Kisah Pendekar Bongkok 8

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


u, sesungguhnya mereka jerih maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.
"Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!" kata si tinggi besar yang segera melangkah maju. "Sobat, engkau sungguh tinggi ha-ti, handak mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak mempergunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!"
Sie Liong tersenyum. "Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun" Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyele-weng jauh, sobat. Aku hanya ingin
membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain."
"Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu itu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?"
"Kalau perlu...."
"Bagus! Ingin kulihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!" bentak si Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 178
tinggi besar itu dan dia membentak nyaring, "Lihat serang-an!"
Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang gagah, seorang pen-dekar yang memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya amat kuat, mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datanguya cepat sekali. Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa dia berhadapan dengan lawan yang "berisi", bukan sekedar tu-kang pukul yang besar suaranya saja. Maka, diapun dengan hati-hati mengelak ke kiri, lalu dari kiri tangannya me-nyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka. Namun, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hen-dak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sin-kang.
"Dukkk!" Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya se-perti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat! Maka diapun lalu menerjang dengan cepat, bagaikan serangan badai, kaki tangan-nya bergerak cepat dan setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga. Namun, dengan te-nang Sie Liong selalu manghindarkan diri, dengan langkah-langkahnya yang teratur.
"Hyaattttt....!" Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya me-ngandung tenaga dahsyat yang panas!
Sie Liong maklum bahwa lawannya mempergunakan semacam sin-kang yang hebat, maka
diapun segera mengerahkan sin-kangnya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju). Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbela-lak, tubuhnya menggigil kedinginan! Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan ha-wa dingin dan ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin.
Melihat suhengnya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok menerjang dahsyat sambil membentak, "Lihat seranganku!"
Kedua tangan itu bergerak cepat, merupakan dua cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah li-hainya dibanding sang suheng! Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan itu semacam ilmu yang meniru ge-rakan harimau, maka dahsyat sekali dan melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu, walaupun tidak berkuku panjang, tidak kalah berbahayanya dari pada ca-kar seekor harimau! Diapun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memain-kan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih) dan begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dari telapak kedua tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawan dapat ditangkisnya dengan tepat. Diapun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itupun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyam-bar dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua orang gagah itu melon-cat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu
mengalahkan orang bong-kok itu, maka mereka mencabut senjata!
"Sobat, ternyata engkau benar a-mat lihai. Nah, keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!" tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.
Sie Liong menjura kepada mereka. "Mana aku berani" Aku tidak pernan bermain-main dengan senjata, dan aku ti-dak akan pernah mau mangangkat senjata untuk melawan
pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa para pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tidak pernah melakukan kejahatan!"
Dua orang itu terbelalak. "Engkau.... mengenal kami" Siapakah engkau sebenarnya?" tanya si tinggi besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 179
Ciang Sun, sedangkan sutenya yang brewokan, bernama Kok Han.
"Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Ketika itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan teta-pi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tem-pat itulah kita saling berjumpa!"
"Ahh....!" Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru kemudian saling pandang. "Engkau....
engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendekar Lama itu...." Tapi.... tapi kami sangka engkau sudah mati....!"
Sie Liong tersenyum dan mengge-leng kepalanya. "Tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku...."
"Ahhh....! Kiranya saudara adalah murid lima orang kakek sakti itu" Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa.... eh, tentang urusan pengantin itu...." Dua prang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mere-ka tadi memandang rendah.
"Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan" Ketahuilah, aku bertemu dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang kini menjadi pe-ngantin. Sejak kecil bertunangan lalu tiba-tiba dibikin putus dan tunangan-nya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun!
Bukankah hal itu sama sekali tidak adil" Juga pengantin wanita kulihat sendiri tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi kedua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan...."
"Ah, kalau begitu, lain lagi urusannya!" kata Kok Han. "Sungguh heran, kenapa bisa terjadi demikian" Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana."
"Mungkin dia tidak tahu," kata Sie Liong. "Dia hanya tahu meminang, diterina dan merayakan pernikahan puteranya. Karena itu, sebaiknya kalau dia diajak berunding, sukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik."
Dua orang pendekar Kun-lun-pal itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong. "Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang ke sini."
"Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku menunggu di sini," kata Sie Liong. Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, me-reka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.
Benar saja seperti dugaan Sie Liong, kepala dusun Sun tak lama kemudi-an datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka lalu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu me-lanjutkan ceritanya.
"Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan kedua orang muda itu sudah
diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, dilakukan semenjak ke-duanya masih kanak-kanak. Kalau tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan anakmu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang" Kalau jung-cu
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 180
ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepaia dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu."
Kepala dusun Sun memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian. "Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, kenapa pi-nangan kami diterima?"
Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu berkata dengan tenang, "Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekaranglah saatnya semua orang berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!"
Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat dan dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata, "Mohon ampun kepada jung-cu.... ketika jung-cu mengajukan pinangan, kami....
kami merasa terhormat dan berbahagia sekali, kami tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu.... dan kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan...."
"Brakkk!" kepala dusun Sun menggebrak meja dengan kedua tangannya, dan mukanya
menjadi merah sekali. "Kalian kira aku ini orang macam apa" Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaan-nya memaksakan kehendaknya kepada rak-yat" Sungguh, itu
namanya memandang rendah kepada kami!"
"Ampunkan kami.... jung-cu....!" tuan dan nyonya rumah menjadi ketakut-an.
Kepala dusun itu menarik napas panjang. "Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja.
Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan,
bagaimana mungkin pernikahan dibatalkan" Kami akan menjadi buah cemoohan dan
tertawaan orang saja! Siapa nama tu-nangan Sui Lian itu?"
"Namanya Un Kiong...."
"Di mana dia" Panggil dia ke sini!"
Sie Liong bangkit. "Biarlah aku yang memanggil dia ke sini." Dan seka-li berkelebat, pemuda bongkok inipun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Ki-ong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimana-pun juga, dia ketakutan.
Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang. "Un Kiong, mulai saat i-ni, engkau kuanggap sebagai anak ang-katku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah engkau?"
Un Kiong menjatuhkan diri berlu-tut di depan "ayah angkatnya" dan ha-nya mampu menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada keesokan harinya, pesta per-nikahan tetap dirayakan di rumah kepa-la dusun, hanya saja, yang menikah bu-kanlah putera kandungnya, melainkan "putera angkatnya". Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan o-rang.
Ketika sepasang mempelai diperte-mukan, Sie Liong dan dua orang pende-kar Kun-lun-pai mendapat kursi kehor-matan. Dan dua orang mempelai itu tan-pa diperintah, langsung saja mengham-piri Sie Liong dan keduanya menjatuh-kan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
"Wah.... jangan....! Tidak perlu begini....!" katanya den sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap da-ri tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya mengun-tungkan dua orang muda yang sudah sa-ling mencinta itu, akan tetapi juga mondatangkan keuntungan benar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan hormat dan suka se-kali dalam hati para penduduk dusun i-tu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan dita-ati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong sendiri melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 181
Girang bukan main rasa hatinya bahwa dia telah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan betapa bahagia-nya sepasang orang muda itu! Akan tetapi diapun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal adanya. Seperti juga keadaan udara, kehidupan manusia tidak selamanya diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di ang-kasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelap-kannya sama sekali. Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, sekarang mereka berbahagia dan diapun merasa ber-bahagia karena perbuatannya telah ber-hasil membahagiakan orang lain!
Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itupun kalau dusun itu kedatang-an banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal
masing-masing. Para anggauta pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut. Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan seringkali terjadi pertengkaran di antara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang me-reka itu hendak memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali selalu dapat mereda-kan keributan yang timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani ke-luar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan pe-rondaan, dan pekerjaan inipun dilaku-kan dalam suasana penuh ketakutan. Hal ini amat menarik hati para pendatang dan beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat, bertanya. Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu oleh munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bang-kit dan mempergunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri. Banyak sudah anak buah Gumo Cali roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika me-reka berusaha untuk menangkap "silu-man" itu. Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat bia-sa saja. Maka, setelah banyak jagoan diantara para pengawal mancoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang ro-boh terluka, bahkan ada yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!
Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia lebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah da-rah! Dan malamnya, biarpun sudah dija-ga ketat, tetap saja siluman itu da-tang, merobohkan siapa saja yang mencoba untuk menghalanginya, kemudian men-culik gadis yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah diroboh-kannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manu-sia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Ma-ka, siluman itupun terkenal dengan se-butan siluman merah!
Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah da-un pintu. Betapa penduduk tidak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri" Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti se-mua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu! Dan coretan itu bukan ha-nya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua o-rang gadis, dan memang Gumo Cali memi-liki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 182
Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat dengan para jagoan ti-dak menenteramkan hatinya karena sudah terbukti berulang kali betapa para ja-goan itu tidak ada yang mampu menan-dingi kesaktian siluman itu, maka ja-lan keduapun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya a-kan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!
"Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot," demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua pu-terinya yang menangis ketakutan, "akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan mampu mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanya-lah seorang dukun."
Di daerah Ngomaima terdapat seo-rang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, diapun diundang untuk mangobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, memiliki nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sian-jin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sian-jin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannyapun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar, akan tetapi kalau jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna po-los putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni! Juga dia pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan se-patunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak, dan hebatnya, kalau orang berada dua tiga meter saja dari-nya, orang itu akan mencium bau mi-nyak yang sangat wangi!
