Pendekar Panji Sakti 18

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 18


ini menemani kita, bukan saja dapat langsung memasuki Pulau Siang cun-to bahkan bisa pula pulang kembali dengan selamat"
Kelihatannya Hong Lo-su sudah tidak kuasa menahan diri lagi, serunya sambil tertawa terkekeh:
"Bagus sekali! Bagus sekali" Rupanya orang itu benar-benar
mestika hidup, di mana dia sekarang" Tolong bawalah kemari"
Sambil berkata ia sudah bangkit berdiri.
"Aku telah menyembunyikannya secara baik baik, jadi kau caripun tidak bakalan ketemu"
Sambil tertawa kering Hong Lo-su kembali menempati bangkunya, katanya kemudian:
"Kalau saudara Leng tidak membawanya kemari, siapa yang berani pergi mencarinya"
Tapi.... sebenarnya siapakah orang itu" Rasanya tidak keberatan bukan untuk menyebut dulu namanya?"
"Im Ceng, murid Perguruan Tay ki bun!"
Hong Lo-su tertegun, mendadak pujinya sambil bertepuk tangan:
"Bagus, bagus sekali!"
"Kalau orang lain tidak tahu, semestinya kau tahu bukan, asal ada dia maka perjalanan kita ke Pulau Siang cun-to akan jauh lebih aman dan lancar ketimbang kita cari hu pelindung tubuh dari Thio Thay-say"
"Hahahaha.... betul, orang ini memang ibarat hu pelindung tubuh, sekalipun Ratu matahari keji dan tega, tidak urung diapun akan kebingungan setelah menjumpai dia.... aaah tidak benar, tidak benar, lebih cocok dibilang kalau ingin menggebuk anjingpun harus melihat pemiliknya lebih dulu...."
Makin bicara dia merasa perkataannya semakin
membanggakan sehingga akhirnya gelak tertawanya pun semakin bertambah nyaring.
Tapi kecuali dia seorang, siapa pun tidak mampu ikut tertawa, mereka hanya berpikir dengan keheranan:
"Aneh, kenapa Im Ceng bisa memiliki kegunaan sebesar itu"
Mana mungkin bisa dijadikan hu pelindung tubuh?"
Di antara sekian orang, perasaan tercengang Thiat Tiong-tong terhitung paling besar, dari pembicaraan yang berlangsung, kendatipun dia pun bisa menduga kalau antara Perguruan Tay ki bun dengan Pulau Siang cun-to pasti terjalin hubungan khusus, tapi selama ini Perguruan Tay ki bun hidup mengasingkan diri jauh diluar perbatasan, sementara Pulau Siang cun-to hidup di sepanjang pesisir pantai, boleh dibilang kedua kelompok ini terpisah jauh sekali, dari mana datangnya hubungan itu" Satu hal yang sangat membingungkan.
Apalagi kalau didengar dari perkataan Hong Lo-su, tampaknya pemilik Pulau Siang cun-to tidak bakalan mencelakai Hong Lo-su
sekalian setelah bertemu dengan Im Ceng, hal ini semakin membuktikan kalau hubungan kedua kelompok ini pasti akrab sekali.
Dalam semalaman, ada begitu banyak rahasia besar yang didengar Thiat Tiong-tong, tapi setelah mendengar semua rahasia itu, bukannya masalah bertambah jelas, dia merasa makin kebingungan dan bodoh.
Pikirannya jadi kalut, pelbagai persoalan serasa berkecamuk dalam benaknya, pembicaraan yang kemudian terjadi antara Hong Lo-su dengan Leng It-hong pun terabaikan dengan begitu saja, jangan lagi mengerti artinya, mendengar sekecap pun tidak.
Tiba-tiba terdengar Hong Lo-su berseru sambil tertawa aneh:
"Aku akan mengabulkan semua syarat yang kau ajukan, sekarang Im Ceng bisa diajak kemari bukan?"
Kini Thiat Tiong-tong baru tahu, rupanya pembicaraan yang barusan berlangsung hanya mempersoalkan pertukaran syarat.
Terdengar Leng It-hong sedang bertanya:
"Apakah ucapanmu sebagai seorang Bu-lim cianpwee bisa dipercaya?"
"Soal itu mah tidak usah kuatir" sahut Hong Lo-su, "ayoh cepat! Cepat!"
Leng It-hong segera tertawa terkekeh.
"Hahahaha.... kalau menginginkan kehadiran Im Ceng mah gampang sekali! Katanya.
Sambil berkata dia mengayunkan tangannya, sebuah mercon pun meluncur keluar dan meledak di angkasa.
Begitu bunga api memancar ke empat penjuru, perhatian semua orang pun sama-sama dialihkan ke pintu perahu. Siapa tahu biarpun setengah perminum teh sudah lewat pun tidak nampak munculnya sesosok bayangan manusia pun.
Habis sudah kesabaran Hong Lo-su, tegurnya dengan kening berkerut:
"Bagaimana?"
"Sudah hampir.... sudah hampir...." sahut Leng It-hong sambil tertawa kering.
Kembali beberapa saat sudah lewat, perasaan tidak sabar kini muncul diatas wajahnya, sambil bangkit berdiri gumamnya:
"Apa yang telah terjadi" Jangan jangan.... jangan jangan...."
"Jangan-jangan kau hanya sedang mengibul!" jengek Hong Lo-su sambil tertawa dingin.
Leng It-hong sama sekali tidak menjawab, mendadak dengan
wajah berubah teriaknya:
"Celaka! Pasti telah terjadi perubahan, aku harus pergi memeriksanya"
Sambil berseru dengan cepat dia melompat keluar dari ruang perahu.
"Mau kabur?" ejek Hong Lo-su sambil tertawa dingin, "jangan harap, hari ini aku Hong Lo-su akan menempel terus dibelakangmu"
Bagaikan bayangan tubuh saja, dia segera mengintil di belakang Leng It-hong.
Thiat Tiong-tong sendiripun diam-diam merasa panik, dia cukup mengetahui kemampuan kerja Sim Sin-pek dan tidak mungkin manusia licik itu melakukan kesalahan fatal.
Kalau sekarang dia tidak muncul tepat waktu berarti telah terjadi perubahan diluar dugaan, tapi baik buruknya perubahan itu susah untuk diramalkan.
Dalam pada itu Hong Lo-su, Leng It-hong dan Suto Siau sekalian satu per satu telah melompat naik ke daratan.
Dalam waktu singkat susah terlihat ilmu meringankan tubuh siapa yang paling tangguh di antara sekian jago, kecuali Hong Lo-su, ternyata ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Leng It-hong terhitung paling tinggi.
Seng Cun-hau meski hebat dalam ilmu pedang, dasar kepandaian silatnya pun cukup mengagumkan, karena ilmu meringankan tubuh bukan ilmu andalannya, lompatannya kali ini nyaris tidak bisa menghantarnya naik ke daratan.
Thiat Tiong-tong harus menunggu sampai semua orang sudah mencapai daratan, dia baru secara diam-diam mengikuti dari belakang, tapi dia yakin ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya meski belum dapat melampaui kemampuan Hong Lo-su, paling tidak selisihnya pun tidak banyak.
Pada saat itulah, ditengah hembusan angin malam lamat-lamat terdengar suara bentakan nyaring diikuti suara pertarungan dan teriakan wanita yang amat keras, bukan saja Hong Lo-su sekalian dapat mendengarnya, Thiat Tiong-tong pun dapat mendengarnya dengan jelas sekali.
Leng It-hong segera mempercepat langkahnya, dalam belasan lompatan kemudian dia sudah saksikan ada segerombol bayangan manusia sedang mengepung kereta kudanya rapat-rapat.
Bayangan tubuh si Ruyung geledek ayah dan anak kelihatan
paling mencolok, disamping mereka berdiri pula enam, tujuh orang wanita berkeiudung yang berdiri tidak bergerak disana bagaikan sukma gentayangan.
Im Ceng yang semula tidak sadarkan diri kini sudah turun dari keretanya, sementara Sim Sin-pek yang bertugas menjaga Im Ceng, saat ini justru sedang berlutut dihadapan Im Ceng.
Tampaknya Leng It-hong tidak menyangka kalau persoalan dapat berubah jadi begitu rupa, sementara Hong Lo-su pun nampak sangat terkejut, tanyanya:
"Apa yang telah terjadi?"
"Dari mana aku tahu" sahut Leng It-hong.
"Kalau begitu pergilah melakukan penyelidikan, aku akan menunggu mu di perahu"
"Kau saja yang melakukan penyelidikan" seru Leng It-hong sambil tertawa dingin, "aku akan menunggumu di perahu"
Siapa pun di antara kedua orang itu tidak ada yang berani maju, bahkan mereka bersiap sedia melarikan diri.
Tiba-tiba terdengar Lui pian lojin (kakek ruyung geledek) membentak nyaring:
"Kalau sudah datang, kalian tidak usah balik lagi!"
Bukan saja orang tua ini seolah memiliki sepasang mata dipunggungnya, ketajaman pendengarannya betul-betul mengagumkan.
Hong Lo-su sert Leng It-hong saling bertukar pandangan sekejap, akhirnya sambil keraskan kulit kepala mereka pun berjalan menghampiri.
Terlihat Im Ceng menuding wajah Sim Sin-pek sambil mencaci makinya habis-habisan, sementara Sim Sin-pek hanya berlutut sambil menundukkan kepalanya dan bergumam berulang kali:
"Hamba tidak tahu apa-apa, hamba hanya menjalankan perintah"
"Hmm, selama ini aku menganggap dirimu bagaikan saudara sendiri, sekalipun kau sedang menjalankan perintah pun tidak seharusnya berbuat begini, coba kalau bukan para hujin itu keburu datang, mungkin nyawaku sudah melayang di tanganmu saat ini!"
Rupanya Sim Sin-pek yang harus menunggu lama pada akhirnya tidak mampu menahan sabar lagi sehingga dia putuskan untuk turun dari kereta sambil melihat keadaan, dia percaya ditengah malam buta begini tidak mungkin jejaknya akan ketahuan orang.
Pada saat itulah secara kebetulan Un Tay-tay bersama rombongan wanita suci itu lewat disana, sudah sejak lama Un Tay-tay mengetahui akan kelicikan Sim Sin-pek, menyaksikan gerak geriknya yang mencurigakan, dia segera tahu kalau orang itu tentu sedang menjalankan sebuah rencana busuk.
Begitu melihat kemunculan kawanan wanita suci bercadar hitam, Sim Sin-pek ketakutan setengah mati hingga lemas kakinya, cepat-cepat dia lari balik ke dalam ruang kereta sambil berharap kawanan wanita itu lupa akan dirinya.
Mimpi pun dia tidak menyangka kalau Un Tay-tay menjadi salah satu dari kawanan wanita berkerudung hitam, baru saja dia menutup pintu kereta, tahu-tahu pintu kembali dibuka orang kemudian seseorang menyeretnya keluar.
Begitu tahu siapa yang berada dalam kereta, Un Tay-tay terkejut sekali, cepat dia menotok bebas jalan darah ditubuh Im Ceng.
Begitu mendusin dari mabuknya, Im Ceng sendiripun tidak menyangka kalau wanita berkerudung yang menyelamatkan jiwanya adalah Un Tay-tay, dia pun turun dari kereta dan mulai mencaci maki Sim Sin-pek habis-habisan.
Kebetulan waktu itu Lui-pian ayah beranak sedang lewat disana, mereka pun segera menyusul ke tempat kejadian.
Begitu Un Tay-tay menyaksikan kemunculan kakek berjubah ungu itu, kontan dia ketakutan setengah mati dan tidak berani bersuara lagi.
Masih untung cuaca waktu itu masih gelap gulita sehingga sulit bagi siapa pun untuk mengenalinya.
Leng It-hong sendiripun kuatir kalau sampai Im Ceng mengetahui kehadirannya, tanpa bergerak dia berdiri dibelakang Hong Lo-su, bukan berarti dia takut kepada Im Ceng, yang dikuatirkan justru kawanan wanita berkerudung anak buah Ratu matahari.
Sudah barang tentu Suto Siau semakin tidak berani tampil diri, dia bersembunyi di belakang Leng It-hong, Hek Seng-thian bersembunyi dibelakang Suto Siau sementara Pek Seng-bu bersembunyi di belakang Hek Seng-thian.
"Dasar kawanan manusia tidak berguna" umpat Seng Toa-nio seolah menggerutu, tapi dia sendiripun tidak berani tampil ke depan sebaliknya malah bersembunyi dibelakang Pek Seng-bu tanpa bergerak.
Menyaksikan kesemuanya ini, Seng Cun-hau hanya bisa
menghela napas panjang, dia pun membalikkan tubuh sambil membuang muka, sebagai seorang pendekar dia malu menyaksikan sikap asor dari rekan-rekannya.
Dengan demikian, sekalipun Im Ceng berpaling ke arah mereka maka yang terlihat olehnya hanya Hong Lo-su seorang, apalagi saat itu dia sedang diliputi perasaan gusar yang meluap, didalam pandangannya kecuali Sim Sin-pek seorang, boleh dibilang dia tidak melihat siapapun.
Un Tay-tay sendiripun merasa amat sedih bercampur girang, sedih karena meski sang kekasih ada di depan mata namun mereka tidak bisa saling mengenal, girang karena kekasihnya terbebas dari pelbagai masalah.
Tiba-tiba terdengar Lui-pian lojin membentak nyaring:
"Anak muda, sudah habis makianmu?"
"Apa urusannya dengan dirimu?" sahut Im Ceng sambil melotot gusar.
"Dasar bocah ingusan, berani amat kau bersikap kurangajar, sudah tahu siapakah aku?"
"Hmm, anak murid Perguruan Tay ki bun tidak pernah takut menghadapi siapapun!" sahut Im Ceng lantang.
Suto Siau sekalian diam-diam kegirangan setelah
menyaksikan pemuda itu berani bersikap kurang ajar terhadap Lui pian lojin, mereka sangka kali ini Im Ceng pasti akan dihajar habis habisan.
Siapa tahu watak Lui pian lojin memang aneh sekali, dia paling suka menghadapi pemuda bersemangat macam begini, bukannya gusar dia malah memuji sambil tertawa:
"Ternyata anak murid Perguruan Tay ki bun memang bersemangat dan tulangnya terbukti keras sekali"
"Bagus kalau sudah tahu!"
Lui pian Lojin tertawa tergelak, kembali ujarnya: "Lohu hanya ingin berbicara beberapa patah kata dengan beberapa orang hujin yang barusan menolongmu, apabila kau belum selesai memaki, teruskan saja, teruskan saja, tidak ada salahnya lohu akan menunggu sejenak lagi"
Im Ceng melirik kawanan wanita bercadar itu sekejap, perkataan itu justru membuatnya merasa sungkan, maka katanya cepat:
"Bila kalian ingin berbicara disini, baiklah, biar aku berpindah tempat dan melanjutkan makianku ditempat lain"
Wataknya memang tidak jauh berbeda dengan watak Seng
Cun-hau, tunduk pada cara lunak daripada cara kekerasan.
