Kuda Putih 2

Kuda Putih Karya Okt Bagian 2


, ialah kau membutuhkan senjata yang istimewa. Cukup kau
menggunai satu atau dua jurus. Hanya di dalam gua ini, di
mana bisa didapatkan alat senjata yang diperlukan itu?"
Habis berkata begitu, Hoa Hui berdiam, otaknya bekerja.
Bun Siu pun berdiam saja, ia tidak tahu apa itu yang
dimaksudkan senjata istimewa.
Hanya sejenak Hoa Hui berpikir, segera ia mengasih lihat
roman girang. "Ada!" katanya. "Pergi kau ambil itu dua buah labu dan
juga sehelai rotan. Mari kita main bandering liusengtwie!" Ia
menunjuk. Bun Siu melihat buah labu tergantung di mulut gua,
semuanya sudah kering. Ia pergi mengambil dua buah, yang
ia kutungi, lalu mengambil juga rotan yang diminta. Ia
serahkan itu kepada si empee kurus kering.
"Bagus!" kata Hoa Hui girang. "Coba kau membuat sebuah
liang kecil pada labu itu, lalu isikan pasir."
Si nona menurut, ia lantas bekerja. Benarlah labu itu,
setelah diisi pasir dan beratnya masing-masing tujuh atau
delapan kati, dapat merupakan bandering.
"Sekarang aku akan mengajari kau satu jurus Senggoat
cenghui," kata Hoa Hui sambil menyambut! buah labu dari
tangan si nona. "Aku akan menjalankan jurus itu, kau lihatlah
baik-baik dan ingati di luar kepala."
Benar-benar, dengan perlahan, jago Selatan itu memutar
banderingnya yang istimewa itu.
Bun Siu mamasang mata, ia mengingat baik-baik.
"Senggoat cenghui" itu, yang berarti jurus "Bintang dan
rembulan bersaingan kegemilangan", yang kiri untuk
menyerang jalan darah siangkiok hiat di antara dada dan
perut, yang kanan guna menyerang punggung di mana ada
jalan darah lengtay hiat.
"Sekarang kau coba," kata si pelajar kemudian.
Bun Siu menuruti, menelad pelajar itu. Ia telah mempunyai
dasar, ia dapat mengingat dengan baik dan cepat. Setelah
beberapa kali penghunjukan, ia bisa menjalankannya dengan
baik, maka itu, mulai dari perlahan, ia mencepatkan. Sesudah
paham benar, ia baru berlatih dengan sungguh-sungguh. Ia
telah bermandikan keringat setelah berlatih satu jam tanpa
salah. "Aku bebal, belajar sebegini saja aku memakai banyak
tempo," katanya seraya menyusuri peluhnya.
"Kau tidak bebal, sebaliknya kau cerdas sekali!" Hoa Hui
memuji. "Kau jangan meragukan kefaedahannya jurus ini.
Untuk lain orang, dia perlu tempo delapan sampai sepuluh hari
untuk dapat belajar lekas seperti kau ini. Untuk melawan
seorang ahli, jurus ini tidak berarti, tetapi buat merobohkan
dua bangsat di luar, itulah berlebihan. Sekarang kau
beristirahat dulu, sebentar kau ke luar dan kau labraklah
mereka!" Bun Siu heran bukan main. "Cukup dengan ini satu jurus?"
ia tanya. Hoa Hui bersenyum. "Ya," sahutnya. "Dengan ini satu
jurus, kau telah terhitung sebagai muridku. Muridnya Itcie Cin
Thianlam tak memerlukan dua jurus guna menghadapi kedua
kurcaci itu! Apakah kau pun tidak kuatir nanti merusak nama
gurumu?" Bun Siu girang sekali. Ia pun sangat cerdik, maka lantas ia
berlutut, untuk mengangguk-angguk dengan hormatnya, guna
mengangkat guru. Ia pun menghaturkan terima kasihnya. Hoa
Hui girang berbareng duka.
"Tidak kukira, di saat kematianku, aku dapat menerima
murid secerdik kau ini," katanya, bersyukur.
"Murid pun, kecuali yaya Kee Loojin itu, tidak punya sanak
atau kadang lagi," berkata Bun Siu, menjelaskan. "Aku justeru
merasa sangat beruntung memperoleh guru sebagai suhu."
"Sudahlah," kata Hoa Hui. "Hari bakal lekas malam, pergi
kau ke luar, kau labrak kedua kurcaci itu! Kau cari tempat
yang lega di mana kau bisa bersilat dengan leluasa."
Bun Siu bersangsi. Sebenarnya, ia rada jeri.
"Jikalau kau tidak percaya aku, buat apa kau mengangkat
aku jadi gurumu?" Hoa Hui lantas menjadi gusar. "Kau tahu,
dulu hari, Binpok Sianghiong, yaitu dua jago dari Hokkian
Utara, telah terbinasa dua-duanya dengan jurus ini! Apakah
kau kira Binpok Sianghiong kalah daripada dua kurcaci itu?"
Bun Siu tidak kenal dua jago dari Hokkian Utara yang
disebutkan itu tetapi karena orang bergusar, ia paksa
membesarkan nyalinya, ia membuka sumbatan pintu gua,
lantas ia nerobos keluar, tangan kanannya memegang
banderingnya yang istimewa itu, tangan kirinya mencekal
jarum berbisa. Ia pun membarengi berseru: "Kurcaci, lihat
jarum berbisa!"
Penjahat itu, ialah si orang she Song bersama si orang she
Coan, yang menjaga di mulut gua, terkejut mendengar
disebutnya jarum berbisa, dengan lantas keduanya lari
mundur. Si orang she Song mundur juga meskipun ia telah
memikir, kalau si nona menyerang dengan jarum, tidak nanti
nona itu mengancam dulu...
Bun Siu sampai di luar dengan terus lari ke tempat lega
jauhnya belasan tombak, ketika ia berhenti dan berpaling, ia
melihat si Coan memburu kepadanya, ia lantas mengayun
tangan kirinya ke arah penjahat itu. Si Coan terkejut, dia
hendak berkelit, apamau dia terpeleset, terus saja dia
terguling. Si Song melihat kawannya roboh, dia kaget, dia lantas
memburu. Tapi kawannya itu sudah lantas bangun pula. Maka
berdua mereka merangsak. Hampir berbareng mereka kata:
"Di sini kita bereskan budak ini! Kalau dia menggunai
jarumnya, kita bisa melihatnya!"
Ketika itu matahari telah bersinar layung, kedua penjahat
itu justeru menghadapi matahari, maka mereka lantas
melengos. Sekarang mereka dapat melihat nyata senjata di
tangan si nona. Keduanya tertawa.
Hatinya Bun Siu berdebar juga. Ia benar-benar
menyangsikan ilmu banderingnya itu, sedang ilmu silat ajaran
ayah dan ibunya belum berarti. Kedua musuh itu sebaliknya
nampak sangat bengis. Tapi ia cerdik, ia berseru: "Jikalau
kamu tidak lekas mengangkat kaki, guruku bakal segera
keluar! Kau tahu guruku--Itcie Cin Thianlam" Awas kamu
terhadap jarum berbisanya! Beranikah kamu menyaterukan
guruku itu" Berapa besar nyalimu" Guruku dapat mengambil
jiwa kamu sama gampangnya seperti ia merogoh sakunya!"
Meski mereka ada orang-orang kangouw, si Coan dan si
Song itu tidak kenal Hoa Hui, dari itu sambil saling melirik,
mereka pikir: "Paling benar aku lekas-lekas membekuk dia
untuk dihadapkan kepada Hok Toaya dan Tan Jieya! Inilah
jasa! Peduli apa aku dengan Itcie Cin Thianlam?" Maka
berbareng mereka maju dari kiri dan kanan.
Hati Bun Siu gentar. "Dia maju berbareng, bagaimana aku
mesti menghajar mereka"..." pikirnya, ragu-ragu dan
berkuatir. Maka bukan ia maju melawan, ia justeru lompat
mundur tiga tindak.
Si Coan, diikuti si Song, maju terus.
Nona Lie menjadi terdesak, ia merasa ia terancam bahaya,
tidak bisa lain, terpaksa ia menggeraki tangannya, menggunai
banderingnya. Syukur ia masih ingat latihannya.
Si Coan maju di sebelah kanan, ia belum datang dekat
ketika tahu-tahu dadanya ialah jalan darah siangkiok hiat,
kena terhajar bandering istimewa itu, sedang bandering yang
kanan menghantam terbang goloknya. Hanya celaka, labu itu
pecah terbacok, pasirnya lantas terbang berhamburan!
Si Song lagi maju, tentu sekali dia tidak menduga kepada
pasir itu, maka dengan lantas dia kelilipan, hingga dia menjadi
kelabakan, tangannya dipakai untuk menutupi matanya, untuk
dikucak-kucak. Justeru dia repot sendirinya, bandering yang
lain menyambar tubuhnya, hingga segera dia terhuyung ke
arah si nona, yang dia terus sambar.
Nona Lie kaget hingga ia berteriak, dengan tangan kirinya
ia menolak tubuh si kurcaci. Tepat jarum di tangannya
menusuk perut si Song itu, hingga dia menjerit. Cuma
sekejap, penjahat ini lantas roboh binasa. Hanya, karena dia
telah dapat menjambret, dia tetap masih memeluki, si nona
sendiri tidak dapat segera berontak melepaskan diri.
Ketika itu Hoa Hui telah menyusul keluar, ketika ia melihat
keadaan muridnya itu, ia menghela napas dan berkata: "Ha,
budak tolol, budak tolol! Tadi kau dapat berlatih bagus sekali,
sekarang kau kaget dan bingung, kacau ilmu silatmu..."
Ia lantas maju mendekati, untuk mendupak si Song, atas
mana barulah penjahat itu melepaskan rangkulannya dan
roboh binasa. Bun Siu berdiri diam, saking bingung, ia tidak dapat pulang
ketabahannya dengan lekas. Sinar matanya telah benterok
sama matanya si Song, yang tubuhnya rebah jengkar,
matanya melotot, sebab dia pun mati tiba-tiba. Kemudian ia
mengawasi mayat si Coan. Hatinya lantas bekerja, memikirkan
bagaimana dalam tempo yang pendek ia telah membinasakan
lima jiwa manusia. Benar dengan begitu ia berhasil
membalaskan sakit hati ayah dan ibunya, toh hatinya tidak
tenang. Ia agaknya berduka
"Bagaimana?" berkata Hoa Hui tertawa. "Bukankah telah
terbukti kefaedahannya satu jurus ilmu silat ajarannya gurumu
ini?" "Hanya sayang muridmu menjalankannya tidak sempurna,"
kata si nona menyesal.
"Tidak apa," kata guru itu, sabar. "Kau tunggu pulihnya
tenaga dan kepandaianku, nanti aku mewariskan semua itu
kepadamu, setelah itu kita kembali ke Tionggoan, untuk
malang melintang! Siapa dapat menghalang-halangi kami"
Sekarang mari kita kembali ke rumah, untuk minum teh!"
Tanpa menanti jawaban, guru ini menarik tangan
muridnya. Mereka pergi ke kiri rimba, melewati sekumpulan
pohon yangliu, lantas sampai di sebuah gubuk.
Bun Siu turut masuk ke dalam gubuk yang buruk
perlengkapannya tetapi segalanya bersih, bahkan di tengahtengah
ruang ada sepasang papan dengan masing-masing
bertuliskan lian atau syair. Ia belum mengerti banyak surat.
Lian yang sebelah ia dapat baca, yang sebelah lagi, gelap
baginya. Tanpa ia merasa, ia membaca berulang-ulang lian
yang sebelah itu, yang berbunyi:
"Bersahabat sama-sama sehingga tua ada seumpama
memegang gagang pedang."
"Apakah kau pernah baca syair ini?" Hoa Hui tanya.
"Belum," menjawab si murid. "Suhu, apakah artinya itu?"
Guru itu berdiam sejenak. Ia menjadi ingat bahwa telah
dua belas tahun ia mengeram di wilayah Hweekiang ini.
Dulunya ia mempelajari ilmu surat, lalu batal, ia menukar
dengan ilmu silat, meski begitu, ia tetap dandan sebagai
pelajar. Inilah disebabkan ia masih menggemari pelajaran
surat itu. "Itulah syairnya Ong Wie," ia menyahut sesaat kemudian.
"Yang di atas itu berarti, meskipun kau mempunyai seorang
sahabat kekal dengan siapa kau hidup bersama-sama sampai
di hari tua, kau toh tetap tidak dapat mempercayai sahabatmu
itu, sebab secara diam-diam dia dapat mencelakai kau, maka,
meskipun dia berjalan di sebelah depan, baiklah kau terus
meraba gagang pedangmu. Tegasnya, hati manusia itu
jungkir balik bagaikan gelombang. Artinya syair yang di bawah
yakni bahwa sahabatmu itu telah menjadi beruntung dan telah
menjadi orang berpangkat besar, meski begitu seandai kau
mengharap bantuannya, untuk membantu mengangkat kau,
pengharapanmu itu melainkan membangkitkan tertawaannya
saja." Mendengar keterangan itu, Bun Siu mengerti kenapa guru
ini senantiasa mencurigai ia, meskipun terhadap si guru tidak
ada niatnya mencelakai. Maka ia mau percaya, mungkin
tadinya guru ini pernah dicelakai orang, karena mana dia
menulis syair peringatan itu untuk mencatat hati manusia
yang gampang berubah.
Habis itu, Nona Lie masak air, untuk menyeduh teh, maka
tidak lama kemudian, setelah minum air panas, mereka
merasa segar sekali.
"Suhu, aku hendak pulang," kata Bun Siu sekian lama.
Hoa Hui melengak, ia mengawasi. Agaknya ia putus asa.
"Kau mau pergi?" katanya, menyesal. "Jadi kau tidak mau
turut aku untuk belajar silat lebih jauh?"
"Bukan begitu, suhu," kata si nona, menerangkan. "Satu
malam aku tidak pulang, tentulah Kee Loojin berkuatir dan
memikirkannya tak habisnya. Sekarang aku hendak pulang
untuk memberi keterangan padanya, habis itu, baru aku akan
kembali." Mendadak Itcie Cin Thianlam menjadi gusar.
"Jikalau kau memberi keterangan padanya, nah untuk
selamanya kau jangan kembali padaku!" ia membentak.
Bun Siu kaget dan takut, ia menjadi bingung.
"Aku tidak dapat tidak memberi keterangan pada Kee
Loojin," katanya perlahan. "Dia itu baik sekali dan sangat
menyayangi aku..."
"Terhadap siapa pun kau tidak boleh omong tentang kita di
sini!" kata Hoa Hui, bengis. "Kau mesti angkat sumpah untuk
tidak menyebutkan apa juga mengenai kita, atau aku akan
tidak ijinkan kau berlalu dari sini!" Baru ia menyebut "sini" itu
atau ia menjerit "Aduh!" keras sekali dan tubuhnya segera
roboh, bahkan ia terus pingsan. Itulah disebabkan ia berbicara
keras-keras, lukanya mendatangkan rasa nyeri yang hebat.
Bun Siu kaget sekali, tapi ia masih ingat untuk mengasih
bangun, guna menolongi. Ia membasahkan jidat orang
dengan air dingin.
Selang sesaat, Hoa Hui mendusin.
"Eh, kau masih belum pergi?" tanyanya heran.
"Suhu, apakah punggungmu masih sakit?" si nona balik
menanya. Ia tidak sempat menjawab.
"Sedikit mendingan," sahut guru itu. "Kau membilang
hendak pergi pulang, kenapa kau belum pergi?"
"Sebelum suhu sembuh, aku tidak mau pergi," sahut Bun
Siu. "Biar aku menanti pula beberapa hari lagi." Di dalam
hatinya, ia pikir: "Kee Loojin paling juga memikirkan aku tetapi
suhu perlu rawatan."
Senang Hoa Hui mendengar jawaban itu, karenanya ia
tidak bergusar terus.


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bun Siu pun senang. Ia hanya merasa sulit untuk tabiat
aneh guru ini. Ia lantas mencari rumput kering, untuk
dijadikan kasur darurat, yang mana ia gelar di ruang depan
itu. Ketika ia tidur pulas, beberapa kali ia mendusin dengan
mendadak. Ia terganggu impian-impian yang dahsyat,
umpamanya penjahat datang membekuk padanya, atau
setannya si penjahat, dengan berlepotan darah, datang
menagih jiwa terhadapnya...
Besoknya pagi, Bun Siu mendusin dengan hati lega. Ia
mendapatkan gurunya segar sekali. Ia lantas masak nasi,
untuk mereka dahar. Setelah datangnya waktu senggang, Hoa
Hui lantas memberikan pelajaran silat. Dia mulai dengan
pokoknya lweekang, atau ilmu dalam.
