Istana Pulau Es 2

Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


ti Bhutan, akan tetapi perbedaannya hanyalah karena Nila Dewi wanita, namun belaian-belaiannya sungguh mengerikan hatinya, memuakkan dan menimbulkan jijik dan takut.
Tiba-tiba Mahendra melompat cepat dan Maya merasa betapa belaian dan ciuman Nila Dewi berhenti, tubuh wanita itu menjadi lemas kemudian roboh bersama dia!
"Mahendra, engkau pengecut curang....!" Nila Dewi mengeluh, berusaha untuk bangkit akan tetapi roboh lagi. Mahendra tertawa-tawa, memeluk Nila Dewi dan memberi ciuman yang membuat Maya yang melihatnya membuang muka. Ketika ia memandang lagi, ternyata Nila Dewi telah duduk bersila dekat pohon, kedua lengan ditelikung ke belakang dan diikat kuat-kuat. Tahulah ia bahwa tadi selagi Nila Dewi mencium dan membelainya, penuh nafsu berahi Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 26
yang menghilangkan kewaspadaannya, Mahendra telah menyerangnya dan menotok wanita itu roboh terkulai lemas dan tidak dapat melawan lagi!
Timbul rasa takutnya dan ia hendak lari. Akan tetapi, sekali sambar saja Mahendra sudah menangkapnya, kemudian menggunakan sebuah tali panjang mengikat kedua kaki dan
tangannya, bahkan tali pengikat kaki yang panjang itu lalu dipergunakan oleh Mahendra untuk menggantung tubuh Maya dari cabang pohon. Tali itu diikatkan pada cabang pohon sehingga tubuh Maya tergantung menjungkir dengan kepala di bawah dan kedua tangannya terikat ke belakang punggung!
"Mahendra!" Nila Dewi yang duduk bersila di bawah pohon itu berteriak. "Kalau engkau membunuh Maya, aku bersumpah untuk membunuhmu!"
Mahendra tertawa, mengeluarkan sebuah mangkok tanah dan sebatang pisau belati yang tajam sekali dari balik baju yang melibat tubuhnya, berkata, "Nila Dewi, engkau tahu bahwa aku tidak akan membunuhnya, betapapun ingin aku menyedot habis darahnya melalui leher dengan jalan menggigit urat lehernya dan menyedot sampai tubuhnya kering, betapa ingin aku membelah kepalanya dan makan otak serta sumsumnya untuk menambah tenaga. Akan tetapi aku ingat akan kebutuhanmu. Tidak, aku tidak akan membunuhnya, maka kukeluarkan pisau dan mangkok ini. Aku hanya akan mengambil darahnya semangkok untuk kuminum, dia tidak akan mati dan engkau masih akan dapat menikmatinya. Boleh bukan?"
"Keparat kau! Iblis kau! Awas kalau sampai dia cacat!" Nila Dewi mencaci-maki.
"Tenanglah, kekasihku. Aku akan mengerjakannya dengan hati-hati sekali agar dia tidak cacad. Aku hanya menginginkan semangkok darah dan.... sedikit sumsumnya. Kalau kukerat sedikit punggungnya, kukeluarkan sumsum dari tulang punggung dan kutadah darahnya, kemudian lukanya kuobati, dia tidak akan cacad, heh-heh!"
"Jahanam sialan engkau!" Nila Dewi memaki gemas, akan tetapi hatinya lega juga karena ia tahu bahwa Mahendra tidak akan membunuh Maya.
Dapat dibayangkan betapa ngerinya hati Maya mendengar percakapan yang dilakukan dalam bahasa Khitan itu. Ia meronta-ronta seperti seekor kelinci, namun tak dapat melepaskan kedua tangannya.
"Heh-heh. merontalah kuat-kuat Anak manis. Agar darahmu lebih cepat alirannya dan lebih hangat!" Mahendra melangkah mendekati Maya dengan sikap seorang yang hendak menyembelih! Maya sudah memejamkan kedua matanya, maklum bahwa menjerit-jerit dan meronta-ronta tiada gunanya lagi. Siapa yang akan dapat menolongnya di dalam hutan ini"
Tadi ia sudah menyaksikan kehebatan kedua orang manusia iblis itu, bahkan dia tadi bengong dan diam-diam kagum sekali melihat betapa laki-laki hitam itu memondong dia dan
mengempit tubuh Nila Dewi lalu berlari terbang meninggalkan dusun memasuki hutan itu.
Biarlah aku mati, keluhnya dalam hati karena tidak melihat harapan lagi.
"Siluman jahat, apa yang kaulakukan?" Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tahu-tahu berkelebat bayangan putih dan tak jauh dari situ berdiri seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti seorang sastrawan. Gerakannya demikian ringan sehingga ia muncul seperti setan! Seruannya itu disusul menyambarnya dua buah benda, yang sebuah menyambar ke arah kening Mahendra di antara kedua mata, yang sebuah lagi menyambar tali yang menggantung tubuh Maya.
"Harrggghhh....!" Mahendra menggereng, marah dan cepat ia melempar tubuh ke belakang.
Tali yang menggantung Maya putus disambar benda yang ternyata hanyalah sebuah batu kerikil, dan tubuhnya jatuh ke bawah. Anak yang sudah pandai ilmu silat ini tentu saja dapat menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik dan menjatuhkan diri dengan bahu lebih dulu kemudian bergulingan. Kedua tangan dan kakinya masih terikat dan ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan kaki tangannya.
Sementara itu, Mahendra menyerang pendatang itu dengan pisau di tangan kanan dan mangkok tanah di tangan kiri. Gerakan-gerakan Mahendra ketika menyerang amat aneh dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 27
cepat, juga mendatangkan angin keras yang menandakan bahwa tenaga dalam orang ini hebat sekali. Namun berkali-kali Mahendra mengeluarkan seruan kaget dan karena laki-laki itu dapat menandinginya dengan baik sekali, bahkan membalas dengan serangan pukulan ujung lengan baju yang mendatangkan hawa panas tanda sin-kang yang amat kuat!
Siapa pria setengah tua yang perkasa dan sanggup menandingi iblis dari Nepal itu" Dia bukan lain adalah Menteri Kam Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Menteri Kam Liong pergi seorang diri menyelidiki keadaan di Khitan. Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika mendapat berita bahwa Khitan telah hancur, dan bahwa kini Khitan telah diduduki oleh bangsa Yucen yang berhasil menghalau bangsa, Mongol. Betapa adik tirinya, Raja Talibu dan isterinya telah gugur dalam perang dan bahwa puteri mereka lenyap, melarikan diri, kabarnya menuju ke Go-bi-san mencari kakek dan neneknya. Kalau saja waktunya tidak terbatas dan dia tidak terikat kewajiban pekerjaannya, tentu dia akan menyusul ke Go-bi-san mengunjungi ayahnya, pendekar sakti Suling Emas. Akan tetapi Go-bi-san terlalu jauh dan dia harus segera kembali ke selatan berhubung dengan gawatnya keadaan sebagai akibat pergolakan di utara ini. Maka dengan hati tertekan kedukaan, Menteri Kam Liong melakukan perjalanan pulang ke selatan. Kebetulan sekali di dalam hutan itu ia melihat Mahendra yang hendak menyembelih seorang anak perempuan secara kejam sekali.
Kam Liong tidak mengenal Maya, karena memang anak Raja Khitan itu tidak pernah
dilihatnya. Disangkanya bahwa anak itu tentulah anak pelarian para pengungsi yang dusunnya dilanda perang.
Diam-diam Kam Liong terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa laki-laki hitam itu lihai bukan main. Terpaksa ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan barulah ia dapat mendesak lawannya. Pertandingan antara mereka berjalan seru dan cepat sekali dan karena Mahendra berkali-kali mundur dan berloncatan menjauh, makin lama dua orang yang bertanding ini makin menjahui tempat di mana Maya berusaha melepaskan ikatan kaki tangannya.
"Maya kekasihku, jangan pergi. Aku akan melindungimu." Nila Dewi berkata. lembut sambil berusaha pula membebaskan ikatan kedua tangannya. Akan tetapi totokan tadi masih membuat tubuhnya lemas dan jalan darahnya tidak lancar maka diam-diam ia memaki
Mahendra dan kemudian memejamkan mata untuk memulihkan jalan darahnya. Kalau jalan darahnya sudah pulih, sekali renggut saja tentu akan putus tali pengikat tangannya. Maya agaknya mengerti pula akan hal ini, maka ia pun meronta-ronta dan berusaha mendahului nenek itu untuk melepaskan diri dan lari.
Kalau di sebelah sana tampak berkelebatnya dua bayangan orang bertanding dengan seru, di sini terjadi pula perlombaan yang tidak kalah menegangkan, yaitu Maya berlumba melawan Nila Dewi untuk lebih dulu membebaskan diri dari ikatan. Maya mengerti bahwa kalau dia kalah dalam perlumbaan ini, lenyaplah satu-satunya harapan dan kesempatan untuk
melarikan, karena Mahendra yang sakti itu sedang bertanding dengan orang gagah yang menolongnya, maka tentu Nila Dewi akan membawanya lari! Untung bagi Maya bahwa
Mahendra yang tentu saja memandang rendah padanya dan memastikan bahwa anak ini tidak mungkin terlepas dari tangannya tadi tidak mengikat terlalu kuat, berbeda dengan ikatan pada kedua lengan Nila Dewi. Kini Maya dengan mata terbelalak memandang ke arah Nila Dewi yang masih menghimpun tenaga untuk memulihkan jalan darah berusaha keras untuk
melepaskan ikatan kedua kakinya. Akhirnya ia berhasil melepaskan kakinya dari ikatan. Ia meloncat bangun dan dengan kedua tangan masih terikat di belakang ia melarikan diri.
"Robohlah....!" Tiba-tiba terdengar suara Nila Dewi nyaring dan bagaikan didorong tenaga mujijat Maya terguling roboh! Ia cepat menengok dan melihat Nila Dewi sudah melompat berdiri. Kiranya wanita ini tadi telah menggunakan sin-kang untuk menendangnya dari jarak jauh, akan tetapi penggunaan sin-kang ini melenyapkan tenaga yang sudah mulai terkumpul, ia menjadi lemas kembali dan roboh bersandar batang pohon. Melihat ini, Maya tidak Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 28
mempedulikan tubuhnya yang babak-belur, terus meloncat bangun dan lari lagi sekuatnya dengan kedua tangan masih terikat!
"Berhenti.... ahhhh, kekasihku, tega engkau meninggalkan aku....?" Nila Dewi berkata, akan tetapi tanpa menengok Maya terus lari secepatnya.
Sementara itu, pertandingan antara Kam Liong dan Mahendra masih berjalan seru. Berkali-kali pisau belati dan mangkok tanah menyambar, namun selalu Kam Liong dapat mengelak atau menangkis dengan kepretan ujung lengan bajunya. Tiba-tiba Mahendra berseru marah sekali dan menyambitkan mangkok tanah pada Kam Liong. Pendekar ini memukul kearah mangkok dengan jari tangan kiri terbuka.
"Brakkk!" Mangkok itu pecah berkeping-keping.
"Mampuslah!" Mahendra berseru dan segulung sinar kuning yang lemas menyambar ke arah kepala Kam Liong. Pendekar ini terkejut melihat betapa lawannya telah melepaskan kain yang melilit tubuh atasnya dan menggunakan kain kuning itu untuk menyerangnya dengan gerakan seperti seorang nelayan melempar jaring ikan!
Cepat ia mengelak, namun kain itu digerakkan secara lihai sehingga kembali telah melayang untuk "menjaringnya"! Kam Liong terkejut. Kiranya lawannya ini benar-benar lihai sekali menggunakan kedua tangannya. Tampak sinar kuning emas berkelebat disusul sinar putih dan dia telah memegang suling emas dan kipasnya.
"Suling Emas....!" Mahendra terkejut, meloncat ke belakang dan.... melarikan diri seperti orang ketakutan melihat setan.
Kam Liong tidak mengejar, sejenak memandang suling di tangannya dan menarik napas panjang penuh kagum. Nama ayahnya, Pendekar sakti Suling Emas, agaknya sedemikian hebatnya sehingga orang hitam aneh tadi pun mengenal senjata itu dan lari ketakutan! Ia cepat meloncat ke tempat di mana anak tadi digantung dan tidak melihat lagi bocah itu, kecuali wanita India yang masih duduk bersandar pohon dan menghimpun kekuatan dalam. Ia merasa lega. Kiranya bocah tadi cukup cerdik dan agaknya berhasil melarikan diri sewaktu penculiknya bertanding melawannya. Dia tidak mengenal dua orang India itu, tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Niatnya hanya menolong anak perempuan itu dan setelah anak, perempuan itu berhasil menyelamatkan diri, dia pun tidak mau mengganggu wanita India yang sedang menghimpun tenaga. Kam Liong menyimpan kedua senjatanya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanannya pulang ke kota raja di selatan.
Di dalam perjalanan pulang ini, selain berduka atas hancurnya Kerajaan Khitan dan tewasnya adik tirinya Raja Talibu, berprihatin menyaksikan perkembangan bangsa Yucen yang makin kuat juga Kam Liong merasa gelisah memikirkan hal yang selama ini selalu menjadi duri dalam daging baginya. Perjalanannya ke utara telah menghasilkan pendengaran-pendengaran yang makin menggelisahkan hatinya, yaitu tentang desas-desus bahwa di antara para pembesar yang membujuk-bujuk Kaisar untuk memusuhi Khitan, termasuk pula saudara misannya yang bernama Suma Kiat
Suma Kiat adalah putera tunggal mendiang bibinya, yaitu Kam Sian Eng, adik tiri ayahnya Suling Emas. Namun semenjak mudanya, Suma Kiat memiliki watak yang jahat dan palsu (baca cerita MUTIARA HITAM) sehingga ia seringkali bentrok, bahkan terasing dari keluarga keturunan Suling Emas yang terdiri dari para pendekar perkasa yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, mengingat bahwa Suma Kiat masih saudara misannya, Kam Liong yang berwatak budiman merasa kasihan dan berkat usahanya, akhirnya Suma Kiat dapat diterima oleh Kaisar dan menjabat pangkat panglima dalam, pasukan pertahanan pemerintah. Memang Suma Kiat bukan seorang sembarangan, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang, amat tinggi mewarisi ilmu-ilmu mendiang ibunya yang dahulu tergolong seorang di antara datuk-datuk persilatan yang disegani. Setelah memiliki kedudukan sebagai panglima, Suma Kiat yang memang berdarah keturunan keluarga Pangeran Suma, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 29
menjadi seorang bangsawan terhormat dan disegani pula, hidup mulia dan bahagia dalam gedungnya di kota raja, Selama dia memangku jabatannya, ia bekerja dengan baik dan hal ini sebagian besar adalah karena Suma Kiat merasa takut dan segan terhadap kakak misannya, Menteri Kam Liong yang selain memiliki kedudukan lebih tinggi daripadanya, juga memiliki ilmu kepandaian lebih lihai pula.
