Pendekar Panji Sakti 20

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 20


emilik pondok Cay-seng" Dia musuh atau sahabat"
Mengapa orang itu berusaha menghindari orang-orang dari marga Im dan Thiat"
Kalau orang ini adalah seorang musuh, mengapa pula Thiat Tiong-tong minta kepadanya untuk memandang orang itu sebagai saudara sendiri" Bahkan pesan itu sampai diulang beberapa kali....
Jelas kejadian im merupakan sebuah kenyataan yang saling bertentangan, biar Cu Cau amat cerdas pun tidak urung dibuat kebingungan sendiri.
Dalam pada itu si nona berbaju hijau itu telah menarik tangan Sui Leng-kong dan memuji sambil tertawa:
"Cici, kenapa wajahmu begitu cantik?"
"Aaah, yang cantik itu dirimu..." jawab Sui Leng-kong pula sambil tertawa.
Sedang pemuda berpakaian ringkas itu berkata kepada Cu Cau sambil menghela napas:
"Saudara, kau nampak begitu gagah, perkasa dan berwibawa, belum pernah Siaute menjumpai manusia sehebat dirimu, coba kalau bukan begitu, tidak mungkin Siaute akan mempercayai
begitu saja perkataanmu..."
"Hahaha, andaikata kau tidak tampan, tidak mungkin aku akan menegur dirimu."
Kedua orang itupun saling berpandangan sambil tertawa tergelak.
Setelah melirik Sui Leng-kong sekejap, tiba-tiba pemuda itu berbisik sambil tertawa ringan:
"Kalian berdua benar-benar ibarat naga dan burung hong, pasangan yang amat serasi...."
Biarpun perkataan itu sangat lirih, ternyata Sui Leng-kong sempat mendengarnya dengan jelas, cepat dia menukas:
"Dia adalah Toakoku...."
Kemudian setelah mengerling sekejap dan tertawa, lanjutnya:
"Aku lihat jusru kalian berdualah...."
Nona berbaju hijau itu segera tertawa, ujarnya:
"Siaumoay bernama Gi Beng, dia adalah kakakku bernama Gi Teng, kami adalah dua bersaudara."
Maka mereka berempat pun tertawa terbahak-bahak, hanya saja suara tawa Cu Cau terdengar sedikit dipaksakan.
"Kebetulan kami berdua pun sedang dalam perjalanan menuju pondok Cay-seng," kata Gi Teng kemudian:
"Mari kita menempuh perjalanan bersama."
"Bagus sekali," sorak Cu Cau sambil bertepuk tangan.
Di tengah gelak tertawa, Gi Teng sudah berjalan lebih dulu memimpin paling depan, sekalipun dia tidak lagi menggunakan ilmu meringankan tubuh, namun langkahnya enteng dan cepat, jelas pemuda ini sudah termasuk seorang jagoan kelas satu dalam dunia persilatan.
Ternyata Gi Beng, adik perempuannya pun memiliki gerakan tubuh yang tidak kalah enteng-nya, saat itu sambil menarik tangan Sui Leng-kong mereka berjalan sambil bersenda gurau, kelihatan sekali kedua orang ini cocok satu dengan lainnya.
Cu Cau sendiri pun diam-diam memuji akan kehebatan kedua orang bersaudara ini, dia tidak menyangka dengan usia mereka yang masih begitu muda ternyata sudah memiliki kungfu yang hebat, tidak tertahan ingin sekali dia mencari tahu asal-usul kedua orang ini.
Kelihatannya Gi Teng sendiri pun mempunyai pemikiran yang sama, tiba-tiba dia berkata sambil menghela napas panjang:
"Sudah lama Siaute berkelana dalam dunia persilatan, tapi dengan kemampuan silat yang kau miliki, bukan saja Siaute
belum pernah menjumpainya, mendengar pun belum pernah, jika sepasang mata Siaute belum buta, semestinya kau pun seorang jago lihai dari dunia persilatan!"
Perkataan itu bukan kata pujian, sebab walaupun Cu Cau tidak menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, namun caranya berjalan sudah menunjukkan kalau dia memiliki kepandaian hebat.
Sambil tersenyum, sahut Cu Cau:
"Aaah, mana mungkin kepandaian silatku bias menandingi Go bi sim hoat yang kau miliki?"
Walau hanya kalimat yang sederhana, namun secara jitu dia telah menebak asal-usul ilmu silat kedua orang ini.
Betapa terkejutnya Gi Teng sesudah mendengar perkataan itu, pujinya:
"Tajam benar pandangan matamu!"
"Kelihatannya aku sudah ketinggalan banyak, lantaran malas berkelana aku sampai tidak tahu kalau partai Go bi telah memiliki jagoan hebat macam kalian dua bersaudara."
"Aaah, tidak heran kalau Cayhe gagal mengenali dirimu, rupanya Hengtay sudah lama hidup mengasingkan diri."
"Mungkin saja dia hanya enggan menyebut nama besarnya,"
sela Gi Beng sambil tertawa, "darimana kau tahu kalau dia sudah lama hidup mengasingkan diri?"
"Biarpun saudara ini berhasil menebak asal aliran silat kita, namun tidak berhasil menduga siapa kita berdua, hal ini membuktikan dia memang sudah lama tidak pernah berkelana dalam dunia persilatan."
"Huuuh, tidak tahu malu," umpat Gi Beng tertawa,
"memangnya kau sangka nama besarmu sudah tersohor di kolong langit" Memangnya setiap orang yang berkelana dalam dunia persilatan tentu mengenali dirimu?"
Gi Teng tertawa terbahak-bahak, kendati pun tidak menjawab, namun dari balik gelak lawanya, ketahuan kalau dia amat bangga dengan kemampuan sendiri.
Diam-diam Cu Cau tertawa geli, pikirnya, "Kedua orang bersaudara ini kelewat polos, kalau dilihat dari lagaknya, kemungkinan besar mereka sudah tersohor sejak muda, kalau tidak, mana mungkin sikapnya begitu latah."
Perlu diketahui, orang yang sudah tersohor sejak muda, biasanya memiliki pandangan sangat tinggi, terhadap urusan apapun kebanyakan mereka suka berterus terang dan bicara
blak-blakan. Tiba-tiba Gi Teng berbelok memasuki sebuah jalan setapa kyang amat sempit dan kecil.
Jalan setapak itu berliku-liku langsung menuju ke atas bukit, baru berjalan beberapa lingkah, di sisi jalan sudah terlihat ada sebuah papan nama yang bertuliskan, "Pondok Cay-seng".
Bila ada orang khusus datang ke situ untuk mencari pondok Cay-seng, biasanya mereka akan menelusuri jalan besar, siapa pun tidak akan memperhatikan jalan setapak sekecil itu.
Sayangnya walaupun Sui Leng-kong dan Cu Ciu termasuk orang yang teliti, namun pengalaman mereka dalam dunia persilatan sangat cetek, mereka belum terbiasa memperhatikan hal-hal yang kecil.
Jika kedua orang ini diwajibkan membangun satu usaha besar, merekalah pilihan yang paling cocok, tapi kalau suruh mereka berdua pergi mencari jalan, jelas pilihan ini merupakan satu tindakan yang keliru besar.
Bagi orang lain, tugas yang belum tentu bisa diselesaikan dalam tiga tahun, mungkin mereka hanya butuh tiga hari untuk menyelesaikannya, sebaliknya bagi orang lain yang butuh waktu singkat untuk menemukan satu tempat, mungkin bagi mereka butuh tiga tahun untuk menemukannya.
Cu Cau berpaling memandang Sui Leng-kong sekejap, kemudian keluhnya sambil tertawa getir:
"Ternyata berada di sini!"
"Siaute toh sudah bilang," ucap Gi Teng sambil tertawa,
"Pondok Cay-seng bukan sebuah tempat yang sangat rahasia, setiap orang boleh mendatanginya, hanya saja...."
"Hanya saja tempat ini terlarang bagi mereka yang she Im dan Thiat?" sambung Cu Cau.
"Benar!"
"Kenapa?"
"Aku sendiri pun kurang jelas apa alasannya
"Hahaha, aku lihat kalian berdua sudah terbiasa bersikap takabur," ejek Cu Cau lagi sambil tertawa.
Gi Beng tertawa cekikikan, balasnya: "Menurut pandanganku, kalian berdua pun tidak jauh berbeda."
Mendadak dari balik hutan bambu di sisi jalan terdengar seseorang tertawa nyaring sambil berseru:
"Hanya Enghiong Hohan dari kolong langit yang pantas disebut orang-orang takabur."
"Ucapan yang tepat," Cu Cau tertawa nyaring, "kalau bukan seorang Enghiong, mana mungkin bisa mengucapkan perkataan seperti itu... kelihatannya kau adalah pemilik pondok Cay-seng."
Tiba-tiba terlihat seseorang berjalan keluar dari balik hutan bambu sambil tertawa tergelak, dipandang dari kejauhan, orang itu nampak keren penuh wibawa, gerak-geriknya menyerupai dewa yang baru turun dari kahyangan.
Setelah berjalan mendekat barulah ketahuan kalau orang ini memiliki keanehan yang jauh berbeda dari orang biasa.
Rambutnya panjang terutai, jenggotnya mulai kelihatan memutih, namun sorot matanya justru terasa masih amat muda, membuat orang susah untuk menebak berapa usia sebenarnya.
Sekalipun gerak-geriknya lembut penuh wibawa, namun dari tubuhnya justru memancarkan hawa kekerasan yang tidak terlukis dengan kata-kata, dua sifat yang bertolak belakang justru muncul dari tubuh seorang yang sama, hal ini menciptakan semacam daya pikat yang kuat dan aneh.
Biarpun senyumannya amat cerah, dalam orot matanya justru tersimpan selapis cahaya aneh yang mencerminkan kemurungan.
Dua macam perasaan yang berbeda pun muncul di wajah orang yang sama, hal ini membuat setiap orang dapat menduga orang ini pasti memiliki pengalaman hidup yang tidak biasa.
Sebelum bertemu orang itu, Cu Cau sudah merasa perkataan orang ini jauh berbeda dari perkataan orang biasa, apalagi setelah bertatap muka, dia merasa orang ini memiliki keunikan yang tidak akan ditemui di wajah orang lain, tatapan matanya pun seolah sukar dialihkan lagi ke tempat.
Sementara itu pemilik pondok Cay-seng pun terus
menatapnya tanpa berkedip, kemudian serunya sambil tertawa:
"Dua bersaudara Gi, kenapa tidak kalian kenalkan tamu agung yang datang bersama kalian?"
"Tamu tidak diundang, apakah kau merasa kedatangan kami sedikit di luar dugaan?" sela Cu Cau sambil tertawa.
"Hahaha, sebelum bertatap muka pun sudah kurasakan hawa lain, apalagi setelah bersua sekarang... maafkan kekerdilan pengetahuan Siaute."
"Kau memang gagah dan penuh daya pikat, tidak heran Jiteku selalu berkata kalau kau adalah seorang pria aneh di kolong langit."
"Siapa adikmu" Dia kenal aku?" tanya pemilik pondok Cay-seng keheranan.
Mendadak terdengar Gi Beng berseru sambil tertawa merdu:
"Cici, coba lihat ulah mereka berdua, begitu bersua lantas berbincang tidak ada habisnya, membiarkan kita kedinginan di tempat ini, masa tidak mempersilakan tamunya duduk lebih dulu."
Pemilik pondok Cay-seng melirik Sui Leng-kong sekejap, kemudian sahutnya sambil tertawa:
"Aaah, hampir saja Cayhe lupa kalau di sini masih ada tamu agung lainnya, silakan! Silakan...."
Setelah memasuki hutan bambu, terlihatlah lima buah bangunan pondok berdiri di atas tebing bukit, di muka rumah terbentang tan ah rerumputan dengan selokan yang berair jernih, sedang di bagian belakang rumah terbentang kebun sayuran yang luas, sebuah tempat pertapaanyang indah.
Perabot yang tersedia di dalam pertapaan ini sangat lengkap dan bersih, dua orang bocah segera muncul menghidangkan air teh, teh wangi dari merek kenamaan, bahkan cawan pun terbuat dari batu pualam.
Sejak kecil Cu Cau sudah terbiasa hidup dalam suasana bangsawan, namun begitu duduk dalam pondok itu, dia segera dapat merasa tempat ini bukan sebuah tempat pertapaan biasa.
Sekilas pandang dia sudah melihat setiap benda yang berada dalam pertapaan ini merupakan benda mestika yang tidak ternilai harganya, hal ini membuatnya sangat keheranan, pikirnya,
"Setelah hidup mengasingkan diri, pemilik pertapaan ini masih tidak meninggalkan segala kemewahan dan kenikmatan hidup, jelas kalau bukan berasal dari keluarga kaya raya, mustahil dia bisa melakukannya. Jangan-jangan sebelum mengasingkan diri, dia adalah seorang perampok ulung" Tapi kalau ditinjau dari tampangnya, dia pun tidak bertampang kriminal...."
Dalam pada itu pemilik pondok Cay-seng sudah bertanya lagi sambil tertawa:
"Boleh tahu adikmu adalah...."
Sambil tersenyum potong Cu Cau:
"Jite minta aku menyampaikan sepucuk surat, itulah sebabnya secara khusus kami datang kemari...."
Sambil berkata dia mengeluarkan sepucuk surat, katanya lebih jauh sambil tertawa:
"Padahal aku sendiri pun tidak tahu apakah lite benar-benar kenal denganmu atau tidak."
"Ohhh...." pemilik pondok Cay-seng berteriak aneh, kemudian
sambil tersenyum diterimanya surat itu dan dipandang sekejap, tiba-tiba dengan wajah berubah, teriaknya keras:
"Ooh, rupanya Jite...."
Dari nada suaranya dapat diketahui dia merasa terkejut bercampur girang.
"Kelihatannya Hengtay sangat kenal dengan liteku itu," sela Cu Cau sambil tertawa.
"Ya, kenal sekali... kenal sekali... malah ingat kenal...." sahut pemilik pondok Cay-seng cepat.
Mendadak dia menghentikan perkataannya dan berseru sambil menjura:
"Maaf, maaf, aku mesti mohon diri sejenak."
Habis berkata, dengan tergopoh-gopoh dia mengundurkan diri.
"Tampaknya pemilik pondok Cay-seng ini rada misterius,"
bisik Sui Leng-kong lirih.
"Benar," Gi Beng membenarkan seraya tertawa, "memang teramat misterius, sekalipun kami dua bersaudara sudah cukup lama kenal dengannya, namun kami sama sekali tidak tahu tentang dirinya."
"Bagaimana ceritanya sampai kalian kenal dengannya?"
