Pendekar Cacad 12

Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 12


tan suitan keras yang tinggi dan
melengking dibunyikan orang keras-keras.
Bong Thian-gak segera menyaksikan tiga orang pengawal
baju kuning melompat turun dari atas tiga batang pohon PekTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
752 yang dan menyongsong kedatangan Bong Thian-gak dengan
pedang terhunus.
Bong Thian-gak sadar jejaknya sudah ketahuan, dia
semakin tak ingin membuang waktu lagi, maka tubuhnya
melejit ke muka dan menyambut datangnya para pengawal
yang sedang menerjang datang itu
Begitu bayangan kedua belah pihak saling bertemu,
terdengarlah suara benturan keras yang sangat nyaring.
Tidak banyak waktu yang terbuang, dalam waktu singkat
tiga orang pengawal yang baru muncul itu sudah
bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa
lagi. Lengan tunggal Bong Thian-gak kini sudah merampas
ketiga batang pedang lawan.
Pada saat itulah dari sisi sebelah kiri ruangan
berkumandang suara tertawa dingin yang menyeramkan.
"Hehehe, serangan yang sangat hebat dan ganas. Hm ...
hm ... selama puluhan tahun terakhir belum pernah kujumpai
seorang jagoan yang sedemikian tangguh!"
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera
mendongakkan kepala.
Di hadapannya kini sudah muncul delapan orang pengawal
berbaju kuning yang mengiringi seorang kakek gemuk pendek,
selangkah demi selangkah berjalan mendekatinya.
Dengan ketajaman mata Bong Thian-gak, ia sudah dapat
melihat kakek gemuk pendek itu memiliki kepandaian silat
yang hebat. Tiba-tiba saja suara nyaring bergema di angkasa.
Ternyata kedelapan orang berbaju kuning sudah melolos
cambuk panjang dari pinggangnya, lalu dengan gerakan cepat
dan lincah mereka mengepung Bong Thian-gak.
753 Bong Thian-gak cukup mengetahui bahwa ruyung lemas itu
merupakan sejenis senjata yang sangat lihai.
Oleh karena itu Bong Thian-gak tidak membiarkan
kedelapan orang pengawal berbaju kuning itu melancarkan
serangan lebih dahulu, sambil tertawa dingin tubuhnya
berputar seperti angin puyuh dan langsung menggulung ke
sisi sebelah barat. Tatkala Bong Thian-gak berputar dengan
kencang tadi, ketiga pedang yang digenggamnya secepat
sambaran petir sudah menyambar ke depan.
Tahu-tahu dua pedang di antaranya sudah meluncur ke
muka dengan kecepatan tinggi.
Dua kali jerit kesakitan yang memilukan segera bergema.
Empat orang pengawal baju kuning yang menerkam datang
dari arah timur dan utara tahu-tahu sudah kehilangan batok
kepalanya, tersambar oleh luncuran pedang itu.
Sebilah pedang berhasil membacok dua kepala, ilmu
pedang terbang semacam ini benar-benar merupakan suatu
kepandaian yang sangat mengejutkan.
Bong Thian-gak sendiri hanya menyambitkan kedua batang
pedang dan menyisihkan sebatang baginya, pedang itu
mengikuti gerakan tubuhnya berputar ke barat, segera
melancarkan serangan pula, di mana cahaya pedang
berkelebat, darah segar berhamburan kemana-mana dan isi
perut berceceran.
Dua orang pengawal berbaju kuning kena terbabat
pinggangnya hingga putus menjadi dua bagian.
Dalam waktu singkat dari delapan pengawal berbaju kuning
itu sudah ada enam orang di antaranya yang tewas.
Demonstrasi kekejaman yang terjadi ini sungguh
menggidikkan hati siapa pun, kontan saja dua pengawal
berbaju kuning yang tersisa serta kakek gemuk pendek itu
menghentikan langkah.
754 Sementara itu Bong Thian-gak yang dalam sekejap mata
telah membunuh enam orang, kini maju selangkah demi
selangkah menghampiri kakek gemuk pendek itu dengan
pedang terhunus.
Sambil tertawa dingin ia berkata, "Ruyung panjang meski
merupakan senjata untuk menandingi pedang atau golok, tapi
bila bertemu dengan aku, kalian tetap merupakan rombongan
yang bakal berangkat ke akhirat."
"Siapakah kau?" bentak kakek gemuk pendek itu dengan
wajah lei kejut dan ngeri.
"Ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng!" sahut Bong Thiangak
sambil tertawa dingin.
Sembari berkata, tiba-tiba saja pemuda itu melompat ke
depan dan pedangnya langsung dibacokkan ke tubuh kakek
gemuk pendek itu.
Serangan pedang itu dilancarkan dengan cepat, akan tetapi
gerakan cambuk kakek gemuk pendek itu pun tidak kalah
cepatnya. Bong Thian-gak segera merasakan pergelangan tangannya
menjadi kencang, urat nadi pada pergelangan tangannya
sudah kena terbelenggu empat lingkaran oleh cambuk lawan,
otomatis gerak serangan pedangnya pun mengenai tempat
kosong. Diiringi gelak tawa panjang penuh kebanggaan, kakek
gemuk pendek itu segera berkata, "Cambuk sakti bayangan
aneh sudah puluhan tahun lamanya termasyhur di kolong
langit. Tak ada orang bisa lolos dari cengkeramanku bila
ruyung telah berada dalam genggamanku. Hehehe, Jian-ciatsuseng,
lengan tunggalmu ini agaknya akan kutung pula."
Sementara itu Bong Thian-gak merasa ruyung lemas yang
membelenggu urat nadinya itu makin lama makin kencang,
tulang dan kulitnya terasa sakit seperti remuk.
755 Bong Thian-gak sadar bila lawan sekali lagi menarik ruyung
lemasnya, niscaya lengan tunggalnya itu bakal lenyap tak
berbekas. Sementara ingatan itu melintas dalam benaknya, tubuh
Bong Thian-gak telah terbetot oleh cambuk lemas tadi
sehingga terbanting ke atas tanah.
Namun ketika Bong Thian-gak bangkit kembali dari atas
tanah, suara dengusan tertahan bergema di udara.
Perut kakek gemuk pendek itu tahu-tahu sudah tersambar
oleh cahaya pedang sehingga mengucurkan darah segar.
Darah mengalir keluar bersama usus dan isi perut lainnya,
meleleh dari balik mulut luka yang lebar dan memanjang itu.
Kulit muka si kakek gemuk pendek itu segera mengejang
keras, katanya dengan suara dipaksakan, "Kau ... kau ...
bagaimana caramu bisa meloloskan diri dari belenggu cambuk
panjangku?"
Dengan wajah dingin Bong Thian-gak berdiri di
hadapannya. Ketika mendengar pertanyaan itu, ia menjawab
dingin, "Permainan ruyungmu memang terhitung cambuk kilat
nomor wahid di kolong langit. Tiga puluh tahun berselang,
dalam dunia rimba hijau pernah termasyhur seorang
pencoleng yang mahir dalam permainan cambuk, konon dia
bernama Ruyung sakti bayangan setan Si-bu, mungkin kaulah
orangnya?"
Penderitaan yang tebal semakin menghiasi wajah kakek
gemuk pendek itu, dia berkata dengan suara gemetar, "Nama
besar Ruyung sakti bayangan setan pada saat ini sudah punah
dan tak ada lagi. Jian-ciat-suseng, meski ... meskipun ilmu
pedangmu tiada tandingannya di kolong langit, tapi jangan
harap kau bisa menandingi kerubutan beratus-ratus pengawal
perkumpulan Put-gwa-cin-kau, akhirnya kau ... kau pun akan
mengalami nasib yang sama seperti aku, roboh ... roboh ke
tanah dan tak akan bangun lagi."
756 Sampai di situ langkah kakek gemuk pendek itu sudah
sempoyongan, akhirnya roboh terjungkal ke atas tanah dan
tak pernah merangkak bangun kembali.
Pencoleng nomor wahid di rimba hijau itu, Si-bu, akhirnya
harus mampus di ujung pedang Bong Thian-gak.
Setelah menyaksikan Si-bu tewas, pelan-pelan Bong Thiangak
mendongakkan kepala dan memandang sekejap sekeliling
tempat itu, tapi perasaannya segera terkesiap.
Ternyata pada saat itu seluruh lapangan yang luas di depan
ruangan utama telah dikelilingi lautan manusia yang
mengepung tempat itu secara berlapis-lapis, begitu rapat
pengepungan di sana, hal ini membuat seramnya suasana di
bawah sinar rembulan.
Agak bergidik juga Bong Thian-gak menyaksikan keadaan
itu, diam-diam pikirnya, "Bila aku harus membantai orang itu
satu demi satu, biar mereka bisa kuhabiskan, akhirnya aku
akan kehabisan tenaga dan mampus di tangan mereka ... hari
ini lebih baik aku kabur saja dari sini atau melangsungkan
pertarungan dan beradu kekuatan dengan pihak Put-gwa-cinkau?"
"Ai, apalagi kawanan pengawal itu hanya diperintah Congkaucu
untuk melakukan perbuatan itu, masa aku harus
membantai mereka habis-habisan."
Berpikir demikian, tiba-tiba Bong Thian-gak berteriak,
"Dengarkan saudara-saudara sekalian. Aku adalah ketua Hiatkiam-
bun saat ini, Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak. Pedang di
tanganku sekarang memiliki kekuatan luar biasa, tiga puluh
sosok mayat yang tergeletak di atas tanah merupakan bukti
yang paling jelas.
"Selain Cong-kaucu kalian yang dapat menyambut
beberapa jurus serangan pedangku, kalian boleh dibilang
ibarat telur yang beradu dengan batu atau kunang-kunang
757 yang menentang api, hanya mencari kematian bagi diri
sendiri. "Thian maha pengasih dan maha penyayang, aku tak ingin
melakukan pembunuhan besar-besaran, karena itu kuanjurkan
kepada kalian lebih baik menyingkirkan diri dari sini dan
berilah jalan lewat kepadaku, aku tak nanti melukai seorang
pun di antara kalian."
Ucapan itu diutarakan dengan suara lantang dan keras, di
tengah kegelapan malam suara itu dapat tersiar sampai jauh.
Baru selesai dia berkata, mendadak dari kerumunan orang
banyak terdengar seorang berseru sambil tertawa dingin, "Aku
tak percaya kau seorang cacat bisa memiliki kepandaian dan
kemampuan sedemikian hebatnya."
Dari kerumunan orang banyak sebelah utara segera terjadi
kegaduhan, lalu nampak dua orang berjubah hitam diiringi
delapan laki-laki yang menyoreng pedang berjalan menuju ke
arahnya. Tatkala mendengar nada suara orang itu, seketika itu juga
timbul kobaran api dendam dalam dada Bong Thian-gak, dia
segera berteriak, "Siau Cu-beng, kedatanganmu tepat sekali!"
Sepasang mata Bong Thian-gak telah memancarkan cahaya
api yang menggidikkan, dia mengawasi orang berkerudung
yang menyoreng sepasang pedang itu tanpa berkedip.
Sementara itu orang berambut panjang yang berada di
sebelah kanan, yang berdandan bukan lelaki bukan
perempuan itu tertawa seram seraya berkata, "Aku kira
siapakah manusia cacat ini" Hm, ternyata Bong Thian-gak
orangnya."
Bong Thian-gak dapat mengenali orang aneh kurus seperti
mayat hidup ini adalah Liok-kaucu Put-gwa-cin-kau.
Ia tertawa dingin, lalu katanya sambil manggut-manggut,
"Betul, Ko Hong adalah samaranku tiga tahun lalu. Kau sudah
758 merupakan prajurit yang kalah perang di tanganku, hari ini
kau lebih-lebih bukanlah tandinganku, hm, aku orang she
Bong selalu bisa membedakan mana budi dan mana dendam,
kau bukan termasuk orang yang akan kubunuh, asal kau tahu
diri dan segera mengundurkan diri, aku bersedia pula
mengampuni jiwamu."
Liok-kaucu tertawa seram.
"Tiga tahun berselang, sebuah pukulanmu telah membuat
aku berbaring selama tiga bulan. Dendam sakit hati ini tak
pernah kulupakan, sungguh tak gampang bertemu lagi dengan
kau. Hm! Kau anggap aku akan melepaskan kesempatan yang
sangat baik itu begitu saja?"
"Liok-kaucu, panjang amat umurmu," jengek Bong Thiangak
dengan suara hambar.
Liok-kaucu tertawa terbahak, suaranya amat
menyeramkan, telapak tangan raksasanya mendadak
diayunkan ke depan, segulung angin pukulan yang amat
dingin segera menyerang ke arah Bong Thian-gak.
Sejak tadi Bong Thian-gak sudah tahu ilmu pukulan lawan
merupakan ilmu jahat dan beracun, karena itu secara diamdiam
dia telah menyalurkan hawa murni Tat-mo-khi-khang
menyelimuti seluruh jalan darahnya.
Dimana angin pukulan menyambar, Bong Thian-gak
mendengus tertahan dan sepasang bahunya bergoncang
keras. Pada saat itulah Liok-kaucu tertawa sambil berteriak keras,
"Jian-ciat-suseng, serahkan jiwa anjingmu!"
Dengan suatu gerakan yang amat cepat, dia mendesak ke
muka dan melakukan gempuran.
Siau Cu-beng yang berada di sisinya segera menyadari hal
itu merupakan siasat lawan, dia segera berteriak, "Hati-hati
Liok-kaucu, dia tidak terluka."
759 Sayang sekali sebelum peringatan itu diutarakan, tubuh
Liok-kaucu telah tiba di hadapan Bong Thian-gak, telapak
tangannya dipentang lebar-lebar dan mencengkeram dari kiri
dan kanan. Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat.
Menyusul kemudian jeritan keras seperti babi disembelih
bergema. Di tengah sambaran cahaya pedang, sepasang tangan Liokkaucu
terbabat kutung dan rontok ke tanah, menyusul di
tengah semburan darah segar, pedang Bong Thian-gak
menusuk dadanya hingga tembus. "Liok-kaucu, kali ini kau
mati tanpa mengucapkan sepatah katapun?"
Ucapan Bong Thian-gak itu diutarakan dengan nada
hambar. Bersamaan itu pula pedangnya telah dicabut dari atas


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dada Liok-kaucu.
Darah segar segera menyembur lewat mulut lukanya, Liokkaucu
memang tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia
hanya membentang matanya lebar-lebar mengawasi Bong
Thian-gak tanpa berkedip.
Akhirnya robohlah tubuh Liok-kaucu ke tanah dan tak
pernah bangun lagi. Jiwanya turut melayang ke angkasa dan
kembali ke akhirat.
Dalam satu gebrakan Bong Thian-gak berhasil membunuh
Liok-kaucu, walaupun kemenangan yang dia raih berkat
taktiknya yang jitu, akan tetapi bagaimana pun juga Liokkaucu
mempunyai kepandaian silat sangat tinggi,
kenyataannya dia dibunuh orang secara gampang, peristiwa
ini benar-benar menggetarkan perasaan setiap orang.
"Siau Cu-beng, mengapa tidak kau lepaskan kain
kerudungmu itu?" sambil membawa pedangnya yang
berlumuran darah dan sikap yang menyeramkan, Bong Thiangak
membentak keras.
760 Komandan kedua pasukan pengawal tanpa tanding segera
tertawa dingin sambil sahutnya, "Betul, akulah Siau Cu-beng,
tapi aku tidak pernah menyangka kaulah Bong Thian-gak."
Sementara itu dalam benak Bong Thian-gak melintas
kembali berbagai kejadian tragis yang telah menimpanya
malam ini ... darah bercampur dendam segera mendidih
dalam tubuhnya.
