Kisah Pendekar Bongkok 4

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


pinto singkirkan agar tidak termasuk dan termakan. Semua mah-luk hidup kecil tak nampak yang ikut termakan, bukan sengaja dimakan. Inilah bedanya, sute. Orang yang makan daging, sengaja membunuh hewan itu dan makan dagingnya untuk memuaskan selera, sedangkan orang yang makan sayur, biarpun membunuh mahluk kecil-kecil, hal itu dilakukan bukan dengan sengaja dan sama sekali tidak bermaksud menikmati dagingnya. Demikian pula dengan sayuran, welaupun sayuran itupun hidup, namun sayuran tidak bergerak, tidak memperlihatkan rasa sakit seperti halnya binatang. Demikianlah, sute. Segala perbuatan haruslah dilihat dasar dan pendorongnya. Kalau orang membunuh sesama hidup karena ingin memuaskan nafsu kesenangan, atau karena kebencian, sungguh hal itu merupakan perbuatan yang amat keji dan kejam."
"Bagaimana kalau aku minum arak" Itu tidak membunuh...."
"Sute, mengapa dianjurkan agar minuman arak dijauhi" Karena dari minum arak orang menjadi mabok dan dalam ma-bok dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Bermabok-mabokan memberi jalan kepada nafsu untuk makin merajalela menguasai batin. Juga, bermabok-mabokan merusak kesehatan. Kalau hal seperti ini tetap dilaksanakan, bukankah itu merupakan kebodohan besar merusak diri sendiri" Ingat, sute. Tubuh kita meru-pakan Kuil Suci yang dihuni oleh jiwa. Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini sebaik-baiknya, tidak dikotori dan tidak dirusak, kita peliha-ra sebaiknya luar dalam."
"Suheng, keteranganmu sudah cukup jelas. Sekarang, kebetulan kita saling bertemu, aku Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 76
minta sedikit petunjuk tentang ilmu silat kepadamu. Nah, bersiaplah, suheng!"
Koay Tojin meloncat berdiri dan menudingkan tongkat bututnya ke langit. Melihat ini, Pek-sim Sian-su tertawa. "Ha-ha, sejak dulu engkau masih saja keranjingan ilmu silat, sute.
Orang-o-rang tua bangka seperti kita ini, perlu apa mementingkan ilmu kekerasan seper-ti itu"
Akan tetapi, pinto mendangar bahwa engkau telah memperoleh ilmu yang amat hebat, maka pintopun ingin pula manyaksikan kehebatan ilmumu itu, sute. Nah, perlihatkan kepada pinto!"
Pek-sin Sian-su juga bangkit berdiri dan dengan tenang dia menghampiri kakek sinting itu, berdiri tegak dengan tongkat butut di tangannya. Kedua orang kakek itu sungguh amat berbeda. Pek-sim Sian-su demikian anggun dan rapi bersih, penuh wibawa akan tetapi juga penuh kelembutan dan keramahan, sinar mata dan senyumnya penuh kasih sayang.
Sebaliknya, Koay Tojin berpakaian ti-dak karuan, butut dan kotor, berdiri-nya juga sembarangan saja, dan hanya ada satu persamaan antara mereka, yaitu bahwa keduanya memiliki sinar mata mencorong dan keduanya sama-sama memegang sebatang tongkat butut.
Melihat betapa supek dan susiok mereka itu saling berhadapan dengan tongkat di tangan, Himalaya Sam Lojin mengamati dengan wajah berseri gemblra. Sungguh beruntung, pikir mereka. Kesempatan seperti ini sungguh langka. Se-mentara itu Sie Liong yang sama seka-li belum mengenal dasar ilmu silat tinggi, hanya nonton dengan hati ingin tahu, akan tetapi tentu saja dia ti-dak begitu mengerti, karena ketika ta-di terjadi perkelahian tingkat tinggi antara para pendeta Lama dan San Lojin diapun tidak mampu mengikutinya dengan baik. Dia hanya merasa heran mengapa hatinya tertarik kepada si jembel yang berotak miring ini, akan tetapi diapun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian kuning yang berwibawa. Heran dia mengapa kakek itu mau saja melayani jem-bel tua yang disebut sute-nya.
"Suheng, coba kausambut jurus tongkatku ini!" Tiba-tiba Koay Tojin berseru dan tongkatnya bergerak. Anehnya, gerakan itu lambat saja, seperti main-main akan tetapi ujung tongkat itu mengeluarkan angin menderu dan ujungnya menusuk secara beruntun ke arah tulang-tulang iga Pek-sim Sian-su, sedangkan tangan kirinya dipentang dengan jari-jari tangan terbuka, siap menyambut ke mana lawan akan mengelak!
Semua gerakan ini dilakukan lambat sehingga Sie Liong saja dapat mengikuti dengan pandang matanya.
"Bagus sekali!" seru Pek-sim Sian-su memuji, bukan sekadar menyenangkan hati sutenya, melainkan memuji karena kagum. Dia melihat betapa dahsyatnya serangan sutenya itu yang memang amat sukar untuk dilawan, sukar dielakkan maupun ditangkis. Dia maklum bahwa ka-lau ditangkis, maka tenaga tangkisan itu justeru akan memperkuat getaran tongkat sutenya untuk melakukan tusuk-an berikutnya karena serangan itu merupakan serangkaian tusukan ke arah tulang iga. Dia lalu mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya dengan lambat pula, dan menyambut tongkat sutenya. Dua batang tongkat butut bertemu, akan tetapi Pek-sim Sian-su tidak menangkis, melainkan menggunakan sin-kang membuat tongkatnya menempel pada tongkat sutenya dan dengan demikian, tongkatnya terus mengikuti gerakan tongkat sutenya dan setiap tusukan dapat didorongnya kembali sehingga ujung tongkat sutenya itu hanya mampu mencium kain kuning yang melibat dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin melangkah mundur.
"Hemm, sungguh hebat. Bukankah i-tu sebuah jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang dinamakan Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Memukul Setan)?" tanya sang suheng.
"Heh-heh-heh, matamu yang sudah tua memang masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan jurus tadi kunamakan Jurus Menghitung Tulang Iga. Sayang engkau tidak membiarkan aku menghitung tulang igamu, suheng."
"Dan membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah tua itu remuk" Aih, aku berkewajiban menjaga tubuh tua ini, sute."
"Sekarang lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu Ribuan Setan!" katanya dan Koay Tojin sudah menyerang lagi, kini tongkatnya itu membuat ge-rakan berputar lebar dan seakan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 77
ada ratusan batang tongkat menyambar ke arah tubuh Pek-sim Sian-su, dari kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah! Sungguh hebat tongkat itu, atau orang yang menggerakkan tongkat itu. Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu mampu menghujankan serangan seper-ti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang berturut-turut. Dan angin pukulan yang keluar dari tongkat itu! Untung Sie Liong masih duduk bersila, demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang menyambar ke atas itu ti-dak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan sudah rontok semua, bahkan ada ranting yang kurang kuat patah-patah terkena sambaran angin pukulan tongkat butut itu! Melihat keadaan ini, berdebar rasa jantung Sie Liong. Barulah dia melihat sendiri betapa he-batnya kakek jembel gila itu.
"Siancai....! Sungguh dahsyat....!" kata Pek-sim Sian-su dan kakek inipun menggerakkan tongkat bututnya dan ke manapun bayangan tongkat Koay Tojin menyambar, selalu tongkat itu bertemu dengan tongkat lain yang menangkisnya, seolah-olah tubuh Pek-sim Sian-su sudah dilindungi benteng yang kokoh kuat. Berulang kali tongkat mereka saling bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk yang menggetarkan jantung, seperti dua buah benda yang amat kuat dan berat saling bertemu. Akhirnya, kembali Koay Tojin melangkah mundur menghentikan serangannya.
"Engkau memang hebat, suheng. Ma-sih saja engkau memiliki ilmu Benteng Tongkat Baja yang amat kokoh kuat. A-kan tetapi balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau hanya menangkis saja dan tidak membalas?"
"Siancai...., sute yang baik. Bagaimana pinto mampu menyarang kalau untuk melindungi diri saja sudah repot sekali" Hampir saja pinto tidak kuat bertahan terhadap seranganmu yang me-ngerikan tadi."
"Biarlah sekarang yang terakhir, suheng. Sambutlah jurus Tongkat Meng-hancurkan Kepala Setan ini!" Dan dia pun sudah memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung menghan-tamkan ke arah kepala suhengnya dari atas. Kelihatannya saja jurus ini amat sederhana bahkan kasar seperti gerakan liar orang yang berkelahi tanpa menggunakan ilmu silat. Akan tetapi sesung-guhnya pukulan ini berbahaya sekali karena mempunyai banyak macam perubahan yang tidak tersangka-sangka andaikata yang dipukul mengelak.
Menghadapi pu-kulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan tetapi anehnya Pek-sim Sian-su justeru tidak mengelak melainkan mengangkat kedua tangan yang memegangi kedua ujung tongkat untuk menangkis! Dia mengenal ilmu yang aneh ini dan tahu bahwa di balik kesederhanaannya tersembunyi perubahan yang amat berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak malah menangkis agar jurus itu dengan tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga saktinya.
