Pendekar Panji Sakti 2

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 2


mengerti apa, Hek Seng-thian tidak ikut hadir, mau apa kau datang kemari?"
Pek Seng-bu hanya tersenyum, tampaknya dia segan untuk berdebat.
Sambil tertawa Suto Siau berkata pula:
"Saat ini saudara Hek masih berada ribuan li jauhnya dari sini, mana mungkin sempat balik" Tapi aku rasa dengan kekuatan kita sekarang pun sudah lebih dari cukup, yang dikuatirkan justru di balik kuil itu sudah dipersiapkan jebakan."
"Mau ada jebakan atau tidak, kita tetap akan menyerbu ke dalam!" potong Seng-toanio:
"Sekarang kita sudah tiba di sini, memangnya mau pulang dengan tangan kosong?"
Tiba-tiba Pek Seng-bu menyela lagi:
"Andaikata perguruan Tay ki bun sudah mendapat kisikan, sudah pasti mereka akan kabur dari sini, mustahil dengan kekuatan yang mereka miliki berani beradu kekerasan melawan kita, jangan-jangan mereka sedang menerapkan siasat benteng kosong untuk menipu kita."
"Siasat benteng kosong?"
"Dengan sengaja memasang lentera untuk menerangi seluruh sudut ruangan, mereka bertujuan untuk membangkitkan rasa curiga dan ragu kita, bila kita ragu, maka tak akan berani menyerbu ke dalam, padahal mungkin saja mereka sudah kabur dan meninggalkan kuil kosong di situ."
Suto Siau termenung sejenak, kemudian ujarnya:
"Meskipun ada kemungkinan ucapanmu benar, tapi aku rasa kita tak boleh bertindak kelewat gegabah, lebih baik tinggalkan dulu separuh kekuatan di sekitar kuil, kemudian baru masuk ke situ."
Sambil tertawa dingin Seng-toanio menukas:
"Ling-laute, Pek-laute, Hau-ji, ayo kita langsung menyerbu ke dalam, biar dia mengatur sendirian di luar sana!"
Diiringi bentakan, tubuhnya sudah melesat ke depan dan meluncur ke arah bangunan kuil itu bagai segulung asap.
Pendekar pedang berhati merah Seng Cun-hau segera mengikut di belakang ibunya dengan ketat.
Ling It-hong saling bertukar pandang sekejap dengan Pek Seng-bu, akhirnya mereka pun mengikut di belakangnya.
Suto Siau menghela napas panjang, ia segera memberi tanda untuk mengumpulkan belasan sosok bayangan manusia lainnya.
"Kalian masing-masing dengan membawa lima orang pemanah bersembunyi di sekeliling bangunan kuil, kepung tempat ini rapat-rapat, siapa pun yang hendak masuk keluar, bila tidak mengatakan kata sandi 'Ngo-hok', bidik mereka sampai mampus!"
Seng-toanio sambil melintangkan tongkat besinya di depan dada memimpin paling depan, dia merasa kemampuan yang dimilikinya cukup untuk menghadapi lawan, karena itu tanpa takut ia melangkah masuk ke dalam kuil dengan langkah lebar.
"Im Gi, cepat keluar terima kematianmu!" teriaknya keras, suaranya tinggi melengking penuh disertai tenaga dalam.
Di antara goyangan lidah api yang terhembus angin, gaung suara pantulannya segera menyebar ke empat penjuru, hal ini membuat suasana di sekitar sana bertambah seram dan menggidikkan hati.
Biarpun Leng It-hong, Pek Seng-bu serta Seng-toanio merupakan jago-jago persilatan yang sudah sering menghadapi mara bahaya, tak urung bergidik juga hati mereka saat itu.
Tanpa sadar mereka berempat memperlambat langkah kakinya, Leng It-hong menyilangkan telapak tangannya melindungi dada, Seng-toanio menggenggam toya besinya makin kencang, sementara Seng Cun-hau telah melolos pedang andalannya.
Pek Seng-bu pun sudah mencabut senjata aneh andalannya, ternyata senjata yang ia pergunakan adalah sebuah senjata berbentuk telapak tangan dewa.
Senjata ini bentuknya aneh dan istimewa, panjangnya empat kaki tujuh inci, pada ujungnya berbentuk sebuah telapak tangan dengan ibu jari, jari manis dan jari kelingking yang menekuk sementara jari telunjuk serta jari tengahnya menuding lurus ke depan, bentuk semacam ini disebut Sian jin ci lok (dewa menunjukkan jalan), tapi di dalam genggaman tangan itu terdapat sebuah bola baja kecil, jelas bola kecil itu memiliki kegunaan istimewa.
Setelah senjata di tangan, keberanian keempat orang itu bertambah besar.
Tiba-tiba terdengar suara desingan angin dari luar ruangan, rupanya Suto Siau telah menyusul masuk sembari bertanya:
"Tidak ada penghuninya?"
Tak seorang pun di antara keempat orang itu yang buka suara, sorot mata mereka dialihkan ke sekeliling tempat itu sambil melakukan pencarian, sementara langkah kaki sama sekali tidak berhenti.
"Biar aku yang berjalan di muka!" kata Leng It-hong kemudian.
Tampaknya demi gengsi dan harga diri, dia tak ingin berada di barisan paling belakang.
Setelah melewati ruang utama yang terang benderang, tibalah mereka di halaman belakang, namun yang mereka jumpai di situ hanya kegelapan yang mencekam serta suara hujan.
"Aaah, rupanya memang siasat benteng kosong," seru Seng-toanio dengan wajah berubah:
"kelihatannya mereka sudah kabur!"
Baru selesai dia berkata, mendadak terdengar seseorang tertawa dingin, suara itu muncul dari balik kegelapan.
Menyusul kemudian.... "Traaang, traaaang, traaang... !", diiringi suara getaran benda logam yang ramai, beberapa kilauan cahaya emas telah beterbangan di udara.
"Mundur semua!" seseorang menghardik dari balik kegelapan.
Ling It-hong dan Seng-toanio sekalian tidak jelas berapa banyak musuh yang bersembunyi di balik kegelapan, mereka pun tidak tahu senjata rahasia apa yang jatuh dari atas ruangan, dalam terkejut bercampur ngerinya, serentak melompat mereka mundur ke belakang.
Terlihat bayangan manusia berkelebat, kelima orang itu sudah mundur semua dari ruang utama.
"Sialan!" umpat Seng-toanio penuh amarah, "siapa bilang tidak ada orang di sini" Siapa bilang ini hanya siasat benteng kosong" Pek Seng-bu, ini semua gara-gara ulahmu...."
Paras muka Pek Seng-bu berubah, belum lagi bicara, sambil tertawa tergelak Suto Siau sudah berkata lebih dulu:
"Orang she Im, semua perbuatanmu itu sia-sia, tak mungkin anggota perguruan Tay ki bun kalian bisa lolos dengan selamat hari ini!"
Mendadak sebongkah batu besar meluncur keluar dari halaman belakang dan... "Blaaam!", menghajar persis di atas tiang penyangga ruang utama.
Waktu itu tiang penyangga memang sudah dipotong sebagian hingga nyaris patah, begitu ditimpuk dengan batu besar, maka tak ampun lagi tiang besar itu patah menjadi dua bagian.
Begitu sebuah tiang penyangga patah, tiang-tiang yang lain pun tidak kuat menahan bangunan kuno itu, tak ampun lagi seluruh bangunan kuil yang pada dasarnya sudah bobrok itu ambruk ke tanah.
Sekali lagi semua orang berhamburan ke empat penjuru lantaran terkesiap.
"Blaaaam!", kembali terjadi ledakan dahsyat, berbareng dengan padamnya seluruh penerangan, bebatuan beterbangan di angkasa dan pasir bercampur debu menyelimuti sekeliling tempat itu, seluruh bangunan kuil itu roboh rata dengan tanah.
Di tengah kekalutan yang melanda tempat itu, Thiat Tiong-tong yang sejak tadi bersembunyi di balik kegelapan segera menarik tangan Im Ceng.
Mereka berdua segera menyelinap ke ujung ruangan lain dan bersembunyi di sana.
Ketika kekalutan mulai mereda, terlihat sesosok bayangan manusia dengan pedang berhunus melangkah masuk ke tengah reruntuhan, sorot mata yang tajam tiada hentinya memeriksa sekitar tempat itu.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan manusia lagi melayang turun dari atas wuwungan rumah yang ambruk.
Orang yang membawa pedang itu langsung membentak sambil melepaskan sebuah tusukan kilat.
"Ngo-hok!" buru-buru bayangan itu berseru.
"Ooh, rupanya paman Ling," orang itu segera menarik kembali serangannya.
"Cun-hau, kelihatannya di belakang sana tak ada jejak manusia, apakah kau menemukan sesuatu di tempat ini?"
Seng Cun-hau menggeleng.
Thiat Tiong-tong yang menguping dari tempat
persembunyiannya segera berpikir, "Ngo-hok" Apa itu Ngo-hok"
Jangan-jangan kode rahasia yang mereka gunakan untuk saling berhubungan ?"
Dia segera menarik tali kain yang mengelilingi bangunan rumah itu kuat-kuat, begitu ditarik, batu-batu dalam kotak yang telah disiapkan pun serentak berhamburan ke udara.
Tali kain itu panjangnya dua puluhan depa, setiap dua depa dipasang sekotak batu, ketika batu-batu itu serentak berhamburan, maka serangan itu seolah-olah dilakukan oleh banyak orang secara bersamaan dari sekeliling bangunan itu.
"Mereka ada di sini!" Leng It-hong segera membentak nyaring.
Dengan sepasang tangan melindungi dada, menggunakan gerakan It ho cong thian (bangau sakti menerjang langit), tubuhnya yang kurus kering langsung melesat naik ke atas wuwungan rumah.
Hampir pada saat yang bersamaan, Seng-toanio, Suto Siau maupun Pek Seng-bu ikut melompat naik ke wuwungan rumah, namun suasana di empat penjuru amat hening, tak nampak sesosok bayangan manusia pun di situ.
Kembali Thiat Tiong-tong menggunakan kesempatan itu menyelinap masuk ke ruang pertama, dengan gerakan cepat dia mengambil korek api, kemudian menyulut benda-benda yang mudah terbakar di sekitar sana.
"Ada kebakaran di bawah!"
Kelima orang itu kembali melompat turun ke bawah, kemudian melunak ke dalam ruangan dimana sumber api berasal.
Tapi waktu itu Thiat Tiong-tong sudah menyelinap keluar melalui jendela, sambil melompat pergi dia mengambil setumpuk hancuran genting dan menggunakan segenap kekuatan yang dimiliki ia menyampitkan benda-benda itu ke empat penjuru.
Tiba dalam ruangan, Leng It-hong sekalian baru tahu kalau benda yang terbakar hanya kayu-kayu kering, kecuali itu tak nampak benda lain lagi, tapi asap yang ditimbulkan amat tebal dan dengan segera menyelimuti seluruh ruangan.
Ling It-hong yang masuk duluan kontan terbatuk-batuk, tiba-tiba teriaknya dengan wajah berubah:
"Celaka, asap ini mengandung racun!" Seng-toanio coba ikut mengendus, tapi segera jengeknya sambil tertawa dingin:
"Racun apaan" Hanya bau tahi kuda yang basah!"
Merah jengah Leng It-hong mendengar sindiran itu, untunglah di saat itu dari arah sebelah timur terdengar lagi suara gemersik ringan, kelihatannya ada ya heng jin (orang berjalan malam) yang telah menginjak benda hingga menimbulkan suara berisik.
Sembari membalikkan tubuh Seng-toanio pasang telinga.
"Hanya suara pecahan genting yang terjatuh ke tanah," bisik Leng It-hong.
Belum selesai bicara, dari arah selatan, barat maupun utara terdengar lagi suara berisik.
Dengan mendongkol Seng-toanio melirik Leng It-hong sekejap, serunya dingin:
"Aku tidak percaya kalau cuma pecahan genting."
"Suara itu hanya satu kali dan tidak mengumpul, bukan suara injakan kaki ya heng jin," sambung Seng Cun-hau.
Mendengar itu Seng-toanio menjengek lagi, umpatnya gusar:
"Aaah, kau tahu apa" Jangan sok berlagak di hadapan Toanio!"
Biarpun yang dimaki anaknya, padahal jelas kalau umpatan itu dialamatkan kepada Leng It-hong.
Suto Siau menghela napas panjang.
"Aaai, belum lagi jejak musuh ketahuan, orang sendiri malah gontok-gontokan" katanya:
"lebih baik pulang saja, ketimbang mau berburu belibis tak berhasil, mata sendiri malah terpagut paruhnya!"
Benar saja, Seng-toanio dan Leng It-hong tak berani banyak bicara lagi, namun di hati kecil kedua belah pihak sudah timbul perasaan tak suka yang makin mendalam.
Sementara itu Thiat Tiong-tong sudah cukup lama
bersembunyi di bawah wuwungan rumah yang roboh, baru saja ia agak panik karena gagal memancing reaksi musuhnya, dari deretan bangunan sebelah depan telah muncul bibit api kebakaran.
Dia tahu Im Ceng telah berhasil dengan misinya, buru-buru dia menyelinap mundur ke belakang, lalu melompat naik ke atas sebatang pohon besar, di tempat inilah dia berjanji dengan Im Ceng untuk berkumpul.
Begitu kebakaran mulai berkobar, Seng-toanio sekalian segera memburu ke tempat kejadian, lagi-lagi mereka gagal berjumpa dengan seorang manusia pun.
Kegagalan demi kegagalan yang mereka alami membuat Seng-toanio semakin tidak mampu mengendalikan emosinya, teriaknya marah:
"Bajingan, kelihatannya mereka sudah kabur!"
"Mana mungkin mereka bisa kabur?" sahut Suto Siau:
"sejak tadi kita berada dalam bangunan ini, sementara sekeliling kuil dijaga ketat orang-orang kita, sekalipun mau kabur pun seharusnya mereka meninggalkan jejak yang bisa terlacak."
Kembali kelima orang itu melakukan penggeledahan secara besar-besaran, namun hasilnya tetap nihil.
Akhirnya Pek Seng-bu mengusulkan:
"Bila ingin memancing anak murid perguruan Tay ki bun keluar dari tempat persembunyiannya, mungkin hanya ada satu cara saja yang bisa dilakukan."
"Cara apa itu?" tanya Seng-toanio.
"Tahukah kau, apa yang paling ditakuti orang-orang perguruan Tay ki bun?"
"Apa?"
"Yang paling ditakuti orang perguruan Tay ki bun adalah umpatan yang membangkitkan amarah mereka, asal kita semua mencaci-maki dengan kata-kata sinis, dapat dipastikan mereka tak akan sanggup menahan diri."
