Pendekar Kembar 8

Pendekar Kembar Karya Gan K L Bagian 8


sama, terpaksa ia berkata dengan gegetun, "Lak-te, baiklah kita pergi saja!"
Sebelum melangkah keluar tenda, pemuda baju hitam itu sempat menoleh dan menjengek,
"Hm, kalau marah, tambah buruk!"
Perempuan, terutama perempuan muda, paling pantang dikatakan buruk rupa oleh kaum
lelaki. Karuan Hana sangat mendongkol, ia menjatuhkan diri dikasurnya dan menangis.
Selagi Yu Wi hendak menghiburnya, mendadak terdengar suara gemuruh diluar, waktu ia
mendengarkan dengan cermat, kiranya perajurit Turki yang mengepung di sekeliling perkemahan
itu sedang ber-teriak2, "Itu dia! Musuh lari keluar!. . . ."
Rupanya waktu Ciang Ti dan pemuda baju hitam itu menyelinap masuk ketenda Hana tidak
diketahui oleh pasukan Turki, tapi waktu keluar mereka telah kepergok. Karena itulah mereka
disangka musuh yang sedang dicari dan hendak kabur lagi.
Yu Wi pikir kejadian ini sangat kebetulan baginya, jika pasukan Turki menyangka dirinya sudah
kabur, kepungan mereka besok pasti akan dibubarkan, dan dirinya dapat meninggalkan tempat ini
dengan aman. Dilihatnya tangis Hana bertambah keras, kuatir menimbulkan hal-hal yang tidak terduga, Yu Wi
lantas merebahkan diri diatas kasur yang telah disediakan baginya itu dan tidur tanpa membuka
baju. Esok paginya, ia merasa semangat sudah pulih kembali, sedikitpun tiada tanda lelah seperti
kemarinnya. Diam-diam ia anggap keterangan Hana agak berkelebihan bahwa tenaganya baru
akan pulih beberapa hari kemudian akibat disihir. Ia tidak tahu bahwa ilmu lwekang yang
dilatihnya memang lain daripada yang lain dan kini pun bertambah sempurna.
Ia lihat Hana belum mendusin, maka pelahan ia menanggalkan seragam perajurit wanita Iwu
yang dikenakannya itu sehingga pulih kembali dalam bentuk lelaki sejati.
Kebetulan Siau Tho masuk, melihat keadaan Yu Wi itu, ia menegur dengan terkejut, "He,
Kongcu hendak pergi?"
Yu Wi tidak menjawab, tapi malah bertanya, "Apakah pasukan Turki sudah ditarik mundur?"
Siau Tho mengangguk.
Yu Wi lantas berkata pula, "Ya, aku akan pergi."
Mendadak Hana bangun berduduk, terlihat matanya merah bendul, Siau Tho terkejut dan
bertanya, "Urusan apakah yang membuat Kongcu berduka?"
Hana hanya menggeleng saja tanpa menjawab.
Dengan gusar Siau Tho berkata, "Apakah Yu-kongcu menyakiti Kongcu?" - Ia berpaling dan
menegur Yu Wi, "Besar amat nyalimu, berani berbuat tidak sopan terhadap Kongcu kami?"
"Ti. . . tidak, jangan sembarangan omong." jawab Yu Wi dengan agak gelagapan, "Aku tidak
berbuat apa-apa terhadap Kongcu kalian."
Hana menghela napas, ia berbangkit dan mengenakan bajunya, Siau Tho lantas bantu
mendandani sang Tuan Puteri.
Yu Wi berdiri diam disamping. Sejenak kemudian, selesai bersolek, Hana berpaling dan
bertanya, "Apakah benar kau hendak pergi?"
"Tenagaku sudah pulih, tidak berani merepotkan Kongcu lagi." kata Yu Wi.
"Kutahu sukar untuk menahanmu disini, tapi entah sekarang kau hendak kemana?"
"Untuk sementara ini aku pun tak dapat meninggalkan Kim-san, sebab ada seorang kawanku
menghilang disini secara misterius, harus kutemukan dia lebih dulu baru akan pulang ke
Tionggoan."
"Ayah baginda juga belum bisa segera pulang kenegeri kami, kalau sempat kuharap akan
kedatanganmu pula."
"Baik." jawab Yu Wi dengan tulus, "Sekarang kumohon diri."
Baru saja sampai dipintu tenda, mendadak Hana memanggilnya, "Tunggu sebentar."
Yu Wi berhenti dan berpaling.
Hana lantas mengeluarkan sepotong pening yang berwarna-warni dan diberikan kepada anak
muda itu, katanya, "Ini adalah pas jalan negeri Iwu kami, dengan tanda pengenal ini, kelak boleh
kau datang kenegeri kami dan tiada seorang pun berani merintangi kau. Selain itu, bila bertemu
dengan kedua Koksu (imam negara) kami, yaitu Mo-gan-liap-hun (mata iblis pencabut nyawa)
Goan-si hengte (Goan bersaudara), bila mereka hendak mempersulit dirimu, katakan pening ini
adalah pemberianku, tentu mereka tak berani rewel lagi padamu."
Yu Wi tahu maksud tujuan pemberian pening sebagai pas jalan itu adalah karena Hana
berharap dirinya menjenguknya kenegeri Iwu. Diam-diam ia berpikir jiwa sendiri hanya bertahan
dua tahun saja, mana ada waktu lagi untuk berkunjung kenegeri si nona. Mestinya akan
ditolaknya, tapi demi mendengar nama "Mo-gan-liap-hun", segera ia tanya, "Goan-si-hengte" yang
kau maksudkan apakah kedua kakek kurus tinggi itu?"
"Betul," jawab Hana sambil mengangguk, "Kedua orang itu mahir ilmu sihir, kau pun pernah
terkena Jui-bin-sut mereka, maka selanjutnya harus hati-hati terhadap mereka."
Yu Wi menerima pening itu dan berkata, "Aku tidak pasti dapat berkunjung ke negerimu, tapi
terhadap Goan-si-hengte sesungguhnya aku tidak berdaya melawannya, terpaksa kugunakan
pening ini untuk menghadapi mereka. Untuk itu lebih dulu terima kasihku kepada Kongcu."
Tiba-tiba Siau Tho menimbrung, "Seumpama Yu-kongcu tidak sempat berkunjung lagi kenegeri
kami, se-tidak2nya juga dapat mengirim sesuatu berita kepada Kongcu kami, janganlah setelah
berpisah lantas lupa sama sekali."
Yu Wi menghela napas panjang, katanya, "Yu Wi tidak nanti melupakan Kongcu, dua tahun
lagi, asalkan tidak mati, tanpa mengirim berita atau surat, pasti aku akan berkunjung kenegeri
kalian untuk menjenguk Kongcu."
Hana tertawa senang, katanya, "Jika begitu, dua tahun lagi akan kusambut kedatanganmu."
"Cuma, tatkala mana bisa jadi aku sudah tidak hidup didunia ini lagi," ucap Yu Wi dengan
pedih. Habis berkata ia terus berlari pergi secepat terbang dan meninggalkan Hana yang penuh
diliputi rasa sesal yang tak terhingga.
Yu Wi terus berlari kearah Kim-san, diam-diam ia mengambil keputusan, sekalipun seluruh
Kim-san harus diaduknya hingga merata. Ko Bok-ya harus diketemukan kembali.
Ia berlari sekian lamanya, tiba-tiba didengarnya dikejauhan sana ada oran berteriak, "Yu Wi
anakku, betapa susah kucari kau! Yu Wi anakku, dimana Kau!. . . ."
Suara itu sambung menyambung tak terputus, se-olah2 kalau Yu Wi tidak diketemukan maka
teriakan itupun takkan berhenti.
Diam-diam Yu Wi merasa gusar, ia pikir orang gila dari manakah tang berteriak-teriak secara
ngawur begitu"
Tanpa terasa ia berlari menuju kearah suara itu, makin lama makin dekat, terdengar suara
teriakan itu lantang keras penuh rasa duka, mirip benar seorang ayah yang sedang mencari anak
kesayangannya. Waktu membelok ketikungan tanjakan sana, muncul tujuh sosok bayangan orang, masingmasing
mengenakan baju yang berbeda warnanya, yaitu terdiri dari warna biru, ungu, kuning,
putih, hitam, kelabu dan merah.
Orang yang berteriak-teriak itu memakai baju berwarna kelabu, Yu Wi kenal orang yang
berbaju putih dan hitam itu adalah kedua pemuda yang semalam dilihatnya didalam kemah Hana
itu, Kelima orang yang lain tidak pernah dilihatnya sebelum ini.
Usia ketujuh orang itu rata-rata baru tiga puluh lebih, wajah mereka tidak jelak, semuanya
berdandan sebagai Kongcu, Yu Wi tidak kenal Kongcu berbaju kelabu itu, entah sebab apa dia
berteriak-teriak begitu"
Segera Yu Wi melompat kedepan mereka, tegurnya, "Hendaknya kalian berhenti sejenak!"
Dengan wajah murung sibaju kelabu bertanya, "Siapa kau" Untuk apa kau mengadang jalan
kami" Jangan-jangan kau tahu jejak anakku Yu Wi?"
Ciang Ti, sibaju putih, berkata dengan tertawa, "Kukenal dia, namanya Yu Wi."
"Eh, Anda juga she Yu?" sela Kongcu baju biru dengan tertawa gembira.
"Ya, Cayhe memang Yu Wi adanya," jawab Yu Wi dengan agak mendongkol.
"Apa, kau inikah Yu Wi"!" seru si baju kelabu. "Tahukah kau betapa susah payah kami mencari
dirimu." Dengan gusar Yu Wi menjawab, "Cayhe tidak kenal kau, kalau bicara hendaknya jangan kau
menghina mendiang ayahku!"
Kongcu berbaju kuning yang berwajah serba susah itu menimbrung, "Wah, Sam-ko (kakak
ketiga), sekali ini kau telah menimbulkan petaka. Sudah kukatakan jangan sembarangan berteriak,
sekarang orangnya telah muncul, coba cara bagaimana akan kau selesaikan?"
Si baju ungu ikut bicara dengan marah-marah, "Apanya yang susah diselesaikan" Kalau dia
tidak terima, mau berhantam juga boleh!"
Tapi si baju kelabu lantas menanggapi dengan tetap murung, "Cara kupanggil dia ini hanya
bermaksud baik, mana bisa berhantam segala, malahan dia harus berterima kasih padaku."
Si baju biru lantas menambahkan dengan tertawa, "Yu-heng, cara Samte memanggil kau itu
memang bermaksud baik, hendaknya jangan kau marah."
Diam-diam Yu Wi berpikir apakah kawanan Kongcu ini semuanya serupa Ciang Ti, semuanya
sinting" Pada dasarnya Yu Wi memang berwatak pelapang dada dan pemaaf, dengan sabar ia berkata,
"Biarpun bermaksud baik juga tidak pantas memanggil diriku dengan cara begitu?"
Dengan wajah sedih si baju kelabu berkata pula, "Kalau tidak kupanggil kau cara begitu, mana
bisa kau memburu kemari" Kau tahu, urusan yang dipesan It-teng Sin-ni tidak boleh tidak kami
kerjakan, sedangkan Kim-san seluas ini, kemana harus kami cari dirimu" Karena itu, timbul
gagasanku untuk mencari dirimu dengan akal bagus ini, dan ternyata sangat manjur, begitu
mendengar suaraku segera kau muncul."
"He, It-teng Sin-ni katamu?" seru Yu Wi terkejut, "Urusan apa yang beliau pesankan kepada
kalian?" "Jika ingin tahu, lekas panggil ayah kepada Samko!" kata si baju hitam dengan suara garang.
Yu Wi menjadi gusar, "Mau bicara lekas katakan, tidak mau bicara juga tidak menjadi soal.
Yang pasti orang she Yu bukan orang yang boleh dihina, jika kalian menyinggung lagi kehormatan
orang tuaku, terpaksa Cayhe tidak sungkan-sungkan lagi."
Mendadak Kongcu baju ungu berseru dengan beringas, "Kurang ajar! Kau berani bertingkah
didepan kami" Ini, rasakan kepalanku!"
Habis berkata, kontan ia menghantam ulu hati Yu Wi dengan kepalannya. Tapi Yu Wi sempat
menangkis sambil balas menangkap tangan orang. Ia pikir tabiat orang ini sungguh buruk, harus
diberi hajaran setimpal, maka cara turun tangan Yu Wi tidak kenal ampun lagi, yakni dengan salah
satu jurus dari ketiga puluh jurus ilmu pukulan ajaib yang lihai itu.
Sama sekali Kongcu baju ungu tidak menyangka Yu Wi akan turun tangan selihai ini, sedikit
lengah, kontan pergelangan tangannya terpegang oleh Yu Wi. Ketika Yu Wi perkeras
cengkeramannya, kontan tangan Kongcu baju ungu tak bisa berkutik, saking kesakitan ia menjerit
minta tolong. Kongcu baju kuning terperanjat, serunya, "Wah, celaka! Jiko (kakak kedua) akan tamat
riwayatnya, kita bukan tandingannya!"
Habis berkata ia putar haluan terus hendak kabur. Tapi sibaju kelabu keburu menariknya,
katanya dengan tetap murung, "Kita bersaudara sudah biasa ada rejeki dibagi bersama, ada
petaka dipikul bersama. Kau tidak boleh lari!"
Si baju kuning ketakutan hingga gemetar, katanya, "Petaka ditimbulkan olehmu, biar kau dan
Jiko saja yang memikulnya bersama, bukan urusan kami. . . . ."
"Jangan membikin malu, Siko," seru Ciang Ti, "Bocah ini tidak perlu ditakuti. . . ."
Tapi si baju kuning masih gemetar, katanya, "Bocah ini kawan It-teng Sin-ni, kepandaiannya
pasti sangat tinggi, jalan paling selamat bagi kita adalah lekas lari saja!"
"Lari apa" Berdirilah disitu!" ucap si baju biru dengan tertawa.
Meski Kongcu baju biru ini bicara dengan tertawa, tapi ada semacam wibawa yang tak
kelihatan yang dapat menguasai Kongcu baju kuning, dia benar-benar berdiri disitu dan tidak lagi
berusaha lari. Pembawaan wajah Kongcu baju biru itu memang selalu tertawa gembira, tanpa sedih tanpa
duka, dia mendekati Yu Wi dan memohon, "Yu-heng, sudilah kau lepaskan Jiteku."
Merasa si baju ungu sudah cukup dihajar adat, Yu Wi tidak ingin membikin susah orang,
segera ia lepaskan cengkeramannya.
Tak terduga, bukannya berterima kasih, sebaliknya si baju ungu lantas menghantam pula
dengan tangan yang lain.
Yu Wi tahu tabiat si baju ungu sangat keras dan buas, waktu lepaskan cengkeramannya iapun
sudah berjaga-jaga, maka cepat ia melompat mundur sehingga pukulan si baju ungu mengenai
tempat kosong. Segera si baju ungu hendak menerjang lagi, tapi si baju biru keburu mencegahnya dengan
tertawa, "Berhenti, Jite!"
Cepat sekali serangan si baju ungu, tapi caranya menarik kembali serangannya terlebih cepat.
Baru saja lenyap suara si baju biru, serentak si baju ungu sudah mundur kebelakang si baju biru
dan melototi Yu Wi dengan gusar.
"Watak Jiteku sangat buruk, mohon Yu-heng sudi memaafkan," kata si baju biru dengan
tertawa. Karena sikap ramah orang, Yu Wi tidak enak untuk bersikap ketus, ia menjawab, "Cara turun
tanganku agak kasar, hendaknya suka dimaafkan pula."
