Pendekar Panji Sakti 21

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 21


gi, Seng-toako mesti meneguk dulu secawan arak kegirangan ini."
"Hiante, apakah arak kegiranganmu?"
"Hahaha, Toako tidak usah menggubris hari perkawinan siapa, yang penting kita teguk dulu beberapa cawan arak kegirangan."
Tanpa peduli apakah rekannya setuju atau tidak, Gi Teng segera menarik tangan Seng Cun-hau dan Che Toa-ho sekalian.
Di pihak lain Gi Beng juga telah menarik tangan Sun Siau-kiau dan nona berbaju hijau itu naik ke bukit.
Kawanan muda-mudi ini semuanya berjumlah tujuh orang, bukan saja mereka semua berwajah cerah dan memiliki gerakan tubuh enteng, sampai warna pakaian yang mereka kenakan pun sangat menyolok mata, tentu saja mereka tidak lain adalah tujuh pedang pelangi.
Ketujuh jago pedang pelangi merupakan perhimpunan dari tujuh muda-mudi yang memiliki pandangan sama, hubungan mereka sangat akrab bagaikan saudara kandung, hanya saja pada hari biasa mereka hidup tersebar sehingga jarang punya kesempatan untuk bertemu.
Tapi hari ini mereka telah berkumpul jadi satu untuk bersama-sama menikmati arak kegirangan, jelas kejadian
semacam ini merupakan satu peristiwa besar.
Sayangnya cara kerja Gi Teng bersaudara kelewat ceroboh, kelewat ngawur, mereka seolah lupa tuan rumah tempat itu adalah jagoan dari Thi hiat tay ki bun, sementara Seng Cun-hau justru merupakan keturunan dari keluarga musuh besarnya.
Menanti para tamu sudah masuk ke dalam ruangan, Gi Teng bersaudara baru teringat akan hal ini, namun keadaan sudah terlambat.
Dalam keadaan begini, kedua bersaudara itu hanya bisa saling melotot sambil menyalahkan saudaranya.
Sementara itu sambil tertawa, Im Kian telah menyapa:
"Ooh, rupanya kedatangan tamu agung dari tempat jauh, Hiante, kenapa tidak diperkenalkan kepadaku?"
Sambil berdehem berulang kali, kata Gi Teng:
"Saudara yang ini... saudara yang ini adalah...."
Gi Beng yang berada di sisinya cepat menyela:
"Cici yang paling cakep, paling cantik ini adalah Lan hong kiam khek si jago pedang burung hong biru Liu Ji-uh, delapan belas jurus ilmu pedang angin terbangnya tiada duanya dalam dunia persilatan!"
Sambil tersenyum dan memberi hormat, diam-diam gadis berbaju biru itu melotot sekejap ke arah Gi Beng, di balik kerlingan matanya yang genit tapi dingin, terselip nada menegur, tapi terkandung juga perasaan girang.
Setelah tertawa cekikikan, kembali lanjut Gi Beng:
"Enci yang cantik tentu harus berpasangan dengan ipar yang cakap, di antara semua yang hadir sekarang, orang yang paling ganteng itulah Hek liong kiam khek si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik."
"Aku!" seru Gi Teng mengajukan diri.
"Aduhh mak, tidak tahu malu... memangnya kau... kau pantas?"
Sambil menarik tangan Sun Siau-kiau, kedua orang itu tertawa terpingkal-pingkal.
Im Kian segera mengalihkan sorot matanya ke wajah pemuda berbaju hitam itu, sapanya sembari menjura:
"Kaukah saudara Liong?"
"Tidak berani, tidak berani, Cayhe Liong Kian-sik," jawab pemuda berbaju hitam itu sambil balas memberi hormat.
Biarpun orang ini berparas pucat pasi seperti selembar kertas, walaupun sikapnya dingin dan kaku, namun dari balik sorot
matanya yang tajam justru memancarkan sikap ksatria dan gagah yang luar biasa, membuat orang tidak berani memandang enteng kepadanya.
Im Kian memperhatikan pemuda itu beberapa kejap, kemudian katanya sambil menghela napas:
"Naga sakti burung hong, pasangan yang sangat serasi, setelah bertemu hari ini, terbukti nama besar kalian bukan nama kosong belaka."
"Jangan dilihat Enci Liu dan Liong-cihu selalu tampil dingin, kaku dan tanpa perasaan," kata Gi Beng sambil tertawa, "seakan-akan biarpun mereka berdua berkumpul jadi satu, tanpa bicara selama tiga hari tiga malam juga tidak jadi soal, padahal rasa cinta mereka berdua sudah begitu mendalam hingga tidak sedetik pun bisa saling berpisah."
"Dasar budak edan," umpat Sun Siau-kiau sambil tertawa,
"sudah, jangan ngaco-belo lagi... kau anggap urusan cinta macam begitu pantas diucapkan seorang gadis perawan yang belum menikah macam kau?"
"Nah, coba lihat nih, baru aku memuji orang lain, Enci Sun sudah makan cuka, baiklah, biar aku pun memujinya juga, kalian tahu Enci Sun biar kecil mungil tapi orangnya lembut dan...."
"Budak setan, kau... kau berani bicara lagi!"
Maka kedua orang itupun terlibat dalam gurauan yang diramaikan suara tertawa cekikikan.
"Sudah, sudah, jangan bergurau lagi," tukas Gi Beng kemudian sambil tertawa, "masih ada dua orang lagi, yang satu adalah Sun-cihu (ipar Sun) dan yang lain adalah Toako kita."
Rupanya dia sengaja bergurau sambil berteriak, tujuannya tidak lain untuk mengelabui nama si jago pedang berhati merah Seng Cun-hau, tapi mungkinkah cara itu berhasil mengelabui tuan rumah"
Saat itu sorot mata Im Kian yang tajam telah dialihkan ke tubuh Seng Cun-hau, kemudian ujarnya perlahan:
"Kalau begitu, tujuh pedang pelangi telah hadir semua hari ini...."
Mendengar ucapan itu diam-diam Gi Teng berteriak dalam hati, "Aduh celaka! Sekalipun Seng-toako belum tahu dia adalah anggota Perguruan Tay ki bun, namun dia justru sudah mengenali Seng-toako, bagaimana... bagaimana baiknya sekarang?"
Biasanya bila anggota perguruan Tay ki bun berjumpa dengan musuh bebuyutannya, pertempuran berdarah tidak mungkin bisa dihindari. Bila saat ini Seng Cun-hau sampai bertarung habis-habisan melawan Im Kian, yang pasti dua bersaudara Gi akan berada dalam posisi terjepit, mereka akan kebingungan harus berpihak kemana.
Siapa tahu Im Kian sama sekali tidak memperlihatkan rasa dendam atau permusuhannya.
Setelah tersenyum, sapanya: "Aku lihat Hengtay ini gagah dan perkasa, kalau dugaanku tidak keliru, dia pastilah orang paling berbakti dalam dunia persilatan, Seng-tayhiap."
Seng Cun-hau tidak tahu siapa lawannya, tentu saja dia segera menyambut sapaan itu dengan penuh sopan santun, dengan begitu rasa kuatir dua bersaudara Gi tentang terjadinya pertempuan berdarah pun tidak terbukti.
Dalam terkejut bercampur girangnya, Gi Teng maupun Gi Beng malah tertegun dibuatnya.
Tentu saja mereka tidak tahu kalau dalam suratnya, Thiat Tiong-tong telah bercerita tentang pertolongan Seng Cun-hau yang melepaskan dia dari kepungan dalam hutan tempo hari, bahkan berulang kali memuji jago pedang berhati merah ini sebagai seorang Enghiong Hohan, seorang lelaki sejati.
Padahal Im Kian serta Thiat Tiong-tong merupakan jago perguruan Tay ki bun yang berpandangan paling moderat, bahkan secara tegas membedakan mana budi mana dendam, ketika Thiat Tiong-tong telah menjelaskan kasusnya secara panjang lebar, bagaimana mungkin Im Kian masih menaruh perasaan dendam terhadap Seng Cun-hau"
Sejak dulu, antara Enghiong dengan Enghiong yang lain pasti menaruh perasaan simpati.
Menyaksikan penampilan Im Kian yang begitu simpatik dan bersahabat, si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik maupun jago pedang berhati merah Seng Cun-hau segera mencari tahu nama serta asal-usulnya.
Tentu saja Im Kian tidak menjawab sejujurnya, dia hanya berkata sambil tersenyum:
"Cayhe hanya orang kuno yang sudah lama hidup dalam pengasingan, nama lama sudah hampir terlupakan."
Berkilat sepasang mata Sun Siau-kiau, selanya sambil tertawa:
"Kalau dilihat dari penampilan Toako ini, kelihatannya di
masa lampau pernah mengalami kejadian yang memedihkan hati, itulah sebabnya sampai nama pun enggan disebut."
"Kali ini tebakanmu tepat sekali," sahut Gi Beng.
"Kalau begitu sudah seharusnya kau hibur hatinya."
Biarpun Gi Beng seorang jago persilatan, tidak urung merah juga pipinya, teriaknya jengkel:
"Hei... kau... kau ingin mampus...."
Sambil tertawa dia berusaha menggebuk tubuh Sun Siau-kiau, tapi perempuan itu sudah kabur ke belakang Seng Cun-hau sambil berteriak:
"Adik Gi selalu mengganggu aku... Toako, masa kau hanya berpeluk tangan?"
Seng Cun-hau tersenyum.
"Yang penting dalam suatu persahabatan adalah perasaan kita, apa pentingnya sebuah nama" Jika hengtay memang ada kesulitan, kami tidak akan memaksa dirimu menjawab."
"Ternyata Seng-heng memang bijaksana, sungguh membuat aku merasa sangat kagum!"
Sebetulnya pondok Cay-seng tidak punya tamu, namun dengan kehadiran Seng Cun-hau sekalian, perjamuan pun segera berlangsung sangat meriah.
Dengan hanya tersedia sebuah meja perjamuan dengan delapan orang tamu yang hadir, sebenarnya pesta perkawinan ini kurang meriah, tapi dengan hadirnya Gi Beng serta Sun Siau-kiau yang selalu membanyol dan bergurau, suasana di situ pun terasa ramai sekali.
Maka pondok Cay-seng yang selalu dicekam dalam kesepian dan keheningan pun kini dipenuhi dengan gelak tertawa dan suara pembicaraan, sedemikian ramainya suasana hingga si naga hitam dan burung hong biru pun ikut tersenyum.
Tiba-tiba dari dalam ruangan muncul seseorang dengan langkah lebar, sambil serunya diiringi gelak tertawa nyaring:
"Waaah... ramai benar suasana di sini, kalian mesti memasukkan aku dalam rombongan ini!"
Ternyata yang muncul adalah sang pengantin lelaki.
Terkejut bercampur geli Gi Beng segera berseru:
"Masa pengantin laki pun ikut kemari, hei, pernah kalian lihat ada pengantin yang minum arak kegirangan sebelum upacaya dimulai?"
Cu Cau yang selalu bersikap santai, saat inipun tetap bersikap acuh tidak acuh kendatipun dia sedang mengenakan
pakaian pengantin, sambil menyambar cawan arak dan tertawa tergelak, serunya:
"Masih mending kalau kalian tidak meledek, sekarang aku tidak bisa menahan diri lagi, kalau tidak diberi jatah, akan kurebut jatah arak kalian."
"Menurut aturan, tidak seharusnya pengantin laki muncul di saat seperti ini," ujar Im Kian pula sambil tersenyum.
"Hahaha, peraturan tinggal peraturan, buat aku tidak ada artinya, mari... mari... mari, kuhormati kalian dengan tiga cawan arak."
Dia benar-benar meneguk habis tiga cawan.
Biarpun tamu yang hadir saat ini merupakan kawanan jago silat yang tidak mengenal aturan, keihatannya mereka pun belum pernah bersua dengan lelaki semacam ini, maka semua orang pun menemaninya menghabiskan tiga cawan arak.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Sun Siau-kiau bangkit berdiri.
Tubuhnya mulai gontai dan sedikit sempoyongan, sepasang pipinya merah padam lantaran mabuk, teriaknya keras:
"Kalian jangan bergerak dulu, dengarkan perkataanku."
"He, setan arak," tegur Gi Beng sambil cekikikan, "siapa yang bergerak" Kelihatannya kau mulai ngelantur."
Sambil menuding ke arah Cu Cau, kembali Sun Siau-kiau berseru:
"Lelaki macam inilah baru seorang lelaki sungguhan, aku Sun Siau-kiau paling suka dengan lelaki macam begini."
"Waaah... mulai bicara ngawur, mulai mabuk berat...." seru suaminya, Che Toa-ho. "Cepat duduk, cepat duduk...."
Dia berusaha menarik tangan istrinya, namun tarikannya lepas.
Cepat Gi Beng tertawa terkekeh, teriaknya:
"Masih untung Cu-toako adalah pengantin hari ini, kalau tidak, Cihuku bisa menjadi guci cuka dan mengobrak-abrik suasana."
Sun Siau-kiau mengerling lagi ke arah Cu Cau, teriaknya:
"Mungkin kau tidak mengenaliku, tapi aku sangat
mengenalimu... Che Toa-ho, masa kau sudah lupa dengannya?"
Che Toa-ho segera memperhatikan Cu Cau beberapa kejap, mendadak paras mukanya berubah hebat:
"Traangg!", cawan arak pun terjatuh ke lantai.
"Ter... ternyata kau!"
"Horee, coba lihat, aku belum mabuk bukan," seru Sun Siau-kiau sambil bertepuk tangan, "padahal sejak tadi aku sudah tahu siapakah dia.... He, Cu-toako, menurutmu apakah aku sudah mabuk?"
Tentu saja orang lain tidak tahu kalau sewaktu berada di muka kuil Siau-lim kecil, Che Toa-ho dan Sun Siau-kiau pernah bersua dengan Cu Cau, bahkan pernah menjajal kepandaian kungfunya yang hebat.
Hanya saja waktu itu Cu Cau mengenakan baju belacu dengan sepatu rumput, sedang hari ini dia mengenakan pakaian pengantin yang gemerlapan, tidak heran Che Toa-ho tidak mengenalinya.
Tapi setelah mengetahui siapa lawannya, berubah hebat paras mukanya.
Tampaknya Cu Cau pun segera teringat akan kedua orang itu, wajahnya agak berubah, tapi sejenak kemudian katanya sambil tertawa tergelak:
"Kusangka kenalan baru darimana kalian berdua, ternyata kalian adalah sobat lamaku."
