Pendekar Gelandangan 9

Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Bagian 9


, lagi pula amat menyiksa batin.
Tapi diapun tahu bahwa dirinya sudah tiada pilihan lain lagi.
Untuk melepaskan seekor ikan besar yang sudah terpancing dari tangan sendiri, hal itupun
termasuk suatu kejadian yang amat menyiksa batin.
Tapi tak seorangpun berani menghalangi mereka, tak seorangpun berani berkutik dari tempat
semula. Lencana kemala bertali serat panca warna itu meski tidak memiliki kekuatan yang bisa mengejar
sukma atau perenggut nyawa, tapi melambangkan suatu kekuatan tertinggi untuk menguasai,
merampas dan membunuh siapapun juga.
Di luar pintu ada kereta.
Kudanya kuda cepat, keretanya kereta baru.
Tentu saja kesemuanya itu telah dipersiapkan Siau Te sebelumnya, ketika ia memutuskan untuk
melakukan suatu perbuatan sebelumnya, ia pasti mempersiapkan segala sesuatunya dengan
cermat dan teliti.
Kereta kuda berjalan kencang, namun ruangan kereta terasa tenang dan nyaman.
Cia Siau-hong bersandar di sudut ruang kereta, mukanya pucat pias karena kehilangan darah
terlalu banyak, mukanya lebih lagi loyo dan kusut.
Meski demikian sinar matanya memancarkan cahaya tajam.
Ia gembira, bukan dikarenakan ia masih hidup lebih jauh, melainkan karena ia tiba-tiba mempunyai
rasa percaya lagi terhadap orang lain.
Terhadap seorang yang paling dikuatirkan dan diperhatikan, ia telah meletakkan semua tumpuan
harapannya di atas tubuh orang ini.
Siau Te sebaliknya sedang menatap Thi Kay-seng, tiba-tiba ia berkata pelan:
"Sebenarnya aku bukan datang untuk menolongmu, akupun tidak ingin menolongmu!"
"Aku tahu!", jawab Thi Kay-seng.
"Aku menolongmu karena aku tahu bahwa dia tak akan membiarkan kau tinggal seorang diri di
sini, karena kalian bukan saja telah bertarung bersama, lagi pula kaupun telah menyelamatkan
dirinya! Perduli bagaimanapun juga itu semua adalah urusan kalin, urusan yang sama sekali tiada
hubungannya dengan diriku"
"Aku mengerti!"
"Oleh karena itu sekarang kau masih bisa mencariku untuk membuat perhitungan dalam setiap
saat yang kau inginkan!"
"Membuat perhitungan apa?"
"Panji perusahaanmu......"
"Hong-ki-piaukiok telah hancur dan musnah, darimana lagi datangnya panji perusahaan?", tukas
Thi Kay-seng. Ia tertawa, suara tertawanya penuh mengandung rasa sedih dan duka, katanya lebih lanjut:
"Jika panji perusahaanpun sudah tak ada, perhitungan apa pula yang musti kulakukan?"
"Masih ada sedikit perhitungan yang musti dilakukan!", tiba-tiba Cia Siau-hong berkata.
"Perhitungan soal apa lagi?"
"Sekuntum bunga mutiara!"
Ia menatap wajah Thi Kay-seng lekat-lekat, kemudian katanya lagi:
"Betulkah kau yang menyuruh orang membeli kuntum bunga mutiara tersebut?"
"Benar!", jawab Thi Kay-seng tanpa pikir ataupun dipertimbangkan lebih jauh.
"Aku tak percaya!", kata Cia Siau-hong.
"Aku tak pernah berbohong!"
"Bagaimana dengan Thi Gi" Apakah ia berbohong juga?"
Thi Kay-seng segera menutup mulutnya rapat-rapat.
Cia Siau-hong kembali bertanya:
"Apakah perempuan itu benar-benar adalah perempuanmu" Apakah apa yang diucapkan Thi Gi
semuanya adalah kata-kata yang sejujurnya?"
Thi Kay-seng masih menampik untuk menjawab.
Tiba-tiba Siau Te menyela:
"Aku telah berjumpa lagi dengan perempuan itu!"
"Oya?", seru Cia Siau-hong.
"Ia telah mencariku dan memberi sepucuk surat kepadaku, ia minta kuserahkan surat kepadamu
bahkan harus diserahkan kepadamu sendiri, karena ini surat tersebut adalah suatu rahasia yang
sangat besar"
Setelah berhenti sejenak, sepatah demi sepatah kata ia melanjutkan:
"Rahasia dari perusahaan Hong-ki-piaukiok!"
"Mana suratnya!"
"Di sini!"
Surat itu disimpan dalam sebuah sampul yang amat rapat jelas isi surat itu adalah sebuah rahasia
yang pasti akan mengejutkan hati setiap orang yang mengetahuinya.
Tetapi Cia Siau-hong sama sekali tidak melihat isi surat itu, karena sewaktu Siau Te
mengeluarkannya, secepat kilat Thi Kay-seng telah menyambarnya dan merampas secara paksa,
setelah itu sepasang telapak tangannya digosokkan keras-keras, surat itu segera berubah menjadi
hancuran kertas yang amat kecil, ketika terhembus angin segera beterbangan di angkasa
bagaikan kupu-kupu yang sedang menari-nari.
Sambil menarik muka, Cia Siau-hong segera berkata:
"Tindakan semacam itu semestinya bukan tindakan dari seorang lelaki sejati"
"Aku memang bukan seorang lelaki sejati!", jawab Thi Kay-seng tenang.
"Akupun bukan!", sambung Siau Te.
"Kau.....!"
"Kalau seorang lelaki sejati, dia tak akan merampas surat orang lain, diapun tak akan mencuri lihat
surat orang lain, kau bukan seorang laki-laki sejati, untungnya akupun bukan"
Paras muka Thi Kay-seng berubah hebat.
"Kau telah membaca isi surat itu?", serunya.
Siau Te segera tertawa.
"Bukan cuma membaca saja bahkan setiap patah kata telah kuingat semua dengan jelasnya!"
Kulit muka Thi Kay-seng mengejang keras seakan-akan lambungnya di hantam orang keras-keras
secara tiba-tiba membuat sekujur tubuhnya menjadi lemas dan roboh terkapar di tanah.
Sesungguhnya rahasia apakah yang tercantum dalam surat itu" Kenapa Thi Kay-seng
menunjukkan sikap yang begitu jeri dan ketakutan"
Aku bukan perempuan peliharaan Thi Kay-seng.
Sebenarnya aku ingin merayunya, sayang ia terlalu keras kepala, hakekatnya aku tak berhasil
menemukan sedikit kesempatanpun.
Untung saja Thi Tiong-khi telah tua, ia tidak memiliki lagi semangat dan kegagahannya seperti
semasa muda dahulu, makin lama ia mulai semakin tertarik dengan perempuan-perempuan cantik.
Aku selamanya berparas cantik, maka akupun berubah menjadi perempuan peliharaannya.
Asal dapat menghindari Hee-ho Seng, lelaki yang lebih tua atau lebih jelekpun aku mau.
Lelaki yang paling memuakkan hatiku di dunia ini adalah Hee-ho Seng.
Asal congpiautau dari perusahaan Hong-ki-piaukiok bersedia menerimaku dan memeliharaku tentu
saja selama hidup Hee-ho Seng tak akan menemukan diriku, apalagi meski Thi Tiong-khi sudah
tua, sikapnya terhadap diriku ternyata baik sekali, belum pernah ia mendesak kepadaku untuk
menanyakan asal usulku.
Thi Kay-seng bukan saja lelaki sejati, diapun seorang anak yang berbakti., asal bisa membuat
ayahnya bergembira, pekerjaan apapun bersedia ia lakukan, bahkan menghadiahkan sekuntum
bunga mutiara serta sepasang gelang untukku.
Cuma sayang kehidupan yang baik dan penuh kebahagiaan ini tak berlangsung terlalu lama,
walaupun Hee-ho Seng tidak menemukan diriku, Buyung Ciu-ti justru telah menemukan aku.
Ia mengetahui rahasiaku ini, maka digunakannya hal tersebut untuk mengancamku, memerintah
kepadaku untuk melakukan pekerjaan baginya.
Aku tidak bisa tidak menyanggupi, akupun tidak berani tidak menyetujui.
Secara diam-diam kubantu dirinya untuk memelihara piausu dari perusahaan Hong-ki-piaukiok,
menjadi mata-mata baginya untuk menyelidiki berita tentang perusahaan, ia merasa kurang cukup,
ia minta kepadaku untuk mengadu domba hubungan mereka ayah dan anak, serta membantunya
untuk melenyapkan Thi Kay-seng.
Walaupun Thi Tiong-khi amat menuruti semua perkataanku, hanya dalam persoalan ini, walau
apapun yang kukatakan kepadanya, ia tak mau mempercayai ataupun menurut.
Oleh sebab itu Buyung Ciu-ti menitahkan kepadaku untuk mencampuri araknya dengan racun.
Malam itu hujan dan angin turun dengan kencangnya, ketika kusaksikan Thi Tiong-khi meneguk
habis arak racunku, sedikit banyak hatiku merasa sangat tak enak, tapi aku tahu bahwa rahasia ini
tak akan diketahui oleh siapapun, sebab mereka yang bertugas menjaga halaman belakang pada
malam itu telah disuap pula oleh pihak Thian-cun.
Meskipun setelah peristiwa itu Thi Kay-seng merasa amat curiga, namun ia tak berhasil
mendapatkan sedikit buktipun.
Untuk melindungi nama baik ayahnya, sudah barang tentu ia tak akan menceritakan kejadian ini
kepada siapapun.
Tapi sekarang aku telah menceritakan kesemuanya.
Karena aku harus membuat kau tahu, kekejaman dan kekejian Thian-cun sungguh menakutkan,
sekalipun aku bukan seorang perempuan baik-baik, tapi demi kau, apapun aku rela
melakukannya. Asal selamanya kau dapat teringat akan hal ini, persoalan yang lain aku tak ambil perduli.
Isi surat itu panjang sekali, tapi Siau Te dapat menghapalkannya di luar kepala tanpa ketinggalan
sebuah tulisanpun.
Daya ingatannya selama ini memang sangat baik.
Sehabis mendengarkan isi surat tersebut, air mata telah membasahi seluruh wajah Thi Kay-seng.
Cia Siau-hong serta Siau Te pun merasakan hatinya amat sedih dan tersiksa.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya dengan suara lirih:
"Di manakah orangnya sekarang?"
"Sudah pergi!", jawab Siau Te.
"Kau tidak bertanya kepadanya hendak pergi kemana?"
"Tidak!"
Tiba-tiba Thi Kay-seng berkata pula:
"Akupun harus pergi, kaupun tak usah bertanya kepadaku hendak kemana, karena walaupun kau
tanyakan, akupun tak akan menjawab pertanyaanmu itu!"
Tentu saja dia harus pergi.
Ia masih banyak urusan yang harus diselesaikan, urusan yang mau tak mau harus diselesaikan.
Cia Siau-hong cukup memahami situasinya, diapun memahami perasaannya, maka tak sepatah
katapun yang ia ucapkan.
Tiba-tiba Thi Kay-seng mengajukan sesuatu pertanyaan yang membuat ia merasa tercengang dan
di luar dugaan.
"Inginkah kau minum arak?"
Cia Siau-hong tertawa.
Tertawa itu terlalu dipaksakan, tapi suatu pertanyaan yang amat riang.
"Kau juga ingin minum?"
"Bolehkah aku minum sedikit?"
"Tentu saja boleh!"
"Kalau memang begitu, kenapa kita tidak pergi minum barang dua cawan.....?"
"Dalam keadaan seperti ini, masih mungkinkah buat kita untuk minum arak?"
"Kalau belinya susah, dapatkah kita pergi mencuri?"
Cia Siau-hong manggut-manggut.
"Dapat!"
Thi Kay-seng ikut tertawa.
Siapapun tak tahu senyuman macam apakah itu.
"Seorang laki-laki sejati tak akan mencuri arak milik orang untuk di minum, juga tak akan minum
arak hasil curian, untung saja aku bukan seorang lelaki sejati, kau juga bukan!"
Malam sudah semakin kelam, suasana amat sepi dan hening, paling tidak sebagian besar
suasana waktu itu sudah sepi.
Di tengah malam yang hening dan sepi semacam ini, biasanya hanya ada dua macam manusia
yang merasa tidak tenang dan tidak aman......
Mereka adalah manusia yang karena berjudi telah berubah menjadi seorang setan judi.
Serta orang yang karena minum arak telah berubah menjadi setan arak.
Akan tetapi bahkan dua jenis manusia yang biasanya selalu bergadang dan keliaran di tengah
malam butapun, kini ikut menjadi sepi dan hening.
Oleh karena itu, arak yang ingin mereka minum terpaksa didapatkan dengan jalan mencuri.
Mereka tidak mencuri bohong-bohongan!.
Mereka benar-benar pergi mencuri!
"Kau pernah mencuri arak?"
"Apakah aku belum pernah mencurinya?"
"Aku pernah!", agaknya Cia Siau-hong merasa amat bangga dengan prestasinya itu, "usiaku
belum genap sepuluh tahun, aku sudah mulai mencuri arak untuk di minum!"
"Mencuri arak milik siapa?"
"Mencuri arak milik bapakku sendiri!", jawab Cia Siau-hong sambil tertawa, "loyacu kami yang ada
di rumah itu meski tak sering minum arak, ternyata ia selalu menyimpan arak yang berkwalitet
paling baik, mungkin arak-arak yang disimpannya itu jauh lebih baik daripada pedang-pedang
yang kami simpan!"
"Kalau memang begitu banyak arak bagus yang disimpan di rumahmu, mengapa perkampungan
yang kalian huni itu tidak dirubah saja namanya menjadi perkampungan Sin-ciu-san-ceng
(perkampungan arak sakti)?", kata Thi Kay-seng sambil tertawa tergelak.
~Bersambung ke Jilid-16
Jilid-16 "Sebab di antara keluarga yang menghuni dalam perkampungan kami, kecuali aku seorang, yang
lain adalah lelaki-lelaki sejati, kuncu semua! Tak ada yang menjadi setan arak!"
"Untung saja kau bukan setan arak!", kata Thi Kay-seng dengan cepat sambil tertawa.
Cia Siau-hong ikut tertawa.
"Ya, untung saja kaupun bukan!"
Di tengah malam yang sepi dan hening, di tengah jalan raya yang lengang dan sunyi, ternyata
masih terdapat dua gelintir manusia yang belum tenang.
Ternyata ke dua orang manusia itu masih bergelak tertawa masih menikmati arak curian dengan
gaduhnya.........
Ya, mereka sama sekali tak tenang, sama sekali tak hening, seakan-akan larutnya malam dan
sepinya suasana sama sekali tidak berpengaruh banyak buat mereka.
Karena hati mereka berduapun tidak tenang.
ooooOOOOoooo Bab 26. Terluka Parah
Kereta kuda sudah berhenti di tempat kejauhan, merekapun sudah pergi amat jauh.
