Pendekar Gelandangan 7

Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Bagian 7


dia selalu dapat mengendalikan diri.
"Kalau dihitung-hitung, sebenarnya siau-jin tak lebih hanya seorang keponakan jauh dari lo-tayya",
sahut Cia ciangkwe.
"Kau tahu pedang apakah itu?"
"Pedang ini adalah salah satu dari empat bilah pedang mestika yang ditinggalkan oleh nenek
moyang keluarga Cia"
Cahaya pedang berkelebat lewat, hawa pedang segera memancar ke empat penjuru.
"Pedang bagus!", Hoa Sau-kun segera berseru sambil menghela napas panjang.
"Ya, ini memang sebilah pedang yang bagus sekali!"
"Apakah kau pantas atau berhak untuk mempergunakan pedang mestika ini......?"
"Tidak pantas!"
"Kenapa kau tidak menyerahkan saja pedang ini kepada Sam-sauya mu itu.....?"
"Ya, siaujin memng ada maksud untuk berbuat demikian!"
Ia memang berbicara sesungguhnya, semenjak tadi sudah timbul maksudnya untuk melakukan hal
tersebut, cuma saja ia tidak mengerti apa maksud Hoa Sau-kun berkata demikian.
Tapi ia dapat melihat bahwa Cia Hong-hong telah memahami maksud suaminya.
Mereka adalah suami isteri yang telah menanggung derita bersama, sudah hampir dua puluh
tahun lamanya mereka hidup bersama, sekarang suaminya hendak menyuruh orang untuk
menyerahkan pedang yang seharusnya menjadi miliknya itu kepada orang lain, tapi ia sama sekali
tidak menampilkan rasa gusar atau mendongkol sebaliknya justru terpancar sinar kuatir dan
kelembutan yang hangat.
Karena hanya dia seorang yang mengerti maksudnya, dan diapun tahu bahwa istrinya mengerti.
ooooOOOOoooo Bab 17. Beradu Kepandaian
Kini pedang itu sudah berada di tangan Cia Siau-hong.
Tapi mereka berdua tak seorangpun yang berpaling untuk memandang lagi barang sekejappun.
Mereka hanya saling berpandangan dengan mulut membungkam.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Hoa Sau-kun berkata:
"Lima beberapa hari lagi adalah bulan sebelas tanggal lima belas......."
"Ya, agaknya masih ada delapan hari lagi!", Cia Hong-hong membenarkan sambil mengangguk.
"Sampai hari itu, maka kau kawin denganku sudah genap dua puluh tahun lamanya"
"Ya, aku masih ingat!"
"Sejak kecil aku telah bersumpah, sebelum menjadi tenar aku tak akan kawin"
"Aku mengerti!"
"Aku menjadi tenar setelah berusia empat puluh tahun. Ketika menikah denganmu, usiaku menjadi
dua puluh tahun lebih tua daripada usiamu waktu itu"
Cia Hong-hong segera tertawa.
"Sampai sekarang kau toh masih berusia dua puluh tahun lebih tua daripadaku", katanya.
Di tempat itu, bukan cuma ada mereka berdua saja, tapi secara tiba-tiba kedua orang itu telah
membicarakan tentang persoalan pribadi mereka berdua.
Suara mereka begitu lembut dan halus, mimik wajahnyapun kelihatan aneh sekali, bahkan
sewaktu tertawapun tampak sekali tertawanya sangat aneh..........
"Dalam dua puluh tahun ini, hanya kau seorang yang tahu penghidupan macam apakah yang telah
ku jalani selama ini?"
"Aku tahu, kau........kau selalu merasa telah berbuat salah kepada diriku"
"Karena aku kalah, aku sudah bukan Hoa Sau-kun ketika mengawini dirimu tempo dulu walau ke
manapun juga aku sudah tak punya muka untuk menampilkan diri lagi, tapi kau............."
Ia maju ke depan dan menggenggam tangan istrinya erat-erat, terusnya lebih jauh:
"Kau belum pernah menggerutu kepadaku, selalu menerima tabiat anehku dengan penuh
kerelaan, tanpa kau, mungkin aku sudah mampus!"
"Kenapa aku musti menggerutu kepadamu selama dua puluh tahun ini, bila ku bangun setiap hari,
aku dapat menyaksikan kau berbaring di sampingku. Bagi seorang perempuan, masih ada rejeki
apa lagi yang melebihi keadaan semacam itu?"
"Tapi sekarang aku sudah tua, siapa tahu ketika suatu pagi kau bangun dari tidurmu, tahu-tahu
kau jumpai aku sudah pergi meninggalkan dirimu.......?"
"Tetapi........"
Hoa Sau-kun tidak membiarkan ia melanjutkan kata-katanya, dengan cepat ia menukas:
"Setiap orang, cepat atau lambat, pasti akan mengalami keadaan seperti itu, selamanya akan
memandang tawar terhadap kejadian semacam ini, tapi aku tak akan membiarkan orang berkata
bahwa Ko nay-nay dari keluarga Cia telah kawin dengan seorang suami yang tak berguna, tak
becus. Aku harus membuktikan ketidak-becusanku di depan orang lain"
"Ya, aku mengerti"
Hoa Sau-ya menggenggam tangannya lebih kencang.
"Kau sungguh-sungguh telah mengerti?", bisiknya.
Cia Hong-hong mengangguk, air matanya telah jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Hoa Sau-kun menghembuskan napas panjang.
"Terima kasih", kembali bisiknya.
Terima kasih. Itulah dua patah kata yang sederhana tapi mengandung maksud yang dalam.
Pada saat semacam ini, dibalik ucapan yang sederhana itu justru tersembunyi suatu luapan
perasaan cinta, luapan perasaan haru dan rasa sayang yang tak terlukiskan besarnya.
Air mata si Boneka telah membasahi seluruh ujung bajunya.
Sekarang bahkan dia sendiripun telah memahami maksudnya, bahkan diapun tak tega untuk
bersedih hati bagi mereka berdua.
Hoa Sau-kun telah duduk di atas rumput.
Rumput-rumput itu telah menguning dan kering.....walaupun dalam pandangan muda-mudi,
lapangan itu masih tetap hijau dan penuh keindahan, hal inipun tak lain disebabkan bahwa dalam
perasaan setiap orang, musim semi yang indah selalu ada, tapi setiap kali musim kemaraupun
akan dijumpai. Mereka sudah menjadi suami-isteri selama banyak tahun, cinta kasih mereka telah mempunyai
dasar yang cukup kuat.
Ia telah duduk, buntalan kain yang dibawanya itu telah diletakkan di atas lututnya, lalu pelan-pelan
menengadah dan memandang ke arah Cia Siau-hong.
Cia Siau-hong memahami pula maksud hatinya itu, cuma saja ia masih menunggu hingga ia
mengatakannya sendiri.
Akhirnya Hoa Sau-kun berkata juga:
"Yang kupergunakan sekarang sudah bukan sebilah pedang lagi!"
"Oya?"
"Semenjak kalah di ujung pedangmu, aku telah bersumpah tak akan mempergunakan pedang lagi
seumur hidupku!"
Ia memandang sekejap buntalan di atas lututnya, lalu berkata lebih lanjut:
"Selama dua puluh tahun ini aku telah melatih sejenis senjata tajam lainnya, setiap hari setiap
malam aku selalu berharap suatu ketika dapat melangsungkan kembali suatu pertarungan
melawanmu!"
"Ya, aku mengerti!"
"Tapi aku sudah kalah di ujung pedangmu, prajurit yang telah kalah perang, biasanya tak cukup
bernyali untuk bertarung kembali, maka bila kau tak akan menyalahkan dirimu....!"
Cia Siau-hong mengawasinya lekat-lekat, mendadak terpancar ke luar rasa kagum di balik
wajahnya. Dengan wajah tanpa emosi, dia hanya mengatakan sepatah kata saja dengan hambar:
"Silahkan.....!"
Buntalan itu terbuat dari kain berwarna kuning dan dijahit secara rapat, di luarnya masih
diselubungi pula dengan sebuah kain yang panjang, kain itupun diikat dengan rapat sekali.
Semacam tali simpul yang tidak gampang untuk memutuskannya. Untuk membebaskan tali simpul
semacam ini, satu-satunya cara yang paling cepat adalah menariknya hingga putus, atau sekali
bacok memutuskan semua tali itu.
Tapi Hoa Sau-kun tidak berbuat demikian, dua puluh tahunpun dapat ia lewatkan dengan sabar,
apalagi hanya waktu beberapa menit.
Ia lebih suka untuk membuang lebih banyak tenaga dengan melepaskan ikatan tali itu satu
persatu. Ataukah mungkin karena dia sudah tahu bahwa masa berkumpul lebih pendek dari masa berpisah,
sehingga dia ingin berkumpul lebih lama lagi dengan istrinya"
Cia Hong-hong memandang ke arahnya, tiba-tiba ia menyeka kering air matanya, lalu sambil
berjongkok di sampingnya ia berkata:
"Mari kubantu!"
Kain itu sebetulnya ia juga yang mengikatnya, maka tentu saja ia dapat membukanya lebih cepat
pula. Dengan jelas dia tahu bahwa pertarungan suaminya kali ini adalah untuk mempertahankan mati
dan hidup, kehormatan atau penghinaan.
Diapun tahu bahwa kepergian suaminya kali ini belum tentu bisa kembali lagi, tapi kenapa ia tak
mau mengulur waktu untuk beberapa saat lebih lama"
Karena ia tak ingin waktu yang cukup lama itu sampai melenyapkan keberanian serta
kepercayaannya pada diri sendiri.
Karena ia berharap, pertarungan ini bisa dimenangkan oleh suaminya........
Hoa Sau-kun memahami maksud hati istrinya. Cia Hong-hong pun tahu bahwa suaminya dapat
memahami maksudnya itu.
Betapa sulitnya saling pengertian ini, tapi betapa bahagianya pula mereka.
Setiap orang agaknya telah dibuat terharu oleh gerak-gerik ke dua orang itu, hanya Buyung Ciu-ti
seorang yang tidak memperhatikan mereka walau sekejap matapun, ia hanya mengawasi terus
buntalan berwarna kuning itu..........
Dalam hati kecilnya ia sedang berpikir:
"Senjata rahasia macam apakah yang sebenarnya disembunyikan di balik buntalan itu" Dapatkah
dipergunakan untuk mengalahkan Cia Siau-hong......?"
Sewaktu masih mudanya dulu, Hoa Sau-kun sudah diakui khalayak umum sebagai seorang jago
yang berilmu tinggi. Sejak dikalahkan Cia Siau-hong, mungkin saja kesehatan tubuhnya banyak
merosot, dan sulit untuk dipulihkan kembali seperti kekuatan di masa jayanya dulu.
Apalagi ilmu pedang Cia Siau-hong adalah ilmu pedang yang menakutkan, ia dapat meresapi akan
hal itu, maka jika ia telah memilih sebilah senjata lain sebagai pengganti pedang untuk
menghadapi Sam sauya, maka hal mana sudah pasti bukan suatu kejadian yang gampang.
Di pandang dari sikapnya yang begitu sayang pada buntalan tersebut, dapat diketahui bahwa
senjata yang dipilihnya ini pasti adalah suatu senjata yang jarang ditemui dalam dunia persilatan,
lagi pula pasti tajamnya luar biasa.
Sudah dua puluh tahun lamanya ia melatih diri dengan tekun dan rajin, kini dengan memberanikan
diri telah mempertaruhkan jiwa raganya, bahkan mempertaruhkan pula perpisahannya dengan
sang istri yang sudah banyak tahun hidup sengsara bersamanya, hal ini menunjukkan bahwa
tantangannya kepada Cia Siau-hong untuk berduel kembali pasti disertai dengan suatu keyakinan
yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Pelan-pelan Buyung Ciu-ti menghembuskan napas panjang, terhadap pertimbangan yang
dibuatnya ia mempunyai keyakinan yang lebih mantap lagi.
Sekarang bilamana ada orang berani bertaruh dengannya, maka kemungkinan besar ia akan
mempertaruhkan bahwa Hoa Sau-kun yang akan menangkan pertarungan ini.
Jika ingin mengetahui skor taruhannya, maka dia akan memegang Hoa Sau-kun dengan tujuh
lawan tiga, atau paling rendahpun enam banding empat.......
Ia percaya dugaannya ini pasti tak akan keliru terlalu besar.
Akhirnya buntalan itu terbuka, senjata yang berada di dalam buntalan tersebut ternyata tak lain
hanya sebuah tongkat kayu.
Tongkat itu adalah sebuah tongkat yang amat biasa, walaupun terbuat dari bahan yang bermutu
tinggi, jelas tak dapat dibandingkan dengan tempaan pedang mestika yang tajamnya bukan
kepalang. Inikah senjata yang telah dilatihnya dengan tekun dan penuh keseriusan selama dua puluh tahun"
Hanya mengandalkan tongkat tersebut, dia hendak menghadapi kecepatan pedang dari Sam
sauya" Ketika menjumpai tongkat kayu itu, Buyung Ciu-ti entah harus merasa kaget dan tercengang,
ataukah harus merasa kecewa"
Mungkin setiap orang akan merasa terkejut dan kecewa sekali, tapi tidak demikian dengan Cia
Siau-hong. Hanya dia seorang yang mengerti bahwa pilihan Hoa Sau-kun adalah pilihan yang sangat tepat.
Tongkat sesungguhnya merupakan sejenis senjata yang paling kuno bagi umat manusia kita.
Sejak jaman dahulu kala, di saat manusia hendak berburu binatang untuk makan, atau sewaktu
harus melindungi diri, mereka selalu mempergunakan senjata ini.
Justru karena benda itu merupakan sejenis senjata yang terkuno, lagi pula setiap orang selalu
mempergunakannya untuk memukul orang atau mengusir anjing, maka sedikit banyak orang akan
memandang remeh senjata tersebut, padahal mereka lupa bahwa semua senjata yang ada di
dunia ini pada dasarnya berkembang dari benda tersebut.
Jurus-jurus serangan dari tongkat itu sendiri mungkin terlampau sederhana, tapi bila berada di
tangan seorang jago silat yang benar-benar lihay, justru tongkat itu bisa dipakai sebagai tombak,
sebagai pedang, sebagai senjata penotok jalan darah dan bisa juga digunakan sebagai senjata
Poan-koan-pit.........
Pokoknya semua perubahan jurus serangan dari aneka senjata tajam yang ada di dunia ini,
sesungguhnya dikembangkan dari jurus-jurus sederhana dari gerakan tongkat itu sendiri.
Hoa Sau-kun telah menyimpan sebuah tongkat yang sederhana sedemikian rapat dan rahasianya,
inipun bukan cuma suatu perbuatan gila-gilaan, melainkan terhitung pula semacam pertarungan
batin, bertarung terhadap batin sendiri.
Ia harus menaruh rasa hormat dan sayang terlebih dulu terhadap tongkat itu, kemudian baru akan
tumbuh kepercayaannya terhadap senjata tersebut......
