Pendekar Cacad 10

Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 10


rang lain saja kau telah pamer kekuatan
dengan membunuh anggota Hiat-kiam-bun, cara keji dan
busuk ini sungguh membuat orang gusar."
"Sejak tiga tahun lalu, pihak Hiat-kiam-bun sering turun
tangan keji terhadap anggota perkumpulan kami," ujar Liu Khi
dengan suara hambar, "kekejaman dan kebuasan mereka
rasanya jauh lebih busuk dari perbuatan yang dilakukan kami."
Ucapan Liu Khi itu kontan membuat paras muka Keng-tim
Suthay serta Khi Cho yang berada di sisinya berubah hebat.
Tiba-tiba Bong Thian-gak teingat akan peristiwa yang
berlangsung tiga tahun berselang, saat itu Khi Cho telah
membunuh anggota Kay-pang secara keji.
Waktu itu pihak Kay-pang telah mengirim orang melakukan
penyelidikan, atas hasil kerja tiga orang Huhoat Kay-pang,
mereka beranggapan Khi Cho merupakan orang yang paling
mencurigakan, sebab itu mereka menyusul sampai ke kuil
Keng-tim-an. Pada saat Khi Cho melakukan pembantaian atas jago-jago
Kay-pang guna melenyapkan jejak mereka, alhasil ketiga
orang pelindung hukum Kay-pang itu turut terbunuh.
Atas persoalan ini, Bong Thian-gak boleh dibilang
mengetahui dengan amat jelas, oleh sebab itu hatinya menjadi
terperanjat mendengar Liu Khi menyinggung kembali masalah
itu, ia tidak tahu dengan cara apakah pihak Kay-pang berhasil
menyelidiki masalah itu sedemikian jelasnya.
617 Dalam pada itu Liu Khi telah mengalihkan sorot matanya
yang tajam ke wajah Bong Thian-gak, Keng-tim Suthay dan
Khi Cho secara bergantian, lalu katanya, "Kay-pang bisa
membedakan antara budi dan dendam secara jelas, belum
pernah kami melepas orang yang punya dendam dengan
kami, permusuhan antara Hiat-kiam-bun dan Kay-pang pada
hakikatnya makin lama semakin mendalam."
Bong Thian-gak tertawa dingin, katanya, "Bila Hiat-kiambun
ingin merebut nama dan kedudukan dalam Bu-lim, maka
cepat atau lambat pasti akan bermusuhan juga dengan pihak
Kay-pang."
"Kalau memang begitu, mengapa kau menuduh aku
membunuh sembilan orang anggota Hiat-kiam-bun?" tanya Liu
Khi sambil tertawa seram.
"Liu Khi," Bong Thian-gak segera menukas, "percuma kita
banyak bicara, bersiap-siaplah kau menyambut jurus
pedangku!"
Sementara itu Bong Thian-gak dengan Pek-hiat-kiam
terhunus di tangan tunggalnya, selangkah demi selangkah
bergerak maju, siap melancarkan serangan.
"Tunggu dulu!" bentak Liu Khi.
"Hm, ibarat panah yang sudah direntangkan di atas
gendewa, mau tak mau harus kulepaskan juga."
Liu Khi mundur selangkah, kemudian bentaknya, "Bila
burung bangau dan kutilang saling bertarung, nelayanlah yang
bakal beruntung, apakah kau tidak kuatir orang-orang Hiatkiam-
bun bakal merebut keuntungan dari pertarungan kita."
Bong Thian-gak tertawa dingin, "Liu Khi, kau salah besar,
akulah Hiat-kiam-buncu!"
Hati Liu Khi bergetar keras mendengar itu, mimpi pun dia
tak mengira Jian-ciat-suseng bukan lain adalah ketua Hiatkiam-
bun. 618 Tiba-tiba ia lihat sekilas cahaya pedang, seperti terbitnya
sang surya di ufuk timur, memercikkan cahaya kemerahanmerahan
yang amat menyilaukan mata.
Ternyata Bong Thian-gak telah melolos Pek-hiat-kiam
sambil melancarkan sebuah bacokan.
Sejak terjun kembali ke dalam Bu-lim, baru pertama kali ini
Bong Thian-gak melancarkan serangan lebih dulu terhadap
musuhnya. Latihan tekun selama tiga tahun membuat ilmu pedang
Bong Thian-gak mencapai puncak kesempurnaan, serangan
pedangnya boleh dikata disertai kekuatan yang sangat
mengerikan. Liu Khi terhitung jagoan lihai kelas satu di Bu-lim saat ini,
sudah barang tentu ia cukup tahu kelihaian serangan itu.
Diiringi jeritan kaget, tubuh Liu Khi melejit ke tengah udara.
Pada saat itulah tiga titik cahaya tajam tiba-tiba meluncur
secara beruntun ke depan.
Daya serangan ketiga titik cahaya putih itu sedemikian
cepatnya, seakan-akan melebihi cahaya pedang berwarna
merah darah itu.
Semua gerakan ini boleh dibilang tidak berselisih banyak,
kalau dibilang berselisih, maka selisih itu hanya beberapa detik
saja. Di tengah seruan kaget, terdengar jeritan ngeri yang
menyayat hati, bayangan orang segera bergeser.
Tiga batok kepala anggota Kay-pang menggelinding ke atas
tanah, tiga sosok tubuh tanpa kepala sambil menyemburkan
darah segera roboh ke atas tanah.
Di pihak lain, Khi Cho sudah tergeletak di atas tanah. Bahu
sebelah kanan Keng-tim Suthay juga berlumuran darah,
619 dengan langkah sempoyongan ia berjalan menghampiri Khi
Cho. Bong Thian-gak dengan pedang disilangkan di depan dada,
berdiri dengan wajah penuh gusar, sepasang matanya melotot
besar mengawasi Liu Khi yang berada di hadapannya.
Waktu itu, Liu Khi berdiri dengan wajah sedih dan kecewa,
dia hanya berdiri kaku di tempat tanpa berkutik.
Di saat Liu Khi menghindarkan diri dari serangan Bong
Thian-gak tadi, dia telah melepaskan tiga buah golok terbang
yang masing-masing menyerang Bong Thian-gak, Keng-tim
Suthay serta Khi Cho.
Nama besar Liu Khi sudah menggetarkan dunia persilatan,
ilmu sakti golok terbang boleh dibilang tak pernah meleset
dari sasaran selama ini, tapi kenyataannya pisau terbang itu
tidak memperlihatkan kelihaiannya di depan Bong Thian-gak.
Di saat Bong Thian-gak menghindarkan diri dari serangan
pisau terbang tadi, secara beruntun Pek-hiat-kiam berhasil
pula membinasakan tiga orang anak buah Liu Khi.
Dua pisau terbang Liu Khi yang lain agaknya tidak
menghasilkan apa-apa. Keng-tim Suthay hanya terkena bahu
kanannya, sedang Khi Cho roboh terkena pisau terbang.
Karena serangannya meleset dari sasaran yang dikehendaki
itulah Liu Khi merasa kecewa bercampur terkejut.
Sebaliknya Bong Thian-gak sendiri pun dibuat terperanjat
oleh kelihaian Liu Khi dalam melepaskan pisau terbang.
Dengan kepandaian silat yang begitu lihai seperti Keng-tim
Suthay, ternyata ia berhasil dipecundangi juga, peristiwa ini
benar-benar membuatnya merasa terkesiap.
Mendadak Liu Khi memperdengarkan suara tawa panjang
yang membetot sukma, menyusul tubuhnya segera melejit ke
atas dahan pohon.
620 Bentakan dan hardikan marah bergema di sana sini, para
anggota Hiat-kiam-bun yang bersembunyi di seputar sana
serentak muncul dan menghadang jalan perginya.
Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru, "Segenap anggota Hiatkiam-
bun harap mundur, biarkan musuh pergi dari sini."
Dari kejauhan sana terdengar suara Liu Khi berkumandang,
"Jian-ciat-suseng, di kemudian hari aku pasti akan minta
petunjuk ilmu pedangmu yang sangat lihai itu."
Sementara bicara, bayangan Liu Khi tahu-tahu sudah
lenyap. Dengan cepat Bong Thian-gak menarik kembali pedangnya,
lalu berjalan ke sisi Khi Cho.
Waktu itu Khi Cho sudah tergeletak dalam pangkuan Kengtim
Suthay tanpa bergerak, sebilah pisau terbang kecil telah
menancap di tenggorokannya, darah mengucur membasahi
sekujur tubuhnya.
Para anggota Hiat-kiam-bun maupun Keng-tim Suthay
sendiri sama-sama berdiri dengan air mata bercucuran.
Bong Thian-gak maju mendekat, kemudian tanyanya,
"Bagaimana keadaan Khi Cho?"
"Jantungnya telah berhenti berdenyut, ia sudah meninggal
dunia," sahut Keng-tim Suthay pedih.
Bong Thian-gak segera memegang urat nadi tangan kiri Khi
Cho, setelah diperhatikan beberapa saat, tiba-tiba katanya,
"Dia belum tewas!"
Sembari berkata, tiba-tiba Bong Thian-gak mengayunkan
telapak tangan kanannya menghantam dada Khi Cho.
Jeritan ngeri yang menyayat hati segera berkumandang
dari mulut Khi Cho.
621 Pisau terbang kecil yang menancap di tenggorokannya itu
segera terpental keluar, menyusul tersembur darah yang amat
deras. Cepat Bong Thian-gak berseru kembali, "Segera kau totok
jalan darah Keng dan Tiong-mehnya, cegah, jangan sampai
banyak darah mengalir keluar."
Sebenarnya Keng-tim Suthay menyangka putri
kesayangannya telah tewas, mendengar perkataan itu, jari
tangannya segera bergerak menotok dua jalan darah penting
di tubuh Khi Cho itu, darah pun segera berhenti mengalir.
"Sekarang totoklah jalan darah tidurnya, ai, seandainya
pisau terbang itu bergeser sedikit saja lebih ke atas, niscaya
nyawa Khi Cho sudah melayang, sekarang suruh orang
menggotongnya masuk untuk beristirahat."
Keng-tim Suthay menurut dan segera menotok jalan darah
tidur Khi Cho. Siau Gwat-ciu dan Yu Hong-hong segera maju
pula ke depan untuk membopong tubuh si gadis jelek.
Bong Thian-gak berpaling dan memandang sekejap bahu
kanan Keng-tim Suthay yang berdarah, pisau kecil itu masih
menancap di bahunya, maka ia berkata, "Suthay, cepat kau
balut sendiri lukamu."
Saking sedihnya atas luka yang diderita puteri
kesayangannya, Keng-tim Suthay sampai lupa pada luka yang
dideritanya, mendengar perkataan itu ia baru merasa bahunya
sakit perih. Pada saat itulah seorang Nikoh tua datang membantu
Keng-tim Suthay mencabut pisau kecil itu, kemudian
membalut pula lukanya.
"Beruntung Buncu datang memangku jabatan pada hari
ini," kata Keng-tim Suthay sambil menghela napas sedih,
"kalau tidak, segenap anggota Hiat-kiam-bun pasti akan tewas
di ujung pisau terbang Liu Khi, ai, orang persilatan
622 mengatakan pisau terbang Liu Khi lihai sekali, setelah
menyaksikan sendiri hari ini, terbukti kelihaiannya memang
luar biasa."
Paras muka Bong Thian-gak berubah serius, katanya,
"Padahal Liu Khi tidak lebih hanya jago nomor dua dalam Kaypang."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, tapi Keng-tim Suthay
sudah tahu apa maksudnya.
Pelan-pelan Keng-tim Suthay berkata pula, "Tapi Liu Khi
sendiripun sudah dipecundangi Buncu."
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas sedih.
"Aku melepaskan sebuah serangan, sedang Liu Khi hanya
melepas tiga pisau terbang, goloknya belum digunakan,
tenaga dalam orang ini rasanya jauh lebih tinggi daripada
siapa pun."
"Ai," Keng-tim Suthay menghela napas, "andaikata keadaan
Thay-kun bisa dipulihkan kembali, maka Hiat-kiam-bun kita
pasti dapat menghadapi perguruan atau perkumpulan mana
pun." Tiba-tiba hati Bong Thian-gak bergetar, segera ia bertanya,
"Apa kesadaran Thay-kun dapat dipulihkan kembali?"
"Tabib sakti Gi Jian-cau pasti sanggup menyembuhkan
sakitnya itu," pelan-pelan Keng-tim Suthay berkata.
"Ya, tugas utama kita sekarang adalah menyelamatkan jiwa
Thay-kun, bagaimana menurut pendapat Suthay?"
"Asal Buncu menurunkan perintah, segenap anggota
perguruan akan berjuang sekuat tenaga."
Bong Thian-gak termenung sebentar, tiba-tiba tanyanya,
"Apakah Ang Teng-siu juga anggota Hiat-kiam-bun kita?"
Keng-tim Suthay tersenyum.
623 "Agaknya Buncu masih belum cukup memahami asal-usul
serta nama anggota Hiat-kiam-bun kita, silakan Buncu
beristirahat di dalam kuil sekalian memeriksa daftar perguruan
kita." Bong Thian-gak tertawa geli, "Hahaha, sekarang aku sudah
jadi ketua Hiat-kiam-bun, tapi masih belum tahu anggota
perguruan kita, kejadian semacam ini kalau dipikir sungguh
menggelikan."
Sembari berkata, Bong Thian-gak dan Keng-tim Suthay
bersama-sama memasuki kuil itu.
Keng-tim Suthay mengajak Bong Thian-gak memasuki
sebuah ruangan, kemudian memerintahkan kedua gadis
berbaju merah untuk melayani keperluan pemuda itu,
sementara dia sendiri buru-buru pergi menjenguk Khi Cho.
Bong Thian-gak segera duduk, memandang sekejap kedua
gadis berbaju merah yang berdiri di samping pintu. Melihat
kedisiplinan mereka, akhirnya ia merasa tak tega, sapanya,
"Silakan kalian berdua ikut duduk, tak usah terlalu menuruti
peraturan." "Terima kasih Buncu, kami tidak berani." Bong
Thian-gak tersenyum.
"Siapakah nama kalian berdua?" kembali ia bertanya.
Pemuda ini merasa kedua gadis itu berwajah cantik,
mukanya berbentuk kwaci, putih halus dan berusia di antara
tujuh belas tahun.
Setelah termangu sejenak, sekali lagi Bong Thian-gak
berkata, "Wah, rupanya paras muka kalian berdua mirip satu
sama lain."
"Lapor Buncu," kembali gadis di sebelah kanan berkata
dengan merdu, "budak bernama Cay-hong, sedangkan adikku
bernama Cay-im, kami adalah dua bersaudara kembar."
"Oh, tak heran paras muka kalian begitu mirip, andaikata
tiada perbedaan antara yang tinggi dan pendek, aku benarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
624 benar tak bisa membedakan mana Cay-hong dan mana Cayim.


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah apa jabatan kalian berdua dalam Hiat-kiam-bun?"
"Kami berdua adalah anak buah Kau-hubuncu, tapi sejak
Kau-hubuncu terkena musibah, untuk sementara belum ada
jabatan." Menyinggung soal Kau-hubuncu, Bong Thian-gak segera
teringat gadis muda yang tewas terkena tendangan pada alat
kelaminnya oleh Thia Leng-juan tempo hari, tanpa terasa ia
menghela napas panjang, "Ai, kematian Kau-hubuncu
memang harus disesali, sungguh mengenaskan sekali."
Tiba-tiba sepasang mata Cay-hong berubah menjadLmerah,
segera tanyanya, "Tolong tanya Buncu, sesungguhnya
siapakah pembunuh Kau-hubuncu?"