"Kau telah berusia tinggi, untuk belajar silat, kau
memerlukan tempo lebih banyak daripada seharusnya," Hoa
Hui memberi keterangan. "Tapi kau jangan kuatir, meski
usiamu tinggi, itu dapat ditutup dengan kecerdasanmu serta
dengan adanya guru bukan sembarang guru. Didalam lima
tahun aku tanggung kau akan jarang tandingannya di dalam
Rimba Persilatan."
Bun Siu tidak bilang apa-apa kecuali menghaturkan terima
kasih. Ia belajar dengan rajin dan tekun. Didalam tempo
delapan hari, ia telah memperoleh kemajuan, sedang lukanya
Hoa Hui mulai sembuh. Baru setelah itu ia kasih tahu gurunya
ini untuk pulang dulu, guna menemui Kee Loojin. Kali ini Hoa
Hui tidak main bentakbentak lagi, dia tidak sampai memaksa
muridnya mengangkat sumpah. Begitulah ia pulang dengan
menunggang kuda putihnya. Ia menetapi janji, ia tidak
mengasih tahu Kee Loojin tentang pertemuannya sama Hoa
Hui disebabkan ia terancam bahaya, la mendusta bahwa ia
kesasar di Gobi, sampai ia bertemu dan ketolongan
serombongan kafilah.
Kee Loojin percaya keterangan itu, maka dia tidak menanya
melit-melit, dia hanya merasa girang.
Semenjak itu setiap sepuluh hari atau setengah bulan, Bun
Siu pergi kepada Hoa Hui, untuk berdiam dengannya beberapa
hari. Selama beberapa hari itu, ia belajar dengan rajin sedang
gurunya mengajari dengan sungguh-sungguh. Karena ia tidak
memikirkan lain, gangguan apa jua tidak ada, ia memperoleh
kemajuan pesat. Jadi benar pembilangan gurunya, ialah murid
cerdas, dan si guru bukan sembarang guru...
Tanpa merasa, tiga tahun telah lewat.
Satu kali dengan girang Hoa Hui kata pada muridnya:
"Dengan kepandaian kau sekarang, kau telah termasuk kaum
kangouw kelas satu. Kalau kau pulaug ke Tionggoan, asal kau
memperlihatkan kepandaianmu, kau akan menjadi kesohor."
Bun Siu merasa senang tetapi ia tahu ia baru menyangkok
kepandaian gurunya dua tiga bagian, maka ia belajar terus
dengan tetap rajin. Karena itu selanjutnya lebih sedikit harinya
ia berdiam sama Kee Loojin, lebih banyak ia tinggal bersama
gurunya itu. Beberapa kali sudah Kee Loojin menanya ia pergi
ke mana saja, ia menggunai pelbagai alasan untuk menutup
rahasianya, agar ia tidak melanggar pesan gurunya.
Selanjutnya, Kee Loojin tidak pernah menanyakan lagi.
Pada suatu hari Bun Siu pulang dari rumah gurunya.
Biasanya ia mengambil jalan mutar, tidak mau ia melintasi
bukit kecil tempat terbunuhnya serigala, tetapi kali ini, ia
terpaksa jalan di situ. Sebabnya ialah mega mendung dan
angin utara bertiup keras, tandanya bakal datang badai salju.
Ia pun melarikan kudanya keras-keras. Ia melihat kawanan
penggembala repot menggiring kambing mereka pulang. Di
tengah udara tak nampak seekor jua burung gagak. Justeru
itu, untuk herannya, ia mendapatkan satu penunggang kuda
tengah mendatangi dengan binatang tunggangannya
dikaburkan. Ia menjadi heran.
"Badai salju segera bakal datang, kenapa dia justeru keluar
dari rumahnya?" ia pikir. Maka ia mengawasi.
Kapan penunggang kuda itu telah datang cukup dekat, Bun
Siu melihat seorang nona Kazakh yang mengerobongi tubuh
dengan mantel merah. Ia pula lantas mengenali Aman, yang
tubuhnya langsing dan romannya cantik. Karena, ia tidak ingin
menemui nona itu, ia larikan kudanya ke belakang bukit,
untuk mengintai.
Tiba di depan bukit, Aman bersiul nyaring, atas mana,
siulannya itu mendapat jawaban yang serupa, disusul
munculnya seorang anak muda, yang datang menghampirkan,
maka sebentar saja, keduanya sudah saling rangkul. Pula
ramai suara mereka tertawa.
"Badai salju bakal lekas datang, kenapa kau keluar juga?"
demikian si pemuda tanya.
Bun Siu mengenali suaranya Supu, sahabat kekalnya itu.
"Hai, si cilik tolol!" kata Aman, tertawa. "Kau tahu badai
salju bakal turun, kenapa kau juga keluar dan menantikan aku
di sini?" Supu tertawa "Setiap hari kita bertemu di sini" katanya, gembira.
"Pertemuan kita ini lebih penting daripada makan nasi! Biarnya
ada ancaman golok atau pedang, pasti aku akan menunggui
kau di sini!"
Aman tertawa pula.
Keduanya lantas duduk berendeng di bukit kecil itu,
keduanya bicara tak hentinya.
Mereka bicara tentang asmara
Bun Siu mengintai di balik beberapa pohon besar, ia berdiri
tercengang. Ia telah mendengar nyata setiap perkataan
pemuda dan pemudi itu, kecuali di saat mereka itu seperti
berbisik. Kemudian lagi, ia terkejut ketika tidak keruan-keruan
pasangan muda-mudi itu tertawa dengan keras.
Nona Lie mendengar seperti tidak mendengar. Melihat
tingkah laku muda-mudi itu, di depan matanya berbayang
peristiwa dari masa ia masih kecil. Di situ pun ada berduduk
berendeng dua bocah, yang satu pria, yang lain wanita.
Mereka itu erat sekali perhubungannya. Merekalah Supu dan
ia sendiri. Di sana mereka biasa saling mendongeng, sampai
itu hari mereka diserang serigala yang ganas. Apa yang
mereka biasa omongi, ia seperti sudah lupa. Sebab sepuluh
tahun telah berselang. Hanya sekarang, melihat Supu bersama
Aman itu, ia terkenang akan masa yang lampau itu.
Segera sang salju mulai turun, sedikit demi sedikit, tetapi
lama-lama, kuda mereka, pula kepala mereka bertiga, mulai
putih ketutupan bunga salju. Juga tubuh mereka mulai
ketutupan. Supu dan Aman seperti tidak menghiraukan salju
itu. Dan Bun Siu pun tidak mempedulikannya.
Lagi sekian lama, barulah Supu dan Aman dibikin kaget
hingga keduanya berlompat bangun. Di pohon kayu di dekat
mereka terdengar suara berisik.
"Ha, air batu turun!" seru si pemuda. "Mari lekas pulang!"
Aman menurut, tanpa banyak omong lagi, mereka naik
kuda mereka dan melarikannya.
Bun Siu bagaikan tersadar mendengar seman mereka itu.
Ia pun lantas merasakan jatuhnya hujan air batu itu, yang
mengenakan kepalanya, mukanya dan tangannya, hingga ia
merasa sakit. Tanpa ayal lagi, ia lari pulang. Begitu ia tiba di
depan rumahnya, ia heran. Di muka rumah ada tertambat dua
ekor kuda, satu antaranya ia kenali adalah kudanya Aman.
"Mau apa mereka datang ke rumahku?" pikirnya. Sambil
menerka-nerka, ia turun dari kudanya, untuk dituntun ke
belakang. Hujan air batu bertambah keras turunnya.
Setelah ia memasuki ruang belakang dari rumahnya, Bun
Siu mendapat dengar suaranya Supu, katanya: "Paman, hujan
es turun secara besar-besaran, terpaksa kita mesti berdiam
lamaan di sini."
"Tetapi ingat, di hari-hari biasa, walaupun aku
mengundang, tidak nanti kau datang ke mari," terdengar
suaranya Kee Loojin.
"Tunggu, nanti aku mengambil air teh."
Memang juga, sekarang ini sukar untuk Kee Loojin,
umpamanya...... hendak mengundang Supu. Semenjak orangorang
Chin Wie Piauwkiok mengganas, orang Kazakh jadi
sangat mencurigai orang Han. Benar Kee Loojin sudah tinggal
lama di antara mereka itu dan terkenal baik, tetapi orang jadi
tidak suka bergaul dengannya. Bagusnya, dia tidak sampai
diusir pergi. Sebaliknya, tendanya Supu dan Aman telah
dipindah semakin jauh, hingga sukar mereka datang ke rumah
Kee Loojin itu. Kali ini kebetulan saja mereka ini ditimpa hujan
es. Kee Loojin pergi ke dapur. Ia heran melihat Bun Siu sudah
pulang dan lagi berdiri bengong muka merah.
"Kau... sudah pulang?" katanya. Orang tua itu heran akan
tetapi ia mengangguk.
Tidak lama maka Kee Loojin sudah keluar dengan
membawa susu kambing, koumiss dan teh merah, untuk
menyuguhkan tetamunya.
Bun Siu duduk di dekat dapur, sambil menghangatkan diri,
ia memasang kuping. Ia mendengar suaranya Supu dan
Aman, yang kadang-kadang tertawa. Hampir ia berbangkit,
untuk pergi ke luar, untuk berbicara sama mereka itu.
"Tidak ada halangannya toh?" pikirnya Hanya, dalam
sekejap, ia menahan hati. Itulah sebab ia lantas ingat
sikapnya ayah Supu, yang galak, mulutnya gampang
mendamprat, cambuknya gampang merangket.
Ketika Kee Loojin kembali ke dapur, untuk membagi susu
dan teh pada si nona, ia heran melihat sinar mata nona itu.
Sudah belasan tahun mereka tinggal bersama, mereka mirip
kakek dan cucu sejati, tetapi mereka tetap bukan asal sedarah
sedaging, si empee sukar menjajaki hati si nona.
Setelah mengawasi, mendadak Bun Siu kata pada si
empee: "Aku hendak menyamar sebagai seorang nona
Kazakh, aku akan datang untuk numpang berlindung dari
hujan es, jangan yaya membuka rahasia." Tanpa menanti
jawaban, ia lekas pergi ke kamarnya, untuk dandan, pula ia
rubah sanggulnya. Sudah lama ia tinggal di wilayah
Hweekiang ini, ia jadi mirip dengan bangsa Kazakh. Habis
dandan, ia pergi pula ke dapur, kepada si empee, memberi
tanda dengannya. Baru ia pergi ke luar, untuk berlalu dengan
kudanya dengan manda ditimpa hujan es. Hanya kabur belum
satu lie, ia sudah lari kembali. Di depan rumahnya, ia
mengetuk pintu. Ia jeri juga ketika melihat cuaca yang luar
biasa. Sudah sepuluh tahun lebih ia tinggal di Hweekiang ini,
belum pernah ada hujan es lebat begini, dan awan pun
mendung sekali. Sambil mengetuk-ngetuk pintu, ia mengasih
dengar suaranya: "Mohon numpang! Mohon numpang!"
Kee Loojin membukai pintu. "Nona ada urusan apa?" ia
tanya. "Hujan es hebat sekali, aku mohon menumpang
berlindung," menyahut Bun Siu.
"Boleh, boleh!" menyahut si empee, yang terpaksa main
sandiwara. "Di dalam pun ada dua sahabat lagi menumpang
berlindung. Mari masuk, nona!"
"Aku hendak pergi ke Huangsha Weitze, dari sini
perjalanannya masih berapa jauh lagi?" Bun Siu berlagak
menanya. Ia menggunai bahasa Kazakh. Ia senang si empee
dapat main sandiwara baik sekali. Kee Loojin berlagak kaget.
"Nona mau pergi ke sana" Ah, tidak dapat! Dengan cuaca
seburuk ini, tidak nanti kau dapat tiba di sana. Lebih baik nona
singgah satu malam di sini, besok baru kau melanjuti
perjalananmu. Kalau kau tersesat, itulah celaka..."
Bun Siu bertindak masuk, ia menggibriki es dari bajunya. Ia
melihat Supu dan Aman duduk berendeng menghadapi api.
Aman melihat yang datang adalah seorang nona, ia lantas
berkata manis: "Kakak, kita ketimpa hujan, mari
menghangatkan diri di sini!"
"Baiklah, terima kasih!" Bun Siu menyahuti. Ia lantas duduk
di samping nona Kazakh itu. Supu mengangguk seraya
bersenyum. Ia tidak mengenali nona itu, yang telah berpisah
dari ianya selama delapan atau sembilan tahun. Sekarang si
nona cilik telah menjadi dewasa, dandanannya pun lain sekali.
Kee Loojin menambah susu dan teh, ia bicara sama
tetamunya ini seperti mereka adalah orang-orang asing benarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
benar. Bun Siu pun belajar kenal pada pemuda dan pemudi
itu. Ia sendiri mengaku bernama Tangsanli, gadisnya pemilik
sebuah peternakan di tempat jauhnya dua ratus lie dari situ.
Supu beberapa kali melongok ke jendela, untuk melihat
udara, meskipun sebenarnya, dengan mendengar suara hujan,
ia sudah dapat tahu hujan tak akan berhenti lekas-lekas.
Aman berkuatir, diam-diam ia tanya Supu kalau-kalau
gubuknya si orang tua ini tidak bakal ambruk diserang hujan
dan angin keras itu.
"Aku hanya menguatirkan wuwungan tidak dapat menahan
beratnya es dan salju," kata Supu. "Nanti aku naik ke atas,
untuk menyingkirkannya."
"Awas, nanti kau kena tertiup angin dan terbawa pergi!"
kata si pemudi.
Supu tertawa ketika ia menjawab: "Di tanah telah
bertumpuk banyak salju, umpama kata benar aku jatuh, toh
tidak nanti membahayakan!..."
Pikiran Bun Siu kusut. Ketika ia mengangkat cawannya,
tangannya bergemetaran. Ia mesti menyaksikan eratnya
hubungan muda-mudi itu. Ia sendiri tidak tahu mesti
mengatakan apa. Sahabatnya di masa kecil duduk dekatnya
tetapi mereka tidak dapat bicara satu dengan lain dengan
leluasa seperti duluhari. la pun memikirkan apa benar-benar
Supu tidak mengenalinya. Di lain pihak, ia ingin Aman tidak
mengetahui tentang persahabatan mereka...
Hari makin gelap. Diam-diam Bun Siu menggeser diri,
supaya Aman dan Supu dapat ketika untuk saling
menggenggam tangan mereka, untuk bicara tanpa terdengar
lain orang. Cahaya api, yang memain, pula memain di antara
mukanya muda-mudi itu. Cuma muka Bun Siu tak terlihat,
sebab ia berpisah cukup jauh dari unggun itu.
Kembali Kee Loojin menyajikan barang makanan. Hanya
mereka bertiga agaknya tidak ada napsu daharnya...
Selagi ruang ada sangat sunyi itu, di luar terdengar suara
larinya kuda di atas salju. Bun Siu mendengar, orang lagi
mendatangi ke gubuknya itu. Ia pun mengetahui, kuda itu
seperti sudah letih sekali.
Kee Loojin dapat mendengar suara kuda setelah datangnya
sudah dekat sekali.
"Kembali ada orang berlindung dari angin dan hujan..."


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya Supu berdua Aman mungkin mendengar dan mungkin
tidak, mereka tidak mempedulikan, mereka lebih asyik
menggenggam terus tangan mereka satu dengan lain, untuk
bicara saling berbisik...
Hanyalah sesaat, seorang penunggang kuda tiba lebih dulu.
Lantas terdengar ia menggedor pintu, bukan lagi mengetuk,
dan suaranya pun keras dan kaku, tidak miripnya orang yang
mau mohon menumpang singgah.
Dengan alis berkerut, terpaksa Kee Loojin membukai pintu.
Di depannya terlihat seorang yang tubuhnya besar, yang
mengenakan baju lapis kulit kambing, sedang di pinggangnya
tergantung pedang.
"Angin dan salju besar sekali, kudaku tidak dapat berjalan
terus!" dia kata keras. Dia bicara dalam bahasa Kazakh akan
tetapi tidak lancar dan suaranya pun tidak wajar. Dengan
mata tajam, ia memandangi semua orang yang berada di
dalam ruang itu.
"Silahkan masuk," Kee Loojin mengundang. "Silahkan
duduk! Mari minum arak!"
Tuan rumah yang tua ini ramah-tamah, ia lantas menuangi
arak dan menyuguhkannya.
Tetamu itu meminum araknya sekali cegluk, lantas dia
duduk di dekat api. Dia membuka baju luarnya, hingga di kiri
kanan pinggangnya terlihat juga sepasang pedang kecil
dengan gagang emas yang berkeredepan.
