Kisah Pendekar Bongkok 13

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


kuat, akan tetapi bahkan juga mengandung ilmu si-hir itu, tidak gentar dan diapun meng-gerakkan telapak tangan kiri menyambut.
"Desss....!" Hebat buken main pertempuran dua telapak tangan dan akibatnya, tubuh Thay Si Lama terjeng-kang dan diapun muntah darah! Sie Li-ong sendiri juga terjengkang karena kedudukannya tadi tidak menguntungkan ketika dia mengadu tenaga dalam dengan Thay Si Lama. Kuda-kudanya tidak kokoh karena dia tadi dalam keadaan terpelanting dan terhuyung.
Pada saat dia terjengkang, ujung tongkat di tangan Kim Sim Lama menyambar dan
menyentuh punggungnya. Sie Li-ong terkulai lemas dan roboh pingsan!Melihat betapa Thay Si Lama mun-tah darah, empat orang rekannya menja-di marah dan mereka sudah
menggerakkan senjata untuk melumatkan tubuh Pende-kar Bongkok.
"Tahan!" Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong. Lima orang Harimau Tibet i-tu kini memandang heran kepada pemim-pin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.
"Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia di-bunuh!" katanya dengan nada tidak se-nang.
"Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi kemarahan dan dendam" Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitung-kan, langkah yang pasti akan mengun-tungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa untungnya" Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita" Sebaliknya, kalau dia ti-dak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 304
sebesarnya."
Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sutenya bertanya, "Susi-ok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?"
"Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihat-lah," katanya kepada belasan orang pembantu utamanya.
"Tanpa pimpinan pin-ceng, kalian sama seperti sekumpulan gajah kehilangan pembimbing.
Biarpun kalian kuat, kelau tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai jauh! Dengar-lah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, biarpun masih muda dan tubuhnya bongkok, namun dia telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua, kalau maju satu lawan satu, bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu gerakan kita."
"Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Sian-su. Dia musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu ge-rakan kita?" Thay Si Lama mencela.
"Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir agar dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?" kata Thay Hok Lama.
Kim Sim Lama menggeleng kepalanya. "Memang benar bahwa kiranya takkan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihirpun tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sin-kang sekuat itu."
"Pinceng dapat membuatkan racun perampas ingatan...." kata pula Thay Hok Lama si ahli racun.
Kim Sim Lama tetap menggeleng ke-palanya. "Biarpun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa arti-nya orang yang kehilangan ingatan un-tuk kita" Bahkan dia akan dapat menim-bulkan kekacauan karena ketololannya.
Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan tenaganya."
"Lalu untuk apa lagi, susiok?" Thay Pek Lama bertanya.
Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah kekanak-kanakan itu ki-ni kelihatan cerdik luar biasa. Mata-nya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.
"Kita dapat mempergunakan dia un-tuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk
antara Dalai Lama dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, baru-lah kematiannya ada gunanya untuk kita."
Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk dan merekapun melihat manfaat itu. "Akan tetapi, bagaimana cara-nya agar dia dapat terbunuh oleh Da-lai Lama, atau agar para tosu mengang-gap kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?"
"Tentu saja satu-satunya jalan a-dalah agar dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lasha!"
kata Kim Sim Lama.
"Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan dia ke dalam istana?" tanya Thay Bo Lama.
Kim Sim Lama tersenyum lagi. "Ti-dak percuma pinceng menyebar orang-o-rang ke dalam Lasha. Biarlah kita me-nanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu."
"Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam penjara, bagai-mana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam pen-jara?" Thay Ku Lama berseru khawatir.
"Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh" Tentu saja kita harus membu-at dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama."
Thay Hok Lama merasa girang kare-na dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 305
pel hitam. "Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?"
"Maksudmu bagaimana?" tanya Kim Sim Lama.
"Pinceng mempunyai dua butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminum-kan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan ke perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan di kepalanya akan hangus dan diapun akan kehilangan ingatan untuk selamanya." Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga akan keahliannya tentang racun.
"Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi."
Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya
sehingga dengan mudah dia membukakan mulut pemuda itu dan memaksa-kan sebutir pel ke dalam kerongkongan-nya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu
memasuki pe-rut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu.
"Ha-ha-ha, setelah siuman dia su-dah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di dalam kamar tahanan?" tanya Thay Hok Lama.
"Nanti dulu! Biarpun ingatannya hilang, kalau tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan."
"Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan sin-kangnya dia akan roboh sendiri," kata Thay Hok Lama dan kembali dia mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang berpintu besi.
"Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, se-perti orang biasa saja.
Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja," kata Thay Hok Lama dan demikianlah, Sie Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar itu setelah menyuruh enam orang penjaga berja-ga di luar pintu besi dengan senjata di tangan. Tidak perlu dijagapun, pemuda yang sudah makan dua macam obat beracun itu takkan mampu membebaskan di-ri dari dalam kamar penjara!
"Tahan!" Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong. Lima orang Harimau Tibet i-tu kini memandang heran kepada pemim-pin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.
"Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia di-bunuh!" katanya dengan nada tidak se-nang.
"Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi kemarahan dan dendam" Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitung-kan, langkah yang pasti akan mengun-tungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa untungnya" Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita" Sebaliknya, kalau dia ti-dak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya."
Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sutenya bertanya, "Susi-ok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?"
"Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihat-lah," katanya kepada belasan orang pembantu utamanya.
"Tanpa pimpinan pin-ceng, kalian sama seperti sekumpulan gajah kehilangan pembimbing.
Biarpun kalian kuat, kelau tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai jauh! Dengar-lah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, biarpun masih muda dan tubuhnya bongkok, namun dia telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 306
kalau maju satu lawan satu, bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu gerakan kita."
"Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Sian-su. Dia musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu ge-rakan kita?" Thay Si Lama mencela.
"Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir agar dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?" kata Thay Hok Lama.
Kim Sim Lama menggeleng kepalanya. "Memang benar bahwa kiranya takkan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihirpun tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sin-kang sekuat itu."
"Pinceng dapat membuatkan racun perampas ingatan...." kata pula Thay Hok Lama si ahli racun.
Kim Sim Lama tetap menggeleng ke-palanya. "Biarpun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa arti-nya orang yang kehilangan ingatan un-tuk kita" Bahkan dia akan dapat menim-bulkan kekacauan karena ketololannya.
Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan tenaganya."
"Lalu untuk apa lagi, susiok?" Thay Pek Lama bertanya.
Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah kekanak-kanakan itu ki-ni kelihatan cerdik luar biasa. Mata-nya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.
"Kita dapat mempergunakan dia un-tuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk
antara Dalai Lama dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, baru-lah kematiannya ada gunanya untuk kita."
Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk dan merekapun melihat manfaat itu. "Akan tetapi, bagaimana cara-nya agar dia dapat terbunuh oleh Da-lai Lama, atau agar para tosu mengang-gap kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?"
"Tentu saja satu-satunya jalan a-dalah agar dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lasha!"
kata Kim Sim Lama.
"Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan dia ke dalam istana?" tanya Thay Bo Lama.
Kim Sim Lama tersenyum lagi. "Ti-dak percuma pinceng menyebar orang-o-rang ke dalam Lasha. Biarlah kita me-nanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu."
"Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam penjara, bagai-mana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam pen-jara?" Thay Ku Lama berseru khawatir.
"Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh" Tentu saja kita harus membu-at dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama."
Thay Hok Lama merasa girang kare-na dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam. "Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?"
"Maksudmu bagaimana?" tanya Kim Sim Lama.
"Pinceng mempunyai dua butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminum-kan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan ke perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan di kepalanya akan hangus dan diapun akan kehilangan ingatan untuk selamanya." Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga akan keahliannya tentang racun.
"Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 307
Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya
sehingga dengan mudah dia membukakan mulut pemuda itu dan memaksa-kan sebutir pel ke dalam kerongkongan-nya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu
memasuki pe-rut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu.
"Ha-ha-ha, setelah siuman dia su-dah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di dalam kamar tahanan?" tanya Thay Hok Lama.
"Nanti dulu! Biarpun ingatannya hilang, kalau tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan."
"Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan sin-kangnya dia akan roboh sendiri," kata Thay Hok Lama dan kembali dia mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang berpintu besi.
"Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, se-perti orang biasa saja.
Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja," kata Thay Hok Lama dan demikianlah, Sie Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar itu setelah menyuruh enam orang penjaga berja-ga di luar pintu besi dengan senjata di tangan. Tidak perlu dijagapun, pemuda yang sudah makan dua macam obat beracun itu takkan mampu membebaskan di-ri dari dalam kamar penjara!
Bayangan itu berkelebat cepat se-kali meninggalkan wuwungan rumah penginapan. Bulan sepotong sudah naik ting-gi dan sinarnya yang remang-remang menyinari muka orang yang berkelebat turun dari wuwungan genteng rumah pe-nginapan itu. Dia seorang pemuda tam-pan sekali, dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang alis yang hitam lebat, hidungnya mancung dan matanya mencorong, mulutnya selalu tersenyum memikat dan
pakaiannya mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika berhenti di kebun rumah penginapan itu, menoleh ke arah kamarnya yang berada di bagian tengah.
"Selamat tidur, suci yang manis," bisiknya sambil tersenyum. Pemuda ini adalah Coa Bong Gan, murid ke dua Koay Tojin yang melakukan perjalanan bersa-ma sucinya, Yauw Bi Sian ke Lasha un-tuk mencari Pendekar Bongkok Sie Liong. Seperti telah diceritdkan di bagian depan, mereka memasuki kota Lasha dan di kota ini mereka berhasil mendapat keterangan tentang Pendekar Bongkok yang kabarnya akan melakukan penyelidikan ke sarang Kim-sim-pai daerah Telaga Yam-so. Tentu saja Bi Sian segera akan melakukan pengejaran ke sana, akan te-tapi Bong Gan mencegahnya, mengingat-kan bahwa mereka harus lebih dulu
me-nyelidiki Kim-sim-pai yang amat dita-kuti penduduk dan di mana adanya sa-rang perkumpulan yang akan didatangi Sie Liong itu. Selain alasan ini, juga ada alasan rahasia yang membuat Bong Gan menahan sucinya agar jangan hari itu juga pergi meninggalkan Lasha! Ta-di, di rumah makan, dia bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis sehingga membuat hatinya jungkir balik! Yang membuat dia tergila-gila dan
mengobarkan berahinya adalah keti-ka wanita yang cantik manis itu di ru-mah makan tadi jelas memberi tanda ke-padanya dengan main mata! Kerling dan senyum wanita itu demikian memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia tidak bertepuk tangan sebelah. Bukan dia saja yang bangkit berahinya, mela-inkan wanita itupun jelas tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik kepadanya! Dia harus dapat bertemu dengan wanita itu, malam ini juga!
Se-belum dia dan sucinya meninggalkan Lasha, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk mempererat hubungan, untuk berkenalan. Akan tetapi, setelah berhasil keluar dari rumah penginapan tanpa diketahui siapapun, dan sucinya tentu sudah tidur di kamar sebelah yang su-dah gelap dan sunyi, dia menjadi bi-ngung sendiri. Ke mana dia harus mencari wanita itu"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 308
Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat menarik hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya.
Tiba-tiba hidungnya kembang kempis. Keharuman mawar demiktan menyolok hidungnya.
Apakah kebun ini banyak bu-nga mawarnya" Akan tetapi ketika dia menoleh ke sekeliling, tidak ada pohon bunga mawar di situ. Akan tetapi keha-ruman itu demikian keras dan semakin keras lagi. Tiba-tiba ia merasa ada o-rang di belakang. Cepat dia memutar tubuhnya dan.... benar saja, dalam jarak lima meter dia melihat sesosok tubuh yang ramping. Akan tetapi, jarak itu terlampau jauh dalam keremangan itu untuk dapat mengenal mukanya. Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itupun meloncat dan berkelebat pergi.
Seorang wanita! Cepat Bong Gan melakukan pengejaran. Dia makin heran dan kagum.
Wanita itu sungguh memiliki il-mu berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus. Wanita itu melalui jalan-jalan sunyi dan setelah tiba di sebuah lapangan rumput dekat sungai kecil yang sunyi karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lasha, dengan suara ke-tawa kecil masih terdengar, ia berhen-ti, seolah menanti.
Bong Gan meloncat ke depan wani-ta itu dan dia terpesona, terbelalak dan sejenak dia bengong. Wanita itu a-dalah wanita cantik manis yang membuatnya tergila-gila tadi! Betapa manisnya wajah yang bulat telur dengan dagu runcing itu. Kulit muka dan leher itu pu-tih mulus, manisnya bukan main!
"Hi-hik, kenapa engkau mengejarku?" terdengar suaranya yang merdu dan pe-nuh godaan.