"Kepercayaan" sesungguhnya merupakan senjata ampuh lagi pula terhitung senjata paling tajam
dan paling manjur.
Buyung Ciu-ti pun seorang yang pintar sekali, dengan cepat ia dapat memahami teori tersebut.
Tapi masih ada satu hal yang tidak ia pahami!
Ia tidak mengerti kenapa Hoa Sau-kun tidak mempergunakan tongkat emas, tongkat perak atau
tongkat besi, melainkan justru memilih sebuah tongkat kayu yang segera akan kutung jika di tebas.
Rasa percayanya kepadanya pun jauh tidak lebih mantap dari sebelum ini.
Sang surya baru terbit, mata pedang membiaskan sinar berkilauan ketika tertimpa sinar sang
surya, hingga kelihatan jauh lebih tajam dan cemerlang daripada sinar sang surya sendiri.
Hoa Sau-kun telah bangkit berdiri, dia hanya memandang sekejap ke arah bininya dengan sinar
mata terakhir, kemudian dengan langkah lebar berjalan menuju ke arah Cia Siau-hong.
Selama ini Cia Siau-hong hanya berdiri tenang di sana, berdiri menantikan kedatangannya, paras
mukanya tenang tanpa emosi, seakan-akan hatinya tidak terpengaruh oleh semua peristiwa yang
telah berlangsung tadi.
Untuk menjadi seorang pendekar pedang yang bagus dan luar biasa, maka syarat pertama adalah
harus dingin, keji dan tidak berperasaan.
Terutama sesaat sebelum menjelang berlangsungnya pertarungan, ia lebih-lebih tak boleh
terpengaruh oleh suasana ataupun keadaan macam apapun yang sedang terjadi di hadapannya.
.......Sekalipun binimu sedang tidur dengan laki-laki lain di hadapanmu, kaupun musti berpura-pura
tidak melihatnya.
Ucapan itu sangat populer sekali di antara para pendekar pedang pada jaman tersebut, sekalipun
tak ada yang tahu siapa yang memulai dengan kata-kata semacam itu, tapi semua orang
mengakui bahwa perkataan itu memang betul dan masuk di akal, hanya mereka yang bisa berbuat
demikian, dia pula yang bisa hidup jauh lebih panjang dari orang lain.
Agaknya Cia Siau-hong dapat berbuat demikian.
Hoa Sau-kun mengawasinya lekat-lekat, rasa kagum dan hormat terpancar keluar dari balik
matanya. Cia Siau-hong sedang mengawasi tongkat kayunya dengan termangu, tiba-tiba ia berkata:
"Ehmm, suatu senjata yang bagus sekali!"
"Ya, memang senjata yang bagus!"
"Silahkan!"
Hoa Sau-kun manggut-manggut, tongkat di tangannya telah dikebaskan ke luar, dalam waktu
singkat ia telah melancarkan tiga buah serangan kilat.
Ke tiga serangan tersebut dilancarkan secara berantai dengan perubahan yang cepat tapi lincah,
yang digunakan ternyata bukan jurus-jurus ilmu pedang.
Buyung Ciu-ti diam-diam menghela napas, ia dapat merasakan, asal Cia Siau-hong menggunakan
sebuah jurus serangannya yang tangguh, niscaya tongkat kayu itu bakal kutung.
Siapa tahu kenyataannya jauh berbeda dengan apa yang diduganya semula, ternyata Cia Siaubong
tidak mempergunakan jurus serangan seperti apa yang diduganya semula, melainkan
memukul tangan Hoa Sau-kun dengan punggung pedangnya.
Mencorong sinar tajam dari balik mata Buyung Ciu-ti, hingga sekarang dia baru tahu kenapa Hoa
Sau-kun mempergunakan tongkat kayu sebagai senjatanya.
Sebab ia tahu, tak nanti Cia Siau-hong akan memapas tongkat kayu itu dengan pedangnya, Samsauya
dari keluarga Cia tak akan mencari keuntungan di atas senjata.
Bila ia tidak bersedia untuk memapas tongkat kayu itu dengan pedangnya, berarti dalam
melancarkan seranganpun ia akan merasakan rintangan-rintangan yang menyulitkan diri sendiri.
Oleh karena itulah pilihan Hoa Sau-kun untuk menggunakan tongkat kayu sebagai senjatanya
merupakan suatu tindakan cerdik yang sama sekali di luar dugaan siapapun.
Tak tahan lagi Buyung Ciu-ti tersenyum, ia maju ke muka dan mencekal tangan Cia Hong-hong
yang dingin, kemudian bisiknya lembut:
"Jangan kuatir, kali ini Hoa Sianseng tak bakal kalah!"
Bila ada dua orang jago lihay sedang bertempur, seringkali menang kalahnya hanya ditentukan di
dalam satu jurus gebrakan belaka, cuma jurus yang menentukan menang kalah itu tidak selalu
harus jurus pertama, mungkin pada jurus yang ke sekian puluh, mungkin juga pada jurus yang ke
sekian ratus. Sekarang pertarungan telah berlangsung lima puluh gebrakan, Hoa Sau-kun telah melancarkan
tiga puluh tujuh jurus ,sebaliknya Cia Siau-hong hanya membalas tiga belas jurus.
Sebab mata pedangnya setiap waktu setiap saat selalu harus berusaha untuk menghindari tongkat
kayu dari Hoa Sau-kun.
.......Apa yang menjadi tujuan serta cita-cita dari seorang pendekar pedang adalah mencari
kemenangan, seringkali mereka tidak memperdulikan cara licik apapun yang musti dilakukan, yang
penting tujuan tersebut berhasil diraih.
Cia Siau-hong tidak melakukan hal tersebut, karena ia terlalu angkuh, terlalu tinggi hati.
'Barangsiapa tinggi hati, dia pasti kalah'
Terbayang akan ucapan tersebut, Buyung Ciu-ti merasa hatinya makin gembira.


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itulah mendadak berkumandang memecahkan keheningan. "Plaaakk!", tongkat kayu itu
menghantam di atas punggung pedang dan menggetarkan pedang Cia Siau-hong sehingga
bergetar keras dan mencelat ke atas udara.
Cia Siau-hong mundur beberapa langkah dari situ dan kemudian mengucapkan dua patah kata
yang selama ini belum pernah diucapkan olehnya:
"Aku kalah!"
Selesai mengucapkan kedua patah kata itu dia putar badan dan tanpa berpaling turun dari tanah
gundukan tersebut.
Hoa Sau-kun tidak menghalangi, diapun tidak menyusulnya, justru Cia ciangkwe yang
menyusulnya. Si Boneka ingin menyusul pula, tapi Buyung Ciu-ti segera menarik tangannya sambil berkata
dengan lembut: "Mari ikut aku pulang, jangan lupa di tempatku sana masih ada seseorang yang menantikan
kedatanganmu untuk merawatnya!"
Sementara itu pedang tersebut telah terjatuh ke tanah dan persis menancap di samping Cia Honghong
dengan gagang pedang menghadap ke atas, asal dia menggerakkan tangannya, maka
senjata tersebut segera akan tercabut olehnya, seakan-akan ada orang yang secara khusus
mengirim kembali pedang itu kepadanya.
Cia Siau-hong telah pergi jauh, tapi Hoa Sau-kun masih berdiri di tempat tanpa berkutik barang
sedikitpun jua.
Dalam pertarungan ini, ia telah mengalahkan Cia Siau-hong yang tiada tandingannya di kolong
langit dan melampiaskan rasa dendam yang telah tertanam selama dua puluh tahun dalam
dadanya, tapi tiada sinar kemenangan yang terpancar pada wajahnya, malah sebaliknya kelihatan
begitu murung, sedih dan masgul.
Lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru berjalan balik, langkah kakinya tampak sangat berat,
seakan-akan sedang menghela seuntai rantai besi yang beratnya bukan kepalang.
Cia Hong-hong tidak bersorak gembira bagi kemenangan suaminya, diapun tidak mencabut
pedang yang menancap di tanah, dengan mulut membungkam perempuan itu hanya maju ke
depan dan menggenggam tangannya.
Ia dapat memahami perasaan suaminya, diapun mengerti kenapa suaminya kelihatan sedih dan
masgul setelah berhasil meraih kemenangan dalam pertarungan itu.
"Kau sudah tidak menghendaki pedang itu lagi?", tiba-tiba Hoa Sau-kun bertanya.
"Pedang itu milik keluarga Cia, sedang aku sudah bukan anggota keluarga Cia lagi!"
Hoa Sau-kun memandang ke arahnya, pancaran sinar lembut dan terima kasih mencorong ke luar
dari balik matanya. Lewat lama sekali, tiba-tiba ia berpaling ke arah Buyung Ciu-ti dan menjura
dalam-dalam, katanya:
"Aku ingin memohon bantuan tentang sesuatu dari hujin!"
"Katakan saja!", ucap Buyung Ciu-ti.
"Bersediakah hujin buatkan sebuah tugu batu di sisi pedang tersebut?"
"Tugu" Tugu macam apa yang kau maksudkan?"
"Cantumkan di atas tugu tersebut yang mengatakan bahwa pedang itu pedang Sam sauya, barang
siapa berani mencabutnya untuk dipergunakan, maka Hoa Sau-kun pasti akan memburunya
kembali, bukan saja pedang itu akan ku buru kembali, bahkan akan ku buru pula batok kepalanya
sekalipun ia kabur ke ujung langit, aku tetap akan mengejarnya sampai dapat!"
Kenapa ia melakukan hal itu bagi musuh besarnya" Tidakkah hal ini suatu peristiwa yang aneh"
Buyung Ciu-ti tidak bertanya, pun tidak merasa keheranan, segera sahutnya:
"Aku segera akan suruh orang buatkan tugu di sini, tak sampai setengah hari tentu sudah siap,
cuma saja........"
"Kenapa?"
"Seandainya ada bocah nakal atau orang dusun yang kebetulan lewat di sini, lalu mencabut
pedang tersebut dan membawanya kabur, bagaimana jadinya" Mereka toh tidak kenal dengan
Sam sauya, tidak pula dengan Hoa sianseng, bahkan membaca tulisanpun belum tentu bisa,
lantas apa yang musti dilakukan?"
Ia tahu bahwa Hoa Sau-kun belum sampai berpikir ke situ, maka diapun mengemukakan idenya:
"Biar kubangunkan sebuah gardu pedang di situ, lalu menyuruh orang menjaganya siang malam
secara bergilir, entah bagaimana pendapat Hoa sianseng" Cocok dengan seleramu tidak!"
Cara tersebut memang terhitung cara yang paling bagus dan sempurna, kecuali rasa terima kasih
dan terharu, apalagi yang bisa dikatakan Hoa Sau-kun"
Kembali Buyung Ciu-ti menghela napas sedih, katanya:
"Kadangkala aku betul-betul merasa tak habis mengerti, perduli apapun yang ia lakukan terhadap
orang lain, orang lain selalu bersikap sangat baik kepadanya"
Hoa Sau-kun termenung dan berpikir sebentar, kemudian sahutnya:
"Ya, mungkin hal ini disebabkan karena dialah Cia Siau-hong!"
Di belakang bukit sana merupakan sebuah hutan pohon Hong dengan daunnya yang berwarna
merah membara seperti api.
Baru saja Cia Siau-hong mencari sebuah batu untuk duduk, Cia ciangkwe telah menyusul ke sana,
tiada peluh yang membasahi tubuhnya, napaspun tidak tersengal-sengal.
Setelah menjadi ciangkwe siapapun selama puluhan tahun dalam rumah makan, siapapun pasti
akan berubah menjadi pandai bersandiwara, cuma siapa saja tentu akan tiba saatnya untuk lupa
bersandiwara. Hingga kini, Cia Siau-hong baru merasakan bahwa dirinya belum pernah sungguh-sungguh
memahami orang tersebut.
Tak tahan ia bertanya kepada diri sendiri:
"........Aku pernah sungguh-sungguh memahami siapa, Buyung Ciu-ti" Ataukah Hoa Sau-kun?"
Cia ciangkwe menghela napas panjang, katanya:
"Sejak kecil sampai kau menjadi dewasa, aku selalu mendampingimu, tapi hingga sekarang aku
baru menemukan bahwa sesungguhnya aku sendiripun tak tahu manusia macam apakah dirimu
itu, setiap perbuatan yang kau lakukan seakan-akan tak pernah kufahami!"
Cia Siau-hong tidak memberitahukan kepadanya apa yang hendak ia ucapkan dalam hatinya,
hanya dengan suara hambar dia bertanya:
"Persoalan apakah yang tidak kau fahami?"
Cia ciangkwe menatapnya lekat-lekat kemudian balik bertanya:
"Kau benar-benar kalah?"
"Kalah ya kalah, benar-benar atau tidak toh sama saja!"
"Bibi ya bibi, perduli ia telah kawin dengan siapapun tetap sama saja!", sambung Cia ciangkwe.
"Kalau kau sudah mengerti, itu lebih baik lagi!"
Cia ciangkwe menghela napas panjang lalu tertawa getir.
"Mengertipun tidak lebih baik, jadi orang memang lebih baik rada bodoh dan dungu!"
Tampaknya Cia Siau-hong enggan untuk melanjutkan pembicaraannya tentang persoalan itu,
dengan cepat ia mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, tanyanya:
"Sebenarnya bagaimana ceritanya sehingga kau bisa sampai di sini?"
"Aku mendengar orang bilang kau berada di sini, maka tanpa berhenti ku larikan kuda menyusul
kemari, sebelum kau berhasil kutemukan, nona Buyung telah menemukan diriku lebih dulu!"
"Kemudian?"
"Kemudian ia membawaku menuju ke rumah penginapan kecil di bawah tebing sana. Ketika ia
pergi menjumpai dirimu, kami disuruh menunggu di luar, tentu saja kami tak berani sembarangan
menerjang masuk ke dalam sana!"
"Bukankah kalian tak berani masuk karena kuatir mengganggu perbuatan baik kami?", tegur Cia
Siau-hong dingin.
Cia ciangkwe segera tertawa getir.
"Terlepas dari semua persoalan, bagaimanapun jua hubungan kalian toh jauh lebih istimewa
daripada orang lain"
Cia Siau-hong tertawa dingin tiada hentinya, tiba-tiba ia bangkit berdiri, lalu serunya:
"Sekarang kau telah bertemu denganku, sudah boleh pulang kau dari sini!"
"Kau tidak pulang?"
"Sekalipun aku hendak pulang, rasanya tak perlu kau membawakan jalan bagiku, aku masih cukup
tahu jalan mana yang musti di tempuh untuk kembali ke rumah sendiri"
Cia ciangkwe menatapnya tajam-tajam, kemudian bertanya:
"Kenapa kau tidak pulang" Sesungguhnya kesulitan apakah yang terkandung di dalam hatimu
sehingga enggan memberitahukannya kepada orang lain......?"
Cia Siau-hong tidak menjawab, ia telah bersiap-sedia untuk pergi meninggalkan tempat itu.
