Pendekar Gelandangan 6

Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Bagian 6


berdiri di depan sana agak jauh dari
posisinya, orang itu bertubuh jangkung, memakai dandanan seorang tosu, menggembol pedang,
bermuka pucat dan memancarkan keangkuhan yang luar biasa.
Sepasang alis matanya yang tebal hampir bersambungan antara yang satu dengan lainnya, wajah
semacam ini penuh memancarkan rasa benci dan dendam yang luar biasa.
Ketika A-kit membuka matanya, ia segera berhenti bergerak.
Ia telah menyaksikan seluruh jiwa, semangat dan tenaga tosu itu telah terhimpun menjadi satu,
bila semua kekuatan tersebut di lontarkan keluar maka akibatnya akan sukar dilukiskan dengan
kata-kata. Ia sendiripun tak berani sembarangan bergerak, diawasinya sepasang tangan A-kit lekat-lekat,
mendadak ia bertanya, mendadak ia bertanya:
"Mengapa kau tidak membawa serta pedangmu itu?"
A-kit hanya membungkam, tidak berkata apa-apa.
Toa-tauke tidak dapat mengendalikan rasa sabarnya, ia berseru:
"Apakah kau tahu kalau senjata andalannya adalah sebilah pedang?"
Tosu itu mengangguk.
"Ya, dia memiliki sepasang tangan yang bagus sekali!"
Toa-tauke belum pernah memperhatikan sepasang tangan A-kit, hingga kini ia baru mengetahui
bahwa tangannya dengan orangnya betul-betul sangat tidak serasi.
Tangannya terlalu bersih, terlalu rapi dan terawat.
"Inilah kebiasaan kami!", tosu itu menerangkan lagi.
"Kebiasaan apa?"
"Kami tidak akan menodai pedang kami sendiri!"
"Oleh karena itu tangan kalian harus selalu bersih dan terawat rapi?"
Tosu itu mengangguk.
"Ya, kuku kamipun harus digunting pendek-pendek!", sahutnya.
"Kenapa?"
"Sebab kuku yang terlalu panjang hanya mengganggu kita sewaktu memegang pedang, asal
pedang sudah berada di tangan, maka kami tidak akan membiarkan benda apapun mengganggu
kita!" "Ya, ini memang suatu kebiasaan yang baik!", kata Toa-tauke.
"Tidak banyak orang yang mempunyai kebiasaan baik seperti ini!", sambung si tosu.
"Oya?"
"Bila ia bukan jago pedang yang sudah punya pengalaman menghadapi beratus-ratus kali
pertarungan, tak nanti kebiasaan baik semacam ini akan berlangsung lama!"
"Orang yang bisa dianggap Ciu Ji sianseng sebagai jago pedang, sudah pasti merupakan seorang
jago yang lihay dalam menggunakan pedang......!"
"Ya, sudah pasti!"
"Tapi berapa banyakkah manusia yang bisa lolos dari ujung pedang Ciu Ji sianseng dalam
keadaan hidup?"
"Tidak banyak!", Ciu Ji sianseng kelihatan amat bangga.
Ia sombong tentu saja, karena mempunyai alasan untuk bersikap demikian.
Selama setengah abad berkelana dalam dunia persilatan, seluruh wilayah Kanglam telah dijelajahi
olehnya, dari sepuluh orang jago pedang terlihay di wilayah Kanglam, ada tujuh orang diantaranya
telah ia jumpai, tapi belum pernah ada seorangpun diantara mereka yang bisa menyambut ke tiga
puluh jurus serangannya.
Ilmu pedangnya bukan saja aneh dan ganas, kecepatan serta reaksinyapun luar biasa sekali, jauh
di luar dugaan siapapun.
Ke tujuh orang jago pedang yang tewas di ujung pedangnya rata-rata tewas karena sebuah
tusukan yang mematikan, terutama sekali Hong-lui-sam-ci (Tiga tusukan kilat angin geledek) dari
San-tian-tui-hong-kiam (Pedang kilat pengejar angin) Bwe Cu-gi, betul-betul merupakan
kepandaian yang jarang dijumpai dalam dunia persilatan.
Ketika ia membunuh Bwe Cu-gi, jurus serangan itulah yang dipergunakan.
Ketika Bwe Cu-gi menyerangnya dengan jurus Hong-lui-sam-ci, maka dengan mempergunakan
jurus serangan yang sama ia melancarkan serangan balasan.
Kalau ilmu pedang seseorang bisa disebut sebagai San-tian-tui-hong-kiam (Pedang Kilat Pengejar
Angin), maka kecepatannya bisa dibayangkan betapa hebatnya.
Akan tetapi ketika ujung pedang Bwe Cu-gi masih berada tiga inci dari tenggorokannya,
pedangnya yang dilancarkan belakangan ternyata telah menembusi tenggorokan Bwe Cu-gi lebih
dahulu. Ada seorang anak buah Toa-tauke yang mengikuti jalannya pertarungan itu dengan mata kepala
sendir, menurut laporannya:
"Tusukan pedang yang dilancarkan Ciu Ji sianseng itu ternyata tak seorangpun yang mengetahui
bagaimana caranya ia turun tangan sekalipun ada empat puluhan orang jago lihay dunia persilatan
yang hadir di situ, semua orang hanya merasakan berkelebatnya cahaya pedang, tahu-tahu darah
segar telah membasahi seluruh pakaian Bwe Cu-gi".
Oleh sebab itulah Toa-tauke menaruh kepercayaan penuh terhadap orang ini, apalagi sekarang
masih ada satu-satunya keturunan dari keluarga Buyung yang bernama Mao It-leng mengadakan
kontak dengannya.
Sekalipun Mao It-leng tidak akan turun tangan paling tidak ia dapat membuyarkan perhatian A-kit.
Pada hakekatnya menang kalahnya pertarungan ini sudah ia tentukan semenjak dulu.
Duduk di atas kursi kebesarannya yang berlapiskan kulit harimau, perasaan Toa-tauke tenang dan
mantap bagaikan bukit Tay-san, katanya sambil tertawa:
"Sejak Cia Sam-sauya dari Sin-kiam-san-ceng ditemukan mati, Yan Cap-sa membuang
pedangnya ke sungai, jago pedang manakah di dunia ini yang sanggup menandingi Ciu Ji
Sianseng" Apabila Ciu Ji Sianseng menginginkan papan nama emas "Thian-he-tit-it-kiam" dari
keluarga Cia itu, hakekatnya tak lebih hanya tinggal soal waktu saja"
Dikala sedang gembira, ia tak pernah lupa memuji orang lain dengan kata-kata yang indah,
sayangnya ucapan tersebut tak didengar sama sekali oleh Ciu Ji sianseng.
Begitu mendengar nama 'Ciu Ji sianseng', tiba-tiba saja kelopak mata A-kit berkerut kencang,
seakan-akan ditusuk oleh sebatang jarum secara tiba-tiba, sebatang jarum beracun yang telah
berubah menjadi merah karena darah dan dendam sakit hati.
Ciu Ji sianseng sama sekali tak kenal dengan pemuda rudin yang berwajah layu itu, bahkan
berjumpapun tak pernah.
Ia tidak habis mengerti kenapa orang ini menunjukkan sikap seperti itu" Ia tak menyangka kalau
orang ini bisa menunjukkan reaksi seperti itu lantaran mendengar namanya.
Ia hanya mengetahui satu hal.......
Kesempatan baik baginya telah datang.....
Bagaimanapun tenang dan mantapnya seseorang, apabila secara tiba-tiba mengalami rangsangan
yang jauh di luar dugaan dari luar, maka reaksinya akan berubah menjadi lambat.
Sekarang tak bisa disangkal lagi kalau pemuda ini telah mengalami rangsangan tersebut.
Dendam sakit hati, kadangkala merupakan juga suatu kekuatan, suatu kekuatan yang menakutkan
sekali, tapi sekarang mimik wajah yang ditampilkan A-kit bukanlah dendam sakit hati, melainkan
suatu penderitaan, suatu kesedihan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Luapan emosi semacam ini hanya bisa membuat orang menjadi lemah dan tak bertenaga saja.
Ciu Ji sianseng sama sekali tak ingin menunggu sampai A-kit betul-betul roboh tak bertenaga, ia
sadar jika kesempatan baik ini hilang, maka selamanya tak akan datang kembali.
Pedang samurai sepanjang delapan depa milik Suzuko masih memantek di atas daun jendela.
Tiba-tiba Ciu Ji sianseng mencabutnya secara kilat dan melemparkannya ke arah A-kit.
Dia masih mempunyai sebuah tangan lain yang menganggur.
Pedang yang tersoren di punggungnya itu tahu-tahu sudah diloloskan dari sarungnya.
Berhasilkah A-kit menyambut pedang samurai yang dilemparkan ke arahnya"
Ciu Ji sianseng telah mempersiapkan sebuah serangan mematikan yang benar-benar luar biasa.
Sekarang ia sudah punya keyakinan yang kuat.
A-kit telah menyambut samurai tersebut.
Sebenarnya pedang yang ia pergunakan adalah sebilah pedang yang panjangnya dari gagang
pedang sampai ke ujung pedangnya hanya tiga depa sembilan inci.
Gagang samurai ini sendiri panjangnya sudah mencapai satu depa lima inci, biasanya para busu
dari negeri Hu-sang (Jepang) memegang samurainya dengan kedua belah tangannya, mereka
mempunyai gerakan jurus golok yang jauh berbeda dengan jurus-jurus golok daratan Tionggoan,
apalagi dibandingkan dengan ilmu pedang.
Dengan samurai di tangan, maka keadaannya ibarat tukang besi menempa baja dengan pena,
sastrawan melukis dengan palu, daripada ada lebih baik sama sekali tidak ada.
Tapi ia menyambut juga pedang samurai itu.
Ternyata ia seakan-akan kehilangan kemampuannya untuk melakukan penilaian, ia tak dapat
melakukan penilaian apakah tindakannya ini betul atau salah.
Pada saat ujung jarinya tangannya menyentuh gagang pedang samurai itu, cahaya pedang telah
membelah angkasa dan meluncur datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Pedangnya yang tiga depa tujuh inci itu sudah menguasai seluruh ruang geraknya, itu berarti
pedang samurai yang delapan depa panjangnya itu tak mungkin bisa digunakan lagi.
Cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu ujung pedang itu telah tiba di atas tenggorokan A-kit.
Tiba-tiba A-kit menggetarkan tangannya,......." Kreeeekkk......!", tiba-tiba saja pedang samurai itu
patah menjadi dua bagian.
Ya, pedang samurai itu patah menjadi dua bagian dari tempat di mana terkena sambitan batu itu.
Batu tersebut tepat menghajar di bagian tengah tubuh pedang samurai itu.
Ketika ujung samurai yang tiga depa panjangnya itu rontok ke tanah, segera muncul kembali ujung
golok yang panjangnya tiga depa.
Ujung pedang dari Ciu Ji sianseng ibaratnya ular berbisa telah menerobos masuk ke mari,
jaraknya dengan tenggorokan tinggal tiga inci saja, hakekatnya tusukan itu memang suatu tusukan
yang tepat dan mematikan.
Sejak dari mencabut golok sampai melontarkannya ke depan, mencabut pedang serta
melancarkan serangan, setiap tindakan serta perbuatannya semua dilakukan dengan perhitungan
yang masak serta sasaran yang tepat.
Sayang sekali ada satu hal yang tidak ia perhitungkan.
"Triiiing......!", percikan bunga api memancar ke empat penjuru, tahu-tahu kutungan pedang
samurai itu telah menyongsong pedangnya.......bukan mata pedang yang di arah melainkan ujung
pedangnya. Tak ada orang yang bisa menyongsong datangnya ujung pedang yang sekarang menusuk tiba
dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat itu.
Tak ada orang yang bisa melepaskan serangan dengan begitu cepat dan begitu tepatnya.
........Mungkin bukannya sama sekali tak ada orang, mungkin saja masih ada satu orang.
Tapi mimpipun Ciu Ji sianseng tidak menyangka kalau A-kit lah orangnya......
Begitu ujung pedangnya bergetar, ia segera merasakan ada semacam getaran yang sangat aneh
menyusup masuk lewat tubuh pedangnya, menembusi tangan, lengan dan bahunya.
Kemudian ia seolah-olah merasa ada segulung angin berhembus lewat.
Kutungan pedang samurai di tangan A-kit ternyata berubah menjadi segulung angin yang
berhembus lewat pelan-pelan.
Ia dapat menyaksikan kilatan pedang samurai itu, dapat merasakan pula hembusan angin itu, tapi
ia sama sekali tak tahu bagaimana caranya untuk menghindari dan menangkis datangnya
ancaman tersebut.
.........Ketika angin berhembus datang, siapakah yang mampu menghindarinya" Siapakah yang
tahu angin itu akan berhembus datang dari mana"
Tapi ia tidak putus asa, karena dia masih ada seorang teman yang sedang menanti di belakang Akit.
Sebagian besar orang persilatan selalu beranggapan bahwa ilmu pedang yang dimiliki Ciu Ji
sianseng jauh lebih hebat daripada kepandaian Mao-toa-sianseng, ilmu silatnya jauh lebih
menakutkan daripada ilmu silat Mao-toa-sianseng.
Hanya dia seorang yang tahu bahwa pandangan semacam ini sesungguhnya suatu pandangan
yang bodoh sekali dan menggelikan, dan hanya dia seorang pula yang tahu seandainya Mao-toa-
Sianseng menginginkan jiwanya, ia akan memperolehnya cukup dalam satu jurus belaka.
Serangannya baru benar-benar merupakan suatu jurus serangan yang mematikan, ilmu pedang
yang dimilikinya baru betul-betul merupakan suatu ilmu pedang yang menakutkan sekali, tak
seorangpun manusia yang dapat menilai kecepatan dari jurus serangan tersebut, tak ada pula
orang yang tahu sampai di manakah kekuatan serta perubahan gerakan yang dimilikinya, sebab
pada hakekatnya belum pernah ada orang yang sanggup menyaksikannya.
Sudah banyak tahun ia hidup bersama dengan Mao-toa-sianseng, sudah seringkali mereka
menentang bahaya maut bersama, hidup gembira bersama, tapi bahkan dia sendiripun hanya
sempat melihat satu kali saja.
Ia percaya asal Mao-toa-sianseng melancarkan serangan tersebut, kendatipun A-kit masih
sanggup menghindarkan diri, tak nanti ia memiliki sisa kekuatan untuk melukai orang.
Ia percaya sekarang Mao-toa-sianseng pasti sudah melancarkan serangannya, sebab di saat yang
amat kritis itulah ia mendengar seseorang membentak keras:
"Ampuni selembar jiwanya!"
