Pendekar Gelandangan 8

Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Bagian 8


aras muka Thio Si segera berubah hebat, jago lihay yang berasal dari marga Cia cuma satu.
"Apakah kau datang dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng, lembah Cui-im-kok, telaga Liok-suioh?"
"Benar!"
"Apakah kau adalah Sam sauya dari keluarga Cia?", suara Thio Si kedengaran makin gemetar.
"Ya, akulah Cia Siau-hong!"
Cia Siau-hong Tiga suku kata ini bagaikan sebuah 'Hu' atau ajimat yang bisa mengusir gangguan dari pelbagai
siluman. Ketika mendengar nama itu, tak seorang manusiapun berani berkutik lagi.
Tiba-tiba seseorang berlarian datang di tengah curahan hujan deras sambil teriaknya keras-keras:
"Congpiautau telah datang......congpiautau telah datang........."
Tiga puluh tahun berselang, ketika para penyamun dari delapan belas markas bukit Lian-san
sedang jaya-jayanya meraja-lela, tiba-tiba muncul seseorang dengan seekor kuda yang datang
menyatroni bukit mereka.
Dengan sebilah pedang perak dan dua puluh delapan panah penembus awannya ia berhasil
menyapu rata delapan belas markas penyamun di bukit Lian-san rata dengan tanah, ada sembilan
belas luka besar dan kecil yang di deritanya ketika itu.
Tapi ia belum sampai mati, ternyata ia masih memiliki sisa tenaga untuk mengejar Pa Thian-pa,
penyamun paling ganas dari gerombolan bukit Lian-san yang sempat melarikan diri.
Setelah menempuh perjalanan sehari semalam lamanya, ia berhasil juga memenggal batok kepala
Pa Thian-pa pada suatu tempat delapan ratus li jauhnya dari bukit semula.
Orang itu bukan lain adalah Congpiautau dari perusahaan Hong-ki-piaukiok Thi-khi-kuay-kiam (si
pedang kilat) Thi Tiong-khi, pemilik dari perusahaan pengawalan barang itu.
Maka ketika mereka semua mendengar bahwa congpiautau-nya telah datang, empat puluhan
orang piausu dan peneriak jalan bersama-sama menghembuskan napas lega.
Mereka semua percaya bahwa congpiautau-nya pasti dapat menyelesaikan persoalan ini.
Cia Siau-hong menghela napas pula dalam hatinya.
Ia tahu, dalam peristiwa ini Siau Te-lah yang bersalah, tapi ia tak bisa mengatakan bahwa ia
enggan mengurusi persoalan ini, sebab bagaimanapun juga, mau tak mau ia musti mengurusinya
juga. Ia tak dapat membiarkan bocah itu tewas di tangan orang lain, karena orang itu adalah satusatunya
orang yang ia merasa pernah berbuat hal yang tak wajar kepadanya...... kepada anaknya.
Butiran air hujan masih menyelimuti udara bagaikan sebuah tirai.
Empat orang manusia dengan merentangkan payung berjalan lambat-lambat menembusi hujan
deras, orang yang di paling depan adalah seorang pemuda berbaju hijau, berkaus kaki putih
dengan sepatu hitam yang berwajah lebar.
Ternyata dia adalah si pemuda polos yang duduk semeja dengan Cho Han-giok ketika berada di
atas loteng Cong-goan-lo tadi.
Kenapa Thi Tiong-khi tidak datang" Kenapa ia harus datang"
Setelah bertemu dengan pemuda tersebut, semua piausu serta peneriak jalan dari perusahaan
Hong-ki-piaukiok bersama-sama membungkukkan badan memberi hormat, wajah mereka semua
menunjukkan sikap menghormat yang amat besar, semua orang tunduk kepadanya dan
menyanjung dirinya.
Kemudian dengan penuh rasa hormat, semua orang menyapa bersama:
"Congpiautau!"
Apakah Cong-piautau dari perusahaan Hong-ki-piaukiok telah diganti oleh seorang pemuda polos
yang tampak agak kebodoh-bodohan ini"
Dari atas sampai bawah dua ribu orang anggota perusahaan Hong-ki-piaukiok, kebanyakan
terhitung jago-jago kenamaan yang sudah punya pengalaman luas serta reputasi yang hebat,
apakah hanya mengandalkan seorang pemuda polos yang jujur semacam ini, maka semua jagojago
kawakan tersebut bersedia mendengarkan perintahnya"
Tak mungkin hal ini berlangsung dengan begitu saja, tentu saja ada alasan lain lagi.
Bendera perusahaan di patah orang, piausu-piausunya dihina orang, sekalipun Thio Si adalah
seorang jago kawakan, tak urung dibikin gelagapan juga oleh peristiwa tersebut.
Tapi pemuda itu ternyata masih dapat berjalan mendekat dengan langkah yang sangat lambat,
wajahnya yang lebar sedikitpun tidak menunjukkan rasa gusar, gugup atau kaget, ketenangan
serta ketebalan iman yang dimilikinya sungguh luar biasa sekali, jarang ada seorang pemuda
berusia dua puluh tahunan yang sanggup melakukan hal seperti ini.
Hujan masih turun dengan derasnya, tanah mulai berlumpur dan kotor.....
Pemuda itu masih berjalan amat lambat, namun di atas alas sepatunya yang hitam dengan kaus
yang berwarna putih hanya sedikit yang ternoda oleh lumpur, bila tidak memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sempurna, jangan hal ini bisa dilakukannya.
Perasaan Cia Siau-hong mulai tertekan, mulai terasa tak enak, seakan-akan terjatuh dari suatu
tempat yang tinggi.
Ia telah mengetahui bahwa kemungkinan besar pemuda ini jauh lebih sukar dihadapi daripada Thi
Tiong-khi. Untuk membereskan persoalan ini jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang.
Ternyata pemuda itu tidak menegurnya, bahkan melirik sekejap ke arah mereka pun tidak.
Walaupun dengan jelas ia tahu kalau bendera perusahaannya dipatahkan orang, walaupun tahu
kalau ada orang yang mematahkan bendera perusahaannya ada di depan mata, tapi dia seolaholah
tidak mengetahuinya, seakan-akan tidak melihatnya.
Sambil memegang payungnya, pelan-pelan ia berjalan mendekat, lalu bertanya dengan suara
hambar: "Piausu manakah yang hari ini bertanggung jawab melindungi bendera perusahaan?"
Thio Si segera menampilkan dirinya ke depan, setelah memberi hormat, menyahut:
"Aku!"
"Berapa usiamu tahun ini?", kembali pemuda itu bertanya sambil menatapnya lekat-lekat.
"Aku termasuk shio sapi, jadi tahun ini genap berusia lima puluh tahun.....!"
Pemuda itu manggut-manggut, lalu berkata lagi:
"Sudah berapa tahun kau bekerja dalam perusahaan Hong-ki-piaukiok kita ini?"
"Semenjak lo-piautau mendirikan perusahaan pengawalan barang ini, aku telah bekerja di sini!"
"Ehmmm.....! Itu berarti sudah dua puluh enam tahun lamanya dari sekarang?"
"Ya, sudah dua puluh enam tahun lamanya!"
Pemuda itu menghela napas panjang.
"Watak mendiang ayahku keras lagi berangasan, kau bisa berbakti kepadanya selama dua puluh
enam tahun jangka waktu tersebut sudah terhitung tidak gampang"
Thio Si menundukkan kepalanya rendah-rendah dan memperlihatkan wajah sedih, lama sekali ia
tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Mendengar sampai di situ, Siau Te pun telah mengetahui bahwa lo-piautau yang mereka
maksudkan tak lain adalah Thi-khi-kuay-kiam Thi Tiong-khi yang mendirikan perusahaan Hong-kipiaukiok,
pemuda itu menyebutnya sebagai "mendiang ayahku" berarti pula dia adalah putranya.
Ayah meninggal anak menggantikan, tak heran kalau dengan usianya yang masih muda ia telah
memegang tampuk pimpinan dalam perusahaan tersebut.
ooooOOOOoooo Bab 22. Hukum Yang Tegas
Pengaruh Thi-lo-piautau masih tertanam dalam hati masing-masing orang, karena itu semua orang
tak bisa tidak harus tunduk kepadanya.
Yang mengherankan, kenapa dalam keadaan dan situasi seperti ini tiba-tiba saja ia menyinggung
soal rumah tangganya, sedang soal bendera perusahaan yang patah dan piausu yang dihina
malahan tidak disinggungnya sama sekali.
Berbeda dengan Cia Siau-hong, ia dapat menangkap bahwa di balik pertanyaan sekitar rumah
tangga perusahaannya itu, pemuda tersebut sesungguhnya mempunyai maksud yang mendalam.
Kesedihan yang mencekam wajah Thio Si, tampak jelas bukan dikarenakan terkenang oleh budi
kebaikan Thi lo-piautau, melainkan merasa murung dan menyesal karena ia telah melalaikan
kewajiban serta tanggung jawabnya.
Pemuda itu menghela napas panjang, tiba-tiba tanya lagi:
"Bukankah kau menikah pada usia tiga puluh sembilan tahun?"
"Benar!", jawab Thio Si.
"Konon istrimu lemah lembut dan amat pintar, terutama dalam bidang masak memasak"
"Beberapa macam sayur yang sederhana memang masih bisa dimasak olehnya dengan lumayan!"
"Berapa anak yang kau peroleh darinya?"
"Tiga orang, dua lelaki satu perempuan!"
"Asal ada seorang ibu bijaksana yang mendidik anak-anaknya, di kemudian hari anak-anakmu itu
pasti dapat sukses dalam usahanya"
"Semoga saja demikian!"
"Ketika mendiang ayahku meninggal dunia, ibuku selalu merasa kekurangan seorang pembantu di
sisinya, bila kau tidak keberatan, suruhlah istrimu pindah ke ruang belakang untuk menemani dia
orang tua"
Thio Si jatuhkan diri berlutut, kemudian......."Blang, blang, blang!", menyembah tiga kali di hadapan
pemuda tersebut seolah-olah ia merasa berterima kasih sekali atas kebijaksanaan dari si anak
muda itu mengaturkan keluarganya.
Pemuda itu tidak menghalangi perbuatannya, menunggu ia selesai menyembah, baru tanyanya
lagi: "Apakah kau masih ada pesan lainnya?"
"Tidak ada lagi!"
Sekali lagi pemuda itu menatapnya lekat-lekat, kemudian setelah menghela napas, katanya sambil
mengulapkan tangannya:
"Kalau begitu, pergilah!"
"Baik!"
Ketika ucapan tersebut selesai diutarakan, tiba-tiba tampak butiran darah memercik ke manamana,
menyusul kemudian Thio Si roboh terkapar di tanah.
Tangannya masih menggenggam sebilah pedang, pedang yang telah menggorok leher sendiri.
Sepasang tangan dan kaki Siau Te mulai dingin.
Hingga sekarang ia baru mengerti kenapa pemuda tersebut mengajukan pertanyaan sekitar rumah
tangganya dalam keadaan begini.
Peraturan hukum dalam perusahaan Hong-ki-piaukiok memang ketat, siapapun di dunia ini
mengetahuinya. Thio Si telah melalaikan tanggung-jawabnya untuk melindungi panji perusahaan,
sudah sepantasnya kalau ia dijatuhi hukuman mati.
Tapi bila kita lihat dari kemampuan pemuda tersebut untuk membuat seorang kakek yang susah
payah bekerja selama dua puluh enam tahun dalam perusahaan menggorok leher sendiri dengan
hati yang rela, bahkan berterima kasih, dapat diketahui bahwa kepintaran pemuda itu serta
ketegasannya menghadapi persoalan jauh di luar dugaan siapapun.
Darah yang berceceran di tanah dalam sekejap mata telah terguyur bersih oleh aliran hujan yang
deras, namun rasa jeri dan ngeri yang terpancar di wajah piausu-piausu tersebut bagaimanapun
derasnya hujan juga tak akan mengguyurnya hingga lenyap.
Terhadap congpiautau yang masih muda belia ini, jelas orang menaruh perasaan jeri dan takut
yang amat tebal.
Air muka pemuda itu masih tetap tenang dan sama sekali tak beremosi, kembali ujarnya dengan
tawar: "Oh piautau, di mana kau?"
Seorang laki-laki yang selama ini berdiri di belakang sambil menundukkan kepala dan menutupi
wajahnya dengan payung, segera menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar perkataan itu,
berlutut di atas genangan air hujan yang bercampur dengan darah.
"Oh Hui ada di sini!", sahutnya lirih.
Pemuda itu sama sekali tidak berpaling untuk melihat sekejap ke arahnya, kembali tanyanya:
"Sudah berapa lama kau bekerja di perusahaan kami?"
"Belum sampai sepuluh tahun!"
"Berapa banyak gaji yang kau terima setiap bulannya?"
"Menurut peraturan seharusnya adalah empat belas tahil, tapi berkat kebaikan congpiautau, setiap
bulannya aku mendapat tambahan sebesar enam tahil perak"
"Berapa harga pakaian ditambah ikat pinggang dan topi yang kau kenakan sekarang?"
"Dua......dua belas tahil!", jawab Oh Hui ragu-ragu.
"Di belakang kota sebelah barat kau punya sebuah gedung besar, berapa besar biaya
pengeluaranmu setiap bulannya?"
Wajah Oh Hui mulai mengejang keras, air hujan dan peluh dingin bercucuran bersama membasahi
sekujur badannya, bahkan suarapun ikut menjadi parau.
"Aku tahu kau adalah seorang yang amat memperhatikan soal makan dan minum", kata pemuda
itu lagi, "sampai dapur yang dipakai dalam rumahpun merupakan dapur rumah makan Cong-goanlo
yang kau boyong pulang dengan membayar tinggi, tanpa dua tiga ratus tahil perak sebulannya
aku rasa sulit bagimu untuk melanjutkan hidup"
"Semua.......semuanya itu dibayar orang lain untukku, aku.....aku tak pernah ke luar ongkos
sendiri, walau cuma satu-dua tahil pun!"
Pemuda itu segera tertawa.
"Tampaknya kepandaianmu cukup hebat juga, sehingga orang lain begitu rela mengeluarkan uang
beberapa ratus tahil perak setiap bulannya untuk kau gunakan, cuma........."
Senyuman yang menghiasi wajahnya lambat-laun menjadi lenyap, katanya lebih jauh:
"Kawan-kawan dalam dunia persilatan mana bisa tahu kalau kau memiliki kepandaian sehebat ini"
Ketika mereka saksikan seorang piausu dari perusahaan Hong-ki-piaukiok pun bisa hidup mewah
semacam itu, di hati kecilnya mereka pasti keheranan, kenapa Hong-ki-piaukiok bisa begitu sosial
dan punya uang banyak" Jangan-jangan mereka memang bersekongkol dengan para orang
gagah dari golongan Liok-lim sehingga berhasil mendapat untung besar?"