Bong Thian-gak malah tertegun mendengar pertanyaan itu,
segera ia berbalik bertanya, "Bukankah kalian kakak beradik
pernah berjumpa denganku ketika berada di Hong-tok-ciulau?"
"Benar," Cay-hong mengangguk.
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Aku telah menjadi ketua Hiat-kiam-bun pada hari ini,
tentunya kalian merasa sedikit di luar dugaan bukan?"
Sekali lagi Cay-hong manggut-manggut, "Tentu saja sama
sekali di luar dugaan, namun kami pun merasa gembira
memiliki seorang ketua yang kepandaiannya sangat tinggi
untuk memimpin perguruan Hiat-kiam-bun."
Pelan-pelan Bong Thian-gak berkata lagi, "Aku tahu
siapakah pembunuh yang sebenarnya Kau-hubuncu, di
kemudian hari aku pasti akan memberitahukan kepada kalian,
ai! Pokoknya aku tak akan membiarkan anggota perguruan
kita berkorban dengan percuma."
625 Selesai berkata, dari dalam sakunya Bong Thian-gak
mengambil daftar anggota Hiat-kiam-bun. Saat ia membuka
lembar pertama, di tengahnya tertulis beberapa huruf.
Bong Thian-gak sangat terharu di samping berterima kasih,
dia sama sekali tidak menyangka Keng-tim Suthay telah
menyerahkan kedudukan itu sejak dulu, dari sini bisa
disimpulkan bahwa dalam tiga tahun ini Keng-tim Suthay tentu
berusaha keras untuk menemukan dirinya.
Bong Thian-gak pun membaca lebih jauh.
Nama Thay-kun juga tercantum dalam daftar anggota, dia
adalah ketua pelindung hukum Hiat-kiam-bun.
Kemudian di antara kedua belas pelindung lainnya, Bong
Thian-gak hanya mengenali dua orang, mereka adalah tabib
sakti Gi Jian-cau serta Ang Teng-siu.
Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berpikir,
"Kumpulan tiga belas pelindung hukum Hiat-kiam-bun
mungkin merupakan kekuatan inti perguruan, hanya tidak
diketahui dimanakah rombongan itu kini?"
Belum habis ingatan itu melintas, Keng-tim Suthay serta Yu
Hong-hong dan Siau Gwat-ciu bertiga telah berjalan keluar.
Keng-tim Suthay bertanya, "Apakah Buncu telah memeriksa
daftar nama anggota?"
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Ya, sudah kubaca, hanya banyak yang tidak kupahami
serta mohon petunjuk darimu."
"Silakan Buncu bertanya."
"Dari kelompok tiga belas pelindung hukum, apakah setiap
orang di antaranya dapat dihubungi?"
"Kecuali ketua pelindung hukum, asal Buncu menurunkan
perintah, setiap orang dapat dipanggil dengan segera."
626 "Sebagian besar pelindung hukum ini tersebar dimana?"
tanya Bong Thian-gak.
"Kecuali Thay-kun, sembilan orang lainnya
menyelundupkan diri dalam Put-gwa-cin-kau, seorang berada
dalam kantor cabang Kay-pang kota Lok-yang, si tabib sakti
juga berada di kota Lok-yang, masih ada seorang lagi adalah
Hongtiang kuil kami, Keng-koan Suthay."
Diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Yang disebut Kengkoan
Suthay mungkin si Nikoh tua itu."
Berpikir sampai di situ, maka setelah termenung beberapa
saat Bong Thian-gak kembali berkata, "Menurut pendapat
Suthay, apakah kedua belas orang pelindung hukum itu perlu
dipanggil?"
"Masalah ini silakan ketua yang mengambil keputusan."
Kembali Bong Thian-gak bertanya, "Pada halaman terakhir
daftar anggota, tercantum lima nama orang misterius, kelima
orang itu bukankah nama-nama orang yang sudah lama
tiada?" "Betul, kelima orang itu adalah si Pukulan nomor wahid dari
kolong langit Ma Kong, Pangcu Hek-huo-pang Kwan Bu-peng,
Luihong-khek Gi Peng-san, Tui-hun-pit Cia Liang dan Thikoan-
im Han Nio-cu. Mereka adalah jago-jago lihai dunia
persilatan yang hilang secara misterius ketika sedang bertamu
dalam gedung Bu-lim Bengcu tiga tahun berselang."
"Aku benar-benar tidak mengerti," Bong Thian-gak
menggeleng kepala berulang kali, "Ma Kong berlima bukankah
sudah bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu di kota Kayhong"
Mengapa dalam semalam saja mereka bisa mati secara
misterius, lagi pula jenazah mereka hilang. Tapi seingatku
beberapa hari berselang, Khi Cho pernah memerintahkan
seorang jagoan aneh untuk menyerangku ketika berada dalam
Hong-tok-ciu-lau, waktu itu Khi Cho tampaknya seperti
627 memanggil nama orang itu sebagai Ma Kong, jangan-jangan
...." Keng-tim Suthay menghela napas panjang.
"Sesungguhnya Ma Kong berlima tidak tewas."
"Jadi mereka benar-benar belum mati?" tanya Bong Thiangak
dengan terkejut.
Kembali Keng-tim Suthay menghela napas panjang.
"Untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya kejadian
ini, kita harus kembali sejenak peristiwa tiga tahun berselang.
Pada waktu itu Thay-kun mendapat perintah Cong-kaucu
untuk menghabisi kelima jago lihai dunia persilatan yang
sedang bertamu dalam gedung Bu-lim Bengcu itu, mereka
adalah Ma Kong berlima."
"Agar bisa menyelamatkan jiwa kelima orang ini, akhirnya
Thay-kun memperoleh sebuah cara, dari tempat kediaman si
tabib sakti Gi Jian-cau dia berhasil memperoleh lima butir pil
Kia-bin-wan."
"Apakah pil Kia-bin-wan (obat pura-pura tidur) itu?" tanya
Bong Thian-gak.
"Pil itu diberi nama begitu oleh Gi Jian-cau sendiri, khasiat
obat itu adalah barang siapa menelan pil itu, maka denyut
jantung serta semua kerja anggota badannya akan terhenti
sementara waktu, keadaan mereka tak ubahnya seperti
mayat, padahal orang-orang itu tidak mati secara sungguhsungguh."
"Kalau begitu, setelah Ma Kong berlima menelan Kia-binwan,
Thay-kun mengangkut tubuh mereka, kemudian keluar
dari gedung Bu-lim Bengcu?" tanya Bong Thian-gak.
Keng-tim Suthay manggut-manggut.
"Benar, tubuh Ma Kong berlima pada waktu itu dipindahkan
ke kuil Keng-tim-an."
628 "Kalau begitu Ma Kong berlima belum meninggal?" sekali
lagi Bong Thian-gak bertanya.
Kembali Keng-tim Suthay manggut-manggut.
"Tentu saja mereka belum mati, cuma keadaan mereka
saat ini menyerupai seorang yang tak bersukma dan
berpikiran lagi."
"Ai, kalau begitu keadaan mereka berlima tak jauh berbeda
seperti keadaan Thay-kun sekarang," ucap Bong Thian-gak
sambil menghela napas sedih.
"Ya, keadaan mereka memang tidak jauh berbeda,"
kembali Keng-tim Suthay mengangguk.
"Apakah Ma Kong berlima masih bisa dipulihkan
kesadarannya?" Keng-tim Suthay mengangguk pelan.
"Asal Gi Jian-cau membuatkan lagi semacam pil Hui-hunwan
(obat pembalik sukma) dan mencekokkan kepada
mereka, niscaya mereka akan memperoleh kembali
kesadarannya."
"Jika begitu Gi Jian-cau belum sempat membuat Hui-hunwan?"
"Soal ini aku kurang mengerti," Keng-tim Suthay
menggeleng, "sejak Thay-kun dicekoki pil Kia-bin-wan oleh
Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, si tabib sakti Gi Jian-cau sudah
mulai mengumpulkan bahan obat-obatan untuk membuat pil
Hui-hun-wan guna menyelamatkan jiwa Thay-kun, sudah tiga
tahun Gi Jian-cau belum juga menyelesaikan pekerjaannya,
menurut tabib itu, dia masih kekurangan tiga macam obatobatan."
"Ai, rupanya di kolong langit benar-benar terdapat obat
semacam ini," Bong Thian-gak menghela napas panjang
selesai mendengarkan kisah itu. Demi meyelamatkan Thaykun
serta Ma Kong berlima, Gi Jian-cau harus berhasil
membuat pil Hui-hun-wan.
629 "Ai, saat ini Ma Kong berlima tak lain adalah algojo-algojo
andalan Hiat-kiam-bun, tujuan Thay-kun di masa lampau,
sebetulnya dia hendak mempergunakan kekuatan sakti
mereka untuk melawan jago lihai Put-gwa-cin-kau."
"Seandainya Hiat-kiam-bun kita sampai berbuat demikian,
aku rasa ini terlampau kejam, kelewat tidak berperikemanusian,"
ucap Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala
berulang kali. Keng-tim Suthay manggut-manggut, "Buncu penuh welasasih,
berjiwa besar dan berpandangan luas, hanya manusia
semacam inilah yang pantas disebut seorang pahlawan besar,
seorang pendekar sejati."
Bong Thian-gak termangu sebentar, lalu ujarnya lagi, "Bila
kita bicara menurut kekuatan serta jumlah anggota Hiat-kiambun,
rasanya sulit buat kita untuk melawan pihak Kay-pang
maupun Put-gwa-cin-kau, tapi kita pun tak boleh hendak
memperkuat kemampuan lantas kita memperalat Mo Keng
berlima Locianpwe yang sukma, pikiran serta perasaannya
telah terkendali.
"Ketika masih berada di Hong-tok-ciu-lau, aku pernah
bertarung melawan Ma Kong, menurut pendapatku, walaupun
saat ini dia garang seperti harimau dan kuat seperti raksasa,
namun berhubung akal budinya telah hilang, akibatnya gerakgeriknya
menjadi bodoh, kaku dan lucu, bila berjumpa jago
lihai atau mereka yang mempunyai senjata mustika, aku yakin
Ma Kong sekalian masih bisa dipunahkan secara mudah sekali.
"Sebaliknya bila kita bisa memulihkan kesadaran serta akal
budi Ma Kong berlima, dengan dukungan kekuatan dan pikiran
mereka, maka Hiat-kiam-bun kita akan dapat bersaing dengan
perkumpulan mana pun di daratan Tionggoan, serta
memimpin persilatan."
Keng-tim Suthay segera manggut-manggut.
630 "Pendapat Buncu memang benar, itulah sebabnya kami
selalu berharap si tabib sakti membuat pil Hui-hun-wan
secepatnya."
"Saat ini si tabib sakti berada dimana?" tanya Bong Thiangak
setelah termenung sebentar.
"Dia berada di suatu tempat rahasia dalam kota Lok-yang."
"Masih berada di kaki bukit Cui-im-hong?"
"Tidak, selama tiga tahun terakhir ini, Gi Jian-cau sudah
menjadi salah seorang buronan yang dicari pihak Put-gwa-cinkau,
mana mungkin dia bisa tinggal lagi dalam Cui-im-hongsan-
ceng?" "Yang paling kukuatirkan adalah keselamatan jiwanya,
kalau Suthay telah membuat persiapan yang matang, aku pun
tak usah kuatir lagi."
"Dalam tiga tahun ini, demi melindungi jiwa Gi Jian-cau,
Pinni telah memerintahkan dua orang jago lihai yang telah
kehilangan akal budinya yakni Han Nio-cu serta Cia Liang
untuk melindunginya. Beberapa hari berselang, waktu kau
hendak berangkat ke Hopak, aku pun telah mengutuskan
Sam-hubuncu untuk melindunginya, jadi aku rasa tak ada
persoalan lagi."
"Bagus sekali, sekarang aku telah mengetahui secara garis
besar keadaan perguruan kita," kata Bong Thian-gak.
"Adakah petunjuk Buncu untuk pergerakan perguruan
kita?" Bong Thian-gak tersenyum, bukan menjawab dia malah
bertanya, "Tolong tanya, ada urusan apa Suthay datang ke
Hopak?" "Kedatangan Pinni ke Hopak kali ini, pertama, karena
kudengar laporan Khi Cho tentang gerak-gerik Jian-ciatsuseng,
dalam hati aku selalu mempunyai anggapan Jian-ciatTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
631 suseng sedikit mirip ketua Ko Hong, oleh sebab itu aku
sengaja datang ke Hopak untuk membuktikan identitas Jianciat-
suseng, ternyata Thian memang tidak menyia-nyiakan
harapanku, akhirnya Hiat-kiam-bun kami mendapatkan
ketuanya. "Kedua, adalah untuk melihat operasi Khi Cho memantau
Si-hun-mo-li, apakah pekerjaannya sudah ada
perkembangannya atau tidak."
"Menurut pendapat Suthay, apakah pihak kita perlu turut
campur dalam operasi pencarian harta karun peninggalan raja
muda Mo-lay-cing-ong?"
Keng-tim Suthay segera menggeleng.
"Kekuatan perguruan kami sangat lemah, untuk bisa turut
dalam perebutan harta karun itu, rasanya kita harus
menemukan dulu ketua perguruan. Oleh sebab itu sebelum
bertemu Buncu, kami hanya bisa menunggu perkembangan
perebutan harta karun itu. Dan sekarang bila Buncu
mempunyai suatu pandangan, silakan saja diambil keputusan,
Tecu sekalian pasti akan turut perintah."
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Suthay memang cerdik dan cekatan, terhadap situasi
sendiri maupun keadaan musuh selalu dapat diselidiki jelas,
memang tahu diri. Tahu keadaan musuh, setiap pertarungan
baru dapat dimenangkan. Ucapan Suthay memang benar,
lebih baik perguruan kita bertindak mengikuti perkembangan
selanjutnya, perlu diketahui, tugas utama adalah membantu Gi
Jian-cau mendapatkan tiga macam obat-obatan yang masih
kurang itu hingga Hui-hun-wan dapat dibuat selekasnya."
Keng-tim Suthay tersenyum, "Thian benar-benar


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melimpahkan rezeki untuk peguruan Hiat-kiam-bun, perguruan
kami benar-benar berhasil mendapatkan seorang pemimpin
yang arif bijaksana."
632 Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Aku
berpengetahuan cetek, selanjutnya masih banyak
membutuhkan kerja sama setiap anggota perguruan untuk
bersama-sama mengangkat nama perguruan kita di mata
masyarakat. Terutama sekali Suthay, selanjutnya bilamana
ada hal-hal yang perlu dikemukakan, harap kau tak segansegan
untuk memberi petunjuk, di antara kita pun aku harap
tidak tersisa garis pemisah antara seorang ketua dengan wakil
ketua, karena sepantasnya Suthay lah yang memangku
jabatan ketua ini."
Keng-tim Suthay tersenyum, "Bong-buncu masih muda
namun gagah dan perkasa, kami tahu kemampuan serta
kecerdasan Buncu berada di atas kami dan tak mungkin
berada di bawah kami, Hiat-kiam-bun di bawah pimpinanmu
pasti akan semakin cemerlang seperti matahari yang makin
menjulang ke angkasa."
"Aku kuatir akan menyia-nyiakan harapan Suthay."
Keng-tim Suthay tersenyum, lalu mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain, katanya, "Jika Buncu memang tidak
bermaksud mengambil tindakan terhadap harta karun Mo-laycing-
ong, maka anggota perguruan kita pun rasanya tak perlu
dihimpun lagi di wilayah Hopak ini."
"Aku rasa kita pun belum dapat membubarkan mereka dari
wilayah Hopak, terutama pada saat ini, perlu diketahui, Thaykun
masih berada di bawah kekuasaan Put-gwa-cin-kau, tentu
saja Suthay dan aku tak boleh bersama-sama tinggal di
tempat ini."
