Kisah Pendekar Bongkok 7

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


emaksiatan apapun! Maka bagi Pek Lan, tidak ada perbuatan jahat yang dipantangnya dan ia tumbuh semakin dewasa dan matang menjadi seorang wanita yang berwatak iblis! Juga nafsu berahinya semakin menjadi-jadi! Untuk memuaskan nafsunya ini, ia memilih pria yang disukanya, dirayu atau dipaksa untuk melayaninya sampai ia merasa puas dan kalau ia sudah merasa bosan, pria itu lalu diusir begitu saja, dan kalau banyak rewel bahkan dibunuhnya! Akan tetapi perbuatan ini ia lakukan di luar rumah subonya. Subonya memiliki sebuah rumah yang mewah di tepi telaga Go-sa dan mereka hidup sebagai orang kaya raya. Guru dan murid ini telah mencuri sejumlah harta dari gedung Pangeran Cun Kak Ong di kota Ho-tan, dan selama tujuh tahun terakhir ini, kalau mereka kekurangan uang, mudah saja bagi mereka untuk mengisi kembali gudang harta mereka. Seluruh tokoh sesat dari dunia hitam berlumba untuk menyerahkan sebagian dari hasil mereka kepada Hek-in Kui-bo yang mereka anggap sebagai datuk mereka. Dan selain itu, amat mudah bagi Pek Lan yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi untuk mengambil begitu saja dari gudang-gudang harta para hartawan atau bangsawan.
Setelah lewat tujuh tahun dan merasa bahwa dirinya sudah dibekali ilmu-ilmu yang hebat, Pek Lan teringat akan penghinaan yang pernah dideritanya di rumah keluarga Coa-wangwe di kota Ye-ceng. Oleh karena itu, ia berpamit dari subonya dan pergi ke kota itu, dengan maksud untuk membalas semua penghinaan yang pernah diterimanya, tentu saja berikut bunga-Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 153
bunganya! Dan ketika ia tiba di kota Ye-ceng, ia melihat tiga orang pemuda yang dijumpainya dalam perjalaran. Tiga orang pemuda yang tampan, muda dan jantan. Perhatiannya segera tercurah kepada mereka, dan untuk sementara itu melupakan urusannya di Ye-ceng, sibuk memikat tiga orang pemuda itu. Tidak sukar baginya untuk menjatuhkan hati mereka, dengan kecantikannya dan kemontokan tubuhnya. Segera ia membawa pemuda-pemuda itu ke dalam kuil tua, di mana ia telah membuat sebuah kamar yang indah dan selama tiga hari tiga malam ia berenang dalam lautan kemesraan dan kenikmatan bersama mereka sampai ia merasa agak bosan. Dan setelah bosan, baru ia teringat kembali akan maksudnya semula datang ke kota Ye-ceng itu.
Ketika tiga orang pemuda yang sudah tergila-gila kepada wanita cantik itu membelai dan menciuminya, Pek Lan yang semula merasa bosan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang kepada mereka bertiga sambil tertawa cekikikan.
"Sudahlah, aku malam ini tidak dapat main-main dengan kalian, karena mempunyai urusan penting. Kalian makan minum yang kenyang, istirahat baik-baik dan malam nanti, larut tengah malam, atau besok pagi-pagi, aku akan kembali ke sini dan kalian harus bersiap-siap untuk kita bertanding lagi...." Ia tertawa cekikikan seperti siluman dan tiga orang pemuda itupun tertawa gembira. Mereka tidak perduli apakah Pek Lan seorang manusia biasa, ataukah seorang dewi atau seorang siluman! Yang jelas, wanita itu telah menyenangkan hati mereka, memberi mereka kenikmatan yang selama hidup mereka belum pernah mereka rasakan.
Setelah bermain-main dan bersendau-gurau dengan tiga orang pemuda itu dan malam mulai gelap, Pek Lan melepaskan diri lagi dari tangan-tangan mereka, lalu sekali berkelebat iapun sudah lenyap dari dalam kamar itu! Tiga orang pemuda itu hanya dapat merasa heran dan kagum. Kalau sudah ditinggalkan begitu, ketiganya baru mulai merasa ngeri dan seram, menduga-duga siapa gerangan wanita cantik yang selama tiga hari tiga malam mengajak mereka berenang dalam lautan asmara itu.
Tubuh Pek Lan lenyap berubah menjadi bayangan yang gerakannya cepat sekali dan dalam waktu singkat, bayangan telah berada di atas genteng rumah gedung keluarga Coa. Kemudian, beberapa kali bayangan itu berkelebat dan melayang turun, dan ia sudah berada di dalam gedung yang amat luas itu. Di bawah sebuah lampu dinding di dekat taman, ia berhenti dan memandang ke sekeliling sambil tersenyum. Selama tujuh tahun ini, tidak banyak perubahan nampak di rumah itu masih tetap mewah dan indah. Rumah yang amat dikenalnya. Lalu ia mengingat-ingat. Ada tiga orang selir muda dan cantik yang menjadi saingannya dan yang dulu melaporkannya kepada Coa-wangwe. Di samping tiga orang selir itu, juga terdapat dua orang pelayan pria dan seorang tukang kebun pria. Sudah lama ia merencanakan cara ia membalas dendam, dan kini ia tersenyum sendiri. Senyum itu membuka sepasang bibirnya yang merah basah, dan memperlihatkan kilatan giginya yang putih berderet rapi. Cantik memang, akan tetapi juga mengerikan, karena sepasang matanya mencorong dan wajah yang cantik itu seperti wajah seorang siluman tulen!
Ia masih ingat di mana adanya kamar-kamar dari para selir dan para pelayan itu. Dengan amat mudahnya, ia membuka daun jendela sebuah kamar dan bagaikan seekor kucing saja, ia melompat ke dalam. Ia membuka kelambu pembaringan yang tertutup dan melihat seorang di antara musuh-musuhnya, yaitu selir yang tinggi semampai, tidur nyenyak seorang diri memeluk guling. Ia mengguncang pinggul wanita itu yang segera membuka matanya dan terbelalak melihat seorang wanita cantik yang asing di depan pembaringannya.
"Apa.... siapa kau....?" tanyanya gagap.
Pek Lan tersenyum manis. "Benarkah engkau sudah lupa kepadaku" Ingat tujuh tahun yang lalu...."
"Pek Lan....! Kau.... Pek Lan....?" selir itu berseru kaget akan tetapi pada saat itu, Pek Lan menggerakkan tangannya dan selir itu terkulai lemas dan tak mampu mengeluarkan suara.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 154
Matanya terbelalak ketakutan ketika Pek Lan menariknya, memanggulnya dan membawanya melompat keluar dari kamar melalui jendela yang daunnya ia tutupkan kembali. Ia membawa tubuh selir itu ke dalam Pondok Merah, yaitu sebuah bangunan mungil di tengah taman di mana biasanya Hartawan Coa menghibur diri, mendengarkan nyanyian dan melihat tarian yang dilakukan oleh para selirnya atau rombongan penari yang diundangnya. Karena malam itu Pondok Merah tidak dipergunakan, maka pintunya dikunci dari luar. Namun, dengan mudah Pek Lan mendorongnya terbuka dan ia membawa tubuh selir itu ke sebuah kamar di pondok itu dan melemparkan tubuh itu ke atas pembaringan. Selir itu hanya dapat terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya, akan tetapi ia ngeri melihat pandang mata Pek Lan yang mencorong seperti bukan mata manusia biasa itu!
Selir ke dua juga diseret ke dalam Pondok Merah dalam keadaan tertotok, lumpuh dan tidak mampu mengeluarkan suara oleh Pek Lan dan dilempar ke dalam kamar yang lain dalam pondok.
Ketika ia memasuki kamar selir ke tiga yang menjadi musuhnya, ternyata selir ini tidur dengan seorang anak perempuan berusia kurang lebih dua tahun. Kiranya selir ini telah mempunyai anak. Akan tetapi ia tidak perduli. Ia menotok selir ini dan juga menotok anak kecil itu agar jangan menangis dan menggagalkan rencananya, kemudian membawa pula selir ke tiga ini ke dalam Pondok Merah. Kebetulan pondok itu memiliki tiga buah kamar dan kini tiga orang selir itu telah berada di dalam kamar-kamar itu.
Kini Pek Lan menuju ke deretan kamar para pelayan. Iapun masih ingat di mana letak kamar dari para pelayan yang dianggapnya musuh. Seorang di antara mereka sudah mempunyai isteri yang juga bekerja di situ sebagai tukang cuci. Ia tidak perduli, dan seperti yang dilakukan kepada para selir tadi, iapun dengan mudah, seperti setan saja, memasuki kamar pelayan dan menotok mereka, lalu menyeret mereka menuju ke pondok di taman bunga. Isteri seorang di antara tiga pelayan pria itupun ditotoknya sehingga tidak mampu berkutik maupun berteriak. Pek Lan melempar-lemparkan tiga orang pelayan prla itu ke atas pembaringan di dalam tiga buah kamar. Mereka itu tumpang tindih di atas pembaringan tanpa dapat berterak, juga mereka hanya terbelalak saja ketakutan ketika Pek Lan merobek-robek pakaian mereka sehingga enam orang di dalam tiga kamar itu semua menjadi telanjang bulat.
Setelah membiarkan tiga pasang manusia itu dalam keadaan tanpa pakaian bertumpang tindih di atas pembaringan, Pek Lan tersenyum girang. Di bawah sinar lampu, wajahnya yang cantik manis itu nampak amat menyeramkan, menyeringai sepertl iblis betina. Matanya mencorong dan giginya berkilauan. Kemudian ia menyelinap ke belakang rumah pondok itu dan
membakar bagian belakang rumah, lalu dipukulnya kentongan bambu membuat gaduh.
Sebentar saja, semua penghuni rumah gedung hartawan Coa menjadi gempar mendanger kentongan bertalu-talu dari belakang itu. Mereka cepat memasuki taman dan menjadi semakin geger melihat pondok di taman itu.
"Pondok Merah kebakaran!" demikian teriakan mereka dan semua orang lalu berusaha memadankan api yang membakar bagian belakang pondok itu dengan siraman air. Tiga pasang orang yang berada di dalam tiga kamar itu tentu saja mendengar semua keributan ini, namun mereka tidak mampu bergerak dan hanya menanti dengan hati tegang.
Akhirnya api itu padam dan dipimpin oleh Coa-wangwe sendiri, semua orang memasuki pondok mengadakan pemeriksaan dan apa yang mereka dapatkan" Tiga pasang orang yang saling tindih di atas pembaringan dalam tiga kamar itu, tanpa pakaian sama sekali! Tentu saja keadaan menjadi semakin geger. Semua orang tahu bahwa tiga orang selir Coa-wangwe secara tak tahu malu sekali telah mengadakan perjinaan dengan tiga orang pelayan pria dan agaknya mereka demikian asyiknya sehingga mereka tidak tahu bahwa pondok yang menjadi tempat pertemuan mereka itu terbakar bagian belakangnya!
Ketika tiga pasang orang itu tidak mampu bergerak, hanya memandang dengan ketakutan.
Coa-wangwe tentu saja menganggap mereka itu pura-pura atau tidak mampu bergerak karena Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 155
ketakutan. Dia tidak perduli dan menyuruh para pelayan menyeret enam orang itu turun dari pembaringan, lalu dalam keadaan masih telanjang bulat itu mereka diberi hukuman masing-masing dua puluh kali cambukan bagi para selir dan lima puluh kali cambukan bagi para pelayan pria.
Kulit punggung dan pinggul mereka sampai pecah-pecah berdarah. Setelah itu, mereka diusir, hanya membawa pakaian mereka saja, bahkan selir yang sudah mempunyai anak, tidak diperbolehkan membawa anaknya.
Setelah melampiaskan kemarahannya, marah bukan hanya karena selir-selirnya menyeleweng dengan para pelayan, melainkan karena nama baiknya tercemar dan seluruh penduduk Ye-ceng pasti akan segera mendengar peristiwa yang amat memalukan itu, Coa-wangwe
memasuki kamarnya. Dia tidak memperbolehkan isterinya atau selir lain menemaninya karena dia ingin mengaso dan membiarkan hawa amarah mereda.