"Siau Cu-beng, gara-gara perbuatanmu yang memalukan
sepuluh tahun lalu, aku telah menjadi cacat, kaki kiriku
pincang, lalu tiga tahun berselang kau pun memotong kutung
sebelah lenganku, maka malam ini aku tak tahu bagaimana
mesti membalas dendam berdarah ini."
Sambil berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak mengangkat
pedangnya dan bersiap melancarkan serangan.
Siau Cu-beng segera tertawa ringan, katanya, "Bong Thiangak,
aku hendak mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu,
mengapa kau menghajarku sampai jatuh ke dalam jurang
pada sepuluh tahun berselang" Hahaha, apakah hal ini
dikarenakan kau menangkap basah hubungan gelapku dengan
Pek Yan-ling, maka kau lantas hendak membersihkan aib
perguruan?"
"Hm, tapi hari ini ... kau pun telah melakukan hubungan
gelap dengan Pek Yan-ling, nah, giliranku sekarang untuk
bertanya kepadamu, .apakah aku pun harus membunuhmu
untuk membalaskan dendam aib yang menimpa perguruan
kita?" Gemetar keras tubuh Bong Thian-gak mendengar
perkataan itu, pedang yang sudah disiapkan tanpa sadar
terlepas dan jatuh ke tanah.
"Oh, Thian!" diam-diam Bong Thian-gak mengeluh dengan
perasaan amat tersiksa. "Ternyata Siau Cu-beng telah
menyaksikan peristiwa itu, sepuluh tahun lalu aku telah
761 membunuhnya karena ia telah melakukan hubungan gelap
dengan Pek Yan-ling."
Perasaan sedih dan menyesal membuat pikiran dan otaknya
terganggu. Pada kesempatan yang sangat baik inilah mendadak Siau
Cu-beng mengayun pedang dan tanpa menimbulkan sedikit
suara pun dengan cepat menusuk dada Bong Thian-gak.
Semua peristiwa itu berlangsung dalam waktu yang amat
singkat. Cepat tangan kiri Bong Thian-gak diayun ke depan untuk
menghantam mata pedang lawan.
Peristiwa yang sama sekali di luar dugaan segera
berlangsung, ternyata Bong Thian-gak berhasil menggetar
pedang itu hingga terpental dengan tangan kosong.
Seketika itu juga Siau Cu-beng serta ratusan orang
pengawal lainnya tertegun dan berdiri melongo dengan mata
terbelalak lebar.
Setelah berhasil mementalkan pedang dengan tangan
telanjang, Bong Thian-gak sama sekali tidak melancarkan
serangan balasan, dengan cepat dia menengok sekejap ke
arah Siau Cu-beng, kemudian berkata dengan hambar, "Siau
Cu-beng, persoalanku bisa kuselesaikan sendiri. Kini aku
hanya ingin menanyakan satu persoalan kepadamu, Toasuheng
Ho Put-ciang, Ji-suheng Yu Heng-sui dan Sumoay Oh
Cian-giok, apakah masih hidup?"
Siau Cu-beng seperti baru tersadar dari impian setelah
mendengar itu, dia berseru tertahan, lalu balik bertanya
dengan keheranan, "Dengan cara apakah kau telah menepuk
pedangku hingga terpental?"
Bong Thian-gak tidak menjawab, sebaliknya malah
membentak lagi dengan suara lantang, "Aku bertanya
kepadamu, bagaimanakah nasib Ho Put-ciang sekalian?"
762 Tiba-tiba Siau Cu-beng tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, apakah Pek Yan-ling tidak memberitahukan
padamu?" Hati Bong Thian-gak bergetar keras, dia segera berpikir,
"Bagaimana keadaan mereka" Mengapa dia bilang Pek Yanling
tidak memberitahukan kepadaku" Apa yang semestinya
hendak dikatakan Pek Yan-ling kepadaku?"
Sekali lagi Siau Cu-beng tertawa dingin, suaranya
menyeramkan, "Kalau Pek Yan-ling tidak memberitahukan
kepadamu, baiklah biar aku yang memberitahukan
kepadamu!"
"Bagaimana keadaan mereka" Cepat katakan!" bentak
Bong Thian-gak.
Siau Cu-beng sengaja berdehem, lalu dengan santai dia
berkata, "Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui telah mengakhiri
hidupnya sendiri."
"Bunuh diri" Mengapa mereka bunuh diri?" tanya Bong
Thian-gak dengan terkejut.
"Karena tidak punya muka untuk bertemu dengan orang.
Hahaha, biar kuceritakan lebih terperinci kepadamu! Pek Yanling
adalah Subo mereka, Ho Put-ciang serta Yu Heng-sui
pernah pula mempunyai hubungan persahabatan dan
hubungan ibu guru. Akhirnya peristiwa yang sangat
memalukan ini diketahui oleh Oh Cian-giok, kedua orang itu
pun kehilangan muka sehingga akhirnya bunuh diri."
Sekali lagi dada Bong Thian-gak serasa dipukul martil yang
berat, nyaris jatuh tak sadarkan diri.
Mimpi pun dia tak menyangka Toa-suheng dan Jisuhengnya
telah tewas dalam keadaan begitu mengenaskan
dan memedihkan hati.
763 Dia mengerti sekarang, semua ini bisa terjadi tak lain
merupakan siasat membunuh yang paling keji dari
perkumpulan Put-gwa-cin-kau. Mereka tidak membiarkan
seorang Enghiong mati dalam keadaan gagah dan perkasa,
melainkan membiarkan mereka mati dengan sukma tak
tenang dan roh gentayangan.
Perbuatan semacam ini benar-benar merupakan suatu cara
membunuh yang sangat kejam dan mengerikan.
Setelah tertawa ringan, dengan suara yang dingin
menyeramkan, Siau Cu-beng berkata lagi, "Tindakan Ho Putciang
dan Yu Heng-sui bunuh diri benar-benar Enghiong sejati,
mereka adalah pendekar yang berani berbuat berani
bertanggung-jawab sehingga bersedia menggorok leher
sendiri untuk menebus dosa. Tapi sekarang, kau Bong Thiangak
sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mati, aku
betul merasa kasihan untukmu!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak mendongakkan kepala berpekik
nyaring, "Siau Cu-beng, serahkan nyawamu!"
Bong Thian-gak memungut pedangnya dari atas tanah dan
seperti seekor banteng yang terluka, dia membacok tubuh
Siau Cu-beng secara ganas.
Siau Cu-beng tidak menyambut datangnya ancaman,
sebaliknya delapan orang lelaki berbaju hitam yang berada di
sisinya segera menggerakkan kedelapan pedangnya
menciptakan selapis kabut pedang serentak mengurung Bong
Thian-gak rapat-rapat.
Ilmu pedang yang dimiliki Bong Thian-gak pada hakikatnya
sudah mencapai kesempurnaan, pedangnya seperti membacok
kayu bakar saja, kawanan orang berbaju hitam itu dibabat
satu demi satu.
Semua serangan yang dilancarkan olehnya terbatas tigaempat
bacokan belaka, namun kedelapan lelaki yang semula
bergerak segesit naga dan seganas harimau itu sudah roboh
764 terkapar di atas tanah, jangan kata melawan, jerit kesakitan
pun tak sempat dikumandangkan.
Siau Cu-beng bergidik menyaksikan peristiwa itu, peluh
dingin bercucuran dengan deras, dia cukup mengetahui
betapa lihainya ilmu pedang yang dimiliki kedelapan lelaki itu,
yang merupakan pengawal andalannya, bahkan kelihaian
mereka mencapai tingkatan seorang tokoh persilatan.
Tetapi setelah berjumpa dengan Bong Thian-gak hari ini,
keadaan mereka seakan-akan tidak memiliki setitik ilmu silat
pun, dengan cara yang begitu mudah mereka terbunuh di
tangan lawan. Peristiwa ini benar-benar mengejutkan.
"Dengarkan saudara sekalian," Siau Cu-beng segera
berteriak. "Bila kita biarkan orang ini lolos malam ini, aku tak
akan membiarkan kalian hidup terus di dunia ini. Kepung dia
sekuat tenaga, kalian boleh membacok dan mencincangnya
sampai hancur berkeping-keping!"
Begitu bentakan itu lenyap, kawanan pengawal di tempat
itu serentak berteriak dan membentak dengan suara gegap
gempita, kemudian bersama-sama mengepung Bong Thiangak.
Sementara itu Bong Thian-gak selesai membunuh
kedelapan lelaki berbaju hitam dan menyaksikan Siau Cu-beng
hendak mengundurkan diri, dengan suara lantang segera
teriaknya, "Siau Cu-beng, jangan kabur!"
Tubuhnya melejit ke tengah udara dan menerjang ke
muka, sebuah tusukan pedang langsung dilontarkan.
Ilmu pedang yang dimiliki Siau Cu-beng pun bukan
kepandaian sembarangan. Sepasang pedangnya dipergunakan
bersama, dengan suatu gerakan aneh dan cepat bagaikan
sambaran kilat dia tangkis ancaman pedang Bong Thian-gak.
765 Kemudian tanyanya sambil tertawa dingin, "Tunggu saja
sampai nanti, kita pasti akan berduel untuk menentukan
menang kalah!"
Sementara itu serombongan orang telah menggulung
datang bagaikan amukan ombak di tengah samudra. Tombak
panjang, pedang, tongkat serta tujuh-delapan macam senjata
lainnya menyerang tiba.
Bong Thian-gak meraung keras, pedangnya segera diputar,
hawa pedang bagaikan selapis kabut menyelimuti angkasa,
djmana hawa dingin berkelebat, jeritan ngeri segera
memenuhi seluruh gelanggang.
Dalam waktu singkat puluhan orang telah tewas di ujung
pedang Bong Thian-gak yang tajam.
Lambat-laun Bong Thian-gak menjadi tidak tega sendiri, dia
segera membentak, "Yang hendak kubunuh sebenarnya bukan
kalian, lebih baik kalian mundur saja dari sini, asal aku dapat
membunuh Siau Cu-beng, memangnya dia masih dapat
menghukum kalian?"
Sementara itu Siau Cu-beng telah mengundurkan diri dari
gerombolan orang banyak, Bong Thian-gak melompat naik ke
tengah udara, kemudian tubuhnya melayang jauh ke depan
dan langsung menerkam Siau Cu-beng.
Tatkala melayang turun, ia telah berada di tengah
kerumunan orang banyak, bacokan golok dan pedang
serentak ditujukan ke tubuh Bong Thian-gak.
Pada hakikatnya Bong Thian-gak tidak mempunyai cukup
waktu untuk melancarkan serangan ke arah Siau Cu-beng, dia
sudah kena serangan lebih dahulu oleh kawanan pengawal
yang berada di sekeliling tempat itu.
Berada dalam keadaan seperti ini, sekali lagi Bong Thiangak
menggerakkan pedangnya melakukan pembantaian besarbesaran.
766 Ia perkasa seperti Lu Poh, seperti Tio Cu-liong, dimana
pedangnya menyambar, seakan tiada seorang pun yang dapat
membendungnya. Jeritan ngeri, teriakan kesakitan bergema tiada hentinya.
Bong Thian-gak seperti orang kalap, darah telah
membasahi seluruh pakaiannya.
Dia sendiri tak tahu berapa banyak orang yang telah
terbunuh, dia hanya tahu mengayunkan pedangnya
melancarkan serangan.
Percikan darah menyembur kemana-mana, isi perut
berhamburan di mana-mana, teriakan keras, jeritan ngeri
bergema saling susul.
Akhirnya ketika Bong Thian-gak mengayunkan pedangnya,
tidak terdengar lagi jeritan kesakitan yang terdengar.
Hal itu bukan disebabkan Bong Thian-gak sudah tak
memiliki kekuatan lagi untuk membunuh orang, melainkan
separoh orang-orang di sekelilingnya telah mati terbunuh.
Tapi pedang Bong Thian-gak masih saja melancarkan
bacokan. Hal ini disebabkan pandangan matanya sudah menjadi
kabur atau berkunang-kunang, ia seperti tidak tahu bahwa di
situ sudah tak terdapat seorang hidup pun.
Bong Thian-gak melancarkan puluhan bacokan lagi secara
beruntun sebelum sadar.
Napasnya tersengal, pedangnya terkulai ke bawah,
dipandangnya sekejap sekeliling tempat itu, darah yang
berceceran di atas tanah telah menganak sungai, mayat
bergelimpangan dimana-mana, mayat-mayat itu mencapai
ratusan sosok banyaknya.
767 Untuk beberapa saat Bong Thian-gak menjadi tertegun,
segera pikirnya, "Mana orang-orang yang lain" Kemana
mereka telah menyembunyikan diri?"
Rupanya ketika Bong Thian-gak tengah melakukan
pembantaian, sebagian besar kawanan pengawal berbaju
kuning telah mengundurkan diri secara diam-diam ke empat
penjuru.

Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak Bong Thian-gak seperti teringat akan sesuatu,
dia segera berseru tertahan, "Ah, rupanya mereka telah
mengubah taktik!"
Mendadak di tengah kegelapan malam terdengar suara
anak panah berhamburan datang dengan hebatnya.
"Aduh celaka!" pikir Bong Thian-gak. "Aku tak boleh berdiri
termangu-mangu saja di sini."
Mendadak dia mengerahkan tenaga dalam Tat-mo-khikang,
pedangnya dengan cepat memainkan selapis kabut
pedang, tubuhnya secepat kilat berlari menuju ke arah utara.
Lapangan di situ cukup luas, di sana sini penuh ditumbuhi
pepohonan Siong-pak dan bambu sehingga suasana gelap
gulita. Untuk menembus hutan semacam itu, bagi Bong Thian-gak
pada hakikatnya lebih sukar daripada naik ke langit.
Kawanan pengawal Put-gwa-cin-kau telah mengundurkan
diri ke dalam pos penjagaan di dalam hutan, dari jarak yang
tak begitu jauh mereka dapat melancarkan serangan dengan
mempergunakan anak panah atau senjata rahasia, sebaliknya
bila musuh mendekat, mereka pun bisa melancarkan sergapan
dengan mempergunakan pedang, golok atau tombak.
Oleh karena itulah baru saja Bong Thian-gak masuk ke
dalam hutan, hujan panah sudah menyergap dari belakang,
sementara dari kiri dan kanannya menerjang empat batang
tombak. 768 Selama tiga tahun melatih diri di bawah air terjun dahulu,
Bong Thian-gak telah berhasil pula melatih ilmu membedakan
arah angin serta ilmu tenaga dalam yang menitik-beratkan
pada mengatasi gerak di tengah ketenangan, merebut
ketenangan di tengah gerak.
Keempat tombak itu dengan cepat dirontokkan oleh
sambaran pedangnya, sedangkan hujan panah yang
menyerang datang dari belakang punggungnya, melesat ke
depan melewati atas punggungnya hanya dengan cara dia
membungkukkan badan.
Menyusul terdengar dua kali jeritan ngeri, sekali lagi
pedang Bong Thian-gak menunjukkan kehebatannya, dua
orang pengawal berbaju kuning yang menyembunyikan diri di
belakang pohon kena ditebas kepalanya hingga tewas
seketika. Bong Thian-gak meneruskan perjalanannya menembus
hutan itu, jeritan demi jeritan pun bergema saling susul.
Berpuluh bambu ada kalanya ikut terpapas kutung oleh
bacokan pedang Bong Thian-gak sehingga roboh ke atas
tanah. Pertempuran berdarah ini betul-betul merupakan
pertarungan yang jarang terjadi dalam Bu-lim.
Lewat setengah jam kemudian Bong Thian-gak telah keluar
dari balik hutan yang gelap.