Kontan Lui pian Lojin tertawa terbahak-bahak: "Hahahaha...
bagu! Bagus sekali anak muda..." Kemudian sambil menjura ke arah kawanan wanita bercadar itu, sapanya:
"Apakah belakangan ini Jit ho hujin dalam keadaan sehat?"
Wanita bercadar yang berdiri ditengah segera menjawab:
"Kau sendiri pun tetap tegap dan sehat, tentu saja Jit ho hujin selalu sehat walafiat!"
"Cengli, cengli...." Lui-pian Lojin manggut-manggut, "dimana Un Tay-tay berada?"
Pertanyaan yang diajukan sangat mendadak ini seketika membuat sebagian orang yang hadir disitu terperanjat, bahkan Im Ceng yang sudah siap membopong tubuh Sim Sin-pek pun seketika menghentikan langkahnya.
"Siapa itu Un Tay-tay?" tanya perempuan bercadar itu dingin.
Sekali lagi Lui pian Lojin tertawa terbahak bahak.
"Hahahahaha.... kalian tidak usah mengelabuhi lohu lagi, sejak keluar meninggalkan kuil Siau-lim, jejak Un Tay-tay ikut lenyap tidak berbekas, kalau bukan sudah bergabung dengan kalian, mana mungkin lohu gagal menemukan-nya?"
"Belum tentu begitu"
Sambil mengelus jenggotnya kembali Lui pian Lojin tersenyum, ujarnya:
"Bila Un Tay-tay tidak ikut bergabung dengan kalian, lohu bersedia pertaruhkan kulit wajahku ini"
"Bila kau berkeinginan memenggal batok kepala sendiri, kami semua tidak bakalan mencegah" tukas perempuan itu cepat.
Tiba-tiba Lui pian Lojin menghentikan gelak tertawanya, dengan gusar dia berseru:
"Jadi kau tidak mau mengakui juga, memangnya kalian ingin lohu...."
"Kalau kau bersikeras menuduh Un Tay-tay ikut bergabung dengan kami, kenapa tidak tunjuk hidung saja" tukas perempuan itu semakin ketus, "tapi kalau sampai gagal, hmmmm! Hmmmm!"
Perempuan berbaju hitam lainnya segera menimpali:
"Kalau kau sampai salah tunjuk orang, aku kuatir hubunganmu dengan Jit ho dimasa mendatang bakal tidak lancar"
Nada suaranya dingin lagi hambar, tidak jauh berbeda dengan nada bicara rekannya.
Lui pian Lojin tertegun, dia mencoba perhatikan kawanan
wanita itu, tapi ke tujuh orang perempuan bercadar itu nyaris berdandan sama, dari ujung kepala hingga ujung kaki boleh dibilang semuanya terbalut dibalik kain hitam.
Bukan hanya dandanannya sama, perawakan tubuh ke tujuh orang wanita itupun hampir berimbang.
Terdengar perempuan yang ada disisi kiri bertanya:
"Akukah Un Tay-tay?"
Menyusul kemudian wanita disampingnya melanjutkan:
"Akukah Un Tay-tay?"
Satu per satu ke tujuh orang wanita itu mengajukan pertanyaan yang sama, nada suara mereka nyaris tidak jauh berbeda.
Coba kalau mereka bertujuh tidak bergerak, siapa pun tidak akan mampu menunjukkan perbedaan di antara mereka.
Sepanjang hidupnya sudah begitu banyak masalah pelik yang pernah dihadapi Lui pian Lojin, namun belum pernah dibuat serba salah seperti hari ini, untuk sesaat dia hanya bisa berdiri terbelalak tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Dalam pada itu Thiat Tiong-tong telah berputar satu lingkaran dan menyembunyikan diri di belakang kereta kuda itu.
Dia sendiri meski yakin kalau salah satu di antara ke tujuh wanita bercadar itu adalah Un Tay-tay, namun dia pun merasa tidak berdaya untuk tunjuk hidung, siapa di antara mereka adalah orang yang dimaksud.
Bukan hanya dia, bahkan termasuk Im Ceng dan Suto Siau pun tidak mampu membedakannya.
Terdengar perempuan bercadar itu berkata lagi: "Bila kau merasa tidak mampu untuk tunjuk hidung, lebih baik jangan mencari masalah lagi"
"Soal ini.... soal ini...." Lui-pian Lojin cemas bercampur gusar.
Mendadak dengan sekali lompat Sim Sin-pek menyembah dihadapannya sambil berteriak keras:
"Bila hamba sanggup menunjukkan dimana Un Tay-tay bersembunyi, apa pula yang hendak cianpwee lakukan?"
"Lohu saja tidak mampu mengenali, apalagi kau seorang bocah busuk yang tidak tahu diri?" bentak Lui-pian Lojin gusar,
"baik! Bila kau dapat mengenali, lohu jamin keselamatanmu hari ini"
"Sungguh?"
Dengan jengkel Lui pian Lojin menendangnya hingga jatuh berguling, umpatnya penuh amarah:
"Apa itu sungguh atau palsu, setiap perkataan lohu ibarat larinya seribu ekor kuda, mau dikejar pun tidak mungkin"
Biarpun kena didepak keras, Sim Sin-pek justru
memperlihatkan wajah kegirangan, serunya:
"Hamba tidak bermaksud mengatakan kalau ketajaman mataku jauh melebihi kau orang tua, kebetulan saja barusan tanpa sengaja Un Tay-tay telah memperlihatkan jejaknya"
"Jejak apa" Kalau ingin dilaporkan cepat katakan"
"Kecuali Un Tay-tay, tidak seorangpun yang bakal mengenali hamba, terlebih mengenali Im.... Im thayhiap, tapi ada seorang hujin berbaju hitam yang langsung menyebutkan nama hamba serta Im thayhiap begitu bertemu kami, saat itu juga hamba segera menduga siapa gerangan hujin itu"
"Sekalipun saat itu kau dapat menduga, bukan berarti sekarang kau masih bisa mengenalinya kembali"
Sim Sin-pek segera tertawa.
"Ketika hujin itu menarik tangan hamba tadi, secara diam-diam hamba telah meninggalkan tanda rahasia ditangannya, tanda itu kutinggalkan tanpa dia sadari...."
Ketika mendengar perkataan itu, tanpa sadar perempuan bercadar nomor dua dari sebelah kanan segera menarik tangannya dan menyembunyikan dibalik saku.
Sim Sin-pek yang menyaksikan hal tersebut kontan berteriak keras:
"Dialah orangnya!"
Baru selesai dia berteriak, Lui pian Lojin sudah menerjang ke hadapan perempuan itu dengan kecepatan tinggi, bentaknya:
"Yaa, kaulah orangnya! Un Tay-tay, apakah kau masih ingin kabur!"
Terlihat wanita berbaju hitam itu berdiri dengan tubuh gemetar keras.
Terdengar Sim Sin-pek berseru sambil tertawa terbahak bahak:
"Hahahaha.... Un Tay-tay, siapa suruh kau menarik tanganmu sambil disembunyikan dibalik saku, padahal ditanganmu itu sama sekali tidak ada tanda apa-apa?"
Thiat Tiong-tong merasa terkejut, keheranan bercampur rasa sayang, terkejut dan heran karena dia tidak tahu kenapa orang tua itu begitu getol mencari Un Tay-tay, merasa sayang karena manusia secerdik Sim Sin-pek kenapa perbuatan-nya justru licik dan berhati busuk.
Tampak perempuan berbaju hitam itu menghentakkan kakinya berulang kali sambil berteriak keras:
"Mau kenali aku atau tidak, aku tidak ambil perduli, pokoknya sampai mati pun aku tidak bakalan mengikuti dirimu"
Sambil berkata dia tanggalkan kain cadar dari wajahnya, maka muncullah seraut wajah yang meski cantik namun kelihatan sangat murung.
Begitu menyaksikan wajah perempuan itu, tanpa terasa sekujur tubuh Im Ceng gemetar keras.
Kembali Lui-pian Lojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... kini lohu telah berhasil mengenalimu, bagaimanapun juga kau harus pergi bersamaku"
"Kenapa?" tiba tiba perempuan bercadar yang berdiri dipaling tengah menegur dingin.
"Karena dia sudah terikat janji dengan lohu"
"Dia sudah mati satu kali" tukas perempuan itu cepat, "berarti semua perjanjian dimasa hidupnya yang lampau tidak perlu dipenuhi lagi"
Kemudian setelah tertawa dingin lanjutnya:
"Sebab orang yang sudah mati tidak akan mampu melakukan pekerjaan apa pun!"
"Hahahahaha.... betul, kalau ingin menjadi anak buahnya Ratu matahari, dia memang wajib mati satu kali" kata Lui pian Lojin sambil tertawa tergelak, "tapi khusus baginya, biar sudah matipun perjanjan ini masih tetap berlaku"
"Kenapa?"
"Sebab perjanjian yang kami sepakati adalah menyerahkan tubuhnya kepada lohu, sekalipun tidak disebut dalam kondisi hidup atau mati, tapi yang pasti biar hidup atau mati, tubuh itu tetap menjadi milikku"
Satu pernyataan yang sangat lihay, kawanan wanita bercadar itupun tidak sanggup berkata-kata lagi, sebab dalam hal ini biar orang mati pun masih tetap dapat melakukannya.
Un Tay-tay memandang sekeliling tempat itu sekejap, dua baris air mata segera jatuh bercucuran.
Tiba-tiba terdengar Im Ceng membentak keras, sambil tampil ke depan teriaknya:
"Bagaimana pun juga kau masih terhitung seorang bulim cianpwee, kenapa perbuatanmu justru begitu memalukan, menganiaya kaum wanita lemah.... Hmmm! Sekalipun orang lain enggan mencampuri, hari ini aku orang she-Im tetap akan
mengurusi hal ini"
Sekali lagi Un Tay-tay gemetaran keras, pancaran sinar girang muncul dari balik matanya. Ternyata Im Ceng masih begitu menaruh perhatian terhadapnya, sekalipun benar-benar harus mati, kini dia akan menerimanya dengan rela.
Dengan mata melotot Lui pian Lojin mengawasi wajah Im Ceng beberapa saat, tiba-tiba sambil bertepuk tangan dan tertawa keras serunya:
"Betul, betul, ternyata kau orangnya! Kenapa tidak kukenali sejak tadi"
"Kenapa tidak dikenali?" Im Ceng tertegun, "ngaco belo saja perkataanmu itu"
"Lohu pernah selamatkan nyawamu, kenapa kau malah bersikap begitu kurangajar kepadaku?"
Rupanya dia sudah mengenali kalau pemuda itu tidak lain adalah anak muda yang dia hantar masuk ke dalam kuil Siau-lim.
"Kau pernah selamatkan nyawaku?" tanya Im Ceng tetap tidak habis mengerti.
"Kalau bukan lohu, mana mungkin kau bisa memasuki kuil Siau-lim-sie?"
"Tapi... tapi dia...." Im Ceng merasa terkejut bercampur ragu.
"Justru lantaran ingin selamatkan nyawamu, maka dia serahkan tubuhnya untuk lohu" sela Lui pian Lojin cepat, "bocah goblok, masa sampai sekarang pun kau masih belum tahu?"
Im Ceng berdiri dengan tubuh gemetar keras, dengan wajah tertegun dia mundur sempoyongan beberapa langkah ke belakang.
"Hei anak muda, kemari kau" kembali Lui pian Lojin menggapai ke arah pemuda berbaju ungu.
Sambil tertawa getir pemuda berbaju ungu itu maju mendekat.
"Berdiri di samping nona Un!" kembali perintah Lui pian Lojin.
Sambil mendeham berulang kali pemuda berbaju ungu itu berjalan ke depan dan berdiri disisi perempuanku.
Dalam pada itu Un Tay-tay hanya berdiri termangu sambil mengawasi wajah Im Ceng, terhadap urusan lain tampaknya dia tidak menggubris maupun ambil perduli.
Dengan sorot matanya yang tajam Lui pian Lojin
memperhatikan putranya sekejap, lalu memperhatikan pula wajah Un Tay-tay, setelah itu sambil tertawa tergelak serunya:
"Bagus! Bagus! Benar-benar sepasang muda mudi yang serasi, yang laki tampan yang wanita cantik lagi cerdas, lain waktu kalian pasti akan melahirkan cucu hebat untuk lohu, hahahaha.... hahahaha.... bagus, sungguh bagus...."
Saat itulah Un Tay-tay baru tersentak sadar dari lamunannya, mendengar ucapan tersebut, serunya keheranan:
"Apa" Cucu?"
"Putra yang kau lahirkan bersama anakku bukankah cucuku"
Cucu dalam?" seru Lui pian Lojin cepat, kuatir orang lain tidak paham, kembali dia menjelaskan secara terperinci.
Tampaknya penjelasan ini sama sekali diluar dugaan Un Tay-tay, kembali ujarnya tergagap:
"Jadi kau.... kau ingin aku bersama putramu...."
Dengan wajah penuh rasa bangga Lui-pian Lojin berkata lagi:
"Selama hidup lohu selalu malang melintang tanpa tandingan, kalau cucuku tidak hebat, bukankah hal ini akan menjadi satu penyesalan" Oleh sebab itu lohu mesti mendapatkan menantu pilihan...."
Setelah tertawa tergelak berulang kali, terusnya: "Setelah mencari kesana-kemari, akhirnya kutemukan dirimu. Lohu sudah cukup lama mengamati sifat manusia, lohu tahu bila memperoleh wanita goblok maka putranya pasti goblok, kalau mendapat wanita cerdik pasti akan melahirkan putra cerdik, teori ini tidak bakal berubah dari dulu hingga nanti. Sekarang lohu telah memperoleh menantu cantik lagi cerdik macam kau, dapat dipastikan seorang cucu hebat pasti akan bergabung dalam keluarga kami.... hahahaha.... coba lihat, putraku ganteng, gagah, bun bu coan cay, bukankah merupakan pasangan serasi denganmu"
Makin bicara orang tua itu merasa semakin bangga, sebaliknya pemuda berbaju ungu itu hanya bisa berdiri sambil tertawa getir, sementara batuknya pun makin bertambah keras.
Hong Lo-su ikut terkekeh, serunya:
"Bagus! Bagus! Sungguh bagus! Nona Un, kenapa tidak segera berlutut dan memanggil loya kepadanya!"
Saat itu Im Ceng sudah tidak sanggup menahan diri lagi, tiba-tiba teriaknya keras:
"Kentut!"
"Bocah bodoh, minggir kau"
"Un Tay-tay itu milikku, apa pun yang terjadi aku tidak akan biarkan dia kawin dengan anak busukmu!"
Entah apa sebabnya, bahkan Im Ceng sendiripun tidak paham, kenapa dia bisa mengucapkan kata-kata semacam itu, tapi bagi pendengaran Un Tay-tay, ucapan tersebut nyaris membuatnya jatuh pingsan, semaput gara-gara kegirangan.