"Tabiat kami bertujuh saudara memang mempunyai ciri anehnya masing-masing." kata si baju
biru dengan tertawa, "Sebab itulah tindak-tanduk kami menjadi agak lain daripada yang lain. Bila
tindakan Jiteku tadi kurang sopan padamu, sekali lagi orang she Un mohon maaf."
Habis berkata, kembali ia membungkuk tubuh, Lekas Yu Wi balas menghormat.
Lalu si baju biru berkata pula dengan tertawa, "Kemarin kami bertemu dengan It-teng Sin-ni,
beliau memberi pesan agar menyampaikan sesuatu hal kepada Yu-heng."
Yu Wi pikir It-teng Sin-ni adalah guru Bok-ya, pesannya tentu sangat penting, maka cepat ia
tanya, "Urusan apakah, mohon memberitahu?"
"Beliau bilang. . . . ."
Belum lanjut ucapan si baju biru, mendadak si Kongcu baju hitam memotong, "Toako,
sementara ini jangan memberitahukan kepadanya."
"Memangnya Lakte ada persoalan apa?" tanya si baju biru dengan tertawa.
Si baju hitam melangkah maju, katanya, "Tunggu setelah kukalahkan dia barulah Toako
beritahukan padanya," Lalu ia berpaling kepada Yu Wi dan berkata, "Karena kurang hati-hati
sehingga Jiko terpegang olehmu, kalau mampu, cobalah tangkap lagi diriku si Kat Hin ini."
"Selama ini kita tidak kenal dan tiada permusuhan apapun, untuk apa kutangkap dirimu?"
jawab Yu Wi. Dengan gemas si baju hitam alias Kat Hin berkata, "Aku bermaksud menghantam dirimu,
dengan sendirinya akan menimbulkan permusuhan."
Benar juga, segera ia menjotos muka Yu Wi. Cepat Yu Wi berkelit kesamping. Melihat orang
tidak balas menyerang, Kat Hin tidak sungkan sedikitpun, kembali ia menghantam, sekali ini kedua
kepalan digunakan sekaligus dan menjotos dengan cepat secara bergantian.
Namun Yu Wi tetap tidak balas menyerang, ia hanya menggunakan Ginkangnya untuk
menghindari pukulan Kongcu baju hitam itu.
Karena serangannya tidak mengenai sasarannya, saking gemasnya si baju hitam alias Kat Hin
berjingkrak dan berkaok-kaok.
"Berhenti, Lakte," seru si baju biru dengan tertawa, "Kedatangan kita ini bukan untuk mencari
dia, buat apa buang-buang tenaga percuma."
"Bukan dia yang dicari, apakah kami yang kalian cari?" demikian jengek seorang, tahu-tahu
dari balik tanjakan sana muncul dua orang.
Cepat Kat Hin menghentikan serangannya dan melompat mundur sambil berseru, "Goan-sihengte!"
Kedua orang yang baru muncul ini sudah dikenal Yu Wi, yaitu kedua Koksu kerajaan Iwu,
kedua Goan bersaudara yang berjuluk "Mo-gan-liap-hun" (mata iblis pencabut nyawa).
Si baju biru berpaling dan berkata, "Sangat kebetulan kedatangan kalian, kami tidak perlu lagi
mencari kalian."
Meski berhadapan dengan musuh, namun wajah si baju biru masih tetap tertawa.
Kakek jangkung yang sebelah kiri adalah sang kakak, namanya Goan Su-cong, kakek yang
sebelah kanan adalah adik, namanya Goan Su-bin.
Goan Su-cong lantas mengejek, "Beberapa tahun yang lalu Jit-ceng-mo sudah keok ditangan
kami, mana sekarang kalian berani berlagak gagah didepan kami?"
Kiranya ketujuh Kongcu dengan warna baju yang berbeda-beda ini masing-masing mempunyai
watak yang aneh, didunia Kangouw mereka terkenal sebagai Jit-ceng-mo (iblis tujuh perasaan),
yakni girang, gusar, duka, takut, cinta, benci dan nafsu. Sesuai urutan tersebut, iblis girang adalah
sang kakak tertua, paling dihormati dan disegani keenam orang yang lain.
Segera iblis girang Un Siau berkata dengan tertawa, "Dahulu kami kalah karena ilmu sihir
kalian, kedatangan kami sekarang bukan lagi Jit-ceng-mo yang dulu, kalau mampu, ayolah kita
coba-coba dengan kepandaian sejati."
"Hehe, apakah Jit-ceng-mo sekarang sudah tidak takut lagi kepada Jui-bin-sut?" jengek Goan
Su-cong. Go Bun, si iblis gusar, tidak sabar lagi demi berhadapan dengan musuh, segera ia berteriak,
"Jui-bin-sut adalah ilmu sihir yang sesat, sedikit kepandaian yang tak berarti itu masakah perlu
kami takuti?"
"Di mulut bilang tidak takut, tapi hari ini Jit-ceng-mo tetap akan keok dibawah ilmu sihir yang
tidak berarti ini!" ejek Goan Su-cong.
"Ngaco-belo!" bentak Kat Hin, si iblis pembenci.
"Kalau tidak percaya, boleh saja dicoba." jawab Goan Su-bin.
Mendadak kedua Goan bersaudara melancarkan serangan. Serentak Jit-ceng-mo berdiri
menjadi satu baris, masing-masing memegang pundak orang didepannya dengan tangan kiri,
seketika Jit-ceng-mo berubah seakan-akan cuma satu orang saja, hanya iblis girang Un Siau yang
berdiri paling depan yang menyambut serangan kedua Goan bersaudara.
Baru saja gebrakan pertama, segera Goan-si-hengte merasakan kekuatan Un Siau besar luar
biasa dan sukar untuk dilawan. Mereka tahu tenaga ketujuh orang itu sebagian besar berkumpul
dalam tubuh Un Siau, apabila bergebrak berhadapan, hanya beberapa jurus saja mereka pasti
akan kalah. Mereka cukup paham teori ilmu silat, mereka menyadari tak mampu melawan dari depan,
segera mereka memencar dan menyerang Jit-ceng-mo dari kedua sisi. Dengan sendirinya Un Siau
tidak mampu menghadapi serangan dari kanan dan kiri, mendadak ia berteriak, "Berputar jadi
lingkaran!"
Orang yang paling belakang adalah Tio Ju, si iblis nafsu, yaitu si baju putih. Dengan cepat ia
menyambung kesebelah Un Siau, dengan demikian barisan mereka lantas berubah menjadi satu
linkaran, dengan demikian, pertahanan yang paling lemah, yaitu sebelah kiri karena tangan kiri
masing-masing digunakan memegang pundak kawannya, kini tidak perlu dikuatirkan lagi karena
terletak disisi dalam.
Bagian luar sekarang adalah sebelah kanan dan tangan kanan Jit-ceng-mo bebas untuk
menghadapi serangan musuh.
Kedua Goan bersaudara tidak lagi menyerang Un Siau, tapi selalu menyerang keenam orang
lain. Tak tersangka, meski kekuatan keenam orang itu tidak sehebat Un Siau, tapi juga tidak
lemah dan sukar untuk dilawan mereka.
Setelah belasan jurus, Goan-si-hengte menyadari tenaga gabungan mereka memang sangat


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hebat, tak peduli siapa yang diserang, keenam orang yang lain tentu membagi tenaga masingmasing
untuk membantunya.
Barisan melingkar ini sangat lihai, Goan-si-hengte tidak dapat menyelami cara bagaimana
ketujuh orang itu saling menyalurkan tenaga untuk saling membantu. Diam-diam mereka
menyadari sukar untuk memperoleh kemenangan dengan kungfu sejati, bahkan kalau meleng bisa
jadi akan kalah malah.
Ketika Goan Su-cong melancarkan suatu serangan dan tergetar mundur beberapa langkah, ia
menghela napas dan berkata, "Hari ini tampaknya kita harus mengaku terjungkal."
"Kalian memang sudah ditakdirkan harus kalah." tukas Un Siau dengan tertawa.
Mendadak Goan Su-bin pura-pura menyerang, lalu melompat mundur, katanya, "Tapi kalau
satu melawan satu, tidak lebih dari sepuluh gebrakan pasti dapat kubinasakan salah seorang
diantara kalain."
"Ah, juga belum tentu bisa," jawab Un Siau tetap dengan tertawa.
Melihat yang bicara hanya Un Siau saja, keenam lainnya hanya mendelik belaka dan cuma
mengikuti gerak Un Siau. Tergerak hati Goan Su-cong, ia berusaha memancing bicara Go Bun si
pemarah, katanya, "Apabila Go bun sendirian melawan diriku, kuyakin sekali gebrak saja dapat
kurobohkan dia."
Tujuannya memancing kemarahan Go Bun, siapa tahu iblis pemarah ini tidak mau terpancing,
ia seperti tidak mendengar apa yang diucapkan Goan Su-cong.
Diam-diam Goan Su-cong terkejut, ia pikir kalau Go Bun yang pemarah saja tak dapat
dipancing bicara, tentu saja yang lain lebih-lebih sukar terpancing. Jadi sulit sekali jika hendak
memancing mereka agar mau bertempur dengan satu lawan satu.
Setelah pura-pura menyerang lagi dua tiga kali, mendadak Goan Si-bin berucap dengan
menyesal, "Toako, mengapa mereka mengetahui akan kedatangan kita kesini?"
Goan Su-cong tahu maksud adiknya, iapun berlagak heran dan menjawab, "Ya, memang aneh!
Selama ini kita tinggal dinegeri Iwu, kedatangan kita kesini sangat dirahasiakan, entah cara
bagaimana mereka mendapat tahu?"
Mendadak ia melompat kedepan Un Siau dan bertanya dengan lagak tidak habis mengerti,
"Eh, mengapa bisa terjadi begini?"
Dia bicara sambil memandang Un Siau dengan sorot mata yang tajam, Un Siau menyambut
sorot mata lawan yang tajam itu, jawabnya dengan tertawa, "Hal ini sangat sederhana untuk
dijelaskan. Kami datang kenegeri Iwu dan mencari keterangan tentang kalian, katanya kalian ikut
raja Iwu berkunjung kesini, maka kami lantas menyusul kemari. Biarpun gerak-gerik kalian sangat
dirahasiakan, tapi raja Iwu kan sasaran yang mudah dicari, dengan sendirinya kalian pun dapat
kami temukan."
"Hah, jadi jauh-jauh kalian menguntit kesini?" ucap Goan Si-cong dengan terkejut.
Tanpa terasa Un Siau menjawab, "Ya, penguntitan yang sangat jauh."
jilid ke-10. "Dan tentunya kalian sudah merasa letih, bukan?" ujar Goan Su-cong dengan tertawa.
"Ya, sudah letih. . . sudah letih, kami memang sudah letih. . . ." tanpa terasa Un Siau seperti
bergumam. Melihat keadaan demikian Yu Wi tahu Goan-si-hengte sedang menggunakan lagi ilmu sihir
mereka, kalau Un Siau tidak disadarkan tentu akan terperangkap. Maka cepat ia membentak,
"Awas, Jui-bin-sut!"
Suara yang keras ini menyadarkan Un Siau yang sudah rada terpengaruh oleh kekuatan gaib
musuh, segera teringat olehnya akan Jui-bin-sut, cepat ia pejamkan mata.
Meski mata terpejam, namun gerak tubuh Un Siau tidak menjadi lambat, bahkan menyerang
dan bertahan dengan lebih hebat.
Goan-si-hengte tidak dapat lagi menggunakan ilmu sihir mereka terhadap lawan, terlihat
keenam orang yang lain tidak memejamkan mata, sebaliknya terbelalak lebih lebar.
Diam-diam kedua Goan bersaudara merasa geli, mereka pikir apa gunanya jika cuma kau
sendiri yang memejamkan mata. Segera mereka berganti sasaran, yang dipandang mereka
sekarang adalah si iblis pemarah dan si iblis berduka. Mereka pikir asalakan salah seorang dapat
dipengaruhi dengan kekuatan gaib mereka, tentu barisan pertahanan musuh akan bobol dengan
sendirinya. Begitulah beruntun-runtun mereka lantas menyerang secara berantai, tapi mata Go Bun si iblis
pemarah sama sekali tidak berkedip, bahkan balas menyerang dengan tidak kalah kuatnya, Goan
Su-cong tidak berani menangkis hantaman lawan yang hebat, sedapatnya ia mengelak.
Goan Su-bin juga menatap si iblis berduka, katanya, "Setiap hari kau selalu murung saja, tapi
namamu justeru Bok Pi (jangan sedih), kan bertentangan nama dan kelakuanmu, sungguh
menggelikan. Biarlah sekarang kuganti namamu menjadi Bok SUi (jangan tidur) saja, supaya
setiap hari kau ingin tidur melulu."
Ia sengaja perkeras pada kata "ingin tidur melulu", bila orang biasa akan terpengaruh oleh
ilmu gaibnya, siapa tahu Bok Pi sama sekali tidak kelihatan mengantuk, sebaliknya malah tambah
bersemangat. Begitu diserang segera ia balas menyerang dengan lebih dahsyat.
Setelah mencoba beberapa kali dan tetap tidak berhasil mempengaruhi si iblis pemarah dan
iblis berduka, mau-tak-mau Goan-si-hengte menjadi gelisah.
Disebelah lain, meski mata Un Siau terpejam, tapi berdasarkan penglihatan keenam kawannya
dan gerakan barisan mereka, serangan mereka malah bertambah lihai, kekuatan merekapun
bertambah dahsyat. Beberapa kali hampir saja Goan-si-hengte terkena pukulan mereka.
Cepat Goan-si-hengte menggunakan Ginkang mereka dan ikut berputar menuruti gerakan
barisan melingkar musuh, mereka berusaha tidak berhadapan dengan Un Siau, sasaran mereka
sekarang beralih pada si iblis berduka tadi, tapi kedua orang inipun tidak mempan disihir.
Keruan Goan-si-hengte menjadi rada kelabakan, mereka tidak percaya ilmu gaib mereka bisa
gagal total. Segera mereka ganti sasaran lagi terhadap si iblis pembenci dan iblis nafsu. Haslnya
tetap nol besar, musuh tetap tidak terpengaruh.
Sampai disini barulah mereka mengakui Jui-bin-sut mereka benar-benar tidak efektif terhadap
keenam iblis perasa itu. Hanya terhadap iblis girang Un Siau saja ilmu gaib mereka dapat bekerja,
tapi Un Siau tetap memejamkan mata, sukar lagi untuk mempengaruhi dia dengan ilmu gaib.
Pada saat itulah mendadak Un Siau tertawa dan berkata, "Haha, Jui-bin-sut memang betul
ilmu permainan anak kecil yang tidak ada artinya."
Nadanya menyindir kedua lawan yang tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka.
"Hm, kau kira dengan barisanmu ini lantas tidak gentar lagi terhadap Jui-bin-sut?" jengek
Goan Su-cong. Dengan tertawa Un Siau menjawab, "Dengan menciptakan barisan ini, sebelumnya sudah kami
bayangkan ilmu sihir kalian pasti akan berubah menjadi permainan yang tidak berguna. Setelah
dicoba sekarang ternyata perhitungan kami tidak meleset."
Sembari menghindari angin pukulan Un Siau, Goan Su-cong berkata pula, "Sebenarnya
pertahanan barisan kalian sangat sederhana, intinya terletak pada himpunan kekuatan keenam
kawanmu yang tercurah pada tubuhmu, sampai semangat merekapun hilang, sebab itulah mereka
tidak terpengaruh oleh Jui-bin-sut."