"Hahaha, Che Toa-ho," seru Sun Siau-kiau sambil tertawa terkekeh, "kenapa masih tertegun, buat apa berubah muka, di antara kita berdua dengan Cu-toako tidak pernah terjalin permusuhan, juga tidak ada hutang-piutang, seharusnya kita gembira karena hari ini kita bisa minum arak semeja, mari, mari, Cu-toako, biar kami suami istri menghormatimu dengan secawan arak."
"Benar, Cayhe yang seharusnya menghormati kalian berdua dengan secawan arak," sahut Cu Cau sambil meneguk habis isi cawannya.
Che Toa-ho tertegun beberapa saat, tapi akhirnya dia mengambil cawannya dan meneguk habis isinya.
Sejak menyaksikan perubahan wajah ketiga orang itu, sebenarnya semua orang yang hadir sudah merasa kuatir, kini mereka dapat menghembuskan napas lega.
"Baiklah Cu-toako," kata Sun Siau-kiau kemudian, "arak pun sudah kita teguk, anggap saja mulai sekarang kita adalah teman, tentunya kau bisa menyebutkan nama aslimu bukan?"
"Kalau disebut namanya, mungkin kau bakal kaget, lebih baik tidak usah!" sela Gi Beng sambil tertawa.
"Tidak bisa, harus disebut...."
"Baiklah, kalau begitu biar ku wakili Cu-toako, dia adalah
putra Kaisar malam!"
Seandainya gadis ini bukan berada dalam keadaan setengah mabuk, mustahil dia akan menyebutkan identitas Cu Cau.
Begitu perkataan itu diucapkan, paras muka semua orang berubah hebat.
"Braaak!", Sun Siau-kiau jatuh terduduk di atas bangkunya.
"Aduhh mak... biarpun sejak awal sudah kuduga dia tentu jagoan kenamaan, tapi mimpi pun tidak kusangka ternyata dia adalah... seorang Enghiong sehebat ini, Gi Beng, kenapa tidak kau perkenalkan sejak tadi!"
Sekalipun perkataan itu diucapkan dalam keadaan setengah mabuk, namun semua orang bisa merasakan ucapan itulah yang ingin mereka sampaikan. Bagaimanapun mereka tidak menyangka kalau Cu Cau adalah putra Kaisar malam, sekalipun mereka sadar bahwa orang ini bukan manusia sembarangan.
Untuk beberapa saat, suasana tidal tenteram mencekam hati setiap orang.
Namun hanya sebentar kemudian gelak tertawa kembali ber kumandang di seluruh ruangan, apalagi sikap Cu Cau yang sangat simpatik, lambat-laun rasa takut semua orang pun berangsur hilang.
Gi Teng memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, setelah menghela napas, pikirnya, "Kelihatannya hari ini memang hari baik, karena itu semua kejadian yang memburuk segera membaik kembali, mungkin memanghokki Cu-toako."
Ketika menyaksikan dua kali perselisihan semuanya berhasil reda dengan begitu saja, diam-diam dia ikut bersyukur untuk Cu Cau dan Sui Lengkong, tentu saja mimpi pun dia tidak menyangka kalau tragedi yang mengenaskan sebenarnya sudah menghadang di depan mata.
Yang gembira sebenarnya mengenaskan, yang mengenaskan itulah baru kegembiraan sejati. Gi Teng sebagai orang luar, mana mungkin bisa menduga kerumitan dari persoalan ini"
Bukan hanya Gi Teng, bahkan Im Kian pun saat itu sedang merasa gembira bercampur bersyukur....
Pergolakan kecil telah berlalu, upacara perkawinan segera akan diselenggarakan, apa yang menjadi harapannya pun segera akan terwujud.
Maka mereka berdua pun segera mengangkat cawan dan saling bersulang.
Ujar Gi Teng sambil tertawa:
"Toako, lebih baik cepat undang keluar pengantin wanitanya, agar mereka segera menyelenggarakan upacara perkawinan"
"Benar, memang seharusnya begitu!" sahut Im Kian dengan lantang.
BAB 31 Masa Silam Yang Kelam
Gelak tertawa di halaman luar menembus pintu gerbang dan bergema di ruang belakang.
Ruang belakang merupakan kamar pengantin, tentu saja tempat itu dihias dengan aneka ornamen berwarna merah, Sui Leng-kong dengan mahkota pengantinnya sedang duduk di tepi mejarias.
Perlengkapan maupun perabot yang tersedia di tempat itu tidak kalah dengan perlengkapan perabot yang dimiliki putri tunggal anak pejabat tinggi atau hartawan kaya raya, bahkan perhiasan yang dikenakan pengantin wanita pun merupakan perhiasan mahal yang indah dan menawan.
Tapi sayangnya, di balik kamar pengantin yang indah, megah dan penuh kemewahan itu justru diliputi suasana dingin, sepi dan kedukaan yang mendalam, bahkan wajah sang pengantin yang cantik pun diliputi perasaan sedih serta duka nestapa.
Para dayang yang dikirim keluarga Gi untuk melayani sang pengantin sudah diusir sejak tadi, sebab Sui Leng-kong tidak ingin orang lain mengetahui kepedihan hatinya, terlebih lagi menyaksikan air matanya berlinang.
Gelak tertawa di ruang depan bertambah nyaring, sebentar-sebentar Sui Leng-kong menghentakkan kakinya, sebentar keningnya berkerut-kerut, terkadang dia harus menyumbati telinganya dengan jari tangan....
Makin gembira suara gelak tertawa yang| bergema, semakin pedih perasaannya.
Dari wajah sedihnya yang penuh air mata, tiba-tiba terlintas sebuah tekad yang amat kuat, sesudah menghentakkan kembali kakinya, dia melepas mahkota dari kepalanya, kemudian mem bantingnya ke atas ranjang.
Dia mencoba bercermin, memandang paras muka sendiri yang pucat-pias, memandang sinar mata yang sayu, biarpun pupur dan gincu telah menghiasi wajahnya, namun tidak dapat menutupi kemurungan dan kesayuan dirinya.
Sambil menggigit bibir, akhirnya dia melepas pakaian pengantin yang dikenakan, mengenakan kembali pakaian sehari
hari, lalu melompat ke depan jendela dan membukanya lebar-lebar
Cahaya senja memancar masuk dari luar jendela, selapis cahaya keemas-emasan menghiasi seluruhjagad.
Kembali dia menggigit bibir, tubuhnya sudah siap melompat keluar melalui daun jendela....
Andaikata dia benar-benar melompat keluar saat ini, ibarat burung walet yang terlepas dari sangkar, dia bisa terbang bebas kemana-mana.
Tapi pada saat itulah kembali dia berkerut kening, tubuhnya yang sudah siap melompat keluar kembali diurungkan, dia balik kembali ke depan cermin, berdiri termangu-mangu sambil menghela napas panjang.
Lama kemudian, akhirnya nona itu mengambil keputusan, dengan jari tangannya yang gemetar dia memoles ujung jarinya dengan gincu, kemudian mulai meninggalkan pesan di atas cermin.
"Maafkan aku Toako, aku harus pergi".
Ujung jarinya kelihatan gemetar keras, goresan tulisannya kacau tidak lurus. Tapi tulisan berwarna merah yang tertera di atas cermin nampak begitu menyolok, nampak begitu segar membuat siapa pun yang lewat, pasti akan tertarik untuk memandangnya.
Maka sekali lagi dia mendekati jendela, sekali lagi bersiap melompat keluar....
Andaikata waktu itu dia benar-benar melompat keluar, tragedi yang memilukan hati pun segera akan berakhir.
Tapi... tampaknya nona itu tidak memiliki keberanian untuk melompat keluar, tiba-tiba dia menghela napas panjang dan kembali berdiri termangu.
Sepasang alis matanya berkerut kencang, air matanya jatuh bercucuran, dia merasa serba salah, perasaannya kalut, terjadi pertentangan batin yang hebat, dia tidak sanggup mengambil keputusan... haruskah kabur" Atau jangan"
Dia benar-benar menderita, benar-benar tersiksa... dia tidak mampu memutuskan pilihannya....
Pada saat itulah dari luar pintu berkumandang lagi suara Im Kian yang harus dan lembut:
"Adikku, sudah selesai kau berdandan" Semua teman sedang menunggumu!"
Sui Leng-kong merasakan tubuhnya bergetar keras, perlahan
dia membalikkan tubuh dan sahutnya dengan nada gemetar:
"Aku... aku...."
"Kalau kau sudah selesai berdandan, akan kusuruh mak comblang menjemputmu."
Sui Leng-kong mencoba memejamkan matanya sebentar, lalu menghela napas panjang, sahutnya:
"Suruh mereka menungguku di luar pintu... aku segera ke...
keluar." Diam-diam dia membesut air mata, lalu mengenakan kembali pakaian pengantin.
Sebelum meninggalkan ruangan, dengan sorot mata yang sayu dan pedih ditatapnya sekali lagi tulisan yang tertera di atas cermin... tulisan itu kabur, tidak terlihat jelas, karena matanya sudah dipenuhi air mata.
Pada akhirnya dia tidak mampu mengambil keputusan untuk melakukan perlawanan, terpaksa dengan kepala tertunduk dia menerima pilihan nasib yang menimpa dirinya....
Wahai wanita lemah yang hidup di dunia ini, mengapa sebagian besar dari kalian bersikap begitu"
Diambilnya selembar saputangan dan dihapusnya tulisan yang tertera di atas cermin. Di atas saputangan yang putih segera ternoda titik merah bagaikan cucuran darah, seperti juga bunga tho yang berguguran....
Dia tidak ingin memandang lagi wajah sendiri yang sayu, tidak ingin menatap lagi sorot mata sendiri yang penuh kepedihan...
segera teriaknya keras:
"Aku sudah siap, kalian boleh masuk!"
Seorang perempuan gemuk dengan wajah berseri segera mengayunkan langkahnya keluar ruangan, sambil bertepuk tangan serunya:
"Pengantin wanita telah datang."
Kembali gelak tertawa bergema memecah keheningan.
Buru-buru Gi Teng melompat bangun, membantu Cu Cau mengancingkan pakaiannya, kemudian katanya sambil tertawa:
"Hengtay, biarpun kau tidak suka terikat segala adat, paling tidak sewaktu upacara perkawinan kau harus bersikap lebih sopan" "Aaah, kendorkan sedikit... baiklah, tiba-tiba Cu Cau menghela napas panjang.
Kembali semua orang dibuat tercengang, bukankah hari ini adalah hari baik, hari perkawinan" Mengapa pengantin lelaki malah menghela napas"
Kembali Cu Cau menghela napas, ujarnya sambil menggeleng:
"Hiante, terus terang aku... aku merasa... aku merasa sedikit gugup, bagiku melangsungkan upacara perkawinan baru pertama kali ini."
Kembali gelak tertawa bergema dalam ruangan, kini semua orang sudah tahu, putra kesayangan Kaisar malam inipun seorang manusia biasa, bahkan seorang manusia biasa yang menarik.
Sambil tertawa Sun Siau-kiau segera mengejek:
"Coba kalian dengar, betapa kasihannya orang ini... dia bilang baru pertama kali... seolah-olah baginya belum cukup satu kali saja... hahaha... betul, kalau sudah berulang kali, dia tidak bakal gugup."
Waktu itu Gi Beng sudah tertawa terpingkal-pingkal sampai terbungkuk tubuhnya, dengan napas terengah, serunya:
"Dalam sejarah hidup, upacara perkawinan hanya akan dilangsungkan satu kali, memangnya kau ingin dua kali?"
Merah jengah selembar wajah Cu Cau, buru-buru dia berdehem berulang kali.
"Hiante, bagaimana kalau menemani aku?"
"Jangan kuatir, segala sesuatunya biar Siaute yang mendampingi," hibur Gi Teng sambi tertawa.
"Aaah, kau tahu apa?" ejek Gi Beng, "sekali saja belum pernah."
"Itu namanya pengalaman, kalau sekarang sudah
berpengalaman, maka tiba giliranku nanti, aku pun tidak bakal gugup."
Seraya berkata dia segera membimbing Cu Cau menuju ke mimbar upacara.
"Hahaha, tidak tahu malu, siapa yang mau kawin dengan bebek dungu macam kau... lain kali... huuuh, lain kalipun belum tentu tiba giliranmu."
"Betul, tepat sekali perkataan itu," sambung Sun Siau-kiau,
"yang mendapat giliran berikutnya adalah nona cantik dari keluarga Gi, tentu saja bukan orang lain."
Gi Beng segera mengayunkan tangannya untuk memukul, tapi saking terpingkalnya dia tidak mampu mengayunkan tangannya lagi.
Sementara itu Im Kian sudah muncul sambil membimbing Sui Leng-kong yang mengenakan pakaian pengantin dengan kain penutup kepala berwarna merah.
"Bagus, bagus...." teriak Gi Teng sambil bertepuk tangan,
"siapa yang akan bertindak sebagai saksi?"
Sun Siau-kiau segera mendorong suaminya, Che Toa-ho, sambil serunya, "Suruh dia saja, bayangkan kalau dia mengenakan topi tinggi, siapa lagi selain dia yang paling cocok menjadi saksi."
"Betul, memang dia yang paling cocok...."
Akhirnya Che Toa-ho tampil ke depan setelah di tarik dan didorong istrinya.
Che Toa-ho yang pada hari biasa selalu tampil suram dan dingin, ternyata hari ini kelihatan gembira sekali, sahutnya sambil tertawa:
"Baik, biar aku yang maju, kalian harap tenang, sekarang juga upacara perkawinan akan di mulai."
Dalam pada itu Lan hong kiam khek Liu Ji-uh yang selama ini mengamati terus wajah pengantin wanita, tiba-tiba menyela sambil tersenyum:
"Coba lihat penampilan si pengantin wanita, dapat dipastikan dia adalah seorang wanita cantik."
"Kalau bukan wanita cantik, mana pantas mendampingi saudara Cu sebagai seorang Enghiong luar biasa," jawab Liong Kian-sik si jago pedang naga hitam sambil tersenyum pula.
"Eeei, coba lihat," teriak Gi Beng tertawa geli, "aneh tidak, kalau Enci Liu tidak bicara, dia pun tidak bicara, begitu Enci Liu bicara, dia pun ikut-ikutan."
Sementara itu Che Toa-ho dengan suaranya yang parau telah memimpin upacara, teriaknya:
"Persembahan pertama, menyembah langit dan bumi!"
Cu Cau dan Sui Leng-kong sama sama berlutut....
Dengan suara setengah berbisik, tanya Liu Ji-uh:
"Semakin kulihat, wajah pengantin wanita ini makin cantik dan menawan, dia dari keluarga mana dan siapa namanya?"
Sementara Che Toa-ho telah berseru kembali:
"Menyembah leluhur."
Maka sepasang pengantin pun kembali menyembah.
