ruangan dalam untuk mengadakan
pembicaraan dengan pemuda itu dan ketika Tek Ciang datang bersama Ciang Bun, Kian Lee
segera minta kepada puteranya untuk keluar dari dalam ruangan itu.
"Bun-ji, ayah dan ibumu ingin bicara sesuatu yang penting dengan Tek Ciang, maka
biarkanlah kami bertiga sendiri dan larang siapapun juga memasuki ruangan ini tanpa ijin
kami," demikian katanya dengan sikap tegas.
Ciang Bun menoleh sejenak kepada suhengnya, kemudian keluar dari ruangan itu dan segera
menemui encinya, yang berada di ruangan belakang.
Dengan jantung berdebar-debar akan tetapi muka tetap tenang dan hormat, Tek Ciang
me-masuki ruangan itu dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suhu dan suhonya.
"Bangkitlah dan duduklah di atas kursi itu, Tek Ciang," kata Kian Lee sambil menunjuk
sebuah kursi di seberang meja.
"Teecu tidak berani...."
"Diperintah guru berani membantah masih mengatakan tidak berani?" Kim Hwee Li
memben-tak dan pemuda itu terkejut, lalu bangkit dan du-duk di atas kursi itu, berhadapan
dengan guru-gurunya terhalang meja. Kikuk sekali rasanya du-duk semeja dengan gurunya,
apalagi dengan ibu gurunya yang galak, yang sekarang menatap wa-jahnya dengan penuh
perhatian dan seperti orang menyelidik. Kalau saja Hwee Li tahu betapa jan-tung pemuda tu
berdegup keras, tentu ia sendiri akan merasa heran mengapa pemuda ini menjadi begitu
gelisah dipanggil menghadap gurunya. A-kan tetapi, Tek Ciang memang memiliki keahlian
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
249 menyembunyikan perasaan hatinya. Wajahnya yang tampan itu nampak tenang saja, penuh
rasa hormat. "Tek Ciang, kami ada urusan penting sekali untuk dibicarakan denganmu." Kian Lee mulai
bicara. "Teecu siap mendengarkan dan mentaati, su-hu," jawab Tek Ciang dengan sikapnya yang
se-lalu teramat baik itu. Hwee Li mengerutkan alis-nya. Kalau ia yang mempunyai murid
seperti ini, tentu sudah dijewernya dan dilarangnya bersikap demikian terlalu amat baik yang
berbau kepalsuan itu.
"Beginilah, Tek Ciang. Sebelum ayahmu me-ninggal dunia, antara dia dan aku telah ada
suatu perjanjian mengenai dirimu. Apakah ayahmu per-nah bercerita tentang hal itu
kepadamu?"
Tek Ciang tahu betapa kedua orang itu, ter-utama sekali subonya, memandang kepada
wa-jahnya dengan sinar mata penuh selidik, maka dia menarik muka bodoh seperti orang
yang benar-be-nar tidak tahu-menahu apa-apa dan dia meng-geleng kepala. "Teecu tidak
pernah diceritakan apa-apa oleh mendiang ayah, suhu."
"Bagus! Sudah kuduga bahwa ayahmu tentu akan memegang dan memenuhi janjinya
kepada-ku. Karena ayahmu meninggal tanpa kita duga sama sekali, sekarang aku terpaksa
yang memberitahu kepadamu tentang janji kami itu. Ayahmu dan aku telah mengikatkan
perjodohan antara anakku Suma Hui dan engkau, Tek Ciang." Ber-kata demikian, Suma Kian
Lee menatap wajah yang tampan itu dan di sampingnya, Kim Hwee Li juga memandang
dengan penuh perhatian. Demikian pandainya Tek Ciang bersandiwara se-hingga dia mampu
membuat wajahnya nampak kaget sekali, agak pucat, kemudian berobah merah dan dia
menundukkan mukanya, tidak berani me-mandang kepada suhunya atau subonya! Sung-guh
seperti seorang perjaka tulen yang masih hi-jau mendengar dirinya akan dikawinkan!
Melihat ini, Suma Kian Lee bertanya. "Bagai-mana tanggapanmu tentang janji ikatan kami
itu, Tek Ciang?"
"Apa.... apa yang dapat teecu katakan, suhu" Apa lagi selain rasa terima kasih dan keharuan
yang sedalamnya bahwa suhu dan subo sudah begitu baik terhadap diri teecu" Teecu tidak
mungkin dapat membalas kebaikan ini dan biarlah kelak pada lain penjelmaan teecu akan
menjadi anjing atau kuda peliharaan suhu berdua...."
Kalau tidak ada suaminya di situ, tentu Kim Hwee Li akan tertawa geli mendengar ucapan
pemuda ini yang mengingatkan ia akan adegan sandiwara wayang saja! Betapapun juga,
diam-diam ia mengagumi pemuda ini yang amat pandai membawa diri dan pandai pula
mengatur kata-kata menyenangkan hati orang.
"Jadi engkau setuju menjadi calon jodoh Suma Hui?" tanya pula Kian Lee menegaskan.
Tiba-tiba Tek Ciang menjatuhkan diri berlu-tut terhadap mereka dan menangis! Kim Hwee
Li tadinya sudah hendak menggunakan kepan-daian untuk melempar kembali pemuda yang
berlutut itu ke atas kursinya, akan tetapi melihat pemuda itu menangis dan bercucuran air
mata, iapun tercengang.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

250 "EH, kenapa engkau menangis?" bentaknya heran sedangkan Suma Kian Lee juga
me-mandang dengan heran.
"Teecu.... teecu adalah seorang anak ya-tim piatu yang tak berguna.... akan tetapi di dunia ini
muncul ji-wi suhu dan subo yang begini baik terhadap diri teecu.... ah, teecu ti-dak dapat
menahan keharuan hati teecu...."
Agak terharu juga hati Hwee Li. Apakah se-lama ini ia terlalu memandang ringan kepada
anak ini" Apakah benar-benar anak ini memang me-rupakan seorang pemuda yang pandai
membawa diri, sopan santun, mengenal budi orang dan ber-hati lembut dan berbudi luhur"
"Tek Ciang, engkau duduklah kembali dan de-ngarkan kata-kataku lebih lanjut. Belum habis
aku bicara dan ada hal-hal yang lebih penting lagi untuk kaudengar selanjutnya."
Suara Kian Lee terdengar penuh kegelisahan dan pemuda itu menyusut air matanya dan
du-duk kembali, sambil menundukkan muka. Pipinya masih basah dan matanya agak merah.
"Jadi engkau setuju menjadi calon suami anak kami?" tanya Kian Lee.
"Teecu berterima kasih sekali dan merasa ter-hormat sekali tentu saja teecu setuju dengan
sepenuh hati teecu."
"Baik, sekarang dengarkan hal yang amat pen-ting. Kami bukanlah orang-orang curang
seper-ti pedagang yang menjual kucing dalam karung. Kami akan bicara sejujurnya dan
kemudian terse-rah kepadamu untuk mengambil keputusan. Kami hanya menghendaki
kepastian bahwa kalau eng-kau menjadi mantu kami, engkau bukannya ka-rena terpaksa
melainkan karena suka rela. Me-ngertikah engkau, Tek Ciang?"
"Teecu mengerti dan siap mendengarkan."
"Tek Ciang, menurut penuturan Ciang Bun, engkau tahu bahwa sumoimu, atau juga
tunang-anmu itu, pernah menyerang dan hendak membu-nuh Cin Liong. Benarkah itu?"
"Benar, suhu. Teecu mencoba melerai namun tidak berhasil."
"Tahukah engkau mengapa tunanganmu itu menjadi marah, membenci dan hendak
membunuh Cin Liong pada pagi hari itu?" tanya pula Kian Lee, suaranya lirih.
"Teecu tidak tahu dan sudah lama teecu ber-tanya- tanya di hati. Sumoi juga tidak mau
mem-beritahu kepada teecu."
Suara Suma Kian Lee semakin lirih dan agak gemetar ketika dia bicara lagi, "Malam itu ada
seorang jai-hwa-cat memasuki kamar sumoimu dan jai-hwa-cat itu ternyata adalah Kao Cin
Liong dan...."
"Ahhh....!" Pemuda itu terbelalak, muka-nya pucat.
"....dan.... dan sumoimu terkena asap pembius dan.... sumoimu diperkosa oleh-nya...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
251 "Tidak....! Jahanam itu....! Keparat keji itu....! Teecu bersumpah akan membunuh-nya kalau
teecu ada kemampuan!" Kini Tek Ciang bangkit berdiri, mukanya merah sekali penuh
ge-ram, matanya mengeluarkan sinar berapi dan ke-dua tangannya dikepal kuat-kuat. Kim
Hwee Li melihat ini semua dan Suma Kian Lee juga.
"Tenang dan duduklah, Tek Ciang. Bukan itu yang penting bagi kami," kata pendekar sakti
itu. "Maaf, suhu...." Tek Ciang lemas kembali dan duduk, mukanya masih keruh dan bengis
membayangkan kebencian yang mendalam.
"Tek Ciang, setelah engkau mengetahui bahwa sumoimu, tunanganmu itu kini telah ternoda,
apa-kah.... apakah engkau masih mau untuk melan-jutkan ikatan perjodohan ini" Apakah
engkau ma-sih mau menerima Suma Hui menjadi calon isterimu?" Di dalam suara pendekar
itu terkandung kegelisahan yang membuat hati isterinya terharu. Hwee Li tahu bahwa kalau
pemuda ini menolak, suaminya tidak akan dapat berbuat sesuatu dan tentu suaminya akan
mengalami kehancuran hati yang hebat. Maka, biarpun tadinya ia ingin pe-muda ini menolak
saja agar ia dapat mengusahakan perjodohan antara putrinya dan Cin Liong, kini hatinya
bercabang. Kalau pemuda ini neno-lak, perasaan suaminya akan hancur dan ia sendi-ri akan
ikut merasa berduka. Sebaliknya kalau pemuda ini menerima, ia akan ikut membujuk Suma
Hui agar mau menjadi calon isteri Tek Ciang. Tidak ada jalan lain yang lebih baik!
Hening sejenak, kemudian terdengar suara Tek Ciang, lantang dan tegas, "Kenapa teecu tidak
mau, suhu" Kejadian terkutuk itu bukanlah ke-salahan sumoi, melainkan kesalahan manusia
ter-kutuk itu. Tentu saja teecu mau melanjutkan ikat-an perjodohan ini dan mau menerima
sumoi se-bagai calon isteri teecu."
Wajah Suma Kian Lee yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri dan diam-diam Hwee
Li juga merasa terharu. Pemuda ini memang be-nar-benar tidak mengecewakan! Pemuda yang
berhati lapang, berpemandangan luas dan bijak-sana. Ya, bijaksana! Jarang ada pemuda
seperti ini. "Terima kasih, Tek Ciang! Engkaulah yang telah dapat menerangkan persoalan yang
menge-ruhkan hati kami sekeluarga. Engkaulah yang te-lah menjadi penolong kami dan
menghapuskan aib dari nama kami. Engkau tidak akan menyesal, Tek Ciang, karena dengan
demikian, aku telah menentukan sejak saat ini bahwa kelak engkau yang akan mewarisi ilmu
keluarga kami!" Ucap-an Suma Kian Lee keluar dari hati yang setulusnya dan Tek Ciang
kelihatan gembira sekali, lalu pe-muda ini kembali menjatuhkan dirinya berlutut.
"Terima kasih, suhu, terima kasih!"
Hwee Li kini tidak lagi ingin melempar pemu-da itu ke kursinya. Ia malah bangkit dan
me-nyentuh pundak pemuda itu. "Anak bodoh, apa-kah engkau masih juga menyebut suhu
kepada ayah mertuamu?"
"Tek Ciang, bangkit dan duduklah kembali," kata Suma Kan Lee.
Tek Ciang bangkit dan duduk, mukanya me-rah karena malu mendengar ucapan subonya
tadi, malu akan tetapi girang. Subonya yang biasa-nya bersikap galak itupun kini bersikap
manis ke-padanya!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
252 "Suhu dan subo, teecu belum berani lancang merobah sebutan sebelum teecu yakin betul
bah-wa sumoi akan.... akan mau.... menjadi...." Dia tidak melanjutkan dan menundukkan
muka-nya kembali.
Hwee Li saling pandang dengan suaminya dan ucapan pemuda itu seperti mengingatkan dan
menyadarkan mereka! Sungguh mereka hampir lupa bahwa orang yang bersangkutan bahkan
belum tahu. Bagaimana mereka dapat memastikan kalau Suma Hui belum diberi tahu dan
belum di-tanya pendapatnya" Membayangkan kemungkin-an puterinya menolak, Suma Kian
Lee sudah ma-rah. Anak perempuan itu sungguh mendatang-kan banyak pusing saja. Petama
jatuh cinta ke-pada keponakan sendiri, ke dua peristiwa perkosa-an itu, dan kalau sampai
sekarang menggagalkan segala-galanya dengan menolak perjodohannya dengan Tek Ciang,
dia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
"Panggil dia ke sini sekarang juga!" katanya memerintah kepada Tek Ciang.