Kini Suma Kiat telah menjadi seorang setengah tua dan hidup sebagai seorang bangsawan dalam gedungnya yang indah.
Ia telah menikah dengan seorang wanita bangsawan yang cantik dan mempunyai seorang putera. Puteranya ini bernama Suma Hoat, tampan seperti Ibunya, wataknya juga halus dan lemah-lembut seperti Ibunya. Karena semenjak kecil oleh Ibunya ia dijejali pelajaran sastra dan filsafat, diingatkan bahwa dia adalah keluarga dari pendekar besar Suling Emas, maka sifat-sifat pendekar tertanam di jiwa anak ini. Dia digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri dan karena bakatnya, dia dapat mewarisi ilmu silat tinggi dari ayahnya. Namun ada satu sifat dari nenek moyangnya, yaitu keluarga Suma, yang agaknya menurun dan mengalir dalam darahnya, yaitu dia dikuasai nafsu berahi dan berwatak mata keranjang!
Selain puteranya sendiri, Suma Kiat juga mempunyai seorang murid lain yang sebetulnya adalah pelayan keluarganya, seorang pemuda yang sebaya dengan puteranya, bernama Siangkoan Lee. Anak ini mukanya buruk seperti muka kuda, pendiam dan rajin. Biarpun bakatnya tidak sebaik Suma Hoat dalam ilmu silat dan sastra namun berkat kerajinannya, dia pun memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali dalam ilmu silat karena Siangkoan Lee ini diam-diam mempunyai cita-cita tinggi dan selalu mengumpulkan ilmu-ilmu silat tinggi untuk dipelajarinya. Berkat kerajinan dan keuletannya, akhirnya ia pun diberi pekerjaan di kantor menjadi seorang "bangsawan" kecil, tidak lagi menjadi seorang pelayan.
Banyak hal terjadi sebagai akibat perbuatan keluarga Suma ini yang memaksa Menteri Kam Liong turun tangan dan membuatnya gelisah, dan beberapa hal di antaranya terjadi beberapa tahun yang lalu ketika Suma Hoat dan Siangkoan Lee dua orang murid Suma itu, baru berusia kurang lebih dua puluh tahun.
Pada suatu hari, Suma Hoat diantar oleh Siangkoan Lee pergi berburu ke hutan. Berburu binatang merupakan sebuah di antara kesukaan pemuda bangsawan ini, di samping
kesukaannya mengujungi tempat-tempat hiburan untuk mendengar wanita-wanita cantik bernyanyi dan menari kemudian memilih yang tercantik di antara mereka untuk diajak bersenang-senang.
Dengan menunggang kudanya yang berbulu putih dan tinggi besar, Suma Hoat kelihatan tampan dan gagah perkasa. Pakaiannya serba indah, terbuat daripada sutera halus, rambutnya yang hitam panjang itu dihias dengan hiasan berupa seekor naga emas bertabur batu kemala, gagang pedangnya yang terbuat dari emas menghias punggungnya, wajahnya yang berkulit putih berseri-seri dengan sepasang mata lebar dan lincah pandangnya, bibirnya selalu tersenyum. Banyak wanita akan terguncang hatinya apabila melihat pemuda bangsawan yang tampan ini membalapkan kuda putihnya. Didampingi pemuda Siangkoan Lee yang buruk rupa, Suma Hoat kelihatan lebih tampan lagi.
Para wanita cantik di rumah-rumah hiburan yang semua mengenal baik Suma-kongcu (Tuan Muda Suma) ini, berkumpul di jendela loteng dan melambai-lambaikan saputangan sutera yang harum, melontarkan senyum memikat. Namun Suma Hoat hanya membalas senyuman
mereka dan tidak berhenti karena memang sekali ini tidak ingin menghibur hati dengan wanita-wanita cantik itu, melainkan hendak pergi berburu binatang buas di hutan. Pula, ia sudah mulai bosan dengan wanita-wanita cantik yang akan menghibur pria manapun juga asal yang beruang itu, bosan dengan cinta yang diobral mereka, cinta kasih yang dijual.
Dua orang pemuda itu membalapkan kuda mereka keluar dari kota raja dan memasuki dusun-dusun menuju ke hutan yang besar. Di sebuah dusun mereka mendengar keluh kesah rakyat tentang gangguan seekor harimau besar yang sudah banyak mencuri kambing dan kerbau Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 30
penduduk, bahkan telah membunuh dua orang anak kecil. Mendengar ini, bangkit semangat Suma Hoat untuk membunuh harimau itu.
"Kita harus dapat menangkapnya dan membunuhnya, kalau belum berhasil aku tidak mau pulang!" demikian Suma Hoat berkata kepada Siangkoan Lee, bekas pelayannya, juga yang menjadi sutenya.
"Asal saja dia berani keluar dari tempat sembunyiannya, Kongcu," jawab Siangkoan Lee yang masih menyebut "kongcu" kepada suhengnya itu, mengingat akan kedudukan mereka.
Demikianlah, kedua orang muda itu menjelajah hutan-hutan yang dikabarkan menjadi sarang sang harimau. Telah sepekan lamanya mereka mengintai, menunggu dan mencari, namun hasilnya sia-sia belaka. Harimau besar yang dicari-carinya tidak tampak, Suma Hoat menjadi penasaran sekali. Dia sampai lupa akan niatnya semula, yaitu berburu binatang. Banyak sudah selama sepekan ini dia melihat binatang-binatang hutan, namun semua itu dibiarkannya saja lewat tanpa diusik karena kini seluruh perhatiannya dicurahkan untuk mencari harimau yang telah mengganas di dusun-dusun sekeliling daerah pegunungan itu.
Berkali-kali Siangkoan Lee membujuk kongcunya untuk pulang saja, akan tetapi dengan alis berkerut, Suma Hoat yang berkemauan keras ini malah membentaknya.
"Sudah kukatakan bahwa sebelum berhasil membunuh harimau laknat itu, aku tidak mau pulang. Jangankan baru sepekan, biar selama hidupku di sini aku tetap harus mencarinya sampai dapat!"
Siangkoan Lee yang meninggalkan pekerjaan khawatir kalau-kalau dimarahi majikannya, tetapi ia tidak berani membantah lagi. Siang malam mereka mencari, bahkan kalau malam mereka pun mengintai, baru kalau sudah lelah sekali tidur di bawah pohon saja sambil membuat api unggun. Suma Hoat benar-benar mempunyai kemauan yang keras sekali dan pantang mundur sebelum niatnya terpenuhi.
Pada pagi hari yang ke sembilan, dua orang pemuda itu memasuki hutan yang paling ujung, hutan yang tidak berapa besar akan tetapi yang belum mereka datangi, berada di lereng dekat kaki bukit. Mereka berjalan kaki menuntun kuda masing-masing sambil memandang tajam mencari-cari kalau-kalau ada gerakan binatang yang mereka cari-cari.
Tiba-tiba mereka mendengar suara lapat-lapat, jerit seorang wanita di kaki bukit. Suma Hoat menoleh kepada Siangkoan koan Lee. "Adakah engkau mendengar suara di sana?"
"Siangkoan Lee mengangguk. "Seperti jerit seorang wanita."
"Benar! Kita menunggu apa lagi" Jangan-jangan harimau itu menyerang wanita!" Cepat sekali Suma Hoat sudah melompat ke atas kudanya dan membalap, diikuti oleh Siangkoan Lee.
Setelah menuruni lereng, mereka tiba di jalan umum yang datang dari timur dan dari atas sudah tampak oleh mereka sebuah kereta terguling di pinggir jalan dan beberapa orang lakilaki yang berpakaian pelayan dan pengawal malang-melintang di sekitar tempat itu. Jauh dari kereta itu tampak serombongan orang sedang mengangkuti barang-barang dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki tinggi besar yang menunggang kuda dan memangku seorang wanita yang meronta-ronta dan agaknya wanita itulah yang tadi mengeluarkan jeritan.
"Bukan harimau yang menyerangnya, Kongcu," kata Siangkoan Lee.
"Memang bukan, akan tetapi lebih jahat daripada harimau. Mereka perampok keparat yang bosan hidup! Kaubasmi anak buahnya, aku akan menolong wanita itu!"
Dua orang muda itu membedal kuda mereka dan sebentar saja mereka sudah tiba di tempat itu. Siangkoan Lee sudah meloncat turun dari kuda dan membentak
"Kalian perampok-perampok hina. Tahan dulu!"
Para anak buah perampok yang sedang tertawa-tawa mengangkuti beberapa peti berisi barang-barang berharga seperti perhiasan-perhiasan dan sutera gulungan berkayu-kayu, menjadi marah ketika melihat Siangkoan Lee, seorang pemuda yang masih hijau dan
kelihatannya tidak menakutkan itu. Jumlah mereka ada sembilan orang, tentu saja mereka Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 31
tidak takut. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan kelihatan kuat terbukti dari bawaannya, yaitu sebuah peti yang berat sekali, melangkah maju dan melotot kepada Siangkoan Lee, kemudian membentak, "Eh, bocah bermuka buruk! Kau mau apa?"
"Jawab dulu, apakah engkau ini telah melakukan perampokan dan membunuh para pengawal dan pelayan itu?"
"Ha-ha-ha! Benar sekali! Tidak hanya pengawal dan pelayan, juga tuan besar nyonya besar telah menjadi mayat di dalam kereta! Hanya puterinya, heh-heh, cantik dan menggairahkan, menjadi bagian tai-ong kami! Kau mau bagian" Jangan main-main! Para pengawal yang kuat itu semua mampus oleh kami. Nih, terima bagianmu!" Tiba-tiba Si Tinggi Kurus itu melontarkan peti yang berat ke arah Siangkoan Lee.
Peti yang beratnya lebih dari seratus kati itu melayang ke arah Siangkoan Lee dan para anggauta gerombolan itu tertawa-tawa, yakin bahwa pemuda kerempeng itu tentu akan roboh tertimpa peti dan gepeng tubuhnya. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti dan mereka melongo ketika melihat Siangkoan Lee menerima sambaran peti itu hanya dengan telapak tangannya dan Si Pemuda kurus itu melontar-lontarkan peti itu ke atas seperti seorang anak kecil mempermainkan sebuah bola karet, kemudian tangan itu mendorong maju, peti
melayang ke arah, Si Tinggi Kurus dengan kekuatan dahsyat.
"Ahhh....!" Perampok tinggi kurus itu terkejut, menggunakan kedua tangan untuk menerima peti, akan tetapi tak tertahan olehnya dan dialah yang roboh terjengkang, kepalanya pecah tertimpa peti yang berat!
Para perampok yang tinggal delapan orang itu menjadi marah sekali. Mereka menurunkan bawaan masing-masing, mencabut senjata lalu menerjang Siangkoan Lee seperti
serombongan srigala mengamuk. Pemuda kurus ini pun membentak keras dan mencabut
sebatang golok melengkung yang amat tajam, memutar golok menghadapi pengeroyokan delapan orang itu tanpa merasa gentar sedikit pun. Ternyata olehnya bahwa para perampok itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan penjahat-penjahat kawakan yang pandai ilmu silat dan bertenaga besar. Namun, Siangkoan Lee mainkan goloknya dengan hebat dan sebagai murid yang tekun dari Suma Kiat yang berilmu tinggi, tentu saja gerakannya selain cepat juga mengandung tenaga sin-kang yang kuat.
Sementara itu, Suma Hoat membalapkan kudanya melewati para anak buah perampok yang ia serahkan kepada sutenya, terus mengejar kepala perampok yang melarikan wanita itu. Karena kepala rampok itu menjalankan kudanya perlahan sambil tertawa-tawa dan tangannya menggerayangi tubuh wanita rampasannya, sambil mencium dan kelihatan makin gembira karena wanita itu meronta-ronta, sebentar saja kuda Suma Hoat telah menyusulnya.
"Berhenti kamu keparat hina!" bentak Suma Hoat dan sekali meloncat tubuhnya sudah berdiri menghadang di depan kuda yang ditunggangi kepala perampok tinggi besar itu. Kepala perampok yang tubuhnya seperti raksasa itu membelalakkan matanya yang lebar. Kumis dan jenggotnya yang tebal bergerak-gerak, mukanya menjadi merah dan dia menjadi marah sekali.
"Heh, siapa engkau bocah yang bosan hidup?" bentaknya sambil melompat turun dan masih memondong wanita yang kini berhenti meronta dan memandang kepada Suma Hoat dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci ketakutan, namun dari sinar matanya timbul harapan yang tadinya sudah patah.
"Serrr....!" Jantung Suma Hoat seperti berhenti berdetik tertikam sinar mata itu. Tak disangkanya dia akan melihat seorang dara yang seperti itu. Cantik jelita, manis dan berwajah seperti bidadari! Mengingat betapa tangan kasar dan kotor kepala perampok itu tadi menggerayangi tubuh Si Jelita, apalagi mengingat betapa wajah menyeramkan penuh
cambang bauk itu tadi mencium muka yang begitu halus, bibir yang begitu merah segar, kemarahannya meluap dan darahnya seperti mendidih.
"Binatang rendah!" ia memaki sambil menunjuk ke arah muka kepala perampok itu. "Engkau Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 32
tidak mengenal Suma-kongcu, putera Panglima Suma Kiat" Engkau telah merampok,
membunuh orang dan menculik gadis terhormat. Sekarang tibalah saatnya engkau mampus di tangan Suma Hoat!"
"Heh-heh-heh! Aku Si Tangan Besi Ciu Ok mana kenal segala macam bangsawan tukang korup" Kalau engkau sudah bosan hidup, marilah!" Perampok itu melepaskan tubuh dara itu setelah menotok punggungnya membuat dara itu lemas dan rebah miring di atas rumput.
"Kautunggulah sebentar, calon biniku, heh-heh! Lihat dan nikmati baik-baik betapa kakandamu membunuh tikus bermuka halus ini!"
Akan tetapi Suma Hoat sudah menerjangnya dengan hebat. Kepala perampok itu menangkis, mengandalkan kekuatan tangannya. Dia dijuluki Tiat-ciang (Si Tangan Besi) karena kedua tangannya amat kuat dan keras seperti besi, hasil latihan ilmu Tiat-ciang-kang yang latihannya menggunakan bubuk besi panas. Akan tetapi begitu ia menangkis, ia terpekik kaget karena lengannya terasa sakit dan ia terhuyung ke belakang. Kudanya kaget, meringkik dan lari.
