Pendekar Kembar 6

Pendekar Kembar Karya Gan K L Bagian 6


itu" Dapatkah Ko Bok-ya disembuhkan dari penyakitnya dan apa pula yang akan terjadi atas diri Yu
Wi" - Bacalah jilid ke-7 -
Jilid ke-7 Diam-diam Yu Wi siap siaga, jawabnya dengan tidak gentar, "Memangnya kau mau apa?"
"Di mana budak she Ko itu?" tanya Him Kay-hoa.
"Dia kan tiada permusuhan apapun dengan kau, kalau ada urusan boleh kau cari diriku, akulah
yang bertanggung-jawab seluruhnya," kata Yu Wi tegas.
Him Kay-hoa menjadi gusar, "Setiap perempuan yang kenal padamu satu persatu akan
kubunuh semuanya."
"Hm, kalau mampu boleh kau bunuh diriku saja," jengek Yu Wi. "Jika kau berani menganiaya
seorang anak perempuan yang lemah, jangan menyesal jika aku tidak sungkan-sungkan lagi
padamu." "Perempuan lemah?" mendadak Him Kay-hoa bergumam dengan rasa hampa, "memangnya
aku ini bukan perempuan lemah?"
"Kau bukan perempuan lemah, tapi kau perempuan gila, perempuan bawel," timbrung Su Putku
mendadak. "Jika dibandingkan Tan Siok-cin yang cantik laksana bidadari, kau mirip hantu
belaka," "Bagus, bagus," Him Kay-hoa tertawa pedih, "Aku ini perempuan bawel, aku ini hantu, Tan
Siok-cin adalah bidadari, sekarang hantu ini akan membunuh kalian, coba bidadari mana yang
dapat menyelamatkan kalian!"
Mendadak ia menyelinap ke kanan dan ke kiri. ia serang Yu Wi dan Su Put-ku masing-masing
satu kali. Yu Wi tahu kungfu perempuan ubanan alias Him Kay-hoa ini sangat tinggi, dengan hati-hati ia
tangkis serangan orang.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong ada orang berseru," Siapa itu Tan Siok-cin" Siapa Tan
Siok-cin!"
Suaranya kedengaran nyaring dan jelas, tapi membikin pendengarnya merasa tidak enak,
seperti yang terdengar itu bukanlah suara manusia, tapi suara badan halus yang datang dari alam
halus. Tanpa terasa Him Kay-hoa berhenti menyelam dan membalik tubuh, serunya terkejut, "Hah,
kau lagi! Kau datang lagi"!"
Sekujur badan pendatang ini tertutup oleh rambutnya yang gompiok panjang dan jubah hitam,
sehingga tampaknya memang serupa benar badan halus. Padahal yang berada di sini rata-rata
adalah tokoh persilatan kelas satu, namun tiada seorang pun yang mengetahui bilakah perempuan
berbaju hitam ini sampai di atas puncak gunung.
Yu Wi sudah dua kali melihat perempuan berbaju hitam ini, dia berkesan sangat mendalam
terhadapnya, maka ia lantas memberi hormat dan menyapa, "Tempo hari berkat pertolongan
cianpwe sehingga Yu Wi terlolos dari ancaman maut, budi pertolongan mana selamanya takkan
kulupakan."
Tiba-tiba Su Put-ku menegur, "Siapa kau" Apa kau ingin mencari Tan Siok-cin?"
Him Kay-hoa jeri terhadap ilmu silat perempuan berbaju hitam itu, diam-diam ia bergeser ke
rumah bambu itu, ia bersiap akan menerjang ke dalam rumah," Ko Bok-ya akan dicengkeramnya
untuk dibawa kabur.
Terdengar perempuan baju hitam itu sedang bergumam sendiri, "Yu Wi! Yu Wi! Nama 4ni
seperti kukenal dengan baik..."
Tergerak hati Su Put-ku, ia melangkah maju dan menegur pula, "Apakah kau mau menyingkap
rambutmu, supaya kami dapat melihat jelas siapa kau?"
Tapi perempuan berbaju hitam itu berbalik menyurut mundur berulang-ulang sambil berkata
"Kau . . . kau . .. siapa kau?"
"Apakah kau merasa sudah sangat kenal padaku?" tanya Su Put-ku.
Selagi perhatian orang lain terpencar, mendadak Him Kay-hoa melayang masuk ke dalam
rumah, Ko Bok-ya sedang tidur nyenyak di atas di pan, tanpa ampun Hiat-to kelumpuhannya
tertutup lalu Him Kay-hoa merangkul pinggangnya dan dibawa lari.
Yu Wi yang pertama-tama melihat Him Kay-hoa sudah menghilang, ia tahu gelagat tidak enak,
cepat ia melayang ke depan rumah bambu sambil membentak "Him Kay-hoa, kau berani menculik
dia!" Him Kay-hoa tidak berani menerjang keluar melalui pintu depan, sambil merangkul Ko Bok-ya
ia terus meloncat ke atas, "brak", atap gubuk itu diterjangnya hingga jebol, ia terus menerobos
keluar, begitu hinggap di tanah, belum lagi berdiri tegak segera melayang ke depan pula dengan
Ginkang yang tinggi.
Ginkang Him Kay-hoa jauh lebih tinggi ketimbang Yu Wi dan Su Put-ku, kalau kedua orang itu
ingin menolong Ko Bok-ya jelas tidak keburu lagi Sekuatnya Yu Wi memburu sambil berteriak,
"Lekas kau lepas dia!"
Tapi hanya sekejap saja Him Kay-hoa sudah berlari sampai di tepi puncak dan mulai berlari ke
bawah. Tak terduga, mendadak si perempuan baju hitam meluncur tiba secepat anak panah,
kecepatannya ternyata melebihi Him Kay-hoa, begitu mendekat segera ia mencengkeram ke
punggung Him Kay-hoa.
Tanpa berpaling pun Him Kay-hoa tahu si perempuan baju hitam yang telah menyusulnya ia
sendiri heran entah dirinya ada permusuhan apa dengan orang ini sehingga dirinya dimusuhi,
Sekuatnya ia melompat ke depan untuk menghindari cengkeraman lawan.
Walaupun begitu, tidak urung baju kuning Him Kay-hoa teraih oleh tangan lawan, "Brett?",
baju terobek sebagian besar sehingga kelihatan baju dalam Him Kay-hoa.
Miski usia Him Kay-hoa sudah setengah baya, namun dia masih bertubuh perawan, masih suci
bersih, kini di hadapan dua orang lelaki bajunya terobek sehingga kulit badannya kelihatan..
seketika mukanya menjadi merah, ia membalik tubuh dan membentak dengan gusar, "Kau orang
gila! Ganti bajuku!"- Berbareng iapun batas mencengkeram tubuh lawan, dengan gemas ia juga
bermaksud menarik baju orang.
Karena dimaki sebagai orang gila, si perempuan baju hitam lantas berdiri melenggong, ketika
tangan Him Kay-hoa menarik bajunya belum juga dia mengelak atau balas menyerang, dia berdiri
kesima seperti patung.
Dengan sebelah tangan mengempit Ko Bok-ya, sama sekali Him Kay-hoa tidak menyangka
tangannya dapat meraih tubuh si perempuan berbaju hitam yang ilmu silatnya jelas jauh lebih
tinggi itu, karena sangsi, ia tidak berani merobek bajunya agar tidak terjebak.
Ketika dilihatnya orang sama sekali tidak bermaksud batas menyerang, mendadak timbul
pikiran jahatnya, tangannya yang meraih berubah menjadi menyodok, telapak tangannya terus
menyodok sekuatnya ke dada lawan.
Sementara itu Yu Wi telah memburu tiba melihat keadaan berbahaya, cepat ia melolos pedang
kayu terus menusuk!
Him Kay-hoa tidak berani gegabah, ia bila merandek sedetik saja dadanya pasti akan
tertembus oleh pedang kayu itu. Cepat ia menarik kembali serangannya sambil melompat mundur,
tusukan pedang Yu Wi dapat dihindarkan, ketika melompat mundur, kedua kakinya tidak lupa
menendang sekalian ke bagian selangkangan si perempuan baju hitam.
"Awas, Cianpwe!" seru Yu Wi.
Agaknya perempuan berbaju hitam terjaga mendusin oleh seruan Yu Wi itu, sedikit berkelit
dapatlah tendangan berantai Him Kay-hoa dipatahkan berbareng itu kedua lengan bajunya terus
mengebut ke iga Him Kay-hoa.
Menyadari betapa hebat kebutan lengan baju orang dan sukar dilawan, cepat Him Kay-hoa
melompat mundur lagi, Namun Ginkang si perempuan baju hitam jauh lebih tinggi daripada Him
Kay-hoa, ia tetap membayangi orang dan kedua lengan bajunya tetap mengincar bagian
mematikan di bawah iga lawan.
Beruntun Him Kay-hoa melompat tiga kali tapi tetap tak dapat terlepas dari lingkaran serangan
perempuan baju hitam, keruan tidak kepalang takutnya, cepat ia lemparkan Ko Bok-ya ke arah
lawan sekuatnya.
Dengan sendirinya perempuan baju hitam menangkap tubuh Ko Bok-ya yang menerjang ke
arahnya itu, Kesempatan itu segera digunakan Him Kay-hoa untuk angkat langkah seribu dengan
ginkangnya yang hebat.
Perempuan baju hitam menurunkan Ko Bok-ya ke tanah, segera pula ia mengejar ke arah Him
Kay-hoa, terdengar teriakannya berulang-ulang, "Siapa vang gila" Siapa orang gila"..."
Hanya sekejap saja bayangan kedua orang sudah menghilang di balik batu karang sana,
namun suara yang dingin nyaring laksana suara badan halus itu sayup-sayup masih
berkumandang dari kejauhan, "Siapa orang gila" Siapa yang gila"..."
Dengan lemah Ko Bok-ya berbangkit cepat Yu Wi menyongsongnya dan bertanya, "Apakah
sudah baik, Ya-ji?"
"Baik sih sudah, cuma badan terasa tak bertenaga," jawab Bok-ya dengan tertawa.
"Biar kupondong kau," kata Yu Wi. Segera ia memondongnya seperti waktu dia membawanya
kemari. Dengan suara pelahan Bok-ya membisiki Yu Wi, "Toako, apakah kau suka memondong diriku?"
Sejak dari kotanya Yu Wi memondong nona itu sampai di Siau-ngo-tay-san ini tanpa timbul
sesuatu pikiran aneh, kini demi ditanya oleh si nona, seketika tubuhnya seperti kena aliran listrik,
cepat ia melepaskan nona itu..
Bok-ya menjerit dan terbanting jatuh.
Cepat Yu Wi memondongnya lagi dan berulang-ulang minta maaf, "Ai, aku pantas mampus!
Aku tidak tahu kau belum kuat berdiri..."
Bok-ya mengikik tawa, ucapnya pelahan, "Kalau kuat berdiri, kau tidak mau lagi memondong
diriku?" Maka tahulah Yu Wi jatuhnya si nona tadi jelas disengaja, dengan tertawa ia berkata, "Ya-ji,
jangan nakal!"
Bok-ya tertawa geli, ucapnya, "Wah, kau berani bicara dengan lagak seperti ayahku, biarlah
mulai besok aku akan bertambah nakal."
Diam-diam Yu Wi menjulur lidah, ia pikir kalau si nona benar-benar nakal, tentu bisa berabe,
kalau tidak masakah Ko Siu memberi nama "Bok-ya" atau jangan liar kepadanya. Maka ia tidak
menanggapi lagi, tapi terus mendekati Su Put-ku.
Su Put ku masih berdiri termangu di situ, kedua matanya terbelalak memandang ke depan
dengan kaku, entah apa yang sedang dipandangnya.
"Cianpwe, kami akan mohon diri!" kata Yu Wi.
Bok-ya meronta turun dari pondongan Yu Wi sambil berseru, "Su-pepek!"
Baru sekarang Su Put ku menarik pandangannya ke depan sana, lalu menjawab dengan haru:
"Baik-baikkah Suhumu?"
"Ai, sudah lebih setahun beliau tak bertemu denganku," jawab Bok-ya.
Su Put-ku tidak mengacuhkan dia lagi, ia tanya Yu Wi, "Apakah kau kenal perempuan berbaju
hitam tadi?"
"Kenal," jawab Yu Wi.
"Siapa dia?" tanya Su Put-ku cepat.
Yu Wi menggeleng dan menyahut, "Entah aku tidak tahu."
Su Put-ku menjadi gusar, damperatnya, "Katamu kenal, mengapa tidak tahu siapa dia?"
Bok-ya mendongkol terhadap sikap Su Put ku yang tak mengacuhkan dia itu, berbeda seperti
biasanya jika dia datang bersama sang guru, sedapatnya Su Put-ku berusaha membikin senang
hatinya. Segera ia menyindir, "Kaupun kenal padaku, tapi apakah kau tahu siapa diriku?"
Tanpa pikir Su Put-ku menjawab, "Kau ini murid It-teng Sin-ni, masa aku tidak tahu."
"O, kukira kau tidak kenal lagi padaku karena yku tidak berada di samping Suhu." Rok-yi
beroIok-olok pula,
Rupanya Su put-ku menjadi kheki juga, jengeknya, "Hm, waktu itu lantaran ingin kuminta
petunjuk kepada It teng Si-ni, makanya kubaiki dirimu, kalau tidak, untuk apa kugubris seorang
budak cilik macam kau ini?"
Bok-ya lantas menggandeng tangan Yu Wi, katanya dengan mendongkol "Orang ini sangat
busuk, aku takkan memanggil paman lagi padanya."
Segera ia menarik Yu Wi untuk berangkat, tapi baru saja berjalan beberapa langkah,
mendadak kakinya terasa lemas dan jatuh terkulai.
Cepat Yu Wi memondongnya lagi dan bertanya dengan kuatir, "He, kenapa kau?"
"Hiat-to kelumpuhanku yang ditutuk perempuan ubanan tadi belum lagi terbuka," tutur Bokya.
Segera Yu Wi melancarkan Hiat-to si nona: "Marilah kita pergi!" kata Bok-ya dengan perlahan.
Yu Wi juga jemu terhadap Su Put ku, ia pikir orang telah memberi minum racun padanya dan
hanya dapat hidup lagi dua tahun, untuk apa dia menggubrisnya lagi, Segera ia berjalan pergi
dengan langkah lebar.
"He, Siaucu, sesungguhnya siapa perempuan berbaju hitam itu?" terdengar Su Put-ku
berteriak pula.
Tanpa berhenti Yu Wi menjawab dengan dinginj, "Sebelum ini hanya dua kali aku bertemu
dengan dia dan tidak tahu siapa dia."
Baru saja Yu Wi sampai di pinggir puncak gunung, mendadak dilihatnya dari bawah segulung
bayangan merah menerjang ke atas, terdengar pula suara teriakan orang, "Lekas menolong orang,
lekas!" Cepat Yu Wi mengegos ke samping dan memberi jalan, hampir saja dia tertumbuk Diam-diam
ia mendongkol terhadap kecerobohan orang, masa berjalan tanpa pakai mata, main seruduk dan
terjang. Segera ia berpaling memandang siapa orang ini.
Dilihatnya bayangan merah itu berhenti di depan Su Put-ku, kiranya seorang paderi bertubuh
tinggi besar, tangannya juga memondong satu orang, dengan suara lantang ia berseru, "Apakah
Sicu ini she Su?"
Dengan suara bengis Su Put-ku menjawab, "Orang she Su tidak menolong orang, lekas kau
bawa pergi dia!"