"Baik, suhu." Pemuda itu lalu keluar dengan cepat mencari Suma Hui. Dia mendapatkan
su-moinya itu sedang duduk di ruangan belakang bercakap-cakap dengan Ciang Bun.
"Sumoi, suhu memanggilmu agar menghadap sekarang juga," katanya dengan sikap halus
seper-ti biasa, sama sekali tidak memperlihatkan perobahan sehingga Suma Hui tidak
mencurigai sesu-atu.
"Ada urusan apakah ayah memanggilku, su-heng?"
"Suhu tidak memberitahu, hanya minta sumoi datang menghadap sekarang juga. Suhu dan
su-bo menanti di ruangan dalam," jawab Tek Ciang dengan suara biasa.
Suma Hui saling bertukar pandang dengan adiknya, mengerutkan alisnya, menarik napas
panj-ang lalu bersama Tek Ciang masuk ke dalam. Tadi ia sudah mendengar dari Ciang Bun
bahwa ayah ibunya berada di dalam ruangan dalam ber-tiga saja dengan Tek Ciang, agaknya
membicarakan sesuatu yang amat penting sehingga ayahnya memerintahkan Ciang Bun untuk
keluar dan tidak memperkenankan siapapun juga masuk tanpa ijin. Selain itu, Ciang Bun juga
menceritakan kepada-nya tentang cerita Tek Ciang kepada adiknya itu dan ia dapat melihat
bahwa suhengnya itu me-mang baik sekali. Dan kini suhengnya disuruh memanggilnya
menghadap orang tuanya!
Agak berdebar jugalah hati Suma Hui melihat wajah ayah bundanya yang serius, bahkan
ibunya kini juga nampak serius dan pendiam sekali, ti-dak seperti biasa terhadap dirinya. Ia
dapat men-duga bahwa yang akan dibicarakan tentulah hal yang teramat penting.
"Duduklah di situ, Hui-ji," kata Suma Kian
Lee menunjuk ke kursi di samping kiri Tek Ciang.
Suma Hui duduk tanpa mengeluarkan kata-kata.
"Hui-ji, ketahuilah engkau bahwa lama sebelum Tek Ciang kuterima menjadi muridku,
diantara ayahnya, yaitu mendiang Louw-kauwsu dan aku telah ada perjanjian untuk mengikat
keluarga kami berdua dengan perjodohan antara engkau dan Tek Ciang...."
"Ayah....!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
253 "Dengar dulu!" Ayahnya memotong dan Suma Hui menunduk sebentar, lalu mengangkat
muka lagi, dengan muka pucat akan tetapi sepasang mata menentang ia memandang ayahnya.
"Hal itu hanya kami berdua yang mengetahui, bahkan Tek Ciang pun baru tadi kuberitahu
tentang perjodohan itu. Memang belum kami resmikan karena tadinya aku hendak
menanyakan lebih dulu pendapatmu."
Legalah hati Suma Hui. Kiranya ayahnya ti-daklah begitu lancang mengikatkan dirinya
men-jadi calon isteri orang tanpa bertanya kepadanya. "Perlu apa dibicarakan lagi, ayah" Hal
itu sudah berlalu dan kini tidak mungkin dilanjutkan!" ka-tanya singkat, dengan maksud agar
ayahnya me-ngerti bahwa setelah dirinya ternoda, mana mung-kin ia dijodohkan dengan
orang" Hal itu berarti akan mencemarkan nama sendiri karena akhirnya akan ketahuan bahwa
ia bukanlah perawan lagi dan tentu akan menimbulkan keributan dan mengakibatkan
tercemarnya nama dan kehormatan keluarga Suma. Sama dengan membongkar dan
memperlihatkan aib sendiri.
"Hui-ji, dengarkan baik-baik. Tek Ciang bu-kanlah orang lain. Selain dia calon suamimu,
ju-ga dia adalah muridku yang akan mewarisi semua ilmu keluarga kita. Oleh karena itu,
akupun telah terang-terangan menceritakan kepadanya ten-tang malapetaka...."
"Ayah....!" Kembali Suma Hui menjerit dan sekali ini mukanya menjadi pucat sekali.
Akan tetapi Suma Kian Lee mengangkat ta-ngan kanan ke atas menyuruhnya tenang.
"Te-nang dan lapangkan dadamu, anakku. Tek Ciang bukanlah seorang manusia busuk. Dia
adalah seo-rang gagah yang dapat menghadapi kenyataan yang betapa pahitpun juga. Dia
tidak menyalahkanmu, Hui-ji. Manusia keparat itulah yang terkutuk dan dia memaklumi
keadaanmu, dan dia dengan suka rela hati suka menerimamu menjadi calon isterinya dan
melupakan hal yang telah ter-jadi."
"Tidak mungkin....!" kata Suma Hui.
"Hui-ji, ingatlah. Urusan itu telah terlanjur diketahui Tek Ciang dan dengan bijaksana dia
mau melanjutkan perjodohan itu. Seharusnya eng-kau berterima kasih. Bukankah itu
merupakan jalan terbaik untuk menghapus noda dan aib dari nama keluarga kita" Bukankah
engkau sendiri menolak jalan lain yang kutawarkan kepadamu" Nah, hanya inilah jalannya,
bahwa engkau harus menjadi isteri Louw Tek Ciang, seorang isteri yang terhormat."
Suma Hui menjadi bengong, tidak tahu harus berkata bagaimana. Tentu saja ia dapat melihat
kebenaran kata- kata ibunya. Noda dan aib pada dirinya akan terhapus kalau ia menjadi isteri
ter-hormat dari seorang pemuda, dan pemuda seperti Louw Tek Ciang bukan pilihan yang
buruk. Apalagi bagi seorang yang telah kehilangan kehormat-annya sepertinya itu! Tapi....
tapi.... ia mencinta Cin Liong! Bahkan setelah apa yang terjadi, biarpun ia sudah membenci
Cin Liong, ra-sanya tidak mungkin ada pria lain yang menggan-tikan Cin Liong di dalam
hatinya menjadi teman hidup di sisinya.
"Ohh, ibuuuu....!" Ia menubruk pangkuan ibunya dan menangis. Ibunya merangkulnya, ikut
menangis dan membiarkan saja puterinya menangis terisak-isak sampai akhirnya Suma Hui
dapat menguasai dirinya. Ia menyusut air mata-nya, lalu bangkit dan duduk kembali.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
254 "Ayah, ibu.... sebenarnya ada satu saja cita--cita di dalam sisa hidupku, yaitu membunuh
Kao Cin Liong."
"Aku akan membantumu, sumoi!" tiba-tiba Tek Ciang berkata penuh semangat.
Suma Hui menoleh dan memandang kepada suhengnya atau tunangannya yang duduk di
sebe-lah kanannya itu, lalu mendengus. "Engkau ja-ngan ikut campur urusanku ini!"
Ucapannya ke-luar dengan jengkel mengingat bahwa kepandaian suhengnya amatrendah. Ia
sendiri saja bukan tan-dingan Cin Liong, apalagi suhengnya yang belum ada seperempatnya.
"Hui-ji, jangan bersikap keterlaluan terhadap kemauan baik Tek Ciang," kata Suma Kian Lee
menegur puterinya.
"Ayah, dia ini mau bisa apa terhadap Kao Cin Liong" Ayah, dengarkan baik-baik. Ayah dan
ibu, pendeknya, aku baru mau menikah dengan Louw-suheng kalau dia bisa mengalahkan aku
dalam ilmu silat!"
"Hui-ji....!" ibunya menegur.
"Habis, apakah lebih baik kalau kukatakan bahwa aku hanya mau menikah dengan orang
yang dapat mengalahkan aku?" balas puterinya menantang.
"Baiklah!" kata Suma Kian Lee. "Akan tetapi ingat, seorang gagah takkan menjilat kembali
lu-dahnya sendiri. Engkau sudah berjanji!"
"Saya tidak akan mengingkari janji!" bantah Suma Hui. "Sewaktu-waktu suheng boleh
men-coba kepandaiannya kepadaku!"
"Lihat saja nanti. Tek Ciang bukan saja akan dapat mengalahkanmu, bahkan dialah yang
kelak akan dapat membalas dendammu terhadap jaha-nam Kao Cin Liong!" Akan tetapi
Suma Hui sudah lari meninggalkan ruangan itu dan mema-suki kamarnya di mana ia
menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya pa-da bantal.
Hati Suma Kian Lee marah melihat sikap pute-rinya itu, akan tetapi dia hanya berkata kepada
Tek Ciang, "Mulai hari ini, engkau harus mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu
si-lat dengan tekun agar dalam waktu singkat eng-kau akan sudah dapat melampaui Hui-ji!"
Pada saat Suma Kian Lee mengeluarkan kata-kata itu, muncul Suma Ciang Bun yang tadi
meli-hat encinya berlari keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka seperti orang
menangis. Karena khawatir akan keadaan encinya, pemuda ini nekat memasuki ruangan dan
dia masih sempat mende-ngar ucapan ayahnya kepada suhengnya itu. Ha-tinya merasa tak
senang mendengar ayahnya hen-dak mengajarkan ilmu kepada suhengnya agar da-pat
melampaui encinya dalam waktu singkat. Apa artinya itu"
"Ayah, apakah yang telah terjadi" Kenapa en-ci Hui keluar dari sini sambil menangis?"
"Ciang Bun, mulai hari ini, encimu telah men-jadi tunangan suhengmu," Suma Kian Lee
berka-ta tanpa menjawab pertanyaan tadi secara lang-sung.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
255 "Ahhh....?" Suma Ciang Bun tertegun dan bengong karena tidak disangkanya bahwa
su-hengnyalah yang akan menjadi suami encinya, pa-dahal encinya sudah mengalami aib.
Melihat pu-teranya bengong saja sambil memandang Tek Ciang, Suma Kian Lee menegur.
"Bun-ji, di mana sopan santunmu" Sepatut-nya engkau menghaturkan selamat kepada calon
ci-humu (kakak iparmu)!"
Ditegur demikian, Ciang Bun terkejut dan dia-pun cepat memberi hormat kepada Tek Ciang
sambil berkata, "Suheng, kionghi (selamat)!"
"Terima kasih, sute," jawab Tek Ciang dengan sikap malu-malu.
Malam itu Suma Hui tidak keluar dari kamar-nya dan ketika ibunya datang menjenguknya,
ia-pun tidak mau menemui ibunya, mengunci pintu dari dalam. Ibunya mengerti bahwa hati
puteri-nya itu sedang dalam gundah, dan ia sendiripun tahu harus bagaimana untuk menghibur
ha-ti puterinya. Maka iapun membiarkannya saja dengan harapan bahwa pada keesokan
harinya, sete-lah kedukaan hati puterinya mereda, ia akan bi-cara dan menghiburnya.
Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Kim Hwee Li dan juga Suma Kian Lee ketika melihat
bahwa kamar Suma Hui sudah kosong dan dara itu telah pergi membawa buntalan pakaian,
meninggalkan sesampul surat di atas meja. Hanya sedikit tulisan yang ditinggalkan oleh dara
itu di dalam suratnya, yaitu bahwa ia pergi untuk mencari dan membu-nuh Kao Cin Liong. Itu
saja! Suma Kian Lee menjadi marah. "Anak yang tak tahu diri! Sudah ada bintang penolong
beru-pa Tek Ciang dan ia masihbertingkah. Ia men-cari Cin Liong mau apa" Apa yang akan
dapat dilakukannya?"
"Biar aku menyusul dan membujuknya pulang," kata isterinya.
"Hemm, kaukira mudah mencari anak keras hati itu kalau ia sudah mengambil suatu
keputus-an untuk melarikan diri" Ke jurusan mana engkau hendak mengejar dan mencarinya"
Biarkanlah, ia tentu akan gagal dan akan pulang juga," bantah suaminya dan Hwee Li tak
dapat membantah. Memang iapun tahu akan kekerasan hati puterinya itu dan seandainya ia
dapat mencarinya, hal yang tentu saja amat sukar karena puterinya sudah pergi sejak
semalam, belum tentu puterinya mau dibujuknya untuk pulang.Kekecewaan demi kekecewaan
menimpa suami isteri pendekar itu ketika tiga hari kemudian, Ciang Bun juga pergi
meninggalkan rumah tanpa pamit dan seperti juga encinya, pemuda remaja ini me-ninggalkan
sepotong surat singkat yang menyata-kan bahwa dia pergi untuk mencari encinya!
Sungguhpun benar Ciang Bun pergi untuk mencari encinya, akan tetapi yang mendorongnya
pergi bukanlah semata untuk mencari Suma Hui, me-lainkan karena pemuda ini merasa
menyesal dan kecewa bahwa ayahnya telah mencurahkan per-hatian sepenuhnya hanya
kepada Tek Ciang saja, dan agaknya ayahnya sudah mengambil keputusan bulat untuk
mengangkat Tek Ciang menjadi ahli waris ilmu silat keluarga mereka. Hal ini menya-kitkan
hati Ciang Bun, apalagi ditambah dengan kegelisahan hatinya melihat encinya pergi men-cari
Cin Liong, maka akhirnya pemuda inipun pergi tanpa pamit, karena kalau pamit tentu tidak
akan diperkenankan.