Akan tetapi ketika dia memasuki kamarnya yang besar dan mewah, menutupkan pintu karena dia tidak ingin diganggu, dan membalik hendak menuju ke pembaringannya, dia terbelalak dan mulutnya ternganga. Di atas pembaringannya itu telah rebah seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Cantik manis, kulitnya yang putih mulus itu nampak karena pakaiannya setengah terbuka. Sepasang mata yang mengerling tajam, senyum yang semanis madu dan sikap yang menantang!
"Kau.... kau.... Pek Lan?" Coa-wangwe berseru heran dan juga terkejut. Biarpun wanita itu tidak semuda dulu lagi, namun ia telah menjadi seorang wanita yang matang, jauh lebih menarik daripada dulu ketika masih menjadi selirnya, ketika masih berusia tujuh belas tahun!
Pek Lan yang rebah di pembaringannya, miring menghadap kepadanya itu adalah seorang wanita yang matang dan merangsang!
Pek Lan tersenyum. Manis! "Aih, Coa-wangwe, engkau masih ingat kepadaku" Sungguh menggembirakan!"
"Tentu saja aku masih ingat!" Hartawan itu mendekati pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan. "Siang melam aku ingat kepadamu, Pek Lan, wajahmu selalu terbayang dan aku amat rindu kepadamu, sayang. Setelah engkau pergi, barulah aku tahu betapa besar cintaku kepadamu...."
Tangan hartawan tua itu hendak meraih, akan tetapi wanita itu mengelak. "Hemm, kalau memang benar engkau begitu cinta kepadaku, kenapa tangkau mengusir aku" Sesungguhnya anak angkatmu itulah yang kurang ajar! Aku dipaksanya dan karena aku takut, dia itu anak angkatmu, terpaksa aku tidak dapat membantah. Kenapa engkau tidak melihat kenyataan itu"
Engkau telah dihasut oleh tiga orang selirmu itu. Dan apa buktinya sekarang" Merekalah yang berjina, bahkan dengan para pelayan. Sungguh memalukan keluarga dan mencemarkan nama dan kehormatanmu!"
Hartawan Coa menghela napas panjang. "Salahku, aku begitu bodoh. Tapi, sekarang mereka telah kuhukum dan kuusir. Dan engkau, Pek Lan.... engkau begini cantik jelita.... aih, kulitmu begitu mulus, engkau lebih cantik manis daripada dahulu. Engkau kembali, sayang" Engkau akan kujadikan selir pertama, bukan, akan kuangkat menjadi isteri yang sah!" Kembali hartawan itu meraih. Ketika Pek Lan membiarkan dan tangan hartawan itu menyentuh lengannya yang berkulit lembut dan hangat, hartawan itu segera dirangsang nafsu berahi.
Akan tetapi ketika dia hendak merangkul, Pek Lan melompat turun dari tempat tidur. Melihat wanita itu berdiri di lantai, Coa-wangwe menjadi semakin kagum. Tubuh itu demikian padat, menggiurkan, tidak lagi kekanak-kanakan seperti dahulu!
"Pek Lan....!"
"Cukup! Turunlah dan jangan merengek seperti itu. Aku datang bukan untuk itu. Aku tidak butuh cintamu, tidak butuh laki-laki macam engkau yang sudah tua dan berperut gendut berkepala botak itu!"
"Pek Lan....!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 156
"Dengar! Aku datang untuk menagih hutang! Engkau pernah mengusirku, tanpa memberi bekal. Padahal, aku telah menyerahkan diri kepadamu, menyerahkan kegadisanku dan mandah saja menjadi barang permainanmu, menjadi pemuas nafsumu. Sekarang, engkau harus membayar untuk itu semua! Aku akan mengambil semua hartamu yang kausimpan di dalam almari tebal ini!" Ia sudah hafal akan hal itu dan kini ia menghampiri sebuah almari hitam yang berdiri di sudut. Melihat dan mendengar ini, Coa-wangwe menjadi terkejut dan lenyaplah sudah nafsu berahinya, seperti awan tipis ditiup angin.
"Pek Lan, apa yang kaulakukan itu?" bentaknya marah. Tentu saja dia tidak merasa takut kepada bekas selirnya itu. Diapun melangkah lebar menghampiri Pek Lan dan menjulurkan tgngan untuk menangkap lengan wanita itu agar tidak menghampiri almari besi tempat hartanya tersimpan.
"Plakk! Dukk!" Dan hartawan Coa terjungkal. Lengannya yang tertangkis seperti patah rasanya, dan perut yang ditendang menjadi mulas.
"Aku datang hanya untuk mengambil hartamu, bukan mengambil nyawamu!" kata Pek Lan.
"Akan tetapi kalau aku marah, nyawamu juga akan kuambil sekalian!"
Kini hartawan itu ketakutan dan dia lari ke arah pintu kamar. Pek Lan tidak memperdulikan dan ia sudah membuka almari tebal itu dengan mudah walaupun almari itu dikunci. Begitu terbuka, nampaklah bahwa almari itu dipenuhi perhiasan-perhiasan dari emas permata, juga bongkah-bongkah emas murni yang berkilauan.
"Tolong....! Perampok...., pembunuh....!" Coa-wangwe yang sudah keluar dari kamar itu menjerit-jerit. Pek Lan tidak perduli, enak-enak saja mengumpulkan emas dan perhiasan itu ke dalam sebuah kantung kain yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul, tukang tagih dan penjaga keamanan keluarga hartawan itu sudah dipanggil dari luar dan kini mereka berlima lari menuju ke kamar itu.
Begitu mereka tiba di ambang pintu kamar, mereka bengong dan menoleh kepada Coa-
wangwe. Di dalam kamar itu hanya terdapat seorang wanita cantik, sama sekali tidak nampak ada perampok. Bahkan wanita cantik itu memasukkan emas dari dalam almari ke dalam sebuah kantung.
"Maaf, loya, di mana perampoknya?"
"Mana ada pembunuh?"
Coo-wangwe menuding ke arah Pek Lan. "Ia itulah perampoknya! Lihat, ia mengambil semua hartaku, dan ia telah memukulku!" Dia meringis kesakitan, mengelus perutnya yang masih mulas.
Lima orang penjaga itu tentu saja menjadi bengong. Wanita cantik itu perampoknya" Dan kini, seorang di antara mereka yang paling lama bekerja di situ mengenal Pek Lan.
"Bukankah.... bukankah engkau nona Pek Lan....?"
Pek Lan yang masih sibuk memasuk-masukkan barang berharga itu ke dalam kantung,
menoleh dan tersenyum manis. "Hemm, engkau masih mengenalku" Bagus, untuk itu aku tidak akan membunuhmu!"
Coa-wangwe menjadi marah. "Untuk apa bercakap-cakap dengan wanita iblis itu" Tangkap ia dan belenggu kaki tangannya!"
Lima orang jagoan itu memasuki kamar dan mengepung Pek Lan dengan setengah lingkaran.
"Nona Pek Lan, lebih baik kalau engkau menyerah saja dan tidak melawan sehingga tidak perlu kami mempergunakan kekerasan," kata penjaga yang sudah mengenalnya itu. Dia merasa sayang kalau harus mempergunakan kekerasan terhadap wanita yang luar biasa cantik manisnya itu.
Kantung itu sudah penuh dan biarpun almari itu masih belum terkuras semua, namun sebagian besar perhiasan yang termahal sudah berpindah tempat. Pek Lan mengikat mulut kantong dan dengan kain sutera yang sudah dibawanya, digendongnya kantung yang cukup berat itu di Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 157
punggung, lalu ia menghadapi lima orang penjaga sambil tersenyum.
"Majulah dan turuti majikan kalian kalau kalian ingin merasakan kematian!"
Tentu saja lima orang penjaga itu tidak takut. Ancaman itu hanya keluar dari mulut seorang wanita cantik yang dahulunya adalah selir majikan mereka! Seorang wanita muda cantik yang lemah lembut dan berkulit halus mulus seperti itu, tentu saja tidak menakutkan! Empat orang penjaga tidak sabar lagi dan mereka memang sudah ingin sekali segera menangkap dan merangkul wanita cantik itu, maka merekapun menyerbu dan seperti hendak berebut dulu menerkam Pek Lan. Wanita ini tersenyum, tubuhnya berkelebat, kaki tangannya bergerak dan lima orang penjaga itupun terjengkang! Entah apa yang dilakukan, tidak dapat dilihat oleh lima orang itu saking cepatnya gerakan kaki tangan Pek Lan. Tahu-tahu lima orang itu merasa dada atau perut mereka terpukul atau tertendang, keras sekali, membuat mereka terjengkang.
Coa-wangwe dan para selir dan pelayan yang berada di luar kamar, mundur ketakutan melihat betapa lima orang penjaga itu terjengkang dan terbanting.
"Tangkap ia! Bunuh!" Coa-wangwe memberi semangat kepada lima orang penjaganya yang sudah bangkit kembali. Dia merasa khawatir sekali melihat betapa hampir semua hartanya diambil oleh Pek Lan. Lima orang penjaga itu menjadi malu sekali. Dalam segebrakan mereka telah dirobohkan oleh seorang wanita muda yang cantik! Mereka kini mencabut senjata golok dari pinggang dan dengan sikap mengancam mereka mengepung lagi dari depan.
Melihat ini, Pek Lan tersenyum. "Kalau kalian berani menyerangku dengan golok itu, kalian akan mampus!"
Akan tetapi, lima orang penjaga itu sudah terlalu marah dan karena mereka memegang senjata, pula mereka berlima, tentu saja mereka tidak gentar menghadapi Pek Lan yang bertangan kosong, walaupun mereka tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, merekapun menerjang, golok mereka gemerlapan tertimpa sinar lampu dan lima batang golok sudah menyambar-nyambar ke arah Pek Lan.
Akan tetapi, dengan tenang sekali Pek Lan berloncatan. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan yang menyelinap di antara gulungan sinar golok. Anehnya, tak pernah ada golok yang mampu menyentuhnya. Tiba-tiba, penjaga yang mengenal Pek Lan tadi mengaduh dan diapun roboh, goloknya sudah berpindah ke tangan Pek Lan!
Empat orang penjaga lain mempercepat gerakan serangan mereka. Akan tetapi, Pek Lan menggerakkan goloknya, dengan gerakan memutar sehingga nampak sinar panjang golok itu menyambar ke arah empat orang lawannya dan terdengar mereka itu menjerit dan seorang demi seorang roboh berkelojotan dengan leher hampir putus! Darah bercucuran membanjiri lantai. Pek Lan memandang kepada penjaga yang mengenalnya tadi, yang dirobohkannya dengan tendangan dan dirampas goloknya dan iapun tersenyum.
"Aku sudah berjanji tidak akan membunuhmu!" katanya, akan tetapi goloknya bergerak dan orang itupun menjerit karena pundaknya terbacok golok sehingga terluka parah. Akan tetapi, betapapun parahnya, dia tidak akan mati.
Pek Lan meloncat keluar kamar. Semua selir dan pelayan lari ketakutan. Coa-wangwe juga melarikan diri, akan tetapi suara halus terdengar membentak di belakangnya.
"Engkau hendak mencelakai aku, maka patut dihukum!" Goloknya menyambar dan hartawan itu menjerit-jerit sambil memegangi kepala dengan kedua tangan.
Dua buah daun telinganya telah buntung terbabat golok. Pek Lan tertawa, membuang goloknya lalu melompat keluar, menghilang dalam kegelapan malam.
Peristiwa itu tentu saja cepat sekali tersiar dan dalam waktu beberapa hari saja, hampir seluruh penduduk koto Ye-ceng telah mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa
keluarga Coa. Bukan hanya orang suka sekali membicarakan malapetaka yang menimpa keluarga Coa, juga membicarakan aib yang mencemarkan nama dan kehormatan hartawan itu, dan yang paling menggegerkan orang adalah berita tentang Pek Lan yang kini menjadi Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 158
seorang wanita cantik yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan juga berwatak amat kejam.