"Bocah goblok" umpat Lui pian Lojin dengan kening berkerut kencang, berkerut saking gusarnya, "kau tahu siapakah lohu"
Kurang ajar kepadaku mah masih mendingan, kau berani memaki putraku?"
"Kalau berani lantas kenapa?"
"Keparat!" teriak Lui pian Lojin naik pitam, "hei bocah muda, cepat kasih pelajaran kepada si burung dogol itu"
Rupanya panggil 'bocah muda' tanpa embel yang lain dimaksudkan untuk memanggil putranya.
"Tapi.... tapi...." kelihatan sekali pemuda berbaju ungu itu agak keberatan.
"Tapi kenapa?" kembali Lui pian Lojin membentak,
"memangnya kau ingin menjadi anak tidak berbakti" Ayoh cepat.... mengingat bocah goblok itu punya keberanian, jangan kau lukai nyawanya"
"Baik...." akhirnya pemuda berbaju ungu itu menghela napas.
Siapa tahu Im Ceng bertindak jauh lebih cepat, tidak menunggu sampai dia menyelesaikan perkataannya, sebuah pukulan telah dilontarkan ke depan.
Terdengar Hong Lo-su segera berteriak aneh: "Eei keparat, kenapa pukulan Siau-lim-kun yang kau gunakan?"
Baru selesai dia bicara, Im Ceng telah melepaskan lima buah pukulan berantai, karena itu kembali teriaknya:
"Hiattit, coba lihat, bocah dungu itu menyerang sungguhan, memangnya kau pingin digebuk" Ayoh cepat dibalas!"
Menggunakan kesempatan itu, perempuan bercadar yang ada ditengah segera berbisik disisi telinga Un Tay-tay:
"Kami akan berusaha menahan kakek itu, gunakan
kesempatan nanti untuk kabur dari sini!"
"Tapi.... ke mana aku pergi?" tanya Un Tay-tay dengan kepala tertunduk.
Perempuan berbaju hitam itu segera menyusupkan sebuah peluit tembaga ke tangannya sambil berbisik:
"Tiuplah peluit itu begitu tiba di pesisir, akan muncul perahu yang akan menjemputmu, asal sudah tiba di Pulau Siang cun-to, kau tidak perlu kuatir lagi terhadap siapa pun"
Kemudian dia menggapai sambil memberi tanda, ke enam
orang wanita berbaju hitam itu serentak bergerak ke depan dan mengepung Lui pian Lojin rapat-rapat, gerakan tubuh mereka cepat bagaikan sambaran kilat.
"Mau apa kalian berenam?" bentak Lui pian Lojin gusar.
"Mau memaksamu agar tidak mampu meloloskan diri" sahut perempuan bercadar itu cepat.
Dengan gerakan cepat ke enam orang itu berputar tiada hentinya, tiba-tiba setiap orang melepaskan satu pukulan, langsung menghantam bahu kakek itu.
"Minggir!" bentak Lui pian Lojin gusar, "selama hidup lohu tidak sudi bertarung melawan kaum wanita
"Tidak sudi pun tetap harus melayani kami"
Enam orang secara berantai melancarkan serangan secara bertubi tubi, kerja sama mereka selain erat pun gerak serangannya aneh, membuat siapa pun jangan harap bisa loloskan diri secara gampang.
Sekalipun Lui pian Lojin termasuk jagoan tangguh, tidak urung dia terjerumus juga dalam kepungan yang rapat, biarpun dia mencak-mencak kegusaran, untuk sesaat jangan harap bisa loloskan diri dengan mudah.
Un Tay-tay mulai bergeser menjauhi tempat itu, namun sepasang matanya serasa melekat ditubuh Im Ceng, sama sekali tidak sanggup berpindah dari situ.
Waktu itu Im Ceng menyerang semakin gencar, pukulan demi pukulan dilontarkan ke tubuh pemuda berbaju ungu itu bagai titiran hujan badai, sementara pemuda berbaju ungu itu seolah tidak berdaya melancarkan serangan balasan, tapi seperti juga dia memang sama sekali tidak berhasrat untuk melayani pertarungan itu.
Un Tay-tay tidak ingin pergi dari situ, namun tidak bisa tidak harus pergi, baru saja dia nekad hendak beranjak dari sana, mendadak matanya menangkap wajah Hong Lo-su yang sedang memandang kearahnya sambil tertawa licik.
Bersamaan waktu diapun menyaksikan Leng It-hong dan Suto Siau yang berdiri dibelakang Hong Lo-su, perasaan hatinya makin tercekat, pikirnya:
"Kalau aku pergi sekarang, bukankah diriku akan terjatuh ke cengkeraman setan mereka?"
Dia lebih suka ditawan Lui pian Lojin ketimbang terjatuh ke tangan kelompok manusia busuk itu, karena itu langkahnya seketika terhenti. Saat ini keadaannya boleh dibilang maju salah
mundurpun salah.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba terdengar pemuda berbaju ungu itu berbisik:
"Kereta kuda itu kosong"
Tergerak hati Un Tay-tay, sebelum dia sempat bertanya Im Ceng sudah membentak guluan:
"Kalau kosong ada apa?"
Sambil berkelit dari pukulan, kembali pemuda berbaju ungu itu berbisik:
"Kalau kosong berarti bisa dinaiki, kalau bisa dinaiki berarti bisa digunakan untuk kabur"
"Jangan harap kau bisa kabur!" seru Im Ceng gusar.
Pemuda itu mendongkol bercampur geli, untunglah Un Tay-tay segera datang sambil berbisik:
"Dia suruh kau yang naik kedalam kereta dan kabur!"
Im Ceng sama sekali tidak menghentikan serangannya, kembali ujarnya penuh amarah: "Kenapa aku harus kabur!"
"Paling tidak kau toh bisa mengajak nona Un untuk melarikan diri dari sini bukan?" kata pemuda berbaju ungu itu sambil menghela napas.
Sekarang Im Ceng baru tertegun dibuatnya:
"Apa.... apa kau bilang?"
"Pemuda bodoh! Kau benar-benar pemuda bodoh!" kata pemuda berbaju ungu itu sambil menghela napas lagi, "kalian berdua bisa kabur dari sini sementara biar aku yang menghadang kepergian para pengejar, anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa disini"
"Hmmm! Masa begitu baik hatimu?"
"Un Tay-tay cantik bak bidadari dari kahyangan, jangan kau sangka aku tidak terpikat olehnya, kalau kau masih juga tidak pergi, bisa jadi aku benar-benar akan mengawininya menjadi biniku"
Segoblok apa pun saat ini Im Ceng sudah merasakan juga niat baik dari pemuda itu, timbul perasaan terima kasih dihati kecilnya, tapi di luaran kembali bentaknya:
"Bocah keparat, kau...."
"Baik, anggap saja aku memang keparat. Sudahlah, sekarang bisa naik ke dalam kereta?"
Un Tay-tay tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi, sambil tertawa cekikikan dia menyelinap masuk ke dalam ruang kereta.
Akhirnya Im Ceng menghentikan serangannya:
"Tapi...."
Tidak menanti dia menyelesaikan perkataan-nya mendadak pemuda berbaju ungu itu mengayunkan tangannya, tidak jelas apa yang dilakukan, tahu-tahu dia sudah cengkeram urat nadi Im Ceng dan mendorong tubuhnya ke dalam kereta kuda, kemudian sambil berpekik nyaring dia sentil perut kuda-kuda itu.
Diikuti suara ringkikan panjang, kuda-kuda itu pun berlarian kencang meninggalkan tempat itu.
Dengan bergeraknya sang kereta, Thiat Tiong-tong yang bersembunyi di belakang kereta pun tidak bisa menyembunyikan diri lagi, tapi dia enggan munculkan diri dalam situasi dan keadaan seperti ini, terpaksa sambil tetap membonceng dibelakang ruang kereta, dia ikut berlalu pula dari tempat itu.
Bersamaan dengan bergemanya suara ringkikan kuda, pemuda berbaju ungu itu telah menyelinap ke hadapan Hong Lo-su dan Leng It-hong sekalian sambil merentangkan sepasang tangannya lebar-lebar, tegurnya sambil tersenyum:
"Apakah kalian masih kenal aku?"
"Tentu saja masih...." sahut Hong Lo-su, "kenapa kau justru membiarkan kereta kuda itu berlalu...."
Sambil mengebaskan ujung bajunya, dia siap melakukan pengejaran.
Hek Seng-thian, Pek Seng-bu maupun Suto Siau serentak ikut menggerakkan tubuhnya untuk melakukan pengejaran.
Siapa tahu, biarpun usia pemuda berbaju ungu itu masih sangat muda ternyata kungfunya sangat hebat, kemana pun Hong Lo-su bergerak, tubuhnya selalu bergerak lebih cepat untuk menghalangi jalan perginya, sementara dengan sorot mata yang tajam dia melotot ke arah Suto Siau sekalian sambil berseru:
"Kalian belum menjawab pertanyaanku, jangan pergi dulu"
Keangkeran dan keperkasaan pemuda itu seketika membuat Suto Siau sekalian tidak berani berkutik, mereka benar-benar tercekat hatinya.
Sambil menahan rasa gusar, buru-buru sahut Hong Lo-su:
"Kau adalah putra Lui pian Lojin, masa aku tidak mengenalinya?"
Pemuda berbaju ungu itu tertawa.
"Tidak berani, tidak berani...." katanya, kemudian sambil menuding ke arah Suto Siau sekalian lanjutnya, "boleh tahu nama besar dari beberapa orang hengtay ini?"
Tidak terlukiskan rasa gusar Hong Lo-su saat itu, namun memandang wajah Lui pian Lojin dia tidak berani mengumbar
amarahnya, terpaksa sambil melotot jengkel ke arah pemuda berbaju ungu itu, dia perkenalkan nama Suto Siau sekalian satu demi satu.
Pemuda berbaju ungu itu segera tertawa tergelak, sambil menyingkir ke samping memberi jalan lewat katanya:
"Silahkan kalau kalian hendak melakukan pengejaran!"
"Sekarang mau mengejarnya kemana!" teriak Hong Lo-su mendongkol.
"Kalau saat ini mereka masih terkejar, tentu saja aku tidak akan membiarkan kalian melakukan pengejaran"
Biarpun Hong Lo-su gusarnya setengah mati, diapun tidak bisa berbuat apa-apa, terpaksa sambil menghentakkan kakinya berulang kali, dia mencaci maki habis-habisan, tidak jelas siapa yang menjadi sasaran makiannya.
Pemuda berbaju ungu itu tidak menggubris dirinya lagi, ketika berpaling ke arah lain, dia saksikan ke enam orang wanita bercadar itu berputar semakin gencar, nyaris sudah tidak kelihatan lagi bayangan tubuh mereka, kini yang tersisa tinggal segulung bayangan abu-abu yang samar.
Lui pian Lojin yang terkepung ditengah bayangan abu-abu membentak gusar berulang kali, tiba-tiba sambil berpekik nyaring tubuhnya melambung tinggi ke angkasa, suara pekikannya keras bagaikan guntur yang menggelegar di udara, membuat bergetar perasaan hati setiap orang.
Walaupun kawanan jago itu sudah lama mengetahui akan kehebatan Lui pian Lojin, namun setelah mendengar sendiri suara pekikannya yang menggetar sukma, tidak urung mereka dibuat tercekat hatinya.
Sambil tertawa rendah ujar Hong Lo-su:
"Waah, kelihatannya toako sudah mulai gusar, dia sudah tidak ambil perduli lagi siapa musuhnya, kali ini ke enam orang wanita itu bakal banyak menderita"
Siapa tahu belum selesai suara pekikan itu berkumandang, kawanan wanita bercadar itu telah membubarkan diri sambil mundur ke tepi arena dan berdiri tanpa bergerak lagi.
Dengan wajah penuh amarah dan mata melotot besar, Lui pian Lojin melayang turun dari udara, saat ini keadaannya mirip dengan dewa guntur yang sedang gusar, jubah ungunya menggelembung besar dan bergolak tiada hentinya, jelas sudah dipenuhi dengan tenaga dalam yang maha dahsyat.
Begitu menginjakkan kakinya ditanah, Lui pian Lojin kembali
berseru dengan penuh amarah:
"Sudah lama kudengar ilmu barisan Toa ciu thiat coat sintin dari Pulau Siang cun-to sangat hebat, lohu sudah siap meminta pengajaran, kenapa kalian malah berhenti?"
Perlahan-lahan perempuan bercadar itu menyahut:
"Walaupun ilmu barisan Toa ciu thiat coat sintin sangat hebat, sayangnya kehebatan itu tidak akan terwujud bila digunakan oleh enam orang saja, apalagi Un Tay-tay sudah pergi jauh, buat apa kami mesti membuang tenaga dengan percuma, bila kau bersikeras ingin menyaksikan kehebatan ilmu barisan kami, datang saja ke Pulau Siang cun-to, pasti ada orang yang akan melayani keinginanmu itu!"
Perkataan itu disampaikan dengan suara dalam lagi lambat, sama sekali tidak tersirat hawa amarah.
"Pulau Siang cun-to?" teriak Lui pian Lojin gusar, "hmmm!
Hmmm! Memangnya pulau Siang cun-to adalah sarang naga gua harimau" Memangnya lohu benar-benar tidak berani mendatanginya!"
"Mereka pasti menyangka toako tidak berani" sambung Hong Lo-su cepat.
Dia memang tidak berani berkunjung sendiri ke Pulau Siang cun-to, oleh sebab itu secara licik dia berusaha memanasi hati orang lain untuk mendatangi pulau itu sementara dirinya akan mencari keuntungan di air keruh.
Benar saja, perkataan itu seketika membuat hawa amarahnya makin memuncak, sambil menghentakkan kakinya dia berseru:
"Anak muda, kita berangkat!"
Hentakan kakinya seketika menimbulkan liang yang cukup dalam ditempatnya berpijak.
Diam-diam Hong Lo-su kegirangan, kembali teriaknya:
"Walaupun siaute tidak berkemampuan untuk membantu toako, tapi pergi bersama toako paling tidak bisa membantu keangkeran dirimu"
"Siapa yang ingin ikut segera bergabung denganku" seru Lui-pian Lojin keras, "lohu tidak percaya kalau Pulau Siang cun-to benar-benar adalah sarang naga gua harimau, kali ini harus kuterjang"
Suto Siau sekalian segera menunjukkan wajah kegirangan, sementara pemuda berbaju ungu itu menghela napas panjang.
Didalam kereta kuda Im Ceng duduk saling berhadapan dengan Un Tay-tay, sepanjang jalan senyuman manis selalu
tersungging diujung bibir perempuan itu.
Menyaksikan hal ini, dengan gusar Im Ceng segera menegur:
"Apa yang kau tertawakan?"
Un Tay-tay tidak menjawab, seketika dia tundukkan wajahnya.
Kembali Im Ceng berseru:
"Kalau kau anggap pemuda tadi jauh lebih pintar ketimbang aku, kenapa tidak ikut dia saja?"
Un Tay-tay tetap menundukkan kepalanya tanpa menjawab.
Kedua orang itupun terbungkam, dalam keheningan kereta kuda bergerak makin cepat.
