Kisah Pendekar Bongkok 14

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


Bong Gan. "Bagaimana mungkin kami dapat percaya itu" Memberi obat bius dan perangsang kepada kami sehingga kami berdua mela-kukan pelanggaran" Dan itu merupakan suatu penghormatan" Mustahil...."
"Aku tidak percaya!" Bi Sian juga berseru.
Pek Lan tersenyum. "Akan tetapi, sesungguhnyalah begitu, Memang lain bangsa lain pula kebiasaannya, lain negara lain pula peraturannya, dua orang adikku yang manis. Ketahuilah bahwa masakan sumsum tulang punggung biruang itu merupakan makanan langka yang luar biasa, dan mengandung daya rangsangan yang kuat. Biasanya hidangan ini diberikan kepada sepasang pengantin keluarga raja saja! Dan anggur merah itupun amat keras, hanya bekerjanya amat halus seperti obat bius. Akan tetapi keduanya merupakan hidangan yang mahal dan langka, hanya diperuntukkan tamu kehormatan."
"Akan tetapi, kalau pangeran itu tahu akan pengaruh makanan dan minuman itu, mengapa dia menyuguhkan kepada kami" Dan kami diberi satu kamar pula" Apa maksudnya kalau bukan hendak menjerumuskan kami dan menghina kami?"
Pek Lan menggeleng kepalanya. "Sama sekali dia tidak bermaksud menghina kalian. Karena kalian merupakan dua o-rang muda yang melakukan perjalanan bersama, maka dia
menganggap bahwa tentu kalian memiliki hubungan yang lebih erat. Kalian dianggapnya sebagai suami isteri atau dua orang yang sedang berpacaran, sehingga hidangan itu bahkan dianggapnya membantu dan menyenangkan kalian."
"Akan tetapi dia sudah tahu bahwa kami adalah kakak dan adik seperguru-an!" Bi Sian berseru. "Kami belum menikah....!"
"Itu menurut pendapat dan kebiasaan kalian! Akan tetapi menurut kebiasaan di Nepal, kalau seorang pemuda dan seorang gadis melakukan perjalanan bersama selama berbulan-bulan, maka tidak ada pendapat lain kecuali bahwa mereka adalah suami isteri, baik sudah menikah atau belum. Karena itu, adik-adikku, harap kalian tenang. Pangeran Maranta Sing tidak bermaksdd buruk. Pula semua itu telah terjadi, dan kalau ku-lihat, kalian memang pantas untuk menjadi jodoh masing-masing. Kalau memang kalian saling mencinta, apa salahnya peristiwa yang terjadi semalam?"
"Tidak! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dnegan nyawa! Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah! Pangeran Maranta Sing harus mempertanggung jawabkannya! Aku mau
mencarinya!" Bi Sian berteriak dan ia sudah bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya.
"Sabar dan ingatlah, adik Bi Sian! Selain pangeran itu tidak berniat jahat menurut Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 330
pendapatnya, bahkan ingin berbuat menyenangkan tamu, juga kita berada di sini, di dalam bentengnya! Bagaimana mungkin engkau akan melawan ratusan orang perajurit Nepal!
Bukankah itu sama halnya dengan bunuh diri?"
"Aku tidak perduli! Aku tidak takut! Bagiku, kehormatan lebih penting daripada nyawa!" Bi Sian berkata dengan air mata bercucuran kembali karena ia teringat akan nasibnya yang te-lah menderita aib.
"Suci.... ah, harap dengarkan apa yang dikatakan enci Pek Lan, suci. Kita berada di tengah benteng mereka, kita tidak mungkin mampu melawan mereka...." Bong Gan berkata.
Tiba-tiba Bi Sian membalik dan menghadapinya dengan mata berapi sa-king marahnya.
"Sute! Engkau masih be-rani berkata demikian! Engkau takut mati! Huh, enak saja engkau.
Engkau adalah seorang laki-laki, tentu tidak dapat merasakan penderitaun seorang wanita yang telah menderita aib dan noda seperti aku! Kalau engkau takut mati, biarlah aku sendiri yang akan menuntut kepada pangeran itu!"
Melihat sikap suci-nya itu, tiba-tiba saja Bong Gan menjatuhkan diri berlutut di depan sucinya sambil menangis! "Suci, semua ini akulah yang bersalah! Aku telah menodaimu, aku menda-tangkan aib bagimu. Akulah yang membi-kin celaka sehingga kini suci mengha-dapi bahaya maut. Aku telah menghancurkan kehidupanmu, suci. Sungguh aku me-rasa menyesal sekali. Engkau adalah satu-satunya orang yang kumiliki, satu-satunya orang yang telah menolongku, dan baik kepadaku. Engkau satu-satunya orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku dan sekarang.... aku pula yang mencelakakanmu. Aih, suci, kalau begitu, engkau bunuhlah aku lebih dulu agar a-ku tidak lagi melihat penderitaanmu."
"Sute, cukup....!" Bi Sian berseru dan tangisnya semakin menjadi-jadi. Melihat ini, Bong Gan maklum bahwa siasatnya berhasil baik, maka diapun memperkuat tangisnya.
"Suci, bagaimana mungkin aku da-pat hidup kalau melihat engkau sengsa-ra karena aku"
Sudahlah, kalau engkau tidak mau membunuhku, biar aku sendiri yang akan menghabiskan nyawaku agar rasa penaaaran di hatimu berkurang, suci. Suci, selamat tinggal, suci....!" Bong Gan menyambar pedang milik Pek Lan di atas meja, mencabutnya dan menggerakkan pedang menggorok leher sendi-ri! Tentu saja semua ini sudah diatur sebelumnya dan merupakan siasat belaka. Pek Lan diam-siam sudah siap siaga mencegahnya kalau Bi Sian diam saja.
Andaikata Bi Sian mendiamkan saja sute-nya membunuh diri, demikian siasat yang mereka atur sebelumnya, maka Pek Lan yang akan turun tangan mencegah sehingga bunuh diri itu nampak sungguh-sungguh.
Akan tetapi, permainan sandiwara itu berhasil mengelabui mata Bi Sian. Melihat kenekatan sute-nya yang dalam hal ini juga sama-sama menjadi korban obat bius dan perangsang, cepat Bi Sian menendang ke arah pergelangan ta-ngan sutenya yang memegang pedang. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Bong Gan menutupi mukanya sambil menangis.
"Suci, kalau engkau tidak dapat mengampuni aku, kenapa engkau tidak membiarkan saja aku membunuh diri?" ratapnya. Bi Sian tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia memang suka sekali kepada sute-nya ini, bahkan mungkin juga ada peraaaan cinta, karena sute-nya pandai mengambil hati. Iapun tahu bahwa sutenya amat mencintanya dan kini, sutenya telah memperlihatkan perasaan cintanya yang amat mendalam. Ia merasa terharu sekali dan agak meredalah kemarahannya. Bagaimanapun juga, yang menodainya adalah sutenya sendiri, orang yang amat mencintanya, dan yang besar kemungkinan akan menjadi suaminya kelak. Kini, setelah peristiwa itu, bukan mungkin lagi bahkan sudah pasti pemuda ini akan menjadi suaminya.
"Aih, betapa mengharukan. Sudahlah, adik Bi Sian. Aku ikut terharu melihat besarnya cinta antara kalian, terutama sekali apa yang telah dibuktikan oleh adik Bong Gan. Sungguh, dia mencintamu dan biarpun dia itu sutemu, akan tetapi aku melihat bahwa dia lebih tua darimu dan kalian memang cocok untuk menjadi suami isteri kelak. Sebaiknya kalian berdua ikut Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 331
bersama kami menghadap Kim Sim Lama. Kalau kalian bekerja sama dengan Kim-sim-pang, aku yang tanggung bahwa dalam waktu singkat kalian akan dapat bertemu dengan Pendekar Bongkok."
Bong Gan sendiri terkejut mendengar ini. Apakah Pek Lan sudah mendengar dari anak buahnya tentang Pendekar Bongkok" Nada suara Pek Lan demikian meyakinkan seolah-olah Pendekar Bongkok sudah berada dalam kekuasaannya!
"Jangan main-main, enci!" kata Bi Sian sambil mengerutkan alisnya. "Aku baru mau bekerja sama denganmu atau rekan-rekanmu kalau benar kalian dapat menemukan Pendekar
Bongkok. Benarkah engkau berani tanggung" Aku tidak mau tertipu!"
Pek Lan tersenyum manis. Tentu saja ia berani bertanggung jawab karena ia telah mendengar dari orang-orangnya bahwa Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan Kim Sim Lama! "Aku tanggung. Bahkan aku berani menanggung bahwa kami akan dapat menawan Pendekar
Bongkok untukmu, adik Bi Sian."
Bi Sian memandang Bong Gan yang masih berlutut sambil menutupl muka-nya. "Sute,
bangunlah. Memang benar, semua nasib manusia telah digariskan Tu-han. Aku tidak dapat mengingkari dan tidak ada gunanya menyesali hal yang telah lalu. Baiklah, kini tidak mung-kin lagi aku menolak cintamu, menolak pinanganmu. Aku bersedia menjadl
isterimu...."
"Suci! Terima kasih....!" Bong Gan berseru gembira walaupun mukanya masih basah air mata. Dia masih berlutut akan tetapi tidak lagi menutupi mukanya.
"Hemm, sudah sewajarnya kalau ki-ta menjadi suami isteri. Akan tetapi tidak sekarang!
Kelak, kalau kita su-dah berhasil membunuh Pendekar Bong-kok, baru kita malangsungkan pernikah-an. Akan tetapi sebelum itum engkau tidak boleh menjamahku. Mengerti?"
"Baik.... baik...." Bong Gan kini bangkit berdiri dan menatap wajah suci-nya itu dengan pandang mesra. "Akan tetapi, setelah kini kita bertunangan, bolehkah aku menyebutmu Sian-moi (dinda Sian)" Dan maukah kau menyebut aku Gan-koko (kanda Gan)?"
Wajah Bi Sian menjadi kemerahan akan tetapi untuk mencegah agar perso-alan itu tidak diperpanjang, iapun me-ngangguk. Melihat ini, Pek Lan girang bukan main dan iapun cepat memberi hormat kepada mereka bergantian sambil berseru, "Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!"
Biarpun wajahnya berubah kemerah-an, Bi Sian terpaksa menerima pemberian selamat itu sambil menggumamkan terima kasih. Dan dengan wajah gembira bukan main Bong Gan juga menghaturkan terima kasih, ucapan terima kasih yang bukan sebagai basa-basi belaka karena dia bersungguh-sungguh merasa berterima kasih kepada Pek Lan. Pek lan yang telah mengatur kesemuanya itu, sehingga dia berhasil memiliki diri Bi Sian, dan dia berjanji di dalam hatinya untuk membalas jasa Pek Lan itu dengan pelayanan semesra mungkin.
"Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Untuk mencegah suasana tidak enak, ji-wi (kalian berdua) tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, biar kupamitkan nanti.
Kalian bersiaplah, kita berangkat sekarang bersama suhu."
Bi Sian merasa senang bahwa ia tidak perlu berpamit dari Pangeran Ma-ranta Sing, karena biarpun ia dapat mengerti bahwa pangeran itu tidak dapat terlalu dipersalahkan karena memang tidak berniat buruk, namun totap saja kalau ia bertemu dengan pangeran itu, tentu ia akan sukar menahan kemarahan-nya. Mereka berdua berkemas dan tak lama kemudian Pek Lan dan Thai-yang Suhu datang menjemput mereka. Berangkatlah mereka meninggalkan istana dalam benteng di lereng bukit dekat telaga Yam-so. Mereka menunggang empat ekor kuda dan di sepanjang perjalanan, pemandangan alam yang amat indah membuat Bi Si-an perlahan-lahan dapat melupakan peristiwa semalam yang dianggapnya sebagai malapetaka. Ia dapat menerima ke-nyataan itu dan menganggap bahwa memang sudah menjadi jodohnya untuk bersuamikan Coa Bong Gan maka terjadi peristiwa memalukan itu. Tak sedikit pun Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 332
terlintas dalam pikirannya bahwa semua peristiwa itu adalah hasil rencana si-asat yang telah diatur oleh Pek Lan dan Bong Gan, dibantu oleh Thai-yang Suhu dan Pangeran Maranta Sing!
