Pendekar Cacad 1

Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 1


" Pendekar Cacad Karya : Gu Long
Saduran : Tjan ID
Jilid 1. 2 Matahari telah tenggelam di langit barat, sinar keemasemasan
membias di angkasa dan menyinari suasana senja
yang amat indah.
Di tengah sebuah jalan raya yang lebar, mendadak
terdengar suara ringkik kuda yang amat keras, bergema
memecah keheningan.
Di bawah sinar keemas-emasan yang membias di angkasa,
dari kejauhan di sebelah barat terlihat seekor kuda berbulu
kuning berlari dengan kencang.
Anehnya, kuda jempolan yang sedang berlari kencang
sambil meringkik tiada hentinya itu tanpa penunggang di atas
pelananya. Kuda tanpa penunggang itu berlari kencang menuju ke
arah timur dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Akhirnya sampailah kuda jempolan tadi di muka sebuah
gedung megah yang dikelilingi tembok pekarangan berwarna
merah. Empat orang pria berbaju hitam yang membawa tombak
berdiri berjaga di kedua sisi pintu gerbang gedung itu, ketika
menyaksikan kehadiran kuda itu, paras muka mereka berubah
hebat. Mendadak kuda jempolan itu meringkik panjang, suaranya
keras dan sangat memilukan hati.
Belum habis suara ringkiknya, keempat kaki kuda sudah
menjejak tanah, lalu seperti anak panah terlepas dari
busurnya, ia menubruk ke patung singa yang berada di
sebelah kanan pintu.
Terdengar suara benturan diikuti bunyi remuknya tulang,
darah dan hancuran daging beterbangan, ternyata kuda itu
melakukan bunuh diri dan mati seketika itu juga.
3 Tindakan yang amat mendadak dan sama sekali tidak
terduga ini berlangsung dalam sekejap, mimpi pun keempat
orang pengawal itu tidak menyangka kuda jempolan itu akan
melakukan bunuh diri di hadapan mereka, sesaat mereka
terbelalak lebar dengan mulut melongo.
Tampaknya kuda itu adalah kuda jempolan yang
berperasaan, karena majikannya tewas, maka ia pun bunuh
diri menyusul tewasnya sang majikan.
0oo0 Gedung nomor satu di kota Kay-hong, gedung yang
ditinggali Bu-lim Bengcu, disebut pula Bu-lim Bengcu-hu.
Gedung itu tinggi dan amat megah dengan pintu gerbang
besar serta bangunan yang beratus-ratus banyaknya.
Tengah hari baru menjelang, matahari bersinar dengan
teriknya, tiang lentera yang tingginya enam-tujuh kaki di
tengah halaman gedung Bu-lim Bengcu ini tampak bendera
putih berkibar dengan megahnya, di antara kain putih tertera
huruf-huruf yang mengartikan duka-cita.
Pada halaman depan gedung megah itu tampak banyak
kereta diparkir di situ, banyak pula orang yang berlalu-lalang
melalui pintu gerbang itu.
Tapi mereka harus melalui pemeriksaan dan pengawasan
seksama oleh dua puluh empat Busu berbaju hitam sebelum
masuk ke dalam.
Semua Busu berbaju hitam itu membawa senjata lengkap,
pada lengannya dibalut kain hitam yang menandakan
berduka-cita, wajah mereka rata-rata serius, dengan sorot
mata tajam mengawasi setiap orang yang keluar masuk di
dalam gedung. Mendadak di sudut lapangan di luar gedung muncul
seorang sastrawan berbaju hitam berwajah tampan, bertubuh
kekar, tapi kalau berjalan, kaki kirinya pincang.
4 Paras mukanya pucat kekuning-kuningan, seperti wajah
seorang berpenyakitan, kesepian dan kehilangan semangat.
Lama sekali pemuda berbaju hitam itu berdiri termenung di
situ, akhirnya selangkah demi selangkah secara terpincangpincang
menaiki anak tangga batu dan mengikuti kerumunan
orang banyak bersama-sama memasuki pintu gerbang.
Tiba-tiba dari sisi jalan melompat keluar dua orang Busu
berbaju hitam yang menghadang jalan perginya, kemudian
terdengar Busu yang di sebelah kanan menegur, "Saudara,
harap berhenti dulu!"
Agak tertegun sastrawan berbaju hitam itu mendengar
teguran itu, ia berhenti dan segera menjura dalam-dalam.
"Aku datang hanya untuk menyampaikan duka-citaku
terhadap kematian Bengcu," buru-buru ia menerangkan.
"Harap saudara sudi memperlihatkan surat duka-citanya."
"Surat duka-cita?" pemuda itu tertegun, "Ah, benar,
lantaran tergesa-gesa melakukan perjalanan, aku lupa
membawanya."
Busu itu segera menggeleng, "Jauh-jauh saudara datang ke
kota Kay-hong untuk melawat, arwah Bengcu di alam baka
pasti mengetahui dan berterima kasih sekali, sayang aku tak
mengizinkan kau memasuki gedung Bengcu ini."
"Ai ...." pemuda itu menghela napas, "Sudah lama
kukagumi Oh-bengcu yang gagah perkasa, apakah aku tidak
boleh masuk sebentar untuk menyampaikan hormatku di
depan layonnya?"
Agak tercengang juga Busu itu ketika dilihatnya sepasang
mata pemuda berpenyakitan itu berkaca-kaca waktu bicara,
namun ia tetap menggeleng kepala.
"Aku pun berterima kasih atas kehadiranmu yang tulus
untuk turut berduka-cita atas kematian Oh-bengcu, sayang
5 panitia pemakaman telah memerintahkan, siapa yang tak
diketahui identitasnya dilarang menghadiri upacara ini. Jadi
terpaksa kehadiranmu kami tolak!"
Pemuda berbaju hitam itu nampak semakin sedih sesudah
mendengar perkataan itu, dia menghela napas sedih, rasa
kesepian dan kehilangan semangat makin kentara.
Ia membalikkan tubuh, lalu dengan terpincang-pincang
menuruni anak tangga batu.
Dalam hati ia bergumam dengan penuh kesedihan,
"Sepuluh tahun dipelihara dan dididik, budi kebaikan ini lebih
dalam dari samudra, aku harus menyembah di muka layon
guruku, meski aku Bong Thian-gak adalah murid yang sudah
dikeluarkan dari perguruan. Tapi budi Suhu tak akan
kulupakan. Oh! Suhu, maafkanlah aku! Bong Thian-gak akan
mengingkari larangan kau orang tua dan melangkah masuk ke
dalam gedung Bu-lim Bengcu!"
Malam sudah kelam, langit sangat gelap, tiada rembulan,
tiada bintang, yang ada hanya awan gelap yang menyelimuti
seluruh angkasa.
Dari balik hutan di sebelah timur laut gedung Bu-lim
Bengcu, mendadak muncul sesosok bayangan.
Dengan sepasang matanya yang tajam, dia memandang
sekejap halaman gedung Bu-lim Bengcu yang terang
benderang bermandikan cahaya, kemudian dengan menyeret
kakinya yang pincang, pelan-pelan dia berjalan menuju ke
sudut dinding. Tampak pemuda itu tanpa bertekuk lutut atau
menggerakkan pinggang, dengan enteng melompat naik ke
atas tembok pekarangan.
Ilmu meringankan tubuh yang sempurna, betul-betul amat
hebat orang tidak akan menyangka seorang pemuda pincang
dapat memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.
6 Perlu diketahui, untuk bisa melompat naik tanpa menekuk
lutut dan menggerakkan pinggang, orang harus
menggantungkan tenaga pantulan kedua belah lengannya,
padahal ia harus melampaui tembok pekarangan setinggi satu
tombak lebih, hal itu tak mungkin bisa dilakukan seandainya
dia tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna.
Bong Thian-gak tidak berhenti lama di atas tembok
pekarangan, secepat kilat dia meluncur turun dan
menyembunyikan diri.
Saat itulah bergema suara langkah orang, dari depan sana
muncul tiga orang pengawal berbaju hitam sedang melakukan
perondaan. Dengan amat teratur dan berdisiplin tinggi, mereka
melakukan pemeriksaan seksama ke sekeliling halaman,
sementara sebilah pedang pendek tergantung di pinggang
masing-masing. Ketika tahu hal ini, lagi-lagi ia terperanjat. "Heran!" ia
berpikir, "Mengapa gedung Bu-lim Bengcu harus dijaga
sedemikian ketat, bahkan beberapa kali lebih ketat daripada
dulu?" Mendadak ia teringat kejadian siang tadi, sewaktu ia
dilarang penjaga pintu memasuki gedung.
Berbagai kecurigaan segera berkecamuk dalam benak
pemuda itu. Kembali ia berpikir, "Semasa masih hidupnya
dulu, Suhu adalah seorang Bengcu persilatan angkatan kedua
puluh sembilan yang namanya menggetarkan seluruh sungai
telaga, kini dia orang tua telah tiada, sepantasnya kalau setiap
umat persilatan diberi kesempatan
menyampaikan penghormatan yang terakhir, mengapa
hanya orang yang menerima surat duka-cita saja yang
diizinkan hadir?"
7 Belum habis dia berpikir, mendadak terdengar salah
seorang di antara tiga pengawal itu berkata, "Ah Jiang, sejak
kematian Oh-bengcu, selama empat puluh sembilan hari ini
gedung Bengcu dijaga sedemikian ketatnya sehingga burung
pun tidak bisa lewat, tindakan ini benar-benar tidak habis
kumengerti."
"Hm, selama empat puluh sembilan hari ini kita benarbenar
tersiksa," rekannya mendengus, "Coba kalau sikap Ohbengcu
semasa hidup dulu tidak baik terhadap kita, maknya,
aku benar-benar akan mencaci-maki kawanan telur busuk itu
sampai tujuh turunan."
Pengawal yang bernama Ah Jiang tampaknya merupakan
ketua regu, dengan cepat membentak, "Kalian berdua jangan
sembarangan bicara, kalian tahu apa" Konon sejak kuda
tunggangan Bengcu kembali ke Kay-hong dengan membawa
warta kematian Bengcu dan bunuh diri di depan patung singa,
lima jago lihai yang secara kebetulan bertamu dalam gedung
Bu-lim Bengcu pun secara beruntun menemui ajal secara
aneh." Mengikuti suara langkah mereka yang makin menjauh,
suara pembicaraan itu pun tak terdengar lagi.
Tetapi serangkaian pembicaraan itu cukup membuat Bong
Thian-gak terperanjat.
Sekarang ia sudah tahu apa sebabnya suasana dalam
gedung Bu-lim Bengcu sedemikian tegang dan pengawasan
dilakukan seketat itu, sebenarnya ia mengira Bengcu mati
karena sakit, tapi kini ia mulai menduga kematian gurunya
merupakan kematian yang tidak wajar.
Kalau begitu, besar kemungkinan gurunya mati dibunuh
orang. Thi-ciang-kan-kun-hoan (Pukulan baja gelang jagad) Oh
Ciong-hu merupakan jagoan bernama besar dalam Bu-lim,
8 kesempurnaan ilmu silatnya meskipun belum dapat dikatakan
nomor wahid, namun orang persilatan pun belum tentu dapat
menangkan ilmu Thi-ciang-kan-kun-hoannya yang maha
dahsyat. Bong Thian-gak, si pemuda pincang itu tidak sanggup
menahan diri, dengan enteng dia melompat bangun, lalu
dengan mengembangkan Ginkangnya melewati beberapa
bangunan. Setiap jalanan maupun bangunan yang ada di dalam
gedung Bu-lim Bengcu ini sangat dikenal olehnya, sekali pun
ia hanya memejamkan mata, dia pun bisa melukiskan peta
tempat itu, karena tujuh tahun berselang dia pernah tinggal di
situ. Walaupun penjagaan di dalam gedung Bu-lim Bengcu amat
ketat, bahkan pada hakikatnya tiap tiga langkah satu
pengawal, setiap langkah satu pos penjagaan, tetapi
berhubung udara sangat gelap, ditambah lagi Bong Thian-gak
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, maka ia
dapat menyelundup masuk dengan leluasa.
Seperti segulung asap, dia menyusup ke dalam dan
akhirnya berhenti di depan sebuah ruangan besar.
Tengah malam sudah menjelang tiba, angin malam
berhembus mengibarkan kain putih di atas tiang lentera,
suasana amat hening, hanya tujuh buah lentera menerangi
ruangan itu. Cahaya lentera yang redup menyinari setiap benda yang
ada di situ, karangan bunga di tengah ruangan yang lebar,
keranjang bunga di depan pintu gerbang dan kain-kain putih
dengan huruf hitam yang tergantung di setiap dinding.
Pada bagian paling belakang ruangan itu tampak sebuah
meja abu, di depannya terpajang nama Oh Ciong-hu dan di
dinding tergantung lukisan wajahnya.
9 Bong Thian-gak menjatuhkan diri berlutut di depan sebuah
Hiolo berwarna kuning tembaga, air mata bercucuran
membasahi wajahnya, seluruh badan gemetar keras menahan
isak tangis, walau tiada suara tangis yang terdengar, akan
tetapi kesedihan tanpa suara tangis terasa jauh lebih
menyedihkan. Dalam waktu singkat, kenangan lama melintas di depan
mata. Ia teringat kejadian pada tujuh belas tahun berselang,
waktu itu hujan salju turun dengan derasnya, ketika ia sedang
tergeletak di suatu sudut jalanan kota Kay-hong sambil
menahan lapar dan kedinginan, tiba-tiba muncul seorang
seperti malaikat menunggang kuda jempolan menyelamatkan
jiwanya. Kemudian orang itu telah memeliharanya, tiga tahun
kemudian bahkan ia melanggar kebiasaan dengan
menerimanya sebagai murid terakhir.
Begitulah, dia pun merasakan kasih sayang dan kehangatan


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga dari kakek penolongnya itu.
Sekarang melihat tulisan turut berduka-cita yang memenuhi
ruangan, tak tahan ia memanggil dengan sedih, "Oh, Suhu!"
Ia menubruk ke atas meja altar, lalu sambil memeluk
tulisan nama gurunya, ia bergumam lagi, "Suhu, aku Bong
Thian-gak benar-benar sangat berdosa. Suhu, walaupun kau
orang tua telah mengusirku dari perguruan, namun dalam hati
tak akan kulupakan budi pertolongan dan didikan Suhu selama
belasan tahun. Suhu, sebenarnya aku kemari untuk memohon
kepadamu agar menerimaku kembali dalam perguruanmu ...
tapi kini kau orang tua takkan bisa mengabulkan
permintaanku lagi! Selama hidup Bong Thian-gak akan
menjadi manusia berdosa yang telah dikeluarkan dari
perguruan, oh, Suhu
10 la tak kuasa menahan rasa sedih yang mencekam
perasaannya, meledaklah isak tangisnya yang amat
memilukan. Sementara Bong Thian-gak masih tercekam dalam suasana
sedih, mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang
suara helaan napas.
Bong Thian-gak segera sadar dari kesedihan dan segera
berpaling. Entah sejak kapan di tengah ruangan telah muncul seorang
pendeta tua berjubah abu-abu. Telapak tangan kirinya
disilangkan di depan dada, sementara tangan kanannya
membawa tasbih, wajahnya ramah dan saleh, waktu itu ia
sedang bergumam membaca doa.
Setelah dapat melihat jelas raut wajah pendeta tua itu,
dengan terperanjat Bong Thian-gak berpikir, "Bukankah
pendeta tua ini adalah Ku-lo Siansu, pendeta suci dari Siaulim-
pay?" Ku-lo Siansu, pendeta suci dari Siau-lim-pay adalah Supek
ketua Siau-lim-pay sekarang, kedudukannya dalam Bu-lim
boleh dibilang adalah angkatan tua.