"Walaupun arak yang disimpan dalam rumah kami termasuk arak bagus, sayang sekali baru dua
kali aku mencuri telah tertangkap basah", Cia Siau-hong ternyata masih tertawa, seakan-akan
sedang menceritakan suatu sejarahnya yang gemilang dan patut dibanggakan, "oleh karena itu
untuk selanjutnya terpaksa aku harus mencuri milik orang lain"
"Mencuri milik siapa?"
"Di seberang pantai telaga Liok-sui-oh terdapat sebuah warung arak, pemiliknya juga she Cia,
sejak pertama kali aku sudah tahu kalau dia adalah seorang yang sangat baik"
"Maka dari itu kau pergi mencuri miliknya!"
"Mencuri angin jangan mencuri rembulan, mencuri hujan jangan mencuri salju, mencuri orang
baik, jangan mencuri orang jahat!"
Mimik wajah Cia Siau-hong ketika mengucapkan kata-kata tersebut bagaikan mimik wajah guru
sedang mengajar muridnya.
"Itulah nasehat yang dikuatirkan raja pencuri dan nenek moyang pencuri untuk kita semua, jika
ingin menjadi seseorang pencuri cilik, maka jangan lupa untuk menghapalkan kata-kata nasehat
tersebut di dalam hatinya"
"Sebab sekalipun di tangkap orang baik juga tak akan luar biasa akibatnya, lain kalau ditangkap
orang jahat, bisa remuk semua tulang di dalam tubuhmu!"
"Bukan cuma remuk semua tulangmu, akibatnya benar-benar bisa luar biasa sekali!"
"Tapi orang baikpun juga pandai menangkap pencuri?"
"Oleh karena itulah, lagi-lagi aku tertangkap basah", Cia Siau-hong sedang menghela napas,
"sekalipun tidak luar biasa akibatnya, namun akupun mendapat sebuah pelajaran!"
"Pelajaran apa?"
"Kalau ingin mencuri arak untuk di minum, lebih baik biarkan orang lain yang pergi mencuri,
sedangkan dirimu paling banyak hanya berdiri di luar sambil memperhatikan situasi!"
"Baik, kali ini biar aku yang mencuri, kau berjaga-jaga saja di luar rumah!"
Thi Kay-seng benar-benar tidak mencuri arak, benda apapun tak pernah dicuri olehnya, tapi
perduli apakah yang di suruh curi, ia tak pernah mengalami kesulitan.
Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya mungkin tak bisa dikatakan yang terbaik, tapi jika kau
memiliki dua ratus guci arak yang disembunyikan di bawah pembaringan, sekalipun telah dicuri
sampai ludas olehnya, belum tentu kau akan menyadari hal ini.
Jarang sekali ada orang yang menyembunyikan guci araknya di kolong pembaringan.
Hanya di gedung-gedung besar, rumah-rumah orang kaya baru di simpan arak wangi, seringkali
gedung-gedung megah itu memiliki gudang arak yang khusus.
Untuk mencuri arak yang disimpan dalam gudang arak, sudah barang tentu jauh lebih gampang
daripada mencuri guci arak yang di simpan di kolong pembaringan.
Kepandaian Thi Kay-seng untuk mencuri arak meski tak bisa dibandingkan kepandaian Cia Siauhong,
takaran-takaran araknya juga selisih tak sedikit.
Oleh karena itu, yang mabuk terlebih dulu tentu saja dia.
Entah mabuk sungguh-sungguh" Atau mabuk pura-pura" Mabuk seluruhnya" Atau mabuk
setengah" Kata-kata yang diucapkan kenyataannya jauh lebih banyak daripada di hari-hari biasa,
lagi pula apa yang di bicarakan adalah kata-kata yang di hari-hari biasa tak pernah dikatakan
olehnya. Tiba-tiba Thi Kay-seng bertanya:
"Saudara yang bernama Siau Te, apakah benar-benar bernama Siau Te......?"
Cia Siau-hong tak dapat menjawab, pun tak ingin menjawab.
"Siau Te sesungguhnya she apa" Kau suruh dia bagaimana mesti menjawab?"
"Tapi perduli dia bernama Siau Te atau bukan, yang pasti dia sudah bukan seorang Siau Te (adik
kecil) lagi", sambung Thi Kay-seng lebih lanjut.
"Ya, dia bukan!"
"Sekarang dia sudah seorang lelaki sejati!"
"Kau menganggap dia adalah seorang lelaki sejati?"
"Aku hanya tahu, seandainya aku adalah dia, kemungkinan besar tak akan kuungkapkan isi surat


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu!" "Kenapa?"
"Karena akupun tahu bahwa dia adalah orangnya Thian-cun, ibunya adalah Buyung Ciu-ti!"
Cia Siau-hong termenung sampai lama sekali, akhirnya dia menghela napas panjang.
"Ya, dia memang sudah seorang lelaki sejati!"
"Aku masih mengetahui juga akan satu persoalan!", kata Thi Kay-seng kembali.
"Persoalan apa?"
"Ia datang menolongmu, kau merasa sangat gembira bukan dikarenakan ia telah menyelamatkan
jiwamu, melainkan karena ia telah datang"
Cia Siau-hong minum arak, lalu tertawa getir.
Walaupun arak itu dingin, walaupun terasa pula sedikit getir, apa mau dikata dalam hatinya justru
penuh dengan kehangatan serta luapan rasa terima kasih.
Berterima kasih kepada seseorang yang bisa memahami suara hati serta jalan pemikirannya.
"Ada satu hal kau boleh tak usah kuatir, aku tak akan pergi mencari Si Ko-jin lagi!", kata Thi Kayseng.
Si Ko-jin adalah perempuan seperti kucing itu.
"Karena meskipun ia berbuat salah, kesalahan itu disebabkan suatu paksaan, lagi pula ia telah
menebus dosanya"
"Tapi......", bisik Cia Siau-hong.
"Tapi kau harus pergi mencarinya!", sambung Thi Kay-seng.
Dengan suara yang keras ia melanjutkan:
"Walaupun aku tidak pergi mencarinya, kau harus pergi mencari dirinya"
Cia Siau-hong dapat memahami maksud hatinya.
Meskipun Thi Kay-seng melepaskan dirinya, Buyung Ciu-ti tak akan melepaskan dirinya dengan
begitu saja. Bahkan Cho Han-giok, dua bersaudara dari keluarga Wan, serta perusahaan Hong-ki-piaukiok pun
sudah berada di bawah kekuasaan Thian-cun, dewasa ini masih ada persoalan apa lagi yang tak
sanggup mereka lakukan"
"Aku pasti akan pergi mencarinya!", Cia Siau-hong berjanji.
"Selain itu masih ada pula seorang lain yang mau tak mau harus kau temui juga!"
"Siapa?"
"Yan Cap-sa!"
Malam sudah kelam, udara serasa gelap gulita, inilah saat paling gelap menjelang tibanya fajar.
Cia Siau-hong memandang ke tempat kejauhan sana, ia merasa Yan Cap-sa seolah-olah berdiri di
tempat kegelapan di kejauhan sana, seakan-akan telah melebur diri dengan kesepian malam yang
dingin ini. Ia belum pernah berjumpa dengan Yan Cap-sa tersebut.
Seseorang yang kesepian dan dingin.
Semacam rasa dingin, kaku dan letih yang telah merasuk ke tulang sumsum.
Ia letih karena ia sudah membunuh terlalu banyak orang, bahkan ada di antara mereka orangorang
yang tidak seharusnya di bunuh.
Ia membunuh orang, karena ia tiada pilihan lain kecuali berbuat demikian.
Dari dasar hatinya yang paling dalam, Cia Siau-hong menghela napas panjang.
Ia dapat memahami perasaan semacam ini, hanya dia yang bisa memahami perasaan semacam
ini paling mendalam.
Karena diapun membunuh orang, diapun sama-sama merasa letih, pedangnya dan nama
besarnya seolah-olah telah menjadi sebuah bungkusan yang selamanya tak dapat ia tanggalkan,
dengan berat menindih di atas bahunya, membuat untuk napaspun tersengkal rasanya.
Barang siapa menjadi pembunuh, seringkali akibat apakah yang akan diterimanya" Apakah dia
harus mati pula di tangan orang lain"
Tiba-tiba ia teringat kembali perasaan hatinya di saat menghadapi kematian tadi.
Di detik-detik terakhir sesungguhnya apa yang telah ia pikirkan di dalam hati"
"Yan Cap-sa"
Setelah menyebutkan ke tiga patah kata ini, Thi Kay-seng yang sebenarnya sudah mabuk
kepayang seolah-olah menjadi sadar kembali secara tiba-tiba.
Sorot matanya pun ditujukan ke tempat kejauhan sana, lewat lama sekali pelan-pelan dia baru
berkata: "Selama hidupmu, manusia manakah yang pernah kau jumpai dan kau anggap paling
menakutkan?"
"Dia adalah seorang asing yang belum pernah kujumpai", jawab Cia Siau-hong.
"Orang asing tidak menakutkan!"
Karena orang asing kalau toh tidak memahami perasaanmu, dia tak akan tahu pula titik
kelemahanmu. Hanya seorang sahabat yang paling akrab baru akan mengetahui tentang kesemuanya ini,
menanti mereka telah mengkhianati dirimu, barulah serangan mereka akan membinasakan dirimu.
Kata-kata semacam ini sama sekali tidak ia utarakan, dia tahu Cia Siau-hong pasti dapat
memahami pendapat tersebut.
"Tapi orang asing ini justru jauh berbeda dengan orang-orang yang lain......", Cia Siau-hong
menerangkan. "Apa perbedaannya?"
Cia Siau-hong tak sanggup menjawab.
Oleh karena tak sanggup menjawab, maka hal ini barulah sangat menakutkan.
Kembali Thi Kay-seng bertanya:
"Kau pernah menjumpainya di mana?"
"Di suatu tempat yang sangat asing bagiku."
Di tempat yang sangat asing itulah ia telah berjumpa dengan orang asing yang menakutkan, ia
sedang berkumpul dengan seorang yang paling dekat dan akrab dengannya, sedang
membicarakan ilmu pedang.
Sedang membicarakan ilmu pedangnya.
Apakah orang yang paling dekat dan paling akrab dengannya itu adalah Buyung Ciu-ti"
"Menurut pendapatmu, orang asing tersebut mungkinkah Yan Cap-sa?", tanya Thi Kay-seng.
"Kemungkinan besar!"
Tiba-tiba Thi Kay-seng menghela napas panjang.
"Dalam kehidupan ini, orang paling menakutkan yang pernah kujumpai adalah dia, bukan kau!"
"Bukan aku?"
"Ya, sebab bagaimanapun juga kau toh tetap seorang manusia!"
Mungkin hal ini disebabkan karena aku telah berubah.
Ucapan tersebut sama sekali tidak diutarakan oleh Cia Siau-hong, karena bahkan dia sendiri tak
tahu mengapa dirinya dapat berubah.
"Yan Cap-sa justru bukan!", kata Thi Kay-seng.
"Dia bukan manusia?"
"Seratus persen bukan!"
Setelah termenung sejenak, pelan-pelan dia melanjutkan:
"Dia tak berkawan, tiada sanak saudara, walaupun ia sangat baik kepadaku, mewariskan ilmu
pedangnya kepadaku, tapi belum pernah membiarkan aku bergaul mesra dan akrab dengannya,
diapun belum pernah membiarkan aku tahu darimanakah dia datang, dan hendak pergi kemana?"
......Karena dia kuatir dirinya telah mengikat hubungan batin dengan seseorang.
......Karena untuk menjadi seorang pendekar pedang pembunuh manusia dia harus tak
berperasaan. Kata-kata tersebutpun tidak diutarakan Thi Kay-seng, ia percaya Cia Siau-hong pasti dapat
memahaminya. Lama sekali mereka membungkamkan diri dalam seribu bahasa, tiba-tiba Thi Kay-seng berkata
lagi: "Perubahan jurus ke empat belas dari Toh-mia-cap-sah-kiam tersebut, bukanlah hasil ciptaanmu!"
"Apakah dia?"
Thi Kay-seng manggut-manggut.
"Sejak lama ia sudah tahu tentang perubahan jurus yang ke empat belas ini, lagi pula diapun
sudah lama mengetahui kalau di balik ilmu pedangmu masih terdapat sebuah titik kelemahan"
"Akan tetapi ia tidak mewariskannya kepadamu?", kata Cia Siau-hong.
"Ya, ia tidak mewariskannya kepadaku"
"Kau anggap dia sengaja menyembunyikannya?"
"Aku tahu ia tidak bermaksud demikian"
"Kau juga tahu kenapa ia bertindak demikian?"
"Ya, karena dia kuatir setelah kupelajari perubahan jurus pedangnya itu, maka aku akan datang
mencarimu"
"Karena dia sendiripun masih belum mempunyai keyakinan yang mantap terhadap perubahan
jurus itu", Cia Siau-hong menambahkan.
"Tapi kaupun sama juga tak memiliki keyakinan untuk mematahkan jurus pedangnya itu"
Cia Siau-hong tidak memberikan reaksi apa-apa.
Thi Kay-seng menatapnya tajam-tajam, kemudian berkata:
"Aku tahu, kau sendiripun tidak mempunyai keyakinan, sebab ketika kugunakan jurus pedang tadi,
seandainya kau mempunyai keyakinan sedari tadi kau sudah turun tangan, kaupun tak akan
membiarkan dirimu kena disergap serta dilukai orang"
Cia Siau-hong masih belum mempunyai keyakinan.......
"Kunasehati dirimu lebih baik janganlah pergi mencarinya", kata Thi Kay-seng, "oleh karena kalian
berdua sama-sama tidak mempunyai keyakinan, aku tak ingin menyaksikan kalian berdua saling
membunuh dan kedua-duanya terluka parah"
Cia Siau-hong kembali termenung sampai lama sekali, tiba-tiba ia bertanya:
"Seseorang di kala berada di saat menjelang kematiannya, apa yang biasanya dipikirkan?"
"Apakah dia akan mengenang kembali semua sanak keluarganya yang paling akrab selama hidup
serta kenangan-kenangan di masa lampau?"
"Bukan!"
Ia menambahkan:
"Sebenarnya akupun beranggapan pasti hal-hal itu yang dipikirkan, tapi semenjak aku merasakan
pula detik-detik menjelang saat kematian ternyata yang dipikirkan bukanlah persoalan-persoalan
tersebut" "Apa yang kau pikirkan ketika itu?"
"Jurus pedang itu, jurus pedang yang ke empat belas!"
Thi Kay-seng termenung akhirnya dia menghela napas panjang, dalam detik yang singkat itu, apa
yang dipikirkan olehnya ternyata jurus pedang itu pula.