Usia Bong Sian-jin ini kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau me-ram, hidungnya besar dan mulutnya ke-cil selalu tersenyum mengejek. Di punggungnya terdapat sebatang pedang, ta-ngan kanannya memegang sebuah kebutan berbulu putih dan tangan kirinya meme-gang sebuah kipas yang dikebut-kebut-kan ke arah lehernya ketika dia mama-suki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!
Gumo Cali dan isterinya cepat me-nyambut dengan sikap hormat, dan begi-tu melihat tuan rumah, tiba-tiba dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, lalu mulutnya mengeluarkan keluhan panjang, "Hayaaaaaaa....!" dan diapun mengangguk-angguk.
Melihat ini, Gumo Cali cepat mem-beri hormat dan bertanya, "Sian-jin, apakah yang engkau ketahui" Katakan kepada kami!"
"Aih, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!" Diapun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa
biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan
menyala-kannya. Asap yang mengeluarkan bau ha-rum segera memenuhi ruangan depan itu.
Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantram, kemudian terdengar dia berka-ta sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru. "Yang datang dari u-tara, kembalilah ke utara, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari selatan kembalilah ke selatan dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan ganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu un-tuk membantu aku mengusir siluman me-rah!" Dia lalu
mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya ke-luar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mam-pu mengusir siluman merah dan menyela-matkan puteri-puteri mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin memasuki rumah, mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu,
mengelilingi seluruh ruangan di rumah itu. Kemudian dia bertanya, "Di mana kamar dua orang gadis itu?"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 183
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
"Di sana, Sian-jin, di sudut itu...." jawabnya cepat.
"Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!"
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak beradik itu. Mere-ka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di depan Bong Si-an-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tu-buh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar- gairah!
Tiba-tiba Bong Sian-jin mengeluarkan seruan, "Uhhhh....!" dan diapun terhuyung ke belakang. "Sungguh celaka....!"
"Ada apakah, Sian-jin....?" tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya geli-sah sekali.
"Celaka, mereka ini sudah diselu-bungi hawa siluman yang amat kuat!"
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itupun menangis dan tubuh mereka meng-gigil.
"Aduh.... lalu bagaimana baiknya, Sian-jin" Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami....
apapun yang kauminta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu....
tolonglah...." kata kepala dusun itu cemas dan keli-hatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai seorang jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu.
Ketahyulan dapat membuat orang yang bagaimana perkasapun menjadi seorang pengecut dan penakut.
"Jangan khawatir heh-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sian-jin, jangan khawatir....! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena ka-lau sampai ada yang terkena hawa silu-man, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia....
heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sian-jin, heh-heh-heh!"
"Baik, baik.... ah, terima kasih sebelumnya, Sian-jin. Dan apa.... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?"
"Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar i-ni, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!"
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Se-gera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar. Ibu kedua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, "Jangan kalian takut, ada Bong Sian-jin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari.... siluman...." Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang meman-dang kepada mereka secara mengerikan!
Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kem-bang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari ceng-keraman siluman merah, maka merekapun pasrah!
Setelah melihat betapa dengan pe-nuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi ka-mar dan sama sekali tidak boleh mende-kat, dan semua orang kini Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 184
telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai diapun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Ketahyulan adalah suatu kebodoh-an. Suatu kepercayaan akan adanya roh jahat atau setan iblis yang suka mun-cul dan mengganggu manusia secara jas-maniah. Ketahyulan merupakan kebodohan yang amat berbahaya dan muncul karena kekurang-kuatan iman terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya kepada Tuhan, tentu tidak akan mudah termakan tahyul, atau dengan lain kata, tentu tidak akan takut ter-hadap gangguan iblis karena yakin bah-wa Tuhan akan melindungi setiap orang manusia yang pasrah kepada Tuhan terhadap segala macam iblis. Orang yang tahyul bukanlah berarti orang yang tidak percaya akan adanya roh jahat dan ib-lis. Melainkan orang yang tidak takut terhadap iblis, tidak memuja saking takutnya. Orang yang tahyul condong un-tuk memuja iblis, setidaknya menghor-matinya dan tunduk. Inilah bedanya. Yang tidak tahyul menghadapi godaan iblis dengan penyerahan dan iman kepada Tuhan, sebaliknya yang tahyul mengha-dapi godaan iblis dengan usaha menyenangkan hati iblis agar tidak mengganggunya, dengan memberi persembahan dan sebagainya.
Rasa takut timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang belum nyata dan belum ada.
Membayangkan ke-mungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan menimpa dirinya, maka timbullah rasa takut. Rasa takut timbul dari pi-kiran yang mengingat pengalaman lampau, masa lalu, dan membayangkan kemungkin-an buruk masa depan. Orang yang hidup di saat ini, dengan penuh kewaspadaan, dilandasi iman dan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak pernah merasa takut. Pikiran kita merupakan a-lat hidup yang teramat penting, yaitu untuk mempergunakan akal budi demi ke-selamatan dan kesejahteraan kehidupan lahiriah. Sebaliknya akan menjadi sua-tu kekuasaan yang amat berbahaya kalau kita membiarkan pikiran yang bergeli-mang nafsu itu menguasai jiwa.
Setelah berada bertiga saja de-ngan dua orang gadis remaja yang can-tik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah berahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi telah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis re-maja yang diserahkan ke dalam kekuasa-annya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya. Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik gadis-gadis cantik. Dan dia tidak takut
menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubah-nya, yaitu darah anjing yang sudah
di-keringkan dan dijadikan bubuk hitam, dan pedang pusakanya yang sudah diberi mantram, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan. Dia ti-dak takut, bahkan dia akan memperguna-kan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang berkobar-kobar. Dia a-kan memetik dua tangkai bunga yang se-dang mulai mekar itu, menikmati mere-ka, dan pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
"Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sa-kit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalian kubersihkan dari hawa siluman?"
"Mau, Sian-jin, tentu saja kami mau...." kata gadis tertua dengan suara gemetar.
"Kalau kalian mau, ingat. Apa yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamupun tidak boleh. Ka-lau kalian ceritakan, maka hawa silu-man itu akan datang menguasai diri ka-lian kembali. Turut saja apa yang kulakukan terhadap kalian, karena itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan dalam ember ini. Laku-kan sekarang!"
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu kini tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembu-nyi di balik pelupuk mata yang sipit itu semakin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 185
menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali. Kemudian, sam-bil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum, dan dengan nafsu semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua o-rang gadis remaja itu, jari-jari ta-ngannya dengan penuh nafsu menggera-yangi dan meraba-raba, membelai-belai, pura-pura
membersihkan tubuh mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sian-jin memasuki rumah, mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu,
mengelilingi seluruh ruangan di rumah itu. Kemudian dia bertanya, "Di mana kamar dua orang gadis itu?"
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
"Di sana, Sian-jin, di sudut itu...." jawabnya cepat.
"Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!"
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sian-jin memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan dari kakak beradik itu. Mere-ka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu kini berdiri dengan muka pucat di depan Bong Si-an-jin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tu-buh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar- gairah!
Tiba-tiba Bong Sian-jin mengeluarkan seruan, "Uhhhh....!" dan diapun terhuyung ke belakang. "Sungguh celaka....!"
"Ada apakah, Sian-jin....?" tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya geli-sah sekali.
"Celaka, mereka ini sudah diselu-bungi hawa siluman yang amat kuat!"
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itupun menangis dan tubuh mereka meng-gigil.
"Aduh.... lalu bagaimana baiknya, Sian-jin" Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami....
apapun yang kauminta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu....
tolonglah...." kata kepala dusun itu cemas dan keli-hatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai seorang jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu.
Ketahyulan dapat membuat orang yang bagaimana perkasapun menjadi seorang pengecut dan penakut.
"Jangan khawatir heh-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sian-jin, jangan khawatir....! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena ka-lau sampai ada yang terkena hawa silu-man, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia....
heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sian-jin, heh-heh-heh!"
"Baik, baik.... ah, terima kasih sebelumnya, Sian-jin. Dan apa.... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?"
"Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar i-ni, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!"
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Se-gera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar. Ibu kedua orang gadis itu merangkul mereka dan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 186
berkata, "Jangan kalian takut, ada Bong Sian-jin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari.... siluman...." Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang meman-dang kepada mereka secara mengerikan!
Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kem-bang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari ceng-keraman siluman merah, maka merekapun pasrah!
Setelah melihat betapa dengan pe-nuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi ka-mar dan sama sekali tidak boleh mende-kat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai diapun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Ketahyulan adalah suatu kebodoh-an. Suatu kepercayaan akan adanya roh jahat atau setan iblis yang suka mun-cul dan mengganggu manusia secara jas-maniah. Ketahyulan merupakan kebodohan yang amat berbahaya dan muncul karena kekurang-kuatan iman terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya, seluruh jiwa raganya kepada Tuhan, tentu tidak akan mudah termakan tahyul, atau dengan lain kata, tentu tidak akan takut ter-hadap gangguan iblis karena yakin bah-wa Tuhan akan melindungi setiap orang manusia yang pasrah kepada Tuhan terhadap segala macam iblis. Orang yang tahyul bukanlah berarti orang yang tidak percaya akan adanya roh jahat dan ib-lis. Melainkan orang yang tidak takut terhadap iblis, tidak memuja saking takutnya. Orang yang tahyul condong un-tuk memuja iblis, setidaknya menghor-matinya dan tunduk. Inilah bedanya. Yang tidak tahyul menghadapi godaan iblis dengan penyerahan dan iman kepada Tuhan, sebaliknya yang tahyul mengha-dapi godaan iblis dengan usaha menyenangkan hati iblis agar tidak mengganggunya, dengan memberi persembahan dan sebagainya.