Diiringi bentakan tersebut, desingan angin segera terhenti, cahaya golokpun seketika lenyap tak
berbekas, pedang yang ada di tangan Mao-toa-sianseng tahu-tahu sudah berada di belakang
tengkuk A-kit. ooooOOOOoooo Bab 13. Nama dari Toa Siocia
Hawa pedang serasa dingin menggidikkan, ibaratnya lapisan salju di puncak bukit nun jauh di
sana yang sepanjang tahun tak pernah meleleh, kau tak perlu menyentuhnya tapi dapat
merasakan hawa dingin dari ujung pedang yang tajam, membuat darah dan tulang belulangmu
menjadi kaku dan membeku karena kedinginan.
Pedang sesungguhnya memang dingin, tapi bila di tangan seorang yang benar-benar jago, baru
akan memancarkan hawa pedang yang begini dingin dan menggidikkan hati.
Sebilah pedang menyambar datang dan tiba-tiba berhenti di tengah jalan, jaraknya dengan nadi
besar di belakang leher A-kit tinggal setengah inci lagi.
Nadi darahnya sedang berdenyut keras, otot-otot hijau di tepi nadi yang mengejang keluarpun ikut
berdenyut keras.
Akan tetapi orangnya sama sekali tidak bergerak.
Sewaktu bergerak ia lebih cepat dari hembusan angin, tapi sewaktu berdiri tegak lebih kokoh dari
bukit karang, tapi ada kalanya bukit karangpun akan longsor dan berguguran.
Bibirnya telah merekah kekeringan, seperti batu-batu karang di atas puncak bukit yang merekah
kena hembusan angin.
Air mukanya persis seperti batu karang, sedikitpun tanpa pancaran emosi, kaku dan dingin.
Apakah dia tak tahu kalau pedang itu menusuk satu inci lagi ke depan maka darah segar dalam
tubuhnya akan memancar keluar"
Apakah ia benar-benar tidak takut mati"
Terlepas apakah ia benar-benar tidak takut mati atau tidak, yang pasti kali ini dia pasti akan
mampus. Ciu Ji Sianseng menghembuskan napas panjang, Toa-tauke menghembuskan pula napasnya
panjang-panjang, mereka hanya menunggu tusukan dari Mao-toa-sianseng itu ditusukkan lebih ke
depan. Sepasang mata Mao-toa-sianseng menatap tajam-tajam urat nadi di belakang tengkuk yang
sedang berdenyut keras itu, sinar matanya memancarkan suatu perubahan yang aneh sekali,
seakan-akan penuh mengandung rasa benci yang mendalam, seolah-olah juga mengandung
penuh penderitaan dan siksaan.
Kenapa tusukan itu tidak dilanjutkan"
Apa yang sedang ia nantikan"
Ciu Ji sianseng mulai tak sabar, tiba-tiba ia berteriak:
"Hayo lanjutkan tusukanmu itu, jangan kau menguatirkan keselamatan jiwaku!"
Kutungan samurai di tangan A-kit masih berada setengah inci di atas tenggorokannya, tapi dalam
genggamannya masih ada sebilah pedang, kembali ia berseru:
"Aku yakin masih sanggup menghindari tusukannya itu!"
Mao-toa-sianseng tidak memberikan reaksi apa-apa.
Ciu Ji sianseng kembali berseru:
"Sekalipun aku tak mampu menghindarkan diri, kau harus membinasakannya, selama orang ini
belum mati, maka tiada jalan kehidupan lagi untuk kita, kita mau tak mau harus menyerempet
bahaya untuk melanjutkan pertarungan ini"
Toa-tauke segera berteriak pula:
"Tindakan semacam ini tak bisa dikatakan sebagai menyerempet bahaya lagi, kesempatan yang
kalian miliki jauh lebih besar daripada kesempatannya"
Tiba-tiba Mao-toa-sianseng tertawa tergelak, gelak tertawanya itu sama anehnya seperti pancaran
sinar matanya, pada saat ia mulai tertawa itulah pedangnya telah ditusuk ke depan, menusuk ke
muka melewati sisi tengkuk A-kit dan menusuk bahu Ciu Ji sianseng.
"Triiiing....!, pedang yang berada dalam genggaman Ciu Ji Sianseng terjatuh ke tanah, darah
kental berhamburan kemana-mana dan memercik di atas wajahnya sendiri.
Raut wajahnya itu segera mengejang keras karena rasa kaget dan tercengang yang kelewat
batas, tapi yang jelas terpancar adalah rasa gusarnya yang berkobar-kobar.
Toa-tauke ikut pula melompat bangun dari tempat duduknya.
Siapapun tidak menyangka akan terjadinya perubahan ini, siapapun tidak tahu kenapa Mao Toa
sianseng dapat berbuat demikian.
Mungkin hanya dia sendiri dan A-kit saja yang tahu.
Paras muka A-kit sama sekali tidak menampilkan emosi, rupanya perubahan tersebut sudah jauh
berada dalam dugaannya.
Tapi sinar matanya justru memancarkan cahaya penderitaan, bahkan penderitaan lebih mendalam
daripada yang diderita Mao Toa Sianseng........
Cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu pedang itu sudah dimasukkan kembali ke dalam
sarungnya. Tiba-tiba Mao Toa Sianseng menghela napas panjang.
"Aaaaiiii.....bukankah sudah ada lima tahun kita tak pernah berjumpa muka.......?"
Perkataan itu ditujukan pada A-kit, tampaknya bukan saja mereka saling mengenal, bahkan
merupakan pula sahabat karib selama banyak tahun.
Kembali Mao Toa-sianseng berkata:
"Selama banyak tahun ini apakah penghidupanmu bisa kau lewatkan secara baik-baik" Apakah
pernah menderita sakit yang parah?"
Sahabat yang sudah banyak tahun tak pernah berjumpa, tiba-tiba saja bertemu kembali antara
satu dengan lainnya, tentu saja kata-kata pertama yang diucapkan adalah saling menanyakan
keadaan, pertanyaan ini merupakan suatu pertanyaan yang amat sederhana dan umum sekali.
Tapi sewaktu mengucapkan kata-kata itu, tampaklah mimik wajahnya seakan-akan sedang
menahan suatu penderitaan yang sangat hebat.
Sepasang lengan A-kit mengepal kencang, bukan saja ia tidak berbicara, berpalingpun tidak.


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau toh aku telah berhasil mengenalimu, kenapa kau masih belum mau berpaling juga, agar
aku dapat menyaksikan wajahmu?", kembali Mao Toa sianseng berkata.
"Tiba-tiba A-kit pun menghela napas panjang.
"Aaaaiiii......kalau toh kau telah mengenali diriku, buat apa lagi memperhatikan wajahku?"
"Kalau begitu, paling tidak kaupun harus melihat aku telah berubah menjadi seperti apa sekarang
ini!" Meskipun perkataan itu diucapkan dengan nada yang ringan, justru suaranya amat parau dan
seperti orang yang sedang menjerit.
Akhirnya A-kit telah memalingkan wajahnya, tapi begitu kepalanya berpaling, air mukanya segera
berubah hebat. Yang sedang berdiri dihadapannya tak lebih hanya seorang kakek berambut putih, sesungguhnya
tiada sesuatu yang aneh atau istimewa, atau menyeramkan hati orang.
Tapi rasa kejut yang memancar keluar dari mimik wajahnya sekarang jauh lebih hebat daripada
rasa kagetnya ketika bertemu dengan makhluk aneh yang menyeramkan.
Mao Toa sianseng kembali tertawa, suara tertawanya kedengaran jauh lebih aneh lagi.
"Coba lihatlah, bukankah aku sudah banyak berubah?", katanya.
A-kit ingin menjawab, tapi tak sepotong suarapun yang keluar dari tenggorokannya.
"Andaikata kita saling berjumpa di tengah jalan secara tidak sengaja, aku rasa belum tentu kau
dapat mengenali diriku", kata Mao Toa sianseng.
Tiba-tiba ia berpaling dan bertanya kepada Toa-tauke:
"Bukankah kau sedang keheranan, karena ia bisa begitu terperanjat ketika bertemu denganku
barusan?" Terpaksa Toa-tauke hanya mengangguk, ia tidak habis mengerti hubungan apakah yang
sesungguhnya terjalin di antara mereka berdua"
Mao Toa sianseng kembali bertanya:
"Coba kau lihatlah dia, berapa kira-kira usianya tahun ini........?"
Toa-tauke memperhatikan A-kit sekejap, kemudian dengan agak ragu menjawab:
"Paling tidak baru berusia dua puluh tahunan, belum mencapai tiga puluh tahun!"
"Dan aku?"
Toa-tauke memperhatikan pula rambutnya yang telah beruban serta wajahnya yang penuh keriput,
meskipun dalam hati kecilnya ingin menyebut beberapa tahun lebih muda, toh tak dapat
menyebutnya terlalu sedikit.
"Bukankah kau melihat usiaku paling tidak sudah mencapai enam puluh tahunan?", kata Mao Toasianseng
tiba-tiba. "Sekalipun kau sudah berusia enam puluh tahunan, tapi kelihatannya masih berusia sekitar lima
puluh tiga-empat tahunan", buru-buru Toa-tauke menambahkan.
Mendadak Mao Toa-sianseng tertawa terbahak-bahak, seakan-akan belum pernah mendengar
cerita lelucon yang selucu itu, tapi dibalik suara tertawanya itu justru sama sekali tidak membawa
nada tertawa, bahkan jauh lebih mirip orang yang sedang menangis.
Toa-tauke memperhatikan dirinya sekejap, lalu memperhatikan pula diri A-kit, katanya:
"Apakah tebakanku keliru besar?"
Akhirnya A-kit menghembuskan napas panjang, katanya:
"Aku termasuk shio macan, tahun ini berusia tiga puluh dua tahun!"
"Dan dia?"
"Ia lebih tua tiga tahun daripada diriku!"
Dengan rasa kaget Toa-tauke memperhatikannya, siapapun tak akan percaya kalau orang yang
berwajah penuh keriput dan berambut putih itu baru berusia tiga puluh lima tahun.
"Kenapa secepat itu ia berubah menjadi setua ini?"
"Karena dendam sakit hati!"
Dendam sakit hati yang terlalu dalam, seperti juga kesedihan yang kelewat batas, selalu membuat
proses ketuaan seseorang berlangsung jauh lebih cepat daripada siapapun.
Toa-tauke memahami juga teori tersebut, tapi tak tahan kembali ia bertanya:
"Siapa yang ia benci?"
"Akulah yang ia benci!"
"Kenapa ia sangat membenci dirimu?", tanya Toa tauke sambil menarik napas panjang-panjang
untuk melegakan dadanya yang sesak.
"Karena aku telah melarikan calon istrinya yang bakal dinikahi!"
Paras muka A-kit kembali berubah menjadi tawar tanpa emosi, dengan hambar ia melanjutkan:
"Waktu itu sesungguhnya aku berangkat ke rumahnya dengan tujuan untuk menyampaikan
selamat kepadanya, tapi justru pada malam kedua setelah mereka tukar cincin, kubawa kabur
bakal bininya!"
"Karena kaupun mencintai perempuan itu?", tanya Toa-tauke.
A-kit tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung, tapi berkata lagi dengan suara dingin:
"Setengah bulan kemudian setelah kubawa kabur bakal bininya itu, akupun kembali
meninggalkannya!"
"Kenapa kau harus melakukan perbuatan semacam ini?"
"Karena aku senang!"
"Jadi asal kau senang, maka perbuatan macam apapun akan ku lakukan......?"
"Benar!"
Sekali lagi Toa-tauke menghembuskan napas panjang.
"Aaaaiii....sekarang aku jadi paham sekali!"
"Apa yang kau pahami?"
"Barusan ia tidak membunuhmu karena dia tidak ingin kau mati terlalu cepat, dia ingin
membuatmu seperti dirinya merasakan penderitaan batin yang hebat dan mati secara pelan-pelan"
Mendadak Mao Toa-sianseng menghentikan gelak tertawanya, lalu meraung keras:
"Kentut busuk makmu!"
Toa-tauke tertegun.
Tampaklah Mao Toa-sianseng sedang mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, dengan
pandangan mata tak berkedip ditatapnya A-kit tajam-tajam, kemudian sepatah demi sepatah kata
dia berkata: "Aku harus membuatmu dapat melihat diriku, sebab aku harus membuatmu memahami akan satu
persoalan"
A-kit sedang memperhatikan dengan seksama.
"Yang kubenci bukan dirimu melainkan diriku sendiri", kata Mao Toa-sianseng, "sebab itu aku baru
menyiksa diriku sendiri sehingga berubah menjadi begini rupa!"
A-kit termenung sejenak, akhirnya pelan-pelan dia mengangguk.
"Ya, aku mengerti!"
"Kau benar-benar sudah mengerti?"
"Ya, aku benar-benar sudah mengerti!"
"Kau dapat memaafkan diriku?"
"Aku.......aku sudah memaafkan dirimu semenjak dahulu!"
Mao Toa-sianseng menghembuskan napas panjang seakan-akan ia telah melepaskan suatu
beban yang beribu-ribu kati beratnya dari atas bahunya.
Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut, berlutut di hadapan A-kit sembari bergumam:
"Terima kasih banyak, terima kasih banyak......."
Ciu Ji sianseng selama ini hanya memandang ke arahnya dengan wajah terkejut, tapi sekarang ia
tak dapat mengendalikan diri lagi, segera bentaknya dengan gusar:
"Ia telah melarikan binimu, kemudian meninggalkannya pula, tapi sekarang kau malah minta maaf
kepadanya, kau malah minta kepadanya untuk memaafkan dirimu, kau.....kau....kenapa kau tidak
membiarkan aku untuk membunuhnya?"
Tadi pedangnya sudah bergerak, ia sudah mempunyai kesempatan untuk turun tangan, ia dapat
melihat bahwa perhatian A-kit sudah mulai dipecahkan oleh pembicaraannya, tapi ia tak
menyangka kalau sahabatnya malahan turun tangan menyelamatkan A-kit.
Mao Toa-sianseng menghela napas panjang.
"Aaai...kau mengira aku betul-betul sedang menolongnya barusan?", ia bertanya.
"Memangnya bukan?", teriak Ciu Ji sianseng marah.
~Bersambung ke Jilid-11
Jilid-11 "Sesungguhnya bukan dia yang kutolong, tapi kaulah! Kau harus tahu, seandainya tusukan tadi
kau lakukan juga, maka yang tewas bukan dia melainkan dirimu!"
Setelah tertawa getir ia melanjutkan:
"Sekalipun aku terhitung seorang yang lupa budi, serangan kita lancarkan bersamapun belum
tentu dapat melukai dirinya barang seujung rambutpun!"
Kini kegusaran yang membakar Ciu Ji Sianseng telah berubah menjadi rasa kaget dan
tercengang. Ia tahu sahabatnya ini bukan seseorang yang gemar berbohong, tapi tak tahan ia bertanya juga:
"Serangan gabungan kita tadi hakekatnya sudah merupakan suatu serangan yang tiada taranya,
masa ia sanggup untuk mematahkannya?"
"Ya, ia bisa!"
Rasa hormat dan kagum segera menyelimuti wajahnya, ia melanjutkan:
"Dalam dunia dewasa ini hanya dia seorang yang dapat melakukannya, hanya satu cara yang bisa
dipergunakannya!"