Seseorang apabila telah mengorbankan segenap kehidupannya untuk pedang, bagaimana
mungkin di saat menjelang kematiannya dapat memikirkan persoalan yang lain"
"Sebenarnya aku memang tidak memiliki keyakinan untuk mematahkan jurus pedang itu", kata Cia
Siau-hong, "tapi pada detik yang terakhir itulah, dalam hatiku seolah-olah telah melintas suatu
ingatan sekalipun jurus pedang itu tampaknya tangguh kokoh dan tak mampu dipatahkan, tapi
oleh sambaran kilat yang melintas dalam benakku itulah segera mengalami perubahan!"
"Berubah menjadi bagaimana?"
"Berubah menjadi sangat menggelikan!"
Jurus pedang yang sebenarnya menakutkan tiba-tiba saja berubah menjadi sangat menggelikan,
perubahan semacam inilah baru benar-benar merupakan suatu perubahan yang mengerikan.
Thi Kay-seng minum arak semakin banyak semakin cepat.
"Arak bagus!", serunya kemudian.
"Arak yang di dapatkan dengan jalan mencuri, biasanya memang arak bagus.....", kata Cia Siauhong.
"Setelah perpisahan hari ini, entah sampai kapan kita dapat mabuk bersama?"
Tiba-tiba Thi Kay-seng tertawa terbahak-bahak, sambil tertawa tergelak ia bangkit berdiri, lalu
tanpa mengucapkan sepatah katapun pergi dari situ.
Cia Siau-hong tidak berbicara apa-apa pula, dia hanya menyaksikan ia tertawa tergelak,
menyaksikan ia pergi meninggalkan tempat itu.
Meskipun Thi Tiong-khi bukan ayah kandungnya, tapi demi menjaga serta melindungi nama baik
Thi Tiong-khi, ia lebih suka mati, lebih suka menanggung dan memikul semua dosa tersebut,
karena bagaimanapun juga mereka telah mempunyai hubungan batin antara seorang ayah
dengan anaknya.
Cia Siau-hong tidak tertawa.
Teringat akan hal ini, dari mana mungkin bisa tertawa"
Ia telah meneguk habis arak yang terakhir, ia tak dapat membedakan lagi apakah rasanya arak itu
pedas" Atau getir"
Perduli pedas atau getir, yang pasti tetap adalah arak, bukan air, juga bukan darah, tak
seorangpun dapat memungkiri kenyataan ini.
Bukankah hal ini sama juga dengan hubungan batin antara ayah dan anaknya"
Fajar telah menyingsing.
Kereta kuda itu masih ada, Siau Te pun masih ada pula.
Ketika Cia Siau-hong berjalan kembali, meski sudah hampir mabuk, anyir darah di tubuhnya justru
jauh lebih tebal daripada bau harumnya arak.
Siau Te menyaksikan ia naik ke atas kereta, menyaksikan ia roboh di lantai, namun apapun tidak
dibicarakan. Tiba-tiba Cia Siau-hong berkata:
"Sayang sekali kau tidak ikut kami minum arak bersama-sama, arak itu benar-benar adalah arak
bagus!" "Arak hasil curian biasanya memang selalu adalah arak bagus!", jawab Siau Te.
Itulah kata-kata yang pernah diucapkan Cia Siau-hong belum lama berselang.
Cia Siau-hong segera tertawa terbahak-bahak.
"Sayang sekali betapapun baiknya arak tersebut, juga tak akan menyembuhkan luka yang kau
derita", kembali Siau Te menambahkan.
Perduli apakah luka itu berada di badan" Ataukah di hati" Kedua-duanya tak akan bisa
disembuhkan. Cia Siau-hong masih juga tertawa:
"Untung saja ada sementara luka yang pada hakekatnya tak perlu disembuhkan lagi"
"Luka apakah itu?"
"Luka yang pada hakekatnya tak mungkin bisa disembuhkan!"
Siau Te memandang ke arahnya, lewat lama sekali baru pelan-pelan katanya:
"Kau mabuk!"
"Kaupun mabuk?", sambung Cia Siau-hong.
"Oya?"
"Kau harus tahu jenis manusia manakah di dunia ini yang paling gampang melepaskan diri dari
segala-galanya?"
"Tentu saja orang mati!"
"Jika kau tidak mabuk, maka kalau memang kau berusaha keras untuk melepaskan diri dari
kejaranku, mengapa pula justru datang menyelamatkan diriku?"
Siau Te menutup kembali mulutnya, tiba-tiba ia turun tangan menotok sebelas buah jalan darah di
tubuhnya. Paling akhir yang masih sempat dilihat olehnya adalah sepasang mata Siau Te, sepasang mata
yang penuh dengan pancaran perasaan yang tak akan dipahami oleh siapapun juga.
Waktu itu sinar matahari sedang memancar masuk lewat daun jendela, menyinari sepasang
matanya. Ketika Cia Siau-hong tersadar kembali, pertama-tama yang dilihat olehnya juga mata, tapi bukan
mata Siau Te. Ada belasan buah mata yang dijumpainya.
Tempat itu adalah sebuah gedung yang sangat besar, keadaan maupun suasananyapun ikut
megah pula. Ia sedang berbaring di atas sebuah pembaringan yang sangat besar.
Belasan orang sedang mengelilingi pembaringan itu dan mengawasi dirinya, ada yang kurus
tinggi, ada yang gemuk, ada yang tua, ada pula yang muda, pakaian maupun dandanan mereka
amat perlente, muka merah segar, jelas orang itu adalah manusia-manusia yang sudah biasa
hidup makmur dan senang.
Belasan pasang mata itu ada yang besar, ada pula yang kecil, sinar mata mereka tajam sekali,
setiap mata mereka semua membawa semacam perasaan yang sangat aneh, seakan-akan
segerombol penjagal yang sedang mengamati korban atau kambing jagalannya, tapi tak dapat
mengambil keputusan dari manakah mereka akan mulai turun tangan.
Perasaan Cia Siau-hong bagaikan tenggelam ke dasar samudra yang tak terukur dalamnya.
Tiba-tiba ia menemukan bahwa seluruh kekuatan yang dimilikinya telah lenyap tak berbekas,
bahkan tenaga untuk bangkit berdiripun sudah tak ada.
Sekalipun ia dapat bangkit berdiri, asal setiap orang dari belasan orang tersebut mendorongnya
pelan dengan ujung jari masing-masing, maka dia akan berbaring kembali.
Sesungguhnya siapakah mereka ini" Kenapa mereka memandang ke arahnya dengan sorot mata
seaneh ini"
Tiba-tiba belasan orang itu membubarkan diri, mengundurkan diri jauh ke sudut ruangan sana dan
berkumpul kembali sambil berbisik-bisik seperti merundingkan sesuatu.
Walaupun Cia Siau-hong tidak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, tapi ia tahu bahwa
mereka pasti sedang merundingkan sesuatu persoalan yang sangat penting dan persoalan
tersebut pasti mempunyai hubungan yang sangat erat dengan dirinya.
Sebab sambil berunding, seringkali mereka masih berpaling dan diam-diam memperhatikan dirinya
dengan ujung mata.
Apakah mereka sedang berunding dengan cara apakah hendak menghadapi dirinya" Menyiksa
dirinya" Di manakah Siau Te"
Akhirnya Siau Te muncul juga.
Selama beberapa waktu, tampaknya ia sangat lelah dan payah, wajahnya tampak layu dan
mengenaskan. Tapi sekarang ia telah berganti dengan satu stel pakaian yang baru dan indah, rambutnya di sisir
pula dengan rapi dan licin.
Pada hakekatnya ia seperti telah berubah menjadi seseorang yang lain.
Persoalan apakah yang secara tiba-tiba membuat semangatnya bangkit kembali"
Apakah karena pada akhirnya ia berhasil menemukan suatu cara yang paling bagus, akhirnya
menjual Cia Siau-hong ke pihak Thian-cun untuk memperoleh pahala besar"
Menyaksikan ia berjalan masuk, belasan orang itu segera mengerumuni dirinya, sikap mereka
murung dan gelagapan.
Paras muka Siau Te serius, tanyanya dengan suara dingin:
"Bagaimana?"
"Tidak bisa!", jawab belasan orang itu hampir bersamaan waktunya.
"Tiada cara lain?"
"Tak ada!"


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Te segera menarik mukanya, sinar kegusaran memancar keluar dari balik matanya, tiba-tiba
ia turun tangan dan mencengkeram kerah baju salah seorang di antaranya.
Orang itu berusia paling besar, gayanya pun paling mentereng, di tangannya masih memegang
sebuah huncwe antik yang paling tidak harganya mencapai seribu tahil emas murni.
Akan tetapi di hadapan Siau Te pada hakekatnya ia seperti seekor kucing yang sedang
menangkap tikus.
"Kaukah yang bernama Kian Hu-seng?", tegur Siau Te.
"Benar!"
"Konon orang lain memanggil dirimu sebagai Ki-si-hu-seng (Bangkit dari kematian hidup kembali)
Kian Toa-sianseng?"
"Itu hanya julukan yang diberikan orang lain kepadaku, lohu sesungguhnya tak pantas menerima
panggilan tersebut", jawab Kian Hu-seng.
Siau Te memperhatikannya dari atas hingga ke bawah, tiba-tiba ia tertawa lagi.
"Ehmm.....! Pipa huncwe-mu tampaknya indah sekali", dia berseru.
Meskipun Kian Hu-seng masih merasa sangat ketakutan, namun sinar matanya toh memancarkan
juga sinar kebanggaan.
Pipa huncwe itu terbuat dari batu kumala asli yang diukir, ia seringkali membawanya kemanapun
ia pergi, bahkan sewaktu tidurpun ia selalu meletakkannya di bawah bantal.
Setiap kali ia mendengar ada orang memuji pipa huncwe-nya, pada hakekatnya ia merasa lebih
bangga daripada mendengar orang lain memuji-muji akan kehebatan ilmu pertabibannya.
Siau Te tersenyum kembali, katanya:
"Agaknya pipamu itu terbuat dari sebuah batu kumala yang utuh, harganya paling tidak pasti di
atas seribu tahil perak bukan?"
Tak tahan Kian Hu-seng ikut tertawa.
"Sungguh tak kusangka toa-sauya juga seseorang yang mengerti nilainya sebuah benda",
serunya. "Darimana kau dapatkan begitu banyak uang perak?"
"Itulah biaya yang diberikan para penyakitan kepadaku sewaktu selesai pengobatan"
"Tampaknya tidak sedikit biaya pengobatan yang kau terima"
Lama kelamaan Kian Hu-seng tak bisa tertawa lagi.
"Bolehkah pinjamkan kepadaku sebentar?", tanya Siau Te.
Sekalipun Kian Hu-seng merasa sangat keberatan, namun iapun tak berani untuk tidak diberikan
kepadanya. Siau Te menerima pipa huncwe itu, dan dinikmatinya sebentar, setelah itu gumamnya:
"Bagus, betul betul sebuah barang bagus, cuma sayang manusia semacam kau masih belum
pantas untuk mempergunakan barang sebagus ini!"
Baru selesai ia berkata: "Traaaak....!" Pipa huncwe yang tak ternilai harganya itu tahu-tahu sudah
dibantingnya sehingga hancur berkeping-keping.........
Paras muka Kian Hu-seng segera berubah hebat, berubah menjadi lebih jelek dari wajah seorang
anak berbakti yang baru saja kematian ibu kandungnya, hampir saja dia akan menangis.
Siau Te segera tertawa dingin, katanya:
"Percuma kau disebut Tabib kenamaan, biaya pengobatan yang kau terima jauh lebih tinggi
daripada siapapun, tapi luka ringan sekecil itupun tak sanggup kau sembuhkan, sebenarnya kau
ini manusia maknya macam apa?"
Sekujur badan Kian Hu-seng menggigil keras, peluh dingin membasahi seluruh badannya, bibirnya
tergagap tapi entah harus berbicara apa.
Pemuda perlente yang berada di sampingnya segera tampil ke depan sambil memprotes:
"Luka semacam itu bukan suatu luka yang ringan, sedemikian parahnya luka yang diderita tuan
itu, pada hakekatnya baru pertama kali ini kujumpai kasus seperti ini"
"Kau ini manusia macam apa?", seru Siau Te sambil melotot sekejap ke arahnya.
"Aku bukan barang, aku adalah manusia, bernama Kian Po-sia!"
"Kau anaknya Kian Hu-seng?"
"Benar!"
"Kalau toh kau bernama Kian Po-sia, aku pikir kau pasti sudah memperoleh seluruh warisan ilmu
pertabiban yang dimilikinya, pengetahuanmu pasti tidak cetek!"
"Walaupun pelajaran yang kuterima masih terlalu cetek, akan tetapi pengetahuanku tentang luka
bacokan serta cara pengobatannya masih mengetahui sedikit banyak"
Kemudian sambil menuding orang-orang di belakangnya, dia berkata kembali:
"Beberapa orang empek dan paman ini semuanya merupakan tabib berpengalaman dari daerah
ini, jika kami beberapa orang tak sanggup menyembuhkan luka tersebut, jangan harap orang lain
bisa menyembuhkannya"
Siau Te menjadi sangat gusar.
"Darimana kau tahu kalau orang lainpun tak dapat menyembuhkannya?", teriaknya.
"Luka yang berada di tubuh tuan ini seluruhnya berjumlah lima tempat, dua di antaranya adalah
luka lama, sedang tiga lainnya baru dilukai pada dua hari berselang, meskipun tusukan itu tidak
berada di tempat yang berbahaya atau mematikan, tapi setiap tusukan itu menghasilkan luka yang
sangat dalam, luka itu sudah hampir menyentuh tulang persendian serta otot-otot pentingnya"
Setelah menghembuskan napas panjang, ia berkata lebih lanjut:
"Bila seseorang segera mencari pengobatan dan beristirahat penuh setelah terluka, mungkin luka
itu tak akan sampai mendatangkan cacad badan, sayangnya bukan saja setelah terluka bekerja
kelewat batas, bahkan masih juga minum arak, arak yang diminumpun sangat banyak, mulut
lukanya sekarang sudah mulai membusuk"
Apa yang diucapkan memang semuanya jitu dan cocok dengan ke adaan yang sesungguhnya,
maka Siau Te hanya mendengarkan saja di samping.
Terdengar Kian Po-sia berkata lebih lanjut:
"Tapi yang paling parah keadaannya adalah dua buah luka lamanya itu, sekalipun kami berhasil,
dia cuma bisa hidup tujuh hari lagi"
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan:
"Ya, tujuh hari yang terakhir!"
"Tapi bukankah ke dua buah luka lamanya sudah merapat kembali seperti sedia kala?", ucap Siau
Te. "Justru lantaran mulut lukanya sudah merapat kembali, maka paling banter ia cuma bisa hidup
tujuh hari lagi"
"Aku tidak mengerti!"
"Kau tentu saja akan mengerti, dasarnya memang tidak banyak orang yang mengerti akan
persoalan ini, lebih tidak beruntung ternyata ia telah mengenal seseorang bahkan secara
kebetulan orang itu adalah sahabatnya"
"Sahabatnya?", Siau Te lebih-lebih tidak mengerti lagi.