"Bertemu tanpa sengaja, karena pembicaraan saling mencocoki, maka kami pun menjadi sahabat...."
Setelah tertawa, lanjutnya:
"Persis seperti perkenalanku dengan Cici."
"Dia dari marga apa?"
"Aku sendiri pun kurang tahu...."
"Aku lihat kalian berdua pun sangat aneh," seru Sui Lengkong tertawa geli, "masa berkenalan dengan orang pun tidak tahu nama marganya, bahkan aku lihat kalian anggap kejadian semacam ini sangat lumrah."
"Aku pun tahu kejadian semacam ini tidak lumrah, tapi bagiku, asal dia orang baik dan kita sudah menjadi sahabat, peduli amat dia bernama siapa, bukankah begitu?"
Sementara kedua orang nona ini berkasak-kusuk sambil tertawa, di pihak lain Cu Cau pun sedang membicarakan keanehan pemilik pondok Cay-seng itu dengan Gi Teng.
"Dalam setahun belakangan, dia memang sudah banyak berkenalan dengan para jago dan orang gagah dari dunia persilatan," Gi Teng menerangkan, "tapi dari sekian banyak sahabatnya, ternyata tidak seorang pun yang tahu nama serta
asal-usulnya."
"Kalau memang begitu, kenapa masih ada begitu banyak Enghiong Hohan yang bersedia berkenalan dengan-nya?"
"Orang ini Bun bu coan cay, pandai berbicara, pandai bergaul, bahkan memandang harta bagai sampah, asal ada sahabat yang kesulitan dan mohon bantuan, dia tidak pernah menampik.
Sementara dia sendiri tidak pernah mohon bantuan orang lain, tentu saja siapa pun bersedia berkenalan dengan tokoh semacam ini."
"Lelaki aneh... benar-benar lelaki paling aneh dikolong langit...."
"Eei... apakah adikmu tahu tentang asal-usulnya?" tiba-tiba Gi Teng bertanya.
"Kalau ditinjau dari keadaannya, Jiteku pasti mengetahui asal-usulnya," sahut Cu Cau sambil tertawa, "hanya sayang sebelum bertanya jelas, aku udah buru-buru dating kemari."
"Aku percaya adikmu pastilah seorang tokoh luar biasa dalam dunia persilatan?"
"Bukan Cayhe sengaja mengunggulkan kemampuan adikku, aku rasa jarang di kolong langit saat ini ada jagoan yang memiliki kepintaran dan keberanian macam dia."
"Aaai... bukankah satu penyesalan yang amat dalam bila Siaute tidak dapat berkenalan dengan jagoan semacam ini?" ujar Gi Teng sambil menghela napas.
Cu Cau tertawa lebar.
"Jangan kuatir," janjinya, "suatu saat aku janji akan memperkenalkan kalian berdua, hanya...."
Sesudah tertawa getir lanjutnya: "Hanya saja jejak Jiteku susah diikuti, mungkin aku sendiri pun tidak tahu saat ini dia berada dimana...."
Berbicara sampai di situ, tanpa terasa bayangan wajah Thiat Tiong-tong muncul kembali dalam benaknya.
Sebenarnya apa yang ditulis Thiat Tiong-tong dalam secarik kertas itu" Ternyata dia menulis:
"Sui Ji-song, tahun Keng-cu, bulan empat tanggal enam belas".
Tulisan itu terbaca olehnya sewaktu berada dalam ruang rahasia di belakang istana Kaisar malam.
Begitu membaca beberapa tulisan itu, paras muka Kaisar malam berubah hebat, sampai lama kemudian dia baru bertanya dengan suara dalam:
"Mengapa kau menanyakan persoalan ini kepadaku?"
"Sebab masalah ini sangat mempengaruhi kehidupan Siautit, itulah sebabnya... aaai! Di balik persoalan ini sesungguhnya terdapat masalah yang amat pelik, Siautit sendiri pun dibuat kebingungan...."
"Kalau kau sendiri pun kebingungan, kenapa mesti aku yang memberi penjelasan?" bentak Kaisar malam keras.
"Siautit hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi dalam hutan bunga tho di luar perkampungan Seng keh cung pada tahun Kengcu bulan empat tanggal enam belas?"
"Hutan bunga tho... darimana kau tahu tentang hutan bunga tho?" seru Kaisar malam dengan tubuh bergetar.
"Sesungguhnya Siautit...."
Tiba-tiba Kaisar malam mendongakkan kepala dan tertawa keras, tukasnya:
"Baiklah! Kau tidak usah bicara lagi, terlepas kenapa kau bertanya tentang persoalan ini, aku akan menjelaskan kepadamu."
Setelah berhenti tertawa, sekilas perasaan sedih menghiasi raut mukanya, perlahan dia berkata:
"Peristiwa ini merupakan salah satu kejadian yang paling kusesali, cepat atau lambat aku tetap akan membicarakannya pada seseorang."
Thiat Tiong-tong hanya menahan napas dan tidak berani menimbrung.
Kembali Kaisar malam berkata: "Dua puluh tahun berselang, suatu hari, tiba-tiba muncul keinginanku untuk berpesiar, jika aku pun melakukan perjalanan menuju kearah Kanglam, pada bulan keempat aku telah tiba didaratan Tionggoan.
"Kau kan tahu aku paling benci terikat oleh segala peraturan dan adat, karena itu aku tidak punya teman seperjalanan, aku pun tidak sudi menginap di rumah penginapan sambil melihat tampang jelek orang-orang kota. Setiap kali lelah menempuh perjalanan, maka aku pun menggunakan langit sebagai kelambu, menggunakan bumi sebagai alas tidurku, bukan saja hidup bebas merdeka, bahkan bisa menikmati pula keindahan alam.
"Hari itu, yakni hari tanggal enam besar, menjelang senja ketika aku mulai kelelahan, tiba-tiba kujumpai sebuah hutan bunga tho yang sangat luas terbentang di depan mata. Senja di bulan empat memang masa yang indah untuk bunga tho, dibawah cahaya senja yang kemerah-merahan, hutan bunga tho
itu nampak sangat indah dan menawan, indah bagaikan nirwana."
Sekulum senyuman kembali menghiasi wajahnya, seolah-olah suasana indah kala itu masih memabukkan dirinya, tapi sekejap kemudian senyuman itu kembali lenyap, terusnya:
"Ketika tanpa sengaja kujumpai pemandangan seindah ini, tentu saja hatiku girang, maka aku pun beristirahat dalam hutan bunga tho itu sambil minum arak dan menikmati ayam panggang.
"Di saat itulah tiba-tiba dari luar hutan terdengar suara bentakan gusar diiringi makian keras, kelihatannya ada seorang lelaki sedang melarikan diri dikejar seorang wanita.
"Sebenarnya aku enggan mencampuri urusan orang dan tidak ingin melibatkan diri dalam pertikaian dunia persilatan, sekalipun aku agak jengkel karena kehadiran kedua orang itu telah merusak suasana, namun dorongan rasa ingin tahu membuatku pergi mengintip, aku ingin tahu siapa gerangan wanita itu, aaaai... ! Gara-gara mengintip inilah akhirnya aku harus terlibat dalam berbagai persoalan yang seharusnya tidak perlu kualami."
Tampaknya ada ganjalan yang masih mencekam perasaannya, setelah menghela napas beberapa saat dia baru berkata lebih jauh:
"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang itu cukup tangguh, gerak-geriknya pun cukup cekatan, baru saja aku melesat masuk ke balik pepohonan dan menyembunyikan diri di balik ranting pohon, sementara sayur dan arakku belum sempat kusembunyikan, mereka sudah muncul di tempat itu.
"Ternyata orang yang melarikan diri adalah seorang pemuda berpakaian ringkas yang rambutnya kusut dan napasnya ngos-ngosan, keadaannya amat mengenaskan, pedang dalam genggamannya tinggal setengah potong, kelihatannya telah melalui pertarungan yang amat seru, dia sudah terdesak hebat, sedangkan pengejarnya adalah seorang nyonya muda berwajah cantik yang mengenakan baju sutera halus, dia bersenjatakan sepasang pedang Wan yo kiam, waktu itu kondisinya pun cukup lelah, bukan cuma napasnya tersengal, sekujur tubuhnya telah basah oleh keringat.
"Ketika memasuki hutan, tampaknya pemuda berpakaian ringkas itu sudah tidak mampu menahan diri lagi, tubuhnya sempoyongan, meski berhasil melangkah beberapa meter, pada
akhirnya dia roboh juga ke tanah. Nyonya muda itu seketika menubruk maju, pedang wan-yo kiamnya secara beruntun melancarkan beberapa tusukan.
"Dengan ketakutan pemuda berpakaian ringkas itu menjerit:
"Ampuni jiwaku, dengarkan dulu beberapa perkataanku..."
"Nyonya muda itu segera menghentikan tusukan-nya, sambil menempelkan ujung pedangnya di atas dada pemuda itu, bentaknya dingin:
"Kau sudah terjatuh ke tanganku, apa lagi yang hendak kau sampaikan!"
"Hari ini aku baru pertama kali berjumpa denganmu," kata sang pemuda dengan suara gemetar, "kenapa kau menyerangku sekeji ini... ?"
Bercerita sampai di sini, sang Kaisar malam menghela napas panjang,ujarnya:
"Hingga hari ini aku masih teringat dengan setiap patah kata yang mereka ucapkan, tidak sepatah kata pun yang ketinggalan."
"Tidak kusangka Empek masih teringat sedemikian jelasnya,"
kata Thiat Tiong-tong dengan kepala tertunduk.
"Ya, hal ini disebabkan kejadian itu amat berkesan bagiku, karena kau menanyakan persoalan ini, tentunya kau sudah tahu bukan siapakah laki perempuan itu?"
"Benar...."
Tapi saat itu aku masih belum tahu, peristiwa itu membuat aku keheranan, kalau memang pemuda itu baru pertama kali bersua dengannya, kenapa wanita itu ingin membunuhnya"
"Terdengar wanita muda itu menyahut dengan suara dingin,
"Betul, kita memang baru bertemu pertama kali ini bersua, namun dendam kesumat di antara kita lebih dalam dari samudra, setelah hari ini kau terjatuh ke tanganku, kenapa aku tidak boleh membunuhmu?"
"Tanpa berkedip pemuda itu menatap wajahnya, sesaat kemudian dia berkata lagi, "Seandainya kau yang terjatuh ke tanganku, aku... bagaimanapun aku tidak akan tega membunuhmu!"
"Sekalipun ucapan ini mengandung nada menggoda, namun bagaimanapun dia adalah seorang pemuda tampan, khususnya sewaktu mengucapkan perkataan itu, dia tampil lebih istimewa, lebih gampang meluluhkan perasaan kaum wanita.
"Dengan gusar wanita cantik itu membentak, "Dasar lelaki hidung bangor, kau sudah bosan hidup?" Sekalipun nada
bentakannya gusar, namun diam-diam perasaannya sudah mulai luluh.
"Jika perasaannya tidak luluh, bisa saja dia ayunkan ujung pedangnya ke bawah dan menghabisi nyawa pemuda itu, buat apa dia mesti banyak bicara lagi" Memangnya aku tidak tahu jalan pikiran kaum wanita"
"Tampaknya pemuda itupun dapat membaca jalan pikiran wanita itu, dia jadi lebih berani, sambil menghela napas panjang ujarnya lagi, "Bukan aku sengaja mengumpak, sejujurnya selama hidup belum pernah kujumpai nona secantik dirimu"
"Lalu setelah menarik napas panjang lanjutnya, "Apalagi kerlingan mata nona yang begitu indah bagai bintang di langit, senyummu yang manis bagai hembusan angin di musim semi...."
"Sambil berbicara, perlahan-lahan dia mulai mendorong ujung pedang itu dari atas dadanya.
"Paras muka nona cantik itu berubah semakin memerah, nampaknya dia sudah terbuai oleh bualan pemuda itu.
"Melihat mangsanya sudah terperangkap, pemuda itu semakin kegirangan, tiba-tiba dia melompat bangun dan memeluk wanita itu erat-erat, gumannya, "Ooh nona, aku benar-benar tidak mampu mengendalikan diri...."
"Ucapannya makin lama semakin jorok, makin lama makin tidak sedap didengar, bahkan aku sendiri pun jadi malu oleh perkataannya.
"Tampaknya wanita cantik itu merasa malu bercampur gusar, tiba-tiba sebuah tonjokan memmbuat pemuda itu jatuh terjungkal, kusangka kali ini dia tentu akan mencabut nyawanya, siapa tahu ujung pedangnya masih tetap ditempelkan di atas dada pemuda itu dan tidak pernah ditusukkan lebih ke dalam.
"Terdengar dia membentak dengan gusar, Kau... kau sangka manusia macam apa diriku?" dengan gemetar jawab pemuda itu,
"Aku... aku benar-benar tidak sanggup menahan diri... jika nona mau bermesraan denganku, aku... aku... biar harus mati pun aku rela". Walaupun nada suaranya seperti orang ketakutan, bahkan sampai gemetaran, namun sorot matanya sama sekali tidak menunjukkan perasaan takut, rupanya dia telah
memperhitungkan wanita cantik itu tidak bakal membunuhnya.
"Benar saja, perasaan wanita cantik itu benar-benar luluh, kembali pemuda itu menyingkirkan ujung pedang dari hadapannya, tapi kali ini dia tidak memeluknya lagi, melainkan sambil berlutut memohon, "Bila nona tidak bersedia, lebih baik
tusuklah dadaku agar aku segera mati, bisa mati di tangan nona pun hatiku sudah merasa sangat puas"
"Caranya berbicara kali ini sungguh membuat hati orang trenyuh, ditambah lagi lagak dan nada suaranya yang mengharukan, tidak heran kaum wanita gampang tergerak perasaan-nya.
"Perempuan cantik itu menundukkan kepalanya semakin rendah, paras mukanya juga berubah makin memerah, lewat beberapa saat kemudian dia baru berkata perlahan, "Kau toh sudah tahu kalau aku bukan seorang nona lagi"
"Tapi bagiku, kau selamanya adalah seorang nona yang suci bersih" jawab sang pemuda.
"Betapa trenyuhnya perasaan wanita cantik itu sehabis mendengar perkataan itu, tanpa disadari tetesan air mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.
"Dengan nada yang jauh lebih lembut, kembali pemuda itu berkata, "Sudah lama kudengar sikap mertua dan suamimu kurang baik, aaaai, aku benar-benar tidak habis mengerti, kenapa begitu tega mereka bersikap demikian terhadapmu...."
"Siapa yang bilang begitu?" si wanita cantik itu membentak, mereka... mereka bersikap baik sekali... baik sekali terhadapku..."
Sekalipun dia berusaha menyangkal, namun sikap serta gerak-geriknya telah mengakui kebenaran hal itu.