"Sekalipun kau tahu teori ini juga tidak dapat mematahkannya, terpaksa kalian harus
menerima nasib kekalahanmu." kata Un Siau, segera ia perkeras daya pukulannya dan menyerang
lebih gencar. Sebisanya Goan Su-cong mengelak dan mulut tetap bicara, "Meski keenamsaudaramu tidak
takut Jui-bin-sut lagi, tapi kau sendiri masih bersemangat, kami masih dapat menggunakan kau
sebagai sasaran ilmu kami."
"Haha, kalau perlu kupejamkan mata, lalu cara bagaimana akan kalian pengaruhi diriku
dengan ilmu sihir kalian?" Un Siau bergelak tertawa.
"Kau kira dengan memejamkan mata, lantas kami tidak berdaya terhadapmu?" tukas Goan Subin.
"Ya, kalian memang tak berdaya, kalau bisa, kan sejak tadi orang she Un sudah kalian
robohkan?" ujar Un Siau.
"Hm, kan belum terlambat jika sekarang kami menguasai dirimu!" jengek Goan Su-bin.
"Haha, kembali membual, janganlah kalian membikin muak Yu-heng sehingga dia tidak betah
tinggal disini, ketahuilah kami masih ada urusan penting yang yang harus dibicarakan dengan dia."
kata Un Siau. "Sesungguhnya urusan apakah maksudmu?" tanya Yu Wi.
"Jangan terburu-buru, sabar dulu." ujar Un Siau dengan tertawa. "Sebentar kalau kedua tua
bangka she Goan ini sudah kami tundukkan dan minta ampun barulah akan kukatakan padamu."
Habis berkata, mendadak ia gerakkan barisannya dengan lebih cepat, daya serangan mereka
juga tambah dahsyat.
Dengan mata terpejam Un Siau dapat membedakan tempat lawan, kearah mana Goan-sihengte
menghindar tentu disusul kesana dan barisannya selalu menutup jalan mundur mereka.
Dengan tenaga pukulan gabungan tujuh orang, maka betapa kuat serangan Un Siau itu
dapatlah dibayangkan. Hanya sebentar saja Goan-si-hengte sudah terdesak sehingga bermandi
keringat. "Berhenti!" mendadak Goan Su-cong membentak.
Karena itulah serangan Un Siau menjadi sedikit merandek, kesempatan itu segera digunakan
Goan Su-cong untuk mendorong punggung Goan Su-bin.
Karena mendapat bantuan tenaga tolakan saudaranya, cepat Goan Su-bin melompat keluar
dari tekanan pukulan lawan.
Un Siau dapat mendengar salah seorang lawan berhasil lolos dari lingkaran serangan mereka,
namun ia tidak menghiraukannya, katanya dengan bergelak, "Haha, kini tertinggal kau sendiri,
tidak lebih dari sepuluh jurus pasti dapat kutangkap dirimu. Habis itu baru kami tangkap pula
kawanmu yang lolos itu. Masa kalian nanti takkan berlutut dan minta ampun?"
Goan Su-cong menghela napas, katanya, "Lima tahun yang lalu, karena terdorong oleh emosi,
kami telah mengalahkan kalian bertujuh. Jika sekarang kami harus minta ampun, biarlah aku saja
yang minta ampun padamu, watak saudaraku itu sangat keras kepala, hendaklah kalian sudi
membebaskan dia."
Wajah Goan Su-cong kelihatan menampilkan senyuman memikat, katanya, "Aku tidak mampu
bertahan lagi, dengan sendirinya benar."
Pelahan gerak-gerik Un Siau mulai lamban, katanya dengan tertawa, "Asal saja kau mau minta
ampun, tentu kami takkan banyak urusan."
Senyuman Goan Su-cong tampak semakin aneh dan penuh daya pikat, katanya, "Cara
bagaimana aku harus minta ampun?"
Un Siau menjawab, "Dahulu kalian berdua telah menutuk Hiat-to penting kami satu persatu,
dengan susah payah akhirnya kesehatan kami dapat pulih kembali. Sekarang hanya kau sendiri
saja yang akan menanggung kesalahan kalian dahulu, maka bolehlah kau patahkan jarimu yang
kau gunakan menutuk kami itu."
Serangan Un Siau sekarang ternyata tidak sepenuh tenaga, karena itulah Goan Su-cong dapat
menghindar dengan mudah.
Karena Goan Su-cong tidak bicara lagi, Un Siau lantas bertanya, "Bagaimana kau tidak mau
terima syaratku?"
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara alat musik bergema dengan nada yang penuh duka
nestapa. Waktu Un Siau mendengarkan sekejap, seketika ia terpengaruh oleh suara alat tiup itu,
gerak-geriknya semakin lamban lagi.
Kiranya setelah melompat keluar dari lingkaran kekuatan pukulan lawan, Goan Su-bin lantas
mengeluarkan sebuah seruling dan mulai meniupnya dengan nada sedih. Lagunya biasa-biasa
saja, tapi daya pikatnya bagi yang mendengar justeru besar luar biasa.
Makin lama makin lambat gerak-gerik Un Siau.
Kini Goan Su-cong juga tidak lagi merasa terancam oleh daya serangan lawan, dengan mudah
ia melompat keluar dari lingkaran serangan musuh, ia mendekati Goan Su-bin dan duduk
disamping saudaranya itu.
Suara seruling yang ditiup oleh Goan Su-bin mesih terus berbunyi, Goan Su-cong bicara
mengikuti irama seruling, "Un Siau, silakan kau pun berduduklah!"
Benar juga, Un Siau lantas berhenti bergerak dan berduduk. Keenam iblis yang lain juga
mengikuti gerak-gerik Un Siau, merekapun ikut berduduk.
Lalu Goan Su-cong berkata pula, "Suara seruling saudaraku tiada bandingannya didunia, kalian
harus mendengarkan dengan baik, kesempatan ini jangan dolewatkan dengan sia-sia."
Un Siau hanya diam saja tanpa menjawab, jelas ia sedang mendengarkan dengan cermat.
Mendengar suara seruling yang berirama sedemikian seduh, tanpa terasa Yu Wi juga
mendengarkan dan maikn mendengar makin terasa sedih, lambat-laun keempat anggota badan
terasa lemas tak bertenaga, akhirnya iapun ikut berduduk.
Tiba-tiba Goan Su-cong bernyanyi, lagunya sendu seirama dengan suara seruling sehinga
menambah rasa duka pendengarnya.
Lambat-laun Yu Wi merasa kelopak matanya menjadi berat, rasanya ingin tidur, dalam hati seolah2
berkata, "Tidur, tidurlah! Jangan lagi mendengarkan lagu sedih demikian. . . ."
Keadaan ini serupa benar dengan kejadian waktu disihir dipadang rumput kemarin, teringat
kepada kejadian kemarin, serentak Yu Wi terjaga, baru disadarinya bahwa Goan-si-hengte sedang
melancarkan ilmu gaibnya, hanya saja caranya berbeda sehingga membikin orang terjebak tanpa
terasa. Makin lama makin letih rasanya, Yu Wi ingin menutup telinga agar tidak mendengar apa-apa,
tapi sukar dilakukannya. Cepat ia mengerahkan Thian-ih-sin-kang, ia berharap dengan kekuatan
Lwekang yang hebat itu untuk menghalau rasa letihnya.
Tak terduga, meski Thian-ih-sin-kang itu sangat hebat, tapi sukar menghalau kekuatan gaib
suara seruling, rasa letih itu hanya dirasakan untuk sementara tidak tambah berat, namun sama
sekali tidak berkurang. Jika bertahan dalam keadaan demikian, akhirnya pasti juga akan
terpengaruh oleh ilmu gaib lawan.
Setelah Thian-ih-sin-kang tidak berhasil digunakan, Yu Wi lantas teringat kepada Ku-sit-taykang,
ilmu Lwekang ajaran ayahnya yang maha sakti itu cuma tidak diketahui akan berguna atau
tidak. Tanpa terasa ia lantas mengerahkan Ku-sit-tay-kang yang telah dikuasainya itu.
Baru saja tenaga dalam itu dikerahkan, sejenak suara seruling yang didengarnya itu terasa
tidak lagi membetot sukma, sedikitpun tidak terpengaruh, rasa letih tadi juga lenyap sama sekali.
Sungguh tak terpikir olehnya bahwa Ku-sit-tay-kang mempunyai daya-guna sebesar ini untuk
melawan serangan ilmu dan gaib dan sama sekali berbeda daripada ilmu Lwekang lain, sampai
Thian-ih-sin-kang yang terkenal sebagai Lwekang maha sakti juga tak dapat membandinginya.
Yu Wi terus mengerahkan tenaga dalam sehingga beberapa kali putaran dan terasa tiada
halangan apapun, rasanya biarpun tidak mengerahkan tanaga Lwekang lagi juga takkan
terpengaruh oleh kekuatan gaib lawan, maka ia lantas berhenti mengerahkan tenaga. Tak
terduga, pada saat yang sama Goan Su-bin juga berhenti meniup serulingnya.
Dengan gembira Goan Su-cong berdiri, katanya dengan tertawa, "Un Siau, wahai Un Siau!
Meski matamu terpejam, tapi telingamu tidak kau tutup, biarpun kami tidak menggunakan daya
pandang, dengan daya pendengaran juga kami dapat menguasai perasaan kalian."
Mendadak Yu Wi berdiri dan berseru lantang, "Ah, juga belum tentu benar, buktinya aku tidak
terpengaruh oleh sihir kalian?"
Cepat Goan Su-cong berpaling, melihat Yu Wi berdiri dengan gagah perkasa, ia terkejut dan
berseru, "He, kau ti. . . .kau tidak tertidur?"
Melihat Jit-ceng-mo dalam keadaan tertidur pulas seluruhnya, diam-diam Yu Wi benci terhadap
kekejian ilmu gaib lawan, dengan gusar ia mendamperat, "Hm, menang dengan ilmu jahat,
sungguh rendah dan kotor!"
Goan Su-bin mendesak maju dan menjengek, "Kau berani lagi mencaci kami rendah dan
kotor?" "Kenapa tidak berani," teriak Yu Wi sambil menatap lawan. Dilihatnya mata orang
memancarkan cahaya aneh, ia tahu lawan sedang menggunakan sihirnya lagi.
Semula Yu Wi rada takut, tapi setelah saling pandang dan tidak menimbulkan sesuatu kelainan
perasaan, ia tahu khasiat Ku-sit-tay-kang masih menimbulkan daya-guna yang kuat.
Diam-diam hatinya menjadi mantap, ejeknya, "Biarpun kau bertambah sepuluh pasang mata
juga aku takkan terkena sihirmu!"
Mau-tak-mau Goan Su-bin terkejut, serunya, "He, Toako, ken. . .kenapa dia tidak. . .tidak
takut lagi kepada Jui-bin-sut kita?"
"Entah, aku pun tidak tahu!" jawab Goan Su-cong sambil menggeleng.
"Hm, sekarang lekas kalian menolong Jit-ceng-mo dan menyadarkan mereka," jengek Yu Wi.
Goan Su-cong balas mendengus, "Hm, jangan kau berlagak, kami tidak dapat kau ancam."
"Jika mampu, boleh kalian mengalahkan mereka dengan kungfu sejati, tapi menjatuhkan
mereka dengan ilmu gaib, biarpun menang juga kotor dan rendah." ejek Yu Wi, "Kemenangan
demkian, biarpun terjadi seribu kali juga takkan dianggap adil oleh setiap orang persilatan didunia
ini." "Peduli adil atau tidak, yang jelas, saat ini juga kami mampu mencabut nyawa ketujuh iblis
perasaan ini, sebaliknya apakah mereka mampu menguasai jiwa-raga kami?" jawab Goan Su-cong.
Meski mereka tidak mampu, tapi kalian pun tidak mampu mencabut nyawa mereka." jawab Yu
Wi tegas dan kereng.
Goan Su-bin menengadah dan bergelak tertawa, serunya, "Hahaha! Jadi maksudmu, jika kami
hendak mencabut nyawa mereka, kau akan merintangi tindakan kami, begitu?"
"Ya, memang begitulah maksudku!" jawab Yu Wi tegas.
"Ham, berdasarkan apa kau berani omong besar?" jengek Goan Su-cong.
Yu Wi meloloskan pedang kayunya, diselentiknya batang pedang itu, katanya, "Berdasarkan
pedang ini."
"Hahahaha!" Goan Su-bin bergelak tertawa, "Hanya sebatang pedang kayu saja, apanya yang
hebat?" Tapi Goan Su-cong cukup waspada, ucapnya, "dengan pedang kayu ini kau dapat mengetuk
remuk tulang pundak Aloyato, kungfumu pada pedang kayu ini memang sangat hebat."
"Tapi dalam pandangan kami hanya kepandaian yang tidak berarti." sambung Goan Su-bin.
"Baik, biarlah dengan kepandaian yang tak berarti ini akan kubelajar kenal dengan kepandaian
kalian." jawab Yu Wi dengan kepala dingin.
"Jika kau kalah, lalu bagaimana?" tanya Goan Su-bin.
"Terserah sesukamu untuk memperlakukan diriku," jawab Yu Wi tanpa pikir. Tapi segera ia
menambahkan pula. "Dan bagaimana bila Cayhe menang?"
"Apa kehendakmu?" tanya Goan Su-cong.
"Cukup kalian menyadarkan Jit-ceng-mo dan tidak melukai mereka sediktpun," jawab Yu Wi.
Memangnya ada hubungan apa antara dirimu dengan Jit-ceng-mo?" tanya Goan Su-ong
dengan heran. "Tiada hubungan apapun." jawab Yu Wi dengan lantang dan terus terang.
"O, jadi tindakanmu ini hanya untuk membela mereka belaka?" jengak Goan Su-bin, "Sungguh
terlalu! Ayolah maju, biar kusendiri melayani kau!"
Goan Su-cong jauh lebih sabar dan prihatin daripada adiknya, cepat ia membisiki saydaranya,
"JIte, harus hati-hati sedikit, jangan gegabah."
Goan Su-bin tertawa mengejek, pesan kakaknya itu dianggap angin lalu saja, ia pikir bocah ini
masakah punya kemampuan, andaikata dirinya mengalah sepuluh jurus padanya juga tidak
berlebihan. Melihat lawan bertangan kosong dan memandangnya dengan sikap meremehkan, diam-diam


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yu Wi juga mendongkol, serunya, "Lekas keluarkan senjatamu jika ingin bertempur."
Goan Su-bin menjengek, "Menghadapi bocah ingusan seperti kau masakah perlu pakai
senjata?" "Anda ingin menghadapi diriku dengan bertangan kosong?" tanya Yu Wi.
Dengan pongah Goan Su-bin menjawab, "Jembatan yang kulintasi lebih panjang dari pada
jalan yang kau lalui, apa halangannya kulayani kau dengan bertangan kosong" Tidak perlu banyak
bicara, ayolah mulai, seranglah lebih dulu!"
"Jika kau layani diriku dengan bertangan kosong, cukup satu jurus saja dapat kukalahkan
kau!" ucap Yu Wi dengan tegas dan gagah.
"Kentut!" bentak Goan Su-bin dengan gusar.
Begitu selesai ucapan orang, kontan pedang kayu Yu Wi menabas. Yang digunakan adalah
jurus "Tay-gu-kiam" ajaran Can-pi-so si kakek buntung tangan.
Seperti diketahui, jurus pedang ini diperolehnya ketika dia bertemu dengan kakek cacat tangan
itu di Siau-ngo-tay-san, kini jurus pedang ini sudah dilatihnya hingga lancar dan cukup sempurna.