Sie Liong sudah merasa ngeri, me-ngira bahwa tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan hebat dan dahsyat se-kali dan tentu ada di antara dua orang kakek itu yang akan terluka. Dan tong-kat butut yang dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun, amat kuatnya menimpa tongkat yang dilintangkan di atas kepala Pek-sim Sian-su. Kedua o-rang kakek itu memegangi tongkat dengan kedua tangan.
Dua batang tongkat butut itu bertemu, keras sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak ada suara terdangar! Seolah-olah dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin melompat ke belakang dan tongkat bututnya telah patah menjadi dua potong! Sambil terkekeh dia melemparkan tongkat itu. Dua potong tongkat itu meluncur dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter lebih dan menancap rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan.
"Heh-heh, engkau hebat, suheng. Biar kubantu engkau mengobati bocah bongkok ini!" Tiba-tiba dia sudah menangkap Sie Liong dengan mencengkeram punggung bajunya dan tiba-tiba Sie Liong merasa tubuhnya melayang ke atas dibawa oleh kakek itu melompat ke arah pohon itu. Dia tidak sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang ke atas dan dia merasa betapa kedua kakinya dijepitkan di antara dua potongan tongkat tadi sehingga tubuhnya tergantung Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 78
dengan kepala ke bawah, bergantung pada kedua kakinya yang terjepit. Ternyata dua potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap di batang pohon, ja-raknya demikian tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie Liong. Ketika Sie Liong yang tergantung dengan kepala di bawah itu hendak me-ronta karena takut jatuh, kakek jembel itu sambil terkekeh menepuk punggung Sie Liong tiga kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Dan seketika Sie Liong muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari dalam dada dan perutnya. Darah itu banyak dan agak menghitam!
Koay Tojin lalu meloncat turun. Cara dia turun dari pohon itu aneh karena dia hinggap di atas tanah bukan dengan kedua kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia melompat-lompat dengan kepala di bawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan tubuhnya sudah berloncatan secara aneh itu cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.
"Siancai.... siancai.... siancai....!" Pek-sim Sian-su memuji dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. "Sute Koay Tojin sungguh telah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya.
Hebat." Hek Bin Tosu, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin membantah. "Akan tetapi masih kalah oleh supek. Buktinya tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!"
"Hemmm, begitukah pendapatmu" Lihat tongkatku ini...." kata Pek-sim Sian-su lirih. Tiga orang kakek itu melihat dan.... begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terke-jut.
Kiranya tenaga Koay Tojin sedemi-kian hebatnya sehingga portemuan anta-ra dua tongkat itu membuat tongkat di tangan Pek-sim Sian-su hancur, hanya berkat ilmu yang tinggi dari Pek-sim Sian-su, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam keadaan yang utuh.
"Siancai.... Bukan main hebatnya susiok...." kata Pek-in Tosu sambil menarik napas panjang.
"Dan berbahaya sekali....!"
Pek-sim Sian-su dapat membaca isi hati murid keponakan ini. "Engkau be-nar, memang berbahaya sekali kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu. Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga lengah sehingga keliru menerima murid.
Bagaimanapun juga, segala sesuatu memang sudah digariskan oleh Ke-kuasaan Tertinggi, dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak yang baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah."
"Supek, kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, ten-tu akan lebih berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya kelak?" kata Swat Hwa Cin-jin.
Pek-sim Sian-su tersenyum. "Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit! Betapapun kuat dan tingginya kejahatan ma-sih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya! Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup seka-rang" Dan kalau sute dapat mempunyai murid, kitapun bisa saja memilih seo-rang murid yang baik, agar kelak dia dapat menahan kejahatan yana datang dari manapun juga."
Pada saat itu, terdengar suara memelas, "Locianpwe.... harap suka tolong saya...."
Pek-in Tosu bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim Sian-su mencegahnya. "Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh sute tadi!"
Sie Liong maraca tersikea sekali. Dia tergantung dengan kedua kaki terjepit tongkat, kepalanya di bawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti kebanjiran darah dan mulai merasa pening, juga isi perutnya seperti masuk ke dalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan dan seper-ti tidak ada rasanya lagi, mukanya te-rasa panas.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 79
Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning tadi, diapun merasa mendongkol.
"Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?"
Kini Pek-sim Sian-su mendekati pohon itu, berkata dengan lembut, "Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini. Sesungguhnya tergantung dengan kepala di bawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat hasilnya, ditambah dengan tepukannya pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung memuntahkan darah beracun dari
tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam tergantung di situ, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya memulihkan tenagamu saja."
Mendengar ini, Sie Liong merasa girang sekali. "Ah, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe, dan terima kasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya."
Pek-sim Sian-su mengangguk-angguk dan diapun duduk kembali bersila di depan tiga orang murid keponakannya.
"Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seo-rang murid, apakah supek maksudkan dia itu?" Pek-in Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung dengan kepala di bawah itu. Pek-sim Sian-su tersenyum dan diam-diam dia memuji ketajaman pandangan mu-rid keponakan yang telah memperoleh kemajuan pesat ini.
"Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan ha-rapan kita,"
jawabnya. "Akan tetapi...., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apalagi cacatnya bongkok seperti dia?" Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.
"Hemm, agaknya engkau belum meme-riksa anak itu dengan seksama," kata Pek-sim Sian-su.
"Sute tadi sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewa-an anak itu sehingga dia mau turun ta-ngan mengobatinya."
"Supek benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali.
Cacatnya itu tidak akan menjadi penghalang besar, karena itu ha-nya merusak bentuknya saja, tidak mem-pengaruhi dalamnya," kata Pek In Tosu.
Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan ta-hun yang lalu.
"Supek, kalau dugaan teecu berti-ga benar, memang tentu ada hal-hal a-neh terjadi di Tibet.
Rasanya tidak masuk di akal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk
melakukan pembunuhan dan perburuan itu, apalagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimanapun juga tentu Dalai Lama tahu bahwa men-diang suhu dahulu adalah pembela dan pelindungnya, menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya." kata Pek In Tosu.
"Memang agaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih con-dong menduga bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang tewas di tangan mendiang gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul" Keributan dahu-lu itu memang dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawan-an mendiang suhu kalian sehingga menjatuhkan korban di antara para pendeta Lama yang dahulu menganggap para pertapa, terutama para tosu di Himalaya memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi pe-nyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apapun dengan kita."
"Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek," kata Hek Bin Tosu yang masih penuh semangat.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 80
Supeknya tersenyum. "Hek Bin Tosu, lupakah engkau berapa sudah usiamu" Orang-orang setua kita ini, tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu.
Memasuki Tibet untuk melakukan penyelidikan bu-kanlah pekerjaan yang ringan. Apa lagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu." Dia menunjuk kepada tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.
"Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute kami itu," kata Swat Hwa Cinjin.
Hanya sampai di situ Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka karena selanjutnya dia tidak mendengar apa-a-pa lagi, sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar.
Gadis cilik itu membalapkan kuda-nya naik ke bukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara sebelas dan dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli dan indah.
Anak perempuan itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia menunggang ku-da
membuktikan bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini. Kudanya juga see-kor kuda yang baik sekali, dengan tu-buh panjang dan leher panjang. Anak perempuan itu seperti berlumba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat, padahal jalan itu tidak rata dan menda-ki.
Namun, agaknya ia memang sudah biasa dengan daerah ini, dan kudanyapun bukan baru sekali itu saja membalap ke arah puncak bukit di mana terdapat ba-nyak rumput hijau segar yang gemuk dan yang akan dinikmatinya sebagai hadiah kalau mereka sudah tiba di puncak.
Akhirnya tibalah mereka di puncak bukit yang merupakan tanah datar de-ngan padang rumput yang luas. Gadis cilik itu meloncat turun, ia dan kudanya bermandi keringat, dan keduanya nampak gembira. Apalagi setelah anak perempuan itu melepaskan kendali kuda dan
membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang tebal, keduanya sungguh meniknati keindahan alam, hawa udara yang berbau harum itu, bau tanah dan tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau bu-rung menambah semarak suasana.
Bebera-pa lamanya anak perempuan itu rebah telentang di atas rumput, melepaskan le-lah dan memejamkan mata. Alangkah nik-matnya telentang di atas rumput seper-ti itu! Lebih nikmat daripada rebah di atas kasur yang paling lunak dengan tilam sutera yang paling halus.
Akan tetapi seekor semut yang a-gaknya tertindih olehnya, menegigit tengkuknya. Ia bangkit dan menepuk se-mut itu, membuangnya sambil bersungut-sungut. "Semut jahil kau!" katanya dan kini ia menoleh kepada kudanya. Ketika ia melihat betapa kuda itu makan rum-put dengan lahapnya, nampak enak seka-li dengan mata yang lebar itu berkedap-kedip melirik ke arahnya, ia menelan ludah dan perutnya tiba-tiba saja merasa lapar sekali.
Anak perempuan itu adalah Yauw Bi Sian. Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal bersama ayahnya, Yaw Sun Kok, di kota Sung-jan, di ujung barat Propinsi Sin-kiang. Di tempat tinggal-nya banyak terdapat penduduk aseli Su-ku Bangsa Kirgiz, Uigur, dan Kazak yang ahli menunggang kuda. Oleh karena keadaan lingkungan ini, sejak kecilpun Bi Sian pandai menunggang kuda. Apalagi ia memang menerima latihan ilmu silat dari ayahnya, maka menunggang kuda merupakan satu di antara kepandaian yang cocok untuknya. Ayahnya yang amat sayang kepadanya bahkan membelikan se-ekor kuda yang baik untuknya dan sudah biasa Bi Sian membalapkan kudanya per-gi seorang diri ke lembah-lembah dan padang-padang rumput.