Yu Wi pikir menolong jiwa manusia seperti menolong kebakaran, sedetikpun tidak boleh
ditunda, pantas Hwesio ini main seruduk dengan terburu-buru.
Tanpa urus apakah Su Put-ku akan menolong orang atau tidak, segera Yu Wi hendak
melangkah pergi.
Tak terduga mendadak Ko Bok-ya berseru, "Toako, coba kita putar bilik ke sana!"
Dilihatnya Hwesio jubah merah itu berumur antara 50-an, berkulit kehitaman, hidung besar
dan mata cekung, tampaknya bukan bangsa Han, orang yang dipondongnya adalah seorang
Kongcu yang berkulit putih pucat tiada warna darah sedikitpun.
Terdengar si Hwesio berkata dengan bahasa Tionggoan yang sangat fasih, "Betapapun kau
harus menolong orang ini."
"Tidak, sekali kubilang tidak menolong tetap tidak kutolong," jawab Su Put-ku tegas.
"Sekalipun dia adalah raja yang bertahta sekarang juga takkan kutolong."
Habis berkata ia membalik tubuh terus hendak masuk ke dalam rumah.
Cepat Hwesio itu menyelinap ke depan Su Put-ku dan memohon dengan sangat, "Mohon Sicu
sudi menolongnya sekali ini, kelak pasti akan kami balas budi kebaikanmu ini."
Su Put-ku bergelak tertawa, tanyanya, "Hahaha, entah dengan cara bagaimana akan kau balas
budi kebaikanku?"
Mendengar nada orang sudah dapat ditawar, dengan girang Hwesio jubah merah berkata,
"Apa pun yang Sicu minta pasti akan kami penuhi."
"Huh, kalau cuma harta benda saja kupandang seperti sampah belaka, lalu dengan barang apa
akan kau balas kebaikanku?" jengek Su Put-ku.
"Konon Sicu gemar belajar ilmu silat, kudengar barang siapa dapat mengalahkan kau dengan
kungfu sejati barulah Sicu mau menolong orang yang sakit, maka sekarang ada satu jilid kitab
pusaka ilmu silat dapat kuhadiahkan kepada Sicu."
"Hm, jika demikian, jadi kau percaya akan dapat mengalahkan aku dengan ilmu silatmu?"
jengek Su Put-ku pula.
"Orang sakit yang kubawa ini sudah sangat gawat dan perlu mohon pertolonganmu dengan
teliti, apabila harus main kekerasan lebih dulu, andaikan kumenang dan Sicu terpaksa
menolongmu kukira cara ini akan sangat berbahaya, sebab itulah kurela memberikan kitab pusaka
yang kumaksud, isi kitab ini lain daripada yang lain, yang penting asalkan Sicu mau
menyelamatkan orang."
"O, jadi kau kuatir apabila aku kalah bertanding, lalu takkan menolong dia dengan sepenuh
tenaga" tanya Su Put-ku.
"Kalau aku tidak ingin bergebrak, tentu takkan terjadi kalah atau menang," ujar si Hwesic
"Tapi bila kau ingin ku tolong dia, tiada jalan lain kecuali kau kalahkan diriku dengan ilmu silat,
jangankan cuma satu jilid kitab pusaka, biarpun kau bawa satu keranjang kitab pusaka juga aku
tidak mau."
"Jadi harus bertempur?" Hwesio jubah merah menegas dengan menyesal.
"Ya. tidak ada jalan lain!" jawab Su Put-ku.
Hwesio jubah merah meletakkan Kongcu yang dipondongnya itu dengan telentang, lalu
berkata, "Jika begitu, bolehlah kita mulai. Dan kalau ku menang, benarkah Sicu pasti dapat
menyembuhkan dia?"
Dengan congkak Su Put-ku menjawab, "Jika kau tidak percaya, untuk apa kita bertempur"
Boleh kau bawa dia pergi saja."
Si Hwesio lantas menyingkir ke sana, maksudnya supaya dalam pertarungan nanti orang sakit
itu tidak terganggu,
Su Put-ku tetap berdiri di tempatnya, terhadap orang sakit yang menggeletak di tanah itupun
tama sekali tidak dipandangnya.
Setelah mengambil ancang-ancang, Hwesio jubah merah memberi hormat dan berkata,
"Silahkan Sicu mulai."
Baru sekarang Su Put-ku melirik sekejap ke arah si sakit dan dapat melihat jelas wajahnya
mendadak air mukanya berubah, tanyanya kepada Hwesio jubah merah, "Taysu orang darimana?"
"Aloyato, dari negeri Thian-tiok (lndia sekarang)," jawab si Hwesio.
"Dan dia siapa?" tanya Su Put-ku pula sambil menuding si sakit.
"Dia... dia..." Aloyato menjadi ragu-rag untuk menjawab.
"Apakah dia orang Turki?" tanya Su Put-k dengan bengis.
Terpaksa Aloyato menjawab, "Ya "
Segera Su Put-ku menukas, "Lekas kau bawa dia pergi dari sini, sebab dia orang Turki, sekali
pun nanti dapat kau kalahkan diriku juga takkan ku tolong dia."
Suku bangsa Turki di daerah barat (Sinkiang) bersifat keras dan ganas, sedikit-sedikit main
bunuh, daerah Tionggoan sering mendapat gangguannya, banyak pula penduduk di daerah
perbatasan juga menjadi korban keganasannya, Meski Su Put ku sudah lama mengasingkan diri,
tapi bila bicara tentang suku bangsa Turki yang kejam itu, seketika timbul rasa bencinya, maka
kalau dia disuruh menolong musuh yang banyak membunuhi bangsanya sendiri jelas dia tidak
sudi. Mau-tak-mau Yu Wi berseru memuji, "Betul, untuk apa menolong kawanan anjing Turki."
Air muka Aloyato berubah beringas, tanyanya, "Jadi Sicu benar tidak mau menolongnya?"
Dengan tegas Su Put-ku menjawab, "Lekas kau bawa dia pergi dan jangan diperlihatkan


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padaku lagi, kalau tidak, jangan menyesal jika orang she Su terpaksa membunuh orang sakit."
Kini Yu Wi juga sudah melupakan kebencian dirinya terhadap Su Put-ku, serunya, "Su-cianpwe,
jika mereka tidak enyah, Cayhe akan bantu kau."
Tapi Su Put-ku lantas mendelik dan mendamperatnya, "Siapa suruh kau ikut cerewet" Lekas
enyah!" Bok-ya jadi mendongkol, katanya, "Toako, orang ini tidak kenal maksud baik orang, tidak usah
menggubrisnya."
Pada saat itulah tiba-tiba si sakit berkata, "Suhu, kalau dia tidak mau mengobati diriku, untuk
sementara keadaan murid juga tidak beralangan, biarlah kita mencari jalan lain saja."
"Tidak, tidak boleh jadi," kata Aloyato sambil menggeleng, "penyakitmu yang aneh ini hanya di
saja yang mampu menolongmu, apapun juga hari ini harus menyuruh dia menolong dirimu."
Sungguh tak terduga bahwa orang Turki yang tergeletak di tanah itupun fasih berbahasa Han,
keruan Bok-ya heran, segera ia bertanya, "He, kau belum mati?"
Tubuh Kongcu bangsa Turki itu tidak bisa bergerak, tapi kepalanya dapat bergoyang, ia
menggeser kepalanya dan memandang Ko Bok-ya dengan tersenyum, jawabnya, "Ai, nona ini
suka bergurau, kalau Cayhe sudah mati, mana bisa kami datang ke mari untuk minta
pengobatan?"
Bok-ya sengaja hendak mengejek Su Put-ki katanya, "Ah, rupanya kau tidak tahu bahwa tuan
kita yang tabib maha sakti itu dapat menghidupkan orang yang sudah mati. sekalipun kau sudah
mati pasti juga akan ditolongnya hidup kembali, cuma sayang, karena kau tidak mati, rnakanya
tidak bisa di tolong malah."
"Aneh, mengapa bisa begitu?" ujar si Kongcu sakit.
"Sebab tuan tabib kita sekarang hanya menolong orang mati saja, orang hidup takkan
ditolongnya," ujar Bok-ya dengan tertawa, "Maka kalau ka ucerdik, hendaklah kau mati lebih dulu,
bisa jadi dia akan segera menolong kau."
Si Kongcu sakit itu bertambah bingung.
Dengan gusar Aloyato lantas berteriak, "Jangan kau percaya ocehan budak itu, dia sengaja
mengaco-belo:"
Ko Bok-ya berpaling dan berkata kepada Su Put-ku dengan tertawa, "Eh, Su-toaya, aku tidak
sembarangan mengoceh bukan" sebentar bila mereka tetap tidak mau pergi, boleh kau bunuh saja
mereka, bukankah berarti kau telah menolong mengirim arwah mereka ke alam baka."
"Jangan sembarang omong, Ya-ji," cepat Yu Wi mendesis.
Aloyato melotot benci kepada Ko Bok-ya, lalu berkata kepada Su Put-ku dengan suara bengis,
"Coba katakan lagi, Sicu mau menolong atau tidak?"
Su Put-ku tidak menjawab dan tidak menggubrisnya, ia membalik tubuh dan menuju pula ke
rumah bambu. Mendadak Aloyato melompat maju, telapak tangannya terus menabas.
Cepat Su Put-ku mengegos, dengan gusar ia bertanya, "Apakah kau memang ingin orang she
Su mengirim arwah kalian pulang ke rumah nenekmu?"
"Jika mampu boleh kau bunuh kami, kalau tidak mampu dan berbalik kutawan, mau-tak-may
akan kupaksa kau menolong dia," kata Aloyato.
"Hah, lucu, masa aku dapat kau tawan?" jawab Su Put-ku dengan angkuh, betapapun ia cukup
yakin kepada kungfunya sendiri.
Aloyato menabas sekali lagi dengan telapak tangannya sambil membentak, "Kenapa tidak coba
dulu!" Segera Su Put-ku balas menyerang, maka terdengarlah suara "blang" yang keras, kedua
tangan beradu, Aloyato berdiri tegak tak tergoyah, sebaliknya Su Put-ku tergetar mundur
beberapa tindak baru dapat menahan tubuhnya.
Dari gebrakan ini sudah kentara tenaga dalam Su Put-ku bukan tandingan Aloyato, waktu
Aloyato menghantam lagi, Su Put-ku tidak berani menangkis pula, cepat ia menggeser ke
samping, lalu melancarkan serangan balasan.
Diam-diam Yu Wi membatin, "Hebat benar tenaga paderi asing ini, sampai Su Put-ku yang
tergolong jago tua juga tak dapat menandinginya."
Dengan kuatir ia lantas membisiki Ko Bok-ya: "Wah, ce!aki, mungkin Su-cianpwe bukan
tandingannya"
Meski berada dalam pondongan Yu Wi, Ko Bok-ya dapat mengikuti pertarungan itu, katanya,
"Ya, Su Put-ku pasti tak dapat melawannya."
"Darimana kau tahu"!" tanya Yu Wi.
"Dari Suhu pernah kudengar ceritanya bahwa Aloyato tergolong jago kelas satu negeri Thiantiok,
ahli dalam Ciang hoat (ilmu pukulan tangan kosong, sejenis karate jaman kini), Su Put-ku
sendiri bukan ahli ilmu pukulan, mana dia sanggup menandinginya?" demikian Bok-ya sengaja
memberi komentar dengan suara agak keras.
Tentu saja ucapan Bok-ya itu dapat didengar oleh Su put-ku, diam-diam ia terkejut,
seyogyanya dia harus berganti siasat dan mengeluarkan senjata, tapi dasar tinggi hati, ia masih
penasaran, pikirnya, "Biarpun bukan tandingannya juga tetap akan ku lawan, untuk bertahan
sama kuatnya kukira tidak sulit."
Dengan cepat 20 jurus telah berlalu, ilmu pukulan Aloyato tidak ada sesuatu yang luar biasa,
maka dapat ditahan oleh Su Put-ku dengan sama kuat Diam-diam Su Put-ku berbesar hati, ia pikir
tokoh kelas satu negeri Thian-tiok ternyata juga cuma begini saja. Segera ia ganti permainan
kungfunya, ia keluarkan ilmu pukulan hasil pemikiran sendiri selama 20 tahun ini.
Ilmu pukulannya ini memang hebat, dengan pedang kayu besi Yu Wi saja tidak dapat
menandinginya, maka diam-diam anak muda inipun percaya paderi jubah merah ini tak dapat
mengalahkannya,
Di luar dugaan, meski Aloyato masih tetap bertempur dengan ilmu pukulannya tadi, namun
setelah berpuluh jurus tetap tidak ada tanda kalah sedikit pun, seperti ilmu pukulan Su Put-ku
yang hebat itu tidak mendatangkan daya ancaman apapun terhadapnya.
Yu Wi menjadi heran, ia coba mengamati mereka dengan lebih seksama, selang sejenak
barulah diketahuinya kelihayan Aloyato.
Kiranya ilmu pukulan paderi jubah merah itu sudah mencapai tingkatan yang ajaib dan dapat
dimainkan sesuka hatinya, dengan ilmu pukulan yang sama, asalkan dia mengerahkan tenaga
dalamnya lebih kuat, seketika daya tekan ilmu pukulannya itu juga akan tambah lihay sehingga
cukup untuk menahan serangan Su Put-ku, sebab itulah kedua pihak kelihatan sama kuat,
sedangkan Aloyato tampaknya belum lagi mengeluarkan segenap tenaganya.
Makin lama bertempur makin sedih hati Su Put-ku, tadinya ia mengira dengan kungfu hasil
pemikirannya selama berpuluh tahun ini pasti dapat memberi hajaran kepada Aloyato, siapa tahu
sekarang ternyata tidak bermanfaat sama sekali, jerih payah selama 20 tahun ini terbuang
percuma, dengan sendirinya ia merasa sedih.
"Awas!" mendadak Aloyato membentak, tenaga pukulannya segera bertambah kuat dengan
damparan angin yang menderu-deru.
Bukan saja tenaga pukulannya mendadak bertambah kuat, bahkan gerak perubahannya
tambah bagus, nyata jauh berbeda daripada permainannya tadi. hanya menangkis tiga-empat kali
saja Su Put-ku sudah merasakan beratnya pukulan lawan dan terancam bahaya.
Mendadak Aloyato membentak pula, "Kena!" - berbareng itu kesepuluh jarinya terpentang,
secepat kilat ia mencengkeram ke dada lawan.
Su Put-ku pikir apapun juga tidak boleh dada sendiri tercengkeram musuh, kalau tidak,
malunya pasti akan habis-habisan, Karena itulah cepat ia sambut serangan lawan dengan
mendorong kedua tangannya ke depan, meski menyadari tidak boleh keras lawan keras, namun
keadaan sudah kepepet dan tidak memberi kesempatan berpikir lagi baginya.
Aloyato tidak menyangka Su Put-ku akan menahan serangannya dengan keras lawan keras,
bentaknya pula, "Kau cari mampus!"
Seketika terdengarlah benturan keras, Su Put-ku mencelat ke udara seperti layangan putus
benangnya, namun pikirannya masih cukup jernih, waktu jatuh ke bawah ia sempat melejit
sehingga jatuhnya cuma terduduk dan tidak sampai terbanting, walaupun begitu kedua tangannya
yang digunakan menahan di tanah terasa kaku pegal juga dan sukar diangkat lagi.
"Haha," coba, tertawan tidak kau sekarang" ejek Aloyato dengan tertawa.