"Setelah terluka kebetulan ia berjumpa dengan sahabatnya itu, kebetulan sahabatnya membawa
obat luka yang paling baik, tapi kebetulan pula membawa racun Huan-kut-san (bubuk pembuyar
tulang) yang paling beracun......."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Obat luka menutup kulit, bubuk penghancur tulang di kala mulut luka sudah merapat, racun keji
itu sudah merasuk ke tulang, dalam tujuh hari mendatang, ke seratus tiga puluh tujuh batang
tulang belulang di sekujur tubuhnya pasti akan melarut dan hancur sebagai gumpalan darah
kental" Siau Te menggenggam tangannya kencang-kencang, lalu berseru:
"Apakah ada obat mustika yang bisa memunahkan racun itu?"
"Tidak ada!"
"Juga tak ada orang yang bisa memunahkan racun ini?"
"Tidak ada!"
Jawaban singkat, tandas dan jelas, membuat orang tak bisa sangsi lebih baik lagi untuk tak
percaya. Tapi bila kenyataan ini harus dipercayai oleh Siau Te, maka hal tersebut merupakan suatu
kejadian yang kejam, kejadian yang menyiksa perasaan dan batinnya.
Hanya dia seorang yang tahu siapakah sahabat yang dimaksudkan Kian Po-sia tersebut, justru
lantaran dia tahu, maka batinnya merasa lebih menderita, lebih tersiksa.
Hanya penderitaan, lain tidak!.
Karena dia bahkan untuk membencipun tak dapat membenci.
Seharusnya yang dicintai ternyata tak dapat dicintai, seharusnya benci tak dapat di benci,
berbicara bagi seorang pemuda yang darahnya belum mendingin seperti dia, bagaimana mungkin
penderitaan tersebut dapat ditahan"
Tiba-tiba ia seperti mendengar Cia Siau-hong sedang bertanya:
"Paling banter tujuh hari, paling sedikit berapa hari?"
Ia tak berani berpaling untuk menatap Cia Siau-hong, pun tak ingin mendengar jawaban dari Kian
Po-sia. Tapi ia telah mendengar semuanya dengan jelas.
"Tiga hari!"
Walaupun jawaban dari Kian Po-sia masih tetap singkat, tandas dan jelas, namun nada suaranya
telah membawa suatu kesedihan, suatu perasaan murung yang apa boleh buat.
"Paling sedikit mungkin hanya tiga hari"
Bagaimanakah perasaannya di kala seseorang secara tiba-tiba mengetahui bahwa kehidupannya
tinggal tiga hari saja"
Reaksi dari Cia Siau-hong ternyata sangat istimewa. Ia tertawa.
Kematian bukan suatu kejadian yang menggelikan, pasti bukan!.
Lantas mengapa ia tertawa" Apakah lantaran ia sedang mengejek, mencemooh kehidupannya"
Atau karena semacam pemandangan yang terbuka atas kehidupannya di dunia ini"
Tiba-tiba Siau Te memutar badannya dan menerjang ke sisinya, lalu dengan suara keras berteriak:
"Mengapa kau masih tertawa" Kenapa kau masih bisa tertawa?"
Cia Siau-hong tidak menjawab, sebaliknya malah balik bertanya:
"Mereka semua datang dari tempat yang jauh, sebagai tuan rumah mengapa kau tidak
menyediakan arak untuk mereka?"
Tangan Kian Hu-seng masih saja gemetar keras, saat itu dia baru bisa menghembuskan napas
panjang. "Ya, aku pikir setiap orang memang membutuhkan secawan arak pada saat ini!"
Yang dimaksudkan 'secawan arak' pada umumnya bukan benar-benar cuma secawan belaka.
Setelah tiga cawan arak masuk ke perut Kian Hu-seng baru dapat memulihkan kembali
perasaannya. Arak memang dapat mengendorkan syarat orang, membuat perasaan orang menjadi tenang.
Seorang tabib yang sepanjang tahun bertugas menangani orang yang terluka memang tidak
seharusnya memiliki sepasang tangan yang sering menggigil keras.
Cia Siau-hong memperhatikan terus tangannya dari samping, tiba-tiba ia bertanya:
"Kau sering minum arak?"
Kian Hu-seng sangsi sejenak, akhirnya dia mengakui juga:
"Ya, aku sering minum, cuma tidak banyak yang kuminum!"
"Bila seseorang seringkali minum arak, apakah hal ini lantaran dia gemar minum?"
"Mungkin begitulah!"
"Kalau memang gemar minum mengapa tidak minum agak banyak agar lebih puas?"
"Karena minum arak yang terlampau banyak akan merugikan kesehatan badan, oleh karena
itu......."
"Oleh karena itu meski dalam hati kau ingin minum lebih banyak namun mau tak mau kau harus
berusaha keras untuk mengencang napsu sendiri, bukan?"
Kian Hu-seng mengakuinya.
"Karena kau masih ingin hidup lebih lanjut masih ingin hidup beberapa tahun lagi, hidup makin
lama semakin baik, maka meski mengencang napsu sendiri kaupun rela melakukannya?", Cia
Siau-hong menambah.
Kian Hu-seng lebih-lebih tak dapat menyangkal lagi........selembar nyawanya memang lebih
berharga daripada arak, siapa yang tidak menyayangi nyawa sendiri"
Cia Siau-hong mengangkat cawannya dan meneguk isinya sampai habis, kemudian katanya lagi:
"Di kala seseorang masih hidup dia tentu mempunyai banyak keinginan yang tak berani
dilakukannya, karena bila seseorang ingin hidup lebih lanjut, ia tak akan terlepas dari pelbagai
ikatan, pantangan maupun peraturan, bukankah.....demikian?"
Sekali lagi Kian Hu-seng menghela napas panjang, setelah tertawa getir, katanya:
"Dari kehidupan kita di alam semesta, siapakah yang dapat melepaskan diri dari ikatan, pantangan
maupun peraturan" Siapakah yang dapat melakukan apa yang diinginkan dalam hatinya secara
bebas dan leluasa?"
"Hanya sejenis manusia!", jawab Cia Siau-hong.
"Manusia yang mana?"
Cia Siau-hong tersenyum.
"Mereka yang tahu kalau usianya paling banter tinggal beberapa hari!"
Ia sedang tertawa tapi kecuali ia sendiri, siapa yang tega ikut tertawa" Siapa pula yang bisa
tertawa" Di antara sekian banyak kesedihan yang di alami manusia, kesedihan manakah yang
bisa menandingi kesedihan akibat suatu kematian" Semacam kesedihan yang tak terlukiskan........
Tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya:
"Andaikata kau tahu bahwa usiamu paling banter tinggal beberapa hari lagi, dalam beberapa hari
yang teramat singkat itu, apa yang bakal kau lakukan" Bagaimana caramu mengatur jadwal
kehidupanmu yang teramat singkat itu?"
ooooOOOOoooo Bab 27. Tiga Hari Yang Penuh Keanehan
Itulah suatu pertanyaan yang aneh, aneh tapi menarik, namun mengandung pula sindiran yang
keji. Mungkin ada banyak orang pernah bertanya kepada diri sendiri, di kala tengah malam mereka
terbangun dan tak dapat tidur kembali.
Seandainya aku hanya bisa hidup tiga hari lagi, dalam tiga hari yang singkat ini apa yang hendak
kulakukan"
Tapi orang yang bisa mengajukan pertanyaan ini untuk bertanya kepada orang lain tentu tak
banyak jumlahnya.
Sekarang, ternyata Cia Siau-hong mengajukan pertanyaan ini, yang dia tanya bukan seseorang
tertentu, melainkan setiap orang yang hadir di tempat itu.
Mendadak seseorang melompat bangun dari tempat duduknya dan berteriak keras:
"Kalau dia adalah aku, maka aku hendak membunuh orang"
Orang ini bernama Si Keng-meh. Keluarga Si adalah sebuah keluarga yang termashur di sungai
besar, kakek moyangnya dulu adalah seorang tabib kenamaan, ketika ilmu pertabiban tersebut
diwariskan kepadanya, ia sudah merupakan keturunan yang ke sembilan dan setiap generasinya
semuanya merupakan orang-orang terpandang yang terhormat dan tahu aturan.
Tentu saja diapun seorang lelaki sejati, jarang bicara, sopan santun dan tahu adat, tapi sekarang
ternyata dia mengucapkan kata-kata tersebut, orang yang kenal dengannya tentu saja dibikin
terperanjat. Cia Siau-hong sebaliknya malah tertawa.
"Kau hendak membunuh orang" Berapa banyak yang hendak kau bunuh?", tanyanya.
Agaknya Si Keng-meh dibikin terperanjat oleh pertanyaan itu, gumamnya seorang diri:
"Membunuh berapa orang" Berapa orang yang bisa kubunuh?"
"Kau ingin membunuh berapa orang?"
"Sebetulnya aku hanya ingin membunuh seorang, tapi setelah kupikir kembali, rasanya masih ada
orang yang masih dibunuh pula!"
"Apakah mereka telah berbuat sesuatu yang menyalahi dirimu?"
Si Keng-meh menggigit bibirnya kencang-kencang, sinar berapi-api memancar keluar dari balik
matanya, dan setiap waktu setiap saat, ia hendak memenggal batok kepala mereka.
Cia Siau-hong menghela napas panjang, katanya:
"Sayang kau masih mempunyai waktu yang cukup lama untuk hidup, karena itu kaupun hanya
bisa menyaksikan hidup aman sentosa dengan bebasnya, bahkan mungkin hidup mereka jauh
lebih gembira dan bahagia daripada dirimu sendiri"
Sampai lama sekali Si Keng-meh berdiri termangu-mangu, pelan-pelan tangannya yang
menggenggam mengendor kembali. Sinar berapi-api yang memancar keluar dari matanya juga
mulai lenyap, ujarnya dengan sedih:
"Benar, justru karena aku harus hidup lebih lanjut, maka terpaksa aku pun membiarkan mereka
hidup lebih jauh!"
Nada suaranya penuh dengan perasaan sedih dan apa boleh buat, baginya bisa hidup lebih jauh
bukan merupakan suatu hal yang menggembirakan, sebaliknya justru berubah menjadi beban dan
tanggung-jawab.
Tanpa sadar ia mulai bertanya pada diri sendiri:
"Jika seseorang harus hidup lebih jauh, sesungguhnya kejadian ini adalah suatu kemujuran"
Ataukah suatu ketidak-mujuran?"
Tiba-tiba Cia Siau-hong berpaling, sambil menatap wajah Kian Po-sia dia bertanya:
"Dan kau!"
Sebenarnya Kian Po-sia hanya termenung terus selama ini, maka pertanyaan yang diajukan
kepadanya itu sangat mengejutkan hatinya.
"Aku?", dia berseru.
"Kau adalah seorang manusia yang punya bakat dan kepandaian, mana asal-usulnya baik,
kepandaiannya baik, lagi pula gagah dan perkasa, aku pikir selama ini kau pasti dihormati setiap
orang dan kau sendiri tentu saja tak akan berani melakukan perbuatan yang melanggar sopan
santun dan adat istiadat!"
Kian Po-sia tidak menyangkal.
"Tapi seandainya hidupmu tinggal tiga hari lagi, apa yang bakal kau lakukan......?", tanya Cia Siauhong
lagi. "Aku.....aku akan baik-baik mengatur semua persiapan pada akhir hidupku dan kemudian
menunggu kematian dengan tenang!"
"Sungguh?"
Sinar matanya lebih tajam dari sembilu, seakan-akan sedang menembusi hatinya dan mengorek
isi hatinya. "Jujurkah perkataanmu itu?"
Kian Po-sia tertunduk rendah-rendah, tapi dengan cepat mendongakkan kepalanya kembali sambil
berteriak: "Tidak, tidak jujur, aku sedang berbohong!"
Setelah meneguk tiga cawan arak, ia berkata lagi dengan suara lantang:
"Seandainya hidupku tinggal tiga hari, aku akan pergi makan besar, minum sepuasnya, berjudi
dan akhirnya mengumpulkan semua pelacur yang ada di kota ini, menelanjangi mereka semua
dan bermain petak-umpet dengan mereka"
Dengan perasaan terkejut ayahnya memandang ke arahnya, lalu berseru:
"Kau.....kau.....mengapa kau bisa berpikir melakukan perbuatan semacam ini?"
"Perbuatan semacam itu merupakan perbuatan yang paling menyenangkan, andaikata kau hanya


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa hidup tiga hari kemungkinan besar kaupun akan berbuat seperti apa yang kukatakan!"
"Aku......aku.......", Kian Hu-seng tergagap dan tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya.
"Sayang, kalian semua masih hidup lebih lama lagi", kata Cia Siau-hong, "maka sekalipun dalam
hati ingin sekali, kalian hanya bisa memikirkannya saja dalam hati"
Akhirnya Kian Hu-seng menghela napas, setelah tertawa getir, ujarnya:
"Terus terang kukatakan pada hakekatnya untuk membayangkan saja aku tak berani"
Seorang nona berusia dua puluh delapan-sembilan tahunan, kebetulan masuk ke dalam ruangan
sambil membawa semangkuk besar itik masak angsio yang masih kebul-kebul.
Tiba-tiba Siau-hong bertanya kepadanya:
"Seandainya kau bisa hidup tiga hari lagi, apa yang ingin kau lakukan....?"
Oleh pertanyaan tersebut, tampaknya nona tersebut merasa amat terkejut, ia menjadi tergagap
dan tak mampu mengucapkan sepatah kata.
Sambil menarik muka Siau Te segera membentak:
"Kalau memang Cia sianseng bertanya kepadamu, apa yang ingin kau katakan harus kau katakan
dengan sejujurnya"
Dengan perasaan ya malu, ya takut, akhirnya nona itu menjawab juga dengan wajah merah:
"Aku ingin kawin!"
"Apakah selama ini kau belum pernah kawin?"
"Belum!"
"Kenapa tidak kawin?"
Dengan wajah tersipu-sipu, nona itu menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Semenjak kecil aku sudah dijual kepada orang untuk menjadi pelayan, manusia seperti aku mana
mungkin bisa mendapat suami yang baik" Lagi pula lelaki mana yang bersedia mengawini diriku?"
"Tapi seandainya kau hanya bisa hidup tiga hari lagi, tentunya tak akan kau perdulikan bukan
lelaki mana yang bakal mengawini dirimu?"
"Ya, asal dia seorang lelaki, seorang lelaki hidup, laki-laki tulen, itu sudah lebih dari cukup", jawab
si nona. Tiba-tiba wajahnya bersinar dan tampak lebih bersemangat, dengan suara keras ujarnya kembali:
"Setelah itu akan kubunuh dirinya......!"
Kalau ada seorang nona yang berusia dua puluh delapan-sembilan tahunan ingin kawin, maka
kejadian ini bukan sesuatu yang aneh, tapi kata-katanya yang terakhir justru membuat orang
merasa tidak habis mengerti...............
Dengan perasaan terkejut, semua orang bertanya:
"Kalau kau memang berkeinginan untuk kawin dengannya, kenapa pula kau hendak
membunuhnya?"
