Kisah Pendekar Bongkok 5

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


enyeramkan sekali keada-an nenek itu, akan tetapi sepasang ma-ta yang kecil dan bersembunyi itu mengeluarkan sinar mencorong yang menge-jutkan hati orang.
Nenek itu mengangguk-angguk ketika melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil
menangis. Tiba-tiba tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang memaksa ia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah mengguna-kan ujung tongkatnya untuk memaksa ga-dis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek meng-angguk-angguk.
"Ceritakan, kenapa kau menangis di sini!" terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biarpun jelas ia mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama se-kali tidak terbuka dan tidak bergerak!
Pek Lan agaknya menyadari bahwa ia bertemu dengan seorang manusia luar biasa atau mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka iapun menja-wab sambil menahan tangisnya. "Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan dan saya diusir dari rumah suami saya har-tawan Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah se-tan itu.
Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya. Semua ini gara-gara bo-cah setan itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku salah, malah menyalahkan saya."
Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di
atas tanah. Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan menjadi semakin ngeri.
"Huh-huh, bocah itu mempunyai ma-ta seperti setan. Apakah kau ingin a-gar aku
membunuhnya?"
Pek Lan bergidik. Nenek itu sung-guh berhati kejam bukan main. Bagaima-napun marahnya terhadap Bong Gan, ten-tu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat a-kan pengalamannya selama beberapa bu-lan ini, masih ada sisa kemesraan da-lam hatinya terhadap Bong Gan.
"Jangan, nenek yang baik, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi menyalahkan aku!" katanya.
Nenek itu terkekeh. "Heh-heh, ba-gus. Akan kuhajar dia biar kapok!"
Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini timbul kebera-niannya. Biarpun nenek itu mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 102
Dan dia ti-dak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau ne-nek itu hendak menghajarnya.
Dengan langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan dan ia terkekeh melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya siap untuk melawannya.
"Heh-heh-heh, bocah setan, bergu-linglah engkau!" Nampak ia menggerak-kan tongkatnya dan nampak ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling!
Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya tetap tertutup.
Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.
"Heh-heh-ho-ho.... sekarang terbanglah! Terbanglah!" Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara! Bong Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuh-nya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu ja-uh ke atas, maka diapun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya melun-cur ke bawah dangan cepat sekali!
Ten-tu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah kepalanya!
"Toloooooooong!" Dia menjerit-jerit.
"Nenek yang baik, jangan bunuh dia!" Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menja-di kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.
"Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!" kata nenek itu dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terban-ting ke atas tanah, tiba-tiba ada si-nar hitam panjang menyanbutnya dan tubuh itu kini terlempar kembali ke atas lebih tinggi daripada tadi! Tentu sa-ja Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing digebuki.
Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya
menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan iapun bertepuk tangan dan bersorak. Lupalah ia akan kedukaannya.
"Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Ha-yo cepat kau minta ampun padaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini untuk menghentikan
permainannya!"
Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, me-lainkan menutup mata rapat-rapat.
Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di udara se-perti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan, kemudian tubuh itu bukan meluncur ke bawah melainkan ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang kakek jembel!
Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat seo-rang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Si-an sudah merengek kepada gurunya.
"Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Bi-ar aku menghajar gadis yang kejam itu!"
Mula-mula Koay Tojin memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut. "Waaahhh!
Menghajar nenek itu" Mana a-ku berani" Ia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)....! Hiiiih.... aku ngeri melihatnya...." Dan kakek jembel itu bergidik kengerian.
Meli-hat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jerih terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!
"Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!"
Berkata demikian, Bi Sian meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dangan kedua tangan terkepal. "Hei, ne-nek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang" Hayo pergi Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 103
dari sini, kalau tidak akan kupukul engkau!"
Nenek itu menyeringai lalu meno-leh kepada Pek Lan, "Ho-ho, bagaimana ini" Apakah aku harus menghajarnya ju-ga?"
Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek jembel itu karena mereka menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.
"Nenek yang mulia, bocah itu men-campuri urusan kita, sebaiknya kaubu-nuh saja!" Di sini sudah nampak perwa-takan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap o-rang yang tidak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.
"Bunuh" Heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!" jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa membu-ka mulut dan tiba-tiba ia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur ke arah gadis cilik i-tu, mengeluarkan suara mendesir.
"Wirrrr.... takkkk!" Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin. Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian, dan nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, matanya yang bersembunyi di lipatan kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di depannya.
"Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek jembel gila dari Himalaya?" teriaknya marah. Koay Tojin menyeringai pula. Dia tidak berpura-pura kalau tadi kepada muridnya dia mengatakan takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis, melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!
"Dan engkau Biang Iblis Awan Hi-tam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotongpun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!"
Nenek itu semakin marah. Kata-ka-ta "tidak bergigi lagi" bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek keburukan ru-pa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ajakan bahwa nenek itu tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!
"Koay Tojin keparat! Tidak bergi-gi lagi, ya" Nah, rasakan gigitanku!"
Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang amat aneh. Ia melontarkan tongkat ularnya ke atas dan tongkat itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menye-rang kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak!
Koay Tojin tertawa bergelak, me-lompat ke belakang dan diapun melempar tongkat bututnya ke depan. Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kinipun "hidup"
dan melawan tongkat ular itu dan terjadi-lah pertandingan yang amat aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya "bersilat" tanpa ada yang memegangnya, saling hantam dan saling tangkis sehing-ga terdengar bunyi nyaring berkali-ka-li, dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat.
Melihat betapa tongkat ularnya tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek itu lalu mengangkat tangannya dan tongkat ular-nya terbang kembali ke tangannya. Koay Tojin juga sudah "memanggil" kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terja-dilah perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu.
Melihat betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian gi-rang sekali dan melihat gadis yang me-nyuruh nenek tadi membunuhnya, iapun meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan!
Biarpun Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, namun Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, sejak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 104
kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya kena dipu-kul dan kakinya ditendang. Ia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan dan tamparan, akan tetapi ia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian semakin ganas dan menyakitkan. A-khirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.
"Nenek yang mulia.... tolong aku.... tolooooonggg!" Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya.