"Lantas apa petunjuk Buncu?"
"Suthay, silakan kau memberi perintah mewakili aku." "Ah,
hal ini mana boleh?"
"Aku belum lama menerima jabatan ketua, terhadap
organisasi serta orang yang menjadi anggota perguruan pun
belum begitu jelas, bila perintah kuberikan, tak mungkin
633 segenap kekuatan yang kita miliki bisa dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya, apalagi Suthay memang Conghubuncu
perguruan kita, siapa bilang kau tak berhak memberi
perintah?"
"Tapi sebelum memberi perintah, Pinni merasa wajib
mohon petunjuk Buncu terlebih dahulu."
Bong Thian-gak tersenyum, "Bila demikian, silakan Conghubuncu
katakan." "Pinni harus secepatnya pulang untuk membantu Gi Jiancau
mendapatkan ketiga macam obat-obatan yang masih
kurang itu, maka Pinni rasa untuk wilayah Hopak terpaksa
mesti ditangani oleh Buncu sendiri."
"Pendapat Cong-hubuncu memang mirip dengan pikiranku,"
Bong Thian-gak manggut-manggut, "berapa banyak kekuatan
yang kau butuhkan, silakan saja dibawa."
"Khi Cho, Pat-hubuncu serta Keng-koan Suthay tetap
tinggal di sini membantu Buncu, sedang Su-hubuncu, Gohubuncu,
Liok-hubuncu dan Jit-hubuncu turut aku kembali ke
Lok-yang."
Bong Thian-gak kembali mengangguk.
"Tugas utama perguruan kita saat ini memang melindungi
si tabib sakti, agar secepatnya membuat pil Hui-hun-wan yang
sangat penting artinya buat kita. Bilamana Cong-hubuncu
menjumpai hal-hal gawat selama di Lok-yang, harap
selekasnya kau mengirim berita padaku."
"Bila Buncu tiada persoalan lain, Pinni ingin berangkat ke
Lok-yang sekarang juga."
"Baik, silakan Suthay segera berangkat."
Keng-tim Suthay siap beranjak, mendadak dia membalik
badan, lalu dari sakunya mengeluarkan sepucuk surat,
katanya, "Lapor ketua, dalam surat ini tercantum ketiga
634 macam bahan obat-obatan yang harus kita peroleh
secepatnya, andaikata terjadi sesuatu peristiwa di luar
dugaan, harap masalah pembuatan pil Hui-hun-wan
dilanjutkan oleh Buncu."
Mendengar perkataan itu, hati Bong Thian-gak bergetar,
seolah-olah dia mendapat firasat jelek, tapi surat itu
diterimanya juga.
"Suthay, andaikata di tempatmu terjadi hal-hal yang di luar
dugaan, harap kau selekasnya mengadakan hubungan dengan
kami," pesannya lagi dengan suara dalam.
Agaknya Keng-tim Suthay dapat memahami perasaan Bong
Thiangak, maka ia hanya tersenyum.
"Hui-hun-wan merupakan benda yang amat penting artinya
bagi Hiat-kiam-bun kita, oleh sebab itu semua masalah telah
Pinni atur sedemikian rupa hingga terlihat rapi dan tertata
secara baik, harap Buncu tak usah kuatir, nah, Pinni mohon
diri lebih dahulu."
Maka berangkatlah Keng-tim Suthay dengan membawa
empat orang Hubuncu serta puluhan anggota Hiat-kiam-bun
kembali ke kota Lok-yang.
0oo0 Dalam waktu singkat, kuil Keng-koan sudah berubah
menjadi pusat komando perguruan Hiat-kiam-bun, sekali pun
kekuatan Hiat-kiam-bun untuk wilayah Hopak tidak terlalu
besar, tapi di bawah pimpinan Bong Thian-gak, kuil Keng-koan
telah diubahnya bagaikan sebuah sarang naga gua harimau.
Dalam tujuh hari, nama besar ketua Hiat-kiam-bun, Jianciat-
suseng Bong Thian-gak telah menggetarkan seluruh dunia
persilatan. Yang paling membuat umat persilatan tercengang dan
sama sekali tidak menyangka adalah Jian-ciat-suseng ternyata
635 tak lain adalah ketua Hiat-kiam-bun, berita itu membuat pihak
Put-gwa-cin-kau dan Kay-pang merasa amat terperanjat.
Pada dasarnya Hiat-kiam-bun memang sudah merupakan
suatu perkumpulan yang sangat misterius dalam Bu-lim, tapi
semenjak Bong Thian-gak menjadi ketuanya, setiap anggota
Hiat-kiam-bun yang berada dalam Bu-lim tidak lagi menutup
wajah mereka dengan kain kerudung merah, mereka semua
muncul dengan raut wajah asli.
Ketika mereka mulai memperlihatkan paras muka aslinya,
pihak Put-gwa-cin-kau serta Kay-pang baru tahu bahwa di
antara para Huhoat Hiat-kiam-bun ternyata terdapat pula
anggota perkumpulan mereka.
0oo0 Kegelapan telah mencekam seluruh jagad.
Daerah tujuh li di sekitar kuil Hong-kong-si merupakan
tempat paling gelap, sepi dan rawan.
Pada saat itulah terlihat ada sesosok bayangan orang
sedang berlari mendekati dari arah barat.
Mendadak suara bentakan keras menggema memecah
keheningan, "Siapa di situ?"
Si pejalan malam yang datang dari arah barat telah
menghentikan langkah dan mengangkat kepala sambil
mengawasi keadaan sekeliling tempat itu dengan seksama.
Di tengah jalan rupanya telah berdiri seseorang, gelak tawa
nyaring tadi berkumandang dari mulut si penghadang itu.
Di tengah gelak tawanya, dia maju beberapa langkah,
katanya lantang, "Sam-kaucu, selamat bersua, baik-baikkah
kau selama berpisah."
Orang yang datang dari barat itu nampak terkejut
mendengar teguran itu, sorot matanya yang tajam untuk
mengawasi tempat itu.
636 Lawannya adalah seorang lelaki berperawakan sedang
berjubah merah, dia berwajah lebar dan berlengan besar, raut
mukanya seperti pernah dikenal, tapi tak teringat olehnya
dimanakah mereka pernah bertemu.
Setelah hening sesaat, pejalan malam itu tertawa seram,
"Hehehe, dari dandananmu itu, rupanya kau adalah anggota
Hiat-kiam-bun?"
"Betul," jawab lelaki berjubah merah itu sambil tertawa
tergelak, "aku adalah pelindung hukum Hiat-kiam-bun."
"Aku seperti kenal raut wajahmu," seru si pejalan malam
dingin. Lelaki berjubah merah turut tertawa.
"Sam-kaucu, mengapa kau mudah lupa" Aku she Ang
bernama Teng-siu!"
Berubah hebat paras muka pejalan malam itu, dia berseru
tertahan dan berkata, "Oh, rupanya kau adalah komandan
pengawal Ji-kaucu, Ang Teng-siu."
"Betul, memang aku Ang Teng-siu."
Tiba-tiba pejalan malam itu menarik muka, kemudian
ujarnya, "Ang Teng-siu, kau pengkhianat, berani amat kau
halangi jalanku."
"Sam-kaucu," kembali Ang Teng-siu tersenyum, "mengapa
kau punya jalan ke surga enggan dilalui, tiada jalan ke neraka
kau terobos."
Sepasang mata pejalan malam yang tajam mendadak
mengawasi sekejap keadaan sekitar situ, kemudian berkata
dingin, "Ang Teng-siu, berapa orang yang kau bawa malam
ini?" Ang Teng-siu tertawa terbahak-bahak.
637 "Ketua Hiat-kiam-bun serta sepuluh pelindung hukum telah
hadir semua di sini."
Pejalan malam itu terkejut, dia segera bertanya dengan
gelisah, "Dimanakah Jian-ciat-suseng sekarang" Suruh dia
keluar menemuiku."
"Thia Leng-juan, harap tahu diri, malam ini kami memang
sengaja menunggu kedatanganmu, kau tak usah kurangajar."
Agaknya Thia Leng-juan sudah merasa gelagat malam ini
sangat tidak menguntungkan pihaknya, dia masih berusaha
mempertahankan ketenangan, pelan-pelan ujarnya, "Biar naik
ke bukit golok atau terjun ke kuali berminyak mendidih, aku
sudah pernah merasakan semuanya, memangnya kalian masih
mempunyai cara lain yang bisa membuat pecah nyaliku?"
"Sudahlah, kau tidak usah banyak bicara lagi, ketua kami
segera akan berjumpa denganmu, lebih baik turuti kami ?a)a,
kalau tidak, terpaksa kami akan berbuat kasar kepadamu."
"Jian-ciat-suseng berada dimana sekarang?"
Sebelum Ang Teng-siu menjawab, dari balik kegelapan
Mudah muncul sesosok bayangan orang menjawab dengan
suara dingin, ierlun dan keren, "Thia Leng-juan, aku berada di
sini." "Mengapa kau tidak segera kemari?"
"Aku segera akan datang."
Belum habis perkataan itu, sesosok bayangan orang
berkelebat ke hadapan Thia Leng-juan dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat,
Thia Leng-juan cekatan sekali, dengan cepat dia
menggeser badan menghindar ke sisi kiri.
Biarpun dia menghindar dengan gerakan cukup cepat,
namun gerakan tubuh pendatang itu jauh lebih cepat lagi,
tahu-tahu lengannya sudah bergerak dan "Plak!!"
638 Thia Leng-juan mendengus tertahan, kemudian orangnya
sudah roboh tak sadarkan diri.
Sewaktu Thia Leng-juan sadar dari pingsannya, ia
menjumpai dirinya sudah duduk di atas kursi.
Duduk di hadapan seorang pemuda berjubah merah
berlengan tunggal, berwajah pucat dan bermata tajam
bagaikan sembilu.
Di sisi kiri dan kanan pemuda berjubah merah itu masingmasing
berdiri sepuluh orang laki-laki berjubah merah, mereka
semua berwajah kereng, bermata tajam dan kelihatan sangat
gagah. Bergidik Thia Leng-juan menyaksikan semua itu, dengan
cepat dia teringat akan perbuatannya membunuh Kauhubuncu
Hiat-kiam-bun di kamar tujuh Hong-tok-ciu-lau
tempo hari. Ia pernah berjumpa dengan Jian-ciat-suseng Bong Thiangak
ketika berada di Hong-tok-ciu-lau, bahkan sewaktu terjadi
peristiwa berdarah itu, Jian-ciat-suseng hadir pula di tempat
kejadian. Siapa sangka Jian-ciat-suseng tak lain adalah ketua Hiatkiam-
bun, pemuda berjubah merah berlengan tunggal itu.
Terpaksa Thia Leng-juan harus mengeraskan hati menegur,
"Apa maksudmu membawa aku kemari?"
"Demi menyelamatkan jiwamu," jawab Bong Thian-gak
hambar. Thia Leng-juan tertegun, "Menyelamatkan aku" Apa
maksudmu?"
Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Asal kau bersedia menjawab beberapa pertanyaan dengan
jujur, aku bersedia menyelamatkan jiwamu, kalau tidak,
639 perbuatanmu membunuh Kau-hubuncu perguruan kami itu,
tentu hanya ada jalan kematian bagimu."
Thia Leng-juan mulai berpikir, "Bagaimana pun juga
kepandaian silatku tidak mungkin bisa menandingi Jian-ciatsuseng."
Maka dia pun bertanya, "Jawaban apa yang harus
kuutarakan?"
"Bagaimana caramu memasuki Put-gwa-cin-kau?"
Thia Leng-juan tertegun, lalu berdiri melongo, lama
kemudian baru dia balik bertanya, "Buat apa kau menanyakan
hal itu?" "Kau cukup menjawab pertanyaanku, hati-hati, salah bicara
bisa berakibat hilangnya nyawamu," ancam Bong Thian-gak
sambil tertawa dingin tiada hentinya.
Thia Leng-juan termenung lama sekali, tak sanggup
mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah tertawa dingin, Bong Thian-gak berkata, "Bukankah
kau telah membunuh kawanan jago persilatan golongan putih
untuk merebut kepercayaan Cong-kaucu sehingga kau
diterima menjadi anggota Put-gwa-cin-kau."
Gemetar keras sekujur badan Thia Leng-juan mendengar
itu, bentaknya, "Aku tak pernah membunuh jago mana pun
dari Bu-lim Bengcu, aku sama sekali tidak melakukan
pembunuhan apa pun."


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak, dia
segera mendesak lebih jauh, "Lantas mengapa Cong-kaucu
Put-gwa-cin-kau menaruh kepercayaan padamu" Kau pernah
menjadi musuh bebuyutan Put-gwa-cin-kau, apakah kau
mempunyai sesuatu persyaratan yang dapat membuat
perempuan jalang itu percaya serta tunduk kepadamu?"
640 "Benar, tentu saja aku mempunyai syarat-syarat tertentu,"
kata Thia Leng-juan.
"Apa syaratnya" Cepat katakan!" hardik Bong Thian-gak.
"Tidak sulit bila ingin kukatakan, hanya kau harus
menerangkan dulu kepadaku, apa maksudmu menanyakan
persoalan itu?"
"Thia Leng-juan, coba kau lihat wajahku baik-baik, tahukah
kau siapa aku?"
Thia Leng-juan tertawa dingin, "Hm, siapa lagi" Tentu kau
adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak."
"Kau masih ingat dengan seorang sahabatmu yang
bernama Ko Hong tiga tahun berselang?"
Begitu mendengar nama Ko Hong, gemetar tubuh Thia
Leng-juan dibuatnya, matanya membelalak, kemudian
mengamati wajah Bong Thian-gak dengan seksama, seakanakan
dia sedang berusaha mencari sesuatu.
Tentu saja yang dicari olehnya adalah bekas-bekas yang
telah menghilang.
Mendadak paras muka Thia Leng-juan berubah pucat-pias
seperti mayat, kemudian gumamnya, "Kau adalah Ko Hong,
benarkah kau adalah Ko Hong?"
"Benar, aku adalah Ko Hong," jawab Bong Thian-gak
nyaring, "aku adalah Ko Hong yang bersama-sama kau dan
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang bertiga bertarung membunuh Samkaucu
Put-gwa-cin-kau yang telah menyaru sebagai Ku-lo
Hwesio." Thia Leng-juan tak dapat membendung air matanya lagi, ia
menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.
Bong Thian-gak tidak habis mengerti apa sebabnya dia
menangis, padahal seorang Enghiong tak akan melelehkan air
mata dengan mudah bila tidak sedang bersedih hati.
641 "Thia-tayhiap, kau tentunya tahu bukan persoalan apakah
yang hendak kutanyakan kepadamu!" kembali Bong Thian-gak
bertanya dengan suara dingin.
Mendadak Thia Leng-juan mendongakkan kepala,
kemudian teriaknya, "Ko Hong, bunuhlah aku! Biarpun mati,
aku akan mati dengan mata meram!"
Bong Thian-gak berkerut kening, sebab sikap lawan, dia
dapat pula merasakan kesedihan hatinya, dia membentak
kembali, "Thia Leng-juan, bila kau benar-benar seorang
Enghiong, benar-benar seorang leleki sejati, ayolah bicara
lebih jelas!"
Thia Leng-juan tidak menjawab, dia hanya membungkam.
Melihat lawan membungkam, Bong Thian-gak bertanya
kembali, "Thia Leng-juan, dengarkan baik-baik, aku hanya
ingin mengetahui nasib Ho Put-ciang, Yu Heng-sui dan Oh
Cian-giok sekalian."