Bun Siu dapat melihat sepasang pedang itu, hatinya
bercekat, kerongkongannya seperti tersumbat sesuatu. Yang
lebih hebat matanya menjadi kabur, kepalanya menjadi
pusing. Tapi ia masih dapat berkata di dalam hatinya: "Inilah
pedang ibu!"
Meskipun waktu ibunya terbinasa ia masih berusia belum
sepuluh tahun, pedang ibunya itu Bun Siu ingat baik sekali, ia
mengenalinya tanpa keliru. Maka ia lantas melirik pada ini
tetamu yang kasar. Segera ia ingat orang ini ada satu di
antara tiga kepala penyamun yang mengejar-ngejar mereka
satu keluarga. Ia sendiri telah berubah banyak tetapi penjahat
itu, yang dulu berumur tiga puluh lebih dan sekarang menjadi
empat puluh lebih, sedikit perubahannya. Tapi ia kuatir orang
nanti mengenali padanya, ia tidak mau mengasih lihat
mukanya. Ia pikir pula: "Coba angin dan salju tak sebesar ini
tidak nanti aku bertemu sama Supu dan ini manusia jahat."
"Tuan dari mana?" Kee Loojin bertanya. "Tentu dari tempat
jauh ya?" "Hm!" jawabnya tetamu itu, yang kembali menenggak
secawan arak. Itu waktu tibalah penunggang kuda yang kedua. Kali ini
pintu diketuk dengan perlahan, seperti juga orang itu takut
membikin kaget tuan rumah.
Kee Loojin kembali membukai pintu, mengundang
tetamunya masuk.
Tubuh orang itu menggigil, mukanya pun ditutupi sabuk
bulu kambing dan kopiahnya dibelesaki menutupi seluruh
jidatnya, hingga ia terlihat saja kedua matanya. Ia mengasih
dengar suara aa-u-u dan kedua tangannya digerak-geraki.
Nyata ia seorang gagu.
Dengan gerakan tangan, Kee Loojin mengundang orang
berduduk, terus ia menyuguhkan arak.
Si gagu memberi hormat sambil menjura dalam, kepalanya
digoyangi. Ia menolak meminum arak. Dengan itu ia
menghaturkan terima kasihnya. Ia kedinginan sangat, meski
sudah mendampingi api, ia masih tidak mau membuka baju
atau kopiahnya atau sabuknya. Ia bahkan duduk merengkat.
"Kau minum arak, rasa dingin akan berkurang," kata Bun
Siu, yang merasa berkasihan.
Kembali si gagu aa-u-u ia seperti tak mengerti omongan
orang. "Siapa gagu, dia pun tuli," kata Kee Loojin. "Dia ini tidak
mendengar suara orang." Bun Siu tertawa "Ya, aku lupa!"
katanya Di situ berkumpul semuanya enam orang bersama
mereka, Supu dan Aman tidak dapat lagi berbisik-bisik. Ketika
Supu sudah mengawasi tuan rumah sekian lama, ia berkata:
"Empee, kaulah orang Han. Dapatlah aku menanyakan
tentang sesuatu orang?"
"Siapa ya?" si empee balik menanya.
"Dialah seorang nona Han dengan siapa aku pernah hidup
bersama selagi kita masih kecil, sering kita main-main
berdua," menerangkan Supu.
Bun Siu terkejut, ia lekas melengos.
"Dia bernama Lie Bun Siu," Supu menambahkan
sebelumnya si orang tua menyahuti. "Sudah selang delapan
atau sembilan tahun kita berpisah lantas kita tidak bertemu
pula satu dengan lain. Aku ingat dia membilangnya bahwa ia
tinggal bersama seorang tua yang bungkuk punggungnya.
Bukankah orang tua itu empee adanya?"
Kee Loojin batuk-batuk. Ia ingin memperoleh
penghunjukan dari Bun Siu tetapi si nona lagi berpaling ke lain
arah. Ia menjadi bingung hingga ia cuma dapat berkata: "Ah,
ah..." "Dialah nona yang nyanyinya paling merdu," berkata pula
Supu, "hingga orang mengatakan suaranya lebih merdu
daripada nyanyiannya si burung nilam. Selama beberapa
tahun ini tidak pernah aku mendengar pula nyanyiannya itu.
Empee, apakah dia masih tinggal bersama empee disini?"
"Tidak... tidak..." kata si empee, tak lancar. "Dia tidak..."
"Oh, kau maksudkan si nona Han yang dulu tinggal
bersama empee ini..." tiba-tiba Bun Siu campur bicara. "Aku
kenal dia Dia telah meninggal dunia pada enam atau tujuh
tahun yang lalu!"
Pemuda Kazakh itu kaget.
"Ah, dia telah meninggal dunia!" serunya. "Kenapa dia
mati?" Kee Loojin melirik Bun Siu. "Dia sakit... sakit..." ia
menyahuti. Matanya Supu menjadi merah.
"Ketika kita masih kecil, biasa kita menggembala kambing
bersama," ia bilang, suaranya parau. "Dia sering bernyanyi
untuk aku mendengari, dia juga gemar mendongeng. Baru
beberapa tahun tidak bertemu, aku tidak sangka dia telah
menutup mata."
"Ya, kasihan anak itu..." kata Kee Loojin.
Supu mendelong mengawasi perapian.
"Dia pernah membilangi aku bahwa ayah dan ibunya telah
dibinasakan orang jahat," katanya pula kemudian, "karenanya
dia jadi hidup sebatang kara dan menderita di sini..."
"Apakah nona itu cantik?" Aman tanya. Baru sekarang dia
turut bicara. "Ketika itu aku masih kecil, aku tidak ingat jelas,"
menjawab Supu. "Aku cuma tahu dia pandai bernyanyi,
suaranya merdu, serta dia gemar bercerita, dan ceritanya
menarik hati..."
Sekonyong-konyong si orang kasar menyeletuk: "Kau
maksudkan si bocah Han" Kau bilang dia she Lie" Bahwa ayah
dan ibunya terbinasakan orang hingga dia terlantar seorang
diri?" Nyerocos pertanyaannya orang asing ini.
"Benar. Kau juga kenal dia?" Supu menjawab seraya balik
bertanya. Orang itu tidak menjawab, hanya dia menanya pula: "Dia
menunggang seekor kuda putih, bukankah?"
"Benar," menyahut Supu. "Jadi kau pun telah mengenal
dia." Mendadak orang itu berbangkit.
"Dia mati di sini?" dia tanya Kee Loojin, bengis.
"Ya," menyahut si orang tua, yang terpaksa bersandiwara
terus. "Kau tentunya menyimpan baik-baik segala barang
peninggalannya?" tanya orang asing itu.
Kee Loojin heran, ia mengawasi orang sambil melirik.
"Apa hubungannya barang orang itu denganmu?" ia tanya.
"Ada serupa barangku telah dicuri nona itu!" menyahut si
tetamu kasar. "Aku telah cari dia di mana-mana kiranya dia
sudah mampus..."
Tiba-tiba Supu berbangkit.
"Kau ngoceh tidak keruan!" bentaknya. "Cara bagaimana
Nona Lie dapat mencuri barangmu?"
"He, kau tahu apa?" balik tanya orang itu.
"Nona Lie bersama aku hidup bersama-sama semenjak
masih kecil," kata Supu.
"Aku tahu dialah satu nona yang baik hatinya, tidak nanti
dia mencuri barang orang!"
Orang itu melirik, sikapnya tawar.
"Dia justru telah mencuri barangku!" ejeknya.
Supu memegang gagang golok di pinggangnya.
"Siapa namamu?" dia tanya. "Aku lihat kau bukan orang
Kazakh! Mungkin kaulah si penyamun bangsa Han!"
Orang itu tidak menyahuti, dia hanya bertindak ke pintu,
lalu mementangnya, hingga angin dingin menghembus masuk,
membawa sekalian banyak lempengan salju. Di luar, salju
melulahan di mana-mana orang dan binatang pasti tidak dapat
berlalu-lintas lagi di sana Dia pikir: "Di waktu begini tentulah
tidak bakal ada orang datang kemari! Di sini ada dua nona
yang lemah, seorang tua yang lemah juga dan si gagu itu
yang bercacad, asal aku menggeraki tanganku, dia tentu
roboh! Tinggal ini satu pemuda, yang romannya kekar, dia
mungkin memerlukan beberapa jurus untuk merobohkannya."
Karena berpikir demikian, ia lantas mengambil keputusan.
"Benar aku orang Han!" katanya, menantang. "Habis kau
mau apa" Aku she Tan, namaku Tat Hian, orang kangouw
menyebutnya Cheebong Kiam, si Pedang Ular Naga Hijau!
Binatang cilik, kau dengar tidak?"
Supu tidak mengetahui tentang kaum kangouw ia
menggeleng kepala.
"Aku belum pernah mendengar," sahutnya. "Kau jadinya
penyamun bangsa Han?"
"Tuan besarmu satu piauwsu, hidupnya justru membasmi
perampokan!" kata Tat Hian pula "Mengapa kau bilang aku
penyamun?"
Mendengar orang bukannya penyamun dan keterangan itu
ia mau percaya, sikapnya pemuda Kazakh ini menjadi sabar.
Ia kata: "Bagus kalau kau bukan penyamun bangsa Han! Aku
memang tahu banyak orang Han orang baik-baik, tetapi
banyak bangsaku yang tidak mempercayainya. Untuk kau,
baiklah kau jangan menyebut-nyebut pula bahwa Nona Lie itu
telah mengambil milikmu!"
Tapi Tan Tat Hian tertawa dingin.
"Perempuan itu sudah mati, untuk apa kau masih
mengingati dia?" katanya.
"Semasa hidupnya, kita adalah sahabat-sahabat baik,"
berkata Supu, "maka itu setelah dia menutup mata, dia tetap
sahabatku. Aku melarang orang omong jelek tentangnya!"
Tat Hian tidak ingin berebut mulut, maka ia menoleh
kepada Kee Loojin.
"Mana barang-barangnya si nona?" tanyanya.
Sementara itu Bun Siu bersyukur yang Supu masih ingat ia
dan membelanya. "Dia tidak melupai aku, dia tidak melupai
aku," katanya dalam hatinya "Dia tetap baik terhadapku..."
Tapi ia heran untuk sikapnya Tat Hian itu. Pikirnya: "Tidak
pernah aku mengambil barang dia, kenapa dia menuduh aku
mencurinya?" Ia tak sadar akan kelicikan orang.
"Kau kehilangan barang apa, tuan?" tanya si empee Kee.
"Nona kecil itu polos dan jujur, inilah aku ketahui, maka itu
tidak dapat dia mengambil barang lain orang."
"Itulah sehelai peta!" menyahut Tat Hian setelah berdiam
sejenak. "Untuk lain orang, peta itu tidak ada artinya, sebab...
Itulah gambar lukisan yang dibuat almarhum ayahku, maka
perlu aku mendapatkannya pulang. Nona Lie tinggal di
rumahmu ini kau tentunya pernah melihat itu."
"Bagaimana sebenarnya lukisan itu" Apakah gambar sansui
atau orang?" Kee Loojin menanya pula.
"Ya, gambar sansui..." sahut Tat Hian.
"Hm!" Supu tertawa dingin. "Gambar atau peta apa masih
tidak tahu tetapi berani sembarang menuduh orang!"
Gusar Tat Hian, maka ia menghunus pedang kecilnya.
"Bangsat kecil, apakah kau sudah bosan hidup?" dia
menegur. "Tuan besarmu biasa membunuh orang tanpa
menutup matanya!"
Supu pun menghunus golok pendeknya.
"Tidak gampang untuk membunuh seorang Kazakh!"
katanya menantang, suaranya dingin.
"Supu, jangan ladeni dia!" berkata Aman.
Supu mendengar kata, dengan ayal-ayalan ia masuki
goloknya ke dalam sarungnya.
Telah bulat tekadnya Tan Tat Hian mendapatkan peta dari
Istana Rahasia Kobu, untuk itu sudah belasan tahun dia dan
kawan-kawannya hidup di wilayah Hweekiang ini di mana
mereka merantau ke banyak tempat, sekarang dia mendapat
endusan tentang si Nona Lie, turunannya Pekma Lie Sam,
mana dia mau melepaskannya dengan gampang" Dia memang
bangsa kasar, tetapi dia bisa berpikir. Dia mengerti, tak sabar
artinya gagal. Maka dia cuma mendelik kepada Supu, lalu dia
berpaling pula kepada tuan rumah yang tua itu.
"Peta itu ialah sebuah gambar," katanya. "Itulah lukisan
dari pemandangan alam di suatu tempat di gurun pasir, ada
gunungnya, ada kalinya..."
Hati si empee terkesiap, sedang tubuh si gagu menggigil.
"Kenapa kau ketahui peta atau gambar itu ada di
tangannya si Nona Lie?" empee Kee tanya pula kemudian.
"Apa yang aku bilang ini ada hal yang benar," menyahut
Tat Hian. "Jikalau kau serahkan peta itu padaku, suka aku
memberi hadiah besar padamu." Ia lantas merogoh keluar dua
potong goanpoo emas, yang ia terus letaki di atas meja. Uang
emas itu mengeluarkan sinar berkeredepan yang
menggiurkan. Empee Kee berdiam berpikir. "Sebenarnya aku
belum pernah melihat barang itu," katanya.
"Aku hendak melihat semua barang peninggalannya nona
kecil itu!" kata Tat Hian.
"Ini... ini..." empee itu bersangsi. Tangan kirinya Tat
Hian bergerak, maka sebatang pedang kecilnya nancap di
meja.

Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini... ini...apa?" bentaknya. "Nanti aku lihat sendiri!" la
menyulut sebatang lilin, dengan bengis ia menolak pintu
dalam, untuk masuk ke kamar. Paling dulu ia masuki
kamarnya si empee. Ia membalik-balik tempat pakaian.
Kemudian ia masuk ke kamarnya Bun Siu. Di sini ia
mendapatkan baju si nona, yang tadi dia loloskan, untuk
menyalin pakaian sebagai nona Kazakh.
"Ha dia mati sesudah besar!" katanya si piauwsu
penyamun. Ia lantas memeriksa dengan terliti.
Di situ ada pakaiannya Nona Lie semenjak dia masih kecil,
benar pakaian itu sudah tidak dapat dipakai tetapi sebab itu
buatan ibunya sendiri, dia menyimpannya terus. Melihat
pakaian itu, Tat Hian samar-samar mengingat roman dan
potongan tubuh Bun Siu semasa kecilnya itu, ketika mereka
mengejar-ngejarnya di gurun pasir.
"Benar! Benar!" katanya girang. "Benar dia!" Hanya setelah
mencari sekian lama, ia tidak mendapatkan barang yang ia
cari. Supu gusar bukan main menyaksikan orang mengadukaduk
pakaian Bun Siu, beberapa kali sudah ia memegang
goloknya, untuk dicabut, saban-saban Aman mencegahnya.
Kee Loojin sendiri saban-saban melirik kepada Bun Siu,
sinar mata siapa menyala bagaikan api, hanya nona itu,
mengenai sepak terjangnya Tat Hian, seperti tidak melihatnya.
Maka masgullah orang tua ini. Ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Bagaimana kalau penyamun ini mengenali si nona"
Bun Siu memperhatikan sikapnya Supu. Ia berduka, ia pun
merasa puas. "Benar-benar dia masih ingat aku," pikirnya. "Agaknya dia
bersedia bertempur untuk membelai barang-barangku." Di lain
pihak, ia tetap heran atas sikapnya si orang jahat. Pikirnya:
"Mengapa dia berkeras menuduh aku mencuri barangnya"
Peta apakah itu?"
Memang duluhari Bun Siu disesapkan peta oleh ibunya
hanya ia belum tahu apa-apa, ibunya pun tidak sempat lagi
memberi keterangan padanya, la juga tidak tahu yang
kawanan piauwsu dari Chin Wie Piauwkiok, yang berubah
menjadi penyamun, telah mencari itu selama sepuluh tahun
lebih. Sia-sia Tat Hian menggeledah sekian lama, ia nampak
masgul dan putus asa. Tapi tidak lama, mendadak dia
menanya bengis: "Di manakah kuburannya?"
Kee Loojin melengak. Itulah pertanyaan yang ia tidak
sangka. "Dia dikubur jauh, jauh sekali..." sahutnya gugup.
Tat Hian menurunkan pacul dari dinding.
"Mari antar aku!" katanya.
Supu berbangkit.
"Kau hendak bikin apa?" ia tanya.
"Perlu apa kau campur urusanku?" bentak Tat Hian. "Aku
hendak membongkar kuburannya, untuk memeriksa. Mungkin
dia membawanya peta itu ke liang kubur!"
Supu menghunus goloknya, ia menghalang di pintu.
"Aku larang kau menggali kuburannya!" ia kata nyaring.
"Minggir!" bentak Tat Hian. la mengayun paculnya,
menyerang. Supu berkelit ke kiri, terus ia menyerang.
