Kisah Pendekar Bongkok 9

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


rasa panas hatinya karena ditegur Thai-yang Suhu tadi, mendengar ucapan Tibet Sam Sinto sege-ra bangkit dan bertolak pinggang, lalu berkata dengan suara lantang,
"Sam Sinto, biar kalian bertiga yang menghadapi penduduk yang banyak akan tetapi le-mah itu, dan biar aku yang akan menan-dingi si bongkok sampai dia mampus di tanganku!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 203
Tibet Sam Sinto tidak berani memandang rendah kepada wanita muda yang cantik manis itu karena mereka maklum betapa lihainya Pek Lan, mereka hanya mengangguk dan seorang di antara mere-ka berkata singkat, "Jangan khawatir, nona. Kami akan membasmi penduduk yang berani menentang kita!"
"Hemm, kalian tidak boleh menuruti hati marah saja. Semua harus diatur dengan cermat agar jangan sampai ga-gal. Aku tidak biasa bekerja secara serampangan saja, harus menggunakan sia-sat yang matang," kata Thai-yang Suhu.
Pada saat itu, seorang anak buah mereka muncul. Anak buah ini tadi te-lah menerima tugas untuk menyelidiki keadaan dalam dusun Ngomaima, terutama sekali menyelidiki tentang si bongkok.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu?" tanya Thai-yang Suhu. Anak buah ini juga seorang anggauta Pek-lian-kauw yang terkenal cerdik dan juga memiliki gin-kang yang membuat dia mampu berla-ri cepat dan bergerak dengan gesit.
Setelah memberi hormat, anak buah itu lalu bercerita. "TIdak ada yang mengetahui siapa nama si bongkok itu, Lo suhu. Orang menyebut dia Pendekar Bongkok, dan tak seorangpun mau mengaku ketika saya mencoba bertanya siapa nama-nya dan bagaimana riwayatnya.
Yang je-las, dia bukan penduduk daerah ini, melainkan datang dari timur."
"Di mana dia sekarang dan bagaimana keadaan para penduduk dusun Ngomai-ma?" tanya pula Thai-yang Suhu tak sabar.
"Dia masih bermalam di rumah pe-nginapan, akan tetapi penduduk kini melakukan penjagaan ketat dan puluhan o-rang melakukan penjagaan secara bergi-liran."
"Hemm, aku tidak takut! Mari kita sekarang juga mencari si bongkok itu di rumah
penginapan!" kata Pek Lan ge-mas.
"Tidak," bantah Thai-yang Suhu. "Sudah kukatakan, semua harus menggunakan rencana siasat. Jangan sampai kita memperlihatkan kelemahan seolah-olah takut kepada si bongkok dan para penduduk. Pek Lan, besok siang kita usaha-kan untuk memberi tanda merah lagi pa-da pintu rumah Gulamar, dan malam harinya, engkau culik puterinya!"
"Tapi, kalau mereka tahu, tentu mereka mengatur jebakan," bantah Pek Lan.
"Ha-ha-ha, justeru itu yang kuhen-daki. Biarlah mereka mengatur jebakan untukmu, akan tetapi mereka tidak tahu bahwa di belakangmu ada kami! Tibet Sam Sinto yang akan mengahadapi orang-orang dusun bodoh itu, dan engkau men-culik gadis itu. Kalau si bongkok mun-cul, kita hadapi berdua, dan jangan khawatir, aku melindungimu, Pek Lan."
Wanita muda itu mengangguk-angguk dan hatinyapun merasa tenang. Kalau Thai-yang Suhu membantunya menghadapi si bongkok, ia hampir yakin bahwa mereka tentu akan mampu merobohkan Pende-kar Bongkok itu. Malam itu, Pek Lan berusaha keras untuk
menyenangkan hati Thai-yang Suhu, sebagian untuk menebus kekurangannya karena
kegagalan mencu-lik puteri Gulamar, ke dua karena pendeta Pek-lian-kauw itu besok akan mem-bantunya. Untuk memberi tanda darah kepada pintu keluarga hartawan itu, diserahkan kepada anak buah yang cekatan dan pandai menyamar.
*** Sie Liong berjalan dengan tenang mendaki bukit Onta yang penuh dengan hutan itu. Biarpun belum yakin karena belum mendapatkan bukti, namun dia menduga keras bahwa tentu
siluman yang suka menculik gadis itu bersembunyi di tempat yang ditakuti orang ini. Sebuah tempat persembunyian yang baik. Akan tetapi, siluman itu seorang wanita, dan mengapa ada wanita menculiki gadis gadis cantik" Tentu wanita siluman itu tidak sendiri dan mungkin terdapat banyak kawannya yang tentu saja berbaha-ya. Maka, biarpun dia melangkah te-nang, dia tak pernah lengah sedetikpun. Mata dan telinganya menyelidiki keada-an di sekelilingnya.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 204
Sikapnya yang amat hati-hati itu tidak menolongnya. Semenjak dia menda-ki Bukit Onta, setiap gerakannya sudah diikuti oleh banyak pasang mata. Dia tidak tahu bahwa pendakiannya tadi ke-lihatan oleh anak buah Thai-yang Suhu yang segera melapor kepada perdeta Pek-lian-kauw itu. Mendengar bahwa Pende-kar Bongkok sudah datang berkunjung dan mendaki
bukit, tentu saja hal ini tidak pernah disangka oleh Thai-yang Suhu yang cepat
mempersiapkan diri. Dia berunding dengan Pek Lan dan Tibet Sam Sinto, mengatur siasat.
Thai-yang Su-hu, biarpun nampaknya seperti seorang pendeta, namun dia adalah pendeta dari aliran kebatinan yang sesat, oleh karena itu, dia tidak segan atau malu selalu bersikap curang.
Kalau dia gagah, tentu dijumpainya Pendekar Bongkok a-gar mereka dapat bertanding secara ga-gah pula. Tidak, dia tidak ingin mengalami kerugian dan segalanya diperhi-tungkan demi keuntungan pihaknya. Dia belum mengenal siapa Pendekar Bongkok, dari aliran mana dan bagaimana tingkat ilmu kepandaiannya. Kalau memang Pendekar Bongkok pandai, mengapa tidak diu-sahakan dulu agar suka membantu dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw" Kalau semua usaha itu gagal, baru terpaksa dibunuh!
Sie Liong menurutkan jalan seta-pak yang ditemukannya dalam hutan itu. Ketika membelok di bagian tengah hu-tan, pada jalan menurun, tiba-tiba sa-ja dia dihadapkan dengan sebuah telaga kecil yang amat indah dan amat jernih airnya. Ada air terjun tak jauh dari situ, dan airnya membuat sungai kecil memasuki telaga. Dari tempat dia berdiri, dia melihat pemandangan yang amat indah. Tak disangkanya bahwa di bukit yang sunyi dan penuh hutan, yang dita-kuti orang itu, terdapat tempat yang demikian indahnya. Dia lalu menuruni jalan setapak itu, menghampiri telaga.
Terpesona dia berdiri di tepi te-laga. Air telaga demikian jernih, ba-gaikan kaca yang berada di depan kaki-nya demikian jernihnya sehingga dia dapat melihat batu-batu di dasarnya, juga melihat beberapa ekor ikan hilir mudik. Di sebelah sana, di mana permu-kaan air digelapi bayang-bayang pohon, air itu seperti menelan semua peman-dangan di atasnya. Pohon, daun-daun, awan dan sinar matahari, semua tengge-lam dan nampak sedemiktan jelasnya se-hingga setiap helai daun pohon itupun nampak. Tidak ada angin menggerakkan daun pohon, agaknya angin sudah ditangkis oleh pohon-pohon besar di sekeli-ling telaga itu.
Suara air membuat dia menoleh ke kiri dan untuk kedua kalinya dia terpesona! Kalau tadi dia terpesona oleh ke indahan telaga itu, kini dia terpesona oleh suatu keindahan yang lain lagi, keindahan wajah dan tubuh seorang wanita! Wanita itu masih muda, tidak lebih dari dua puluh empat tahun usianya. Wa-jahnya cantik manis dengan bentuk bu-lat telur, dan gadis itu bertelanjang bulat sama sekali, tidak ada sehelai benangpun menutupi tubuhnya yang masak dan padat. Kulitnya demikian putih mulus dan karena dia tidak berdiri terlalu jauh, dan kebetulan sinar matahari menimpa tubuh telanjang itu, Sie Liong dapat melihat bulu-bulu halus lembut pada lengan dan kaki gadis itu, yang membuat ia menjadi semakin menarik.
Gadis itu duduk di atas batu dan dia me-lihatnya dari samping. Dengan kedua kakinya, gadis itu menendang-nendang air dan itulah bunyi air yang tadi menarik perhatiannya. Agaknya gadis itu tidak melihatnya, dan sedang asyik sendiri.
Dari keadaan terpesona, Sie Liong kini menjadi tersipu, merasa betapa dia telah bersikap tidak sepatutnya, melihat seorang gadis bertelanjang bulat seperti itu. Wajahnya berubah merah dan diapun cepat membuang muka, bahkan lalu berdiri membelakangi gadis itu, kemudian melangkah pergi.
"Heiii....!" Tiba-tiba Sie Liong mendengar suara gadis itu, disusul suara tubuh jatuh ke air.
Karena ingin tahu apa yang terjadi, Sie Liong mena-han kakinya dan membalik, memamdang.
Gadis itu agaknya tadi melihat dia dan terkejut lalu terjun ke air di dekat batu yang tadi didudukinya. Kini gadis itu berdiri sepinggang dalam air, dan nampak dadanya yang berbentuk indah.
"Heii, siapakah engkau" Apakah engkau hendak mandi" Marilah, kita bo-leh mandi bersama.
Di sini tidak ada orang lain!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 205
Kedua pipi Sle Liong menjadi semakin merah dan dia mengerutkan alisnya, lalu cepat membalikkan tubuh lagi, ti-dak mau memandang dada indah dan wajah manis itu terlalu lama, bahkan dia la-lu pergi tanpa banyak bicara lagi. Ga-dis itu sungguh tidak tahu malu, pikirnya.
Tidak bersusila, sudah tidak malu dilihat pria dalam keadaan bertelan-jang, bahkan mengajak mandi bersama! Seperti bukan seorang wanita biasa! Pantasnya wanita itu siluman! Siluman Merah! Sie Liong merasa betapa jantungnya berdebar dan dia memperlambat langkahnya.
Kini terdengar gadis itu kembali bicara, dan nada suaranya amat menye-sal penuh teguran.
"Engkau ini orang macam apakah" Disapa baik-baik tidak mau menjawab! Selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang manusia sesombong engkau! Aku ingin sekali bicara denganmu, dan siapa tahu, aku dapat memberi keterangan padamu! Bukankah engkau
mencari seseorang di sini?"
Mendengar ucapan ini, kembali untuk ke dua kalinya Sie Liong menahan langkahnya, akan tetapi dia tidak mau menoleh atau membalikkan tubuhnya. Mungkin saja gadis ini siluman merah yang juga seorang wanita, pikirnya, walaupun dugaan ini dia bantah sendiri. Tak mungkin! Siluman merah itu orang berilmu tinggi, dan yang di belakangnya ini hanya seorang gadis muda yang cantik manis, sukar dipercaya kalau memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan andaikata bukan siluman aerah, siapa tahu gadis ini dapat memberi keterangan di mana tempat persembunyian siluman merah.
"Aku bukan orang sombong. Kalau engkau berpakaian dengan sopan, tentu aku akan suka bicara dengan nona. Engkau berpakaianlah lebih dulu!"
"Hi-hi-hik!" Gadis itu tertawa, suara ketawanya merdu, tidak dibuat-buat dan bebas lepas.
"Kiranya engkau seorang yang sopan santun, ya" Bersusila tinggi, ya" Apa sih salahnya bertelan-jang bulat" Bukankah ketika engkau dan aku terlahir, kita juga bertelanjang bulat"
Bukankah manusia baru kelihatan keasliannya dan keindahan tubuhnya ka-lau bertelanjang bulat" Baiklah, aku akan berpakaian dulu. Awas, jangan me-ngintai kau, seperti kebanyakan laki-laki, mulutnya bersopan-sopan, akan tetapi matanya mencuri-curi, hi-hi-hi!"
Sie Liong merasa mendongkol juga.
Gadis ini aneh sekali, akan tetapi e-jekannya tadi memang mengena! Dia men-dengar suara berkeresekan, dan biarpun matanya tidak melihat, namun pendengarannya yang tajam terlatih dapat membu-at dia tahu bahwa gadis itu memang be-nar kini sedang mengenakan pakaian.
"Nah, aku sudah selesai berpakaian. Kaulihat, apakah aku lebih baik kalau berpakaian dari pada kalau berte-lanjang" Lihat baik-baik!"
Karena dari pendengarannya tadi dia sudah yakin bahga gadis itu kini sudah berpakaian, Sie Liong lalu membalikkan tubuhnya. Gadis itu memang can-tik menarik bukan main. Sayang pandang matanya dan senyumnya, walaupun manis dan amat memikat, mengandung
kegenitan dan kecabulan! GadiS itu tersenyum.
"Engkau orang aneh, tubuhmu juga aneh, akan tetapi wajahmu tampan dan engkau nampak begitu kuat! Hemm, aku ingin sekali bicara denganmu!" Berkata demikian, gadis itu lalu melangkah da-ri batu ke batu untuk menuju ke tepi di mana Sie Liong berdiri. Gadis itu melangkah dengan agak sukar dan hal i-ni saja membuktikan bahwa ia tidak pandai silat, atau andaikata bisapun kepandaiannya tentu masih rendah sekali.
Ketika dari batu terakhir ia me-lompat ke tanah yang jaraknya hanya satu meter dan agaknya lebih tinggi dari batu itu, ia meloncat dengan kaku dan tak dapat dicegah lagi, kakinya terpe-leset dan iapun jatuh miring di atas tanah.