*** Sie Liong duduk bersila di dalam ruangan tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena naluri saja, atau karena tubuhnya sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti itu. Dia duduk bersila seperti sebuah arca mati, tidak bergerak-gerak. Sudah hampir satu bulan lamanya dia menjadi seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya. Bukan hanya ingatannya hilang dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya menjadi le-mah dan dia kehilangan tenaga sin-kangnya, atau kalau dia mencoba untuk mengerahkan tenaga, dadanya seperti ditusuk rasanya. Pernah dia mancoba untuk keluar dari kamar tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang penjaga menghadangnya.
"Hei, engkau tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa ijin," kata si penjaga. "Hayo masuk kembali. Makanan dan minuman akan diantar dari luar, dan kalau engkau hendak kencing atau berak, baru boleh keluar dari sini, akan tetapi juga kami kawal!"
Sie Liong tidak ingat mengapa dia berada di situ, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana asal mulanya! Dia banya tahu bahwa dia berada di sebuah kamar yang asing, dan dijaga oleh penjaga yang jumlahnya sampai belasan orang, menJaga di luar pintu kamar itu.
Dia sudah mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang diingatnya sejak dia sadar, seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah berada dalam kamar itu.
"Aku mau keluar. Aku tidak suka di sini. Biarkan aku keluar dari sini," katanya kepada penjaga.
"Tidak boleh! Hayo kau kembali, atau harus kupaksa?"
Sie Liong tidak ingat lagi bahwa dia adalah Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Dan memang pada dasarnya dia berwatak lembut dan tidak suka berkelahi, maka biarpun dia merasa tidak senang dengan cegahan itu, dia tetap bersikap lembut.
"Sobat, aku tidak mengenal engkau dan kawan-kawanmu itu. Aku tidak mempunyai uruman dengan kalian, maka kuharap engkau tidak menahanku lagi. Biar-kan aku keluar," katanya dan dia nekat melangkah hendak keluar dari kamar ta-hanan itu.
"Tidak boleh keluar! Kembali ke dalam kamar!" bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat hendak melangkah keluar, dia lalu mendorong dada Sie Liong. Biarpun Sie Liong lupa bahwa dia pandai ilmu silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan otomatis tenaga sin-kang dari pusar menerjang ke atas, ke arah dada. Akan tetapi, begitu tenaga sin-kang itu bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa nyeri dan otoma-tis dia membiarkan dirinya lemas lagi.
Dorongan itu mengenai dadanya dan da-lam keadaan tidak bertenaga itu, dia-pun terjengkang dan jatuh telentang ke dalam kamar tahanan kembali! Penjaga itu tertawa.
"Ha-ha-ha, jangan harap engkau dapat keluar tanpa ijin. Sekali lagi, a-ku bukan hanya mendorong melainkan me-mukulmu!"
Sie Liong tidak menjawab. Ada kenyataan baru yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada dalam tahanan, dijaga oleh orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak mungkin dia melawan karena begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri. Maka, diapun tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan hatinya, lalu duduk bersila kembali di atas pembaringannya.
Obat penghilang ingatan yang dipaksakan masuk ke dalam perutnya oleh Thay Hok Lama mempunyai kekuatan selama satu bulan. Dalam beberapa hari lagi Sie Liong akan
memperoleh kembali ingatannya. Akan tetapi apa gunanya" Selain racun penghilang ingatan, juga Thay Hok Lama telah memberinya minum racun yang membuat dia akan merasa nyeri di dada setiap kali mengerahkan sin-kang, dan kalau dipaksanya, berarti dia membunuh diri Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 333
sendiri. Darahnya telah keracunan.
Sambil duduk bersila, pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar Sie Li-ong mulai teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya Sie Liong, bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama. Hanya itu yang baru dapat diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah hilang, baru dia akan dapat mengingat seluruhnya atau sebagian besar dari hal-hal yang lalu.
Akan tetapi, pada hari itu, datanglah Thai-yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang hendak bekerja sama dengan Kim-sim-pang itu. Bi Sian dan Bong Gan melihat betapa tempat itu dari luar hanya seperti sebuah kuil biasa, kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak orang yang bersembahyang. Keti-ka mereka diajak masuk ke belakang kuil, melalui pintu yang terjaga oleh para pendeta Lama, barulah mereka tahu bahwa pusat Kim-sim-pang berada di be-lakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para pendeta Lama.
Kim Sim Lama gembira sekali mane-rima dua orang tamunya, apalagi keti-ka mendengar laporan Pek Lan bahwa Bong Gan dan Bi Sian adalah dua orang muda yang memiliki
kepandaian tinggi. Pek Lan sendiri sudah lebih dulu meng-gabungkan diri dengan Kim-simpang, dibawa oleh Thai-yang Suhu.
"Omitohud....! Kami sungguh merasa beruntung sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian), dua orang muda yang lihai. Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak akan melupakan jasa ji-wi dan akan memberi imbalan yang pantas," kata Kim Sim Lama yang mengira bahwa mereka berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai-yang Suhu, adalah dua orang petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.
Mendengar ini, Bi Sian mengerut-kan alisnya. "Maaf, lo-suhu. Kami ber-dua datang dan menerima penawaran enci Pek Lan untuk bekerja sama bukan untuk mendapatkan imbalan.
Kami tidak mencari imbalan jasa!"
Pek Lan cepat memberi penjelasan kepada Kim Sim Lama. "Hendaknya lo-suhu ketahui bahwa adik Bi Sian dan adik Bong Gan ini mengajak bekerja sama un-tuk menghadapi musuh besar mereka, ya-itu Pendekar Bongkok! Sudah kujanjikan kepada mereka bahwa kita akan membantu mereka menangkap Pendekar Bongkok, dan sebagai gantinya, mereka akan
membantu perjuangan kita."
Kim Sim Lama tertawa girang. "Ha-ha-ha, kiranya begitu" Bagus sekali! Ji-wi tidak datang di tempat yang keliru. Pinceng (saya) mempunyai berita yang amat baik bagi ji-wi. Apakah nona Pek Lan belum memberitakan kepada ji-wi tentang Pendekar Bongkok?"
Bi Sian menoleh kepada Pek Lan dan ia menggeleng kepala. Pek Lan ter-senyum. "Adik Bi Sian, lupakah engkau ketika aku berkata bahwa aku yang tanggung akan tertangkapnya Pendekar Bong-kok" Nah, ketahuilah bahwa Pendekar Bongkok sudah tertawan oleh lo-suhu Kim Sim Lama dan kini berada dalam tahan-an."
Mendengar ini, Bong Gan menjadi girang bukan main. "Ah, benarkah itu" Kalau begitu, mari kita menemuinya, Sian-moi!
"Nanti dulu, aku masih belum per-caya benar bahwa dia telah tertawan di sini. Bagaimana demikian mudahnya?" Bi Sian meragu, khawatir kalau tertipu. Ia masih belum percaya benar kepada o-rang-orang yang baru dikenalnya.
"Omitohud.... nona itu terlalu bercuriga dan berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan Pendekar Bongkok Sie Liong, mari pinceng ikut mengantarkan."
Bi Sian dan Bong Gan mengikuti Kim Sim Lama, Pek Lan dan Thai-yang Suhu menuju ke bagian belakang sarang Kim-sim-pang itu. Setelah tiba di luar kamar tahanan, Kim Sim Lama tersenyum.
"Nah, kalian berdua lihat baik-baik siapa yang berada di dalam kamar tahanan itu!"
Bong Gan dan Bi Blan memandang ke dalam kamar yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh beberapa orang pendeta Lama itu. Di atas pembaringan duduk seorang laki-laki bongkok yang bukan la-in adalah Sie Liong!
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 334
"Tidak mungkin...." Bi Sian barkata lirih melihat Sie Liong yang katanya ditahan itu ditahan begitu saja di dalam sebuah kamar yang dijaga beberapa orang pendeta Lama. "Bagaimana dia begitu.... begi-tu.... jinak?"
"Ha-ha-ha, tidak perlu heran, nona. Dia kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan tenaganya. Dia menjadi seorang yang lemah, ha-ha!" Kim Sim Lama tertawa.
Mendengar ini, Bong Gan memandang dengan mata mencorong. Dia amat takut daa benci kepada Sie Liong karena dia dapat merasakan bahaya mengancam dari orang bongkok itu.
Kalau sampai rahasianya terbongkar, tentu dia akan cela-ka. Akan tetapi kalau Sie Liong sudah tewas, tentu akan aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw Sun Kok, bukan Sie Liong. Kini, mendengar bahwa pendekar itu kehilangan ingatan dan kehi-langan tenaga, dia melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya. Dilihatnya sebatang golok besar di atas meja depan kamar tahanan, agaknya itu adalah senjata milik seorang di antara para pendeta penjaga.
"Keparat Sie Liong, engkau tidak layak dibiarkan hidup!" bentaknya dan sebelum semua orang dapat mencegah, dia sudah menyambar golok itu, menerobos masuk ke dalam kamar tahanan mela-lui pintu terbuka.
Mendengar teriakan yang memanggil namanya ini, Sie Liong mumbuka mata. Dia terkejut melihat seorang laki-laki muda yang tidak dikenalnya, atau yang tidak diingatnya siapa, meloncat ke a-rah pembaringan dan mengayun golok menyerangnya! Gerakan orang itu sedemikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mempunyai kesempatan untuk menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan naluri Sie Liong mengangkat lengan kirinya untuk menangkis.
"Jangan bunuh dia!" terdengar seruan Kim Sim Lama yang merasa terkejut sekali. Namun terlambat, go-lok di tangan Bong Gan itu sudah meluncur dengan cepatnya dan bertemu dengnn lengan kiri Sie Liong yang menangkisnya.
"Crokkkk!" Lengan kiri yang me-nangkis itu, lengan yang tidak mengan-dung tenaga sin-kang, mana mungkin kuat menahan golok besar yang amat tajam itu" Lengan itu terbabat buntung di atas siku, dan buntungan lengan terlempar ke atas lantai. Sie Liong terbelalak, tidak mengeluarkan keluhan, ha-nya memandang ke arah lengan kirinya yang buntung dan darah muncrat-muncrat dan diapun roboh pingsan di atas pembaringan!
Bong Gan hendak menyusulkan serangan maut ke arah tubuh yang sudah tidak mampu
berkutik itu, akan tetapi nampak bayangan merah dan Kim Sim Lama telah memukul ke arah lengan kanan Bong Gan.
"Tranggg....!" golok yang berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri le-ngannya dan terkejut sekali.
"Aih, adik Bong Gan, kenapa engkau lancang menyerangnya" Losuhu Kim Sim Lama
membutuhkan dia hidup!" tegur Pek Lan, sementara itu Bi Sian meman-dang dengan mata terbelalak ke arah Sie Liong yang rebah pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa o-leh Kim Sim Lama. Ia tidak melihat be-tapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan pemuda ini nampak gelisah. Di dalam hatinya, ada perasa-an iba kepada pamannya itu, dan kema-rahan kepada Bong Gan yang secara cu-rang menyerang Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Akan tetapi, ingatan bahwa Sie Liong membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia berkeras mengusirnya.
Kim Sim Lama menotok jalan darah di ketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar melalui lengan yang buntung, kemudian terde-ngar dia memanggil seorang penjaga dap menyuruhnya memanggil Camundi Lama de-ngan cepat.
Setelah petugas itu pergi, Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh penyesalan. "Orang muda, sungguh engkau lan-cang sekali. Bagaimanapun juga, Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 335
"Maafkan saya, Losuhu. Saya amat membencinya dan menjadi naik darah ketika melihatnya.
Maafkan, saya mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, kalau dia tidak dibunuh, lalu untuk apa"
Dia berbahaya sekali."
Kim Sim Lama menyeringai. "Untung pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa renca-na kami harus dipercepat. Kami hendak mempergunakan dia, maka sampai seka-rang kami menahannya dan sedang menca-ri kesempatan baik untuk mempergunakan dia."
Karena Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya. Apalagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan. "Untung bahwa dia bermak-sud membantu gerakan kita, kalau ti-dak, sukar bagi pinceng untuk
memaafkannya."
Penjaga yang diutus tadi sudah datang bersama seorang pendeta Lama yang kurus tinggi dan gerak-geriknya lem-but. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan pandang matanya lembut, akan tetapi dahinya penuh kerut merut seperti biasa terdapat pada wajah orang yang banyak menderita tekanan batin.