Bong Thian-gak masih ingat, tujuh tahun berselang,
sebelum dia dikeluarkan dari perguruan, pemuda itu pernah
mendengar orang berkata, Ku-lo Siansu telah menutup diri
dan tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi.
Tak heran kemunculannya sekarang kontan membuat anak
muda itu tercengang.
Beberapa saat lamanya pendeta tua itu memejamkan mata
sambil berdoa, akhirnya dia membuka mata dan menatap
wajah Bong Thian-gak dengan sorot mata setajam sembilu.
"Omitohud! Limpahan perasaan sedih di hadapan layon Ohbengcu
benar-benar suatu pelimpahan perasaan yang
sebenarnya, bila arwah Oh-bengcu di alam baka tahu, dia
11 pasti akan terhibur, harap Sicu segera menghentikan
kesedihanmu itu!"
Dari kata-katanya itu, Ku-lo Siansu dapat melihat Bong
Thian-gak telah menderita luka dalam akibat kesedihan yang
kelewat batas. Dengan amat hormat Bong Thian-gak menjura kepada
pendeta saleh itu, sahutnya, "Terima kasih banyak atas
nasehat Losiansu."
"Sicu, bolehkah Pinceng tahu, apa hubunganmu dengan
Oh-bengcu?"
Tergerak hati Bong Thian-gak.
"Wanpwe pernah menerima budi pertolongan jiwa dari Ohbengcu,
budi ini dalamnya melebihi samudra, maka ketika
kudengar berita kematiannya, aku menjadi sedih sekali,
apalagi bila teringat budi kebaikannya belum sempat kubalas."
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.
"Kegagahan dan kebajikan Oh-bengcu telah mendatangkan
berkah dan keuntungan bagi seluruh umat manusia, kini dia
telah tiada, kehilangan ini terasa berat dan menyedihkan buat
kita, ai ... limpahan perasaan Sicu pasti akan menghibur arwah
Oh-bengcu di alam baka."
Mencorong sinar mata tajam dari balik mata Bong Thiangak
sesudah mendengar perkataan itu, katanya kembali, "Aku
sudah banyak berhutang budi kepada Oh-bengcu, sekali pun
malam ini aku datang untuk menyampaikan rasa dukaku di
hadapan layonnya, namun semua itu belum dapat membayar
budi kebaikan yang pernah kuterima, kejadian ini benar-benar
membuat hatiku sedih."
Untuk kesekian kalinya Ku-lo Hwesio mengamati wajah
Bong Thian-gak.
12 "Bila Sicu ingin membalas budi kebaikannya, sudah
sepantasnya bila kau lanjutkan cita-cita Oh-bengcu untuk
mendatangkan keuntungan dan berkah bagi umat persilatan,
sebab hanya dengan cara ini saja kau dapat membalas budi
Oh-bengcu."
"Losiansu," tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya, "ada satu
persoalan ingin kutanya padamu, apa yang menyebabkan
kematian Oh-bengcu?"
"Omitohud, Lolap pun baru saja kemari dari kuil Siau-lim-si,
aku sendiri kurang jelas tentang keadaan yang sesungguhnya.
Bila ingin mengetahui hal ini, lebih baik besok saja ditanyakan
langsung kepada para ahli warisnya!"
Baru selesai berkata, mendadak dari luar ruangan
berkumandang suara bentakan nyaring, "Siapa di dalam
ruangan" Cepat laporkan namamu!"
Delapan sosok bayangan orang berkelebat di depan pintu
ruangan, delapan orang pengawal berbaju hitam dengan
senjata terhunus telah menghadang di depan pintu.
"Aduh celaka!" pikir Bong Thian-gak dengan terperanjat.
Baru lewat ingatan itu, Ku-lo Hwesio telah menyahut
dengan suara rendah, "Omitohud, harap Sicu sekalian suka
melaporkan, Ku-lo dari Siau-lim-si datang untuk menyambangi
layon sahabat karibnya."
Nama Ku-lo dari Siau-lim-si ibarat guntur yang membelah
bumi di siang bolong, kontan membuat kedelapan pengawal
berbaju hitam itu buru-buru membungkuk badan memberi
hormat. "Kehadiran Losiansu sungguh di luar dugaan, maafkan Tecu
sekalian yang tidak datang menyambut sepantasnya ...."
Tidak menanti ucapan itu selesai, Ku-lo Hwesio telah
menukas, "Omitohud, malam sudah semakin kelam dan tidak
baik mengganggu tidur orang, biar Lolap menanti dalam
13 ruangan ini sampai kentongan kelima saja, saudara sekalian
silakan berlalu!"
Pemimpin regu rombongan pengawal itu adalah seorang
lelaki setengah umur berperawakan jangkung, dia segera
menjura seraya berkata, "Panitia pemakaman ada perintah,
bila Losiansu datang di gedung ini, maka kami diwajibkan
melaporkan kedatangan Siansu."
"Kalau memang begitu, harap Sicu sekalian sudi membuka
jalan!" ujar Ku-lo Hwesio kemudian sambil mengangguk.
Belum habis perkataan itu, dari luar ruangan sudah
bergema suara nyaring seseorang.
"Sinceng datang berkunjung kemari, Heng-sui sengaja
datang menyambut...."
Berbareng dengan menggemanya ucapan itu, tampak
cahaya lentera bergoyang terhembus angin, seorang pemuda
berbaju hijau, berwajah tampan, dingin, gagah dan bermata
tajam telah berdiri di depan kedelapan pengawal itu sambil
memberi hormat kepada Ku-lo Hwesio.
Menyaksikan kemunculan orang itu, sekujur badan Bong
Thian-gak gemetar keras, dalam hati dia berpekik, "Ji-suheng
..." Ternyata pemuda berbaju hijau itu adalah murid kedua Thiciang-
kan-kun-hoan Oh Ciong-hu yang bernama Toan-conghong-
liu (usus putus darah mengalir) Yu Heng-sui.
Kini ia sudah menjabat sebagai komandan pasukan
pengawal gedung Bu-lim Bengcu, orang yang berkuasa di
ruang hukuman dan berkuasa penuh dalam menjatuhkan
hukuman yang setimpal kepada sembilan partai besar dalam
Bu-lim, kedudukannya tinggi dan terhormat sekali.
Ternyata persekutuan dunia persilatan ini merupakan
dibentuk bersama sembilan partai besar dunia persilatan untuk
menyatukannya menurut sejarah, Bengcu hanya dipilih oleh
14 anggota sembilan partai besar dan berkuasa penuh mengatur
segala tindak-tanduk sembilan partai. Atau dengan perkataan
lain, kekuasaan Bu-lim Bengcu masih berada di atas
kekuasaan sembilan ketua partai.
Sedang anggota pengurus penting lainnya dalam
persekutuan dunia persilatan ini pun harus dinilai dan diteliti
lebih dulu oleh sembilan partai besar sebelum melakukan
pengangkatan, kekuasaan mereka meski hanya terbatas
dalam satu bidang, akan tetapi mempunyai tingkatan yang
sejajar dengan kedudukan para ketua partai lainnya.
Tampaknya Ku-lo Hwesio pernah bersua Yu Heng-sui, maka
sambil tersenyum segera ujarnya, "Yu-hiantit, tak usah banyak
adat." Si Pemutus usus darah mengalir Yu Heng-sui mengangkat
kepala dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak yang
berada di belakang Ku-lo Hwesio, keningnya nampak berkerut,
kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, ujarnya, "Maaf,
kalau aku tak kenal dengan saudara ...."
Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Bong Thian-gak
telah menukas sambil menjura, "Yu-tayhiap tak perlu
sungkan-sungkan, aku she Ko bernama Hong."
"Ko Hong", nama yang asing dan belum pernah terdengar
di Bu-lim, sebagai tokoh persilatan yang berpengalaman luas
Yu Heng-sui tetap tak mengenalnya.
Namun dalam hati kecilnya dia merasa heran, diam-diam
pikirnya, "Heran! Meski baru berjumpa pertama kalinya,
namun orang ini seperti pernah kutemui, tapi kalau kuamati
lagi dengan seksama, kembali terasa begitu asing."
Yu Heng-sui tersenyum, lalu ujarnya, "Tampaknya Ko-heng
baru saja terjun ke Bu-lim bukan?"
15 Bong Thian-gak manggut-manggut, "Benar, sudah lama
aku tinggal di hutan terpencil, kali ini memang merupakan
perjalanan perdanaku."
Sementara berbicara, pemuda ini pun diam-diam berpikir,
"Ji-suheng, tak heran kau tak kenal lagi Sutemu yang telah
dikeluarkan dari perguruan ini, tujuh tahun ... ya, betapa
lamanya tujuh tahun ini. Apalagi hidup dalam suasana yang
penuh penderitaan dan kesengsaraan, oh, betapa keji dan
mengenaskan pengalamanku selama ini."
"Aku ... ai, Bong Thian-gak pada tujuh tahun berselang
tentu saja berubah banyak kalau dibanding tujuh tahun
kemudian."
"Sewaktu meninggalkan gedung Bengcu, aku baru berusia
delapan belas tahun, mukaku putih, keempat anggota
badanku utuh dan gagah, tapi hari ini aku muncul sebagai
seorang pincang, apalagi wajahku telah kuubah dengan obat
penyaru, tentu saja kau tak mengenali diriku lagi."
Berbagai ingatan dan perasaan segera berkecamuk dalam
benak Bong Thian-gak.
"Omitohud!" terdengar Ku-lo Hwesio berkata, "Aku lihat Kosicu
amat gagah dan perkasa, aku pun dapat menyaksikan
kepandaian saktimu yang tersembunyi, aku yakin kau pasti
berasal dari suatu perguruan tersohor."
Yu Heng-sui berdiri tertegun.
Sebenarnya dia mengira Bong Thian-gak merupakan
kenalan lama Ku-lo Hwesio yang datang ke sana bersamanya,
tapi sekarang tampaknya Ku-lo Hwesio baru saja berkenalan.
Kejadian ini menimbulkan kecurigaan dan perasaan serba
salah dalam benak Yu Heng-sui, bibirnya bergetar hendak
mengucapkan sesuatu, tetapi tak sepotong kata pun yang
meluncur keluar.
16 Bong Thian-gak bukan pemuda bodoh, ia dapat merasakan
hal itu, maka ujarnya, "Beberapa tahun lalu, jiwaku pernah
diselamatkan oleh Oh-bengcu sewaktu berada di Kang Tang,
budi kebaikan ini besar bagaikan bukit, maka ketika kudengar
kabar kematian Oh-bengcu, sengaja aku kemari untuk
memberi penghormatan terakhir kepadanya, Ya, hanya sayang
budinya tak sempat kubalas, itulah sebabnya bila selanjutnya
In-jin ada persoalan yang belum terselesaikan, sekali pun
tubuh harus hancur, aku bersedia mewakilinya untuk
menyelesaikan masalah itu. Yu-tayhiap, aku harap kau suka
menerima ketulusan hatiku ini dan tidak memandang asing."
Beberapa patah kata itu diutarakan dengan bersungguh
hati dan tulus ikhlas, kendatipun Yu Heng-sui menaruh curiga,
tentu saja ia tidak bisa bersikap kelewat batas, apalagi sampai
mengusir tamunya.
Tapi dia berpikir juga, "Asal-usul orang ini tidak begitu
jelas, mana mungkin dia dibiarkan hadir dalam masalah besar
Bu-lim Bengcu?"
Sementara Yu Heng-sui masih ragu dan tidak tahu
bagaimana harus bertindak, Ku-lo Hwesio telah berkata, "Kosicu
seorang yang gagah dan berjiwa besar, bila persekutuan
persilatan bisa mendapat bantuan pikiran dari Sicu, ini benarbenar
satu keberuntungan bagi umat persilatan."
Ku-lo Hwesio adalah Locianpwe yang paling disanjung dan
disegani dalam Bu-lim dewasa ini, tentu saja Yu Heng-sui tidak
berani ragu lagi, dia pun tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, Ko-heng gagah perkasa dan berjiwa besar, aku
orang she Yu merasa cocok denganmu, mana berani
memandang asing ...."
Sesudah berhenti sejenak, ia berpaling ke arah Ku-lo
Hwesio sambil melanjutkan, "Ku-lo Supek, silakan. Silakan
menuju ke ruang rapat, banyak jago lihai yang tergabung
17 dalam panitia pemakaman sudah berada dalam ruangan
menantikan kedatangan Supek."
Ku-lo Hwesio manggut-manggut.
"Kalau begitu harap Yu-hiantit membuka jalan."
Seusai berkata, Ku-lo Hwesio mengebaskan ujung bajunya
dan berjalan keluar ruangan itu mengikut di belakang Yu
Heng-sui dan kedelapan orang pengawal berbaju hitam itu,
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Bong Thian-gak
turut pula di belakang Ku-lo Hwesio beranjak pergi.


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah melewati tiga lapis halaman luas dan sebuah tanah
lapang, sampailah mereka di sebuah gedung yang
berpenjagaan amat ketat.
Gedung ini berloteng tingkat tiga yang megah seperti
keraton, empat penjuru penuh pengawal bersenjata lengkap,
suasananya begitu ketat, tegang dan menyeramkan seperti
hendak menghadapi serbuan musuh tangguh saja.
Menyaksikan keadaan itu, timbul suatu perasaan bimbang
di dalam hati Thian-gak, ia tidak habis mengerti, kematian
gurunya sebenarnya menyangkut masalah besar apa sehingga
suasana dalam gedung Bu-lim Bengcu dijaga dengan
sedemikian ketatnya.
Sementara itu Yu Heng-sui telah berpaling ke arah Ku-lo
Hwesio sambil berkata, "Jenazah Suhu disemayamkan di
loteng sana!"
Sementara pembicaraan berlangsung, dari balik pintu
tampak bermunculan belasan orang laki perempuan, ada
pendeta, Tosu, ada pula orang preman, ketika menyaksikan
kehadiran Ku-lo Hwesio, serentak mereka memberi hormat
seraya berkata, "Kami tidak dapat menyambut kedatangan
Sinceng dari jauh, harap sudi dimaafkan."
18 "Omitohud, kalian tidak usah banyak adat, Lolap sudah
datang mengganggu tidur kalian, sesungguhnya Lolaplah yang
harus minta maaf."
Bong Thian-gak yang berdiri di belakang Ku-lo Hwesio
menggunakan kesempatan itu mengawasi wajah para tokoh
silat yang berada di sana, tapi dengan cepat hatinya bergetar
keras. Ternyata puluhan orang Enghiong yang hadir hampir
meliputi semua inti kekuatan yang ada di Bu-lim, bahkan
semuanya merupakan ketua-ketua partai persilatan yang
sudah termasyhur puluhan tahun lamanya.
Ketika sorot matanya dialihkan ke wajah seorang lelaki
setengah umur berbaju biru yang beralis tebal, bermata besar,
muka bulat, telinga persegi dan seorang gadis cantik yang
mengenakan pakaian berkabung, kembali sekujur tubuhnya
gemetar karena luapan emosi.
Ternyata lelaki setengah umur berbaju biru itu adalah Toasuhengnya,
Pa-ong-kiong (si Busur raja lalim) Ho Put-ciang,
sedang gadis berbaju putih itu adalah puteri tunggal gurunya,
Oh Cian-giok. Sorot mata semua jago hampir sebagian besar dicurahkan
ke wajah Ku-lo Hwesio, maka tidak ada yang memperhatikan
Bong Thian-gak, apalagi Bong Thian-gak mengenakan baju
berwarna hitam, sehingga semua mengira dia adalah salah
seorang pengawal gedung Bu-lim Bengcu.