"Kepala perampok laknat, kematianmu sudah di depan mata!" Suma Hoat yang marah sekali itu sudah menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mautnya. Si Kepala Perampok adalah seorang ahli silat, akan tetapi dalam hal ilmu silat dia tidak dapat dibandingkan dengan Suma Hoat yang memiliki ilmu silat tinggi. Ilmu silat yang dimiliki kepala perampok ini adalah ilmu silat kasar dan dia selama ini hanya mengandalkan kedua tangannya yang kuat. Namun, bertemu dengan pemuda itu, seolah-olah kedua tangannya bertemu dengan baja yang lebih keras lagi!
Setelah tiga kali menangkis dan tiga kali terhuyung dengan lengan terasa nyeri dan panas, kepala perampok itu memekik keras dan mencabut keluar senjatanya berupa sehelai rantai baja yang ujungnya dipasangi bola baja berduri. Cepat ia mengayun senjatanya menerjang lawan.
"Wuuut-wuut-wuuttt....!" Angin menyambar keras ketika bola berduri itu menyambar dan rantainya terputar-putar. Namun dengan mudah Suma Hoat mengelak dan pemuda ini enggan mencabut pedangnya setelah menyaksikan gerakan lawan yang hanya memiliki ilmu silat kasar itu. Dia menghadapi lawan yang bersenjata rantai dengan kedua tangan kosong, mengelak ke kanan kiri dengan lincahnya menanti kesempatan baik.
Dara cantik yang tertotok dan rebah miring, dapat menyaksikan pertandingan itu dan dari mulutnya yang kecil terdengar jerit-jerit tertahan kalau melihat senjata yang dahsyat itu menyambar, mengancam wajah yang halus tampan Si Pemuda penolongnya. Biarpun dara itu tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia merasa heran mengapa pemuda tampan itu tidak mau mencabut pedangnya yang tergantung di punggung!
"In-kong (Tuan Penolong)...., pergunakan. pedangmu....!" Akhirnya ia tidak dapat menahan kekhawatiran hatinya lagi melihat betapa nyaris kepala pemuda itu dihantam bola berduri, begitu dekat bola itu menyambar lewat di atas telinga kiri Suma Hoat. Aneh sekali, dara itu sudah lupa akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri, sebaliknya khawatir kalau-kalau pemuda itu kena pukul dan pecah kepalanya.
Mendengar suara itu, Suma Hoat tersenyum gembira. Aku harus memperlihatkan kelihaianku, pikirnya gembira seperti lazimnya seorang pemuda ingin berlagak memamerkan
kepandaiannya di depan seorang dara yang menarik hatinya. Cepat ia merubah gerakannya, sekarang tubuhnya berkelebat cepat sekali sehinga Si Kepala Rampok berkali-kali berteriak kaget karena tubuh lawan seperti lenyap. Tiba-tiba Suma Hoat mendapat kesempatan baik, ketika bola berduri menyambar ia menggunakan tangannya dari samping menangkap bola itu dan sekuat tenaga ia melontarkan bola ke arah muka penyerangnya.
"Prokkk! Adduuuuhhh....!" Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan roboh telentang dengan muka berubah menjadi onggokan daging yang remuk dan nyawanya melayang tak lama kemudian.
Dara jelita itu memejamkan mata penuh kengerian, kemudian ia menangis terisak-isak. Suma Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 33
Hoat cepat berlutut dan sekali totok ia membebaskan tubuh dara itu dari pengaruh totokan Si Kepala Rampok. "Tenanglah, Nona. Bahaya telah lewat. Si Keparat laknat tewas."
Dara itu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Hoat, "In-kong telah menyelamatkan nyawa saya, akan tetapi.... hu-hu-huuukkkk.... ayah bundaku telah terbunuh.... di dalam kereta....!"
Suma Hoat terkejut dan marah sekali. "Mari kita lihat, temanku sedang mem-basmi kawanan perampok, perlu bantuan-ku!" Ia lalu menyambar pinggang dara itu, dibawa meloncat ke atas punggung kudanya yang tidak lari karena kuda itu sudah terlatih baik, kemudian
membalapkan kudanya ke arah pertempuran yang masih berlangsung dekat kereta.
Ternyata bahwa Siangkoan Lee dengan mudah telah merobohkan tiga orang pe-ngeroyok dengan goloknya dan kini yang lima orang masih mengeroyoknya mati--matian. Melihat ini Suma Hoat sambil memeluk pinggang dara itu dengan le-ngan kiri, mencabut pedang dengan ta-ngan kanan, kudanya menyerbu, pedang-nya berkelebat dan terdengarlah pekik--pekik kesakitan dan empat orang peram-pok roboh dan tewas. Siangkoan Lee berhasil merobohkan perampok terakhir dan Suma Hoat setelah menyimpan pe-dangnya lalu menurunkan tubuh dara itu. Sambil terisak-isak dara itu berlari ke arah kereta yang rebah miring, membuka pintunya dan menjerit-jerit memanggil ayah bundanya.
Suma Hoat meloncat dekat kereta. Cepat ia mengeluarkan tubuh seorang setengah tua yang terluka dadanya. Orang itu masih hidup dan cepat pemuda ini mengeluarkan obat luka yang merah warnanya, mengobati luka itu dan mem-balutnya. Ayah dara itu masih hidup biarpun terluka parah, akan tetapi ibunya telah tewas karena tusukan pedang yang menembus jantungnya!
"Terima kasih.... Kongcu.... saya Ciok Khun menghaturkan terima kasih kepa-damu...."
"Paman hendak pergi ke manakah?" Suma Hoat bertanya, hatinya seperti ditusuk-tusuk karena kasihan melihat dara itu menjerit-jerit memeluki mayat ibunya.
Dengan suara tersendat-sendat laki-laki itu bercerita. Dia tinggal di dusun Kwi-bun-an, tak jauh dari kota raja. Mereka, suami isteri itu, hendak mengan-tarkan anak dara mereka yang bernama Ciok Kim Hwa, yang hendak dljodohkan dengan putera bangsawan Thio di kota raja. Karena itulah maka mereka berke-reta membawa barang-barang berharga, dikawal oleh pasukan bangsawan Thio yang menjemput mereka dan yang ter-bunuh semua oleh para
perampok. "Siangkoan Lee, kau cepat antarkan Paman Ciok dan barang-barang serta jenazah ini ke kota raja. Biar aku yang mengawal Ciok-siocia, kata Suma Hoat. Siangkoan Lee mengangguk, maklum bahwa keadaan orang yang terluka perlu perawatan dengan cepat dan bahwa kalau Si Nona ikut dalam kereta, tentu nona itu akan berduka sekali menyaksikan jenazah ibunya.
Maka ia lalu mengumpul-kan barang-barang yang berceceran, di masukkan barang-barang itu ke dalam kereta, kemudian ia mengikat kudanya di depan dua ekor kuda penarik kereta dan membalapkan kereta ke kota raja.
"Mari, Nona. Kau akan kukawal ke kota raja dan jangan khawatir, aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa raga-ku."
Ucapan ini membuat wajah Si Dara Jelita menjadi merah, akan tetapi ke-dukaannya terlalu besar sehingga me-ngurangi rasa kegembiraan aneh yang menyelinap di rongga dadanya ketika ia duduk atas panggung kuda, di depan pemuda tampan yang telah menolongnya itu.
Selama hidupnya, baru pertama kali itu Suma Hoat mengalami hal yang aneh dalam hatinya.
Jantungnya berdebar luar biasa sekali, rasa girang yang amat besar menyelimuti hatinya, dan di balik rasa girang ini terselip rasa sakit di hatinya ,karena dara ini hendak dikawinkan de-ngan orang lain! Kekecewaan yang amat keras dan aneh. Mengapa dia menjadi begini"
Tak dapat disangkal bahwa dia selalu tertarik oleh wajah cantik jelita, akan tetapi selamanya dia tidak pernah menginginkan wanita yang menjadi milik orang lain!
"Eh, Suma Hoat, kau ini mengapa-kah?" Berulang-ulang ia bertanya kepada dirinya sendiri, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 34
tak terasa lagi menjalan-kan kudanya perlahan karena dia tidak ingin cepat tiba di kota raja, tidak ingin dirampas kenikmatan dan kebaha-giaan hatinya duduk berdua di atas kuda bersama dara yang bernama Ciok Kim Hwa ini!
Kereta yang dibalapkan Siangkoan Lee sudah jauh sekali dan sudah tidak tam-pak, juga tidak terdengar derap kaki, kuda dan roda kereta.... Suma Hoat tak dapat menahan getaran hatinya dan ia bertanya halus, "Nona...." Ia meragu dan tidak melan-jutkan kata-katanya.
Dara itu menanti sebentar, karena lama pemuda itu tidak melanjutkan, dia menoleh dan berkata, "Ada apakah, In-kong?"
Suma Hoat memejamkan mata karena tidak kuat menyaksikan wajah yang be-gitu dekat dengannya, mencium bau ha-rum yang keluar dari rambut dan muka dara itu.
"Kenapa, In-kong?" tanya Kim Hwa yang terheran-heran melihat pemuda itu memejamkan mata.
"Jadi.... Nona akan.... menikah dengan pemuda keluarga Thio....?"
Wajah itu tiba-tiba menjadi merah sekali dan cepat dipalingkan tidak berani menentang pandang mata Suma Hoat. Sampai lama nona itu tidak menjawab dan Suma Hoat merasa betapa tubuh didepannya itu gemetar. Akhirnya ter-dengar nona itu menjawab lirih.
"Bu.... bukan pemuda, melainkan se-orang duda tua, adik dari Thio-taijin....!"
Suma Hoat mengangkat alisnya dan membelalakkan matanya. "Seorang duda tua?"
Dara itu mengangguk dan menarik napas panjang.
"Kenapa engkau mau, Nona?"
Kim Hwa mengangkat muka meman-dang. "Bagaimana saya dapat menolak kehendak orang tua, In-kong" Yang me-lamar adalah Thio-taijin untuk adiknya yang sudah mempunyai belasan orang anak, dan yang telah mempunyai banyak selir pula. Bagaimana saya dapat meno-lak....?" Kalimat terakhir itu mengandung isak dan Kim Hwa menundukkan muka, kelihatan berduka sekali.
"Ah, kasihan engkau, Nona. Seorang dara semuda Nona, cantik jelita, dipaksa menikah dengan seorang bandot tua!" Suma Hoat merasa penasaran sekali dan mendengar ucapan Suma Hoat, Kim Hwa terisak-isak menangis sesenggukan. Suma Hoat merasa makin kasihan.
Dengan ge-rakan halus ia menyentuh pundak yang bergoyang-goyang itu dan berkata,
"Jangan menangis, Nona, dan jangan berputus asa. Seperti telah kukatakan tadi, aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku. Kalau engkau tidak suka menikah dengan duda tua keluarga Thio itu, kautolak saja dan aku yang akan melindungimu!"
Ucapan penuh semangat ini membuat Kim Hwa menjadi terharu dan berterima kasih sekali sehingga tangisnya makin mengguguk. Ketika Suma Hoat menghi-burnya dengan mengelus rambut kepala-nya yang hitam panjang dan halus, Kim Hwa tersedu dan merebahkan
kepalanya di atas dada Suma Hoat! Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, tanpa kata-kata namun keduanya yakin apa yang terjadi dengan perasaan hati masing-masing.
Kuda yang mereka tunggangi berjalan perlahan seenaknya, agaknya tidak mau mengganggu majikan-nya yang sedang dilanda asmara. Jari--jari tangan Suma Hoat yang mengelus--elus rambut itu seolah-olah mengeluar-kan getaran yang membuat Kim Hwa memejamkan mata dengan sepasang pi-pinya, yang menjadi kemerahan.
Tiba-tiba kuda putih yang tadinya melangkah, perlahan dan tenang, meng-hentikan
langkahnya hidungnya kembang-kempis, kemudian mengeluarkan suara meringkik keras dan keempat kakinya menggaruk-garuk tanah.
"Eh, Pek-ma (Kuda Putih), ada apakah?" Suma Hoat yang sedang diterbang-kan ke angkasa kemesraan itu terkejut, melepaskan belaian tangannya pada rambut Kim Hwa dan cepat menyambar kendali untuk menguasai kudanya.
Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan hutan itu, gerengan seekor harimau yang ber-ada di dalam gerumbulan dan yang kini keluar sambil memandang ke arah kuda.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 35
"Celaka, In-kong....!" Kim Hwa men-jerit penuh kengerian dan kedua lengan-nya otomatis merangkul pinggang pemuda itu, tubuhnya gemetar.
"Tenanglah, Nona. Aku memang se-dang mencari-cari harimau itu. Mari kita turun dan kautunggu saja di sini sampai aku selesai membunuh pengganggu dusun-dusun ini."
Tanpa menanti jawaban, Suma Hoat sudah memondong tubuh Kim Hwa turun dari atas
punggung kuda putih yang juga berdiri menggigil ketakutan. Ia menurun-kan Kim Hwa yang berdiri dengan muka pucat di dekat kuda, matanya terbelalak memandang ke arah harimau yang besar-nya luar biasa dan kepada penolongnya yang kini melangkah maju menghampiri harimau dengan senyum tenang di wajahnya yang tampan!
Suma Hoat memandang harimau yang dihampirinya itu penuh kagum. Pantas saja penduduk dusun tidak berdaya meng-hadapi pengganggu ini. Kiranya seekor harimau yang luar biasa besarnya, sebe-sar anak lembu, dengan matanya yang liar tajam dan sikapnya yang angkuh dan memandang rendah seperti sikap seorang raja besar!
"In-kong...., pedangmu.... gunakan pe-dangmu....!" Terdengar suara Kim Hwa gemetar penuh kekhawatiran. Dara ini melihat betapa penolongnya itu sudah dekat sekali dengan harimau akan tetapi masih saja bertangan kosong. Hanya orang gila saja yang melawan harimau sebesar itu dengan tangan kosong, pikir-nya, maka karena kekhawatirannya, ia memaksa diri memperingatkan. Mendengar ini Suma Hoat menoleh dan ter-senyum!
"Kim Hwa-moi, jangan khawatir. Dia ini bagiku hanyalah seekor kucing...."