"Bagus, ide yang jitu," seru Seng-toanio kegirangan:
"Hau-ji, cepat mewakili ibumu mencaci-maki orang-orang itu!"
Seng Cun-hau berdehem beberapa kali, kemudian baru berteriak lantang:
"He, anak murid perguruan Tay ki bun, dengarkan baik-baik, jangan main sembunyi terus di tempat kegelapan, cepat keluar untuk menerima kematian!"
"Kau anggap ucapanmu itu umpatan" Ayo, caci-maki mereka dengan kata yang lebih kasar!"
"Tapi aku tidak biasa memaki orang!"
"Goblok!" umpat Seng-toanio.
Dia mencoba menengok kiri kanan, ternyata tidak seorang pun di antara rekannya yang mulai memaki.
Sebagaimana diketahui, kawanan jago yang hadir di arena sekarang adalah umat persilatan yang mempunyai nama dan kedudukan dalam dunia Kangouw, tentu saja mereka enggan untuk sembarangan memaki orang.
"Aaah, kalian laki-laki memang orang dungu semua," seru Seng-toanio marah-marah:
"masa mencaci-maki orang pun tidak mampu, memangnya harus menyuruh aku si orang wanita yang melakukannya?"
"Bukankah Seng-toaci pandai bersilat lidah?" sela Leng It-hong dingin, "selama ini Siaute sangat kagum dengan ketajaman mulutmu, tolong Seng-toaci saja yang membantu kami melakukan tugas ini!"
"Maki ya maki, memangnya aku takut?" seru Seng-toanio sambil menghentakkan toyanya ke tanah, kemudian dengan suara keras serunya, "telur busuk she Im, cucu kura-kura, kenapa kau masih menyembunyikan kepala busukmu dalam liang tahi" Cepat menggelinding keluar! Memang-nya kau takut bertemu Toanio?"
Begitu Seng-toanio mulai mengumpat, Thiat Tiong-tong yang bersembunyi di atas pohon ikut cemas, dia sangat memahami watak im Ceng yang berangasan dan gampang naik darah, dia takut dia tak mampu menahan diri setelah mendengar caci-maki itu dan menampilkan diri.
Sementara itu umpatan Seng-toanio makin lama makin galak dan tidak enak didengar, sekalipun Im Ceng belum sampai menampilkan diri, namun pemuda itupun belum kembali ke tempat pertemuan mereka, hal ini membuat Thiat Tiong-tong semakin cemas.
Kelihatannya Seng Cun-hau pun tidak tahan mendengar caci-maki yang dilakukan ibunya, merah padam wajahnya lantaran malu.
"Ibu, sudahlah, kalau tidak berhasil memaksa mereka keluar, kita sudahi saja umpatan itu!" bujuknya.
"Apa kau bilang?"
Suto Siau memutar sepasang biji matanya, mendadak ia tertawa tergelak sambil berseru pula: "Hahaha, ternyata anggota perguruan Tay ki bun hanya mampu menghukum mati putra sendiri dengan ditarik lima ekor kuda, sementara urusan yang lain sama sekali tidak becus, benar-benar memalukan!"
Begitu mendengar umpatan ini, Thiat Tiong-tong yang berada di atas pohon segera berpekik dalam hati, "Celaka!"
Betul saja, dari balik reruntuhan bangunan segera terdengar suara bentakan gusar disusul bebatuan yang beterbangan di udara.
"Hahaha, kali ini ada juga yang muncul!" seru Suto Siau lagi sambil tertawa.
"Tahu begini, kenapa tidak memaki sejak tadi?" seru Seng-toanio gusar.
Sembari berbicara, kelima orang itu segera menyusup ke tempat asal suara bentakan itu.
Sesosok bayangan manusia melambung ke udara dari balik kegelapan.
"Serang!" bentak Seng-toanio, tangannya diayun, segulung cahaya perak berhamburan di udara.
Bayangan manusia itu tidak lain adalah Im Ceng, sedari tadi dia memang sudah memendam amarah, kini hawa amarahnya sudah tak terbendung lagi, matanya merah, pikirannya kalut, dalam keadaan begini dia tidak peduli lagi dengan mati hidupnya.
Ketika cahaya perak berhamburan, lagi-lagi dia mengayunkan tangannya menyambitkan segenggam pecahan genting. Ternyata senjata rahasia yang paling bodoh, paling bersahaja itu merupakan tandingan yang paling pas untuk merontokkan jarum gadis langit yang paling beracun dan paling menakutkan itu.
"Trring, tringg... !", di tengah dentingan nyaring, jarum gadis langit itu sudah berguguran ke tanah.
Sambitan genting itu dilancarkan dalam keadaan marah besar, tidak heran tenaga serangan yang disertakan pun luar biasa dahsyatnya.
Waktu itu Suto Siau sedang melayang turun ke bawah, buru-buru teriaknya:
"Jangan gubris aku, cepat lakukan pengejaran!"
Di tengah bentakan itu, sekali lagi Im Ceng sudah melambung ke tengah udara dan melesat ke depan.
Buru-buru Suto Siau menarik ke belakang tubuhnya, lalu mundur sejauh tiga kaki.
Im Ceng menjejakkan kakinya ke tanah, bagaikan sebuah bayangan dia menempel terus di belakang tubuh lawannya, serangan berantai dilontarkan, tangan kiri menghantam dada sementara tangan kanan membacok bahu lawan, di tengah berkelebatnya bayangan tangan, ia sudah menerkam musuhnya bagaikan seekor harimau kelaparan.
Suto Siau tak berani menyambut serangan itu, kembali dia mundur sejauh tujuh langkah dengan menggunakan gerakan tujuh bintang.
Ketika ketiga serangannya mengenai tempat kosong, Im Ceng merangsek lebih ke depan, tapi kali ini pukulannya sudah tidak sedahsyat dan sekosen sebelumnya.
Suto Siau tertawa keras, dengan tangan kiri kanan dia melancarkan serangan balasan.
Orang ini banyak akal, licik dan sangat berpengalaman, taktik yang dia gunakan tadi tidak lain adalah siasat pemburu menangkap harimau, menguras habis dulu kekuatan lawannya, kemudian baru turun tangan untuk membekuk.
Dalam waktu singkat bayangan tangan dan deru angin pukulan bercampur-aduk, dua orang itu terlibat dalam pertempuran sengit.
Seng-toanio berdua serta Leng It-hong tidak tinggal diam, mereka melanjutkan penggeledahan di seputar tempat itu.
Pek Seng-bu yang bergelar Sam jiu hiap (pendekar bertangan tiga) hanya berdiri di sisi arena sambil menonton jalannya pertempuran, tampak Suto Siau meskipun berhasil menguasai keadaan, namun dua puluh gebrakan kemudian ia masih belum mampu berada di atas angin.
Im Ceng ibarat harimau yang tumbuh sayap, tenaga simpanannya sukar diduga, setiap pukulan setiap tendangan yang dilancarkan selalu disertai deru angin serangan yang dahsyat, bahkan semakin bertarung ia kelihatan semakin perkasa.
Suto Siau mencecar terus tiada hentinya, sekalipun dalam hati kecilnya agak terkejut juga oleh kehebatan kungfu anak muda itu, namun dia sama sekali tidak terburu napsu, jurus demi jurus serangan dilancarkan secara teratur dan selalu meninggalkan beberapa bagian kekuatan untuk menjaga diri.
Thiat Tiong-tong yang berada di kejauhan tidak sempat mengikuti jalannya pertarungan secarajelas.
"Bagaimana pun hebatnya kungfu yang dimiliki Samte, mustahil dia mampu menandingi semua jago tangguh itu," ketika pikiran itu melintas dalam benaknya, hampir saja dia melompat keluar dari tempat persembunyian untuk memberi pertolongan.
Tapi niat itu segera diurungkan, pikirnya lagi, "kalau aku tampil, paling hanya mengantar kematian dengan percuma, lebih baik mencari cara lain untuk mengatasi kejadian ini."
Sayangnya, walaupun dia sudah memeras seluruh pikirannya, belum juga ditemukan cara yang sempurna untuk menghadapi situasi itu.
Kobaran api yang membakar bangunan kuil itu makin lama makin bertambah besar, sekarang ia dapat melihat kalau Im Ceng sedang dikerubut dua orangjago tangguh.
Rupanya si pendekar bertangan tiga Pek Seng-bu habis kesabarannya ketika melihat Suto Siau belum juga mampu merobohkan musuhnya, maka ia terjun pula ke arena pertarungan dan melakukan pengerucutan.
Ternyata bukan cuma bentuk senjatanya yang aneh, jurus serangan yang digunakan pun sangat aneh dan menakutkan, bola besi yang berada dalam genggamannya mengeluarkan suara keleningan nyaring yang memekakkan telinga.
Mendadak Suto Siau memperlambat serangannya dan
bertanya sambil tertawa:
"Saudara Pek, jadi kau sangka Siaute tidak sanggup mengalahkan dia?"
"Bukan begitu," jawab Pek Seng-bu cepat:
"Siaute hanya ingin secepatnya menyelesaikan pertarungan ini."
Sambil menyahut, senjata Sian jin ciangnya dengan membawa suara deru angin tajam dan keleningan merdu melepaskan tujuh jurus serangan berantai.
Im Ceng mengertak gigi sambil melakukan perlawanan, peluh sudah membasahi jidatnya, tapi dia tak mau mengalah, jurus serangan adu jiwa dilancarkan berulang kali, tampaknya saat ini dia sudah tidak memikirkan keselamatan diri sendiri.
Dari kejauhan terdengar Seng-toanio sedang berseru,:
"Aneh, tidak nampak jejak musuh di empat penjuru, masa perguruan Tay ki bun hanya tinggal tersisa seorang anak jadah ini?"
"Siauya seorang pun sudah lebih dari cukup untuk mengadu jiwa dengan kalian, buat apa orang banyak?" sahut Im Ceng gusar.
Dengan menghimpun segenap tenaganya dia melepaskan serangkaian serangan maut ke tubuh Suto Siau.
Kini dia sudah tidak mempedulikan keberadaan senjata Sian-jin-ciang milik Pek Seng-bu lagi, dia hanya bertekad untuk menghabisi nyawa seorang, paling tidak dia ingin mencari seorang teman bila harus berangkat ke alam baka nanti.
Dengan gesit Suto Siau menghindar ke sana kemari, ejeknya lagi sambil tertawa:
"Perlawanan hewan yang terjebak ternyata hanya begitu saja!"
"Kena!" mendadak Pek Seng-bu membentak nyaring.
Dimana cahaya tajam menyambar lewat, sebuah luka memanjang muncul di bahu Im Ceng.
Thiat Tiong-tong yang berada di atas pohon tahu kalau Im Ceng sudah terluka, semakin hatinya gelisah, semakin kalut pikirannya, dia semakin tak mampu menemukan cara terbaik untuk melakukan pertolongan.
Saat itu seluruh tubuh Im Ceng sudah bermandikan darah, tapi serangan yang dilancarkan justru makin ganas dan nekat, sepak terjangnya makin garang, sama sekali tidak terbesit rasa takut barang sedikitpun.
"Dasar kepala batu!" umpat Suto Siau sambil tertawa dingin,
"masakah perguruan Tay ki bun yang begitu besar tinggal seorang cecunguk macam kau yang siap mampus di sini"
Kemana larinya yang lain?"
"Hmm, yang lain sudah pada pergi, bangsat, tunggu saja tanggal mainnya, nantikan pembalasan dendam dari perguruan Tay ki bun!"
Jeritan itu sangat keras dan melengking, membuat semua orang merasa bergidik.
Ketika teriakan keras itu menggema dalam telinga Thiat Tiong-tong, dia pun segera mengambil satu keputusan.
Dengan cepat dia mematahkan beberapa ranting pohon yang dirangkai menjadi satu, kemudian melepaskan jubah luarnya dan dikenakan pada rangkaian kayu ranting tadi, kemudian dengan sepenuh tenaga dia lemparkan orang-orangan itu keluar sambil diiringi suara pekikan nyaring.
Sementara dia sendiri segera menyelinap turun dari atas pohon dan menyusup ke balik ruangan yang sedang terbakar.
Ranting yang dikerudungi jubah luar itu mirip sekali dengan bayangan manusia ketika terlempar dari atas wuwungan rumah, orang-orang itu segera terpental dan mencelat lagi sejauh beberapa kaki.
Di bawah remangnya cahaya api, bayangan itu nampak seperti seorang ya heng jin yang sedang menyelinap di balik kegelapan.
"Mau kabur kemana kau!" bentak Seng-toanio sambil meng hentakkan tongkatnya dan meluncur ke depan bagaikan seekor burung rajawali.
Buru-buru Seng Cun-hau mengikut di belakang ibunya.
Suto Siau segera berseru:
"Saudara Pek, cepat kejar musuh-musuh yang lain, bocah ini sudah terluka parah, Siaute masih sanggup menghadapinya!"
Tanpa banyak bicara Pek Seng-bu segera melompat ke depan dan meluncur ke arah wuwungan rumah.
Kembali Suto Siau melepaskan satu pukulan, waktu itu Im Ceng sudah kehabisan tenaga, dia tidak sanggup lagi membendung datangnya ancaman.
"Cepat katakan kemana larinya rekan-rekanmu yang lain, asal kau bersedia menjawab, kuampuni nyawamu!"
Kelihatannya dia memang berniat lain, menggunakan kesempatan di saat semua orang melakukan pengejaran, dia ingin mencari tahu dulu ke arah mana kaburnya kawanan jago perguruan Tay ki bun, setelah itu dia akan menggunakan keberhasilannya itu untuk menanamkan pengaruhnya di hadapan Seng-toanio serta Leng It-hong.
Siapa tahu justru apa yang dia lakukan sesuai dengan kehendak hati Thiat Tiong-tong.
Mendadak terlihat segulung kobaran api menyambar tiba, api yang membara itu sebesar meja, buru-buru Suto Siau menghindar ke samping.
Siapa tahu gumpalan api itu seakan benda hidup, tiba-tiba berganti arah dan meluncur lagi memapak tubuhnya.
Suto Siau menjerit kaget, sekalipun dia sempat menghindar, tidak urung tubuhnya sempat terjilat api juga.
Tergopoh-gopoh Suto Siau menjatuhkan diri berguling di atas tanah.
Saat itulah mendadak dari balik kobaran api muncul sesosok bayangan manusia, begitu membopong tubuh Im Ceng, dia melesat pergi dengan kecepatan tinggi.
Menanti Suto Siau berhasil memadamkan api yang berkobar di tubuhnya, bayangan tubuh Im Ceng sudah lenyap tidak berbekas, kini yang tertinggal hanya gumpalan api yang sedang terbakar, ternyata memang sebuah meja.