Hanya Oh Cian-giok, si nona baju putih itu yang
memperhatikan kehadiran Bong Thian-gak, hanya sekali lirikan
saja paras mukanya berubah hebat, tapi dengan cepat
wajahnya kembali seperti sediakala.
Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya Ku-lo Hwesio
bersama rekan-rekan pendekar lainnya beranjak masuk ke
ruang besar yang terang benderang itu.
19 Baru saja Bong Thian-gak hendak turut melangkah masuk,
tiba-tiba terdengar Oh Cian-giok yang berada di sisinya
berkata lantang, "Ji-suheng, Siangkong ini adalah jago lihai
dari perguruan mana?"
Tidak menanti Yu Heng-sui yang berada di belakangnya
menjawab, Bong Thian-gak segera membalik badan dan
menjura kepada Oh Cian-giok sambil memperkenalkan diri.
"Aku Ko Hong, tolong tanya apakah nona puteri
kesayangan Oh-bengcu?"
Sekarang Oh Cian-giok sudah bisa melihat jelas wajah Bong
Thian-gak yang pucat-pias bagai mayat, keningnya berkerut,
lalu sambil menggeleng, pikirnya, "Heran, sekilas pandangan
tadi, raut wajahnya seperti pernah kujumpai di suatu tempat,
tapi setelah diperhatikan lebih seksama, serasa tak kuingat
siapa gerangan orang ini?"
"Sumoay," terdengar Yu Heng-sui menjawab lantang, "Kosiauhiap
datang bersama Sinceng."
"Oh ...." buru-buru Oh Cian-giok menjura kepada Bong
Thian-gak sambil berkata, "Ko-siauhiap, terima kasih banyak
atas kehadiranmu turut melawat ayahku."
"Ai, kematian ayahmu benar-benar suatu kehilangan besar
bagi umat persilatan," Bong Thian-gak menghela napas.
"Ko-heng, kematian guruku secara lamat-lamat
menyangkut suatu ancaman maut bagi keamanan Bu-lim,"
kata Yu Heng-sui pula. "Malam ini, sengaja kuundang
kehadiran, Ku-lo Sinceng untuk bersama-sama membahas
ancaman bahaya yang telah semakin dekat ini .... Ko-heng
sebenarnya kau bukan termasuk anggota perserikatan,
bilamana tidak ada keperluan yang mendesak, lebih baik
janganlah melibatkan diri di dalam pertikaian ini."
Bong Thian-gak tersenyum.
20 "Sewaktu berada di loteng tadi, aku telah mengemukakan
suara hatiku, sejak kini biarpun harus terjun ke lautan api, aku
tidak akan menampik."
"Baiklah," kata Yu Heng-sui sambil manggut-manggut,
"KaJau begitu, silakan Ko-heng mengambil tempat duduk."
Sementara itu Ku-lo Sinceng dan para pendekar sudah
mengambil tempat duduk masing-masing. Puluhan orang
berkumpul membentuk suatu pertemuan.
Murid pertama Thi-ciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu, yakni
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang, murid kedua si Pemutus usus Yu
Heng-sui dan Oh Cian-giok duduk di kursi tuan rumah sebelah
timur, Ku-lo Sinceng duduk di sebelah barat, sedangkan Bong
Thian-gak duduk di sebelah kanan Ku-lo Hwesio.
Setelah semua orang duduk, si Busur raja lalim Ho Putciang
segera membuka suara, "Para pendekar dan orang
gagah sekalian, hari ini kita sengaja mengundang kehadiran
Ku-lo Sinceng yang telah menutup diri selama sepuluh tahun
untuk menghadiri pertemuan ini, tujuannya tak lain adalah
untuk menyelidiki sebab-sebab kematian guruku."
"Sesungguhnya siapa yang telah membunuh guru kami"
Dan apa yang menyebabkan kematiannya" Meski sudah
diperiksa dan diselidiki oleh semua jago berpengalaman,
alhasil hingga kini tetap merupakan suatu teka-teki yang
mencurigakan."
"Yang lebih mengherankan lagi adalah pada empat puluh
sembilan hari berselang, kuda tunggangan guru kami telah
pulang sendiri ke gedung Bu-lim Bengcu untuk mewartakan
kematiannya, kemudian kuda itu telah membunuh diri dengan
menerjang patung singa di depan pintu gerbang, disusul pula
lima orang tokoh persilatan yang kebetulan sedang bertamu di
dalam gedung ini ditemukan tewas secara misterius, sebabsebab
kematian mereka pun tidak berhasil ditemukan, karena
di tubuh masing-masing tidak dijumpai cidera atau luka,
21 mereka seakan-akan mati secara wajar, persis seperti keadaan
yang dialami guru kami."
"Omitohud!" Ku-lo Hwesio memuji keagungan sang
Buddha, "Siapa-siapa saja kelima tokoh persilatan itu?"
"Mereka adalah si Pukulan nomor wahid dari kolong langit
Ma Kong Loenghiong dari perguruan Sin-kun-bun, Liong-thau
Pangcu dari perkumpulan Hek-huo-pang Kwan Bu-peng,
Congpiauthau dari tujuh perusahaan ekspedisi gabungan
wilayah Kanglam Lui-hong-khek (Jago angin guntur) Gi Pengsan,
Loapcu dari benteng Jit-seng-po Tui-hun-pit (Pena
pengejar sukma) Cia Liang dan Thi-koan-im (Koan-im baja)
Han Nio-cu yang namanya disegani kaum Hek-to maupun Pekto."
Begitu nama kelima tokoh persilatan itu diungkap, Bong
Thian-gak serta sekalian pendekar mengerutkan dahi dengan
wajah serius. Ternyata kelima tokoh silat itu tiada seorang pun yang
merupakan tokoh tanpa nama dalam Bu-lim, boleh dibilang
mereka merupakan pemimpin persilatan yang namanya
termasyhur dalam Bu-lim.
Siapa pun tak menyangka kalau di kolong langit terdapat
seorang gembong iblis yang mampu membunuh nyawa kelima
orang tokoh persilatan itu bersama-sama.
Dengan wajah sedingin es, pelan-pelan Ho Put-ciang
berkata, "Sampai dimanakah taraf kepandaian silat kelima
orang tokoh ini rasanya sudah diketahui setiap orang,
kenyataan mereka ditemukan tewas pada saat bersamaan
dalam gedung Bu-lim Bengcu, bayangkan saja betapa
mengejutkan peristiwa ini."
Ketika mendengar sampai di situ, mendadak Ku-lo Hwesio
memejamkan mata sambil termenung.
22 Si Busur raja lalim Ho Put-ciang menghela napas,
sambungnya lebih jauh, "Malam ketiga setelah kematian
kelima tokoh silat itu, tahu-tahu kelima sosok mayat itu lenyap
secara misterius."
"Apakah kelima sosok mayat itu lenyap dari dalam gedung
ini?" mendadak Ku-lo Hwesio mementang mata lebar-lebar.
"Benar, kelima sosok mayat itu telah dicuri orang."
Perasaan setiap jago yang hadir di situ kembali terasa
berat, sekarang mereka mulai sadar bahwa kasus ini
merupakan suatu peristiwa yang amat rumit dan aneh, bahkan
jika berita itu sampai bocor keluar, niscaya akan menimbulkan
pergolakan yang amat hebat di Bu-lim.
Kematian Oh Ciong-hu sendiri sudah membuat dunia
persilatan diliputi selapis kabut gelap, apabila peristiwa yang
lebih parah ini sampai meledak, mungkin bisa menciptakan
kemusnahan bagi seluruh umat persilatan.
Ku-lo Hwesio maupun para pendekar termenung
memikirkan persoalan itu, suasana dalam ruang rapat diliputi
ketegangan, keseraman dan kengerian, tekanan yang sangat
berat serasa menindih dada setiap orang.
Mendadak dari antara para jago melompat bangun seorang
kakek kurus berperawakan pendek.
"Menurut dugaan Lohu," ia berkata, "Kematian Ma Kong
berlima diliputi suatu masalah maha besar ...."
Sorot mata semua orang segera dialihkan ke wajahnya.
"Kongsun-tayhiap berhasil menemukan apa?" ucap Ku-lo
Hwesio pelan. "Coba utarakan lebih jelas agar bisa didengar
setiap orang yang hadir di sini."
Ternyata kakek yang berperawakan pendek kecil ini adalah
salah satu di antara tiga sesepuh Ciong-lam-san, yakni To-cising
(Si bintang banyak akal) Kongsun Phu-ki.
23 Kongsun Phu-ki memutar sepasang biji matanya yang kecil,
kemudian pelan-pelan berkata, "Menurut dugaan dan
perasaan indera keenam Lohu, sesungguhnya Ma Kong
berlima hingga kini belum ... mati."
Suasana gempar segera menyelimuti seluruh ruangan, para
jago berbisik-bisik menanggapi perkataan itu.
Ho Put-ciang tak dapat menahan sabar, dia segera
bertanya, "Apa bukti yang menjadi dasar pertimbangan
Kongsun-tayhiap, hingga kau berani mengatakan Ma Kong
berlima sesungguhnya belum mati?"
Kongsun Phu-ki tertawa dingin.
"Sesungguhnya kelima orang itu memang cuma pura-pura
mati, belum lama Lohu mendengar orang berkata bahwa
Koan-im baja Han Nio-cu mempunyai semacam obat mustika,
bilamana pil itu ditelan, maka satu jam kemudian jantung akan
berhenti berdenyut dan keempat anggota badannya jadi
dingin dan kaku. Keadaannya tak jauh berbeda dengan
keadaan orang mati."
"Ah, itu pil Tong-bian-wan!" mendadak terdengar Bong
Thian-gak berseru tertahan.
Seruan itu segera mengejutkan para jago, berpuluh pasang
mata serentak dialihkan ke arahnya.
Setelah semua pendekar melihat jelas raut wajahnya,
sambil berkerut kening diam-diam mereka berpikir, "Heran,
siapakah dia?"
Paras muka Kongsun Phu-ki berubah hebat, buru-buru
serunya, "Darimana kau bisa tahu pil itu bernama Tong-bianwan?"
Bong Thian-gak merasa amat tak leluasa ditatap sekian
banyak orang, segera jawabnya, "Aku pernah membaca
kupasan tentang obat itu serta sifat Tong-bian-wan dari
catatan sejilid kitab, menurut kitab itu, barang siapa menelan
24 pil ini, maka semua organ tubuh akan berhenti bekerja,
keadaan itu seperti ular yang tidur panjang di musim dingin,
tapi bila sifat dan daya kerja obat itu sudah habis, maka
kehidupan pun akan pulih seperti sedia kala."
"Dimanakah kau pernah membaca kitab itu?"desak
Kongsun Phu-ki lebih jauh.
"Dalam sebuah gua terpencil," Bong Thian-gak tersenyum
rawan. Kongsun Phu-ki menatap tajam wajah anak muda itu
beberapa saat lamanya, mendadak ia berkata lagi, "Siapakah
kau?" "Aku she Ko bernama Hong."
"Anak murid dari perguruan mana?"
"Tanpa partai tanpa perguruan."
Mendadak Kongsun Phu-ki melompat ke tengah udara
setinggi satu tombak, kemudian tanpa menimbulkan sedikit
suara melayang turun tiga kaki di hadapan Bong Thian-gak,
bentaknya dengan suara keras, "Bila kau tidak menyebutkan
asal-usul perguruanmu, jangan harap kau bisa meninggalkan
gedung ini dalam keadaan hidup."
Ancaman yang diutarakan amat keras ini kontan membuat
suasana dalam ruang berubah menjadi tegang.
Sementara itu Ku-lo Hwesio dan Yu Heng-sui tetap duduk
tenang di tempat masing-masing tanpa melakukan sesuatu
tindakan, rupanya mereka pun ingin tahu asal-usul Bong
Thian-gak. Mendadak di saat yang kritis itulah dari atas wuwungan
rumah berkumandang suara tawa dingin seseorang yang amat
mengerikan. "He, monyet tua, lebih baik jangan menganiaya anak kecil."
25 Dampratan secara tiba-tiba itu kontan membuat paras
muka para pendekar yang berada di ruang rapat berubah
hebat. Kongsun Phu-ki membentak gusar, sementara di


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakangnya mengikut Yu Heng-sui.
Untuk sesaat tampak bayangan orang berkelebat, para jago
serentak menerjang keluar ruangan.
Kini dalam ruangan tinggal Ku-lo Hwesio, Pa-ong-kiong Ho
Put-ciang, Oh Cian-giok dan Bong Thian-gak berempat yang
masih tetap duduk diam.
Namun paras muka mereka pun diliputi perasaan tegang,
bahkan Ho Put-ciang tiada hentinya mengawasi wajah Bong
Thian-gak dengan sorot matanya yang sangat tajam.
Akhirnya terdengar Ku-lo Hwesio menghela napas panjang,
kemudian berkata, "Sebenarnya ucapan tadi dipancarkan
dengan menggunakan ilmu Jian-li-hui-im (suara pantulan
seribu li) yang dikerahkan dengan menggunakan tenaga
dalam tingkat tinggi, ketika kalian mendengar suara itu, sang
pembicara telah berada satu li jauhnya dari sini. Ai,
tampaknya Bu-lim kembali dihadapkan pada suatu ancaman
maha besar."
Baru selesai pendeta itu berkata, tampak Kongsun Phu-ki
dengan wajah gusar telah muncul kembali dalam ruangan,
tangan kirinya membawa segulung kain putih, sedang di
belakangnya mengikut enam-tujuh orang jago.
Sambil melompat bangun dari tempat duduknya, Ho Putciang
segera bertanya, "Kongsun-tayhiap, apa yang telah
engkau temukan?"
Kongsun Phu-ki membentang kain putih dalam
genggamannya itu ke atas meja, lalu serunya dengan gusar,
"Coba kalian saksikan sendiri!"
26 Setelah kain putih itu dibentang di meja, terbacalah sederet
tulisan di atas kain putih itu: "To-ci-sing Kongsun Phu-ki tak
akan hidup melebihi bulan setan".
Yang dimaksud bulan setan adalah bulan ketujuh,
sedangkan hari ini adalah tanggal dua puluh tiga, berarti dia
takkan bisa hidup melebihi tujuh hari lagi.
Kontan semua orang terbelalak dengan mulut melongo,
mereka sama-sama memandang ketiga belas patah kata itu
dengan terkesima.
Sementara itu Yu Heng-sui dan para jago lainnya pun telah
pulang dengan tangan hampa.
Sewaktu mereka menyaksikan ketiga belas patah kata yang
tertera di atas kain putih itu, semua orang terbungkam dan
saling pandang.
Akhirnya Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menarik napas
panjang; katanya, "Kongsun-tayhiap, kau menemukan kain
putih ini dimana?"
"Di atas tiang lentera di tengah lapangan sana," sahut
Kongsun Phu-ki sambil tertawa dingin.
"Penjagaan di gedung Bengcu ini dilakukan amat ketat,
bahkan jauh lebih ketat daripada penjagaan dalam keraton
kaisar, kenyataan pihak lawan dapat keluar masuk dengan
leluasa, malah mengganti kain putih di tengah lapangan tanpa
diketahui orang, kelihaian orang itu pada hakikatnya sukar
dilukiskan dengan kata-kata!"
"Sebenarnya siapakah orang ini?" bentak Kongsun Phu-ki
dengan suara lantang. Tangan kirinya menuding Bong Thiangak,
sementara sorot matanya yang tajam melotot gusar ke
arah Ho Put-ciang.