Peristiwa lain yang amat menggemparkan adalah ditemukannya tiga orang pria muda yang sudah menjadi mayat di dalam sebuah kuil tua. Mereka tewas dalam keadaan yang amat aneh, yaitu berada di atas pembaringan di dalam kuil tua itu, hampir tanpa pakaian, dan kepala mereka retak seperti telah dipukul dengan benda keras. Tak seorangpun menduga bahwa mereka ini, tiga orang pemuda tampan, juga tewas di tangan Pek Lan, dan tangan lembut halus itulah yang telah membikin retak kepala mereka dengan tamparan yang amat ampuh!
Pek Lan membunuh tiga orang muda itu karena mereka itu dianggap akan dapat
membocorkan rahasianya!
Maka muncullah di dunia kang-ouw seorang iblis betina yang amat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari pada Hek-in Kui-bo, guru Pek Lan di waktu masih muda. Biarpun Hek-in Kui-bo dahulu juga seorang wanita gila laki-laki, pengumbar nafsu jahat, namun dibandingkan Pek Lan, ia masih kalah sedikit. Pek Lan, di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, dan perasaan bencinya kepada semua orang yang dianggap merugikan, juga memiliki kecantikan yang amat menarik. Dengan senjata ini, mudah saja baginya untuk menjatuhkan hati setiap orang pria yang akan dijadikan korbannya.
Wanita itu memang manis. Seorang wanita petani yang rajin. Agaknya karena sudah terbiasa bakerja keras di sawah ladang, maka wanita itu memiliki tubuh yang padat dan sehat kuat, pinggangnya ramping pinggulnya besar, tubuhnya tegak. Biarpun kulit kaki tangan, leher dan mukanya agak kecoklatan karena sinar matahari, namun coklat yang sehat dan kulit itu tetap halus mulus. Wajahnya yang manis tidak berkurang karenanya, bahkan nampak lebih manis karena mengandung kewajaran tanpa alat rias. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh lina tahun.
Wanita petani ini sedang sibuk mencabuti rumput dan tumbuh-tumbuhan liar di antara tanaman gandum. Ia menggunakan caugkul atau kadang-kadang juga sebuah arit dan ia bekerja dengan asyik sekali. Sungguh merupakan penglihatan yang mengagumkan. Wanita itu kadang-kadang membungkuk, dan kedua tangannya bergerak dengan cekatan, bantuk
tubuhnya indah ketika membungkuk dan kadang juga berdiri tegak untuk membuang
segenggam rumput keluar ladangnya. Celana kakinya digulung sampai ke lutut dan kaki itu terbenam ke tanah berlumpur sebatas betis, sehingga kulit kaki antara betis dan lutut nampak putih mulus, jauh berbeda dengan kulit tubuh yang terbuka dan terbakar matahari.
Wanita itu bekerja dengan sangat tekun dan asyik sehingga iapun sama sekali tidak melihat bahwa seorang pria yang tadinya berjalan di jalan raya tak jauh dari ladangnya, kini berhenti dan sampai lama orang itu memandang kepadanya dengan kagum. Pria itu adalah seorang pemuda yang mudah sekali dikenal, karena punggungnya bongkok, di bawah tengkuk terdapat sebuah daging menonjol besar. Dia adalah Sie Liong!
Setelah beberapa saat seperti terpesona menyaksikan pemandangan indah itu, bukan hanya kemanisan wanita petani, melainkan keseluruhan tamasya alam yang melatarbelakangi bentuk tubuh wanita itu, Sie Liong sadar bahwa amat tidak sopan kalau memandangi seorang wanita seperti itu. Akan tetapi, pemandangan itu amat indah sehingga seolah-olah menahannya untuk tinggal lebih lama di tempat sunyi itu. Latar belakang ladang itu merupakan pegunungan yang hijau dan ladang di belakang wanita itu amat luasnya, juga kehijauan dengan tanaman gandum. Sunyi. Hanya di kejauhan nampak beberapa orang wanita atau pria yang juga membersihkan ladang mereka seperti yang dilakukan wanita itu. Hawa udara amat segar, matahari amat cerah, dan duduk di bawah lindungan pohon besar itu sungguh teduh dan nyaman. Sie Liong duduk di bawah pohon di tepi jalan, dan kesunyian itu membuat dia melamun. Terkenanglah dia kepada semua peristiwa yang menimpa dirinya, yang baru lalu.
Terkenang dia akan kunjungannya kepada encinya, pertemuannya dengan encinya, cihu-nya, kemudian dengan Yauw Bi Sian. Kemudian betapa cihu-nya yang kini berubah sama sekali Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 159
wataknya itu dibunuh orang, dan menurut Bi Sian, pembunuhnya adalah dia! Padahal, dia sama sekali tidak melakukan perbuatan itu! Bahkan encinya sendiripun menyangka dia yang menjadi pembunuh untuk membalas dendam kematian orang tuanya. Kiranya cihu-nya itu yang telah membunuh ayah dan ibunya, juga suhengnya dan seorang pelayan, juga semua binatang peliharaan orang tuanya. Jelaslah bahwa cihu-nya itu mendendam kepada orang tuanya, amat membenci orang tuanya. Dia sendiripun tentu telah dibunuh cihu-nya itu kalau tidak ada encinya, Sie Lan Hong.
"Enci Hong, sungguh kasihan engkau...." Sampai di sini Sie Liong mengeluh dalam hatinya.
Dia dapat membayangkan betapa sengsara keadaan encinya ketika pembunuhan atas keluarga mereka itu terjadi! Untuk menyelamatkan dirinya, seorang adik yang ketika itu masih kecil, baru berusia sepuluh bulan, maka encinya itu telah mengorbankan dirinya! Ia menyerahkan dirinya kepada si pembunuh kejam itu, demi menyelamatkan diri adiknya. Dan akhirnya, encinya itu bahkan menjadi isteri pembunuh. Mereka saling mencinta! Dan diapun selamat, tidak ikut dibunuh!
Tidaklah aneh kalau encinya menuduh dia yang telah membunuh Yauw Sun Kok. Bukankah sudah sepatutnya kalau dia membunuh orang yang telah membasmi keluarga orang tuanya itu" Apalagi di sana ada Bi Sian yang dengan sungguh mengatakan bahwa gadis itu telah melihat dia pada malam pembunuhan terjadi. Melihat dia, bongkoknya, bertopeng dan kemudidn topeng itu ditemukan pula oleh Bi Sian, di luar kamarnya.
Sungguh aneh sekali! Siapa yang membunuh Yauw Sun Kok" Dan mengapa pula pembunuh itu agaknya menyamar sebagai dirinya, untuk menjatuhkan fitnah kepadanya" Padahal, dia tidak pernah mempunyai musuh di kota Sung-jan, kecuali.... cihunya, tentu saja.
Tadinya dia merasa penasaran dan hendak melakukan penyelidikan untuk dapat membongkar rahasia pembunuhan itu, untuk membuktikan bahwa dia bukan pembunuhnya. Akan tetapi kemudian ketika dia menemui encinya, Sie Lan Hong, encinya itu membuka rahasia yang selama itu dipedamnya, yaitu bahwa cihu-nya itulah orang yang telah membunuh ayah dan ibunya. Tentu saja dia terkejut bukan main, dan mendengar bahwa cihu-nya sejahat itu, diapun kehilangan semangat untuk mencari pembunuh cihu-nya. Biarlah dia dibunuh orang, memang itu setimpal dengan kejahatannya. Dan diapun tahu bahwa Bi Sian amat
membencinya, sakit hati kepadanya. Kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri, tentu gadis itu akan menyerangnya dan memaksanya mengadu nyawa. Dan dia sama sekali tidak
menghendaki hal itu terjadi. Dia cinta Bi Sian! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, kepada keponakannya sendiri! Bahkan dia telah mencintanya sejak mereka masih sama-sama kecil.
Kenyataan inilah yang membuat hati pemuda bongkok itu merasa lebih ngeri lagi, maka diapun melarikann diri, menjauhkan diri seperti orang ketakutan.
Sie Liong menghela napas ketika lamunannya membawa dia teringat kepada Bi Sian. Wajah yang manis dan jenaka itu terbayang di depan matanya, dan dia pun tersenyum. Segala yang ada pada Bi Sian menyenangkan hatinya, mendatangkan perasaan gembira. Dia harus pergi jauh. Dia akan pergi ke Tibet, untuk memenuhi pesan para gurunya, yaitu melakukan penyelidikan tentang Lima Harimau Tibet yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama dan yang berusaha keras untuk membasmi para pendeta, terutama para tosu yang melarikan diri dari Himalaya, seperti Himalaya Sam Lojin yang menjadi gurunya, juga Pek-sim Sian-su, supek dan gurunya yang juga menjadi gurunya sendiri. Dia harus dapat menunaikan
kewajiban ini dengan berhasil, mampu menjernihkan suasana dan mencari sebab yang mendorong para pendeta Lama di Tibet memusuhi para tosu di Himalaya. Memang
merupakan pekerjaan yang besar dan amat sukar, bahkan amat berbahaya, namun dia sudah mengambil keputusan untuk melaksanakan tugas itu sampai berhasil atau dia boleh
mempertaruhkan nyawanya. Semua itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan budi besar yang telah diterimanya dari para gurunya. Kalau tidak ada mereka, dia hanyalah seorang pemuda bongkok yang tidak berdaya dan tidak ada manfaatnya, tidak ada artinya hidup di Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 160
dunia, hanya menjadi bahan cemoohan belaka.
Alangkah cantiknya wanita petani itu, pikirnya. Dan alangkah bahagianya orang yang menjadi suaminya. Pasti ia sudah bersuami, pikirnya. Mengapa wanita itu bekerja seorang diri" Mana suaminya" Betapa akan menyenangkan hati kalau suaminya juga ikut pula bekerja. Pekerjaan akan terasa ringan. Ah, betapa bahagianya wanita itu dan suaminya! Sie Liong meraza heran mengapa hal-hal yang sekecil ini membuat dia membuka mata bahwa kebahagiaan
sebenarnya berada dalam diri apa saja, setiap orang dapat menikmati kebahagiaan hidupnya apabila dia tidak memikirkan hal-hal lain, tidak menginginkan hal-hal lain. Apabila orang menyadari betapa berlimpahnya kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, apabila dia
menyerahkan segalanya kepada Tuhan, maka akan naspak bahwa hidup ini sesungguhnya merupakan nikmat pemberian dan anugerah Tuhan yang tak terlukiskan besarnya. Babkan bernapaspun mendatangkan kenikmatan dan kebahagiaan, belum lagi makan, minum dan segala kegiatan lain. Duduk melamun di bawah pohon itupun mengandung kenikmatan
tersendiri! "Ya Tuhan, terima kasih atas segala rahmat-Mu...." Sie Liong berbisik dan wajahnya kini cerah sekali, senyum menghias bibirnya. Pada saat itu, lupalah dia akan segala hal, akan encinya, Bi Sian, pembunuhan atas diri cihu-nya, bahkan dia lupa akan bongkoknya! Semua begitu indah kalau pikiran tidak dikacaukan oleh ingatan akan hal-hal yang dianggap tidak menguntungkan dan tidak menyenangkan "aku".
Akan tetapi, tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada tujuh orang yang datang dari jauh menuju ke tempat itu. Mereka itu tujuh orang laki-laki yang agaknya hendak pergi ke dusun para petani, dan melihat sikap mereka, diam-diam Sie Liong mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas bukan petani. Cara mereka berjalan melenggang, pakaian dan sikap mereka, bahkan melihat gagang golok dan pedang tersembul di balik pundak mereka. Jelas bahwa mereka itu adalah golongan orang-orang persilatan, atau orang kang-ouw. Mungkinkah ada orang-orang kang-ouw tinggal di dusun itu" Ataukah mereka itu pendatang dari luar"
Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat beberapa orang petani, laki-laki dan perempuan, melarikan diri meninggalkan sawah ladang mereka. Semua petani yang tadi bekerja di ladang, melarikan diri begitu melihat tujuh orang laki-laki itu. Kecuali wanita yang tadi membangkitkan kekaguman hati Sie Liong. Ia sedang asyik mencabuti rumput, dengan membungkuk membelakangi jalan sehingga ia tidak melihat kedatangan tujuh orang laki-laki itu.