Sementara itu, pertandingan anta-ra Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan ramai. Mu-la-mula, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bu-kan main. Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun, selain tenaga nenek keriputan itupun kuat dan kecepatan gerakannya juga membingung-kan. Akan tetapi begitu Koay Tojin me-ngeluarkan ilmu silat tongkat
ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang bahkan dipuji oleh suhengnya, yaitu Pek-sim Siansu, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali nya-ris terkena hantaman tongkat butut, maka ketika mendengar suara Pek Lan min-ta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan diri. Ia meloncat ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan.
Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan nenek itu. "Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!"
"Ha-ha, Bi Sian, sudallah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu.
Hihh....!" Koay Tojin bergidik. "Hayo pergi....!"
Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum terha-dap anak perempuan itu dan kakek jem-bel, kini menjatuhkan diri di depan kaki Koay Tojin.
"Locianpwe yang mulia.... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid....!"
Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeri-ngai. "Heh-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha! Mari Bi Sian, kita pergi!" katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.
"Suhu, nanti dulu!" Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu menangis sesenggukan, kelihatan-nya sedih bukan main.
"Siapa namamu?" Bi Sian bertanya.
"Nama saya Bong Gan...." jawab a-nak laki-laki itu sambil menahan ta-ngisnya dan memandang kepada Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.
"Kenapa engkau hendak dibunuh me-reka tadi?"
"Saya adalah seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga har-tawan Coa di kota Ye-ceng," Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. "Perempuan jahat tadi adalah se-lir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang men-curinya adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia sembunyikan ke dalam kamar saya.
Kare-na itu, ayah angkat saya marah dan ka-mi berdua diusir. Ketika kami tiba di sini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu." Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba begitu sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 105
yang cerdik sekali. Setelah sele-sai bercerita, dia lalu menangis lagi.
"Nona, mohon belas kasihan nona dan guru nona.... sudilah menerima saya menjadi murid.
Saya mau bekerja apa saja.... saya sudah tidak mempunyai seorang keluargapun, dan saya takut kalau.... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi membunuh saya...."
"Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!" Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi.
"Nanti dulu, suhu," kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan kepada anak itu. "Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia ini!"
"Apa?"" Koay Tojin terbelalak. "Untuk apa mengajak anak cengeng ini?"
"Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya tidak akan takut dan tidak a-kan menangis sama sekali!"
Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh i-tu sekali ini tertarik. "Ha-ha-ha-ha, benarkah itu" Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis menghadapi ancaman maut?"
"Benar, locianpwe," kata Bong Gan, girang bahwa kakek jembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau memperdulikannya.
"Aku ingin melihat buktinya!" berkata demikian, Koay Tojin lalu melem-parkan tongkatnya dan tongkat itu kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulai-lah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.
"Plak! Plak! Plak! Bukk!" Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu terkejut bukan main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup he-bat, apalagi kalau pukulan itu menge-nai kepalanya. Dia menutupi kedua kepalanya dan kini punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat.
Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta tolong. Akan tetapi, anak yang cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka diapun menggigit bibir dan biarpun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak sedikitpun keluh-an keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu.
Bajunya sudah robek-robek dan ba-sah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu.
Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian me-rasa tidak tega.
"Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?" teriaknya.
"Ha-ha-ha!" Koay Tojin tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya. Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh. Diam-diam diapun mulai suka kepada bocah itu. "Mari kita per-gi, Bi Sian!" katanya dan sekali sam-bar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ.
Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tidak kepa-lang dan kini kakek itu meninggalkan-nya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi dalam ke-palanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya! Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi mu-rid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatangkara dan selalu teran-cam bahaya. Dia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menja-ga diri. Dia harus berhasil menjadi murid kakek itu, atau kalau perlu dia a-kan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji! Dengan pikiran ini, Bong Gan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 106
terus berlutut menghadap ke arah tempat kakek tadi berdiri, dengan nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat i-tu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu!
Me-mang patut dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuh nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan di-tambah lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram. Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuh-nya yang tidak kuat lagi dan dia terguling dan pingsan!
Ketika Bong Gan siuman, dia mendapatkan dirinya rebah di atas tanah be-rumput tebal, di tepi sebuah sungai kecil yang jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat seorang anak perempuan yang manis sedang mengo-bati luka-luka di punggungnya dengan menempelkan daun-daun hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali. Agak-nya anak perempuan itu mengerjakan de-ngan kelembutan dan dia melihat anak itu memilin dan menggosok daun-daun ba-ru di antara kedua telapak tangannya sehingga daun itu menjadi lemas dan mengeluarkan air kehijauan. Kemudian da-un-daun itu ditempelkan di atas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat. A-nak perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk menerimanya sebagai murid!
"Terima kasih, kini sudah terasa nyaman...." katanya dan diapun mengenakan bajunya, dan melihat kakek aneh i-tu duduk pula di situ, memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan si-kap acuh, Bong Gan cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.
"Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih dan hormat...." sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap.
Melihat suhunya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, "Suhu ini bagaimana sih" Ini, mu-ridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?"
Kakek yang melenggut itu membuka mata, memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata, "Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau ti-dak taat, engkau akan kuusir. Dan ka-lau kelak engkau menyeleweng, engkau akan kubunuh dengan tongkat ini!" Dia mengacungkan tongkatnya.
Dengan hati yang girang bukan ma-in Bong Gan memberi hormat dengan sem-bah sampai delapan kali kepada gurunya. "Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu."
Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu.
"Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi ke-baikanmu itu...."
Bi Sian terbelalak. "Eh, eh, nan-ti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci (kakak seperguruan)?"
Bong Gan tersenyum. "Bukankah su-ci yang lebih dulu menjadi murid suhu?"
"Bukan begitu! Aku tidak mau ce-pat tua dengan disebut kakak! Coba se-karang kita lihat, siapa yang lebih tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?"
"Tiga belas tahun."
"Nah, itu!" Bi Sian berteriak. "Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!"
"Habis, lalu bagaimana?"
"Karena engkau lebih tua, engkau menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng (kakak seperguruan)."
Wajah Bong Gan menjadi merah, a-kan tetapi hatinya girang walaupun dia merasa kikuk.
"Baiklah sumoi."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 107
"Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluarga siapa sih" Apakah Bong?"
Bong Gan menggeleng kepalanya.
"Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, a-ku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya ta-hu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong."
Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andaikata dia
mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri. Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhunya dan sumoinya, dia ringan kaki dan ta-ngan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian sehingga sikapnya yang amat baik ini selain membuat Bi Sian
menya-yangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya.