Ketika pedang ini menabas kepinggang lawan, tampaknya pelahan dan tiada sesuatu yang
istimewa, tapi dalam gerakan menabas ini sebenarnya mengandung gerak perubahan yang sukar
diraba. Karuan Goan Su-bin terkejut, cepat ia melompat keatas untuk menyelamatkan diri.
Akan tetapi, sekali Tay-gu-kiam sudah dimainkan, mana bisa lagi dia mengelak, seketika tulang
betisnya terasa kesakitan, waktu turun kebawah, ia tidak sanggup berdiri lagi dan terbanting jatuh
sehingga sekujur badan berlepotan debu.
Bersambung jilid-10.
Jilid 10 Akan tetapi, sekali Tay-gu-kiam sudah dimainkan, mana bisa lagi dia mengelak, seketika tulang
betisnya terasa kesakitan, waktu turun kebawah, ia tidak sanggup berdiri lagi dan terbanting jatuh
sehingga sekujur badan berlepotan debu.
Cepat Goan Su-cong memburu maju dan membangunkan saudaranya sambil bertanya, "He,
Jite, bagaimana kau?"
Butiran keringat tampak menghiasai jidat Goan Su-bin, katanya, "Men. . . .mendingan
serangannya kenal batas, tulang kakiku tidak sampai terketuk remuk. . . . ."
Sungguh tidak terpikir oleh Goan Su-cong bahwa hanya satu jurus saja Yu Wi dapat
merobohkan saudaranya.
Dipandangnya Yu Wi sekejap, ia pikir dirinya pasti juga tidak sanggup menahan serangan tadi,
untuk membunuh Jit-ceng-mo hari ini rasanya tidak mungkin terkabul dengan kehadiran anak
muda ini, segera ia angkat tubuh saudaranya dan dibawa pergi.
"Berhenti!" bentak Yu Wi dengan gusar.
Goan Su-cong berpaling, air mukanya tampak masam, tanyanya, "Kau sudah menang, mau
apa lagi?"
"Kau pegang janji tidak pada ucapanmu sendiri?" damprat Yu Wi.
Teringat kepada apa yang telah disanggupinya, terpaksa Goan Su-cong menurunkan
saudaranya, didekatinya Jit-ceng-mo.
Yu Wi ikut mendekat kesana dan mengawasinya dengan ketat, dia kuatir kalau diam-diam
lawan menggunakan cara licik untuk mencelakai Jit-ceng-mo.
Goan Su-cong mendengus, Hm, hari ini kau dapat mengalahkan adikku, hal ini adalah
saudaraku sendiri yang kurang tinggi belajar kungfu, tapi kau paksa kutolong Jit-ceng-mo, hal ini
takkan kami lupakan selama hidup."
"Tidak perlu kau bicara mengancam, yang pasti sesuai persetujuan kedua pihak tadi, bila
kumenang maka harus kau tolong Jit-ceng-mo hingga sembuh, prihal apa yang akan kau lakukan
kelak, silakan kau catat saja dan perhitungkan denganku, tidak menjadi soal bagiku."
Dengan dendam Goan Su-cong berkata pula, "Meski kami bukan tandinganmu, tapi pasti ada
orang lain yang mampu mengatasi kau. Tatkala mana bila kau jatuh ditangan kami, janganlah kau
menyesal bila kami bertindak keji dan tidak kenal ampun."
Tiba-tiba Goan Su-bin yang menggeletak di tanah itu menukas, "Permusuhan kami dengan Jitceng-
mo tak dapat diceritakan dengan singkat, secara kebetulan mereka jatuh ditangan kami dan
dapatlah kami lampiaskan dendam masa lalu, jika kau berkeras membela mereka, kukira terlalu
mahal bagimu untuk ikut campur urusan kami ini."
"Kukira ada persoalan besar apa, tak tahunya cuma urusan ingin menang saja antara kedua
pihak," kata Yu Wi.
"Urusannya tidak sederhana sebagaimana kau duga," kata Goan Su-cong.
"Kau sendiri yang bilang, lantaran emosi seketika sehingga kalian melukai Jit-ceng-mo,
sekarang mereka datang menuntut balas kepada kalian, sayang mereka tetap kalah. Apa namanya
jika bukan urusan ingin menang saja?" kata Yu Wi.
"Tidak, Jit-ceng-mo bukanlah manusia yang mudah didekati, kalau tidak , tentu mereka takkan
disebut Mo (iblis), kalau tidak ada sebab musababnya, memangnya kau kira dahulu kami sampai
melukai mereka hanya karena dorongan emosi yang timbul seketika itu?" ujar Su-cong.
"Habis apa sebabnya jika bukan terdorong oleh rasa ingin menang?" tanya Yu Wi.
Goan Su-cong menghela napas, jawabnya, "Tidak dapat kukatakan padamu."
"Masa tidak dapat kau ceritakan?" desak Yu Wi.
"Ya, sekali tidak tetap tidak!" teriak Goan Su-bin dengan gusar, seperti apa yang terjadi dahulu
itu memang menyakitkan dan sukar untuk diceritakan kepada orang lain.
"Baiklah jika kalian tidak mau menjelaskan." kata Yu Wi. "Tapi janji tetap janji, lekas kalian
menyadarkan dulu ketujuh orang itu."
"Baik, akan kusadarkan mereka." ucap Goan Su-cong dengan gemas. Lalu ia berjongkok dan
ber-turut2 menutuk tubuh Jit-ceng-mo.
Tertampaklah tubuh ketujuh orang itu sama ber-gerak2, seperti segera akan siuman kembali.
Goan Su-cong berdiri, ia angkat pula tubuh saudaranya dan hendak melangkah pergi.
Tapi Yu Wi lantas menghadangnya pula dan berkata, "Tunggu sebentar, setelah mereka
siuman barulah kalian boleh pergi."
Goan Su-cong menjadi gusar, teriaknya, "kau tidak percaya padaku?"
Goan Su-bin yang terlentang dalam rangkulan kakaknya juga mengunjuk rasa gusar.
Yu Wi pikir menjadi orang memang tidak boleh keterlaluan, betapapun harus juga percaya
kepada orang lain. Maka katanya dengan tulus, "Baik, kupercaya Jit-ceng-mo sudah kalian
sembuhkan, bolehlah kalian pergi."
Waktu melangkah pergi, Goan Su-cong sempat bersenandung, "Setiap urusan hanya karena
sok ikut campur, akhirnya mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri. . . ." ketika suaranya
terputus, orangnya juga sudah tidak kelihatan lagi.
Hati Yu Wi merasa tidak enak demi mendengar kalimat yang biasa digunakan orang Kangouw
untuk berolok-olok kepada orang yang suka ikut campur urusan orang lain itu, pikirnya, "Masa
akibat kubantu Jit-ceng-mo ini akan mendatangkan malapetaka bagiku" Sesungguhnya ada
permusuhan apa diantara mereka ini?"
Tiba-tiba terlihat Jit-ceng-mo mulai sadar satu persatu, ber-turut2 mereka melompat bangun,
tampaknya penuh bersemangat, ternyata Goan Su-cong dapat memegang janji dan telah
menyadarkan mereka tanpa kurang suatu apapun.
"Yu-heng, dimanakah Goan-si-hengte?" tanya Un Siau segera.
Yu Wi pikir Goan-si-hengte mungkin bukan orang jahat, tapi lantaran sakit hati, maka mereka
mencari Jit-ceng-mo untuk menuntut balas. Berpikir demikian, tanpa terasa timbul rasa
menyesalnya terhadap kedua Goan bersaudara. Dengan lesu ia menjawab pertanyaan Un Siau,
"Ya, mereka sudah pergi."
Tio Ju, si iblis nafsu berseru, "Mereka benar-benar sudah pergi?"
"Ya. benar," jawab Yu Wi.
Si iblis duka Bok Pi, berucap dengan suara sedih, "Tapi aku tidak percaya mereka mau
melepaskan kami secara begini saja."
Si iblis penakut Ciong Han, berkata dengan suara gemetar, "Ya, kukira tidak. . .tidak mungkin
terjadi. . . ."
Ciang Ti, si iblis cinta yang berbaju putih itu menimbrung, "Kenapa tidak mungkin" Tentunya
setelah kita pingsan, lalu Yu-heng telah menyelamatkan kita dari tangan mereka."
Segera Un Siau menjura kepada Yu Wi, katanya dengan tertawa, "Budi pertolongan Yu-heng
takkan kami lupakan untuk selamanya."
Dengan mata mendelik si iblis pemarah, Go Bun berkata, "Masa kau yang menyelamatkan
kami dari tangan Goan-si-hengte?"
Kat Hin, si iblis pembenci juga menjengek, "Hm, aku tidak percaya dia mampu menyelamatkan
kita dari tangan kedua orang tadi."
Mendongkol hati Yu Wi, serunya dengan gusar, "Tidak percaya juga tidak menjadi soal, aku
kan tidak minta kalian harus percaya!"
Cepat Un Siau berkata dengan tertawa, "Lakte kurang sopan, harap Yu-heng jangan marah.
Kita sama-sama tahu didalam hati, Yu-heng adalah seorang tokoh yang mempunyai kemampuan
besar, untuk itu Siaute cukup maklum."
"Ah, aku mempunyai kemampuan apa" Paling-paling hanya beberapa jurus cakar kucing saja."
jawab Yu Wi dengan rendah hati.
"Janganlah Yu-heng sungkan. . . ." seru Un Siau dengan tertawa.
Setelah suara tertawa orang lenyap, Yu Wi bertanya, "Cara bagaimana kalian mengikat
permusuhan dengan Goan-si-hengte?"
SEketika Un Siau melenggong, jawabnya, "Tidak, tidak ada permusuhan apa-apa"!"
"Hanya soal unggul dan asor ilmu silat masing-masing dan kedua pihak sama-sama tidak mau
tunduk, begitu saja," tukas Ciang Ti, si iblis cinta.
Yu Wi menggeleng, katanya, "Tidak, aku tidak percaya, sesungguhnya apa sebab
musababnya?"
"Sudahlah jika kau tidak percaya." seru Go Bun mendadak.
Melihat gelagat tidak baik jika percakapan demikian dilanjutkan, cepat Un Siau berkata, "Itteng
Sin-ni memberi pesan. . . . ."
"Pesan apa?" Yu Wi menjadi tegang.
"Lohor kemarin waktu kami bertemu dengan It-teng Sin-ni, terlihat beliau memondong
seorang gadis cantik. . . ."
"Ya, sungguh cantik, cantik luar biasa," sela Ciang Ti si iblis cnta, "sungguh gadis cantik yang
tidak pernah kulihat, cukup melihatnya satu kali saja aku lantas jatuh cinta padanya."
Si iblis nafsu, Tio Ju berucap dengan menyengir bangor, "Waktu kulihat gadis cantik begitu,
sungguh jari jemariku bergerak-gerak ingin menjamahnya. . . ." melihat caranya bicara, mungkin
waktu itu dia sangat tertarik sehingga mengiler.
"Apakah. . . .apakah gadis itu ber. . . berwajah lonjong potongan daun sirih?" tanya Yu Wi
dengan suara rada gemetar.
"Aku tidak jelas melihatnya," jawab Un Siau ragu-ragu, "tunggu sebentar, coba ku-ingat2 dulu.
.." "Tapi aku melihatnya dengan jelas, sangat jelas," seru Tio Ju, "raut wajahnya mirip. . . ."
Pada saat itulah, mendadak terdengar suara bentakan orang yang menggelegar, "Bedebah!
Kiranya berada disini, akhirnya dapat kutemukan juga!"
"Wah, celaka, maut datang!. . . ." kontan Tio Ju terus angkat kaki hendak kabur.
Tapi Yu Wi sempat memburu maju dan mencengkeram punggungnya, dengan suara tegang ia
bertanya, "Raut wajahnya mirip apa" Apakah serupa. . . ."
"Lepaskan, lepas!" teriak Tio Ju sambil meronta-ronta, "Kalau tidak melepaskan diriku, segera
akan kumaki!"
"Sebelum kau jelaskan takkan kulepaskan kau!" kata Yu Wi.
"Betul, sekali-sekali jangan melepaskan dia!" tukas suara bentakan tadi, kini sudah mendekat.
Sekujur badan Tio Ju menggigil ketakutan, serunya, "Wah, celaka! Tamatlah riwayatku sekali
ini! Toako, lekas kalian menolong diriku!"
"Jangan kuatir, Jit-te, betapapun tak nanti kami membiarkan kau disakiti orang." seru Un Siau
dengan tertawa.
"Siapa berani menyakiti kau, biar kami mengadu jiwa dengan dia!" teriak Go Bun si iblis
pemarah. Habis bicara, serentak keenam orang lantas mengelilingi Tio Ju.
Yu Wi menyangka mereka hendak bertindak padanya, siapa tahu mereka berdiri
membelakanginya, kiranya yang akan dihadapi adalah orang yang bersuara tadi.
Terlihatlah pendatang ini ada dua orang semuanya sudah tua, berjenggot panjang putih,
usianya rata-rata sudah diatas tujuh puluhan, namun sama sekali tidak kelihatan loyo, keduanya
tampak tangkas dan bersemangat.
Orang yang berada disebelah kiri lantas berseru dengan suara nyaring, "Kalian berani
membelanya?"
Dari suaranya segera Yu Wi tahu orang inilah yang membentak tadi, entah sebab apa dia
mencari Tio Ju, dan entah sebab apa pula Tio Ju lantas ketakutan seperti tikus ketemu kucing
demi mendengar suaranya tadi.
Orang yang berada disebelah kanan tidak bicara apa pun, dia hanya memandang kearah Yu Wi
seperti lagi mengawasi Tio Ju kalau-kalau mendadak dia hendak kabur lagi dan segera akan
ditubruknya untuk ditangkap kembali. Tapi dilihatnya Tio Ju berada dalam cengkeraman Yu Wi,
maka mereka tidak perlu kuatir sehingga tidak segera menerjang maju untuk menangkapnya.
Dengan tertawa Un Siau lantas menjawab, "Dia adalah saudara kami, dengan sendirinya harus
kami bela."
"Ah lo (Kakek bisu), mereka omong apa?" tanya si kakek sebelah kiri.
Kakek sebelah kanan memberi isyarat tangan kepada kawannya, maka kakek sebelah kiri
lantas membentak pula dengan gusar, "Saudara macam begini, lebih baik dibinasakan saja, untuk
apa dibela?"
Un Siau menjawab, "Orang Kangouw menyebut kami Jit-ceng-mo, kami bertujuh selamanya
sehidup semati, jika kau hendak membunuh dia, lebih dulu harus kau bunuh kami, kalau tidak,
jangan harap dapat kau bunuh dia."
Kakek sebelah kiri lantas tanya lagi kakek sebelah kanan apa yang dikatakan Un Siau, setelah
kakek sebelah kanan menjelaskan pula dengan isyarat tangan, lalu kakek sebelah kiri berteriak
lagi, "Kalian mengira kami tidak berani membunuh ludes kalian bertujuh?"
Sampai disini, tahulah Yu Wi bahwa kedua kakek ini adalah orang tua cacat, kakek yang
sebelah kiri hanya bisa bicara dan tak dapat mendengar, ia seorang tuli. Sedangkan kakek sebelah
kanan dapat mendengar tapi tak dapat bicara, seorang bisu.
Dengan mata melotot Go Bun lantas berseru, "Orang budek, jika mampu boleh coba kau
bunuh kami!"