Rupanya ketika Thiat Tiong-tong menyelinap ke dalam ruangan tadi, dia segera menemukan sebuah meja yang sedang terbakar, maka dengan cepat dia sambar meja itu dan dilemparkan ke arah Suto Siau.
Menanti Suto Siau berkelit untuk memadamkan api yang membakar tubuhnya, dia pun segera membuang meja itu, menyambar tubuh Im Ceng dan kabur keluar dari kuil.
Baru muncul di halaman luar, di antara berkelebatnya cahaya terlihat bayangan manusia bermunculan di seputar tempat itu sambil menarik busur masing-masing.
Terdengar seseorang menghardik:
"Siapa di situ?"
Tanpa berpikir panjang, Thiat Tiong-tong menjawab:
"Orang sendiri, Ngo-hok!"
Bayangan manusia yang berada di balik tempat
persembunyian kelihatan agak tertegun, belum sempat ingatan kedua melintas, Thiat Tiong-tong sudah menyelinap melalui sisi tubuh mereka dan kabur dari kepungan.
Sementara itu Thiat Tiong-tong bermandikan peluh dingin, dia tidak menyangka kalau kata sandi itu telah menyelamatkan jiwa mereka berdua.
Ketika menengok ke arah Im Ceng, dia lihat paras muka pemuda itu pucat bagai mayat, meski masih melotot, namun biji matanya sama sekali tidak bergoyang.
"Samte!" bisik Thiat Tiong-tong kaget.
Tiada jawaban dari Im Ceng.
Rupanya dia sudah menggunakan tenaga kelewat batas, ditambah kehilangan banyak darah, maka kini berada dalam keadaan tidak sadar.
Sambil berkerut kening Thiat Tiong-tong melanjutkan larinya menelusuri tanah perbukitan, entah sudah berapa lama dia berjalan, sampai tubuhnya terasa penat, akhirnya dia berhenti.
Akhirnya sembari mengatur napasnya yang tersengal, dia mencari sebuah gua di sekitar tempat itu dan membaringkan Im Ceng di sana.
Sementara dia sendiri merasakan mulutnya kering dan seluruh tubuhnya sakit, beberapa bagian bajunya terbakar hangus, telapak tangannya mengelupas, luka bakar di sana sini menimbulkan rasa sakit yang merasuk tulang.
Dia tidak berani mencari air minum, juga tidak sempat menggubris luka bakar di tubuhnya, sambil membopong tubuh Im Ceng, dirobeknya ujung baju dan mulai menyeka keringat serta darah yang membasahi tubuh rekannya itu.
Luka memanjang yang diderita Im Ceng pada punggungnya cukup dalam, luka itu membujur bahu hingga ke punggung, begitu dalam lukanya hingga nyaris kelihatan tulangnya yang berwarna putih.
Sementara luka yang lain meski lebih cetek, namun posisinya berada di atas lambung sampai ulu hati, keadaannya jauh lebih gawat.
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghembuskan napas dingin, dia cukup tahu betapa seriusnya luka itu dan bila tidak segera diobati, bisa jadi nyawa Im Ceng melayang.
Tapi saat itu bukan saja dia tidak punya obat luka, air untuk membersihkan mulut luka pun tak ada, kecuali dia punya sayap dan terbang keluar dari tanah perbukitan itu, mungkin yang bisa dia lakukan hanya menunggu saat ajal Im Ceng.
Setelah berpikir sesaat, akhirnya sambil mengertak gigi dia membopong lagi tubuh Im Ceng dan melanjutkan perjalanannya menuju ke depan.
Angin musim gugur berhembus lewat menggoyangkan ilalang, suasana di tanah perbukitan itu terasa sendu dan menyeramkan.
Thiat Tiong-tong betul-betul kehabisan tenaga, dia merasa kekuatan tubuhnya semakin melemah, namun semangatnya masih berkobar, tekadnya masih besar, pikirnya, "Ketika mereka menyaksikan aku kabur dari situ, langkah apa yang selanjutnya akan mereka lakukan?"
Waktu itu Suto Siau merasa terkejut bercampur murung setelah kehilangan jejak Im Ceng.
Ketika dia masih termangu, tampak sesosok bayangan manusia melayang turun di hadapannya sembari berkata dingin:
"Empat penjuru tak nampak jejak musuh, untung saja masih ada seorang keturunan keluarga Im yang berhasil dibekuk Suto Siau!"
Orang itu tidak lain adalah Leng It-hong, rupanya dia sudah tahu kalau Thiat Tiong-tong telah membawa kabur Im Ceng, tapi sengaja tidak bergerak dari tempat persembunyiannya, dalam hati dia tertawa dingin tiada hentinya:
"Suto Siau wahai Suto Siau, kau selalu berlagak sok hebat dan ingin pamer kepintaran, kali ini akan kulihat apa lagi yang bisa kau katakan?"
Orang ini memang picik dan sempit pikirannya, ketika menyaksikan Suto Siau selalu tampil sambil unjuk kebolehannya, meski di mulut tak berkata apa-apa, namun dalam hati merasa mendongkol bercampur gusar.
Dia tahu orang itu menganggap tidak mungkin ada musuh yang mampu kabur dari kepungan, karena ketatnya kawanan jago yang mengepung tempat itu, maka dia ingin menggunakan kejadian ini untuk mempermalukan Suto Siau, agar nama baiknya tercoreng di depan orang banyak.
Oleh sebab itu sambil berlagak tidak tahu kejadian yang sebenarnya, dia sengaja mengucapkan perkataan tadi.
Betul saja, Suto Siau kontan terbungkam dalam seribu bahasa.
Kembali Leng It-hong berlagak pilon, teriaknya kaget:
"He, kemana larinya bocah itu?"
"Sudah kabur!"
"Aaah, masa seorang bocah kemarin sore juga mampu kabur dari cengkeraman Suto Siau?"
"Beruntung di sekeliling tempat ini dijaga oleh kawanan jago dari benteng Han hong po, toh mustahil dia bisa kabur dari tempat ini!"
Berubah paras muka Leng It-hong, belum sempat dia berbicara, tampak dua orang lelaki berpakaian ketat telah berlari masuk ke dalam kuil sambil melapor:
"Barusan ada dua orang pemuda melarikan diri dari sini, entah siapakah mereka?"
"Memangnya kalian semua orang mampus?" umpat Suto Siau gusar, "kenapa kalian bebaskan mereka" Masa tidak tahu kalau mereka adalah anak murid perguruan Tay ki bun?"
Lelaki itu nampak terkejut, tapi segera katanya:
"Mereka dapat mengucapkan kata sandi, hamba tak berani menghalangi."
Dengan gemas Suto Siau menghentakkan kakinya ke tanah, bentaknya kemudian:
"Kejar!"
Sambil tertawa dingin Leng It-hong menyindir:
"Kelihatannya kata sandi Ngo-hok dari saudara Suto memang hebat, tapi aneh, kenapa murid perguruan Tay ki bun bisa tahu?"
Hijau membesi paras muka Suto Siau.
Dalam pada itu Seng-toanio sekalian telah balik dengan tangan hampa.
Pek Seng-bu pun berkata:
"Asal kita mengetahui arah yang mereka tuju sewaktu melarikan diri, rasanya sebelum fajar esok, orang-orang itu sudah bisa kita tangkap kembali!"
"Sudah dikepung begini banyak orang pun mereka mampu melarikan diri, apa mungkin kita bisa menyusul mereka?" sindir Seng-toanio.
"Belum tentu, orang she Im sudah terkena dua kali seranganku, belum tentu jiwanya bisa diselamatkan, rekannya pasti sedang bingung untuk merawat dan mengobati lukanya, bisa jadi mereka masih berada di seputar bukit ini untuk beristirahat."


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau mereka menggembol obat?"
"Sekalipun punya obat, paling tidak juga butuh air bersih untuk mencuci mulut lukanya. Betul agak sulit untuk melacak jejak mereka di tengah kegelapan malam, tapi asal kita tahu dimana letak mata air, kemudian menjebaknya di situ, aku rasa mustahil mereka bisa terbang ke langit."
"Masuk akal!"
"Sekarang mereka sedang berusaha kabur, jalan yang dipilih pun pasti bukan jalan besar, asal kita hadang mereka di tempat strategis dan menyumbat seluruh jalan keluarnya, aku percaya tak mungkin mereka bisa lolos dari pengejaran kita."
"Tidak nyana siasat saudara Pek luar biasa hebatnya," kata Leng It-hong sambil melirik Suto Siau sekejap, "aku rasa julukan kantong siasat mesti dialihkan dari saudara Suto ke tangan saudara Pek."
"Aaah, saudara Leng kelewat memuji, sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat pasti akan terjatuh juga, sebaliknya sebodoh-bodohnya orang, ada saatnya berhasil juga, kalau dibandingkan saudara Suto, tentu saja Siaute masih ketinggalan jauh."
"Sudah, jangan banyak omong melulu, kita harus segera berangkat," bentak Seng-toanio.
Setibanya di atas bukit, mereka perintahkan para pemanah untuk menyumbat jalan keluar sambil berjaga di sisi sungai, sementara Pek Seng-bu sekalian mulai melakukan penggeledahan di empat penjuru.
Suto Siau memeriksa sebentar keadaan sekeliling situ, lalu pikirnya, "Seandainya aku yang harus kabur di tanah perbukitan ini sambil membopong seseorang yang terluka, apa yang harus kuperbuat agar lolos dari pelacakan musuh?"
Gerak tubuh Thiat Tiong-tong sudah semakin melambat, namun ketika bergerak maju, dia tidak berani mengeluarkan sedikit suara pun, dipilihnya jalan yang sepi dan terpencil untuk meneruskan perjalanannya.
Di tengah hembusan angin musim gugur yang kencang, tiba-tiba dia mendengar suara aliran air dari balik hutan.
Suara aliran air sungai yang gemercik lirih terdengar bagai irama surga dalam pendengaran Thiat Tiong-tong, tanpa terasa semangatnya berkobar kembali, dia segera mempercepat langkahnya mendekati sumber suara air itu.
Makin lama suara itu semakin dekat, tinggal beberapa langkah lagi dia akan mencapai tepi sungai... waktu itu, kawanan jago yang bersembunyi di sekeliling sungai pun sudah melihat bermunculan.
Pada saat itulah Thiat Tiong-tong merasa gelagat tidak beres, pekiknya dalam hati, "Aduh celaka!"
Cepat dia menghentikan langkahnya sambil hartanya kepada diri sendiri, "Adaikata aku menjadi mereka, bukankah paling baik jika bersembunyi di seputar sungai untuk menunggu datangnya lawan yang menggendong orang terluka?"
Berpikir begitu dia segera berputar arah, berusaha menjauhi giliran sungai itu.
Tapi suara gemericiknya air membuat dia merasa
kerongkongannya bertambah kering dan panas, sambil menggigit bibir dia memaksakan diri untuk melawan godaan itu.
Pada saat itulah dari balik hutan muncul dua sosok bayangan manusia, bayangan itu sedang bergerak ke arahnya sambil melakukan pemeriksaan, mereka tidak lain adalah Pek Seng-bu dan Leng It-hong.
Kembali satu ingatan melintas dalam benak Thiat Tiong-tong,
"Celaka, kalau aku menjadi mereka, tempat-tempat yang gelap dan tersembunyi pasti akan kugeledah lebih dulu, bukankah jejak kami berdua segera akan ketahuan?"
Di bawah sana terbentang jalan perbukitan selebar tiga kaki, jalan itu berliku-liku hingga ke bawah bukit, meski curam dan terjal, namun jalanan itu berupa jalan gunung yang lebih nyaman dilalui.
"Saat ini aku pasti berada dalam kepungan mereka, kalau ingin lolos dari pencarian, kelihatannya mesti mencoba menyerempet bahaya. Jalan perbukitan itu adalah jalan umum, orang pasti tidak akan percaya kalau aku berani melalui jalanan itu, kenapa tidak mengambil resiko ini" Siapa tahu aku justru bisamelarikan diri?"
Tanpa ragu lagi dia pun keluar dari tempat persembunyian dan berlarian di jalan perbukitan itu.
Situasi yang mendesak memaksa dia mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya, dia berusaha memasuki sudut mati dari pemikiran orang lain dan melakukan tindakan yang sama sekali di luar dugaan siapa pun.
Benar saja, sepanjang perjalanan dia sama sekali tidak menjumpai penghadangan maupun pencegatan.
Sambil menghembuskan napas lega, pikirnya kemudian:
"Samte, Thian pasti akan memberi jalan kepada umatnya, asal kita bisa lolos dari penghadangan hari ini, lukamu pasti dapat disembuhkan."
Meskipun Im Ceng masih dalam keadaan pingsan, namun karena ada harapan untuk hidup terus, Thiat Tiong-tong pun sedikit banyak merasa hatinya lega.
Meskipun gara-gara kecerobohan dan keberangasan Im Ceng hampir saja mereka berdua tewas secara mengenaskan di atas bukit, namun tiada rasa gusar atau jengkel yang muncul dalam pikiran Thiat Tiong-tong, baginya asal lm Ceng bisa hidup terus, pengorbanan sebesar apapun sama sekali tak berarti baginya.
Baru saja dia menyeka keringat yang membasahi jidatnya, mendadak dari sisi jalan terdengar seseorang mengejek sambil tertawa dingin:
"Sayang salah satu musuh yang harus kau hadapi adalah Suto Siau!"
Kemudian sambil memunculkan diri, lanjutnya sambil tersenyum:
"Sudah kuduga, kalian tidak bakal terjatuh ke tangan mereka dan pasti akan memilih jalan besar untuk melarikan diri, kini kau sudah kelelahan dan kehabisan tenaga, sementara rekanmu sudah terluka parah, bagaimanapun akulah yang akan menentukan nasib kalian berdua."
"Tunggu sebentar!" seru Thiat Tiong-tong.
"Apa lagi yang kau kehendaki?"
"Di antara kita berdua tidak ada ikatan dendam maupun sakit hati, kenapa kau begitu memojokkan kami?"
"Secara pribadi kita memang tidak bermusuhan, tapi siapa suruh kalian menjadi anak murid perguruan Tay ki bun" Siapa suruh kau mengangkat tua bangka Im jadi gurumu?"
"Siapa bilang aku adalah murid perguruan Tay ki bun" Kami berdua sudah diusir dari perguruan, biar kau bunuh kami berdua pun tidak ada gunanya."
"Hmm, tidak usah bersilat lidah, kau boleh membohongi orang lain, tapi jangan harap bisa menipu Suto Siau!"
"Jika kau bunuh aku, hal ini malah sangat diharapkan perguruan Tay ki bun, apalagi jika sampai tersiar luas di kolong langit, orang persilatan malah akan mengejekmu karena sudah membantu perguruan Tay ki bun untuk membereskan murid murtadnya."
