Pendekar Panji Sakti 10

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 10


enang siapa kalah sesungguhnya sudah tertera di depan mata.
Ouyang bersaudara kelihatan sangat kegirangan begitu melihat kemunculan Hay Tay-sau, sorak mereka berbareng:
"Aaah, rupanya paman Hay telah datang! Hmm, bajingan kaum laknat, akan kulihat apakah kalian masih bisa berbangga diri?"
Belum selesai teriakan itu, tiba-tiba Hay Tay-sau sudah mengayunkan tangannya menampar wajah pemuda yang berada di paling depan, umpatnya penuh amarah:
"Kurang ajar, baru sekarang kalian mau mengakui paman Hay" Memangnya tadi kalian sudah buta semua?"
"Tadi.... tadi...." Ouyang bersaudara tergagap tidak mampu melanjutkan katanya.
"Dasar budak yang tidak becus" umpat Hay Tay-sau semakin gusar, "sudah tahu tidak punya kemampuan, masih berani mencari keonaran diluaran, hmmm! Aku pun ikut dibuat malu oleh tingkah laku kalian!"
Ouyang bersaudara hanya tundukkan kepalanya rendah-rendah, dalam keadaan begini tentu saja mereka semakin tidak berani banyak bicara.
Kembali Hay Tay-sau membalikkan tubuhnya, kepada kawanan lelaki berkerudung itu bentaknya:
"Sekarang aku sudah datang, kenapa kalian masih berdiri melongo disitu" Sana, pergi, pergi, pergi!"
Kawanan lelaki berkerudung itu masih berdiri tidak bergerak.
"Kenapa belum pergi?" bentak Hay Tay-sau lagi gusar,
"memangnya mau menunggu sampai aku turun tangan sendiri?"
Baru saja dia merentangkan sepasang lengannya, mendadak terdengar seseorang berkata dengan nada dingin:
"Mereka tidak mungkin berani pergi!"
Suaranya halus dan lembut, jelas suara seorang wanita, tapi sayang nadanya begitu dingin dan hambar, sama sekali tidak berperasaan.
Begitu bertemu dengan wanita tersebut, kawanan lelaki berkerudung itu serentak meluruskan tangannya ke bawah sambil membungkukkan tubuh.
Dalam pada itu Ouyang bersaudara telah menuding kantung kain yang berada ditangan perempuan itu sambil berteriak:
"Paman Hay, kantung yang berada ditangan perempuan itu adalah perhiasan milik siautit"
"Minggir kalian semua, jangan banyak bicara lagi" tukas Hay Tay-sau sambil membentak marah.
Sementara itu gadis berbaju hijau itu sudah meletakkan kantungan kain tadi ke tanah, katanya perlahan:
"Benar, isi kantung ini adalah perhiasan mahal, apakah kalian akan mengambilnya kembali?"
"Mungkin mereka tidak mampu untuk memintanya balik, sayang masih ada orang lain yang akan memintanya" jengek Hay Tay-sau.
"Menurut pendapatku, toh barang perhiasan ini hendak disum-bangkan orang lain, kenapa mesti bersusah payah untuk memintanya balik?"
Seorang anggota Ouyang segera tampil dari belakang Hay Tay-sau seraya berteriak:
"Biarpun akan diberikan orang lain, bukan berarti akan di berikan kepadamu...."
Baru berapa patah kata dia berbicara, "Ploookk!" kembali Hay Tay-sau sudah menghadiahkan sebuah tempelengan ke atas wajahnya.
Dalam pada itu Bi lek Hwee dan Thiat Tiong-tong sudah menyusul tiba, masih berada dikejauhan orang tua itu sudah berteriak:
"Saudara Hay, kalau ingin berkelahi, silahkan saja berkelahi, masih ada lohu disini"
Dengan sepasang matanya yang jeli nona berbaju hijau itu menatap wajah Thiat Tiong-tong berapa kejap, anak muda itu segera merasakan betapa dingin dan bergidiknya sorot mata orang.
Hay Tay-sau tertawa keras.
"Hahahaha.... betul, semestinya barang perhiasan itu hendak mereka persembahkan kepada kawanan lebah itu, mereka memang tidak pantas memintanya balik"
"Kalau begitu biar aku mewakili para saudara yang lain mengucapkan terima kasih kepadamu" sela si nona berbaju hijau itu cepat.
Tiba-tiba Hay Tay-sau menghentikan gelak tertawanya, dengan suara yang keras ucapnya:
"Sekalipun mereka tidak berhak memintanya kembali, bukan berarti akan diberikan kepadamu, piauhok itu sudah bertukar nama menjadi milik marga Hay!"
"Benarkah begitu" Coba kau panggil, apakah dia akan menyahut?"
Hay Tay-sau tertawa keras, mendadak dia membungkukkan tubuh menghampiri buntalan itu, setelah menepuknya perlahan bisiknya:
"Anakku sayang, anakku sayang, apakah kau sudah
mendengar ayah sedang memanggilmu?"
Thiat Tiong-tong yang menyaksikan adegan itu diam-diam tertawa geli, pikirnya:
"Biarpun orang ini berangasan dan tinggi emosinya, ternyata dia memiliki hati yang polos, dalam melakukan perbuatan apapun tidak pernah lupa untuk bergurau"
Setelah berlagak seolah sedang mendengarkan jawaban, Hay Tay-sau kembali bangkit berdiri, katanya sambil tertawa:
"Ternyata dia sudah setuju, kalian semua ikut mendengar
jawabannya?"
"Benar, aku mendengarnya, aku mendengarnya, malah mendengar dengan jelas sekali" sahut Bi lek Hwee sambil tertawa tergelak.
"Tentu saja mendengar dengan jelas" kata Hay Tay-sau lagi sambil tertawa, "hanya orang tuli yang tidak mendengarnya"
Paras muka nona berbaju hijau itu tetap dingin dan hambar, setelah menatap lawannya sekejap, dia menyahut:
"Aku pun sudah mendengarnya dengan jelas, tapi dia bilang mau ikut aku saja, jadi percuma kau mengajaknya pergi, dia pasti akan menolak"
"Omong kosong...."
"Dia sudah menjawab dengan jelas, hanya orang goblok yang akan salah dengar"
"Berubah, berubah, ternyata dunia sudah berubah" umpat Bi lek Hwee sambil tertawa, "ternyata perempuan persilatan jauh lebih lihay daripada kaum lelakinya"
"Kalau begitu kau ingin paksa aku untuk turun tangan?"
Tanya Hay Tay-sau marah.
Nona berbaju hijau itu tertawa dingin. "Selama hidup aku tidak pernah sudi berkelahi dengan lelaki kotor!"
"Hahahaha.... aku pun tidak sudi berkelahi dengan kaum wanita" seru Hay Tay-sau sambil tertawa keras, kepada kawanan lelaki berkerudung itu bentaknya lebih jauh, "kalian ingin maju secara bergantian, atau maju bersama-sama?"
Kembali nona berbaju hijau itu tertawa dingin. "Sedikit banyak Thiat-sat-seng masih punya nama dalam dunia persilatan, buat apa bertarung melawan kawanan manusia tidak ternama" Hmm, biar menang pun masa kau tidak malu untuk membawa pergi piauhok tersebut!"
"Bocah perempuan ini aneh benar" tidak tahan Bi lek Hwee ikut menimbrung, "dia sendiri segan turun tangan, diapun melarang orang orangnya berkelahi melawan saudara Hay...."
"Memangnya aku harus bertarung melawan diriku sendiri?"
sela Hay Tay-sau cepat.
Mendadak nona berbaju hijau itu menuding kearah depan sambil serunya:
"Itu dia, orang yang akan bertarung melawanmu telah datang!"
Mengikuti arah yang ditunjuk Hay Tay-sau berpaling, benar saja, terlihat ada dua orang lelaki tinggi besar bagaikan sebuah
pagoda sedang berlarian mendekat.
Ke dua orang itupun mengenakan kain kerudung wajah, tapi pakaian dibagian dadanya dibiarkan terbuka lebar sehingga nampak dadanya yang kekar dengan bulu dada yang lebat.
Sekalipun tidak nampak jelas wajahnya, tapi gerak-gerik mereka amat mantap dan penuh semangat, dari balik wajah yang berkerudung tampak jenggotnya yang lebat.
Tampaknya mereka terdiri dari satu tua satu muda, senjata yang digunakan adalah sepasang gada berbentuk segi delapan.
Dari tempat kejauhan lelaki setengah umur itu sudah berteriak keras:
"Siapa yang berani mencari gara-gara disini!"
Hay Tay-sau memburu maju ke depan, setelah menengoknya sekejap tiba-tiba serunya sambil tertawa tergelak:
"Hahahaha.... ternyata memang seorang lelaki sejati, kau pantas untuk bertarung melawanku"
Lelaki setengah umur itupun bergerak mendekat, setelah memperhatikan lawannya beberapa kejap, sahutnya pula sambil tertawa:
"Hahahaha.... ternyata memang seorang lelaki sejati, tak heran berani mencari gara gara disini"
Sambil menggulung ujung bajunya kembali Hay Tay-sau tertawa keras, serunya:
"Sebelum bertarung melawan aku Thian-sat-seng, kuanjurkan lebih baik siapkan dulu obat-obatan dalam sakumu"
"Hahahahaha...." Lelaki setengah umur itu tertawa nyaring,
"lama kudengar Thiat-sat-seng pandai mencuri dan membegal, kemampuannya cukup hebat, ingin tahu mampu tidak menghadapi senjata gadaku?"
Dalam pada itu si nona berbaju hijau itu sudah menarik sang pemuda tinggi besar itu sambil berbisik:
"Kenapa kalian berdua datang kemari" Apakah urusan disitu sudah dapat diatasi?"
"Keadaan disitu sudah terkendali, aku...."
Tiba-tiba terdengar lelaki setengah umur itu berteriak keras:
"Bang-ji, berikan gadamu kepada orang she-Hay itu!"
"Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, kenapa mesti menggunakan gadamu!" seru Hay Tay-sau cepat.
"Hahahaha.... kita semua adalah lelaki tinggi besar, apa artinya bertarung dengan tangan kosong" Kalau ingin bertarung, ayoh kita adu gada, coba lihat sampai dimana kekuatanku!"
"Hahahaha.... Bagus, bagus sekali, akupun sudah lama tidak menjumpai musuh tangguh, tangaku juga gatal sekali, kemari, berikan gadamu!"
Pemuda berpakaian ketat itu melompat ke depan sambil membentak: "Sambut gada ini!"
Dia segera melemparkan gada bersegi delapan miliknya ke arah Hay Tay-sau.
"Dicoba dulu, terlalu berat tidak benda itu?" seru lelaki setengah umur itu sambil tertawa.
Hay Tay-sau menimang sejenak senjata gada itu, lalu sahutnya sambil tertawa:
"Tidak berat, tidak berat, malah terasa agak enteng!"
Kemudian sambil melepas kancing baju bagian dadanya, dia pun perlihatkan dada kekarnya yang berwarna hitam mengkilat.
Bi-lek Hwee yang berada disisi arena jadi ikutan menggosok kepalannya, dia seakan turut merasa gatal tangan.
"Anak-anak, menyingkir kalian!" bentak lelaki setengah umur itu kemudian.
Serentak kawanan lelaki berkerudung itu menyingkir ke samping dan memberikan sebuah tanah lapang yang cukup luas, Ouyang bersaudara ikutan juga mundur ke samping.
"Terimalah serangan pembukaanku ini!" bentak lelaki setengah umur itu kemudian.
Dalam waktu singkat lengannya seakan lebih besar satu kali lipat, sambil mengayunkan tangan, senjata gadanya langsung di hantamkan kearah kepala lawan dengan jurus bukit thay-san menindih kepala.
Hay Tay-sau membentak keras, dia sambut datangnya ancaman itu dengan senjata gadanya.
"Kraakk.... !" diiringi benturan yang menggelegar, tubuh kedua orang itu sama-sama mundur setengah langkah.
Kembali Hay Tay-sau menerobos maju ke muka, kali ini senjata gadanya menyapu miring ke samping.
Lelaki setengah umur itu cepat membalik senjatanya untuk menangkis.
"Blaaaamm!" sekali lagi terjadi benturan keras yang menukikkan telinga, sedemikian kerasnya hingga tubuh kawanan lelaki berpakaian ringkas yang berada diseputar situ ikut bergetar keras.
Tidak terkecuali Ouyang bersaudara, mereka berdiri terbelalak dengan mulut melongo dan wajah pucat pias.
"Bocah busuk, hebat juga kau" teriak Hay Tay-sau sambil tergelak, "nih, rasain kembali berapa pukulan gadaku!"
Tubuhnya bergerak cepat, senjata gadanya bagaikan hembusan puyuh curahan hujan badai langsung menghimpit tubuh lawan.
Kini sepasang kaki lelaki setengah umur itu sudah melesak ke dalam Lumpur, sambil busungkan dada dia sambut datangnya serangan itu dengan gagah berani.
"Traaang, traaaang, traaang.... !"
Lima kali benturan keras menggelegar di angkasa, ternyata kedua orang itu sudah saling menghantam sebanyak lima kali.
Begitu dahsyat dan kerasnya suara benturan itu membuat salah satu anggota Ouyang hengte yang berdiri paling dekat merasakan sepasang lututnya jadi lemas, tiba-tiba....
"Bruuuk!" dia jatuh terduduk diatas Lumpur dan lupa untuk merangkak bangun kalau tidak cepat dibantu rekannya.
Paras muka Thiat Tiong-tong pun ikut berubah hebat, meskipun ilmu silat yang dimiliki lelaki setengah umur itu tidak terlampau hebat, namun kekuatan lengannya betul-betul mengagumkan.
Kini mereka berdua hanya saling menatap dengan mata melotot, sementara lengannya sama-sama terkulai lemas, tampaknya meski mereka rasakan lengannya linu dan kesemutan namun siapa pun enggan mundur setengah langkah pun.
Dengan napas tersengkal lelaki setengah umur itu tertawa tergelak, tantangnya:
"Hei orang she-Hay, bagaimana kalau kita beradu lagi?"
Walaupun gelak tertawanya masih nyaring, namun sudah jauh berkurang ketimbang tadi.
"Ayoh!" sahut Hay Tay-sau sambil membentak.
Sekali lagi mereka berdua saling beradu gada.
"Cukup!" si nona berbaju hijau yang selama ini berdiri tanpa berkedip itu tiba-tiba membentak pelan.
"Cukup" Menang kalah pun belum ketahuan, kenapa mesti berhenti?" teriak Hay Tay-sau tidak puas.
Kalau dia masih bisa bicara jelas, maka lelaki setengah umur itu sudah tersengkal-sengkal kehabisan tenaga.
Nona berbaju hijau itu memandangnya sekejap, lalu ujarnya:
"Mengingat kau sanggup menghadapi delapan serangan gada pamanku, aku bersedia berikan kantung perhiasan ini untukmu!"
"Aku hanya pingin beradu kemampuan dengannya, tidak
peroleh kantung perhiasan itupun tidak masalah" seru Hay Tay-sau gusar.