"Ko-siauhiap datang ke gedung Bengcu ini bersama Ku-lo
Sinceng!" buru-buru Yu Heng-sui berkata.
27 Yu Heng-sui cukup cerdas dan cekatan, dia dapat melihat
situasi malam ini telah mengubah Bong Thian-gak menjadi
orang yang amat mencurigakan, bila kesepakatan tidak
ditemukan, bisa jadi keadaan akan berkembang mengerikan.
Para pendekar yang hadir dalam ruangan rapat rata-rata
adalah anggota pengurus perserikatan dunia persilatan,
kedudukan mereka amat tinggi dan kekuatannya amat besar,
merekalah yang akan bertanggung jawab dalam pemilihan
pergantian Bengcu.
Tapi kini ia membicarakan seseorang yang tidak jelas
identitasnya yang telah memasuki ruang sidang, bahkan turut
dalam perundingan rahasia itu, jelas tindakan ini merupakan
suatu pelanggaran peraturan yang sangat besar.
Itulah sebabnya maka ia lantas memutar otak dan
melimpahkan semua tanggung jawab itu ke atas pundak Ku-lo
Hwesio. Goan-hui Taysu, ketua Siau-lim-pay sekarang merupakan
ketua pengurus Bu-lim Bengcu, padahal Ku-lo Sinceng adalah
Supek dari Goan-hui Taysu, dia pun ketua pengurus yang lalu,
bisa dibayangkan betapa tingginya kedudukan orang ini.
Betul juga, Kongsun Phu-ki segera menarik kembali hawa
amarahnya sesudah mendengar perkataan Yu Heng-sui,
sambil berpaling ke arah Ku-lo Hwesio, tanyanya, "Tolong
tanya Sinceng, orang ini berasal dari perguruan mana?"
"Kongsun-tayhiap," jawab Ku-lo Hwesio cepat, "Harap kau
segera menenangkan hatimu, Ko-sicu adalah orang dari aliran
kita." Dengan dasar ucapan itu, serentak para jago membuang
sebagian rasa curiganya terhadap Bong Thian-gak.
Dengan suara dalam, Ho Put-ciang lantas berkata, "Para
pendekar, silakan duduk kembali untuk melanjutkan
perundingan kita."
28 Para pendekar secara beraturan menempati tempat
duduknya masing-masing, kemudian Ui-hok Totiang dari Butong-
pay angkat bicara, katanya, "Pihak lawan telah
meninggalkan tiga belas patah kata itu dalam gedung Bengcu,
menurut pendapat Pinto, lebih baik dalam tujuh hari ini
Kongsun-tayhiap meningkatkan kewaspadaan."
Kongsun Phu-ki tertawa dingin, "Hehehe, terima kasih
banyak atas perhatian Ui-hok Totiang, Lohu percaya paling
tidak aku masih dapat hidup sepuluh tahun lagi."
"Kongsun-tayhiap, harap kau jangan gusar," kembali Ui-hok
Totiang berkata serius, "kau harus tahu, musuh yang datang
pasti bermaksud jelek, orang yang bermaksud baik tak akan
begini cara datangnya, sekarang mereka sudah berani
menantang kita secara terang-terangan, sudah pasti hal ini
bukan cuma gertak sambal belaka."
Kongsun Phu-ki kembali tertawa dingin.
"Lohu tidak percaya dengan segala macam kepandaian
setan mereka. Hehehe ... sudah puluhan tahun Kongsun-loji
malang melintang dalam Bu-lim tanpa kuatir bertemu setan,
aku minta kalian tak usah menguatirkan tentang diriku."
Setelah berhenti sebentar, sambungnya, "Sekarang aku
punya suatu persoalan yang membuat hatiku bingung, tadi
ketika aku mendengar suara lawan, sesungguhnya selisih
waktu kami hanya sekejap mata, kendatipun orang itu
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat hebat, sulit
rasanya untuk menghindar dari pengawasan mata Lohu,
apalagi di sekeliling halaman ini penuh dengan pengawal yang
berjumlah tiga puluhan orang, tapi kenyataannya tak seorang
pun di antara mereka yang menemukan jejak musuh."
Yu Heng-sui pun diliputi perasaan berat, ujarnya, "Tadi
secara beruntun aku telah menanyai para pengawal yang
berjaga di ketujuh lapis halaman gedung, ternyata tak seorang
29 pun di antara mereka yang menemukan jejak musuh, juga
tidak mendengar sedikit suara pun."
"Pernahkah Sicu sekalian mendengar semacam kepandaian
yang disebut Jian-li-hui-im?" ujar Ku-lo Hwesio pelan. "Dengan
menghimpun tenaga dalam, seseorang dapat menghimpun
nada suaranya menjadi gelombang suara dan dipancarkan ke
dalam telinga manusia dari jarak ratusan kaki."
Begitu mendengar uraian itu, paras muka para jago
berubah hebat. "Ai, kalau begitu ilmu silat lawan benar-benar telah
mencapai puncak kesempurnaan?"
"Kepandaian lawan memang bukan sembarangan, cuma di
antaranya justru terdapat kelicikan ...."
Bicara sampai di sini, Ku-lo Sinceng memejamkan mata
sambil berpikir sejenak, kemudian mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain, "Ho-hiantit, kau paling lama
mengikuti Oh-bengcu, tahukah kau selama hidup gurumu
pernah terjadi peristiwa besar" Mungkinkah orang-orang itu
akan membalas dendam terhadap gurumu?"
"Selama hidup Suhu bersikap amat baik terhadap siapa
pun, berjiwa sosial dan suka membantu orang, boleh dibilang
tak punya seorang musuh pun, sekali pun ada, itu pun
manusia-manusia kurcaci dunia rimba hijau, Sutit sudah
membuang waktu selama setengah bulan melakukan
penyelidikan, sebagian besar di antara mereka telah
meninggal, yang belum mati pun telah dihukum Suhu hingga
cacat, cuma di antaranya terdapat tiga orang yang sangat
mencurigakan, hingga kini jejak mereka masih belum
ditemukan."
"Siapa ketiga orang itu" Harap Hiantit jelaskan."
30 Pa-ong-kiong Ho Put-ciang termenung sejenak, lalu ujarnya
dengan suara dalam, "Pertama adalah Suci Suhu kami yang
bernama Ho Lan-hiang."
Mendengar nama Ho Lan-hiang disinggung, paras muka
Ku-lo Hwesio berubah, ujarnya, "Pada sepuluh tahun lalu, Ho
Lan-hiang sudah termasyhur sebagai perempuan paling cantik
di wilayah Kanglarn, tapi dia hanya muncul sebentar saja
dalam Bu-lim, kemudian lenyap, hingga kini jejaknya tidak
jelas, semasa gurumu masih hidup, Lolap pun pernah
mendengar ia membicarakan Ho Lan-hiang, kalau dia adalah
Suci (kakak seperguruan) gurumu, tentunya tak mungkin
punya perselisihan dengan gurumu, jadi aku rasa tidak
sepantasnya kita mencurigai dia sebagai orang yang
membunuh Oh-bengcu."
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang mengangguk berulang kali,
kembali katanya, "Orang kedua adalah Tio Tian-seng, seorang
jago silat yang pernah menggemparkan dunia persilatan pada
tiga puluh tahun lalu ...."
Mendengar nama Tio Tian-seng, kembali para jago saling
berbisik, seakan-akan setiap orang mengetahui nama itu.
Rupanya Tio Tian-seng sudah termasyhur di Bu-lim sejak
tiga puluh enam tahun lalu, dia hanya tiga tahun berkelana
dalam Bu-lim, mengandalkan pedang sesatnya, beruntun dia
berhasil merobohkan delapan puluh satu jago pedang
kenamaan sehingga dijuluki Mo-kiam-sin-kun (Malaikat sakti
pedang iblis). Di masa lalu, bila orang menyinggung Mo-kiam-sin-kun Tio
Tian-seng, maka baik jagoan dari golongan sesat maupun
golongan putih, rata-rata orang menaruh rasa hormat dan
gentar kepadanya.
Ku-lo Hwesio termenung beberapa saat lamanya, kemudian
baru pelan-pelan berkata, "Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng
memang seorang pendekar aneh dunia persilatan,
31 pertarungan sengit antara Tio Tian-seng melawan almarhum
Oh-bengcu di puncak Im-soat-hong di bukit Si-ciang-san pada
tiga puluh tujuh tahun berselang memang betul-betul
merupakan suatu pertarungan yang paling mengagumkan
sepanjang sejarah...."
"Ku-lo Supek," tiba-tiba Yu Heng-sui menyela, "Ketika Tio
Tian-seng menantang Suhu kami bertarung di puncat Im-soathong,
bukankah Supeklah yang bertindak sebagai juri?"
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Benar, waktu itu
memang Lolap bertindak sebagai wasit... pertarungan sengit
itu berlangsung tiga hari tiga malam sebelum akhirnya tahu
siapa menang siapa kalah, waktu itu almarhum Oh-bengcu
hanya berhasil menang setengah jurus."
Ku-lo Hwesio berhenti sebentar, kemudian baru
sambungnya, "Sejak menderita kekalahan di puncak Im-soathong
di bukit Si-ciang-san, Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng
mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan, selama
tiga puluhan tahun belakangan ini sudah tidak pernah
terdengar lagi namanya, juga tiada orang yang mengetahui
jejaknya ... benar, Tio Tian-seng pernah keok di tangan Thiciang-
kan-kun-hoan Oh Ciong-hu, mungkin dia akan
melakukan balas dendam."
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang segera melanjutkan
perkataannya tentang orang ketiga yang dicurigai, "Orang
ketiga adalah Bong Thian-gak, seorang murid Suhu yang
dikeluarkan dari perguruan."
Hampir saja Bong Thian-gak yang duduk di sampingnya
menjerit kaget mendengar ia dituduh sebagai orang ketiga
yang dicurigai telah membunuh gurunya.
Mimpi pun dia tak menyangka kalau dirinya bisa
dicantumkan sebagai salah seorang yang dicurigai.
"Apakah dia adalah bocah cilik yang diterima almarhum Ohbengcu
sebagai muridnya yang terakhir?" tanya Ku-lo Hwesio.
32 "Benar," sahut Pa-ong-kiong Ho Put-ciang setelah
menghela napas sedih.
"Bong Thian-gak memang adik seperguruanku yang
terkecil."
Sambil menghela napas, Ku-lo Hwesio segera menggeleng,
"Siau Gak si bocah cilik ini sangat penurut dan alim, dia pun
cerdik, terutama bakatnya yang bagus, dia juga amat
berbakat belajar silat ... sebenarnya apa yang telah terjadi"
Waktu itu Lolap sudah menutup diri dalam kuil Siau-lim-si,
harap Hiantit suka memberi keterangan."
Kembali Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menghela napas
panjang, "Bong Thian-gak Sute memang seorang bocah yang
menyenangkan, sekali pun dia telah dikeluarkan dari
perguruan, Suhu beserta segenap saudara seperguruannya
masih tetap merindukan dia."
Setelah berhenti sejenak, lalu sambungnya, "Peristiwa ini
terjadi pada musim panas tujuh tahun berselang, Sam-sute
Siau Cu-beng dan Su-sute Bong Thian-gak mendapat perintah
Suhu untuk berangkat ke Ci
Kang guna menjemput Subo pulang ke Kay-hong, di tengah
jalan mereka kakak beradik seperguruan saling berdebat
tentang ilmu silat, akhirnya perdebatan itu dilanjutkan dengan
pertarungan di puncak bukit, dasar keduanya berdarah muda
dan ingin mencari menang sendiri, mereka saling tak mau
mengalah hingga pertarungan tak dapat dihindari lagi ... dan


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sam-sute Siau Cu-beng kena dihajar oleh Su-sute Bong Thiangak
hingga tercebur ke dalam jurang, hingga kini mayatnya
tak pernah ditemukan."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu diam-diam
hatinya amat sakit, pekiknya di hati, "Toa-suheng, wahai Toasuheng,
kau tidak mengetahui rahasiaku, tak mungkin aku
berebut soal ilmu silat dengan Sam-suheng hingga
membunuhnya. Sesungguhnya aku mempunyai rahasia yang
33 tidak bisa diberitahukan kepada Suhu dan kalian, oleh sebab
itu mau tak mau aku harus mengarang sebuah cerita kepada
kalian guna menutupi kenyataan yang sesungguhnya."
Sementara itu Ku-lo Hwesio telah bertanya setelah selesai
mendengar kisah itu, "Siapa yang menyaksikan Bong Thiangak
telah menghajar Siau Cu-beng hingga terjatuh ke dalam
jurang?" Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menggeleng kepala berulang
kali. "Mereka kakak beradik sedang berada dalam perjalanan
menuju ke wilayah Ci Kang, saat peristiwa itu terjadi, kami
tahu dari pengakuan Bong Thian-gak sendiri kepada Suhu
sekembalinya dari Kay-hong."
"Ketika Suhu mendengar peristiwa itu, beliau gusar sekali,
hampir saja dia orang tua hendak membunuhnya, tapi entah
mengapa Suhu tidak melanjutkan serangan itu, ditambah Susute
dan Ji-sute serta Oh-sumoay memohon ampun baginya,
akhirnya Suhu pun mengampuni dosa Su-sute dan
mengusirnya dari perguruan serta putus hubungan antara
guru dan murid."
Bong Thian-gak merasa sedih sekali, kembali ia bergumam,
"Oh, Toa-suheng! Tahukah kau, sewaktu kuhajar Siau Cubeng
Sam-suheng hingga jatuh ke dalam jurang, ada seorang
yang menyaksikan kejadian itu, orang itu adalah Subo ...
ketika kubunuh Sam-suheng, waktu itu dalam perjalanan
pulang dari Ci Kang menuju ke Kay-hong setelah menjemput
Subo." "Siancay! Siancay! Sungguh tak kusangka selama Lolap
menutup diri, dalam keluarga almarhum Oh-bengcu telah
berlangsung peristiwa semacam ini, ai! Bong Thian-gak si
bocah itu meski memiliki hawa membunuh yang berat, namun
dia adalah seorang bocah yang berhati mulia dan baik."
34 "Ai, sejak dikeluarkan dari perguruan, selama tujuh tahun
ini Bong Thian-gak tak diketahui jejaknya lagi, mati hidupnya
hingga kini belum diketahui!"
Diam-diam Bong Thian-gak mengucurkan air mata, kembali
ia membatin dengan sedih, "Toa-suheng, wahai Toa-suheng,
tahukah kalian, selama tujuh tahun ini aku telah merasakan
banyak penderitaan dan siksaan ... ketika aku baru dipecat
dari perguruan, pembunuh-pembunuh yang dikirim Subo telah
datang mengejekku ... hampir saja aku tewas dalam
penghadangan itu. Kaki kiriku menjadi pincang adalah hadiah
dari Subo. Aku amat membenci kebejatan moral Subo,
sebenarnya ingin kuungkap semua rahasianya, tapi aku
terlampau menghormati dan menyayangi guruku, terpaksa
semua penderitaan ini hanya kusimpan dalam hati, itulah
sebabnya hingga kini tujuh tahun kemudian aku belum pernah
membocorkan rahasia ini kepada siapa pun, oh Toa-suheng,
kalian jangan salah menuduh diriku sebagai pembunuh Suhu!"
Sementara itu terdengar Yu Heng-sui berkata dengan
wajah serius, "Su-sute Bong Thian-gak adalah pemuda yang
perasa, dia gampang menaruh dendam pada orang, kami
kuatir lantaran dia diusir dari perguruan oleh Suhu, hingga
akhirnya timbul niat untuk menghabisi nyawa Suhu."