Tat Hian melemparkan paculnya, ia mencabut pedangnya.
Maka "Trang!" kedua senjata mereka beradu keras. Atas itu
keduanya sama-sama lompat mundur setelah mana, mereka
maju pula, untuk bertempur di dalam ruang yang tak lebar itu.
Kee Loojin lantas menyingkir ke pinggiran, juga si gagu dan
Aman. Cuma Bun Siu yang berdiri diam di dekat jendela.
Kemudian Aman mencabut pedang pendeknya Tat Hian,
yang nancap di meja, dia berniat membantu Supu akan tetapi
dia tidak memperoleh kesempatan guna menyelak di antara
mereka Supu telah mendapatkan pelajaran dari ayahnya, ia
berkelahi bengis sekali.
Tat Hian heran hingga ia berpikir: "Aku tidak menyangka
bocah Kazakh ini gagah sebagai erang gagah dari
Tionggoan..."
Tengah ia berpikir itu, ia kaget akan mendengar suara
angin di belakangnya, dari datangnya senjata tajam. Sebab
Aman, yang tidak bisa maju, lantas menimpuk dengan pedang
pendek. Ia berkelit ke kanan. Justeru ia berkelit, justeru tiba
serangannya Supu, maka lengannya kena tergores golok, siasia
ia mencoba berkelit lebih jauh. Ia menjadi gusar sekali,
lantas ia membalas menyerang. Tiga kali beruntun ia menikam
dengan jurus-jurus dari ilmu silat pedangnya, "Cheebong
Kiamhoat" atau Ilmu Pedang Ular Naga Hijau.
Supu kaget melihat datangnya serangan saling susul,
sedang sinar pedang membuat matanya silau. Tahu-tahu
lehernya telah kena dimampirkan pedang lawan itu hingga
darahnya mengalir keluar.
Tat Hian memperoleh hati, ia mendesak terus. Di lain saat,
lengan Supu kena kelanggar pedang, sampai dia merasakan
sakit, goloknya terlepas dari cekalannya dan jatuh.
Di saat tikaman yang ketiga mengancam dan Supu agaknya
mati daya, Bun Siu maju satu tindak, untuk menolongi. la
hendak menggunai ilmu Tay Kimna Ciu, guna menangkap
tangannya Tat Hian. Akan tetapi mendahului ia, Aman telah
berlompat ke depan Supu sambil berseru: "Jangan melukakan
dia!" Melihat nona Kazakh yang elok itu, tapi yang romannya
ketakutan, batal Tat Hian menikam terus. Dengan mengancam
sama ujung pedangnya, ia tertawa dan tanya nona itu: "Kau
begini memperhatikan dia! Adakah dia kekasihmu?"
Muka Aman merah tetapi ia mengangguk.
"Kau menyayangi dia, baik!" kata Tat Hian pula. "Aku nanti
memberi ampun padanya asal besok badai berhenti, kau turut
aku!" Supu menjadi sangat mendongkol, sambil berseru, ia maju
ke depan Aman, hendak ia menerjang musuhnya itu.
Tat Hian berlaku awas dan sebat, dengan ujung pedangnya
masih mengancam, ia menggeraki kaki kirinya ke kaki orang,
maka tanpa ampun lagi, robohlah pemuda Kazakh itu. Coba
pedang ditusukkan terus, akan tertumblaslah tenggorokannya
si anak muda Didalam keadaan seperti itu, Bun Siu masih mengawasi
saja Ia memasang mata, ia bersiap sedia menggunai ilmu
totoknya, karena peryakinannya atas ilmu Itcie Cin Thianlam,
telah menyampai kemahiran tujuh atau delapan bagian. Hanya
Aman tidak tahu bahwa seorang penolong siap sedia di
dampingnya, karena mana, ia menyerah atas desakan si
penyamun. Ia memberikan penyahutannya: "Baiklah, aku
terima permintaanmu, asal kau jangan bunuh dia!"
Tat Hian girang sekali. Tapi pedangnya ia masih belum mau
mengisarkannya.
"Kau menerima baik akan turut aku besok, jangan kau
menyesal," ia bilang.
"Aku tidak menyesal," jawab Aman seraya menggigit
giginya. "Singkirkan pedangmu!" Tat Hian tertawa lebar.
"Taruh kata kau menyesal dan menyangkal kau toh tidak
bakal lolos dari tanganku!" katanya, la menarik pedangnya,
untuk dikasih masuk ke dalam sarungnya, terus ia menjumput
goloknya Supu. Ia memandang ke luar jendela, lantas ia
berkata: "Sekarang kita tidak dapat pergi membongkar
kuburan kita tunggu saja sampai langit sudah terang." Ia
menjadi berbesar hati, karena di situ cuma ia sendiri yang
bersenjata. Sampai sebegitu jauh, ia belum melihat gerak-geriknya Bun
Siu. Aman mempepayang Supu untuk dibawa ke pinggir. Ia
melihat darah masih mengalir keluar dari leher si pemuda. Ia
menjadi bingung, hingga ia mau menyobek ujung bajunya
untuk dipakai membalut.
"Pakai ini saja," kata Supu, ia mengeluarkan sehelai sapu
tangan dari sakunya.
Aman membalut, habis itu, sendirinya ia menangis. Ia
memikirkan nasibnya, yang telah terjatuh ke tangan
penyamun itu. Dapatkah ia nanti meloloskan dirinya"
"Bangsat anjing! Jahanam!" Supu mendamprat perlahan. Ia
tidak berdaya tetapi ia tidak takut. Kalau terjadi orang
memaksa membawa Aman, ia bersedia untuk mengurbankan
jiwanya guna melindungi nona itu.
Setelah pertempuran itu, ke enam orang itu duduk diam
mengitari perapian, akan tetapi suasana tetap tegang. Sebelah
tangannya Tan Tat Hian tidak pernah melepaskan goloknya.
Untuk menenggak arak, ia menggunai tangan kiri. Senantiasa
ia memandang Aman dan melirik Supu.
Di luar, badai masih mengamuk. Sering lempengan salju
beterbangan menghajar tembok atau wuwungan hingga
mendatangkan rasa kaget dan kuatir. Semua orang menutup
mulutnya. Sang waktu dilewatkan Bun Siu dengan segala ketenangan
hatinya. Sejak semula ia sudah pikir untuk berlaku sabar. Tadi
pun ia baru menindak atau Aman mendahului ia. Katanya di
dalam hatinya: "Biarlah jahanam ini bertingkah lagi sekian
waktu, tak usah aku tergesa-gesa..."
Dalam kesunyian itu, mendadak api meletus. Ada kayu
yang terbang terbakar meledak, mulanya gelap, lalu terang
luar biasa hingga mereka dapat melihat tegas sekali wajah
masing-masing. Bun Siu tercengang ketika ia mendapat lihat sapu tangan di
lehernya Supu, hingga ia mengawasi terus.
Kee Loojin, yang memperhatikan nona ini, turut melihat ke
arah Supu, hingga ia melihatnya juga sapu tangan itu. Bahkan
ia lantas menanya: "Eh, Supu, dari mana kau dapatkan sapu
tanganmu itu?"
Si anak muda Kazakh melengak. Ia meraba ke lehernya.
"Kau maksudkan sapu tangan ini?" dia balik menanya. "Inilah
si nona Lie yang telah mati itu yang memberikannya padaku.
Di waktu masih kecil kita menggembala kambing bersamasama,
pada suatu hari ada serigala yang menerkam kami
berdua, lantas aku membinasakan anjing liar itu. Aku terluka
sedikit, si nona membalutnya dengan sapu tangan ini..."
Bun Siu mendengar kata-kata itu, matanya terus
mengawasi sapu tangan. Sekarang penglihatannya rada
kabur. Tanpa merasa, air matanya telah mengembeng.
Empee Kee masuk ke dalam kamarnya, untuk mengambil
sehelai sapu tangan putih. Si penyamun mengawasi gerakgeriknya,
ia tidak menghiraukan.
"Kau balut lukamu dengan sapu tangan ini," kata si empee
pada si pemuda "Mari sapu tanganmu itu, kasih aku lihat."
"Kenapakah?" tanya Supu heran.
Oleh karena pembicaraan itu, Tat Hian turut
memperhatikan sapu tangan di leher si pemuda.
Mendadak ia berlompat bangun, goloknya diangkat.
"Kau disuruh membuka sapu tangan itu, kau bukalah!" ia
membentak. Nampaknya ia seperti gusar sebab si anak muda
main ayal-ayalan atas permintaannya si tuan rumah.
Supu berdiam, dengan mata gusar, ia memandangi
penyamun itu. Aman takut orang menggunai kekerasan, lantas ia
mewakilkan Supu membuka sapu tangan itu, untuk diserahkan
kepada Kee Loojin, terus dengan sapu tangan yang putih, ia
membalutnya pula luka si pemuda
Tuan rumah lantas membeber sapu tangan yang
berlepotan darah itu di atas meja. Ia pun membesarkan pelita
minyaknya. Dengan terliti ia lantas mengawasi.
Tan Tat Hian turut mengawasi juga.
"Benar! Benar!" mendadak dia berseru seorang diri,
sesudah meneliti sekian lama. "Inilah itu peta Istana Rahasia
Kobu!" Dan ia mengulurkan tangannya untuk merampas!
Sebat tangannya piauwsu ini tetapi lebih sebat si empee
Kee, ketika tangannya lagi tiga dim akan mengenai sapu
tangan itu, sapu tangannya sendiri sudah tersambar si empee.
Berbareng dengan itu, suatu sinar terang menyambar
bagaikan kilat, lantas Tat Hian menjerit kesakitan, sebab
sebatang pisau belati sudah nancap di belakang tangan
kanannya itu, pisaunya tembus nancap ke meja sebatas
gagangnya Pula si empee menunjuki lain kesehatannya, ialah
dengan tangan kirinya ia sudah merampas golok panjang dari
si penyamun, untuk segera diancamkan ke tenggorokan
penyamun itu! Hebat empee bungkuk sebagai unta ini, ia gesit luar biasa,
ia lihai sekali.
Tan Tat Hian berdiri dengan muka meringis, tubuhnya
menggigil, tangan dan kakinya tidak berani digeraki, terutama
tangan kanannya yang terpanggang pisau belati itu. Cuma
matanya yang dapat main, mengawasi si empee dan ke
sekitarnya Bun Siu kagum bukan main. Selama sepuluh tahun ia
tinggal bersama si empee, cuma satu kali ia menyaksikan
empee itu mempertunjuki kepandaiannya, yaitu ketika dia
membinasakan Liangtauw Coa Tang Yong si Ular Kepala Dua.
Pula ketika itu dapat dibilang karena kebetulan. Sekarang Kee
Loojin memperlihatkan kepandaiannya yang istimewa.
Pertama-tama tikaman pisau belatinya yang sangat cepat dan
tepat. Kedua ialah caranya ia merampas goloknya Tat
Hian. Jurusnya ini ialah yang dinamakan "Menunjang
penglari, menukar tiang", suatu jurus lihai dari ilmu tangan
kosong merampas senjata tajam. Itulah sama dengan ilmu
Kimna Ciu, yang gurunya Hoa Hui mengajarinya. Ia sendiri, ia
percaya, tidak nanti dapat bergerak dengan sebat.
Habis itu Kee Loojin mengulur pula tangannya, untuk
mengambil pedang pendek bergagang emas dan perak dari
pinggangnya si penyamun, terus ia menyerahkan itu kepada si
nona seraya ia berkata: "Nona, tolong kau mengambilkan
sehelai tambang."
Bun Siu menyambuti pedang ibunya, tangannya
bergemetaran, lantas ia lari ke belakang, untuk mengambil
tambang yang diminta si empee, maka di lain saat empee itu
sudah lantas mencabut pisau belatinya yang memanggang
tangan si penyamun, tangan siapa terus ditelikung ke
belakang sambil ia berkata pula: "Nona, belenggulah bangsat
jahat ini!"
Bun Siu berdiri bengong, tangannya masih memegangi
pedang pendek ibunya, sedang kedua matanya basah dengan


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

air matanya. Ia seperti tidak mendengar perkataannya si
empee. Karena itu Supu yang menghampirkan, membantu
tuan rumah mengikat Tat Hian, kedua tangan dan kedua
kakinya, kedua tangannya itu tetap ditelikung.
Setelah itu, di antara sinar api, Kee Loojin mengawasi sapu
tangan yang si penyamun menyebutnya peta Istana Rahasia
Kobu. Terang ia nampak heran.
"Bolehkah kau menyerahkan sapu tangan ini padaku?"
kemudian ia tanya Supu.
Supu memperlihatkan roman bersangsi dan bersusah hati.
Empee ini sudah menolongi ia dan Aman, sepantasnya ia
mesti membalas budi, tidak peduli dengan mustika. Hanya...
hanya inilah sapu tangan tanda mata dari si nona Lie. Mana
dapat ia menyerahkan itu kepada lain orang"
Empee Kee mengawasi, ia dapat menduga hati orang.
"Begini saja," katanya kemudian. "Kau kasih aku pinjam
lihat untuk satu hari, besok aku akan membayar pulang
padamu." Mendengar ini, girang Supu.
"Asal empee sudi membayar pulang, kau boleh pinjam itu
untuk sepuluh hari atau setengah bulan."
Aman tidak mengerti, ia heran sekali.
"Empee," ia tanya, "barusan penyamun ini menyebut
bahwa sapu tangan ini ialah peta, entah peta apa Sebenarnya,
apakah artinya ini?"
Kee Loojin melirik kepada Bun Siu.
"Sebenarnya aku pun belum mengerti jelas," sahutnya.
"Aku masih hendak memikirkannya dahulu."
"Bangsat tua!" mendadak Tan Tat Hian mencaci tuan
rumah. "Kau telah menangkap aku! Mau apa sekarang" Kau
hendak membunuh aku atau menghukum picis" Lakukanlah!
Kalau aku mengerutkan saja alisku, aku si orang she Tan
bukannya satu hoohan!"
Kee Loojin mengawasi, ia menyahuti dengan tawar: "Kita
tidak berselisih, kita tidak bermusuhan, perlu apa aku
membunuh kau" Kau dan kawan-kawanmu telah mengganas
di gurun pasir ini, kamu main rampas, main membakar, main
membunuh manusia, sangat banyak kejahatanmu, untuk itu
bakal ada orang yang nanti membuat perhitungan denganmu.
Kau tunggulah sampai besok terang tanah, Supu nanti
menggusur kau kepada ketuanya, di sana orang nanti
menghukummu!" Supu berjingkrak. "Empee!" katanya,
separuh berseru, "apakah manusia jahat ini dari
rombongannya penyamun itu?"
"Kau tanyalah dia sendiri!" menjawab si empee singkat.
Supu mengangkat goloknya, ia menghampirkan Tat Hian.
"Kawanan bangsat yang membunuh ibu dan kakakku, jadi
itulah rombonganmu, jahanam?" dia tanya.
"Memang kawanan penyamun di gurun pasir itu ialah
rombongan tuan besarmu ini!" menyahut Tat Hian dengan
berani, mulutnya dipentang lebar, untuk sekalian mencaci.
"Jikalau kau berani mengganggu selembar saja rambutku
maka besok nusa semua saudaraku bakal meluruk kemari
untuk menuntut balas! Nanti semua kamu dibasmi berikut
segala ayam dan anjingmu!"
Supu gusar sekali, ia ingat sakit hati ibu dan kakaknya.
Maka ia mengayun goloknya.
Tan Tat Hian tertawa dingin, ia kata pula mengejek: "Orang
lain yang menangkap aku, kaulah yang enak saja hendak
membacoknya! Sudah aku bilang memang orang Kazakh
bangsa bernyali kecil dan sangat tidak tahu malu!"
Supu batal membacok, tapi ia pun tertawa ewah, ia kata:
"Baiklah, sekarang aku tidak akan bunuh mampus padamu,
tetapi besok, besok aku akan minta ayahku yang membikin
perhitungan denganmu! Kau tahu, orang tuaku itu telah
mencari kawanan bangsatmu sampai sepuluh tahun tetapi
masih belum bertemu juga! Besok kau nanti lihat sifatnya
orang-orang gagah bangsa Kazakh!"
Supu tahu memang keinginan utama dari ayahnya ialah
membinasakan dengan tangan sendiri musuh isteri dan
puteranya itu, maka adalah paling benar menyerahkan
penyamun ini kepada ayahnya. Karena itu, ia lantas kembali
ke tempatnya duduk.
Tan Tat Hian tertawa dingin. Dia kata: "Anak tolol, lekas
kau rampas pulang sapu tanganmu itu! Dengan mengasih
pinjam sapu tangan itu satu hari pada tua bangka ini maka itu
berarti bahwa harta besar dan mustika bangsamu, bangsa
Kazakh, telah..."