Lelaki setengah umur itu mendongakkan kepalanya meneguk berapa tegukan air hujan, kini kain kerudung hitamnya sudah tersingkap hingga kelihatan separuh mukanya yang hitam pekat.
Sambil mengayunkan gadanya dia pun berteriak:
"Mari, mari mari, kita...."
"Kita beradu sepuluh gebrakan lagi!" sambung Hay Tay-sau sambil mengayunkan gadanya.
Untuk kesekian kalinya terjadi benturan keras yang memekikkan telinga, mendadak senjata gada kedua orang itu sama-sama rontok ke tanah.
Semua orang menjerit kaget, Hay Tay-sau sendiripun tertegun sesaat, tapi kemudian serunya sambil tertawa keras:
"Bagus, bagus, bagus, mengingat kehebatan senjata gadamu, aku sudah tidak mau kantung perhiasan itu lagi!"
"Kami juga tidak mau" teriak lelaki setengah umur itu keras.
Ouyang bersaudara yang masih duduk diatas tanah segera menyambung sambil tertawa paksa:
"Jika kalian berdua tidak mau, lebih baik serahkan saja kepada kami"
Sambil berkata dia sudah merangkak bangun dan siap memungut kantung tersebut.
Mendadak satu pukulan dari Bi lek Hwee membuatnya terjungkal kembali.
"Hay lote, kau jangan marah" terdengar Bi lek Hwee berkata,
"aku betul-betul mendongkol melihat tingkah pola cecunguk busuk ini!"
"Satu pukulan yang hebat, satu pukulan yang tepat" sahut Hay Tay-sau sambil tertawa, "kalau berganti aku, pukulan tersebut pasti lebih berat lagi!"
Kemudian sambil membalikkan tubuh ujarnya lagi:
"Jika kau tidak mau, biar serahkan saja kepada saudara-saudaramu untuk minum arak"
Dengan mata melotot besar lelaki setengah umur itu mengawasinya berapa saat, akhirnya diapun ikut tertawa tergelak.
"Bagus!" sambil memberi tanda, teriaknya lagi, "saudara saudara sekalian, cepat ucapkan terima kasih kepada Hay Tay-sau, kita segera pergi!"
"Tunggu dulu!" bentak Bi lek Hwee.
"Ada apa lagi?" tegur lelaki setengah umur itu.
"Lohu pun merasa tanganku mulai gatal!" ujar Bi lek Hwee sambil tertawa keras.
Pemuda berpakaian ringkas itu segera melompat ke depan, sambil memungut senjata gada bajanya dari tanah, teriaknya lantang:
"Mari, mari, mari, biar siauya mengobati tangan gatalmu!"
Bi lek Hwee berpaling memandang kearah lelaki setengah umur itu, tegurnya sambil tertawa:
"Bocah ini anakmu atau muridmu" Tadi kau bertarung sendiri melawan Hay lote, masa sekarang kau suruh muridmu...."
Baru bicara sampai disitu tiba-tiba dia menghentikan perkataannya, dengan mata melotot besar dia awasi wajah lelaki setengah umur itu lekat lekat, kemudian perasaan kaget bercampur tercengang melintas diwajahnya, untuk sesaat dia berdiri tertegun.
"Kenapa kau?" Tanya Hay Tay-sau keheranan.
Sambil menuding lelaki setengah umur itu, Bi lek Hwee tertawa tergelak.
"Hahahaha.... lohu kenal kau, lohu kenal kau..."
Lelaki setengah umur itu bergetar keras, cepat dia menarik kain kerudung mukanya.
"Tidak usah ditutupi lagi" seru Bi lek Hwee sambil tertawa,
"terlambat, sudah terlambat...."
"Mungkin kau salah melihat orang" "Kalau salah melihat, lohu bersedia mencongkel keluar sepasang biji mataku, bukankah kau adalah Bu lotoa yang bekerja sebagai pandai besi diluar Benteng Han hong po?"
Kemudian setelah tertawa tergelak, lanjutnya:
"Tidak heran tenagamu luar biasa besarnya, ternyata memang terlatih dari pekerjaan sehari harimu, tapi... sejak kapan kau berganti haluan" Lohu tidak tahu kalau sekarang kaupun jadi begal" Merasa identitasnya telah terbongkar lelaki setengah umur itu jadi gugup dan gelagapan.
"Biarpun dulu seorang tukang besi dan sekarang berganti haluan, apa salahnya?" ujar nona berbaju hijau itu ketus,
"lagipula darimana kalian tahu kalau dulu menjadi tukang besi pun karena dipaksa ganti haluan oleh manusia macam kalian?"
Bi lek Hwee tertegun kemudian tertawa tergelak.
"Nona, tajam amat mulutmu...."
Sementara pembicaraan masih berlangsung, tiba-tiba terlihat
dua orang lelaki berbaju hitam berlarian mendekat sambil menggotong tubuh seorang pemuda berpakaian ringkas.
Walaupun ditubuh pemuda itu tidak nampak noda darah, namun dia berada dalam keadaan tidak sadar, mukanya pucat bagai kertas, jelas sudah menderita luka parah.
Dengan wajah berubah lelaki setengah umur itu berseru:
"Bukankah tadi dia masih mampu melawan" Kenapa bisa berubah jadi begini?"
Lelaki berbaju hitam itu segera menyahut: "Sepeninggal toaya tadi, sebetulnya hamba sekalian tidak sampai terdesak dibawah angin, siapa tahu lelaki terpelajar yang tampaknya lemah lembut itu ternyata seorang jago silat berilmu tinggi, begitu dia turun tangan, Sam sauya pun langsung terluka parah, terpaksa hamba menggotongnya kemari"
Saking gugup dan paniknya dia seakan lupa kalau disitu masih hadir orang luar, ternyata semua kejadian dituturkan secara gamblang.
Buru-buru nona berbaju hijau bersama lelaki setengah umur itu memeriksa keadaan luka yang diderita pemuda itu.
"Benar-benar berhati keji" umpat nona berbaju hijau itu kemudian dengan perasaan dendam, "serangan yang amat ganas"
Diam-diam Hay Tay-sau menarik lengan Bi lek Hwee sambil bisiknya:
"Kita tidak punya ikatan dendam atau sakit hati dengan orang-orang itu, selagi mereka sedang menghadapi masalah, lebih baik kita tidak usah menyusahkan mereka lagi"
"Lohu memang tidak berniat menyusahkan mereka"
Kembali Hay Tay-sau berpaling ke arah Ouyang hengte sembari menghardik:
"Kenapa kalian masih berada disini?"
Dibentak dengan suara keras, Ouyang hengte buru-buru mundur berulang kali, akhirnya mereka pun kabur terbirit-birit meninggalkan pemuda yang masih terduduk di lantai, tampaknya dia merupakan anggota termuda yang paling lemah.
"Mau apa kau masih berada disini?" kembali Hay Tay-sau menghardik marah.
"Siautit harus ucapkan terima kasih dulu karena paman Hay telah selamatkan diriku" ucap pemuda itu sambil menjura.
Mula-mula Hay Tay-sau agak tertegun, kemudian dengan wajah berseri katanya:
"Gui-ji, kau sebetulnya anak yang baik, kenapa mesti bergaul
dengan kawanan manusia tidak berguna itu?"
"Sebagai saudara, siautit harus maju mundur bersama mereka"
"Aaai, baiklah, cepat pulang, sampaikan juga salamku untuk Ik-ma kalian!"
Sekali lagi pemuda itu mengiakan dengan sopan.
"Oya, katakan juga kepada saudara saudaramu" ujar Hay Tay-sau lebih jaun, "perahu sarang lebah itu sudah tenggelam, suruh mereka jangan melakukan perbuatan amoral lagi"
Pemuda itu menyahut dan buru-buru berlalu.
Memandang bayangan punggung pemuda itu Hay Tay-sau menghela napas panjang, gumamnya:
"Di antara Ouyang bersaudara, hanya Ouyang Gui yang paling punya semangat, tampaknya semua karya besar Ouyang Kit dikemudian hari bakal terjatuh ke tangannya. Aaai, sudahlah, ayoh kita pun pergi!"
Waktu itu lelaki setengah umur itu sudah menjura ke arahnya sambil berseru:
"Sekarang kami sedang terburu buru hendak berangkat ke tempat lain hingga tidak sempat banyak bicara lagi, kejadian hari ini pasti akan Bu Ceng-wi catat didalam hati, bila ada kesempatan, budi kebaikanmu pasti akan kubalas"
"Pergilah saudara Bu" Hay Tay-sau tersenyum.
BAB 13 Enghiong Memesan Pedang
Mendadak dari balik hujan angin terdengar suara bentrokan senjata yang ramai.
Kemudian terdengar suara seorang wanita berteriak dengan suara tinggi melengking:
"Hau-ji, kurung dia, jangan kau lukai jiwanya, asal dia mau mengakui darimana bisa kenali Thiat Tiong-tong dan mengatakan dimana Thiat Tiong-tong berada, jangan kau persulit dia"
Thiat Tiong-tong tercekat, cepat dia menyelinap ke belakang punggung Hay Tay-sau yang tinggi besar dan bersembunyi disitu.
Ditengah hujan dan angin terlihat ada segulung hawa pedang bercahaya hijau sedang mengurung dua sosok bayangan manusia, selain itu terlihat pula sesosok bayangan manusia yang lain bergerak mengikuti hawa pedang.
Ketika mereka semakin mendekat barulah tampak bayangan manusia yang berada ditengah hawa pedang itu adalah seorang lelaki berbaju ungu serta seorang manusia berkerudung hitam yang ditangan kirinya memegang golok, tangan kanannya memegang tongkat.
Disamping arena pertarungan tampak seorang nenek berambut putih yang membawa tongkat berkepala bangau sedang mengikuti jalannya pertarungan dengan seksama.
Ilmu pedang yang dikembangkan lelaki berbaju ungu itu mantap dan gencar, semuanya merupakan jurus pedang aliran lurus, dimana pedangnya berputar boleh dibilang tidak setetes air pun yang bisa menembusinya.
Sementara jurus serangan yang digunakan lelaki bergolok dan bertongkat itu meski ganas dan telengas namun langkah kakinya sama sekali tidak leluasa, kelihatannya dia pincang.
Ilmu golok yang dipergunakan pun tampak sedikit kaku dan asing, jelas ilmu tersebut baru dipelajarinya hingga kurang begitu hapal dan lancar.
Saat ini dia sudah terdesak hebat, seluruh tubuhnya sudah terkepung oleh cahaya pedang lelaki berbaju ungu itu hingga sama sekali tak mampu membalas, andaikata lelaki berbaju ungu itu memang tidak berniat melukainya, mungkin saat ini dia
sudah roboh bermandikan darah.
Baru saja lelaki setengah umur dan nona berbaju hijau itu siap-siap memberikan pertolongan, mendadak terdengar Bi lek Hwee menghardik keras:
"Seng Toa-nio, cepat suruh keponakan Hau menghentikan serangannya!"
Semua orang tertegun, lelaki setengah umur itupun seketika menghentikan langkahnya.
Ternyata nenek berambut putih dan lelaki berbaju ungu itu tidak lain adalah Seng Toa-nio serta Seng Cun-hau.
Nenek itu segera berpaling, kemudian ujarnya sambil tertawa:
"Ooh, rupanya kau si kakek pun berada disini, kenapa suruh lo-cici menghentikan serangan" Tunggu sebentar, aku mesti paksa orang ini untuk memberitahukan jejak orang she-Thiat itu terlebih dulu sebelum kita bisa bercakap cakap"
"Tidak usah ditanya lagi" tukas Bi lek Hwee lantang, "siaute tahu jelas kabar berita dari Thiat Tiong-tong"
Kelihatan orang berbaju hitam itu tergetar hatinya hingga muncul titik kelemahan dalam jurus serangannya, beruntung Seng Cun-hau memang berniat melepaskan dia hingga kesempatan itu tidak dimanfaatkan.
Terdengar Seng Toa-nio bertanya dengan keheranan:
"Kau tahu dia ada dimana?"
"Sekarang dia sudah termakan bujuk rayu Suto Siau si rase licik itu dan mengkhianati Perguruan Tay ki bun, kalau ingin mencarinya, bisa jadi saat ini dia sedang berada bersama Suto Siau serta Hek Seng-thian berdua"
"Sungguh?" teriak Seng Toa-nio makin tercengang.
Bi lek Hwee tertawa.
"Sejak kapan siaute bisa membohongi Seng Toa-nio" Dengan mata kepala sendiri siaute saksikan Thiat Tiong-tong pergi bersama Suto Siau, malahan mereka pergi sambil bergurau, bisa jadi saat ini mereka sudah berada di peternakan Lok jit san ceng"
Seng Toa-nio termangu berapa saat, kemudian sambil gelengkan kepala dan tertawa katanya:
"Baru saja aku pergi sejenak ketempat luaran, tidak disangka sudah terjadi banyak perubahan disini, hau-ji, hentikan seranganmu!"
Seng Cun-hau segera menarik kembali pedangnya sambil mundur tiga langkah, perasaan kecewa sempat melintas diwajahnya, tampaknya dia merasa kecewa karena mendengar
Thiat Tiong-tong telah menghianati perguruannya.
Thiat Tiong-tong sendiri yang bersembunyi dibelakang Hay Tay-sau ikut merasa amat sedih, pelbagai perasaan berkecamuk jadi satu dalam benaknya.
Hujan angin turun semakin deras, malam hari pun menjelang tiba, dalam situasi serba kalut seperti ini, walaupun Seng Toa-nio memiliki ketajaman mata yang luar biasa pun rupanya tidak sempat memperhatikan ke situ.
Manusia berkerudung hitam itupun berdiri sambil
menurunkan senjatanya, kendatipun tidak dapat dilihat bagaimana perubahan wajahnya, namun dari sikapnya yang sedih dia seakan seperti kehilangan sesuatu.
Setelah menyapu sekejap seluruh arena, Seng Toa-nio kembali berkata sambil tertawa:
"Tidak kusangka ternyata kaupun sudah jadi seorang pentolan begal, hebat benar kekuatanmu, baik, memandang wajah Bi lek lote, kubebaskan kalian semua!"
Waktu itu si nona berbaju hijau itu sudah tiba disamping manusia berbaju hitam itu tiba-tiba selanya pula sambil tertawa dingin:
"Baik, memandang diatas wajahnya, akupun bersedia membebaskan kalian berdua!"
"Apa kau bilang?" dengan wajah berubah Seng Toa-nio membentak gusar.
"Walaupun aku enggan bertarung melawan kaum lelaki, tapi masih beruntung kau adalah seorang wanita"
Meskipun sorot matanya tetap dingin hambar, namun nada ucapannya lebih tajam dari mata golok.
Tiba-tiba Seng Toa-nio tertawa terkekeh.
"Nona cilik" serunya, "jadi kau ingin mencoba kehebatan Seng Toa-nio?"