Kepergian Sie Liong membuat anak perempuan ini berduka dan berhari-hari ia menangis dan mendesak ayah ibunya agar mencari Sie Liong sampai dapat dan mengajaknya pulang. Ia merasa kehilangan sekali karena ia tumbuh besar di samping pawan kecilnya itu yang merupakan paman, juga kakak, juga saha-bat baiknya. Semua hiburan ayah ibunya tidak dapat mengobati kesedihannya ke-tika ayahnya gagal menemukan kembali Sie Liong.
Akan tetapi, lambat laun ia manpu juga melupakan Sie Liong dan pada hari itu, setengah tahun setelah Sie Liong pergi, ia membalapkan kuda seorang di-ri menaiki bukit itu. Matahari Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 81
sudah condong ke barat dan Bi Sian yang merasa perutnya tiba-tiba menjadi lapar sekali melihat kudanya makan rumput, bangkit dan menghampiri kudanya. Di-rangkulnya leher kudanya. Kuda itu de-ngan manja mengangkat kepala dan mengusapkan pipinya ke kepala gadis cilik itu.
"Hayo kita pulang, hari telah so-re," bisik Bi Sian dan iapun memasang-kan kembali kendali kudanya. Pada saat itu, muncul lima orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga puluh tahun dan mereka menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena tidak mengenal mereka, Bi Sian menge-rutkan alisnya dan tidak memperdulikan mereka. Akan tetapi ketika melihat ga-dis cilik itu hendak meloncat naik ke punggung kuda, tiba-tiba seorang di antara mereka melangkah maju dan meram-pas kendali kuda dari tangan Bi Sian.
"Perlahan dulu, nona. Kuda ini berikan kepada kami!" katanya.
Bi Sian terkejut dan marah. Ia sama sekali tidak merasa takut, sama se-kali tidak ingat bahwa ia berada di tempat yang sunyi sekali dan lima o-rang itu jelas bukan orang baik-baik.
Telunjuknya menuding ke arah muka o-rang yang merampas kudanya.
"Siapa kalian" Berani kalian me-ngambil kudaku?" bentaknya.
"Ha-ha-ha, bukan hanya kudamu, nona, akan tetapi segala-galanya yang a-da padamu. Hayo lepaskan semua pakaianmu, kami juga minta semua pakaianmu i-tu."
Bi Sian terbelalak, bukan karena takut melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia tidak mengeluarkan kata-kata lagi melainkan ia sudah meloncat ke depan dan memukul ke arah perut orang yang bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang agaknya menjadi pemimpin mereka. Serangannya cepat sekali datangnya. Maklum, biarpun usianya baru hampir dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan ayahnya yang pandai sehingga dalam usia sekecil itu ia sudah memiliki ilmu silat yang lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walaupun dalam hal tenaga, ia masih belum kuat benar. Si brewok itu sambil tertawa-tawa mencoba untuk menangkap, akan tetapi dia kalah cepat.
"Bukkk!" Perutnya kena dihantam tangan yang kecil itu dan diapun terjengkang. Biarpun tidak terlalu nyeri, a-kan tetapi dia terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya segera menubruk dan tentu saja Bi Sian tidak mampu melawan lagi ketika mereka itu meringkusnya.
"Lepaskan ia!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun le-bih, muncul di tempat itu. Bi Sian segera mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan, pemuda yang pernah berkelahi dengan ia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayah-nya dicalonkan menjadi suaminya!
Lima orang itu membalik dan memandang kepada Lu Ki Cong tanpa melepas-kan kedua
lengan Bi Sian yang mereka telikung ke belakang. "Hemm, bocah lancang, siapa kau?"
bentak si brewok sambil menghampiri Ki Cong dengan sikap mengancam.
Akan tetapi pemuda remaja itu ti-dak menjadi gentar. Diapun melangkah maju,
membusungkan dada dan menjawab dengan lantang, "Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun komandan keaman-an di Sung-jan!"
"Ahhh....!" Si brewok terkejut dan melangkah mundur mendekati teman-temannya yang juga terkejut dan memandang ketakutan.
"Maaf.... maafkan kami.... kongcu...." Si brewok berkata dengan suara gemetar.
Lu Ki Cong melanpkah maju lagi. "Kalian tidak tahu siapa gadis ini" Ia adalah puteri Yauw Taihiap, seorang pendekar besar di Sung-jan, dan ia tu-nanganku, mengerti?"
"Maaf.... maaf...." Kini lima orang itu melepaskan Bi Sian dan mereka menggigil ketakutan.
"Kalian patut dihajar!" Ki Cong lalu melangkah maju dan tangan kakinya bergerak, menampar dan menendang. Lima orang itu jatuh bangun lalu mereka melarikan diri tunggang langgang, meninggalkan kuda tunggangan Bi Sian.
Sejenak dua orang muda remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 82
kagum. Tak disangka-nya pemuda yang nakal itu memiliki ke-beranian dan kegagahan!
"Terima kasih...." katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu memperkenalkan ia sebagai tu-nangannya kepada para penjahat.
Ki Cong tersenyum bangga, lalu mendekati gadis cilik itu. "Sian-moi, perlu apa berterima kasih" Sudah semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini tunanganku dan calon isteriku?" Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan tangannya lalu memegang lengan Bi Sian dengan mesranya. Merasa betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian dan iapun menarik tangannya dengan renggutan, dan iapun melangkah mundur, alisnya berkerut.
"Aku tidak minta pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!" bentaknya marah.
"Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, antara orang tua kita sudah se-tuju akan perjodohan kita...."
"Aku tidak perduli! Aku tidak sudi!" kembali Bi Sian membentak.
"Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku" Apakah aku tidak menang segala-galanya dibandingkan anak bongkok itu?"
Tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala.
"Jangan menghina pa-man Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!"
Karena pertolongannya tadi agak-nya tidak mendatangkan perasaan berte-rima kasih dan bersukur dari gadis ci-lik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar,
"Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu"
Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah diperkosa! Dan engkau sedikitpun tidak berterima kasih kepadaku!"
"Hemm, sudah kukatakan aku tidak minta pertolonganmu dan tadi aku su-dah bilang terima kasih. Mau apa lagi?"
"Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima kasih!" kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.
"Plakkk!" Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.
"Kau memang tidak tahu terima kasih!" Lalu dia menangkap kedua perge-langan tangan Bi Sian. Gadia cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari mu-ka anak perempuan itu dengan hidungnya.
Akan tetapi Bi Sian meronta dan membu-ang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.
Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memu-kul kepala penuda remaja itu.
"Tokk!" Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba kepa-lanya yang rasanya berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik.
Ketika dia melihat seorang kakek jembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.
"Kau.... kau berani nemukul aku?" bentaknya sambil melangkah maju mende-kati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam.
Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian me-ngemplang kepala Ki Cong dengan tong-katnya. Kini dia tertawa terkekeh-ke-keh.
"Aku! Memukulmu" Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!"
"Jembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kaupu-kulkan?"
"Siapa bilang tidak bisa?" Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 83
"Tongkat, orang menghinamu, dikatakannya engkau tidak bisa memukul sendiri. Tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!"
Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.
"Plakk!" Ki Cong berteriak kesa-kitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak dia-pun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pan-tatnya beberapa kali.
Melihat ini, Bi Sian tertawa se-nang sekali. Iapun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek jembel.
Bi Sian mendekati.
"Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tong-kat pusaka, tongkat wasiat?"
"Heh" Pusaka" Wasiat" Ini tongkat butut, heh-heh-heh!"
Bi Sian makin mendekat, sedikitpun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek jembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.
"Kakek yang baik, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?"
"Tongkat ini" Tongkat butut ini" Heh-heh, boleh saja...."
Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat bi-asa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia mencoba untuk menggerak-gerakkan tong-kat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.
"Kakek yang baik, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tong-kat ini terbang dan memukuli orang ku-rang ajar" Aku ingin sekali belajar ilmu itu."
Kakek itu tertawa bergelak. "Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat" Untuk apa?"
"Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, untuk melindungi diriku sendiri. Ke dua, dapat kupergunakan untuk melindungi paman kecilku yang bongkok."
"Paman kecil bongkok?"
"Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!"
"Sie Liong.... anak.... bongkok?" Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.
"Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya" Dia melarikan diri dari rumah ayah, sudah berbulan-bulan, entah berada di mana, aku rindu sekali pada-nya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?"
Koay Tojin mengelus jenggotnya lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasuk-kan kutu itu ke bibirnya. "Engkau benar mau menjadi muridku" Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan menpela-jari ilmu-ilmu yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai di du-nia ini?"
"Mau, kek! Aku mau sekali!" kata Bi Sian girang karena ia mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga
kepandaiannya seperti dewa saja.
Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya dan sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.
"Kau mau" Benar-benarkah" Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau ha-rus ikut ke manapun aku pergi, dan aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apapun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak jembel seperti aku!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 84
"Apa sukarnya" Aku bersedia!" ja-wab Bi Sian dengan penuh semangat. Ia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai jembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.
"Dan untuk waktu yang tidak sedi-kit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!"
"Aku setuju!"
"Dan mentaati semua perintahku!"
"Setuju!"
"Ha-ha-ha-ha...." Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perut yang terguncang, kepalanya me-nengadah dan mulutiya ternganga. Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek itu yang tadinya menengadah kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis. "Hu-hu huuhhh...."
Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput, sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan be-ngong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, ia mulai curiga, akan tetapi tidak me-rasa takut, melainkan geli.
"Kek, kek, kenapa menangis?"
Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan muka yang basah air mata, matanya kemerahan, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak.
Tangis, seperti juga tawa, memang mempunyai daya tular yang ampuh. Biarpun tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-bu-at, melainkan menangis sungguh-sungguh tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, mene-tes-netes menuruni kedua pipi. Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan berta-nya.
Tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala.
"Jangan menghina pa-man Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!"
Karena pertolongannya tadi agak-nya tidak mendatangkan perasaan berte-rima kasih dan bersukur dari gadis ci-lik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar,
"Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu"
Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah diperkosa! Dan engkau sedikitpun tidak berterima kasih kepadaku!"
"Hemm, sudah kukatakan aku tidak minta pertolonganmu dan tadi aku su-dah bilang terima kasih. Mau apa lagi?"
"Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima kasih!" kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.
"Plakkk!" Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.
"Kau memang tidak tahu terima kasih!" Lalu dia menangkap kedua perge-langan tangan Bi Sian. Gadia cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari mu-ka anak perempuan itu dengan hidungnya.
Akan tetapi Bi Sian meronta dan membu-ang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.
Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memu-kul kepala penuda remaja itu.
"Tokk!" Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba kepa-lanya yang rasanya berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek jembel yang tua berdiri sambil Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 85
memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.
"Kau.... kau berani nemukul aku?" bentaknya sambil melangkah maju mende-kati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam.
Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian me-ngemplang kepala Ki Cong dengan tong-katnya. Kini dia tertawa terkekeh-ke-keh.
"Aku! Memukulmu" Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!"
"Jembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kaupu-kulkan?"
"Siapa bilang tidak bisa?" Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata,
"Tongkat, orang menghinamu, dikatakannya engkau tidak bisa memukul sendiri. Tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!"
Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.
"Plakk!" Ki Cong berteriak kesa-kitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak dia-pun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pan-tatnya beberapa kali.
Melihat ini, Bi Sian tertawa se-nang sekali. Iapun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek jembel.
Bi Sian mendekati.
"Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tong-kat pusaka, tongkat wasiat?"
"Heh" Pusaka" Wasiat" Ini tongkat butut, heh-heh-heh!"
Bi Sian makin mendekat, sedikitpun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek jembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.
"Kakek yang baik, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?"
"Tongkat ini" Tongkat butut ini" Heh-heh, boleh saja...."
Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat bi-asa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia mencoba untuk menggerak-gerakkan tong-kat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.
"Kakek yang baik, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tong-kat ini terbang dan memukuli orang ku-rang ajar" Aku ingin sekali belajar ilmu itu."
Kakek itu tertawa bergelak. "Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat" Untuk apa?"
"Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, untuk melindungi diriku sendiri. Ke dua, dapat kupergunakan untuk melindungi paman kecilku yang bongkok."
"Paman kecil bongkok?"
"Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!"
"Sie Liong.... anak.... bongkok?" Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.
"Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya" Dia melarikan diri dari rumah ayah, sudah berbulan-bulan, entah berada di mana, aku rindu sekali pada-nya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?"
Koay Tojin mengelus jenggotnya lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasuk-kan kutu itu ke bibirnya. "Engkau benar mau menjadi muridku" Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan menpela-jari ilmu-ilmu yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai di du-nia ini?"
"Mau, kek! Aku mau sekali!" kata Bi Sian girang karena ia mendapatkan perasaan bahwa ia Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 86
berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga
kepandaiannya seperti dewa saja.
Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya dan sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.
"Kau mau" Benar-benarkah" Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau ha-rus ikut ke manapun aku pergi, dan aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apapun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak jembel seperti aku!"
"Apa sukarnya" Aku bersedia!" ja-wab Bi Sian dengan penuh semangat. Ia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai jembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.
"Dan untuk waktu yang tidak sedi-kit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!"
"Aku setuju!"
"Dan mentaati semua perintahku!"
"Setuju!"
"Ha-ha-ha-ha...." Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perut yang terguncang, kepalanya me-nengadah dan mulutiya ternganga. Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek itu yang tadinya menengadah kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis. "Hu-hu huuhhh...."
Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput, sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan be-ngong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, ia mulai curiga, akan tetapi tidak me-rasa takut, melainkan geli.
"Kek, kek, kenapa menangis?"
Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan muka yang basah air mata, matanya kemerahan, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak.
Tangis, seperti juga tawa, memang mempunyai daya tular yang ampuh. Biarpun tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-bu-at, melainkan menangis sungguh-sungguh tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, mene-tes-netes menuruni kedua pipi. Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan berta-nya.
"Hei, kakek, kenapa kau menangis" Kenapa" Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu apa yang kita tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau tanpa sebab kita bisa dianggap orang gila!"
Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu memandangnya dengan mata terbelalak, diapun berkata sambil mencela. "Kenapa kita tidak boleh ter-tawa dan menangis tanpa sebab" Kita tertawa atau menangis menggunakan mu-lut kita sendiri, tidak meminjam mulut orang lain, apa perduli pendapat orang lain?"
"Tapi kau tertawa dan menangis tanpa memberitahu sebabnya, sungguh membikin aku
menjadi bingung, kek. Bi-asanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang mi-ring otaknya, dan aku yakin engkau bu-kan orang sinting."
"Ha-ha-ha-ha, kaukira orang sin-ting itu jelek" Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting" Aku tertawa karena hatiku gembira mendapatkan seo-rang murid yang baik seperti engkau. Dan aku menangis karena aku harus mewariskan ilmu-ilmu kepadamu. Hu-hu-huuhhh...." Kembali dia menangis.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 87
Bi Sian mengerutkan alisnya. "Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku."
"Apa?" Seketika tangis itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak. "Bukan takut kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada sera-tus orangpun tidak akan habis, hanya ingat akan mewariskan itu aku jadi i-ngat bahwa berarti aku akan mati! Dan aku takut.... aku takut mati...."
"Hemm, engkau takut mati, kek?"
Kakek itu berhenti lagi setelah tangisnya disambung dengan wajah keta-kutan, dan dia memandang wajah Bi Sian. "Apa kau tidak takut mati?"
Anak perempuan itu menggeleng kepala, pandang matanya jujur terbuka tidak pura-pura.
"Kenapa aku harus ta-kut, kek" Orang takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau kematian, kita kan tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Kenapa takut kepada sesuatu yang tidak kita mengerti" Aku tidak takut mati, kek!"
Kakek itu terbelalak, memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba dia menja-tuhkan diri berlutut di depan Bi si-an. "Kau pantas menjadi guruku! Ajari-lah aku bagaimana agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu...."
Bi Sian melongo. Berabe, pikirnya. Kakek jembel yang memiliki ilmu kesaktian ini agaknya memang benar-benar sin-ting! "Wah, jangan gitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sepatut-nya aku yang berlutut" Bangkitlah dan biarkan aku yang berlutut memberi hor-mat kepadamu."
"Tidak! Tidak!" Koay Tojin bersi-keras. "Sebelum engkau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak takut ma-ti, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di depanmu sampai dunia kiamat!"
Bi Sian seorang anak berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin da-pat memikirkan hal yang rumit dan penuh rahasia seperti kematian" Ia seo-rang anak yang masih belum dewasa, ma-sih bocah. Akan tetapi justeru kepolosannya itulah yang membuat ia berpeman-dangan polos dan sederhana, tidak se-perti orang dewasa yang suka mengerah-kan pikirannya sehingga muluk-muluk dan berbelit-belit. Bi Sian hanya ber-pikir sebentar, mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.
"Gampang saja, kek. Jangan pikir-kan tentang mati karena kita tidak me-ngerti. Jangan pikirkan dan kau tidak akan pusing, tidak akan takut!"
Jawaban itu memang sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan, akan tetapi dasar kakek itu sinting, dia menerimanya dan "mengolahnya" di dalam be-naknya.
"Jangan pikirkan.... jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut" Kalau aku tidur, pikiran tidak bekerja, apa-kah aku pernah takut" Tidak! Orang pingsanpun tidak pernah takut, apalagi orang mati, sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan....! Ha-ha-ha, benar sekali! Tepat sekali! Itulah il-munya!" Dan diapun bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu ke atas. Ketika tubuh turun, ditangkap dan dilemparkan lagi, makin lama semakin tinggi. Mula-mula Bi Sian agak merasa ngeri juga, akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuh-nya disambut dengan cekatan dan lunak, iapun tidak lagi merasa ngeri, bahkan menikmati permainan aneh ini. Kalau tubuhnya dilempar ke atas, ia merasa se-perti menjadi seekor burung yang ter-bang tinggi, maka mulailah ia mengatur keseimbangan tubuhnya agar kalau dilempar ke atas, kepalanya berada di atas dan ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala dan tangan di bawah.
"Lebih tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!" berkali-kali ia berteriak de-ngan gembira dan kakek itu agaknya ju-ga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali tidak takut, bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi! Benar-benar muridnya itu tidak berbohong dan tidak takut mati!
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 88
Maka diapun melemparkan tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi. Bi Sian memang cerdik sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa. Makin tinggi lemparan itu, membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat bermacam gerakan di udara sehingga ia se-makin trampil dan cekatan.