Oh Cian-giok yang selama ini hanya membungkam diri tibatiba
turut berbicara dengan air mata bercucuran, "Yu-suheng,
aku rasa Su-sute tak akan bertindak sekejam ini, dia ...
keesokan hari setelah ia dikeluarkan dari perguruan, aku
pernah melakukan pembicaraan dari hati ke hati dengan Bong
Thian-gak Sute waktu itu, tampaknya dia seperti menyimpan
suatu rahasia besar yang sukar untuk diutarakan."
Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian ini dari sisi
arena ingin sekali melompat keluar dan membeberkan semua
kejadian yang sebenarnya.
Selama tujuh tahun ini, dia telah merasakan penderitaan
dan siksaan yang tak mungkin bisa ditahan oleh kebanyakan
35 orang, sehingga semua itu menciptakan suatu kemampuan
untuk mengendalikan diri yang luar biasa, hingga akhirnya
segala sesuatunya dapat ditahan dan dilewatkan begitu saja.
Ia tidak dapat membuka rahasia identitasnya, lebih-lebih
lagi tak boleh mengungkap rahasia memalukan antara
Subonya dengan Sam-suhengnya, kendatipun kini gurunya
telah tiada, namun hal itu tetap akan merugikan nama
baiknya. Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, katanya,
"Walaupun Bong Thian-gak boleh saja dicurigai sebagai
pembunuh gurunya, tapi menurut pendapat Lolap
kemungkinannya kecil sekali, harus diketahui, orang yang bisa
membunuh almarhum Oh-bengcu jelas bukan seorang murid
yang baru tujuh tahun meninggalkan perguruan, kepandaian
silat Oh Ciong-hu Bengcu sedemikian hebat, Lolap sendiri pun
sulit menangkan dia, apalagi seorang muridnya."
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Tentu saja
lantaran Bong Thian-gak belum diketahui kabar beritanya
hingga sekarang, kita boleh saja menuduhnya sebagai salah
seorang yang dicurigai ... cuma menurut pendapat Lolap, dari
tiga orang yang dicurigai Ho-hiantit, aku lebih mencurigai Mokiam-
sin-kun Tio Tian-seng."
"Kau harus tahu, sewaktu masih berkelana di Bu-lim
dahulu, Tio Tian-seng mempunyai ambisi menjadi manusia
paling kosen di Bu-lim, tapi ambisi itu buyar setelah ia
dikalahkan oleh Oh Ciong-hu Bengcu, kekalahan yang
dideritanya ini membuat pamornya sewaktu berhasil
mengalahkan delapan puluh satu jago pedang pun buyar
dalam semalam saja, pukulan batin yang begini berat bagi
orang yang berwatak aneh macam dia, kadangkala bisa
berubah menjadi dendam kesumat yang dalam sekali, oleh
karena itu kukatakan bahwa Tio Tian-seng adalah orang yang
paling mencurigakan."
36 "Di samping itu keberhasilan Tio Tian-seng pada tiga puluh
tahun berselang sudah seimbang dengan Oh Ciong-hu
Bengcu, bila selama tiga puluh tujuh delapan tahun ini dia
berlatih secara tekun, bisa jadi kepandaiannya akan berhasil
melampaui Oh Ciong-hu Bengcu."
Mendengar uraian Ku-lo, para jago tak membantah lagi,
semua orang pun menganggap pentolan yang berada di balik
kabut kegelapan di Bu-lim adalah Tio Tian-seng.
Bahkan Bong Thian-gak sendiri pun berpendapat demikian,
diam-diam dia mengertak gigi sambil bertekad hendak
membunuh Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng untuk membalas
dendam bagi kematian gurunya.
Ku-lo Hwesio mengangkat kepala dan memandang sekejap
suasana gelap di luar jendela, kemudian ujarnya lagi,
"Membalas dendam bagi almarhum Oh-bengcu dan
melenyapkan bibit bencana serta menegakkan kembali
keadilan dan kebenaran di Bu-lim bukankah pekerjaan yang
dapat diselesaikan sehari dua hari saja, kini musuh berada
dalam kegelapan dan kita berada di tempat terang, terpaksa
untuk sementara kita berada di posisi yang diincar, karenanya
bila Sicu sekalian tidak mempunyai urusan penting, tak ada
salahnya tinggal dahulu di gedung Bu-lim Bengcu untuk
sementara waktu."
Para pendekar dari sembilan partai besar tidak memberi
komentar apa-apa, mereka menyetujui usul itu.
Mendadak Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berkata, "Hingga hari
ini Suhu sudah mati empat puluh sembilan hari, tapi jabatan
Bu-lim Bengcu masih tetap kosong, entah bagaimanakah
pendapat Ku-lo Supek dalam hal ini?"
"Soal itu gampang untuk diselesaikan, bagaimana pun juga
Sicu yang hadir di sini sekarang adalah anggota pengurus
perserikatan dunia persilatan, soal Bengcu baru tentu saja
harus dipilih, tapi bukan mesti dipilih dalam waktu singkat,
37 meski demikian, untuk sementara kita memang boleh saja
memilih seorang wakil Bengcu yang akan mengurus semua
masalah." Ku-lo Hwesio adalah ketua pengurus perserikatan generasi
lalu, setelah ia mengusulkan demikian, semua menyatakan
persetujuannya, sedang mengenai siapa yang akan dipilih,
tidak ada yang mengajukan usul.
Kembali Ku-lo Hwesio berkata, "Orang yang dipilih menjadi
wakil Bengcu paling baik bila seorang yang mengerti berbagai
masalah dalam Bu-lim, daripada kita harus membuang waktu
untuk mengajar padanya mengurusi soal-soal itu, itulah
sebabnya Lolap usulkan paling baik jika 1 Iiantit saja yang
menduduki jabatan itu, entah bagaimanakah pendapat
saudara sekalian?"
Semua jago segera menyatakan persetujuannya
mendengar perkataan itu.
Buru-buru Ho Put-ciang menampik, katanya, "Ku-lo Supek,
Sutit kurang berpengalaman, kurang cocok memikul tanggung
jawab yang berat ini."
"Ho-tayhiap," Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay berkata,
"Kau merupakan Tongcu yang mengurusi masalah luar dan
dalam Bu-lim dewasa ini, setelah Oh-bengcu berpulang ke
alam baka dan Bengcu baru belum terpilih, rasanya kecuali
Ho-tayhiap yang cocok untuk jabatan ini, sulit buat kita
mencari pengganti lainnya, buat apa Ho-tayhiap meski
menampik?"
"Dunia persilatan dewasa ini sedang terancam oleh suatu
badai pembunuhan yang mengerikan," ujar Ho Put-ciang
dengan suara dalam, "aku kuatir...."
Ku-lo Hwesio tidak memberi kesempatan padanya
melanjutkan perkataan itu, segera ia menukas, "Sudah dua
puluh tahun Ho-hiantit mengikuti Oh-bengcu almarhum, bicara
soal ilmu silat, kau telah mendapat seluruh warisan ilmu silat
38 Oh Ciong-hu, selain itu kau jujur dan berbudi luhur, cocok
untuk jabatan pemimpin dunia persilatan. Kau pun tak usah
menampik lagi, bersiap-siaplah untuk menerima jabatan itu."
Sebagai seorang yang berpengalaman, sudah tentu Ho Putciang
dapat menangkap maksud yang lebih mendalam di balik
perkataan Ku-lo Hwesio itu, terpaksa dia pun mengiakan.
"Atas kepercayaan serta kasih sayang Cianpwe sekalian,
aku orang she Ho mengucapkan banyak terima kasih, tapi
selanjutnya aku masih membutuhkan banyak petunjuk serta
nasehat dari para Loheng."
Bong Thian-gak bersyukur dalam hati mendengar Toasuhengnya
terpilih sebagai wakil Bengcu, ia cukup tahu
kebijaksanaan dan kejujuran Toa-suhengnya, terutama soal
ketenangan dan ketegasan menghadapi persoalan, ia memang
berbakat menjadi seorang pemimpin dunia persilatan.
Bicara soal ilmu silat, kepandaiannya pun tidak di bawah
kemampuan Ciangbunjin partai mana pun, meski di hari-hari
biasa Toa-suhengnya memang jarang bertanding melawan
orang lain, namun menurut apa yang diketahuinya, tenaga
dalam gurunya belum tentu lebih tinggi daripada kemampuan
Toa-suhengnya ini.
Oleh sebab itu Bong Thian-gak amat bersyukur karena
dunia persilatan telah memperoleh seorang pemimpin yang
jujur, bijaksana dan berwibawa.
Tiba-tiba Ku-lo Hwesio bangkit seraya berkata, "Lolap rasa
perundingan kita malam ini cukup sampai di sini saja, besok
baru akan kuperiksa lagi jenazah Oh-bengcu."
"Yu-sute!" dengan cepat Ho Put-ciang ikut beranjak
bangun, "cepat siapkan tempat penginapan buat Ku-lo Supek
serta Ko-cuangsu. Malam ini telah merepotkan para pendekar
sekalian."
39 Sesudah hampir sebulan lamanya kawanan jago silat itu
berdiam dalam gedung Bengcu, mereka kembali ke kamar
masing-masing untuk beristirahat.
Toan-cong-hong-liu Yu Heng-sui juga berangkat lebih dulu
untuk mempersiapkan tempat pemondokan bagi Ku-lo Hwesio
dan Bong Thian-gak.
Dengan demikian dalam ruang pertemuan tinggal Ku-lo
Sinceng, Ho Put-ciang, Bong Thian-gak dan Oh Cian-giok
berempat. Menanti semua orang berlalu, Ku-lo Hwesio baru berkata
sambil menghela napas panjang, "Ho-hiantit, pihak musuh
telah menyelundup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, apakah
kau belum merasakan hal itu?"
Diam-diam Bong Thian-gak dan Oh Cian-giok merasa
terperanjat, mata mereka serentak dialihkan ke wajah pendeta
agung itu. Dengan sedih Ho Put-ciang manggut-manggut.
"Ya, Sutit memang sudah merasa pihak lawan telah
menyelundup ke dalam gedung ini, tapi Sutit tak mampu
menyelidik siapa gerangan mereka."
"Untuk sementara waktu, berita ini lebih baik kita simpan
dulu rapat-rapat, jangan sampai diketahui anggota pengurus
lain," ujar Ku-lo Hwesio dengan sinar mata berkilat. "Siapa
tahu mata-mata yang dikirim pihak lawan justru berada di
antara kawanan pendekar itu."
"Entah bagaimana rencana Ku-lo Supek menyelidiki matamata
ini?" tanya Ho Put-ciang kemudian.
Ku-lo Hwesio termenung beberapa saat, mendadak dia
berpaling ke arah Bong Thian-gak dan berkata, "Ko-sicu, Lolap
mempunyai suatu permintaan, entah Sicu bersedia
mengabulkan atau tidak?"
40 "Aku merasa berhutang budi pada Oh-bengcu yang telah
tiada, sekali pun harus terjun ke lautan api pun aku bersedia."
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Lolap ingin memohon
kepada Sicu agar secara diam-diam melindungi Kongsun Phuki
selama tujuh hari ini, mengawasi pula gerak-geriknya, entah
tugas ini dapat kau laksanakan atau tidak?"
"Aku siap melaksanakan tugas ini!" sahut Bong Thian-gak


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan cepat. Setelah menyaksikan Ku-lo Hwesio begitu mempercayai
Bong Thian-gak, Ho Put-ciang dan Oh Cian-giok merasa lega
juga, cuma mereka berdua kelewat menghormati Ku-lo
Sinceng, sehingga tidak ada yang berani memberi komentar
apa-apa. Kembali Ku-lo Hwesio berkata, "Kecuali Ko-sicu yang
bertugas mengawasi gerak-gerik Kongsun Phu-ki secara diamdiam,
Ho-hiantit, Yu-hiantit, serta Oh-titli juga harus
meningkatkan kewaspadaan mengawasi gerak-gerik para
pendekar secara diam-diam, terutama para pengawal dalam
gedung. Jika dugaan Lolap tidak salah, di antara para
pendekar sudah pasti terdapat mata-mata, kemudian oleh
mata-mata ini berita itu disampaikan kepada musuh yang
bertugas sebagai pengawal dalam gedung."
Terhadap ketelitian dan keseksamaan Ku-lo Hwesio
berpikir, Ho Put-ciang, Bong Thian-gak, serta Oh Cian-giok
merasa kagum sekali.
Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya, "Ku-lo Taysu, aku
masih ada satu persoalan yang kurang jelas, mohon
petunjuk."
"Soal apa, Ko-sicu" Katakan terus terang."
"Tadi Taysu menyinggung ilmu Jian-li-hui-im, masa di Bulim
dewasa ini ada orang yang mampu melatih ilmu Khikang
tingkat tinggi itu hingga mencapai tingkatan sempurna,
41 sehingga dia sanggup mengirim suara ke telinga orang dari
jarak ratusan kaki?"
Agak terkejut juga Ku-lo Sinceng mendapat pertanyaan dari
anak muda itu, pikirnya, "Tampaknya anak muda ini benarbenar
memiliki ilmu silat yang luar biasa, kalau tidak,
darimana dia bisa mengetahui rahasia ilmu Jian-li-hui-im?"
Berpikir sampai di situ, ia lantas menjawab sambil
tersenyum, "Pengetahuan Ko-sicu amat luas, tentunya kau
tahu bukan tiada manusia di dunia ini yang sanggup melatih
kepandaian sakti itu seperti apa yang didongengkan."
Mendengar ucapan itu, seperti memahami sesuatu, Bong
Thian-gak berkata, "Jadi Taysu sudah tahu yang dikirim lewat
Jian-li-hui-im itu sesungguhnya berasal dari dalam ruang
pertemuan?"
Ku-lo Hwesio tersenyum.
"Benar, pada saat itu juga Lolap sudah tahu! Tapi waktu
itu, Lolap juga tak bisa menemukan suara itu berasal dari
siapa. Agar mata-mata yang menyelundup masuk tidak
menyadari, sengaja aku menggunakan cerita Jian-li-hui-im
untuk mengaburkan suasana."
Ho Put-ciang dan Oh Cian-giok jadi bertambah bingung
mendengar tanya jawab itu.
Oh Cian-giok berkata, "Ku-lo Supek, sebenarnya ilmu
Khikang macam apa Jian-li-hui-im itu?"
Ku-lo Hwesio tertawa, "Jian-li-hui-im adalah sejenis ilmu
Coan-im-ji-im atau Gi-hi-coan-im, hanya bedanya ilmu Coanim-
ji-im dan Gi-hi-coan-im merupakan pancaran hawa Khikang
yang memaksa nada suara seseorang berubah menjadi
getaran gelombang yang bisa dikirim ke tempat tujuan dalam
jarak puluhan kaki saja, kecuali orang yang bersangkutan,
yang lain tidak dapat mendengar suara itu."
42 "Sedang ilmu Jian-li-hui-im justru merupakan kebalikannya,
pancaran gelombang suaranya tidak mengelompok ke satu
tujuan saja, melainkan memancar kemana-mana dengan lebih
mengutamakan getaran baliknya atau gaung suara
pantulannya."
"Seperti misalnya orang yang mengucapkan kata-kata
makian tadi, sesungguhnya musuh yang memancarkan ilmu
itu berada dalam ruang pertemuan juga, tapi berhubung suara
itu dipancarkan dengan ilmu Jian-li-hui-im, akibatnya suara
tadi menyebar dan memantul kembali setelah membentur
langit-langit ruangan."