"Rupanya kau pintar sekali, dapat menebak maksud hatiku"
jengek nona berbaju hijau itu sambil tertawa dingin.
"Aduh mak, tajam amat mulutmu, bila kemampuanmu bisa lebih hebat separuh saja dari ketajaman mulutmu, itu sudah lebih dari cukup, tapi sayangnya...."
Sambil tertawa dia sengaja menghela napas ringan, perlahan-lahan tubuhnya bergerak menghampiri nona berbaju hijau itu.
Bi lek Hwee sekalian tahu bahwa Seng Toa-nio adalah perempuan keji yang berhati telengas, kini mereka jadi menguatirkan keselamatan nona berbaju hijau itu, hanya saja
semua orang merasa rikuh untuk menghalanginya.
Yang aneh, ternyata orang-orang dari pihak nona berbaju hijau itu tetap bersikap tenang, seakan mereka sangat yakin dengan kehebatan nona itu.
Terdengar SengToa-nio berkata lebih jauh:
"Cuma sayangnya, hehehe.... Coba kau periksa sepasang tanganmu, mana putih, halus, ramping lagi. Mending dipakai untuk menyulam atau menjahit, ingin bertarung melawan orang"
Hmmm, hmmm...."
Diiringi senyuman dia memegang tangan gadis itu dan menggenggamnya erat-erat.
Nona berbaju hijau itu bukan saja tidak menghindar, dia malah menyambut genggaman itu dengan balas menggenggam tangan Seng Toa-nio, ujarnya sambil tertawa dingin:
"Hmm, aku lihat tanganmu pun tidak terlalu kasar!"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu sepasang tangan mereka saling berjabatan tangan, tiba-tiba terdengar Seng Toa-nio berteriak keras:
"Aduuh, tanganmu...."
Ucapannya seketika terhenti, sekujur tubuhnya nampak bergetar keras, paras mukanya berubah pucat pias.
"Bagaimana" Tanganku tidak terlalu halus bukan?" jengek nona berbaju hijau itu sambil tertawa, perlahan dia lepaskan genggamannya.
Seng Toa-nio melotot sekejap ke arahnya, mendadak tanpa mengucapkan sepatah katapun dia membalikkan tubuh dan ngeloyor pergi.
"Hau-ji, kita pergi!"
Ucapan terakhir diutarakan dari jarak sejauh lima meter lebih.
Semua orang tercekat bercampur keheranan, tidak ada yang tahu kenapa Seng Toa-nio pergi secara tiba-tiba, kalau dibilang kungfu gadis itu dapat menggetarkan perasaan Seng Toa-nio hingga membuatnya kabur, rasanya tidak seorangpun yang mempercayainya.
Seng Cun-hau sendiripun nampak tertegun, serunya cepat:
"Kita tidak menunggu Thian-heng?"
"Kalau tidak menemukan kita, toh dia bisa pulang sendiri"
sahut Seng Toa-nio tanpa menghentikan langkahnya.
Seng Cun-hau sendiripun menampilkan perasaan heran bercampur sangsi, buru-buru dia menjura kepada Bi lek Hwee lalu menyusul ke arah Seng Toa-nio pergi, mungkin lantaran terburu-buru, tanpa sengaja sebuah kantung sutera kecil
terjatuh dari sakunya.
Menanti Bi lek Hwee memungut kantung sutera itu, bayangan tubuh Seng Cun-hau sudah pergi jauh.
Tidak tahan dia segera membuka kantung sutera itu dan memeriksa isinya, ternyata kantung itu berisi sebutir pil, Bi lek Hwee pun mengenali pil itu sebagai obat pemunah racun senjata rahasia Thian li ciam milik SengToa-nio.
Penemuan ini membuatnya semakin keheranan, gumamnya tanpa terasa:
"Aneh sekali, selama ini Cun-hau selalu bertindak hati-hati dan cermat, mustahil rasanya dia bisa kehilangan obat pemunah tanpa disadari"
Perlu diketahui, obat pemunah dari senjata andalan suatu perguruan biasanya dianggap sebagai benda mestika yang tidak ternilai harganya, jadi mustahil kalau benda mestika semacam ini bisa terjatuh dari tangan seorang jagoannya tanpa diketahui.
Ketika dia berpaling, tampak nona berbaju hijau itu sedang memegangi pergelangan tangan kanannya dengan wajah memucat, sekujur tubuhnya mulai gemetaran keras, itulah gejala terkena jarum Thian li ciam.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Bi lek Hwee, sekarang dia baru tahu, rupanya Seng Cun-hau pun mengerti kalau ibunya secara diam-diam telah sembunyikan jarum thian li ciam dibalik telapak tangannya, oleh sebab itu sewaktu berjabatan tangan tadi, kendatipun Seng Toa-nio terluka oleh getaran tenaga dalam lawan, sebaliknya nona berbaju hijau itupun terluka oleh jarum Thian li ciam.
Rupanya Seng Cun-hau tidak tega membiarkan gadis itu kehilangan nyawa, maka dia sengaja menjatuhkan obat pemunah racun itu.
Gara-gara ingatan yang bijak itulah bukan saja dia telah selamatkan jiwa nona berbaju hijau itu, diapun telah menolong ibunya.
Rupanya manusia pincang berbaju hitam serta lelaki tinggi besar Bu Ceng-hiong telah menyaksikan pula gejala yang dialami gadis itu, dalam terkejutnya serentak mereka maju mendekat.
Nona berbaju hijau itu tertawa, sambil pejamkan mata katanya perlahan:
"Sungguh hebat racun dalam jarumnya. Mungkin aku.... aku tidak tertolong lagi"
Lelaki pincang serta Bu Ceng-hiong berseru tertahan, paras
muka mereka ikut berubah.
"Jangan kuatir" mendadak terdengar Bi lek Hwee berteriak keras, "lohu mempunyai obat pemunahnya"
"Sung.... sungguh?" seru lelaki pincang itu terkejut bercampur girang, "kau memiliki obat pemunah racun dari Thian li ciam milik Seng Toa-nio?"
"Mana mungkin lohu memilikinya" Bi lek Hwee menghela napas panjang, "obat ini sengaja ditinggalkan Seng Cun-hau"
Lelaki pincang itu agak tertegun tapi dia segera menyambut obat pemunah itu.
Tiba-tiba nona berbaju hijau itu membuka matanya sambil bertanya:
"Kenapa dia ingin menolongku?"
"Biarpun Seng toaci kejam dan berhati telengas" kata Bi lek Hwee sambil tertawa getir, "namun putranya adalah seorang Hiap-gi, seorang pendekar sejati yang tiada duanya dikolong langit"
"Kalau berganti orang lain, mungkin saat ini akupun sudah tidak bernyawa lagi" ucap lelaki pincang itu sambil menundukkan kepala dan menghela napas panjang.
"Haaah, tidak kusangka Ci sim kiam khek (pendekar pedang berhati merah) adalah seorang lelaki sejati" teriak Hay Tay-sau tiba-tiba sambil mengacungkan jempolnya, "bagaimana pun aku harus berkenalan dengan dirinya"
Setelah menerima obat penawar racun itu, si nona berbaju hijau itupun mengeluarkan sebuah benda dan diserahkan ke tangan Bi lek Hwee seraya berkata:
"Pil ini adalah obat pemunahku, berikanlah kepadanya!"
Kemudian setelah menelan pil pemunah, dia pun duduk dibawah curah hujan dan mulai mengatur pernapasan.
Sambil menerima botol kayu dari tangan si nona, untuk berapa saat Bi lek Hwee berdiri termangu, lama kemudian dia baru menghela napas panjang seraya berkata:
"Orang bilang, menolong orang lain sama seperti menolong diri sendiri, ternyata perkataan ini memang tepat sekali"
"Meskipun Seng Toa-nio mencari penyakit buat diri sendiri, tapi memandang diatas wajah Seng Cun-hau, seharusnya kau berikan obat penawar itu secepatnya" kata Hay Tay-sau lantang,
"kenapa masih berdiri melongo di situ?"
"Aaah betul juga!" seru Bi lek Hwee, tapi baru berjalan berapa langkah kembali dia berhenti sambil menegok kearah Hay Tay-
sau, terusnya dengan tertawa getir, "tapi kemana dia pergi" Lohu mana tahu dia kabur ke mana?"
"Soal ini.... waah, bagaimana baiknya sekarang" Kalau terlambat mungkin bisa tidak sempat lagi"
Tiba-tiba dari balik hujan angin terlihat dua sosok bayangan manusia bergerak mendekat dengan langkah terburu-buru.
Pemuda yang berada di depan meski masih mengenakan pakaian ringkas warna hitam namun kain kerudung mukanya telah terepas, dia berlarian dengan napas tersengkal-sengkal, keadaannya sangat mengenaskan.
Di belakangnya mengikuti seorang pemuda pelajar bertubuh jangkung dengan wajah dingin dan kaku, dipandang ditengah malam, dia mirip sekali dengan setan gentayangan.
Bagaikan bayangan tubuh saja dia menempel terus dibelakang pemuda di depannya, ketika orang yang berada di depan menghentikan larinya, pemuda pelajar itu ikut menghentikan pula gerakan tubuhnya.
Dengan napas tersengkal pemuda berbaju hitam itu berlarian mendekat, serunya sambil tertawa:
"Berbahaya, sungguh berbahaya, masih untung aku cukup cekatan, akhirnya berhasil juga aku lepas dari cengkeraman pelajar rudin itu"
"Kau pulang seorang diri?" Tanya Bu Ceng-hiong dengan wajah berubah.
"Tentu saja seorang diri" jawab pemuda berbaju hitam itu dengan bangganya.
Padahal semua orang tahu kalau dia datang berduaan, tapi pemuda itu bersikeras mengatakan seorang diri, kenyataan ini membuat semua orang terkesiap.
Hal ini semakin membuktikan kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda berdandan pelajar itu sudah mencapai tingkat ke sempurnaan.
Bu Ceng-hiong mendongakkan kepalanya tertawa keras.
"Hahahaha.... siangkong, hebat benar ilmu gerakan tubuhmu!"
"Suhu, kau sedang berbicara dengan siapa?" Tanya pemuda berbaju hitam itu kebingungan.
"Dengan aku!" suara tertawa ringan tiba-tiba bergema dari belakang tubuhnya.
Dengan perasaan terkejut pemuda berbaju hitam itu membalikkan tubuh, tapi lagi-lagi pemuda siucay itu sudah
menyelinap di belakangnya, begitu cepat dia bergerak tidak ubahnya seperti gerakan setan gentayangan.
"Cepat berbaring!" bentak Bu Ceng-hiong lantang.
Buru-buru pemuda berbaju hitam itu menjatuhkan diri ke tanah, ketika berpaling, dia pun menjumpai pemuda siucay itu baru saja bergerak lewat dari sisi tubuhnya, sekarang dia baru tahu kalau orang ternyata mengintil terus dari belakang, tanpa sadar peluh dingin bercucuran membasahi tubuhnya.
Walaupun seluruh tubuh pemuda siucay itu basah kuyup oleh air hujan, bahkan disana sini ternoda Lumpur, namun sikap maupun gerak-geriknya seakan masih mengenakan pakaian yang paling kering dan bersih, sedikitpun tidak nampak mengenaskan.
Setelah menyapu sekejap sekeliling arena, diapun tertawa nyaring.
"Bagus, bagus, bagus sekali"
Diam-diam Hay Tay-sau merasa amat mendongkol melihat kejumawaan pemuda pelajar itu, tidak tahan umpatnya:
"Apanya yang bagus" Kentutmu yang bagus!"
"Huuh, bau benar!" sambung Bi lek Hwee sambil tertawa.
Senyuman diujung bibir pemuda pelajar itu lenyap seketika, ujarnya ketus:
"Kalau dipandang dari tampang kalian, nampaknya saja gagah dan perkasa, aneh, kenapa mulut kalian begitu bau!"
Hay Tay-sau pura-pura tidak mendengar, dia sengaja menarik napas panjang kemudian sambil berpaling dan menghela napas, katanya:
"Waaah, ternyata benar juga, bau! Bau sekali, bukan cuma bau, bahkan sedikit rada tengik!"
"Jangan-jangan ada kentut busuk yang susah dibuang selama banyak tahun!" Bi lek Hwee menambahkan dengan serius.
Meskipun kawanan jago dibuat terperanjat oleh kehebatan kungfu pemuda siucay itu, tidak urung mereka tertawa geli juga setelah menyaksikan ulah Hay Tay-sau dan Bi lek Hwee.
Dalam pada itu Thiat Tiong-tong sudah menyelinap ke belakang kawanan lelaki berpakaian ringkas itu.
Kini hanya dia seorang yang merasa kuatir, setelah menyaksikan kehebatan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda siucay itu, dia sadar kemampuan yang dimiliki Hay Tay-sau serta Bi lek Hwee masih bukan tandingan orang.
Sementara itu pemuda siucay tadi sudah melirik berapa kejap ke arah mereka berdua, hawa napsu membunuh telah memancar
dari balik matanya, tiba-tiba dia berkata sambil tertawa:
"Menurut wejangan guruku, aku orang she Thian tidak diperbolehkan melancarkan serangan terlebih dulu kepada orang lain"
Kemudian setelah tertawa menghina, tambahnya:
"Apakah kalian berdua berani melancarkan serangan terlebih dulu kepadaku?"
Tiba-tiba Hay Tay-sau mengambil botol kayu itu dari tangan Bi lek Hwee, setelah diletakkan diatas tanah, dengan menirukan gaya bicara pemuda itu katanya pula dengan nada dingin:
"Botol kayu inipun tidak pernah menyerang lebih dulu kepada orang lain, beranikah kau menyentuhnya terlebih dulu?"
Dasar logat bicaranya jelas dan nyaring, ketika sekarang berbicara dengan nada yang sengaja ditinggikan, kontan saja suara orang ini jadi kedengaran sangat aneh, sekali lagi semua orang tertawa terpingkal pingkal.
Rupanya pemuda siucay itu memang berbicara dengan logat menggigit bibir, logat yang biasa digunakan kaum terpelajar, tapi setelah diejek berulang kali, dia tidak kuasa menahan rasa gusarnya lagi, bentaknya penuh amarah:
"Aku sengaja akan memusnahkannya, akan kulihat dia bisa berubah jadi apa!"
Ditengah bentakan nyaring, tangannya sudah dijulurkan ke muka siap menghantam botol kayu itu, tapi lantaran kuatir kalau isi botol adalah obat beracun atau sebangsanya, maka gerak geriknya jadi ragu dan tidak berani gegabah.
Kembali Hay Tay-sau tertawa tergelak.
"Hahahaha,.... Tidak usah takut, botol kayu itu bukan berisi yang aneh-aneh, isinya adalah obat penawar untuk menyelamatkan jiwa Seng Toa-nio, bila kau menghancurkannya, nyawa Seng Toa-nio akan turut melayang"
Waktu itu ujung telapak tangan pemuda siucay itu sudah hampir menyentuh botol kayu itu, tenaga pukulan pun sudah terlanjur dilontarkan, tapi begitu mendengar perkataan tersebut, dia segera menghentikan serangan dan menarik kembali tenaga pukulannya mentah-mentah.