"Kau maksudkan Thian-tee-ki-hun (Langit dan bumi musnah bersama).....?", seru Ciu Ji Sianseng
dengan paras muka berubah.
"Betul, bumi hancur langit goncang, langit dan bumi akan musnah bersama!"
"Apakah dia adalah orang itu?", jerit Ciu Ji sianseng terkesiap.
"Dialah orangnya!"
Dengan sempoyongan Ciu Ji sianseng mundur beberapa langkah, seakan-akan ia sudah tak
sanggup untuk berdiri tegak lagi.
"Selama hidup aku hanya pernah melakukan suatu perbuatan berdosa yang tak terampuni", kata
Mao Toa sianseng selanjutnya, "andaikata tiada seseorang yang merahasiakan kejadian tersebut,
sejak semula aku sudah mati tanpa tempat kubur"
"Dia pula orangnya!"
"Benar!"
Pelan-pelan dia melanjutkan:
"Peristiwa itu sudah terjadi banyak tahun berselang, selama beberapa tahun ini akupun pernah
bertemu dengannya, tapi ia selalu tak memberi kesempatan bagiku untuk berbicara, belum pernah
ia mendengarkan sepatah kataku hingga selesai, sekarang..........."
Sekarang bagaimana" Perkataan inipun tidak berkelanjutan.
Tiba-tiba sekilas cahaya tajam tanpa menimbulkan suara apapun menyambar datang, tahu-tahu
sebatang kutungan pisau sepanjang tiga depa telah menancap pada punggungnya.
Darah segar berhamburan kemana-mana ketika tubuh Mao Toa sianseng sedang roboh ke tanah.
Tiok Yap-cing seakan-akan sedang tertawa. Tapi bukan dia yang melancarkan serangan itu.
Orang yang melancarkan serangan sama sekali tidak tertawa, padahal di hari-hari biasa pemuda
itu selalu memperlihatkan sekulum senyumannya yang manis dan menawan hati, tapi sekarang ia
sama sekali tidak tertawa.
Menyaksikan ia melancarkan serangannya, Toa-tauke tampak amat terperanjat.
A-kit ikut terperanjat.
Ciu Ji Sianseng bukan cuma terkejut bahkan gusar sekali, dengan suara keras ia membentak:
"Siapakah orang ini?"
"Aku bernama Siau Te!", pemuda itu menjawab.
Pelan-pelan ia maju ke depan, lalu berkata lebih jauh:
"Aku tidak lebih hanya seorang bocah cilik yang tidak punya nama dan tak ada gunanya. Tidak
seperti kalian jago-jago kenamaan, jago pedang ternama dan orang gagah yang disegani tiap
manusia. Tentu saja manusia-manusia ternama macam kalian tak akan membunuh diriku!"
"Barang siapa membunuh orang, maka terlepas siapakah dia, hukumannya adalah sama saja!",
kata Ciu Ji Sianseng dengan gusar.
Ia mengambil kembali pedangnya yang tergeletak di tanah.
Paras muka Siau Te sama sekali tidak berubah, katanya tiba-tiba:
"Hanya aku seorang yang berbeda, aku tahu pasti kau tak akan membunuhku!"
Ciu Ji Sianseng telah menggenggam pedangnya, tapi tak tahan ia bertanya juga:
"Kenapa?"
"Sebab begitu kau turun tangan, maka pasti ada orang yang akan mewakiliku untuk
membunuhmu!"
Sambil berkata, tiba-tiba ia memandang ke arah A-kit dengan sinar mata yang sangat aneh.
"Siapa yang akan mewakilimu untuk membunuhnya?", tak tahan A-kit bertanya.
"Tentu saja kau!"
"Kenapa aku musti membantumu untuk membunuhnya?"
"Sebab walaupun aku tak punya nama dan tak berguna, tapi aku justru mempunyai seorang ibu
yang baik sekali, apalagi kaupun kenal sekali dengannya!"
Paras muka A-kit segera berubah.
"Apakah ibumu adalah........adalah......."
Tiba-tiba saja suaranya menjadi parau dan ia tak mampu mengucapkan nama tersebut, nama
yang ia selalu berusaha untuk melupakannya tapi tak akan terlupakan untuk selamanya.
Siau Te segera membantunya untuk melanjutkan perkataan itu:
"Ibuku tak lain adalah Toa siocia dari keluarga Buyung di wilayah Kanglam, yaitu Siau sumoay dari
Mao Toa sianseng......."
Dengan senyuman di kulum, Tiok Yap-cing segera melanjutkan pula perkataan itu:
"Adapun nama besar dari Toa-siocia ini tak lain adalah Buyung Ciu-ti......!"
Sepasang tangan A-kit telah menjadi dingin dan kaku, demikian dinginnya hingga merasuk ke
tulang sumsum. Siau Te memandang sekejap ke arahnya kemudian berkata lagi dengan nada hambar:
"Berulangkali ibuku telah berpesan, barang siapa berani berbicara sembarangan di tempat luaran
sehingga merusak nama baik dari keluarga persilatan Buyung, sekalipun aku tidak membunuhnya,
dan kaupun pasti tak akan menyanggupinya, apalagi Mao Toa sianseng ini pada dasarnya adalah
anggota perguruan keluarga Buyung, maka aku berbuat demikian sesungguhnya tak lebih hanya
membantu ibuku untuk membersihkan perguruan dari anasir-anasir jahat"
A-kit mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, kemudian bertanya:
"Sedari kapan ibumu memegang tampuk pimpinan keluarga Buyung?"
"Oh, masih belum begitu lama!"
"Kenapa ia tidak menahanmu di sampingnya?"
Siau Te menghela napas panjang, katanya:
"Karena aku tak lebih hanya seorang bocah yang malu diketahui orang, pada hakekatnya aku
tidak pantas untuk masuk menjadi anggota keluarga Buyung, karenanya aku harus ikut orang lain
dan menjadi seorang manusia gelandangan yang tak ada harganya!"
Paras muka A-kit sekali lagi berubah hebat, sorot matanya penuh memancarkan rasa sedih dan
penderitaan. Lewat lama sekali ia baru bertanya pelan:
"Berapa umurmu tahun ini?"
"Tahun ini aku baru berusia lima belas tahun!"
Sekali lagi Toa-tauke merasa terkejut, siapapun tak akan menyangka kalau pemuda yang berada
dihadapannya ini sebenarnya tak lebih hanya seorang bocah yang baru berusia lima belas tahun.
"Aku tahu orang lain pasti tak akan mengira kalau tahun ini aku baru berusia lima belas tahun,
seperti juga orang lain tak akan tahu kalau tahun ini Mao Toa sianseng sebenarnya baru berusia
tiga puluh lima tahun!", demikian Siau Te berkata.
Tiba-tiba ia tertawa, suara tertawanya begitu memedihkan hati, ia melanjutkan:
"Hal ini mungkin dikarenakan penghidupanku selama ini jauh lebih menderita daripada anak-anak
lainnya, karena itu pertumbuhankupun jauh lebih cepat daripada pertumbuhan orang lain!"
Pengalaman yang penuh penderitaan memang merupakan faktor terpenting bagi kematangan
yang lebih awal bagi sementara anak.
Ciu Ji sianseng memandang sekejap ke arahnya, lalu memandang pula ke arah A-kit, tiba-tiba
sambil mendepakkan kakinya berulang kali ke tanah, ia membopong jenazah sahabatnya dan
tanpa berpaling lagi pergi meninggalkan tempat itu.
Toa-tauke tahu bila dia pergi dari situ maka mau tak mau diapun harus ikut angkat kaki dari sana,
tak tahan segera teriaknya:
"Ciu Ji sianseng, harap berhenti dulu!"
Dengan dingin Siau Te berkata:
"Ia sadar bahwa dalam kehidupannya kali ini sudah tiada harapan untuk membalas dendam lagi,
kalau tidak pergi dari sini, mau apa berdiam terus di tempat ini?"
Perkataan itu sangat menyinggung perasaan orang, seringkali kaum pria dunia persilatan akan
beradu jiwa lantaran perkataan tersebut.
Tapi sekarang, sekalipun Ciu Ji sianseng mendengarnya dengan jelas, diapun akan berpura-pura
tidak mendengar, sebab apa yang diucapkan olehnya memang merupakan suatu kenyataan yang
tak mungkin dibantahnya lagi.
Oleh sebab itu dia tak mengira kalau Ciu Ji sianseng akan balik kembali ke dalam ruangan itu.
Baru saja ke luar dari pintu gerbang, ia telah mundur kembali ke dalam ruangan, bahkan mundur
dengan selangkah demi selangkah, wajahnya yang pucat membawa suatu perubahan wajah yang
aneh, jelas bukan rasa sedih atau marah, melainkan rasa kejut dan takut.
Ia sudah tak termasuk pemuda yang berdarah panas lagi, diapun bukan seseorang yang tak tahu
berat entengnya persoalan.
Tidak seharusnya ia mundur kembali ke dalam ruangan, kecuali hanya itulah satu-satunya jalan
yang dapat ditempuh olehnya.
Siau Te segera menghela napas panjang, gumamnya:
"Sebetulnya aku mengira dia adalah seorang manusia yang pintar, tapi kenapa justeru mencari
penyakit buat dirinya sendiri?"
"Sebab ia sudah tiada jalan lain kecuali berbuat demikian!", seseorang mendadak menyambung
dari luar pintu dengan suara dingin.
Suara itu sebenarnya masih berada di tempat yang amat jauh, tapi tahu-tahu di luar halaman
kedengaran suara detakan nyaring dan suara itu sudah muncul dari luar pintu.
Menyusul suara detakan tadi, orang itupun sudah masuk ke dalam ruangan, dia adalah seorang
manusia cacat yang aneh sekali, kaki kanannya sudah kutung dan diganti dengan kaki kayu,
sebuah codet besar berada di mata sebelah kirinya sehingga tampak tulangnya yang berwarna
putih. Biasanya orang cacat semacam ini tampangnya pasti jelek dan menyeramkan, tapi orang ini
ternyata di luar kebiasaan tersebut.
Bukan saja dandanannya rajin dan perlente, bahkan ia terhitung seorang laki-laki yang mempunyai
daya pikat yang amat besar, malahan codet di mata kirinya itu justru memperbesar daya pikat
kelaki-lakiannya.
Dalam ruangan itu terdapat orang-orang yang masih hidup, ada pula orang-orang yang sudah
mati, tapi ia seperti tidak melihatnya sama sekali, begitu masuk ke dalam ruangan segera tegurnya
dengan dingin:

Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapakah tuan rumah tempat ini?"
Toa-tauke memandang sekejap ke arah A-kit, lalu memandang ke arah Tiok Yap-cing, akhirnya
sambil tertawa paksa menjawab:
"Sekarang agaknya masih aku!"
Manusia cacat itu memutar biji matanya lalu berkata dengan angkuh:
"Ada tamu dari jauh yang berkunjung kemari, kenapa sebuah kursipun tidak tersedia" Apakah kau
tidak merasa bahwa tindakanmu sedikit kurang sopan?"
Ketika Toa-tauke masih ragu-ragu, sambil tertawa paksa Tiok Yap-cing telah mengangkat kusir
sambil bertanya:
"Siapakah nama saudara?"
Manusia cacat itu sama sekali tidak memperdulikannya, dia hnaya menunjukkan ke empat buah
jari tangannya.
"Oooohhh.... maksud tuan masih ada tiga orang sahabat lagi yang akan datang kemari?", tanya
Tiok Yap-cing masih tetap tertawa.
"Ehmmm!"
Tiok Yap-cing segera mempersiapkan tiga buah bangku lagi, baru saja ia menjajarkannya menjadi
satu, dari tengah udara telah melayang turun kembali dua sosok bayangan manusia.
Bukan saja gerakan tubuhnya enteng seperti daun kering yang rontok ke tanah, wajahnyapun
kurus kering tak berdaging, pinggangnya menyoren sebuah bambu yang panjangnya tiga depa,
potongan badannyapun ceking sekali macam sebatang bambu.
Tapi pakaian yang dikenakan perlente sekali, sikapnyapun sangat angkuh, terhadap manusiamanusia
hidup dan mati yang berada dalam ruangan, ia memandangnya bagaikan orang mati
semua. Seorang yang lain justru merupakan kebalikannya, dia adalah seorang laki-laki gemuk yang selalu
tersenyum. Pada jari-jari tangannya yang putih dan gemuk mengenakan tiga buah cincin yang
berbatu sangat indah, nilainya tak terkirakan. Kukunya tajam dan panjang sehingga kelihatannya
seperti tangan seorang nyonya kaya.
Sepasang tangan seperti ini sudah tentu paling tidak cocok untuk menggunakan pedang, manusia
semacam inipun tidak mirip seorang ahli dalam ilmu meringankan tubuh.
Tapi kalau ditinjau dari caranya sewaktu melayang turun dari tengah udara tadi, sudah pasti ilmu
meringankan tubuhnya sama sekali tidak lebih lemah daripada kakek ceking macam bambu itu.
Menyaksikan kehadiran ke tiga orang itu, paras muka Ciu Ji sianseng telah berubah menjadi pucat
kelabu. Mendadak dari luar pintu kedengaran pula seseorang yang berbatuk tiada hentinya, sambil
berbatuk-batuk pelan-pelan orang itu berjalan masuk ke dalam ruangan.
Dia adalah seorang hweesio tua yang berwajah penyakitan, bajunya compang-camping dan
punggungnya bungkuk.
Menjumpai kehadiran hweesio tua itu, paras muka Ciu Ji sianseng semakin memucat. Setelah
tertawa sedih, katanya:
"Bagus, bagus sekali, sungguh tak kusangka kaupun telah datang kemari!"
Hweesio tua itu menghela napas panjang.
"Aaaai.....kalau aku tidak datang, siapa yang akan datang" Kalau aku tidak masuk ke neraka,
siapa pula yang akan masuk ke neraka?"
Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut suaranya lemah tak bertenaga, bukan saja seperti
orang penyakitan bahkan mirip sekali dengan seseorang yang sudah lama menderita sakit,
bahkan sakitnya parah sekali!.
Akan tetapi siapapun yang ada dalam ruangan itu sekarang, pasti tahu bahwa dia adalah
seseorang yang mempunyai asal-usul serta kedudukan yang luar biasa.
Tentu saja Toa-tauke pun mempunyai pandangan demikian, ia telah mengetahui bahwa hweesio
tersebut kemungkinan besar adalah satu-satunya bintang penolong yang bisa diharapkan.
Bagaimanapun juga seorang pendeta pasti mempunyai hati yang penuh welas asih, dia tak akan
membiarkan seseorang menderita tanpa berusaha untuk menolongnya.
Maka dengan penuh rasa hormat, Toa Tauke segera bangkit berdiri, kemudian sambil tertawa
paksa katanya: "Untung saja tempat ini bukan neraka, kalau taysu sudah sampai di sini, maka kau tidak akan
merasakan pelbagai penderitaan lagi!"