"Kalau aku bersedia tidak membunuhmu, apa yang akan kau perbuat?"
"Jika hari ini kau bebaskan aku, bila di kemudian hari aku tahu kabar berita tentang perguruan Tay ki bun, orang pertama yang akan kuberitahu pastilah dirimu. Nah, waktu itu bukan saja kau akan berjaya, maka sakit hatiku pun ikut terlampiaskan."
Tampaknya perkataan itu sangat mengena di hati Suto Siau.
Sekalipun wajahnya tidak menampilkan perubahan, namun perasaannya mulai goyah, ujarnya kemudian:
"Baik, boleh saja aku tidak membunuhmu, tapi kau mesti mengangkat aku menjadi gurumu."
Thiat Tiong-tong segera memberitahu pada diri sendiri:
"Jelas ucapan itu sengaja dia utarakan untuk menjajal kesungguhan hatiku, dulu bukankah jenderal Han Sim pun rela merangkak di bawah pantat orang sebelum akhirnya berhasil membalas dendam negaranya" Kalau aku ingin hidup terus sambil mencari kesempatan untuk membalas dendam di kemudian hari, apa salahnya kalau hari ini kuangkat dia sebagai guruku?"
Berpikir sampai di situ, dia segera membaringkan Im Ceng ke tanah sambil bertanya:
"Perkataanmu bisa dipercaya?"
"Kalau bersatu kita sama-sama untung, kalau berpisah kita sama-sama rugi, buat apa aku mesti membohongimu?"
Sekalipun rasa gusar dan mendongkol nyaris meledakkan dada Thiat Tiong-tong, namun dalam penampilan ia tetap bersikap tenang, tanpa banyak bicara pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
"Hahaha, bagus, bagus sekali," Suto Siau tertawa terbahak-bahak, "bagaimana dengan dia?"
"Saat ini dia masih tidak sadarkan diri, lebih baik tunggu sampai dia mendusin...."
Belum selesai perkataan itu, tiba-tiba terdengar Im Ceng mengumpat dengan nada gemetar:
"Budak yang tidak tahu malu, jangan disangka aku tidak melihat perbuatanmu, hidup sebagai anggota perguruan Tay ki bun, mati pun aku tetap setan perguruan Tay ki bun!"
Begitu selesai berteriak, kembali dia jatuh tidak sadarkan diri.
Rupanya sewaktu sadar dari pingsannya tadi, kebetulan dia mendengar pembicaraan Thiat Tiong-tong, bahkan sempat pula menyaksikan pemuda itu sedang menyembah di hadapan lawan.
Thiat Tiong-tong merasa sedih bercampur mendongkol, namun ibarat orang bisu makan empedu, biar pahit pun terpaksa harus ditelan sendiri. Maka dia pun mengambil keputusan, apapun yang bakal terjadi, dia akan menghadapi dengan lapang dada, biar mesti memikul nama busuk, biarpun dianggap pengkhianat, dia tak peduli, yang penting sekarang adalah menolong Im Ceng dan menyelamatkan jiwanya.
Terdengar Suto Siau dengan nada tidak suka menegur:
"Kenapa rekanmu itu?"
"Dia sudah pingsan cukup lama, mungkin kesadarannya sudah tidak jelas lagi...."
"Baik," kata Suto Siau kemudian, "bila kau ingin aku percaya kepadamu, sekarang juga bunuhlah dia terlebih dulu, kalau tidak, susah bagiku untuk percaya padamu."
Siasatnya ini boleh dibilang sangat kejam dan telengas, dia memang cerdik, banyak akal dan selama hidup tidak pernah dibohongi orang.
Waktu itu tenaga dalamnya telah dihimpun ke dalam telapak tangannya, asal Thiat Tiong-tong menunjukkan sikap ragu, dia putuskan akan menghabisi nyawa anak muda itu terlebih dulu.
Siapa tahu Thiat Tiong-tong sama sekali lidak menunjukkan sikap ragu, tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan serunya kepada Im Ceng:
"Im Ceng, kenapa sampai sekarang kau belum juga mau sadar, padahal perguruan Tay ki bun sudah tidak menghendaki kita, bahkan mengusir kita berdua dari perguruan, kenapa kau masih begitu setia kepada mereka" Baiklah, kalau toh kau tak mau sadar, biar sekarang juga kuantar kepergianmu terlebih dulu."
Perlahan-lahan dia mengangkat telapak tangannya dan langsung dibacokkan ke atas kepala Im Ceng.
Diam-diam Suto Siau tersenyum kegirangan, kini dia yakin kalau pemuda itu telah berhasil dia taklukkan.
Karena gembira, tanpa sadar dia pun menarik kembali telapak tangannya dan tertawa terbahak-bahak.
Saat itu telapak tangan Thiat Tiong-tong sudah hampir menghajar di atas batok kepala Im Ceng.
Pada saat yang terakhir itulah mendadak pemuda itu merangsek ke depan, sepasang sikutnya langsung disodokkan ke dada dan lambung Suto Siau, sementara tendangan kaki kanannya menghajar lawannya itu hingga mencelat ke belakang.
Begitu berhasil membokong lawannya, tanpa berpaling lagi Thiat Tiong-tong menyambar tubuh Im Ceng dan kabur secepatnya meninggalkan tempat itu.
Di tengah hembusan angin malam, kini hanya terlihat tubuh Suto Siau yang terkapar semaput di pinggir jalan.
Sebetulnya orang ini bukan termasuk manusia yang gampang ditipu, terlebih dibokong orang, tapi kecerdasan Thiat Tiong-tong telah membuat dia mati kutunya, dengan iming-iming nama dan pahala, pemuda itu berhasil membangkitkan napsu serakahnya, kemudian dengan tindak-tanduk yang seolah sungguhan ia berhasil memperoleh kepercayaannya.
Maka di saat Suto Siau sedang bangga dan gembira, di saat rasa curiganya telah lenyap, dia terhajar telak oleh serangan kilat Thiat Tiong-tong.
Begitulah kalau orang kelewat lupa daratan, terkadang hal ini justru memperlemah kewaspadaan diri sendiri.
Sayangnya, Thiat Tiong-tong yang cerdas dalam gugup dan tergopoh-gopohnya telah melakukan satu pelanggaran pula, pelang-garan yang sangat mematikan.
Dia bukannya kabur dengan menelusuri jalan gunung, sebaliknya malah masuk ke dalam hutan dan mengantarkan diri ke dalam perangkap yang dipasang orang lain.
Hutan itu gelap dan lembab, setelah menempuh perjalanan sekian waktu, dia baru menyadari akan kesalahan itu, tapi sayang keadaan sudah terlambat.
Mendadak dari balik pohon meluncur datang tiga batang panah yang tajam disertai desingan angin tajam.
Buru-buru Thiat Tiong-tong membungkukkan tubuh, anak panah itu meluncur lewat melalui atas punggungnya, sambil mengambil segenggam pasir dan disebarkan ke sisi kiri, tubuhnya menyusup ke arah kanan untuk melanjutkan larinya.
Sambil melompat menghindar, dia mulai memeriksa sekeliling tempat itu, terlihat ada sebatang pohon besar dengan daun yang amat lebat tumbuh di hadapannya, dia tahu tempat semacam ini paling cocok untuk digunakan bersembunyi, maka tanpa ragu dia segera melompat ke situ.
Biarpun sudah terjebak dalam situasi kritis, jalan pemikiran pemuda ini masih tetap tenang dan jelas, dia masih mampu menga-nalisa dan menyimpulkan segala sesuatu secara jelas.
Baru saja tubuhnya bersembunyi di balik dedaunan, suara ujung baju yang tersampuk angin telah berkumandang dari bawah pohon, untung dia bertindak cepat, coba terlambat sedikit saja, pasti akan bertemu dengan orang-orang itu.
Ternyata dua sosok bayangan manusia yang bergerak mendekat adalah Leng It-hong serta Pek Seng-bu.
Sambil memeriksa sekeliling tempat itu, terdengar Leng It-hong bergumam:
"Aneh, dengan jelas kulihat dia kabur menuju kemari, kenapa tidak nampak bayangan tubuhnya?"
Pek Seng-bu ikut menghentikan langkahnya sembari tertawa dingin.
"Hram, sekalipun gerakan tubuh bajingan itu sangat cepat, memangnya dia bisa terbang ke langit atau menyusup ke dalam tanah?" serunya: "mustahil bayangan tubuh mereka bisa lenyap begitu saja, saudara Leng, jangan-jangan kau salah lihat."
"Mana mungkin.." seru Leng It-hong gusar.
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terlihat Pek Seng-bu sedang mengedipkan mata memberi tanda sambil berkata:
"Barusan Siaute mendengar di sebelah kiri ada suara, coba kita periksa dulu ke arah situ."
"Betul, mungkin saja mereka berubah arah," Leng It-hong segera mengubah nada bicara-nya.
Kedua orang itu membalikkan tubuh dan beranjak pergi.
Thiat Tiong-tong yang bersembunyi di atas pohon
menghembuskan napas lega, diam-diam dia bersyukur karena sekali lagi berhasil lolos dari kesulitan.
Siapa tahu baru saja ingatan itu melintas, mendadak terdengar suara tertawa mengejek bergema dari arah belakang tubuhnya.
Terdengar si pendekar berlengan tiga Pek Seng-bu tertawa tergelak sambil mengejek:
"Kusangka kau benar-benar memiliki kemampuan untuk terbang ke langit atau menyusup ke dalam tanah, rupanya hanya bersembunyi di atas pohon."
Di tengah gelak tertawanya, tubuhnya sudah melompat naik ke atas pohon, sambil menyingkap dedaunan dengan senjata Sian-jin-ciang, disertai desingan tajam dia serang bahu dan punggung Thiat Tiong-tong.
Dalam terkesiapnya, Thiat Tiong-tong tidak berani melancarkan serangan balasan, tubuhnya segera melompat turun ke bawah.
Siapa tahu rupanya Leng It-hong sudah menunggunya di bawah pohon, begitu dia melompat turun, sambil tertawa dingin jengeknya:
"Mau kabur kemana lagi kau?"
Sepasang kepalannya diayunkan bergantian langsung menghimpit tubuh Thiat Tiong-tong serta Im Ceng yang berada dalam gendongannya.
Dengan tangan kiri masih menggendong Im Ceng, buru-buru Thiat Tiong-tong memutar tubuh sambil mengayunkan kakinya menendang iga Leng It-hong, arah serangannya ditujukan ke bagian mematikan sehingga memaksa musuh harus segera melindungi diri.
Lekas Leng It-hong menarik kembali serangannya sambil melindungi diri, telapak tangannya dibabatkan ke bawah membacok kaki pemuda itu.
Pada saat bersamaan Pek Seng-bu telah melompat turun dari atas pohon, senjatanya disertai angin serangan menyapu pinggang Thiat Tiong-tong.
Dalam posisi membopong orang, menghadapi pula serangan dari depan dan belakang, boleh dibilang pemuda itu sudah terjebak dalam situasi yang sangat berbahaya.
Sekalipun dia berhasil meloloskan diri dari serangan pertama, namun serangan demi serangan kembali dilancarkan Leng It-hong dan Pek Seng-bu, dengan mengandalkan sebelah tangan, mana mungkin dia sanggup menahan serangan mereka"
Dalam situasi yang amat kritis itulah tiba-tiba dia membentak keras, berbareng dengan bentakan itu tubuhnya langsung menerjang ke muka dan menumbuk dada Leng It-hong dengan kepalanya.
Jelas gerakan ini merupakan jurus serangan nekat, jauh di luar peraturan pertarungan yang berlaku.
Biarpun Leng It-hong banyak pengalaman dan berilmu tinggi, dia dibuat gugup juga menghadapi jurus serangan yang belum pernah dilihat sebelumnya ini, segera tubuhnya berkelit ke samping, lalu melayangkan telapak tangannya menyapu bahu anak muda itu.
Sambil mengertak gigi Thiat Tiong-tong memanfaatkan kesempatan itu untuk menerjang ke muka.
"Mau kabur kemana kau!" hardik Pek Seng-bu sambil tertawa dingin, bahunya bergerak dan siap melakukan pengejaran.
Tiba-tiba Thiat Tiong-tong membalikkan tubuh sambil membentak nyaring:
"Kena!"
Ling It-hong maupun Pek Seng-bu tidak tahu senjata rahasia apa yang dilepaskan pemuda itu, serentak mereka melompat ke samping untuk menghindarkan diri.
Tidak dinyana ternyata serangan itu hanya sebuah serangan tipuan, biar sudah ditunggu sesaat pun Leng It-hong maupun Pek Seng-bu tidak melihat ada senjata rahasia yang menyambar tiba, menanti mereka sadar kalau tertipu, Thiat Tiong-tong sudah menggunakan kesempatan itu melarikan diri.
Padahal semua akal muslihat yang digunakan anak muda itu hanya tipuan paling rendah kualitasnya, tapi apa mau dikata, tipuan yang paling sederhana itu justru berhasil menipu habis-habisan dua orang tokoh persilatan yang berpengalaman itu.
Dengan perasaan mendongkol Leng It-hong menghentakkan kakinya ke tanah, serunya penuh rasa dendam:
"Sialan, lagi-lagi termakan tipuan bajingan itu!"
"Sekeliling hutan sudah berada dalam kepungan, masakah dia bisa kabur dari kepungan kawanan jago?"
"Aku tahu, bajingan itu memang mustahil bisa lolos, tapi yang membuatku jengkel adalah berulang kali dia berhasil menipu Lohu dengan tipuan anak-anak!"
"Di sinilah letak kelicikan bajingan itu, sudah tahu kalau kita tidak bakal memperhatikan tipuan anak-anak, maka dia sengaja meng-gunakannya untuk menghadapi kita."
"Manusia semacam ini hanya akan menjadi bibit bencana bila dibiarkan hidup terus, untung dia kabur ke arah wilayah yang dijaga pendekar pedang berhati ungu serta Seng-toanio!"
Setelah melarikan diri sejauh puluhan depa, Thiat Tiong-tong tak berani berlari terlalu cepat, sambil membungkukkan tubuh dia bergerak lambat dan penuh waspada.
Dia tidak berani mengeluarkan suara, asal ada sedikit gerakan angin di hadapannya, segera dia berganti arah.
Kini dia sudah berada dalam kondisi yang tidak segar, selain luka bakar di tubuhnya, bahunya juga terkena sebuah pukulan, dalam keadaan begini nyaris dia sudah tidak mampu lagi bertarung melawan orang.
Oleh sebab itu dia meningkatkan kewaspadaannya dan berjalan sangat lambat, betul saja, dengan seringkali berganti arah, sepanjang jalan dia tidak menjumpai rintangan.