Selangkah demi selangkah ia mendekati Su Put-ku. tampaknya seperti pasti dapat membekuk
Su Put-ku dengan mudah.
Ketika sudah dekat, mendadak Su Put-ku melompat bangun dan pasang kuda-kuda dengan
mendelik. "Masa kau berani bertempur lagi?" sindir Aloyato,
"Kenapa tidak berani!" jawab Su Put-ku pada saat itulah mendadak terdengar Ko Bok ya
berseru. "Langit membentang luas samudra sejejana mata..."
Seketika semangat Su Put-ku tergugah demi mendengar kata-kata Ko Bok-ya itu, segera ia
memusatkan pikiran dan mendengarkan dengan cermat.
Kiranya dahulu guru Bok-ya, yaitu It-teng Sinni, membawa Bok-ya ke tempat Su Put-ku, Waktu
itu usia Bok-ya baru sepuluh atau sebelas tahun, karena sejak kecil badan Bok-ya sangat lemah,
selalu sakit-sakitan sehingga sukar untuk belajar silat, maka It teng Sin-ni membawanya ke Siaungo-
tay-san untuk minta pengobatan pada Su Put-ku.
Sudah lama Su Put-ku sangat mengagumi ilmu silat It-teng yang maha sakti, ia lantas minta
Nikoh sakti itu mengajarkan sejurus kungfu sebagai imbalannya akan mengobati Bok-ya hingga
sehat dan kuat, selain itu iapun berjanji kelak akan menolong satu kali lagi kepada nona itu.
it teng sendiri tidak mampu menyehatkan badan Bok-ya yang pembawaannya memang lemah,
terpaksa ia terima syarat Su Put-ku. Kemudian kesehatan Bok-ya memang dapat dipulihkan seperti
anak-mak umumnya. Maka lt-teng juga menepati janjinya dan mengajarkan Kungfu yang diminta
Su Put-ku, lebih dulu ia memberikan perlambang dengan menyebut "Langit membentang luas
samudra seyojana mata"
Hanya satu Kalimat saja ia menyebut, dan tidak menyambungnya lagi, lalu buru-buru ia
mengajarkan sejurus ilmu langkah ajaib kepada Su Put-ku, habis itu It-teng lantas pergi dengan
membawa Ko Bok-ya.
Sudah hampir sepuluh tahun Su Put-ku berlatih ilmu langkah ajaran It-teng Sin-ni itu, tapi di
mana letak intisari ilmu langkah itu belum lagi ditemukan, meski ada hasilnya sedikit, namun tidak
dapat dikatakan sebagai ajaib, ia selalu merasa di dalam latihannya ini pasti ada bagian yang
salah, maka teringatlah dia oleh perlambang yang pernah disebut oleh It-teng Sin-ni dahulu, ia
pikir kunci utama dari pada ilmu langkah itu pasti terletak dalam perlambang itu, hanya saja
perlambat itu entah mengapa tidak seluruhnya diuraikan olel: It-teng Sin-ni.
Kini mendadak didengarnya satu-satunya murid pewaris It-teng Sin-ni mengucapkan pula
perlambang itu, seketika ia menjadi lupa daratan, seluruh perhatiannya dicurahkan untuk
mengikuti kata-kata perlambang yang diuraikan Ko Bok-ya dan tidak ambil pusing lagi terhadap
Aloyato. Dengan cermat ia mendengarkan kata-kata Bok-ya, makin lanjut makin terangsang
perasaannya. Aloyato sendiri bertekad akan menaklukkan Su Put-ku lahir-batin agar orang rela mengobati
murid kesayangannya itu dengan sesungguh hati, maka ia tidak menyerang lagi ketika melihat
lawan berdiam saja.
Cukup lama Ko Bok-ya menguraikan secara panjang lebar, akhirnya ia menyebut beberapa
kalimat terakhir "... di dalam perlambang inilah terletak kemujizatannya...." lalu habis dan
berhenti. Serentak Su Put-ku berteriak, "Aha, pahamlah aku sekarang!"
Berbareng ia terus melangkah ke depan Aloyato. Cepat Aloyato mencengkeram pula ke dada
lawan, tapi meleset, bahkan kehilangan bayangan Su Put-ku. Keruan Aloyato terkejut, belum lagi
sempat terpikir apa yang terjadi, tahu-tahu punggungnya kena digebuk dengan tepat oleh kepalan
Su Put-ku, untung tangan Su Put-ku masih pegal karena jatuhnya tadi sehingga tenaganya banyak
berkurang, maka Aloyato hanya terdorong sempoyongan ke depan dan tidak sampai jatuh
tersungkur. Cepat Aloyato membalik tubuh dan segera mendahului menyerang pula, serangannya
sekarang tidak kenal ampun lagi dan sangat dahsyat.
Tapi Su Put-Ku seperti tidak mengacuhkan serangannya, ketika pukulannya sudah dekat,
mendadak dia menggeser ke samping, pandangan Aloyato menjadi kabur, kembali lenyap pula
bayangan Su Put-ku, bahkan punggungnya lagi-lagi kena digenjot dan hampir saja dia jatuh
terjerembab. Aloyato mengamuk, beruntun-runtun ia menyerang tujuh kali, tapi ujung baju Su Put-ku saja
tak tersenggol, sebaliknya punggung sendiri kembali dihantam tujuh kali.
Meski hantaman tujuh kali ini tidak sampai melukai Aloyato, tapi telah meruntuhkan semangat
tempurnya, ia menghela napas panjang terus melompat keluar kalangan, Kongcu sakit itu terus di
angkatnya. Su Put-ku sengaja menyindir, "He, kenapa mau pergi" Apakah tidak ingin coba-coba beberapa
kali gebukan lag?"
Dengan lantang Aloyato berkata, "Pada suatu hari ilmu langkahmu itu pasti akan kupatahkan."
"Pada saat kau dapat mematahkannya mungkin jiwamu sudah melayang lebih dulu," Ko Bokya
ikut berolok-olok dengan tertawa.
Aloyato memandang lekat-lekat si nona sekejap, wajah Bok-ya diukirnya di dalam benaknya,
lalu mendengus terus berlari pergi.
Setelah Aloyato angkat kaki, kontan Su Put-ku lantas jatuh terduduk.
"Kau dapat memainkan ilmu langkah ajaran Suhu itu dengan selancar ini, boleh juga kau!"
kata Bok ya. Su Put-ku mendengus, "Hm, dahulu mengapa gurumu hanya mengajarkan cara melangkahnya
dan tidak memberitahukan kuncinya?"
"Bilamana Suhu mengajarkan kunci rahasia ilmu langkah itu sejak mula, saat ini siapa lagi di
dunia ini yang mampu menandingi kau?" ujar dengan tertawa.
Su Put-ku pikir alasan ini memang betul, buktinya sudah hampir sepuluh tahun dirinya berlatih
ilmu langkah itu dan tiada sesuatu kemajuan yang berarti, tapi sekarang, hanya sebentar saja si
nona memberitahukan kunci ilmu langkah itu, seketika dapat dimainkannya dengan ajaib, Apabila
dahulu It-teng langsung mengajarkan segenap rahasia ilmu langkah itu kepadanya, memang betul
saat ini dirinya pasti tiada tandingannya di dunia ini.
Berpikir sampai di sini, segera ia menjenigek, "Hm, apakah gurumu kuatir aku akan malang
melintang di dunia Kangouw sehingga kungfu yang diajarkan padaku menurut perjanjian itu hanya
setengah-setengah saja?"
"Meski hanya setengah-setengah, apakah kau merasa tidak cukup?" jawab Bok-ya,
"Dan mengapa sekarang kau uraikan lagi kuncinya," tanya Su Put-ku dengan suara rada
gemetar. "Kau menyelamatkan jiwaku dengan melanggar peraturanmu, dengan sendirinya harus
kubalas satu kali kebaikanmu," kata Bok-ya.
Semakin hebat gemetar tubuh Su Put-ku, mukanya pucat, giginya gemertuk, suaranya juga
terputus-putus, "Han . . . Han, . . . tok . . . ciang "
"Hah, apa katamu" Han-tok-ciang?" seru Yn Wi kaget.
Waktu ia periksa punggung tangan Su Put-ku, dilihatnya kedua tangan tabib sakti itu berlumut
bunga es, teringat dia ketika Aloyato mengadu tangan dengan Su Put-ku sehingga tabib sakti ini
terpukul mencelat. Tentu pada saat itulah Aloyato menyalurkan racun dingin ke tangannya dan
baru sekarang racun itu mulai bekerja.
Su Put-ku meronta bangun sekuatnya, lalu berjalan dengan lemah ke rumah bambunya, tapi
hanya beberapa langkah ia lantas jatuh, bekerjanya Han-tok atau racun dingin itu ternyata sangat
cepat, hanya sebentar saja sekujur badan Su Put-ku seolah-olah terbungkus oleh satu lapis es
yang tipis. Terdengar gemertuk gigi Su Put-ku semakin keras, ucapnya dengan lemah dan terputus-putus,
?"Lek . . . lekas ke ,. ke kamarku dan . . . ambilkan Sam . . . yang . . tan."
Tanpa pikir Yu Wi menurunkan Ko Bok-ya, lalu berlari masuk rumah bambu itu, diambilnya
satu botol porselen kecil yang pada etiketnya tertulis "Sam-yang-tan".
"Ber . . , berikan padaku , .. ," seru Su Put-ku,
Begitu Yu Wi menyodorkan botol kecil itu, serentak Su Put-ku merampasnya, dengan tangan
gemetar ia membuka tutup botol dan menuang tiga biji pil warna putih dan ditelan sekaligus, lalu
berduduk sambil memejamkan mata.
Mujarab benar ketiga pil itu, hanya sebentar saja, lapisan es tadi cair seluruhnya sehingga
membasah-kuyupi baju Su Put-ku seperti baru saja diguyur, sejenak kemudian, gemetar badannya
juga hilang, ia membuka mata dan berkata, "Lihai amat, Akhirnya sebagian besar racun dingin
dapat dicairkan!"
Yu Wi masih menungguinya di samping, tiba2 ia bertanya, "Ada berapa orang yang mahir Han
tok-ciang di dunia ini?"
Mendadak Su Put-ku seperti sudah melupakan pertolongan Yu Wi yang telah mengambilkan
obat tadi, dengan menarik muka ia menjawab, "Kenapa kalian belum pergi?"
Kontan Bok-ya mendamperat, "Dasar manusia tidak tahu kebaikan orang, jika kami pergi sejak
tadi dan Toako tidak mengambilkan obat bagimu, saat ini mungkin kau sudah mampus terbeku
dan masakah masih mampu bicara segarang ini?"
Su Put-ku tetap tidak perduli, jengeknya "Obat ini kan milikku, bocah itu hanya mengambilkan
saja, apa susahnya?"
"Huh, dasar manusia tidak punya liangsim (hati nurani)," omel Bok-ya pula dengan gemas.
"Liangsim apa segala," jengek Su Put-ku, "hakikatnya gurumu tidak pernah membalas
kebaikanku. Bangsat It-teng itu seharusnya mengajarkan sejurus kungfu padaku, tapi dia hanya
mengajarkan setengah bagian padaku, sekarang baru kau uraikan lagi setengah bagian lain, hal ini
smna seperti kau tebus kesalahan gurumu padaku..."
"Kau berani memaki Suhuku"!" teriak Bok-ya dengan mendelik.
Su Put-ku tidak menggubrisnya, ia melanjutkan pula, "Tapi sesungguhnya akupun tidak dapat
dikatakan telah menolong kau..."
"Kau tidak menolongku, habis siapa yang menawarkan racun biru hantu dalam tubuhku?"
tanya Bok-ya heran..
Kuatir Su Put-ku menceritakan apa yang terjadi cepat Yu Wi mendahului berseru, "Memang dia
yang menyembuhkan kau, siapa lagi" Ayolah kita pergi saja!"
Segera ia hendak memondong Bok-ya pula. tapi dilihatnya nona itu telah berdiri sendiri.
Su Put-ku lantas, menjengek, "Sebaiknya kau jangan bergerak dulu, dengarkan baik-baik
ceritaku ini. Kau tahu, jiwamu sekarang diperoleh dengan tukar menukar...."
"Kau berani omong"!" bentak Yu Wi.
"Sekarang aku takkan dikalahkan lagi olehmu setelah kupahami "Leng-po-wi-poh" (langkah
ajaib sang bidadari) seuruhnya," kata Su Put-ku.
Bok-ya mendesak maju sambil berkata, "Coba ceritakan, cara bagaimana jiwaku diperoleh
dengan tukar menukar?"
Baru beberapa langkah, "bluk", mendadak ia jatuh terkulai.
"Sudah kukatakan jangan bergerak dulu, tidak salah bukan?" kata Su Put-ku.
"He, kenapa dia?" seru Yu Wi kuatir.
Su Put-ku tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Unuk apa kau eduli dia, meski dia tak dapat
bergerak dengan beas, sedikitnya kan lebih baik daripada jiwamu yang hanya dapat bertahan dua
tahun saja."
Dia sengaja hendak melukai hati pasangan kekasih itu, asalkan dapat menyaksikan batin


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereki tersiksa, dalam hatinya akan mendapatkan kepuasan yang sukar dicari.
Dengan suara sedih dan kuatir Bok-ya bertanya, "Toako, jadi jiwaku ini kau tukar dengan
jiwamu?" "Jangan kau percaya ocehannya," jawab Yu Wi "Eh, kenapa kau tidak dapat bergerak?"
"Hehe, apa gunanya kau tanya dia, betapapun dia juga tidak tahu," jengek Su Put-ku.
Terpaksa Yu Wi bicara dengan ramah dan setengah memohon, "Dapatkan Cianpwe
menyembuhkan dia?"
Su Put-ku menggeleng, katanya, "Akupun tak berdaya, racun biru hantu itu terlambat
dipunahkan, selama hidupnya kedua kakinya jangan harap akan dapat pulih seperti sediakala lagi."
"Aku tidak percaya di dunia ini tidak ada obat yang dapat menyembuhkan kaki Ya-ji," kata Yu
Wi dengan penuh keyakinan.
"Ada sih ada, tapi cara bagaimana akan kau dapatkan obat itu kalau cuma mengandalkan
tenagamu saja?" kata Su Put-ku.
"Obat apakah itu?" cepat Yu Wi bertanya.
"Aku tidak berkewajiban memberitahukan padamu."
"Kau bicara atau tidak?" dengan berang Yu Wi melolos pedangnya.
"Sudahlah Toako jika dia tidak mau menerangkan," seru Bok-ya. "Kau sendiri hanya tahan
hidup dua tahun lagi, apa gunanya biarpun nanti kakiku dapat disembuhkan?"
"Dia ngaco-belo, jangan kau percaya," kata Yu Wi. "Aku akan hidup lagi beberapa puluh tahun,
kakimu pasti dapat disembuhkan, kalau dia tidak mengobati kau, aku bersumpah takkan
menyudahi urusan ini dengan dia."
"Hehehe," Su Put-ku terkekeh pula, "apa gunanya kau dustai dia" Pil yang kuberikan itu adalah
racun maha lihay, dua tahun kemudian pasti akan bekerja, tatkala mana sekalipun Hoa-To (tabib
sakti di jaman Sam Kok) hidup kembali juga tak berdaya menyelamatkan kau."
"Apakah lantaran diriku, maka Toako menelan pil racun itu?" tanya Bok-ya dengan getir.