"Kau hendak pergi ke mana?", Cia ciangkwe segera bertanya, "apakah masih seperti waktu-waktu
yang lalu, pergi bergelandangan dan menyiksa diri sendiri?"
Pada hakekatnya Cia Siau-hong sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya lagi.
Mendadak Cia ciangkwe melompat bangun, lalu serunya dengan suara lantang:
"Aku sama sekali tak ingin mengurusi persoalanmu, tapi ada satu hal yang bagaimanapun jua
musti kau urusi"
Akhirnya Cia Siau-hong memandang juga sekejap ke arahnya, kemudian bertanya:
"Urusan apakah itu?"
"Bagaimanapun juga kau tidak seharusnya membiarkan anakmu mengawini seorang pelacur!"
"Pelacur?", bisik Cia Siau-hong sambil menyipitkan matanya.
"Aku tahu dua bersaudara dari suku Biau itu adalah sahabatmu, akupun tahu bahwa mereka
berdua adalah orang baik, akan tetapi......"
"Darimana kau bisa tahu tentang kesemuanya itu?", tukas Ciau Siau-hong cepat.
Sebelum Cia ciangkwe sempat buka suara, dari luar hutan kedengaran seseorang menimpali:
"Akulah yang memberitahukan kesemuanya itu kepadanya!"
Orang itu berada di luar hutan, suaranya masih amat jauh.
Secepat anak panah yang terlepas dari busurnya, Cia Siau-hong menyusup ke luar dari hutan dan
mencekal tangan orang itu.
Tangan itu dingin sekali seperti seekor ular berbisa.........Bukankah Tiok Yap Cing adalah sejenis
ular paling beracun di antara pelbagai jenis ular beracun yang ada"
"Kau belum mampus.....?", tegur Cia Siau-hong sambil tertawa dingin tiada hentinya.
Tiok Yap-cing tersenyum.
"Hanya bukan orang baik yang berumur panjang. Aku bukan orang baik-baik!"
"Kau ingin mampus?"
"Tidak ingin!"
"Kalau begitu lebih baik kau cepat angkat kaki dan menyingkir jauh-jauh dari sini, selama hidup
jangan sampai berjumpa lagi denganku......"
"Sebetulnya aku memang hendak pergi, cuma ada sebuah hadiah yang musti kusampaikan
terlebih dulu sebelum pergi meninggalkan tempat ini!"
"Hadiah apa?", sekali lagi kelopak mata Cia Siau-hong menyipit menjadi kecil sekali.
"Tentu saja hadiah perkawinan untuk nona suku Biau itu dengan Siau Te, apalagi perkawinan ini
diselenggarakan oleh Buyung Ciau-ti hujin dengan Yu-liong-kiam-kek suami isteri sebagai saksi,
bagaimanapun juga hadiah ini harus dihantar sampai ke tempat tujuannya"
Sesudah tersenyum, kembali ia bertanya:
"Apakah Sam-sauya pun berminat untuk mengirim hadiah kepadanya?"
Sepasang tangan Cia Siau-hong telah berubah menjadi dingin bagaikan es......
"Hujin menaruh belas kasihan atas nasib dan penderitaan yang dialami nona Biau-cu selama ini",
kata Tiok Yap-cing kembali, "dia pun tahu bahwa Sam sauya amat menaruh belas kasihan kepada
orang lain, maka akhirnya diputuskan untuk mengawinkannya kepada Siau Te"
Mendadak sepasang tangan Cia Siau-hong mengepal kencang.
Peluh dingin segera bercucuran membasahi wajah Tiok Yap-cing, buru-buru ujarnya kembali:
"Tapi aku tahu bahwa Sam sauya pasti tak akan setuju dengan perkawinan tersebut!"
Dengan merendahkan suaranya ia berkata lebih jauh:
"Cuma sejak kecil Siau Te pun mempunyai tabiat yang keras kepala, bila ada orang yang
melarangnya mengerjakan sesuatu, mungkin ia malah sengaja melakukannya, oleh karena itu jika
Sam sauya ingin menyelesaikan persoalan ini, cara yang terbaik adalah melenyapkan sang
pembawa perkara!"
Ada semacam manusia tampaknya sejak dilahirkan telah berbakat untuk menyelesaikan persoalan
rumit dari orang lain, tak bisa disangsikan lagi Tiok Yap-cing adalah manusia semacam ini.
Tanpa kobaran api, tak mungkin makanan apapun yang di masak dalam kukusan dapat matang,
tanpa pengantin perempuan, tentu saja pesta perkawinan tak mungkin bisa diselenggarakan.
Sepasang tangannya yang mengepal kini telah mengendor, Cia Siau-hong kembali bertanya:
"Sekarang mereka berada di mana?"
Tiok Yap-cing menghembuskan napas panjang, sahutnya:
"Betul semua orang di kota ini tahu bahwa di sini ada seorang manusia yang bernama Toa-tauke,
tapi tidak banyak yang pernah berjumpa dengannya, lebih-lebih lagi yang mengetahui tempat
tinggalnya"
"Kau tahu?", Cia Siau-hong bertanya.
Sekali lagi Tiok Yap-cing memperlihatkan senyumannya.
"Untung saja aku tahu!"
"Mereka berada di situ?"
"Ciu Ji sianseng, Tam Ci-hui serta Yu-liong-kiam-khek suami isteri juga berada di situ, mereka
semua amat setuju dengan perkawinan tersebut dan tak mungkin akan biarkan orang lain
membawa kabur pengantin perempuannya!"
Setelah tersenyum ujarnya kembali:
"Untung saja mereka sudah lelah sekali, malam ini mereka pasti akan tertidur lebih awal, setelah
malam tiba, asal ada aku yang membawa jalan, maka Sam sauya hendak pergi dengan membawa
siapapun akan bisa kau lakukan dengan leluasa"
Cia Siau-hong menatapnya tajam-tajam, lalu berkata dingin:
"Kenapa kau musti menaruh perhatian yang begitu besar terhadap persoalan ini?"
Tiok Yap-cing menghela napas panjang.
"Aaaai......nona Biau-cu pasti menaruh kesan yang kurang baik kepadaku, sedangkan Siau Te
justru adalah putra tunggal hujin, bila perkawinan ini jadi dilangsungkan, maka di kemudian hari
aku kuatir tak akan ada kehidupan yang baik lagi bagiku!"
Setelah memandang sekejap mulut luka Cia Siau-hong, ia berkata lebih lanjut:
"Tapi penghidupanku sekarang masih terhitung lumayan, dalam setiap pelosok kota ini masih
terdapat tabib pintar, masih ada arak bagus, dan aku mengetahui semuanya....."
Malam telah kelam.
Pelan-pelan Hoa Sau-kun merangkak bangun dari pembaringannya, mengenakan pakaian
kemudian pelan-pelan membuka pintu dan berjalan keluar dari ruangan itu.
Cia Hong-hong sama sekali tidak tertidur, iapun tidak memanggilnya dan bertanya hendak ke
mana ia pergi"
Ia cukup memahami perasaan suaminya, ia tahu dalam keadaan seperti ini ia pasti ingin berjalanjalan
seorang diri di tempat luaran.
Selama banyak tahun belakangan ini meski mereka amat jarang tidur bersama seperti hari ini, tapi
setiap kali ia selalu dapat membuat istrinya merasa puas dan bahagia, terutama sekali pada hari
ini, kelembutan dan kepuasan yang diberikan kepadanya, hakekatnya seperti pengantin baru
saja........ Ia memang seorang suami yang baik, ia telah berusaha dengan keras untuk menunaikan semua
kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami, bagi seorang kakek yang telah berusia
enam puluh tahun lebih, hal itu sudah terhitung tidak gampang.
Memandang bayangan punggungnya yang tinggi besar dan kekar itu berjalan ke luar dari ruangan,
luapan terima kasih dan sayang menyelimuti perasaan perempuan itu. Ia berharap dirinyapun
telah melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai seorang isteri dengan sebaik-baiknya, agar ia
dapat hidup beberapa tahun lagi, dan melewatkan beberapa tahun penghidupan yang tenang dan
penuh kegembiraan, melupakan perhatian dunia persilatan, melupakan Cia Siau-hong dan
melupakan pertarungan di atas bukit tersebut.
Ia berharap di kala ia kembali nanti, semuanya telah terlupakan olehnya, ia sendiripun enggan
untuk berpikir terlalu banyak.
Kemudian dalam kelelapan tersebut, iapun tertidur, tertidur lama sekali, tapi Hoa Sau-kun belum
juga kembali. Kebun bunga yang besar dan lebar berada dalam keheningan dan kegelapan luar biasa.
Seorang diri Hoa Sau-kun duduk dalam gardu persegi enam di luar jembatan Kui-ci-kiau, ia duduk
lama sekali di sana.
Setelah melampaui suatu hubungan yang mesra dan penuh keriangan dengan istrinya, ia masih
belum juga dapat tertidur.
Ia tak dapat melupakan pertarungan di atas bukit tersebut, perasaannya penuh diliputi
penderitaan, penyesalan dan rasa sedih.
Malam semakin kelam, ketika ia hendak kembali ke kamarnya untuk tidur, tiba-tiba tampak
sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dari belakang bukit-bukitan sana, di atas bahunya
seakan-akan membopong sesosok tubuh manusia.
Ketika ia menyusul ke situ, ternyata bayangan itu sudah lenyap tak berbekas.
Tapi dari gunung-gunungan sana, ia seakan-akan menangkap suara dari Tiok Yap-cing sedang
berkata: "Sekarang apakah kau telah percaya bahwa orang yang dibawa pergi olehnya itu adalah si
Boneka?" Suara Tiok Yap-cing masih penuh dengan nada pancingan, kembali katanya:
"Pada malam ibumu tukar cincin, ia telah membawa kabur ibumu dari sisi tunangannya, dan
sekarang ia membawa kabur binimu, bahkan aku sendiripun tidak habis mengerti, kenapa ia
senang melakukan perbuatan semacam itu?"
"Tutup mulut!", tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda membentak dengan penuh kegusaran.
Tentu saja pemuda tersebut adalah Siau Te.
Tiok Yap-cing tidak berusaha untuk tutup mulut, kembali ujarnya:
"Aku pikir saat ini mereka pasti telah kembali ke rumah si Boneka yang dulu, meskipun tempatnya
kuno dan bobrok, tapi tenang dan bersih, mereka menyangka tak akan ada orang yang bisa
menemukan mereka di situ, lebih baik kaupun ikut ke sana, sebab......."
Belum lagi ia menyelesaikan kata-katanya, sesosok bayangan tubuh telah meluncur ke luar dari
balik gunung-gunungan secepat sambaran kilat.
Untung saja ketika itu Hoa Sau-kun telah melompat naik ke atas gunung-gunungan dan
mendekam di atas puncaknya.
Ia kenali orang itu sebagai Siau Te, dan diapun kenali orang yang berjalan di belakangnya bukan
lain adalah Tiok Yap-cing.
Tapi untuk sementara waktu ia masih belum menampakkan diri, karena ia telah bertekad untuk
membongkar intrik keji ini hingga sama sekali terbuka.
Ia bertekad melakukan suatu perbuatan baik bagi Cia Siau-hong.
Sambil bergendong tangan Tiok Yap-cing berjalan cepat pelan-pelan menelusuri jalanan kecil dan
dengan cepat menemukan ruangan tempat tidurnya yang bermandikan cahaya.
Ia tinggal dalam ruangan terpencil yang tak jauh letaknya dari gunung-gunungan itu, di luar
bangunan tumbuh beratus-ratus batang bambu serta beberapa kuntum bunga seruni.


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bila kamar itu berlampu, berarti Ki Ling masih menantikan kedatangannya, hari itu setiap
persoalan yang dilakukan seakan-akan semuanya berjalan lancar, ia berhak untuk menikmati
malam itu dengan penuh kegembiraan dan keasyikan, bahkan mungkin diiringi dengan sedikit
arak. Pintu itu tak terkunci, orang yang tinggal di situpun tak perlu mengunci pintu, sebab dikuncipun tak
ada gunanya. Ia telah membayangkan bagaikan Ki Ling dengan tubuhnya yang bugil sedang berbaring di atas
pembaringan menantikan kedatangannya, tapi tidak mengira kalau masih ada seseorang yang lain
berada di situ.
Ternyata Ciu Ji sianseng pun sedang menantikan kedatangannya.
Di depan lampu ada arak, arak tersebut sudah habis di minum, agaknya tak sedikit yang diminum
Ciu Ji sianseng, berarti pula sudah lama ia menanti di situ......
Duduk di sampingnya sambil menuang arak adalah Ki Ling.
Ia sama sekali tidak telanjang bulat, ia mengenakan pakaian, bahkan mengenakan dua stel.
Tapi, meskipun mengenakan dua stel pakaian, sekalipun digabungkan juga tak lebih tipis daripada
selapis kabut. "Ooooh.....tak kusangka kalau Ciu Ji sianseng pun pandai menikmati suasana", tegur Tiok Yapcing
sambil tertawa.
Ciu Ji sianseng meletakkan cawan araknya, kemudian berkata:
"Sayang sekali arak ini arakmu, perempuan itupun perempuanmu, sekarang kau telah kembali,
maka setiap waktu setiap saat kau boleh menerimanya kembali"
"Oooh, tak perlu!"
"Tak perlu?"
Tiok Yap-cing tertawa, ujarnya:
"Sekarang arak itu arakmu dan perempuan itu perempuanmu, tak ada salahnya kalau kau
memakainya dan menikmatinya pelan-pelan!"
"Dan kau sendiri......?"
"Aku akan menyingkir"
Ternyata ia benar-benar hendak menyingkir dari situ.
Ciu Ji sianseng memandang ke arahnya, rasa kaget, tercengang dan curiga menyelimuti sorot
matanya, menanti ia saksikan orang sudah akan keluar dari pintu, tiba-tiba serunya dengan keras:
"Tunggu sebentar!"
Tiok Yap-cing segera berhenti sambil bertanya:
"Masih ada perkataan apa lagi yang hendak kau katakan?"
"Aku hanya ingin berkata sepatah kata saja!"
Tiok Yap-cing memutar badannya menghadap ke arahnya dan menantikan jawabannya.
Ciu-ji sianseng menghela napas panjang, katanya:
"Ada sementara persoalan sebetulnya tidak pantas untuk kutanyakan kepadamu, tapi aku amat
ingin tahu sebenarnya manusia macam apakah kau ini" Dan sesungguhnya jalan pikiran apakah
yang mendekam dalam ingatanmu itu.....?"
Tiok Yap-cing kembali tertawa, katanya:
"Aku tidak lebih hanya seorang manusia yang gemar bersahabat, terutama sekali bersahabat
dengan seorang teman seperti kau!"
Ciu Ji sianseng pun ikut tertawa.
Wajahnya masih tertawa, tapi kelopak matanya telah menyurut kecil, kembali ia bertanya:
"Masih ada berapa orang sahabatmu lagi yang telah kau jual?"