Oh Hui yang mendengar ucapan-ucapan tersebut menjadi menggigil saking takutnya, sambil
menyembah berulang kali serunya:
"Lain kali aku pasti tak akan melakukan perbuatan semacam itu lagi, aku sudah tobat, lain kali
pasti tak akan diulang lagi"
"Kenapa" Apakah disebabkan orang yang mengeluarkan uang bagimu itu sudah direbut orang
lain?" Seluruh wajah Oh Hui telah berlumuran darah, tapi ia tak berani mengakui, juga tak berani
menyangkal. "Ada orang mengeluarkan uang untukmu gunakan, memberi kepuasan bagimu, sesungguhnya hal
ini merupakan suatu perbuatan yang baik", kata pemuda tersebut, "dan tidak semestinya
perusahaan menguruskan urusan pribadimu, tapi kau ternyata membiarkan orang lain merampas
milikmu dengan mata mendelong saja, bahkan membalas dendampun tak berani, bukankah
perbuatanmu itu sama artinya dengan melenyapkan kegagahan sendiri dengan mengobarkan
kehebatan orang lain?"
Mencorong sinar tajam dari mata Oh Hui, dengan cepat ia berseru dengan suara lantang:
"Bocah keparat itu bukan lain adalah orang yang telah menghancurkan panji perusahaan kita!"
"Kalau memang begitu, kenapa kau tidak menghampirinya dan membunuh orang itu?"
"Baik!"
Sejak tadi ia memang sudah ingin melampiaskan rasa dendamnya, maka setelah congpiautau
mereka menjadi tulang punggungnya, iapun tak usah takut-takut lagi.
Maka sambil mencabut ke luar golok yang tersoren di pinggangnya, ia melompat ke depan.
Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat lewat, sebilah pedang telah menusuk datang, tusukan
tersebut agaknya tidak begitu cepat.
Tapi menanti dia ingin menghindarkan diri, pedang tersebut sudah menusuk ketiak kirinya, hingga
tembus ke dalam tenggorokan. Darah segar muncrat ke empat penjuru dan menyirami seluruh
permukaan tanah. Bahkan ia hampir tidak melihat, siapakah yang telah melancarkan tusukan
tersebut. Tapi orang lain dapat melihat kejadian tersebut dengan amat jelas.
Baru saja Oh Hui melompat ke udara, tiba-tiba pemuda itu meloloskan pedang yang tersoren di
pinggang salah seorang di belakangnya, kemudian pedang itu ditusukkan ke depan sekenanya,
sejak permulaan sampai akhir, ia tak pernah berpaling untuk memperhatikan lawannya barang
sekejappun. Meskipun demikian, tusukan itu dilakukan dalam waktu yang tepat dengan arah sasaran yang
menakjubkan. Tapi, yang betul-betul menakutkan bukanlah tusukan pedangnya, melainkan kekejaman dan
ketidak berperasaannya untuk melancarkan serangan tersebut.
Tiba-tiba Siau Te tertawa, tertawa tergelak-gelak, kemudian berkata:
"Kau membunuh anak buahmu sendiri, memang dianggap bisa membuat hatiku takut"
Haaaaahhhh........ haaaaahhhhh...... haaaahhhhhh....... sekalipun kau bunuh ke dua ribu anak
buah perusahaan Hong-ki-piaukiok hingga habis juga tiada sangkut pautnya dengan aku!"
Pemuda itu sama sekali tidak memperdulikan dirinya, hingga sekarangpun ia tak pernah
memandang sekejap ke arahnya, seakan-akan ia tak tahu kalau panji perusahaannya dipatahkan
oleh orang itu.
Kembali ia bertanya:
"Apakah Cia Siau-hong, Cia tayhiap juga telah datang?"
Piausu yang selama ini berdiri di belakang sambil memegangkan payung baginya itu segera
menyahut: "Benar!"
"Siapakah Cia tayhiap itu?"
"Orang yang berdiri di atas kereta itu!"
"Aaaahh, tidak benar!"
"Tidak benar?"
"Dengan kedudukan serta nama besar Cia tayhiap, bila ia telah berada di sini dan menjumpai
peristiwa semacam ini, sejak tadi ia pasti sudah tampil ke depan dan melakukan penilaian
terhadap peristiwa ini, kenapa ia cuma berdiri berdiam diri saja di sana" Cia tayhiap bukan
seorang manusia yang suka melihat kemalangan orang lain!"
Tiba-tiba Cia Siau-hong tertawa, katanya:
"Majikan yang bagus!"
Kereta itu sebenarnya berada empat kaki jauhnya dengan dihalangi oleh tujuh - delapan belas
orang, tapi menunggu ia telah menyelesaikan kata-katanya itu, tahu-tahu ia sudah berada di
hadapan pemuda tersebut, bahkan sedemikian dekatnya, sehingga bila ia ulurkan tangannya
segera dapat menepuk bahunya.
Walaupun paras muka pemuda itu agak berubah, tetapi dengan cepat pulih kembali dalam
ketenangannya, ia telah mundur ke belakang meski cuma setengah langkahpun.
"Apakah congpiautau juga she Thi?", Cia Siau-hong segera menegur.
"Aku Thi Kay-seng!"
"Akulah Cia Siau-hong!"
Walaupun para piausu telah tahu kalau orang ini berilmu silat amat tinggi, walaupun mereka tahu
Cia Siau-hong juga telah berada di situ, tapi setelah mendengar pengakuannya sendiri itu, tak
urung wajah mereka berubah juga.
Thi Kay-seng segera memberi hormat, lalu berkata:


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semasa masih hidupnya dulu, mendiang ayahku seringkali membicarakan soal jiwa pendekar
yang dimiliki Cia Tayhiap kepada diri boanpwee, kata beliau dengan sebilah pedangnya Cia
Tayhiap tak pernah menjumpai tandingan di dunia ini!"
"Ilmu pedangmu juga tidak terhitung jelek!", kata Cia Siau-hong.
"Tidak berani......."
"Ilmu pedang yang bisa dipakai untuk membunuh orang adalah ilmu pedang yang baik"
"Tapi membunuh orang, bukanlah bertujuan membunuh orang untuk menanam musuh, lebih-lebih
tidak bermaksud membunuh orang untuk menyenangkan hati!"
"Lantas, biasanya kau membunuh orang karena apa?"
"Karena tiga hal yang ditanamkan mendiang ayahku kepada kita semua sewaktu mendirikan
perusahaannya dahulu!"
"Tiga hal mana?"
"Tanggung jawab, prestasi dan kebanggaan!"
"Bagus, ternyata kau memang gagah perkasa dan berjiwa ksatria, tak heran nama baik Hong Kipiaukiok
selalu berdiri tangguh selama dua puluh enam tahun tanpa goyah sedikitpun"
Thi Kay-seng segera membungkukkan badannya mengucapkan terima kasih, setelah itu ujarnya
dengan serius: "Mendiang ayahku seringkali memberi nasehat kepada kami, bila hendak menggunakan nama
perusahaan sebagai kebanggaan, maka setiap saat harus mengingat tiga hal itu di dalam hati,
kalau tidak lalu apa bedanya dengan para pencoleng dan perampok!"
Wajahnya berubah semakin serius, ujarnya lebih jauh:
"Oleh karena itu, barang siapa berani melanggar ketiga hal tersebut di atas, maka dia harus
dibunuh tanpa ampun!"
"Ehmmmm......, suatu kata dibunuh tanpa ampun yang bagus!"
"Thio Si terlalu teledor dan bertindak gegabah, melalaikan tanggung jawabnya melindungi panji
perusahaan. Oh Hui menjerumuskan diri ke lumpur kehinaan, tidak mempertahankan prestasi diri,
maka dari itu walaupun mereka adalah orang-orang lama mendiang ayahku, boanpwe tak akan
pilih kasih untuk menghukum mereka juga"
Dengan sorot mata yang tajam ia menetap Cia Siau-hong lekat-lekat, kemudian katanya lagi:
"Nama besar Sin-kiam-san-ceng tersohor di seantero jagat, aku percaya kalianpun memiliki
peraturan rumah tangga yang bisa dibanggakan!"
Cia Siau-hong tidak dapat menyangkalnya.
"Jika anak keturunan perkampungan Sin-kiam-san-ceng berani melanggar peraturan, apakah
merekapun akan dihukum?", tanya Thi Kay-seng lebih jauh.
Sekali lagi Cia Siau-hong tak dapat menyangkal.
"Perduli peraturan dari perguruan manapun, bukankah semuanya tidak mengijinkan anak buahnya
merusak peraturan persilatan dan berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat?", kata Thi
Kay-seng kembali.
Ditatapnya lawannya dengan sorot mata setajam sembilu, lebih-lebih lagi ketajaman lidahnya
ketika berbicara.
"Membuat huru-hara di tengah kota, tanpa sebab mencari urusan, bukan cuma melukai orang,
merusak pula panji perusahaan yang merupakan kebanggaan orang lain dan dipertahankan
dengan jiwa raga oleh segenap anggotanya, terhitungkah perbuatan semacam ini sebagai suatu
perbuatan yang merusak peraturan dunia persilatan?"
"Ya, benar!", jawaban Cia Siau-hong amat sederhana dan langsung.
Dari balik sinar mata Thi Kay-seng untuk pertama kalinya memancarkan sinar kaget dan
tercengang. Ia telah mempersiapkan kolong tali yang siap digunakan untuk menjirat tengkuk Siau Te,
semestinya Cia Siau-hong memahami maksud tujuannya, kenapa ia tidak mencoba untuk
menahan jiratan tali itu dari atas leher Siau Te"
Tapi bagaimanapun juga, kesempatan yang sangat baik ini tak boleh dibiarkan lewat dengan
begitu saja, segera desaknya lebih jauh.
"Bila tidak memperdulikan keamanan orang banyak, tanpa sebab merusak peraturan dunia
persilatan, manusia macam ini telah melanggar kesalahan apa?"
"Kesalahan yang pantas dijatuhi hukuman mati!", jawaban dari Cia Siau-hong tetap singkat dan
langsung. Thi Kay-seng segera menutup mulutnya rapat-rapat.
Kini tali itu sudah menjirat tengkuk Siau Te, diapun telah memahami maksud Cia Siau-hong.
Walaupun jiwa Siau Te berharga, nama baik Sin-kiam-san-ceng jauh lebih berharga, maka
seandainya dia harus memilih salah satu di antaranya, terpaksa ia harus mengorbankan selembar
jiwa Siau Te. Sekarang Thio Si dan Oh Hui telah mati oleh dosanya, maka sudah barang tentu Siau Te pun
harus mati karena perbuatannya.
Sebagai kawanan jago persilatan yang cukup kawakan, pengalaman dari para piausu perusahaan
Hong-ki-piaukiok itu cukup luas, tentu saja merekapun dapat memahami akan hal tersebut, tanpa
sadar tangan mereka mulai meraba gagang golok dan bersiap sedia melancarkan tubrukan ke
depan. Thi Kay-seng kembali ulapkan tangannya berulang kali sambil berseru:
"Mundur, mundur, kalian semua mundur dari sini!"
Tak seorangpun yang mengerti kenapa ia berbuat demikian, tapi tak seorang pula yang berani
membangkang perintahnya.
Dengan hambar Thi Kay-seng berkata:
"Dosa itu dijatuhkan sendiri oleh Cia tayhiap, maka selama Cia tayhiap masih berada di sini, buat
apa kalian musti lakukan baginya?"
"Siapapun tak perlu turun tangan!", tiba-tiba Siau Te berteriak keras-keras.
Kemudian setelah menatap Cia Siau-hong lekat-lekat, ia tertawa tergelak, serunya:
"Cia Siau-hong, kau memang tak malu disebut Cia Siau-hong, kau memang sangat baik menjaga
diriku, aku merasa amat berterima kasih sekali!"
Di tengah gelak tertawanya yang amat keras, ia melompat turun dari atap kereta dan menerjang
ke tengah kawanan manusia......"Kraaak!", lengan seorang piausu telah dicengkeram dan
dipatahkan olehnya, pedang yang berada di tangan orang itu segera berpindah tangan, kemudian
tanpa berpaling lagi ke arah Cia Siau-hong, ia memutar mata pedang tersebut dan menggorok ke
atas leher sendiri.
Wajah Cia Siau-hong yang pucat pasi tetap tanpa emosi, tubuhnya dari atas sampai bawah sama
sekali tak bergerak, tapi semua orang mendengar suara desingan tajam berkumandang
memecahkan keheningan menyusul......."Kraaak!", pedang di tangan Siau Te tahu-tahu sudah
tinggal gagangnya, sedang mata pedang yang tajam telah patah dan jatuh ke bawah menyusul
sebuah benda lainnya.
Ternyata benda itu adalah sebutir mutiara.
Bunga mutiara yang berada di tangan Cia Siau-hong, lagi-lagi berkurang satu butir.
Meskipun Siau Te masih memegang gagang pedang itu, tapi seluruh tubuhnya telah tergetar
mundur sejauh dua langkah dari tempat semula.
Tiga orang piausu yang berada di belakangnya segera saling berpandangan sekejap, kemudian
dua bilah golok dan sebilah pedang hampir pada saat yang bersamaan menyambar ke depan
secepat kilat. Tiga orang piausu itu merupakan piausu-piausu yang mempunyai hubungan paling akrab dengan
piausu yang lengannya patah tadi, rasa dendam mereka sesungguhnya hanya tertanam di dalam
hati, tapi setelah Cia Siau-hong turun tangan sekarang, berarti merekapun tidak melanggar
perintah congpiautau sekalipun balas melakukan ancaman.
Tentu saja serangan yang dilancarkan tiga orang ini adalah serangan-serangan pembunuh yang
mematikan. "Criiiit....!", Cia Siau-hong kembali menyentilkan ujung jarinya, menyusul kemudian, "Kreeek....!",
dua golok satu pedang tersebut sekali lagi patah menjadi dua bagian.
Ketiga orang itu segera merasakan tubuhnya bergetar keras hingga mundur lima langkah lebih,
bahkan gagang golokpun tak sanggup digenggam lagi.
Sambil menarik muka, Thi Kay-seng segera berkata dengan suara dingin:
"Sungguh kekuatan yang sangat hebat, sungguh kepandaian yang luar biasa!"
Cia Siau-hong hanya membungkam diri dalam seribu bahasa.
Thi Kay-seng tertawa dingin, kembali ujarnya:
"Kelihaian kepandaian silat yang dimiliki Cia tayhiap telah diketahui oleh setiap umat persilatan di
dunia, tapi ke tidak dapat percayanya ucapan Cia tayhiap mungkin belum ada beberapa orang
yang tahu"
"Apakah ucapanku tidak dapat dipercaya?", Cia Siau-hong bertanya.
"Siapa yang telah menjatuhkan hukuman kepadanya tadi?"
"Aku"
"Hukuman apa yang telah kau jatuhkan kepadanya?"
"Hukuman mati!"
"Kalau kau memang telah menjatuhkan hukuman mati kepadanya, kenapa sekarang malah turun
tangan menolongnya?"