Bahkan dengan adanya Bong Gan se-bagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapat-kan makanan bagi mereka bertiga tanpa mengemis. Dengan menjual hasil buruan, atau rempa-rempa yang amat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka.
*** Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya dari pondongan. Mereka berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi.
"Terima kasih, nenek yang mulia. Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek a-pa yang harus saya lakukan karena hi-dup saya sebatangkara dan tidak mempunyai harapan lagi."
"Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu.
Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?"
Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Ia harus menjadi murid nenek i-blis ini dan kalau ia tidak mau ia a-kan dibunuh! Manusia macam apa nenek i-ni" Dan ia belum pernah mimpi berguru kepada seorang nenek iblis. Mau bela-jar apa dari nenek ini" Tidak sukar untuk memilih antara berguru kepada ne-nek itu atau mati.
"Tentu saja saya memilih berguru, nek."
"Hushhh! Kalau memilih berguru ke padaku, kenapa masih menyabut nenek" Sebut aku subo (ibu guru)!"
"Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah subo."
"Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa saja harus kautaati, tahu" Ka-lau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid dan akan kubunuh!"
Pek Lan bergidik. Nenek ini sedi-kit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam benaknya bahwa kalau ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi siapapun juga, terma-suk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Ma-ka bangkitlah semangatnya.
"Apapun yang subo perintahkan ke-pada teecu akan teecu laksanakan."
"Heh-heh-heh, bagus sekali. Seka-rang engkau harus melaksanakan tugas yang amat penting.
Kita membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan.
Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan baik."
"Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 108
"Mari, ikut dengan aku ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di kota itu terdapat seorang yang paling kaya raya yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menja-bat komandan atau panglima besar. Ba-nyak barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!"
Pek Lan ikut bergembira dan iapun mengikuti subonya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu dan ia percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.
Pangeran Cun Kak Ong adalah seo-rang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Dia adalah seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu, Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami surut bukan hanya karena pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan tetapi teruta-ma sekali karena para pembesarnya su-dah kehilangan kesetiaan mereka terha-dap tanah air dan bangsa, melainkan mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang
pembesar yang setia dan tidak me-lakukan korupsi besar-besaran.
Pangeran Cun Kak Ong juga seorang di antara para pembesar yang kegiatan-nya hanya membesarkan perut sendiri. Ketika dia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu di daerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari daerah itu disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk ke dalam gudang hartanya sendiri. Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpul-kan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas, barang-barang an-tik dari batu giok, perhiasan-perhias-an dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya dan hidupnya di kota besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, dengan istananya yang megah dan siang malam dijaga oleh puluh-an orang perajurit.
Bukan hanya penjagaan di rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat ba-nyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap dapat memasuki istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apalagi kalau ada maling masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-ka-mar atau gudang-gudang rahasia di ba-wah tanah! Inilah sebabnya mengapa o-rang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin mempergunakan muridnya yang cantik je-lita untuk melaksanakan niatnya, yaitu mencuri harta dari pangeran itu.
Satu di antara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik, dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiru-an dan berhidung mancung. Namun dia masih selalu membuka mata dan hidung le-bar-lebar setiap kali berjumpa dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya!
Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju ke ben-teng, diiringkan oleh belasan orang pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isarat kepada
pasukannya untuk berhenti. Semua perajurit ikut menengok ke kiri ke mana panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isa-rat mereka agar berhenti.
Kiranya di tepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis dan wanita yang masih amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan kalau panglima yang sudah terkenal mata keran-jang itu tertarik sekali.
Pangeran itu turun dari atas kudanya dan sambil membusungkan dadanya dia melangkah ga-gah menghampiri gadis cantik yang se-dang memangis itu. Akan tetapi karena sejak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 109
beberapa tahun ini perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan pe-rutnya menjadi semakin
menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan.
Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, cepat mundur ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal dekat gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.
"Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis di sini?" Pangeran Cun berta-nya dan hatinya semakin tertarik kare-na setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis, gadis itu menunduk dan dari atas dia dapat melihat celah-celah be-lahan dada dan nampaklah lereng sepa-sang bukit yang menantang.
Gadis itu tidak menjawab melain-kan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sehelai saputangan sutera. Nenek di dekatnya juga i-kut berlutut, akan tetapi tidak menge-luarkan suara.
"Nona ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan
menghukum orang yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona.
Dari manakah engkau?"
"Maaf, Taijin.... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara.... saya memang bukan orang sini.... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya.... saya, pengantin baru.... baru satu bulan menikah dan ketika saya diboyong ke dusun suami saya.... di tengah jalan kami dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya.... melakukan perlawanan dan dalam kesempatan itu, saya berha-sil melarikan diri, dibantu oleh pela-yan tua kami yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali.... karena itu, tolonglah kami, Taijin...."
Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Dan semua itu adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang. Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi men-dengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya! Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba menyelamatkan sumi dan keluarga gadis ini.
Akan tetapi tidak sama sekali, dia menolong de-ngan cara "menampung" Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!
"Aduh kasihan....!" Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu. "Jangan menangis, nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan engkau a-kan segera melupakan malapetaka yang menimpa dirimu, he-he!"
Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat dan berkali-kali menghaturkan terima kasih, tidak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan se-nyum kecil menantang, membuat hati pa-ngeran itu menjadi semakin tertarik dan seketika diapun membatalkan keper-giannya ke benteng, melainkan memutar pasukannya pulang ke istana sambil me-ngawal kereta yang cepat disediakan untuk Pek Lan dan
"pelayannya"!
Tepat seperti diperhitungkan o-leh Hek-in Kui-bo, dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biarpun ma-sih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 110
Pek Lan mentang amat cerdik. Tentu saja iapun tidak punya rasa suka kepada Pangeran Cun.
Biarpun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berke-dudukan tinggi dan kaya raya, akan te-tapi usianya sudah setengah abad le-bih, mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa. Pek Lan terpaksa memejamkan mata agar tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan
kepandaiannya untuk benar-benar meruntuhkan hati sang pangeran. Dalam keadaan terbuai kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan selu-ruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang di-datangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi!
Setelah mengorek rahasia ini, ce-pat Pek Lan memberitahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya. "Su-bo, cepat bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!"
keluh Pek Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya.
Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut. "Jangan khawatir, malam ini ki-ta kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan i-ni berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja di dalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan
mengambilmu dari kamarmu."
"Tapi...., tapi.... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!"
Kembali nenek itu tertawa, "Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?"
"Aih, subo. Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu" Dengkurnya saja membuat kepalaku sela-lu pening dan tidak dapat tidur barang sejampun. Seleranya seperti babi, aku jijik...."
"Jangan khawatir. Aku akan beker-ja cepat. Biarpun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan da-pat merobohkan mereka," kata nenek itu setelah mencatat dalam ingatannya ten-tang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun.
Malam gelap tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya sendi-ri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa
"menderita" dalam pelukan Pangeran Cun.
Ketika sang pangeran yang kelelahan sudah tidur mendengkur keras seperti dengkurnya seperti babi disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan, lalu duduk di tepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal" Apakah ia tidak akan tersangkut" Ia akah mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk me-nyelamatkan diri, membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan keha-ngatan. Setidaknya, ia tidak tertang-kap basah dan tidak ikut dengan guru-nya ke gudang harta itu! Ia berada da-lam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi! Dengan memaksakan dirinya, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak Ong. Pangeran itu bergerak dalam
tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat itu me-rangkul, melintang di atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya agar tidak sam-pai mati terhimpit!
Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat. Belasan orang penjaga berke-liaran di sekitar gudang itu, dan di depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 111
Dua orang penjaga meronda dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tiba-tiba saja ada bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali.
Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itupun padam! Dan seperti ba-yangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai.
Tak lama kemudian dua orang pen-jaga datang lagi membawa lentera dan tombak panjang.
Mereka jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri di belakang gudang, tak bergerak, mereka cepat lari menghampiri. Akan tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang inipun berdiri seperti patung tak bergerak, tom-bak dan lentera terampas dari tangan mereka! Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya seperti sedang merun-dingkan sesuatu, berdiri seperti pa-tung.
Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang ka-wan mereka berdiri di belakang gudang dan seperti orang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak!
Dan mereka itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga dan mereka tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan i-tu. Akan tetapi tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan melapor, tiba-tiba merekapun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk ujung tongkat dan lentera mereka, tombak mereka te-rampas sebelum terbanting ke atas tanah. Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil dua lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera i-tu ke tubuh empat orang yang ditotok-nya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka iapun membakar empat orang pen-jaga itu! Tentu saja empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-je-rit dan tubuh mereka terbakar! Mereka lari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itupun cepat keluar dari kamar mereka.
Empat orang yang terbakar itu la-ri cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini. Mereka lalu merobohkan empat orang yang berlarian-larian dan membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan tetapi mereka tidak sempat lagi memberi penjelasan dan tewas oleh luka-luka bakar. Kemudian, tiga orang jago-an itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang. Tentu saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana" Mereka memeriksa semua bagian, tidak ada jejak kaki orang luar! Tentu saja mereka tidak memeriksa ke dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar bukan ke dalam gudang! Ia memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan tetapi, berkat kecerdikan muridnya, ia telah mengetahui rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya. Setelah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa tersentuh anak panah beracun yang dipasang di sana, ia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian ia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan lain permata mulia.
Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga di atas punggungnya yang agak bungkuk.
Dengan hati-hati ia mengintai ke-luar. Enam orang penjaga dan tiga o-rang jagoan itu masih sibuk memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarlan menabarak sana-sini, ada beberapa tempat yang kebakaran pula. Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan lagi jendela itu Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 112
dan iapun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan gin-kangnya yang tinggi, tentu ia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui. Akan tetapi ia harus memba-wa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia sengaja memberat-kan tubuhnya dan
langkahnyapun terde-ngar oleh tiga orang jago.
"Heiiii, berhenti....!" Tiga o-rang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar. Memang benar keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga o-rang jagoan ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu. Namun, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk ke dalam taman gedung itu.
Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, mereka-pun berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas. Keadaan menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang karena semua penjaga menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung.
Hek-in Kui-bo se-ngaja berkelebatan ke sana-sini untuk membikin kacau, kemudian ia sengaja memperlihatkan diri dan lari ke dalam kebun di samping gedung. Kebun atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tem-pat gelap dan ketika mereka semua da-tang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya. Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jago-an itu memang lihai. Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walaupun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu ma-sih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja. Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar tembok dan menghilang dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal.
Mereka sama sekali tidak tahu be-tapa bayangan hitam itu bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo mengam-bil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!
Pangeran Cun sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar kamar. Pangeran itu dengan malas mengenakan pa-kaian, bersungut-sungut. "Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini yang dijaga ketat" Tentu sekarang sudah tertangkap!" Diapun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaian, bahkan dia tidak sadar bahwa di sudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang se-jak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas.
"Brakkk!" Tiba-tiba jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main.
Dia membalik dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa pelayan selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.
"Pek Lan, mari kita pergi!" kata nenek itu.
Pangeran Cun masih belum sadar, akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia menjadi marah. "Keparat, mau apa kau" Pergi dari kamar ini!" Dan dia mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar itu.
"Cerewet kau!" bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.
"Subo, kenapa tidak dibunuh saja babi ini?" kata Pek Lan sambil mengam-bil buntalan dari sudut kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua agar tidak "mengganggu"
pelayanannya kepada bangsawan itu.
"Ah, jangan, heh-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya" Mari kita pergi!" Nenek Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 113
itu menyambar le-ngan muridnya dan membawanya "terbang" melalui jendela. Karena para penjaga sedang sibuk sendiri melakukan penge-jaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan malam membawa buntalan di punggung me-sing-masing.
Biarpun Pek Lan selama dua minggu ini tersikea oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan mesra, namun ia tidak merasa rugi. Pertama, ia telah menyenangkan hati gurunya dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil mencuri banyak sekali bar-ang yang tak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika menjadi kaya raya dan memungkinkan mereka hidup mewah
dengan harta benda itu.
Beberapa bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebu-ah rumah yang mungil dengan perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang amat luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitar-nya sebagai orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau ber-gaul rapat dengan para penghuni dusun. Dan mulai saat itu, Pek Lan yang tadi-nya merupakan seorang gadis manis le-mah lembut, mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya, dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu si-lat!
Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi sebuah di anta-ra puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat dan mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di mana orang dapat menikmati keindahan ma-tahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerah-an, maka puncak ini disebut Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok ini sunyi, tak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidaklah mudah. Orang harus melalui jurang yang curam dan pendaki-an yang tidak mungkin
dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Sian-su untuk menjadi tempat ting-gal
sementara. Mereka berempat menggembleng Sie Liong dan karena pemuda remaja ini
menjadi murid Pek-sim Sian-su, maka tiga orang kakek yang berasal da-ri Himalaya itu, tiga orang tokoh be-sar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong! Namun, adalah tiga su-heng ini yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah a-mat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas penting yang membutuhkan kekuat-an dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang akan menjadi wakil me-reka, maka merekapun menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong.
Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang menSandung tenaga sin-kang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih.
Pukulan ini bukan hanya kuat sekali dan angin pukulannya saja mampu merobohkan lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan bera-cun yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.
Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang sela-lu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Swat-li-ong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan inipun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah terkandungnya hawa yang amat dingin dalam pukulannya, hawa dingin yang mampu membikin beku darah dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 114
pukulan itu dinamakan Naga Salju!
Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanan-nya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Pukulan i-ni, sesuai dengan namanya, mengandung tenaga raksasa yang seolah-olah dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Dan ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.
Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan te-kun, anak itupun rajin bukan main. Ti-dak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suhengnya dan seo-rang suhunya, akan tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun. Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apala-gi ketika mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otak-nya.
Luar biasa! Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain kulit-kulit binatang hutan, tan-duk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lain yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim Sian-su yang ah-li dalam hal pengobatan.
Selama lima tahun itu, Pek-sim Sian-su jarang keluar dari dalam guha-nya. Dia duduk bersamadhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang dia keluar melihat kemajuan yang dicapai murid barunya.
Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang dia berikan kepada tiga o-rang murid keponakan untuk menggem-bleng anak itu, mulailah Pek-sin Sian-su sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun. Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri.
Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Sian-su merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari tiga orang suhengnya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya, juga Pek-sim Sian-su mengajarkan latihan siu-lian untuk
menghim-pun sin-kang yang menjadi semakin kuat.
Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu di bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.
Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Sian-su berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.
"Sie Liong, sekarang usiamu su-dah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cakup pula ilmu-ilmu kaupelajari untuk kaupergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat apa maksud pinto dan para suhengmu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu agar eng-kau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenar-an dan keadilan di dalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw i-tu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak dicu-lik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau mungkin usahakan agar engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di sini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 115
terhadap kami."
"Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang telah memberi bimbingen kepada teecu."
Pek-sim Sian-su lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaan-nya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya meninggalkan tempat itu, menuruni puncak dan dia langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara yang cukup jauh. Dia sudah mendengar keterangan dari enci-nya tentang dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut encinya ayah ibu-nya telah tewas akibat penyakit menu-lar. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang di makam mereka.
Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Keti-ka dia mendapat keterangan yang meya-kinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya berdebar tegang. Betapa tidak" Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat di mana ibunya melahirkannya! Kampung halaman ayah i-bunya yang telah meninggal dunia. Pen-duduk dusun itu melihat Sie Liong de-ngan pandang mata heran. Jarang ada o-rang luar memasuki dusun itu, dan ti-dak ada seorangpun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.
Sie Liong juga tidak memperlihat-kan sikap yang mencurigakan bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari du-sun itu, lalu ketika dia melihat seo-rang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.
"Maaf, lopek (paman tua). Boleh-kah saya bertanya sedikit kepadamu?"
Biarpun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang tera-tur dan halus membuat kakek itu meng-hentikan langkahnya dan
menghadapi pe-muda bongkok itu. Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek itupun menja-wab.
"Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang kautanyakan?"
"Maaf, lopek. Saya ingin mengeta-hui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian."
Kakek itu membelalakkan matanya dan kini memandang kepada Sie Liong penuh selidik.
"Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?"
Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab, "Saya masih sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan lewat di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat."
Kakek yang wajahnya sejak tadi nampak muram itu bersungut-sungut. "Hem, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati" Paling banyak setahun sekali kuburannya ditengok, bahkan kuburan keluarga itu sudah bertahun-ta-hun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?"
Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang. "Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu....!"
Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari dan melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerut-kan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk melihat apa yang dibicarakan tiga orang itu dengan ka-kek berwajah muram ini.
Setelah dekat, nampak bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di ping-gang masing-masing tergantung sebatang golok. Lagak dan pakaian mereka, juga golok itu, tidak menunjukkan bahwa me-reka adalah segolongan petani. Seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepada kakek itu, tidak memperdulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 116
"He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah" Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya" Hayo katakan, engkau hendak minggat ke mana?"
Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut. "Aih, mana saya bera-ni melarikan diri"
Kalian lihat sendi-ri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu....
ah, bagaimana lagi" Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi, banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa saya tidak mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chung-cu (kepala dusun Bouw).
Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas."
"Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengem-balikan, ada saja alasannya! Tak tahu malu!" bentak si hidung besar.
Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali akan tetapi karena takut maka ti-dak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.
"Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, dan kalau dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah yang saya hutang!"
"Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kauhutang itu milik nenek moyangmu" Akan tetapi hu-tang itu menurut janji harus dikembalikan selama enam bulan dan sekarang su-dah delapan bulan. Hari ini adalah ha-ri terakhir, engkau harus membayarnya.


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Harus kukatakan, mergerti?"
Kakek itu menarik napas panjang.
"Bagaimana saya dapat membayarnya" Sa-ya tidak mempunyai uang dan saya ti-dak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau.... harap saya diberi waktu."
Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan
kemerahan. "Tidak, majikan ka-mi mengharuskan engkau membayar seka-rang juga.
Sudahlah, kami akan pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!"
Kakek itu tersenyum sedih. "Ba-rang apa lagi" Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chung-cu, dan sebagian untuk makan. Di rumah tidak ada lagi
sepotongpun benda yang berharga."
"Hemm, kukira tidak demikian, o-rang tua! Ada bunga yang manis dan bu-nga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!" Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya.
Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan. "Celaka.... celaka.... mereka akan membawa Siu Si!
Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu....?" Suaranya bercampur ta-ngis kebingungan.
"Lopek yang baik, siapakah itu Siu Si" Dan mengapa mereka hendak membawa-nya?"