Oh Cian-giok hanya bisa membelalakkan mata mendengar
penjelasan itu, ia benar-benar merasa kaget bercampur
keheranan. Mendadak sambil berpaling ke arah Bong Thian-gak, ia
berkata, "Mengapa kau pun mengetahui rahasia itu?"
Pertanyaan ini diucapkan dengan nada polos dan kekanakkanakan,
membuat orang tidak bisa menampik pertanyaan itu.
Bong Thian-gak merasa sangat geli, sahutnya, "Sebab aku
sendiri pun memahami rahasia ilmu Jian-li-hui-im itu."
"Jadi kau ... kau juga bisa ...."
Bong Thian-gak seperti memahami apa yang dimaksudkan,
dengan wajah bersungguh-sungguh katanya, "Tak usah kuatir
nona Oh, aku adalah orang sendiri."
"Ai, kalau memang begitu, apa sebabnya kau merahasiakan
asal-usul perguruanmu?" kata Oh Cian-giok sambil menghela
napas sedih. "Ai, dalam hal ini aku harus minta maaf kepada kalian,
sebab aku benar-benar punya kesulitan yang membuatku tak
dapat menjelaskan asal-usul perguruanku."
43 Ho Put-ciang kuatir desakan Oh Cian-giok akan
menyinggung perasaan Bong Thian-gak, buru-buru teriaknya,
"Sumoay, kau jangan memaksa orang mengutarakan
persoalan yang jadi beban pikirannya, mungkin Ko-cuangsu
benar-benar memiliki kesulitan yang tidak bisa diutarakan,
padahal soal asal-usul bukan soal besar, asal saja hatinya
bersih dan berpihak pada kita, dia tetap merupakan sahabat
kita." Meskipun Oh Cian-giok tidak bertanya lagi, namun dalam
hati berpikir juga, "Kecuali kau tak menggunakan jurus
seranganmu, kalau tidak, suatu saat aku pasti dapat menduga
asal-usul perguruanmu."
Sementara itu Ho Put-ciang telah berkata kepada Ku-lo
Hwesio, "Waktu sudah larut malam, Supek, Ko-cuangsu,
silakan beristirahat."
Selesai berkata Ho Put-ciang lantas membawa kedua orang
tamunya meninggalkan gedung pertemuan.
Gedung Bu-lim Bengcu memang besar, dengan bangunan
yang berlapis-lapis, di situ terdapat beratus-ratus buah kamar
yang berderet-deret, Ku-lo Hwesio dan Bong Thian-gak
mendapat sebuah kamar yang terletak di dekat gedung besar.
Aneka warna bunga tumbuh di seputar halaman, di situ
terlihat ada gunung-gunungan, air sungai, jembatan kayu,
gardu serta dekorasi lain yang menawan hati.
Di sisi sebelah timur dan barat menjulang bangunan
berloteng, sedang di seputar loteng itu berderet puluhan
halaman kecil. Rupanya halaman besar itu merupakan gedung penerima
tamu yang khusus disiapkan untuk para jago persilatan yang
datang dari jauh, hampir sebagian besar tamu yang hadir
sekarang tinggal di sana, tapi setiap orang mendapat kamar
tersendiri dan tidak bercampur dengan yang lain.
44 Ku-lo Hwesio seorang diri tinggal di bangunan loteng
sebelah timur, sedang Bong Thian-gak berada di bangunan
loteng sebelah barat.
Antara loteng sebelah timur dan sebelah Jbarat berjarak
puluhan kaki, mungkin Ho Put-ciang memang sengaja
mengatur demikian agar lebih mudah mengawasi gerak-gerik
para jago lainnya, maka kedua orang itu dipisahkan ke dua
loteng yang berbeda hingga wilayah pengawasan pun
mencakup ke seluruh bagian.
Angin dingin berhembus menggigilkan badan, saat itu
kentongan keempat sudah lewat, udara benar-benar terasa
amat dingin. Bong Thian-gak berdiri seorang diri di tepi pagar loteng
sambil memandang ke seluruh bangunan Bu-lim Bengcu,
terkenang kejadian masa lampau, tanpa terasa dia menghela
napas panjang. Tujuh tahun berselang, sebelum dia diusir dari perguruan,
sering dia berdiri seorang diri di loteng itu, seperti malam ini,
dia menikmati keindahan malam dari tempat ketinggian.
Tapi kini tujuh tahun kemudian, meski dia kembali ke sana,
pemandangan masih seperti sedia kala, namun perasaan
sudah jauh berbeda, jauh lebih berat dan masgul.
Akhirnya Bong Thian-gak membalikkan tubuh, pelan-pelan
balik ke kamarnya, membaringkan diri untuk tidur, namun
bolak-balik kian-kemari, mata tak mau terpejam. Mendekati
kentongan kelima dia baru tidur.
Ketika mendusin keesokan harinya, matahari sudah jauh di
angkasa. Tiba-tiba Bong Thian-gak menyaksikan di atas ranjang
tergeletak sebuah kartu merah.
Dengan kening berkerut, pemuda itu segera bergumam,
"Semalam Toa-suheng sendiri yang mengantarku naik loteng,
45 seingatku di atas pembaringan tidak kuketemukan kartu
merah seperti ini."
Cepat disambarnya kartu merah itu, kemudian diperiksa.
Bong Thian-gak segera tertegun, dia coba berpaling
memeriksa sekeliling ruangan, pintu kamar masih tertutup
rapat, tapi meja dan lantai sudah bersih, jelas sudah ada
pelayan yang membersihkan kamar itu.
Ketika kartu merah itu dibuka, tertulis di situ tiga huruf
yang sangat besar, berbunyi: "PERINTAH MENGUSIR TAMU".
Kemudian di bawahnya tercantum sederet tulisan yang
berbunyi: "Diperingatkan kepada saudara agar meninggalkan
gedung Bu-lim Bengcu sebelum senja hari ini atau nyawamu
tak akan selamat sampai besok kentongan kelima".
Bong Thian-gak tidak menyangka pihak musuh mencari
gara-gara padanya, bahkan bersikap terang-terangan
semacam ini. , Dilihat dari kemunculan kartu merah itu, dapatlah
disimpulkan bukan saja pihak musuh telah menyusup ke
dalam gedung Bu-lim Bengcu, bahkan sempat berakar di situ,
kalau tidak, mustahil mereka berani bersikap menantang
seperti ini. Lama Bong Thian-gak termenung, akhirnya dia
memutuskan untuk merahasiakan peristiwa kartu merah itu,
pemuda yang keras kepala ini ingin tahu sampai dimana
keberanian musuh menghadapinya.
Mendadak dari luar ruangan berkumandang suara langkah
kaki, buru-buru Bong Thian-gak menyembunyikan kartu merah
itu ke dalam sakunya.
Dari luar pintu segera terdengar seseorang menyapa
dengan suara lembut, "Ko-siangkong, sudah bangunkah kau?"
46 Pintu kamar dibuka, muncul seorang dayang berbaju hijau
berusia lima-enam belas tahun.
Bong Thian-gak segera mengamati wajah dayang itu
dengan seksama, ia segera mengenalinya sebagai salah
seorang di antara empat bocah perempuan yang khusus
melayani kebutuhan Suhunya pada tujuh tahun lalu, bernama
Siau Kiok. Kini ia telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik dengan
tubuh ramping dan tinggi, berkulit putih bersih dan sangat
menawan. Dayang berbaju hijau itu nampak agak terperanjat setelah
mengetahui Bong Thian-gak sedang mengamatinya lekatlekat,
buru-buru dia menegur, "Siangkong, ada apa?"
"Ah, tidak apa-apa," Bong Thian-gak menggeleng. "Oya,
betul, siapa namamu?"
Dayang itu tersenyum manis, "Aku bernama Siau Kiok,
panggil saja namaku!"
"Ehm, bagus sekali, aku akan memanggilmu Siau Kiok,
kapan kau masuk kemari dan membersihkan ruangan ini?"
"Kurang lebih dua jam berselang, aku lihat Siangkong
masih tertidur nyenyak, maka tak berani kubangunkan
dirimu." Siau Kiok seperti tidak merasa takut terhadap wajah Bong
Thian-gak yang kuning penyakitan serta kakinya yang pincang
itu, justru menaruh rasa iba dan kasihan.
Bong Thian-gak termenung sesaat, lalu katanya,
"Selanjutnya kau tidak usah membersihkan kamarku sepagi
ini, sebab bagi kami yang biasa hidup malam, seringkali baru
naik ke tempat tidur menjelang pagi."
"Siangkong, aku telah menyiapkan air untukmu, silakan
membersihkan muka dan kemudian bersantap."
47 Bong Thian-gak manggut-manggut, "Pelayananmu sangat
teliti dan menyenangkan, entah bagaimana caraku
menyatakan rasa terima kasih kepadamu."
Mendadak Siau Kiok mengedipkan sepasang matanya yang
jeli dan memandang wajah Bong Thian-gak sekejap, kemudian
katanya, "Siangkong, sebagai seorang jagoan berilmu tinggi,
kau tidak nampak sombong, jumawa dan takabur seperti
kebanyakan jago lain, sebaliknya sikapmu begitu merendah
dan sopan, benar-benar seorang jagoan tulen."
Bong Thian-gak tersenyum, "Darimana kau tahu ilmu
silatku sangat tinggi?"
"Ruang khusus dalam gedung Bu-lim Bengcu ini hanya
khusus disediakan untuk para jago persilatan yang berilmu
tinggi, terutama bangunan loteng di sebelah timur dan barat,
biasanya khusus disediakan bagi tamu agung."
"Wah, kalau begitu kau pun khusus disediakan untuk
melayani kebutuhan tamu agung?" goda sang pemuda sambil
tertawa. Siau Kiok menunduk kemalu-maluan, bisiknya sambil
tertawa, "Ah, Siangkong pandai menggoda!"
"Siau Kiok, kau pandai bersilat?" tiba-tiba Bong Thian-gak
bertanya. Siau Kiok mengangguk.
"Siocia pernah mengajarkan beberapa jurus silat
kepadaku."
"Bukankah kau melayani Oh-bengcu?"
Bicara sampai di situ, pemuda itu baru sadar kalau sudah
salah bicara. Ternyata Siau Kiok cukup cermat, dengan cepat dia balik
bertanya, "Darimana Siangkong tahu aku adalah dayang yang
khusus melayani Loya?"
48

Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beberapa tahun berselang, ketika menyambangi Ohbengcu,
aku seperti pernah melihat kau sebagai salah seorang
di antara empat bocah perempuan yang melayani Oh-bengcu."
"Siangkong memiliki ketajaman mata yang mengagumkan,"
puji Siau Kiok setelah mengamati wajah Bong Thian-gak
beberapa saat lamanya. "Walaupun hanya bertemu sekilas,
apalagi sudah lewat beberapa tahun, ternyata kau masih
dapat mengingatnya dengan jelas, benar-benar luar biasa!"
Bong Thian-gak kembali tertawa, "Ya, aku memang
mempunyai kemampuan khusus untuk mengingat setiap
wajah yang pernah kujumpai, apalagi terhadap raut wajah
mungil, cantik dan menarik seperti kau, mana mungkin aku
bisa melupakannya?"
Diumpak seperti itu oleh Bong Thian-gak, Siau Kiok menjadi
senang setengah mati, buru-buru dia berkata, "Ah, Siangkong
memang pandai bergurau. Ketika berjumpa dengan Siangkong
tadi, aku pun seperti merasa pernah berjumpa, namun tak
bisa kuingat kembali dimanakah kita pernah bersua!"
Setelah berhenti sejenak, dia baru berkata agak kaget, "Ah,
aku mengajak Siangkong mengobrol terus, hampir saja lupa
Siangkong belum sarapan!"
Dengan cepat dayang itu mengundurkan diri dari ruangan.
Memandang bayangan punggungnya lenyap di balik pintu,
Bong Thian-gak kembali berpikir, "Heran, siapa sebenarnya yang
mengantar kartu merah itu untukku" Mungkinkah Siau Kiok"
Akan tetapi selain Siau Kiok, siapa lagi yang dapat memasuki
loteng ini" Ah, buat apa mesti memikirkannya, malam ini aku
memang hendak menanti kedatangan musuh" Kecuali dia tak
datang, kalau tidak ... hm, jangan harap dia bisa lolos dari
cengkeramanku!"
Dengan perhitungan yang meyakinkan, Bong Thian-gak
mulai mempersiapkan diri.
49 Hari itu sepanjang waktu Bong Thian-gak mengurung diri
dalam loteng itu, dia hanya mengawasi kamar tempat tinggal
Kongsun Phu-ki lewat jendelanya.
Hari itu tampaknya Kongsun Phu-ki juga seperti tak pernah
pergi keluar, sedang para jago yang tinggal di kamar lain pun
tak ada yang keluar.
Bong Thian-gak dapat menyaksikan pula Toa-suhengnya,
Ho Put-ciang dan Ji-suhengnya, Yu Heng-sui, mengunjungi
Ku-lo Hwesio di loteng sebelah timur pada tengah hari,
kemudian mereka baru berlalu menjelang sore.
Penjagaan di sekitar gedung Bu-lim Bengcu pun tampak
jauh lebih kendor, terutama di sekeliling ruangan itu, boleh
dibilang tak nampak seorang pengawal pun.
Matahari tenggelam di langit barat, senja pun menjelang
tiba, Bong Thian-gak berdiri di tepi pagar loteng sambil
memandang sinar sang surya di kejauhan, mendadak ia
teringat akan pesan yang ditulis dalam kartu merah tadi pagi.
"Diperingatkan kepada saudara untuk meninggalkan
gedung Bu-lim Bengcu sebelum senja hari ini atau nyawamu
tak akan melewati kentongan kelima".
Tanpa terasa Bong Thian-gak mulai meningkatkan
kewaspadaan, dia berpikir, "Tak mungkin musuh menyerangku
secara terang-terangan, besar kemungkinan mereka akan
mencelakai diriku menggunakan segala tipu muslihat licik."
Bong Thian-gak memerintahkan Siau Kiok agar
mengundurkan diri sejak tadi, bahkan berpesan kepadanya
agar balik lagi ke situ besok pagi.
Biasanya para pelayan perempuan baru boleh
meninggalkan tempat tugas masing-masing menjelang tengah
malam. Langit semakin gelap, angin berhembus kencang, terasa
makin dingin, akhirnya malam pun tiba.
50 Bong Thian-gak memasang lentera, lalu turun dari loteng
dan berjalan-jalan di halaman luar, tampaknya seperti mencari
angin, padahal sedang mengawasi para jagoan.
Mendadak ia menyaksikan Kongsun Phu-ki berjalan keluar
dari kamarnya, dia mengenakan jubah berwarna putih yang
masih baru, nampaknya seperti akan keluar rumah.
Bong Thian-gak mendapat tugas mengawasi dan
melindungi keselamatan Kongsun Phu-ki, karena itu dengan
cepat ia melakukan penguntitan.
Betul juga, Kongsun Phu-ki memang keluar rumah, dia
langsung berjalan keluar dari pintu gerbang gedung Bu-lim
Bengcu. Sudah cukup lama Bong Thian-gak tinggal di kota Kayhong,
boleh dibilang jalanan di situ sangat dikenal olehnya,
jalan besar lorong kecil tak sebuah pun yang tak dikenal,
maka dalam penguntitan itu ia bertindak amat hati-hati.
Ia cukup tahu Kongsun Phu-ki termasyhur karena
kecerdasannya, itulah sebabnya ia harus bertindak cermat
agar jejaknya tak ketahuan.