Ketika hawa murninya ditarik balik, botol kayu itupun ikut terhisap ke dalam tangannya.
Thiat Tiong-tong semakin terkesiap, apalagi setelah menyaksikan kemampuannya menghisap benda sekehendak hati sendiri, cepat dia putar otak dan berusaha menebak asal-usul
orang itu. Terdengar Hay Tay-sau berseru setelah tertawa tergelak:
"Hahahaha.... Kusangka dengan kemampuan yang hebat, nyalimu pun termasuk hebat juga. Tidak tahunya hanya sebuah botol kecil pun tidak berani menyentuhnya...."
"Terakhir ini memang banyak orang yang berlagak sok hebat, tapi nyatanya bernyali tikus" Bi lek Hwee menambahkan.
Pemuda siucay itu berlagak tidak mendengar, dia membuka penutup botol itu dan mengendusnya berapa kali, kemudian dengan wajah berubah serunya:
"Haaah" Can hoa swang" Memangnya Seng Toa-nio telah terluka dalam?"
Kemudian sambil berpaling katanya lagi:
"Masa di dunia saat ini masih ada orang yang mampu membuat Seng Toa-nio terluka dalam" Hmmm, semisal ada pun aku rasa pasti bukan kalian semua karena kalian tidak bakal mampu melakukannya...."
"Hahahaha.... kalau orang she Thian mungkin saja tidak mirip, aku rasa yang paling pantas adalah si tikus sawah (thian Sut)!"
"Aku rasa justru kalian berdua yang lebih mirip sepasang kura-kura hidup" balas pemuda siucay itu perlahan.
Dengan sikapnya yang terpelajar, semua orang tidak menyangka kalau secara tiba-tiba dia bakal mengumpat orang sebagai kura kura, kejadian ini membuat semua orang melongo.
Hay Tay-sau sama sekali tidak dibuat gusar oleh umpatan itu, baru saja dia akan balas mengejek, terdengar Bi lek Hwee yang sudah terlanjur naik darah membentak nyaring:
"Bocah keparat, kau sangka lohu benar-benar tidak berani menyerangmu?"
"Jika kau berani menyerang, berarti kau sudah bosan hidup"
ejek pemuda siucay itu sambil tertawa tergelak.
Bi lek Hwee membentak nyaring, sepasang lengannya direntangkan lalu maju dengan langkah lebar, ruas tulangnya berbunyi gemerutuk, kelihatannya dia sudah menghimpun seluruh kekuatan yang dimiliki.
Pemuda siucay itupun segera menarik kembali senyuman diwajahnya, hawa napsu membunuh terlintas diwajahnya.
Thiat Tiong-tong benar-benar merasa tercekat hatinya, dia sangat kuatir nama besar Hay Tay-sau dan Bi lek Hwee yang dibinanya selama puluhan tahun bakal musnah dalam sekejap.
Di saat yang kritis itulah tiba-tiba nona berbaju hijau yang sedang duduk bersemedi itu melompat bangun, tidak terlihat jelas gerakan apa yang dilakukan, tahu-tahu dia sudah menghadang dihadapan Bi lek Hwee.
Menyaksikan gerakan tubuh yang begitu cepat, siucay itu nampak terkesiap.
"Nona, minggir kau!" bentak Bi lek Hwee cepat.
"Orang ini adalah musuh keluargaku" ucap nona berbaju hijau itu dingin, "Seng Toa-nio pun terluka olehku, kenapa kau malah suruh aku menyingkir"
Sikapnya tetap dingin dan hambar, melirik sekejap ke arah Bi lek Hwee pun tidak.
Bi lek Hwee sendiripun agak tertegun setelah mendengar ucapan tadi, terpaksa sambil menahan rasa mendongkol dia mundur kembali.
Dengan sorot mata yang tajam siucay itu memperhatikan si nona berapa kejap, sekilas perasaan heran bercampur tidak percaya melintas diwajahnya.
"Betulkah Seng Toa-nio terluka ditanganmu?"
"Hmm, kalau tidak percaya, dicoba saja!"
Kembali siucay itu memperhatikannya beberapa saat, tiba-tiba dia tertawa tergelak.
"Sebetulnya aku mau turun tangan, tapi setelah melihat sepasang mata nona yang bening bagaikan air, aku jadi tidak tega"
"Benar-benar tidak kusangka setelah bajingan ini bertemu cewek, dia seolah berubah jadi orang lain" umpat Hay Tay-sau jengkel, "coba lihat, macam tulang belulangnya lebih ringan empat kati saja"
"Hmmm! Dia memang dasarnya manusia tengik" lanjut Bi lek Hwee sambil mendengus dingin.
Siucay itu sama sekali tidak menggubris, sepasang matanya menatap terus sorot mata si nona tanpa berkedip, seolah dia sama sekali tidak mendengar umpatan tersebut.
Terdengar nona berbaju hijau itu berkata ketus: "Kalau memang begitu, lebih baik hantar obat luka itu secepatnya, kalau sedikit terlambat Seng (hidup) Toa-nio bisa berubah jadi Si (mampus) Toa-nio!"
"Hahahaha... apa urusanku dia mau hidup atau mati, sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganku, aku diundang bukan untuk mengurusi dia, kedatanganku khusus untuk menghadapi
berapa orang teman dari Perguruan Tay ki bun!"
Kembali Thiat Tiong-tong merasa terkesiap, pikirnya:
"Jika kedatangan orang ini khusus untuk menghadapi Perguruan Tay ki bun, dia benar-benar akan menjadi seorang musuh yang tangguh"
Dia mencoba berpikir, kira-kira jagoan mana dari perguruannya yang mampu menghadapi pemuda ini! Tapi hatinya semakin bimbang, sekali pun ada yang mampu mengunggulinya, bagaimana dengan guru pemuda ini"
Makin dipikir dia makn terkesiap, sekarang dia hanya ingin tahu darimana Seng Toa-nio bisa mengundang kehadiran orang ini.
Sementara itu nona berbaju hijau tadi sudah balas menatap pemuda siucay itu, kemudian tegurnya:
"Kalau begitu kau tidak ingin pergi dari sini?"
"Benar, sementara waktu masih tidak ingin pergi"
"Apa yang kau inginkan?"
Siucay itu menyapu sekejap seluruh arena, lalu tertawa keras.
"Hahahaha.... aku hanya ingin membuktikan, sobat-sobat yang pandai melukai orang dengan mulut, apakah mampu juga melukai orang dengan kemampuan silatnya?"
Kontan nona berbaju hijau itu tertawa dingin.
"Keinginanmu itu tidak ada sangkut pautnya denganku, tapi sebelum berbuat begitu, kau mesti membuktikan dulu apakah kau pantas untuk tetap tinggal disini!"
"Dalam soal berbicara, bisa saja aku mengalah kepada nona, tapi kalau sudah menyinggung soal ilmu silat, aku tidak berani mengalah lagi"
"Jadi kau anggap kungfumu hebat?"
?"Hebat sih tidak, cuma lebih dari cukup" sahut siucay itu tertawa.
"Kalau begitu akan kucoba ilmu tanganmu, bila kau sanggup melakukan apa yang kulakukan, kau boleh berbuat apa maumu"
ujar nona berbaju hijau itu dingin.
Siucay itu mengernyitkan alis matanya, tapi sejenak kemudian sudah tertawa tergelak.
"Hahahaha.... benarkah aku boleh berbuat apa mauku?"
"Hmm! Benar!" nona itu mendengus.
Tiba-tiba dia melepaskan seutas tali pinggang sutera dari pinggangnya, begitu tangan digetarkan, tali pinggang itu seketika menegang lurus ke depan.
"Hahahaha.... itu sih gampang sekali" teriak siucay itu sambil tertawa, "nona, kelihatannya kau bisa berbuat apa mauku"
Mendadak gelak tertawanya terhenti ditengah jalan dan dia tidak mampu tersenyum lagi.
Rupanya di saat itulah si nona telah menggetarkan pergelangan tangannya, ikat pinggang sutera itu langsung meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi, berbareng itu si nona berkelebat maju bagaikan segumpal angin dan berjalan berapa langkah diatas ikat pinggangnya yang membentang di angkasa itu.
Menanti ikat pinggang tadi mulai meluncur ke bawah, dia baru menggetarkan kembali tangannya sambil melayang turun ke bawah.
"Inikah yang kau sebut gampang?" jengeknya, "kalau begitu, coba lakukan!"
Perlahan-lahan dia sodorkan ikat pinggang sutra itu ke hadapan siucay tersebut.
Waktu itu si siucay sudah berdiri terkesiap dengan mata terbelalak mulut melongo, mana berani dia terima ikat pinggang itu"
Hay Tay-sau maupun Bi lek Hwee saling bertukar pandangan dengan perasaan kagum, sekalipun mereka termasuk orang-orang yang tidak mau tunduk kepada orang lain, tidak urung kedua orang itu harus mengakui juga kehebatan ilmu meringankan tubuh tersebut.
Si siucay tadi hanya mengawasi ikat pinggang sutera yang berada dihadapannya tanpa bicara, peluh dingin makin membasahi jidatnya.
"Bukankah kau anggap gampang?" kembali nona berbaju hijau itu mengejek sambil tertawa dingin, "kenapa tidak berani kau lakukan?"
Sambil tertawa paksa siucay itu membesut butiran keringat dari jidatnya, ujarnya:
"Ilmu meringankan tubuh yang nona miliki benar-benar sudah mencapai puncak kesempurnaan, aku sama sekali tidak menyangka diwilayah padang rumput di daratan Tionggoan masih ada orang memiliki kemampuan sehebat ini, peristiwa ini sungguh diluar dugaan aku orang she Thian!"
"Hmm, ini membuktikan padang rumput merupakan sarang naga gua harimau, makanya jangan sok jumawa dan berlagak"
kata nona berbaju hijau itu sambil tertawa dingin, "jika kau tidak
berani mencoba, lebih baik cepat pergi dari sini!"
"Nona, boleh tahu asal usulmu?"
"Kau tidak berhak mengetahui asal usulku" hardik si nona dengan wajah berubah.
"Menurut apa yang kuketahui, dikolong langit saat ini rasanya hanya orang dari utara dan orang dari selatan berdua yang mampu melatih nona dengan kungfu sehebat ini...."
Tiba-tiba pemuda berbaju hitam itu membentak keras, sambil menerjang maju bentaknya:
"Buat apa kau nerocos terus disini" Cepat enyah!"
Ditengah bentakan, secara beruntun pemuda itu melancarkan lima buah serangan, meski jurusnya tidak hebat namun angin pukulannya menderu deru, jelas dia memiliki kekuatan pukulan seberat ribuan kati.
Tanpa berpaling siucay itu melangkah ke samping sambil mengebaskan ujung bajunya, dengan sangat gampang dia sudah menghindari beberapa pukulan itu.
Terdengar dia berkata lebih jauh:
"Mengenai dua orang dari utara selatan ini, menurut apa yang kutahu...."
Tampaknya pemuda berbaju hitam itu semakin gelisah, serangan kepalannya makin ganas dan keras, bentakan nyaring yang berulang kali membuat perkataan siucay itu jadi tidak jelas terdengar.
Tiba-tiba nona berbaju hijau itu menghela napas sedih, katanya:
"Sim-ko, biarkan dia berbicara"
Walaupun nada ucapannya halus dan lembut, namun
mendatangkan daya pengaruh yang besar bagi pemuda berbaju hitam itu, dia segera melompat mundur ke belakang meski rasa gusar lamat-lamat masih menghiasi wajahnya.
Hay Tay-sau sekalian kembali dibuat keheranan, mereka tidak tahu rahasia apa yang terselip dibalik kesemuanya ini, ketika mencoba berpaling, tampak wajah Bu Ceng-hiong maupun manusia cacad itupun menunjukkan sikap tegang.
Terlihat sinar mata gadis berbaju hijau itu semakin memancarkan cahaya tajam, tanyanya dengan nada berat:
"Siapa itu manusia dari utara dan selatan?"
"Walaupun nama sebenarnya kedua orang manusia aneh itu tidak banyak diketahui orang, tapi dengan kungfu yang nona miliki, masa kaupun tidak tahu nama mereka?"
Nona berbaju hijau itu kembali berkerut kening, tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu.
Terdengar siucay itu berkata lagi:
"Terlepas nona adalah murid siapa dari kedua orang manusia aneh itu, mereka memiliki hubungan yang sangat mendalam denganku, kenapa tidak kau jelaskan saja asal usulmu"
Nona berbaju hijau itu masih termenung, pandangan matanya mulai bimbang.
Siucay itu menatap semakin tajam, tiba-tiba senandungnya:
"Ruyung guntur merontokkan bintang dan hujan, peluru angin memutuskan sukma...."
"Ruyung guntur.... Peluru angin...." gumam nona berbaju hijau itu.
"Masa nona tidak kenal dengan dua patah kata itu?"
Gadis berbaju hijau itu menggeleng, dia memandang sekejap sekeliling tempat itu, melihat semua orang sedang ikut mengulang ke dua patah kata itu, wajahnya terlihat makin bimbang.
Setelah tertegun sesaat, siucay itu menunjukkan wajah yang amat kecewa, dia menggeleng sambil menghela napas.
"Kalau dibilang nona bukan berasal dari perguruan mereka berdua, sesungguhnya aku merasa tidak percaya"
Mendadak terlihat nona berbaju hijau itu seakan sangat emosi, jeritnya lengking:
"Apa itu peluru angin, apa itu ruyung guntur.... aku tidak pernah mendengarnya, kau cepat pergi dari sini!"
"Tapi ilmu silat nona...."
"Cepat pergi, cepat pergi" teriak si nona sambil menghentakkan kakinya, "aku tidak mau mendengarkan perkataanmu lagi!"
Kembali siucay itu termangu berapa saat, akhirnya diapun menghela napas panjang dan berkata dengan lantang:
"Kalau begitu, setahun kemudian aku pasti akan datang lagi untuk minta petunjuk!"
Sambil berkata dia mengebaskan lengan bajunya dan menerobos hujan angin untuk menjauh, tidak selang berapa saat kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Tiba-tiba butiran air mata jatuh berlinang membasahi pipi nona berbaju hijau itu, dia membalikkan tubuh dan mulai menangis tersedu, seolah ada satu kejadian memedihkan yang membuatnya amat berduka.
"Sim-ji, cepat hibur enci Ho...." Bisik Bu Ceng-hiong kemudian sedih.
Dengan kepala tertunduk tukas pemuda berbaju hitam itu:
"Enci Ho hanya ingin secepatnya mengetahui asal usulnya dan meninggalkan kita semua, percuma ananda menghiburnya"
"Omong kosong!" bentak Bu Ceng-hiong dengan suara berat.