Gi Beng yang sedang berdiri kesemsem baru sadar kembali setelah Liu Ji-uh menarik ujung bajunya, sambil tertawa sahutnya:
"Ooh, siapa pengantin wanita itu" Dia bernama Sui Lengkong!"
Saat itu Che Toa-ho sudah berteriak lagi:
"Persembahan ketiga" Tiba-tiba dia berhenti berteriak karena bingung harus mengucapkan apa, saat itulah Seng Cun-hau telah menarik tangan Gi Beng sambil menghardik:
"Apa kau bilang" Siapa namanya?"
Gi Beng merasa terkejut, keheranan dan sedikit gugup setelah melihat perubahan wajah orang, sahutnya tergagap:
"Dia... dia bernama... bernama Sui Lengkong...."
"Apa?" teriak Seng Cun-hau dengan tubuh gemetar, gumamnya, "Cu Cau... Sui Leng-kong....
Gi Beng semakin tertegun, dia berdiri terbelalak dengan mulut melongo, disangkanya Seng Cun-hau tiba-tiba terserang penyakit ayan atau kumat edannya.
Dalam pada itu Gi Teng telah membisikkan sesuatu ke telinga Che Toa-ho, maka sambil manggut-manggut, kembali Che Toa-ho berteriak:
"Persembahan ketiga...."
Tiba-tiba Seng Cun-hau membentak keras, dia sambar poci arak, kemudian dilemparkan ke arah sepasang pengantin itu.
"Braaaak... !", poci arak itu menimpa meja upacara dan sepasang lilin merah itu pun roboh ke tanah.
Che Toa-ho tertegun, perubahan yang sama sekali tidak terduga itu membuatnya berdiri melongo.
Terjadi kekalutan dan kegaduhan dalam ruang upacara, suasana jadi kalut dan dicekam ketidakpastian.
Dengan wajah berubah, semua yang hadir berteriak keras:
"Seng-toako... apa yang terjadi" Mengapa kau berbuat begitu?"
Gi Teng dan Gi Beng pun saling bertukar pandang, mereka berdua menyangka Seng Cun-hau sudah tahu kalau Im Kian adalah anggota perguruan Tay ki bun hingga ia mengumbar hawa amarahnya.
Dengan satu kali lompatan Cu Cau menerjang ke hadapan Seng Cun-hau, kemudian bentaknya gusar:
"Antara kau dan aku tidak terikat dendam sakit hati, mengapa kau mengacau pada hari perkawinanku ?"
Walaupun pada hari biasa dia selalu berjiwa besar dan tidak gampang tersinggung, akan tetapi pesta perkawinan ini merupakan satu-satunya kejadian besar bagi dirinya, satu kejadian yang sangat menyentuh perasaannya, hingga tidak heran paras mukanya berubah hebat ketika melihat ada orang datang mengacau secara tiba-tiba.
Paras muka Seng Cun-hau yang dasarnya sudah merah, kini
berubah semakin merah, jeritnya:
"Aku... aku...."
Kalau pada hari biasa dia selalu tegar dan tenang, ibarat ada gunung yang ambruk di hadapannya pun paras mukanya tidak berubah, sekarang dia begitu panik, dia malah tidak mampu mengucapkan separah kata pun.
Perubahan sikap semacam ini segera mengundang rasa tercengang dan bingung si Naga hitam, Burung hong biru serta Rembulan hijau.
Im Kian telah memburu maju, paras mukanya kelihatan ikut berubah.
"Seng Cun-hau!" terdengar Cu Cau membentak lagi,
"sebenarnya apa tujuan perbuatanmu hari ini" Kalau tidak segera kau jelaskan, aku... aku akan...."
"Mau apa kau?" tantang Seng Cun-hau yang nampaknya dicekam rasa gusar yang luar biasa.
Bagaimanapun juga dia terhitung seorang jago kenamaan dalam dunia persilatan, tentu saja ia tak tahan diperlakukan orang secara kasar, apalagi dalam keadaan naik darah, sekalipun ada alasan yang kuat pun dia enggan mengatakan begitu saja.
Hawa amarah yang berkobar dalam benak Cu Cau makin memuncak, tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.
"Hahaha, bagus, bagus, kalau memang begitu, biar hari ini kuberi pelajaran kepadamu!"
Di tengah gelak tertawa seram yang memekakkan telinga, secara perlahan dan lembut dia lepaskan sebuah pukulan.
Serangan yang dilancarkan dalam keadaan gusar itu meski kelihatannya halus dan lembut, namun terkandung perubahan yang tiada taranya, jelas merupakan sebuah jurus pamungkas yang menakutkan.
Tanpa berpikir panjang Seng Cun-hau menyambut datangnya pukulan itu, tapi sayang kepandaian silat yang dimiliki orang ini selisih kelewat jauh, di bawah benturan angin pukulan, kelihatannya si jago pedang berhati merah segera akan roboh bersimbah darah.
Seandainya terjadi keadaan seperti ini, dapat dipastikan tujuh jago pedang pelangi tidak bisa berpeluk tangan, bukan saja akan melibatkan diri dalam pertarungan, bahkan kesalah pahaman yang terjadi mungkin tak akan terhapus untuk selamanya.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebab di dunia saat ini hanya Seng Cun-hau seorang yang
mengetahui rahasia di balik seluk beluk peristiwa itu, seandainya dia tewas, besar kemungkinan tujuh jago pedang pelangi pun akan turut punah dalam pertarungan hari ini, otomatis dalam dunia persilatan kembali akan terjadi pergolakan yang luar biasa, Cu Cau maupun Sui Leng-kong pun akan hidup dalam penderitaan dan siksaan batin... akibat dari peristiwa ini sungguh di luar akal sehat.
Terdengar tujuh jago pedang pelangi menjerit bersama, tidak sempat bagi mereka untuk melakukan pertolongan.
Untung Im Kian sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, begitu mendengar Cu Cau tertawa seram, dia sudah menduga akan terjadi perubahan di luar dugaan.
Belum lagi pukulan dari Cu Cau sempat dilontarkan, Im Kian telah merangkul tubuhnya kuat-kuat sembari berteriak keras:
"Harap kalian berdua jangan berkelahi dulu... harap jangan berkelahi dulu."
"Criiing!", terdengar suara gemerincingan nyaring, si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik telah melolos pedangnya dari sarung dan berkata dingin:
"Seng-toako, apapun alasanmu, sekarang sudah tidak perlu kau jelaskan lagi."
Orang ini jarang berbicara di waktu biasa, tapi begitu buka suara, setiap perkataannya sangat berbobot.
Biarpun hanya beberapa patah kata yang singkat, namun dia sudah menjelaskan posisinya, yakni baik Seng Cun-hau benar atau salah dengan perbuatannya hari ini, asal rekannya turun tangan, maka dia akan turut melolos pedangnya.
Lan hong kiam khek Liu Ji-uh ikut melesat maju ke depan dan berdiri di belakang suaminya, walaupun dia tak mengucapkan sepatah kata pun, namun jari tangannya yang halus telah menggenggam gagang pedangnya.
Ui koan kiam khek Che Toa-ho ikut membentak nyaring:
"Siapa saja yang berani mengusik selembar bulu Seng-toako, aku... aku...."
Tapi begitu melirik wajah Cu Cau sekejap, seketika itu juga dia menghentikan perkataannya.
Sejujurnya, dalam hati kecilnya dia menaruh perasaan jeri terhadap kemampuan silat yang dimiliki Cu Cau, tapi pada saat dan situasi seperti ini, tidak memberi kesempatan baginya untuk memilih, akhirnya sambil menghentakkan kakinya berulang kali dia melanjutkan:
"Aku akan mengadu jiwa dengannya."
Bi gwe kiam khek Sun Siau-kiau yang masih dipengaruhi arak malah sudah mencabut pedangnya sambil berteriak:
"Gi Beng, Gi Teng, apakah kalian berdua hanya akan menjadi penonton?"
Tubuhnya maju menerjang meja, kemudian mengobrak-abrik cawan dan hidangan yang tertata di atas meja.
Menyaksikan semua ini Cu Cau kembali mendongakkan kepalanya sambil tertawa seram.
"Bagus, bagus sekali," teriaknya, "jadi kalian ingin mengandalkan jumlah banyak untuk mengembut aku" Bagus, hari ini akan kusaksikan siapa yang lebih tangguh antara aku dengan tujuh jago pedang pelangi?"
"Mau menang kalah, mau mati hidup, semuanya bukan masalah," tukas Liong Kian-sik ketus.
Pada hari biasa dia kelihatan paling dingin dan hambar, padahal orang ini dipenuhi darah panas yang bergolak, begitu selesai mengucapkan perkataan itu, suasana pembunuhan pun seketika menyelimuti seluruh ruangan.
Im Kian berusaha mencegah dan menghalangi niat orang-orang itu, namun dalam keadaan seperti ini, siapa pun enggan menuruti perkataannya, semua orang sudah dipengaruhi emosi, mata mereka sudah berubah jadi merah, kelihatannya pertempuran tak bisa dihindari lagi.
Mendadak terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat, kemudian terdengar dia berseru:
"Bila kalian ingin turun tangan, bunuhlah aku terlebih dulu!"
Ternyata orang itu tidak lain adalah Sui Lengkong, sang pengantin wanita.
Saat itu kain kerudung mukanya telah ditanggalkan hingga nampak jelas paras mukanya yang pucat-pias bagai mayat, tapi justru karena wajahnya nampak pucat, kecantikan wajahnya kelihatan semakin menggetar sukma.
Entah karena terpengaruh oleh kecantikan wajahnya ataukah terpengaruh oleh nada bicaranya yang dingin menggidikkan, tanpa sadar suasana berubah menjadi tenang kembali.
Kembali Sui Leng-kong berpaling ke arah Cu Cau, bujuknya lembut:
"Bagaimana kalau kau pun duduk dulu?"
Di balik suaranya yang lembut seolah terkandung semacam daya pengaruh yang sukar ditentang, membuat Cu Cau, si jagoan
yang tangguh ini tanpa terasa duduk kembali.
Kembali Sui Leng-kong menghela napas sedih, katanya:
"Jago pedang berhati merah Seng Cun-hau bukan orang gegabah yang tidak tahu sopan santun, aku yakin perbuatannya hari ini pasti didasari satu alasan yang kuat, bukankah begitu?"
Menyaksikan sorot mata si nona yang sayu dan penuh kesedihan, tanpa terasa hawa amarah Seng Cun-hau padam sebagian, dia mendongak-kan kepala dan menghela napas panjang, sahutnya:
"Benar, aku terpaksa berbuat begitu karena mempunyai alasan yang kuat."
"Bersediakah kau untuk menjelaskan alasannya?"
"Aku... aku...."
Kalau dilihat dari wajahnya yang dicekam pula oleh perasaan sedih dan duka, dapat diketahui alasan yang hendak dikemukakan sebetulnya merupakan alasan yang tak ingin diungkap, namun dia pun tak mampu menampik permintaan Sui Lengkong.
Paras mukanya sebentar menghijau sebentar memerah, akhirnya setelah menghentak-kan kakinya berulang kali, dia pun berkata:
"Sebenarnya aku merasa amat sedih untuk mengungkap rahasia ini, tapi...."
Kembali dia mendongakkan kepala sambil menghela napas panjang, lanjutnya:
"Tapi kalau tidak kuungkap, maka nona Sui dan Cu... Cu-tayhiap pasti akan menyesal sepanjang hidup."
Berubah paras muka semua orang setelah mendengar perkataan itu.
Dengan wajah berubah, Im Kian segera berseru:
"Kalau memang begitu, harap Hengtay jelaskan alasannya, kami akan berterima kasih sekali atas kesediaanmu itu."
Dengan wajah serius, Seng Cun-hau berkata:
"Siapa pun boleh menikah dengan nona Sui, tapi Cu-tayhiap...
kau tidak boleh menikah dengannya."
"Omong kosong, memangnya kenapa?" tidak lahan Cu Cau membentak nyaring.
"Karena... karena...." sambil menahan amarahnya, Seng Cun-hau menghela napas panjang:
"Aaaai, sebelum kujelaskan alasannya, lebih baik dengarkan dulu ceritaku."
"Baik, berceritalah, kami semua akan mendengarkan dengan tenang."
Dengan kening berkerut sebenarnya Cu Cau ingin
membantah, namun setelah mendengar ucapan Sui Leng-kong yang lembut, mau tidak mau terpaksa dia harus menahan diri dan ikut mendengarkan.
Lama sekali Seng Cun-hau tertunduk sedih, tampaknya dia sedang berpikir bagaimana harus mulai dengan ceritanya, kejadian itu kelewat membuatnya sedih hingga untuk sesaat dia merasa tidak sanggup untuk berbicara.
Lebih kurang sepeminuman teh kemudian, akhirnya dia pun mulai mengisahkan cerita yang memedihkan hati itu.
"Dahulu ada... dahulu ada seorang yang tergila-gila belajar silat sejak kecil, tapi dia hanya seorang manusia biasa, manusia dengan bakat apa adanya, maka dari itu walaupun dia berlatih giat siang dan malam, namun hasil yang diperoleh tidak seberapa. Ibu orang itu sangat berharap putranya bisa berhasil, bisa menjadi seekor naga sakti, dia selalu memandang putranya itu bagai manusia berbakat alam, dia berharap suatu saat nanti putranya bisa menjadi seorang pendekar pedang kenamaan.
"Orang itu tidak tega menyaksikan ibunya kecewa, sementara dia sendiri justru tidak mampu melatih diri dengan kepandaian silat yang tangguh, bisa dibayangkan betapa sedih dan tersiksanya batin orang itu, dalam situasi tertekan inilah suatu hari dia memutuskan untuk melatih ilmu Toan coat sin kang (ilmu sakti putus keturunan) yang belum pernah ada yang berani melatihnya."
Baru saja dia bercerita sampai di situ, semua orang sudah tidak sanggup menahan diri lagi, teriaknya hampir berbareng:
"Toan coat sin kang" Besar... besar amat nyali orang ini, berani betul dia melatih ilmu pemutus keturunan itu."
Sebagaimana diketahui, hampir semua yang hadir saat ini merupakan jago-jago tangguh dari dunia persilatan, mereka semua tahu akan asal-usul ilmu Toan coat sin kang ini, mereka pun sadar bila seseorang berlatih ilmu sakti ini, maka dia akan kehilangan kemampuannya untuk meneruskan keturunan, bukan cuma begitu, salah-salah bisa cau hwe jip mo (jalan api menuju neraka) yang berakibat kematian.
Oleh sebab itu walaupun tidak sedikit umat persilatan yang mengetahui cara berlatih Toan coat sin kang, namun belum ada seorang manusia pun yang rela mengorbankan kebahagiaan
hidupnya dengan berlatih ilmu itu.
