Pencarian

Pendekar Laknat 1

Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Bagian 1


" Pendekar Laknat
Judul Lama : Pendekar 3 Jaman
Saduran : SD Liong
Jilid 1 Pusar bumi. MENGAPA" MENGAPA" MENGAPA"
Demikian pertanyaan yang selalu menghuni dalam benak
Siau-liong, jejaka berumur 16 tahun yang sedang belajar pada
Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsin To.
Mengapa gurunya melarang ia untuk menuntut balas atas
kematian ayahnya...."
Kata gurunya, larangan itu adalah pesan terakhir dari
ayahnya, pada saat hendak menghembuskan napas terakhir.
Mengapa mendiang ayahnya berpesan begitu"
Dan mengapa pula gurunya melarang ia berkeliaran ke
balik gunung" Sudah 10 tahun lamanya, pertanyaan itu
mencengkam pikirannya, tanpa penyelesaian.
2 Saat itu gurunya sedang pergi memetik daun obat kelain
tempat. Sebelumnya, Siau-liong telah dipesan supaya jangan
berkeliaran ke balik gunung dan supaya tiap hari giat berlatih
silat saja. Entah bagaimana saat itu, timbullah keinginan Siau-liong
untuk mengetahui apakah dibalik rahasia dari larangan
gurunya itu. Tentang kematian ayahnya, menurut keterangan gurunya,
telah dibunuh oleh To Hun-ki, ketua partai Kong tong-pay.
Tong Gun-liong, demikian nama ayah Siau-liong, adalah murid
kesayangan To Hun-ki.
Demikian keterangan sekedar yang diberikan gurunya Siauliong,
mengenai kematian ayahnya. Tetapi mengapa ayah
Siau-liong sampai dibunuh oleh gurunya sendiri, Kongsun Sinto
tak tahu. Diam-diam Siau-liong, berjanji dalam hati, kelak akan
menyelidiki rahasia pembunuhan ayahnya itu sampai jelas.
Rupanya memang sudah menjadi sifat manusia. Makin
dilarang makin ingin tahu. Dan pada usia menjenjang dewasa
itu, darah Siau-liong memang panas-panasnya. Serentak ia
memutuskan untuk meninjau tempat dibalik gunung itu.
Ternyata jalan di bagian belakang gunung yang didiami itu,
merupakan sebuah jalan buntu. Terputus oleh sebuah jurang
yang curam. Setelah puas meninjau keadaan sekeliling tempat itu,
karena hari sudah sore, iapun pulang. Pada keesokan harinya,
barulah ia datang lagi dan mulai melakukan penyelidikan.
Disitu terdapat sebuah mulut gua. Bentuknya macam kerucut,
atas sempit bawah lebar. Ketika mengamati, ia terkejut.
3 Di atas mulut gua terdapat tiga buah ukiran huruf:
"Lembah penasaran"
Kini Siau-liong menyadari apa sebab gurunya melarangnya
kesitu. Tetapi Siau-liong makin tertarik. Adakah gua itu dihuni
orang" Ia hendak memasuki gua itu. Tiba diambang mulut gua,
sehembus angin dingin meniup sehingga ia menggigil.
Teringat akan pesan gurunya, ia bergegas hendak keluar.
Tetapi ia tertegun ketika melihat kedua sisi pintu gua terdapat
beberapa ukiran huruf, berbunyi:
"Laut dendam, sukar ditimbuni. Siapa masuk tentu mati".
Sesaat ia gemetar tetapi pada lain saat bangkitlah
kepanasan hatinya. Sombong dan kejam benar orang itu.
Demikian anggapannya.
Sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh gelak tawa yang
menggeledek. Serentak angin kuat menabur Siau-liong
sehingga anak itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.
Buru-buru ia berusaha untuk menenangkan darahnya yang
mendebur keras.
Setelah tenang ia memandang kemuka. Ah, ternyata gua
itu mempunyai penghuni. Setombak di atas mulut gua,
terdapat sebuah lubang besar. Ditengah lubang duduk
seorang tua aneh tengah tertawa.
Tangannya mencekal sekerat daging yang masih berlumur
darah. Tampak ia menikmati daging itu dengan lahapnya....
4 Orang aneh itu berbangkit dan menghampiri kepintu gua.
Siau-liong makin menggigil.
Perwujutan orang itu amat menyeramkan sekali. Manusia
tetapi menyerupai iblis. Iblis tetapi ternyata manusia. Mungkin
di dunia tiada manusia yang lebih seram dari dia. Dan
Walaupun berdiri, tetapi orang aneh itu hanya setinggi orang
biasa sedang duduk. Pahanya pendek sekali tetapi telapak
kakinya amat lebar. sepasang tangannya menjulur ke bawah
sampai hampir mencapai lutut.
Dadanya bidang, leher pendek dan kepala besar. Sepasang
matanya berkilat-kilat tajam hampir tertutup oleh rambutnya
yang kusut masai.
"Uh, sial, lebih baik pulang saja," gerutu Siau-liong seraya
hendak ayunkan langkah.
Tiba-tiba orang aneh itu menampar dan setiup angin keras
melanda Siau-liong sehingga ia terdampar ke belakang lagi.
Punggungnya terasa sakit. Sebelum ia sempat berdiri tegak,
orang aneh itu sudah melayang kehadapannya.
"Ha. ha. ha' Seorang penghuni baru lagi! Sekali Raja
Akhirat datang, jangan harap dapat minta tempo. Budak,
lihatlah tanganku!"
Orang aneh itu julurkan sepasang tangannya. Bermula
warnanya putih tetapi segera berobah merah lalu
didorongkan. Setiup angin berbau anyir, menghambur ke arah
Siau-liong. Siau-liong menghindar ke samping. Dess.... tiba-tiba batu
yang berada di belakang, mendesus seperti hangus terbakar
api dan pecah berantakan.
5 "Heh, heh...." orang aneh itu tertawa mengekeh. Lalu
lepaskan empat buah pukulan lagi.
Siau-liong terpaksa mundur dan tanpa disadari ia telah
masuk ke dalam lingkungan batu-batu yang berserakan.
Dar, dar, dar, delapan buah pukulan dilepaskan orang aneh
itu lagi. Untunglah Siau-liong dapat menghindari. Tetapi batubatu
yang tak menentu bentuknya itu pecah berhamburan ke
segenap penjuru!
Jelas orang aneh itu memang tak bermaksud
menghancurkan Siau-liong. Setiap kali tentu memberi
kesempatan supaya anak itu dapat menghindar. Siau-liong
menyadari juga hal itu. Tetapi lama kelamaan, marah ia.
Diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam, siap mengadu
kekerasan. Rupanya orang aneh itu mengetahui maksud Siau-liong.
Diluar dugaan, ia berhenti memukul dan tertawa
memanjang.... Siau-liong makin marah. Tetapi ketika memandang ke
muka, ia terkejut, "Celaka, mati aku sekarang!"
Ternyata dalam pandangannya, orang aneh itu telah pecah
menjadi empat orang yang berdiri diempat penjuru.
Tangannya yang merah, mengacung ke atas dalam sikap
hendak memukul.
Tetapi anak itu sudah bertekad mengadu jiwa.
Dihantamnya orang aneh itu. Hai.... ia ter-longong2.
Hampir ia tak percaya apa yang dilihatnya. Hantamannya
itu mengenai segunduk batu besar dan batu itu pecah
berantakan. Dan orang aneh itupun lenyap.
6 Sebelum tahu apa yang terjadi, tahu-tahu bahunya sebelah
kanan terasa panas sekali. Cepat ia mengendap lalu berputar
mundur ke belakang. Ah. kiranya orang aneh itu sudah berada
di belakang! "Budak, engkau adalah calon setan. Kematianmu sudah
hampir tiba. Tetapi rupanya engkau masih penasaran kalau
belum mengadu pukulan!" seru orang aneh itu tertawa
menyeringai. Lalu pe-lahan2 ulurkan tangan kiri. Telapak
tangannya yang berwarna hitam, menimbulkan rasa ngeri.
Siau-liong menggigil. Tetapi Kenekatannya pun bangkit.
Dess.... ia menghantam. Tetapi pukulannya itu seperti jatuh
ke dalam laut. Hilang lenyap dayanya.
Siau-liong terkejut. Tiba-tiba setiup angin keras melanda
dirinya. Angin itu ternyata berasal-asal dari refleksi pukulannya
tadi. Uh, uh, uh.... mulutnya mendesus ketika tubuhnya,
terpental beberapa langkah ke belakang. "Bluk", ia jatuh
terduduk dan muntah darah.
Orang aneh itu tertawa mengukuk, "Budak, mengapa
engkau tak berguna sekali" Hayo, bangunlah!"
Siau-liong membulatkan tekad. Kalau mati, ia harus mati
secara kesatria. "Wut", sekali tangannya menekan tanah, ia
melenting ke udara. Hai.... ia merasa tentu menderita luka
tetapi mengapa sedikitpun tak merasa sakit"
Orang aneh itu maju menghampiri dan Siau-liong terpaksa
mundur. Tetapi saat itu ia sudah terdesak sampai di tepi
telaga yang terbentang di belakang lembah itu.
"LAUT PENASARAN"
7 Demikian bunyi tiga huruf yang terbentang di tepi telaga
itu. Siau-liong terbeliak kaget. Teringat ia akan kata-kata
orang aneh itu, "Laut Penasaran, sukar ditimbuni...."
"Adakah dia hendak lemparkan aku ke dalam telaga ini?"
pikirnya. Orang aneh itu tertawa mengekeh, "Hai, budak, engkau
ingin mati atau tidak?"
Menyadari bahwa dirinya takkan terluput dari kematian,
semangat Siau-liong malah menyala. Dia tak takut mati.
Dengan berani ia menatap orang aneh itu, serunya, "Setan
tua, engkau ingin mati atau tidak?"
Jawaban Siau-liong itu membuat si orang aneh tertawa
gelak-gelak, " Bagus, bagus, tepat sekali jawabanmu itu!"
Siau-liong terkesiap.
"Budak, engkau berbakat hebat sekali. Jika tidak. engkau
tentu sudah mampus termakan pukulanku tadi...." seru orang
aneh pula, "pukulanku Bu-kek-sin-kang tadi, mengandung
tenaga keras campur lunak. Jika engkau bukan seorang
perjaka tulen, jangan harap engkau mampu menerimanya!"
"Aku benci semua manusia di dunia!" seru orang itu lagi,
"tetapi hari ini aku benar-benar bingung. Betapapun halnya
engkau tak boleh merusak peraturan lembah ini. Ya, engkau
harus mati satu kali!"
Melihat sinar mata orang aneh itu agak ramah, nyali Siauliong
makin bertambah. Serunya, "Setan tua, aku benci
kepada orang yang telah membunuh ayahku! Katakanlah,
bukankah engkau juga harus ku benci "
8 "Jangan bermulut tajam!" hardik orang aneh itu, "kusuka
akan perangaimu yang baik. Engkau dengar tidak" Aku hanya
menyuruhmu mati satu kali saja!"
"Setan tua, masakan aku dapat mati beberapa kali?" teriak
Siau-liong. "Bagus! Engkau memanggil aku setan tua dan kupanggilmu
budak kecil. Kita sama-sama tidak merugikan," kata orang
aneh itu, "budak kecil, sudah tentu orang hanya mati satu kali
saja." "Sekali mati, habislah riwayatnya!" seru Siau-liong.
"Belum tentu," sahut si orang aneh, "mungkin masih
mempunyai kesempatan hidup lagi!"
"Aku tak mengerti ucapanmu." Siau-liong kurang senang.
Sejenak orang aneh itu merenung, lalu berkata, "Pertama,
engkau harus terjun ke dalam Laut Penasaran itu. Bukan
untuk menimbuni karena kupercaya engkau dapat muncul
kembali. Kedua, akan kuberimu ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang.
Dan ketiga, engkau tak boleh menanyakan diriku siapa. Dan
jangan menceritakan diriku kepada siapapun juga, bahkan
kepada gurumu!"
"Locianpwe," karena melihat orangtua aneh itu ternyata
tidak buas, maka Siau-liongpun berganti dengan menyebut locianpwe,
"yang pertama aku dapat menerima. Tetapi yang
kedua, aku tak sanggup!"
Orang aneh itu kerutkan kening lalu tertawa lebar, "Hm,
sekarang engkau berganti nada. Memang tak salah
penilaianku bahwa engkau ini seorang anak muda yang
berguna. Kusenang akan kejujuranmu. Kutahu si tua Kongsun
9 itu gurumu. Maka engkau segan berguru pada lain orang.
Jangan kuatir, akupun tak ingin mengambil murid engkau.
Melainkan hendak memberimu sebuah ilmu pukulan sakti!"
"Tetapi itu berarti suatu ikatan guru dan murid. Ah, tak
mau!" Siau-liong menolak.
"Bagus, aku suka akan kekerasan kepalamu!" seru si orang
aneh, "aku sendiri seorang yang keras kepala. Sekarang
bertemu dengan seorang budak yang keras kepala. Apakah ini
bukan jodoh namanya."
Orang aneh itu sebenarnya seorang momok durjana yang
terkenal. Ia membunuh jiwa manusia seperti memitas
nyamuk-nyamuk saja. Tetapi anehnya, berhadapan dengan
seorang anak yang berani, cerdik dan berbakat bagus,
seketika timbullah rasa suka.
"Baiklah," katanya, "kita tinggalkan dulu syarat kedua itu.
Sekarang kita laksanakan syarat yang pertama!"
Entah bagaimana, Siau-liong berganti kesan kepada orang
aneh itu. Segera ia hendak membuka baju.
Tetapi orang aneh itu cepat mencegahnya, "Tunggu dulu
Akan kusaluri tenaga dalam dulu kepadamu. Jika tidak, jangan
harap engkau dapat muncul ke daratan lagi!"
"Tidak." Siau-liong menolak, "beritahukan saja apa yang
harus kulakukan dalam telaga itu. Segera aku hendak
mencebur kesana."
"Budak, engkau ingin mati tidak?" tegur orang aneh itu
dengan mata memberingas.
10 "Setan tua, engkau benar-benar menusuk perasaanku.
Lebih baik aku mati dari pada dihina."
"Jangan tergesa-gesa," kata orang aneh itu, "Laut itu
merupakan mulut sebuah gunung berapi yang sudah padam.


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lahar yang membeku selama ratusan tahun, telah
memancarkan sumber air yang luar biasa dinginnya. Orang
pasti kaku seketika apabila menyilam disitu."
"Aku?"
"Banyak perjaka tetapi jarang yang tubuhnya mengandung
hawa Tun-yang seperti engkau. Bagimu, tidaklah sukar untuk
menghadapi tempat semacam itu. Tetapi dengan kepandaian
yang engkau miliki sekarang ini, jangan harap engkau mampu
ke dasar bumi untuk mengambil pusaka yang tak ada
tandingannya di dunia persilatan!"
"Pusaka?"
"Berpuluh tahun aku bersembunyi disini, hanyalah karena
hendak menunggu pusaka itu. Sejenis binatang bersisik, mirip
dengan Kilin (warak) dan naga. Aku sendiri belum jelas.
Binatang itu telah menerima sari sinar matahari dan rembulan,
ditambah pula dengan menghisap hawa Im dan Yang dalam
kerak bumi. Apabila muncul, binatang itu memancarkan sinar
pelangi yang menyilaukan, Tetapi dia gesit sekali hingga aku
selalu gagal menangkapnya!"
"Benarkah?" Siau-liong menegas.
"Benar! Apa engkau pernah melihat juga?"
"Sepuluh hari yang lalu, kulihatnya sinar kemilau itu
memancar dari kawah gunung!"
11 Orang aneh itu menghela napas, "Ah, saat itu dia terlalu
cepat sekali. Begitu muncul terus lenyap lagi. Ah, jika aku
berhasil memperoleh mustika dalam mulutnya, di dunia tentu
tiada yang dapat menandingi aku lagi. Akan kutumpas semua
manusia yang kubenci!"
"Ah, lebih baik kalau engkau jangan menemukannya!"
"Mengapa?" orang aneh itu heran.
"Aku tak mau mencarinya " sahut Siau-liong.
"Heh, engkau lupa?" orang aneh itu menggeram buas.
"Lupa apa?"
"Siapa masuk lembah ini harus mati!"
Siau-liong tertawa, "Sama sekali tidak lupa. Tetapi lebih
baik aku yang mati seorang daripada menelan banyak
korban." "Engkau seorang budak kecil tetapi nyalimu besar sekali.