"Kembali pemuda itu berkata sambil menghela napas panjang,
"Saudara-saudaraku pun bersikap kurang baik terhadapku...
padahal tiada dendam atau permusuhan apapun yang terjalin di antara kita, kenapa kita berdua harus saling membenci dan saling membunuh...."
"Terdengar suara 'Tranggg!', ternyata pasang Wan yo kiam yang berada dalam genggaman nyonya muda itu sudah terjatuh ke tanah, kemudian terdengar dia bergumam, "Mereka bersikap tidak baik terhadapku, buat apa aku mesti mengadu jiwa demi mereka...."
"Benar... "teriak pemuda itu kegirangan, tapi kembali dia menghela napas sambil melanjutkan, dalam hidupku, aku selalu berharap bisa berjumpa dengan seorang nona cantik, tapi sepasang matamu... bibirmu... ternyata beribu kali lebih indah, lebih cantik daripada apa yang kuimpikan selama ini, andai aku tidak bersua denganmu, mungkin aku tidak akan percaya kalau di kolong langit benar-benar terdapat nona secantik dirimu...."
"Benarkah?" tanya wanita cantik itu.
"Buat apa aku membohongimu?"
"Perempuan cantik itu menghela napas sedih, perlahan-lahan dia memejamkan matanya sambil berbisik, "Kenapa sejak dulu belum pernah ada orang mengatakan hal ini kepadaku?".
"Karena mereka adalah sekawanan lelaki kasar yang tidak mengerti keindahan," jawab pemuda itu sambil menghela napas,
"yang mereka ketahui hanya saling gontok, saling membunuh, kalau setiap hari yang dipikirkan hanya tindakan kasar, mana mungkin mereka mengenal arti kelembutan dan kemesraan, tidak heran mereka menyia-nyiakan masa remaja seorang gadis yang cerdik dan rupawan. Aaai... kenapa Thian selalu tidak adil terhadap umatnya?"
"Perkataan itu sangat menusuk perasaan wanita itu, dengan mata menjadi merah karena terharu, tiba-tiba dia menjatuhkan diri ke dalam pelukan pemudaitu...."
Mendengar sampai di sini, Thiat Tiong-tong seolah-olah mendengar kembali gelak tawa menyeramkan Sui Ji-song ketika berkata kepada Thiat Cing-kian:
"Dua puluh tahun berselang, kau pernah berlutut di hadapanku, mengatakan aku adalah gadis tercantik, gadis terlembut yang pernah kau jumpai... dua puluh tahun berselang, nyawamu pernah terjatuh ke tanganku, sungguh menyesal waktu itu aku percaya dengan rayuan gombalmu, bukan saja telah mengampuni nyawamu, bahkan di dalam hutan bunga tho.... ".
Kini Thiat Tiong-tong sudah dapat menebak duduk perkara yang sebenarnya, hanya saja dia tidak tahu bagaimana kejadian yang sesungguhnya.
Diam-diam dia menghela napas panjang, pikirnya, "Seng Cun-hau mempunyai cacad tubuh yang tidak bisa diceritakan kepada orang luar, dia pun seorang lelaki sejati, bagaimana mungkin lelaki semacam dia sanggup mengucapkan kata-kata rayuan"
Padahal Sui Ji-song masih muda dan kesepian, tidak heran dia terpikat oleh rayuan gombal Thiat Cing-kian."
Tampak Kaisar malam memperlihatkan sekulum senyuman yang sangat aneh, katanya:
"Waktu itu meski aku sangat gusar dan benci terhadap pemuda itu, namun aku pun membenci suami nyonya cantik itu, karenanya aku hanya menonton sambil berpeluk tangan, aku tidak berencana mencampuri urusan ini. Kulihat kedua orang itu berbicara amat mesra, nyonya cantik itu terkadang menangis, terkadang tertawa, jelas pikirannya dibuat kalut oleh rayuan
hingga kehilangan kendali.
Tiba-tiba pemuda itu menemukan sayur dan arak yang kutinggalkan di bawah pohon bunga tho, katanya sambil tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, sungguh tidak nyana Thian memang mengaturkan segala sesuatunya, coba lihat di sana tersedia sayur dan arak"
"Tanpa berusaha mencari tahu darimana datangnya sayur dan arak itu, mereka mulai btrsantap dan minum arak dengan santainya, waktu itu malam semakin kelam, suasana dalam hutan bunga tho pun terasa makin hangat dan mesra.
"Melihat kedua orang itu menikmati hidanganku sementara aku harus makan angin di atas pohon, dalam hati aku hanya bisa tertawa getir.
Takaran minum perempuan muda itu sangat cetek, ditambah lagi arak yang tersedia ndalah arak keras, maka baru saja meneguk beberapa cawan, bukan saja dia sudah mabuk, bahkan mabuk berat.
"Waktu itu dia sudah berada dalam kondisi tengah bugil, pengaruh arak membuatnya dicekam hawa napsu yang tidak ter kendalikan, ibarat air bah sungai Huangho yang menjebol tanggul, birahinya sudah tidak terkirakan lagi.
"Melihat kejadian ini, kusangka sebentar lagi mereka berdua akan melakukan hubungan intim. "Siapa tahu tiba-tiba pemuda itu menyambar sepasang wan yo kiam yang tergeletak di tanah, lalu bergumam sambil tertawa dingin, "Perempuan rendah, kau tidak tega membunuhku, tapi aku tega untuk menghabisi nyawamu...."
"Sementara nyonya muda itu masih merintih di atas tanah karena terangsang napsu birahi, pemuda itu justru mengangkat pedangnya langsung dihujamkan ke hulu hati wanita itu."
Thiat Tiong-tong sama sekali tidak mengira akan terjadinya perubahan ini, tidak tahan dia menjerit kaget.
"Kau tidak menyangka bukan?" tanya Kaisar malam.
"Ya, Siautit tidak pernah membayangkan akan terjadi peristiwa semacam ini," sahut Thiat Tiong-tong sambil menghela napas.
"Waktu itu aku sendiri pun sangat terperanjat, semula kusangka pemuda itu meski licik dan busuk hatinya, dia tetap seorang pemuda romantis yang tahu menyayangi wanita. Saat itulah aku baru sadar, ternyata pemuda itu selain sadis, dia pun keji dan tidak berperasaan, aku tidak tega membiarkan dia
melakukan tindakan sebusuk itu terhadap wanita itu! Terlepas apapun alasannya, aku tidak bisa membiarkan kejadian seperti ini terjadi di depan mataku, maka sambil membentak aku pun melompat turun dari atas pohon.
"Tentu saja pemuda itu sangat terperanjat, dia membalikkan pedangnya menusuk tubuhku, tapi dengan sekali sambaran, senjata itu sudah berhasil kurampas, hal ini membuat pemuda itu semakin terkesiap."
Diam-diam Thiat Tiong-tong tertawa geli, pikirnya, "Dengan kepandaian silat yang dimiliki Kaisar malam, tentu saja mimpi pun Thiat Cing-kian tidak menyangka, tidak heran kalau dia terperanjat setengah mati."
Terdengar Kaisar malam berkata lebih jauh:
"Walaupun saat itu aku membencinya karena tidak pantas menipu wanita itu dengan cara sekeji itu, karena perempuan itu bukan wanita cabul, dia tidak lebih hanya seorang wanita kesepian yang tergoda oleh rayuan gombalnya hingga tidak kuasa menahan diri, tapi aku kasihan dengan usianya yang masih muda, meski dalam keadaan marah, aku tidak sampai hati mencabut nyawanya.
"Pemuda itu termangu beberapa saat, melihat aku tidak berniat membunuhnya, maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia segera melarikan diri terbirit-birit, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
"Sebenarnya aku ingin mengejar pemuda itu, namun ketika melihat perempuan muda itu masih merintih di tanah, seakan dia tidak sadar atas kejadian yang berlangsung di sekelilingnya, aku tahu dia sudah tidak sadarkan diri. Maka aku dekati perempuan itu dan bermaksud menenangkan hatinya, siapa tahu... siapa tahu, baru saja kubangunkan tubuhnya, dia malah justru memelukku erat-erat, dia sangka aku adalah pemuda itu.
"Saat itu sedang bulan purnama, cahaya lembulan menyinari tubuhnya yang indah... tubuh setengah bugil yang panas tiada hentinya gemetar dalam pelukanku, bau harum bunga yang terhembus angin membuat aku... aku tidak kuasa menahan napsuku lagi...."
Apa yang terjadi kemudian benar-benar merupakan satu peristiwa yang sangat mengejutkan hati.
Bagi Thiat Tiong-tong, selain perasaan terperanjat dia pun merasa sangat girang, untuk sesaat perasaannya jadi kalut hingga tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Kaisar malam memejamkan mata seakan sedang
membayangkan kembali adegan malam itu, sekulum senyuman tersungging di bibirnya, sampai lama kemudian dia baru melanjutkan kembali kisahnya.
Terdengar Kaisar malam berkata lagi:
"Setelah selesai berhubungan intim, wanita muda itu terlelap tidur dengan nyenyaknya, dia tidur dengan senyuman puas tersungging di ujung bibirnya, bahkan mengigau dengan memanggil nama pemuda itu.
"Sebetulnya aku ingin menunggunya hingga mendusin dari tidurnya, tiba-tiba kulihat pada gagang pedang yang ditinggalkan pemuda itu terukir empat huruf besar, ketika kuamati ternyata bertuliskan Thiat hiat tay ki. Saat itulah aku baru tahu kalau dia adalah anggota perguruan Tay ki bun. Padahal waktu itu aku memang sedang mencari jejak ketua perguruan itu, karena jejak mereka sukar terlacak, maka hingga detik itu keinginanku belum tercapai.
"Mengetahui pemuda itu adalah anggota perguruan Tay ki bun, dalam terkejut bercampur girangnya, tanpa berpikir panjang lagi aku segera melakukan pengejaran, aku sangka dengan ilmu meringankan tubuhku tentu tidak sulit untuk menyusulnya.
"Siapa tahu pemuda itu sangat licik dan teliti, kuatir terkejar, maka sepanjang jalan dia telah mengatur berbagai jebakan dan memancingku mengejar ke arah yang berlawanan.
"Menanti aku gagal mengejarnya dan balik lagi ke hutan bunga tho, waktu itu hari sudah terang, wanita cantik itupun sudah pergi, tapi keadaan di dalam hutan itu kacau berantakan, banyak ranting dan dahan pohon yang bertumbangan, kelihatannya wanita itu mengumbar amarahnya dengan mengobrak-abrik tempat itu.
"Aku amat sedih, walaupun ingin sekali kususul dirinya, apa daya... dalam suasana begitu, aku bahkan tidak tahu siapa namanya."
Mendengar sampai di situ, selain merasa terkejut bercampur girang, Thiat Tiong-tong pun merasa terharu.
Sejak awal hingga akhir Sui Ji-song selalu beranggapan dia sudah dinodai Thiat Cing-kian, apalagi sewaktu mendusin dia tidak berhasil menemukan jejaknya, tidak heran sepanjang hidup perempuan ini membencinya hingga merasuk ke dalam tulang.
Thiat Cing-kian sendiri meski tahu wanita itu bukan ternoda olehnya, namun sewaktu berada dalam gua harta karun dia pun
tidak berani mengatakannya secara terus terang, dia ingin menggunakan alasan 'pernah jadi suami istri semalam' untuk meluluhkan hatinya, maka dia pun mengakui anak itu adalah darah dagingnya dengan harapan Sui Ji-song tidak membunuhnya.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa tahu gara-gara pikiran semacam itu, dia harus mengorbankan nyawanya dengan percuma, sementara Sui Ji-song sendiri pun harus menanggung penderitaan sepanjang hidupnya gara-gara tindakannya yang keliru.
Peristiwa ini boleh dibilang merupakan satu kejadian salah langkah, seandainya Kaisar malam tidak secara kebetulan bertemu dengan peristiwa itu, kejadian pun tidak akan berakibat seperti saat ini.
Seandainya Kaisar malam adalah seorang penjahat
pemogoran, lelaki hidung belang yang suka main perempuan, dia pun pasti tidak akan membiarkan Thiat Cing-kian kabur dalam keadaan hidup.
Dalam pada itu Thiat Tiong-tong merasa sangat kegirangan, akhirnya dia tahu Sui Leng-kong bukan saudaranya, simpul mati yang bakal membuatnya sengsara seumur hidup ternyata berhasil diurai secara mukjizat.
Lewat beberapa saat kemudian kembali Kaisar malam bertutur:
"Sepanjang perjalanan aku berusaha mencari tahu identitas wanita itu, aku tidak ingin kejadian ini menjadi beban sepanjang hidupku.
"Selesai berhubungan intim, aku baru sadar perempuan muda itu ternyata masih perawan, sekalipun statusnya adalah bini orang, namun dia belum pernah terjamah oleh lelaki manapun.
Aku sadar, biarpun di antara kami berdua tidak pernah punya bibit cinta, namun aku punya tanggung jawab moral terhadapnya, paling tidak bertanggung jawab atas kehidupannya, sayang sejak kejadian itu aku tidak pernah bersua lagi dengannya."
Rasa menyesal yang sangat mendalam tampak melintas di wajahnya.
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, katanya perlahan:
"Masih ada satu hal lagi... andaikata Empek mengetahuinya, mungkin kau... kau akan bertambah sedih."
"Soal apa?"
"Dia telah melahirkan seorang anak."
Dengan tubuh bergetar lantaran kaget, Kaisar malam menceng-keram bahu Thiat Tiong-tong kuat-kuat,jeritnya:
"Sungguh" Darimana kau tahu" Anak... anak itu berada dimana sekarang?"
"Bocah itu bernama Sui Leng-kong jawab Thiat Tiong-tong sambil menghela napas.
Secara ringkas dia pun bercerita bagaimana dia terjerumus ke dalam jurang, bertemui Sui Leng-kong dan ibunya hingga berjumpa dengan Cu Cau.
Biarpun Kaisar malam termasuk jagoan yang banyak pengalaman, tidak urung dia terbelalak juga sehabis mendengar kisah cerita itu, selain terperanjat, dia pun merasa sedih dan sedikit perasaan girang.
Terdengar dia bergumam seorang diri:
"Leng-kong... Leng-kong... ternyata dia telah dewasa... apakah dia... dia berwajah menarik?"
Thiat Tiong-tong sendiri pun tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang, apakah kecut, manis atau getir, yang pasti semuanya muncul dari lubuk hatinya, setelah tertawa getir dia pun mengangguk.
Kaisar malam memandangnya beberapa kejap, tidak tahan dia mendongakkan kepala dan menghela napas panjang, katanya:
"Takdir... takdir... mimpi pun aku tidak menyangka ternyata kau adalah anak murid perguruan Tay ki bun!"