"Aku hanya menjatuhkan hukuman mati kepada seorang manusia, tapi hukuman tersebut bukan
tertuju untuknya"
"Kalau bukan dia lantas siapa?"
"Aku!"
Untuk ketiga kalinya Thi Kay-seng memperlihatkan sinar mata yang penuh dengan rasa kaget dan
tercengang, katanya:
"Kenapa bisa kau?"
"Karena akulah yang mengajarkan kepadanya bagaimana caranya merusak peraturan persilatan
dan bagaimana caranya membuat huru-hara di depan masyarakat"
Dari sorot matanya kembali memancarkan penderitaan dan rasa sedih yang sukar dilukiskan
dengan kata-kata, pelan-pelan ia berkata lebih jauh:
"Kalau bukan karena aku, tak nanti dia akan melakukan perbuatan semacam itu, dosaku yang
pantas dihukum mati, aku tak akan biarkan ia mati lantaran aku"
Thi Kay-seng menatap wajahnya lekat-lekat, kelopak matanya kembali berkerut, mendadak ia
mendongakkan kepalanya sambil menghela napas panjang.
"Ketika kau dengan sebatang sumpit berhasil mematahkan ilmu pedang aliran Bu-tong dari Cho
Han-giok ketika berada di loteng Cong-goan-lo, aku sudah tahu kalau kehebatan ilmu pedangmu
sudah tiada tandingannya lagi di dunia ini"
Hingga kini Siau Te baru tahu siapa yang menang siapa yang kalah dari pertarungan yang
berlangsung di loteng Cong-goan-lo tersebut.
Walaupun ia melirik sekejap ke arahnyapun tidak, namun hatinya menyesal, ia menyesal kenapa
waktu itu tidak tinggal di sana dan menyaksikan kehebatan Sam sauya dari keluarga Cia
mematahkan ilmu pedang orang hanya dengan sebatang sumpit.
Kembali Thi Kay-seng berkata:
"Waktu itu dua bersaudara dari keluarga Wan pun tahu, sekalipun sepasang pedang mereka
bersatu juga bukan tandinganmu, oleh karenanya mereka bersedia mengundurkan diri sebelum
mengalami kerugian. Sepasang matakupun belum buta, tentu saja akupun tahu akan hal tersebut,
seandainya keadaan tidak terlalu terpaksa, aku benar-benar segan untuk bertempur denganmu"
"Bagus sekali!"
"Tapi sekarang, sekalipun kau berkata demikian, akupun telah bersiap-siap untuk melangsungkan
pertarungan mati hidup denganmu"
Setelah tertawa dingin, kembali ia melanjutkan:
"Sesungguhnya masalah yang menyangkut soal dunia persilatan hanya bisa dibikin jelas di ujung
senjata, kalau tidak begini buat apa semua orang harus melatih diri dengan tekun" Bila seseorang
memiliki kepandaian yang amat tinggi, sekalipun perkataan yang salahpun akan menjadi
perkataan yang benar, jadi hal yang demikian sudah bukan merupakan suatu kejadian aneh lagi"
Cia Siau-hong menatapnya tajam-tajam, lewat lama sekali dia baru menghela napas panjang.
"Kau keliru!", bisiknya.
"Di mana letak kekeliruanku?"
"Kalau aku sudah mengakui kesalahanku, dus berarti akupun tak perlu menyuruhmu untuk turun
tangan" Walaupun selama hidupnya Thi Kay-seng amat angkuh, senang gusarnya sukar diketahui orang,
tapi saat ini tak urung rasa kaget dan tercengangnya tercermin juga di atas wajahnya.
Menerima penderitaan karena orang lain, menyiksa diri demi sahabat, hal semacam itu bukannya
tak pernah dijumpai dalam dunia persilatan, akan tetapi dengan kepandaian serta kedudukan Cia
Siau-hong saat ini, kenapa pula harus merendahkan derajat kehidupan sendiri"
Sementara itu, Cia Siau-hong telah menghampiri Siau Te dan menepuk bahunya, lalu berkata:
"Di sini sudah tak ada urusanmu lagi, pergilah!"
Siau Te tidak berkutik, diapun tidak berpaling.
"Selama ini aku tak pernah merawatmu secara baik", kata Cia Siau-hong lebih jauh, "sewaktu
masih kecil dahulu, kau tentu sudah kenyang di cemooh dan dihina orang lain, aku hanya
berharap kau bisa menjadi orang baik di kemudian hari, gila arak gila perempuan lebih baik........"
Kata-kata selanjutnya sudah tidak terdengar lagi oleh Siau Te.
Terbayang kembali penderitaan yang dialaminya di kala masih kecil, terbayang juga adegan di
saat si Boneka dipeluk olehnya. Siau Te merasa ada segulung hawa amarah muncul dari dasar
hatinya. Tiba-tiba ia berteriak keras:
"Baik, aku akan pergi! Sekalipun bukan aku yang minta kau mengikutiku, sekalipun aku tidak
berhutang apapun kepadamu!"
Begitu ia bilang mau pergi, iapun pergi tanpa berpaling lagi.
Tiada orang yang menghalangi kepergiannya, setiap orang hanya mengalihkan perhatiannya
untuk mengawasi Cia Siau-hong.
Hujan turun dengan derasnya, memabashi rambutnya yang kusut, membasahi matanya dan
pipinya, ia tak bisa membedakan lagi manakah air hujan" Dan mana pula air mata"
Tanpa bergerak barang sedikitpun ia berdiri di sana tak berkutik, seakan dalam jaga yang luas
tinggal dia seorang saja.
Entah sudah lewat berapa lama.....pelan-pelan ia baru memutar badan dan menghadap ke arah
Thi Kay-seng. Thi Kay-seng tidak bersuara, iapun tidak perlu berbicara lagi.
Setelah Sam sauya dari keluarga Cia menanggung dosa itu, siapa lagi dari anggota Hong-kipiaukiok
yang bisa berbicara"
Tiba-tiba Cia Siau-hong mengajukan suatu pertanyaan yang aneh sekali:
"Konon belakangan ini Thi lo-piautau jarang sekali melakukan perjalanan lagi dalam dunia
persilatan, apakah tujuannya adalah untuk membimbingmu menjadi seorang pemimpin yang
sejati?" Pelan-pelan Thi Kay-seng mengangguk, sahutnya dengan sedih:
"Sungguh tak beruntung dia orang tua telah tiada pada dua bulan berselang"
"Tapi kau toh sudah berhasil menggantikan kedudukannya!"
"Ya, hal ini disebabkan karena boanpwee tak berani melupakan semua nasehatnya!"
Cia Siau-hong pun pelan-pelan menganggukkan kepalanya.
"Bagus sekali, bagus sekali, bagus sekali.......", gumamnya.
Entah sudah berapa puluh kali dia ulangi perkataan tersebut, suaranya makin lama semakin lirih,
kepalanyapun makin lama tertunduk semakin rendah.
Tangannya telah mengepal kencang-kencang.
Lautan manusia telah berkerumun di sepanjang jalan raya, di antara mereka ada anggota Hong-kipiaukiok,
ada juga yang bukan, tapi setiap orang dapat melihat bahwa pendekar kenamaan yang
tiada tandingannya di dunia ini sedang diliputi oleh rasa sedih, murung dan menyesal, ia telah
bersiap-siap menggunakan darahnya untuk mencuci bersih semua kekesalan hatinya.
Pada saat itulah, tiba-tiba ada seseorang berteriak keras dari balik kerumunan orang banyak:
"Cia Siau-hong, kau keliru, yang seharusnya mati adalah Thi Kay-seng, bukan kau karena........."
Ketika berbicara sampai di situ, mendadak suaranya terhenti, seakan-akan tenggorokannya telah
digorok orang secara tiba-tiba.
Seorang laki-laki menerjang ke luar dari balik kerumunan orang banyak dengan mata melotot ke
luar, ia mendelik ke arah Thi Kay-seng seperti hendak mengucapkan sesuatu.
Tapi sebelum sepatah katapun sempat diucapkan, ia sudah roboh terjengkang di atas tanah,
sebilah golok telah menancap di atas punggungnya, hingga tinggal gagangnya saja yang berada di
luar. Tapi seseorang yang lain segera menyambung kembali kata-kata yang belum sampai habis
diucapkan itu: "Karena panji kebesaran Hong-ki-piaukiok telah dinodai lebih dulu olehnya, panji itu sudah
berubah menjadi sama sekali tak ada harganya, dia......."
Ketika berbicara sampai di situ, kembali suaranya terpotong, seorang laki-laki muncul dari
kerumunan orang banyak dengan tubuh bermandikan darah, ketika tiba di tengah arena iapun
roboh dan binasa.
Benar-benar tak disangka kalau dalam dunia masih ada juga orang yang tak takut mati, ternyata
kematian tidak membuat mereka menjadi ketakutan.
Dari arah depan sana, kembali ada seseorang berteriak keras:
"Wajahnya saja tampak jujur dan gagah, sesungguhnya dia adalah manusia munafik yang berhati
licik, bukan saja kematian dari Thi lo-piautau tidak jelas, lagi pula........."
Orang itu sambil berteriak sambil lari keluar dari kerumunan orang banyak, tiba-tiba cahaya golok
melintas lewat, tahu-tahu tenggorokannya sudah tertembus.
Dari arah utara dengan cepat terdengar seseorang melanjutkan lagi kata-kata tersebut:
"Lagi pula rumah emas berisi gadis-gadis cantik di belakang kota sebelah baratpun milik
pribadinya, oleh karena lo-piautau baru meninggal mau tak mau dia harus menghindari kecurigaan
dan belakangan ini jarang sekali berkunjung ke situ, karena itulah Oh Hui telah
memanfaatkannya....."
Agaknya orang yang berseru kali ini memiliki kepandaian silat agak tinggi, ia berhasil menghindari
dua kali sergapan dan kabur ke atas wuwungan rumah, katanya lebih lanjut:
"Tadi Oh Hui tak berani mengatakan sebab kuatir dibunuh olehnya, siapa tahu sekalipun ia tidak
membuka rahasia, kematianpun tak dapat dihindari......"
Sambil berkata dia mundur terus ke belakang, baru saja kata terakhir meluncur keluar, tiba-tiba
sekilas cahaya pedang menyambar lewat dari wuwungan rumah dan menusuk dari tengkuk hingga
tembus pada tenggorokan, darah segar segera berhamburan ke mana-mana, tubuh orang itupun
menggelinding jatuh dari atas atap rumah dan terkapar di tengah jalan.
Keheningan mencekam seluruh jalan raya itu.
Hanya dalam waktu singkat sudah empat orang tewas di tempat itu dengan berlumuran darah.
Peristiwa ini sungguh menggetarkan perasaan siapapun, apalagi kematian mereka begitu perkasa,
begitu mengenaskan hingga menimbulkan rasa haru bagi siapapun.
Paras muka Thi Kay-seng sama sekali tak berubah, tiba-tiba serunya dengan dingin:
"Thi Gi!"
Seorang piausu tinggi besar muncul dari barisan dan membungkukkan badannya memberi hormat.


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hamba siap!"
"Selidiki siapa yang menjadi dalang dari perbuatan ke empat orang ini, coba kita lihat siapakah
memfitnah yang telah mengarang cerita bohong tersebut?"
"Baik!"
"Bila mereka benar-benar hanya memfitnah belaka, kenapa kau harus membunuh orang untuk
melenyapkan saksi?", tiba-tiba Cia Siau-hong menegur.
Thi Kay-seng segera tertawa dingin.
"Kau tahu siapa yang telah melakukan pembunuhan ini?"
Tiba-tiba Cia Siau-hong melompat ke dalam kerumunan orang banyak, pada lompatan yang ke
empat kalinya, ada empat orang pula yang terlempar keluar dari kerumunan orang banyak dan
terbanting ke tengah jalanan, ternyata dandanan mereka semua adalah dandanan dari seorang
piausu perusahaan Hong-ki-piaukiok.
Air muka Thi Kay-seng belum berubah juga, kembali ia berseru:
"Thi Gi!"
"Hamba siap!"
"Coba kau selidiki kembali, siapakah ke empat orang itu dan dari mana mereka dapatkan pakaian
tersebut?"
Pakaian ringkas yang mereka kenakan bukan terhitung pakaian seragam yang mahal harganya,
para piautau dari Hong-ki-piaukiok dapat mengenakannya, orang lainpun sama saja dapat pula
mengenakannya. "Baik", sahut Thi Gi.
Namun tubuhnya belum juga beranjak dari tempat semula.
"Kenapa kau belum juga melaksanakan tugasmu?", Thi Kay-seng segera menegur.
Tiba-tiba Thi Gi memperlihatkan suatu perubahan yang aneh sekali, sambil menggigit bibir
teriaknya keras-keras:
"Aku tak usah menyelidiki lagi, karena akulah yang memberi semua pakaian itu, bunga mutiara
yang berada di tangan Cia tayhiap, sekarangpun aku pula yang pergi membelinya!"
Paras muka Thi Kay-seng mulai berubah, tentu saja ia tahu dari mana Cia Siau-hong
mendapatkan untaian bunga mutiara tersebut.
Tentu saja Cia Siau-hong sendiri juga tahu.
Ia mendapatkannya dari atas kepala seorang perempuan yang mirip kucing, ia meraih untaian
bunga mutiara tersebut sebab akan dipakainya sebagai senjata rahasia untuk menolong orang.
Dengan suara keras Thi Gi berkata:
"Congpiautau telah memberi uang sebesar tiga ratus tahil perak kepadaku untuk membeli untaian
bunga mutiara dan sepasang gelang di toko Thian-po, sisanya belasan tahil telah diberikan
kepadaku sebagai tip"
Kalau memang Thi Kay-seng yang membeli untaian bunga mutiara tersebut, kenapa benda itu
bisa dipakai oleh seorang perempuan seperti kucing......."
Tiba-tiba Cia Siau-hong menyambar tubuh Thi Gi seperti mengangkat orang-orangan dari kertas
saja, ia melompat sejauh empat kaki lebih dan naik ke atas atap rumah.
Terdengar desingan senjata tajam memecahkan keheningan, belasan titik cahaya tajam segera
menyambar lewat dari bawah kaki mereka.
Coba saja kalau Cia Siau-hong terlambat selangkah saja, niscaya Thi Gi sudah dibunuh untuk
membungkamkan mulutnya.
Tapi atap rumah itupun belum terhitung aman, sebab belum lagi kaki mereka berdiri tegak, dari
balik wuwungan rumah, kembali ada sekilas cahaya pedang menyambar lewat dan langsung
menusuk tenggorokan Cia Siau-hong.
Cahaya pedangnya berkilat bagaikan bianglala, orang yang melancarkan tusukan itu jelas adalah
seorang jago lihay, senjata yang digunakannyapun pasti sebilah pedang mestika.
Sekarang orang yang hendak mereka bunuh sudah bukan Thi Gi, melainkan Cia Siau-hong.