"Karena akupun belum pernah merasakan jadi seorang janda, aku ingin tahu bagaimanakah
rasanya menjadi seorang janda!"
Semua orang saling berpandangan dan ingin tertawa, tapi tak seorangpun di antara mereka bisa
tertawa, siapapun tidak menyangka kalau perempuan ini bisa berpikir begini hebat dan luar biasa,
suatu angan-angan yang lain daripada yang lain.
"Sayang aku masih akan hidup lama di dunia ini!", ujar si nona kembali, "oleh sebab itu bukan saja
aku tak akan menjadi seorang janda, bahkan kemungkinan untuk kawinpun amat tipis!"
Ia menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang, setelah meletakkan mangkuk ke meja,
dengan kepala tertunduk ia mengundurkan diri dari ruangan itu.
Lewat lama, lama sekali, dari atas pembaringan tiba-tiba terdengar seseorang bergumam:
"Andaikata aku hanya bisa hidup tiga hari lagi, aku pasti akan mengawininya"
Orang ini bernama Yu Cun-cay, diapun seorang tabib kenamaan bahkan seorang lelaki yang
berjiwa ksatria dan gagah perkasa, apa lacur, ia memiliki bentuk tubuh yang aneh dan lucu, bukan
cuma punggungnya bongkok, kakinya pincang, bahkan seluruh mukanya penuh dengan bopeng.
Justru lantaran dia punya nama.......bukan cuma nama dalam profesi bahkan nama besar karena
kejelekannya, maka walaupun banyak mak comblang yang berusaha dengan segala cara dan akal
mencarikan jodoh baginya, begitu pihak wanita mengetahui kalau jodohnya adalah "Ma Tay-hu"
atau Tabib Bopeng, kontan saja mereka mengundurkan diri cepat-cepat, malah ada satu kali sang
mak comblang kena diusir orang dengan sapunya.
"Kau betul-betul ingin mengawininya?", tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya pelan.
"Perempuan itu mana bersih, mana montok, halus lagi kulit badannya, bisa mengawininya sebagai
biniku, hal mana sudah terhitung rejekiku, cuma sayang....."
"Cuma sayang kau masih belum mati maka mau tak mau harus mempertahankan pula nama baik
keluargamu, bagaimanapun tak mungkin akan mengawini seorang pelayan dan menjemputnya
pulang dengan tandu besar yang digotong delapan orang", sambung Cia Siau-hong.
Yu Cun-cay cuma mengangguk, menghela napas, tertawa getir dan meneguk arak.
Cia Siau-hong kembali tertawa terbahak-bahak.
Dengan keheranan semua orang menatap dirinya yang sedang tertawa.
Pelan-pelan Cia Siau-hong berkata lagi:
"Tadi kalian semua ingin bertanya kepadaku, seorang yang dengan jelas tahu bahwa dirinya
hampir mati, kenapa masih juga bisa tertawa tergelak" Sekarang mengapa kalian tidak bertanya
lagi?" Tak seorangpun yang menjawab, tak seorangpun dapat menjawab pertanyaannya itu.
Cia Siau-hong segera memberi jawaban atas pertanyaannya sendiri:
"Karena sekarang secara diam-diam kalian sedang mengagumi diriku, iri kepadaku, sebab apa
yang ingin kalian lakukan ternyata tak berani dilakukan, sedang aku dapat melakukannya semua
dengan bebas dan leluasa....."
"Bila seseorang bisa hidup bebas dan leluasa selama beberapa hari dengan penuh keriangan dan
kegembiraan tanpa segala ikatan dan batasan-batasan, aku percaya pasti ada banyak orang yang
secara diam-diam iri dan kagum kepadanya"
Yu Cun-cay sudah menghabiskan dua cawan arak, tiba-tiba ia bertanya:
"Bagaimana dengan kau sendiri" Selama beberapa hari ini, apa yang ingin kau lakukan?"
"Aku minta kau mengawininya!", jawab Cia Siau-hong.
Sekali lagi Yu Cun-cay terperanjat.
"Mengawini siapa?"
"Adik angkatku!"
"Adik angkatmu" Siapa adik angkatmu?"
Mendadak Cia Siau-hong menyerbu ke depan dan menarik masuk si nona pelayan yang selama
ini bersembunyi di luar pintu dan diam-diam mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Dialah adik angkatku!", Cia Siau-hong menerangkan.
Yu Cun-cay tertegun. Si nonapun tertegun.
"Kau she apa" Siapa namamu?", tanya Cia Siau-hong lebih lanjut.
Si nona menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Sebagai pelayan orang, dari mana datangnya nama she (marga)" Majikan hanya memberi nama
Hong-bwe kepadaku!"
"Mulai sekarang kau punya nama she, kau she Cia!", kata Cia Siau-hong lagi.
"She Cia?"
"Mulai sekarang kau sudah menjadi adik angkatku, aku she Cia, kalau tidak ikut she Cia lantas she
apa?" "Tapi kau.....kau....."
"Aku adalah Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng,
telaga Liok Sui-oh, bukit Cui-im-kok"
Agaknya Hong-bwe pernah mendengar nama itu, dia mengulangi:
"Sam sauya dari keluarga Cia" Cia Siau-hong?"
"Ya, perduli siapapun setelah menjadi adik angkatnya Sam sauya dari keluarga Cia, kejadian ini
sudah pasti bukan merupakan kejadian yang memalukan!"
Lalu sambil menuding ke arah Yu Cun-cay, dia melanjutkan:
"Walaupun orang ini bukan tergolong tampan, tapi dia adalah seorang suami yang baik"
Kepala Hong-bwe tertunduk semakin rendah.
Cia Siau-hong menarik tangannya dan diletakkan di atas genggaman Yu Cun-cay, kemudian
berkata lebih lanjut:
"Detik ini ku umumkan bahwa kalian sudah menjadi suami isteri, adakah seseorang merasa
keberatan?"
Tak ada! Tentu saja tak ada! Karena kejadian ini adalah suatu peristiwa perkawinan suatu
perkawinan yang luar biasa, tidak menuruti aturan permainan, bahkan agak sedikit tak masuk di
akal. Tapi, perkawinan dalam bentuk macam apapun selalu akan mendatangkan kegembiraan dan
kobaran semangat bagi siapapun.
Hanya Si Keng-meh yang duduk terpekur dengan wajah murung dan sedih.
Pelan-pelan Cia Siau-hong menghampirinya, tiba-tiba ia bertanya:
"Apakah orang itu adalah sahabatmu?"
"Orang yang mana?", tanya Si Keng-meh.
"Orang yang telah berbuat kesalahan kepadamu!"
Si Keng-meh mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, katanya:
"Aku.......aku selalu menganggapnya sebagai sahabatku, tapi dia........dia.......!"
"Ternyata dia telah melakukan perbuatan yang menyalahi diriku......?"
Si Keng-meh menutup mulutnya rapat-rapat, sepatah katapun tidak diucapkan, tapi air matanya
sudah jatuh bercucuran membasahi pipinya, agaknya ia tak tega untuk mengutarakan kisah
tersebut. Betapapun besarnya rasa benci dan dendam, betapapun dalamnya penderitaan dan siksaan, ia
dapat menerimanya sambil mengertak gigi, tapi ia tak kuasa menahan rasa malu dan aib yang
diberikan peristiwa ini kepada dirinya.
Cia Siau-hong memandang ke arahnya, memandang dengan penuh rasa simpatik.
"Aku dapat melihat bahwa kau adalah seorang yang amat jujur!"
Si Keng-meh menundukkan kepalanya makin rendah, katanya dengan amat sedih:
"Aku tak lebih hanya seorang manusia yang tak berguna!"
Orang jujur bisa diartikan pula dengan seorang manusia yang tak ada gunanya.
"Tapi paling tidak kau pernah bersekolah", kata Cia Siau-hong.
"Mungkin lantaran aku pernah bersekolah, maka aku baru berubah menjadi begini tak ada
gunanya" "Ada, kau ada gunanya"
Si Keng-meh tertawa, suatu tertawa yang penuh dengan ejekan dan cemoohan terhadap diri
sendiri. "Berguna" Apa gunanya?", ia berkata.
"Kadangkala dengan pena pun orang bisa membunuh sesamanya", Cia Siau-hong berkata.
"Dengan pena juga bisa membunuh orang?"
"Kau tidak percaya?"
"Aku......."
"Di atas meja sana toh ada pena dan tinta, apa salahnya untuk pergi mencobanya?"
"Bagaimana cara mencobanya?"
"Kau hanya cukup menulis tiga patah kata dan ketiga patah kata itu sudah cukup untuk merenggut
nyawa seseorang"
"Tiga patah kata?"
"Ya, tiga patah kata! Nama orang itu!"
Si Keng-meh mendongakkan kepalanya memandang wajahnya dengan penuh rasa terkejut.
Hingga sekarang ia baru menyadari bahwa orang yang hampir mati dan berdiri di hadapannya
sekarang ternyata membawa sesuatu kekuatan yang misterius dan menakutkan, setiap saat setiap
waktu dapat melakukan suatu perbuatan yang tidak menguntungkan bagi orang lain.
"Cepat kau tulis nama orang itu", Cia Siau-hong berkata lagi, "selesai menulis simpanlah dalam
sampul dan tutuplah dengan rapat, kemudian serahkan kepadaku, aku jamin di sini tak
seorangpun yang bisa membocorkan rahasiamu"
Akhirnya Si Keng-meh bangkit juga, berjalan mendekati meja dan mengambil pena.
Kekuatan misterius dari orang itu sungguh membuatnya tak sanggup melakukan perlawanan, apa
yang dia ucapkan juga tak bisa tidak untuk dipercayainya...........
Sampul yang diberi segel telah berada di tangan Cia Siau-hong, dalam sampul hanya berisi
selembar kertas dan sebuah nama.
"Kecuali kau seorang, aku jamin tiada orang lain yang tahu siapakah nama yang tercantum dalam
sampul tertutup ini", kata Cia Siau-hong.
Si Keng-meh manggut-manggut, wajahnya yang pucat mengejang jeras karena gembira dan
tegang, tak tahan ia bertanya:
"Bagaimana selanjutnya?"
"Selanjutnya hanya seorang yang bisa melihat nama tersebut!"
"Siapa?"
"Seorang yang pasti dapat menyimpan rahasia ini dengan sebaik-baiknya"
Ia berpaling ke arah Siau Te dan melanjutkan:
"Tentu saja sudah kau duga bukan kalau orang tersebut adalah kau?"
"Ya!", Siau Te mengangguk.
"Setelah kau membaca nama orang itu, tentu saja nyawa orang itu tak akan hidup lebih lama
bukan?" "Tentu saja!"
"Dan kematiannya tentu saja jauh di luar dugaan?"
"Betul!"
Ia mengulur tangannya dan menerima sampul surat tersebut dari tangan Cia Siau-hong,
tangannya semantap dan setenang tangan Cia Siau-hong.
Setiap orang sedang memandang ke arah mereka semua, mimik wajah mereka entah sedang
menampilkan rasa kagumkah" Ataukah jeri"
Sebuah sampul, secarik kertas, sebuah nama, dalam sekejap mata telah menentukan mati hidup
seseorang. Sesungguhnya siapakah ke dua orang itu" Mengapa mereka memiliki kekuatan
sebesar ini"
Peluh sebesar kacang telah membasahi seluruh jidat Si Keng-meh, mendadak ia menerjang ke
muka, merampas surat itu dari tangan Siau Te, melumat-lumatnya menjadi satu, kemudian
dijejalkan ke dalam mulut, melumatnya menjadi hancur, lalu ditelan dan akhirnya mulai muntahmuntah.
Cia Siau-hong hanya menyaksikan tindak-tanduknya itu dengan pandangan dingin, ia tidak bicara,
pun tidak menghalangi perbuatannya.
Paras muka Siau Te lebih tenang lagi, tanpa emosi di atas wajahnya.
Hingga ia selesai muntah, Cia Siau-hong baru bertanya dengan suara hambar:
"Kau tak tega melihat dia mati?"
Si Keng-meh menggelengkan kepalanya dengan sepenuh tenaga, air mata dan peluh dingin
mengucur keluar bersama-sama.
"Kalau kau toh membencinya hingga merasuk ke tulang sumsum, mengapa pula kau tak tega
membiarkan dia mati?", tanya Cia Siau-hong.
"Aku........aku........"
"Di sana masih tersedia kertas dan pena, aku bisa memberi sebuah kesempatan lagi kepadamu!"
Sekali lagi Si Keng-meh menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Aku benar tak ingin dia mati, benar-benar tak ingin!", serunya.
Cia Siau-hong tertawa.
"Ternyata rasa bencimu kepadanya tidaklah begitu mendalam seperti apa yang kau bayangkan
semula!", katanya.
Sambil tersenyum ditariknya Si Keng-meh yang hampir lemas tak bertenaga itu dari atas tanah,
lalu katanya lebih lanjut.
"Bagaimana juga kau toh sudah memiliki kesempatan untuk membunuhnya, tapi kau telah
melepaskannya kembali, asal kau teringat akan hal ini maka hatimu akan terasa jauh lebih lega
dan tenang"
Ruangan itu amat gelap, tapi wajahnya seakan-akan bersinar, tanpa terasa semua orang berpaling
ke arahnya, mimik wajah mereka hanya menampilkan rasa hormat tanpa rasa ngeri dan seram.
Sebuah sampul, secarik kertas, sebuah nama, dalam waktu singkat telah melenyapkan rasa benci
dan dendam yang telah tertanam dalam-dalam di hati seseorang.
Sesungguhnya siapakah dia" Kenapa bisa memiliki kekuatan sedahsyat dan semisterius begini"
Arak telah memenuhi seluruh cawan, setiap orang sedang meneguk arak dengan mulut
membungkam, meneguk hingga habis, setiap orang mengerti secawan arak itu mereka minum
untuk menghormati siapa"
Mungkin hanya tiga hari, dalam tiga hari ini apa pula yang hendak dia lakukan"
Cia Siau-hong menghembuskan napas panjang, gelak tertawanya semakin riang, terhadap segala
sesuatunya ia tampak merasa amat puas.
Ia gemar minum arak, iapun suka orang lain menghormatinya, walaupun kedua macam persoalan
ini sudah lama terlupakan, tapi sekarang lambat-laun mulai merembes dalam tubuhnya dan
mendatangkan rasa hangat di seluruh badan.
"Yang harus pergi, cepat atau lambat dia pasti akan pergi", ditatapnya sekejap semua orang,
kemudian melanjutkan, "di antara kalian sekarang, masih adakah seseorang yang bersikeras
hendak menahanku tetap tinggal di sini?"
Sekali lagi Siau Te mengangkat cawannya dan meneguk isi cawan hingga habis, kemudian
sepatah demi sepatah kata menjawab:
"Tidak ada, tentu saja tidak ada!"
Sekali lagi semua orang mengangkat cawannya dan meneguk isi cawan hingga habis, setiap
orang sedang memperhatikan Cia Siau-hong.