"Camundi Lama, cepat engkau obati luka di lengannya yang buntung itu. Kami tidak ingin melihat dia cepat-cepat mati." Pendeta tua itu mengangguk tan-pa menjawab, lalu
menghampiri Sie Li-ong dan memeriksanya. Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik na-pas panjang.
"Dia kehilangan cukup banyak da-rah, dan detik jantungnya amat lemah. Dia membutuhkan perawatan yang cermat. Pinceng akan merawatnya, harap kamar ini dikosongkan dan
buntungan lengan itu disingkirkan. Juga bekas-bekas da-rah dibersihkan."
Kim Sim Lama mengangguk dan berkata kepada semua orang, "Kita tinggal-kan dia bersama Camundi Lama, tabib kita yang pandai." Dan kepada para penjaga dia memerintahkan agar membuang buntungan lengan dan membersihkan percik-an darah. Lalu dengan sikap masih tak senang Kim Sim Lama meninggalkan ka-mar itu.
Pek Lan memberi isyarat kepada Bong Gan dan Bi Sian untuk kembali ke kamar mereka.
Thai-yang Suhu juga kem-bali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk ke dalam kamar Bong Gan dan Bi Sian. Di dalam kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek Lan diam-diam merasa geli. Di situ hanya ada sebuah saja tempat tidur, a-kan tetapi melihat betapa lantai kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan pakaian Bong Gan, mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendi-riannya, yaitu ia tidak sudi dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah mereka berhasil menemukan Pen-dekar Bongkok.
"Adik Bong Gan, yang sudah terja-di tadi sudahlah. Akan tetapi lain ka-li harap engkau suka bertanya-tanya dulu sebelum melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama tidak marah tadi. Kalau dia marah, siapapun tidak akan mampu melindungi keselamatan nyawamu lagi."
Wajah Bong Gan menjadi kemerahan dan di dalam hatinya, dia marah dan penasaran karena dipandang rendah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan kemarahannya, apalagi karena sejak tadi Bi Sian juga menghindarkan pertemuan pandang mata dengannya dan alis gadis itu selalu berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.
"Demikian lihaikah Kim Sim Lama itu?" dia bertanya, seolah-olah hendak membalas dan memandang rendah.
Pek Lan tersenyum memandang penu-da yang sejak masih remaja pernah men-jadi
kekasihnya itu. "Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia pernah menjadi orang ke dua di seluruh Tibet! Dan tentang kelihaiannya" Hemmm, biarpun kalian berdua juga amat lihai, namun aku per-nah mencoba kalian dan menurut pendapatku, kita bertiga ini mengeroyok Kim Sim Lama seorang diripun kita akan ka-lah."
"Ah, demikian hebatkah dia?" Bong Gan berseru dan terbelalak kaget.
Bi Sian melirik kepada pemuda itu dan berkata dengan nada suara kesal. "Kalau tidak lihai, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 336
mana mungkin dia dapat menawan Pendekar Bongkok" Tidak seperti engkau yang menyerang orang yang sudah kehilangan ingatan dan tenaganya!"
"Aihh, Sian-moi, kenapa engkau berkata demikian" Bukankah semua itu kulakukan demi engkau! Demi membalas sakit hatimu terhadap dia?"
Bi Sian bersungut-sungut. "Aku paling tidak suka perbuatan yang pengecut dan curang. Suhu pasti tidak akan suka melihat perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam, tentu akan kulakukan dengan cara orang gagah!"
"Sian-moi, engkau tidak adil...."
"Sudahlah, untuk apa kalian ribut-ribut dan bertengkar" Peristiwa itu sudah terjadi dan bagaimanapun, adik Bong Gan belum membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim
Lama melarang Bong Gan membunuh Pendekar Bongkok?"
"Kenapa, enci Pek Lan?" Bi Sian bertanya karena iapun tertarik sekali. Ia mulai merasa heran mengapa kini kebenciannya terhadap Sie Liong hampir tak terasa lagi, terganti rasa iba dan khawatir! Yang terbayang di depan matanya bukan pembunuhan atas diri ayah-nya,
melainkan semua kebaikan dan si-kap penuh kasih sayang dari pamannya itu kepadanya sejak mereka masih kecil!
"Kim Sim Lama membutuhkan Pende-kar Bongkok hidup karena dia ingin melihat Pendekar Bongkok mati di Lasha, bukan di sini, sehingga Dalai Lama yang akan bertanggung jawab atas kema-tiannya, bukan Kim Sim Lama."
"Kenapa begitu?" Bi Sian bertanya sambil mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa tidak senang karena perbuatan itu dianggapnya licik dan curang.
Pek Lan tersenyum. "Kalian memang perlu diberi penjelasan agar kalian tahu siapa yang kalian bantu dan apa artinya perjuangan yang dilakukan Kim-sim-pang ini. Ceritanya panjang, akan tetapi sebaiknya kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama masih kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya dan semua urusan bahkan ditangani oleh Kim Sim Lama atas nama Dalai Lama. Akan tetapi setelah Dalai Lama semakin besar, semua tindakannya tidak cocok dengan pendapat Kim Sim Lama. Bahkan Dalai Lama mengutus para pembantunya untuk
membu-nuhi banyak pertapa di Himalaya. Para pembantu utamanya adalah Tibet Ngo-houw.
Karena perbuatan itu sesungguh-nya tidak disukai oleh Kim Sim Lama, maka akhirnya terjadi pertentangan dan Kim Sim Lama meninggalkan Lasha, membentuk Kim-sim-pang yang
bertujuan menentang kelaliman Dalai Lama. Bahkan Tibet Ngo-houw akhirnya juga
membantu perjuangan Kim Sim Lama."
"Kalau begitu, Kim-sim-pang ada-lah perkumpulan pemberontak?" Bi Sian bertanya.
"Bagi Dalai Lama tentu begitu, a-kan tetapi bagi kami, kami sedang me-ngadakan gerakan perjuangan untuk me-nentang kelaliman Dalai Lama."
"Akan tetapi, apa hubungannya dengan Pendekar Bongkok" Dan mangapa pu-la Kim Sim Lama menghendaki agar orang menduga bahwa Pendekar Bongkok terbu-nuh di Lasha oleh Dalai Lama?" Bi Sian mendesak karena ia merasa tertarik sekali.
"Pendekar Bongkok adalah utusan yang mewakili para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah dikejar-kejar dan dibunuhi atas perintah Dalai Lama. Karena Pendekar Bongkok hanya tahu bahwa yang melakukannya terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka dia mencari Tibet Mgo-houw sampai ke sini. Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa Tibet Ngo-houw
hanyalah petugas saja mentaati Dalai Lama, bahwa Dalai Lama yang bertanggung jawab.
Bahkan Kim Sim Lama mengajak Pendekar Bongkok untuk bersama-sama membantu
perjuangan menentang kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi dia tidak mau bahkan menyerang Tibet Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan main dan baru dia dapat tertawan setelah Kim Sim Lama sendiri turun tangan. Begitulah keadaan yang sebenarnya. Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu, maka Kim Sim Lama tidak mau membunuh Pendekar Bongkok itu di sini. Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama yang menjadi biang keladi."
Mendengar keterangan itu, diam-diam Bi Sian membayangkan keadaan pa-mannya itu. Jelas Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 337
baginya bahwa pamannya seorang pendekar yang menjunjung perintah guru-gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su. Pamannya adalah seorang pendekar yang
melaksanakan tugas di Tibet ini dan kini ditim-pa malapetaka. Sedangkan ia" Ia diban-tu Bong Gan hanya untuk melampiaskan nafsu dendamnya kepada pamannya itu. "Aih, paman,"
keluhnya di dalam hatinya, "kenapa engkau tega membunuh ayahku?"
"Enci Pek Lan, kapan Pendekar Bongkok itu akan dibunuh, dan bagaimana dengan rencana pembunuhan yang akan dilakukan di Lasha itu?" tanya Bong Gan dan sekali ini suara dan isi pertanyaan pemuda yang menjadi sutenya dan juga tunangannya itu terdengar amat tidak se-dap di telinga Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum yang pernah mengeram di hatinya terhadap pemuda itu kini menipis, bahkan timbul kembali penyesalan yang mendalam bahwa ia dan sutenya itu menjadi korban obat bius dan perangsang sehingga ia terpaksa harus menja-di isteri Bong Gan karena dirinya te-lah ternoda oleh laki-laki itu!
Pertanyaan yang diajukan Bong Gan itu menarik pula perhatian Bi Sian yang kini ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pamannya itu. Melihat pamannya buntung lengan kirinya oleh sabetan golok Bong Gan dalam keadaan tak dapat melawan i-tu saja sudah membuat hatinya terasa sedih bukan main, bahkan kini ia mera-sa heran mengapa ia pernah begitu mem-benci pamannya dan ingin sekali membu-nuhnya!
"Hal itu masih dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan dia lakukan terha-dap Pendekar Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka aku tidak be-rani bertanya. Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita harus melaksanakannya dengan baik. Nah, sekarang mengasolah dan harap jangan dilanjut-kan pertengkaran yang tidak ada gunanya itu."
Akan tetapi Bong Gan merasa benar betapa berubah sikap suci-nya stau ca-lon isterinya itu terhadap dirinya se-telah terjadi peristiwa pembacokan ta-di. Bi Sian bersikap dingin, dan ja-rang sekali memandang kepadanya. Akan tetapi, diam-diam dia merasa girang karena setelah lengannya buntung, tentu makin tidak ada harapan bagi Sie Liong untuk melarikan diri. Dia tentu akan mati dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia pembunuhan yang dia lakukan terhadap Yauw Sun Kok itu. Betapapun juga, melihat sikap wanita yang pernah digaulinya, yang akan menjadi isteri-nya demikian dingin, hatinya merasa kesal dan mendongkol juga. Memang sejak terjadi hubungan badan antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan perangsang itu, dia selalu meme-gang janji dan tidak pernah dia berani menyentuh calon isterinya itu. Akan tetapi setidaknya, sikap Bi Sian biasa dan baik, tidak seperti malam ini. Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu, dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian rebah miring manghadap ke dinding mem-belakangi dia yang duduk di atas lan-tai, hatinya menjadi semakin mendongkol.
Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya, teringatlah Bong Gan akan peristiwa yang penuh kamesraan baginya di malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah sadar, dia sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan diapun bangkit dan menghampiri pembaringan Bi Sian.
"Sian-moi...." panggilnya lirih. Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.
"Sian-moi...." kembali dia memanggil lembut dan sekali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh ping-gul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini Bi Stan melirik. "Hem, mau apa engkau" Jangan duduk di sini!"
"Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku" Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi" Aku merasa menyesal sekali, aku tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 338
tahu betapa benar cintaku kepadamu...."
"Sudahlah, jangan bicarakan urus-an itu lagi. Pergi sana, tidur!"
"Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku.... ah, betapa rinduku kepadamu, Sian-moi....
perkenankanlah aku menyentuhmu, aku.... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi.
Bukankah kita akan menjadi suami isteri?"
Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah. "Apa" Engkau hendak melanggar janji"
Sudah kukatakan sebelum kita menikah, angkau tidak boleh me-nyentuhku!"
Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri. "Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang
khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong tewas."
"Aku tidak sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon per-kenan dan doa restunya, setelah itu baru kita melangsungkan
pernikahan."
"Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku...." Pemuda itu masih memohon.
"Sudahlah, kalau engkau masih merengek dan berani menyentuhku, baru a-ku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!"
Bong Gan sudah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluar-kan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadl kecewa sekali dan timbul kekesal-an hatinya. Dia adalah soorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang su-dah jelas akan menjadi isterinya! Bu-kan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuhpun tidak diperkenan-kan. Sambil menarik napas panjang dia-pun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal.
"Daripada tersiksa tidur di lan-tai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar kamar." Setelah berkata demikian, diapun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari lu-ar.
Tadinya Bi Sian tidak perduli Bong Gan akan tidur di manapun juga. Akan tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini menimbul-kan kecurigaan hatinya. Juga ia khawa-tir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong. Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan lebih dulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ke-tika ia mencari Sie Liong. Bukan
membunuhnya dalam keadaan yang tidak berda-ya seperti itu.
Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat meloncat turun dari atas
pembaringan, dengan hati-ha-ti sekali sehingga tidak mangeluarkan suara dan iapun manghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu, mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu.
Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Berma-cam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Ia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Ia tidak perduli apapun yang dilakukan Bong Gan kini. Akan tetapi mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa ha-rus diterimanya sebagai calon suaminya itu ternyata adalah seorang laki-laki yang rendah dan hina! Sebagai tamu orang berani berjina dengan wanita lain! Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua.
Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah" Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam dan iapun duduk di sisi pembaringannya, melamun.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 339
Tidak! Tidak mungkin ia menjaai isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan di depan mata-nya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipi-nya.
"Tidak!" Ia menahan suaranya yang ingin berteriak. "Aku tidak sudi menjadi isterinya!" Dan kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walaupun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ah, itu hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang pernah ada hubungan antara
kedua orang itu. Dan peristiwa di malam jahanam itu, ketika ia terbius dan terang-sang oleh racun yang dicampurkan dalam makanan dan minuman, sehingga ia menyerahkan diri kepada Bong Gan di luar kesadarannya, ketika hal itu terjadi Pek Lan berada pula di dekat mereka.
Hal ini menimbulkan kecurigaannya. Agaknya ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama di luar pengetahuan-nya.
Bagaimana juga, ia sudah mengam-bil keputusan untuj tidak mau menjadi isteri Bong Gan!
Bagaimana kalau pemu-da itu menagih janji" Ah, mudah saja, pikirnya. Peritiwa malam ini dapat di-jadikan alasan mengapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali. Bi Sian tersenyum walaupun mukanya masih basah air mata. Sungguh aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan iapun menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan! Kini, setelah ia memperoleh alasan ku-at untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman. Dan tak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya akan tetapi dengan mulut tersenyum manis!
"Omitohud.... Orang muda yang malang...." berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia mengobati dan merawat Sie Liong di dalam kamar tahanannya. Camundi Lama adalah
seorang pendeta yang usianya kurang lebih enam pu-luh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang amat pandai di Ti-bet dan dia sama sekali bukan seorang pendeta yang ingin memberontak terha-dap Dalai Lama. Sama sekali tidak. Kalau dia kini berada di situ adalah ka-rena dia memang diculik dan dipaksa o-leh Kim Sim Lama untuk bekerja di si-tu. Karena dia tidak dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanya men-jadi tabib untuk mengobati orang sa-kit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan menjadi tabib dalam Kim-sim-pang. Dia mendengar tentang beberapa perbuatan yang keras dan jahat dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, namun dia tidak mau ikut-ikut dan pura-pura tidak tahu saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, di dalam hatinya timbul perasaan kagum dan iba.
Seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok, akan tetapi memiliki keberanian yang luar biasa di samping ilmu si-lat yang kabarnya setingkat dengan ke-pandaian Kim Sim Lama sendiri! Dan dia merasa kasihan sekali melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak berdaya. Selain keracunan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga, juga dia telah minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung lengan kirinya!
"Kasihan, orang muda yang malang...." untuk ke sekian kalinya pendeta Lama itu berbisik.
Sie Liong membuka matanya. Ingat-annya masih belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah mulai berkurang. Wa-laupun dia belum ingat semua peristiwa yang lalu, namun dia mulai dapat mengingat apa yang terjadi dalam waktu dekat. Dia memandang ke kanan kiri.
"Ling Ling.... dimana Ling Ling...."
Camundi Lama membungkuk untuk memeriksa pandang mata pemuda itu. Pan-dang mata itu sudah agak jernih, pikirnya. "Siapakah Ling Ling, orang muda?"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 340
Kini Sie Liong memandang kakek i-tu. Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang mengobatinya. "Ah, Ling Ling...." Ia.... ia aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat namanya dan.... ah, sudahlah, aku tidak ingat lagi...."
Pendeta Lama itu semakin iba. "Omitohud.... engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib malang."
Sie Liong yang tadi memejamkan mata, membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman untuk pertama kalinya bahwa lengan kirinya buntung, dan dia teringat bahwa buntungnya lengan kirinya itu adalah karena dia menangkis bacokan golok seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
"Aku tidak bernasib malang, losuhu," katanya dan dengan susah payah diapun bangkit duduk bersila.
"Ah" Tidak" Akan tetapi baru saja engkau kehilangan lengan kirimu, orang muda," kata Camundi Lama, terheran-he-ran melihat sikap pemuda itu yang tenang saja, seolah-olah kehilangan sebuah lengan kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak berharga, dan tidak apa-apa!
Sie Liong memandang ke arah pangkal lengan kirinya yang buntung dan diapun tersenyum.
"Kalau memang sudah hilang, perlu apa disesali dan disedihkan, losuhu" Lengan itu tidak akan tumbuh kembali karena disedihkan. Lengan hanya merupakan satu di antara prabot--
prabot perlengkapan badan saja."
"Omitohud....! Banyak orang mengeluarkan ucapan seperti itu, dan su-dah sering pinceng (aku) mendengarnya akan tetapi semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori belaka.
Akan tetapi engkau, engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan engkau masih dapat bersikap setenang dan seenak i-ni! Orang muda, engkau bukan hanya ke-hilangan lengan kiri, akan tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga kehilangan tenagamu karena darahmu telah keracunan. Engkau tidak berdaya sama sekali, dan setiap saat nyawamu terancam. Nah, apakah engkau sekarang tidak akan merasa sedih dan menyesal?"
Sie Liong menggeleng kepala sam-bil tersenyum, demikian wajar dan ti-dak dibuat-buat.
Semua penderitaan yang dialaminya itu seperti mendatang-kan suatu penerangan baginya, membuat dia seperti hidup baru.
"Kenapa sedih dan menyesal, los-hu" Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan lenyap.
Bahkan kalau seluruh badan ini matipun tidak perlu disesalkan, mengapa baru kehilangan yang sedikit itu harus ber-duka" Tidak, losuhu. Aku masih hidup dan akan tetap hidup, dan kalau Tuhan manghendeki, aku akan dapat mengatasi sagala kesulitan."
"Omitohud.... semoga Sang Buddha memberi penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda, ilmu apakah yang kau-pergunakan, bagaimana caranya maka engkau dapat menerima segala derita seng-sara ini dengan senyum di bibir?" Dia memandang penuh kagum.
"Tidak ada ilmunya, losuhu, hanya dengan cara penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerahkan segala-galanya kepada Tuhan sehingga apapun yang terjadi atas diriku adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada penyesalan apapun, yang ada hanya puji syukur karena semua ini sudah dikehendaki oleh Tuhan, dan segala kehendak Tuhan pun jadilah, dan tidak ada kekeliruan."
Tiba-tiba kakek itu tersedu dan merangkul Sie Liong. Ada beberapa butir air mata membasahi mata kakek itu.
"Ah, orang muda, pinceng harus banyak belajar darimu.... jangan khawatir, pinceng akan mencoba untuk menolongmu. Racun penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan lenyap sendiri pengaruhnya. Akan tetapi racun dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya luka dalam kalau mengerahkan sin-kang, akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah,
kauminumlah obat ini dulu, orang muda, untuk membuat luka di lenganmu cepat mengering, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 341
juga untuk mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan membuatkan obat
penawar racun di tubuhmu."
Dengan taat Sie Liong meminum o-bat itu, kemudian dia tetap duduk ber-sila sedangkan kakek itu sibuk pula membuat ramuan obat baru untuk menghilangkan racun yang berada dalam darah Sie Liong.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki di luar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama yang bertu-gas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang memasuki ka-mar itu adalah Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw! Thay Si Lama, orang ke dua dari Tibet Ngo-houw masih nampak agak pucat akan tetapi dia te-lah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka di dalam tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertem-puran mengeroyok Sie Liong tempo hari. Melihat munculnya Kim Sim Lama, Camun-di Lama cepat memberi hormat. Satu-sa-tunya orang yang dihormati Camundi La-ma hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang pantas dihormati.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Kim Sim Lama sambil lalu, dan dia melang-kah mondekati Sie Liong yang masih du-duk bersila, seolah-olah hendak meme-riksa luka di lengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut kain putih oleh ta-bib itu.
"Sudah hampir kering," jawab Camundi Lama.
Tiba-tiba tangan kanan Kim Sim Lama bergerak monotok ke arah pundak ki-ri Sie Liong.
Pemuda itu melihat gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu berbuat sesuatu dan begitu pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sin Lama, diapun terkulai lemas di atas pembaringan.
"Ehh" Kenapa....?" Camundi Lama berseru heran dan kaget.
Melihat Sie Liong sudah terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama sagera berkata kepada Camundi Lama. "Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tidak akan menimbulkan kecurigaan kalau membawa janazah untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lasha. Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan penguburan di kuburan umum di Lasha itu
bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya. Jangan khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu."
"Akan tetapi, siapakah yang meninggal dunia?" Camundi Lama bertanya heran.
Kim Sim Lama menunjuk ke arah tubuh Sie Liong yang terkulai di atas pembaringan. "Dia itu! Kami menghendaki agar tubuhnya dapat bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka tidak kami bunuh dia. Dan engkau tidak perlu banyak bertanya, Camundi, semua ini demi berhasilnya perjuangan kita!"
Melihat sinar mata mencorong dari Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan mengangguk taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim Sim Lama. Dia sama sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri.
Sama sekali tidak! Akan tetapi, dia dibuat tidak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan membunuh seluruh keluarga-nya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya, kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah yang membuat Camundi Lama tidak berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati sega-la perintah bekas wakil Dalai Lama i-tu.
Empat orang pendeta Lama datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas pentunjuk Kim Sim Lama, tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.
"Agar tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa," kata Camundi Lama dengan sikap bersungguh-sungguh. Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan
dibuat sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat di atas bagian kepala tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat orang pendeta, diiringkan belasan orang pendeta yang membaca doa dan di antara mereka itu terdapat Camundi Lama Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 342
yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi Lama memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai, maka tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tak seorangpun menaruh curiga.
Karena orang-orang dapat menduga bahwa yang dimakamkan itu tentulah se-orang anggauta Kim-sim-pang, maka tak seorangpun berani bertanya-tanya, bah-kan mendekatpun tidak berani. Biarpun pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah
perkumpulan pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama,
namun semua orang sudah tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang di-dirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walaupun ti-dak secara terang-terangan.
Peti mati itu dikubur. Para pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara, bekerja seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia merasa ka-gum, iba dan suka sekali kepada pemu-da bongkok itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu. Tadi dia hanya memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie Liong yang masih pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia he-nya mengatakan kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh itu tidak segera rusak kalau su-dah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung, Camundi Lama juga ti-dak dapat berbuat sesuatu untuk mence-gah, karena dia tahu bahwa secara sem-bunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati pelaksanaan penguburan itu.
Camundi Lama memasukkan sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti mati dan ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara tumpukan batu yang sengaja diletakkan di atas tanah kuburan. "Tabung ini untuk
memasukkan hawa agar mayatnya tidak lekas rusak seperti dikehendaki oleh Kim Sim La-ma," katanya kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu dan mereka semua tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang selalu menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal, Camundi Lama melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong mempertahankon
hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman maut. Akan tetapi mana mungkin" Pemuda itu sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka. Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah ke-pada Tuhan! Dan kalau sudah menyerah, lalu dikehendaki Tuhan bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa anehnya" Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau kita sudah menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak sedikitpun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal pikoran, maka yang bakerja adalah kekuasaan-Nya!
Teringat akan ini, mulut yang tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan.
Para pendeta Lama itu sagera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus melakukan pengintaian sampai Ca-mundi Lama dan para pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan.
Kemudian, Tibet Ngo-houw juga per-gi setelah menyuruh seorang anak buah mereka
melakukan pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudi-an mereka kembali untuk memberi lapor-an kepada Kim Sim Lama.
Sebelum peti mati itu diangkur keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan. "Dia sudah mati.... dia sudah mati...." katanya dengan wajah berseri.
"Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?" tanya Bong Gan, akan tetapi Bi Sian diam saja.
Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi ia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu.
"Pendekar Bongkok, dia telah mati!" kata Pek Lan.
"Apa....?" Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak den muka agak pucat Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 343
ia memandang kepada Pek Lan. "Siapa yang membunuh-nya?" tanyanya dan suaranya agak geme-tar.
Melihat ini, teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur,"Sian-moi" Kalau dia matipun, mengapa" Mengapa engkau keli-hatan pucat dan suaramu gemetar"
Apakah engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?"
"Tutup mulutmu!" Bi Sian membentak marah. "Aku merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku! Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya" Aku akan menanyakan kepadanya!" Bi Sian sudah berlari keluar dari dalam kamarnya.