"Karena aku tergila-gila kepadamu, nona. Pertemuan antara kita di rumah makan itu telah membuat aku jatuh cin-ta padamu, nona!" jawab Bong Gan yang masih belum hilang
kekaguman dan kehe-ranannya karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik jelita yang membuatnya tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja, melainkan se-orang wanita yang memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak berada di bawah tingkatnya!
Wanita itu bukan lain adalah Pek Lan. Sebagai seorang yang mata keran-jang dan gila pria ganteng, begitu bertemu dengan Bong Gan tentu saja ia su-dah tertarik bukan main. Ia merasa be-tapa wajah pemuda ganteng itu tidak a-sing baginya, namun ia lupa lagi entah di mana pernah bertemu pemuda yang ga-gah dan ganteng itu. Sayang pemuda itu sudah mempunyai pasangan, seorang ga-dis yang demikian cantik. Akan tetapi justeru hal ini bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada saingan dan ia harus menang! Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai-yang Suhu yang biarpun masih tampan dan gagah, narnun sudah tua itu.
Malam itu, setelah ia tadi memba-yangi pemuda dan gadis itu dan mengetahui rumah penginapan mereka, ia lalu pergi mengunjungi rumah penginapan dan tanpa disangka-sangkanya, ia melihat bayangan melayang turun dari wuwungan rumah penginapan. Tentu saja ia terke-jut dan heran, dan lebih besar lagi keheranannya ketika ia mengenal pemuda tampan yang digandrungi itulah bayang-an yang amat gesit itu. Hatinya menja-di semakin bergairah. Kiranya seorang pemuda yang lihal! Ia semakin terta-rik, dan ia lalu memancing pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ke tempat sunyi di tepi sungai kecil yang mengalir di dekat tembok kota Lasha. Kini, mendengar pengakuan pemuda itu yang mengaku tergila-gila dan jatun cinta padanya, Pek Lan tertawa.
"Aih, benarkah engkau jatuh cinta padaku" Kalau begitu, aku harus mengu-jimu dulu apakah engkau cukup gagah untuk dapat berdekatan dengan aku. Sambut seranganku ini!" Dan tiba-tiba Pek Lan sudah melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir.
Timbul kegembiraan di hati Bong Gan. Kiranya bukan hanya pandai berla-ri cepat, pikirnya.
Dia harus menunjukkan bahwa dia cukup jantan dan gagah untuk dapat "berdekatan" dengan wanita cantik yang menantang ini. Cepat dia-pun mengelak untuk menghindarkan se-rangan orang dan diapun membalas. Tar-nyata wanita itu memiliki gerakan yang gesit dan serangan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 309
Bong Gan dapat pula ia elakkan dengan cepat, kemudian ia melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Bong Gan diam-diam menjadi se-makin kagum. Kalau tadinya dia masih tersenyum mengejek dan hendak main-ma-in, kini dia tahu bahwa wanita itu sungguh lihai dan dia sama sekali ti-dak boleh memandang ringan! Segera dia mainkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu inti dari Koay Tojin. Ilmu silat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang, namun pada intinya ilmu silat ini adalah il-mu silat tongkat yang disebut Ta-kwi Tung-hoat (Silat Tongkat Pemukul I-bliS). Begitu dia memainkan ilmu silat ini, kedua tangannya merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan memiliki gerakan yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan se-ruan kagum. Namun, biarpun agak terde-sak, ia masih dapat mengindarkan semua rangkaian serangan lawan. Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda i-tu, maka ia tidak mau mengeluarkan il-mu pukulan yang amat dahsyat, yaitu Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
"Tahan dulu....!" serunya sambil melompat ke belakang.
Bong Gan berdiri dan tersenyum, merasa menang karena betapapum juga, dia tadi sudah berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang minta berhenti.
Akan tetapi Pek Lan sudah mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pe-dang di depan dada sambil tersenyum. Manis dan gagah sekali. "Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum. Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau ber-main senjata. Nah, keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan, aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu."
Ketika masih ikut Koay Tojin, baik Bong Gan maupun Bi Sian tidak per-nah diperbolehkan menggunakan senjata tajam walaupun mereka diajar bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang da-pat dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan pedang. Baru setelah ia mewarisi pe-dang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu membawa senjata tajam. Demikian pula Bong Gan hampir tidak pernah membawa senjata tajam karena kedua kaki ta-ngannya saja sudah cukup ampuh untuk menghadapi lawan yang bersenjata sekalipun. Dia tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan kosong, akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang sudah ba-nyak mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada umumnya suka disanjung, suka dimanja dan
dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Hal ini sungguh akan merugikan dirinya.
Dia lalu mengambil sebatang ranting pohon sebesar lengannya, dan sam-bil melintangkan tongkat sepanjang hampir dua meter itu dia berkata, "Maaf, nona. Aku tidak pernah membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat hubungan, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu" Biarlah aku mengguna-kan tongkat ini saja."
Pek Lan mengerutkan alisnya. "Engkau memandang rendah kepadaku?"
Bong Gan menahan senyumnya. Tepat seperti yang diduganya. Wanita ini ti-dak menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai.
Maka diapun cepat berkata,
"Aih, siapa berani memandang ren-dah kepadamu, nona" Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apalagi ka-lau engkau berpedang, mana aku berani memandang rendah" Terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah tongkat dan kalau a-da tujuh belas macam senjata pilihan di sini, aku tetap akan memilih sebatang tongkat."
Lenyap kerut di antara sepasang alis yang hitam panjang melengkung in-dah itu. "Bagus, kalau begitu, aku i-ngin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!" Dan iapun menyerang de-ngan gerakan cepat dan dahsyat sekali.
Bong Gan memang benar tidak bera-ni memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 310
hebat dan lihai sekali, maka diapun cepat menggerakkan tongkatnya dan memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua orang muridnya. Dan begitu ada tongkgt di tangannya dan setelah memainkan tongkat itu dangan ilmu Ta-kwi Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagikan seekor naga bermain di angkasa, berkelebatan dan manyambar-nyambar dengan ganasnya.
Pek Lan telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi.
Namun, tingkat nenek itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah dise-rap oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan ilmu yang dikuasai Pek Lan. Kalau Pek Lan mengguna-kan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mung-kin ia dapat mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin melukai Bong Gan apalagi membunuhnya. In sudah menjadi semakin tertarik kepada pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai se-lingan kebosanannya harus melayani Thai-yang Suhu saja!
Bong Gan juga kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu harus diakui-nya amat hebat sehingga andaikata dia tidak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dangan tongkatnya-pun, dengan ilmu tongkatnya, dia hanya dapat mengimbangi permainan pedang, mampu melindungi diri dan juga memba-las dengan sama dahsyatnya. Pertandingan itu berjalan seru di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan berubah menjadi banyak dan
menusuk-nusuk ke arah dada lawan, seperti hen-dak mematahkan setiap tulang iga di dada itu!
Pek Lan terkejut bukan main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, namun ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya. Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya! Sejak tadi ia memang sudah kagum bukan main dan kini gairah berahinya bangkit, menyala dan barkobar. Sambil mengeluarkan suara melengking panjang, Pek Lan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk menempel. Pedang bertemu tongkat dan melekat! Pek Lan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada lawan, akan tetapi pada saat itu, Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan.
"Plakkk!" Dua buah tangan dengan jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang dan tong-kat! Mereka tak bergerak, saling pan-dang dalam jarak hanya satu meter lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas.
Bong Gan tersenyum. "Nona, engkau sungguh cantik jelita...."
Pek Lan juga tersenyum. "Dan eng-kau perayu besar!"
"Tidak, nona. Aku bicara sejujur-nya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu hebat, aku tergila-gila kepadamu, aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu, melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu...."
Senyum Pek Lan melebar. Gairah berahinya sudah berkobar membakar selu-ruh dirinya karena sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu berahinya. Ia meng-gerakkan kepalanya. Rambutnya yang di-gelung itu terlepas dan rambut yang panjang itu menyambar ke depan, melingkari leher Bong Gan. Ia menarik dan muka pemuda itu mendekat. Ketika dua mu-lut itu berternu dalam ciuman yang pe-nuh nafsu, pedang dan tongkat jatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap, keduanya terguling ke atas rum-put!
Mereka bagaikan dua orang yang mabok, mabok oleh nafsu berahi mereka sendiri. Kedua Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 311
orang ini memang cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu berahi. Mereka saling menumpahkan berahi mere-ka lewat kemesraan yang panas.
Tiba-tiba, masing-masing terbelalak dan mele-paskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas masih terengah-engah dan keringat membasahi dahi dan leher, saling tatap seperti orang terkejut.
"Kau.... kau.... Bong Gan....?"
"Kau.... Pek Lan...."
Tadinva mereka memang hanya merasa pernah saling bertemu akan tetapi keduenya sudah saling tidak mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena ketika mereka dahulu menjadi kekasih masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat belas tahun! Kini, Pok Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan yang su-dah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu silatnya. A-kan tetapi, setelah keduanya bermesra-an, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja keduanya terkejut bukan ma-in, terheran, juga marasa girang seka-li!
"Pek Lan, ah kau Pek Lan, kekasihku...."
"Bong Gan, betapa aku rindu kepadamu....!"
Keduanya saling rangkul dan sa-ling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpakea harus pergi dari rumah gedung hartawan Coa karena tertangkap basah ketika mereka berdua melakukan hubungan gelap, berjina!
Kembali mereka tenggelam dalam gelombang nafsu berahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga
keduanya kembali bang-kit duduk.
"Ada apakah, Pek Lan, kekasihku" "Aku.... amat rindu kepadamu...." Bong Gan berbisik, terengah-engah.
"Nanti dulu, aku melihat engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah ia?" tanya Pek Lan, bukan karena cemburu hanya ingin tahu saja.
Bong Gan tersenymn lega. Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan per-cumbuan
mereka, kiranya hanya untuk mengetahui hal itu. "Bukan, sama sekali bukan. Ia bernama Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak seperguruanku."
"Suci-mu" Hemm, kalau begitu ia tentu lihai sekali."
"Sudahlah, kenapa membicarakan orang lain" Engkau mengganggu saja....!" Bong Gan merangkul dan kembali mereka tenggelam ke dalam lautan kemsaraan yang penuh nafsu berahi.
Semalam suntuk, dua orang ini membiarkan diri mareka dipermainkan gelombang berahi.
Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa sagalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas. Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah.
"Sungguh aneh keadaan kita ini, Pek Lan," kata Bong Gan sambil membelai rambut
kekasihnya dalam rangkulan. "Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga Coa, kita saling serang sampai engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang kauceritakan tadi, dan aku menjadi murid Ko-ay Tojin. Kemudian, begitu bertem, kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, kemudian kita bertanding lagi, sebelum saling bermain cinta."
"Engkau memang sudah kucinta sejak dulu, Bong Gan," kata Pek Lan sam-bil mencium dagu pemuda itu. "Dan eng-kau sampai tiba di Lasha ada keperluan apakah?"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 312
"Aku diminta suci-ku untuk membantunya mencari musuh besarnya."
"Hemm, siapakah musuh besarnya?"
"Dia bernama Sie Liong dan berju-luk Pendekar Bongkok."
Pok Lan melepaskan rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut. "Pendekar Bongkok" Dia....?"
Kalau gairah nafsu sudah terpuas-kan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak amat indah menjadi ber-ubah. Bong Gan tidak begitu merasakan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu, tidak seindah tadi. Apalagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya.
"Engkau sudah mengenal dia, Pek Lan?"
"Mengenalnya....?" Pek Lan tersenyum getir. Tentu saja ia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya dengan cara yang paling pahit. "Aku pernah bertemu dengan dia.
Dia.... hemm, lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?"
"Ya, musuh besar akan tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya."
"Ehh" Ceritakan kepadaku, mengapa begitu, Bong Gan," kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meskipun belum ia pakai sebagaimana mestinya.
Bong Gan juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bar-gairah lagi setelah semua nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lasha.
"Suci adalah keponakan Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya...."
"Tapi Pendekar Bongkok itu masih amat muda!"
"Memang selisih usia mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su, yaitu subeng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar Bongkok telah.... eh, dia membunuh ayah kandung suci. Karena itu, suci mendendam dan mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan kelihaian paman-nya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua mengikuti jejak Pendekar Bong-kok sampai ke Lasha."
"Hemm, kalau begitu, kita mempu-nyai kepentingan yang sama. Akupun dimusuhi Pendekar Bongkok dan dia kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau su-ka bergabung dengan kami, Bong Gan, tentu keadaan kita akan lebih kuat. A-palagi, setelah kini saling bertemu, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!"