Mendadak nona berbaju hijau itu membalikkan tubuhnya dan berkata dengan suara keras:
"Ananda sudah berhutang budi kepada gi-hu (ayah angkat) serta paman, biarpun sudah mengetahui asal usulku, tidak mungkin punya pikiran untuk pergi dari sini"
Orang cacad itu menghela napas sedih, selanya:
"Kau tidak usah mendengarkan omongan Sim-ji, dia.... dia...."
"Lagipula.... mungkin selama hidup ananda tidak akan membayangkan lagi kejadian di masa lalu...."
Tiba-tiba nona itu menutupi wajah sendiri dengan tangannya kemudian kembali menangis terisak.
Pemuda berbaju hitam itu hanya mengawasi nona itu dengan termangu, kelihatan sepasang matanya mulai berkaca-kaca.
Hay Tay-sau maupun Bi lek Hwee ikut merasa terkesiap, mereka tidak menyangka gadis yang memiliki kungfu sangat dahsyat ini ternyata sama sekali tidak mengetahui asal usul sendiri.
Bu Ceng-hiong mendeham berapa kali, lalu sambil menjura kepada ke dua orang itu katanya sambil tertawa:
"Bantuan yang kalian berdua berikan tidak akan kulupakan untuk selamanya, suatu saat nanti pasti akan kubalas, bersediakah kalian mampir sejenak di rumahku sekalian meneguk tiga cawan arak kasar?"
Bi lek Hwee menengok rekannya, sambil tertawa sahut Hay Tay-sau:
"Kita telah merubah musuh jadi sahabat, kejadian ini memang patut dirayakan dengan meneguk tiga cawan arak"
"Bagus sekali" seru Bu Ceng-hiong kegirangan, "ternyata Thian-sat-seng yang tersohor adalah seorang lelaki sejati!"
"Memangnya aku bukan lelaki sejati?" protes Bi lek Hwee sambil tertawa, "ayoh berangkat, hari ini lohu akan membuktikan siapa yang bakal mabuk duluan!"
Sambil membalikkan tubuh diapun berteriak memanggil:
"Saudara cilik, saudara cilik...."
Mendadak dengan wajah berubah teriaknya:
"Hay lote, ke mana kaburnya saudara cilik kita" Kenapa tidak nampak batang hidungnya?"
Ditengah hujan angin, bayangan tubuh Thiat Tiong-tong benar-benar sudah tidak nampak, tidak diketahui sejak kapan dia tinggalkan tempat itu, tadi, perhatian semua orang sedang tersita karena terkagum-kagum oleh kehebatan ilmu meringankan tubuh nona itu sehingga tidak ada yang memperhatikan kemana perginya anak muda itu.
Sambil menghentakkan kakinya kontan saja Bi lek Hwee mengumpat:
"Bocah ini benar-benar lupa budi, lohu sudah selamatkan jiwanya, eeeh tidak tahunya dia ngeloyor pergi tanpa pamit"
"Aaah, api emosimu memang kelewatan sedikit" sela Hay Tay-sau sambil tertawa, "aku lihat pemuda itu tidak mirip orang yang tidak tahu budi, bisa jadi dia pergi duluan karena ada urusan lain"
Lalu sambil menarik bahu Bi lek Hwee tambahnya:
"Ayoh kita pergi meneguk berapa cawan arak lebih dulu, jika pemuda itu benar-benar lupa budi dan tidak datang mencarimu lagi, aku bersedia mentraktir arak kepadamu"
Biarpun dimulut Bi lek Hwee masih mengumpat terus menerus, namun langkah kakinya tetap mengikuti rekannya beranjak pergi dari situ.
Bu Ceng-hiong bersama manusia cacad itu berjalan paling depan untuk membuka jalan.
Sementara pemuda berbaju hitam itu diam-diam menghampiri nona berbaju hijau itu dan berbisik sambil menundukkan kepalanya:
"Enci Ho, kalau aku salah bicara, harap kau jangan marah!"
Nona berbaju hijau itu manggut-manggut, tiba-tiba dia menarik lengan pemuda itu dan berkata lembut:
"Kau adalah saudara baikku, mana mungkin aku marah?"
Berbinar sepasang mata pemuda berbaju hitam itu, tampak sekali dia amat kegirangan.
Hay Tay-sau menengok kedua orang itu sekejap, lalu bisiknya sambil tertawa:
"Loko, coba lihat itu.... kelihatannya anak muda tadi sudah mencintai nona tersebut hingga kuatir dia pergi
meninggalkannya"
"Sstt, jangan mencampuri urusan orang" tukas Bi lek Hwee sambil tertawa, "ayoh kita pergi minum arak!"
Di tengah malam yang hujan dan berangin, melakukan perjalanan diudara terbuka terasa sulit dan berat.
Rombongan itu membutuhkan waktu hampir setengah jam lamanya sebelum tiba disebuah dusun kecil, dimulut dusun terpampang sebuah papan nama, pada papan nama itu tertulis:
"Dusun pandai besi".
"Disinilah kami menetap, harap kalian jangan mentertawakan kejelekan rumah kami" kata Bu Ceng-hiong sambil tertawa.
Bi lek Hwee mengerdipkan matanya berapa kali, dia seakan ingin mengucapkan sesuatu namun akhirnya diurungkan.
Dusun itu amat teratur dan bersih, setiap bangunan rumah nampak seakan baru dibangun, saat itu terlihat ada berapa orang wanita dan bocah sedang menunggu di depan pintu, seakan sedang menunggu pulangnya suami mereka.
Sementara kawanan lelaki berkerudung hitam itupun serentak memberi hormat kepada Bu Ceng-hiong dan manusia cacad itu sebelum bubaran dan kembali ke rumah masing masing.
Semakin dipandang Bi lek Hwee semakin keheranan, akhirnya tidak tahan dia berseru:


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh, sungguh aneh!"
"Aku sendiripun keheranan...." sambung Hay Tay-sau sambil tertawa.
"Apakah kalian berdua merasa tempat ini tidak mirip sarang perampok?" tukas Bu Ceng-hiong.
"Ya betul, sama sekali tidak mirip" sahut Bi lek Hwee sambil tertawa tergelak, "justru itulah lohu merasa keheranan"
Bu Ceng-hiong tertawa lebar.
"Biarpun kami adalah kawanan liok-lim yang kerjanya membegal, namun kami sama sekali tidak menikmati harta tersebut, seluruh hasil begal kami gunakan untuk menolong kaum fakir miskin"
"Lantas dengan apa kalian membiayai hidup?"
"Tukang besi! Seluruh anggota kami adalah pandai besi yang handal, itulah sebabnya meski hidup di dusun yang terpencil namun order pekerjaan yang kami terima banyak sekali. Kami tidak akan sembarangan membegal, kalau ada kambing gemuk yang kebetulan lewat di seputar wilayah ini dan harta yang dibawa adalah harta tidak halal, kami baru mengenakan kain kerudung hitam dan mengubah profesi kami dari tukang besi menjadi kawanan rimba hijau"
"Bagus, bagus sekali" puji Bi lek Hwee sambil bertepuk
tangan, "begal semacam ini memang jarang sekali dijumpai dalam dunia persilatan, kalau ada berapa kelompok lagi, itu jauh lebih bagus"
"Waah, kalau begitu julukan pendekar budiman yang selama ini kusandang, mulai hari ini harus kuhadiahkan kepadamu!"
kata Hay Tay-sau pula sambil tergelak.
Ditengah gelak tertawa yang nyaring, tibalah mereka di depan sebuah bangunan rumah yang cukup lebar.
Walaupun bangunan itu cukup luas namun bentuknya amat sederhana dan jelek, di depan pintu ruangan tergantung sebuah papan nama, diatas papan nama itu bertuliskan:
"Tangan sakti pandai besi, khusus membuat berbagai macam perkakas"
Dibelakang pintu gerbang merupakan sebuah ruangan yang lebarnya berapa meter, dalam ruangan itu dipenuhi berbagai peralatan pandai besi serta perkakas yang telah selesai dibuat, ada golok, ada pedang, peralatan pertanian dan lain lain.
Setelah melalui ruangan yang merupakan bengkel kerja itu, orang baru tiba disebuah ruangan lain yang merupakan ruang tamu, diseluruh ruangan tampak tumpukan guci arak.
Menyaksikan hal itu Hay Tay-sau segera berteriak sambil tertawa:
"Waah,.... tempat semacam ini benar-benar mencocoki seleraku!"
"Betul" sambung Bi lek Hwee sambil tertawa pula, "setibanya ditempat ini, lohu jadi tidak ingin pergi kemana-mana lagi"
Setelah menyuguhkan air teh panas, Bu Ceng-hiong memperkenalkan juga pemuda berbaju hitam tadi kepada mereka seraya berkata:
"Dia adalah putraku Bu Bong, sedikit rada blo'on, harap kalian berdua sudi memberi petunjuk!"
Bi lek Hwee memperhatikan sekejap pemuda itu, tampak olehnya dia memiliki alis mata yang tebal dengan mata yang lebar, tubuhnya tinggi kekar dan penuh berotot.
Menyaksikan itu katanya sambil gelengkan kepala dan tertawa getir:
"Betapa senang bila lohu pun memiliki seorang putra macam dia"
Sampai tua dia tidak berputra, tidak heran kalau hatinya sedih setiap kali melihat kegagahan putra orang.
Waktu itu Hay Tay-sau sudah memandang sekeliling tempat
itu sekejap, tiba-tiba serunya:
"Rasanya tadi ada seorang rekan yang memiliki kungfu golok bercampur ilmu toya yang hebat, kenapa sekarang tidak nampak?"
"Dan nona berbaju hijau itu" sambung Bi lek Hwee,
"kemampuannya betul-betul membuat lohu sangat kagum!"
Bu Ceng-hiong tertawa getir, sahutnya:
"Oleh karena asal usul nona Liu sedikit rada aneh, wataknya juga turut antik dan rada nyentrik, tapi dia...."
Mendadak dia menghela napas panjang dan menghentikan kata-katanya.
Pada saat itulah si orang cacad tadi munculkan diri, bukan saja tubuhnya cacad, wajahnya pun dipenuhi dengan mulut luka hingga kelihatan amat mengenaskan.
Bu Ceng-hiong segera memperkenalkan Bi lek Hwee dan Hay Tay-sau kepadanya, entah disengaja atau tidak, ternyata orang cacad yang dipanggil "Tio toako" itu sama sekali tidak menyinggung soal namanya.
Bercawan-cawan arak telah diteguk, tubuh pun mulai terasa hangat dan segar, sementara hujan angin ditempat luaran turun semakin deras.
Mendadak Tio toako berkata:
"Tadi kalian berdua bilang, Thiat Tiong-tong sudah memasuki peternakan Lok-jit, benarkah ucapan itu?"
"Lohu menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentu saja kejadian yang benar" sahut Bi lek Hwee.
Tio toako kelihatan agak tertegun, gumamnya kemudian sambil menghela napas:
"Benarkah itu" Mana mungkin bisa begitu?"
Berbinar sepasang mata Bi lek Hwee.
"Jadi hengtay pun kenal dengan Thiat Tiong-tong?" tanyanya.
"Ooh tidak, tidak, cayhe hanya secara kebetulan pernah mendengar nama ini, aku sama sekali tidak mengenalnya" buru-buru Tio toako membantah.
Dengan pandangan yang tajam Bi lek Hwee memperhatikan wajah Tio toako yang penuh luka itu berapa kejap, mendadak sambil menggebrak meja teriaknya:
"Lohu selalu punya perasaan seakan kenal dengan anda, heran, dmana kita pernah bertemu?"
Paras muka Tio toako tampak agak berubah, Bu Ceng-hiong segera mengangkat cawannya mengajak kedua tamunya meneguk
arak. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar suara ringkikkan kuda dan putaran roda kereta, kelihatannya ada kereta kuda yang berhenti di depan sana.
Menyusul kemudian terdengar seseorang berseru lantang:
"Apakah tuan rumah ada" In hujin dan kongcu khusus kemari untuk memesan berapa macam perkakas!"
Bu Ceng-hiong berkerut kening, cepat dia menjura seraya berbisik:
"Maaf, terpaksa sementara aku tidak menemani"
"Ditengah hujan angin seperti inipun masih ada yang datang memesan peralatan, Bu-heng, aku lihat pekerjaanmu cukup sukses" kata Hay Tay-sau sambil tertawa.
Sementara itu Bu Ceng-hiong sudah melangkah keluar dari pintu ruangan, benar saja, di depan gerbang telah berhenti sebuah kereta kuda yang indah, dari kusir maupun bentuk kereta yang indah, dapat diketahui kalau mereka berasal dari keluarga berada.
Si kusir kereta yang telah berdiri disisi pintu segera bertanya:
"Apakah toako adalah penguru s tukang besi?"
"Betul" jawab Bu Ceng-hiong tertawa, "boleh tahu anda ingin memesan apa?"
"Tunggulah sejenak, ada pembeli besar yang akan memberi order kepadamu" ujar sang kusir sembari membukakan pintu kereta, sepasang lelaki perempuan yang mengenakan pakaian mewah segera muncul dari balik ruang kereta mewah itu.
Dalam pada itu Bu Bong yang ada dalam ruangan sedang menemani para tamunya minum arak.
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berkumandang dari luaran sana, suaranya halus dan merdu:
"Apakah disini terdapat bahan baja yang bagus untuk ditempa menjadi sebilah pedang" Kami datang karena mengagumi nama anda, jadi jangan kau gunakan bahan jelek untuk menempa pedangku"
Bi lek Hwee segera bergumam:
"Perempuan jaman sekarang pun ikut-ikutan memesan pedang, tampaknya jaman telah berubah"
Terdengar Bu Ceng-hiong menjawab:
"Apa yang ingin nyonya pesan" Katakan saja bentuk serta ukurannya, ditanggung barang akan terwujud dengan kwalitas tinggi"
"Sebetulnya pesananku bukan yang aneh aneh, hanya barang sederhana saja, coba ambillah kertas dan catat ukuran yang kuinginkan, jangan sampai salah membuat"
Diikuti kemudian suara orang sedang menggosok tinta bak.
Kembali tedengar perempuan itu berkata:
"Kau buatkan dulu sepasang pedang jantan betina, panjangnya delapan puluh senti dengan lebar satu koma tujuh senti, berat pedang yang satu sembilan kati sementara yang lain delapan kati, Cuma kau mesti perhatikan secara khusus, kedua bilah pedang ini tidak boleh ada perbedaan, gagang pedangnya harus dibuat dengan bentuk melengkung dan diberi pelindung tangan yang cukup kuat, sedang ujung gagang pedang mesti dibuat kosong dalamnya, agar bisa diisi dengan dua tabung jarum lembut.... sudah kau catat dengan jelas?"
Hay Tay-sau yang berada dalam ruangan menghembuskan napas panjang sambil berkata pula:
"Perempuan itu selain seorang ahli, tampaknya kungfu yang dimiliki hebat juga, kalau tidak, buat apa dia pesan senjata semacam ini!"
"Tapi kalau didengar suaranya, dia lebih mirip seorang penjual suara" sambung Bi-lek Hwee.