Rasa takut timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang belum nyata dan belum ada.
Membayangkan ke-mungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan menimpa dirinya, maka timbullah rasa takut. Rasa takut timbul dari pi-kiran yang mengingat pengalaman lampau, masa lalu, dan membayangkan kemungkin-an buruk masa depan. Orang yang hidup di saat ini, dengan penuh kewaspadaan, dilandasi iman dan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak pernah merasa takut. Pikiran kita merupakan a-lat hidup yang teramat penting, yaitu untuk mempergunakan akal budi demi ke-selamatan dan kesejahteraan kehidupan lahiriah. Sebaliknya akan menjadi sua-tu kekuasaan yang amat berbahaya kalau kita membiarkan pikiran yang bergeli-mang nafsu itu menguasai jiwa.
Setelah berada bertiga saja de-ngan dua orang gadis remaja yang can-tik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah berahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi telah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis re-maja yang diserahkan ke dalam kekuasa-annya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya. Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik gadis-gadis cantik. Dan dia tidak takut
menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubah-nya, yaitu darah anjing yang sudah
di-keringkan dan dijadikan bubuk hitam, dan pedang pusakanya yang sudah diberi mantram, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan. Dia ti-dak takut, bahkan dia akan memperguna-kan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang berkobar-kobar. Dia a-kan memetik dua tangkai bunga yang se-dang mulai mekar itu, menikmati mere-ka, dan pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
"Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 187
kalian akan jatuh sa-kit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalian kubersihkan dari hawa siluman?"
"Mau, Sian-jin, tentu saja kami mau...." kata gadis tertua dengan suara gemetar.
"Kalau kalian mau, ingat. Apa yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamupun tidak boleh. Ka-lau kalian ceritakan, maka hawa silu-man itu akan datang menguasai diri ka-lian kembali. Turut saja apa yang kulakukan terhadap kalian, karena itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan dalam ember ini. Laku-kan sekarang!"
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu kini tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembu-nyi di balik pelupuk mata yang sipit itu semakin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali. Kemudian, sam-bil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum, dan dengan nafsu semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua o-rang gadis remaja itu, jari-jari ta-ngannya dengan penuh nafsu menggera-yangi dan meraba-raba, membelai-belai, pura-pura
membersihkan tubuh mereka.
Biarpun nafsu berahinya sudah me-muncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia cerdik sekali dan dia menahan dirinya agar tidak tergesa-ge-sa melakukan niatnya yang terakhir terhadap dua orang gadis remaja itu. Setelah merasa puas membelai tubuh mereka dengan dalih memandikan mereka, diapun menyuruh mereka keluar dari ember man-di, mengeringkan tubuh yang basah itu dengan kain, kemudian memerintahkan mereka berbaring di atas tempat tidur dan menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut. Dia melarang mereka mengenakan pakaian kembali, dengan alasan bahwa semua pakaian mereka sudah ternoda oleh hawa siluman.
Setelah kedua orang gadis itu merebahkan diri bersembunyi ke dalam se-limut, Bong Sian-jin lalu duduk bersi-la dengan santainya di tepi pembaring-an, pura-pura bersamadhi sambil menan-ti datangnya malam. Hari telah mulai senja dan sebentar lagi malam tiba. Dukun itu hendak menanti datangnya malam agar apa yang akan dilakukannya itu dapat kelak dia timpakan kepada siluman merah! Diapun sudah siap dengan pedang kayu yang sudah
diletakkannya di atas pangkuannya, dan mempersiapkan pula bubuk darah anjing di dalam sebuah bo-tol.
Malampun tiba. Dukun Bong menyalakan dua batang lilin di atas meja se-hingga dalam kamar itu remang-remang namun cukup terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar itu. Dua orang gadis yang tadinya bica-ra berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan ketakutan. Setiap ada suara sedikit saja di luar kamar, mem-buat mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati mereka merasa lega melihat dukun itu masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun itu tentu akan mampu menolong mereka. Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu, akan tetapi mereka tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh "membersihkan" mereka. Me-reka masih terlalu hijau untuk berpra-sangka yang bukan-bukan.
Sementara itu, dukun Bong menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu berahinya. Kalau siluman itu muncul dan dia sudah mengusirnya, baru dia akan menikmati "imbalan jasanya". Dia menoleh, memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan
memperlihatkan sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.
"Kalian takut?"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 188
Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis itu mengangguk membenarkan. Mereka
memang merasa takut sekali, bahkan merasa ngeri. "Heh-heh, jangan ta-kut, ada aku di sini.
Biar kutemani kalian tidur agar kalian merasa aman dan tidak takut lagi." Berkata demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu mu-lai mencopoti pakaiannya satu demi sa-tu. Melihat ini, dua orang gadis rema-ja itu tersipu-sipu. Mereka merasa le-ga karena dukun itu hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali, akan tetapi juga mereka merasa malu bukan main melihat betapa Bong Sian-jin menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sian-jin tersenyum.
"Heh-heh, kalian tidak usah malu-malu...." Dan diapun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian, membuat kedua orang gadis remaja itu menggeli-at dan semakin tersipu.
Nafsu berahi sudah memuncak dan Bong Sian-jin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi baru saja dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja untuk menyelinap rebah di antara mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua orang gadis itu menahan jerit mereka. Bong Sian-jin cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari mana datangnya, di dalam kamar itu telah berdiri seorang
"iblis" yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan mukanya mengenakan topeng merah pula.
Akan tetapi, dia berdiri di situ, diam seperti patung, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatahpun kata atau suara apapun. Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja, dia lalu menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil, lalu melompat turun.
Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup guci kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantram, lalu dia berseru.
"Iblis siluman jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!"
Melihat betapa "iblis" itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya ma-ta di balik kedok itu yang mencorong menyeramkan, Bong Sian-jin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu hitam keluar dari dalam guci, melayang ke a-rah siluman merah itu. Namun, siluman merah itu tetap tidak bergerak. Meli-hat ini, dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah ke-pala siluman merah itu. Dia penuh keberanian dan keyakinan akan mampu menga-lahkan siluman, karena biasanya, bubuk darah anjing dan pedang kayunya, ditambah mantram-matramnya, manjur sekali untuk menakut-nakuti segala macam se-tan dan siluman.
Akan tetapi, siluman merah itu a-gaknya lain lagi. Begitu dukun Bong menyerang, diapun sama sekali tidak me-ngelak sehingga pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.
"Takkk!" Pedang itu seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun Bong yang merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat sesua-tu, siluman itu telah menggerakkan ta-ngan kanannya dan pedang kayu itu te-lah dirampasnya! Dukun Bong terbelalak. Tidak percaya dia bahwa ada silu-man yang dapat menahan serangan pedang kayunya itu tanpa terluka sedikitpun!
"Kau.... kau.... bukan siluman....!" serunya, akan tetapi pada saat itu, siluman merah telah menusuk-kan pedang kayu yang dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher itu-pun tembus! Tubuh dukun itu terjeng-kang dan roboh di atas lantai, berkelojotan dan dari lehernya terdengar sua-ra mengorok.
Siluman merah tidak memperdulikannya lagi, menghampiri pembaringan dan memandang ke arah dua orang gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu.
Dia mengang-guk-angguk, tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang seketika menjadi le-mas dan tidak mampu bergerak lagi. Di-gulungnya dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut dan siluman merah itu memanggul gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jende-la yang dibukanya dan sebentar saja lenyap.
Gerakannya gesit bukan main dan ketika dia melompat keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda terbang saja.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 189
Dukun Bong yang ditinggal di ka-mar itu, berusaha menjerit, akan teta-pi yang keluar dari mulutnya hanya suara mengorok yang cukup keras. Suara i-nilah yang memaksa Gumo Cali dan iste-rinya datang, diikuti para jagoan. Dia memanggil-manggil dari luar pintu, a-kan tetapi tidak ada jawaban, baik dari kedua orang anaknya maupun dari du-kun Bong, dan yang terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu. Dengan memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu. Daun pintu roboh dan mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong berkelojotan sekarat dalan keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka masih lengkap nam-pak tertumpuk di atas tempat tidur.
Jadi mereka itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang lenyap.
Gegerlah seisi rumah. Biarpun me-rasa ketakutan karena siluman merah telah menggondol kedua orang anaknya se-dangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali mengerahkan seluruh pembantunya untuk mencari kedua o-rang anaknya. Namun, jejak merekapun tidak dapat ditemukan sehingga keluar-ga kepala dusun itu menjadi panik, bi-ngung dan berduka.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang bangunan-nya sudah kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik sekali, di kanan kiri jalan raya, terdapat toko-toko, kedai dan bahkan rumah penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main. Hampir tidak nampak ada orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya, dan ha-nya ada satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela atau pintu, akan tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia. Apakah yang telah terjadi, pikirnya. Apakah orang-orang dusun ini demikian malasnya se-hingga pagi hari itu masih enak-enak tidur" Padahal, sinar matahari telah mengusir kegelapan malam. Dia tidak tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang terjadi di rumah kepala dusun Gumo Ca-li, mendengar betapa dukun Bong terbu-nuh dan dua orang gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman merah!
Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu, dusun Ngomaima seperti dusun mati.
Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang malam tadi sudah mempersiapkan
segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh dari dusun yang sedang diamuk siluman merah itu.
Melihat betapa orang-orang yang tadinya memandang kepadanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Semua pengalaman yang te-lah dirasakannya membuat dia merasa rendah diri dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat keadaan dirinya, melihat tubuh-nya yang bongkok. Namun, hanya seben-tar saja perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan dia menelan kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobah-nya. Biarlah, dia termenung, aku sadar akan keburukanku. Jauh lebih baik me-nyadari kekurangan dan keburukan diri sendiri tanpa keluhan dan sakit hati daripada menganggap diri sendiri yang terbaik dan tanpa cacat.
Keadaan diri-nya adalah suatu kenyataan, dan menerima kenyataan hidup, betapapun pahitnya si-aku menilai, merupakan suatu kebi-jaksanaan kalau dia menyerahkan kembali kepada Tuhan karena, bukankah segala kenyataan itu baru dapat terjadi kalau dikehendaki oleh Tuhan" Dan menga-pa Tuhan berkehendak demikian, merupa-kan rahasia yang takkan
terjangkau oleh akal pikiran manusia yang selalu mendasarkan penilaian atas untung-rugi yang diperhitungkannya.
Tanpa dia sengaja, ketika Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah kepala dusun Gumo Cali. Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum menentukan apakah dia bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju ke pegunungan Nyaingentangla sebelah utara Tibet karena menurut pesan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 190
Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Sian-su, di pegunungan itu dia akan dapat memulai dengan penyelidikannya tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan masih terus dikejar-kejar. Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau Tibet berasal dari pegunungan Nyaingentangla di mana mereka mempunyai sebuah kuil dan di situ mereka dahulu bertapa.
Ketika dia tiba di depan rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan orang dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh o-rang yang mengepungnya dan dengan sen-jata di tangan.
"Siluman! Siluman!"
"Hajar dia!"
"Siluman, kembalikan dua orang nona kami!"
"Kepung dia, jangan sampai lolos!"
Dan dua puluh orang lebih itu se-rentak menyerangnya dengan senjata me-reka! Tentu saja Sie Liong terkejut bukan main. Apalagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan sebantar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!
"Heii, tahan dulu!" teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan yang menimpa dirinya. Karena di antara mereka itu banyak yang
mempergunakan senjata ta-jam, maka biarpun tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sam-pai terobek, namun tentu saja pakaian-nya tidak kebal dan mulailah pakaian-nya robek-robek.
"Hei, tahan dulu dan mari kita bicara!" bentaknya lagi.
Akan tetapi ketika semua orang melihat betapa senjata mereka tidak da-pat melukai orang bongkok itu, dan ha-nya pakaiannya saja yang robek-robek mereka menjadi semakin yakin bahwa yang mereka keroyok adalah seorang si-luman atau iblis, maka semakin ramai-lah mereka mengeroyok dengan nekat wa-laupun senjata mereka membalik dan ta-ngan mereka terasa panas dan nyeri.
Melihat kenyataan bahwa semua o-rang menjadi semakin marah dan semakin nekat
menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena pakai-annya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang saja dia maklum bahwa mereka yang mengero-yoknya itu bukanlah penjahat, melain-kan penduduk dusun yang sedang marah, dan tentu dia disangka orang yang me-nyebabkan kemarahan mereka itu. Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai siluman. Tentu para penghuni dusun ini sedang memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu! Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman! Meli-hat serangan bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang dengan wajah membayang-kan bermacam perasaan. Ada
ngeri, ada takut, akap tetapi ada pula kemarahan yang membuat mereka nekat, apalagi karena yang maju ada ratusan orang se-hingga mendatangkan keberanian yang besar.
Gumo Cali mendapat hati ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang di antara mereka, bahkan seperti hendak melarikan diri. Maka diapun menuding ke atas dan
membentak dengas suara garang, "Siluman jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke manapun kaki orang sedusun akan mengejarmu dan
membinanakanmu!"
"Nanti dulu!" Sie Liong berseru dan nada suaranya marah karena hati siapa tidak menjadi dangkol kalau tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang meuculik dua orang gadis orang! "Kalian ini e-nak saja menuduh orang yang bukan-bu-kan!
Siapa bilang aku siluman" Apa buktinya bahwa aku ini siluman yang suka nyolong gadis orang?"
Mondengar ini, Gumo Cali terte-gun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti siluman!
Dia meragu, akan tetapi orang-orang yang berada di ba-wah itu masih yakin bahwa mereka Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 191
berhadapan dengan miluman.
"Engkau tidak seperti manusia biasa! Punggungmu berpunuk!"
"Engkau kebal dan tidak tidak terluka oleh hujan senjata kami!"
"Siluman memang bisa pian-hoa (salin rupa)!"
"Dia berpunuk, tentu siluman on-ta!"
Wajah Sie Liong menjadi merah ka-rena hatinya dangkol bukan main. Dia disangka siluman onta karena berpunuk. Sialan!
"Heii, kalian ini memang orang-o-rang tolol dan kejam! Andaikata aku siluman sungguh, tentu akan kuhajar kalian yang bermulut lancang ini! Aku ini manusia biasa, dan memang aku cacat berpunuk. Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk" Andaikata di antara kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang memiliki cacat lain, a-pakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga dianggap siluman" Aku manuasia biasa dan ka-lau aku tidak terluka oleh senjata ka-lian, sungguh untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak, tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi, kalian men-jadi manusia-manusia binatang yang kejam, mengeroyok dan membunuh orang yang tidak bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!" Sie Li-ong bukan orang yang pandai bicara, sekarang ini karena terdorong rasa dang-kol, maka dapat juga dia bicara agak panjang.
Melihat sikap dan mendengar ucap-an ini, terkejutlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi, yang memiliki bentuk badan aneh-aneh, dan wa-tak yang aneh-aneh pula. Timbullah harapannya bahwa mungkin orang muda ber-punuk ini adalah seorang pendekar yang melakukan
perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan menyelamatkan dua orang anaknya. Oleh karena itu, diapun segera berteri-ak memberi isarat kepada semua orang untuk tenang.
Setelah semua orang tidak mengeluarkan suara, diapun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang masih berdiri di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring.
"Kalau memang engkau seorang manusia dan seo-rang pendekar, harap suka maafkan kami yang sedang panik oleh adanya siluman yang mengacau dusun kami. Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bah-wa taihiap bukan siluman" Hanya kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau setidaknya menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa taihiap seo-rang pendekar, bukan siluman!"
"Semua sudah ada enam orang gadis yang diculik!" teriak seseorang yang juga merasa kehilangan seorang anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman.
Biarpun kemarahannya mereda, na-mun hati Sie Liong masih mendangkol.
"Hemm, kalian tidak berhak untuk menekan aku agar suka menolong kalian. Kalau memang ada kejahatan terjadi di sini, tanpa dimintapun aku akan turun tangan menentang kejahatan!
Sepatutnya kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat berunding tentang kejahatan yang terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang sama sekali tidak berdosa!"
Mendengar ini, Gumo Cali merasa menyesal sekali, akan tetapi juga gi-rang dan menemukan harapan baru. Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi diapun berlutut menghadap ke arah pemuda berpunuk itu. "Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun mewakili seluruh penghuni mohon maaf kepadamu."
Lenyaplah sama sekali kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukan seorang pemarah.
Dia melayang turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh se-mua orang yang menjadi kagum sekali. Dia turun ke depan kepala dusun itu dan sedikitpun kakinya tidak mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan dengan ramah Sie Liong lalu meng-angkat bangun kepala dusun itu.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 192
"Namaku Sie Liong dan aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah merasa heran sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini sepi. Tidak tahunya ada penjahat yang membi-kin kacau di dusun ini?"
"Bukan penjahat, taihiap, melainkan.... siluman.... siluman merah!" kata kepala dusun itu dan ketika dia bicara, dia memandang ke kanan kiri kelihatan takut sekali.
"Eh" Siluman?" Sie Liong mengerutkan alisnya. "Dan tentang gadis-gadis tadi" Apakah siluman itu menculik ga-dis?"
"Taihiap, marilah bicara di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu." Gumo Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.
Sie Liong mengangguk dan kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong mera-sa heran melihat sebuah peti mati yang depannya masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.
"Siapa yang mati?" tanyanya, tidak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati
sebagaimana patutnya.
"Itu adalah Bong Sian-jin yang tewas semalam...." kata Gumo Cali dengan suara berbisik, kelihatan ketakutan.
Mendengar nama "Sian-jin", Sie Liong menjadi agak terkejut juga. "Siapakah dia dan mengapa tewas di sini" Apakah keluargamu?"
"Bukan, dia adalah dukun yang ka-mi undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang gadis kami, akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap saja diculik...." Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan da-lam. Setelah berganti pakaian, bukan pemberian tuan tumah, melainkan pakai-annya sendiri yang diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikat di pungungungnya, Sie Liong lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali tentang segala hal yang telah terjadi semalam. Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis. Setelah selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong Sian-jin, suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.