Song Gan mendekat dan mencium pipi wanita itu. "Engkau tahu perasaanku terhadapmu, Pek Lan, dan engkau tahu tidak ada kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan bekerja sama denganmu dan selalu berada di dekatmu. Akan tetapi, bagaimana dangan suci" Ka-lau ia marah kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi penghalang besar dan menambah musuh yang amat berbahaya bagi kita."
"Kenapa menjadi musuh" Bukankah ia memusuhi Pandekar Bongkok" Ajak sa-ja ia
bergabung dangan kami. Thai-yang Suhu, guruku dalam ilmu sihir itu ten-tu akan suka pula bergabung dangan kalian."
"Maksudmu pendeta yang kulihat bersamamu di rumah makan itu?" Baru seka-rang Bong Gan teringat akan pendeta i-tu. "Jadi dia itu gurumu yang baru?"
"Dia sahabat subo Hek-in Kui-bo dan kini mengajarkan ilmu sihir kepadaku, menjadi guruku pula."
"Dan kalian hendak pergi ke mana-kah" Mengapa sampai pula di Lasha?"
"Kami hendak pergi menghadap Kim Sim Lama, ketua Kim-sim-pai...."
"Ah! Sie Liong Si Pendekar Bong-kok juga ke sana!"
"Akan tetapi dia sebagai lawan Kim-sim-pai, sedangkan kami datang sebagai sababat.
Guruku, Thai-yang Suhu, ada-lah seorang sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk menggabungkan diri dengan Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 313
"Cita-cita bagaimana?" Bong Gan mulai tertarik.
"Menggulingkan Dalai Lama dan menjadi penguasa seluruh Tibet!"
"Wah, pemberontakan" Apa hubungannya itu dengan kita" Aku tidak mau menjadi
pemberontak di negeri asing!"
"Bong Gan, engkau bodoh. Kaukira akupun suka membantu pemberontakan o-rang Tibet"
Kita bukan ikut memberon-tak, melainkan membantu Kim-sim-pai mencapai cita-citanya.
Kalau mereka berhasil, kita tinggal pilih. Keduduk-an tinggi dan kekuasaan di Tibet, atau kita dapat pulang ke timur membawa ke-kayaan yang amat besar. Di sini tempat harta yang amat banyak, emas permata, dan benda-benda aneh yang tak ternilai harganya."
Bong Gan mengerutkan alisnya. "Jadi engkau dan Thai-yang Suhu hendak bersekutu dengan Kim-sim-pai, membantu pemberontakan mereka untuk mencari ke-dudukan tinggi atau harta benda?"
"Tentu saja, untuk apa lagi kalau bukan mencari keuntungan" Apa artinya hidup ini kalau tidak mencari keuntungan dan kesenangan?"
Bong Gan mengangguk-angguk. "Hem, aku tertarik sekali, Pek Lan. Akan tetapi....
bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?"
"Kauajak saja ia bersama kami."
"Uh, engkau tidak tahu bagaimana wataknya! Ia keras hati dan sudah pas-ti ia tidak akan suka kalau mendengar kita membantu Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet. Ia.... ia....
hemm, condong untuk menentang segala yang dianggapnya jahat."
"Hi-hik, kaumaksudkan ia seorang pandekar wanita?"
Bong Gan mengangguk. "Begitulah! Guru kami, Koay Tojin, menentang segala bentuk
kejahatan dan...."
"Dan kau sendiri?"
Bong Gan menyeringai. "Aku lebih suka mencari kesenangan dan keuntungan seperti engkau, Pek Lan."
"Kalau begitu, tinggalkan saja suci-mu yang pura-pura alim itu. Engkau ikut dangan kami bargabung dengan Kim-sim-pai dan persetan dengan gadis itu!"
"Ah, tidak bisa begitu, Pek Lan. Meninggalkan ia begitu saja" Ah, aku.... aku...."
"Hemmm, aku tahu! Engkau jatuh cinta kepada suci-mu yang cantik itu, bukan" Dasar mata keranjang kau!"
"Tidak banyak bedanya denganmu, Pek Lan." Bong Gan membalas.
"Hemm, kalau begitu. Bujuk dan rayu ia agar suka bergabung dengan kami. Kalau ia begitu lihai, kami lebih senang lagi dan Kim Sim Lama tentu akan suka menerima bantuannya."
"Itulah sukarnya, Pek Lan. Terus terang saja, pernah aku menyatakan cintaku kepadanya dan ia.... ia agaknya tidak menolak, akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku dilarang bicara tentang cinta sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan berhasil membalas kematian ayahnya. Kalau saja ia suka menerima cintaku sekarang juga.... kalau saja ia dapat menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah mengajaknya bekerja sama denganmu."
Pek Lan terkekeh genit dan merangkul leher kekasihnya. "Huh, kalau bukan aku yang mendengar ucapanmu itu, apakah orang tidak akan menjadi gila oleh cemburu" Engkau laki-laki mata ke-ranjang! Baiklah, jangan khawatir, gu-ruku Thai-yang Suhu tentu akan dapat membantumu menundukkan suci-mu itu. A-kan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu setelah engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau harus mengajaknya untuk bergabung dengan kami!"
Tentu saja Bong Gan merasa girang bukan main. "Baik, aku berjanji! Dan iapun tentu akan setuju karena bukan-kah dengan bekerja mama, akan lebih mudah untuk menghadapi
Pendekar Bongkok?"
"Dan setiap saat aku menginginkan engkau harus melayaniku dengan taat!"
Bong Gan tertawa. "Tentu saja, dengan segala senang hati!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 314
"Nah, kalau begitu, sekarang aku menginginkan...."
Keduanya tertawa dan kembali mereka menyelam ke dalam lautan kemesraan yang panas dan memabokkan.
*** Mereka memasuki kota Lasha sambil menuntun kuda tunggangan mereka yang nampak lelah sekali. Sie Lan Hong me-mandang ke kanan kiri, mengagumi bangunan-bangunan kuno yang kokoh dan megah di lereng bukit-bukit itu. Sungguh sebuah kota yang aneh dan juga asing baginya. Melihat daerah yang luas itu, perumahan yang berada di lereng-lereng bukit, orang-orang yang berlalu lalang di jalan-jalan lebar, iapun mengerut-kan alisnya dan merasa khawatir.
"Lie-toako, di tempat besar se-perti ini, ke mana kita harus mencari puteriku dan adikku?"
Lie Bouw Tek tersenyum, dan memandang wanita itu dengan sinar mata lem-but dan
menghibur. "Jangan khawatir, Hong-moi. Yang kita cari adalah dua o-rang Han, maka tentu tidak akan begitu sukar. Tidak banyak orang Han di sini, maka kalau mereka berada di sini, ten-tu ada yang melihat mereka."
"Sekarang, kita ke mana toako?"
"Kita mencari tempat penginapan dulu, menyewa dua buah kamar, dan mem-biarkan kuda kita mendapat perawatan, kemudian kita membersihkan diri, lalu makan. Setelah itu, baru kita pergi menghadap atau berusaha agar dapat di-terima menghadap Dalai Lama."
"Menghadap Dalai Lama" Akan teta-pi aku pernah mendengar bahwa kedudukan Dalai Lama amat tinggi, hampir se-perti kaisar kita, dan tidak akan mu-dah menghadap beliau."
"Benar, akan tetapi aku yakin a-kan dapat diterimanya, Hong-moi. Aku mengenal beliau pribadi, karena aku pernah membantu beliau ketika ada segerombolan penjahat hendak membunuh be-liau."
"Akan tetapi, adikku Sie Liong mungkin pergi mencari Tibet Ngo-houw, kenapa engkau hendak mengajak aku menghadap Dalai Lama?"
"Begini, Hong-moi. Aku sendiri menerima tugas dari Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw memu-suhi para tosu, bahkan memusuhi pula Kun-lun-pai. Dan di sepanjang perjalanan kita mendengar akan adanya perkum-pulan Kim-sim-pai yang kabarnya hendak memberontak. Maka, kupikir sebaiknya kalau aku langsung saja bertanya kepa-da Dalai Lama tentang sikap Tibet Ngo-houw itu. Aku yakin di sana aku akan bisa mendapatkan keterangan yang lebih jelas. Dan tentang mencari adikmu dan puterimu, kukira orang-orang Dalai La-ma akan lebih tahu, atau setidaknya a-kan lebih mudah kedua orang itu ditemukan kalau Dalai Lama membantu, menyu-ruh orang-orangnya untuk menyelidiki dan mencari."
Sie Lan Hang mengangguk-angguk. Memang ia tahu bahwa Lie Bouw Tek ada-lah seorang pria yang hebat, yang ga-gah perkasa, cerdik dan juga berpenga-laman. Ia merasa lemah dan bodoh sekali berada di samping pria ini, dan ia merasa aman dan terlindung. Alangkah bedanya ketika ia masih menjadi isteri Yauw Sun Kok. Ia tak pernah merasa tenteram, tak pernah merasa aman bahkan selalu merasa gelisah, takut dan juga sakit hati. Lie Bouw Tek yang bukan apa-apanya, tidak ada hubungan apapun antara mereka telah bersikap demikian baiknya! Begitukah sikap setiap orang pendekar, ataukah ada sesuatu yang istimewa dalam hubungan di antara mereka" Mengingat akan hal ini, seringkali Lan Hong tersipu malu.
Tidak, bantahnya kepada diri sendiri. Ia hanya seorang janda yang mempunyai seorang puteri lagi. Ia bukan seorang gadis muda! Se-dangkan Lie Bouw Tek adalah seorang pendekar gagah perkasa dan budiman, seorang tokoh Kun-lun-pai yang terkenal! Betapa mungkin.... ah, ia telah mengharapkan terlalu jauh, sungguh ti-dak tahu malu!
Lan Hong menurut saja ketika Lie Bouw Tek mengajaknya mencari rumah pe-nginapan.
Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan dan menyerahkan dua ekor kuda
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 315
mereka kepada pelayan untuk diberi makan. Setelah mandi, de-ngan tubuh terasa segar dan pakaian bersih menggantikan pakaian mereka yang penuh debu, keduanya lalu pergi ke rumah makan. Mereka tidak terlalu menarik perhatian, seperti sepasang suami isteri saja. Lie Bouw Tek sendiri walaupun dia seorang pendekar besar, namun dia tidak menonjolkan diri dan pedang pusakanyapun tersembunyi di balik baju luarnya. Atas nasihat Lie Bo-uw Tek pula, Sie Lan Hong juga menyem-bunyikan pedangnya sehingga tidak ter-lalu menyolok. Pedang Lan Hong memang hanya pedang pendek, maka setelah diselipkan di ikat pinggang, ujung sarung pedang masih tertutup baju, dan gagangnya juga tidak nampak walaupun ada ka-lanya ujung itu menonjol keluar.
Setelah makan, merekapun pada pagi hari itu juga menuju ke istana Dalai Lama di lereng bukit. Suasana di bukit itu sungguh nyaman. Terdapat beberapa buah taman bunga yang indah, dan suasananya aman dan tenteram. Para pendeta Lama yang kadang-karang
bersimpang jalan dengan mereka, bersikap hormat dan ramah.
Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang memasuki daerah istana itu, beberapa orang pendeta Lama meng-hadang mereka. Biarpun sikap mereka hormat, namun mereka dengan tegas me-ngatakan bahwa orang luar tidak diper-kenankan memasuki daerah itu tanpa i-jin.
"Harap kalian memaafkan kami," kata kepala jaga dengan sikap hormat. "Kalau hendak berjalan-jalan dan menikmati keadaan, harap lakukan itu di lu-ar daerah istana. Tak seorangpun, tan-pa ijin, diperbolehkan memasuki daerah dalam pintu gerbang."
Lie Bouw Tek tersenyum dan menjura dengan hormat, diikuti pula oleh Lan Hong. "Harap saudara sekalian suka memaafkan saya. Memang saya sengaja datang ke Lasha untuk
menghadap Dalai Lama. Harap saudara sudi melaporkan ke dalam dan mengatakan bahwa kami ingin menghadap Dalai Lama karena ada suatu keperluan yang amat penting."
"Omitohud....!" Kepala jaga itu berseru. "Apakah sicu (tuan yang ga-gah) mengira akan demikian mudah saja bertemu dengan beliau" Tanpa panggilan bagaimana sicu dapat
diperkenankan menghadap" Pinceng (saya) sungguh ti-dak berani lancang mengganggu beliau di pagi hari ini, tanpa alasan yang cukup kuat."