Di bawah cahaya rembulan yang terang benderang,
pembunuh yang masih muda ini telah berubah menjadi
manusia darah, rambutnya kusut dan pakaiannya robek,
pedangnya yang berlumuran darah masih meneteskan titiktitik
darah ke atas tanah.
Berapa banyak orangkah yang telah terbunuh di tangan
Bong Thian-gak dalam hutan itu"
769 Walaupun pertempuran telah berhenti, sorot mata Bong
Thian-gak masih tetap memancarkan hawa membunuh yang
amat menggidikkan.
Ternyata dia tahu, pentolan penyamun pembawa bibit
bencana dan segala musibah baginya selama ini adalah Siau
Cu-beng yang belum menemui ajalnya di ujung pedangnya.
Bong Thian-gak sendiri pun merasa heran, sudah jelas
tempat ini merupakan sarang Put-gwa-cin-kau, walau
pertarungan berlangsung lama, kawanan jago lihai dari Putgwa-
cin-kau yang menampakkan diri tak lebih hanya Siau Cubeng
dan Liok-kaucu.
Kemana perginya Cong-kaucu serta Ji-kaucu dan Sim
Tiong-kiu sekalian" Apakah mereka semua tidak berada di
sini" Walaupun demikian, Bong Thian-gak pun diam-diam
bersyukur, harus dia akui bila seorang saja di antara ketiga
orang itu menampakkan diri, niscaya dia akan terancam
bahaya maut pada malam ini.
Teringat akan hal itu, Bong Thian-gak segera berubah
pikiran, dia tidak ingin meninggalkan tempat itu secepatnya,
dia masih harus melanjutkan pertarungannya.
Kepalanya segera didongakkan.
Bangunan loteng yang berlapis-lapis, gedung yang megah,
berdiri kekar di bawah cahaya rembulan.
Namun anehnya, semua gedung dan bangunan loteng itu
berada dalam keadaan gelap, tiada cahaya lentera, tiada
bayangan manusia yang nampak.
Sekeliling tempat itu berubah begitu hening, menyeramkan
dan menggidikkan.
770 Hawa napsu membunuh Bong Thian-gak semakin berkobar,
namun empat penjuru tidak nampak seorang pun, bagaimana
mungkin dia dapat melanjutkan pembantaiannya.
"Siau Cu-beng, mengapa kau tidak menampakkan diri" Kau
sudah ketakutan" Siau Cu-beng, ayo cepat menampakkan diri
untuk menerima kematian!" Bong Thian-gak berteriak, sudah
barang tentu Siau Cu-beng dapat mendengar suara teriakan
itu dengan jelas.
Akan tetapi keperkasaan Bong Thian-gak sudah
menggetarkan hatinya, dia sadar pasti dirinya bukan
tandingan lawan.
Markas besar Put-gwa-cin-kau yang menyeramkan dengan
penjagaan yang begitu ketat, dalam waktu singkat berubah
menjadi kuburan yang sepi, suasana amat menyeramkan,
bagaikan kota mati ditinggal penghuninya.
Untuk beberapa saat Bong Thian-gak hanya berdiri kaku di
tempat, dia tak tahu apa yang mesti dilakukannya sekarang"
Mendadak suara jeritan perempuan yang melolong seperti
jeritan kuntilanak terdengar bergema dari loteng di depan
sana. Jeritan itu seperti suara jeritan seseorang yang merasakan
penderitaan batin yang luar biasa.
Bong Thian-gak berkerut kening, tubuhnya secepat kilat
bergerak menuju ke arah bangunan loteng itu.
Sementara itu teriakan dan lengkingan perempuan itu
sekali lagi bergema di angkasa.
Suaranya begitu mengerikan, membuat bulu kuduk orang
berdiri dan darah serasa mendidih.
Setelah itu terdengar pula seorang dengan suara terputusputus
berteriak, "Lebih baik kalian bunuh aku, kumohon ...
771 kumohon kepada kalian ... janganlah menyiksa aku dengan
cara begini."
Setelah itu kembali bergema teriakan seperti suara lolongan
serigala di tengah malam buta.
Bong Thian-gak sudah terpancing tiba di bawah loteng itu,
tibatiba satu ingatan terlintas di benaknya, tanpa sadar
pikirnya, "Jangan-jangan mereka sengaja memasang sebuah
perangkap di tempat ini."
Karena ingatan itu, dia segera membatalkan niatnya untuk
melompat naik ke atas loteng itu.
Tapi ingatan lain terlintas dalam benaknya, "Betul, jelas
perangkap jahat untuk memancingku masuk jebakan ... tapi
perempuan itupun sudah jelas seorang korban mereka ...
padahal tempat ini sangat berbahaya, aku wajib
menyelamatkan jiwanya."
Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak segera melompat
naik ke atas loteng itu, menghantam daun jendelanya
sehingga terpentang lebar.
Di balik daun jendela merupakan sebuah ruangan yang
sangat lebar, terlihat seorang perempuan dalam keadaan bugil
terikat kencang pada tonggak kayu di tengah ruangan.
Sedangkan di lantai terlihat ada beberapa ekor ular beracun
sedang meliuk-liuk sambil menjulurkan lidahnya yang
berwarna merah, dua di antaranya merayap mendekati nona
bugil itu. Perasaan kaget, ngeri dan ketakutan menyelimuti wajah
gadis bugil tadi, membuatnya sekali lagi menjerit.
Tatkala perempuan bugil itu melihat Bong Thian-gak
muncul di situ, sorot matanya memancarkan sinar
permohonan. "Bedebah!" umpat Bong Thian-gak amat gusar.
772 Tanpa memikirkan bagaimana akibatnya, pemuda itu
segera melejit ke tengah udara dan langsung meluncur ke
arah tonggak kayu dimana perempuan bugil itu terikat.
Pedangnya segera digetarkan, dan "Crit", persis menusuk di
atas tonggak kayu itu.
Dengan tangan kiri menggenggam pedang, Bong Thian-gak
menggantungkan diri di atas pedangnya, sementara ujung
baju kanannya dikebaskan ke muka.
Akibat babatan ujung bajunya itu, dua ekor ular yang
sedang merambat mendekati tonggak kayu itu segera terhajar
hingga terputus menjadi beberapa bagian.
Pada saat itulah perempuan bugil yang terikat di atas
tonggak kayu beraksi, tubuhnya bagaikan ular menggeliat, lalu
... "Plak", Bong Thian-gak terhajar telak oleh serangannya.
Mimpi pun Bong Thian-gak tak bisa membayangkan dengan
cara apakah perempuan bugil itu melepaskan diri dari
belenggu tali itu.
Dia pun tidak tahu genggaman perempuan bugil itu
mencekal seekor ular kecil yang berwarna hijau kehitamhitaman.
Tahu-tahu Bong Thian-gak merasa punggungnya sakit
sekali, dia tidak menyadari bahwa jiwanya sekarang sudah
berada di tepi kematian.
Kaki kanan Bong Thian-gak masih mengait di atas tonggak
kayu, kemudian ia membopong perempuan bugil tadi dan
membaringkannya di atas lantai.
Ia membaringkan perempuan itu di atas lantai yang bebas
dari ancaman ular, kemudian telapak tangan kanannya
dikebaskan, gulungan angin pukulan segera menyambar, ularular
beracun yang berada di lantai pun seekor demi seekor
tersambar hingga mati semua.
773 Sementara itu suara tawa cekikikan yang amat jalang dan
cabul mulai berkumandang dari mulut perempuan bugil itu.
Sambil mengerut dahi Bong Thian-gak segera berpaling.
Entah sejak kapan perempuan bugil itu sudah mengenakan
selembar kutang untuk menutupi payudaranya yang montok,
di bawah perutnya juga sudah dilingkari gaun pendek untuk
menutupi bagian rahasianya, raut wajahnya yang semula
menderita dan ketakutan kini sudah kembali seperti keadaan
pada umumnya. Terutama sekali seekor ular kecil berwarna hijau kehitamhitaman
yang tergenggam pada tangan kanannya membuat
Bong Thian-gak seperti terbangun dari impian, ia segera sadar
dirinya sudah tertipu.
"Si... siapakah kau?" tegurnya kemudian.
Dengan suara yang amat tenang perempuan bugil itu
menjawab, "Su-kaucu Put-gwa-cin-kau, Hek-coa-li-liong (gadis
cantik ular hitam)!"
Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak setelah
mendengar pengakuan itu, dia lantas teringat rasa sakit yang
pernah dialaminya pada saat menolong perempuan itu tadi.
Paras mukanya segera berubah hebat, hardiknya penuh
gusar, "Kurangajar! Cari mampus rupanya kau?"
Telapak tangan kirinya segera diayunkan ke muka
melancarkan sebuah bacokan maut.
Hek-coa-li-liong sama sekali tidak berkelit, telapak tangan
Bong Thian-gak persis menghantam di atas perut perempuan
itu. Dengan tenaga dalam yang dimiliki Bong Thian-gak,
serangannya itu cukup baginya untuk menghancurkan batu
gunung, tapi Hek-coa-li-liong malah tertawa terkekeh-kekeh
seperti orang gila.
774 "Apa kau mampu membunuhku" Setiap orang yang
terpagut ular kecil berwarna hijau kehitam-hitamanku ini,
dalam setengah menit racunnya akan mulai bekerja dan
seluruh kekuatan yang dimiliki akan punah, kau tak akan
memiliki kekuatan untuk membunuh orang lain."
Betul, saat ini Bong Thian-gak memang merasa
kekuatannya punah, bagaikan seseorang yang ilmu silatnya
dipunahkan orang lain.
Dalam ingatan Bong Thian-gak, Su-kaucu Put-gwa-cin-kau
ini, Hek-coa-li-liong, adalah seorang yang teramat asing
baginya. Itulah sebabnya ia terluka oleh serangannya, Bong
Thian-gak menghela napas panjang, kemudian katanya,
"Sungguh tak kusangka, aku Bong Thian-gak telah melakukan
kesalahan besar gara-gara terdorong oleh perasaan, ai,
sekarang aku sudah terjatuh ke tanganmu, mau bunuh,
cincang, terserah kehendakmu!"
Dalam pada itu Hek-coa-li-liong telah selesai membereskan
rambutnya yang kusut, sekarang dapat dilihat dengan jelas
bagaimana kulit tubuhnya begitu putih bersih, mukanya bulat
telur dan berparas cantik jelita bak bidadari dari kahyangan,
usianya di antara dua puluh empat tahun.
Sambil tertawa cekikikan Hek-coa-li-liong berkata kembali,
"Kau mempunyai perasaan kasihan" Hm! Dua ratus orang
anggota Put-gwa-cin-kau telah kau bantai secara kejam.
Kaulah manusia dalam persilatan saat ini yang membunuh
orang paling banyak. Gembong iblis pembunuh manusia
macam dirimu, mana mungkin mempunyai perasaan kasihan"
Huh, kau tak usah membual lagi di hadapanku."
Disemprot dengan kata-kata yang begitu pedas, tanpa
terasa Bong Thian-gak menundukkan kepala, ucapnya
kemudian, "Kalau ingin turun tangan, ayolah lakukan
secepatnya!"
Hek-coa-li-liong tersenyum.
775 "Membunuhmu" Tidak akan kulakukan semudah itu."
"Kalau tidak, perbuatan apa yang hendak kau lakukan


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadap diriku?" tegur Bong Thian-gak mulai naik pitam.
"Sekarang kau telah kehilangan ilmu silatmu, bagaimana
pun juga kau tidak bakal bisa kabur dari sini, oleh sebab itu
aku hendak mencari akal lain untuk menghadapi dirimu."
Sepanjang pembicaraan, secara diam-diam Bong Thian-gak
telah mencoba mengerahkan hawa murninya, tapi urat nadi
serta jalan darahnya seakan-akan tersumbat oleh suatu
kekuatan besar sehingga tak setitik tenaga pun yang mampu
disalurkan. Dengan menghela napas sedih pelan-pelan Bong Thian-gak
bertanya, "Apa nama ular itu" Sungguh tak nyana begitu
hebat." Hek-coa-li-liong tertawa bangga, sahutnya, "Ular ini bukan
ular sungguhan, yang benar adalah sejenis senjata tajam."
Bong Thian-gak mengalihkan sorot matanya ke ular kecil
warna hijau kehitaman yang berada di tangan kanannya.
Ternyata memang sama sekali tak bergerak, kenyataan
memang bukan ular sungguhan, melainkan senjata yang
berbentuk ular.
Bong Thian-gak berseru tertahan, kemudian tanyanya,
"Apa nama senjata itu?"
"Hek-Jik-leng-coa (ular sakti hijau kehitam-hitaman)."
"Apakah kau telah menyembunyikan racun keji di balik
lidah ular itu?" tanya Bong Thian-gak lagi sambil menghela
napas. "Betul, punggungmu tertusuk oleh lidah ular itu, bukan oleh
pagutannya."
776 "Apakah kau sudah mendapatkan cara terbaik untuk
menghukum diriku?"
"Belum!" kembali Hek-coa-li-liong menggeleng kepala.
"Walau aku sudah menjadi manusia tak berilmu silat, tetapi
aku tak dapat berdiam kelewat lama di sini menunggu
hukuman." "Meski ilmu silatmu telah punah, namun kau masih dapat
menyelamatkan nyawamu selama tinggal di tempat ini.
Andaikata kau meninggalkan loteng ini, niscaya Siau Cu-beng
akan membunuhmu."
Bong Thian-gak tertegun mendengar kata-katanya itu,
"Apakah selama aku tetap mengendon di tempat ini, kau dan
Siau Cu-beng tak akan merenggut nyawaku?"
Hek-coa-li-liong tertawa dingin, "Selamanya Siau Cu-beng
tak akan berani mencampuri urusanku, yang paling
menakutkan apabila aku hendak merenggut jiwamu."
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Ai, mati bukan sesuatu yang menakutkan, aku hanya
merasa bahwa kematianku terlalu tak berharga."
"Mengapa tak berharga?" tanya Hek-coa-li-liong.
"Orang-orang Put-gwa-cin-kau kejam dan tidak
berperasaan. Tatkala mendengar jeritanmu tadi, aku mengira
orang Put-gwa-cin-kau sedang menyiksa orang dengan sangat
keji. Itulah sebabnya aku terburu-buru datang kemari. Ai,
sungguh tak kusangka kau pun termasuk satu di antara
gembong Put-gwa-cin-kau."
Hek-coa-li-liong tertawa dingin, tiba-tiba bentaknya, "Siau
Cu-beng, jika kau berani melangkah masuk ke dalam lotengku
ini, segera akan kusuruh kau mati tergigit ular beracun."
Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera
berpaling dan menengok sekejap keluar jendela, tampak
777 olehnya suasana di bawah loteng terang-benderang
bermandikan cahaya. Siau Cu-beng beserta sekelompok
pengawal berbaju kuning telah mengepung loteng itu.
Siau Cu-beng masih mengenakan kain berkerudung,
tampak dia mendongakkan kepala dan berkata lantang,
"Sebelum memperoleh izin dari Su-kaucu, tentu saja Cu-beng
tidak berani bertindak sembarangan memasuki kamar
tidurmu." Ketika itu tenaga dalam Bong Thian-gak telah punah, dia
sangat kecewa dan putus asa, maka sambil berdiri di sisi
arena ia memutar otak mencari akal, pikirnya, "Biar waktu
tertunda, coba kulihat apakah tenaga dalamku masih ada
kemungkinan pulih atau tidak?"
Sementara itu Hek-coa-li-liong telah mendengus dingin
sambil berkata, "Kalau memang begitu, mengapa kau bawa
orang-orangmu mengepung loteng ini?"