Thia Leng-juan mendongakkan kepala memandang wajah
Bong Thian-gak dan termangu, air matanya belum mengering
sehingga wajahnya nampak sangat mengenaskan.
Tiba-tiba ia menghela napas, lalu berkata, "Mereka semua
telah meninggal dunia."
Ucapan itu bagaikan guntur yang membelah bumi di siang
hari bolong, gemetar keras sekujur badan Bong Thian-gak
karena menahan emosi, kembali ia membentak, "Apa yang
menyebabkan kematian Toa-suhengku sekalian" Siapa yang
telah membunuh mereka?"
Gemetar keras tubuh Thia Leng-juan, tanyanya, "Kau
menanyakan Toa-suhengmu" Apakah Ho Put-ciang kakak
seperguruanmu?"
"Kau tak usah bertanya lagi," tukas Bong Thian-gak, "cepat
katakan, apa yang menyebabkan kematian Toa-suheng
sekalian?"
642 Pada saat itulah tiba-tiba Thia Leng-juan teringat akan
sesuatu, dia berseru tertahan, "Oh Ciang hu mempunyai
empat orang murid, salah seorang di antaranya bernama Bong
Thian-gak, Ah! Kalau begitu kau adalah murid Oh Ciong-hu
Locianpwe yang bernama Bong Thian-gak."
Sinar tajam penuh napsu membunuh memancar dari balik
mata Bong Thian-gak, bentaknya, "Thia Leng-juan, kau belum
menjawab pertanyaanku, jika kau tidak menjawab dengan
sejujurnya, aku akan membunuhmu sekarang juga."
Sembari berkata, dia mengangkat telapak tangannya pelanpelan.
Kesepuluh orang pelindung hukum Hiat-kiam-bun yang
berdiri mengelilingi arena mengerti, dalam keadaan demikian
asal Thia Lengf-juan salah bicara sepatah kata saja, niscaya
dia akan tewas dihajar oleh ketua mereka.
Dalam waktu singkat seluruh arena telah diliputi oleh
suasana tegang dan mengerikan.
Thia Leng-juan menggetarkan bibirnya seperti ingin
mengucapkan sesuatu, namun tak sepatah kata pun yang
terucap keluar, jika dilihat dari kerutan wajahnya serta
tubuhnya yang mengejang keras, dia sedang merasakan
kengerian yang luar biasa dalam menghadapi kematian.
Namun akhirnya Thia Leng-juan berhasil menenangkan diri,
ia menjawab pelan, "Akulah yang telah mencelakai mereka
semua." Belum selesai perkataan itu diucapkan, Bong Thian-gak
telah berteriak, "Mengapa kau harus mencelakai mereka?"
Telapak tangannya segera diayunkan ke depan melepaskan
sebuah bacokan kilat.
Jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang
memecah keheningan, badan Thia Leng-juan mencelat ke
643 udara dan melayang keluar lewat daun jendela, kemudian,
"Bluk", terbanting ke atas lantai.
Secepat sambaran petir Bong Thian-gak melejit ke udara
dan menyusul dari belakang.
Thia Leng-juan telah terkapar di atas tanah, dia berusaha
meronta bangun, namun tak berhasil.
Dengan kasar Bong Thian-gak mencengkeram bajunya, lalu
mengangkatnya ke atas, bentaknya, "Ayo cepat katakan,
mengapa kau membunuh mereka?"
Sementara itu paras muka Thia Leng-juan pucat-pias
seperti mayat, tampangnya kelihatan sangat mengerikan,
darah segar mengalir keluar lewat ujung bibirnya seperti
sumber mata air, membasahi pakaiannya dan menetes pula ke
atas lantai. Pukulan dahsyat Bong Thian-gak telah mengguncang isi
perutnya, membuat dia sadar kematiannya sudah dekat.
"Bong ... Bong Thian-gak, sempurna amat tenaga
pukulanmu, aku ... aku gembira sekali kau memiliki pukulan
tenaga dalam sedemikian sempurna."
"Apakah kau tidak takut mampus?" seru Bong Thian-gak
agak tertegun mendengar perkataan itu.
Kembali Thia Leng-juan tertawa pedih, "Pukulanmu barusan
telah mengantar aku tak jauh dari kematian, aku ... aku
merasa bersalah terhadap segenap rekan-rekan umat
persilatan, walau mati, aku mati dengan rela, sekarang ...
sekarang aku ingin memberitahukan beberapa hal kepadamu."
Ketika berbicara sampai di situ, secara beruntun dia
muntah darah beberapa kali, dengan matanya yang sayu dia
pun mencoba memandang sekejap sekeliling tempat itu,
kemudian tanyanya bimbang, "Di ... dimanakah aku
sekarang?"
644 Bong Thian-gak agak tercengang dan sama sekali tak
menduga sikap Thia Leng-juan itu, seandainya dia benarbenar
seorang licik yang berakal bulus, mengapa sikapnya
dalam menghadapi kematian begitu wajar"
"Tempat ini adalah ruang depan kuil Hong-kong-si, Hongkong
Hwesio dan muridnya berdiam di ruang belakang,
sayang sekali mereka tak akan mendengar jeritanmu tadi,
sudah barang tentu mereka pun tak akan kemari untuk
menyelamatkan jiwamu."
Ucapan Bong Thian-gak itu diutarakan dengan suara datar
dan hambar. Thia Leng-juan berseru tertahan, "Ah! Kau ... kau juga tahu
kalau aku tengah bersekongkol dengan Hong-kong Hwesio
beserta muridnya?" Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Beberapa malam berselang, semua pembicaraanmu
dengan Long Jit-seng di ruang belakang telah kudengar
semua." "Kalau begitu kau ... kau juga sudah mengetahui
pertemuanku dengan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau/' kembali
Thia Leng-juan bertanya dengan sedih.
Kembali Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Tentu saja, aku pun sempat melihat kau seperti ular yang
patut dikasihani, tunduk di bawah selangkangannya. Hm, pada
saat itu aku malu melihat perbuatanmu, juga merasa kasihan
untuk nasibmu, sungguh tak kusangka kau adalah seorang
yang tak berguna."
Tiba-tiba dua baris air mata bercucuran membasahi pipi
Thia Leng-juan, bisiknya lirih, "Umpatanmu memang benar,
umpatanmu memang tepat sekali."
Sesudah mengucapkan perkataan ini, tubuh Thia Leng-juan
semakin lama semakin lemah, kerongkongannya mulai
gemerutukan. 645 Dia berbisik lagi dengan suara yang sangat lirih,
"Kemungkinan besar Ho Put-ciang sekalian belum ... belum
mati, kau ... kau harus bekerja sama dengan Hong-kong
Hwesio." Bergetar keras perasaan Bong Thian-gak mendengar
perkataan itu, tanyanya, "Apa kau bilang" Toa-suhengku
sekalian belum mati" Katakanlah cepat kau, katakan!"
Beberapa kali teriakan beruntun, namun Thia Leng-juan
sudah tak sanggup menjawab.
Thia Leng-juan telah menemui ajalnya, tewas seketika.
Tenaga serangan yang maha dahsyat Bong Thian-gak
agaknya betul-betul sudah mehancurkan isi perutnya.
Kata-kata terakhir Thia Leng-juan justru menenangkan
gejolak perasaan Bong Thian-gak yang sedang dipengaruhi
oleh emosi. Ia tak habis mengerti apa sebabnya Thia Leng-juan
mengakui Ho Put-ciang sekalian tewas di tangannya, tapi
kemudian dikatakan pula bisa jadi mereka belum tewas.
Bong Thian-gak hanya berdiri termangu sambil mengawasi
jenazah Thia Leng-juan, dia tidak habis mengerti apa
gerangan yang yang telah terjadi.
"Omitohud!" suara pujian sang Buddha tiba-tiba
berkumandang seperti suara lonceng berdentang.
Bong Thian-gak sadar dari lamunannya, ia mengangkat
kepala. Tahu-tahu sudah berdiri empat orang. Mereka adalah
tiga orang Hwesio dan seorang kakek berbaju hitam yang kurus kecil.
Kakek berbaju hitam itu cukup dikenal Bong Thian-gak,
sebab dia tak lain adalah Long Jit-seng.
Dari ketiga orang Hwesio lainnya, orang yang berada di
tengah adalah seorang Hwesio tua berwajah kuning emas
646 yang memelihara jenggot sepanjang dada, kedua alis matanya
juga memanjang ke telinga.
Yang aneh adalah kulit badan Hwesio tua ini pun berwarna
kuning keemas-emasan, alis mata serta jenggotnya juga
berwarna kuning emas, tak bisa disangkal lagi orang itu
adalah Hong-kong Hwesio, si pedang sinar kuning.
Di sisi kiri dan kanan Hwesio tua itu masing-masing berdiri
seorang Hwesio tua yang jenggotnya hitam sepanjang dada,
Bong Thian-gak tahu kedua orang ini tentu murid Hong-kong
Hwesio, hanya tak pernah disangka kedua muridnya pun
berusia setengah abad lebih.
"Omitohud! Siancay, Siancay ... ternyata Sicu telah
membunuh Thia-tayhiap."
Hong-kong Hwesio berbicara dengan suara rendah dan
berat, sikap yang serius dan setiap patah katanya cukup
menggetarkan perasaan Bong Thian-gak.
Sementara kesepuluh orang pelindung hukum Hiat-kiambun
telah berdatangan secara beruntun, mereka
menempatkan diri di kedua sisi Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak memandang sekejap mayat Thia Leng-juan
yang tergeletak di atas tanah, kemudian ujarnya dingin,
"Apabila Hong-kong Hwesio mengetahui asal-usulnya, tentu
kau akan beranggapan bahwa kematian Thia leng-juan sudah
semestinya dia terima."
"Siancay, Siancay! Sicu telah salah membunuh orang," ucap
Hong-kong Hwesio dengan suara dalam. "Sesungguhnya Thia
Leng-juan adalah seorang Enghiong sejati, dia dapat
direndahkan, dapat pula menyesuaikan diri dengan keadaan.
Pembunuhan yang Sicu lakukan terhadap dirinya sungguh
merupakan suatu kejahatan yang patut disesalkan."
Bong Thian-gak tertawa dingin, "Aku membunuhnya karena
perbuatan jahat yang ia lakukan sudah kelewat batas. Kalau
647 kau menuduh aku salah membunuhnya, apakah perbuatannya
mencelakai sahabat serta saudara-saudaranya bukan suatu
perbuatan yang keji?"
Long Jit-seng yang berdiri di sisi arena mendadak tertawa
seram, lalu menimbrung, "Bong Thian-gak, apakah
kedatanganmu ini bermaksud hendak mengajak aku masuk
Hiat-kiam-bun?"
Bong Thian-gak segera menarik muka.
"Hiat-kiam-bun tak akan membiarkan manusia licik yang
berbicara lain di mulut lain di hati semacam kau untuk tetap
hidup di dunia ini."
"Orang she Bong," Long Jit-seng tertawa dingin. "Kau tidak
seharusnya membunuh Thia Leng-juan di kuil Hong-kong-si."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Sejak beberapa hari lalu, aku sudah tahu kau hendak
memperalat kekuatan Hong-kong Hwesio dan muridnya untuk
melenyapkan aku, itulah sebabnya sudah beberapa hari aku


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat persiapan di sekitar kuil Hong-kong-si untuk menanti
Thia Leng-juan masuk perangkap, kemudian dengan cara
demikian akan kupancing keluar Hong-kong Hwesio dan
murid-muridnya. Coba kau bayangkan" Apakah rencana
dengan memasang perangkap semacam ini merupakan
perbuatan yang keliru."
Diam-diam Long Jit-seng terkejut, tapi dengan cepat dia
telah tertawa licik kembali, sahutnya, "Betul, memang tak
keliru, aku yang telah memandangmu terlalu rendah."
"Omitohud!" sekali lagi Hong-kong Hwesio memuji
keagungan sang Buddha, "bila Long Jit-seng bermaksud
memancing kemunculan kami guru dan murid membuka
pantangan membunuh, mungkin Hong-kong Hwesio tak akan
memenuhi harapannya, namun Sicu telah membunuh ThiaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
648 tayhiap, jadi terpaksa kami guru dan murid benar-benar akan
membuka pantangan membunuh."
"Mana ... mana, sebagai seorang pendeta, kau ingin
mencampuri pula urusan pertikaian dunia persilatan, cepat
atau lambat pasti akan kau langgar juga pantangan
membunuh itu."
"Sudah hampir lima puluh tahun lamanya Pinceng menutup
diri hidup mengasingkan diri dari keramaian dunia persilatan,
sungguh tak disangka orang-orang Bu-lim telah berubah
menjadi lebih buas dan ganas."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Kalau hidup mengasingkan diri dalam lingkungan
masyarakat, siapakah yang bisa melepaskan diri dari
keramaian dunia" Tak heran kau mungkin bersembahyang
setiap hari, namun belum bisa melepaskan diri dari pikiran
keduniawian."
Hati Hong-kong Hwesio bergetar mendengar perkataan itu,
mencorong tajam matanya mengawasi wajah Bong Thian-gak
lekat-lekat. "Siancay, Siancay! Bila kuamati panca-indra Sicu serta
pancaran kegagahan dari wajahmu, sama sekali tidak mirip
seperti manusia buas yang berhati keji, tapi mengapa Sicu
justru membunuh Thia-tayhiap?"
Tiba-tiba Bong Thian-gak menarik muka, kemudian berkata
dengan suara lantang, "Biarpun Thia Leng-juan terhitung anak
murid Siau-lim-pay, tapi perbuatannya justru merusak nama
baik perguruan, dia telah berkhianat serta mengabungkan diri
dengan pihak Put-gwa-cin-kau membantu kaum sesat dan
kaum laknat melakukan berbagai kejahatan mencelakai umat
persilatan dan membunuh kaum pendekar, apakah aku tak
pantas membunuh manusia semacam ini?"
649 "Omitohud, apakah Sicu mempunyai bukti yang
meyakinkan?" tanya Hong-kong Hwesio.
"Tiga tahun berselang, Thia Leng-juan telah berkhianat dan
menjual Ho Put-ciang serta puluhan jago persilatan yang
berada dalam gedung Bu-lim Bencu, apakah bukti ini belum
cukup kuat?"
Hong-kong Hwesio segera menggeleng kepala, katanya,
"Apakah Sicu mengetahui dengan pasti kisah yang sebenarnya
sampai seluruh orang dalam gedung Bu-lim Bengcu di kota
Kay-hong ditumpas orang pada tiga tahun berselang?"
Bong Thian-gak tertegun mendengar pertanyaan itu,
kemudian dengan kening berkerut dia berkata, "Aku memang
tidak mengetahui apa sebabnya gedung Bu-lim Bengcu di kota
Kay-hong sampai tertumpas, namun menurut hasil
penyelidikanku, kecuali Thia Leng-juan, segenap jago dalam
gedung Bu-lim Bengcu pada waktu itu tidak diketahui
nasibnya, sampai sekarang mati hidup mereka pun tetap
merupakan teka teki."
"Oleh karena itu Thia Leng-juan menjadi orang yang paling
dicurigai membunuh kawanan jago itu, apalagi sebelum
ajalnya tiba tadi,
Thia Leng-juan juga mengakui bahwa dialah yang telah
membunuh Ho Put-ciang serta yang lain-lain."
"Ai, Sicu betul-betul telah salah membunuh orang," Hongkong
Hwesio menghela napas sedih, "Thia Leng-juan pernah
menceritakan kisah yang sesungguhnya sampai gedung Bu-lim
Bengcu ditumpas orang, ai, kematian Thia-tayhiap benarbenar
kelewat mengenaskan!"