"Sian-moi....!" Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengennya disam-bar oleh tangan Pek Lan dan sekali ta-rik, tubuh pemuda itu sudah berada da-lam rangkulannya.
"Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. A-da aku do sini, perlu apa engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?"
Bong Gan tertawa dan balas merangkul.
Sementara itu, Bi Sian mencari Kim Sim Lama dan mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam ruangan samadhi di belakang. Ia tidak perduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, iapun melangkah masuk. Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersamadhi, dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw. Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi iapun masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka iapun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Losuhu, maafkan saya mangganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?"
Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. A-kan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang dan diapun berkata kepa-da gadis itu,
"Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita bicara sebagai tuan ru-mah dan tamunya yang sudah saling bersahahat."
Bi Sian menyadari kekasarannya, maka iapun segera duduk di atas lantai karena ruangan samadhi itu tidak mempunyai kursi atau bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus.
"Nona Yauw, kalau benar pinceng membunuh Pendekar Bongkok, apakah hu-bungannya hal itu denganmu" Harap nona jelaskan," kata Kim Sim Lama.
"Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku meninggalkan rumah demikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang telah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi sekareng, tahu-tahu sekarang dia telah dibunuh!"
"Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang ingin membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya,
bukankah itu sudah menjadi hak kami" Kalau benar nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali kepada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa nona sebenarnya tidak membenci Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!"
"Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri dengan tanganku...."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 344
Pada saat itu terdengar suara di sebelah kiri, "Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok, bukan?" Bi Sian menengok ke kiri dan ia berte-mu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata mencorong dan ia merasa jantungnya bergetar hebat. Ia merasa dirinya lemah dan tidak berani menen-tang lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Ia tidak ta-hu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw te-lah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan tenaga dan mulai menguasainya.
"Aku.... aku membenci Pendekar Bongkok...." Jawabnya seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar yang berten-tangan dengan suara hatinya! Ia sendl-ri memang percaya bahwa ia membenci Sie Liong. Mengapa tidak! Sie Liong telah membunuh ayah kandungnya! Ia memaksa diri sendiri untuk membenci Sie Li-ong walaupun suara hatinya membisikkan lain.
"Kalau begitu, engkau harus berterima kasih kepada Kim Sim Lama yang telah menewan dan membunuh musuh besarmu," kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena di antara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.
Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi lemah dan di luar kehendaknya sendiri, ia
mengangguk dan berkata, "Aku berterima kasih...."
"Nona Yauw Bi Sian," kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup ke da-lam kepala dan jantung Bi Sian rasa-nya, "Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!"
"Aku akan membantu Kim-sim-pang...." kata pula Bi Sian.
"Nona, engkau akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!" terdengar suara kecil melengking tinggi dari kanan. Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai-yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia marasa setuju sekali dan iapun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh.
"Aku akan mentaati sagala yang diperintahkan Kim Sim Lama."
Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang amat kuat, karena pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai-yang suhu.
"Nah, sekarang engkau boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw," kata pula Kim Sim Lama.
Bi Sian mengangguk, bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil mulutnya berbisik-bisik seperti anak seko-lah menghafalkan pelajarannya. "Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...."
Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut ku-sut keluar dari kamarnya, ia bahkan sama sekali tidak perduli, masuk ke da-lam kamar, merebahkan diri di pemba-ringan den memejamkan mata untuk ti-dur, mulutnya masih mengulang kedua kalimat itu, "Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...."
Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu
bergandeng tangan menuju ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan ke-mesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi Sian.
*** Camundi Lama tidak tahu betapa tepat dan benarnya, kebenaran yang mutlak dan tidak dapat dibantah pula, bahwa kekuasaan Tuhan dapat melakukan apa saja yang menurut akal pikiran tidak mungkinpun dapat terjadi dengan mudah-nya kalau Tuhan menghendaki. Kebenaran yang mutlak ini terjadi setiap saat di alam semesta, akan tetapi manusia ti-dak
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 345
memperhatikannya, tidak sadar dan waspada sehingga mengira bahwa yang terjadi adalah akibat daripada usaha manusia. Camundi Lama hanya melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan Sie Liong, tidak melihat bahwa kebenaran itu sedang terjadi, telah terjadi dan akan selalu terjadi di sekeliling-nya. Dia tidak menyadari bahwa dirinya pun telah menjadi alat yang dipergunakan Tuhan untuk menyelamatkan Sie Liong. Ketika Sie Liong siuman dan membuka kedua matanya, dia tidak melihat a-pa-apa. Gelap pekat saja yang nampak. Dia memejamkan kedua matanya kembali dan mengingat-ingat. Tepat pada hari itu habislah sudah seluruh sisa penga-ruh racun penghilang pikiran dan ingatannya kembali lagi.
Kewaspadaan timbul kembali, terasa di seluruh tubuh. Te-ringatlah dia bahwa dia sedang melaksanakan tugasnya menyelidik ke Kim-sim-pang, kemudian dia teringat akan perkelahian melawan Tibet Ngo-houw dan akhirnya dia roboh karena Kim Sim Lama membantu
mengeroyoknya. Hanya sampai di situ saja ingatannya, kemudian dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Tahu-tahu dia berada di sini! Dia membuka mata lagi, akan tetapi sia-sia saja. Semuanya gelap. Sudah butakah kedua matanya" Dia menggerak-kan tangan, dan meraba-raba. Ternyata dia berada di dalam sebuah peti! Dia meraba-raba kedua matanya.
Tidak, dia tidak buta, hanya berada di dalam sebuah peti yang teramat gelap. Kembali dia mencoba untuk mengingat-ingat dan samar-samar dia teringat bahwa dia ditawan dalam sebuah kamar, dijaga pendeta-pendeta Lama, dan teringat pula de-ngan hati terkejut bahwa dia pernah diserang searang pria dengan golok, di-tangkis dengan lengan kirinya dan le-ngan kiri itu buntung. Cepat tangan kanannya bergerak lagi meraba lengan kiri. Buntung! Lengan kirinya benar buntung! Tinggal sisa pangkal lengan saja sedikit.
"Ya Tuhan....!" Dia berseru lirih. Sampai beberapa lamanya dia berdiam diri, di dalam hatinya bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa lengan kiri-nya harus buntung. Akan tetapi, kemba-li dia menyandarkan diri kepada kekua-saan Tuhan. Kalau memang Tuhan menghendaki,
jangankan hanya sebuah lengan kirinya, biar seluruh tubuhnya dihancur-kan, biar nyawanya dicabut, dia rela, dia menyerah penuh kepasrahan! Begitu ada penyerahan yang tulus ini, diapun merana aman dan tenteram. Pikirannya menjadi terang dan tenang sekali.
Tanpa mengingat sedikitpun lagi tentang lengan kiri yang buntung, dia menggunakan tangan kanan meraba-raba dan akhirnya dia menemukan lubang di atas kepalanya. Ada lubang sebesar ibu jari kaki pada peti itu dan ketika dia meraba dengan jari telunjuk, dia tahu bahwa lubang itu tersambung sebatang tabung ke atas dan agaknya itulah yang menyebabkan dia tidak mati kehabisan napas. Hawa udara segar masuk dari ta-bung itu! Dia mencoba untuk menggerak-kan tangan kanan dan kedua kakinya, untuk mancoba kekuatan peti itu. Akan tetapi ternyata tenaggnya lemah sekali. Dan teringatiah dia bahwa sebelum ini, kalau dia mengerahkan tenaga, bukan saja tenaganya lemah, akan tetapi juga dadanya terasa nyeri.
Agaknya penyakit itu telah sembuh! Akan tetapi tenaga-nya masih tetap lemah, seolah-olah semua tenaga sin-kanghya lenyap. Dan dia pun kini teringat bahwa ada orang yang
mengobatinya. Camundi Lama! Pendeta yang kurus tinggi itu, yang mengobatinya di dalam kamar tahanan. Ah, benar! Ketika itu tabib yang baik itu sedang mengobatinya, lalu muncul Kim Sim Lama dan Tibet Ngo-houw, dan Kim Sim Lama menotoknya!
"Hemm, mereka memasukkan aku ke dalam sebuah peti, seperti peti mati bentuknya, dan melihat gelapnya, dan mencium bauh tanah ini, dengan tabung memasukkan udara segar, hemm.... agaknya peti ini berada di dalam tanah!" Dia terbelalak, namun tetap saja gelap gulita. "Ah, merka telah menguburkan aku.
Mereka mengubur aku hidup-hidup!" Kembali perasaan khawatir dan takut menghantuinya, namun hampir bar-bareng, kesadaran menyerahkan diri ke-pada Tuhan mengusir itu semua.
Dia ha-rus panrah, percaya sepenuhnya akan kekuasaan Tuhan.
"Kekuasaan Tuhan berada di mana-pun juga," demikian pernah Pek Sim Sian-su berkata, "di tempat yang paling tinggi maupun paling rendah, dalam benda yang paling besar sampai yang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 346
pa-ling kecil, di atas langit maupun di bawah bumi...."
"Di bawah bumi.... ah, di sini pun terdapat kekuasaan Tuhan! Ya Tuhan, hamba menyerah, hamba pasrah, apapun yang Tuhan kehendaki jadilah!" Hati Sie Liong bersorak dan
pikirannya semakin terang. Dia mulai menggunakan pikirannya kembali. Jelas, dia berada di dalam sebuah peti dan peti itu dikubur. Entah mengapa, petinya berlubang dan ada tabung yang memasukkan hawa udara segar. Orang tidak menghendaki dia cepat mati. Tentu ini parbuatan Kim Sim Lama, akan tetapi untuk apa dia tidak tahu dan tidak berniat menyelidiki karena hal itu akan sia-sia sa-ja. Yang penting sekarang harus menca-ri jalan untuk keluar dari tempat ini. Kembali dia menggerakkan kedua kaki dan sebelah tangannya untuk mencoba memecahkan peti. Akan tetapi ruangan itu terlalu sempit, dan tenaganyapun terlalu kecil.
Percuma saja, pikirnya. Dan pula, andaikata peti itu dapat dipecahkan, dia tetap masih di dalam tanah. Lebih celaka, kalau sampai tabung hawa itu patah dan kemasukan tanah, tentu dia tidak akan dapat bernapas lagi dan itu berarti kematian yang mengerikan. Tidak, dia tidak boleh terburu nafsu, tidak boleh putus harapan. Kalau orang memasang tabung itu, berarti mereka tidak menghendaki dia mati dan tentu merekapun akan mengeluarkannya lagi sebelum dia mati.
Dia mengingat-ingat percakapannya dengan tabib Tibet itu. Dia terkena racun penghilang ingatan, akan tetapi a-gaknya racun itu telah kehilangan daya kerjanya, maka sekarang dia dapat mengingat-ingat lagi. Dan menurut tabib i-tu, dia juga keracunan. Darahnya kera-cunan sehingga dia kehilangan tenaga sin-kangnya dan setiap kali mengerahkan tenaga, tadinya dadanya terasa nyeri. Sekarang, dada itu telah tidak nyeri lagi, namun tenaganya masih belum pulih. Tentu tabib itu telah berhasil mengobatinya, namun belum sembuh sama sekali sehingga baru rasa nyerinya yang hilang. Tenaga sin-kangnya belum kembali.
Kembali dia menggerakkan tangan kanan, menekan ke arah peti. "Krek.... krekk....!" Peti itu retak oleh dorongannya. Tenaga biasa, bukan tenaga sin-kang, akan tetapi karena memang dia memiliki tubuh yang terlatih, tenaganya cukup besar. Begitu terdengar suara berkeretekan, peti sedikit terbuka dan ada tanah dan pasir masuk dan me-nimpa mukanya! Dengan cepat dia memejamkan mata dan menggunakan tangan ka-nan membersihkan muka. Celaka, pikir-nya.
Kalau dia berhasil memecahkan pe-ti itu, dia akan tertekan tanah dan pasir, dan akan mati kehabisan hawa uda-ra. Kini dia malah tidak berani barge-rak sama sekali karena setiap kali bergerak agak keras, ada tanah dan pasir jatuh ke dalam peti yang sudah retak itu.