"Tutup bacotmu!" menyelak Kee Loojin. "Kau ngaco belo!
Apakah kau hendak adu kami satu dengan lain" Hm!"
Tan Tat Hian membandel.
"Itulah peta dari Istana Rahasia Kobu, bukankah?" kata dia
pula. "Eh, Supu, apakah kau menyangka tua bangka ini
manusia baik-baik" Haha! Anak tolol! Dia justeru hendak
mengangkangi harta karun kamu!"
Kee Loojin seperti habis sabarnya, maka sebelah tangannya
terayun, sebilah pisau belatinya menyambar ke arah uluhati
penyamun besar kepala itu!
Tat Hian terikat kaki tangannya, ia melihat datangnya
serangan, ia tidak bisa berbuat lain daripada berkelit bersamasama
tubuhnya. Mungkin, masih tidak dapat ia bebas
anteronya. Di saat ia terancam bahaya maut itu, tangannya
Bun Siu terayun, lantas pedang pendeknya meleset,
menyambar pisau belati si empee, maka kedua senjata
beradu, terus membentur tembok di mana keduanya nancap!
Orang kaget menyaksikan kepandaiannya Bun Siu itu,
seorang nona yang nampaknya bertubuh lemah, yang sekian
lama berdiam saja. Kee Loojin heran hingga ia melongo,
mulutnya celangap. Bukankah ia telah tinggal bersama nona
itu sepuluh tahun lebih" Adalah si gagu yang tertawa a-a-u-u
sambil bertepuk tangan.
"Kee Lootiang," berkata Bun Siu tawar, "saudara ini telah
membilangnya besok pagi orang ini hendak diserahkan kepada
orang tuanya untuk diperiksa dan dihukum, oleh karena itu
sekarang ini tak usahlah kau membinasakan dia. Hanya,
mengenai istana Rahasia Kobu itu, aku ingin mendengarnya!
Bagaimana itu sebenarnya" Umpama dia hanya ngaco belo,
kita boleh membiarkannya, kita mengganda tertawa saja! Buat
apa kita bersungguh-sungguh terhadapnya?"
"Kakak ini benar," berkata Aman. "Supu, tidakkah ini aneh"
Kenapa sapu tangan sahabatmu itu justeru suatu peta?"
Kee Loojin kenal baik tabiatnya Bun Siu, biarnya dia lemah
lembut, kemauannya keras, sukar dicegah, maka itu, ia suka
membiarkan Tan Tat Hian bercerita.
Penyamun itu kata dengan nyaring: "Tuan besarmu telah
terjatuh ke dalam tangan kamu, tuan besarmu tidak takut apa
juga! Biarlah aku menuturkan tentang peta ini! Lukisan di
dalam sapu tangan ini adalah lukisan atau peta dari Istana
Rahasia Kobu itu. Coba kamu mengawasinya dengan saksama,
kamu meneliti sutera dan benang yang dipakai menyulam dan
menjahitnya, yang merupakan gunung, air dan gurun.
Tidakkah itu ada sutera dan benang wol kuning, yang sama
warnanya hingga sangat sukar untuk dibedakannya" Coba itu
sutera dan benang wol terkena darah, lantas menjadi nyata
perbedaannya. Lihatlah sekarang" Bukankah benang wol itu
lebih banyak menyedot darah daripada benang sutera?"
Bun Siu mengangkat sapu tangan itu, untuk meneliti.
Benarlah keterangan Tat Hian itu. Benang yang menyedot
darah menjadi merah, yang tidak, tetap kuning, karena mana,
gambar nampak menjadi jelas sekali. Baru sekarang ia
mengerti, sapu tangan itu menggenggam rahasia, dan itulah
peta Istana Rahasia Kobu.
Tan Tat Hian melanjuti kata-katanya: "Rahasianya Istana
Kohii itu dibawa oleh seorang edan. Inilah kejadian pada
belasan tahun yang lampau. Di kota Lokyang ada hidup satu
jago tua she The bernama Kiu In. Pada suatu hari dia
mengadakan pesta ulang tahun kedelapan puluh. Banyak
orang gagah yang datang untuk memberi selamat padanya.
Selagi pesta berjalan, muncullah si edan itu, dia tertawa lebar,
tangannya menggenggam pelbagai macam mutiara, kumala
dan lainnya batu permata. Dia lantas meletakinya semua itu di
atas meja sambil berkata: 'Suhu, aku membawa hadiah
untukmu!" Memang benar, ialah muridnya The Kiu In. Semua
tetamu menjadi berkunang-kunang matanya menyaksikan
harta besar itu, yang semuanya indah. Aneh adalah si edan
itu, habis tertawa, dia menangis, lalu dia tertawa pula,
menangis lagi. Ketika dia ditanya, dari mana dia
memperolehnya barang-barang permata itu, dia menjawab:
"Istana Rahasia Kobu! Istana Rahasia Kobu! Istana Rahasia
Kobu!" Ketika itu The Kiu In tidak mau banyak tanya-tanya
lagi, ia menyuruh membawa muridnya itu masuk untuk
beristirahat."
Inilah cerita yang menarik hati, orang banyak ketarik untuk
mendengarinya. Tat Hian melanjuti pula: "Di antara hadirin ada banyak
orang yang lihai, di antara mereka banyak juga yang matanya
menjadi merah sebab melihat permata-permata yang berharga
besar itu, mereka itu menanya si gila di mana letaknya Istana
Kobu itu. Si gila menjawab tidak keruan, omongannya putar
balik. Pertanyaan The Kiu In sendiri dijawab sama tidak
keruan junterungannya. Tiga hari telah lewat atau pada
tengah malamnya tuan rumah kedapatan terbunuh secara
gelap. Berbareng dengan itu, si edan pun lenyap. Di dadanya
The Kiu In menancap senjata yang menyebabkan
kebinasaannya itu, ialah sebatang pusut yang menjadi
senjatanya si edan, sebelah sepatu siapa pun ketinggalan di
depan pembaringan, sepatu itu berlepotan darah. Di lantai ada
tapak-tapak kaki, yang cocok waktu diakuri sama sepatunya si
edan. Maka orang menduga si edan kalap dan membunuh
gurunya sendiri dan terus menghilang. Karena itu orang
melainkan bisa menyesali nasibnya jago tua yang malang itu.
Hanya, apa yang heran, kenapa The Kiu In yang demikian lihai
kalah oleh muridnya dan kenapa di kamarnya tak ada bekasbekasnya
pertempuran atau pergulatan" Keluarga The, dan
juga beberapa sahabatnya, lantas pergi mencari si edan itu,
tetapi dia tidak kedapatan, dia tidak ada tanda-tanda atau
bekas-bekasnya, hingga orang mau menduga, kalau dia tidak
terjeblos di jurang mungkin dia mati membuang diri ke sungai.
Di lain pihak semenjak itu, halnya Istana Rahasia Kobu itu
lantas menjadi buah pembicaraan dan lantas juga menjadi
semacam gelombang di antara kaum Rimba Persilatan. Dua
tahun setelah itu, lalu tersiar kabar angin bahwa ada orang
yang menemui peta istana rahasia itu di tengah jalan. Peta itu
dihubungi sama harta besar itu, yang orang percaya masih
tersimpan banyak di dalam istana rahasia. Karena ini, peta itu
menjadi perebutan di antara jago-jago, hingga ada jago-jago
yang membuang jiwanya secara sia-sia. Kemudian lagi, ialah
belasan tahun yang lalu, peta itu terjatuh di tangannya Pekma
Lie Sam dan isterinya Kimgin Siauwkiam Sam Niocu.
Sedapatnya peta itu, Lie Sam dan isterinya itu sudah lantas
berangkat ke Hweekiang. Hanyalah, entah kenapa, kemudian
kedapatan suami isteri itu telah mati di wilayah asing itu..."
VI Mendengar sampai di situ, Bun Siu kata dengan dingin:
"Menurut apa yang aku dengar, Lie Sam suami isteri telah
terbinasa di tangannya rombongan orang-orang Chin Wie
Piauwkiok. Itulah artinya perbuatan kau sendiri, Tan
Toapiauwtauw!"
Tan Tat Hian bercekat hati, tubuhnya menggigil. Ia pun
merasa tertusuk dengan sebutan toapiauwtauw itu, artinya,
piauwsu yang terbesar. Tapi ia berani, ia menjawab dengan
terus terang. "Tidak salah!" katanya. "Suami isteri Lie Sam itu
dibinasakan oleh aku dan saudara-saudaraku itu. Kami telah
menggeledah tubuh suami isteri itu, peta tersebut tidak
kedapatan pada mereka Maka itu mestinya peta ada di tangan
anak perempuan mereka, yang lolos dari tangan kami. Maka
kami lantas mencari anak itu, sampai sekarang ini sudah
belasan tahun, tanpa ada hasilnya. Selama itu kami telah
menjelajah bagian selatan dan utara pegunungan Thiansan.
Sungguh kebetulan, hari ini aku menemuinya di sini! Bukankah
itu berarti Thian telah menakdirkan kita berenam supaya
menjadi beruntung" Kamu hendak membunuh aku, tidak apa!
Tapi, kalau kamu memikir sebaliknya; umpama dari
musuh kita menjadi sahabat-sahabat, bukankah itu ada
baiknya" Nanti aku mengajak kamu pergi mencari Istana
Rahasia Kobu itu, jikalau kita berhasil, kita membagi rata.
Tidakkah itu berarti kita sama-sama memperoleh harta besar"
Jikalau peta ini terjatuh ke dalam tangan si tua bangka
bongkok sebagai unta, pastilah dia menelannya sendiri harta
besar itu!"
Sengaja Tat Hian mengucapkan kata-kata terakhir itu,
untuk mengadu Bun Siu sekalian terhadap Kee Loojin, supaya
mereka berselisih dan saling bunuh. Ia mengharap mereka itu
timbul keserakahannya.
Kee Loojin tertawa dingin. "Dengan telah mempunyai
petanya, mustahilkah kami tidak dapat pergi mencarinya
sendiri?" kata dia.
Tan Tat Hian berkata pula. Kalau tadi ia menggunai bahasa
Kazakh, sekarang ia mengubahnya dengan bahasa Tionghoa.
Ia kata: "Umpama kata kamu dapat mencari istana rahasia itu
dan mengambil memperolehnya harta besarnya, tetapi ingat,
harta itu ialah hartanya bangsa Kazakh, maka maukah bangsa
ini menyerahkannya kepada kamu" Kamu bangsa Han?"
"Menurut kau, bagaimana?" Kee Loojin tanya Ia ingin
ketahui pikiran orang.
"Marilah kita bekerja sama," mengajak Tat Hian. "Paling
dulu kita binasakan semua orang Kazakh di dalam rumah ini.
Perbuatan ini cuma kau dan aku yang mengetahuinya, dari itu
tidak ada kekuatiran untuk nanti bocor. Lantas kita pergi
mencari harta karun itu. Kalau kita berhasil, kau boleh ambil
tujuh bagian, untukku cukup tiga bagian saja..."
"Kenapa kau suka mengalah demikian banyak?" si empee
tanya. "Aku kalah gagah dari kau, kau berhak mendapat lebih
banyak. Umpama kata kau suka menyerahkan nona Kazakh
yang cantik ini padaku, aku suka mengalah lebih jauh, kau
boleh ambil delapan bagian."
Pembicaraan itu tidak dimengerti oleh Supu dan Aman,
mereka berdiam saja. Tidak demikian dengan Bun Siu, yang


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi marah sekali. Di dalam hatinya, ia kata: "Bangsat, kau
sangat jahat! Bukankah kematianmu sudah di hadapan mata"
Kenapa kau masih memikir busuk sekali?"
Kee Loojin berkata: "Ini satu nona Kazakh lihai sekali,
belum tentu kita dapat melawan dia..."
"Kau dapat membokong dia. Dia tentunya tidak bersiaga."
Kee Loojin berdiam, agaknya ia berpikir.
"Ah, begini saja," katanya sesaat kemudian. "Diam-diam
aku mengutungi tambang belenggumu, aku berikan kau golok,
lantas kau menghampirkan dia, untuk kau membacok
punggungnya..."
"Nona ini sangat cantik, sayang kalau dia terbinasa," kata
Tat Hian. "Karena tidak ada lain jalan, baiklah..."
Bun Siu dapat menerka maksudnya Kee Loojin. Terang si
orang tua ingin ialah yang membinasakan penjahat ini.
Selagi Tat Hian dan Kee Loojin berdamai sampai di situ,
dari kejauhan terdengar suara orang memanggil: "Supu!
Supu!" disusul sama "Aman! Aman!"
Hampir berbareng, Supu dan Aman berlompat bangun.
"Ayah, aku di sini!" mereka pun menyahuti.
Kemudian keduanya berlari-lari ke luar, Supu di depan,
Aman di belakang. Mereka tidak menghiraukan lagi angin
besar dan salju berhamburan, hingga mereka sukar bernapas.
Hari itu Cherku minum arak di rumah Suruke, ketika turun
hujan salju dan angin keras dan sampai sore anak-anak
mereka belum muncul, keduanya menjadi berkuatir, mereka
lantas pergi mencari, di sepanjang jalan mereka memanggilmanggil.
Girang mereka akan menemui anak mereka tidak
kurang suatu apa. Supu dan Aman lantas mengajak mereka ke
rumah Kee Loojin.
Tiba di depan pintu, mendadak Suruke berkata: "Bukankah
ini i umahnya si orang Han yang harus mampus" Tidak, aku
tidak sudi masuk ke rumahnya!"
"Tidak mau masuk?" kata Cherku. "Habis kita berlindung di
mana" Kupingku, hidungku, telah pada beku..."
Suruke ada membekal buli-buli berisi arak, di sepanjang
jalan ia menenggak araknya untuk melawan hawa dingin,
karena itu, ia sudah terpengaruhi susu macan. Maka ia kata:
"Aku lebih suka batok kepalaku beku semua, tidak nanti aku
masuk ke rumah orang Han ini!"
"Lihat anakku yang menjadi mustikaku ini," berkata Cherku.
"Kalau dia kenapa-kenapa karena beku, akan aku membuat
perhitungan denganmu! Aman, mari kita masuk!"
Suruke tidak menyahuti, sebaliknya, ia melirik puteranya.
Mendadak ia berseru: "Hm, kau telah pergi ke rumahnya
orang Han, anak mau mampus!" Terus ia mengayun
tangannya hingga tubuh Supu terhuyung. Anak ini tidak
menangkis atau berkelit. Ia membentur Aman, hingga si nona
roboh ke salju.
Cherku menjadi gusar. "He, kau berani memukul anakku?"
ia menegur. "Dia belum menjadi nona mantumu, sudah berani
kau memukulnya! Tidakkah di belakang hari dia bakal disiksa
mampus olehmu?"
"Kalau aku suka memukul, aku memukul, mana dapat kau
melarang aku?" kata Suruke sembarangan. Tidak dapat ia
mengatasi lagi pengaruh air kata-katanya.
Cherku pun menjadi gusar. "Kalau kau laki-laki, mari kita
bertempur pula!" dia menantang.
"Baik, mari, mari!" Suruke menyambut, dan lantas
kepalannya melayang, bahkan tepat mengenai dadanya
lawan. Cherku pun sudah mulai dipengaruhi arak, maka beda dari
biasanya, ia melayani. Ia tidak roboh karena tinju itu, lantas ia
membalas, dengan mengayunkan sebelah kakinya, guna
menggaet. Tanpa ampun, Suruke roboh. Tapi dia jatuh sambil
tangannya menyambar ke paha, maka keduanya jatuh
berguling ke salju di mana mereka berkelahi terus sambil
bergulingan. Supu dan Aman menjadi bingung, sia-sia belaka mereka
mencoba memisahkan. Dengan suara saja, mereka tidak
berhasil. Selagi bergulat itu, Suruke menjumput salju, ia menyumbat
mulut Cherku, hingga lawan ini gelagapan. Ia tertawa lebar.
Justeru itu, Cherku memuntahkan salju di mulutnya itu, terus
dia meninju, telak mengenai hidung. Suruke tidak kesakitan,
hanya hidungnya mengeluarkan darah. Masih ia tertawa.
Sekarang ia menjambak rambutnya Cherku.
Merekalah orang-orang kosen bangsa Kazakh tetapi di
dalam sinting itu, lagak mereka mirip dua orang bocah.
Kee Loojin bersama Bun Siu lari ke luar, mereka mendengar
suara berisik dari dua orang yang bergulat itu. Si gagu turut
keluar juga. Sekarang ini, Supu dan Aman tidak bingung lagi,
sebaliknya, mereka tertawa. Mereka ketahui ayah mereka lagi
sinting. Dalam pergulatan lebih jauh, Suruke jatuh di bawah, dia
kena tertindih, sia-sia dia berontak, akhirnya dia diam saja.