Sie Liong siap siaga, akan tetapi dia masih duduk di bawah pohon. Dengan duduk seperti itu, dia memang agak terserabunyi oleh semak alang-alang yang tumbuh di tepi selokan dekat ladang. Namun, dia memandang penuh perhatian. Kini, tidak ada lagi petani yang bakerja di ladang yang luas itu kecuali wanita tadi.
Tepat seperti yang dikhawatirkan, tujuh orang laki-laki itu berhenti melangkah ketika tiba di dekat ladang di mana wanita itu masih bekerja. Wanita itu menungging dengan pinggul ke arah mereka, tidak menyadari bahwa cara ia berdiri dan bekerja ini seolah memamerkan pinggulnya yang bulat dan besar itu, tidak tahu bahwa ada tujuh orang kasar sedang menikmati pandangan yang mengagumkan mereka itu. Dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan agaknya menjadi pemimpin mereka, tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, sungguh indah sekali tubuh itu! Coba kulihat bagaimana wajahnya!"
Dia mengambil sebuah batu dan melempar batu itu dengan keras ke arah tanah lumpur dekat wanita itu. Air lumpur memercik dan mengotori paknian wanita itu yang agaknya baru sadar dan iapun cepat meluruskan tubuh, membalikkan kepala memandang. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika ia melihat tujuh orang itu. Ia menoleh ke kanan kiri dan baru sekarang ia tidak melihat adanya mereka yang tadi bekerja di ladang. Wanita itu kini terbelalak, mukanya pucat sekali dan matanya mengingatkan Sie Liong kepada mata seekor kelinci kalau ditangkapnya. Liar ketakutan!
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 161
"Ha-ha-ha, cantik! Manis sekali, dan perempuan dusun tentu sehat dan segar, ha-ha-ha!" Si brewok itu dengan langkah lebar lalu menghampiri tepi ladang, berdiri di tepi sambil menjulurkan tangan ke arah wanita itu.
"Manis, ke sinilah dan bersihkan kaki tanganmu. Mari engkau ikut dengan kami, ha-ha-ha!"
Wanita itu agaknya, seperti para petani lainnya, sudah tahu siapa adanya tujuh orang laki-laki itu. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat ia hanya menggeleng kepala tanda ia tidak mau, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulut yang gemetar itu.
"Ahh, manis, jangan malu-malu. Nanti kalau kami mendapatkan sumbangan yang cukup banyak dari dusun-dusun, tentu aku tidak akan melupakanmu dan akan memberi hadiah yang besar kepadamu. Hayolah, senangkan dan hibur hati kami yang sedang kesepian ini, manis.
Ha-ha-ha!" Enam orang lainnya yang menunggu di tepi jalan ikut pula tertawa. Mereka semua senang melihat wanita petani yang berwajah manis dan bertubuh padat itu.
Wanita itu tidak berani berkutik, berdiri menggigil dan terus saja menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak sudi memenuhi permintaan si brewok itu.
Si brewok kini membelalakkan matanya lebar-lebar. "Apa" Engkau berani menolak perintah Tiat-jiauw Jit-eng (Tujuh Garuda Bercakar Besi)?" Dia memukulkan kepalan kanannya pada telapak tangan kiri sehingga mengeluarkan bunyi keras. "Apa engkau sudah bosan hidup dan memilih mampus" Sebelum mampus pun kau tidak akan lepas dari tangan kami! Apa kau lebih suka diperkosa sampai mati daripada melayani kami dangan manis?"
Wanita itu menjadi semakin pucat dan tiba-tiba kakinya yang menggigil tidak manpu lagi menahan tubuhnya. Ia jatuh berlutut di atas lumpur! Dan ia memberi hormat kepada si brewok itu.
"Ampunkan saya.... saya sudah bersuami...., ampunkan saya...."
"Ha-ha-ha, lebih baik lagi! Kalau engkau sudah bersuami, lalu apa sukarnya melayani kami"
Hayo, ke sinilah!" Si brewok kembali menjulurkan tangannya ke arah wanita itu.
"Tidak.... tidak.... tidak!" Wanita itu menjerit histeris lalu menangis.
Marahlah si brewok. Agaknya dia tidak mau turun ke lumpur karena sepatunya masih baru.
Dia menengok dan memerintahkan anak buahnya. "Turun dan seret ia ke mari!"
Seorang di antara mereka, yang termuda, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun sedangkan yang lain antara empat puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan sikap gagah. Orang ini mukanya kecil sempit dan panjang, kepucatan seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan hidungnya pesek. Dia menyeringai ketika dia turun ke ladang menghampiri wanita itu yang bangkit berdiri dan mencoba untuk melarikan diri menjauhi orang itu. Ia adalah seorang wanita, akan tetapi sejak kecil ia bekerja di sawah ladang. Tubuhnya kuat sekali dan ia sudah terbiasa di lumpur, maka ia dapat berlari cepat. Berbeda dengan laki-laki yang mengejarnya. Biarpun dia seorang kasar yang memiliki kekuatan dan kepandaian, akan tetapi belum pernah dia berjalan di dalam lumpur, apalagi dia bersepatu, tidak seperti wanita petani itu yang bertelanjang kaki. Maka, sukarlah baginya untuk menangkap wanita itu!
Kawan-kawannya menjadi gembira dan merekapun mengepung ladang itu, menghadang
wanita yang hendak melarikan diri.
Wanita itu menjadi semakin ketakutan. Hanya pinggir yang dihalangi solokan itulah yang tidak dihadang penjahat, maka iapun lari ke situ dan meloncat ke dalam solokan, terus mendaki, dikejar oleh tujuh orang itu yang tertawa-tawa dan membuat gerakan menakut-nakuti. Mereka itu memperoleh hiburan, seperti tujuh ekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkan dan mengganyangnya. Kebetulan sekali wanita itu melihat Sie Liong yang duduk di bawah pohon, maka iapun lari ke arah pohon itu, lalu menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila. Sie Liong merasa betapa wanita itu merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu penuh lumpur, maka pakaiannya sendiripun terkena lumpur. Dia merasa betapa dada yang menempel pada pundaknya itu berdebar dan bergelombang, dan betapa Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 162
napas itu terengah-engah.
"Tolonglah.... tolonglah saya.... aduh, lebih baik saya mati daripada tertawan mereka....
tolonglah saya...."
"Enci yang baik, tenanglah dan duduklah di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka." kata Sie Liong.
Kini tujuh orang itu sudah tiba di bawah pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu berlutut di belakang seorang laki-laki yang duduk barsila. Dia tidak perduli apakah pria itu suami si wanita. Baginya, tidak perduli wanita itu bersuami atau tidak, kalau sudah dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya!
"Heiii, siapa engkau?"
Mendengar bentakan yang nadanya amat congkak ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri.
"Namaku Sie Liong. Aku melihat betapa kalian mengganggu wanita ini. Apakah kalian tidak malu" Kalian ini tujuh orang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita yang tak berdaya. Pergilah kalian dari sini sebelum aku muak melihat tingkah kalian yang tidak senonoh seperti binatang itu!" Sie Liong memang marah sekali melihat perbuatan mereka tadi.
Tujuh orang itu terbelalak. Keheranan melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling pandang. Ada seorang pemuda biasa, bongkok pula, berani bicara seperti itu kepada mereka"
Sungguh aneh, aneh sekali sehingga mereka lupa akan kemarahan mereka, bahkan mereka mulai tertawa-tawa.
"Heh-heh, apakah engkau seorang pendekar?" tanya si brewok untuk mengejek.
"Seorang pendekar yang bongkok! Pendekar Bongkok! Ha-ha-ha!"
"Awas kau, Pendekar Bongkok. Kupenggal punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang, baru tahu rasa kau!"
Si brewok melangkah maju selangkah. "Hei, Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah memang tuli" Andaikata engkau tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan nama besar Tiat-jiauw Jit-eng!"
Sie Liong tersenyum. "Tujuh Garuda Cakar Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak perduli."
"Wah, pemuda bongkok ini memang sudah bosan hidup!" kata si brewok sambil memberi isarat kepada anak buahnya yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa hasil.
Si mata sipit hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tidak mampu menerkam si manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat seperti seorang jagoan aseli yang tidak pernah terkalahkan. Dia melenggang seperti layangan yang tak seimbang, condang ke kanan dan ke kiri, kepalanya ditegakkan, dadanya dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya besar, maka yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!
"Heiii, orang muda yang tolol! Engkau ini masih muda, lemah dan bongkok pula, apa engkau tidak tahu diri" Engkau berani menentang kami, hanya untuk membela seorang perempuan dusun" Apamukah perempuan itu?" tanyanya dan suaranya dibesar-besarkan agar berwibawa, akan tetapi karena suaranya memang kecil parau seperti suara seorang penderita batuk kering, maka tetap saja suara yang keluar sama sekali tidak berwibawa, malah lucu.
Biarpun di dalam hatinya Sie Liong merasa marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar.
"Enci ini adalah kerabat yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah tertindas, membutuhkan bantuan. Dan kalian adalah orang-orang jahat, manusia-manusia berwatak iblis yang patut ditentang!"
Si mata sipit hidung pesek mengerutkan alisnya dan membentak marah.
"Wahhh, engkau ini pemuda kurang ajar, aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!" Setelah berkata demikian, diapun menyerang. Biarpun tubuhnya kerempeng dan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 163
dia kelihatan berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini mampu bergerak dengan cepat sekali dan sambaran tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka Sie Liong mengandung tenaga yang terlatih.
"Wuuuuuttt....!" Tonjokan dengan tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong.
Akan tetapi pemuda bongkok ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia diserang dengan tonjokan yang akan dapat membuat pipinya bengkak dan giginya rontok! Baru setelah kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari pipinya, secepat kilat dia menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar, menangkap lengan kanan lawan dan diapun mendorong, menambahkan tenaga dorongan pukulan itu dengan tenaganya sendiri sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu meluncur terus dan melingkar ke arah pipi kirinya sendiri.
"Desss...! Aughhhh....!" Beberapa buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya berdarah karena kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah menghantam ke arah mukanya sendiri!
"Auhh.... auhh.... auhhh....!" Dia mengerang kesakitan, tidak mampu berkata "aduh" karena mulutnya terasa seperti remuk. Dia membungkuk-bungkuk dan kedua tangan dengan
sibuknya memegang-megang dan meraba-raba mulut dan hidung.
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya hitam dan kulit muka itu kaku seperti punggung buaya, agaknya muka itu memang rusak oleh penyakit kulit yang hebat. Di antara tujuh orang gerombolan itu, dia terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga besar, dan juga wataknya amat sombong karena memang sulit mencari orang yang mampu mengalahkan raksasa muka hitam ini. Agaknya dia masih terlalu mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong mengalahkan kawannya, dia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu dan agaknya dia menganggap bahwa kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi hanya karena kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian pemuda bongkok. Bahkan dia merasa terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia ingin mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.
"Heii, bocah ingusan! Lekas engkau berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku akan mengampunimu! Cepat....!" Sepasang matanya yang hitam dan mencorong itu melotot galak.
"Engkongku sudah mati, dan seingatku, dia tidak seburuk engkau." kata Sie Liong dengan sikap tenang.
"Kalau begitu, aku akan memaksamu berlutut!" bentak si raksasa muka hitan dan diapun sudah menyerang dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie Liong.