Tiba-tiba Thiat Tiong-tong bertanya:
"Siautit ingin sekali bertanya kepada Cianpwe, sebenarnya ada rahasia besar apa di balik permusuhan dunia persilatan dengan perguruan Tay ki bun?"
Berubah paras muka Kaisar malam sehabis mendengar pertanyaan itu, gumamnya:
"Benar... di balik peristiwa itu memang terdapat sebuah rahasia yang besar sekali, aku tahu akan rahasia itu tapi sekarang belum bisa kukatakan kepadamu."
"Kenapa Siautit tidak boleh mengetahui rahasia itu?"
"Kau bukan tidak boleh mengetahui rahasia itu, sebab...
sebab saat ini kau harus memusatkan perhatianmu untuk belajar silat, selama berlatih, lebih baik pikiranmu jangan terganggu oleh persoalanlain."
"Kenapa Siautit harus memusatkan diri berlatih?"
"Karena aku berencana akan mewariskan seluruh kepandaian silatku kepadamu, dengan bakat alam yang kau miliki, aku yakin
dalam tiga bulan mendatang pasti sudah nampak hasilnya, bila pikiranmu bercabang, otomatis keberhasilan-mu akan terpengaruh."
Thiat Tiong-tong merasa hatinya bergetar keras, dia tidak tahu harus merasa terkejut atau gembira, katanya tergagap.
Tapi...." "Asal kau bersedia memusatkan seluruh perhatian untuk belajar silat," tukas Kaisar malam cepat, "tiga bulan kemudian, aku pasti akan membeberkan rahasia besar dunia persilatan yang hampir punah ini kepadamu."
"Tapi... kenapa Empek ingin mewariskan seluruh ilmu silatmu kepadaku?"
Kaisar malam tersenyum, sahutnya:
"Kau adalah saudara angkat Cau-ji, kau pun terhitung sahabat senasib dengan... dengan Leng-kong, kalau tidak kuwariskan ilmu silatku kepadamu, memangnya harus kuwariskan kepada orang lain?"
Buru-buru Thiat Tiong-tong menjatuhkan diri berlutut, serunya dengan kepala tertunduk:
"Terima kasih Empek!"
Sambil mengelus jenggotnya Kaisar malam tertawa tergelak, beberapa saat kemudian setelah menghela napas panjang dia baru berkata lagi:
"Seandainya Cau-ji dan... dan Leng-kong berada di sini...
aaaai! Entah apa yang sedang mereka lakukan sekarang?"
Mendadak paras muka Thiat Tiong-tong berubah hebat, jeritnya:
"Aduuuh celaka! Aku telah melakukan kesalahan besar!"
"Kejadian apa yang membuatmu gugup dan kaget?"
"Toako dan Leng-kong adalah saudara!"
Keringat sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran membasahi wajah Thiat Tiong-tong, serunya lebih jauh:
"Tapi... tapi... Siautit telah berusaha memohon bantuan orang untuk menjodohkan mereka berdua, saat ini... bila mereka berdua telah... telah...."
Dia merasa dadanya sesak, perkataan selanjutnya tidak sanggup lagi diutarakan.
Paras muka Kaisar malam ikut berubah, jenggot panjangnya bergoyang meski tidak terhembus angin, sepasang kepalannya digenggam kuat-kuat, ujung jarinya terasa dingin membeku, gumamnya:
"Bagaimana... bagaimana baiknya sekarang?"
Cahaya lentera telah menerangi pondok Cay-seng di bawah bukit Ong wo san.
Pemilik pondok yang misterius sedang membuka surat yang diberikan Thiat Tiong-tong dan membaca isinya.
Sudah beberapa kali dia membaca ulang isi surat itu, kini dia hanya duduk terpekur sambil memandang surat itu dengan pandangan mendelong, lama kemudian sekulum senyuman baru tersungging di ujung bibirnya, meski kerutan dahinya menunjukkan perasaan sedih yang mendalam.
Surat itu jelas ditulis dalam keadaan terburu-buru, bukan saja tulisannya tidak jelas, kalimatnya pun amat singkat, tapi pemilik pondok Cay-seng dapat memahami artinya.
Surat itu berbunyi:
"Surat yang lampau tentu sudah kau terima, aku dalam keadaan sehat, berhubung sesuatu persoalan aku tidak bisa datang, waktu sudah hampir tiba, harap semua saudara bersabar, tunggu saatnya.
"Pembawa surat adalah putra Kaisar malam bernama Cu Cau, saudara angkatku, orang ini berbakat aneh, bisa dipercaya, harap dilayani sebaik-baiknya, yang seorang lagi adalah Sui Leng-kong, sahabatku, sayang aku tidak bisa mendampinginya sepanjang hidup.
"Kali ini sengaja kuminta mereka datang bersama, harap aturkan perkawinan untuk kedua orang ini, bila Sui Leng-kong menolak, bujuklah, bila perlu katakan kalau aku tidak akan bertemu lagi dengannya.
"Rindu dengan enso dan keponakan, semoga kalian jaga diri baik-baik.
Tertanda, Tiong-tong".
Waktu itu Cu Cau, Sui Leng-kong dan dua bersaudara Gi sedang membicarakan tentang asal-usul pemilik pondok Cay-seng yang misterius, secara tiba-tiba orang yang bersangkutan muncul di hadapan mereka.
Sambil tersenyum dia memandang Cu Cau dan Sui Leng-kong sekejap, sorot matanya jauh lebih hangat ketimbang tadi, mendadak setibanya di hadapan Cu Cau, dia menjatuhkan diri berlutut.
Dengan perasaan terperanjat Cu Cau menegur:
"Saudaraku, mengapa kau menjalankan penghormatan sebesar ini?"
Baru saja dia bangkit berdiri untuk membalas hormat, tapi pemilik pondok Cay-seng telah menekan bahunya agar tetap duduk.
Dua bersaudara Gi maupun Sui Leng-kong ikut tercengang melihat kejadian ini, mereka tidak habis mengerti apa sebabnya pemilik pondok Cay-seng yang misterius melakukan penghormatan besar.
Terdengar pemilik pondok berkata dengan hormat:
"Harap saudara jangan menyebut Hengtay lagi kepadaku, karena kau adalah Toako Thiat Tiong-tong, otomatis merupakan Toakoku juga."
Cu Cau mengawasi rambutnya yang beruban tanpa
menjawab. Dalam pada itu Gi Teng telah berseru dengan wajah berubah:
"Thiat Tiong-tong" Apakah yang dimaksud adalah anggota perguruan Tay ki bun yang belakangan menggetarkan sungai telaga dengan julukan sebagai jago pedang tercepat?"
"Benar.... "jawab Cu Cau dan pemilik pondok Cay-seng hampir berbareng, mereka ikut merasa bangga setelah mendengar pujian orang.
"Jadi kau kenal dengannya?" tanya Sui Leng-kong pula dengan mata terbelalak.
"Walaupun belum pernah bersua, namun sudah lama
kudengar nama besarnya...." jawab Gi Teng setelah berpikir sejenak.
Kemudian setelah berhenti sesaat, tidak tahan kembali lanjutnya:
"Aku dengar Thiat Tiong-tong pernah mengalahkan si jago pedang berhati ungu Seng-toako serta Ui koan bi gwe, sebetulnya kami berdua pun ingin sekali menjajal kemampuannya."
Satu ingatan segera melintas dalam benak Cu Cau, serunya tidak tahan:
"Jadi kalian dua bersaudara adalah...."
"Mereka adalah Ang eng kiam khek (Jago pedang elang merah) Gi Teng dan saudaranya Cui yan kiam khek (jago pedang walet hijau) Gi Beng, dua jago ternama di antara tujuh jago pedang pelangi lainnya, masa Toako belum tahu akan hal inP"
"Dulu kami memang berniat suatu hari nanti akan
mencarinya untuk mengadu kepandaian," ujar Gi Teng sambil tertawa getir, "tapi setelah menyaksikan kemampuan silat yang Hengtay miliki, aku baru sadar bahwa nama kami sebenarnya
hanya kosong belaka."
"Hengtay terlalu merendah."
"Sungguh," sahut Gi Beng cepat, "terus terang sampai bermimpi pun kepandaian silat kami masih bukan tandingan Toako, bisa diduga kemampuan silat Jite pun pasti amat tangguh, aku pikir pertarungan ini tidak perlu dilangsungkan lagi."
"Kelihatannya adikku cukup tahu diri...." ucap Gi Teng sambil tersenyum.
Pemilik pondok Cay-seng tertawa tergelak, serunya:
"Hahaha, kalian berdua sungguh polos dan jujur, padahal secepat apapun ilmu pedang yang dimiliki Tiong-tong, belum tentu kemampuannya lebih hebat dari kalian berdua...."
"Bukan Cayhe sengaja membesar-besarkan kemampuan orang," sela Cu Cau sambil tersenyum, "belakangan ilmu silat yang dimiliki Jite sudah mengalami kemajuan hampir sepuluh kali lipat daripada kemampuannya dulu!"
"Sungguh?" teriak pemilik pondok Cay-seng kegirangan.
"Buat apa Cayhe membohongi kalian?"
Dengan wajah penuh kegembiraan pemilik pondok itu mendongakkan kepala dan tertawa tergelak, gumamnya:
"Thian maha pengasih... harapan membangun kembali kejayaan perguruan sudah terbuka...."
Sui Leng-kong terperanjat, serunya tanda sadar:
"Jadi... jadi kau... kau satu perguruan dengan... dengan Tiong-tong!"
Pemilik pondok tidak langsung menjawab, dia termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru mengangguk.
"Benar."
Tidak terlukiskan rasa kaget Cu Cau, Sui Leng-kong serta dua bersaudara Gi, hampir berbareng mereka berteriak:
"Jadi Hengtay adalah anggota perguruan Tay ki bun!"
Pemilik pondok memandang dua bersaudara Gi sekejap, kemudian sahutnya sambil tertawa getir:
"Bukan Cayhe sengaja merahasiakan identitasku, hanya saja... aaaai! Di balik semua ini masih tersimpan rahasia lain."
Dua bersaudara Gi saling bertukar pandang sekejap, lewat sesaat kemudian Gi Beng baru berkata sambil tertawa paksa:
"Ooh, jadi kau kuatir kami bocorkan rahasia itu hingga selama ini mengelabui kami berdua?"
"Aaah, tajam amat perkataan kalian...."
"Sekalipun kami berdua banyak bicara," tukas Gi Beng lagi,
"tapi kalau persoalan itu benar-benar sebuah rahasia besar, tidak nanti rahasia itu akan bocor dari mulut kami."
Pemilik pondok Cay-seng menghela napas panjang.
"Kalau memang begitu, bila aku masih merahasiakan hal ini, berarti aku tidak menganggap kalian sebagai sahabatku."
"Benar," Gi Beng tertawa merdu, "kau tidak boleh merahasiakan lagi di hadapan kami."
"Se... sebenarnya siapakah kau?" tanya Sui Leng-kong tergagap.
Pemilik pondok Cay-seng menarik kembali senyumannya, dengan wajah berubah serius dan berat, sepatah demi sepatah sahutnya:
"Akulah murid murtad perguruan Tay ki bun...."
"Traaang!", cawan yang berada di tangan Sui Leng-kong tiba-tiba terjatuh hingga hancur berkeping, ditatapnya pemilik pondok itu dengan mata terbelalak, kemudian serunya gemetar:
"Jadi kau... kau adalahToako Tiong-tong?"
"Benar...." jawab pemilik pondok sambil tertunduk sedih.
Paras muka Gi Teng ikut berubah, jeritnya kaget:
"Berarti Hengtay adalah Im Kian, Im-tayhiap yang... yang mengikat tali perkawinan dengan nona Leng... Toasiocia dari benteng Han hong po?"
Perlu diketahui, peristiwa itu sudah beredar dalam dunia persilatan dan menjadi bahan pembicaraan setiap umat persilatan, bahkan menjadi dongeng yang dipenuhi masalah cinta, petualangan dan tragedi sebuah keluarga.
Pemilik pondok termenung sejenak, sesudah menghela napas berat, sahutnya:
"Betul, aku adalah Im Kian!" Dengan termangu Gi Beng mengawasi wajah orang itu, lamat-lamat cahaya semu merah menghiasi pipinya.
"Sudah lama kami mendengar tentang kisah ini," gumamnya,
"tak nyana ternyata kau... ternyata kau adalah Im Kian!"
Perlu diketahui, dalam benak kaum wanita, khususnya para gadis muda, kisah romantis yang dipenuhi kemisteriusan apalagi berakhir secara tragis merupakan satu kisah yang amat mempesona.
Entah sudah berapa banyak gadis yang melelehkan air mata karena kisah percintaan itu....
Tapi setelah termenung sejenak, dengan wajah berubah
serunya lagi: "Tapi... tapi... bukankah Im Kian... bukankah dia sudah tewas karena dijatuhi hukuman mati oleh perguruan Tay ki bun?"
"Benar!"
Kembali terjadi kehebohan, paras muka semua orang kembali berubah hebat.
"Lalu... kenapa kau masih... masih hidup hingga kini?"
Im Kian menghela napas panjang, ujarnya:
"Tiong-tong Jite yang telah menyelamatkan jiwaku, coba kalau bukan dia, mungkin saat ini mayatku sudah hancur ditarik lima ekor kuda."
Semua orang menghembuskan napas panjang, mereka hanya bisa saling pandang tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun.
"Hari itu," cerita Im Kian, "kalau bicara berdasarkan peraturan perguruan, maka aku pasti akan kehilangan nyawaku, itulah sebabnya sebelum ayahku turun tangan, aku telah menghantam ubun-ubunku sendiri dengan harapan bisa menghabisi nyawaku secepatnya."
Gi Beng menghela napas sedih, katanya:
"Kau... masa kau tega turun tangan terhadap diri sendiri"
Coba kalau aku... aaai! Tidak nanti aku mampu melakukan tindakan sebrutal itu!"
"Kau anggap anak murid perguruan Tay ki bun adalah manusia macam apa?" seru Gi Teng dengan suara dalam,
"bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan seorang nona kecil yang tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi."
Im Kian tertawa getir, ujarnya lebih lanjut:
"Siapa sangka ketika telapak tangan hampir menyentuh ubun-ubunku, mendadak tanganku jadi lemas... aaaai! Ternyata pukulan itu gagal mencabut nyawaku sendiri!"
"Biar berganti orang lain pun belum tentu mereka mampu, bagaimana mungkin bisa menyalahkan dirimu?"
"Namun saat itu aku sudah bertekad untuk mati, oleh karena itu sepeninggal ayahku, meski aku tersadar kembali, tapi aku tetap memohon kepada Thiat Tiong-tong agar memberi sebuah kematian untukku."