"Sobat, harap sampaikan saja ke dalam bahwa saya adalah utusan dari Kun-lun-pai yang ingin menyampaikan sesuatu yang teramat penting untuk Dalai Lama," kata pula Lie Bouw Tek dengan sikap dan suaranya yang tenang berwibawa.
Mendengar disebutnya Kun-lun-pai, sikap para pendeta penjaga itu berubah dan kepala jaga memandang dengan sikap lebih hormat. "Omitohud, kiranya sicu utusan dari Kun-lun-pai"
Harap sicu menyampaikan surat dari ketua Kun-lun-pai lebih dahulu kepada Dalai Lama me-lalui kami. Setelah surat itu kami sampaikan, tentu sicu diperkenankan ma-suk menghadap."
Akan tetapi Lie Bouw Tek mengge-leng kepalanya. "Sobat, sampaikan saja kepada Dalai Lama bahwa saya, Lie Bouw Tek murid Kun-lun-pai, mohon menghadap. Kalau mendengar nama saya, ten-tu beliau akan sudi menerimaku."
Pada saat itu, seorang pendeta Lama yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berjalan tenang dari sebelah da-lam. Begitu melihat Lie Bouw Tek, dia-pun cepat menghampiri dan menjura dengan sikap hormat.
"Omitohud.... kiranya Lie Taihiap yang berada di sini! Selamat da-tang, taihiap. Ada keperluan apakah gerangan yang membawa taihiap datang berkunjung ke Lasha?"
Lie Bouw Tek tidak mengenal pendeta Lama itu, akan tetapi dia tahu bah-wa pendeta ini tentu seorang di antara mereka yang dulu tahu akan bantuan yang dia berikan kepada Dalai Lama.
Diapun cepat memberi hormat dan berka-ta dengan lembut.
"Selamat bertemu, losuhu. Saya datang untuk mohon menghadap Dalai La-ma karena ada suatu hal yang amat pen-ting harus saya sampaikan kepada be-liau. Tolonglah, harap mintakan ijin kepada beliau agar saya diperkenankan menghadap sekarang juga."
"Baik, taihiap. Tunggulah seben-tar di sini!" kata pendeta itu yang bergegas masuk ke arah Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 316
bangunan istana yang megah itu. Kini para pendeta jaga bersikap hormat dan ramah, bahkan mempersilakan Bouw Tek dan Lan Hong untuk duduk menanti di dalam gardu penjagaan.
Tak lama kemudian, muncullah enam orang pendeta Lama yang merupakan sebuah pasukan kecil berbaris menghampiri tempat itu. Mereka ditemani oleh pendeta Lama yang tadi menegur Bouw Tek, yang kini tersenyum ramah.
"Silakan, taihiap. Dalai Lama yang agung mengundang taihiap."
"Akan tetapi, saya datang bersama Sie-toanio ini, harap agar iapun diperkenankan menemani saya untuk menghadap Dalai Lama."
Pendeta itu mengerutkan alisnya. "Tidak biasanya Dalai Lama mau meneri-ma tamu wanita.
Akan tetapi karena toanio ini datang bersamamu, maka silakan masuk. Terserah kepada Dalai Lama sen-diri nanti setelah ji-wi (kalian ber-dua) tiba di luar ruangan tamu, apakah toanio ini diperkenankan ikut masuk ataukah dipersilakan menunggu di luar ruangan."
Lie Bouw Tek mengangguk dan bersama Lan Hong, dia lalu mengikuti enam orang pendeta itu yang mengawal dan menjadi penunjuk jalan. Setelah mereka memasuki istana, tidak seperti Lie Bouw Tek yang pernah satu kali masuk ke istana ini, Lan Hong memandang ke kanan kiri dengan bengong. Ia terpesona menyaksikan segala keindahan yang terdapat di istana itu. Ukir-ukiran yang indah sekali, marmar, emas, perak, sutera beraneka warna! Ia merasa seperti memasuki sebuah istana dalam mimpi! Patung-patung logam, marmar, perak atau emas yang ukirannya amat indahnya, lukisan-lukisan. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah Lan Hong menyaksikan keindahan seperti itu.


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika mereka tiba di luar sebuah pintu besar yang terjaga, enam orang pendeta pengawal itu mempersilakan me-reka menanti sebentar. Seorang di antara mereka memasuki ruangan di balik pintu besar itu, dari mana keluar keharuman cendana yang nyaman. Tak lama kemudian, pendeta itu keluar lagi de-ngan wajah cerah.
"Taihiap dan toanio dipersila-kan masuk untuk menghadap Yang Agung Dalai Lama!"
Dengan wajah gembira Lie Bouw Tek lalu mengajak Sie Lan Hong menasuki ruangan itu.
Akan tetapi Sie Lan Hong sendiri agak gemetar ketika melangkah masuk. Ruangan itu luas dan nampak su-nyi karena kosong. Di sudut paling be-lakang, nampak ada seorang pria duduk di atas sebuah kursi yang besar dan terukir indah, mengenakan jubah dan kepalanya tertutup topi pendeta.
"Selamat datang, pendekar perkasa Lie Bouw Tek dan toanio! Silakan duduk!"
Lie Bouw Tek cepat maju memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam. Sie Lan Hong juga memberi hor-mat, akan tetapi ia merasa heran bukan main. Tadinya ia membayangKan bahwa Dalai Lama yang mengepalai para
pendeta Lama di Tibet, tentu seorang kakek yang tua renta keriputan dan buruk. A-kan tetapi ternyata sama sekali tidak demikian! Pendeta yang duduk menyendi-ri itu usianya hanya beberapa tahun saja lebih tua dari Lie Bouw Tek, dan wajahnya tampak bersih! Wajah yang cerah dengan sepasang mata yang terang dan jernih, senyum yang terbuka dan seluruh gerak geriknya membayangkan kesa-baran, keagungan dan kebesaran hati.
Setelah Bouw Tek dan Lan Hong duduk di atas kursi yang agaknya sudah dise-diakan untuk mereka, menghadap ke arah Dalai Lama, nampaklah oleh mereka bah-wa di belakang Dalai Lama terdapat se-helai kain sutera putih dan di balik kain sutera itu berdiri beberapa orang pendeta Lama yang tak bergerak bagai-kan arca-arca mati saja. Bouw Tok mak-lum bahwa sedikitnya sepuluh orang pendeta Lama berdiri di sana, dan mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, yang merupakan pasukan pengawal yang melindungi keselamatan Dalai Lama. Dalai Lama sendirl memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ditambah penjagaan pasukan pengawal pribadi ini, dan adanya ratusan o-rang pendeta Lama di kompleks istana itu, maka tentu saja tempat itu amatlah kuatnya. Apalagi di benteng yang setiap waktu siap mentaati perintah Dalai Lama.
"Nah, menurut laporan tadi engkau datang sebagai utusan Kun-lun-pai, ma-ka katakanlah Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 317
semua keperluanmu ber-kunjung ke sini, taihiap."
Dari tempat duduknya, Bouw Tek memberi hormat kepada orang pertama yang paling
berkuasa di Tibet itu. "Mohon dimaafkan kelancangan saya. Karena para pimpinan Kun-lun-pai yang mengutus saya itu hanya menyampaikan pesan melalui beberapa orang murid yang menyusul saya, maka saya tidak membawa surat perintah tertulis. Sebetulnya, tugas sa-ya dari Kun-lun-pai adalah untuk menyelidiki Tibet Ngo-houw, akan tetapi ka-rena saya merasa yakin akan dapat paduka terima dengan baik, maka saya lang-sung saja menghadap paduka untuk mohon pertimbangan dan kebijaksanaan."
Dalai Lama masih tersenyum walaupun pandang matanya kehilangan cahaya kelembutannya sebentar mendengar dise-butnya nama Tibet Ngo-houw tadi.
"Tibet Ngo-houw" Taihiap, ada urusan apakah dengan Tibet Ngo-houw?"
Jelas bagi Bouw Tek bahwa pertanyaan itu memancing. Dia merasa heran. Sejak dahulu semua orang juga tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama yang terkenal sebagai pembantu-pembantu Dalai Lama yang dipercaya. Dan mungkin saja mereka kinipun berada di balik sutera putih di bela-kang Dalai Lama itu. Mengapa Dalai La-ma masih bertanya lagi"
"Ampunkan saya, bukan maksud saya untuk mengadu, hanya saya diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw datang ke Kun-lun-san, bukan hanya mencari dan menyerang dengan maksud membunuhi para pertapa dan tosu yang
berasal dari Himalaya dan kini bertapa di sana, akan tetapi juga bahkan mereka berlima itu memusuhi Kun-lun-pai. Karena mereka itu mengaku diutus oleh paduka, maka saya kira lebih baik saya langsung saja bertanya kepada paduka mengenai sepak terjang Tibet Ngo-houw itu."
Dalai Lama mengangguk-angguk, agaknya sama sekali tidak heran atau terkejut mendengar ucapan Bouw Tek ini, bahkan terdengar dia berkata lirih, seperti kepada diri sendiri. -"Hemm, sampai begitu jauh mereka berusaha memburukkan nama kami?" Dalai Lama bertepuk tangan dua kali dan mun-cullah seorang pendeta Lama dari balik kain sutera putih. Dia seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar, bersikap agung dan usianya sudah enam puluh tahun lebih, mukanya persegi seperti muka singa, membayangkan kekerasan dan kekokohan, akan tetapi sinar matanya lem-but. Dia menjura di depan Dalai Lama, menanti perintah.
"Lie-taihiap, engkau tentu masih ingat kepada Kong Ka Lama yang bijaksana dan sakti ini.
Nah, dialah yang a-kan menceritakan semuanya kepadamu. Maafkan, tiba saatnya bagi saya untuk melakukan meditasi, maka selanjutnya, rundingkanlah segalanya dengan Kong Ka Lama." Setelah berkata demikian, Dalai Lama bangkit berdiri. Bouw Tek cepat bangkit berdiri diikuti oleh Lan Hong dan setelah sedikit mengangguk kepada mereka Dalai Lama lalu melangkah masuk dari pintu di belakang sutera putih, meninggalkan Bouw Tek dan Lan Hong berdua dengan pendeta Lama yang bernama Kong Ka Lama itu.
Setelah Dalai Lama dan para pendeta yang mengawalnya memasuki pintu yang segera
tertutup kembali, barulah Kong Ka Lama menghadapi Bouw Tek dan Lan Hong, membuat gerakan dengan ta-ngan menunjuk pintu samping dan berkata, "Taihiap dan toanio, mari kita bicara di ruangan sebelah."
Mereka bertiga keluar dari ruang-an itu, melalui pintu samping mereka memasuki sebuah ruangan lain yang ti-dak begitu besar. Ruangan inipun ko-song dan hanya ada sebuah meja dan be-berapa buah kursi. Kong Ka Lama mempersilakan dua orang tamu itu duduk dan dia sendiripun duduk menghadapi mereka.
Tentu saja Lie Bouw Tek masih i-ngat kepada pendeta Lama ini. Kong Ka Lama atau artinya Lama Salju Putih adalah seorang di antara jagoan Tibet yang mengawal Dalai Lama. Bahkan dulu, ketika Dalai Lama dalam perjalanan ke-luar Lasha dihadang para pemberontak yang menyerangnya, Kong Ka Lama yang mengepalai para pengawal melakukan perlawanan dan melindungi Dalai Lama yang berada di dalam tandu. Pada waktu itu-lah kebetulan dia Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 318
melakukan perjalanan dan melihat peristiwa itu, lalu dia turun tangan membantu para pendeta Lama, menghalau para penghadang sehingga akhirnya Dalai Lama dapat diselamatkan. Kong Ka Lama adalah seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi dan masih saudara seperguruan dengan lima orang Tibet Ngo-houw, maka dapat dibayangkan keli-haiannya.
"Taihiap, pinceng (saya) meme-nuhi perintah Dalai Lama untuk memberi keterangan dan penjelasan kepada tai-hiap tentang sepak terjang Tibet Ngo-houw terhadap para tosu yang berasal dari Himalaya dan yang kini mengungsi ke Kun-lun-san itu. Mungkin taihiap sudah mendengar betapa yang mulia Da-lai Lama dahulunya terlahir di sebuah dusun dan melihat bahwa beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang tua, maka para pandeta Lama yang ketika itu di-pimpin oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama mengambil calon Dalai La-ma baru itu secara paksa. Hal ini diketahui oleh seorang pertapa Himalaya dan terjadilah bentrokan ketika pertapa itu membela orang-orang dusun yang hendak mempertahankan anak itu sehing-ga akibatnya, tiga orang pendeta Lama tewas. Akan tetapi anak itu dapat dibawa ke sini. Kemudian, dengan bimbingan Kim Sim Lama, anak itu diangkat menjadi Dalai Lama."