Padahal ketika itu Cia Siau-hong mengempit orang di tangan kirinya dan memegang bunga
mutiara di tangan kanannya, agaknya tusukan tersebut segera akan menembusi tenggorokannya.
Tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya, dengan gagang bunga mutiara ia sambut tibanya mata
pedang...... "Criiiiing!", sebutir mutiara mencelat sejauh dua depa diikuti sebutir mutiara lagi, sungguh cepat
gerakan tersebut.
Ketika dua biji mutiara itu saling beradu di udara, biji mutiara yang pertama melayang ke kiri
menghajar pelipis kanan manusia baju hitam yang melancarkan serangan tersebut.
Sedikit miringkan badan, ia berhasil menghindari timpukan itu, siapa tahu ketika biji mutiara itu
terjatuh ke bawah, dengan telak telah menghantam jalan darah Cit-pit-hiat di lengannya yang
memegang pedang, kontan saja pedang itu terjatuh ke tanah.
Menanti ia sudah pulih kembali ketenangannya, Cia Siau-hong sudah pergi amat jauh.
Hujan turun dengan derasnya bagaikan sebuah tirai, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya
sudah lenyap tak berbekas.
Thi Kay-seng masih berdiri di bawah payungnya tanpa menunjukkan reaksi apa-apa, tubuhnya
pun sama sekali tak berkutik.
Piausu yang selama ini berdiri terus di belakangnya sambil membawakan payung itu, tiba-tiba
bertanya dengan lirih:
"Perlu dikejar tidak?"
"Kalau tak sanggup mengejar, kenapa harus dikejar?", Thi Kay-seng balik bertanya dengan dingin.
"Tapi kalau persoalan ini tidak dibikin jelas, agaknya sulit bagi kita untuk menguasai mereka"
Thi Kay-seng kembali tertawa dingin.
"Jika ada orang tak mau tunduk, bunuh tanpa ampun!"
Hujan masih turun terus dengan derasnya, cuaca semakin lama berubah semakin gelap.
Di dalam sebuah kuil kecil yang lembab dan gelap, Thi Gi mendekam di tanah sambil muntahmuntah
dengan napas tersengal.
Menanti ia bisa bersuara, maka semua hal yang diketahuipun segera diutarakan keluar:
"Empat orang yang dibunuh tadi adalah orang-orangnya Lo-piautau, orang terakhir yang di bunuh
di atas atap rumah adalah seorang piausu, sedangkan tiga orang lainnya adalah orang
kepercayaan lo-piautau"
"Dua bulan berselang, pada suatu malam yang penuh halilintar dan hujan deras seperti malam itu,
agaknya lo-piautau mempunyai sesuatu masalah yang mengganjal hatinya, di kala bersantap, ia
minum dua cawan arak, kemudian pergi tidur lebih awal, tapi keesokan harinya aku dengar dia
orang tua telah meninggal dunia"
"Seorang kakek yang jatuh sakit setelah minum arak sebenarnya bukan suatu kejadian yang aneh,
tapi kebetulan sekali para petugas yang merondai sekitar halaman pada malam itu telah
mendengar ada suara ribut-ribut di dalam kamarnya lo-piautau, salah satu suara tersebut ternyata
adalah suara Thi Kay-seng......"
"Betul! Thi Kay-seng hanya anak angkat yang dipelihara lo-piautau, akan tetapi lo-piautau selalu
menganggapnya seperti anak kandung sendiri, sekalipun di hari-hari biasa ia selalu menunjukkan
rasa baktinya kepada orang tua, tapi hari itu ternyata sikapnya kasar dan berani bercekcok dengan
lo-piautau, sesungguhnya hal ini sudah merupakan suatu kejadian aneh"
"Apalagi jika dibilang sebab kematian lo-piautau adalah kambuhnya penyakit setelah minum arak,
tapi kalau memang demikian, kenapa sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, dia
masih memiliki tenaga untuk cekcok dengan orang?"
"Yang lebih aneh lagi, semenjak terjadinya peristiwa itu, sampai saat jenasah lo-piautau dikubur,
ternyata Thi Kay-seng melarang orang lain untuk mendekati layonnya, malahan sewaktu
mendandani mayatpun Thi Kay-seng telah melakukannya sendiri"
"Oleh karena itulah semua orang menganggap di balik persoalan ini pasti ada hal-hal yang tak
beres, hanya saja siapapun tak berani mengatakannya secara berterus terang"
Mendengar sampai di situ, Cia Siau-hong baru bertanya:
"Apakah ke empat orang itu yang bertugas meronda pada malam kejadian?"
"Ya, benar!", Thi Gi manggut-manggut.
"Di manakah nyonya lo-piautau?"
"Sejak banyak tahun berselang, mereka sudah tidur berpisah kamar......"
"Apakah tak ada orang lain yang mendengar suara cekcok di antara mereka berdua?"
"Malam itu hujan terlalu deras, gunturpun menggelegar membelah angkasa, kecuali empat orang
yang sedang bertugas jaga malam, boleh dibilang yang lain sudah masuk tidur setelah minum
sedikit arak......"
"Setelah terjadinya peristiwa itu, apalagi dalam perusahaan tersiar berita burung sebanyak itu,
tentu saja Thi Kay-seng mendengarnya juga sedikit banyak, tentu diapun tahu bukan, kata-kata
semacam itu berasal dari mana?"
"Tentu saja"
"Apakah selama ini dia tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap ke empat orang itu?"
"Sebenarnya persoalan ini tanpa bukti, jika secara tiba-tiba ia lakukan suatu tindakan, bukankah
hal ini malah akan menimbulkan kecurigaan orang" Sekalipun usianya tidak terlalu besar, tapi
otaknya betul-betul jalan, sudah barang tentu dia tak akan melakukan tindakan secara gegabah.
Tapi tiga hari setelah jenazah lo-piautau dikebumikan, dengan mencari alasan lain ternyata ia telah
memecat ke empat orang itu dari keanggotaan perusahaan"
"Alasan apa yang telah ia gunakan?"
"Minum arak sampai mabuk di masa berkabung!", jawab Thi Gi, kemudian sambungnya lagi:
"Mereka sudah menerima budi kebaikan dari lo-piautau, apalagi punya rahasia yang tak bisa
diutarakan, minum arak memang tak bisa dihindari, apalagi hatinya lagi murung!"
Cia Siau-hong manggut-manggut pelan, tanyanya kemudian:
"Kalau memang begitu, mengapa ia tidak manfaatkan alasan tersebut untuk membunuh mereka
berempat" Siapa yang mereka cari?"
"Aku!"
"Dan kau tak tega untuk membunuh mereka?"
"Ya, aku memang merasa amat tak tega", jawab Thi Gi sedih, "sebab itu kubawa empat stel baju
yang penuh berlepotan darah untuk memberi laporan"
"Ia bisa menyuruh kau membeli bunga mutiara untuk dihadiahkan kepada gundiknya, lalu
menyuruh dirimu untuk membunuh orang dan menghilangkan saksi, tentunya kau telah
dianggapnya sebagai orang kepercayaannya bukan?"
"Sebenarnya aku adalah kacung bukunya, sejak kecil dibesarkan bersama dengannya, tapi.........."
Kulit mukanya mengejang keras, setelah berhenti sejenak ia melanjutkan:
"Tapi......tapi aku tak tega menyaksikan lo-piautau mati dengan hati penasaran........ selama
hidupnya lo-piautau adalah seorang pendekar sejati yang penuh welas asih, aku banyak
berhutang budi kepadanya...... akupun sebenarnya tak tega menghianati Thi Kay-seng, tapi
setelah kusaksikan kematian empat orang rekanku tadi, aku......aku benar-benar merasa tak
tahan......."
Suaranya semakin sesenggukan, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan.........."Tuuuk, tuuuk,
tuuuk", ia menyembah tiga kali.
Katanya lebih jauh:
"Hari ini mereka berani munculkan diri di depan umum dan membongkar kedok kemunafikan Thi
Kay-seng karena mereka telah melihat kehadiran Cia tayhiap di sana, mereka tahu bahwa Cia
tayhiap pasti tak akan membiarkan mereka mati penasaran, asal Cia tayhiap bersedia memberi
bantuan untuk menegakkan kembali keadilan dan kebenaran, aku......akupun rela untuk mati"
Ia menyembah dengan penuh luapan emosi sehingga kepalanya penuh berlepotan darah, tiba-tiba
dari balik sepatunya ia cabut ke luar sebilah pisau dan segera ditusukkan ke ulu hati sendiri.
Akan tetapi, secara tiba-tiba saja pisau itu sudah berpindah ke tangan Cia Siau-hong.
Dengan sorot mata tajam, Cia Siau-hong menatapnya lekat-lekat, kemudian ujarnya:
"Perduli apakah aku menyanggupi permintaanmu itu atau tidak, kau tak usah mati!"
"Aku.......aku kuatir kalau Cia tayhiap masih tidak percaya dengan perkataanku, maka aku akan
pergunakan kematianku untuk menyatakan kejujuran hatiku ini"
"Aku percaya padamu!"
Betapapun banyaknya kejadian menyedihkan yang dapat di dengar oleh kuil yang suram serta
patung-patung arca yang angker, tak nanti mereka dapat bersuara.
Tapi di balik jagad yang luas, tentu saja ada sepasang mata yang sedang mengawasi semua
kejadian yang menyedihkan, menggembirakan, kejujuran, kejahatan, ketulusan dan kebohongan
yang sedang berlangsung di alam semesta, tentu saja iapun mempunyai hukum dan kekuatan
untuk menjatuhkan hukuman bagi mereka yang melanggar.
Tiba-tiba Thi Gi berkata lagi:
"Tapi Cia tayhiap harus berhati-hati, sebab Thi Kay-seng bukan seorang manusia yang mudah
dihadapi, ilmu pedangnya jauh lebih cepat, jauh lebih menakutkan daripada lo-piautau di masa
jayanya dulu"
"Apakah ilmu silatnya bukan ajaran Thi lo-piautau?", tanya Cia Siau-hong.
"Sebagian besar adalah ajarannya, tapi dalam rangkaian ilmu pedangnya, ia memiliki tiga belas
jurus lebih banyak dari apa yang dimiliki lo-piautau!"
Tiba-tiba sinar matanya memancarkan rasa ngeri yang tebal, kembali katanya:
"Konon ke tiga belas jurus ilmu pedang yang dimilikinya ini bukan saja amat ganas, bahkan luar
biasa hebatnya, hingga kini belum ada manusia dalam dunia yang sanggup untuk
menghadapinya"
"Tahukah kau siapa yang telah mengajarkan ke tiga belas jurus ilmu pedang itu kepadanya?"
"Aku tahu!"
"Siapa?"
"Yan Cap-sa!"
ooooOOOOoooo Bab 23. Darah Mengalir di Hong-ki-piaukiok
Senja menjelang tiba, hujan telah lama berhenti.
Sang surya memancarkan sinar sorenya dengan sebuah bianglala yang indah tergantung di kaki
langit, selewatnya hujan badai, suasana waktu itu tampak indah dan penuh ketenangan.
Konon, menurut orang tua, bila bianglala muncul di langit, itu pertanda datangnya kedamaian dan
kebahagiaan bagi umat manusia.
Tapi, kenapa sinar senja tetap berwarna merah"
Panji Hong-ki-piaukiok pun tetap berwarna merah.
Tiga belas lembar panji di atas tiga belas kereta barang.
Rombongan itu berhenti tepat di halaman belakang sebuah rumah penginapan.
Berdiri di bawah wuwungan rumah yang masih meneteskan air, Thi Kay-seng memperhatikan
panji di atas kereta-kereta itu, tiba-tiba serunya dengan lantang:
"Lepaskan semua panji-panji itu!"
Para piausu masih sangsi, ternyata tak seorangpun berani melaksanakan perintah tersebut.
Dengan suara lantang Thi Kay-seng kembali berkata:
"Jika ada orang yang menghancurkan selembar panji kita, itu sama artinya beribu-ribu dan
berlaksa panji kita telah hancur musnah semua sebelum dendam ini di balas, sebelum penghinaan
ini dicuci, dalam dunia persilatan tak akan dijumpai lagi panji-panji dari perusahaan kita!"
Paras mukanya masih tanpa emosi, tapi suaranya begitu tegas dan penuh kebulatan tekad.
Apa yang ia perintahkan masih tetap merupakan suatu perintah.
Tiga belas orang segera maju ke depan, tiga belas buah tangan bersama-sama mencabut panji
perusahaan tersebut, tiba-tiba ke tiga belas buah tangan itu berhenti di tengah udara, tiga belas
pasang mata bersama-sama telah menyaksikan seseorang.
Itulah seorang manusia yang jauh berbeda dari orang lain, di saat kau tidak membiarkan ia pergi,
ia justru pergi, tapi di kala kau tak menyangka dia akan kembali, ia justru telah kembali.
Rambut orang itu sudah amat kusut, pakaiannya yang basah oleh hujan masih belum mengering,
ia tampak amat lelah dan keadaannya mengenaskan sekali.
Akan tetapi tiada orang yang memperhatikan rambut serta pakaiannya, tiada orang pula yang
merasakan keletihan dan keadaan mengenaskan yang mencekam dirinya, karena orang itu tak
lain adalah Cia Siau-hong.
Thi Gi sesungguhnya adalah seorang pemuda yang tinggi kekar, alis matanya tebal, matanya
besar, ia merupakan seorang anak muda yang gagah dan perkasa.
Tapi setelah berdiri di belakang orang itu, keadaannya segera berubah ibaratnya seekor kunangkunang
dengan sebuah rembulan, seperti sebuah lilin di bawah sinar sang surya.
Karena orang itu tak lain adalah Cia Siau-hong.
Thi Kay-seng melihat ia berjalan masuk, melihat ia berjalan ke hadapannya, lalu menyapa:
"Kau telah datang kembali!"
"Sepantasnya kau bisa menduga bahwa aku pasti akan datang lagi!", jawab Cia Siau-hong.
"Karena kau pasti sudah mendengar banyak cerita?", tanya Thi Kay-seng kemudian.
"Benar!"
"Dalam telapak tanganmu tiada pedang!"
"Benar!"
"Pedang itu masih berada dalam hatimu?"
"Apakah dalam hatiku ada pedang atau tidak, paling tidak seharusnya kau dapat melihatnya
sendiri" Thi Kay-seng menatapnya tajam-tajam, lalu berkata:
"Jika dalam hati ada pedang, hawa membunuh tentu berada di alis mata......!"
"Benar!"
"Dalam telapak tanganmu tiada pedang, dalam hatimu pun tiada pedang, lantas di manakah
pedangmu?"
"Dalam tanganmu!"
"Pedangku adalah pedangmu?"
"Benar!"
Tiba-tiba Thi Kay-seng meloloskan pedangnya.
Ia sendiri tidak membawa pedang, anak yang berbakti pasti tak akan membawa senjata pembunuh
di saat orang tuanya baru meninggal.