Im Kian menghela napas sedih, ujarnya: "Terkadang cinta seorang ibu yang berlebihan malah akan mencelakakan putranya sendiri, bila orang ini bukan merasa didesak ibunya, mana mungkin dia rela melatih Toan coat sin kang yang membuat dirinya impoten sehingga tidak bisa menghasilkan keturunan!"
"Setelah mengorbankan kejantanannya, apakah orang itu berhasil melatih ilmu silatnya sehingga mencapai tingkat kesempurnaan?" tanya Gi Beng dengan nada gemetar.
Seng Cun-hau termenung sedih beberapa saat lamanya, kemudian baru melanjutkan:
"Bakat yang dimiliki orang ini benar-benar bebal dan goblok, biarpun sudah berlatih tekun hampir tiga tahun lamanya, namun hasilnya tetap nihil... tapi... tapi yang jelas dia sudah mengorbankan kejantanannya, sudah mengorbankan
kemampuannya untuk menghasilkan keturunan. Ketika tanpa disengaja ibunya mengetahui akan kejadian ini, dalam sedih bercampur kagetnya, disamping dia menggembleng putranya dengan ilmu silat, dia pun buru-buru mengawinkan putranya."
"Waah... bukankah hal ini akan menyengsarakan perempuan itu...." teriak Gi Beng tanpa sadar, tapi begitu tahu dia sudah salah bicara, buru-buru gadis ini membungkam dengan pipi berubah merah.
Kembali Seng Cun-hau menghela napas panjang.
"Walaupun orang itu tidak ingin merusak masa depan dan kebahagiaan seorang wanita dengan tubuhnya yang cacad, akan tetapi dia pun tidak berani membangkang perintah ibunya. Sebab ibunya selalu menyimpan secercah harapan. Namun... sesudah perkawinan berjalan dua tahun lamanya, bukan saja mereka tidak berputra, bahkan istrinya makin lama semakin layu dan murung.
"Waktu itu perasaan orang itu semakin tertekan dan tersiksa, tapi harapan sang ibu terhadap putranya belum pupus, dia justru melimpahkan tanggung jawab kemandulan itu pada menantunya."
Semua orang menjerit tertahan, Gi Beng pun melelehkan air mata sambil bergumam:
"Kasihan benar perempuan itu, ternyata dia harus mengalami kejadian yang amat tragis!"
Sepasang mata Sun Siau-kiau pun ikut berubah jadi merah, sembari mengucek mata, dengan gemas dia mengumpat:
"Dasar kaum lelaki mau menang sendiri, yang selalu sengsara adalah kita kaum wanita."
"Bee... belum tentu," tukas Che Toa-ho, "ada juga wanita yang...."
"Siapa suruh kau ikut bicara," bentak Sun Siau-kiau sambil mendelik, "bagaimana nasib selanjutnya wanita itu" Apakah dia pun diceraikan oleh mertuanya?"
Raut muka Seng Cun-hau dicekam kesedihan yang luar biasa, katanya dengan sedih, "Mereka adalah keluarga persilatan kenamaan dalam dunia persilatan, mana mungkin bisa kawin cerai seenaknya, memangnya tidak kuatir ditertawakan sahabat Kangouw?"
Dengan gemas Gi Beng berseru: "Dia pasti kuatir menantunya menguarkan sebab musabab kejadian itu sehingga...."
Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba dengan wajah berubah serunya:
"Dalam situasi seperti ini, jangan-jangan... jangan-jangan ibu orang itu telah membunuh menantunya?"
Seng Cun-hau membungkam diri dengan wajah semakin sedih, walau tidak menjawab, namun dia tidak menyangkal akan hal itu.
Sambil menggertak gigi menahan emosi, jerit Sun Siau-kiau,
"Apakah dia berbuat begitu agar putranya bisa kawin lagi?"
"Benar...." Seng Cun-hau tertunduk lesu.
"Apa" Setelah mencelakai satu orang, dia masih ingin mencelakai seorang lagi...." teriak Sun Cun-hau terperanjat, "bila putranya masih punya lengsim, seharusnya dia tolak perkawinan itu."
"Tapi orang itu adalah seorang anak berbakti," ucap Seng Cun-hau pelan, "jangankan Ibunya hanya minta dia menikah lagi, andaikata dia diharuskan mati pun akan dia akan lakukan seketika."
"Apakah berbakti macam begini tidak sedikit kelewatan?"
tanya Im Kian sambil menghela napas
"Tiada orang tua tiada dunia," kata Seng Cun-hau serius,
"budi yang diberikan ibu kepada kita tiada taranya, sebagai anaknya apakah kita tega membangkang perintahnya?"
Cu Cau tidak kuasa menahan diri lagi, tiba-tiba teriaknya:
"Sekalipun berbakti, jelas cara berbakti semacam ini adalah tindakan tolol, setia secara tolol, berbakti secara tolol bukan perbuatan seorang lelaki sejati, sekalipun orang... orang itu
menuruti keinginan ibunya, apakah dia lupa kalau perbuatannya justru telah mencelakai nasib seorang wanita" Aku rasa... bukan saja perbuatan semacam ini kelewat tolol, bahkan... bahkan konyol."
Semakin berbicara dia semakin emosi, pada akhirnya orang ini mulai mencaci-maki habis-habisan.
Dengan sedih Sui Leng-kong berkata:
"Sekalipun cara berbakti yang dilakukan orang ini sedikit...
sedikit kelewatan, namun aku tetap mengagumi orang berbakti macam dia."
Dengan penuh rasa terima kasih Seng Cun-hau melirik sekejap ke arahnya, berbeda dengan Cu Cau, dia tunjukkan sikap yang lebih gusar, dia tidak habis mengerti kenapa Sui Leng-kong selalu membantu Seng Cun-hau.
Tentu saja dia tidak menyangka kalau hubungan antara Sui Leng-kong dan Seng Cun-hau sebenarnya amat pelik dan unik...
ibu Sui Lengkong tidak lain adalah bini Seng Cun-hau.
Sekalipun dalam hati Sui Leng-kong menaruh rasa jengkel terhadap Seng Cun-hau karena dia telah mencelakai kehidupan ibunya, namun dia pun menaruh semacam perasaan dekat yang berbeda dengan perasaannya terhadap orang lain.
Perasaan itu sangat sensitif dan pelik, yang tak mungkin bisa dipahami orang lain....
Akhirnya Seng Cun-hau melanjutkan kembali kisahnya:
"Setelah menikah untuk kedua kalinya, orang itu kuatir ibunya kembali... aaaai, maka dia pun selalu berusaha melindunginya, setiap saat selalu mengintainya, namun betapapun sayang dan perhatiannya orang itu, apa yang mampu dia berikan masih belum sepadan dengan hilangnya masa remaja perempuan itu... dia tidak pernah mampu memberi kepuasan kepadanya, maka lambat-laun kondisi istrinya pun berubah makin murung dan tersiksa."
Ketika menyinggung soal "kepuasan", sebenarnya dia sudah menggunakan perkataan yang paling halus, namun tidak urung merah jengah juga wajah Liu Ji-uh, Gi Beng dan Sun Siau-kiau.
Dengan jengkel Sun Siau-kiau berseru: "Mungkin perlindungan yang dilakukan orang itu terhadap bininya sama seperti dia sedang melindungi sesuatu benda berharga atau seekor hinatang peliharaan, pasti tidak ada kasih sayang, tidak ada cumbu rayu, bukankah begitu?"
Bagaimanapun juga dia adalah seorang wanita yang telah
menikah, dia cukup memahami kebutuhan seorang wanita sebagai istri seseorang, kalau bukan disebabkan perasaan tidak puas, mustahil wajah perempuan itu akan murung dan berubah sayu.
Seng Cun-hau termenung beberapa saat, setelah menghela napas panjang, sahutnya:
"Benar, oleh karena orang itu menderita cacad, merasa rendah diri dan kehilangan rasa percaya diri, dia tidak pernah bercumbu rayu dengan bininya, yang dilakukan hanya melindunginya dari kejauhan.
"Dua tahun berlalu tanpa terjadi sesuatu apapun, suatu hari musuh besar kelompok keluarga itu datang menyerang secara besar-besaran, pertempuran sengit pun segera berkobar.
"Menantu orang itu berasal dari keturunan keluarga persilatan kenamaan, ilmu silatnya amat tangguh, apalagi sepasang Wan yo kiam andalannya boleh dibilang jarang ada yang mampu menandingi. Oleh karena keluarga besar diserang orang, tentu saja sebagai menantu dia tidak bisa berpeluk tangan saja, maka dengan mengandalkan sepasang Wan yo kiam, dia bertarung habis-habisan melawan seorang pemuda dari pihak musuh.
"Walaupun sepanjang pertempuran berlangsung orang itu sangat menguatirkan keselamatan bininya, karena dia tahu bininya belum banyak pengalaman, namun saat itu dia sendiri sedang dikerubut dua orang musuh sehingga untuk sesaat tidak mampu mengurusi orang lain.
"Betul orang itu memiliki bakat yang pas-pasan sehingga kungfunya tidak mampu mencapai kesempurnaan, namun ilmu silat yang dipelajarinya waktu itu sudah cukup matang, sayang ilmu pedangnya yang terbilang cukup mantap tapi kehilangan kemampuannya dalam hal ganas, tepat dan telengas. Dalam keadaan begini, dia hanya mampu bertahan dengan susah payah, hanya mampu mempertahan diri sendiri.
"Untunglah di saat yang kritis, teman-teman dari persekutuan nya datang membantu, sepak terjang kawanan musuh besar itu sungguh aneh dan cara kerjanya juga unik, ketika mengetahui gempurannya tidak berhasil, mereka segera mengundurkan diri secara serentak. Pada saat itulah orang itu mengetahui bininya telah lenyap dari arena pertarungan, dalam cemas dan gelisahnya, orang itupun melakukan pencarian.
"Dia tidak ingin mengganggu ketenangan orang lain, sebab dia
cukup tahu ibunya menaruh perasaan curiga terhadap menantunya, kalau dia sampai tahu menantunya telah hilang, bisa dipastikan dia akan melarang orang melakukan pencarian.
"Begitulah, dengan mengandalkan kekuatan sendiri yang amat terbatas, setengah jam kemudian dia baru berhasil sampai di luar sebuah hutan bunga tho... ya, sebuah hutan bunga tho...."
Bicara sampai di sini, paras mukanya nampak lebih sedih dan tertekan, malah nada suaranya terdengar ikut gemetaran, hal ini memperlihatkan kalau kisah lama yang akan diceritakan merupakan satu kejadian besar yang hingga kini pun masih menusuk perasaannya.
Setelah lewat beberapa saat, dia baru melanjutkan kembali kisahnya dengan suara perlahan:
"Hari itu cahaya rembulan menyinari seluruh angkasa, membiaskan bayangan pohon dan menyinari putih bunga yang berguguran... dalam suasana seperti itulah dari balik pepohonan bunga tho justru terdengar... terdengar suara rintihan yang menggetar sukma, biarpun orang itu bukan seorang Kuncu, dia pun tidak termasuk Siaujin, begitu mendengar suara yang membetot sukma, seketika dia menghentikan langkahnya, belum sempat membalikkan badan, suara rintihan di balik pepohonan itu telah berubah menjadi suara panggilan dan teriakan."
Sesungguhnya kisah yang dia ceritakan merupakan satu kejadian yang amat sensitif dan memalukan, tapi justru dia sampaikan dengan nada penuh kesedihan dan amarah yang meluap.
Sementara itu kawanan wanita yang hadir di situ meski wajahnya telah berubah menjadi merah lantaran malu, tidak urung perhatian mereka bersedot juga oleh gaya bicaranya yang penuh emosi itu.
Terdengar Seng Cun-hau berkisah kembali:
"Begitu mendengar suara teriakan itu, orang tadi segera mengenalinya sebagai suara teriakan istrinya, sementara nama yang dipanggil bininya justru adalah nama sang pemuda musuh keluarganya."
Mendengar sampai di sini, kembali semua orang menjerit kaget, kalau sebelumnya rasa simpati mereka tertuju pada sang istri orang itu, maka rasa simpati itu kini beralih kepada orang yang bersangkutan.
Dengan wajah mengejang keras dan suara makin gemetar, Seng Cun-hau bercerita lagi:
"Dalam terkejut, sedih dan gusarnya, orang itu siap menerjang masuk ke dalam hutan bunga tho, tapi baru melangkah tidak seberapa jauh, rasa sedih dan gusarnya telah berubah menjadi rasa penyesalan. Dia sadar semua peristiwa yang terjadi tidak terlepas dari kesalahan sendiri, sekalipun tindakan yang dilakukan istrinya juga salah, akan tetapi bukan seratus persen kesalahannya seorang, karena sang suami pun sebenarnya ikut bertanggung jawab. Berpikir sampai di situ, dia pun merasakan seluruh tubuhnya menjadi lemas, dia tidak punya keberanian lagi untuk menerjang masuk ke dalam hutan, dia malah tergeletak diluar hutan dan tidak sanggup merangkak bangun lagi."
Perlahan-lahan sorot matanya dialihkan keluar jendela, paras mukanya tampak begitu duka, tertekan dan tua.
Keheningan mencekam seluruh ruangan, semua yang hadir ikut merasakan tekanan batin yang berat.
Lama kemudian Sun Siau-kiau baru menghela napas panjang, gumamnya:
"Sekarang aku baru tahu, walaupun bininya menderita, namun dia sendiri jauh lebih menderita, jauh lebih tersiksa."
Setelah menghela napas sedih, lanjutnya:
"Dalam situasi dan keadaan seperti itupun dia masih memikirkan kepentingan orang lain, hal ini membuktikan kebesaran jiwa serta kebajikan hatinya sukar ditandingi oleh siapa pun."
Diam-diam Gi Beng menyeka air matanya, dengan suara parau dia bertanya: "Bagaimana selanjutnya?"
"Walaupun dia merasa penat, walaupun hatinya tersiksa, namun tanpa disadari pandangan matanya tetap dialihkan ke balik hutan, menyaksikan pemandangan di situ, begitu dilihat...
dia pun terperangah.
"Ternyata, walaupun nama yang disebut bininya adalah nama sang pemuda musuh besarnya, tapi orang yang sedang begituan dengan bininya... ternyata bukan pemuda itu...."
"Lantas siapa?" tanpa sadar serentak semua orang bertanya.
"Orang yang sedang begituan dengan bininya ternyata adalah seorang tokoh silat maha sakti yang namanya amat tersohor dan sudah dikenal sebagai jagoan romantis.
"Sekalipun usia orang itu sudah terhitung lanjut, namun nama serta kedudukannya tidak tertandingi oleh siapa pun.