"Akan tetapi, bagaimana dengan Tibet Ngo-houw yang mengamuk di Kun-lun-san?"
"Omitohud....! Sungguh hal itu sama sekali tidak kami ketahui sebelumnya, taihiap. Agaknya, Yang Mulia Dalai Lama terlalu memberi hati kepada mereka dan agaknya sudah tiba saatnya untuk menghentikan nafsu mereka yang merajalela. Hendaknya taihiap ketahui banwa Tibet Ngo-houw merupakan tokoh-tokoh Tibet yang juga menjadi anak buah Kim Sim Lama. Jelas bahwa perbuatan Tibet Ngo-houw itu sengaja mereka lakukan, bukan lagi uutuk membalas dendam sekarang, melainkan terutama sekali untuk memburukkan nama baik Dalai Lama, atau untuk mengadu domba agar para tosu, dan juga Kun-lun-pai, memusuhi Dalai Lama."
"Ah, betapa liciknya!" Bouw Tek berseru. "Sekarang baru saya mengerti, lo-suhu. Untung bahwa saya langsung datang menghadap Dalai Lama sehingga memperolen keterangan yang teramat pen-ting ini."
"Omitohud, sukurlah kalau taihiap sudah dapat mengerti. Harap taihiap sudi menyampaikan maaf kami kepada Kun-lun-pai dan para tosu di pegunungan Kun-lun-san dan suka
memberitahukan keadaan yang sesungguhnya. Bahwa Dalai Lama sama sekali tidak
memusuhi para tosu, dan bahwa semua itu, sejak dahu-lu, adalah tindakan yang diambil oleh Kim Sim Lama."
"Akan tetapi, apakah perbuatan i-tu harus didiamkan saja" Jelas bahwa Kim Sim Lama melakukan perbuatan menyeleweng dan jahat terhadap nama baik Dalai Lama...."
"Lie-taihiap, hal itu merupakan urusan dalam kami sendiri. Dalai Lama tentu akan mengambil kebijaksanaan dan apapun yang diambilnya, kebijaksanaan itu tidak ada hubungannya dengan pihak luar. Oleh karena itu, kami harap agar taihiap juga tidak mencampuri. Bahkan pinceng yakin bahwa yang mulia Dalai Lama sendirilah yang akan bertindak. Nah, kiranya cukup jelas, taihiap. Sekarang kami persilakan ji-wi kembali ke luar istana, dan kalau mungkin secepatnya meninggalkan Lasha agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."
Pendeta Lama itu bangkit berdiri. Bouw Tek dan Lan Hong bangkit berdiri. "Maaf, lo-suhu.
Ada sedikit lagi pertanyaan dari kami. Harap saja lo-suhu suka membantu kami."
"Hemm, urusan apakah itu, taihiap?"
"Sie-toanio ini datang ke Lasha untuk mencari dua orang, lo-suhu. Yang pertama adalah puterinya, seorang ga-dis bernama Yauw Bi Sian yang berusia kurang lebih delapan belas tahun, dan yang ke dua adalah adiknya yang berna-ma Sie Liong dan terKenal dengan julukan Pendekar Bongkok. Kami perkirakan merekapun datang ke Lasha. Kalau ba-rangkali lo-sunu dapat memberi keterangan tentang mereka...."
Pendeta Lama itu mengelus jenggotnya yang dibiarkan memanjang, alisnya berkerut dan dia mengangguk-angguk sambil memandang kepada Sie Lan Hong.
"Hemm, jadi, toanio ini kakak dari Pendekar Bongkok yang terkenal itu" Toanio, tentang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 319
puteri toanio ini, ka-mi tidak pernah mendengarnya. Akan tetapi kalau Pendekar Bongkok....
hemm, namanya sudah sampai pula ke dalam istana ini. Memang dia pernah berada di Lasha, kabarnya bersama seorang gadis peranakan Tibet Han. Dan kebetulan pu-la menurut kabar yang kami dengar, dia pernah bentrok dengan seorang anggauta Kim-sim-pai."
"Aih, terima kasih, lo-suhu. Dapatkah lo-suhu memberitahu, di mana dia sekarang?" tanya Lan Hong yang se-jak tadi tidak pernah ikut bicara.
"Menurut penyelidikan para anak buah kami yang diam-diam kami taruh di mana-mana untuk menjaga keamanan Lasha, ada yang melihat PendeKar Bongkok mendatangi sarang Kim-sim-pai. Akan tetapi karena anak bush kami itu dipesan dengan keras agar jangan sampai terlibat dalam urusan Kim-sim-pai, dan karena tidak ada sangkut-pautnya dengan kami, maka kamipun tidak tahu apa yang terjadi di sana. Nah, kiranya cukup keterangan kami, taihiap dan toanio."
Lie Bouw Tek tidak berani mengganggu lagi dan diapun menghaturkan terima kasih, lalu meninggalkan istana itu bersama Lan Hong. Wanita itu menahan-nahan perasaannya, dan baru setelah mereka keluar dari istana itu, Lan Hong berkata dengan suara mengandung kekhawatiran.
"Aih, toako. Apa yang hurus kulakukan sekarang" Aku ingin cepat menyu-sul dan mencari Sie Liong. Aku harus lebih dahulu bertemu dia sebelum Bi Sian mendahuluiku. Aih, ngeri aku memba-yangkan mereka saling bertemu sebelum aku menemui adikku...."
"Tenanglah, Hong-moi. Biar aku akan melakukan penyelidikan ke daerah Telaga Yam-so untuk mencari Pendekar Bongkok dan aku akan mengajaknya ke sini menemuimu."
"Tidak! Aku harus ikut, toako. Aku harus cepat menemukannya. Sekarang juga."
"Akan tetap hal itu berbahaya sekali, Hong-moi. Tentu engkau tadi sudah mendengar keterangan Kong Ka Lama. Da-erah telaga Yam-so itu menjadi sarang Kim-sim-pai dan mereka adalah para pendeta Lama yang memberontak. Banyak terdapat orang sakti di sana, Hong-moi. Lebih baik engkau menanti saja di rumah penginapan dan biarlah aku yang akan mencari adikmu di sana."
"Toako, tidak boleh begitu. Yang mempunyai kepentingan adalah aku, bagaimana mungkin engkau yang susah payah menempuh bahaya dan aku yang enak-enak menanti sambil tiduran di kamar" Tidak, aku harus ikut! Aku tidak takut menghadapi bahaya dan aku juga dapat menjaga diriku sendiri, toako!"
"Akan tetapi, sungguh aku amat mengkhawatirkan keselamatan dirimu, Hong-moi.
Bagaimana kalau sampai datang ancaman bahaya dan aku sampai tidak mampu melindungi dirimu" Aih, Hong-moi, tak dapat aku membayangkan hal itu terjadi...." Suara pendekar perkasa itu tiba-tipa agak gemetar. ".... tidak, aku tidak dapat membiarkan engkau terancam bahaya. Aku.... aku akan merasa menyesal selama hidupku!"
Melihat pendekar itu bicara seperti itu, seperti tanpa disadarinya bahwa dia membuka rahasia hatinya, tiba-tiba wajah Lan Hong berubah merah dan iapun tersipu. Kalau saja tidak sedang meng-hadapi keadaan yang menegangkan, tentu ia akan semakin tersipu malu, walaupun ada rasa bahagia dan bangga menyelinap di dalam hatinya.
"Toako, banyak terima kasih atas perhatianmu kepada diriku, akan tetapi sebaliknya, toako.
Kalau engkau pergi sendiri meninggalkan aku untuk mencari adikku, kemudian terjadi sesuatu de-ngan dirimu, maka akupun akan merasa menyesal selama hidupku, bahkan tak mungkin lagi aku menghadapi kehidupan yang kejam ini seorang diri saja...."
Keduanya menunduk dan dalam saat seperti itu, biarpun mereka tidak secara langsung mengucapkan pengakuan, namun keduanya merasa benar betapa keduanya saling
membutuhkan, saling manyayang, saling mencinta dan merasa ngeri ka-lau-kalau saling kehilangan!
"Baiklah, Hong-moi. Kita pergi bersama, akan tetapi kita harus berha-ti-hati dan membuat Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 320
persiapan. Aku a-kan melakukan penyelidikan yang lebih seksama dulu. Besok baru kita berangkat ke Telaga Yam-so."
"Terima kasih, toako. Selama hi-dupku, aku tidak akan pernah dapat me-lupakan semua budi kebaikanmu ini," kata Lan Hong lirih dengan suara mengan-dung isak haru.
*** Telaga Yam-so merupakan sebuah telaga yang besar dan luas di sebelah selatan. Orang Tibet menyebutnya dalam Bahasa Tibet sebagai Yamzho Yumco (Te-laga Yamso). Letaknya di sebelah sela-tan sungai besar Brahmaputra yang amat panjang. Sungai itu mengalir di sepan-jang negara Tibet sampai membelok ke selatan dan berakhir di selatan negara Bangladesh sebelah timur India. Daerah inilah, dari Sungai Brahmaputra sampai ke Telaga Yamso, menjadi daerah yang dikuasai Kim-sim-pai!
Daerah ini amat sunyi, penuh de-ngan hutan belantara yang liar, yang sambung menyambung sampai ke selatan, sampai ke Pegunungan Himalaya. Dusun-dusun hanya dihuni orang-orang pribumi Tibet, dan ada pula peranakan Tibet Bhutan dan beberapa orang peranakan India.
Namun mereka adalah orang-orang gunung yang sederhana, dan agaknya Kim-sim-pai tidak mengusik mereka yang hi-dup tenang dan damai karena setiap harinya mereka hanya
mengurus mencari makan dengan jalan berburu, beternak kecil-kecilan, dan ada pula yang menjadi penangkap ikan di sepanjang Sungai Brahmaputra atau Telaga Yamso.
Akan tetapi, akhir-akhir ini ber-munculan banyak orang Nepal di daerah itu dan mulailah terdapat gangguan-gangguan yang mengusik kehidupan yang tadinya aman damai dari para penghuni dusun di daerah itu. Orang-orang Nepal ini adalah anak buah dari pangeran Ne-pal pelarian yang kini telah bersekutu dengan Kim-sim-pai. Pangeran itu, Janghar Singh, telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan dia berjanji untuk membantu gerakan para pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama itu, se-dangkan pihak Kim-sim-pai juga berjan-ji bahwa kelak, kalau mereka telah me-nguasai Tibet, mereka akan membantu Pangeran Janghar Singh yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Nepal.
Gangguan para orang Nepal itu kadang amat menggelisahkan penduduk. Ka-lau mereka itu kadang hanya minta de-ngan paksa beberapa ekor hewan ternak, hal itu masih dapat diberikan dengan hati sabar oleh para penghuni dusun. Akan tetapi ada kalanya, orang-orang Nepal itu mengganggu wanita! Karena i-tu, maka banyaklah wanita muda yang cantik atau bersih, diungsikan keluarga mereka ke tempat yang jauh dari da-erah itu, terutama mereka yang tinggal di lereng Pegunungan Himalaya yang menjadi perbatasan antara Tibet dengan Nepal.
Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang
menunggang kuda tiba di lereng bukit dekat Telaga Yam-so.
"Sute, berhenti dulu!" kata Bi Sian menahan kendali kudanya. Bong Gan juga menahan kudanya dan menoleh lalu menghampiri suci-nya.
"Ada apakah, suci?" tanyanya, sambil memandang ke sekeliling dengan khawatir.
"Lihat, sute, betapa indahnya pe-mandangan di sini. Lihat telaga di ba-wah itu, airnya seperti permadani biru dikelilingi bukit menghijau. Indah se-kali!"
Bong Gan menarik napas lega. Dia sudah mengatur rencana bersama Pek Lan dan menurut rencana itulah pada pagi ini ia dan Bi Sian tiba di lareng bukit itu. Tadinya, ketika Bi Sian minta berhenti, dia khawatir kalau-kalau suci-nya itu mencurigai sesuatu. Kiranya gadis itu hanya mengagumi alam yang me-mang amat indah itu.
"Memang indah sekali tempat ini, suci. Hawanya nyaman dan sejuk sekali. Aahh, alangkah senangnya kalau kita dapat tinggal beberapa lamanya di tempat seindah ini!"
Bi Sian menoleh dan memandang pemuda itu yang mengembangkan kedua le-ngannya sambil menghirup udara yang a-mat menyegarkan itu. Ia tersenyum.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 321
"Ih, sute. Lupakah engkau bahwa kita datang ke tempat ini bukan untuk pesiar melainkan untuk mencari musuh besarku?"