Hati Kim Hwee Li yang merasa kecewa dan berduka ditinggalkan kedua orang anaknya itu
dihiburnya sendiri dengan pendapat bahwa me-mang sudah sepatutnya kalau mereka itu,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
256 sebagai pendekar-pendekar muda, meluaskan pengalam-annya dengan perantauan. Bukankah
ia sendiri di waktu mudanya juga suka merantau dan hidup di alam bebas tanpa pengekangan
segala peratur-an rumah tangga dan keluarga"
Sedangkan Suma Kian Lee yang merasa kecewa dan marah itu menghibur hatinya dengan
mencu-rahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Tek Ciang, calon mantu dan juga
pewaris ilmu--ilmunya. Dia menggembleng Tek Ciang mati--matian sehingga pemuda yang
memang amat cerdik dan berbakat itu memperoleh kemajuan yang amat cepat.
*** Malam itu gelap sekali dan hawa udara amat dinginnya. Semenjak lewat tengah hari hujan
lebat turun menyiram bumi dan setelah malam tiba, hujan berhenti akan tetapi angin malam
meng-hembus kuat mendatangkan hawa dingin yang membuat orang malas untuk keluar dari


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam ru-mahnya. Apalagi malam itu gelap. Awan masih memenuhi udara menghalang sinar
bintang dan menyelimuti kota Thian-cin dengan kehitaman. Sunyi dan dingin.
Akan tetapi Tek Ciang tidak memperdulikan kegelapan dan kedinginan malam itu. Dia harus
pergi ke kuil kecil tua di luar kota itu. Dia telah berjanji kepada Jai-hwa Siauw-ok untuk
datang ke kuil itu setiap minggu sekali. Selama beberapa bulan ini, Jai-hwa Siauw-ok Ouw
Teng tidak pernah muncul. Akan tetapi Tek Ciang tetap da-tang tiap pekan sekali dan biarpun
malam hari ini amat sunyi, gelap dan dingin, dia tetap memegang janjinya. Pemuda ini
maklum bahwa menghadapi seorang datuk seperti Jai-hwa Siauw-ok, dia ha-rus memegang
janji. Apalagi mengingat bahwa datuk sesat itu telah berjasa besar dalam hidup-nya, bahkan
juga yang memegang kunci rahasia pribadinya. Dia tahu bahwa berhubungan dengan datuk itu
amatlah menguntungkan, baik sebagai sekutu ataupun sebagai guru. Sebaliknya, mem-punyai
seorang lawan seperti Jai-hwa Siauw-ok yang demikian sakti dan juga amat cerdiknya,
amatlah berbahaya.
Setelah tiba di dalam kuil, Tek Ciang mema-suki ruangan satu-satunya yang masih terlindung
di kuil itu dan atapnya juga masih rapat. Dinya-lakannya dua batang lilin seperti sudah
mereka sepakati berdua. Dua batang lilin itu sebagai tan-da rahasia mereka agar masing-
masing dapat mengenal teman. Setelah dua batang lilin itu ber-nyala dan diletakkannya di atas
lantai, diapun la-lu duduk bersila menanti. Dia akan menanti sam-pai dua jam di tempat itu,
seperti biasa. Kalau selama itu jai -hwa Siauw-ok tidak muncul, dia akan memadamkan lilin
dan meninggalkan kuil, kembali ke rumah keluarga Suma dengan diam-diam tanpa diketahui
oleh suhu atau subonya. Bahkan pelayan hanya tahu bahwa dia pergi ber-jalan-jalan.
Sekarang, menanti munculnya Jai--hwa Siauw-ok dilakukannya sambil berlatih sa-madhi
seperti yang diajarkan oleh suhunya kepa-danya. Selama kurang lebih enam bulan ini, dia
telah digembleng secara hebat sekali oleh gurunya. bukan saja dalam gerakan ilmu silat
tinggi, akan tetapi juga dalam latihan menghimpun tenaga sin-kang. Bahkan kini dia mulai
dapat mempergunakan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) yang merupakan satu di
antara ilmu-ilmu sakti dari Pulau Es! Maka dalam menanti mun-culnya Jai-hwa Siauw-ok,
diapun tidak mau me-nyia-nyiakan waktu. Apalagi di kuil itu meru-pakan tempat yang amat
baik untuk bersamadhi menghimpun tenaga dalam, selain tempatnya su-nyi, juga malam itu
dingin sekali, cocok untuk berlatih.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
257 Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara yang amat lembut. Selama digembleng ini, panca
inderanya menjadi peka sekali. Munculnya orang secara halus itupun dapat didengarnya dan
diapun siap waspada karena tidak tahu siapa yang mun-cul. Tiba-tiba ada desir angin lembut.
Dia ter-kejut dan sudah mengerahkan tenaga untuk men-jaga diri dan semua urat syaraf di
tubuhnya sudah menegang. Akan tetapi, desir angin yang tajam itu tidak menyerangnya,
melainkan menyambar ke arah dua api lilin sehingga padam!
Melihat kenyataan ini, Tek Ciang terkejut se-kali. Itulah serangan jarak jauh yang amat
ampuh. Akan tetapi karena ditujukan untuk memadamkan lilin, diapun tahu bahwa yang
datang itu tidak berniat jahat kepadanya.
"Siapa....?" bentaknya sambil meloncat berdiri.
"Sssttt.... Tek Ciang, aku sengaja memadam-kan lilin-lilin itu!"
"Locianpwe....!" teriak Tek Ciang dengan girang ketika mengenal suara Jai-hwa Siauw-ok.
"Ssttt, jangan berisik. Cepat ke sini...." Suara itu berbisik.
Tek Ciang merasa heran karena jelas terdengar dari suara datuk itu bahwa dia sedang dalam
ke-adaan bingung atau ketakutan. Diapun cepat ke luar melalui pintu belakang dan dalam
cuaca yang hanya remang-remang karena kini sebagian awan telah disapu angin dan ada
sekelompok bintang berkesempatan memuntahkan sinarnya ke bumi, dia melihat sesosok
bayangan yang bukan lain ada-lah Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Tek Ciang cepat memberi
hormat. "Locianpwe, ada apakah....?" tanyanya heran.
"Aku berada dalam kesulitan. Aku dikejar oleh jenderal Kao Cin Liong...."
"Apa...." Di.... di mana dia....?" Tek Ciang terkejut bukan main mendengar ini.
"Sementara aku dapat terlepas dari bayangan-nya, akan tetapi dia tentu akan muncul juga."
"Kenapa tidak dilawan saja, locianpwe?" ta-nya Tek Ciang penasaran.
"Ah, kau tidak tahu. Dia lihai sekali dan biar-pun belum tentu aku kalah, aku sedang lelah
dan aku telah terluka.... engkau harus dapat menolongku menghindarkan diri dari kejarannya,
Tek Ciang."
Otak pemuda itu bekerja dengan cepat. "Ja-ngan khawatir, locianpwe. Locianpwe
bersembu-nyi saja di dalam hutan dan aku akan memancing-nya agar dia mengejarku.
Kebetulan kita menggunakan mantel yang hampir bersamaan. Karena hari hujan sayapun
memakai mantel hitam ini. Nah, cepatlah locianpwe bersembunyi. Dari ju-rusan manakah dia
datang mengejar?"
"Dari sana.... nah, aku pergi. Kau harus da-pat menyelamatkan aku sekali ini!" Bayangan Jai-
hwa Siauw-ok itu berkelebat dan lenyap di dalam kegelapan. Tek Ciang tidak membuang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
258 waktu lagi, terus dia menuju keluar kuil dan meng-intai dari balik sebatang pohon besar ke
arah dari mana mungkin munculnya Cin Liong.
Ada satu jam dia menanti dan akhirnya di ba-wah penerangan bintang-bintang yang makin
banyak bertebaran di angkasa, dia melihat ba-yangan berkelebatan datang. Dia tidak dapat
melihat jelas wajah bayangan itu, akan tetapi ben-tuk tubuh itu masih dikenalnya. Tidak salah
lagi agaknya, orang itu tentulah Kao Cin Liong. Di depan kuil tua itu, dia melihat bayangan
itu berhenti dan seperti ragu-ragu, menoleh ke kanan kiri. Tek Ciang tahu bahwa itulah saat
baginya untuk memancing pengejar Jai-hwa Siauw-ok itu meninggalkan tempat itu, maka
diapun cepat meloncat ke depan dan lari secepatnya.
"Engkau hendak lari ke mana?" Kini tak sa-lah lagi karena Tek Ciang mengenal suara Cin
Liong. Dia melarikan diri dengan cepat dan ka-rena dia sering datang ke hutan ini, dia
mengenal jalan dan dia berloncatan sambil menyelinap di-antara pohon-pohon dan semak-
semak. Bayang-an itu terus mengejarnya. Akan tetapi Tek Ciang dapat memancingnya sampai
jauh meninggalkan kuil itu, ke arah yang lain dari tempat Jai-hwa Siauw-ok bersembunyi.
Sambil berlari, diam-diam timbul suatu niat di hati Tek Ciang. Dia sudah berlatih setengah
tahun dan menurut suhunya, dia memperoleh ke-majuan pesat yang hanya dapat dicapai orang
lain setelah berlatih sedikitnya tiga tahun! Bagaima-na kalau dia mencoba kepandaiannya
terhadap Cin Liong" Dalam keadaan seperti ini, mudah saja baginya untuk menggunakan
alasan karena dike-jar-kejar dan tidak mengenal siapa pengejarnya.
Maka dia lalu menyelinap di balik semak-se-mak belukar dan menanti. Tak lama kemudian
munculah bayangan Cin Liong yang mengejarnya. Tek Ciang membentak keras dan meloncat
ke de-pan, menyerang Cin Liong dan langsung saja dia menggunakan Ilmu Hwi-yang Sin-
Ciang. Pukul-annya menyambar ganas dan mendatangkan hawa yang amat panas!
Cin Liong yang mengira bahwa lawannya ada-lah Jai-hwa Siauw-ok yang dikejarnya dan
dibayanginya, karena sudah maklum akan kelihaian datuk ini, cepat mengelak dan balas
menyerang. Akan tetapi lawannya ini dapat menangkis dan dia merasakan hawa panas
menjalar melalui le-ngannya ketika tertangkis itu, juga ketika lawan itu membalas, dia merasa
betapa dalam pukulan itu terkandung hawa amat panas. Ilmu seperti ini hanyalah dimiliki
keluarga Pulau Es. Dia meragu, lalu menangkis lagi untuk mencoba.
"Dukk!" Lawannya terpental dan terhuyung, akan tetapi dia merasa lengannya panas.
"Hwi-yang Sin-ciang....!" serunya kaget akan tetapi lawannya sudah menyerang lagi ber-tubi-
tubi dengan pukulan-pukulan dahsyat dari Hwi-yang Sin-ciang! Cin Liong yang menjadi
terheran-heran itu cepat mengelak beberapa kali, lalu meloncat ke belakang.
"Tahan....!" katanya.
Tek Ciang juga berhenti bergerak dan men-dekat. Kini, di bawah cahaya redup bintang-
bin-tang di angkasa, mereka saling mengenal.
"Louw-susiok....!"
"Kao-taihiap....!" Tek Ciang berseru dan mendahului. "Kukira tadinya penjahat cabul itu....!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
259 "Ehh" Justeru aku mengira bahwa susiok ada-lah Jai-hwa Siauw-ok yang kukejar dan
kuba-yangi selama beberapa hari ini! Mantelnya mirip dan munculnya di tempat yang sama,
jadi aku te-lah keliru sangka. Aih, Louw-susiok, bagaimana engkau dapat muncul di sini....?"
"Aku sore tadi berburu kelinci ke hutan ini seperti yang sering kulakukan dan aku kehujanan,
meneduh di dalam kuil tua itu. Karena keenakan di situ dan hawanya dingin sehabis hujan,
aku tertidur dan baru setelah gelap aku terbangun. Ketika hendak pulang, baru keluar dari kuil
aku bertemu dengan seorang pria yang kukenal adalah penjahat cabul yang dulu pernah
kulihat ber-kelahi denganmu itu...."
"Nah, dia itu Jai-hwa Siauw-ok!" kata Cin Liong. "Lalu bagaimana" Ke manakah dia?"
"Aku melupakan kelemahan sendiri. Menge-nali dia sebagai orang yang pernah berkelahi
de-nganmu, aku menduga bahwa tentu dia itu pen-jahat cabul, maka akupun menyerangnya.
Akan tetapi, dia lihai sekali. Dalam beberapa jurus sa-ja aku sudah terdesak, bahkan nyaris
celaka ka-lau aku tidak cepat-cepat meloncat ke dalam ge-lap dan bersembunyi di balik
pohon. Aku mende-ngar dia menggerutu, "Huh, tidak ada tempat aman, lebih baik sembunyi
di kota raja" dan dia-pun lenyap. Eh, tak lama kemudian dia muncul lagi maka aku melarikan
diri. Kiranya yang mun-cul adalah engkau yang kukira penjahat itu. Se-telah aku lari terus dan
akhinya tidak kuat lagi, aku nekat dan menyerangmu yang kukira dia!"