Supu kaget. "Lepaskan ayahku!" ia berteriak seraya menghampirkan,
untuk menarik Cherku. Ia kuatir ayahnya terluka. Di luar
dugaannya, setelah mendekati, ia mendapatkan ayahnya itu
lagi tidur menggeros...
Akhirnya semua orang tertawa. Suruke dikasih bangun,
diajak masuk ke dalam. Cherku dipegangi Aman, ia turut
masuk. Suruke lantas ngoceh: "Haha! Kau tidak dapat
melawan aku! Akulah jago Kazakh nomor satu, Supu yang
nomor dua, nanti anak Supu yang nomor tiga! Kau, Cherku,
kau yang nomor empat..." Lantas ia bernyanyi.
Cherku pun sinting tetapi ia turut tertawa.
Begitu mereka tiba di dalam, Bun Siu berseru kaget. Di situ
tidak ada Tan Tat Hian, yang ada hanya beberapa helai
tambang belengguannya, yang ujungnya pada hangus,
tandanya si penyamun membakar tambang itu untuk
membebaskan diri dan lalu kabur dari pintu belakang. Di atas
meja, selainnya golok, sapu tangan yang merupakan peta pun
lenyap. Dalam kagetnya, Kee Loojin lari ke belakang untuk
mengejar. Pintu belakang madap ke utara, begitu pintu dipentang,
angin dan salju meniup keras, sampai empee Kee itu
bersangsi untuk nerobos terus. Tengah ia bersangsi itu Bun
Siu menghampirkan padanya, untuk berkata dengan perlahan:
"Angin dan salju begini besar, dia tidak dapat kabur jauh,
kalau dia paksa menyingkir juga, mesti dia mati di tengah
jalan. Baiklah kita menanti sampai langit sudah terang dan
badai reda, baru kita pergi mencari mayatnya."
Kee Loojin setuju, ia mengangguk. Ia menutup pula
pintunya, lalu berdua mereka kembali ke ruang depan. Di sana
tak nampak si gagu yang agak tolol.
Bun Siu merasa kasihan pada si gagu itu, ia membuka pintu
depan. Ia memanggil berulang-ulang, tanpa ada yang
menyahuti. "Dia tuli, dia tidak mendengar!" kata empee Kee.
Bun Siu masih melihat kelilingan, baru ia kembali ke dalam.
Sampai fajar, baru badai mulai reda.
Suruke sadar dengan tidak ingat lelakonnya di waktu
mabuk, melihat Kee Loojin, ia menjadi gusar, tapi Supu dan
Aman segera membujuki seraya menuturkan bahwa orang tua
bangsa Han inilah yang menolongi mereka dari penyamun.
"Oh, kaulah yang menolongi anakku!" kata Suruke. "Kau
orang baik, aku berterima kasih padamu!" Ia lantas memberi
hormat. Kemudian ia menambahkan: "Mari kita susul
penyamun itu, agar dia tidak lolos!"
Cherku pun turut menghaturkan terima kasih.
Sebenarnya Kee Loojin tidak setuju pergi beramai-ramai
tetapi sebab tidak dapat alasan untuk menolak, ia terpaksa
pergi bersama. Ia membekal rangsum kering.
Tan Tat Hian menyingkir selagi hujan salju, tapak kakinya
telah lenyap pula, tetapi Suruke dan Cherku ada penduduk
gurun asli, mereka bisa lihat tanda-tanda yang luar biasa,
tanda itu membuatnya menduga si orang jahat.
Tujuan mereka ke arah barat. Itu artinya tujuan gurun
pasir besar. Empat orang Kazakh itu lantas ingat dongeng hal
memedi di gurun, air muka mereka lantas bersinar lain.
Suruke besar nyalinya, ia kata nyaring: "Biarnya benar-benar
kita bertemu memedi, mesti kita bekuk manusia jahat itu!
Supu, mau tidak kau membalaskan sakit hati ibu dan
kakakmu?" "Tentu, ayah!" jawab sang anak. "Aku akan turut ayah!
Aman, kau baiklah pulang."
Si nona pun berani.
"Kau dapat pergi, aku dapat!" jawabnya. Di dalam hatinya
ia hendak membilang: "Kalau kau mati, mana bisa aku hidup
sendiri saja?"
"Aman, lebih baik kau turut ayahmu pulang," Suruke
membujuk. "Cherku bernyali kecil, dia paling takut setan!"
Mata Cherku mendelik, dia lantas melombai jalan di depan.
Berjalan di gurun, yang ditakuti ialah tidak ada air, maka air
itulah bekal utama. Kali ini habis hujan salju, pasir pun tidak
beterbangan, perjalanan rombongan ini tak ada rintangannya.
Makin ke barat, tanda-tandanya Tan Tat Hian makin nyata.
Bahkan kemudian, terlihat tegaslah tapak kakinya, yang tidak
ketutupan salju lagi. Itulah bukti bahwa dia telah tiba di situ
sesudah salju berhenti.
"Sungguh lihai jahanam itu!" kata Kee Loojin seperti
mendumal. "Tadi malam badai dahsyat tetapi dia tidak
mampus dan dapat berjalan terus hingga kemari!"
"Eh, masih ada tapak kaki seorang lain!" Suruke berseru
mendadak. Dia menunjuk tapak kaki Tan Tat Hian. "Orang ini
jalan tepat di tapak kakinya si manusia jahat! Tanpa
perhatian, tak akan terlihat tapak kaki yang menyusun ini."
Mendengar begitu, semua orang membungkuk, untuk
meneliti. Benar, tapak kaki itu berbekas lebih mendalam
daripada biasanya.
"Mustahilkah ini tapak kaki si gagu?" kata Bun Siu. Tadi
malam ia telah melihat sinar mata aneh dari si gagu dan itu
mendatangkan kecurigaannya. Hanyalah tapak kaki yang
kedua ini rada enteng, bukti bahwa orang ringan tubuhnya.
Mungkinkah benar dia si gagu dan dia sebenarnya lihai"
Kee Loojin tidak membilang apa-apa, dengan mengikuti
tapak kaki itu, ia berjalan terus. Ia ingin cepat menyandak. Tat
Hian seorang ia tidak begitu kuatirkan, ia takut penyamun itu
memperoleh kawan yang lebih lihai.
Jalan di salju ini sulit juga. Makin ke depan, salju makin
tebal, sampai mendam ke lutut. Perlahan jalan mereka, hingga
kejadian mereka mesti singgah, bermalam di tengah jalan.
Mereka menggali salju, hingga nampak pasir, untuk rebah di
dalam liang, tubuh mereka digulung dengan permadani.
Mereka tidur bergeletakan di atas pasir.
Ketika besoknya pagi Bun Siu mendusin, ia mendengar
Suruke dan Cherku membikin banyak berisik. Sebabnya ialah
Kee Loojin telah lenyap, rupanya dia berangkat malam-malam
atau mendekati fajar. Ia heran sekali sedang ia tahu, selama
perkenalan kira-kira sepuluh tahun, empee itu agaknya tawar
sama harta. Kenapa, setelah mendengar halnya istana rahasia,
dia menjadi demikian ketarik hatinya, hingga dia seperti
berubah menjadi seorang lain"
Dari enam orang, sekarang jumlah mereka menjadi tinggal
lima. Mereka melanjuti perjalanan mereka, untuk menyusul si
penjahat, untuk menyusul juga Kee Loojin, si kawan yang
menjadi aneh kelakuannya itu.
Bun Siu kemudian mengenali, jalanan yang dilalui ialah
jalanan yang ia kenal baik. Itulah jalanan untuk pergi ke
rumah Hoa Hui, gurunya. Ia jadi berpikir: "Baiklah aku ajak
suhu pergi bersama. Dia luas pengetahuannya, dia dapat
membantu banyak..."
Bun Siu mau mencari Istana Rahasia Kobu bukan untuk
hartanya. Ia hanya ingin mewujudkan cita-cita ayah dan
ibunya, untuk dapat tiba di sana. Segera mereka mulai
memasuki daerah pegunungan. Di sini Bun Siu sengaja
berjalan perlahan hingga ia ketinggalan jauh di belakang.
Lekas-lekas ia pergi ke gubuk gurunya. Untuk herannya, sang
guru tidak kedapatan. Ia menduga guru itu lagi pergi berburu
atau mencari bahan obat-obatan. Perbuatan itu biasa
dilakukan setiap habis hujan salju. Karena ia tidak dapat
menanti, ia lantas mencoret-coret beberapa huruf di atas
tanah, untuk gurunya itu, lalu lekas-lekas ia menyusul
rombongan Suruke.
Mereka memasuki wilayah pegunungan, yang makin lama
makin sukar dilaluinya, banyak pohon duri dan lainnya.
Syukur, tapak kaki masih terlihat di antara sisa-sisa salju.
Maka mereka maju terus.
Herannya ialah, istana rahasia belum tampak tandatandanya...
Aman memangnya berkuatir ia menjadi takut. Ia ingat
cerita halnya di gurun pasir ada mernedinya. Tapak-tapak kaki
yang mereka ikuti itu, di matanya, ada bagaikan jalanan untuk
ke neraka... Juga Suruke dan Cherku bersangsi, mereka berkuatir,
hanya di mulut, mereka masih omong besar, mereka tidak
mau saling kalah, bahkan mereka bertengkar.
"Cherku, kau lihat, tubuhmu bergemetar," kata Suruke.
"Kalau kau jatuh sakit karena ketakutan, inilah bukannya
main-main. Baiklah kau berdiam di sini saja menantikan kami, jikalau
aku mendapatkan harta, tentu aku akan membagi kau satu
bagian..."
"Di saat ini jangan orang berlagak kosen!" kata Cherku.
"Lihat sebentar, kalau memedi muncul, siapakah yang bakal
kabur lebih dulu" Mungkin kau atau anakmu!..."
"Memang, kami ayah dan anak, kalau kami melihat
memedi, kami bakal lari kabur!" kata Suruke pula. "Tapi kami
bukannya seperti kau, melihat memedi, kau ketakutan sampai
kau bertekuk lutut di tanah dan tubuhmu menggigil?"
Pulang pergi, mereka itu menyebut-nyebut iblis gurun...
Jalan lagi sekian lama, langit mulai gelap.
"Ayah, mari kita bermalam di sini," berkata Supu. "Besok
pagi kita berangkat pula."
"Bagus!" berkata Cherku tertawa sebelum Suruke
menyahuti anaknya. "Kamu dan anak boleh singgah di sini,
untuk menyingkir dari bahaya! Aman, mari kau ikut ayahmu!"


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Fui!" Suruke berludah, lalu ia maju di depan, mendahului
yang lain. Supu memunguti cabang-cabang kering, untuk membuat
obor. Maka itu, malam-malam, di dalam hutan, mereka
berjalan terus. Sulit perjalanan itu, sebab mereka sekalian
mesti mencari tapak kaki TatHian. Suasana pun seram kapan
sang burung malam mengasih dengar suaranya. Orang kaget
setiap kali dari atas pohon terjatuh kepingan salju, yang
mendatangkan suara berisik, hingga hati mereka berdebaran.
"Ah, celaka!" berseru Aman tiba-tiba selagi ia berjalan
dengan hati kebat-kebit.
"Ada apa?" tanya Supu kaget. "Lihat, itulah gelangku yang
kemarin ini aku kena bikin lenyap!"
kata Aman, tangannya menunjuk ke depan di mana ada
sebuah benda dengan cahaya berkilauan.
Gelang itu terletak sejarak tiga tombak dari lima orang itu.
Memang aneh gelang itu
didapatkan di situ.
"Tadinya aku memikir untuk mencarinya, kenapa sekarang
gelang ini berada di sini?" kata Aman.
"Kau periksa dulu, benar atau tidak itulah kepunyaanmu,"
kata Cherku, sang ayah.
Aman jeri, ia tidak berani pergi menghampirkan. Maka
Supu yang maju dan memungutnya.
"Memang, inilah kepunyaanmu!" kata si pemuda sebelum si
pemudi memeriksanya. Lantas dia menyerahkannya. Aman
masih takut untuk menyambuti.
"Kau buang saja," katanya. suaranya parau.
"Mustahilkah ini perbuatan memedi?" kata Supu, yang air
mukanya lantas berubah, demikian juga yang lain-lainnya.
Semua berdiam. "Mungkinlah ini lebih bebat dari gangguan memedi," kata
Bun Siu kemudian. "Mari kita ambil jalan yang kuna, jalanan
ini ada jalanan bekas kita..."
Mereka terpengaruh oleh kepercayaan halnya sesat jalan,
hingga mereka bakal terputar-putar di situ juga sampai
mereka mati sendirinya...
Suruke mau menyangsikan kekuatiran Bun Siu tetapi
buktinya ialah keanehan dari gelangnya Aman itu.
Tanpa banyak omong, mereka itu berjalan terus. Gelang
diletaki di tanah. Mereka berjalan sekian lama, lantas mereka
melihat gelang itu!
Suruke dan Cherku bungkam. Mereka tidak berani bicara
besar lagi atau saling mengejek.
"Kita mengikuti si penyamun dan Kee Loojin,** berkata Bun
Siu, "kalau mereka kesasar, mereka pun bakal kembali kemari,
maka itu mari kita berhenti di sini. Kita menantikan mereka
itu..." Pikiran ini mendapat kesetujuan, maka mereka, lantas pada
menyingkirkan salju, untuk mencari tempat duduk
masingmasing. Supu menyalakan api, membuat unggun,
mereka duduk mengitari itu. Masih mereka berdiam, tidak ada
yang niat berbicara, tidak ada yang berkeinginan tidur. Semua
menantikan munculnya Tan Tat Hian dan si empee Kee,
semua mereka berdenyutan hatinya. Bagaimana kalau benarbenar
Tat Hian dan Kee Loojin tersesat dan muncul di depan
mereka" Tidakkah itu berarti celakanya nasib mereka
semua"... Sekian lama mereka berdiam dalam kesunyian, atau
mendadak kuping mereka menangkap suara tindakan kaki.
Mereka terkejut, hati mereka terkesiap. Hampir berbareng,
mereka berlompat bangun. Hanya sejenak, suara tindakan
kaki itu lenyap Hingga tinggallah hati mereka yang
berdebaran, yang memukul.
Lagi sejenak, tindakan kaki itu terdengar pula, agaknya lagi
menuju ke arah barat daya, malah terdengarnya main jauh,
akan kemudian lenyap sebab diganggu berkesirnya angin yang
keras, yang membawa datang salju, hingga unggun mereka
padam dalam sekejap kena tertimpa salju itu.
Dengan padamnya api, gelaplah pandangan mata mereka.
Justeru itu, kuping mereka mendengar suara apa-apa.
Kecuali Aman, Suruke berempat menghunus senjata
mereka. Aman menjerit, ia menubruk Sapu ke dada siapa ia
menyedapkan kepalanya.
Kembali terdengar suara tindakan kaki itu yang teras
lenyap di kejauhan.
Habis itu, terus sampai fajar tidak ada terjadi peristiwa apa
juga. Munculnya matahari membuat hati mereka tenang
kembali. Dengan lantas mereka melanjuti perjalanan mereka
itu. Aman berlaku hati-hati maka ia melihat di kirinya, ada
cabang-cabang pohon yang rebah dan patah.
"Lihat ini!" katanya tiba-tiba
Supu menyingkap cabang yang rebah itu, di bawah itu ia
melihat dua buah tapak kaki, hingga ia menjadi girang luar
biasa. "Di sini mereka!" ia berseru.
"Inilah jalan yang mereka ambil!"
"Mungkin penyamun itu keliru melihat petanya," kata
Aman. "Dia tersesat, dia kena jalan terputar-putar di sini
hingga dia menyebabkan kagetnya kita semua..."
Suruke tertawa lebar.
"Benar!" katanya nyaring. "Dua anggauta keluarga Cherku
bernyali kecil, mereka ketakutan mernedi selama satu
malaman! Keluarga Suruke sebaliknya gagah, mereka justeni
mengharap-harap munculnya si memedi, untuk dijiwir
kupingnya, guna melihatnya tegas-tegasi"
Cherku tidak melayani, dia pun memandang ke lata arah,
hanya mendadak dia memutar tubuh, sebelah tangannya
menyambar! Suruke tidak menyangka jelek, tahu-tahu sebelah
kupingnya telah kena tercekal dan tertarik Cherku, hingga dia
kaget Tidak ayal lagi, dia meninju. Meski begitu, Cherku tidak
roboh, karena tubuhnya terhnyung, ia menarik kuping orang
yang dipeganginya itu.
Suruke kaget dan kesakitan, kupingnya itu pecah dan
mengeluarkan darah. Kalau kuping itu terlarik lebih keras
sedikit, mungkin akan copot
Bun Siu mau tertawa melihat kelakuannya dua orang
Kazakh yang Jenaka itu, tidak peduli usia mereka sudah empat
puluh lebih, lagak mereka mirip bocah, sebentar baik,
sebentar bertengkar, sebentar lagi bertarung. Ketika mereka
terpisah, disebabkan saling tinju, yang satu hidungnya matang
biru, yang lain matanya bengap!