Tapi orang-orang yang mengikuti di belakangnya membawa pedang semua, walaupun bentuk
pedang itu amat sederhana, tapi bagi orang yang berpengalaman segera akan mengenali bahwa
setiap bilah pedang tersebut adalah pedang yang sangat tajam.
Pedang itu sama sekali tidak ditusukkan ke tubuh Cia Siau-hong........
Setiap orang hanya merasakan cahaya pedang berkelebat seakan-akan lepas tangan, tapi pedang
tersebut masih berada di tangan Thi Kay-seng, hanya saja mata pedangnya telah terbalik dan
tertuju ke arah diri sendiri.
Ia menjepit ujung pedang dengan ke dua jari tangannya, lalu pelan-pelan menyodorkan gagang
pedang tersebut ke hadapan Cia Siau-hong.
Perasaan setiap orang mulai tercekat, peluh dingin mulai membasahi telapak tangannya.
Dengan tindakannya itu, bukankah hakekatnya seperti lagi bunuh diri......."
Asal Cia Siau-hong telah memegang gagang pedang itu dan mendorongnya ke muka, siapakah
yang bisa menghindarinya" Siapa pula yang bisa membendungnya"
Cia Siau-hong menatapnya lekat-lekat, akhirnya pelan-pelan ia menjulurkan tangannya dan
menggenggam gagang pedang tersebut.
Thi Kay-seng mengendorkan jari tangannya ke bawah.
Ke dua orang itu saling bertatapan lama sekali, sorot mata merekapun memancarkan suatu sikap


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sangat aneh.
Tiba-tiba cahaya pedang kembali berkelebat lewat, menyambar seenteng angin yang berhembus
dan menyergap secepat sambaran kilat.
Tiada orang yang bisa menghindari serangan tersebut, Thi Kay-seng pun tidak menghindarkan
diri. Tapi tusukan tersebut sama sekali tidak menusuk ke arahnya, cahaya pedang berkelebat lewat,
tahu-tahu ujung pedang tersebut sudah menempel di atas tenggorokan Thi Gi.
Paras muka Thi Gi segera berubah hebat, paras muka setiap orangpun berubah hebat.
Hanya Thi Kay-seng tetap tenang seperti biasa, perubahan yang sangat mengejutkan itu agaknya
sudah berada dalam dugaannya.
Thi Gi merasa tenggorokannya seperti tersumbat, lewat lama sekali ia baru bisa bersuara kembali.
Dengan suara yang parau dan gemetar bisiknya:
"Cia tayhiap, kau........kau apa-apaan ini?"
"Kau tidak mengerti?", tanya Cia Siau-hong.
"Aku tidak mengerti!"
"Kalau begitu kau memang dasarnya terlalu bodoh!"
"Aku sebenarnya memang seorang yang bodoh"
"Kalau sudah tahu bodoh, kenapa justru suka berbohong?"
"Siii....siapa.......siapa yang bohong?"
"Cerita yang kau susun memang sangat bagus, permainan sandiwaramu pun amat hidup dan
mempesonakan, bahkan setiap peranan dalam sandiwara tersebut bisa kau kombinasikan secara
bagus, malah adegan demi adegan bisa dilangsungkan dengan indahnya, sayang kau telah
membuat satu kekeliruan besar"
"Kekeliruan" Kekeliruan apakah itu?"
"Tiga hal setelah Thi lo-piautau dikebumikan, Thi Kay-seng segera mengusir ke empat orang itu
dari perusahaan, bahkan kaulah yang diutus untuk membunuh mereka?"
"Benar!"
"Tapi kau tak tega untuk turun tangan, maka hanya kau bawa empat stel pakain yang berlepotan
darah untuk memberi laporan?"
"Benar!"
"Dan Thi Kay-seng pun mempercayai semua perkataanmu?"
"Selamanya ia memang percaya kepadaku!"
"Tapi ke empat orang yang telah kau bunuh itu tiba-tiba hidup kembali hari ini, Thi Kay-seng telah
melihat sendiri kemunculan mereka, namun ia masih tetap mempercayaimu, malah suruh kau
menyelidiki asal-usul mereka, apakah kau anggap dia seorang dungu" Tapi kau lihat dia agaknya
sangat tidak mirip?"
Thi Gi tak sanggup berbicara lagi, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya seperti hujan
deras. Cia Siau-hong menghela napas panjang, katanya lebih lanjut:
~Bersambung ke Jilid-15
Jilid-15 "Aaaaii....! Seandainya kau ingin agar aku bisa membantumu melenyapkan Thi Kay-seng,
seandainya kau menginginkan dua ekor bangau berkelahi dan membiarkan kau si nelayan tinggal
memungut hasil, maka kau harus mengarang suatu cerita yang lebih bagus lagi, atau paling tidak
kau harus tahu dengan jelas bahwa sekuntum bunga mutiara semacam itu, tak mungkin dapat
dibeli dengan uang sebesar tiga ratus tahil perak........"
Tiba-tiba ia memutar mata pedangnya dan menjepit ujung pedang tersebut dengan ke dua jari
tangannya, setelah itu menyerahkan pedang tersebut kepada Thi Gi.
Kemudian ia putar badan menghadap ke arah Thi Kay-seng dan ujarnya dengan hambar:
"Mulai sekarang, orang ini orangmu!"
Ia tidak memandang lagi ke arah Thi Gi walaupun hanya sekejap matapun, sebaliknya Thi Gi
menatapnya lekat-lekat, menatap tengkuk serta tulang tengkorak bagian belakangnya, tiba-tiba
sinar pembunuhan memancar keluar dari matanya, lalu secepat kilat pedangnya meluncurkan
tusukan ke depan.
Cia Siau-hong tidak berpaling, pun tidak menghindar, hanya terasa sekilas cahaya pedang
menyambar lewat dari sisi tengkuknya kemudian menembusi tenggorokannya Thi Gi.
Tidak sampai di situ saja, ternyata sisa kekuatan yang kemudian terpancar keluar telah menyeret
tubuhnya sejauh tujuh-delapan depa lebih dan terpantek hidup-hidup di atas sebuah kereta
barang. Panji merah di atas kereta berkibar-kibar terhembus angin.
Ketika itu sinar senja sudah semakin redup dan samar, bianglala yang indahpun telah lenyap tak
berbekas. Ada orang yang memasang lampu dalam halaman itulah lampu berwarna merah.
Sinar lampu menerangi wajah Thi Kay-seng yang pucat sehingga berwarna kemerah-merahan.
Cia Siau-hong memandang ke arahnya lalu berkata.
"Sejak pertama kali tadi kau sudah tahu kalau aku pasti akan kembali lagi"
Thi Kay-seng mengakuinya.
"Karena aku tentu sudah mendengar banyak perkataan, kau percaya aku pasti dapat menemukan
titik kelemahan di balik pembicaraan itu......", kata Cia Siau-hong lebih jauh.
"Ya, tentu saja! Karena kau adalah Cia Siau-hong!"
Wajahnya masih juga tanpa emosi, tapi setelah menyebut kata 'Cia Siau-hong' wajahnya segera
menunjukkan sikap hormat yang luar biasa.
Dari balik sorot mata Cia Siau-hong muncul senyuman ramah, kembali ia berkata:
"Apakah kau bersiap-siap mengundangku minum arak barang dua cawan....?"
"Selamanya aku tak pernah minum setetes arakpun", jawab Thi Kay-seng.
Cia Siau-hong segera menghela napas.
"Minum sendiri tentu tidak menyenangkan, agaknya aku terpaksa harus angkat kaki dari sini"
"Sekarang kau masih belum boleh pergi!"
"Kenapa?"
"Kau harus meninggalkan dua macam barang terlebih dahulu!"
"Apa yang harus kutinggalkan?"
"Tinggalkan kuntum bunga mutiara itu!"
"Bunga mutiara?", tanya Cia Siau-hong.
"Benda itu aku telah membelinya dengan harga tiga ratus tahil perak untuk dihadiahkan untuk
orang lain, aku tak dapat menghadiahkannya kepadamu!"
Kelopak mata Cia Siau-hong segera berkerut:
"Jadi benar-benar kau yang membeli" Jadi kau benar-benar menyuruh Thi Gi yang pergi
membeli?" "Tidak bakal salah lagi!"
"Tapi bunga mutiara seperti itu nilainya paling tidak di atas delapan ratus tahil perak, mana
mungkin kau bisa membelinya dengan uang tiga ratus tahil?"
"Ciangkwe dari toko Thian-po adalah bekas kasir perusahaan Hong-ki-piaukiok, maka harga yang
dia perhitungkan kepadaku istimewa murahnya, apalagi di dalam dagang mutiara, keuntungannya
paling banyak dan gampang dicari sebab itu meskipun ia menjual kepadaku dengan harga sekecil
itu, diapun tak bakal rugi"
Perasaan Cia Siau-hong semakin tenggelam, segulung hawa dingin tiba-tiba muncul dari dasar
kakinya dan menyusup naik sampai ke atas kepala.
......Jangan-jangan aku sudah salah menuduh Thi Gi.
......Thi Kay-seng menyuruhnya pergi menyelidiki asal usul ke empat orang tersebut, apakah hal
inipun merupakan suatu jebakan"
Tiba-tiba saja ia menemukan bahwa bukti yang berhasil diperoleh dan data yang bisa disimpulkan
terlampau sedikit, pelu dingin segera membasahi tubuhnya.
"Kecuali bunga mutiara", kata Thi Kay-seng, "kaupun harus meninggalkan darahmu, darah untuk
mencuci Hong-ki kami!"
Lalu sepatah kata demi sepatah kata ia berkata:
"Penghinaan atas hancurnya sebuah panji hanya bisa dicuci bersih dengan darah, kalau bukan
darahmu itu berarti darahku!"
Angin dingin berhembus kencang, tiba-tiba seluruh jagad diliputi oleh hawa nafsu membunuh yang
sangat tebal. Akhirnya Cia Siau-hong menghela napas panjang, katanya:
"Kau adalah seorang yang pintar, kau benar-benar pintar sekali......"
"Bagi seorang pintar, dengan uang se-sen-pun bisa membeli sebuah kereta", kata Thi Kay-seng.
"Sebetulnya aku tak ingin membunuhmu"
"Tapi aku terpaksa harus membinasakan dirimu"
Cia Siau-hong segera menatapnya tajam-tajam lalu berkata:
"Ada suatu persoalan, akupun terpaksa harus menanyakan dulu kepadamu hingga jelas"
"Persoalan apakah itu?"
"Thi Tiong-khi, Thi lopiautau, apa benar-benar adalah ayah kandungmu?"
"Bukan!"
"Sesungguhnya apa yang menyebabkan kematiannya?"
Tiba-tiba kulit wajah Thi Kay-seng yang sekeras batu karang mengejang keras, serunya dengan
suara menggeledek:
"Perduli apapun yang menyebabkan kematian dari dia orang tua, hal ini sama sekali tiada
hubungan atau sangkut pautnya denganmu"
Tiba-tiba ia meloloskan pedangnya, meloloskan dua bilah pedang dan menyambitnya ke tanah
hingga menancap di atas permukaan hingga tinggal gagangnya.
Itulah dua bilah pedang yang sederhana, dua bilah pedang dengan gagang yang dibungkus kain
hitam. "Walaupun ke dua bilah pedang ini ditempa bersama dalam sebuah tungku yang sama, namun
ada perbedaan berat ringannya", demikian Thi Kay-seng berkata.
"Kau terbiasa memakai yang mana?"
"Dalam sekali tempaan ada tujuh bilah pedang yang telah dibuat, ke tujuh bilah pedang tersebut
pernah kugunakan semua dengan enak, maka dalam hal ini aku jauh lebih beruntung daripadamu"
"Itu tak menjadi soal!"
"Meskipun ilmu pedangku mengandalkan kecepatan sebagai keistimewaannya, tapi di dalam
suatu pertarungan antara jago lihay, rasanya kemantapan masih tetap merupakan titik pokok yang
terpenting"
"Aku mengerti!"
Tentu saja ia mengerti.
Dengan tenaga dalam yang mereka miliki sekalipun pedang yang lebih beratpun dalam tangan
mereka sama saja enteng dan leluasa kalau digunakan.
Tapi dua bilah pedang yang sama besar kecilnya, bila salah satu di antaranya jauh lebih berat,
tentu saja bahan pedang tersebut berarti jauh lebih baik.
Semakin berat sebagai bahan pedang itu berarti pula membantu sebagian tenaga kekuatannya,
padahal dalam suatu pertarungan antara dua jago lihay, selisih yang kecilpun bisa mengakibatkan
hal-hal yang amat fatal.
"Aku tak rela memberikan yang lebih berat kepadamu, akupun tak ingin mencari keuntungan bagi
diriku sendiri, sebab itu lebih baik kita saling beradu nasib", kata Thi Kay-seng.
Cia Siau-hong memandangnya lekat-lekat, dalam hati kecilnya kembali ia bertanya:
"......Sesungguhnya pemuda macam apakah dirinya itu?"
Ternyata di hadapan Cia Siau-hong yang tiada tandingannya di dunia pun, dia tak ingin mencari
keuntungan barang sedikitpun" Manusia seangkuh dia, mana mungkin bisa melakukan terkutuk
yang keji dan jahat"
Thi Kay-seng kembali berkata:
"Silahkan, silahkan memilih sebilah lebih dulu!"
Gagang pedang itu semuanya berbentuk sama.
Ujung pedang pun sama-sama menancap hingga menembusi permukaan tanah.
Sesungguhnya pedang yang manakah yang terbuat dari bahan lebih baik" Pedang mana kah
yang lebih berat bobotnya" Siapapun tak berhasil untuk mengetahui.
Lantas bagaimana kalau tak dapat melihatnya"
Apa pula gunanya ada pedang" Apa pula gunanya tanpa pedang"
Pelan-pelan Cia Siau-hong membungkukkan badannya dan menggenggam sebilah gagang
pedang tapi ia tidak mencabutnya keluar.
Ia sedang menunggu Thi Kay-seng.
Meskipun ujung pedang masih di tanah, tapi tangannya telah menggenggam gagang pedang,
hawa pedang seakan-akan telah menembusi tanah dan muncul keluar.
Sekalipun sedang membungkukkan badan, melengkungkan pinggang, tapi posisinya itu hidup dan
indah, sama sekali tidak menutup kemungkinan buat dirinya untuk melancarkan serangan secara
tiba-tiba. Thi Kay-seng memperhatikan dirinya, dalam pandangan matanya seakan-akan telah muncul
kembali sesosok bayangan manusia yang lain, seseorang yang sama-sama dihormati olehnya.
Bukit yang terpencil diliputi keheningan, kadangkala bulan bersinar terang, kadang kala hujan
turun amat deras, bukan saja orang itu telah mewariskan ilmu pedang Tui-hun-toh-mia-kiam-hoat
kepadanya, seringkali menceritakan kisah tentang Cia Siau-hong kepadanya.