Hweesio tua itu kembali menghela napas panjang.
"Aaaai....tempat ini kalau bukan neraka, lantas tempat manakah yang disebut neraka" Kalau aku
tidak menderita, siapa pula yang akan menderita......?"
Sekali lagi Toa-tauke tertawa paksa.
"Setelah berada di sini, taysu akan menderita apa lagi?", katanya.
"Menaklukkan iblis juga penderitaan, membunuh orangpun merupakan penderitaan!"
"Aaaah....taysu juga membunuh orang?"
"Kalau aku tidak membunuh orang, siapa yang akan membunuh orang" Kalau aku tidak
membunuh orang, kenapa bisa masuk neraka?"
Toa-tauke tak sanggup mengucapkan kata-katanya lagi.
Tiba-tiba manusia cacat itu bertanya:
"Kau tahu siapa aku?"
Toa tauke menggelengkan kepalanya.
Barang siapapun di dunia ini apabila ia sudah menjadi Toa-tauke seperti dia, orang yang dikenal
pasti tak akan terlalu banyak.
Manusia cacat itu kembali bertanya:
"Kau harus tahu siapakah aku ini, berapa banyakkah manusia di dunia ini yang mempunyai mata
sebuah, tangan sebuah dan kaki sebuah macam aku, tapi bisa mempergunakan sepasang
pedang!" Ia bukan terlampau menyombongkan diri, sebab manusia semacam dia mungkin tak akan
ditemukan keduanya dalam dunia persilatan dewasa ini.
Satu-satunya orang yang mempunyai ciri semacam dia tak lain adalah jago pedang ketiga dari
sepuluh jago pedang wilayah Kanglam yang disebut orang sebagai Yan-cu-siang-hui (Si walet
yang terbang bersama) Tam Ci-hui.
Tentu saja Toa-tauke pun mengetahui tentang orang ini, maka ia segera bertanya:
"Kau adalah Tam tayhiap?"
"Betul!", jawab manusia cacat itu dengan angkuh, "aku adalah Tam Ci-hui, akupun datang untuk
membunuh orang!"
"Masih ada aku Liu Kok-tiok", kakek ceking itu segera menambahkan dengan cepat.
Kok-tiok-kiam termasuk juga salah seorang jago pedang dari wilayah Kanglam. Ia merupakan
salah seorang dari sepuluh jago pedang wilayah Kanglam, tujuh orang rekannya telah tewas di
ujung pedang Ciu Ji sianseng.
Dengan dingin Tam Ci-hui berkata:
"Siapakah orang yang hendak kami bunuh hari ini, rasanya sekalipun tidak kuucapkan kaupun
sudah tahu!"
Toa tauke segera menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa paksa:
"Untungnya saja kedatangan kalian kemari bukan untuk membunuh diriku......!"
"Tentu saja bukan kau!"
Belum habis perkataannya itu, tubuhnya sudah melompat ke tengah udara, pedangnya diloloskan
dari sarung dan diantara kilatan cahaya ia langsung menusuk ke arah Ciu Ji sianseng.
Ciu Ji sianseng memungut kembali pedangnya dan mengayunkan senjata tersebut untuk
menyongsong datangnya ancaman tersebut.
"Traaaang....!", sepasang pedang saling membentur satu sama lainnya, tiba-tiba cahaya pedang
tersebut berubah arah dan meluncur ke arah tubuh Toa-tauke.
Belum lenyap senyuman di ujung bibir Toa-tauke, kedua belah pedang itu sudah menembus
tenggorokan serta jantungnya.
Tak seorangpun yang menduga bakal terjadi perubahan tersebut, juga tak seorangpun yang
menghalanginya.
Sebab di kala sepasang pedang itu saling membentur satu sama lainnya, Tiok Yap-cing telah
dirobohkan oleh hweesio tua itu.
Pada saat yang bersamaan pula, Kok-tiok-kiam serta si gemuk berusia setengah umur yang selalu
tersenyum itu telah tiba di samping Siau Te.
Pedang Kok-tiok-kiam belum sampai diloloskan dari sarungnya, dengan gagang pedangnya ia
sudah menumbuk iga kiri Siau Te.
Siau Te ingin menyusup ke depan, tapi pedang Ciu Ji Sianseng dan Tam Ci-hui kebetulan sedang
meluncur datang dari hadapannya.
Terpaksa dia harus berkelit ke samping kanan, sebuah tangan lembut seperti tangan nyonya kaya
telah menunggu di sana, tiba-tiba kukunya yang lembut itu meluncur ke depan, sepuluh buah kuku
tajam bagaikan sepuluh pedang pendek yang tajam tahu-tahu sudah tiba di tenggorokan serta alis
matanya. Sekarang ia sudah tak sanggup untuk menyelamatkan diri lagi, tampaknya ia akan segera tewas di
ujung kuku tajam itu.
Tapi A-kit tak dapat membiarkan ia mati, yaa, tak dapat!.
Baru saja pedang panjang milik Kok-tiok-kiam diloloskan dari sarungnya, mendadak sesosok
bayangan manusia berkelebat lewat dari hadapannya, tahu-tahu pedang itu sudah berpindah
tangan, kemudian cahaya pedang kembali berkelebat lewat, mata pedang tahu-tahu sudah
menempel di tenggorokannya.
Mata pedang itu tidak ditusukkan lebih lanjut, sebab kuku dari laki-laki gemuk berusia setengah
umur itupun tidak melanjutkan tusukannya.
Gerakan dari setiap orang telah terhenti, setiap orang sedang memperhatikan pedang di tangan Akit.
Sebaliknya A-kit sedang memperhatikan kesepuluh buah kuku yang lebih tajam dari pedang itu.
Waktu yang teramat singkat itu dirasakan seperti setahun lamanya, akhirnya hweesio tua itu
menghela napas panjang.
"Sungguh cepat amat gerakan tangan saudara!", katanya.
"Akupun bisa membunuh orang!", kata A-kit.
"Tapi apa hubungannya antara persoalan ini dengan dirimu?"
"Sama sekali tak ada!"
"Kalau memang begitu, kenapa mesti mencampuri urusan ini?"
"Sebab orang itu justru mempunyai sedikit hubungan dengan diriku!"
Hweesio tua itu memandang sekejap ke arah Siau Te, lalu memandang pula tangan nyonya kaya
itu, akhirnya dia menghela napas panjang.
"Aaaai......seandainya kau bersikeras hendak menolongnya, aku kuatir hal ini akan sulit sekali"
"Kenapa?"
"Karena tangan itu!"
Pelan-pelan ia melanjutkan kembali kata-katanya:
"Karena tangan tersebut adalah tangan Siu-hun-jiu (Tangan perenggut nyawa) dari Hok-kui-sinsian
(Dewa rejeki dan kemuliaan) yang bisa menutul besi menjadi emas, menutul kehidupan
menjadi kematian. Sekalipun kau membunuh Liu Kok-tiok, sicu muda itupun pasti akan mati!"
"Apakah kalian tidak sayang mempergunakan nyawa dari Liu Kok-tiok untuk ditukar dengan
selembar jiwanya?"
Setiap orang memperhatikan pedang yang berada di tangan A-kit itu.
"Benar!", ternyata jawaban dari hweesio tua itu cukup singkat tapi jelas.
Paras muka A-kit segera berubah.
"Ia tak lebih hanya seorang bocah, kenapa kalian harus membinasakannya.....!", ia bertanya.
Tiba-tiba hweesio tua itu tertawa dingin.
"Dia hanya seorang bocah?", ejeknya, "dia tak lebih hanya seorang bocah" Aku rasa tidak terlalu
banyak bocah semacam dia di dunia ini"
"Tahun ini usianya belum mencapai lima belas tahun!", kembali A-kit berkata.
"Hmmm....! Kalau begitu kami tak akan membiarkan dia untuk hidup sampai usia enam belas
tahun!" "Kenapa?"
Hweesio tua tidak menjawab, sebaliknya malah balik bertanya:
"Tahukah kau tentang Thian-cun?"
"Thian-cun?"
Hweesio tua kembali menghela napas, pelan-pelan ia mengucapkan delapan bait syair:
"Langit bumi tidak berperasaan.
Setan dan malaikat tidak bermata.
Segala benda dan makhluk di dunia tak berdaya.
Mati dan hidup tidak berbeda.
Rejeki dan bencana tidak berpintu.
Langit dan bumi,
alam semesta dan alam baka,
hanyalah aku yang dipertuan."
"Siapakah yang berkata begini" Sungguh besar amat lagaknya!", seru A-kit sambil berkerut
kening. "Itulah bait syair yang diucapkan ketika perguruan Thian-cun dibuka secara resmi, bahkan langit
dan bumi, setan dan malaikatpun tidak ia pandang sebelah matapun, apalagi hanya manusia. Apa
yang mereka perbuat bisa kau bayangkan sendiri"
"Benar!", sambung Ciu Ji sianseng, "daya pengaruh mereka sedemikian luasnya sehingga sama
sekali tidak berada di bawah perkumpulan Cing-liong-hwe di masa lalu, sayangnya dalam dunia
persilatan justru masih terdapat kami beberapa orang yang masih percaya dengan tahayul dan
apa mau dibilang justru kamilah yang selalu diincar"
"Oleh karena itulah dendam pribadi antara sepuluh jago pedang dari Kanglam dengan Ciu Ji
sianseng sudah berubah menjadi tak seberapa lagi", lanjut Tam Ci-hui, "asal dapat melenyapkan
pengaruh jahat mereka, sekalipun batok kepala sendiripun aku orang she Tam rela berkorban,
apalagi hanya sedikit dendam pribadi"
"Perkumpulan yang mengkoordinir pengaruh jahat di tempat ini tak lain adalah sebagian dari
kekuasaan di bawah pimpinan Thian-cun", kata Ciu Ji sianseng.
"Untuk sementara waktu kami masih belum sanggup untuk melenyapkan mereka ke akar-akarnya
karena itu terpaksa harus kami kerjakan dari cabang-cabangnya yang terkecil!", hweesio tua itu
menambahkan. "Bocah yang hendak kau tolong itu adalah orang yang dikirim dari pihak Thian-cun!"
"Perintah dari Thian-cun selamanya diturunkan lewat dirinya, ialah yang secara diam-diam
mengendalikan semua keadaan di sini, Toa-tauke maupun Tiok Yap-cing tidak lebih hanya
boneka-boneka di bawah perintahnya......!"
Hweesio tua itu berhenti sebentar, kemudian pelan-pelan melanjutkan lebih jauh:
"Sekarang tentunya kau sudah mengerti bukan, kenapa kami tak dapat melepaskannya dengan
begitu saja?"
Paras muka A-kit pucat pias seperti mayat, dengan nama besar serta kedudukan sepuluh jago
pedang dari wilayah Kanglam, sudah barang tentu mereka tak akan mencelakai seseorang bocah
tanpa alasan yang kuat, apa yang mereka ucapkan mau tak mau harus dipercaya juga.
"Sekarang setelah kau mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, apakah kau masih ingin
menyelamatkan jiwanya?", hweesio tua itu bertanya lagi.
"Benar!", jawab A-kit.
Paras muka Hweesio tua itu segera berubah hebat.
Tidak menunggu ia buka suara, A-kit telah bertanya lagi:
"Apakah dia adalah pemimpin dari Thian-cun itu?"
"Tentu saja bukan!"
"Siapakah pemimpin dari Thian-cun?"
"Pemimpin dari Thian-cun, tentu saja bernama Thian-cun!"
"Andaikata ada seseorang ingin mempergunakan selembar nyawanya untuk ditukar dengan
nyawa bocah ini, bersediakah kalian menerimanya?"
"Tentu saja bersedia, cuma sayang sekalipun kami bersedia, barter ini sudah pasti tidak akan bisa
berlangsung sebagaimana mestinya......"
"Kenapa?"
"Sebab tak ada orang yang bisa membunuh Thian-cun, tak ada orang yang bisa menandinginya!"
Tiba-tiba suaranya terhenti di tengah jalan, dengan menampilkan suatu mimik wajah yang sangat
aneh, ia seperti melayangkan pikirannya ke tempat yang jauh, lewat lama sekali, pelan-pelan ia
baru menambahkan:
"Mungkin ada seseorang yang sanggup melakukannya!"
"Siapa?"
"Sam........"
Dia hanya mengucapkan sepatah kata, lalu berhenti lagi, setelah menghela napas panjang
terusnya: "Sayang orang ini sudah tiada lagi di dunia ini, sehingga sekalipun dibicarakan juga tak berguna"
"Tapi apa salahnya kalau kau katakan kembali?"
Sorot mata hweesio itu seakan-akan sedang memandang kejauhan lagi, kemudian gumamnya:
"Di atas langit di bawah bumi hanya ada dia seorang dengan sebilah pedangnya yang tiada
keduanya di dunia ini, hanya ilmu pedangnya baru betul-betul terhitung ilmu pedang yang tiada
tandingannya di dunia ini!"
"Kau maksudkan.........."
"Yang kumaksudkan adalah Sam sauya!"
"Sam sauya yang mana?"
"Sam sauya dari lembah Cui-hui-kok, telaga Liok-sui-oh, perkampungan Sin-kiam-san-ceng, Sam
sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong adanya!"
Tiba-tiba wajah A-kit menunjukkan mimik wajah yang sangat aneh, seakan-akan pikiran dan
perasaannya sedang berada pula di tempat yang amat jauh.
Lama, lama sekali, sepatah demi sepatah kata ia baru menjawab:
"Akulah Cia Siau-hong!"
Di atas langit di bawah bumi hanya ada seorang manusia yang bernama Cia Siau-hong.
Bukan saja dia adalah seorang jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit, diapun
seorang manusia yang berbakat, semenjak dilahirkan, ia telah mendapatkan segala kasih sayang
dan segala keberhasilan, tak seorang manusiapun yang dapat menandinginya.
Ia cerdik lagi tampan, tubuhnya sehat dan badannya tinggi kekar, sekalipun orang yang membenci
dirinya, memusuhi dirinya dan mempunyai dendam sakit hati sedalam lautan dengannya, mau tak
mau mengagumi juga kehebatannya itu.
Perduli siapapun orang itu, semuanya tahu bahwa Cia Siau-hong adalah manusia semacam itu,
tapi siapa pula yang benar-benar dapat memahami dirinya.
Siapa pula yang betul-betul bisa menyelami perasaannya dan mengenali kepribadiannya"
ooooOOOOoooo Bab 14. Sam Sauya
Apakah ada orang yang benar-benar memahaminya" Baginya hal itu bukan suatu masalah.
Karena ada sementara orang yang semenjak dilahirkan memang tidak membutuhkan pengertian
dari orang lain, seperti juga malaikat atau dewa atau sebangsanya.


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Justru karena tiada seorang manusiapun yang memahami malaikat, maka ia baru mendapat
penghormatan serta sembahan dari umat manusia di dunia ini.
Dalam pandangan dan perasaan di dunia, Cia Siau-hong hakekatnya sudah mendekati malaikat.