Baiklah. aku mengalah. Turunlah ke dalam laut itu. Berhasil
mendapatkan mustika itu atau tidak, aku takkan menyesalimu.
Nah, bagaimana?"
Siau-liong setuju. Orang aneh itu segera menyuruhnya
duduk bersila Kemudian ia lekatkan tangannya kepunggung
Siau-liong. Seketika itu Siau-liong rasakan sekujur tubuhnya
dijalari hawa hangat.
Makin lama makin panas sampai mandi keringat.
Tiba-tiba orang aneh itu menyepak pinggangnya. Huak....
Siau-liong muntah darah dan pingsan.
12 Orang aneh itu cepat mengurut dan menyalurkan hawa
murni ke tubuh Siau-liong. Lebih kurang sejam lamanya, baru
ia berhenti. Tubuhnya mandi keringat, napas terengah-engah.
Duduklah ia bersemedhi.
Ketika sadar, Siau-liong terkejut melihat keadaan orang
aneh itu. Tak lama kemudian orang aneh itupan membuka
mata. Ia tampak lelah.
"Seumur hidup, baru kali ini aku melakukan kebaikan. Sejak
saat ini, matipun aku takkan penasaran," ujar orang itu
pelahan. "Cianpwe, engkau mengapa?" Siau-liong heran.
"Sekarang pergilah engkau mengambil mustika itu.
Walaupun berhasil mendapatkan, tetapi akupun bukan tokoh
yang tiada tandingannya di dunia "
Mendadak timbul rasa iba dihati Siau-liong. Serunya rawan,
"Cianpwe, apakah maksud ucapanmu itu?"
"Tadi telah kusalurkan hawa-sakti ke dalam tubuh sehingga
jalan-darah Tok-djinmu terbuka. Tak kepalang tanggung,
kuberimu ilmu sakti Bu-kek-sin-kang juga."
Siau-liong terbeliak kaget. Sesaat ia termenung-menung.
Baru saat itu ia menemukan peribadi yang sesungguhnya dari
orang aneh itu. Ternyata baik dan luhur budi. Serta-merta ia
berlutut memberi hormat, "Suhu, Siau-liong akan mencari
mustika itu."
Orang aneh itu mengangguk puas.
13 Siau-liong segera loncat ke dalam Laut Penasaran, "blung"
ia menggigil. Andaikata ia belum mendapat saluran tenagasakti
orang aneh itu, pasti ia akan mati kedinginan. Air dalam
telaga yang dinamakan Laut Penasaran itu, memang luar
biasa dinginnya.
Pertama-tama matanya tertumbuk akan suatu
pemandangan yang ngeri. Berpuluh tengkorak manusia
berserakan di dalam telaga.... Adakah mereka mati sendiri
atau dilempar kesitu oleh si orang aneh"
Telaga itu hanya dua tiga puluh tombak lebarnya. Tetapi
amat dalam sekali. Makin ke bawah, makin sempit, Kira-kira
100 tombak dalamnya, terdapat sebuah gua. Aneh! Gua itu
kering tiada airnya sama sekali....
Siau-liong menghampiri gua itu. Hawanya dingin sekali dan
terdapat penerangannya pula. Beberapa tumbuh-tumbuhan
terdapat hidup digua itu. Menilik susunannya. tentulah
ditanam orang. Jenis tanaman yang tumbuh disitu, jarang
terdapat di dunia. Daunnya ada yang biru ke-hijau2an seperti
batu kumala. Batangnya seperti jenggot naga dan bentuk
daunnya menyerupai ekor burung cenderawasih. Bunganya
seperti butir2 mutiara....
Tampak sebuah cekung berisi air jernih. Penuh dengan
benda-benda warna merah zamrud yang tak henti-hentinya
lalu lalang kian kemari.
Siau-liong teruskan langkah kemuka. Tak berapa jauh, ia
tiba disebuah gua lagi. ia makin terkejut. Dalam gua itu penuh
dengan lentera yang ber-gerak2 naik turun, mendekat dan
menjauh. Siau-liong menyambar lentera yang kebetulan menghampiri
ke arahnya. Tetapi selalu luput.
14 Lentera-lentera itu bagaikan jinak-jinak merpati. Dihampiri,
menjauh. Dijauhi, mendekat....
Gua makin menanjak ke atas. Setelah berjalan agak lama,
ia memperhitungkan, tentu sudah berada diluar Lembah
Penasaran. Tiba-tiba suasana terang benderang. Ia tiba di sebuah
ruangan yang terang. Begitu masuk ia terbeliak kaget. Di atas
sebuah ranjang batu duduk bersemedhi sesosok tengkorak.
Lehernya terlingkar seutas rantai perak dengan sebuah tongpay
(lencana) berukir tengkorak bersemedhi.
Pada dinding di belakang tengkorak itu terdapat empat
buah huruf: Ilmu pukulan Thay-siang-ciang.
Dibawahnya tertera lima buah gurat2 lukisan. Kemudian
ditengah ruangan, tampak sebuah tambur batu yang besar.
Permukaan tambur batu penuh dengan guratan huruf yang
bersembunyi: "Barang siapa masuk kemari, tanda berjodoh. Selain tongpay
dan ilmu pukulan Thay-siang ciang, pun di atas
permukaan batu ini tumbuh sebiji buah Im-yang-som. Dapat
menambah panjang umur dan tenaga-sakti. Buah itu tak boleh
dibiarkan sampai masak. Harus cepat dimakan. Dan hanya
diperuntukkan orang yang benar-benar berjodoh".
Terlintas dalam benak Siau-liong. Andaikata tak berhasil
memperoleh mustika. asal mendapat buah ajaib itu, iapun
dapat menolong memulihkan tenaga si orang aneh....
15 Tambur batu tak kurang dari seribu kati beratnya. Dengan
kerahkan tenaga, ia mendorong. Terdengar bunyi gemuruh
menggetarkan bumi dan tiba-tiba pintu gua itu tertutup rapat.
Ternyata tambur batu itu merupakan alat penutup dan
pembuka pintu gua.
Dibawah tambur terdapat pula beberapa tulisan:
"Pintu gua telah tertutup. Tetapi jangan takut. Gua ini
penuh persedian makanan. Yakinkanlah ilmu pukulan Thaysiang-
ciang sampai sempurna, tentu dapat membuka lantai
batu ini dan dapatkan buah Im-yang-som. Setelah makan,
tenagamu tentu bertambah sakti. Hancurkan pintu gua dan
engkau pasti akan menjagoi dunia"
Siau-liong gelisah sekali. Sampai beberapa lamakah ia
harus tinggal dalam gua situ" Tetapi apa daya. Satu-satunya
jalan, ia harus menurut apa yang tertera dalam tulisan itu.
360 hari lamanya, Siau-liong tinggal dalam gua. Tak
disangkanya bahwa walaupun hanya terdiri dari lima jurus,
tetapi ternyata ilmu pukulan Thay-siang-ciang itu memerlukan
waktu setahun untuk meyakinkan. Untung sebelumnya ia
sudah mendapat saluran tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dari
orang aneh itu. Kalau tidak, entah berapa tahun lagi ia baru
berhasil mempelajarinya.
Kini ia meningkat 16 tahun umurnya. Bertubuh tinggi besar,
sehat dan kuat. Pada hari terakhir setelah mengerahkan
tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, ia melenting dan lontarkan
pukulan Thay-lo-kim-kong. "Pyur", amblonglah lantai batu
yang menutupi buah ajaib itu.
Lubang dibawah lantai hanya beberapa meter dalamnya.
Tampak sebuah benda menyerupai pohon Sian-jin-ciang atau
Telapak Dewa. Daunnya hanya dua helai, berwarna biru
16 kehijau-hijauan. Pada batang pohon terdapat dua biji buah
sebesar telur burung. Satu merah, satu putih. Buah itu
memancarkan sinar gemilang dan bau yang harum sekali.
Buah yang merah mengandung tenaga Yang dan buah
yang putih tenaga Im. Hanya ditempat yang disaluri air pusar
bumi, barulah buah itu dapat tumbuh.
Segera dipetiknya terus dimakan. Seketika ia rasakan
tubuhnya hangat dan semangat segar. Kemudian ia duduk
bersemedhi menyalurkan darah.
Beberapa waktu kemudian, ia loncat bangun dan
menghantam pintu gua. Dar.... pintu jebol dan terbukalah
sebuah lubang. Girangnya bukan kepalang.
"Suhu!" serta-merta ia berlutut memberi hormat kepada
tengkorak yang duduk di ranjang batu itu.
Setelah itu baru ia menerobos keluar. Ia terkejut ketika
melihat seekor makhluk yang berkemilau dan menyiarkan bau
luar biasa wanginya.
Cepat ia memburu keluar. Seekor binatang yang agak lebih
kecil dari kuda, bersisik dan bertanduk satu, menyerupai
binatang Kilin, tengah muncul dan menyadap bulir-bulir
mutiara dalam air. "Wut".
Siau-liong cepat ayunkan tubuh kepunggung. Tetapi
binatang itupun luar biasa gesitnya. Secepat kilat binatang
itupun menyusup ke dalam pusar bumi....
Siau-liong terus mengejar sampai disebuah tempat yang
dindingnya gilang gemilang. Tetapi hampir setengah hari ia
ber-putar2 menjelajahi sekeliling tempat itu, tetap tak dapat
menemukan binatang aneh tadi.
17 Ia memutuskan harus dapat memperoleh binatang itu.
Kalau gagal, orang aneh yang telah melepas budi kepadanya
itu tentu tetap sengsara. Mati atau hidup, binatang itu harus
dapat ditangkapnya.
Dengan kerahkan tenaga ia mulai menghantam. Dinding
yang mengkilap macam es hancur berantakan, tetapi sebelum
ia memukul lagi, tiba-tiba binatang aneh itu muncul terus
menyerbunya. Siau-liong cepat menghindar seraya
menyambar tanduk binatang itu. Binatang itu berontak sekuatkuatnya.
Kedua kakinya melentik-lentik tubuh orang.
Terpaksa Siau-liong lepaskan tanduk dan berputar
menyambar ekor binatang itu. Tetapi sekali kibas, ekor itu
menghilang dan tahu2 binatang itu menyepakkan kaki ke
belakang kepunggung lawan.
Pertempuran seorang manusia dengan seekor binatang
aneh dalam kerak bumi, telah berlangsung seru sekali.
Binatang itu memiliki tanduk dan gigi yang runcing. Begitu
pula kaki dan ekornya. Merupakan senjata yang berbahaya.
Sekali kena, orang tentu hancur tubuhnya.
Tiba-tiba Siau-liong mendapat akal. Cara bertempur
semacam itu, tak mungkin ia dapat menundukkan lawan. Ia
berganti siasat.
Tiba-tiba ia menyelundup ke bawah perut binatang lalu
menjepit perut binatang itu dengan kedua kakinya. Binatang
itu terkejut dan meronta melepaskan diri. Tetapi tak mampu.
Akhirnya binatang itu gulinglan diri ke tanah.
Tetapi Siau-liong tak mau kalah pintar. Dengan gunakan
jurus Ikan-melenting-ke udara, ia melambung ke udara terus
hendak menginjak binatang itu. Tetapi ternyata binatang itu
18 luar biasa gesit dan cekatannya. Sesaat kemudian Siau-liong
lepaskan cekalannya, secepat itu pula ia menggeliat bangun
dan menyusup ke dalam ruang es....
Siau-liong mengejarnya. Lorong makin lama makin sulit
dilalui. Naik turun, berkeluk-keluk. Dan ketika ia hampir
berhasil menyusul, tiba-tiba binatang itu kibaskan ekor
menyabat dinding ruang.
"Pyur....!" dinding hancur dan Siau-liong terpaksa hentikan
larinya. Tiba-tiba binatang itu mengangakan mulut Sebutir benda
merah meluncur keluar. Warnanya gilang gemilang indah
sekali! Itulah mustika yang dikatakan si orang aneh tempo hari.
Siau-liong putar otak untuk merancang siasat. Tiba-tiba
serangkum angin panas dan mustika itu melayang ke arahnya.
Siau-liong menyongsong dengan jurus Thay-lo-kim-kang.
Hendak disambarnya mustika itu tetapi ternyata benda itu
seolah-olah mempunyai mata. Hantaman Siau-liong bahkan
menambah kedahsyatan mustika itu yang melaju pesat sekali
ke arah Siau-liong.
Siau-liong cepat mengganti dengan jadi pukulan. Setelah
mustika itu agak pelahan, ia loncat kesamping. "Bum...."
sebuah tiang ruangan hancur terkena pukuluan Siau-liong.
Langit ruangan berhamburan gugur dan binatang aneh itupun
loncat ke belakang.
Dan ketika Siau-liong menukik turun, mustika


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambarnya lagi. Siau-liong menggeram dan
menamparnya. "Bum", mustika mengendap ke bawah
menghantam lantai. Lantai hancur berlubang dan mustika itu
19 membal ke atas dan melanda Siau-liong yang saat itu masih
berada di udara. Sudah tentu Siau-liong sukar menghindar.
Cepat ia menghantam dengan jurus ilmu pukulan Thay-siangciang.
Mustika itu jatuh membentur lantai lagi dan membal ke
atas lagi. Celaka sekali binatang aneh itu. Karena mustika beberapa
kali kena hantaman Siau-liong, binatang itupun meringkikringkik
kesakitan. Cepat ia menyedot kembali mustikanya dan
menyelinap keluar.
Terjadi kejar mengejar yang tegang. Tetapi akhirnya Siauliong
ketinggalan berpuluh tombak dibelakang. Binatang aneh
itu lari ke Laut Penasaran.
"Blung...." baru Siau-liong muncul dipermukaan telaga,
sesosok tubuh meluncur jatuh ke dalam telaga.
Siau-liong terkejut karena air berobah merah warnanya. Ah,
tentu seorang persilatan dijadikan korban penimbunan Laut
Penasaran' Tetapi Siau-liong tak dapat menghiraukan nasib orang itu
karena dari arah Lembah Penasaran terdengar jeritan seram.
Rupanya di Lembah Penasaran terdjadi pertempuran dahsyat.
"Blung"........ lagi sesosok tubuh terlempar jatuh ke dalam
laut. Mayatnya meluncur ke dasar air.
Setelah pandang matanya biasa mengadapi cahaya
matahari, barulah Siau-liong dapat melihat jelas.
Dalam lembah tampak tiga empat puluh jago2 silat tengah
mengepung binatang itu. Diantaranya terdapat paderi, imam
dan jago-jago silat. Mereka tengah bersiap menunggu
20 kesempatan untuk menyergap binatang aneh itu, Dua orang
yang tak dapat mengendalikan nafsu, segera loncat
menerjang. Tetapi binatang aneh itu segera merangsangnya
sehingga mereka terlempar ke dalam Laut Penasaran.
Binatang itu segera meliar di dalam lembah. Puluhan jago
silat itu tengah mengepung dengan senjata masing-masing.
Seluruh perhatian mereka tercurah pada binatang aneh itu
sehingga tak mengetahui kehadiran Siau-liong.
Tiba-tiba binatang itu lari ke dinding karang gunung.
Beberapa jago silat segera gunakan ilmu Cicak merayap atau
Pik-hou-kang. Punggung dilekatkan pada dinding karang lalu
meluncur ke atas dan taburkan senjata rahasia kemata
binatang aneh itu.
Tetapi binatang itu tak mengacuhkan. Semua senjata
rahasia, terpental dan jatuh ke dalam air. Dua orang yang
hebat ilmu meringankan tubuh atau ginkang, mereka
melambung ke udara dan coba membacok ekor binatang itu
Tetapi binatang itu teramat gesit. Sekali menggeliat ia dapat
lolos dari kepungan. Kedua jago silat yang loncat ke udara
untuk membacok ekor binatang itu. Tetapi luput....
Terpaksa mereka meluncur turun ke bumi lagi. Begitu tiba
di tanah, binatang aneh itu sudah menanduknya. "
"Blung...." salah seorang terpelanting jatuh ke dalam telaga
Penasaran lagi. Rupanya binatang itu masih belum puas. Ia
menyerang lagi pada seorang lain. Siau-liong cepat loncat dari
permukaan air seraya menghantam. Karena pernah
dikalahkan, rupanya binatang itu jeri. Ia hendak melarikan diri
tetapi kalah cepat dengan Siau-liong yang sudah loncat di
punggungnya dan memeluknya erat-erat.