"Wah, memang kadang-kadang aku lupa, suci. Perjalanan ini demikian me-nyenangkan bagiku. Siapa tahu, kita dapat cepat menemukan musuhmu dan membereskan perhitungan, agar kita mempu-nyai banyak waktu untuk menikmati tem-pat indah ini."
Tiba-tiba sepasang mata Bi Sian terbelalak. Bukan hanya matanya yang menangkap
berkelebatnya banyak bayang-an orang, akan tetapi juga pendengaran telinganya menangkap gerakan banyak o-rang di sekitar tempat itu.
"Ada orang....!" bisiknya.
"Mereka mengepung kita!" Bong Gan juga berbisik dan pemuda ini kelihatan terkejut.
Padahal, di dalam hatinya dia bersukur karena dia tahu bahwa ini merupakan siasat yang dijalankan oleh Pek Lan. Maka, diapun hanya berpura-pura ketika kelihatan terkejut, tidak seperti Bi Sian yang merasa benar-benar kaget karena melihat bahwa mereka te-lah dikepung oleh sedikitnya tiga puluh orang. Bukan orang Han, bukan pula o-rang Tibet, melainkan orang-orang yang aneh, rata-rata berkulit kehitaman dan gelap, bentuk tubuh mereka tinggi dan sebagian besar dari mereka menggunakan penutup kepala berupa sorban putih yang tebal.
"Mereka orang-orang asing...." kata pula Bong Gan. Padahal dia sudah mendengar dari Pek Lan yang mengatur siasat itu bahwa yang akan mengepung mereka adalah orang-orang Nepal.
Melihat banyak orang mengepung dan maju mendekat, dua ekor kuda yang mereka tunggangi menjadi panik. Bi Sian lalu melompat turun dari atas punggung kudanya dan berkata kepada Bong Gan, "Sute, turun saja dari atas kuda, agar kita dapat membela diri lebih leluasa!"
Keduanya sudah melompat turun dari atas punggung kuda dan dengan sikap tenang namun penuh kesiapsiagaan, ka-kak adik seperguruan ini berdiri de-ngan saling membelakangi.
"Sute, biarkan aku yang bicara dengan mereka," bisik Bi Sian dan diam-diam Bong Gan tersenyum. Memang sebaiknya begitu agar tidak akan terdengar suaranya yang sumbang.
Kini, tigapuluh orang lebih perajurit Nepal itu sudah datang dekat dan seorang di antara mereka, yang melihat pakaiannya tentu merupakan komandannya berdiri di depan Bi Sian.
Dia seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, matanya cekung ke dalam dan hidungnya yang panjang itu a-gak bengkok ke kiri sehingga mulutnya kelihatan seperti mengejek selalu.
"Hei, kalian dengarlah baik-baik!" Bi Sian berseru dengan suara lan-tang. "Kami dua orang pelancong dari timur, tidak ingin bermusuhan dengan penduduk pribumi. Kenapa kalian menghadang dan mengepung kami yang tidak bersalah?"
Orang tinggi kurus itu memandang tajam, lalu menjawab. Dia dapat bicara dalam Bahasa Han, walaupun logatnya a-neh dan lucu. "Kami biasa menghormati tamu yang datang
diundang. Akan tetapi kalian berdua tidak diundang, telah melanggar wilayah kami. Sudah sepatutnya kalau kami membunuh kalian, akan tetapi mengingat kalian dua orang muda, dan seorang di antaranya bahkan wanita, kami tidak akan bersikap keras. Orang-orang muda, menyerahlah ka-lian dengan baik, agar kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami!"
Bi Sian menatap orang itu. Sikap mereka cukup gagah, pikirnya, tidak seperti gerombolan perampok atau penja-hat yang kejam. Maka, iapun berkata lantang. "Maafkan kalau tanpa disenga-ja kami melanggar wilayah kalian. Akan tetapi kami tidak bersalah, harap biarkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak suka untuk ditawan."
Pemimpin tinggi kurus itu mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung panjang, dan dia berkata dengan tegas, "Di wilayah ini, kami yang berkuasa! Mau atau tidak mau, kalian harus menyerah untuk menjadi tawanan kami. Harap kalian menyerah dengan da-mai!"
"Kalau kami tidak mau menyerah?" tanya Bi Sian yang sudah mulai marah dan penasaran.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 322
"Terpaksa kami menggunakan kekerasan untuk menangkap kalian!"
"Singg....!" Nampak sinar putih berkilauan ketika ia mencabut pedang Pek-lian-kiam (Pedang Teratai Putih). "Bagus! Andaikata aku mau menyerahpun, pedang ini yang tidak
membolehkannya. Karena tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak mau menyerah dan kalau kalian hendak memaksaku dan menggunakan kekerasan, jangan salahkan aku kalau kalian menjadi korban pedangku!"
Bong Gan juga sudah menyambar se-batang dahan pohon di atasnya, membuangi ranting dan daunnya dan kini dia sudah memegang sebatang tongkat.
"Kalau kalian memaksa, kami akan melawan!" Diapun membentak dan sambil berdiri saling membelakangi dengan su-cinya, dia melintangkan tongkatnya dan siap melakukan
perlawanan. "Kami tidak akan membunuh kalian, akan tetapi terpaksa harus menangkap kalian!" bentak pemimpin rombongan itu dan diapun mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Nepal. Tiga puluh orang lebih itu, dengan senjata tombak atau golok dan perisai, kini mengepung ketat dan kepungan itu makin mendesak.
"Sute, sedapat mungkin robohkan mereka akan tetapi jangan bunuh!" kata Bi Sian. Dara itu menganggap mereka i-tu bukan orang jahat, hanya akan me-nangkap dan tidak membunuh, oleh kare-na itu iapun tidak ingin sutenya mela-kukan pembunuhan sehingga menanam per-musuhan yang semakin dalam.
"Baik, suci," kata Bong Gan.
Pada saat kepungan itu sudah ma-kin dekat dan dua orang murid Koay To-jin itu siap bergerak menyerang penge-royok terdekat, tiba-tiba terdengar seruan nyaring suara seorang wanita.
"Tahan....! Jangan bertempur!"
Para pengepung itu menahan senja-ta mereka dan mundur. Bi Sian dan Bong Gan menoleh ke arah suara wanita itu dan mereka melihat seorang wanita yang berusia dua puluh empat tahun lebih, cantik manis dengan muka lonjong dan kulit putih mulus berambut keemasan, muncul bersama seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berkepala gundul, berjubah pendeta dengan gambar Teratai Putih di dadanya.
Kakek itu masih nampak muda dan tampan, dengan tubuh tinggi besar. Begitu dua orang ini mendekat, semerbak bau keharuman bunga mawar.
Tentu saja Bong Gan mengenal wanita itu, wanita yang beberapa hari yang lalu, semalam suntuk berada dalam pelukannya. Wanita itu adalah Pek Lan dan kakek yang nampak muda itu adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw. Akan tetapi Bi Sian tidak mengenalnya.
Melihat para pengepung itu mundur, Bi Sian mengerti bahwa ia berhadapan dengan pemimpin gerombolan orang asing yang menghadangnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dua orang itu telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan kini menjalankan siasat untuk menjebaknya! Dan para pengepung itu adalah orang-o-rang Nepal yang dipergunakan untuk membantu siasat itu, yang juga sudah diketahui oleh Bong Gan.
Sambil memandang tajam wanita cantik yang sikapnya genit itu, Bi Sian berkata, pedang Pek-lian-kiam masih melintang di depan dadanya.
"Hemm, kiranya kalian berdua, se-orang gadis cantik dan seorang pendeta, yang memimpin gerombolan ini. Apa alasan kalian menghadang perjalanan kami dan orang-orangmu yang mengepung kami ini hendak menawan kami?" Suara Bi Sian penuh wibawa, tanda bahwa ia sama sekali tidak merasa gentar. Diam-diam Pek Lan kagum. Pantas Bong Gan tergila-gila kepada suci-nya sendiri dan ingin memperisterinya. Memang manis dan jelita sekali! Dan diam-diam Thai-yang Su-hu mengamati pedang di tangan gadis i-tu. Pedang itu bersinar putih dan ada ukiran bunga teratai. Pedang Teratai Putih! Sungguh merupakan pedang yang cocok sekali kalau menjadi miliknya, bahkan kalau menjadi pusaka dari per-kumpulannya, yaitu Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 323
Pek-lian-kauw (Aga-ma Teratai Putih), sekiranya pedang i-tu memang sebuah pusaka yang ampuh, bukan pedang biasa saja.
Pek Lan tersenyum dan nemang ia memiliki deretan gigi yang rapi dan putih sehingga nampak menarik sekali ke-tika tersenyum, dan kerling matanya ke arah Bong Gan penuh daya pikat. Diam-diam Bong Gan membandingkan dua orang wanita itu. Memang, biarpun Bi Sian a-mat manis, namun ia tidak mampu berga-ya seperti Pek Lan sehingga daya tariknya tidak sekuat Pek Lan. Bagaimanapun juga, kalau harus memilih keduanya un-tuk menjadi isterinya, tanpa ragu-ragu dia akan memilih Bi Sian. Bi Sian seorang gadis yang masih perawan dan hatinya juga bersih, sebaliknya Pek Lan a-dalah seorang wanita yang matang dan juga genit sehingga sukar diharapkan dapat menjadi seorang isteri yang se-tia. Akan tetapi kalau untuk bersenang-senang, tentu Pek Lan akan lebih memuaskan dan menyenangkan.
"Adik yang baik, engkau sungguh cantik jelita dan gagah berani. Jangan salah mengerti, kalau anak buah kami melakukan penghadangan, hal itu terja-di karena kalian telah melanggar wila-yah kekuasaan kami. Akan tetapi, kami dapat pula menghargai orang-orang ga-gah.
Melihat kalian berdua yang tidak gentar menghadapi pengepungan orang-o-rang kami, tentu kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kami ingin sekali berkenalan melalui adu silat. Kalau memang kalian pantas menjadi kenalan kami, tentu akan kami persilakan untuk menjadi tamu dari Sang Pangeran yang menjadi tuan rumah kami. Suhu, engkau ujilah kepandaian adik manis ini, biar aku yang menguji pemuda ini," katanya kepada Thai-yang Suhu. Memang Pek Lan cerdik. Ia sudah mendengar dari Bong Gan bahwa tingkat kepandaian Bi Sian bahkan lebih tinggi dibandingkan pemu-da itu, padahal baginya, menghadapi Bong Gan saja ia hanya mampu mengimbangi. Berbahaya kalau ia menghadapi Bi Sian kemudian sampai kalah!
Maka ia sengaja menyuruh Thai-yang Suhu yang menghadapi gadis itu sedangkan ia akan menghadapi Bong Gan yang tentu saja hanya akan main-main tidak bertanding sungguh-sungguh. Biarpun ilmu kepandaian silat dari tokoh Pek-lian-kauw itu-pun tidak jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri, namun setidaknya pendeta itu memiliki kekuatan sihir untuk melindungi diri.
Thai-yang Suhu memang sudah tertarik sekali, bukan kepada Bi Sian saja, melainkan terutama sekali tertarik me-lihat pedang di tangan gadis itu. Kini dia memperoleh kesempatan untuk mengu-ji apakah pedang Teratai Putih itu sebuah pedang pusaka ampuh ataukah pe-dang biasa saja. Dia tidak menurunkan sepasang pedangnya karena sepasang pe-dangnya merupakan pedang yang baik dan dia khawatir pedangnya akan menjadi rusak kalau pedang di tangan gadis itu benar pedang pusaka ampuh. Maka diapun meminjam sebatang pedang yang dipegang oleh seorang perajurit Nepal, kemudian menghampiri Bi Sian.
"Siancai.... harap maafkan pinto (saya), nona. Kami memang hanya i-ngin menguji, karena hanya melalui pertandingan silat maka perkenalan menja-di erat. Nah, silakan, nona!"
Melihat sikap dua orang itu cukup hormat dan sopan, Bi Sian juga merasa tidak enak kalau ia bersikap keras. Biarpun tadi pasukan itu mengepungnya, namun mereka belum melakukan penyerangan.
"Aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapapun juga, dan akupun tidak sengaja melanggar wilayah siapapun juga. Wilayah ini bukan peka-rangan, tidak dipagari, melainkan pe-gunungan dan telaga. Bagaimana aku ta-hu bahwa tempat ini ada orang yang memilikinya"
Akan tetapi, biarpun tidak mau bermusuhan, kalau dimusuhi, jangan dikira aku takut!"