Tapi bagaimana dengan A-kit"
A-kit tidak lebih hanya seorang gelandangan dari dunia persilatan, ia tak lebih hanyalah A-kit yang
tak berguna. Bagaimana mungkin Cia Siau-hong bisa berubah menjadi manusia seperti A-kit" Tapi sekarang
justru ia berkata demikian:
"Akulah Cia Siau-hong!"
Benarkah itu"
Hweesio tua itu tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak.
"Haaaaahhhh..... haaaahhhhh...... haaahhhh.... engkaukah Cia Siau-hong, Sam sauya dari
keluarga Cia?"
"Ya, akulah orangnya!", jawab A-kit.
Ia tidak tertawa.
Persoalan ini sebenarnya adalah rahasianya, juga merupakan penderitaannya, sebenarnya ia
lebih suka mati daripada mengutarakannya kembali, tapi sekarang ia telah mengucapkannya.
Sebab ia tak dapat membiarkan Siau Te mati, hal ini jelas tak akan boleh sampai terjadi.
Akhirnya hweesio tua itu menghentikan gelak tertawanya, dengan dingin ia berkata:
"Tapi sayang, setiap umat persilatan telah mengetahui bahwa ia telah mati!"
"Dia belum mati!"
Sinar matanya penuh pancaran rasa sedih dan penderitaan, katanya lebih lanjut:
"Mungkin perasaannya telah mati, tapi orangnya sampai sekarang belum mati!"
"Justru oleh karena perasaannya telah mati, maka ia telah berubah menjadi A-kit?", tanya hweesio
tua itu sambil menatapnya lekat-lekat.
Pelan-pelan A-kit mengangguk, sahutnya dengan sedih:
"Sayang sekali perasaan A-kit belum mati, oleh karena itu mau tak mau Cia Siau-hong harus hidup
lebih lama!"
"Aku percaya kepadanya!", tiba-tiba Ciu Ji sianseng berkata.
"Kenapa kau percaya?", tanya si hweesio tua.
"Karena kecuali Cia Siau-hong, tak ada orang kedua yang dapat membuat Mao It-leng bertekuk
lutut!" "Akupun percaya!", Lui Kok-tiok melanjutkan.
"Kenapa?", kembali si hweesio tua bertanya.
"Karena kecuali Cia Siau-hong, aku betul-betul tak dapat menemukan orang kedua yang bisa
merampas pedangku dalam satu gebrakan saja?"
"Dan kau?"
Yang ditanya si hweesio tua itu adalah Hok-kui-sin-sian-jiu (Tangan dewa rejeki dan kemuliaan).
Sin-sian-jiu tidak bersuara, tapi tangannya yang seperti tangan nyonya kaya itu pelan-pelan
diturunkan ke bawah, kuku-kukunya yang lebih tajam daripada pedangpun ikut menjadi lemas.
Hal itu sudah merupakan jawabannya yang terbaik.
Cia Siau-hong sekali membalikkan tangannya, pedang Kok-tiok-kiam telah disarungkan kembali,
disarungkan ke dalam sarung pedang yang terselip di pinggang Liu Kok-tiok.
Siau Te telah memutar badannya dan berhadapan muka dengannya, memandang wajahnya itu
tiba-tiba sinar matanya menunjukkan suatu perubahan aneh yang sukar dilukiskan dengan katakata.
Hok-kui-sin-sian-jiu telah menggunakan kembali sepasang tangannya yang mirip tangan nyonya
kaya itu untuk menepuk bahunya, lalu sambil tersenyum berkata:
"Apakah kau telah lupa untuk melakukan suatu perbuatan" Lupa untuk mengucapkan terima kasih
kepada Sam sauya atas budi pertolongannya untuk menyelamatkan jiwamu?"
Siau Te menundukkan kepalanya, akhirnya pelan-pelan ia maju ke depan, lalu pelan-pelan
menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.
Cia Siau-hong menarik tangannya, wajah yang semula layu dan penuh kerutan lelah, seakan-akan
telah bersinar kembali.
Tiba-tiba Siau Te menengadahkan kepalanya dan bertanya:
"Mengapa kau.....kau menolongku?"
Cia Siau-hong tidak menjawab, dia hanya tertawa, tertawa penuh kegirangan, tapi seakan-akan
juga penuh kepedihan hati.
Senyumannya masih menghiasi ujung bibirnya, tapi ternyata urat nadi pada lengan kanannya telah
dicengkeram. Siau Te lah yang mencengkeram urat nadinya, yang digunakan adalah salah satu ilmu
cengkeraman yang terlihay dari Jit-cap-ji-siau-ki-na-jiu-hoat (Tujuh puluh dua macam ilmu
mencengkeram). Pada saat yang bersamaan itulah Tam Ci-hui telah melayang ke udara dan melepaskan sebuah
tendangan ke arah Cia Siau-hong.
"Criiing.....!", mendadak dari balik kaki kayunya memantul ke luar sebilah pedang, dan baru saja
tubuhnya melayang ke udara, pedang itu sudah menusuk ke atas bahu Cia Siau-hong.
Itulah pedangnya yang kedua.
Dan itu pula alat pembunuhnya yang sesungguhnya dan telah mengangkat namanya selama ini.
Cia Siau-hong tidak menghindarkan diri dari tusukan pedang itu.
Sebab pada detik itulah ia sedang memperhatikan Siau Te, dibalik sinar matanya sama sekali
tiada pancaran sinar kaget, gusar atau ngeri, yang ada hanya rasa sedih, kecewa dan
penderitaan. Hingga ujung pedang itu menembusi bahunya dan darah segar berhamburan ke mana-mana,
sinar matanya masih belum juga bergeser dari posisinya semula.
Waktu itu Ciu Ji sianseng dan pedang Liu Kok-tiok telah menusuk datang pula, selain itu masih
ada pula tangan maut yang lembut seperti tangan nyonya kaya itu, Hok-kui-sin-sian-siu-hun-jiu.
Cia Siau-hong masih belum juga berkutik, berkelitpun tidak.
Walaupun urat nadi pada tangan kanannya telah dicengkeram, tapi ia masih mempunyai tangan
yang lain. Tapi kenapa ia belum juga berkutik"
Apakah jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit ini tak mampu membebaskan diri
dari cengkeraman seorang bocah kecilpun"
Pedang milik Ciu Ji sianseng jauh lebih cepat daripada pedang milik Liu Kok-tiok.
Yang ditusuk adalah lutut kiri Cia Siau-hong, sekalipun lutut kiri bukan tempat yang mematikan di
tubuh manusia, namun cukup membuat seseorang tak mampu bergerak lagi.
Serangannya itu tepat dan ganas, kalau ingin melukai tempat mematikan di tubuh Cia Siau-hong,
percayalah serangannya tak bakal meleset.
Mereka sama sekali tidak ingin mencabut jiwanya dengan segera. Tapi terhadap tusukan itupun
Cia Siau-hong tidak menghindar, di mana pedangnya berkelebat lewat, percikan darah segar
segera menodai seluruh wajah Siau Te.
Menyusul kemudian pedang dari Liu Kok-tiok pun menusuk tiba.
Tiba-tiba Siau Te meraung keras, ia melepaskan cengkeramannya pada tangan Cia Siau-hong
dan mendorongnya dengan sekuat tenaga, kemudian dengan mempergunakan lengan sendiri
menangkis datangnya tusukan pedang Kok-tiok-kiam itu, secara tepat ujung pedang menusuk
persendian tulangnya........
"Kau gila?", bentak Liu Kok-tiok dengan gusar, ia mencoba untuk mencabut pedangnya tapi tidak
berhasil. Tam Ci-hui melejit ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, pedang pada kaki kayunya dan
pedang di tangan serentak direntangkan dan menyerang dengan jurus andalannya, Yan-cu-sianghui.
Berbareng itu pula pedang Ciu Ji sianseng menyabet dari samping memapas wajah Cia Siauhong.
Tiga bilah pedang dari tiga arah yang berlainan secepat sambaran kilat dan sekeji ular berbisa
menerobos masuk ke depan.
"Taaaakk......!", tiba-tiba pedang Ciu Ji sianseng miring ke samping karena terhantam suatu
kekuatan besar hingga menancap pada kaki kayu dari Tam Ci-hui.
Karena kehilangan keseimbangan tubuhnya, kontan saja tubuh Tam Ci-hui terjatuh dari tengah
udara, "Kraaaak.....", lengannya patah menjadi dua dan pedangnya lenyap tak berbekas.
Pedang Kok-tiok-kiam telah dijepit oleh Siau Te, tetapi Siau Te sendiripun terpantek oleh pedang
Kok-tiok-kiam. Dalam keadaan inilah, tangan-tangan maut dari Hok-kui-sin-sian-jiu telah muncul kembali di
tenggorokan dan alis mata Siau Te.
Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat lewat, sepasang sepuluh jari tangan nyonya kaya yang tajam
itu sudah tersayat kutung, satu demi satu rontok ke tanah, darah kental berceceran sampai di
mana-mana. Cahaya pedang sekali lagi berkelebat lewat, darah segar kembali memancar ke empat penjuru,
ketika Liu Kok-tiok roboh terkapar ke tanah, Siau Te sudah melayang ke luar dari pintu.
Tak seorangpun yang mengejar ke depan, karena di depan pintu telah berdiri seseorang.
Setelah merampas pedang, mengayun pedang, membacok kuku, menusuk orang serta
mendorong Siau Te keluar dari pintu tadi, Cia Siau-hong telah menghadang di depan pintu dengan
tubuhnya. Sekarang, setiap orang sudah tahu bahwa dia adalah Cia Siau-hong. Dalam genggamannya
masih ada pedang, siapa yang berani sembarangan berkutik bila di tangan Sam sauya dari
keluarga Cia masih menggenggam sebilah pedang"
Sekalipun ia sudah terluka, sekalipun darah kental masih bercucuran dari mulut lukanya, tak
seorangpun berani sembarangan berkutik.
Menunggu ia sudah mundur lama sekali dari situ, hweesio tua baru menghela napas panjang,
katanya: "Benar-benar suatu ilmu pedang yang tiada ke duanya di dunia ini, benar-benar dia adalah Cia
Siau-hong yang tiada bandingannya di kolong langit.......!"
Tiok Yap-cing kena dirobohkan tadi dan selalu tergeletak dengan tubuh kaku di tanah itu
mendadak berkata:
"Ilmu pedangnya memang sungguh bagus dan indah, tapi belum tentu sudah tiada ke duanya lagi
di dunia ini!"
Pelan-pelan ia bangun dan berduduk, sekulum senyuman bahkan menghiasi ujung bibirnya.
Ternyata si hweesio tua tidak terperanjat, dia hanya melotot sekejap ke arahnya lalu berkata
dengan ketus: "Ilmu pedang yang dimiliki Yan sianseng tentu saja bagus pula, kenapa kau tidak mencabut
pedang dan menyerangnya tadi" Seharusnya kau menantang dia untuk berduel satu lawan satu!"
Tiok Yap-cing kembali tersenyum.
"Aku tak mampu menandinginya!", ia mengakui.
"Masa kau tahu ada yang dapat menandingi dirinya?"
"Paling tidak masih ada seorang!"
"Hujin maksudmu?"
Tiok Yap-cing hanya tersenyum dan tidak menjawab, sebaliknya ia malah bertanya:
"Kau pernah menyaksikan hujin (nyonya) turun tangan?"
"Belum pernah!"
"Itulah disebabkan hujin tak perlu turun tangan sendiri, sekalipun dia ingin membunuh seseorang!"
"Tapi siapakah yang mampu mewakilinya untuk membinasakan Cia Siau-hong.....?"
"Yan Cap-sa!"
Hweesio tua itu termenung lama sekali, kemudian kembali menghela napas panjang.
"Aaaai....betul, Yan Cap-sa! Orang itu seharusnya memang Yan Cap-sa......!, bisiknya kemudian.
"Dalam dunia dewasa ini, kecuali hujin mungkin dia seorang yang mengetahui titik kelemahan dari
ilmu pedang yang dimiliki Cia Siau-hong!"
"Tapi semenjak ia mengukir tanda di perahu dan menenggelamkan pedangnya ke dasar telaga
Liok-sui-oh, belum pernah ada seorang manusiapun yang pernah menyaksikan jejaknya dalam
dunia persilatan, mana mungkin dia mencari Cia Siau-hong demi kepentingan hujin?"
"Ya, ini memang tak mungkin!"
"Maksudmu Cia Siau-hong yang akan mencarinya?"
"Inipun tak mungkin!", sahut Tiok Yap-cing.
Setelah tersenyum, ia menambahkan:
"Tapi aku yakin, dalam suatu kesempatan yang tak terduga, mereka pasti akan saling berjumpa
muka!" "Benarkah suatu perjumpaan yang tak terduga?"
Tiok Yap-cing mengebaskan ujung bajunya sambil beranjak, sahutnya dengan hambar:
"Apakah ada rasa cinta" Ataukah tiada rasa cinta" Ada maksud" Ataukah tiada maksud" Siapa
yang dapat membedakan ke dua hal tersebut dengan tenang dan jelas?"
Malam telah tiba, seluruh halaman rumah itu berada dalam suasana yang hening dan gelap, tapi
Cia Siau-hong berjalan dengan langkah cepat, ia tak memerlukan cahaya lampu, tapi ia dapat
menemukan jalanan yang terbanting di sana.
Di dalam halaman rumah itulah, di saat malam yang sama heningnya, entah berapa kali ia telah
bangun dari tidurnya dan berdiri di tengah hembusan angin malam yang dingin dan merasakan
kesepian. Bintang-bintang yang tersebar di langit malam ini jauh lebih suram daripada kemarin, demikian
pula Cia Siau-hong yang kini bukanlah A-kit yang tak berguna kemarin.
Semua kejadian dalam dunia ibaratnya buah-buah catur, sering berubah dan sering berganti,
siapakah yang dapat meramalkan kejadian apa yang bakal dialaminya besok"
Kini satu-satunya orang yang paling ia kuatirkan adalah orang yang berada di sampingnya
sekarang. Siau Te berjalan di sampingnya dengan mulut membungkam, sesudah menembusi halaman
rumah yang gelap, mendadak ia berhenti sambil berkata:
"Kau pergilah!"
"Kau tidak pergi?"
Siau Te gelengkan kepalanya berulang kali, di tengah kegelapan malam, wajahnya tampak pucat
pasi seperti mayat, lewat lama sekali pelan-pelan ia baru berkata:
"Jalan yang kita tempuh sesungguhnya bukanlah sebuah jalan yang sama, lebih baik kau melewati
jalanmu dan aku menempuh jalananku!"
Cia Siau-hong memperhatikan kembali paras mukanya yang pucat, ia merasakan hatinya sakit
sekali. Setelah lewat agak lama ia baru bertanya lagi:
"Apakah kau tak dapat beralih ke jalanan lain?"
"Tidak dapat!", Siau Te berteriak keras sambil mengepal sepasang tangannya kencang-kencang.