Sementara itu Bu Ceng-hiong yang berada diluar telah berkata lagi:
"Semuanya telah tercatat dengan jelas, apa lagi yang ingin hujin pesan?"
"Aku ingin memesan berapa tabung jarum bwee hoa ciam, semua contoh gambarnya ada disini, biarpun bukan termasuk senjata rahasia khusus, tapi kau tidak boleh menggunakan lagi gambar tersebut untuk membuatkan bagi orang lain"
"Jual beli pun ada peraturannya, perusahaan kami tidak ingin melanggar aturan yang berlaku"
"Bagus sekali, adikku, kau ingin memesan apa lagi, cepat katakan sendiri" seru perempuan itu kemudian sambil tertawa.
Menyusul kemudian terdengar seorang pemuda berkata:
"Pedang, aku butuh sebilah pedang, beratnya harus tiga puluh enam kati dengan panjang satu meter sembilan inci, masalah yang lain boleh sesukamu!"
Kalau nada suara perempuan tadi lembut dan enak didengar, maka suara pemuda ini berat dan amat menyesakkan napas.
Sekali lagi Hay Tay-sau yang berada didalam ruangan menghembuskan napas panjang, gumamnya:
"Pedang yang sangat berat, aku rasa lelaki ini pasti lebih jagoan, aku jadi ingin tahu macam apa tampangnya"
"Dibelakang tumpukan guci arak itu terdapat jendela kecil, kau bisa mengintip dari situ" saran Bu Bong sambil tertawa.
Sembari berkata dia segera singkirkan berapa guci arak dari tumpukan, benar saja, disitu terdapat sebuah jendela kecil, diluar jendela adalah berapa peralatan besi hingga sewaktu mengintip, orang yang berada diluar tidak akan mengetahuinya karena tertutup oleh peralatan tersebut, sebaliknya orang yang ada didalam ruangan dapat melihat keadaan diluar dengan jelas sekali.
Hay Tay-sau maupun Bi lek Hwee segera mengintip ke luar ruangan.
Saat itu Bu Ceng-hiong sedang duduk di depan meja sambil menulis, terdengar dia berseru keheranan:
"Pedang seberat tiga puluh tujuh kati" Selama hidup belum pernah kutempa pedang seberat itu, masa tidak keberatan?"
Seorang pemuda berbaju perlente berdiri membelakangi jendela, dia berdiri persis disamping Bu Ceng-hiong.
"Aku memang butuh pedang yang berat" terdengar pemuda itu menyahut.
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya lagi seperti orang bergumam:
"Kalau tidak kugunakan pedang yang berat, mana mungkin bisa mengungguli pergelangan tangannya yang gesit dan lincah"
Hay Tay-sau yang mendengar perkataan itu segera berpikir:
"Dengan berat mengatasi kecepatan, dengan kekakuan menangkan kelincahan, tidak nyana pemuda itu memiliki kemampuan yang berat, tapi siapakah orang ini?"
Ketika mencoba menengok lagi, kebetulan si wanita berbaju indah dan bersanggul tinggi itu sedang memalingkan wajahnya dari sudut ruangan.
Dibawah cahaya lentera, terlihat perempuan itu memiliki senyuman yang manis dengan sepasang mata yang bening, membawa daya pikat yang luar biasa.
Namun Hay Tay-sau maupun Bi lek Hwee nyaris menjerit kaget setelah menyaksikan raut mukanya yang cantik.
Ternyata perempuan cantik itu tidak lain adalah Un Tay-tay.
Dengan kerlingan matanya yang genit dan suara tertawanya yang merdu, dia berkata:
"Sudah kulihat berapa jenis senjata buatan sini, ternyata
memang sangat bagus, adikku, apa lagi yang kau inginkan?"
Pemuda berbaju perlente itu sama sekali tidak berpaling, hanya sahutnya dengan suara berat:
"Aku butuh tujuh pasang borgol tangan dan kaki, borgol itupun harus dibuat seberat mungkin dan ditempa dengan bahan baja berkwalitas tinggi, agar tidak mudah patah"
"Borgol tangan dan kaki?" seru Bu Ceng-hiong dengan perasaan terkejut.
"Yaa betul" jawab pemuda itu sambil tertawa dingin, "untuk memborgol orang hutan yang buas"
Dibalik suara tertawanya terkandung nada dingin, sinis dan penuh kebencian, membuat Bu Ceng-hiong kembali tertegun.
Perlahan pemuda itu berjalan meninggalkan ruangan, langkah kakinya ringan nyaris tidak membawa sedikit suarapun.
Sekali lagi Bu Ceng-hiong terkesiap, buru buru serunya sambil tertawa:
"Siapa namamu tuan, kapan akan mengambil barang pesanan ini?"
"Kau tidak perlu mengetahui namaku" jawab pemuda itu sambil membalikkan tubuhnya, sorot mata yang tajam mengawasi wajah Bu Ceng-hiong lekat-lekat, "yang penting cepat selesaikan pesanan itu"
Dibawah cahaya lentera tampak sorot matanya tajam bagai mata pisau, meski wajahnya putih memucat namun raut mukanya terhitung tampan, hanya sayang terselip perasaan sedih, gusar dan dendam kesumat yang mengerikan.
Diam-diam Bu Ceng-hiong menghela napas, pikirnya:
"Sungguh tampan lelaki ini!"
Sementara itu Hay Tay-sau dan Bi lek Hwee kembali dibuat terperanjat setelah menyaksikan wajah tampan itu.
"Aaah, rupanya dia!" pikir mereka hampir berbareng.
Ternyata orang itu tidak lain adalah Im Ceng.
Waktu itu mereka berdua tidak menyadari kalau paras muka Tio toako yang berada dibelakang mereka pun mengalami perubahan yang luar biasa.
Ternyata Tio toako ini tidak lain adalah Tio Ki-kong, lelaki yang telah pertaruhkan nyawanya untuk selamatkan Im Ceng dari dalam hutan.
Setelah menyelamatkan Im Ceng, dia hantar pemuda itu ke tempat tinggal Bu Ceng-hiong, siapa sangka Im Ceng yang sok pintar malah menaruh kesalahan paham sehingga akhirnya
melarikan diri.
Waktu itu Tio Ki-kong sedang menangisi Thiat Tiong-tong yang terjatuh ke dalam jurang....
Thiat Tiong-tong sendiri yang berada didasar jurang, lamat-lamat juga mendengar suara isak tangisnya.
Tidak lama kemudian dia bertemu dengan kawanan jago dari Han hong po, dalam pertarungan yang sengit kendatipun kawanan jago dari Han hong po berhasil ditumpas, namun dia sendiripun menderita luka yang cukup parah.
Menanti dia berjuang mati-matian balik ke tempat tinggal Bu Ceng-hiong, waktu itu Im Ceng telah melarikan diri.
Sadar kalau tempat persembunyian mereka tidak bisa di pertahankan lagi, maka dia pun mengajak Bu Ceng-hiong kabur ke situ.
Ditempat yang baru mereka membangun sebuah pedesaan dengan mengumpulkan anak buah, Tio Ki-kong yang cacad pun berlatih mati matian untuk menguasahi ilmu golok dan tongkatnya guna mengimbangi kecacatan tubuhnya.
Untuk menunjang hidup, dia bergabung dengan Bu Ceng-hiong membuka usaha pandai besi, sementara untuk menyalurkan jiwa kependekarannya mereka merampok dan membagikan uang jarahannya kepada fakir miskin.
Sekarang, setelah berjumpa lagi dengan Im Ceng, sebenarnya dia ingin menerjang keluar untuk menjelaskan semua kesalaham paham yang terjadi, dia ingin menerangkan betapa setia kawannya Thiat Tiong-tong terhadap anak muda itu.
.... Seandainya saat itu dia benar-benar tampil untuk menerangkan kesalah pahaman tersebut kepada Im Ceng, mungkin peristiwa selanjutnya akan mengalami perubahan besar, Thiat Tiong-tong pun tidak perlu lagi menanggung tuduhan yang menyakitkan hati.
Tapi sayang Tio Ki-kong mengurungkan niatnya setelah melirik Bi lek Hwee sekejap, dia kuatir kejadian tersebut justru akan mencelakai jiwa Im Ceng dan membongkar identitas dirinya yang sebenarnya.
Pikirnya kemudian:
"Lebih baik kukuntit Im Ceng secara diam-diam...."
Dalam pada itu Un Tay-tay sudah berjalan mendekati Bu Ceng-hiong sambil tertawa, katanya:
"Tabiat adikku memang kurang baik, harap kau jangan marah, asal barang pesanan kami diselesaikan secara baik, aku
tidak akan melupakan kebaikanmu"
Sambil berkata tiba-tiba dia mencubit lengan Bu Ceng-hiong sambil katanya lagi:
"Kekar amat ototmu, binimu pasti amat bahagia memiliki suami macam dirimu"
Bu Ceng-hiong agak tertegun, paras mukanya seketika berubah jadi merah padam.
Sambil tertawa merdu, kembali Un Tay-tay menggoyangkan pinggulnya berulang kali di hadapannya.
Im Ceng berdiri dengan wajah masam, dia seperti sengaja tidak memandang ke arahnya, tapi akhirnya tidak tahan dia berjalan menghampiri dan mendorong perempuan itu ke samping.
"Hey, apa apaan kau ini?" tegur Un Tay-tay sambil tertawa merdu.
Im Ceng sama sekali tidak memandang ke arahnya, dengan wajah hijau membesi ujarnya:
"Tukang besi, tulis yang jelas, diatas ke tujuh borgol itu harus diukir nama"
"Nama apa?" Tanya Bu Ceng-hiong sambil mendehem.
"Borgol pertama diberi nama Thiat Tiong-tong", borgol ini harus dibuat sangat berat, agar dia tidak mampu bangkit lagi untuk selamanya!"
Bu Ceng-hiong yang siap menulis kelihatan bergetar keras hatinya, nyaris dia tidak mampu menulis nama itu.
Im Ceng berlagak seolah tidak melihat, kembali lanjutnya:
"Ke enam nama lainnya adalah Leng It-hong, Pek Seng-bu, Hek Seng-thian, Suto Siau, Seng Cun-hau dan.... Bi lek Hwee!"
Kebanyakan orang persilatan hanya tahu nama Bi lek Hwee, dan tidak seorang pun yang mengetahui nama asli orang tua itu, tidak heran kalau Im Ceng agak berhenti sejenak sebelum menyebutkan namanya.
Kembali semua orang yang berada dalam ruangan terperanjat, terlebih Bi lek Hwee, dengan penuh amarah dia siap menggempur jendela itu.
Untung Hay Tay-sau sudah menduga ke situ, buru-buru dia tangkap pergelangan tangannya.
"Kau jangan...."
Belum sempat Bi lek Hwee menyelesaikan perkataannya, lagi-lagi mulutnya sudah didekap tangan Hay Tay-sau.
"Bukannya aku banyak urusan" ujar Hay Tay-sau kemudian,
"aku rasa perselisihanmu dengan pihak Perguruan Tay ki bun harus diselesaikan secara baik-baik, apa sih manfaatnya bergabung dengan kawanan manusia macam Hek Seng-thian?"
Merah padam selembar wajah Bi lek Hwee, serunya:
"Tapi bocah keparat itu telah menyiapkan sebuah borgol untukku, bukankah kejadian ini keterlaluan?"
"Soal ini.... soal ini...." untuk sesaat Hay Tay-sau tergagap.
Tapi setelah memandang sekeliling tempat itu sekejap, ujarnya lagi sambil tertawa:
"Coba kau lihat siapa yang telah datang, urusanmu lebih baik nanti saja dibicarakan lagi"
"Baik, baik, kau memang gembong iblis yang menyusahkan aku saja" keluh Bi lek Hwee sambil menghela napas, "sekarang lepaskan tanganku dulu, lohu berjanji tidak akan sembarangan berulah!"
Kini, diapun telah menyaksikan perubahan yang terjadi diluar sana....
Rupanya di saat Im Ceng sedang menyebutkan ke enam nama itu dan Un Tay-tay sedang mengawasi Bu Ceng-hiong yang sedang menulis sambil tertawa, mendadak terdengar bentakan keras berkumandang dari luar pintu.
Menyusul suara bentakan itu tampak sesosok bayangan manusia melesat masuk ke dalam ruangan dengan kecepatan tinggi.
"Hahahaha.... Ternyata berada disini" terdengar orang itu berseru sambil tertawa keras.
Belum sempat Un Tay-tay membalikkan tubuhnya, orang itu sudah melayang turun disampingnya, menarik tangannya dan mengawasinya tanpa berkedip, ternyata dia tidak lain adalah bocah pincang itu.
Sekali lagi Im Ceng berkerut kening, sebaliknya senyuman lebar segera menghiasi wajah Un Tay-tay.
Dengan cepat dia menowel pipi bocah pincang itu dan menegur sambil tertawa:
"Hey setan cilik, darimana kau tahu kalau cici berada disini?"
Bocah pincang itu mengerdipkan matanya sambil menarik napas panjang, sambil menggenggam tangan perempuan itu makin kencang, katanya sambil tertawa:
"Aduuh.... Kau makin lama semakin harum, makin dipandang makin cantik, aku ingin sekali menciummu"
"Dasar setan cilik" seru Un Tay-tay sambil menepuk
tubuhnya, "cici sedang bertanya padamu, sudah kau dengar belum" Darimana kau tahu kalau cici berada disini?"
"Ada yang memberitahukan kepadaku!"
"Siapa?" Tanya Un Tay-tay dengan mata terbelalak semakin lebar.
"Ditengah jalan tadi aku telah bertemu seseorang, dia yang beritahu kalau kau berada disini, malah dia sempat menitipkan sesuatu dan minta aku untuk menyerahkannya kepada si bibit cinta buta"
"Siapa itu bibit cinta buta" Siapa pula orang itu?" seru Un Tay-tay sambil tertawa.
Bocah pincang itu mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya dan sambil tertawa menuding ke arah Im Ceng.
"Aduh.... dasar setan cilik, masa kau beri nama seburuk itu untuknya!" Un Tay-tay tertawa terpingkal-pingkal.
Paras muka Im Ceng berubah hebat.
Bocah pincang itu tidak bicara lagi, sambil tertawa dia sodorkan surat itu ke hadapannya.
Im Ceng berdiri dengan wajah penuh amarah, diapun tidak menerima sodoran surat itu.
"Kalau dia tidak mau menerima, biar aku saja yang menerimanya!" seru Un Tay-tay kemudian sambil tertawa.
Tapi begitu sampul surat dibuka dan mengeluarkan isinya, kembali perempuan itu menjerit kaget:
"Aduh mak.... Uang senilai satu juta lima ratus tahil perak!"
Ternyata isi surat itu adalah sepuluh lembar uang kertas yang bernilai satu juta lima ratus ribu tahil perak!
Kendatipun dalam ruangan dihadiri oleh kawanan jago yang selama ini menganggap uang bagai tinja, tidak urung mereka terkesiap juga setelah mendengar nilai uang tersebut.