Suasana di kota Kay-hong menjelang senja sangat ramai,
banyak orang berlalu-lalang di jalanan.
Tampaknya Kongsun Phu-ki seperti mempunyai tujuan
tertentu, langkahnya tetap dan tak pernah berhenti, ternyata
dia langsung menuju ke arah jalanan dimana terletak tempat
hiburan malam. Dengan kening berkerut, Bong Thian-gak berpikir, "Ah,
masa tua bangka ini hendak berbuat iseng dengan perempuan
penghibur."
Ternyata jalanan itu panjangnya setengah li dan
merupakan pusat hiburan malam kota Kay-hong, di sepanjang
jalanan itu terdapat tiga puluhan rumah pelacuran. Bunyi
51 musik, suara tertawa bergema dari sana sini, suasana benarbenar
amat romantis. Sejak kecil sampai dewasa belum pernah Bong Thian-gak
mengunjungi tempat hiburan semacam ini, tanpa terasa dia
menjadi ragu dan kemudian berhenti.
Saat itulah Kongsun Phu-ki telah melewati desakan orang
banyak dan hampir lenyap dari pandangan matanya.
Berada dalam keadaan demikian, terpaksa dia harus
mengeraskan hati melanjutkan pengejarannya.
Ucapan cabul, pelukan hangat membuat Bong Thian-gak
benar-benar merasa amat rikuh, tapi akhirnya dia berhasil
juga melalui rumah-rumah pelacuran kelas rendah itu dan
sampai di depan sarang pelacuran kelas menengah.
Bong Thian-gak segera berpikir kembali, "Tak nyana tua
bangka itu pandai memilih, mau bermain iseng pun mencari
yang kelas tinggi."
Belum habis ingatan itu melintas, Kongsun Phu-ki telah
berhenti di depan sebuah gedung pelacuran yang sangat
besar. Bong Thian-gak segera bertindak cekatan, dengan cepat
dia segera menyelinap ke samping dan menyembunyikan diri
di balik kerumunan orang banyak.
Benar saja, Kongsun Phu-ki segera celingukan memeriksa
sekejap sekeliling tempat itu, kemudian baru melangkah
masuk ke dalam gedung pelacuran itu.
Di bawah sinar lentera yang berwarna-warni, Bong Thiangak
mengenali tempat itu sebagai rumah pelacuran "Kangsan-
bi-jin-lau".
Sebagai penduduk lama kota Kay-hong, tentu saja pemuda
itu tahu bahwa rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau ini
merupakan sarang pelacur terbesar di kota itu.
52 Semua penghuni gedung itu selain berwajah cantik jelita,
mereka pun pandai memetik harpa dan membawakan tarian
serta nyanyian, bahkan ada pula yang pandai bersyair
sehingga mutunya boleh dibilang terjamin.
Bong Thian-gak tak berani memasuki gedung itu dan
terpaksa dia menanti saja di luar, selain kuatir ketahuan
jejaknya oleh Kongsun Phu-ki, dia pun merasa tidak tertarik
dengan hiburan semacam itu.
Di tengah alunan bunyi musik yang diselingi gelak tawa
cekikikan, Bong Thian-gak merasa kehidupan semacam ini
benar-benar memuakkan dan menjemukan.
Malam semakin larut, tamu yang mengunjungi rumah
pelacuran ini pun kian lama kian bertambah sedikit.
Seorang demi seorang pencari hiburan pulang dalam
keadaan mabuk dan berjalannya pun sempoyongan!
Bong Thian-gak melototkan mata melakukan pengawasan,
namun dari sekian banyak tamu yang beranjak pulang, hanya
Kongsun Phu-ki seorang yang belum juga nampak batang
hidungnya. Tanpa terasa pemuda itu menyumpah dalam hati, "Sialan
betul si kunyuk tua itu, benar-benar tak tahu diri, sepagi itu
dia masuk ke dalam, masa sampai sekarang belum juga
keluar" Jangan-jangan ia sudah mampus dijepit paha
perempuan."
Sambil menggerutu Bong Thian-gak menunggu lagi
beberapa jam, kini tengah malam sudah lewat.
Tapi aneh, belum nampak juga Kongsun Phu-ki muncul dari
gedung pelacuran itu.
Biasanya gedung pelacuran akan ditutup selewatnya
tengah malam, bila sesudah lewat tengah malam belum
nampak, berarti dia memutuskan untuk menginap di sana.
53 "Jangan-jangan kunyuk tua itu menginap di sini?" Bong
Thian-gak berpikir.
Dengan mata melotot dia mengawasi jalanan itu, tapi
suasana sudah sepi, hanya tinggal dia seorang diri yang
bersembunyi di sudut dinding sana.
Suara musik sudah reda sedari tadi, lampu pun sudah
banyak yang dipadamkan, akan tetapi bayangan tubuh
Kongsun Phu-ki belum nampak juga.
Tergerak hati Bong Thian-gak, segera pikirnya, "Aduh
celaka! Jangan-jangan dia sudah tahu aku sedang
menguntitnya, maka dia telah kabur sedari tadi?"
Berpikir sampai di situ Bong Thian-gak segera membalikkan
badan siap berlalu dari situ.
Namun baru beberapa langkah, dia berpikir kembali, "Tapi
siapa tahu dia memutuskan untuk menginap di sini."
Bong Thian-gak punya tugas melindungi keselamatan
Kongsun Phu-ki, bila gagal menemukan keadaan yang
sebenarnya, dia merasa tak lega.
Akhirnya diputuskan untuk melakukan pemeriksaan
seksama terhadap setiap ruangan dalam gedung pelacuran
itu. Dengan gerakan cepat dia melompat naik ke tembok
pekarangan, lalu melayang naik ke atas atap rumah, dengan
Ginkang yang sempurna, Bong Thian-gak berkelebat secepat
sambaran petir.
Satu kamar demi saru kamar diperiksa oleh Bong Thian-gak
dengan seksama, matanya yang tajam mengamati setiap
wajah yang berada dalam kamar, namun kecuali sepasang laki
perempuan yang sedang bermesraan atau bertempur sengit,
tak nampak sesuatu yang lain.
54 Yang lebih aneh lagi, dari tujuh belas kamar yang
diperiksanya, dia hanya menemukan delapan pasang sejoli
yang lagi berbuat mesum, namun dari sekian banyak orang,
tak nampak Kongsun Phu-ki.
Bong Thian-gak menarik napas panjang, pikirnya,
"Sekarang tinggal gedung bertingkat itu saja yang belum
kuperiksa, jika di sana pun tak ada, sudah pasti kongsun Phuki
telah pergi karena mengetahui dirinya aku kuntit!"
Berpikir sampai di situ, dia segera menggerakkan tubuhnya
dan melompat ke arah bangunan loteng itu.
Setitik cahaya lentera memancar keluar dari balik loteng
itu, tanpa pikir panjang Bong Thian-gak segera melompat naik
ke atas loteng. Kemudian daun jendela dibukanya pelan-pelan
dan mengintip ke dalam ruangan.
Hampir saja Bong Thian-gak menjerit kaget, jantungnya
serasa mau melompat keluar dari rongga dada, ternyata dia
menyaksikan suatu lukisan yang sangat indah.
Bukan, bukan lukisan sungguhan, melainkan seorang yang
masih hidup, tubuh indah yang mempesona hati, tubuh indah
dalam keadaan bugil.
Dari sekian banyak pemandangan seram yang diintipnya
malam ini, tak satu pun di antara yang dapat mendebarkan
hatinya. Tapi kali ini jantungnya berdebar keras, darah panas
serasa mendidih dalam tubuhnya.
Ternyata di dalam ruangan kecil di atas loteng terdapat
sebuah lentera berwarna merah, sinar merah memancar ke
sebuah pembaringan, di mana berbaring seorang perempuan
cantik menawan, perempuan itu berbaring dalam keadaan
telanjang bulat.
Wajahnya cantik menarik bagai bidadari dari kahyangan,
rambutnya yang hitam memanjang dan terurai di antara
sepasang payudaranya yang montok, putih dan halus. Lekuk
55 tubuhnya menawan, pinggangnya ramping, benar-benar
perempuan bertubuh menarik.
Karena perempuan sangat cantik ini, hampir saja Bong
Thian-gak tidak percaya dengan apa yang dilihat, ia
memejamkan mata tetapi kemudian membuka matanya
kembali. Cantik, benar-benar cantik, makin dilihat makin indah,
makin dipandang makin mendebarkan hati.
Bong Thian-gak berusaha menenangkan hati, kemudian
sambil menggeleng, pikirnya, "Tak nyana di rumah pelacuran
ini ada juga seorang perempuan yang begitu cantik, ai ...
sungguh sayang, sungguh sayang sekali...."
Entah mengapa Bong Thian-gak menghela napas panjang.
Mendadak ia menyaksikan perempuan cantik yang sedang
tidur itu membuka mata, kemudian terasa dua gulung cahaya
mata yang amat tajam menggidikkan dialihkan ke arah
matanya. Bagaimana pun juga Bong Thian-gak adalah lelaki sejati,
ditatap seperti itu oleh seorang perempuan bugil, dia menjadi
ketakutan setengah mati, dengan jurus ikan Lehi meletik ia
berjumpalitan, lalu secepat kilat melejit pergi dan lari terbiritbirit
meninggalkan sarang pelacuran itu.
Tak selang beberapa saat kemudian, Bong Thian-gak sudah


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balik ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, namun jantungnya
masih berdebar keras, dia menyesal dirinya telah mengintip
perempuan telanjang.
Pemuda itu tidak masuk melalui pintu gerbang, melainkan
meluncur dari balik tembok pekarangan sebelah barat, dengan
ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, tanpa mengusik
orang lain tahu-tahu ia sudah balik ke tempat tinggalnya.
Bong Thian-gak berdiri sejenak di tengah halaman
menenangkan hatinya yang bergolak, setelah agak tenang
56 baru ia berpikir, "Coba kuintip, benarkah si kunyuk tua itu
sudah kembali ke kamarnya?"
Untuk membuktikan dugaannya, secara diam-diam Bong
Thian-gak menyusup ke dalam kamar yang ditinggali Kongsun
Phu-ki, lalu mengintip ke dalam lewat daun jendela.
Apa yang dilihat" Ternyata Kongsun Phu-ki telah berbaring
di atas ranjangnya, malah tertidur amat nyenyak.
Bong Thian-gak menyumpah dalam hati.
"Kunyuk tua, kau benar-benar sudah membuatku
menderita, aku berdiri makan angin di situ, tak tahunya kau
malah enak-enakan tidur di rumah."
Sebaliknya Kongsun Phu-ki tanpa sepengetahuan dirinya
telah membuktikan bahwa ia telah dikuntit Bong Thian-gak.
Itulah sebabnya anak muda itu benar-benar merasa
mendongkol. Dengan perasaan murung dan masgul ia balik ke
kamarnya, tampak cahaya lampu masih menerangi kamarnya,
maka dia melompat naik, memeriksa sekejap sekeliling situ,
kemudian baru masuk ke dalam.
Setelah memadamkan lentera, Bong Thian-gak
membaringkan diri di atas ranjang, namun mata tak mau
berpejam, rasa mendongkolnya membuat dia sukar tertidur,
sampai lewat kentongan ketiga pikirannya baru pelan-pelan
menjadi tenang kembali.
Di depan matanya segera terbayang tubuh perempuan
bugil yang baru saja dijumpainya itu.
Mendadak tergerak hatinya, ia segera berpikir, "Tajam
amat sepasang mata perempuan itu!"
Kalau tadi ia tak begitu memperhatikan hal itu, tapi
sekarang setelah dibayangkan kembali, tanpa terasa Bong
Thian-gak berkerut kening, pikirnya lebih jauh, "Dia
57 mempunyai sepasang mata yang tajam seperti sambaran kilat,
tajam melebihi mata pedang, mustahil sorot mata biasa
setajam itu, kalau begitu, sudah pasti dia pun seorang jago
persilatan."
Kejadian itu benar-benar aneh.
Seorang perempuan cantik menarik yang berilmu tinggi
ternyata membaurkan diri di sarang pelacuran. Kendati Bong
Thian-gak telah memeras otak habis-habisan, belum juga
menemukan alasan yang tepat untuk memecahkan teka-teki
itu. "Bagaimana pun juga aku harus mengunjungi kembali
rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau itu, akan kuselidiki
peristiwa aneh ini sampai tuntas," demikian anak muda itu
mengambil keputusan dalam hati, dengan begitu pikirannya
yang bergolak pun menjadi reda kembali.
Malam semakin larut, suasana amat hening, dalam suasana
seperti inilah tiba-tiba terdengar langkah kaki yang sangat lirih
berkumandang dari luar kamarnya.
Bong Thian-gak terkesiap, dengan cepat ia teringat kembali
akan kartu merah jambu itu!
"Bagus sekali, ternyata kau benar-benar datang!"
Tanpa berkutik Bong Thian-gak tetap berbaring di
ranjangnya. Tapi secara diam-diam dia telah menghimpun tenaga
dalamnya mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan yang tidak diinginkan, hanya saja dia tak mau
bergerak sebelum musuh bertindak lebih dulu.
Suara langkah manusia itu berhenti tepat di depan
kamarnya. "Mungkinkah dia membuka pintu dan bergerak masuk?"
58 Belum habis ingatan itu berkelebat, "Krek", suara pintu
didorong orang.
Dengan ketajaman matanya yang mengagumkan, Bong
Thian-gak dapat menyaksikan pantek kayu yang mengunci
pintu kamar itu terdorong patah oleh tenaga orang yang
dahsyat. Menyusul seseorang berbaju hitam menerjang secepat
sambaran kilat, telapak tangannya tahu-tahu sudah diayun ke
batok kepalanya.
Sergapan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan
sambaran petir, pada hakikatnya sama sekali tidak memberi
peluang bagi lawan untuk mempersiapkan diri, banyak jago
persilatan dan orang gagah yang ti'was oleh serangan kilat
yang sama sekali tak terduga semacam ini.
Apalagi pihak musuh menggunakan jurus pukulan yang
paling keji, buas dan sakti, sekali pun di hadapannya berdiri
seseorang yang lelah bersiap pun, belum tentu serangan itu
dapat dibendung atau dihindari.
Agaknya Bong Thian-gak cukup memahami kelihaian jurus
serangan lawan, dia tidak mencoba berkelit ke samping,
sebaliknya ilrngan kelima jari tangan kirinya yang dipentang
lebar-lebar dia sambut ?lalangnya serangan itu.
"Plak", terdengar benturan keras, penyergap mendengus
tertahan dan sempoyongan, secara beruntun tubuhnya kena
terdorong hingga mundur sejauh empat-lima langkah.
Bong Thian-gak segera memanfaatkan kesempatan itu
dengan sebaik-baiknya untuk melompat bangun dari
pembaringan, kemudian diawasinya penyergap itu dengan
sorot mata penuh kegusaran.
Ternyata pihak lawan adalah seorang berbaju hitam
bertubuh ramping, jelas seorang wanita, memakai secarik kain
hitam untuk menutupi sebagian wajahnya.
59 Tampaknya penyergap sama sekali tak menyangka
sergapannya bakal mengalami kegagalan, dari balik matanya
segera terpancar rasa kaget dan tertegun.
"Siapa kau?" Bong Thian-gak segera membentak. "Lebih
baik menyerah saja daripada mampus secara mengerikan!"