Tiba-tiba ia memutar badannya sambil menerjang keluar, tapi baru saja tubuhnya melompat, ia
sudah terjatuh kembali dari tengah udara.
Wajahnya semakin memucat, peluh dingin mengucur keluar bagaikan hujan, dia ingin meronta dan
bangun berdiri tapi untuk berdiri tegakpun ia sudah tak mampu.
Sebenarnya dia mengira tusukan dari Liu Kok-tiok tadi masih sanggup ditahan olehnya, tapi
sekarang ia merasakan bahwa mulut lukanya makin lama semakin sakit, semakin dirasakan
semakin tak tahan.
Akhirnya diapun jatuh tak sadarkan diri.
Ketika sadar kembali, ia dapatkan dirinya sedang berbaring dalam sebuah ruangan yang kecil
dengan lampu yang redup.
Cia Siau-hong duduk di bawah sinar lampu sambil memperhatikan sepotong ujung pedang yang
panjangnya setengah inci.
Itulah ujung pedang dari Kok-tiok-kiam.
Ketika Kok-tiok-kiam dicabut keluar tadi, masih tertinggal sepotong ujung pedang dalam sendi
tulangnya, rasa sakit tersebut sungguh amat berat untuk dirasakan.
Andaikata Cia Siau-hong tidak memiliki sepasang tangan yang kuat, mana mungkin kutungan
ujung pedang itu dapat dicabut keluar"
Tapi pakaiannya hingga kini belum mengering, telapak tangannya masih berkeringat, hingga kini
tangannya baru mulai gemetar.
Siau Te memandang ke arahnya, tiba-tiba ia berkata:
"Tusukan pedang ini sebenarnya ditujukan ke tubuhmu!"
"Aku tahu", Cia Siau-hong tertawa getir.
"Oleh karena itulah meski kau telah mengobati lukaku, akupun tak usah berterima kasih
kepadamu!"
ooooOOOOoooo Bab 15. Benang Cinta Yang Tak Mudah Putus
"Yaaa, kau memang tak perlu berterima kasih........", Cia Siau-hong berbisik.
"Oleh karena itulah bila aku hendak pergi meninggalkan tempat ini, kaupun tak usah menahan
diriku lagi!"
"Kapan kau akan pergi?"
"Sekarang!"
Tapi Siau Te tak dapat pergi, karena ia masih belum memiliki tenaga untuk berdiri.
Pelan-pelan Cia Siau-hong bangkit berdiri dan berjalan ke ujung pembaringan, sambil mengawasi
tajam-tajam mendadak ia bertanya:
"Dulu, pernahkah kau berjumpa denganku?"
"Walaupun orang yang belum pernah berjumpa denganmu, pasti pernah menyaksikan lukisanmu
yang dibuat khusus oleh orang lain!"
Cia Siau-hong sama sekali tidak bertanya siapa yang telah melukis wajahnya. Ia sudah tahu
siapakah orang ini.
"Aku hanya pernah memberitahukan kepada seseorang!"
"Siapa?"
"Thian-cun!"
"Ooooh....karena itu diapun menyusun rencana tersebut untuk membinasakan diriku?", kata Siauhong.
"Iapun tahu, bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk membinasakan dirimu!"
"Kalau begitu, Tam Ci-hui, Liu Kok-tiok, Hok-kui-sin-sian-jiu serta hweesio tua adalah orangorangnya
Thian-cun?"
"Ciu Ji sianseng juga orang mereka!", Siau Te menambahkan.
Lama sekali Cia Siau-hong termenung, ia seperti lagi memikirkan suatu persoalan penting,
kemudian pelan-pelan baru bertanya:
"Apakah Thian-cun adalah ibumu?"
Sesungguhnya pertanyaan ini sudah lama sekali ingin diajukan, hanya selama ini ia tak berani
untuk menanyakannya.
Jawaban dari Siau Te ternyata cepat sekali.
"Benar, Thian-cun adalah ibuku. Sekarang akupun tak perlu merahasiakan lagi di hadapanmu!"
"Seharusnya kau tak perlu merahasiakan persoalan itu di hadapanku, karena di antara kita berdua
tidak seharusnya mempunyai rahasia lagi!", kata Cia Siau-hong dengan sedih.
"Kenapa?", Siau Te menatapnya lekat-lekat.
Kesedihan dan penderitaan kembali memancar ke luar dari balik mata Cia Siau-hong, gumamnya:
"Kenapa" Kenapa" Masakah kau benar-benar tidak tahu kenapa?"
Siau Te kembali menggelengkan kepalanya.


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu aku ingin bertanya kepadamu, kalau toh ibumu hendak membunuhku, kenapa kau
malah menyelamatkan diriku?"
Siau Te masih juga gelengkan kepalanya, rasa sedih dan bingung menyelimuti juga wajahnya,
tiba-tiba ia melompat bangun dari pembaringan, mengerudungi kepala Cia Siau-hong dengan kain
selimutnya dan sekali tendang pintu depan ia telah menerjang ke luar dari sana.
Seandainya Cia Siau-hong ada niat untuk melakukan pengejaran, sekalipun mempergunakan
seribu atau selaksa lembar selimut untuk mengerudungi kepalanya juga tak akan mampu untuk
menghalangi niatnya.
Tapi ia tidak melakukan pengejaran, sebab ketika melepaskan selimut dari kepalanya, ia telah
menyaksikan Buyung Ciu-ti.
Di bawah sinar bintang yang dingin dan terang, di tengah malam yang cerah dan bersih dan di
dalam halaman kecil yang sepi dan tenang, tumbuhlah sebatang pohon Pek yang telah layu.
Di bawah pohon itulah tampak seseorang berdiri seorang diri di sana, pakaiannya berwarna polos
dan sederhana. Tak ada yang tahu dari mana ia datang, tak ada pula yang tahu sejak kapankah ia datang.
Di kala ia (perempuan) hendak datang, diapun datang, di kala dia hendak pergi, siapapun tak
dapat menghalangi.
Ada orang mengatakan bahwa ia adalah bidadari dari khayangan, ada pula yang mengatakan
bahwa dia adalah peri cantik dari bumi, tapi terlepas apapun yang dikatakan orang banyak,
selamanya ia tak pernah ambil perduli.
Sudah ada lima belas tahun lamanya.
Dalam lima belas tahun yang panjang, empat ribu hari yang tak panjang tak pendek, panas ya
dingin, manis dan getir, masih ada berapa banyak orangkah yang tetap hidup" Ada berapa pula
yang telah mati" Ada berapa orang tetap biasa saja" Ada berapa pula yang telah berubah" Akan
tetapi ia tidak berubah.
Lima belas tahun berselang, ketika untuk pertama kali berjumpa dengannya, ia sudah berada
dalam keadaan seperti sekarang ini. Tapi berapa banyak perubahan yang telah ia (lelaki) alami"
Pepohonan di tengah halaman bergoyang terhembus angin, lampu lentera dalam ruanganpun
bergoyang-goyang dimainkan angin.
Ia tidak masuk ke dalam ruangan, dan iapun tidak keluar dari ruangan, mereka hanya saling
berpandangan dengan tenang.
Hubungan di antara mereka berdua selalu memang demikian, sukar untuk di raba oleh siapapun.
Tak ada yang bisa memahami perasaan cinta kasihnya kepadanya, dan tak ada pula yang tahu
apa yang sedang ia pikirkan.
Perduli apapun yang sedang ia pikirkan, paling tidak tiada tanda-tanda sedikitpun yang bisa kau
temukan di atas wajahnya.
Sudah sejak lama ia belajar menyembunyikan perasaan di hadapan orang lain, terutama terhadap
lelaki ini. Ia menggerakkan tangannya dan membenahi rambutnya yang kusut terhembus angin, tiba-tiba ia
tertawa, jarang sekali ia tertawa.
Senyuman itu seperti juga dengan orangnya, begitu cantik, anggun dan mengambang, seperti pula
angin lembut di musim semi, siapakah yang dapat menangkapnya"
Suaranya seperti juga kelembutan angin di musim semi, katanya lirih:
"Sudah berapa lama" Lima belas tahunkah" Atau sudah enam belas tahun?"
Ia tidak menjawab, karena dia tahu bahwa perempuan itu pasti mengingat lebih jelas daripadanya,
mungkin saja iapun dapat mengingat-ingat setiap peristiwa yang terjadi setiap harinya dulu.
Senyuman perempuan itu makin lembut dan hangat.
"Agaknya kau masih belum berubah", katanya masih seperti dulu, tidak begitu suka berbicara.
Dengan dingin Cia Siau-hong menatap wajahnya lama, lama sekali, ia baru bertanya dengan
ketus: "Masih ada persoalan apa lagi yang hendak kita bicarakan?"
Tiba-tiba senyumannya lenyap, kepalanya ditundukkan rendah-rendah.
Ya.......sudah tak ada lagi.......sudah tak ada lagi......
Benarkah sungguh-sungguh tak ada" Apapun tak ada lagi" Tidak, tidak mungkin!
Tiba-tiba perempuan itu mendongakkan kepalanya dan menatapnya tajam-tajam, katanya:
"Seandainya di antara kita berdua benar-benar sudah tiada persoalan lagi, kenapa aku musti
datang mencarimu?"
Sesungguhnya kalimat semacam ini lebih pantas diajukan Cia Siau-hong kepadanya, tapi
sekarang ia telah mengajukannya bagi diri sendiri.
Kemudian iapun memberi jawaban bagi dirinya sendiri:
"Aku datang, karena aku hendak membawa pergi bocah itu, dahulu kalau toh kau sudah tidak mau
dirinya lagi, kenapa musti kau ganggu dirinya sekarang, sehingga mendatangkan kepedihan dan
penderitaan baginya?"
Kelopak matanya menyusut kencang, seakan-akan di tusuk oleh jarum yang tajam secara tibatiba.
Perempuan itupun menyusupkan kelopak matanya, ia berkata lebih jauh: "Aku datang karena aku
hendak memberitahukan kepadamu bahwa kau harus mati!"
Suaranya berubah menjadi dingin seperti es, seakan-akan berubah menjadi seseorang yang lain
secara mendadak.
"Begitu pula aku hendak membuat kau mati di tanganku kali ini", Cia Siau-hong mendengus dingin.
"Hmmm! Jika Thian-cun ingin membunuh orang, kenapa musti turun tangan sendiri?"
"Untuk membunuh orang lain, selamanya aku tak pernah melakukannya sendiri, tapi terkecuali
bagimu!", Buyung Ciu-ti menegaskan.
Segulung angin kembali berhembus lewat dan sekali lagi mengacaukan rambutnya yang panjang.
Angin itu belum lagi berhembus lewat, ia telah menubruk ke depan, menubruk seperti seorang gila,
seakan-akan ia telah berubah lagi menjadi seperti orang yang lain.
Sekarang ia sudah bukan seorang gadis yang anggun, cantik dan lembut bagaikan hembusan
angin di musim semi lagi.
Diapun tidak mirip Buyung hujin yang cerdik, keji dan berkekuasaan besar serta disegani tiap umat
persilatan lagi.
Sekarang ia tak lebih hanya seorang perempuan biasa, perempuan yang terbelenggu oleh benang
cinta, dan menjadi bingung karena tak sanggup mengendalikan diri.
Ia tidak menunggu sampai Cia Siau-hong turun tangan lebih dulu, diapun tidak menunggu sampai
ia memperlihatkan titik kelemahannya yang mematikan itu lebih dahulu.
Bahkan tubrukannya kali ini dilakukan secara mengawur, kepandaian silat yang dimilikinya sama
sekali tak digunakan.
Sebab ia amat mencintai laki-laki itu, tapi membenci pula laki-laki itu, cintanya setengah mati, tapi
bencinya juga setengah mati.
Oleh karena itu dia hanya ingin beradu jiwa dengannya, sekalipun tak mampu, diapun akan tetap
beradu dengannya.
Terhadap perempuan semacam ini, darimana mungkin Cia Siau-hong dapat mengembangkan ilmu
pedangnya yang tiada tandingan di dunia itu"
Sudah beratus-ratus pertarungan yang dialami, sudah bermacam-macam jago lihay dunia
persilatan yang pernah di hadapi, sudah berulang kali pula mengalami masa krisis yang
mengancam jiwanya.
Tapi sekarang, pada hakekatnya dia tak tahu apa yang musti dilakukan untuk menghadapi
kejadian ini. Lentera di atas meja ditendang hingga terbalik.
Buyung Ciu-ti seperti perempuan gila telah menyerbu ke dalam ruangan, kalau dilihat dari
sikapnya sekarang, seakan-akan dia hendak menggigit setiap bagian tubuh Siau-hong dengan
geram. Jika Siau-hong mau, sekali pukulan yang dilontarkan pasti dapat merobohkan dirinya, karena
seluruh tubuhnya sekarang sudah penuh dengan titik kelemahan.
Tapi ia tak dapat turun tangan, iapun tak tega untuk turun tangan. Bagaimanapun juga ia tetap
seorang pria, bagaimanapun juga dia adalah perempuan yang pernah menjadi istrinya.
Maka dia hanya dapat mundur ke belakang.
Tidak banyak tempat dalam ruangan yang dapat dipakai untuk mengundurkan diri, sekarang ia
terpojok dan tak sanggup menghindar lagi.
Pada saat itulah sekilas cahaya pedang tiba-tiba muncul dari tangan Buyung Ciu-ti, lalu bagaikan
seekor ular beracun menusuk tubuhnya.
Tusukan itu bukan tusukan pedang seorang perempuan sinting, tusukan itu adalah tusukan dari
pedang pembunuh.
Tusukan itu bukan saja amat cepat, ganasnya bukan kepalang, apalagi datangnya pada saat dan
keadaan yang sama sekali tak terduga oleh lawannya, menusuk datang ke bagian tubuhnya yang
tak pernah di duga.
Bukan saja tusukan itu menggunakan jurus pedang yang dahsyat, di sini juga terhimpun seluruh
intisari dari jurus-jurus senjata yang paling ampuh di dunia ini.
Tusukan itu sesungguhnya merupakan sebuah tusukan yang pasti akan bersarang telak, tapi
sayangnya tusukan tersebut sama sekali tidak mengenai sasaran.
Kecuali Cia Siau-hong, tak ada orang kedua di dunia ini yang sanggup menghindarkan diri dari
tusukan semacam itu, karena tiada seorang manusiapun di dunia ini yang lebih memahami
tentang Buyung Ciu-ti daripada dirinya.........
Ia dapat menghindarkan diri dari tusukan tersebut, bukan dikarenakan ia telah memperhitungkan
dengan tepat saat dan arah tusukan tersebut, melainkan ia telah memperhitungkan dengan tepat
manusia macam apakah Buyung Ciu-ti itu"
Sedemikian pahamnya dia tentang perempuan itu, mungkin jauh lebih banyak daripada ia
memahami dirinya sendiri.
Ia tahu bahwa perempuan itu bukan seorang perempuan gila, diapun tahu bahwa ia tak akan
mungkin tak bisa mengendalikan diri.