Tiba-tiba Im Ceng berkata lagi:
"Penampilanku tadi bukan cuma lantaran kau, bila ada perempuan lain yang mengalami penganiayaan pun, aku tetap akan berbuat hal yang sama"
"Aku tahu...."
Kelihatannya Im Ceng sedang dipenuhi oleh rasa mendongkol, semakin Un Tay-tay bersikap lembut dan penurut, dia semakin jengkel dibuatnya, mendadak dengan mata mendelik dia mulai memukul dinding kereta.
Un Tay-tay masih menundukkan kepalanya, sama sekali tidak menggubris.
Kembali beberapa saat lewat, akhirnya Im Ceng tidak kuasa menahan diri lagi, teriaknya:
"Sekalipun kau telah selamatkan nyawaku, gara-gara kau akupun merasakan penderitaan yang berat, jadi aku tetap tidak akan berterima kasih kepadamu"
"Aku tahu...."
Tiba-tiba Im Ceng melompat bangun, "duuuk!" kepalanya ditumbukkan keatas dinding kereta kemudian teriaknya keras:
"Kau tidak tahu.... kau tidak tahu.... apapun tidak kau ketahui"
Dengan sedih Un Tay-tay memandangnya sekejap, setelah menghela napas tanya:
"Dari mana kau tahu kalau aku tidak tahu?"
Lirikan itu seolah sebuah jarum tajam yang segera menusuk dihati Im Ceng.
Perasaan murung, perasaan kagum serta luapan cinta kasih yang sangat mendalam seolah terkandung dibalik lirikan itu, membuat manusia berhati baja pun akan luluh hatinya apalagi lelaki berdarah panas macam Im Ceng.
Akhirnya Im Ceng tidak sanggup mengendalikan diri lagi, tiba-tiba dia menubruk maju dan memeluk tubuh Un Tay-tay erat-erat, bisiknya:
"Kau tidak tahu, aku.... aku...."
Pemuda ini berwatak keras dan berangasan, gembira atau gusar selalu mengikuti suara hati, bila dia enggan memperdulikan seseorang maka jangan lagi mengajaknya bicara, melirikpun enggan, tapi bila hatinya sedang dikobar api asmara, dia pun akan mengemukakan perasaan hatinya secara terang terangan.
Sambil menyandarkan kepalanya diatas dada pemuda itu, Un Tay-tay berbisik:
"Aku tahu, kau sangat berterima kasih kepadaku"
"Bukan hanya berterima kasih, bahkan.... bahkan aku...."
"Bahkan kenapa?"
"Aku.... akupun ingin...."
"Sebagai seorang lelaki sejati, masa kata 'cinta' pun tidak berani kau kemukakan?"
"Benar, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku
mencintaimu...." jerit Im Ceng keras-keras, "aku rela tidak memperoleh apapun asal tidak kehilangan dirimu"
Un Tay-tay mendongakkan kepalanya, butiran air mata telah membasahi seluruh wajahnya, dengan suara gemetar dia berbisik:
"Sekalipun semua penderitaan dan siksaan harus kujalani, tapi asal bisa mendengar perkataanmu itu, hatiku benar-benar sudah puas"
Im Ceng memeluknya makin kencang, seolah kuatir
kehilangan wanita itu lagi, gumamnya terus menerus:
"Aku mencintaimu.... aku cinta padamu.... bila kau senang mendengarnya, setiap hari akan kuulang beratus, beribu kali...."
"Tapi dulu aku pernah melakukan perbuatan yang sangat memalukan, pernah pula melakukan perbuatan salah kepadamu"
Cepat Im Ceng menutup mulutnya dengan tangan, tukasnya:
"Perduli dulu kau pernah melakukan perbuatan apa, juga tidak perduli dikemudian hari apa yang hendak kau lakukan.
Asal hatimu hanya untukku, asal kau tidak pernah meninggalkan aku untuk selamanya, aku sudah merasa puas sekali"
Sambil mendesis lirih Un Tay-tay segera memeluk tengkuk pemuda itu, tubuh mereka berdua pun saling berangkulan dengan mesranya, pipi menempel diatas pipi sementara air mata
jatuh berlinang, mereka seolah sudah melupakan keadaan yang sedang dihadapi.
Orang yang berada diluar kereta ikut merasa terharu bercampur gembira, pikirnya:
"Dasar bocah bodoh.... dasar bocah bodoh.... akhirnya kau mengerti juga...."
Walaupun dia tidak ingin mencuri dengar, namun setiap patah kata yang berkumandang dari balik kereta terdengar olehnya dengan jelas.
Walaupun dia tidak ingin mendengar lebih jauh, namun perasaan hatinya tidak tahan untuk mendengar lebih banyak, agar dia bisa turut bergembira bagi mereka, sebab jika mereka berdua dapat hidup bahagia, dia akan merasa lebih berbahagia ketimbang mereka.
Im Ceng benar-benar menikmati kebahagiaan saat itu, terdengar dia bergumam:
"Sekalipun kau telah berjumpa dengan orang yang lebih cerdik dari padaku pun jangan kau tinggalkan diriku"
Melihat ucapan itu diutarakan dengan wajah bersungguh-sungguh, seakan dia masih belum melupakan pemuda berbaju ungu itu, tidak tahan Un Tay-tay segera tertawa cekikikan, makinya:
"Dasar bocah bodoh!"
"Biarpun bodoh, aku mencintaimu dengan sepenuh hati, sementara mereka yang mengaku cerdik, entah sudah berapa banyak orang yang dicintai. Bagiku, aku hanya tahu mencintai kau seorang"
"Belum tentu hanya seorang!"
"Sungguh, aku hanya mencintai seorang, kalau tidak percaya aku.... aku...."
Mendadak Un Tay-tay memeluknya makin kencang, dengan gemas digigitnya tengkuk pemuda itu.
Senyuman bercampur air mata kembali menghiasi wajahnya:
"Dasar bocah bodoh.... dasar bocah bodoh!
Biarpun orang lain lebih menyukai orang pintar, bagiku hanya orang bodoh macam kau yang kusukai"
Biarpun tengkuknya yang digigit menimbulkan rasa sakit, namun Im Ceng merasakan hatinya manis dan hangat, tiba-tiba dia tertawa.
"Kalau memang begitu, tidak tertutup kemungkinan ada wanita lain yang bakal menyukai orang bodoh macam aku"
"Kalau ada wanita lain berani mencintaimu, akan kubunuh dia, kukuliti dia, kutanak dagingnya dan kumakan seiiris demi seiris" bisik Un Tay-tay sambil menggigit bibir.
"Waaah, ternyata kau adalah harimau betina yang galak....
jika ada wanita lain yang mencintaiku dan mendengar ancaman mu itu, mereka pasti akan lari terbirit-birit"
Dibalik gelak tertawanya penuh diliputi perasaan gembira, semua ketidak beruntungan yang mengganjal hatinya tadi kini seolah sudah hilang lenyap tidak berbekas.
Un Tay-tay menatapnya sendu, setelah berapa saat tiba-tiba ia menghela napas panjang.
"Dalam suasana gembira macam begini, kenapa kau menghela napas?" tegur Im Ceng.
Sambil pejamkan matanya Un Tay-tay tertunduk lesu, ujarnya sambil menghela napas sedih:
"Walaupun saat ini kita amat gembira, namun waktu untuk bergembira tidak terlalu lama"
"Siapa mengatakan begitu.... " siapa yang bilang...." tanya Im Ceng terperanjat.
"Setibanya di pesisir laut, aku akan segera naik perahu menuju Pulau Siang cun-to, sejak itu.... kita dipisahkan oleh lautan yang luas, aku takut.... aku takut sejak itu...."
"Aku melarang kau berkata begitu.... aku juga melarang kau ke sana!" tukas Im Ceng keras.
"Aku pun tidak ingin berpisah denganmu, tapi.... tapi jangan lupa, aku sudah mati satu kali, hanya Pulau Siang cun-to yang bisa ku tempati"
Im Ceng merasa cemas bercampur gusar, dengan air mata berlinang dipeluknya Un Tay-tay semakin kencang, jeritnya:
"Siapa bilang kau sudah mati" Orang-orang itu hanya ngaco belo, tidak usah kau gubris perkataan mereka"
"Aku telah bergabung dengan mereka, bagaimana pun aku harus pergi ke sana"
"Siapa bilang kau harus ke sana" Kalau ada orang berani memaksamu, akan ku.... akan kubunuh orang itu, kutanak dagingnya dan kumakan tubuhnya, akan.... akan kubakar Pulau Siang cun-to"
"Bocah bodoh!" dengan lembut Un Tay-tay menyeka air mata diwajahnya, "ilmu silat yang dimiliki Ratu matahari sangat lihay, anak buahnya banyak tidak terhitung, bagaimana mungkin kau bisa menghadapi mereka?"
Sekujur tubuh Im Ceng gemetar keras, seakan dadanya kena dihantam sebuah pukulan keras.
Tiba-tiba Un Tay-tay melihat paras mukanya berubah jadi pucat pasi, sepasang matanya melotot besar, ketika dipanggil namanya, dia tidak menyahut, pemuda itu seakan telah berubah jadi bodoh, jadi idiot!
Dia merasa hatinya sakit bagaikan ditusuk pisau, diapun gelisah bercampur cemas, dengan air mata berlinang bisiknya:
"Kee.... kenapa kau.... sadarlah.... mari kita cari jalan lain...."
"Jalan apa.... " jalan yang mana?" gumam Im Ceng seperti orang kebingungan, tiba-tiba dia menangis tersedu, "aku tidak berdaya! Aku.... aku tidak sanggup menghadapi mereka"
"Aku yakin pasti ada cara menanggulanginya" bisik Un Tay-tay dengan kepala tertunduk.
Im Ceng agak tertegun, mendadak dia melompat bangun,
"dduuk!" kepalanya membentur di langit-langit kereta namun tidak terasa sakit, teriaknya kegirangan:
"Betulkah ada jalan keluar?"
Un Tay-tay merasa pedih bercampur sayang, sembari membelai kepalanya dia berkata:
"Biarpun kepandaian silat yang dimiliki Ratu matahari sangat lihay, toh bukan berarti dia bisa memaksaku jadi orang mati!"
"Betul, betul...."
"Seandainya aku memohon kepadanya, mungkin diapun tidak akan memaksakan kehendak"
"Betul, betul.... biar aku temani kau"
Un Tay-tay memandangnya sekejap, tiba-tiba ujarnya lagi:
"Tapi tidak ingin pergi memohon kepadanya"
"Kee.... kenapa?"
"Bila suatu saat tabiat tuan besarmu kambuh kembali, bila kau mulai mengungkit kesalahan ku dulu, tidak memperdulikan aku lagi, bukankah lebih baik aku pergi mampus saja"
Merah padam wajah Im Ceng saking gelisahnya, dengan keras dia berteriak:
"Bila Im Ceng tidak ambil perduli lagi terhadap Un Tay-tay, biarlah Thian memberi kematian yang mengenaskan bagiku...."
Buru-buru Un Tay-tay mendekap mulutnya sambil berseru:
"Aku percaya dirimu, jangan kau lanjutkan perkataan itu, jika Thian punya mata, moga-moga kami berdua diberkahi hidup bahagia hingga akhir jaman"
"Betul, hidup bahagia hingga akhir jaman...."
Untuk sesaat kedua orang itu hanya saling bertatap muka tanpa bicara lagi, seakan-akan mereka tidak ingin dipisahkan kembali walau hanya sedetikpun.
Begitu mendengar pembicaraan tersebut, Thiat Tiong-tong segera tahu kalau perempuan itu hanya ingin mengendorkan suasana saja dan berusaha menunda masalah.
Sekalipun begitu, dia tidak marah atau membenci Un Tay-tay, sebab dia cukup memahami perasaan wanita itu. Dia sengaja berbuat demikian hanya terbatas karena dia tidak ingin berpisah dengan Im Ceng, kalau dia tidak berbuat begitu, bagaimana mungkin bisa menjinakkan kuda liar macam pemuda itu.
Thiat Tiong-tong hanya beranggapan bahwa cara yang dilakukan perempuan itu patut dikasihani, patut menaruh simpatik kepadanya sekalipun ada sedikit tipu daya yang diperguna-kan, namun dia bisa memakluminya.
Sekalipun Thiat Tiong-tong bukan perempuan, boleh dibilang dia sangat memahami perasaan kaum wanita, sebab hanya wanita yang amat mencintai seseorang baru rela melakukan segala tindakan termasuk menggunakan siasat.
Diam-diam Thiat Tiong-tong tertawa geli, pikirnya:
"Begitu asyik mereka tenggelam dalam masalah pribadi sampai lupa kalau kereta ini bisa bergerak tanpa kendali, yaa sudahlah, biarkan saja mereka berasyik masyuk sementara aku menjadi kusir mereka"
Maka diapun balik ke tempat kusir dan mengendalikan larinya kereta.
Waktu itu fajar telah menyingsing, matahari memancarkan sinar keemas-emasannya menyinari seluruh jagad, di antara hembusan angin lamat lamat sudah mulai terdengar debuan ombak, kelihatannya merek sudah berada tidak jauh dari pesisir.
Thiat Tiong-tong merasakan semangatnya bangkit kembali, dia membuang jauh semua kekesalan serta kemurungan yang mencekamnya selama ini.
Setelah menyaksikan adegan mesra dan Im Ceng dan Un Tay-tay, jangan lagi baru bergadang sehari semalam, biar harus menjadi kusir selama tiga hari tiga malam pun dia tidak akan menggerutu.
BAB 26 Kalau Bingung, Bertanyalah pada Langit
Tidak selang berapa saat kemudian samudra luas telah terbentang di depan mata, di antara kilauan ombak yang tertimpa cahaya tampak riak yang saling berkejaran gulung menggulung menuju pantai.
Thiat Tiong-tong mencoba memandang ke depan, tidak dijumpai batasan antara pesisir dengan samudra, kenyataan ini segera membuatnya tertegun, ternyata mereka sudah berada diatas sebuah tebing dengan bentangan jurang yang amat dalam.
Masih untung pemuda itu segera mengendalikan kereta tersebut, coba kalau tetap membiarkan sang kereta lari kencang tanpa kendali, niscaya saat ini kendaraan tersebut sudah langsung terjun ke dalam samudra.
Dalam terperanjatnya sekuat tenaga Thiat Tiong-tong menarik tali kendali kuda, namun kereta itu masih sempat bergerak berapa meter lagi sebelum benar-benar berhenti, coba kalau maju tiga depa lagi, mustahil bagi mereka untuk berhenti persis ditepi tebing.
Dia mencoba melongok ke bawah, terlihat hamparan samudra luas dengan batu karang yang runcing dan tajam terbentang dibawab tebing, gulungan ombak yang memecah ditepian membuat situasi disitu amat menakutkan, bisa dibayangkan apa jadinya andai kereta berikut penumpangnya tercebur ke situ"
Im Ceng serta Un Tay-tay yang berada dalam ruang kereta, meski masih mabuk kepayang oleh api asmara, tidak urung terperanjat juga ketika merasakan kereta itu berhenti mendadak, terlebih ketika melihat hamparan air laut dihadapan mereka, keringat dingin seketika membasahi tubuh.