21 Gemparlah tokoh2 yang berada dalam lembah situ. Mereka
mengira kalau siluman air, tetapi ternyata hanya seorang
pemuda. Mereka datang ke Lembah Penasaran, bukan
berombongan, melainkan perseorangan dan tak kenal satu
sama lain. Mereka datang untuk memburu binatang aneh yang
memiliki mustika.
Melihat Siau-liong menguasai binatang itu, timbullah
kekuatiran mereka. Pemuda itu harus dihancurkan!
Delapan jago silat segera menyerbu Siau-liong dengan
senjata dan pukulan. Karena sedang memeluk binatang itu,
terpaksa Siau-liong harus menderita luka2 berdarah akibat
serangan itu. Anehnya, binatang itu mempunyai perasaan
kasihan terhadap Siau-liong. Tak mau ia meronta.
Siau-liong mengira kedelapan penyerangnya itu tentu salah
turun tangan. Yang di arah si binatang tetapi mengenai
dirinya. Maka ia memberi isyarat agar mereka berhati-hati
jangan sampai menyerang dirinya lagi.
Sudah tentu mereka tak mau menghiraukan. Bagaikan
delapan ekor harimau, mereka menyerang Siau-liong.
"Wut...." tiba-tiba binatang aneh itu sapukan ekornya
sehingga beberapa penyerang itu loncat mundur.
Masih ada beberapa orang yang berhasil menyusup, dapat
memberi beberapa tusukan kepada Siau-liong.
Darah makin deras, sakitnya bukan kepalang.
Namun ia seorang anak yang keras hati. Bukan melepaskan
sebaliknya ia malah memeluk tubuh binatang itu makin
22 kencang. Mulutnya menggigit tanduk. Rupanya binatang itu
marah. Ia hendak membela Siau-liong. Dengan beringas,
diterjangnya kawanan penyerangnya itu.
Siau-liong marah juga. Ia kerahkan tenaga-sakti Bu-keksin-
kang. Begitu mengangkat tangan telapaknya yang
berwarna merah. Seketika menjeritlah sekalian jago2 itu, "Bukek-
sin-kang! Bu-kek-sin-kang...."
Siau-liong terkejut sendiri. Ia tak menduga kalau
pukulannya begitu dahsyat. Sembilan sosok tubuh kecemplung
ke dalam telaga!
Siau-liong kesima. Bukankah ketika bertempur dengan
binatang aneh tadi, ia belum memiliki pukulan sedahsyat itu"
Memang hal itu terjadi diluar pengetahuannya. Ketika
menghadapi serbuan jago-jago silat tadi, ia terpaksa
menelungkup memeluk binatang itu erat-erat. Untuk menjaga
keseimbangan tubuh, mulutnya menggigit tanduk binatang itu.
Tanpa disadari, ia telah menghisap darah kepala binatang itu.
Darah itu disebut Ceng-hiat. Merupakan obat luar biasa
yang terdapat di dunia. Khasiatnya dapat menambah tenagadalam.
Setelah sekalian penyerangnya lari, Siau-liong teringat
sesuatu. Cepat2 ia meluncur turun dari punggung binatang
itu. Binatang aneh itupun segera meluncur ke dalam Laut
Penasaran lagi.
Kiranya Siau-liong teringat akan Koay suhu atau orang
aneh yang secara tak resmi telah menjadi gurunya. Ia
bergegas lari ke gua tempat kediaman orang aneh itu.
23 Tetapi ketika melintasi gunduk2 batu yang bertebaran di
halaman gua, ia terkejut menyaksikan pemandangan yang
mengerikan. Batu-batu berlumuran darah, disana-sini
bertebaran kerat2 kecil daging manusia dan sesosok tubuh
membujur di atas tanah....
"Suhu!" Siau-liong menjerit serentak. Ia bersimpuh
dihadapan mayat itu yang ternyata memang si orang aneh
yang disebut Siau-liong sebagai Koay suhu.
Siau-liong menangis tersedu-sedu. Hatinya pilu sekali. Jika
Koay suhu tak menyalurkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang
kepadanya, dia tentu tak sampai kehabisan tenaga dan musuh
tentu tak mungkin dapat membunuhnya. Dengan demikian
walaupun dia yang bukan turun tangan membunuh tetapi
secara tak langsung, dialah yang menyebabkan kematian
orang aneh itu.
Puas menangis, Siau-liong memeriksa keadaan mayat Koay
suhu. Pada bagian dadanya hancur, berlubang besar sampai
kepunggung. Hanya pukulan sakti atau cengkeraman maut Ngo-ci-tongjoang
yang mampu meninggalkan luka semacam itu!
"Hm, sudah mengasingkan diri dalam gua yang terpencil
seperti ini, ternyata orang masih mengejar dan membunuhnya
secara ganas. Sungguh tak dapat dimaafkan perbuatan itu,
Siau-liong menggeram. Dan rasa sesalnya karena membunuh
beberapa orang tadi lenyap seketika.
Ia mengubur jenazah Koay suhu baik2. Setelah memberi
hormat terakhir dihadapan kuburan Koay suhu, ia ayunkan
langkah dengan tekad yang bulat. Ia pasti akan menuntut
balas atas kematian Koay suhu.
24 Lebih dulu ia menuju kegua kediaman Koay suhu untuk
mengemasi barang2 peninggalan suhu itu.
Di atas tempat tidur batu, terdapat dua buah topeng
terbuat daripada kulit manusia. Ketika hendak mengambilnya,
tiba-tiba ia melihat pada kedua samping dinding, terdapat
beberapa guratan huruf yang berbunyi, "Anak! Seumur hidup
baru satu kali ini aku melakukan kebaikan menurunkan tenaga
sakti Bu-kek-sin-kang kepadamu. Tetapipun juga
mencelakakan dirimu. Karena engkau tentu takkan kembali
lagi. Adakah memang Tuhan tak mengijinkan aku berbuat
kebaikan...." Nak, kulihat wajahmu bukan orang yang
bernasib malang. Tetapi, ah, hampir setahun kuhanya
kutunggu, mayatmu tak terapung dipermukaan air. Tetapi
kutetap percaya engkau takkan mati. Dalam beberapa hari ini
sudah mondar-mandir disekeliling tempat ini. Maut rupanya
sudah menjenguk di guaku...."
Kemudian Siau-liong membaca tulisan didinding sebelah
kiri, "Nak, aku mempunyai firasat bahwa kematianku sudah
datang. Jika aku mati, engkau harus melakukan tiga buah
pesanku ini: Pertama: jangan mengatakan tentang diriku kepada
siapapun juga. Dan engkau pun telah menyanggupi.
Kedua: Bunuhlah semua orang yang kubenci dan engkau
benci! Ketiga: Besok tahun muka pada malam Tiong-Chiu,
pergilah ke-gunung Bu-san, mewakili aku dalam pertempuran.
Si tua Kongsun beberapa kali tampak dipuncak gunung,
rupanya dia mencarimu...."
Sampai disitu, tulisan tak lanjut. Rupanya musuh sudah
datang dan orang aneh itu terpaksa harus hentikan tulisannya.
Berderai-derai air mata Siau-liong membanjir karena
mengenang budi orang aneh itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh
25 suara letupan dahsyat. Lembah terasa tergelar keras. Siauliong
terkejut sekali ketika memandang keluar gua. Lembah
telah berobah menjadi lautan api. Ledakan dahsyat susul
menyusul memekakkan telinga.
Segera ia lari keluar. Ternyata tokoh persilatan yang gagal
menangkap binatang aneh tadi telah menumpahkan
kemarahannya. Dari puncak lembah mereka lontarkan
potongan batang pohon untuk umpan api. Potongan kayu itu
makin lama makin dekat pada gua.
Siau-liong terkejut jika mulut gua sampai tertutup api, tak
mungkin ia dapat keluar lagi. Cepat ia bertindak. Menyambar
sehelai baju peninggalan Koay suhu, ia terus menerjang
keluar. Sekali loncat ia hinggap pada sebatang pohon. Dengan
baju, ia menghalau api. Kemudian ia melayang ke atas sebuah
cekung karang lalu untuk yang terakhir kalinya, ia melayang
kepuncak lembah....
Jago2 persilatan yang berada di atas puncak lembah,
terkejut melihat anak itu dapat menerobos dari lautan api.
Mereka hentikan lontaran kayu dan berganti menghujani anak
itu dan senjata rahasia.
Siau-liong sedang melayang ke atas. Tak mungkin ia dapat
menghindari serangan itu. Dalam gugupnya ia putar baju Koysuhu
laksana kitiran. Diluar dugaan, putaran baju itu
menimbulkan tenaga yang dapat menampar jatuh ber-puluh2
buah senjata rahasia.
Ia marah sekali kepada mereka. Selekas kakinya menginjak
tepi puncak, ia lemparkan baju dan lontarkan sebuah pukulan
yang dilambari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.
Melihat telapak tangan anak itu merah membara, sekalian
orang menjerit kaget dan lari tunggang langgang. Enam orang
26 yang terlambat lari, menjerit ngeri dan rubuh tak bernyawa.
Sisanya lari ke dalam hutan.
Siau-liong menanggalkan kedok muka. Ia menghela napas.
Ia menyesal telah membunuh orang. Tetapi ia tak dapat
berbuat lain karena kemarahannya atas tindakan tokoh-tokoh
persilatan yang begitu ganas.
Setelah beberapa saat termenung-menung, akhirnya ia
pulang ketempat kediamannya. Hampir setahun, ia tak
berjumpa dengan Kongsun Sin-tho. Ia merasa rindu kepada
suhunya itu. "Suhu!" serta-merta ia karena tak mengindahkan berseru
penuh rasa menyesal nasihat suhunya supaya jangan berjalan2
ke belakang gunung.
Tetapi alangkah kejutnya ketika didapatinya gua itu
kosong. Masih ada menyangka tentulah suhunya sedang
keluar untuk mencarinya. Tiba-tiba ia melihat beberapa
guratan huruf pada dinding gua.
Jelas itu tulisan suhunya yang berbunyi, "Liong-ji, aku
sudah pulang beberapa bulan. Sia-sia kucarimu ke-mana2.
Lebih cemas pula hatiku karena dewasa ini dunia persilatan
telah timbul desas-desus bahwa ibumu telah muncul kembali.
Dunia persilatan terancam pertumpahan darah lagi.
Kuputuskan turun gunung mencarimu, sekalian untuk mencari
ibumu. Berhasil atau tidak, setengah tahun kemudian aku
pasti kembali kesini"
Dari tanggal yang tertera dibawahnya, jelas bahwa
kepergian Kongsun sin-to itu baru lebih 10 hari yang lalu.
Siau-liong berkemas-kemas untuk mencari suhunya.
27 Keesokan harinya, ia menuju kemakam ayahnya untuk
minta diri. Tengah ia berlutut mengucapkan doa, tiba-tiba
didengarnya suara orang berbicara. Gunung Hong-san jarang
dikunjungi orang. Dan peristiwa berdarah kemarin,
menyebabkan Siau-liong harus berhati-hati terhadap orang.
Cepat ia menyembunyikan diri.
Tak berapa lama muncullah empat orang tua dari dalam
hutan. Salah seorang berkata, "Menurut pendapat kalian, yang
manakah sesungguhnya Bu-tek Gong-mo itu" Lelaki tua yang
dibunuh Soh-beng-kiu-su atau orang yang muncul dari Laut


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Penasaran?"
Mendengar itu, Siau-liong hampir menjerit. Kiranya orang
aneh yang menurunkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang itu
adalah BU-KEK-GONG-MO atau pendekar LAKNAT yang
termasyhur. Dan yang membunuhnya adalah Soh-beng Ki-su.'
"Mungkin kedua-duanya, mungkin bukan semua," sahut
kawannya. "Maksudmu?" orang pertama yang bicara itu menegas.
"Memang lelaki tua yang dibunuh itu mirip dengan
Pendekar Laknat. Tetapi anehnya dia tak memiliki ilmu sakti
Bu-kek-sin-kang. Sedang yang muncul dari dalam laut itu,
gerak-geriknya tidak menyerupai Pendekar Laknat tetapi dapat
melepaskan pukulan Bu-kek-sin-kang. Maka kesimpulanku,
keduanya mungkin Pendekar Laknat tetapi mungkin bukan
semua," jawab orang yang kedua.
Dari pembicaraan itu dapatlah Siau-liong menarik
kesimpulan bahwa tokoh-tokoh yang datang ke Lembah
Penasaran itu belum tahu pasti tentang mati-hidupnya
Pendekar Laknat.
28 Mengintai dari cela2 tempat persembunyiannya, Siau-liong
terperanjat. Keempat orang tua itu tengah berdiri tegak
dihadapan makam ayahnya.
"Uh, mengapa mereka tegak didepan makam ayah" Apakah
mereka itu sahabat2 ayah?" tanya Siau-liong dalam hati.
Dugaan anak itu memang tepat. Keempat lelaki tua itu
memang paman guru dari Tong Gun-liong, ayah Siau-liong.
Yang paling tua bergelar Tang Siau-seng. Kedua, Se Ki-su.
Ketiga, Lam Kek-ong. Mereka dikenal sebagai Kong-tong Su-lo
atau empat tokoh tua dari partay Kong-tong-pay.
Mereka tegak berdiri dimakam Tong Gun-liong dengan
dengan penuh pertanyaan. Mengapa Tong Gun-liong, murid
kemenakan mereka mati. Siapakah pembunuhnya dan siapa
pulalah yang membuatkan batu nisan disitu" Apakah Siauliong,
putera Tong Gun-liong itu, masih hidup"
Isteri Tong Gun-liong yang bergelar Coa-sik Se-si atau
sicantik Se-si yang berbisa, muncul kembali di dunia
persilatan. Apabila wanita itu mengetahui suaminya telah
dibunuh orang dan dikubur dipuncak Hong-san, tentulah ia
akan makin mendendam kepada partay Kong-tong-pay.
Tiba-tiba keempat jago tua itu berpaling dan tersiraplah
darah mereka seketika. Beberapa langkah di belakang mereka,
tegak seorang tua yang berwajah buruk amat menyeramkan
sekali. Rambutnya memanjang sampai kebahu. Sepasang alis
menggumpal lebat sekali. Hidung merah, sepasang matanya
menonjol keluar. Mulut merekah darah. Berpakaian jubah
berlengan besar yang compang-camping.
29 Walaupun hanya setombak di belakang keempat jago2 tua
itu, namun mereka sama sekali tak mengetahui kedatangan
orang aneh itu. Inilah yang mengejutkan Kong-tong Su-lo!
"Siapakah nama tuan-tuan!" tiba-tiba orang berwajah buruk
itu sambil memberi hormat.
Tokoh kesatu dari Kong-tong-pay, Tang Siau-seng sejenak
berusaha menenangkan diri lalu menyahut dengan tertawa
nyaring, "Kami yang rendah Kong-tong Su-lo dan siapakah
tuan ini?"
Tubuh orang berwajah buruk itu menggigil. Kedua tangan
yang diangkat untuk memberi hormat tadi, dilepaskan ke
bawah. Seketika serangkum angin tajam menyambar keempat
jago Kong-tong.
Kong-tong Su-lo terkejut melihat orang berwajah buruk itu
bersikap bermusuhan. Mereka siap sedia untuk beramai-ramai
menghadapinya. Tiba-tiba kepalan tangan orang yang
berwajah buruk yang sudah siap dilontarkan itu ditarik
kembali. Berputar tubuh ia meraung-raung dan lari menuruni
gunung! Keempat Kong-tong Su-lo terkejut heran. Siapakah
gerangan orang berwajah buruk itu" Mengapa orang aneh itu
hendak menerjang mereka"
Tak mungkin keempat jago tua itu tak mampu mengetahui
rahasia orang aneh itu. Karena setitikpun mereka tentu tak
menyangka bahwa orang berwajah buruk itu ternyata hanya
seorang bocah yang baru berumur 15 tahun. Ya, memang
benar. Siau-lionglah yang menyaru sebagai orang tua
berwajah seram itu....
30 Karena melihat keempat orang tua itu lama sekali tegak
dihadapan makam ayahnya, Siau-liong ingin tahu siapakah
mereka itu. Ia segera mengenakan kedok dan pakaian
peninggalan Koay-suhunya lalu melangkah keluar.
Dikala mendapat jawaban bahwa mereka adalah Kong-tong
Su-lo, seketika meluaplah amarah Siau-liong.