Orang itu bisa mengenali wajahnya karena di masa mudanya dulu, suatu ketika dia pernah bersua dengan tokoh sakti ini dan
kesannya sangat mendalam, karena itu meski sudah berpisah lama, dia masih dapat mengenalinya dalam sekilas pandang.
Begitu tahu siapakah tokoh sakti itu, tidak terlukiskan lagi rasa kaget dan tercengangnya orang itu.
"Dia betul-betul tidak habis mengerti kenapa sang pemuda bisa berubah jadi tokoh silat itu, dia pun tidak bisa menduga perubahan apa yang sebenarnya terjadi di situ, untuk sesaat dia malah tertegun. Menanti sadar kembali dari lamunan, dilihatnya tokoh silat itu seolah teringat akan satu hal yang penting, secara tiba-tiba dia pergi dari situ dengan kecepatan luar biasa.
"Perasaan orang itu amat kalut, sedih, gusar, malu dan tercengang bercampur aduk jadi satu, dia tidak bisa merasakan kejut atau getirnya kehidupan waktu itu. Melihat bininya masih tergeletak di tanah dalam keadaan bugil, melihat dia seakan tertidur begitu nyenyak... aaaaai! Perasaan cinta dan benci bercampur aduk dalam benak orang itu, tiba-tiba saja dia melompat bangun dan menyerbu masuk ke dalam hutan...."
"Apakah dia... dia bunuh istrinya?" Gi Bengmenjerit kaget.
Seng Cun-hau menghela napas sedih.
"Waktu itu sebenarnya dia memang ingin menjagal istrinya, tapi... di saat itulah dalam mimpinya sang istri mengigau, memanggil nama suaminya. Panggilan itu meski lirih namun bagi pendengaran orang itu justru bagaikan guntur yang menggelegar di siang hari bolong.
"Saat itulah dia baru sadar, sesungguhnya sang istri masih amat mencintainya, hanya saja... karena dia tidak mampu, karena dia impoten, memang tidak sepantasnya dia menyalahkan perbuatan istrinya."
Ketika bicara sampai di situ, mendadak dia menggebrak meja keras-keras, menghancurkan cawan, membuat piring beterbangan, tapi dia tidak peduli, dia membiarkan pecahan cawan melukai tangannya, membiarkan darah segar meleleh keluar dengan derasnya.
Tapi dia seakan tidak merasa sakit, setelah menghela napas panjang dan tertunduk sedih, perlahan lanjutnya:
"Waktu itu dia merasa, kalau toh diri sendiri sudah menanggung begitu besar kesalahan dan dosa, mengapa dia tidak berusaha memaafkan istrinya yang telah serong" Maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia bopong bininya dan diajak pulang, sejak kejadian itu dia tidak pernah lagi mengungkap peristiwa itu kepada siapa pun."
Semua orang terbungkam dalam seribu bahasa, para wanita melelehkan air mata sedih sementara Sui Leng-kong sudah terisak dengan pedihnya, sebab dari kisah cerita itu dia sudah dapat menebak apa yang telah terjadi.
"Ternyata... ternyata orang itu memang seorang lelaki sejati...."
puji Sun Siau-kiau sambil menyeka air mata.
"Sudah selesai ceritanya?" tanya Gi Beng pula.
Dengan air mata membasahi pipi, Seng Cun-hau melanjutkan:
"Sebetulnya aku tidak ingin mengungkit kembali kejadian masa lampau, aku ingin peristiwa itu kukubur selamanya dalam dasar hatiku, siapa tahu lewat beberapa bulan kemudian kujumpai... kujumpai dia... ternyata dia sudah hamil"
Sampai pada akhir cerita, dia tidak bisa menyimpan rahasia lagi dan meluncur kata "aku", begitu sadar akan kesalahan ini, tubuhnya bergetar keras dan seketika terbungkam kembali.
Padahal sekalipun tidak dia sebut pun orang lain sudah menduga akan hal itu, semenjak tadi sorot mata penuh simpati sudah terpancar dari wajah semua orang.
Seng Cun-hau memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya dengan sedih:
"Aku rasa tidak perlu menjelaskan lagi siapakah orang itu, aku yakin kalian sudah bisa menebaknya sendiri."
Semua orang menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya, siapa pun merasa tidak tega untuk memandang wajahnya yang sedih, hanya Cu Cau seorang tetap duduk tidak bergerak, wajahnya menunjukkan pula kepedihan yang luar biasa.
Tiba-tiba Gi Beng berseru:
"Tapi... tapi... apa hubungannya cerita itu dengan Enci Sui?"
"Tahukah kau siapa biniku itu?" tanya Seng Cun-hau.
Gi Beng tertegun, lalu menggeleng.
"Aku tidak tahu...."
"Biniku tidak lain adalah ibu Sui Leng-kong, waktu itu benih yang ada dalam rahimnya tidak lain adalah Sui Leng-kong...."
Sekujur tubuh Sui Leng-kong bergetar keras, sambil mengeluh dia jatuh tidak sadarkan diri.
Dengan air mata bercucuran, cepat Gi Beng memayang tubuhnya.
Sun Siau-kiau kelihatan agak ragu, bisiknya pula:
"Tapi... apa hubungannya dengan Cu...."
Dia melirik Cu Cau sekejap, mendadak seperti teringat akan
sesuatu, jeritnya terperanjat:
"Jangan-jangan... tokoh silat itu adalah... adalah...."
Ketika berpaling lagi ke arah Cu Cau, dia saksikan sepasang mata lelaki itu telah berubah jadi merah darah, tubuhnya gemetar keras, mimik mukanya kelihatan sangat menakutkan.
Sun Siau-kiau terkesiap, buru-buru dia membungkam diri.
"Benar," sahut Seng Cun-hau, "tokoh persilatan itu tidak lain adalah Kaisar malam, jadi Sui Leng-kong sebenarnya saudara kandung Cu Cau, karena itu mereka tidak bisa menikah."
Biarpun semua orang sudah menduga akan kenyataan itu, tidak urung hati mereka bergetar juga setelah mendengar pengakuan itu, Sun Siau-kiau buru-buru memejamkan matanya, dia kuatir dirinya ikut jatuh semaput lantaran kelewat sedih.
Mendadak terdengar Cu Cau berpekik nyaring. Suaranya keras bagai pekikan naga, membuat seluruh jagad bergetar, membuat daun jendela dan ruangan serasa bergoncang keras.
Belum habis dia berpekik, tubuhnya sudah melambung ke udara dan menerobos keluar melalui jendela, hanya dalam dua kali kilatan cahaya saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Sebetulnya Im Kian ingin menyusul, tapi keadaan sudah terlambat, terpaksa dia hanya bisa menjejakkan kakinya berulang kali sambil menghela napas panjang.
Suasana hening mencekam dalam ruangan, tiada orang yang mampu tersenyum lagi, helaan napas, lelehan air mata hampir menyelimuti setiap orang, pondok Cay-seng yang semula dipenuhi gelak tertawa, kini serasa tercekam dalam kemurungan dan kedukaan yang mendalam.
Dengan sedih Seng Cun-hau menundukkan kepala.
"Aku pantas mati," bisiknya, "aku...."
"Kau tidak perlu menyesal," tukas Im Kian sambil menghela napas pula, "masih untung Hengtay datang tepat waktu sehingga kesalahan tragis tidak sampai terjadi, budi kebaikan ini... aaaai!
Terimalah hormatku sebagai tanda terima kasih yang tidak terhingga."
Habis berkata dia benar-benar menjatuhkan diri berlutut.
Buru-buru Seng Cun-hau ikut berlutut, cucuran air mata makin deras membasahi pipinya.
Semua orang yang menyaksikan kejadian inipun tidak sanggup mengendalikan diri, helaan napas sedih kembali bergema memecah keheningan.
Coba kalau Seng Cun-hau tidak membuat keonaran tanpa sengaja, mungkin saat itu nasi sudah menjadi bubur, keadaan yang lebih tragis pun mungkin sudah terjadi.
Bagaimanapun juga kejadian ini merupakan satu
keberuntungan di tengah ketidak beruntungan, sepantasnya hal ini dirayakan dengan gembira, tapi siapa pula yang bisa bergembira dalam situasi seperti ini"
Untuk beberapa saat semua orang tidak tahu harus sedih atau gembira, mereka hanya bisa berdiri mematung dengan wajah termenung.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Sun Siau-kiau tersadar kembali dari lamunannya, dia tarik ujung baju Che Toa-ho dan bisiknya:
"Mari kita pergi!"
"Pergi?" bisik Che Toa-ho bingung.
"Kalau tidak pergi... aku bisa gila."
Che Toa-ho memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian gumamnya:
"Betul, lebih baik pergi dari sini."
Dalam pada itu si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik telah membangunkan Seng Cun-hau dan berkata:
"Kalau toh sudah tidak ada keramaian lagi di sini, lebih baik kita mohon diri."
"Tapi...." bisik Im Kian.
Sebetulnya dia ingin menahan tamunya, namun setelah membayangkan keadaan saat itu, dimana menahan tamunya berarti hanya akan menambah suasana sedih, maka niat itu segera ditelan kembali.
GiTeng dan Gi Beng saling bertukar pandang sekejap, pikir mereka:
"Bila Seng-toako sampai mengetahui identitas Im-toako yang sebenarnya, mungkin bakal terjadi keributan lagi."
Berpikir sampai di situ, kedua orang itupun berseru hampir berbareng:
"Benar, lebih baik Seng-toako segera pergi!"
"Apakah kalian tidak ikut bersama Toako?" tanya Liong Kian-sik dengan kening berkerut.
"Tentu saja Siaute akan turut serta," jawab Gi Teng sambil menunduk, "hanya saja...."
"Hanya saja Enci Sui... dia...." sambung Gi Heng, "aku tidak tega meninggalkan dia dalam keadaan begini, lebih baik... lebih
baik kalian saja yang berangkat duluan, kami akan menyusul belakangan."
"Begitupun baik juga...." sahut Liong Kian-sik setelah berpikir sejenak.
"Tapi Seng-toako hendak kemana" Supaya kami gampang mencarinya."
"Kuil Sang-cing-to-koan di bukit Lau-san!" Seng Cun-hau memandang Im Kian sekejap, kelihatannya dia seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ketika disadari kalau banyak bicara pun tidak ada gunanya, setelah menghela napas panjang, dia pun menjura dan mohon diri.
Tidak lama kemudian bayangan tubuh beberapa orang itu sudah lenyap dari pandangan.
Setelah melakukan perjalanan setanakan nasi lamanya, Sun Siau-kiau yang pertama tidak bisa menahan diri, ujarnya sambil menghela napas:
"Heran, kenapa ada kejadian yang begitu kebetulan" Kenapa Thian selalu mengatur perjalanan nasib seseorang dengan cara yang tidak terduga."
Liong Kian-sik ikut menghela napas.
"Nasib memang mempermainkan manusia, hal semacam ini susah untuk diterangkan dengan akal sehat."
Tiba-tiba Che Toa-ho menimbrung:
"Siaute merasa sedikit heran dengan asal-usul pemilik pondok Cay-seng, aku tidak tahu siapakah dia?"
"Aku yakin dia adalah anggota perguruan Tay ki bun," jawab Seng Cun-hau.
"Dari mana Toako bisa tahu?" teriak semua orang hampir berbareng.
Seng Cun-hau menarik napas panjang, katanya:
"Biarpun aku bodoh dan bebal, namun memiliki kemampuan untuk mengamati perubahan mimik orang, dilihat dari hubungannya yang begitu akrab dengan Sui Leng-kong, bisa kutebak kalau dugaanku tidak bakal salah."
Sun Siau-kiau menghela napas.
"Di waktu biasa," katanya, "aku selalu berpendapat, meskipun kungfuku masih belum mampu menandingi Toako, namun kecerdasanku masih jauh lebih unggul, tapi hari ini aku baru sadar, ternyata Toako adalah orang pandai."
"Toako mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang luas, tentu saja kami semua bukan tandingannya," kata Liu Ji-uh
pula, "di hari biasa, dia memang lebih suka menyembunyikan kelebihannya."
Perkataan ini bukan kata pujian tapi memang berdasarkan kenyataan, sebagaimana diketahui, biarpun Seng Cun-hau bukan termasuk orang pintar, namun caranya berpikir amat cermat, tindak-tanduknya juga tenang, satu kelebihan yang sulit ditandingi rekannya.
"Toako," teriak Che Toa-ho kemudian, "kalau sudah tahu dia adalah anggota perguruan Tay ki bun, kenapa tidak segera turun tangan?"
Pikiran dan jiwa orang ini paling picik, semenjak dikalahkan Thiat Tiong-tong, hingga hari ini dia masih menaruh perasaan dendam.
Kembali Seng Cun-hau menghela napas, sahutnya:
"Biarpun angkatan tua kita mempunyai dendam permusuhan dengan perguruan Tay ki bun, kenyataan hingga sekarang kita pun belum tahu seluk beluk serta latar belakang permusuhan yang sebenarnya."
"Jadi Toako ingin menyudahi saja permusuhan ini?"
"Aku hanya berharap permusuhan yang telah berjalan hampir seabad ini bisa disudahi pada generasi kita, apa gunanya saling membunuh" Kenapa kita mesti menyusahkan generasi berikutnya?"
Setelah berhenti sejenak dan tertawa pedih, lanjutnya:
"Sekalipun aku tidak punya keturunan, namun aku tetap berharap generasi kita berikut bisa hidup aman damai dan sentosa. Sebab... sebab aku sudah merasakan betapa menderita dan tersiksanya hidup dalam suasana permusuhan, selain itu aku pun yakin banyak anggota perguruan Tay ki bun yang berjiwa ksatria, seperti misalnya Thiat Tiong-tong... aaai, jalan pikirannya persis sama seperti jalan pikiranku."
Che Toa-ho merasa sangat tidak puas setelah mendengar rekannya memuji Thiat Tiong-tong, wajahnya kontan bersungut-sungut.
Liong Kian-sik segera berkata:
"Pemahaman Toako sungguh membuat Siaute merasa kagum, apabila setiap umat persilatan bisa memiliki pandangan macam Toako, dunia pasti akan aman tenteram."
Liu Ji-uh serta Sun Siau-kiau mesti tidak bicara, namun dari mimik mukanya dapat diketahui mereka pun sangat mengagumi jalan pikiran Seng Cun-hau.
"Kalau memang begitu, buat apa kita menyusul ke sana?" seru Che Toa-ho jengkel.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kali ini aku mengundang kalian turun gunung, bukan karena berharap Hiante sekalian membantuku dalam pertarungan berdarah," tukas Seng Cun-hau cepat.
"Lantas untuk apa?"