"Aduhhhh.... aduh, kakiku.... sakit....!" Gadis itu mengeluh dan berusaha untuk bangkit duduk, akan tetapi tidak dapat dan ia mencoba untuk menyentuk kakinya di tumit, juga tidak dapat.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Sejak tadi dia waspada. Gadis ini demikian muda dan cantik, dan berada seorang diri saja di tempat yang sunyi dan li-ar ini. Padahal, para penduduk, biar pemburu yang gagah berani sekalipun, tidak berani mendaki Bukit Onta ini. Hal ini saja Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 206
membuktikan bahwa gadis ini tentu memiliki sesuatu yang membu-at ia berani berada seorang diri di tempat berbahaya ini. Dan tadi, dia menduga bahwa gadis itu agaknya hendak merayunya lewat tubuhnya yang menggairahkan, dan lewat kegenitannya yang mengajak mandi bersama. Ketika rayuan i-tu tidak mendapat tanggapon, gadis ini mungkin saja sengaja membuat dirinya jatuh agar dia mau menolongnya. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia dapat lengah.
"Aduh, tolong....! Apakah selain sombong, engkau juga begitu kejam se-hingga tidak mau menolong seorang wanita yang terjatuh dan terkilir kakinya" Aduhh....!" Gadis itu kini menjulurkan lengan kirinya ke arah Sie Liong, minta bantuan agar pemuda itu suka me-nolongnya bangkit.
Sie Liong tersenyum, lalu menghampiri dan menggunakan tangan kanan un-tuk memegang tangan kiri yang dijulur-kan itu. Dia kelihatan sama sekali ti-dak menaruh curiga dan seperti orang yang benar hendak membantu gadis itu bangkit duduk. Lunak dan hangat terasa olehnya ketika tangannya bersentuhan dengan telapak tangan yang putih mulus itu. Gadis itu lalu bangkit duduk, bahkan sambil masih berpegang kepada tangan Sie Liong, ia berdiri, agak terhuyung dan di lain saat ia sudah merang-kul leher Sie Liong dan merapatkan pi-pinya di dada Pendekar Bongkok!
Sie Liong mencium bau yang harum keluar dari rambut dan leher gadis i-tu. Jantungnya berdebar dan tubuhnya tergetar karena betapapun juga, darah mudanya bergolak ketika tubuh yang ha-ngat itu merapat pada tubuhnya. Akan tetapi, dia segera teringat bahwa hal itu tidak selayaknya, maka diapun me-langkah mundur merenggangkan diri sam-bil melepaskan
tangan gadis itu, juga melepaskan lengan yang merangkul lehernya. Dan pada saat itu, tiba-tiba sekali, dari jarak yang amat dekat, gadis itu menggerakkan tangannya, dengan jari-jari terbuka, tangan itu menotok ke arah perut Sie Liong! Dahsyat bukan main serangan ini dan jari-jari tangan itu sudah terisi tenaga dalam yang amat jahat, karena telapak tangan itu beru-bah menghitam. Gadis itu telah memper-gunakan pukulan maut!
"Huhh....!" Sie Liong dapat mengelak sambil menangkis dari samping.
"Hyaatt....!" Pek Lan, gadis cantik itu, menyusulkan cengkeraman ke arah leher, namun kembali Sie Liong dapat mengelak dengan melangkah mundur dan menangkis lengan yang bergerak ke arah lehernya. Pek Lan merasa penasaran sekali, kakinya bergerak menendang ke arah bawah pusar lawan!
"Hemm, keji sekali....!" Pendekar Bongkok berseru dan tubuhnya mela-yang ke belakang.
Tendangan itupun luput!
Sie Liong berdiri dan bertolak pinggang, tersenyum pahit, lalu berka-ta dengan nada suara mengejek. "Bagus sekali, kiranya selain kejam dan mela-kukan kejahatan aneh menculiki gadis-gadis, engkau juga masih pandai melakukan perbuatan curang!"
Pek Lan memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa Pende-kar Bongkok sedemiktan lihainya. Bukan hanya tidak dapat dirayunya, juga ti-dak mudah ditipu dengan pura-pura ja-tuh tadi. Dan dia hanya seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok dan nampaknya lemah!
"Bagaimana.... kau bisa tahu?" tanyanya, menahan rasa penasaran dan kemarahan saking herannya.
"Engkau seorang gadis muda berada seorang diri di tempat seperti ini membuktikan bahwa engkau tentulah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian. Pakaianmu demikian mewah, hal ini membuktikan bahwa engkau tentu bukan pendatang dari luar hutan, melainkan mempunyai tempat tinggal di dalam hutan. Dan siluman merah yang bertemu dengan aku semalam seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi. Ketika engkau gagal menggunakan siasat menjatuhkan kelemahanku sebagai pria, engkau lalu berpura-pura jatuh. Aku sudah curiga dan siap siaga, maka beberapa seranganmu yang masih mentah itu tentu saja dapat Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 207
kuhindarkan."
"Jahanam sombong, sekarang juga engkau akan mampus di tanganku!" Berteriak demikian, Pek Lan lalu menerjang dengan gerakan cepat, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi. Meli-hat betapa kedua telapak tangan gadis itu berubah menghitam, maklumlah Sie Liong bahwa dia menghadapi seorang gadis golongan sesat yang menguasai ilmu sesat pula.
Diam-diam dia menyayangkan sekali bahwa seorang gadis muda yang begini cantik ternyata menjadi seorang wanita sesat yang genit, cabul dan ju-ga amat jahat. Maka, diapun cepat me-ngerahkan sin-kangnya dan sambil mengelak atau kadang-kadang menangkis, dia-pun membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang amat mantap dan dahsyat.
Setelah mereka saling serang selama belasan jurus, terkejutlah Pek Lan. Bukan saja semua serangannya yang dah-syat itu tak pernah berhasil, bahkan kalau pemuda bongkok itu menangkis, dia merasa betapa lengannya nyeri, tu-langnya serasa retak dan tubuhnya ter-getar hebat! Dan kalau pemuda itu mem-balas, angin pukulannya menyambar se-perti angin badai yang membuat ia semakin gentar saja. Tidak berani ia me-nangkis, tidak berani mengadu tenaga karena ia tahu bahwa tenaga sin-kangnya kalah kuat. Juga penggunaan hawa bera-cun agaknya tidak ada gunanya karena kedua tangan pemuda itu dilindungi se-macam uap putih yang membuat uap hitam dari telapak tangannya membuyar bahkan membalik! Ia tidak tahu bahwa pemuda lawannya itu memiliki ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada ilmunya yang disebut Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
Teringatlah Pek Lan akan ilmu si-hir yang diajarkan oleh Thai-yang Suhu kepadanya, maka diam-diam, sambil si-buk mengelak berloncatan untuk menghindarkan hujan tamparan dari Sie Liong, ia berkemak-kemik membaca mantera, pandang matanya bagaikan dua ujung pedang yang disatukan seperti menembus dahi Pendekar Bongkok di antara alisnya, kemudian tiba-tiba ia membentak nyaring.
"Pendekar Bongkok, menyerah dan berlututlah engkau!"
Sie Liong terkejut sekali, ketika merasa betapa ada tenaga luar biasa yang seolah-olah memaksanya untuk me-nyerah dan berlutut. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda
gemblengan yang sudah menerima banyak petunjuk dari Pek-sim Sian-su, bagaimana
menghadapi ilmu-ilmu sihir dari kaum sesat. Dia-pun cepat menahan napas mengerahkan khi-kang dan pengaruh yang memaksanya itu buyar. Akan tetapi dia menahan se-nyum dan pura-pura menjatuhkan diri berlutut seolah-olah dia terpengaruh oleh sihir yang dilakukan gadis itu!
Melihat lawannya benar-benar ber-lutut, Pek Lan girang bukan main akan hasil ilmu sihirnya itu. Ia tahu bahwa lawannya ini amat berbahaya, dan tidak mudah ditundukkan dengan pengaruh ke-cantikan wajah dan keindahan tubuhnya, maka baginya tidak ada gunanya, bahkan membahayakan saja. Maka iapun lalu me-nubruk ke depan dan kedua tangannya, dengan jari-jari membentuk cakar hari-mau, menyambar ke arah ubun-ubun kepa-la Pendekar Bongkok.
"Haiiiittt....!" Pendekar Bongkok tiba-tiba membentak, kedua tangannya mendorong ke depan dan bagaikan sebuah layang-layang yang putus talinya, tu-buh Pek Lan melayang ke belakang lalu terbanting jatuh! Untung bahwa Pende-kar Bongkok tidak bermaksud membunuhnya, maka Pek Lan tidak tewas, bahkan tidak terluka parah, hanya terbanting keras, membuat pinggulnya yang montok itu terasa nyeri bukan main. Ia melon-cat bangun, menggosok-gosok pinggul yang tadi terbanting sambil meringis kesakitan. Akan tetapi, kemarahannya memuncak dan tanpa banyak cakap lagi, iapun sudah mencabut pedangnya dan sambil
mengeluarkan lengkingan panjang, ia menyerang Pendekar Bongkok dengan pedangnya.
Kalau saja Sie Liong menghendaki, pukulan dahsyat Pay-san-ciang (Tangan Menolak
Gunung) tadi sudah cukup untuk membunuh Pek Lan. Akan tetapi, dia ti-dak bermaksud membunuh orang. Bagaima-napun juga, siluman merah itu belum diketahui apa sebenarnya Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 208
yang menjadi latar belakang perbuatannya menculik ga-dis-gadis itu. Kini, melihat betapa wanita itu menjadi semakin nekat dan me-nyerangnya dengan pedang, dengan perma-inan pedang yang cukup berbahaya, dia-pun mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya,
mengelak sambil berloncatan dan berkali-kali tubuhnya berkelebatan di sekeliling lawannya, membuat gadis itu menjadi bingung dan pening. Ia me-rasa seolah melawan bayangan saja, de-mikian cepatnya gerakan Pendekar Bong-kok.
"Hentikan seranganmu, atau terpaksa aku akan merobohkanmu. Kembalikan semua gadis yang telah kauculik, dan aku akan memaafkanmu!" Pendekar Bong-kok berseru beberapa kali, namun seba-gai jawabannya, Pek Lan menyerang semakin ganas saja.
Sie Liong menjadi marah. Gadis ini terlalu ganas dan berhati kejam, kalau tidak diberi hajaran keras tentu tidak akan mau tunduk. Ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya meluncur ke arah dadanya, Pendekar Bongkok me-ngelak dengan miringkan tubuh dan menarik tubuh atas ke belakang, lalu ta-ngannya dengan cepat sekali menotok ke atas pundak kanan Pek Lan.
"Tukkk!" Pek Lan merasa lengannya lumpuh dan pedang itu terlepas dari pegangannya, akan tetapi dengan gerakan memutar, ia menubruk ke arah Pendekar Bongkok dan tanpa malu-malu lagi tangannya yang membentuk cakar itu men-cengkeram ke arah bawah pusar pemuda bongkok itu!
"Ihh....!" Sie Liong meloncat ke belakang dan mukanya berubah merah. Wanita ini sungguh tidak tahu malu sa-ma sekali! Dia melompat ke belakang bukan karena takut melainkan karena malu. Namun baru dia tahu bahwa serangan mencengkeram ke arah bawah pusarnya tadi hanya merupakan gertakan saja karena kini Pek Lan sudah menyambar kembali
pedangnya yang tadi terlepas. Serangan itu dipergunakan hanya untuk dapat me-rampas kembali pedang yang sudah lepas dari tangan. Wanita itu kini maklum benar bahwa Pendekar Bongkok sungguh a-mat lihai. Namun, ia masih merasa penasaran, apalagi mengingat bahwa ada teman-temannya yang tentu akan membantu-nya.
Benar saja, ketika ia menerjang lagi, tiba-tiba bermunculan tiga orang Tibet Sam Sinto yang sejak tadi hanya mengintai sambil menonton saja dan ba-ru mereka muncul dan membantu Pek Lan setelah menerima perintah dari Thai-yang Suhu. Tokoh Pek-lian-kauw ini ti-dak segera memberi perintah membantu Pek Lan karena dia ingin memperhatikan gerakan ilmu silat Pendekar Bongkok dan untuk mengujinya sampai di mana kelihaian pemuda bongkok itu. Diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihai-an Pendekar Bongkok yang membuat Pek Lan tidak berdaya. Setelah gadis itu terdesak hebat dan terancam bahaya, barulah dia memberi isarat kepada Tibet Sam Sinto untuk maju membantu.
Melihat munculnya tiga orang laki-laki tinggi besar yang masing-masing memegang sebatang golok melengkung dan gerakan mereka aneh, Sie Liong dapat menduga bahwa mereka
tentulah jagoan-jagoan dari Tibet. Hal ini dapat diketahuinya dari gaya gerakan tubuh mereka.
Dia sudah banyak mendengar dari para gurunya, yaitu Himalaya Saw Lojin dan juga Pek-sim Sian-su tentang ilmu silat Tibet yang bercampur dengan gaya silat gulat, semacam ilmu silat yang mengandalkan cengkeraman, tangkapan, dan bantingan.
Akan tetapi, perhatian Sie Liong bukan sepenuhnya kepada tiga orang ini. Dia menduga bahwa tentu masih ada musuh lain yang bersembunyi seperti tiga orang tinggi besar tadi yang bersembunyi di balik semak-semak. Dia tadi tidak mendengar kedatangan mereka, hal itu hanya berarti bahwa sejak tadi mereka memang berada di situ, bersembunyi. Dia telah terjebak! Semua siasat yang dilakukan wanita cantik itu merupakan siasat mereka. Mungkin sejak dia mendaki Bukit Onta, gerak-geriknya tentu telah diikuti pihak musuh. Ketika mendengar bunyi berkeresek di atas pohon besar, tiba-tiba Sie Liong mengeluarkan lengkingan panjang dan sebelum Pek Lan dan Tibet Sam Sinto sempat menyerangnya,
tubuhnya sudah melayang naik ke arah pohon di mana dia tadi mendengar daun berkeresekan.
Melihat bayangan manusia di dalam pohon itu, Sie Liong meloncat sambil menyerang dengan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 209
dorongan telapak ta-ngannya. Orang itu ternyata seorang kakek tinggi besar pula yang berkepala gundul dan berpakaian pendeta. Melihat Sie Liong meloncat ke atas pohon dan menyerangnya, kakek itu yang bukan la-in adalah Thai-yang Suhu, menjadi terkejut dan cepat menangkis.
"Dukk!" Keduanya terdorong keras dan terpaksa keduanya melompat turun dari atas dahan pohon. Ketika tubuhnya terdorong dan terpaksa meloncat turun, tangannya menyambar sebatang ranting sebesar lengannya dan ranting itu pa-tah dan terbawa turun. Lega rasa hati Sie Liong setelah dia memperoleh senjata itu, sebatang ranting yang panjang-nya satu setengah meter, cukup kuat dan lentur. Di lain pihak, Thai-yang Suhu terkejut setengah mati.