"Dan kusangka engkau adalah Jai-hwa Siauw--ok! Hemm, dia memang cerdik. Kiranya dia
hendak bersembunyi di kota raja" Kalau tidak kebetulan engkau mendengarnya, siapa akan
me-ngira dia bersembunyi di kota raja" Bagus, aku akan menangkapnya di sana!"
"Kao-taihiap, bagaimana engkau dapat me-ngejarnya sampai ke sini?" Tek Ciang bertanya,
suaranya mengandung kekaguman.
"Ah, sudah lama kucari-cari dia. Ingin aku bertanya dia tentang peristiwa malam itu di Thian-
cin. Akan tetapi dia tidak pernah mau bicara, bah-kan melawanku atau lari. Aku membayangi
terus sampai ke sini. Susiok, bagaimana keadaan.... eh, keadaan.... bibi Hui dan keluarganya?"
"Apakah engkau tidak mendengarnya, Kao--taihiap?"
Cin Liong menarik napas panjang, menggeleng kepala. "Aku tidak berani mendekati
keluarga Suma, bahkan aku belum pernah kembali ke kota raja, berkeliaran saja mencari Jai-
hwa Siauw-ok dan hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia beberapa hari yang lalu.
Selain itu, juga banyak urusan mengenai pemberontakan yang harus kutangani."
"Ah, banyak hal terjadi di dalam keluarga Suma, taihiap, dan aku sendiri sungguh menjadi
tidak enak dan berada dalam kedudukan yang ser-ba salah."
"Apakah yang telah terjadi, susiok?" Cin Liong mendesak. "Apakah paman kakek Suma
Kian Lee belum pulang?"
"Sudah, suhu dan subo sudah pulang bersama sute Suma Ciang Bun."
"Hemm, syukurlah kalau paman Ciang Bun sudah pulang dengan selamat. Lalu peristiwa apa
yang membuatmu tidak enak?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
260 "Aku melihat suami isteri yang gagah perkasa datang bertamu. Aku sendiri tidak berani ikut
menyambut. Akan tetapi mendengar bahwa mereka adalah ayah ibumu, taihiap, yaitu Kao
Kok Cu-lo-cianpwe dan isterinya."
"Benarkah?" Jantung Cin Liong berdebar te-gang. "Lalu bagaimana?"
"Mereka hanya sebentar saja bertamu, lalu ke-luar lagi dan baru kemudian aku dengar bahwa
mereka datang untuk meminang sumoi untukmu."
"Lalu....?"
"Agaknya pinangan itu oleh suhu ditolak, tai-hiap. Maklumlah, mungkin karena masih ada
hu-bungan keluarga."
Tentu saja Cin Liong merasa terpukul, walau-pun dia sudah dapat menduga akan hal itu.
Pu-la, setelah kini Suma Hui membencinya dan bah-kan berkeras hendak membunuhnya, apa
lagi ar-tinya andaikata pinangan diterima juga"
"Kemudian bagaimana?"
"Kemudian.... kemudian pada suatu hari su-hu memanggilku. Suhu dan subo memberi tahu
bahwa sebetulnya antara suhu dan mendiang ayah telah ada perjanjian untuk.... menjodohkan
su-moi dan aku...."
"Hemm, begitukah" Lalu....?"
"Lalu suhu dan subo minta agar perjodohan itu dilanjutkan...."
"Dan engkau....?"
"Itulah, taihiap, yang membuat aku merasa ti-dak enak dan serba salah. Aku adalah seorang
ya-tim piatu yang tidak berharga dan tidak berguna. Kemudian keluarga suhu dan subo sudah
me-limpahkan kebaikan kepadaku dan sudi mengam-bil aku sebagai murid. Bagaimana
mungkin aku dapat menolak kalau mereka mengajukan per-mintaan agar perjodohan itu
dilanjutkan?"
"Hemmm...."
"Di lain fihak, hatiku juga merasa berat sekali karena aku tahu betul bahwa antara taihiap dan
sumoi...."
"Ya....?"
"Terdapat pertalian cinta kasih yang men-dalam! Mana mungkin aku merusak hubungan baik
kalian itu?"
Tentu saja diam-diam Cin Liong merasa ber-terima kasih sekali kepada pemuda ini yang
di-anggapnya benar-benar seorang yang bijaksana dan baik. "Ah, terima kasih, susiok. Aku
tidak akan melupakan kebaikanmu itu, walaupun seka-rang baru dalam taraf pernyataan.
Akan tetapi, sekarang, lalu bagaimana baiknya?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
261 "Kita harus bersabar, taihiap. Aku juga sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat keluar
dari kesulitan ini dengan baik. Sementara itu, kurasa sebaiknya kalau taihiap tidak
memperlihatkan diri lebih dulu kepada keluarga Suma."
Cin Liong mergangguk-angguk dan meng-anggap bahwa pendapat itu memang tepat. Muncul
dalam keadaan sekarang ini sungguh tidak menguntungkan. Bukan hanya Suma Hui yang
tiba--tiba membencinya, akan tetapi juga keluarga Suma agaknya telah menolak pinangan
ayah ibunya. "Baiklah, aku akan melanjutkan pengejaranku terhadap Jai-hwa Siauw-ok. Aku yakin bahwa
dia ada sangkut-pautnya dengan sikap Suma Hui terhadap diriku. Sampai jumpa, Louw-
susiok!" "Selamat jalan, taihiap!"
Cin Liong berkelebat lenyap dari depan pe-muda itu. Sampai lama dia termenung dan
ber-usaha menenteramkan perasaanya yang tadinya terguncang. Jelaslah bahwa tingkat
kepandaiannya -masih jauh untuk dapat menandingi Cin Liong!
"Bagus.... bagus sekali! Engkau telah mem-peroleh kemajuan hebat dalam kecerdikan. Ha-
-ha-ha, engkau sungguh membuat aku kagum dan bangga, Tek Ciang!"
Pemuda itu terkejut bukan main melihat mun-culnya Jai-hwa Siauw-ok secara tiba-tiba itu.
"Ssshhh, locianpwe, jangan ke sini dulu. Bagaima-na kalau dia datang kembali?"
"Ha-ha-ha, jangan bodoh. Aku tidak akan se-sembrono itu. Sudah kulihat bahwa dia pergi
jauh menuju ke kota raja. Ha-ha-ha!"
Legalah hati Tek Ciang dan diapun tertawa. "Yang belum kuat harus menggunakan
kecerdikan-nya, locianpwe."
"Tepat. Yang belum kuat, bukan tidak kuat. Engkau akan menjadi orang yang kuat, jauh
lebih hebat daripada aku. Aku suka sekali kepandainmu, dan malam ini engkau telah
menyelamatkan nya-waku. Ketahuilah, aku bertemu dengan jendral muda itu selagi aku
terluka dalam sebuah pertem-puran. Maka, aku tidak mungkin dapat melawan-nya sepenuh
tenagaku. Untung engkau mendapat akal yang sebaik itu, mengatakan aku ke kota raja. Mari
kita kembali ke dalam kuil dan bicara."
Mereka berdua kembali ke kuil tua itu dan de-ngan penerangan dua buah lilin mereka duduk
ber-sila berhadapan. Jai-hwa Siauw-ok membuka baju-nya dan ternyata ada bekas luka yang
cukup dalam di pundaknya, bekas tusukan pedang. Tek Ciang melihat datuk itu mengobati
lukanya. "Apakah yang telah terjadi, locianpwe" Bagai-mana orang sesakti locianpwe sampai
terluka?" Kakek pesolek itu tertawa. Memang merupa-kan watak kakek cabul ini untuk selalu
bergembira dan selalu memandang kehidupan ini dari segi yang menggembirakan. Maka
dalam keadaan ter-luka sekalipun dia masih bisa tertawa gembira.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
262 "Kaukira orang seperti aku ini sudah tidak da-pat dilukai atau dikalahkan orang" Ketahuilah,
Tek Ciang. Betapapun tingginya gunung masih ada awan yang lebih tinggi lagi. Karena itu,
engkau harus belajar sebanyak mungkin. Engkau harus lebih lihai daripada aku, dan hal ini
tidak musta-hil bagimu yang kini menjadi murid yang akan me-warisi ilmu-ilmu Pulau Es.
Luka ini gara-gara se-orang perempuan yang tadinya kusangka perawan tidak tahunya janda
genit. Sialan!" Dia tertawa lagi dan menceritakan betapa di kota Pao-ting, se-perti biasa,
ketika melihat seorang gadis cantik bersembahyang di kelenteng, hatinya tertarik. Dia
membayangi gadis itu sampai ke rumahnya dan pada malam harinya, jai-hwa-cat ini seperti
biasa mendatangi rumah itu, melepas dupa asap pembi-us dan berhasil menculik wanita itu.
Akan tetapi dia ketahuan dan dikepung. Tak disangkanya bah-wa pemilik rumah gedung di
mana wanita itu ting-gal adalah seorang jago pedang yang lihai dari Bu-tong-pai bersama
saudara-saudara dan murid-muridnya. Betapapun lihainya, karena memang-gul tubuh wanita
yang diculiknya, akhirnya dia terkena tusukan dan melarikan diri sambil mem-bawa wanita
itu. "Aku berhasil membawanya keluar kota, ha-ha, dan jerih payahku terbayar, luka di pundakku
tak kurasakan ketika aku berdua saja dengannya. A-kan tetapi, sialan, ia hanya seorang janda
genit yang menjadi selir jago pedang itu. Maka sete-lah puas kubunuh saja janda itu. Tak
tahunya para pengejar tiba dan aku dikeroyok lagi. Untung aku dapat melarikan diri
membawa luka."
Wajah Tek Ciang berseri dan matanya bersi-nar-sinar ketika dia mendengar cerita datuk itu
tentang penculikan wanita dan pemerkosaan kor-bannya. Dia membayangkan betapa
menyenang-kan hal itu.
"Lalu locianpwe bertemu dengan Cin Liong?"
Kakek itu mengangguk dan menyumpah. "Me-mang aku sedang sialan! Dalam perjalanan
me-nuju ke Thian-cin karena aku ingin beristirahat dan minta bantuanmu karena aku sedang
terluka, aku bertemu dia dan dia segera menyerangku. Tentu saja payah bagiku untuk dapat
melawan sepenuhnya karena lukaku terasa nyeri sekali. Aku melarikan diri dan untung ada
engkau yang menyelamatkan aku."


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek itu sudah selesai mengobati luka di pundaknya dengan obat yang selalu dibawa dalam
saku jubahnya, lalu dipakainya kembali baju dan jubahnya. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak
dan nampak sinar berkilat di bawah cahaya lilin. Tek Ciang terkejut sekali melihat bahwa
tangan kiri kakek itu sudah memegang sebatang pisau belati yang berkilau tajam. Akan tetapi
dia dapat me-nguasai dirinya sehingga kelihatan tenang saja.
"Tek Ciang, engkau tahu bahwa kita sudah saling tolong. Aku suka padamu dan aku melihat
bahwa kelak engkaulah orang yang dapat mengangkat tinggi namaku. Aku ingin mewariskan
il-mu-ilmuku kepadamu."
Tentu saja Tek Ciang girang sekali dan cepat berlutut. "Locianpwe maksudkan untuk
meng-ambil saya sebagai murid?"
"Bodoh! Engkau adalah murid Pulau Es! Ti-dak, bukan murid, melainkan sebagai anakku!"
"Anak....?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
263 "Ya, di antara kita terdapat kecocokan yang mungkin melebihi kecocokan anak dan ayah.
Ba-gaimana, maukah engkau menjadi anak angkatku dan kelak mewarisi kepandaianku dan
melanjut-kan kebesaran namaku?"
Tek Ciang maklum bahwa dia berhadapan de-ngan seorang datuk sesat yang aneh. Dia
memang suka kepada orang ini dan kalau dia menolak, bu-kan hal aneh kalau orang ini begitu
saja membu-nuhnya dengan pisau itu! Jelas jauh lebih banyak untungnya kalau dia menerima
daripada meno-lak.
"Locianpwe telah begini baik kepadaku, bagai-mana aku berani menolak?"
"Engkau mau" Mau menjadi puteraku?"
"Tentu saja aku mau."
"Bagus! Hayo kausebut ayah padaku!"
"Ayah!"
"Ha-ha-ha!" Jai-hwa Siauw-ok tertawa bergelak, merangkul pemuda yang sedang berlutut itu
dan menciumi pipinya dan suara ketawanya kini berobah menjadi setengah menangis!
Mena-ngis saking girangnya. Lalu tertawa lagi sehing-ga diam-diam Tok Ciang mengkirik
serem. "Ha-ha-ha, selamanya aku tidak bisa mem-punyai keturunan, karena itu aku tidak mau
ber-isteri. Tapi tanpa isteri kini aku punya anak, su-dah sebesar engkau, setampan dan
secerdik eng-kau. Hati siapa takkan girang" Ke sinikan lenganmu!"