"Awas.... ah, In-kong....!" Kim Hwa menjerit. Akan tetapi tanpa diperingat-kan juga, telinga Suma Hoat yang terla-tih sudah mendengar gerakan harimau itu dan dengan mudah saja ia menggerakkan tubuh ke kiri mengelak, dari tubrukan dahsyat itu. Akan tetapi harimau itu benar-benar berbeda dengan harimau-harimau biasa yang pernah ditangkap dan dibunuh Suma Hoat dengan tangan kosong. Begitu tubrukannya luput dan kakinya menyentuh tanah, tubuh harimau itu sudah membalik dengan cepat sekali, kedua kaki depan mencakar dari kanan kiri dan kaki bela-kangnya mengenjot tanah sehingga tubuh-nya kembali sudah menerkam ke arah Suma Hoat!
"In-kong....!" Suara jerit Kim Hwa mengandung isak.
Suma Hoat terkejut dan kagum me-nyaksikan ketangkasan dan kecepatan harimau yang amat besar itu. Timbul rasa sayangnya dan ia hendak mengambil kulit binatang besar ini tanpa cacad.
Ketika tubuh yang menubruknya itu me-layang ke arahnya, ia cepat menyusup ke bawah perut harimau sehingga kembali tubrukan itu luput dan sebelum harimau dapat membalik, Suma Hoat telah me-nangkap ekornya yang panjang, menge-rahkan tenaga dan.... tubuh harimau itu terangkat dan diputar-putar di atas kepa-lanya! Harimau meronta-ronta dan meng-gereng-gereng berusaha mencakar atau menggigit tangan kuat yang memegangi
ekornya. Penglihatan itu mengerikan dan menegangkan sekali. "In-konggg....!" kembali Kim Hwa menjerit dan menutupi muka dengan kedua tangan, tidak tahan meli-hat perkelahian itu karena ia tidak mau melihat tubuh penolongnya dicakar atau digigit sampai pecah-pecah kulitnya dan berlumuran darahnya! Hal itu tentu akan terjadi karena penolongnya itu terlampau berani, tidak mau menggunakan pedang membunuh binatang yang demikian besar dan kuatnya!
Suma Hoat melepaskan ekor yang di-pegangnya. Tubuh harimau terlempar ke atas dan terbanting jatuh ke atas tanah. Biasanya, harimau yang terbanting seper-ti ini tentu akan pingsan dan menjadi lemah, maka Suma Hoat tersenyum-se-nyum menghampiri Kim Hwa
dan berka-ta, "Jangan khawatir, dia...."
"In-konggggg....!" Kim Hwa menjerit dan mukanya menjadi pucat sekali karena harimau yang terbanting itu tiba-tiba sudah meloncat dan menerkam ke punggung Suma Hoat! Saat itu, Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 36
perhatian Suma Hoat sedang tertuju kepada Kim Hwa, maka gerakannya mengelak agak terlambat dan kaki depan kiri harimau itu masih menampar pundaknya sehingga tubuhnya terpelanting! Harimau menggereng marah dan menubruk tubuh lawan yang sudah jatuh itu.
"In-konggggg....!" Jeritan Kim Hwa sekali ini lemah sekali dan ia sudah ter-kulai, lemas dan roboh pingsan di atas tanah!Suma Hoat dapat melihat keadaan dara yang membuatnya tergila-gila itu, maka timbul kemarahannya. Ketika hari-mau menerkamnya ia menyambut dengan sebuah tendangan yang menge-nai perut harimau sehingga binatang itu terpental ke samping, kemudian se-belum harimau itu sempat menyerangnya kembali, Suma Hoat sudah melompat ke atas punggungnya! Harimau marah, me-loncat-loncat, bergulingan, akan tetapi Suma Hoat tetap di atas punggungnya, kemudian jari tangannya bergerak ke depan.
"Crapp!" Harimau mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan darah bercucuran dari kedua matanya yang sudah berlu-bang! Suma Hoat melompat turun ketika harimau yang menjadi buta matanya itu menerjang ke depan secara ngawur. Bina-tang itu menjadi seperti gila saking nyeri dan bingungnya, mukanya dicakarinya sendiri, menggereng-gereng, kemudian meloncat ke depan sekuat tenaga.
"Desssss!" Kepala harimau itu, me-nubruk batu besar, pecah seketika dan tubuhnya berkelojotan dalam sekarat.
Suma Hoat tidak mempedulikan lagi bangkai harimau itu dan cepat ia lari menghampiri tubuh Kim Hwa yang meng-geletak pingsan di atas tanah.
"Kim Hwa....!" Ia memanggil dan mengguncang-guncang pundak dara itu, namun Kim Hwa tidak menjawab dan tubuhnya lemas. Ketika Suma Hoat me-raba dahinya, ternyata dahi itu panas! Tahulah dia bahwa kegelisahan dan ke-takutan membuat dara itu pingsan dan ada bahaya dia akan terserang demam. Cepat ia pergi meninggalkan gadis yang pingsan itu untuk mencari air karena dalam keadaan seperti itu, air dingin amat penting untuk membasmi kepala dan dahinya.
Ia harus pergi agak jauh juga untuk mencari air di sebuah anak sungai. Selagi ia bingung karena tidak membawa tem-pat air, kemudian melepas jubahnya dan mencelupkan jubah ke dalam air dingin, tiba-tiba terdengar kudanya meringkik keras disusul jerit Kim Hwa!
"Hwa-moi....!" Suma Hoat berteriak, menyelipkan jubah basah dipunggungnya lalu ia melompat dan berlari cepat ke tempat gadis itu ditinggalkan. Betapa kagetnya ketika ia melihat kuda putihnya sudah lari dan Kim Hwa sudah berdiri dan terbelalak ketakutan memandang ke arah seekor harimau besar yang berdiri dekat sekali di depan dara itu! Suma Hoat kaget dan heran, ketika mengerling ke arah bangkai harimau yang masih berada di tempat tadi, tahulah dia bahwa harimau besar ke dua ini adalah harimau betina. Kiranya ada dua ekor harimau, sepasang binatang buas yang amat besar yang telah mengganggu dusun.
Tiba-tiba gadis itu menjerit dan hen-dak lari, akan tetapi harimau menerkam ke depan dan dara itu roboh telentang.
"Hwa-moi....!" Dengan beberapa kali loncatan saja Suma Hoat sudah tiba di situ, disambarnya ekor harimau dan di-renggutnya binatang itu terlepas dari tubuh Kim Hwa.
"Breeeettt!" Baju Kim Hwa terbawa oleh cakar harimau dan tampak sedikit darah di dada yang putih mulus itu. Su-ma Hoat yang merasa khawatir dan ma-rah sekali, mencabut pedang dan tampak sinar berkelebat disusul muncratnya da-rah dari leher harimau yang hampir putus terbabat pedang!
"Kim Hwa....!" Suma Hoat cepat ber-lutut di dekat Kim Hwa. Dara itu merin-tih dan membuka matanya. Ketika me-lihat bahwa yang mencuci luka kecil di dadanya dengan jubah basah adalah pe-muda penolongnya, ia mengeluarkan jerit tertahan dan menangis.
"Diamlah, Moi-moi, diamlah manis.... syukur bahwa engkau hanya terluka kecil saja, tergores cakar harimau laknat....!" Suma Hoat telah menaruh obat bubuk ke atas luka kecil itu. Darah telah berhenti dan kini, seperti tak disadarinya, jari tangannya mengelus kulit di seputar luka.
Matanya tak pernah berkedip memandang wajah itu, dada yang terbuka itu, leher itu dan ia Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 37
terpesona. Kim Hwa tadinya memejamkan mata-nya, kemudian kesadarannya kembali dan mulailah dia merasa betapa dadanya tak tertutup lagi, betapa tangan yang hangat menggetar-getar itu mengelus-elus dan membelainya. Ia membuka matanya per-lahan melihat wajah yang tampan, mata yang penuh kemesraan itu memandang-nya, dada yang bidang itu pun tak ber-baju karena bajunya tadi dipakai mencuci lukanya. Perasaan aneh dan mesra me-menuhi rongga dada Kim Hwa. Seperti disentakkan ia menangkap tangan yang mengelus dadanya,
membawanya ke de-pan hidung dan mulut, menciumi tangan pemuda yang telah dua kali menyelamat-kan nyawanya.
"Moi-moi....!" Suma Hoat tak dapat menahan getaran hatinya dan ia menja-tuhkan mukanya ke atas dada itu.
"Koko....!" Kim hwa terisak, memeluk kepala itu, lalu perlahan menarik kepala itu sehingga dekat, dengan sinar mata yang mengeluarkan seluruh perasaan hati mereka, dengan napas terengah yang saling meniup muka mereka, kemudian dua muka yang sama eloknya itu saling mendekat, dua pasang lengan saling rangkul, saling mendekap.
"Moi-moi....!"
"Koko....!"
Mereka terisak, berciuman seperti tak sadar lagi. Akhirnya Suma Hoat tersen-tak kaget.
Belum pernah ia merasai se-perti ini. Dia sudah biasa bermain cinta dengan wanita cantik, akan tetapi mere-ka itu wanita-wanita yang menjual cinta! Dan dia hanya menurutkan dorongan nafsu belaka. Sekarang jauh sekali be-danya! Di samping nafsu yang bergolak dan menindih membakar seluruh urat syaraf di tubuhnya, terdapat perasaan lain. Dia tidak ingin menyusahkan Kim Hwa, dia tidak ingin mengganggu dara ini, dia menaruh kasihan dan kesayangan yang luar biasa. Dia rela mati untuk kebahagiaan dara ini! Sungguh bedanya seperti bumi dengan langit dibandingkan dengan wanita-wanita yang biasa dicinta-nya.
Belaian jari tangan wanita ini pada pipinya, tengkuknya, dadanya, balasan ciumannya begitu lembut dan mesra dan ia merasakan cinta kasih yang murni di balik kemesraan ini, membuat ia terharu sekali dan ketika ia mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu, kedua mata Suma Hoat menjadi basah. Juga ia melihat Kim Hwa menitikkan air mata yang
berlinangan seperti butiran-butiran mutiara, namun mulut yang merah dan panas itu tersenyum, malu-malu dan mesra. Dua pasang mata berpandangan, bertanya-tanya dan saling menjawab. Namun, Suma Hoat masih tidak berani meyakinkan hatinya, maka ia berbisik lirih dekat telinga Kim Hwa.
"Moi-moi.... bolehkah...." Benarkah ini...." Ahhh, betapa ingin hatiku untuk memilikimu, menjadikan engkau milikku, lahir batin, hati dan tubuhmu.... akan tetapi... engkau seorang gadis terhor-mat.... bahkan calon isteri orang lain.... ahh, Moi-moi, katakanlah, betapa besar pun cintaku, betapa besar pun hasrat hatiku memilikimu sehingga kalau tidak terpenuhi aku akan mati merana, namun aku rela mati daripada memaksamu, daripada menyusahkanmu....
Moi-moi, jawablah, bolehkah aku....?" Suara Suma Hoat mengandung isak, bercampur rin-tihan hatinya dan dua titik air mata membasahi pipinya.
Kim Hwa tersenyum, senyum penuh pengertian yang hanya dimiliki seorang wanita yang mencinta, senyum yang ha-nya dimiliki seorang ibu terhadap anak-nya, walaupun air matanya sendiri menetes-netes, kemudian dara itu mengangkat kedua tangannya, mengusap dua titik air mata dari pipi Suma Hoat, kemudian kedua lengan itu merangkul leher, mulut-nya berbisik lirih sekali.
"Suma-koko...., aku.... aku rela me-nyerahkan jiwa ragaku kepadamu.... biar-lah aku menikmati kebahagiaan sehari ini bersama orang yang kucinta sepenuh hatiku.... sebelum aku memasuki neraka bersama laki-laki pilihan orang tuaku.... Koko.... cintailah aku.... aku menyerah, serela-relanya demi Tuhan....!"
"Moi-moi...!" Suma Hoat memeluk dan mendekap, kemesraan hatinya meluap.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 38
"Koko....!" Kim Hwa terengah men-jerit dan merintih, rintih kebahagiaan yang selama hidupnya takkan terlupa oleh Suma Hoat. Dengan penuh kemesra-an, dengan nafsu yang terkendalikan oleh cinta murni, dengan pandang mata penuh kagum dan hormat, dengan landasan hati ingin saling membahagiakan orang yang dicintanya, dua orang muda itu berlangen asmara, berenang di lautan cinta yang memabokkan, dibuai dan dipermainkan gelombang-gelombang getaran hati dan perasaan.
Sehari semalam mereka lupa diri, yang teringat hanyalah orang yang di-cintanya, yang tak pernah terpisah se-kejap mata pun, saling mencurahkan perasaan kasih sayang semesra mungkin, dan dalam keadaan seperti itu, bagi me-reka berdua yang ada hanyalah cinta kasih di antara mereka. Kalau sudah saling mencinta, kalau dunia ini terasa kosong dan yang ada hanya mereka berdua, kalau bagi mereka tidak ada urusan lain di dunia ini kecuali peluapan as-mara, apalagikah yang dapat mereka ingat"
Sungguh patut dikasihani kedua orang muda ini. Semenjak kecil, Suma Hoat melihat betapa ayahnya mengumpulkan wanita-wanita cantik, betapa ayahnya selalu mengejar kesenangan dengan selir--selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik, seringkali bahkan dia tanpa se-ngaja menyaksikan ayahnya bermesra-mesraan dengan beberapa orang selir di dalam taman atau di dalam kamar. Sifat ayahnya yang gila bercinta dengan selir--selir muda ini tanpa disadari membentuk watak di dalam jiwanya, watak seorang pria yang haus akan cinta.
Sebagai putera bangsawan yang tampan dan kaya, banyaklah wanita yang menggodanya dan semenjak berusia enam belas tahun, Su-ma Hoat sudah mencari-cari dan, mengejar-ngejar cinta. Namun, apa yang didapatnya di dalam tubuh dan hati wa-nita-wanita cantik yang penuh gairah menyusup ke dalam pelukannya" Cinta palsu belaka! Cinta harta dan cinta naf-su.
Wanita-wanita itu sudah tidak me-ngenal cinta murni lagi, cinta yang membuat seseorang tak ingin lagi berpi-sah, ingin hidup bersama selamanya, menempuh hidup berdua, suka sama dinikmati, duka sama diderita! Kini, ber-temu dengan Kim Hwa, dia menemukan cinta kasih yang murni, maka tidaklah mengherankan apabila dia terpesona dan lupa diri, lupa segala!
Yang teringat hanyalah bahwa dara yang menyerahkan jiwa raga demikian ikhlas dan mesra adalah wanita yahg harus disayangnya, dihormatinya, dibelanya sampai mati!