"Jangan-jangan tidak berhasil membunuh kami, sebaliknya sisa hidup sendiri ikut amblas
malah." tukas Bok Pi si iblis berduka.
Ciong Han si iblis penakut, ikut bicara dengan berlagak tidak gentar, "Ya, tidak nanti kami
takut kepada dua orang tua bangka cacat."
Meski dimulut bilang tidak takut, tapi buktinya kedua kakinya kelihatan gemetar.
Si Kakek bisu lantas menjelaskan lagi dengan isyarat tangan, segera si kakek tuli membentak,
"Tidak takut bolehlah kita coba-coba berhantam, lihat saja sisa hidup siapa yang bakalan amblas!"
Dari cerita Tio Ju sebelum ini Un Siau tahu kelihaian si kakek tuli, diam-diam ia berpikir dengan
tenaga gabungan mereka bertujuh belum tentu dapat mengalahkan lawan, maka jalan paling baik
adalah berdamai saja dari pada main gebrak.
Dengan tertawa ia lantas berkata, "Untuk apa Lo-siansing bergusar" Segala urusan kan dapat
dirundingkan dengan baik-baik dan tidak perlu harus pakai kekerasan."
Setelah diberi tahu apa yang diucapkan Un Siau, si tuli lantas menjawab, "Urusan lain boleh
dirunding, hanya urusan ini tidak ada kompromi. Dosa Tio Ju terlalu besar, jauh-jauh dari
Tionggoan kukejar dia kesini, tidak boleh tidak harus kubunuh dia."
Meski wajah Un Siau masih tertawa, tapi hatinya menjadi gusar, katanya, "Benar-benar hendak
kau bunuh dia."
Dengan perasaan sendiri si tuli dapat menangkap maksud ucapan Un Siau itu, segera ia
membentak, "Sudah tentu benar akan kami bunuh dia, jika kau berani membelanya, semuanya
akan kami bunuh pula!"
Yu Wi tidak tahu apa kesalahan Tio Ju, ia bertanya, "Coba katakan, sebab apa mereka sangat
gusar padamu?"
"Tidak perlu kau ikut campur." jawab Tio Ju dengan wajah pucat.
"Aku takkan ikut campur! Lekas kau katakan bagaimana wajah gadis yang dibawa It-teng Sinni?"
kata Yu Wi. Dengan licik Tio Ju menjawab, "Nanti setelah mereka pergi baru kukatakan, kalau tidak,
sampai kapanpun takkan kukatakan."
Sementara itu keenam kawannya sudah berjajar menjadi satu baris, Un Siau berkata, "Jit-te,
lekas kau juga jaga belakang garis!"
Tio Ju meronta, tapi tak dilepaskan Yu Wi. Dia meronta sekuatnya dan tetap tak dapat
membebaskan diri dari cengkeraman Yu Wi.
"Setelah kau katakan segera kulepaskan kau." ujar Yu Wi.
"Toako, dia tak mau melepaskan diriku!" seru Tio Ju kepada Un Siau.
Terpaksa Un Siau berkata kepada Yu Wi, "Yu-heng, kami menghadapi musuh tangguh, harap
lekas kau lepaskan dia."
Melihat mereka bertujuh hendak menempur dua orang kakek cacat, dengan tegas Yu Wi
menjawab, "Tidak, tidak kulepaskan dia!"
Un Siau tidak berani membikin marah Yu Wi sehingga mendapat musuh baru yang kuat, ia
pikir kalau pihaknya kekurangan seorang mungkin tidak menjadi soal, dengan tenaga gabungan
enam orang kekuatan mereka tetap sukar dilawan, dengan tertawa lantas ia berkata, "He, tuli,
boleh coba kau bunuh dia!"
Si kakek tuli berkepandaian tinggi dan bernyali besar, ia tunggu setelah barisan lawan sudah
siap barulah menjengek, "Hm, kalian hendak menempur kami dengan Thian-ceng-tin-hoat,
serangan kami tentu juga takkan sungkan-sungkan lagi."
Habis berkata, kontan kepalan menjotos dan kaki menendang.
Melihat lawan kenal barisannya yang dapat bekerja sama dengan rapat itu, diam-diam Un Siau
bertambah prihatin, pikirnya, "Biarpun ilmu pukulanmu maha dahsyat, kalau tidak kulayani kau
secara berlari kian kemari, tapi selalu kami sambut dengan keras lawan keras, mustahil kalian
mampu menahan tenaga gabungan kami berenam.
Maka ketika kepalan dan tendangan si tuli dilontarkan, tanpa memandang ia pun balas
menjotos kemuka si tuli.
Agaknya si tuli juga tahu kelihaian hantaman lawan, ia tidak berani menangkis secara keras
lawan keras, tapi terus terus melompat mundur.
Segera Un Siau mendahui menggerakkan barisannya, menyusul ia lantas menjotos pula
dengan kedua tangannya secara bergantian, semuanya dengan tenaga gabungan enam orang, ia
main hantam terus tanpa bertahan.
Seketika si kakek tuli jadi terdesak sehingga mundur melulu dan tidak sanggup balas
menyerang. Percuma dia mempunyai kungfu lihai, tapi tidak sempat dimainkan.
Lama-lama si kakek tuli menjadi gemas, pikirnya, "jika kau ingin keras lawan keras, biarlah
kusambut dengan keras lawan keras, betapapun kuat tenaga habungan kalian berenam juga akan
kucoba."

Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka disambutlah pukulan Un Siau satu kali, terdengarlah suara 'blang' yang keras, tubuh si
tuli tidak bergeming, sebaliknya barisan Un Siau berenam tergetar rada kacau.
Diam-diam si kakek tuli bergirang, pikirnya, "Kiranya tenaga gabungan kalian berenam juga
tidak lebih kuat daripada diriku yang cacat ini."
Sekarang ia tidak mau mundur lagi, tapi terus mendesak maju dan menyerang pula.
Mau-tak-mau Un Siau mengeluh, ia tahu tenaga dalam si tuli kuat luar biasa, tenaga gabungan
mereka berenam ternyata masih kalah setingkat. Sayang mereka kurang satu orang, kalau tidak
tentu kekuatan mereka yang akan lebih unggul.
Tidak seberapa lama, kedua pihak sudah saling gebrak delapan kali, ketika bergebrak untuk
kesembilan kalinya, mendadak si kakek tuli membentak sekerasnya disertai tenaga pukulan yang
maha dahsyat. Begitu adu pukulan segera Un Siau tahu pihaknya bisa celaka. Benarlah, barisannya tergetar
mundur beberapa langkah, menyusul keenam orang tidak sanggup berdiri tegak lagi, semuanya
jatuh terduduk lemas.
Kini mereka berenam benar-benar kehabisan tenaga, lengan pegal dan linu, tidak mampu
berdiri untuk bertempur lagi.
Si kakek tuli tertawa panjang, pelahan ia mendekati Yu Wi dan berkata. "Anak bagus, serahkan
Tio Ju kepadaku."
"Mengapa harus kuserahkan padamu?" jawab Yu Wi.
Si kakek tuli melengak karena tidak tahu apa yang diucapkan Yu Wi, ia menoleh kearah si bisu,
Segera si kakek bisu memberi isyarat tangan untuk menjelaskan arti ucapan Yu Wi.
Si tuli menjadi gusar, teriaknya, "Tidak kau serahkan padaku, jangan-jangan kaupun hendak
membelanya?"
"Betul." kata Yu Wi, "sebelum dia menjawab pertanyaanku, betapapun tidak boleh kau
tangkap dia dan membawanya pergi."
Setelah diberitahu maksud perkataan Yu Wi, si tuli bertambah gusar, bentaknya, "Jadi kaupun
ingin berkelahi dulu dengan kami baru mau melepaskan dia?"
Dengan suara lantang Yu Wi menjawab, "Jika kau hendak merampasnya secara kekerasan,
bisa jadi terpaksa harus berkelahi."
"Tahukah kau apa dosa Tio Ju?" tanya si kakek tuli.
"Biarpun penjahat yang tak berampun juga tak dapat kuserahkan padamu." jawab Yu Wi.
Ia pikir watak si kakek tuli sangat keras, kalau Tio Ju diserahkan padanya bisa jadi akan segera
dibunuhnya, lalu keterangan yang ingin diketahuinya tentu sukar diperoleh, sebab itulah ia
berkeras tidak mau menyerahkan Tio Ju kepadanya, baru akan diserahkannya bilamana Tio Ju
sudah menjelaskan bagaimana raut wajah gadis yang dibawa It-teng Sin-ni itu.
Si kakek tuli mengira Yu Wi sengaja melindungi Tio Ju, dengan murka ia lantas membentak,
"Kau lepaskan dia dan boleh coba kita berkelahi!"
"Aku tidak mau berkelahi dengan kau." jawab Yu Wi sambil menggeleng.
Ia menarik Tio Ju kesamping, baru saja ia hendak bertanya, mendadak si kakek tuli
menghantamnya sambil berseru, "Kau berani membela Jay-hoa-cat (maling perusak bunga,
maksudnya penjahat tukang merusak anak perempuan), betapapun takkan kuampuni kau!"
Serangannya ternyata sangat dahsyat, Yu Wi sudah menyaksikan kehebatan pukulannya tadi,
ia menyadari sukar menahan pukulan sekuat itu, segera ia mencabut pedang kayu untuk
menangkis. Tapi si kakek tuli se-olah2 tidak melihatnya, kakinya melangkah secara aneh, pukulannya tetap
menerobos kedepan dan tidak dapat ditahan oleh Yu Wi. Tidak kepalang kejut anak muda itu,
cepat ia melompat mundur.
Meski Yu Wi menghindari puklan lawan, tapi si kakek tuli pun sempat meraih si iblis nafsu Tio
Ju. Tio Ju memang sudah tercengkeram oleh Yu Wi, kini kena dicengkeram lagi oleh si kakek tuli,
tentu saja tambah tak bisa berkutik, dengan suara gemetar ia berteriak, "Tolonmg, Yu-heng!. . .
Tolong, Yu-heng!. . . .akan kukatakan wajah gadis cantik itu. . . ."
Dengan sendirinya si kakek tuli tidak tahu apa yang diucapkan Tio Ju, tapi ia mengerti
tawanannya itu sedang berteriak mina tolong, dengan tertawa ia mengejek, "Haha, percuma kau
berkaok-kaok, siapapun tak dapat menolong kau. Hari ini kau harus mengganti nyawa kaum
wanita yang telah kau perkosa dan kau bunuh itu!"
Kiranya iblis nahsu Tio Ju adalah paling buruk prilakunya diantara ketujuh iblis perasaan itu.
Tidak saja gemar merusak perempuan, juga suka main bunuh tanpa kenal ampun, setiap
perempuan yang diperkosa olehnya tiada satupun yang terhindar dari kematian. Perbuatannya itu
dusah tentu dibenci oleh siapapun juga. Tapi lantaran tindak-tanduknya sangat misterius dan
dirahasiakan, maka belum diketahui oleh orang persilatan daerah Tionggoan.
Satu kali dia mengganas di kota Kangleng, setelah memperkosa dan membunuh puteri Tihu
(bupati) kota Kangleng, perbuatannya dipergoki si kakek tuli. Terjadilah pertarungan sengit
ditengah malam buta, walau sekuatnya Tio Ju melawan, tak urung ia kewalahan dan akhirnya ia
berhasil kabur.
Si kakek tuli mendapat tahu Tio Ju adalah si buncit dari Jit-ceng-mo, maka ia terus
mengubernya kemanapun perginya. Kebetulan Jit-ceng-mo datang kedaerah perbatasan di baratlaut
untuk menuntut balas kepada Goan-si-hengte, seketika si kakek tuli tidak berhasil
menemukan jejaknya, baru sekarang Tio Ju dapat dipergoki dan ditangkapnya.
Tio Ju hendak berteriak pula, si tuli menjadi gusar, "plak-plok", kontan ia persen dua kali
tamparan pada muka Tio Ju sehingga membuatnya kepala pening dan mata berkunang-kunang,
darahpun muncrat dari mulutnya.
Kuatir Tio Ju akan dihajar hingga mampus, cepat Yu Wi menyerang dengan pedang kayu. Ia
tahu si kakek tuli sangat lihai, kalau ilmu pedang biasa pasti tidak berguna, maka sekali
menyerang segera menggunakan jurus "Bu-tek-kiam."
Si tuli kenal jurus serangan ini, dia tidak berani menangkis, tapi melompat mundur.
Yu Wi juga tidak bermaksud melukai si kakek tuli, segera ia mencengkeram kembali Tio Ju dan
ditanyai dengan tidak sabar, "Coba katakan, lekas, bagaimana raut wajah gadis yang kau lihat
itu?" Dasar licin dan licik, Tio Ju tahu keenam saudaranya dalam keadaan tak bisa berkutik, satusatunya
orang yang dapat menyelamatkan jiwanya hanya Yu Wi saja, agar orang ini mau
menolongnya, terpaksa ia harus memancingnya dengan raut wajah sigadis yang dibawa It-teng
Sin-ni itu. Dengan sendirinya takkan diceritakan begitu saja, ia sengaja menjawab dengan
gelagapan, "Wajahnya. . . .wajahnya mirip. . . .mirip. . . ."
Pada saat itulah mendadak si kakek tuli berteriak menegur Yu Wi, "He, Siaucu, apakah Ji Pekliong
gurumu?" Yu Wi hanya menjawabnya dengan mengangguk saja, tapi tidak memandang kearah si kakek
tuli, sebaliknya ia mendesak Tio Ju agar bicara lebih jelas, "Bagaimana wajahnya" Mirip apa".
"Mirip. . .mirip. . ." Tio Ju berlagak takut.
"Anak busuk," mendadak si kakek tuli membentak lagi, "Sekalipun kau ini murid Ji Pek-liong
juga tidak boleh bersikap angkuh dihadapanku."
Sembari bicara, dalam sekejap ia melancarkan tiga pukulan. Ketiga kali pukulan ini sangat
hebat, Yu Wi dipaksa melepaskan Tio Ju. Akan tetapi Yu Wi tidak mau melepaskannya, ia pikir
segera jejak Bok-ya akan diketahuinya, siapapun tidak boleh merintangi. Maka pedang kayunya
lantas berputar, dengan jurus "Put-boh-kiam" yang tak terpatahkan itu ia berjaga sekelilingnya.
Jurus "Put-boh-kiam" adalah jurus bertahan yang paling lihai didunia ini, cukup dengan satu
jurus ilmu pedang ini Ji Pek-liong pernah bertahan dan tak terkalahkan. Sekarang jurus ini
dimainkan Yu Wi, seketika ketiga kali serangan si kakek tuli seperti batu kecemplung kelaut,
dipatahkannya tanpa suara dan tanpa bekas.
Si tuli menjadi gusar, teriaknya, "Keparat, jurus andalan Ji Pek-liong telah kau kuasai
seluruhnya, ya!"
Pada saat itu Yu Wi coba tanya Tio Ju pula, "Bagaimana wajah gadis itu?"
"Wajahnya seperti. . . ." dengan licik Tio Ju sengaja menarik panjang suaranya.
Dalam pada itu si tuli berkata lagi, "Sekalipun kau adalah murid Ji Pek-liong, jika kau tetap
membela penjahat cabul ini, tentu akupun tidak sungkan lagi padamu, janganlah kau menyesal
bila cara turun tanganku tidak kenal ampun lagi."
Yu Wi mengira Tio Ju hampir memberi keterangan, tapi terputus oleh ucapan si tuli, dengan
gusar ia lantas berkata kepada kakek tuli itu, "Cayhe menghargai dirimu sebagai kaum Cianpwe,
kuharap kau jangan mengganggu dulu."