Tenang, Sie Liong, tenanglah dan pergunakan akal budimu. Akal budi juga pemberian Tuhan yang harus diperguna-kan pada saat yang dibutuhkan, seperti sekarang ini! Dia memang sudah menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan namun di samping itu dia harus berikh-tiar, berusaha menggunakan segala alat yang ada padanya, pikirannya, akalnya, tenaganya yang ada pada seluruh tubuh. Kekuasaan Tuhan membimbing, akan teta-pi
bimbingan itupun tentu disalurkan melalui alat-alat yang ada padanya.
Diapun mengingat-ingat. Dia berada di dalam bumi! Di dalam tanah. Dan tiba-tiba teringatlah dia akan pelajaran yang pernah diberikan Pek Sim Sian-su kepadanya, yaitu pelajaran tentang tenaga-tenaga mujijat yang berada dalam alam semesta ini. Tenaga dahsyat yang terdapat dalam api, dalam air, dalam hawa, dalam logam dan dalam tanah! Dalam tanah terdapat tenaga yang maha dahsyat, demikian kata gurunya itu. Tenaga Inti Bumi! Tenaga inilah yang menghasilkan segala zat, segala makan-an, segala benda di dunia ini. Yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan, yang me-ngeluarkan hawa panas, yang mengeluarkan apa saja. Bumi nampak lemah dan diam. Namun segala yang nampak ini bera-sal dari bumi dan akan kembali ke bumi pada akhirnya! Bumi mengandung tenaga dan daya tarik yang hebat, mengandung energi yang maha dahsyat. Dalam bumi, dalam tanah, tedapat kekuasaan Tuhan, yaitu energi yang maha dahsyat itu! Dan dia hanya tinggal menyerah dengan pasrah, dan kalau Tuhan menghendaki, maka tentu dia akan kebagian sedikit tenaga dahsyat itu. Sedikit saja, cu-kup untuk membuat dia keluar dari dalam kurungan maut itu.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 347
Mulailah Sie Liong mengatur pernapasan melalui lubang dalam tabung itu, mulai dia menghimpun hawa murni dan membangkitkan tenaga saktinya. Perlahan-lahan, dengan penuh penyerahan ke-pada Tuhan Yang Maha Kasih, dia mulai merasakan adanya hawa yang hangat memasuki tubuh melalui napas yang dihisap-nya. Hawa yang hangat ini berputar di dalam pusarnya, seolah membangkitkan kembali tenaga saktinya yang nampaknya tertidur itu, dan hawa murni yang ter-hisap olehnya itu kini bercampur de-ngan sesuatu yang belum pernah dirasakannya. Berbeda dengan hawa murni yang dihimpun ketika dia latihan di atas sana, di atas tanah. Kini ada sesuatu yang kadang panas kadang dingin, ka-dang menyesakkan dada, terbawa masuk ke dalam tubuhnya, berkumpul di dalam pusar. Dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya, tanpa disengaja, dia mulai menghimpun Tenaga Inti Bumi! Itulah kekuasaan Tuhan yang sudah diyakininya. Agaknya Tuhan menghendaki demikian sehingga tanpa
disengaja, nampaknya secara kebetulan saja, Sie Liong dapat menghimpun Tenaga Inti Bumi sewaktu dia dikubur hidup-hidup dalam peti! Dan kebetulan sekali pula, sesungguh-nya bukan kebetulan melainkan sudah digariskan dan diatur oleh kekuasaan Tu-han, pada saat itu racun dalam darahnya mulai dibersihkan oleh obat yang dimasukkan ke dalam perutnya oleh Ca-mundi Lama. Darahnya sudah bersih kembali dan ketika tenaga sin-kangnya perlahan-lahan pulih, kebetulan saat itu dari pengaturan pernapasan, dia menghimpun Tenaga Inti Bumi yang segera bersatu dengan tenaga sin-kang yang sudah ada dalam tubuhnya!
Namun Sie Liong tidak merasakan semua itu. Dia hanya memusatkan perha-tian pada
pernapasannya, sambil menye-rahkan segalanya kepada Tuhan, bagaikan orang yang benar-benar sudah mati.
*** Lie Bouw Tek memang seorang pria yang gagah perkasa dan penuh keberani-an. Dia berhasil menghadap Dalai Lama bersama Sie Lan Hong dan mendengarkan penjelasan. Kini tahulah dia bahwa se-mua peristiwa yang menimpa para tosu dari Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san, juga yang menimpa Kun-lun-pai sendiri, adalah suatu muslihat belaka dari para pemberontak di Tibet untuk mengelabuhi mata umum dan melakukan fitnah kepada Dalai Lama, agar Dalai Lama dimusuhi banyak pihak!
Akan tetapi dia tidak perduli a-kan semua itu. Dia tidak hendak mencampuri urusan pemberontakan di Tibet, tidak membela Dalai Lama, juga tidak membantu para pemberontak.
Dia hanya i-ngin mengajak Sie Lan Hong bertemu dengan adiknya yang dicari-carinya, yaitu Sie Liong, dan juga mencari puteri-nya, Yauw Bi Sian. Karena tidak ber-maksud mencampuri urusan pemberontakan malainkan urusan pribadi, maka Lie Bo-uw Tek tidak ragu-ragu atau takut-ta-kut untuk mengunjungi sarang Kim-sim-pang yang memberontak terhadap Dalai Lama! Dia terpaksa mengajak Sie Lan Hong yang tidak mau ditinggal dan ingin pula mencari sendiri adik dan puterinya.
Pria perkasa berusia tiga puluh e-nam tahun itu dan janda muda jelita berusia tiga puluh tiga tahun itu mela-kukan perjalanan dengan tenang dan tenteram. Mereka sudah yakin akan cinta kasih masing-masing, maka melakukan perjalanan berdua merupakan suatu hal yang selain membahagiakan, juga menda-tangkan perasaan tenteram dan penuh damai. Melakukan
perjalanan berdua merupakan suatu kebahagiaan yang membuat sinar matahari lebih cerah, warna-war-na lebih terang, suara apapun majadi lebih merdu. Dunia nampak lebih indah daripada biasanya!
Pada pagi hari yang cerah itu, mereka tiba di lereng sebuah bukit. Dari lereng itu mereka dapat melihat ke bawah dan pemandangan alam di pagi ha-ri itu teramat indahnya. Dari lereng bukit itu mereka dapat melihat telaga Yam-so dengan airnya yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Bukit-bukit di sekitar telaga itu penuh dengan warna kehijauan dengan titik warna beraneka macam. Musim bunga telah tiba dan di bukit-bukit itu ditumbuhi ba-nyak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 348
sekali pohon yang berbunga indah.
Dari Kong Ka Lama mereka telah mendengar keterangan jelas tentang letak sarang Kim-simpang. Mereka tahu bahwa sarang itu berada di bukit ini. Dan perhitungan mereka memang tidak salah. Selagi mereka menikmati keindahan pemandangan alam di bukit itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tempat itu sudah terkepung oleh belasan orang pendeta Lama yang memegang bermacam senjata. Wajah para pendeta ini tidak menyeramkan, namun cukup bengis.
Lie Bouw Tek berpura-pura kaget walaupun dia sudah dapat menduga bahwa mereka
tentulah anak buah Kim-sim-pang. Dia menjura kepada mereka semua, lalu berkata,
"Maafkan kalau kami menganggu cu-wi suhu (para pendeta sekalian). Kami adalah dua orang yang bermaksud pergi bersembahyang ke kuil Kim-sim-pang. Dapatkah cu-wi menunjukkan jalannya ke kuil itu?" Dari Kong Ka Lama Lie Bouw Tek sudah mendengar bahwa sarang Kim-sim-pang itu tersembunyi di bela-kang sebuah kuil Kim-sim-pang yang se-sungguhnya hanya merupakan kedok belaka. Oleh karena itu, dia tadi mengajak Lan Hong untuk
mengambil jalan memu-tar, tidak datang dari depan, melain-kan hendak mencari jalan dari bela-kang kuil.
Mendengar ucapan Lie Bouw Tek, belasan orang pendeta Lama itu memandang dengan alis berkerut penuh kecurigaan, lalu seorang di antara mereka yang me-mimpin rombongan berkata, "Jalan menu-ju ke kuil adalah jalan raya yang su-dah ada dari kaki bukit. Kenapa ji-wi tidak mengambil jalan itu melainkan berkeliaran di tempat ini" Di sini me-rupakan wilayah kekuasaan kami, dan tidak seorangpun boleh berkunjung di si-ni tanpa seijin kami."
Lie Bouw Tek mengangkat kedua ta-ngan memberi hormat. "Maafkan kami berdua. Kami tidak sengaja hendak melang-gar wilayah kekuasaan cu-wi. Karena tertarik oleh
pemandangan yang indah dari sini, maka kami berdua tidak melalui jalan raya dan...."
"Katakan apa keperluan ji-wi yang sesungguhnya, kalau tidak, terpaksa kami harus menangkap ji-wi dan kami ajak menghadap pimpinan kami yang akan me-nentukan
selanjutnya."
Lie Bouw Tek sudah hendak marah, mukanya sudah menjadi kemerahan. Melihat ini, Lan Hong menyentuh lengannya dan iapun melangkah maju dan berkata dengan lembut. "Harap cu-wi suhu mema-afkan. Kami sama sekali tidak hendak mengganggu cu-wi (kalian). Kami datang selain untuk bersembahyang, juga untuk mencari seorang adikku. Dia seorang pemuda bongkok bernama Sie Liong dan...."
"Pendekar Bongkok!" seru seorang di antara mereka karena kaget. Mende-ngar ini, Lan Hong dan Bouw Tek girang sekali.
"Benar dia! Pendekar Bongkok! Dialah yang kami cari," kata Lie Bouw Tek. "Dapatkan cuwi memberitahu di mana dia?"
Akan tetapi begitu mendengar bah-wa yang datang ini adalah keluarga Pendekar Bongkok, para pendeta itu sudah memandang Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong sebagai musuh yang tentu datang dengan maksud membebaskan Pendekar Bongkok yang pernah menjadi tawanan Kim-sim-pang. Mereka sudah mengepung dan seorang dari mereka lari menuju ke sarang untuk melapor. Melihat sikap mereka, mengacungkan senjata dan menge-pung, Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Dia berdiri tegak dan berkata dengan suara lantang.
"Cu-wi tentulah orang-orang Kim-sim-pang! Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Bouw Tek, seorang murid Kun-lun-pai, dan ini adalah Sie Lan Hong, kakak perempuan Pendekar Bongkok. Kami sama sekali tidak mempunyai urusan de-ngan Kim-sim-pani, kami hanya mencari adik kami itu!"
Akan tetapi, para pendeta itu mengepung semakin ketat. "Ji-wi harus menyerah untuk kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami. Hanya beliau yang akan menentukan
apakah ji-wi ber-salah ataukah tidak. Menyerahlah daripada kami harus menggunakan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 349
kekerasan!"
"Hemm, kalian ini orang-orang yang berpakaian pendeta, akan tetapi sikap dan tingkah laku kalian seperti peram-pok-perampok saja! Kami tidak bersalah apapun, bagaimana harus menyerah menjadi orang tangkapan" Kami tidak mau me-nyerah!" Barkata demikian, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang bersinar merah. Sie Lan Song juga menca-but pedangnya, karena ia tahu pula bahwa menyerah kepada orang-orang ini berarti membiarkan diri terancam baha-ya. Mereka adalah pemberontak, kalau sudah menawan orang tentu tidak mudah melepaskannya lagi begitu saja. Iapun siap mengamuk di samping Lie Bouw Tek untuk membela diri.
"Hemm, terpaksa kami menggunakan kekerasan!" bentak pemimpin rombongan dan empat orang sudah menerjang dengan senjata mereka kepada Lie Bouw Tek, dan dua orang juga menerjang ke arah Sie Lan Hong.
"Trang-trang-tranggg....!" Bunga api berpijar ketika Lie Bouw Tek meng-gerakkan
pedangnya menangkis. Sinar merah berkelebaten dan empat orang pendeta itu berseru kaget dan berloncatan mundur karena senjata mereka telah buntung ketika bertemu dengan pedang di tangan pendekar Kun-lun-pai itu!
Dua orang yang menyerang Sie Lan Hong juga mendapatkan perlawanan ke-ras. Bukan saja wanita cantik itu mam-pu mengelak dan menangkis, bahkan mem-balas dengan hebat dan sebuah tandang-an kakinya sempat membuat seorang pe-ngeroyok terhuyung dan mamegangi perutnya.
Para pendeta itu menjadi marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka itu menyerang lagi, tiba-tiba terdengar seruan yang amat berwibawa, "Tahan semua senjata....!"