Helaan napas berulang kali Hong-kong Hwesio membuat
perasaan Bong Thian-gak bergetar keras, diam-diam dia
bertanya pada diri sendiri, "Mungkinkah aku telah salah
membunuh" Mungkinkah Thia Leng-juan adalah seorang
baik?" 650 Dengan cepat Bong Thian-gak membayangkan kembali
setiap gerak-gerik, setiap perkataan yang diucapkan Thia
Leng-juan menjelang ajalnya tiba.
Dia memang merasa banyak hal yang mencurigakan, akan
tetapi Bong Thian-gak tidak habis mengerti, bila Thia Lengjuan
memang bersih dan tidak merasa bersalah, apa sebabnya
dia pasrah kepada nasib dan bersedia menerima kematian"
Mungkin Thia Leng-juan mempunyai kesulitan yang tak
mungkin bisa diutarakan" Tapi bukankah dia sendiri mengakui
telah membunuh Toa-suheng sekalian"
Bong Thian-gak benar-benar merasa amat resah, masgul
dan murung, terutama sekali terhadap kata-kata terakhir Thia
Leng-juan menjelang ajalnya tadi, " ... besar kemungkinan Ho
Put-ciang sekalian belum mati."
Yang membuatnya ragu dan tak menentu sekarang adalah
perkataan Thia Leng-juan itu, benarkah" Atau omong kosong"
Sekarang Bong Thian-gak sedikit menyesal, dia
menyesalkan apa sebabnya tidak membuat duduk persoalan
menjadi jelas lebih dulu sebelum menindak Thia Leng-juan.
Padahal Bong Thian-gak sendiri sama sekali tidak
menyangka Thia Leng-juan bakal tewas di tangannya.
Thia Leng-juan pun terhitung seorang jago persilatan kelas
satu dalam Bu-lim, kendatipun dia tak bisa meloloskan diri dari
serangan Bong Thian-gak, namun mustahil dia bisa tewas
hanya dalam satu gebrakan saja.
Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian
bertanya, "Hong-kong Locianpwe, benarkah aku telah salah
membunuh Thia Leng-juan?"
Hong-kong Hwesio menghela napas, "Thia-tayhiap tak
seharusnya tewas dalam keadaan demikian, dia harus
mengungkapkan kenyataan sebenarnya peristiwa dunia
persilatan sebelum mati."
651 "Dapatkah Hong-kong Locianpwe menerangkan duduk
persoalan ini lebih jelas lagi?" tanya Bong Thian-gak dengan
kening berkerut kencang.
Tiba-tiba mencorong sinar membunuh yang amat tebal dari
balik mata Hong-kong Hwesio, dia berkata, "Sicu telah
membunuh Thia-tayhiap, apa lagi yang bisa dibicarakan
sekarang?"
Bong Thian-gak dapat pula menangkap sorot mata Hongkong
Hwesio itu, maka dia pun balik bertanya, "Hwesio tua,
apa yang hendak kau lakukan?"
"Nyawa manusia tak ternilai harganya, Sicu telah
membunuh orang, maka kau harus memberi keadilan pula
bagi umat persilatan."
"Bila Lohwesio ingin membalas dendam bagi kematian Thia
Leng-juan, kuanjurkan lebih baik urungkan saja niatmu itu,"
ucap Bong Thian-gak dingin.
"Rupanya Sicu beranggapan Lolap tak sanggup menghabisi
nyawamu?" "Bila Lohwesio ingin membunuh aku, kemungkinan besar
kau harus mengorbankan tenaga yang amat besar, namun
sebelum aku roboh ke atas tanah, mungkin kau sudah
kehabisan tenaga untuk menghadapi musuh tangguh yang
datang dari luar."
Baru selesai Bong Thian-gak berbicara, mendadak
terdengar suara gelak tawa yang amat keras bergema
memenuhi seluruh ruangan, gelak tawa itu mulanya berasal
dari atas atap rumah, tahu-tahu di tengah halaman telah
berdiri seorang lelaki kekar.
Orang itu bukan lain adalah jago nomor tiga Kay-pang, Han
Siau-liong. Setelah berdiri tegak, Han Siau-liong berkata dengan
lantang, "Ketajaman mata Jian-ciat-suseng sungguh
652 mengagumkan sekali, hahaha, hari ini aku Han Siau-liong akan
menantang kau berduel."
Bong Thian-gak tersenyum, "Mana ... mana, hari ini berapa
banyak jagoan yang telah Han-heng bawa serta?"
Setelah tertegun, Han Siau-liong menyahut sambil tertawa,
"Kurang lebih seratus orang dan sekarang seluruh kuil Hongkong-
si telah kami kepung."
"Apabila Han-heng bermaksud mencari Long Jit-seng,
orangnya berada di sini sekarang, Han-heng boleh
menangkapnya dengan segera," ucap Bong Thian-gak
tertawa. Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Jian-ciatsuseng
betul-betul memahami taktik perang."
"Jangan kelewat sungkan, bila Han-heng tidak turun tangan
dengan segera, bila Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau sampai
menyusul kemari, belum tentu pihakmu mempunyai
kemampuan untuk membekuk Hek-ki-to-cu."
Kembali Han Siau-liong tertawa kering, "Kau anggap pihak
Put-gwa-cin-kau pasti ada orang yang akan muncul ke sini?"
"Telinga umat persilatan saat ini dibentangkan lebar-lebar,
rahasia Hong-kong Hwesio bersama Hek-ki-to-cu mengenai
rahasia harta karun Mo-lay-cing-ong sudah bukan rahasia
pribadi lagi."
"Kalau begitu, aku seharusnya turun tangan terlebih
dahulu," Han Siau-liong tertawa.
"Tampaknya Han-heng kuatir orang she Bong akan menjadi
nelayan yang beruntung?"
"Betul, aku memang menguatirkan hal ini."
Bong Thian-gak tersenyum, "Bila Han-heng tidak turun
tangan lebih dulu, kemungkinan besar kau akan didahului
orang lain."
653 "Siapa yang akan mendahului diriku?" tanya Han Siau-liong.
"Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian."
Selesai perkataan itu, dari tengah ruangan telah
berkumandang suara seorang bernada dingin, "Bocah keparat,
kau betul-betul sangat lihai, sampai-sampai jejakku pun kau
ketahui." Suara itu hanya melambung di angkasa, tak nampak
sesosok bayangan orang pun yang muncul.
Paras muka Hong-kong Hwesio serta Han Siau-liong yang
berada di tengah arena berubah hebat, nama besar Mo Huithian
cukup termasyhur dalam Bu-lim dewasa ini.
Kembali Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, suaranya
keras dan memekakkan telinga, kemudian dia berkata,
"Hahaha, semenjak beberapa hari lalu aku sudah tahu Molocianpwe
ada maksud mencari diriku, oleh sebab itu untuk
menghindari usaha Toa-cengcu melancarkan serangan keji,
terpaksa aku pun menguntitmu lebih dulu. Hahaha, Toacengcu
seperti sudah terpikat oleh harta karun Mo-lay-cingong
sehingga lupa menyusahkan diriku."
Hong-kong Hwesio memuji keagungan sang Buddha,
kemudian pelan-pelan berkata, "Mo Hui-thian, sudah puluhan
tahun kita tak bersua, Lohwesio kangen sekali kepadamu."
Dari keheningan udara kembali berkumandang suara Toacengcu
Kim-liong-kiam-san-ceng.
"Hwesio tua sahabat karibku, aku dengar peta harta karun
itu berada di sakumu, entah bersediakah kau meminjamkan
sebentar kepada sahabatmu ini?"
"Omitohud, siapa bilang tak boleh" Kalau sobat karib yang
meminjam, aku yakin tentu akan dikembalikan."
654 Mendadak Han Siau-liong berkata kepada Bong Thian-gak,
"Bong-N buncu, tampaknya untuk sementara waktu kita harus
menyingkirkan semua perselisihan pribadi di antara kita."
Bong Thian-gak tersenyum, "Han-heng, aku lihat watakmu
sudah banyak berubah."
"Ya, keadaan dan suasanalah yang memaksaku berbuat
demikian," ucap Han Siau-liong.
Kembali Bong Thian-gak tersenyum, "Pihak Hiat-kiam-bun
kami sama sekali tidak tertarik pada peta harta karun itu, tapi
... kami pun enggan membiarkan peta harta karun itu terjatuh
ke tangan partai atau perguruan mana pun, oleh karena itu
dia adalah musuh Hiat-kiam-bun kami, jika Han-heng berniat
merebut peta harta karun itu, bukankah kita akan segera
berubah menjadi musuh bebuyutan?"
"Bagus, bagus sekali," Han Siau-liong tertawa lebar,
"pendapat Bong-buncu memang persis seperti pendapatku,
tapi berbicara dari situasi yang kita hadapi sekarang,
tampaknya kita harus menjalin kerja sama."
"Bagaimana cara kita menjalin kerja sama?"
"Pertama-tama kita harus mencegah peta harta karun itu
jangan sampai terjatuh ke tangan siapa pun."
"Tapi peta harta karun itu berada di tangan siapa
sekarang?"
Menghadapi pertanyaan itu Han Siau-liong tertegun, ia
balik bertanya, "Bukankah peta itu berada di tangan Hongkong
Hwesio?" Mendadak dari tengah udara berkumandang lagi suara
teriakan Mo Hui-thian, "Hwesio tua sahabat karibku, mengapa
kau tidak berhasil menemukan peta harta karun itu?"
655 "Omitohud, Mo-cengcu, sampai sekarang mengapa kau
masih belum juga menampakkan diri?" Hong-kong Hwesio
berkata. Tiba-tiba Han Siau-liong berpaling ke arah Bong Thian-gak
dan bertanya sambil tertawa, "Bong-buncu, apakah kau tahu
Mo-loji dimana bersembunyi?"
Bong Thian-gak tersenyum.
"Menurut berita dalam Bu-lim, Toa-cengcu ibarat naga sakti
di balik mega yang nampak kepala tak nampak ekor, setelah
berjumpa hari ini terbukti bahwa namanya memang bukan


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nama kosong belaka, hingga sekarang aku masih belum
menemukan tempat persembunyiannya, artinya kita berdua
telah menderita kekalahan di tangannya malam ini."
Mendengar ucapan itu, Han Siau-liong tertawa terbahak,
"Hahaha, bila ia tidak juga menampakkan diri, selamanya
jangan harap dia bisa melepaskan serangan pedangnya untuk
melukaiku."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Menurut cerita orang, selama bertarung Mo Hui-thian tidak
pernah melancarkan serangan kedua, sebab saat dia
menampakkan diri, musuh sudah roboh terlebih dahulu karena
tertusuk, konon kecepatan gerak pedangnya tidak berada di
bawah kemampuan Liu Khi."
"Aku dengar Liu Khi sudah bertarung melawan Bonglumen?"
tiba-tiba Han Siau-liong bertanya.
"Aku tak lebih hanya mencoba pisau terbang daun Lilinya
?aja/' kata Bong Thian-gak tertawa.
"Liu Khi dari partai kami memiliki jurus serangan yang
nangat lihai dan kelihaiannya terletak pada permaianan golok
mustika ynnK tersoreng di pinggangnya itu."
656 "Ya, aku pun pernah mendengar orang membicarakan hal
itu," Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Menurut pendapat Bong-buncu, mungkinkah antara Hongkong
Hwesio dengan Mo-loji telah terjalin suatu hubungan
yang sangat akrab dan sehidup semati?"
"Ah, aku rasa mereka hanya saling memanfaatkan
kelebihan lawan, padahal keduanya sama-sama mempunyai
rencana tertentu," jawab Bong Thian-gak sambil sengaja
meninggikan suaranya.
Han Siau-liong tertawa, "Hahaha, kalau begitu di antara
kita tak ada seorang pun yang berani turun tangan."
"Apakah Han-heng masih sanggup menahan diri dan
menunggu lebih lama?"
"Bila Siaute sudah memperoleh persetujuan Bong-buncu,
tentu saja tak akan menunggu lebih lama." Bong Thian-gak
tersenyum. "Dengan kekuatan kita berdua, rasanya hanya mampu
untuk melawan Hong-kong Hwesio dan muridnya, apakah
Han-heng tidak kuatir Mo Hui-thian akan menjadi si nelayan
yang beruntung?"
"Siaute tidak percaya Hong-kong Hwesio dan muridnya
begitu sukar dilawan."
Bong Thian-gak tertawa ringan.
"Kalau begitu dengan kemampuan Han-heng seorang pun
sudah cukup untuk melawan Hong-kong Hwesio dan
muridnya, buat apa kau mesti mengajak aku bekerja sama?"
"Yang kukuatirkan adalah Mo Hui-thian yang berada di sisi
arena." "Bukankah dari pihak kalian masih ada Liu Khi?" tegur Bong
Thian-gak sambil tersenyum.
657 Han Siau-liong tertegun mendengar perkataan itu,
kemudian katanya sambil tertawa kering, "Wah, tampaknya
Bong-buncu bukan orang tolol."
"Mana ... mana," Bong Thian-gak mengangguk, "tahu diri,
tahu keadaan lawan, setiap pertarungan baru bisa
dimenangkan dengan sukses dan gemilang."
"Sekali pun Bong-buncu tak bersedia bekerja sama, dengan
kemampuanmu seorang rasanya juga susah menguasai
keadaan." Bong Thian-gak tertawa.
"Seandainya aku bekerja sama dengan Mo Hui-thian atau
Hong-kong Hwesio beserta muridnya untuk melawan kalian,
mungkinkah bagi Han-heng serta Liu Khi meraih keuntungan
besar?" Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, sayang sekali Bong-buneu telah membunuh Thia
Leng-juan, kalau tidak, aku memang patut menguatirkan kerja
samamu dengan Hong-kong Hwesio."
Sekali lagi Bong Thian-gak tersenyum.
"Biarpun Hong-kong Hwesio ingin membalas dendam bagi
kematian Thia Leng-juan, namun peta harta karun jauh lebih
penting artinya daripada membalas dendam, oleh sebab itulah
hingga sekarang Hong-kong Hwesio masih belum berani
bertindak secara sembarangan, masakah Han-heng tidak
melihat?" Sesungguhnya Han Siau-liong telah berusaha keras
memeras otak menarik Bong Thian-gak demi kepentingan
pihaknya, selain dipakai juga untuk menghadapi Hong-kong
Hwesio, tapi Bong Thian-gak bukan orang bodoh, ia cukup
memahami maksud dan tujuan Han Siau-liong yang
sebenarnya. Alhasil usaha Han Siau-liong pun menjadi sia-sia belaka.
658 Di pihak lain, Hong-kong Hwesio sendiri pun bukan orang
sembarangan, ia cukup tahu setiap orang yang bersembunyi
di sekitar kuil Hong-kong-si pada malam ini merupakan jagojago
persilatan yang lihai. Bila dia berani menyerang satu di
antaranya, niscaya pihaknya akan menjadi sasaran
pengeroyokan orang lain.
Setelah melalui pengamatan seksama, ia dapat merasakan
bahwa musuh yang paling tangguh saat ini tak lain adalah
Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak.
Sementara itu dari tengah udara kembali berkumandang
suara Mo Hui-thian, "Hwesio sahabat karib, sudah hampir
enam puluh tahun kita berkenalan, masa kau tidak bersedia
membagi sebagian harta itu kepadaku" Keadaan sekarang
sudah jelas, dengan kemampuan kalian beberapa orang
rasanya sulit untuk mempertahankan peta harta karun itu,
asal Lohwesio menyetujui, aku pun bersedia mengerahkan
semua kekuatan kami guna bersama-sama menghadapi partai
pengemis, Put-gwa-cin-kau serta Hiat-kiam-bun."