Sedianya ia sudah mengerahkan tenaga-sakti Bu-kek-sinkang
hendak menghabiskan mereka. Tetapi tiba-tiba matanya
tertumbuk pada gunduk tanah makam ayahnya.... Seketika ia
teringat akan pesan ayahnya yang disampaikan oleh Kong-sun
Sin-tho. Terpaksa ia batalkan pukulannya. Untuk
melampiaskan nafsu kemarahan yang telah membakar rongga
dadanya, ia meraung-raung lari menuruni gunung.... :
Mengapa ayahnya melarang ia menuntut balas kepada
musuh yang telah membinasakanya" Tentu tersembunyi suatu
rahasia dibalik larangan ayahnya itu. Ia memutuskan untuk
turun gunung dan mengembara di dunia persilatan. Ia hendak
mencari ibunya. Ia hendak meminta penjelasan kepada
ibunya. Iapun hendak mencari Kong-tong Sin-tho, guru
berbudi yang telah merawat dan mendidiknya selama belasan
tahun. Ya, hanya dengan demikian baru ia dapat memecahkan
rasa dendam kegelisahan yang selalu mencengkam hatinya.
---ooo0dw0ooo---
GUNUNG HONGSAN terletak dihulu sungai Kim-set-kiang.
Ombak sungai itu deras sekali sehingga tiada tukang perahu
yang berani mengusahakan penyeberangan. Maka daerah
perairan disitu jarang dikunjungi orang.
31 Berhari-hari Siau-liong menyusur tepi sungai. Jika lelah ia
duduk di tepi sungai. Dikala ter-menung2 memandang deras
arus sungai, pikirannya melayang. Ia teringat akan nasibnya,
terkenang akan kehidupan manusia. Kehidupan tak ubah
seperti arus sungai. Mengalir, terus mengalir tanpa
mengetahui apa yang akan dihadapinya....
Apabila tiba pada lamunan itu maka berkesanlah ia pada
suatu kesimpulan. Tanpa rintangan, air takkan mengerahkan
kekuatannya. Tanpa aral rintangan, manusia takkan kuat lahirbatinnya.
Kesimpulan itu merupakan pelajaran berharga bagi Siauliong.
Tiba-tiba ia mendengar derap kaki orang. Kemudian
sesosok tubuh yang roboh ke tanah dan suara erang
kesakilan. Datangnya dari dalam hutan tak jauh dari
tempatnya. Cepat-cepat ia loncat bangun dan lari ke dalam
hutan itu. Tak berapa lama ia melihat seorang gadis menggeletak di
tanah. Disisinya terdapat sebilah pedang, Siau-liong cepat
menghampiri. Baru saja ia menjemput pedang dan
mengangkat tubuh gadis itu, tiba-tiba terdengar derap kaki
orang berlari menghampiri. Ia duga mereka tentulah musuhmusuh
yang hendak mengejar gadis itu. Tanpa ayal, ia
membawa lari gadis itu.
Kira-kira sepuluh li jauhnya, ia melihat sebuah biara kecil.
Gadis itu pucat wajahnya dan pejamkan mata. Siau-liong tahu
bahwa ia tentu menderita luka berat. Harus ditolong
secepatnya. Cepat-cepat ia lari kebiara kecil itu.
Ruang depan biara sempit sekali. Terpaksa Siau-liong
menuju keruang belakang. Tetapi disitu pun tak cukup untuk
32 tempat orang dua. Apa boleh buat, Siau liohg letakkan gadis
itu dipangkuannya.
Selama ikut pada Kong-sun Sin-tho, selain ilmu silat....
Siau-liong pun mendapat pelajaran tentang ilmu pengobatan.
Menurut pemeriksaannya, jalan darah gadis itu sudah tak
normal lagi. Ia membekal pil mujarab tetapi ia kuatir pil itu tak
dapat menyembuhkan si nona. Jalan satu-satunya untuk
menyembuhkan nona itu. Penyaluran itu harus dilakukan
empat kali. Setiap kali memerlukan waktu empat jam. Selama
pengobatan berlangsung, tak boleh diganggu orang. Sedikit
saja terganggu, nona itu pasti akan cacad seumur hidup.
Bahkan bisa juga, keduanya mati semua!
Demi menolong jiwa nona itu, Siau-Iiong tak menghiraukan
segala resiko. Ia mengambil 9 butir pil, disusupkan kemulut si
nona. Karena mulut nona itu terkancing, terpaksa Siau-liong
tempelkan bibirnya kemulut si nona lalu meniup pil itu.
Setelah berhasil memasukkan pil kemulut si nona, Siauliong
mulai mengurut seluruh jalan darah ditubuh si nona.
Untunglah dalam usianya yang sudah menjenjang kedewasaan
itu, Siau-liong belum mengerti tentang hubungan wanita dan
pria. Pokok, ia sungguh-sungguh dan wajar.
Tak berapa lama, nona itu sadar. Ia menggeliat dan
merintih pelahan.
"Jangan takut, harap nona kerahkan semangat, Kubantu
mengobati luka nona," buru-buru Siau-liong memberi
penjelasan. Saat itu si nona masih letih sekali. Ia tak dapat bicara
melainkan mendengus. Dan Siau-liong segera lekatkan kedua
tangannya pada perut nona itu. Ia mulai menyalurkan tenaga
murni ke tubuh nona itu.
33 Karena peredaran darah nona itu tidak normal, maka Siauliong
harus bekerja keras. Dua jam lamanya, baru ia berhasil
dapat menggabungkan darah nona itu dengan tenaga
murninya dan berhasillah ia mengembalikan peredaran darah
si nona. Tiba-tiba nona itu menjerit, suatu tanda bahwa
perasaannya sudah hidup kembali. Siau-liong makin
memperkeras penyalurannya. Dua jam lagi barulah ia hentikan
penyaluran. Saat itu hari mulai petang. Keadaan si nona
bertambah baik.
"Siapakah nama nona yang mulia?" kini Siau-liong mulai
mengajak bicara.
Dengan suara lemah, nona itu menyahut, "Namaku Tiau
Bok-kun, tuan siapa...."
Siau-liong menyadari bahwa kini ibunya sudah muncul
kembali di dunia persilatan. Jika ia memberitahukan namanya
yang asli, dikuatirkan kesulitan yang tak diinginkan. Maka ia
menjawab sekenanya, "Namaku Kongsun Liong, panggil saja
aku Siau-liong?"
Dikala mereka asyik bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar
derap langkah orang berhenti dimuka biara. Siau-liong
terkejut.... Ia memandang kepintu dengan penuh perhatian.
Tak berapa lama, muncullah lima orang tua. yang empat,
Siau-liong mengenali sebagai Kong-tong Su-lo. Tetapi yang
seorang, ia tak tahu.
Rupanya kelima orang itu habis melakukan pertempuran
seru. Napas mereka terengah-engah, dahinya penuh keringat.
Begitu masuk, mereka terus duduk bersemedhi. Rupanya
34 mereka hendak memulangkan tenaga untuk menghadapi
musuh lagi. Saat itu hari makin malam. Siau-liong terkejut.
Didapatinya peredaran darah nona itu yang sudah mulai
berjalan normal. Tentulah nona itu terganggu pikirannya
karena kedatangar kelima orang itu. Apabila dibiarkan jiwa
nona itu pasti terancam. Buru-buru Siau-liong memberi isyarat
supaya nona itu tenangkan pikiran. Sedang iapun segera
menyalurkan tenaga murni lagi.
Sejam kemudian, kelima orang tua itupun membuka mata.
Dalam ruang yang gelap, tampak sinar mata mereka itu
memancar tajam sekali.
"Suheng, Tang Gun-liong yang terlempar ke dalam lembah
Hok-liong-koh, tentu mati atau terluka berat. Tetapi entah
siapa yang menolongnya dan membawanya kegunung Hongsan.
Kini dia telah meninggal dan dikubur dipuncak Hong-san
dan Siau-liong anaknya itu, entah berada dimana," kata Tang
Siu-seng, jago kesatu dari Kong-tong Su-lo.
Orang tua kelima yang tak dikenal Siau-liong itu,
kedengaran menjawab, "Kalau Gun-liong sudah mati, anaknya
tentu sudah mati juga."
Karena Tang Siu-seng memanggil orang itu dengan
sebutan suheng, Siau-liong menduga orang itu tentulah suhu
dari ayahnya yang bernama Toh Hun-ki gelar Kian-thian-ihsoh!
Dari nadanya, jelas bahwa Kian-thian-ih-soh Toh Hun-ki
sama sekali tak berduka atas kematian Tang Gun-liong dan
lenyapnya Siau-liong. Padahal Tang Gun-liong adalah murid
pewarisnya. Seharusnya Toh Hun-ki menyelidiki atau
sekurang-kurangnya berduka atas kematian sang murid.
35 Sesungguhnya Toh Hun ki bukan jahat. Adalah karena ia
fanatik sekali terhadap gengsi maka ia meminta kematian
Tang Gun-liong dan melukai isteri muridnya itu.
Kong-tong-pay termasuk salah sebuah partai persilatan
yang besar. Tyoa-sek Se-si Ki Ih, isteri Tang Gun-liong itu,
berasal dari seberang laut. Wanita itu gemar membunuh
sehingga menimbulkan bentrokan dengan partai-partai
persilatan lain. Dan sebelum resmi menikah dengan Tang
Gun-liong, ia sudah melahirkan anak. Sebagai ketua Kongtong-
pay, Toh Hun-ki malu terhadap perbuatan muridnya.
Terpaksa ia membunuh Tang Gun-liong dan melukai isterinya.
Siapa tahu, tindakan itu telah menimbulkan salah faham
besar. Karena tak tahu persoalannya, sudah tentu Siau-liong
mendendam sekali atas kematian ayahnya, Tetapi karena
ayahnya telah memesan supaya ia jangan menuntut balas,
Siau-liong tak mau meminta bertanggungan jawab partai
Kong-tong-pay. Selang dua jam lamanya, Siau-liong hentikan penyaluran
tenaga dalam. Ia menduga nona Tiau Bok-kun itu tentu
hendak dibunuh Toh Hun-ki dan Su-lo dari Kong tong-pay.
Ia tak tahu apa persoalannya tetapi yang jelas tokoh-tokoh
Kong-tong-pay itu bertindak kejam terhadap seorang nona.
Seketika meluaplah kemarahan Siau-liong terhadap partai itu.
Hutang jiwa, bayar jiwa. Demikian ketetapan hatinya. Tetapi
karena amarahnya meluap. darahnya bergolak keras. Maka


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai beberapa saat ia belum dapat melanjutkan
pengobatannya kepada nona itu.
Memandang kepintu muka, Siau-liong terkesiap kaget.
Entah kapan, tahu-tahu diambang pintu muncul seorang lelaki
bertubuh kurus kering. Raut wajahnya seperti muka kuda,
36 memelihara kuncir. Pakaiannya mirip paderi bukan paderi,
orang biasa bukan orang biasa. Punggungnya menyanggul
sebuah senjata.
"Ho, ho," orang itu tertawa meloroh, "Toh tua, lekas
serahkan barang yang hendak engkau jual itu. Ingat dibawah
tangan Ki-su tiada makhluk yang bernyawa lagi!"
Kian-thian-it-soh Toh Hun-ki tetap duduk tenang.
"Setan tua, bukankah engkau Soh-beng Ki-su" Kalau
engkau menghendaki jiwa, disini tersedia lima lembar. Tetapi
kalau menginginkan barang penjualan, jangan mimpi!"
Soh-beng Ki-su atau Pertapa pencabut nyawa tertawa
kering, "Jika tak mengingat engkau seorang ketua partai
persilatan, tentu sudah kucabut nyawamu. Kalau tak mau
menyerahkan barang itu, jangan salahkan aku seorang
ganas!" Soh-beng Ki-su inilah yang telah membunuh Koay suhu
atau Bu-kek-gong-mo. Siau-liong hendak menerjang keluar
dan menghajar orang itu. Tetapi karena ia sedang
menenangkan darahnya yang bergolak, terpaksa ia tahan
sabar. Toh Hun-ki keempat Su-lo serempak bersiap-siap. Mereka
merencanakan barisan Ngo-heng-tin untuk menghadapi tokoh
ganas itu. Ngo-heng-tin, merupakan barisan yang rapat ketat, dahsyat
dan sukar diduga gerak perobahannya. Di dalam menyerang,
pun menjaga. Dalam bertahan, juga menyerang.
Tetapi Toh Hun-ki dan keempat Su-lo bergerak, Soh-beng
Ki-su sudah mendahului melesat dan mencengkeram Toh HunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
37 ki. Tetapi diapun kenal akan kehebatan barisan itu. Tiba-tiba
cengkeramannya ditarik tengah jalan karena dia harus
melindungi diri dari serangan kelima musuh, Dengan
demikian, pertempuran berjalan seru dan dahsyat. Biara kecil
itu seolah-olah tergetar karena angin pukulan mereka.
Siau-liong terkejut ketika Tiau Bok-kun terdengar
mengerang. Cepat-cepat didekapnya mulut si nona itu. Tetapi
terlambat. Tokoh-tokoh yang bertempur telah mendengarnya.
Soh-beng Ki-su loncat keluar dari kepungan, Ia tertawa
aneh, "Bagus Budak perempuan itu ternyata berada disini. Jika
kalian tetap tak mau menyerahkan, tentu dia segera kubunuh.
Mendapat separoh dulu, baru kita bicara lagi."
Dengan menggerung keras, kelima tokoh Kong-tong-pay itu
loncat berbaris dimuka biara, menghadang Soh-beng Ki-su.
Tetapi dengan bertempur cara berhadap-hadapan itu, posisi
kelima tokoh Kong-tong-pay itu lebih tak menguntungkan.
Soh-beng Ki-su perdengarkan ketawanya yang mirip
dengan burung hantu merintih-rintih ditengah malam. Tibatiba
ia mengangkat kedua tinjunya. Tulang-tulang jarinya yang
panjang runcing, mirip dengan cakar burung garuda. Sesaat
terdengar suara mendesis-desis. Jari-jarinya seperti
mengeluarkan asap dingin. Ternyata tokoh aneh itu telah
mengerahkan ilmu tenaga dalam Pek-kut-kang. Secepat kilat
ia menghantam kelima musuhnya.
"Dess...." kelima tokoh Kong-tong-pay serempak memukul
untuk menangkis. Terjadi benturan tenaga dalam dan hasilnya
segera dapat diketahui siapa yang lebih unggul. Soh-beng Kisu
tetap tenang tetapi kelima jago Kong-tong-pay itu
mengerang tertahan. Jelas mereka menderita tekanan yang
hebat. 38 Tring, tring.... terdengar senjata berdering-dering. Kelima
jago Kong-tong-pay telah mencabut pedangnya.
"Bagus, bagus, hayo majulah semua!" Soh-beng Ki-su
tertawa meringkik. Iapun mencabut senjata yang berada
dipunggung. Orangnya aneh, senjatapun aneh. Mirip dengan
cempuling, mirip pula dengan pisau terbang. Sekali
dikibaskan, senjata meluncur ke udara. Dan sekali tangannya
mengacung, senjata itupun meluncur kembali ke dalam
tangannya. Pertempuran dengan senjata segera berlangsung
seru. Untung mereka bertempur diluar, andaikata di dalam
tentulah biara kecil itu akan ambruk.
Saat itu hari mulai terang tanah. Karena sudah dua jam,
Siau-liong hentikan penyaluran tenaga dalamnya. Ia menghela
napas panjang Keadaan Tiau Bok-kun sudah banyak
kemajuan. Ia hendak mengangkat kepala tetapi Siau-liong
mencegahnya dan minta nona itu beristirahat lagi.
"Toh tua, diruang depan ini sempit sekali. Hayo kita
bertempur diluar saja.... Jika kalian menang, budak
perempuan itu boleh kalian ambil separoh. Tetapi kalau kalah,
hm, hm, lima lembar jiwamu pun menjadi milikku!" seru Sohbeng
Ki-su. Kelima tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu segera mengikuti
Soh-beng Ki-su keluar.