"Aku hanya berharap Hiante sekalian mau memberi dukungan semangat kepada kami, agar perselisihan yang telah berlangsung seabad ini bisa disudahi sampai di sini."
Kemudian setelah menghela napas lagi, lanjutnya:
"Seharusnya Hiante juga tahu, kalau sampai kita membuat generasi berikutnya menderita hanya gara-gara dendam pribadi, kejadian itu merupakan satu tindakan yang sangat keji."
Che Toa-ho berpikir sejenak, akhirnya dia pun menghela napas sambil menundukkan kepala.
Sui Leng-kong telah sadar dari pingsannya, dia masih mendekam dalam pelukan Gi Beng sambil menangis terisak.
Gi Beng tiada hentinya menghibur, namun air mata ikut berlinang membasahi pipinya.
Sambil tertawa paksa, Im Kian berkata:
"Kejadian masa lampau telah berlalu, buat apa Hianmoay masih menangis" Berpikirlah hal positip yang bakal kau peroleh di kemudian hari, dengan begitu aku pun ikut merasa lega."
Perkataan itu mengandung makna yang mendalam, meski orang lain belum tentu paham, namun Sui Leng-kong sangat memahaminya.
Setelah kenyataan membuktikan dia masih bersaudara dengan Cu Cau, berarti cinta kasihnya dengan Thiat Tiong-tong sudah tidak terhambat lagi dengan masalah lain, bila suatu ketika kelak hubungan mereka semakin berkembang, tidak tertutup kemungkinan mereka akan naik ke pelaminan.
Tapi entah mengapa, Sui Leng-kong tetap merasakan hatinya amat sedih, untuk sesaat bagaimana mungkin air matanya bisa berhenti berlinang"
Malam yang kelam akhirnya berlalu dalam suasana sedih bercampur gembira, tanpa terasa fajar telah menyingsing di ufuk timur.
Maka Sui Leng-kong pun menyatakan keinginannya untuk pergi.
Dia ingin mencari Thiat Tiong-tong, dia pun ingin mencari saudara kandungnya, Cu Cau....
Dari dasar hatinya yang paling dalam, dia pun berharap bisa berjumpa dengan ayahnya, ayahnya yang konon merupakan jagoan paling tersohor di kolong langit.
Melihat bujukannya tidak berhasil mencegah kepergian gadis itu, dengan sedih Im Kian pun berkata:
"Aaai... sayang aku tidak bisa mendampingi perjalanan adik..."
Bicara sampai di situ, dia pun melirik sekejap ke arah Gi Beng dan Gi Teng.
Buru-buru Gi Teng berseru:
"Kalau begitu biar Siaute yang mewakili Toako mendampingi perjalanannya."
"Benar," ujar Gi Beng pula sambil tertawa, "dengan didampingi kami berdua, tanggung Enci Sui tidak akan menjumpai masalah, Im-toako tidak perlu kuatir lagi."
"Aaah, bila kalian bersedia menemami, tentu saja aku merasa lega," sahut Im Kian berseri.
Setelah berpamitan dan meninggalkan pondok Cay-seng, Gi Teng berdua baru teringat kalau mereka telah menyanggupi permintaan Seng Cun-hau, sekarang masalahnya adalah bagaimana mungkin mereka bisa melakukan dua tugas bersamaan"
Matahari telah memancarkan sinarnya menerangi seluruh jagad.
Dua bersaudara ini hanya berharap sepanjang jalan mereka tidak menjumpai halangan, Sui Leng-kong bisa segera menemukan orang yang dicari dan permusuhan yang telah terjalin di masa lalu lambat-laun bisa dipunahkan.
Sayangnya, perjalanan mereka bertiga tidak mungkin bisa dilalui tanpa masalah.
Kecantikan Sui Leng-kong, kelincahan Gi Beng, kegagahan Gi Teng... banyak menarik perhatian orang.
Menyadari akan hal itu, Gi Teng dan Gi Beng mulai bertindak lebih hati-hati....
Mereka menghindari kereta kuda yang kelewat mewah, mereka pun tidak menunggang kuda, tap, perjalanan ditempuh dengan menunggang sebuah kereta kuda yang amat biasa dan umum.
Maka sementara waktu perjalanan pun bisa ditempuh tanpa banyak kesulitan.
BAB 32 Nyanyian di Tengah Malam
Hari itu mereka bertiga tiba di seputar bukit Lau-san, dua bersaudara Gi serta Sui Leng-kong tidak berani menginap di dalam kota, maka mereka pun memerintahkan kusir kereta untuk melewati kota besar dan beristirahat di sebuah dusun yang amat kecil.
Selesai makan malam, Gi Beng yang suka bergerak tidak bisa menahan diri untuk tidak berkeliling dusun, dia ajak Sui Lengkong menemaninya berjalan-jalan, terpaksa Gi Teng pun mengintil di belakang.
Dalam suasana penuh kegembiraan, sepanjang jalan mereka bertiga berpesiar sambil berbincang hingga tanpa sadar telah berjalan meninggalkan dusun itu.
Di sisi sebuah bukit, mereka saksikan ada cahaya lentera yang menerangi kegelapan, meski terlihat ada bayangan manusia yang hilir mudik, namun suasana sangat hening, selain suara hembusan angin yang menggoyangkan dedaunan, tidak terdengar suara lain, suasana di sekeliling sana terasa diliputi kemisteriusan.
Timbul rasa ingin tahu Gi Beng, dengan suara berat bisiknya:
"Aneh, apa yang sedang mereka lakukan" Kelihatannya mencurigakan, Cici Sui, bagaimana kalau kita selidiki?"
Dia memang sengaja tidak mengajak Gi Teng, melainkan mengajak Sui Leng-kong, karena dia tahu gadis itu lembut dan penurut, ajakannya tidak bakal ditampik, asal Sui Leng-kong bersedia, Gi Teng pasti akan mengintil juga.
"Baiklah, mari kita tengok," sahut Sui Leng-kong sambil manggut-manggut.
Gi Teng berniat mencegah, namun kedua orang itu sudah pergi jauh, dalam keadaan begini, terpaksa Gi Beng mengikuti di belakang sambil menghela napas panjang.
Dengan ketajaman mata mereka bertiga, tidak selang beberapa saat kemudian terlihat di balik semak belukar tampak bersembunyi beberapa sosok bayangan manusia, orang-orang itu mendekam tanpa bergerak dan sama sekali tidak menimbulkan suara.
Berubah wajah Gi Teng menyaksikan hal itu, bisiknya:
"Hati hati, nampaknya...."
Belum selesai dia memperingatkan, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia menerjang keluar dari balik semak, tangan kiri orang itu memegang sejenis senjata berbentuk tameng, sementara tangan kanannya membawa lembing pendek, sambil menerjang dia mem-bentak:
"Akan kulihat mau kabur kemana lagi?"
Dalam terperanjatnya buru-buru Gi Teng menarik tangan Gi Beng dan Sui Leng-kong sambil mundur tiga langkah.
Tampak bayangan manusia itu menubruk ke atas tanah, tameng di tangan kirinya seperti menekan sesuatu dan serunya sambil tertawa:
"Sudah tertangkap... sudah tertangkap."
Waktu itu, sebenarnya Gi Teng sudah siap melancarkan serangan, tapi dengan cepat dia dapat mengenali orang itu hanya seorang lelaki dusun, yang dikira senjata tameng ternyata hanya sebuah keranjang bambu, sedang senjata yang dikira lembing ternyata hanya sebuah tongkat.
Orang itu mendongakkan kepala, begitu mengenali Gi Teng bertiga, ujarnya sambil tertawa:
"Ooh, rupanya Khek-koan bertiga ingin ikut menonton keramaian, hati-hati, tempat ini sangat berbahaya."
"Bahaya" Apa yang kalian tangkap?" tanya Gi Beng keheranan.
Orang itu tidak menjawab, dia hanya memperlihatkan keranjang bambunya, sewaktu dipukul dengan tongkat, maka terlihatlah seekor ular berbisa muncul dari balik keranjang itu.
Di bawah remangnya cuaca, tampak ular itu menongolkan kepala sambil mengeluarkan lidahnya yang bercabang, bentuknya sangat menakutkan.
Gi Beng menjerit kaget, seketika itu juga dia merasa senyuman orang dusun itu penuh diliputi kemisteriusan, tanpa sadar dia mundur dua langkah, bentaknya:
"Mau... mau apa kau?"
Orang dusun itu tertawa.
"Hamba hanya ingin memperlihatkan ular ini kepadamu."
Kembali dia pukul kepala ular itu dengan tongkatnya, ular tadi seketika menarik kembali tubuhnya ke dalam keranjang bambu.
"Di tengah malam buta begini menangkap ular berbisa,
kelihatannya kau bukan orang baik," bentak Gi Beng nyaring, kemudian sambil menyikut Gi Teng, lanjutnya:
"Tangkap dia, kita periksa berasal dari mana orang ini?"
Orang dusun itu seketika terkesiap, buru-buru sahutnya dengan gemetar:
"Tunggu... tunggu sebentar, di tengah malam buta begini hamba sengaja menangkap ular berbisa, karena... karena ingin mendapat tambahan beberapa tahil perak."
459 "Uang apa" Dari siapa" Bicara yang jelas."
"Di atas bukit di depan sana telah kedatangan seorang Budha hidup, bukan saja dia memiliki kemampuan menaklukkan naga menundukkan harimau, bahkan makanan sehari-harinya adalah ular berbisa, konon dia orang tua pernah berjanji di depan Hudco sewaktu berada di barat untuk menghabiskan seratus ribu ekor ular berbisa sebelum berhasil dengan ilmunya, oleh karena itu setiap hari Budha hidup itu bersantap ular, dia bersedia membayar satu tahil perak untuk seekor ular berbisa, itulah sebabnya hamba sekalian menangkap ular sebagai pekerjaan sambilan."
Walaupun penjelasan itu telah dibumbui dengan dongeng, namun Gi Teng bertiga segera dapat menduga kalau 'Budha hidup' pemangsa ular berbisa itu pastilah seorang jagoan tangguh dari dunia persilatan yang sedang mempelajari sejenis ilmu beracun.
"Macam apa tampang Budha hidup itu?" tanya Gi Teng dengan kening berkerut.
"Hamba semua hanya manusia biasa yang tidak kasat mata, mana berani memperhatikan wajah dia orang tua" Kami hanya tahu beliau berdiam di sebuah kuil dewa gunung yang ada di atas bukit dan setiap hari hanya duduk bersemedi."
"Kalau tidak pernah bersua muka, bagaimana cara kalian menerima uang perak?" tanya Gi Beng.
"Ular berbisa yang berhasil hamba tangkap, cukup dimasukkan ke dalam sebuah keranjang bambu dan diantar ke depan kuil, keesokan harinya ketika hamba terbangun dari tidur, akan ditemukan keranjang itu sudah tergeletak di atas meja, ular dalam keranjang telah lenyap, sementara isi keranjang itu telah berubah menjadi uang perak. Selama beberapa hari terakhir, kejadian itu selalu terulang."
Gi Beng seperti ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi kedipan
mata Gi Teng mencegahnya untuk bicara lebih jauh.
"Aaa... apakah Khek-koan ingin menanyakan sesuatu lagi?"
kembali orang dusun itu bertanya.
"Tidak, kalian boleh segera menangkap ular. kemudian cepatlah pulang dan beristirahat," sahut Gi Teng cepat. Dia segera menarik tangan Gi Beng dan berlalu dari situ dengan langkah lebar.
Diam-diam Sui Leng-kong keheranan juga melihat Gi Beng begitu menuruti perkataan kakaknya tanpa berusaha menyelidiki persoalan yang nampaknya amat mencurigakan ini, tak tahan ejeknya sambil tertawa:
"Aku lihat cuaca hari ini kurang begitu baik."
"Kenapa kurang baik?" tanya Gi Beng keheranan, matanya terbelalak lebar.
"Kalau cuaca amat bagus, mana mungkin kau terburu-buru ingin pulang beristirahat?" kata Sui Leng-kong sambil tersenyum.
Gi Beng tertawa cekikikan.
"Kau sangka Engkohku tidak suka mencari keramaian" Orang alim" Sejak kecil dia sudah nakalnya setengah mati, bertemu siapa saja selalu berkelahi, betul, sekarang dia memang berlagak sok sopan, sok alim, lihat saja, kepura-puraannya tidak bakal berlangsung lama, kau sangka dia mau pulang untuk beristirahat" Jangan mimpi, itulah taktiknya untuk menghindari perhatian orang-orang dusun itu, dapat dipastikan dia bakal mengambil jalan lain untuk secara diam-diam menyelinap naik ke atas bukit."
"Benarkah begitu?" tanya Sui Leng-kong sambil melirik Gi Teng sekejap.
Gi Teng menoleh dan tertawa tergelak.
"Susah jadi seorang Engkoh, apalagi kalau segala taktik sudah ketahuan sang adik," katanya.
Bukan saja dia tidak berani beradu pandang dengan Sui Lengkong, bahkan begitu dipandang gadis itu, kontan pipinyajadi merah jengah, untung saja gadis itu tidak menaruh perhatian.
Setelah berputar ke arah lain, betul saja, sekali lagi mereka bertiga naik ke atas bukit.
Dengan mata berkilat dan penuh bersemangat Gi Beng bergumam:
"Si Budha hidup itu tentu memiliki tampang wajah yang aneh."
Geli juga Sui Leng-kong setelah menyaksikan rekannya
kegirangan seperti seorang bocah, padahal dia sendiri pun merasa keheranan, rasa ingin tahunya meluap-luap setelah mendengar ada orang bisa makan puluhan ekor ular dalam beberapa hari, tanpa disadari dia pun turut mempercepat langkahnya.
Bagaimanapun ketiga orang itu adalah anak-anak muda, begitu mendengar ada hal yang aneh, mereka hanya teringat untuk melakukan penyelidikan dan lupa kalau langkah itu sesungguhnya berbahaya dan penuh dengan intaian maut.
Budha hidup itu bisa hidup mengasingkan diri di tengah kuil bobrok di tengah gunung, hal ini menunjukkan bahwa dia berusaha menyembunyikan jejaknya, mana mungkin dia akan membiarkan orang datang mengusut dan menyelidiki rahasianya"
Dilihat dari makanan sehari-harinya berupa ular beracun, inipun membuktikan dia sedang melatih sejenis ilmu beracun yang menakutkan, dengan kepandaian silat yang dimiliki Gi Teng bertiga, bukan jaminan mereka bisa lolos dari ancaman.
Suasana di atas gunung amat hening, sepi, selain rembulan yang mengintip dari balik awan dan suara serangga malam yang memadukan musik, tiada suara lain yang terdengar, rasa seram dan penuh misteri seolah mencekam sekeliling tempat itu.