Gadis penyergap itu berseru tertahan, kemudian untuk
kedua kalinya dia menerjang ke muka dengan kecepatan luar
biasa. Kali ini dia menyerang dengan sebilah pisau belati di
tangan, serangannya buas dan nekat, membuat hati orang
bergidik. Bong Thian-gak mendengus dingin, sepasang kakinya
sedikit membengkok, lalu sepasang tangannya seperti cakar
burung elang balas menyambar ke depan.
Jeritan kaget terdengar, tubuh si gadis penyergap itu
mengelak ke belakang bagai layang-layang putus benang,
kemudian menggelinding keluar pintu.
Bong Thian-gak tak tinggal diam, dengan lompatan lebar
dia menyusul keluar.
"Sreet", serentetan cahaya dingin menyambar.
Bong Thian-gak bertindak sigap, dia miringkan tubuhnya
sambil menyambar benda itu, tahu-tahu pisau belati tadi
sudah berpindah ke tangannya.
Gadis penyergap itu memang lihai, gerak-geriknya lincah
dan cekatan. Di saat Bong Thian-gak merontokkan serangan pisau belati
tadi, ia segera melompat ke depan, lalu melarikan diri turun ke
bawah loteng. Bong Thian-gak membentak gusar menyaksikan musuh
hendak kabur, tangannya cepat diayun ke depan, pisau belati
60 yang berhasil disambarnya tadi tahu-tahu sudah disambitkan
balik ke tubuh lawan.
Serangan balasan itu dilancarkan dengan kecepatan luar
biasa, tampak cahaya tajam berkilau, tahu-tahu gadis
penyergap itu menjerit kesakitan.
Pisau belati itu menancap telak di bahu kirinya, darah
segera berhamburan kemana-mana, setelah sempoyongan
sesaat, ia melarikan diri dari situ.
Bong Thian-gak mengejar secepat angin puyuh, tapi si
gadis penyergap sudah kabur sejauh tujuh-delapan depa.
Terkejut juga Bong Thian-gak menyaksikan pihak musuh
masih sanggup melarikan diri kendatipun tubuhnya sudah
terluka parah, kuatir musuh keburu kabur, cepat dia
melompati atap rumah dan berniat menghadang jalan
perginya dengan cepat.
Siapa tahu baru saja Bong Thian-gak melompati dua buah
rumah, gadis berbaju hitam itu sudah berbelok ke samping
dan menyusup ke dalam bangunan rendah di sisi loteng,
langsung kabur menuju ke halaman belakang.
Dengan begitu selisih kedua belah pihak menjadi semakin
lebar. Bong Thian-gak segera menjejakkan kaki ke tanah, seperti
burung bangau raksasa dia melambung ke angkasa dan
mengejar dari belakang.
Kejar-kejaran segera berlangsung sengit, setelah melalui
tiga halaman rumah, gadis berbaju hitam itu sudah berada
tiga depa saja di hadapannya, tapi pagar pekarangan menuju
ke tempat tinggal kaum wanita dalam Bu-lim Bengcu pun
tinggal beberapa depa lagi.
Bong Thian-gak mengerti, seandainya gadis itu berhasil
kabur ke gedung sebelah dalam, pasti dia akan menjumpai
61 banyak kesulitan, buru-buru dia melepaskan sebuah pukulan
yang amat lihai.
Angin pukulan yang menderu-deru seperti amukan ombak
di tengah samudra, dengan cepat melesat ke depan.
Gadis berbaju hitam itu mendengus tertahan, tubuhnya
mencelat ke udara, lalu terbanting keras ke atas tanah.
Tubuhnya terkapar lemas di atas tanah, setelah
berkelejetan beberapa kali, akhirnya sama sekali tak berkutik
lagi. Bong Thian-gak menyusul datang dari belakang, buru-buru
dia membungkukkan badan memegang nadi pergelangan
tangan lawan, namun pemuda itu segera tertegun, ternyata
denyutan nadi lawan sudah berhenti, musuh tewas dalam
keadaan mengerikan.
Menghadapi keadaan itu, Bong Thian-gak menghela napas
sedih, serunya sambil mendepak-depakkan kakinya berulang
kali. "Ai, dengan susah payah aku berhasil mengungkap titik
terang ini, siapa tahu ia justru sudah mampus!"
Baru saja dia bergumam, segulung angin berhembus, lalu
terdengar seorang berkata, "Omitohud, ilmu pukulan Ko-sicu
benar-benar kuat, tajam dan berdaya kemampuan
menghancurkan bebatuan cadas, kini isi perut musuh sudah
hancur, nadinya sudah putus, mana mungkin hidup lebih
jauh?" Bong Thian-gak berpaling ke tengah-tengah kegelapan
malam, tampak Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si sudah berdiri
tegak di situ. Menyusul kemudian bayangan orang berkelebat berulang
kali, secara beruntun jago-jago lainnya bermunculan pula di
sana. 62 Yu Heng-sui dan Ho Put-ciang juga hampir bersamaan
waktunya muncul di tempat kejadian.
Memperhatikan jenazah yang membujur di sana, Ho Putciang
berkata dengan wajah serius, "Ji-sute, coba kau
lepaskan kain kerudung hitamnya!"
Sementara itu paras muka para jago pun berubah menjadi
amat serius, berpuluh pasang mata bersama-sama dialihkan
ke wajah jenazah itu.
Pelan-pelan Yu Heng-sui merobek kain kerudung mukanya,
dengan cepat muncul seraut wajah yang mengerikan, dari
tujuh lubang indranya darah kental masih mengucur hingga
muka jenazah itu penuh berlepotan darah.
Tapi bagi Yu Heng-sui maupun Ho Put-ciang, raut wajah itu
tak asing lagi bagi mereka, mereka cukup tahu siapa gerangan
perempuan penyergap itu.
Kontan saja paras muka kedua orang itu berubah hebat,
jelas perempuan itu pun anggota gedung Bu-lim Bengcu.
Bong Thian-gak tidak kenal perempuan itu, mungkin orang
itu baru masuk ke gedung Bu-lim Bengcu setelah ia
meninggalkan tempat itu, kalau dilihat dari raut wajahnya,
gadis itu kira-kira baru berusia dua puluhan tahun, mungkin
dayang atau pelayan.
Cepat Ho Put-ciang memerintahkan kepada adik
seperguruannya, "Yu-sute, cepat gotong pergi jenazah ini dan
bersihkan lantai dari noda darah, jangan mengganggu
ketenangan tidur orang lain."
Kemudian sambil menjura kepada para jago, orang she Ho
itu berkata lebih jauh, "Toa-heng sekalian, asal-usul
pembunuh itu baru akan kuumumkan besok pagi, bagaimana
kalau sekarang dipersilakan kembali ke kamar masingmasing?"
63 Berhubung para pendekar tidak mengenali siapakah
perempuan yang tewas itu, tentu saja tak seorang pun di
antaranya yang bersuara, ditinjau dari paras muka Ho Putciang,
dapat diduga orang itu adalah salah seorang anggota
gedung Bu-lim Bengcu.
Waktu itu malam masih kelam, terpaksa semua orang balik
ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Menanti semua jago telah berlalu, Bong Thian-gak baru
berkata tertahan dalam hati, dia seperti menemukan sesuatu
yang tidak beres.
Ternyata di antara para jago yang bermunculan, ia tidak
nampak kemunculan Kongsun Phu-ki si kunyuk tua itu.
Ho Put-ciang memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak,
lalu ujarnya sambil tertawa getir, "Harap Ko-cuangsu sudi
memaafkan, ternyata pihak musuh benar-benar telah
menyusup ke setiap bagian gedung Bu-lim Bengcu ini,
perempuan tadi adalah salah seorang dayang Subo kami."
Mendengar nama 'Subo' disinggung, hati Bong Thian-gak


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergetar keras, bagaikan dihantam martil berat, sekujur
tubuhnya gemetar keras.
"Omitohud!" Ku-lo Hwesio berkata, "Ho-hiantit mungkin
masih ada urusan lain yang harus diselesaikan, untuk
sementara waktu Lolap kembali dulu."
Selesai berkata, pendeta itu segera berlalu lebih dulu.
Bong Thian-gak tahu Toa-suhengnya bakal menjumpai
banyak kesulitan dalam melakukan penyelidikan, agar tidak
menyusahkannya, maka dia pun segera mohon diri pula.
Kembali ke kamar, ia tidur di pembaringan sambil
membayangkan peristiwa yang baru saja lewat, diam-diam ia
merasa menyesal karena lurun tangan kelewat berat.
64 Setelah menghela napas panjang, Bong Thian-gak
bergumam, "Konon pembunuh itu adalah salah seorang dayang Subo,
mungkinkah Subo masih seperti tujuh tahun berselang,
hatinya belum puas sebelum pembunuh yang dikirimnya
berhasil membunuh diriku?"
Saat itulah dalam benak Bong Thian-gak melintas peristiwa
yang berlangsung tujuh tahun lalu, peristiwa tragis yang
sangat memalukan.
Peristiwa itu terjadi pada suatu malam di musim panas,
waktu itu dia bersama Sam-suhengnya Siau Cu-beng sedang
dalam perjalanan pulang setelah menjemput Subonya di kota
Ci Kang. Malam itu berhubung mereka tersesat di atas bukit hingga
kemalaman, maka terpaksa harus bermalam di tengah
gunung. Udara pada malam itu panas sekali, karena tak tahan,
maka di tengah malam buta secara diam-diam dia pergi ke
sungai untuk menyegarkan badan, tetapi ketika selesai mandi
dan kembali ke tempat semula, dia tidak menemukan Subo
dan Sam-suhengnya.
Maka dengan gelisah, ia melakukan pencarian di sekeliling
tempat itu dan akhirnya di dalam sebuah hutan kecil, ia
saksikan suatu adegan yang menyeramkan, tapi juga amat
memalukan. Di atas tanah berumput di bawah sinar rembulan, tampak
sepasang laki perempuan sedang saling berpelukan dalam
keadaan telanjang bulat, waktu itu mereka sedang bersenangsenang
menikmati surga dunia, berbuai mesum seperti apa
yang sering dilakukan antara suami istri.
65 Yang memegang peranan sebagai sang suami ternyata
Sam-suhengnya Siau Cu-beng, sedangkan yang memegang
peranan istri tak lain adalah ibu gurunya sendiri.
Kontan saja hawa amarah menggelora di dalam dadanya,
dengan geram ia keluar dari tempat persembunyian dan
mengagetkan sepasang sejoli yang sedang berbuat mesum.
Beberapa saat kemudian, Sam-suhengnya Siau Cu-beng
telah selesai berpakaian dan pelan-pelan berjalan keluar dari
hutan dengan senyum menyeringai menghias wajahnya, lalu
disusul ibu gurunya.
Dilihat dari paras muka Siau Cu-beng dan ibu gurunya,
dapat diketahui mereka hendak membunuh orang untuk
melenyapkan saksi.
Kemarahan dan kesedihan yang melampaui batas membuat
ia menerjang Siau Cu-beng seperti binatang buas, ia bertekad
hendak melenyapkan pengkhianat itu dari muka bumi dan
membersihkan nama gurunya yang ternoda.
Pertempuran sengit tak bisa dihindari lagi, seorang diri dia
harus bertarung menghadapi kerubutan Siau Cu-beng dan ibu
gurunya. Entah siapa yang membantunya, dalam pertarungan itu
makin bertarung ia nampak makin gagah ... akhirnya dalam
suatu kesempatan dia berhasil menghajar Siau Cu-beng
hingga terjatuh ke dalam jurang.
Jerit kaget Siau Cu-beng yang terjatuh ke dalam jurang
telah mengagetkan ibu gurunya, ia segera berhenti
menyerang, kemudian sambil menutup muka menangis
tersedu-sedu, seperti merasa menyesal dengan perbuatannya
itu. Diiringi isak-tangis yang memedihkan hati, ibu gurunya
lantas menceritakan bagaimana dia dirayu oleh Siau Cu-beng
untuk berbuat iseng, bagaimana dirangsang....
66 Dalam kesedihan itu, ia hanya memohon kepada dirinya
agar tidak menceritakan peristiwa yang memalukan itu kepada
gurunya. Mendengar ucapan ibu gurunya, gejolak emosinya segera
menjadi reda, kesadarannya pun pulih, ia sadar bila gurunya
yang berhati bajik sampai mengetahui peristiwa tragis yang
memalukan itu, sudah pasti gurunya akan menderita tekanan
batin. Padahal gurunya merupakan seorang Bu-lim Bengcu yang
memimpin seluruh umat persilatan di dunia, ia begitu
dihormati, disanjung oleh setiap orang, bagaimana jadinya bila
berita yang memalukan itu sampai bocor ke dunia persilatan"
Sudah pasti nama baik dan wibawa gurunya akan hancur.
Bila sampai terjadi hal ini, sungguh tragis akibatnya.
Ibu gurunya ini merupakan istri ketiga, waktu itu umurnya
baru tiga puluh tujuh tahun, masih muda, bila Suhu sampai
mengetahui penyelewengannya, apakah ibu gurunya akan
dibiarkan hidup terus"
Demi menyelamatkan nama baik gurunya, demi menjaga
semangat gurunya agar tidak menderita tekanan batin, juga
demi kaselamatan ibu gurunya, maka dia lantas mengarang
suatu cerita untuk merahasiakan kejadian yang sesungguhnya.
Siapa tahu Subonya begitu keji, ternyata dia telah mengirim
pembunuh bayaran untuk mencari jejak dan melenyapkan
jiwanya. Berpikir sampai di situ, sepasang mata Bong Thian-gak
berkaca-kaca, ia bergumam, "Perempuan rendah yang tak
tahu malu, apakah kau tahu bahwa aku Bong Thian-gak telah
kembali ke sini" Kau kuatir aku membocorkan perbuatan
terkutukmu yang tak tahu malu itu, sehingga segera kau kirim
pembunuh-pembunuhmu untuk melenyapkan aku dari muka
bumi." 67 "Hm" seorang diri Bong Thian-gak mendengus berulang
kali, ia menyumpah lebih jauh, "Perempuan terkutuk, aku
benar-benar tak menyangka kau masih bisa bertebal muka
tetap tinggal di dalam gedung Bu-lim Bengcu ini, masih punya
perasaan hidup terus di dunia ini."
"Hm, kau sepantasnya mampus, suatu ketika aku Bong
Thian-gak pasti akan membunuhmu, aku takkan membiarkan
kau tetap hidup di dunia ini hanya untuk berbuat kejahatan!"
Bicara sampai di situ, mencorong sinar buas yang
menggidikkan dari balik mata anak muda itu, ia sudah
mengambil keputusan bulat.
Mendadak satu ingatan melintas kembali dalam benak Bong
Thian-gak, "Mungkinkah Subo adalah mata-mata yang
diselundupkan musuh kemari?"
Pendapatnya itu ibarat sumber air yang ditemukan di
tengah gurun pasir, segera membuat semangatnya berkobar
kembali. Dilihat dari perbuatan ibu gurunya yang mengkhianati
cintanya dengan berbuat mesum bersama Siau Cu-beng,
kemudian ditinjau pula dari ilmu silat pembunuh perempuan
yang muncul pada malam ini, Subonya itu memang satusatunya
orang yang paling mencurigakan.
Setelah berhasil menemukan titik terang itu, hati Bong
Thian-gak agak tenang, tanpa terasa dia pun tertidur dengan
cepat. "Tok, tok, tok", dari luar gedung sana berkumandang lima
kali kentongan sebagai pertanda kentongan kelima telah tiba.
Entah lama saat sudah lewat, akhirnya Bong Thian-gak
bangun dari tidurnya oleh suara pembicaraan yang gaduh.
Tampak Siau Kiok yang manis sudah berdiri di
Jodoh Rajawali 7 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 17
^