"Taihiap, kasihanilah kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru berusia empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka, taihiap...." Suami isteri itu tidak malu-malu menang-ngis di depan Sie Liong. Pemuda ini mengangkat bangun mereka.
"Harap paman dan bibi suka bersi-kap tenang. Aku yakin bahwa kejahatan ini bukan perbuatan siluman, melainkan manusia biasa yang menyamar sebagai siluman. Aku
mendengar tadi bahwa penja-hat itu telah menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja. Benarkah?"
"Memang demikianlah. Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini.... siluman.... eh, penjahat itu menculik gadis-gadis cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan dari dusun sini saja ada enam orang gadis yang sudah diculik."
"Dan semua juga terjadi seperti yang terjadi di sini semalam" Sebelum menculik pada malam hari, pada siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah yang ada gadis calon korban?"
Gumo Cali mengangguk. "Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu mengadakan persiap-an dan penjagaan. Bahkan beberapa o-rang jagoan dari para pasukan pengawal barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan ada pula yang tewas. Iblis itu amat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia. Karena itulah kami mengundang Bong Sian-jin untuk melawannya dengan ilmu sihir. Akan teta-pi, ternyata Bong Sian-jin malah tewas dan kedua orang anak kami diculiknya."
"Hemm, kurasa dia itu bukan iblis bukan siluman, melainkan seorang manu-sia jahat yang sombong. Aku akan mela-kukan penyelidikan dan mudah-mudahan saja kesombongannya
terulang kembali dan dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 193
sehingga aku akan siap menghadapinya."
Sie Liong lalu melakukan penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun.
Melihat ember air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa curiga kepada dukun Bong. Apalagi ketika mendengar dari Gumo Cali bahwa dukun Bong hendak "membersihkan" hawa siluman dengan memandikan dua orang
gadis itu, dalam kamar tanpa disaksikan siapapun, kecurigaannya bertambah. Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik. Akan tetapi karena dukun itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, diapun tidak dapat menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik gadis yang membunuh dukun cabul itu.
Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu dibunuh dengan pedang kayunya sendiri. Kalau penjahat itu mampu menusuk leher dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui bahwa tentu penjahat itu memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat. Dari dalam kamar, dia membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali me-mandang dengan penuh kagum dan dia ma-kin girang, makin besar harapannya bahwa pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya.
Sie Liong melakukan penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya ketika penjahat itu memanggul dua orang ga-dis, maka berat tubuhnya bertambah dan karenanya maka genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng itu dia dapat menduga bahwa si penja-hat tentu lari menuju ke selatan. Dari atas genteng itu, dia memandang ke selatan dan nampaklah sebuah bukit kehi-taman menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nam-pak menghitam tanda bahwa di situ ter-dapat hutan yang lebat.


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukit di selatan itu, bukit apa-kah?" tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.
"Bukit yang mana" Ada banyak bu-kit di selatan...."
"Yang nampak hitam, penuh hutan."
"Ah, itu bukit Onta namanya. Di bagian tengah ada...." Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya dan memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.
"Ada punuknya maksudmu" Hemm, bu-kit Onta...."
"Ada apakah di sana, taihiap?" Gumo Cali tidak berani menyebut onta, takut menyinggung hati pendekar bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.
"Tidak ada apa-apa. Kita tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat i-tu. Sekarang aku akan mencari kamar di rumah penginapan."
"Taihiap, bermalamlah saja di sini. Kamar anak-anak.... bekas kamar merekapun kosong, boleh untuk sementara taihiap tempati...."
Sie Liong maklum bahwa tuan rumah masih panik dan ketakutan, dan dia hendak ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Dia merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka dia menggeleng kepala. "Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah penginapan saja,"
"Tunggulah, taihiap. Biar aku me-nyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap, sementara itu, mari terimalah hidangan yang kami berikan untuk taihiap, sebagai sarapan pa-gi."
Sie Liong merana tidak enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama ma-kan pagi, dan setelah selesai makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala du-sun sendiri pergi ke rumah penginapan di mana telah disediakan kamar terbaik untuknya.
Belum juga tengah hari, kepala du-sun sudah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya. Sie Liong sedang beristirahat dan dibukanya daun pintu. Dia heran melihat kepala dusun nampak gugup dan mukanya pucat.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 194
"Taihiap.... taihiap.... dia.... dia datang...."
"Datang" Ke mana maksudmu, paman?"
"Dia.... memberi tanda darah pa-da pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang cantik. Sebentar malam...."
"Bagus dan tenanglah, paman. Pen-jahat itu memang sombong bukan main. Mari
kautunjukkan kepadaku di mana ru-mah yang mendapat tanda ancaman itu."
Keluarga Gulamar menyambut keda-tangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada jagoan yang berani menjaga keselamatan puterinya, biar dia berani membayar berapa banyakpun dan biar dia sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat lihai dan sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke tempat lain.
Ketika mendengar keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi
mengungsi, Sie Liong menyatakan ketidak-setujuannya.
"Cara itu tidak menjamin keselamatan bahkan berbahaya sekali, paman," katanya. "Penjahat itu akan lebih mu-dah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi itu."
"Tapi dia.... dia siluman, hanya keluar di waktu malam.... kami akan melarikan puteri kami siang ini juga."
Sie Liong menggeleng kepalanya.
"Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk menculik puterimu, aku yang akan menghadapinya."
Gulamar nampak ragu-ragu dan bingung. Dia memandang kepada kepala du-sun Gumo Cali.
"Bagaimana baiknya.... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku...."
"Tenangkan hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sudah berjanji sanggup me-nalukkan siluman itu. Sebaiknya kalau engkau menurut nasihatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk meng-hadapi penjahat siluman itu kalau malam nanti dia datang?"
Sie Liong lalu mengadakan perun-dingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun.
"Sembunyikan gadis itu di dalam kamar lain yang dekat de-ngan kamarnya sendiri agar aku dapat selalu mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat itu."
"Taihiap, apakah engkau membutuhkan bantuan?"
Sie Liong mengangguk. "Mereka yang pagi tadi mengepungku, mereka adalah penduduk yang marah kepada siluman dan mereka penuh keberanian walaupun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah mereka itu yang membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan jangan ada yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku berusaha menangkapnya. Kalau sudah terdengar ribut-ribut atau melihat aku berkelahi melawan penjahat itu, baru mereka boleh keluar dan masing-masing membawa obor untuk menerangi tempat ini."
Kepala dusun Gumo Cali menyanggupi dan diapun segera pergi melakukan persiapan dan memberitahu kepada penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap
siluman merah, dan diharap agar penduduk suka membantunya. Para penduduk yang berhati tabah dan sudah lama merasa penasaran dan marah kepada siluman merah yang mengganggu keamanan di dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan penuh sema-ngat. Mereka tadi sudah melihat sendi-ri kelihaian Pendekar Bongkok yang ke-bal dan dapat "terbang" ke atas gen-teng.
*** Malam yang menyeramkan. Sejak ma-tahari tenggelam, tidak ada penduduk berani keluar dari Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 195
rumah mereka, apalagi yang wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa malam itu siluman me-rah akan muncul, akan menculik gadis cantik puteri saudagar Gulamar! Mereka yang siap membantu Pendekar Bongkok, sejak sore sudah siap di tempat persembunyian mereka mengepung rumah saudagar itu, siap dengan obor yang tinggal dinyalakan dan segala macam senjata yang mereka miliki.
Malam itu sungguh menakutkan. Pa-dahal, malam itu juga malam yang bia-sa saja seperti pada malam-malam yang lain. Kalau pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa diri, maka rasa takut-pun timbul dan kalau orang sudah keta-kutan, maka malam yang gelap dapat nampak menyeramkan. Orang takut akan se-tan karena dia pernah mendencar ten-tang setan. Pikirannya sudah kemasukan bayangan setan yang didengarnya dari orang lain, dan pikiran itulah yang me-ngada-ada, mereka-reka, membayangkan hal-hal mengerikan. Andaikata dia tidak pernah mendengar tentang setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut. Seorang anak kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di tempat yang bagaimana-pun juga, karena pikirannya tidak per-nah dapat membayangkan hal yang belum diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka,
memba-yangkan dan diapun menjadi takut.
Pikiran merupakan sebuah gudang dimana kita menyimpan hal-hal yang kita ketahui melalui pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, melalui bacaan, penuturan dan
sebagainya. Tentu saja kita tidak mungkin dapat menemukan sesuatu yang berada di luar gudang, yang kita temukan hanyalah barang-barang timbunan dalam gudang itu.
Pikiran hanya merupakan alat pelengkap hidup, bagaikan amat perekam. Kita hanya mampu memutar kembali sagala yang pernah kita rekam melalui alat itu, tidak mungkin kita dapat menemukan hal-hal yang tidak pernah direkam. Oleh karena itu, betapapun cerdik pandainya pikiran, betapapun lincah dan liciknya, gerakannya hanyalah berputar-putar di dalam lingkaran gudang itu saja. Sia-sialah mengharapkan untuk menemukan sesuatu melalui pikiran, sesuatu yang baru, yang belum terekam, belum pernah tertimbun di dalam gudang ingatan
Malam itu amat sunyi, namun, sesuai dengan perintah kepala dusun Gumo Cali, semua penghuni rumah yang berdekatan di sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu
penerangan di luar rumah mereka sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu gelap.
Gadis yang diincar oleh siluman itu berada di dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya.