Wajah Gi Beng yang bulat telur meski panas, namun kaki dan tangannya justru dingin kaku, sepanjang jalan tiada hentinya dia menghibur diri sendiri:
"Jangan takut, dalam semak tidak bakal muncul ular berbisa."
Dia menghibur orang lain agar jangan takut, padahal dia sendiri sudah ketakutan setengah mati, sepanjang jalan hatinya kebat-kebit, nona itu kuatir kalau secara tiba-tiba muncul ular berbisa dari balik semak dan mendadak mematuk kakinya.
Menyaksikan itu diam-diam Sui Leng-kong merasageli, tiba-tiba jeritnya tertahan:
"Ular!"
Sambil menjerit Gi Beng menjatuhkan diri ke dalam pelukan Sui Leng-kong, wajahnya pucat-pias seperti mayat, bisiknya gemetar:
"Ular... ada dimana ularnya?"
"Ular" Ooh... ada dalam perut si Budha hidup," sahut Sui Leng-kong sambil tertawa cekikikan.
"Ooh... rupanya kau memang nona jahat, semoga saja kau yang benar-benar digigit ular berbisa...."
"Sst! Jangan berisik!" tiba-tiba Gi Teng menghardik.
Sui Leng-kong dan Gi Beng segera berpaling, di antara pepohonan dekat tanah perbukitan, lamat-lamat terlihatlah sebuah bangunan kuil.
Cahaya lentera yang redup memancar keluar dari balik dinding kuil yang bobrok, hal ini menambah kemisteriusan dan keseraman bangunan itu, seakan-akan kuil itu betul-betul merupakan tempat tinggal setan atau siluman jahat.
Tanpa sadar ketiga orang itu menghentikan langkahnya dan mulai maju dengan tubuh merunduk.
Mendadak terdengar suara langkah manusia berkumandang datang dari bawah bukit.
Ketiga orang itu sangat terperanjat, tergopoh-gopoh mereka menyembunyikan diri ke balik pepohonan.
Terlihat sebuah lampu lentera yang terbuat dari kertas putih bergerak mendekat dari bawah bukit, setelah berjalan semakin dekat, tampaklah empat orang manusia berbaju hijau yang mengikuti di belakang lentera itu, empat lelaki dengan empat keranjang bambu.
Keempat orang itu berjalan dengan kepala tertunduk, tidak ada yang celingukan ke sana kemari, tidak ada juga yang mengangkat wajahnya, setelah tiba di depan pintu kuil, mereka menghentikan langkahnya jauh dari bangunan.
Setelah meletakkan keranjang bambu itu ke tanah, serentak keempat orang itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah sebanyak tiga kali dengan sikap penuh hormat, malah mulut mereka terlihat komat-kamit seakan sedang membaca doa.
Sinar lentera yang membias dari balik lentera putih membuat paras muka keempat orang itu nampak hijau membesi, menghijau saking takutnya, membuat penampilan mereka terasa lebih aneh dan menakutkan, apalagi dalam suasana seperti itu.
Di bawah kabut yang mulai menyelimuti permukaan, di tengah hembusan angin malam yang dingin, di tengah goyangan cahaya lentera berwarna putih, keempat orang manusia berbaju hijau itu berlutut di depan kuil dengan sikap amat menghormat.
Jelas pemandangan semacam ini nampak sangat aneh dan penuh diliputi misteri!
Tanpa sadar Gi Beng menggenggam tangan Sui Leng-kong erat-erat, ujung jari tangannya terasa mulai gemetar, telapak tangannya basah oleh peluh dingin. Sekalipun perasaan ngeri dan seram mencekam perasaannya, gadis itupun merasa tegang bercampur gembira.
"Pergilah!" tiba-tiba terdengar seseorang berseru dari balik kuil.
Biarpun hanya sepatah kata, namun nada suaranya rendah, berat dan disertai satu kekuatan yang sangat aneh, ucapan itu seolah sebuah martil besar yang menghantam perasaan setiap orang, membuat dada terasa sesak dan napas menjadi tersengal.
"Sungguh hebat tenaga dalam yang dimiliki orang ini!" pikir Gi Beng bertiga dengan perasaan terkesiap.
Dalam pada itu keempat orang berbaju hijau itu sudah merangkak bangun dan mundur beberapa langkah, kemudian tergopoh-gopoh kabur meninggalkan tempat itu.
Tidak lama kemudian pintu kuil dibuka orang.
Seorang kakek bertopi bambu, berjubah abu-abu dan bertubuh kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang menyelinap keluar dari balik pintu, gerakan tubuhnya cepat dan enteng, jelas merupakan seorang tokoh hebat dari dunia persilatan.
Dua kali dia bolak-balik keluar masuk kuil, hanya dalam waktu singkat keempat buah keranjang bambu itu sudah dibawa masuk ke dalam, kemudian "Ciiittt!", pintu kuil kembali tertutup rapat, suara keriut pintu seakan helaan napas iblis keji.
Tidak lama kemudian terdengar suara pembicaraan yang lirih berkumandang dari balik kuil, sayang suara itu amat perlahan hingga tidak jelas apa yang sedang dibicarakan.
Gi Beng segera berbisik ke sisi telinga Sui Leng-kong:
"Di dalam kuil terdapat dua orang,"
"Berarti yang satu adalah si Budha hidup," sahut Sui Lengkong.
"Entah... entah macam apa tampangnya?"
Kedua orang itu berbisik dengan suara lirih, Gi Teng tidak tahu apa yang sedang mereka berdua bicarakan, tapi setelah melirik Sui Leng-kong sekejap, tiba-tiba dia bangkit berdiri.
Buru-buru Gi Beng menarik ujung bajunya.
Dengan setengah berbisik Gi Teng berkata:
"Kita toh sudah berada di sini, paling tidak mesti mengintip dulu tokoh macam apakah si Budha hidup itu."
"Aneh," bisik Gi Beng keheranan, "sejak kapan nyali Koko jadi begitu besar?"
"Kalau takut, lebih baik kau tetap tinggal disini."
Sambil menggertak gigi Gi Beng segera bangkit berdiri, sambil menahan napas mereka bertiga bergerak maju, siapa pun tidak
berani menggunakan ilmu meringankan tubuh, kuatir suara desiran angin akan mengusik ketenangan tokoh sakti yang berada dalam kuil.
Bangunan kuil itu sangat bobrok, banyak dinding yang sudah retak atau berlubang, ketiga orang itu segera mencari retakan di dinding dan mengintip ke dalam.
Biarpun bobrok, ternyata ruang dalam kuil itu sudah disapu amat bersih, selain tidak nampak ada debu, meja altar berikut patung pujaan pun sudah disingkirkan sehingga ruang kuil itu nampak kosong melompong.
Satu-satunya benda yang masih tersisa adalah sebuah lampu lentera yang diletakkan di tengah ruangan, lentera dengan setitik cahaya yang redup.
Di bawah kerlipan cahaya api, tampak seorang pendeta berbaju merah membara duduk bersila di atas sebuah tikar, wajahnya menghadap ke arah pintu, tubuhnya sama sekali tidak bergerak, dia mirip sekali dengan sebuah patung Budha.
Orang itu mempunyai perawakan tinggi besar dan kekar, kepalanya amat besar, mukanya merah membara dan
memancarkan cahaya merah yang aneh dan menyilaukan mata, bukan cuma kepalanya, bahkan alis matanya pun berwarna merah darah Satu-satunya yang berwarna hitam putih hanya sepasang biji matanya yang tajam.
Sebenarnya bentuk wajah orang itu tidak terlalu aneh atau menyeramkan, keanehannya justru terletak pada warna merah darah yang menyelimuti sekujur badan orang itu, dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya berwarna merah membara.
Gi Beng hanya memperhatikan beberapa kejap, dia segera merasakan matanya amat sakit karena silau.
Kakek berjubah abu-abu yang mengambil keranjang ular tadi, kini duduk bersila di sampingnya, dilihat dari posisi duduknya, tampaknya kakek berjubah abu-abu itu adalah murid pendeta berbaju merah itu.
Sui Leng-kong bertiga tidak sempat melihat jelas raut muka kakek berbaju abu-abu itu, mereka hanya melihat si kakek sedang sibuk menarik keluar ular-ular berbisa itu dari dalam keranjang.
Ular-ular berbisa yang kelihatan garang dan menakutkan itu, begitu berada dalam cengkeraman tangannya yang kurus berwarna hitam, seketika berubah jadi lemas tidak bertenaga, bukan saja binatang melata itu tidak melakukan perlawanan,
bahkan mandah saja dibolak-balik semaunya.
Dalam waktu singkat kakek berjubah abu-abu itu sudah memilih sepuluh ekor ular berbisa yang terbesar dan dimasukkan ke dalam keranjang, lalu setelah dipersembahkan ke hadapan pendeta berjubah merah itu, dengan hormat dia mundur kembali ke tempat duduknya.
Kini Gi Beng bertiga sudah dapat menduga pemandangan ngeri apa yang bakal mereka saksikan, wajah mereka bertiga segera berubah hebat, tubuh mereka pun mulai gemetar.
Sementara itu pendeta aneh berjubah merah itu telah menangkap seekor ular berbisa dan dimasukkan ke dalam mulut, dengan satu gigitan dia melahap kepala ular itu dan mengunyahnya dengan penuh kenikmatan.
Gi Beng bertiga merasa hatinya bergidik, tiba-tiba saja perut mereka mual.
Pendeta berjubah merah itu sama sekali tidak melakukan sesuatu gerakan, yang tampak hanya dadanya yang naik turun.
Ular berbisa yang besar itupun perlahan-lahan menyusut mengecil mengikuti gerakan dadanya yang naik turun, dalam waktu singkat hanya tersisa selembar kulit ular yang kosong, sementara daging serta darahnya telah terhisap masuk ke dalam perut pendeta itu.
Gi Beng sekalian merasa sangat mual, andaikata tidak mengertak gigi, mungkin mereka sudah muntah saking tidak tahannya.
Kalau dilihat mimik muka pendeta aneh berjubah merah itu, dia seolah menganggap ular berbisa itu sebagai hidangan terlezat yang ada di kolong langit, tidak sampai sepeminuman teh, keenam tujuh ekor ular berbisa itu sudah berpindah ke dalam perutnya.
Caranya makan ular berbisa secara hidup-hidup sudah merupakan satu kejadian yang mengerikan, tapi kemampuan tenaga dalamnya untuk menghisap daging dan darah ular itu sampai lolos dari kulitnya justru membuat perasaan orang bergidik.
Cahaya merah aneh yang memancar dari sekujur tubuhnya terlihat makin lama semakin menyolok dan berkilauan, sinar matanya makin tajam bersemangat, tampaknya setiap kali dia makan seekor ular berbisa lebih banyak, tenaga dalamnya pun ikut bertambah maju satu tingkat.
Gi Beng benar-benar merasa terkejut bercampur takut, dia
tidak kuasa untuk melihat lebih jauh, diam-diam gadis itu menarik ujung baju Sui Leng-kong dan mengajaknya pergi dari situ.
Sui Leng-kong manggut-manggut, secara diam-diam dia pun menarik ujung baju Gi Teng.
Tapi belum sempat ketiga orang itu bangkit berdiri, mendadak kakek berjubah abu-abu itu membalikkan tubuhnya, seolah tanpa sengaja dia melirik sekejap ke tempat persembunyian ketiga orang itu.
Gi Teng bertiga sekali lagi merasa terkesiap, terlebih Sui Lengkong, rasa kagetnya jauh melebihi dua bersaudara Gi, karena dia segera mengenali kakek berbaju abu-abu itu sebagai tokoh yang sangat dikenal olehnya.
Untunglah pada saat yang bersamaan si pendeta berjubah merah itu membisikkan sesuatu, kakek berbaju abu-abu itu segera berpaling lagi ke arah lain.
Dalam keadaan begini, tentu saja Sui Leng-kong bertiga tidak berani berdiam lebih lama lagi di situ.
Tanpa membuang banyak waktu ketiga orang itu balik tubuh dan kabur dari situ, sampai cahaya lentera dalam kuil tidak nampak lagi mereka baru menghembuskan napas lega.
"Waah, sungguh lihai!" gumam Gi Beng dengan napas tersengal.
"Kelihatannya ilmu beracun yang dilatih pendeta berjubah merah itu sudah mencapai puncak kesempurnaan," kata Gi Teng pula dengan nada berat, "andaikata sampai ketahuan mereka, mungkin susah bagi siapa pun untuk kabur dari bukit ini dalam keadaan selamat."
"Siapa sih orang itu" Apakah kau mengenali mereka?"
"Jejak jagoan silat amat sulit dilacak," sahut Gi Teng sambil menghela napas, "sekalipun aku merasa agak asing, tapi jelas dia adalah seorang gembong iblis yang sudah lama hidup mengasingkan diri... aaai! Lebih baik kita tidak usah mengenal mereka."
"Tapi aku mengenali muridnya itu," tiba-tiba Sui Leng-kong menyela.
"Siapa dia?" tanya Gi Beng sambil membe-lalakkan matanya.
"Dia adalah Pocu benteng Han hong-po, Leng It-hong."
Sampai tiba kembali di tempat pondokannya dalam dusun, Gi Beng masih diliputi perasaan tercengang dan tidak habis mengerti, gumamnya berulang kali:
"Leng It-hong" Kenapa dia bisa menjadi murid gembong iblis itu?"
"Kalau sampai manusia macam Leng It-hong pun bersedia menjadi muridnya, jelas kungfu yang dimiliki orang ini sangat menakutkan, lebih baik kita jangan mengusiknyalagi."
"Siapa yang bilang mau mengusiknya" Aku hanya ingin...."
"Lebih baik lagi kalau dipikir pun jangan," tukas Gi Teng cepat.
Kemudian setelah menatap sekejap Sui Leng-kong, tiba-tiba katanya lagi:
"Bukan bermaksud takut atau tidak punya nyali, tapi bukankah tujuan kepergian kita kali ini adalah untuk mencari orang" Buat apa mesti mencampuri urusan orang lain?"
Kontan Gi Beng tertawa cekikikan, katanya:
"Aku justru melihat kau tidak bernyali, cuma malu untuk mengakuinya... bukan begitu Enci Sui?"
Sambil tersenyum Sui Leng-kong melirik Gi Teng sekejap.
Dengan wajah bersemu merah, buru-buru Gi Teng berdehem, katanya:
"Sudahlah, besok pagi kita harus melanjut-kan perjalanan, lebih baik cepat tidur!"
Dia tidak berani memandang wajah Sui Leng-kong lagi, cepat pemuda itu mengundurkan diri dari ruangan.
Kembali Gi Beng mengomel panjang lebar sebelum akhirnya tertidur.