Dalam hati Yu Wi sekarang sudah tahu jelas bahwa kedua kakek cacat yang dihadapinya ini
adalah kakek tuli dan kakek bisu dari Jit-can-so.
Melihat Yu Wi bersikap marah padanya, si tuli mengira anak muda ini tidak mau mengalah
padanya lantaran mendapat dukungan sang guru. Panas juga hati si kakek tuli itu.
Maklumlah, watak kakek tuli ini terhitung paling keras diantara ketujuh kakek cacat itu, ia pun
sangat benci kepada kejahatan, segala urusan diselesaikannya berdasarkan perasaannya sendiri.
Kini, sekali dia sudah gusar, keadaan menjadi sukar dilerai lagi. Ia lolos pedang dari punggung
salah seorang Jit-ceng-mo, lalu membentak, "Kau berani membela dia, untuk ini harus kubunuh
kau!" Setelah mengetahui Yu Wi mahir dua jurus Hai-yan-kiam-hoat, si tuli tahu dirinya sukar
melawannya dengan bertangan kosong, maka sekarang dia hendak menggunakan jurus Hai-yankiam-
hoat yang lain untuk membunuh Yu Wi dan merampas Tio Ju.
Si kakek bisu juga mnendapatkan pedang salah seorang Jit-ceng-mo, kakek tuli bertanya,
"Hendak kau bantu diriku?"
Kakek bisu mengangguk.
Tertawalah kakek tuli, serunya, "Meski bocah ini mahir dua jurus, betapapun dia masih muda,
tidak nanti dia mengalahkan diriku."
Berulang-ulang si kakek bisu memberi isyarat tangan.
"Huh, maksudmu tenaga dalam bocah ini sangat kuat dan lain dari pada yang lain, begitu?"
jengek si tuli.
Si bisu manggut-manggut lagi.
Si tuli bergelak tertawa, ucapnya, "Semakin kuat tenaganya, semakin tidak kutakut padanya.
Ayo, Siaucu, seranglah!"
Belum lenyap suaranya, kontan pedangnya lantas menusuk.
Yu Wi menusuk Hiat-to lumpuh Tio Ju dan diseret kebelakang, mendadak ia putar pedang
kayu. Sekali pandang saja si kakek tuli lantas kenal jurus "put-boh-kiam" yang hebat itu, ia pikir
kalau dirinya tidak mampu membobol jurus ini ketika dimainkan Ji Pek-liong, sekarang cuma
seorang abak muda, masakah dirinya juga tidak mampu mematahkan pertahanannya.
Rupanya dia tidak percaya Yu Wi akan kuat bertahan, Tak tahunya, ketika pedangnya kontak
dengan tabir sinar pedang Yu Wi, seketika ia merasa ditolak oleh suatu arus tenaga yang aneh
dan maha dahsyat, tanpa kuasa pedang sendiri ikut berputar.
Keruan si tuli terkejut dan berteriak, "Siaucu hebat, memang luar biasa!" Cepat ia menarik
sekuatnya, Untung tenaga dalamnya lebih tinggi daripada Yu Wi, kalau tidak pedangnya pasti
terpuntir lepas oleh daya pusaran yang timbul dari jurus Put-boh-kiam itu.
Segera si kakek bisu melangkah maju hendak membantu.
Tapi dengan gusar si tuli berteriak, "Jangan maju dulu saudaraku, Aku tidak percaya dia
mampu menahan 'Sat-jin-kiam'(jurus pedang membunuh orang)!"
Yu Wi merasa heran, tanyanya, "Sat-jin-kiam apa?"
Melihat perubahan air muka anak muda itu, si tuli tahu jalan pikirannya, dengan tertawa ia
berkata, "Jurus Hai-yan-kiam-hoat ini tiada tandingannya didunia, sekali kumainkan pasti
membinasakan orang. Maka bernama Sat-jin-kiam. Nah, Siaucu, serahkan nyawamu!"
Terkejut juga Yu Wi, mendengar ilmu pedang lawan juga Hai-yan-kiam-hoat, ia tidak berani
ayal sedikitpun, dengan penuh perhatian ia menatap si kakek.
Melihat anak muda itu diam saja, segera si kakek tuli berteriak, "Ayo, tidak putar pedangmu
untuk bertahan?"
Tapi Yu Wi masih tetap tidak bergerak.
Si kakek tuli mengira anak muda itu meremehkan Sat-jin-kiamnya, dianggapnya seperti
permainan pedang biasa, ingin menunggu serangannya baru akan mengeluarkan jurus Put-bohkiam
untuk bertahan, Diam-diam kakek tuli merasa geli, pikirnya, "Bocah ini tidak tahu baik buruk
keadaan dan berani meremehkan diriku, kalau mati juga tak dapat menyalahkan aku."
Kini dia yakin sekali Sat-jin-kiam dilontarkan, Yu Wi pasti kena dan binasa.
Padahal sama sekali Yu Wi tidak pernah lengah dan tidak meremehkan dia, ia justeru lagi
berpikir, "Kakek tuli ini jauh lebih kuat daripada diriku, Put-boh-kiam belum tentu mampu
menahan serangan Hai-yan-kiam-hoatnya, apabila tidak sanggup bertahan, akibatnya pasti akan
terluka atau terbunuh olehnya, tatkala mana nasib Tio Ju juga pasti akan dibinasakan oleh kakek
tuli ini. Tapi. . .tapi apapun juga Tio Ju tidak boleh. . . . tidak boleh mati. . . ."
Mendadak dilihatnya tangan si tuli sudah mulai terangkat, sinar pedang gemerlapan. Cepat Yu
Wi bertindak, ia bersiul panjang, ia tidak bertahan lagi melainkan menyerang. Ia pikir lebih tepat
menyerang untuk mengatasi serangan lawan barulah jiwa Tio Ju dapat dipertahankan.
Sama sekali si kakek tuli tidak menyangka Yu Wi tidak bertahan dengan Put-boh-kiam,
sebaliknya malah mendahului menyerang. Ia bergelak tertawa, serunya, "Hahaha! Bu-tek-kiam,
masa kutakut"!"
Habis itu, tambah dahsyat jurus Sat-jin-kiam dilontarkannya. Ia pikir tenaga dalam sendiri lebih
kuat, mustahil tak dapat mengalahkan anak muda itu.
Selagi kedua pihak hampir mengadu pedang, mendadak Yu Wi tarik kembali pedangnya dan
ganti jurus serangan. Si kakek tuli merasa heran, sebab jurus serangan Yu Wi sekarang bukan lagi
Bu-tek-kiam. Tapi si kakek tuli menjadi girang, pikirnya, "Kau tidak menyerang dengan Bu-tek-kiam berarti
kau cari mampus sendiri!"
Segera jurus Sat-jin-kiam dikeluarkan, seketika Yu Wi seperti terkurung oleh tabir pedang dan
sukar meloloskan diri.
Yu Wi tidak menghindar, sebaliknya ia terus menusuk dengan jurus serangan baru.
Si kakek tuli melihat anak muda itu pasti akan terluka oleh serangannya, siapa tahu mendadak
sinar pedang Yu Wi terpancar terus membabat kepinggangnya malah. Sekilas berpikir segera
diketahuinya biarpun anak muda itu dapat dilukainya, namun dirinya sendiri juga pasti akan
tertabas mati sebatas pinggang oleh pedangnya.
Sama sekali tak terpikir oleh si tuli bahwa Yu Wi dapat mengeluarkan jurus serangan lain yang
mempunyai kekuatan setingkat dengan jurus Sat-jin-kiam, ia tidak ingin terluka bersama, cepat ia
tarik kembali pedangnya untuk menangkis.
Saat itulah mendadak Yu Wi berganti serangan pula, tertampak jurus serangan baru ini
menyambar dengan dahsyat laksana gelombang ombak yang bergulung-gulung. Sekali ini si kakek
tuli kenal jurus serangan ini, serunya kaget, "He, Hong-sui-kiam!"
Baru lenyap suaranya, tahu-tahu ujung pedang Yu Wi sudah mengamcam dadanya, dalam
keadaan demikian jelas tidak mungkin baginya untuk menghindarkan serangan ini, untuk balas
menyerang dengan jurus Sat-jin-kiam juga tidak keburu lagi.
Tampaknya dada si kakek tuli pasti akan tertembus oleh pedang kayu Yu Wi. Syukur
sebelumnya si kakek bisu sudah ber-jaga2 disamping, begitu melihat bahaya, cepat pedangnya
juga menusuk sehingga Yu Wi tertahan.
Maklumlah, jurus Hong-sui-kiam itu belum terlatih sempurna oleh Yu Wi, sedangkan jurus
serangan si kakek bisu juga salah satu jurus dari Hai-yan-kiam-hoat, namanya Tay-lok-kiam, jurus
maha gembira. Jurus serangannya ini jauh lebih lihai daripada Hong-sui-kiam, maka jiwa si kakek
tuli dapat diselamatkan, bahkan daya serangnya masih terus menerobos kedada Yu Wi.
Cepat Yu Wi berganti serangan pula, dengan jurus Put-boh-kiam dapatlah ia mematahkan
jurus Tay-lok-kiam si kakek bisu.
Pucat pasi muka si kakek tuli saking kagetnya, serunya, "Hong-sui-kiam! Hong-sui-kiam!. . . ."
Dia bergumam sendiri, sudah jelas jurus serangan itu memang Hong-sui-kiam, tapi tetap tidak
percaya dapat dikuasai oleh Yu Wi. Ia pikir Hong-sui-kiam adalah ilmu pedang andalan Bu-bok-so,
si kakek buta, tidak mungkin diajarkan kepada murid Ji Pek-liong.
Sementara itu si kakek bisu juga telah menarik kembali pedangnya, ia tahu sukar untuk
mengalahkan Yu Wi, maka mundur teratur.
Si tuli lantas tanya si bisu, "Apakah betul jurus serangannya memang Hong-sui-kiam?"
Dengan pasti si bisu mengangguk.
Maka si tuli tidak sangsi lagi, segera ia membentak kepada Yu Wi dan bertanya, "Ada
hubungan apa antara Bu-bok-so dengan dirimu?"
Teringat kepada kakek buta yang malang itu, Yu Wi mencucurkan air mata, jawabnya, "Beliau
adalah guruku. . . ."
Terkejut si kakek bisu demi mendengar keterangan ini, ia merasa tidak habis mengerti
mengapa Ji Pek-liong dan Bu Bok-so bisa sekaligus menjadi guru bocah ini, Maka dengan isyarat
tangan ia memberitahukan hal ini kepada si tuli.
Tentu saja si kakek tuli juga tidak percaya, ia menegas, "Apakah betul si buta itu gurumu?"
Yu Wi mengangguk.
Dengan heran si tuli memandang si bisu, katanya dengan menyengir, "Sungguh aku tidak
mengerti mengapa Bu Bok-so bisa menjadi gurunya."
Dilihatnya si bisu memberi isyarat tangan lagi lalu si tuli terkejut dan berseru, "Apa" Kau bilang
dia juga mahir ilmu pedang Can-pi-so?"
Si bisu mengangguk pelahan.
Kakek tuli jadi teringat kepada Yu Wi waktu berubah serangan tadi memang jurus itu serupa
ilmu pedang andalan Can-pi-so atau si kakek buntung tangan. Kalau tidak tentu tidak mampu
menahan jurus Sat-jin-kiamnya yang lihai itu.
Maka ia lantas tanya pula, "Masakah Can-pi-so juga gurumu?"
Yu Wi mengangguk, katanya, "Sehari menjadi guruku, selama hidup tetap guruku, Can-pi-so
memang betul juga guruku."
Setelah jelas bahwa Can-pi-so juga mengajarkan jurus Tay-gu-kiam kepada Yu Wi, si tuli
menghela napas gegetun, ucapnya, "Bocah yang hebat, sekaligus kau ternyata menguasai empat
jurus Hai-yan-kiam-hoat, Liong-so (kakek tuli) mengaku bukan tandinganmu, biarlah kuserahkan
Tio Ju kepadamu. Tapi ingin kuberitahukan padamu, kejahatan yang diperbuat orang ini sudah
kelewat takaran, dosanya tidak terampunkan."
Yu Wi mengucapkan terima kasih, lalu Tio Ju dicengkeramnya dan ditanyai pula, "Ayo,
sekarang tidak perlu ber-tele2 lagi bicaramu, lekas katakan bagaimana bentuk wajah gadis itu?"
Tiba-tiba Un Siau berkata, "Tidak perlu kau tanya dia lagi, biarlah kukatakan padamu. Nama
gadis itu pernah kami dengar dari It-teng Sin-ni, beliau memberi pesan bila mana kau tanya
supaya kami memberitahu nona itu bernama Ko Bok-ya."
"Hah, benar Ya-ji, dia benar Ya-ji!" teriak Yu Wi, saking gembiranya hingga mencucurkan air
mata, "Jika dia dibawa pergi gurunya, aku tidak perlu kuatir lagi."
Tapi hatinya menjadi bimbang dan risau pula, selanjutnya entah kapan baru dapat bertemu
dengan gadis itu. Jika dalam waktu dua tahun tak dapat berjumpa, maka selama hidup inipun
takkan bertemu lagi dengan dia. Betapa sedihnya bila dirinya mati begitu saja sebelum bertemu
lagi dengan Ya-ji. Diam-diam ia mengambil keputusan, apapun juga, sebelum mati dirinya akan
berusaha mencari dan bertemu dengan nona itu.
Dia lantas menyerahkan Tio Ju kepada Liong-so atau si kakek tuli.
Tio Ju berteriak-teriak minta tolong, "Yu-heng! Tolong Yu-heng! Masih ada pesan lain It-teng


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin-ni yang perlu kuberitahukan kepadamu, lekas kau tolong diriku dan segera akan kukatakan."
"Tidak, watakmu licik dan licin, lebih baik kutanyai Toakomu saja." kata Yu Wi.
Liong-so bergelak tertawa, katanya, "Maling cabul, kau berkaok-kaok apa lagi" Jika bersuara
pula, sekali hantam kuremukkan kepalamu, coba kau mampu bersuara atau tidak?"
Tapi Tio Ju masih terus berteriak, "Tolong Toako! Tolong!. . . ."
Si kakek tuli menjadi gusar, selagi ia hendak menghajar Tio Ju,mendadak sekeliling terdengar
suara gemuruh sehingga bumi serasa bergetar. Meski tidak dapat mendengar juga kakek tuli itu
dapat merasakan gelagat tidak enak, sebab dari getaran bumi dapatlah dirasakan ada beratus ribu
perajurit sedang menyerbu tiba.
"Pasukan Turki!" teriak Yu Wi terkejut.
Dia sudah merasakan betapa celakanya terkepung oleh pasukan besar. Ia pikir untuk melawan
serbuan beratus ribu perajurit berkuda, biarpun mempunyai ilmu maha sakti juga sukar
menahannya. Dari suara gemuruh ini, jelas pasukan Turki ini ada berpuluh ribu orang banyaknya,
tentu Goan-si-hengte yang mengerahkannya kesini.
Liong-so tidak tahu lihainya serbuan pasukan besar itu, ia membentak, "Kura-kura Turki yang
datang ini, hari ini biarlah kulanggar pantangan membunuh secara besar-besaran."
Mendengar yang datang adalah pasukan Turki, Tio Ju menggigil ketakutan.
"Hm, cepat atau lambat kau pasti mati, kenapa takut?" jengek si kakek tuli, sekali hantam ia
bikin tubuh Tio Ju mencelat beberapa meter jauhnya dan menggeletak tak bisa berkutik, mungkin
Hiat-to yang tertutuk tadi belum terbuka, tampaknya bila serbuan pasukan musuh tiba, dia pasti
akan terinjak-injak hingga hancur lebur.