Tampaknya asal berjalan beberapa saat lagi mereka segera akan lolos dari hutan belantara itu. Mendadak dari atas kepalanya terdengar seseorang mengejek sambil tertawa dingin:
"Hati-hati kalau berjalan, jangan sampai terjerembab!"
Thiat Tiong-tong terkesiap, dia tidak berani mendongakkan kepala, dengan cepat tubuhnya meluncur ke depan.
Terdengar desingan angin bergema dari atas kepala disusul dua sosok bayangan manusia melayang turun ke bawah, satu di depan dan yang lain di belakang, serentak mencegat jalan kaburnya.
Mereka tidak lain adalah Seng-toanio dan Seng Cun-hau.
Seng Cun-hau sambil melintangkan pedangnya berdiri menghadang di depan jalan, sementara Seng-toanio berada di sudut yang lain dan berdiri penuh senyuman.
Belum sempat mereka bicara, Thiat Tiong-tong telah menghela napas terlebih dulu sambil berseru:
"Bagus sekali!"
Kemudian bukannya melarikan diri, dia malah duduk bersila, sikapnya amat santai seperti orang yang sedang beristirahat, seolah-olah baru saja ia bertemu dengan orang sendiri saja.
"Apanya yang bagus?" tak tahan Seng-toanio menegur:
"kenapa kau malah senang bertemu aku?" Kembali Thiat Tiong-tong menghela napas panjang.
"Sebenarnya aku sedang mencari kalian berdua, untunglah setelah bersusah payah lari ke sana sini, akhirnya Thian memang maha bijaksana, perjalananku jadi tak sia-sia."
"Ada urusan apa kau mencari aku?" timbul rasa ingin tahu dalam hati Seng-toanio.
Seng Cun-hau sendiri termasuk tipe orang yang tak gemar banyak bicara, dia hanya melintangkan pedangnya sambil mengawasi anak muda itu.
Mendadak Thiat Tiong-tong membungkukkan tubuhnya dan mulai berteriak kesakitan.
"He, kenapa kau?"
"Senjata rahasia," sahut Thiat Tiong-tong gemetar, "ada orang...."
"Kau tidak perlu bermain gila di hadapanku," tukas Seng-toanio gusar, "Toanio tidak bakalan tertipu olehmu!"
Sekalipun bicara begitu, tak urung dia membungkukkan tubuhnya juga untuk memeriksa apakah benar terdapat senjata rahasia.
Diam-diam Thiat Tiong-tong melirik sekejap, begitu melihat perempuan tua itu mulai membungkukkan tubuh, dia pun berpikir sambil tertawa dingin:
"Hmm, akhirnya kau tertipu juga oleh siasatku!"
Secepat kilat dia menyebarkan segenggam pasir ke wajah nenek itu, sementara tubuhnya melejit sekuat tenaga keudara dan melepaskan serangkaian tendangan berantai ke wajah Seng-toanio.
Tergopoh-gopoh Seng-toanio melompat mundur sembari berteriak:
"Cun-hau, jangan biarkan dia kabur!"
Seng Cun-hau segera melepaskan sebuah tusukan kilat, gerakan pedangnya bagaikan bianglala, cepat dan mematikan.
Thiat Tiong-tong segera berseru lantang:
"Pedang tidak akan dipakai untuk membunuh musuh yang bertangan kosong, kalau kau ingin membunuh, ayo, silakan bunuh!"
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dia kabur menuju ke samping kiri.
Betul saja, begitu mendengar teriakan itu, buru-buru Seng Cun-hau menarik kembali serangannya, dia menarik tusukannya persis di saat Thiat Tiong-tong bergerak melalui sisi tubuhnya.
Meskipun ujung pedangnya berhasil merobek punggung lawan hingga berdarah, namun ia menghentikan langkahnya seketika sambil berpikir, "Aaai... mengingat kau pun seorang lelaki sejati, cepatlah kabur! Jangan sampai terkejar lagi oleh orang lain."
Begitu ingatan itu melintas, tanpa ragu dia segera membuka sebuah jalan kehidupan bagi lawan.
Saat itu Seng-toanio belum mampu membuka matanya karena kemasukan pasir, tapi dia tetap mengayunkan tangannya melepaskan segenggam jarum perak.
Terlihat kilatan cahaya perak menerobos di angkasa dan seolah-olah punya mata saja, langsung mengejar ke arah Thiat Tiong-tong.
Perlu diketahui, Seng-toanio sudah puluhan tahun lamanya mendalami ilmu melepaskan senjata rahasia, bukan saja ia bisa menentukan sasaran berdasarkan arah angin, bahkan senjata rahasia itu dapat diarahkan sekehendak hati, seolah-olah benda berjiwa saja.
Thiat Tiong-tong tahu kalau Seng Cun-hau berniat melepaskan dia, maka pemuda ini berlari sekuat-kuatnya menjauhi tempat itu, namun baru kabur sejauh puluhan depa, tiba-tiba lututnya terasa kesemutan, tiga batang jarum gadis langit yang lembut bagai bulu tahu-tahu sudah bersarang telak di tubuhnya.
Rasa sakit yang merasuk tulang sumsum membuat
langkahnya jadi terhuyung, hampir saja dia jatuh terjerembab, meski begitu, perasaannya agak lega karena dia tahu jarum itu tidak beracun.
Apabila jarum itu beracun, maka mulut luka tak bakal menimbulkan rasa sakit, ini disebabkan tujuan Seng-toanio memang ingin membekuk lawannya hidup-hidup, oleh sebab itu jarum yang digunakan adalah jarum tanpa racun.
Thiat Tiong-tong menghembuskan napas panjang, dengan satu pukulan kuat dia menghantam bagian tubuhnya yang terluka, jarum yang menancap pun seketika terpental hingga mencuat setengah bagian dari permukaan kulit.
Sambil menjepit dengan kedua jari tangannya, ia cabut keluar jarum perak itu, lalu sambil menahan sakit melanjutkan kembali larinya.
Kini dia bergerak makin berhati-hati, dengan membawa beberapa gumpal lumpur, setiap berjalan belasan langkah dia pun segera melemparkan segumpal tanah ke sisi kiri dan kanan untuk memancing perhatian lawan, ketika mencapai lemparan yang kelima, mendadak dari balik ranting pohon bergema suara desingan angin tajam.
Buru-buru Thiat Tiong-tong menyelinap ke samping dengan menempelkan punggungnya rapat-rapat pada dahan pohon.
Terlihat belasan anak panah berhamburan dari empat penjuru mengarah dimana tanah tadi dilempar.
Melihat itu, sambil mengertak gigi Thiat Tiong-tong melemparkan lagi gumpalan tanah yang terakhir jauh ke depan sana.
Kontan suara bentakan bergema dari atas dahan pohon:
"Sasaran lari ke arah sana!"
Empat sosok bayangan manusia meluncur turun dari atas pohon dan bersama-sama melakukan pengejaran.
Melihat itu Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, sambil membalikkan tubuh dia menyelinap ke arah yang berlawanan.
Meskipun dengan mengandalkan kecerdasannya beberapa kali dia berhasil membohongi musuhnya, namun dia sendiri pun tidak tahu akhirnya dia mesti kabur kemana.
Dalam perjalanan berikut, dia sama sekali tidak menjumpai penghadangan, Thiat Tiong-tong kembali berpikir, "Kalau hari ini aku berhasil lolos, berarti Thian telah membantuku, kalau tidak...."
Belum selesai ingatan itu melintas, kembali terdengar suara bentakan memecahkan kesunyian:
"Berhenti!"
Cepat pemuda itu menyelinap ke sisi kiri, tampak dari balik pohon di sisi kiri muncul sebuah busur dengan anak panah yang siap dilepaskan.
Dengan tubuh penuh luka, jelas dia tidak berani menerjang secara kekerasan, baru saja ia akan membalikkan tubuh, tahu-tahu dari belakang pohon di sebelah kanan telah muncul seorang lelaki sambil membentak: "Mau kabur kemana kau!"
Sambil memejamkan mata, Thiat Tiong-tong berbalik tubuh menerjang ke muka, tapi seseorang muncul lagi dari belakang pohon sambil menghardik:
"Jangan harap bisa lolos dari sini!"
Seorang lelaki kekar dengan golok terhunus dan senyuman dingin telah menghadang jalan perginya.
Anak muda itu mulai mengeluh.
"Habis sudah riwayatku kali ini!" pikirnya.
Dalam waktu singkat muncul empat orang lelaki kekar dari arah depan, belakang, kiri maupun kanan, dua di antaranya bersenjata golok dan dua lainnya membawa busur dan anak panah.
Seandainya Thiat Tiong-tong seorang diri dan tenaganya masih kuat, tentu saja dia tidak akan memandang sebelah mata terhadap keempat orang lelaki itu, tapi sekarang bukan saja ia sudah terluka, Im Ceng yang berada dalam bopongan pun dalam keadaan pingsan, jangankan dikepung berempat, cukup seorang lelaki biasa pun sudah cukup untuk merobohkan dirinya.
Padahal keempat orang itu selain gesit dan cekatan, khususnya lelaki bergolok itu, matanya tajam, Ginkangnya tangguh, jelas dia adalah seorang jago pilihan dari dunia persilatan.
Detik itu juga ia merasa putus asa, hilang lenyap seluruh rasa percaya dirinya.
"Ooh, Suhu...." pekiknya dalam hati, "Tecu sungguh menyesal karena tak bisa mewakilimu melindungi Sute, biarlah setelah jadi setan gentayangan nanti, akan kubantu kau orang tua dari alam baka!"
Berpikir sampai di situ perasaannya menjadi jauh lebih tenang, sambil menghentikan langkahnya dan membusungkan dada, dia menanti datangnya kematian.
Selangkah demi selangkah keempat orang lelaki itu berjalan mendekat, kelihatannya mereka masih takut bila Thiat Tiong-tong melakukan perlawanan, karena itu paras muka mereka rata-rata tegang bercampur serius.
"Hahaha, kenapa mesti tegang?" ejek Thiat Tiong-tong sambil tertawa tergelak, "silakan maju mendekat, Siauya mu sudah siap memenuhi keinginan kalian, jangan kuatir, aku tidak bakal menyerang!"
Dengan wajah berubah, lelaki bergolok itu tertawa dingin, hardiknya:
"Manusia she Thiat, ajal sudah di depan mata, kau masih berani garang?"
"Hmm, Siauyamu sudah lama merasakan bagaimana enaknya mati, ayo maju saja, jangan takut, Thiat-siauya tak bakalan mengernyitkan dahi!"
Sambil tertawa dingin lelaki bergolok itu memberi tanda, ujarnya:
"Tangkap bangsat itu hidup-hidup, jangan sakiti jiwanya, Pocu butuh dia untuk diinterogasi!"
Tampaknya lelaki bergolok itu adalah pemimpin rombongan, tiga orang lelaki lainnya segera menyahut sambil menyimpan kembali senjatanya, mereka maju mendekat.
Meski begitu gerak-geriknya masih kelihatan tegang dan penuh kewaspadaan.
Thiat Tiong-tong berdiri tanpa bergerak, walaupun senyuman masih menghiasi wajahnya, namun perasaannya terasa kecut.
Budi gurunya belum dibayar, dendam belum terbalas, dia tidak seharusnya tewas begitu saja. Tapi keadaan berkata lain, dalam keadaan seperti ini kecuali jalan kematian memang tak ada pilihan lagi yang bisa diambil, karena itu dia hadapi kenyataan itu secara gagah berani.
Lelaki bergolok itu masih berdiri dengan perasaan tegang, tak tenang dan penuh gejolak emosi, goloknya dipegang erat-erat sementara telapak tangan kirinya telah menggenggam beberapa batang senjata rahasia.
Menanti ketiga orang lelaki itu hampir mendekati Thiat Tiong-tong, tiba-tiba dia membentak:
"Tunggu sebentar!"
Sambil berseru dia maju ke depan.
Sementara ketiga orang lelaki itu masih melengak, tahu-tahu lelaki itu sudah mengayunkan goloknya membacok lelaki yang ada di sebelah kiri, sedangkan senjata rahasianya disambitkan ke dada lelaki yang ada di sebelah kanan.
Lelaki ketiga menjadi terkesiap, buru-buru dia melontarkan sebuah pukulan ke punggung Thiat Tiong-tong, membuat pemuda itu terhuyung beberapa langkah ke depan dan akhirnya jatuh tertelungkup.
Lelaki bergolok itu membentak nyaring, cahaya golok berkelebat, dia bacok tengkuk lelaki itu kuat-kuat.
Cepat lelaki itu berkelit ke samping, teriaknya kaget:
"He, kau sudah gila?"
Kembali lelaki bergolok itu melancarkan tiga bacokan berantai, cahaya golok yang tercipta bagaikan sebuah rantai panjang yang mengurung lelaki itu rapat-rapat.
Pecah nyali lelaki itu menghadapi serangan maut itu, sambil menjerit keras dia membalikkan tubuh dan melarikan diri.
Hawa napsu membunuh telah menyelimuti wajah lelaki bergolok itu, dia sama sekali tidak mengejar, menunggu sampai orang itu kabur sejauh tiga depa, mendadak lelaki itu melemparkan goloknya ke muka dengan sepenuh tenaga.
Sekilas bianglala membelah angkasa, bagai sambaran kilat, golok itu meluncur ke depan dan menghujam di punggung lelaki itu. Bukan hanya begitu, kekuatan yang tersisa segera menyeret lelaki tadi hingga terpantek di atas batang pohon.
Tidak sempat lagi menjerit kesakitan, tewaslah lelaki itu dalam keadaan mengenaskan.
Thiat Tiong-tong berusaha meronta untuk duduk, meski lukanya cukup parah, namun dia masih memeluk tubuh Im Ceng erat-erat.
Masih untung gempuran lelaki tadi dilancarkan dalam keadaan gugup hingga tidak sampai menimbulkan luka, karena itu setelah berhasil duduk, dengan perasaan tercengang bercampur tak habis mengerti, ditatapnya lelaki bergolok itu sambil bertanya:
"Sobat, kau... kenapa...." Sambil membesut noda darah pada laras sepatunya, lelaki itu menukas:
"Tempat dan saat ini bukan saat yang tepat untuk bicara, Thiat-kongcu, mari ikut aku kabur dari sini."
"Kalau tidak kau jelaskan, mana mungkin aku bisa mengikutimu?"
Setelah menghela napas lelaki bergolok itu berkata:
"Dua puluh tahun berselang, Thiat-locianpwe, leluhur Thiat-kongcu pernah mengampuni jiwa seorang pemuda yang bernama Tio Ki-kong, meskipun Tio Ki-kong hanya seorang kasar, namun selama dua puluh tahun tak pernah melupakan budi kebaikan itu, sayangnya Thiat-locianpwe keburu pulang ke langit barat."