Siau Cu-beng tertawa ringan.
"Aku kuatir Su-kaucu tidak bisa menaklukkan Jian-ciatsuseng."
"Hm, sekalipun tak mampu melakukannya, aku juga tak
akan memberi kesempatan kepadamu untuk menaklukkan
orang itu," jengek Hek-coa-li-liong dengan ketus.
"Su-kaucu," mendadak Siau Cu-beng berkata dengan suara
dalam, "Malam ini, aku orang she Siau bersedia memberi
kesempatan kepadamu untuk menebus dosa-dosamu yang
lalu, kuharap kesempatan yang sangat bagus ini jangan kau
sia-siakan begitu saja."
"Apa yang mesti kulakukan?" tanya Hek-coa-li-liong sambil
tertawa dingin.
"Jika Su-kaucu berhasil menaklukkannya, harap kau
serahkan orang itu kepadaku untuk dijatuhi hukuman."
778 Sekali lagi Hek-coa-li-liong tertawa dingin.
"Satu kali tergigit ular berbisa, sepuluh tahun takut tali
tambang. Aku tak bakal menyerahkan jasa besar ini kepadamu
begitu saja."
"Su-kaucu!" kembali Siau Cu-beng berkata dengan suara
dingin, "Bila kau melakukan kesalahan lagi, perkumpulan akan
menggunakan peraturan yang paling ketat dan berat untuk
menghukum serta menyiksa dirimu."
"Kau tak usah kuatir," Hek-coa-li-liong tertawa menjengek.
"Aku masih mampu mengawasinya hingga Cong-kaucu
pulang." "Kalau begitu Su-kaucu tidak bersedia menyerahkan orang
itu kepadaku?"
"Kau licik dan munafik, yang kau pikirkan hanya
kepentingan sendiri, aku sudah cukup banyak menerima
pelajaran pahit darimu."
"Apakah Su-kaucu tak kuatir aku bakal menurunkan
perintah menyerang lotengmu," kata Siau Cu-beng lagi sambil
tertawa dingin dengan suara menyeramkan.
"Di dalam loteng ini terpelihara beribu-ribu ular beracun,
bila kau memang tidak kuatir dipagut ularku, silakan saja
untuk mencoba."
"Ular paling takut dengan api," jengek Siau Cu-beng sambil
tertawa dingin. "Aku masih bisa melepaskan api membakar
loteng ini."
Hati Hek-coa-li-liong bergetar keras, ujarnya kemudian,
"Ular-ular beracun peliharaanku telah mendapat latihan
khusus. Asal kubunyikan serulingku, maka beribu-ribu ular
beracun itu akan menyerbu keluar. Aku tak percaya kau masih
mampu mempertahankan hidup."
779 "Su-kaucu," teriak Siau Cu-beng semakin marah,
"tindakanmu sungguh mengkhianati peraturan yang telah
ditetapkan perkumpulan."
"Yang telah melanggar peraturan bukanlah aku, melainkan
kau sendiri," jengek Hek-coa-li-liong sambil tertawa dingin.
"Sewaktu aku ditahan di dalam loteng ini, siapa pun tidak
dibiarkan mengusik atau mengganggu ketenanganku. Apakah
komandan Siau telah lupa?"
"Tapi kenyataan sekarang Su-kaucu berniat melindungi
buronan penting, aku mempunyai hak penuh untuk
menjatuhkan hukuman yang setimpal kepadamu."
Hek-coa-li-liong tertawa dingin, "Siau Cu-beng, kau tidak
usah banyak cerita lagi. Dendam sakit hati di antara kita sudah
seperti air dan api, tidak mungkin bagi kita untuk hidup
bersama, apa pun yang hendak kau lakukan terhadap diriku,
boleh kau laksanakan sekarang juga!"
Siau Cu-beng mendengus dingin.
"Hm, kau tidak bersedia bekerja sama denganku. Berarti
kau sendiri yang mencari jalan kematian."
Sepanjang pembicaraan, Bong Thian-gak hanya
mendengarkan dengan hati dingin dan perasaan tenang.
Ketika pembicaraan telah usai, dia baru menghela napas
seraya berkata, "Siau Cu-beng adalah seorang licik yang
berhati keji serta buas. Kekejaman dan kebrutalannya boleh
dibilang sudah mencapai titik puncak yang paling tinggi, bisa
jadi kau akan musnah di tangannya."
Hek-coa-li-liong memandang sekejap ke arah Bong Thiangak,
kemudian katanya dingin, "Apakah kau berniat
mempengaruhi aku agar berkhianat?"
"Ai, mungkin dengan begitu keselamatan jiwa kita berdua
baru bisa dipertahankan," jawab Bong Thian-gak sambil
menghela napas. Hek-coa-li-liong tertawa dingin.
780 "Terus terang saja kuberitahu suatu hal kepadamu, sejak
aku disekap dalam loteng ini, menelan semacam obat racun
yang berdaya kerja lambat, suatu ketika jika aku berani
melarikan diri dari tempat ini dan dalam satu bulan tidak
menelan obat penawar racunnya, maka daya kerja racun itu
akan mulai beraksi, akhirnya aku bakal mampus dengan darah
keluar dari ketujuh lubang indra. Itulah sebabnya aku tak
berani berkhianat ataupun melarikan diri."
Bong Thian-gak terkejut mendengar keterangan itu,
sekarang ia tahu cara bagaimana Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau
mengendalikan jago-jago lihainya dan bagaimana pula cara
menguasai kawanan Enghiong.
Tapi justru dari perkataan itu Bong Thian-gak pun
mendapat tahu bahwa dari dasar hati gadis itu sesungguhnya
sudah mempunyai niat untuk berkhianat terhadap Put-gwacin-
kau. Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Bong
Thian-gak, tanyanya kemudian, "Su-kaucu, apakah kau tahu
obat racun macam apakah yang telah kau makan?"
"Tidak!" Hek-coa-li-liong menggeleng kepala berulang-kali.
"Masih berapa lama lagi Su-kaucu mesti menelan obat
penawar berikutnya?" kembali pemuda itu bertanya.
"Empat hari. Selewat empat hari, bila obat penawar racun
belum juga diserahkan kepadaku, akibatnya aku akan tewas
dengan keadaan mengenaskan."
"Ai, dalam tiga tahun belakangan ini, boleh dibilang setiap
waktu aku selalu kuatir bila mereka tak menyerahkan obat
penawar racun kepadaku, menghadapi ancaman maut itu
sungguh penderitaan batin yang betul-betul amat berat."
Menyusul gadis itu bergumam, hanya saja Bong Thian-gak
tidak menangkap jelas, karena saat itu dia sedang
memperhitungkan suatu masalah penting.
781 Tiba-tiba terdengar Bong Thian-gak bergumam, "Ai, masih
ada waktu. Dalam empat hari sudah pasti akan tiba di kota
Lok-yang."
"Apakah yang kau pikirkan?" tanya Hek-coa-li-liong sambil
melirik sekejap ke arahnya.
Dengan wajah berseri Bong Thian-gak berkata, "Bila Sukaucu
bertekad hendak meninggalkan cengkeraman maut Putgwa-
cin-kau. Aku pun bersedia mengusahakan pengobatan
racun yang mengeram dalam tubuhmu."
"Aku tidak percaya kau memiliki kemampuan semacam itu,"
kata Hek-coa-li-liong itu.
"Di dunia persilatan dewasa ini, terdapat seorang tabib
sakti dan kenamaan yang mampu menawarkan racun yang
mengeram dalam tubuhmu sekarang."
"Obat racun yang bersifat lambat yang kutelan adalah
bikinan si tabib sakti Gi Jian-cau, kecuali Gi Jian-cau sendiri,
aku rasa tiada orang lain di kolong langit dewasa ini yang
mampu menawarkan racun jahat itu."
Bong Thian-gak semakin girang.
"Justru orang yang kumaksud tadi tak lain adalah Gi Jiancau,
aku memang berniat mengajakmu mencarinya."
"Kau tidak usah ngaco-belo tak keruan"Hek-coa-li-liong
berkata dingin. "Obat-obatan yang berada dalam kekuasaan
Cong-kaucu boleh dibilang semuanya berasal dari Gi Jian-cau,
mana mungkin dia mau mengobati orang yang telah menelan
racun bikinannya sendiri."
Bong Thian-gak segera tersenyum.
"Memang, apa yang kau ucapkan betul sekali, tapi aku pun
berani menjamin Gi Jian-cau pasti akan bersedia mengobati
racun jahat yang mengeram di dalam tubuhmu."
782 "Apa hubunganmu dengan Gi Jian-cau?" tanya Hek-coa-liliong.
"Dia adalah salah satu pelindung perguruan kami."
"Lantas siapakah kau?"
"Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun ... Jian-ciat-suseng Bong
Thian-gak."
Agaknya Hek-coa-li-liong menaruh pandangan yang
teramat asing terhadap segala perubahan dan tokoh dalam
Bu-lim. Sambil tertawa ia menggeleng kepala, kemudian ujarnya,
"Aku sudah disekap hampir tiga tahun lamanya di loteng ini.
Karenanya aku sama sekali tidak jelas tentang segala masalah
dan kejadian yang berlangsung di Bu-lim selama ini, walaupun
begitu aku cukup mengenal nama Hiat-kiam-bun."
Kemudian sambil menarik muka, ia berkata lebih lanjut
dengan suara dingin, "Andai kata Hiat-kiam-bun benar-benar
sudah muncul, maka ketua terpilihnya selain Ko Hong dan
Keng-tim Suthay, mengapa bisa terjatuh ke tangan Jian-ciatsuseng?"
Diam-diam Bong Thian-gak merasa girang mendengar
ucapan itu, cepat ia bertanya, "Su-kaucu, darimana kau bisa
tahu nama Ko Hong dan Keng-tim Suthay?"
Hek-coa-li-liong memandang sekejap ke arahnya, lalu
jawabnya, "tentang orang yang bernama Ko Hong, aku
memang tidak kenal, tapi aku kenal Keng-tim Suthay."
Tiba-tiba Bong Thian-gak teringat suatu masalah, dia
segera bedanya, "Bagaimanakah hubungan pribadi Su-kaucu
dengan Jit-kaucu Thay kun?"
Paras Hek-coa-li-liong segera berubah hebat ia balik
bertanya, "Darimana kau bisa tahu nama Jit-kaucu?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
783 "Su-kaucu bisa tahu tentang Hiat-kiam-bun karena Jitkaucu


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thay-kun yang memberitahukan hal itu kepadamu, bisa
juga Thay-kun berniat menarik kau agar bergabung dengan
Hiat-kiam-bun."
"Ai, bicara yang sebenarnya, Ko Hong yang muncul tiga
tahun berselang tak lain adalah aku sendiri. Ko Hong adalah
nama samaranku, bila Su-kaucu bersedia memenuhi
permohonan tadi, harap kau segera turun tangan!"
Hek-coa-li-liong termenung dan berpikir beberapa saat,
kemudian baru berkata, "Sungguhkah perkataanmu itu?"
"Bila aku berani berbohong sedikit saja, biar Thian
mengutuk diriku serta memberi kematian yang paling tragis
kepadaku."
Wajah Hek-coa-li-liong baru nampak berseri setelah
mendengar kata-kata terakhir tadi, katanya, "Harap kau duduk
bersila di atas tanah, segera aku berikan obat penawar racun
itu untukmu."
Selesai berkata, dengan cepat Hek-coa-li-liong masuk ke
ruang dalam, sekejap kemudian dia telah muncul kembali.
Pada waktu itu dia sudah mengenakan mantel yang
berbuat dari kulit ular, tangan kiri membawa seruling pendek,
sementara tangan kanannya membawa pisau belati.
Dia mengambil seekor bangkai ular dari antara tumpukan
bangkai ular yang berserakan, kemudian pisau belatinya
merobek perut bangkai tadi dengan lincah dan cekatan, tahutahu
ia sudah mencongkel empedu ular berwarna hijau
kehitam-hitaman.
Ujarnya pula, "Ayo, cepat kau telan empedu ular ini, dalam
setengah jam tenaga dalammu lambat-laun akan pulih seperti
sedia kala."
784 Belum selesai ia berkata, bayangan orang berkelebat dari
luar jendela, kemudian seorang berbaju hitam berkerudung
telah menerjang masuk ke dalam ruangan.
Hek-coa-li-liong segera membentak nyaring, "Siau Cu-beng,
kau berani melangkah masuk ke daerah terlarang?"
Di tengah bentakan itu, Hek-coa-li-liong berkelebat
menghadang di depan Bong Thian-gak, lalu jari tangannya
menyentil ke depan dan melemparkan empedu ular itu ke
dalam mulut Bong Thian-gak.
Pada saat bersamaan pula, pisau belati di tangan kanannya
menusuk Siau Cu-beng.
Dengan cekatan Siau Cu-beng menggeser langkah
menghindarkan diri dari ancaman itu, lalu umpatnya dengan
suara dingin, "Perempuan rendah, kau benar-benar telah
berkhianat rupanya."
Dengan gerakan cepat tangan kanannya melolos sebilah
pedang panjang.
Setelah melepaskan sebuah serangan dengan pisau
belatinya tadi, Hek-coa-li-liong telah mengundurkan diri ke
muka Bong Thian-gak. Ketika mendengar ucapan itu, segera
sahutnya dingin. "Soal berkhianat sudah kurencanakan sejak
dulu, cuma belum ada kesempatan untuk mewujudkannya."
Siau Cu-beng tertawa dingin.
"Berarti kau mencari masalah. Kalau begitu, jangan
salahkan lagi bila aku berhati keji dan buas terhadap dirimu!"
Siau Cu-beng mendesak maju, pedangnya berkelebat
berulang kali dengan gerakan aneh, beruntun ia melancarkan
tiga buah serangan.
Jurus pedang yang dipergunakan Siau Cu-beng kelihatan
aneh dan ganas, Hek-coa-li-liong harus memainkan pisau
785 belatinya dengan lihainya untuk mematahkan jurus serangan
itu. Sewaktu serangan berhasil diatasi, ia pun sudah terdesak
hingga mundur ke hadapan Bong Thian-gak.
Sambil tertawa dingin Siau Cu-beng menjengek, "Bila kau
bersedia membuang pisaumu dan menyerahkan diri, masih
ada kemungkinan bagimu untuk mempertahankan nyawamu
itu." Selesai berkata, sebuah serangan gencar kembali
dilancarkan ke depan.
"Aku lebih suka mati daripada hidup tersiksa dan
menderita," bentak Hek-coa-li-liong.
Serangan pedang yang amat dahsyat dan hebat, nyaris
memaksa Hek-coa-li-liong kehilangan pisau belatinya, hampir
saja mencelat dari genggaman.
"Aku tahu," jengek Siau Cu-beng, "Kepandaianmu yang
terhebat adalah mengendalikan kawanan ular dengan irama
seruling, sedang dalam ilmu silat, kau tidak akan mampu
bertahan sepuluh jurus serangan pedangku."
Jurus pedang Siau Cu-beng berubah terus tiada hentinya,
sebentar menotok sebentar membacok, secara beruntun dia
melancarkan tiga buah serangan lagi.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget berkumandang.
Ternyata lengan kiri Hek-coa-li-liong telah tersambar oleh
pedang lawan sehingga muncul sebuah luka memanjang yang
cukup dalam. Pada saat itu pula pedang panjang di tangan kiri Siau Cubeng
sekali lagi melancarkan serangan.
Pisau belati yang tergenggam di tangan kanan Hek-coa-liliong
segera tersontek oleh pedang lawan hingga mencelat ke
tengah udara. 786 Pedang Siau Cu-beng kembali melakukan gerakan
menyambar, ujung pedang yang tajam menempel
tenggorokan Hek-coa-li-liong yang merupakan bagian
mematikan di tubuh manusia.