Sambil membasahi bibirnya dengan ludah, bocah pincang itu membelalakkan matanya bulat-bulat, lama kemudian dia baru menghela napas dan bergumam sambil tertawa:
"Aduh mak, tahu ada duit senilai satu juta setengah, akan kusimpan lebih lama lagi dalam sakuku"
"Kalau aku jadi kau, uang tersebut tidak bakalan kuserahkan"
seru Un Tay-tay pula sambil tertawa, "hei setan cilik, kau jangan keliru, uang itu untuk diserahkan kepadaku atau untuk dia?"
"Kalau duit itu milikku, pasti akan kuserahkan kepadamu!"
Un Tay-tay segera berpaling kearah Im Ceng, tanyanya pula sambil tertawa terkekeh:
"Bagaimana dengan kau" Akan kau berikan kepadaku atau tidak?"
"Uang yang tidak tahu asal usulnya tidak pernah aku maui!"
jawab Im Ceng dengan nada berat.
"Aduh.... Kalau kau tidak mau, berikan saja kepadaku, tapi....
eeei, disini ada sepucuk surat yang ditujukan kepadamu!"
Dia mengambil secarik kertas warna kuning dan diserahkan kepada Im Ceng.
Diatas surat itu tertera berapa tulisan yang berbunyi:
"Uang sebesar satu juta lima ratus ribu tahil perak, dipersiapkan bagi Perguruan Tay ki bun untuk membalas dendam dan membangun kembali kejayaan perguruan, jangan ditanya uang ini berasal dari mana, harap kau, Im Ceng pergunakan sebaik-baiknya"
Berubah hebat paras muka Im Ceng selesai membaca tulisan itu, bentaknya:
"Siapa yang serahkan surat ini kepadamu?"
"Buat apa kau banyak bertanya, pokoknya ambil saja uang itu, kalau tidak mau... hehehehe.... pasti ada orang lain yang mau menerimanya" seru bocah pincang itu.
Sementara Im Ceng masih tertegun, tiba-tiba Un Tay-tay memanggil lembut:
"Adik cilik, kemarikan telingamu, cici ingin mengajukan pertanyaan kepadamu"
Sambil cengar cengir kegirangan bocah pincang itu berjalan mendekat dan menyandarkan tubuhnya dalam pelukan perempuan itu.
"Ayoh terus terang kepadaku" bisik Un Tay-tay kemudian,
"bukankah uang ini berasal dari.... Dia, Thiat Tiong-tong yang suruh kau serahkan kepadanya?"
Bocah pincang itu mengerdipkan matanya berapa kali, tapi akhirnya dia tertawa juga.
"Benar, dugaanmu memang sangat tepat"
Un Tay-tay segera menghembuskan napas panjang, bisiknya lagi:
"Orang ini memang rada aneh...."
"Coba kemarikan telingamu" kata bocah pincang itu kemudian, "akupun ingin bertanya sesuatu kepadamu"
Un Tay-tay membungkukkan tubuhnya, bocah pincang itu segera menempelkan bibirnya diatas telinga perempuan itu, setelah menarik napas panjang, serunya sambil tertawa:
"Terus terang beritahu kepadaku, kenapa kau begitu harum?"
"Dasar setan cilik!" umpat Un Tay-tay sambil memukul kepalanya.
Mendadak tampak Im Ceng menggerakkan tubuhnya dan menyelinap ke samping bocah pincang itu, secepat kilat dia cengkeram perge-langan tangannya sambil membentak:
"Apa kau bilang?"
"Kau tidak usah ikut campur!" sahut bocah pincang itu keras, sekuat tenaga dia mencoba meronta, tapi sayang cengkeraman Im Ceng begitu kuat bagai japitan baja, bagaimanapun dia meronta tetap tidak berhasil melepaskan diri.
"Persoalan ini ada hubungannya dengan aku, tentu saja aku harus ikut campur!" kata Im Ceng gusar.
"Ooh, rupanya cemburu nih yaa" Hehehehe.... Jangan kelewat banyak makan cuka (cemburu maksudnya), masa lelaki macam kau pun besar rasa cemburunya, aku punya mata, aku toh boleh bebas melihat. Cepat lepaskan tanganmu"
Bukan mengendorkan cengkeramannya, ke lima jari tangan Im Ceng malah menjepit makin kuat, ujarnya gusar:
"Coba kalau bukan usiamu masih muda, hari ini aku tidak akan melepaskan dirimu dengan begitu saja.... Hmm! Jika kau tidak mengaku, jangan harap kulepaskan dirimu!"
Saking sakitnya peluh telah bercucuran membasahi jidat bocah pincang itu, tapi teriaknya pula sambil tertawa paksa:
"Biar usiaku masih kecil, tapi aku lebih hebat ketimbang kau, tidak macam dirimu itu.... tahunya hanya sakit rindu!"
"Kurangajar, tajam amat mulutmu!" bentak Im ceng semakin gusar.
"Kau mau lepas tangan tidak?" teriak bocah pincang itu.
Im Ceng tertawa dingin, belum sempat dia mengucapkan sesuatu, terdengar bocah pincang itu telah berteriak keras:
"Toako, cepat kemari, ada orang menganiaya aku!"
Belum selesai dia berteriak, terasa hembusan angin menyambar lewat, di antara cahaya api yang bergoyang tahu-tahu di depan pintu telah bertambah dengan seorang manusia berbaju hitam.
Sepasang ujung bajunya dibiarkan berkibar ke bawah, tubuhnya tegak bagai sebatang tongkat baja, mukanya kaku seperti patung, meski tiada pancaran cahaya namun membawa daya kekuatan yang menggidikkan.
Im Ceng terkesiap, menggunakan kesempatan itu bocah
pincang tadi sudah meronta dari cengkeramannya sambil berteriak:
"Kalau memang punya kemampuan, ayo bertarunglah
melawan toako ku, berani ngak?"
Dia segera menyelinap ke belakang manusia berbaju hitam itu dan bersembunyi dibalik Ai Thian-hok.
"Hmm, rupanya murid pertama kui bo, aku memang ingin menjajal kemampuanmu" kata Im Ceng dingin.
"Kalau begitu turun tangan saja, aku akan mengalah dua jurus untukmu!" sahut Ai Thian-hok dingin.
Kata katanya singkat, pendek dan dingin.
Pada saat itulah Un Tay-tay sudah menyelinap maju dan berdiri di antara Im Ceng dengan dirinya. Setelah menghadang di depan Ai Thian-hok, katanya sambil tertawa lembut:
"Urusan kanak-kanak biarlah diselesaikan sendiri oleh kanak-kanak, buat apa kita orang dewasa mencampurinya!"
Paras muka Ai Thian-hok tetap dingin dan kaku, sama sekali tidak menunjukkan reaksi.
"Padahal tidak ada urusan yang kelewat serius antara mereka berdua" kata Un Tay-tay lebih jauh, "lebih baik kita pergi saja, aku punya arak wangi, bagaimana kalau kau temani aku meneguk berapa tawan"
Tiba-tiba Ai Thian-hok mengebaskan bajunya sambil membentak: "Minggir kau!"
Segulung deruan angin pukulan menyambar keluar, membuat cahaya lentera dalam ruangan berkedip-kedip.
Un Tay-tay merasakan tubuhnya tergetar keras hingga mundur dengan sempoyongan, tapi dia masih berkata sambil tertawa:
"Semoga kau bisa melihat aku, dengan begitu kau tidak akan membangkang perkataanku!"
"Seorang lelaki dewasa menganiaya anak kecil, bahkan minta dilindungi perempuan, huuuh! Orang ini betul-betul bikin hati kecewa!"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba tiba bentaknya:
"Ayoh kemari, kita bertarung!"
Sementara Un Tay-tay seakan masih ingin mengucapkan sesuatu, Im Ceng sudah menerobos lewat dari samping tubuhnya sambil membentak:
"Kalau berani, kita bertarung diluar!"
Sambil membentak dia langsung menerobos keluar dan berdiri
dibawah hujan angin.
Ai Thian-hok mengebaskan bajunya, di antara api yang bergoyang, diapun sudah menyelinap keluar.
"hey setan cilik" Un Tay-tay segera berteriak, "cepat bujuk toako ku, jangan berkelahi"
"Kenapa aku harus membujuknya" sahut bocah pincang itu sambil tertawa ringan, "kalau keparat itu sudah mati terbunuh, bukankah uang itu akan menjadi milikmu"
"Kalau sampai toakomu membunuhnya, selama hidup aku tidak akan menggubrismu lagi!" ancam Un Tay-tay sambil menghentakkan kakinya.
"Aaaai.... Ternyata kau mencintainya"
"Bukan, bukan mencintai, kau tidak bakal tahu, selamanya kau tidak bakal tahu"
Bocah pincang itu tertegun, tiba-tiba serunya sambil tertawa:
"Ooh, aku tahu, bukankah kau cemas lantaran dia adalah adik seperguruannya Thiat Tiong-tong?"
Kemudian sambil bertepuk tangan lanjutnya:
"Baiklah, aku merasa cocok juga dengan orang she Thiat itu, memandang diatas wajahnya, biar aku minta kepada toako untuk mengampuni jiwanya!"
"Nah, begitulah baru anak baik-baik" seru Un Tay-tay sambil tertawa lebar.
Mereka berdua pun bersama sama menyusul keluar pintu.
Bu Ceng-hiong hanya memandang mereka dengan mulut melongo dan mata terbelalak, sedang Bi lek Hwee, Hay Tay-sau, Tio Ki-kong maupun Bu Bong segera menyusul keluar.
Kembali Tio Ki-kong menghela napas, pikirnya:
"Setelah kepergiannya kali ini, entah sampai kapan salah paham ini baru bisa diselesaikan"
Terdengar Bi lek Hwee berseru sambil menghela napas:
"Sayang, sayang!"
"Apanya yang sayang?" Tanya Hay Tay-sau.
"Bocah muda itu bukan tandingan Ai Thian-hok, kalau dia sampai mampus ditangan Ai Thian hok, bukankah aku tidak bisa melampiaskan rasa mendongkolku"
"Haah, jadi orang tadi.... Orang tadi adalah Ai Thian-hok?"
seru Tio Ki-kong pula terperanjat.
"Benar, orang ini telengas, sudah lama lohu mengetahui tentang dirinya!"
"Celaka!" jerit Tio Ki-kong dengan wajah berubah, tiba-tiba
teriaknya keras:
"Ho-ji,Ho-ji!"
Baru saja ia berteriak, nona berbaju hijau itu sudah muncul dengan cepat sekali, gerakan tubuhnya yang secepat kilat ditambah wajahnya yang dingin kaku membuat dia seakan terbungkus oleh selapis misteri.
"Anak Sim, kau tetap disini melayani tamu" seru Bu Ceng-hiong kemudian, diapun ikut melompat keluar dari pintu.
Bu Bong membalikkan tubuhnya, tiba-tiba dia menjura dan berseru:
"Harap kalian berdua menunggu sebentar, biar keponakan pergi membantu ayah"
Begitu selesai bicara, diapun segera berlalu.
Kini tinggal Bi lek Hwee saling berpandangan dengan Hay Tay-sau.
"Dasar bocah!" gumam Bi lek Hwee kemudian sambil tertawa getir dan menggeleng,.
"Kelihatannya Tio toako itu punya hubungan yang cukup dekat dengan Perguruan Tay ki bun" kata Hay Tay-sau, "tak heran dia buru buru pergi memmbantu setelah mengetahui anak muda itu dalam keadaan berbahaya!"
Bi lek Hwee berkerut kening, katanya pula:
"Ilmu silat yang dimiliki nona itu sangat tangguh, dia cukup mampu menghadapi Ai Thian-hok. Lohu jadi ingin ikut nonton keramaian"
"Benar, pertemanan akbar semacam ini memang tidak boleh dilewatkan dengan begitu saja!"
"Tapi kedai ini...."
Tiba-tiba Hay Tay-sau menghampiri sang kusir, sambil menepuk bahunya dia berseru:
"Kau baik-baik jaga kedai ini, jangan ke mana-mana"
Pukulan itu membuat sang kusir terbungkuk kesakitan, sahutnya dengan wajah getir: "Baa... baik...."
Hay Tay-sau tertawa tergelak, dia segera menarik tangan Bi lek Hwee dan beranjak pergi dari situ.
Menanti bayangan tubuh kedua orang itu sudah pergi jauh, sang kusir baru membanting topinya keras-keras sambil mengumpat:
"Mereka perintah kalian, sekarang kalian perintah aku, dasar aku yang lagi sial!"
Tiba-tiba terlihat ada sesosok bayangan manusia melompat
naik ke atas kereta kuda lalu mencemplak kudanya kuat-kuat.
Dengan perasaan kaget kusir itu menjerit:
"Perampok, berani amat kau rampas kudaku!"
Dengan cepat dia memburu ke depan sambil berusaha merebut kembali kudanya, tapi sebuah ayunan cambuk dengan telak menghajar diatas wajahnya.
Sambil menjerit kesakitan buru-buru dia menutupi wajahnya, menanti dia membuka matanya kembali, kereta kuda itu sudah lenyap dari depan mata.
BAB 14 Cinta Seorang Wanita Cantik
Dengan darah mendidih didada Im Ceng berlarian kencang ditengah hujan angin, dibelakangnya menyusul Ai Thian-hok.
Karena kuatir Un Tay-tay menghalangi niatnya, dia sengaja berlarian hingga keluar dari dusun sebelum menghentikan langkahnya.
"Jadi kau akan bertarung disini?" tegur Ai Thian-hok dingin.
"Benar!" dari sakunya Im Ceng mencabut keluar sebilah pisau kemudian membuat garis lingkaran selebar empat meter keliling.
"Kau tidak merasa garis lingkaran ini kelewat lebar?" kembali Ai Thian-hok mengejek.
"Perduli lingkaran yang kubuat kelewat besar atau kecil, pokoknya hari ini sebelum menang kalah ditentukan, siapa pun jangan harap bisa meninggalkan lingkaran ini barang setengah langkah pun!" ujar Im Ceng gusar.
Ditengah kilauan cahaya tajam, tahu-tahu pisau belati itu sudah menancap diatas tanah.
"Baik, aku akan mengalah tiga jurus untukmu, cepatlah turun tangan!"
"Hahahaha.... Kau sangka aku orang she-Im nkan menyerang orang buta duluan!" Im Ceng tertawa seram.
Mendadak sekujur tubuh Ai Thian-hok gemetar keras, begitu kerasnya hingga rambut panjang yang terurai hingga ke pundak pun ikut bergetar keras, mukanya yang sudah menyeramkan, kini semakin mengerikan hingga mirip setan gentayangan yang muncul ditengah hujan angin.
Si bocah pincang yang kebetulan baru tiba disitu dan mendengar ucapan dari Im Ceng, paras mukanya seketika berubah hebat, serunya sambil menghentakkan kakinya berulang kali:
"Celaka, celaka, kali ini siapa pun tidak ada yang bisa selamatkan dia lagi!"
"Kenapa?" Tanya Un Tay-tay terkejut.