Kuatir si nona akan berduka, Yu Wi menyangkal katanya, "Tidak, tidak pernah terjadi hal
demikian. Justeru lantaran kukalahkan dia dengan ilmu pedangku, terpaksa dia menolong kan," -
Lalu ia berpaling ke arah Su Put-kti dan berteriak, "Apakah kau berani menyangkal tidak
kukalahkan dan mau-tak-rnau kau sembuhkan Ya-ji"
Hal ini memang fakta, mau-tak-mau Su Put ku harus mengakuinya, "Ya, betul, tapi..."
Tanpa memberi kesempatan bicara lebih lanjut segera pedang Yu Wi menusuk ke dada orang.
Su Put-ku tahu ilmu pedang Yu Wi sangat lihay, ia tidak berani gegabah, cepat ia melompat
untuk berkelit.
Tusukan Yu Wi mengenai tempat kosong bahkan bayangan Su Put-ku lantas menghilang.
"Awas, Toako, kembali dia memainkan leng-po-wi-pohl" seru Bok-ya.
Yu Wi terkejut, tanpa berpaling. ia membalik terus menusuk pula ke belakang Namun kedua
tangan Su Put-ku sempat menyampuk batang pedang kayu itu. Kini tenaga Su Put-ku sudah pulih,
dalam keadaan tak terduga, Yu Wi tidak kuat lagi memegang pedang kayu itu, kontan pedang
kayu itu tergetar mencelat.
Sekali serangannya berhasil, Su Put-ku tidak memberi kelonggaran pula, dengan langkah ajaib
Leng-po-wi-poh, kedua tangannya segera menabas lagi.
Karena langkah lawan yang aneh, Yu Wi tak dapat meraba ke arah mana dirinya harus balas
menyerang, Dilihatnya bayangan tangan Su Put-ku menyerang dari berbagai penjuru. Dalam
keadaan kepepet, mendadak teringat olehnya tiga jurus pukulan sakti ajaran Kan Ciau-bu dahulu,
buru-buru ia melancarkan tiga jurus itu.
Dalam keadaan kepepet, ketiga jurus pukulan itu memang sangat efektif, Maklumlah, Thian-lo
sam-ciau atau tiga jurus jaring langit itu adalah ilmu pukulan yang maha dahsyat, sedangkan
sekarang Yu Wi tidak tahu di mana beradanya musuh, dari segenap penjuru hanya bayangan
musuh belaka, terpaksa ia balas menyerang dengan tiga jurus yang dahsyat itu untuk
menyelamatkan diri.
Begitu ketiga jurus itu dilancarkan, betapapun Su Put-ku tidak mampu mendekat, terpaksa
kedua nya saling gebrak berhadapan sehingga belasan kaki.
Tenaga dalam Yu Wi kalah kuat, setelah menahan beberapa kali serangan Su Put-ku, darah
dalam rongga dadanya bergolak hebat karena guncangan tenaga pukulan lawan itu, hampir saja ia
tidak tahan dan jatuh pingsan.
Untung racun dingin yang mengeram di tubuh Su Put-ku itu belum lenyap seluruhnya, setelah
mengadu pukulan beberapa kali, darah mengalir lebih cepat, racun dingin itupun kumat lagi.
Karena rasa dingin yang semakin bertambah hebat, Su Put-ku tidak berani bertempur lebih
lama lagi, terpaksa ia tarik kembali serangannya dan berhenti dengan sikap yang dibuat
setenangnya, Ia pandang Yu Wi sambil tertawa dingin, lagaknya seperti sengaja mengalah pada
anak muda itu. Yu Wi menghela napas lega, iapun berdiri tenang untuk mengatur napas, sejenak kemudian
barulah pergolakan darah dapat diredakan, ia menyadari dirinya masih sukar melawan Su Put-ku,
tapi ia pantang menyerah, ia menantang lagi, "Apa obatnya yang kau maksudkan itu" Lekas
katakan, kalau tidak, ayolah kita bertempur pula!"
Mendadak Ko Bok-ya berseru, "Toako, sekarang Leng-po wi-poh dapat dimainkannya dengan
semakin lancar, sukar kau mengalahkan dia, tidak perlu bertempur lagi."
"Tidak, kalau dia tidak menerangkan nama obat itu, matipun harus kutempur dia," seru Yu Wi
dengan bandel. "Aku tidak menghendaki kakiku sembuh, aku cuma menginginkan dipondong kau setiap hari..."
"Tapi satu hari kakimu tidak sembuh, satu hari pula aku tidak tenteram!" kata Yu Wi dengan
pedih, sambil bicara segera ia mendekati Su Put-ku dan siap tempur lagi.
"Toako, apakah kau tidak suka memondong diriku" Apakah kau hendak melukai hatiku?" cepat
Bok-ya berkata pula dengan sayu.
Yu Wi menghentikan langkahnya, dan berkata, "Aku pasti tidak akan melukai hatimu."
Bok-ya kuatir Yu Wi mengalami cedera, ia talu betapa hebatnya langkah ajaib Leng-po-wi-poh,
dengan rawan ia berkata pula, "Jika kau bertempur lagi berarti akan melukai hatiku..."
Kesempatan itu segera digunakan oleh Su Put--cu. dia sengaja menantang pula, "Ayolah, kalau
berani lekas bertempur lagi, jika dapat kau kalahkan diriku akan segera kuberitahukan nama obat
itu." Inilah akal "ingin mundur malah maju", padahal keadaannya sekarang juga berbahaya,
sebenarnya ia sangat berharap kedua muda-mudi itu selekas-lekas pergi saja, kalau tertahan lebih
lama tentu penyakitnya akan ketahuan, sebab saat ia rasa dingin dalam tubuhnya telah bertambah
hebat dan hampir sukar tertahan lagi.
Yu Wi tidak ingin melukai hati Ko Bok-ya, iapun tahu bila bertempur lagi juga akan sukar
mendapat kemenangan, maka pedang kayu lantas dijemputnya dan diselipkan lagi pada
pinggangnya, Ko Bok-ya dipondongnya sambil berucap dengan tersenyum pedih, "Aku pasti akan
menyembuhkan kakimu!"
Habis berkata ia terus melangkah ke tepi puncak gunung.
Tapi sebelum dia turun ke bawah, mendadak Su Put-ku berteriak, "Obat itu adalah Thian-liong
cu, pusaka kerajaan Turki."
Yu Wi sangat girang, serunya, "Cara, bagaimana menggunakannya?"
Su Put-ku mendengus "Hm, lantaran kebaikanmu mengambilkan obat tadi, maka
kuberitahukan padamu..."
Sampai di sini mendadak ia berhenti, Selagi Yu Wi hendak putar balik untuk tanya, tiba-tiba Su
Put-ku berseru lagi, "Digilas menjadi bubuk dan diminum bersama arak..."
Setelah tahu cara menggunakan obat yang dimaksud, Yu Wi tidak mau tinggal lebih lama lagi
di sini, segera ia melayang turun gunung secepat terbang.
Saat itu Su Put-ku telah menggigil kedinginan giginya gemertuk, sekuatnya ia mengucapkan
kalimat terakhir tadi dan hampir saja ketahuan penyakitnya, cepat ia menuang lagi tiga biji pil
putih dan ditelan, ilmu pertabibannya memang maha sakti, untuk menyembuhkan racun dingin itu
tentu bukan pekerjaan sulit baginya.
oo^ oo- -oo0oo- -~oo^oo-
Setiba di kaki gunung, Ko Bok-ya bertanya, "Toako, kita akan ke mana?"
"Ke negeri Turki," jawab Yu Wi.
"Bagaimana kalau kita tidak pergi ke sana?"
"Sebab apa?"
Bok-ya menempelkan kepalanya di dada anak muda ini dan berkata dengan suara lembut,
"Biarlah kita hidup bersama dengan baik-baik selama dua tahun ini..."
Tergetar perasaan Yu Wi, teringat olehnya jiwanya hanya tahan dua tahun saja, dari nada
ucapan si nona, agaknya Bok-ya bersedia menyerahkan diri kepadanya.
Terharu hati Yu Wi. Tapi lantas terpikir olehnya, jiwanya yang cuma tersisa dua tahun itu
mana boleh digunakan merusak kebahagiaan selama hidup si nona, Maka dengan tegas ia
menjawab, "Tidak, kita harus pergi ke Turki!"
Pelahan Bok-ya menggeleng, katanya, "Jagoan Turki tak terhitung jumlahnya, sedang Thianliong
cu (mutiara naga langit) adalah benda pusaka kerajaan Turki, masa begitu mudah
mendapatkannya. Untuk apa engkau harus menghadapi bahaya besar bagiku untuk mencari
Thian-liong cu yang tak berguna itu?"
"Kenapa tidak berguna" Thian-liong-cu lm dapat menyembuhkan kakimu?" seru Yu Wi.
"Tidak, aku tidak ingin kakiku sembuh!"
"Hah, seperti anak kecil saja," ujar Yu Wi dengan tertawa, "Di dunia ini mana ada orang yang
suka menjadi cacat?"
Mendadak Bok-ya berucap pula dengan aleman "Tidak, aku tidak ingin kakiku sembuh! Aku
tidak ingin sembuh!..."
Yu Wi menganggap si nona bicara seperti anak kecil, tanpa menanggapi ia terus mempercepat
langkahnya. Tak lama kemudian sampailah mereka di suatu kota, banyak orang berlalu lalang, maka Bokya
tidak enak untuk main aleman lagi, ia menempelkan mukanya rapat-rapat di dada Yu Wi.
Maklumlah, seorang anak perempuan dipondong seorang pemuda di depan umum, betapapun
tentu merasa malu.
Yu Wi berhasil menyewa sebuah kereta kuda, mereka lantas naik kereta dan memberi pesan
kepada kusir ke arah mana kereta itu menuju, sejenak kemudian kereta lantas dilarikan secepat
terbang. Di dalam kereta, tiba-tiba Bok-ya berkata, "Kenapa tadi kau tanya Su Put-ku di dunia ini ada
berapa orang yang mahir menggunakan Han-tok-ciang..."
?"Sebab waktu ayahku meninggal keadaannya menggigil seperti terkena Han-tok-ciang itu, tapi
tidak diketahui siapa yang menyerang beliau?" tutur Yu Wi dengan berduka.
"Suhu pernah bercerita tentang Han-tok-ciang, katanya Han-tok-ciang adalah kungfu khas
negeri Thian-tiok, di daerah Tionggoan tidak ada orang yang mahir menggunakannya,"
"Tampaknya di antara pembunuh ayahku itu pasti juga terdapat orang Thian-tiok," kata Yu Wi
dengan menyesal.
"Jangan-jangan Aloyato itulah pembunuhnya".
"Tapi dalam buku daftar nama pembunuh pemberian ayahmu itu tidak terdapat nama
Aloyato." "Apakah tidak ada catatan prihal pihak Turki mengirim orang untuk membunuh ayahku?"
"Ada, bahkan belasan kali."
"Jika begitu, tentu tidak salah lagi, Aloyato pasti juga pernah diutus oleh kerajaan Turki untuk
membunuh ayahku, bisa jadi lantaran kepandaiannya sangat tinggi sehingga tidak tertangkap oleh
paman Yu, maka di dalam daftar tidak tercatat namanya."
Yu Wi pikir keterangan ini cukup masuk di akal, apalagi murid Aloyato itu tampaknya adalah
bangsawan Turki, jika Aloyato bekerja bagi kerajaan Turki, tentu ada kemungkinan pernah di utus
untuk melakukan pembunuhan terhadap Ko Siu.
Bok-ya bertutur pula, "Bisa jadi tatkala mana Aloyato belum berhasil meyakinkan Han-tokciang,
dia bukan tandingan paman Yu, sebaliknya dilukai paman Yu dan kabur, setelah berhasil
meyakinkan Han-tok-ciang, lalu Aloyato datang lagi menuntut balas terhadap paman Yu."
Makin dipikir Yu Wi merasa cerita Bok-ya itu makin masuk di akal, mendadak ia berucap
dengan tegas, "Jika begitu, aku lebih-lebih harus pergi ke Turki."
Sebenarnya maksud Bok-ya ingin mencegah agar anak muda itu jangan pergi ke Turki dan
menyerempet bahaya baginya, sekarang Yu Wi bertekad pergi ke sana demi menuntut balas,
maka Bok-ya tidak berani merintanginya lagi.
Teringat kepada kematian ayahnya yang mengenaskan, hati Yu Wi menjadi berduka, ia duduk
dengan diam. Dalam pada itu tabir kereta telah dilepaskan, selang sekian lama, Bok-ya merasa kesal, ia coba
menggulung tabir pintu kereta, mendadak pemandangan sepanjang jalan dapat terlihat, ternyata
kereta itu menuju ke arah timur, ke daerah Tionggoan, keruan Bok-ya terkejut dan heran,
tanyanya, "He, Toako, kereta ini menuju ke mana?"
Pulang ke Pakkhia," jawab Yu Wi.
"Mengapa pulang ke Pakkhia?" tanya Bok-ya.
"Setelah ku antar kau pulang ke rumah, segera Toako sendiri akan berangkat ke Turki."
"Kau tidak mau ku ikut pergi ke sana?" ti.iv Bok-ya dengan sedih.
"Betapa bahayanya kepergianku ke Turki dapatlah dibayangkan sedangkan kakimu belum
bebas..."!
Ya, memang," Bok-ya tersenyum getir, "Ikut pergi, bukannya membantu, sebaliknva akan
menjadi beban bagimu malah."
"Makanya kau istirahat saja di rumah, selekasnya Toako pasti akan pulang," kata Yu Wi.
Dengan sendu Bok-ya berkata, "Toako ke Turki untuk menuntut balas pada Aloyato dan tidak
perlu lagi mencari Thian-liong-cu."
"Seb... sebab apa?" tanya Yu Wi denaan melengak,
"Habis, nanti kalau Toako pulang, tentu aku sudah mati, apa gunanya Thian-liong-cu?"
"Omong kosong! Kau baik-baik saja, mana bisa mati!" omel Yu Wi.
Mendadak si nona menjatuhkan diri ke pangkuan Yu Wi, ratapnya dengan menangis, "Aku
tidak mau berpisah dengan Toako."
Yu Wi tepuk-tepuk bahu si nona dengar perlahan dan menghiburnya "Jangan menangisi
Jangan menangisi. Di dunia ini tidak ada perjamuan yang tidak bubar, orang hidup pasti ada
kalanya harus berpisah, Kita hanya berpisah untuk sementara saja pasti selekasnya akan bertemu
lagi!" Mendadak Bok-ya duduk tegak lagi sambil mengusap air matanya, lalu berkata dengan tegas,
"Jika Toako mengantarku pulang, engkau pasti takkan bertemu denganku lagi."
"He, ap ... apa yang akan . . . akan kau lakukan?" tanya Yu Wi kuatir.
"Aku tidak ingin hidup lagi," jengek Bok-ya.
Yu Wi terkejut, "He, kau . . . " bila teringat watak Bok-ya yang keras, apa yang dikatakannya
bukan mustahil akan dilaksanakan dengan menghela napas terpaksa ia berkata, "Baiklah, boleh
kau boleh pergi bersamaku!"
Karena maksud tujuannya tercapai, Bok-ya tertawa cerah, serunya dengan gembira, "Jika
begitu lekas kereta disuruh putar balik!"
Tiada jalan lain, terpaksa Yu Wi memerintahkan kusir memutar kereta dan dilarikan menuju ke
barat dan keluar tembok besar. ia tidak tahu bahwa Ko Bok-ya menyadari harapan pulangnya Yu
Wi sangat tipis apabila anak muda itu jadi pergi ke Turki, dengan sendirinya ia tidak rela berpisah
begitu saja, ia bertekad kalau mati harus mati bersama dengan sang Toako.