Sambil tertawa dingin, dengan penuh kebanggaan Siau Cubeng
berkata, "Sekarang, apa lagi yang bisa kau katakan?"
Paras muka Hek-coa-li-liong masih tampak begitu tenang
dan kalem, seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu, katanya
kemudian, "Siau Cu-beng, kau sudah kehilangan kesempatan
terbaik untuk membunuh aku."
Entah sejak kapan Hek-coa-li-liong telah menggenggam
seekor ular kecil berwarna hijau kehitam-hitaman di tangan
kanannya. "Apa maksudmu?" tanya Siau Cu-beng agak seram
bercampur ketakutan.
"Coba kau lihat dulu, ular kecil yang berada dalam
genggamanku sekarang adalah benda apa?"
"Ular sakti hijau hitam!"
"Tahukah kau, benda apa saja yang tersimpan di dalam
lambung kecil ini?"
"Tiga belas batang jarum beracun." Hek-coa-li-liong tertawa
bangga. "Selama ular sakti hijau hitam berada di genggamanku,
tujuh langkah bisa melukai orang dan tak seorang pun yang
mampu untuk menghindarkan diri. Andaikata pedangmu
langsung kau tusukkan ke dalam tubuhku, maka aku tak akan
mempunyai kesempatan yang baik untuk mengeluarkan ular
sakti hijau hitam itu."
"Tapi sekarang ... biarpun kau masih bisa menusuk mati
diriku dengan pedangmu, namun aku pun dapat
menyemburkan jarum-jarum beracun yang tersimpan di dalam
787 lambung ular sakti hijau hitam ini, karenanya saat ini kita
hanya bisa saling mempertahankan diri belaka."
Siau Cu-beng tertawa dingin, tiba-tiba tanyanya,
"Bagaimana dengan keadaan Jian-ciat-suseng saat ini?"
Hek-coa-li-liong sama sekali tidak berpaling, hanya
jawabnya dingin, "Kau tidak perlu menggunakan akal muslihat
busuk dan licik untuk menipuku, aku tak bakal terkena
siasatmu itu."
"Jika kita harus saling bertahan pada keadaan seperti ini,
pada ?khirnya kau akan mampus juga di ujung pedangku,"
seru Siau Cu-beng kemudian sambil tertawa dingin.
Hek-coa-li-liong segera tertawa.
"Jika aku mati, kau pun jangan harap bisa meninggalkan
tempat ini dalam keadaan selamat."
"Kalau memang begitu, lihat saja bagaimana akhirnya
nanti!" Mendadak Siau Cu-beng menggeser tubuh ke arah sisi kiri.
Bersamaan pedang di tangan kirinya yang terkulai menghadap
ke lantai mencungkil ke atas secepat kilat.
Hek-coa-li-liong mendengus penuh amarah, sambil
membentak kelima jari tangan kanannya segera menekan
tombol rahasia yang berada di lambung ular sakti hijau
hitamnya. Dalam sekejap Hek-coa-li-liong merasa lengan kanannya
menjadi dingin, tahu-tahu cahaya tajam pedang Siau Cu-beng
telah menyambar lengan kanannya, percikan darah segar
segera memancar kemana-mana.
Hek-coa-li-liong menjerit kesakitan, lengan kanannya
sebatas sikut telah terbabat pedang lawan hingga kutung,
bersamaan, terdengar bunyi desingan angin tajam bergema.
788 Pedang Siau Cu-beng yang menempel di atas tenggorokan
Hek-coa Ii liong tahu-tahu sudah ditarik kembali sambil diputar
menciptakan selapis cahaya pedang yang amat tebal untuk
melindungi seluruh badannya.
.senjatanya menusuk tubuh Bong Thian-gak dengan
kecepatan luar biasa.
Serangan yang dilancarkan itu merupakan serangan
terakhir Siau Cu-beng dengan segenap tenaganya. Bukan saja
serangannya aneh susah diduga, tenaganya pun ganas luar
biasa. Sebelum serangannya tiba, hawa dingin yang menyayat
badan telah menyambar kemana-mana.
Bong Thian-gak berkerut kening menyaksikan ini. Dengan
cepat pedang di tangan kirinya digerakkan menyongsong
datangnya ancaman.
Suatu jeritan ngeri yang menyayat hati segera
berkumandang. Di antara percikan darah segar yang memancar kemanamana.
"Plak", lengan kiri berikut pedang Siau Cu-beng telah
terpapas kutung dan rontok ke tanah.
Sungguh kaget dan tercengang Hek-coa-li-liong
menyaksikan itu, dia tak mengira dengan suatu gerakan yang
begitu ringan, ternyata Bong Thian-gak dapat mengatasi
serangan lawan yang begitu dahsyat, bahkan sekaligus
mengutungi lengan kiri Siau Cu-beng.
Dengan sempoyongan Siau Cu-beng mundur dua langkah,
namun sebelum ia sempat berdiri tegak, kembali cahaya
pedang berkelebat di hadapannya.
Jeritan ngeri yang memilukan sekali lagi berkumandang,
kali ini lengan kanan berikut pangkal bahunya kena terbabat
kutung. 789 Agaknya Siau Cu-beng sudah merasakan bahwa dia
menghadapi jalan buntu yang membahayakan keselamatan
jiwanya. Biarpun lengan kiri dan kanannya sudah kutung serta
darah segar bercucuran dengan amat derasnya, saking
sakitnya hampir saja ia tak sadarkan diri, namun ia masih
berusaha menjejakkan kaki sekuat tenaga dan kabur melalui
daun jendela. Siapa tahu bayangan orang segera berkelebat, segulung
tenaga pukulan yang sangat dahsyat menghantam tubuhnya
membuat dia mendengus tertahan, lalu roboh di atas tanah.
Ternyata Bong Thian-gak dengan pedang terhunus sudah
berdiri di hadapannya, cahaya pedang yang berkilauan tajam
kini sudah menempel di atas tenggorokannya.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera berseru,
"Sebelum ajalmu tiba, ingin kulihat wajahmu, apakah kau pun
memperlihatkan rasa takut dan ngeri dalam menghadapi
datangnya malaikat elmaut."
Kain kerudung hitam yang menutupi wajah Siau Cu-beng
segera tersambar oleh cukilan pedang hingga terlepas.
Muncul seraut wajah yang pucat-pias bagaikan kertas,
potongan serta mimik mukanya tidak jauh berbeda seperti
keadaan pada sepuluh tahun berselang, hanya bedanya
sekarang wajah itu mengejang keras dan penuh diliputi
perasaan takut, ngeri, sakit dan seram.
Bong Thian-gak mendongakkan kepala tertawa seram,
kemudian katanya, "Siau Cu-beng, andaikata kubunuh kau
dengan sebuah tusukan, hal ini keenakan bagimu, karenanya
aku hendak mengutungi keempat anggota tubuhmu terlebih
dahulu, kemudian membiarkan darahmu mengalir keluar
sampai kering dan rasakanlah bagaimana enaknya mati secara
perlahan-lahan."
790 Cahaya pedang kembali berkelebat, jeritan ngeri yang
menyayat hati bagaikan jeritan babi yang mau disembelih
segera berkumandang.
Sepasang kaki Siau Cu-beng sebatas lutut kini sudah
terpapas kutung menjadi dua.
Ia mulai terguling-guling di atas tanah, meraung-raung
seperti singa sekarat, mulai mengeluh dan merintih, bagaikan
pengemis yang meminta belas kasihan, mengenaskan sekali
keadaannya waktu itu.
Dalam waktu singkat ia telah berubah menjadi seorang
berdarah. Pada saat itulah bunyi seruling yang aneh dan amat tak
enak didengar berkumandang dalam ruangan.
Hek-coa-li-liong memainkan seruling pendeknya dengan
tiupan Iembut, namun irama yang dihasilkan justru tinggi
melengking dan amat tidak sedap didengar, kemudian
katanya, "Aku telah memainkan irama Iblis penakluk ular.
Sebentar kawanan ular beracun akan bergerak merayapi
tubuhnya dan akan mulai mengisap darah yang mengalir dari
tubuhnya, dia akan mati karena darahnya diisap oleh ularularku.
Biar siksaan semacam ini terhitung kejam dan tidak
berperi-kemanusiaan, Namun termasuk pembalasan yang
setimpal bagi dosa dan kejahatan yang, telah dilakukannya
selama ini. Bong-siangkong, mari kita segera berangkat!"
Belum selesai dia berkata, segulung bau amis sudah
berhembus, enam tujuh ekor ular berbisa menampakkan diri
di depan pintu ruangan.
Hek-coa-li-liong segera menarik ujung baju Bong Thiangak,
lalu mereka berdua bersama-sama melompat keluar
ruangan melalui jendela.


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kawanan manusia yang semula mengepung sekeliling
loteng itu secara rapat dan ketat, kini justru telah
791 membubarkan kepungan mereka, malah tak nampak seorang
pun di situ. Belum jauh mereka pergi, dari dalam ruang loteng
terdengar lagi suara jeritan ngeri Siau Cu-beng yang
memilukan di tengah keheningan malam yang mencekam
seluruh jagat, jeritannya sungguh menggetarkan hati setiap
orang yang mendengarnya.
Seorang berhati buas bagai ular berbisa yang sepanjang
hidupnya banyak melakukan kejahatan kini telah memperoleh
pembalasan yang setimpal, dia harus merasakan siksaan dan
penderitaan yang amat berat dimana sisa darah di dalam
tubuhnya diisap oleh ular-ular beracun hingga mengering
sebelum akhirnya ajal merenggut kehidupannya.
Mendengar jeritan yang begitu menyayat hati, Bong Thiangak
menghela napas sedih, kemudian setelah menyarungkan
pedangnya ke pinggang, ia menarik tangan Hek-coa-li-liong
dan diajak melewati tiga-empat halaman rumah.
Sepanjang perjalanan mereka sama sekali tidak menjumpai
suatu hadangan pun.
Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya, "Kita hendak kemana?"
"Bukankah kau hendak pergi mencari adik
seperguruanmu?" Hek-coa-li-liong balik bertanya.
"Dimana dia berada" Berapa lamakah yang kita butuhkan
untuk sampai di sana?"
"Bila jadi dia disekap di dalam istana cinta iblis, jaraknya
dari tempat ini kurang lebih satu jam perjalanan."
"Mengapa tempat itu dinamakan istana cinta iblis?" tanya
Bong Thian-gak dengan kening berkerut.
"Sebab tempat itu merupakan tempat hiburan bagi anggota
Put-gwa-cin-kau."
792 "Jadi dia sudah dinodai oleh kawanan iblis itu?" BongThiangak
merasa sedih sekali.
"Tak seorang pun bisa lolos dari perkosaan setelah berada
di dalam istana cinta iblis."
Membara hawa amarah dan perasaan dendam di hati kecil
Bong Thian-gak, sambil mengertak gigi menahan rasa
bencinya, ia bersumpah, "Selama Bong Thian-gak masih hidup
di dunia ini, aku pasti akan menyuruh Cong-kaucu Put-gwacin-
kau merasakan pembalasan yang paling kejam."
Hek-coa-li-liong melirik sekejap ke arah Bong Thian-gak,
ujarnya, "Walaupun orang yang paling berkuasa dan
memegang tampuk pimpinan tertinggi dalam perkumpulan
Put-gwa-cin-kau adalah Cong-kaucu, namun aku rasa bila
benar-benar ingin meleyapkan Put-gwa-cin-kau dari muka
bumi, bukan Cong-kaucu yang harus dibunuh terlebih dahulu."
"Apakah kita harus membunuh kuku-kuku garudanya
terlebih dahulu?"
Hek-coa-li-liong mengangguk membenarkan.
"Betul, kita harus membunuh kuku-kuku garudanya lebih
dahulu, tapi tahukah kau siapa saja yang merupakan kukukuku
garuda andalannya?"
"Sim Tiong-kiu, Ji-kaucu, dan lain sebagainya."
Sambil tertawa, Hek-coa-li-liong menggeleng kepala
berulang-kali. "Dugaanmu keliru besar, Cong-kaucu masih mempunyai
tiga orang utusan pelindung bunga yang sangat misterius
identitasnya, maka bisa jadi kau akan terperanjat."
Bong Thian-gak menjadi sangat keheranan, segera
tanyanya, "Ia masih mempunyai tiga orang utusan pelindung
bunga yang misterius identitasnya, siapa sebenarnya ketiga
orang itu?"
793 "Kau jangan bertanya dulu siapakah ketiga orang yang
kumaksud, sekarang aku hendak bertanya dulu satu hal, saat
ini si tabib sakti Gi Jian cau berada dimana?"
"Di suatu tempat rahasia di kota Lok-yang."
"Bila kau berhasil menjumpai Gi Jian-cau, kau harus segera
membunuhnya," mendadak gadis itu berpesan.
"Apa maksudmu berkata demikian?" tanya Bong Thian-gak
sambil berkerut kening, ia merasa tak habis mengerti.
"Sebab dia merupakan satu di antara ketiga utusan
pelindung bunga Cong-kaucu yang misterius itu."
"Ah, tidak mungkin," pemuda itu menggeleng kepala
berulangkah. "Tabib sakti Gi Jian-cau tak mungkin menjadi
kuku garuda Cong-kaucu."
Ketika mendengar jawaban itu, Hek-coa-li-liong nampak
merasa sedih, kembali dia berkata, "Bila kau tidak
mempercayai perkataanku ini, cepat atau lambat kau akan
terbunuh di tangannya."
"Gi Jian-cau adalah pelindung hukum perguruan kami,"
kata Bong Thian-gak kemudian dengan suara dalam. "Biarpun
sampai sekarang aku belum berjumpa dengannya, namun
Keng-tim Suthay dari perguruan kami sangat menaruh
kepercayaan kepadanya, sudah barang tentu aku pun amat
mempercayai dirinya."
"Tapi sekarang secara tiba-tiba saja kau mengutarakan
kata-kata seperti ini, sungguh hal ini membuatku keheranan
setengah mati."
"Kini di dalam tubuhmu masih mengeram racun yang
sangat jahat, padahal batas waktunya tinggal empat hari lagi,
mari sekarang juga kita berangkat ke Lok-yang dan minta Gi
Jian-cau mengobati racun itu."
794 "Aku tahu dan memang sudah kuduga sejak tadi bahwa
kau tak akan percaya pada perkataanku ini, namun tujuanku
tak lebih hanya ingin membuat kau tahu bahwa Gi Jian-cau
adalah salah satu di antara ketiga pelindung bunga Congkaucu
yang misterius."
"Asal kau mengikuti aku sampai di kota Lok-yang, segera
akan kau ketahui sendiri Gi Jian-cau termasuk orang baik atau
jahat." "Tidak, aku takkan pergi ke Lok-yang."
"Kalau kau tidak ke Lok-yang, lantas hentak pergi
kemana?" "Aku ingin mempergunakan sisa waktu empat hari ini untuk
mencari tempat yang ideal dan indah bagi tempat kuburku."
"Asal kita berhasil mencapai kota Lok-yang dalam empat
hari, aku pun yakin Gi Jian-cau dapat mengobati racun jahat
yang mengeram dalam tubuhmu itu. Kau harus tahu nyawa
seorang berharga sekali, mengapa kau melepas kesempatan
yang sangat baik untuk melanjutkan hidup?"
Hek-coa-li-liong menggeleng kepala berulang-kali. "Aku
sudah merasakan malaikat maut sudah mendekati diriku.
Itulah sebabnya aku harus berpisah secepatnya darimu, kalau
tidak, kau bakal terseret ke dalam masalah ini gara-gara aku."