Akan tetapi, betatapun saktinya, Koay Tojin adalah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, maka permainan yang membu-tuhkan pengerahan tenaga itu membuat dia merasa lelah. Tiba-tiba dia melem-parkan tubuh murid itu jauh ke kiri, ke arah sebatang pohon besar dan dia sendiri lalu meloncat ke bawah pohon itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur ke bawah.
"Heiii....!" Bi Sian berteriak kaget akan tetapi tubuhnya sudah masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan ranting-ranting pohon mengeluarkan bunyi berkeresakan keras. Bi Sian dengan ngawur mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk!
Koay Tojin yang sudah tiba di ba-wah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu tak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat.
"Heiiiiii! Guruku.... eh, muridku yang tak takut mati! Di mana kau, he?"
"Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?"
Mendengar suara anak perempuan i-tu, Koay Tojin tertawa bergelak saking lega dan gembira hatinya. "Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung" Kalau menjadi burung harus sekali waktu hinggap di dalam pohon!" Kakek itu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang pohon, membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu ke atas dahan pohon yang kokoh kuat.
"Suhu nakal."
"Suhu...." Siapa suhu (guru)?"
Bi Sian memandang wajah kakek itu. "Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu" Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?"
"O ya benar! Engkau muridku, aku suhumu. Kenapa kau bilang aku na-kal?"
"Lihat saja muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon."
Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu. "Ah, tidak apa-ana.
Engkau harus biasa hidup di atas pohon, karena seringkali kalau berada di hutan, aku tidur di a-tas pohon. Lebih enak dan aman tidur di atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau."
Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri. "Dicium harimau" Apakah suhu pernah dicium harimau?"
"Wah, sudah sering!"
"Bagaimana rasanya, suhu?"


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah, geli! Kumisnya yang kaku i-tu menggelitik muka dan leher dan ketika aku
terbangun.... wah, di depan mukaku nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan na-pasnya yang berbau amis!"
"Kenapa dia tidak langsung mener-kam, pakai cium-cium segala, suhu?"
"Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas
hatinya" Dia mencium untuk me-nikmati bau harum dan sedap calon mangsanya. Untung bauku agak tidak enak, apak, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apak, harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha!
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 89
Keraguan itu membuka kesempatan bagiku un-tuk menghajarnya sampai dia lari ter-pincang-pincang dan berkaing-kaing!" Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya.
Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. "Wah, aku lu-pa! Muridku, engkau harus mulai berla-tih mengumpulkan hawa sakti, membang-kitkan tenaga sakti di dalam tubuhmu!"
Tentu saja Bi Sian menjadi bi-ngung. "Apa maksudmu, suhu" Aku tidak mengerti!"
Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan
menjungkirbalikkan tubuh anak itu se-hingga kedua kaki Bi Sian kini tergan-tung ke dahan pohon, bergantung pada belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.
"Pertahankan keadaan begini seku-atmu, kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas sepanjang mung-kin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata."
"Bagaimana kalau kakiku tidak ku-at dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?"
"Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas kan ada aku di sini! Nah, sambil bergantung begini kita bercakap-cakap!" Dan dia sendiripun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada dahan yang lebih tinggi sehingga kepalanya berhadapan presis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.
"Nah, sekarang katakan siapa namamu!"
"Namaku Yaw Bi Sian, suhu."
"Bagus, nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, da-tang dari Himalaya akan tetapi seka-rang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu."
"Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut dan memberi hormat kepada suhunya."
"Benar, hayo lekas berlutut di depanku!"
"Bagaimana mungkin kalau kita bergantung seperti ini?"
"Ah, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!" Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada di atas rumput lagi.
Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay Tojin girang bukan main dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.
"Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!"
Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit. "Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!"
Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, engkau ini presis seperti aku tadi, mau berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?"
"Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru murid ka-lau bukan gurunya?"
"Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?"
"Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Ka-lau tidak, aku akan berlutut...."
"....sampai dunia kiamat!" Koay Tojin menyambut sambil terkekeh dan Bi Sian tersenyum juga. Betapa lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegi-laan suhunya sudah menular padanya"
"Katakan apa tuntutanmu!"
"Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku."
"Hemm, setuju! Akan tetapi seben-tar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi de-ngan aku."
"Ke dua, aku akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang ke rumah orang tuaku."
"Setuju! Tujuh tahun itu lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati....! Eh, apa yang kukatakan ini" Mati.... hih, aku takut.... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu apa" Jangan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 90
dipikirkan, ha-ha-ha!"
"Dan ke tiga...."
"Banyak amat!"
"Cuma tiga, suhu. Yang ke tiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan tetapi a-ku tidak sudi kalau disuruh mengemis!"
"Waah, heh-heh-heh, akupun memang gelandangan dan jembel, akan tetapi tak pernah mengemis. Kalau ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apapun yang kita butuhkan, aku mampu adakan, untuk apa mengemis?"
"Benarkah" Suhu dapat mengadakan apa yang kita butuhkan?"
"Tentu saja?"
"Hem, mana mungkin" Seperti sekarang ini. aku butub sekali minum kare-na haus, dapatkah suhu mengadakan se-mangkuk air jernih?"
"Heh-heh, apa sukarnya" Semangkuk air jernih" Lihat ini, terimalah!"
Bi Sian terbelalak ketika tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan ta-ngan kirinya yang memegang sebuah mangkuk yang penuh dengan air jernih! Ia menerimanya dan dengan sikap masih kurang percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya, lalu mi-num air itu dengan segarnya.
"Suhu, dari mana suhu memperoleh semangkuk air dingin ini?" tanyanya, kini keraguannya lenyap karena air itu terasa segar dan memang benar air jer-nih aseli! Sambil terkekeh kakek itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap saja, tiba-tiba saja mangkok di tangan-nya itupun dia lontarkan ke udara dan lenyap!
"Kuambil dari udara.... heh-heh-heh!"
Bi Sian terbelalak. "Wah, enak kalau begitu!" teriaknya. "Kalau kita perlu makan, minum, rumah, pakaian, e-mas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan hal i-tu, kita akan menjadi kaya raya!"
"Hushhh! Kau sudah gila" Tidak boleh begitu!"
"Mengapa tidak boleh?"
"Tak perlu kuberitahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti permintaanmu tadi, ma-ri kita kunjungi rumah keluarga orang tuamu agar engkau berpamit dari mereka."
"Itu kudaku di sana, suhu. Kita menunggang kuda!"
"Wah, aku tidak pernah menunggang kuda. Kalau engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang kuda."
"Tapi sayang kalau kuda itu di-tinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang.
Marilah, kita boncengan, suhu!"
"Engkau naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tong-katku, kiranya tidak akan kalah mela-wan kuda yang berkaki empat itu."
"Mana mungkin, suhu?"
"Sudahlah, jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!"
Mendongkol juga hati Bi Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kaura-sakan nanti, pikirnya. Ingin berlumba dengan kudaku yang larinya seperti a-ngin" Bagaimanapun juga, ia tidak percaya suhunya akan mampu menandingi kecepatan kudanya. Iapun lalu meloncat ke atas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di atas tanah.
"Mari kita berangkat, dan cepat, suhu. Hari sudah mulai sore!"
Berkata demikian, Bi Sian lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda berlari menuruni bukit dengan cepat. Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang ditinggalkan jauh. Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhunya tertinggal jauh.
Akan tetapt betapa kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu tepat berada di belakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja! Ia merasa penasaran dan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 91
mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah beberapa lamanya, kembali ia menoleh dan untuk ke dua kalinya ia terbelalak melihat suhunya tetap berada di belakang kudanya, bahkan memegang ujung ekor kuda itu sambil tersenyum-senyum
kepadanya! Kini Bi Sian tidak ragu-ragu lagi. Suhunya memang seorang sakti seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Hatinya merasa kagum dan juga bangga, juga gi-rang karena ia merasa yakin bahwa akan banyak ilmu yang hebat dapat diterima-nya dari kakek aneh ini.
Akan tetapi suhunya sudah begitu tua. Rasa iba me-nyelinap di dalam hati Bi Sian dan ki-ni ia membiarkan kudanya berlari lam-bat agar gurunya yang sudah tua itu tidak terlalu mengerahkan tenaga.
Tiba-tiba Bi Sian menghentikan kudanya. Mereka sudah tiba di kaki bukit dan ia melihat ada enam orang berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka itu adalah lima orang perampok tadi, dan di belakang mereka ia mengenal Lu Ki Cong! Tentu saja Bi Sian terheran-he-ran.
Bagaimana lima orang perampok itu dapat berada di situ bersama Ki Cong dan agaknya di antara mereka tidak terdapat permusuhan" Bukankah tadi lima orang "perampok" itu dimaki dan diha-jar oleh Lu Ki Cong"
"Heh-heh-heh, sahabatmu yang ku-rang ajar itu sudah menanti bersama lima orang anak buahnya."
Bi Sian terkejut.
"Anak buahnya" Tidak, suhu, mereka adalah lima orang perampOk yang tadi malah dihajar oleh Ki Cong ketika mereka menggangguku!"
"Heh-heh-heh, dan kukatakan bahwa mereka adalah anak buahnya!"
"Kalian mau apa menghadang perjalananku?" bentak Bi Sian kepada lima orang itu.
"Minggir!"
Akan tetapi, betapa heran rasa hati Bi Sian ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan tangannya dan berteriak kepada lima orang perampok itu. "Bunuh kakek gila itu dan tangkap gadis itu untukku!"