Sekeluarnya Giok-bun-koan, yaitu pintu gerbang tembok besar di ujung barat, seyojana mah
hanya gurun pasir belaka.
Di jaman dahulu, kalau keluar dari Giok-bun-koan ibaratnya sudah masuk pintu neraka, sebab
itulah saudagar Tionggoan umumnya jarang yang melintasi tembok besar, apalagi kalau kepergok
orang Turki yang terkenal ganas dan kejam, jarang yang dapat pulang dengan selamat.
Suku bangsa Turki di daerah sinkang adalah suku Uigur yang kita kenal sekarang, sebelum ke
luar Giok-bun-koan, lebih dulu Yu Wi sudah mencari keterangan sekitar adat kebiasaan orang
Turki dengan harga tinggi ia menyewa seorang saudagar yang biasa bertualang ke luar perbatasan
dan mengajarkan bahasa Uigur padanya dan Bok-ya.
Setelah kursus kilat bahasa-Uigur dan telah menguasai percakapan bangsa Turki yang
sederhana, saudagar itu lantas membawa mereka ke luar perbatasan dengan menyamar sebagai
orang Turki Karena kulit badan Yu Wi dan Bok-ya memang cukup putih, setelah berdandan,
tampaknya mereka!a memang memper orang Turki.
Saudagar itu bernama Li Ju, masih muda usia 30-an umurnya, berdarah campuran bangsa Han
dengan orang Turki, sangat jujur, benar-benar seorang pedagang yang lugu.
Begitulah mereka bertiga masing-masing menunggang seekor unta dan pelahan memasuki
gurun pasir yang luas seakan-akan tak bertepi itu.
Sepanjang jalan kepergok juga beberapa kelompok perajurit Turki yang berpatroli, tapi setelah
Li Ju bicara dengan mereka, biarpun perajurit Turki itu kelihatan buas, ternyata tidak mengganggu
suku bangsanya sendiri sehingga mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan aman.
Terkadang merekapun ketemu badai gurun yang ganas, tapi Li Ju sudah berpengalaman, ia
menguasai setiap perubahan cuaca di gurun pasir, maka segala bahaya dapat pula dihindarkan
mereka. Dengan Li Ju sebagai penunjuk jalan, segalanya dirasakan aman dan lancar oleh Yu Wi dan
Bok-ya. Sebulan kemudian, sampailah mereka di daerah pemukiman suku bangsa Turki, yaitu di sekitar
lembah sungai IH.
Kini di mana-mana dapat terlihat perkemahan orang Turki, tertampak setiap orang Turki pasti
lahir menunggang kuda, sampai anak kecil juga bermain di atas kuda.
Diam-diam Yu Wi membatin, "Pantas perajurit Tionggoan tidak mampu menandingi perajurit
Turki, bangsa Turki memang tangkas dan kuat secara umum, sebaliknya rakyat Tionggoan tidak
mahir menunggang kuda dan memanah, orang mudanya setiap hari hanya berfoya-foya belaka,
minum arak dan main perempuan, paling-paling hanya menggubah syair dan tenggelam di kamar
baca, mana sanggup mereka disuruh bertempur di medan perang?"
Yu Wi minta Li Ju mencari keterangan tentang Aloyato. Tapi tanya ke sana dan ke sini,
kebanyakan orang Turki itu hanya menggeleng kepala, Keruan Yu Wi menjadi lesu dan kesal, ia
pikir Aloyato adalah bangsa Thian-tiok, dengan sendirinya tidak dikenal orang Turki.
Ia teringat pada murid Aloyato, kalau muridnya ditemukan tentu dapat pula menemukan
gurunya. Tapi ia tidak tahu siapa nama Kongcu sakit yang pernah dibawa Aloyato ke Siau-ngo-taysan
itu, terpaksa ia hanya melukiskan bagaimana bentuk wajah murid Aloyato itu dan minta
keterangan kepada orang Turki.
Namun jumlah orang Turki berjuta-juta banyaknya, kalau ingin mencari orang berdasarkan
bentuk wajah tentu saja sangat sulit seperti mencari jarum yang tenggelam di dasar lautan.
Karena tanya sini dan tanya sana, akhirnya perbuatan mereka menimbulkan curiga orang
Turki. Maklumlah, bahasa Uigur yang diucapkan Yu Wi dan Bok-ya kurang fasih, setiap kali mencari
keterangan selalu Li Ju saja yang ditonjolkan sebagai juru bahasa, mereka berdua sedapatnya
membisu. Para penggembala bangsa Turki menjadi heran, mereka berdandan sebagai saudagar,
mengapa tidak melaksanakan jual-beli, tapi selalu mencari keterangan seseorang, Bahkan dua di
antara tiga orang mirip bangsa Han, tidak bicara mainkan selalu mengamat-amati orang di
sekitarnya, Padahal orang dagang umumnya justeru mengutamakan mulutnya, tanpa bicara, apa


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang didagangkan"
Untunglah Li Ju cukup tahu kewajiban, dia mendapat upah besar, maka juga bekerja keras,
Apa yang diminta Yu Wi pasti dilakukannya Karena orang yang dicari belum diketemukan, diamKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
diam iapun gelisah bagi Yu Wi. Namun ia juga tidak banyak bertanya apa maksud tujuan mereka
mencari Aloyato.
Tak dapat menemukan Aloyato, Yu Wi lantas minta Li Ju membawa mereka ke kotaraja Turki.
Li Ju bertanya siapa yang akan dicarinya lagi, Yu Wi mengatakan ingin bertemu dengan raja Turki.
Diam-diam Li Ju terkesiap, tidak sulit mencari raja Turki, kerajaan Turki juga tanpa ibukota
kebanyakan orang Turki bermukim di sekitar Kim-san atau gunung emas, Maka mereka bertiga
lantas melarikan untanya ke sana.
Maksud Yu Wi hendak menemui raja Turk dan membeli Thian-liong-cu dengan harga tinggi
soal harga tidak menjadi soal baginya, sebab dia banyak membawa benda mestika tinggalan Ji Pek
liong di makam keluarga Kan sana.
Suatu hari, sampailah mereka di daerah hulu sungai lli, sejauh mata memandang warna hijau
belaka, rumput menghijau permai meliputi bumi. Pada umumnya di daerah gurun sangat jarang
ada tempat indah begini.
Tertampak air sungai ili mengalir tenang dan jernih sehingga menimbulkan hasrat orang untuk
berendam di situ.
Sudah lama Bok-ya tidak mandi sepuas-puasnya, melihat air sejernih itu, tentu saja ia sangat
senang. Tanpa diminta segera Yu Wi tahu isi hati si nona, ia perintahkan Li Ju membawa mereka
ke tepi sungai.
Setiba di tepi sungai, tertampak serombongan orang Turki yang berdandan sebagai pemburu
berkerumun menjadi dua baris dan sedang menyaksikan dua orang Turki yang berdandan sebagai
bangsawan lagi berlomba memanah.
Saat itu salah seorang di antaranya yang berhidung besar dan bermata siwer, perawakannya
juga tinggi besar, sedang mementang busurnya dan siap memanah sebuah semangka yang
berada pada jarak beberapa ratus langkah jauhnya. Semangka itu hanya setengah kepaja manusia
besarnya, di sunggih oleh seorang penggembala, tampaknya penggembala itu rada-rada takut
sehingga kakinya gemetar, dengan sendirinya semangka yang tersunggih di atas kepalanya juga
ikut ber-gerak2.
"Kena!" mendadak bangsawan Turki yang mementang busur itu membentak, anak panah terus
meluncur ke depan, "bles," dengan tepat menembus semangka itu sehingga semangka itu pecah
menjadi dua, air semangka mengucuri muka penggembala.
Serentak terdengarlah suara sorak sorai memuji, tapi penggembala yang menyunggih
semangka itupun jatuh semaput, bangsawan Turki itu terbahak-bahak, serunya, "Hahaha!
sekarang giliranmu!"
Sorak-sorai orang banyak telah berhenti, salah seorang bangsawan yang lain mengangkat
busurnya, perawakan orang ini sedang-sedang saja, hidungnya juga tidak besar, kulit badannya
rada kekuningan, tidak mirip orang Turki, Namun gerak geriknya tampak agung, pakaiannya juga
terbuat dari kulit berbulu putih yang sangat mahal, dandanannya mutlak seperti orang Turki
sehingga orang tak dapat menyangsikan dia bukan orang Turki.
Terdengar dia berseru dengan tertawa, "Asna-tuya, kepandaianmu memanah sudah maju
pesat!" Orang tadi yang bernama Asnatuya tertawa lebar, jawabnya, "Ah, siapa yang tidak tahu ilmu
memanah Cepe nomor satu di dunia, betapapun pesat kemajuanku juga tak dapat menandingi
kau." Semua orang sama tahu orang yang mirip bangsa Han dan bernama Cepe itu memang
terkenal sebagai ahli memanah, mereka menjadi tidak sabar dan berseru, "Ayolah, Cepe,
pertunjukkan kemahiranmu!"
Dengan tenang Cepe angkat busurnya dan mencoba dulu daya jepretnya, lalu berkata, "Dan
siapa yang akan membantu pertunjukanku?"
Ucapannya ini jelas menghendaki seorang penggembala untuk menjadi sasaran panahnya
seperti penggembala yang menyunggih semangka tadi, penggembala itu sampai saat ini masih
menggeletak tak sadarkan diri.
Tapi beberapa orang segera berebut menjawab, "Aku! . . . aku!"
Mereka yakin panah Cepe pasti tidak meleset maka saling berebut untuk dijadikan pembantu.
Dengan tertawa Cepe memilih salah seorang di antaranya.
Asnatuya tampaknya rada iri, "Mereka hanya percaya kepadamu, kalau aku yang minta, tiada
seorangpun yang mau."
Dengan lugas Cepe berkata, "Kalau kau minta diriku, tentu akan kubantu tanpa pikir!"
Karena ucapan ini, tertawalah Asnatuya.
Segera Cepe menyuruh sukarelawan tadi membawa tiga buah semangka yang lebih kecil dan
menuju ke tempat yang berjarak kira-kira lima ratus langkah, setiba di tempat yang di tunjuk,
orang itu menaruh sebuah semangka di atas kepala, kedua tangan masing-masing memegang
sebuah semangka dan terjulur lurus ke samping.
Cepe mengeluarkan tiga anak panah dan berdiri mungkur. Setelah memasang anak panah dan
busur dipentang, mendadak ia membalik tubuh, "ser"ser-ser", sekaligus tiga anak panah itu
menyambar ke depan, Hampir pada saat yang sama, ketiga buah semangka yang dipegang
pembantu di kejauhan sana juga pecah seluruhnya.
Betapa cepat dan jitu cara memanah itu sungguh sudah mencapai tingkatan yang sukar
dibayangkan. Para penonton sama terkesima dan belum sempat bersorak memuji.
"Panah bagus!" tanpa terasa Yu Wi berteriak memuji.
Sejak kecil Yu Wi dibesarkan di Hek-po, ilmu silat tidak diperoleh, tapi kepandaian memanah
telah dipelajarinya dengan cukup mahir. Tapi kalau dia disuruh membidik tiga sasaran sekaligus
jangankan bisa, membayangkan saja tidak pernah Maka tidaklah heran jika tanpa terasa ia
bersuara memuji.
Dia lupa pada saat itu dia berada di negeri Turki, dia memuji dalam bahasa Han, tentu ia Li Ju
terkejut dan takut setengah mati, untung serentak sorak-sorai lantas bergemuruh sehingga tiada
yang memperhatikan mereka.
Hanya Cepe saja yang kelihatan memandang sekejap ke arah Yu Wi.
Setelah suara sorakan mereda, Asnatuya menepuk bahu Cepe dan berkata, "Sungguh hebat!
Kepandaianku memanah memang berselisih jauh dibandingkan kau!"
"Kepandaian memanah adalah hasil latihan, pada suatu hari kau pasti dapat mengejar
kepandaianku" kata Cepe dengan rendah hati.
"Andaikan kepandaianku ada kemajuan, tapi kan kau juga terus maju, jelas selama hidupku ini
tak dapat menyusul dirimu," ujar Asnatuya dengan menyesal.
Karena pertandingan memanah itu sudah berakhir penonton mulai bubar dan kembali ke
kemah masing-masing. Mungkin rombongan ini adalah kaum bangsawan Turki yang sedang
berburu, perlombaan memanah antara Cepe dan Asnatuya itu mungkin cuma pertunjukan selingan
saja. Melihat orang Turki berkemah di tepi sungai, Yu Wi tidak dapat membiarkan Bok-ya berenang
di sungai, segera ia memutar untanya hendak pergi. Tak Terduga tiba-tiba Cepe berlari tiba dan
menegurnya, "Apakah kau bangsa Han?"
Pasih benar bahasa Han yang diucapkannya.
Cepat Li Ju menyeletuk dengan bahasa Turki, Kami kaum pedagang dan bukan mata-mata
bangsa Han!"
"Aku kan tidak menuduh kalian ini mata-mata?" ujar Cepe dengan tertawa, ia tetap bicara
dalam bahasa Han.
Pada umumnya, seorang pahlawan akan cepat mengenal sesama pahlawan, tanpa sangsi Yu
Wi lantas menjawab terus terang, "Ya, aku bangsa Han, kami ingin mencari Aloyato."
"Oo?" Cepe tampak agak heran. "Yang kau cari itu seorang paderi Thian-tiok, bukan?"
"Ya, ya, kau kenal dia?" Yu Wi mengangguk dengan girang.
"Kukenal," jawab Cepe, "Akan kubawa kalian kepadanya."
Sementara itu Asnatuya juga sudah menyusul tiba, melihat kecantikan Ko Bok-ya yang lain
daripada yang lain, ia jadi kesima, tanpa terasa ia memandangnya seperti kuatir kehilangan lagi.
Bok-ya menjadi kikuk, ia pikir orang ini pasti sebangsa bergajul, mungkin belum pernah
melihat wanita cantik bangsa Han. Cepat ia berkata kepadi Yu Wi, "Toako, marilah kita pergi saja!"
Sepintas lalu Cepe memandang Bok-ya sekejap lalu berpaling lagi ke arah Yu Wi, sikapnya
sungguh agung sesuai seorang ksatria sejati.
"Bilakah hendak kau bawa kami pergi mencari Aioyato?" tanya Yu Wi kepada Cepe.
"Aloyato tinggal di Kim-san (gunung emas), sebentar kami akan berangkat pulang ke sana,
boleh kalian ikut kami ke sana, setiba di Kim-san akan kubawa kau menemui dia," jawab Cepe.
Yu Wi merasa kebetulan, setiba di Kim-san, sekaligus dapat dilaksanakan dua pekerjaan Selain
mencari Aloyato, dapat pula membeli Thian-liong-cu, Maka ia lantas berpaling dan berkata kepada
Bok-ya, "Kita berangkat sebentar lagi, Ya-ji!"
Sebenarnya tiada maksud Bok-ya hendak berangkat dengan segera, ia cuma kikuk dipandang
oleh Asnatuya secara menjemukan, maka dia sengaja mengajak pergi.
Asnatuya tidak paham bahasa Han, ia hanya tahu nama Aloyato disebut-sebut, maka ia tanya
Cepe dengan bahasa Turki, "Mereka mencari Aloyato?"