"Ai, perkataanmu ini semakin membuat aku bingung dan
tak habis mengerti," Bong Thian-gak menghela napas
panjang. "Bila bukan disebabkan menghargai jiwamu,
mengapa kau mesti berkhianat untuk menyelamatkan jiwaku?"
Sekali lagi Hek-coa-li-liong menggeleng kepala.
"Sejak dulu aku memang sudah berniat berkhianat,
mengapa pula aku mesti mencelakai jiwamu" Ai, terus terang
saja kuberitahukan kepadamu, aku tidak akan ke Lok-yang,
bukannya disebabkan aku tidak percaya kepada Gi Jian-cau."
795 "Tapi bukankah kau pernah berkata kepadaku bahwa racun
jahat yang bersarang di dalam tubuhmu itu tak akan bisa
diobati siapa pun selain obat penawar racun bikinan Gi Jiancau"
Kalau kedua pihak sama-sama menjumpai jalan buntu,
mengapa kita tak berangkat ke Lok-yang untuk mengadu
untung" Siapa tahu dewi rezeki masih berada di pihakmu?"
Dengan pancaran mata penuh rasa terima kasih, Hek-coali-
liong memandang sekejap ke arah pemuda itu, kemudian
katanya, "Asalkan aku masih dapat mempertahankan hidupku,
pasti akan kusumbangkan segenap pikiran dan tenagaku demi
kepentinganmu."
Dengan cepat Bong Thian-gak bisa menangkap arti
sebenarnya perkataan itu, ia berseru tertahan, kemudian
tanyanya, "Kau menolak pergi ke Lok-yang, apakah karena
kau sudah punya jalan kehidupan yang lain?"
Hek-coa-li-liong tertawa rawan.
"Antara hidup dan mati masing-masing setengah
kesempatan."
Akhirnya Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Ai,
kalau kau bersikeras tak akan pergi ke Lok-yang, biarlah aku
mendampingimu kemana pun kau hendak pergi." Cepat Hekcoa-
li-liong menggeleng kepala.
"Siangkong adalah seorang ketua perguruan besar, aku
tahu musuhmu sangat banyak dan berbagai masalah masih
menantikan penyelesaian darimu. Buat apa kau mesti
membuang waktu yang sangat berharga cuma dikarenakan
urusanku?"
"Aku hanya ingin menemani kau selama empat hari saja,
sebab bila aku tidak berbuat begini, hatiku tak akan merasa
tenang." Agaknya Hek-coa-li-liong tahu keinginan si anak muda itu
tak bisa ditolak lagi, setelah menghela napas panjang katanya,
796 "Baiklah! Bila seandainya kau gagal mengobati racun jahat
yang mengeram dalam tubuhku, paling tidak kau masih bisa
membantu mengubur jenazahku nanti."
"Sekarang kita hendak kemana?" tanya anak muda itu.
"Kita cukup mencari sebuah tanah pegunungan yang
terpencil dan jauh dari keramaian orang."
Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan mencoba
memeriksa keadaan sekeliling tempat itu, kurang lebih
setengah li di depan sana, ia melihat tanah perbukitan,
dengan kening berkerut tanyanya kemudian, "Dengan cara
apakah kau hendak mengobati lukamu itu?"
"Aku bermaksud menggunakan racun melawan racun."
Kedua orang itu bergerak menuju ke kaki bukit dengan
cepat. Hek-coa-li-liong memilih tanah lapang berumput dan duduk
di situ, kemudian sambil tersenyum katanya, "Siangkong,
tahukah kau dengan cara apa aku hendak melakukan racun
melawan racun itu?"
"Aku memang berniat meminta keterangan darimu," sahut
Bong Thian-gak sambil menggeleng.
"Aku hendak menggunakan irama seruling untuk
memancing datangnya beribu-ribu ekor ular berbisa, kemudian
dengan memilih tujuh ekor ular berbisa di antaranya yang
memiliki kadar racun paling tinggi untuk memagut tubuhku."
"Tapi mungkinkah kau akan berhasil dengan cara itu?"
tanya Bong Thian-gak terkejut.
Hek-coa-li-liong segera tersenyum.
"Asal waktunya tepat dan caranya benar, aku rasa
kemungkinan berhasil mencapai lima puluh persen."
797 "Rasanya cara ini tak bisa ditanggung keberhasilannya,
mengapa kau enggan mengikuti aku pergi ke Lok-yang?"
Hek-coa-li-liong menggeleng kepala, sahutnya, "Aku tahu,
selama hidup Gi Jian-cau jangan harap bisa menolong jiwaku."
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Sekarang baiklah kuberitahukan suatu hal kepadamu, saat
ini Gi Jian-cau sedang membuat semacam pil pengembali sukma
di kota Lok-yang. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan
Thay-kun serta kawanan jago persilatan lainnya, oleh sebab
itu kau harus percaya bahwa Gi Jian-cau sebenarnya adalah
seorang pendekar dari golongan lurus."
Berubah hebat paras muka Hek-coa-li-liong mendengar
perkataan Itu, serunya dengan cepat, "Kemungkinan besar dia
bukan lagi membuat pil pengembali sukma yang kau
maksudkan."
"Aku mengetahui persoalan ini dari Keng-tim Suthay, aku
yakin dia tak bakal salah mendengar."
Tiba-tiba Hek-coa-li-liong teringat akan sesuatu, serunya
tertahan, "Siangkong, kau harus selekasnya berangkat ke Lokyang
melakukan pemeriksaan, bisa jadi di tempat itu sudah
terjadi suatu musibah besar."
"Tidak, aku harus merawat dirimu, tak mungkin aku
memisahkan diri dalam dua persoalan yang berbeda."
"Aku bukan sedang bergurau," kata Hek-coa-li-liong dengan
nada gelisah. "Malah kemungkinan besar Keng-tim Suthay
serta segenap anggota Hiat-kiam-bun lain telah tertimpa
musibah yang mengenaskan."
Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak, mendadak ia
peluk pinggang Hek-coa-li-liong, lalu mengerahkan
Ginkangnya meninggalkan tempat itu.
798 "Hei, mau apa kau?" Hek-coa-li-liong segera menegur.
"Setelah mendengar perkataanmu tadi, mau tak mau kita
harus berangkat ke Lok-yang, namun aku pun tak bisa
meninggalkan dirimu begitu saja, karenanya terpaksa aku
harus membawa serta dirimu."
"Sekalipun hendak berangkat ke Lok-yang aku kan masih
punya sepasang kaki untuk berjalan sendiri," seru si nona
agak mendongkol.
"Ah, maaf, aku takut kau enggan mengikuti aku." Cepat
pemuda itu menurunkan tubuh si nona.
Setelah berdiri kembali, Hek-coa-li-liong mendongakkan
kepala dan memeriksa sekejap keadaan sekeliling tempat itu,
kemudian ia bertanya, "Tahukah kau kita berada dimana
sekarang?"
Bong Thian-gak melongo, lalu menggeleng kepala
berulang-kali. "Tidak tahu."
"Tempat ini adalah Leng-juan di San-say, asal kita bisa
melewati perbukitan Tay-heng-san yang melintang, maka kita
sudah sampai di wilayah Ho-lam, berarti perjalanan dari sini
sampai Lok-yang paling hanya satu hari perjalanan."
"Wah, itu lebih baik lagi," kata Bong Thian-gak gembira.
Dengan suara hambar kembali Hek-coa-li-liong berkata, "Gi
Jian-cau adalah seorang licik, jahat, kejam dan berhati busuk.
Sejak puluhan tahun berselang, ia sudah bersekongkol dengan
Cong-kaucu. Di saat Put-gwa-cin-kau mulai meracuni umat


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan dan meneror umat manusia, racun jahat bikinan Gi
Jian-cau boleh dibilang merupakan pendukung utamanya."
Bong Thian-gak menghela napas sedih.
"Dari dulu sampai sekarang, selain Nabi, siapakah umat
manusia di dunia ini yang bisa luput dari kesalahan" Ai, bila ia
799 bersedia menggunakan kemampuannya membuat obat guna
menolong umat manusia, hal ini tentu akan lebih baik lagi."
"Jika Gi Jian-cau masih mempunyai jiwa yang baik dan
perasaan welas asih, sejak permulaan ia tak akan membuat
obat racun untuk mencelakai jiwa manusia."
Bong Thian-gak tahu gadis itu sudah telanjur mempunyai
kesan buruk terhadap Gi Jian-cau, oleh sebab itu dia pun tidak
mengajaknya berdebat lebih jauh, sambil mengalihkan pokok
pembicaraan ke masalah lain, tanyanya, "Hingga sekarang aku
masih belum mengetahui namamu, boleh aku tahu siapa
namamu?" "Aku she Han bernama Siau-cing," sahut Hek-coa-li-liong
sambil tersenyum.
"Nona Han, luka pada lenganmu belum sembuh,
mampukah kau menempuh perjalanan malam?" Han Siau-cing
tertawa. "Aku adalah seorang anak gadis, tidak mungkin aku
menyuruhmu menggendong diriku terus menerus."
Merah padam wajah Bong Thian-gak, cepat ia
menerangkan, "Aku tak bermaksud seperti itu. Bila kau lelah,
marilah kita beristirahat sejenak sebelum melanjutkan
perjalanan kita."
"Aku tidak lelah."
Maka berangkatlah Bong Thian-gak dan Han Siau-cing
melewati perbukitan Tay-heng-san, lalu melalui pesisir utara
sungai Huang-ho, menyeberangi sungai dan tiba di Beng-kim
selewat lohor. Menjelang magrib, di sebuah kuil bobrok di luar kota Lokyang
di dusun Cho-keh-po, muncul sepasang muda-mudi
berlengan tunggal.
800 "Bong-siangkong, apakah kau tidak salah mencari tempat?"
tanya si gadis bermantel ular.
Si pemuda mengangkat kepala dan memandang sekejap
kuil bobrok itu, kemudian menjawab dengan suara dalam dan
berat, "Tak bakal salah, mari kita masuk untuk melihat!"
Dengan berjalan bersanding, mereka masuk ke kuil bobrok
itu. Daun kering berserakan di halaman, rumput liar tumbuh
dimana-mana. Tampaknya kuil itu memang sudah lama
terbengkalai. Apalagi setelah melangkah masuk ke dalam ruang tengah,
sarang laba-laba tampak memenuhi sudut ruangan, debu
menebal, meja altar dan segala peralatan rusak dan hancur,
tak mungkin ada orang yang berdiam di tempat itu.
Ketika angin lembut berhembus, lamat-lamat terendus bau
amis yang menusuk penciuman.
"Bong-siangkong apakah kau mengendus bau busuk
mayat?" tiba-tiba Han Siau-cing bertanya.
Paras pemuda itu berubah hebat, ia balik bertanya, "Bau
bangkai" bau ini adalah bau mayat yang membusuk."
Gadis berlengan tunggal alias Han Siau-cing segera
mengendus sekeliling tempat itu, kemudian bertanya lagi,
"Tampaknya bau busuk itu berasal dari gedung belakang di
sebelah barat laut."
Pemuda berlengan tunggal tak lain adalah Bong Thian-gak
segera menggerakkan tubuh meluncur ke gedung belakang.
"Bong-siangkong, tidak usah diperiksa lagi," Han Siau-cing
segera berseru.
Tapi Bong Thian-gak sama sekali tidak menghentikan
langkahnya, karena itu terpaksa si nona menyusul ke
belakang. 801 Waktu itu Bong Thian-gak sedang berdiri di depan pintu
sambil mengawasi ruang dalam dengan pandangan
mendelong dan wajah termangu-mangu.
Sambil menutup hidung, Han Siau-cing mendekati pemuda
itu serta menengok ke dalam.
Mayat-mayat berserakan di dalam gedung itu, bau busuk
yang amat menusuk tersebar luas, membuat orang hampir
muntah. Bila dilihat dari rambut mayat-mayat itu, dandanan dan
pakaian yang dikenakan, agaknya semua mayat itu terdiri dari
kaum wanita. Sambil menghela napas sedih Han Siau-cing berkata,
"Bong-siangkong, yang kukatakan tidak salah bukan, Gi Jiancau
memang seorang laknat."
Bong Thian-gak sama sekali tidak menjawab, dia beranjak
dan melangkah masuk ke ruangan itu, kemudian setelah
memeriksa sekejap semua mayat yang terkapar di situ, ia
keluar lagi dari ruangan sambil bergumam, "Semua yang
menjadi korban adalah anggota perempuan Hiat-kiam-bun dan
tak salah lagi, tapi ... mengapa tidak terlihat mayat Keng-tim
Suthay serta Gi Jian-cau."
"Sudah kau periksa apa yang menyebabkan kematian
mereka?" tanya Han Siau-cing tiba-tiba.
Dengan wajah berubah hebat, sahut Bong Thian-gak, "Aku
tidak menemukan satu titik luka pun di tubuh mayat itu."
"Nah, itulah dia!" Han Siau-cing kembali menghela napas.
"Mereka semua tentu mati diracun, jadi pembunuh kejinya
sudah pasti Gi Jian-cau."
"Nona Han," ujar Bong Thian-gak kemudian dengan wajah
serius. "Sebelum aku selesai dengan pemeriksaanku,
janganlah menuduh siapa pun dengan sembarangan."
802 Tiba-tiba Han Siau-cing tertawa terkekeh-kekeh, "Berada
dalam keadaan dan situasi semacam ini pun kau masih
menganggap Gi Jian-cau sebagai orang baik?"
Mendadak Bong Thian-gak membentak, "Siapa di situ?"
Sambil membentak, tubuhnya seperti seekor elang raksasa
segera melompat ke depan.
Reaksi Han Siau-cing jauh lebih lamban. Tatkala dia
menyusul ke halaman depan, Bong Thian-gak telah bentrok
satu gebrakan melawan pendatang itu dan sebagai akibat dari
bentrokan ini, sepasang bahunya terguncang keras,
langkahnya gontai dan selangkah demi selangkah ia sedang
mundur ke belakang.
Kemudian darah menyembur dari mulut Bong Thian-gak.
Sementara itu di hadapan Bong Thian-gak telah berdiri
seorang kakek berjenggot hitam yang menggunakan baju
berwarna hijau.
Ia menggembol sebilah pedang antik, rambutnya sudah
memutih, namun matanya yang memancarkan sinar tajam
sedang mengawasi anak muda itu tanpa berkedip.
Sambil membentak, Han Siau-cing bersiap hendak
menerjang ke depan, tapi Bong Thian-gak segera memegang
lengannya sembari berbisik, "Jangan bertindak gegabah nona
Han, ilmu silat yang dimiliki orang ini hebat sekali, kau tak
akan mampu membendung serangannya."
Tiba-tiba terdengar kakek berjenggot hitam itu bertanya
dengan suara nyaring, "Kau adalah Jian-ciat-suseng?"
Bong Thian-gak terkejut, bukan karena orang itu dapat
menyebut julukannya, tapi dikarenakan dalam bentrokan yang
berlangsung tadi, ia bisa merasakan kekuatan dan
kedahsyatan tenaga serangan kakek itu.
803 Sejak dia berlatih tekun selama tiga tahun di bawah air
terjun, Hong Thian-gak selalu menaruh kepercayaan yang
amat besar pada kemampuan ilmu silatnya, dia menganggap
tiada orang yang bisa mengungguli dirinya.
Tapi hari ini untuk pertama kalinya ia menderita kekalahan
di tangan orang.
Getaran tenaga pukulan yang dilancarkan kakek berjenggot
hitam tadi telah melukai isi perutnya serta mengguncang rasa
percayanya terhadap kemampuan sendiri.
Dengan perasaan agak tegang, gugup dan panik dia
menegur, muaranya terdengar agak gemetar, "Siapakah kau?"