Ketika pemuda ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan raksasa itu menendang ke arah lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena, tentu Sie Liong akan benar-benar diharuskan berlutut karena tendangan itu kuat bukan main. Namun, tentu saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat melihat gerakan serangan ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk mendahului lawan. Sebelum kaki yang menendang itu
sampai ke tubuhnya, dia merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping tangannya monotok ke arah lutut kanan itu.
"Tukkk!" Seketika kaki yang besar itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksana muka hitam itu jatuh berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di depan Sie Liong! Pemuda itu tersenyum dan berkata dengan suara mengejek.
"Aku bukan engkongmu, tidak perlu engkau berlutut memberi hormat!"
Tentu saja ucapannya ini membuat raksas muka hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat berdiri, akan tetapi kembali terguling karena kakinya masih terasa lumpuh. Melihat ini, kawan-kawannya menjadi marah akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda bongkok itu benar-benar seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka mencabut senjata golok atau pedang dari punggung mereka dan di lain saat, Sie Liong telah Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 164
dikepung tujuh orang yang memegang senjata tajam. Melihat ini, wanita itu menangis ketakutan.
"Jangan bunuh dia.... ahh, jangan bunuh dia yang tidak berdosa...." ratapnya sambil menangis.
Mendengar ini, si brewok tertawa, "Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara sukarela kalau kami lepaskan bocah bongkok ini?"
"Tidak, tidak.... kalian bunuhlah aku, akan tetapi.... jangan bunuh dia yang tidak berdosa...."
"Enci, tenanglah. Mereka tidak akan mampu membunuhku atau membunuhmu!" kata Sie Liong kepada wanita itu, hatinya terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu adalah seorang wanita yang hebat! Berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kehormatan, juga amat baik budi sehingga tidak tega melihat dia dikepung dan diancam bunuh oleh para penjahat itu.
Kini tujuh orang penjahat itu sudah menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka menyerang. Namun, baru mereka menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu sudah lenyap, berubah menjadi bayangan yang dengan cepatnya menyelinap di antara sambaran senjata mereka. Mereka merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka terus mengarahkan senjata mereka, menyerang bayangan yang amat gesit itu. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan tahu-tahu pemuda bongkok itu sudah menyerang dari atas, bagaikan seekor naga dari angkasa saja! Dan sekali kaki tangannya bergerak, empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas! Tiga orang penjahat lainnya terkejut sekali, namun merekapun hanya diberi kesempatan untuk bengong sejenak karena tiba-tiba saja merekapun terjungkal roboh oleh tamparan tamparan tangan Sie Liong yang ampuh bukan main itu.
Tujuh orang itu baru sekarang me-rasa jerih. Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan pemuda bongkok i-tu! Tamparan yang hanya sekali itu sa-ja sudah membuat mereka roboh dan bagian badan yang dipukul terasa seperti remuk!
Si brewok, pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling tangguh, dapat lebih dulu bangkit dan dia sudah siap untuk melarikan diri meninggalkan teman-temannya. Akan tetapi dengan beberapa langkah saja, Sie Liong sudah dapat menangkap pundaknya. Tekanan ta-ngan Sie Liong pada pundak itu membuat si brewok menggigil saking nyerinya dan diapun jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram pemuda bongkok itu seperti dibakar atau
dicengkeram kaitan baja membara saja, panas dan perih, nyeri sekali, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.
"Ampun, taihiap.... ampun, saya mengaku kalah!"
"Hemm, aku tidak membutuhkan pe-ngakuan kalah darimu! Aku tidak membu-tuhkan
kemenangan. Akan tetapi aku minta agar kalian suka sadar dari kelaku-an jahat kalian dan bertobat!"
"Ampun, taihiap,.... saya bertobat....!"
"Hemm, siapa percaya omongan o-rang jahat macam engkau?"
"Saya bersumpah takkan melakukan kejahatan lagi, taihiap, akan tetapi saya akan bekerja seperti dahulu, yai-tu memburu binatang hutan. Dahulunya kami adalah pemburu-pemburu, karena tertarik penghasilan besar lalu mulai merampok orang yang lewat di hutan...."
"Benar, engkau bertobat dan hen-dak kembali ke jalan benar?" tanya Sie Liong. "Aku tetap tidak percaya kalau engkau dan teman-temanmu tidak memper-lihatkan buktinya. Sumpah mulut saja tidak ada artinya." Dia lalu mengger-tak, "Atau aku akan membiarkan kalian mati tersiksa dengan memberi pukulan mematikan?"
Kini dia melepaskan cengkeraman-nya dan seketika si brewok tidak mera-sa nyeri lagi. Dia makin yakin bahwa pendekar muda yang bongkok itu betul-betul lihai.
"Taihiap, kami bersumpah dan ini-lah buktinya!" Dia menyambar goloknya yang tadi terlempar, membuka sepatu kirinya dan sekali bacok, lima buah jari kaki kirinya buntung!
Darah mengalir deras dari kaki yang buntung jari-jarinya itu. Diam-diam Sie Liong terkejut, akan tetapi juga girang karena dia maklum bahwa si brewok itu bersungguh-sungguh!
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 165
"Hayo kalian buntungi jari kaki kiri masing-masing seperti aku, siapa yang tidak mau, aku yang akan membun-tunginya sendiri. Mulai saat ini, kita tidak akan merampok manusia lagi, melainkan memburu binatang seperti dulu lagi!"
Enam orang anak buahnya melihat bahwa pimpinan mereka sungguh-sungguh dan merekapun jerih terhadap Pendekar Bongkok, demikian mereka menyebut Sie Liong, maka merekapun mengambil senja-ta masing-masing yang tadi terlempar, lalu membabat buntung jari kaki kiri mereka. Melihat ini, wanita dusun itu menutupi muka karena merasa ngeri.
Sie Liong lalu menghampiri mereka seorang demi seorang, menotok kaki ki-ri mereka di atas bagian yang terluka, mengeluarkan obat bubuk putih yang ditaburkan pada luka di kaki.
Seketika, tujuh orang itu merasa betapa kenyeri-an jari yang dibuntungi itu lenyap, dan luka-luka itupun cepat menjadi ke-ring. Mereka menjadi semakin kagum. Kiranya Pendekar Bongkok ini selain amat lihai ilmu silatnya, juga pandai ilmu pengobatan. Hal ini sebetulnya tidak-lah mengherankan kalau diketahui bahwa seorang di antara orang-orang sakti yang menggembleng Sie Liong adalah Pek-sim Sian-su, seorang sakti yang pandai dalam ilmu pengobatan pula.
"Ingat akan sumpahmu sendiri," kata Sie Liong ketika mereka semua sudah berdiri dan siap untuk pergi. "Kalau kelak kalian tetap menjadi penjahat dan mengganggu orang lain, dan aku mendengarnya, pasti akan kucari kalian sampai dapat dan bukan hanya jari kaki kalian saja yang harus dipotong. Sela-in itu, aku akan membangkitkan sema-ngat para penduduk dusun agar mereka bersatu padu dan hendak kulihat, ka-lau ratusan orang dusun itu bersatu padu melawan kalian, apa yang dapat kalian lakukan terhadap mereka!"
Diam-diam si brewok dan teman-te-mannya merasa ngeri. Bukan saja mereka ngeri terhadap kesaktian Pendekar Bongkok, akan tetapi juga ngeri kalau be-nar penduduk dusun sampai bangkit menentang mereka, maka tentu mereka akan dikeroyok ratusan orang dan akan dihancur lumatkan oleh mereka yang mendendam kepada mereka. Kalau biasanya mereka itu dapat merajalela adalah karena me-reka menang gertakan dan para penduduk dusun itu belum apa-apa sudah ketakut-an lebih dulu, melarikan diri bersem-bunyi daripada melakukan perlawanan berpadu.
Tujuh orang itu, dipimpin oleh Si Brewok, menghaturkan terima kasih kepada Sie Liong, kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu, tidak jadi mengganggu wanita petani atau dusun di de-kat ladang itu. Setelah mereka pergi, Sie Liong menghampiri wanita dusun itu dan dengan senyum kagum dia berkata sambil berlutut di dekat wanita yang masih duduk di atas rumput dengan wa-jah masih diliputi ketegangan itu.
"Untung bahwa engkau tabah sekali menghadapi mereka, enci...." katanya.
Wanita iru mengangkat muka, memandang kepadanya dan kembali air matanya menetes-netes turun ke atas pipinya. Mulut wanita itu berkemak-kemik, namun tidak ada suara yang keluar, akhirnya, ia mengeluarkan jerit kecil dan merangkulkan kedua lengannya pada pundak dan leher Sie Liong sambil menangis! Pemu-da bongkok itu terkejut, akan tetapi mendiamkannya saja dan tersenyum ketika dia merasa kehangatan air mata menembus bajunya karena wanita itu mena-ngis di atas dadanya. Bahkan diapun lalu merangkul dan menepuk-nepuk pundak wanita itu dengan lembut.
"Tenanglah, enci, bahaya sudah lewat sekarang," hiburnya.
Wanita itu bahkan mempererat rangkulannya dan terdengar bisikan dari mulut yang
disembunyikan di dadanya itu lirih. "Adik yang baik, ahh.... taihiap yang gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan diriku.... terima kasih, taihiap, terima kasih...." Suaranya mengandung isak dan tubuhnya gemetar, seolah-olah ia teringat akan peristiwa tadi dan membayangkan betapa akan nge-rinya kalau ia sampai terjatuh ke tangan tujuh orang itu.
"Sudahlah, enci. Sudah semestinya aku melindungimu, dan aku kagum sekali melihat ketabahanmu tadi. Lepaskanlah rangkulanmu, lihat, di sana datang orang-orang dusun."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 166
Mendengar ini, wanita itu melepaskan rangkulannya dan dengan wajah ma-sih basah air mata, ia menoleh ke kiri dan benar saja, dari arah dusun, da-tang berlari-larian banyak sekali pen-duduk dusun ke tempat itu. Dan di ta-ngan mereka terpegang segala macam a-lat pertanian yang agaknya kini hendak dijadikan senjata.
Sie Liong merasa tegang dan juga malu. Dia tahu bahwa mereka yang berlari dan datang itu tadi melihat betapa dia dan wanita itu berpelukan-pelukan! Untuk menghilangkan rasa sungkan dan tidak enak itu, Sie Liong lalu bangkit dan memuguti potongan jari-jari kaki itu, dan mengumpulkannya di atas sehelai kain saputangan. Melihat ini, wanita dusun itu bergidik
"Taihiap, untuk apakah kau.... mengumpulkan benda-benda mengerikan itu?"
"Aku akan menguburnya, enci." kata Sie Liong sambil memunguti terus.
Tak lama kemudian, rombongan orang dusun itu tiba di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang memegang sebatang tong-kat panjang moloncat maju
menghampiri wanita itu.
"Kui Hwa, apa yang telah terjadi?" tanyanya, suaranya mengandung kemarahan.
Wanita dusun itu menangis dan lari menghampiri laki-laki itu. "Aku.... aku hampir saja celaka....!" serunya sambil menangis dan ia handak merangkul laki-laki yang ternyata adalah suaminya itu. Akan tetapi, liki-laki itu mendorongnya sehingga ia terpelanting.
"Jangan sentuh aku! Engkau perempuan tak tahu malu!"
Wanita dusun yang bernama Kui Hwa itu terbelalak. Saking kaget dan herannya, ia tidak merasakan kenyerian punggungnya ketika terpelanting oleh dorongan suaminya.
"Apa.... apa maksudmu....?" tanyanya dangan heran, dan lebih heran lagi ia ketika melihat betapa orang-orang lain, para pria di dusunnya, para tetangganya memandang kepadanya dangan sinar mata mencemoohkan dan agaknya membenarkan sikap suaminya itu!
"Maksudku kautanyakan! Maksudmulah yang ingin sekali kuketahui! Apa yang telah terjadi di sini?" Suaminya itu dangan berang melirik ke arah Sie Liong yang sudah selesai mengumpulkan potongan jari-jari kaki tadi dan kini berdiri di situ dangan muka ditunduk-kan, potongan jari-jari kaki tadi berada dalam buntalan kain saputangan.