Lima orang itu bergerak ke depan dan mengepung Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian karena gadis yang cerdik itu sudah dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia melompat turun dari atas kudanya dan menuding-kan telunjuknya ke arah muka Lu Ki Cong sambil memaki.
"Tikus busuk Lu Ki Cong! Sekarang aku mengerti akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah antek-antekmu yang sengaja kausuruh menggangguku tadi kemudian engkau muncul sebagai jagoan yang mengundurkan mereka untuk menarik hatiku! Engkau memang tikus busuk yang licik, curang, dan jahat sekali!"
Lu Ki Cong tidak menjawab, akan tetapi lima orang tukanp pukulnya itu kini menghampiri Bi Sian dan Koay Tojin dengan sikap mengancam. Kaoy Tojin hanya tersenyum lebar dan berkata kepada Bi Sian, "Bi Sian, bukankah engkau ingin menghajar tikus-tikus itu" Nah, hajarlah mereka, jangan beri ampun seorangpun, terutama tikus cilik di belakang itu!"
Tentu saja Bi Sian menjadi ragu-ragu. Ia sudah maklum bahwa tak mung-kin ia mampu mengalahkan lima orang tukang pukul itu. Tadipun ia tidak berdaya, bahkan menghadapi Lu Ki Congpun ia kalah tenaga. Bagaimana kini ia harus menghajar enam orang itu"
"Tapi, suhu, bagaimana aku mampu...."
"Hushh! Bikin malu saja! Engkau kan muridku" Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat bututku ini agar ta-nganmu tidak kotor!" Kakek itu menye-rahkan tongkatnya. Besar hati Bi Sian. Ia percaya sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang kadang-kadang seperti sinting itu memerintahkan ia menyerang, tentu gurunya sudah siap sedia memban-tunya. Dan tongkat itu agaknya tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tong-kat itu dapat menghajar Ki Cong tanpa dipegang oleh suhunya. Kini tongkat i-tu berada di tangannya dan entah bagaimana, ia merasa hatinya besar dan pe-nuh semangat ketika tongkat itu berada di tangannya. Tanpa
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 92
memperdulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya lagi, Bi Sian menerjang ke depan menggerakkan tongkat butut di tangannya. Ba-gaimanapun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit dan langkah yang teratur dan kuat.
Menghadapi serangan anak perempu-an yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu tentu saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup hebat, dan tenaga yang kuat. Kalau tadi mere-ka "dihajar" oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja dan sudah diatur sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menalukkan hati Bi Sian yang ke-ras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan mempergunakan mereka. Tadi, Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka untuk menghajar dan membunuh kakek jembel yang telah menghinanya, sekalian me-nangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu tetap tidak mau tunduk kepadanya!
Sambil tersenyum mengejek, menye-ringai lebar, seorang di antara mereka yang brewok, maju dan mengulur tangannya hendak menangkis lalu menangkap dan merampas tongkat butut itu ketika Bi Sian memukulkan tongkat itu ke arah mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak dapat digerakkan seperti bertemu dengan benda yang tidak nampak, sementara itu, tongkat butut di tangan Bi Sian sudah menyambar ke arah mukanya. Saking herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat lagi mengelak.
"Plakkk!" Tongkat itu menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya yang seketika "mimisen". Melihat ini, dua o-rang temannya menubruk maju, seorang merampas tongkat, seorang lagi hendak meringkus Bi Sian. Akan tetapi, kembali terjadi keanehan ketika dua orang itu mendadak terhenti gerakan mereka dan seperti patung tak mampu melanjutkan gerakan mereka. Bi Sian sudah mengayun tongkatnya ke arah
mereka, menye-rang kepala.
"Tukkk! Tukkk!" Dua buah kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika kepa-la itu keluar telurnya, menjendol bi-ru!
"Heh-heh-heh, bagus sekali! Pukul terus, Bi Sian!"
Bi Sian sendiri terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak dan makin ya-kinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau tongkat wa-siat itu yang lihai bukan main. Iapun terus mendesak ke depan dan dua orang tukang pukul lainnya yang sudah mener-jangnya, disambutnya dengan dua kali pukulan ke arah muka mereka.
Seperti yang terjadi pada teman-teman mereka, dua orang itu tertahan serangan mereka dan tak mampu mengge-rakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar ke arah kepala mereka. Mere-ka baru dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat menggosok-gosok kepala yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat itu.
Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tu-kang pukul yang jarang menemukan tan-dingan, dan di kota Sung-jan mereka a-mat ditakuti orang. Bagaimana kini menghadapi seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat seorang demi seorang" Biarpun tidak sam-pai terluka parah namun pukulan tong-kat itu mendatangkan rasa sakit di ha-ti yang jauh melebihi rasa nyeri di bagian yang terpukul.
"Bocah setan berani kau memukul kami?" bentak si brewok.
"Heh-heh-heh, muridku tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani menghajar kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pu-kul anjing-anjing itu sampai mereka melolong-lolong!"
Dan Bi Sian yang kini sudah bersemangat dan bergembira sekali, mener-jang terus! Biarpun lima orang itu ki-ni sudah marah bahkan mereka mencabut golok, namun apa artinya golok-golok itu kalau setiap kali digerakkan, sela-lu tertahan di udara" Akibatnya, mereka hanya Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 93
menjadi bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat di tangan Bi Sian. Biarpun yang memukuli hanya seorang a-nak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah terlatih silat dan memiliki tenaga cukup kuat, dan yang dipukuli sama sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya tubuh merekapun matang biru, muka mereka berdarah dan kepala benjol-benjol!
Melihat ini, bukan hanya lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong terbelalak matanya dan diapun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan berlari pergi.
"Heh-heh, kau hendak lari ke ma-na" Bi Sian, jangan biarkan monyet ke-cil itu melarikan diri!" teriak Koay Tojin dan dia kelihatan menggapai de-ngan tangannya. Anehnya, kedua kaki Ki Cong yang tadinya sudah melompat hen-dak berlari itu seperti menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali kepada pemuda yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkat-nya lalu menghajar membabi-buta! Ki Cong yang dapat bergerak kembali, men-coba melawan, akan tetapi hasilnya ma-lah pukulan-pukulan itu semakin hebat.
"Heh-heh-heh, pukul kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya biar tahu rasa monyet itu, heh-heh!" Koay Tojin memberi semangat kepada mu-ridnya. Dan Bi Sian terns menghajar Ki Cong sampai akhirnya pemuda itu yang sudah berdarah hidungnya dan babak bundas penuh balur dan bengkak-bengkak membiru, menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah sambil menangis! Melihat ini, lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka. A-kan tetapi biarpun mereka mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi Sian su-dah membalik dan menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka!
Lima orang tukang pukul itu bukan orang bodoh. Walaupun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan oleh see-rang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa
sesungguhnya bukan anak perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek jembel yang aneh itu. Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang galak itu! Mereka lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan di-ri dari situ sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara ketawa Koay Tojin mengikuti mereka, menbuat mereka semakin takut dan berusaha lari sece-patnya sampai jatuh bangun! Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuh-kan dirinya di atas tanah, terengah-e-ngah dan bermandi peluh, akan tetani wajahnya berseri dan mulutnya terse-nyum puas.
Kakek itu tertawa terpingkal-ping-kal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah dekat Bi Sian, terus tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat ini, Bi Si-an kembali timbul dugaan bahwa gurunya ini walaupun memang sakti sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap sinting oleh orang lain. Akan tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhunya ini seo-rang manusia luar biasa! Iapun tahu benar bahwa suhunya yang telah membantu-nya maka dengan begitu mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu kalipun mendapat balasan pukulan dari mereka.
"Sudahlah, suhu. Apa sih yapg kau tertawakan begitu hebat?" katanya un-tuk menghentikan aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan diapun bangkit berdiri.
"Wah, kau hebat, Bi Sian. Kau he-bat sekali, engkau telah menghajar an-jing-anjing itu sampai berkaing-kaing, heh-heh-heh!"
Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. "Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji akan belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak menyusahkan suhu lagi kalau bertemu dengan anjing-anjing se-perti tadi."
Bi Sian lalu menunggangi kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan di be-lakangnya. Kini Bi Sian mulai menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 94
iapun tidak berani membalapkan kudanya, ta-kut kalau membuat orang tua itu menja-di kelelahan. Oleh karena itu, hari telah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba di dalam kota Sung-jan. Atas pe-tunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu di kebun belakang, kemudian ia-pun menurut saja petunjuk suhunya ba-gaimana harus berpamit dari ayah bundanya.
"Kalau kita masuk ke dalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin akan memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaik-nya engkau menurut aku saja. Mari!"
Yaw Sun Kok dan isterinya berada di ruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan beberapa kali ia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang be-lum juga pulang.
"Aku mulai khawatir, kenapa sam-pai hari telah menjadi gelap begini ia belum juga pulang.
Sebaiknya kalau engkau pergi mencarinya," bujuknya untuk ke beberapa kalinya.
"Ia pergi membawa kuda dan biasa-nya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa ia datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku mencari ke suatu tempat dan ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar. Tidak perlu khawatir."
"Akan tetapi, aku gelisah sekali. Ia anak perempuan dan...."