Tadi ketika dia menangkis, ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Biarpun pemuda bongkok itu terpaksa meloncat turun, dia sendiripun harus meloncat turun karena tubuhnya terpental dan seluruh lengan-nya yang menangkis tadi terasa dingin sekali! Dia tidak tahu bahwa pemuda i-tu tadi mengerahkan ilmu Swat-liong-ciang (Ikmu Silat Naga Salju) yang membuat kedua lengannya dipenuhi sin-kang yang dingin sekali.
Kini Sie Liong berdiri di tengah, dikepung oleh lima orang itu. Melihat keadaan kakek pendeta itu, Sie Liong segera mengenal gambar teratai putih, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang tokoh Pek-lian-kauw, dan me-ngertilah dia kini mengapa gadis can-tik itu menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Dia sudah sering mende-ngar tentang sepak terjang aliran aga-ma sesat Pek-lian-kauw yang bersembu-nyi di balik kedok perjuangan membela rakyat! Sebuah perkumpulan di mana o-rang-orangnya mempelajari ilmu silat dan ilmu sihir, dan di mana seringkali terjadi kecabulan karena orang-orang Pek-lian-kauw merupakan hamba nafsu, terutama sekali nufsu berahi. Dia se-ring kali mendengar bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak murid atau anak buah wanita-wanita muda yang cantik. Tentu perawan-perawan dusun itu akan dijadikan anak buah, bukan saja membantu kekuatan Pek-lian-kauw, akan tetapi mereka dijadikan tenaga hiburan bagi para pimpinan Pek-lian-kauw!
"Hemm, kiranya Pek-lian-kauw yang berdiri di belakang penculikan para gadis itu!" kata Sie Liong sambil berdi-ri tegak dengan kedua kaki terpentang, tongkat ranting pohon itu berada di tangannya dan berdiri di depannya, de-ngan daun-daun yang masih memenuhi ranting kecil yang mencuat ke kanan kiri.
Thai-yang Suhu yang kini tidak berani memandang rendah lawannya, segera melangkah maju, sepasang pedang sudah dicabutnya dari balik jubah. Dia menu-dingkan pedang kiri ke arah muka Sie Liong dan terdengar suaranya yang ber-wibawa.
"Orang muda, siapakah engkau se-sungguhnya" Selamanya belum pernah ka-mi mendengar tentang seorang yang disebut Pendekar Bongkok, dan mengapa pula memusuhi kami dan menghalangi pekerja-an kami! Bicaralah, orang muda. Pin-ceng adalah Thai-yang Suhu, mereka ini adalah Tibet Sam Sinto, dan nona itu adalah nona Pek Lan, murid terkasih da-ri Hek-in Kui-bo. Nah, engkau lihat, engkau berhadapan dengan lima orang yang memiliki nama besar di dunia kang-ouw, oleh karena itu, sungguh tidak bijaksana bagimu kalau engkau memusuhi kami. Bukankah lebih baik kalau kita bekerja sama?"
Mendengar ucapan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya dan sepasang mata-nya mencorong penuh kemarahan. Tokoh sesat ini menawarkan kerja sama dengan dia, berarti mengajak dia menjadi seorang penjahat!
"Thai-yang Suhu, engkau seorang yang berpakaian pendeta, akan tetapi ternyata
kependetaanmu itu hanya kedok saja, seperti srigala berkedok domba. Aku bernama Sie Liong, tentang nama julukan itu, terserah yang menyebutku. Memang aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, akan tetapi aku adalah musuh besar dari semua perbuatan jahat!
Kalian telah menculik sembilan orang gadis-gadis dusun. Nah, kalau kalian tidak
menghendaki pertentangan dengan aku, kalau menghendaki kerjasama, bebaskanlah sembilan orang gadis itu, dan akupun tidak akan mengganggu kalian lagi, kecuali kalau lain kali aku melihat kalian melakukan kejahatan lagi!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 210
"Bocah bongkok keparat sombong! Toasuhu, kenapa banyak bicara dengan bocah sombong ini" Biar kami habiskan dia!" bentak seorang di antara Tibet Sam Sinto dan mereka bertiga sudah ma-rah sekali, sudah siap dengan golok mereka.
Akan tetapi Thai-yang Suhu membe-ri isarat agar para pembantunya itu jangan bergerak dulu.
Lalu dia merogoh sesuatu dari dalam saku jubahnya, me-lontarkan benda sebesar kepalan tangan ke atas, ke arah Pendekar Bongkok sam-bil membentak lebih dulu dengan suara parau.
"Orang she Sie, lihat apakah engkau mampu menandingi seekor naga berapi!"
Sungguh hebat! Benda yang dilon-tarkan tadi seketika berubah menjadi asap hitam dan dari dalam asap hitam itu muncullah seekor naga menyemburkan api, bahkan tubuhnya juga bernyala. Naga itu terbang ke atas lalu dari atas menyambar turun ke arah tubuh Sie Liong!
Namun, Pendekar Bongkok ini yang tadinya juga terkejut, cepat menahan napas den
mengerahkan tenaga khi-kang, lalu mengangkat tangan kirinya ke atas. "Kekuasaan iblis takkan pernah mampu mengalahkan kekuasaan Tuhan lewat manusia!" Dan tangan kirinya itupun dengan pengerahan sin-kang Pek-in Sin-ciang yang membuat tangan kiri
mengeluarkan uap putih, mendorong ke arah naga api. Terdengar suara keras dan naga itupun lenyap, dan nampak benda sekepal tadi runtuh ke depan kaki Thai-yang Suhu. Ternyata benda itu adalah sebuah teng-korak manusia yang amat kecil, seperti tengkorak bayi saja!
Thai-yang Suhu terbelalak, menyam-bar benda itu dan mengantunginya lagi, akan tetapi pada saat dia mengambil benda itu, tengkorak kecil itu hancur berkeping-keping. Ternyata benda yang tadi berubah menjadi naga itu tidak kuat menahan pukulan jarak jauh Pendekar Bongkok dan sudah retak-retak maka ke-tika dipungut oleh pemiliknya, hancur berantakan.
Thai-yang Suhu mengeluarkan teriakan marah dan diapun menggerakkan sepa-sang
pedangnya, menyerang ke arah Pen-dekar Bongkok. Pada saat itu, Pek Lan juga
menggerakkan pedangnya, berbareng dengan Tibet Sam Sinto yang sudah pula menggerakkan golok mereka.
Sie Liong mengeluarkan teriakan melengking dan menggerakkan ranting di tangannya. Sekali memutar ranting itu, nampak banyak sekali sinar hijau beterbangan menyerang ke arah lima orang pengeroyoknya! Lima orang itu yang sudah siap menyerang, bahkan sudah
menggerakkan senjata, terkejut ketika tiba-tiba melihat sinar-sinar hijau menyambar ke arah mereka. Cepat mereka menggerakkan senjata yang diputar di depan tubuh untuk menangkis karena mereka mengira bahwa Pendekar Bongkok mempergunakan senjata rahasia. Ketika sinar-sinar hijau itu runtuh, ternyata "senjata rahasia" itu adalah daun-daun yang tadi menempel pada ranting. Kini di tangan Pendekar Bongkok hanya tinggal seba-tang tongkat.
Melihat betapa pemuda bongkok itu dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia yang mereka rasakan amat kuat dan berbahaya, lima orang itu terkejut dan makin maklum bahwa Pendekar Bongkok ini, biar masih muda dan cacat tubuhnya, ternyata benar-benar memiliki kesaktian. Maka, tanpa banyak cakap lagi merekapun segera mengepung dan mengeroyok!
Menghadapi pengeroyokan lima o-rang yang semua memiliki kepandaian tinggi, Sie Liong lalu memutar tongkatnya dan dia sudah memainkan Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi). Ilmu ini adalah ilmu tongkat yang dipelajari dari Pek-sim Sian-su. Suatu ilmu yang dahsyat bukan main. Ketika senjata yang hanya merupakan sebatang ranting yang menjadi tongkat itu diputar oleh Sie Liong, maka anginpun menyambar-nyambar dahsyat bagaikan badai, dan nampak gulungan sinar hijau yang amat panjang. Dari gulungan sinar hijau itu mencuat ujung-ujung tongkat yang bagaikan kilat cepatnya menyambar-nyambar ke arah lima orang pengeroyoknya.
Sekarang tahulah Thai-yang Suhu mengapa Pek Lan kewalahan menghadapi pemuda
bongkok ini. Kiranya Pendekar Bongkok ini memang memiliki kepandaian yang amat hebat!
Biarpun dia sendiri maju dibantu Pek Lan dan tiga orang Tibet Sam Sinto, tetap saja mereka berlima sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan mereka yang kewalahan menghadapi Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 211
tongkat sederhana yang dimainkan secara luar biasa itu. Tongkat di tangan Pendekar Bongkok itu selain luar biasa cepatnya, juga mengandung tenaga kasar dan halus secara bergantian, dan seti-ap gerakan ujung tongkat itu mengeluarkan suara bersiutan di antara angin yang kuat sekali.
Thai-yang suhu adalah seorang to-koh Pek-lian-kauw yang kedudukannya sudah tinggi. Dia memiliki ilmu pedang yang amat lihai di samping ilmu sihir-nya, dan selama ini, belum pernah ada yang mampu menandingi ilmu sepasang pedangnya. Kini, karena mengeroyok, ten-tu saja dia tidak dapat memainkan sepasang pedangnya dengan leluasa. Maka, diapun membentak agar para pembantunya minggir.
"Minggir semua, biar pinceng sendiri menghadapi Pendekar Bongkok!" bentaknya.
Mendengar ini, Pek Lan den Ti-bet Sam Sinto berloncatan keluar dari gelanggang
pertempuran sehingga pende-ta gundul tinggi besar itu kini berha-dapan sendirian saja dengan Sie Liong. Sie Liong juga menghentikan gerakan tongkatnya dan berdiri menghadapi pendeta itu sambil memandang tajam.
"Thai-yang Suhu, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan de-ngan siapapun juga.
Yang kutentang adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Oleh karena itu, kalau kalian membebas-kan gadis-gadis yang telah kalian ta-wan dan mereka dalam keadaan selamat dan tidak terganggu, maka akupun akan menyuruh mereka pulang ke rumah masing-masing dan tidak akan memusuhi kalian, asal saja kalian tidak mengulang perbuatan jahat itu."
"Pendekar Bongkok, kaukira pinceng takut padamu" Pinceng sengaja menyuruh kawan-
kawan pinceng minggir agar pinceng dapat menghadapimu dengan leluasa. Akan tetapi, katakanlah dulu siapa guru-gurumu agar pinceng tahu siapa yang pinceng lawan!"
"Hemm, Thai-yang Suhu, ketahuilah bahwa guru-guruku adalah Hinalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su," jawab Sie Liong sejujurnya.
"Wah! Kiranya murid para tosu pe-larian dari Himalaya!" seorang di antara Tibet Sam Sinto berseru. Sebagai tokoh-tokoh Tibet, tentu saja mereka mendengar akan hal itu.
Juga Thai-yang Suhu sudah pernah mendengar nama-nama yang disebutkan Pendekar
Bongkok. Nama Himalaya Sam Lojin tidak mengejutkan hatinya karena kepandaian tiga orang kakek dari Hima-laya itu tidak lebih dari tingkatnya sendiri. Akan tetapi disebutnya Pek-sim Sian-su membuat dia terkejut. Pantas saja pemuda bongkok ini tidak saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga mampu menangkis ilmu sihirnya, bahkan telah menghancurkan jimatnya, yaitu tengkorak kecil tadi. Betapapun juga, Thai-yang Suhu yang terlalu mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri, tidak merasa jerih.
"Bagus, sekarang bersiaplah eng-kau untuk mampus!" Berkata demikian, tokoh Pek-lian-kauw itu menodongkan pedang di tangan kirinya ke arah Sie Li-ong. Pendekar Bongkok bersikap waspada karena dia sudah mendengar akan kecu-rangan para tokoh Pek-lian-kauw.
Begi-tu dari gagang pedang itu menyambar sinar-sinar hitam yang lembut, dia sudah cepat memutar tongkatnya dan semua ja-rum hitam yang meluncur keluar dari gagang pedang itu runtuh.
"Pendeta palsu yang licik dan cu-rang!" bentak Sie Liong dan diapun membalas dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan dahsyatnya dari kanan ke kiri, mengarah pinggang lawan. Thai-yang Suhu meloncat ke belakang, pedang kanan menyambar dari atas ke arah kepala Sie Liong sedangkan pedang kiri me-nangkis ujung tongkat. Sie Liong mengelak dan memutar tongkat, membalas de-ngan serangan yang tak kalah dahsyat-nya.
Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian. Sepasang pedang yang dimainkan oleh Thai-yang Suhu berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.
Akan tetapi dua gulungan sinar itu seringkali goyah dan patah oleh sinar tongkat yang kehijauan, yang bergulung panjang seperti seekor naga hijau yang bermain di ang-kasa. Ilmu tongkat Thian-te sin-tung yang dimainkan Pendekar Bongkok merupakan ilmu tingkat tinggi dan tak dapat dilawan oleh ilmu pedang pasangan yang dimainkan pendeta Pek-lian-kauw itu.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 212
Pula, pendeta itu kalah cepat gerakannya dibandingkan Sie Liong, bahkan dalam hal tenaga sin-kang, pendeta itu juga kalah kuat. Kelebihan Thai-yang Suhu hanyalah dalam pengalaman bertanding sa-ja, dan di samping itu, Sie Liong ber-sikap hati-hati sekali, karena dia ta-hu bahwa lengah sedikit saja dia dapat celaka di tangan lawan yang licik dan curang ini. Kehati-hatian inilah yang membuat Sie Liong tidak berani terlalu mendesak dan hal ini membuat lawannya mampu mengadakan perlawanan yang cukup seru dan perkelahian itu nampaknya seru dan ramai.
Betapapun juga, Pek Lan dan Tibet Sam Sinto yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, mampu mengikuti jalannya pertandingan dan mereka tahu bahwa kalau tidak dibantu, akan sukar sekali bagi Thai-yang Suhu untuk dapat mengalahkan Pendekar Bongkok.