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek itu yang sudah putus harapan, berkata, "Namaku Kwan Sun, hidupku ha-nya dengan cucuku Siu Si, gadis beru-sia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin meng-ambil cucuku sebagai selir, akan teta-pi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka!
Ahh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya...."
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. A-yahnya sudah tidak ada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
"Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja" Cucumu tidak boleh diganggu o-rang, aku akan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 117
membantumu!" Berkata demikian, Sie Liong menarik tangan kakek itu diajak berjalan cepat.
Kakek itu tetap ketakutan dan me-ragukan kemampuan pemuda bongkok ini untuk
mengajaknya menentang tukang-tu-kang pukul yang ganas dan kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman ba-haya bagi cucunya, diapun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya.
Di sepanjang jalan, banyak pendu-duk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela dan mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali, "Awas, Lo Kwan, cucumu....!"
"Mereka ke sana...."
"Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu....!"
Dari sikap mereka itu, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini, akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani bicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar da-ri rumah masing-masing melihat ada ti-ga orang tukang pukul kepala dusun me-nuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu terdengar jerit tangis cucunya, dan seorang di antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah. Ketika gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walaupun pakaiannya a-mat sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.
"Kong-kong, tolonglah aku....!" Ia meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang didapatkan karena pegangan si hi-dung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat cucunya meronta dan menaagis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya.
Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
"Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku" Hayo lepaskan Siu Si....!" teriaknya sambil mendekati si hidung besar dan berusaha membebaskan cucunya.
Akan te-tapi, kaki yang panjang dan besar itu menendang dan tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
"Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup" Gadis ini kujadikan sandera, dan kalau engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!" Dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas meng-hancurkan pintu dan jendela rumah ke-cil itu, dan menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan menangis melihat kakeknya
ditendang roboh.
"Kawan, perlahan dulu!" Tiba-tiba Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar.
Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong. Melihat ada o-rang berani menghadangnya, si hidung benar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.
"Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?" bentaknya marah.
"Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya," kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar. "Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?" Dia me-nunjuk ke arah hidungnya yang besar. "Apa kau ingin mampus" Kalau aku ti-dak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?"
Sie Liong mengerutkan alisnya.
"Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Kalau tidak kaubebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya."
"Hah?"" Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh, "Kau.... kau....
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 118
setan bongkok ini sungguh lancang mulut!" Dia menoleh kepada dua orang ka-wannya dan membentak. "Hajar mampus setan bongkok ini!"
Dua orang temannya itu adalah o-rang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa orang. Tidak ada kesenangan yang lebih mengasikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat
memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam. Selain itu, mendatangkan pula uang karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi harus menghajar seorang pemu-da bongkok! Pekerjaan kecil yang amat mudah, pikir mereka.
Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan benar-benar, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apalagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak memperlihatkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan seorang pemuda bongkok sederhana saja.
"Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!" seorang di antara mereka mengejek.
"Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!" Orang ke dua memperoloknya. Namun, Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka, dan memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gen-tung-gentung kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.
Dua orang itu agaknya hendak ber-saing dan berlumba siapa yang akan le-bih dulu
merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.
Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja amat lambat datangnya.
Dia seolah ti-dak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia me-ngembangkan kedua lengannya dan.... dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pan-tat mereka rerbanting keras ke atas tanah. Dua orang itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan ma-rah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka su-dah mencabut golok dari pinggang ma-sing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
"Tuan-tuan.... jangan bunuh orang....!" kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok mereka. "Orang muda, pergilah, la-rilah....!"
Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak memperdulikannya, dan Sie Li-ong menoleh kepada Kwan Sun. "Lopek yang baik, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengan-dalkan kekerasan untuk menindas orang, mereka patut dihajar...." Baru saja dia bicara demikian, dua orang yang mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun, sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri!
Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya, tidak ta-han melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah.
Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu lu-put! Dan sebelum dua orang penyerang-nya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.
"Plak! Plakkk!" Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras sampai me-ngeluarkan bunyi "ngek! ngek!" dan me-reka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua ta-ngan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 119
menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah le-nyap ke mana.
Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditem-pelkan kepada leher gadis itu!
"Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!" ben-taknya.
Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri. "Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!" katanya dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biarpun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya menge-nai pundak kanan si hidung besar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si hi-dung besar yang tiba-tiba merasa le-ngannya tergetar dan kehilangan tenaga melepaskan goloknya. Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melang-kah di depannya. Dia masih mencoba un-tuk menggerakkan tangan kanannya me-nyambut Sie Liong dangan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelang-an tangannya dan mencengkeram.
"Aduh.... aduhhh.... aughhhhh!" Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah
mandorongnya dan tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotong-nya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.
Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.
"Taihiap.... mata kami buta, harap maafkan...." kata Kwan Sun. "Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan telah menyelamatkan kami, akan tetapi.... harap taihiap cepat pergi dari sini.... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersa-ma
gerombolannya...."
Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biarpun dirinya sendiri dan cucunya terancam, kakek i-tu masih sempat mengkhawatirkan diri-nya dan tadipun menganjurkan agar dia melarikan diri agar tidak sampai cela-ka di tangan orang-orang jahat itu.
"Bangkitlah, lopek," katanya sam-bil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. "Engkau juga, no-na. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lo-pek, sebelum kepala dusun jahat itu muncul!"
Tidak sukar pekerjaan ini karena tadipun, ketika pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul yang amat mereka takuti, banyak penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan
mereka bertiga. Maka, tanpa diperintah, mere-ka sudah mengabarkan kepada orang-o-rang lain dan kini banyak orang berda-tangan ke rumah kakek Kwan Sun. Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemu-da bongkok itu hendak bicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tuapun tidak ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Li-ong merasa terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!
"Saudara-saudara," katanya dengan suara lantang, "kalian mempunyai seo-rang kepala dusun yang jahat dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, kenapa diam saja dan tidak melawan?"
Semua orang saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan.
"Mana kami berani?" akhirnya seo-rang laki-laki muda menjawab.
"Andaikata Sie-kauwsu masih hi-dup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 120
itu di dusun ini?" tanya pula Sie Liong, sekali ini ditu-jukan kepada mereka yang tua-tua kare-na tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu.
Mendengar ini, beberapa orang tua segera menjawab. "Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu masih hi-dup!"
"Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu!
Aku akan mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan membantuku!"