"Keterlaluan! Sungguh keterlaluan!" pekik Un Tay-tay terperanjat, "masa kita sampai lupa kalau kereta ini bergerak tanpa kusir!"
"Coba kuperiksa, apa yang sebenarnya telah terjadi...." kata Im Ceng sambil melompat keluar dari ruang kereta, dia semakin terperanjat ketika melihat ada seorang lelaki berbaju hitam sedang duduk dibangku kusir, tak tahan hardiknya:
"Siapa disitu?"
Saat itu rasa kaget dan ngeri Thiat Tiong-tong belum mereda, peluh dingin masih membasahi telapak tangannya, begitu mendengar suara bentakan, tanpa sempat berpikir lagi dia segera berpaling.
Begitu tahu siapa lelaki itu, dengan wajah berubah Im Ceng segera meraung keras: "Rupanya kau!"
Ditengah bentakan, mendadak sebuah pukulan dilontarkan.
Entah karena tidak sempat menghindar atau memang sengaja tidak berkelit, pukulan itu bersarang telak diatas iga kiri Thiat Tiong-tong.
"Blaaaam!" ditengah benturan keras, tubuhnya mencelat dari atas kereta, melayang di udara dan meluncur jatuh ke dasar jurang, tidak ada suara jeritan, tidak ada suara kesakitan, yang terdengar hanya deburan ombak serta deruan angin laut.
Tergopoh-gopoh Un Tay-tay melompat keluar dari balik kereta, dia jumpai Im Ceng sedang berdiri termangu-mangu sambil memegangi kepalan kanan sendiri.
Wajahnya pucat pias seperti mayat, garis merah memenuhi sepasang matanya, pemuda itu mirip orang kesurupan, berdiri melongo seperti kehilangan ingatan
Terperanjat bercampur cemas Un Tay-tay segera menegur:
"Apayang telah terjadi?"
"Thiat Tiong-tong.... Thiat Tiong-tong...."
"Thiat Tiong-tong?" jerit Un Tay-tay semakin terperanjat,
"dimana Thiat Tiong-tong?"
"Sudah kuhantam hingga tercebur ke bawah!" jawab Im Ceng sambil menuding ke arah hamparan samudra.
Sekali lagi Un Tay-tay menjerit kaget, paras mukanya berubah hebat, seakan tidak mampu berdiri tegak lagi, tubuhnya gontai dan akhirnya jatuh terduduk dengan peluh dingin bercucuran.
Tiba-tiba sekulum senyuman tersungging diujung bibir Im Ceng, gumamnya:
"Dia sudah roboh! Dalam satu pukulan dia sudah roboh...."
senyuman itu nampak sangat aneh, tidakjelas karena sedih atau sedang gembira.
Sekujur tubuh Un Tay-tay mulai gemetar keras, jari tangannya terasa dingin membeku, bisiknya:
"Kau.... bagus sekali perbuatanmu...."
Padahal tenggorokannya sudah tersumbat oleh sesenggukan, tidak sepatah katapun sempat dilontarkan, dengan sempoyongan dia bangkit berdiri lalu berlarian menuju ke tepi jurang.
Gulungan ombak saling berkejaran memecah diatas batu karang, percikan air memancar ke empat penjuru, bayangan Thiat Tiong-tong sudah hilang lenyap tidak berbekas, kini yang tersisa hanya selembar kain hitam yang tersangkut diatas batu karang, kain yang terombang ambing dimainkan ombak.
Kelihatannya Thiat Tiong-tong masih mencoba meraih batu karang ketika tercebur tadi, dia masih berusaha meronta dari gulungan ombak dan berusaha merangkak naik ke atas karang.
Menyaksikan kesemuanya itu Un Tay-tay tidak sanggup menahan rasa sedihnya lagi, sambil mencengkeram tepi karang dia mulai menangis tersedu-sedu, menangis dengan amat sedihnya.
Rasa cemburu bercampur benci seketika menyelimuti perasaan Im Ceng, terlebih melihat perempuannya menangis begitu sedih karena Thiat Tiong-tong, tidak tahan teriaknya penuh amarah:
"Thiat Tiong-tong telah menghianati perguruan, menghianati sahabat, manusia macam begini pantas dibunuh dan dilenyapkan, apa yang kau tangisi!"
Un Tay-tay segera bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya dan berseru sambil menangis:
"Kapan dia.... dia berbuat salah kepadamu"
Tanpa usahanya, kau anggap dirimu masih bisa hidup hingga hari ini!"
"Oooh.... jadi maksudmu, seharusnya aku berterima kasih kepadanya?" jengek Im Ceng sambil tertawa dingin.
"Ten.... tentu saja!"
Amarah Im Ceng semakin meluap, teriaknya: "Tahukah kau, sudah berapa kali dia berusaha mencelakai aku" Pertama kali sewaktu berada ditengah hutan, dia menyerahkan aku ke tangan Suto Siau, coba kalau tidak berusaha melarikan diri, mana mungkin aku bisa hidup hingga kini"
Kemudian.... kemudian akupun bertemu dengan kau, kalau bukan ditolong olehmu mungkin aku sudah mati karena disiksa dan dianiaya, kenapa aku harus berterima kasih kepadanya, berterima kasih untuk apa?"
"Keliru.... keliru.... "jerit Un Tay-tay sambil berurai air mata.
"Semua peristiwa itu kualami sendiri, mana mungkin keliru?"
teriak Im Ceng semakin keras.
"Tahukah kau, dalam peristiwa waktu itu bukan cuma dia tidak mencelakaimu bahkan dengan pertaruhkan nyawa telah
selamatkan nyawamu, demi selamatkan jiwamu, dia berpura-pura tunduk kepada Suto Siau, berlutut dihadapannya, lalu dengan manfaatkan peluang itu dia melukai Suto Siau. Saat itu, andaikata dia tidak ambil perduli dengan keselamatanmu, bisa saja dia kabur selamatkan diri, tapi sampai matipun dia enggan melepaskanmu hingga akhirnya dia terjatuh ke tangan orang lain.
Beruntung saat itu dia bertemu Tio Kie-kong yang berniat membalas budi Perguruan Tay ki bun, dengan kemampuan Tio Kie-kong dia hanya mampu selamatkan nyawa satu orang, dalam situasi seperti itu dia tetap memilih untuk selamatkan nyawamu terlebih dulu, dia minta Tio Kie-kong membawamu kabur, sementara dia sendiri tercebur ke dalam jurang yang amat dalam!"
Apa yang diutarakan sekarang, diperolehnya dari pembicaraan Suto Siau serta Thiat Tiong-tong secara terpotong-potong, sudah cukup lama dia menyimpannya didalam hati tapi sekarang, pada akhirnya diutarakan juga.
Hijau kepucat-pucatan wajah Im Ceng sehabis mendengar penuturan itu, tergagap serunya:
"Tapi...."
"Dengan pertaruhkan nyawa Tio Kie-kong membawamu ke tempat yang aman, apa mau dikata kau justru mencurigai orang lain ingin menyiksamu dengan alat siksaan sehingga melarikan diri"
Setelah tertawa pedih lanjutnya:
"Tapi kau tidak tahu, orang yang sesungguhnya ingin mencelakaimu bukan dia melainkan aku, coba kalau bukan lantaran Suto Siau bersikeras ingin menipumu agar membawa kami ke markas besar Perguruan Tay ki bun, sementara dia bisa menguntit secara diam-diam dan membasmi seluruh anggota perguruanmu, mungkin kau sudah dibunuh mampus sebelum lukamu sempat sembuh"
Peluh dingin mulai bercucuran membasahi jidat Im Ceng, katanya kemudian:
"Tapi setibanya dikota Lok-yang, kenapa dia...."
"Kusangka semua rencana busukku tersusun sangat rapi dan mustahil bisa ketahuan orang, siapa sangka begitu tiba di perkampungan keluarga Li dikota Lokyang, semua rencanaku berhasil dibongkar Thiat Tiong-tong, tapi waktu itu kau sudah membencinya hingga merasuk tulang, maka diapun
menggunakan harta untuk memikat-ku, membujukku agar
menjauhi dirimu. Siapa tahu kau bukan saja tidak memahami niat baiknya, sebaliknya justru makin membencinya!"
"Tapi.... tapi kemudian dia lagi-lagi berhubungan dengan Suto Siau...." suara Im Ceng kedengaran mulai gemetar.
"Waktu itu dia sedang menjalankan siasat ulat emas lolos dari kepompongnya, dia menitahkan Phoa Seng-hong untuk menyaru sebagai kakek tua, menipu Suto Siau sekalian agar menyangka dia adalah Thiat Tiong-tong, sementara dia sendiri secara diam-diam justru memusuhi mereka, dia memang banyak akal lagi cerdas, mana mungkin orang lain bisa menduga rencananya itu!"
"Bruukkk!" Im Ceng merasakan sepasang lututnya jadi lemas, dia roboh terduduk diatas tanah.
"Saat itu, sebenarnya aku tidak mempunyai perasaan apapun terhadapmu" ujar Un Tay-tay lebih jauh, "tapi lantaran Thiat Tiong-tong berulang kali membujukku agar jangan
mencelakaimu, maka sewaktu berada dalam kuil bobrok aku baru mengucapkan perkataan itu"
Dengan sedih Im Ceng tundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Hari itu, ketika berada di dusun pandai besi" kata Un Tay-tay lagi, "dia pula yang telah memancing kepergian Ai Thian-hok.
Demi menyelamatkan jiwamu, hampir saja dia tewas ditangan Ai Thian-hok!"
Segulung angin berhembus lewat, tiba-tiba Im Ceng merasa hatinya bergidik hingga bersin berulang kali.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saat itu kau sudah terluka parah" kembali Un Tay-tay berkata, "maka akupun membawamu pulang ke rumah, siapa tahu Suto Siau sekalian lagi-lagi berhasil melacak tempat persembunyian kita, untuk kesekian kalinya Thiat Tiong-tong berhasil selamatkan nyawamu maupun nyawaku!"
"Ternyata kau.... kau mencintainya...." bisik Im Ceng dengan air mata berlinang.
Butiran air mata membasahi pula selembar wajah Un Tay-tay, sahutnya dengan nada gemetar:
"Betul, ada suatu saat aku memang mencintainya, tapi demi kau, dia selalu berusaha menghindariku, hingga.... hingga...."
Dengan kepala tertunduk dia menangis terisak, lama kemudian baru terusnya:
"Hingga hari itu, ketika aku membopong kau yang terluka parah berlarian diatas tanah perbukitan, saat itulah aku baru sadar, ternyata perasaan hatiku sudah tertarik kepadamu, aku rela mati seribu kali, sejuta kali, tapi tidak ingin membiarkan kau
mati walau sekalipun, tapi.... tapi kalau bukan lantaran dia, mana mungkin ada kehidupan bagi kita seperti hari ini...."
Sambil berkata, air mata bercucuran terus tiada hentinya, belum lagi selesai bicara, pakaian-nya sudah basah oleh air mata.
Im Ceng duduk mematung disitu, dia sama sekali tidak mampu bergerak.
Semua budi dan dendam, semua sebab akibat, pada akhirnya telah dia pahami dengan jelas.
Tapi pemahaman itu datangnya sedikit terlambat, luapan emosinya pun kelewat berlebihan.
Im Ceng merasakan pikirannya hampa, dia seolah sudah hilang kendali, kendali atas kesadaran sendiri, dia seakan tidak memahami apa pun, yang tersisa dalam benaknya kini hanya penyesalan yang luar biasa, penyesalan yang tidak mungkin bia ditebus dengan kematian yang berulang kali sekalipun.
Dengan air mata berlinang kembali Un Tay-tay berkata:
"Aku tahu, kisah semacam ini akan sangat melukai hatimu, membuat kau amat sedih, sebetulnya aku tidak ingin menceritakan kepada-mu, walau sampai akhir jaman sekalipun.
Tapi sekarang, demi mencuci bersih nama baik Thiat Tiong-tong, terpaksa aku harus menceritakannya kembali...."
Dengan wajah kosong Im Ceng manggut-manggut, butiran air mata telah membasahi pula pakaiannya.
"Tidak usah yang lain" kata Un Tay-tay lagi terisak, "cukup berbicara dari kejadian hari ini, seandainya bukan dia yang menarik tali les kuda tepat pada waktunya, mungkin kita berdua sudah mati secara mengenaskan...."
Tiba-tiba Im Ceng bangkit berdiri, sambil mendongakkan kepalanya memandang langit, jeritnya pedih:
"Thiat Tiong-tong! Thiat jiko! Siaute.... Im Ceng.... benar benar telah berbuat salah kepadamu...."
Dia lari menuju ke tepi tebing, siap membenturkan kepalanya diatas sebuah batu karang.
Sambil menjerit kaget Un Tay-tay bergulingan diatas tanah, berguling ke sisi pemuda itu dan memeluk sepasang kakinya erat erat.
Kedua orang itupun saling bergulingan diatas tanah.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" jerit Im Ceng bagaikan orang gila, "tolong lepaskan tanganmu.... kalau aku tidak mati, bagaimana mungkin aku bisa hidup terus dalam keadaan begini!"
"Kau tidak boleh mati" teriak Un Tay-tay sambil menangis
tersedu, "kau tidak boleh meninggalkan aku seorang, apakah kau.... apakah kau lupa, kita akan hidup bersama hingga akhir jaman...."
Dia peluk Im Ceng kencang-kencang, memeluknya begitu erat seolah kuatir ditinggalkan begitu saja.
"Tapi.... tapi aku tidak punya muka untuk hidup terus, kehidupanku di dunia ini hanya akan menambah penderitaan!
Tolong.... aku mohon.... biarkan aku mati.... aku.... aku...."
"Tapi dendam berdarah Perguruan Tay ki bun belum terbalas, sumpah setia kita masih bergaung disisi telinga.... apakah kau sudah melupakannya" Kau tidak boleh mati! Kau tidak boleh mati!"
Dengan sekuat tenaga dia tinju dada Im Ceng, sambil menangis kembali jeritnya:
"Kalau ingin mati, matilah sebagai seorang enghiong!
Sekalipun ingin mati, bukan hari ini saatnya!"
Im Ceng terkesiap, lagi-lagi peluh dingin membasahi tubuhnya: "Tapi aku...."
Makin berbicara Un Tay-tay semakin sedih, dia meninju semakin keras, umpatannya pun semakin garang, teriaknya:
"Kalau mati saat ini, bukan saja kau telah mengabaikan dendam kesumatan Perguruan Tay ki bun, kaupun tinggalkan aku seorang diri didunia ini.... kalau kau.... kalau kau berani sebut kata mati sekali lagi, kau adalah seorang lelaki pengecut!
Seorang lelaki tempe yang tidak berguna!"