Adapun Kim Hwa adalah seorang dara yang selama hidupnya belum pernah mengenal cinta, belum pernah berdekatan dengan pria kecuali dengan ayahnya. Namun, sebagai seorang dara terpelajar, dia maklum apa artinya dijodohkan de-ngan seorang duda tua yang kaya raya. Dia seolah-olah dijual seperti seekor kucing atau anjing saja, sebuah benda yang mahal. Dia maklum bahwa dia akan berkorban perasaan selama hidupnya, hal yang membuat ia berduka dan putus asa. Kalau tidak kepada ayah bundanya, ingin dia membunuh diri saja daripada setiap saat menderita batin, harus menurut dan tunduk dirinya dijadikan benda permainan seorang pria yang sama sekali tidak di-cintanya. Kini, bertemu dengan Suma Hoat yang menolong keselamatan nya-wanya, yang begitu jumpa telah merebut hatinya, telah
menimbulkan cinta kasih-nya, kemudian terdorong oleh keadaan yang membangkitkan
dorongan dan rang-sangan nafsu berahi, menggolakkan darah muda, tidaklah mengherankan apabila ia menyerahkan diri bulat-bulat, penuh ke-relaan dan kemesraan yang timbul dari keputusasaan akan dikawinkan laki-laki tua yang tak dicintanya!
Memang patut dikasihani mereka ini. Di dalam amukan badai asmara yang memiliki kekuatan tak tertandingi di seluruh alam ini, keduanya lupa sama sekali bahwa kehidupan manusia sudah tidak bebas lagi sehingga mengakibatkan cinta kasih pun tidak bebas lagi! Manusia telah menciptakan hukum-hukum sehingga kehidupan manusia seolah-olah terselimuti oleh segala macam hukum. Belenggu besar mengikat kaki tangan kehidupan manusia berbentuk kebudayaan, kesusilaan dan lain-lain. Siapa melanggarnya tentu akan terbentur dengan hukum ini dan akan menghadapi hal-hal yang tidak me-nyenangkan. Manusia tidak dapat ber-gerak bebas menurutkan perasaan hati-nya, harus lebih dulu melihat ke depan, apakah pelaksanaan perasaan hatinya itu tidak akan bersilang dan melanggar hukum! Demikian pula dengan cinta!
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 39
Perjalanan cinta penuh liku-liku, penuh rintangan yang berupa hukum, kesusilaan, kebudaya-an, agama dan tradisi. Manusia di jaman sekarang tidak bisa hidup menurutkan cinta dan pelaksanaannya tanpa mempedulikan semua itu. Akan terbentur dan.... gagal!
Dalam segala hal, juga da-lam cinta, manusia harus mempergunakan perhitungan, bukan memperhitungkan untung rugi, melainkan memperhitungkan baik buruknya, terutama
menjenguk masa depan.
Karena itu, sekali lagi, patut dika-sihani Suma Hoat dan Kim Hwa yang membukakan pikiran dan hati, terjun dan bersenang berdua ke dalam lautan cinta asmara yang memabukkan sehingga sehari semalam kedua manusia ini tidak pernah meninggalkan tanah bertilam rumput itu di mana tiada puas-puasnya mereka saling mencurahkan perasaan cinta mereka. Baru keesokan harinya mereka berdua menunggang kuda putih, melanjutkan per-jalanan ke kota raja. Kuda dijalankan perlahan, dibiarkan berjalan sendiri tanpa kendali.
Kim Hwa duduk dipangku oleh Suma Hoat. Mereka masih mabuk dan nanar, masih setengah terbius oleh ke-mesraan. Kim Hwa menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya dan Suma Hoat melingkarkan lengan kirinya di leher Si Jelita, tangan kanan membelai-belai rambut, mengusap leher dan pipi.
"Koko...." terdengar Kim Hwa berkata lirih, suaranya mengandung kemanjaan yang amat manis terdengar oleh telinga mereka.
"Hemmm....?" Jawaban ini mengan-dung kemanjaan penuh dengan perasaan ingin menyayang dan disayang. Memang cinta kasih murni menimbulkan hasrat yang tak kunjung padam, hasrat ingin memiliki dan dimiliki, ingin menyayang dan disayang, ingin memberikan seluruh hati dan tubuh di samping ingin meminta seluruhnya! Menimbulkan hasrat ingin bersatu, ingin menjadi satu badan dan hati, satu nasib, satu kehidupan, satu perasaan!
"Suma-koko, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku."
Suma Hoat mencium mulut yang mengucapkan kata-kata mesra itu, lalu tersenyum.
"Aku pun cinta padamu, Hwa-moi. Entah sudah berapa ratus kali ucapan ini keluar dari mulutmu yang manis, namun tak pernah aku merasa bosan, bahkan setiap kali kau berkata demikian, makin besarlah kebahagiaan hatiku."
Hening sejenak, keduanya menikmati kehangatan pelukan.
"Koko, aku.... aku takut...." Dalam kata-kata itu terkandung kegelisahan besar dan tubuhnya agak menggigil.
"Jangan takut, Moi-moi, ada aku di sampingmu, takut apakah?" Suma Hoat memperkuat pelukannya.
"Kalau sudah sampai di kota raja, aku.... ah, tentu akan dikawinkan...."
"Tidak! Sudah kukatakan bahwa aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku! Aku akan minta bantuan ayahku yang berpengaruh untuk meminangmu dan untuk menundukkan keluarga Thio. Ja-ngan khawatir, engkau tentu akan men-jadi isteriku, sayang, isteriku tercinta!"
Kim Hwa merangkul dan kini dialah yang mencium bibir pemuda itu. "Koko, aku telah menjadi isterimu dan akan menjadi isterimu salamanya, apa pun yang terjadi, di dunia maupun di akhirat! Lebih baik aku mati daripada pria lain menjamah tubuhku yang telah menjadi milikmu."
Hati Suma Hoat menjadi gembira sekali dan ia ingin cepat-cepat sampai ke kota raja agar urusannya ini dapat se-gera diselesaikan, agar dia dapat segera menjadi suami isteri dengan Kim Hwa dan takkan terpisah lagi selamanya. Ma-ka dibalapkanlah kudanya, menuju ke kota raja!
Ketika akhirnya Suma Hoat menurun-kan Kim Hwa di depan gedung keluarga Thio dan
disambut oleh bangsawan itu dan Ciok Khun yang sudah agak sembuh, hati mereka ini merasa tidak senang. Akan tetapi, keluarga Thio tentu saja tidak berani menegur putera Suma-ciangkun sedangkan Ciok Khun yang telah dito-long, juga tidak berani berkata apa-apa Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 40
sungguhpun hati ayah ini tidak enak ka-rena puterinya menyusul demikian ter-lambat. Apa saja yang terjadi selama sehari semalam itu dengan puterinya" Setelah menyerahkan Kim Hwa, Suma Hoat lalu membedalkan kudanya pulang ke rumah orang tuanya.
*** "Taijin, mohon Paduka sudi menolong hamba....!" Bangsawan Thio setengah menangis ketika menghadap Menteri Kam Liong, kemudian melaporkan tentang peristiwa yang menimpa
keluarganya dan yang mengancam pencemaran nama ke-luarganya. Adiknya yang sudah duda akan menikah dengan puteri keluarga Ciok, akan tetapi ketika keluarga itu berangkat ke kota raja, di tengah jalan diganggu perampok dan ditolong oleh Suma-kongcu.
"Sekarang tiba-tiba Suma-ciangkun mengajukan pinangan kepada Ciok Khun, meminang puterinya untuk Suma-kongcu! Padahal, dara itu telah menjadi calon isteri adik hamba, Taijin.
Kalau sampai dibatalkan, bagaimana pendapat oraang akan nama baik keluarga
hamba?" Menteri Kam Liong mengerutkan alis-nya. Dia cukup mengenal adik misannya, Suma Kiat atau Suma-ciangkun yang banyak mengumpulkan selir-selir muda yang cantik dengan cara apa pun, kalau perlu dengan kekerasan. Dia pun sudah mendengar akan watak Suma Hoat, pu-tera tunggal adik misannya itu yang ter-kenal sebagai seorang pemuda mata ke-ranjang dan sudah biasa berkeliaran ke rumah-rumah pelacuran. Kini, menghadapi peristiwa ini tentu saja ia menjadi marah dan menganggap bahwa keluarga Suma tidak patut, hendak merampas calon isteri orang lain!
"Hemmm, sungguh tidak benar per-buatan itu! Jangan khawatir, sekarang juga aku akan menulis surat kepada Suma-ciangkun agar suka menarik kem-bali pinangannya dan minta maaf kepa-da Ciok Khun!"
Bangsawan Thio tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Terima kasih atas bantuan Taijin, akan tetapi.... uhhh...."
"Apa lagi?" Menteri Kam Liong mem-bentak karena hatinya kesal mendengar urusan yang tidak menyenangkan hatinya itu.
"Mengenai pinangan itu, kalau Taijin mencampuri, tentu beres dan hamba bersyukur sekali.
Akan tetapi, sungguh hamba sekeluarga bingung menghadapi Suma-kongcu...."
"Dia kenapa?" Menteri Kam Liong mengerutkan alisnya.
"Dia.... setiap malam.... mengunjungi Ciok Kim Hwa di kamarnya.... hamba sekeluarga mana berani mengganggunya?"
"Apa....!" Menteri itu menggebrak meja dan bangkit berdiri. "Bocah kurang ajar! Biar aku sendiri yang akan meng-hadapinya setelah surat kukirim dan pi-nangan ditarik kembali. Kalau dia masih berani mengganggu, aku sendiri yang akan menghajarnya. Pergilah!"
Bangsawan Thio mengundurkan diri dengan ketakutan melihat menteri itu marah-marah.
Menteri Kam Liong lalu menulis surat setelah menenggak araknya untuk mengusir perasaan marah di hati-nya. Berulang kali ia menarik napas, teringat akan nenek moyang keluarga Suma yang tidak patut.
Ketika menerima surat dari kakak misannya, Panglima Suma Kiat mengepal--ngepal tinju dengan hati bingung. Dia ditangisi Suma Hoat, dipaksa meminang Ciok Kim Hwa dan hal itu telah dilaku-kannya. Siapa kira, kini Menteri Kam Liong turut campur dan tentu saja dia tidak berani membantah. Segera dikirim-nya utusan kepada keluarga Ciok yang tinggal mondok di gedung keluarga bang-sawan Thio, membatalkan pinangan. Berita ini diterima dengan penuh kegembiraan oleh Ciok Khun dan keluarga Thio. Akan tetapi, diterima dengan ratap tangis oleh Kim Hwa di dalam kamarnya yang me-ngunci pintu dan tidak mau makan, ha-nya
menangis saja dalam kamar tertutup.
Ketika Suma Hoat pulang, dia disam-but oleh maki-makian ayahnya yang ma-rah-marah dan Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 41
menganggap puteranya itu membikin malu saja. Mula-mula Suma Hoat menjadi heran dan bingung, akan tetapi ketika mendengar bahwa ayahnya terpaksa membatalkan pinangan terhadap Kim Hwa karena teguran Menteri Kam Liong, pemuda ini hampir pingsan dan lari ke kamarnya, menangis, dan menin-u-ninju kasur. Wajahnya menjadi pucat sekali dan hatinya hancur. "Aku akan lari bersamanya!" Ia ber-kata seorang diri, matanya menjadi merah dan liar. "Malam ini aku mengajak dia larl minggat! Itulah jalan satu-satunya!"
Malam itu gelap sekali. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membuat hawa menjadi dingin, cuaca gelap dan keadaan sunyi senyap. Di ruangan dalam gedung bangsawan Thio. Menteri Kam Liong dijamu penuh kehormatan oleh bangsawan Thio, adiknya calon pengantin, duda yang usianya sudah lima puluh tahun, dan ditemani pula oleh Ciok Khun. Menteri Kam Liong diundang selain untuk dijamu dan sebagai tanda terima kasih keluarga itu, juga Menteri ini memenuhi janjinya untuk mencegah Suma Hoat mengganggu Ciok Kim Hwa di kamarnya.
Para penjaga sudah disiapkan ber-sembunyi di sekeliling kamar Kim Hwa, bertugas mengintai kalau-kalau Suma kongcu datang di kamar itu seperti bia-sa. Datang seperti setan karena pemuda ini datang melalui genteng dan bergerak cepat seperti burung saja. Mereka hanya bertugas mengintai, karena untuk menangkap tentu saja mereka tidak berani. Untuk tugas itu, mereka mengharapkan bantuan Menteri Kam Liong yang selain tinggi ilmunya, juga tinggi kedudukannya dan masih pek-hu (uwa) dari pemuda bangsawan yang lihai itu.
Sesosok bayangan berkelebat dan para penjaga cepat lari memberi laporan ke-pada mereka yang masih makan minum di ruangan dalam. Mendengar laporan ini merah wajah Kam Liong dan bergegas mereka semua lari menuju ke kamar dara itu. Bangsawan Thio bersama
adik-nya di depan, disusul Ciok Khun dan paling belakang adalah Menteri Kam Liong yang bersikap tenang sungguhpun hatinya panas, malu dan marah. Betapa-pun juga, Suma Hoat adalah keponakan-nya dan perbuatan itu berarti mencemar-kan nama baiknya pula.
Bayangan itu memang Suma Hoat yang bergegas memasuki kamar kekasih-nya melalui
genteng. Sambil membongkar genteng ia membayangkan betapa kali ini kekasihnya tentu tidak menyambut dengan ciuman dan pelukan gembira seperti biasa, dan mungkin akan menyambutnya dengan tangisan, akan tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk membawa lari kekasihnya, menghiburnya dan mem-bahagiakannya. Setelah berhubungan cinta dengan Kim Hwa, ia tidak suka menoleh ke arah wanita lain, seolah-olah ia muak terhadap wanita lain. Ia sudah menemu-kan cintanya! Jangan khawatir, kekasihku, kita akan hidup, ia berbisik, sambil menutupkan kembali genteng agar jangan kemasukan air hujan, kemudian membuka langit-langit dan meloncat turun dengan ringan sekali ke dalam kamar. Ia mendu-ga bahwa Kim Hwa tentu menelungkup di ranjang sambil menangis. Setelah kedua kakinya menginjak lantai, ia menghampiri pembaringan, membuka kelambu dan.... pembaringan itu kosong!
Matanya men-cari-cari dan seperti ada sesuatu yang mendorongnya, ia membalikkan tubuh ke kanan dan.... ia tersentak kaget, napasnya terhenti seketika, kedua kakinya meng-gigil, matanya terbelalak memandang ke-arah tubuh yang tergantung di sudut, tubuh yang tak bergerak-gerak, tubuh Kim Hwa yang lehernya terikat ikat pinggang dan tergantung pada tiang melintang. Sebuah bangku roboh terguling di bawah kakinya.