"Hei, apa yang sedang kau katakan?", seru Tiok Yap-cing hambar, "sepatah katapun tidak
kufahami?"
"Semestinya kau mengerti, karena hampir saja kau menghianati diriku satu kali!"
Ia tidak memberi kesempatan bagi Tiok Yap-cing untuk buka suara, kembali katanya:
"Hek-sat sebetulnya temanmu pula, tapi kau telah mempergunakan Mao It-leng untuk membunuh
mereka. Tam Ci-hui, Liu Kok-tiok, Hok-kui-sin-sian-jiu serta hweesio tua itu bila datang membantu
tepat pada saat yang telah direncanakan, Mao It-leng pun tidak akan sampai mati, tapi kau
sengaja melepaskan tanda terlalu lambat, karena kau masih ingin meminjam tangan Cia Siauhong
untuk membunuh Mao It-leng"
Tiok Yap-cing tidak membantah, pun tidak mendebat, ia malah menarik sebuah bangku dan duduk
dengan santai sambil mendengarkan pembicaraan tersebut.
Ciu Ji sianseng berkata lebih jauh:
"Siau Te sebenarnya juga sahabatmu, tapi kau telah menjualnya kepada Cia Siau-hong, sekalipun
Cia Siau-hong tidak tega membunuhnya, tapi mungkin ia akan menumbukkan kepalanya sendiri ke
atas dinding, apalagi melihat perempuannya sendiri dibawa kabur orang. Hmm...., kecuali kau
yang sanggup menahan diri dalam keadaan semacam ini, tak ada orang lain yang bisa berpeluk
tangan belaka semacam kau!"
Tangannya telah meraba gagang pedang di meja, katanya lebih lanjut:
"Oleh karena itu sengaja aku hendak bertanya kepadamu, sampai kapan kau baru akan
menghianatiku" Dan kepada siapa akan hendak kau jual?"
Tiok Yap-cing kembali tertawa, sambil berdiri dan menoleh ke jendela, ujarnya:
"Di luar udara dingin mencekam, Hoa sianseng, kalau toh sudah kemari, kenapa tidak masuk
untuk minum dulu beberapa cawan arak?"
ooooOOOOoooo Bab 18. Senyuman Di Balik Pisau
Daun jendela tidak bergerak, pintupun terbuka sendiri tanpa hembusan angin.
Lewat lama sekali, pelan-pelan Hoa Sau-kun baru berjalan masuk lewat ke dalam.
Empat puluh tahun berselang, sudah beratus-ratus kali pertarungan yang pernah ia alami, entah
sudah berapa kali pula dipecundangi orang.
Hingga kini ia masih dapat hidup, hal ini disebabkan ia adalah seorang manusia yang selalu
waspada dan berhati-hati.
Ditatapnya Tiok Yap-cing dengan dingin lalu katanya:
~Bersambung ke Jilid-13
Jilid-13 "Sebenarnya aku tak pantas datang, tapi sekarang telah datang, kata-kata semacam itu
semestinya tak pantas kudengar, tapi sekarang telah kudengar, maka dari itu akupun ingin
bertanya kepadamu, sesungguhnya manusia macam apakah kau ini" Perhitungan apa yang
sesungguhnya telah kau rencanakan dalam hatimu?"
Tiok Yap-cing tersenyum, sahutnya:
"Aku tahu bahwa pada malam ini Hoa sianseng tentu tak dapat tidur, kau tentu masih teringat
dengan pertarungan pagi tadi, maka sedari tadi aku sudah berencana untuk menghantar arak
wangi bagi Hoa sianseng untuk menghilangkan kemasgulan dan kekesalan hatimu!"
Jawaban yang sama sekali tiada hubungan dengan apa yang ditanyakan tadi, seakan-akan ia
tidak mendengar apa yang diucapkan Hoa Sau-kun barusan dan telah membebaskan dirinya
secara mudah dari semua tuduhan yang dilontarkan kepadanya tadi.
Betul juga, paras muka Hoa Sau-kun segera berubah hebat, dengan suara lantang bentaknya:
"Kenapa aku tak bisa tidur" Kenapa aku musti menghilangkan kemasgulan dan kemurungan?"
"Sebab Hoa sianseng adalah seorang kuncu, seorang laki-laki sejati!"
Tiba-tiba senyuman di bibirnya berubah menjadi penuh kelicikan dan sindiran, ia menambahkan:
"Cuma sayang, kaupun bukan betul-betul seorang kuncu sejati!"
Sepasang tangan Hoa Sau-kun telah gemetar keras, jelas ia sedang berusaha keras untuk
mengendalikan hawa amarahnya.
"Siapakah yang menang dan siapa yang kalah dalam pertarungan pagi tadi, aku pikir kau pasti
lebih jelas dari pada siapapun"
Tangan Hoa Sau-kun gemetar semakin keras, tiba-tiba ia menyambar separuh guci arak di meja
dan sekaligus meneguknya sampai habis.
"Jika kau adalah seorang kuncu sejati, kau sudah mengakui kekalahanmu ketika berada di
hadapan binimu tadi"
Hoa Sau-kun mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, kemudian katanya dengan suara
gemetar: "Lanjutkan kata-katamu!"
"Bila kaupun seperti aku, seorang manusia siaujin yang tulen, maka tak akan kau pikirkan
persoalan semacam itu dalam hati, sayang sekali kaupun bukan seorang siaujin tulen, oleh karena
itu hatimu baru menderita dan tersiksa karena merasa malu, menyesal dan merasa dirimu telah
berbuat kesalahan kepada Cia Siau-hong!"
Setelah berhenti sebentar, dengan suara dingin ia melanjutkan:
"Maka dari itu bila sekarang ada orang bertanya kepadamu, manusia macam apakah
sesungguhnya dirimu, maka tiada halangan bagimu untuk memberitahu kepadanya bahwa kau
bukan saja seorang kuncu gadungan, kau merupakan juga seorang munafik!"
Hoa Sau-kun menatapnya tajam-tajam kemudian selangkah demi selangkah maju
menghampirinya sambil berkata:
"Benar, aku adalah manusia munafik, tapi aku toh sama saja dapat membunuh orang!"
Tiba-tiba suaranya menjadi kabur dan tidak jelas, sorot matanya ikut membuyar dan menjadi sayu
dan kuyu.........
Menyusul kemudian iapun roboh terkapar di tanah.
Dengan terkejut Ciu Ji sianseng memandang ke arahnya, dia ingin bergerak namun tidak bergerak
sedikitpun. "Bukankah kau tidak habis mengerti kenapa secara tiba-tiba ia bisa roboh terkapar?", tanya Tiok
Yap-cing tiba-tiba.
"Dia mabuk.......?"
"Dia sudah merupakan seorang kakek yang bertubuh lemah, apalagi minum arak begitu cepat,
seandainya dalam arak itu tidak kucampuri dengan obat pemabuk, mungkin ia masih belum roboh
juga" "Obat pemabuk?", seru Ciu Ji sianseng dengan paras muka hebat.
"Walaupun obat pemabuk jenis ini berbau keras dan rasanya getir, namun bila dicampurkan ke
dalam arak Tiok Yap-cing yang berusia tua, maka tidaklah gampang untuk membedakannya, aku
telah mencobanya beberapa kali dan setiap kali rasanya cukup mendatangkan hasil yang
diharapkan"
Tiba-tiba Ciu Ji sianseng membentak gusar, dia ingin menubruk ke depan, tapi tubuhnya segera
menumbuk meja hingga jatuh tertelungkup.
Tiok Yap-cing tersenyum, katanya:
"Padahal kaupun mestinya dapat membayangkan sendiri sebagai seorang siaujin semacam aku,
masa dapat memberikan arak sebagus ini untuk dinikmati orang lain?"
Ciu Ji sianseng yang tergeletak di tanah berusaha untuk berpegangan di sisi meja dan bangun
berdiri, tapi baru saja bangun kembali ia sudah roboh ke tanah.
"Sesungguhnya akupun musti berterima kasih kepadamu", kata Tiok Yap-cing kembali, "Hoa Saukun
sudah tersohor karena ketelitian serta kewaspadaannya, andaikata ia tidak melihatmu minum
arak tersebut, tak nanti dia akan minum juga arak tersebut, siapa tahu justru karena kau minum
arak amat lambat, maka obat pemabuk itu baru bekerja pada saat ini........"
Ciu Ji sianseng merasa ucapannya itu kian lama kian bertambah jauh, orang yang berdiri di
hadapannya pun makin lama semakin jauh, kemudian apapun tak terdengar lagi olehnya, dan
apapun tidak terlihat lagi olehnya.
Tiba-tiba Ki Ling menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir:
"Sebetulnya aku mengira ambisimu tak lain hanya ingin menjatuhkan Toa-tauke belaka, tapi
sekarang.........sekarang bahkan aku sendiripun tak tahu manusia apakah sebetulnya dirimu ini
dan apa saja yang kau rencanakan dalam hatimu?"
"Ya, selamanya kau tak akan tahu!", Tiok Yap-cing tertawa.
Ketika Cia Hong-hong terbangun dari impian buruknya, seluruh badannya basah kuyup oleh
keringat dingin.
Dalam mimpinya ia saksikan suaminya pulang dan berdiri di depan pembaringan dengan tubuh
berlumuran darah, darah itu menindih tubuhnya hingga membuat ia tak sanggup bernapas.
Ketika ia tersadar kembali hanya kegelapan yang menyelimuti sekitar tempat itu, lampu yang
disulut suaminya tadi kini telah padam.
ooooOOOOoooo Bab 19. Keturunan Keluarga Kenamaan
Dalam ruangan tiada cahaya lampu, seorang diri Cia Siau-hong duduk dalam kegelapan, duduk di
atas kursi di mana tempat itu selalu mereka kosongkan bila sedang bersantap dan khusus
disediakan buat tuan putri.
......Semenjak dilahirkan, semestinya dia adalah seorang tuan putri, bila bertemu dengannya, maka
kau pasti akan menyukainya, kami merasa bangga karena dia.
Api dalam tungku telah padam, bahkan abupun telah dingin.
Dapur nan sempit dan kecil, selamanya tak akan memancarkan kehangatan lagi seperti dulu, bau
harum kuah daging yang dapat menghangatkan badan sampai ke lubuk hatipun selamanya tak
akan terendus kembali.
Tapi di tempat itulah ia pernah merasakan kepuasan dan ketentraman yang sebelumnya tak
pernah ia rasakan atau jumpai.
......Aku bernama A-kit, A-kit yang tak berguna.
......Hari ini tuan putri kita pulang makan, kita semua akan mendapat daging untuk bersantap,
setiap orang akan mendapatkan sepotong daging, sepotong daging yang besar, besar sekali.
Ketika daging dihidangkan, sorot mata setiap orang mencorong tajam, setajam sinar pedang.
Cahaya pedang berkelebat lewat, hawa pedang memancar ke empat penjuru, darah berhamburan
ke mana-mana dan musuh besar roboh tak bernyawa.
......Aku adalah Sam sauya dari keluarga Cia, akulah Cia Siau-hong.
......Akulah Cia Siau-hong yang tiada keduanya dalam dunia ini.
Sesungguhnya siapakah di antara kedua orang ini yang jauh lebih gembira dan bahagia"
A-kit" Atau Cia Siau-hong"
Pelan-pelan pintu didorong orang, sesosok bayangan tubuh yang ramping dan halus masuk ke
dalam. Tempat itu adalah rumahnya, ia sangat hapal dengan setiap macam benda yang berada di sana,
sekalipun tidak melihatnya, iapun dapat merasakannya.
Orang yang membawanya pulang adalah seorang laki-laki asing yang bertubuh gemuk, tapi
memiliki ilmu meringankan tubuh yang jauh lebih enteng daripada seekor burung walet,
mendekam di atas tubuhnya bagaikan berjalan di atas awan.
Ia tidak kenal dengan orang itu.
Ia mau mengikutinya karena ia berkata ada orang sedang menantikannya, lantaran orang yang
menunggu dirinya adalah Cia Siau-hong.
Pelan-pelan Cia Siau-hong bangun berdiri lalu berkata:
"Duduklah!"
Tempat itu khusus mereka sediakan baginya, bila ia pulang maka tempat itu sepantasnya
diberikan kepadanya.
Siau-hong masih ingat, ketika untuk pertama kalinya melihat dia duduk di kursi itu dengan rambut
yang hitam dan panjang terurai di bahu, sikapnya yang lembut dan anggun itu mengingatkan kita
kepada seorang Tuan Putri sungguhan.
Waktu itu ia hanya berharap sebelum perjumpaan tersebut mereka tak pernah berkenalan, ia
berharap perempuan itu adalah seorang tuan putri sungguhan.
.......Bagaimanapun juga kau tak dapat membiarkan keturunan keluarga Cia mengawini seorang
pelacur sebagai istrinya.
.......Ya, Pelacur! Lonte!
Tanpa terasa ia terbayang lagi kembali kejadian ketika pertama kali bertemu dengannya, teringat
pula rasa panas yang memancar ke luar dari selangkangan si nona ketika tangannya menekan
tempat 'itu' nya, terbayang pula olehnya liuk-liuk tubuhnya ketika berbaring di tanah sambil
memamerkan seluruh bagian tubuhnya yang terlarang itu.....
.......Aku baru berusia lima belas tahun, cuma saja tampaknya jauh lebih besar dari orang lain.
Siau Te masih seorang bocah.
.......Tak ada orang yang suka melakukan pekerjaan semacam itu, tapi setiap orang membutuhkan
hidup, setiap orang perlu makan.
.......Gadis itu adalah satu-satunya harapan bagi ibunya dan kakaknya, ia harus memberi daging
untuk mereka. Tapi Siau Te baru berusia lima belas tahun, Siau Te adalah darah daging keluarga Cia.
Si Boneka telah duduk, ia duduk seperti seorang tuan putri sungguhan, sepasang matanya yang
jeli memancarkan sinar terang di tengah kegelapan itu.
Cia Siau-hong sangsi sejenak, akhirnya ia berkata:
"Aku telah berjumpa dengan toako-mu!"
"Aku tahu!"
"Agaknya luka yang dideritanya telah mulai sembuh, sekarang tak nanti ada orang akan pergi
mencarinya lagi!"
"Aku tahu!"
"Aku kuatir kau merasa kurang leluasa, maka kusuruh Cia ciangkwe untuk menjemputmu"
"Aku tahu!"
Tiba-tiba si Boneka tertawa lebar, katanya lebih jauh:
"Akupun tahu kenapa kau membawaku ke mari"
"Kau tahu?", tanya Cia Siau-hong keheranan.
"Ya, kau minta aku kemari karena tak boleh kawin dengan Siau Te!"
Ia masih tertawa.