"Jadi Thiat Tiong-tong adalah pelaksana hukuman mati itu?"
tanya Gi Beng. "Betul," sahut Im Kian dengan wajah sedih, "Jiteku ini jarang berbicara dan dia kelihatannya paling dingin, paling sadis di
antara kami semua, mungkin ayahku kuatir orang lain tidak tega melaksanakan hukuman itu, maka dia yang diberi wewenang padanya menjadi sang algojo."
"Terkadang orang yang nampaknya dingin dan sadis justru memiliki perasaan yang hangat, hanya saja perasaan itu jarang diperlihatkan di hadapan orang banyak."
Tepat sekali," sambung Cu Cau, "semakin dingin wajahnya, perasaannya justru makin hangat, semakin setia kawan, sekalipun dia jarang memperlihatkan emosinya di hadapan orang, tapi bila emosinya mulai berkobar, maka dia akan jauh lebih hangat ketimbang orang lain."
Perlahan-lahan Sui Leng-kong menunduk-kan kepala dan berpikir dengan sedih:
"Tapi sikapnya kepadaku mengapa begitu tidak berperasaan, begitu dingin dan hambar...."
Berpikir sampai di situ, tidak kuasa lagi butiran air matanya jatuh berlinang.
Dari mana dia tahu, ketika cinta sudah mencapai puncaknya, maka perasaan itu akan semakin menipis, tidak berperasaan justru menunjukkan kalau dia sangat perasa.
Im Kian menghela napas panjang, katanya: "Perkataan kalian berdua tepat sekali, Jiteku memang sangat perasa dan setia kawan, biarpun aku memohon kepadanya untuk menghabisi nyawaku, dia justru memaksa aku untuk tetap hidup."
"Dengan begitu... bukankah dia pun telah melanggar peraturan perguruan Tay ki bun?" tanya GiBeng.
"Tidak melaksanakan tugas sebagai pelaksana hukuman memang merupakan salah satu pelanggaran besar dalam perguruan Tay ki bun, dosanya sama beratnya dengan sebuah pengkhianatan atau bersekutu dengan musuh!"
"Berarti hukumannya Ngo be hun si (lima kuda memisahkan badan)?"
"Benar!"
Tanpa terasa semua orang menghembuskan napas dingin.
"Jadi dia... dia tidak segan menerima hukuman ditarik lima kuda dan tetap menolong nyawamu?" seru Gi Beng tertegun,
"besar amat nyalinya!"
Im Kian termenung beberapa saat, kemudian baru menjawab:
"Hal ini disebabkan hubungan persaudaran di antara kami berdua memang sangat mendalam, tapi selain itu masih ada alasan lain yang lebih besar."
"Masih ada alasan lain" Alasan apa?" dengan perasaan tercengang semua orang bertanya.
"Karena dia tidak tega menyaksikan anggota perguruan Tay ki bun secara turun temurun harus menjalani nasib yang sama, menciptakan tragedi yang sama. Dia mengambil keputusan akan mengubah jalan hidup serta nasib perguruan Tay ki bun, dia ingin seluruh dendam permusuhan yang telah berlangsung puluhan tahun, berakhir di tangannya! Dia berharap tragedi paling memilukan yang pernah terjadi dalam dunia persilatan bisa terhapus untuk selamanya...."
Semua orang tertegun, terperangah dibuatnya, hingga kini semua orang termasuk Cu Cau dan Sui Leng-kong baru tahu, ternyata Thiat Tiong-tong sedang memikul tanggung jawab dan beban yang begitu berat.
"Itulah sebabnya dia minta kepadaku untuk hidup terus,"
kata Im Kian lebih jauh, "paling tidak menunggu sampai menyaksikan sendiri berakhirnya drama memilukan ini."
"Dan kau... kau mengabulkan permintaan-nya?" tanya Gi Beng.
"Aaaai, sekalipun aku sudah bertekad untuk mati, walaupun aku tidak berani melanggar peraturan perguruan, namun setelah mendengar harapannya, bagaimana mungkin permintaannya bias ku tolak?"
Gi Beng menghembuskan napas lega, pujinya dengan tersenyum:
"Benar, tindakan semacam inilah baru pantas disebut tindakan seorang lelaki sejati!"
"Tapi saat itu luka yang kuderita sangat parah, dia pun tidak mampu membagi diri untuk merawat lukaku, dia harus berlagak seolah-olah sudah menjalankan hukuman mati itu dan memberi pertanggung jawaban kepada ayahku."
"Lantas apa daya?" tanya Gi Beng dengan kening berkerut.
"Waktu itu hujan sedang turun dengan derasnya, dengan menempuh hujan deras dia berlari sejauh puluhan li untuk mencari sebuah kereta besar, kemudian dengan kereta itu dia mengantar aku ke sebuah rumah penginapan kecil yang berada puluhan li jauhnya, sepanjang jalan secara beruntun dia merampok enam belas rumah dan nengumpulkan uang sebanyak tiga ribu tahil perak dan lima ratus tahil emas murni. Dengan bekal itu dia minta kepadaku untuk berdiam di kaki bukit Ong wo san, mengobati luka di situ sambil nenunggu kabar beritanya,
selesai mengatur segala tesuatunya dia baru kembali ke perguruan untuk nemberi laporan. Aaaai! Dalam semalaman dia udah bolak-balik melakukan pekerjaan berat, aku telah membuatnya tersiksa."
"Apa?" teriak Sui Leng-kong kaget, "dia... dia sudah merampok enam belas rumah?"
Im Kian tertawa getir, katanya:
"Bukan saja telah merampok enam belas rumah, bahkan telah membunuh seorang tuan rumah setempat dan menggunakan mayatnya untuk menggantikan posisiku, menjalani hukuman dipisah dengan lima ekor kuda!"
"Tapi ini... ini...." seru Sui Leng-kong gemetar.
"Begitulah baru pantas disebut tindakan seorang Toa-enghiong, Toa-hokiat," tukas Gi Beng sambil menghela napas,
"kalau ingin melakukan tindakan yang menggemparkan, kita memang tidak boleh terikat oleh segala macam peraturan tetek bengek."
"Bagus, bagus sekali!" seru Cu Cau pula sambil tertawa tergelak dan bertepuk tangan, "tindakan yang dilakukan Jiteku memang sangat memuaskan, perkataan nona pun amat memuaskan! Benar-benar tidak malu disebut Li-hokiat (orang gagah wanita), aku sungguh merasa kagum!"
"Hanya sayang perkataannya kelewat banyak," sela Gi Teng sambil tersenyum, "orang lain baru berbicara sepatah kata, dia sudah bertanya sepuluh persoalan."
Tampaknya dia sendiri pun tidak tahan untuk mengetahui kejadian selanjutnya, tanyanya: "Lantas bagaimana selanjutnya?"
"Dengan melarikan kereta kuda tanpa berhenti, akhirnya tibalah aku di kaki bukit Ong wo san dan menetap di sini, tapi saat itu rumah yang kugunakan hanya dua buah gubuk bekas milik tukang penebang kayu yang sudah reyot, yang kubeli dengan uang tiga ratus tahil perak, dengan uang penjualan rumah itu si tukang penebang kayu membuka sebuah rumah makan kecil di sisi bukit sana, tampaknya kehidupannya cukup bahagia, sampai belakangan, dia masih sering datang kemari untuk mengobrol sambil membawa lima kati arak wangi untukku."
Berbicara sampai di sini, sekulum senyuman tampak tersungging di wajahnya yang murung.
"Dengan tiga ratus tahil perak untuk membeli dua buah gubuk reyot, tidak aneh jika kakek itu sangat berterima kasih
kepadamu ujar Gi Beng sambil tertawa, "tapi siapa pula yang merombak rumah gubuk reyot menjadi rumah pertapaan semacam sekarang ini?"
"Sejak berdiam di sini, hampir dua bulan lamanya aku tidak berhasil mendapat kabar berita darinya... aaai! Waktu itu aku benar-benar menguatirkan keselamatan jiwanya."
Sekulum senyuman tersungging di wajah Sui Leng-kong, ujarnya perlahan:
"Waktu itu... waktu itu dia terjerumus ke dalam jurang dan bertemu aku."
"Benar," Im Kian mengangguk, "setelah kejadian, dia sempat menceritakan peristiwa itu kepadaku, saat itulah perasaanku jadi lega, sewaktu datang dia pun menghadiahkan sejumlah harta yang tidak temilai harganya untukku."
Setelah berhenti sejenak, terusnya sambil tertawa:
"Konon harta karun itu pun diperoleh dari tempat tinggalmu."
"Benar. Dia membagi harta itu menjadi beberapa bagian dan memberitahukan kepadaku kegunaan dari setiap bagian itu, tapi hanya ada satu bagian harta yang tidak pernah dijelaskan kepadaku, sampai sesaat sebelum kau bercerita, aku masih belum tahu apa kegunaannya, karena dia tidak pernah mau menjelaskan hal itu, tapi sekarang...."
Sui Leng-kong tertawa manis, terusnya:
"Sekarang aku baru tahu apa gunanya."
"Hahaha, sekarang aku pun sudah tahu kenapa pondok tempat tinggalmu nampak begini indah dan mewah, semula kusangka kau adalah pensiunan perampok yang hidup mengasingkan diri," seru Cu Cau sambil tertawa tergelak.
"Dia yang memaksa aku menggunakan uang itu untuk membangun rumah ini serta bergaul dengan sahabat dunia persilatan," kata Im Kian sambil tersenyum, "bahkan sebagai pelengkapnya dia mengirim juga dua orang bocah lelaki untuk melayani keperluan tamu."
"Kedua bocah itu dia beli dari Hun Kiok-hoa," Sui Leng-kong menjelaskan sambil tertawa.
Tiba-tiba Im Kian menghela napas panjang, katanya:
"Semenjak berpisah di tengah hujan deras malam itu, hingga sekarang aku belum pernah bersua lagi dengannya, entah saat ini dia...."
"Saat ini, bukan saja ilmu silatnya bertambah maju, kesehatan tubuhnya juga bagus sekali," kata Cu Cau sambil
tertawa. "Sebenarnya dia sudah berjanji, dalam dua hari mendatang akan datang menengokku, persoalan apa sih yang membuat kedatangannya tertunda?"
Secara ringkas Cu Cau pun menceritakan kisah
perjumpaannya dengan Thiat Tiong-tong hingga dia diminta datang ke situ.
Kisah ini penuh dengan liku-liku, yang membuat Im Kian menghela napas berulang kali, sedang dua bersaudara Gi pun hanya bisa mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo.
Lewat beberapa saat kemudian, Gi Teng baru berkata sambil tertawa getir:
"Tokoh semacam ini memang tidak malu disebut seorang lelaki sejati, sungguh menggelikan, ternyata aku malah ingin mencarinya untuk berduel."
"Beruntung kita kenal dulu dengan Im-toako serta Cu-toako,"
sambung Gi Beng sambil tertawa, "seandainya benar-benar terjadi pertarungan, mungkin pihak kami berdualah yang bakal menderita kerugian besar."
Maka Im Kian pun menyajikan sayur dan arak untuk menjamu tamu-tamunya.
Malam itu, ketika semua orang telah pergi beristirahat, seorang diri Im Kian mengajak Sui Leng-kong bertemu di dalam hutan bambu.
"Nona," ujarnya, "Jite berharap kau bersedia melakukan satu hal untuknya, apakah kau sudah tahu?"
"Tidak," sahut Sui Leng-kong keheranan.
Im Kian tertawa getir, katanya lagi:
"Sekalipun di mulut kau mengatakan tidak tahu, padahal dalam hati kecilmu sudah tahu dengan jelas bukan."
Tiba-tiba sepasang mata Sui Leng-kong berubah jadi merah, bisiknya dengan kepala tertunduk:
"Apapun yang dia minta, aku pasti akan menyetujuinya, tapi...
tapi aku tidak bakal kawin dengan oranglain!"
"Cu-toako adalah seorang berbakat hebat, dia Bun bu coan cay, boleh dibilang...."
"Aku tidak pernah mengatakan Cu-toako tidak baik, tapi...
biar dia sepuluh kali, seratus kali lebih hebat pun, aku tidak bakal kawin dengannya!"
Im Kian tertegun sehabis mendengar perkataan itu, sesudah
menghela napas, katanya kemudian:
"Aku pun tahu cintamu terhadap Jite sangat mendalam, tapi...
aaaai! Nasib mempermainkan manusia, siapa suruh kalian berdua masih terhitung saudara."
Akhirnya Sui Leng-kong tidak sanggup menahan rasa sedihnya lagi, dia menangis terisak.
"Lelaki dewasa akan menikah, wanita dewasa akan
dinikahkan, kalau kalian berdua...."
"Apapun alasannya aku tidak bakal kawin dengannya!" tukas Sui Leng-kong sambil menghentakkan kakinya.
Kembali Im Kian termenung beberapa saat.
"Jangan lupa," katanya kembali, "saat ini kau pun terhitung anggota perguruan Tay ki bun, sudah sepantasnya kau memikirkan masa depan perguruan...."
"Apa urusannya aku tidak kawin dengan masa depan perguruan?"
"Sekalipun tidak ada urusannya, tapi demi membangun kejayaan perguruan Tay ki bun, kita butuh bantuan para Enghiong dari seluruh kolong langit, tokoh silat macam Cu-toako jelas merupakan bantuan yang luar biasa."
"Jadi maksudmu, aku... aku harus kawin dengannya demi kepentingan perguruan Tay ki bun, agar dia mau membantu kita membela perguruan?" seru Sui Leng-kong dengan mata terbelalak.
"Benar! Jika Kaisar malam mau bergabung dengan perguruan Tay ki bun, maka situasi akan berubah total, banyak rahasia yang selama ini tertutup pun akan segera tersingkap."
"Atas dasar apa aku harus berkorban demi perguruan Tay ki bun?" air mata makin deras bercucuran membasahi pipi nona itu.
"Karena kau adalah keturunan keluarga Thiat, karena kau adalah putra-putri perguruan Tay ki bun, inilah kehendak Thian!"
Sekujur tubuh Sui Leng-kong gemetar keras, dengan kepala tertunduk dia menangis makin sedih.
Im Kian sendiri pun merasa dadanya berombak, lewat sesaat kemudian dia baru berkata lagi sambil menghela napas:
"Ketahuilah, gara-gara pertikaian ini, sudah banyak anggota perguruan yang mengorbankan diri generasi demi generasi.
Selama seratus tahun terakhir, belum pernah ada keturunan perguruan Tay ki bun yang kabur atau bersembunyi dari kenyataan, kau sebagai keturunan Tay ki bun, anggap saja hal ini


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan ketidak beruntunganmu."