Tek Ciang menjulurkan lengan kirinya. Ka-kek pesolek itu menangkap lengan itu dan
me-nyingsingkan lengan bajunya, juga dia sudah me-nyingsingkan lengan baju tangan
kirinya, kemudi-an secepat kilat pisaunya menyambar. Tek Ciang terkejut akan tetapi pemuda
yang cerdik ini mak-lum bahwa andaikata datuk itu hendak membu-nuhnya sekalipun, dia
tidak akan mampu melari-kan diri, maka diapun pasrah dan sedikitpun tidak nampak takut.
Hal ini agaknya menggirangkan hati Jai-hwa Siauw-ok dan ujung pisaunya su-dah menggurat
permukaan lengan Tek Ciang. Te-rasa perih sedikit dan nampaklah darah menitik keluar
lengan. Lengan kiri Jai-hwa Siauw-ok sendiripun sudah luka tergores dan berdarah pula.
Datuk sesat itu lalu menempelkan bagian le-ngannya yang terluka dan berdarah itu pada
le-ngan Tek Ciang yang berdarah sehingga darah yang menetes-netes keluar dari luka lengan
me-reka itu bercampur dan ketika kakek itu meng-angkat kembali lengan kirinya, darah yang
sudah bercampur itu sebagian melekat di lengannya dan sebagian melekat di lengan Tek
Ciang. Dia lalu mengisap dan menjilati darah di lengannya itu.
"Hayo minum darah di lenganmu itu!" kata-nya. Tek Ciang mencontoh perbuatan ayah
ang-katnya, mengisap dan menjilati, menelan darah yang berlepotan di lengannya sampai
bersih. "Ha-ha-ha, kita sekarang sudah sedarah, bu-kan" Engkau anakku dan aku ayahmu. Mulai
sekarang, engkau akan kulatih dengan diam-diam sehingga kelak engkau akan mewarisi
semua il-mu-ilmuku."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
264 Demikianlah, mulai saat itu, Tek Ciang mem-peroleh pengganti ayah dan juga guru. Tentu
saja dia menjadi semakin lihai. Akan tetapi dengan amat cerdiknya, pemuda ini dapat
merahasiakan semua ilmu yang diperolehnya dari ayah angkat-nya sehingga Suma Kian Lee
dan isterinya yang cerdik itupun sama sekali tidak pernah menduganya.
Biarpun pada waktu itu Kerajaan Mancu, yaitu Dinasti Ceng, sedang mengalami masa
jayanya di bawah bimbingan Kaisar Kian Liong yang bijak-sana dan pandai, namun karena
negara itu amat luasnya dan meliputi daerah yang amat jauhnya dari pusat, tidaklah
mergherankan apabila timbul usaha-usaha untuk berdiri sendiri di daerah-dae-rah yang
terpencil. Kaisar Kian Liong dengan pa-sukan-pasukannya yang kuat berhasil menunduk-kan
semua daerah yang hendak memberontak. A-kan tetapi pada waktu itu, terdengar desas-desus
tentang gerakan-gerakan yang sibuk dilakukan orang di daerah perbatasan jauh di barat.
Karena jauhnya dan juga karena sukarnya mengendalikan daerah pegunungan yang liar di
barat itu maka agak terlambatlah Kaisar Kian Liong mengetahui bahwa diam-diam terjadi
persekutuan di barat dan ada rencana-rencana jahat diatur oleh para pembesar di daerah barat
yang diam-diam meng-adakan persekutuan dengan Kerajaan Nepal, de-ngan orang-orang
Tibet yang hendak memberon-tak, yang dibantu pula oleh orang-orang Mongol barat untuk
menyerang dan menduduki Tibet dan kemudian menyusun kekuatan gabungan di daerah barat
untuk menentang Kerajaan Ceng. Setelah mendengar desas-desus itu barulah kaisar
meme-rintahkan Jenderal Muda Kao Cin Liong untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi
sunqguh sayang bahwa jenderal muda itu sendiri terlibat dalam persoalan pribadinya dengan
Suma Hui sehingga tentu saja pelaksanaan tugasnya menjadi terganggu.
Pihak Gubernur Yong Ki Pok dan sekutunya ternyata telah mendahului usaha penyelidikan
kai-sar ini. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Gubernur Yong setelah bertemu dengan
para se-kutunya, memperoleh pembantu baru yang dapat diandalkan, yaitu Hek-i Mo-ong!
Setelah me-nerima datuk sesat ini sebagai pembantu utama, bahkan menjanjikan kedudukan
koksu kelak kalau perjuangan mereka berhasil, Gubernur Yong Ki Pok lalu mengutus Hek-i
Mo-ong dengan sebuah tugas pertama yang amat penting. Datuk itu ditu-gaskan untuk
melakukan penyelidikan ke barat, ke daerah Bhutan dan Himalaya. Dia ditugaskan untuk
melenyapkan penghalang dan menghimpun tenaga yang sehaluan agar rencana mereka, yaitu
menyerbu ke Tibet dari Nepal kemudian bersama-sama kekuatan gabungan persekutuan itu
memben-tuk pertahanan kuat untuk kemudian menyerang ke timur.
Bhutan merupakan penghalang besar bagi Ne-pal karena Bhutan letaknya di sebelah timur
Ne-pal dan hanya melalui Bhutan sajalah pasukan be-sar dapat melakukan perjalanan ke timur
dengan mudah. Bagi Kerajaan Nepal, pasukan-pasukan mereka dapat melakukan penyerbuan
ke Lhasa di Tibet hanya melalui Bhutan, karena kalau tidak, perjalanan mereka akan terhalang
oleh Gunung Yolmo Langma yang menjulang tinggi dan daerah-nya selain berbahaya juga
amat melelahkan bagi pasukan mereka. Selain itu, juga kalau Bhutan membocorkan rahasia
mereka dan mengirim beri-ta ke timur, hal itu mungkin saja akan menggagal-kan semua
rencana. Bhutan sebetulnya hanya merupakan sebuah kerajaan yang kecil saja. Sebuah kerajaan kecil
yang terletak di tengah-tengah Pegunungan Hi-malaya yang amat luas dan panjang itu.
Daerah yang berhawa dingin ini memiliki dataran-dataran yang subur, lembah-lembah yang
indah dan Bangsa Bhutan hidup sederhana dan berbahagia dalam tradisi kehidupan mereka
yang sudah tua. Mereka tidak pernah berambisi untuk meluaskan daerah untuk mengeduk
keuntungan dari daerah lain, oleh karena itu tidak pernah melakukan pe-rang dengan negara
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
265 tetangga, tidak seperti Kerajaan Nepal. Kerajaan Bhutan selalu dalam keada-an tenang dan
nampaknya mereka hidup selalu dalam suasana damai sejahtera.
Pada waktu itu, yang menjadi raja di Bhutan adalah Raja Badur Syah yang usianya sudah
ham-pir enam puluh tahun. Mestinya, setelah raja tua meninggal dunia kurang lebih sepuluh
tahun yang lalu, yang harus menggantikannya adalah puteri mahkotanya, yaitu Puteri Syanti
Dewi. Akan te-tapi, puteri ini tidak bersedia menjadi ratu, dan menunjuk kakak sepupunya,
yaitu Pangeran Badur untuk menggantikannya. Maka, Raja Badur Syah kini memimpin
kerajaan yang tenteram itu dan Puteri Syanti Dewi bersama suaminya menjadi pem-bantu-
pembantu dan penasihatnya yang paling utama.
Para pembaca cerita seriSuling Emas tentu tidak asing lagi dengan nama Syanti Dewi ini.
Dalam cerita-ceritaKisah Sepasang Rajawali danJodoh Rajawali telah diceritakan dengan
jelas se-mua pengalaman Syanti Dewi yang amat menarik. Kemudian dalam kisahSuling
Emas dan Naga Si-luman diceritakan bahwa Puteri Bhutan ini akhirnya menikah juga dengan
pria idamannya, setelah mengalami banyak sekali halangan. Suaminya itu bukan lain adalah
pendekar sakti Wan Tek Hoat yang pernah mendapat julukan Si Jari Maut. Ke-tika dua orang
ini masih muda, perjodohan mere-ka selalu menemui halangan dan kegagalan sehingga
keduanya mengalami banyak penderitaan batin yang amat hebat. Akan tetapi akhirnya,
biarpun keduanya sudah berusia cukup lanjut, yaitu Wan Tek Hoat berusia tiga puluh delapan
tahun dan Syanti Dewi berusia tiga puluh enam tahun, mereka dapat berkumpul kembali.
Sekarang usia mereka te-lah mendekati lima puluh tahun dan mereka hidup dengan rukun,
tenteram dan berbahagia di Bhutan dan selama itu mereka tidak pernah lagi meninggal-kan
kerajaan kecil yang penuh ketenangan itu.
Karena semenjak muda selama bertahun-ta-hun Syanti Dewi merantau ke timur,
meninggal-kan kerajaan ayahnya dan berkenalan dengan ba-nyak orang kang-ouw dari
berbagai golongan, bahkan mengenal pula dengan baiknya Kaisar Kian Liong ketika masih
menjadi pangeran, maka tentu saja kini ia menganjurkan Raja Bhutan untuk selalu bersahabat
dengan Kaisar Kian Liong. Apalagi mengingat bahwa Wan Tek Hoat juga seorang Han.
Tidaklah aneh kalau garis politik pemerin-tah Kerajaan Bhutan menentang Kerajaan Nepal
yang hendak memusuhi Kerajaan Ceng di timur itu. Setiap tahun, Raja Bhutan selalu
mengirim utusan membawa upeti atau hadiah-hadiah tanda mengakui kebesaran Kaisar Kian
Liong. Kiriman ini tidak sia-sia, karena selain dapat mempererat hubungan persahabatan
antara tetangga, juga u-tusan itu selalu membawa pulang hadiah-hadiah yang selalu lebih
besar dan lebih berharga daripada upeti yang dikirimkan.
Selain kerajaan kecil Bhutan ini, juga para per-tapa dan pendeta yang berada di daerah
Pegu-nungan Himalaya tidak lepas dari perhatian Ke-rajaan Nepal dan para sekutunya.
Mereka ini, pa-ra pertapa dan pendeta, adalah orang-orang yang memiliki kesaktian dan
mereka ini berpengaruh pula, mengingat bahwa mereka mempunyai ba-nyak murid-mnrid
yang menjadi pendekar-pen-dekar dan juga pembesar-pembesar. Maka, Hek-i Mo-ong juga
diutus untuk menyelami keadaan mereka dan sedapat mungkin menarik mereka un-tuk
berfihak kepada persekutuan mereka dan me-nentang Kerajaan Ceng di timur. Ke dua tempat
inilah Hek-i Mo-ong harus pergi, melakukan pe-nyelidikan dan mengatur sedemikian rupa
agar ke-adaan menguntungkan rencana persekutuan me-reka.
Hek-i Mo-ong merasa bangga sekali memperoleh kepercayaan ini. Dia sudah merasa menjadi
"koksu" dari Gubernur Yong Ki Pok. Dia me-nerima tanda kuasa dari sang gubernur, juga
be-kal emas yang cukup banyak. Dan untuk melaku-kan tugas dengan hasil baik, dia harus
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
266 menyamar. Tidak mungkin kalau dia bertindak sebagai Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang
sudah terkenal sekali itu. Untung baginya, hanya namanya saja yang terkenal. Hek-i Mo-ong
adalah nama ju-lukan yang terkenal sekali di dunia kang-ouw, bahkan sampai jauh ke timur,
dikenal oleh semua golongan, baik golongan para pendekar ataupun penjahat, golongan putih
maupun hitam. Akan te-tapi, jarang ada orang yang mengenal mukanya. Dia bukan
sembarang kaum sesat, melainkan seorang datuk yang tidak sembarangan dapat dite-mui
orang. Karena ini, maka dengan menyamar dan menyembunyikan nama julukannya, dia akan
dapat melaksanakan tugas itu dengan mudah.Dalam penyamarannya, Hek-i Mo-ong tidak
meninggalkan warna hitam pakaiannya. Memang sejak dahulu dia suka memakai pakaian
serba hi-tam. Akan tetapi, kini pakaiannya yang berwarna hitam itu dibentuk seperti pakaian
yang biasa di-pergunakan oleh sinshe tukang obat. Dan diapun menyuruh Ceng Liong untuk
mengganti sebutan Mo-ong dengan sebutan kakek.
"Kita melakukan perjalanan rahasia, melak-sanakan tugas penting sekali. Maka kita harus
me-nyamar. Aku akan menyamar sebagai seorang ahli obat dan tukang sulap, dan engkau
adalah cucuku, juga pembantuku. Ingat, namaku adalah Phang Kui, aku kakekmu dan
pekerjaanku tukang obat dan tukang sulap. Engkau tetap bernama Ceng Liong, akan tetapi
demi keselamatan sendiri, lebih baik engkau jangan menyebutkan nama keturunanmu. Nama
keturunan Suma terlalu me-nyolok dan kalau engkau mau menyebut nama keturunan juga,
engkau boleh memakai nama ketu-runanku, yaitu Phang. Mengertikah engkau, Ceng Liong?"
"Baik, kong-kong," jawab anak yang cerdik itu sehingga gurunya tertawa senang disebut
kong-kong. "Dan sekarang kita hendak berangkat ke manakah" Apakah langsung ke Bhutan"
Atau ke Himalaya?" Anak itu mendengarkan ketika guru-nya bicara dengan gubernur, maka
diapun men-gerti akan tugas gurunya.