Suaranya terdengar agak gemetar, tapi dengan cepat lanjutnya lagi:
"Oleh karena Tio Ki-kong tidak mungkin bisa membayar budi ini kepada Thiat-locianpwe, maka akan menyumbangkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk membantu keturunannya.
Kongcu, tak jauh di depan sana adalah jalan menuju keluar gunung, silakan mengikuti Tio Ki-kong, berilah kesempatan kepadaku untuk membalas budi ini...."
Thiat Tiong-tong berusaha bangkit berdiri, tapi ia terjatuh kembali ke tanah.
Berubah paras muka Tio Ki-kong, buru-buru dia
membangunkan pemuda itu sambil berseru:
"Cepat! Sedikit terlambat, semuanya akan berakhir!"
Thiat Tiong-tong menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya sambil tertawa sedih:
"Saudara Tio, boponglah saudaraku ini dan kaburlah dari sini, aku...."
"Bagaimana dengan kau?"
"Aku sudah tidak sanggup lagi, sementara kau pun tidak mungkin membopong kami berdua sekaligus...."
"Kenapa tidak mungkin" Biar harus mempertaruhkan nyawa sekalipun aku...."
"Kalau berbuat begitu berarti kita bertiga akan mati bersama, tinggalkan aku di sini untuk menahan pasukan pengejar, dengan begitu kalian baru punya harapan untuk lolos."
"Kongcu," dengan gemas Tio Ki-kong menghentakkan kakinya,
"kenapa kau berkata begitu" Jika Kongcu enggan pergi, biarlah aku orang she Tio tetap tinggal di sini untuk menemani Kongcu."
"Saudara Tio," kata Thiat Tiong-tong dengan suara berat, "kau adalah seorang lelaki sejati yang bisa membedakan mana budi mana dendam, apakah kau berharap aku menjadi seorang manusia yang lupa budi dan tidak setia kawan" Aku sudah banyak berhutang budi kepada guru, bila meninggalkan dia di sini, sementara aku melarikan diri, bukankah tindakanku ini lebih rendah dari hewan" Saudara Tio, jika kau menolak keinginanku, biarlah Thiat Tiong-tong bunuh diri sekarang juga!"
Tio Ki-kong terkesiap dan tertegun untuk sesaat.
Setelah menghela napas, kembali Thiat Tiong-tong berkata:
"Aku serahkan keselamatan saudaraku ini kepadamu, cepatlah tinggalkan tempat ini, asal kau berhasil menyelamatkan jiwanya, ayah pasti akan berterima kasih pula di alam baka."
Pucat pias paras muka Tio Ki-kong, untuk sesaat dia malah berdiri mematung.
"Cepat lari!" seru Thiat Tiong-tong lagi: "menolong dia sama seperti menolongku, kalau tidak segera pergi, aku akan mati dulu di hadapanmu."
Sambil mengertak gigi Tio Ki-kong berseru kemudian:
"Tidak kusangka Kongcu adalah seorang lelaki sejati... baik!


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kukabulkan permintaanmu!"
Sambil berjongkok dia membopong tubuh Im Ceng, kemudian berlalu dari situ dengan langkah lebar.
BAB 3 Hidup Susah Mati Mudah
Kabut fajar menyelimuti seluruh permukaan bumi, pagi hari menjelang tiba, kegelapan malam pun pelan pelan bergeser ke ujung dunia.
Memandang bayangan punggung Tio Ki-kong yang lenyap dibalik kabut, sekulum senyuman pedih menghiasi ujung bibir Thiat Tiong-tong, gumamnya:
"Sam-te, selamat tinggal!"
Mendadak terlihat Tio Ki-kong membalikkan tubuh sambil menjatuhkan diri berlutut, sepatah demi sepatah katanya:
"Tio Ki-kong bukan lelaki yang gampang berlutut, aku hanya menyembah kepada seorang lelaki sejati yang menjunjung tinggi kebenaran dan kesetia kawanan, sekarang aku berlutut kepadamu bukan lantaran kau adalah keturunan dari Thiat locianpwee...."
Meskipun pada permulaan kata dia masih berbicara dengan suara berat, tapi pada akhirnya dia mulai sesenggukan dan tidak sanggup melanjutkan lagi kata-katanya.
Thiat Tiong-tong ikut berlutut, katanya pula:
"Siaute tidak bisa bicara banyak, aku hanya menyesal kenapa baru sekarang kenal dengan seorang sahabat macam saudara Tio!"
Kemudian sambil mengangkat wajahnya, dia melanjutkan dengan nada lantang:
"Saudara Tio, nyawa saudaraku telah kuserahkan
ketanganmu, semoga kau bisa selamatkan jiwanya. Saudara Tio!
Cepat berangkat!"
Tio Ki-kong membentak lirih kemudian berlalu dari situ dengan cepat, tidak lama kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Thiat Tiong-tong mulai duduk bersila, darah dan air hujan yang menggenangi seluruh permu-kaan beriak ketika terhembus angin fajar, tiga sosok mayat yang berjajar disitu pun sudah mulai membeku.
Pemuda itu tahu, sebentar lagi musuh tangguh segera akan menggeledah sampai disitu, tapi pikirannya tetap kosong, perasaannya tetap hamba, sebab "kematian" bukan jalan yang dia pilih.
Tadi sebetulnya dia bisa memilih jalan "kehidupan", dia bisa meletakkan "kehidupan" sendiri diatas "kematian" Im Ceng, tapi dia telah mengabaikan jalan "kehidupan" bagi diri sendiri dan sambil tersenyum memilih jalan "kematian", karena merupakan pilihan sendiri maka sekarang dia tidak nampak terlalu sedih, tidak terlalu pedih dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
"Ayoh kemarilah!" sambil membusungkan dada dia berseru,
"Thiat Tiong-tong sudah menanti disini!"
Diambilnya sebuah busur dan berapa batang anak panah, lalu memusatkan perhatian ke depan.
Walaupun waktu berlalu amat cepat, namun dalam
perasaannya justru amat panjang dan lama.
Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang ringan bergerak mendekat, seseorang berbisik lirih:
"Coba dicari sekitar sana, bangsat itu sudah terluka parah, delapan puluh persen sulit untuk hidup terus!"
"Masih untung kalau dia mati" sahut rekan-nya, "kalau hidup malah lebih mengenaskan"
Orang yang pertama kembali menghela napas: "Yaa, terkadang mati lebih enak daripada hidup, kalau aku jadi dia, lebih baik mati lebih awal karena jauh lebih nyaman dan tidak tersiksa"
Dalam keheningan yang mencekam tanah perbukitan itu, bisikan yang lirih pun berubah jadi nyaring dan jelas terdengar.
Thiat Tiong-tong terkesiap, batinnya: "Benarkah hidup susah mati gampang" Hidup susah mati gampang?"
.... Thiat Tiong-tong, kau tidak boleh lari dari kenyataan, kau tidak boleh mati, selama masih ada harapan untuk hidup, kau harus berjuang terus untuk mempertahankannya!
Sejak dulu hingga kini, banyak orang mencari mati untuk menghindari penderitaan dan tanggung jawab, tahukah mereka bahwa keputusan untuk mempertahankan hidup sebenarnya jauh lebih berani, jauh lebih perkasa daripada menghadapi kematian"
Seringkali orang melupakan akan hal ini, itulah sebabnya ksatria yang berjuang sampai titik darah penghabisan jauh lebih dihormati daripada para pahlawan yang gampang memilih jalan kematian.
Suara langkah semakin mendekat, kedengaran seseorang sedang berkata:
"Tio suhu, apakah melihat sesuatu yang mencurigakan di pos penjagaan sini" Pocu perintahkan kami untuk datang kemari...."
Belum selesai dia bicara, mendadak meluncur datang sebatang senjata rahasia dari balik kabut dan menghujam diatas dadanya, rekan yang lain menjerit kaget sambil melarikan diri terbirit-birit. Tapi belum lagi berapa langkah, kembali sebatang senjata rahasia meluncur tiba dan menghajar punggungnya, setelah sem poyongan orang itu roboh terjungkal ke tanah, tapi dia segera meronta bangun dan melanjurkan kembali larinya.
Mungkin serangan yang kedua jauh lebih lemah dari serangan pertama sehingga meski mengenai sasaran namun tidak sampai menimbulkan luka yang fatal.
Menanti suara berisik itu sudah makin jauh, Thiat Tiong-tong baru membuang busurnya, menelanjangi salah satu mayat itu dan menggantinya dengan pakaian hitam miliknya, sementara dia sendiri mengenakan pakaian dari mayat itu.
Thiat Tiong-tong tidak lupa memenggal kepala mayat itu dan menguburnya ke dalam tanah, sekalipun tanah lumpur disana lembek karena terendam air, tidak urung pekerjaan ini membuatnya mandi keringat.
Kemudian setelah melumuri wajah sendiri dengan lumpur, dia pun merebahkan diri ke tanah.
Tidak lama kemudian terdengar suara desingan angin tajam disertai langkah kaki berkumandang dari empat penjuru, suara itu makin lama semakin mendekat.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak pemuda itu, pekiknya didalam hati: "Aaah, tidak benar!"
Cepat dia membalikkan tubuh dengan berbaring tertelentang, sebab secara tiba-tiba dia teringat, jika dia tertelungkup maka orang lain pasti akan melakukan pemeriksaan, sebaliknya dengan rebah tertelentang meskipun jauh lebih berbahaya namun justru tidak menarik perhatian orang lain.
Tidak selang berapa saat terlihat bayangan manusia berkelebat lewat, Leng It-hong serta Pek Seng-bu sudah muncul dari dua arah yang berlawanan.
"Lagi-lagi berhasil kabur!"
"Dia sudah terluka parah, apalagi harus menggendong seseorang, aku tidak pecaya dia bisa kabur dari sini, ayoh kejar!"
"Coba kau lihat itu!" tiba tiba Leng It-hong berseru.
Rupanya dia telah menemukan mayat tanpa kepala yang mengenakan baju warna hitam itu, dari potongan tubuhnya mirip sekali dengan potongan badan Thiat Tiong-tong.
Mereka berdua segera saling bertukar pandangan sambil bertanya penuh curiga:
"Mungkinkah dia?"
Tapi dengan cepat mereka menggeleng: "Tidak mungkin!"
Dengan wajah serius Pek Seng-bu tundukkan kepalanya sambil berpikir, mendadak dia melayangkan sebuah tendangan menghajar tubuh sesosok mayat yang roboh tertelungkup, begitu keras tendangan itu hingga mayat tadi mencelat sejauh berapa langkah.
Dengan wajah berubah Leng It-hong segera menegur:
"Saudara Pek. Biarpun dia hanya seorang bubeng siaucut (
Cucu kura-kura) yang tidak berguna dari benteng kami, toh orangnya sudah mati, buat apa kau mempermalukan
jenasahnya?"
"Ternyata orang ini benar-benar berpikiran picik" batin Pek Seng-bu dalam hati, tapi diluar sahutnya sambil tertawa paksa:
"Siaute hanya ingin membuktikan apakah orang ini mati benaran atau cuma berlagak mati"
"Aaah celaka" mendadak wajah Leng It-hong berubah,
"teringat aku sekarang, jenasah siapa mayat tidak berkepala ini"
"Siapa?"
Leng It-hong tidak langsung menjawab, dia mendongakkan kepalanya sambil menghela napas panjang.
"Aaai... ! Tio Ki-kong wahai Tio Ki-kong, kasihan kau sudah setia sampai mati, ternyata setelah tewaspun harus kehilangan kepala"
"Tio Ki-kong" Bukankah dia adalah Tio suhu, salah satu dari empat guru ilmu pukulan dalam Benteng Han hong po yang ilmu silatnya paling tangguh?"
"Pasti bajingan itu sehabis membunuhnya, memotong batok kepalanya lalu menukar pakaiannya dengan tujuan akan membohongi kita"
"Benar, bajingan itu paling suka menggunakan akal-akalan, sudah berulang kali dia menipu kita dengan akalnya yang licik"
"Kali ini lohu tidak mau tertipu lagi, ayoh kejar terus!"
Terdengar Seng Toa-nio berteriak dari arah seberang:
"Ada orangkah disitu?"
"Sudah kabur!" sahut Pek Seng-bu.
"Aku menemukan jejak kaki menuju ke luar hutan" teriak Seng Toa-nio lagi, "cepat kalian kemari, dengan luka yang begitu berat, tidak nanti dia bisa kabur terlalu jauh!"
"Kami segera datang!" sahut Pek Seng-bu, kemudian sambil berpaling ke arah Leng It-hong dan tertawa getir, bisiknya:
"Jejak kaki apaan" Mungkin dia sudah sinting lantaran panik!"
"Apa salahnya kita tengok ke situ!" sahut Leng It-hong sambil tertawa.
Setelah mendengar Pek Seng-bu ikut memaki Seng Toa-nio, perasaan hatinya menjadi sangat lega, perasaan kesalnya pun seketika berkurang banyak.
Diam diam Pek Seng-bu merasa geli, tapi diluar kembali ujarnya:
"Saudara Leng, apa salahnya kau tinggalkan berapa orang untuk memberesi jenasah anak buahmu, masa akan kau biarkan mereka kepanasan dan kehujanan?"
"Aaah, betul! Betul!" Leng It-hong manggut manggut.
Dia segera memanggil berapa orang pemanah dan perintahkan mereka untuk mengubur jenasah itu, kemudian sambil menepuk bahu Pek Seng-bu katanya:
"Ayoh jalan, mari kita periksa si nenek edan itu sudah menemukan apa?"
Kini dia sudah menganggap Pek Seng-bu sebagai orang sendiri, padahal belum tentu Pek Seng-bu berpendapat yang sama dengan dirinya.
Biarpun hampir seperminum teh lamanya mereka berdua berhenti disitu, namun tidak seorang pun di antara mereka yang menggubris mayat yang tergeletak dengan posisi terlentang, bahkan melirik sekejap pun tidak.
Inilah kelemahan dari manusia, seringkah yang mereka perhatikan justru hanya tempat yang tersembunyi, sementara tempat yang di depan mata malah terabaikan.
Thiat Tiong-tong yang menahan napas tidak berani berkutik mulai mengeluh didalam hati:
"Jika sampai dikubur hidup-hidup, apa yang harus kulakukan?"
Walaupun dengan andalkan kecerdasan dan keberaniannya, berulang kali dia berhasil lolos dari bahaya maut, tapi di saat mara bahaya yang satu baru saja lewat, mara bahaya lain yang jauh lebih sulit kembali harus dihadapi.
Suara langkah kaki yang ramai bergema makin mendekat, pikiran dan perasaan Thiat Tiong-tong pun ikut bertambah gugup dan kalut.