Isak tangis Sui Leng-kong bertambah keras, nadanya bertambah sedih.
Sepasang mata Im Kian turut berkaca-kaca, kembali dia menghela napas panjang.
"Apalagi kau adalah kekasih Jite, sudah seharusnya kau pun memahami maksud hatinya, kau berkewajiban membantunya agar apa yang dicita-citakan dapat tercapai."
Tapi... tapi...."
"Dengan berbuat begitu, bukan saja kau telah menyelesaikan tugasmu sebagai keturunan Tay ki bun, kau pun telah melaksanakan keinginannya, jika kau memang mencintainya, mengapa ragu untuk berkorban deminya" Lagi pula
pengorbananmu tidak terhitung seberapa bila dibandingkan pengorbanan orang lain, masa kau tidak bisa membayangkan penderitaan dan siksaan yang dialami anggota perguruan Tay ki bun lainnya" Sejarah Tay ki bun memang tertulis di atas genangan darah dan cucuran air mata putra-putrinya!"
Perkataan itu ibarat pecut yang menghajar setiap bagian tubuh Sui Leng-kong, bagai tusukan jarum tajam yang menghujam di lubuk hatinya.
Siapa yang tidak luluh perasaannya setelah disodori kenyataan semacam ini"
Sui Leng-kong tertunduk sambil menangis, lama dan lama kemudian ia baru mendongakkan kepala.
"Baiklah!" dia berseru.
Kelihatannya Im Kian tidak menyangka kalau secepat itu si nona akan menyanggupi permintaannya, dia malah tertegun.
"Apa?"
"Aku menyanggupi perrnintaanmu!" sekali lagi Sui Leng-kong tertunduk sedih.
Sebetulnya kejadian ini merupakan satu peristiwa yang menggembirakan, namun Im Kian justru merasa hatinya kecut dan pedih.
Sampai lama sekali dia baru dapat berbicara lagi:
"Nah, begitulah baru anak baik, tidak menyia-nyiakan pengharapan Jite... terhadapmu, selama hidup dia akan berterima kasih kepadamu...."
Mendadak terdengar suara langkah kaki manusia
berkumandang dari luar hutan bambu.
Menyusul kemudian terdengar Cu Cau berseru sambil tertawa
tergelak: "Di tengah malam secerah ini, siapa yang bisa terlelap tidur"
Bagaimana pendapat kalian berdua?"
"Entah tuan rumah sudah tertidur belum?" terdengar pula Gi Beng berkata sambil tertawa.
Buru-buru Im Kian berdehem, sahutnya cepat:
"Tidak nyana kalian masih begadang, kebetulan aku pun belum tertidur."
"Hahaha, bagus, bagus sekali," Cu Cau tertawa tergelak:
"Ternyata tuan rumah berada di sini. Orang kuno bilang, paling asyik berpesiar di tengah malam dengan membawa lilin, meski kami tidak membawa lilin, rasanya tidak akan mengurangi keindahan malam bukan?"
Di tengah gelak tertawa, terlihat Cu Cau bersama Gi Teng dan Gi Beng melangkah masuk ke dalam hutan.
Setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu, kembali Gi Beng berseru sambil tertawa:
"Ternyata Enci Sui juga berada di sini, hayo, apa yang sedang kalian bicarakan" Boleh kami ikut mendengarnya?"
Diam-diam Sui Leng-kong menyeka air matanya, lalu tertawa paksa.
"Aaah, tidak ada yang dibicarakan!" buru-buru sahutnya.
Tergerak pikiran Im Kian, cepat selanya:
"Benar, kami berdua sedang membicarakan satu masalah besar."
"Masalah besar apa?" sepasang mata Gi Beng terbelalak makin lebar.
"Membicarakan masalah perkawinan adikku ini," ujar Im Kian sambil melirik Sui Leng-kong sekejap.
Gi Beng dan Gi Teng segera bertepuk tangan sambil bersorak, serunya sambil tergelak:
"Dalam suasana malam seindah ini, memang paling cocok digunakan untuk membicarakan soal perkawinan, kalian berdua tidak seharusnya merahasiakan lagi persoalan ini."
Sementara paras muka Cu Cau kelihatan agak berubah, setelah berpikir sejenak, ujarnya:
"Kalau begitu kedatangan kami yang ceroboh telah mengganggu pembicaraan kalian berdua?"
"Justru persoalan ini menyangkut dirimu," seru Im Kian tertawa.
Gi Beng segera memandang Sui Leng-kong sekejap, kemudian
memandang pula wajah Cu Cau, akhirnya sambil mengedipkan matanya berulang kali ia bergumam:
"Jangan-jangan antara dia... dengan dia?"
Tiba-tiba Sui Leng-kong menutup wajahnya, lalu kabur meninggalkan tempat itu.
Tampaknya Cu Cau sendiri pun tidak tahu harus merasa kaget atau girang, teriaknya pula:
"Adikku, masa kau menggoda aku?"
Memandang bayangan tubuh Sui Leng-kong yang menjauh, perasaan kecut dan sedih kembali menyelimuti hati Im Kian, tapi di luar katanya sambil tertawa:
"Mana berani Siaute menggoda Toako, aku justru ingin menagih secawan arak kegirangan darimu."
"Bagus, bagus" kembali Gi Beng bertepuk tangan sambil tertawa:
"Cu-toako memang merupakan pasangan yang paling ideal buat Enci Sui."
"Boleh tahu, perkawinan ini kapan baru diselenggarakan?"
tanya Gi Teng. Im Kian berpikir sejenak, sahutnya kemudian:
"Sekalipun belum ditentukan, tapi makin cepat semakin baik."
"Memang seharusnya begitu, toh kita semua adalah orang persilatan, buat apa mesti mengurus segala tetek-bengek, mau hari baik atau tidak, rasanya tidak jadi soal, lebih baik kita tetapkan saja pada...."
"Bagaimana kalau kita tetapkan tiga hari kemudian?" usul Gi Teng tiba-tiba.
Im Kian melirik Cu Cau sekejap, katanya sambil tertawa:
"Soal ini...."
Waktu itu Cu Cau benar-benar tertegun, saking tertegunnya sampai tak mampu bicara.
Sampai lama kemudian dia baru tertawa tergelak, katanya:
"Mana mungkin aku menjadi pria yang sok malu-malu kucing, baik, tiga hari kemudian...."
"Puas, puas, Cu-toako memang seorang lelaki sejati," puji Gi Beng sambil bertepuk tangan, "memang hanya lelaki macam kau yang pantas mendampingi nona Sui."
"Kebetulan tempat tinggalku berada tidak jauh dari sini," kata Gi Teng sambil tertawa, "bagaimana kalau Siaute segera memerin-tahkan orang untuk mempersiapkan segala keperluan
perkawinan, hahaha, tentu saja ditambah beberapa guci arak wangi untuk kita tenggak sampai mabuk."
"Kalau begitu... merepotkan kalian berdua untuk
mempersiapkan nya," sahut Im Kian.
"Aaah, merepotkan apa, kami justru tidak menyangka kalau kedatangan kali ini bakal menghadiri satu pesta perkawinan akbar, sungguh bagus... bagus sekali...."
Tiga hari kemudian, pondok Cay-seng sudah dihiasi dengan berbagai pernik perkawinan, suasana dalam ruang utama pun amat meriah dengan lilin merah yang memancarkan cahaya terang.
Sebentar lagi sepasang pengantin baru akan menjalani upacara perkawinan.
Tapi siapa yang menduga bahwa di balik meriahnya suasana perkawinan justru tersimpan sebuah tragedi yang menyedihkan"
Cu Cau dan "Cu" Leng-kong segera akan menjadi suami istri, sementara Thiat Tiong-tong dan Kaisar malam masih berada ribuan li jauhnya dari tempat itu, meski mereka menempuh perjalanan siang malam, waktu sudah tidak sempat lagi.
Apalagi saat itu mereka berdua memang mustahil bisa tiba di sana!
Kecuali mereka berdua, siapa lagi yang mengetahui rahasia di balik semua ini"
Kecuali mereka berdua, siapa pula yang bisa mencegah terjadinya drama yang amat tragis ini"
BAB 30 Tragedi Manusia
Paras muka Kaisar Malam hijau membesi, lama kemudian dia baru bertanya:
"Kau serahkan masalah perkawinan Lengkong dengan Cau-ji kepada siapa" Kini orang tersebut berada di mana?"
"Dia adalah Toakoku, Im Kian, saat ini berada di bawah bukit Ong wo san."
"Bukit Ong wo san...." gumam Kaisar Malam, mendadak ia melompat bangun sambil berteriak keras:
"Dengan kecepatan kita berdua, kalau berangkat sekarang, mungkin masih sempat untuk menghalangi terselenggaranya perkawinan itu."
"Jadi Empek akan ikut?" tanya Thiat Tiong-tong kegirangan.
Kaisar malam menghela napas panjang.
"Aaaai, kecuali Jit-ho Nionio yang meminta, sebetulnya tidak ada persoalan lain yang bisa memaksaku meninggalkan gua ini, tapi persoalan itu... persoalan ini...."
Setelah menghentakkan kakinya berulang kali, serunya keras:
"Bagaimanapun juga demi persoalan ini aku harus berangkat sendiri!"
Kemudian dengan suara keras dia memanggil semua nona yang ada dalam gua agar segera berkumpul.
"Ada apa?" tanya San-san dengan wajah mengantuk:
"Apakah ingin menambah arak?"
"Menambah arak apa" Siapkan perbekalan, aku harus pergi dari sini!"
Begitu mendengar "aku harus pergi", bagaikan disambar petir di siang hari bolong, paras muka kawanan gadis itu berubah hebat.
"Mau pergi... ada urusan apa?" tanya San-san dengan suara gemetar.
"Tentu saja ada urusan penting!"
"U... urusan apa?"
"Sudah, tidak usah banyak tanya," hardik Kaisar malam gusar, "cepat siapkan perbekalan untukku, cepat! Cepat!"
Padahal selama ini dia selalu hidup santai dan tenang, tapi
begitu pikirannya kalut ditambah perasaannya amat cemas, wataknya kontan berubah jadi berangasan dan kasar.
Bagaimana mungkin kawanan gadis itu bisa memahami perasaannya"
Sepuluh tahun hidup berdampingan, Kaisar malam selalu bersikap lemah lembut terhadap mereka, sikap itu tidak pernah berubah, tapi sekarang tiba-tiba wataknya berubah seratus delapan puluh derajat, berubah jadi berangasan, kasar dan gampang naik darah, bahkan cara bicara pun amat kasar.
Sampai mimpi pun mereka tidak tahu karena apa sikap lelaki itu berubah drastis, untuk sesaat mereka hanya bisa saling pandang sementara air mata mulai jatuh bercucuran.
Dengan air mata berlinang dan kepala tertunduk, San-san berjalan meninggalkan tempat itu, tapi setibanya di luar pintu, tidak tahan dia berpaling lagi seraya bertanya:
"Setelah... setelah kepergianmu kali ini, apakah kau... kau akan kembali lagi?"
Tidak tega juga perasaan Kaisar malam setelah menyaksikan mimik muka para gadis itu, dia menghela napas panjang.
"Kalian tidak usah kuatir, aku pasti akan balik kemari"
"Kaa... kapan baru balik?" tanya Cui-ji
Kaisar malam berpikir sejenak, kemudian menggeleng.
"Aku sendiri pun tidak tahu," katanya, "tapi pasti tak akan terlalu lama."
Kawanan gadis itu semakin sedih setelah mendengar dia tidak bersedia mengatakan sampai kapan baru akan balik.
"Apakah kami... kami tidak bisa diajak serta?" tanya San-san kemudian.
"Aaaai... persoalan ini... kalian tidak bisa ikut."
"Kenapa kami tidak boleh ikut" Sebenarnya karena persoalan apa?" air mata San-san berlinang makin deras.
Saat itu pikiran Kaisar malam sedang dicekam kecemasan dan kepanikan, pertanyaan yang bertubi-tubi membuat amarahnya kembali berkobar, tukasnya:
"Sudah, jangan bertanya lagi, pokoknya kalian tidak bisa ikut, tidak usah bertanya lagi kenapa tidak boleh ikut."
Sekujur tubuh kawanan gadis itu gemetar keras, tidak menanti perkataan itu selesai diucapkan, mereka sudah berlari masuk sambil menutupi wajah sendiri, menutupi wajah sambil menangis tersedu-sedu
Mereka sudah melewati belasan tahun kehidupan yang
tenang, tenteram dan penuh kegembiraan, pukulan batin yang muncul secara tiba-tiba membuat mereka tidak mampu menahan diri, terlihat ada beberapa orang di antaranya yang berlari dengan tubuh gontai, belum sempat keluar pintu, mereka sudah roboh tak sadarkan diri.
Thiat Tiong-tong yang menyaksikan kejadian inipun ikut merasakan hatinya pedih, diam-diam dia menghela napas panjang, dia cukup memahami perasaan orang tua itu, dan dia pun tidak ingin menjelaskan alasan perjalanan ini kepada kawanan wanita itu.
Sementara itu Kaisar malam telah berpaling ke arah lain, berpaling memandang ke arah dinding ruangan, dia tidak lagi memandang ke arah kawanan perempuan itu walau hanya sekejap, namun mimik mukanya nampak sangat pedih, perubahan wajahnya sulit dilukiskan dengan perkataan.
Entah berapa saat sudah lewat, tiba-tiba terdengar suara getaran yang amat keras bergema di seluruh ruangan, sedemikian kerasnya suara getaran itu membuat seluruh ruang gua itu bergoncang keras, piring mangkuk berjatuhan, bumi serasa bergoyang tiada hentinya.
Dengan wajah berubah, teriak Kaisar malam kaget:
"Apa yang terjadi?"
Cepat dia melompat keluar.
Buru-buru Thiat Tiong-tong menyusul dari belakang, setelah melewati berapa bilik, lamat-lamat mereka mulai mengendus bau mesiu yang sangat menusuk hidung diikuti batu dan pasir yang beterbangan di udara, suasana di situ persis seperti gunung berapi yang meletus.
Tampak San-san, Cu-ji serta Min-ji perlahan-lahan berjalan keluar dari balik asap dan debu, rambut mereka bertiga awut-awutan tidak keruan, paras muka mereka pucat-pias bagai mayat.
"Karena kalian akan meninggalkan kami, maka sekarang jangan harap kau bisa pergi dari sini!" ujar Min-ji sambil tertawa bodoh.
Tidak terlukiskan rasa gusar Kaisar malam menghadapi kejadian ini, dengan rambut berdiri tegak bagai landak, dia cengkeram tubuh san-san, kemudian bentaknya:
"Apa yang terjadi?"