Akan tetapi Hek-i Mo-ong menggeleng kepala. "Tidak, kita akan berangkat dulu ke kota
Ceng-tu di Se-cuan."
Karena Ceng Liong tidak mengerti, diapun tidak banyak bertanya lagi dan berangkatlah guru
dan murid itu menuju ke Propinsi Se-cuan. Ke-napa mereka hendak pergi ke Se-cuan" Hek-i
Mo-ong adalah seorang yang amat cerdik dan kepergiannya ke Se-cuan sudah
diperhitungkan-nya dengan baik, termasuk ke dalam rencananya untuk melaksanakan tugas
itu sebaik mungkin.
Gubernur Se-cuan adalah seorang pangeran. Dia adalah Pangeran Yung Hwa, saudara dari
mendiang Kaisar Yung Ceng, ayah Kaisar Kian Liong yang sekarang. Pangeran Yung Hwa
ini pernah menentang kaisar yang dahulu, maka seba-gai hukumannya dia dibuang secara
halus dengan diangkat menjadi gubernur di daerah ini, di Pro-pinsi Se-cuan. Hek-i Mo-ong
tahu riwayat Guber-nur Se-cuan, yaitu Pangeran Yung Hwa yang se-karang sudah berusia
empat puluh dua tahun ini. Dia sudah tahu pula bahwa Pangeran Yuno Hwa yang menjadi
Gubernur Se-cuan ini kenal baik dengan keluarga Raja Bhutan, maka gubernur ini dapat
diharapkan bantuannya. Apalagi karena peristiwa pembuangannya itu sedikit banyak ten-tu
menimbulkan dendam di hatinya.
Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, se-buah gerobak kuda sederhana memasuki kota
Ceng-tu yang ramai. Kereta yang sederhana itu menarik perhatian karena kudanya diberi
rumbai-rumbai dengan kertas-kertas berwarna, dan di dinding kereta terdapat tulisan besar
menyolok SINSHE PHANG, AHLI OBAT, RAMAL, DAN SULAP. Di atas tempat duduk
kusir itu duduk se-orang anak berusia sepuluh tahun lebih yang tu-buhnya tegap, wajahnya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
267 tampan dan mulutnya se-lalu tersenyum-senyum memandang ke kanan kiri, sinar matanya
tajam dan penuh keberanian. Anak ini pandai sekali mengendalikan kuda besar yang menarik
kereta, dan dia tersenyum-senyum kepa-da semua orang yang memperhatikan kereta itu.
Hek-i Mo-ong sendiri yang kini berganti sebutan menjadi Sinshe Phang, sedang tidur
me-lenggut di dalam kereta. Namanya yang aseli me-mang Phang Kui, akan tetapi di dunia
kang-ouw dia tidak dikenal dengan nama itu, bahkan tidak ada orang mengenal nama
aselinya. Karena itu, dia berani mempergunakan nama aselinya dengan tenang.
Ketika terbangun dan melihat bahwa mereka telah memasuki kota Ceng-tu, Sinshe Phang
me-nyuruh Ceng Liong yang kini disebutnya sebagai cucunya itu untuk langsung pergi ke
pusat kota. Di dekat pasar mereka menghentikan kereta dan tak lama kemudian terdengarlah
suara tambur dan canang dipukul oleh kakek dan cucunya ini. O-rang-orang berdatangan dan
sebentar saja para penonton disuguhi tdntonan sulap yang amat menarik. Kakek itu pandai
sekali bermain sulap dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia memang seorang ahli
sihir. Dengan permainan su-lapnya, dia berhasil menarik banyak penonton.
Kemudian diapun mendemonstrasikan kemahir-annya mengobati orang. Sakit gigi, sakit
pening, sakit perut, semua disembuhkannya dengan cepat di tempat itu juga. Bagaimanapun
juga, seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong tentu saja pandai dalam hal ilmu pengobatan,
apalagi hanya untuk menyembuhkan penyakit yang remeh dan ringan.
Ada pula yang tertarik dan minta diramal na-sibnya. Semua biaya pengobatan ataupun
mera-mal itu ditarik dengan tarip ringan sekali sehingga banyak orang yang merasa puas dan
sebentar saja nama Sinshe Phang terkenal di kota Ceng-tu itu. Kakek dan cucunya itu mondok
di kamar sebuah rumah penginapan sederhana dan setiap hari me-reka membuka pertunjukan
di dekat pasar. Dalam waktu beberapa hari saja, terkenallah namanya, bahkan sampai ke
gedung gubernuran. Tersiar be-rita bahwa Ceng-tu kedatangan seorang sinshe yang amat
pandai dan lagi taripnya amat murah.
Pada suatu pagi, tiga hari kemudian, ketika Sinshe Phang dan Ceng Liong sedang sibuk
me-layani para peminat, kakek itu memeriksa dan Ceng Liong yang mempersiapkan obatnya,
datang-lah sebuah kereta ke tempat itu. Sebuah kereta yang mewah dan dari jauh saja sudah
nampak bahwa kereta itu bukan kereta sembarangan, me-lainkan kereta seorang pembesar.
Kereta itu di-kawal oleh selosin pasukan pengawal. Sebelum kereta dekat, Sinshe Phang
sudah bertanya kepada seorang penonton yang dijawabnya bahwa yang datang itu adalah
kereta gubernur! Tentu saja Sinshe Phang menjadi girang sekali. Cepat ditulis-nya beberapa
huruf di atas kertas tanpa dilihat orang lain dan diberikan kertas tulisan itu kepada Ceng
Liong. Anak ini membacanya dan mengangguk sambil meremas hancur kertas tulisan itu.
Gurunya sedang merencanakan sesuatu yang amat bagus! Dan diapun sudah siap
membantunya. Kini kereta mewah itu berhenti di dekat tem-pat Sinshe Phang membuka prakteknya. Para
pengawal memerintahkan penonton membuka ja-lan agar penghuni kereta dapat menyaksikan
per-tunjukan yang diperlihatkan oleh Sinshe Phang. Pintu dan jendela kereta dibuka dan
nampaklah seorang wanita cantik berusia tiga puluhan tahun, berpakaian mewah. Di
sebelahnya duduk pula seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun, dengan
pakaian mewah dan ram-butnya dikuncir dua, manis sekali. Orang-orang yang mengenal
wanita itu saling berbisik. Itulah seorang isteri muda Gubernur Yung Hwa, seorang di antara
selir-selirnya yang paling disayangnya, yang datang menonton pertunjukan Sinshe Phang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
268 bersama puterinya. Memang wanita ini mendengar tentang keahlian Sinshe Phang. Sudah
lama ia menderita pening-pening pada kepalanya dan sudah banyak ia makan obat, akan tetapi
tidak juga peningnya hilang. Maka, mendengar akan kepandaian Sinshe Phang, ia ingin
menyaksikan sendiri, kemudian kalau hatinya yakin, iapun akan minta pengobatan.
Sinshe Phang pura-pura tidak melihat bahwa ada wanita cantik selir gubernur yang
memperha-tikannya dan ikut menonton dari dalam kereta itu. Akan tetapi diam-diam dia
sengaja memperton-tonkan kepandaiannya, bermain sulap yang amat menggembirakan anak
perempuan di dalam kere-ta itu. Bahkan ketika dia menyulap sepotong batu berobah menjadi
seekor burung dara yang terbang melayang ke udara, anak perempuan itu bertepuk tangan dan
bersorak, "Bagus! Bagus....!"


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi ibu anak itu lebih memperhatikan cara Sinshe Phang menyembuhkan beberapa
orang yang datang berobat, terutama sekali orang yang menderita penyakit kepala pening.
Melihat betapa Sinshe Phang kadang-kadang mempergunakan jari-jari tangannya menekan di
sana-sini bagian kepala, atau menggunakan sebuah jarum emas menusuk beberapa tempat
tanpa yang ditusuk itu mengeluh nyeri atau mengeluarkan darah, kemu-dian melihat orang-
orang itu dapat disembuhkan seketika, nyonya itu merasa tertarik sekali.
Pada saat itu, para pengawal juga menonton dengan hati tertarik dan kadang-kadang mereka
itu tertawa melihat Sinshe Phang bermain sulap sambil melucu. Juga kusir kereta itu duduk
santai, tidak lagi memperdulikan dua ekor kudanya yang sudah diberi makanan di
depannya.Biarpun para pengawal itu juga merupakan orang-orang yang tahu ilmu silat, akan
tetapi ge-rakan Sinshe Phang sedemikian cepatnya sehingga tidak ada seorangpun di antara
mereka yang me-lihatnya ketika tiba-tiba saja dari jari-jari ta-ngannya meluncur dua butir
batu kecil yang de-ngan tepatnya menghantam dan melukai pantat dua ekor kuda yang sedang
makan itu. Tiba-tiba dua ekor binatang itu meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan ke
atas lalu meloncat ke depan. Kereta itu tertarik keras dan kusir yang sedang enak-enak duduk
miring itu terlempar keluar, terpental dari tempat duduknya dan terbanting ke atas tanah. Para
pengawal terkejut bukan main melihat dua ekor kuda itu kabur. Beberapa orang penonton
bahkan ada yang tertabrak dan jatuh tunggang-langgang dan orang-orang berteriak-teriak
ketakutan karena dua ekor kuda itu mem-balap tanpa ada yang mengendalikan. Akan teta-pi,
pada saat kusir kereta tadi terpelanting, ada bayangan kecil yang dengan cekatan telah
melom-pat ke atas tempat duduk kusir. Bayangan ini adalah seorang anak kecil dan semua
orang mengenalnya sebagai cucu Sinshe Phang. Sementara itu, terdengar jerit-jerit ketakutan
dari dalam kereta.
Ceng Liong yang sudah diberi isyarat oleh gu-runya memang sudan siap siaga. Maka ketika
dia melihat gurunya mempergunakan ilmu melempar batu-batu kecil dengan sentilan jari
tangan, dia sudah mendekati kereta, dan begitu kuda kabur dan kusir terlempar keluar, dia
sudah meloncat dengan cekatan sekali dan berhasil mencapai tem-pat duduk kusir. Dia segera
menyambar tali ken-dali kuda, akan tetapi karena tali kendaraan itu sebagian terlepas dan
berada di punggung kuda, dengan penuh keberanian anak ini lalu meloncat turun ke atas
punggung seekor kuda dan menarik kendali sambil mengeluarkan bujukan-bujukan untuk
menghentikan dua ekor kuda itu. Sedangkan para pengnwal kini sudah memburu, ada yang
na-ik kuda, ada yang berlarian. Akan tetapi, dalam jarak ratusan meter, ketika para pengawal
dapat menyusul, kereta itu telah berhenti dan dua ekor kuda itu telah dikuasai oleh Ceng
Liong yang ma-sih duduk di atas punggung seekor di antara dua kuda itu. Kereta itu selamat
dan dua orang peng-huninya juga selamat!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
269 Melihat ini, semua orang bersorak gembira dan bertepuk tangan memuji Ceng Liong yang
diang-gap seorang anak yang amat sigap dan berani. A-nak perempuan itu menangis terisak-
isak didekap oleh ibunya yang mukanya juga berobah pucat sekali. Melihat betapa yang
menolong menghenti-kan dua ekor kuda yang kabur itu adalah anak ke-cil cucu Sinshe Phang,
ibu muda itu segera mem-bimbing anaknya turun dari kereta yang sudah dibawa kembali ke
tempat semula oleh Ceng Liong.
"Sinshe, saya mengucapkan banyak terima ka-sih atas pertolongan cucumu," katanya.
Phang-sinshe cepat memberi hormat dan meng-angguk-angguk. "Ah, toanio, kebetulan saja
cucu saya dapat bertindak cepat. Thian yang telah me-lindungi toanio dan siocia," kata Sinshe
Phang de-ngan sikap seolah-olah dia seorang beribadah yang sudah biasa memalingkan
mukanya kepada Tuhan!
"Engkau anak yang baik sekali!" kata nyo-nya muda itu kepada Ceng Liong dan anak inipun
menjura tanpa berkata apa-apa, matanya me-mandang tajam kepada anak perempuan yang
ma-sih nampak ketakutan itu. Biarpun ketakutan dan bekas menangis, anak ini amat cantik
dan manis. "Ibu, apakah yang menghentikan kuda tadi dia ini?" Anak perempuan itu menuding ke arah
Ceng Liong. "Benar, Kui Lan. Dialah yang telah menyelamatkan kita. Anak baik, siapakah namamu?"
Ceng Liong menjadi malu juga karena sikap yang amat menghargai itu, apalagi di situ
ba-nyak orang yang menyaksikan dan semua orang memandang kepadanya dengan sinar mata
kagum dan memuji.
"Ha-ha, kenapa kau diam saja, Ceng Liong" Maaf, toanio. Dia anak pemalu sekali. Cucu saya
ini namanya Ceng Liong."
"Kui Lan, hayo ucapkan terima kasih kepada Ceng Liong," perintah ibunya yang selalu
mendi-dik puterinya untuk bersikap baik.