Cepe mengangguk dan menjawab, "Ya, sebentar kalau kita pulang ke Kim-san akan kita bawa
serta mereka." Lalu ia berpaling dan berkata kepada Yu Wi, "Perkemahanku terletak di sana,
ikutlah dan istirahat sebentar, sesudah bebenah segera kita berangkat."
Karena bahasa Han orang sangat lancar, orangnya juga lugu, Yu Wi jadi sangat senang
bersahabat dengan Cepe, Tanpa pikir mereka ikut ke kemahnya, sembari berjalan kedua orang
masih terus pasang omong dengan asyiknya.
Setiba di perkemahan Cepe, Yu Wi sudah saling memberitahukan nama masing-masing
dengan kenalan baru ini, Cepe juga mempunyai nama Han, yakni Li Tiau. sebenarnya Yu Wi
bermaksud tanva apakah dia bangsa Han atau bukan, tapi tidak enak untuk membuka mulut.
Pajangan di dalam kemah sangat mewah, sekeliling kemah adalah hiasan kulit yang mahal,
begini bagus kemah seorang yang sedang berburu, maka betapa kaya-rayanya dapatlah
dibayangkan. Yu Wi tidak berani lagi bertanya apakah Li Tiau bangsa Han atau bukan, sebab dipandang dan
segala sesuatu di kemahnya ini, jelas keluarga Li Tiau adalah bangsawan terhormat di negeri
Turki, bangsa Han tidak mungkin hidup menyolok begini di negeri asing ini.
Asnatuya juga mempunyai kemah sendiri, dia tidak pulang ke sana, sebaliknya ikut ke kemah
Cepe alias Li Tiau, malahan berulang-ulang melirik Bok-ya.
Di dalam kemah ada sebuah meja pendek, mereka duduk bersila di tanah yang dilapisi
permadani kulit beruang yang sangat tebal, duduknya menjadi sangat enak.
Li Ju tidak berani duduk bersama di situ, ia mengundurkan diri ke luar kemah.
Tengah bercengkerama itulah tiba-tiba Yu Wi berkata, "Di negeri kalian sini adakah benda
yang bernama Thian-liong-cu?"
Li Tiau terkejut mendengar nama Thian-liong-cu, tanyanya, "Kalian mencari Thian-liong-cu?"
"Ya, aku perlu satu biji saja," jawab Yu Wi.
Mendadak Li Tiau tertawa, katanya, "Ai, Yu heng jangan bergurau, Di seluruh negeri Turki ini
paling-paling juga cuma ada satu biji Thian-liong-cu, memangnya Yu-heng mengira Thian-liong-cu
ada berapa banyak?"
"Hah, Thian-liong-cu hanya ada satu biji saja?" Yu Wi menegas dengan terkejut.
Mendadak Asnatuya bertanya, "Apa yang mereka katakan?"
Lantaran cara bicara Yu Wi kelihatan terkejut, Asnatuya jadi ingin tahu apa yang
dipercakapkan mereka.
Maka dengan bahasa Turki Li Tiau menjawab pertanyaan Asuatuya, "Mereka ingin mencari
satu biji Thian liong-cu.?"
"Thian-liong-cu?" Asnatuya menegas, lalu ia bergelak tertawa dan berkata pula, "Jadi mereka
berani menghendaki Thian-liong-cu?"
Yu Wi paham kata-kata Turki itu, mendengar nada orang seperti menyindir Yu Wi merasa
kurang senang, katanya, "Bila perlu kami bersedia membeli Thian-liong-cu itu dengan harga
mahal." Sekali ini Yu Wi bicara dengan bahasa Turki, meski kaku kedengarannya, tapi maksudnya
dapat dipahami Asnatuya, ia berhenti tertawa dan menjengek, "Aku ada Thian-liong-cu, kau berani
beli dengan emas berapa banyak?"
"Benar kau punya Thian-liong-cu?" Yu Wi menegas dengan kejut dan girang.
Dengan angkuh Asnatuya menjawab, "Di seluruh dunia ini hanya ada satu biji Thian-liong-cu,
dan Thian-liong-cu satu-satunya ini berada di rumahku." "Dengan emas berapa banyak baru dapat
ku-beli Thian-liong-cu yang di rumahmu itu?" tanva Yu Wi.
Asnatuya menduga Yu Wi tidak nanti membawa emas terlalu banyak, maka sekenanya ia
menjawab, "Selaksa selongsong emas lantas ku jual Thian-liong-cu padamu."
"Hah! Selaksa selongsong emas"!" seru Bok-ya terkejut
Meski dia puteri seorang panglima angkatan perang yang kaya raya, tapi satu biji mutiara
harus dibeli dengan emas selaksa selongsong, hal ini sukar untuk dipercaya, ia pikir Yu Wi tidak
mempunyai harta benda apapun, jual beli ini tentu batal.
Maklumlah, berat satu selongsong emas ada 24 tahil, selaksa selongsong berarti 24 laksa tahil,
siapapun tidak mungkin menyediakan jumlah emas sekian banyak dalam waktu singkat.
Li Tiau juga tahu Yu Wi pasti tidak membawa 24 laksa tahil emas, ia tahu Asnatuya hanya
sengaja menggoda Yu Wi saja, maka secara bergurau ia tanya Asnatuya, "Masa kau berani
menjual Thian-liong-cu?"
Sambil memandang hina terhadap Yu Wi, Asnatuya menjawab dengan tertawa. "Kalau dia
dapat membayar kontan 24 laksa tahil emas, akupun berani mengambil keputusan menjual Thianliong-
cu kepadanya."
Yu Wi tampak tenang-tenang saja, tanyanya pelahan, "Apakah harus dibayar dengan emas?"
Seperti tidak acuh Asnatuya berkata, "Emas 14 laksa tahil, ditarik dengan sepuluh ekor unta
saja tidak kuat, kalau diberikan padaku juga tak mampu ku angkut."
"Jadi maksudmu boleh juga dibayar dengan barang lain" yang nilainya sama?" tanya Yu Wi
cepat. Melihat Bok-ya lagi memandang ke arahnya, Asnatuya berlagak murah hati dan menjawab,
"Ya, tentu saja boleh!"
Air muka Li Tiau berubah, ditatapnya Asnatuya tajam-tajam, katanya, "Kau tahu ada pribahasa
Hau yang bilang: Kata-kata seorang Kuncu . .."
"Laksana lari kuda yang sukar dikejar!" tukas Asnatuya dengan tertawa,
Dengan pongah ia melirik Ko Bok-ya seakan-akan hendak menyatakan, "Coba, akupun paham
istilah pribahasa Han ini!"
Bok-ya menunduk, ia benci pada lagak Asnatuva yang sombong itu, katanya di dalam hati,
"Apabila di Pakkhia, tentu ayah dapat menyediakan 24 laksa tahil emas, satu tahil demi satu tahil
ditumpuk di atas kepala orang yang angkuh ini."
Tiba-tiba Yu Wi bertanya kepada Li Tiau, "Li heng, apakah di sini ada ahli barang antik?"
Diam-diam Li Tiau mengeluh bagi Asnatuya terpaksa ia menjawab, "Ada seorang putera
saudagar batu permata, dapat kusuruh orang memanggilnya kemari."
Bergegas ia berjalan keluar, tidak lama kemudian masuk lagi bersama seorang muda, ayah
anak muda ini adalah saudagar batu permata yang paling terkenal di negeri Turki ini, Pada jari
tangan anak muda ini penuh hiasan cincin berbatu mutu manikam yang gemerlapan, jelas
semuanya sukar dinilai harganya.
Sesudah semua orang berduduk, Yu Wi lantas mengeluarkan sebuah bungkusan kain kuning
dan disodorkan kepada putera saudagar emas intan itu, katanya, "Coba kau periksa, kira-kira
bernilai berapa tahil emas?"
Anak muda itu bernama Yafo, pengetahuannya terhadap benda mutu manikam cukup luas dan
terpercaya, Pelahan ia membuka bungkusan kain kuning itu.
Semua orang memandang jari tangan anak muda itu, tertampaklah cahaya gemerlapan yang
menyilaukan mata, Yafo malahan sengaja menggerakkan jarinya sehingga batu permata yang
dipakainya itu tambah mempesona.
Diam-diam Bok-ya tertawa geli, pikirnya, "Mungkin orang ini kuatir batu permata yang
dipakainya itu tidak dilihat orang. Apabila jari kakinya juga boleh dipamerkan, bisa jadi akan
dipakainya juga sepuluh cincin bermata intan pada ke sepuluh jari kakinya."
Setelah bungkusan kuning itu dibuka, pelahan Yato menuang isinya, kontan pandangan semua
orang menjadi silau, tanpa terasa Yato menjerit "Uaaah!"
Dia hanya sanggup berseru "uaah" saja dan tidak menyatakan rasa kagum atau celanya,
seolah-oleh terkesima oleh benda yang dilihatnya sehingga sukar mengucapkan kata-kata lain.
Tertampak kelima cincin permata yang dipakainya, yang semula menjadi benda kekaguman
orang, kini seolah-olah bintang ketemu matahari seketika suram tanpa bersinar.
Kini yang terlihat oleh semua orang adalah mutu manikam yang gemerlapan milik Yu Wi itu
dan tidak terlihat lagi cahaya yang terpancar dari batu permata yang dipakai Yato.
Air muka Asnatuya berubah pucat juga, ia coba bertanya, "Bernilai berapa?"
Kelima jari tangan kiri Yato diacungkan ke depan, tangan kanan digunakan merabai bendabenda
mestika itu dengan penuh rasa kasih sayang.
Menghadapi benda berharga begitu, bicara saja dia lupa.
"Masa cuma bernilai lima ribu tahil?" teriak Asnatuya.
Yato menggeleng,
"O, lima laksa?" seru Asnatuya pula.
Kembali Yato hanya menggeleng saja, Tambah pucat wajah Asnatuya, dengan mendongkol ia
memaki, "Persetan! Apakah kau bisu" Kenapa tidak bicara?"
Baru sekarang Yato terkejut dan mendusin melihat Asnatuya marah-marah, cepat ia menjawab
dengan gelagapan, "O, berni . . . bernilai lima . . lima juta . .. ."
"Apa" Lima juta?" teriak Asnatuya, suaranya rada gemetar.
"Lima juta apa maksudmu?" cepat Li Tiau i'0rtanya.
Setelah menenangkan hatinya, berkatalah Yato dengan jelas, "Bernilai lima juta tahil emas."
"Omong kosong!" bentak Asnatuya dengan gusar,
Cepat Yato menjelaskan "Mana hamba berani sembarangan omong! Mutiara ini adalah benda
ajaib di daerah Tionggoan, namanya "Pah-gan" (mata harimau tutul), satu biji saja nilainya sama
dengan sebuah kota, di sini ada 12 biji, nilainya sukar lagi ditaksir, kalau cuma lima juta tahil emas
saja kukira masih belum memadai,"
Li Tiau menyokong pendapat juru taksir itu, katanya, "Yato berasal dari keluarga ahli permata,
taksirannya pasti tidak meleset."
Asnatuya menghela napas dengan lemas, air mukanya bertambah pucat.
Melihat gelagat tidak menguntungkan cepat Yato memberi hormat dan mohon diri, sebelum
pergi dia masih memandangi ke-12 biji "mutu harimau tutul" dengan perasaan berat.
Yu Wi menyodorkan semua "mata harimau tutul" itu ke depan Asnatuya dan berkata, "Nah,
semuanya untukmu!"
Termangu-mangu Anastuya memandangi mutiara mestika itu, mendadak ia berkata dengan air
muka pucat, "Thian-liong-cu tidak kujual!"
Sedapatnya YuWi bersikap tenang, ucapnya, "Masa kau lupa pada pribahasa Han tadi?"
"Memangnya kenapa kalau lupa?" jawab Asnatuya, jelas hendak mungkir janji.
"Saudara Asna, jangan" kau lupa pada kedudukanmu," Li Tiau ikut bicara dengan serius.
Mendadak Asnatuya membungkus ke-12 biji mutiara "Pah-gan" itu dan dimasukkan ke dalam


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baju, lalu mendengus, "Baik, ku jual Thian-liong-sin!"
"Dan di mana Thian-!iong-cu?" tanya Yu Wi.
"Tidak kubawa sekarang, akan kuserahkan padamu setelah tiba di Kim-san," jawab Asnatuya
tidak kalah ketusnya.
Li Tiau lantas menukas, "Jangan kuatir, Yu-heng, setelah saudara Asna menerima ke-12 biji
mutiaramu, setiba di Kim-san tentu Thian-liong-cu pasti di serahkannya kepadarnu."
"Kupercaya kepada Li-heng," ujar Yu Wi dengan lugu.
"Maksudmu tidak dapat mempercayai diriku?" jengek Asnatuya.
Habis berkata, tanpa permisi ia terus melangkah pergi dengan marah.
Dengan tertawa Ko Bok-ya bertanya, "Toako, darimana kau peroleh benda mestika sebanyak
itu?" Yu Wi tidak menyangka nilai "Peh-gan" ternyata sedemikian tingginya, ia hanya ambil sebagian
kecil saja dari harta karun yang ditinggalkan Ji Pek liong di makam kuno itu, baru sedikit sekali
yang digunakan biaya hidup dan perjalanan selama ini. ke 12 biji mutiara mestika yang indah itu
sengaja disimpannya, bahwa sekarang benda itu ternyata berdaya guna sebesar ini, hal inipun tak
tersangka olehnya.
Mengingat Thian-liong-cu selekasnya akan diperoleh dan kaki Ya-ji yang lumpuh akan dapat
disembuhkan, hati Yu Wi tidak kepalang girangnya, dengan tertawa ia lantas menjawab, "Barang
itu adalah tinggalan guruku."
"Toako menukar satu biji Thiao-liong-Cu dengan Pah-gan yang bernilai tinggi itu, apakah tidak
merasa menyesal?" tanya Bok-ya.
"Betapa banyak Pah-gan juga tak dapat di bandingkan satu jari Ya ji kita yang manis," jawab
Yu Wi. Alangkah sedap dan bahagia hati Bok-ya demi mendengar ucapan anak muda itu.
Seperginya Asnatuya, Li Tiau tampak murung dan kesal.
Yu Wi memberi hormat padanya dan berkata, "Terima kasih atas bantuan Li-heng tadi, kalau Li
heng tidak ikut bicara, sukar bagiku untuk mendapatkan Thian liong-cu."
Apakah Yu Wi berhasil membarter Thian-liong-cu dengan mutiara mestikanya itu untuk
menyembuhkan kaki Ko Bok-ya"
Peristiwa unik apa pula yang akan ditemuinya di negeri Turki yang serba keras itu
Bacalah jilid ke-8 -
Jilid ke-8 "Mengapa Yu-heng bertekad iuuus mendapatkan Thian-liong-cu," tanya Li Tiau dengan
gegetun. Yu Wi lantas menceritakan seluk-beluknya, Li Tiau manggut-manggut, katanya kemudian, "Ya,
Thian-liong-cu memang betul dapat menyembuhkan kaki Ko-siocia,"
Sebelumnya Yu Wi juga yakin Su Put-ku pasti tidak menipunya, tapi ia tetap tidak mengerti,
tanyanya pula, "Apakah betul di dunia ini hanya ada satu biji Thian-liong-cu saja?"
"Apakah Yu-heng tahu Thiak-liong-cu itu barang apa?" tanya LiTiau.
"Mungkin semacam mutiara yang sangat berharga," kata Yu Wi.