Han Siau-cing sendiri pun tidak mengenal siapa gerangan
kakek berjenggot hitam yang berada di hadapannya sekarang.
Kakek berjenggot hitam itu sama sekali tidak menyebut
nama serta julukannya, hanya tanyanya lagi dengan suara
hambar, "Apakah kau murid Oh Ciong-hu?"
Bong Thian-gak tak mengerti mengapa ia mengajukan
pertanyaan itu, segera jawabnya, "Benar, aku adalah anak
muridnya."
Paras muka kakek itu berubah, katanya, "Kesempurnaan
tenaga dalam yang kau miliki benar-benar jauh mengungguli
kemampuan Oh Ciong-hu sendiri."
"Aku rasa kau tentunya sudah boleh menyebut identitasmu,
bukan?" kata Bong Thian-gak kemudian dengan kening
berkerut. "Asal kau berani melancarkan sebuah serangan pedang lagi
kepadaku, aku bersedia menyebut nama serta julukanku,"
sahut si kakek hambar.
Bong Thian-gak melolos pedang dan siap melancarkan
serangan, katanya, "Aku bersedia melancarkan serangan
pedang lagi atas dirimu, namun perlu kujelaskan, serangan
804 pedangku ini bisa jadi merupakan akhir dari kehidupanku, tapi
mungkin juga merupakan titik hancur bagi kehidupanmu,
karena itu kuanjurkan lebih baik serangan kubatalkan saja."
"Bila kau tidak berani melancarkan serangan, aku akan
menyerang dirimu lebih dulu," ancam si kakek.
Sembari berkata, kakek itu pelan-pelan melolos pedang
antiknya, pedang itu sama sekali tidak memercikkan setitik
cahaya pun, juga tidak nampak mata pedang, karena pedang
itu tak lebih hanya sebilah pedang kayu, pedang kayu yang
sama sekali tumpul. Menyaksikan bentuk pedang itu, paras
muka Bong Thian-gak justru berubah semakin serius. Pedang
kayu sebagai senjata andalan, Bong Thian-gak tahu ilmu
pedang kakek itu sudah mencapai taraf kemampuan yang luar
biasa. Berapa orang dalam Kangouw dewasa ini yang memiliki
ilmu pedang begitu sempurna"
"Ah! Kau adalah ketua Kay-pang," Bong Thian-gak menjerit
kaget. Sebelum pemuda itu berbicara, pedang kayu yang berada
dalam genggaman kakek itu sudah menusuk ke arah dadanya.
Tusukan itu dilancarkan sangat lamban tapi sangat berat.
Sekilas serangan itu amat lamban, sama sekali tidak
mengandung hawa napsu pembunuh, tetapi Bong Thian-gak
justru menghadapinya dengan wajah serius dan tegang.
Dalam sekejap dia seakan-akan menghadapi bahaya
ancaman maut. Bentakan keras menggeledek di angkasa.
Kemudian berkumandang suara benturan yang
memekakkan telinga.
805 Pedang Bong Thian-gak berhasil memapas kutung pedang
kayu si kakek berjenggot hitam itu.
Sebaliknya pedang kayu si kakek juga berhasil mematahkan
pedang Bong Thian-gak.
Dalam pada itu Bong Thian-gak sudah berjumpalitan,
lengan tunggalnya masih menggenggam kutungan pedang,
sementara matanya mengawasi si kakek di hadapannya tanpa
berkedip. Suasana tegang kembali menyelimuti seluruh arena.
Tiba-tiba terdengar kakek itu menghela napas sedih,
kemudian katanya, "Serangan pedangmu itu ternyata mampu
menembus hawa pedangku, ternyata kau pun berhasil melatih
hawa pedang yang maha sakti. Sungguh tak nyana, dengan
usiamu yang begitu muda, ternyata mampu melatih hawa
pedang yang hebat, betul-betul tak kuduga."
Cucuran darah berlinang dari ujung bibir Bong Thian-gak,
namun ia menjawab sambil tersenyum, "Bila Locianpwe
melancarkan serangan lagi kepadaku, niscaya Boanpwe tak
bakal lolos dari ancaman bahaya maut."
"Bila serangan yang pertama tak mampu membunuhmu,
hari ini aku tak akan melepaskan serangan kedua," ucap si
kakek hambar. Kakek itu membuang kutungan pedangnya, kemudian
berkata, "Bila kau masih mampu, sekarang silakan
membunuhku."
"Locianpwe," kata Bong Thian-gak lantang, "sebetulnya di
antara kita sama sekali tak terikat dendam sakit hati apa pun,
mana berani Boanpwe menyerang dirimu lagi."
Bong Thian-gak pun membuang kutungan pedangnya,
kemudian melanjutkan, "Cuma Boanpwe ingin mencari tahu
beberapa hal, harap Iocianpwe sudi memberi penjelasan."
806 "Persoalan apa yang hendak kau ketahui?"
"Aku ingin tahu, sesungguhnya siapakah Locianpwe?"
"Ketua angkatan ketujuh Kay-pang, Mo-kiam-sin-kun Tio
Tian-seng."
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka Tio Tian-seng
adalah ketua Kay-pang saat ini. Rahasia itu boleh dibilang
jarang di ketahui umat persilatan.
Bong Thian-gak berdiri tertegun dan melongo mendengar
jawaban itu. Dengan wajah serius Tio Tian-seng bertanya lagi, "Apakah
kau masih ada pertanyaan lain" Ayo, cepat utarakan."
Bagaikan baru sadar dari impian, cepat Bong Thian-gak
bertanya, "Ada keperluan apa Locianpwe datang kemari?"
"Mencari si tabib sakti Gi Jian-cau untuk mengobati luka
yang diderita muridku, To Siau-hou."
"Apakah Locianpwe telah berhasil menemukan si tabib
sakti?" tanya Bong Thian-gak lagi.
"Belum."
Bong Thian-gak berkerut kening, lalu katanya, "Boanpwe
juga sedang mencari Gi Jian-cau, mungkin Locianpwe sudah
melihat mayat-mayat yang terkapar di ruang belakang itu!"
Tio Tian-seng mendengus, "Hm, pertanyaanmu sudah
selesai diutarakan, sekarang aku hendak pergi. Ingat pada


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat kita bersua lagi bisa jadi aku akan membunuhmu."
Seusai berkata, dia menggerakkan tubuh beranjak pergi
dari situ. Belum sempat Bong Thian-gak memanggilnya, Tio Tianseng
sudah lenyap dari pandangan mata.
807 Keadaan Bong Thian-gak saat ini benar-benar bagaikan
berada dalam alam impian, dia seperti kurang percaya dengan
apa yang dialaminya barusan, dia tak percaya baru saja habis
bertarung melawan jagoan paling tangguh yang diakui umat
persilatan selama enam puluh tahun belakangan ini, Tio Tianseng.
Dia pun tak menyangka orang paling tangguh di kolong
langit dewasa ini, Tio Tian-seng tak lain adalah ketua Kaypang.
Han Siau-cing berseru kaget, "Jadi dia adalah Tio Tianseng?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Ai, tentu saja dalam dunia persilatan dewasa ini, bukan
hanya Tio Tian-seng seorang yang mampu mematahkan
pedangku dengan hanya menggunakan sebilah pedang kayu."
"Dia termasuk juga utusan pelindung bunga Cong-kaucu?"
"Bong-siangkong, masih ingat dengan perkataanku tempo
hari tentang ketiga orang utusan pelindung bunga Cong-kaucu
yang misterius identitasnya?"
Paras muka Bong Thian-gak menjadi amat serius, katanya,
"Kecuali Gi Jian-cau serta Tio Tian-seng, siapakah orang
ketiga?" "Agaknya orang ketiga bernama Hek-mo-ong (raja iblis
hitam)." "Hek-mo-ong" Mana mungkin dalam Bu-lim terdapat
manusia dengan julukan itu?"
"Bong-siangkong," kata Han Siau-cing dengan nada
bersungguh-sungguh, "sebenarnya aku sendiri kurang
percaya, tapi bila teringat kata-kata terakhir seorang Bu-lim
Locianpwe yang sedang mendekati ajalnya, ucapan itu
memang sangat masuk akal."
808 "Bu-lim Locianpwe manakah yang berkata kepadamu" Apa
pula yang dia katakan?"
Han Siau-cing termenung dan berpikir beberapa saat
lamanya, .setelah itu baru ujarnya, "Orang itu adalah gurumu
... Oh Ciong-hu."
"Kau benar-benar telah berjumpa dengan guruku
menjelang ajalnya?" Bong Thian-gak berseru kaget.
Han Siau-cing manggut-manggut.
"Menjelang ajalnya, mendiang Bu-lim Bengcu Oh Ciong-hu
telah bicara banyak denganku."
"Dapatkah kau memberitahukan kepadaku semua kejadian
yang dialami Suhuku menjelang ajalnya?" pinta sang pemuda
cemas. Han Siau-cing menghela napas sedih, katanya kemudian,
"Peristiwa ini berlangsung pada tiga tahun berselang, waktu
itu aku termasuk salah seorang di antara kawanan jago yang
diutus Cong-kaucu untuk mencelakai jiwa Bu-lim Bengcu Oh
Ciong-hu yang amat lihai itu."
Mencorong sinar tajam penuh hawa napsu membunuh dari
balik mata Bong Thian-gak, ditatapnya wajah Han Siau-cing
lekat-lekat, kemudian tanyanya dingin, "Apakah kau juga
termasuk salah seorang di antara pembunuh keji yang telah
mencelakai guruku?"
Sekali lagi Han Siau-cing menghela napas sedih.
"Justru karena aku tidak turut menyerang Oh-locianpwe,
maka Cong-kaucu menaruh curiga padaku serta menyekapku,
bila Siangkong tidak percaya, aku pun tidak dapat berbuat
apa-apa." "Kalau begitu, tentunya kau masih ingat dengan jelas
bukan, siapa-siapa saja yang terlibat dalam peristiwa
keributan itu?"
809 Han Siau-cing termenung sambil berpikir sejenak,
kemudian ia baru berkata, "Coba kau dengar dulu cerita
peristiwa itu."
"Cepatlah kau ceritakan!"
Han Siau-cing menarik napas panjang, kemudian katanya,
"Tiga tahun berselang kami telah mengepung Oh-locianpwe di
sebuah tanah padang rumput, hampir segenap jago lihai yang
tergabung dalam Put-gwa-cin-kau telah dikerahkan ke sana,
maka terjadilah pertarungan berdarah yang sangat
mengerikan. Oh-locianpwe almarhum dengan kemampuan
seorang diri bertarung dan menerjang musuh dengan buas,
ketika pertarungan berakhir, beliau telah menghabisi nyawa
kedua ratus jago lihai Put-gwa-cin-kau tanpa ampun.
"Aku masih ingat ketika kujumpai Oh-locianpwe, waktu itu
ia sedang duduk bersila di bawah sebatang pohon waru, di
sampingnya berdiri seekor kuda berbulu emas.
"Belum sempat aku menghampiri Oh-locianpwe, beliau
yang semula memejamkan mata mendadak membuka mata,
kemudian setelah memandang sekejap ke arahku, ia pun
menegur sambil tertawa, 'Apakah kau orang yang datang
untuk memenggal batok kepalaku"'.
"Aku tertegun mendengar teguran itu, kemudian
menggeleng kepala dengan mulut tetap membungkam. Saat
itulah Oh-locianpwe dengan tertawa pedih berkata kembali,
'Aku sudah hampir mati, bila kau memang menginginkan
batok kepalaku, silakan mencabut pedang serta
memenggalnya, sebab aku tak punya bertenaga lagi untuk
memberikan perlawanan ... namun sebelum ajalku tiba, aku
ingin memberitahukan satu hal kepada kalian, yakni segenap
anggota Put-gwa-cin-kau, kecuali Cong-kaucu, pada akhirnya
akan mati dalam keadaan mengenaskan.'.
"Sewaktu mendengar keterangan itu, dengan cepat aku
pun bertanya, 'Mengapa"'.
810 "Tampaknya kejernihan otak Oh-locianpwe mulai kabur,
tapi aku mendengar ia berkata, 'Bila kau percaya, berusahalah
mencari daya-upaya melepaskan diri dari belenggu Put-gwacin-
kau secepatnya. Walaupun tatkala kalian memasuki
perkumpulan sudah dicekoki obat racun yang berdaya kerja
lambat, tapi aku beri tahukan kepadamu bahwa seseorang
masih bisa menyelamatkan jiwa kalian ... dia adalah Ku-lo
Sinceng dari Siau-lim-pay. Sewaktu kau bertemu beliau nanti,
katakan kepadanya ketiga orang pelindung bunga Cong-kaucu
yang misterius itu adalah tabib sakti Gi Jian-cau, Tio Tian-seng
dan Hek-mo-ong.'.
"Tatkala bicara sampai di situ, nada suaranya terputus,
ternyata Oh-locianpwe telah berpulang ke akhirat."
"Apakah kau sudah pergi menjumpai Ku-lo Sinceng?" tanya
Bong Thian-gak.kemudian dengan wajah amat serius.
"Belum," Han Siau-cing menggeleng. "Sebab tak lama
setelah Oh-locianpwe meninggal dunia, Siau Cu-beng beserta
segenap jagoan lihai Put-gwa-cin-kau telah berdatangan ke
situ, mereka mendesakku untuk memberitahukan apa yang
telah disampaikan Oh-locianpwe menjelang ajalnya tadi."
"Apakah kau telah berterus terang kepada mereka?" tanya
Bong Thian-gak cepat.
"Tidak, aku tak pernah mengucapkan sepatah kata pun
kepada mereka, justru karena itu Cong-kaucu segera menaruh
curiga kepadaku dan sejak itu pula aku dikurung olehnya di
loteng itu."
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Ai, kalau menjelang ajalnya Suhu telah mengatakan bahwa
Gi Jian-cau, Tio Tian-seng serta Hek-mo-ong bertiga adalah
utusan pelindung bunga Cong-kaucu, aku rasa hal itu tak
bakal salah lagi... tapi peristiwa itu sungguh membuat orang
tidak habis mengerti. Ai, bila aku tidak menghilangkan
kantung ketiga yang telah disiapkan Ku-lo Sinceng tempo hari
811 dan membukanya sekarang, bisa jadi teka-teki itu dapat
dipecahkan."
Bong Thian-gak teringat bahwa Ku-lo Sinceng telah
menyerahkan tiga buah kantung kepadanya menjelang ajalnya
tempo hari, waktu yang ditetapkan untuk membuka kantung
yang terakhir ini tak lain adalah saat Tio Tian-seng
menampakkan diri.
Sekarang Tio Tian-seng telah menampakkan diri, namun
kantung ketiga itu telah hilang entah dimana"
Sementara itu Han Siau-cing menghela napas sedih seraya
berkata, "Sekarang Gi Jian-cau bersembunyi entah dimana,
tentu saja aku sudah tidak bisa menunggu dirinya lagi untuk
memperoleh pengobatan."
"Seandainya Gi Jian-cau benar-benar sudah berubah
pendirian, entah berapa banyak jago persilatan yang bakal
berkorban di dunia saat ini. Ai! Dari tumpukan mayat yang
tergeletak di sana, tampaknya mereka sudah mati belasan hari
lamanya, dari pakaian yang dikenakan mayat-mayat itu tidak
salah lagi mereka adalah anggota Hiat-kiam-bun, tapi
mengapa tidak kutemukan jenazah Keng-tim Suthay di antara
tumpukan mayat itu" Bukankah ini berarti terdapat setitik
harapan." Bong Thian-gak segera menarik tangan Han Siau-cing
sambil katanya, "Mari kita melakukan pemeriksaan di tempat
lain!" "Kita hendak pergi kemana lagi?" tanya Han Siau-cing tidak
habis mengerti.