Sekalipun orang itu belum pernah saling berjumpa dengan Cia Siau-hong, akan tetapi ia sangat
memahami akan segala tindak-tanduk dari Cia Siau-hong, mungkin jauh lebih memahami daripada
siapapun dalam dunia ini.
Sebab sasarannya yang terutama selama hidupnya adalah ingin mengalahkan Cia Siau-hong.
Apa yang pernah ia katakan, tak pernah dilupakan oleh Thi Kay-seng.....
......Hanya orang yang berhati lurus dan tidak dicabangkan oleh persoalan lain, baru dapat melatih
suatu ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini.
......Cia Siau-hong adalah manusia semacam itu.
Ia tak pernah memandang enteng musuhnya, oleh sebab itu setiap kali melancarkan serangan, ia
pasti menyerangnya dengan sepenuh tenaga.
Hanya cukup dalam hal ini, setiap orang yang ingin belajar pedang di dunia ini sudah sepantasnya
kalau mengambilnya sebagai contoh yang paling baik.
Meskipun tangan Thi Kay-seng dingin seperti es, darahnya panas seakan-akan sedang mendidih.
Bila bertempur dengan Cia Siau-hong, hal ini dianggapnya sebagai suatu peristiwa yang paling
dibanggakan dan paling digembirakan selama hidupnya.
Ia berharap bisa menangkap pertarungan ini dan menangkap namanya hingga termashur di manamana,
diapun ingin menggunakan darah Cia Siau-hong untuk mencuci bersih penghinaan yang
telah dialami Hong-ki-piaukiok.
Tapi dalam dasar hati kecilnya, mengapa justru menaruh rasa hormat dan kagum yang luar biasa
terhadap orang ini"
"Silahkan!"
Baru saja perkataan itu diutarakan, pedang Thi Kay-seng telah dicabut keluar lalu menusuk ke
depan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Tentu saja ia lebih-lebih tak berani memandang enteng musuhnya, karena itu begitu serangan
dilancarkan segenap tenaga yang dimiliki telah digunakan.
Thi-khi-kuay-kiam (pedang kilat si penunggang kuda baja) tersohor di mana-mana, seratus tiga
puluh satu gerakan Lian-huan-kuay-kiam (pedang kilat berantai) nya begitu lihay sehingga
serangan yang satu lebih ganas daripada tusukan yang lain.
Dalam sekejap mata, ia telah melepaskan tiga kali tujuh dua puluh satu tusukan. Ini ilmu Luansian-
si bagian pertama dari ilmu pedang kilat.
Karena biasanya di saat ia pergunakan jurus yang ke dua puluh satu ini, pihak lawan tentu akan
menangkis serangannya dengan tangkisan pedang.
Suara beradunya sepasang pedang akan menimbulkan suara dentingan yang memekikkan
telinga, karenanya serangan tersebut disebutnya sebagai jurus yang memekikkan.
Tapi sekarang sekalipun jurus yang kedua puluh satu telah dilancarkan ternyata sama sekali tak
terdengar sedikit suarapun.
Karena di tangan lawan sama sekali tiada pedang, hanya ada selembar ikat pinggang berwarna
hitam yang bercahaya tajam.
Itulah kain hitam yang sebenarnya digunakan untuk membungkus gagang pedang.
Ternyata Cia Siau-hong tidak mencabut pedang tersebut dia hanya melepaskan kain pengikat
gagang pedang tersebut.
Kain pengikat juga boleh, pedangpun juga boleh, sesudah berada di tangan Cia Siau-hong, maka
semuanya akan berubah menjadi bertuah dan memiliki kekuatan yang mengerikan.
Ibaratnya panah sudah terlepas dari busurnya pertarungan telah berlangsung dan Thi Kay-seng
sudah tiada pilihan lain lagi.
Kain pengikat tersebut ternyata membawa semacam tenaga kekuatan yang sangat aneh,
kekuatan itu telah menggerakkan pedangnya untuk ikut bergerak pula.
Hakekatnya ia sudah tak mampu untuk menghentikan serangannya lagi.
Kembali tiga kali tujuh dua puluh satu tusukan telah dilancarkan, kali ini yang digunakan adalah
gerakan Toan-sian-sin bagian terakhir dari ilmu Thi-khi-kuay-kiam nya.
Di sini pula terletak semua intisari kehebatan dari ilmu pedang kilat. Di antara kilatan cahaya
pedang yang menyilaukan mata, lamat-lamat terdengar suara derap kaki kuda yang memekikkan
telinga serta suara teriak-teriakan di medan pertempuran.
Sewaktu masih muda dulu napsu membunuh yang meliputi benak Thi Tiong-khi sangat tebal,
biasanya dari ke seratus tiga puluh dua jurus Lian-huan-kuay-kiam nya itu baru digunakan jurus
yang ke delapan sembilan puluh jurus, pihak lawan pasti sudah tewas di ujung pedangnya.
Seandainya jurus bagian yang terakhirpun harus dipergunakan itu berarti musuhnya pasti sangat
tangguh, karenanya dalam ilmu pedang bagian yang terakhir ini, semua jurus serangan yang
dipergunakan merupakan jurus-jurus ganas yang tiada sayangnya untuk mengajak musuhnya
untuk beradu jiwa.
Oleh sebab itu setiap serangan yang dilancarkan tak pernah meninggalkan tempat luang bagi
lawannya untuk menghindar, tidak pula untuk dirinya sendiri.
Karena dua puluh satu tusukan terakhir ini sesudah dilepaskan, maka semua jurus serangannya
akan berakhir. Hawa pedang menyelimuti angkasa, dalam waktu singkat ia telah melancarkan kedua puluh satu
tusukan yang terakhir, setiap tusukan yang dilancarkan semuanya ibarat seorang ksatria yang
membunuh musuh, semuanya merupakan serangan-serangan keji yang tidak memberi peluang
buat lawannya. Sedemikian hebatnya serangan itu, rasanya tiada ilmu pedang manapun di dunia ini yang bisa
dibandingkan. Tapi setelah dua puluh satu tusukan itu lewat, ibaratnya batu yang tercebur di tengah samudra,
lenyap dan hilang dengan begitu saja, sedikitpun tiada kabar beritanya.
Menanti hingga tiba saat seperti ini, sekalipun orangnya belum mati, jurus pedangnya telah
berakhir, tidak matipun terpaksa harus mati juga.
Ketika para pengikut Thi Kay-seng yang hadir di sana menyaksikan cong piautau-nya
mengeluarkan jurus serangan yang terakhir, tanpa terasa semua orang memperdengarkan


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

helaaan napas yang disertai dengan rasa kaget.
Siapa tahu, begitu jurus serangan yang terakhir lewat, tiba-tiba Thi Kay-seng merubah jurus
pedangnya, dengan suatu gerakan yang enteng ia lepaskan sebuah tusukan lagi.
Bila dalam melancarkan serangannya tadi hawa pedang dan hawa pembunuhan menyelimuti
angkasa dengan tebalnya ibarat awan tebal di angkasa, maka tusukan tersebut ibaratnya awan
tebal yang tiba-tiba membuyar dan sang suryapun bersinar kembali, sekalipun bukan sinar
matahari yang memberikan kehangatan, tapi sinar panas yang membuat emaspun meleleh, sinar
yang merah seperti darah.
Ketika Thi Kay-seng melancarkan serangan dengan ilmu pedang yang gagah perkasa tadi,
agaknya Cia Siau-hong masih tidak memandangnya di dalam hati.
Tapi begitu tusukan terakhir dilepaskan, tiba-tiba ia bersorak kegirangan:
"Bagus, bagus, suatu ilmu pedang yang amat bagus!"
Baru selesai beberapa patah kata itu, Thi Kay-seng telah melepaskan kembali empat tusukan,
setiap tusukan tersebut seakan-akan menghadang perubahan yang tiada habisnya, tapi seakanakan
juga tanpa perubahan apapun, begitu melayang, begitu mantap, begitu enteng, tapi
sesungguhnya ganas dan hebat.
Cia Siau-hong tidak menyerang, diapun tidak menangkis.
Dia hanya melihat.
Ia seakan-akan sedang menyaksikan seorang gadis cantik yang masih muda berada dalam
keadaan bugil, seakan-akan ia dibikin terpesona hingga lupa daratan.
Tapi ke empat buah tusukan tersebut sama sekali tidak berhasil melukai tubuhnya, bahkan
seujung rambutpun tidak.
Thi Kay-seng merasa heran sekali.
Tusukan yang dengan jelas ia lihat menembusi dadanya, ternyata di saat yang terakhir hanya
bergeser lewat dengan menempel di atas dadanya, sebuah serangan yang dengan jelas telah
menembusi tenggorokannya, ternyata meleset sama sekali.
Setiap tusukan dan arah sasaran maupun perubahan dari gerak pedangnya itu seakan-akan telah
berada di dalam dugaannya semua.
Tiba-tiba serangan pedang dari Thi Kay-seng berubah menjadi amat pelan, pelan sekali.
Tusukan itu dilepaskan bukan saja tanpa sasaran tertentu, bahkan sama sekali tak beraturan.
Akan tetapi tusukan itu seakan-akan mata dalam lukisan naga, sekalipun kosong tapi memiliki
kunci perubahan yang sama sekali tak terduga.
Bagaimanapun juga lawannya akan bergerak, asal bergerak sedikit saja, maka akibatnya
serangan berikut akan menembusi tubuhnya dan merenggut nyawanya.
Gerakan Cia Siau-hong hampir berhenti sama sekali, pada detik itu tampaklah gerakan pedang
yang lamban dan kasar yang sedang menusuk tiba pelan-pelan itu, mendadak berubah menjadi
selapis hujan bunga yang menyilaukan mata.
Ya, itulah bunga pedang yang memenuhi seluruh angkasa, hujan pedang yang menyelimuti udara,
tiba-tiba saja berubah menjadi serentetan bianglala yang menyilaukan mata.
Itulah tujuh buah bianglala yang berwarna-warni, tujuh buah tusukan maut yang bergetar di udara,
bergetar sambil melakukan pelbagai perubahan yang tak terhitung banyaknya.
Tapi tiba-tiba saja semua bianglala tergulung di balik awan tebal berwarna hitam.
Itulah kain pengikat berwarna hitam.
Tiba-tiba Thi Kay-seng menghentikan gerakannya, peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya dan
bercucuran seperti air hujan.
Cia Siau-hong menghentikan pula semua gerakannya, lalu sepatah kata demi sepatah kata
bertanya: "Inikah ilmu pedang Toh-mia-cap-sa-kiam dari Yan Cap-sa........?"
Thi Kay-seng membungkam.
Membungkam berarti dia telah mengaku.
"Bagus, ilmu pedang yang sangat bagus!", seru Cia Siau-hong lagi.
Tiba-tiba ia menghela napas panjang lagi, lalu berseru:
"Sayang........sayang......!"
"Apanya yang sayang?", tak tahan Thi Kay-seng bertanya.
"Sayang hanya ada tiga belas jurus, kalau masih ada jurus yang ke empat belas maka aku pasti
kalah" "Mungkinkah masih ada jurus yang ke empat belas?", tanya Thi Kay-seng keheranan.
"Ya, pasti ada!"
Sesudah termenung lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata lebih lanjut.
"Jurus ke empat belas baru merupakan inti sari dari seluruh ilmu pedang ini!"
Intisari dari ilmu pedang berarti nyawa bagi manusia sama-sama tak berwujud dan melayanglayang,
sekalipun tidak terlihat dengan mata, akan tetapi tiada seorang manusiapun yang
menyangkal akan kebenarannya.
Cia Siau-hong berkata kembali:
"Semua perubahan dan kekuatan yang berada dalam Toh-mia-cap-sa-kiam baru akan terpancar
keluar di dalam jurus yang ke empat belas, bilamana jurus ke empat belas dapat dipecahkan lagi,
maka ilmu pedangnya akan berubah menjadi suatu ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia
ini......"
Tangan bergetar keras, tiba-tiba saja kain tersebut menjadi lurus dan kaku persis seperti sebilah
pedang. Ketika pedang itu bergerak ibaratnya sinar di waktu senja, seperti pula matahari, seperti bianglala,
seperti awan hitam, seperti bergerak tapi tenang, seperti kosong tapi nyata, seperti ada di kiri
seperti pula ada di kanan, seperti ada di depan seperti juga di belakang, seperti cepat seperti
pelan, seperti kosong seperti pula berisi.
Sekalipun yang bergerak tak lebih hanya sebilah kain pengikat, tapi dalam sekejap mata telah
berubah menjadi sebilah senjata tajam yang jauh lebih mengerikan daripada senjata tajam
manapun juga. Dalam saat yang amat singkat inilah, peluh dingin telah membasahi seluruh pakaian Thi Kay-seng.
Ia hampir boleh dibilang tak bisa mematahkan lagi serangan tersebut, tak mampu menangkis, tak
mampu menyambut, tak mampu pula untuk menghindarkan diri.
"Inilah jurus yang ke empat belas!", kata Cia Siau-hong.
Thi Kay-seng tak mampu berbicara lagi.
"Jika kau gunakan jurus serangan ini, maka semua jalan mundurku akan kau sumbat hingga aku
menjadi terjepit", Cia Siau-hong berkata lebih jauh.
Thi Kay-seng sedang menyesal, ia menyesal kenapa selama ini tak sanggup untuk memikirkan
perubahan tersebut.
"Sekarang kau sudah melihat jelas jurus seranganku ini?", tanya Cia Siau-hong lagi.
Thi Kay-seng telah melihat jelas, sejak kecil ia sudah mulai belajar ilmu pedang, ia melatihnya
terus dengan tekun.
Dalam bidang ini ia memang seorang manusia cerdas yang berbakat, lagipula pernah
mengucurkan keringat, pernah mengucurkan darah........
"Coba kau ulangi sekali lagi!", Cia Siau-hong berseru.
Thi Kay-seng mainkan lagi semua jurus dan perubahan dari jurus pedang itu sekali lagi, kemudian
baru bertanya: "Sekarang apakah kau dapat mengingat semuanya?"
Thi Kay-seng mengangguk.
"Kalau begitu cobalah kau gunakan!"
Thi Kay-seng memandang ke arahnya, ia masih belum memahami maksudnya yang sebenarnya.
"Aku inginkan kau gunakan jurus pedang itu untuk menghadapiku, coba lihatlah apakah dapat
mengalahkan ilmu pedangku?", kata Cia Siau-hong.
Mencorong sinar mata dari balik mata Thi Kay-seng, akan tetapi dengan cepat sinar mata tajam itu
sirap kembali. "Aku tak dapat berbuat demikian!", sahutnya.
"Aku mengharuskan kau berbuat demikian"
"Kenapa?"
"Sebab akupun ingin mencoba apakah jurus itu bisa mematahkan ilmu pedangku?"
Karena ilmu pedang tersebut meski diciptakan olehnya, akan tetapi perubahan intisarinya jurus
berasal dari ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam (Tiga belas jurus ilmu pedang perenggut nyawa).