Dalam pada itu pasukan Turki yang menyerbu dari segenap penjuru sudah mendekat, yang
kelihatan hanya berkelebatnya senjata dan bayangan tubuh seperti semut merayap, suasana
sungguh sangat menakutkan, bagi orang yang bernyali kecil, jangankan hendak bertempur,
melihat serbuan pasukan sebanyak ini saja bisa jatuh pingsan.
Ciong Han, si iblis penakut yang pada dasarnya memang bernyali kecil, ia tergeletak ditanah
dengan gigi gemertuk, keluhnya, "O, hati ini jiwa. . .jiwaku pasti akan. . .akan amblas dan meng. .
. menghadap Giam-lo-ong!"
Dengan muka murung si iblis berduka Bok Pi berkata, "Apakah kita sampai mati dibawah kaki
kuda pasukan Turki, kan penasaran hidup kita ini?"
Go Bun, si iblis pemarah memandang Liong-so dengan mata melotot gusar, katanya, "Setelah
kumati tentu aku akan berubah menjadi setan iblis untuk merenggut jiwamu si tua bangka ini!"
Dengan sendirinya Liong-so atau si kakek tuli tidak tahu apa yang diucapkan orang, tapi dapat
diduganya orang sedang mencaci maki padanya. Mau-tak-mau timbul juga rasa menyesalnya, ia
pikir sebabnya mereka tidak sanggup berbangkit untuk bertempur adalah gara-gara serangan
dirinya yang dahsyat tadi dan telah melukai mereka, tapi untuk menyembuhkan mereka dengan
cepat juga tidak mampu, terpaksa harus menyaksikan mereka mati terbunuh oleh pasukan musuh.
Un Siau si iblis tertawa, kini pun lenyap senyuman yang selalu menghiasi wajahnya, katanya
dengan menyesal, "Seorang lelaki harus mati secara gilang gemilang, kalau mati konyol ter-injak2
oleh pasukan Turki secara begini, matipun kami tidak dapat tenteram dialam baka."
Melihat wajah Un Siau yang tersenyum pedih itu, seketika darah panas dalam dada Yu Wi
bergolak, teriaknya, "Asalkan Yu Wi masih hidup, sekuat tenaga akan kubela kalian sehingga tidak
sampai terbunuh oleh pasukan Turki!"
Tak terhingga rasa terima kasih Un Siau, serunya terharu, Yu-heng. . . . ."
Pada saat itulah pasukan pelopor Turki sudah menyerbu tiba.
Cepat Liong-so mengayun pedangnya, sekali tabas kontan kaki belasan ekor kuda musuh
tertabas putus, para perajuritnya sama jatuh terjungkal.
Menyusul kakek tuli menyabat lagi beberapa kali, para perajurit yang jatuh terjungkal kebawah
itu sama terpenggal kepalanya dan mati dengan mengerikan. Namun pasukan yang menyerbu tiba
itu tidak menjadi takut, bahkan terus membanjir laksana air bah yang tak tertahankan.
Kembali pedang Liong-so menabas kaki kuda, belum sempat perajurit musuh yang jatuh itu
dibinasakan, pasukan yang lain sudah keburu menerjang maju lagi. Ia menoleh dan melihat Ah-lo
atau si kakek bisu berdiri melenggong dengan pedang terhunus, cepat ia membentak, "Ayolah
maju, bunuh saja! Untuk apa berlagak kasihan dalam keadaan demikian?"
Sedapatnya Ah-lo membayangkan kekejaman pasukan Turki yang membunuhi rakyat jelata
yang tak berdosa, seketika timbul nafsu membunuhnya, segera pedangnya berputar, hanya
beberapa kali tabas saja para perajurit yang terbanting jatuh itu telah dibinasakannya.
"Nah, begitulah baru puas! Sungguh menyenangkan! Hahahaha!. . . " teriak Liong-so dengan
tertawa. Ditengah gelak tertawanya kembali ia menabas putus kaki belasan kuda musuh, perajurit yang
jatuh belum sempat berdiri sudah lantas dibunuh oleh gerak cepat si kakek bisu.
Kedua kakek itu, yang satu menabas kaki kuda, yang lain membunuh perajuritnya yang jatuh,
keduanya bekerja sama dengan rapi dan cepat. Hanya sebentar saja ratusan perajurit musuh mati
dibawah pedang mereka. Namun begitu serbuan pasukan musuh masih terus membanjir.
Yu Wi berada dilingkaran dalam dan melindungi Lak-mo (Keenam iblis), sementara itu Tio Ju si
iblis nafsu, sudah lenyap tak karuan perannya, jenazahnya sudah lenyap, mungkin sudah hancur
lebur dibawah kaki kuda pasukan musuh yang tak terhitung jumlahnya itu.
Betapapun lihainya si kakek tuli dan bisu juga tak dapat membendung serbuan pasukan musuh
sebanyak itu, kini pasukan musuh yang menyerbu tiba sudah semakin banyak sehingga Yu Wi dan
kedua kakek itu terkepung ditengah.
Untuk menyelamatkan Lak-mo, mau-tak-mau Yu Wi harus main bunuh. Ia terus berlari kian
kemari disekeliling Lak-mo, bila ada perajurit musuh menyerbu maju, segera pedangnya bergerak
dan memecahkan kepala musuh. Dengan gesit dan cekatan, dalam sekejap saja berpuluh orang
telah dibinasakan oleh Yu Wi.
Tidak terlalu lama, disekeliling Yu Wi dan kedua kakek bisu-tuli telah menggunung mayat
perajurit Turki yang dibinasakan mereka. Untuk menerjang maju lagi, pasukan Turki yang baru
menyerbu tiba itu harus menyingkirkan lebih dulu gundukan mayat itu, Tapi setelah gundukan
mayat disingkirkan, dalam waktu singkat mayat baru menggunung lagi. Barisan pelopor Turki yang
berjumlah ribuan orang telah terbunuh semua oleh mereka.
Menyusul yang menyerbu tiba adalah pasukan berjalan kaki, infantri, begitulah istilah jaman
kini. Pasukan infantri ini semuanya membawa tombak panjang, selapis demi selapis, sebaris demi
sebaris, dibunuh baris depan, baris belakang lantas membanjir maju lagi. Sedikit lengah malah diri
sendiri yang akan tertusuk oleh tombak mereka.
Sampai akhirnya, karena terlalu banyak untuk menabas, pedang kedua kakek yang semula
cukup tajam kini menjadi tumpul, tubuh mereka sendiri penuh luka tusukan tombak. Kalau begini
terus menerus, akhirnya meraka pasti akan binasa juga.
Keadaan Yu Wi lebih konyol lagi, dia harus melindungi Lak-mo, pikir sini lena sana, bela sini
kena sana. Akhirnya sekujur badan sendiripun berlumuran darah, kecuali bagian muka, hampir
sekujur badan terluka tombak musuh.
Melihat cara anak muda itu membela mereka dengan mati-matian, terima kasih Lak-mo tak
terhingga. Sampai Kat Hin si iblis pembenci yang tidak pernah suka kepada orang lain juga banyak
berubah pandangannya terhadap Yu Wi, berulang-ulang ia berseru, "Yu-heng, lekas kau lari
sendiri saja, jangan urus kami lagi. . . ."
Kedua kakek bisu-tuli juga sudah nekat, melihat pasukan musuh yang menyerbu tiba semakin
banyak dan tidak habis-habis, mereka tahu bila bertempur lebih lama, setelah tenaga habis, untuk
menerjang keluar lebih-lebih tidak mampu, maka si kakek tuli lantas berseru kepada Yu Wi, "He,
Siaucu, kita terjang keluar saja!"
Tapi Yu Wi menyadari tidak berguna biarpun berusaha menerjang, sebab ia sudah
berpengalaman kepungan pasukan musuh sedemikian rapat, betapa terjang juga sukar menembus
lapisan pasukan sebanyak ini. Akan lebih baik bertahan saja disini, bisa bunuh satu tambah untung
satu, bisa bunuh lebih banyak berarti lebih banyak mengabdi bagi negara dan bangsa. Hakikatnya
ia tidak berpikir untuk hidup lagi.
Setelah berteriak belasan kali dan tetap tidak mendapat jawaban Yu Wi, si kakek tuli coba
berpaling, dilihatnya anak muda itu masih membela Lak-mo dengan mati-matian, segera ia
berseru pula, "He, Siaucu, marilah kita lari dengan membawa mereka."
Sekarang ia tahu Yu Wi sangat setia kawan, kalau Lak-mo tidak dibawa lari sekalian, tidak
nanti ia kabur sendirian. Ia tidak ingin Yu Wi mati konyol dimedan perang ini, sebab dalam
pandangannya kini Yu Wi adalah satu2nya orang didunia ini yang mahir memainkan keempat jurus
Hai-yan-kiam-hoat, ia pikir mungkin Ji Pek-liong dan lain-lain sudah dekat ajalnya, maka sama
mengajarkan ilmu pedang andalan masing-masing kepada anak muda ini, kalau tidak, mustahil
mereka mau mengajarkan ilmu pedangnya kepada bocah ini dan lebih suka ingkar janji dan tidak
menghadiri pertemuan di Ma-siau-hong nanti.
Dan sekarang kalau Yu Wi mati, tentu keempat jurus ilmu pedang sakti itupun akan ikut
lenyap, untuk belajar Hai-yan-kiam-hoat secara lengkap menjadi tidak mungkin lagi. Hanya bila Yu
Wi tidak mati barulah mereka ada harapan untuk belajar keempat jurus itu.
Karena pikiran tamak akan menarik keuntungan bagi diri sendiri inilah, si kakek tuli lantas
mengajak kakek bisu menerjang kearah Yu Wi, Lwekang mereka sangat tinggi, meski sudah
bertempur sekian lamanya masih tetap gagah perkasa, pelahan dapatlah mereka menggeser
kesamping Yu Wi.
Mendadak si kakek tuli berteriak, "Angkat Lak-mo!"
Bersama si bisu cepat mereka berjongkok, masing-masing lantas mengepit dua orang,
tertinggal Un Siau dan Ciang Ti saja yang masih menggeletak disitu.
Melihat itu, Yu Wi pikir tidak ada jeleknya mereka berusaha menerjang sesuai kehendak kedua
kakek itu, segera iapun angkat tubuh Un Siau dan Ciang Ti, ia susul kearah kedua kakek bisu-tuli
yang sudah mulai menerjang keluar kepungan itu.
Meski dengan sebelah tangan mengangkat dua sosok tubuh dan hanya satu tangan digunakan
menghalau musuh, tapi daya tempur mereka bertiga ternyata tidak berkurang. Setiap perajurit
Turki yang bermaksud menghadang mereka tentu mati dibawah pedang mereka. Sedikit demi
sedikit dapatlah mereka menerjang keluar.
Jilid 11 Girang sekali kedua kakek bisu-tuli, meraka terus berlari kedepan secepat terbang.
Sebaliknya hati Yu Wi tidak bergirang sama sekali, ia tahu tidak lama lagi mereka pasti akan
terkepung pula, kecuali terjadi keajaiban, kalau tidak, tak mungkin mereka bisa menerobos keluar
kepungan. Benarlah, hanya sebentar saja, kedua sayap pasukan Turki sudah mengepung pula dari kanankiri
depan sehingga berwujud suatu lingkaran, lalu pasukan musuh menyerbu tiba lagi dari
segenap penjuru.
Kedua kakek tidak tahu mengapa bisa terjadi begini, mereka mengira ada pasukan Turki yang
lain, segera mereka berusaha membobol kepungan pula.
Tapi tidak lama setelah lolos dari kepungan, dalam waktu singkat mereka tercegat lagi dan
begitulah seterusnya. Betapapun kuat tenaga dalam kedua kakek ini mereka sudah lanjut usia,
akhirnya merekapun kehabisan tenaga.
Yu Wi lebih muda dan tangkas, pula ia berjaga dibagian belakang sehingga tidak terlalu
banyak mengeluarkan tenaga, keadaannya lebih mendingan daripada kedua kakek bisu-tuli.
Ketika mereka terkepung pula, mestinya mereka bergabung disuatu tempat dan bertempur
bersama, akhirnya ketiganya terpisah-pisah, Yu Wi harus bertempur sendirian, dilihatnya kedua
kakek itu sudah kehabisan tenaga, dia ingin menerjang kesana untuk membantu, tapi ia
sendiripun mulai lemas.
Ia menyaksikan kedua kakek itu akhirnya roboh tertusuk tombak perajurit Turki, ketika
pasukan infantri itu membanjir maju, dalam sekejap tubuh mereka terinjak-injak hancur. Dengan
sendirinya keempat orang yang dibawa merekapun ikut menjadi korban.
Melihat saudara-saudaranya sama binasa, Un Siau dan Ciang Ti hanya berduka saja dan tak
mampu membantu apa-apa.
Yu Wi mulai tak tahan, kaki dan tangan terasa lemas, ia seperti melihat bayangan maut sudah
muncul didepan matanya.
"Un-heng dan Ciang-heng, aku tidak mampu menyelamatkan kalian lagi!" serunya sambil
bertempur. Selama hidup Un Siau hanya tertawa melulu dan tidak pernah menangis, kini tidak urung ia
mengucurkan air mata, katanya, "Budi kebaikan Yu-heng selalu terukir dalam hati sanubari kami,
dialam baka pun takkan kami lupakan."
"Lekas kau turunkan kami dan melarikan diri sendiri saja!" seru Ciang Ti dengan menangis.
Yu Wi menggeleng, ucapnya, "Kalau mati biarlah kita mati bersama!"
"Semalam aku sembarangan omong tentang dirimu dan Puteri Iwu, kuharap engkau suka
memaafkan diriku," kata Ciang Ti.
"O, tidak apa-apa, aku tidak marah padamu!" jawab Yu Wi sambil menyengir.
"Samte juga tidak sopan padamu, meski dia sudah mati, aku harus mewakili dia untuk minta
maaf padamu." kata Un Siau, yang dimaksudkan adalah Bok Pi si iblis berduka, yang ber-kaok2
memanggil Yu Wi sebagai "anak" itu.
Yu Wi tertawa dan menjawab, "Tapi kalau dia tidak berbuat begitu, sesungguhnya memang
sulit untuk mencari diriku."
"Tapi kalau tidak menemukan kau, tentu juga takkan membikin susah padamu seperti
sekarang ini." ujar Ciang Ti.
"Sudahlah, jangan kau bicara demikian, mati atau hidup sudah takdir ilahi, mana boleh
menyalahkan orang lain." kata Yu Wi.
Sambil bicara, berturut-turut ia merobohkan belasan orang pula, tapi pahanya juga tertusuk
tombak dan terluka cukup lebar sehingga kelihatan tulang kaki. Ia jatuh berduduk, walaupun
begitu pedang kayu masih terus berputar untuk menghalau serangan musuh.
Diam-diam Un Siau sangat kagum kepada pribadi Yu Wi, meski menghadapi maut, tapi masih
dapat bicara dan tertawa seperti biasa. Ia pikir Thian kurang adil bila ksatria gagah perkasa begini
sampai mati konyol dibawah senjata pasukan Turki.
Pada detik paling gawat itulah, se-konyong2 seorang penunggang kuda menerjang tiba
secepat terbang, pasukan infantri musuh beramai-ramai memberi jalan lewat baginya.