Mereka melanjuti terus perjalanan mereka. Jalanan kali ini
berliku-liku, sukar dilaluinya. Ada kalanya mereka melintasi
mengitari bukit, ada kalanya masuk kedalam gua, melintasi
terowongan wajar. Syukur ada salju, terus-terusan mereka
melihat tapak kaki, yang terus mereka ikuti. Aman bermata
celi, kalau tapak suram atau lenyap, dialah yang meneliti.
Dalam batinya Bun Stu kata: "Istana rahasia itu benarbenar
luar biasai Tanpa peta, bagaimana dia dapat dicari?"
Jalan sampai tengah hari, sebab satu malam mereka tidak
tidur, semua orang menjadi letih sekali, kecuali Bun Siu, yang
ilmu dalamnya sudah ada dasarnya, dia masih segar seperti
biasanya. "Ayah, Aman sudah tidak kuat jalan, kita singgah di sini,"
kata Suptt pada ayahnya.
Belum lagi ayah itu menyahuti atau mereka mendengar
seruannya Cherku, yang jalan di paling depan. Suruke lompat
ke depan, guna menghampirkan kawannya, yang teraling
dengan segumpalan pepohonan. Selewatnya itu, matanya
dibikin silau dengan cahaya kuning emas yang berkilauan,
hingga sukar untuk ia melihatnya.
VII Dengan terpaksa ayahnya Supu ini memeramkan matanya.
Sampai sekian lama, baru ia membukanya perlahan-lahan.
Masih ia merasa silau, sampai berkunang-kunang. Untak dapat
melibat terus, ia memiringkan tubuhnya. Ketika ia telah
melihat tegas, ia menjadi heran dan kagum. Di depan ia ada
sebuah bukit, di atas itu ada sebuah pintu yang terlapiskan
emas. Itulah sinar yang menyilaukan mata, sebab emas itu
ditojo matahari dan menjadi memancarkan sinar berkeredepan
itu. Cherku melihat pintu itu maka dia berseru. Suruke pun
mengasih dengar seruannya, disusul oleh Bun Siu, Supu dan
Aman? yang menyusul belakangan ini juga, mulanya merasa
silau. "Istana Rahasia Kobu!" demikian suara mereka serempak.
Mereka tidak sangsi pula atas penemuan mereka itu.
Suruke lari menghampirkan pintu, ia menolak dengan
kedua tangannya. Pintu itu tidak bergerak.
Cherku maju bersama, untuk membantui, sia-sia saja,
meskipun mereka telah mencoba menggunai pundak mereka.
Pintu, yang berdaun dua, kuat sekail
"Penyamun jahanam itu berada di dalam, dia menguncikan
pintu!" kata Suruke gusar.
Aman memandangi pintu itu, ia tidak melihat apa-apa yang
mencurigai. Ia lantas meraba gelang pintu, ia putar itu ke kiri.
Pintu itu tetap tidak bergerak. Ia memutar pula, sekarang ke
kanan. Untuk herannya, ia merasa putarannya longgar. Ia
lantas memutar pula, terus, sampai beberapa kali.
Suruke dan Cherku mencoba pula membentur pintu dengan
tubuh mereka. Kali ini mereka berhasil. Dengan mendadak
kedua daun pintu menjebtak terbuka. Ini pun di luar dugaan
mereka. Tentu sekali, mereka menjadi sangat girang. Sambit
tertawa, mereka merayap bangun, sebab dengan
menjeblaknya pintu, mereka roboh bersama! Di sebelah dafam
tampak gelap. Itukah bukan ruang hanya lorong, jalanannya
seperti gang. Maka Supu lantas menyalakan obor, untuk
menyuluhi. Dengan sebelah tangan menyekat goloknya, ia
maju di muka. Tiba di ujung lorong, mereka menghadapi jalan cagak tiga.
Di dalam istana ini tidak ada salju, jadi tidak dapat mereka
melihat tapak kakinya si penyamun atau empee Kee. Cagak
mana mereka harus ambil"
Kembali Aman menunjuk keterlitiannya. Ia membungkuk
untuk dapat memperiapkan lantai. Ia mendapatkan, cagak kiri
dan kanan ada tapak kakinya yang enteng, yang tipis sekali.
Ia memberitahukan apa yang ia lihat itu.
"Sekarang begini," berkata Suruke. "Kita pun memecah diri,
ialah tiga di kiri, dua di kanan. Di dalam baru kita bertemu."
"Tidak dapat kita berbuat demikian," kata Bun Siu. "Istana
ini dinamakan istana rahasia, sudah pasti jalannya pun jalan
terahasia. Menurut aku paling benar kita tetap berjalan
bersama-sama."
Suruke menggeleng kepala, "Berapakah luasnya gua ini?"
katanya. "Anak perempuan bernyali kecil, sungguh aku
kewalahan!"
Meskipun ia membilang demikian, kejadiannya mereka
berlima berjalan bersama, mereka tidak memecah diri. Lebih
dnlu mereka mengambil jalan cagak kanan, yang kelihatan
lebar. Baru jalan sepuluh tombak, Suruke berpikir. Sekarang ia
baru percaya Bun Siu berpikiran lebih panjang. Pula di depan
mereka terdapat lagi jalan pecahan. Maka lagi sekari mereka
memperhatikan lantai, untuk mengambil jalan yang ada tapak
kakinya. Sekian lama mereka berjalan, mereka melihat bahwa
saban-saban ada jalan cagak.
Aman berlaku cerdik, senantiasa ia menggunai pisau
membuat tanda di tembok yaag dilewati. Dengan begitu
mereka bisa mencegah yang mereka mundar-mandir di situsitu
juga Akhir-akhirnya tibalah mereka di tempat yang terang.
Mereka mendapat sebuah ruang kosong. Di tempat terbuka
ini, mereka mendapatkan pula sebuah pintu berdaun dua.
Supu memegang gelang pintu, ia memutar itu. Pintu itu
lantas terbuka. Mereka lantas melihat sebuah ruang bagaikan
pendopo yang di tembok sekitarnya penuh dengan pelbagai
patung malaikat, ada yang terbuat dari emas, ada yang
terbikin dari batu kumala dengan biji matanya dari mutiara
atau batu permata lainnya, hingga semua mata itu menjadi
hidup. Maka tercenganglah lima orang ini.
Melewati ruang ini, mereka mendapatkan pelbagai ruang
lainnya, mirip dengan kotak-kotak kamar di mana pun ada
masing-masing patungnya beserta batu-batu permatanya. Di
sini pun antaranya ada terdapat tulisan-tulisan huruf Tionghoa
di tembok, seperti "Raja dari negara Kao diang", "Wen Tai"
dan "Kerajaan Tong, tahun Cengkoan XIII".
Kao Chang itu adalah sebuah negara jaman dahulu di
wilayah barat yang rakyatnya makmur dan pemerintahannya
kuat. Di jaman Tong tahun Cengkoan, raja Kao Chang yang
bernama Chu Wen Tai, menyatakan takluk kepada kerajaan
Tong, akan tetapi karena negaranya makmur dan kuat, dia
berlaku tidak menghormati kaisar Tong itu, dari itu kaisar
Tong mengirim utusannya ke Kao Chang- Kepada utusan itu,
raja Kao Chang itu mengatakan: "Burung garuda terbang di
langit, ayam hutan betina mendekam di gunung, kucing pesiar
di ruang dalam, tikus bersembunyi di liangnya. Mereka itu
mendapati tempatnya masing-masing, bagaimana mereka
tidak memperoleh kemerdekaannya?" Dengan itu raja
maksudkan: "Meskipun kaulah burung garuda yang bengis dan
aku hanya ayam hutan yang tidak mempunyai guna, tetapi
kau terbang di udara, aku sembunyi di dalam hutan, kau tidak
nanti sanggup membunuh aku! Meskipun kau adalah kucing
dan aku hanya tikus, tetapi kau mundar-mandir di dalam
ruang saja, aku sembunyi di dalam liangku, apa kau bisa bikin
terhadap aku?"
Itulah tantangan. Mendengar itu. Kaisar Tong Tay Cong
menjadi gusar. Sudah begitu lantas terjadi negeri Kao Chang
itu menyerang tetangganya, Yenchi, negara yang
menghormati sekali Tong itu. Negara Yenchi itu lantas minta
bantuan, atas mana kaisar Tong mengirim panglima
perangnya, Hauw Kun Cip, menyerang negeri Kao Chang itu.
Ketika Chu Wen Tai mendengar kabar negerinya mau
diserang, dia kata pada sekalian menterinya: "Negara Tong itu
terpisah dari kita tujuh ribu lie, di antaranya dua ribu lie
jalanan gurun pasir di mana tidak ada rumput dan air, yang
anginnya meniup tajam seperti golok dan panasnya terik


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaikan membakar diri ini, cara bagaimana dia dapat
mengirim angkatan perangnya tiba kemari" Jikalau jumlah
angkatan perangnya terlalu besar, pasti dia tidak dapat
mengangkut cukup rangsumnya. Dan kalau jumlah lenteranya
kurang dari tiga puluh ribu jiwa maka kita tidak usahlah takut
Kita nanti melayani musuh dengan sabar, kita main melindungi
kota kita saja, di dalam tempo dua puluh hari, nanti
rangsumnya habis, lantas dia bakal mundur sendirinya!"
Chu Wen Tai mengetahui baik kegagahannya angkatan
perang kerajaan Tong itu maka ia lantas menetapkan siasat
tidak berperang itu, siasat menjaga diri saja. Ia
mengumpulkan banyak kuli, di sebuah tempat yang
tersembunyi dia membangun sebuah istana rahasia. Inilah
untuk persediaan guna mengundurkan diri andaikata ia tidak
sanggup melawan musuh/ Negeri Kao Chang sedang makmur,
di wilayah barat itu banyak tukang yang pandai, maka itu ia
dapat membuat istana yang luar biasa itu di mana pun ia
menyembunyikan hartanya yang berupa pelbagai batu
permata. Ia telah memikir, umpama kata musuh dapat
menyerbu ke istana rahasia itu, ia dan hartanya itu tidak bakal
dapat diketernukan.
Hauw Kun Cip adalah seorang panglima yang pernah turut
Lie Ceng belajar ilmu perang, dia pandai memimpin angkatan
perangnya, di sepanjang jalan ia dapat maju-dengari cepat,
setiap pasukan musuh yang menghadang dapat dilabrak, dari
itu ia berhasil melintasi gurun pasir besar. Maka kagetlah raja
Kao Chang itu ketika ia: dilaporkan tibanya musuh demikian
pesat, dia kaget dan ketakutan hingga dia mati. Dia lantas
digantikan oleh pulennya, Chu Oun Sheng. Dia ini membuat
perlawanan, tapi setiap Hauw Kun Cip datang menyerang di
luar kota, pasukannya kena dikalahkan.
Didalam peperangan ini, Hauw Kun Cip menggunai alat
yang dinamakan "Kereta Sarang", yang tingginya sampai
sepuluh tombak, hingga mirip dengan sarang burung, hingga
alat itu mendapat namanya itu. Kereta itu ditolak sampai di
tembok kota, hingga keadaannya lebih tinggi dari tembok kota
itu, lalu dari atas, tentera Tong menyerang dengan hujan
panah dan batu. Tentara Kao Chang kewalahan, akhirnya Chu
Chih Sheng menyerah.
Negara Kao Chang itu dibangun oleh Chu Chia Li, turun
temurun sampai sembilan turunan, lamanya seratus tiga puluh
empat tahun, sampai pada tahun Cengkoan ke 14 dari
Kerajaan Tong itu, bara dia musnah. Dialah sebuah negara
besar di wilayah barat, sebab luasnya daerah ialah delapan
ratus lie di timur dan barat dan lima ratus lie di selatan dan
utara. Hauw Kun Cip pulang perang dengan mengangkut Raja Kao
Chang beserta seratus pembesamya sipil dan militer dan
lainnya, dibawa pulang ke kota raja Tiang-an.
Raja Kao Chang menjadi orang tawanan, tetapi istana
rahasia buatan ayahnya itu tidak tercocorkan. Selama seribu
tahun lebih, di gurun pun terjadi perubahan, di sana tumbuh
pepohonan, maka juga istana itu menjadi bagaikan terlebih
terahasia pula, tanpa peta, tidak nanti orang dapat
menemuinya. Suruke berjalan terus, memasuki sebuah kamar,
melewatinya, lalu memasuki kamar yang lain dan melewatinya
pula. Kebanyakan kamar itu sudah rusak, ada temboknya yang
gempur. Di sana-sini pun kedapatan tumpukan-tumpukan
pasir kuning, hingga ada pintu kamar yang telah teruruk
tertutup. Jalanan berliku-liku, ditambah sama segala yang
uruk itu, dilaluinya jadi semakin sukar, kepala pun menjadi
pusing. Di samping itu orang kadang-kadang melihat tulangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
belulang manusia, yang putihmeletak, pula uang emas dan
perak dan barang permata, yang membuatnya mata silau.
"Entah ke mana kaburnya Tan Tat Hian si jahanam," pikir
Bun Siu, "Dia tidak kedapatan di sini. Mungkin, walaupun dia
berada di sini, sukar untuk mencarinya. Harap saja istana ini
tidak ada pintu belakangnya-, agar dia dapat dipegat di pintu
depan di saat dia hendak mengangkat kaki dengan
mengangkut harta karun ini..."
"Mana ayahku?" mendadak Nona Lie mendengar suaranya
Aman selagi ia seperti ngelamun itu. Ia lantas menoleh, la
menampak Aman dan Supu memasuki sebuah kamar kiri,
Suruke dan Cherku tidak kelihatan, la lantas mendekati kedua
muda-mudi itu. "Nona Kang," tanya Supu pada Bun Siu----yang sekian lama
oleh. empee Kee disebut "Nona Kang"----"apakah kau melihat
ayah kami?"
"Tidak," menyahut Bun Siu. "Baru saja kita ada bersama,
kenapa mereka lantas tak nampak" Mari kita cari! Awas, istana
ini istana rahasia, jangan kita nyasar."
Supu dan Aman menurut, maka bertiga mereka lantas
mencari. Supu saban-saban berteriak memanggil ayahnya
serta Cherku, akan tetapi ia tidak memperoleh jawaban, hanya
kupingnya mendengar kumandang yang mendengung di ruang
itu. Bernapsu mereka bertiga mencari sampai Aman lupa
membuat tanda di tempat-tempat yang mereka lewatkan,
hingga untuk sementara, sukar dibedakan mereka telah
kembali ke tempat yang telah dilewatkan itu atau belum. Juga
mereka tidak dapat melihat rata ke depan, karena kedudukan
istana rahasia itu ada di lamping gunung, jadi ada kalanya
kedudukannya tinggi, ada kalanya pun sangat rendah hingga
orang mesti berdiri di tempat yang tinggi untuk dapat
memandang ke bawah itu. Oleh karena wuwungan adalah
bagian atas dari gunung, orang tidak dapat melihat dari atas.
Orang tidak bisa naik ke atas wuwungan, yang sebenarnya
tidak ada, sebab yang dinamai wuwungan mirip lelangit
lauwteng. Aman menjadi sangat berkuatir-.. dan berduka hingga air
matanya berlinang-linang. Sia-sia Supu membujuki dan
menghibur. Saking ruwetnya pikirannya itu, nona itu sampai
tidak memanggil-manggil pula ayahnya.
Mereka lagi berjalan terus ketika dengan mendadak mereka
mendengar suara keras di tembok sebelah kamar: "Eh,
Cherku, kenapa kau membacok aku?"
Ketiga muda-mudi itu mclcngak. Itulah suaranya Suruke.
Segera terdengar suaranya Cherku: "Kau--- kau bikin apa
ini?" Setelah itu kuping mereka mendengar suara beradunya
senjata tajam, disusul pula oleh bentakan-bentakan
kemarahan Suruke dan
Cherku saling ganti.
Mereka ini bertiga girang berbareng kaget dan kuatir.
"Ayah!" Aman berteriak. "Jangan berkelahi "Jangan
berkelahi!"
Di kanan mereka tidak ada pintu, maka Supu lari ke kiri. Ia
bermaksud menghampirkan ayahnya dan Cherku, sang
paman itu, untuk melihat, guna memisahkan mereka.