Pelan-pelan ia berkata lebih lanjut:
"Karena kau merasa aku tak pantas untuk mendampinginya, kau sangat baik kepadaku,
memperhatikan diriku, semuanya itu tak lebih karena kau kasihan kepadaku, menaruh belas
kasihan kepadaku, tapi dalam hati sesungguhnya sama sekali tidak memandang sebelah mata
kepadaku" "Aku......."
"Kau tak perlu memberi penjelasan kepadaku," tukas si Boneka, "aku cukup mengerti tentang
keadaan yang sedang kuhadapi, orang yang benar-benar kau sukai masih tetap Buyung hujin
tersebut, karena ia memang ditakdirkan bernasib seorang nyonya besar, karena ia tak perlu
menjual diri untuk membiayai hidup keluarganya, ia tak perlu menjadi seorang pelacur...........!"
Air matanya jatuh bercucuran amat deras, mendadak sambil menangis tersedu-sedu, katanya:
"Tapi tak pernahkah kau berpikir bahwa pelacurpun manusia, pelacurpun berharap bisa
memperoleh pasangan yang baik, berharap ada orang yang benar-benar mencintainya"
Cia Siau-hong merasa hatinya amat sakit, seperti ditusuk-tusuk dengan pisau, setiap ucapannya
seakan-akan sebatang jarum yang menghujam ulu hatinya.
Tak tahan lagi ia maju menghampirinya dan membelai rambutnya yang lembut, dia ingin
menghibur dengan kata-kata yang lembut, tapi ia tak tahu bagaimana harus berkata.
Si Boneka tak kuasa menahan dirinya lagi, ia menubruk ke dalam pelukannya dan menangis
tersedu-sedu. Baginya, bisa berbaring dalam pelukannya sudah merupakan suatu penghiburan yang paling


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar baginya. Cia Siau-hong pun tahu, bagaimanapun jua ia tak tega untuk menyingkirkan gadis itu dari
pelukannya. "Tiba-tiba....."Blaaang!", pintu di dorong orang keras-keras, seorang pemuda berwajah pucat tahutahu
muncul di luar pintu, sorot matanya penuh pancaran rasa sedih, menderita dan penuh
kebencian. Siapa yang tahu berapa besarkah kekuatan dari suatu dendam sakit hati, sehingga membuat
orang melakukan berapa banyak peristiwa yang menakutkan"
Siapa tahu kesedihan yang sebenarnya bagaimana rasanya"
Mungkin Siau Te telah mengetahuinya.
Mungkin Cia Siau-hong juga telah mengetahuinya.
Mayat Hoa Sau-kun ditemukan orang satu jam berselang dalam gardu persegi enam.
Tenggorokannya sudah digorok orang hingga kutung, bajunya, tangannya dan jenggotnya penuh
berlepotan darah.
Tak seorangpun yang bisa membayangkan bagaimanakah rasa sedih, menderita dan gusar yang
mencekam perasaan Cia Hong-hong sewaktu menjumpai mayat suaminya.
Dalam waktu singkat ia seakan-akan berubah menjadi seekor binatang liar yang sedang kalap.
Ia menangis meraung-raung, berteriak seperti orang histeris, mencakar muka sendiri, menarik
rambut sendiri, kalau bisa ia hendak mencabik-cabik tubuh sendiri, lalu membakarnya dengan api
lalu menumbuknya menjadi bubuk dan memusnahkannya dari muka bumi.
Ada tujuh-delapan pasang tangan yang kuat menahan tubuhnya, hingga satu jam kemudian ia
baru dapat menenangkan kembali hatinya.
Namun air mata masih jatuh bercucuran dengan deras.
Hubungan suami isteri yang berlangsung selama dua puluh tahun, senang sama dicicipi, sengsara
sama di atasi, hubungan batin tersebut hakekatnya telah meresap hingga ke dalam lubuk hati.
......Sekarang ia telah menjadi tua, kenapa ia musti mati duluan" Kenapa ia harus mati dalam
keadaan yang mengenaskan"
Kesedihan yang melewati batas ini tiba-tiba saja berubah menjadi dendam kesumat, katanya
mendadak dengan suara dingin:
"Kalian lepaskan aku, biarkan aku duduk sendiri!"
Fajar sudah hampir menyingsing, lentera meja masih memancarkan sinarnya dan menerangi
wajah Buyung Ciu-ti, paras mukanyapun tampak pucat pias.
Cia Hong-hong telah duduk dihadapannya, air mata telah mengering, yang masih tertinggal di balik
matanya hanya dendam kesumat.
Kesedihan yang sungguh-sungguh melewati batas dapat membuat orang menjadi gila, dendam
kesumat yang betul-betul meresap ke tulang dapat membuat orang menjadi tegang.
Dengan pandangan dingin, dia awasi sinar lampu yang berkedip-kedip, lalu tiba-tiba berbisik:
"Aku keliru, kaupun keliru!"
"Mengapa kau keliru?"
"Karena kita semua telah tahu bahwa pertarungan pagi tadi bukan dimenangkan Hoa Sau-kun,
melainkan oleh Cia Siau-hong, tapi kita semua tidak mengutarakan keluar!"
Buyung Ciu-ti tak dapat menyangkal.
Seandainya pedang Cia Siau-hong betul-betul mencelat karena getaran tenaga, maka tak nanti
senjata tersebut akan menancap persis di samping Cia Hong-hong.
Ia dapat meminjam tenaga getaran orang untuk mengembalikan pedang tersebut ke tangan Cia
Hong-hong, tenaga serta kemampuan semacam itu pada hakekatnya telah digunakan secara jitu
dan hebat. "Sebetulnya bukan saja Cia Siau-hong dapat mengalahkannya, diapun dapat membunuhnya!",
kata Cia Hong-hong lebih lanjut, "tapi Cia Siau-hong tidak berbuat demikian, maka orang yang
membunuhnya pasti bukan Cia Siau-hong"
Buyung Ciu-ti tak dapat menyangkal akan kebenaran ucapan tersebut.
Cia Hong-hong menatapnya tajam-tajam, kemudian berkata lagi:
"Oleh karena itu aku ingin bertanya kepadamu, kecuali Cia Siau-hong, masih ada siapakah di
tempat ini yang sanggup menggorok kutung lehernya dengan pedang?"
Buyung Ciu-ti termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, lewat lama sekali baru sahutnya:
"Hanya ada seorang!"
"Siapa?"
"Dia! Dia sendiri!"
Cia Hong-hong menggenggam tangan sendiri kencang-kencang, jari-jari tangannya sampai
menembusi telapak tangan sendiri, serunya dengan suara tergagap:
"Maksudmu......maksudmu dia.......dia bunuh diri?"
"Ehmmm, begitulah!"
Sekali lagi Cia Hong-hong gelengkan kepalanya berulang kali, teriaknya dengan suara keras:
"Tidak mungkin, hal ini tidak mungkin, demi aku tak nanti ia akan berbuat demikian!"
Buyung Ciu-ti menghela napas panjang.
"Aaaaiii....siapa tahu kalau ia justru berbuat demikian demi dirimu?"
Sebelum perempuan itu menjawab, ia telah berkata lebih jauh:
"Karena ia telah tahu, bahwa kaupun mengetahui bila orang yang betul-betul kalah adalah dia, kau
tak tega mengatakannya keluar, dia sendiri tentu saja lebih baik tak berkeberanian untuk
menceritakannya keluar, penghinaan, penderitaan serta rasa malu itu selalu menyiksa hatinya,
sekalipun ia gagah dan keras hati, tapi lama kelamaan mana sanggup untuk mempertahankan
diri?" Cia Hong-hong menundukkan kepalanya rendah-rendah, ia berbisik:
"Tapi......."
"Tapi kalau tiada Cia Siau-hong, diapun tak akan mati", Buyung Ciu-ti melanjutkan.
Ia sendiri adalah seorang perempuan, tentu diapun memahami perasaan seorang perempuan.
Bila kaum perempuan sedang sedih dan marah dan kebetulan rasa sedih serta marahnya tiada
tempat pelampiasan, seringkali semua hal tersebut akan dilampiaskan kepada orang lain.
Betul juga, Cia Hong-hong segera mendongakkan kepalanya, lalu berkata:
"Cia Siau-hong sendiripun cukup mengetahui wataknya, mungkin ia telah memperhitungkan
sampai ke situ, maka ia sengaja berbuat demikian!"
Buyung Ciu-ti menghela napas panjang, katanya:
"Aaaaii.....berbicara sesungguhnya, keadaan semacam ini bukannya tidak mungkin terjadi"
Lompatan kobaran api memancar ke luar dari balik mata Cia Hong-hong, ia menatap lama sekali
wajah perempuan itu, tiba-tiba serunya:
"Konon aku dengar kau seorang yang mengetahui titik kelemahan dalam ilmu pedang Cia Siauhong"
Buyung Ciu-ti tertawa getir.
"Aku memang tahu, tapi apa gunanya sekalipun aku mengetahuinya?"
"Kenapa tak berguna?"
"Sebab kekuatanku tidak cukup hebat, kecepatan gerakkupun tidak cukup meyakinkan, sekalipun
dengan jelas ku tahu dimana letak titik kelemahan tersebut, menunggu serangan tersebut
kulancarkan, mungkin keadaan sudah tidak sempat lagi"
Setelah menghela napas panjang, ia berkata kembali:
"Seperti juga walaupun dengan jelas kulihat ada seekor burung gereja di atas pohon, tapi
menunggu aku memanjat pohon dan ingin menangkapnya, burung tersebut sudah keburu terbang"
"Tapi paling tidak kau sudah tahu cara menangkap burung gereja itu, bukan?", seru Cia Honghong.
"Ehm, benar!"
"Sudahkah kau beritahukan rahasia ini kepada orang lain?"
"Hanya memberitahukan kepada seseorang karena hanya pedang miliknya yang sanggup
menghadapi Cia Siau-hong!"
"Tapi siapakah orang itu?"
"Yan Cap-sa!"
Siau Te telah putar badan menerjang keluar, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia putar badan
dan kabur dari situ.
Dengan mata kepala sendiri ia saksikan mereka berangkulan, saling berpelukan dengan mesra,
dalam keadaan begini, apa lagi yang dapat ia katakan.
.......Sekalipun kejadian yang disaksikan dengan mata kepala sendiri, belum tentu hal itu
merupakan kenyataan.
Ia belum sempat memahami ucapan tersebut, pun tak ingin mendengarkan penjelasan itu, dia
hanya ingin menyingkir sejauh-jauhnya, makin jauh semakin baik.
Karena ia merasa dirinya telah tertipu, hatinya telah terluka, sekalipun terhadap si Boneka ia tak
menaruh rasa cinta, tapi gadis itupun tidak seharusnya menghianati dia, lebih-lebih Cia Siau-hong,
tidak seharusnya ia berbuat begini.
Cia Siau-hong dapat memahami perasaan hatinya sekarang.
Sebab ia pernah tertipu, pernah juga terluka hatinya, diapun pernah menjadi seorang pemuda
berdarah panas yang keras hati dan penuh kobaran emosi.
Dengan cepat ia mengejar keluar, dia tahu Cia ciangkwe dapat merawat si Boneka baginya, dan ia
sendiri harus baik-baik mengawasi Siau Te.
Hanya dia seorang yang dapat melihat kelemahan dalam perasaan pemuda yang tampaknya
keras hati dan dingin tersebut.
Maka dia harus melindunginya, tidak membiarkan ia menerima penderitaan maupun siksaan lagi.
Walaupun Siau Te tahu bahwa ia mengikuti di belakangnya, namun ia sama sekali tak berpaling.
Ia tak ingin berjumpa lagi dengan orang itu, tapi diapun tahu jika Cia Siau-hong telah bertekad
untuk menguntil seseorang, maka siapapun kau jangan harap bisa lolos dengan begitu saja.
Cia Siau-hong tidak buka suara.
Karena diapun tahu bila pemuda tersebut telah bertekad tak akan mendengarkan penjelasan
orang, perduli apapun yang kau katakan kepadanya juga percuma.
Fajar telah menyingsing langit terang benderang dan sinar emas memancar ke empat penjuru.
Dari lorong yang sempit mereka menuju ke jalan yang ramai, dari jalanan yang ramai memasuki
pinggiran kota yang sepi, lalu dari pinggiran kota yang sepi menuju ke jalan raya menuju ke luar
kota. Di atas jalan raya, para pejalan kaki sedang melakukan perjalanan masing-masing dengan cepat
dan tergesa-gesa.
Kini masa panen telah lewat, inilah saatnya semua orang memperhitungkan untung ruginya
setelah membanting tulang sepanjang tahun.
Ada sebagian orang yang buru-buru membawa pulang hasil jerih payah mereka untuk dinikmati
bersama keluarganya.
Ada pula yang membawa pulang hati yang kesal, badan yang penat serta segudang hutang.
Tak tahan Cia Siau-hong bertanya kepada diri sendiri.
........Apakah selama setahun ini ia giat menanam budi kebaikan" Lalu apa hasilnya"
........Sepanjang setahun ini adalah aku merugikan orang lain, ataukah orang lain yang telah
merugikan dirinya"
Ia tak sanggup memberi jawabannya.
Ada sementara hutang yang sesungguhnya memang tak mungkin bisa diselesaikan oleh
siapapun. Tengah hari menjelang tiba.
Mereka telah masuk kembali dalam sebuah kota dan menelusuri sebuah jalan yang teramat ramai
di kota tersebut.
Meskipun berbeda kota, tapi manusianya adalah sama saja, mereka bekerja keras demi nama dan
kedudukan, merekapun dibikin pusing oleh dendam ataupun perselisihan.
Tanpa terasa Cia Siau-hong menghela napas panjang, ketika mendongakkan kepalanya, ia baru
menyaksikan Siau Te telah berhenti dan sedang memandang ke arahnya dengan dingin.
Ia berjalan menghampirinya, tapi sebelum bersuara, tiba-tiba Siau Te bertanya:
"Selama ini kau mengikuti terus diriku, apakah karena kau telah bertekad untuk baik-baik merawat
dan memperhatikan diriku?"
Cia Siau-hong mengakuinya.
Secara tiba-tiba ia menemukan bahwa Siau Te memahami perasaannya, seperti juga ia
memahami perasaan Siau Te.
"Aku sudah lelah sekali melakukan perjalanan, lagi pula laparnya setengah mati", kata Siau Te
lagi. "Kalau begitu mari kita bersantap!"
"Bagus sekali!"
Di mana ia berhenti adalah persis di bawah merek emas dari Cong-goan-lo.
Baru saja putar badan, ciangkwe gemuk yang bermuka hok-kie itu telah membungkukkan badan
kepada mereka sambil tersenyum simpul.
"Siapkan delapan hidangan panas, empat masakan barang berjiwa, empat macam masakan
barang tak berjiwa, siapkan dulu delapan piring kecil untuk teman minum arak, lalu hidangkan
enam macam hidangan utama. Udang bago, Yan-oh, H-sit, ayam lengkap, bebek lengkap,
semuanya siapkan komplit, jangan ada semacampun yang ketinggalan."
Itulah sayur yang dipesan oleh Siau Te.