Karena masih memerlukan empat jam lagi, maka Siau-liong
segera mulai menyalurkan tenaga dalam lagi. Karena sudah
dapat menerima penyaluran, Tiau Bok-kun pun segera
menyalurkannnya keseluruh tubuh. Dari sinar matahari yang
menyusup dicelah-celah dinding. barulah Siau-liong melihat
jelas muka gadis itu. Seorang nona yang memiliki wajah cantik
dan riang. 39 Tiau Bok-kunpun sempat juga untuk memandang
penolongnya. Seorang pemuda yang gagah dan jujur. Tibatiba
sepasang pipi gadis itu kemerah-merahan dan cepat
palingkan muka.
"In-jin." beberapa saat kemudian Tiau Bok-kun dapat
berseru pelahan. In-jin artinya orang yang melepas budi.
"Nona Tiau," sahut Siau-liong.
Hanya dua patah kata terluncur dari mulut kedua mudamudi
itu. Namun sudah melebihi ribuan kata-kata yang penuh
arti.... Setiba diluar, Soh-beng Ki-su bertempur lagi dengan kelima
tokoh Kong-tong-pay. Gemerincing senjata beradu,
mengejutkan kedua anak muda itu. Ia memandang keluar.
Tampak kelima pedang bercampur-baur dengan sinar
cempuling. Diam-diam Siau-liong menyesalkan cara bertempur
dari kelima orang itu. Jelas kelima tokoh Kong-tong-pay itu
kalah tinggi tenaga dalamnya dengan Soh-beng Ki-su,
mengapa mereka berani mengadu kekerasan"
Tiba-tiba Siau-liong teringat sesuatu dan bertanialah ia
kepada Tiau Bok-kun, "Benda apakah yang dikatakan oleh
Soh-beng Ki-su itu?"
Sekonyong-konyong nona itu mencekal tangan kiri Siauliong
lalu dilekatkan kedada, ujar-nya, "Rabahlah Giok-pwe
ini.'" Ternyata nona itu menyimpan sebuah Giok-pwe atau
Lencana-kumala didadanya. Menjamah dada si nona,
jengahlah muka Siau-liong. Buru-buru ia menarik tangannya.
"Untuk apakah benda itu?" tanyanya.
40 "Entahlah, aku sendiri tak mengerti. Tetapi yang jelas,
separoh bagian kusimpan dan yang separoh bagian ada pada
Toh Hun-ki. Maka mereka hendak merebut milikku ini!"
"Kalau begitu, siapapun dari mereka yang menang, tak
menguntungkan engkau?"
Tiau Bok-kun hanya mendengus.
"Siapakah yang melukai engkau?" tanya Siau-liong pula.
"Soh-beng Ki-su...."
Alangkah inginnya Siau-liong saat itu keluar untuk
membunuh Soh-beng Ki-su, orang yang telah membunuh
Koay suhu dan melukai nona itu. Tetapi ia tak dapat
meninggalkan si nona begitu saja.
Ia memandang keluar. Tokoh-tokoh itu masih bertempur
gigih sekali. Tetapi jarak tempat pertempuran makin menjauh
dari biara. "Mudah-mudahan mereka bertempur terus saja," diamdiam
Siau-liong mengharap. Kini untuk yang terakhir, ia harus
memberi penyaluran tenaga dalam lagi. Ketika memandang
Tiau-Bok-kun, ia heran. Wajah nona itu tampak merah. Pada
hal tadi sewaktu diberi penyaluran tenaga-dalam, wajahnya
tak sedemikian merahnya.
"Bagaimana lukamu?" tanya cemas.
Tiau Bok-kun mendesis pelahan.
"Mengapa engkau, nona Tiau?" tanya Siau-liong.
41 Nona itu makin merah wajahnya dan tersipu-sipu tundukan
kepala. "Kita.... laksana air bertemu telaga. Ini...." serunya pelahan
dan tak lanjut.
"Ini bagaimana?" desak Siau-liong.
Setelah lukanya berangsur baik, kesadaran nona itupun
mulai kembali lagi. Duduk merapat dengan seorang pemuda
yang tak dikenal, mau tak mau sebagai seorang gadis yang
masih suci, Tiau Bok-kun merasa malu sekali.
"Besok saja kuterangkan," sahut nona itu.
"Tetapi apakah yang hendak engkau katakan?" Siau-liong
mendesak lagi. Buru-buru Tiau Bok-kun melengos. Setelah cukup
beristirahat, Siau-liongpun menyalurkan tenaga dalam lagi ke
tubuh si nona. Penyaluran itu merupakan pengobatan yang
terakhir. Karenanya merupakan detik-detik berbahaya.
Tiba-tiba tokoh-tokoh yang bertempur tadi, terdengar diluar
pintu biara lagi. Dengan pendengarannya yang tajam, Siauliong
dapat memperhitungkan mereka tentu dapat bertempur
sampai dua jam lagi.
Tetapi ia menyadari bahwa setiap saat, pertempuran akan
mengalami perobahan. Maka iapun tingkatkan kewaspadaan
untuk menghadapi segala kemungkinan. Selama pertempuran
berjalan seru, Tiau Bok-kun pun makin bertambah baik
keadaannya. Wajahnya mulai berseri makin segar laksana
kuntum mekar dihari pagi.
42 Tiba-tiba Siau-liong dikejutkan oleh sebuah jeritan ngeri.
Ketika memandang keluar, dilihatnya sinar pedang mulai
kacau-balau. Jelas bahwa tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu
sudah mulai terancam bahaya. Asal salah satu ada yang rubuh
maka berantakan barisan mereka.
Tring.... terdengar gemerincing senjata beradu keras.
Serempak dengan letikan bunga api, sebuah pedang telah
terpental jatuh ke dalam biara.
Dari keempat Su-lo, yang dua jakni Lam-kek-sian dan Pakkek-
ong sudah duduk bersemedhi di tanah. Tentulah mereka
terluka. Yang masih bertahan tinggal dua orang Su-lo dan Toh
Hun-ki. Dalam pada itu, Siau-liong masih memerlukan setengah
jam lagi untuk menyalurkan tenaga dalam. Asal setengah jam
itu dapat berlangsung tanpa gangguan, Tiau Bok kun pasti
akan sembuh sama sekali. Tetapi kalau sampai terganggu, siasia
sajalah jerih payahnya selama enam belas jam itu.
Tiba-tiba terdengar sebuah jeritan ngeri lagi!
"Celaka! Kong-tong-pay tinggal seorang saja.... Tentu tak
dapat bertahan lagi," diam-diam Siau-liong mengeluh.
Tempo amat berharga sekali. Buru-buru ia kerahkan
seluruh tenaga dalam untuk mempercepat penyaluran tenaga
dalamnya. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia mendengar Sohbeng
Ki-su tertawa nyaring....
Pada lain saat terdengarlah suara senjata jatuh
bergerontangan disusul dengan suara orang menahan
kesakitan. 43 "Celaka, habislah sudah jerih payahku selama sehari
semalam," Siau-liong mengeluh.
Kiranya suara orang itu berasal dari Toh Hun-ki. Pedangnya
terlepas dan dadanya menerima sebuah pukulan maka
rubuhlah ketua Kong-tong-pay itu di tanah....
Melihat itu dengan teriakan mendengkung-dengkung
macam katak, jari tangan Soh-beng Ki-su yang tajam
mencengkeram Tohl Hun-ki....
Pada detik-detik maut hendak merenggut jiwa ketua Kangtong-
pay itu, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
nyaring, "Bangsat tua, lihat senjataku!"
"Hai, apakah engkau bukan Coa-sik Se-si....!" Soh-beng Kisu
berteriak kaget.
Mendengar itu terkejutlah Siau-liong. Ingin sekali ia
memanggil ibunya itu tetapi karena sedang mengobati si nona
terpaksa ia tahankan hati.
Memang pendatang itu adalah Ki Ih atau yang digelari
orang sebagai Coa-sik Se-si (si cantik Se-si yang berbisa).
"Ah, kiranya engkau belum pikun, Seharusnya engkau tahu
bahwa kelima bangsat tua dari Kong-tong-pay itu adalah
musuhku besar. Mengapa engkau berani lancang hendak
membunuhnya" Biarkan mereka beristirahat memulihkan
tenaga dulu baru nanti kujadikan setan2 tanpa kepala! Nah,
selagi mereka beristirahat, marilah kita isi kekosongan ini
untuk membereskan perhitungan kita tempo dahulu!"
"Bagus, memang aku belum puas hanya mencabut lima
Perempuan siluman, lihat seranganku!" seru Soh-beng Ki-su.
44 Sinar pedang berhamburan, angin menderu-deru.
Pertempuran kali ini lebih dahsyat dari tadi, Kedua tokoh itu
makin lama kian jauh dari biara dan akhirnya tiada
kedengaran suaranya lagi.
Saat itu Siau-liong berhasil menyelesaikan penyaluran
tenaga dalam yang terakhir. Bergegas-gegas ia memberi pil
kepada nona itu, "Minumlah dan setelah beristirahat beberapa
waktu, tenagamu tentu pulih.... Sampai jumpa lagi, selamat
tinggal...."
"In-jin....!" Tiau Bok-kun memanggil. Tetapi pemuda itu
sudah lenyap. Berlinang-linang airmata nona itu. Ingin ia
menyusul In-jin atau Penolongnya itu, tetapi tenaganya masih
belum mengijinkan.
Begitu keluar dari biara, Siau-liong tak menghiraukan
kelima tokoh Kong-tong-pay yang masih duduk bersemedhi


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Ia lari menuju ke arah tempat ibunya. Tetapi seratus li
telah ditempuh, tetap ia tak berhasil menemukan ibunya dan
Soh-beng Ki-su.
Dua hari lamanya Siau-liong berkeliran mencari ibunya.
Karena lupa makan lupa tidur dan habis menyalurkan tenaga
dalam kepada si nona, Siau-liong merasa letih sekali, Maka
ketika tiba di kota Siok-ciu, ia segera mencari sebuah rumah
makan. Rencananya, setelah makan ia hendak membeli
pakaian baru. Suasana dalam kota terang-benderang, rumah dihias
dengan lampu tenglong warna-warni. Jalan penuh orang
pesiar. Ah, tiba-tiba ia teringat bahwa malam itu adalah
malam Tiong-ciu atau pertengahan musim rontok. Rembulan
purnama-sidhi. Rumah2 mengadakan sesaji dengan kuweh
Tiong-jiu-pia. Tengah ia berjalan, serombongan anak2 laki
45 segera mengerumuni, menyoraki dan melempari tali serta
menggodanya. Siok-ciu termasuk wilayah Su-jwan. Menurut adat
kebiasaan daerah itu, pada malam Tiong-ciu anak-anak diberi
kebebasan untuk bersuka-ria bahkan berkelahi. Mereka
menggunakan tali dan bandringan. Benda itu berat tetapi tak
melukai. Siau-liong menyambar seutas tali yang dilempar seorang
anak. Anak itu segera menarik sekuat-kuatnya tetapi sampai
mukanya merah padam dan menangis, tetap tak mampu.
Karena hendak lekas-lekas melanjutkan perjalanan, Siau-liong
lepaskan tali itu. Uh, uh.... bocah itu pontang-panting jatuh
terjerembab. Kepalanya benjul terbentur tanah dan
menangislah ia gerung-gerung.
Melihat itu kawanan anak-anak nakal segera mengepung
Siau-liong. Siau-liong jengkel. Kalau didiamkan mereka makin
liar. Siau-liong tak mau cari perkara. Ia diam saja dan akhirnya
anak2 itu kesal sendiri. Pada saat itu Siau-liong menyiak dua
anak lalu menerobos keluar. Walaupun tak menggunakan
tenaga tetapi gerakan Siau-liong itu membuat kedua anak
terpelanting jatuh. Hu, hu, huuu.... menangislah mereka.
"Tangkap penjahat! Tangkap penjahat!" hiruk-pikuk
kawanan anak nakal itu berteriak-teriak sambil mengejar.
Tetapi Siau-liong sudah jauh.
Ia terhindar dari gangguan anak2 nakal tetapi ia gagal
membeli makanan dan pakaian. Saat itu ia duduk disebuah
batu dalam hutan. Sambil melepaskan lelah, ia mengusapusap
lencana Tengkorak didadanya dengan menyeringai.
46 Lencana itu berasal dari leher Tengkorak yang berada dalam
gua tempo hari.
Siau-liong termenung-menung memikirkan nasibnya. Jika
lain orang pada malam purnama itu duduk menikmati kuweh
Tiong-ciu-pia, adalah dia duduk seorang diri dalam hutan!
Tetapi perutnya merintih-rintih minta isi. Memandang jauh
kemuka, tampak dikaki gunung sebuah bangunan besar yang
terang-benderang penerangannya. Segera ia menuju kesana.
Tiba ditempat itu ia terkejut dan ragu2 memasuki. Papan
nama yang tergantung pada pintu rumah itu bertuliskan Tayhud-
si atau gereja Buddha besar.
Pada kedua samping titian dihalaman gereja itu tampak
empat orang lelaki berdiri tegak tanpa baju. Pada leher
mereka melingkar kalung Lencana Tengkorak.
Melihat mereka tak berbaju, hilanglah rasa malu Siau-liong
yang bajunya compang camping. Tanpa banyak pikir, ia
segera naik ketitian....
Sebenarnya keempat penjaga itu tentu melihatnya tetapi
entah bagaimana mereka diam saja. Dan Siau-liong pun juga
tak mempedulikan mereka. Ia terus melangkah ke dalam
pintu. Di belakang pintu ternyata merupakan sebuah halaman
luas. Ujung halaman terdapat sebuah bangunan gedung
besar. Beratus-ratus orang memenuhi halaman dan gedung.
Rupanya disitu sedang diselenggarakan perjamuan besar.
Yang mengherankan Siau-liong ialah semua orang yang
hadir disitu sama tidak mengenakan baju dan sama berkalung
47 lencana tengkorak. Pada umumnya mereka bertubuh kurus
kering, celana kumal dan baunya busuk.
Siau-liong tak menghiraukan siapa mereka. Paling penting
ia hendak ikut duduk menyantap hidangan.
Tiba-tiba dua lelaki pincang muncul. Dengan mencekal
tongkat, mereka menghampiri Siau-liong. Muka mereka kotor,
rambut kusut masai dan tubuh kurus sekali. Hanya kedua
matanya yang bersinar tajam. Yang seorang kakinya kiri yang
pincang. Yang seorang, kakinya kanan yang pincang.
"Budak, darimana engkau?" tegur mereka.
Siau-liong terkesiap. Tak tahu ia siapa mereka dan tempat
apa itu. Dengan singkat ia menyahut, "Hong-san!"
Kedua lelaki pincang itu tertegun. Mata mereka berkilatkilat
memandang Siau-liong, tanyanya pula, "Hendak
kemana?" "Mencari.... , " baru Siau-liong hendak mengatakan
'Mencari ibu', ia merasa kelepasan omong dan cepat
mengganti dengan ucapan, "Menuju ketempat tujuan."
Kedua lelaki pincang itu terkesiap heran.
Pertanyaan pertama, dijawab salah. Tetapi pertanyaan
kedua dijawab betul.
"Dari mana engkau mendapat petunjuk?" tanya mereka.
"Dari dalam laut!"
"Kapan susou-ya datang?" tanya mereka lagi.
48 Siau-liong sebal mendengar pertanyaan yang2 tiada artinya
itu. Cepat ia menukas, "Entah! Aku lapar, jangan bertanya
lagi!" "Silahkan!" diluar dugaan kedua lelaki pincang itu berputar
tubuh dan berjalan lebih dulu.
Pucuk dicinta ulam tiba. Perut lapar, malah diundang
makan. Demikian anggapan Siau-liong. Segera ia mengikuti
kedua lelaki pincang itu menuju ke dalam gedung besar.
Semua hadirin diam saja. Beratus-ratus mata mencurah ke
arah Siau-liong. Tiba diujung ruangan kedua lelaki pincang itu
berlutut didepan seorang tua yang rambut dan alisnya sudah
putih semua. Jenggotnya yang berkilat-kilat seperti perak,
menjulai sampai keperut. Tetapi wajahnya masih segar seperti
kanak-kanak. "Seorang budak liar telah menyelundup dengan menyamar
sebagai anggauta kita. Harap bapak ketua memeriksanya,"
kata lelaki yang pincang kaki kiri.
Orang tua yang disebut bapak ketua atau pangcu itu,
mendengus. Kedua lelaki pincang bangun dan berdiri
disampingnya. Mata orang tua itu berkilat-kilat menatap Siau-liong. Akan
tetapi ketika pandang matanya tertumbuk pada lencana
Tengkorak yang melingkar dileher Siau-liong, ia terbeliak
kaget! Serentak berbangkitlah ia pelahan-lahan. Dengan mencekal
sebatang tongkat kumala hijau, ia menghampiri Siau-liong.