Sesudah dekat, mendadak penunggang kuda itu menusuk tenggorokan Yu Wi dengan
tombaknya, karena tidak dapat menangkisnya, cepat Yu Wi melepaskan Un Siau dan Ciang Ti dari
rangkulannya, dengan tangan kiri ia terus meraih tombak musuh yang sedang menusuk itu.
Sekali tarik, penunggang kuda itu ternyata tidak terperosok kebawah, waktu Yu Wi
menengadah kiranya orang ini ialah Li Tiau.
Nyata Li Tiau sengaja berlagak terbanting kebawah, dia jatuh tepat disamping Yu Wi, dengan
suara tertahan ia berseru kepada anak muda itu,
"Lekas gunakan kudaku dan lari!"
Tanpa bicara lagi, cepat Yu Wi berbangkit, diangkatnya Un Siau dan Ciang TI, sekuatnya ia
mencemplak keatas kuda, dan segera dibedal kedepan.
Kuda itu tinggi besar, jelas kuda pilihan dan sudah terlatih, hanya sekejap saja ia sudah
menerjang keluar kepungan.
Mungkin juga kuda Li Tiau dikenal oleh perajurit Turki, tidak ada yang berani melukainya,
maka dengan gampang dapatlah Yu Wi lolos dari kepungan.
Sekuatnya kaki Yu Wi menjepit perut kuda dan dilarikan secepat terbang, sedemikian cepat
sehingga pemandangan alam disekelilingnya seakan-akan melayang lewat dikedua sisinya.
Yu Wi menunduk dan merangkul Un Siau dan Ciang Ti erat-erat, kuda itu dibiarkan membedal
sekencangnya, sampai sekian lamanya, tiada terlihat pasukan Turki mengejarnya.
Mendadak kuda itu keserimpet dan jatuh terjungkal sehingga Yu Wi bertiga terbanting
kebawah, terlihat mulut kuda berbuih, mungkin terlalu berat membawa muatan tiga orang dan
harus berlari kencang, akhirnya kuda itu tidak tahan dan roboh.
Yu Wi coba mengamat-amati pemandangan sekelilingnya, kiranya mereka sudah berada dihulu
sungai Ili. Sedikitnya kuda ini sudah berlari beberapa ratus li jauhnya, pantas tidak tampak
pasukan pengejar. Rupanya lari kuda ini teramat cepat sehingga pasukan Turki tidak keburu
mengepung pula.
Sekali lagi Li Tiau telah menyelamatkan Yu Wi, tanpa kuda tunggangannya ini, kuda biasa
tidak mungkin mampu lolos dari kepungan pasukan Turki.
Kuatir pasukan musuh menyusul tiba, sekuatnya Yu Wi mengangkat tubuh Un Siau dan Ciang
Ti terus dibawa lari pula kearah yang sepi.
Ketika malam tiba, Yu Wi yakin pasukan musuh tak dapat menemukannya, barulah ia turunkan
Un Siau berdua, ia rebahkan diri ditanah berumput dan dengan cepat tertidur lelap.
Dia benar-benar sudah terlalu lelah. Sekali tidur, sampai esok paginya, ketika sang surya
sudah tinggi menghiasi angkasa barulah ia terjaga bangun oleh cahaya yang gilang gemilang.
Ia coba berpaling, dilihatnya Un Siau dan Ciang Ti masih tidur nyenyak, ia kuatir kedua orang
tak sadar karena terik matahari, cepat ia membangunkan mereka.
Untung tubuh mereka teraling-aling rumput, bila ditanah lapang, dijemur matahari sepanas itu
tentu tubuh mereka sudah hangus dan mungkin takkan siuman untuk selamanya.
Tenaga Un Siau dan Ciang Ti sudah rada pulih, begitu mendusin mereka lantas merasa haus,
mulut terasa kering seperti mau pecah, tertampak didepan sana ada sebuah sungai kecil, dengan
setengah merangkak mereka menggelinding ketepi sungai, lalu minum sekenyangnya.
Yu Wi terus membenamkan kepalanya didalam air, sampai sekian lamanya, sudah cukup
kenyang minum barulah ia angkat kepalanya, ia menengadah dan bergelak tertawa, teriaknya, "Yu
Wi wahai Yu Wi! Sungguh suatu keajaiban bahwa sekaang kau masih hidup didunia ini"!"
Dengan gegetun Un Siau berkata, "Bahwa kami berdua masih dapat melihat sinar matahari
barulah benar-benar suatu keajaiban. Kalau tidak ada Yu-heng, entah siksaan apa yang akan
menimpa kami di akhirat sekarang?"
"Eh, Toako, pesan It-teng Sin-ni untuk Yu-heng kan belum kita sampaikan," seru Ciang Ti.
"Setelah Sin-ni membawa pergi Ya-ji, pesan apa yang beliau tinggalkan untukku?" cepat Yu Wi
bertanya. "Kata beliau, bila kau ingin melihat Ko Bok-ya, kecuali suatu hal harus kau laksanakan, kalau
tidak, selama hidup ini jangan harap akan dapat bertemu lagi dengan dia," tutur Un Siau.
"Urusan apa yang harus kulaksanakan?" tanya Yu Wi.
"Katanya, apabila Hai-yan-kiam-hoat sudah lengkap kau pelajari, bolehlah kau cari dia di Tiamjong-
san daerah Taili, di barat propinsi Hunlam. Kalau Hai-yan-kiam-hoat tak lengkap kau pelajari
tidak perlu kau cari dia, sekalipun dapat kau temukan beliau juga takkan mengizinkan kau bertemu
dengan Ko Bok-ya, bahkan. . . . ."
"Nikoh tua itu sungguh galak, dia bilang selain Ko Bok-ya dilarang bertemu dengan kau,
bahkan kau akan dibereskan olehnya," tukas Ciang Ti.
"Aku diharuskan belajar lengkap Hai-yan-kiam-hoat, hal ini tidaklah. . . .tidaklah mungkin
terjadi!" seru Yu Wi.
"Sebab apa tidak mungkin?" tanya Un Siau dengan penuh perhatian.
"Sebab. . . sebab dua orang Cianpwe yang menguasai dua jurus diantara Kai-yan-kiam-hoat itu
kini sudah. . . sudah meninggal dunia!" tutur Yu Wi dengan berduka.
"Sudah meninggal dunia" Memangnya siapa mereka?" tanya Ciang Ti terkejut.
Yu Wi mendekap kepalanya dan menjawab dengan menunduk, "Yaitu kedua kakek bisu-tuli
yang membantu kita menerjang keluar dari kepungan musuh tadi."
"Wah, lantas bagaimana baiknya?" ucap Ciang Ti dengan cemas memikirkan kesukaran Yu Wi.


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hendaknya jangan kau pergi mencari It-teng Sin-ni, sebab dia. . . ."
Mendadak Yu Wi melepaskan kedua tangannya dan menengadah, katanya dengan tegas,
"Biarpun Hai-yan kiam-hoat tak dapat kupelajari dengan lengkap, betapapun aku akan pergi ke
Tiam-jong-san untuk mencari Sin-ni, didunia ini tiada seorang pun yang dapat merintangi
pertemuanku dengan Ya-ji."
"Tidak, jangan!" seru Un Siau sambil menggoyang tangan. "Ilmu silat It-teng terkenal sebagai
nomor satu didunia ini, tabiatnya dingin dan aneh, jika Hai-yan-kiam-hoat tidak kau pelajari secara
lengkap, jelas dia takkan memperbolehkan kau bertemu dengan Ko Bok-ya."
"Yu-heng janganlah pergi ke Tiam-jong-san, kau bukan tandingan Sin-ni, kau bisa dibunuh
olehnya," Ciang Ti ikut membujuk.
"Biarpun aku terbunuh juga tidak menjadi soal." ujar Yu Wi sambil tersenyum getir, "Asalkan
dapat kulihat Yu-wi sekali lagi, jiwaku harus melayang seketika juga kurela."
"Sed. . . .sedemikian cintamu kepada Ko-siocia?" tanya Ciang Ti dengan tergegap.
"Akupun tidak tahu apakah kucintai dia atau tidak." jawab Yu Wi dengan bimbang, "Tapi bila
selama hidupku ini dilarang bertemu lagi dengan dia. . . ." sampai disini, ia menghela napas
panjang, tiba-tiba teringat olehnya jiwa sendiri hanya tersisa setahun lebih sekian bulan saja,
mana dapat bicara tentang selama hidup apa segala"
Melihat Yu Wi sedemikian berduka, Un Siau tahu cinta anak muda ini kepada Ko Bok-ya sangat
mendalam, sebab itulah malah tidak perlu menyatakan cinta atau tidak. Berbeda dengan
saudaranya yang kelima, si iblis cinta Ciang Ti, setiap hari selalu bicara tentang cinta, padahal dia
tidak mencintai siapapun juga, hakikatnya tidak ada perasaan cinta dalam benaknya. Hanya orang
semacam Yu Wi inilah kalau sekali sudah mencintai seseorang, maka sampai matipun cintanya
takkan luntur. Karena itulah Un Siau yakin siapapun tak dapat mencegah anak muda itu pergi ke Tiam-jongsan,
ia coba memberi saran, "Konon Hai-yan-kiam-hoat seluruhnya meliputi delapan jurus, asal
dapat kau kuasai enam jurus diantaranya, meski tidak lengkap, tapi kau sudah berusaha sepenuh
tenaga, kukira bila It-teng Sin-ni tahu keteguhan hatimu, tentu takkan kukuh lagi pada
pendiriannya."
Yu Wi pikir saran inipun beralasan, ia mengangguk dan berkata, "Ya, aku sudah menguasai
empat jurus, masih ada dua jurus lagi akan kupelajari sebisanya, dengan keenam jurus itulah
kelak akan kukunjungi Tiam-jong-san, entah Sin-ni akan mengizinkan pertemuanku dengan Ya-ji
atau tidak?"
"Kedua kakek bisu dan tuli sudah meninggal dunia, jelas Yu-heng tidak mungkin dapat belajar
Hai-yan-kam-hoat secara lengkap, sepantasnya Sin-ni tak dapat menyalahkan kau," kata Ciang Ti.
"Semoga Yu-heng lekas menguasai kedua jurus yang lain dan secepatnya dapat berjumpa dengan
Ko-siocia."
Yu Wi sangat terharu, katanya, "Terima kasih atas perhatian kalian, kedua jurus lagi kuyakin
dapat kupelajari pada tanggal lima belas bulan delapan nanti. Kini tinggal lima bulan saja akan tiba
bulan kedelapan, rasanya aku harus lekas berangkat ke Bin-tang (timur Hokkian)."
"Setiba disana Yu-heng yakin akan dapat mempelajari kedua jurus lagi?" tanya Un Siau.
Yu Wi mengiakan dengan mengangguk.
"Jika begitu, lekaslah Yu-heng berangkat saja, dari sini ke Bin-tang diperlukan waktu beberapa
bulan lamanya, hendaknya Yu-heng tidak terlambat sampai disana," kata Ciang Ti.
"Keadaan kami tidak menjadi alangan, beberapa hari lagi tentu tenaga kami akan pulih
kembali, maka tidak perlu kau kuatirkan diri kami, malahan sekarang juga kami sudah dapat
berjalan." ujar Un Siau, segera mereka bangun berdiri.
Melihat keadaan mereka memang sudah tidak menjadi soal lagi, Yu Wi memberi hormat dan
berkata, "Baiklah, jika demikian, biarlah kuberangkat lebih dulu!"
Baru saja ia melangkah, mendadak Un Siau berseru, "Yu-heng, ada sesuatu perbuatan Jit-te
kami yang tidak pantas kepadamu, hal ini harus kujelaskan. . . ."
Tanpa menoleh Yu Wi menjawab, "Dia sudah meninggal, segala perbuatannya yang tidak
pantas padaku adalah urusan yang sudah lalu, maka tidak perlu dibicarakan lagi." Ia bicara tanpa
berhenti, hanya sekejap saja sudah berpuluh tombak jauhnya ia berlari pergi.
Dari jauh Un Siau berseru pula, "Selanjutnya bila bertemu dengan Goan-si-hengte hendaklah
kau berhati-hati, kedua Goan bersaudara itu berjiwa sempit, urusan kecil saja pasti menuntut
balas. . . ."
Yu Wi tidak menaruh perhatian terhadap pesan itu, ia percepat langkahnya dan dalam sekejap
saja sudah menghilang dari pandangan Un Siau. . . .
. == oo OOO oo ==
Pegunungan di propinsi Hokkian (Tiongkok selatan) mencakup segala keindahan didunia ini,
puncak yang ajaib, batu yang aneh, ditempat lain sukar ditemukan, di Hokkian pasti ada.
Terutama Bu-ih-san atau pegunungan Bu-ih yang terletak dibagian utara yang disebut sebagai
punggung propinsi Hokkian.
Bu-ih-san tidak cuma terkenal karena keindahan alamnya, lebih terkenal lagi adalah daun
tehnya yaitu Thi-koan-im, yang termashur diseluruh dunia.
Tidak kurang terkenalnya adalah sebuah benteng yang terletak dikaki gunung ini, Benteng ini
sama menonjolnya didunia Kangouw seperti halnya Hek-po di propinsi Soasay, benteng kuno ini
bernama Pek-po atau benteng putih.
Dari jauh kelihatan lereng pegunungan Bu-ih sebelah selatan berekor panjang bagai seekor
naga putih, panjangnya meliputi beberapa ratus tombak. Tapi kalau dipandang dari dekat barulah
diketahui naga putih atu adalah sebuah benteng yang dibangun dengan ubin putih, ubin putih itu
rata-rata berukuran panjang lima kaki dan lebar tiga kaki, sungguh sukar untuk dibayangkan cara
bagaimana ubin putih raksasa itu dibuat.
Waktu itu jatuh hari raya Toan-yang atau terkenal juga dengan Pek-cun, yakni tanggal lima
bulan lima, Lereng selatan pegunungan Bu-ih yang biasanya sunyi sepi itu kini tampak ramai
berdatangan kereta berkuda, sejak pagi-pagi sudah banyak dikunjungi jago-jago persilatan.
Sebab apakah hari Toan-yang ini jago-jago silat dari berbagai daerah itu sama berkunjung ke
Pek-po" Kiranya setiap tahun pada hari Toan-yang di Pek-po selalu diadakan suatu pertemuan besar
para ksatria Bu-lim, disinilah Pocu atau kepala benteng Oh Ih-hoan mengadakan pertemuan
dengan para pahlawan.
Acara pokok pada pertemuan besar itu adalah Pi-bu atau bertanding silat. Namun
pertandingan silat ini bukanlah pertandingan biasa, tapi Pocu benteng putih inilah selaku tuan
rumah secara terbuka menantang para jago silat yang hadir itu.
Oh Ih-hoan mengumuman kepada para pahlawan diseluruh dunia bahwa barang siapa dalam
pertemuan besar di Pek-po yang diadakan setiap tahun sekali ini mampu mengalahkan ilmu golok
Toan-bun-to kebanggaan keluarga Oh dari benteng putih ini, akan diberi hadiah besar berupa
emas murni selaksa tahil.
Sebenarnya hadiah selaksa tahil emas bukanlah daya tarik yang besar, daya tarik yang
terbesar adalah barang siapa dapat mengalahkan Toan-bun-to, tentu namanya kontan akan
termashur dan menggetar dunia Kangouw. Dan siapa jago silat didunia persilatan yang tidak
kemaruk kepada nama besar"
Sebab itulah setiap tahun jago silat yang berkunjung ke Pek-po tidak menjadi berkurang,
sebaliknya bertam
Hati Budha Tangan Berbisa 8 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Seruling Samber Nyawa 8
^