Oleh karena itu Pek Lan memberi isyarat kepada tiga orang jagoan Tibet itu dan mereka berempat lalu berloncatan memasuki gelangang perkelahian dan mengeroyok lagi. Sekali ini, Thai-yang Suhu diam saja karena diapun mengerti bahwa kalau dia nekat melawan sendiri, jelas bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan Pendekar Bongkok.
Di lain pihak, Sie Liong sama sekali tidak merasa gentar menghadapi pengeroyokan lima orang itu. Bahkan dia dapat mainkan tongkatnya lebih leluasa lagi. Dia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang amat lihai adalah Thai-yang Suhu dan Pek Lan. Akan tetapi karena di situ terdapat tiga orang Tibet Sam Sinto, maka permainan kedua orang lawan lihai ini bahkan menjadi terhalang dan mereka berdua itu tidak dapat menyerang sepenuhnya, terhalang oleh gerakan tiga orang jagoan Tibet itu. Hal ini membuat Sie Liong semakin hebat gerakannya dan diapun tidak takut lagi bahwa dua orang lawan yang curang itu akan dapat mempergunakan senjata rahasia, mengingat bahwa di situ terdapat pula Tibet Sam Sinto yang ikut mengeroyok sehingga kalau ada yang mempergunakan senjata rahasia, hal itu dapat membahayakan kawan sendiri. Hal ini, sama sekali tak disangkanya, memang benar telah terjadi. Ketika itu, dia merasakan betapa yang sungguh berbahaya di antara serangan lima orang itu adalah serangan Pek Lan, wanita cantik yang pernah dilawannya sebagai siluman merah itu. Pedang wanita itu menyambar-nyambar ganas, dibantu pula oleh dorongan tangan kirinya yang melakukan pukulan atau tamparan Hek-in Tok-ciang, dan dari telapak tangan kirinya itu keluar uap hitam. Karena itu, dia berpikir untuk lebih dulu melumpuhkan perlawanan wanita ini. Dia memutar tongkatnya secara aneh dan segera me-ngerahkan daya serangan tongkatnya ke-pada Pek Lan.
"Trang....! Trangggg....!" Bunga api berpijar ketika dua kali pe-dang di tangan Pek Lan bertemu dengan ujung tongkat yang mendesaknya.
"Ihhh....!" Pek Lan mengeluarkan seruan kaget dan marah karena tenaga yang keluar dari tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga ia terdorong ke belakang dan tangan yang memegang pe-dang tergetar hebat, hampir saja pe-dangnya terlepas dari pegangan. Untung bahwa Thai-yang Suhu segera menghujani Pendekar Bongkok dengan serangan se-hingga dalam keadaan terhuyung itu Pek Lan tidak didesak terus. Hal ini membuat Pek Lan marah sekali dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nya-ring dan ketika tangan kirinya bergerak, belasan jarum-jarum hitam beracun telah menyambar ke arah tubuh Pendekar Bongkok! Jarum-jarum itu dilepas dari jarak dekat, juga disambitkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena Pek Lan sedang marah, maka tentu saja a-mat berbahaya bagi Pendekar Bongkok! Akan tetapi, dia memang selalu waspada dan melihat sinar lembut yang banyak itu, diapun maklum bahwa Pek Lan mempergunakan senjata rahasia. Maka dia ce-pat memutar tongkatnya sehingga tong-kat itu membentuk bayangan seperti pa-yung yang melindungi tubuhnya. Ketika jarum-jarum itu bertemu dengan sinar tongkat, runtuhlah jarum-jarum itu, a-kan tetapi ada beberapa batang yang terpental ke kanan kiri. Terdengar teriakan-terjakan mengaduh dan dua orang di antara tiga Tibet Sam Sinto roboh!
Tentu saja hal ini amat mengejut-kan para pengeroyok. Kiranya, di anta-ra jarum hitam beracun yang terpental, ada beberapa batang yang mengenai dua orang itu! Racun yang Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 213
dikandung jarum-jarum itu memang jahat sekali. Dua orang itu sudah berkelojotan sekarat!
Tentu saja Pek Lan tidak mungkin dapat melakukan pemeriksaan untuk memberi
pengobatannya, bahkan iapun sama seka-li tidak memusingkan keadaan dua orang rekan ini karena hal itu bahkan membu-at ia menjadi semakin marah kepada Pendekar Bongkok dan kini ia menyerang lagi mati-matian dengan pedangnya.
Namun, mengeroyok lima saja tidak dapat mendesak Pendekar Bongkok apa lagi kini
berkurang dua. Tongkat di tangan Pendekar Bongkok menjadi semakin dahsyat gerakannya dan ketika seorang di antara Tibet Sam Sinto yang masih hidup dan merasa berduka dan marah ka-rena kematian dua orang saudaranya itu menyerangkan golok di tangannya dengan sekuat tenaga, Pendekar Bongkok sengaja memapaki golok itu dengan tongkat-nya sambil mengerahkan tenaganya.
"Trakkk....!" Golok itu patah dan terlepas, dan sebuah tendangan ka-ki Pendekar Bongkok masih sempat die-lakkan oleh orang itu, namun sambaran ujung tongkat tidak dapat dia hindarkan.
"Bukkk!" Orang itu terjungkal dan pingsan karena punggungnya terkena ge-bukan tongkat dari samping.
Kini Pek Lan dan Thai-yang Suhu terkejut bukan main, juga mulai merasa jerih. Pada saat itu terdengarlah sorak sorai gemuruh. Ketika tiga orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara ini, mereka semua berloncatan ke belakang dan memandang ke arah bawah. Dan nampaklah puluhan orang, bahkan ada kurang lebih seratus orang penduduk yang memegang segala macam senjata, berlarian mendaki Bukit Onta dengan sikap mengancam! Melihat ini, tentu saja Pendekar Bongkok menjadi girang. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk itu yang kini agaknya berbondong-bondong naik ke bukit itu untuk mencari siluman! Sebaliknya, Thai-yang Suhu dan Pek Lan makin geli-sah.
"Pek Lan, mari kita pergi!" kata Thai-yang Suhu. Tanpa diperintah dua kali, Pek Lan meloncat bersama Thai-yang Suhu.
"Hemm, kalian hendak lari ke mana?" Pendekar Bangkok membentak dan diapun meloncat untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi, tiba-tiba Thai-yang Suhu melontarkan sesuatu ke atas tanah dan terdengar ledakan keras disusul mengepulnya asap hitam yang tebal. Khawatir kalau-kalau asap itu beracun, tentu saja Sie Liong menjauhkan diri, bermaksud mengejar dengan mengambil jalan memutar. Akan tetapi setelah dia tiba di belakang asap hitam, dua orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Dia lalu kembali ke tempat tadi, melihat betapa orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto sudah siuman dan kini bangkit sambil mengeluh. Melihat Pendekar Bangkok datang kembali, dia terkejut, meloncat akan tetapi roboh lagi sambil mengerang kesakitan. Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri, berlutut menghadap Pendekar Bongkok.
"Taihiap (pendekar besar), ampunilah aku...."
Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bangkok.
Pendekar Bongkok adalah orang yang berhati lembut. Dia tidak pernah mem-benci orang, betapapun jahatnya orang itu. Yang ditentangnya adalah perbuat-an jahat, bukan orangnya.
Dia tahu, dari gemblengan yang didapatnya dari Pek-sim Sian-su, bahwa orang yang melaku-kan perbuatan jahat adalah orang yang sedang sakit batinnya. Yang mendorong-nya melakukan perbuatan jahat adalah batinnya yang sakit itu. Kalau batin-nya sembuh tentu dia tidak akan melakukan perbuatan jahat. Maka, melihat be-tapa seorang di antara Tibet Sam Sinto itu minta ampun, dia mengangguk.
"Siapa namamu?"
"Namaku Coa Kiu, taihiap. Mereka ini adalah kakakku dan adikku, dan i-jinkanlah aku membawa mayat mereka a-gar dapat kukuburkan dengan pantas."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 214
"Nanti dulu, aku ingin bertanya. Di mana adanya gadis-gadis yang dicu-lik itu dan mengapa mereka diculik?"
"Itu adalah kehendak Thai-yang Suhu yang sedang mengumpulkan lima belas orang gadis untuk dijadikan pelayan di Pek-lian-kauw. Kami hanya membantunya. Gadis-gadis itu dalam keadaan selamat, berada di rumah itu. Mereka tidak di-ganggu karena memang hendak diangkut dan diserahkan kepada ketua Pek-lian-kauw."
Pendekar Bongkok mengangguk, hatinya merasa lega. Orang ini jelas tidak berani berbohong.
"Satu pertanyaan la-gi. Engkau memakai julukan Tibet Sam Sinto, tentu merupakan tokoh Tibet. A-ku ingin sekali tahu tentang mereka yang disebut Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu lima orang pendeta Lama dari Tibet. Di manakah mereka se-karang dan apa kedudukan mereka?"
Mendengar disebutnya Lima Harimau Tibet, Coa Kiu terkejut dan kelihatan ketakutan.
"Tidak, taihiap.... aku tidak mempunyai hubungan dengan mere-ka. Sama sekali tidak mempunyai hubungan....!"
Pendekar Bongkok mengerutkan alisnya. Sikap itu sungguh menarik sekali. "Aku tidak menuduhmu memiliki hubung-an, hanya ingin mendapat keterangan darimu tentang diri mereka."
Barulah Coa Kiu kelihatan lega. "Mereka adalah tokoh-tokoh paling ditakuti di Tibet, dan kini mereka menjadi pendukung-pendukung utama dari Kim Sim Lama, pendeta tingkat tinggi yang mem-berontak karena hendak merampas kedu-dukan Dalai Lama."
"Pemberontak" Ah, di mana kini mereka itu?"
"Di sekitar telaga Yam-so di sebelah selatan Lasha. Lima Harimau Tibet menjadi pendukung dan bahkan lima o-rang tokoh itulah yang sebenarnya men-jadi pelopor karena tanpa adanya mere-ka, tentu Kim Sim Lama tidak mampu berbuat sesuatu."
Pendekar Bongkok mengangguk-ang-guk. Pada saat itu, para penduduk du-sun sudah semakin dekat dan Coa Kiu nampak gelisah. Maka dia lalu menyuruh orang itu membawa jenazah dua orang saudaranya dan melarikan diri ke jurusan lain. Coa Kiu mengucapkan terima kasih dan memanggul jenazah kakaknya dan a-diknya, pergi dari situ sambil terhuyung.
Pendekar Bongkok tidak menanti datangnya orang-orang dusun, melainkan cepat dia lari ke arah rumah yang menjadi tempat tinggal Thai-yang Suhu dan teman-temannya.
Sembilan orang gadis yang berada dalam ruangan di rumah itu, terkejut ketika daun pintu dirobohkan orang da-ri luar. Mereka bergerombol saling peluk dengan ketakutan, semua mata memandang ke arah pemuda bongkok yang berdiri di ambang pintu.
"Ampunkan kami.... jangan.... jangan ganggu kami....!" kata seorang di antara mereka.
Melihat betapa semua gadis yang berada di ruangan itu masih amat muda dan cantik-cantik, ki-ni wajah yang manis-manis itu nampak pucat, mata mereka terbelalak seperti sekelompok kelinci yang ketakutan melihat seekor harimau, Pendekar Bongkok tersenyum pahit, teringat akan bongkoknya dan dia maklum bahwa tentu mereka mengira bahwa dia seorang jahat!
"Tenanglah, nona-nona. Aku tidak berniat jahat. Aku datang untuk membe-baskan kalian.
Para penjahat itu telah kuusir pergi dan keluarga kalian kini sedang menuju ke sini."
Namun, para gadis remaja itu masih belum percaya dan mereka masih memandang kepada pemuda berpunuk itu de-ngan curiga. Pada saat itu, orang-orang dusun sudah tiba di situ.
Mereka me-nyerbu ke dalam rumah dan dipimpin o-leh Gumo Cali, mereka tiba di ruangan yang daun pintunya audah dijebol Sie Liong dan mereka melihat Sie Liong masih berdiri di ambang pintu dan para gadis itu memandang ketakutan.
"Ayah....!" teriakan ini bukan hanya keluar dari mulut dua orang ga-dis puteri Gumo Cali, akan tetapi juga dari para gadis lain. Ternyata para a-yah gadis-gadis yang diculik itu ikut pula dalam rombongan para penyerbu. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan para gadis itu dihujani pertanyaan oleh ayah mereka. Diam-diam Pendekar Bongkok merasa lega Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 215
dan gembira mende-ngar keterangan mereka bahwa benar seperti yang diceritakan Coa Kiu, mereka itu sama sekali tidak diganggu, bah-kan diperlakukan dengan baik.
"Semua ini karena jasa Pendekar Bongkok! Taihiap, terimalah terima kasih kami!" Gumo Cali menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bongkok, diturut oleh semua orang. Para gadis yang tadinya merasa ketakutan itu kini baru sadar bahwa pemuda bongkok itu memang benar menjadi penolong mereka. Maka merekapun ikut berlutut di samping ayah masing-masing.
Seorang diantara para gadis itu, menjatuhkan diri berlutut paling dekat di depan Pendekar Bongkok dan ia menangis sesenggukan. Tadipun Sie Liong melihat bahwa berbeda dengan para gadis lain, tidak ada seorangpun yang meme-luk gadis ini. Tadinya dia mengira bahwa tentu ayah gadis yang satu ini ti-dak ikut. Ia seorang gadis yang bertu-buh sedang, berkulit agak gelap namun wajahnya manis sekali, dengan mata yang lebar dan bening. Pakaiannya sederha-na, bahkan ia tidak memakai perhiasan seperti para gadis lainnya. Usianya kurang lebih delapan belas tahun dan tu-buhnya sudah mulai padat ramping, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar.
"Nona, engkau kenapakah?" tanya Sie Liong, dan kepada semua orang dia berkata, "Harap kalian suka berdiri, tidak perlu memberi hormat berlebihan seperti itu!"
Gumo Cali bangkit dan yang lain ikut berdiri. Gadis itu masih tetap berlutut di depan Sie Liong. Dia segera meayentuh pundaknya dengan lembut. "Nona, bangkitlah, tidak perlu berlutut dan mengapa engkau menangis" Bukankah seharuanya engkau bergembira karena sudah terbebas dari cengkeraman penja-hat?" Lalu dia merasa curiga kalau-ka-lau gadis ini mengalami nasib yang buruk di tangan para penjahat. "Nona, a-pakah para penjahat itu mengganggumu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya, akan tetapi masih terisak. Akhirnya, dengan suara bercampur tangis, ia berkata, "Aku.... aku tidak mau pulang.... ke rumah mereka...."