Baru selesai perkataan Mo Hui-thian tadi, dari sisi sebelah
barat wuwungan rumah tiba-tiba melintas cahaya putih
secepat sambaran kilat menyambar ke atas pohon waru tepat
di hadapannya. Kecepatan cahaya itu sangat luar biasa, sekilas tahu-tahu
sudah lenyap dari pandangan mata.
Mendadak dari atas pohon waru berkelebat kembali
sesosok bayangan orang yang melayang turun ke tengah
halaman. Baik Bong Thian-gak maupun Han Siau-liong
mendongakkan kepala.
Ternyata orang yang baru saja melayang turun adalah
seorang kakek berbaju abu-abu berbadan bungkuk,
menyoreng sebilah pedang antik serta mengenakan kaca mata
berbentuk antik.
659 Dari potongan badannya, siapa pun akan menduga dia
adalah Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng yang sudah
puluhan tahun termasyhur dalam dunia persilatan dan lebih
dikenal orang sebagai si Naga di balik mega Mo Hui-thian.
Agaknya Mo Hui-thian kena dipaksa menampakkan diri oleh
lintasan cahaya putih tadi, dia nampak marah sekali, dengan
suara dingin menyeramkan dia membentak, "Liu Khi, malam
ini aku telah merasakan kelihaian pisau terbangmu, mengapa
kau tak menampakkan diri mencoba sejurus pedang
terbangku?"
Sementara itu di atas wuwungan rumah sesosok bayangan
orang berbaju hitam berdiri kaku di sana, tidak terlihat
bagaimana dia menekuk lutut, tahu-tahu dia sudah melayang
turun dan hinggap di sisi Han Siau-liong.
Kemudian dengan pandangan dingin dia memandang
sekejap ke arah Mo Hui-thian, setelah itu katanya, "Mo-loji,
kau bisa menghindari pisau terbangku dengan selamat, hal ini
sungguh membuat aku merasa sangat kagum."
Han Siau-liong yang berada di samping segera menimbrung
pula sambil tertawa, "Liu-susiok, aku dengar ilmu silat Mo Huithian
sangat hebat, tapi yang paling menonjol adalah
kemampuannya melukai orang secara diam-diam dengan
pedangnya. Sekarang dia telah dipaksa oleh pisau terbang
Susiok menampakkan diri, aku pikir, inilah kesempatan baik
bagiku untuk mencoba ilmu pedangnya."
Seraya berkata, Han Siau-liong segera melintangkan
pedang baja raksasanya di depan dada, lalu teriaknya, "Motoacengcu,
Han Siau-liong dari partai pengemis ingin mencoba
kepandaian ilmu pedangmu yang konon dianggap orang
sebagai ilmu pedang nomor wahid di kolong langit."
Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian memang
pernah disebut orang sebagai jagoan nomor wahid di dunia,
660 Han Siau-liong ternyata berani menantangnya bertarung,
boleh dibilang tindakan ini sangat berani.
Mo Hui-thian sama sekali tidak menggubris Han Siau-liong,
malah mengawasi Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak dari ujung
kepala hingga kaki, kemudian dengan acuh tak acuh dia
berkata, "Ilmu pedangmu masih belum pantas melawanku,
kau percaya atau tidak terserah kepadamu sendiri."
Han Siau-liong mendongakkan kepala, lalu tertawa
terbahak-bahak, "Hahaha, kalau aku belum pantas, siapa yang
pantas?" Mo Hui-thian menuding Bong Thian-gak sambil menjawab,
"Dia masih cukup pantas bertarung beberapa jurus
melawanku."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu tersenyum.
"Ah, terlalu sungkan, sungguh tak kusangka Mo-toacengcu
memandang tinggi diriku."
"Sudah semenjak tadi aku tertarik kepadamu, beberapa
puluh hari lalu kau pernah mengalahkan putra sulungku, maka
aku berencana membayar dengan sebuah tusukan pula
kepadamu."
"Aku akan menerima petunjukmu itu dengan senang hati,"
Bong Thian-gak menjawab dingin.
Dalam waktu singkat situasi di tengah arena berubah, kini
Bong Thian-gak sudah menjadi musuh Hong-kong Hwesio
serta Mo Hui-thian.
Han Siau-liong serta Liu Khi dari Kay-pang merupakan
orang-orang yang berakal tajam, mereka tahu situasi yang
mereka hadapi sekarang sudah menguntungkan pihaknya,
maka sambil berpeluk tangan mereka menantikan perubahan
selanjutnya dari sisi arena.
661 Sepuluh pelindung hukum Hiat-kiam-bun masing-masing
telah melolos pedang yang bersinar tajam dari pinggangnya,
serentak mereka bergerak membentuk barisan berbentuk
setengah lingkaran untuk melindungi Bong Thian-gak.
Pada dasarnya kesepuluh orang pelindung hukum Hiatkiam-
bun merupakan jago-jago kelas satu di Bu-lim, apalagi
selama beberapa hari belakangan ini Bong Thian-gak telah
mewariskan serangkaian ilmu pedang yang aneh kepada
mereka, boleh dibilang orang-orang itu sudah terlatih menjadi
seorang pengawal yang sangat tangguh.
Tapi Bong Thian-gak cukup tahu bahwa kesepuluh orang
pelindungnya masih belum cukup mampu untuk melawan
tokoh sakti seperti Mo Hui-thian.
Maka dia segera membentak dengan cepat, "Sepuluh
pelindung hukum, harap mundur!"
Baru saja dia berseru, mendadak Mo Hui-thian telah
berseru lebih dulu sambil tertawa dingin, "Sayang terlalu
lambat!" Baru selesai dia berkata, tubuh Mo Hui-thian sudah
menerjang kemuka.
Cahaya pedang berkelebat dan ... "Blum".
Jeritan ngeri berkumandang memecah keheningan malam,
seorang pelindung hukum Hiat-kiam-bun sudah tertusuk
perutnya, darah segar segera menyembur keluar seperti
pancuran, setelah tubuhnya gontai beberapa kali, akhirnya dia
roboh tak bernyawa lagi.
Berhasil membacok seorang korban, Mo Hui-thian maju
selangkah ke depan, cahaya tajam kembali berkelebat
menyapu seorang yang lain.
Oleh karena serangan pedang yang dilancarkan Mo Huithian
kelewat cepat, pada hakikatnya Bong Thian-gak serta
para pelindungnya tak sempat lagi memberikan pertolongan.
662 "Blus", lagi-lagi seorang korban roboh bergelimpangan di
tanah dengan perut robek dan usus berhamburan kemanamana,
darah segar berceceran membasahi seluruh permukaan
tanah. Pelindung hukum kedua telah roboh binasa.
Pada saat korban pertama roboh, korban kedua menyusul
pula roboh terkapar, boleh dibilang peristiwa itu hampir pada
saat yang bersamaan.
Kaki kanan Mo Hui-thian maju setengah langkah,
pedangnya berputar kembali dan kali ini membacok pelindung
hukum ketiga yang berdiri di sebelah kanan.
Tapi Mo Hui-thian kali ini tidak berhasil dengan sasarannya,
sebab baru saja jurus pedangnya dilancarkan, sebuah lengan
seperti cakar burung garuda telah mencengkeram
pergelangan tangan kanannya.
Bagi orang yang belajar ilmu silat, urat nadi adalah bagian
penting yang mematikan di tubuh manusia, di samping dua
jalan darah kematian lainnya, apalagi kelima jari tangan yang
mencengkeramnya membawa desingan angin serangan yang
tajam dan menyayat bagaikan bacokan pedang.
Oleh sebab itu mau tak mau Mo Hui-thian menarik kembali
pedangnya sambil melompat mundur.
Ketika mendongakkan kepala, tampak Jian-ciat-suseng
Bong Thian-gak dengan wajah kereng dan serius sedang
mengawasi dua sosok mayat yang terkapar di tanah,
kemudian terdengar ia bertanya dengan suara pelan, "Ang
Teng-siu, apakah yang menjadi korban adalah Pui Se-hiong
serta Lay Siong-han?"
"Lapor Buncu," segera jawab Ang Teng-siu dengan sedih,
"mereka Pui Se-hiong serta Lay Siong-han."
"Selama Pui Se-hiong dan Lay Siong-han menyusup ke
dalam Put-gwa-cin-kau, entah berapa kali mereka harus
663 menghadapi ancaman bahaya maut dan berada di antara
hidup dan mati, namun setiap kali mereka selalu berhasil


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelamatkan diri, sungguh tak kusangka baru pertama kali
turut aku terjun ke gelanggang, mereka harus menemui ajal
secara mengenaskan, aku ... aku merasa amat bersalah dan
malu terhadap mereka."
Ketika mengutarakan kata-katanya yang terakhir, suara
Bong Thian-gak terdengar gemetar, dari sini bisa diketahui
betapa sedih dan murungnya dia.
Sepasang mata Ang Teng-siu pun turut berkaca-kaca, tapi
dia sempat berkata dengan suara nyaring, "Harap Buncu
jangan bersedih, kami sepuluh pelindung hukum sudah
bersumpah akan mendampingi Buncu hingga titik darah
penghabisan, setiap saat kami rela berkorban demi Buncu."
Dari balik mata Bong Thian-gak mendadak mencorong sinar
mata tajam yang menggidikkan, ditatapnya wajah Mo Huithian
lekat-lekat, kemudian ujarnya dengan suara dingin, "Mo
Hui-thian, Hiat-kiam-bun sudah bersumpah tak akan hidup
berdampingan denganmu."
Terkesiap Mo Hui-thian menyaksikan sorot mata Bong
Thian-gak yang menggidikkan hati itu, ia berpikir dalam hati,
"Oh, betapa mengerikan sorot mata orang ini!"
Berpikir demikian, dia lantas tertawa dingin dengan suara
yang menyeramkan, kemudian serunya, "Sejak kau berhasil
mengalahkan putraku, aku sudah mempunyai ikatan dendam
sedalam lautan dengan Hiat-kiam-bun."
"Mo Hui-thian, mengapa kau tidak mengangkat pedangmu
untuk membacok kemari?"
"Kau anggap aku tak berani?" jengek Mo Hui-thian sambil
tertawa dingin.
Tubuhnya secepat anak panah menerjang tiba.
664 Cahaya pedang berkelebat, pedang di tangan kanannya
segera membacok ke muka, desingan angin tajam menyapu
tiba dari sisi sebelah kiri.
Pada hakikatnya jurus serangan yang dipergunakan
olehnya itu sangat aneh, sakti dan luar biasa.
Terutama sekali dalam hal kecepatan, boleh dibilang sukar
membuat orang melihat dengan jelas bagaimanakah serangan
itu dilancarkan.
"Sret", bayangan orang tahu-tahu telah melejit dari bawah
cahaya pedang. Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak sudah melompat mundur,
pakaian bagian dadanya sudah tersambar robek, koyakan
kainnya berkibar ketika terhembus angin.
Mo Hui-thian memandang sekejap mata pedang di tangan
kanannya dengan pandangan tertegun, wajahnya penuh rasa
kaget dan keheranan, setelah itu katanya dengan suara
sedingin salju, "Sastrawan cacat, kau adalah orang pertama
dalam Bu-lim yang berhasil meloloskan diri dari jurus
seranganku."
Mo Hui-thian disebut orang sebagai jago pedang kelas satu
dalam Bu-lim, sudah barang tentu kematangan dan
kesempurnaannya dalam permainan pedang luar biasa hebat,
tapi setiap jago yang berada dalam arena dapat menyaksikan
bahwa permainan pedangnya ternyata masih jauh lebih lihai
dari apa yang dibayangkan semula.
Mo Hui-thian memang cukup pantas disebut orang sebagai
jago pedang nomor wahid dalam Bu-lim.
Sejak Han Siau-liong, Liu Khi serta Hong-kong Hwesio
sekalian menyaksikan jurus pedang yang dipergunakan Mo
Hui-thian untuk menyerang Bong Thian-gak, boleh dibilang
semua sependapat.
665 Tiba-tiba Han Siau-liong tertawa nyaring.
"Hahaha, ilmu pedang bagus, ilmu pedang bagus, malam
ini aku orang she Han benar-benar telah bertambah
pengalaman."
Setelah berhenti sejenak, dia menyambung, "Motoacengcu,
dapatkah kau memberitahukan kepada kami, jurus
pedang apakah yang kau pergunakan itu?"
Sambil tertawa bangga sahut Mo Hui-thian, "Itulah ilmu
pedang Wi-liong-kiam-hoat (ilmu pedang ekor naga), satu di
antara tiga belas jurus ilmu pedang ekor naga hasil ciptaan
orang she Mo."
"Lihai, benar-benar sangat lihai," seru Han Siau-liong
sambil tertawa, "bila serangan pedang tadi sedikit maju,
niscaya usus Jian-ciat-suseng sudah berhamburan kemanamana."
"Biarpun dia mampu meloloskan diri dari serangan
pertama, kedua dan selanjutnya dari ilmu pedang ekor
nagaku, tapi jangan harap dia bisa lolos dari ketiga belas jurus
ilmu pedang ekor naga yang kuciptakan ini."
Han Siau-liong tertawa lebar.
"Wah, kalau begitu Jian-ciat-suseng sudah dapat dipastikan
akan mampus."
"Asal aku berhasrat membunuhnya, aku rasa dia memang
sulit untuk lolos dalam kematian."
Tiba-tiba Han Siau-liong tertawa dingin, "Mo-toacengcu,
aku pikir kau mesti menyiapkan langkah mundur bagi
perkataanmu itu."
"Mengapa harus begitu?"
Sekali lagi Han Siau-liong tertawa mengejek, "Seandainya
Jian-ciat-suseng terbukti tidak mampus oleh tiga belas jurus
ilmu pedang ekor nagamu, apakah Mo-toacengcu berani
666 mengatakan bahwa engkaulah yang tidak tega
membunuhnya?"
Mo Hui-thian mendengus dingin.
"Han Siau-liong," ia berteriak, "jika kau tidak percaya
dengan ilmu pedangku, mengapa tidak kau coba sendiri turun
ke gelanggang."
"Mo-toacengcu tak usah terburu napsu, cepat atau lambat
pihak Kay-pang pasti akan berhadapan denganmu."
Sementara itu Bong Thian-gak masih berdiri tegak di
tempat semula dengan wajah sedingin es setelah ia menerima
serangan kilat Mo Hui-thian tadi.
Dia seolah-olah sedang memikirkan suatu masalah atau
bisa jadi nyalinya sudah dibuat keder atas kelihaian musuh.
Sementara Han Siau-liong dan Mo Hui-thian masih
berbincang-bincang, dia hanya berdiri tanpa bicara ataupun
melakukan sesuatu perbuatan.
Tiba-tiba sekilas perasaan girang melintas di wajah Bong
Thian-gak, dia seperti orang yang tersesat di tengah gurun
pasir dan secara kebetulan menemukan sumber mata air yang
bening, mukanya berseri-seri dan semangatnya berkobar
kembali. Mendadak ia berteriak nyaring, "Mo Hui-thian, mengapa
kau tidak lagi melancarkan seranganmu yang kedua?"
Dengan cepat Mo Hui-thian berpaling, hatinya kontan
bergetar keras menyaksikan perubahan mimik Bong Thiangak,
segera pikirnya, "Kalau dilihat dari raut wajahnya yang
berseri-seri dan nampak sangat gembira, jangan-jangan dia
telah berhasil memecahkan perubahan jurus pedangku?"
Berpikir demikian, dengan sikap sangat hati-hati namun
ingin tahu, Mo Hui-thian bertanya lagi, "Apakah kau sudah
menemukan sesuatu rahasia?"
667 "Betul," Bong Thian-gak mengangguk, "aku telah berhasil
tahu rahasia jurus pedang ilmu ekor nagamu itu."
"Hehehe, masakah begitu" Aku kurang percaya," jengek Mo
Hui-thian sambil tertawa seram.