Kui Lan melangkah mendekati Ceng Liong. Wajah yang manis itu tidak begitu pucat lagi dan
sepasang mata yang lebar itu memandang penuh perhatian. "Ceng Liong, aku kagum padamu
dan terima kasih atas pertolonganmu. Namaku Yung Kui Lan, dan ayahku adalah gubernur
dari kota ini."
Ceng Liong hanya mengangguk-angguk saja sambil menatap wajah yang manis itu. Nyonya
muda itu lalu menggunakan kesempatan ini untuk mengundang Sinshe Phang ikut
bersamanya ke gedung gubernuran.
"Kami ingin minta pertolongan sinshe mengo-bati suatu penyakit," demikian tambahnya.
Sinshe Phang menyembunyikan kegembiraan hatinya. Inilah yang dinanti-nanti sampai dia
mau bersusah payah "membuka praktek" di pa-sar itu. Tak disangkanya akan sedemikian
mudah-nya pintu gubernuran terbuka baginya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
270 "Saya merasa terhormat sekali untuk dapat mengobati keluarga toanio yang sakit," katanya
dan diapun cepat menyuruh cucunya berkemas, dan tak lama kemudian, kereta nyonya itu
telah berjalan kembali, sekali ini bukan hanya diiring-kan sepasukan pengawal, akan tetapi
juga diiring-kan sebuah gerobak kuda yang sudah mulai dikenal baik di kota itu. Di sepanjang
perjalanan, orang-orang membicarakan keberanian bocah yang mengendalikan kuda itu, dan
semua orang tahu bahwa tentu sinshe itu diundang ke guber-nuran untuk mengobati orang
sakit dan tentu akan menerima hadiah besar dari gubernur sendiri ka-rena telah
menyelamatkan selir dan puterinya dari bahaya.
Setelah tiba di gedung gubernuran, Gubernur Yung Hwa yang menerima laporan tentang
kereta selirnya yang kabur dan diselamatkan oleh cueu Sinshe Phang, menjadi terkejut akan
tetapi juga girang. Dia lalu minta kepada selirnya untuk me-manggil sinshe itu menghadap.
Ketika bertemu dengan kakek yang tinggi besar itu, dan melihat cucunya yang tampan dan
gagah, Gubernur Yung Hwa merasa suka sekali. Dia mengucapkan terima kasih dan memuji
Ceng Liong. "Hamba merasa terhormat sekali dapat mem-peroleh kesempatan untuk mengobati keluarga
pa-duka yang sakit. Hamba sudah siap untuk meng-obatinya," Sinshe Phang berkata dengan
sikap me-rendahkan diri.
"Sinshe, yang sakit adalah aku sendiri," tiba-tiba selir itu berkata sambil tersenyum ramah.
"Apakah engkau bisa menolongku?"
Sinshe Phang menjura. "Mudah-mudahan ham-ba akan dapat menolong. Tidak tahu sakit
apakah yang diderita oleh toanio?"
"Sudah lama sekali kepalaku sering pening, berdenyut-denyut dan mata berkunang-kunang.
Sudah beberapa orang tabib dipanggil dan banyak sudah kumakan obat, akan tetapi penyakit
itu tidak lenyap, hanya berkurang sedikit saja."
Sinshe Phang mengangguk-angguk. "Maaf, hamba harus memeriksanya lebih dulu sebelum
menentukan penyakit dan obatnya."
Gubernur Yung Hwa yang mencinta isterinya itu berkata, "Mari, silahkan masuk ke kamar,
Sin-she Phang."
Sinshe Phang menghaturkan terima kasih, "Ceng Liong, engkau menanti saja di sini dan
bersikaplah yang baik."
"Biar Kui Lan menemaninya," kata nyonya itu dan Kui Lan yang memang merasa kagum
dan su-ka kepada Ceng Liong lalu menarik tangan Ceng Liong dan mengajaknya untuk pergi
ke taman. Ceng Liong menurut saja walaupun dia merasa sungkan dan juga malu.
Melihat sikap anak laki-laki itu, sang gubernur menggeleng-geleng kepala. "Cucumu itu
kelak tentu menjadi orang yang ga-gah."
Sambil mengikuti suami isteri itu memasuki kamar, Sinshe Phang menjawab, "Ah, seorang
seperti hamba mana mungkin dapat mempunyai seorang cucu yang gagah?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
271 Sang gubernur tertawa. "Aha, jangan kira aku tidak tahu, Phang-sinshe! Seorang yang
kabarnya pandai bermain sulap, dan pandai mengobati se-perti engkau ini, tentu seorang
kang-ouw, yang li-hai. Apalagi mendengar betapa cucumu dapat me-nyelamatkan isteri dan
anakku, tentu diapun telah kaugembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi!"
Diam-diam Sinshe Phang memuji ketajaman mata gubernur ini. Bagaimanapun juga,
gubernur ini dahulunya seorang pangeran, bahkan masih paman dari kaisar yang sekarang
maka tentu ba-nyak tahu tentang dunia kang-ouw. Aku harus berhati-hati, pikir kakek
itu.Setelah berada di dalam kamar, dengan disak-sikan oleh Gubernur Yung Hwa, Sinshe
Phang memeriksa denyut nadi lengan selir itu, kemudian me-meriksa beberapa bagian kepala
dan lehernya. Segera dia mengetahui bahwa penyakit yang di-derita oleh nyonya itu tidaklah
begitu berat, maka dengan keahliannya pengobatan tusuk jarum, dengan mudah dia dapat
menghilangkan penyakit itu. Tentu saja gubernur dan selirnya itu merasa berterima kasih dan
girang sekali. Gubernur Yung Hwa lalu menjamunya. Mereka makan minum berdua saja
sambil bercakap-cakap karena Ceng Liong diajak makan sendiri oleh Kui Lan yang kini telah
bersahabat dengannya.
"Ceng Liong, aku hampir tidak percaya bahwa engkau hanyalah cucu seorang penjual obat."
Di waktu bermain-main Kui Lan berkata. Ceng Liong memandang tajam. Anak ini boleh
juga, pikirnya, memiliki kecerdikan.
"Kenapa engkau berkata demikian, nona?"
"Sedangkan anak laki-laki putera para pembe-sar saja biasanya bersikap kasar, sombong
pada-hal tidak pandai apa-apa. Akan tetapi engkau ini gagah berani dan tangkas, kulihat
pandai dan bu-kan seperti anak dusun, akan tetapi sikapmu pen-diam dan pandai
merendahkan diri, ramah dan mengenal aturan. Tidak, engkau bukan anak du-sun. Engkau
pantasnya anak bangsawan atau hartawan besar!"
Ceng Liong tertawa. "Aih, nona jangan main-main. Sudah jelas kakekku adalah seorang ahli
pengobatan, ahli ramal dan sulap. Dan aku cucunya."
Kui Lan menarik napas panjang. "Sukar diper-caya! Dan di mana rumahmu" Di mana rumah
kakekmu itu?"
"Di mana saja, nona. Dunia ini adalah rumah-ku, langit atapku, bumi lantaiku. Kalau
dikecilkan, gerobak itulah pondok kami. Di mana adanya ge-robak kami, di situlah kami
tinggal. Kami adalah perantau-perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, nona,
seperti burung-burung di udara, mau hinggap di pohon manapun bebas!"
Sepasang mata yang bening itu berseri meman-dang wajah tampan Ceng Liong. "Ihhh,
bicaramu juga seperti orang bersyair! Betapa senangnya hidup seperti burung, bebas
melayang ke mana-mana, tidak terhalang sangkar. Aku seperti burung dalam sangkar!"
"Nona adalah puteri seorang bangsawan tinggi yang beruntung, mana bisa dibandingkan
dengan aku?"
"Aku suka padamu, Ceng Liong. Engkau tidak seperti anak-anak lain. Selamanya aku tidak
akan melupakanmu, tidak akan lupa ketika engkau menghentikan kuda dengan menunggangi
kuda yang sedang kabur itu. Ih, masih ngeri kalau aku mengingatnya."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
272 Ceng Liong lalu diajak makan, terpisah dari kakeknya yang juga sedang makan minum
dengan Gubernur Yung Hwa. Kesempatan ini diperguna-kan oleh Sinshe Phang untuk
berkenalan dan men-jajagi hati bangsawan itu. Maka dengan hati-hati dan halus diapun
membawa percakapan menuju ke kota raja dan istana, membicarakan keadaan negara.
"Engkau banyak melakukan perantauan, Phang-sinshe. Bagaimana keadaan di timur dan
selatan" Apakah kehidupan rakyat baik dan keamananpun baik?" Gubernur itu bertanya
demikian karena dia juga mendengar bahwa terjadi pergerakan dan pergolakan di barat dan
utara. Kakek itu mengerutkan alisnya, bersikap pura-pura keberatan untuk menyatakan
pendapatnya. Sang gubernur melihat ini, maka sambil tersenyum lalu menyambung, "Harap
engkau jangan khawa-tir, Phang-sinshe. Aku bertanya dengan jujur dan engkaupun boleh
menyatakan sejujurnya bagaima-na keadaan di sana. Kita ini sedang mengobrol sebagai dua
orang teman, bukan pemeriksaan seo-rang pejabat terhadap terdakwa!" Gubernur itu tertawa
dan Phang-sinshe juga ikut tersenyum lega.
"Terus terang saja, taijin. Keadaan di daerah-daerah di timur juga tidaklah begitu baik.
Banyak rakyat yang hidup kekurangan dan merasa tidak puas, dan di sana-sini terdapat gejala
pergerak-an menentang pemerintah."
Gubernur itu menghela napas. "Sudah kuduga demikian. Setiap pemerintahan tidak mungkin
da-pat memuaskan hati seluruh rakyat. Sudah tentu ada saja fihak yang merasa tidak puas.
Sudah tentu mendiang Kaisar Yung Ceng yang memegang ken-dali pemerintahan, banyak
fihak yang menentang, hal itu tidaklah terlalu mengherankan mengingat akan sifat-sifatnya
yang keras dan kadang-ka-dang penuh kelaliman. Akan tetapi, sekarang kendali pemerintahan
dipegang oleh Kaisar Kian Liong yang halus budi dan bijaksana. Bagaimanapun juga, tidak
mungkin beliau dapat memuaskan hati semua orang. Memang demikian keadaan di dunia ini,
tidak ada yang sempurna."
Mendengar ucapan ini, diam-diam Sinshe Phang terkejut. Dia tidak melihat sedikitpun rasa
dendam dalam ucapan itu.
"Bagaimanakah pendapat paduka tentang per-golakan-pergolakan yang terjadi di mana-
mana?" Gubernur itu mengerutkan alisnya. "Orang yang merasa penasaran tentulah mereka yang
me-rasa dirugikan. Dan melihat kenyataan betapa bi-jaksana Kaisar Kian Liong, maka yang
merasa diru-gikan sehingga penasaran dan memusuhinya ten-tulah orang-orang yang tidak
bijaksana! Mereka yang ambisius dan menginginkan kedudukan yang lebih tinggi. Mereka itu
tidak tahu bahwa andai-kata kekuasaan tertinggi berada di tangan orang lain, tidak seperti
Kaisar Kian Liong, maka keada-an negara tentu menjadi lebih kacau dan seng-sara."
Kini yakinlah Sinshe Phang bahwa tidak mung-kin orang dengan pendirian seperti gubernur
ini dapat ditarik menjadi sekutu. Bahkan berbahaya sekali untuk membocorkan rahasianya
kepada se-orang seperti gubernur ini. Bagaimanapun juga, dia harus dapat menarik
keuntungan dalam per-jumpaannya dengan Gubernur Yung Hwa agar tidak percuma semua
jerih payah yang telah diperhitungkan dan direncanakannya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
273 "Bagaimanapun juga, hamba sendiri tidak per-nah mau melibatkan diri dalam urusan negara.
Hamba adalah seorang rakyat dan hamba paling suka merantau sampai ke daerah yang
terpencil. Dapat berhubungan dengan rakyat jelata, dari yang paling tinggi kedudukannya
sampai yang pa-ling rendah, melalui pengobatan dan hiburan permainan sulap, hamba sudah
merasa cukup puas."
"Sinshe adalah seorang yang bijaksana dan da-pat menolong orang-orang lain, sungguh
kehidup-an itu dapat mendatangkan kebahagiaan dan pan-jang usia. Kami mengharap agar
engkau dapat lama-lama tinggal di kota ini dan silahkan me-nempati gedung kami dan sinshe
akan kami ang-gap sebagai tamu terhormat."
Sinshe Phang bangkit berdiri dan menjura de-ngan hormat. "Taijin sudah melimpahkan
kebaikan kepada hamba, mana hamba berani mengganggu lebih lama lagi" Hamba telah
mempunyai rencana, yaitu besok pagi hamba dan cucu hamba akan melanjutkan perjalanan
hamba dalam perantauan ini."
Gubernur itu nampak kecewa. "Ah, mengapa begitu tergesa-gesa?"
"Hamba tanggung bahwa toanio sudah sembuh sama sekali dan peningnya tidak akan dapat
kam-buh kembali. Hamba sudah merencanakan untuk pesiar merantau ke Bhutan...." Dia
menghenti-kan kata-katanya dan dengan cermat memandang wajah gubernur itu, walaupun
nampaknya seperti sambil lalu. Dan dengan girang dia melihat beta-pa wajah itu berseri.