Suma Hoat memaksa kakinya melang-kah, kakinya menggigil, wajahnya pucat, bibirnya gemetar, bergerak-gerak namun tak mengeluarkan suara, kedua lengannya diulur ke depan, siap memeluk, hatinya menjerit. "Kekasihku, marilah.... kenapa kau tidak menyambut aku....?" Akan tetapi tubuh itu masih tergantung tak bergerak dan ia terhuyung ke depan, pandang matanya gelap, mengharapkan semua ini hanya mimpi, digigitnya bibir-nya sendiri sampai robek berdarah, na-mun tetap saja tubuh kekasihnya itu ter-gantung, tak bergerak.
"Kim Hwa....!" Jeritnya meledak dari dasar hatinya dan pemuda itu terguling roboh, pingsan di bawah kaki mayat Kim Hwa yang masih tergantung!


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pintu kamar ditendang roboh oleh Menteri Kam Liong yang berlari-lari mendengar jerit dari kamar itu. Mereka semua masuk dan berdiri terbelalak memandang berganti-ganti ke arah Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 42
mayat Kim Hwa yang tergantung lehernya dan tubuh Suma Hoat yang rebah pingsan.
"Kim Hwa anakku....!" Ciok Khun berseru akan tetapi ia ditahan oleh bang-sawan Thio ketika hendak menubruk maju karena khawatir menyaksikan kehadiran Suma Hoat.
"Suma Hoat....!" Kam Liong berseru memanggil keponakannya dengan suara berat.
Suma Hoat bergerak perlahan, me-ngeluh lalu berdongak. "Kim Hwa....!" Ia menjerit lagi, meloncat bangun dan se-kali renggut putuslah ikat pinggang yang mengikat leher dan memutuskan nyawa gadis itu. Dipondongnya tubuh itu, lalu dipangkunya, diciumnya muka itu didekap kepalanya."Kim Hwa....! Kekasihku.... Isteriku.... kau.... kau.... aduh, Kim Hwa....
mengapa kau membunuh diri....?" Suma Hoat me-nangis, mengguguk diatas dada mayat kekasihnya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang wajah kekasihnya yang matanya terpejam seperti orang tidur
Lalu ia memondong tubuh itu, perlahan dibawanya tubuh itu ke atas ranjang, direbahkannya hati-hati, lalu diselimuti-nya dan ia berkata lirih, "Kekasihku, engkau tentu lelah, ya" Engkau mengan-tuk" Tidurlah manis, tidurlah nyenyak. Biar aku menjagamu...." Kemudian mata-nya terbelalak, seolah-olah ia baru tahu bahwa kekasihnya yang disangkanya tidur itu tak bernapas lagi dan, ia menggerak-gerakkan bibir tanpa ada suara yang keluar! Kemudian ia mengeluh dan me-rintih, seperti anak kecil kebingungan, diguncang-guncangnya pundak Kim Hwa, dan terdengar keluhannya, "Kim Hwa, engkau.... engkau mati...." Ah, mana bisa.... engkau....
aduuhhh.... engkau benar--benar mati" Kim Hwa....!" Untuk kedua kalinya tubuhnya terguling roboh pingsan sambil mendekap tubuh dara itu yang masih hangat namun yang sudah tak bernyawa lagi.
Sepasang mata Kam Liong menjadi basah. Ia mengangguk-angguk dan ber-kurang banyaklah kemarahannya terhadap Suma Hoat. Jadi begitukah, pikirnya. Ternyata ada jalinan cinta kasih yang demikian mendalam antara mereka. Keti-ka ia melirik, ia melihat wajah Ciok Khun pucat sekali dan air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya. Juga bang-sawan Thio dan adiknya termangu-mangu, terharu menyaksikan kelakuan Suma Hoat. Kam Liong merasa tidak enak hatinya, dan ia melangkah mundur, tak tahu harus berbuat apa.
Suma Hoat siuman kembali, lalu me-nangis mengguguk, dan menciumi bibir itu, merintih-rintih dan memohon supaya kekasihnya suka bicara, suka membuka mata, diciumnya mata dan bibir itu sam-pai akhirnya ia yakin bahwa bibir itu tidak membalas ciumannya, mata itu tidak lagi memandang mesra melainkan terus terpejam.
"Kim Hwa, engkau mati! Engkau membunuh diri.... tidak! Engkau dibunuh" Tiba-tiba Suma Hoat membalikkan tubuh dan memandang kepada tiga orang itu dengan mata liar. Agaknya baru sekarang ia melihat kehadiran Bangsawan Thio dan adiknya, dan ayah Kim Hwa.
Kemarahan-nya meluap.
"Kim Hwa, engkau dibunuh! Mereka inilah yang membunuhmu! Aku akan membalas
kematianmu, Kim Hwa kekasihku. Aku akan membalas dendam!" Tiba-tiba ia menerjang maju, kedua ta-ngannya bergerak memukul dengan pukul-an maut yang amat kuat ke arah Bang-sawan Thio adiknya.
"Bressss!" Tubuh Suma Hoat terlem-par ke belakang dan roboh terguling. Pukulan kedua tangannya tertangkis oleh dengan Menteri Kam Liong yang kini me-langkah maju dengan pandang mata be-ngis.
Suma Hoat terkejut bukan main, cepat menggulingkan tubuhnya di lantai meloncat bangun, siap menerjang lawan yang tangguh itu! Akan tetapi ketika ia melihat bahwa lawannya itu adalah Menteri Kam Liong, seketika lemas kedua kakinya. Ia memandang pek-hunya, air matanya bercucuran dan lu-tutnya menjadi lemas sehingga ia jatuh berlutut, mulutnya berkata serak.
"Pek-hu, harap bunuh saja saya yang celaka ini...."
Menteri Kam Liong melangkah maju, tangannya mencengkeram pundak Suma Hoat dan
sekali menarik, tubuh Suma Hoat sudah berdiri lagi. "Laki-laki ma-cam apa engkau ini"
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 43
Beginikah sikap seorang gagah perkasa" Lemah melebihi wanita! Cengeng dan sesat!"
Suma Hoat masih menangis, menengok ke arah pembaringan dan tangisnya makin
mengguguk. "Pek-hu...." Ia terengah-engah."....lebih baik saya mati.... saya... mencinta Kim hwa.... mengapa Pek-hu melarang" Mengapa semua orang mela-rang" Aku dan dia sudah saling mencintai Tuhan pun tidak melarangnya! Me-ngapa kalian mengganggu kami...."
Hu-hu-huuukkkk!" Suma Hoat menangis se-perti anak kecil, menunduk di depan uwanya.
Kam Liong mengeraskan hatinya dan menggerakkan tangan kiri menampar. "Plakk!" pipi kanan Suma Hoat ditatapnya sehingga pemuda itu terkejut sekali, membelalakkan mata penuh penasaran.
Lega hati Kam Liong karena memang itulah yang dikehendakinya, agar bangkit kembali semangat pemuda ini.
"Dengar kau, Suma Hoat! Seorang laki-laki sejati lebih mementingkan ke-benaran daripada nyawa dan apapun juga di dunia ini! Apa artinya cinta kalau melanggar kebenaran" Bencana yang menimpa ini adalah gara-gara kelemahan hatimu! Bukan mereka yang menyebabkan kematian nona ini, melainkan engkaulah! Engkau yang membunuhnya dengan per-buatanmu.
Mengerti?"
Pemuda itu terbelalak memandang pek-hunya, penuh penasaran. "Akan tetapi, Pek-hu! Dia mencintaiku,...." kami saling mencinta dan bersumpah untuk...."
"Diam! Tidak mungkin cinta tumbuh tanpa tanggapan kedua pihak! Tak mungkin tunas cinta dapat bersemi tanpa pupuk pihak lawan! Engkau sudah tahu bahwa dia telah menjadi tunangan orang lain, namun engkau yang lemah ini telah menanggapi cintanya! Kalau engkau tidak melayaninya, aku yakin bahwa dia tidak akan mencintamu! Perbuatanmu itu
me-rupakan pelanggaran besar, mencemarkan nama keluarga kita! Dan yang lebih dari itu, engkaulah yang menyebabkan kema-tian nona ini yang sudah terlanjur men-cintaimu! Dan engkau masih hendak menyalahkan orang lain yang tidak ber-dosa" Hemm, biarlah peristiwa ini men-jadi pelajaran pahit bagimu agar tidak terlalu menurutkan nafsu, pandai menge-kang nafsu dan menyalurkannya melalui kebenaran, tidak membuta dan sesat! Pergilah sebelum urusan ini tersiar luas. Pergilah!"
Bentakan terakhir ini mengan-dung ancaman hebat dan Suma Hoat mengeluh, kemudian dengan lemas ia meloncat keluar melalui langit-langit dan genteng. Semua orang di dalam kamar itu masih tertegun menyaksikan peristiwa itu dan terdengarlah suara Suma Hoat di atas genteng suara yang mengandung isak, suara yang parau bercampur suara rintikan hujan.
"Perempuan....! Aku benci....! Cinta perempuan palsu semua! Yang murni hanya Kim Hwa, akan tetapi dia pun meninggalkan aku! Aihhh, benci aku....! Benci aku....! Benci.... !" Suara itu makin menjauh.
Kam Liong menghela napas panjang, hatinya penuh kekhawatiran kalau me-ngenangkan keadaan Suma Hoat. Diam-diam ia merasa heran mngapa seorang pemuda yang ia tahu
berwatak mata ke-ranjang dan suka mengobral cinta di antara pelacur-pelacur tinggi, sekarang dapat jatuh cinta seperti itu terhadap seorang gadis!
Melihat keluarga itu berduka dan ber-kabung, Menteri Kam Liong pun berpa-mit, disepanjang jalan menyesali nasib keluarganya.
Setibanya di rumah, Suma Hoat jatuh saklt. Dia diserang demam tinggi, setiap hari mengigau dan menyebut-nyebut nama Kim Hwa, kadang-kadang memaki-maki semua perempuan yang disebutnya tidak setia, bercinta palsu dan lain-lain.
Sampai sebulan lebih Suma Hoat jatuh sakit, tidak sadar akan keadaan sekelilingnya.
Ayahnya, Panglima Suma Kiat yang amat menyayang putera tunggalnya, tentu saja menjadi bingung dan mengun-dang semua tabib yang ahli untuk meng-obati puteranya.
Pada suatu malam, Suma Hoat sadar dari tidurnya. Dia sudah mulai sembuh dan mulai sadar, tanpa membuka mata-nya ia mengenangkan semua persitiwa yang menimpanya terkenang Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 44
kembali kepada Kim Hwa. Dia mengeluh panjang dan berkata lirih, "Semua perempuan palsu cintanya, yang murni pun tidak setia, malah meninggal pergi!"
Tiba-tiba terdengar suara halus di dekat pembaringan. "Tidak semua perem-puan palsu cintanya, Suma Hoat. Betapa mudahnya meminta seorang pemuda seperti engkau. Aku pun....
kalau diberi kesempatan....!" Jari tangan yang halus menyentuh dahinya dengan mesra, dan saputangan yang harum dipergunakan oleh jari-jari itu mengusap peluh di dadanya.
Suma Hoat membuka mata, terbelalak menandang wajah seorang wanita yang amat cantik, wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi yang luar biasa cantiknya!
Cantik melebihi Kim Hwa! Muka yang halus itu kemerah-an, matanya bergerak-gerak lincah penuh pengertian, mulutnya seolah-olah selalu menantang cium! Wanita yang matang, menggairahkan, dan gerak-geriknya me-nunjukkan seorang ahli silat! Wanita can-tik jelita yang tidak dikenalnya, namun yang jelas kini merayunya dengan sikap dan kata-katanya, terutama sekali dengan sinar matanya yang penuh nafsu, yang seolah-olah hendak
menelanjanginya!
"Kau.... siapakah....?" Suma Hoat ber-tanya diam-diam kagum melihat wajah itu.
"Aku" Namaku Bu Ci Goat, aku.... baru setengah bulan di sini, Aku selir ayahmu yang paling baru."
"Oohhh....!" Tanpa disadari, seruan ini mengandung kekecewaan.
"Mengapa" Tidak girangkah engkau mempunyai seorang ibu muda baru seper-ti aku?" Bu Ci Goat mendekatkan muka-nya hingga hampir menyentuh hidung Suma Hoat yang mencium
bau harun sekali. Jantungnya berdebar dan ia me-negur.
"Kalau engkau selir Ayah, mengapa di sini" Mau apa?"
Wanita itu tersenyum dari memegang tangan Suma Hoat. "Engkau sakit, dan sudah
sepatutnya aku menengok dan menjaga. Aku pun seorang ahli meng-obati penyakit, dan melihat penyakitmu, mudah saja obatnya!"
"Apa?"
"Ini....!" Berkata demikian, wanita itu menarik tangan Suma Hoat dan merapat-kan tangan pemuda itu ke dadanya, se-hingga terasalah oleh peniuda itu gum-palan daging yang hangat.
"Ahh.... jangan....!" Suma Hoat mena-rik tangannya akan tetapi terkejut ka-rena ternyata tangan yang memegangnya itu amat kuat! Tahulah dia bahwa biar-pun belum tentu wanita ini memiliki kepandaian silat tinggi, namun yang jelas memiliki tenaga yang kuat!
"Mengapa tidak" Engkau menderita pukulan batin akibat sakit asmara, dan penyakit rindu obatnya hanya satu! Dan aku.... percayalah, cintaku tidak palsu, Suma Hoat. Boleh kaubuktikan sendiri!" Setelah berkata demikian, wanita itu lalu merangkul leher Suma Hoat, menciumi dan membelainya, jari-jari tangannya yang ahli dan cekatan itu telah mem-bukai pakaian Suma Hoat, juga pakaiannya sendiri seperti telah terbuka sendiri sehingga bagian tubuhnya yang menggairah-kan tampak. Tanpa diketahuinya bagai-mana mula-mulanya
karena kesadarannya belum pulih benar, Suma Hoat mendapat-kan dirinya dlpeluk dan ditindih oleh Bu Ci Goat yang menyerangnya dengan hebat, serangan ciuman dan belaian yang benar-benar membangkitkan semangat pemuda itu!
Ketika Suma Hoat mulai terangsang dan lupa diri, seolah-olah menemukan pegangan baru setelah dirinya hanyut dalam kegagalan cinta, setelah merasa betapa wanita ini benar-benar menggai-rahkan, berbeda dengan para pelacur, bahkan hampir menandingi kemesraan Kim Hwa.
Tiba-tiba daun pintu terbuka dan muncullah Suma Kiat, ayahnya!
"Bocah setan! Mengganggu selir ayahmu sendiri" Benar-benar kurang ajar, tak tahu malu!