Pemuda itu terkesiap. Orang tua itu ditaksir sudah 80 tahun
umurnya tetapi masih gagah.... Tetapi mengapa sikapnya
seperti bermusuhan"
49 Begitu dekat, orang tua itu segera putar tongkatnya.
Seketika tubuh Siau-liong dikurung oleh ribuan sinar hijau
kemilau. Seluruh hadirin terkejut. Mereka tak mengerti mengapa
bapak ketua tiba-tiba menyerang seorang bocah liar dengan
jurus sakti Ciong-lo-ban-jio"
Semula Siau-liong terkejut. Tetapi diam-diam ia merasa
agak paham juga tentang jurus serangan itu. Dalam taburan
hujan sinar tongkat, ia dapat mengetahui dimana letak
kelemahannya. Maka bergeraklah ia dengan langkah yang
aneh dan tahu2 ia sudah menerobos keluar dari lingkaran
sinar tongkat. Pak tua itu tertegun sejenak. Tetapi pada lain saat ia
lancarkan lagi dua buah serangan dahsyat. Tetapi lagi-lagi
Siau-liong dapat meloloskan diri.
Kini sekalian hadirin benar-benar terperanjat. Setelah tiga
kali serangannya gagal, tiba-tiba pak tua itu membungkuk
badan memberi hormat kepada Siau-liong. Kemudian
mempersilahkannya masuk ke dalam ruangan besar.
Tiba-tiba orang tua itu mengacungkan tongkat kumala ke
atas dan serempak sekalian hadirin berlutut dengan khidmat.
"Cousu-ya telah datang! Dirgahayu! Dirgahayu!" teriak
orang tua itu dengan nyaring.
"Dirgahayu! Semoga panjang usia!" bergemuruhlah ruang
gedung dan halaman menyambut pernyataan pak tua itu.
Tiba-tiba pak tua itu berlutut di tanah. Suasana hening
seketika. Tiada seorangpun yang berani mengangkat muka.
50 Sambil mencekal tongkat kumaia dengan kedua tangan,
pak tua itu berseru pula, "Ketua partai Kay-pang dari Kanglam,
Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong serta seluruh anak
murid, mohon maaf karena tak mengetahui akan kunjungan
causu-ya!"
Diperlakukan sedemikian hormat dan disebut-sebut sebagai
causu-ya atau kakek guru, bukan kepalang kejut Siau-liong.
Masakan dirinya dianggap sebagai causu dari Kay-pang atau
partai kaum pengemis!
Namun sia-sialah Siau-liong hendak memberi penjelasan.
Mereka tentu tak percaya. Apa boleh buat, terpaksa ia
berseru, "Bangunlah! Bangunlah!"
Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong ternyata ketua partai
Kay-pang cabang Kanglam Dia memberi hormat lalu bangun.
Ia mengumumkan kepada hadirin bahwa Cousu-ya dari partai
Kay-pang yang sudah berpuluh tahun tak muncul, sekarang
berkunjung kesitu.
Seketika terdengar sambutan para hadirin, bersorak
dengan gegap gempita....
Tetapi diam-diam mereka kurang yakin. Benarkah sousu-ya
dari partai Kay-pang yang disohorkan sakti itu hanya seorang
pemuda yang baru berumur belasan tahun"
Perjamuan berjalan terus. Pengemis-jenggot-perak duduk
menemani Siau-liong. Kedua pengemis pincang tadipun
diperkenalkan kepada Siau-liong. Yang pincang kakinya kiri
bernama Tio Thou bergelar Thiat-koay-co atau Tongkat-besikiri.
Sedang yang pincang kakinya kanan bernama Li Ji gelar
Thiat-koay-yu atau Tongkat-besi-kanan. Keduanya menjabat
pengurus besar partai Kay-pang wilayah Kanglam.
51 Selesai perjamuan, To Kiu-kong menuturkan keadaan dan
pergolakan dunia persilatan selama ini. Terutama hal
perkembangan partai Kay-pang.
Kay-pang termasuk Ceng-pay atau partai golongan Putih.
Merupakan sebuah partai yang kemasyhurannya sejajar
dengan lain-lain partai persilatan.
Kay-pang didirikan oleh Kiu-ci-sin-kay atau Pengemis-saktijari-
sembilan Ang Jit-kong pada akhir ahala Song. Tetapi
kemudian partai itu pecah menjadi dua. Yang satu didaerah
selatan dan menamakan diri sebagai Kanglam Kay-pang. Yang
satu didaerah utara dengan nama Kangpak Kay-pang.
Kedua partay Kay-pang itu bentrok dan saling bermusuhan.
Akhirnya dicapai persetujuan, mengajukan calon ketua. Tiap
tiga tahun bertemu dipuncak Lok-gan-hong gunung Hoasan,
untuk bertanding memperebutkan kedudukan ketua Kay-pang
dari Kanglam dan Kangpak. Yang kalah harus tunduk pada
perintahnya. Tokoh pertama yang menjabat sebagai ketua Kanglam Kaypang
adalah Song Thian-kun bergelar Ko-lo-sin-kay atau
Pengemis Tengkorak-sakti. Dalam pertandingan di Hoasan, dia
berhasil mengalahkan calon dari Kangpak Kay-pang yang
bernama Yong Jim.
Gelar Tengkorak-sakti itu diberikan kepada Song Thian-kun
karena tubuhnya yang kurus kering seperti tulang terbungkus
kulit. Setelah menjabat ketua umum kedua golongan partay
Kay-pang itu, ia membuat lencana tengkorak sebagai tanda
pengenal diri. Lencana pengenal itu diperuntukkan apabila ia
mengeluarkan pengumuman, memanggil rapat, memanggil
seorang pengurus partai dan lain-lain yang menyangkut
kepentingan organisasi Kay-pang.
52 Berkat kesaktiannya, Song Thian-kun telah berhasil tiga kali
mengalahkan calon dari Kangpak Kay-pang. Dengan begitu, ia
dapat menjabat sebagai ketua umum selama 9 tahun.
Pada tahun kedua dalam jabatannya yang ketiga kali
sebagai ketua umum partai Kay-pang, di dunia persilatan
muncullah lima orang durjana besar. Dunia persilatan
menggelari mereka dengan istilah singkat: Thian, Te, Liong,
Hou dan Bu-kek-gong-mo. Mereka berlima memusuhi partai2
persilatan yang ternama.
"Huh, partai2 persilatan yang membanggakan diri sebagai
golongan Putih itu tak lain tak bukan hanya gerombolan
manusia2 busuk!" demikian ejekan yang dilontarkan kelima
durjana itu. Pada saat partai2 besar sedang kewalahan menghadapi
gangguan keempat durjana Thian, Te, Liong, Hou, tiba-tiba
muncul pula Bu-kek-gong-mo atau si Pendekar Laknat!
Pendekar Laknat ini lebih gila lagi. Dia gemar membunuh.
Jiwa manusia dianggap seperti jiwa ayam saja. Oleh karena
tak mampu mengatasi, akhirnya partai2 besar itu tak mampu
bertindak lagi. Mereka menutup diri, masing-masing menjaga
keselamatan tempatnya sendiri2.
Hanya Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun satusatunya
tokoh yang berani menentang kawanan durjana
ganas itu. Ia mencari Pendekar Laknat dan bertempur selama
tiga hari tiga malam. Tetapi tetap tak ada yang menang dan
kalah. Keunggulan Pendekar Laknat terletak pada ilmu tenagasakti
Bu-kek-sin-kang. Sedang keistimewaan PengemisTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
53 tengkorak-sakti pada ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang
sakti.

Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya karena agak lengah, Pengemis Tengkorak-sakti
tersapu oleh sebuah pukulan Pendekar Laknat. Tetapi durjana
itupun terhunjam sebuah hantaman dari Pengemis Tengkoraksakti.
Kedua-duanya sama-sama terluka parah!
Sejak itu Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun
melenyapkan diri.... Sedang Pendekar Laknat kabarnya pun
dikeroyok oleh keempat durjana Thian, Te, Liong, Hou. Tetapi
keempat durjana itu gagal membunuh Pendekar Laknat.
Mereka menderita luka dan menyembunyikan diri.
Demi mengenangkan jasa Pengemis Tengkorak-sakti. Song
Thay-kun, partai Kay-pang wilayah Kanglam telah
menyempurnakan susunan organisasinya. Menurut tinggi
rendahnya kedudukan, Setiap anggauta mengenakan lencana
Tengkorak yang bentuknya berlainan. Menentukan sandi2
pertanyaan rahasia untuk menghadapi orang yang tak dikenal.
Sandi pertanyaan itu diajukan kedua pengemis pincang tadi
ketika menyambul Siau-liong. Dan pada saat melihat anak itu
berkalung lencana tengkorak, To Kiu-kong segera
mengenalinya, sebagai benda keramat peninggalan Pengemis
Tengkorak-sakti Song Thay-kun. Kemudian untuk menguji
benarkah anak itu murid pewaris dari Song Thay-kun maka To
Kiu-kong telah gunakan jurus Ciong-lo-ban-jio
menyerangnya........
Lenyapnya Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun dari
dunia persilatan, ikut hilang pula ilmu pukulan sakti Thaysiang-
ciang yang menjadi kebanggaan partai Kay-pang di
Kanglam. Kini hanya tinggal ilmu tongkat Ji-thau-ciang hwat
saja yang turun temurun diajarkan dikalangan anak murid
Kay-pang. 54 Jurus Ciong-lo-ban-jio atau Ribuan-gajah-menginjak,
merupakan jurus yang paling istimewa dalam ilmu tongkat Jithau-
ciang-hwat atau Pengemis-minta-tongkat. Tetapi jurus
itu masih kalah unggul dengan jurus Thay-siang-bu-kek, salah
satu jurus dari pukulan sakti Thay-siang-ciang.
Maka tadi begitu diserang, Siau-liong segera tahu gerakan
lawan dan terus gunakan jurus Thay-siang-bu-kek. Dengan
mudah ia dapat menghindari ketiga buah serangan To Kiukong.
Pada saat itulah Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong baru
benar-benar memastikan bahwa Siau-liong adalah pewaris dari
cousu-ya Kay-pang. Dengan begitu berarti Pengemis
Tengkorak-sakti Song-thay-kun muncul kembali.
Girang To Kiu-kong sukar dilukiskan!
Tahun ini Hoasan akan dilangsungkan pertandingan untuk
merebut kedudukan Ketua Umum Kay-pang. Maka
berkumpullah seluruh tokoh-tokoh penting dari murid2 Kaypang
didaerah Kanglam. Mereka hendak merundingkan dan
menentukan jago yang hendak diajukan ke Hoasan. Untuk
menghadang penyelundupan orang luar maka setiap anggauta
yang datang harus buka baju dan mengenakan kalung
berlencana tengkorak.
Demikian To Kiu-kong mengakhiri penuturannya.
Saat itu Siau-liong benar-benar tercengkam oleh berbagai
perasaan. Heran, terkejut, girang, sedih, cemas campur-aduk
memenuhi rongga kalbunya.
Dia menjadi pewaris dari Pengemis Tengkorak-sakti Song
Thian-kun. Tetapi pun menjadi murid dari Koay suhu atau si
55 Pendekar Laknat. Padahal kedua tokoh itu semasa hidupnya,
saling bermusuhan.
Diapun ternyata putera dari si wanita cantik Ki Ih yang
dimusuhi oleh partay-partai persilatan. Lalu sebagai pewaris
Pengemis Tengkorak sakti Song Thay-kun, dia dianggap
sebagai ketua partai Kay-pang daerah Kanglam. Ia bersahabat
dengan partai2 persilatan dan bermusuhan dengan partai Kaypang
daerah Kangpak.
Tetapi sebagai murid dari Pendekar Laknat dan putera dari
Ki Ih, ia harus memusuhi semua manusia di dunia! Ah,
bagaimanakah ia harus bertindak...."
Kepada orang2 Kay-pang, ia mengaku bernama Kongsun
Liong. Ia menuturkan juga pengalamannya masuk ke dalam
perut bumi dan memperoleh ilmu pukulan sakti Thay-siangciang....
Hanya mengenai pertemuannya dengan Koay suhu si
Pendekar Laknat, ia tak menceritakan kepada mereka.
Kini sekalian anggauta Kay-pang menyadari bahwa ketua
mereka yang sakti Pengemis Tengkorak-sakti Song Thian-kun
sudah meninggal. Dan percaya pula bahwa pemuda itu
memang benar-benar menerima ilmu warisan dari Song Thaykun.
Dengan demikian partai Kay-pang daerah Kang-lam akan
jaya kembali. Mereka telah memperoleh pengganti ketua yang baru!
Sejak ber-tahun2 belum pernah pesta pertemuan anggauta
Kay-pang wilayah Kanglam, semeriah dan segembira seperti
saat itu. Hiruk-pikuk kegembiraan berkumandang jauh sampai
diluar biara....
Sekonyong-konyong dari luar pintu biara terdengar sebuah
tertawa gemercik. Sebuah nada yang berciri khas tersendiri.
56 "Ah, dia datang," To Tiu-kong tertawa.
"Siapa?" tanya Siau-liong.
"Salah seorang anggauta pengurus besar partai kita Siaukay
To Tay-tong."
Siau-kay atau Pengemis tertawa Tio Tay-tong melangkah
masuk dan memberi hormat kepada To Kiu-kong lalu tiba-tiba
berseru, "Dunia kacau! Dunia kacau balau."
"Memang kuduga engkau membawa berita luar biasa.
Hayo, cepat beri hormat kepada cousu-ya dulu!" seru To Kuikong.
Memandang Siau-liong, Pengemis-tertawa itu terbeliak.
Tetapi ketika melihat lencana tengkorak didada Siau-liong,
cepat ia berlutut memberi hormat.
Siau-liong merasa kikuk. Ia minta jangan dipanggil Cousuya
atau kakek guru. Tetapi To Kiu-kong mengatakan bahwa
sebutan itu memang diberikan kepada mendiang Pengemis
Tengkorak-sakti. Karena Siau-liong dianggap sebagai
penggantinya maka harus menerima sebutan itu.
Kemudian To Kiu-kong minta penjelasan kepada Pengemistertawa,
"Apa maksudmu. mengatakan dunia kacau-balau
tadi?" Pengemis-tertawa Tio Tay-tong tertawa nyaring sekali,
sahutnya, "Dengan munculnya Cousu-ya, pasti akan lebih
ramai lagi!"
"Lekas katakanlah!" tukas To Kiu-kong.
57 "Semua dedongkot2 persilatan sama muncul lagi. Dunia
persilatan pasti akan dilanda banjir darah pula! Bukankah
dunia kacau-balau?" seru Pengemis-tertawa itu.
Sekalian orang terperanjat. Bahkan ada yang menggigil
gemetar. "Konon kabarnya si Cantik-beracun Ki Ih muncul didaerah
Siok-ciu. Kelima durjana besar pada jaman 20-an tahun
berselang yakni Thian, Te, Liong, Hou dan Pendekar Laknat
muncul lagi. Kay-se Thian-mo dan Te-gak Lo-sat kabarnya
tampakkan diri digunung Thian-san. Keng-san Siat-liong dan
Hou-pik Kau-hun, unjuk diri di Se-pak. Lalu Pendekar Laknat
timbul digunung Hoa-san. Menurut kabar, begitu muncul
Pendekar Laknat dengan dua kali pukulan saja telah
menghancurkan belasan tokoh2 lihay. Coba katakanlah,
apakah dunia takkan kacau-balau?"
"Hongsan" Bukankah Cousu-ya juga datang dari gunung
itu" Apakah cousu-ya mengetahui hal itu?" tanya To Kiu-kong
kepada Siau-liong.
"Hal ini.... karena hampir setahun aku berada dibawah
gunung maka tak pernah kudengar apa2," jawab Siau-liong.
Suasana perjamuan yang gembira-ria, mendadak berobah
menjadi tegang regang, cemas gelisah. Tengah sekalian orang
gelisah, tiba-tiba di udara menggema lagi sebuah tertawa
gelak2 yang amat nyaring.
Sekalian orang terkejut. Mereka memandang kesekeliling
penjuru tetapi tak tampak suatu apa. Siau-liong dan beberapa
tokoh Kay-pang segera melangkah keluar.