"Ilmu pedang ekor nagamu berdasarkan kecepatan dan
keanehan dalam gerakan, kalau dibilang cepat, kecepatannya
sanggup membuat orang tidak percaya, dibilang aneh,
keanehannya mencapai taraf yang luar biasa sekali. Bagi
seorang yang belajar silat, memang sulit untuk melatih diri
hingga mencapai tingkat kecepatan serta keanehan seperti
apa yang kau miliki sekarang, bahkan berlatih sampai mati
pun belum tentu sanggup mencapainya, kenyataan kau
mampu melakukannya. Kau sungguh pintar, ternyata bisa
menggunakan teknik dan taktik yang tinggi untuk
menggenggam pedangmu secara bergantian antara tangan
kiri dan kanan."
Han Siau-liong yang mendengar perkataan Bong Thian-gak
itu segera manggut-manggut seakan-akan baru memahami
akan sesuatu, dia menyela, "Ya, betul, ilmu pedang ekor naga
milik Mo-toacengcu memang merupakan teknik pertukaran
antara genggaman tangan kiri dan kanan."
Berubah paras muka Mo Hui-thian mendengar perkataan
itu, pelan-pelan dia berkata, "Sungguh tak kusangka kau telah
berhasil memahami teknik permainan pedangku, hehehe,
sayangnya, walaupun kau sudah tahu rahasia pergantian
tangan kiri dan kananku, namun bagaikan sedang bermimpi
bila ingin lolos dari serangan ketiga belas jurus ilmu pedang
ekor nagaku dengan selamat."
"Kalau memang begitu, silakan saja kau lancarkan
seranganmu!" tantang Bong Thian-gak sambil tersenyum.
Mo Hui-thian tertawa dingin.
"Sekali pun kau ingin mampus, buat apa mesti terburuburu"
Tunggu sebentar lagi."
668 "Mo Hui-thian," ujar Bong Thian-gak kemudian dengan
suara sedingin salju, "sebetulnya dengan jurus pedangmu
yang aneh dan hebat, kau masih bisa mengalahkan diriku
dengan suatu serangan mendadak yang tidak terduga, tapi
sekarang kau sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk
mengungguli diriku."
"Kau yakin mampu menghindarkan diri dari ketiga belas
ilmu pedangku?" tanya Mo Hui-thian dengan nada tidak
percaya. "Aku takkan memberi kesempatan kepadamu untuk
melancarkan ketiga belas jurus serangan, pada saat kau
melepaskan serangan yang pertama, kemungkinan besar
pedangku telah berhasil merenggut nyawamu."
Seolah-olah baru saja mendengar sebuah lelucon yang
sangat menggelikan, Mo Hui-thian tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, selama beberapa puluh tahun aku berkecimpung
dalam bu-lim, tak pernah seorang pun sanggup mengungguli
satu jurus serangan pun dariku, ingin kulihat pada malam ini,
apa yang kau andalkan untuk mengungguliku?"
Baru selesai perkataan itu, jurus pedang Mo Hui-thian telah
dilancarkan. "Sret", cahaya pedang tahu-tahu sudah terhadang di
tengah jalan oleh kilatan cahaya pedang berwarna merah.
"Cring", desingan nyaring yang memekakkan telinga
bergema, sambil menarik kembali pedangnya, Mo Hui-thian
melompat mundur.
Bong Thian-gak berdiri sambil menghunus pedang darah,
hawa pedang yang menyelimuti senjata itu mengepul seperti
kabut yang menyelimuti pedang itu.
"Mo Hui-thian, baju bagian dadamu sudah kena tertusuk
sebanyak tiga buah oleh mata pedangku."
669 Paras muka Mo Hui-thian pada saat itu benar-benar amat
tak sedap dipandang, ia amat tekejut, ngeri, takut, sedih,
kesal dan berbagai perasaan lainnya.
Mo Hui-thian menundukkan kepala memeriksa, tentu saja
dia tahu baju bagian dadanya telah bertambah dengan tiga
buah lubang pedang, sebab pada saat itu dia merasa kulit
badan dan bagian dadanya terasa perih dan sakit, bahkan ada
cairan pekat yang membasahi tubuhnya, sudah jelas banyak
darah yang bercucuran dari mulut luka itu.
Tapi dari sudut manakah pedang itu menyerang masuk ke
dalam tubuhnya"
Sekarang Mo Hui-thian baru betul-betul bisa merasakan
bahwa Jian-ciat-suseng memang benar-benar seorang musuh
tangguh yang belum pernah dijumpai sebelumnya, bisa jadi
nama besar yang telah dipupuknya selama ini akan hancur di
ujung pedang Jian-ciat-suseng itu.
Teringat akan hal itu, air muka Mo Hui-thian segera
berubah serius dan amat kereng, pedang disilangkan di depan
dada, semua kekuatan dihimpun dan bersiap menghadapi
segala kemungkinan.
Dengan menggenggam pedang darah di tangan
tunggalnya, Bong Thian-gak berkata lagi dengan hambar, "Mo
Hui-thian, tadi kau telah berhasil menusuk robek pakaian di
bagian perutku dan sekarang aku pun berhasil melubangi baju
bagian dadamu, menang kalah di antara kita pun aku rasa
sudah menjadi seri. Tapi kau mesti ingat, dalam bentrokan
berikut ini, bisa jadi di antara kita berdua bakal menderita
kekalahan total."
"Betul," jawab Mo Hui-thian dengan suara sedingin es,
"dalam bentrokan berikut, bisa jadi seorang di antara kita
bakal menemui ajal."
670 Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas panjang, lalu
bertanya dengan suara pelan, "Mo-toacengcu, yakinkah kau
mampu mengalahkan diriku?"
Mo Hui-thian tertawa dingin.
"Paling tidak harus makan banyak tenaga."
"Di saat kau berhasil mengalahkan aku, tentunya kau tak
akan mampu lagi menghadapi Liu Khi serta Han Siau-liong."
Perkataan itu tepat mengenai pikiran dan perasaan Mo Huithian,
sehingga untuk beberapa saat lamanya ia terbungkam.
Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, Bong-buncu memang sangat pandai
menggoyahkan mental dan iman orang lain, perkataanmu
barusan sungguh merupakan pukulan batin yang paling berat
baginya, cuma ... tujuan kita semua pada malam ini adalah
demi peta rahasia harta karun, bisa jadi kita semua harus
mengerahkan seluruh kekuatan untuk pertarungan antara
hidup dan mati."
"Han-heng, tahukah kau peta harta karun itu berada
dimana?" tanya Bong Thian-gak.
Sambil tertawa Han Siau-liong menjawab, "Persoalan ini
cukup kau tanyakan kepada Hong-kong Hwesio, dia pasti
tahu." "Kalau memang begitu, sudah sepantasnya bila Han-heng
segera turun tangan terhadap Hong-kong Hwesio dan
muridnya."
"Bong-buncu tak perlu kuatir," Han Siau-liong tertawa,


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"seratus orang lebih jagoan lihai dari Kay-pang telah
mengepung rapat kuil Hong-kong-si ini, jadi setiap orang yang
berada dalam kuil Hong-kong-si jangan harap bisa
meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat."
671 "Oh, rupanya Han-heng sudah membawa bala bantuan
yang begitu besar, tak heran kau tampak sangat tenang dan
yakin bakal berhasil."
"Ah, mana ... mana," Han Siau-liong tertawa, "Bong-buncu
bakal bekerja sama dengan Hong-kong Hwesio serta Motoacengcu
untuk menghadapi Kay-pang?"
Bong Thian-gak tersenyum.
"Bagi orang yang tahu keadaan dan bisa
mempertimbangkan untung ruginya, dia memang harus
berbuat demikian."
Mendengar perkataan ini, Han Siau-liong tertawa terbahakbahak
dengan nada menyeramkan, "Hahaha, sayang seribu
kali sayang, antara Bong Thian-gak dan Hong-kong Hwesio
maupun Mo-toacengcu sudah terjalin keretakan serta
permusuhan, ibarat api dengan air yang tak mungkin bisa
digabung."
"Hiat-kiam-bun dengan pihak Kay-pang pun ibarat api
dengan air," Bong Thian-gak tertawa.
"Kalau begitu Buncu sudah menjadi musuh besar beramairamai,
" kita bisa bekerja sama lebih dulu untuk
menghilangkan kau dari muka bumi."
"Tapi sayang, kalian tak berani berbuat demikian," Bong
Thian-gak menjengek sambil tertawa. "Mengapa?"
Bong Thian-gak tertawa dingin, lalu katanya, "Sebab siapa
saja di antara kalian bila ada yang berani menyerang diriku
lebih dulu, maka dia bakal terluka paling dulu di ujung
pedangku ini."
Bong Thian-gak telah berdiri pada posisi menguntungkan,
Pek-hiat-kiam disilangkan di depan dada, sementara dari
posisinya secara lamat-lamat memancar hawa membunuh
yang amat mengerikan.
672 Kalau tadi tiada orang yang memperhatikan hal itu, maka
sekarang semua orang telah memperhatikan posisi Bong
Thian-gak dengan seksama, diam-diam mereka terkejut.
Terutama Mo Hui-thian, tanpa terasa ia membatin,
"Sungguh berbahaya, kalau aku melancarkan serangan lagi
tadi, bisa jadi akan kalah total!"
Setiap jago yang hadir dalam arena sekarang rata-rata
merupakan jagoan kelas satu dalam Bu-lim, siapa saja dapat melihat
Bong Thian-gak yang berdiri dengan pedang melintang,
merupakan posisi ilmu pedang tingkat tinggi yang
mengandung kekuatan luar biasa.
Mendadak Bong Thian-gak menghela napas panjang,
kemudian katanya, "Sejak Hiat-kiam-bun berdiri, kami tak
pernah mengganggu atau menyerang partai dan perguruan
mana pun lebih dahulu, kedatangan kami di kuil Hong-kong-si
malam ini pun sama sekali tidak berniat untuk mengincar atau
memperebutkan peta harta karun Mo-lay-cing-ong, terlebih
kami pun tidak bermaksud memusuhi siapa pun, tentu saja
aku pun tidak bermaksud membantu pihak mana pun.
Sekarang semua keterangan telah kuutarakan secara jelas,
tentunya kalian pun tidak usah merasa waswas terhadap Hiatkiam-
bun kami!"
"Sungguhkah perkataan Bong-buncu itu?" tiba-tiba Han
Siau-liong bertanya.
"Han-heng boleh mencari peta harta karun itu dengan
lega!" "Bong-buncu, seandainya kau tidak berniat mendapatkan
peta harta karun itu, aku siap menurunkan perintah kepada
anak buahku agar memberi jalan kepada kalian meninggalkan
kuil Hong-kong-si ini."
673 "Untuk meninggalkan kuil Hong-kong-si, bisa segera kami
lakukan, tetapi jiwa dua orang pelindung hukum perguruan
kami tak dapat dikorbankan dengan sia-sia di tangan Mo Huithian."
"Asal Bong-buncu bersedia meninggalkan tempat ini, aku
orang she Han bersedia pula membantu kalian menuntut balas
atas kematian kedua orang pelindung hukummu."
"Terima kasih Han-heng, sayang sekali urusan Hiat-kiambun
harus diselesaikan pula oleh orang-orang Hiat-kiam-bun
sendiri." "Kalau memang demikian, mengapa Bong-buncu tak
melancarkan serangan terhadap Mo-toacengcu?"
"Sebab aku menguatirkan sesuatu, itulah sebabnya hingga
sekarang masih belum berani turun tangan."
Mendadak Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak,
kemudian katanya, "Apakah Bong-buncu menguatirkan kami?"
"Sedikit kuatir saja, yang terutama aku kuatir penyerbuan
secara besar-besaran dari pihak Put-gwa-cin-kau."
"Bong-buncu benar-benar seorang yang berotak panjang,
cuma saja perhitunganmu malam ini keliru besar, hingga
sekarang orang-orang Put-gwa-cin-kau masih belum
mengetahui peta harta karun itu."
Kontan Bong Thian-gak tertawa dingin, "Pengetahuan Hanheng
juga kelewat sedikit. Bila dugaanku tidak salah, bisa jadi
orang-orang Put-gwa-cin-kau sudah menyerbu masuk ke
dalam kuil Hong-kong-si ini."
"Perkataan Bong-buncu sungguh sukar dipercaya."
"Musuh tangguh sudah di depan mata, biarpun Han-heng
tidak percaya pun sekarang harus mempercayainya juga."
Baru selesai perkataan itu diutarakan, dari ujung gedung
pelan-pelan berjalan keluar seseorang.
674 Gerak-gerik orang ini sama sekali tidak menimbulkan suara,
di tengah kegelapan hanya sepasang matanya yang nampak
mencorong terang seperti bintang timur, dalam sekejap saja
orang itu sudah sampai di tengah halaman.
"Si-hun-mo-li."
Long Jit-seng yang pertama menjerit kaget lebih dahulu.
Betul, orang yang baru menampakkan diri tak lain adalah
gadis berbaju biru berwajah cantik jelita bak bidadari dari
kahyangan. Tatkala Bong Thian-gak menyaksikan pendatang itu adalah
Si-hun-mo-li, paras mukanya berubah hebat.
Mendadak Han Siau-liong berkata, "Liu-susiok, biar aku
pergi menengok keadaan To Siau-hou."
Belum habis ia berkata, Bong Thian-gak telah menghela
napas panjang, selanya, "Tidak usah ditengok lagi! Aku kira
sebagian besar anak murid kaum pengemis yang bersembunyi
di sekeliling kuil Hong-kong-si telah mengalami musibah."
"Darimana Bong-buncu bisa tahu?"
"Anak murid kaum pengemis yang bersembunyi di seputar
kuil Hong-kong-si dipimpin oleh To Siau-hou, dengan
kecerdasan dan kepandaian silatnya, tak mungkin dia
membiarkan musuh menyerbu ke dalam kuil Hong-kong-si
sedemikian mudahnya, tapi ia telah berjumpa dengan Ji-kaucu
Put-gwa-cin-kau."
Belum habis perkataan Bong Thian-gak, Han Siau-liong
sudah berubah hebat air mukanya, dia berseru tertahan,
kemudian seperti burung bangau terbang di udara, dia
meluncur keluar gedung.
"Han-heng, hati-hati dengan Si-hun-mo-li," mendadak dia
berteriak. 675 Ketika teriakan Bong Thian-gak masih mengalun di tengah
udara, Han Siau-liong sudah menjerit kaget, tubuhnya melejit
ke tengah udara, kemudian setelah berjumpalitan beberapa
kali, dia melayang kembali ke tempat semula.
Rupanya di saat Han Siau-liong sedang berlari keluar, Sihun-
mo-li yang semula berdiri kaku di tengah halaman gedung
sudah menyongsong kedatangannya dengan cepat, bahkan
telapak tangannya yang berwarna merah dihantamkan secara
langsung ke dada Han Siau-liong.
Bagaimana pun juga Han Siau-liong merupakan seorang
jago persilatan berilmu tinggi, sudah barang tentu dia cukup
mengetahui kelihaian pukulan itu, serta-merta dia
menjatuhkan diri dan berguling di atas tanah untuk
menghindarkan diri dari sergapan kilat Si-hun-mo-li itu.
Gagal dengan sergapan mautnya, Si-hun-mo-li segera
melejit ke tengah udara dan berjumpalitan beberapa kali
secara indah dan manis, kemudian dengan lembut dan enteng
dia melayang ke depan menerjang Han Siau-liong.
Seperti guntur membelah bumi Han Siau-liong membentak
keras, pedang bajanya disertai gulungan angin serangan yang
amat dahsyat langsung membacok ke depan.