Li Tiau menggeleng, tuturnya, "Thian-liong-cu bukan mutiara mestika segala, tapi "Lwe-tan
(barang dalam perut) seekor Thian- liong (naga langit),"
Baru sekarang Yu Wi paham duduknya perkara, ia pikir untuk melihat "naga" saja sukar,
mungkin kebetulan di negeri Turki diketemukan seekor Thian liong, setelah dibunuh, dari dalam
perutnya diambil balurnya, Pantas di seluruh dunia cuma ada satu balur isi perut Thian liong ini
dan khasiatnya untuk pengobatan dengan sendirinya juga sangat mujarab.
Pada saat itulah, mendadak di luar terdengar suara "tut-tut", suara terompet tanduk.
Segera Li Tiau berkata, "Pasukan segera akan berangkat pulang ke Kim-san."
Cepat Yu Wi membantu mereka mengakui kemahnya, setelah makan kenyang, rombongan
pemburu yang terbentuk dari ratusan orang ini lantas berangkat, menuju Kim-san.
Sepanjang jalan Yu Wi dan Li Tiau asyik bercakap-eakap, keduanya merasa sangat cocok satu
sama yang lain, meski baru kenal, rasanya seperti sahabat lama saja.
Menjelang magrib, seorang pemuda bangsawan datang mengundang Li Tiau.
Tidak lama kemudian tampak Li Tiau kembali dengan wajah muram dan tidak bicara apa-apa,
Yu Wi juga tidak enak bertanya.
Hari mulai gelap, rombongan berkemah pula, esok paginya baru akan melanjutkan perjalanan.
Perjalanan pulang ke Kim-san diperlukan waktu beberapa hari, Yu Wi dan Bok-ya mempunyai
tenda sendiri dengan format kecil, selesai mereka memasang tenda, datanglah pesuruh Li Tiau
memanggil mereka untuk makan malam.
Di dalam kemah Li Tiau sudah tersedia sarapan pilihan, tapi selain Li Tiau sendiri tiada
terdapat orang lain lagi, Anehnya seharian Asnatuya, juga tidak keiihatan.
Melihat kejujuran Li Tiau, Yu Wi tidak curiga, sesudah berduduk, keduanya makan minum
sepuasnya. Bagi Ko Bok-ya, asalkan tidak hadir orang menjemukan semacam Asnatuya, japun
suka minum barang dua-tiga cawan.
lantaran senang mendapkan sahabat baik seperti Li Tiau, Yu Wi minum arak sepuasnya,
sampai santapan habis, sedikitnya berpuluh cawan telah ditenggaknya sehingga dia mabuk tak
sadarkan diri. Entah sudah lewat berapa lamanya, ketika Yu Wi mendusin, ia merasa keadaan sekelilingnya
sudah berbeda daripada semula, bukan lagi berada di dalam tenda Li Tiau melainkan di dalam
sebuah gua yang guram.
Keruan ia terkejut, orang pertama yang dipikirkannya ialah Bok-ya. Ke mana perginya. Yan-ji".
Dengan gugup ia merangkak bangun dan berteiak, "Ya-ji!.. . Ya-ji .. . "
Gema suara memenuhi udara gua itu dan seperti suara berpuluh orang berteriak sekaligus.
Setelah berteriak-teriak dan tetap tiada jawaban Ko Bok-ya, tiba-tiba terdengar seorang
berkata dengan suara parau, "Setelah siuman, kenapa gembar-gembor tidak keruan, mengganggu
kenyenyakan tidurku!"
Di dalam gua sangat gelap, juga tidak ada cahaya api, dengan sendirinya Yu Wi tidak dapat
melihat orang yang bicara itu, dengan terkejut ia tanya, "Siapa kau?"
"Tahanan dalam penjara!" jawab orang itu.
"Apakah tempat ini penjara di bawah tanah" tanya Yu Wi pula.
"Jadi kau sendiri tidak mengetahui dirimu berada di dalam penjara?"
Lambat laun Yu Wi sudah dapat memandang di tempat gelap, Maklumlah, dahulu ia tinggal
cukup lama di dalam makam keluarga Kan dan dapat melihat sesuatu benda tanpa pcnerangan,
kini gua ini masih ada cahaya yang remang-remang, setelah berdiam sejenak, pandangannya kini
tidak banyak berbeda seperti di siang hari.
Dilihatnya tempat ini adalah sebuah gua karang seluas puluhan tombak persegi, pembicara itu
berduduk di pojok sana, usianya sudah tua, rambut dan jenggotnya kelihatan putih, mata
terpejam. "Losiansing (tuan tua), terletak di manakah penjara ini?" tanya Yu Wi.
"Kim-san!" jawab si kakek beruban.
Air muka Yu WI berubah hebat, serunya kaget, "He, Kim-san" jadi di dalam negeri Turki?"
"Di dunia ini hanya terdapat sebuah Kim-san, dengan sendirinya berada dalam negeri Turki."
kata si kakek. Yu Wi menggeleng tidak percaya, katanya, "Tidak, tidak mungkin! Kuingat kemarin kami masih
berada di lembah sungai Ili."
"Kemarin kau sudah meringkuk di sini dan satu langkah pun tidak meninggalkan penjara ini,"
jengek si kakek.
"Lantas jka . . . . kapan kudatang ke sini?" seru Yu Wi terkejut.
"Tiga hari yang lalu kau digotong kemari,"
"Tiga hari yang lalu?" Yu Wi menegas dengun terkejut ia pikir dari sungai lli ke Kim-san
diperlukan perjalanan empat atau lima hari, masa setelah mabuk minum arak tempo hari, sampai
sekarang sudah berselang tujuh atau delapan hari lamanya.
Didengarnya si kakek berkata pula, "Ketika kau digotong kemari, badanmu bau arak yang
menusuk hidung, tentu kau telah minum arak Pek jit cu (arak mabuk seratus hari)."
Mendadak terdengar suara "blang" yang keras sehingga gua itu seakan-akan gempa.
"Apakah kau yang menghantam dinding gua"!" tanya si kakek.
"Blang", kembali Yu Wi menghantam terlebit keras.
"Kuat amat!" puji si kakek.
"Li Tiau!" teriak Yu wi mendadak dengan murka, "Sungguh manusia rendah dan licik kau!"
Teringat kepalsuan orang yang pura-pura bersahabat dengan dirinya, dengan marah-marah
terus melangkah keluar gua, setelah membelok satu tikungan, terlihat mulut gua teralang oleh
terali besi Di luar terali besi tidak ada penjaganya, hanya terdapat sebatang lilin besar di lorong depan
sana. Lorong itu sangat panjang sehingga tidak kelihatan keadaan di luar sana.
Yu Wi mendekati terali besi itu, dipegang batang terali sambil membentak, "Buka!" , Kini
kekuatannya tidak terbatas ribuan kali saja, namun kedua batang terali besi itu tidak bergeming
sedikitpun, Waktu diperiksanya dengan cermat, kiranya bukan batang besi, entah terbuat dari
logam apa. Apabila terali ini terbuat dari besi, rasanya tidak sulit bagi Yu Wi untuk memuntirnya hingga
patah. Dua-tiga kali ia mengerahkan tenaga dan tetap tidak mampu membukanya, ia menghela
napas lesu dan melepaskan tangannya.
Teringat tujuh atau delapan hari sudah lalu, keadaan Ya-ji entah bagaimana" ia pikir waktu Li
Tiau mengundangnya makan-minum bersama Ya-ji, diam-diam telah mencampurkan Pek-jit-cu di
dalam arak yang diminumnya, jelas tindakannya memang perangkap yang berencana, Tapi entah
sebab apa dia sengaja menjebaknya. Apakah disebabkan Ya-ji diketahui sebagai puteri Ko Siu atau
akibat menaksir kecantikan nona itu"
Tiba-tiba teringat olehnya mata Asnatuya yang selalu melirik Ya-ji itu, jangan-jangan orang
bermaksud jahat itu, ia jadi ingat sebelum terjebak, Li Tiau telah di undang pergi oleh seorang
pemuda bangsawan Turki, kembalinya Li Tiau kelihatan murung.
Maka pahamlah Yu Wi sekarang akan duduknya perkara, Pantas hari itu tidak kelihaian batang
hidung Asnatuya, tentu karena kuatir perbuatanku akan dicurigai, maka diam-diam Li Tjau disuruh
menjebak dirinya, Karena dirinya percaya penuh ke pada pribadi Li Tiau, akhirnya terperangkap
oleh "Pek-jit-cui".
Mengingat Ya-ji juga ikut minum "Pek-jit-cui", kalau sampai jatuh ke dalam cengkeraman
Asnatuya, maka akibatnya tentu dapat dibayangkan. Karena itulah hati Yu Wi menjadi sedih dan
sangat gelisah, Berulang-uIang ia berteriak, "Hai, adakah orang di situ" Aku minta bertemu
dengan Li Tiau! Ada orang tidak di situ" Aku ingin bertemu LiTiau!.."
Sambil berteriak, kedua telapak tangannya juga menghantam terali dengan kuat sehingga
menggema suara "trang-treng" yang keras, namun terali itu tetap tidak rusak sedikitpun.
Setelah memukul sekian lamanya, akhirnya tangan Yu Wi sendiri menjadi merah bengkak,
suaranya juga serak, namun ia tidak berhenti, ia masih terus berteriak dan menghantam sehingga
suara kering dan tenaga habis, lalu ia jatuh lunglai ke tanah...
Pada saat itulah dari belakang terjulur sebuah tangan dan menepuk pundaknya sambil
berkata. "Jangan merusak badan sendiri, anak muda!"
Waktu itu kedua jangan Yn Wi masih terus menghantam terali, akan tetapi karena kehabisan
tenaga, hantamannya itu lebih tepat dikatakan meraba saja, suara hantamannya juga hampir tidak
terdengar. Orang di belakangnya menghela napas dan berucap, "Terali ini terbuat dari perunggu, jangan
harap akan dapat kau patahkan dengan bertangan kosong!"
Waktu Yu Wi berpaling, entah sejak kapan si kakek sudah berada di belakangnya, Melihat
orang menaruh simpatik kepadanya, dengan lemas Yu Wi berkata, "Losiansing, aku ingin menemui
Li Tiau, ingin kutanyai dia sebab apa dia menjebak diriku."
Si kakek menggeleng, ucapnya, "Aku tidak tahu siapa Li Tiau yang kau maksudkan, biarpun
kau gembar-gembor lebih keras lagi juga takkan didengarnya."
"Meski dia tak mendengar, tentu ada orang akan melaporkan kepadanya," kata Yu Wi.
"Gua ini berada di tengah gunung, kecuali seorang Turki tua yang bisu lagi tuli yang setiap hari
mengirim rangsum untuk kita, jarang ada orang datang ke sini," tutur si kakek.
Yu Wi menjadi sedih, katnnya, "Apakah benar tak ada orang lain yang datang ke sini?"
"Sudah hampir sembilan tahun aku dikurung di sini," tutur si kakek dengan gegetun, "Dan baru
pertama kali sekarang ada orang mengantar kau ke sini, sebelum ini tidak pernah terjadi."
Diam-diam Yu Wi merasa ngeri, ia pikir apakah selanjutnya dirinya akan dikurung di sini
selamanya serupa si kakek" Lalu sakit hati orang tua, janji perguruan dan keselamatan Ya-ji, siapa
yang akan melaksanakan dan mengurusnya"
Tidak! Apapun juga dirinya harus berusaha, seketika timbul jiwa keperkasaannya, dengan
suara lantang ia berteriak, "kita harus berusaha dengan sabar dan pelahan, pada suara hari kelak
kita pasti dapat lolos keluar terali ini!"
"Kau ada akal," tanya si kakek.
"Gada besi juga dapat diasah hingga menjadi jarum, biarlah kita berusaha dengan sabar, dikitdikit
menjadi bukit. lama-Iama tentu segalanya tidak menjadi soal lagi."
Si kakek rnenggeleng, katanya, "Selama sembilan tahun ini macam-macam jalan sudah kucoba
tapi semuanya gagal. Maka kukira tidak perlu lagi kau memeras otak dan buang tenaga percuma."
"Tanpa berusaha, apakah kita harus menunggu ajal belaka?" ujar Yu Wi dengan berduka.
"Ya, apa boleh buat," kata si kakek dengan tersenyum getir, "apabi!a ada jalannya, siapa yang
ingin hidup sia-sia di sini"!"
Mendadak terdengar suara langkah orang, dari lorong sana datanglah seorang tua dengan
tubuh bungkuk dan membawa satu nampan makanan, setiba di depan terali, makanan dalam
nampan lantas disodorkan satu persatu.
Pada saat makanan terakhir sudah disodorkan, mendadak Yu Wi mencengkeram tangan kakek
bungkuk itu sambil membentak, "Di mana Asnatuya" Di mana Cepe?"
Kakek bungkuk itu berulang-ulang menuding telinga dan mulut sendiri sebagai tanda dia tuli
dan bisu. Yu Wi menghela napas lemas, ia melepaskan cengkeramannya.
Sebenarnya ia bermaksud mengompres pengakuan si kakek cara bagaimana membuka pintu
terali itu, tapi demi melihat orang yang sudah tua renta dan perlu dikasihani itu, ia menjadi tidak
tega turun tangan.
Si kakek ubanan seperti tahu isi hati Yu Wi, ucapnya dengan gegetun, "Hanya ada satu orang
yang dapat membuka pintu terali ini, siapapun tak dapat membuka tanpa mendapat kuncinya."
"Siapa orang itu?" tanya Yu Wi.
"Yaitu, saudara tua Asnatuya yang kau sebut tadi," tutur si kakek.
Yu Wi menghela napas, katanya, "tampaknya semua ini adalah tipu muslihat Asnatuya."
"Ada permusuhan apa antara kau dengan Asnatuya?" tanya kakek itu.
Semula Yu Wi masih menyangsikan meminum "Pek-jit-cui" itu adalah atas perintah Asnutuya,
kini setelah mengetahui kunci pintu penjara ini dipegang oleh kakaknya, maka lenyaplah rasa
sangsinya, Teringat Bok-ya pasti jatuh dalam cengkeramannya, hatinya menjadi sedih dan
bingung, seketika pertanyaan si kakek jadi tidak diperhatikan olehnya.
Melihat Yu Wi termangu dan tidak menjawab pertanyaannya, si kakek juga tidak mengacuhkan
ia lantas duduk di lantai dan mulai makan. Beberapa macam makanan yang diantarkan ini masih
terhitung santapan pilihan, si kakek tampak makan dengan nikmatnya.
Meski Yu Wi juga merasa lapar, tapi mana ada seleranya untuk makan, seperti orang linglung
saja ia berduduk di situ, pikirannya terasa kusut...
Mendadak si kakek menegurnya, "He, kenapa kau tidak makan?"
Aku tak bernafsu makan," jawab Yu Wi dengan menunduk dan menghela napas pelahan.
"Ayolah makan sedikit, kalau tidak nanti kusikat habis seluruhnya," kata si kakek.
Tanpa permisi lagi si kakek lantas makan pula bagian Yu Wi juga mulai disabet.
Diam-diam Yu Wi pikir orang tua im sungguh bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Dalam
penjara terpencil begini, nafsu makannya ternyata sangat besar. Tanpa terasa ia lantas
memandangi orang tua itu.
Dilihatnya kedua matanya tetap terpejam meski waktu makan, namun gerik geriknya sangat
cepat dan cekatan, makan dengan mata tertutup tampaknya sudah terbiasa baginya.