Sedang Sui Leng-kong merasa sulit untuk memejamkan mata, walaupun sudah bolak-balik tubuhnya, namun rasa mengantuk seakan sudah jauh meninggalkan tubuhnya.
Biarpun di hari biasa dia selalu tampil dengan wajah penuh senyuman, namun begitu keheningan malam mulai menjelang, dia selalu akan terombang-ambing oleh pikiran yang kalut, dia merasa banyak masalah yang sulit dihilangkan dari benaknya.
Sepanjang malam berulang kali Gi Beng mengigau sambil berteriak-teriak:
"Ular... ular...."
Menyaksikan hal itu, Sui Leng-kong menghela napas panjang, sambil mengenakan mantel diam-diam dia membuka jendela ruangan.
Di luar jendela tampak langit amat cerah, rembulan dan bintang menghiasi malam yang gelap, di tengah hembusan angin yang dingin, tiada hentinya dia memanggil nama Thiat Tiong-
tong. Dalam keheningan yang mencekam itulah mendadak dia mendengar suara isak tangis yang amat memedihkan hati, isak tangis itu sayup-sayup terhembus lewat mengikuti angin malam, suara tangisan yang begitu sedih dan memilukan hati, serasa hati tersayat, usus terburai....
Tanpa terasa air mata ikut berlinang membasahi wajah Sui Leng-kong, tanpa sadar dia melompat keluar dari dalam kamar dan berjalan menuju ke sumber isak tangis itu.
Dia tidak sadar, selain dirinya ternyata masih ada orang lain yang ikut berada di sisi jendela.
Orang itu tidak lain adalah Gi Teng.
Pemuda itu dapat melihat dengan jelas kemunculan Sui Lengkong yang berambut panjang sebahu dan mengenakan baju berwarna putih di bawah cahaya rembulan....
Sui Leng-kong nampak begitu cantik, cantik bak bidadari dari kahyangan.
Tanpa terasa pemuda itu termangu, serta merta dia ikut melompat keluar jendela.
Saat itu Sui Leng-kong sudah melesat keluar dari dinding pekarangan.
Baru saja Gi Teng hendak mengejar, satu ingatan kembali melintas, cepat dia balik ke dalam kamar dan membangunkan Gi Beng yang masih terlelap tidur.
Dengan terkejut Gi Beng melompat bangun dari tidurnya seraya berteriak keras:
"Ular...."
Tapi setelah melihat jelas orang yang berdiri di hadapannya adalah Gi Teng, dengan perasaan lebih tenang tegurnya:
"Ada apa?"
"Ketika mendengar isak tangis, nona Sui keluar rumah seorang diri, aku... aku sangat kuatir, bagaimana kalau kau mengintil di belakangnya?"
"Kalau toh kau yang kuatir, kenapa tidak pergi sendiri" Aku mau tidur saja...." sahut Gi Beng sambil cemberut, selesai bicara kembali dia merebahkan diri.
Buru-buru Gi Teng menarik tangannya dan berseru sambil tertawa paksa:
"Kalau yang menangis seorang wanita, berarti dia menangis dari kamar tidurnya, masa aku seorang lelaki harus masuk ke dalam kamar wanita lain?"
Gi Beng menghela napas panjang dan menggeleng.
"Aaai, siapa suruh aku jadi adikmu dan siapa suruh kau adalah kakakku?"
Buru-buru dia bangun dan mengenakan pakaian luar.
Menanti dia mengejar keluar, Sui Leng-kong sudah berada jauh sekali, masih untung nona itu berjalan tidak terlalu cepat, pakaian putihnya kelihatan sangat menyolok di tengah kegelapan malam.
Akhirnya Gi Beng berhasil menemukan Jejaknya, sambil mengerahkan tenaga dalamnya dia menyusul ke depan dan rencananya hendak menegur, namun niat itu segera diurungkan begitu melihat raut muka Sui Leng-kong yang dicekam kesedihan.
Ketika mengetahui kedatangan Gi Beng, sambil tertawa sedih kata Sui Leng-kong:
"Coba dengar!"
Sekarang Gi Beng baru merasa kalau isak tangis itu memang sangat menyedihkan, tanpa terasa tergerak hatinya. Dengan kening berkerut, bisiknya:
"Ya, betul, anak perempuan siapa yang sedang dianiaya orang" Mari kita tengok ke sana."
Siapa sangka suara tangisan yang kedengarannya berasal dari tempat dekat itu kenyataan jauhnya setengah mati, harap maklum suasana malam di dusun itu memang kelewat sepi sehingga tidak heran suara isak tangis yang berasal dari tempat jauh pun terdengar sangat jelas.
Sui Leng-kong yang semula masih berjalan santai, tanpa sadar segera mempercepat langkahnya dan pada akhirnya kedua orang itu sama-sama mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk bergerak.
Tempat ini adalah bukit Lau-san, di kaki bukit terlihat setitik cahaya hio yang berkedip-kedip bagaikan bintang kesepian, dari arah situlah suara isak tangis itu berasal.
Ketika Sui Leng-kong dan Gi Beng berjalan semakin dekat, di bawah cahaya bintang tampaklah sebatang hio tertancap di atas sebatang batu hijau di kaki bukit, ada dua orang gadis berbaju hitam yang bertubuh ramping sedang berlutut di hadapan hio itu sambil menangis tersedu-sedu, sayang wajah mereka tertutup oleh kain cadar berwarna hitam, jelas kedua orang itu enggan wajah asli mereka ketahuan orang.
Gi Beng segera menghentikan langkahnya, dengan kening
berkerut dia berbisik:
"Ternyata mereka bukan sedang dianiaya orang lain, tapi sedang melampiaskan rasa sedihnya di sini."
"Kalau didengar dari isak tangis yang begitu mengenaskan, kelihatannya orang yang sedang mereka tangisi adalah orang yang sangat dekat dengan kedua orang ini, entah orang itu sempat tidak mendengar suara tangisannya?" kata Sui Leng-kong pula dengan sedih.
Berbicara sampai di situ, air mata telah membasahi wajahnya.
Menyaksikan sikap rekannya, diam-diam Gi Beng menghela napas panjang, pikirnya, "Ternyata Enci Sui adalah orang yang sensitif perasaannya...
Sementara di luar, dia berkata:
"Jika orang itu sudah mati dan ternyata ada orang yang begitu sedih atas kematiannya, boleh dibilang kematian orang itu cukup berharga."
"Tapi... tapi...."
"Tapi bila orang itu belum mati dan gara-gara dia orang lain mesti begitu sedih," tukas Gi Beng cepat, "maka orang itu kalau bukan kentut busuk, pastilah seorang lelaki goblok yang memuakkan."
Pembicaraan kedua orang ini mesti tidak menggunakan suara yang keras, namun tidak pula terhitung lirih, sayang dalam sedihnya yang luar biasa ternyata tidak seorang pun di antara kedua orang gadis berbaju hitam itu yang mendengar.
Kelihatannya hembusan angin malam pun menemani suara isak tangis mereka, berbaur menjadi satu dan menciptakan seuntai irama lagu yang menyayat hati.
Sui Leng-kong yang sudah dibasahi air mata, kini terisak makin menjadi.
Sekali lagi Gi Beng menghela napas, sambil menggelengkan kepala dan tertawa getir, ujarnya:
"Siapa orangnya yang mereka tangisi kau tidak tahu, masa kau menemani mereka menangis sesedih ini?"
Dengan air mata masih bercucuran, sahut Sui Leng-kong:
"Mereka menangisi orang yang dikasihi, sementara aku menangisi masalahku yang menyedihkan, kalau kami sama-sama sedang bersedih hati, apa salahnya menangis bersama,"
Gi Beng tertegun, sambil menggosok matanya dia berseru:
"Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan, tapi... kalau kau masih menangis terus, aku... aku pun tidak tahan untuk tidak
menangis."
"Baik, kalau begitu menangislah... menangislah... semoga semua orang yang sedang bersedih hati dapat berkumpul semua di sini dan menangis bersama... bisa menangis, jauh lebih lega ketimbang menyimpannya di dalam hati."


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian menangis karena ada yang ditangisi, sementara aku...
tidak seorang manusia pun yang perlu kutangisi, aku...
bukankah aku jauh lebih mengenaskan ketimbang kalian?"
Makin berbicara dia merasa makin sedih, sampai akhirnya dia pun ikut menangis tersedu-sedu, malah suara tangisannya paling keras.
Entah sudah berapa lama keempat orang itu menangis, akhirnya dua orang gadis berbaju hitam itu berpaling secara tiba-tiba dan berseru:
"Cici berdua... kalian... kalian jangan menangis lagi!"
"Kalian sendiri menangis dengan begitu sedihnya, kenapa kami tidak boleh menangis," sahut Gi Beng, "asal kalian tidak menangis, tentu kami pun tidak akan menangis lagi."
"Kami... mana mungkin kami tidak menangis" Tapi bila Cici berdua tidak ada masalah yang benar-benar menyedihkan, lebih baik janganlah menangis lagi."
"Masalah apa pula yang membuat kalian amatbersedih?"
Gadis berbaju hitam itu mendongakkan kepala memandang ke angkasa, kemudian ujamya sedih:
"Seseorang telah mati, padahal sepanjang hidupnya dia sudah banyak berkorban demi orang banyak, namun tidak seorang pun yang mengetahui pengorbanannya itu."
"Benar, dia telah mengorbankan segala-galanya." lanjut gadis yang lain, "namun tidak seorang saudara dan sanaknya pun yang memahami pengorbanan itu, bahkan sampai gurunya pun menuduh dia sebagai seorang murid murtad, seorang pengkhianat."
"Dia dilahirkan tanpa ibu, ayahnya juga telah mati, satu-satunya orang di dunia ini yang paling dekat dengannya ternyata...."
"Akhirnya dia harus tewas di tangan orang yang paling dekat dengannya," kembali gadis yang lain menambahkan.
Walaupun hanya serangkai pembicaraan yang sederhana namun telah menceritakan sebuah kisah kehidupan yang amat tragis, dalam keadaan begini, siapa yang tidak merasa bersedih"
Gi Beng berdiri tertegun, lama sekali dia termangu oleh kisah
cerita itu, gumamnya:
"Kalau dia benar-benar manusia macam begini, aku... aku pasti akan turut menangisi kepergiannya."
Sui Leng-kong yang selama ini hanya tertunduk sambil menangis, tiba-tiba mendongakkan kepala, selesai membesut air mata, tanyanya dengan gemetar:
"Si... siapa yang kau maksud?"
Kedua orang gadis berbaju hitam itu serentak berpaling, memandang ke arahnya.
Di bawah cahaya bintang, terlihat nona itu berdiri dengan wajah pucat-pias, wajahnya sayu, meskipun kecantikannya sudah terselubung di balik kepedihan, namun sorot matanya tampak tetap jeli dan indah.
Kedua orang gadis berbaju hitam itu tertegun, sampai lama sekali tak mampu berkata.
"Kenapa... kenapa kalian tidak bicara?" tanya Sui Leng-kong.
Tiba-tiba kedua orang gadis berbaju hitam itu berangkulan kembali dan menangis semakin sedih.
"Kau... kau...." paras muka Sui Leng-kong semakin pucat.
"Sebenarnya Cici... Cici pun kenal dengan orang... orang yang kami tangisi...." ujar gadis berbaju hitam itu terbata-bata.
"Siapa" Siapakah dia?" suara Sui Leng-kong makin gemetar.
"Thiat... Tiong... Tong!"
"Thiat Tiong-tong?" Gi Beng ikut menjerit keras.
Sementara itu Sui Leng-kong sudah mencengkeram baju gadis itu sembari menjerit:
"Thiat Tiong-tong" Kau... yang kau maksud benar-benar Thiat Tiong-tong?"
"Benar! Mana ada orang lain yang jauh lebih banyak berkorban daripada Thiat Tiong-tong?" kata gadis berbaju hitam itu sedih, "kecuali untuk Thiat Tiong-tong, mana mungkin aku akan begitu bersedih."
Sekujur badan Sui Leng-kong mulai gemetar keras, tubuhnya mendadak jadi rapuh bagai selembar daun kering yang dihembus angin kencang, jeritnya:
"Kau bohong... Thiat Tiong-tong tak mungkin mati, dia tak mungkin mati
"Dia memang tak pantas mati, tapi dia... dia benar-benar telah mati... Enci Sui, kau anggap aku tega menipumu?"
"Kau... kau kenal aku" Siapa kau?"
"Leng... Cing-peng...."
Sambil menjerit keras Sui Leng-kong berpaling ke arah gadis yang lain.
Perlahan-lahan gadis berkerudung hitam itu melepaskan kain cadarnya dan menampilkan wajahnya yang cantik jelita, wajah yang telah basah oleh air mata....
Dia tidak lain adalah UnTay-tay.
Tubuh Sui Leng-kong tampak gontai, mendadak dia merasa pikirannya kosong, tidak ada lagi secuwil kekuatan pun yang menopang tubuhnya.
Dia cukup mengerti, perkataan orang lain mungkin saja bohong, tapi kedua orang ini tidak nanti akan membohongi dirinya... tubuhnya mulai roboh lemas.
Buru-buru Gi Beng memeluk tubuhnya sambil berteriak:
"Siapa yang telah membunuh Thiat Tiong-tong" Siapa yang telah membunuh Thiat Tiong-tong" Cepat beritahukan kepadaku."
"Orang itu adalah adik angkatnya, Im Ceng!" sahut Un Tay-tay dengan kepala tertunduk.
Sekali lagi tubuh Sui Leng-kong bergetar keras.
Gi Beng ikut tertegun, lama kemudian dia baru bergumam:
"Im Ceng... Im Ceng... dimana dia sekarang?"
"Dia pun telah mati!"
Jiwa Sui Leng-kong yang sudah melemah bagaimana mungkin bisa menerima pukulan batin seberat ini" Belum sempat berteriak, kembali dia jatuh tidak sadarkan diri.
Gi Beng mendongakkan kepala memandang langit, jeritnya amat sedih:
"Ooh, Thian... sudah terjadi tragedi yang begitu mengenaskan di dunia ini, kenapa kau tidak mencampurinya?"
Tentu saja dia tidak tahu kalau pada saat yang bersamaan telah terjadi peristiwa yang menyedihkan di tempat lain.
Walaupun Thiat Tiong-tong belum mati, namun dia jauh lebih menderita dan tersiksa dari pada mati.
Penderitaan dan siksaan yang dialaminya selama ini, kecuali dia pribadi, mungkin tidak ada orang kedua di dunia ini yang bisa menerimanya, hati dan perasaannya benar
Seruling Samber Nyawa 8 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Kisah Pendekar Bongkok 11
^