Hanya Kian Po-sia yang tertunduk selalu, tiba-tiba ia bertanya:
"Sekarang, apakah kau sudah seharusnya pergi?"
"Benar!", jawab Cia Siau-hong.
Ia beranjak dan menghampirinya, lalu sambil menggenggam lengan Kian Po-sia, tambahnya:
"Mari kita berangkat bersama!"
"Kita berangkat bersama?", akhirnya Kian Po-sia mendongakkan juga kepalanya, "kau hendak
mengajak aku kemana?"
"Pergi makan besar, minum sepuasnya, bermain judi dan bermain pelacur......!"
"Kemudian?"
"Kemudian aku pergi mati, sedang kau kembali ke rumah untuk meneruskan kedudukanmu
sebagai seorang kuncu!"
Tanpa berpikir untuk kedua kalinya, Kian Po-sia segera beranjak.
"Baik, mari kita berangkat!"
Menyaksikan mereka keluar bersama, setiap orang tahu, bahwa kepergian Cia Siau-hong kali ini
sudah pasti tak akan kembali lagi untuk selama-lamanya.
Tapi bagaimana dengan Kian Po-sia" Apakah dia bisa kembali lagi untuk meneruskan
kedudukannya sebagai seorang kuncu"
Baru keluar dari pintu gerbang, tiba-tiba Kian Po-sia berhenti lagi, katanya:
"Sekarang kita masih bisa pergi?"
"Kenapa?"


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebab kau adalah Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong!"
Ini bukan alasan yang tepat, maka Kian Po-sia segera menambahkan:
"Setiap orang yang berada di sini pada tahu bahwa ilmu pedang Sam sauya dari keluarga Cia
adalah ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini, tapi tak seorangpun pernah
menyaksikannya!"
Cia Siau-hong mengakuinya. Nama besarnya memang diketahui oleh seantero jagad, tapi tak
banyak orang yang bisa menyaksikan ilmu pedangnya dengan mata kepala sendiri.
~Bersambung ke Jilid-17
Jilid-17 Bila Sam-sauya telah mati, siapa pula yang bisa menyaksikan lagi ilmu pedang Sam-sauya yang
maha sakti itu"
Tentu saja tak ada, seorangpun tidak!
Karenanya Kian Po-sia berkata lebih jauh:
"Dari tempat yang sangat jauh semua orang datang kemari, mungkin yang hendak mereka lihat
bukan penyakit yang di derita, Sam-sauya tidak seharusnya memberi rasa kecewa yang
mendalam kepada mereka semua"
Itulah suara pernyataan yang jujur, penyakit Sam-sauya memang tidak menarik untuk di lihat, yang
menarik justru adalah ilmu pedang Sam-sauya yang tiada bandingannya.
Cia Siau-hong tertawa.
Sambil tersenyum ia berpaling, lalu tanyanya:
"Di sini ada pedang?"
Di sini ada pedang" Tentu saja ada!
Pedang memang ada, cuma bukan pedang antik, juga bukan pedang kenamaan, hanya sebilah
pedang bagus, pedang bagus yang ditempa dari baja asli.
Apakah sebilah pedang bagus dapat berubah menjadi sebilah pedang antik, sebilah pedang
kenamaan, biasanya harus dilihat pula siapa yang menggunakannya"
Bila sebilah pedang bisa mendapatkan seorang majikan yang baik, setiap kali di gunakan pasti
menang, tentu akan ternama pula pedang itu.
Bila pedang itu tidak memperoleh majikan yang baik, pedang itu akan patah, akan musnah dan
lenyap, tak meninggalkan nama harum yang dikenang sepanjang masa, apalagi dipakai
melindungi diri.
Ya, kehidupan seorang manusia di dunia ini bukankah juga demikian"
Pedang itu sudah diloloskan dari sarungnya.
Begitu sang pedang lolos dari sarungnya segera berubahlah menjadi sejalur sinar yang
cemerlang, serentetan cahaya berkilauan yang tajam, mentereng dan indah.
Cahaya tajam itu sedang bergerak, sedang melayang-layang jauh di atas sana, setiap orang
merasa bahwa sinar tersebut seolah-olah bergerak di depan mata sendiri, tapi tak seorangpun
yang bisa menduga di manakah sinar itu sebenarnya berada"
Perubahannya hampir saja telah melampaui batas-batas kemampuan dari umat manusia, hampir
saja membuat orang tak dapat mempercayainya.
Tapi ia benar-benar berada di situ, bahkan di manapun berada.
Tapi, di kala setiap orang sedang berusaha menebak letaknya yang sesungguhnya, mendadak ia
lenyap tak berbekas.
Tiba-tiba suatu keanehan telah terjadi dan keanehan itupun tiba-tiba lenyap kembali.
Semua gerak-gerik maupun perubahan telah tercapai keseluruhannya dalam sekejap mata dan
akhirnya terhenti sama sekali. Seperti sebuah meteor. Seperti juga petir yang menyambar, tapi
dalam kenyataannya jauh lebih aneh dari pada meteor maupun sambaran petir. Karena kekuatan
dari semua perubahan tersebut terpancar keluar dari tubuh seseorang.
Seorang manusia biasa, manusia yang punya darah dan daging.
Menanti sinar pedang itu lenyap, pedangnya masih ada, tapi manusianya sudah lenyap tak
berbekas. Pedang itu berada di atas wuwungan rumah.
Dengan termangu-mangu semua orang memperhatikan pedang tersebut, entah berapa lama
sudah lewat, akhirnya terdengar seseorang menghembuskan napas panjang.
"Dia tak akan mati!"
"Kenapa?"
"Karena di dunia ini sebenarnya terdapat semacam manusia yang selamanya tak akan mati!"
"Apakah Cia Siau-hong adalah manusia macam itu?"
"Benar!"
"Kenapa?"
"Karena perduli kemanapun orangnya pergi, dia pasti selalu hidup dalam hati kita semua, hidup
untuk selama-lamanya"
Malam sudah kelam, cahaya lentera menerangi setiap bangunan rumah, terang benderang
bermandikan cahaya.
Mereka sudah mulai dipengaruhi oleh air kata-kata, lebih-lebih Kian Po-sia, ia malah sedang
bergumam. "Orang-orang itu tentu sedang keheranan, mengapa secara tiba-tiba aku bisa berkeinginan untuk
melakukan perbuatan semacam ini, padahal selama ini aku adalah seorang anak baik-baik"
"Manusiakah kau?", tanya Cia Siau-hong.
"Tentu saja!"
"Asal dia manusia, entah manusia macam apapun juga, untuk belajar berbuat jelek biasanya jauh
lebih mudah daripada belajar berbuat kebaikan, apalagi manusia yang suka makan minum, judi
dan bermain perempuan, pada hakekatnya tak perlu dipelajari lagi!"
Kian Po-sia segera menyatakan persetujuannya atas pendapat tersebut.
"Ya, agaknya semenjak dilahirkan setiap orang memang sudah mewarisi kepandaian untuk
berbuat demikian", katanya.
"Tapi seandainya kau benar-benar ingin memahami pengetahuan yang lebih mendalam tentang
hal-hal tersebut, maka hal ini sudah tidak terhitung gampang lagi"
"Bagaimana pula dengan kau?"
"Aku adalah seorang ahli!"
"Lantas kau bermaksud membawa aku ke mana?"
"Mencari uang!"
"Apakah seorang ahli yang hendak melakukan perbuatan semacam inipun harus menghamburkan
uang juga?"
"Justru karena aku adalah seorang ahli, maka aku harus menghamburkan uang, bahkan uang
yang ku hamburkan biasanya jauh lebih banyak daripada orang lain"
"Kenapa?"
"Karena pekerjaan semacam ini adalah pekerjaan yang harus menghamburkan uang, jika enggan
menghamburkan uang, lebih baik pulang saja menggendong anak!"
Perkataan semacam ini memang cocok sebagai perkataan seorang ahli. Hanya seseorang yang
betul-betul ahli baru akan memahami makna dan alasan yang sebenarnya dari teori tersebut.
Jika sudah pingin mencari kepuasan, segala sesuatunya diperinci sedetil-detilnya, manusia
macam beginilah baru pantas di sebut bibit penyakit dari pekerjaan semacam ini, karena sekalipun
mereka dapat mengerti beberapa tahil perak, namun dalam pandangan orang lain justru akan
berubah menjadi sepeserpun tak ada harganya.
Sebagai seorang ahli tentu saja mempunyai kesulitan sebagai seorang ahli biasanya kesulitan
yang terutama hanyalah satu hal.....yakni uang.
Sebab bagaimanapun juga menghamburkan uang selamanya jauh lebih gampang daripada
mencari uang, tapi dalam soal ini agaknya hal tersebut masih belum terlampau menyulitkan Cia
Siau-hong. Ia membawa Kian Po-sia bergelandangan ke sana ke mari menelusuri jalan raya, tiba-tiba mereka
memasuki sebuah warung penjual barang kelontong yang bobrok dan kotor.
Bagaimanapun kau mencoba untuk memperhatikan, tak akan kau jumpai hal-hal yang
membiarkan petunjuk bahwa tempat itu adalah suatu tempat yang bisa memperoleh uang dengan
mudah. Dalam warung penjual barang kelontong hanya duduk seorang kakek yang sudah melamur
matanya, setengah buta, setengah tuli, manusia macam begitu sedikitpun tidak mirip seperti
seseorang yang memiliki banyak uang.
Kian Po-sia mulai keheranan.
Kami tidak ingin membeli minyak, juga tak ingin membeli cuka, mau apa ia mengajak kemari"
Cia Siau-hong telah masuk ke dalam, membisikkan sesuatu ke sisi telinga sang kakek dengan
suara yang amat lirih.
Mimik wajah kakek itu segera berubah, tiba-tiba saja sikapnya berubah bagaikan seekor tikus yang
secara tiba-tiba dikerumuni oleh delapan ekor kucing.
Kemudian ia membawa Cia Siau-hong masuk ke ruang dalam, melewati sebuah pintu kecil di
belakang yang tertutup oleh sehelai tirai kumal.
Terpaksa Kian Po-sia harus menunggu di luar.
Untung saja Cia Siau-hong telah muncul kembali dengan cepatnya, begitu keluar dia lantas
bertanya: "Tiga puluh laksa tahil perak cukup tidak kita hamburkan?"
Tiga puluh laksa tahil perak" Darimana datangnya tiga puluh laksa tahil perak" Dari sebuah
warung yang bobrok dan kotor, ternyata dalam waktu singkat bisa diperoleh uang sebesar tiga
puluh laksa tahil perak, hakekatnya Kian Po-sia hampir tak percaya.
Akan tetapi Cia Siau-hong benar-benar sudah memiliki tiga puluh laksa tahil perak.
Kakek itu belum juga keluar, tak tahan Kian Po-sia mulai berbisik:
"Sesungguhnya tempat apakah ini?"
"Tentu saja suatu tempat yang baik!"
Setelah tersenyum ia menambahkan:
"Tempat yang ada uangnya, selalu boleh dianggap sebagai tempat yang baik"
"Masakah di tempat seperti ini juga ada uangnya?"
"Daging bakpao tak akan kau jumpai di luar, apakah seseorang punya uang atau tidak, tak akan
bisa dilihat dari luarannya saja!"
"Jadi kakek itu kaya raya?"
"Bukan cuma kaya raya, kemungkinan besar dia adalah orang yang terkaya di wilayah delapan
ratus li di sekitar tempat ini"
"Kalau memang demikian, mengapa dia masih melewatkan penghidupannya dalam keadaan
seperti ini?"
"Justru karena ia bersedia melewatkan penghidupannya dalam keadaan seperti ini, maka ia baru
menjadi kaya"
"Kalau dia sendiripun sampai merasa berat hati untuk menghamburkan uangnya, mana mungkin ia
bersedia menghadiahkan uang sebesar tiga puluh laksa tahil perak kepadamu?"
"Tentu saja aku punya akal!"
Kian Po-sia mengerdipkan matanya berulang kali, lalu sambil merendahkan suaranya dia
melanjutkan: "Apakah akalmu itu" Bukankah hitam makan hitam?"
Cia Siau-hong tertawa, dia cuma tertawa tidak menjawab.
Kian Po-sia makin tertarik dan ingin tahu, tak tahan ia bertanya kembali:
"Apakah kakek itu adalah seorang pentolan penyamun yang bercokol di sini sambil menantikan
pembagian hasil?"
Cia Siau-hong tersenyum.
"Lebih baik jangan kau tanyakan persoalan semacam ini dalam keadaan seperti ini!"
"Lantas apa yang harus kutanyakan?"
"Tanyalah kepadaku, hendak ku ajak kemanakah dirimu untuk menghamburkan uang ini?"
Kian Po-sia ikut tertawa.
Entah bagaimanapun juga, menghamburkan uang memang merupakan suatu pekerjaan yang
paling menggembirakan.
Dengan cepat ia bertanya:
"Kita akan pergi ke mana untuk menghamburkan uang?"
Belum sempat Cia Siau-hong buka suara, kakek itu sudah munculkan diri dari balik tirai sambil
menjawab: "Di sini!"
Tempat itu adalah sebuah kedai yang bobrok dan kotor, sekalipun semua barang dagangannya
diborong sampai habis juga tak akan lebih dari lima ratus tahil perak.
Tentu saja Kian Po-sia harus bertanya:
"Di sinipun ada tempat untuk menghamburkan uang?"
Sambil memicingkan matanya kakek itu memperhatikannya beberapa kejap, kemudian kepalanya
ditarik kembali seakan-akan merasa malas untuk bercakap-cakap dengan mereka.
Cia Siau-hong tertawa, katanya:
"Kalau di sini tak ada tempat untuk menghamburkan uang, darimana pula datangnya uang
sebesar tiga puluh laksa tahil perak tersebut?"
Masuk di akal juga perkataan itu, tapi Kian Po-sia tak urung masih merasa agak curiga juga.
"Di sinipun ada perempuan?"
"Bukan cuma saja ada, bahkan perempuan terbaik yang ada di sekitar delapan ratus li dari sini,
semuanya berkumpul di tempat ini"
"Arak terbaikpun yang ada pada delapan ratus li di sekitar sinipun terdapat di tempat ini?"
"Betul!"
"Darimana kau bisa tahu?"
"Karena aku adalah seorang ahli!"
Di bagian belakang warung bobrok itu hanya terdapat sebuah pintu.
Sebuah pintu yang kecil lagi sempit dengan sebuah tirai kain yang kumal dan penuh tambalan
sebagai tabir. Di manakah araknya" Di manakah perempuannya"
Apakah berada di balik pintu kecil yang bertabirkan selembar kain tirai yang kumal dan penuh
tambalan ini"
Kian Po-sia tak kuasa menahan diri, dia ingin menyingkap tabir itu dan mengintip ke dalam, tapi
belum lagi kepalanya dijulurkan ke dalam, tiba-tiba terendus bau harum yang semerbak.
Bau harum semerbak yang luar biasa.
Kemudian diapun jatuh tak sadarkan diri.