Mereka bertiga sejak sore tadi sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis itu sendiri yang wajahnya menjadi pucat, matanya yang indah itu seperti mata kelinci melihat harimau, dan setiap suara sedikit saja cukup untuk membuat ia melonjak kaget. Mereka bertiga berdekapan di atas pem-baringan ketika malam semakin larut, tak mungkin dapat memejamkan mata, ma-kin lama semakin gelisah walaupun mereka semua yakin bahwa Pendekar Bongkok
berada seorang diri di dalam kamar sebelah dan baliwa di sekeliling rumah tidak kurang dari seratus orang laki-laki penduduk dusun Ngomaima yang siap untuk membantu Pen-dekar Bongkok menangkap siluman yang hendak menculik puteri saudagar itu.
Sie Liong sendiri tenang-tenang saja berada di dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang cukup besar, dengan perabot-perabot kamar yang indah, kamar yang bersih dan berbau harum.
Dia ti-dak mau duduk atau rebah di atas tem-pat tidur gadis itu, dan karena lantai kamar itu ditilami permadani tebal yang bersih dan lunak, diapun duduk bersila di atas lantai, memusatkan perhatian sehingga pendengarannya dapat mengetahui keadaan di luar kamar seka-lipun. Dalam persiapannya menghadapi siluman yang diduganya tentu hanya se-orang penjahat yang sombong dan lihai itu, dia tidak bersenjata. Akan teta-pi, melihat sebuah payung di dalam ka-mar itu, tergantung di sudut, dia tahu bahwa kalau perlu, payung itu dapat menjadi sebuah senjata yang amat baik baginya.
Menjelang tengah malam suasana semakin sunyi. Yang terdengar dari dalam kamar itu Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 196
hanyalah suara jengkerik dan belalang dan serangga malam lainnya yang mengeluarkan bunyi beraneka ra-gam, halus dan amat merdu, bunyi kehi-dupan malam yang penuh rahasia karena gelap. Tiba-tiba ada suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie Liong. Suara jejak kaki di atas genteng. Dia datang, pikirnya dan tak dapat dihin-darkan lagi, jantung dalam dadanya berdetak lebih kencang daripada biasanya. Tanpa mengeluarkan suara, Sie Liong bangkit dan menghampiri sudut kamar, menyambar payung yang gagangnya pan-jang melengkung itu, lalu menanti, me-nempelkan tubuhnya di sudut dinding, matanya menatap ke arah jendela, pin-tu, dan langit-langit berganti-ganti karena dia tahu bahwa dari tiga jurus-an itulah si penjahat dapat memasuki kamar.
Dengan pendengarannya Sie Liong mencoba untuk mengikuti gerakan penja-hat yang berada di atas rumah itu. Ti-dak mudah baginya karena penjahat itu memiliki gerakan yang ringan sekali. Kedua kakinya hampir tidak menimbulkan suara, seperti kaki kucing saja. Namun dia tahu bahwa penjahat itu kini telah turun dan mendekati kamar itu. Dia ha-rus menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak ken-cang karena tegang.
"Krekk....!" Terdengar sedikit suara dan daun jendela itupun terbuka, palangnya patah karena dorongan yang amat kuat dari luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak bayangan merah berkelebat dari luar. Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan itu sehing-ga Sie Liong diam-diam merasa terkejut dan kagum. Kiranya memang bukan lawan biasa, pikirnya dan diapun waspada. O-rang yang mampu bergerak seperti ini tidak boleh dipandang ringan, pikirnya.
Dengan penuh perhatian Sie Liong yang berdiri di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu.
Tubuh yang ramping kecil sehingga nampak kurus, dengan pa-kaian serba merah dan dari samping nampak wajahnya juga tertutup topeng merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Bukan siluman, melainkan manusia bertopeng seperti yang sudah diduganya. Akan tetapi, manusia yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat.
Si topeng merah itu menghampiri pembaringan, menyingkap kelambu dan melepaskan
kembali ketika melihat bahwa pembaringan itu kosong. Dikepalnya ta-ngan itu sebagai tanda bahwa ia marah, dan pada saat itu, Sie Liong memben-tak.
"Penjahat sombong dan keji! Menyerahlah engkau!" Sambil membentak demi-kian, Sie Liong sudah menerjang maju dan tangan kirinya mencengkeram ke a-rah lengan orang untuk menangkapnya. Bukan sembarang cengkeraman belaka ka-rena ini merupakan satu jurus dari Pek-in Sin-ciang, dan biarpun pada saat i-tu tangannya belum mengeluarkan uap putih, namun sudah mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat dan cengkeraman i-tu cepat sekali, sukar untuk dihindar-kan lawan.
Akan tetapi, si topeng merah itu ternyata cekatan sekali. Melihat le-ngannya akan dicengkeram, dia membuat gerakan memutar lengan itu dan sekali-gus dihantamkan ke atas untuk menang-kis dan dengan kuatnya lengannya yang kecil menangkis dengan pengerahan tenaga sin-kang.
"Dukk!" Dua lengan bertemu dan si topeng merah itu mendengus marah.
"Ihhh!" Dan kini tangan kirinya bergerak mengadakan serangan tusukan dengan dua jari tangan ke arah mata Sie Liong. Demikian cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu seperti sebatang pedang menusuk saja! Sie Liong maklum bahwa lawannya memang tangguh, maka diapun cepat mengerahkan tenaga, melepaskan payungnya aan menangkis ta-ngan kiri lawan yang menusuk itu dari samping.
"Plakkk!"
"Ehhh....!" Kini si topeng merah itu agak terhuyung dan agaknya baru dia menyadari bahwa orang bongkok ini amat lihai, maka tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur keluar ka-mar melalui jendela dengan kecepatan luar biasa.
"Penjahat keji, hendak lari ke mana kau?" Sie Liong membentak dan sengaja dia
mengeluarkan suara nyaring agar terdengar oleh semua orang yang menge-pung rumah itu Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 197
sambil bersembunyi. Te-riakannya ini nyaring sekali dan mak-sudnya berhasil, karena terdengar oleh semua pengepung yang langsung menyala-kan obor dan mengangkat obor itu ting-gi-tinggi dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang senjata mereka. Sie Liong melihat bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka diapun ce-pat mengejar sambil memegang payung-nya.
Ketika tiba di atas wuwungan yang agak lebar den datar, lebarnya tidak kurang dari setengah meter, si bayang-an merah itu yang tahu bahwa ia dike-jar, lalu membalik dan pedangnya suaah menyambut Sie Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat sinar pedang meluncur cepat, maka diapun segera menangkis dengan payungnya. Sepasang ma-ta di balik topeng itu berkilat seper-ti mentertawakan karena jangankan ha-nya payung, biar senjata terbuat dari baja yang kuatpun akan patah bertemu dengan pedangnya. Maka diapun sudah siap untuk melanjutkan serangan kalau payung itu terbabat patah.
"Trangg!" Bunga api berpijar dan si bayangan merah itu mengeluarkan se-ruang kaget.
Payung itu tidak patah, bahkan ia merasa telapak tangannya pa-nas.
"Hei, setan bongkok! Siapakah engkau dan mengapa mencampuri urusanku?" bentaknya.
Sie Liong tertegun. Kiranya silu-man ini seorang wanita yang suaranya nyaring merdu! Pantas saja mata yang berada di balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu demikian langsing dan padat, juga nampak kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik" Sungguh aneh sekali!
"Kiranya siluman merah adalah seorang wanita! Sungguh engkau jahat se-kali! Untuk apa engkau menculiki gadis-gadis itu" Hayo kembalikan atau aku tidak akan mengampunimu!"
"Setan bongkok sombong! Engkau sudah bosan hidup!" bentak siluman itu dan kini ia menyerang dengan tangan kirinya. Semacam uap hitam menyambar ke arah Sie Liong dan uap hitam ini me-ngandung tenaga dorongan yang amat ku-at. Sie Liong menyambut dengan dorong-an tangan kiri pula, sambil mengerah-kan tenaga Pek-in Sin-ciang. Uap putih keluar dari telapak tangan kirinya bertemu dengan uap hitam dan kembali wanita bertopeng itu mengeluh dan ter-dorong dua langkah ke belakang.
"Mampuslah!" Tangan kirinya bargerak dan sinar-sinar hitam lembut me-nyambar ke arah tubuh Sie Liong, mengarah leher, dada dan pusar! Itulah ja-rum-jarum hitam beracun yang menyambar dari jarak dekat! Sie Liong menggerak-kan payungnya yang terbuka dan sekali diputar, payung itu menangkis semua jarum yang bertebaran jatuh menimpa genteng, mengeluarkan suara nyaring lem-but yang hanya dapat terdengar oleh Sie Liong. Akan tetapi ketika dia me-mandang dari balik payungnya, bayangan merah itu telah meloncat turun.
Ribut-lah para penduduk menyambutnya dengan pengeroyokan, akan tetapi mereka sege-ra cerai berai ketika dua orang di an-tara mereka roboh mandi darah terbabat pedang dan beberapa kali loncatan saja, si bayangan merah telah lenyap dari situ. Ketika semua orang memandang, ternyata Pendekar Bongkok yang tadi berada di atas genteng rumah juga sudah lenyap.