"Tempat yang sebenarnya untuk membuat obat."
"Kalau begitu tempat ini bukan tempat pembuatan obat
yang sesungguhnya?" tanya Han Siau-cing terperanjat.
"Masalah pembuatan pil pengembali sukma oleh Gi Jian-cau
sesungguhnya menyangkut nasib segenap umat persilatan.
812 Sekalipun tempat ini sudah diserang musuh, tapi aku percaya
orang-orang Hiat-kiam-bun masih mempunyai cara lain untuk
memindahkan tabib sakti meninggalkan tempat ini."
Han Siau-cing tertegun, serunya, "Bong-siangkong, apakah
kau masih percaya bahwa Gi Jian-cau membuatkan pil
pengembali sukma untukmu?"
"Peristiwa ini belum mencapai jalan buntu, tentu saja masih
ada setitik harapan."
Mendadak Han Siau-cing berseru tertahan, air mukanya
segera berubah pucat-pias seperti mayat, sekujur badannya
ikut bergetar keras.
Bong Thian-gak terkejut, buru-buru ia bertanya, "Mengapa
kau" Apakah racun yang mengeram dalam tubuhmu mulai
kambuh?" "Tidak," Han Siau-cing segera menggeleng.
Pada saat itulah segulung angin berhembus, Bong Thiangak
segera mengendus bau harum semerbak yang tipis, inilah
bau bunga anggrek yang amat dikenal olehnya, bau yang
bukan untuk pertama kali ini terendus olehnya.
"Ah! Rupanya dia telah datang!" Bong Thian-gak berseru
kaget. "Bong-siangkong, kau cepat kabur," buru-buru Han Siaucing
berseru dengan gelisah. "Ia mengejar sampai di sini,
tujuannya adalah hendak membunuh aku, kau cepatlah lari!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak tertawa, teriaknya, "Cong-kaucu,
kalau kau sudah datang, mengapa tidak segera menampakkan
diri?" Baru selesai dia berkata, dari halaman gedung
berkumandang suara irama musik yang lembut, kemudian
nampak sebuah tandu besar yang megah dan mentereng
813 digotong oleh enam belas orang perempuan kekar pelan-pelan
muncul. Di belakang tandu besar itu mengikut pula sekelompok
orang. Rombongan itu berjumlah lebih kurang dua puluh orang,
tapi yang membuat Bong Thian-gak merasa terkejut adalah
turut hadirnya seorang perempuan cantik, seorang sastrawan
baju hijau serta seorang kakek baju hitam berlengan tunggal.
Han Siau-cing dapat melihat pula kehadiran ketiga orang
itu, ia segera berseru dengan suara gemetar, "Si-hun-mo-li, Jikaucu
serta Sim Tiong-kiu ... ah, habis sudah nyawa kita kali
ini!" Bong Thian-gak juga merasa tegang, seram dan ketakutan
sehabis melihat rombongan itu.
Dalam gerakannya kali ini Put-gwa-cin-kau telah
mengerahkan segenap kekuatan inti terhebat yang mereka
miliki. Bagaimana pun juga dengan kekuatannya seorang diri
tak mungkin bisa melawan kawanan sebanyak itu.
"Kabur!"
Ingatan itu mendadak lewat dalam benak Bong Thian-gak.
Ia tak tahu, ingatan semacam itu apakah merupakan
pilihan yang bodoh atau cerdik.
Namun ia tahu, dia tak boleh mengalami nasib tragis
seperti apa yang dialaminya tiga tahun berselang.
Oleh sebab itulah Bong Thian-gak segera melarikan diri.
Ia meninggalkan Han Siau-cing begitu saja, melarikan diri
sendirian. Dengan cepat bagaikan sambaran kilat, Bong Thian-gak
melejit ke lengah udara kemudian kabur menuju ke arah barat
daya. 814 Umpatan marah, sindiran sinis dan bentakan nyaring
dengan cepat bergema memenuhi angkasa.
Walaupun Bong Thian-gak dapat mendengar semua itu,
namun ia sama sekali tidak berpaling. Dengan mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, pemuda itu
melarikan diri terbirit-birit.
Jeritan perempuan yang sangat mengerikan hati bergema
dari kejauhan, seperti teriakan Thay-kun pada tiga tahun
berselang. Hancur luluh perasaan Bong Thian-gak waktu itu, ia merasa
betapa hinanya perbuatan yang dilakukan olehnya sekarang,
ia merasa dirinya adalah seorang pengecut yang tak berani
bertanggung-jawab.
"Mengapa aku harus kabur" Mengapa aku mesti melarikan
diri" Aku bukan seorang lelaki sejati, aku adalah seorang lelaki
pengecut yang takut mampus. Bong Thian-gak, wahai Bong
Thian-gak, dengan perbuatan yang memalukan ini,
mungkinkah kau masih bisa tampil di Kangouw?"
Seperti kelinci yang melarikan diri dari terkaman harimau,
Bong Thian-gak melarikan diri menembus hutan,


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeberangi jurang.
Sepanjang jalan ia merasa sedih, menyesal dan mengutuk
diri sendiri. Lalu ia berhenti secara tiba-tiba, duduk bersimpuh di atas
tanah dan menangis tersedu-sedu.
Matahari tenggelam di balik bukit, sinar keemas-emasan
masih menyinari padang rumput yang luas.
Saat itulah muncul seorang kakek baju hijau berjenggot
hitam dari ujung padang rumput sana.
Pelan-pelan ia berjalan menghampiri Bong Thian-gak dan
berhenti di hadapannya.
815 Bong Thian-gak mengangkat kepala, ia tersentak kaget dan
melompat bangun dari atas tanah.
Sekulum senyuman menghiasi bibir kakek berbaju hijau itu,
dia mengangguk pelan, lalu berkata, "Kau memang seorang
lelaki pintar yang pemberani, benar-benar hebat kau, lelaki
jempolan."
Bong Thian-gak tertunduk malu, mukanya merah seperti
babi panggang. "Aku tahu, aku memang seorang pengecut, seorang lelaki
konyol," ia berbisik lirih, "Tio-locianpwe tak usah
menggodaku!"
"Orang yang berani melakukan perbuatan yang tak berani
dilakukan orang lain dan tak terpikir orang lain. Dia barulah
seorang laki-laki pintar yang pemberani, terus terang saja,
siapa di kolong langit ini yang berani mengambil keputusan
dan tindakan semacam kau" Apa salah kalau kukatakan kau
adalah lelaki pemberani yang pintar?"
"Kau ... kau maksudkan ... tindakanku melarikan diri tadi
adalah perbuatan seorang lelaki pemberani yang pintar?"
tanya Bong Thian-gak gugup.
Kakek itu manggut-manggut.
"Coba kau tidak kabur, sudah pasti kau akan menjadi lelaki
konyol dan mata gelap yang akibatnya ... hm, mati konyol!
Asal gunung tetap menghijau, masa takut kehabisan kayu
bakar" Yang penting memang kabur dulu."
Perasaan sedih, hina dan menyesal yang semula
menggeluti pikiran Bong Thian-gak kini terhapus dari
perasaannya, tapi ia belum bisa melenyapkan semua perasaan
sesalnya. Kembali dia berkata, "Aku telah kabur meninggalkan
seorang gadis lemah begitu saja, cara dan tindakan yang
kulakukan ini bukan cara dan perbuatan seorang lelaki sejati."
816 Kakek tua tertawa hambar, "Barang siapa berani
mengkhianati Put-gwa-cin-kau, cepat atau lambat ia pasti
akan mati."
Tiba-tiba mencorong sinar aneh dari balik mata Bong
Thian-gak, di tatapnya kakek baju hijau itu lekat-lekat,
kemudian tanyanya, "Tio-locianpwe ada urusan apa kau
datang kemari?"
"Mengajak kau mengantarku menemui Gi Jian-cau."
"Parah sekali luka To Siau-hou?"
"Nyawanya sudah berada di ujung tanduk."
"Tio-pangcu," tiba-tiba Bong Thian-gak berkata, "ada suatu
hal ingin kutanyakan kepadamu."
"Soal apa" Cepat katakan."
"Aku dengar dewasa ini terdapat tiga orang Enghiong yang
disegani orang ternyata menjadi utusan pelindung bunga
Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."
Paras muka kakek baju hijau itu segera berubah hebat,
dengan gugup ia bertanya, "Kau tahu siapakah ketiga orang
itu?" "Tentu saja tahu."
"Apakah satu di antaranya adalah Gi Jian-cau?"
"Ya, termasuk juga Tio Tian-seng," sambung pemuda itu.
Paras muka kakek baju hijau itu segera berubah tak sedap
dipandang, cepat ia berseru, "Tahukah kau Tio Tian-seng
hanya berjanji tak akan mencampuri urusan dunia persilatan
selama sepuluh tahun?" Bong Thian-gak menggeleng.
"Bagaimanakah duduk persoalan yang sebenarnya, aku
memang tidak terlalu jelas. Aku hanya tahu ada tiga tokoh
tangguh yang telah menjadi utusan pelindung bunga Congkaucu
Put-gwa-cin-kau."
817 Kakek baju hijau tertawa dingin.
"Tiga hari berselang, janji sepuluh tahun sudah habis batas
waktunya, sekarang aku sudah tidak terikat lagi dengan
dirinya." "Bagaimana dengan Gi Jian-cau?"
"Gi Jian-cau pun ada ikatan janji sepuluh tahun
dengannya," jawab Tio Tian-seng hambar, "Tapi aku yakin
selamanya Cong-kaucu tak bakal melepas dirinya begitu saja."
"Apakah dia akan mencelakai jiwa Gi Jian-cau?"
"Bukan tabib sakti Gi Jian-cau saja, dia pun akan
mencelakai jiwaku."
Mendengar penjelasan itu, Bong Thian-gak tertawa
tergelak, "Siapa dewasa ini yang masih berkemampuan
membunuh dirimu."
Tio Tian-seng menghela napas sedih, kemudian baru ia
berkata, "Hek-mo-ong. Dia adalah satu-satunya lawan
tandingku."
"Siapakah Hek-mo-ong itu?" tanya Bong Thian-gak terkejut.
Tio Tian-seng menggeleng.
"Aku sendiri pun tak tahu siapa Hek-mo-ong, aku hanya
tahu orang ini bisa membunuh korbannya tanpa
menampakkan wujud aslinya, gerak-geriknya selalu rahasia
dan sesungguhnya dia otak di belakang layar yang menyetir
Put-gwa-cin-kau selama ini."
"Sesungguhnya Hek-mo-ong inilah yang menjadi pimpinan
besar Put-gwa-cin-kau, dialah dalang kekacauan dunia
persilatan."
"Tio-pangcu, bila kau tak menampik, seluruh anggota Hiatkiam-
bun bersedia bekerja sama dengan perkumpulan kalian
menentang kekuasaan dan kelaliman Put-gwa-cin-kau."
818 "Mengikuti perubahan situasi dan perkembangan persilatan,
antara Hiat-kiam-bun dengan Kay-pang memang tak mungkin
dapat dipisahkan lagi."
"Bagus kalau begitu, tetapkan dengan sepatah kata ini
saja." "Masalahnya tak bisa ditunda-tunda lagi, ayo segera
antarkan aku menjumpai Gi Jian-cau."
Bong Thian-gak segera bangkit, kemudian ujarnya, "Tiopangcu,
harap ikuti diriku!"
Kuil Sam-cing-koan adalah kuil kaum Sam-cing yang
terletak di sebelah utara kota Lok-yang.
Kuil itu dibangun di kaki bukit, bangunannya megah dan
mentereng, tak ubahnya seperti istana.
Matahari sudah lama tenggelam, keremangan pun
menyelimuti seantero jagat.
Dalam suasana seperti ini, tiba-tiba di depan pintu gerbang
kuil muncul seorang pemuda berlengan tunggal serta seorang
kakek baju hijau berjenggot hitam.
Pintu gerbang tertutup rapat, suasana dalam gedung pun
sunyi senyap tak terdengar sedikit suara pun.
Sambil mengepal tinju tangan kirinya, pemuda berlengan
tunggal itu mengetuk pintu gerbang tiga kali.
Mendadak pintu gerbang dibuka orang, empat orang Tosu
berbaju kuning segera muncul, sebilah pedang tersoreng di
punggung masing-masing, sementara orang yang berjalan
paling depan segera menyapu pandang sekejap wajah kedua
orang tamunya dengan sinar mata tajam.
"Sicu berdua hendak mencari siapa?" tegurnya.
819 Pemuda berlengan tunggal tersenyum, "Aku she Bong
bernama Thian-gak, ingin berjumpa Koancu kalian."
Sekilas perubahan aneh tampak menghiasi wajah Tosu
berbaju kuning itu, dengan cepat ia mengalihkan sorot
matanya dan mengamati sekujur badan pemuda itu dari atas
sampai ke bawah.
Kemudian baru berkata dengan dingin, "Jadi kau adalah
ketua Hiat kiam-bun Jian-ciat-suseng."
"Ya, memang aku," Bong Thian-gak tersenyum.
Tiba-tiba Tosu berbaju kuning itu menarik muka dan
menegur dengan serius, "Tolong tanya, sesungguhnya dalam
Hiat-kiam-bun berapa orang Jian-ciat-suseng?"
Pertanyaan ini segera menyentak hati Bong Thian-gak,
cepat ia menegur, "Totiang, tolong tanya apa maksudmu?"
Setelah tertawa dingin, sahut Tosu berbaju kuning itu,
"Terus terang aku beritahukan kepadamu, setengah jam
berselang telah datang Jian-ciat-suseng yang berkunjung
dalam kuil kami." Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak.
Paras muka Tio Tian-seng yang berada di sampingnya turut
berubah, sekali berkelebat ia sudah menerobos masuk ke
dalam. Ternyata reaksi ketiga orang Tosu lain yang berjaga-jaga di
sisi pintu cukup cepat, serentak mereka melolos pedang
masing-masing, kemudian di antara kilatan cahaya tajam, tiga
bilah pedang berkelebat menghadang jalan pergi Tio Thian
Seng. Agaknya Bong Thian-gak sendiri pun sudah merasakan
keadaan gawat dan seriusnya peristiwa ini, mendadak ia
mengayun telapak tangannya melancarkan pukulan ke arah
dada Tosu berbaju kuning itu.
820 Sesungguhnya Tosu berbaju kuning itu telah bersiap
menghadapi serangan, ia tak mengira serangan musuh
ternyata begitu cepat bagaikan sambaran kilat.
Tahu-tahu dadanya terasa sakit dan napasnya menjadi
sesak, tak sempat lagi mengeluh, peredaran darahnya telah
tersumbat dan ia pun roboh tak sadarkan diri.
Tiga orang Tosu yang mencoba menghadang jalan pergi
Tio Tian-seng juga telah dirobohkan semua dengan jalan
darah tertotok.
"Bong-laute, apakah Gi Jian-cau berada di dalam kuil ini?"
tanya Tio Tian-seng dengan suara dalam.
"Benar, dia berada di ruang peracikan obat."
"Sekarang sudah ada musuh yang menyaru sebagai dirimu
memasuki kuil, bisa jadi hendak mencelakai jiwa Gi Jian-cau."
Belum selesai ia berkata, dari arah kuil tiba-tiba
berkumandang suara genta yang dibunyikan bertalu-talu,
suaranya keras dan nyaring memenuhi seluruh bukit dan
menggetarkan angkasa. Berbareng dari balik gedung utama
Dendam Iblis Seribu Wajah 7 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Harpa Iblis Jari Sakti 8
^