Nyawa dari jurus tersebut termasuk juga nyawa dari Yan Cap-sa.
Thi Kay-seng sudah mulai memahami maksudnya, mencorong sinar kagum dari balik matanya.
"Kau memang seorang lelaki yang pantas merasa tinggi hati!"
"Aku memang demikian!"
"Tapi kau memang pantas untuk bersikap demikian!"
"Ya, aku memang begitu!"
ooooOOOOoooo Bab 24. Kemunculan Yang Tak Terduga
Ketika serangan itu dilancarkan hawa pedang yang dingin menyeramkan segera menyelimuti
angkasa, bahkan sinar lentera pun kehilangan cahayanya.
Cia Siau-hong sedang mundur ke belakang.
Serangan tersebut telah menyumbat semua jalan mundur bagi gerakan pedangnya maka terpaksa
ia harus mundur.
Mundur bukan berarti kalah.
Meskipun ia sedang mundur, bukan berarti ia sudah kalah.
Tubuhnya yang tertekan oleh hawa pedang telah melengkung ke belakang, melengkung bagaikan
sebuah gendewa.
Tapi semakin kencang, gendewa itu melengkung, setiap saat kemungkinan besar akan
memberikan daya pantulan yang besar, semakin besar daya tekanannya semakin besar pula daya
pantulnya. Bila saat seperti itu telah tiba, maka saat itu pula mati hidup menang kalah mereka akan
ditentukan. Siapa tahu di saat semua tenaganya tertekan, hingga mencapai pada puncaknya dan sebelum
sempat dipancarkan keluar, tiba-tiba dari belakang kereta barang, dari balik serambi ruangan
bermunculan empat bilah sinar pedang yang berkilauan.
Padahal semua perhatian dan semua kekuatannya sedang ditujukan pada pedang di tangan Thi
Kay-seng, semua kekuatannya sedang dipersiapkan untuk menyambut datangnya serangan
tersebut, ia sama sekali tidak memiliki sisa kekuatan lagi untuk memikirkan persoalan lain.
Cahaya pedang berkelebat lewat, tiga bilah pedang bersama-sama telah menusuk bahu, paha kiri
dan punggungnya.
Seketika itu juga semua kekuatannya gugur dan hilang.
Serangan pedang dari Thi Kay-seng pun telah menyongsong tiba, ujung pedangnya telah
menyambar ke bagian yang mematikan di atas tenggorokannya.
Ia tahu dirinya tak nanti bisa menghindar atau menangkis lagi, akhirnya dia harus merasakan
bagaimana rasanya menghadapi saat kematian.......
......Perasaan yang bagaimanakah keadaan seperti itu"
......Benarkah di saat menjelang kematiannya, seseorang bisa terkenang kembali semua kejadian
yang pernah dialaminya di masa lampau...."
......Sepanjang penghidupannya di dunia ini, sesungguhnya berapa banyak kegembiraan yang
telah ia terima" Berapa banyak kesedihan yang dia alami" Sebenarnya orang lain yang bersikap
masa bodoh kepadanya" Ataukah dia yang telah menyia-nyiakan pengharapan orang"
Semua pertanyaan semacam itu, kecuali dirinya sendiri, boleh dibilang tak seorangpun bisa
menjawabnya. Tapi ia sendiripun tak mampu menjawab.
Ujung pedang yang dingin dan keras telah menusuk tenggorokannya.
Dia hanya merasakan hawa dingin yang merasuk tulang menembusi tubuhnya, begitu dingin
sehingga rasanya amat getir.
Akhirnya Cia Siau-hong roboh ke tanah, roboh di ujung pedang Thi Kay-seng dan tergeletak di
atas genangan darah sendiri.
Ia bahkan tak sempat mengetahui siapakah empat orang penyergapnya itu.
Tapi Thi Kay-seng melihatnya dengan jelas.
Kecuali Cho Han-giok serta dua bersaudara dari keluarga Wan, masih ada lagi seorang manusia
asing yang tinggi semampai dengan pakaian yang perlente, tapi wajahnya justru memancarkan
rasa sedih, murung, letih dan kesal yang amat tebal.
Wan Ji-im sedang tersenyum sambil berkata:
"Kionghi Cong-piautau, akhirnya kau berhasil juga merobohkannya, nama besarmu pasti akan
termashur di mana-mana"
Paras muka Thi Kay-seng sama sekali tidak memancarkan perubahan apa-apa, pedangnya telah
terkulai lemas ke bawah.
"Sekalipun dalam serangan kali ini, kamipun menyumbangkan sedikit tenaga, tapi sesungguhnya
cong-piautau-lah yang telah memegang peranan penting", kata Wan Ji-im lebih jauh.
"Kami berempat menyerang bersama-sama tanpa melukai tempat yang mematikan di tubuhnya,
apakah hal ini kalian siapkan agar aku yang membunuhnya dengan tanganku sendiri?", Thi Kayseng
bertanya. Wan Ji-im sama sekali tidak menyangkal
Thi Kay-seng memperhatikan laki-laki asing berbaju perlente itu sekejap, kemudian katanya:
"Sahabat ini adalah......."
"Dia adalah kongcu dari keluarga Hee-ho, Hee-ho Seng adanya!"
Thi Kay-seng menghela napas panjang, lalu bergumam.
"Terima kasih banyak, terima kasih banyak....."
Suaranya pelan dan rendah, seakan-akan ia merasakan keletihan yang luar biasa, semacam
keletihan yang akan dirasakan sehabis meraih suatu kemenangan.
Kata Wan Ji-im kembali:
"Sekarang darahnya belum dingin mengapa cong-piautau tidak pergunakan darahnya untuk
menambah kesemarakan dari panji merah perusahaanmu.....?"
"Ya, aku memang sedang bermaksud untuk berbuat demikian!"
Ketika kata terakhir melompat keluar, tiba-tiba pedangnya yang terkulai ke bawah itu menyambar
ke depan dan masuk ke tubuh Wan Ji-im.
Dengan terperanjat Wan Ji-im menyambut serangan itu dengan tangkisan, suara beradunya
senjata segera berkumandang memecahkan keheningan.
Dengan suara keras Thi Kay-seng berkata:
"Peristiwa ini bukan aku yang mengatur, Thi Kay-seng bukan manusia rendah yang begitu tak tahu
malu. Penghinaan hanya bisa dicuci dengan darah, kalau bukan darah kalian adalah darahku!"
Ucapan tersebut seakan-akan ditujukan untuk Cia Siau-hong, tapi mungkinkah orang mati masih
bisa menangkap suara"
Selama ini Hee-ho Seng menatap terus tubuh Cia Siau-hong yang tergeletak di tanah dengan
penuh kesedihan, kemarahan dan kebencian yang meluap-luap, tiba-tiba ia melompat ke depan
dan menusuk lambungnya.
Siapa tahu sebelum tusukan itu mencapai sasaran, tiba-tiba Cia Siau-hong melompat bangun dari
genangan darah dan menyusup ke depan.
"Dia belum mati.......dia belum mati.......", teriak Hee-ho Seng dengan suara keras.
Suaranya yang penuh dengan luapan emosi itu hampir mendekati suatu kekalapan, permainan
pedangnya lantaran luapan emosi tersebut berubah pula mendekati kekalapan, bagaikan seorang
yang kalap ia mengejar dari belakang Cia Siau-hong dan melepaskan serangan yang semuanya
ditujukan pada bagian-bagian mematikan di tubuhnya.
Cia Siau-hong telah mencabut keluar pedang yang menancap di tanah itu dan memutar
senjatanya sambil melancarkan serangan balasan.
Dia tidak berpaling, tapi setiap titik kelemahan yang terdapat dalam ilmu pedang Hee-ho Seng
tampaknya sudah ia perhitungkan dengan tepat, meskipun hanya babatan pedang yang
sederhana, akan tetapi semua tempat titik kelemahan di tubuh Hee-ho Seng telah diserang
olehnya. Bagaimanapun Hee-ho Seng berusaha untuk merubah gerak serangannya, setiap kali pula
serangan tersebut kandas di tengah jalan dan hancur berantakan.
Tapi dalam keadaan luka lama belum sembuh, luka baru telah muncul, ayunan tangannya itu
segera mendatangkan rasa sakit yang luar biasa pada bahunya yang robek.
Betul serangan pedangnya menang dalam teknik, sayang kalah dalam tenaga.
"Triiiiing.....!", ketika sepasang pedang saling membentur, kembali pedangnya digetarkan sehingga
terlepas dari cekalannya.
Cahaya pedang bagaikan bintang kejora dengan kecepatan luar biasa senjata itu mencelat keluar
dinding pekarangan.
Menyaksikan pedang sendiri mencelat ke udara, Cia Siau-hong hanya merasakan lambungnya
tiba-tiba berkerut seakan-akan menyaksikan kekasihnya tiba-tiba jauh meninggalkan dirinya,
seperti pula kakinya tiba-tiba menginjak di tempat yang kosong dan terjerumus ke dalam sebuah
jurang yang beribu-ribu kaki dalamnya.
Belum pernah dia mengalami pengalaman seperti ini.
Sesungguhnya kejadian seperti ini tak akan terjadi pada dirinya.
Mata pedang yang dingin telah menempel di atas tengkuknya, hampir saja memotong nadi besar
di atas lehernya.
Hee-ho Seng telah menghentikan gerakan tangannya, lalu sepatah demi sepatah kata ia bertanya:
"Kau tahu siapakah aku?"
"Agaknya tenaga dalam yang kau miliki telah peroleh kemajuan yang amat pesat!", kata Cia Siauhong,
"tapi sebenarnya kau tak pernah menyergap orang dari belakang!"
Hee-ho Seng memutar badannya dan telah tiba dihadapannya, mata pedangpun melingkari
tengkuknya, bergeser pula ke depan sehingga meninggalkan sebuah jalur panjang berdarah
seperti seorang bocah perempuan yang memakai kalung merah di lehernya.
Mulut luka yang ditusuk Thi Kay-seng tadi kini darahnya telah membeku, seperti batu mirah yang
tergantung pada seuntai kalung merah.
Cia Siau-hong sama sekali tidak mengerutkan dahinya, dengan hambar ia berkata:
"Sungguh tak kusangka keluarga persilatan Hee-ho memiliki pula sebilah pedang yang sedemikian
tajamnya!"
Hee-ho Seng tertawa dingin.
"Kejadian tak terduga yang terjadi di dunia ini sesungguhnya memang banyak sekali", katanya.
"Ya, memang banyak sekali!", sambung Cia Siau-hong sambil menghela napas panjang.
Tiba-tiba Hee-ho Seng merendahkan suaranya sambil berbisik:
"Sekarang dia berada di mana?"
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Semestinya kau tahu siapa yang sedang kutanyakan?"
"Kenapa aku semestinya harus tahu?"
Hee-ho Seng menggertak giginya keras-keras menahan rasa bencinya yang meluap-luap,
katanya: "Sejak kawin denganku, dengan sepenuh hati aku melayani dirinya, aku hanya berharap bisa
hidup bahagia dengannya sampai akhir tua nanti, setengah langkahpun tidak meninggalkan


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya, tapi dia........dia.....aiii, dia........"
Ketika berbicara sampai di sini, tiba-tiba suaranya gemetar lewat sesaat kemudian ia baru bisa
melanjutkan kembali kata-katanya.
"Setiap kali ada kesempatan, ia selalu berusaha dengan segala macam akal muslihat untuk kabur
dari sisi tubuhku, pergi berjudi, minum arak, bahkan menjadi pelacur, seakan-akan asal
meninggalkan diriku, maka apapun yang suruh dia lakukan, dengan senang hati ia bersedia untuk
melakukannya"
Cia Siau-hong memandang ke arahnya, timbul juga perasaan simpatik dalam hatinya.
"Mungkin hal ini dikarenakan kau telah melakukan sesuatu kesalahan!", katanya.
"Aku tidak bersalah, dialah yang bersalah, kaulah yang bersalah!", jerit Hee-ho Seng seperti orang
kalap. "Aku yang salah?"
"Hingga sekarang aku baru mengerti, kenapa ia bisa melakukan perbuatan semacam ini"
"Kenapa?"
"Karena.......karena......"
Sambil menggigit bibir, tiba-tiba badannya melingkari kembali tubuh Cia Siau-hong satu lingkaran,
mata pedang sekali lagi meninggalkan bekas darah yang melingkar di atas tengkuk Cia Siau-hong,
ini membuat ia tampak lebih indah, tapi keindahan yang mengenaskan dan mengerikan hati orang.
"Pedang ini adalah sebilah pedang yang tajam!", kata Hee-ho Seng kemudian.
"Ya, aku mengerti!"
"Asal aku melingkari tengkuk tiga kali lagi, maka batok kepalamu segera akan rontok ke tanah"
"Aku tahu!"
"Kalau begitu seharusnya kaupun musti tahu karena apa ia berbuat demikian?"
"Aku tak tahu!"
"Ia berbuat demikian karena kau!", teriak Hee-ho Seng keras-keras.
Suaranya gemetar semakin keras, bahkan tangan dan kakinya ikut menggigil keras.
"Meskipun kawin denganku, tapi dalam hatinya hanya ada kau, tahukah kau selama hidupmu ini
sudah berapa banyak perkumpulan yang hancur di tanganmu" Sudah berapa pasang suami isteri
yang cerai berai karena perbuatanmu?"
Tiba-tiba wajah Cia Siau-hong mulai mengejang keras, mengejang karena penderitaan yang
hebat. Bila seorang lelaki ternyata dicintai seorang perempuan, apakah kesalahan ini terletak pada
pihaknya" Jika seorang perempuan telah mencintai seorang laki-laki yang pantas ia cintai, apakah
perbuatannya inipun salah"
Jika mereka tidak bersalah, siapa pula yang bersalah"
Ia tak sanggup menjawab, diapun tak dapat menjelaskan.
Kombinasi dari sepasang pedang dua bersaudara Wan telah mengunci Thi Kay-seng di posisinya
semula. Sudah sepuluh keturunan keluarga Wan menjagoi dunia persilatan, nama besar mereka tak
pernah runtuh, tentu saja ilmu pedang keluarga mereka telah mengalami penempaan yang
matang, perduli siapapun ingin mematahkan kerja sama dari sepasang pedang mereka, hal ini tak
mungkin bisa dilakukan secara mudah.
Malahan beberapa kali Thi Kay-seng sudah hampir mampu untuk melancarkan serangan yang
berhasil mematahkan lawan.
Ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam yang dimilikinya seakan-akan merupakan ilmu pedang tandingan dari
ilmu pedang semacam itu, asal ia pergunakan jurus yang "ke empat belas", niscaya kerja sama
sepasang pedang itu akan hancur berantakan.
Akan tetapi ia selalu tidak mempergunakan jurus pedang tersebut.
Ia terlalu angkuh.