Sambil tersenyum dan bungkukkan badan memberi hormat, ciangkwe gemuk itu segera
menyahut: "Bukannya siaujin bicara ngibul, kecuali rumah makan kami, jangan harap bisa ditemukan
hidangan sekomplit ini dalam waktu yang begini tergesa-gesa di tempat lain"
"Ya, asal hidangan bisa dibikin sebaik mungkin dan secepat mungkin, uang persen tak akan lupa"
"Entah berapa orang tamu yang hendak di undang" Sampai kapan baru tiba di sini?"
"Tak ada tamu lainnya"
"Hanya kalian berdua?", ciangkwe gemuk itu melototkan sepasang matanya bulat-bulat, "kenapa
memesan sayur begini banyaknya?"
"Asalkan aku lagi senang, tidak habis di makan, mau dibuang ke pecomberan pun urusanku, buat
apa kau turut campur?"
Ciangkwe gemuk itu tak berani bersuara lagi, dengan munduk-munduk ia lantas mengundurkan
diri dari situ.
Tapi saat itulah dari meja lain kedengaran ada orang sedang tertawa dingin sambil menyindir:
"Heeeeehhhh....... heeeeehhhhh........ heeeeehhhhh..... entah bocah keparat itu lagi kaya
mendadak" Ataukah sudah kelaparan hingga mendekati sinting?"
Siau Te seakan-akan tak mendengar sindiran tersebut, hanya gumamnya seorang diri:
"Sayur-sayur itu merupakan hidangan kegemaranku, cuma sayang dihari-hari biasa tidak mudah
bagiku untuk menikmatinya!"
"Asal kau lagi gembira, bisa makan berapa banyak makanlah!", Cia Siau-hong menimpali.
Tak seorang manusiapun dapat menghabiskan hidangan sebanyak ini, setiap macam Siau Te
hanya mencicipi sekerat, lalu sambil menggerakkan kembali sumpitnya ia berkata:
"Aku sudah kenyang!"
"Tidak banyak yang kau makan", kata Cia Siau-hong.
"Jika sekepingpun sudah dapat dirasakan bagaimana rasanya, buat apa kita musti makan terlalu
banyak?" Setelah menghembuskan napas panjang dan memukul meja, ia berseru dengan suara lantang:
"Bawa rekeningnya ke mari!"
Tidak terlalu banyak tamu semacam dia ini, semenjak tadi ciangkwe gemuk telah menunggu di
sampingnya, segera ujarnya sambil tertawa paksa.
"Hidangan semeja penuh yang dipesan adalah delapan tahil perak, ditambah arak wangi
seluruhnya berjumlah sepuluh tahil empat mata uang"
"Ehmmmm, tidak mahal!"
"Rumah makan kami selamanya berdagang menurut aturan, tak pernah kami mengambil untung
terlalu banyak untuk tamu-tamu kami", kata ciangkwe gemuk dengan cepat.
Siau Te lantas berpaling ke arah Cia Siau-hong sambil berkata:
"Bila ditambah dengan uang tip, bagaimana kalau kita bayar dua belas tahil perak saja?"
"Ya, seharusnya memang demikian"
"Kenapa kau belum juga membayarnya?"
"Karena satu tahil perakpun tidak kumiliki!"
Siau Te tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja di mana
suara tertawa dingin tadi berasal.
Di sekitar meja tersebut duduk empat orang tamu, kecuali seorang pemuda berbaju kasar yang
kelihatan agak ketolol-tololan, minum arak paling sedikit dan berbicara paling sedikit, tiga orang
lainnya merupakan pemuda-pemuda gagah yang berusia dua puluh tahunan, gagah, ganteng dan
kelihatan amat perkasa.
Di atas meja terdapat tiga bilah pedang, bentuknya sangat antik dan indah, sekalipun belum
diloloskan dari sarungnya, tapi siapapun tahu bahwa pedang tersebut pastilah sebilah pedang
yang tajam. Orang yang tertawa dingin tadi mengenakan baju paling perlente dan bersikap paling angkuh.
Ketika menyaksikan Siau Te berjalan ke arahnya, sekali lagi ia tertawa dingin.
Siau Te tidak memperhatikan wajahnya melainkan pedang antik yang berada di atas meja itu, tibatiba
ia menghela napas panjang kemudian berbisik lirih:
"Ehmm, sebilah pedang yang bagus!"
"Kau juga mengerti tentang pedang?", ejek orang itu sambil tertawa dingin.
"Konon dahulu ada seorang Si Lu-cu, Si taysu yang mempunyai kepandaian membuat pedang
yang hebat dan tiada tandingannya di kolong langit, dengan air dari telaga pelepas pedang di bukit
Bu-tong, ia telah menempa tujuh bilah pedang tajam, oleh sang ciangbunjin ke tujuh pedang
tersebut diberikan kepada tujuh orang muridnya yang terlihay dengan pesan pedang ada orang
hidup, pedang hilang nyawa lenyap, setelah mati pedang itu harus diserahkan kembali kepada
ketuanya untuk dioperkan ke orang lain....."
Setelah tersenyum iapun bertanya:
"Entah pedang tersebut apa betul merupakan salah satu diantaranya?"
Pemuda yang tertawa dingin itu masih juga tertawa dingin tiada hentinya, sedangkan seorang
pemuda berbaju ungu yang ada disampingnya segera berseru memuji:
"Suatu ketajaman mata yang luar biasa!"
"Boleh aku tahu siapa nama margamu?"
"Aku she Wan, juga she Cho!"
"Jangan-jangan kau adalah murid yang termuda dan tertampan di antara tujuh orang murid Butong-
pay yang disebut Cho Han-giok itu?"
"Suatu ketajaman mata yang mengagumkan!", kembali orang berbaju ungu itu berseru.
"Kalau begitu kau pastilah toa-kongcu dari keluarga Wan berbaju ungu itu dari kota Kim-leng?"
"Bukan, aku adalah Lo-ji bernama Wan Ji-im, dialah toako kami, Wan Hui-im!", kata manusia
berbaju ungu itu memperkenalkan diri.
Wan Hui-im duduk tepat di sampingnya, jenggot sudah tumbuh pada janggutnya.
"Dan yang ini?"
Orang yang ditanya Siau-te adalah pemuda berbaju kasar yang kelihatan amat jujur itu, katanya
lebih lanjut: "Burung Hong tak akan sudi terbang bersama burung gagak, aku pikir saudara inipun pastilah
sauya kongcu dari keluarga kenamaan juga?"


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bukan!", pemuda berbaju kasar itu menjawab singkat.
"Bagus sekali!"
Di bawah dua patah kata tersebut jelas masih ada perkataan lain, pemuda berbaju kasar itu justru
sedang menantikan kata-kata selanjutnya.
Orang jujur biasanya tidak banyak berbicara, pun tidak banyak bertanya......
Betul juga, ternyata Siau Te yang berkata lebih jauh:
"Di tempat ini paling tidak masih ada orang yang tiada perselisihan maupun dendam sakit hati
dengannya"
"Siapakah dia?", tanya Wan Ji-im.
"Itulah orang yang seharusnya membayar rekening, tapi nyatanya setahil perakpun tidak ia miliki"
"Apakah kami semua mempunyai dendam kesumat dengannya?"
"Agaknya memang ada sedikit!"
"Dendam macam apakah itu" Dan perselisihan macam apa pula yang kau maksudkan?"
"Bukankah kalian bersaudara mempunyai seorang paman yang disebut orang persilatan sebagai
Cian-hong-kiam-kek (Jago pedang selaksa merah)?"
"Benar!", sahut Wan Ji-im.
"Bukankah Cho kongcu ini juga mempunyai seorang kakak yang bernama Peng......", tanya Siau
Te lebih jauh. "Benar!"
"Bukankah mereka berdua telah tewas dalam perkampungan Sin-kiam-san-ceng....?"
Paras muka Wan Ji-im segera berubah hebat.
"Apakah orang yang kau maksudkan tadi adalah......."
"Ya, dia tak lain adalah Sam sauya dari perkampungan Sin-kim-san-ceng di lembah Cui-im-kok,
telaga Liok-sui-oh, atau yang lebih di kenal sebagai Cia Siau-hong!"
"Criiiiing!", pedang Cho Han-giok telah diloloskan dari sarungnya, dua bersaudara Wan telah
meraba pula gagang pedang mereka.
"Kaukah Cia Siau-hong?"
"Ya, benar!"
Cahaya pedang berkelebat lewat, tiga bilah pedang telah mengurung rapat Cia Siau-hong.
Paras muka Cia Siau-hong sama sekali tidak berubah, tapi ciangkwe gemuk itu sudah ketakutan
setengah mati sehingga paras mukanya berubah menjadi pucat kehijau-hijauan.
Tiba-tiba Siau Te maju ke depan dan menarik ujung bajunya, lalu bertanya dengan suara lirih:
"Tahukah kau, cara apa yang terbaik untuk makan gratis tanpa digebuki orang lain?"
Ciangkwe gemuk itu menggelengkan kepalanya berulang kali.
Siau Te segera tertawa, jawabnya:
"Caranya cukup sederhana, carilah beberapa orang untuk melangsungkan pertarungan sengit, bila
suasana telah menjadi kalut, maka secara diam-diam kaupun kabur dari tempat itu!"
ooooOOOOoooo Bab 20. Pemberani Tak Akan Jeri
Siau Te telah ngeloyor pergi.
Ketika ia mengatakan hendak kabur, ia betul-betul telah kabur dengan cepat, menunggu si
ciangkwe gendut berpaling kembali, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.
Dalam keadaan begini, ciangkwe gemuk itu tak bisa berbuat lain kecuali tertawa getir.
Dia bukannya tidak tahu cara tersebut, dulu pernah ada orang yang melakukan cara yang sama,
dan kemudian haripun pasti masih ada orang yang akan menggunakan cara tersebut.
Sebab cara itu memang paling manjur untuk dipergunakan makan gratis.
Tengah hari di sebuah jalan raya yang amat panjang.
Dengan menyelusuri bayangan gelap di bawah wuwungan rumah, Siau Te berjalan menuju ke
depan. Setelah melepaskan diri dari kuntitan Cia Siau-hong, sesungguhnya adalah suatu peristiwa yang
patut digembirakan, tapi ia sama sekali tidak berperasaan demikian.
Dia hanya ingin lari ke tana lapang yang luas dan berteriak-teriak seorang diri, diapun ingin lari ke
puncak bukit yang tinggi dan menangis sepuas-puasnya.
Mungkin hanya dia seorang yang tahu kenapa ia dapat berpikir demikian, bahkan mungkin dia
sendiripun tak tahu.
Dapatkah Cia Siau-hong melayani tiga orang anak jadah cilik yang sepasang matanya hanya
berada di atas kepala"
Siapa menang siapa kalah, apa pula sangkut pautnya dengan diriku" Sekalipun mampus semua,
hanya bapak dan emak mereka yang akan menangisi kematiannya, tapi kalau aku mati, siapa pula
yang akan meneteskan air mata bagiku"
Tiba-tiba Siau Te tertawa, tertawa terbahak-bahak.
Semua orang di jalanan berpaling ke arahnya, memandangnya dengan terperanjat, mereka
menganggapnya sebagai orang gila.
Tapi ia sendiri sedikitpun tidak ambil perduli, orang lain mau menganggap dirinya sebagai manusia
macam apapun, dia tak akan ambil perduli.
Sebuah kereta besar berjalan lewat dari tikungan jalan raya sebelah depan sana, kereta itu dihela
oleh dua ekor kuda. Badan keretanya masih baru dan berwarna hitam, masih mengkilap seperti
sebuah cermin. Sebuah panji kecil berwarna merah tersembul di antara daun jendelanya.
Sang kusir yang mengenakan ikat pinggang berwarna merah duduk di tempatnya dengan angkuh
dan jumawa, cambuknya di ayunkan berulang kali, gayanya sok benar.
Tiba-tiba Siau Te menerjang ke depan menghadang di depan kuda, karena kemunculan yang tibatiba
itu, sang kuda segera meringkik panjang dan mengangkat ke dua belah kakinya ke atas.
Tentu saja kusirnya mencaci maki penuh kegusaran, sambil mengayunkan cambuknya ia
berteriak: "Hei, bajingan cilik! Kau ingin mampus?"
Siau Te masih belum ingin mampus, iapun tak ingin dimakan cambuk, maka tangan kirinya segera
menahan gagang cambuk tersebut, kontan sang kusir terjengkang ke tanah dan keretapun
berhenti. Dari balik jendela kereta muncul sebuah kepala manusia, itulah wajah yang garang dengan rambut
yang tersisir rapi dan sepasang mata yang buas penuh keseraman.
Siau Te maju menghampirinya, setelah menarik napas panjang-panjang ia bergumam:
"Ehmm.....rambut yang indah, harum....semerbak.....seperti bunga melati!"
"Mau apa kau, kunyuk kecil?", bentak orang itu sambil melotot gusar ke arahnya.
"Aku mau mati!"
"Heehhh..... heeehhh... heehhhh... itu mah gampang!", kembali orang itu berseru setelah tertawa
dingin. Siau Te tersenyum.
"Aku memang tahu bahwa aku sudah mencari tempat yang benar, menemukan orang yang benar"
Kemudian ditatapnya sekejap sepasang tangan laki-laki kekar itu beserta otot hijau yang menonjol
keluar serta jari tangan yang besar lagi kasar.
Hanya manusia bertenaga gwakang yang sudah berpengalaman dalam melangsungkan
pertarungan baru memiliki sepasang tangan semacam ini.
Tangan tersebut mungkin tak becus untuk melakukan pekerjaan yang lain, tapi untuk mematahkan
tengkuk orang, jelas hal ini bukan suatu pekerjaan yang menyulitkan.
Siau Te menjulurkan lehernya dan membuka pintu kereta, lalu sambil tersenyum katanya:
"Silahkan!"
Orang itu malah berubah agak sangsi, bagaimanapun jua memang tidak banyak manusia di dunia
ini yang tanpa sebab datang menghantar kematiannya sendiri.
Dalam ruang kereta masih terdapat seorang perempuan yang mendekam di lantai kereta bagaikan
kucing, ia sedang memperhatikan Siau Te dengan sepasang matanya yang indah bagaikan sinar
rembulan. Tiba-tiba sambil tertawa cekikikan perempuan itu berkata:
"Kalau toh dia ingin mati, kenapa kau tidak penuhi saja harapannya itu" Sejak kapan sih Oh-toaya
berubah menjadi seorang pengecut yang untuk membunuh orangpun tak berani?"
Suaranya seperti pula orangnya, lemah lembut penuh kemanjaan, tapi di balik kelembutan itu
justru terselip sindiran yang lebih tajam dari pada kucing.
Sinar buas segera mencorong ke luar dari balik mata Oh-toaya, katanya kemudian dengan dingin:
"Sedari kapan kau pernah menyaksikan aku Oh Hui membunuh seorang manusia tanpa nama
seperti dia?"