"Ke Bhutan...." Ah, apakah sinshe mempu-nyai keperluan di negara yang jauh itu?"
"Hamba pernah mengenal seorang pertapa yang hamba jumpai di daerah Himalaya dan
dia-pun seorang ahli pengobatan yang kini kabarnya tinggal di Bhutan. Selain menemui
sahabat itu, juga hamba sudah lama sekali mendengar akan kemakmuran dan keindahan
negara Bhutan dan ingin sekali melihatnya. Hanya satu hal yang hamba khawatirkan."
"Apakah itu, Phang-sinshe?"
"Hamba adalah seorang asing di Bhutan, sela-in sahabat itu tidak mempunyai kenalan.
Sebelum hamba berhasil bertemu dengan sahabat itu, ham-ba khawatir kalau-kalau dicurigai
dan akan me-nemui halangan di negara asing itu."
"Ah, jangan khawatir, Phang-sinshe! Aku mengenal baik seorang yang mempunyai pengaruh
dan kekuasaan besar di sana dan kalau engkau membawa surat dariku, aku tanggung takkan
ada yang mengganggumu di Bhutan sana."
Bukan main girangnya hati kakek itu. "Terima kasih banyak atas kebaikan hati taijin."
Gnbernur itu lalu membuat sehelai surat per-nyataan di mana dikatakannya bahwa Sinshe
Phang adalah seorang sahabat baiknya dan para pejabat setempat diminta untuk membantunya
da-lam segala hal. Surat itu ditandatanganinya dan dibubuhi cap kebesarannya.
Setelah berhasil memperoleh surat yang amat berguna baginya ini, dan diberi bekal pula
sekantung emas, pada keesokan harinya, pagi-pagi se-kali berangkatlah Sinshe Phang dan
Ceng Liong bersama gerobak kuda mereka. Kui Lan sendiri mengantar keberangkatan itu
sampai di pekarang-an luar gedung gubernuran dan anak perempuan itu menangis ketika
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
274 melihat Ceng Liong mengge-rakkan kuda memberangkatkan kereta dan melam-baikan tangan
kepadanya. *** Biarpun hanya merupakan sebuah kerajaan ke-cil saja, akan tetapi karena Bhutan memiliki
ba-nyak daerah pertanian yang subur, peternakan yang sehat dan terutama sekali karena
kerajaan ini berada dalam keadaan aman tenteram dan pe-nuh damai, tidak pernah melakukan
perang, baik dengan negara tetangga maupun antara suku dan bangsa sendiri, maka rakyatnya
dapat dikatakan hidup serba kecukupan dan tenang.
Kerajaan Bhutan tidak dapat dilepaskan dari Himalaya karena kerajaan ini berada di antara
puncak-puncak pegunungan yang amat besar ini. Bhutan merupakan daerah di Himalaya yang
ber-suhu dingin, berhawa sejuk dan bertanah subur. Kerajaan ini beserta rakyatnya
mempertahankan tradisi kehidupan nenek moyang mereka dan pada umumnya rakyatnya


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beragama Buddha yang bercampur dengan Agama Hindu kuno.
Raja Badur Syah yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun itu memerintah dengan adil dan
bijaksana. Raja Badur ini menerima mahkota dari Puteri Syanti Dewi yang tadinya menjadi
puteri mahkota. Sang puteri ini tidak mau menjadi ratu karena memang ia ingin bebas
daripada ikatan, hidup berbahagia bersama suami tercinta, yaitu pendekar sakti Wan Tek Hoat
dan seorang anak mereka yang mereka beri nama Wan Hong Bwee alias Gangga Dewi. Puteri
tunggal ini berusia sembilan tahun dan bukan saja men-jadi cahaya dalam kehidupan ayah
bundanya, akan tetapi juga menjadi kesayangan semua orang, baik di dalam istana maupun di
luar istana. Biarpun Wan Tek Hoat dan isterinya tidak -memangku suatu jabatan tertentu, akan tetapi
pendekar ini disebut pangeran dan dia bersama isterinya merupakan penasihat-penasihat
utama dari Raja Badur Syah. Bahkan dapat dikata bah-wa keamanan Kerajaan Bhutan itu
berkat adanya pendekar sakti dan isterinya ini. Mereka yang mempunyai pikiran buruk dan
niat jahat merasa sungkan terhadap suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini.
Para penjahat merasa jerih. Pendeknya, Wan Tek Hoat dan isterinya menjadi tokoh-tokoh
penting di Bhutan, yang ditakuti la-wan dan disegani kawan.
Tak mungkin ada yang sempurna di dunia ini karena setiap ada yang menganggapnya baik
tentu akan bertemu dengan fihak lain yang mengang-gapnya tidak baik. Ini tergantung
daripada si pe-nilai yang mendasarkan pandangannya atas perhitungan untung rugi. Baik
buruk hanyalah pe-nilaian banyak fihak yang pada dasarnya ditung-gangi oleh perhitungan
untung rugi inilah. Maka, kalau Kerajaan Bhutan dipandang baik oleh satu fihak, tenta saja
karena dianggapnya menguntungkan bagi fihak itn, tentu ada pula fihak lain yang
menganggapnya tidak baik karena merasa dirugi-kan. Mereka yang diam-diam
menganggapnya tdak baik, tentu saja tidak beraniberterang kare-na terutama sekali adanya
wibawa dari Wan Tek Hoat dan isterinya, adalah mereka yang merasa tidak puas. Sudah
jamak di satu pemerintahan ne-gara manapun juga, di antara orang-orang yang merasa diri
sendiri besar atau dianggap sebagai orang-orang penting, yakni tokoh-tokoh peme-rintahan,
ada yang merasa tidak puas dengan pe-merintahan yang berkuasa pada saat itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
275 Ketidakpuasan ini mungkin saja karena mereka merasa tidak mernperoleh kedudukan yang
sesuai dengan harapan mereka, atau karena tidak cocok dengan politik pemerintahan, akan
tetapi sebagian besar yang merasa tidak suka adalah mereka yang mera-sa dirugikan, baik
lahir maupun batin. Tidak mungkin ada suatu pemerintahan yang dapat me-nyenangkan atau
memuaskan semua fihak yang masing-masing mempunyai keinginan sendiri-sendiri dan
kadang-kadang keinginan-keinginan itu saling bertentangan.
Demikian pula dengan keadaan di Bhutan. Di antara pejabat tinggi atau rendah yang merasa
puas dan menjadi pegawai-pegawai yang setia dan jujur, tentu saja terdapat pula pembesar-
pem-besar yang merasa tidak puas dan diam-diam da-lam hati mereka menentang
kebijaksanaan yang diambil oleh Raja Bhutan. Mereka ini terutama sekali menentang
kebijaksanaan pemerintah yang condong bersahabat dengan Kaisar Kerajaan Ceng dan yang
menentang gerakan Nepal. Mereka akan merasa lebih senang kalau Bhutan bersahabat
de-ngan Nepal, yang selain menjadi negara tetangga dekat, juga memiliki kebudayaan dan
agama yang masih serumpun. Akan tetapi karena di Bhutan terdapat Wan Tek Hoat, seorang
Bangsa Han yang telah banyak berjasa terhadap Bhutan, dan yang menjadi penasihat nomor
satu dari raja, tentu saja mereka yang pro Nepal dan menentang Kerajaan Ceng itu tidak
berani mengeluarkan isi hati me-reka secara berterang.
Pada suatu siang yang cukup terang, suatu ke-adaan yang amat menyenangkan bagi daerah
Bhu-tan yang dingin itu, nampak seorang anak perem-puan yang cantik dan lincah
berloncatan di antara semak-semak belukar dalam sebuah hutan liar di lereng bukit. Anak
perempuan ini usianya sembi-lan tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu me-runcing dan
kedua tulang pipinya menonjol berwarna merah segar, mulutnya kecil mungil dengan bibir
yang penuh dan merah, sepasang matanya bersinar-sinar, lebar dan terang, dua kuncirnya
yang gemuk dan panjang itu ikut melambai-lam-bai ketika ia berloncatan. Anak ini sungguh
can-tik, gerakannya lincah, wajahnya selalu berseri dan matanya membayangkan kejenakaan
dan kegembiraan, tangan kiri memegang busur kecil, ta-ngan kanan memegang anak panah,
sedangkan di punggungnya masih terdapat beberapa batang anak panah cadangan. Tidaklah
terlalu menghe-rankan kalau anak perempuan berusia sembilan tahun ini sedemikian lincah
dan sigap gerakannya karena ia adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri tunggal
dari pendekar sakti Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi. Semenjak kecil, ba-ru saja dapat
berjalan, ayahnya telah menggem-blengnya sehingga biarpun usianya baru sembilan tahun,
namun Hong Bwee telah memiliiki tubuh yang sehat dan kuat, gerakan yang gesit dan nyali
yang besar. Apalagi anak ini memang gemar ber-buru, pekerjaan yang umum di daerah
Bhutan dan sudah sering kali anak ini mengikuti rombongan para pemburu untuk berburu rusa
dan binatang-binatang hutan. Ia sudah pandai mempergunakan anak panahnya, juga pandai
metnpergunakan pe-dang kecil yang tergantung di pinggang itu.
"Heiii, tuan puteri.... perlahan dulu....!" Terdengar suara seorang wanita menegur dari
be-lakang. "Di hutan ini mana ada puteri-puteri segala macam?" Hong Bwee mengomel tanpa
menghen-tikan kedua kakinya yang berloncatan dengan si-gapnya di antara semak-semak
belukar. "Nona.... nona Hong Bwee, kalau nona ber-lari-larian seperti itu, tentu rusa-rusa kabur dan
burung-burung terbang menjauh!" teriak sutara wanita ke dua. Mendengar ini, Hong Bwee
meng-hentikan larinya dan menoleh sambil tersenyum melihat dua orang wanita cantik yang
bcrpakaian ringkas seperti para pemburu berlari-lari menge-jarnya. Dua orang wanita itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
276 adalah para penga-walnya karena pada siang hari ini Hong Bwee hen-dak berburu sendiri,
hanya ditemani dua orang pengawal itu. Tehtu saja dua orang wanita itu bu-kan wanita
sembarangan, melainkan pengawal-pengawal yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi.
Sebagai puteri tunggal suami isteri yang berkedudukan tinggi, atau lebih tepat memiliki
wiba-wa dan pengaruh yang besar sekali di istana, dan beribu seorang puteri bekas puteri
mahkota, watak Hong Bwee sungguh aneh. Ia tidak manja atau besar kepala, bahkan kalau
berada di luar istana, ia ingin bebas dari segala macam peraturan yang mengikatnya, ingin
hidup seperti anak-anak lain-nya dan karena itulah, tadi ia menegur seorang pengawalnya
yang menyebut tuanputeri. Ia lebih suka disebut nona begitu saja sehingga tidak semua orang
tahu bahwa ia seorang puteri dari istana.
"Sungguh sialan benar kita hari ini." Anak itu mengomel. "Sampai begini siang dan sudah
berja-lan sangat jauh, belum juga bertemu dengan see-korpun rusa atau binatang lain!"
"Nona, sebaiknya kita kembali ke kota. Kita sudah hampir sampai di perbatasan!" seorang
pengawal yang alisnya tebal memperingatkan.
"Tidak, kita belum memperoleh seekorpun bi-natang buruan, bagaimana bisa kembali" Aku
akan malu kalau pulang tidak membawa hasil," bantah Hong Bwee.
"Itu mudah diatur, nona. Kita bisa singgah di rumah pemburu istana, membeli dua ekor rusa
gemuk dan...."
"Tak tahu malu!" Hong Bwee memotong u-capan pengawal yang hidungnya mancung itu.
"Pemburu macam apa itu" Curang dan rendah, tidak memperoleh buruan lalu membeli di
pasar, mengakui binatang belian itu sebagai hasil buruan. Huh, tidak saja, ya" Aku mau
mencari terus ke bukit di depan itu. Kelihatan rimbun hutannya!"
"Ihhh.... jangan ke sana!" seru pengawal beralis tebal.
"Kenapa?"
"Bukit itu tidak termasuk wilayah kita dan pula.... ada kabar bahwa akhir-akhir ini ada
biru-ang-biruang hitam yang ganas berkeliaran di sana!"
"Aku tidak takut!"
"Tapi.... tapi biruang hitam itu bisa ganas sekali dan amat berbahaya."
Hong Bwee memandang kepada dua orang pe-ngawalnya samhil bertolak pinggang,
sepasang alisnya dikerutkan. "Hemm, pengawal-pengawal macam apa yang menemaniku
sekarang ini" Ka-lau kalian takut, pulanglah dan aku akan pergi sen-diri. Aku tidak akan
pulang sebelum memanggul binatang hasil buruanku dan aku akan bangga se-kali kalau dapat
menyeret pulang bangkai seekor biruang yang meanjadi korban anak panah atau pe-dangku!"
Setelah berkata demikian, anak itu mem-balikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanan-nya.
Kemarahannya sudah hilang dan
Seruling Samber Nyawa 5 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bara Naga 6
^