Ketika mata pedang menyambar lewat bawah ketiaknya, ia telah mencengkeram urat nadi di
tangan perempuan itu, waktu dan arah serangannyapun tak kalah cepatnya.
Pedang pendek itu segera rontok, tubuhnya pun ikut menjadi lemas, sekujur badannya jatuh lemas
di dalam pelukannya.
Terasa lembut, halus dan hangatnya tubuh perempuan itu.
Cuma sepasang tangannya terasa dingin dan kaku.
Malam yang panjang telah berakhir, fajarpun menyingsing dari ufuk timur, ketika sinar keemasemasan
itu memancar masuk lewat jendela, tepat menyorot di atas wajahnya.
Titik-titik air mata telah membasahi wajahnya, sepasang mata yang bening dan jeli sedang
memandang ke arahnya dengan terkesima.
Tapi Cia Siau-hong tidak melihatnya.
Tiba-tiba Buyung Ciu-ti berkata:
"Masih ingatkah kau sewaktu kita berjumpa untuk pertama kalinya dulu, waktu itu akupun hendak
membunuhmu, tapi kau telah merampas pedangku serta memelukku dengan cara seperti ini"
Cia Siau-hong masih juga tidak mendengarnya, tapi ia tak pernah melupakan hari semacam
itu......... Waktu itu adalah musim semi.
Di atas bukit yang berlapiskan rumput hijau bagaikan permadani, di bawah sebatang pohon besar
yang rindang, berdirilah seorang gadis tanggung yang berbaju sederhana.
Ketika perempuan itu berjumpa dengannya, iapun tertawa, senyumannya lebih lembut dan lebih
indah dari hembusan angin di musim semi.
Maka diapun balas tersenyum kepadanya.
Menyaksikan senyum yang lebih manis dan lebih menawan itu, diapun menghampirinya, memetik
sekuntum bunga dan memberikan kepadanya, tapi perempuan itu justru memberi sebuah tusukan
kepadanya. Ujung pedang ketika menyambar lewat dari sisi tenggorokannya, ia cengkeram tangan perempuan
itu. "Kau adalah Sam-sauya dari keluarga Cia?", dengan terkejut gadis itu memandang ke arahnya.
"Darimana kau bisa tahu tentang aku?", dia balik bertanya.
"Sebab kecuali Sam-sauya dari keluarga Cia, tak seorang manusiapun yang sanggup merampas
pedangku ini dalam satu gebrakan"
Ia tidak bertanya kepada gadis itu apakah sudah banyak orang yang terluka di ujung pedangnya,
diapun tidak bertanya kepadanya kenapa ia harus melukai orang.
Sebab ketika itu musim semi sangat indah, bunga sedang mekar dan menyiarkan bau harum, ia
merasakan betapa lembut dan halusnya tubuh dara itu.
Karena waktu itu, diapun sedang berusia muda remaja.
Bagaimana dengan sekarang"
Sekarang, apakah dia masih mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang telah dialaminya
dulu" Buyung Ciu-ti masih saja berbisik dengan lirih:
"Aku tak ambil perduli apa yang sedang kau pikirkan sekarang, yang pasti aku tak akan
melupakan hari itu, sebab pada saat itu juga aku telah mempersembahkan seluruh tubuhku
untukmu, ya tanpa ku sadari dengan keadaan yang tak jelas, aku telah menyerahkan diri
kepadamu, sebaliknya kau setelah pergi ternyata tak pernah ada kabar beritanya lagi!"
Cia Siau-hong masih saja membungkam, seakan-akan masih belum mendengar apa yang dia
katakan. Perempuan itu berkata lebih lanjut:
"Menanti kami berjumpa kembali untuk ke dua kalinya, aku telah tukar cincin, kau datang khusus
untuk menyampaikan selamat kepadaku.......!"
"Walaupun perasaanku amat membencimu ketika itu, tapi setelah berjumpa denganmu, aku
merasa kehilangan pegangan dan tak tahu apa yang musti kulakukan"
"Maka malam kedua setelah aku tukar cincin, tanpa ku sadari aku telah pergi meninggalkan rumah
untuk mengikutimu, siapa tahu kau telah meninggalkan aku dengan begitu saja, pergi untuk tak
kembali lagi!"
"Sekarang walaupun hatiku merasa lebih benci kepadamu, tapi.........tapi......aku masih berharap
kau dapat seperti dulu lagi, membohongi aku sekali lagi dan membawaku pergi, sekalipun kali ini
kau akan membunuhku, akupun tak akan menggerutu lagi kepadamu!"
Suaranya masih tetap lembut dan merdu, benarkah ia dapat tidak mendengarkan" Benarkah ia tak
mendengar"
Ia memang sudah dua kali membohonginya, tapi perempuan itu masih begini baik kepadanya. Bila
ia begitu tak berperasaan, betulkah hatinya sudah sedingin salju"
"Aku tahu, kau tentu mengira aku telah berubah!", dengan air mata bercucuran Buyung Ciu-ti
berkata lagi, "tapi sekalipun aku telah berubah menjadi manusia macam apapun di hadapan orang
lain, terhadapmu aku selalu tak akan berubah!"
Tiba-tiba Cia Siau-hong mendorongnya ke belakang, lalu tanpa berpaling lagi pergi meninggalkan
tempat itu. Tapi Buyung Ciu-ti masih saja tak mau melepaskannya, ia masih membuntuti terus di
belakangnya. Sinar matahari di luar jendela telah memancar ke empat penjuru, di atas bukit nun jauh di depan
sana tampak sebuah tanah berumput yang menghijau dan segar bagaikan permadani.
Tiba-tiba Siau-hong berpaling dan menatap perempuan itu dengan ketus.
"Apakah kau baru senang bila sudah kubunuh?", tegurnya.
Air mata di atas wajah Buyung Ciu-ti belum mengering, tapi dia memaksakan diri untuk tertawa.
"Asal kau merasa gembira, bunuhlah aku!", sahutnya.
Cia Siau-hong telah memutar badannya dan melanjutkan kembali perjalanannya.
Perempuan itu masih mengikuti di belakangnya, tiba-tiba ia berkata:
"Coba lihatlah mulut lukamu itu masih mengucurkan darah, paling tidak kau harus membiarkan
aku untuk membalut lukamu itu terlebih dahulu!"
Tapi Cia Siau-hong tidak memperdulikan.
Perempuan itu kembali berkata:
"Walaupun aku yang menyuruh orang untuk pergi melukaimu, tapi kejadian itu adalah suatu
kejadian yang lain, asal kau bersedia untuk buka mulut, maka setiap saat aku dapat pergi
membunuh orang-orang itu demi kau.......!"
Langkah kaki Cia Siau-hong makin lambat, akhirnya tak tahan lagi ia berpaling, di antara sinar
matanya yang dingin dan kaku telah muncul luapan perasaan.
Entah perasaan itu adalah perasaan cinta" Atau perasaan benci" Tapi yang pasti kesemuanya itu
adalah suatu luapan perasaan yang telah merasuk ke tulang sumsum dan tak akan terlupakan
untuk selamanya.
Bukit yang kokohpun bisa longsor, bukit salju yang keraspun dapat meleleh, apalagi hati manusia"
Sekalipun semua tahu bila bukit sampai longsor, maka bencana akan segera timbul, di kala
longsoran bakal terjadi, siapakah yang sanggup untuk mencegahnya"
Perempuan itu lagi-lagi sudah membenamkan diri dalam pelukannya.
Musim semi kembali tiba, rumput-rumput mulai menghijau.
Pelan-pelan Cia Siau-hong duduk di atas tanah perbukitan itu dan mengawasi orang yang
berbaring di sisinya.
Ia sedang bertanya kepada diri sendiri:
"Sesungguhnya aku telah menelantarkan dia" Ataukah dia telah menelantarkan aku?"
Tak seorang manusiapun bisa menjawab pertanyaan ini, termasuk pula dirinya sendiri.
Dia hanya tahu bagaimanapun baik atau jeleknya, perduli siapa yang telah menelantarkan dia,
asal kedua orang itu berada menjadi satu, saat itulah merupakan saat yang paling aman dan
tenteram, saat-saat bahagia untuk menghilangkan segala kesedihan dan duka nestapa.
Ia sendiripun tak tahu perasaan macam apakah ini, dia hanya tahu jika antara manusia dengan
manusia sudah terikat oleh perasaan semacam ini, maka sekalipun menderita atau tertipu, diapun
rela dan pasrah.
~Bersambung ke Jilid-12
Jilid-12 Sekalipun harus mati, rasanya juga tak menjadi soal.
Pelan-pelan perempuan itu mendongakkan kepalanya dan memandang ke arahnya dengan
terpesona, kemudian bisiknya:
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan dalam hatimu?"
"Kau tahu?"
"Ya, kau hendak menyuruhku untuk membubarkan Thian-cun, membawa kembali bocah itu dan
melewatkan penghidupan yang tenang dan tenteram selama beberapa tahun!"
Ia memang telah menebak tepat apa yang dipikirkan Cia Siau-hong kini........
Sekalipun dia adalah seorang gelandangan, dalam nadinya mengalir darah seorang petualang,
tapi diapun mempunyai saat-saat bosan dan kesal.
Terutama di kala ia sadar dari mabuknya di tengah malam yang hening terbayang kembali kekasih
hatinya, siapakah yang dapat menanggung derita dan kesepian seperti itu"
Pelan-pelan perempuan itu menggenggam tangannya, kemudian bertanya lagi:
"Tahukah kau, apa yang sedang kupikirkan sekarang?"
Tentu saja dia tak tahu, hati perempuan memang sukar diduga, apalagi dia adalah perempuan
semacam ini.

Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba perempuan itu kembali tertawa, suara tertawanya aneh sekali.
"Aku sedang berpikir, jangan-jangan kau memang benar-benar seorang dungu.......!"
"Seorang dungu?", Cia Siau-hong tidak mengerti.
"Tahukah kau, Thian-cun adalah suatu organisasi maha besar yang telah menyita banyak tenaga,
pikiran dan keringatku untuk membangunnya. Kenapa aku musti memusnahkannya dengan begitu
saja tanpa suatu hasil apapun yang berhasil ku dapat" Kalau toh kau sudah tidak maui bocah itu
lagi, kenapa aku musti membawanya datang untuk diberikan kepadamu?"
Cia Siau-hong merasakan hatinya seperti terjatuh ke dalam jurang, sekujur badannya menjadi
dingin dan kaku, hawa dingin yang menusuk tulang serasa muncul dari dasar telapak kakinya dan
menyusup naik hingga ke atas kepalanya.
Menyaksikan mimik wajahnya itu, gelak tertawa Buyung Ciu-ti semakin keras dan makin menggila.
"Haaahhhhh....... haaaaahhhh...... haaaaahhhhhh.... paling tidak kaupun musti berpikir, apa
kedudukanku sekarang" Apa pula jabatanku kini" Masakah aku kesudian untuk menanakkan nasi
dan mencucikan pakaian bagimu?"
Ia masih saja tertawa tiada hentinya.
"Haaaahhhhhh..... haaaahhhh..... haaaahhhhhh sekarang ternyata kau suruh aku melakukan
pekerjaan semacam ini, kalau kau bukan seorang yang dungu, lantas siapakah yang dungu?"
Benarkah Cia Siau-hong adalah seorang dungu"
Sejak berusia lima tahun ia mulai belajar pedang, berusia enam tahun mulai mengupas intisari dari
ilmu pedang, umur tujuh tahun dapat menghapalkan bacaan dan syair jaman Tong di luar kepala,
padahal anak-anak lain yang sebaya dengannya masih belum bisa memakai celana sendiri.
Akan tetapi di hadapan Buyung Ciu-ti sekarang, ia berubah menjadi seakan-akan seorang dungu
yang seratus persen orisinil.
Pelan-pelan Cia Siau-hong bangkit berdiri, setelah memandang sekejap ke arahnya ia bertanya:
"Sudah selesaikan perkataanmu itu?"
"Kalau sudah selesai lantas kenapa" Apakah kau hendak membinasakan diriku?"
Tiba-tiba suara tertawanya berubah menjadi isak tangis, sambil menangis tersedu-sedu serunya:
"Baik, baiklah, bunuhlah aku! Jika begini sikapmu kepadaku, bunuh saja diriku sekarang juga,
sebab bagaimanapun juga akupun sudah tak ingin hidup lagi"
Tangisannya menyedihkan sekali, tapi wajahnya sedikitpun tidak menampilkan rasa sedih barang
sedikitpun, mendadak ia merendahkan suaranya dan berbisik:
"Terlalu banyak perempuan yang menyukaimu, aku tahu lambat laun kau tentu melupakan diriku,
sebab itu setiap lewat beberapa tahun aku harus baik-baik mereparasikan dirimu, agar selama
hidup kau tak akan melupakan diriku lagi!"
Selesai mengucapkan beberapa patah kata itu, suara tangisannya makin diperkeras, tiba-tiba ia
menempeleng muka sendiri sekeras-kerasnya hingga sembab merah dan membengkak besar, lalu
teriaknya lagi keras-keras:
"Kenapa kau tidak sekalian membinasakan diriku" Kenapa kau memukuli aku hingga menjadi
begini rupa" Buat apa kau menyiksa diriku terus menerus........?"
Sambil menutupi muka sendiri dan menangis tersedu-sedu, ia lari turun dari bukit tersebut,
seakan-akan Cia Siau-hong benar-benar sedang mengejarnya sambil memukuli tubuhnya.
Padahal seujung jaripun Cia Siau-hong tidak menyentuh tubuhnya, tapi saat itulah tiba-tiba dari
bawah bukit sana telah muncul beberapa sosok bayangan manusia.
Seorang nyonya berwajah anggun yang berada di paling depan segera menyongsong
kedatangannya dan memeluk perempuan itu ke dalam rangkulannya.......
Di belakang perempuan anggun itu mengikuti tiga orang manusia, yang seorang adalah kakek
yang rambutnya telah beruban semua, tetapi langkah kakinya masih tegap dan gagah,
pinggangnya lurus seperti batang pit, di tangannya membawa sebuah kantong yang terbuat dari
kain kuning. Di belakang kakek itu adalah seorang laki-laki yang telah tua rengka meski usianya di antara
setengah umur, mukanya kotor dan dekil oleh debu, rupanya baru saja melakukan perjalanan jauh.
Sedangkan orang yang berjalan di paling belakang adalah seorang nona kecil yang bertubuh
ramping, sambil berjalan diam-diam ia membesut air matanya.
Hampir saja Cia Siau-hong tak dapat mengendalikan perasaannya untuk berteriak keras:
"Si Boneka!"
Nona cilik yang berjalan di paling belakang itu ternyata memang betul-betul adalah si Boneka yang
selama ini keselamatan jiwanya selalu dikuatirkan.
Tapi ia tidak berteriak memanggilnya, sebab tiga orang lainnya juga dikenali olehnya, bahkan
perkenalan mereka telah berlangsung sangat lama sekali.