Dalam keadaan begini bukan saja dia tidak bisa bergerak, membuka mata pun tidak dapat.
Terdengar suara seseorang dengan nada yang parau dan besar sedang berseru:
"Ting loji, ayoh cepat turun tangan, mau apa kau berdiri disitu berlagak mampus?"
"Aaai, sudah kelelahan seharian, mau angkat kakipun rasanya sudah segan, mana ada tenaga untuk menggali liang kubur?"
"Lantas kalau tidak dikubur mau diapakan mayat-mayat itu"
Mungkin saja kau berani membangkang perintah pocu, kalau aku mah tidak punya keberanian sebesar itu"
"Eeh, aku punya akal, selain tidak usah buang tenaga, tugaspun bisa dilaksanakan, bagaimana menurut pendapatmu?"
"Apa akalmu?"
"Tidak jauh dari tempat ini terdapat sebuah liang kecil, hanya tidak jelas seberapa dalamnya, bagaimana kalau kita buang saja mayat mayat itu ke sana?"
"Bagus sekali, bagus sekali, kalau begitu mari segera kita kerjakan" teriak Ting Loji cepaat.
Tampaknya semua orang sudah kelelahan maka tidak ada yang protes atau kurang setuju. Tidak lama kemudian tubuh Thiat Tiong-tong pun sudah digotong orang.
Dia kuatir detak jantungnya kedengaran orang, padahal yang bisa dilakukan sekarang hanya tahan napas, bagaimana caranya menyembunyi-kan debaran jantungnya"
Biarpun perjalanan yang ditempuh tidak terlampau jauh, namun dalam pandangan Thiat Tiong-tiong justru amat panjang, lama dan sengsara, seolah olah jalanan tersebut tiada berujung dan pangkal.
"Aaah, sudah sampai!" akhirnya terdengar seseorang berseru.
Menyusul kemudian dia mendengar suara benda yang dilempar orang dan suara benturan yang berasal dari bawah tanah, kalau didengar dari suara pantulan yang dihasilkan, tampaknya liang itu bukan saja tidak kecil bahkan sangat dalam.
"Saudaraku, beristirahatlah dengan tenang dibawah sana, kalian tidak perlu menderita lagi, terus terang kami ikut merasa iri"
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas, tubuhnya juga telah dilempar orang ke dalam liang.
Dia merasa desingan angin tajam bergema disisi telinganya, sementara gerak tubuhnya yang meluncur ke bawah amat cepat.
Dalam gugupnya buru-buru tangannya berusaha meraih benda disekelilingnya dan memegangnya kuat-kuat.
Saat ini dia tidak bisa merasakan benda apa yang berhasil dicekalnya, namun dia pun enggan lepas tangan, maka setelah terlempar berapa saat akhirnya tubuhnya berhenti meluncur ke bawah.
Lama, lama kemudian dia baru berani membuka matanya, kini dia baru tahu kalau benda yang berhasil diraihnya adalah akar rotan yang tumbuh kuat ditepi tebing, sekalipun sudah menahan bobot tubuhnya yang sedang meluncur ke bawah namun tidak menyebabkannya putus.
Ketika mencoba menengok ke bawah, yang tampak hanya kegelapan yang pekat dan tidak nampak dasarnya, sementara ketika menengok ke atas, yang tampak hanya awan putih, ternyata pagi hari telah tiba.
Dia tidak berani menggerakkan tubuhnya sebab kuatir akar rotan itu putus jadi dua, sekarang dia hanya berharap bisa segera pulih-kan kembali kekuatan tubuhnya kemudian berusaha meninggalkan tempat itu.
Entah berapa saat sudah lewat, kini telapak tangannya mulai terasa sakit dan panas sekali, sakit yang menusuk hingga ke dalam hati, tapi dia gertak gigi sambil berusaha menahan siksaan itu.
Banyak kejadian yang paling menyiksapun telah berhasil dilampaui, tiba-tiba dia memperoleh satu pelajaran, asal kau punya tekad dan niat, tidak ada kejadian didunia ini yang tidak bisa kau hadapi.
Perlahan-lahan dia mulai menggeserkan ujung kakinya mencari tempat pijakan yang lebih kuat, lalu sambil melepaskan genggaman ditangan kirinya dia beralih memegang akar rotan lainnya.
Tiba-tiba.... "Blukkk!" pinjakan kakinya kehilangan keseimbangan, tubuhnya langsung terperosok ke bawah diikuti akar rotan yang digenggam tangan kanannya ikut putus jadi dua.
Dia merasa jantungnya seolah-olah melompat keluar lewat tenggorokan, kini keselamatan jiwa-nya hanya tergantung pada seutas akar rotan yang tidak terlalu kuat.
Saat ini, biar dilukiskan dengan semua perkataan yang ada di dunia pun tidak mungkin bisa menggambarkan betapa bahaya dan kritisnya anak muda itu.
Tapi dia berusaha mengendalikan perasaan hatinya, dia sadar bila hatinya kalut dan panik, bila dia tidak mampu menguasahi diri, tubuhnya segera akan terjatuh ke dasar jurang dan mati tanpa liang kubur.
Tiba tiba terdengar suara mendesis bergema dari balik semak, sewaktu Thiat Tiong-tong berpaling, dia melihat ada seekor ular berbisa sebesar cawan teh sedang bergerak mendekat dan berhenti lebih kurang satu kaki dihadapannya.
Sepasang mata ular itu besar bagai lentera dan mengawasi wajah Thiat Tiong-tong tanpa berkedip, lidahnya yang merah nyaris menempel di atas pipinya.
Hati Thiat Tiong-tong terasa bergidik, tubuh-nya merinding dan bulu kuduknya pada berdiri.
Bau busuk yang menyembur keluar dari mulut ular itu sangat memuakkan, tapi Thiat Tiong-tong tidak berani bergerak, bahkan mata-nya pun tidak berani berkedip, peluh dingin bercampur dengan lumpur meleleh tiada hentinya.
Dia kuatir kerdipan matanya akan mengejutkan sang ular, asal dia dipagut satu kali saja niscaya tubuhnya akan terlempar jatuh ke bawah.
Sinar mata ular itu hijau kebiru-biruan, ketika bertemu dengan sorot mata Thiat Tiong-tong yang sedang melotot, kelihatannya binatang melata itupun dibuat terkejut bercampur takut.
Sang ular tidak bergerak, Thiat Tiong-tong terlebih tidak berani bergerak.
Air keringat, lumpur basah membuat wajah Thiat Tiong-tong jadi gatalnya bukan kepalang, saat inilah dia baru sadar bahwa gatal sebetulnya merupakan sesuatu yang menyiksa.... jauh lebih tersiksa daripada radang.
Manusia dan ular pun saling berhadapan tanpa bergerak....
Ditengah keheningan mendadak terdengar seseorang berseru dari atas tebing:
"Thiat kongcu, aku orang she-Tio telah datang terlambat, sungguh sedih karena tidak bisa melihat wajahmu untuk terakhir kalinya" Seruan itu diutarakan dengan nada sedih, tapi begitu terdengar oleh Thiat Tiong-tong, dia segera tahu kalau Tio Ki-kong yang telah datang, rasa gembira yang meluap nyaris membuatnya berteriak keras.
Tapi dengan cepat dia kendalikan semua keinginannya untuk berteriak, sebab dia tidak ingin menimbulkan suara berisik apa pun yang menyebabkan ular berbisa dihadapannya jadi agresif dan melancarkan pagutan.
Terdengar Tio Ki-kong berteriak lagi dari atas tebing:
"Thiat kongcu, beristirahatlah dengan tenang di alam baka, aku telah menghantar Im kongcu ke suatu tempat yang aman, ada orang yang telah merawatnya, begitu selesai menjalankan tugas aku segera menyusul kemari, siapa tahu kedatanganku tetap terlambat selangkah"
Thiat Tiong-tong merasa sedih bercampur terharu disamping rasa cemas dan gelisah yang tidak terlukiskan dengan kata, padahal asal dia mau berteriak waktu itu, bala bantuan segera akan datang.
Yang menjadi masalah adalah sebelum datangnya bala bantuan, besar kemungkinan dia sudah digigit dulu oleh ular berbisa itu.
Ditengah isak tangis yang berkumandang dari atas tebing, tiba-tiba terdengar seseorang membentak nyaring:
"Tio Ki-kong, ternyata kau berada disini!"
Menyusul kemudian terdengar lagi jeritan kesakitan yang memilukan hati.
Selewat jeritan itu, suasana jadi hening kembali.
Kembali Thiat Tiong-tong menghela napas dalam hati, dia hanya bisa berdoa, moga-moga saja jeritan itu bukan berasal dari Tio Ki-kong, moga-moga saja dia dapat meninggalkan tempat itu dalam keadaan selamat.
Dan bagaimana dengan dia sendiri" Pemuda itu hanya pasrah pada nasib.
Ditengah ketidak pastian itulah mendadak dari dasar tebing meluncur datang sebuah cambuk panjang yang langsung melilit tubuh Thiat Tiong-tong, kemudian terdengar seseorang membentak nyaring:
"Turun!"
Dalam terkejutnya Thiat Tiong-tong merasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan, tidak ampun tubuhnya segera meluncur jatuh ke bawah.
Kemudian kepalanya terasa pusing, pandangan matanya berkunang kunang sebelum akhirnya jadi gelap, apa yang kemudian terjadi dia tidak tahu.... pergulatannya melawan kematian berakhir sudah.
Im Ceng yang jatuh tidak sadarkan diri perlahan-lahan mendusin kembali dari pingsannya.
Dia merasa seluruh tubuhnya sakit bagai retak, rasa sakit yang membuatnya jadi mati rasa, membuatnya hampir tidak merasa dimana letak ke empat anggota tubuhnya.
Ketika membuka mata, dia menjumpai dirinya berada didalam sebuah kamar yang sempit, kecil lagi jelek.
Cahaya matahari memancar masuk melalui jendela, tapi kamar itu kosong tidak berpenghuni, hanya diluar sana lamat-lamat terdengar ada suara pembicaran orang serta suara benda besi yang saling beradu.
"Berada dimanakah aku" Jangan-jangan sudah dikhianati Thiat Tiong-tong" Mungkinkah orang diluar sana sedang mempersiapkan alat siksaan untuk menginterogasi aku?"
Berpikir sampai disitu dia merasa sedih bercampur gusar, rasa bencinya terhadap Thiat Tiong-tong pun makin mendalam, dia mengira Thiat Tiong-tong telah mengkhianatinya.
"Thiat Tiong-tong wahai Thiat Tiong-tong, asal aku bisa lolos dari maut hari ini, aku bersumpah akan mencabut nyawamu, biarpun kau lari sampai ke ujung dunia pun aku tetap akan mengejarmu!"
Tirai biru di depan pintu disingkap orang, seorang nona berbaju hijau dengan rambut dikepang dua berjalan masuk ke dalam ruangan.
Dandanan gadis ini amat sederhana, bedak pun amat tipis, namun tidak dapat menutupi kecantikan alami yang dimilikinya, baju warna hijau yang dikenakan selaras dengan potongan tubuhnya, hanya sayang penampilannya amat dingin dan hambar, meski matanya bersinar tajam namun kekurangan kelincahan dan sinar hidup, seakan akan dibalik penampilannya yang cantik masih kekurangan sesuatu.
Dia masuk sambil membawa sebuah baki kayu, diatas baki tersedia mangkuk yang masih mengeluarkan uap panas, bau harum obat segera memenuhi ruangan.
Tanpa berkata dia sodorkan mangkuk obat itu ke hadapan Im Ceng.
"Siapa kau?" tanya Im Ceng sambil berusaha bangkit.
Gadis berbaju hijau itu gelengkan kepalanya berulang kali tanpa bicara, dia hanya menuding ke arah mangkuk obat itu, maksudnya minta Im Ceng segera menghabiskan obat itu.
Tiba-tiba lm Ceng berpikir dengan penuh amarah:
"Benar-benar sekawanan manusia keji, kelihatannya mereka kuatir lukaku yang terlalu parah tidak tahan disiksa, maka sekarang ingin mengobati lukaku lebih dulu kemudian baru menyiksaku perlahan-lahan"
Si nona hanya mengawasi pemuda itu dengan pandangan dingin, sorot matanya sama sekali tidak memancarkan sinar kehangatan, hal ini memperkuat dugaan Im Ceng bahwa perempuan ini memang anak buah musuhnya.
"Enyah kau dari sini, siapa yang kesudian minum obatmu!"
Tampaknya nona berbaju hijau itu terkejut bercampur keheranan, tapi dia tetap tidak berbicara maupun bergerak.
Sambil membentak gusar Im Ceng meronta bangun,
tangannya mendorong mangkuk obat itu kuat-kuat.
Tapi sayang karena baru mendusin dari luka parahnya, dorongan itu sama sekali tidak bertenaga, dengan satu kebasan gadis berbaju hijau itu berhasil menyingkirkan tangannya.
Menggunakan kesempatan itu dia cengkeram tengkuk Im Ceng kemudian melolohkan obat itu dengan paksa.
Im Ceng sama sekali tidak mampu meronta, sambil mencaci maki terpaksa dia telan obat pahit itu sampai habis, kemudian baru melanjutkan kembali umpatannya.
Nona berbaju hijau itu sama sekali tidak menanggapi, selesai meloloh pemuda itu dengan obat, dia segera membalikkan tubuh dan berlalu dari situ.
Dibalik tirai merupakan sebuah kamar tidur, meskipun perabotnya sederhana namun amat bersih, diluar kamar merupakan sebuah halaman yang cukup lebar.
Ditengah halaman terlihat tungku api yang membara, empat orang lelaki bertelanjang dada sedang menempa besi, ternyata suara, bentrokan besi yang terdengar tadi berasal dari sini.
Ketika nona berbaju hijau itu muncul di halaman, salah seorang lelaki setengah umur yang sedang menempa besi segera berpaling seraya bertanya:
"Apa dia sudah habiskan obat itu?"
Si nona manggut-manggut.
Sambil menghela napas kembali lelaki setengah umur itu berkata:
"Pemuda itu diserahkan pada kita oleh ayah angkatmu, maka kaupun harus merawat dia secara baik-baik, penampilanmu jangan selalu dingin dan ketus, bikin orang salah sangka dan mengira kau punya perasaan antipati terhadapnya"
Meskipun sedang mengerjakan pekerjaaan kasar namun nada bicaranya tenang dan penuh tenaga, wajahnya pun kelihatan amat berwibawa, begitu selesai berbicara kembali dia melanjutkan pekerjaannya.