"Kami.... kami tidak berani...." beberapa orang berseru. "Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang pukul yang lihai."
"Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apalagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kali-an tidak perlu turun tangan, lihat sa-ja aku akan menghajar mereka!" kata Sie Liong tanpa nada sombong, melain-kan nada
penasaran mengapa begini ba-nyak pria di dusun orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat.
Biarpun pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para penduduk du-sun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi telah mengalahkan tiga o-rang tukang pukul lurah Bouw, akan te-tapi mampukah pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chung-cu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan
kejam" Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.
"Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan
mendukung dan selanjutnya ber-sikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga ka-lau pembesar tinggi datang, kalian ha-rus berani melaporkan kejahatan para pejabat di sini."
Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan perkelahian. Dengan demikian, andaikata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chung-cu.
Tak lama kemudian, terdengar sua-ra banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya di dalam rumahnya. Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang tadi dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya. Dia bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin, dan baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ, dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil. Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya datang seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan
menghajar tiga orang tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup pandai, dan dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.
Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebalik-nya, melihat pemuda itu, tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya se-gera menuding dan berseru, "Itulah si setan bongkok!"
Lurah Bouw mendangkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Dan tiga orang tukang pu-kulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu! Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para anak buah-nya, menudingkan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 121
goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.
"Engkau ini orang bongkok dari mana, berani datang ke dusun kami dan membikin kacau?"
Sie Liong mengangkat muka meman-dang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah itu, dan Sie Liong tersenyum. "Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di dusun Tiong-cin ini, dan aku datang untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam!
Engkau mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau tidak pantas menjadi lu-rah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan membersih-kan dusun kami ini dari srigala-sriga-la berwajah manusia yang berkeliaran di sini!"
Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.
"Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!" Dia menoleh kepada para anak buahnya.
"Pukul dia sampai mati!"
Lima belas orang itu memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini, mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Li-ong! Belasan senjata tajam berupa golok, pedang dan tombak, datang bagai-kan hujan ke arah tubuh Sie Liong.
Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka mera-sa ngeri.
Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu bersembu-nyi di rumah sendiri saking takut ter-libat.
Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua
tangannya dikibaskan ke kanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh! Akan tetapi mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang, dan yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang semakin ganas.
Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi penasaran dan sambil me-ngeluarkan bentakan nyaring, diapun menyerang dengan mengangkat goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan ba-cokan yang amat cepat dan kuat.
Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacakan itu luput dan lewat di dekat pundaknya, dan sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisi-nya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku! Di lain saat, Sie Liong telah mengang-kat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka! Sie Liong terus maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan kerasnya ke atas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba datang banyak orang yang memukuli mereka yang terbanting jatuh itu!
Mereka yang memukuli ini adalah orang-orang dusun! Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda bongkok itu benar-benar dapat mengatasi lurah Bouw dan anak buahnya, mereka menjadi bersemangat sehingga melihat beberapa orang tukang pukul yang mereka benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan mereka!
Tentu saja tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan senjata dan ma-sih pening karena terbanting keras, kini hanya mampu berkaok-kaok ketika di-keroyok dan dipukuli para penduduk dusun! Makin keras dia memaki dan mengancam, makin keras pula orang-orang itu memukulinya sehingga mukanya menjadi bengkak-bengkak dan tubuhpun babak bundas,
pakaian mereka robek-robek!
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 122
Sie Liong tersenyum gembira meli-hat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk dusun itu setelah sema-ngat mereka itu lenyap selama bertahun-tahun di bawah penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka diapun segera me-lemparkan tubuh kepala dusun Bouw yang jatuh berdebuk dan terguling-guling. Kepala dusun itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan diapun terke-jut ketika kini orang-orang dusun me-ngejarnya dan memukulinya.
"Hei....! Keparat.... ini aku, lurahmu....!" teriaknya, akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan pu-kulan-pukulan para penduduk yang sudah melihat kesempatan untuk membalas den-dam bertahun-tahun itu. Lucunya, kini banyak pula wanita dusun yang keluar dan merekapun ikut pula memukuli kepa-la dusun dan anak buahnya dengan ga-gang-gagang sapu!
Sie Liong mengamuk, dan dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang banyaknya sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw, berteriak-teriak dan mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang dusun, tua muda, laki perempuan, mengeroyok mereka dan me-mukuli mereka sampai seluruh muka mereka bengkak-bengkak!
Sampai beberapa lamanya Sie Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan
kemarahan dan sakit hati mereka, akan tetapi dia menjaga agar mere-ka tidak melakukan pembunuhan. Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu berseru dengan suara nyaring.
"Cukup, saudara-saudara, cukup dan jangan memukul lagi!"
Teriakan yang nyaring ini ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu. Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru, "Hidup putera mendiang Sie Kauwsu....!"
Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas memberi isarat agar mereka te-nang, lalu dia memeriksa keadaan enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh menyedihkan, dan lebih dari setengah mati. Muka mereka bengkak-beng-kak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak mempunyai hidung la-gi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya pecah, patah tulang dan sebagainya. Akan tetapi Sie Liong merasa bersukur bahwa tidak ada di an-tara enam belas orang itu yang tewas. Dia menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan merintih, mencoba untuk membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.
"Orang she Bouw, bagaimana seka-rang" Apakah engkau masih merasa penasaran dan
hendak mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?"
Lurah Bouw sudah ketakutan setengah mati. Ketika tadi dipukuli rak-yat, dia yang tadinya memaki-maki dan mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun.
"Ampun.... ampunkan saya.... saya tidak berani lagi.... saya akan menjadi lurah yang baik...."
Akan tetapi mendengar ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak ke-ras. "Tidak! Kami tidak mau dia menja-di lurah kami!"
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu. "Nah, eng-kau sudah
mendengar sendiri. Kalau ti-dak ada aku di sini, engkau tentu te-lah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami pendu-duk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gan-dum dan padi harus kautinggalkan, karena itu milik rakyat yang kauperas!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 123
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong itu karena mereka semua merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia lalu bersama anak buahnya, kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka,
mem-bawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para pen-duduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Kini mereka semua keluar, terma-suk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie Li-ong.
"Sie-taihiap," kata Kwan Sun de-ngan suara nyaring, "kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang telah membebaskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon agar taihiap suka menjadi kepala dusun kami."