Kakek berambut putih yang masih tampak kekar dan gagah itu adalah nku-tio (paman)nya yang
bernama Hoa Sau-kun.
Dua puluh tahun berselang, Yu-siu-kiam-khek Hoa Sau-kun berhasil merobohkan delapan jagoan
paling tangguh dari partai Thiam-cong dan Bu-tong tanpa pernah menderita kalah barang
sekalipun, pamornya menjadi lebih tersohor setelah ia kawin dengan seorang adik misan dari
ketua Sin-kiam-san-ceng generasi yang lalu Cia Ngo-cu, adik misannya itu bernama Hui-hong-likiam-
kek (Jago pedang perempuan burung Hong terbang) Cia Hong-hong. Sejak perkawinan itu,
ilmu pedang naga dan burung hong mereka bersatu padu dan tak pernah menjumpai seorang
musuhpun yang sanggup merobohkan mereka, semua orang persilatan.
Siapa tahu pada saat itulah di luar dugaan ia telah menderita kekalahan total di tangan seorang
bocah ingusan yang baru berusia sepuluh tahun dan kebetulan sekali bocah yang merobohkannya
itu tak lain adalah Cia Siau-hong.
Perempuan berwajah anggun yang sedang memeluk Buyung Ciu-ti dalam rangkulannya itu tak lain
adalah ko-koh (bibi)-nya Cia Hong-hong.
Laki-laki gemuk bengkak berusia setengah umur itupun dari marga Cia juga, dia masih famili
jauhnya dan lagi sejak kecil ia telah bermain dengan orang ini.
Sewaktu masih kecil dulu, seringkali ia ngeloyor ke rumah makan di pantai telaga sana untuk
minum arak. Laki-laki gemuk berusia setengah umur itu bukan lain adalah Cia ciangkwe dari warung arak itu.
Tapi mengapa mereka bisa sampai di situ" Kenapa si Boneka bisa melakukan perjalanan bersama
mereka" Cia Siau-hong merasa tak habis mengerti, diapun tak dapat menduganya, apa yang dipikirkan
sekarang hanyalah berusaha untuk kabur sejauh-jauhnya dari sana, dan jangan sampai ketahuan
oleh mereka semua.
Sayang sekali mereka telah melihat kehadirannya di sana. Hoa Sau-kun sedang memandang
keadaannya sambil tertawa dingin, sedang si Boneka sedang memandang ke arahnya sambil
mengucurkan air mata.
Cia ciangkwe dengan napas ngos-ngosan sedang merangkak naik ke atas bukit, begitu sampai di
hadapan Cia Siau-hong, ia lantas membungkukkan badan dan memberi hormat, sapanya sambil
tertawa: "Sam Sauya, sudah lama tak berjumpa, baik-baikkah kau selama ini?"
Cia Siau-hong sesungguhnya hidup dalam keadaan tak baik, tapi terhadap orang baik yang secara
diam-diam memberikan sedikit arak kepadanya semenjak ia berusia delapan-sembilan tahun ini,
mau tak mau dia musti tertawa juga, kemudian balik bertanya:
"Kenapa kau bisa sampai di sini?"
Cia ciangkwe tak pandai berbohong, terpaksa dia harus berbicara terus terang:
"Nona Buyung yang mengajak kami semua datang kemari!"
"Mau apa dia undang kalian datang kemari?"
Cia ciangkwe agak ragu-ragu, dia tak tahu untuk menjawab pertanyaannya kali ini, dia musti bicara
sejujurnya atau tidak.
Untunglah sambil tertawa dingin Cia Hong-hong telah berseru:
"Mau apa lagi" Kami datang untuk menyaksikan perbuatan bagus yang sedang kau lakukan!"
Cia Siau-hong menutup mulutnya rapat-rapat. Dia tahu bibinya ini bukan cuma wataknya tak baik,
kesan terhadapnyapun kurang baik sebab tak seorang perempuanpun di dunia ini yang senang
menyaksikan suaminya dikalahkan, walaupun orang itu adalah keponakannya sendiri ataupun
bukan................
Sayang, bibi tetap adalah bibi, perduli bagaimanapun kesannya kepadamu, ia sama saja adalah
bibimu. Walaupun ia telah menutup mulutnya, tapi Cia Hong-hong tak mau melepaskannya dengan begitu
saja. "Sungguh tak kusangka kalau Cia kita bisa muncul seorang manusia semacam kau", demikian ia
memaki, "bukan saja pandai mempermainkan perempuan, bahkan anak sendiripun sudah tak
mau!" Lalu sambil menuding bekas-bekas jari tangan di atas wajah Buyung Ciu-ti, ia berkata lebih lanjut:
"Kau sudah menipunya dua kali, meninggalkannya dua kali, tapi ia masih mencintaimu dengan
sepenuh hati, kenapa kau memukulnya pula sehingga menjadi begini rupa?"
"Dia....dia...tidak......", air mata bercucuran membasahi seluruh wajah Buyung Ciu-ti.
"Kau tak usah banyak bicara!", tukas Cia Hong-hong dengan marah, "semua pembicaraan kalian
dalam rumah penginapan kecil itu telah kami dengar semua dengan amat jelasnya, kalau toh
sepatah katapun ia tak berani menyangkal, mengapa kau harus membantunya untuk
menghilangkan dosa-dosanya itu?"
Lalu setelah berhenti sebentar ia bertanya lagi:
"Cia ciangkwe, apakah semua pembicaraan tersebut telah kau dengar pula dengan jelas?"
"Benar!", Cia ciangkwe manggut-manggut.
"Kau suka mempermainkan perempuan bagi kami bukan urusan, kamipun enggan untuk
mencarinya, tapi nona Buyung mempunyai hubungan yang luar biasa dengan keluarga Cia kami,
sekalipun kau sudah tak mau anakmu lagi, kami keluarga Cia mau tak mau harus mengakuinya
sebagai cucu kami, lebih-lebih terhadap menantu kita ini!"
Cia Siau-hong tidak bersuara, bibirnya sedang bergetar keras menahan emosi.
Sekarang, ia telah memahami semua intrik dan rencana busuk yang telah diatur Buyung Ciu-ti.
Rupanya sengaja ia mengundang datang orang-orang itu dan mengaturnya untuk bersembunyi di
sekitar rumah penginapan kecil itu, kemudian sengaja mengucapkan kata-kata itu agar bisa
mereka dengar, agar di kemudian hari ia tak dapat menyangkalnya lagi sekalipun ingin
menyangkalnya. Kini ia sudah merupakan pemilik dari perkampungan keluarga Buyung di wilayah Kanglam dan
ketua Thian-cun, jelas perempuan itu belum puas, ia masih merencanakan terus untuk merampas
pula perkampungan Sin-kiam-san-ceng yang tersohor itu.
Jikalau pihak keluarga Cia telah mengakui mereka ibu dan anak, tentu saja secara otomatis dia
akan menjadi nyonya ketua perkampungan Sin-kiam-san-ceng, itu berarti perkampungan itu cepat
atau lambat akan terjatuh ke tangannya.
"Apalagi yang hendak kau tanyakan?", Cia Hong-hong kembali bertanya.
Cia Siau-hong tidak menjawab, walaupun semua kejadian telah terpikir olehnya, namun sepatah
katapun ia tidak berbicara.
"Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, apakah peraturan pertama dari keluarga Cia kita?",
teriak Cia Hong-hong.
Paras muka Cia Siau-hong belum sempat berubah, air muka Cia ciangkwe telah berubah hebat.
Diapun mengetahui akan peraturan rumah tangga dari keluarga Cia, peraturan pertama
menyebutkan tentang soal berzinah.......'Barang siapa berani berzinah dengan istri orang atau
memperkosa anak gadis orang lain, maka dia akan dijatuhi hukuman penggal sepasang kakinya'.
Cia Hong-hong tertawa dingin, katanya:
"Sekarang kau telah melanggar peraturan yang pertama dari undang-undang rumah tangga kita,
kendatipun toako akan membelamu, aku tetap tak akan mengampuni dirimu!"
Tangannya segera diulapkan, dari bawah bukit segera muncul seorang bocah cilik yang
mempersembahkan sebilah pedang.
Ketika pedang itu diloloskan dari sarungnya, hawa dingin yang merasuk tulang segera menyebar
ke empat penjuru.
Kembali Cia Hong-hong berkata dengan suara keras:
"Sekarang juga aku akan melaksanakan hukuman bagi keluarga Cia kita, kenapa kau masih
belum juga berlutut untuk menerima hukuman?"
ooooOOOOoooo Bab 16. Senjata Dalam Buntalan
Cia Siau-hong tidak berlutut.
Sambil tertawa dingin Cia Hong-hong berseru kembali:
"Bukti dan saksi semua telah hadir di depan mata, apakah kau masih belum mengaku salah"
Apakah kau hendak melanggar undang-undang rumah tangga?"
Perempuan itu tahu belum pernah ada orang yang berani menentang undang-undang rumah
tangga. Barang siapa menentang peraturan rumah tangga maka ia akan dicemooh dan dihina oleh
setiap umat persilatan yang ada dalam dunia.
Kini di dalam genggamannya bukan cuma ada sebilah pedang melainkan masih ada seutas tali
pula, seutas tali yang dibuat dari pelbagai peraturan umat persilatan yang sudah turun temurun
selama ratusan tahun lamanya dan tali itu jelas telah membelenggu Cia Siau-hong kencangkencang.
Siapa tahu Cia Siau-hong justru tak mau tunduk.
Paras muka Cia Hong-hong berubah hebat. Sesungguhnya dia adalah seorang perempuan yang
beruntung, bukan saja memiliki keluarga yang baik, diapun mempunyai suami yang baik, tidak
banyak jago persilatan yang berani pandang enteng dirinya.
Oleh sebab itulah dia angkuh, sombong dan selalu berwatak nyonya besar, selamanya tak pernah
ia pandang sebelah mata kepada orang lain.
Apa yang dipikirkan segera akan dia laksanakan, pedangnya segera digetarkan dan siap
melancarkan serangan.
Akan tetapi tak pernah ia sangka, Cia ciangkwe yang selalu terengah-engah dan gerak-geriknya
selalu lamban itu mendadak menjadi cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di hadapannya
sambil tertawa paksa.
"Hoa hujin, harap jangan gusar dulu!", katanya.
"Apa yang hendak kau lakukan?", hardik Cia Hong-hong.
"Aku rasa mungkin juga Sam sauya mempunyai kesulitan yang tak dapat diterangkan kepada
orang lain, sekalipun Hoa-hujin hendak menghukumnya dengan mempergunakan peraturan rumah
tangga, paling tidak kau harus membicarakan dahulu persoalan ini dengan lo-tayya!"
Cia Hong-hong segera tertawa dingin tiada hentinya.
"Heeeehhhh....... heeeeehhhh...... heeeeehhhhh..... kau selalu membahasakan aku sebagai Hoahujin,
apakah kau sedang memperingatkanku bahwa aku sudah bukan anggota keluarga Cia
lagi?" Tentu saja memang begitulah maksud dari Cia ciangkwe, cuma ia tak berani mengakuinya secara
berterus terang, kepalanya segera digelengkan berulang kali.
"Hamba tidak berani! Hamba tidak berani!"
"Hmmm.....! Sekalipun aku sudah bukan anggota keluarga Cia lagi, pedang ini masih merupakan
pedang dari keluarga Cia"
Pedangnya segera digetarkan dan bentaknya keras-keras:
"Pedang inilah peraturan rumah tangga!"
"Ucapan dari Hoa-hujin memang ada betulnya juga, hanya ada satu hal yang tidak siaujin pahami"
"Dalam hal mana?"
Cia ciangkwe masih saja tersenyum di kulum, katanya:
"Aku tidak habis mengerti kenapa peraturan rumah tangga dari keluarga Cia dapat sampai terjatuh
ke tangan keluarga Hoa?"
Paras muka Cia Hong-hong kembali berubah hebat, lalu dengan gusar teriaknya:
"Sungguh besar amat nyalimu, berani bersikap begitu kurang ajar kepada nyonya besarmu?"
"Hamba tidak berani!"
Ketika ke tiga patah kata itu meluncur keluar dari mulutnya, tiba-tiba tangan kirinya mencengkeram
tangan Cia Hong-hong, lalu tangan kanannya menumbuk dan menyambar, tahu-tahu pedang yang
berada di tangan Cia Hong-hong itu sudah berpindah tangan dan ia segera mundur sejauh tiga
kaki dari posisi semula.
Jurus serangan itu dipergunakan dengan amat sederhana, bersih, cepat dan tepat, perubahan
gerakan yang terkandung di dalamnya amat sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Ketika Cia Siau-hong merampas pedang milik Liu Kok-tiok tempo hari, jurus serangan inilah yang
telah dipergunakan.
Sekujur badan Cia Hong-hong telah menjadi kaku, saking gusarnya air muka nyonya itu berubah
menjadi hijau membesi, teriaknya:
"Dari mana kau pelajari jurus serangan itu?"
Sambil tertawa lirih sahut Cia ciangkwe:
"Kalau Hoa-hujin masih kenal dengan jurus serangan ini, hal tersebut lebih baik lagi!"
Pelan-pelan ia melanjutkan:
"Jurus serangan itu diwariskan langsung dari Loya-cu kepadaku, dia orang tua berulang kali
memesan kepadaku agar setelah mempelajari jurus ini, janganlah dipergunakan secara
sembarangan, tapi bila melihat ada pedang keluarga Cia berada di tangan orang dari marga lain,
maka kau harus pergunakan jurus ini untuk merampasnya kembali!"
Setelah tertawa ia menambahkan lebih jauh:
"Apa yang telah dipesan oleh Loya-cu sudah barang tentu tak berani ku ingkari!"
Saking jengkelnya Cia Hong-hong sampai tak mampu mengucapkan sepatah katapun, manikmanik
dan mainan yang dikenakan di atas kepalanya bergoyang tiada hentinya hingga
menimbulkan suara yang amat nyaring.
Diapun tahu bahwa jurus serangan ini memang benar-benar merupakan jurus simpanan dari
keluarga Cia, lagi pula selamanya hanya diwariskan kepada anak lelaki dan tidak diwariskan
kepada menantu laki-laki, diwariskan kepada menantu perempuan dan tidak diwariskan kepada
anak perempuan.
Pedangnya berhasil dirampas orang dalam sekejap mata, hal ini disebabkan dia sendiripun tidak
memahami intisari dari rahasia jurus serangan tersebut.
Tiba-tiba Hoa Sau-kun menegur:
"Apa hubunganmu dengan keluarga Cia?"
Walaupun orang itu berperawakan tinggi besar dan tampaknya seram, tapi caranya berbicara
ternyata lemah lembut dan lirih sekali.
Sesungguhnya ia tidak bertampang semacam ini, sejak kalah di ujung pedang Sam sauya, selama
banyak tahun ini rupanya ia tekun berlatih diri terus menerus sehingga tenaga dalamnya benarbenar
sudah mencapai kesempurnaan, itu pula sebabnya
Golok Halilintar 9 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 5
^