"Aihh, mengapa engkau memandang rendah anak sendiri" Biarpun perempuan dan masih kecil, akan tetapi Bi Sian sudah memiliki kepandaian yang cukup untuk melindungi diri sendiri. Dan ia-pun ahli menunggang kuda, tidak mung-kin terjadi sesuatu yang tidak baik padanya. Pula, siapa yang akan berani mengganggunya" Semua orang di Sung-jan tahu bahwa ia adalah anakku."
Mendengar ucapan suaminya itu, Si Lan Hong terdiam. Akan tetapi ia masih terus
memandang ke arah pintu dengan penuh harapan. Pada saat itu, tiba-tiba saja ada suara ketukan pada jendela di sebelah kiri ruangan itu. Suami is-teri itu cepat menengok dan.... di balik jendela kaca itu nampaklah wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar dan wajahnya berseri penuh kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya dengan mata
terbelalak. "Bi Sian....!" teriak ibunya, dan ayahnya cepat melangkah ke jendela, hendak membuka jendela itu.
"Jangan dibuka, ayah! Ibu dan a-yah, dengarkan baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku telah mendapatkan seo-rang guru, guruku namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini hanya untuk pamit kepada ayah dan ibu. Aku akan ikut dia merantau selama tujuh tahun dan setelah tamat belajar, aku pasti pulang. Jangan cari aku, ayah. Tidak akan ada gunanya, karena ayah tidak akan dapat menyusul suhu!"
"Bi Sian....!" Yauw Sun Kok berse-ru dan cepat sekali dia sudah membuka daun jendela itu.
Akan tetapi, wajah anaknya itu telah hilang dan yang nam-pak hanya malam gelap. Dia merasa penasaran dan cepat dia melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat kelu-ar jendela. Mereka memanggil-manggil nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan tetapi tidak nampak bayangan anak itu.
Tiba-tiba terdengar suara anak mereka dari atas genteng. "Kuda itu kutambatkan di dalam kebun, ayah. Nah, selamat tinggal, ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!"
Ketika mereka menengok, ternyata Bi Sian sudah berdiri di wuwungan rumah mereka, tentu saja Yauw Sun Kok terkejut bukan main dan diapun cepat molompat naik ke atas genteng untuk mengejar. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja bayangan anaknya itupun lenyap. Dia merasa penasaran sekali. Tak mungkin Bi Sian dapat melompat ke atas wuwungan rumah seperti itu dan lebih tidak mungkin lagi menghilang seperti setan.
Akan tetapi semua usahanya untuk mencari sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam hidupnya Yauw Sun Kok merasa tidak berdaya sama sekali, seperti dipermainkan, seperti seorang yang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 95
lemah. Diapun dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara guru anaknya itu yang bernama Koay Tojin. Tahulah dia bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang memilihnya untuk menjadi muridnya. A-kan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama Koay Tojin! Dia tidak tahu ke ma-na puterinya dibawa dan siapa Koay Tojin itu, orang macam apa! Tentu saja dia gelisah bukan main dan ketika isterinya merangkulnya sambil menangis, Yauw Sun Kok hanya dapat menarik napas panjang berulang-ulang dan merasa ber-duka sekali. "Aku akan mencarinya...., aku akan mencarinya sampai jumpa dan membawanya pulang...." Dia
menghibur isterinya berkali-kali.
Akan tetapi, hiburan ini hanya tinggal hiburan kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun Kok mengerah-kan tenaga, bahkan minta bantuan orang namun tidak ada yang berhasil.
Tepat seperti dikatakan oleh puterinya keti-ka berpamit, dia tidak berhasil menemukan jejak Koay Tojin.
Bahkan pada keesokan harinya, Lu-ciangkun datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil membawa Lu Ki Cong yang babak bundas! Ki Cong mencerita-kan betapa dia
dipukuli dengan tongkat oleh Bi Sian yang dibantu seorang ka-kek jembel yang gila! Tentu saja Ki Cong tidak menyebut-nyebut tentang li-ma orang tukang pukulnya.
Mendengar ini, makin yakinlah ha-ti Yauw Sun Kok bahwa puterinya memang dipilih sebagai murid oleh seorang sakti dan bahwa Koay Tojin itu, menurut keterangan Lu Ki Cong, adalah seorang kakek tua renta yang berpakaian jembel dan bersikap seperti orang gila! Tentu dia sakti, pikirnya. Diapun minta maaf kepada Lu-ciangku, mengatakan bahwa anak
perempuannya itu telah pergi diba-wa oleh seorang sakti yang mengambil-nya sebagai murid.
Demikianlah, akhirnya Yauw Sun Kok dan isterinya hanya dapat menunggu dengan hati penuh kegelisahan dan kerinduan. Mereka harus menanti sampai tujuh tahun! Mendung menyelimuti kehi-dupan keluarga ini. Yauw Bi Sian yang tadinya seolah-olah menjadi matahari yang menyinari kehidupan mereka, kini menghilang. Lebih-lebih lagi bagi Sie Lan Hong! Kepergian puterinya ini merupakan pukulan berat baginya. Baru saja ia kehilangan adik kandungnya dan da-lam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja tanpa disangka-sangka, puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh tahun!
Kesenangan dalam bentuk apapun di dunia ini tidak abadi! Kesenangan se-perti gelembung-gelembung sabun yang setiap saat dapat meletus dan lenyap di udara! Kesenangan datang dari nafsu dan menimbulkan ikatan-ikatan dengan sumber kesenangan itu. Kalau tiba saatnya kesenangan itu direnggut dan terpisah dari kita, maka kitapun merasa ke-hilangan dan berduka. Hidup ini, penuh dengan duka yang timbul dan kekecewaan, iba diri, kemarahan, kabencian, permusuhan. Karena hidup ini penuh dengan duka dan sengsara, maka kita semua rindu akan kebahagiaan. Sayang sungguh sayang, kita selalu salah mengenal kese-nangan sebagai kebahagiaan! Kesenangan hanya merupakan saudara kembar dari kesusahan belaka, keduanya itu tak terpisahkan seperti permukaan depan bela-kang dari telapak tangan. Ada susah ada senang, ada suka ada duka, tak ter-pisahkan. Karena itu, setiap kedukaan kita coba hibur dengan kesukaan, seti-ap kesusahan kita tutupi atau ingin lupakan melalui kesenangan.
Padahal, kesenangan itupun akan berakhir dengan kesusahan, seperti gelombang tidak ha-nya bergerak ke satu jurusun, tapi pa-da saatnya membalik.
Kebahagiaan sungguh jauh berbeda. Kebahagiaan tidak mempunyai kebalikan! Kebahagiaan berada jauh di atas jang-kauan suka dan duka. Karena suka dan duka itu hanya merupakan permainan pi-kiran, maka hanya menjadi pakaian dari si aku. Kebahagiaan tak dapat diraih oleh pikiran. Kebahagiaan tidak dapat didatangkan dengan sengaja oleh si aku yang ingin berbahagia. Kebahagiaan adalah Cintakasih, Cahaya Illahi, kekuasaan Tuhan yang selalu ada, di dalam di-ri kita sendiri, tak pernah sedetikpun meninggalkan kita. Hanya pikiran dengan nafsu-nafsunya menyeret kita ke dalam kegelapan sehingga tidak dapat melihat-Nya.
*** Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 96
Terdengar suara lantang seorang anak laki-laki yang membaca kitab dari dalam sebuah kamar di rumah gedung in-dah itu. Suaranya lantang dan yang di-bacanya adalah kitab sajak para penya-ir jaman dahulu. Suara itu merdu dan cara membacanya amat baik, setiap kata diucapkan dengan jelas dan dengan nada suara yang tepat. Kalau orang mengin-tai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, gan-teng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, maupun pakaiannya. Jelas seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan a-tau hartawan! Cara dia duduk saja menghadapi kitab di atas meja itupun menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.
Memang anak laki-laki berusia ti-ga belas tahun itu sejak kecil sudah di gembleng dengan pelajaran sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-ki-tab kuno dimana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pela-jaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja! Tentu saja hanya sedikit yang mampu meresapi benar akan isinya, sebagian besar ha-nya mampu menghafal saja dengan lancar akan tetapi mengenai inti artinya, ja-rang yang dapat mengerti secara menda-lam. Apa lagi menghayatinya!
Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki pegunung-an Kun-lun-san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang
pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di
perbatasan barat. Kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika terjadi keri-butan karena adanya gerombolan peram-pok dari Nepal yang merusak dusun-du-sun di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari ba-rat menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di antara para pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorangpun mengakuinya sebagai anggauta keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang dan se-menjak itu, anak itu diakui sebagai a-nak angkat. Anak berusia lima tahun i-tu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluar-ga Coa-wangwe.
Karena Coa-wangwe sendiri tidak mempunyai anak laki-laki, hanya beberapa anak
perempuan, maka Bong Gan disa-yang oleh keluarga itu. Hanya Coa-wan-gwe tidak
merahasiakan bahwa anak itu adalah anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang keturunan anak laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang ma-sih muda dan sehat, sedangkan dia sen-diri ketika membawa Bong Gan pulang baru berusia empat puluh dua tahun. Kare-na itu, biarpun Bong Gan disayang, a-kan tetapi tetap saja semua orang menganggapnya bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe dan sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau berada di depan hartawan itu. Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri dan ti-dak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han. Melihat bentuk wajah anak itu,
ketampanannya merupa-kan ketampanan suku Uigur atau Kazak dan anak itu tidak ketahuan siapa o-rang tuanya. Agaknya dua hal ini, yai-tu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tidak dikenal asal-usulnya, ketampanan dan kecerdikannya, kecakap-annya belajar ilmu kesusasteraan, men-datangkan rasa iri hati dan banyak orang tidak suka kepada Bong Gan.
Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aselinya Munggan atau Bo-angana!
Bong Gan kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di a-tasnya, bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tidak suka kepadanya.
Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali, tubuhnya selalu dirawat baik-baik dari rambutnya sampai kuku kakinya. dan da-lam setiap penampilannya, dia hanya mendatangkan rasa Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 97
bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang di-hormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahan-kan kemuliaannya!
Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak di antara ang-gauta keluarga ayah angkatnya merasa iri hati dan tidak suka kepadanya.
Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, me-nyebar banyak mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya. Oleh karena itu, dia bersikap hati-ha-ti sekali. Malam itu, biarpun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan merdu pada ma-lam hari itu. Ini berarti bahwa biar-pun ayah angkatnya tidak berada di ru-mah, tetap saja dia belajar dengan te-kun!
Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok dan ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jan-tung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya. Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menam-bah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia dipero-leh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal! Karena ia amat disa-yang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walaupun perasaan iri itu hanya mereka simpan dalam hati saja karena pengaruh selir muda itu terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti membela sang selir termuda kalau sampai terja-di pertengkaran terbuka.
Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka.
Tanpa perasaan ini, sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikitpun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suami-nya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan de-ngan suka rela, melainkan karena ter-paksa.
Oleh karena itu, baru saja dibo-yong ke dalam rumah gedung Coa-wan-gwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pe-muda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan pute-ra kandung suaminya, dan juga ia meli-hat betapa orang-orang serumah itu ju-ga tidak suka kepada pemuda itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan. Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan,
memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya, namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isarat dan me-nanggapinya.
Sesungguhnya, biarpun usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan se-orang pemuda yang dungu. Ia banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita--cerita percintaan sehingga ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini. Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan diapun merasa suka sekali kepada wani-ta itu.
Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya, dan dia selalu ber-sikap sopan, tidak memperlihatkan tan-da bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih ter-lalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.
Dan pada malam hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 98
kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan lang-kah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri. Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun akan tetapi ting-gi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja i-tu cepat merangkap kedua tangan di de-pan dada memberi hormat.
"Ah, kiranya ibu yang datang malam-malam begini...."
"Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak seka-li mendengarnya...."
"Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?"
"Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau eng-kau menyebut ibu.
Engkau patut menjadi adikku dan aku enci-mu, biarpun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali.... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu."
Bong Gan tersenyum, hatinya girang sekali karena wanita cantik itu bersikap amat manis.
Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini.
A-yahnya tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.
"Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah," katanya menunjuk ke arah kursi yang tadi dia duduki.
"Terima kasih," Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu. Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.
"Kau duduklah, Bong Gan," katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.
"Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah."
"Ahhh!" Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya dan duduk di atas pem-baringan.
"Biarlah ahu duduk di sini. Kau duduklah."
Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas pemba-ringannya.
Beberapa kali Pek Lan yang memba-ca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.
"Bong Gan, huruf apakah ini....?" Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembar-an buku yang dipegangnya. Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa dia bangkit dan menghampiri, lalu mem-bacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan me-manggilnya untuk menanyakan huruf yang tidak dikenalnya sehingga beberapa ka-li pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.
"Ah, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kaubacakan untukku. Kesinilah dan duduklah di sini, kita baca bersama. Kauajari aku membaca, Bong Gan."
Tentu saja Bong Gan menjadi geme-tar dan tidak berani duduk berjajar di atas pembaringan itu. Walaupun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.
"Aih, mengapa engkau malu-malu dan takut?"
"Enci.... aku.... aku tidak berani.... nanti dianggap tidak sopan...." kata Bong Gan gemetar, walaupun hatinya berdebar girang dan tegang.
"Aih, siapa bilang tidak sopan" Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk berdekatan" Hayo, jangan takut!"
Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan diapun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka ber-sentuhan dan Bong Gan merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras. Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apalagi, ketika dia merasa betapa jari-ja-ri tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut de-ngan sentuhan-sentuhan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 99
mesra. Makin lama, suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau dan akhirnya, buku yang tadi dibaca Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan sedangkan di atas pembaringan itu, Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang taat dan pandai.
Nafsu, dalam bentuk apapun juga, tak pernah mengenal kepuasan. Kepuasan yang didapat hanya merupakan pendorong untuk mengejar kepuasan yang lebih mendalam lagi. Orang yang menjadi hamba nafsu tidak pernah merasa kenyang, tak pernah merasa cukup!
Kekenyangan yang dirasakan hanya sebentar dan segera berubah menjadi kelaparan yang makin menghebat. Baik itu yang dinamakan nafsu seks, nafsu mengejar harta kekayaan, nafsu mengejar kekuasaan dan sebagai-nya. Makin diberi, semakin merasa ku-rang dan
menghendaki yang lebih!
Demikian pula dengan Bong Gan dan Pek Lan. Begitu keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah seorang wanita muda yang dikecewakan oleh perjodohan dengan Coa-wangwe yang dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan menjadi lupa daratan. Sebaliknya, Bong Gan sejak kecil memang haus akan kasih sayang, kini bertemu dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya, dan menjadi gurunya dalam berenang di lautan kemesraan, diapun menjadi mabok.
Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga diapun tidak dapat lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga amat hina karena dia telah berjina dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri!
Langkah pertama dilanjutkan de-ngan langkah berikutnya, ke sekian pu-luh kali dan mereka berdua, yang dima-bok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu berahi, tidak tahu bahwa banyak pasang mata dari mereka yang me-mang tidak suka kepada mereka, selalu
membayangi dan mengintai mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe. Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi terkejut, heran dan kemudian marah. Dia terkejut men-dengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya, dan dia merasa heran me-ngingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap amat baik, ter-pelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati. Bagaimana kini tiba-tiba saja dia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjina dengan selirnya" Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah. Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang la-in dan para pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula. Diatur agar hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam di luar, dan di waktu malam, ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia, di kamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu dige-dor dari luar!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya perasaan Pek Lan dan Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan ke-duanya segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mu-kanya menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.
Biarpun kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tidak dapat diredakan, apa lagi di sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan hatinya betapa putera angkat itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan di antara mereka. Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya dan dapat ia menduga Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 100
bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya kepada suaminya.
Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hu-kuman cambuk rotan pada punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali kemudian mengusir dua orang yang pung-gungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumah tanpa diberi bekal secuilpun pakaian pengganti atau sepotong uang kecil. Kedua-nya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sa-kit, akan tetapi hati lebih sakit lagi Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggal-kan gedung itu, dan mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota Ye-ceng. Berita tentang diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari gedung dari pada mereka, dise-barkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat muka, karena semua orang memandang dengan mata dan senyum mengejek.
Sampai di luar kota, malam telah menjelang pagi dan mereka berdua masih terus berjalan di dalam keremangan cuaca sambil menangis. Biarpun mereka ti-dak mempunyai tujuan ke mana harus pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir kalau ada orang-orang yang mengejar untuk memperolokkan mereka.
Barulah mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, di bawah pohon rindang. Suasananya di situ sunyi sekali karena sudah amat jauh dari kota.
Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.
"Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk a-pa menangis lagi" Ditangisi sampai air mata darahpun tidak ada gunanya lagi," kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat menca-ri jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini.
Akan tetapi, kata-kata hiburannya itu tanpa diketahuinya, membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua malape-taka yang menimpa dirinya ini disebab-kan oleh Bong Gan!
"Engkau memang anak durhaka!" bentaknya sambil bangkit duduk dan telun-juknya
menuding ke arah muka Bong Gan. "Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah penyebab malapetaka yang menim-pa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia di rumah keluarlga Coa! Aahh, eng-kau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu malu....!"
Sepasang mata Bong Gan terbelalak. "Diam!" Dia membentak marah sekali. "Engkaulah perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau" Engkaulah yang tidak tahu malu, engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku" Perempu-an tak tahu malu!"
"Apa" Kau berani memaki aku" Anak kurang ajar kau!" Pek Lan bangkit ber-diri. Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan diapun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan di atas pembaringan dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling menyakiti!
Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 101
disambar kilat. Kiranya di situ sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa di situ muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas be-tapa nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan dan menyebabkan anak laki-la-ki itu terlempar dan jatuh terguling-guling. Hal ini berarti bahwa nenek i-tu telah membantunya, maka biarpun ha-tinya merasa ngeri, ia tahu bahwa ne-nek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil menangis!
Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, me-rasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri kare-na terbanting dan terguling-guling itu dan dia tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang kepada nenek itu de-ngan mata terbelalak dan hati dipenuhi keseraman. Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan tubuhnya demikian kurus ke-ring, kecil dan membungkuk seperti u-dang kering, seolah-olah usia tua su-dah membuat ia mengkerut dan kering. Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh garis malang-melintang, sepasang matanya sampai hampir tertu-tup kelebihan kulit pada
pelupuknya, tulang-tulang pipinya menonjol, hidung dan mulutnya juga kecil karena mulut itu mengkerut ke dalam, tak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi. Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang i-tu ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi pakaian yang seluruhnya berwarna hi-tam. Sungguh m
Bentrok Para Pendekar 5 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Kisah Para Pendekar Pulau Es 10
^