"Suhu" seorang pemuda yang lain berseru, "silahkan kau beristirahat sejenak, beberapa macam senjata rahasia ini toh bukan benda yang terlalu susah untuk dikerjakan, kenapa kau orang tua mesti turun tangan sendiri"
"Sekalipun benda benda itu tidak susah dibuat tapi jumlahnya banyak sekali, pihak benteng Han hong po pun terburu ingin menggunakannya, kalau aku tidak turun tangan, pesanan ini pasti akan terbengkalai, padahal kita sudah banyak tahun berhubungan dengan mereka, selama ini pesanan mereka pun tidak pernah dikirim terlambat, kalau kali ini sampai kacau, mau ditaruh ke mana muka Tioji-siokmu"
Waktu itu Im Ceng yang ada dalam kamar masih merasa jengkel bercampur dendam, apa mau dikata obat sudah masuk ke dalam perut dan tidak mungkin bisa ditumpahkan kembali.
Dalam keadaan jengkel itulah dia menangkap suara pembicaraan yang sedang berlangsung diluar, tapi apa yang didengar tidak lengkap, lamat-lamat dia seperti mendengar orang sedang berkata:
"Benteng Han hong po.... terburu-buru.... turun tangan...."
Im Ceng kaget setengah mati, segera pikirnya lagi:
"Ternyata dugaanku tidak salah, asal kondisi tubuhku pulih kembali, mereka pasti akan segera turun tangan untuk meng interogasi aku"
Dia mulai meronta diatas ranjang, pikirnya lagi dengan penuh kebencian:
"Biar harus matipun aku tidak sudi dihina dan dipermainkan mereka, akupun tidak boleh membiarkan mereka tahu kemana perginya ayahku....
Thiat Tiong-tong, kau bangsat, kau penghianat, kalau aku tidak mati pasti akan kucari dirimu!"
Entah disebabkan hawa amarahnya atau karena pengaruh obat yang diminumnya, sekarang dia sudah mendapatkan kembali berapa bagian kekuatan tubuhnya.
Sewaktu mencoba untuk periksa tubuhnya, dijumpai semua luka yang ada ditubuhnya telah dibalut orang dengan rapi.... tapi dia tidak percaya kalau luka itu dibalut oleh gadis berwajah dingin itu.
Api kemarahan membuatnya berpikiran sempit, tanpa berpikir panjang lagi dia mendekati jendela dan segera melompat keluar dari ruangan. Rasa sakit yang menyayat kembali menyerang sekujur tubuhnya, tapi dia menggertak gigi menahan diri, sambil tertatih-tatih dia berusaha meninggalkan tempat itu.
Ternyata diluar jendela adalah sebidang tanah pertanian yang luas, di antara sawah yang bersusun terlihat sebuah jalan setapak yang berlapiskan batu kali.
Dengan sekuat tenaga dia berlarian ditengah area persawahan itu, kemudian menjatuhkan diri bersembunyi ditumpukan jerami, setelah itu baru pikirnya dengan perasaan sedikit lega:
"Untung mereka anggap aku masih terluka parah dan belum sanggup bangun untuk melari-kan diri hingga tidak mengirim orang untuk melakukan penjagaan, kali ini berkat perlindungan Thian aku berhasil lagi lolos dari cengkeraman tangan iblis"
Pikiran anak muda ini seakan sudah disumbat oleh dendam pribadi, dia seperti tidak bisa berpikir dengan lebih tenang bahwa seandainya Benteng Han hong po benar-benar hendak menginterogasi dirinya, mana mungkin dirinya dikirim ke sebuah rumah jelek terpencil yang letaknya ditepi dusun"
Dia semakin tidak mengira kalau nyawanya bisa selamat karena ditukar dengan nyawa Thiat Tiong-tong, dia pun tidak tahu kalau keberhasilan-nya kabur dari hutan adalah berkat jasa Tio Ki-kong yang menghantarnya ke rumah saudara angkatnya.
Dia bisa teledor dan tidak berpikir panjang lantaran Im Ceng memiliki watak yang kelewat berangasan dan cepat naik darah.
Siapa pun tidak menyangka kalau gara-gara keteledorannya ini, dikemudian hari telah menciptakan sebuah badai yang maha dahsyat. Setelah beristirahat sejenak ditengah tumpukan jerami, Im Ceng kembali merangkak ketepi jalan, disitu dia jumpai ada sebuah kereta yang dihela dua ekor kuda kecil sedang bergerak mendekat.
Kusir kereta adalah seorang gadis berusia empat, lima belas tahunan, sambil mengayunkan cambuknya dan melantunkan nyanyian gunung, dia menjalankan keretanya dengan amat santai.
Im Ceng kegirangan, pikirnya:
"Kelihatannya nona itu sedang mengantar kongcu atau siocia nya berpesiar, kenapa aku tidak minta bantuan mereka untuk membantuku kabur dari sini?"
Dengan sekuat tenaga dia lari ke tengah jalanan, menghadang
jalan pergi kereta itu.
"Hey, memangnya kau cari mati?" nona kecil itu langsung menegur sambil melotot.
Sembari merentangkan sepasang lengannya kata Im Ceng dengan suara dalam:
"Urusan sangat gawat, bolehkah aku naik ke dalam kereta terlebih dulu sebelum bicara" Nona tidak usah kuatir, aku bukan orang jahat!"
"Hmm, kau bukan orang jahat" Lihat tampangmu sekarang, sudah pasti kalau bukan pencoleng tentu maling, kalau tidak mau minggir, hati hati nona akan mencambukmu!"
Baru selesai nona itu berteriak, tirai kereta sudah disingkap orang dan muncul sepasang mata yang jeli mengamati Im Ceng dari atas hingga ke bawah, tiba-tiba ujarnya:
"Ming-ji, biarkan dia naik!"
Ming-ji, nona yang menjadi kusir itu memperhatikan pula Im Ceng berapa kejap, kemudian sekulum senyuman misterius menghiasi ujung bibirnya.
Ruang kereta itu amat bersih dan indah, meskipun tidak terlalu lebar namun penuh diliputi bau harum semerbak.
Seorang nyonya cantik bersanggul tinggi sedang duduk bersandar, wajahnya penuh senyuman, saat itu dia sedang mengawasi Im Ceng yang nampak sangat mengenaskan keadaannya.
Senyuman perempuan itu lembut lagi cantik, sepasang matanya seolah memancarkan daya pikat yang mampu menggaet sukma orang, kematangan dan kecantikan wajahnya gampang sekali membuat perasaan kaum muda bergolak.
Dengan perasaan tidak tenang Im Ceng menundukkan kepalanya, menunduk sangat rendah, bisiknya:
"Nyonya...."
"Aku dari marga Un, bukan nyonya"
Merah jengah selembar wajah Im Ceng.
"Aah, maafkan ketidak sopananku nona Un, kali ini cayhe sedang dikejar-kejar musuh besar sehingga dalam keadaan terpaksa telah mengganggu ketenangan nona"
"Tidak masalah, meskipun aku lemah tidak punya
kemampuan namun selalu mengagumi tingkah laku pendekar yang suka berkelana dalam dunia persilatan"
Dia menggunakan senyuman yang paling manis dan kerlingan mata yang paling lembut untuk menggantikan kata-kata
berikutnya. Sesaat kemudian perempuan itu baru berseru kepada Ming-ji yang ada di luar:
"Ming-ji, sedikit perlambat jalan keretamu, Im kongcu sedang terluka parah, jangan sampai getaran menyebabkan dia bertambah menderita"
Im Ceng kaget setengah mati, tanpa sadar teriaknya:
"Darimana kau bisa tahu kalau aku bermarga Im" Sebenarnya siapa kau?"
"Aaah, bukankah kongcu sendiri yang memperkenalkan diri dari marga Im" Masa sekarang sudah lupa" Mengenai siapakah aku...."
Dia tertawa lembut, sambungnya: "Aku hanya seorang perempuan biasa" Diam-diam Im Ceng menghembuskan napas lega, meski begitu perasaannya belum juga tenang, ujarnya:
"Saat ini aku sedang menderita luka parah,
sementara musuh besarku sangat lihay, maka...."
"Kau tidak usah menjelaskan lagi, aku mengerti" tukas wanita cantik itu sangat lembut, "rawatlah lukamu dengan perasaan tenang, tidak nanti musuh besarmu bisa datang mencari ke rumahku"
Kembali Im Ceng merasa tenang bercampur terima kasih.
Tiba-tiba dari arah belakang berkumandang suara langkah kaki manusia disusul seseorang berteriak keras:
"Nona, harap berhenti sebentar"
"Aah, mereka telah datang!" bisik Im Ceng dengan wajah berubah.
"Jangan kuatir!" hibur perempuan cantik itu. Kemudian sambil menarik muka dia membuka tirai keretanya seraya menegur dingin: "Siapa kau" Ada urusan apa?"
"Aku adalah Li Ji, seorang pandai besi yang tinggal di dusun sana"
"Dan sekarang telah berganti pekerjaan menjadi bandit yang menghalangi perjalanan orang?"
"Tidak berani, aku hanya ingin bertanya kepada nyonya apakah melihat keponakanku berjalan disepanjang jalanan ini"
Dia sedang menderita luka parah, kesadarannya belum pulih kembali dan kini sudah kabur entah pergi ke mana?"
"Tua bangka sialan" umpat Im Ceng dalam hati, "berani amat mengaku sebagai cianpwee ku, hmmm! Kalau sampai bertemu lagi dikemudian hari, akan kusuruh kau merasakan bogem
mentahku!"
"Keponakanmu hilang" Kenapa mesti ditanyakan kepadaku?"
terdengar perempuan cantik itu menjawab dengan ketusnya,
"sana, cari sendiri!"
Habis berkata dia turunkan kembali tirai keretanya.
Kereta kuda itu kembali bergerak, terdengar Ming-jiyang ada di depan membentak nyaring: "Minggirkau!"
Menyusul kemudian terdengar suara cambuk yang menghajar sesuatu, entah kuda yang kena dicambuk atau orang tersebut yang dicambuk.
"Apakah musuhmu adalah seorang pandai besi?" terdengar nyonya cantik itu bertanya sambil tertawa.
"Mana mungkin dia hanya seorang pandai besi?" sahut Im Ceng mendongkol, "waktu itu aku tidak sadarkan diri karena terluka parah, sehingga aku sendiripun tidak jelas bagaimana ceritanya hingga terjatuh ke tangan mereka, kalau bukan gara gara aku pingsan, memangnya seseorang dengan peran sekecil itu bisa menyentuh diriku!"
"Tapi seandainya kau tidak terluka, akupun tidak akan mengurusimu, bukan begitu Im kongcu?" perempuan cantik itu mengerling sekejap sambil tertawa ringan.
Kerlingan yang menggoda, nada ucapan yang lembut merayu, bau harum yang memabukkan membuat Im Ceng yang biasa bergelimpangan di antara luka dan darah jadi sedikit terbuai, dia merasa dirinya seolah-olah sedang berada di alam nirwana.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar nyonya cantik itu kembali berkata lembut:
"Sekarang beristirahatlah dulu, setibanya di rumah nanti aku tentu akan membangunkan dirimu lagi"
Im Ceng merasa amat berlega hati, benar saja, tidak lama kemudian dia sudah terlelap tidur.
Saking tenangnya, pemuda itu tertidur sambil mendengkur keras. Tiba-tiba terjadi perubahan hebat pada paras muka nyonya cantik itu, kerlingan mata yang semula merayu kini berubah jadi dingin, beku dan menyeramkan.
Dengan cepat dia mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya dan ditempelkan sejenak dihidung Im Ceng, kemudian serunya:
"Ming-ji, cepat! Apakah majikan sudah kembali ke rumah?"
Kereta kuda bergerak cepat, berlarian diatas jalan setapak berlapiskan batu, tapi Im Ceng sudah tertidur makin nyenyak karena benda yang baru saja ditempelkan dibawah hidungnya
adalah obat pemabuk yang paling hebat daya kerjanya.
Sementara itu nyonya cantik tadi telah menggeledah isi saku Im Ceng, benar saja dari sisi pinggangnya dia berhasil menemukan sebuah lengpay terbuat dari bambu, diatas lencana perintah itu berukirkan sebuah panji sakti yang sedang berkibar.
Sambil tertawa dingin perempuan itu bergumam:
"Orang she-Im, siapa suruh kau terjatuh ke tangan lonio, jangan harap kau bisa kabur lagi!"
Lebih kurang seperminum teh kemudian sampailah kereta itu di depan sebuah perkampungan dengan bangunan yang indah, empat orang gadis berbaju putih segera muncul dari balik halaman menyambut kedatangan perempuan itu.
Sambil melompat turun dari keretanya, perempuan cantik itu segera berseru:
"Cepat gotong masuk! Bawa ke dalam ruang rahasia"
Sementara dia sendiri melanjutkan langkahnya masuk dulu ke dalam gedung.
Ming-ji yang mengikuti dibelakangnya berbisik:
"Apakah hari ini majikan akan tiba disini?"
"Sudah kuperhitungkan, seharusnya dia akan kemari"
"Lalu bagaimana dengan...."
"Tidak usah cemas, aku punya akal"
Setelah menembusi ruang utama dia menuju ke beranda samping dan memasuki sebuah kamar tidur yang beribu kali lipat lebih indah, lebih mewah daripada ruang keretanya tadi.
Ruangan itu sangat harum baunya, tirai tipis bergelantungan di empat penjuru menahan cahaya terang dari luar, permukaan lantai beralaskan permadani bulu yang tebal dan indah, meredam suara langkah kaki, cahaya lentera yang lembut memancar dari sudut sudut ruangan.
Diatas pembaringan yang terbuat dari gading gajah, dibalik kelambu yang halus dan indah, berbaring seorang pemuda berwajah tampan.
Ketika melihat kedatangan nyonya cantik itu, pemuda tampan tadi segera melompat turun dari atas ranjang sambil berseru:
"Aaah, akhirnya kau kembali juga, sungguh tersiksa aku menunggumu!"
Dengan senyuman genit menghiasi bibirnya nyonya cantik itu menjatuhkan diri ke dalam pelukan pemuda itu, katanya:
"Baru saja aku keluar rumah setengah harian, betulkah kau merindukan aku?"
"Sungguh, aku berbicara sungguh-sungguh..."
Nyonya cantik itu tertawa cekikikan, sambil menggoyangkan pinggulnya kembali dia berkata:
"Padahal kita baru berkenalan tiga hari, masa kau selalu merindukan aku" Bagaimana selanjutnya?"
"Selanjutnya" Selama hidup aku tidak akan biarkan kau pergi meninggalkan aku, inilah nasib yang diatur Thian untuk kita berdua, sejujurnya, aku merasa bagaikan hidup dalam impian, tidak jelas bagaimana kejadiannya tahu-tahu aku sudah naik kedalam keretamu, kemudian tahu-tahu sudah tiba ditemp
Istana Pulau Es 11 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Harpa Iblis Jari Sakti 7
^