San-san masih tertawa bodoh, sahutnya: "Kami telah meledakkan lorong rahasia ini dengan sisa obat peledak yang
digunakan untuk membuka lorong gua ini dulu."
"Apa" Meledakkan lorong rahasia ini?" teriak Kaisar malam dengan hati terperanjat.
"Benar!" sahut Cui-ji sambil tertawa bodoh pula, "seluruh lorong rahasia ini sudah hancur berantakan, siapa pun jangan harap bisa keluar dari sini. Kami telah mengorbankan segala sesuatunya demi kau, maka kau pun harus selamanya menemani kami."
Kaisar malam membentak keras, dia langsung menampar wajah San-san dengan keras.
Tapi San-san masih berdiri bodoh, katanya sambil tertawa:
"Hajarlah, biar dihajar sampai mampus pun jangan harap kau bisa pergi dari sini..."
Tiba-tiba tubuhnya jadi lemas dan segera roboh terjungkal ke tanah.
Kawanan gadis yang lain menjerit kaget, sedang Kaisar malam menghentakkan kakinya berulang kali, di antara sekian orang hanya Thiat Tiong-tong seorang yang tetap menjaga ketenangannya.
Sesudah berpikir sejenak, pemuda itu berteriak keras:
"Sewaktu Siautit masuk kemari tadi, pintu lorong sebelah atas tidak sempat kututup kembali."
"Benar," seru Kaisar malam penuh semangat, "ayo cepat kita ke sana!"
Buru-buru kedua orang itu berlari keluar dari dalam lorong, meninggalkan kawanan gadis yang masih menjerit sambil menangis tersedu-sedu.
Siapa tahu begitu tiba di ujung lorong, mereka lihat satu-satunya pintu keluar yang tersisa pun entah sedari kapan telah ditutup orang.
Kini seluruh lorong gua tercekam dalam kegelapan yang luar biasa, tidak nampak secercah cahaya pun di situ.
Dengan tertutupnya jalan keluar yang tersisa, berarti pupus sudah pengharapan mereka yang terakhir.
Sekalipun Thiat Tiong-tong memiliki tubuh yang keras bagai baja, tidak urung gemetar juga saat itu, dia merasa tangan dan kakinya dingin membeku, sepasang lututnya jadi lemas, nyaris dia jatuh terduduk di tanah.
Tiba-tiba terdengar Kaisar malam membentak nyaring, di tengah bentakan keras, tubuhnya melambung ke udara, secara beruntun dia melepaskan dua buah pukulan langsung yang
diarahkan ke pintu keluar gua karang itu.
Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kedua pukulan yang dilancarkan Kaisar malam dengan segenap tenaga itu, kehebatannya tidak terlukis-kan dengan perkataan.
Terdengar suara getaran yang memekakkan telinga
berkumandang di angkasa, dinding karang di sekeliling tempat itu bergoncang keras, suara pantulan yang menusuk pendengaran bagaikan gulungan ombak yang memecah di tepian bergema tiada hentinya.
Hanya suara pantulan yang dihasilkan, sementara batu karang itu sama sekali tidak bergeming, biarpun tenaga pukulan itu sangat hebat, ternyata tetap tidak mampu menandingi kekuatan alam.
Bagaimana mungkin kekuatan manusia bisa menghancurkan batu karang yang sudah terbentuk sejak ribuan tahun berselang dan setiap hari terlatih menerima pukulan ombak dahsyat"
Tubuh Kaisar malam naik turun tiada hentinya, secara beruntun sepasang tangannya melancarkan serangkaian serangan berantai, dalam waktu sekejap, kembali belasan pukulan telah dilontarkan, tapi sayang seluruh kekuatan yang dikerahkan hanya sia-sia belaka.
Sampai pada akhirnya Pa-ong (raja bengis) ini putus asa, setelah mendongakkan kepala dan menghela napas panjang, dia pun menjatuhkan diri berbaring di atas tanah.
Secercah cahaya api muncul dari belakang lorong, Cui-ji serta Min-ji dengan membawa obor berjalan keluar dari balik tikungan, cahaya api menyinari wajah mereka yang pucat, menyinari butiran air mata yang berlinang, menyinari tubuh Kaisar malam yang telentang melingkar di tanah, menyinari pula rambutnya yang putih beruban serta
wajahnya yang penuh dengan cucuran darah....
Sekarang jagoan tangguh dari dunia persilatan itu benar-benar sudah runtuh, benar-benar sudah hancur pikirannya, tiada cahaya lagi di kolong langit yang mampu menyinari keputus asaan serta kepedihan yang mencekam perasaannya.
Dengan air mata bercucuran Thiat Tiong-tong berpaling ke arah lain, tidak tega menyaksikan semua itu, dia mengalihkan sinar matanya, mengawasi sejumlah makanan yang berceceran di atas tanah.
Terdengar Cui-ji berkata dengan suara gemetar:
"Lain kali, ketika si nenek datang mengantar makanan lagi,
dia pasti akan membukakan pintu rahasia ini untukmu, mohon...
kumohon... janganlah kelewat bersedih hati... mau bukan?"
"Tidak ada lain kali, tidak bakal ada yang datang mengantar makanan lagi," kata Thiat Tiong-tong.
"Ke... kenapa?" tanya Cui-ji, suaranya selain gemetar, juga terdengar sangat parau.
"Sewaktu si nenek datang mengantar nasi semalam, dia telah menjumpai pintu gua dalam keadaan terbuka dan Empek Cu tidak diketahui keberadaannya, dia pasti menyangka dia orang tua telah pergi dari sini."
Setelah menyapu sekejap makanan yang berserakan di tanah, lanjutnya:
"Coba lihat, dia membuang dengan begitu saja makanan yang dibawa, jelas hal ini menunjukkan hatinya sangat terperanjat, bisa jadi dia telah melakukan pencarian di seputar sini, namun akhirnya pulang dengan kecewa, bisa jadi dia pun sekalian menyumbat mati jalan keluar gua ini. Karena menganggap gua ini sudah berada dalam keadaan kosong, tentu saja dia tidak akan datang kemari lagi."
Sebenarnya dia tidak tega untuk mengungkap kenyataan yang memedihkan hati dan penuh dengan keputusasaan ini, namun berhadapan dengan manusia luar biasa macam Kaisar malam, dia berpendapat daripada menyembunyikan kenyataan itu dalam hati, lebih baik mengatakannya secara terus terang.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang memedihkan berkumandang memecahkan keheningan.
"Lebih baik tersumbat semua..." teriak San-san sambil tertawa sedih, "lebih baik selamanya tertutup, selamanya tidak ada lagi yang datang, kalau ingin hidup, kita harus hidup bersama, kalau ingin mati, kita pun harus mati bersama!"
Di tengah suara tertawanya yang mengenaskan, San-san dengan rambut awut-awutan telah muncul diiringi kawanan gadis lainnya, saat itu pipinya merah membengkak, sepasang mata yang indah pun sudah merah bengkak karena menangis, dia memang kelihatan sangat menyedihkan.
Namun bagi pandangan Thiat Tiong-tong, dia sama sekali tidak menaruh perasaan iba terhadap otak dari semua permasalahan ini, sebaliknya api amarah yang luar biasa justru berkecamuk dalam benaknya.
Begitu melihat kemunculan perempuan itu, dengan gusar bentaknya:
"Tahukah kau, karena apa dia orang tua harus pergi dari sini?"
"Kenapa" Kenapa" Katakan, kenapa?" jerit San-san.
"Karena...."
Hanya sepatah kata itu saja yang meluncur keluar dari mulut pemuda itu, dia segera bungkam dan tidak bicara lagi, sebab peristiwa itu memang sangat tragis, bagaimana mungkin dia tega mengutarakannya"
Tiba-tiba Kaisar malam melompat bangun, ditatapnya wajah San-san dengan sorot tajam, katanya:
"Kau ingin tahu kenapa" Baik! Biar aku beritahukan kepadamu."
Saat itu jidatnya yang membentur dinding karang masih mengucurkan darah segar, namun sorot matanya yang penuh keputus asaan dan kemurkaan justru nampak lebih merah ketimbang darah.
Bergidik hati San-san menyaksikan sorot mata yang menakutkan itu, tanpa sadar dia mundur dua langkah.
Dengan suara yang menyeramkan, kembali Kaisar malam melanjutkan:
"Aku harus pergi dari sini karena kalau aku tidak bisa menyusul ke bukit Ong wo san, putri kandungku akan menikah dengan putra kandungku!"
Biarpun perkataan itu diungkap dengan kalimat sederhana, namun di balik kesederhanaan justru tersimpan satu kisah yang sangat tragis, membuat siapa pun yang mendengar, bukan saja segera dapat meresapi, bahkan ikut merasakan kesedihan yang luar biasa.
Kawanan gadis itu tidak kuasa menahan diri lagi, mereka sama-sama menjerit kaget, malah ada beberapa orang di antaranya yang mundur dengan tubuh gontai.
Sambil menutupi mulutnya dengan kedua belah tangan, San-san memandang tertegun ke arah Kaisar malam, lama sekali dia termangu, kemudian baru bisiknya gemetar:
"Kau...."
Baru mengucapkan sepatah kata, lagi-lagi si pembuat keonaran ini roboh tidak sadarkan diri.
Cui-ji maupun Min-ji sudah dibuat termangu saking kagetnya, tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut sambil serunya:
"Kami... kami minta maaf...."
Isak tangis pun segera bergema memenuhi seluruh lorong.
Para gadis yang berada di belakang ikut menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu, dalam waktu singkat suasana di tempat itupun menjadi ramai dengan suara tangisan.
Tiba-tiba Kaisar malam tertawa seram, teriaknya:
"He, apa yang kalian tangisi" Aku tidak menyalahkan kalian...
mungkin... mungkin Thian menghukum dosaku dengan kejadian seperti ini...."
Gelak tertawa yang menyeramkan mendadak terputus di tengah jalan, tubuh Kaisar malam yang tinggi besar sekali lagi roboh terjungkal ke tanah.
Buru-buru Thiat Tiong-tong membopong tubuh kakek itu dan cepat membawanya balik ke ruang batu melalui jalan lorong yang berliku-liku.
Suasana dalam ruang batu masih seperti sedia kala, namun kemewahan yang terdapat di situ, kini seolah sudah kehilangan pamornya, yang tersisa waktu itu hanya hawa dingin yang merasuk tulang.
Thiat Tiong-tong dengan sebuah mantel kulit yang mahal harganya menutupi tubuh Kaisar malam yang menggigil.
Semahal apapun mantel kulit itu, mungkinkah bisa menangkal hawa dingin yang merasuk tulang" Sebab bukan tubuhnya yang menggigil, tapi hatinya!
Tiba-tiba terdengar lagi jeritan keras yang memilukan hati.
Seketika itu juga paras muka Thiat Tiong-tong berubah, pemuda berhati baja ini tergetar hatinya karena pukulan batin yang diterimanya sudah kelewat berat, dia tidak sanggup lagi menerima pukulan batin lain.
Tapi sayang pukulan batin itu kembali muncul, menyusul suara langkah kawanan gadis yang berlarian mendekat, terdengar mereka meraung keras sambil menangis tersedu:
"Enci... Enci San-san telah membenturkan kepalanya di atas karang, dia bunuh diri!"
Tubuh Thiat Tiong-tong bergetar, dia jatuh terduduk.
Kawanan gadis itu muncul sambil membopong tubuh San-san, muka gadis itu penuh berlepotan darah, wajahnya yang cantik kini sudah penuh luka.
"Aku bersalah kepadamu... aku bersalah kepadamu...."
rintihnya sambil menahan kesakitan.
Dengan gerakan cepat Thiat Tiong-tong melompat bangun, teriaknya lantang:
"Dia belum mati, cepat tolong perempuan itu!"
"Siapa... siapa yang ingin me... menolongku" Aku tidak ingin hidup terus!" bisik San-san sedih.
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru pula dengan suara keras:
"Kalau kau tidak ingin hidup, aku pun tidak ingin hidup!"
Ternyata Kaisar malam telah tersadar kembali dan melompat bangun.
Serentak kawanan gadis itu menjatuhkan diri berlutut di hadapannya, teriak mereka:
"Bunuh... bunuhlah kami semua... kami... kami pun tidak ingin hidup."
Diam-diam Thiat Tiong-tong menggeser badannya, siap mengundurkan diri dari situ.
"Berhenti!" bentak Kaisar malam keras, "siapa suruh kau pergi dari sini?"
"Siautit benar-benar tidak tahan...." kata Thiat Tiong-tong dengan kepala tertunduk.
"Hahaha, semua tragedi terjadi karena ulahmu, sekalipun tidak tahan, kau tetap harus menyaksikannya," kata Kaisar malam sambil tertawa seram.
Thiat Tiong-tong tertegun.
"Gara-gara ulah Siautit...." bisiknya parau.
"Benar! Kalau kau tidak datang, aku tidak akan mengetahui kejadian ini, kalau tidak tahu, mana mungkin akan merasa sedih seperti sekarang" Hmm, kalau tidak kuganjar dengan hukuman yang setimpal, tidak puas rasanya hatiku."
Sudah jelas perkataan itu bo-cengli, tidak pakai aturan! Tapi dalam situasi dan keadaan seperti ini, Thiat Tiong-tong enggan membantah apalagi mengajaknya berdebat.
Maka dengan kepala tertunduk lesu, jawabnya:
"Apapun yang ingin Empek lakukan, Siautit akan menerima dengan pasrah."
"Sungguh?"
"Bila berbohong, biar Thian menumpas diriku."
"Baik! Aku perintahkan kepadamu, dalam tiga bulan mendatang harus berhasil menguasai seluruh ilmu silat yang kuwariskan kepadamu, kalau gagal, aku segera akan mencabut nyawamu."
Sekali lagi Thiat Tiong-tong tertegun, kagetkah dia" Atau justru kegirangan"
"Selain itu," kembali Kaisar malam membentak, "aku minta
kau segera tinggalkan tempat ini tiga bulan kemudian!"
"Siautit pasti akan berusaha...."
"Siapa suruh kau berusaha," tukas Kaisar malam lagi penuh gusar, "aku masih mampu mencarikan jalan untukmu, sekalipun celah lorong ini sudah diledakkan, tidak berarti seratus persen tersumbat mati. Kau anggap waktu selama tiga bulan tidak cukup untuk menggalinya?"
Tidak terlukiskan rasa girang Thiat Tiong-tong, tapi ingatan lain kembali melintas dalam benaknya, terbayang bagaimana pada tiga bulan kemudian Cu Cau sudah menikah dengan Sui Lengkong, sekali lagi perasaannya sakit bagaikan diiris-iris dengan pisau.