Kalau tadi rengekan dan permohonannya sama sekali tidak digubris, maka pukulan tinjunya yang keras justru membuat Im Ceng terkejut bercampur malu, setiap umpatan, setiap makian yang dilontarkan perempuan itu justru menusuk hati Im Ceng hingga ke tulang sumsum.
Un Tay-tay meninju terus hingga tangannya lemas tidak bertenaga, memaki terus hingga kehabisan suara dan kata, kelihatannya dia sendiri pun mulai putus asa, mulai kecewa, tiba-tiba sambil mendekap ditubuh Im Ceng dan menangis tersedu, serunya:
"Kalau ingin mati, matilah! Akupun akan menemanimu mati.... kalau kita semua sudah mati.... maka urusanpun jadi selesai...."
"Tidak, aku tidak akan mati!" ujar Im Ceng tiba tiba sambil menghela napas.
"Apa.... apa kau bilang?" Un Tay-tay tertegun.
"Sekalipun aku hidup penuh penderitaan, tapi kalau mati, mana mungkin aku bisa mati tenteram" Perkataanmu tidak salah, sekalipun harus mati, tidak seharusnya mati pada saat ini"
"Sung.... sungguh?" bisik Un Tay-tay terkejut bercampur girang.
"Kapan aku pernah membohongimu?"
Walaupun matahari telah muncul, kabut tebal masih menyelimuti permukaan samudra, mendadak terdengar suara peluit yang tinggi melengking bergema dari tepi pantai, menembusi keheningan dan bergema hingga tempat kejauhan.
Lewat berapa saat kemudian terlihat sebuah perahu nelayan muncul dari balik kabut, seorang nenek berambut putih berdiri diujung perahu, mendayung perahunya dengan santai.
Biarpun usia nenek itu sudah lanjut, namun tubuhnya yang berdiri diujung perahu sambil menggerakkan dayungnya tetap berdiri lurus bagaikan sebuah tongkat, seakan-akan mencerminkan kehidupannya yang tidak pernah penuh liku.
Wajah Im Ceng ketika itu sudah kaku membeku, dia bersama Un Tay-tay menanti ditepi pantai
Perahu nelayan itu semakin mendekati pesisir, setelah memandang sekejap seputar sana, tiba-tiba nenek itu bertanya:
"Ada dimana orang matinya?"
"Nenek, akulah orang matinya"
"Lantas siapa dia?" tanya nenek itu sambil melotot ke arah Im Ceng.
Wajahnya yang termakan usia, tertimpa hujan dan angin meninggalkan beratus kerutan yang tajam, membuat penampilannya kelihatan sangat tua, namun sorot matanya justru lebih tajam dari kilatan petir, seakan tidak ada rahasia yang bisa disimpan lagi setelah tersapu oleh sorot matanya.
Sesudah mendengus, kembali nenek itu berseru. "Kau naik kemari, tinggalkan dia!"
"Ke.... kenapa?" tanya Un Tay-tay gugup.
"Atas dasar apa dia mau ke Pulau Siang cun-to?"
"Dia.... dia...."
Tiba-tiba Im Ceng membentak keras:
"Kau tidak perlu merengek kepadanya lagi, sekalipun aku orang she-Im hendak ke Pulau Siang cun-to pun belum tentu harus menumpang perahunya!"
Siapa tahu begitu mendengar teriakan tersebut, seakan baru bertemu setan iblis, paras mukanya berubah hebat, tanyanya
gemetar: "Kau.... kau bilang, kau bermarga apa?"
"Im!"
Sambil menuding dengan jari tangannya yang gemetar, teriaknya lagi:
"Apakah kau anggota Perguruan Tay ki bun?"
"Benar, mau apa kau?"
Tiba-tiba tubuh nenek itu gontai, sambil berpaling ke arah lain katanya kemudian:
"Kaupun boleh naik ke perahu!"
"Terima kasih nenek" teriak Un Tay-tay kegirangan.
Im Ceng jadi sangat keheranan, pikirnya:
"Kenapa begitu kusebut nama serta asal usulku, paras muka nenek ini segera berubah hebat" Jangan jangan terdapat rahasia lain dibalik kesemuanya ini?"
"Ayoh cepat naik!" sementara dia masih termenung, Un Tay-tay sudah berseru sambil menariknya keatas perahu.
Sejak mereka berdua naik ke atas perahu, nenek itu selalu berdiri dengan membelakangi mereka dan tidak melirik ke arah Im Ceng lagi, begitu gala bambunya ditutulkan, perahu itupun bergerak meninggalkan pantai.
"Nenek, masih ada satu persoalan lagi apakah kau bersedia mengabulkan?" ujar Un Tay-tay kemudian.
"Katakan! "Boanpwee berdua mempunyai seorang teman yang terpeleset jatuh di tebing karang sebelah kiri, bersediakah nenek menjalankan perahu ke sana.... mungkin jenasahnya masih disitu"
Nenek itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia menjalankan perahunya menuju ke sisi kiri.
Un Tay-tay semakin keheranan, kembali pikirnya:
"Semula, nenek ini tidak bersedia melakukan pekerjaan apapun, tapi sekarang, apapun permintaan kami segera dilaksanakan, kenapa dia berubah sikap?"
Ombak menggulung sangat besar, kabut yang menyelimuti permukaan pun semakin tebal, ke mana mereka harus pergi untuk menemukan jenasah Thiat Tiong-tong"
Im Ceng dan Un Tay-tay saling bertukar pandangan sekejap, tanpa terasa butiran air mata jatuh bercucuran.
Biarpun tidak berpaling, nampaknya nenek itu dapat mengikuti perubahan wajah mereka berdua dengan jelas, tiba-
tiba tanyanya: "Apa hubungan kalian dengan jenasah itu" Mengapa kalian begitu bersedih hati?"
"Dia.... dia adalah jiko nya"
Tampaknya tubuh nenek itu kembali bergetar keras:
"Jikonya" Dia dari marga Im atau marga Thiat"
Pertanyaan itu diajukan secara aneh, tapi sekaligus menunjuk kan kalau dia amat menguasahi keadaan dan Perguruan Tay ki bun.
Sambil mengawasi bayangan tubuhnya sahut Un Tay-tay sedikit ragu:
"Dari marga Thiat...."
Tapi kemudian tidak tahan kembali tanyanya:
"Nenek, apakah kau pun tahu banyak soal Perguruan Tay ki bun?"
Nenek itu tidak menjawab, diapun tidak berbicara lagi, tangannya memegang kencang dayungnya dan sepenuh tenaga mendayung perahu itu bergerak ke balik kabut nan tebal.
Tampaknya dia hapal sekali dengan jalan laut diseputar sana, biarpun ditengah kabut tebal, dia seakan tidak kuatir tersesat atau salah arah.
Mengawasi bayangan punggungnya, tanpa terasa Un Tay-tay duduk termangu.
Mendadak terdengar nenek itu menghela napas panjang, sambil membelai wajah Un Tay-tay, bisiknya:
"Bocah, kenapa hubunganmu dengan Perguruan Tay ki bun begitu...."
Tampaknya ada banyak persoalan yang ingin dia sampaikan, namun setelah berbicara setengah jalan kembali dia membungkam diri.
Un Tay-tay dapat merasakan betapa kasarnya telapak tangan nenek itu, jauh lebih kasar daripada batu kerikil, ketika meraba wajahnya terasa bagaikan ada sikat yang menyapu lewat, tidak tahan tanyanya:
"Sudah berapa lama nenek hidup ditengah lautan?"
Setelah termenung berapa saat nenek itu baru menjawab:
"Seorang diri aku.... aku hidup di tengah lautan sudah....
sudah hampir sembilan belas tahun lebih delapan bulan tiga hari!"
Ternyata dia mampu mencatat hari demi hari sedemikian jelasnya, hal ini membuktikan betapa sulit dan menderitanya
nenek ini untuk mengusir rasa kesepian yang dideritanya selama ini, tanpa terasa timbul perasaan sedih dihati Un Tay-tay.
Kembali nenek itu berkata:
"Sudah hampir dua puluh tahun.... aaaai! waktu berlalu begitu lambat, tapi ada banyak masalah yang tidak bakal kau lupakan kendatipun lewat dua puluh tahun kemudian!"
Entah keluh kesah itu sedang ditujukan kepada siapa, atau mungkin dia hanya sedang bergumam.
Ke tiga orang itu masing masing tenggelam ke dalam masalah sendiri, tidak seorangpun yang berbicara lagi.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya dari dalam ruang perahunya nenek itu mengeluarkan berapa biji mantau dan dibagikan kepada mereka bertiga.
Mantau itu kasar lagi keras, seandainya bukan sedang kelaparan rasanya sulit bagi Un Tay-tay untuk menelannya, sekali lagi dia bergumam sambil menghela napas:
"Kehidupan diatas lautan begitu sengsara dan menderita, nenek, kenapa kau tidak beristirahat?"
"Sengsara" Menderita.... " istirahat.... ?" tiba-tiba nenek itu tertawa tergelak,"kalau bukan melewati penghidupan yang penuh derita macam begini, bagaimana mungkin bisa menghilangkan rasa benci dan dendam dihatiku!"
Gelak tertawanya penuh mengandung rasa benci, juga dipenuhi perasaan sinis.
Un Tay-tay merasakan hawa dingin yang menyesakkan napas seketika muncul dari dasar hatinya, dia tidak berani banyak bicara lagi.
Setelah menembusi lautan hampir tiga jam lamanya, terakhir sampan itupun mulai merapat didaratan.
"Terima kasih!" seru Im Ceng sambil melompat naik ke daratan. Selama berada disamping nenek itu, timbul perasaan tidak sedap yang sulit dilukiskan dengan kata, perasaan tidak sedap itu membuatnya berpendapat bahwa semakin cepat meninggalkan sisi tubuhnya semakin baik.
Tapi mengapa begitu" Dia sendiripun tak tahu, dia tidak paham mengapa bisa muncul perasaan seperti itu.
"Terima kasih nenek...." seru Un Tay-tay pula.
Baru saja dia akan melompat naik ke daratan, tiba-tiba nenek itu menarik tangannya dan berbisik sambil menghela napas:
"Anak bodoh, jangan sekali-kali kau bersedih hati demi anak murid Perguruan Tay ki bun, selamanya anggota Perguruan Tay
ki bun tidak pernah bersedih hati karena perempuan"
Akhirnya dia kemukakan juga perkatannya yang belum selesai diucapkan.
Untuk berapa saat Un Tay-tay berdiri tertegun, dia ingin bertanya lagi tapi si nenek sudah mendorongnya naik ke daratan kemudian mendayung kembali perahunya menjauh.
Kabut diatas daratan sudah mulai membuyar, sejauh mata memandang hanya pohon kelapa yang tinggi menjulang ke angkasa, tempat itu memang tidak malu disebut Pulau Siang cun-to, pulau yang selalu bermusim semi.
Ketika tidak melihat munculnya bayangan manusia yang menyambut kedatangan mereka, tidak tahan Un Tay-tay segera berteriak keras"
"Tecu Un Tay-tay mendapat perintah untuk datang...."
Belum selesai dia berteriak, tampak dua sosok bayangan manusia bergerak mendekat.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki ke dua orang ini cukup tangguh, mereka memiliki perawakan tubuh yang ramping dengan wajah yang cukup cantik, ketika dilihat dari balik kabut, penampilan mereka berdua cantik bagai bunga yang sedang mekar.
Dalam perkiraan Un Tay-tay semula, penghuni pulau itu kalau bukan kelompok wanita bercadar hitam, tentulah perempuan berwajah aneh atau jelek yang dingin dan kaku wataknya. Kemunculan dua nona muda cantik saat ini kontan membuat hatinya lega.
Ke dua orang nona itu memperhatikan mereka berdua sekejap, sekilas perasaan heran terlintas diatas wajah mereka, nona yang disebelah kiri pun segera menegur.
"Bagaimana mungkin kongcu yang ini bisa ikut tiba di pulau ini?"
"Aku datang karena sedang menjalankan perintah" jawab Im Ceng sambil diam-diam menghela napas.
"Perintah siapa?"
"Bu si Thaysu, ketua Siau-lim-pay"
Kedua orang nona itu saling bertukar pandangan sekejap, nona yang disebelah kanan menjawab:
"Bu si Thaysu termasuk seorang tokoh dunia persilatan yang disegani dan dihormati banyak orang, kalau dia orang tua yang mengutusnya kemari, rasanya Nio Nio pasti bersedia untuk menjumpainya"
"Kalau begitu biar aku pergi melapor" sambung nona disebelah kiri sambil beranjak pergi dari situ.
Dengan wajah dihiasi senyuman nona di sebelah kanan berkata lembut:
"Harap kalian berdua menunggunya sebentar...."
Kemudian setelah melirik Un Tay-tay sekejap, lanjutnya:
"Apakah cici adalah...."
"Akupun orang mati" tukas Un Tay-tay tidak menunggu dia menyelesaikan pertanyaannya.
Sekali lagi nona itu tertawa.
"Segala istilah tentang orang mati, orang hidup, utusan langit dan lain sebagainya hanya berlaku di dunia luar, setiba di pulau ini, kau tidak perlu menggunakan istilah semacam itu lagi"
Semula Un Tay-tay menyangka penghuni pulau itu
kebanyakan tentu orang angkuh yang dingin dan ketus, sama sekali tidak punya perasaan manusia, kini dia bisa berhembus lega sesudah mendengar perkataan itu.
Kembali nona itu berkata:
"Kebanyakan orang persilatan itu licik, berhati busuk dan banyak tipu muslihatnya...."
Kepada Im Ceng ujarnya sambil tertawa:
"Aku bukan maksudkan dirimu...."
"Tidak masalah" senyuman yang lemah-lembut dari si nona segera menimbulkan perasaan simpatik dihati Im Ceng.
Sambil tertawa kembali nona itu melanjutkan: "Untuk menghadapi manusia licik berhati busuk dan banyak tipu muslihat semacam itu, terpaksa kamipun harus menggunakan cara yang keras untuk menghadapinya, agar timbul perasaan jeri dihati mereka dan memaksa mereka berpikir dua kali sebelum berani melakukan perbuatan jahat disini, itulah sebabnya bila meninggalkan pulau, kami selalu menggunakan kain cadar hitam serta cara berkomunikasi yang aneh, tapi begitu balik kemari, kita semua adalah bersaudara. Justru lantaran memikirkan nasib kebanyakan wanita tidak beruntung di dunia ini maka Nio Nio menolong kami semua, beliau selalu bersikap lembut dan penuh sayang kepada kami"
Cara berbicara yang lembut dan penuh senyuman membuat Un Tay-tay semakin simpatik terhadap gadis itu, pikirnya:
"Andaikata setiap penghuni pulau bersikap macam dia, suasana disini pasti menyenangkan"
Tapi ingatan lain kembali melintas, pikirnya:
"Kalau ditinjau dari cara berbicara berapa orang yang menyelamatkan diriku, mereka tampak dingin, hambar seakan mempunyai beban pikiran yang sangat berat, sama sekali tidak mirip orang yang sengaja bersikap begitu. Jangan-jangan merekalah orang yang benar-benar pernah mengalami nasib tragis" Sementara nona-nona ini nampak selalu ceria, kelihatannya belum pernah mengalami kejadian yang menyedihkan, kenapa orang semacam inipun bisa menjadi penghuni pulau ini?"