Setelah menghembuskan napas panjang, bisik bocah itu:
"Toako ku paling benci kalau ada orang memakinya buta, selama ini belum pernah ada yang lolos dalam keadaan hidup"
Un Tay-tay terkesiap, ketika menatap wajah Ai Thian-hok yang mengerikan, tanpa terasa hawa dingin menyusup keluar dari lubuk hatinya, untuk sesaat dia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Tiba-tiba terdengar Im Ceng membentak lantang:
"Bila ada siapa pun berani melangkah masuk ke dalam lingkaran ini untuk membantu Im Ceng, aku orang she-Im segera akan bunuh diri dihadapannya!"
"Bagus sekali" seru Ai Thian-hok dengan suara dalam, "kita tidak perlu berhenti sebelum ada yang mampus!"
Un Tay-tay yang mendengar perkataan itu kembali
menghentakkan kakinya berulang kali, keluhnya:
"Heran, kenapa kalian kaum lelaki selalu bersikap aneh, padahal tiada dendam sakit hati apa pun di antara mereka berdua, kenapa harus bertarung sampai mati?"
Si bocah pincang itupun ikut berseru dengan wajah masam:
"Toako, hajar saja dia dengan berapa tonjokkan, buat apa mesti mencabut nyawanya" Dia.... dia toh tidak menganiaya aku...."
"Kalau kau berani cerewet lagi, akan kupotong lidahmu terlebih dulu!" ancam Ai Thian-hok.
Si bocah pincang itu bergidik, sambil merentangkan tangannya tanda menyerah, dia hanya gelengkan kepalanya berulang kali.
Kini Ai Thian-hok telah berdiri saling berhadapan dengan Im Ceng, ditengah hujan angin, pakaian yang mereka kenakan telah basah kuyup, meski kedua belah pihak sama-sama menanti lawannya melancarkan serangan lebih dulu, namun suasana sudah mencapai puncak ketegangan, setiap saat pertarungan dapat berkobar.
Terdengar suara langkah kaki yang ramai bergema mendekat, ternyata Tio Ki-kong dan nona berbaju hijau itu telah menyusul tiba.
"Toa-tia, kau suruh aku membantu pemuda itu?" terdengar nona berbaju hijau itu bertanya.
"Benar, cepatlah tolong dia!"
Nona berbaju hijau itu menghela napas panjang, gumamnya:
"Walaupun aku enggan bertarung melawan kaum lelaki, tapi aku tidak ingin membangkang perintah dari toa-tia"
Perlahan-lahan dia berjalan mendekati garis lingkaran.
Dengan cepat Un Tay-tay menghadang dihadapannya, ujarnya
setelah menghela napas:
"Bila kau membantunya, dia akan segera bunuh diri, aku paling paham tentang tabiatnya, apa yang telah diucapkan tidak pernah akan dirubah kembali"
Nona berbaju hijau itu tertegun, dia berpaling menengok Tio Ki-kong sekejap, tapi Tio Ki-kong sendiripun hanya berdiri kaku, sampai lama sekali tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
"Hei setan cilik" Un Tay-tay berpaling ke arah bocah pincang itu, "benarkah kau sudah kehabisan akal?"
"Satu satunya jalan untuk mencegah pertarungan ini adalah minta kepada orang she-Im itu agar tidak melancarkan serangan duluan, toako ku tidak pernah menyerang duluan"
Belum selesai dia berkata, terlihat Im Ceng sudah menerjang maju sambil melontarkan sebuah pukulan ke depan.
Melihat itu sekali lagi Un Tay-tay menghela napas.
"Aaai, seandainya kau tidak berkata begitu, belum tentu dia akan melancarkan serangan, tapi begitu mendengar perkataanmu, dia pasti akan menyerang duluan"
"Darimana kau bisa mengetahui wataknya itu?" Tanya si bocah pincang itu dengan mata terbelalak.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, Im Ceng sudah melancarkan tiga jurus serangan.
Ai Thian-hok berdiri tegak, dia menunggu sampai ke tiga jurus serangan itu selesai dilancarkan, sepasang ujung bajunya baru dikebaskan berulang kali di udara.
Kembali bocah pincang itu berkata:
"Apa yang telah toako katakan, dia pun tidak pernah akan meru bahnya, kalau berjanji akan mengalah tiga jurus, dia tetap akan mengalah sebanyak tiga jurus!"
Selama ini sepasang tangan Ai Thian-hok selalu
disembunyikan dibalik bajunya, sepasang lengan bajunya itu berputar bagaikan naga sakti di angkasa, dalam waktu singkat dia pun telah balas melancarkan tiga jurus serangan.
Biarpun ke tiga jurus serangan itu ganas dan dahsyat, ternyata Im Ceng pun hanya menempelkan sepasang kepalannya diatas pinggang sambil berkelit kian kemari.
Ketika tiga jurus serangan itu lewat, terdengar Im Ceng membentak keras:
"Aku telah membayar lunas ketiga jurus serangan mu itu!"
Si bocah pincang tertegun melihat hal itu, sementara Un Tay-
tay menengok sekejap ke arahnya lalu tertawa ringan.
"Aku mengalah tiga jurus lagi untukmu!" terdengar Ai Thian-hok menghardik.
Betul saja, dia menanti sampai Im Ceng selesai melancarkan tiga jurus serangan sebelum balas melancarkan pukulan.
Hmmm, aku justru akan mengalah lagi untukmu!" teriak Im Ceng gusar.
Ditengah bentakan, Ai Thian-hok telah melancarkan tiga jurus serangan dengan gerakan Siang go peng gwee (Siang-go kabur ke bulan), Hong tiong liu im (angin bergerak awan mengalir) dan Im po jit lay (awan buyar matahari muncul), terasa angin pukulan berpusing dengan dahsyatnya.
Selewat ke tiga jurus serangan itu, semestinya dia harus melanjutkan dengan jurus Gwee gi seng huan (rembulan bergeser bintang berpindah), Kim Jim po hu (roda emas memecah kabut) dan Tiang liong koan jit (bianglala menembusi sang surya), karena rangkaian jurus itu merupakan enam jurus serangan berantai.
Tapi begitu selesai menggunakan jurus Im po jit lay tadi, Ai Thian-hok sama sekali tidak melanjutkan kembali serangannya, dia seolah dengan sengaja mengalah kepada Im Ceng.
Benar saja, kepalan Im Ceng langsung menyambar tiba, serangan keatas mengarah wajah, serangan bawah mengancam lambung, angin pukulan yang menderu-deru membuat ujung jubah Ai Thian-hok beterbangan kencang.
Meski Ai Thian-hok berilmu tinggi pun tidak urung tubuhnya terdesak mundur juga sejauh dua langkah.
Kejadian ini langsung menyulut api amarahnya, wajah yang dingin kaku berubah hebat, bentaknya:
"Sambut lagi ke tiga jurus seranganku ini!"
Gulungan angin pukulan dahsyat segera dilontarkan dari balik lengan bajunya.
Ke tiga jurus serangan ini meski jauh lebih dahsyat, namun dibalik gerak serangan itu dia sengaja membuka garis pertahanannya, khususnya pada jurus serangan yang ke tiga, sepasang lengannya malah dipentangkan lebar sehingga pertahanan dibagian dadanya terbuka sekali.
Siapa tahu Im Ceng tetap tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk melontarkan pukulan mautnya, dia bersikeras menunggu sampai ke tiga jurus serangan itu lewat baru melancarkan balasan.
Sewaktu melancarkan serangan pun dia sama sekali tidak
memusingkan soal pertahanan, hampir segenap tenaga pukulan yang dimilikinya digunakan untuk menghimpit musuh.
Dalam keadaan seperti ini, kendatipun Ai Thian-hok sangat marah pun tidak ada gunanya, karena dia memang tidak bisa berbuat banyak terhadap pemuda keras kepala ini.
Sekalipun ilmu silat yang dimilikinya jauh lebih unggul ketimbang Im Ceng, tapi jurus serangan yang berulang kali tidak dapat digunakan secara tuntas membuat kemampuan silatnya menderita banyak kerugian, sebaliknya Im Ceng yang nekad justru menyerang jauh lebih girang dan ganas.
Sebagaimana wataknya yang berangasan, kasar dan gampang naik darah, diwaktu biasapun dia tidak pernah memikirkan soal pertahanan apalagi dalam menghadapi pertarungan semacam ini.
Tidak heran kalau untuk sesaat menang kalah sulit ditentukan.
Si bocah pincang yang menonton jalannya pertarungan itu jadi berdiri terbelalak dengan mulut melongo, tidak tahan dia gelengkan kepalanya sambil tertawa getir.
"Benar-benar watak baunya memuakkan, belum pernah kujumpai orang berwatak sebau itu!" gumamnya.
"Hari ini kau telah menjumpainya bukan?" sahut Un Tay-tay tertawa, "nah, bagi anak kecil macam kau, anggap saja menambah pengetahuanmu!"
Sekalipun senyuman masih menghiasi bibirnya, padahal dalam hatinya perempuan ini merasa tegang sekali.
Ke tiga jurus serangan yang dilancarkan Ai Thian-hok kian lama kian bertambah susah untuk dihadapi, Im Ceng harus mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menghindarkan diri, meski beruntung dapat lolos dari ancaman, tidak urung butiran keringat mulai membasahi seluruh tubuhnya.
Waktu itu Bi lek Hwee serta Hay Tay-sau telah menyusul tiba disitu, mereka berdua pun ikut tercekat setelah menyaksikan jalannya pertarungan.
Tiba-tiba terdengar Ai Thian-hok berpekik nyaring, sepasang tangannya yang selama ini disembunyikan dibalik lengan baju, tiba-tiba keluar dan secepat kilat melepaskan tiga pukulan.
Kalau tadi deraan angin dari lengan bajunya sudah dahsyat, maka angin pukulan yang dilepaskan saat ini jauh lebih hebat lagi.
Im Ceng berhasil menghindar dari pukulan yang pertama, tapi
pukulan ke dua sempat menyambar ujung bahunya, membuat dia terpental ke belakang dan harus berjumpalitan berapa kali agar tidak roboh terjengkang.
Ai Thian-hok tidak melanjutkan dengan serangan ke tiga, bahkan dia sengaja membuka pertahanan tubuh bagian bawahnya.
Jika Im Ceng gunakan kesempatan itu untuk menyerang dari tengah udara, kendatipun belum tentu bisa unggul, paling tidak dia masih bisa merebut posisi yang lebih menguntungkan.
Tapi dasar kepala batu, dia lebih baik mati konyol daripada memanfaatkan kesempatan itu, sambil menggigit bibir dia meluncur turun ke bawah.
Tatkala tubuhnya menyentuh permukaan tanah, hawa murninya yang kalut belum sempat dihimpun kembali, saat itulah sepasang tangan Ai Thian-hok menyerang dengan jurus Bai jut to hay (mendorong keluar tumpahan samudra) sudah menyodok kearah lambungnya.
Buru-buru Im Ceng berusaha menjejakkan kakinya untuk melambung kembali ke udara, sayang Ai Thian-hok tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berganti napas, angin pukulan yang kuat seketika menghantam tubuhnya, membuat dia roboh terjengkang ke tanah.
Tanpa terasa jeritan kaget bergema dari sisi arena.
Baru saja Ai Thian-hok menggerakkan langkahnya, Un Tay-tay segera berteriak keras:
"Sekarang giliran dia...."
Sambil tertawa dingin Ai Thian-hok segera membatalkan langkahnya.
Im Ceng yang terjengkang ke tanah cepat merangkak bangun, biarpun dia menggertak gigi menahan rasa sakit, namun noda darah terlihat membasahi ujung bibirnya.
"Pemuda ini betul-betul kepala batu!" gumam Hay Tay-sau sambil menghela napas.
Bi lek Hwee ikut menggeleng pula sambil menghela napas.
"Aku tidak menyangka Perguruan Tay ki bun memiliki murid sekeras itu, kelihatannya dia jauh lebih kepala batu ketimbang watakku!"
Si bocah pincang turut bergumam pula:
"Sudah banyak tahun toakoku tidak pernah menggunakan sepasang tangannya, tapi kali ini dia dipaksa untuk menggunakannya, meskipun dia kalah, seharusnya dia kalah
dengan bangga"
"Kalah yaa kalah, apanya yang perlu menjadi bangga!" seru Un Tay-tay sambil melotot.
Im Ceng dengan langkah sempoyongan dan sepasang mata merah membara, selangkah demi melangkah mendekati Ai Thian-hok, lengan kirinya tampak terkulai ke bawah, jelas luka dibahu kanannya cukup parah.
Sekalipun terluka, semangatnya sama sekali tidak berkurang, begitu tiba dihadapan Ai Thian-hok, bentaknya:
"Hati hati kau!"
Dia mengayunkan tangannya dan langsung disodokkan ke depan.
Biarpun pukulan ini sudah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, sayang tenaga yang dimiliki sudah teramat minim, sekalipun pihak lawan tidak pandai silat pun, belum tentu serangan ini sebut dapat merobohkan dirinya.
Tentu saja secara mudah Ai Thian-hok berhasil
menghindarkan diri dari ke tiga serangan itu.
"Apakah ke tiga jurus serangan berikut masih akan kau lancarkan?" terdengar Hay Tay-sau menegur dengan suara keras.
Ai Thian-hok tidak menanggapi, wajahnya tetap hambar tanpa perubahan apapun.
"Tua bangka sialan" umpat Hay Tay-sau gusar, "lebih baik bertarung satu babak dulu melawanku sebelum bicara lain"
Baru saja dia hendak menggerakkan tubuh-nya, tiba-tiba Im Ceng berpaling seraya mengancam:
"Kalau kau berani maju membantu, sekarang juga aku akan bunuh diri dihadapanmu"
"Tapi jurus keduanya tidak mungkin bisa kau hindari!" seru Hay Tay-sau cemas.
Im Ceng tertawa seram.
"Dari mana kau tahu kalau aku tidak sanggup menghindari....
sekali pun tidak mampu kuhindari, apa urusannya denganmu!"
Kemudian sambil membusungkan dada, hardiknya:
"Orang she-Ai, ayoh maju!"
"Hmm, memandang kau sebagai seorang lelaki, kuberi waktu lagi bagimu untuk mengatur napas" kata Ai Thian-hok dingin.
Kontan Im Ceng mendelik, tapi sebelum dia menjawab, Un Tay-tay sudah berteriak lebih dahulu:
"Im lote, kau tidak boleh mati, uangmu sebesar satu juta lima ratus ribu tahil perak masih berada ditanganku, dan lagi kau....
kau masih begitu muda, masih banyak waktu bagimu untuk menikmati keduniawian, biarlah orang lain membantumu, boleh bukan" Setelah ini aku.... aku pasti akan baik-baik melayanimu...."
Ucapan tersebut disampaikan dengan nada pedih dan penuh kepiluan, tapi Im Ceng jangan lagi menuruti, menengok sekejap ke
Dendam Iblis Seribu Wajah 23 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Harpa Iblis Jari Sakti 11
^