Engkau benar-benar men-cemarkan nama baik keluarga Suma. Pergi!. Hayo minggat dari sini! Engkau tidak patut menjadi puteraku!"
Wajah Suma Hoat menjadi pucat se-kali dan ia meloncat turun dari pemba-ringan,
membereskan pakaiannya yang "dilucuti" oleh Bu Ci Goat tadi.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 45
Bu Ci Goat dengan tersenyum-senyum juga membereskan pakaiannya kemudian
menghampiri suaminya, memegang lengan Suma Kiat dengan sikap manja, mengelus pipi Suma Kiat sambil berkata, suaranya merayu, "Mengapa kau marah-marah" Aku hanya
berusaha untuk mengobati sakitnya, dia menderita sakit rindu yang hebat...."
Wajah Suma Kiat yang tadinya marah dan kemerahan itu, matanya yang be-ringas, menjadi lunak ketika ia menunduk dan memandang wajah selirnya yang termuda, selir baru yang amat dikasihi-nya, Ia lalu berkata. "Maksudmu baik Ci Goat, akan tetapi tidak tepat. Kau tahu betapa aku amat mencintaimu, dan aku tidak suka melihat cintamu kepadaku terbagi, biarpun dengan puteraku!"
Menyaksikan semua ini, kemarahan Suma Hoat tak dapat tertahan lagi. Ia lalu berkata nyaring, "Baik! Aku pergi! Aku muak melihat semua ini! Muak hidup di neraka ini!" Pemuda itu lalu melompat keluar dari kamarnya dan pergi. Semen-jak saat itu, Suma Hoat tidak pernah kembali ke rumah ayahnya!
Dan mulai saat itu pula, di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dengan ke-pandaiannya yang hebat, dengan kebera-niannya yang mendirikan bulu roma para penjahat. Akan tetapi, di samping sepak terjangnya yang hebat, pendekar muda ini memiliki kebiasaan yang keji sekali yaitu dia selalu mengganggu wanita! Dia seringkali terdapat dalam kamar-kamar wanita cantik, isteri orang-orang, gadis remaja, siapa saja asal dia wanita cantik dan sukar didapat, dan hebatnya, seba-gian besar wanita-wanita itu tidak me-nolak kedatangan penjahat pemetik bunga yang tampan, gagah dan memiliki kepan-daian merayu wanita secara istimewa sekali ini! Dialah Suma Hoat yang menganggap bahwa wanita tidak dapat diper-caya, bahwa wanita hanya lebih pantas dijadikan benda permainan belaka, bahwa wanita hanyalah sekedar alat pemuas nafsunya! Kebenciannya terhadap wanita yang dimulai dengan kepatahan hatinya karena kematian Kim Hwa, disusul sikap Bu Ci Goat dan ayahnya, membentuk watak yang seperti iblis terhadap wanita dalam dirinya! Seorang pendekar pembela kaum tertindas menentang kejahatan, namun juga seorang pemerkosa nomor satu di dunia sehingga beberapa tahun kemudian, terkenallah nama penjahat pemetik bunga (pemerkosa) Jai-hwa-sian atau Dewa Pemerkosa!
Keadaan keluarga Suma inilah yang membuat hati Menteri Kam Liong selalu prihatin sekali, apalagi ketika ia melaku-kan peninjauan ke Khitan, ia mendengar berita bahwa diam-diam Suma Kiat dan anak buahnya merupakan tokoh-tokoh penting yang membujuk para panglima di utara yang membujuk Kaisar, untuk me-musuhi Khitan!
Seringkali menteri yang bijaksana ini termenung, memikirkan percampuran darah nenek moyangnya yang sebagian memiliki darah keturunan pendekar-pen-dekar hebat dan disegani di dunia kang-ouw seperti pendekar sakti Suling Emas pendekar wanita Ratu Yalina, pendekar wanita Mutiara Hitam dan yang lain-lain. Akan tetapi, juga terkenal sekali darah keturunan orang-orang jahat yang mengalir ke tubuh mereka, seperti ketu-runan keluarga Suma itu. Dia pun tahu mengapa Suma Kiat membenci Khitan. Hal ini adalah karena dahulu di waktu mudanya. Suma Kiat jatuh cinta kepada puteri Suling Emas, atau adik tirinya, pendekar wanita Mutiara Hitam. Karena cinta tidak dibalas, maka dia mempunyai perasaan benci kepada Kerajaan Khitan atau sesunnguhnya kepada keturunan Suling Emas, hanya karena keturunan Suling Emas semua memliki kepandaian yang amat tinggi, maka dia tidak berani menyatakan kebenciannya secara berterang. Karena kebenciannya kepada Raja Khitan yang juga merupakan putera Su-Ung Emas, maka dia berusaha keras un-tuk menghancurkan Khitan.
*** Sepasang orang laki-laki dan wanita berusia empat puluh tahunan berlari se-perti terbang cepatnya melalui padang-padang rumput di daerah Khitan. Yang laki-laki bertubuh tinggi Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 46
kurus, berwajah tampan gagah dengan jenggot pendek meruncing dan kumis menggantung di kanan kiri bibirnya. Pakaiannya sederhana dan rambutnya diikat sehelai saputangan kuning.
Wajah laki-laki ini selalu ter-senyum-senyum dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan dan kejenakanaan. Adapun yang wanita ber-wajah cantik dan gagah perkasa, pandang matanya membayangkan kekerasan hati sehingga membuat orang yang pertama kali bertemu tentu akan merasa tunduk dan jerih. Mereka berdua tidak membawa senjata, namun melihat gerak-gerik me-reka, tak dapat disangsikan lagi bahwa mereka tentulah orang-orang yang ber-ilmu tinggi. Memang tepat sekali dugaan ini karena mereka itu adalah sepasang suami isteri yang apabila disebut nama-nya akan membuat tokoh-tokoh kang-ouw terbelalak, dan membuat tokoh-to-koh dunia hitam gemetar. "Laki-laki itu adalah pendekar yang dijuluki Pek-kong-to (Si Golok Sinar Putih) "Tang Hauw Lam, sedangkan, wanita itu adalah isteri-nya yang lebih terkenal lagi dan lebih ditakuti karena dia bukan lain adalah Kam Kwi Lan, Si Mutiara Hitam, puteri dari Suling Emas!
Semenjak menikah dengan Tang Hauw Lam, pemuda jenaka yang dipilihnya di antara banyak calon suami (baca cerita MUTIARA HITAM). Mutiara Hitam bersama suaminya lalu pergi merantau. Tepat seperti yang diduga oleh kakak tiri Mu-tiara Hitam, yaitu Menteri Kam Liong, suami isteri yang paling suka merantau ini telah menjelajah ke pelbagai negeri, jauh di utara dan barat. Mereka mele-wati Pegunungan Himalaya yang amat berbahaya, mengunjungi dunia barat dan hidup di antara bangsa-bangsa aneh yang berkulit hitam seperti arang, kecoklat-coklatan dan ada yang kulitnya putih seperti salju dengan manik mata berwar-na biru, coklat atau hijau, rambut kepa-la berwarna merah darah, kuning emas atau putih kebiruan! Tentu saja peran-tauan suami isteri pendekar selama be-lasan tahun ini selain menambah penga-laman mereka, juga memperdalam ilmu kepandaian mereka.
Suami isteri yang saling mencinta dan rukun ini hidup bahagia, akan tetapi hanya satu hal yang membuat mereka kadang-kadang melamun dan menghela napas panjang yaitu bahwa selama belas-an tahun menikah, mereka belum juga mempunyai keturunan! Hal ini
merupakan kekecewaan yang kadang-kadang mem-buat Mutiara Hitam, si pendekar wanita yang gagah perkasa dan yang pantang mundur menghadapi lawan yang betapa ganas pun, kalau malam suka mencucur-kan air mata!
Betapa indah pun keadaan dunia barat di sebelah sana Pegunungan Himalaya, akhirnya suami isteri itu rindu juga ke-pada tanah air sendiri. Maka pulanglah mereka ke timur melalui Pegunungan Himalaya yang aneh dan penuh bahaya, amat sukar dilalui itu. Perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan dan biarpun suami isteri ini merupakan orang-orang
gemblengan yang ulet dan kuat, namun perjalanan itu sungguh amat sukar ditempuh, penuh bahaya maut yang aneh--aneh. Banyak mereka temui binatang liar yang aneh dan besar, ada orang hutan yang hidup di salju Pegunungan Himala-ya, amat besar, dua kali bahkan tiga kali manusia. Banyak pula burung-burung rak-sasa yang tidak terdapat di tempat lain, kelompok manusia-manusia yang masih telanjang, belum mengenal peradaban sehingga kalau saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka itu sudah menjadi korban bahaya-bahaya maut yang menge-rikan.
Setelah kembali ke tanah air, suami isteri ini melanjutkan kesukaan mereka merantau sampai jauh ke selatan, bahkan pada suatu hari mereka menyewa pe-rahu dan menjelajah pulau-pulau di laut selatan! Dalam pelayaran inilah, mereka melihat sebuah perahu besar yang dibajak oleh bajak-bajak laut bangsa Jepang. Mereka datang terlambat dan berhasil menolong dua orang anak-anak laki dan perempuan yang dilempar ke laut oleh bajak-bajak itu. Anak-anak itu baru ber-usia kurang lebih enam tahun ketika mereka menolongnya dan suami isteri yang tidak mempunyai keturunan ini lalu mengambil mereka sebagai murid.
Anak laki-laki bernama Can Ji Kun, sedangkan yang perempuan bernama Ok Yan Hwa.
Semenjak saat itu, kedua orang anak tadi selalu diajak merantau, hanya kadang-kadang saja Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 47
mereka berempat tinggal di atas puncak sebuah gunung untuk selama satu atau dua tahun, lalu tempat itu ditinggalkan lagi karena suami isteri yang berdarah perantau itu tidak pernah merasa betah tinggal di suatu tempat untuk waktu yang terlalu lama.
Demikianlah, ketika mereka mende-ngar pergolakan yang terjadi di utara, Mutiara Hitam merasa khawatir akan nasib kerajaan kakak kembarnya, yaitu Ratu Talibu di Khitan, lalu mereka ber-empat berangkat ke daerah utara. Pada pagi hari itu, Mutiara Hitam dan suami-nya berlari-larian cepat sekali di daerah Khitan. Ketika tiba di pinggir hutan, mereka berhenti dan Pek-kong-to. Tang Hauw Lam menoleh ke belakang lalu berseru dengan suara nyaring bergema karena ia mengerahkan khi-kangnya.
"Ji Kun.... ! Yan Hwa....!" Hayo cepat kalian menyusul ke sini!"
Mutiara Hitam berkata sambil meng-hela napas panjang. "Dua orang muda kita itu tiada hentinya bersaing dan ber-lumba, seperti anjing dengan kucing saja! Mengapa mereka tidak pernah kelihatan akur?"
Suaminya tertawa dan kalau sudah tertawa, Tang Hauw Lam ini nampak masih seperti seorang pemuda! "Ha-ha-ha, mengapa disusahkan" Hal itu malah baik sekali, karena persaingan menimbulkan kemajuan! Maka sebaiknya kalau mereka itu kita latih secara terpisah pula, biar aku melatih Ji Kun dan eng-kau melatih Yan Hwa. Dengan demikian, persaingan di antara mereka akan makin menghebat dan mereka akan berlumba saling mengalahkan sehingga memperoleh kemajuan pesat."
Mutiara Hitam mengerutkan kening-nya. Hemm, aku sangsi apakah cara itu akan membawa kebaikan. Jangan-jangan mereka akan menyeret kita dalam per-saingan dan percekcokan di antara me-reka!"
"He-heh-heh! Kita terbawa dan saling cekcok" Jangan khawatir, isteriku, sam-pai
bagaimanapun juga, mana bisa aku menangkan engkau?"Mutiara Hitam memandang
suaminya dan mau tidak mau ia tertawa juga.
Hidup di samping suaminya yang selalu berwatak jenaka itu mana bisa ia merasa bosan dan susah" "Sesukamulah, akan tetapi engkau pun harus menurunkan ilmu-ilmu yang kumiliki kepada Ji Kun."
"Tentu saja.... tentu....! Jangan khawa-tir, mereka berdua kelak akan terkenal sebagai murid Mutiara Hitam! Ilmu ke-turunan keluarga Suling Emas tidak boleh terhenti begitu saja!"
Pada saat itu, tampak dua titik hitam dan kiranya mereka adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan yang ber-lari secepatnya ke tempat itu. Tepat seperti dugaan suami isteri pendekar ini, kedua orang anak itu bukan sembarangan berlari, melainkan berlumba lari, berdulu-duluan sampai ke tempat guru mereka! Ketika tiba di situ, Ji Kun menang be-berapa meter dan hal ini diterima oleh Yan Hwa dengan muka cemberut sung-guhpun seperti juga Ji Kun, napasnya sudah senin kemis tinggal satu-satu!
"Kita sudah memasuki daerah Khitan, perang terjadi di mana-mana. Jangan kalian terlalu jauh terpisah dari kami!" Mutiara Hitam menegur kedua orang muridnya.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah Khitan dan dapat di-bayangkan betapa sedih hati Mutiara Hitam menyaksikan keadaan Khitan yang rusak. Apalagi ketika ia mendengar bah-wa Kerajaan Khitan sudah hancur, dan terutama sekali ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Khitan telah gugur dalam perang, Mutiara Hitam tak dapat mena-han kesedihannya dan lari ke tempat sunyi untuk menangis! Dua orang murid-nya hendak lari menyusul namun mereka ditahan oleh suhu mereka yang maklum bahwa pada saat seperti itu, isterinya tidak mau diganggu oleh siapapun juga. Pula, merupakan pantangan bagi isterinya untuk terlihat orang lain bahwa dia me-nangis.
Setelah beberapa lama membiarkan isterinya menangis di tempat sunyi se-orang diri dan memesan kedua orang muridnya agar jangan pergi dari situ, Tang Hauw Lam lalu
menghampiri isteri-nya, perlahan-lahan ia duduk di dekat isterinya yang masih sesenggukan, lalu berkata halus.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 48
"Kwi Lan, hentikanlah tangismu. Me-nurut kepercayaan lama, roh-roh orang yang meninggal akan menjadi gelisah kalau ditangisi oleh keluarga dekat yang dicintanya! Raja Talibu dan isterinya gugur sebagai raja dan ratu yang gagah perkasa. Lupakah kau akan cerita orang-orang Khitan tadi itu" Mereka tewas dengan senjata di tangan, mempertahan-kan kerajaan dengan titik darah terakhir! Betapa hebat dan perkasa kakak kem-barmu itu! Aku benar-benar kagum bukan main dan aku pun ingin sekali kelak dapat mengakhiri hidup seperti itu! Roh mereka itu tentu mendapat tempat yang layak bagi orang-orang gagah seperti mereka, apakah kini engkau hendak mengusik dan membikin gelisah mereka dengan tangis-mu?"