"Hidup Sie-taihiap....!"
"Kami setuju!"
"Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!"
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada yang dengan pandang mata ka-sihan. Dia seorang bongkok yang dipan-dang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
"Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih mempunyai tugas yang amat panting dan tidak mungkin tinggal selamanya di sini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apalagi mengingat bahwa aku tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru."
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga
menyatakan persetujuannya.
"Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuha-rap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!"
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, diangkat menjadi lurah. "Sie-taihiap, bukan saya meno-lak, akan tetapi bagaimana mungkin sa-ya menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota be-sar Wen-su?"
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena diapun baru tahu akan hal itu
sekarang. "Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu, akan kuceritakan tentang keadaan di Tiong-cin ini, tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!" Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan anak buahnya.
"Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau me-nerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?"
tanya seorang penduduk muda dan kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan. Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, se-lagi
Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 124
membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
"Jangan takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memi-liki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat di si-ni dan disebut Sie Kauwsu" Siapakah di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?"
Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tidak pernah berlatih, akan tetapi ketika Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.
"Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda di sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang banani main-main."
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan lebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
"Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini.
Sekarang saya ingin pergi dulu berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?"
"Ah, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman pendu-duk kita." Lurah baru itu lalu mengan-tar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berdampingan.
Makam yang sederhana sekali, den tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, diapun membersihkan rumput-rumput liar di ma-kam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
"Ini makam Sie Kauwsu dan ini ma-kam isterinya. Aku sendiri ikut mengu-bur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya."
Sie Liong terkejut dan heran. "A-pakah suheng Kim Cu An Inipun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?"
Kini lurah Kwan itu yang medangnya dengan mata terbelalak. "Penyakit menular" Apa maksudmu, taihiap?"
"Bukankah.... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?"
"Ah, dari mana taihiap mendengar berita itu! Sama sekali tidak begitu! Di sini memang pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!"
Sie Liong terkejut bukan main, a-kan tetapi dia mampu menekan perasaan-nya sehingga tidak nampak pada wajah-nya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah i-bunya dan suhengnya, lalu dengan lem-but dia berkata, "Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakan-lah dengan jelas apa yang telah terja-di pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas."
Kwan Sun mengangguk-angguk. "Men-diang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini yang ga-gah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong."
"Akulah anak itu, lopek."
Kakek itu mengangguk. "Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walaupun tadinya kami ragu-ragu...." Dia meman-dang ke arah punggung Sie Liong. "Mendiang ayahmu mempunyai
beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang ketika itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 125
Sie Lan Hong. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan se-kali...." Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
"Lalu bagaimana, lopek" Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?" Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada ayah i-bunya.
Kwan Sun menghela napas panjang. "Akulah seorang di antara para tetang-ga yang pertama kali menyaksikan kea-daan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa se-mua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh."
"Ahhh! Apa yang telah terjadi de-ngan mereka, lopek" Siapa pembunuh me-reka?"
Kakek itu manggeleng kepalanya. "Kami tidak tahu apa yang terjadi de-ngan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! En-cimu, Sie Lan Hong dan engkau seudiri, tidak berada di sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi de-ngan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembu-nuh itu. Dan barang-barang itu, rumah itu, sudah lama dirampas oleh lurah Bouw."
Sie Liong mengepal tinjunya. "Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!"
Kakek Kwan menggeleng kepala. "Saya kira bukan, taihiap. Biarpun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa pembunubnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi encimu, Sie Lan Hong...."
"Lopek," Sie Liong memotong, "apakah di antara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?"
Kakek itu manggeleng kepala lagi.
"Tidak ada. Kalau ada, tentu dia su-dah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua me-rasa bersedih dan kehilangan."
Sie Liong mengerutkan alisnya, termenung. "Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu." Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan makam dan memejamkan ke-dua matanya, bersamadhi. Kakek Kwan tidak lagi
berani mengganggunya.
Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa encinya bercerita lain" Mengapa encinya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan me-ngatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit menular" Benarkah encinya tidak tahu akan peristiwa itu" Ataukah encinya sengaja membohonginya" Akan tetapi, bagaimana mungkin encinya berbohong kepadanya"
Dia yakin benar betapa besar kasih sayang encinya kepadanya. Dia tidak mau membicarakan urusan itu lagi dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau orang-orang mencurigai encinya.
Bagaimanapun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa encinya tentu tahu a-kan
peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah ibunya! Hanya encinya yang tahu, dan dia pasti akan mende-ngarnya dari encinya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, encinya.
Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Li-ong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya di dusun itu untuk me-latih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya agar para penduduk dapat menyusun kekuatan untuk mengha-dapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw.
Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang pernah belajar silat kepada Sie Kauwsu berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada ma-lam terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan merenungkan nasibnya. Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Sejak kecil dia Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 126
telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidup-nya nampak indah dan berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya yang amat me-ngejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya te-was karena dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit. Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali encinya dan dia! Apa artinya ini semua den me-ngapakah encinya harus berbohong kepa-danya" Dia harus mendengar penjelasan dari encinya. Pada keesokan harinya dia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu.
Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.
"Sie Taihiap, kenapa engkau ter-gesa-gesa hendak meninggalkan kami" Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang telah menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang a-mat penting untuk diselesaikan kepada taihiap."
Sie Liong tersenyum. Dia memang memiliki rasa persaudaraan dekat sakali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Kalau para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin
mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda be-berapa haripun apa salahnya" Biarpun hatinya ingin sekali mendengar dari encinya tentang kenatian orang tuanya, namun dia tidak tergesa-gesa.
"Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lo-pek?"
"Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pri-badi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?"
Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. Kalau saja dia tidak menerima
penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan" Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia" Yatim pi-atu, miskin, dan bongkok pula!
"Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri."
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi he-ran. Bahkan kini kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia seka-li kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah ya-tim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap."
Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si" Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir tentang jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau di-jodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Ga-dis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari du-sun tempat kelahirannya sendiri.
"Bagaimana, Sie Taihiap" Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung pe-rasaanmu.
Memang kami akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apabila dibandingkan dengan taihiap."
"Ah, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu.
Bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah i-bu, aku harus minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi ja-waban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan
kepada enci dan minta keputusan enci."
"Tapi.... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?"
Sie Liong men Jodoh Rajawali 25 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Harpa Iblis Jari Sakti 31
^