Dalam pada itu Kaisar malam telah berpaling ke arah kawanan gadis itu sambil berkata dengan suara berat:
"Bila kalian merasa menyesal, gunakanlah waktu selama tiga bulan untuk berusaha membuat terowongan di tengah lorong yang tersumbat."
Setelah berhenti sejenak, kembali sorot matanya dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong, ujarnya kata demi kata:
"Sesudah keluar dari sini, aku harap kau segera menemukan Cu Cau dan Sui Leng-kong...."
"Untuk... untuk apa?" tanya Thiat Tiong-tong dengan hati bergetar.
Mendadak Kaisar malam berpaling, teriaknya lantang:
"Bukankah kau telah bersumpah berat, selamanya akan menurut perintahku?"
Di balik teriakan paraunya, terdengar hawa napsu membunuh yang menggidikkan hati.
Thiat Tiong-tong amat terkejut.
"Benar...." sahutnya, "tapi...."
"Bagus, sekali kau telah bersumpah, selamanya tidak dapat diubah kembali!" tukas Kaisar malam lantang.
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia membentak nyaring, suaranya keras bagai guntur yang membelah bumi, sambil melompat bangun dan menatap pemuda itu dengan sorot mata setajam sembilu, dia melanjutkan:
"Aku tidak bisa membiarkan mereka berdua hidup terus di dunia ini, karena itu kuperintahkan kepadamu untuk membantai mereka berdua."
Di tengah jeritan ngeri kawanan gadis itu, Thiat Tiong-tong jatuh tidak sadarkan diri, semaput saking kagetnya!


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suasana dalam Pondok Cay-seng, di kaki bukit Ong wo san diliputi kegembiraan, sepasang lilin berwarna merah menerangi ruang utama, pesta perkawinan segera akan berlangsung Im Kian telah menanggalkan jubah hijaunya dan berganti dengan satu stel pakaian baru.
Gi Beng dengan pakaian serba merahnya sedang mengamati dandanan Im Kian dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, kemudian setelah tertawa cekikikan, katanya:
"Tidak kusangka setelah Im-toako berganti pakaian baru, ternyata penampilanmu bertambah menawan."
"Yang menawan bukan aku, tapi kau!" jawab Im Kian tertawa,
"hanya saja... hanya saja...."
"Hanya saja apa, cepat katakan!"
"Cuma saja, setelah kau mengenakan gaun berwarna merah menyala, nama julukanmu pun mesti diubah, kalau masih dipanggil si walet hijau... rasanya kurang pas."
"Menurut pendapatmu, sebutan apa yang paling pas?" tanya Gi Beng sambil mengerling.
Im Kian sengaja termenung sejenak, kemudian baru katanya:
"Walet merah muda... jelek, Dewi merah muda... kelewat kuno... ehmm, lebih baik disebut macan tutul merah saja!"
"Tepat! Tepat sekali!" sorak Gi Teng sambil bertepuk tangan,
"sepasang cakarnya memang mirip cakar macan betina, malah aku rasa dia lebih buas dan lebih galak ketimbang seekor macan tutul."
"Kau... kau berani memaki aku... akan kucakar kau sampai mampus...." jerit Gi Beng sambil menubruk ke muka, betul saja, ketika jari tangannya dipentangkan mencakar Gi Teng, sepasang cakarnya persis seperti cakar macan betina.
"Eeeh... eeh... jangan mencakar aku," teriak Gi Teng sambil menghindar, "toh bukan aku yang bilang begitu."
Dengan jengkel Gi Beng menghentakkan kakinya berulang kali ke atas tanah, teriaknya:
"Sudah, aku tidak mau peduli lagi, kalian ramai-ramai menganiaya aku, aku... aku sangka Im-toako orang baik, siapa tahu dia pun seorang lelaki busuk."
Begitu mengucapkan kata "lelaki busuk", dia jadi geli sendiri hingga akhirnya ikut tertawa cekikikan.
Di tengah gelak tertawa yang ramai, tiba-tiba terdengar seseorang berseru dari bawah kaki bukit:
"Gi-laute! Gi-toamoaycu! Apakah kalian berada di atas sana?"
Suaranya nyaring penuh tenaga, teriakannya membumbung tinggi hingga menembus awan.
"Siapa?" tegur Im Kian cepat.
Sambil memutar biji matanya yang jeli, Gi Beng tertawa cekikikan, katanya:
"Kalau didengar dari suaranya, agak mirip dengan suara Seng-toako, biar aku tengok kebawah sana"
Maka sambil berteriak "Aku datang", nona itupun meluncur keluar dari dalam ruangan.
Ada lima ekor kuda dengan tiga orang penunggangnya berdiri berjajar di atas bukit, pakaian yang dikenakan orang-orang itu berwarna-warni, ada yang berwarna biru, merah, kuning ada pula yang hitam, di bawah cahaya matahari, warna pakaian mereka kelihatan sangat menyolok.
Begitu memandang orang-orang itu, sambil bertepuk tangan gembira Gi Beng segera berseru:
"Bagus, bagus sekali, semuanya sudah datang... Gi Teng, cepat tengok siapa yang datang?"
"Sedari tadi aku sudah tahu siapa yang datang.... "jawab Gi Teng sambil munculkan diri.
Baru selesai ia berteriak, kelima orang itu sudah melompat turun dari kudanya, kelima orang itu, tiga lelaki dua wanita memiliki gerakan tubuh yang cepat, enteng dan luar biasa.
Sementara itu Gi Beng telah menarik tangan seorang nyonya muda bertubuh kecil mungil berbaju hijau dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menarik tangan seorang gadis cantik bergaun dan berbaju biru.
Sambil menghentakkan kakinya dan tertawa gembira, teriaknya:
"Cepat beritahu kepadaku, cepat katakan, kenapa kalian semua bisa muncul di sini?"
"Tadi kami sempat mampir di rumahmu," kata nyonya muda berbaju hijau itu sambil tertawa, "tapi orang rumah bilang kalian berdua sedang pergi, setengah harian kami berusaha mengorek keterangan, tapi pembantu tua di rumahmu tidak mau mengatakan kemana kalian pergi."
Nyonya muda ini memiliki wajah bulat bagaikan bulan purnama, tubuhnya ramping tapi cukup montok, ketika berbicara, suaranya sambung menyambung tanpa berhenti, dia tidak lain adalah Bi gwe kiam khek Sun Siau-kiau.
"Ketimbang datang kelewat awal, mendingan datang tepat pada saatnya," kata Gi Beng sambil tertawa, "padahal kami sedang risau karena tamu yang menghadiri upacara perkawinan kelewat sedikit, dengan kedatangan kalian, bukankah suasana jadi ramai. Coba kalian endus, sudah tercium bau arak bukan?"
"Hidungku toh bukan hidung anjing, mana mungkin
penciumanku begitu tajam...." tiba-tiba Sun Siau-kiau merasa perkataan itu sama artinya sedang memaki diri sendiri, kontan dengan wajah memerah dia cubit lengan Gi Beng.
Sambil berkelit dan tertawa cekikikan, teriak Gi Beng:
"Kau sendiri yang bilang begitu, kan bukan aku... aduh...
kalau mencubit jangan sakit-sakit, Enci Liu, cepat tolong aku!"
Nona berbaju biru itu hanya tersenyum sambil menonton dari samping, ia tidak ikut menimbrung, juga tidak ikut turun tangan.
Biarpun nona ini berparas cantik jelita, walaupun senyuman selalu tersungging di bibirnya, namun mimik mukanya selalu menampilkan sikap dingin dan kaku, boleh dibilang dia cantik bagaikan bunga Tho, dingin bagaikan bunga salju.
Sementara itu Gi Teng telah menghampiri pula lelaki berbaju merah, lelaki berkopiah kuning berbaju kuning serta pemuda berwajah putih bagai salju yang seluruh pakaiannya berwarna hitam pekat.
Tojin berkopiah kuning itu tidak lain adalah pasangan sehidup semati dari Sun Siau-kiau, si jago pedang berkopiah kuning Che Toa-ho, sedang lelaki berbaju merah itu adalah si jago pedang berhati merah Seng Cun-hau.
Gi Teng segera menjabat tangan mereka, kemudian katanya sambil tertawa:
"Siaute sungguh terkejut, tidak nyana kalian bisa jauh-jauh datang kemari, terlebih kehadiran Seng-toako, boleh dibilang Siaute nyaris tak percaya."
Che Toa-ho tertawa tergelak, sahutnya:
"Jangankan kau, kami sendiri pun datang kemari atas ajakan Seng-toako, tidak kau sangka bukan?"
Sewaktu tertawa, kopiah yang dikenakan orang ini ikut bergoyang kencang, meski sikapnya nampak lucu dan menggelikan, namun mimik mukanya tetap nampak kaku dan kering, ini disebabkan dalam waktu setahun belum tentu dia tertawa satu kali, itulah sebabnya dia nampak seperti tidak terbiasa dengan tertawa.
"Seng-toako jarang meninggalkan ibunya seorang diri, apalagi
melakukan perjalanan jauh. Aku percaya kedatangannya kali ini pasti bukan tanpa sebab, boleh Siaute tahu apa alasannya?"
Seng Cun-hau ikut tetawa, meski sedang tertawa, namun senyuman itu tidak dapat menutupi raut mukanya yang serius dan berat, jelas sekali kalau dia mempunyai masalah besar.
Terdengar dia berkata dengan nada berat:
"Sebenarnya kedatanganku kali ini dengan mengundang kalian semua adalah atas perintah ibuku, itulah sebabnya aku menempuh perjalanan siang malam."
"Atas perintah ibumu" Boleh tahu karena persoalan apa?"
tanya Gi Teng keheranan
"Aaaai, kau sudah terlalu lama mengendon dalam rumah, tidak heran tidak mengetahui situasi dalam dunia persilatan saat ini, ketahuilah badai besar sudah mengancam keselamatan umat persilatan, mara bahaya mengintai dari empat penjuru, bukan saja para tokoh sakti dunia persilatan yang sudah lama mengasingkan diri berbondong-bondong muncul kembali, bahkan tokoh maha sakti seperti Ratu matahari, Kaisar malam serta Pecut guntur pun...."
"Apa" Lui-pian Lojin pun ikut muncul?" sela Gi Teng tidak tahan.
"Benar, dengan munculnya orang tua ini, dapat dipastikan berbagai badai akan melanda umat persilatan, malah dia sudah bentrok dengan para utusan yang dikirim Ratu Matahari, katanya dia akan meluruk ke pulau Siang cun-to."
Berubah hebat paras muka Gi Teng sesudah mendengar perkataan itu, tak tahan serunya:
"Tidak sembarang orang dapat mengunjungi pulau Siang cun-to, sekalipun orang tua ini memiliki kepandaian silat yang hebat pun, bisa jadi kepergiannya kali ini akan berakhir mengenaskan."
Seng Cun-hau menghela napas panjang.
"Aku rasa kau pasti pernah mendengar bukan betapa kaku dan keras kepalanya perangai orang ini, bila dia sudah memutuskan akan berkunjung, siapa lagi yang dapat mencegahnya" Sebenarnya aku pun ikut turut bersamanya...."
"Seng-toako, jangan sekali-kali kau turut serta!" teriak Gi Teng dengan perasaan terperanjat.
"Bukan saja dia memaksa aku untuk ikut serta, bahkan ibuku, Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian pun ikut bergabung, dalam rombongan ini masih terdapat lagi jagoan lain yang tangguh...."
"Siapa?"
"Peluru angin Hong Lo-su!" ucap Seng Cun-hau sambil menghela napas panjang.
Gi Teng berdiri dengan tubuh gemetar, tampaknya dia sangat terkejut dengan berita itu.
"Sebetulnya aku sendiri pun tahu betapa berbahayanya perjalanan kali ini, tapi kejadian sudah berkembang jadi begini, terpaksa aku pun harus mempertaruhkan nyawa untuk ikut serta, siapa tahu.... Aaaai! Beruntung sekali meski Lui-pian Lojin berkemampuan luar biasa dia tetap gagal menemukan posisi pulau Siang cun-to, padahal kami sudah berlayar berhari-hari lamanya, karena gagal menemukan letaknya, terpaksa kami pulang dengan kecewa."
Kini Gi Teng baru bisa menghembuskan napas lega, ujarnya sambil tertawa:
"Konon pulau itu terletak di luar samudra dan dikenal sebagai pulau dewata, sebagai pulau para dewa tentu saja tidak setiap orang dapat mendatanginya."
"Biarpun kami telah balik, bukan berarti urusan sudah tuntas, setelah merapat ke daratan, ibu pun memerintahkan aku untuk mengabari kalian, kalian diminta membantu beliau."
Setelah menghela napas berat, kembali lanjutnya:
"Sebetulnya aku tidak ingin mengusik ketenangan kalian, apa daya, aku pun tidak berani membangkang perintah ibuku, harap saudara sekalian mau memandang hubungan kita di masa lalu, aaai...."
Sekali lagi dia menghela napas panjang, menundukkan kepala dan tidak bicara lagi.
Kelihatan sekali kalau kedatangan anak berbakti ini bukan muncul atas dasar kemauan sendiri, tapi sifat baktinya pada orang tua memaksa dia harus melakukan perbuatan yang sesungguhnya tidak ingin dia lakukan.
Gi Teng termenung beberapa saat, kemudian ujarnya:
"Kelihatan sekali kalau perjalanan kali ini sangat berbahaya, bahkan biar keluar tenaga pun tiada tanda jasa, andai berganti orang lain yang mengundangku, belum tentu Siaute mau menurut."
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, sambungnya:
"Tapi... Seng-toako, kau telah datang sendiri... maka biarpun kau ingin Siaute terjun ke air, Siaute tetap akan
melaksanakannya, mau suruh Siaute terjun ke api pun akan Siaute lakukan...."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, dengan air mata berlinang karena terharu Seng Cun-hau telah menggenggam tangannya erat-erat, sampai lama sekali tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Tiba-tiba terdengar Im Kian berteriak keras:
"Hiante, mau kemana kau" Jangan pergi dulu, sekalian undang teman-temanmu untuk datang menikmati arak kegirangan."
Dia hanya mendengar Gi Teng mengatakan akan 'pergi', disangkanya pemuda itu benar-benar akan meninggalkan tempat itu, maka sambil berteriak dia berlari keluar, niatnya untuk menghalangi kepergian tamunya.
Tidak tahan Gi Teng tertawa tergelak, sahutnya:
"Jangan kuatir, Siaute tidak akan pergi."
Kemudian sambil berpaling ke arah Seng Cun-hau, katanya pula:
"Siaute pasti akan mengikuti Toako untuk memberi bantuan kepada bibi Seng, tapi sebelum per
Jodoh Si Mata Keranjang 10 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 6
^