Setelah menghabiskan sebagian besar makanan itu, si kakek tepuk-tepuk perutnya yang
kenyang, katanya, "Ada pameo yang menyatakan manusia adalah baja, nasi adalah perunggu.
Untuk hiduip orang harus makan"
Maksud si kakek ingin menggugah selera makan Yu Wi, tapi tiba-tiba didengarnya Yu Wi
bangkit dan melangkah ke dalam gua, Segera si kakek ikut berbangkit dan kembali ke tempatnya
tadi, Hati Yu Wi terasa cemas dan gelisah, namun mulut membungkam, sebaliknya si kakek terus
mencerocos bicara macam-macam kepadanya, melihat minatnya berbicara itu seakan-akan
hendak bayar utang karena sudah sembilan tahun tidak pernah bicara dengan siapa pun.
Satu kata saja Yu Wi tidak menanggapi, Namun si kakek juga tidak peduli, baginya asalkan
ada orang yang mendengarkan ocehannya, apakah ocehannya diterima orang atau tidak bukan
soal baginya. Setelah mengoceh sendirian sampai lama, diketahuilah oleh Yu Wi bahwa lantaran si kakek
tidak sudi mengajar ilmu silat kepada kakak Asnatuya, maka sembilan tahun yang lalu kakek ini
telah ditangkap dan sejak itu dikurung di gua ini.
Bicara tentang ilmu silat, tampaknya si kakek menjadi bergairah, dia mengobrol betapa hebat
kemajuan Lwekangnya yang dicapai selama sembilan tahun ini, cuma sayang katanya, tidak dapat
dipraktekkan. Tiba-tiba perhatian si kakek tercurah kepada Yu Wi, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, "Dari
tenaga hantamanmu pada dinding gua tadi, jelas Lwekangmu tidak lemah, apakah mau kita cobacoba
mengadu pukulan sebentar?"
Yu Wi diam saja dan si kakek terus menerus memohon.
Karena tidak sanggup direcoki, akhirnya Yu Wi berkata dengan menyesal, "Hatiku sangat
kesal," sudilah engkau membiarkan kutenangkan pikiran dulu."
"Ai, orang muda apa yang kau kesalkan?" ujar si kakek dengan tertawa. "Hendaklah kau
berpikir panjang dan menghadapi kenyataan, kalau tidak, satu hari saja kau tidak tahan tinggal di
sini." "Kalau pribadiku sih tidak menjadi soal, sesungguhnya Ya-ji yang membikin hatiku kuatir" kata
Yu Wi "Ya-ji" Siapa itu Ya-ji?" tanya si kakek.
"Ya-ji seorang perempuan, seorang nona."
Si kakek jadi ingat waktu siuman tadi Yu Wi lantas berteriak-teriak memanggil Ya-ji, jelas nona
itu senantiasa dirindukan oleh anak muda ini, dengan tertawa ia lantas tanya, "Apakah dia
pacamu?" Yu Wi menghela napas panjang dan tidak menjawabnya.
"Kenapa kau dikurung di sini?" tanya si kakek, tampaknya ia sangat tertarik oleh peristiwa ini.
Pada umumnya, bilamana pikiran seseorang lagi kesal, biasanya akan suka diutarakan kepada
orang lain untuk melampiaskan kekesalannya.
Karena itulah dengan rasa sedih Yu Wi lantas mengisahkan pengalamannya, dimulai Ko Bok-ya
kena racun biru hantu, lalu minta pengobatan kepada Su Put-ku, kemudian datang ke negeri Turki
ini untuk mencari Thian-liong-cu, akhirnya terjebak oleh "Pek jit cui", semua itu satu persatu


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diceritakannya dengan jelas.
Selesai mendengarkan cerita Yu Wi, si kakek merasa seperti habis mengikuti suatu kisah
roman yang menyedihkan, ia menaruh simpati besar dan sangat ingin bisa membantunya
menolong Ko Bok ya dari cengkeraman maut.
Akan tetapi sebuah pintu terali telah memisahkan mereka dari dunia lain, ingin keluar saja
tidak dapal, cara bagaimana pula dapat menolong orang"
Terpaksa si kakek menghibur Yu Wi, "Untuk sementara ini hendaklah kau bersabar menunggu
kesempatan, kuyakin kau takkan terkurung selama hidup di sini."
"Tapi bilakah kesempatan ini akan datang?" ujar Yu Wi dengan murung.
"Ya, bisa jadi cuma beberapa tahun, mungkin juga beberapa puluh tahun," kata si kakek.
Yu Wi menyengir, katanya: "Beberapa tahun" Setahun lagi kalau aku tak dapat keluar dari sini,
maka aku akan menjadi orang berdosa karena tak dapat memenuhi janjiku kepada Suhu.
Bilamana beliau mengetahuinya pasti akan berduka luar biasa."
Air muka si kakek mendadak berubah pucat, terdegar dia berguman sendiri, "Setahun lagi"
Setahun lagi?" Mendada ia tanya Yu Wi," Eh, hari apa sekarang ini?"
"Kalau tidak salah, kemarin adalah hari Tiong-ciu," jawab Yu Wi.
"Hah, kemarin jatuh hari Tiongciu?" seru si kakek terkejut "Wah, kalau begitu, hanya tinggal...
setahun lagi..."
Mendadak ia melompat bangun dan melayang ke mulut gua, ia pegang terali dan ditarik
sekuatnya sambil membentak, akhirnya serupa Yu Wi tadi, pintu terali itu tidak bergeming
sedikitpun. Yu Wi menyusul keluar dan bertanya, "Apakah kau ingin merusak terali ini?"
"Memang sudah lama ingin kuhancurkan terali ini, tapi selalu gagal" tutur si kakek dengan
geregetan. "Sudah hampir lima tahun tidak pernah kucoba, hari ini pasti dapat kuhancurkan dia!"
Segera ia berjongkok dengan tangan menyanggah satu terali besi, dia mengerahkan tenaga
dalam sekuatnya sambil membentak, namun terali itu tetap tidak bergerak sama sekali, tetap
kukuh seperti semula.
Sedikitpun si kakek tidak patah semangat sekali, dua kali, berulang-ulang ia mencobanya lagi,
setiap kali ia berusaha mengangkat pintu terali, air mukanya pasti berubah merah membara,
semua ini menandakan tenaga yang dikerahkan sungguh luar biasa dan habis-habisan.
Diam-diam Yu Wi menggeleng, ada maksudnya hendak membantu, tapi merasa tenaga sendiri
sudah habis ketika dikerahkan merusak pintu terali itu tadi, Kalau sekarang ia membantunya,
bukannya berhasil, mungkin malah membikin urusan bertambah runyam.
Sekonyong-konyong terdengar si kakek membentak sangat keras, suara bentakan yang
menggelegar dan memekak teiinga, sungguh sangat mengejutkan. Habis itu dia membentak lagi
sekali, habis bentakan ini darah segar lantas tersembur dari mulutnya.
Yu Wi menjadi kuatir, cepat ia berseru: "He... Losiansing.... Lo-siansing!"
Segera ia bermaksud memapah tubuh si kakek yang hampir roboh, tapi kakek itu lantas
menggeleng dan berseru: "Minggir..."
Terlihat dia membentak lebih keras lagi, sekali ini darah segar yang tersembur juga tambah
banyak, tapi pintu terali itupun bergoyang sedikit. Tanpa ayal lagi si kakek membentak berulangulang
lagi" , Setiap membentak tentu menumpahkan darah, akan tetapi tenaga yang dikerahkan
untuk membetot pintu terali juga bertambah kuat.
Keadaan menjadi sangat mengenaskan dan dahsyat, saking terharu sampai air mata Yu Wi
bercucuran, ia tahu dalam ilmu silat ada semacam kungfu yang disebut "Hiat-kang" (ilmu darah)",
kalau kungfu ini dikeluarkan akan sama seperti membunuh diri, Sebab tenaga yang dikeluarkan
akan jauh melebihi kekuatan aslinya, lebih-lebih bila darah segar tersembur, kekuatannya juga
bertambah dahsyat.
Begitulah mendadak terdengar suara gemuruh, pintu terali jebol berikut dinding batu, si kakek
ubanan juga ikut roboh, batu kerikil yang berhamburan sama menguruk di atas tubuhnya.
Cepat Yu Wi menyingkirkan timbunan batu dan mengangkat tubuh si kakek dilihatnya sekujur
badan kakek penuh berlumuran darah, hanya dari mulutnya tiada mengeluarkan lagi darah setetes
pun, melihat gelagatnya seolah-olah darahnya sudah habis tersembur tadi.
Dengan menangis Yu Wi berkata, "Losiansing bukalah matamu dan pandanglah diriku!"
Ia kuatir kalau si kakek menghembuskan napas terakhir begitu saja, maka dia berusaha
menjernihkan pikiran orang.
Namun kakek itu lantas menggeleng, ucapnya: "Aku tidak punya mata, cara bagaimana
membuka mata...?"
Baru sekarang Vu Wi tahu sebabnya si kakek tidak pernah mementangkan matanya adalah
karena matanya memang buta, diam-diam ia merasakan juga demi melihat semangat si kakek
masih cukup kuat, segera ia memondongnya dan berkata "Akan kubawa kau untuk mencari tabib
Turki mengobati penyakitmu,"
" Tidak, turunkan diriku, biarkan kududuk saja." pinta si kakek.
Yu Wi tahu watak orang sangat keras, iai tidak berani membantah, segera ia mendudukkan si
kakek di tanah.
Pelahan kakek itu mengeluarkan secarik kulit yang tipis dan diberikan kepada Yu S\i, katanya,
"Kutahu jiwaku tak dapat hidup lebih lama lagi, ada suatu urusan perlu kuminta baniuanmu."
Dengan airmata berlinang Yu Wi menjawab, "Silahkan Losiansing menerangkan, tentu akan
kulaksanakan sekuat tenaga..."
"Sebabnya kakak Asnatuya mengurung diriku di sini, tujuannya adalah ingin memaksa
kuajarkan satu jurus ilmu pedang padanya," demikian tutur si kakek.
Tergerak hati Yu Wi, pikirnya, "Jangan-jangan ilmu pedang yang diincar kakak Asnatuya itu
adalah..."
Tapi lantas terdengar si kakek telah menyambung, "Sudah tentu aku tidak sudi mengajarkan
satu jurus ilmu pedangku yang maha lihay ini kepada bangsa asing, Maka berkeras aku menolak
permintaannya. Sayang, waktu itu aku mengidap penyakit dalam sehingga dapat ditawan oleh
anak buahnya terus dikurung di sini hingga sembilan tahun lamanya..."
Baru sekarang Yu Wi yakin kakek ini adalah salah seorang Jit-can-so, yaitu Bu-bok so atau
kakek tak bermata, Apabila tiada terjadi pertarungan sengit antara ketujuh kakek cacat itu
sehingga mengakibatkan ketujuh kakek sama-sama terluka parah, tentu Bu-bok-so takkan
tertawan dan terkurung sekian lama di gua ini.
Terdengar si kakek buta lagi bercerita pula, "Meskipun menyadari tidak ada harapan untuk
menerjang keluar pintu terali ini, tapi akupun tidak tega ilmu saktiku terpendam di sini, maka
kupotong kulit pantatku, setelah kering, kutisik kunci rahasia ilmu pedangku di atas kulit ini,
sekarang kuberikan kulit ini padamu, kuharap dalam wakli setahun dapatlah kau latih dengan baik,
habis itu..."
"Losiansing..." seru Yu Wi mendadak.
Sebenarnya, ia bermaksud memberitahukan bahwa dirinya adalah murid Ji Pek-liong dan
dengat sendirinya tak dapat mewakili dia menghadiri janji pertemuan ke tujuh kakek cacat itu, tapi
ia tidak tega membuat orang mati kecewa, maka sedapat nya ia menahan kata-kata yang hampir
dilontarkan itu.
Setelah si kakek berhenti bicara dan tidak mendengar jawaban Yu Wi, ia lantas menyambung
pula, "Kemudian kau harus mewakili diriku, hadir pada pertemuan di Ma siau-hong di timur
Hokkian pada hari Tiongciu tahun depan, bila bertemu dengan keenam kakek cacat lainnya,
katakan saja Bu-bok-so sudah meninggal..."
Diam-diam Yu Wi menghela napas gegetun kalanya dalam hati, "Tatkala mana tidak mungkin
hadir lagi keenam kakek cacat lainnya, yang jelas Suhu dan si kakek buntung tangan juga tak
dapat hadir, jadi tinggal empat orang saja yang mungkin akan hadir..."
Meski semangat si kakek buta tampaknya masih segar, tapi itu hanya rontakan terakhir
sebelum ajalnya, Setelah selesai memberi pesan, ia lantas menghembuskan napas terakhir.
Setelah mati, sekujur badan si kakek buta tampak putih pucat tak berdarah, Dengan berduka
Yu Wi memondongnya dan menyusuri lorong gua itu, setiba di luar, cahaya matahari tampak
terang benderang, pepohonan menghijau permai, suasana segar bergairah.
Yu Wi memilih suatu tempat bagus dan mengubur si kakek, diberinya sepotong batu sebagai
nisan, dan diberi ukiran huruf yang berbunyi "Kuburan Bu-bok-so".. pada samping bawah tertulis
nama Yu Wi sendiri selaku murid.
Kelompok suku bangsa Turki itu tersebar di sekitar Kim-san, suku bangsa ini terkenal sebagai
kaum gembala yang hidupnya berpindah-pindah, maka suku bangsa ini tidak mempunyai tempat
menetap yang tertentu. Tempat tinggal terdiri dari tenda, hanya sejumlah kecil bangsawan yang
mampu membangun perumahan sederhana di sekitar Kim-san yang subur itu sehingga berbentuk
suatu kota kecil.
Setelah turun dan Kim-san. Yu Wi terus berlari ke arah kota kecil itu mengingat Asnatuya juga
bangsawan Turki tentu dia berdiam di sana.
Setiba di tempat tujuan, hari sudah menjelang tengah rnalam, pada umumnya suku bangsa
penggembala tidur lebih dini, di jalan sudah jarang orang berlalu.
Ginkang Yu Wi cukup tinggi, meski di jalanan sering ada perajurit yang berpatroli, nanum tidak
ada yang memergoki dia. Dia tidak tahu Asnatuya bertempat tinggal di mana, sedangkan
penduduk kota kecil ini sedikitnya ada seribu keluarga, kalau mencarinya serumah demi serumah,
biarpun beberapa jam juga belum bisa ditemukan. Selagi Yu Wi mondar-mandir dengan bingung
tiba-tiba dari sebelah sana berkumandang suara orang membaca, ia menjadi heran bahwa di
negeri Turki ini ada juga kaum terpelajar Ketika ia mendengarkan lebih cermat, ternyata yang
dibacanya adalah sastra Han.
Sungguh sukar dimengerti bahwa di negeri Turki ada orang giat belajar kesusasteraan
Tionghoa, Karena heran, Yu Wi lantas melayang ke arah suara itu.
Itulah sebuah rumah yang seluruhnya bergaya Han, Bagian tengah adalah ruang tamu, kedua
sisinya kamar tidur, suara bacaan itu berkumandang keluar dari kamar sebelah kiri. Dengan
gerakan enteng Yu Wi mendekati kamar itu, ia mengintai melalui jendela, dipandang dari atas,
segala sesuatu di dalam kamar dapat terlihat dengan jelas.
Tertampaklah seorang pemuda berpakaian Han du
Hati Budha Tangan Berbisa 15 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Jodoh Rajawali 9
^