Para pendeta mengenal suara Kim Sim Lama dan mereka segera berloncatan ke belakang dan menghenti-kan serangan mereka. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong cepat berdiri saling men-dekati agar dapat saling bantu jika mereka dikeroyok lagi. Lie Bouw Tek yang amat mengkhawatirkan keselamatan Sie Lan Hong, menggunakan tangan kirinya menyentuh
lengan wanita itu, seperti hendak menenangkan hatinya dan meyakinkan bahwa dia berada di situ dan akan selalu melindunginya. Dan kini mereka memandang kepada pendeta Lama yang tinggi kurus dan tua renta itu. Pende-ta Lama itu biarpun sudah tua, mukanya kemerahan dan segar seperti muka kanak-kanak, hampir sama merahnya dengan ju-bahnya yang lebar.
Lie Bouw Tek sudah mendengar pula keterangan dari Kong Ka Lama, pengawal Dalai Lama, maka dia dapat menduga de-ngan siapa dia kini berhadapan. Dia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan melihat ini, Sie Lan Hong juga mencontohnya.
Mereka memberi hormat kepada Kim Sim Lama, dan Lie Bouw Tek berkata dengan suara lantang namun mengandung penghormatan.
"Kalau kami tidak salah duga, locianpwe tentulah yang terhormat Kim Sim Lama. Terimalah hormat kami, locianpwe."
Kim Sim Lama membungkuk sedikit. "Omitohud.... orang muda yang gagah sudah mengenal pinceng (aku) dan kalian berdua orang-orang muda secara berani sekali memasuki tempat larangan ka-mi. Siapakah kalian dan ada keperluan apa kalian berkeliaran di sini?" Tadi dia sudah mendengar pelaporan seorang anak buahnya. Karena mendengar bahwa pendekar yang dikeroyok itu seorang murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, diapun cepat keluar melerai perkelahian itu dan kini Kim Sim Lama ingin mendengar sendiri pengakuan Lie Bouw Tek.
Dengan lantang Lie Bouw Tek mem-perkenalkan diri. "Saya bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai yang meneri-ma perintah para suhu di Kun-lun-pai untuk melakukan
penyelidikan mengapa para pendeta Lama telah memusuhi Kun-lun-pai, disamping memusuhi para tosu dan pertapa lain. Dan sahabat saya ini bernama Sie Lan Hong, kakak kandung dari Pendekar Bongkok dan ia datang un-tuk mencari adiknya itu. Kini kami berhadapan dengan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 350
locianpwe Kim Sim Lama dan kami mengharap locianpwe akan sudi membantu kami dengan keterangan tentang kedua hal itu."
Kim Sim Lama mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara ketawa dikulum, lalu berkata,
"Omitohud, tidak keliru kalau Lie-sicu berdua minta keterangan dari pinceng. Akan tetapi, tidak enak bicara di luar begini. Marilah, kalian ikut dengan pinceng, kita bicara di dalam dan pinceng akan maberi keterangan yang selengkapnya tentang ke-dua hal yang kalian
pertanyakan itu."
Biarpun dia maklum bahwa mereka berdua memasuki sarang harimau dan naga yang penuh bahaya, namun Lie Bouw Tek bersikap tenang. Dia yakin bahwa Kim Sim Lama tentu tidak akan melakukan tindakan yang sembarangan setelah mengetahui bahwa dia adalah utusan Kun-lun-pai. Bagaimanapun juga, dia yakin bahwa nama besar Kun-lun-pai masih memiliki wibawa yang cukup kuat.
Mereka diajak memasuki ruangan di belakang kuil di mana Kim Sim Lama mempersilakan mereka duduk. Kim Sim Lama duduk menghadapi mereka dan di belakang Kim Sim Lama
duduk pula Tibet Ngo-houw dan Ki Tok Lama, sedangkan para pendeta lain tidak ada yang ikut mendengarkan. Setelah memperkenalkan enam orang pendeta Lama itu sebagai para pembantunya, Kim Sim Lama lalu berkata dengan suara tenang.
"Sicu (orang gagah), sekarang pinceng ingin lebih dulu menjelaskan tentang sikap bermusuhan yang diperlihatkan oleh para tokoh Lama dari Tibet kepada para tosu, pertapa dan bahkan Kun-lun-pai. Untuk itu, sebagai saksi, biarlah pinceng mengundang seorang pertapa dan tosu untuk hadir di sini. Ki Tok Lama, panggil Thay-yang Suhu ke sini."
Ki Tok Lama, pendeta yang pendek kecil itu keluar dari ruangan dan tak lama kemudian dia sudah datang kembali bersama seorang tosu. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong memandang kepada tosu itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya hampir gundul dengan rambut pendek, berjubah se-perti seorang tosu, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tampan. Di punggungnya nampak sepasang pedang. Thai-yang Suhu memberi
hormat kepada Kim Sim La-ma, lalu dipersilakan duduk di sebelah kanannya oleh pemimpin itu.
"Sicu Lie Bouw Tek dan toanio (nyonya) Sie Lan Hong, ini adalah sahabat kami yang bernama Thai-yang Suhu, dan dia adalah seorang tosu yang dahulu bertapa di Himalaya dan dia mengetahui segala hal yang telah terjadi."
"Locianpwe, terus terang saja, yang ingin saya ketahui hanyalah mengapa para pendeta Lama memusuhi Kun-lun-pai, yang selamanya tidak pernah mencampuri urusan para pendeta Lama di Tibet. Urusan lain dengan pihak lain, kami dari Kun-lun-pai tidak berhak mencampuri,"
kata Lie Bouw Tek.
"Omitohud, bersabarlah, sicu, semua ini ada hubungannya, dan karena pelaksana utama ketika Dalai Lama memusuhi para tosu, pertapa dan juga Kun-lun-pai hadir di sini, sebaiknya kalau sicu mendengarkan sendiri keterangan mereka. Thay Ku Lama, engkau wakili Tibet Ngo-houw untuk memberi penjelanan tentang tugas kalian yang merupakan perintah Dalai Lama."
They Ku Lama yang berperut gen-dut, orang pertama dan tertua dari Ti-bet Ngo-houw, segera berkata dari tem-pat duduknya. "Sicu Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan sabar.
Terus terang saja, sampai sekarang kami Ti-bet Ngo-houw masih merasa menyesal mengapa dulu itu kami mentaati perintah Dalai Lama yang makin lama menjadi semakin lalim itu. kami sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu masih kecil, dan dia ditunjuk sebagai calon Dalai Lama yang baru, dan pertapa Himalaya bermaksud membela penduduk dusun yang hendak mempertahankan dia. Bahwa para pertapa itu bermaksud baik walaupun dalam
pertempuran i-tu akhirnya beberapa orang pendeta La-ma tewas. Akan tetapi, dia tidak perduli dan memaksa kami untuk menuntut balas, menyerang dan membunuhi para pertapa di
Himalaya. Bahkan kemudian, ma-kin dewasa, Dalai Lama menjadi semakin buas dan dia memaksa kami untuk melakukan pengejaran terhadap para pertapa dan tosu Himalaya yang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 351
melarikan diri mengungsi ke Kun-lun-san. Karena itu-lah, maka kami sampai bentrok dengan Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah gara-gara kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami
menyadari hal itu dan kamipun me-ninggalkan Dalai Lama, bersama-sama membantu suhu Kim Sim Lama untuk menentang Dalai Lama yang lalim itu. Maka, ketahuilah bahwa kami hanyalah pelaksana, dan yang bertanggung jawab terha-dap para tosu, pertapa maupun Kun-lun-pai, sepenuhnya adalah Dalai Lama!"
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Sungguh keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang didengarnya dari Dalai Lama! Siapakah yang benar" Pada saat itu, Thai-yang Suhu berkata dengan suaranya yang lembut.
"Semua yang diceritakan Thay Ku Lama itu benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu merupakan seorang di antara para tosu pertapa yang pernah melarikan diri mengungsi dan bahkan men-jadi musuh Gobi Ngo-houw yang ketika itu menjadi petugas yang melaksanakan perintah Dalai Lama. Setelah mereka i-tu meninggalkan Dalai Lama, barulah kami bersahabat dan pinto menjadi saksi akan kelaliman Dalai Lama. Karena itu-lah maka pinto bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang hendak menentang kelaliman Dalai Lama dan pinto harap-kan agar para pertapa dan tosu membantu pula untuk menghadapi Dalai Lama yang jahat."
Lie Bouw Tek menjadi semakin ra-gu. Kalau Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul pemberontakan dari para pendeta Lama ini. Apakah dia ha-rus menghadapi lagi Dalai Lama dan ber-tanya kembali" Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin sekali mendengar tentang adiknya, bertanya.
"Locianpwe tadi mengatakan bah-wa locianpwe tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok Sie Liong. Mo-hon petunjuk locianpwe, dimana adanya adik saya itu sekarang."
"Omitohud.... harap toanio menguatkan hati. Ada berita yang menye-dihkan tentang Pendekar Bongkok. Dia, sudah tewas oleh Dalai Lama dan kaki tangannya."
"Ahhhhhh....!" Sepasang mata Lan Hong terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.
"Tidak mungkin....!" Lie Bouw Tek juga berseru kaget sekali. Dia mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar Bongkok juga membawa tugas yang sama dengan dia. Kalau dia bertugas menyelidiki mengapa para pendeta Lama memusuh Kun-lun-pai, pendekar itupun menyelidiki kenapa Dalai Lama memusuhi para tosu dan pertapa.
"Omitohud.... pinceng selamanya tidak pernah berbohong. Pendekar Bongkok datang untuk membalaskan dan-dam para pertapa dan para tosu kepada Dalai Lama. Dia dikeroyok dan tewas. Kalau ji-wi (kalian) hendak membukti-kan, dapat kalian kunjungi makamnya."
"Ahhh.... Liong-te (adik Liong).... benarkah.... engkau sudah tewas....?" Lan Hong menahan tangisnya, kemudian bertanya kepada Kim Sim Lama, "Di mana kuburan adik saya?"
"Marilah, pinto antarkan kalau ji-wi hendak menyaksikan sendiri. Ku-burannya masih baru!"
kata Thai-yang Suhu. Mendengar ini, Lan Hong segera bangkit berdiri.
"Lie toako, aku ingin menengok kuburan adikku!"
Lie Bouw Tok merasa iba sekali kepada wanita yang dikasihinya itu. Bar-susah payah wanita itu melakukan perjalanan jauh untuk mencari adiknya, dan begitu bertemu hanya melihat kuburan-nya! Diapun mengangguk kepada Thai-yang Suhu.
"Totiang, terima kasih sebelumnya atas kebaikan totiang yang hendak mengantarkan kami.
Mari kita berangkat."
Keduanya memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian bersama Thai-yang Subu,
mereka maninggalkan kuil itu lewat pintu samping. Di sepanjang perjalanan, Lan Hong diam saja, menahan tangisnya. Akan tetapi Lie Bouw Tek yang merasa penasaran, mencoba untuk menca-ri keterangan dari Thai-yang Suhu ba-gaimana sampai Pendekar Bongkok tewas di tangan Dalai Lama dan kaki tangannya.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 352
"Siancai.... bagaimana pinto dapat mengetahuinya" Kami semua hanya mendengar saja bahwa Pendekar Bongkok menghadap Dalai Lama dan menuntut kepada Dalai Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu Himalaya yang mangungsi ke Kun-lun-san. Dan tahu-tahu, Pendekar Bongkok telah tewas dan pinto melihat sendiri ketika jenazahnya dimakamkan di kuburan itu.
Hanya itulah yang pin-to ketahui. Dalai Lama yang lebih mengetahui bagaimana matinya Pendekar Bongkok."
"Liong-te....!" Lan Hong mengeluh dan ia menggunakan ujung langan baju untuk mengusap air matanya.
Akhirnya, mereka tiba di taman ku-buran itu. Sunyi sekali di situ karena teman kuburan itu memang terletak di luar kota, dan pada waktu itu bukan hari bersembahyang, maka tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang her-kunjung ke situ. Sebelum meninggalkan kuil tadi, Thai-yang Suhu sudah memba-wa hio-swa (dupa biting) dan beberapa batang lilin. Dia mengeluarkan alat sembahyang sederhana itu dan Lie Bouw Tek bersama Sie Lan Hong melakuknn upacara sembahyang dengan sederhana, namun khidmat diiringi tangis Lan Hong perlahan-lahan.