Mendengar ucapan suaminya ini, Mu-tiara Hitam menghentikan tangisnya. Akan tetapi ketika menoleh memandang wajah suaminya yang biasanya berseri itu kini muram pandang mata yang biasanya berseri itu kini sayu dan penuh iba kepa-danya, dia terisak dan menjatuhkan diri di atas dada suaminya sambil menangis lagi.
Tang Hauw Lam memeluk tubuh is-terinya, mengelus-elus rambutnya dan menepuk-nepuk pundaknya. "Hemm, tenanglah.... tenang, isteriku. Lihat.... kau membikin aku ikut menitikkan air mata! Ah, betapa memalukan kalau pendekar yang berjuluk Pek-kong-to berubah menjadi seorang laki-laki cengeng!"
Mutiara Hitam menghentikan tangis-nya, berpegang tangan dengan suaminya seolah-olah dalam keadaan hati menderi-ta itu dia minta bantuan kekuatan sua-minya, kemudian sambil merenung jauh ia mengepal tinju kiri dan berkata, "Aku harus membalaskan kematian mereka! Si
keparat bangsa Yucen!"
"Wah-wah-wah, sabarkan hatimu, is-teriku dan pergunakanlah akal budl dan pertimbangan pikiranmu, jangan dikeruh-kan oleh nafsu mendendam. Kakakmu dan isterinya gugur dalam perang, tentu saja tidak dapat diketahui siapa yang mene-waskan mereka. Gugur dalam perang berbeda dengan dibunuh perorangan, maka tidak mungkin bicara tentang sakit hati dan balas dendam. Apakah kita ha-rus memusuhi seluruh bangsa Yucen dan berusaha membunuhi mereka" Betapa piciknya kalau begitu, sungguh tidak sesuai dengan jiwa kapendekaran kita!
Pendirian kita adalah menentang kejahat-an manusia. Di dalam perang bagaimana bicara tentang kejahatan bangsa" Mereka yang berperang itu hanya memenuhi tu-gas, seperti juga kakakmu dan isterinya. Dan sejak dahulu, engkau sudah menyata-kan tidak suka mengikatkan diri dengan urusan kerajaan dan pemerintah, bukan?"
Teringatlah Mutiara Hitam dan ke-marahannya mereda. "Heran sekali, me-ngapa Ayah dan Ibu diam saja dan tidak muncul membantu Kakak Talibu?" kata-nya perlahan.
"Agaknya aku dapat meraba pendirian Ga-hu dan Gak-bo (Ayah dan Ibu Mer-tua). Beliau berdua adalah orang-orang yang telah mengasingkan diri, tidak men-campuri urusan dunia, apalagi urusan kerajaan. Kalau mereka itu kini men-campuri, bukankah akan sia-sia saja me-reka menyucikan diri" Pula, kerajaan telah, diserahkan kepada mendiang ka-kakmu, Raja Talibu, maka menjadi tang-gung-jawabnyalah semua urusan kerajaan, maju mundurnya, jatuh bangunnya. Dan harus diingat bahwa segala sesuatu telah dikehendaki oleh Thian. Kerajaan seperti juga manusia, ada waktunya lahir ada waktunya mati. Yang penting harus kita selidiki, bagaimana dengan nasib putera kakakmu" Bukankah menurut cerita orang-orang Khitan itu mereka mem-punyai seorang puteri?"
"Benar!" Mutiara Hitam kelihatan bersemangat. "Namanya Puteri Maya yang kabarnya lenyap bersama pasukan pengawal. Agaknya Kakak Talibu sudah membuat persiapan dan tentu saja anak itu disuruh antar para pengawal mencari Ayah dan Ibu di Puncak Go-bisan!"Tang Hauw Lam mengangguk-angguk. "Tidak ada dugaan lain lagi, tentu begi-tulah.
Agaknya sudah pasti bahwa kepo-nakan kita itu diantar oleh pasukan ke puncak Go-bi-san.
Kalau benar demikian, selamatlah keponakan kita itu dan dia bahkan akan mewarisi kepandaian Gak-hu dan Gak-bo yang sakti."
Akan tetapi Mutiara Hitam mengerut-kan alisnya dan menggeleng kepala. "Aku masih Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 49
khawatir. Ayah dan Ibu tidak per-nah memberitahukan siapa juga di mana tempat mereka bertapa. Aku sangsi apa-kah pasukan pengawal itu akan berhasil menemukan tempat
pertapaan mereka. Sebaiknya kalau kita susul, syukur kalau Maya sudah tiba di sana, sekalian klta menghadap Ayah Bunda yang sudah belasan tahun tidak kita temui. Aku sudah rindu kepada mereka."
"Baiklah, sebaiknya begitu. Juga akan berguna bagi pengalaman murid-murid kita,"
Suami isteri pendekar itu bersama dua orang murid mereka lalu berangkat meninggalkan daerah Khitan menuju ke barat, ke arah Pegunungan Go-bi-san yang mempunyai daerah luas sekali. Di sepanjang perjalanan menuju ke Go-bi--san, mereka bertemu dengan daerah-daerah di mana perang terjadi dan me-reka selalu menghindarkan diri dari pe-rang ,antar suku itu, di mana bangsa Yucen makin lama makin berkembang mdnjadi kuat di samping bangsa Mongol yang juga sudah memperkembangkan sayapnya di daerah utara dan timur.
*** Telah lama kita meninggalkan Puteri Maya yang berhasil melarikan diri dari cengkeraman sepasang manusia iblis dari India ketika Nila Dewi masih dalam kea-daan tertotok dan Mahendra sedang ber-tanding mati-matian melawan Menteri Kam Liong. Gadis cilik ini cepat me-larikan diri dengan kedua tangan masih terikat menuju ke barat, memasuki se-buah hutan yang luas dan liar. Setelah kedua kakinya tidak kuat lagi dipakai lari dan napasnya hampir putus, barulah ia menjatuhkan diri berguling di atas rumput, terengah-engah. Kemudian dihampirinya sebuah batu besar, dicarinya pinggiran batu yang tajam dan mulailah ia menggosok-gosokkan tali pergikat kedua tangannya pada pinggiran batu yang tajam itu.
Sampai panas rasanya kedua perge-langan tangannya, akan tetapi akhirnya tali pengikat tangannya itu putus dan ia bebas! Karena khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis itu mengejarnya, Maya lalu meloncat bangun dan berlari lagi, terus ke barat memasuki hutan makin dalam. Hutan itu luas dan liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa dan batu-batu besar.
Maya hanya berani ber-henti sebentar untuk minum jika dia melewati sebuah anak sungai kemudian lari terus tanpa tujuan, pokoknya asal sejauh mungkin dari kedua orang manusia iblis yang mengerikan itu.
Hampir sehari ia berlari-larian terus di dalam hutan itu sampai akhirnya ia keluar dari hutan tiba di daerah padang rumput yang luas. Ia berlari terus sampai tiba di bagian yang berbatu-batu di kaki gunung. Tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang tertawa-tawa. Maya ter-kejut sekali dan berdiri termangu-mangu, mencari tempat sembunyi, kemudian lari hendak bersembunyi di balik pegunungan batu. Akan tetapi, mendadak berkelebat bayangan banyak orang dan terasa oleh-nya angin menyambar-nyambar ketika bayangan itu berkelebat, disusul suara ketawa-tawa dan tahu-tahu dia telah dikurung oleh beberapa orang aneh! Maya memandang terbelalak, penuh rasa takut karena orang-orang ini keadaannya lebih aneh dan menyeramkan daripada sepasang manusia iblis India! Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada yang masih muda yang sudah tua, bahkan ada pula beberapa orang anak-anak, akan tetapi muka mereka rata-rata buruk dan me-nyeramkan! Yang pria banyak gundul tidak rata, atau kalau ada yang beram-but pun rambutnya gimbal menjadi satu seperti sapu serat terkena lumpur! Muka mereka selalu menyeringai seperti se-kumpulan bocah nakal, tubuh atas tak berbaju dan perut mereka rata-rata gen-dut biarpun tubuh mereka ada yang kurus kering, seperti tubuh anak cacingan! Celana mereka dari kulit, tidak karuan bentuknya, dan bagian bawahnya yang sepanjang lutut itu robek-robek. Para perempuannya lebih mengerikan lagi. Ada yang menutupi tubuh atas, akan tetapi banyak tubuh atasannya dibiarkan telan-jang begitu saja sehingga buah dada mereka yang panjang-panjang itu bergan-tungan seperti buah pepaya. Rambut mereka riap-riapan, juga kelihatan kotor sekali.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 50
Tubuh bawah ditutup kain sampai ke lutut, juga terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang.
Ada pula yang me-makai hiasan kalung terbuat dari.... batu kerikil biasa! Yang kanak-kanak hanya memakai cawat, sukar dibedakan mana anak laki-laki mana anak perempuan karena rambut mereka dikelabang dan melintang di kanan kiri, lucu sekali, lucu namun mengerikan seperti kalau orang berada di dalam rumah sakit gila!
Mereka itu mengurung Maya sambil berloncat-loncatan, menari-nari dan ber-lari-lari memutarinya, mengeluarkan sua-ra aneh, akan tetapi ada sebagian kata-kata bahasa Khitan yang dapat ia tang-kap. "Kejar....! Tangkap....!" Mereka ter-tawa-tawa dan ada yang menuding-nuding ke arah Maya sambil mengitari gadis cilik ini. Maya menjadi bingung sekali, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pada saat itu, anak-anak kecil yang ber-ada di luar lingkaran juga bersorak-sorak dan kembali Maya mendengar suara, "Kejar dan tangkap!", malah ada beberapa orang kakek dan nenek aneh yang berlarian mendatangi seperti anak-anak kecil, tertawa-tawa gembira. "Ikut.... Ikut....!" Mereka ini jugaa ikut mengeli-linginya dan bersorak-sorak. "Kejar! Tangkap!"Akhirnya, dari gerak-gerik mereka dan dari beberapa kata-kata bahasa Khi-tan itu, mengertilah Maya bahwa dia diajak main "kucing-tikus", yaitu dia menjadi kucingnya dan harus menangkap seorang di antara mereka. Kalau ada yang tertangkap, maka yang tertangkap itulah yang akan menggantikan keduduk-annya menjadi kucing. Permainan anak kecil! Biarpun ia merasa heran sekali mengapa kakek-kakek dan nenek-nenek, paman-paman dan bibi-bibi setua itu masih suka bermain seperti ini, namun dia segera berusaha menangkap seorang di antara mereka, seorang wanita ter-dekat. Ia menubruk dengan menggunakan gin-kangnya.
"Wusss!" Luput! Maya hampir tidak dapat percaya. Wanita itu memiliki ge-rakan yang luar biasa cepat dan ringan-nya sehingga biarpun dalam jarak begitu dekat, dia tidak berhasil menangkapnya karena wanita itu telah meloncat ke kiri dan sambil tertawa-tawa terus berlari mengelilinginya seperti yang lain! Aihh, sungguh tidak kira di antara rombongan orang gila ini ada yang memiliki kelin-cahan begitu hebat! Ia lalu menubruk ke arah seorang laki-laki gundul, akan tetapi kembali ia terkejut karena laki-lakl ini pun dengan gerakan secepat kilat telah dapat meloncat dan mengelak! Maya menjadi penasaran dan dicobanya semua orang yang mengelilingi, namun sampai nenek-nenek pun memiliki gerakan yang bukan main cepatnya sehingga dia kagum dan terheran-heran! Kiranya dia berada di antara gerombolan orang gila yang memiliki gin-kang istimewa!
Karena disoraki dan ditertawai, tim-bul kemarahan di hati Maya. Akan tetapi betapapun ia mencoba menangkap, ta-ngannya selalu menangkap angin. Celaka, pikirnya, kalau aku tidak dapat menang-kap, apakah selamanya dia akan menjadi kucing kelaparan" Timbullah
akalnya. Dia melihat bahwa orang-orang tua ini ber-watak seperti anak kecil, dan agaknya kecerdikannyapun tidak akan lebih dari-pada seorang anak-anak biasa, anak-anak yang lebih kecil daripadanya karena dia sendiri sudah tidak suka akan permainan seperti itu, yang pantasnya dimainkan anak-anak berusia enam tujuh tahun!
"Lihat ular besar....!" Tiba-tiba Maya berteriak dalam bahasa Khitan sambil menudingkan telunjuknya ke arah pohon di depan. Semua orang kaget dan me-noleh. Pada saat itulah Maya lalu me-nubruk wanita yang buah dadanya pan-jang di dekatnya sambil tertawa, me-megangi lengannya dan berkata, "Tang-kap....!"
Orang-orang itu terbelalak heran, kemudian tertawa-tawa dan wanita itu memeluk Maya, juga orang-orang itu memeluk dan menepuk-nepuk pundak Maya, memuji-muji dalam bahasa
Khitan campuran. Kini wanita itu yang menjadi kucing dan Maya harus menjadi seorang di antara tikus-tikus yang dikejar. Maya berlari mengitari wanita itu seperti yang lain. Wanita itu lalu bergerak cepat, menubruk ke sana sini dan gerakan mereka yang berkejaran itu sedemikian cepatnya sehingga pandang mata Maya menjadi berkunang-kunang dan tahu-tahu lengannya telah ditangkap oleh wanita itu yang tertawa-tawa.
"Tertangkap! Tertangkap!" mereka berteriak-teriak dan mentertawakan Ma-ya.
Istana Pulau Es >> karya Kho Ping Hoo >> *** ( )*** 51
Celaka, pikir Maya. Kalau permainan ini diteruskan, tentu dia yang akan selalu menjadi kucing karena gerakannya jauh kalah cepat oleh orang-orang aneh ini. Maka dia lalu mencari akal. Dia berdiri di tengah lingkaran dan mengangkat ta-ngan kanan ke atas, yang kiri bertolak pinggang, kemudian berkata nyaring. "Dengarlah kalian!" Aku adalah puteri Maya, puteri dari Raja Khitan!"
Akan tetapi orang-orang itu hanya saling pandang dan menggerakkan pundak, bengong dan lengang-lengong menggemas-kan hati Maya, dan seorang di antara mereka, wanita tua yang memakai kalung dari kerikil-kerikil besar diuntai, men-jawab,
"Raja Khitan" Kami tidak kenal.Nama
Harpa Iblis Jari Sakti 32 Bara Naga Karya Yin Yong Seruling Samber Nyawa 12
^