"Kenapa, nona" Di mana rumahmu?" tanya Sie Liong. Seorang di antara para penduduk dusun itu, seorang laki-laki setengah tua, lalu mendekat dan berkata, "Ling Ling, kenapa engkau tidak mau pulang?" Gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala sambil menangis.
"Siapakah nona ini, paman, dan di mana rumahnya?" tanya Sie Liong. Orang itu lalu memberi keterangan bahwa ga-dis itu bernama Sam Ling, biasa dipanggil Ling Ling. Ia seorang gadis yatim piatu. Ketika ia berusia sepuluh ta-hun, ayah dan ibunya meninggal dunia karena wabah, dan ia lalu dipungut a-nak oleh keluarga di dusunnya. Dijadi-kan anak angkat dan bekerja seperti pelayan.
"Sepanjang pengetahuan kami, keluarga yang memungutnya itu bersikap ba-ik kepadanya.
Mereka tidak mempunyai anak, maka mau mengambil Ling Ling menjadi anak mereka. Ling Ling, katakan-lah, kenapa engkau tidak mau pulang! Ayah dan ibu angkatmu tentu
mengharap-kan kedatanganmu!" kata orang itu.
Gadis itu mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada orang itu dan menggeleng kepala keras-keras sambil berkata, "Tidak...., tidak.... aku tidak mau pulang ke sana.... Lebih baik aku mati saja dari pada harus kembali lagi ke sana....!" Dan iapun menangis lagi.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia menduga bahwa tentu ada alasan kuat sekali mengapa gadis ini tidak mau pu-lang ke rumah ayah dan ibu angkatnya.
"Marilah, nona. Kita bicara di luar," katanya, lalu dia berkata kepada semua orang. "Kalau kalian setuju, ru-mah ini sebaiknya dibakar saja agar jangan menjadi sarang penjahat lainnya!
Dan semua orang boleh pulang, akan te-tapi kerukunan seperti sekarang ini harus dipelihara terus. Kalau kalian da-pat bersatu seperti ini, tidak akan a-da penjahat yang berani mengganggu kalian." Berkata demikian, Sie Liong lalu mengajak gadis bernama Sam Ling Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 216
atau Ling Ling itu untuk keluar.
Dia mengajak gadis itu agak men-jauhi rumah, lalu duduk di atas batu besar. "Nah, Ling Ling, duduklah kau dan ceritakan mengapa engkau memilih mati daripada pulang ke rumah orang tua angkatmu."
Setelah mereka berada di tempat sepi, berdua saja, tiba-tiba gadis itu kembali mpnjatuhkan diri berlutut.
"Taihiap, engkau telah menyelamatkan aku dan teman-teman, harap taihiap jangan kepalang tanggung untuk menolong aku. Berjanjilah bahwa taihiap akan suka menolongku, dan aku akan menceritakan keadaanku."
"Baiklah, dan duduklah agar engkau dapat bicara dengan enak. Ceritakan apa yang terjadi.
Tentu saja aku suka membantumu kalau memang engkau perlu dibantu."
"Sejak berusia sepuluh tahun, a-yah ibuku meninggal dunia karena penyakit." Ling Ling mulai bercerita sambil duduk di atas batu, di depan Sie Li-ong. Suaranya lirih dan memelas, dan matanya yang lebar itu kini agak keme-rahan dan masih basah walaupun ia su-dah tidak menangis lagi. "Aku diangkat anak oleh ayah ibu angkatku yang sekarang karena mereka tidak mempunyai anak. Kini mereka berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dahulu memang sikap mereka itu baik sekali walaupun aku tidak menguntungkan mereka karena aku seorang anak perempuan. Akupun bekerja keras di rumah mereka, seperti seorang budak untuk membalas budi kebaikan ha-ti mereka. Akan tetapi akhir-akhir ini...." Ling Ling menutupi mukanya, merasa sedih dan berat hatinya untuk menceritakan peristiwa yang membu-atnya merasa sengsara itu.
Sie Liong membiarkan gadis itu dan setelah kelihatan ajak tenang, dia berkata, "Bagaimana lanjutannya"
Aku baru akan dapat menolongau kalau aku mengetahui persoalannya."
Gadis itu menatap wajah Sie Liong dengan sepasang mata yang penuh permohonan, sepasang mata yang tentu akan nampak indah kalau tidak tertutup awan kedukaan. "Taihiap, aku akan kelihat-an sebagai orang yang tidak mengenal budi kalau sekarang aku seolah menceritakan keburukan orang tua angkatku. A-kan tetapi, kepadamu aku harus berte-rus terang dan harap taihiap mengerti bahwa bukan maksudku untuk memburukkan mereka. Aku masih berterima kasih kepada mereka. Begini taihiap. Akhir-akhir ini, semenjak beberapa bulan yang lalu ini, ayah angkatku berusaha untuk.... untuk menodaiku...."
Sie Liong mengerutkan alisnya dan mengamati wajah itu dengan sinar mata tajam menyelidik.
Dia sudah menduga, akan tetapi ingin mendapat keyakinan. "Apa maksudmu dengan menodai itu?"
"Dia.... dia mula-mula merayuku.... agar aku suka melayaninya, suka tidur dengan dia. Aku menolak dan beberapa kali dia nyaris berhasil memperkosa aku....! Karena aku selalu menghindar dan menolak, dia kini seperti benci kepadaku. Dan ibu angkatku agak-nya melihat pula gejala itu dan iapun menjadi cemburu dan membenci aku...."
"Hemmm....!" Sie Liong mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut. Mengertilah dia kini mengapa gadis ini tidak ada yang menjemput, dan mengapa pula Ling Ling tidak mau pulang ke rumah orang tua angkatnya.
"Ling Ling, engkau tadi menceritakan bahwa tadinya, sebelum timbul perubahan sikap ayah angkatmu itu, mereka amat baik kepadamu. Bagaimana kalau sekarang engkau kuantar ke sana, ayah angkatmu itu kuancam agar dia tidak lagi melakukan hal yang tidak pantas i-tu, dan aku membujuk ibu angkatmu agar ia mau mengerti bahwa engkau tidak bersalah dalam peristiwa itu" Kalau mere-ka mau mendengarnya dan mentaati permintaanku, maukah engkau kembali kepa-da mereka?"
Ling Ling mengerutkan alisnya dan ia menatap wajah pemuda itu sampai be-berapa lamanya.
Sinar matanya penuh kegelisahan dan keraguan, kemudian iapun menggeleng kepalanya.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 217
"Tidak mungkin, taihiap. Ayah angkatku itu akan tetap membenciku selama aku tidak mau memenuhi permintaannya. Aku melihat nafsu yang amat mengerikan dari pandang matanya.
Dan ibu angkatku.... ia amat membenciku karena cemburu. Tidak, aku tidak akan kembali lagi ke sana. Bah-kan, terus terang saja, taihiap. Ketika wanita cantik yang menyamar siluman merah itu menculikku, membawaku ke si-ni, melihat betapa gerombolan itu ti-dak
menggangguku, memperlakukan dengan baik, aku merasa gembira untuk menjadi pelayan.
Asalkan aku tidak harus kembali ke rumah orang tua angkatku."
"Tapi.... kalau engkau tidak mau kembali ke sana, lalu ke mana engkau hendak pergi" Apakah engkau mempunyai keluarga lain, sanak keluarga da-ri orang tua kandungmu sendiri?" Diam-diam Sie Liong merasa kasihan sekali dan dia dapat menerima alasan gadis i-tu. Tentu saja dia tidak mungkin dapat menanggung dan memastikan bahwa ayah angkat Ling Ling kelak tidak akan mengulang perbuatannya terhadap gadis yang seperti setangkai bunga baru mu-lai mekar ini. Mungkin karena segan dan takut kepadanya, ayah angkat itu mau berjanji, bahkan mau bersumpah. A-kan tetapi, dia tidak mungkin dapat berada di dusun itu terus! Dan gadis ini makin hari menjadi semakin cantik manis dan semakin menarik. Kalau nafsu sudah menguasai hati ayah angkat itu, siapa berani tanggung dia tidak akan menjadi buta akan kebenaran" Dan dia dapat menduga bahwa seorang gadis yang demikian kukuh
mempertahankan kehormatannya seperti Ling Ling ini, kalau sampai diperkosa ayah
angkatnya, tentu a-kan membunuh diri!
Gadis itu menggelengkan kepala-nya. "Aku tidak mempunyai siapapun juga di dunia ini, sebatangkara...." jawabnya lirih dengan air mata kembali mengalir di pipi.
"Kalau begitu, lalu ke mana engkau hendak pergi, Ling Ling" Kalau engkau tidak mempunyai keluarga lain, dan engkau tidak mau kembali ke rumah orang tua angkatmu, lalu bagaimana?"
Mendengar pertanyaan ini, Ling Ling turun dari atas batu dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Liong sambil berkata dengan suara mengandung isak, "Aku ingin turut denganmu, taihiap...."
"Ehhh?" Sie Liong terkejut dan heran bukan main. Tadinya timbul dugaan di hatinya bahwa tentu gadis manis ini telah mempunyai seorang kekasih dan ia akan pergi bersama kekasihnya itu. Sungguh seujung rambutpun dia tidak pernah menyangka akan mendengar jawaban seperti itu. "Apa maksudmu, Ling Ling" Bangkitlah, dan mari kita bicara dengan baik."
"Tidak, aku tidak akan bangkit sebelum engkau sudi menerimaku. Taihiap, tolonglah aku.
Aku.... aku ingin membalas budimu, aku ingin ikut denganmu, biar kaujadikan pelayan.... aku akan mencucikan pakaianmu, memasak-kan makananmu, melayani keperluanmu...."
Tiba-tiba Sie Liong tertawa dan dia memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya bangun, mendudukkannya di atas batu kembali. Ling Ling tidak mampu menolak karena ia bagaikan sebuah boneka saja di kedua tangan yang memiliki tenaga dahsyat itu. Ia-pun kini yang memandang bengong. Pendekar itu tertawa bergelak dan betapa gagah dan tampannya wajah itu sekarang nampak olehnya. Wajah yang tadinya se-lalu nampak dilanda duka itu, wajah yang menimbulkan perasaan iba kepada siapapun yang memandang, kini nampak cerah den berseri!
"Aih, Ling Ling.... engkau ini sungguh lucu sekali!" kata Sie Li-ong setelah dia menghentikan ketawanya.
"Taihiap, apanya yang lucu?" Ling Ling bertanya khawatir.
"Bagaimana mungkin engkau ikut denganku" Kau tahu siapa aku ini?"
"Taihiap seorang pria yang sakti dan berbudi mulia, yang telah menyela-matkan aku dan banyak gadis di sini, yang pantas kupuja den kubalas budinya...."
"Cukup semua itu. Aku hanyalah seorang laki-laki yang hidup sebatangkara, tidak
mempunyai tempat tinggal, miskin dan papa. Dan engkau hendak ikut dengan aku. Bukankah itu sama sekali tidak mungkin, dan lucu sekali?"
"Kenapa tidak mungkin dan kenapa lucu, taihiap" Aku ingin ikut dengan-mu ke manapun Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 218
engkau pergi. Aku tidak perduli apakah engkau kaya atau miskin taihiap. Bahkan kebetulan sekali ka-lau engkaupun sebatangkara seperti a-ku, karena tidak akan ada keluargamu yang mungkin tidak suka kepadaku. Aku akan melayanimu, membantumu dalam segala hal,


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

taihiap. Kasihanilah aku...."
"Tapi, Ling Ling, engkau tidak mengerti! Kau tahu, aku seorang pengemba-ra, hidupku penuh bahaya! Aku seorang yang selalu menentang kejahatan, se-hingga aku dimusuhi para penjahat yang kejam. Engkau akan ikut terancam baha-ya kalau engkau bersamaku."
"Aku tidak takut! Kalau aku berada di sampingmu, bahaya mautpun tidak akan membuat aku gentar, taihiap. Aku-pun siap mati kalau perlu!"
Diam-diam Sie Liong menjadi kagum dan juga heran. Mengapa gadis ini mati-matian hendak ikut dengan dia" "Ling Ling, aku kadang-kadang tidur di hutan.... di atas rumput...."
"Hemm, menyenangkan sekali, taihiap. Apalagi di waktu terang bulan, dengan api unggun menghangatkan badan. Rumput tentu lunak dan awat nyaman untuk tidur...."
"Kadang-kadang harus di atas pohon besar...."
"Ah, aku belum pernah tidur di atas pohon, taihiap. Aku ingin sekali merasakan. Tentu aman dari gangguan binatang buas...."
"Ling Ling...." Sie Liong kewalahan. "Kadang-kadang aku tidur di dalam kuil tua yang kuno dan kotor, yang pantas menjadi tempat tinggal pa-ra iblis dan setan!"
Wajah itu menjadi pucat seketika, matanya terbelalak den tubuhnya jelas nampak menggigil, pandang matanya ketakutan dan penuh kengerian. Bagi orang- orang dusun di daerah itu, iblis dan setan amat menakutkan karena mereka i-tu pada umumnya masih amat tebal rasa
ketahyulan mereka. Melihat ini, Sie Liong menjadi tidak tega dan tanpa disadarinya dia menyambung. "Akan tetapi selama ini belum pernah aku bertemu setan dan iblis, semua itu hanya dongeng kosong belaka untuk menakut-nakuti a-nak-anak dan orang-orang penakut."
Ling Ling menarik napas lega. "Aku juga.... ti.... tidak takut, taihiap."
Akan tetapi, membayangkan betapa gadis ini ikut dengannya, Sie Liong menarik napas panjang dan menggeleng ke-palanya. "Ling Ling, maafkan aku. Bagaimanapun juga, rasanya tidak mungkin engkau ikut denganku. Ingatlah, aku seorang pria, dan engkau seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik. Apa akan kata orang" Tentu mereka menyangka yang bukan-bukan terhadap kita."