Ke mana perginya Sie Liong" Dia tadi melihat berkelebatnya bayangan merah itu ke arah selatan, maka diam-di-am diapun lalu meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, malam gelap menjadi penghalang dan wanita berpakaian merah itu lenyap ditelan kegelapan malam dan arah yang diambilnya adalah selatan, ke arah bukit yang menjulang tinggi itu, Bukit Onta! Karena tidak mungkin mengejar seorang lawan yang demikian lihai dan
berbahaynya di malam gelap, Sie Liong lalu berlari kembali ke dalam dusun Ngomaima, kembali ke rumah saudagar Gulamar di mana penduduk masih berkumpul dan mereka itu ramai membicarakan apa yang mereka lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara Pendekar Bongkok dan Siluman Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok itu, para penduduk yang dipimpin oleh kepala dusun Gumo Cali menyambutnya dengan sorak sorai penuh
kegembiraan. "Hidup Sie Taihiap....!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 198
Bahkan ada yang berteriak, "Hidup Pendekar Bongkok!" Namun sebutan bong-kok itu kini nadanya bukan menghina a-tau mengejek, melainkan memuji.
Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua tangan ke a-tas dan berkata, "Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wa-nita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih selalu ada. Maka ha-rap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Ka-lau saudara sedusun bersatu melawan-nya, tentu ia tidak akan dapat menga-cau lagi."
Orang-orang bubaran. Walaupun pendekar itu tidak berhasil menangkap si-luman merah, akan tetapi jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu melarikan diri dan sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar. Ada sebuah hal yang sukar dapat mereka percaya. Kalau berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita" Sukar membayangkan seorang wani-ta selihai itu dan pula apa urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik"
Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterima kasih seka-li kepada Pendekar Bongkok Sie Liong. Walaupun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu capat
diselamatkan. Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Me-ngapa menculiki gadis-gadis cantik, dan ke mana ia membawa gadis-gadis i-tu" Ia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculi-k, karena kalau penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan perjalanan seorang diri menuju ke selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam karena sinar matahari pagi itu masih lemah. Dia tahu bahwa ia mencari-cari dalam gelap, hanya menduga bahwa bukit itulah yang sepatutnya menjadi sarang penjahat yang- menyamar siluman. Bukit Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan hutan lebat dan menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani memasuki hutan itu yang menurut kabar tahyul merupakan sarang iblis! Cocok dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman. Maka, begitu melihat bukit i-tu dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia sudah menduga bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang dan bergerak memasuki dusun di waktu malam.
Dugaan Sie Liong memang tepat sekali. Tidak begitu jauh di lerang bu-kit itu, dalam sebuah hutan, terdapat bangunan kayu yang masih nampak baru, cukup besar dan bangunan itu tersembu-nyi di antara pohon-pohon raksasa se-hingga tidak akan nampak dari luar hu-tan.
Bangunan itu belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru ku-rang lebih sebulan. Dan semenjak tiga pekan, kadang-kadang terdengar suara isak tangis tertahan disusul hardikan yang menghentikan isak tangis wanita itu dari dalam rumah.
Kiranya hampir setiap malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah membawa seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah terkumpul sembilan orang gadis-gadis muda dan cantik, di antara mereka terdapat pula dua orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima. Mereka dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di te-ngah bangunan itu. Karena mereka sela-lu dihardik dan diancam kalau menangis maka mereka yang dilanda duka dan ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar pu-la hati mereka melihat banyaknya teman senasib, dan selama mereka ditawan i-tu, mereka tidak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah diganggu dan diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah tahu mengapa mere-ka diculik dan ditawan di dalam hutan itu.
Pada malam hari tadi, ketika siluman merah gagal menculik puteri sauda-gar Gulamar karena Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 199
adanya Pendekar Bongkok, ia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar yang lihai itu dan biarpun hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum mera-sa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok, namun ia tidak berani mengambil resiko melawan pendekar Bongkok yang selain amat li-hai, juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu.
Malam itu, ketika ia kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, ia disambut te-guran tak puas di dalam ruangan di ru-mah itu. Mereka semua ada lima orang yang duduk mengelilingi sebuah meja. Seorang kakek yang usianya kurang le-bih enam puluh tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda, pada jubahnya di bagian dada terdapat sebu-ah lukisan teratai putih pada dasar hitam. Biarpun dia mengenakan jubah pen-deta dan kepalanya dicukur licin, na-mun sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha). Para hwesio bersikap alim dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar, wajahnya penuh dengan kelicikan dan mulutnya membayangkan kerakusan dan kekejaman. Namun harus diakui bah-wa dia memiliki wajah yang nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya berwibawa. Di sampingnya du-duk pula tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima pu-luh tahun, semua memakai pakaian ring-kas dan di punggung mereka terselip siang-to (sepasang golok) yang mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan jagoan. Orang ke lima adalah siluman me-rah sendiri dan kini ia sudah menang-galkan topengnya. Kalau Sie Liong meli atnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya, mereka semua ten-tu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang mereka namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis sekali!
Usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah Pek Lan!
Seperti kita ketahui, Pek Lan te-lah berhasil membalas dendamnya terha-dap para selir dari Hartawan Coa di kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati amat puas ia meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di tepi telaga Gose sebagai seorang yang kaya raya.
Akan tetapi setibanya di rumah subonya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan seorang tamu yang oleh subonya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai-yang Suhu, seorang tokoh Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).
"Pek Lan, Thai-yang Suhu ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan juga ilmu sihir yang hebat. Thai-yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya Pek Lan."
Sepasang mata pria berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, lalu dia mengangguk-angguk. "Kui-bo, muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga lincah. Tidak tahu entah sampai di mana engkau menggemblengnya."
"Hemm, ia sudah hampir mewarisi seluruh kepandaianku. Engkau cobalah ia, Thai-yang. Pek Lan, jangan sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai-yang Suhu!"
Wajah dan sikap pria berjubah pendeta itu sudah menarik perhatian Pek Lan, maka
mendengar kata-kata subonya, iapun lalu meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai-yang Suhu. "Paman, silakan!"
Thai-yang Suhu tertawa bergelak dan ternyata giginya masih berderet rapi. "Bagus, engkau seorang keponakanku yang mengagumkan." katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu menghampiri Pek Lan. "Pek Lan, aku ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng (aku) melihat apakah benar engkau cukup berharga untuk mewakili subo-mu membantu pekerja-an kami yang besar. Awas serangan!" Pendeta Pek-lian-kauw itu sudah menye-rang, pukulannya Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 200
mengandung tenaga sin-kang besar dan juga gerakannya cepat sekali. Namun, tidak terlalu cepat ba-gi Pek Lan yang dengan mudah sudah me-ngelak ke samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong. Thai-yang Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah pelipis kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat dan serangan ini diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang berbahaya. Namun, dengan tenang saja Pek Lan meloncat ke belakang, kemudian iapun membalas dengan serangan bertubi. Ia mengerahkan tenaga sin-kang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam!
"Bagus, ia sudah pandai Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!" kata Thai-yang Suhu, akan tetapi biarpun mulutnya tertawa, dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan yang hebat dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan elakan dan tangkisan karena biarpun yang menyerangnya hanya seorang wanita muda, namun serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya. Gadis itupun tidak mau memberi hati dan ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu harus mengakui akan kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja pendeta itu lenyap dari pandang mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam! Selagi ia kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.
"Pek Lan, pinceng di sini!"
Pek Lan terkejut dan juga mendongkol atas kegenitan sahabat subonya i-tu, ia membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai-yang Suhu terkena tendangan itu.
Un-tung dia cepat menarik tangannya dan mengelak dan sebelum Pek Lan melanjut-kan serangannya, kembali dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.
"Wah, kalau paman menggunakan il-mu siluman begini, aku mengaku kalah!" teriak Pek Lan yang tidak ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.
Asap hitam menghilang dan Thai-yang Suhu kelihatan kembali. "Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik, pinceng telah menjadi raksasa, apakah engkau masih berani melawan?"
Pek Lan memandang dan ia terbela-lak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya se-tinggi lututnya! Tentu saja ia menjadi gentar dan ia memberi hormat sambil berkata, "Aku tidak berani...."
That Yang Suhu tertawa dan dia kembali menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh.
"Thai-yang, engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kaulihat, dia pandai sekali ilmu sihir! Dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi ka-rena aku sudah tua, aku wakilkan pada-mu."
Pek Lan mangerutkan alisnya, me-nyesal mengapa subonya menyanggupi untuk membantu pendeta ini, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh ia mewakilinya. Kalau subonya yang meme-rintahkan, tentu saja ia tidak dapat menolak lagi.
"Bantuan yang bagaimana, Subo" A-pakah yang harus kulakukan?"
"Ha-ha-ha, tidak berat dan tidak sukar, Pek Lan, apa lagi untukmu yang memiliki tenaga hebat, kecepatan kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan pinceng lihat hanya engkaulah yang a-kan mampu melaksanakan tugas ini seba-iknya. Tugas yang mudah sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan penambah-an pelayan, yaitu gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas o-rang. Kita akan memilih dari dusun-du-sun dimana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau bertugas untuk menculik mereka itu seorang demi seorang."
Pek Lan mengerutkan alisnya. Me-mang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pende-ta ini.
"Akan tetapi, mengapa mesti aku....?" bantahnya.