"Suamiku, apakah engkau tidak mendangar dari para tetangga kita tadi" Mereka, Tiat-jiauw Jit-eng itu datang lagi!" kata si isteri yang masih terheran-heran melihat sikap suaminya.
"Tentu saja kami semua mendangar. Lalu di mana mereka dan apa yang telah terjadi di sini?"
kembali dia menoleh ke arah Sie Liong dangan wajah merah saking marahnya.
"Mereka telah dikalahkan oleh taihiap ini, mereka telah melarikan diri dan aku.... aku diselamatkan oleh taihiap ini!" kata si isteri dangan suara gembira dan bangga.
"Bohong!" Tiba-tiba sang suami membentak dan isteri itu kembali terkejut sekali, dan kini Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada suami itu dengan sinar mata
mencorong. Akan tetapi, dia bersikap sabar karena dia dapat menduga apa yang menjadi sebab sang suami itu bersikap seburuk itu dan mengapa pula orang-orang dusun itu berdiri saja, agaknya membenarkan sikap suami itu.
"Suamiku, kenapa engkau mengatakan bohong" Pendekar muda ini yang bernama Sie Liong, dia yang telah menyelamatkan aku dari gangguan mereka, bahkan pendekar perkasa ini yang memaksa mereka untuk meninggalkan pekerjaan jahat mereka, dan mereka bersumpah
dangan membuntungi jari-jari kaki mereka sebelum pergi dari sini. Aih, suamiku, pendekar muda ini sungguh perkasa dan kita sedusun patut berterima kasih kepadanya...."
"Cukup! Kui Hwa, jangan mengira bahwa kami semua adalah orang-orang buta dan bodoh, mudah saja kautipu dengan kata-katamu itu! Kami melihat betapa engkau bercumbu dan berjina dengan dia...."
"Diam....!" Kui Hwa yang lemah lembut itu kini membentak, dan ia berdiri bagaikan seekor singa kelaparan atau seekor betina membela anaknya. "Jangan engkau berani mengeluarkan ucapan kotor itu! Pendekar ini menyelamatkan aku, bahkan menyelamatkan orang sedusun Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 167
dan kalian berani menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?"
"Phuhh!" Suami itu meludah. "Mataku belum buta, aku melihat betapa kalian tadi berpelukan dan berciuman!"
"Engkau yang bohong! Engkau yang kotor dan memang kalian bodoh! Aku memang
merangkulnya sambil menangis, terharu dan menghaturkan terima kasih, dan dia
menghiburku, sama sekali kami tidak berciuman.... aihh, agaknya memang matamu telah buta! Taihiap ini menundukkan tujuh orang gerombolan penjahat itu, membuat mereka taluk dan bertobat, bahkan mereka telah membuntungi jari-jari kaki sambil bersumpah dan kalian...."
"Sudah! Siapa percaya obrolanmu" Engkau memang perempuan tak tahu malu, mungkin dia ini anggauta bahkan pemimpin perampok! Dan engkau sudah tergila-gila kepada laki-laki bongkok ini! Sungguh tak tahu malu!" Berkata demikian, laki-laki yang sedang diamuk cemburu itu lalu mengangkat tongkat kayunya dan menghantamkan tongkat kayunya kepada Sie Liong!
Pendekar ini berdiri bengong. Sungguh tak disangkanya sama sekali bahwa cemburu dapat membuat orang men-jadi seperti gila! Saking herannya, ketika suami itu memukul dengan tongkat kayu, diapun diam saja, tidak bergerak seperti patung dan pada saat kayu itu menghantam kepalanya, barulah dia mengerahkan sin-kang untuk melindungi kepala yang dipukul itu.
"Krakkk!" Tongkat kayu itu patah-patah ketika bertemu dangan kepala Sie Liong.
"Ahh....!" Suami wanita dusun itu terbelalak dan mukanya pucat memandang kepada tongkat yang tinggal sepotong pendek di tangannya, sedangkan tongkat yang kuat itu telah patah men-jadi tiga potong! Kepala orang bongkok itu melebihi besi kerasnya!
Sie Liong mengangkat muka memandang kepada suami itu dangan sinar ma-ta mencorong.
"Hemm, engkau memang o-rang bodoh, keras kepala, dan memang sepatutnya kalau matamu buta! Engkau tidak patut menjadi suami dari seorang isteri yang begini baik hati, tabah dan berani mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatannya. Engkau pantasnya menjadi suami seekor kambing atau seekor monyet! Huh, menjemukan sekali!" katanya dan diapun melemparkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berpaling kepada wanita dusun sambil memberi hormat.
"Enci, maafkan kalau aku hanya membikin engkau menjadi ribut dangan suamimu. Selamat tinggal, enci, semoga Tuhan akan menyadarkan suamimu ini!" Dan sekali berkelebat, Sie Liong lenyap dari depan mereka, membuat suami wanita itu dan para penduduk dusun terkejut dan melongo.
Suami itupun terkejut dan dia menjadi ketakutan. "Apakah dia.... dia itu tadi.... setan....?"
tanyanya kepada isterinya.
Isterinya menjadi gemas sekali. Tangannya bergerak manampar. "Plakkk!" pipi suami itu telah ditamparnya!
"Laki-laki yang tolol, gila oleh cemburu buta! Masih berani engkau me-ngatakan bahwa pendekar sakti itu setan" Engkau inilah yang setan! Kalian tidak percaya akan ceritaku tadi, ya" Kalian semua mengira bahwa aku telah berjina dangan dia karena kalian melihat dari jauh betapa kami saling be-rangkulan" Ohhhh, memang kalian ini o-rang-orang bodoh! Dangar baik-baik. Tujuh orang penjahat itu datang ke sini. Aku tidak tahu bahwa mereka datang ma-ka aku tidak sempat lari seperti yang lain. Dan mereka itu mengejar-ngejarku, hendak menangkapku dan tentu saja, dengan niat yang amat kotor dan hina! Dan aku melihat pendekar itu duduk seorang diri di bawah pohon. Tadinya aku tidak tahu bahwa dia pendekar, akan tetapi dalam keadaan ketakutan setengah mati itu, aku lari padanya dan mohon tolong.
Siapa saja akan kumintai to-long dalam keadaan hampir mati ketakutan seperti itu. Dan dia bangkit, dia mengalahkan semua penjahat, memaksa mereka itu bertobat, dan mereka mem-buntungi jari-jari kaki kiri mereka untuk tanda bertobat. Dan kalian tidak percaya" Dan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 168
engkau, engkau sudah gi-la, engkau malah mencemburui kami dan engkau malah menghina pendekar itu" Masih untung hanya tongkatmu yang dipa-tahkan, bukan lehermu! Kalau kalian tidak percaya, lihat ini buktinya!" Dia memunguti jari-jari kaki itu untuk di-kuburkan. "Nah, makanlah ini!" Wanita itu lalu melemparkan buntalan itu ke a-rah suaminya, setelah membuka ikatan-nya. Dan potongan-potongan jari kaki, sebanyak tiga puluh lima potong, berhamburan mengenai muka dan leher suaminya.
Si suami tentu saja bergidik nge-ri juga para penduduk dusun merasa ngeri ketika mereka melihat bukti itu. Jari-jari kaki yang masih berlumuran darah! Sementara itu, Kui Hwa sudah berlari pulang sambil menangis.
Barulah suami itu merasa menyesal dan percaya sepenuhnya akan keterangan isterinya. Kini dia dapat membayangkan betapa takutnya isterinya tadi ketika dikejar-kejar tujuh orang penjahat ke-ji itu, tanpa ada orang yang dapat me-nolongnya. Kemudian muncul pendekar bongkok itu yang mengalahkan semua penjahat, yang berarti telah menyelamat-kan isterinya itu dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Maka, kalau dalam keadaan penuh rasa syukur dan keharuan itu isterinya merangkul penolongnya dan manangis di dadanya, apakah yang aneh dalam hal itu" Juga pendekar itu bukan golongan pemuda yang terlalu menarik hati wanita, dan isterinya tak mungkin tertarik kepada seorang yang tubuhnya bongkok seporti itu!
"Kui Hwa, tunggulah....!" Dia barteriak berlari-lari mengejar isterinya, di dalam hatinya yang penuh penyesalan itu kini penuh dangan harapan agar isterinya suka memaafkannya.
Sementara itu, para penduduk dusun yang lain segera mengumpulkan jari-ja-ri kaki itu dan menguburnya dengan ha-ti penuh rasa syukur bahwa kini Tiat-jiauw Jit-eng yang selama beberapa bu-lan lalu mengganas di sekitar daerah i-tu, kini telah bertobat dan berarti meraka tidak akan lagi diganggu oleh me-reka yang amat jahat itu. Dan semua i-ni berkat jasa Pendekar Bongkok, nama yang takkan pernah mereka lupakan dan yang semenjak terjadinya peristiwa itu menjadi buah bibir mereka sehingga na-ma julukan pendekar baru ini mulai terkenal.
Sie Liong melarikan diri mening-galkan ladang dusun itu dangan senyum pahit di bibirnya.
Dia memang sudah memaklumi banar-benar keadaan dirinya, sudah diterimanya keadaan dirinya se-perti apa adanya. Memang dia berpunuk, dia bongkok dan itu merupakan sebuah kenyataan yang takkan dapat dirobah. Titik. Dia tidak akan lagi mengeluh, tidak lagi memperhatinkan keadaan tubuhnya yang telah menjadi pemberian Tuhan dan yang
diterimanya dangan penuh kepasrahan dan rasa syukur. Akan teta-pi, kalau terjadi peristiwa seperti di sawah ladang tadi, bagaimanapun juga hatinya terasa seperti ditusuk. Dia berniat baik. Dia menyelamatkan wanita dusun itu, bahkan dia menundukkan ge-rombolan jahat yang berarti juga meng-hindarkan dusun dari gangguan orang jahat. Dia melakukan hal itu tanpa pa-mrih, tidak minta imbalan apapun. Akan tetapi, dia malah didakwa melakukan hal yang rendah, didakwa berjina dengan wanita petani itu! Sungguh menya-kitkan hati memang.


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bongkoknya terbawa-bawa pula, bahkan mungkin bongkoknya itulah yang menimbulkan
kecurigaan para penduduk dusun, yang mendatangkan kesan buruk dan membuat dia condong nampak sebagai orang yang jahat!
"Biarlah," dia mengeluarkan kata-kata ini melalui mulutnya, dengan agak keras untuk melunakkan hatinya yang menjadi keras dan panas. "Biarlah mereka mengatakan apapun juga! Yang penting, aku yakin benar bahwa aku tidak melakukan hal yang buruk, dan Tuhan mengeta-hui, Tuhan melihat dan Tuhan yang tak-kan dapat ditipu oleh kebongkokan
tu-buhku!" Pikiran ini diucapkannya keras-keras dan akhirnya hatinya menjadi di-ngin dan lunak kembali.
Si-aku adalah hasil dari akal pikiran dan rasa perasaan bahwa "aku a-da", bahwa di dalam jasmani ini yang meliputi juga akal pikiran dan perasa-an, terdapat "sesuatu" yang membuat jasmani ini hidup. Namun, karena rasa diri ada ini dinyatakan melalui perasaan hati dan akal Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 169
pikiran, maka rasa diri ini terbungkus oleh nafsu. Perasaan hati dan akal pikiran tidak pernah da-pat terpisah dari pengaruh daya-daya rendah, yaitu keduniawian yang timbul dari kebendaan yang kita butuhkan dalam kehidupan, makanan dan hubungan antar manusia.
Daya-daya rendah inilah yang menyerap ke dalam perasaan hati dan akal pikiran sehingga perasaan di-ri ada atau si-aku inipun mengandung nafsu-nafsu. Oleh karena itu, sesuai dangan sifatnya, nafsu yang sudah memperhamba si-aku tadi, membuat si-aku selalu ingin enak sendiri, ingin me-nang sendiri, ingin bahagia sendiri, ingin benar sendiri. Pendeknya, segala sesuatu di dunia ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, oleh si-aku yang penuh nafsu diharapkan untuk kepentingan dirinya.