58 Dibawah sinar bulan purnama, tampak seorang aneh berdiri
di atas puncak rumah. Orang itu mengenakan pakaian warna
biru. Mukanya ditutup kain selubung hitam.
Siau-liong cepat loncat kewuwungan disusul To Kiu-kong,
Pengemis-tertawa, Tongkat-besi-kiri Tio Thau, Tongkat-besikanan
Li Ji dan lain-lain.
Siau-liong terkejut melihat pendatang yang serba misterius
itu. Pada saat ia hendak menegur, tiba-tiba orang aneh itu
sudah lancarkan dua buah pukulan kepadanya. Tangan kiri
memukul dengan jurus Toh-beng-han-kong atau Sinar-dinginmerenggut-
nyawa. Tangan kanan menghantam dengan jurus
Kian-gun-it-biat atau pukulan Panglebur-jagad!
Siau-liong terpaksa mundur selangkah, Melihat serangan itu
begitu hebat, ia duga orang itu tentu bukan tokoh
sembarangan. Ingin ia menyapa tetapi kembali orang itu
menyerangnya lagi. Dua buah tangannya susul menyusul
melontarkan hantaman dengan jurus yang aneh dan dahsyat.
Dalam sekejab saja, sembilan buah pukulan berantai dan
enam buah tendangan, telah diserangkan.
Siau-liong tak sempat bertanya lagi. Ia mengkal sekali
kepada keberandalan orang itu. Segera ia balas menyerang
dengan ilmu pukulan Gun-go-ciang ajaran gurunya Kongsun
Sin-to yang terdiri dari 36 jurus.
Namun orang misterius itu memiliki kelincahan yang
mengagumkan sekali. Jurus2 pukulannya sangat aneh, penuh
perobahan yang sukar diduga.
Baru lebih kurang sejam dinobatkan sebagai ketua Kaypang,
Siau-liong sudah mendapat ujian berat. Diam-diam ia
mengagumi kesaktian orang itu.
59 Tetapi diam-diam ia malu terhadap anak buah Kay-pang
karena sudah bertempur 100 jurus masih belum dapat
mengalahkan lawan. Rasa malu itu membangkitkan
kemarahan Siau-liong....
---ooo0dw0ooo---
Jilid 02 Kilat Lawan Tengkorak
TO KIU-KONG terkesiap. Dahulu ilmu pukulan Thay-siangciang
yang dimainkan mendiang Pengemis Tengkorak, tidaklah
sedahsyat yang dilancarkan Siau-liong saat itu.
Tetapi kesaktian orang berkerudung itupun bukan olaholah.
Memang pada saat menghadapi taburan Thay-lo-kimkong-
ciang, ia terhuyung-huyung mundur sampai tiga
langkah. Tetapi setelah itu, ia loncat menerjang maju lagi.
Siau-liong marah. Cepat ia melambung ke udara. Setelah
berputar-putar, ia menukik dan siap lancarkan jurus kedua:
Siu-lo-pan-cha.
Ketika melihat sepasang telapak tangan Siau-liong berkilat2
merah, To Kiu-kong dan kawan-kawannya memekik
kaget: Bu-kek-sin-kang!
Sebenarnya Siau-liong tak mau menggunakan ilmu pukulan
Bu-kek-sin-kang itu. Karena hal itu akan mengakibatkan
dirinya diketahui orang. Tetapi karena musuh terlampau sakti,
terpaksa ia mengeluarkan pukulan tenaga-sakti itu.
To Kiu-kong terkejut. Ia duga orang berkerudung itu tentu
hancur. Tetapi diluar dugaan orang misterius itu malah
60 tertawa melengking menghindar kesamping dan menyongsong
pukulan Siau-liong dari samping.
Dess.... kembali terjadi benturan antara tenaga-sakti keras
lawan tenaga-sakti lunak. Dan pukulan Siau-liong itupun
buyar.... Siau-liong makin heran. Alangkah hebatnya kepandaian
orang itu! Diam-diam Siau-liong seperti pernah mengenal
ketawa dan gerak-gerik orang itu. Tetapi entah dimana, ia
lupa. Dan yang terutama membuat Siau-liong terpukau ialah
tenaga-lunak yang dimiliki orang itu. Benar-benar ia belum
pernah menyaksikan.
To Kiu-kong dan rombongannya terkejut karena melihat
Siau-liong tertegun diam. Tetapi sebelum mereka bertindak,
orang aneh itu sudah buang diri berjumpalitan beberapa
tombak ke belakang. Kemudian dengan tiga kali locatan, ia
sudah lolos. Siau-liong cepat mengejar. To Kiu-kong
gelagapan. Sungguh berbahaya membiarkan ketua mereka
mengejar seorang diri. Segera ia ajak anak buahnya
menyusul. Tetapi walaupun menyusup hutan melintasi
gunung, mereka tak dapat menemukan ketua mereka dan
orang aneh itu.
Tiba-tiba dari arah tenggara terdengar suitan nyaring. To
Kiu-kong dan anak buahnya segera menuju kesana. Mereka
tiba di sebuah kuil kecil dipinggir kaki gunung. Sekelilingnya
penuh pohon cemara dan hutan bambu. Rakyat menamakan
Thing-si-poh atau kuil Penyimpan Peti-mati. Suitan tadi jelas
berasal dari kuil itu.
Saat itu rembulan sudah condong kebarat. Suasana
disekeliling kuil, amat seram. Bahkan seorang jago sakti
seperti To Kiu-kong, diam-diam pun menggigil dalam hati.
61 Tetapi rasa seram itu segera lenyap ketika menyadari
bahwa suitan nyaring tadi jelas tentu dari jago silat yang
memiliki lwekang sakti. To Kiu-kong segera menghampiri kuil
itu. Dan ketika mengintai ke dalam kuil, hampir saja To Kiukong
dan anak buahnya terkejut pingsan.... Soh-beng Ki-su
yang berwajah seperti mayat, tengah berputar-putar diantara
peti mati karena hendak menerkam si dara cantik Tiau Bokkun!
Dalam ruang kuil itu terdapat tak kurang dari 200 buah peti
mati. Tiau Bok-kun termasyhur memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sakti. Karena itu kaum persilatan menyanjungnya
dengan gelar Dewi Kilat.
Entah bagaimana mulanya Tiau Bok-kun dikejar-kejar Sohbeng
Ki-su dalam kuil situ. Untung berkat ginkangnya yang
sakti, nona itu dapat berlincahan menyelundup diantara selasela
peti-mati sehingga Soh beng Ki-su meraung-raung seperti
singa kelaparan.
Seharusnya To Kiu kong tak dapat berpeluk tangan
mengawasi nona itu diancam Soh-beng Ki-su yang termasyhur
sebagai Hwat-giam-lo-ong atau Giam-lo-ong hidup (Raja
Akhirat). Tetapi ketua Kay-pang itupun menyadari bahwa jika
sekali pukul tak dapat membinasakan Soh-beng Ki-su,


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akibatnya berbahaya. Kay-pang tentu akan tambah mendapat
seorang musuh yang ganas.
Tampak Soh-beng Ki-su mengamuk sekali. Kesepuluh
jarinya yang runcing macam cakar garuda, mendesis-desis
mengeluarkan asap Pek-kut-kang atau ilmu sakti Tulang-putih
mulai dilancarkan!
Dibawah taburan ilmu-sakti Pek-kut-kang itulah dahulu Tiau
Bok-kun pernah menderita luka. Untung pada waktu itu ia
ketemu dan ditolong Siau-liong.
62 Seketika pucatlah wajah Tiau Bok-kun.
Cress.... tiba-tiba Soh beng Ki-su mencengkeram. Dan
serempak dengan itu, To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa
segera hendak loncat menerjang untuk menolong Tiau Bokkun.
Tetapi, uh.... terpaksa mereka hentikan gerakannya.'
Ternyata cengkeraman Soh-beng Ki-su itu tidak ditujukan
pada Tiau Bok-kun tetapi kesebuah peti-mati yang berada di
samping kanannya. Krak.... kayu penutup peti hancur lebur
beterbangan keempat penjuru....
Kiranya tujuan Soh-beng Ki-su hanya hendak memamerkan
betapa dahsyat tenaga cengkeramannya itu agar si nona
menyerah saja. Demikian dugaan To Kiu-kong. Tetapi ternyata
dugaan itu meleset.
Setelah menghancurkan tutup peti, jari Soh-beng Ki-su
tetap memancarkan aliran tenaga-sakti ke dalam peti. Tibatiba
mayat dalam peti itu pun bangun.
Dalam kuil di tengah hutan dengan berisi 200 buah peti
mati, sudah cukup membuat nyali copot. Apalagi sesosok
mayat dapat bangun dan duduk. To Kiu-kong dan Pengemis
Tertawa hampir jatuh kelenger....
Karena takutnya Tiau Bok-kun menjerit. Tetapi karena Sohbeng
Ki-su menghadang dimuka, terpaksa ia menyelinap
mundur ke belakang dua buah peti mati.
Soh-beng Ki-su mengangkat tangan dan tengkorak itupun
berdiri lalu loncat keluar dari peti matinya.
Hai! Adakah Soh-beng Ki-su memiliki ilmu sihir"
63 Tidak! Ilmu itu disebut tenaga-sakti Pek-kut-kang atau ilmu
Tulang Putih. Ilmu tersebut didasarkan pada latihan menyedot
hawa phosporus mayat-mayat yang sudah menjadi tengkorak.
Dengan latihan itu dapatlah Soh beng Ki-su menggerakkan
mayat dan diperintah menurut sekehendak hatinya. Antara
lain disuruh bersilat dan menyerang orang!
Berturut-turut Soh-beng Ki-su menghidupkan tengkorak2
lalu diperintahkannya mengepung Tiau Bok-kun. Diantara
mayat2 yang dihidupkan itu, terdapat beberapa kerangka
tengkorak yang masih belum hancur dagingnya. Selain ujutnya
mengerikan, pun baunya bukan alang kepalang....
Tiau Bok-kun menggigil. Gerahamnya berkerenyut keras.
Sambil kepalkan tinju dan memegang pedang erat-erat, ia
bersiap-siap. Setelah menghidupkan tengkorak2 itu, Soh-beng Ki-su pun
segera berseru memberi perintah. Sesosok tengkorak segera
mainkan kedua tulang tangannya menyerang Tiau Bok-kun.
Nona itu tak gentar. Ia mainkan pedangnya dalam jurus
Angin-puyuh. Tetapi pada saat sepasang tulang lengan
tengkorak itu akan tertabas, tiba-tiba Soh-beng Ki-su gerakkan
tangan kiri dan berseru memberi komando, "Si-heng pianyap...."
Tengkorak disebelah kiri yang kerat dagingnya masih
melekat, segera menyerang Tiau Bok-kun. Bau busuk
berhamburan memenuhi ruang.
Hebat dan ngeri sekali! Dibawah perintah gerakan tangan
Soh-beng Ki-su, tengkorak yang masih berdaging itu dapat
menyerang dengan ilmu pukulan Pek-kut-kang yang hebat.
Nona itu tak keburu menangkis. Untung ia memiliki ginkang
yang hebat dan otak yang tajam, Sekonyong konyog ia
64 bertekuk tubuh ke belakang sampai punggung mendatar
dengan tanah. Pedang dilintangkan untuk menjaga tubuh.
Kemudian dengan menjaga tubuh. Kemudian dengan sebuah
gerakan yang luar biasa, ia melenting kemuka dan menerobos
kepungan, melalui celah dua sosok tengkorak.
Tetapi usaha nona itu tak banyak menolong. Hanya
beberapa detik ia dapat bernapas legah atau ia terkejut
karena dapatkan dibelakangnya itu merupakan dinding kuil.
Tak mungkin ia dapat loncat mundur lagi. Sedang kelima
tengkorak itu hanya dengan dua tiga kali loncatan, sudah
berjajar menghadang Tiau Bok-kun. Walaupun tengkoraktengkorak
itu sudah tak bermata lagi tetapi muka mereka
yang tertuju kepada si nona, tak ubah seperti orang yang
dapat melihat. Pada saat Tiau Bok-kun sedang terpojok, Soh beng Ki-su
pun giat menghancurkan tutup beberapa peti-mati lagi.
Berpuluh-puluh tengkorak loncat keluar dari peti masingmasing.
Ada yang mukanya hancur tetapi hidungnya
complong tetapi mulut masih melekat dengan jenggot yang
memanjang lebat. Pendek kata, barang siapa menyaksikan
pemandangan saat itu, tentu akan pingsan atau mati kaku!
Berpuluh-puluh mayat dan tengkorak yang tak keruan
ujutnya itu, berkerumun mengepung Tiau Bok-kun. Betapapun
hebat ilmu ginkang nona itu, namun kiranya tak mungkin ia
mampu lolos dari kepungan barisan Si-mo-tin atau barisan
Tengk-rak itu. To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa mempunyai rencana
sama. Satu2nya jalan untuk menolong si nona. hanyalah
dengan meringkus Soh-beng Ki-su.
65 Namun keduanya menyadari bahwa sekalipun keduanya
maju serempak, belum tentu dapat mengalahkan Soh-beng Kisu.
To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa benar-benar tersiksa
batinnya. Tidak menolong, tak sampai hati. Namun menolong
pun belum tentu berhasil. Dan kegagalan itu berakibat besar
bagi partai Kay-pang.
Namun dapatkah mereka hanya berpeluk tangan saja" Ah,
perbuatan itu berlawanan dengan jiwa seorang ksatrya!
Tetapi sebelum keduanya bertindak, tiba-tiba lima sosok
bayangan melayang masuk dari atas tembok dan berjajar di
belakang Soh-beng Ki-su. Mereka bukan lain adalah ketua
Kong tong-pay To Hun-ki dan keempat Kong-tong Su-lo.
Serentak Soh-beng Ki-su berputar tubuh, "Oho, disurga
terbentang jalan lebar, kamu malah pilih masuk ke Neraka.
Bangsat tua, serahkan jiwamu!"
Soh-beng Ki-su atau Pertapa Pencabut-nyawa itu gerakkan
sepasang jari tangannya yang runcing. 8eketika ribuan cakar
putih berhamburan ke arah kelima tokoh partai Kong-tong-pay
itu. Kui-ing-tong-tong atau Bayangan-setan-lalu-lalang,
demikian jurus yang dimainkan pertapa gila itu.
Tiau Bok-kun tak mau men-sia2kan kesempatan sebagus
itu. Pada saat Soh-beng Ki-su sibuk menghadapi kelima tokoh
Kong-tong-pay, nona itu segera mainkan pedang dalam jurus
Sip-hong-sip-u atau Sepuluh-angin-sepuluh-hujan untuk
membobol kepungan barisan tengkorak yang tak berkomando.
Tetapi gerak gerik nona itu tak luput dari pengawasan
sipertapa ganas. Seperti tumbuh mata pada punggungnya,
66 Soh-beng Ki-su segera memberi perintah kepada barisan
Tengkorak, "Cui-si-kui-gok."
Mendengar perintah Cui-si-kui-gok atau Mayat hancur-iblismenangis
itu, barisan Tengkorak segera menyerbu Tiau Bokkun
lagi. Dan anehnya, tengkorak yang mempelopori
penyerangan itu dapat menghindar apabila Tiau Bok-kun
menabasnya. Mereka tetap merangsang maju.
Tiau Bok-kun makin gugup. Ia mainkan jurus Hong-u-putthou
atau tak-tembus-hujan-angin untuk melindungi diri....
Dalam pada itu To Hun-ki dan keempat Su-lo, dengan
susah payah dapat menghindari serangan pertapa ganas itu.
Tetapi belum sempat balas menyerang, Soh-beng Ki-su sudah
menyerangnya sambil memberi komando kepada barisan
Tengkorak. Tetapi karena perhatiannya agak terpecah dalam
memberi komando dan menyerang sendiri, mala berkuranglah
kedahsyatan serangan barisan Tengkorak maupun Soh-beng
Ki-su sendiri. Dengan begitu Tiau Bok-kun dapat bertahan
beberapa saat. Seperti telah dituturkan dibagian muka, pada saat
menghadapi siwanita cantik Ki Ih, Soh-beng Ki-su terpaksa
mundur dan melarikan diri ke dalam kuil itu. Sebenarnya ia
hendak mempersiapkan barisan Tengkorak untuk membunuh
wanita itu. Tetapi tak ter-duga2, Tiau--Bok-kun melangkah
masuk. Melihat itu iapun terus menerkam si nona....