"Pek Lan, aku pernah berhutang budi kepada Thai-yang Suhu ini, dan sekarang ada
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 201
kesempatan bagiku untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah
menunjuk engkau untuk mewakili aku. Apakah engkau akan mengata-kan bahwa engkau
tidak sanggup mewakiliku?" Guru itu mendesak sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pende-ta itu tadi. Menghadapi ilmu aneh se-perti itu, apa artinya ilmu silatnya" Tiba-tiba ia mendapatkan akal.
"Paman Thai-yang Suhu, aku sang-gup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya."
"Ha-ha-ha, anak manis, apakah syaratmu itu" Hadiah apa yang kauminta?"
"Aku mau mewakill subo membantu paman sampai berhasil mengumpulkan lima belas orang gadis dusun yang dibutuhkan Pek-lian-kauw, akan tetapi dengan imbalan bahwa paman akan mengajarkan ilmu sihir yang aneh kepadaku."
Mendengar permintaan ini, sepa-sang mata Thai-yang Suhu terbelalak, akan tetapi sepasang mata itu lalu men-jelajahi wajah dan tubuh Pek Lan, dan diapun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kui-bo. Muridmu ini memang cerdik dan menyenangkan sekali. Permintaanmu itu memang sudah pantas! Dan pinceng bu-kanlah seorang yang pelit, apalagi terhadap seorang gadis cantik manis yang cerdik seperti engkau, masih keponakanku sendiri pula dan yang akan membantu pinceng. Ha-ha-ha, memang hidup ini harus meminta dan memberi, pinceng akan mengajarkan beberapa macam ilmu sihir kepadamu, Pek Lan, asalkan eng-kau suka mentaati segala perintahku, memenuhi segala permintaanku. Bagaimana, sanggupkah engkau?"
Pek Lan yang merasa girang sekali mendengar bahwa ia akan menerima pelajaran ilmu sihir, tanpa ragu lagi men-jawab, "Tentu saja aku sanggup, Paman Thai-yang Suhu!"
"Ho-ho-ho, sekali ini engkau ter-jebak oleh pamanmu yang selain lihai juga amat cerdik, Pek Lan! Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaan-nya! Engkau lupa bahwa engkau seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan menarik, sedangkan Thai-yang Suhu ini adalah seorang laki-laki yang hatinya masih muda dan dulu dia amat tam-pan, digilai banyak wanita. Ha-ha-hi-hik!"
Mendengar ucapan subonya, Pek Lan memandang kepada pria gundul yang me-mang tampan itu, dan wajahnya berubah kemerahan. Tentu saja ia mengerti apa maksud subonya, akan tetapi kalau be-nar tokoh Pek-lian-kauw itu menghendaki apa yang dimaksudkan subonya, iapun tidak berkeberatan!
Kalau burung berkelompok karena persamaan bulunya, manusia berkelompok karena
persamaan selera dan cara hidupnya. Kalau sekelompok orang sama-sama menjadi hamba nafsu, tentu mereka da-pat menjadi akrab dan bersahabat. Kegemaran mereka sejalan dan sama, yaitu pemuasan nafsu dan pengejar kesenang-an. Celakah orang yang hidup sebagai hamba nafsunya sendiri, tanpa menyadari bahwa nafsu yang menyuguhkan segala macam kesenangan itu sesungguhnya merupakan musuh yang paling jahat, yang a-kan dapat
menyeret para hambanya ke dalam lembah duka dan kesengsaraan. Ke-nyataan ini bukan berarti bahwa nafsu adalah sesuatu yang amat buruk dan ha-rus dilenyapkan dari diri kita.
Sama sekali tidak! Nafsu sudah ada semenjak kita lahir. Nafsu, karena itu, juga merupakan anugerah Tuhan. Tuhan telah mengikutkan nafsu kepada kita sejak la-hir, seperti juga mengikutkan hati, perasaan, pikiran dan semua anggauta ba-dan kita. Seperti juga yang lain itu, nafsu hanya merupakan pelengkap, meru-pakan alat, bahkan alat hidup yang penting sekali. Tanpa adanya nafsu, kita tidak mungkin dapat hidup. Nafsulah yang membuat kita bergairah, untuk bekerja, untuk makan, untuk minum, bahkan dalam setiap panca indera kita, nafsu mendatangkan kenikmatan dalam mendengar, melihat, mencium dan sebagainya. Nafsu pula yang mendorong manusia untuk saling menghubungi lawan jenisnya sehingga manusia dapat berkembang biak. Sesungguhnyalah, nafsu merupakan alat yang teramat penting dan baik, nafsu merupakan hamba yang amat setia dan berguna. Akan tetapi, daya-daya rendah kebendaan, yaitu ikatan kita dengan segala macam benda ciptaan manusia sendiri, daya Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 202
rendah tumbuh-tumbuhan dan hewam yang memasuki tubuh kita melalui makanan, daya
rendah jasmani yang menimbulkan ikatan antar manusia dalam hubungannya, semua itu saling berlomba melalui nafsu untuk menjadi majikan atas diri manusia. Dan nafsu yang dapat menjadi hamba paling baik itu, sekali dibiarkan menjadi majikan, akan memperbudak kita.
Jiwa yang merupakan unsur paling murni di dalam diri, tertutup dan tidak berdaya sehingga diri sepenuhnya dikuasai oleh nafsu. Setiap pikiran, kata-kata dan per-buatan kita bergelimang nafsu! Dan be-tapapun manusia berusaha untuk member-sihkan diri dari nafsu, untuk membebaskan diri dari cengkeraman nafsu yang memperbudak kita, semua usaha itu akan sia-sia dan gagal. Karena usaha itu a-dalah hasil dari pikiran yang sudah bergelimang nafsu pula.
Tidak mungkin pikiran yang bergelimang nafsu ini membersihkan pikiran sendiri dari nafsu.
Usaha itu masih berputar di dalam lingkaran yang dikuasai nafsu. Hanya kekuasaan yang berada di luar lingkaran itu sajalah yang akan mampu membebaskan kita. Dan kekuasaan itu adalah kekuasaan mutlak, yaitu kekuasaan Tuhan! Karena nafsu merupakan ciptaan Tuhan, maka kekuasaan-Nya sajalah yang akan mampu me-ngatur, akan mampu membersihkan jiwa dari gelimangan nafsu, dan akan mampu membuat nafsu menduduki tempat yang semestinya, yaitu sebagai alat hidup ma-nusia, bagaikan kuda penarik yang ji-nak dan penurut, bukan liar dan binal! Dan kekuasaan Tuhan pasti akan bekerja selama kita tidak mengagungkan diri sendiri yang sesungguhnya rendah, me-nyombongkan kekuatan sendiri yang sesungguhnya lemah. Kekuasaan Tuhan akan bekerja kalau kita mawas diri, melihat kenyataan betapa kecil kita ini di ha-dapan kekuasaan Tuhan, kalau kita ren-dah hati lahir batin dan menyerah kepada Tuhan dengan ikhlas, tawakal dan sabar.
Demikianlah, semenjak saat itu, Pek Lan membantu Thai-yang Suhu, to-koh Pek-lian-kauw itu dan dengan ilmu-nya yang tinggi, Pek Lan membantu pen-deta palsu itu menculiki gadis-gadis cantik dari dusun-dusun. Di samping i-tu, Pek Lan menerima pula petunjuk dan pelajaran dari Thai-yang Suhu yang memenuhi janjinya, mengajarkan ilmu sihir kepada wanita cantik itu. Sebalik-nya, Pek Lan juga tidak melanggar janjinya dan dengan penuh kemesraan dan kepasrahan iapun menyerahkan dirinya melayani semua gairah nafsu tokoh Pek-lian-kauw itu. Bahkan iapun merasa pu-as dan senang karena ternyata pria yang sudah berusia enam puluh tahun itu perkasa, bahkan tidak kalah oleh yang muda-muda.
"Sungguh aku merasa heran sekali, Pek Lan. Engkau gagal karena dihalangi oleh seorang pemuda yang bertubuh ca-cat, yang bongkok" Sungguh penasaran dan memalukan sekali!"
Demikian berka-li-kali Thai-yang Suhu menegur pembantunya, juga kekasihnya itu. Pek Lan mengerutkan alisnya dan mulutnya yang berbibir merah basah tanpa gincu itu cemberut.
"Hemm, mencela memang mudah! Aku bukan mengatakan bahwa aku kalah oleh setan
bongkok itu, akan tetapi aku ha-nya mengatakan bahwa dia memang lihai sekali. Aku terpaksa melarikan diri bukan karena takut melawannya. Kami be-lum berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi, bagaimana aku akan bertindak ne-kat kalau ratusan orang penduduk bera-da di belakangnya?"
Thai-yang Suhu mengerutkan alis-nya pula. "Hemm, tentu si bongkok itu pula yang
mengerahkan penduduk. Dan selama dia berada di sana dan menghasut penduduk untuk melawan kita, maka ten-tu akan sukar bagi kita untuk memenuhi jumlah gadis yang kita butuhkan. Sudah ada sembilan orang dan tinggal enam lagi saja, eh, tiba-tiba muncul setan bongkok itu. Kita harus melenyapkan perintang itu."
"Benar sekali, kalau si bongkok itu kita bunuh, tentu hati para pendu-duk menjadi gentar lagi dan mereka ti-dak akan berani lagi menentang kita," kata seorang di antara Tibet Sam Sinto (Tiga Golok Sakti Tibet) itu. Dua orang saudaranya mengangguk-angguk.
Pek Lan yang me
Golok Halilintar 12 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Hikmah Pedang Hijau 6
^