Sebab aneh mereka itu bertempur satu dengan lain. Hanyalah,
pintu yang ada teras menerus di sebelah kiri, dengan begitu,
ia bukan tiba ke kamar sebelah itu, ia justeni pergi semakin
jauh... Bun Siu dan Aman mengikuti, mereka pun tidak
berdaya. Maka kemudian mereka lari balik. Justeni itu mereka
dengar, dari kamar di sebelah itu, jeritan yang menyayatkan
hati dari Suruke, lantas sunyilah segala apa. Mereka kaget
bukan mam. Supu menjadi seperti kalap, dia lompat menubruk dengan
pundaknya. Tapi ia gagal. Pintu itu kuat sekali dan tak
bergeming. Aman yang terliti memasang mata. Ia melihat sebuah batu
di pojokan, yang agaknya terlepas, maka ia menghampirkan
itu, ia mencekalnya, lantas ia menarik. Ia gagal. Ia lantas
dibantu Bun Siu dan Supu. Kali ini mereka berhasil, dengan
begitu, dari bekas lolosnya batu itu, mereka bisa mengintai ke
kamar sebelah sana. Supu bekerja terus membongkarnya,
hingga ia dapat memasuki tubuhnya, molos dari liang itu.
"Ayah! Ayah!" ia memanggil berulang-ulang.
Segera juga pemuda ini nampak apa yang hebat. Di kamar
sebelah itu terlihat tubuh seorang rebah di lantai, di dadanya
menancap sebatang golok panjang. Ia mengenalinya, ia
lompat menubruk, untuk mengangkat. Atau ia mendapatkan
ayahnya itu telah putus jiwanya!
"Ayah! Ayah!" ia berteriak-teriak, sambil menangis.
Bun Siu dan Aman menyusul masuk, mereka berdiri diam di
samping Supu. Mereka bingung dan berduka.
Supu mencabut galat di tubuh ayahnya itu. Itulah goloknya
Cherku. "Supu..." Aman memanggil seraya ia menarik tangannya si
pemuda. Ia niat menghibur, hanya tak tahu ia harus
mengatakan apa.
Supu tengah sangat berduka dan gusar, tangannya
melayang ke arah si nona sambil mulutnya menanya bengis:
"Mana ayahmu" Mana ayahmu?"
Ketika itu di mulut pintu nongol kepala dari satu orang,
yang tubuhnya terlihat hanya bagaikan bayangan. Cuma
sejenak, kepala itu lantas ditarik pulang, terus dia lari pergi.
Walaupun sejenak, itu sudah cukup untuk Supu guna
mengenali orang adalah Cherku yang mukanya berlumuran
darah, Supu berteriak, tubuhnya bergerak, niatnya memburu.
"Supu!" memanggil Aman, tangannya menarik.
"Lepas!" bentak si anak muda. "Supu" kata si nona, "aku
mau bicara; sepatah kata saja."
"Baik! Bilanglah!" kata Supu, mendongkol.
"Ingatkah kau aturan kaum kita tentang perkelahian
perseorangan?" tanya Aman.
Supu mengertak gigi. "Ingat!**sahumya kaku. Dengan
lantas pula wajahnya tampak kesangsian
Bangsa Kazakh bangsa gagah, di antara mereka, asal
benterok, perselisihan biasa diakhiri dengan menghunus
senjata. Demikian di antara kaumnya Supu, yang termasuk
golongan Tiehyen. Dulunya kaum ini gemar sekali berkelahi,
lama-lama, jumlah pria mereka jadi tinggal sedikit, sebaliknya,
wanitanya tambah banyak, berlebihan. Maka itu, melibat
ancaman bahaya itu bahwa golongannya akan kekurangan
pria, selang seratus tahun yang lalu satu ketuanya
mengadakan aturan untuk mencegahnya. Ialah: "Siapa
membunuh orang, hukuman atasnya hukuman mati." Biarnya
orang piebu, yaitu bertempur satu sama satu dengan cara
terang, ancamannya tetap hukuman mati. Karena adanya
hukuman ini, pertempuran menjadi dapat dicegah,
.pertambahan anggauta pria lantas bertambah. Aturan ini,
aturan lisan, dituturkan oleh setiap orang tua kepada anakanak
muda, agar semua orang mengetahuinya. Maka itu,
aturan itu ditaati turun-temurun.
Aman menangis, ia kata: "Ayahku telah kesalahan
membunuh ayahmu, dia bakal diadili oleh, tertua-tertua kita
yang akan menghukumnya, maka itu kau.. jangan kau
membunuh ayahku."
Nona ini bingung bukan main. Ia menginsafi kesalahan
ayahnya, kalau ayah itu sampai dihukum, bercelakalah ia.
Sedangnya ia bingung ini, sekarang ia melihat sikapnya Supu.
Ia bisa mengerti yang pemuda ini hendak menuntut balas.
Biar bagaimana, tidak ingin ia si pemuda melakukan
pelanggaran pula seperti ayahnya itu.
Supu memandang mayat ayahnya. Ia pun menginsafi
aturan, yang keras itu.
"Baik," katanya, "aku tidak akan bunuh ayahmu. Aku cuma
hendak menangkapnya!"
Lantas anak muda ini lari, mulutnya berkaokan: "Cherku!
Kau hendak kabur ke mana?" Tidak lagi ia memanggil paman.
Tiba-tiba datang jawabannya Cherku: "Aku di sini! Kenapa
aku mesti kabur?"
Cherku berada tidak jauh dari situ. Dia benar berlepotan
darah pada mukanya.
Dengan golok di tangannya dia berdiri tegar, romannya
bengis. Supu menghampirkan. Ia membawa goloknya tetapi
senjata itp ia tidak lantas menggunakannya. Cuma obor di
tangan kirinya, yang ia tancapkan di pasir. Ia kata dengan
keren: "Letaki senjatamu! Aku tidak akan bunuh kau!"
"Kenapa aku mesti meletaki senjataku?" Cherku membaliki.
"Hm! Apakah kau mengira kau dapat membunuh aku?"
Bun Siu dan Aman menyusul. Mereka mendapatkan dua
orang itu berdiri berhadapan dengan masing-masing
senjatanya di tangan, roman mereka bengis, sikap mereka
tegang. "Ayah, sukalah kau lepaskan golokmu," berkata Aman
kepada orang tuanya itu. "Supu telah berjanji tidak akan
membunuh kau..."
"Kau suruh dia meletaki senjatanya!" kata Cherku dengan
jumawa. "Aku juga berjanji tidak akan membunuh dia!"
"Benarkah kau tidak hendak melepaskan senjatamu?" tanya
Supu bengis, hatinya panas. "Mungkinkah kau benar hendak
membunuh aku?"
Cherku tertawa berkakak "Kau, bocah, kau memikir untuk
membunuh aku?" dia kata, mengejek. "Jikalau kau mempunyai
kepandaian, nah, kau cobalah!"
"Kenapa kau membunuh ayahku?" tanya Supu sengit. Ia
berteriak. "Aku... aku hendak menuntut balas untuk ayahku
itu!" Belum lagi Cherku menyahuti ketika mendadak ada angin
bertiup keras, hingga obor padam seketika. Hingga ruang
menjadi gelap petang. Tibanya sang gelap gulita itu dibarengi
sama bentakan dari kemurkaan dari Supu, disusul sama
benteroknya senjata, disusul pula dengan robohnya tubuh
Cherku... "Jangan berkelahi! Jangan berkelahi!" Aman berteriakteriak,
kuatimya bukan main.
Bun Siu sendiri lantas berdaya menyulut api.
Setelah obor menyala pula, terlihat Cherku rebah dengan
tubuhnya tertancap golok. Dia mati sama seperti matinya
Suruke. Di situ Supu berdiri diam dengan tangan kosong, dia
menjublak saja.
Aman lantas menubruk mayat ayahnya, ia pingsan.
Bun Siu maju, guna menolongi nona itu.
Sebentar kemudian, Aman tersadar.
"Bagaimana, Aman?" tanya Supu, menghibur.


Kuda Putih Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aman gusar. Ia menjawab sengit: "Kau telah membunuh
ayahku! Semenjak hari ini, jangan kau bicara pula denganku!"
Ia mencabut tusuk kondenya, terus ia mematahkannya, terus
ia melemparkannya ke tanah.
"Aku tidak membunuh ayahmu!" berkata Supu,
menyangkal. "Kau masih menyangkal?" kata Aman, sengit sekali. Dia
menuding kepada golok di dada ayahnya Dia kata pula:
"Apakah itu bukan golokmu" Jikalau bukannya kau yang
membunuh ayahku, habis apakah aku" Ataukah kakak Kang?"
Supu terdesak hingga ia tidak dapat bicara, kepalanya
tunduk. *** ( )*** Didalam suku Kazakh bagian Tiehyen itu ada tiga orang
tertuanya. Mereka telah mengadakan sidang di mana mereka
mendengari tuduhannya Aman serta penyangkalan atau
keterangannya Supu, setelah itu mereka berunding sekian
lama. Keputusan mereka dinantikan oleh orang-orang
bangsanya. Selang sekian lama, ketua yang usianya paling lanjut, yang
kumisnya telah ubanan, berbangkit dari kursinya, lalu dengan
suara nyaring dan tenang ia mengasih dengar perkataannya:
"Adalah aturan dari kaum kita semenjak seratus tahun yang
lampau yang melarang pembunuhan di antara kita sendiri,
bahwa siapa membunuh, hukumannya ialah hukuman mati.
Supu telah membunuh Cherku, maka itu dia harus dihukum
mati!" Semua orang berdiam sambil berduduk.
Supu sendiri seperti mendumal ketika ia berkata: "Aku tidak
membunuh Cherku... Aku tidak membunuh Cherku..."
Di dalam kesunyian itu, sekonyong-konyong seorang
bangun berdiri. Dialah Sangszer, yang terus berkata dengan
nyaring: "Cherku ialah guruku, dia dibunuh Supu, perbuatan
Supu tidak selayaknya. Tapi di samping itu, terlebih dulu
guruku telah membunuh ayahnya Supu, bisa dimengerti yang
Supu menjadi berduka dan bergusar hingga dia telah
membuatnya pembalasan. Maka itu, kesalahan Supu tidak
dapat dipandang dan disamakan dangan pembunuhan yang
biasa." Sangszer ini adalah musuhnya Supu, setiap orang
mengetahuinya, sekarang dia menunjuki sikapnya ini, sikap
dari satu laki-laki, dia membuatnya orang kagum hingga
semua mata diarahkan kepadanya. Supu pun mengawasi
dengan sinar mata yang bersyukur. Tatkala Supu berpaling
kepada Aman, si nona menoleh ke lain arah, untuk mencegah
bentroknya sinar mata mereka.
Si tertua yang kumisnya ubanan itu mengangguk.
"Kami bertiga pun sama pendapat," ia berkata, tenang.
"Supu pun membilang bahwa dia telah menolongi suku kita
mendapatkan suatu tempat penyimpanan harta besar dengan
apa suku kita bisa menjadi makmur dan berbahagia, hingga
jasanya itu bukannya kecil, hingga dapat dia menebus
dosanya dengan jasanya itu. Supu dapat bebas dari hukuman
mati tidak dari hukuman hidup, maka itu putusan sidang ialah:
"Mulai hari ini dia diusir untuk selamanya dari kaum Tiehyen
kami, dia dilarang pulang, jikalau kedapatan dia pulang secara
diam-diam, dia akan dihukum mati tanpa ampun pula!"
Supu tunduk, dengan perlahan ia kata: "Aku tidak
membunuh Cherku! Tapi, siapa pun tidak percaya aku, bahkan
Aman tidak mempercayainya... "
VIII Supu pergi seorang diri dengan pikirannya tidak keruan
rasa. Ia menggendol sebuah bungkusan serta sebuah kantung
air. Ia berjalan di antara jalanan yang bersalju. Ia telah diusir
dari kaumnya, dari tanah tempat kelahirannya. Ia diusir untuk
selama-lamanya hingga tidak dapat ia kembali ke kampung
halamannya itu. Ayahnya, yang ia cintai, telah mati, dan
kekasihnya, Aman, telah menjadi musuhnya. Di dalam dunia
yang luas ini, ia sekarang menjadi sebatang kara.
Ada satu pertanyaan yang tidak mau pergi dari dalam
hatinya. Itulah hal yang sangat membikin ia heran, yang tak ia
mengerti. Inilah dia: "Terang sekali aku tidak membunuh
Cherku! Kenapa golokku dapat nancap di dadanya" Ketika di
saat itu api padam dengan tiba-tiba, aku cuma merasa ada
orang menyamber dan merampas golok dari tanganku.
Adakah perampas itu Cherku, yang karena telah membunuh
ayahku, lalu menjadi malu sendirinya dan merampas golokku
untuk membunuh diri" inilah tidak mungkin terjadi! Cherku
bukan semacam laki-laki! Dia pun mempunyai goloknya
sendiri, perlu apa dia merampas golokku" Mungkinkah, dalam
saat murka itu, aku sampai lupa akan diriku, aku membunuh
Cherku di luar tahuku" Ya, inilah mungkin, inilah mungkin..."
Ia berjalan terus, pikirannya itu pun bekerja teras. Ia
menimbang-nimbang, ia menanya dirinya sendiri, tetapi tidak
dapat ia memberikan jawabannya. Pikirnya pula: "Tidak, itulah
tidak mungkin. Ketika itu, pikiranku sehat sekali, pikiranku
tidak kacau! Luar biasa aku membunuh orang tetapi aku tidak
tahu! Cherku musuhku, sebab dia membunuh ayahku, dengan
membunuh dia, aku tidak menyesal, hanya aneh adalah
duduknya peristiwa! Aku tidak membunuh dia! Habis,
siapakah" Mungkinkah benar, di dalam istana rahasia itu ada
memedinya?"
Lama Supu berjalan, lama ia berpikir, akhirnya, ia
mengarahkan kudanya ke istana rahasia. Ia merasa kesepian.
Ketika beberapa hari yang lalu ia pergi mencari istana itu, ia
ada bersama ayahnya serta Aman, juga beserta si nona Kang
yang pendiam, yang sinar matanya bagus dan tajam
"Sekarang setelah ayahku mati, aku hidup bersendirian.
Dengan Aman aku tidak bakai bertemu pula untuk selamaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lamanya. Umpama kata kita dapat bertemu, dia sangat
membenci aku. Bagaimana dengan si nona Kang" Dia pun
setahu telah pergi ke mana... Semenjak berlalu dari istana
rahasia, terus aku tidak melihatnya...**
Demikian pemuda-ini ngelamun dalam pikirannya. Ia
berduka, ia mendongkol, ia pun bercuriga, ragu-ragu. Ia
berada dalam kesunyian tetapi ia tidak takut. Maka ia telah
mengambil keputusan guna mencari sesuatu di dalam istana
rahasia. Ia menganggap lebih baik lagi kalau ia dibinasakan
memedi gurun! Bukankah di dalam dunia ini sudah tidak ada
apa-apa lagi yang berarti"
Sementara itu di dalam salah saru kamar di Istana Rahasia
Kobu, Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian lagi duduk
berhadapan, bergantian atau berbareng mereka tertawa
terbahak-bahak, saking girangnya, saking puasnya, hati
mereka. Bersama mereka pula turut bergembira tiga puluh
lebih pengikut-pengikut mereka. Sebab kantong dari setiap
dari mereka telah penuh isinya yang berupa barang-barang
permata yang banyak sekali, bahkan umpama kata setiapnya
membawa sepuluh buah kantong, tempat itu masih
kekurangan guna dapat mengangkut semua harta karun dari
kamar rahasia itu-tak satu perseratus atau satu
perseribunya...
"Shatee," berkata Goan Liong, "kita telah berlalu dari
rumah belasan tahun lamanya, sekarang ini barulah maksud
hati kita tercapai. Semua ini ialah karena jasa kau yang bukan
kecil itu. Duluhari kita bersusah hari karena kita tidak bisa
mencari harta karun ini. sekarang ini kita bersusah hati
disebabkan kita tidak sanggup mengangkut aemua harta ini
karena jumlahnya harta sangat banyak! Bagaimana harta ini
dapat diangkut semua?"
Tat Hian tertawa tetapi ia berkata: "Apa yang aku buat
susah hati sekarang adalah satu urusan lain..." -
"Apakah itu, shatee?" Goan Liong tanya. "Adakah dia si tua
bangka bongkok seperti unta itu" Kalau dia, meskipun dia
terlebih lihai lagi, dengan dua tangannya dia tidak dapat
melawan empat buah kepalan. Mungkinkah dia berani
menepuk laler di kepalanya harimau?" ia menoleh kepada
sebawahannya, yang menjadi tauwbak atau kepala
rombongan seraya berkata: "Eh, Lao Sin, pagi kau mengajak
sepuluh saudara, kau tengok segala bagian dari istana ini,
periksa biar tertib!"
Tauwbak she Sin itu mengangguk, dengan lantas ia berlalu
bersama sepuluh kawannya. Di antara mereka itu ada yang
tidak sabaran, Dendam Iblis Seribu Wajah 16 Golok Halilintar Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar 9
^