Si-hun-mo-li berteriak seperti kicauan burung nuri,
tubuhnya yang lembut seperti seekor ular menggeliat,
memutar badan menghindarkan diri dari bacokan pedang
lawan, kemudian begitu melayang turun di hadapan Han Siauliong,
telapak tangannya yang indah menawan itu langsung
dihantamkan ke dada lawan.
Kelihatannya saja serangan itu seperti lemah tidak
betenaga, namun dalam pandangan seorang ahli, kecepatan
gerak serangan itu benar-benar seperti sambaran petir.
Han Siau-liong berseru tertahan, sekujur tubuh berikut
pedangnya dijatuhkan ke sisi sebelah kiri, telapak tangan Sihun-
mo-li itu pun menggelincir lewat di bawah iga kirinya.
676 Han Siau-liong ternyata sanggup menghindar dari sergapan
maut Si-hun-mo-li, hal ini menunjukkan kepandaian silatnya
cukup tangguh. Akan tetapi perubahan jurus serangan Si-hun-mo-li pun
pada hakikatnya cepat sukar dibayangkan.
Terlihat lengannya yang telah menerobos ke muka itu tibatiba
menekuk terus menggaet, jari-jari tangannya yang lembut
tahu-tahu sudah menghantam pinggang sebelah kanan Han
Siau-liong. Dalam anggapan para jago yang menonton jalannya
pertarungan dari sisi arena, kali ini Han Siu Liong tak bakal
mampu menghindar lagi dari serangan itu.
"Sret, sret", dua kali desingan tajam mendengung, dua
kilatan cahaya putih telah meluncur dari tangan Liu Khi,
langsung mengarah jalan darah tenggorokan serta urat nadi
tangan Si-hun-mo-li.
Senjata rahasia pisau terbang Liu Khi memang termasyhur
sebagai senjata rahasia yang tiada duanya di kolong langit.
Setiap kali pisau terbangnya dilancarkan, sudah pasti
musuh akan terhajar secara telak hingga tewas atau paling
tidak terluka dan selama ini tidak pernah meleset, Si-hun-mo-li
pun tak dapat menghindarinya.
Tapi situasi dalam sekejap telah berubah.
Pada saat kedua bilah pisau terbang Liu Khi meluncur ke
depan dengan kecepatan luar biasa, tiba-tiba berkelebat pula
serentetan cahaya merah yang amat menyilaukan mata
menyongsong sambaran itu.
Di tengah dentingan nyaring dan percikan bunga api yang
memancar kemana-mana, tahu-tahu pisau terbang yang
mengancam tenggorokan Si-hun-mo-li sudah terpental dan
mengenai tempat kosong.
677 Menyusul kemudian terdengar jerit kesakitan tertahan.
Pisau terbang yang lain berhasil menancap di lengan kiri Sihun-
mo-li, darah segar pun segera bercucuran dengan
derasnya. Di tengah jeritan kagetnya, Si-hun-mo-li segera melompat
mundur beberapa tombak.
Bagaimana pun juga pisau terbang Liu Khi telah berhasil
menyelamatkan jiwa Han Siau-liong dari bencana maha besar.
Sedangkan Bong Thian-gak juga telah menyelamatkan jiwa
Si-hun-mo-li. Rupanya cahaya bianglala yang berkelebat tadi tak lain
adalah serangan pedang Bong Thian-gak. Dengan serangan
itu dia telah merontokkan pisau terbang yang mangancam
tenggorokan Si-hun-mo-li.
Mimpi pun kawanan jago yang berada dalam halaman itu
tak mengira Bong Thian-gak bakal turun tangan
menyelamatkan jiwa Si-hun-mo-li dari ancaman maut.
Liu Khi tertawa dingin, lalu jengeknya, "Wah, cepat benar
gerakan pedang Bong-buncu!"
Sedangkan Han Siau-liong turut membentak pula dengan
keras, "Bong-buncu apa-apaan kau" Si-hun-mo-li adalah
musuh besar segenap umat persilatan, mengapa kau malah
membgntu dirinya?"
"Biarpun Si-hun-mo-li adalah musuh kita semua," kata Bong
Thian-gak, "akan tetapi aku tidak dapat membiarkan kalian
mencelakai jiwanya."
"Mengapa?" teriak Han Siau-liong setengah menjerit.
"Kesadaran Si-hun-mo-li telah punah," ucap Bong Thiangak
dengan suara dalam, "ia membunuh orang, mencelakai
orang, karena semua perbuatannya itu bukan muncul atas
678 kehendaknya sendiri, dia pribadi sebetulnya hanya seorang
yang mengenaskan dan pantas untuk dikasihani."
Sementara pembicaraan berlangsung, Si-hun-mo-li yang
berada di samping arena tertawa seram, tiba-tiba dia
menerjang ke arah Bong Thian-gak.
Melihat datangnya terjangan itu Bong Thian-gak
menggerakkan Pek-hiat-kiam melepaskan sebuah tusukan ke
samping, tujuannya tidak lain untuk membendung gerakan Sihun-
mo-li yang mendekati tubuhnya, itulah sebabnya tenaga
yang disertakan dalam serangan itu pun tidak terlalu besar.
Siapa tahu Si-hun-mo-li segera menggoyang pinggulnya
dan tiba-tiba saja menerobos masuk melalui bawah pedang,
lalu telapak tangannya dengan kelima jari tangan mirip cakar
maut mencengkeram alat kelamin Bong Thian-gak.
Jurus-serangan semacam ini pada hakikatnya merupakan
sebuah jurus serangan mematikan, kecepatan gerakannya pun
luar biasa. Dalam terkejutnya Bong Thian-gak segera mengayunkan
kaki kanannya melepaskan tendangan kilat ke arah lengan
perempuan itu. Sampai kini kesadaran Si-hun-mo-li belum pulih, dia seolaholah
cuma tahu menyerang musuh dan tidak mengira musuh


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bakal melancarkan serangan balasan ke arahnya, oleh sebab
itu lengannya segera termakan tendangan kilat Bong Thiangak.
Tendangan itu persis menghajar mulut lukanya, diiringi jerit
kesakitan Si-hun-mo-li memegang tangan kirinya dengan
tangan kanan dan secara beruntun mundur tiga-empat
langkah. Darah segar segera bercucuran dengan derasnya dari
lengannya, Bong Thian-gak menjadi tidak tega menyaksikan
679 rasa sakit yang memancar dari wajah perempuan itu, tanpa
terasa dia berseru lirih, "Thay-kun, maafkanlah aku!"
Dari balik mata Si-hun-mo-li memancar sinar buas
menggidikkan hati, akan tetapi mendengar panggilan "Thaykun"
dari Bong Thian-gak itu perasaannya seakan-akan
bergetar keras, sepasang matanya yang jeli dan indah segera
mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Dia seakan-akan sedang membayangkan suatu kenangan
yang telah begitu lama dilupakan olehnya.
Agaknya sorot mata maupun suara Bong Thian-gak masih
tersisa setitik bekas dan kesan dalam benak Si-hun-mo-li, oleh
sebab itu untuk beberapa saat lamanya Si-hun-mo-li
menghentikan gerak serangannya.
Setelah menghela napas panjang, Bong Thian-gak berseru
kembali dengan suara mengenaskan, "Thay-kun, masih
ingatkah kau padaku" Aku adalah Ko Hong."
"Ko Hong", begitu dua patah kata itu meluncur, paras muka
Si-hun-mo-li segera berubah hebat.
Kini paras mukanya berubah menjadi sedih, murung dan
amat mengenaskan sekali.
"Oh ... Ko Hong ... wahai Ko Hong, dimanakah kau berada"
dimanakah kau berada" Sungguh mengenaskan kematian itu."
Sejak Si-hun-mo-li terjun kembali ke dalam Bu-lim, selama
ini tak pernah seorang pun yang pernah mendengar
perempuan itu berbicara. Tapi malam ini, dia telah berbicara
seorang diri. Ucapannya amat memilukan, membuat orang
pedih, seakan-akan suara gumaman orang yang sedang
mengigau. Dengan suara rendah Bong Thian-gak berkata lagi, "Thaykun,
aku adalah Ko Hong, aku belum mati, hanya kehilangan
sebuah lengan saja. Thay-kun, aku pasti akan menyembuhkan
kesadaranmu yang telah punah itu."
680 Ketika mendengar perkataan itu, dengan sepasang
matanya yang jeli dan bening Si-hun-mo-li mengamati wajah
Bong Thian-gak beberapa saat, mendadak dia menggeleng
perlahan, sekulum senyuman genit yang membetot sukma
tahu-tahu tersungging di ujung bibirnya.
Senyuman itu penuh mengandung daya tarik yang luar
biasa, membuat Bong Thian-gak jadi tertegun dibuatnya.
Segenap jago yang berada di halaman gedung itu pun turut
tertegun dan termangu-mangu dibuatnya.
Sementara senyuman yang manis memukau hati orang
masih menghiasi wajah Si-hun-mo-li, pada saat itu pula tibatiba
dia menggerakkan kakinya dan selangkah demi selangkah
berjalan menuju ke hadapan Bong Thian-gak.
Gerak-geriknya itu dilakukan dengan lemah lembut, sama
sekali tiada niat permusuhan, bahkan senyuman yang
tersungging di bibirnya pun nampak begitu damai, lembut dan
nikmat. Tapi pada saat itulah tiba-tiba Si-hun-mo-li mengangkat
telapak tangan kanannya ke tengah udara dan pelan-pelan
ditekan ke atas dada Bong Thian-gak.
Pada saat bersamaan berkumandang pula suara pujian
kepada sang Buddha yang keras seperti suara genta di fajar
buta. "Omitohud!"
Serta-merta Bong Thian-gak yang berdiri termangu seperti
orang kehilangan ingatan, segera sadar kembali.
Walaupun begitu, suara pujian kepada Buddha itu
berkumandang sedikit rada terlambat.
Di saat Bong Thian-gak mendusin dari rasa kagetnya,
telapak tangan kanan Si-hun-mo-li sudah menghantam dada
Bong Thian-gak secara pelan-pelan.
681 Dengusan tertahan bergema dari bibir Bong Thian-gak,
dadanya serasa dihantam oleh batu raksasa yang beratnya
ribuan kati dan matanya berkunang-kunang, tenggorokan
terasa, anyir dan darah segar tahu-tahu sudah menyembur
dari mulutnya. Berbareng itu sekujur tubuhnya terlempar beberapa
tombak dari tempat semula.
Si-hun-mo-li tertawa seram, bagaikan anak panah yang
terlepas dari busurnya dia langsung menerkam ke depan anak
muda itu. "Thay-kun," jerit Bong Thian-gak dengan suara keras, "kau
... kau benar-benar kehilangan kesadaranmu."
Bong Thian-gak melayang mundur lagi.
Sewaktu mendengar jeritan keras itu, sekujur badan Sihun-
mo-li tampak gemetar keras, sekali lagi dia berdiri tak
bergerak di tempat.
"Omitohud, Sicu sudah terkena pukulannya, berarti tiada
obat yang bisa menyembuhkan jiwamu lagi," kata Hong-kong
Hwesio sambil berjalan ke samping Bong Thian-gak.
Melihat Hong-kong Hwesio mendekatinya, Bong Thian-gak
segera menggerakkan pedang di tangan kanannya
menciptakan sebuah gerakan serangan yang ampuh,
kemudian sambil tertawa dingin katanya, "Hwesio tua, aku
tidak bakal mati, bila kau ingin membalas dendam bagi
kematian Thia Leng-juan, kau mesti menyambut beberapa
jurus seranganku lebih dahulu."
Hong-kong Hwesio menghela napas panjang dan
menggeleng kepala, katanya, "Lolap tak bermaksud bertarung,
berhubung aku mempunyai suatu masalah yang tak kupahami,
maka mumpung Sicu belum mati, aku ingin menanyakan
sampai jelas, harap Sicu bersedia menjawab pertanyaanku
itu." 682 Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak berseru, "Aku tidak
bakal mati, bila kau ingin menanyakan sesuatu cepat
utarakan!"
Pelan-pelan Hong-kong Hwesio bertanya, "Belum pernah
ada seorang pun yang bisa lolos dalam keadaan hidup setelah
terhajar secara telak oleh serangan Si-hun-mo-li, keadaan Sicu
saat ini benar-benar berbahaya sekali, ai! Adapun persoalan
yang ingin Lolap tanyakan adalah sebutan *Ko Hong' yang
Sicu pergunakan tadi, benarkah Sicu adalah orang yang
bernama Ko Hong?"
Bong Thian-gak tidak menjawab pertanyaan itu secara
langsung, dia berkata, "Hwesio tua, aku tidak bakal mati dan
sekali aku bilang tak akan mampus aku tetap tak akan
mampus. Ilmu pukulan paling lihai yang diandalkan Si-hunmo-
li adalah ilmu sakti Soh-li-jian-yang-sinkang, padahal Sihun-
mo-li hanya berhasil melatih ilmu pukulan Soh-li-jianyang-
sin-kang pada tangan kiri. Sedangkan serangan yang
bersarang di tubuhku tadi berasal dari telapak tangan
kanannya, oleh sebab itu aku tidak bakal mati, aku hanya
menderita luka parah isi perutku saja."
Mendengar penjelasan ini, Hong-kong Hwesio berkata,
"Kalau demikian Sicu memang benar-benar adalah Ko Hong,
kalau tidak, mustahil kau bisa mengetahui asal-usul Si-hunmo-
li sedemikian jelas."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Ko Hong adalah nama samaranku pada tiga tahun
berselang, Bong Thian-gak barulah namaku yang sebenarnya,
Hwesio tua, ada keperluan apa kau menanyakan tentang hal
ini?" Setelah menghela napas panjang, Hong-kong Hwesio
berkata, "Pernahkah Bong-sicu mengira, semasa hidupnya
dulu Thia Leng-juan pernah meminta kepada Lolap untuk
mencarikan seseorang yang bernama Ko Hong."
683 "Thia Leng-juan menyuruh kau mencari aku" Apakah dia
meminta kau untuk membunuhku?"
Sekali lagi Hong-kong Hwesio menghela napas panjang,
"Ai, Bong-sicu kau salah besar! Ketika Thia Leng-juan Tayhiap
meminta Lolap mencarimu, dia meminta Lolap membantu
segala sesuatu bagimu, dia berkata kau adalah murid penutup
Ku-lo Sinceng dari Siau-lim-pay, sebelum beliau menutup
mata, kau pun pernah mempelajari ilmu Tat-mo-khi-kang
sehingga kaulah satu-satunya orang yang bisa mematahkan
serangan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Si-hun-mo-li. Di
samping menyerahkan pesannya itu kepada Lolap, Thia Lengjuan
juga pernah menjelaskan segala sesuatu alasannya
menggabungkan diri dengan pihak Put-gwa-cin-kau."
Tatkala mendengar semua itu, sekujur badan Bong Thiangak
gemetar keras, dengan sedih dia menyela, "Jadi Thia
Leng-juan tidak pernah menyeleweng dari kebenaran?"
Hong-kong Hwesio menghela napas sedih, "Sejak
permulaan sampai akhir Thia Leng-juan tak pernah
menyeleweng dari kebenaran. Untuk menghadapi
cengkeraman iblis yang mulai meluas di seluruh dunia
persilatan, dia tak segan-segannya mengorbankan diri.
Biarpun di luar dia adalah Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau,
padahal sebetulnya dia adalah musuh dalam selimut, itu hanya
sebagian saja dari kecerdasan otaknya, ai, dalam keadaan
begini, Lolap tidak ada waktu untuk menerangkan segala
sesuatunya kepadamu secara jelas, Thian sungguh adil, Thiatayhiap
memang benar-benar pahlawan sejati, pendekar
Golok Yanci Pedang Pelangi 5 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 11
^