Ia tak tahu apa yang kemudian terjadi, diapun tak tahu apa yang selanjutnya menimpa dirinya.....
Ia hanya merasa kepalanya pusing tujuh keliling, kemudian apapun tak bisa diingat lagi.
ooooOOOOoooo Bab 28. Kelompok Kaum Penjudi
Ketika ia tersadar kembali, Cia Siau-hong sudah mulai minum arak, bukan minum arak seorang
diri, melainkan terdapat banyak sekali perempuan cantik yang menemaninya minum arak.
Entah araknya adalah arak yang terbaik atau bukan, tapi yang pasti perempuan-perempuan itu
semuanya bahenol cantik mendebarkan hati.
Dengan sempoyongan Kian Po-sia bangkit berdiri, lalu dengan sempoyongan menghampirinya, ia
menyambar secawan arak lalu diteguk sampai habis.
Ternyata arak itu betul-betul arak bagus.
Para cewek sedang memandang ke arahnya sambil tertawa, sewaktu tertawa mereka tambah
lebih cantik dan menarik.
Kian Po-sia memandang sekejap ke arah mereka, lalu memandang pula ke arah Cia Siau-hong:
"Apakah kau juga mengendus bau harum yang semerbak?", ia bertanya.
"Tidak!", Cia Siau-hong menggeleng.
"Kalau aku mengendus bau tersebut, kenapa kau tidak?"
"Sebab aku telah memencet hidungku sendiri!"
"Mengapa kau pencet hidungmu sendiri!"
"Sebab aku sudah tahu bau harum macam apakah itu!"
"Bau harum apa?"
"Obat pemabuk!"
"Kenapa kau harus merobohkan aku dengan obat pemabuk?"
"Dengan begitu kau baru akan merasa agak aneh dan misterius!"
Setelah tersenyum ia menambahkan:
"Sesuatu yang makin misterius akan mendatangkan daya tarik yang makin besar, makin besar
daya tariknya, makin puas pula kau merasakannya"
Kian Po-sia memandang ke arahnya, lalu memandang pula cewek-cewek itu, akhirnya tak tahan
lagi dia menghela napas panjang.
"Tampaknya kau benar-benar seorang ahli, seorang ahli seratus persen......"
"Mengapa semua orang selalu menyebutkan makan, minum, bermain perempuan lalu berjudi,
mengapa tidak dikatakan berjudi, main perempuan, minum, kemudian baru makan........?"
"Entahlah!"
"Aku tahu!"
"Kenapa?"
"Sebab berjudi adalah paling hebat, entah bagaimanapun caramu makan, caramu minum, caramu
bermain perempuan, tak akan habis hartamu dalam sekejap mata, tapi bila sudah berjudi maka
kemungkinan besar segala sesuatunya akan ludas dalam waktu singkat! Asal harta sudah ludas
mau makan juga tak ada yang bisa di makan, mau minum juga tak ada yang bisa di minum,
apalagi bermain perempuan, perempuan lacur manakah yang sudi kau gerayangi tanpa mendapat
imbalan yang sesuai dengan tarifnya?"
"Ya, ya, betul juga perkataan itu!"
"Makanya soal judi selalu diatur pada bagian yang terakhir!"
"Betul, betul, sedikitpun tak salah!"
"Sekarang, apakah kita sudah tiba pada gilirannya untuk berjudi?"
"Agaknya memang begitulah!"
"Kau bermaksud membawaku kemana untuk bermain judi?"
Belum lagi Cia Siau-hong menjawab, tiba-tiba kakek itu sudah menongolkan kembali kepalanya
dari balik pintu seraya menjawab:
"Di sini saja, apapun yang kau inginkan, bisa kau dapatkan semua di sini!"
Tentu saja tempat itu sudah bukan warung bobrok yang kotor lagi.
Tempat ini adalah sebuah bangunan rumah yang sangat indah, mempunyai dekorasi yang indah,
perempuan yang cantik, hidangan yang lezat dan arak yang terbaik.
Boleh dibilang apapun yang kau kehendaki bisa kau dapatkan di tempat ini.
Tapi di sana tiada tempat untuk berjudi.
Kalau ingin berjudi maka judi itu harus diselenggarakan sepuas-puasnya, bila kau dengan seorang
perempuan telah melakukan perbuatan lain yang amat memuaskan hatimu, dapatkah kau berjudi
dengannya hingga sepuas-puasnya"
Kecuali perempuan semacam ini, di situ hanya ada Cia Siau-hong seorang.
Tentu saja Kian Po-sia tak ingin berjudi dengan Cia Siau-hong.
Hal ini bukan dikarenakan Cia Siau-hong adalah sahabatnya, sahabatpun bisa berjudi dengan
sahabatnya.

Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

.......Antara sahabat dengan sahabat, kadangkala bisa terjadi pula saling bertaruh antara mati dan
hidup, malah seringkali karena berjudi berubah menjadi musuh bebuyutan.
.......Akan tetapi bila modalmu untuk berjudi kau dapatkan dari sahabatmu itu, mana mungkin kau
bisa berjudi dengannya"
Kakek itu telah menarik kembali kepalanya di balik tabir, terpaksa Kian Po-sia harus bertanya
kepada Cia Siau-hong.
"Bagaimana caranya kita berjudi?"
"Terlepas bagaimana caranya berjudi, asal ada yang bisa dipertaruhkan itu sudah lebih dari
cukup" "Apakah cuma kita berdua saja?"
"Tentu saja masih ada orang lain"
"Tapi di mana orangnya?"
"Dengan cepat orangnya akan tiba di sini"
"Siapa, siapa saja mereka itu?"
"Entahlah!"
Tapi setelah tersenyum Cia Siau-hong menambahkan:
"Tapi aku tahu, lawan-lawan yang akan dicari si kakek pastilah calon-calon yang baik!"
"Maksudmu?"
"Yang kumaksudkan calon adalah seorang ahli dalam berjudi, atau dengan perkataan lain, apapun
yang ingin kita pertaruhkan, sistim pertaruhan apapun yang kita inginkan, mereka pasti dapat
melayani keinginan kita itu!"
"Maksudmu bisa melayani keinginan kita, berarti mereka sanggup membayar kekalahan apapun
yang akan dideritanya?"
Cia Siau-hong tertawa.
"Mungkin saja tak akan kalah, mungkin yang kalah adalah kita sendiri!"
Bertaruh sama artinya dengan berjudi, siapapun tak bisa bermain curang, siapapun tidak
berkeyakinan untuk meraih kemenangan.
"Hari ini kita akan bertaruh apa?", tanya Kian Po-sia.
Belum sempat Cia Siau-hong menjawab, kakek itu sudah menongolkan kembali kepalanya dari
balik pintu sambil menjawab:
"Hari ini kita bertaruh pedang!"
Kemudian sambil memandang ke arah Cia Siau-hong dengan mata terpicingkan, ia
menambahkan: "Kujamin calon-calon yang ku undang datang hari ini adalah calon-calon yang terbaik"
Selama ini, dalam dunia persilatan terdapat tujuh buah partai persilatan yang paling besar, mereka
adalah Bu-tong-pay, Tiam-cong-pay, Hoa-san-pay, Kun-lun-pay, Lam-hay-pay, Go-bi-pay dan
Khong-tong-pay.
Oleh karena anak murid Siau-lim-pay tidak mempergunakan pedang, maka partai Siau-lim tidak
termasuk dalam bilangan.
Semenjak Thio Sam-hong menemukan inti ilmu pedang yang tertinggi dalam dunia persilatan,
partai Bu-tong selalu dianggap sebagai partai terbesar dalam ilmu pedang, anak murid yang
belajar pedang dalam perguruan tersebut tak terhitung jumlahnya, jago lihay yang berhasil dalam
sejarah tiada habisnya.
Dari kawanan jago pedang partai Bu-tong yang paling termashur menonjolkan namanya mereka
disebut Su-leng-siang-giok.
Pemimpin dari Su-leng (empat sakti) adalah Ouyang Im-hok, semenjak terjun ke dalam dunia
persilatan, ia sudah mempunyai reputasi tiga puluh enam kali pertarungan besar maupun kecil,
selama karirnya dia hanya pernah kalah setengah jurus dari Ku Tojin, seorang tokoh sakti dari
dunia persilatan yang bercokol di bukit Pa-san.
Ouyang Im-hok memiliki perawakan yang tinggi semampai dan gagah perkasa, bukan saja
merupakan pujaan dari sesama saudara perguruan, reputasinya di mata masyarakat pun juga
baik. Sejak pertarungan di bukti Pa-san, hampir boleh di bilang ia sudah diakui oleh kalangan umum
sebagai orang yang paling berharapan untuk meneruskan tampuk pimpinan partai Bu-tong,
sedang ia sendiripun cukup pandai menjaga diri dan memelihara nama baik serta kewibawaannya.
Akan tetapi hari ini ternyata ia telah munculkan diri di tempat seperti ini. Orang pertama yang
dilihat Cia Siau-hong juga dirinya.
Tampaknya si kakek memang tidak berbohong, sebab Ouyang Im-hok benar-benar seorang
jagoan yang baik.
Ilmu pedang Khong-tong-pay sebenarnya berasal dari satu aliran dengan ilmu pedang aliran Butong-
pay, hanya saja aliran pedang tersebut lebih suka berjalan menyimpang daripada berjalan
lurus. Jurus pedang yang berjalan menyimpang bukan berarti tidak baik, malahan kadangkala tampak
lebih ganas, keji dan tak kenal ampun.
Gerakan pedang dikatakan muncul dari perasaan watak seorang jago pedang, seringkali pula
akan berubah-ubah seperti juga unsur ilmu pedang yang dipelajarinya.
Oleh karena itu sebagian besar anak murid partai Khong-tong kebanyakan berhati keji, ganas dan
menyeramkan. Sebab itu pula meskipun ilmu pedang aliran Khong-tong-pay terhitung juga sebagai suatu ilmu
pedang aliran lurus, tapi jarang sekali ada orang yang mengakui ilmu pedang Khong-tong-pay
sebagai ilmu silat kaum lurus, hal mana menyebabkan anak murid Khong-tong-pay lebih mudah
tersinggung, cepat marah, dan lebih garang, mereka lebih-lebih segan untuk berhubungan dengan
kawanan jago dari aliran lain.
Tapi orang persilatan tidak lantas memandang rendah diri mereka lantaran persoalan ini, sebab
setiap orang tahu bahwa dalam tahun belakangan ini mereka telah berhasil menciptakan kembali
serangkaian ilmu pedang yang lebih menakutkan lagi, konon jurus pedang itu tidak terdiri dari
banyak jurus serangan, tapi setiap gerakannya justru merupakan jurus pembunuh yang mematikan
lawan. Untuk bisa mempelajari ilmu pedang semacam ini, sudah barang tentu tak bisa dikatakan mudah,
kecuali Tiang-bun Cinjin beserta ke empat orang tianglo-nya, konon dari anak murid Khong-tongpay
hanya seorang saja yang sanggup mempergunakan beberapa jurus serangan yang
mematikan ini. Orang itu adalah Chin To-siu! Kebetulan orang yang berjalan mengikuti di belakang Ouyang Imhok
adalah Chin To-siu.
Tentu saja Chin To-siu juga seorang jago pedang yang tangguh dan luar biasa.
Bukit Hoa-san letaknya terjal dan berbahaya, ilmu pedang aliran Hoa-san pun amat berbahaya.
Anak murid partai Hoa-san selamanya tidak banyak, sebab untuk menjadi seorang anggota
perguruan Hoa-san, setiap orang harus memiliki tekad yang membara, tahan uji, ulet dan pantang
menyerah. Ketua partai Hoa-san yang lampau memiliki watak yang angkuh, aneh, dan suka menyendiri,
terhadap anak muridnya selalu ketat, keras dan tegas, selamanya dia melarang anak muridnya
meninggalkan bukit barang selangkahpun.
Bwe Tiang-hoa adalah satu-satunya orang yang bisa naik turun bukit Hoa-san secara bebas dan
leluasa, dia adalah satu-satunya murid partai Hoa-san yang melakukan perjalanan dalam dunia
persilatan. Sebab ia menaruh kepercayaan penuh terhadap kemampuan dan ketangguhan Bwe Tiang-hoa.
Tak bisa diragukan lagi, Bwe Tiang-hoa pun seorang jago pedang yang tangguh dan luar biasa.
Ilmu pedang Hui-liong-kiu-si (Sembilan gerakan naga terbang) dari partai Kun-lun termashur dalam
dunia persilatan dan menggetarkan seluruh dunia, namun di antara murid-muridnya hanya ada
satu yang merupakan naga.
Thian Cay-liong adalah naga tersebut.
Tak dapat disangkal lagi, Thian Cay-liong pun seorang jago pedang yang tangguh luar biasa.
Bukit Tiam-cong-san mempunyai pemandangan alam yang indah, empat musim berlalu bagaikan
musim semi, anak muridnya sejak kecil sudah masuk perguruan dan dibesarkan dalam suasana
seperti ini, sebagian muridnya adalah manusia-manusia sejati yang lemah lembut dan berhati
mulia, terhadap nama dan kedudukan sikap mereka terlalu hambar.
Sekalipun ilmu pedang aliran Tiam-cong enteng, lincah dan cepat, namun jarang ada jurus-jurus
ampuh yang mematikan.
Meski begitu tak seorang jago silatpun yang berani memandang enteng partai Tiam-cong, karena
partai Tiam-cong mempunyai serangkaian ilmu pedang andalan yang tak akan membiarkan orang
lain memandang rendah apa lagi mencemoohnya.
Cuma saja rangkaian ilmu pedang itu harus dilakukan oleh tujuh orang sekaligus, dengan
kekuatan bertujuh, ilmu pedang itu baru akan menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu, dalam perguruan Tiam-cong setiap generasi pasti terdapat tujuh orang murid
utama, orang persilatan selalu menyebut mereka sebagai Tiam-cong-jit-kiam (Tujuh jago pedang
dari partai Tiam-cong).
Selama tiga ratus tahun belakangan ini, Tiam-cong-jit-kiam dari setiap generasi selalu merupakan
jago-jago pedang yang amat tangguh dan mengerikan.
Go To adalah manusia paling top di antara Tiam-cong-jit-kiam generasi ini.
Tentu saja Go To pun seorang jago pedang yang tangguh dan luar biasa sekali.
Hay-lam-pay letaknya di Lam-hay (Lautan selatan) jauh di luar daratan dan letaknya jauh terpencil
dari keramaian manusia, bila tiada keyakinan untuk meraih kemenangan, tak nanti mereka akan
mengutus orangnya untuk mengarungi samudra dan datang ke barat.
Dalam sepuluh tahun belakangan ini, jago-jago pedang dari Hay-lam-pay hampir musnah dari atas
daratan Tionggoan, dalam keadaan seperti inilah tiba Le Peng-cu munculkan diri.