Si gadis seperti kucing itu tertawa cekikikan.
"Dari mana kau bisa tahu kalau dia adalah manusia tanpa nama" Betul usianya masih muda, tapi
tidak sedikit kan orang muda yang punya nama lebih besar darimu" Siapa tahu kalau dia adalah
Cho Han-giok dari Bu-tong-pay, atau mungkin juga dia adalah Toa sauya dari keluarga Wan asal
Kanglam" Ya, sudah pasti dalam hati kecilmu jeri kepadanya, maka kau tak berani turun tangan
secara gegabah"
Selembar wajah Oh Hui seketika berubah menjadi merah padam. Gadis itu memang lembut dan
menggemaskan, tapi setiap patah katanya justru mengena dasar hatinya.
Ia tahu Cho Han-giok dan dua bersaudara Wan telah tiba di situ, bila pemuda tersebut tak punya
asal usul yang besar, kenapa ia berani kurang ajar dihadapannya"
Tiba-tiba Siau Te berkata:
"Bukankah Oh toaya ini adalah Thi-cing (Telapak tangan baja) Oh Hui dari perusahaan ekspedisi
Hong-ki-piaukiok?"
Oh Hui segera membusungkan dadanya dan menjawab dengan lantang:
"Sungguh tak kusangka kalau kau masih mengenali juga diriku!"
Bila seorang jago persilatan mendengar orang lain dapat menyebutkan nama besarnya, sedikit
banyak dalam hatinya tentu akan timbul rasa bangga, apalagi kalau pihak lawan bisa di bikin merat
setelah mengetahui nama besarnya, tentu saja hal ini jauh lebih baik lagi.
Siau Te menghela napas panjang, katanya lagi:
"Aku sendiripun tidak menyangka"
"Tidak menyangka apa?"
"Tidak menyangka kalau perusahaan ekspedisi Hong-ki-piaukiok bisa memiliki daya pengaruh
yang begini besarnya dengan kekuasaan yang begini hebatnya, sehingga seorang piausu kecil
dalam perusahaanpun berani memperlihatkan gaya yang begini soknya!"
Ya, berbicara sesungguhnya, kuda jempolan dengan kereta yang indah ditambah gadis yang
cantik, tak mungkin bisa dimiliki oleh seorang piausu biasa seperti dia.
Betul, Hong-ki-piaukiok mempunyai nama yang besar, betul congpiautaunya Thi-khi-kuay-kiam (Si
Pedang Kilat) Thi Tiong-khi dengan ilmu Tui-hong-jit-cap-ji-si (Tujuh puluh dua gerakan pengejar
angin) dan Ji-cap-pwe-ci-cuan-im-cian (Dua puluh delapan batang panah penembus awan) nya
menggetarkan dunia persilatan, tapi bekerja sebagai piautau dalam suatu perusahaan ekspedisi,
paling banyakpun gaji bulanannya cuma beberapa puluh tahil perak saja.
Paras muka Oh Hui semakin merah oleh ucapan tersebut, dengan gusar katanya:
"Aku mau sok atau tidak, apa pula sangkut pautnya dengan dirimu?"
"Ooooh....sama sekali tak ada sangkut pautnya!"
"Kau she apa" Bernama siapa" Berasal dari mana?"
"Aku tak punya she maupun nama, akupun tak punya asal usul, aku....aku......"
Sebenarnya soal itu merupakan soal yang paling menyakitkan hatinya, walaupun perkataannya
tidak menyinggung orang lain, tapi justru telah menyinggung diri sendiri.
Seperti misalnya Cho Han-giok yang merupakan keturunan orang ternama, bila ia musti
menyinggung soal asal-usul sendiri, tentu saja tak akan timbul perasaan pedih seperti yang
dialaminya. Oh Hui segera merasakan hatinya lega, dengan suara keras bentaknya:
"Walaupun aku tidak membunuh manusia tanpa nama, tapi hari ini bisa saja aku melanggar
kebiasaan itu"
Seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, ia melompat ke luar dari kereta itu, sepasang
telapak tangannya di bacok bersama membabat tenggorokan Siau Te.
"Walaupun kau bersedia melanggar kebiasaan, tapi sekarang aku telah berubah pikiran, aku jadi
tak ingin mati!", seru Siau Te.
Ketika beberapa patah kata itu selesai diucapkan, ia sudah menghindarkan diri dari ke dua puluh
jurus serangan Oh Hui, tiba-tiba badannya berputar dan....."Criiit!", ketika jari tangannya disentil
keluar, ujung jarinya segera menotok telak di atas pinggang Oh Hui.
Seketika itu jua Oh Hui merasakan separuh badannya menjadi kaku, pinggang bagian bawah
mana linu mana lemas, tak ampun lagi ia jatuh berlutut di atas tanah.
Gadis seperti kucing itu kembali tertawa cekikikan, katanya tiba-tiba:
"Oh toa-piautau, kenapa secara tiba-tiba kau jadi begitu banyak adat......?"
"Kau.....kau perempuan rendah yang tak tahu malu.....pagar makan tanaman.....", jerit Oh Hui
sambil menggigit bibir menahan rasa bencinya yang meluap.
"Eeeehh....eeeeh....siapa yang pagar makan tanaman" Aku makan apamu?", seru gadis seperti
kucing itu, "huuuuhh....cuma seorang piausu kecil yang tak punya apa-apa, kau kira mampu untuk
memelihara aku?"
Kemudian sambil berpaling ke arah Siau Te, ia berkata lebih jauh:
"Barusan, hanya satu hal yang kau salah menduga!"
"Oya?"
"Selama ini adalah aku yang memeliharanya, bukan dia yang memelihara aku!"
Oh Hui membentak amat gusar, dia ingin menubruk ke depan, tapi tubuhnya kembali roboh ke
tanah. "Belakangan ini kau makan terlalu banyak, badan gemuk semacam kau paling baik kalau
mengurangi naik kereta dan memperbanyak berjalan kaki", kata gadis seperti kucing itu.
Lalu dengan sepasang matanya yang jeli seperti rembulan, ia melirik sekejap ke arah Siau Te,
kemudian katanya:
"Tapi akupun merasa takut jika musti naik kereta seorang diri, menurut kau apa yang musti
kulakukan?"
"Inginkah kau mencari seorang teman yang bersedia menemanimu?"
"Tentu saja ingin, bahkan inginnya setengah mati, tapi di sini aku merasa sing, siapapun tidak
kenal, kemana aku musti mencari seorang teman yang bersedia menemani aku?"
"Tak usah jauh-jauh, di sinipun ada!"
"Siapa?"
"Aku!"
Sambil berlutut di tanah, Oh Hui menyaksikan Siau Te naik ke dalam kereta, menyaksikan kereta
itu pergi dengan menimbulkan debu yang tinggi, tapi tidak melihat kalau ada seorang lain, tanpa
menimbulkan sedikit suarapun telah muncul di belakang tubuhnya.
Ruangan kereta penuh dengan bau harum semerbak yang memabukkan.
Sambil mengangkat sepasang kakinya ke atas Siau Te duduk di sebuah kursi yang empuk sambil
memandang si gadis seperti kucing yang lagi mendekam di sudut kereta.
Gadis itupun sedang memandang ke arahnya, tiba-tiba ia berkata:
"Sebetulnya siapakah yang sedang mengejarmu dari belakang" Kenapa membuatmu sedemikian
takutnya?"
Siau Te sengaja berlagak tak mengerti, katanya:
"Siapa yang bilang kalau aku sedang di kejar orang?"
Gadis seperti kucing itu tertawa.
"Walaupun kau bukan orang baik, tapi tak nanti merampas kereta orang tanpa sebab, kau sengaja
mencari gara-gara dengan Oh Hui oleh karena kau justru tertarik oleh bendera merah di atas
kereta tersebut. Bersembunyi di dalam kereta milik Hong-ki-piaukiok bagaimanapun jua jauh lebih
aman dibandingkan bersembunyi di tempat lain"
Sepasang matanya memang lebih tajam dari mata kucing. Dalam sekilas pandangan ia dapat
menebak apa yang sedang direncanakan orang lain.
"Dari mana kau bisa tahu kalau aku tertarik oleh panji merah di atas kereta, dan bukannya tertarik
oleh kecantikanmu?", kata Siau Te sambil tertawa.
Gadis seperti kucing itu ikut tertawa.
"Bocah yang menyenangkan hati, sungguh manis selembar bibirmu itu!", bisiknya.
Ia berkedip-kedip sambil mempermainkan bola matanya, kemudian ujarnya kembali.
"Kalau kau memang tertarik olehku, mengapa tidak mendekatiku dan membopong tubuhku?"
"Aku takut!"
"Apa yang musti kau takuti?"
"Aku takut di kemudian haripun kau akan meninggalkan aku, seperti kau lagi membuang ingus!"
Gadis seperti kucing itu tertawa cekikikan.
"Aku hanya membuang laki-laki yang pada dasarnya memang seperti ingus, apakah kau juga lakilaki
seperti ingus?"
"Agaknya tidak!"
Tiba-tiba ia sudah duduk di sisinya dan sekejap kemudian telah membopong tubuhnya bahkan
kemudian memeluknya erat-erat.
Dengan pengalaman hidupnya yang penuh kesengsaraan dan penderitaan, semenjak kecil dalam
hatinya telah tertanam rasa tak puasnya terhadap segala persoalan, karena itu setiap perbuatan
yang dilakukan tanpa mempergunakan otak yang waras.
Karena itu jangan heran kalau sepasang tangannya tidak jujur......
Tiba-tiba gadis seperti kucing itu menarik muka, lalu berkata dengan dingin:
"Sungguh besar amat nyalimu!"
"Nyaliku selamanya memang tak pernah kecil!", jawab Siau Te.
"Tahukah kau siapa aku ini?"
"Kau adalah seorang gadis, seorang gadis yang cantik jelita!"
"Gadis yang cantik kebanyakan sudah menjadi milik orang lelaki, kau tahu aku adalah
perempuannya siapa?"
"Aku tak perduli dulu kau milik siapa, pokoknya sekarang kau adalah mutlak milikku!"
"Tapi....tapi.....bahkan siapa namamu pun aku tak tahu"
"Aku tak punya nama, aku....aku adalah seorang anak jadah yang tak punya ayah tak punya ibu!"
Menyinggung kembali persoalan ini, segulung rasa sedih dan benci kembali menyerbu ke luar dari
dasar hatinya. Ia merasa di dunia ini belum pernah ada orang yang memandang berharga dirinya,
lalu kenapa pula ia musti menghargai orang lain"
Gadis seperti kucing itu memperhatikan terus perubahan wajahnya, muka yang tampan itu sudah
memerah, seperti lagi malu, seperti juga lagi ketakutan, dengan suara gemetar ia lantas berbisik:
"Apa yang sedang kau pikirkan dalam hatimu" Bukankah kau hendak memperkosa aku?"
"Benar!"
Kepalanya sudah dijulurkan ke depan, mencari bibirnya yang mungil........
Tapi......"Kraaaak", daun jendela terbuka sendiri, seakan-akan terhembus angin, tapi menanti ia
mendongakkan kepalanya, dihadapannya telah bertambah lagi dengan seseorang, wajahnya yang
pucat tercermin rasa sedih yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Siau Te segera menghela napas panjang.
"Aaaai.......lagi-lagi kau telah datang!", keluhnya.
"Ya, aku telah datang kembali!", jawab Cia Siau-hong.
Ruang kereta itu sangat luas, sebetulnya paling tidak bisa muat enam orang, tapi sekarang walau
hanya tiga orangpun sudah terasa sesak sekali.


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu sejak kecil dulu kau adalah seorang kongcu romantis, perempuan simpananmu tak
terhitung jumlahnya", kata Siau Te.
Cia Siau-hong tidak menyangkal.
Tiba-tiba Siau Te melompat bangun, kemudian teriaknya keras-keras:
"Kenapa kau tak pernah mengijinkan akupun mempunyai seorang perempuan" Apakah kau
berharap agar selama hidup aku menjadi seorang hweesio.....?"
Mimik wajah Cia Siau-hong segera menampilkan suatu perubahan yang sangat aneh, lewat lama
sekali ia baru berkata:
"Kau tak perlu menjadi hweesio, tapi perempuan ini tak boleh kau jamah.......!"
"Kenapa?", teriak Siau Te penasaran.
Gadis seperti kucing itu mendadak menghela napas.
"Aaaaai......karena aku adalah miliknya!", ia berbisik.
Paras muka Cia Siau-hong pucat pias seperti mayat.
Gadis seperti kucing itu sudah duduk kembali sambil meraba pipinya, dengan lembut ia berkata:
"Beberapa tahun sudah kita tak bersua, kau lebih kurus dari dulu, apakah dikarenakan
perempuanmu terlalu banyak" Ataukah kau menjadi kurus karena memikirkan aku?"
Cia Siau-hong tidak bergerak, iapun tidak berbicara.
Siau Te mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, memandang adegan di depan matanya,
iapun tidak bergerak, iapun tidak bersuara.
Gadis seperti kucing itu kembali berkata:
"Kenapa kau tidak beritahu kepada adik kecil ini, siapakah aku dan apakah hubunganku
denganmu?"
Tiba-tiba Siau Te tertawa, tertawa terbahak-bahak.
"Apa yang kau tertawakan?", tegur gadis seperti kucing itu.
"Aku lagi mentertawakan kau sedari tadi aku sudah tahu siapakah kau, buat apa kau musti
menyuruh orang lain yang memberitahukannya kepadaku?"
"Kau benar-benar tahu siapakah aku?"
"Ya, kau adalah seorang pelacur!"
Kemudian sambil tertawa keras ia mendobrak pintu kereta dan melompat keluar.
Sambil tertawa keras, ia kabur terus tanpa tujuan.
Apakah Cia Siau-hong masih juga akan mengikutinya" Apakah orang di sepanjang jalan akan
menganggapnya sebagai orang gila"
Sekarang ia tak ambil perduli.
Ia kabur kembali ke pusat kota, merek emas 'Cong-goan-lo' masih memancarkan sinarnya seperti
sedia kala. Ia menerjang masuk ke dalam, menerjang naik ke atas loteng.
Di atas loteng tiada darah, tiada mayat, pun tiada bekas-bekas suatu pertarungan, hanya
ciangkwe gemuk masih berdiri di atas loteng, dan memandang keadaannya dengan terkejut.
Barusan Cho Han-giok dan dua bersaudara dari keluarga Wan kena dihajar sampai kabur"
Ataukah sama sekali tak sampai terjadi pertarungan"
Siau Te tidak bertanya, ia lalu menyeringai kepada ciangkwe gendut sambil katanya:
"Si tukang makan gratis kembali datang, tolong siapkan satu porsi sayur seperti apa yang pernah
ku pesan tadi, atau kalau tidak, kuhancurkan rumah makan Cong-goan-lo ini.
Meja perjamuan kembali dipersiapkan.