Bagaimanapun juga jurus pedang itu merupakan hasil ciptaan Cia Siau-hong, padahal antara dia
dengan Cia Siau-hong masih ada persoalan yang harus diperhitungkan.
Walaupun ia tak dapat membiarkan Cia Siau-hong dicelakai orang lantaran terdesak oleh jurus
ciptaannya itu akan tetapi diapun tak dapat menggunakan jurus itu untuk melukai orang.
Selamanya dia adalah seseorang yang mengerti akan pertarungan.
Sayangnya Toh-mia-cap-sa-kiam (tiga belas pedang pencabut nyawa) kekurangan satu jurus
seperti melukis naga yang tidak diberi mata, sekalipun tampak hidup, sayangnya sama sekali tak
berkekuatan. Sewaktu bertarung melawan Cia Siau-hong tadi, ia telah mengerahkan segenap kekuatan yang
dimilikinya, sekarang tenaganya kian lama kian lemah dan tak tahan, serangan-serangannya juga
makin lama semakin macet karena dibendung semua oleh dua bersaudara Wan.
Cho Han-giok tertawa dingin, menyaksikan kesemuanya itu, ia sudah tak sudi untuk turun tangan
lagi, anehnya para piausu dari perusahaan Hong-ki-piaukiok pun hanya berpeluk tangan belaka,
tak seorangpun di antara mereka yang bermaksud maju ke depan membantu cong piautau-nya.
Cahaya pedang berkilauan, di atas leher Cia Siau-hong telah bertambah lagi dengan beberapa
buah luka berdarah, kali ini mata pedang tersebut mengiris lehernya lebih dalam, darah segar
telah mengucur keluar dan membasahi seluruh pakaiannya.
"Mau bicara tidak?", bentak Hee-ho Seng sambil menatapnya tajam-tajam.
"Bicara apa?"
"Asal kau katakan dimanakah ia berada sekarang, segera kuampuni selembar jiwamu"
Sinar mata Cia Siau-hong dialihkan ke tempat kejauhan sana, seakan-akan sama sekali tidak
melihat akan orang yang berada dihadapannya ini.
Lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata:
"Kalau memang dalam hatinya tiada kau, buat apa kau mencari dirinya" Setelah ketemu, apa pula
gunanya?" Otot hijau di atas jidat Hee-ho Seng telah menonjol keluar, peluh dingin setetes demi setetes
meleleh keluar.
"Apalagi akupun tak ingin kau mengampuni jiwaku", kata Cia Siau-hong lagi, "kalau ingin
membunuhku, kau masih belum pantas!"
Hee-ho Seng membentak marah, tiba-tiba pedangnya di dorong ke muka menusuk tenggorokan
Cia Siau Hong. Akan tetapi baru saja pedang itu bergerak, tiba-tiba terdengar "Plaaaak....", mata pedang tersebut
tahu-tahu sudah dijepit oleh sepasang telapak tangan Cia Siau-hong.
Hee-ho Seng ingin mencabut pedangnya, namun tak berhasil mencabutnya hingga terlepas.
Diapun tahu tenaga dalam serta ilmu pedang yang dimilikinya telah peroleh kemajuan yang pesat,
semenjak kalah di tangan Yan Cap-sa, ia benar-benar telah manfaatkan setiap kesempatan untuk
berlatih diri dengan tekun, sayangnya ia masih belum bisa menandingi kehebatan dan
kesempurnaan dari Cia Siau-hong.
Bahkan Cia Siau-hong yang sudah terluka parahpun tak sanggup ditandingi.
Ia telah menyadari bahwa dirinya jangan harap bisa menandingi Cia Siau-hong selama hidup, baik
di dalam bagian manapun.
Menyuruh seseorang mengakui akan kekalahan serta kegagalan dirinya sendiri bukanlah suatu
pekerjaan yang gampang, setelah sampai pada saat tak bisa tidak harus mengakuinya, perasaan
tersebut bukan hanya rasa malu dan marah saja, bahkan rasa sedih yang meluap, semacam rasa
sedih yang penuh penderitaan dan keputus-asaan.
Di atas wajahnya bukan hanya basah oleh keringat saja, air mata ikut jatuh berlinang.
Di sisi tubuhnya masih ada seseorang sedang menghela napas.
Dengan langkah yang pelan, Cho Han-giok telah mendekatinya, di tengah helaan napasnya
terkandung pula rasa simpatik dan kecewa.
"Seandainya tidak terdapat seorang manusia romantis yang tak berperasaan macam dia, enso
tentu dapat menjaga harga dirinya sebagai seorang perempuan, saudara Hee-ho pun tak akan
menelantarkan ilmu silat karena hatinya selalu gundah dan tak tenang. Dengan kecerdasan serta
ilmu pedang warisan keluarga Hee-ho, belum tentu kau tak bisa menandingi Cia Siau-hong dari
perkampungan Sin-kiam-san-ceng"
Apa yang dia katakan memang merupakan suatu kenyataan.
Setia atau tidaknya seorang istri yang dikawini seorang pria, seringkali akan menentukan pula
nasib kehidupan selanjutnya di dunia ini.
Hee-ho Seng menggigit bibirnya kencang-kencang, perkataan itu menyinggung secara telak
hatinya yang sakit dan terluka.
Cho Han-giok kembali tertawa, katanya:
"Untung saja laki-laki romantis yang tak berperasaan inipun seperti juga orang lain, hanya memiliki
dua belah tangan"
Dalam telapak tangannya telah ada pedang.
Ia tersenyum, sambil menempelkan ujung pedangnya ke atas tenggorokan Cia Siau-hong dia
mengejeknya: "Sam sauya, apalagi yang hendak kau ucapkan?"
Apa lagi yang bisa dikatakan oleh Cia Siau-hong"
"Kalau memang demikian, kenapa kau masih belum juga mengendorkan tanganmu?", kata Cho
Han-giok. Cia Siau-hong tahu, asal tangannya dikendorkan maka pedang Hee-ho Seng segera akan
menusuk ke atas tenggorokannya.
Tapi sekalipun ia tidak lepas tangan, juga apa gunanya"
Bila seseorang telah tiba pada saatnya untuk melepaskan tangan tapi masih belum juga lepas
tangan, itu namanya mencari penyakit buat diri sendiri.........
Hanya orang paling bodoh yang akan melakukan perbuatan semacam ini.
Cia Siau-hong bukan orang tolol, sekarang ia telah tiba pada saat harus melepaskan tangannya.
Setelah tiba pada saat seperti ini, ia masih belum bisa melupakan, siapa pula yang masih belum
dapat dilupakan"
Ayah-ibunyakah" Buyung Ciu-ti kah" Atau Siau Te"
Tiba-tiba cahaya pedang di tangan Thi Kay-seng memencar ke depan, seketika dua bersaudara
Wan terdesak mundur ke belakang.
Akhirnya ia menggunakan juga jurus pedang itu! Jurus ke empat belas dari ilmu Toh-mia-cap-sahkiam.
Cahaya pedang berkelebat lewat bagaikan bianglala, hawa pedang terasa menusuk tulang
sumsum, tahu-tahu ujung pedang itu telah tiba di depan mata Cho Han-giok serta Hee-ho Seng.
Tak seorang manusiapun sanggup menghadapi serangan ini.
Mau tak mau mereka harus mundur, mundur dengan cepatnya. Pedang di tangan Hee-ho Seng
telah terlepas pula dari genggamannya.
Sepasang mata Thi Kay-seng menatap ke arah mereka, sebaliknya mulut bertanya kepada Cia
Siau-hong: "Kau masih sanggup membalas serangan?"
"Aku belum mati!", jawab Cia Siau-hong.
"Jurus pedang tadi adalah jurus pedang ciptaanmu, kugunakan jurus tersebut oleh karena kau
harus menolongmu!"
Cia Siau-hong dapat memahami maksud perkataannya.
Seandainya bukan untuk menyelamatkan Cia Siau-hong sampai matipun dia tak akan
mempergunakan jurus pedang tersebut.
"Oleh sebab itu kau tak usah berterima kasih kepadaku", kata Thi Kay-seng lebih jauh, "karena
yang menyelamatkan jiwamu adalah ilmu pedang ciptaanmu, bukan aku!"
Tiba-tiba Cho Han-giok tertawa dingin, katanya:
"Sekarang kau menyelamatkan jiwanya, sebentar siapa pula yang akan menyelamatkan jiwamu?"
Thi Kay-seng memutar kepalanya dan memandang para piausunya.
Di antara mereka kebanyakan adalah rekan-rekan yang hidup senang bersama menempuh
bahaya dan sengsara bersama dirinya, banyak pula di antara mereka yang merupakan jago-jago
pilihan yang berpengalaman luas dalam pelbagai pertarungan.
Akan tetapi ketika sinar matanya menyapu wajah mereka semua, ditemukan bahwa setiap wajah
mereka diliputi sikap yang kaku dan tanpa emosi.
Setiap orang seakan-akan telah berubah menjadi sebatang kayu balok.
Perasaan Thi Kay-seng mulai tenggelam, tiba-tiba hatinya diliputi oleh perasaan gusar dan ngeri
yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Akhirnya ia telah memahami satu hal, semua piausu di bawah panji perusahaannya telah dibeli
orang untuk menghianati dirinya.
Perusahaan Hong-ki-piaukiok pada hakekatnya sudah musnah dan lenyap dari muka bumi.
Menyaksikan perubahan mimik wajahnya yang aneh dan diliputi rasa gusar serta ngeri itu, Cho
Han-giok segera tertawa terbahak-bahak, sambil menuding ke arahnya dengan ujung pedang, ia
berseru: "Bunuh!"
"Barang siapa dapat membunuh mereka berdua akan memperoleh hadiah yang besar!"
"Siapa berhasil mendapat batok kepala mereka mendapat pahala dan hadiah yang cukup
menghidupkan keluarga seumur hidup!"
"Batok kepala Thi Kay-seng bernilai lima ribu tahil perak, batok kepala Cia Siau-hong bernilai
sepuluh ribu tahil perak!"
Serentak para piausu yang berada di sekeliling tempat itu meloloskan senjatanya.
Di bawah cahaya lampu merah yang membara, sinar pedang terasa merah menyala bagaikan
darah. Cia Siau-hong dan Thi Kay-seng berdiri bersanding, dengan dingin memandang cahaya golok
yang sedang berputar dan menari-nari tertuju ke tubuh mereka.
Seandainya kejadian ini berlangsung di hari-hari biasa pada hakekatnya mereka tak akan
memandang sebelah matapun terhadap orang-orang itu, tapi sekarang satu di antara mereka telah
terluka parah sedang yang lain sudah lemah kehabisan tenaganya, sekalipun mereka bertenaga
untuk membantai sampai habis manusia-manusia pengkhianat tersebut, mereka tak akan mampu
menghadapi tiga bilah pedang Cho Han-giok serta dua bersaudara dari keluarga Wan.
Jika seseorang sudah tiba pada saatnya menghadapi kematian, apa pula yang bakal mereka
pikirkan" Tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya:
"Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?"
Thi Kay-seng termenung sebentar, lalu menjawab:
"Aku merasa sangat tak puas, kenapa nilai dari batok kepalamu lebih mahal satu kali lipat
dibandingkan batok kepalaku?"
Mendengar itu Cia Siau-hong segera tertawa terbahak-bahak.
Di tengah gelak tertawa yang amat keras itu, mendadak dari luar dinding pekarangan melompat
masuk sesosok tubuh manusia yang langsung menerjang masuk ke tengah kilatan cahaya golok.
Sambil mengacungkan ibu jari kanan ke langit dan ibu jari kiri ke tanah, ia berteriak keras:
"Thian-tee-yu-kiang, Wi-wo-to-cun! (Baik alam semesta maupun alam baka, hanya akulah yang
dipertuan)"
ooooOOOOoooo Bab 25. Rahasia Besar Hong-Ki-Piaukiok
"Thian-tee-yu-kiang, Wi-wo-to-cun!"
Delapan huruf tersebut seakan-akan merupakan sebuah mantera yang misterius. Dalam waktu
singkat semua cahaya golok yang sedang menari-nari di angkasa itu sirap dan lenyap tak
berbekas. Puluhan orang dengan puluhan pasang mata sama-sama memandang ke arahnya dengan sinar
mata terperanjat.
Paras mukanya seperti juga paras muka Cia Siau-hong begitu pucat, lelah dan murung, tapi
membawa niat serta tujuan yang teguh bagaikan baja.
"Kau?"
Cia Siau-hong, Thi Kay-seng, Cho Han-giok dan dua bersaudara Wan, lima orang sama-sama
mengucapkan sepatah kata yang sama hampir bersamaan waktunya, meski nada suara mereka
jauh berbeda. Suara Thi Kay-seng penuh mengandung rasa kaget dan penasaran.
Cho Han-giok serta dua bersaudara Wan bukan cuma kaget dan keheranan saja, merekapun amat
gusar. Bagaimana dengan Cia Siau-hong"
Siapapun tak dapat melukiskan bagaimanakah persoalannya ketika mengucapkan kata-kata
tersebut, mereka pun tak tahu apa yang dirasakannya ketika itu"
Sebab orang ini ternyata bukan lain adalah Siau Te.
Siapa pula yang tahu bagaimanakah perasaan Siau Te saat ini" Apa pula yang sedang dirasakan
olehnya" Dengan suara lantang Cho Han-giok telah membentak keras:
"Mau apa kau datang kemari?"
"Kemari untuk minta kepada kalian agar melepaskan orang"
"Melepaskan siapa" Thi Kay-seng" Ataukah Cia Siau-hong?"
"Kedua-duanya!"
Cho Han-giok tertawa dingin.
"Dengan mengandalkan apa kau menyuruh kami lepaskan orang" Kau tahu atas perintah
siapakah kami bertindak demikian?"
Siau Te tertawa dingin pula, mendadak ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah lencana
kemala yang berwarna hijau, lencana yang diikat dengan segumpal serat tali berpanca warna.
Paras muka Cho Han-giok segera berubah hebat.
Tentu saja Cho Han-giok mengenali benda itu asal ditinjau dari mimik wajahnya, maka bisa
diketahui bahwa ia pasti kenal dengan benda tersebut.
Paras muka orang lainpun sama seperti mimik wajahnya, di tengah rasa kejut dan heran
membawa pula rasa ngeri yang tebal.
Siau Te sama sekali tidak memandang lagi ke arah mereka, walau hanya sekejappun, pelan-pelan
ia mundur ke belakang, mundur ke samping Cia Siau-hong, lalu berbisik:
"Mari kita pergi!"
Cia Siau-hong berpaling, memandang ke arah Thi Kay-seng, kemudian katanya pula:
"Kau juga akan pergi?"
Thi Kay-seng termenung membungkam diri, akhirnya ia mengangguk.
Ia terpaksa harus pergi.
Untuk melepaskan hasil perjuangannya selama banyak tahun, serta mengakui kekalahan dirinya,
bukan saja hal ini teramat sulit
Istana Pulau Es 14 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bukit Pemakan Manusia 11
^