"Taihiap, apakah kita harus menggantungkan hidup kita kepada kata dan pendapat orang lain"
Yang terpenting adalah kita sendiri, bukan" Kalau kita tidak melakukan sesuatu yang tidak be-nar, mengapa takut disangka orang! Taihiap, aku akan menjaga diri agar tidak sampai membikin kecewa dan malu kepadamu. Aku akan menjadi pelayan yang ba-ik...."
"Sekali lagi maaf, Ling Ling. Terpaksa aku menolak. Tidak mungkin aku dapat mengajakmu berkelana menempuh banyak bahaya."
Tiba-tiba wajah gadis itu nampak layu dan muram. Ia menundukkan muka-nya, sampai lama tidak bergerak. Tidak lagi ia menangis, akan tetapi ketika ia bicara, suaranya lirih dan mengan-dung rintihan.
"Baiklah, taihiap. Maafkan gang-guanku tadi. Aku akan pergi sekarang juga, selamat....
tinggal...." Dan gadis itupun membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah satu-satu dengan tubuh lemas dan agak terhuyung.
"Nanti dulu, Ling Ling! Engkau hendak pergi ke mana?" tanya Sie Liong dengan hati penuh rasa iba.
Gadis itu berhenti melangkah, me-noleh dan wajahnya nampak demikian pu-cat, matanya tidak ada sinarnya lagi dan sebelum menjawab ia tersenyum, senyum yang menyayat perasaan Sie Liong karena senyum itu demikian pahitnya. "Ke mana saja kakiku membawaku, taihiap.
Habis, ke mana lagi" Akupun tidak tahu...." dan iapun melanjutkan langkahnya. Langkah satu-satu dan dari belakang Sie Liong melihat betapa ke-dua pundak itu menurun, lalu Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 219
bergoyang-goyang, tanda bahwa gadis itu menangis lagi. Tiba-tiba gadis itu terhuyung, lalu jatuh berlutut dan menangis!
Sie Liong marasa semakin iba dan sekali meloncat, dia telah berada di samping gadis yang berlutut sambil menangis itu. "Ling Ling...." katanya lirih.
"Biarkan aku mati saja.... ah, biarkan aku mati saja...." gadis itu berbisik-bisik dan tangisnya mengguguk.
Dengan kedua tangannya, Sie Liong memegang pundak gadis itu dan menarik-nya bangun berdiri. "Ling Ling, jangan berkata demikian! Kalau engkau memang nekat dan berani menghadapi kesengsaraan, baiklah, aku suka menerimamu."
Kedua tangan itu menurun dari depan mata, mata itu terbelalak, air matanya masih menetes-netes, muka itu masih pucat, akan tetapi mulut itu mengembangkan senyum. "Benarkan, taihiap" Ah, terima kasih....! Aku tidak akan sengsara. Aku akan menjaga agar taihiap tidak sengsara! Aku siap menghadapi segala kesukaran tanpa mengeluh. Dan aku dapat bekerja, taihiap. Aku memiliki keahlian menyulam indah, dan dengan itu aku akan dapat mencari uang untuk dipakai keperluan kita sehari-hari! Ah, aku berbahagia sekali, terima kasih, taihiap....
terima kasih...."
Pada saat itu terdengar suara so-rak sorai dan ketika mereka menengok, nampak rumah itu telah dibakar. Api bernyala besar dan orang-orang dusun itu bersorak gembira. Kernudian mereka berbondong menghampiri Sie Liong, dipimpin oleh Gumo Cali, dan mereka kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu, menghaturkan terima kasih.
"Saudara sekalian tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kuharap saja mulai sekarang saudara sekalian dapat mempersatukan tenaga untuk menjaga keamanan dusun sendiri. Sekarang, perke-nankan aku pergi."
Pendekar Bongkok meninggalkan tempat itu dan Ling Ling mengikutinya. Semua orang memandang dengan heran meli-hat gadis itu ikut pergi bersama Pendekar Bongkok, namun tidak ada seorang-pun yang berani bertanya. Mereka hanya mengira bahwa pendekar itu tentu hen-dak mengantarkan gadis yang tidak di-jemput orang tuanya itu ke dusunnya sendiri.
Merekapun bubaran dengap hati gembira karena gadis-gadis itu ternya-ta dalam keadaan selamat. Nama Pende-kar Bongkok lebih dikenal daripada nama Sie Liong di dusun itu dan mereka takkan pernah melupakan pertolongan yang diberikan pendekar itu dalam mengusir para penjahat yang menyamar sebagai setan merah penculik gadis-gadis remaja yang cantik.
"Ling Ling, aku mau mengajakmu pergi, akan tetapi engkau harus mentaati semua
permintaanku," demikian Sie Liong berkata setelah dia dan gadis itu berada di kaki Bukit Onta, jauh dari para penduduk dusun.
Wajah yang manis itu basah oleh keringat. Sejak tadi, Sie Liong berja-lan saja, seolah tidak memperdulikan gadis yang berjalan di belakangnya, bahkan kadang-kadang dia melangkah le-bar sehingga Ling Ling terpaksa harus setengah berlari untuk mengikutinya. Sie Liong mendengar langkah kaki pendek-pendek itu, dan mendengar pula be-tapa pernapasan gadis itu mulai membu-ru. Akan tetapi, sedikitpun dia tidak pernah mendengar gadis itu mengeluh.
Kini, dia berhenti dan berkata demiki-an sambil menatap wajah itu. Wajah itu basah oleh keringat, dan napas gadis itu agak memburu namun wajahnya sama sekali tidak
memperlihatkan sedikitpun kekesalan hati. Bahkan wajah itu berseri penuh kegembiraan!
Mendengar ucapan itu, ia menjawab lantang dan mantap, tanpa ragu.
"Tentu saja, taihiap! Aku akan mentaati semua perintahmu, biarpun un-tuk itu aku harus berkorban nyawa...." tiba-tiba ia menyambung cepat kalimat yang sebenarnya sudah berakhir itu, ".... asal saja taihiap tidak menyuruh aku pergi meninggalkanmu!"
Sie Liong tersenyum. Gadis dusun ini sederhana dan tabah, akan tetapi dalam
keserdahanaannya, ternyata ia cerdik juga.
"Nah, kalau begitu, perintahku yang pertama adalah jangan sebut aku taihiap. Namaku Sie Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 220
Liong dan mengingat engkau pantas menjadi adikku, se-but saja aku sebagai kakakmu."
"Baiklah, Liong-ko (kakak Liong)!" kata Ling Ling gembira.
"Dan ke dua, sekarang engkau ha-rus mengantar aku ke rumah orang tua angkatmu." Dia melihat wajah itu terkejut, maka disambungnya cepat, "Bagaimanapun juga, aku ingin menemui mereka dan mengatakan bahwa engkau tidak suka kembali ke sana dan akan ikut dengan aku. Hendak kulihat bagaimana sikap me-reka, dan juga tidak baik pergi begitu saja tanpa pamit."
Ling Ling mengengguk, nampak hi-lang kagetnya. "Baiklah, Liong-ko."
Merekapun pergi nenuju ke dusun tempat tinggal orang tua angkat Ling Ling. Ketika mereka tiba di rumah itu, mereka disambut oleh sepasang suami isteri yang memandang kepada Ling Ling dengan mulut cemberut. Apalagi mereka melihat bahwa gadis itu pulang bersama seorang pemuda bongkok, segera ayah angkatnya yang dipenuhi kecewa dan cemburu segera menudingkan telunjuknya ke pada Ling Ling dan mulutnya segera mengeluarkan makian,
"Perempuan tak tahu malu! Kiranya engkau bukan diculik siluman merah a-kan tetapi minggat bersama siluman bongkok ini, ya" Bagus, engkau membi-kin malu padaku!"
"Dasar anak tak tahu diri, tak mengenal budi!" bentak ibu angkatnya. "Bertahun-tahun kami memeliharamu, memberi makan dan pakaian sampai kau dewasa, kini tidak membalas budi malah me-lempar kotoran ke rumah kami!"
Sejak tadi Sie Liong mengamati dua orang ini. Seorang pria tinggi kurus dengan muka pucat seperti berpenyakitan, berusia kurang lebih empat puluh tahun, mulutnya lebar dan giginya yang panjang-panjang itu kelihatan separuhnya lebih di luar bibir, matanya membayangkan wataknya yang kurang baik. Adapun wanita itu beberapa tahun lebih muda, tubuhnya gendut dan hidungnya pesek, muka yang tidak menarik dan nampaknya juga galak. Sungguh dia merasa heran bagaimana sepasang suami isteri seperti ini menjadi orang tua angkat seorang gadis seperti Ling Ling, bahkan dipuji oleh gadis itu sebagai orang-orang yang tadinya amat baik kepadanya.
"Ayah, ibu, aku tidak minggat, memang benar diculik...."
"Diculik setan bongkok ini, ya" Sungguh kalian pantas dihajar!" berka-ta demikian, laki-laki jangkung itu menerjang maju, siap menghajar dan tangannya menampar ke arah kepala Sie Liong. Kalau menurutkan panasnya hati karena dimaki-maki, ingin Sie Liong sekali pukul menghancurkan mulut yang giginya panjang-panjang itu. Akan tetapi dia tidak menurutkan nafsu amarahnya, melainkan menangkap lengan yang memu-kul, memuntirnya dan
mendorongnya. Pria itu mengeluarkan teriakan dan ro-boh terbanting lalu berguling-guling, mengaduh-aduh. Isterinya juga sudah maju dan dengan tangan membentuk cakar sudah siap mencakari muka Ling Ling yang berdiri diam saja tidak melawan. Akan tetapi sebelum kuku-kuku jari tangan wanita itu mengenai kulit muka Ling Ling, kakinya ditendang oleh Sie Liong dan wanita itu jatuh berdebuk. Pantat yang besar itu terbanting ke a-tas tanah dan ia mengaduh-aduh, menge-lus pantatnya dan tidak mampu bangun, seperti seekor kura-kura yang jatuh telentang.
"Berani kamu memukul orang....?" Ayah angkat Ling Ling sudah bangkit lagi dan membantu isterinya berdiri. Keduanya semakin marah, akan tetapi ha-nya mulut mereka saja yang nyerocos, tidak berani lagi menyerang. Pada saat itu, beberapa orang dusun yang tadi i-kut menyerbu ke bukit Onta, mengiring-kan dua orang gadis dusun itu yang terbebas dari penculikan. Melihat betapa ayah dan ibu angkat Ling Ling memaki-maki Pendekar Bongkok, mereka terkejut dan cepat semua orang lari ke situ.
"Engkau setan bongkok, kunyuk bongkok berani melarikan gadis orang!" teriak ayah angkat gadis itu yang men-jadi semakin berani melihat para tetangga berlarian datang.
"Heiii! Gumalung.... tutup mulutmu yang kotor itu!" bentak beberapa orang dan mendengar ini, tentu saja Gumalung, demikian nama ayah angkat Ling Ling, memandang heran.
"Sungguh engkau lancang mulut! Tahukah engkau siapa pendekar ini" Dia adalah Sie Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 221
Taihiap! Dialah yang telah mengusir para penjahat yang menculik gadis-gadis itu! Bahkan anak kalian Ling Ling juga dibebaskannya. Sekarang, datang-datang dia kalian semprot dengan makian. Kalian sungguh orang-o-rang yang jahat!"
Mendengar ini, seketika pucat wa-jah Gumalung dan isterinya. "Ahh.... ohh.... maafkan kami.... maafkan kami...." kata Gumalung, diikuti oleh isterinya dan mereka membongkok-bong-kok.
"Sudahlah!" kata Sie Liong membentak dan melihat banyak orang di situ dia menganggap kebetulan sekali untuk membersihkan nama Ling Ling. "Kalian memang suami isteri yang tidak berbu-di! Ketika Ling Ling berusia sepuluh tahun, kalian dengan dalih tidak mempunyai anak, mengangkatnya sebagai anak. Ling Ling telah bekerja seperti budak di sini untuk membalas budi kalian. A-kan tetapi setelah ia dewasa, engkau yang menjadi ayah angkatnya mulai ber-sikap tidak wajar, merayunya bahkan hendak memperkosanya. Karena Ling Ling tidak sudi memenuhi permintaanmu yang kotor itu, engkau membencinya. Dan is-terinya, yang tak tahu diri ini, bukan menyalahkan suaminya, bahkan juga mem-benci Ling Ling karena cemburu. Nah, coba kalian berdua katakan, benar ti-dak apa yang kukatakan semua ini. Kalian harus mengaku terns terang, baru a-kan kumaafkan. Kalau kalian membohong, aku akan turun tangan menghajar kali-an!"
Suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa takut kepada Pendekar Bongkok, akan tetapi mereka juga mera-sa malu kalau harus mengaku di depan para tetangga yang kini sudah berda-tangan ke tempat itu. Karena merasa bingung dan serba salah, akhirnya isteri yang galak itu menuding-nudingkan te-lunjuknya ke muka suaminya.
"Memang engkau yang celaka! Eng-kau suami tidak setia, engkau suami mata keranjang, engkau rakus! Sudah kuduga bahwa tentu engkau yang hendak me-maksa Ling Ling, akan tetapi engkau selalu mengatakan bahwa Ling Ling yang menggodamu! Pendusta besar!
Perempuan mana yang sudi menggoda laki-laki ber-muka buruk seperti mukamu" Engkau hendak memperkosanya, ya" Bagus, engkau memang layak mampus!" Wanita itu menerjang suaminya menggunakan kedua tangannya yang hendak mencakar-cakar. Suami-nya cepat menangkap kedua pergelangan tangan istcrinya dan mereka bersite-gang. Agaknya, si suami yang kerempeng kalah tenaga sehingga dia terbawa terhuyung ke kanan kiri.
"Engkau perempuan cerewet! Engkaulah yang membenci Ling Ling, engkau i-ri hati melihat ia cantik jelita, ti-dak macam engkau ini babi gemuk!"
"Apa kaubilang" Aku babi" Dan engkau ini monyet, engkau tikus kurus mau mampus!"
Kedua suami isteri itu saling do-rong dan para tetangga mulai tertawa melihat mereka berkelahi. Sie Liong dengan gerakan tidak sabar maju dan sekali dia menggerakkan tangan, kedua sua-mi isteri itu saling melepaskan cengkeraman dan keduanya terpelanting, un-tuk kedua kalinya mereka terbanting jatuh. Keduanya terkejut, kesakitan dan ketakutan, lalu mereka berdua berlutut menghadap Pendekar Bongkok.