Betapapun pandainya manusia berusaha, dengan segala reka usaha dan ikhtiar untuk melepaskan cengkeraman daya-daya rendah yang membentuk nafsu, nanun jarang sekali ada yang berhasil. Sebagian besar menemui kegagalan dan mendapatkan bahwa semua usaha itu akhirnya hanya membawa dirinya ke dalam alam kekosongan belaka. Hal ini adalah karena usaha dan ikhtiar itupun merupakan pekerjaan akal pikiran belaka, dan karenanya diboncengi pula oleh daya-daya rendah itu! Jadi, tidak mungkin da-ya-daya rendah melanyapkan dirinya sendiri, tidak mungkin mengesampingkan pikiran dangan berpikir! Kiranya, satu-satuaya jalan bagi kita hanyalah penyerahan kepada Yang Maha Kasih, Yang Maha Kuasa. Tuhan pencipta segala yang ada dan tidak ada, yang nampak dan ti-dak nampak. Karena kekuasaan Tuhan meliputi di dalam dan di luar diri kita, maka kiranya hanya kekuasaan Tuhan sa-jalah yang akan mampu menolong kita, yang akan mampu mengatur agar pengaruh nafsu daya rendah tidak lagi mencengkeram hati dan akal pikir sehingga saga-la sepak terjang kita dalam hidup, ti-dak lagi dikemudikan oleh nafsu daya rendah, melainkan dikemudikan atau dibimbing oleh kekuasaan Tuhan!
Setelah Sie Liong dangan penuh kepasrahan menyerahkan segalanya kepada Tuhan,
menerima segala keadaan dan segala peristiwa sebagai hal-hal yang sudah dikehendaki Tuhan, maka sedikit banyak diapun dapat mengatasi segala penderitaan yang mungkin timbul karena keadaannya atau karena peristiwa itu sendiri. Orang yang sudah pasrah kepada Tuhan dangan sepenuh hatinya, dangan keikhlasan dan kerelaan, penuh pasrah, sudah pasti takkan merasa penasaran, tidak akan merasa kecewa dan selalu di dalam hatinya terkandung rasa sukur dan terima kasih kepada kekuasaan Tuhan. Makin dihayati kepasrahan ini, semakin membuka matanya betapa kekuasaan Tuhan amatlah hebatnya, tak terukur dan menyusur ke dalam segala benda, bergerak tiada hentinya, nampak kadang-kadang kacau namun
sebenarnya mengan-dung ketertiban yang mujijat, tak per-nah keliru, dan mengandung keadilan yang setepat-tepatnya walaupun kadang-kadang berada di luar pengetahuan akal pikiran manusia.
Tentu akan timbul bantahan. Ape-kah kalau begitu, hidup ini hanya diisi dengan kepasrahan belaka kepada kekuaaaan Tuhan" Bukankah kalau begitu maka hidup akan menjadi kosong dan mandeg, tidak ada semangat lagi untuk mencapai apa jang dinamakan kemajuan" Sa-lah pengetian ini harus diperbincang-kan karena memang mengandung bahaya! Arti panrah bukan berarti kita lalu membonceng kekuasaan Tuhan begitu saja lalu kita tertidur dan masa bodoh! Sama sekali tidak! Tuhan menciptakan kita sebagai mahluk bergerak, beranggauta badan lengkap, berakal pikir, maka semua itu harus kita pergunakan. Hal itu merupakan suatu kewajiban! Kita tidak benar sama sekali kalau mempersekutu kekuasaan Tuhan. Biar kekuasaan Tuhan bekerja dan kita enak-enakan, bermalas-malasan. Ini merupakan akal-akalan dari si-akal pikir yang dikuasai nafsu rendah! Kita bekerja, kita berusaha, kita berikhtiar dalam segala bidang. Namun, harus selalu kita ingat bahwa apapun jadinya, apapun hasilnya, apapun akibatnya dari setiap usaha ki-ta, berada di tangan Tuhan! Tubanlah yang menentukan pada akhirnya dan kalau kita menerima dangan pasrah, dengan penuh kepercayaan bahwa Tuhan tak akan pernah keliru mengatur, maka hasil atau akibat apapun yang kita terima, akan kita terima dangan hati terbuka, penuh kepasrahan pula, penuh rasa su-kur!
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 170
Kebahagiaan tak mungkin dicari, tak mungkin dikejar dangan usaha akal pikiran! Akal pikiran yang digerakkan nafsu selalu hanya membutuhkan KESENANGAN, dan kesenangan sama sekali bu-kanlah kebahagiaan, karena kesenangan itu pendek sekali umurnya.
Kesenangan segera digilir dangan kesusahan, kepuasan diikuti kekecewaan. Kebahagiaan hanyalah suatu keadaan di mana perasa-an hati dan akal pikiran tidak lagi menguasai jiwa, kebahagiaan adalah keadaan jiwa yang sudah bersatu dangan Tu-han, seperti setetes air yang sudah kembali ke samudera! Tidak butuh apa-apa lagi karena segalanya sudah terca-kup di dalamnya! Dan semua ini hanya-lah kekuasaan Tuhan yang mampu menga-turnya, dan kita, dengan segala per-lengkapan kita, termasuk nafsu-nafsu daya rendah, hanya mampu
MENYEBAR dengan PASRAH. Titik.
Sie Liong melanjutkan perjalanannya dan kini dia sudah melupakan sama sekali peristiwa yang menimpa dirinya di ladang itu. Memang sebaiknya kalau pikiran ini kita pergunakan untuk bekerja, berarti untuk memikirkan apa yang kita kerjakan sekarang dan setiap saat, bukan dipergunakan untuk mengenang hal-hal yang sudah lalu! Dia akan pergi. ke Tibet, dan kini dia sudah menuruni bukit terakhir dari deretan pegunungan Kun-lun-san yang panjang itu.
Dia berhanti di atas puncak bukit terakhir tadi, dan dari situ dia meli-hat ke selatan. Di sanalah terdapat propinsi Tibet! Dan kini dia telah ti-ba di perbatasan tiga propinsi besar. Di utara adalah Propinsi Sin-kiang. Di timur Propinsi Cing-hai, dan di sela-tan adalah Tibet, negara yang dikuasai para pendeta Lama itu.
Dia menuruni bukit dan menuju ke sebuah dusun yang tadi dilihatnya dari bukit itu. Daerah itu merupakan daerah yang tandus dan luas sekali, jarang terdapat dusun, maka kalau melihat sebuah dusun, maka hal itu merupakan hal yang menggembirakan bagi seorang pengelana di daerah itu. Mungkin berhari-hari dia tidak akan bertemu dusun, dan hari ini, matahari telah condong jauh ke barat. Sebentar lagi tentu akan ge-lap dan lebih baik melewatkan malam di dalam dusun yang hangat di mana dia dapat memperoleh makanan dan minuman da-ripada bermalam di daerah terbuka yang asing baginya.
Dusun itu cukup besar dikurung pagar tanah liat yang dibangun seperti tembok. Di dalam dusun itu tinggal penduduk yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus keluarga! Pekerjaan mere-ka bercocok tanam dan berburu, ada pu-la yang mengusahakan peternakan kam-bing.
Dan melihat keadaan bangunan rumah yang cukup baik itu, Sie Liong dapat mengambil kesimpulan bahwa pengha-silan penduduk itu cukup untuk sandang pangan, bahkan
berlebihan. Di situ terdapat pula beberapa buah warung makan, bahkan terdapat pula sebuah rumah penginapan! Kiranya dusun ini ada pula pengunjungnya dari luar kota pikirnya.
Memang demikianlah, banyak dusun di daerah itu manyediakan rumah penginapan, karena mereka maklum bahwa para peda-gang dan pengelana yang lewat di dusun, dan kemalaman, tentu akan mencari rumah penginapan, mengingat bahwa du-sun berikutnya amatlah jauhnya!
Dan banyak pula yang membuka tempat menjual barang-barang keperluan sehari-hari.
Sie Liong segera menyewa sebuah kamar di rumah penginapan itu. Berun-tung bahwa dia tidak terlambat, karena pada hari itu, banyak tamu luar kota bermalam di dusun itu. Kepala dusun itu mengadakan perayaan pesta pernikah-an puteranya! Dan tentu saja dia
me-ngundang relasi dan sahabatnya dari luar dusun.
Setelah mandi dan makan malam, Sie Liong keluar dari kamarnya yang kecil dan berjalan-jalan di dalam dusun itu. Keadaan dusun itu tidak seperti biasanya. Kini ramai sekali. Hal ini adalah karena adanya pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun. Boleh dibilang bahwa seluruh penduduk dusun ikut pula berpesta, atau setidak-nya, ikut bergembira dengan memasang lampu gantung di depan rumah masing-masing sehingga keadaan di luar rumah kini terang dan gembira, tidak seperti biasa. Juga sebagian basar penduduk keluar dari rumah mereka untuk menyaksi-kan pemboyongan mempelai wanita yang kabarnya akan diambil Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 171
malam hari itu. Mempelai wanita adalah seorang gadis yang rumahnya di sudut dusun, dan pe-ngambilan mempelai itu dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan pe-nari dan penabuh gamelan. Pengantinnya akan naik joli yang digotong empat o-rang, sedangkan mempelai prianya akan menunggang kuda. Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus rumah pe-nginapan dan diapun dengan gembira ki-ni berjalan-jalan sebelum nanti ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai pria.
Tanpa disengaja, Sie Liong berja-lan-jalan menuju ke barat dan tak la-ma kemudian tibalah dia di sudut dusun itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itupun dihias meriah, penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain berwarna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung yang dihias kertas-ker-tas merah.
Suasana di rumah itu meriah sekali, dan nampak banyak orang sedang sibuk mempersiapkan joli dan semua peralatan upacara pernikahan. Melihat ke-adaan rumah itu, tanpa
diberitahupun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu di situ tempat tinggal pengantin wanita.
Karena di luar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang yang nonton, terutama anak-anak, Sie Liong menggabung dengan mereka, berdiri di antara para penonton. Sebagian dari para penonton itu berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri di antara para pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam keluar seorang yang membawa keranjang berisi makanan lalu orang itu membagi-bagikan makanan kepada mereka. Karena dia berada di antara mereka, diapun kebagian sepotong kueh mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum. Dia tidak merasa sakit hati. Memang pakai-annya lusuh, apalagi punggunguya bongkok. Bukankah di antara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak sempurna keadaan tubuhnya" Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk, asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu! Maka, seperti yang lain, diapun makan kueh mangkok itu dengan gembira.
Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda yang baru datang manyelinap pula di antara para penonton. Dia merasa curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu dia seo-rang petani. Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu wajahnya mem-bayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan masih ada bakas air mata pada ke-dua pipinya.
Pada saat itu, para penonton di luar halaman itu berdesakan untuk da-pat melihat lebih jelas ke dalam rumah karena agaknya ada upacara penghormat-an mempelai puteri kepada ayah ibunya sebelum ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di ruangan depan, di depan meja sembahyang. Ketika mempelai wanita yang berpakaian in-dah mariah itu muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan yang nampak dari luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu. Karena pakaian yang longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie Liong tidak dapat melihat wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh ramping.
Ketika gadis yang menjadi pengan-tin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas kur-si, terdangar ia terisak menangis dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka. Dua orang nenek itu terke-jut dan hendak menuntunnya agar ia berhati-hati dengan pakaiannya, akan tetapi mereka tidak kuasa menahan gadis pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya di antara sedu sedannya, "Ayah.... ibu.... aku tidak mau kawin.... aku tidak mau menikah dengan.... anak kepala dusun itu...."
Tentu saja semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan tetapi, mempelai wanita itu meronta-ronta dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
"Lian-ji....! Hentikan tangismu itu! Jangan kau membikin malu orang tuamu!" Ayahnya menghardik dan bentakan ini membuat pangantin wanita itu ber-henti meronta, akan tetapi masih tetap menangis terisak-isak.