Mendiang ayah nona itu telah meninggalkan sebuah Giokpwe
atau Pending Kumala. Nona itu tak menyangka sama
sekali bahwa Giok-pwe itu ternyata sebuah tempat
penyimpanan pusaka. To Hun-ki sudah memperoleh separoh
bagian. Jika ia dapat merebut separoh bagian yang menjadi
milik Tiau Bok-kun, tentulah ia dapat menemukan tempat
penyimpanan pusaka itu. Apabila berhasil, bukan saja wanita
67 cantik Ki Ih, bahkan kelima durjana yang termasyhur itu, pun
dapat ditundukkan.
Demi membangun pamor kejayaan Kong-tong-pay dan
nasib dunia persilatan maka To Hun-ki berusaha keras untuk
memperoleh Giok-pwe itu.... Apabila benda itu sampai jatuh
ketangan si Pertapa Pencabut-nyawa, akibatnya ngeri sekali.
Soh-beng Ki-su seperti harimau tumbuh sayap.
Tetapi Tiau Bok-kun pun mati2an mempertahankan
peninggalan orangtuanya. Maka terjadilah peristiwa kejar
mengejar yang seru itu.
Pertempuran antara Tiau Bok-kun lawan barisan Tengkorak
dan kelima tokoh Kong-tong-pay lawan Pertapa Pencabutnyawa,
telah berlangsung sampai beberapa puluh jurus To
Hun-ki tak mungkin menang dan Tiau Bok-kun pun tak
mungkin lari. Adakah To Hun-ki tak menyadari
kedudukaannya"
Tidak! To Hun-ki tahu bahwa ia tak mungkin menang.
Tetapi ia tetap bertempur karena supaya dapat memberi
kesempatan Tiau Bok-kun lolos. Apabila nona itu lolos, kelak ia
tentu masih mempunyai kesempatan untuk merebut Giokpwe.
Untuk memberi kesempatan lari kepada si nona, To Hun-ki
memancing lawan supaya bertanding diluar kuil. Tetapi
pertapa ganas itu tak mau disiasati. Ia tertawa mengekeh dan
tetap merangsang kelima tokoh Kong-tong-pay.
To Hun-ki teringat tempo bertempur seorang diri melawan
pertapa itu, ia dapat bertahan sampai 30 jurus. Segera ia
mengambil keputusan. Keempat Su-lo disuruh membantu si
nona meloloskan diri dari kepungan barisan Tengkorak.
Sedang Soh-beng Ki-su hendak dihadapinya sendiri.
68 Tetapi berhadapan dengan manusia licin macam Soh beng
Ki-su, To Hun-ki benar-benar mati kutu. Sebelum sempat
menjalankan rencananya, Soh-beng Ki-su sudah mendesak
kelima tokoh Kong-tong-pay itu dengan gencar dan
menggiring mereka ke dalam barisan Tengkorak.
Melihat suasana pertempuran, To Kiu-kong dan Pengemis
Tertawa tak dapat tinggal diam lagi. Tetapi sebelum mereka
bertindak, lagi2 muncul pula seorang wanita baju putih,
memakai kerudung warna hitam dan mencekal sebatang
pedang San-tiam-kaim.
"Ki Ih si Ular cantik!" serentak sekalian orang berteriak
kaget dalam hati. Hanya Tiau Bok-kun yang tak kenal siapa
wanita aneh itu.
Belum wanita itu berdiri tegak, pedangnya sudah
menghambur ke arah barisan Tengkorak. Dua tiga sosok
tengkorak, hancur berantakan....
Soh-beng Ki-su cepat mencabut senjatanya yang berbentuk
piau atau passer untuk menyambut.
Sepuluh tahun yang lalu, ilmu pedang San-tiam-kiam atau
Pedang Kilat dari Ki Ih sudah termasyhur. Kini setelah
berselang 10 tahun, tentulah jauh lebih hebat lagi. Ilmu
pedang itu selalu berlawanan geraknya dengan ilmu pedang
biasa. Gerakan yang kosong ternyata gerakan sesungguhnya
dan gerakan yang tampak sungguh kiranya kosong.
Gelombang sinar pedang dan deru angin yang dahsyat
makin menguasai sinar senjata Soh-beng Ki-su. Namun
pertapa itu bukanlah lawan yang empuk. Dengan ilmu Pekkut-
kang, ia dapat memberi perintah kepada barisan
Tengkorak supaya memecah diri dalam kelompok kecil untuk
69 mengurung setiap lawan Dengan mendapat bantuan barisan
Tengkorak itu, Soh-beng Ki-su dapat memperbaiki
kedudukannya yang terdesak.
Ki Ih memang lihay tetapi betapa pun ia seorang wanita.
Berhadapan dengan tengkorak2 yang amat menyeramkan,
hatinya ngeri juga sehingga mengakibatkan permainan
pedangnya agak lamban.
Melihat permainan pedang Ki Ih tak begitu mantap lagi,
Soh-beng Ki-su segera pergencar serangannya dan berhasil
menguasai permainan lawan.
Ki Ih terdesak tetapi di sana, Tiau Bok-kun dan kelima
tokoh Kong-tong-pay berhasil merubuhkan tujuh delapan
sosok tengkorak. Soh-beng Ki-su mulai cemas Kalau Tiau Bokkun
sampai lolos, berantakanlah rencananya. Memikirkan hal
itu, perhatiannya agak terpecah. Keadaan itu tak lepas dari
pengamatan Ki Ih. Dengan beberapa serangan dapatlah ia
merobah kedudukannya. Dari yang diserang menjadi
penyerang. Soh-beng Ki-su benar-benar gelisah. Buru-buru ia bolangbalingkan
cakarnya ke arah deretan peti mati. Tak kurang dari
30 buah peti mati hancur tutupnya dan mayat2 di dalamnya
segera berloncatan keluar menyerbu musuh.
Pertapa Pencabut-nyawa itu tertawa seram dan barisan
Tengkorak lalu meraung-raung, menangis macam iblis
merintih-rintih....
Dengan munculnya barisan bantuan itu, Ki Ih dan
rombongan Kong-tong-pay terdesak lagi. Mereka lebih banyak
bertahan daripada menyerang....
70 Sekonyong konyong terdengar suara tertawa menggeledek.
Dikala sekalian orang terkesiap, sesosok tubuh dalam jubah
gerombyongan, melayang masuk ke dalam ruang. Gerakannya
gesit dan tak mengeluarkan suara apa-apa....


Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekalian orang terkejut dan yang paling terperanjat sendiri
adalah Soh-beng Ki-su. Hampir ia tak percaya pada apa yang
dilihatnya. "Ah, tak mungkin.' Bukankah dia sudah kuhantam mati di
lembah gunung Hongsan" Mustahil orang mati dapat hidup
kembali." bantahnya dalam hati.
"Siapakah engkau, hai!" tegurnya bengis untuk
menenangkan getar hatinya.
Wut.... orang aneh itu menjawab dengan kebutkan lengan
jubahnya.... Secercah sinar merah berkilat dan dua tiga puluh
tengkorak segera hancur menjadi abu....
"Pendekar Laknat!" seru Soh-beng Ki-su terkejut.
"Hm, benar Memang orang yang kau bunuh itu tidak mati!"
sahut orang aneh itu.
"Lalu siapa yang mati itu?"
Orang aneh itu tertegun sejenak, sahutnya, "seorang tua
yang tak berdosa!"
Soh-beng Ki-su makin gentar. Akhirnya ia berseru kalap,
"Mau apa engkau kemari?"
Orang aneh itu tertawa nyaring. Ruang kuil bergetaran.
71 "Aku hendak menuntut balas atas kematian orang tua itu!"
katanya seraya mendorong dengan kedua tangannya.
Segulung hawa panas melanda dan hancurlah sisa-sisa barisan
Tengkorak.... Tiau Bok-kun tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cepat
ia menyelinap keluar. To Hun-ki dan keempat Su-lo mengikuti
lolos. Melihat ketua Kong-tong-pay kabur, Ki Ih cepat
mengejar.... To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa yang menyaksikan di
atas tembok kuil, diam-diam merasa heran. Rasanya dahulu
Pendekar Laknat itu tidak sedemikian tinggi besar. Namun
kalau menilik ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang yang dilancarkan
itu, memang benar Pendekar Laknat.
Memang hal itu dapat dimengerti karena kedua tokoh
pengemis itu tentu tak dapat membayangkan bahwa Pendekar
Laknat yang muncul saat itu bukan lain adalah Siau-liong
sendiri. Itulah yang kedua kalinya ia menyamar sebagai Pendekar
Laknat. Dan untuk yang kedua kalinya pula berjumpa dengan
ibunya. Sayang ia tak tahu bahwa wanita berkerudung muka
adalah Ki Ih, ibunya sendiri. Tetapi andaikata tahu, pun ia
tentu tak leluasa bicara karena masih menyamar sebagai
Pendekar Laknat....
Setelah mereka pergi, barulah Siau-liong terkesiap. Ia
curiga akan gerak-gerik wanita berkerudung tadi. Cepat ia
memutuskan, bunuh dulu Pertapa Pencabut-nyawa itu, baru
mengejar wanita berkerudung yang diduga tentulah ibunya.
Diserangnya Soh-beng Ki-su dengan jurus Sin-liong-thaysan
atau Naga-sakti-gunung-Thaysan. Tetapi Pertapa itu
bukan tokoh lemah. Tak mau ia gunakan senjata melainkan
72 dengan tangannya yang mirip cakar burung garuda. Ia
menakar pukulan lawan dengan sepuluh jari yang disaluri
tenaga-sakti Pek-kut-kang atau Tulang-putih.
Siau-liong masih belum dapat menguasai lwekang Bu-keksin-
kang. Ia hanya tahu menggunakan tenaga-sakti itu dengan
cara keras. Akibatnya ia menderita. Ia terhuyung-huyung
mundur sampai empat langkah. Darahnya bergolak keras.
Soh-beng Ki-su juga terserut mundur selangkah. Hanya
penderitaannya lebih kecil dari lawan.
Setelah tenangkan diri, Siau-liong mengatur siasat.
Tubuhnya bergerak ke kanan kiri lalu tangannya mengendap
ke bawah. Tiba-tiba tangannya dibalikkan menampar kekiri.
Ah, ternyata dia lancarkan jurus pukulan Membalik-langit. Dari
delapan penjuru, melandalah angin lwekang-panas ke arah
Soh beng Ki-su....
Soh-beng Ki-su cepat menyurut mundur. Ia tahu bahwa
ilmu pukulan Pek-kut-kang tak berguna terhadap Pendekar
Laknat. Segera ia gunakan jurus Yang-kek-im-seng atau
Hawa-positip-berganti Negatip. Jurus itu merupakan salah satu
jurus hebat dari ilmu pukulan Thay-im-ki-bun-sip pat-hoan
yang terdiri dari delapan belas jurus.
Terdengar letupan keras ketika dua buah pukulan yang
berlawanan sifatnya itu, saling berbentur....
Tamparan dari sebelah kiri tak berhasil, Siau-liong cepat
mengganti dengan tamparan sebelah kanan. Gejolak angin
menghambur lebih dahsyat. Memang tamparan kiri itu
berbeda sifatnya dengan tamparan kekanan. Lebih mantap
dan lebih berat.
73 Tetapi Soh-beng Ki-su tetap gunakan salah sebuah jurus
dari ilmu Thay-im-ki bun-sip-pat-hoan untuk menghalau
serangan pemuda itu.
Siau-liong marah. Ia rangkapkan kedua tangan lalu
mendorong kemuka. Itulah yang disebut pukulan To-sia-sanho
atau Menjungkir-balikkan-gunung-dan-sungai.
Perobahannya paling banyak dan perbawanya paling dahsyat.
Tetapi Soh-beng Ki-su dapat tetap menangkis. Akhirnya
tersadarlah Siau-liong. Hanya diimbangi dengan ilmu pukulan
Thay-siang-ciang ajaran mendiang Pengemis Tengkorak Song
Thian-kun. Barulah pukulan lwekang-sakti Bu-kek-sin-kang itu
benar-benar dapat mengembang kedahsyatannya. Tetapi, ah,
jika ia gunakan pukulan Thay-siang-ciang, tentulah dirinya
akan dikenal To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa yang
bersembunyi diluar kuil. Padahal ia tak menghendaki hal itu.
Karena keseganan itu maka walaupun sudah bertempur
berpuluh jurus, tetap ia tak mampu mengalahkan Soh-beng
Ki-su. Namun ia tak mau memberi ampun kepada musuh yang
telah membunuh Koay suhu atau Pengemis Tengkorak itu.
Akhirnya ia mendapat akal. Sengaja ia pura-pura kalah dan
mundur, ketika ia mundur sampai diambang pintu, Soh-beng
Ki-su menghunjamnya dengan sepasang pukulan dahsyat dan
Siau-liong membiarkan dirinya dilanda angin pukulan lawan.
Begitu malayang turun diluar kuil, cepat ia kebutkan lengan
jubah ke arah To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa. Sudah
tentu kedua tokoh pengemis itu terkejut bukan kepalang Jika
tak cepat lari, tentulah tubuh mereka hangus dilanda lwekang
panas Bu-kek-sin-kang. Sekali loncat kedua tokoh itu kaburlah.
Tepat pada saat mereka lari, terdengarlah jeritan ngeri dan
rubuhnya tembok kuil. Tetapi tokoh-tokoh pengemis itu tak
berani berpaling muka. Mereka lari terbirit"birit.
74 Siasat Siau-liong berhasil. Setelah dapat menghalau kedua
tokoh Kay-pang itu, ia segera lepaskan pukulan Thay-siangciang
disertai lwekang Bu-kek sin-kang. Jurus yang dipilih
Siau-liong adalah jurus Siu-lo-pan-cha. Jurus yang paling
dahsyat dan tepat untuk menghancurkan segala macam iblis
laknat termasuk seorang durjana besar seperti Soh-beng Kisu.
Pertapa itu menjerit ngeri. Ia terluka parah Tembok kuil
yang berada dibelakangnya ambruk. Tetapi sebagai rase tua,
walaupun dalam keadaan terluka, ia masih dapat
menggunakan tipu siasat. Darah yang hendak menyembur
dari mulut ditekan sekuatnya. Dan ia masih tetap melayani
serangan Siau-liong dengan tenang. Begitu memperoleh
kesempatan, tiba-tiba ia semburkan darahnya kemuka lawan.
Siau-liong terkejut. Setitikpun ia tak menyangka akan
menerima serangan yang begitu luar biasa. Darah yang
disemburkan mulut Soh-beng Ki-su itu jauh lebih berbahaya
dari segala macam senjata rahasia. Jika kena, muka Siau-liong
tentu hancur lebur!
Cepat pemuda itu loncat menghindar.... Serempak dengan
itu, Soh-beng Ki-su pun lotos keluar dari reruntuhan tembok.
Siau-liong mengejarnya.
Menilik sudah terluka parah tentu Soh-beng Ki-su tak dapat
lolos. Tetapi dasar belum takdirnya mati. Setelah melintas
lamping gunung, pertapa itu menyusup ke dalam hutan.
Berkat malam gelap dan hutan lebat, pertapa itu dapat
melenyapkan diri.
Siau-liong terpaksa hentikan pengejarannya.
75 Ia berjalan lesu. Tiba-tiba ia teringat waktu menolong Tiau
Bok-kun dalam biara, diluar biara ia mendengar Soh-beng Kisu
berteriak, "Hai, Ki Ih, perlu apa engkau berkerudung
muka.... "Hai!" serentak Siau-liong tersadar bahwa wanita
berkerudung muka tadi tentulah ibunya. Tetapi, ah.... kembali
ia menghilangkan kesempatan baik untuk menemui ibunya itu.
Segera ia lari mencari wanita berkerudung tadi. Tetapi ia
kehilangan arah dan tak tahu jalan keluar dari pegunungan
situ. Akhirnya ia lari ke arah timur. Tak berapa lama ia
berhadapan dengan sebuah karang buntu. Jauh dibawah
karang itu, terhampar sebuah jalan yang merentang ke dalam
hutan. Terpaksa ia menuruni karang yang curam itu....
Pada saat tiba di bawah, dari dalam hutan disebelah muka,
terdengar suara senjata beradu. Cepat ia lari memburu.
Betapa kejutnya ketika melihat Ki Ih sedang dikeroyok To
Hun-ki dan rombongan To Kiu-kong
Kisah Sepasang Rajawali 21 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 3
^