"Taihiap, ampunkan saya...." Wanita itu merengek.
"Taihiap, ampunkan kami, kami mengaku salah. Kami bersalah terhadap Ling Ling...." kata sang suami, lalu tanpa memandang wajah anak angkatnya, dia menyambung, "Ling Ling, maafkanlah ayahmu yang bersalah ini...."
"Aku tidak mempunyai ayah dan ibu seperti kalian! Aku datang untuk berpamit, aku akan pergi meninggalkan kali-an!"
"Eh...." Kenapa, Ling Ling" Kenapa engkau hendak meninggalkan kami?" Gumalung berseru kaget, juga isterinya kaget mendengar ucapan ini. Mereka me-mang tidak sayang lagi kepada Ling Ling, dan kesayangan ayah angkat itu merupakan kesayangan yang terdorong nafsu, akan tetapi mereka akan repot kalau ditinggalkan Ling Ling yang me-ngerjakan semua pekerjaan rumah itu.
"Tapi, kau tidak bisa meninggal-kan kami begitu saja, Ling Ling!" kata pula nyonya gendut Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 222
itu. Sie Liong sudah merasa lega. Percekcokan suami isteri itu tadi saja sudah merupakan pengakuan dari mereka bahwa Ling Ling tidak berbohong, dan semua orang mendengarnya.
Maka, diapun lalu berkata dengan suara tegas. "Ling Ling akan meninggalkan rumah ini, ia akan pergi bersamaku. Apakah kalian me-rasa berkeberatan?"
"Tapi.... tapi.... ia merupakan bantuan bagi kami di rumah ini. Tanpa Ling Ling.... pakaian tidak tercuci bersih, masakanpun tidak enak rasanya...."
"Anjing kurus, engkau mencela aku lagi, ya?" bentak isterinya. "Kalau kurang bersih, kaucuci sendiri pakaian-mu, dan kalau engkau tidak menyukai masakanku, pergi sana makan di luar!
Taihiap, kami memang berkeberatan kalau Ling Ling pergi karena.... karena...."
"Karena apa?" Sie Liong mendesak.
Wanita gendut itu beberapa kali menelan ludah, agaknya ia takut untuk bicara, akan tetapi dengan memaksa diri akhirnya ia berkata, ".... anak itu sudah delapan tahun bersama kami....
entah sudah berapa banyak kami mengeluarkan uang untuk memeliharanya, makannya....
pakaiannya...."
Sie Liong menahan diri untuk ti-dak menampar muka wanita itu. "Hemmmm, jadi engkau merasa rugi" Katakanlah, berapa banyak hutang Ling Ling kepada kalian?"
"Sedikitnya seratus tail perak...."
Terdengar suara orang-orang mengomel panjang pendek. Banyak penduduk yang merasa keterlaluan sekali sikap orang tua angkat Ling Ling itu. Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda dan ternyata yang mun-cul adalah Gumo Cali dan beberapa orang dusun lain yang tadi memimpin penyerbuan ke Bukit Onta. Gumo Cali ce-pat memberi hormat kepada Pendekar Bongkok dan dia menurunkan sebuah bungkusan kain dari atas kudanya.
"Sie Taihiap, tadi ketika kami menggeledah rumah para penjahat di puncak Bukit Onta, kami menemukan uang sebanyak tiga ratus tail perak. Kami semua bersepakat untuk menyerahkan uang ini kepada taihiap!"
Sie Liong tersenyum. Dia memang sedang bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat membayar hutang Ling Ling kepada orang tua angkatnya itu, dan kini mereka datang menyerahkan u-ang, bukan seratus tail, bahkan tiga ratus tail! Kalau Tuhan hendak menolong, ternyata ada saja jalannya!
"Terima kasih!" katanya. "Tolong ambilkan seratus tail perak qan serah-kan kepadaku."
Gumo Cali membuka kantung itu dan mengeluarkan sepertiga bagian dari isi kantung.
Gumpalan perak dari lima tail itu besar dan berkilauan, sebanyak dua puluh buah.
"Lihat, inilah uang yang telah kaukeluarkan untuk Ling Ling!" berkata demikian, Sie Liong mengambil gumpal-an-gumpalan perak itu dan melemparkannya ke arah dinding. Potongan potongan perak itu beterbangan dan me-nancap pada dinding, sampai masuk ke dalam, berjajar-jajar dua puluh lubang banyaknya. Tentu saja suami isteri itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau saja gumpalan perak itu diarahkan kepada mereka, tentu a-kan remuk dada mereka dan pecah kepa-la mereka!
"Paman, harap sisanya paman bagi-bagikan kepada para gadis yang tadi menjadi korban penculikan. Nah, selamat tinggal dan terima kasih!" bersama Ling Ling yang sudah lari mengambil pakaiannya dari dalam kamarnya dan memasukkan bekal pakaian itu dalam
buntalan kain, Sie Liong lalu meninggalkan tempat itu.
Mereka duduk menghadapi api unggun di bawah pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya walaupun udara cerah pada sore hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang dihadapinya tidak cukup kuat untuk dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan Ling Ling. Ia kadang-kadang masih menggigil. Melihat keadaan gadis ini, Sie Liong merasa kasihan dan dia membuka baju luarnya yang agak tebal, diselimutkan dari belakang ke tubuh gadis itu.
Melihat ini, Ling Ling tersenyum dan menarik baju luar itu agar lebih banyak menyelimuti Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 223
lehernya. "Terima kasih...." katanya lirih dan iapun termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala indah. Ia merasa betapa kedua kakinya nyeri, ki-ut-miut rasanya karena sehari itu mereka hampir terus menerus berjalan naik turun bukit. Ia tidak pernah mengeluh walaupun kakinya terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya tera-sa tebal dan panas sekali.
Kelelahan membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa lapar karena sejak pagi tadi mereka tidak pernah makan apapun. Minumpun hanya dari sumber air yang mereka lewati di kaki bukit terakhir tadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu sejak ta-di mencuri pandang dan mengamati wajahnya. Ia merasa berbahagia! Biarpun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah meninggalkan mulutnya, cahaya matanya tak pernah meredup, dan wajahnya berseri-seri. Apa lagi karena banyak bergerak jalan sepanjang hari, kedua pipinya menjadi kemerahan, puncak pipi di bawah dan kanan kiri mata bagaikan buah tomat masak.
Sie Liong duduk di seberang api unggun. Dari atas nyala api, dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Cuaca sudah mulai suram, akan tetapi cahaya api yang kuning kemerahan menimpa wajah yang manis itu. Diam-diam dia kagum sekali kepada Ling Ling.
Sudah sepekan gadis itu melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia membawa Ling Ling merasakan kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan dan kedinginan. Namun, gadis itu selalu tersenyum, tak pernah mengeluh. Dia sengaja menguji karena dia belum yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut dengan dia mengembara dan hidup serba
kekurangan. Dan selama sepekan ini, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang gadis ini hebat! Seorang gadis yang lemah badannya karena tidak pernah mempelajari silat, akan tetapi yang memiliki batin yang amat kuat, semangat membaja dan pantang mundur! Seorang gadis yang sama sekali tidak cengeng. Timbullah perasaan iba dan suka dalam hatinya terhadap Ling Ling.
Agaknya Ling Ling merasa bahwa dirinya dipandang. Ia mengangkat muka dan pada saat itu, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu
pandang dan berta-ut agak lama. Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan pandang matanya, merasa tidak enak memandang orang terlalu lama dan penuh perhatian.
"Liong-ko, ada apakah" Engkau me-mandangku seperti hendak mengatakan sesuatu."
Sie Liong memandang padanya dan tersenyum. "Aku hanya ingin bertanya apakah engkau masih kedinginan, Ling Ling?"
Ling Ling merapatkan baju luar yang tebal itu dan tersenyum makin le-bar. "Tadi memang, akan tetapi sekarang tidak lagi. Hangat dan nyaman, Liong-ko."
Mereka diam sejenak.
"Lelah....?" terdengar Sie Liong bertanya.
Gadis itu mengangkat mukanya dan kembali mereka bertemu pandang. Ia mengangguk.
"Akan tetapi, betapa nyaman dan enaknya beristirahat seperti ini setelah merasa kelelahan!"
"Kakimu terasa nyeri?"
Sejenak Ling Ling tidak menjawab, mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan memandang kakinya, menarik kedua kakinya dari bawah untuk diluruskan. Gerakan ini mendatangkan perasaan nyeri bu-kan main, akan tetapi ia tidak menge-luh, hanya matanya tergetar sedikit dan juga bibirnya dikatupkan makin kuat. Akan tetapi ia menggeleng kepala.
"Tidak, tidak nyeri...."
Hening lagi sejenak. Dalam keheningan ini, pendengaran Sie Liong yang terlatih dan amat peka itu mendengar suara perut gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya sendiri yang sejak tadi berkeruyuk.
"Lapar....?" tanyanya sambil menatap wajah itu.
Ling Ling mengangkat muka dan kembali mereka bertemu pandang. Gadis itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya, sambil menambahkan kayu kering pada perapian di depannya.
"Ling Ling, aku melihat engkau seorang gadis yang tabah dan jujur, akan tetapi mengapa Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 224
engkau membohongi aku?"
Gadis itu nampak terkejut sekali. Sebatang ranting yang dipegangnya terlepas dan matanya terbelalak ketika ia memandang kepada pemuda itu. Sepasang alisnya berkerut dan suaranya terdengar heran, "Aku" Bohong?"
Sie Liong menganguk dan tersenyum. "Baru saja dua kali engkau berbohong kepadaku.
Kakimu nyeri sekali dan engkau mengatakan tidak, perutmu lapar dan engkau juga
mengatakan tidak. Bukankah itu bohong namanya?"
Wajah yang tadinya menjadi agak pucat itu merah kembali, dan sepasang mata itu berseri kembali. "Aih, Liong-ko, engkau mengejutkan aku. Kiranya itu yang kaunamakan bohong. Itu bukan bohong, koko, melainkan untuk melawan keadaan dan untuk menguatkan hati."
"Hemm, apa pula maksudnya itu?"
"Sebelum kujawab, aku ingin tahu bagaimana engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan perutku lapar?"
"Kita sudah berjalan sehari, naik turun bukit, sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan ketika engkau melurus-kan kakimu tadi, jelas nampak pada wa-jahmu bahwa engkau menahan rasa nyeri. Sejak pagi kita belum makan lagi, su-dah sepantasnya kalau perutmu lapar, dan tadi, aku mendengar perutmu berkeruyuk."
Ling Ling tertawa dan menutupi mulutnya. Ia merasa lucu, juga merasa malu. "Ih, engkau membikin aku malu saja, koko. Telingamu usil amat sih, mendengarkan bunyi perut orang!
Sekarang aku jawab pertanyaanmu tadi. Memang kakiku nyeri, habis mengapa" Andaikata aku mengaku nyeripun, pengakuan itu ti-dak akan mengurangi rasa nyeri, bahkan akan menambah. Maka aku membohongi di-ri sendiri saja, mengatakan tidak nye-ri sehingga rasa nyeri banyak berku-rang. Demikian pula tentang perutku yang lapar. Kalau aku mengaku lapar juga tidak akan ada sesuatu yang dapat kumakan. Lebih baik mengaku tidak la-par agar rasa laparnya berkurang. Ketika tadi engkau bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku menjawab ya karena di sini ada tempat beristirahat menghilangkan lelah dan api unggun penahan dingin. Nah, jelas, kan" Aku bukan pembohbng, ya koko?" Kalimat terkahir ini terdengar manja seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong memandang dengan senyum dan hatinya terharu karena dia teringat kepada Yauw Bi Sian. Teringat dia betapa ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali dia, juga suka merengek seper-ti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti juga dahulu, ketika dia selalu menuruti permintaan Bi Sian kalau keponakannya itu sedang mere-ngek, kinipun ia menuruti permintaan Ling Ling dan dia mengangguk. "Engkau memang bukan pembohong, Ling Ling.
Dan sekarang aku akan membuat pengakuan."
Kini gadis itu yang memandang heran dan penuh selidik. "Engkau akan membuat pengakuan"
Pengakuan apa lagi, Liong-ko?"
"Aku telah bersikap kejam sekali kepadamu, Ling Ling...."
"Aihhh! Sama sekali tidak, Liong-ko! Apa yang kaumaksudkan ini" Engkau-lah satu-satunya orang yang paling ba-ik di dunia ini bagiku. Engkau bagiku menjadi pengganti ayah ibu kandungku, pengganti saudara dan keluargaku, men-jadi sahabat dan juga guruku...."
"Jangan terlalu tinggi memuji, Ling Ling. Lihat dan rasakan, bukankah selama sepekan ini engkau kubawa berjalan sampai melampaui batas kekuatanmu, me-maksamu berjalan jauh melalui bukit dan tempat yang amat sukar, lalu membiarkanmu kelaparan dan kehausan"
Bukan-kah selama sepekan ini aku membiarkan engkau mengalami sengsara, tubuhmu le-lah, kakimu nyeri, perut lapar dan mu-lut haus" Aku telah bersikap kejam se-kali!"
"Tidak, tidak! Aku tidak mengang-gapmu kejam, koko. Sudah sewajarnya karena memang kita berdua ini sepasang kelana yang merantau, tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki rumah, bukan" Rumah kita adalah dunia ini, lantainya tanah ini, atapnya langit. Betapa indahnya rumah kita, koko, tidak ada di dunia ini yang seindah tempat tinggal kita. Di mana-mana tempat tinggal ki-ta. Lantai kita bertilamkan rumput lu-nak, kebun kita penuh pohon dan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 225
bunga, kupu-kupu, burung...."
Mau tak mau Sie Liong tertawa gembira. Bukan main gadis ini, pikirnya girang. Memiliki ketabahan dan tahan uji, akan tetapi juga memiliki kelincahan dan kegembiraan hidup sehingga baru berkumpul sepekan saja semua kenangan buruk dan perasaan nelangsa dalam hatinya tersapu bersih, membuat diapun i-kut gembira. Tiba-tiba saja segala se-suatu di sekelilingnya nampak demikian indahnya!
"Engkau tidak tahu, Ling Ling. Selama sepekan ini, aku memang sengaja membuatmu
menderita. Aku sengaja membuat engkau kecapaian, kelaparan dan ke-hausan!"
Gadis itu memandang heran. "Kausengaja" Aku.... aku tidak mengerti maksudmu, koko."