Delapan macam sayur, empat hidangan daging, empat hidangan sayuran telah dihidangkan untuk
teman minum arak, kemudian menyusul enam macam hidangan utama, yang terdiri dari Udang
Bago, Yan-oh, Hi-sit, ayam komplit, bebek komplit dan babi komplit, semacampun tak ada yang
kurang. Tapi kali ini hanya sesumpitpun Siau Te tidak mencobanya.
Dia minum arak.
Satu guci arak Tiok Yap-cing yang terdiri dari dua puluh kati, hampir diteguknya tinggal setengah
guci dalam waktu singkat.
Ia sudah hampir mabuk oleh arak.
Tapi dimanakah Cia Siau-hong"
Kenapa Cia Siau-hong tidak ikut datang" Apakah ia sedang menemani pelacur itu tidur" Ya, bila
ada seorang perempuan macam begitu yang menemaninya, kenapa ia musti datang lagi"
Siau Te tertawa lagi, tertawa tergelak-gelak.
Tiba-tiba dari luar loteng berkumandang suara roda kereta yang amat nyaring, serombongan
kereta perusahaan pengawalan barang sedang berjalan di jalan raya.
Ada kereta barang, ada pula panji perusahaan.
Piau-ki atau panji perusahaan merupakan pelindung bagi orang melakukan pengawalan, panji
merupakan pula kebanggaan dari perusahaan pengawalan barang, panji yang berkibar pada
kereta-kereta barang itu ternyata adalah Hong-ki (Panji merah).
Merah sekali warnanya, jauh melebihi merahnya darah.
Panji besar yang berkibar pada kereta barang pertama bersulamkan sebuah huruf "Thi" yang
sangat besar. Pada kebalikannya terukirlah sebilah pedang, pedang yang bersinar kilat serta dua
puluh delapan batang panah penembus awan.
Itulah panji komando dari congpiautau perusahaan pengawalan Hong-ki-piaukiok. Bila panji itu
tampak berkilat, itu berarti barang kawalannya kali ini dikawal langsung oleh Thi-khi-kuay-kiam, si
pedang kilat pribadi......
Bila panji tersebut sedang berkibar, maka para orang gagah dari golongan rimba hijau yang
berada di sekitar tempat itu, meski tak perlu menyingkir jauh-jauh, tiada orang pula yang mengusik
atau mengganggu barang kawalannya.
Justru karena ada panji itulah, maka pada delapan belas propinsi di utara dan selatan sungai
besar berdiri sebaris kantor-kantor cabang dari perusahaan Hong-ki-piaukiok.
Oleh sebab itulah dalam hal ini bukan cuma menyangkut martabat serta nama baik dari seseorang
saja, tapi mempengaruhi juga mangkuk kehidupan dari dua ribu lebih anggota keluarga anak
buahnya yang bekerja pada delapan belas perusahaan tersebut.
Perduli siapapun berani mencemooh panji tersebut, maka dua ribu lebih anggota perusahaan
Hong-ki-piaukiok akan mempertaruhkan jiwa raganya untuk melakukan pembelaan.
Sebab, siapapun yang berani mengganggu perusahaan itu, berarti pula mengganggu nafkah
pencarian dari dua ribu orang lebih, berarti mempengaruhi soal isi perut anggota keluarga dari dua
ribu orang anggotanya, siapa yang tak akan beradu jiwa, siapa yang tak akan menjadi nekad, bila
hal tersebut sudah menyangkut soal perut"
Siau Te kembali tertawa, tertawa tergelak-gelak, seperti secara tiba-tiba saja ia teringat akan suatu
kejadian yang lucu dan menarik hatinya.
Di tengah gelak tertawa yang keras, ia telah melompat turun dari atas loteng itu dan menerjang
masuk ke tengah barisan kereta barang, kemudian sekali tinju ia hajar piausu pelindung panji
hingga terjungkal ke tanah.
Belum puas sampai di situ, tubuhnya kembali melejit ke udara, disambarnya panji perusahaan itu,
lalu sekali menggetarkan sepasang tangannya, panji kebesaran dari perusahaan Hong-ki-piaukiok
yang sudah termashur namanya di utara dan selatan sungai besar itupun patah menjadi dua
bagian. Ia membuang panji yang sudah patah itu dan diinjak-injak dengan kakinya hingga hancur.
ooooOOOOoooo Bab 21. Membunuh Tiada Ampun
Suara roda kereta yang berputar, suara derap kaki kuda yang ramai, suara teriakan petugas
mencari jalan, tiba-tiba berhenti serentak dalam waktu yang hampir bersamaan.
Awan gelap menyelimuti sang surya di angkasa, serentetan kilat melejit di balik awan, dan suara
guntur menggelegar memecahkan kesunyian, menggetarkan perasaan orang dan memekakkan
telinga siapapun.
Tapi semua orang seolah-olah sudah tidak mendengar suara guntur lagi, semua orang berdiri
tertegun dengan mata terbelalak lebar, dengan mata setengah melotot mereka awasi pemuda di
atas atap kereta, serta panji kebesaran mereka yang patah dan robek akibat diinjak-injak.
Tak seorangpun yang pernah menduga bahwa peristiwa semacam ini bisa menimpa diri mereka,
tak ada orang yang bisa menduga kalau dalam dunia dewasa ini betul-betul masih terdapat
manusia gila yang tak doyan hidup semacam dia, sehingga berani melakukan perbuatan semacam
itu. Piausu pelindung panji yang kena ditinju hingga terjungkal dari pelana kudanya itu sudah meronta
dan merangkak bangun dari tanah.
Orang itu she Thio bernama Si, sudah dua puluh tahun melakukan pengawalan barang,
selamanya ia melakukan pekerjaan dengan ulet dan teliti.
Selama lebih dua puluh tahun hidup bergelimpangan di ujung golok, entah berapa banyak sudah
kejadian besar yang pernah di alaminya, karena ketenangan dan keuletannya menghadapi setiap
persoalan, maka rekan-rekannya menghadiahkan sebuah julukan Si-sim-bok-tau-jin (Manusia
kayu berhati ulet) kepadanya.
Itu bukan berarti dia bodoh, dungu dan tak berguna, tapi menunjukkan bahwa dalam menghadapi
persoalan apapun, dia dapat menjaga ketenangannya dan menghadapinya dengan hati yang
tenang. Tapi sekarang, Si-sim-bok-tau-jin sendiripun berdiri dengan wajah pucat dan sekujur tubuhnya
gemetar keras. Peristiwa ini benar-benar di luar dugaan siapapun, terlalu mengejutkan hati orang, kejadian itu
berlangsung begitu mendadak sehingga semua orang menjadi gelagapan serta tak tahu apa yang
musti dilakukan.
Waktu kejadian berlangsung, setiap orang merasakan hatinya sangat kalut, kalu tidak sekalipun
Siau Te memiliki kepandaian silat yang luar biasapun, belum tentu akan berhasil dengan
serangannya, sekalipun beruntung bisa membawa hasil yang diharapkan, sekarangpun tubuhnya
pasti telah dicincang menjadi berkeping-keping.
Menyaksikan perubahan paras muka dari orang-orang itu, bahkan Siau Te sendiripun tak mampu
tertawa, dia cuma merasa ada segulung hawa dingin yang menusuk tulang muncul dari dasar alas
kakinya dan menerjang naik ke atas kepala, seluruh tubuhnya menjadi dingin, kaku dan bahkan
mulai menggigil.
Kembali guntur menggelegar membelah angkasa.
Di tengah menggelegarnya guntur yang keras, lamat-lamat seperti terdengar ada orang
menyerukan kata "bunuh!", menyusul kemudian suara gemerincing berkumandang memecahkan
keheningan, puluhan bilah golok dan pedang bersama-sama diloloskan dari sarungnya.
Suara nyaring yang berkumandang kali ini, kedengarannya jauh lebih mengerikan dari pada suara
guntur yang menggelegar di tengah hari tadi.........
Cahaya golok mengkilap bersama, lalu meluncur datang dari depan, belakang, kiri, kanan, empat
arah, delapan penjuru. Meskipun langkah kaki mereka amat cepat tapi teratur dan tidak kacau,
dalam sekejap mata kereta kuda tersebut telah berada dalam kepungan.
Cukup berdasarkan barisan penyerang yang melakukan pengepungan secara teratur ini, bisa
diketahui bahwa nama besar Hong-ki-piaukiok bukan diperoleh secara kebetulan saja.
Thio Si pun lambat laun dapat menenangkan kembali hatinya, empat puluh tiga orang piausu dan
peneriak jalan dari perusahaannya sedang menunggu dirinya, asal ia memberi komando, maka
golok dan pedang akan diayunkan bersama untuk mencincang tubuh lawan, darah segar segera
akan berhamburan membasahi permukaan tanah.
Dalam keadaan demikian, Siau Te malah tertawa.
Ia sama sekali tidak takut.
Pada hakekatnya dia memang datang untuk mencari kematian, walaupun tadi ia masih rada
tegang dan takut, tapi sekarang perasaannya malah begitu kendor, begitu gembira hingga sukar
dilukiskan dengan kata-kata.
.......Seluruh kejayaan, kenistaan, budi maupun dendam yang membuat pusing orang dalam jagad,
kini sudah terbuang jauh-jauh dari pikirannya.
.......Aku adalah seorang sinting juga boleh, seorang anak jadah yang tidak berayah dan beribu
juga boleh, semuanya tak menjadi soal lagi baginya.
Dengan amat santainya ia mulai duduk di atas atap kereta, kemudian sambil tertawa terbahakbahak
serunya: "Senjata kalian telah diloloskan dari sarung, kenapa tidak datang ke mari untuk membunuhku?"
Persoalan ini merupakan persoalan yang semua orang ingin tanyakan kepada Thio Si, sebab
dalam perusahaan ia terhitung orang paling tua, paling berpengalaman, setiap kali congpiauthau
tak di rumah, maka para piausu selalu menganggapnya sebagai pemimpin mereka.
Thio Si masih agak sangsi, ia berkata:
"Bukan suatu masalah yang sulit untuk membunuhmu, dalam sekali bergerak saja mungkin
tubuhmu sudah akan kami cincang dan hancur berkeping-keping, cuma saja....."
"Cuma saja kenapa?", seorang piausu bersenjata Siang-bun-kiam yang berada di sampingnya
segera bertanya.
Thio Si termenung sejenak, lalu sahutnya:
"Aku lihat orang ini memang bermaksud datang untuk menghantar kematiannya sendiri!"
"Kalau memang begitu, lantas apa yang musti kita lakukan?"
"Bila orang itu berniat buruk untuk mati, maka di balik persoalan itu pasti ada rahasia lain yang
bagaimanapun juga musti kita selidiki dulu sampai jelas, apalagi siapa tahu kalau di belakangnya
masih ada orang lain yang mendalangi perbuatannya ini"
Piausu bersenjata Siang-bun-kiam itu segera tertawa dingin.
"Kalau begitu mari kita lenyapkan dulu sepasang tangan dan kakinya sebelum memikirkan yang
lain" Pedangnya segera dikembangkan, lalu menerjang ke muka paling dulu. Ia menusuk jalan darah
Huan-tiau-hiat di atas lutut Siau Te.
Siau Te sedikitpun tidak takut mati, tapi sebelum ajalnya tiba, ia enggan dihina orang, tiba-tiba
tubuhnya mencelat ke udara, lalu menendang pedang lawan.
~Bersambung ke Jilid-14
Jilid-14 Tendangan yang dilancarkan secara tiba-tiba itu menyambar tanpa menimbulkan bayangan, itulah
ilmu Hui-ti-liu-seng-tiok (Tendangan kilat kaki meteor), salah satu ilmu sakti dari tujuh ilmu sakti
lainnya milik dari keluarga Buyung di daerah Kanglam, jangankan hanya manusia, ibaratnya
meteorpun bisa ditendangnya, jadi bisa dibayangkan betapa cepatnya tendangan tersebut.
Tapi kecuali pedang siang-bun-kiam tersebut, masih ada dua puluh tujuh bilah golok kilat dan lima
belas bilah senjata tajam yang sedang menantikan dirinya.
Sewaktu pedang siang-bun-kiam itu mencelat ke belakang, ada tiga bilah golok dan dua bilah
pedang telah menusuk tiba, yang ditusuk adalah bagian-bagian tubuhnya yang mematikan.
Cahaya golok beterbangan seperti menari, cahaya pedang menyambar seperti rantai, tiba-tiba
terdengar........."Triiiiiing!", ketiga bilah golok dan dua bilah pedang itu mendadak telah patah
semua menjadi dua bagian.
Ujung golok mata pedang segera rontok jatuh ke bawah, menyusul menggelinding lewat dua biji
benda bulat yang melejit-lejit di atas atap kereta dan menggelinding ke bawah.
Ternyata dua biji benda bulat itu adalah dua biji mutiara.
Sekarang, di atas atap kereta telah bertambah seseorang, dia berwajah pucat dan di tangannya
masih membawa sekuntum bunga mutiara yang biasanya dipakai untuk menghias rambut kaum
wanita, cuma bagi orang yang bermata tajam, dengan cepat akan diketahui bahwa butiran-butiran
mutiara itu telah berkurang lima butir.
Lima bilah senjata telah patah, tapi suara yang terdengar hanya sekali, ternyata orang ini telah
mempergunakan lima biji mutiara yang kecil untuk mematahkan lima bilah senjata dalam waktu
yang hampir bersamaan.
Sebagian besar pekerja dalam perusahaan pengawalan barang rata-rata adalah jago kawakan
yang luas dalam pengalaman, tapi kepandaian semacam itu bukan saja tak pernah dilihatnya,
bahkan dibayangkanpun belum pernah.
Suara guntur kembali menggelegar di udara, hujan deras mulai turun mengguyur seluruh
permukaan tanah.
Orang itu masih berdiri tak bergerak di tempat semula, wajahnya yang kaku seakan-akan sama
sekali tidak beremosi.
Dengan dingin Siau Te memandang ke arahnya, lalu berkata:
"Lagi-lagi kau yang datang!"
"Ya, lagi-lagi aku yang datang!", orang itu menyahut.
Hujan deras turun dengan hebatnya, butiran-butiran air hujan menitik di atas wajah dan kepala
mereka serta membasahi sekujur tubuhnya, wajah-wajah itu entah memancarkan rasa sedihkah"
Gembirakah" Gusarkah" Atau benci" Siapapun tak dapat melihatnya.
Semua orang hanya tahu bahwa orang itu pastilah seorang jago tangguh yang ilmu silatnya sukar
diukur dengan kata-kata, orang itu pasti mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pemuda
yang telah mematahkan panji perusahaan mereka.
Thio Si berhasil menghalangi rekan-rekannya untuk maju, bahkan piausu bersenjata siang-bunkiam
yang masih penasaranpun tak berani berkutik lagi secara sembarangan, dia hanya bertanya:
"Sobat, siapakah namamu?"
"Aku she Cia!"
P Hati Budha Tangan Berbisa 4 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 15
^