"Bawa ia masuk ke dalam kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 172
sialan....!" Sang ayah marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya kembali ke kamar.
Pada saat itu, terdangar teriakan dari luar. "Penasaran....! Sungguh tidak adil dan sewenang-wenang....!"
Dan pemuda petani yang tadi menimbulkan kecurigaan hati Sie Liong, nampak meninggalkan kelompok penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruang-an depan itu. Semua orang terkejut dan juga ayah ibu mempelai wanita meman-dang dengan mata terbelalak.
"Lian-moi....!" Pemuda itu memanggil.
Mempelai wanita itu meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, iapun berseru,
"Kiong-koko....!"
Dan iapun menangis, masih berdirt karena dipegang erat-erat kedua lengannya oleh kedua orang nenek itu.
"Un Kiong" Mau apa engkau" Berani engkau datang ke sini membikin kacau" Kami tidak mengundangmu!" bentak ayah mempelai wanita itu dengan marah sekali.
"Saya datang untuk mohon keadilan! Sungguh penasaran sekali....!" Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa orang anggauta keluarga yang hadir dan merasa tidak senang dengan perbuatan pemuda itu, dan mere-ka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah menjatuhkan diri berlutut itu.
"Pergilah! Pergi dan jangan da-tang lagi!" bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan. Akan tetapi pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.
"Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mendapat keadilan! Biar kalian m-emukuli aku sampai mati, aku tidak akan pergi!" teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali memanggil namanya. "Kiong-koko....!" akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu ibu mempelai dan dise-ret masuk ke dalam kamar.
Mendengar kenekatan pemuda itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai ikut pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut. Melihat ini, Sie Liong cepat melompat ke dalam. Begitu dia bergerak menangkis tendengan dan pukulan itu, beberapa orang terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis sedemikian kuatnya, dan Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah babak belur dan bengkak matang biru.
Melihat munculnya seorang pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut.
Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak, "Mau apa kau mencampuri urusan kami?"
"Dukkk!" Kepalan tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya sungguh membuat orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh melainkan pemukulnya sendiri yang mengaduh-aduh sambil memegangi perge-langan tangannya yang menjadi salah urat! Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh. Melihat itu, tentu saja semua orang menjadi jerih dan ti-dak ada lagi yang berani menghalangi ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba di luar rumah dan melihat betapa banyak orang mengikutinya, yaitu mereka yang tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu ke mana dia membawa pemuda yang dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga seben-tar saja dia sudah menghilang dari kejaran para penonton.
Sie Liong membawa pemuda itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar bulan dan berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang
sembarangan. Dia melihat ketika pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah
mempelai wanita, dan terutama sekali cara pemuda itu memanggulnya dan membawanya lari Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 173
secepat terbang.
"Taihiap, kenapa engkau monolongku" Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?"
Sie Liong tersenyum. Orang ini telah diselamatkan dari keadaan yang le-bih parah lagi, mungkin dia akan mati dipukuli orang, dan pemuda ini tidak berterima kasih bahkan menyesal!
"Akan tetapi, kenapa engkau begi-tu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang" Kalau ttdak kularikan, mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!"
"Biar saja! Biar aku dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku kepadanya!"
"Wah, sungguh aneh. Coba caritakan, apa yang sesungguhnya telah terjadi" Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat menolongmu."
Pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu bercerita. Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu.
Bahkan Un Kiong sudah seringkali menyumbangkan te-naganya bekerja di sawah ladang tunang-annya. Pernikahan antara mereka ting-gal menanti hari, bulan dan tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba, orang tua Sui Lian mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan kemudian Sui Lian dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!
"Kepala dusun itu orang baru, be-lum setahun dia diangkat menjadi kepa-la dusun dan bertugas di sini. Jelas-lah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera kepa-la dusun itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah meneri-ma nasib, aku tidak berdaya. Tadi aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas tunanganku yang sejak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan tetapi, melihat ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan ia.... ah, ia masih sempat memanggilku, dan ia.... ia begitu bersedih....! Karena itu, aku ingin mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi un-tuk membuktikan cinta kasihku kepada-nya!"
Sie Liong tersenyum. "Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang" Hemm, itu bukan ca-ra membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli, apakah tu-nanganmu itu akan merasa gembira" Apa-kah perbuatanmu itu akan dapat membebaskan ia dari cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi suminya?"
Un Kiong menjadi bengong, lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas.
"Lalu apa yang dapat kulakukan, taihiap?"
"Engkau pulanglah dan biar aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan itu dan akan mengantarkan mempelai wanita ke rumah-mu. Engkau bersiap-siaplah, besok si-ang mempelai wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kausambut ia sebagai mempelaimu."
"Tapi.... tapi.... tentu mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan dan dihukum!"
"Jangan khawatir. Aku yang ber-tanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai tuntas dan andaikata engkau ditawan, aku yang akan membebaskanmu."
Karena dia sendiri sudah tak ber-daya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya kepada pendekar yang bongkok itu, maka dia sege-ra menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. "Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum sa-ya pulang, mohon tahu nama besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada o-rang-tuaku."
Sie Liong menggelong kepala. "Na-maku tidak ada artinya, sobat. Kuberi-tahupun engkau tidak akan mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja di sini, dam aku selalu gatal tangan, ingin membereskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan tunggulah sampai besok."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 174
Un Kiong memberi hormat, lalu dia pun pergi, kembali ke dusun dan pulang ke rumahnya.
Dia disambut dengan omelan ayah ibunya yang sudah mendengar beritanya bahwa putera mereka membikin ribut di rumah mempelai wanita sehing-ga dipukuli keluarga mempelai wanita. Ketika Un Kiong menceritakan tentang Pendekar Bongkok yang menolongaya, dan tentang janji pendekar itu, ayah ibunya menjadi semakin tegang dan gelisah.
Sementara itu, Sui Lan telah di-paksa untuk menerina rombongan pengan-tin pria yang malam itu datang untuk menjemput mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis terus, akan tetapi karena ia memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim mempelai wanita se-lalu menangis ketika dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian. Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang, sedangkan mempelai prianya me-nunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa orang. Petasan dibakar dan bunyi musik mengiringi pasangan mempelai yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu.
Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombougan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
"Berhenti!" bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. "Pernikahan ini salah tempat!
Mempelai prianya bu-kan orang itu!" Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.
Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah.
Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang beruasia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
"Heii, apakah engkau ini orang gila" Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?" Kini semua orang su-dah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.
"Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiva yang membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernana Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini ten-tu sudah mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, secara mendadak partunangan i-tu dibatalkan sepihak dan Sui Lien dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh tidak adil sekali, apalagi karena mempelai wanita tidak suka menja-di isteri putera kepala dusun!"
"Eh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan se-cara sah dan menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini daripada harus kami hajar!"
"Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan ka-takan kepada kepala dusun bahwa perni-kahan ini dibatalkan!"
"Kurang ajar!" Tujuh orang penga-wal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.
"Sudahlah. Kalian hanya petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah da-lam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaik-nya kepala dusun itu disuruh ke sini dan kita rundingkan bersama dengan o-rang tua mempelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!" kata Sie Liong yang sabetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.
"Orang gila ini sungguh kurang a-jar! Tangkap dia atau bunuh kalau melawan!" kini mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia marah dan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 175
merasa malu sekali bahwa upacara pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila!
Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya
mengelak dan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tidak ada yang mampu menyentuh tubuhnya. Dia tidak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya karena mereka bukanlah orang-orang jahat melainkan hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai. Diapun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jerih karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan diapun melarikan kudanya sambil berteriak, "Mari kita lapor ke-pada ayah!" Para pengikutnya lalu malarikan diri meninggalkan tempat itu.
Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penanaran sekali. Akan tetapi diapun sudah maklum akan kehe-batan orang bongkok itu, maka dia menghampirl lalu memberi hormat.
"Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua ini" Taihiap, hanya a-kan mendatangkan malapetaka kepada ke-luarga kami!"
"Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga mendiri, paman, Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.
Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tidak ada yang berani mem-bantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda boug-kok ini seorang pandekar yang sakti. Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-ti-ba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdangar suaranya, "Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!" Dua orang nenek dan ibunya, mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Sementara itu, ayah Sui Lian lalu mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah. Para penonton bubaran dan sebentar saja pe-ristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan seluruh penduduk du-sun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang. Un Kiong sen-diri diam-diam merasa girang dan tim-bul harapan baru dalam hatinya. Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohongi-nya dan telah mencegah terjadinya pem-boyongan pengantin wanita!
Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap matapun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
"Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu telah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini juga?" Sie Liong berta-nya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya.
Petani itu mengangguk. "Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin ribut...."
"Akan tetapi mengapa, paman" Apa-kah kenalahan Un Kiong maka pertunang-an itu
dibatalkan" Padahal, pertunangan itu telah berlangsung bertahun-ta-hun, sejak keduanya masih kanak-kanak!"
Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya i-tu tidak mempunyai kesalahan apapun!
"Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Maka engkau Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 176
membatalkan ikatan perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?"
Orang tua itu mengangkat muka me-mandang kepada Pendekar Bongkok, lalu mengangguk membenarkan.
"Nah, aku ingin tahu sekarang. Kenapa kaulakukan hal itu" Kalau puteri-mu sudah
bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kautolak saja lamaran kepa-la dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon sua-mi."
"Ah, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu" Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan...."
"Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?" Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
"Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?"
"Tentu saja!" jawab kedua orang tua itu.
"Kalau ji-wi menyayangnya, mengapa ji-wi memperlakukannya sebagai ba-rang dagangan saja" Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkan-nya" Ia bukan benda, bukan pula bina-tang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Ia berhak manentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, a-kan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?"
Dua orang tua itu menunduk. "Kami.... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap.
Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hi-dup barkecukupan...."
"Itukah ukuran bahagia" Berbaha-giakah seekor burung dalam sangkar, walaupun sangkar itu terbuat dari emas" Ji-wi keliru, seyogianya menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh ti-dak adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, se-dangkan kedua orang muda itu sudah sa-ling menyayang."
"Tapi, tapi kami tidak berani menolak.... dan sekarang.... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap.... ah, apa yang harus kami lakukan sekarang" Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali...." Suami isteri itu meratap dan ketakutan.
"Itu tanggung jawabku. Yang pen-ting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong."
Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang. "Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membersakan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun."
"Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang," kata Sie Liong dengan hati lega dan diapun bangkit berdiri lalu keluar dari ruangan itu, berdiri di serambi depan. Masih terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar. Dia me-lihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agakaya pihak kepala dusun telah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambl depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang yang sikapnya gagah sekali. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi, jantan dan gagah, sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pun-dak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah. Sie Liong mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti per-nah bertemu dengan mereka.
Seorang di antara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah meman-dang tajam kepada Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 177
Sie Liong, lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah. "Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?"
Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendangar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena kele-mahan orang tua Sui Lian.
"Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak te-pat itu."
Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya. "Pemboyongan tidak tepat" Apa-nya yang tidak tepat" Dangar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pasta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia
meraya-kan pernikahan puteranya dengan gadis dusun di sini, apa salahnya itu?"
"Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?"
Kembali dua orang itu saling pan-dang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang.
"Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengan-tin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kepala dusun. Pi-nangan sudah diterima dan pernikahan
dilangsungkan, siapapun tidak berhak untuk menghalangi!"
"Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi di-lanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan min-ta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!"
"Hemm, tidak percuma kalau saha-bat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, ma-ka mari ikut dengan kami menghadap ke-pala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan." kata si tinggi besar.
"Kalau aku tidak mau?"
"Ji-wi taihiap, biar kami kero-yok saja dia!" teriak si kumis melin-tang yang memimpin para pengawal tadi. Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok. Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.
"Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!" kata si tinggi besar dan tujuh orang pengawal itu-pun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa mal
Harpa Iblis Jari Sakti 27 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Kisah Para Pendekar Pulau Es 20
^