Orang ini baru berusia tiga puluh tahun, berlengan tunggal, pincang, jelek lagi tampangnya, namun
ia memiliki serangkaian ilmu pedang yang manis dan indah, asal sudah turun tangan, maka ia
dapat membuat orang segera merasa lupa bahwa dia adalah manusia pincang yang berlengan
tunggal, lebih-lebih lagi terhadap kejelekan wajahnya.
Manusia semacam ini, sudah barang tentu merupakan seorang jago yang tangguh dan luar biasa
pula. Tak dapat disangkal lagi, ke enam orang ini merupakan inti kekuatan dari kawanan jago muda
generasi sekarang, setiap orang merupakan manusia pilihan yang menonjol dengan kemampuan
yang mengerikan, mereka sudah pasti jauh berbeda dengan yang lain-lainnya.
Tapi yang paling istimewa bukanlah mereka, melainkan Lei Tin-tin yang disebut orang persilatan
sebagai Lo-sat Siancu (Dewi iblis cantik).
Gunung Go-bi adalah sebuah gunung yang sangat indah.
Semenjak Biau-in Suthay memegang tampuk pimpinan perguruan tersebut, kekuatan partai Go-bi
agaknya sudah terhimpun semua pada murid-murid perempuan.
Tentu saja Lei Tin-tin adalah seorang perempuan.
Semenjak Liau-in Suthay memegang tampuk pimpinan perguruan, murid perempuan partai Go-bi
selalu harus mencukur rambutnya dan menjadi seorang nikouw (rahib perempuan).
Tapi Lei Tin-tin terkecuali, dia adalah satu-satunya murid perempuan yang dikecualikan dari
peraturan tersebut.
Ketua partai Go-bi angkatan yang lalu adalah orang yang paling tua usianya di antara tujuh orang
ciangbunjin lainnya, ketika masuk menjadi anggota partai Go-bi dan mencukur rambutnya menjadi
nikouw, usianya telah mencapai tiga puluh tahunan.
Tak seorang manusiapun yang tahu, pada usia sebelum mencapai tiga puluh tahunan, perbuatan
apa saja yang pernah dilakukan, tiada pula orang yang mengetahui sejarah maupun asal-usulnya
di masa lampau, lebih-lebih lagi tiada yang menyangka pada usianya yang ke enam puluh tiga, ia
berhasil menjadi ciangbunjin dari partai Go-bi.
Karena pada saat itu banyak tersiar berita sensasi dalam dunia persilatan, bahkan ada pula yang
mengatakan bahwa dulunya dia adalah seorang pelacur kenamaan dari kota Yang-ciu.
Terlepas dari masalah manusia macam apakah dia di masa lalunya, semenjak masuk menjadi
anggota perguruan Go-bi, ia dapat melakukan semua perbuatan yang tak mungkin bisa dilakukan
oleh perempuan istimewa macam apapun juga.
Sejak rambutnya dicukur gundul dan menjadi pendeta, ia tak pernah tertawa lagi......atau paling
tidak, tak pernah ada orang menyaksikan ia tertawa.
Ia makan makanan berpantang, hidup menyiksa diri, setiap hari hanya makan sekali, itupun
semangkuk nasi beras merah dan semangkuk kecil air tawar.
Sebelum menjadi pendeta sebetulnya ia bertubuh montok dan segar, tapi tiga tahun kemudian
tubuhnya sudah berubah menjadi kurus bagaikan lidi.
Ketika menjabat sebagai ketua partai Go-bi, bobot badannya tinggal tiga puluh sembilan kati saja,
mereka yang pernah berjumpa dengannya tak seorangpun yang percaya kalau di dalam tubuhnya
yang kurus kecil itu bisa tersimpan kekuatan yang demikian besar serta tekad yang begitu kuat.
Ia mengharapkan anak murid perguruannya bisa menirukan pula cara hidupnya, pantang makanan
berjiwa, hidup menyiksa diri, tak boleh mengumbar napsu, lebih-lebih tak boleh minum arak.
Menurut anggapannya setiap gadis remaja pasti akan terdapat banyak napsu yang normal
maupun abnormal, tapi jika ia seringkali berada dalam keadaan setengah lapar, maka tak mungkin
pikirannya akan melayang memikirkan hal-hal yang lain.
Tapi sikapnya terhadap Lei Tin-tin ternyata jauh berbeda.
Hampir boleh dikata Lei Tin-tin dapat melakukan setiap persoalan yang menjadi idaman hatinya,
belum pernah ada orang yang melarangnya atau memberi batasan-batasan kepadanya.
Sebab walaupun Lei Tin-tin amat memperhatikan soal makanan dan minuman memperhatikan
soal pakaian, meskipun wataknya kasar dan berangasan, binal, liar, sukar diatur, namun belum
pernah melakukan kesalahan, seperti matahari yang tak pernah salah terbit dari sebelah barat.
Selama ini dunia persilatan adalah dunianya kaum lelaki, perasaan lelaki jauh lebih keras daripada
kaum perempuan, kekuatan tubuh merekapun jauh lebih kuat ketimbang kaum perempuan, dari
sekian banyak pahlawan dan jago kenamaan dalam dunia persilatan selamanya jarang sekali
muncul nama perempuan.
Tapi hal itu tidak berlaku untuk Lei Tin-tin.
Selama beberapa tahun belakangan ini, ia selalu berjuang untuk menegakkan kewibawaan partai
Go-bi, mengangkat nama serta martabat perguruannya, bahkan pekerjaan yang dilakukan
olehnya, jauh lebih banyak daripada pekerjaan yang dilakukan sekian banyak anak murid dari
perguruan lainnya.
Selain kesemuanya itu, Lei Tin-tin pun merupakan seorang gadis yang cantik jelita.
Hari ini dia mengenakan gaun panjang yang berwarna hijau muda, bahan kainnya, model bajunya
maupun potongannya semua termasuk nomor satu, sekalipun tak bisa dikatakan terlalu tembus
pandangan, tapi di tempat yang terang benderang semacam ini, lamat-lamat masih dapat
tertangkap lekukan pinggangnya yang ramping, payudaranya yang montok, pahanya yang mulus
serta kakinya yang ramping.
Tempat itu sangat terang, walaupun sinar sang surya tak dapat menyorot masuk, tapi di bawah
sinar lampu yang terang benderang, hakekatnya pakaian yang ia kenakan ibaratnya selapis kabut
tebal yang menyelimuti sekujur badannya.
Tapi dia tak ambil perduli, sedikitpun tidak ambil perduli, malahan sedikit rada acuh. Apa yang
suka ia kenakan diapun mengenakannya dengan bebas tanpa menguatirkan sesuatu apapun juga.
Karena dialah Lei Tin-tin, perduli pakaian apapun yang dia kenakan, orang tak akan berani
memandang enteng dirinya, apalagi memandang hina atau mencemoohnya.
Begitu masuk ke dalam ruangan, dia langsung berjalan menghampiri Cia Siau-hong, berdiri di
hadapannya dan menatap Sam-sauya dari keluarga Cia ini lekat-lekat
Cia Siau-hong pun menatapnya lekat-lekat, tak pernah ia tolak tatapan orang lain dengan begitu
saja. Sebab dialah Sam-sauya dari keluarga Cia. Sam-sauya dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng,
telaga Liok-sui-oh, lembah Cui-im-kok.
Tiba-tiba gadis itu tertawa:
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan dalam hatimu!", katanya pelan, "aku tahu semua jalan
pemikiranmu"
Setelah berhenti sejenak dan tertawa, ia berkata lebih jauh:
"Kau pasti ingin tahu apakah aku seringkali menemani kaum lelaki naik ranjang dan tidur bersama
mereka?" Itulah kata-katanya yang pertama!
Suatu ucapan yang aneh, janggal dan sama sekali di luar dugaan siapapun.
ooooOOOOoooo Bab 29. Bertaruh Pedang
Ada sementara orang yang rupanya sejak dilahirkan sudah memiliki perbedaan daripada orang
lain. Entah berada dalam saat apapun, di tempat manapun, selalu gemar mengucapkan kata-kata
yang menggemparkan, melakukan perbuatan yang menggetarkan hati.
Tak bisa disangkal lagi Lei Tin-tin adalah manusia semacam ini.
Cia Siau-hong dapat memahami perasaan manusia semacam ini, sebab dahulupun ia adalah
manusia semacam ini, dia gemar pula membuat orang lain merasa terkejut.
Maka ia sama sekali tidak menampilkan rasa terkejut, walaupun hanya sedikitpun juga, hanya
tanyanya dengan hambar:
"Apakah kau ingin mendengarkan kata-kataku yang jujur?"
"Tentu saja ingin!"
"Kalau begitu biar kuberitahukan kepadamu, aku hanya ingin tahu dengan cara apakah aku baru
akan berhasil mengajakmu naik ke tempat tidur dan menemani aku semalam?"
"Kau hanya mempunyai satu cara!", jawab Lei Tin-tin cepat.
"Cara yang bagaimana?"
"Bertaruh!"
"Bertaruh?"
"Asal kau dapat menangkan aku, apapun yang kau kehendaki pasti akan kuturuti!"
"Seandainya aku yang kalah, maka apapun yang kau kehendaki, aku harus mengabulkannya
pula?", tanya Cia Siau-hong.
"Tepat sekali!"
"Hmm.....! Taruhan ini cukup besar"
"Kalau sudah ingin bertaruh lebih baik bertaruh yang agak besaran, sebab makin besar
taruhannya semakin menarik"
"Apa yang ingin kau pertaruhkan?"
"Bertaruh pedang!"
Cia Siau-hong segera tertawa.
"Kau benar-benar ingin bertaruh pedang denganku?", katanya.
"Kau adalah Cia Siau-hong, jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit, Cia Siau-hong.
Kalau aku tidak bertaruh pedang denganmu, apa pula yang musti ku pertaruhkan denganmu"
Apakah kau akan suruh aku seperti bocah cili bertaruh gundu di atas tanah?"
Sambil mendongakkan kepalanya, ia berkata lebih jauh:
"Bila bertaruh dengan setan arak, maka musti bertaruh arak, jika ingin bertaruh dengan Cia Siauhong,
maka harus bertaruh pedang, bila bertaruh yang lain sekalipun, memang juga tiada artinya"
Mendengar perkataan itu Cia Siau-hong tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeeeehhhh....... heeeeeehhhhhh....... heeeeehhhhhhh........ bagus, Lei Tin-tin memang tidak
malu disebut Lei Tin-tin"


Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lei Tin-tin kembali tertawa.
"Sungguh tak kusangka Sam-sauya yang termashur namanya di seantero jagad ternyata tahu juga
akan namaku"
Kali ini ia benar-benar tertawa, bukan tertawa penuh ejekan dan cemoohan seperti apa yang
diperlihatkannya tadi, juga bukan tertawa khas seorang pendekar perempuan.
Tertawanya kali ini adalah tertawa asli dari seorang perempuan, seorang perempuan tulen.
Cia Siau-hong berkata:
"Sekalipun kau belum pernah melihat mutiara, ketika pandangan pertama kau melihat mutiara
tersebut, otomatis kau akan mengetahui dengan sendirinya bahwa benda itu adalah mutiara"
Ia tersenyum, setelah menatapnya lekat-lekat, terusnya:
"Ada sementara orang persis pula dengan mutiara tersebut sekalipun kau belum pernah berjumpa
dengannya, tapi di kala kau bertemu dengannya untuk pertama kalinya, kaupun akan segera
mengenalinya dengan cepat......."
Suara tertawa Lei Tin-tin makin menawan hati, katanya:
"Tak heran kalau orang lain selalu berkata, bahwa Sam-sauya dari keluarga Cia bukan saja
memiliki sebilah pedang yang dapat menggetarkan perasaan kaum lelaki, iapun memiliki selembar
bibir yang bisa menggetarkan hati kaum wanita"
Sesudah menghela napas panjang, terusnya:
"Sayangnya, di kala para perempuan sudah mulai tergerak hatinya, diapun akan segera
menghadapi kenyataan yang pahit, kenyataan yang dapat membuat orang merasa sedih"
"Tahukah kau seseorang yang selalu dapat membuat orang lain merasa sedih, suatu ketika diapun
akan mengalami juga saat untuk merasa sedih.....!"
Walaupun suara Siau-hong masih tetap tenang, namun telah membawa suatu nada kekesalan
yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Lei Tin-tin menundukkan kepalanya, lalu menjawab:
"Ya, seseorang yang selalu membuat orang lain merasa sedih, suatu ketika dia sendiripun akan
mengalami saatnya untuk bersedih hati......"
Setelah mengulangi kembali kata-kata itu dengan lembut, tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya
dan menatap laki-laki itu lekat-lekat, katanya lebih lanjut:
"Perkataan ini pasti akan kuingat terus untuk selamanya!"
Cia Siau-hong tertawa terbahak-bahak.
"Haaaahhhh....... haaaaaahhhhh....... haaaaaahhhhh...... bagus! Menurut kau, bagaimana caranya
kita hendak bertaruh?"
"Akupun sering mendengar orang berkata bahwa sewaktu Sam-sauya mencabut pedangnya, ia
sudah tak berperasaan lagi, belum pernah ia memberi peluang bagi orang lain!"
"Pedang baja memang merupakan sebuah benda yang tak berperasaan, jika di ujung pedang
masih berperasaan, apa pula gunanya untuk dicabut keluar?"
"Oleh sebab itu asal pedangmu sudah diloloskan, pihak lawan segera akan mati di ujung
pedangmu itu, hingga kini belum pernah ada orang yang sanggup menahan tiga jurus
seranganmu!"
"Mungkin! Hal itu dikarenakan dalam tiga jurus saja, aku telah mengerahkan segenap kekuatan
yang kumiliki!"
"Dalam tiga jurus itu, jika kau tak bisa meraih kemenangan, mungkinkah segera akan kalah?"
"Ya, kemungkinan besar", Cia Siau-hong tersenyum, lalu dengan nada hambar lanjutnya, "untung
saja hingga kini aku belum pernah mengalami keadaan seperti ini!"
"Siapa tahu akan kau jumpai pada saat ini?", sambung Li Tin-tin tiba-tiba.
"Oya?"
Lei Tin-tin telah berpaling, sedangkan Ouyang Im-hok, Chin To-siu, Bwe Tiang-hoa, Thian Cayliong,
Go To serta Le Peng-cu masih tetap berdiri di belakangnya dengan mulut membungkam. Ia
memandang sekejap ke arah mereka, lalu ujarnya:
"Kau kenal dengan beberapa orang ini?"
"Walaupun belum pernah bersua muka, semestinya akupun bisa mengenali mereka semua!"
"Bagus, aku bertaruh setiap orang dari mereka semua sanggup menerima tiga jurus seranganmu!"
"Setiap orang?"
"Ya, setiap orang ! Bila ada seorang saja di antara mereka tak sanggup menerima ke tiga jurus
seranganmu itu, anggap saja aku yang kalah.........."
Setelah tertawa ewa, gadis itu berkata kembali:
"Pertaruhan semacam ini, mungkin juga tak bisa dianggap adil, tentu saja kau boleh menolak
ajakanku ini, seba
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 12 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Kisah Para Pendekar Pulau Es 19
^