"Siancai....! Nona memang gagah perkasa, karena itu pinto ingin sekali menguji
kepandaianmu, bukan berkelahi atau bermusuhan. Nona, lihat pedang!" kata Thai-yang Suhu sambil menggerak-kan pedang pinjamannya, mengirim se-rangan gertakan ke arah kepala gadis itu. Bi Sian mengelak dengan cepat dan ketika tangannya bergerak, pedang Pek-lian-kiam sudah menyambar ke depan, menusuk ke arah dada merupakan sinar pu-tih berkelebat.
Thai-yang Suhu terkejut dan cepat dia juga melompat ke belakang untuk menghindarkan diri, kemudian menyerang lagi dengan berhati-hati karena biarpun hanya menguji kepandaian, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 324
kalau ilmu pedang lawan itu terlalu berat, mungkin saja dia akan terluka. Dia tidak berani memandang ringan lawannya yang dapat membalas serangan sedemikian cepat dan kuatnya.
Sementara itu, Bong Gan juga sudah menggerakkan ranting di tangannya dan menyerang Pek Lan yang menyambut dengan pedangnya. Merekapun bertan-ding dengan seru, tentu saja hanya nampaknya demikian karena hati mereka yang tahu bahwa mereka hanya bersandiwara dan tidak sungguh-sungguh bertan-ding.
Thai-yang Suhu mendapatkan kesempatan untuk menguji keampuhan pedang di tangan Bi Sian. Ketika pedang bersinar putih itu menyambar dengan bacokan ke arah lehernya, dia memutar tubuhnya dan mengerahkan tenaga sekuatnya, menggunakan pedang pinjaman itu untuk menangkis.
"Trangggg....!" Terdengar bunyi nyaring disusul pijaran bunga api dan.... pedang di tangan pendeta Pek-lian-kauw itu tinggal sepotong! Pedang itu patah di tengah-tengah, padahal pedang perajurit Nepal itu merupakan pedang melengkung yang cukup berat dan tajam.
Thai-yang Suhu berseru. "Lihai sekali!" dan diapun melempar gagang pe-dangnya dan memberi hormat kepada Bi Sian. "Nona yang lihai, pinto kagum sekali kepadamu!"
Pada saat itu, Pek Lan juga mengeluarkan jerit tertahan dan iapun melompat ke belakang, lalu memberi hormat kepada Bong Gan. "Saudara sungguh gagah, membuat kami kagum sekali.
Per-kenalkanlah, kami berdua adalah saha-bat-sahabat baik dari Pangeran Maranta Sing yang menguasai lembah ini. Namaku Pek Lan dan suhu ini adalah Thai-yang Suhu. Kalau kami boleh mengetahui, siapakah ji-wi (anda berdua) dan apa yang anda berdua cari di tempat ini"
Ataukah sekedar melancong saja?"
Sebelum Bi Sian menjawab, dengan cepat sesuai dengan rencana Bong Gan sudah menjawab,
"Kami kakak beradik seperguruan. Namaku Coa Bong Gan dan suci ini bernama Yauw Bi Sian. Kami datang ke tempat ini bukan sekedar melancong, melainkan hendak mencari seorang musuh besar kami yang bernama Sie Li-ong dan berjuluk Pendekar Bongkok....!"
Bi Sian memberi isyarat kepada sutenya agar diam, akan tetapi sudah terlambat karena sutenya telah memperke-nalkan nama mereka dan juga menyebut nama Pendekar Bongkok.
Dan tiba-tiba saja sikap kedua orang itu berubah, a-lis mereka berkerut akan tetapi sikap mereka bahkan semakin ramah.
"Aih, kiranya ji-wi musuh Pendekar Bongkok" Kalau begitu, di antara kita terdapat ikatan yang kuat karena kamipun menganggap Pendekar Bongkok sebagai musuh besar kami! Adik Bi Sian dan adik Bong Gan, aku akan merasa senang sekali untuk bekerja sama dengan kalian menghadapi Pendekar Bongkok yang amat lihai itu!"
Akan tetapi Bi Sian mengerutkan alisnya. Biarpun Pek Lan dan Thai-yang Suhu
memperlihatkan sikap yang ramah dan bersahabat, namun di dalam hatinya ia merasa tidak suka kepada mereka.
"Enci Pek Lan," kata Bong Gan yang agaknya hendak bersikap ramah karena Pek Lan
menyebut adik kepadanya dan kepada Bi Sian, "Kami tidak ingin bekerja sama dengan kalian, dan kami akan cukup berterima kasih kalau engkau dapat memberitahu kepada kami di mana adanya Pendekar Bongkok. Tahukah engkau di mana dia?" Pertanyaan ini berkenan di hati Bi Sian dan iapun mengangguk, menyatakan setuju dengan pertanyaan sute-nya itu.
Akan tetapi Pek Lan tersenyum manis sekali. "Kalian ini adik-adik yang gagah perkasa, mengapa sungkan dan ingin enak sendiri saja" Kalau kita hendak bekerja sama, tentu sebaiknya ka-lau ji-wi menerima undangan kami untuk mempererat perkenalan. Kalau kita su-dah menjadi sahabat yang akrab, tentu kami tidak akan ragu lagi untuk membagi semua rahasia, termasuk di mana adanya Pendekar Bongkok. Nah, kami ulangi undangan kami kepada ji-wi."
Bong Gan menoleh kepada sucinya seperti orang minta pertimbangan, lalu terdengar dia berkata, "Suci, kita ti-dak mengenal daerah ini, maka kalau enci Pek Lan ini sudah berbaik hati un-tuk menunjukkan di mana adanya musuh besar itu, kurasa tidak ada salahnya kalau Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 325
kita memenuhi undangannya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu?"
Bi Sian tidak melihat pilihan la-in kecuali mengangguk. Ia menyarungkan pedangnya kembali. Thai-yang Suhu segera memberi hormat kepadanya. "Nona yang masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga seba-tang pedang pusaka yang ampuh sekali.
Kalau boleh pinto mengetahui apa nama pedang pusaka itu, nona."
Bi Sian merasa bangga dengan pe-dangnya. Ia menepuk gagang pedang di pinggangnya dan menjawab, "Totiang (bapak pendeta), pedangku ini adalah Pek-lian-kiam peninggalan ayahku."
Makin giranglah rasa hati Thai-yang Suhu. Pek-lian-kiam, sebatang pedang yang patut menjadi miliknya, bah-kan menjadi lambang dari perkumpulan-nya, yaitu Pek-lian-kauw!
Akan tetapi dia menyembunyikan kegirangan ini di dalam hatinya saja. Bagaimanapun juga, pedang itu harus dapat menjadi milik-nya!
Bong Gan dan Bi Sian merasa kagum sekali ketika memasuki gedung besar yang didirikan di antara pohon-pohon dalam hutan di lereng bukit itu. Sebu-ah gedung yang besar dan di dalamnya mewah sekali, seperti rumah raja-raja maja layaknya. Dan di sekeliling gedung itu terdapat banyak rumah-rumah, merupakan perkampungan yang dikelilingi tembok seperti sebuah benteng saja. Itulah tempat tinggal Pangeran Maranta Sing, pangeran Nepal yang menjadi buruan pemerintahnya, karena telah memberontak itu. Dia tinggal di perbatasan itu bersama anak buahnya, yaitu sisa-sisa para perajurit anggauta pasukan pembe-rontakan yang dipimpinnya dan telah gagal itu.
Bong Gan dan Bi Slan dijamu oleh Pangeran itu yang menyambut mereka de-ngan ramah dan hormat. Bong Gan memperlihatkan kegembiraannya dan Bi Sian a-khirnya juga merasa gembira karena pihak tuan rumah sungguh ramah kepada-nya.
"Harap jangan khawatir tentang Pendekar Bongkok," kata Pangeran Maranta Sing sambil tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih di balik mukanya yang kehitaman dan kumisnya yang melintang panjang itu bergerak-gerak ketika dia bicara. "Kalau dia berani datang ke daerah ini, sudah pasti kami dapat menangkapnya. Daerah ini telah kami kuasai bersama Kim-sim-pang, maka harap ji-wi tenang saja. Kita pasti akan da-pat menangkapnya."
"Apa yang diucapkan Pangeran Ma-ranta Sing ini benar, adik-adikku yang baik," kata Pek Lan. "Betapapun lihai-nya Pendekar Bongkok, dia tidak akan mampu menandingi Kim Sim Lama, apala-gi di sini terdapat ji-wi yang bekerja sama dengan kami. Nah, mari kita minum demi berhasilnya kita menangkap Pende-kar Bongkok!"
Mereka makan minum sambil berca-kap-cakap dengan gembira. Dari percakapan itu tahulah Bong Gan dan Bi Sian bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang pangeran dari Nepal yang bersekutu dengan Kim-sim-pang, dan betapa Kim-sim-pang menentang pemeribtah Da-lai Lama di Tibet. Kalau diam-diam Bong Gan merasa amat tertarik oleh janji-janji dan harapan yang dibayangkan dalam percakapan itu oleh pangeran Ne-pal itu maupun Thai-yang Suhu dan Pek Lan, Bi Sian sendiri sama sekali tidak tertarik. Bahkan ia tidak ingin meli-batkan diri dalam pemberontakan itu, karena yang terpenting adalah menemu-kan Pendekar Bongkok dan membalas kematian ayahnya!
"Nona, cicipilah masakan ini!" kata Pangeran Nepal itu ketika melihat Bi Sian belum mencicipi masakan yang warnanya merah. Bong Gan sudah memakannya, akan tetapi gadis itu agaknya ti-dak mau mencicipi masakan yang asing baginya itu. "Ini adalah masakan aseli dari Nepal, lezat sekali dan merupakan masakan kehormatan bagi tamu yang dia-gungkan!"
Bi Sian tertarik, dan merasa ti-dak enak untuk tidak memperhatikan ka-rena dikatakan bahwa masakan itu ada-lah masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!
"Pangeran, masakan ini terbuat dari apakah?" tanyanya, masih merasa ra-gu untuk
mencicipinya karena warnanya yang merah seperti darah walaupun bau-nya sedap dan masih mengepul panas. "Bahan masakan ini amat langka dan amat sukar diperoleh karena ini adalah sumsum di dalam tulang punggung biruang salju yang besar, kuat dan ganas! Karena Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 326
merupakan sumber kekuatan sebuah binatang raksasa, maka masakan ini selain lezat, juga mengandung khasiat yang luar biasa untuk kekuatan dan kesehatan. Marilah nona, sebagai tamu agung, nona harus mencicipinya!" Pangeren itu mempergunakan sebuah sen-dok yang bersih, mengambilkan masakan itu dan menaruhnya ke dalam mangkok di depan Bi Sian.
"Dan engkau juga, saudara Coa Bong Gan, mari ambil lagi masakan ini."
Bong,Gan tersenyum. "Sudah sejak tadi saya memakannya dan memang lezat sekali, suci.
Rasanya seperti otak, a-kan tetapi masakannya memakai bumbu yang aneh dan sedap bukan main. Juga terasa hangat di dalam dada dan perut. Cobalah, suci!"
Bi Sian semakin tertarik, juga untuk menghormati tuan rumah yang demikian ramah dan hormat, ia lalu mencoba mencicipi masakan itu. Memang lezat!
"Adik Yauw Bi Sian, harap jangan sungkan dan ragu. Ketahuilah bahwa Pa-ngeran Maranta Sing ini adalah seorang ahli obat dan ahli masak! Masakan sumsum tulang punggung biruang itu memang hebat dan aku sendiripun sudah mesana-kan khasiatnya!" kata Pek Lan.
"Siancai, memang benar sekali," kata pula Thai-yang Suhu. "Pinto yang makan masakan itu merasa seperti muda kembali! Masakan itu tentu dapat membuat orang berumur panjang, dan dapat memperkuat tenaga sin-kang!"
Mendengar ucapan kedua orang itu, Bi Sian semakin tertarik dan iapun ti-dak berkeberatan lagi untuk makan ma-sakan itu cukup banyak. Karena ia dan Bong Gan yang menjadi tamu kehormatan, maka semangkok besar masakan merah itu diperuntukkan mereka berdua dan mereka pun memakannya sampai habis! Bi Sian mulai merasa bergembira dan merasa
mendapatkan teman-teman yang menyenangkan. Maka iapun minum arak lebih banyak da-ri pada biasanya. Apalagi arak yang disuguhkan itu manis dan harum, terbuat dari anggur Nepal yang baik.
Setelah makan minum sampai kenyang, wajah Bi Sian yang cantik itu telah berubah
kemerahan dan mulutnya- pun hampir tak pernah hentinya tersenyum manis. Akan tetapi, ketika ia memegang kepalanya dan kepala itu terkulai ke atas meja, Bong Gan cepat bangkit dari tempat duduknya dan menghampirinya.
"Suci, kau kenapakah....?" katanya lembut sambil menyentuh pundak ga-dis itu.