Berpikir sampai disitu, tak tahan segera tanyanya:
"Apakah semua penghuni pulau bersikap halus dan ramah macam cici?"
Nona itu tersenyum.
"Walaupun ada sementara penghuni pulau yang jarang bicara atau tidak suka bicara, namun perasaan mereka sangat baik, asal cici sudah berdiam selama berapa hari disini maka kau akan mengetahui dengan sendirinya"
"Aaah, itulah dia" batin Un Tay-tay.
Terdengar nona itu berkata lagi sambil tertawa:
"Aku dari marga Yau, orang memanggilku Yau su-moay, selanjutnya di antara sesama saudara kau boleh memangilku Yau su-moay saja, tidak usah cici moay moay segala"
"Aku dari marga Un"
Yau su-moay tertawa terkekeh.
"Biarpun cici tidak kenal aku, justru aku kenal dengan cici...."
katanya cepat, "bukan cuma kenal cici, akupun kenal dia"
Baik Un Tay-tay maupun Im Ceng sama-sama berdiri tertegun, setelah diperhatikan berapa kejap mendadak satu ingatan melintas dalam benak mereka, tidak tahan segera serunya hampir berbareng:
"Ternyata kau adalah...."
"Betul" Yau Su-moay tertawa cekikikan, "dulu aku adalah anggota ratu tawon H eng kang It wo li ong hong, kita pernah berjumpa sewaktu berada di rumah keluarga Li di Lokyang"
"Aaah, tidak heran kalau dia begitu akrab dan mengenali aku"
pikir Un Tay-tay dalam hati, "ternyata kita pernah kenal dimasa lalu, tapi.... kenapa gerombolan ratu tawon ini bisa menjadi penghuni pulau ini?"
Tampaknya Yau Su-moay dapat menebak jalan pikirannya, setelah menghela napas dia menerangkan:
"Gerombolan ratu tawon yang pernah berjaya dimasa lalu kini
sudah bubar, hanya aku dan Yo Pat-moay yang barusan pergi paling beruntung nasibnya, kami ditolong Nio Nio dan dibawa kemari, sementara saudara lainnya sudah bubar entah kemana, bahkan kamipun tidak tahu mati hidup mereka"
Ketika berbicara sampai disini, sekilas perasaan sedih muncul diwajah gadis itu, tapi hanya sejenak kemudian senyuman kembali menghiasi wajahnya, serunya:
"Berada disini, cici akan bertemu banyak orang yang sama sekali tidak terduga sebelumnya"
"Siapa?"
"Tujuh setan perempuan anak buah Kiu cu Kui bo, apakah cici kenal dengan mereka?"
"Jadi merekapun berada disini" tanya Un Tay-tay terperanjat.
"Baru tiba dua hari berselang" Yau Su-moay menerangkan,
"malah Kiu cu Kui bo sendiripun sudah tiba disini, konon adik kandung Kui-bo pun ikut kemari, biarpun usianya sudah banyak namun wajahnya cantik bak bidadari, dia selalu membopong seekor kucing berwarna putih. Aaaai! Kalau usiaku setua dia masih bisa memiliki kecantikan macam perempuan itu, biar matipun aku akan mati dengan perasaan puas"
"Yin Ping?" seru Un Tay-tay terperanjat.
"Benar, Yin Ping! Yang paling menggelikan adalah anak murid Kui-bo, kalau dimasa lalu mereka berhadapan sebagai musuh bebuyutan dengan kami, bahkan sempat bertarung habis-habisan, maka begitu berada disini, sikap mereka justru amat mesra dan akrab"
Un Tay-tay merasa tercengang bercampur terharu, baru saja dia ingin bertanya lagi masalah seputar pulau itu, mendadak dari atas tanah perbukitan berkumandang suara genta yang nyaring.
"Nio Nio sudah mengundang kalian untuk menghadap" You su-moay berseru cepat, "ayoh kita segera berangkat!"
Jalan setapak itu berliku-liku dan penuh tanjakan, tidak lama kemudian mereka bertiga telah menelusuri hutan belukar yang hijau dengan aneka bunga berwarna warni.
Dibalik pepohonan, di antara aneka bunga, disana sini tampak bangunan loteng dan gardu istirahat yang indah dan mega, pemandangan disitu boleh dibilang indah bagaikan nirwana.
Sambil tertawa ringan ujar Yau su-moay:
"Cici, coba kau perhatikan, tempat ini lebih indah dan menyenangkan ketimbang surga, kita kaum wanita bisa hidup
tenteram ditempat semacam ini boleh dibilang sangat memuaskan"
"Yaaa, siapa bilang tidak...." Un Tay-tay menghela napas panjang, setelah melirik Im Ceng sekejap diapun membungkam diri.
Im Ceng berlagak seolah tidak mendengar pembicaraan mereka, dia tetap melanjutkan perjalanannya ke depan.
Setelah berada berapa ratus kaki diatas bukit, tiba-tiba tampak sebuah anak tangga yang menjulang hingga ke puncak bukit, anak tangga itu amat panjang dan terdiri dari entah berapa ratus atau berapa ribu undakan, tapi permuka-annya kelihatan amat bersih bagai batu pualam.
Tiba disitu sikap maupun mimik muka Yau Su-moay
kelihatan berubah amat hormat dan serius, bisiknya:
"Diatas sana terletak bukit Cay seng hong (pemetik bintang), puncak Koan gwee teng (menerawang rembulan), tempat dimana Nio Nio menyelesaikan semua persoalan"
Diam-diam Un Tay-tay mengangguk, berada diatas undak-undakan yang menjulang sampai ke angkasa, dia merasa Nio Nio itu sungguh tinggi kedudukannya sementara dia sendiri kecil sekali.
Mereka bertiga mulai merayap naik di antara undak-undakan batu itu, sekalipun ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki cukup tangguhpun dibutuhkan waktu hampir sepertanak nasi lamanya sebelum mencapai puncak.
Disisi tebing terlihat sebuah gardu kecil, gardu yang terbuat dari batu hijau dengan pilar-pilar berwarna merah, biar kecil namun mungil dan sangat indah.
Waktu itu Yo Pat moay sedang menunggu sambil bersandar di pilar, begitu melihat kehadiran mereka bertiga, diapun segera menggapai.
Ketika mereka bertiga berjalan mendekat, setengah berbisik Yo Pat-moay berkata:
"Kongcu, harap kau menunggu sebentar disini.... sementara adikku, kau ikut cici naik dulu ke atas"
Un Tay-tay melirik Im Ceng sekejap, sinar menghibur terpancar dari balik matanya, seakan meminta pemuda itu agar legakan hati, tapi Im Ceng hanya memandang ke tempat kejauhan, sama sekali tidak menggubris ataupun ambil perduli.
Waktu itu Yo Pat-moay sudah menggapai dari luar gardu, terpaksa sambil menghela napas Un Tay-tay berjalan
menghampirinya, diapun tidak berani lagi memandang ke atas puncak bukit.
Diatas puncak bukit terdapat sebuah tanah lapang yang terbuat dari batu hijau, tempat itu dikelilingi pagar kayu yang tinggi, ketika hawa kabut bergerak menyelimuti puncak dan tertimpa cahaya sang surya maka terhiaslah selapis cahaya yang aneh.
Tujuh-delapan belas orang nona berbaju hijau duduk mengelilingi pagar, sebuah meja beralas kain kuning terletak dibagian tengah dan memancarkan cahaya ke emas-emasan, tidak jelas lapisan itu terbuat dari bahan apa.
Seorang perempuan berbaju hijau duduk disisi meja, waktu itu dia sedang memandang ke tempat kejauhan, mengawasi lautan mega yang sambung menyambung dengan langit.
Un Tay-tay mengikuti Yo Pat-moay berjalan menuju ke tengah lapangan, selama ini sorot matanya tidak pernah berpisah dari langkah kaki Yo Pat-moay, bahkan setiba diatas lapangan pun dia masih belum berani mendongakkan kepalanya.
Dia dapat merasakan ada begitu banyak sorot mata yang tertuju ke tubuhnya, namun tidak sekejap pun dia berani menengok kesana-kemari, dia tidak tahu bagaimana tampang wajah kawanan nona yang berada disepanjang pagar, diapun tidak tahu bagaimana wajah Ratu matahari yang merupakan jago nomor wahid dikolong langit saat itu.
Tiba-tiba terdengar seseorang dengan suara yang halus dan lembut bertanya: "Siapa namamu?"
"Un Tay-tay!" jawab perempuan itu sambil menyembah.
Dia tidak berani banyak bicara, dia bahkan merasa batu pualam yang diinjaknya seolah turut melumer karena tertimpa sorot mata yang tajam.
Kembali terdengar suara lembut itu berkata:
"Siapa yang mengajakmu kemari" Bangkit dan jawab pertanyaanku"
Un Tay-tay menurut dan segera bangkit berdiri, kemudian dengan amat hormat menuturkan semua persoalannya dari awal hingga akhir.
Selesai mendengar penuturan tersebut, suara tadi kedengaran jauh lebih lembut dan halus, setelah menghela napas panjang ujarnya:
"Kelihatannya banyak siksaan dan penderitaan yang telah kau alami"
Suara yang halus dan lembut itu segera mengurangi banyak perasaan takut dan jeri yang semula mencekam perasaan Un Tay-tay, tanpa terasa diapun mendongakkan kepalanya sambil melirik sekejap ke arahnya.
Sayang waktu itu Jit ho Nio nio sedang berpaling memandang ke arah lain, Un Tay-tay hanya sempat menyaksikan potongan tubuhnya yang kecil mungil dengan jari tangannya yang halus lembut, dia tidak berhasil menyaksikan raut wajah aslinya.
Sebetulnya Un Tay-tay ingin memperhatikan lagi beberapa kejap, namun entah mengapa, tanpa sadar dia justru menundukkan kembali kepalanya.
Perlahan-lahan Jit ho Nio nio berkata lagi:
"Setelah tiba di sini berarti kau tidak usah menderita siksaan batin lagi, bila tidak ada urusan lain, ikutlah Pat-moay pergi beristirahat!"
Perkataan itu begitu lembut, halus dan penuh perhatian, membuat Un Tay-tay merasa amat terharu dan berterima kasih, dia tahu seandainya tinggal disitu maka kehidupannya akan lebih tenang dan bahagia, tapi Im Ceng....
Setiap kali terbayang Im Ceng, perasaan hatinya seketika berkobar kembali, dia tidak bisa membedakan perasaan itu sebagai rasa manis dan mesra atau justru suatu penderitaan.
Dengan kepala tertunduk bisiknya kemudian:
"Tecu.... tecu masih ada satu hal yang ingin disampaikan"
"Soal apa" Katakan saja!"
"Sebetulnya tecu ingin sekali tetap tinggal disini, tapi....
tapi...." "Apakah masih ada persoalan lain yang mengganjal hatimu?"
Pertanyaan itu disampaikan dengan nada tercengang bercampur keheranan.
Un Tay-tay merasa semakin panik, butir air mata pun tanpa terasa jatuh bercucuran membasahi matanya, dia jadi tergagap dan tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Kembali Jit ho Nio nio berkata:
"Setiap bocah yang datang kemari pasti sudah memutuskan hubungan dengan kehidupan keduniawian, tapi seandainya kau masih punya persoalan yang menyusahkan dirimu, katakan saja terus terang, aku tidak bakal marah padamu"
Un Tay-tay merasa makin panik bercampur malu, dengan nada sesenggukan katanya:
"Aku.... dia.... aku berjumpa lagi dengannya.... dia.... dia....
aku...." Perkataannya terputus putus, nyaris tidak membentuk satu kalimat yang bisa ditangkap secara jelas, hal ini membuat semua orang jadi bingung karena tidak paham apa yang dia inginkan.
Tapi kawanan gadis yang berada disekitar sana kebanyakan adalah perempuan yang pernah mengalami pengalaman pahit dalam hidupnya, biarpun hanya mendengar perkataan yang terputus-putus, namun mereka segera memahami apa yang dimaksud, tidak kuasa lagi suara helaan napas berkumandang dari sana sini.
Jit ho Nionio menghela napas panjang, ujarnya lembut:
"Sebetulnya kau anggap lelaki itu tidak berperasaan kepadamu maka hatimu kecewa dan putus asa, tapi kemudian justru tanpa sengaja bertemu lagi dengannya dan kaupun menjumpai bukan saja dia menaruh perasaan kepadamu, bahkan kalian berdua bersumpah untuk hidup bersama hingga sulit bagimu untuk meninggalkan dirinya lagi, bukan begitu?"
Setiap perkataannya boleh dibilang hampir mendekati kenyataan, setiap ucapannya serasa merasuk hingga ke dasar hati Un Tay-tay, membuat perempuan itu dengan wajah merah jengah menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Kembali Jit ho Nio nio berkata:
"Biarpun ditempatku ini tertampung semua wanita bernasib jelek yang ada di dunia ini, namun aku tidak berharap semua wanita di dunia ini bernasib malang, aku tentu akan sangat gembira bila kau bisa peroleh kebahagiaan"
Tanpa terasa untuk kesekian kalinya Un Tay-tay menjatuhkan diri berlutut diatas tanah, serunya penuh rasa haru:
"Terima kasih Nio-nio atas budi kebaikanm, selama hidup siauli tidak akan melupakannya"
"Bila kutinjau dari betapa girangnya kau sekarang, lelaki itu pasti seorang pemuda yang romantis.... Aiii! biarpun orang yang romantis itu gampang mendatangkan kemurungan, tapi ada berapa orang romantis di dunia ini memang jauh lebih baik"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berhenti sejenak, kembali tanyanya: "Di mana ia menunggumu?"
"Di gardu kecil bawah bukit"
"Oooh, dia adalah pemuda yang diutus Bu si Thaysu itu?"
"Benar, tapi dia bukan murid Siau-lim-pay, kedatangannya memang atas perintah Bu si Thaysu"
"Kalau dia bukan anggota Siau-lim-pay lalu murid siapa" Aaai!
Jangan salahkan aku terlalu cerewet dan banyak bertanya, setelah dia tiba ditempat ini, mau tidak mau aku harus menaruh perhatian secara khusus"
"Dia adalah anggota Tay ki...."
Belum selesai dia menjawab, Jit ho Nionio telah berteriak penuh amarah:
"Apa?"
Suaranya keras lagi tinggi melengking, dibandingkan nada suaranya semula boleh dibilang bagaikan berasal dari dua manusia yang berbeda.
Un Tay-tay terkesiap, katanya lagi agak gemetar:
"Dia.... dia adalah anggota Perguruan Tay ki bun...."
"Traaaang!" kutungan senjata Ji gi kemala terjatuh persis dihadapannya, ternyata dalam gusarnya Jit ho Nionio telah mematahkan senjata penggaris itu menjadi dua bagian.