"Aku memang hendak mengujimu. Setelah engkau menderita, hendak kulihat apakah engkau benar-benar sudah nekat untuk ikut denganku. Kalau engkau ti-dak kuat, aku akan
mencarikan tempat yang baik untukmu, pada sebuah keluar-ga, yang dapat kupercaya dan...."
"Liong-ko, kenapa begitu" Sudah kukatakan bahwa aku hanya mempunyai satu saja
keinginan hidup ini, yalah ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Jangankan hanya kesukaran yang tidak seberapa ini, hanya keletihan, kelaparan dan kehausan, biarpun sampai mati aku tidak akan menyesal telah ikut denganmu, koko!"
Sie Liong menundukkan mukanya agar jangan nampak betapa wajahnya merasa terharu
sekali. Apakah yang mendo-rong gadis ini demikian nekat" Mungkinkah gadis ini
mencintanya" Ah, bagaimana mungkin" Semua orang, terutama kaum wanita, takut dan benci kepadanya, ji-jik melihat keadaan tubuhnya. Bagaima-na mungkin ada yang jatuh cinta kepadanya" Dan gadis ini bukan seorang gadis yang buruk rupa ataupun cacat, melainkan seorang gadis yang sehat lahir ba-tinnya, bahkan cantik manis dan pasti akan mudah menundukkan hati pria yang manapun.
"Maafkan aku, Ling Ling. Sudahlah, sekarang lebih baik kita makan. Perut kita sudah lapar sekali. Aku masih me-nyimpan roti tawar, hanya tinggal men-cari daging segar untuk dijadikan teman roti."
"Tapi...."
"Ssstttt, di sana ada daging....!" Sie Liong yang sudah menyambar sebatang ranting dengan tangannya, tiba-tiba menyambitkan ranting itu ke arah kiri. Ranting itu meluncur bagaikan anak panah ke dalam semak-semak tak jauh dari situ dan seekor kelinci putih terguling keluar dengan leher tertembus ranting dan mati seketika. Melihat ini, tentu saja Ling Ling menjadi girang bukan main.
"Hebat, engkau hebat, Liong-ko! Kelinci ini gemuk sekali.... ah, akan kubuatkan daging kelinci panggang yang lezat untukmu, Liong-ko." Tiba-tiba ia kelihatan masgul dan mengeluh. "Ahh, bagaimana mungkin dapat lezat tanpa bumbu?"
Melihat wajah gadis yang tadinya amat gembira itu tiba-tiba menjadi se-dih, Sie Liong tersenyum. "Jangan kha-watir, Ling Ling. Bumbu apakah yang kaubutuhkan" Katakan saja!"
Gadis itu memandang wajah Sie Liong dengan putus asa. Yang dibutuhkannya itu hanya dapat dibeli di pasar, mana mungkin pendekar itu akan bisa dia mendapatkan daging kelinci tadi" Dengan lesu iapun menjawab, "Lada untuk penghilang bau amis, atau jahe, bawang putih untuk penyedap, garam.... dan gula agar terasa gurih dan manis.... agar terasa gurih dan manis...."
Akan tetapi, Ling Ling terbelalak ketika Sie Liong mengeluarkan barang-barang yang ia butuhkan itu dari dalam buntalan pakaian. Bumbu lengkap! Ling Ling bersorak gembira.
"Searang pengelana harus selalu menyimpan dan membawa bekal bumbu-bum-bu ini, Ling Ling."
Akan tetapi gadis itu kini bekerja keras, apalagi ketika Sie Li-ong menyerahkan sebatang pisau yang tajam, yang juga menjadi bekal Sie Liong untuk keperluan memasak makanan. Ia lupa akan dinginnya hawa udara dan sam-bil bersenandung lagu rakyat Tibet, Ling Ling menguliti kelinci gemuk itu dan mengambil dagingnya. Kegembiraan gadis itu menular pada Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 226
Sie Liong. Dia-pun merasa gembira dan lincah, merasa seolah dia menjadi kanak-kanak atau remaja kembali. Dia mempersiapkan ranting penusuk daging, membantu Ling Ling dan tak lama kemudian, bau daging panggang yang sedap karena bumbunya leng-kap, membuat perut mereka semakin ke-ras berkeruyuk saling bersahutan. Sie Liong mengeluarkan bungkusan roti ta-war dan seguci anggur merah yang tidak keras, melainkan anggur manis. Dan ke-mudian merekapun makan roti tawar de-ngan daging kelinci panggang yang be-nar lezat karena masih segar, lunak dan gurih.
Ketika mereka makan inipun Sie Liong menemukan kenyataan yang membuat dia semakin termenung dan hatinya ber-debar aneh. Mengapa mereka berebut sa-ling memilihkan daging terbaik" Menga-pa mereka saling mementingkan dan sa-ling memperhatikan" Inikah cinta"
Dia merasa heran dan ragu. Pernah dia mengalami perasaan seperti ini, ketika berhadapan dengan Yauw Bi Sian, kepo-nakannya! Hanya bedanya, kalau dari Bi Sian dia tidak
merasakan perhatian la-in kecuali kasih sayang yang kekanak-kanakan dari seorang keponakan yang sejak kecil menjadi temannya bermain, sebaliknya dari Ling Ling dia merasakan perhatian yang lain, yang lebih dewasa dan membuat dia merasa dimanja, merasakan suatu kemesraan yang belum pernah dirasakannya. Inikah cinta" Dia tidak dapat menjawabnya. Terlampau pagi un-tuk menduga sejauh itu.
Kini, perut mereka tidak berkeru-yuk lagi. Mereka menemukan sumber air tak jauh dari situ.
Setelah mencuci tangan dan mulut, mereka duduk lagi menghadapi api unggun. Malam mulai larut dan mereka membesarkan api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk. Kem-bali mereka saling berpandangan mela-lui atas nyala api.
"Ling Ling...." Sie Liong mera-gu, suaranya lirih dan seolah dia sangsi apakah perlu dia menyatakan isi ha-tinya.
Gadis itu memandangnya dan bibir itu terseryyum. Bibir yang kini nampak merah segar, tidak layu dan agak pucat seperti ketika kelaparan dan keletihan menguasainya tadi.
"Ya, Liong-ko?"
"Aku heran sekali...."
Melihat pemuda itu meragu, Ling Ling menjadi penasaran. "Apa yang kau-herankan, Liong-ko?"
"Engkau...."
"Eh" Aku kenapa sih?" Ling Ling tertawa kecil. "Apakah mataku tiga" Hidungku dua"
Apanya yang mengherankan pada diriku?"
"Seorang gadis seperti engkau.... kenapa nekat ingin ikut dengan aku" A-ku seorang laki-laki yang sebatangkara, miskin dan tidak mempunyai apa-apa...."
"Sama dengan aku!" Ling Ling me-nyambung cepat.
"Akan tetapi engkau seorang gadis yang cantik dan masih muda, sedangkan aku...."
"Engkau seorang pendekar yang budiman, seorang jantan yang hebat sekali, mengagumkan dan...."
"Bukan itu maksudku, Ling Ling. Aku seorang laki-laki yang cacat, bong-kok dan
menjijikkan...."
"Cukup!" Ling Ling berteriak dan ia mengerutkan alisnya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti orang ma-rah. "Liong-ko, kenapa engkau begitu merendahkan diri" Ketika engkau muncul di ambang pintu itu, ketika semua ga-dis ketakutan melihatmu dan mengira engkau seorang penjahat karena cacat tubuhmu, aku melihat betapa engkau se-perti menerima tamparan atau tusukan. Aih koko, aku tidak dapat melupakan pandang matamu di saat itu dan di saat itu pula aku.... aku memutuskan untuk ikut denganmu, ke manapun engkau pergi...."
Kini sepasang mata yang tadinya nampak marah itu menjadi lembut sinarnya, mata itu seperti redup.
"Kenapa, Ling Ling" Itulah yang ingin sekali kuketahui! Kenapa tiba-tiba engkau mengambil Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 227
keputusan yang be-gitu nekat" Pergi mengikuti aku yang tidak kaukenal sama sekali?"
"Pada saat itu aku melihat pan-dang matamu seperti itu, koko, aku.... aku merasa hatiku tertusuk, aku merasa terharu dan kasihan sekali kepadamu. Ingatkah engkau betapa aku menangis sesenggukan, menangis dengan sedih" Bu-kan hanya karena aku tidak ada yang menjemput, bukan hanya karena aku ta-kut membayangkan harus kembali ke ru-mah orang tua angkatku, melainkan ter-utama sekali karena kasihan kepadamu!"
Sie Liong menatap tajam wajah ga-dis itu. "Engkau kasihan kepadaku karena.... aku bongkok" Karena cacat tu-buhku?"
Dengan tegas Ling Ling menggeleng kepalanya. "Sama sekali tidak! Kenapa cacat tubuhmu harus dikasihani" Biar-pun engkau mempunyai cacat, akan teta-pi cacat itu sama sekali tidak meng-ganggumu, bahkan engkau memiliki kesaktian luar biasa. Tidak, aku bukan kasihan karena cacatmu, koko, melainkan kasihan karena engkau begitu menderita batin karena cacat itu, yang membuatmu begitu merendahkan diri. Engkau tentu merasa betapa semua orang, terutama wanita, jijik dan benci kepadamu...."
"Memang kenyataannya demikian!" kata Sie Liong, suaranya agak keras.
"Tidak, tidak semua merasa seper-ti itu! Hanya perempuan yang tinggi hati saja yang memandang rendah kepada seorang pria ydng cacat. Padahal, ca-cat tubuh bukan hal yang terlalu mema-lukan, tidak seperti cacat batin! Ti-dak, koko, tidak semua perempuan benci kepadamu, setidaknya.... aku kagum padamu, aku menganggap engkau orang yang paling baik di dunia ini, dan paling gagah...."
".... dan paling buruk?" Sie Liong menambahkan swnbil tersenyum pahit. Ling Ling mengerutkan alisnya.
"Liong-ko, jangan tersenyum seperti itu! Begitulah engkau tersenyum ke-tika berdiri di ambang pintu itu, ter-senyum seolah engkau melihat dunia kiamat dan engkau tidak perduli!
Tidak, koko. Siapa bilang engkau paling buruk" Bagiku, engkau gagah dan tampan!"
Sie Liong membelalakkan matanya, menatap wajah gadis itu, jantungnya berdebar keras. Dan diapun bertanya kepada matanya, bagaimana gadis itu nam-pak dalam pandangannya, dan dia meli-hat seorang gadis yang amat cantik me-nis, yang menimbulkan rasa iba dan su-ka, seorang gadis yang membuat dia me-rasa berbahagia, pandang mata yang be-ning itu seperti memberi nyala hidup dalam hatinya, senyum manis di bibir itu seperti tetesan embun pagi pada pe-rasaannya yang mulai mengering dan dia pun tiba-tiba tertawa bergelak. Suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, me-mecahkan kesunyian malam. Beberapa e-kor burung yang bertengger di pohon yang berdekatan sampai terkejut, dan bunyi kelepak sayap mereka menandakan bahwa mereka itu terkejut dan terbang pergi menjauhi suara aneh itu.
Ling Ling juga memandang kepada Sie Liong dengah sinar mata khawatir. Suara ketawa pemuda itu mula-mula perlahan, makin lama semakin kuat dan aneh-nya, ia seperti
mendengar isak tangis terselip di antara bunyi tawa itu. Se-perti terdorong oleh sesuatu, Ling Ling bangkit berdiri, menghampiri Sie Liong dan berlutut di dekat pemuda itu yang masih duduk bersila sambil tertawa. Dipegangnya pundak pemuda itu, diguncangnya dan iapun berteriak dengan geli-sah.
"Liong-ko....! Liong-ko... Kau.... kau kenapa, Liong-ko?"
Ketika merasa betapa tubuhnya diguncang-guncang, Sie Liong baru sadar. Kalau tadi ketika tertawa dia menenga-dah, kini dia menundukkan muka dan suara ketawanya terhenti. Ketika dia melihat Ling Ling di dekatnya dan gadis i-tu kelihatan gelisah hampir menangis, mengguncang pundaknya, Sie Liong ingat akan keadaan dirinya dan seperti dido-rong oleh sesuatu yang amat kuat, dia lalu merangkul.
"Ling Ling....!"
"Liong-ko.... ah, Liong-koko....!"
Keduanya Saling rangkul, hanya berpelukan saja dengan kuatnya seolah-olah ingin menjadi satu dan tidak akan berpisah lagi. Rangkulan yang penuh dengan keharuan dan rasa syukur, Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 228
tidak mengandung nafsu berahi sama sekali.
Sie Liong yang lebih dulu sadar bahwa keadaan mereka itu tidak semestinya. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya. Merasa akan hal ini, Ling Ling juga melepaskan rangkulannya akan tetapi ia diam saja ketika kedua tangannya dipegang oleh kedua tangan Sie Liong.
Mereka berhadapan, saling berpegang tangan dan dengan suara menggetar karena keharuan Sie Liong berkata lirih.
"Ling Ling, terima kasih, engkau telah mengembalikan harga diriku!"
"Dan engkau telah mengembalikan pengharapanku untuk menghadapi penghi-dupan yang kejam ini, Liong-ko."
"Nah, sekarang mengasolah. Engkau harus tidur yang enak agar besok memi-liki cukup tenaga untuk melanjutkan perjalanan, Ling Ling."
Ling Ling bangkit berdiri, lalu membongkar buntalan pakaiannya. Dikeluarkan sehelai selimut, dibentangkan selimut itu di atas rumput dekat api unggun.
"Akan tetapi engkau bagaimana, Liong-ko" Engkaupun harus mengaso!"
Pemuda itu tersenyum. "Aku sudah terbiasa dengan kehidupan begini, Ling Ling. Aku tidak perlu tidur karena ha-rus menjagamu, menjaga agar api unggun tidak padam. Tidurlah, dengan bersila saja aku akan dapat melepaskan lelah."
"Baiklah, Liong-ko," Gadis itu menguap dan menutupi mulut dengan pung-gung tangan karena ia merasa lelah se-kali dan mengantuk. Begitu ia merebah-kan diri miring, iapun pulas.
Ia mi-ring menghadap api unggun sehingga Sie Liong dapat melihat mukanya. Hatinya penuh rasa haru da
Hikmah Pedang Hijau 9 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Bentrok Para Pendekar 8
^