Bi Sian mengangkat muka, tersenyum dan pandang matanya saja sudah jelas menunjukkan bahwa ia mabok! Dan juga pandang matanya itu aneh, begitu sayu dan penuh gairah.
"Sute.... aku.... ah, agaknya terlalu banyak minum anggur, kepalaku agak pening...."
Pek Lan memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Bong Gan, lalu berkata, "Adik Bong Gan, kasihan itu adik Bi Stan mabok. Ia butuh istirahat. Mari kuantar kalian ke kamar kalian."
Pek Lan bangkit berdiri dan membantu Bong Gan memapah Bi Sian menuju ke sebelah dalam gedung itu, diikuti pandang mata Pangeran Maranta Sing yang tersenyum lebar dan Thai-yang Suhu mengangguk-angguk puas. Tidak percuma saja ia merupakan seorang ahli sihir dan ahli ramuan obat beracun. Ia telah mencampurkan pembius yang lembut pada anggur yang
diminum Bi Sian, dan masakan yang disuguhkan Pangeran Maranta Sing itu mengandung pula obat perangsang yang amat kuat!
Pek Lan membawa mereka ke sebuah kamar yang besar dan mewah, di mana terdapat sebuah tempat tidur yang le-bar. Kembali Pek Lan memberi isyarat kedipan mata kepada Bong Gan dan pemu-da ini mengerti.
"Nah, inilah kamar kalian, adik Bong Gan. Biarkan adik Bi Sian beristirahat dan tidur, nanti peningnya tentu akan hilang. Dan engkau juga perlu beristirahat, engkaupun sudah minum terlalu banyak, adik Bong Gan. Kalian mengasolah!"
"Tapi, enci Pek Lan!" Bong Gan membantah. "Mengapa hanya satu kamar" Ka-mar ini untuk suci saja, akan tetapi di mana kamarku?"
"Pangeran hanya memberikan sebuah kamar saja untuk kalian berdua, dan kurasa kamar inipun cukup besar, tempat tidurnyapun cukup luas untuk kalian bardua. Nah, selamat tidur."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 327
Pek Lan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar sambil tersenyum kepada Bong Gan.
Bi Sian hanya mendengar sayup-sayup saja apa yang mereka bicarakan. Ia telah terlalu pening sehingga tidak perduli lagi bahwa ia berada sekamar dengan sutenya.
"Aku.... aku pening.... mau tidur....!" katanya dan ia hendak melangkah ke arah pembaringan, akan tetapi ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau tidak segera dirangkul oleh Bong Gan.
"Marilah, suci, mari kubantu engkau.... akupun agak pening.... mari kita beristirahat....!"
Bong Gan memapah suci-nya ke tempat tidur, lalu membantu sucinya berbaring. Dengan hati-hati dia lalu meraba kaki suci-nya melepaskan sepasang sepatunya. Bi Sian terbelalak ketika mera-sa kakinya diraba sute-nya dan sepatunya dilepaskan.
"Sute.... kenapa.... kau di sini...." Aku mau tidur, pergilah...."
Akan tetapi Bong Gan tidak mau tidur, bahkan duduk di tepi pembaringan sambil menatap wajah suci-nya yang rebah telentang. "Suci, kita mendapatkan satu kamar saja. Kamar ini untuk kita berdua."
Dengan mata sayu Bi Sian menatap wajah pemuda itu. Gairah yang tidak wajar membakar dirinya dan wajah sute-nya itu tampak tampan luar biasa.
".... kenapa begitu.... ah.... sudahlah, aku mau tidur...."
Tiba-tiba Bi Sian membuka matanya lagi karena merasa betapa wajahnya di-belai tangan orang. Ketika ia melihat tangan sute-nya meraba dun membelai ke-dua pipi dan dagunya, ia tidak meronta hanya menegur lembut.
"Sute.... jangan begitu...."
"Suci, alangkah cantiknya engkau. Aih, suci, aku cinta sekali kepadamu, suci!" Dan Bong Gan sudah memeluk, mendekap dan menciumi muka gadis itu.
Bi Sian dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi obat perangsang telah mulai menguasai dirinya. "Jangan, sute.... jangan...." mulutnya mendesah, akan tetapi kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu.
Dan terjadilah apa yang selalu diharapkan dan dirindukan Bong Gan. Dia berhasil menguasai diri suci-nya, berhasil menggaulinya berkali-kali tanpa gadis itu menolak atau memberontak, bahkan gadis itu, di luar kesadaran-nya, telah membalas semua kemesraanya dengan penuh gairah. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, keduanya tidur pulas kelelahan, masih saling rangkul.
Pada keesokan harinya, ketika pe-ngaruh obat bius dan obat perangsang meninggalkan kepala dan tubuh Bi Sian dan ketika gadis itu terbangun dari tidurnya, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dirinya dalam keadaan bu-gil tidur berangkulan dengan sutenya yang juga berbugil! Dan seketika terasalah olehnya kelainan dalam dirinya, tahulah ia apa yang telah terjadi! Ia telah melakukan hubungan dengan sute-nya, hubungan suami isteri! Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia segera mengenakan pakaiannya, kemudian meloncat turun dari atas pembaringan.
Sekali tendang, pembaringan itu roboh dan Bong Gan terbangun gelagapan. Dia melihat sucinya sudah berpakaian dan berdiri membelakanginya, dengan pedang Pek-liam-kiam terhunus di tangannya.
"Sute, kenakan pakaianmu. Cepat!" Suara sucinya membentak dan jelas bah-wa sucinya marah bukan main.
"Ehh.... kenapa kita.... kenapa aku di sini.... kenapa tidur di sini dan.... eh, apa yang telah kita lakukan ini....?" Bong Gan bersandiwara, bicara dengan gagap dan ge-lisah.
"Cepat pakai pakaianmu kataku!" Bi Sian membentak lagi. Bong Gan segera mengenakan pakaiannya dan turun dari atas pembaringan. "Sudah.... sudah kupakai, suci...."
Bi Sian membalik dan pedangnya menyambar, dan sudah menempel di leher Bong Gan.
Pemuda itu terbelalak dan wajahnya pucat.
"Suci.... kenapa.... kau hendak membunuhku....?"
"Coa Bong Gan!" Bi Sian membentak marah. "Apa yang telah kaulakukan terhadap diriku Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 328
selagi aku mabok" Hayo katakan! Apa yang telah kaulakukan" Keparat engkau!"
"Suci! Apa.... apa yang kulakukan...." Suci, seharusnya suci bertanya apa yang kita lakukan!
Aku.... aku sendiri tidak tahu, suci, aku tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada kita...." lalu dengan hati-hati dia menambahkan, ".... suci, sayup-sayup aku teringat....
bukankah engkaupun.... eh, mendukung terjadinya peristiwa itu semalam....?"
Wajah yang cantik itu menjadi me-rah sekali dan kini dari kedua matanya mengalir beberapa butir air mata. Akan tetapi pedangnya masih menempel di leher Bong Gan.
"Aku.... aku berada dalam pengaruh obat bius dan obat perangsang, hal itu kini aku yakin sekali. Dan kau.... kau menggunakan kesempatan itu untuk.... untuk...."
"Suci, engkau sungguh tidak adil! Kalau aku sejahat itu, tidak perlu menanti kemarahanmu, aku akan membunuh diriku sendiri! Akan tetapi, suci, kalau engkau terbius, mengapa aku tidak" Akupun sama saja seperti keadaanmu, suci. Aku tidak ingat apa-apa lagi, dalam keadaan setengah sadar seperti dalam mimpi saja semua itu terjadi. Suci, kenapa engkau menyalahkan aku kalau keadaan kita sama" Kita berdualah yang bertanggung jawab, dan aku.... eh, cinta padamu, suci...."
"Jangan sentuh aku!" bentak Bi Sian ketika tangan Bong Gan hendak menyentuh lengannya dan iapun kini menangis terisak-isak. Ia kini melihat kenyataan itu. Sutenya tidak bersalah.
Sutenya juga minum pembius dan obat perangsang yang sama! Pek Lan! Ini semua gara-gara Pek Lan, wanita genit itu!
"Hemm, perempuan jahat itu harus mampus!" katanya dan iapun melompat ke arah pintu, mendorong daun pintu dan berlari keluar.
"Suci....!" Bong Gan berseru dan mengejar dari belakang. Akan teta-pi Bi Sian tidak berhenti, tidak meno-leh dan pada saat itu, kebetulan sekali ia melihat Pek Lan melangkah dengan tenangnya menuju ke arah mereka. Sepa-gi itu, Pek Lan sudah nampak rapi dan cantik, sudah mandi dan mengenakan pa-kaian bersih seperti baru. Ketika melihat Bi Sian dan Bong Gan, Pek Lan ter-senyum dan wajahnya berseri.
"Ah, ji-wi (kalian) sudah bangun" Selamat pagi....!" katanya dengan suara merdu dan gembira.
"Manusia jahat, cabut senjatamu dan lawanlah aku!" bentak Bi Sian de-ngan pedang melintang di depan dada.
Pek Lan terbelalak. "Adik Bi Sian, ada apakah ini" Apa artinya sikapmu i-ni?"
Bi Sian menudingkan pedangnya ke arah muka Pek Lan. "Tidak perlu berpura-pura lagi.
Keluarkan senjatamu atau kalau tidak, aku akan membunuhmu begitu saja!"
"Tapi.... tapi kenapa, adik Bi Sian" Adik Bong Gan, kenapa kalian bersikap seperti ini terhadap aku" Bukan-kah sejak saling berkenalan, aku sela-lu bersikap baik terhadap kalian?"
Pek Lan bertanya lagi, kini mendesak Bong Gan untuk memberi keterangan.
Bong Gan segera berkata, "Enci Pek Lan. Siapa orangnya tidak akan menjadi marah"
Kemarin kami kauundang un-tuk makan minum. Setelah makan minum, kami berdua....
kehilangan kesadaran, terbius dan terangsang, sehingga.... kami melakukan pelanggaran...."
Bi Sian memandang dengan mata mencorong penuh kemarahan. "Pek Lan, eng-kau menipu kami, engkau membius kami, penghinaan ini hanya dapat ditebus de-ngan nyawa!" Ia sudah siap bergerak mengangkat kedua tangan ke atas.
"Nanti dulu, kedua orang adikku yang baik! Bi Sian, jangan terburu nafsu dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Ingatlah, bahwa aku dan guruku Thai-yang Suhu juga hanya
merupakan dua orang tamu saja di sini! Bagaimana mungkin kami yang melakukan itu"
Makanan dan minuman itu bukan dari kami. Dan apa gunanya kami melakukan hal yang membuat kalian berdua melakukan hubungan suami isteri di luar kesadar-an kalian ini" Jelas, yang memberi o-bat bius dan obat perangsang dalam me-kanan dan minuman kalian bukan kami."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 329
"Maranta Sing! Dialah yang melakukan itu, suci! Bukan enci Pek Lan. Sekarang aku yakin, Pangeran Nepal itulah yang meracuni kita!" kata Bong Gan kepada suci-nya.
Bi Sian termenung, lalu iapun mengangguk-angguk, dan berkata, "Maafkan aku, enci Pek Lan. Kalau begitu, pange-ran keparat itu yang harus kubunuh! Aku akan mencarinya dan...."
Pek Lan menggeleng kepala. "Tahan dulu, adikku yang baik. Mari kita bicara di dalam kamarku. Harap jangan ter-buru nafsu. Ingat, kita berada di da-lam benteng di mana terdapat ratusan orang perajurit Nepal! Mari, mari, di kamarku kita dapat bicara dengan leluasa," kata Pek Lan dan ia mendahului mereka menuju ke kamarnya yang tidak jauh dari situ. Terpaksa Bi Sian menahan kemarahannya dan bersama Bong Gan iapun mengikuti Pek Lan masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar itu tidak seluas kamar mereka, akan tetapi juga mewah dan prabot kamarnya serba indah. Begitu memasuki kamar, Bong Gan dan Bi Sian mencium bau semerbak harum.
Setelah mempersilakan kedua orang itu duduk, Pek Lan lalu duduk di tepi pembaringan, menghadapi mereka. "Keta-huilah kalian bahwa Pangeran Maranta Sing menyuguhkan
makanan yang mengan-dung obat perangsang itu, bukan suatu kejahatan, bahkan dia sengaja melakukan hal itu untuk menyenangkan kalian yang dianggap sebagai tamu agung yang dihormati."
Dua orang kakak beradik seperguruan itu terbelalak, lalu mereka saling pandang dengan penuh keheranzn. "Akan tetapi, enci Pek Lan!" seru
Hati Budha Tangan Berbisa 12 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 1
^