Un Tay-tay yang berlutut semakin tidak berani bergerak, tubuhnya gemetar keras, mimpipun dia tidak mengira kalau Jit ho Nio nio bakal begitu gusar setelah mendengar nama Perguruan Tay ki bun. Tapi apa sebabnya dia begitu gusar"
Dalam gusarnya kedengaran napas Jit ho Nio nio terengah-engah, sampai lama kemudian dia baru membentak lagi dengan suara nyaring:
"Anggota Perguruan Tay ki bun" Buat apa kau tergila-gila dengan anggta Perguruan Tay ki bun" Biar semua lelaki didunia ini sudah mampus pun kau tidak boleh menaruh perhatian terhadap anak murid Perguruan Tay ki bun, mengerti?"
Un Tay-tay terkejut bercampur keheranan, perkataan yang sama sudah pernah dia dengar dari mulut nenek si tukang perahu, sekalipun cara penyampaiannya berbeda namun artinya jelas sama.
Dia tidak habis mengerti, kenapa penghuni Pulau Siang cun-to menaruh perasaan benci dan dendam yang begitu besar terhadap seluruh anggota Perguruan Tay ki bun, tapi mengapa pula si nenek tidak melarang Im Ceng naik ke perahunya kendatipun sudah tahu kalau pemuda itu adalah anggota Perguruan Tay ki bun"
Hubungan antara cinta dan benci ternyata begitu sensitip dan aneh, membuat orang sulit untuk memahaminya, kini walaupun dihati kecil Un Tay-tay penuh diliputi rasa ingin tahu dan tidak habis mengerti, namun tidak sepatah katapun berani diutarakan keluar.
Kelihatannya Jit ho Nio nio sudah bangkit berdiri dan mulai berjalan mondar mandir disekeliling tempat itu, suara langkah kaki itu serasa berputar mengelilingi Un Tay-tay, membuat setiap langkah kaki itu seolah sedang menginjak dihati kecilnya.
Sampai lama, lama sekali, suara langkah kaki itu baru berhenti. Kemudian terdengar Jit ho Nio nio menghardik lagi:
"Bawa kemari anak murid Perguruan Tay ki bun itu!"
Yo Pat-moay mengiakan dan segera beranjak pergi.
Perasaan hati Un Tay-tay saat itu tidak terlukiskan dengan kata, dia merasa amat kuatir, amat takut dan amat cemas, dia tidak tahu apa yang bakal dialami Im Ceng nanti, apakah Jit ho Nio nio akan menghukum mati pemuda itu"
BAB 27 Antara Mati dan Didup
Im Ceng telah naik ke puncak tebing, telah tiba ditanah lapang, dalam pandangan pertama dia saksikan seorang wanita berbaju hijau yang bertubuh ramping sedang berdiri membelakanginya, berdiri sambil bergendong tangan dan memandang lautan bebas nun dikejauhan sana.
Perawakan tubuh perempuan itu tidak tinggi besar, bentuknya tidak aneh, pakaian yang dikenakan pun tidak kelewat mencolok, dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya boleh dibilang tidak satupun yang kelihatan menarik perhatian orang.
Tapi dari sekian banyak orang yang hadir diatas puncak bukit, justru dalam pandangan pertama Im Ceng sudah tertarik kepadanya, dari balik tubuh seorang wanita yang sangat sederhana seakan mengandung daya tarik yang luar biasa besarnya.
Padahal kawanan gadis yang berdiri disisinya rata-rata merupakan kawanan wanita berparas cantik jelita, tapi cukup bayangan punggung perempuan itu sudah dapat mengalahkan pamor dari kecantikan wajah kawanan gadis lainnya.
Biarpun hingga detik itu Im Ceng belum menyaksikan raut mukanya, namun dia yakin kalau perempuan itu tidak lain adalah Jit ho Nio nio penguasa Pulau Siang cun-to.
Tokoh maha sakti yang selama ini dibayangkan bagaikan seorang tokoh dunia dongeng, sekarang telah muncul hidup hidup di depan mata, sedikit banyak bergolak juga perasaan hati Im Ceng.
Perempuan itu berdiri sambil bergendong tangan, ke sepuluh jari tangannya putih lagi halus, satu gejolak perasaan yang aneh kembali timbul dalam hatinya, anak muda itu tidak tahu kenapa bisa muncul perasaan semacam itu dalam hatinya.
Sesudah memberi hormat kata Im Ceng:
"Murid Perguruan Tay ki bun memberi hormat kepada Jit ho Nio nio!"
"Atas perintah siapa kau datang kemari?"
Biarpun nada suaranya dingin lagi kaku, sayang jari tangannya kelihatan gemetar keras, ini menunjukkan kalau
sedang terjadi gejolak perasaan dalam hatinya.
"Tecu mendapat perintah dari Siau-lim Bu si Thaysu untuk datang berkunjung"
Tiba-tiba Jit ho Nio nio membentak keras:
"Kalau betul kedatanganmu atas perintah Bu si Thaysu, sudah sepantasnya kalau kau menghadap sebagai anggota Siau-lim-pay, mengerti?"
Im Ceng tertegun, dia tidak habis mengerti kenapa tiba-tiba perempuan itu naik pitam, terpaksa diapun mengiakan.
"Untuk urusan apa Bu si Thaysu perintahkan kau datang kemari?" tegur Jit ho Nio nio.
"Bu-si Thaysu bilang, sudah cukup lama dunia persilatan dilanda kekalutan, sudah waktunya memberi ketenangan dan waktu istirahat bagi rekan-rekan persilatan, gara-gara keruwetan tersebut boleh dikata sudah puluhan tahun lamanya seluruh jago persilatan dilibatkan dalam kasus tersebut, kini sudah saatnya untuk melakukan satu penyelesaian, harap Nio Nio berbesar hati dengan memikirkan penderitaan orang banyak, khususnya bagi mereka yang harus hidup terlunta karena dikejar pembalasan, sehingga terkadang untuk mengubur jenasah kerabatnya pun tidak sempat. Hukuman mereka sudah lebih dari cukup, oleh karena itu dimohon Nio Nio mau mengampuni mereka yang pantas diampuni dengan secepatnya menyelesaikan keruwetan itu...."
"Tutup mulut!" tiba-tiba Jit ho Nio nio membentak nyaring.
Kepalan tangannya nampak semakin kencang, bahkan tubuhnya pun tidak tahan untuk gemetar keras, tegurnya lagi:
"Kurangajar, kaupun ingin menasehati aku?"
"Tecu tidak berani, semua perkataan yang disampaikan adalah perkataan dari Bu-si Thaysu, tecu hanya mengulangi perkataan itu tanpa mengurangi sepatah kata pun. Mengenai apa kasus yang dimaksud, tecu tidak tahu menahu"
Kembali Jit ho Nio nio mendengus dingin, nampak rasa gusarnya belum mereda, ujarnya:
"Hmmm, apakah Bu si Thaysu tidak merasa kelewat tinggi menilai kemampuan diri sendiri" Hmm, atas dasar apa dia ingin mencampuri urusan ini!"
Menyaksikan sikap perempuan itu, meski Im Ceng merasa kaget bercampur keheranan, namun dia tidak berani banyak bertanya, pemuda itu hanya berdiri membungkam dengan kepala tertunduk.
Kembali berapa saat sudah lewat, tampaknya hawa amarah Jit ho Nio nio sudah mulai mereda, namun dia belum juga berpaling, ujarnya dingin:
"Jadi tujuan kedatanganmu hanya untuk menyampaikan beberapa kata itu saja?"
"Benar, hanya berapa patah kata itu saja"
"Kalau begitu sampaikan kepadanya, bukan aku yang menanam bibit sebab dalam kasus ini maka bukan aku pula yang akan menyelesaikannya, selama ini aku tidak ingin mencampuri urusan tersebut, dikemudian hari pun aku tetap tidak akan mencampurinya"
Bicara punya bicara, nada suaranya kembali dicekam luapan emosi, katanya lebih lanjut:
"Bila Bu si Thaysu ingin menyelesaikan persoalan ini, tidak ada salahnya kalau dia selesaikan sendiri, tidak usah mencari diriku lagi"
"Baik!"
Saat itulah Im Ceng baru berpaling sambil memandang Un Tay-tay sekejap, waktu itu Un Tay-tay pun dengan air mata berlinang sedang melirik ke arahnya secara sembunyi-sembunyi.
Ketika sepasang mata mereka saling bertemu, tiba-tiba dua baris air mata jatuh bercucuran membasahi wajah perempuan itu.
Dari balik sorot matanya yang sayu, dari balik pandangan matanya yang penuh penderitaan, penuh rasa sedih, dia seakan sedang memohon kepada Im Ceng:
"Pergilah, cepat pergi dari sini, jangan mengurusi diriku lagi...."
Tampaknya kedua orang ini sudah memiliki hubungan batin yang amat kental, hanya cukup memandang sekejap, Im Ceng segera paham kalau Jit ho Nio nio telah menampik permohonan Un Tay-tay, satu perasaan pedih bercampur gusar tiba-tiba menyelimuti perasaan hatinya.
Begitu melihat perubahan wajah sang pemuda disertai kilatan cahaya mata yang buas, Un Tay-tay segera mengerti apa yang hendak dilakukan kekasih hatinya, dengan perasaan terperanjat segera teriaknya gemetar:
"Jangan.... jangan kau lakukan.... jangan bertindak disini...."
Sayangnya, begitu Im Ceng terpengaruh gejolak emosi, jangan lagi manusia biasa, dewa pun sulit untuk mencegahnya.
Belum selesai Un Tay-tay berkata, sambil membusungkan
dada Im Ceng telah membentak nyaring:
"Murid Tay ki bun Im Ceng masih ada satu persoalan yang ingin disampaikan!"
"Berani amat kau menyebut diri sebagai murid Perguruan Tay ki bun!" hardik Jit ho Nio nio penuh amarah.
Im Ceng tertawa lantang, sahutnya: "Aku telah menyampaikan urusan yang menyangkut kepentingan Siau-lim-pay, dengan sendirinya harus tampil dengan identitasku yang Nebenarnya, hidup sebagai anggota Perguruan Tay ki bun, matipun tetap menjadi setan Perguruan Tay ki bun, kenapa aku tidak berani mengakui sebagai murid Perguruan Tay ki bun" Aku tahu kungfu yang kami miliki memang masih ketinggalan jauh bila dibandingkan kemampuan-mu, tapi soal nama, dimana pun kami sebut nama besar Perguruan Tay ki bun, nama ini jauh lebih cemerlang ketimbang nama Pulau Siang cun-to!"
Tidak terlukiskan rasa gusar Jit ho Nio nio lelah mendengar perkataan itu, teriaknya lengking:
"Kau.... kau berani...."
Dengan air mata bercucuran cepat Un Tay-tay menjatuhkan diri berlutut dibawah kaki perempuan itu, rengeknya:
"Nio Nio.... dia.... dia masih kanak-kanak, harap Nio Nio tidak menanggapinya dengan serius"
Jit ho Nio nio tertawa dingin. "Hmmm, ulahnya masih belum pantas membuat aku naik darah...." katanya, "baiklah, sebagai anggota Perguruan Tay ki bun, apa yang hendak kau sampaikan?"
"Aku ingin bertanya kepadamu, kalau toh Un Tay-tay tidak bersedia tinggal disini, apa alasannya kau memaksa dia untuk tetap tinggal disini" Apakah tindakanmu inipun pantas disebut menolong orang yang kesusahan?"
"Siapa yang paksa dia untuk tetap tinggal disini?" tegur Jit ho Nio nio.
Im Ceng tertegun, seketika itu juga hawa amarahnya mereda setengah, tahu kalau dugaannya keliru, tingkah lakunya jadi serba salah, ucapnya agak tergagap:
"Kalau memang begitu, Tay-tay, ayoh kita pergi!"
"Siapa yang mengijinkan kau membawanya pergi?" kembali Jit ho Nio nio menegur ketus.
Sekali lagi Im Ceng tertegun, tapi kemudian dengan wajah penuh kegusaran teriaknya:
"Bukankah kau bilang tidak akan menahannya" Kini kaupun
melarangnya pergi, rupanya kau sedang mempermainkan aku?"
"Mau kemana pun dia pergi, aku tidak bakalan melarangnya, tapi kalau pergi bersamamu, hmmm! Jangan harap!"
"Kenapa?" teriak Im Ceng gusar.
"Bila dia ingin menikah. Sekalipun harus kawin dengan seorang berandal kota atau seorang pekerja kasar pun aku akan mendukungnya, tapi kalau ingin menikah dengan anggota Perguruan Tay ki bun.... hmmm, jangan harap aku akan mengijinkan!"
"Kenapa?" bentakan Im Ceng semakin nyaring.
"Karena setiap pria yang bergabung dalam Perguruan Tay ki bun adalah binatang yang tidak berperasaan dan tidak setia kawan!"
Kontan Im Ceng melompat bangun, umpatnya pernuh
amarah: "Ken.... siapa yang bilang begitu?"
Walaupun dia tidak berani mengucapkan kata "kentut", namun orang yang berani mencak-mencak kegusaran dihadapan Jit ho Nio nio pun boleh dibilang tak ada ke duanya.
Pucat pias wajah kawanan gadis yang berada disekeliling tempat itu, mereka tahu, Jit ho Nio nio pasti tidak akan melepaskan dirinya dengan begitu saja.
Siapa tahu bukan saja Jit ho Nio nio sama sekali tidak turun tangan, berpaling pun tidak, malah ujarnya kepada Un Tay-tay:
"Bila saat ini kau ingin pergi, aku pun tidak akan menahanmu!"
"Nio Nio, aku...." isak tangis Un Tay-tay makin menjadi.
"Tapi sebelum meninggalkan tempat ini, kau harus angkat sumpah berat, selama hidup tidak pernah akan berbicara sepatah kata lagi dengan anggota Perguruan Tay ki bun!"
"Aku.... aku...." tiba-tiba Un Tay-tay menangis tersedu.
"Kenapa" Kau tidak sanggup?"
"Aku.... aku akan tetap tinggal disini" bisik Un Tay-tay lirih.
"Kalau ingin tinggal disini, kau justru harus mengangkat sumpah yang lebih berat lagi, sejak hari ini hingga akhir jaman kau tidak boleh lagi memikirkan anggota Perguruan Tay ki bun"
Tubuh Un Tay-tay gemetar makin keras, dengan suara gemetar bisiknya:
"Ini.... ini...."
Tiba-tiba dia mendekam diatas tanah sambil menangis tersedu sedu, terusnya:
"Aku tidak bisa kalau tidak memikirkan dia, aku benar-benar tidak bisa, tidak memikirkan dia!"
"Hanya orang berhati setenang air yang cocok berdiam di Pulau Siang cun-to" ujar Jit ho Nio nio dingin, "bila kau masih memikirkan dia, berarti tidak ada tempat bagimu untuk tetap tinggal di pulau ini!"
Ketika berbicara sampai
Jodoh Si Mata Keranjang 1 Bara Naga Karya Yin Yong Istana Pulau Es 2
^