Melihat kedukaan wanita itu, Lie Bouw Tek berdiri tegak memandang gun-dukan tanah kuburan itu sambil mengepal kedua tinjunya. Dia merasa penasaran sekali.
"Benarkah ini" Benarkah Pendekar Bongkok yang demikian terkenal itu te-was semudah ini"
Benarkah yang berada di bawah gundukan tanah ini jenazah Pendekar Bongkok?"
Mendengar ucapan itu yang merupakan penumpahan resa penamaran yang tanpa disadarinya telah keluar dari mulut pendekar Kun-lun-pai itu, Thai-yang Suhu mengerutknn alisnya.
"Lie-sicu, apakah sicu masih meragukan kebenaran keterangan kami semuA" Kalau sicu masih belum percaya, seka-rang juga boleh sicu membongkar kuburan ini dan melihat apakah benar jena-zah Pendekar Bongkok yang berada di dalamnya atau bukan!"
Mendengar nada suara yang keras itu, Lie Bouw Tek memandang heran kepada tosu itu. Akan tetapi, Lan Hong su-dah hanyut pula dalam keharuan dan pe-nasaran, apalagi mendengar ucapan Lie Bouw Tek tadi. Ia menjatuhken diri berlutut di depan kuburan itu dan berkata dengan suara berduka.
"Adikku Sie Liong, kalau benar engkau telah mati, berilah tanda kepn-daku agar hatiku tidak menjadi ragu lagi. Adikku.... ah, adikku Sie Liong....!" Dan sekali ini Lan Hong yang sejak tadi sudah menahan-nahan tangisnya kini terisak-isak.
Sementara itu, di bawah gundukan tanah itupun terjadi peristiwa hebat yang tak diketahui seorangpun di luar. Sudah tujuh hari lamanya Sie Liong "bertapa" di dalam tanah, dikubur hidup-hidup! Dia dapat bernapas melalui lubang yang sengaja dipasang oleh tabib Camundi Lama yang merasa iba kepadanya. Dan selama tujuh hari tujuh malam itu dia pasrah kepada kekuasaan Tuhan! Kekuasaan Tuhan berada di manapun di dalam yang paling dalam, di luar yang paling luar, di dalam segala benda yang nampak maupun tidak, dan di dalam tanah itupun terdapat pula kekuasaan Tuhan! Bahkan kekuasamn Tuhan amatlah kuatnya di situ.
Bukankah segala sesuatu yang berada di atas bumi itu berasal dari tanah! Bukankah kehidupan segala macam tumbuh-tumbuban juga bersumber pada tanah! Bumi yang nampak lemah dan tak bergerak itu sesungguhnya mengandung gerakan hidup yang dahsyat, maha dahsyat. Bumi mengandung energi, mengandung kekuatan yang menyedot segala apapun kembali kepadanya. Ada Tenaga Inti Bumi yang hebatnya tiada lawan.
Terkenang akan hal-hal yang per-nah diajarkan oleh Pek Sim Sian-su kepadanya, tentang Tenaga Inti Bumi, tentang kekuatan dahsyat yang timbul melalui kepesrahan kepada kekuasaan Tuhan, selama tujuh hari itu Sie Liong meng-himpun tenaga mujijat itu. Dia sudah pasrah. Tubuhnya lemah, lengan kirinya buntung, ingatannya hilang, darahnya keracunan. Dia pasrah dalam arti yang sedalam-dalamnya. Bukan pasrah namanya kalau di dalam batin masib mengandung pamrih. Bukan pasrah namanya kalau di dalam batin masih terdapat rasa takut.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 353
Pasrah berarti tidak bekerjanya hati dan pikiran, pasrah berarti tidak ada-nya nafsu. Yang ada hanya pasrah, penuh kesabaran, penuh ketawakalan, pe-nuh keikhlasan, menyerah kepada kekua-saan Tuhan.
Tuhan Maha Kuasa! Tuhan Maha Ka-sih! Tanpa diketahuinya sendiri, terjadi keajaiban di dalam tubuh Sie Liong, kemujijatan yang menjadi bukti kekuasaan Tuhan! Tenaga Inti Bumi, di luar kesadarannya, telah merasuk ke dalam tu-buhnya. Tenaga sakti yang dahsyat ini sekaligus mengusir semua hawa beracun, membersihkan darahnya, bukan saja memulihkan tenaga saktinya, bahkan menjadikannya beberapa kali lebih kuat. Mula-mula dia hanya merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon yang ditiup, te-rus ditiup sehingga rasanya menggem-bung, makin lama semakin kuat, sehingga rasanya seperti hendak meledak!
Dia tidak tahu betapa pada saat itu, di atas sana, kakak kandungnya, Sie Lan Hong, sedang menangis dan memanggil-manggil namanya, minta bukti dan tanda bahwa dia telah tewas.
Dia hanya merasa tubuhnya seperti akan me-ledak, maka tanpa memperdulikan apapun yang akan terjadi, dia menggerakkan sebelah tangan dan kedua kakinya, meron-ta dan mendorong, menendang.
"Blaaaaarrrrr....!"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya tiga orang yang berada di depan gundukan tanah kuburan itu ketika tiba-tiba terdengar suara keras seperti ledakan dan gundukan tanah itu pecah dan bagaikan ada bahan peledak yang amat kuat meledak dari dalam gundukan tanah, maka tanah dan batu berikil berhamburan. Sie Lan Hong menjerit, Lie Bouw Tek sudah menarik lengan wanita itu diajak bertiarap agar jangan terkena tanah dan batu kerikil yang muncrat berham-buran. Mereka masih melihat sesosok bayangan orang meloncat keluar dari da-lam lubang di bawah gundukan tanah itu, meluncur ke atas dan berjungkir balik lima kali sebelum melayang turun ke atas tanah.
"Keparat....! Kau.... iblis....!" Terdengar Thai-yang Suhu mem-bentak. Pendeta palsu inipun terkejut bukan main ketika melihat gundukan ta-nah itu tiba-tiba meledak dan dari da-lannya meloncat seorang yang dikenal-nya sebagai Pendekar Bongkok! Masih presis Pendekar Bongkok seminggu yang lalu, hanya pakaian dan rambutnya kusut dan kotor berlumpur dan kini mukanya merah seperti udang direbus, matanya mencorong seperti bukan mata manusia.
Melihat ini, Thai-yang Suhu yang khawatir kalau rahasianya terbuka, se-gera meloncat maju dan menerjang dengan sepasang pedangnya! Dia langsung saja melakukan serangan maut, menusuk-kan pedang kanan ke arah tenggorokan dan pedang kiri ke arah lambung Pende-kar Bongkok!
Pada saat itu, Sie Liong masih belum mendapatkan kembali ingatannya se-penuhnya dan dia bergerak tanpa perhitungan pikiran lagi, melainkan digerakkan oleh kekuatan mujijat yang tar-himpun di dalam dirinya. Ketika pedang di tangan Thai-yang Suhu itu meluncur ke arah tenggorokan dan lambungnya, dia hanya mengeluarkan bentakan yang aneh, melengking panjang dan tangannya bergerak ke arah sinar pedang yang menyambarnya.
"Bresss....!" Tubuh Thai-yang Suhu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting dan tidak mampu bangkit kembali karena kedua pedang di tangannya yang tadi dia pergunakan untuk menye-rang, entah bagaimana telah membalik dan menancap di dada dan lehernya sendiri!
Dia tewas seketika!
"Liong-te....!" Lan Hong meloncat menghampiri Sie Liong. Akan te-tapi, dengan sekali lompatan yang jauh sekali, Sie Liong melarikan diri. Dia balum ingat siapa wanita itu, dan dia tidak ingin terjdi wanita itu tewas seperti orang yang menyerangnya tadi. Dan begitu melompat, dia terkejut sen-diri karena lompatannya tidak seperti biasa, amat jauhnya seperti terbang saja! Melihat adiknya melarikan diri dengan lompatan yang luar biasa itu, Lan Hong berseru memanggil-manggil dan mengejar.
"Liong-te, tunggu....! Liong-te....!"
Akan tetapi dengan beberapa kali lompatan saja, bayangan Sie Liong telah lenyap dan Lan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 354
Hong berdiri bingung, tidak tahu ke mana adiknya tadi pergi. Lie Bouw Tek sudah berada di dekatnya dan pendekar Kun-lun-pai ini berkata.-
"Sudahlah, Hong-moi. Tidak ada gunanya dikejar. Dia sudah jauh sekali, entah di mana.
Dia.... dia.... seperti dapat terbang saja dan tidak mungkin bagi kita untuk dapat menyusulnya." Dia masih terpukau karena kagumnya menyaksikan kehebatan Pendekar
Bongkok, adik wanita yang dikasihinya itu. Dia sudah mendangar bahwa Pendekar Bongkok memiliki ilmu kepandaian ting-gi, akan tetapi apa yang disaksikannya tadi jauh melampaui dugaannya. Terlalu dahsyat ilmu yang dimiliki Pendekar Bongkok itu, tidak lumrah manusia!
"Aih, Lie-toako.... apakah engkau tidak melihat lengan kirinya tadi" Dia.... dia buntung! Aihh, adikku, apa yang telah mereka lakukan kepada-mu" Aku harus mencari Kim Sim Lama, a-ku harus membalaskan adikku, akan kuminta pertaggungan jawabnya!" Lan Hong menangis.
"Tenanglah, Hong-moi. Yang penting, adikmu itu masih dalam keadaan selamat, bukan"
Kalau kita kembali ke sana, tentu mereka tidak akan menerina kita sebaik tadi. Apalagi Thai-yang Suhu telah tewas. Kita bahkan harus cepat pergi dari sini. Aku hendak meng-hadap Dalai Lama dan melaporkan segalanya. Kim Sim Lama dan para pengikutnya itu jelas hendak melempar fitnah kepada Dalai Lama dan dia berbahaya seka-li. Mari, Hong-moi, mari kita pergi menghadap Dalai Lama. Kemudian baru kita mencari jejak adikmu Sie Liong dan puterimu...."
"Bi Sian....! Ah, di mana anakku Bi Sian" Apa yang telah terjadi de-ngannya" Melihat apa yang menimpa diri adikku, aku sungguh gelisah memikirkan anakku, toako."
"Hong-moi, kita tetap berusaha untuk mencarinya, dan sementara itu, serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Ku-asa. Di samping berusaha mencarinya, kita hanya dapat berdoa, Hong-moi. Dan tenangkan hutimu karena bukankah menurut ceritamu, puterimu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi" Kuraaa ia mampu menjaga diri sendiri."
"Memang benar, toako. Ia lihai dalam ilmu silat. Akan tetapi, ia masih muda, kurang pengalaman, dan di dunia ini terdapat demikian banyak orang yang jahat dan keji."
Lie Bouw Tek menghiburnya. Mereka berdua menjenguk ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong.
Lubang dalam tanah itu kosong dan pendekar Kun-lun-pai i-tu menemukan sebuah tabung bambu yang sudah pecah-pecah. Dia mengerutkan alisnya, menduga-duga apa gunanya benda itu, lalu membuangnya jauh-jauh. Kemu-dian, dia menyeret mayat Thai-yang Su-hu dan mendorongnya ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong, kemudian, dibantu oleh Lan Hong, dia menimbuni lubang itu dengan tanah yang tadi berhamburan. Semua ini mereka kerjakan dengan tergesa-gesa karena khawatir kalau sampai ada yang melihatnya. Kemudian mereka cepat meninggalkan kuburan itu, pergi ke Istana Dalai Lama untuk menghadap pendeta kepala para Lama itu.
Gadis itu dikenal oleh semua o-rang yang biasa bekerja di Telaga Yam-so. Seorang gadis gila yang menjijikkan. Baru kurang lebih satu bulan ia muncul di sekitar tepi telaga itu. Seorang gadis atau wanita yang sebetulnya masih muda, akan tetapi keadaannya ko-tor dan seperti seorang jembel gila. Pakaiannya butut, kotor dan dekil, berbau apak lagi. Rambutnya lekat dan ko-tor, awut-awutan seperti rambut silum-an yang menakutkan, menutupi sebagian mukanya yang juga kotor sekali, penuh lumpur. Matanya kadang berputar-putar liar, kadang gelisah, kadang terbela-lak menakutkan, ada kalanya merah karena tangis. Orang melihat ia k
Harpa Iblis Jari Sakti 17 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar 7
^